Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit batu empedu sudah merupakan masalah kesehatan yang

penting di Negara Barat sedangkan di Indonesia baru mendapatkan perhatian di

klinik. Sementara publikasi penelotian tentang batu empedu masih terbatas.

Sebagaian besar paasien dengan batu empedu tidak mempunyai keluhan. Resiko

penyandang batu empedu untuk mengalami gejala dan komplikasi relative kecil.

Walaupun demikian sekali batu empedu mulai menimbulkan serangan nyeri kolik

yang spesifik maka resiko untuk mengalami masalah dan penyulit akan terus

meningkat. 1

Batu empedu umumnya ditemukan didalam kandung empedu, tetapi

batu tersebut dapat bermigrasi melalui duktus sistikus ke dalam saluran empedu

menjadi batu saluran empedu dan disebut sebagai batu saluran empedu sekunder.

Dinegara barat 10 – 15 % pasien dengan batu kandungan empedu juga disertai

batu saluran empedu. Pada beberapa keadaan, batu saluran empedu dapat

terbentuk primer didalam saluran empedu intra atau ekstra- hepatic tanpa

melibatkan kandung empedu. Batu saluran empedu primer lebih banyak

ditemukan pada pasien diwilayah Asia dibandingkan dengan pasien di Negara

barat. Perjalanan batu saluran empedu sekunder belum jelas benar tetap

komplikasi akan lebih sering dan berat dibandingkan batu kandung empedu

asimtomatis.

1
Hipertensi merupakan manifestasi gangguan keseimbangan

hemodinamik sistem kardiovaskular, yang patofisiologinya adalah multi faktor,

sehingga tidak bisa diterangkan hanya dengan satu mekanisme tunggal. Menurut

kaplan hipertensi banyak menyangkut faktor genetik, lingkungan dan pusat-pusat

regulasi hemodinamik. Kalau disederhanakan sebetulnya hipertensi adalah

interaksi cardiac output (CO) dan total peripheral resistence (TPR).

Sebagaimana diketahui hipertensi adalah penyebab kematian nomor satu

di dunia, disusul merokok lalu dislipidemia, sebab terlibat dalam proses

terjadinya mortalitas dan morbiditas dari kejadian penyakit kardiovaskular (PKV).

Jadi hipertensi bukanlah suatu penanda resiko (risk marker) tapi memang betul-

betul suatu faktor resiko yang independen.

Masalahnya adalah berapa mmHg tekanan darah itu disebut normal,

sehingga bila tekanan darah diatas kesepakatan normal tersebut, maka akan

dikatakan sebagai kejadian hipertensi ( tekanan darah tinggi ). Ada lebih dari

sepuluh guideline yang telah disosialisasikan di seluruh dunia, tiap negara akan

mempunyai guideline sendiri – sendiri sesuai bukti klinis atau berdasarkan suatu

analisis kesimpulan studi meta analisis. Maka hendaknya sebagai klinisi harus

menggunakan guedeline yang ada yang sudah ada bukti epidemiologis klinis secar

kuat.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 KOLELITIASIS

2.1.1. Definisi

Kolelitiasis atau biasa disebut batu empedu merupakan endapan

satu atau lebih komponen empedu yaitu kolesterol, bilirubin, garam

empedu, kalsium, protein, asam lemak, dan fosfolipid. 2

2.1.2. Klasifikasi Batu Empedu

Menurun gambaran makroskopik dan komposisinya kimianya,

batu saluran empedu dapat diklasifikasikan menjadi tiga katagori mayor,

yaitu 1,2 :

a. Batu kolesterol dimana komposisi kolesterol melebihi 70 %.

b. Batu pigmen coklat atau batukalsium bilirubin yang mengandung Ca-

bilirubinate sebagai komponen utama

c. Batu pigmen hitam yang kaya akan residu hitam tak terekstraksi.

Dimasyarakat barat komposisi utama batu empedu adalah kolesterol,

sedangkan penelitian di Jakarta pada 51 pasien didapatkan batu pigmen

pada 73 % pasien dan batu kolesterol pada 27 % paaien. (IPD)

3
2.1.3. Patofisiologis Kolelitiasis

Kejadian kolelitiasis biasanya diikuti dengan kemunculan gelaja

peradangan kandung empedu atau disebut kolesistitis. Batu pigmen terdiri

dari garam kalsium dan salah satu dari keempat anion ini yaitu bilirubinat,

karbonat, fosfat, atau asam lemak rantai panjang. Batu-batu ini cenderung

berukuran kecil, multiple, dan berwarna hitam kecoklatan. Batu pigmen

yang berwarna hitam berkaitan dengan hemolisis kronis. Batu pigmen

berwarna coklat berkaitan dengan infeksi empedu kronis, batu semacam

ini lebih jarang dijumpai. Patogenesis batu pigmen melibtakan infeksi

saluran empedu, stasis empedu, malnutrisi, dan faktor diet. Hidrolisis

bilirubin oleh enzim -glucoronidase bakteri akan membentuk bilirubin

tak terkonjugasiyang akan mengendap sebagai calcium bilirubinate. 2,3

Batu kolesterol “murni” biasanya berukuran besar, soliter,

berstruktur bulat atau oval, berwarna kuning pucat dan seringkali

mengandung kalsium dan pigmen. Sedangkan batu kolesterol campuran

paling sering ditemukan. Batu ini memiliki gamabaran batu pigmen

maupun batu kolesterol, majemuk, dan berwarna coklat tua. Batu empedu

campuran sering dapat terlihat dengan pemeriksaan radiografi, sedangkan

batu kompisisi murni tidak terlihat. Ada tiga faktor penting yang berperan

dalam patogenesis batu kolesterol yaitu :

1. Hipersaturasi kolesterol dalam kandung empedu

2. Percepatan terjadinya kristalisasi kolesterol

4
3. Gangguan motilitas kandung empedu dan usus 3

Perubahan komposisi empedu kemungkinan merupakan faktor

terpenting dalam pembentukan batu empedu. Pada penderita batu empedu

kolesterol, hati menyekresikan empedu yang sangat jenuh dengan

kolesterol. Kolesterol yang berlebihan ini mengendap dalam kandung

empedu. Statis empedu dalam kandung emepdu mengakibatkan

supersaturasi progresif, perubahan komposisi kimia, dan pengendapan

unsure. 2

Stasis empedu dapat disebabkan oleh beberapa hal. Gangguan

kontraksi kandung empedu, atau spasme sfingter Oddi; faktor hormonal

terutama selama kehamilan; infeksi bakteri dalam saluran empedu adalah

beberapa hal yang dapat menyebabkan tinggi kejadian statis empedu.

