Anda di halaman 1dari 3

TATALAKSANA BATU EMPEDU /

KOLELITIASIS (PART 1)
Terapi pada kolelithiasis bersifat simptomatis dan umumnya mengutamakan evakuasi batu dari
kantung atau saluran empedu. Bila penyebab dari kolelithias diketahui, seperti anemia hemolitik,
obesitas, diabetes dll, maka penyakit yang mendasari kolelithiasis tersebut harus ditangani juga.

Tindakan bedah telah lama menjadi terapi utama dan definitif GD. Kemajuan di bidang biologi
molekular dan biokimiawi empedu telah memberikan penjelasan mengenai produksi dan ekskresi
cairan empedu serta mekanisme-mekanisme yang berhubungan dengan pembentukan dan
struktur batu empedu. Kemajua-kemajuan ini dapat memperluas pilihan terapi. Kini, baik terapi
bedah maupun medis sama-sama digunakan sebagai terapi GD. Terapi dasar pada GD adalah :
(1) cavitary cholecystectomy endoscopic cholecystectomy, (2) terapi litholitik (LT), (3)
extracorporeal shock wave lithotripsy (ESWL), (4) ESWL + LT dan (5) LT transhepatik
perkutaneus.

Pilihan akhir terapi harus merupakan hasil kesepakatan antara dokter penanggungjawab, dokter
bedah dan pasien. Berikut akan dibahas mengenai prinsip dasar terapi medis pada kolelithiasis.

Pada pertengahan akhir abad lalu terdapat beberapa kemajuan di bidang terapi GD yang menjadi
perhatian : terapi litholitik (pelarutan batu GD) dan lithotripsi (penghancuran batu). Sekitar 30%
pasien GD dapat menjalani terapi litholitik. Pelarutan batu empedu adalah berdasarkan
patofisiologi kolepoeisis dan koleresis pada kolelithiasis yang kemudian dikeluarkan melalui
asam empedu. Penelitian telah membuktikan adanya pengaruh rasio konsentrasi asam empedu
terhadap fase-fase sistem koordinasi triangular (Gambar 5).

Prinsip terapi ini adalah pelarutan batu empedu menggunakan obat-obatan asam empedu. Obat
litholitik yang mengandung chenodeoxycholic atau asam ursodeoksikolik (UDCA) adalah jenis
obat yang digunakan dalam terapi ini. Agen ini cenderung lebih efektif dan aman digunakan.
Melalui pemberian agen-agen ini, akan terjadi perbaikan defisiensi asam empedu, inhibisi
sintesis kolesterol di hati dan sekresinya ke empedu serta absorpsinya di usus, sehingga
menyebabkan penurunan kolesterol empedu dan pelarutan batu empedu.

Dalam keadaan normal, proporsi UDCA tidak lebih besar dari 5% dari total cairan asam empedu,
dan jumlah ini akan meningkat jauh menjadi 60% dalam kurun waktu 3 bulan atau lebih setelah
menjalani terapi dengan agen yang mengandung UDCA. Peningkatan asam empedu total ini
akan menyebabkan reduksi saturasi kolesterol sehingga akan terjadi pelarutan batu empedu yang
berjalan secara gradual. Pemberian UDCA di luar usus melalui sistem feedback akan menekan
produksi biosintesis kolesterol, yang akan menyebabkan penurunan indeks saturasi kolesterol
empedu. Penurunan kolesterol dan asam-asam toksik potensial ini akan diikuti oleh penurunan
kadar kolesterol dalam membran hepatositik. Ini akan menyebabkan perbaikan fungsi karier dari
asam empedu dan fosfolipid di membran kanalikular dan basolateral pada hepatosit, sehingga
menyebabkan peningkatan jumlah asam empedu dan fosfolipid di dalam kanalikuli dan
menurunkan indeks saturasi kolesterol empedu. Penelitian in vitro telah menunjukkan bahwa
UDCA menurunkan kadar kolesterol dan intensitas peroksidasi lipid pada membran sitoplasmik
myosit kantung empedu dan menurunkan sekresi mucin. Terapi UDCA jangka pendek juga
ditemukan bermanfaat untuk memperbaiki motilitas kantung empedu melalui aktivitas koleretik.

