Anda di halaman 1dari 14

KONSEP TRAUMA KEPALA

A. DEFINISI
Trauma atau cedera kepala atau cedera otak adalah gangguan fungsi normal otak
karena trauma baik trauma tumpul maupun tajam (batticaca, 2008)
Trauma atau cedera kepala adalah di kenal sebagai cedera otak gangguan fungsi
normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Defisit
neurologis terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia, dan pengaruh masa
karena hemoragik, serta edema serebral di sekitar jaringan otak. (Batticaca
Fransisca, 2008, hal 96).
B. EPIDEMIOLOGI
Prognosis setelah cedera kepala sering mendapat perhatian besar, terutama
pada pasien dengan cedera berat. Skor GCS waktu masuk rumah sakit memiliki nilai
prognostic yang besar: skor pasien 3-4 memiliki kemungkinan meninggal 85% atau tetap
dalam kondisi vegetatif, sedangkan pada pasien dengan GCS 12 atau lebih kemungkinan
meninggal atau vegetatif hanya 5-10 %. Sindrom pascakonkusi berhubungan dengan
sindrom kronis nyeri kepala, keletihan, pusing, ketidakmampuan berkonsentrasi,
iritabilitas, dan perubahan kepribadian yang berkembang pada banyak pasien setelah
cedera kepala. Seringkali bertumpang-tindih dengan gejala depresi.
C. ETIOLOGI
Rosjidi (2007), penyebab cedera kepala antara lain:
1. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil
2. Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
3. Cedera akibat kekerasan.
4. Benda tumpul, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat
merobek otak.
5. Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat sifatnya.
6. Benda tajam, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat merobek
otak, misalnya tertembak peluru atau benda tajam.
D. MANIFESTASI KLINIS
Gejala - gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi cedera otak.
1. Cedera kepala ringan
- Kebingungan saat kejadian dan kebinggungan terus menetap setelah cedera.
- Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas.
- Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah tingkah laku
Gejala-gejala ini dapat menetap selama beberapa hari, beberapa minggu atau lebih lama
setelah konkusio cedera otak akibat trauma ringan.
2. Cedera kepala sedang
- Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebinggungan atau hahkan
koma
- Gangguan kesedaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba defisit neurologik, perubahan
TTV, gangguan penglihatan dan pendengaran, disfungsi sensorik, kejang otot, sakit
kepala, vertigo dan gangguan pergerakan.
3. Cedera kepala berat
- Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah terjadinya
penurunan kesehatan.
- Pupil tidak aktual, pemeriksaan motorik tidak aktual, adanya cedera terbuka, fraktur
tengkorak dan penurunan neurologik.
- Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukan fraktur.
- Fraktur pada kubah kranial menyebabkan pembengkakan pada area tersebut
E. KLASIFIKASI
Cidera kepala dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) cidera kepala terbuka dan cidera
kepala tertutup:
1. Cidera kepala terbuka
Luka kepala terbuka akibat cidera kepala dengan pecahnya tengkorak atau luka
penetrasi, besarnya cidera pada tife ini ditentukan oleh velositas, masa dan bentuk
dari benturan. Kerusakan otak juga dapat terjadi jika tulang tengkorak menusuk dan
masuk kedalam jaringan otak dan melukai durameter saraf otak, jaringan sel otak
akibat benda tajam/tembakan. Cedera kepala terbuka memungkinkan kuman
phatogen memiliki akses langsung ke otak
2. Cedera kepala tertutup
Benturan kranium pada jaringan otak di dalam tengkorak ialah goncangan yang
mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu yang bergerak cepat, kemudian
serentak berhenti. Cedera kepala tertutup meliputi: Komosio (gegar otak), kontusio
(memar) dan laserasi.
Cedera kepala Juga diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3
deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, beratnya cedera kepala, dan
morfologinya.
1. Mekanisme cedera kepala Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas
cedera kepala tumpul dan cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya
berkaitan dengan kecelakaan mobil atau motor, jatuh atau terkena pukulan benda
tumpul. Sedang cedera kepala tembus disebabkan oleh peluru atau tusukan
(Bernath, 2009).
2. Beratnya cedera Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan nilai Glasgow Coma
Scale adalah sebagai berikut :
a. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefenisikan sebagai cedera kepala berat.
b. Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13
c. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15.
3. Morfologi cedera
Secara morfologis cedera kepala dapat dibagi atas fraktur cranium dan lesi
intrakranial.
a. Fraktur cranium
Fraktur cranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan
dapat berbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau
tertutup.Fraktur dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan
dengan dengan teknik bone window untuk memperjelas garis frakturnya.
Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk
kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci. Tanda-tanda tersebut
antara lain ekimosis periorbital (raccoon eye sign), ekimosis retroauikular
(battle sign), kebocoran CSS(Rhinorrhea, otorrhea) dan paresis nervus fasialis
(Bernath, 2009). Fraktur cranium terbuka atau komplikata mengakibatkan
adanya hubungan antara laserasi kulit kepala dan permukaan otak karena
robeknya selaput duramater. Keadaan ini membutuhkan tindakan dengan
segera. Adanya fraktur tengkorak merupakan petunjuk bahwa benturan yang
terjadi cukup berat sehingga mengakibatkan retaknya tulang tengkorak.
Frekuensi fraktura tengkorak bervariasi, lebih banyak fraktura ditemukan bila
penelitian dilakukan pada populasi yang lebih banyak mempunyai cedera
berat. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial
sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak
sadar. Untuk alasan ini, adanya fraktura tengkorak mengharuskan pasien untuk
dirawat dirumah sakit untuk pengamatan (Davidh, 2009).
b. Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa,walau kedua
bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk hematoma
epidural, hematoma subdural, dan kontusi (atauhematoma intraserebral).
Pasien pada kelompok cedera otak difusa,secara umum, menunjukkan CT scan
normal namun menunjukkan perubahan sensorium atau bahkan koma dalam
keadaan klinis(Bernath,2009).
Hematoma Epidural
Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk diruang
potensial antara tabula interna dan duramater dengan ciri berbentuk
bikonvek atau menyerupai lensa cembung. Paling sering terletak diregio
temporal atau temporoparietal dan sering akibat robeknya pembuluh
meningeal media. Perdarahan biasanya dianggap berasal arterial, namun
mungkin sekunder dari perdarahan vena pada sepertiga kasus. Kadang-
kadang, hematoma epidural akibat robeknya sinus vena, terutama diregio
parietal-oksipital atau fossa posterior.Walau hematoma epidural relatif
tidak terlalu sering (0.5% darikeseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera
kepala), harus selaludiingat saat menegakkan diagnosis dan ditindak
segera. Bila ditindak segera, prognosis biasanya baik karena penekan
gumpalan darah yang terjadi tidak berlangsung lama. Keberhasilan pada
penderita pendarahan epidural berkaitan langsung denggan status
neurologis penderita sebelum pembedahan. Penderita dengan pendarahan
epidural dapat menunjukan adanya, lucid interval´ yang klasik dimana
penderita yang semula mampu bicara lalu tiba-tiba meningggal (talk and
die), keputusan perlunya tindakan bedah memang tidak mudah dan
memerlukan pendapat dari seorang ahli bedah saraf(Harga Daniel, 2009)
Dengan pemeriksaan CT Scan akan tampak area hiperdens yang tidak selalu
homogeny, bentuknya biconvex sampai planoconvex, melekat pada tabula
interna dan mendesak ventrikel ke sisi kontralateral (tanda space
occupying lesion ). Batas dengan corteks licin, densitas duramater biasanya
jelas, bila meragukan dapat diberikan injeksi media kontras secara
intravena sehingga tampak lebih jelas (Gazali,2007).