Namun, infeksi mungkin lebih sering timbul sebagai akibat dari

terbentuknya batu empedu dibandingkan sebagai penyebab terbentuknya

batu empedu. 2

2.1.4. Manifestasi Klinis

Pasien dengan batu empedu dapat dibagi menjadi tiga

kelompok:

1. Pasien dengan batu asimtomatik, pasien batu empedu asimtomatik

2. Pasien dengan batu empedu simtomatik

5
3. Pasien dengan komplikasi batu empedu ( kolesistitis akut, ikterus,

kolangitis, dan pancreatitis).1

Sebagian besar (80%) pasien dengan batu empedu tanpa gejala

baik waktu diagnosis maupun selama pamantauan. Studi perjalanan

penyakit dari 1307 pasien dengan batu empedu selama 20 tahun

memperlihatkan bahwa sebanyak 50 % pasien asimtomatis, 30 %

mengalami kolik, dan 30 % mendapat komplikasi.1

Gejala yang timbul pada pasien penderita batu empedu terjadi

seringkali diakibatkan karena batu yang kecil melewati duktus koledokus

yang menyebabkan kejadian yang disebut kolesistitis atau radang kandung

empedu, yang dapat terjadi secara akut maupun kronis. Bentuk akut

ditandai dengan nyeri hebat mendadak pada perut atas berlangsung lebih

dari 30 menit kurang dari 12 jam, biasanya lokasi nyeri di perut atas atau

epigastrium tetapi juga bias di kiri dan perikordial. Nyeri dapat menyebar

ke punggung dan bahu kanan. Nyeri dapat berlangsung berjam-jam atau

dapat kambuh kembali setelah pulih beberapa saat. Penderita dapat

berkeringat banyak, nausea (mual) dan vomitus (muntah). Kolesistitis

yang akut tersebut biasanya sering disertai sumbatan batu dalam duktus

sistikus dan sering disebut kolik bilier.2 Gejala kolesistitis kronis mirip

dengan gejala akutnya, namun tanda dan beratnya nyeri kurang nyata.

Penderita kolesistitis kronik memiliki riwayat dyspepsia, intoleransi

lemak, nyeri ulu hati, atau flatulen yang berlangsung lama. 1,2

6
2.1.5. Penegakan Diagnosis

Sebelum dikembangkannya pencitraan mutaakhir seperti

ultrasound (SU), sejumlah pasien dengan penyakit batu empedu sering

salah didiagnosis sebagai gastritis atau hepatitis berulang seperti juga

didapatkan sebanyak 60 % pada penelitian di Jakarta yang mencangkup 74

pasien dengan batu saluran empedu. Dewasa ini US merupakan pencitraan

pilihan pertama untuk mendiagnosis batu kandung empedu dengan

sensitifitas tinggi melebihi 95 % sedangkan untuk deteksi batu saluran

empedu sensitifitasnya relative rendah berkisar antara 18 – 74 %.

Pada studu di Jakarta yang melibatkan 325 pasien dengan

digaan penyakt bilier, nilai diagnostic ultrasound dalam mendiagnosis batu

salurab empedu telah dibandingkan dengan endoscopic retrograde

cholangio pancreatography (ERCP) sebagai acuan metode standar

kolangiografi direk. Secara keseluruhan akurasi ultrasound untuk batu

saluran empedu adalah sebesar 77 %.

ERCP sangat bermanfaab dalam mendeteksi batu salurab

empedu dengan sensitifitas 90 %, spesifitas 98 %, dan akurasi 96 %, tetapi

prosedur ini invasive dan dapat menimbulkan komplikasi pancreatitis dan

kolangitis yang dapat berakibat fatal.1

7
Endoscopic Ultrasonography (EUS) 1

EUS adalah suatu merode pemeriksaan dengan memakai

instrument gastroskop dengan schoprobe di ujung skop yang dapat terus

berputar. Dibandingkan dengan ultrasaiund transabdominal, EUS akan

memberikan gambaran pencitraan yang jauh lebih jelas sebab echoprobe-

nya ditaruh didekat organ yang diperiksa.

Peran EUS untuk mediagnosis batu saluiran empedu pertama kali

dilaporkan tahun 1992. Hasil penelitian ini dan studi berikutnya

memperlihatkan bahwa EUS mempunyai akurasi yang sama dibandingkan

bahwa EUS mempunyai akurasi yang sama dibandingkan ERCP dalam

mendiagnosis dan menyingkirkan koledokolitiasis.

Pada studi, sensitivitas EUS dalam mendeteksi batu saluran

empedu adalah sebesar 97 % dibandingkan dengan ultrasound yang hanya

sebesar 25 %, dan CT 75 %. Selanjutnya EUS mempunyai nilai prediktif

negative sebesar 97 % diabandingkan dengan sebesar 56% untuk US dan

sebesar 75% untuk CT. Dalam studi ini EUS juga lebih sensitive

dibandingkan dengan US dan CT dalam mendiagnosis batu saluran

empedu bila saluran tidak melebar. Selanjutnya EUS lebih sensitive

dibandingkan US transabdominal atau CT untuk batu dengan diameter

kurang dari 1 cm.

Beberapa studi mem[erlihatlan EUS dan ERCP tidak

menunjukkan perbedaan dalam hal nilai sensitivitas, spesifitas, nilai

8
prediktif negative maupun positif. Secara keseluruhan, akurasi EUS dan

ERCP untuk batu saluran empedu juga tidak memperlihatkan perbedaan

bermakna.

Walaupun demikian angka kejadian komplikasi ERCP lebih

bermakna dibandingkan dengan EUS. Kesulitan pemeriksaaan EUS dapat

terjadi bila ada striktur pada saluran cerna bagian atas atau pasca reseksi

gaster. Sayngnya teknik pencitraan ini belum banyak diikuti oleh praktik

kedokteran di Indonesia sebab hal ini berhubngan dengan masalah latihan,

pengalaman dan tersedianya instrument EUS.

Magnetic Resonance Cholangiopacreatography (MRCP) 1

MRCP adalah teknik pencitraan dengan gema magnet tanpa

menggunakan zat kontras, instrument, dan radiasi ion. Pada MRCP saluran

empedu akan memperlihatkan sebagao struktur yang terang karena

mempunyai intensitas sinyal tinggi sedangkan batu saluran empedu akan

terlihat sebagai intensitas sinyal remdah yang dikelilingi dengan intensitas

sinyal tinggi, sehingga metode ini cocok untuk mendiagnosis batu saluran

empedu.

