Paralkes PDF
Paralkes PDF
PERIODE LI
Untuk dipublikasikan/ ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital Library
Perpustakaan Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya untuk kepentingan
akademik sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.
Demikian pernyataan persetujuan publikasi laporan PKPA ini saya buat dengan
sebenarnya.
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas berkat rahmat-
Nya, kami mahasiswa Program Studi Profesi Apoteker Periode LI Fakultas Farmasi
Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya dapat melaksanakan Praktek Kerja Profesi
Apoteker di Bidang Sumber Daya Kesehatan Seksi Kefarmasian dan Alat Kesehatan dan
Perbekalan Rumah Tangga Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur yang dilaksanakan pada 17
September – 20 September 2018.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan laporan banyak pihak telah memberikan
dukungan serta bimbingan sehingga pada akhirnya laporan praktek kerja profesi ini dapat
diselesaikan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampakan rasa terima
kasih kepada:
1. Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya kami dapat mengikuti serta
menyelesaikan laporan PKPA dengan baik.
2. Dr. dr. Kohar Hari Santoso, Sp.An, KIC, KAP selaku Kepala Dinas Kesehatan
Provinsi Jawa Timur yang telah berkenan memberikan izin untuk
melaksanakan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Dinas Kesehatan Provinsi
Jawa Timur.
3. drg. M.V.S. Mahanani, M.Kes. selaku Kepala Bidang Sumber Daya Kesehatan
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur yang telah memberikan kesempatan
kepada kami untuk dapat melaksanakan Praktek Kerja Profesi Apoteker di
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur.
4. Dra.Retnowati, M.Kes., Apt. selaku Kepala Seksi Kefarmasian Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Timur yang telah memberikan kesempatan kepada
kami untuk dapat melaksanakan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Timur
5. Drs. Arif Zaidi, Apt. selaku Kepala Seksi Alat Kesehatan dan Perbekalan
Rumah Tangga yang telah memberikan kesempatan kepada kami sehingga
kami dapat melaksanakan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Dinas Kesehatan
Provinsi Jawa Timur.
6. Dra. Susilo Ari Wardhani, M.Kes., Apt. selaku Koordinator Pelaksana Praktek
Kerja Profesi Apoteker di Bidang Sumber Daya Kesehatan Seksi Kefarmasian
dan Alat Kesehatan dan Perbekalan Rumah Tangga Dinas Kesehatan Provinsi
i
Jawa Timur yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama
pelaksanaan PKPA dan proses penyusunan laporan.
7. Seluruh staf di Dinas Kesehatan Kota Pasuruan, Gudang Farmasi Kota
Pasuruan, dan Puskesmas Bugul Kidul yang telah bersedia menerima
kunjungan kami dengan baik dan memberikan berbagai ilmu yang sangat
bermanfaat.
8. Drs. Kuncoro Foe, Ph.D., Apt. selaku Rektor Universitas Katolik Widya
Mandala Surabaya yang telah memberikan fasilitas dan bantuan sehingga
PKPA ini dapat terlaksana dengan baik.
9. Sumi Wijaya, S.Si., Ph.D., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas
Katolik Widya Mandala Surabaya yang telah memberikan izin dalam
pelaksanaan PKPA ini.
10. Elisabeth Kasih, M.Farm.Klin., Apt. selaku Ketua Program Studi Profesi
Apoteker Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya yang telah berkenan
mengupayakan terlaksananya PKPA ini.
11. Dra. Hj. Emi Sukarti, M.Si., Apt, selaku Koordinator Praktek Kerja Profesi
Apoteker bidang Pemerintahan Program Profesi Apoteker Fakultas Farmasi
Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya yang telah mengarahkan dan
membimbing kami selama PKPA.
12. Teman-teman Program Profesi Apoteker angkatan LI atas dukungan dan kerja
sama yang baik selama pelaksanaan dan penyusunan Laporan Praktek Kerja
Profesi Apoteker ini,
13. Semua pihak yang tidak dapat penuliskan satu per satu atas bantuan yang
diberikan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam membantu
terselenggaranya kegiatan dan penyusunan laporan PKPA ini.
Kami menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kata sempurna, maka kritik dan
saran yang membangun sangat diharapkan demi perbaikan generasi di masa mendatang.
Semoga Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) ini dapat bermanfaat dan
memberikan sumbangan yang berarti bagi banyak pihak dalam memperoleh pengetahuan dan
informasi.
Surabaya, September 2018
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar ........................................................................................................... i
Daftar Isi ..................................................................................................................... iii
Daftar Tabel ................................................................................................................ v
Daftar Gambar............................................................................................................ v
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2 Tujuan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Apotek....................................... 2
1.3 Manfaat Praktek Kerja Profesi Apoteker di Apotek..................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 4
2.1 Tinjauan tentang Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur ............................. 4
2.2 Tinjauan tentang Struktur Organisasi Dinas Kesehatan Provinsi Jawa
Timur ......................................................................................................... 5
2.3 Tinjauan tentang Seksi Kefarmasian ........................................................... 9
2.3.1 Tinjauan tentang Program Seksi Kefarmasian .............................. 10
2.3.1.1 Tinjauan tentang Program Tata Kelola Obat Publik ........... 10
2.3.1.2 Tinjauan tentang Program Pelayanan Masyarakat .............. 20
2.3.1.3 Tinjauan tentang Program Pelayanan Kefarmasian ............ 25
2.3.1.4 Tinjauan tentang Program Narkotika, Psikotropika, dan
Zat adiktif (NAPZA).......................................................... 35
2.3.1.5 Tinjauan tentang Program Obat Tradisional (OT) .............. 43
2.3.1.6 Tinjauan tentang Program Obat Kosmetik ......................... 46
2.3.1.7 Tinjauan tentang Makanan dan Minuman .......................... 48
2.4 Tinjauan tentang Seksi Alat Kesehatan dan Perbekalan Rumah Tangga ..... 53
2.4.1 Tinjauan tentang Pengamanan Alat Kesehatan dan PKRT ............ 56
2.4.2 Tata Cara Pemberian Sertifikat Produksi ...................................... 56
2.4.3 Ijin Edar Alkes dan PKRT ........................................................... 57
2.4.4 Pelaporan Produksi Alkes dan PKRT ........................................... 57
BAB III HASIL KEGIATAN ..................................................................................... 58
3.1 Tinjauan Umum tentang Pelayanan Kesehatan di Kota Pasuruan ................ 58
3.2 Tinjauan Struktur Organisasi Kesehatan Kota Pasuruan ............................. 59
3.3 Tinjauan tentang Instalasi Farmasi Kota Pasuruan ...................................... 60
iii
3.3.1 Perencanaan Obat dan Perbekalan Kesehatan di Kota/Kabupaten
Pasuruan .......................................................................................... 61
3.3.2 Pengadaan Obat dan Perbekalan Kesehatan di UPK Kota Pasuruan . 62
3.3.3 Penerimaan Obat dan Perbekalan Kesehatan di UPT Kota Pasuruan 63
3.3.4 Penyimpanan, Penataan Obat dan Perbekalan Kesehatan di UPT Kota
Pasuruan .......................................................................................... 65
3.3.5 Pendistribusian Obat dan Perbekalan Kesehatan di UPT Kota Pasuruan 66
3.3.6 Pencatatan, Pelaporan, Evaluasi Obat, dan Perbekalan Kesehatan di
UPT Kota Pasuruan ......................................................................... 67
3.4 Tinjauan tentang Pusat Kesehatan Masyarakat Bugul Kidul ........................... 67
3.4.1 Visi, Misi, Motto, Kebijakan Mutu dan Tata Nilai UPT Puskesmas
Bugul Kidul ..................................................................................... 69
3.4.2 Data Ketenagaan Puskesmas Bugul Kidul ........................................ 70
3.4.3 Manajemen Pengelolaan Sediaan Farmasi dan BMHP Anggaran Obat 70
3.4.4 Pengadaan Obat ............................................................................... 72
3.4.5 Penyimpanan dan Penataan Obat ..................................................... 73
3.4.6 Pendistribusian Obat ........................................................................ 75
3.4.7 Pengendalian Obat Golongan Psikotropika dan Obat-Obat Tertentu
(OOT) .............................................................................................. 75
3.4.8 Peresepan Psikotropika .................................................................... 76
3.4.9 Gudang Penyiapan Perbekalan Farmasi Puskesmas Bugul Kidul ...... 77
3.4.10 Pengendalian Mutu Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas Bugul Kidul 78
BAB IV STUDI KASUS .................................................................................................. 79
4.1 Studi Kasus Makanan dan Minuman .............................................................. 79
4.2 Studi Kasus NAPZA ...................................................................................... 83
4.3 Studi Kasus Farkomik dan POR ..................................................................... 92
4.4 Studi Kasus Obat Tradisional dan Kosmetik ................................................... 108
4.5 Studi Kasus Pelayanan Masyarakat ................................................................ 110
4.6 Studi Kasus Alkes .......................................................................................... 115
4.7 Studi Kasus Obat Publik ................................................................................. 119
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................... 126
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 128
iv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Indikator Kinerja, Definisi Operasional dan Target Penggunaan Obat
Rasional.................................................................................................... 32
Tabel 2.2 Penyimpanan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi menurut
PerMenKes RI No 3 Tahun 2015 .............................................................. 38
Tabel 2.3 Daftar Bahan Tambahan Pangan yang Diperbolehkan ............................... 51
Tabel 4.1 Jenis BTP Pengawet ................................................................................. 81
Tabel 4.2 Penyimpanan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi (PerMenKes
RI Nomor 3 Tahun 2015) .......................................................................... 88
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Struktur Organisasi Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur ............... 8
Gambar 3.1 Struktur Organisasi Dinas Kesehatan Kota Pasuruan.......................... 59
Gambar 3.2 Struktur Organisasi UPK Pengelola Obat Publik dan Perbekalan
Kesehatan .......................................................................................... 60
Gambar 3.3 Ruang Karantina Penerimaan Barang ................................................. 64
Gambar 3.4 Instalasi Farmasi Kota Pasuruan ........................................................ 64
Gambar 3.5 Rak Penyimpanan Obat di Puskesmas Bugul Kidul............................ 74
Gambar 3.6 Lemari Pendingin di Puskesmas Bugul Kidul .................................... 74
Gambar 3.7 Lemari Penyimpanan Psikotropika dan OTT...................................... 77
Gambar 3.8 Penataan dan Penyimpanan Obat di Puskesmas Bugul Kidul ............. 78
v
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
TINJAUAN PUSTAKA
4
5
2.2 Tinjauan tentang Struktur Organisasi Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur
Berdasarkan Peraturan Gubernur Nomor 74 Tahun 2016 tentang Kedudukan,
Susunan Organisasi, Uraian Tugas dan Fungsi serta Tata Kerja Dinas Kesehatan mempunyai
tugas melaksanakan urusan pemerintahan daerah berdasarkan asas otonomi dan tugas
pembantuan di bidang kesehatan dan menyelenggarakan fungsi:
a. Perumusan kebijakan di bidang kesehatan;
b. Pelaksanaan kebijakan di bidang kesehatan;
c. Pelaksanaan evaluasi dan pelaporan di bidang kesehatan;
d. Pelaksanaan administrasi Dinas di bidang kesehatan; dan
e. Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Gubernur terkait dengan tugas dan
fungsinya.
Dalam melaksanakan tugasnya Kepala Dinas Kesehatan dibantu oleh:
1. Sekretaris
Sekretaris mempunyai tugas merencanakan, melaksanakan, mengkoordinasikan dan
mengendalikan kegiatan administrasi umum, kepegawaian, perlengkapan, penyusunan
program, keuangan, hubungan masyarakat dan protokol. Sekretariat dipimpin oleh Sekretaris
yang berada dibawah dan bertanggungjawab kepada Kepala Dinas. Sekretariat terdiri dari:
1. Sub Bagian Tata Usaha;
2. Sub Bagian Penyusunan Program;
3. Sub Bagian Keuangan
6
Bidang Pelayanan Kesehatan Bidang Pencegahan dan Bidang Pelayanan Kesehatan Bidang Sumber Daya
Masyarakat Pengendalian Penyakit dr. Dian Islami, M.Kes Kesehatan
drg. Vitria Dewi, M.Si drg. Ansarul Fahrudda, M.Kes drg. MVS. Mahanani, M.Kes
Seksi Pelayanan Kesehatan
Seksi Promosi Kesehatan dan Primer Seksi Kefarmasian
Seksi Surveilans dan Imunisasi
Pemberdayaan Masyarakat drg. Lili Aprilianti Dra. Retnowati, Apt., M.Kes
Gito Hartono, SKM., M.Kes
Desi Aviajiati, SKM., M.Kes
Seksi Alat Kesehatan dan Perbekalan
Seksi Pencegahan dan Seksi Pelayanan Kesehatan
Seksi Kesehatan Lingkungan, Rumah Tangga
Pengendalian Penyakit Menular Rujukan
Kesehatan Kerja dan Olah Drs. Muhammad Arif Zaidi, Apt
Siti Murtini, SKM., M.Kes dr. Ninis Herlina Kirana Sari
Raga
Edy Basuki, SKM., M.Si
Seksi Sumber Daya Manusia
Seksi Pencegahan Pengamatan Seksi Pelayanan Kesehatan
Kesehatan
Seksi Kesehatan Keluarga dan Gizi Penyakit Tidak Menular dan Tradisional
drg. Titin Sumarlik, M.Kes
Masyarakat Kesehatan Jiwa Dra. Elmi Mufidah, Apt
drg. Sulvy Dwi Anggraini, M.Kes Bambang Purwanto, SKM., M.Kes
UPT
8
9
2. Tingkat Provinsi
Dinas Kesehatan Provinsi :
a. Menyediakan dan mengelola obat buffer stok Provinsi
b. Melakukan kompilasi rencana kebutuhan obat Kabupaten/ Kota
c. Melakukan Pelatihan Petugas Pengelola Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan
di Kabupaten/Kota
d. Melakukan Bimbingan Teknis, Monitoring dan Evaluasi Ketersediaan Obat
Publik dan Perbekalan Kesehatan ke Kabupaten/Kota
e. Menyediakan Fasilitator untuk pelatihan pengelola obat publik dan perbekalan
kesehatan di Kabupaten/Kota maupun Puskesmas
f. Melaksanakan Advokasi Penyediaan Anggaran Kepada Pemerintah Provinsi.
