Dipasang infus program cairan elektrolit dan glukosa untuk mengatasi syok.
Pelarutan batu empedu Pelarutan batu empedu dengan bahan pelarut (misal : monooktanoin atau metil
tertier butil eter/MTBE) dengan melalui jalur : melalui selang atau kateter yang dipasang perkutan langsung
kedalam kandung empedu; melalui selang atau drain yang dimasukkan melalui saluran T Tube untuk
melarutkan batu yang belum dikeluarkan pada saat pembedahan; melalui endoskop ERCP; atau kateter
bilier transnasal.
Pengangkatan non bedah Beberapa metode non bedah digunakan untuk mengelurkan batu yang belum
terangkat pada saat kolisistektomi atau yang terjepit dalam duktus koledokus. Prosedur pertama sebuah
kateter dan alat disertai jaring yang terpasang padanya disisipkan lewat saluran T Tube atau lewat fistula
yang terbentuk pada saat insersi T Tube; jaring digunakan untuk memegang dan menarik keluar batu yang
terjepit dalam duktus koledokus. Prosedur kedua adalah penggunaan endoskop ERCP. Setelah endoskop
terpasang, alat pemotong dimasukkan lewat endoskop tersebut ke dalam ampula Vater dari duktus
koledokus. Alat ini digunakan untuk memotong serabut-serabut mukosa atau papila dari spingter Oddi
sehingga mulut spingter tersebut dapat diperlebar; pelebaran ini memungkinkan batu yang terjepit untuk
bergerak dengan spontan kedalam duodenum. Alat lain yang dilengkapi dengan jaring atau balon kecil pada
ujungnya dapat dimsukkan melalui endoskop untuk mengeluarkan batu empedu. Meskipun komplikasi
setelah tindakan ini jarang terjadi, namun kondisi pasien harus diobservasi dengan ketat untuk mengamati
kemungkinan terjadinya perdarahan, perforasi dan pankreatitis.
ESWL (Extracorporeal Shock-Wave Lithotripsy) Prosedur noninvasiv ini menggunakan gelombang kejut
berulang (Repeated Shock Wave) yang diarahkan pada batu empedu didalam kandung empedu atau
duktus koledokus dengan maksud memecah batu tersebut menjadi beberapa sejumlah fragmen.(Smeltzer,
2002)
3. Penatalaksanaan bedah
Penanganan bedah pada penyakit kandung empedu dan batu empedu dilaksanakan untuk mengurangi gejala yang
sudah berlangsung lama, untuk menghilangkan penyebab kolik bilier dan untuk mengatasi kolesistitis akut.
Pembedahan dapat efektif jika gejala yang dirasakan pasien sudah mereda atau bisa dikerjakan sebagai suatu
prosedur darurat bilamana kondisi psien mengharuskannya
Tindakan operatif meliputi
Sfingerotomy endosokopik
6.
7.
Jaundice merupakan manifestasi yang sering pada gangguan traktus biliaris, dan evaluasi
serta manajemen pasien jaundice merupakan permasalahan yang sering dihadapi oleh ahli
bedah. Serum bilirubin normal berkisar antara 0,5 1,3 mg/dL; ketika levelnya meluas
menjadi 2,0 mg/dL, pewarnaan jaringan bilirubin menjadi terlihat secara klinis sebagai
jaundice. Sebagai tambahan, adanya bilirubin terkonjugasi pada urin merupakan satu dari
perubahan awal yang terlihat pada tubuh pasien.
(2)
Bilirubin merupakan produk pemecahan hemoglobin normal yang dihasilkan dari sel darah
merah tua oleh sistem retikuloendotelial. Bilirubin tak terkonjugasi yang tidak larut
ditransportasikan ke hati terikat dengan albumin. Bilirubin ditransportasikan melewati
membran sinusoid hepatosit kedalam sitoplasma. Enzim uridine diphosphateglucuronyl
transferase mengkonjugasikan bilirubin tak-terkonjugasi yang tidak larut dengan asam
glukoronat untuk membentuk bentuk terkonjugasi yang larut-air, bilirubin monoglucuronide
dan bilirubin diglucuronide. Bilirubin terkonjugasi kemudian secara aktif disekresikan
kedalam kanalikulus empedu. Pada ileum terminal dan kolon, bilirubin dirubah menjadi
urobilinogen, 10-20% direabsorbsi kedalam sirkulasi portal. Urobilinogen ini diekskresikan
kembali kedalam empedu atau diekskresikan oleh ginjal didalam urin.
(2)
DEFENISI
Ikterus (jaundice) didefinisikan sebagai menguningnya warna kulit dan sklera akibat
akumulasi pigmen bilirubin dalam darah dan jaringan. Kadar bilirubin harus mencapai 35-40
mmol/l sebelum ikterus menimbulkan manifestasi klinik.