Studi terkini MRCP menunjukkan nilai sensitivitas antara 91 %

sampai dengan 100 %, nilai spesifitas antara 92 % sampai dengan 100 %,

dan nilai prediktif positif antara 93 % sampai dengan 100 % pada keadaan

dengan dugaan saluran empedu. Nilai diagnostic MRCP yang tinggo

9
membuat tekhnik ini semakin sering dikerjakan untuk diagnosis atas

ekslusi batu saluran empedu khususnya pada pasien dengan kemungkinan

kecil mengandung empedu.

MRCP mempunyai beberapada kelebihan dibandingkan dengan

ERCP, salah satunya manfaat yang besar adalah pencitraan saluran

empedu tanpa resiko yang berhubungan dengan instrumentasi, zat kontras,

dan radiasi. Sebaiknya MRCP juga mempunyai limiyasi mayor yaitu

bukan merupakan modalitad terapi dan juga aplikasinya bergantung pada

operator, sedangkan ERCP daoat berfungsi sebagai sarana diagnostic dan

terapi pada saat yang sama.1,2

2.1.6. Diagnosis Banding

a. Kolelitiasis

b. Pankreatitis

c. Gastritis

d. Ulkus Duodenum

e. Apendicitis

2.1.7. Komplikasi

Kurang lebih 15 % pasien dengan batu simtomatok

mengalami kolesistitis akut. Gejalanya mengalami nyeri perut kanan atas

dengan kombinasi mual, muntah, dan panas. Pada pemeriksaan fisis

10
ditemukan nyeri tekan pada perut kanan atas dan sering teraba kandung

empedu yang membesar dan tanda – tanda peritonitis. Pemeriksaan

labolatorium akan menunjukakan selain lekositosis kadang kadang juga

terdapat kenaikan ringan bilirubin dan faat hati kemungkinan akibat

kompresi local pada saluran empedu.

Pathogenesis lolesistitis akut akibat tertutupnya duktus

sistikus oleh batu terjepit. Kemudian terjadi hidrops dari kandung empedu.

Penambahan volume kandung empedu dan edema kandung empedu

menyebabkan iskemik dari dinding kandung empedu yang dapat

berkembang ke dinding kandung empedu yang dapat berkembang ke

proses nekrosis dan perforasi. Jadi pada tahap kemudian terjadi

superinfeksi bakteri.

Kolesistitis akut juga dapat disebabkan lumpur empedu.

(kolesistitis akalkulus). Komplikasin lain seperti ikterus, kolangitis,

pancreatitis, peritonitis (radang selaput abdomen) dan bisa juga terjadi

rupture dinding kandung empedu. 1,2

2.1.8. Penangangan Kolelitiasis Simptomatik

Penanganan profilaksis untuk batu empedu asimtomatis tidak

dianjurkan. Sebagai besar pasien dengan batu asimtomatis tidak akan

mengalami keluhan dan jumlah, besar, dan komposisi batu tidak

berhubungan dengan tumbulnya keluhan selama pemantaian. Kalaupun

11
nanti timbul keluhan umumnya ringan sehingga penanganan dapat elektif.

Hanya sebagian kecil yang akan mengalami simtomatis akut (kolesistitis

akut kolangitis, pancreatitis, dan karsinoma kandung empedu).

Untuk batu kandung empedu asimtomatis, teknik kolesitektomi

laparoskopik yang diperkenalkan pada akhir decade 1980 telah

menggantikan teknik operasi kolesistektomi terbuka pada sebagian besar

kasus. Kolesistektomi terbuka masih dibutuhkan bila kolesistektomi

laparoskopik gagal atau tidak memungkinkan. Kolesistektomi laparoskopy

adalah teknik pembedahan invasive minimal didalam rongga abdomen

dengan menggunakan pneumoperitonium, system endokamera dan

instrument khusus melalui layar monitor tanpa melihat dan menyentuh

langsung kandung empedunya. Sejak oertama kali diperkenalkan, teknik

bedah laparoskopik ini telah memperlihatkan keunggulan yang bermakna

dibandingkan dengan teknik bedah konvensional. Rasa nyeri minimal,

masa pemulihan yang cepat, masa rawat jalan pendek dan luka perut yang

sangat minimal merupakan kelebihan bedah laparoskopik.

Di Indonesia sendiri khususnya di Jakarta, merode

kolesistektomi laparoskopik telah dimulai tahun 1991 dan kemudian

diikuti oleh senter senter lain. Dewasa ini di beberaoa rumah sakit,

kolesistektomi laparoskopik telah menjadi prosedur baku untuk

pengangkatan kandung empedu simtomatik. Kelebihan yang diperoleh

pasien dengan teknik ini meliputi luka operasi kecil ( 2 – 10 mm) sehingga

12
nyeri pasca operasi minimal, selain itu, dari segi kosmetik luka perut yang

kecil yang akan tersembunyi didaerah umbilicus telah membuat bedah

laparoskopik dianggap sebagai bedah yang lebih bersahabat kepada

pasien. Komplikasi cedera saluran empedu dari teknik ini yang umumnya

terjadi pada tahap belajar dapat diatasi pada sebagian besar kasus dengan

pemasangan stent atau kateter nasobilier dengan ERCP.

ERCP terapeutik dengan melakukan sfingterotomi endoskopik

untuk mengeluarkan batu saluran empedu tanpa operasi pertama kali

dilakukan tahun 1974. Sejak saat itu teknik ini telah berkembang pesat dan

meenjadi standart baku terapi non bedah untuk batu empedu. Selanjutnya

batu di dalam saluran empedu dikeluarkan dengan basket kawat atau

balon- ekstraksi melalui muara yang sudah besar tersebut menuju lumen

deudenum sehingga batu dapat keluar bersama dengan tinja atau

dikeluarkan melalui mulut bersama skop. 1,2,3

13
2.2. Hipertensi

2.2.1. Definisi Hipertensi

Semua definisi hipertensi adalah angka kesepakatan berdasarkan

bukti klinis (evidence based) atau berdasarkan konsensus atau berdasarkan

epodemiologi studi meta analisis. Sebab bila tekanan darah lebih tinggi

dari angka normal yang disepakati, maka resiko morbiditas dan mortalitas

kejadian kardiovaskuler akan men ingkat. Yang paling penting ialah

tekanan darah harus persistens diatas atau sama dengan 140/90 mmHg.4

2.2.2. Epidemiologi Hipertensi

Hipertensi merupakan salah satu penyakit yang paling umum

ditemukan dalam praktik kedokteran primer. menurut NHLBI (National

Heart, Lung, and Blood Institute), 1 dari 3 pasien menderita hipertensi.