3. Tingkat Kabupaten/Kota
a. Perencanaan kebutuhan obat untuk pelayanan kesehatan dasar disusun oleh tim
perencanaan obat terpadu berdasarkan sistem “bottom up”.
b. Perhitungan rencana kebutuhan obat untuk satu tahun anggaran disusun dengan
menggunakan pola konsumsi dan atau epidemiologi.
c. Mengkoordinasikan perencanaan kebutuhan obat dari beberapa sumber dana,
agar jenis dan jumlah obat yang disediakan sesuai dengan kebutuhan dan tidak
tumpang tindih.
d. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota mengajukan rencana kebutuhan obat
kepada Pemerintah Kabupaten/Kota, Pusat, Provinsi dan sumber lainnya.
e. Melakukan Pelatihan Petugas Pengelola Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan
untuk Puskesmas
f. Melakukan Bimbingan Teknis, Monitoring dan Evaluasi Ketersediaan Obat
Publik dan Perbekalan Kesehatan ke Puskesmas
13
yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan dimulai dari tahap perencanaan sampai pada tahap
pengendalian dan pengelolaan meliputi :
a. Perencanaan
Perencanaan kebutuhan obat publik dan perbekalan kesehatan adalah salah satu
fungsi yang menentukan dalam proses pengadaan obat publik dan perbekalan
kesehatan.Tujuan perencanaan kebutuhan obat publik dan perbekalan kesehatan adalah untuk
menetapkan jenis dan jumlah obat sesuai dengan pola penyakit dan kebutuhan pelayanan
kesehatan dasar termasuk program kesehatan yang telah ditetapkan. Proses perencanaan
kebutuhan obat publik dan perbekalan kesehatan diawali dari data yang disampaikan
Puskesmas (LPLPO) ke Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota yang selanjutnya dikompilasi
menjadi rencana kebutuhan obat publik dan perbekalan kesehatan di Kabupaten/Kota yang
dilengkapi dengan teknik-teknik perhitungannya. Selanjutnya dalam perencanaan kebutuhan
buffer stok Pusat maupun Provinsi dengan menyesuaikan terhadap kebutuhan obat publik dan
perbekalan kesehatan di Kabupaten/Kota dan tetap mengacu kepada DOEN.
Berbagai kegiatan yang dilakukan dalam perencanaan kebutuhan obat adalah:
1. Tahap Pemilihan Fungsi Seleksi atau Pemilihan Obat Perbekalan Kesehatan
sangat diperlukan sesuai dengan jumlah penduduk dan pola penyakit di daerah.
Beberapa persyaratan untuk mendapatkan pengadaan obat yang baik, sebaiknya
diawali dengan dasar-dasar seleksi kebutuhan obat yaitu meliputi :
a. Obat dan Perbekalan Kesehatan yang dipilih harus memiliki ijin edar dari
Pemerintah RI.
b. Obat dipilih berdasarkan seleksi ilmiah, medik dan statistik yang memberikan
efek terapi jauh lebih baik dibandingkan resiko efek samping yang akan
ditimbulkan.
c. Jenis obat yang dipilih seminimal mungkin dengan cara menghindari duplikasi
dan kesamaan jenis.
d. Jika ada obat baru harus ada bukti yang spesifik untuk efek terapi yang lebih baik.
e. Hindari penggunaan obat kombinasi, kecuali jika obat kombinasi mempunyai efek
yang lebih baik dibanding obat tunggal.
f. Apabila jenis obat banyak, maka kita memilih berdasarkan obat pilihan (drug of
choice) dari penyakit yang prevalensinya tinggi.
2. Tahap Kompilasi Pemakaian Obat
Kompilasi pemakaian obat berfungsi untuk mengetahui pemakaian bulanan masing-
masing jenis obat di unit pelayanan kesehatan/puskesmas selama setahun dan sebagai data
15
pembanding bagi stok optimum. Informasi yang didapat dari kompilasi pemakaian obat
adalah :
a. Jumlah pemakaian tiap jenis obat pada masing-masing unit pelayanan kesehatan/
Puskesmas.
b. Persentase pemakaian tiap jenis obat terhadap total pemakaian setahun seluruh
unit pelayanan kesehatan/ Puskesmas.
c. Pemakaian rata-rata untuk setiap jenis obat untuk tingkat Kabupaten/ Kota.
c. Penyimpanan
Penyimpanan adalah suatu kegiatan menyimpan dan memelihara dengan cara
menempatkan obat-obatan yang diterima pada tempat yang dinilai aman dari pencurian serta
gangguan fisik yang dapat merusak mutu obat. Tujuan penyimpanan obat-obatan adalah
untuk :
- Memelihara mutu obat
- Menghindari penggunaan yang tidak bertanggung jawab
- Menjaga kelangsungan persediaan
- Memudahkan pencarian dan pengawasan
Kegiatan penyimpanan obat meliputi :
- Pengaturan tata ruang
- Penyusunan stok obat
- Pencatatan stok obat
- Pengamatan mutu obat
c. Distribusi
Distribusi adalah suatu rangkaian kegiatan dalam rangka pengeluaran dan
pengiriman obat-obatan yang bermutu, terjamin keabsahan serta tepat jenis dan jumlah dari
gudang obat secara merata dan teratur untuk memenuhi kebutuhan unit-unit pelayanan
kesehatan. Tujuan distribusi yaitu:
1. Terlaksananya distrubusi obat secara merata dan teratur sehingga dapat diperoleh pada
saat dibutuhkan.
2. Terjaminnya kecukupan persediaan obat di unit pelayanan kesehatan.
Kegiatan Distribusi Kegiatan distribusi obat di Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota
terdiri dari :
- Kegiatan Distribusi Rutin
Perencanaan Distribusi pada Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota merencanakan dan
melaksanakan pendistribusian obat-obatan ke unit pelayanan kesehatan di wilayah
kerjanya.Untuk itu dilakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
a. Perumusan stok optimum
Perumusan stok optimum persediaan dilakukan dengan mem-perhitungkan siklus
distribusi rata-rata pemakaian, waktu tunggu serta ketentuan mengenai stok pengaman.
Rencana distribusi obat ke setiap unit pelayanan kesehatan termasuk rencana tingkat
ketersediaan, didasarkan kepada besarnya stok optimum setiap jenis obat di setiap unit
pelayanan kesehatan.
17
akan menjalankan pekerjaan kefarmasian wajib memiliki surat izin sesuai tempat tenaga
kefarmasian bekerja. Surat izin tersebut yang dimaksud antara lain:
1. SIPA bagi Apoteker
2. SIPTTK bagi Tenaga Teknis Kefarmasian
Selanjutnya dalam Pasal 18 dijelaskan lebih lanjut:
1. SIPA bagi Apoteker di fasilitas kefarmasian hanya diberikan untuk 1 (satu) tempat
fasilitas kefarmasian.
2. Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) SIPA bagi Apoteker
di fasilitas pelayanan kefarmasian dapat diberikan untuk paling banyak 3 (tiga) tempat
fasilitas pelayanan kefarmasian.
Ruang lingkup program pelayanan masyarakat mencakup Perizinan Tenaga
Kefarmasian (khususnya Apoteker) dan Perizinan Sarana Kefarmasian. Beberapa perizinan
tenaga kefarmasian (khususnya apoteker) antara lain :
1. Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA) dan STRTTK bagi Tenaga Teknis
Kefarmasian
Menteri mendelegasikan pemberian STRA kepada KFN, sedangkan STRTTK kepada
Kadinkes Provinsi (dalam hal ini, Provinsi Jawa Timur melalui Pelayanan Perizinan Terpadu
(P2T)). STRA dan STRTTK berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diregistrasi ulang
selama memenuhi persyaratan. Registrasi ulang harus dilakukan minimal 6 (enam) bulan
sebelum STRA atau STRTTK habis masa berlakunya.
2. Surat Bukti Lapor
Apoteker wajib mengurus surat bukti lapor agar identitas apoteker dapat
terdokumentasi pada bank data tenaga apoteker di Provinsi Jawa Timur. Bagi Apoteker yang
hendak bekerja di luar Provinsi Jawa Timur wajib mengurus surat lolos butuh. Bukti lapor
dan Lolos Butuh dapat diurus di Bidang Sumber Daya Kesehatan Seksi Sumber Daya
Manusia Kesehatan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur dengan melampirkan persyaratan
yang telah ditentukan.
3. Surat Lolos Butuh (jika akan bekerja di luar provinsi Jawa Timur)
Surat Lolos Butuh ini mendapatkan rekomendasi dari Organisasi Profesi Setempat
(IAI Cabang), maka pengajuan permohonan oleh pemohon kepada Pengurus Cabang setempat
dengan melampirkan :
1. Fotokopi Kartu Tanda Anggota atau Surat Keterangan Keanggotaan dari Pengurus
Daerah bagi yang masih dalam pengurusan Kartu Tanda Anggota
2. Fotokopi STRA/Surat penugasan/Surat Ijin Kerja
22
- Surat keterangan dari tempat kerja baru (bagi yang ingin mendirikan apotek
sendiri cukup membuat surat pernyataan bermaterai)
- Kartu tanda anggota.
b. Pengurus Cabang memberikan surat pengantar yang ditujukan kepada Pengurus
Daerah setempat.
c. Surat keterangan lolos butuh antar Kabupaten/Kota dalam satu Provinsi.
4. Pemberian resep yang tidak sesuai dengan indikasi klinis dan diagnosis
5. Swamedikasi yang tidak tepat, seperti tidak patuh pada batasan dosis.
a. Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 72 Tahun 2016 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, yang dimaksud dengan Rumah Sakit adalah
institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara
paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Pelayanan
kefarmasian di Rumah Sakit meliputi dua kegiatan yaitu kegiatan yang bersifat manajerial
berupa pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan Bahan Medis Habis Pakai (BMHP)
dan kegiatan pelayanan farmasi klinik. Kegiatan pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan
dan BMHP yang dilakukan di Rumah Sakit berdasarkan Permenkes RI Nomor 72 Tahun 2016
adalah :
1. Kegiatan pemilihan untuk menetapkan jenis sediaan farmasi, alat kesehatan dan
BMHP sesuai dengan kebutuhan.
2. Perencanaan kebutuhan untuk menentukan jumlah dan periode pengadaan sediaan
famasi, alat kesehatan dan BMHP sesuai dengan hasil kegiatan pemilihan untuk
menjamin terpenuhinya kriteria tepat jenis, tepat jumlah, tepat waktu dan efisien.
3. Pengadaan kebutuhan untuk merealisasikan perencanaan kebutuhan.
4. Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis, spesifikasi,
jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam kontrak atau surat
pesanan dengan kondisi fisik yang diterima.
5. Penyimpanan sediaan farmasi, alat kesehatan dan BMHP sesuai dengan
persyaratan kefarmasian.
6. Pendistribusian/menyalurkan/menyerahkan sediaan farmasi, alat kesehatan dan
BMHP dari tempat penyimpanan sampai kepada unit pelayanan/pasien dengan
tetap menjamin mutu, stabilitas, jenis, jumlah dan ketepatan waktu.
7. Pemusnahan dan penarikan sediaan farmasi, alat kesehatan dan BMHP.
8. Pengendalian terhadap jenis dan jumlah persediaan dan penggunaan sediaan
farmasi, alat kesehatan dan BMHP.
9. Kegiatan adminsitrasi yang dilakukan meliputi : pencatatan dan pelaporan,
administrasi keuangan, dan adminitrasi penghapusan.
Pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang diberikan Apoteker
kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan meminimalkan risiko
27
terjadinya efek samping karena obat. Pelayanan farmasi klinik yang dilakukan berdasarkan
Permenkes No 72 Tahun 2016 meliputi :
1. Pengkajian dan pelayanan resep, bertujuan menganalisa kebenaran dan keilegalan
resep, bila ditemukan masalah terkait obat harus segera dikonsultasikan kepada
dokter penulis resep. Apoteker harus melakukan pengkajian resep sesuai
persyaratan administrasi, farmasetik dan persyaratan klinis.
2. Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat (RPO) merupakan proses untuk
mendapatkan informasi terkait seluruh obat atau sediaan farmasi lain yang
pernah dan sedang digunakan.
3. Rekonsiliasi obat dilakukan dengan membandingkan instruksi pengobatan dengan
obat yang telah didapat pasien.
4. Pelayanan Informasi Obat (PIO) merupakan kegiatan penyediaan dan pemberian
informasi, rekondemasi obat yang independen, akurat, tidak bias, terkini dan
komprehensif yang dilakukan oleh Apoteker.
5. Konseling obat adalah suatu akitivitas pemberian nasihat atau saran terkait obat
dari Apoteker (Konselor) kepada pasien dan/atau keluarganya.
6. Visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan
Apoteker secara mandiri atau bersama tim tenaga kesehatan untuk mengamati
kondisi klinis pasien secara langsung dan mengkaji masalah terkait obat,
memantau terapi obat dan reaksi obat yang tidak dikehendaki, meningkatkan
terapi obat yang rasional dan menyajikan informasi obat kepada dokter, pasien
serta profesional kesehatan lainnya.
7. Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan suatu proses yang mencakup kegiatan
untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien.
8. Monitoring Efek Samping Obat yang digunakan untuk memantau setiap respon
terhadap obat yang tidak dikehendaki, yang terjadi pada dosis lazim yang
digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi.
9. Evaluasi Penggunaan Obat.
b. Pelayanan Kefarmasian di Apotek
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2016
tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, yang dimaksud dengan Apotek adalah
sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukannya praktek kefarmasian oleh Apoteker.
Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada
pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti
28
untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Menurut Permenkes RI Nomor 73 Tahun 2016
tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, cakupan standar pelayanan kefarmasian
meliputi:
1. Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai terdiri dari :
a. Perencanaan
b. Pengadaan
c. Penerimaan
d. Penyimpanan
e. Pemusnahan
f. Pengendalian
g. Pencatatan dan Pelaporan
2. Pelayanan Farmasi Klinik, terdiri dari :
a. Pengkajian resep
b. Dispensing
c. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
d. Konseling
e. Pelayanan Kefarmasian di rumah (home pharmacy care)
f. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
g. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
3. Kemandirian masyarakat
Puskesmas mendorong kemandirian hidup sehat bagi individu, keluarga, kelompok,
dan masyarakat
4. Pemerataan
Puskesmas menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang dapat diakses dan terjangkau
oleh seluruh masyarakat di wilayah kerjanya secara adil tanpa membedakan status sosial,
ekonomi, agama, budaya, dan kepercayaan
5. Teknologi tepat guna
Puskesmas menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan dengan memanfaatkan teknologi
tepat guna yang sesuai dengan kebutuhan pelayanan, mudah dimanfaatkan dan tidak
berdampak buruk pada lingkungan
6. Keterpaduan dan kesinambungan
Puskesmas mengintegrasikan dan mengoordinasikan penyelenggaraan UKM dan UKP
lintas program dan lintas sektor serta melaksanakan sistem rujukan yang didukung dengan
manajemen Puskesmas. Puskesmas memiliki tugas untuk melaksanakan kebijakan kesehatan
untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya dalam rangka
mendukung terwujudnya kecamatan sehat sedangkan fungsi Puskesmas adalah sebagai
penyelenggara tingkat pertama upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan
perseorangan di wilayah kerjanya. Selain memiliki tugas dan fungsi yang jelas, Puskesmas
juga memilki wewenang tersendiri. Kewenangan yang dimiliki Puskesmas tercantum dalam
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2014 tentang Pusat
Kesehatan Mayarakat. Kewenangan tersebut antara lain :
a. Melaksanakan perencanaan berdasarkan analisa masalah kesehatan masyarakat dan
analisa kebutuhan pelayanan yang diperlukan
b. Melaksanakan advokasi dan sosialisasi kebijakan kesehatan
c. Melaksanakan komunikasi, informasi, edukasi dan pemberdayaan masyarakat
dalam bidang kesehatan
d. Menggerakan masyarakat untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah
kesehatan pada setiap tingkat perkembangan masyarakat yang bekerjasama dengan
sektor terkait
e. Melaksanakan pembinaan teknis terhadap jaringan pelayanan dan upaya kesehatan
berbasis masyarakat
f. Melaksanakan peningkatan kompetensi sumber daya manusia Puskesmas
g. Memantau pelaksanaan pembangunan agar berwawasan kesehatan
30
=
32
Tabel 2.1 Indikator Kinerja, Definisi Operasional dan Target Penggunaan Obat Rasional
Tahun 2015-2019
Indikator Definisi Operasional Target
Kinerja
2015 2016 2017 2018 2019
3. Perhitungan
Persentase Indikator Kinerja POR :
% Kinerja POR
Keterangan :
a = Persentase penggunaan antibiotik pada ISPA Non Pneumonia (angka riil)
b = Persentase penggunaan antibiotik pada Diare Non Spesifik (angka riil)
c = Persentase penggunaan injeksi pada Myalgia (angka riil)
d= %
Jika a ≤ 20%, maka persentase capaian indikator kinerja POR adalah 100%
d. Rerata item obat yang diresepkan (untuk 3 penyakit tersebut di atas) maksimal 2,6
Jika d ≤ 2,6 item, maka persentase capaian indikator kinerja POR adalah 100%
a. Pasien diambil dari register harian, 1 kasus per hari untuk setiap diagnosis terpilih.
Dengan demikian dalam 1 bulan diharapkan terkumpul sekitar 25 kasus per
diagnosis terpilih.
b. Bila pada hari tersebut tidak ada pasien dengan diagnosis tersebut, kolom
dikosongkan, dan diisi dengan diagnosis yang sama, yang diambil pada hari-hari
berikutnya.
c. Untuk masing-masing diagnosis tersebut, diambil pasien dengan urutan pertama
pada hari pencatatan. Diagnosis diambil yang tunggal, tidak ganda atau yang
disertai penyakit/keluhan lain.
d. Puyer dan obat kombinasi ditulis rincian jenis obatnya.
e. Jenis obat termasuk obat minum, injeksi, dan obat luar.
f. Imunisasi tidak dimasukkan dalam kategori injeksi.
g. Istilah antibiotik termasuk kemoterapi dan antiamoeba.
h. Kolom “kesesuaian dengan pedoman” dikosongkan. Kolom ini akan diisi oleh
pembina pada saat kunjungan supervisi (diambil 10 sampel peresepan secara acak
untuk diskusi).
2.3.1.4 Tinjauan tentang Program Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif (NAPZA)
NAPZA merupakan singkatan dari narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif lainnya,
meliputi zat alami atau sintetis yang bila dikonsumsi menimbulkan perubahan fungsi fisik dan
psikis, serta menimbulkan ketergantungan (Menkes, 2015). Oleh karena itu obat ini sangat
penting dan bermanfaat dalam pelayanan kesehatan serta perlu diperhatikan dampaknya bagi
masyarakat. Pengelolaan narkotika dan psikotropika harus mengikuti kaidah pengelolaan
yaitu tersedia, aman, bermutu dan berkhasiat. Untuk penerapan kaidah tersebut, pemerintah
telah menetapkan Undang-Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Undang-Undang No
5 Tahun 1997 tentang Psikotropika serta Permenkes No 3 Tahun 2015 tentang Peredaran,
Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2015 tentang Peredaran,
Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi,
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis,
yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi
sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Psikotropika
adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat
psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan
36
khas pada aktivitas mental dan perilaku. Prekursor adalah zat atau bahan pemula atau bahan
kimia yang dapat digunakan sebagai bahan baku/penolong untuk keperluan proses produksi
industri farmasi atau produk antara, produk ruahan, dan produk jadi yang mengandung
ephedrine, pseudoephedrine, norephedrine/phenylpropanolamine, ergotamin, ergometrine,
atau potasium permanganat.
Pengelolaan sediaan farmasi golongan Narkotika, Psikotropika dan Prekursor ini
merupakan tanggung jawab sepenuhnya dari apoteker dalam berbagai hal :
1. Peredaran
Peredaran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi terdiri dari Penyaluran dan
Penyerahan. Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi yang diedarkan harus memenuhi
persyaratan keamanan, khasiat, dan mutu.
2. Penyaluran
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2015
tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika, dan
Prekursor Farmasi penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi hanya dapat
dilakukan berdasarkan surat pesanan atau Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat
(LPLPO) untuk pesanan dari Puskesmas.
Pengiriman Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi yang dilakukan oleh
Industri Farmasi, PBF, atau Instalasi Farmasi Pemerintah harus dilengkapi dengan :
a. Surat Pesanan
b. Faktur dan/atau surat pengantar barang, paling sedikit memuat:
1. Nama Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi
2. Bentuk sediaan
3. Kekuatan
4. Kemasan
5. Jumlah
6. Tanggal kedaluwarsa
7. Nomor bets
3. Penyerahan
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2015
tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika, dan
Prekursor Farmasi penyerahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi hanya dapat
dilakukan dalam bentuk obat jadi dan harus dilaksanakan oleh Apoteker di fasilitas pelayanan
kefarmasian. Penyerahan Narkotika dan/atau Psikotropika hanya dapat dilakukan oleh :
37
a. Apotek
b. Puskesmas
c. Instalasi Farmasi Rumah Sakit
d. Instalasi Farmasi Klinik
e. Dokter
Penyerahan Prekursor Farmasi hanya dapat dilakukan oleh:
a. Apotek
b. Puskesmas
c. Instalasi Farmasi Rumah Sakit
d. Instalasi Farmasi Klinik
e. Dokter
f. Toko Obat
4. Penyimpanan
Penyimpanan adalah kegiatan menyimpan dan memelihara dengan cara menempatkan
narkotika dan psikotropika yang diterima pada tempat yang khusus, yang terhindar dari
pencurian serta gangguan fisik yang dapat merusak mutu. Sesuai dengan PerMenKes RI No 3
Tahun 2015 tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika,
Psikotropika, dan Prekursor Farmasi pada BAB III Pasal 25 ayat (1) menyebutkan bahwa
tempat penyimpanan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dapat berupa gudang,
ruangan, atau lemari khusus. Dalam pasal 26, gudang yang dimaksudkan pada pasal 25 ayat
(1) harus memenuhi persyaratan :
a. Dinding dibuat dari tembok dan hanya mempunyai pintu yang dilengkapi dengan
pintu jeruji besi dengan 2 (dua) buah kunci yang berbeda.
b. Langit-langit dapat terbuat dari tembok beton atau jeruji besi.
c. Jika terdapat jendela atau ventilasi harus dilengkapi dengan jeruji besi.
d. Gudang tidak boleh dimasuki oleh orang lain tanpa izin Apoteker penanggung
jawab.
e. Kunci gudang dikuasai oleh Apoteker penanggung jawab dan pegawai lain yang
dikuasakan.
Pada pasal 26 ruang khusus yang dimaksudkan pada pasal 25 ayat 1, harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut :
a. Dinding dan langit-langit terbuat dari bahan yang kuat.
b. Jika terdapat jendela atau ventilasi harus dilengkapi dengan jeruji besi.
c. Mempunyai satu pintu dengan 2 (dua) buah kunci yang berbeda.
38
Tabel 2.2 Penyimpanan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi menurut PerMenKes
RI No 3 Tahun 2015
Industri Farmasi PBF Instalasi Apotek Puskesmas
Farmasi
Narkotika Gudang khusus
yang terdiri atas :
a. Gudang khusus Narkotika dalam
bentuk bahan baku; dan Lemari khusus
b. Gudang khusus Narkotika
5. Pemusnahan
Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan No 3 Tahun 2015 tentang Peredaran,
Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi
pada Bab IV, Pemusnahan dilakukan Apoteker terhadap narkotika dan psikotropika yang
rusak, kedaluwarsa, dan atau tidak memenuhi syarat untuk digunakan dalam pelayanan
kesehatan. Sedangkan dokumen pengelolaan narkotika dan psikotropika dapat dimusnahkan
setelah disimpan lebih dari 3 (tiga) tahun. Langkah-langkah pemusnahan sesuai dengan pasal
40 sebagai berikut:
1. Penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas distribusi/fasilitas pelayanan
kefarmasian/pimpinan lembaga/dokter praktik perorangan menyampaikan surat
pemberitahuan dan permohonan saksi kepada :
a. Kementrian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan, bagi Instalasi
Farmasi Pemerintah Pusat.
b. Dinas Kesehatan Provinsi dan/atau Balai Besar/Balai Pengawas Obat dan
Makanan setempat, bagi Importir, Industri Farmasi, PBF, Lembaga Ilmu
Pengetahuan, atau Instalasi Farmasi Pemerintah Provinsi.
c. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan/atau Balai Besar /Balai Pengawas Obat dan
Makanan setempat, bagi Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi
Klinik, Instalasi Farmasi Pemerintah Kabupaten/Kota, Dokter, atau Toko Obat.
2. Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan, Dinas Kesehatan
Provinsi, Balai Besar/Balai Pengawas Obat dan Makanan setempat, dan Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota menetapkan petugas di lingkungannya menjadi saksi
pemusnahan sesuai dengan surat permohonan sebagai saksi.