Terapi litolitik yang berhasil harus memenui kriteria pasien sebagai berikut : (1) batu haruslah
batu kolesterol atau campuran, (2) ukuran batu kurang dari 1,5 cm dan (3) fungsi kantung
empedu harus masih baik di mana volume batu tidak melebih seperempat volume puasa, duktus
sistikus dan duktus biliaris komunis harus paten dan sirkulasi empedu eneterohepatik harus
dipertahankan.

Dosis obat yang diberikan bersifat dependen terhadap berat badan. Dosis harian asam empedu
harus ditingkatkan pada pasien-pasien obesitas. Untuk mencapai hasil terapeutik yang terbaik,
obat harus dikonsumsi satu kali per hari pada malam hari, di mana pada keadaan malam hari
kantung empedu sedang dala posisi fungsional yang beristirahat dan sintesis kolesterol sedang
berada pada titik maksimal. Pemakaian obat ini dapat menyebabkan diare namun hal ini jarang
ditemui. Bila hal ini terjadi, 1/3 dari dosis harian dikonsumsi pada pagi hari dan sisanya
dikonsumsi pada malam hari.

Efisiensi dari terapi litholitik paling baik pada keadaan tahap awal GD di mana batu yang keras
atau compact belum terbentuk. Terapi ini adalah terapi jangka panjang (6 bulan hingga 2 tahun
atau lebih), dan pemeriksaan USG dan kimia darah harus rutin dilakukan tiap 3 bulan. Bila dari
pemeriksaan ditemukan pengecilan ukuran batu, maka terapi harus diteruskan hingga 3-6 bulan
hingga terjadi pelarutan sempurna. Bila setelah 12 bulan dari awal terapi tidak ditemukan
perbaikan, maka terapi litholitik harus dihentikan. Diet rendah kolesterol serta tambahan asupan
gandum dianjurkan pada saat terapi dan setelah terapi. Ursoterapi bukan merupakan
kontraindikasi pada wanita hamil dengan GD.

Dengan pemilihan pasien yang tepat, efisiensi terapi lithotripsi dengan UDCA dapat mencapai
60-90% : (1) bila terdapat batu kolesterol kecil “floating” atau melayang, maka keberhasilan
dapat mencapai 90%; (2) terdapat satu batu campuran berdiameter < 1 cm, keberhasilan dapat
mencapai 75%; dan (3) terdapat batu campuran multipel dengan diameter maksimal < 1 cm,
keberhasilan dapat mencapai 60%.

Hasil akhit terapi bergantung pada ukuran batu, di mana batu-batu kolesterol berdiameter < 5
mm akan mudah larut terlepas dari faktor risiko yang ada. Batu tunggal relatif lebih sulit larut
dibandingkan batu multipel (batu multipel memiliki rasio luas penampang berbanding volume
empedu yang lebih besar). Efek terapi terbaik ditemukan pada pasien dengan usia muda. Terapi
akan lebih mudah sukses bila dilakukan pada tahap awal, dan akan menjadi lebih sulit bila pasien
telah memiliki riawayat yang lama karena telah terjadi kalsifikasi. Bila kontraktilitas kantung
empedu masih baik, maka keberhasilan terapi akan lebih mudah tercapai.

Batu empedu masih dapat terbentuk kembali setelah pelarutan. Kekambuhan batu empedu
setelah terapi LT oral yang sukses adalah 10% dalam 5 tahun pertama, lebih seringnya pada 2
tahun pertama dan kemudian frekuensinya mulai menurun. Risiko kekambuhan ditemukan lebih
rendah pada pasien dengan batu tunggal. Untuk pencegahan kekambuhan GD, diperlukan
perlanjutan terapi UDCA dosis rendah yang berfungsi untuk menurunkan indeks lithogenitas dan
pembentukan batu ulang.

Anda mungkin juga menyukai