hipertensi juga merupakan faktor risiko infark miokard, stroke, gagal

ginjal akut, dan juga kematian.4

Menurut WHO dan the International Society of Hypertension

(ISH), saat ini terdapat 600 juta penderita hipertensi diseluruh dunia, dan 3

juta di antaranya meninggal setiap tahunnya. Tujuh dari setiap 10

penderita tersebut tidak mendapatkan pengobatan secara adekuat.5,6

Riset Kesehatan Dasar/RISKESDAS tahun 2013 menunjukkan

bahwa prevalensi hipertensi di Indonesia adalah sebesar 26,5%.2 pada

14
grafik 1, terlihat prevalensi hipertensi berdasarkan pengukuran

(menggunakan kriteria hipertensi JNC VII) cenderung turun dari 31,7

persen pada tahun 2007 menjadi 25,8 persen tahun 2013. Dalam laporan

RISKESDAS 2013, diasumsikan bahwa penurunan diperkirakan terjadi

karena (i) perbedaan alat ukur yang digunakan tahun 2007 tidak

diproduksi lagi pada tahun 2013, (ii) kesadaran masyarakat akan kesehatan

yang makin membaik pada tahun 2013. Asumsi (ii) terlihat pada grafik 2

bahwa prevalensi hipertensi berdasarkan diagnosis atau gejala meningkat.

Hal ini menunjukkan bertambahnya masyarakat yang sudah

memeriksakan diri ke tenaga kesehatan. Prevalensi hipertensi lebih tinggi

di kelompok lanjut usia. Komplikasi hipertensi dapat mengenai berbagai

organ target, seperti jantung, (penyakit jantung iskemik, hipertropi

ventrikel kiri, gagal jantung) otak , (stroke), ginjal (gagal ginjal), mata

(retinopati), juga arteri perifer (klaudikasio intermiten). Kerusakan organ-

organ tersebut bergantung pada tingginya tekanan darah pasien dan berapa

lama tekanan darah tinggi tersebut tidak terkontrol dan tidak diobati.7

Dalam sebuah studi metaanalisis yang mencakup 61 studi

obervasional prospektif pada 1 juta pasien, yang setara dengan 12,7 juta

person-years, ditemukan bahwa penurunan rerata tekanan darah sistolik

sebesar 2 mmHg dapat menurunkan risiko mortalitas akibat penyakit

jantung iskemik sebesar 7% dan menurunkan risiko mortalitas akibat

stroke sebesar 10%. Tercapainya target penurunan tekanan darah sangat

15
penting untuk menurunkan kejadian kardiovaskuler pada pasien

hipertensi.8

2.2.3. Klasifikasi Hipertensi4

Tabel. 1 klasifikasi hipertensi menurut WHO-ISH, ESH-ESC, JNC 7

Klasifikasi Tekanan darah sistol dan diastol

tekanan darah WHO-ISH ESH-ESC JNC-7

Optimal <120/80 mmHg <120/<80

mmHg

Normal <130/85 mmHg 120-129/80-84 <120/<80 mmHg

mmHg

Tinggi-normal 130-139/85-89 130-139/85-89

mmHg mmHg

Hipertensi kelas 1 140-159/90-99 140-159/90-99

(ringan) mmHg mmHg

Cabang 1l,40-149/90-94

perbatasan mmHg

Hipertensi kelas 2 160-179/100-109 160-179/100-

(sedang) mmHg 109 mmHg

Hipertensi kelas 3 >180/>110 >180/>110

(berat) mmHg mmHg

16
Hipertensi sistolik >140/<90 mmHg >180/<90

terisolasi mmHg

Cabang 140-149/<90

perbatasan mmHg

Pre-hipertensi 120-139/80-89

mmHg

Tahap 1 140-159/90-99

mmHg

Tahap 2 >160/>100 mmHg

2.2.4. Etiologi Hipertensi

Hipertensi disebut primer bila penyebabnya tidak diketahui (90%),

bila ditemukan penyebabnya disebut sekunder (10%).

Penyebabnya antara lain :4

 Penyakit : penyakit ginjal kronik, sindrom cushing, koarktasi aorta,

obstructive sleep apnoe, penyakit paratiroid, feokromositoma,

aldosteronism primer, penykit renovaskular, penyakit tiroid.

 Obat-obatan:

Prednison, fludrokortison, triamsinolon

- Amfetamin/Anorektin : phendimetrazine, phentermine, sibutramine

- Antivaskular endotheline growth factor agents

17
- Estrogen : biasanya kontrasepsi oral

- Calcineurine inhibitors : siklosporin, tacrolimus

- Decongestan : phenylpropanolamine & analog

- Erythropoiesis stimulating agents : erythropoietine, darbepoietin

- NSAIDs, COX-2 inhibitors, venlafaxine, bupropion, bromokriptin,

buspirone, carbamazepine, clozapine, ketamin, metoklopamid.

 Makanan : sodium, etanol, licorice

 Obat jalanan yang mengandung bahan-bahan sebagai berikut :

cocaine. Cocaine withdrawal, ephedra alkaloids (e.g, ma-huang),

“herbal ecstasy”, phenylopropanolamine analogs, nicotine withdrawal,

anabolic steroids, narcotic withdrawal, methylphenidate,

phencyclidine, ketamin, ergot-containing herbal products.4

2.2.5. Patogenesis Hipertensi

Penyebab-penyebab hipertensi ternyata sangat banyak. Tidak bisa

diterangkan hanya dengan satu faktor penyebab. Memang betul pada

akhirnya semua berhubungan dengannatrium (Na) di ginjal yang membuat

tekanan darah meningkat. Ada empat faktor yang mendominasi terjadinya

hipertensi :4

a. Peran Volume Intravaskular

Tekanan darah tinggi adalah hasil interaksi antara cardiac output

(CO) atau curah jantung (CJ) dan TPR (total peripheral resistance,

18
tahanan total perifer) yang dipengaruhi oleh beberapa faktor. Volume

intravaskular merupakan determinan utama untuk kestabilan tekanan

darah dari waktu ke waktu. Tergantung keadaan TPR apakah dalam

posisi vasodilatasi atau vasokontriksi. Bila asupan NaCl meningkat,

maka ginjal akan merespons agar ekskresi garam keluar bersama urine

ini juga akan meningkat. Tetapi bila upaya mengeksresi NaCl ini

melebihi ambang kemampuan ginjal, maka ginjal akan meretensi H2O

sehingga volume intravaskular meningkat. Pada gilirannya CO atau CJ

juga akan meningkat. Akibatnya terjadi ekspansi volume intravaskular,

sehingga tekanan darah akan meningkat. Seiring dengan perjalanan

waktu TPR juga akan meningkat, lalu secara berangsur CO atau CJ

akan turun menjadi normal lagi akibat autoregulasi. Bila TPR

vasodilatasi tekanan darah akan menurun, sebaliknya bila TPR

vasokontriksi tekanan darah akan meningkat.4

b. Peran Kendali Saraf Autonom

Persarafan autonom ada dua macam, yang pertama ialah

sistem saraf simpatis, yang mana saraf ini yang akan menstimulasi

saraf viseral (termasuk ginjal) melalui neurotrasmiter : katekolamin,

epinefrin, maupun dopamin. Sedangkan saraf parasimpatis adalah

yang mengham,bat stimulasi saraf simpatis. Regulasi simpatis dan para

simpatis berlangsung independent tidak dipengaruhi oleh kesadaran

otak, akan tetapi terjadi secara automatis mengikuti siklus sirkadian.