3. Pemusnahan disaksikan oleh petugas yang telah ditetapkan.
4. Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi dalam bentuk bahan baku, produk
antara, dan produk ruahan harus dilakukan sampling untuk kepentingan pengujian
oleh petugas yang berwenang sebelum dilakukan pemusnahan.
5. Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi harus
dilakukan pemastian kebenaran secara organoleptis oleh saksi sebelum dilakukan
pemusnahan.
Langkah-langkah membuat berita acara pemusnahan dilakukan sesuai dengan pasal 42
adalah sebagai berikut :
a. Penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas distribusi/fasilitas pelayanan
kefarmasian/pimpinan lembaga/dokter praktik perorangan yang melaksanakan
40
dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi kepada Kepala Dinas
Kesehatan Provinsi atau Kabupaten/Kota setempat dengan tembusan kepada
Kepala Balai setempat
e. Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4)
paling sedikit terdiri atas :
- Nama, bentuk sediaan, dan kekuatan Narkotika, Psikotropika, dan/atau
Prekursor Farmasi
- Jumlah persediaan awal dan akhir bulan
- Tanggal, nomor dokumen, dan sumber penerimaan
- Jumlah yang diterima
- Tanggal, nomor dokumen, dan tujuan penyaluran
- Jumlah yang disalurkan
- Nomor bets dan kedaluwarsa setiap penerimaan atau penyaluran dan
persediaan awal dan akhir.
5. Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik, Lembaga Ilmu
Pengetahuan, dan dokter praktik perorangan wajib membuat, menyimpan, dan
menyampaikan laporan pemasukan dan penyerahan/penggunaan Narkotika dan
Psikotropika, setiap bulan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
dengan tembusan Kepala Balai setempat.
6. Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) paling sedikit terdiri atas :
- Nama, bentuk sediaan, dan kekuatan Narkotika, Psikotropika, dan/ atau
Prekursor Farmasi
- Jumlah persediaan awal dan akhir bulan
- Jumlah yang diterima
- Jumlah yang diserahkan
7. Puskesmas wajib membuat, menyimpan, dan menyampaikan laporan pemasukan
dan penyerahan/penggunaan Narkotika dan Psikotropika sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan
8. Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 sampai dengan ayat 4 dan ayat 6
dapat menggunakan sistem pelaporan Narkotika, Psikotropika, dan/atau Prekursor
Farmasi secara elektronik
9. Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 sampai dengan ayat 4 dan ayat 6
disampaikan paling lambat setiap tanggal 10 bulan berikutnya.
43
10. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan Narkotika, Psikotropika,
dan/atau Prekursor Farmasi diatur oleh Direktur Jenderal.
3. Usaha Mikro Obat Tradisional (UMOT) adalah usaha yang hanya membuat
sediaan obat tradisional dalam bentuk param, tapel, pilis, cairan obat luar dan
rajangan.
4. Usaha jamu racikan adalah usaha yang dilakukan oleh depot jamu atau sejenisnya
yang dimiliki perorangan dengan melakukan pencampuran sediaan jadi dan/ atau
sediaan.
5. Usaha jamu gendong adalah usaha yang dilakukan oleh perorangan dengan
menggunakan bahan obat tradisional dalam bentuk cairan yang dibuat segar
dengan tujuan untuk dijajakan langsung kepada konsumen.
1. Izin Edar Obat Tradisional
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 007 Tahun
2012 2012 tentang Registrasi Obat Tradisional bahwa Obat Tradisional yang diedarkan di
wilayah Indonesia wajib memiliki izin edar. Izin edar OT diberikan oleh Kepala Badan dan
dilaksanakan melalui mekanisme registrasi sesuai dengan tatalaksana yang ditetapkan. Izin
edar yang diperoleh akan berlaku selama jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang
selama memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Izin edar dikecualikan untuk obat tradisional
yang dibuat oleh usaha jamu racikan dan usaha jamu gendong, dengan kata lain, kedua usaha
tersebut tidak perlu memiliki izin edar. Obat tradisional yang dapat diberikan izin edar harus
memenuhi kriteria beberapa kriteria yang disyaratkan antara lain:
a. Menggunakan bahan yang memenuhi persyaratan keamanan dan mutu.
b. Dibuat dengan menerapkan CPOTB
c. Harus memenuhi persyaratan Farmakope Herbal Indonesia atau persyaratan lain
yang diakui.
d. Berkhasiat yaitu dibuktikan secara empiris, turun temurun, dan/ atau secara ilmiah
e. Terdapat penandaan pada OT yang berisi informasi yang objektif, lengkap, dan
tidak menyesatkan.
f. Dilarang mengandung etil alkohol lebih dari 1%, kecuali dalam bentuk sediaan
tingtur yang pemakaiannya dengan pengenceran; bahan kimia obat yang
merupakan hasil isolasi atau sintetik berkhasiat obat; narkotika atau psikotropika;
dan/ atau bahan lain yang berdasarkan pertimbangan kesehatan dan/ atau
berdasarkan penelitian membahayakan kesehatan.
g. Dilarang dibuat dan/ atau diedarkan dalam bentuk sediaan: intravaginal; tetes
mata; parenteral; dan supositoria, kecuali digunakan untuk kondisi wasir.
45
rambut, kuku, bibir dan organ genital bagian luar) atau gigi dan mukosa mulut terutama untuk
membersihkan, mewangikan, mengubah penampilan dan atau memperbaiki bau badan atau
melindungi atau memelihara tubuh pada kondisi baik.
Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dari Kosmetik yang diproduksi adalah
sebagai berikut :
1. Menggunakan bahan yang memenuhi standar dan persyaratan mutu serta persyaratan
lain yang ditetapkan.
2. Diproduksi dengan menggunakan cara pembuatan kosmetik yang baik.
3. Terdaftar pada dan mendapat izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Berdasarkan bahan dan penggunaannya, produk kosmetik dibagi dalam 2 golongan
yaitu :
1. Kosmetik golongan I adalah:
a. Kosmetik yang digunakan untuk bayi.
b. Kosmetik yang digunakan disekitar mata, rongga mulut dan mukosa lainnya.
c. Kosmetik yang mengandung bahan dengan persyaratan kadar dan penandaan.
d. Kosmetik yang mengandung bahan dan fungsinya belum lazim serta belum
diketahui keamanan dan kemanfaatannya.
2. Kosmetik golongan II adalah kosmetik yang tidak termasuk golongan I.
Berdasarkan keputusan Kepala Badan BPOM RI No HK.00.05.4.1745 tahun 2017
tentang Kosmetik bahwa bahan kosmetik harus memenuhi persyaratan mutu sesuai dengan
Kodeks Kosmetik Indonesia atau standar lain yang diakui. Selain itu, suatu industri kosmetik
harus memenuhi persyaratan Cara Pembuatan Kosmetik yang Baik dimana Penerapan Cara
Pembuatan Kosmetik yang Baik dilaksanakan secara bertahap dengan memperhatikan
kemampuan industri kosmetik.
1. Izin Edar Kosmetik
Menurut Keputusan Kepala BPOM RI No HK.00.05.4.1745 Tahun 2017 tentang
Kosmetik dikatakan bahwa sebelum kosmetik di edarkan, kosmetik harus didaftarkan untuk
mendapatkan izin edar dari Kepala Badan. Adapun pihak yang berhak untuk mendaftarkan
produk kosmetik adalah :
a. Produsen kosmetik yang mendapat izin usaha Industri
b. Perusahaan yang bertanggung jawab atas pemasaran
c. Badan hukum yang ditunjuk atau diberi kuasa oleh perusahaan dari negara asal.
Tata cara permohonan izin edar adalah sebagai berikut:
47
1. Permohonan izin edar diajukan secara tertulis kepada Kepala Badan dengan
mengisi formulir dan disket pendaftaran dengan sistem registrasi elektronik yang
telah ditetapkan, untuk dilakukan penilaian.
2. Penilaian kosmetik golongan I dilakukan dalam 2 (dua) tahap yaitu :
(1) Proses pra penilaian yang merupakan tahap pemeriksaan kelengkapan dan
keabsahan dokumen;
(2) Proses penilaian yang merupakan proses evaluasi terhadap dokumen dan data
pendukung.
3. Penilaian kosmetik golongan II hanya dilakukan terhadap kelengkapan dan
keabsahan dokumen
4. Kerahasiaan keterangan dan atau data dalam permohonan izin edar dijamin oleh
Kepala Badan.
5. Hasil penilaian dapat berupa pemberian izin edar, penambahan data atau penolakan.
6. Apabila diperoleh izin edar, akan berlaku selama 5 (lima) tahun.
2. Persyaratan Wadah dan Penandaan Kosmetik
Wadah kosmetik yang digunakan harus dapat melindungi isi terhadap pengaruh dari
luar dan dapat menjamin mutu, keutuhan dan keaslian isinya. Wadah yang digunakan harus
mempertimbangkan keamanan pemakai dan dibuat dari bahan yang tidak mengeluarkan atau
menghasilkan bahan berbahaya atau suatu bahan yang dapat mengganggu kesehatan, dan
tidak mempengaruhi mutu. Kemudian, untuk melindungi wadah (kemasan primer) maka
digunakan pembungkus sebagai kemasan sekunder.
Wadah dan pembungkus harus diberikan penandaan yang berisi informasi yang
lengkap, objektif dan tidak menyesatkan. Penandaan harus berisi informasi yang sesuai
dengan data pendaftaran yang telah disetujui oleh Kepala Badan dimana penandaan kosmetik
tidak boleh berisi informasi seolah-olah sebagai obat, tulisan harus jelas dan mudah dibaca
(menggunakan huruf latin dan angka arab), penandaan yang ditulis dengan bahasa asing harus
disertai keterangan mengenai kegunaan, cara penggunaan dan keterangan lain dalam Bahasa
Indonesia. Pada etiket wadah dan atau pembungkus harus dicantumkan informasi/ keterangan
sebagai berikut :
a. Nama produk
b. Nama dan alamat produsen atau importi/ penyalur
c. Ukuran, isi atau berat bersih
d. Komposisi dengan nama bahan sesuai dengan kodeks kosmetik Indonesia atau
nomenklatur lainnya yang berlaku
48
Kabupaten/Kota (District Food Inspector/ DFI) didampingi oleh penanggung jawab IRTP
yang diperiksa.
Cara penetapan ketidaksesuaian sarana produksi pangan Industri Rumah Tangga (IRT)
masing-masing elemen diperiksa apakah memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam
CPPB–IRT. Jika elemen yang diperiksa memenuhi persyaratan CPPB–IRT, maka kolom
ketidaksesuaian tidak diisi atau dibiarkan kosong. Jika elemen yang diperiksa tidak memenuhi
persyaratan CPPB–IRT, atau kondisi IRTP sesuai dengan kalimat pernyataan negatif pada
elemen yang diperiksa, maka menjadi temuan ketidaksesuaian dengan kriteria yang ditetapkan
CPPB–IRT (minor, mayor, serius atau kritis). Masing-masing elemen diperiksa berdasarkan
Cara Produksi Pangan yang Baik Untuk Industri Rumah Tangga.
dan yang akan diedarkan dilarang menggunakan bahan tambahan pangan yang melampaui
ambang batas maksimal yang telah ditentukan dan bahan yang dilarang digunakan sebagai
bahan tambahan pangan. Bahan tambahan pangan tersebut juga dapat mempunyai atau tidak
mempunyai nilai gizi. Bahan tambahan pangan yang diperbolehkan menurut PerMenKes RI
No 033 Tahun 2012 terdiri dari 27 golongan, yang dapat dilihat pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Daftar Bahan Tambahan Pangan yang diperbolehkan
No Bahan Tambahan Pangan yang diperbolehkan
1. Antibuih (Antifoaming agent)
2. Antikempal (Anticaking agent)
3. Antioksidan (Antioxidant)
4. Bahan pengkarbonasi (Carbonating agent)
5. Garam pengemulsi (Emulsifiying agent)
6. Gas untuk kemasan (Packaging gas)
7. Humektan (Humectant)
8. Pelapis (Glazing agent)
9. Pemanis (Sweetener)
10. Pembawa (Carrier)
11. Pembentuk gel (Gelling agent)
12. Pembuih (Foaming agent)
13. Pengatur keasaman (Acidity regulator)
14. Pengawet (Preservative)
15. Pengembang (Raising agent)
16. Pengemulsi (Emulsifier)
17. Pengental (Thickener)
18. Pengeras (Fiming agent)
19. Penguat rasa (Flavour enhancer)
20. Peningkat volume (Bulking agent)
21. Penstabil (Stabilizer)
22. Peretensi warna (Colour retention agent)
23. Perisa (Flavouring)
24. Perlakuan tepung (Flour treatment agent)
25. Pewarna (Colour)
26. Propelan (Propelant)
27. Sekuestran (Sequestrant)
Bahan tambahan yang dilarang digunakan antara lain asam borat dan senyawanya,
asam salisilat dan garamnya, dietilpirokarbonat, dulsin, formalin, kalium bromat, kalium
52
6. Persyaratan Mutu Makanan dan Minuman serta Peran Dinas Kesehatan Provinsi
Persyaratan mutu makanan dan minuman diatur dalam:
a. Keputusan Dirjen POM No. 03725/ B/ SK/ VII/ 1989 tentang Batas Maksimum
Cemaran Logam dalam Makanan.
b. Keputusan Dirjen POM No. 03726/ B/ SK/ VII/ 1989 tentang Batas Maksimum
Cemaran Mikroba dalam Makanan.