Hematom Subdural
Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi diantara
duramater dan arakhnoid.SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH,
ditemukansekitar 30% penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi
paling sering akibat robeknya vena bridging antara korteks serebral dan
sinus draining . Namun ia juga dapat berkaitan dengan laserasi permukaan
atau substansi otak.Fraktura tengkorak mungkin ada atau tidak (American
college of surgeon, 1997)Selain itu, kerusakan otak yang mendasari
hematoma subdural akuta biasanyasangat lebih berat dan prognosisnya
lebih buruk dari hematoma epidural.Mortalitas umumnya 60%, namun
mungkin diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat segera dan
pengelolaan medis agresif. Subdural hematom terbagimenjadi akut dan
kronis.

1. SDH Akut

Pada CT Scan tampak gambaran hyperdens sickle ( seperti bulan sabit )


dekat tabula interna, terkadang sulit dibedakan dengan epidural
hematom. Batas medial hematom seperti bergerigi. Adanya hematom
di daerah fissure interhemisfer dan tentorium juga menunjukan adanya
hematom subdural(Bernath, 2009).

2. SDH Kronis

Pada CT Scan terlihat adanya komplek perlekatan, transudasi, kalsifikasi


yang disebabkan oleh bermacam- macam perubahan, oleh karenanya
tidak ada pola tertentu. Pada CT Scan akan tampak area hipodens,
isodens, atau sedikit hiperdens, berbentuk bikonveks, berbatas tegas
melekat pada tabula. Jadi pada prinsipnya, gambaran hematom
subdural akut adalah hiperdens, yang semakin lama densitas ini
semakin menurun, sehingga terjadi isodens, bahkan akhirnya menjadi
hipodens (Ghazali, 2007)
Kontusi dan hematoma intraserebral.
Kontusi serebral murni bisanya jarang terjadi. Selanjutnya, kontusi otak
hampir selalu berkaitan dengan hematoma subdural akut. Majoritas
terbesar kontusi terjadi dilobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi
pada setiap tempat termasuk serebelum dan batang otak. Perbedaan
antara kontusi dan hematoma intraserebral traumatika tidak jelas
batasannya. Bagaimanapun,terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat
secara lambat laun menjadi hematoma intraserebral dalam beberapa hari.
Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam
jaringan(parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau
kontusio jaringan otak yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah
yang ada di dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling sering adalah
lobus frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi
benturan (coup) atau pada sisilainnya (countrecoup). Defisit neurologi yang
didapatkan sangat bervariasi dan tergantung pada lokasi dan luas

perdarahan (Hafidh, 2007)


Cedera difus

Cedara otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera


akselerasi dan deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang sering terjadi
pada cedera kepala. Komosio cerebri ringan adalah keadaan cedera dimana
kesadaran tetap tidak terganggu namun terjadi disfungsi neurologis yang
bersifat sementara dalam berbagai derajat. Cedera ini sering terjadi,
namun karena ringan kerap kali tidak diperhatikan. Bentuk yang paling
ringan dari komosio ini adalah keadaan bingung dan disorientasi tanpa
amnesia.Sindroma ini pulih kembali tanpa gejala sisa sama sekali.cedera
komosio yang lebih berat menyebabkan keadaan binggung disertai
amnesia retrograde dan amnesia antegrad (American college of surgeon,
1997).

Komosio cerebri klasik adalah cedera yang mengakibatkan menurunnya


atau hilanggnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia
pasca trauma dan lamanya amnesia ini merupakan ukuran beratnya cidera.
Dalam beberapa penderita dapat timbul defisist neurologis untuk beberapa
waktu.defisit neurologis itu misalnya kesulitan mengingat, pusing, mual,
anosmia, dan depresi serta gejala lain. Gejala-gajala ini dikenal sebagai
sindroma pasca komosio yang dapat cukup berat.

Aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah keadaan dimana


pendeerita mengalami koma pasca cedera yang berlangsung lama dan
tidak diakibatkan oleh suatu lesi masa atau serangan iskemik. Biasanya
penderita dalam keadaan kooma yang dalam dan tetap koma selama
beberapa waktu. Penderita sering menuunjukan gejala dekortikasi atau
deserebrasi dan bila pulih sering tetap dalam keadaan cacat berat, itupun
bila bertahan hidup.Penderita seringg menunjukan gejala disfungsi otonom
seperti hipotensi,hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga akibat
cedera aksonal difus dan cedeera otak kerena hipoksiia secara klinis tidak
mudah, dan memang dua keadaan tersebut sering terjadi bersamaan
(American college of surgeon,1997)
KLASIFIKASI CIDERA KEPALA

berdasarkan mekanisme, beratnya cedera kepala, dan morfologinya.