19
Ada beberapa reseptor adrenergik yang berada di jantung, ginjal, otak

serta dinding vaskular pembuluh darah ialah reseptor α1, α2, β1 dan

β2. Belakangan ditemukan reseptor β3 diaorta yang ternyata kalau

dihambat dengan beta bloker β1 selectif yang baru (nebivolol) makan

akan memicu terjadinya vasodilatasi melalui peningkatan nitrit oksida

(NO). Karena pengaruh – pengaruh lingkungan misalnyua genetik,

stres kejiwaan, rokok dan sebagainya, akan terjadi aktivasi sistem saraf

simpatif berupa kenaikan katekolamin, nor epineprin (NE) dan

sebagainya. 4

Selanjutnya neurotransmiter ini akan meningkatkan denyut

jantung (heart Rate) lalu diikuti kenaikan CO atau Cl, sehingga

tekanan darah akan meningkat dan akhirnya akan mengalami agregasi

platelet. Peningkatan neurotransmiter NE ini mempunyai efek negatif

terhadap jantung, sebab di jantung ada reseptor α1, α2, β1 yang akan

memicu terjadinya kerusakan miokardium, hipertrifi dan aritmia

dengan akibat progresivitas dari hipertensi aterosklerosis. Karena pada

dinding pembuluh darag juga ada reseptor α1, maka bisa NE

meningkat hal tersebut akan memicu vasokonstriksi ( melalui reseptor

α1) sehingga hipertensi aterosklerosis juga makin progresif. 4

Pada ginjal NE juga berefek negatif, sebab di ginjal ada

reseptor β1 dan α1 yang akan memicu terjasinya vasokontriksi

pembulih darah dengan akibat hipertensi aterosklerosis juga makin

20
progresif. Selanjutnya bila NE kadarnya tidak pernah normal maka

sindroma hipertensi aterosklerosis menuju kerusakan organ

target/target organ damage (TOD). 4

c. Peran Sistem Renin Angiotensin Aldosteron (RAA)