(3)
Jaundice (berasal dari bahasa Perancis jaune artinya kuning) atau ikterus (bahasa Latin
untuk jaundice) adalah pewarnaan kuning pada kulit, sklera, dan membran mukosa oleh
deposit bilirubin (pigmen empedu kuning-oranye) pada jaringan tersebut.
(4)
(4)
Hepar, kandung empedu, dan percabangan bilier muncul dari tunas ventral (divertikulum
hepatikum) dari bagian paling kaudal foregut diawal minggu keempat kehidupan. Bagian ini
terbagi menjadi dua bagian sebagaimana bagian tersebut tumbuh diantara lapisan
mesenterik ventral: bagian kranial lebih besar (pars hepatika) merupakan asal mula
hati/hepar, dan bagian kaudal yang lebih kecil (pars sistika) meluas membentuk kandung
empedu, tangkainya menjadi duktus sistikus. Hubungan awal antara divertikulum
hepatikum dan penyempitan foregut, nantinya membentuk duktus biliaris. Sebagai akibat
perubahan posisi duodenum, jalan masuk duktus biliaris berada disekitar aspek dorsal
duodenum.
(4)
Sistem biliaris secara luas dibagi menjadi dua komponen, jalur intra-hepatik dan ekstrahepatik. Unit sekresi hati (hepatosit dan sel epitel bilier, termasuk kelenjar peribilier),
kanalikuli empedu, duktulus empedu (kanal Hearing), dan duktus biliaris intrahepatik
membentuk saluran intrahepatik dimana duktus biliaris ekstrahepatik (kanan dan kiri),
duktus hepatikus komunis, duktus sistikus, kandung empedu, dan duktus biliaris komunis
merupakan komponen ekstrahepatik percabangan biliaris.
(4)
Duktus sistikus dan hepatikus komunis bergabung membentuk duktus biliaris. Duktus
biliaris komunis kira-kira panjangnya 8-10 cm dan diameter 0,4-0,8 cm. Duktus biliaris
dapat dibagi menjadi tiga segmen anatomi: supraduodenal, retroduodenal, dan
intrapankreatik. Duktus biliaris komunis kemudian memasuki dinding medial duodenum,
mengalir secara tangensial melalui lapisan submukosa 1-2 cm, dan memotong papila mayor
pada bagian kedua duodenum. Bagian distal duktus dikelilingi oleh otot polos yang
membentuk sfingter Oddi. Duktus biliaris komunis dapat masuk ke duodenum secara
langsung (25%) atau bergabung bersama duktus pankreatikus (75%) untuk membentuk
kanal biasa, yang disebut ampula Vater. (4)
Traktus biliaris dialiri vaskular kompleks pembuluh darah disebut pleksus vaskular peribilier.
Pembuluh aferen pleksus ini berasal dari cabang arteri hepatika, dan pleksus ini mengalir
kedalam sistem vena porta atau langsung kedalam sinusoid hepatikum.
(4)
(5)
Bilirubin indirek yang berlebihan akibat pemecahan sel darah merah yang terlalu banyak,
kekurangmampuan sel hati untuk melakukan konjugasi akibat penyakit hati, terjadinya
refluks bilirubin direk dari saluran empedu ke dalam darah karena adanya hambatan aliran
empedu menyebabkan tingginya kadar bilirubin didalam darah. Keadaan ini disebut
hiperbilirubinemia dengan manifestasi klinis berupa ikterus.
(5)
KLASIFIKASI
Gambar 3 berisi daftar skema bagi klasifikasi umum jaundice: pre-hepatik, hepatik dan
post-hepatik. Jaundice obstruktif selalu ditunjuk sebagai post-hepatik sejak defeknya
terletak pada jalur metabolisme bilirubin melewati hepatosit. Bentuk lain jaundice ditunjuk
sebagai jaundice non-obstruktif. Bentuk ini akibat defek hepatosit (jaundice hepatik) atau
sebuah kondisi pre-hepatik.
(1)
DIAGNOSIS
Langkah pertama pendekatan diagnosis pasien dengan ikterus ialah melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik yang teliti serta pemeriksaan faal hati.
(5)
Anamnesis ditujukan pada riwayat timbulnya ikterus, warna urin dan feses, rasa gatal,
keluhan saluran cerna, nyeri perut, nafsu makan berkurang, pekerjaan, adanya kontak
dengan pasien ikterus lain, alkoholisme, riwayat transfusi, obat-obatan, suntikan atau
tindakan pembedahan.