Cedera kepala tumpul


Mekanisme
Cedera kepala tembus

Cedera kepala berat (GCS ≤ 8)


KLASIFIKASI CIDERA KEPALA

Beratnya cedera kepala Cedera kepala sedang (9-13)

Cedera kepala ringan (14-15)

Fraktur cranium

Hematoma epidural
Lesi Intrakranial
Hematoma SDH akut
Morfologi
subdural SDH kronis

Kontusi & hematoma intraserebral

Cedera difus
F. PATOFISIOLOGI
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera
primer dan cedera sekunder.Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai
akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala
dengan suatu benda keras maupun oleh prosesak selarasi deselarasi gerakan kepala.

Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera
primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah
sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan
akan terjadi lesi yang disebut contrecoup.

Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak


dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi
solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat
dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak
membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan
(contrecoup)

Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang
timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema
otak, kerusakan neuron berkelanjutan, eskemia, peningkatan tekanan intreakranial,
dan perubahan neurokimia.
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Foto polos kepala
Indikasi foto polos kepala Tidak semua penderita dengan cidera kepala diindikasikan
untuk pemeriksaan kepala karena masalah biaya dan kegunaan yang sekarang
makin ditinggalkan. Jadi indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm,Luka tembus
(tembak/tajam), Adanya corpus alineum, Deformitas kepala (dari inspeksi dan
palpasi), Nyeri kepala yang menetap, Gejala fokal neurologis,Gangguan kesadaran.
Sebagai indikasi foto polos kepala meliputi jangan mendiagnosa foto kepala normal
jika foto tersebut tidak memenuhi syarat, Pada kecurigaan adanya fraktur depresi
maka dilakukan foto polos posisi AP/lateraldan oblique.
2. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)
Indikasi CT Scan adalah :
a. Nyeri kepala menetap atau muntah yang tidak menghilang setelah pemberian
obat – obatan analgesia/antimuntah
b. Adanya kejang ± kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat lesi
intrakranial dibandingkan dengan kejang general.
c. Penurunan GCS lebih 1 point dimana faktor ± faktor ekstracranial telah
disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi karena misal terjadi shock,
febris, dll).
d. Adanya lateralisasi
e. Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai, misal fraktur
depresi temporal kanan tapi terdapat hemiparese/plegi kanan.
f. Luka tembus akibat benda tajam dan peluru.
g. Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS.
h. Bradikardia (Denyut nadi kurang 60 X/menit).mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan :
Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilakukan pada 24 - 72 jam
setelah injuri.
3. MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
4. Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan
jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
5. Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
6. X-Ray : mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan/edema), fragmen tulang.
7. BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
8. PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
9. CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid
10. ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan(oksigenisasi) jika
terjadi peningkatan tekanan intracranial
11. Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrkranial
12. Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan
penurunan m)Kesadaran (Haryo, 2008)
H. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili tujuan untuk
memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta memperbaiki keadaan
umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit.
Penatalaksanaan cedera kepala tergantung pada tingkat keparahannya, berupa cedera kepala
ringan, sedang, atau berat(ariwibowo, 2008).
Prinsip penanganan awal meliputi survei primer dan survei sekunder. Dalam
penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain airway,
breathing, circulation, disability, dan exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi.
Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei primer sangatlah
penting untuk mencegah cedera otak sekunder dan mencegah homeostasis otak (ariwibowo,
2008).
Tidak semua pasien cedera kepala perlu di rawat inap di rumah sakit. Indikasi rawat
antara lain:
- Amnesia post traumatika jelas (lebih dari 1 jam)
- Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
- Penurunan tingkat kesadaran
- Nyeri kepala sedang hingga berat
- Intoksikasi alkohol atau obat
- Fraktura tengkorak
- Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea
- Cedera penyerta yang jelas
- Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung jawabkan
- CT scan abnormal (Ghazali, 2007)
Terapi medika mentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk memberikan
suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang dilakukan dalam terapi ini dapat
berupa pemberian cairan intravena, hiperventilasi,pemberian manitol, steroid,
furosemid, barbitirat dan antikonvulsan. Pada penanganan beberapa kasus cedera kepala
memerlukan tindakan operatif. Indikasi untuk tindakan operatif ditentukan oleh kondisi
klinis pasien, temuan neuro radiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum
digunakan panduan sebagai berikut:
- volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial atau
lebih dari 20 cc di daerah infratentorial
- kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis
- tanda fokal neurologis semakin berat
- terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat
- pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm
- terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg.
- terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan
- terjadi gejala akan terjadi herniasi otak
- terjadi kompresi / obliterasi sisterna basalis (Bernath, 2009)
I. KOMPLIKASI
Rosjidi (2007), kemunduran pada kondisi klien diakibatkan dari perluasan hematoma
intrakranial edema serebral progresif dan herniasi otak, komplikasi dari cedera kepala adalah;
1. Edema pulmonal
Komplikasi yang serius adalah terjadinya edema paru, etiologi mungkin berasal dari
gangguan neurologis atau akibat sindrom distress pernafasan dewasa. Edema paru terjadi
akibat refleks cushing /perlindungan yang berusaha mempertahankan tekanan perfusi
dalam keadaan konstan. Saat tekanan intrakranial meningkat tekanan darah sistematik
meningkat untuk memcoba mempertahankan aliran darah keotak, bila keadaan semakin
kritis, denyut nadi menurun bradikardi dan bahkan frekuensi respirasi berkurang, tekanan
darah semakin meningkat. Hipotensi akan memburuk keadan, harus dipertahankan tekanan
perfusi paling sedikit 70 mmHg, yang membutuhkan tekanan sistol 100-110 mmHg, pada
penderita kepala. Peningkatan vasokonstriksi tubuh secara umum menyebabkan lebih
banyak darah dialirkan ke paru, perubahan permiabilitas pembulu darah paru berperan
pada proses berpindahnya cairan ke alveolus. Kerusakan difusi oksigen akan karbondioksida
dari darah akan menimbulkan peningkatan TIK lebih lanjut.
2. Peningkatan TIK
Tekanan intrakranial dinilai berbahaya jika peningkatan hingga 15 mmHg, dan herniasi
dapat terjadi pada tekanan diatas 25 mmHg. Tekanan darah yang mengalir dalam otak
disebut sebagai tekan perfusi rerebral. Yang merupakan komplikasi serius dengan akibat
herniasi dengan gagal pernafasan dan gagal jantung serta kematian.
3. Kejang
Kejang terjadi kira-kira 10% dari klien cedera otak akut selama fase akut. Perawat harus
membuat persiapan terhadap kemungkinan kejang dengan menyediakan spatel lidah yang
diberi bantalan atau jalan nafas oral disamping tempat tidur klien, juga peralatan
penghisap. Selama kejang, perawat harus memfokuskan pada upaya mempertahankan,
jalan nafas paten dan mencegah cedera lanjut. Salah satunya tindakan medis untuk
mengatasi kejang adalah pemberian obat, diazepam merupakan obat yang paling banyak
digunakan dan diberikan secara perlahan secara intavena. Hati-hati terhadap efek pada
system pernafasan, pantau selama pemberian diazepam, frekuensi dan irama pernafasan.
4. Kebocoran cairan serebrospinalis
Adanya fraktur di daerah fossa anterior dekat sinus frontal atau dari fraktur tengkorak
basilar bagian petrosus dari tulangan temporal akan merobek meninges, sehingga CSS akan
keluar. Area drainase tidak boleh dibersihkan, diirigasi atau dihisap, cukup diberi bantalan
steril di bawah hidung atau telinga. Instruksikan klien untuk tidak memanipulasi hidung atau
telinga.
5. Infeksi

Anda mungkin juga menyukai