Bila tekanan darah menurun maka hal ini akan memicu fefleks

baroreseptor. Berikutnya secara fisiologis sistem RAA akan dipicu

mengikuti kaskade seperti yang tampak pada gambar dibawah ini yang

mana pada akhirnya renin akan disekresi, lalu angiotensin 1 (A1),

angiotensin II (AII), dan seterusnya sampai tekanan darah meningkat

kembali, begitulah secara fisiologis autoregulasi tekanan darah terjadi

melalui aktifitas dari sistem RAA.4

Adapun proses pembentukan renin dimulai dari pembentukan

angiotensinogen yang dibuat di hati. Selanjutnya angiotensinogen akan

dirubah menjadi angiotensin I oleh renin yang dihasilkan oleh makula

densa apparat juta glomerolus ginjal. Lalu angiotensin I akan dirubah

menjadi angiotensin II oleh enzim ACE (angiotensin converting

enzyme), akhirnya angipotensin II ini akan bekerja pada reseptor –

reseptor yang terbait dengan tugas proses fisiologisnya ialah direseptor

AT1, AT2, AT3, AT4. Faktor resiko yang tidak dikelola akan memicu

sistem RAA, tekanan darag makin meningkat, hipertensi

ateriosklerosis makin progresif. Ternyata yang berperan utama untuk

memicu progresifitas ialah angiotensin II, bukti uji klinismya sangat

21
kuat. Setiap intervensi klinik pada tahap – tahap ateriosklerosis

kardiovaskular kontinum ini terbukti selalu bisa menghambat

progresifitas dan menurunkan resiko kejadian kardiovaskular. Dengan

memahami kaskade sistem RAA ini maka titik tangkap berbagai obat

anti hipertensi bisa dengan mudah dipahami. 4

d. Peran Dinding Vaskular Pembuluh Darah

Hipertensi adalah the disease cardiovascular continuum ,

penyakit yang berlanjut terus menerus sepanjang umur. Paradigma

yang baru tentang hipertensi dimulai dengan disfungsi endotel, lalu

berlanjut menjadi disfungsi vaskular, vaskular biologi berubah, lalu

berakhir dengan TOD. Mungkin hipertensi ini lebih cocok menjadi

bagian dari salah satu gejala sebuah sindroma penyakit yang akan kita

sebut sebagai “ the atherosclerostik syndrome” atau “ the hypertension

syndrome”, sebab pada hipertensi sering disertai gejala – gejala lain

berupa resistensi insulin, obesitas, mikroalbuminuria, gangguan

koagulasio, gangguan toleransi glukosa, kerusakan membran transport,

disfungsi endotel, dislipidemia, pembesaran ventrikel kiri, gangguan

simpatis parasimpatis, aterosklerosis ini akan berjalan progresif dan

berakhir dengan kejadian kardiovaskuler. Bonitte et al berpendapat

bahwa disfungsi endotel merupakan sindroma klinis yang bisa

langsung berhubungan dengan dan dapat memprediksi peningkatan

resiko kejadian kardiobaskular. 4

22
Progresuvitas sindrom aterosklerotik ini dimulai dengan faktor

yang tidak dikelola, akibatnya hemodinamika tekanan darah makin

berubah, hipertensi makin meningkat serta vaskular biologi berubah,

dinding pembuluh darah makin menebal dan pasti berakhir dengan

kejadian kardiovaskular. 4

Dikenal ada faktor resiko tradisional dan non tradisional yang

bila bergabung dengan faktor faktor lokal atau yang lain serta faktor

genetik maka vaskuler biologi akan berubah menjadi makin tebal

karena mengalami kerusakan berupa lesi vaskular dan remodelling,

antara lain akibat : inflamasi, vasokontriksi, trombosis, ruptur plak /

erosi. Dikenal pula faktor resiko baru selain angiotensin II, ialah Ox-

LDL, ROS ( redical oxygen species), homosistein, CRP serta masih

ada lagi yang lain. Kesimpulannya faktor resiko yang banyak ini harus

dikelola agar aterosklerosis tidak pregresif, sehingga resiko kejadian

kardiovaskular bisa dicegah / diturunkan. 4

Faktor resiko yang paling dominan memegang peranan untuk

progresivitas ternyata tetap dipegang oleh angiotensin II. Bukti bukti

klinis sudah mencapai tingkat evidence A, bahwa bila peran

angiotensin II dihambat oleh ACE- inhibitor (ACE-I) atau angiotensin

receproe bloker (ARB), resiko kejadian kardiovaskular dapat dicegah /

diturunkan secara meyakinkan. WHO 2003 menetapkan bahwa faktor

resiko yang paling banyak menyebabkan premature deatg ialah

23
hipertensi (7,1 juta kematian). Hipertensi sudah diakui sebagai

penyebab utama aterosklerosis, sedangkan aterosklerosis sendiri

adalah penyebab tiga per empat semua kematian penyakit kardio

vaskular (PKV). Penanda adanya disfungsi enditel dapat dilihat

diretina mata dan dapat juga dilihat di ginjal (glomerulus), yaitu

bilamina ditemukan mikroalbuminuria pada pemeriksaan urin. 4

Kesimpulannya hipertensi adalah hanya salah satu gejala dari

sebuah sindroma yang akan lebih sesuai bila disebut sebagai sindroma

hipertensi aterosklerotik (bukan merupakan penyakit tersendiri),

kemudian akan memicu pengerasan pembuluh darah sampai terjadi

kerusakan target organ terkait. Awalnya memang hanya berupa faktor

resiko. Tetapi bila faktor faktor resiko ini tidak diobati maka akan

memicu gangguan hemodinamik dan gangguan vaskular biologis. 4

2.2.6. Gejala Klinis Hipertensi

Gejala klinisnya yaitu :

1. Keluhan nyari kepala ( umumnya pagi hari dan terlokalisir pada regio

oksipital), keluhan tidak spesifik lainnya mungkin terkait seperti

dizziness, palpitasi, mudah lelah, impotasi.

2. Gangguan penglihatan, nyeri dada (angina), gejala transient ischemic

attack (TIA), keluhan gagal jantung dan gangguan fungsi ginjal. 8

24
2.2.7. Pemeriksaan Penunjang Hipertensi

Pemeriksaan penunjang pasien hipertensi terdiri dari : 4,8

1. Tes darah rutin

2. Glukosa darah (sebaiknya puasa)

3. Kolesterol total serum, kolesterol LDL dan kolesterol HDL serum

4. Trigliserida serum (puasa)

5. Asam urat serum/Kreatinin serum

6. Kalium serum

7. Hemoglobin

8. Hematokrit

9. Urinalisis (uji carik celup serta sedimen urin)

10. Elektrocardiogram

Beberapa pedoman penanganan hipertensi menganjurkan tes lain

seperti: elektrocardiogram, USG karotis (dan femoral), C-reactive protein,

mikroalbuminuria atau perbandingan albumin dan kreatinin urin,

proteinuria kuantitatif (jika uji carik positif), funduskofi (hipertensi

berat).4

Evaluasi pasien hipertensi juga diperlukan untuk menentukan

adanya penyakit penyerta sistemik, yaitu : aterosklerosis (melalui

pemeriksaan profil lemak), diabetes ( terutama pemeriksaan gula darah),

fungsi ginjal (dengan pemeriksaan proteinuria, kreatinin serum, serta

memperkirakan laju filtrasi glomerulus).4

25
2.2.8. Diagnosis Banding Hipertensi 8

1. Hipertensi Stage 1

2. Hipertensi Stage II

3. Krisis Hipertensi

4. Hipertensi Sekunder Karena Penyakit Renal seperti hipertensi pada

penyakit renovaskuler, renoparenkimal (pada penyakit ginjal kronik).

Hipertensi sekunder karena penyakit Endokrin seperti hipertensi pada

penyakit tiroid, hipertensi pada penyakit diabetes millitus.

2.2.9. Diagnosis Hipertensi

Pada umumnya penderita hipertensi tidak mempunyai keluhan.

Hioertensi adalah the silent killer. Penderita mempunyai keluhan setelah

terkena komplikasi. 4,8,9

1. Anamnesis hipertensi

a. lama menderita hipertensi dan derajat tekanan darah.

b. Indikasi adanya hipertensi sekunder :

- keluarga dengan riwayat penyakit ginjal ( ginjal polikistik)

- adanya penyakit ginjal, infeksi saluran kemih, hematuria,

pemakaian obat-obat analgesik.

- episode berkeringat, sakit kepala, kecemasan, palpitasi

(feokromositoma)

- Episode lemah otot dan tetani ( aldosteronisme)

26
c. faktor-faktor resiko :

- Riwayat hipertensi dan kardiovaskular pada penderita dan

keluarga

- Riwayat hiperlipidemia

- Riwayat Diabetes Melitus

- Kebiasaan merokok

- pola makan

- Kegemukan

d. gejala kerusakan organ 4,8

- Otak dan Mata : sakit kepala, vertigo, gangguan penglihatan,

transient ischemic attacks, defisit sensoris atau motoris

- jantung : palpitasi, nyeri dada, sesak, bengkak kaki, tidur

dengan bantal tinggi ( lebih dari 2 bantal)

- ginjal : haus, poliuria, nokturia, hematuria, hipertensi dengan

disertai kulit pucat anemis

- arteri perifer : ekstremitas dingin, klaudikasio intermiten

e. Pengobatan hipertensi sebelumnya

f. faktor keluarga

2. Pemeriksaan fisik hipertensi 4,8,9

a. Pengukuran Tekanan Darah yang teratur

b. Pemeriksaan kerusakan organ target

27
- jantung : pemeriksaan fisik, foto polos dada,

elektrokardiografi, ekokardiografi.

- Pembuluh darah : pulse pressure, ultrasonografi (USG) karotis,

fungsi endotel.

- Otak : CT scan, MRI

- Mata : funduskopi retina

- Fungsi ginjal : pemeriksaan fungsi ginjal.

3. Pemeriksaan penunjang 1,8

- Foto polod thorak, untuk melihat pembesaran jantung, kondisi

arteri intra thorak dan sirkulasi pulmonar.

- Elektrokardiografi untuk mendeteksi adanya iskemik,

gangguan konduksi, aritmia, serta hipertropi ventrikel kiri.

- Ekokardiografi.

- Ultrasonografi karotis dan fungsi endotel.

- Ct- Scan Kepala.