Peran Dinas Kesehatan Provinsi dalam hal persyaratan dan mutu makanan
minuman yang tercantum dalam Keputusan Dirjen POM No 02240/ B/ SK/ VII/ 1991
tentang Pedoman Persyaratan Mutu serta Label dan Periklanan Makanan dan Minuman
antara lain :
a. Melakukan koordinasi dan pelatihan pengambilan contoh makanan minuman
hasil industri rumah tangga.
b. Melakukan koordinasi pengawasan dan pengendalian dalam rangka pencegahan
dan mengatasi Kejadian Luar Biasa (KLB) akibat pencemaran makanan dalam
skala Provinsi.
c. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan pemeriksaan sarana produksi dan
distribusi makanan dan minuman industri rumah tangga.
d. Pembinaan dan pengendalian pelaksanaan pengawasan dan registrasi makanan
minuman produksi rumah tangga.
e. Melakukan pembinaan dan pengendalian penerbitan sertifikat laik sehat bagi
produsen makanan minuman siap saji.
f. Melakukan koordinasi pengawasan dan pengendalian dalam rangka penggunaan
bahan tambahan yang dilarang termasuk cemaran mikroba patogen dalam
makanan minuman produksi rumah tangga.
1. Menjamin keamanan dan sanitasi hygene serta bahan tambahan dalam makanan
dan minuman.
2. Mengedarkan makanan dan minuman yang telah memiliki izin edar sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
3. Memberikan informasi tentang kandungan gizi yang benar dan dapat
dipertanggung jawabkan secara laboratoris.
4. Tidak mengandung bahan berbahaya.
Dalam rangka pengawasan keamanan, mutu dan gizi pangan, setiap pangan olahan
kemasan yang diproduksi di dalam negeri atau yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia
untuk diperdagangkan dalam kemasan eceran sebelum diedarkan wajib memiliki surat
persetujuan pendaftaran. Surat persetujuan pendaftaran sebagaimana dimaksud ditetapkan
oleh Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan. Pangan olahan kemasan yang diproduksi
oleh industri rumah tangga wajib memiliki Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah
Tangga yang diterbitkan oleh Bupati/ Walikota. Pangan olahan yang berumur di bawah 7
(tujuh) hari yang diproduksi oleh pelaku usaha rumah tangga harus mendapatkan sertifikat
layak konsumsi dari Bupati/ Walikota. Sertifikat layak konsumsi diberikan apabila pangan
yang diproduksi tidak mengandung bahan berbahaya. Pengamanan anak usia sekolah terhadap
makanan jajanan anak sekolah merupakan tanggung jawab dinas kesehatan, dinas pendidikan
dan lintas sektor terkait.
2.4 Tinjauan tentang Seksi Alat Kesehatan dan Perbekalan Rumah Tangga
Pada Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 74 Tahun 2016 Pasal 14 dijelaskan
bahwa Seksi Alat Kesehatan dan Perbekalan Rumah Tangga merupakan bagian dari Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Timur yang berada di bawah Bidang Sumber Daya Kesehatan. Visi
dari seksi Alat Kesehatan dan Perbekalan Rumah Tangga adalah menjamin alat kesehatan
yang beredar aman, bermutu dan bermanfaat.
Dalam Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 74 tahun 2016 Pasal 14 ayat (2) yang
menjelaskan tentang tugas seksi kefarmasian.Seksi Alat Kesehatan dan Perbekalan Rumah
Tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf e angka 2, mempunyai tugas:
a. Menyiapkan bahan penyusunan perencanaan program pembinaan dan
pengendalian tata kelola, produksi dan distribusi alat kesehatan dan perbekalan
kesehatan rumah tangga.
54
Peran Stakeholder :
Seksi alat kesehatan dan PKRT memastikan bahwa masyarakat memperoleh alat
kesehatan yang bermutu dan bermanfaat, maka bekerja sama dengan seluruh stake holder.
Yang termasuk dalam stake holder yaitu :
1. Pemerintah
a. Menyusun dan melaksanakan Norma Standar Prosedur Kriteria (NSPK).
b. Melakukan post marketing surveillance.
c. Melakukan audit , monitoring sarana.
d. Meningkatkan pelayanan perijinan.
e. Melaksanakan pembinaan terutama industri local agar mampu bersaing dalam
era globalisasi.
2. Produsen
a. Melakukan audit internal secara berkala terhadap proses produksi.
b. Melakukan pemantauan efek samping dan melaporkan.
c. Menerapkan cara produksi yang baik.
d. Melakukan PMS dan vigilance.
e. Melakukan pelaporan secara berkala.
3. Distributor
a. Melakukan pelaporan secara berkala.
b. Melakukan PMS dan atau vigilance.
c. Menerapkan cara distribusi yang baik.
4. Pengguna
a. Kesadaran untuk menggunakan alat kesehatan yang terdaftar.
b. Kesadaran untuk melaporkan efek samping penggunaan.
58
59
Gambar 3.2 Struktur Organisasi UPK Pengelola Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan
Instalasi Farmasi Kota Pasuruan memiliki awal dari bangunan lama yang diresmikan
tahun 1993 dengan luas bangunan 210,39 m² di atas tanah 666 m² dan berada di Jalan Dr
wahidin S No.202 Kota Pasuruan. Bangunan baru dari Instalasi Farmasi Kota diresmikan
pada 07 Februari 2018 dengan luas total bangunan 660 m² di atas luas tanah 2500 m² terdiri
dari dua lantai dan berada di Jalan Jalan Ir H juanda 66 B Kota Pasuruan.
Visi dari Unit Pengelola Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan (POPPK) Kabupaten
Pasuruan antara lain yaitu terwujudnya pusat pengelola obat publik dan perbekalan kesehatan
yang optimal dan dapat dipertanggung jawabkan untuk menunjang pelayanan kesehatan di
Kota Pasuruan, sedangkan Misi Unit Pengelola Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan
(POPPK) adalah :
a. Menjamin ketersediaan obat dan perbekalan kesehatan di unit pelayanan kesehatan
dasar, baik dalam jumlah maupun jenis obat secara kontinyu.
61
b. Menjaga mutu, khasiat dan keamanan obat agar selalu terjamin melalui peningkatan
profesionalisme penyimpanan dan pendistribusian obat hingga ke unit pelayanan
kesehatan dasar.
c. Meningkatkan pencatatan dan pelaporan obat dan perbekalan kesehatan dengan
pemanfaatan teknologi informasi.
d. Mewujudkan masyarakat yang sehat di Dinas Kesehatan Kabupaten Pasuruan, dengan
mewujudkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas dan
terjangkau.
Dalam menyelenggarakan manajemen pengelolaan Unit Perbekalan Kefarmasian di
Dinas Kesehatan Kabupaten Pasuruan didukung dengan sumber daya manusia yang terdiri
dari tenaga Pegawai negeri sipil dan Non pegai negeri sipil. Tenaga PNS terdiri dari :
1. Apoteker (3 orang)
2. Tata Usaha (1 orang )
3. Asisten Apoteker (1 orang)
4. Satpam (2 orang)
Tenaga Non PNS terdiri dari :
1. ADM
2. CS Driver (2 orang).
Bagian sarana ruangan penyimpanan yang terdapat dalam gedung yaitu terdapat
gudang utama yang selanjutnya terdapat pembagian ruang penyimpanan untuk sediaan atau
perbekalan antibiotik/ ruang khusus, ruang alat kesehatan, ruang vaksin dan ruang Expired
Date. Siklus Manajemen Pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan yang dilakukan
oleh Unit Perbekalan Kefarmasian Dinas Kesehatan Kota Pasuruan meliputi perencanaan,
pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, penggunaan, pencatatan dan
pelaporan. Manajemen pengelolaan yang dilakukan oleh Instalasi Farmasi Kota bertujuan
agar menyediakan dan memastikan ketersediaan obat publik dan perbekalan kesehatan yang
menjamin keamanan, mutu, dan khasiat terutama untuk penyediaan pada unit pusat kesehatan
masyarakat (Puskesmas).
pelayanan kesehatan dasar termasuk program kesehatan yang ditetapkan (Direktorat Bina
Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan, 2007). Kegiatan perencanaan obat publik dan
perbekalan farmasi untuk pelayanan kesehatan dasar yang dilakukan oleh Instalasi Farmasi
Kota Pasuruan dilaksanakan oleh tim perencanaan obat terpadu/UPK (kompilator)
berdasarkan sistem bottom up planning. Pelaksanaan kegiatan perencanaan berdasarkan data
yang diperoleh dari pengelola program dan PKM yaitu pengelola obat serta petugas lab.
Pelaksanaan perencanaan obat yang dilakukan di Instalasi Farmasi Kota Pasuruan terdapat
beberapa faktor pertimbangan yang menjadi dasar dari kegiatan perencanaan kebutuhan obat
publik dan perbekalan kesehatan yaitu :
a. Data pemakaian obat dan perbekalan kesehatan di Puskesmas pada tahun/periode
sebelumnya (Laporan pemakaian dan Lembar Permintaan Obat),
b. Usulan dari Puskesmas, dan Pemegang Program ,
c. Stok Obat di UPK pada awal tahun,
d. Life Time / Waktu Kadaluarsa,
e. Rencana Penyediaan (Jumlah Bulan) ,
f. Waktu tunggu (Lead time)
g. Pemilihan daftar obat didasarkan pada DOEN (Daftar Obat Essensial Nasional) dan
FORNAS (Formularium Nasional) yang diberlakukan sesuai harga yang ditelah
ditetapkan oleh pemerintah
h. Penyesuaian jumlah kebutuhan dengan alokasi dana yang tersedia dan Ketersediaan
Stok Buffer Provinsi (PKD, Obat Program).
Setelah mempertimbangkan beberapa faktor diatas maka dilakukan perhitungan rencana
kebutuhan obat di Instalasi Farmasi Kota Pasuruan untuk satu tahun anggaran yang disusun
dengan menggunakan metode konsumsi dan/atau berdasarkan metode epidemiologi.
Perencanaan kebutuhan obat dilakukan koordinasi dari beberapa sumber dana, agar jenis dan
jumlah obat yang disediakan sesuai dengan kebutuhan dan tidak mengalami tumpang tindih.
Hasil perencanaan kebutuhan akan dilakukan pengajuan oleh Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota kepada Pemerintah Kabupaten/Kota, Pusat, Provinsi dan sumber lain.
pengobatan di Puskesmas. Jenis pengadaan obat pada UPK Kota Pasuruan yaitu didasarkan
sumber dana anggaran yaitu melalui :
1. DanaAPBD Kota Pasuruan,
2. APBN/ DAK (Dana Anggaran Khusus),
3. BPJS,
4. Penerimaan Dana Bagi Hasil Pajak Rokok,
5. Buffer Provinsi (berupa obat yang disediakan oleh Provinsi) dan
6. Obat Program (yang berasal dari Kementrian Kesehatan dan Dinas Kesehatan
Provinsi yaitu seperti obat TB, obat HIV, dan lain sebagainya).
Sistem pengadaan obat dan perbekalan kesehatan dilakukan setiap satu tahun sekali
oleh pejabat pengadaan di Dinas Kesehatan Kabupaten Pasuruan melalui e-purchasing atau
pengadaan dengan penunjukan langsung dan Lelang oleh Badan Pelayanan Pengadaan milik
pemerintah kota. Penggunaan metode e-purchasing dalam sistem pengadaan dilakukan agar
pengadaan obat sesuai aturan, lebih mudah dan efisien dengan tetap menjamin ketersediaan
obat. Pengadaan obat secara Lelang merupakan kerjasama antara Kementerian Kesehatan dan
Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah (LKPP).
penerimaan dan dilakukan entry data, penulisan pada kartu stock barang dan penulisan pada
buku expired date untuk memastikan pengendalian terhadap adanya obat expired yang masih
terdapat pada penyimpanan. Penerimaan obat juga diikuti dengan mengarsip bukti
penerimaan.
3.3.4 Penyimpanan, Penataan Obat dan Perbekalan Kesehatan di UPT Kota Pasuruan
Penyimpanan adalah suatu kegiatan menyimpan dan memelihara dengan
menempatkan obat-obatan dan perbekalan kesehatan yang diterima pada tempat yang dinilai
aman dari pencurian serta gangguan fisik yang dapat merusak mutu obat. Tujuan
penyimpanan dan penataan obat pada UPT Kota Pasuruan yaitu untuk :
1. Memelihara mutu obat
2. Menghindari penggunaan yang tidak bertanggung jawab
3. Menjaga kelangsungan persediaan
4. Memudahkan pencarian dan pengawasan
Kegiatan penyimpanan obat dan perbekalan kesehatan di UPT Kota Pasuruan meliputi
pengaturan tata ruang yang dimana terdapat gudang umum (obat dengan penyimpanan suhu
ruangan), ruang khusus (untuk sediaan yang membutuhkan penyimpanan dengan suhu
<25°C), ruang penyimpanan untuk alat kesehatan, ruang untuk obat expired date, ruang
o
vaksin, ruang penyimpanan untuk narkotika dan psikotropika. Obat dengan suhu < 25 C
dikontrol dengan alat pengukur suhu yang diperiksa tiga kali sehari dan didokumentasikan,
contohnya adalah antibiotik, salep, injeksi, sediaan padat. Sistem penataan obat yang
digunakan berdasarkan abjad/ alfabetis, kelas terapi, bentuk sediaan dan FEFO dan FIFO.