(5)
Diagnosa banding jaundice sejalan dengan metabolisme bilirubin (Tabel 1). Penyakit yang
menyebabkan jaundice dapat dibagi menjadi penyakit yang menyebabkan jaundice medis
seperti peningkatan produksi, menurunnya transpor atau konjugasi hepatosit, atau
kegagalan ekskresi bilirubin; dan ada penyakit yang menyebabkan jaundice surgical
melalui kegagalan transpor bilirubin kedalam usus. Penyebab umum meningkatnya produksi
bilirubin termasuk anemia hemolitik, penyebab dapatan hemolisis termasuk sepsis, luka
bakar, dan reaksi transfusi. Ambilan dan konjugasi bilirubin dapat dipengaruhi oleh obatobatan, sepsis dan akibat hepatitis virus. Kegagalan ekskresi bilirubin menyebabkan
kolestasis intrahepatik dan hiperbilirubinemia terkonjugasi. Penyebab umum kegagalan
ekskresi termasuk hepatitis viral atau alkoholik, sirosis, kolestasis induksi-obat. Obstruksi
bilier ekstrahepatik dapat disebabkan oleh beragam gangguan termasuk koledokolitiasis,
striktur bilier benigna, kanker periampular, kolangiokarsinoma, atau kolangitis sklerosing
primer. (2) Ketika mendiagnosa jaundice, dokter harus mampu membedakan antara
kerusakan pada ambilan bilirubin, konjugasi, atau ekskresi yang biasanya diatur secara
medis dari obstruksi bilier ekstrahepatik, yang biasanya ditangani oleh ahli bedah, ahli
radiologi intervensional, atau ahli endoskopi. Pada kebanyakan kasus, anamnesis
menyeluruh, pemeriksaan fisik, tes laboratorium rutin dan pencitraan radiologis non-invasif
membedakan obstruksi bilier ekstrahepatik dari penyebab jaundice lainnya. Kolelitiasis
selalu berhubungan dengan nyeri kuadran atas kanan dan gangguan pencernaan. Jaundice
dari batu duktus biliaris umum
biasanya sementara dan berhubungan dengan nyeri dan demam (kolangitis). Serangan
jaundice tak-nyeri bertingkat sehubungan dengan hilangnya berat badan diduga sebuah
keganasan/malignansi. Jika jaundice terjadi setelah kolesistektomi, batu kandung empedu
menetap atau cedera kandung empedu harus diperkirakan.
(2)
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik meliputi perabaan hati, kandung empedu, limpa, mencari tanda-tanda
stigmata sirosis hepatis, seperti spider naevi, eritema palmaris, bekas garukan di kulit
karena pruritus, tanda-tanda asites. Anemi dan limpa yang membesar dapat dijumpai pada
pasien dengan anemia hemolitik. Kandung empedu yang membesar menunjukkan adanya
sumbatan pada saluran empedu bagian distal yang lebih sering disebabkan oleh tumor
(dikenal hukum Courvoisier).
Hukum Courvoisier
(5)
Kandung empedu yang teraba pada ikterus tidak mungkin disebabkan oleh batu kandung
empedu. Hal ini biasanya menunjukkan adanya striktur neoplastik tumor (tumor pankreas,
ampula, duodenum, CBD), striktur pankreatitis kronis, atau limfadenopati portal.
(3)
Pemeriksaan Laboratorium
Tes laboratorium harus dilakukan pada semua pasien jaundice termasuk serum bilirubin
direk dan indirek, alkali fosfatase, transaminase, amilase, dan hitung sel darah lengkap.
Hiperbilirubinemia (indirek) tak terkonjugasi terjadi ketika ada peningkatan produksi
bilirubin atau menurunnya ambilan dan konjugasi hepatosit. Kegagalan pada ekskresi
bilirubin (kolestasis intrahepatik) atau obstruksi bilier ekstrahepatik menyebabkan
hiperbilirubinemia (direk) terkonjugasi mendominasi. Elevasi tertinggi pada bilirubin serum
biasanya ditemukan pada pasien dengan obstruksi maligna, pada mereka yang levelnya
meluas sampai 15 mg/dL yang diamati. Batu kandung empedu umumnya biasanya
berhubungan dengan peningkatan lebih menengah pada bilirubin serum (4 8 mg/dL).
Alkali fosfatase merupakan penanda yang lebih sensitif pada obstruksi bilier dan mungkin
meningkat terlebih dahulu pada pasien dengan obstruksi bilier parsial.
(2)
Pemeriksaan faal hati dapat menentukan apakah ikterus yang timbul disebabkan oleh
gangguan pada sel-sell hati atau disebabkan adanya hambatan pada saluran empedu.
Bilirubin direk meningkat lebih tinggi dari bilirubin indirek lebih mungkin disebabkan oleh
sumbatan saluran empedu dibanding bila bilirubin indirek yang jelas meningkat. Pada
keadaan normal bilirubin tidak dijumpai di dalam urin. Bilirubin indirek tidak dapat
diekskresikan melalui ginjal sedangkan bilirubin yang telah dikonjugasikan dapat keluar
melalui urin. Karena itu adanya bilirubin lebih mungkin disebabkan akibat hambatan aliran
empedu daripada kerusakan sel-sel hati. Pemeriksaan feses yang menunjukkan adanya
perubahan warna feses menjadi akolis menunjukkan terhambatnya aliran empedu masuk ke
dalam lumen usus (pigmen tidak dapat mencapai usus).
(2)