- Funduskopi retina

- Fungsi ginjal

28
2.2.10. Penatalaksanaan Hipertensi 4,8,9

Tujuan pengobatan penderita hipertensi adalah menurunkan

morbiditas dan mortalitas penyakit kardiovaskuler dan ginjal. Pengobatan

hipertensi terdiri dari pengobatan nonfarmakologis dan farmakologis.

Pengobatan nonfarmakologi harus dilaksanakan oleh semua penderita

hipertensi dengan tujuan menurunkan tekanan darah dan mengendalikan

faktor – faktor resiko serta penyakit lainnya.

1. Pengobatan nonfarmakokogis / modifikasi Gaya Hidup

JNC 7 merekomendasikan : menurunkan berat badan

berlebih atau kegemukan, pembatasan asupan garam kurang atau

sama dengan 100 MEQ/L/hari (2,4 gram natrium atau 6 gram natrium

clorida), meningkatkan konsumsi buah dan sayur, menurunkan

konsumsi alkohol tidak lebih dari 2 kali minum / hari, meningkaykan

aktifitas fisik paling tidak berjalan 30 menit / hari selama 5 hari/

minggu serta menghentikan merokok, akan mengurangi risiko

kejadian kardiovaskuler.

Dalam pengelolaan stres, yang terpenting adalah bagaimana

cara mengelola stres tersebut. Banyak hal yangdapat dilakukan untuk

mengelola stres antara lain yaitu dengan dapat melakukan pengaturan

pola makan dan pergaulan. Selain itu juga dilakukan terapi dengan

konseling kepada petugas medis yang berkompeten. Sehingga

diharapkan nantinya penderita hipertensi, mampu mengenali stres

29
yang terjadi pada dirinya untuk nantinya segera dapat melakukan

pengelolaan terhadap stres tersebut.10

2. Pengobatan farmakologis

Jenis jenis obat antihipertensi yang dipakai untuk terapi

farmakologis antara lain yaitu 4:

a. Deuretika, terutama golongan thiazide (thiaz) atau Aldosteron

Antagonist (Aldo Ant).

b. Beta Bloker (BB)

c. Calcium Channal Bloker atau calcium antagonist (CCB).

d. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACE-I)

e. Angiotensin II Reseptor Bloker atau AT 1 receptor

antagonist/blocker (ARB).

f. Direct renin inhibitor (DRI)

30
Algoritma penatalaksanaan hipertensi berdasarkan JNC VII 4

Perubahan gaya hidup

Belum mencapai tekanan darah target yaitu : ( <140/90 mmHg) atau


(<130/80 mmHg untuk pasien dengan diabetes dan gagal ginjal kronik

Pilihan obat awal

Tanpa indikasi yang Dengan indikasi yang


berarti berarti

Hipertensi stadium I Hipertensi stadium II Obat – obat untuk


indikasi yang berarti
( tekanan darah sistolik ( tekanan darah sistolik ≥ silahkan lihat tabel
140 – 159 atau tekanan 160 atau tekanan darah dibawah ini (tabel 2 ).
darah diastolik 90 – 99 diastolik ≥ 100 mmHg ). Mohon diperiksa
mmHg) deuretik tiazid Kombinasi dua obat kembali apa benar
diberikan untuk sebagian dipakai untuk sebagian sesuai dengan tabel 2.
besar kasus penggunaan besar kasus ( biasanya Obat hipertensi lainnya
ACE-I, ARB, BB, CCB, diuretic tipe tiazid dan yaitu diuretic, ACE-I,
dapat dipertimbangkan ACE-I, ARB, BB, atau ARB,BB,CCB, bila
atau diberikan dalam CCB perlu.
bentuk kombinasi.

Pilihan obat awal

Optimalisasikan dosis atau berikan obat tambahan hingga tekanan darah target
tercapai, pertimbangkan konsultasi dengan dokter spesialis hipertensi.

31
Tekanan darah yang harus dicapai pada hipertensi yaitu 4 :

Tabel 3

Target Tekanan Darah Yang Harus Dicapai Dari Beberapa Guideline

Guideline Hipertensi Tanpa Hipertensi Dengan Hipertensi Dengan

Komplikasi Diabetes Millitus CKD

USA (JNC VII <140 / 90 mmHg <130/80 mmHg <130/80 mmHg

2003)

Eropa (ESH 2007) <140/90 mmHg <130/80 mmHg <130/80 mmHg

atau lebih rendah

China (CSH 2005) <140/90 mmHg <130/80 mmHg <130/80 mmHg

(TDS ≤ 150

mmHg untuk usia

tua )

WHO-ISH 2003 TDS < 140 mmHg <130/80 mmHg <130/80 mmHg

BHS IV 2004 <140/85 mmHg <130/80 mmHg <130/80 mmHg

32
Tabel 4

Penggunaan obat antihipertensi sesuai dengan kelas, dosis, indikasi dan

kontraindikasinya 4, 8

Kelas obat Contoh Dosi dan Indikasi lain Kontraindikasi

frekuensi perhari

Deuretik Hidrokloratiaz 6,25 – 50 mg (1-2 DM,

id ) Dislipidemia,

Klortalidon 25 – 50 mg (1) Gout,

hipokalemi.

Furosemid 40 – 80 mg ( 2-3) GJK akibat DM,

disfungsi Dislipidemia,

sistolik. Gout,

Gagal ginjal hipokalemi.

25 – 100 mg (1-2) Hiperurisemia

Spironolakton

ACE- inhibitor Kaptopril 25 – 200 mg (2) Pasca infark GGA, stenosis

lisinopril 10 – 40 mg (1) miokard, arteri ginjal

Ramipril 2,5 – 20 mg (1-2) sindrom bilateral,

koroner, GJK, kehamilan,

dengan fraksi hiperkalemi.

ejeksi rendah,

nefropati

33
Agonis Losartan 25 – 100 mg (1-2) GJK dengan Gagal ginjal,

Angiotensin II 80 – 320 mg (1) fraksi ejeksi stenosis arteri

Valsartan 2 – 32 mg (1-2) rendah, ginjal bilateral,

Kandesartan nefropati, batuk kehamilan,

yang hiperkalemi.

disebabkan oleh

ACE-I

Inhibitor renin Aliskiren 150 – 300 mg (1) Nefropati Kehamilan

antagonis diabetik

kalsium 30 – 60 mg ( 1)

dihidropirin Nevedipin

(kerja lama )

Nondihidro Verapamil 120 – 360mg (1- Pasca infark Blok jantung

Piridin (kerja lama ) 2) miokard, derajat 2 atau

takikardi ke 3

supraventrikular

Diltiazem 180 – 240 mg (1) angina

(kerja lama)