Kartu stok terdiri dari kartu stok gudang dan kartu stok induk, stock opname dilakukan setiap
2 bulan sekali dengan menyamakan kartu stok induk, stok gudang dan fisik barang. Kartu stok
dibuat berdasarkan tahun pengadaan dan sumber dana yaitu :
1. Kartu stok warna putih berasal dari sumber Dana Alokasi Khusus
2. Kartu stok warna kuning berasal dari sumber Dana Alokasi Umum
3. Kartu stok warna hijau berasal dari Buffer Provinsi
4. Kartu stok merah berasal dari obat program APBN yang disiapkan dari petugas UPT
Kota Pasuruan.
Secara umum kondisi bangunan dan sistem penyimpanan di Instalasi Farmasi Kota
Pasuruan sudah sesuai dengan persyaratan dalam peraturan yang ada sebagai sarana
penyimpanan, namun terdapat beberapa ketidaksesuaian dalam pelaksanaan tata ruang
penyimpanan yaitu :
Sistem Tata Udara dan Pencahayaan dalam gudang umum
Berdasarkan Permenkes RI No. 74, 2016, ruangan penyimpanan harus memperhatikan
kondisi sanitasi, temperatur, kelembaban, ventilasi, pemisahan untuk menjadin mutu produk
dan keamanan petugas. Ruangan diharapkan memungkinkan masuknya cahaya yang cukup
66
dan ruang penyimpanan diharapkan dilengkapi dengan rak/lemari obat, pallet, pendingin
ruangan (AC) serta berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia Tahun 2015 tentang Petunjuk Pelaksanaan Cara Distribusi Obat yang
Baik, kriteria kondisi penyimpanan yang baik yaitu dapat mempertahankan suhu yang sesuai
dengan persyaratan penyimpanan produk. Sebagaimana yang dikatakan bahwa seharusnya
tempat penyimpanan dilengkapi dengan pencahayaan serta pengaturan suhu agar dapat
menjaga mutu obat selama penyimpanan, sedangkan gudang ruang umum pada Instalasi
Farmasi Kota Pasuruan sudah terdapat pendingin ruangan namun belum dapat digunakan
akibat adanya kerusakan teknis. Pencahayaan pada ruang umum sebaiknya diatur agar tidak
terlalu terang untuk untuk mencegah kerusakan fisik obat akibat pencahayaan berlebih.
Kondisi lantai gudang yang kurang memadai
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik IndonesiaTahun 2015
tentang Petunjuk Pelaksanaan Cara Distribusi yang Baik yaitu pada Bab III tentang bangunan
dan peralatan, dijelaskan bahwa bangunan tempat penyimpanan dibangun dengan lantai yang
mudah dibersihkan, mempunyai permukaan yang rata, bebas dari keretakan dan lubang yang
terbuka serta pada kondisi penyimpanan yang baik memiliki kriteria bersih, bebas dari
sampah dan debu. Bangunan gudang di Instalasi Farmasi Kota Pasuran memiliki permukaan
lantai yang rata (telah dilapisi epoksi) sehingga memungkinkan kondisi penyimpanan yang
bersih tanpa adanya partikel yang terperangkap..
3.3.6 Pencatatan, Pelaporan dan Evaluasi Obat dan Perbekalan Kesehatan di UPT Kota
Pasuruan
Pencatatan dan pelaporan terhadap kegiatan pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dilakukan terhadap perencanaan kebutuhan,
pengadaan, penerimaan, pendistribusian, pengendalian persediaan, pengembalian,
pemusnahan dan penarikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai.
Pencatatan, pelaporan dan evaluasi obat dan perbekalan kesehatan di UPT Kota Pasuruan
dilakukan dalam periode waktu tertentu (bulanan, triwulanan, semester atau pertahun).
Dalam melakukan pencatatan pelaporan dan evaluasi obat dan perbekalan kesehatan,
UPT Kota Pasuruan melakukan pelaporan berdasarkan pemeriksaan terhadap buku
penerimaan, buku pengeluaran, buku penyimpanan, buku expired date, kartu stock , laporan
mutasi obat, laporan ketersediaan obat, laporan Penggunan Obat Rasional (POR), laporan
penggunaan obat generik, laporan pemakaian narkotika/ psikotropika, laporan nilai
persediaan.
Pencatatan, Pelaporan dan Evaluasi Obat dan Perbekalan Kesehatan di UPT Kota
Pasuruan meliputi laporan mutasi obat tribulanan, laporan ketersediaan, obat bulanan, laporan
signa, laporan stok opname, laporan ARF dan NON ARV bulanan, Narkotik-Psikotropik dan
laporan nilai IKK bulanan nilai.
dan lebih mengutamakan upaya pelayanan kesehatan promotif dan preventif, untuk
meningkatkan derajat kesehatan pasien setinggi - tingginya di wilayah kerjanya.
Puskesmas Bugul Kidul berdiri sejak tahun 1986 yang awalnya merupakan Puskesmas
Pembantu (Pustu) dengan seiring bertambahnya jumlah penduduk dan kepadatan wilayah,
Pustu berubah menjadi UPT Puskesmas Bugul Kidul dengan luas wilayah 11,11 km2.
Puskesmas Bugul Kidul adalah salah satu puskesmas di kota Pasuruan terletak di Jalan
Trunojoyo No. 293 Pasuruan, Jawa Timur. Puskesmas Bugul Kidul memiliki akreditasi utama
dengan kepala puskesmas drg. Lanny Aryani dan penanggung jawab ruang obat sekaligus
pemegang program pelayanan kefarmasian Siti Munawaroh, Amd. Farm.
Puskesmas Bugul Kidul mempunyai 1 orang tenaga teknis kefarmasian. Fasilitas
pelayanan kesehatan yang dilakukan di Puskesmas Bugul Kidul masih pada tingkat pelayanan
pertama, sehingga pelayanan obat dan alat kesehatan juga sesuai dengan tingkat pelayanan
kefarmasian dasar. Pelayanan kesehatan di Puskesmas Bugul Kidul hanya menerima pasien
rawat jalan dengan fasilitas kesehatan yang minimal, apabila pasien datang dengan
penanganan khusus maka akan dirujuk pada pelayanan kesehatan tingkat kedua seperti rumah
sakit tipe B. Pelayanan kesehatan di Puskesmas Bugul Kidul ini ditujukan untuk 6 kelurahan
diantaranya:
1. Kelurahan Bakalan,
2. Kelurahan Krampyangan,
3. Kelurahan Bugul Kidul,
4. Kelurahan Tapaan,
5. Kelurahan Kapel, dan
6. Kelurahann Blandongan.
Kecamatan Bugul Kidul mempunyai penduduk 31.422 jiwa dengan KK 7262. Ada 2 macam
posyandu yakni posyandu balita sebanyak 44 buah dan posyandu lansia sebanyak 28 buah,
selain itu terdapat pos Upaya Kesehatan Kerja (UKK) sebanyak 4 buah, dan Pos Pembinaan
Terpadu untuk Penyakit Tidak Menular sebanyak 6 buah. Puskesmas Bugul Kidul melakukan
pelayanan dengan mengutamakan 2 macam pelayanan kesehatan yaitu:
1. Unit Kesehatan Masyarakat (UKM) meliputi:
- Promosi Kesehatan (PromKes).
- Kesehatan Lingkungan (KesLing).
- Kesehatan Ibu dan Anak (KIA).
- Gizi
69
3.4.1 Visi, Misi, Motto, Kebijakan Mutu, dan tata nilai UPT Puskesmas Bugul Kidul
Visi UPT Puskesmas Bugul Kidul :
Mewujudkan pelayanan kesehatan dengan konsep pelayanan prima
Misi UPT Puskesmas Bugul Kidul :
1. Memelihara dan meningkatkan kesehatan individu, keluarga dan masyarakat
beserta lingkungannya.
70
Pasuruan sedangkan program dari pemerintah berupa alokasi obat - obat seperti oralit, obat
anti tuberkolusis, vitamin A, obat cacing, suplemen Fe dan Asam Folat.
a. Perencanaan Permintaan Obat
Perencanaan permintaan obat di Puskesmas Bugul Kidul dilakukan setiap bulan
dengan melihat jumlah stok akhir yang dihitung dari penggunaan obat Pustu, sisa Gudang dan
ruang Instalasi Farmasi. Standar prosedur operasional yang dilakukan di Puskesmas Bugul
Kidul antara lain:
1. Mencatat dan menghitung pemakaian obat selama 1 bulan
2. Menghitung stok optimum dengan rumus:
6. Petugas menerima dan memeriksa obat sesuai dengan jenis, jumlah, masa
kedaluarsa.
7. Obat JKN berasal dari dana kapitas BPJS khusus untuk obat Formularium Nasional
mencakup perencanaan sebagai berikut:
a) Merencanakan jumlah kebutuhan obat Formularium Nasional sesuai dengan
kebutuhan Puskesmas Bugul Kidul dengan menyesuaikan anggaran
berdasarkan 10 penyakit terbanyak, pemakaian obat tahun lalu dan tren
pemakaian obat.
b) Perencaaan yang sudah dicatat kemudian dimasukkan kedalam usulan /
RKA (Rencana Kegiatan Anggaran) di website JKN secara online.
c) Melaksanakan AKP / penyerapan anggaran dalam 1 tahun untuk nantinya
diproses dan diteruskan ke penyedia.
d) Barang pesanan datang dilanjutkan pencairan NPD (Nota Pencairan Dana)
untuk pembayaran ke penyedian.
e) Proses pembelian obat JKN melalui 2 cara yaitu e-catalog / e-purchasing dan
pembelian langsung (apabilaobat tidak tercantum / tidak bisa melakukan
pembelian melalui e-catalog).
8. Obat APBD, DAK dan DAU diperoleh dari dana Pemerintah Kota Pasuruan.
9. Obat program dari dana alokasi pemerintah pusat.
10. Rumus permintaan obat dalam 1 tahun : (18 x rata - rata pemakaian obat per
bulan) – sisa stok dikalikan 18 = persediaan selama 1 tahun dan juga buffer stok 6
bulan.
7. Bila jumlah nyata kurang dari sisa yang tertulis di kartu stok, berarti telah terjadi
kehilangan obat sehingga harus menulis jumlah obat yang hilang dan jenisnya pada
laporan obat hilang.
STUDI KASUS
Kasus I
Dari hasil monitoring pada Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) masih banyak
dijumpai sebagai berikut:
Banyak minuman yang berlabel sebagai minuman berkhasiat
Pembelian label produk tidak memenuhi persyaratan yang telah ditentukan
Pertanyaan:
1. Bagaimana pendapat anda terhadap pernyataan tersebut
2. Bagaimana tindak lanjut anda jika anda sebagai Petugas Dinas Kesehatan?
Pembahasan:
Berdasarkan peraturan pemerintah No.69 tahun 1999 mengenai label dan iklan pangan
yang berbunyi label pangan adalah setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk
gambar, tulisan, kombinasi keduanya, atau bentuk lain yang disertakan pada pangan,
dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada, atau merupakan bagian kemasan pangan, yang
selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini disebut Label.
Pada kasus ini banyak minuman dengan label sebagai minuman berkhasiat maka
melanggar PP No.69 tahun 1999 BAB II pasal 7 yang berbunyi dilarang dicantumkan
pernyataan atau keterangan dalam bentuk apapun bahwa pangan yang bersangkutan dapat
berfungsi sebagai obat. Dan pemberian produk juga tidak memenuhi persyaratan maka
melanggar Undang-Undang No. 18 tahun 2018 pasal 89 yang berbunyi Setiap orang dilarang
memperdagangkan pangan yang tidak sesuai dengan keamanan pangan dan mutu pangan yang
tercantum dalam label kemasan pangan. Dengan persyaratan label yang sudah diatur pada
Undang-Undang 18 tahun 2012 pasal 96 ayat 2 yaitu menyatakan bahwa informasi
sebagaimana dimaksud terkait dengan asal, keamanan, mutu, kandungan gizi, dan keterangan
lain yang diperlukan.
Tindak lanjut dari pelanggaran pada kasus 1 ini adalah Melakukan sidak ke IRTP dan
mengecek kelengkapan dokumen formulir permohonan persetujuan iklan. Apabila benar
terjadi pelanggaan tersebut maka akan dilakukan teguran dan peringatan secara tertulis
79
80
sebagai tahap awal dan apabila pihak produsen masih tidak menghiraukan teguran petugas
maka diberikan tindakan tegas yaitu mengeluarkan larangan untuk mengedarkan produk
untuk sementara waktu atau perintah untuk menarik produk pangan dari peredaran,
pemusnahan pangan jika terbukti membahayakan kesehatan dan jiwa manusia atau denda
paling tinggi 50 juta dan pencabutan izin produksi atau izin usaha ( Bab V pasal 61 ayat 2).
Kasus II
Petugas Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur dan Dinas Kesehatan Kabupaten XX
melakukan pembinaan terhadap suatu industri Rumah Tangga Pangan yang memproduksi
kerupuk puli. Setelah dicurigai dan dilakukan sampling pengujian laboratorium ternyata
kerupuk puli tersebut mengandung boraks.
Pertanyaan:
1. Bagaimana tindak lanjut saudara sebagai Petugas Dinas Kesehatan Kabupaten XX
terkait dengan kasus tersebut?
2. Apakah berbahaya jika mengonsumsi produk tersebut? Jelaskan!
Pembahasan:
Nama ilmiah dari boraks itu sendiri adalah sodium tetraboratedecahydrate
(Na2BO7.10H2O ) yang lebih umum disebut dengan nama pijer, petitet, bleng, gendar dan air
kl. Sinonim dari boraks itu sendiri yaitu natrium biborat, natrium piroborat, natrium tetraborat
yang seharusnya hanya digunakan dalam industri non pangan. Karakteristik boraks adalah
berbentuk kristal putih, tidak berbau, larut dalam air, tidak larut dalam alkohol, stabil pada
suhu serta tekanan normal. Fungsi yang sebenarnya dari boraks dalam bidang non medis
sebagai bahan pengawet untuk mengawetkan kayu, antiseptik kayu dan pengontrol kecoa.
Dan penggunaannya dalam bidang medis sebagai obat cuci mata yang dikenal sebagai
boorwater. Asam borat juga digunakan sebagai obat kumur, semprot hidung dan salep luka
kecil. Tetapi bahan ini tidak boleh diminum atau digunakan pada bekas luka luas.
Penyalahgunaan boraks paling sering terjadi dan dimanfaatkan sebagai bahan pengawet
makanan serta sebagai pengenyal makanan, biasanya didapati pada mie, bakso, lontong dan
kerupuk. Pada Peraturan Mentri Kesehatan No 033 tahun 2012 mengenai Bahan Tambahan
Pangan (BTP) terdapat banyak bahan pengawet pada makanan yang lebih aman dibandingkan
dengan boraks, seperti pada tabel 4.1 dibawah ini:
81
Pada kasus ini kerupuk puli yang dicampur dengan boraks melanggar Undang-Undang No. 18
tahun 2012 mengenai Pangan pada pasal 67 yang berbunyi:
1. Keamanan pangan diselenggarakan untuk menjaga pangan tetap aman, higinise,
bermutu, bergizi dan tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya
masyarakat.
2. Kemanana pangan dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan cemaran biologis,
kimia, dan benda lain yang dapat menganggu, merugikan dan membahayakan
kesehatan manusia.
Karena berdasarkan Peraturan Mentri Kesehatan No 033 tahun 2012, borkas
merupakan salah satu zat kimia yang dilarang untuk ditambahkan pada makanan maupun
minuman.
Upaya dan tindak lanjut yang dapat dilakukan oleh dinas kesehatan yaitu:
Membuat berita acara terkait adanya temuan kandungan boraks pada kerupuk puli oleh
dinas kesehatan Kota XX
Memberikan peringatan kepada industri rumah tangga pangan terkait untuk
menghentikan pemasaran produk pada masyarakat
Bekerja sama dengan BPOM untuk melakukan penarikan kerupuk puli yang beredar di
pasaran yang mengandung Borax
Melakukan penyuluhan kepada indutri-industri pembuat kerupuk tentang bahaya
borax.
Sebagai pengenyal:
STTP (Sodium tripoliphosphate) food grade, biasa digunakan untuk bahan pengenyal
bakso dan mie, bahan penjaga kesegaran ikan, udang dan cumi selama proses
pendistribusian, bahan pengenyal dan penjaga struktur nugget, serta untuk industri
kerupuk. Kadar pemakaian 0,3-0,5%
Karagenan, merupakan senyawa hidrokoloid hasil ekstraksi (Mutemainna Karim dan
Dian Nisa Fitri Aspari) rumput laut jenis karaginofit seperti Eucheuma sp., Chondrus
sp., Hypnea sp., dan Gigartina sp. Karagenan dapat berfungsi sebagai pembentuk gel,
bahan penstabil, pengemulsi, pensuspensi, dan pendispersi. Kadar pemakaian 1-2%
dari total berat adonan.
83
Landasan Hukum
a. Kasus 1a (tidak mengirimkan laporan narkotika dan psikotropika selama 3 bulan berturut-
turut)
− Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika pasal
14
(2) Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi
pemerintah, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan,
dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan wajib membuat, menyampaikan, dan
menyimpan laporan berkala mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran narkotika
yang berada dalam penguasaannya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyimpanan secara khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan jangka waktu, bentuk, isi, dan tata cara
pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
(4) Pelanggaran terhadap ketentuan mengenai penyimpanan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan/atau ketentuan mengenai pelaporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dikenai sanksi administratif oleh Menteri atas rekomendasi dari Kepala
Badan Pengawas Obat dan Makanan berupa:
a) teguran;
b) peringatan;
84
c) denda administratif;
d) penghentian sementara kegiatan; atau
e) pencabutan izin.
− Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika Pasal
33 ayat (1)
Pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah,
apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, lembaga penelitian dan/atau
lembaga pendidikan, wajib membuat dan menyimpan catatan mengenai kegiatan
masing-masing yang berhubungan dengan psikotropika.
Pasal 34
Pabrik obat, pedagang besar farmasi, apotek, rumah sakit, puskesmas, lembaga
penelitian dan/atau lembaga pendidikan wajib melaporkan catatan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 33 ayat (1) kepada Menteri secara berkala.
Pasal 51
(1) Menteri berwenang mengambil tindakan administratif terhadap pabrik obat,
pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi Pemerintah, apotek,
rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, lembaga penelitian dan/atau
lembaga pendidikan, dan fasilitas rehabilitasi yang melakukan pelanggaran
terhadap ketentuan undang-undang ini.
(2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa :
a) teguran lisan;
b) teguran tertulis;
c) penghentian sementara kegiatan;
d) denda administratif;
e) pencabutan izin praktek.
− Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2015 tentang
Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika dan
Prekursor Farmasi
Pasal 45
(6) Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik, Lembaga Ilmu
Pengetahuan, dan dokter praktik perorangan wajib membuat, menyimpan, dan
menyampaikan laporan pemasukan dan penyerahan/penggunaan narkotika dan
85
Rumah sakit, apotek, pusat kesehatan masyarakat, dan balai pengobatan hanya dapat
menyerahkan narkotika kepada pasien berdasarkan resep dokter.
− Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika pasal
14 ayat (4)
Penyerahan psikotropika oleh apotek, rumah sakit, puskesmas dan balai pengobatan,
puskesmas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan resep
dokter.
− Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2015 tentang
Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika dan
Prekursor Farmasi pasal 19 ayat (5)
Apotek, Puskesmas, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, dan Instalasi Farmasi Klinik
hanya dapat menyerahkan narkotika dan/atau psikotropika kepada pasien berdasarkan
resep dokter.
− Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 4 Tahun 2018 tentang
Pengawasan, Pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor
Farmasi di Fasilitas Pelayanan Kefarmasian Lampiran B
4.2. Penyerahan narkotika, psikotropika, dan prekursor farmasi golongan obat keras
kepada pasien hanya dapat dilakukan berdasarkan resep dokter.
d. Kasus 1d (buku pencatatan narkotika dan psikotropika tidak ada)
− Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika pasal
33 ayat (1)
Pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah,
apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, lembaga penelitian dan/atau
lembaga pendidikan, wajib membuat dan menyimpan catatan mengenai kegiatan
masing-masing yang berhubungan dengan psikotropika.
− Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2015 tentang
Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika dan
Prekursor Farmasi pasal 43 ayat (1)
Industri Farmasi, PBF, Instalasi Farmasi Pemerintah, Apotek, Puskesmas, Instalasi
Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik, Lembaga Ilmu Pengetahuan, atau
dokter praktik perorangan yang melakukan produksi, penyaluran, atau penyerahan
narkotika, psikotropika, dan prekursor farmasi wajib membuat pencatatan mengenai
pemasukan dan/atau pengeluaran narkotika, psikotropika, dan prekursor farmasi.
87
− Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 4 Tahun 2018 tentang
Pengawasan, Pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor
Farmasi di Fasilitas Pelayanan Kefarmasian Lampiran B. Pencatatan yang dilakukan
harus tertib dan akurat.
Tindak Lanjut Petugas Dinas Kesehatan Kota Surabaya
1) Memberikan sanksi administratif secara berjenjang sesuai peraturan yang berlaku
(peringatan, penghentian kegiatan sementara, dan pencabutan izin).
2) Melakukan pembinaan kepada Apoteker Penanggungjawab dan/atau apoteker lain yang
berpraktek di Apotek XX.
3) Melakukan evaluasi atau follow-up mengenai tindakan perbaikan yang dilakukan oleh
apotek.
Tindak Lanjut Apoteker PenanggungJawab Apotek XX
1) Melakukan pelaporan narkotika dan psikotropika sesuai peraturan yang berlaku (setiap
bulan paling lambat tanggal 10 melalui aplikasi SIPNAP).
2) Melakukan investigasi mengenai selisih stok diazepam dengan melakukan penelusuran
dokumen yang berhubungan (seperti surat pesanan dan resep yang mengandung
diazepam) dan mendokumentasikannya dalam bentuk Berita Acara Hasil Investigasi
Ketidaksesuaian Stok. Selisih stok dapat dicegah dengan melakukan pencatatan pada kartu
stok saat penerimaan dan pengeluaran barang, serta melakukan kegiatan stok opname
secara rutin (minimal sekali dalam satu bulan).
3) Mempelajari dan mematuhi peraturan terkait kriteria resep yang dapat dilayani serta
mensosialisasikan kepada tenaga kefarmasian lain di apotek.
4) Melakukan pencatatan narkotika dan psikotropika secara tertib dan akurat pada buku
pencatatan narkotika dan psikotropika.
Kasus II
Jelaskan secara singkat "Penyimpanan Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi"?
Pembahasan:
Penyimpanan narkotika, psikotropika dan prekursor farmasi secara singkat dapat dilihat
pada Tabel 4.2
88
c. Pasal 26
(1) Gudang khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
− dinding dibuat dari tembok dan hanya mempunyai pintu yang dilengkapi
dengan pintu jeruji besi dengan 2 (dua) buah kunci yang berbeda;
− langit-langit dapat terbuat dari tembok beton atau jeruji besi;
− jika terdapat jendela atau ventilasi harus dilengkapi dengan jeruji besi;
− gudang tidak boleh dimasuki oleh orang lain tanpa izin apoteker
penanggungjawab; dan
− kunci gudang dikuasai oleh apoteker penanggungjawab dan pegawai lain yang
dikuasakan.
(2) Ruang khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
− dinding dan langit-langit terbuat dari bahan yang kuat;
− jika terdapat jendela atau ventilasi harus dilengkapi dengan jeruji besi;
− mempunyai satu pintu dengan 2 (dua) buah kunci yang berbeda;
− kunci ruang khusus dikuasai oleh apoteker penanggungjawab/apoteker yang
ditunjuk dan pegawai lain yang dikuasakan; dan
− tidak boleh dimasuki oleh orang lain tanpa izin apoteker
penanggungjawab/apoteker yang ditunjuk.
(3) Lemari khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
− terbuat dari bahan yang kuat;
− tidak mudah dipindahkan dan mempunyai 2 (dua) buah kunci yang berbeda;
− harus diletakkan dalam ruang khusus di sudut gudang, untuk instalasi farmasi
pemerintah;
− diletakkan di tempat yang aman dan tidak terlihat oleh umum, untuk apotek,
instalasi farmasi rumah sakit, puskesmas, instalasi farmasi klinik, dan lembaga
ilmu pengetahuan ; dan
− kunci lemari khusus dikuasai oleh apoteker penanggungjawab atau apoteker
yang ditunjuk dan pegawai lain yang dikuasakan.
90
d. Pasal 27
Penyimpanan narkotika, psikotropika, dan prekursor farmasi wajib memenuhi Cara
Produksi Obat yang Baik, Cara Distribusi Obat yang Baik, dan/atau standar pelayanan
kefarmasian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
e. Pasal 28
(1) Industri Farmasi yang memproduksi narkotika harus memiliki tempat
penyimpanan narkotika berupa gudang khusus, yang terdiri atas:
− gudang khusus narkotika dalam bentuk bahan baku; dan
− gudang khusus narkotika dalam bentuk obat jadi.
(2) Gudang khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada dalam penguasaan
apoteker penanggungjawab.
f. Pasal 29
(1) Industri Farmasi yang memproduksi psikotropika harus memiliki tempat
penyimpanan psikotropika berupa gudang khusus atau ruang khusus, yang terdiri
atas:
− gudang khusus atau ruang khusus psikotropika dalam bentuk bahan baku; dan
− gudang khusus atau ruang khusus psikotropika dalam bentuk obat jadi.