Beta bloker Atenolol 25 – 100mg (1) Angina, GJK Asma, PPOK,

akibat disfungsi Blok jantung

Propanolol 40 – 160 mg (2) sistolik, sinus je 2 atau 3.

takikardi

34
2.2.11. Komplikasi Hipertensi

Hipertensi merupakan faktor resiko untuk terjadinya segala

bentuk manifestasi klinik dari arteriosklerosis. Hipertensi dapat

meningkatkan resiko untuk terjdinya kejadian kardiovaskular dan

kerusakan organ target, baik langsung maupun tidak langsung. Mortalitas

meningkat dua kali pada setiap kenaikan takanan darah sebesar 20/10

mmHg. Pada keadaan dengan tekanan darah high-normal (130-139/85-89

mmHg) didapatkan kejadian kardiovaskular 2,5 pada wanita dan 1,6 kali

pada pria bila dibandingkan dengan tekanan darah normal. Sedang untuk

resiko terjadinya penyakit ginjal, meningkatnya tekanan darah sistolik

lebih erat kaitannya dengan insidens penyakit ginjal tahap akhir bila

dibandingkan dengan tekanan darah diastolik, terutama pada usia > 50

tahun. Tekanan darah yang meningkat dapat menyebabkan kerusakan pada

pembuluh darah dan parenkim ginjal.4,9

Berbagai kerusakan organ target tersebut antara lain :

1. Pada jantung : hipertrifi ventrikel kiri, angina atau infark miokard dan

gagal jantung kongestif.

2. Penyakit ginjal kronis dan penyakit ginjal tahap akhir.

3. Retinopati1

4. Pada otak : stroke atau transient ischemic attack

5. Penyakit arteri perifer.

35
2.2.12. Pencegahan Hipertensi

Sebagimana diketahui pre hipertensi bukanlah suatu penyakit, juga

bukan suatu hipertensi, tidak diindikasikan untuk diobati dengan obat

farmasi, bukan target pengobatan hipertensi, tetapi populasi pre hipertensi

adalah kelompok yang beresiko tinggi untuk menuju kejadian penyakit


1
kardiovaskular. Cara pencegahannya adalah :1 rekomendasi gaya hidup

yang harus ditaati menurut CHEP 2011 : untuk menurunkan asupan garam

sampai dibawah 1500 mg/hari. Diet yang sehat ialah bilaman dalam

makanan sehari-hari kaya akan buah-buahan dan sayuran, rendah lemak,

makanan yang kaya serat, protein yang berasal dari tanaman dan olahraga

yang teratur, tidak mengkonsumsi alkohol, mempertahankna berat badan

pada kisaran BMI 18,5 – 24,9 kg/m2, mengusahakan lingkar perut pada

kisaran laki-laki <102 (asia <90 cm), wanita <88 cm (asia <80). 4

2.2.13. Prognosis Hipertensi

Hipertensi adalah the disease cardiovasvular continuum yang akan

berlangsung seumur hidup sampai pasien meninggal akibat kerusakan

target organ (TOD. Berawal dari tekanan darah 115/75 mmHg, setiap

kenaikan sistolik/diastolik 20/10 mmHg resiko morbiditas dan mortalitas

penyakit kardiovaskular akan meningkat dua kali lipat. Hipertensi yang

tidak diobati meningkatkan : 35% semua kematian kardiovaskular, 50%

kematian stroke, 25% kematian PJK, 50% penyakit jantung kongestif,

36
25% semua kematian prematur (mati muda), serta menjadi penyebab

tersering untuk terjadinya penyakit ginjal kronis dan penyebab gagal ginjal

terminal. 4,9

Pada banyak uji klinis, pemberian obat anti hipertensi akan diikuti

penurunan insiden stroke 35% -40% ; infark miokard 20%-25%; dan lebih

dari 50% gagal jantung. Diperkirakan penderita hipertensi stadium 1

(TDS, 140-159 mmHg dan/atau TTD, 90-99 mmHg) dengan faktor resiko

kardiovaskular tambahan, bila berhasil mencapaii penurunan TDS sebesar

12 mmHg yang dapat bertahan selama 10 tahun, maka akan mencegah

satu kematian dari setiap 11 penderita yang telah diobati. Namun belum

ada studi terhadap hasil terapi pada penderita pre hipertensi (120-139/80-

89 mmHg), meskipun diketahui bahwa studi TROPHY pemberian terapi

pada pre hipertensi dapat menurunkan terjadinya hipertensi sesungguhnya,

walaupun obat telah dihentikan selama satu tahun.1

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Lesmana Laurentius A. Penyakit Batu Empedu. Ilmu penyakit dalam ed.

VI. Jakarta : internaPublishing. 2014.2020 – 2025.

2. Price, S.A.. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Ed. 6.

Jakarta: EGC. 2006.

3. Sudoyo, A.W. dkk. 2006. Ilmu Penyakit Dalam Ed. IV. Jakarta: Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia.

4. Ilmu Penyakit Dalam jilid III. Ed. VI. 2014. Jakatra : internapublishing :

2255 – 2299.

5. WHO-ISH Hypertension Guideline Committee. Guidelines of the

management of hypertension. J Hypertension. 2003;21(11): 1983-92.

6. Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and

Treatment of High Blood Pressure (JNC). The Seventh Report of the JNC

(JNC-7). JAMA. 2003;289(19):2560-72.

7. Badan penelitian dan pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI

tahun 2013. riset kesehatan dasar (RISKESDAS) 2013. Diakses di:

http://www.litbang.depkes.go.id/sites/download/rkd2013/Laporan_Riskesda

s2013.PDF

8. Kamal Yudisianil, Soekamto SA, Suseno LS. Ed. Sudoyo AW. Penyusun :

Nasution SA, Salim simon, Hidayat Rudy, Kurniawan. Indonesia doctor’s

38
compendium. Yayasan penerbit ikatan dokter indonesia (YP IDI). Jakarta.

2015.hal :51-56.

9. Syarif Amir, Hamzah Arie, Rowi AS,dkk. Ed.Zainuddin AA, Faqih DM,

Trisna DV, Dkk. Panduan Praktik Klinis Bagian dokter di Fasilitas

Pelayanan Kesehatan Primer. Ed. Revisi 2014. Jakarta : Yayasan Penerbitan

IDI.halm 236 – 141

10. Prasetyorini HT. Jurnal Stres Pada Penyakit Terhadap Kejadian Komplikasi

Hipertensi Pada Pasien Hipertensi. Kediri :RS. Baptis.2012.

39

Anda mungkin juga menyukai