(2) Gudang khusus atau ruang khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada
dalam penguasaan apoteker penanggungjawab.
g. Pasal 30
(1) PBF yang menyalurkan narkotika harus memiliki tempat penyimpanan narkotika
berupa gudang khusus.
(2) Dalam hal PBF menyalurkan narkotika dalam bentuk bahan baku dan obat jadi,
gudang khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus terdiri atas:
− gudang khusus narkotika dalam bentuk bahan baku; dan
− gudang khusus narkotika dalam bentuk obat jadi.
(3) Gudang khusus untuk tempat penyimpanan narkotika sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) berada dalam penguasaan apoteker penanggungjawab.
h. Pasal 31
(1) PBF yang menyalurkan psikotropika harus memiliki tempat penyimpanan
psikotropika berupa gudang khusus atau ruang khusus.
91
(2) Dalam hal PBF menyalurkan psikotropika dalam bentuk bahan baku dan obat jadi,
gudang khusus atau ruang khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
terdiri atas:
− gudang khusus atau ruang khusus psikotropika dalam bentuk bahan baku; dan
− gudang khusus atau ruang khusus psikotropika dalam bentuk obat jadi.
(3) Gudang khusus atau ruang khusus untuk tempat penyimpanan psikotropika
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berada dalam penguasaan
apoteker penanggungjawab.
i. Pasal 32
(1) Instalasi Farmasi Pemerintah yang menyimpan narkotika atau psikotropika harus
memiliki tempat penyimpanan narkotika atau psikotropika berupa ruang khusus
atau lemari khusus.
(2) Ruang khusus atau lemari khusus tempat penyimpanan narkotika atau psikotropika
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada dalam penguasaan apoteker
penanggungjawab atau apoteker yang ditunjuk.
j. Pasal 33
(1) Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Puskesmas, Instalasi Farmasi Klinik, dan
Lembaga Ilmu Pengetahuan harus memiliki tempat penyimpanan narkotika atau
psikotropika berupa lemari khusus.
(2) Lemari khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada dalam penguasaan
apoteker penanggungjawab.
k. Pasal 34
Dokter praktik perorangan yang menggunakan narkotika atau psikotropika untuk
tujuan pengobatan harus menyimpan narkotika atau psikotropika di tempat yang aman
dan memiliki kunci yang berada di bawah penguasaan dokter.
l. Pasal 35
(1) Industri Farmasi yang menggunakan prekursor farmasi dalam bentuk bahan baku
untuk memproduksi prekursor farmasi atau PBF yang menyalurkan prekursor
farmasi dalam bentuk bahan baku harus memiliki tempat penyimpanan prekursor
farmasi berupa gudang khusus atau ruang khusus.
(2) Gudang khusus atau ruang khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada
dalam penguasaan Apoteker penanggungjawab.
92
m. Pasal 36
(1) Industri Farmasi yang memproduksi prekursor farmasi dalam bentuk obat jadi,
PBF yang menyalurkan prekursor farmasi dalam bentuk obat jadi, atau Instalasi
Farmasi Pemerintah harus menyimpan prekursor farmasi dalam bentuk obat jadi
dalam gudang penyimpanan obat yang aman berdasarkan analisis risiko.
(2) Apotek, Puskesmas, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik, dan
Lembaga Ilmu Pengetahuan harus menyimpan prekursor farmasi dalam bentuk
obat jadi di tempat penyimpanan obat yang aman berdasarkan analisis risiko.
Pertanyaan :
1. Sebagai Apoteker di Dinas Kesehatan Kota setempat, apa yang harus dilakukan?
2. Sebagai Apoteker di Apotek tersebut, apa yang harus ditindak lanjuti?
Pembahasan:
1. Berdasarkan surat dari Balai Besar POM Surabaya Nomor:XX/94/02.13.7692 tanggal 5
Februari 2017 Perihal Hasil Pemeriksaan Apotek “USF”, didapatkan hasil sebagai
berikut:
a. Tidak memiliki arsip surat pemesanan obat
Permenkes No. 9 tahun 2017 Bab IV pasal 19:
“Setiap apoteker dan tenaga teknis kefarmasian harus bekerja sesuai dengan standar
profesi, standar prosedur operasional, standar pelayanan, etika profesi, menghormati
hak pasien dan mengutamakan kepentingan pasien.”
93
“Obat/bahan obat harus disimpan dalam wadah dan harus ditulis dengan informasi
yang jelas pada wadah tersebut. Wadah tersebut sekurang-kurangnya memuat nama
obat, nomor bets, dan tanggal kedaluarsa. Tempat obat tidak digunakan untuk
penyimpanan barang lainnya yang menyebabkan kontaminasi. “
c. Kartu stok tidak mencantumkan nomor bets, tanggal kedaluarsa dan pencatatan mutasi
obat tidak dilakukan dengan tertib.
“Pengendalian persediaan dilakukan dengan kartu stok baik dengan cara manual atau
elektronik. Kartu stok sekurang-kurangnya memuat nama obat, tanggal kedaluarsa,
jumlah pemasukan, jumlah pengeluaran, dan sisa persediaan.”
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam dokumentasi PIO: topik pertanyaan, tanggal
dan waktu PIO diberikan, metode PIO (lisan, tertulis, lewat telpon), data pasien (umur,
jenis kelamin, BB, informasi lain seperti riwayat alergi, pasien sedang
hamil/menyusui, data lab) uraian pertanyaan, jawaban pertanyaan, referensi, metode
pemberian jawaban (lisan, tertulis, melalui telpon), dan data apoteker yang
memberikan PIO”.
Tugas:
Dinas kesehatan Provinsi mempunyai tugas membantu Gubernur melaksanakan
urusan pemerintahan di bidang kesehatan yang menjadi kewenangan Daerah dan Tugas
Pembantuan yang ditugaskan kepada Daerah provinsi. Dinas kesehatan Kabupaten/Kota
mempunyai tugas membantu Bupati/Wali Kota melaksanakan urusan Pemerintahan di bidang
kesehatan yang menjadi kewenangan Daerah dan tugas Pembantuan yang diberikan kepada
Daerah Kabupaten/Kota.
Fungsi:
obat/bahan lainnya, emeri penandaan yang jelas dan membuat daftar obat/bahan obat yang
rusak serta kedaluarsa.”
Tindakan yang dilakukan Apoteker Pengelola Apotek:
Melakukan pembenahan pada bagian yang kurang sesuai dengan perundang undangan :
Membuat SOP
Melakukan pengadaan dengan cara legal ( PBF beserta faktur)
Melakukan penyimpanan obat yang baik dan benar sesuai dengan spesifikasi obat ( bisa
dilakukan dengan cara alfabetis, bentuk sediaan, suhu, farmakologi dll)
Melakukan dokumentasi
Kasus II
Jelaskan indikator persentase penggunaan obat rasional di Puskesmas yang meliputi
definisi operasional, pengumpulan data dan perhitungannya secara rinci!
Pembahasan:
Definisi Operasional
Persentase penggunaan antibiotik pada penatalaksanaan kasus ISPA non-pneumonia,
diare non-spesifik, penggunaan injeksi pada penatalaksanaan kasus myalgia, dan rerata
item obat perlembar resep di Puskesmas, terhadap seluruh kasus ISPA non-
pneumonia, diare non-spesifik dan Myalgia di sarana yang sama.
Persentase Kabupaten/ Kota yang menerapkan Penggunaan Obat Rasional di
Puskesmas adalah Kabupaten/ Kota yang 20 % Puskesmasnya memiliki nilai rerata
Penggunaan Obat Rasional minimal 60 %.
Keterangan :
a = Persentase penggunaan antibiotik pada ISPA non pneumonia
maksimal 20% (angka riil)
Cara mencari nilai a:
= x 100 %
Jika d ≤ 2,6 item, maka persentase capaian indikator kinerja POR adalah100 %
Jika d ≥ 4 item, maka persentase capaian indikator kinerja POR adalah 0 %.
Tabel 1 Contoh Perhitungan Pada Formulir Pelaporan Indikator Peresepan ISPA NON
PNEUMONIA
FORMULIR PELAPORAN INDIKATOR PERESEPAN ISPA NON PNEUMONIA
Puskesmas :P Bulan: Juli
Kabupaten/Kota : Q Tahun: 2016
Provinsi :R
Tgl No. Nama Umur Jml Antibiotik Nama Obat Dosis Lama Pemakaian Sesuai
Item Ya/Tidak Obat (hari) Pedoman
Obat Ya/Tidak
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
1 1 Ny. A 33 th 4 Ya a. Amox 3x1 3-4
b. PCT 3x1 3-4
c. GG 3x1 3-4
d. CTM 3x1 3-4
2 2 Tn. B 37 th 4 Ya a. Amox 3x1 3-4
b. GG 3x1 3-4
c. CTM 3x1 3-4
d. Asmef 3x1 3-4
3 3 Ny. C 35 th 4 Tidak a. PCT 3x1 3-4
b. Ambro 3x1 3-4
c. Deksa 2x1 3-4
d. Vit. C 1x1 10
4 4 Tn. G 30 th 3 Tidak a. PCT 3x1 3-4
b. Ambro 3x1 3-4
c. Deksa 2x1 3-4
5 5 An. D 7 th 3 Ya a. Amox 3x1/2 4
b. PCT 3x1/2 4
c. Deksa 3x1/2 4
Petugas.
……………………………
NIP.
100
Tabel 2 Contoh Perhitungan Pada Formulir Pelaporan Indikator Peresepan Diare Non
Spesifik
FORMULIR PELAPORAN INDIKATOR PERESEPAN DIARE NON SPESIFIK
Puskesmas :P Bulan: Juli
Kabupaten/Kota : Q Tahun: 2016
Provinsi :R
Tgl No. Nama Umur Jml Anti Nama Obat Dosis Obat Lama Sesuai
Item biotik Pemakaian Pedoman Ya/
Obat Ya/ (hari) Tidak
Tidak
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
1 1 A 2 th 2 Ya a. Neokao 3x1 cth 5 A
b. Cotri Syr 2 x1 cth 5
= 100%
Petugas,
…………………………………
NIP.
101
Tgl No. Nama Umur Jml Anti Nama Obat Dosis Obat Lama Sesuai Pedoman
Item biotik Ya/ Pemakaian Ya/
Obat Tidak (hari) Tidak
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
1 1 Ny. A 45 th 4 Tidak a. Antalg 3x1 3-4 Ny. A
b. B1 3x1 3-4
c. B6 3x1 3-4
d. Diaze 3x1 3-4
2 2 Tn. B 55 th 4 Tidak a. Asmef 3x1 3-4 Tn. B
b. Piroxi 3x1 3-4
c. Bcom 3x1 3-4
d. Gluko 1x1 10
3 3 Ny. C 50 th 4 Tidak a. Piroxi 2x1 3 Ny. C
b. Kalk 3x1 3-4
c. NaDikl 3x1 3-4
d. Armov 1x1 3
4 4 Tn. D 41 th 3 Tidak a. Asmef 3x1 3-4 Tn. D
b. Neuro 1x1 5
c. Piroxic 2x1 5
5 5 Tn. Y 37 th 4 Tidak a. Piroxi 2x1 3 Tn. Y
b. Kalk 3x1 3-4
c. NaDikl 3x1 3-4
Total Item Obat A=19 B=0
Petugas,
………………………………
NIP.
102
Petugas,
………………………….
NIP.
Tabel 5 Contoh Perhitungan Indikator POR pada Rekapitulasi Dinas Kesehatan
REKAPITULASI DINAS KESEHATAN
1 Kasih DTP 1 2 3 60,00 59,21 63,78 61,00 100 88,22 87,45 91,89 0 0 0 0 3,60 3,24 3,80 3,55 68,75
2 Setia DTP 1 1 3 52,15 51,23 62,98 55,45 40,69 31,12 40,02 37,28 0,23 1,44 0,65 0,77 2,95 3,48 3,43 3,29 99,75
3 Hati DTP 1 2 3 85,89 80,07 78,90 81,62 79,91 69,41 84,31 77,88 0 0,86 0 0,29 2,27 3,78 3,41 3,15 80,71
4 Surya DTP 1 2 3 50,67 49,96 55,67 52,10 45,67 56.78 56,89 53,11 0 0,76 0 0,25 3,45 3,56 4,32 3,78 96,18
5 Pelita DTP 1 1 3 78,65 65,54 67,43 70,54 34,56 57.67 76,78 56,34 0,34 0,22 0 0,19 2,33 4,31 3,44 3,36 89,84
6 Cahaya DTP 1 1 2 67,54 65,43 56,44 63,14 45,89 78,64 67,45 63,99 0 0,12 1,22 0,45 2,14 3,23 3,21 2,86 90,45
7 Mulya DTP 1 2 3 43,45 55,43 56,42 51,77 67,89 78,66 67,65 71,40 0 1,23 1,34 0,86 2,87 2,31 3,22 2,80 92,04
8 Hakkai DTP 1 1 3 86,54 78,65 76,54 80,58 65,76 65,66 67,87 66,43 0,23 1,22 1,24 0,90 3,21 2,32 3,67 3,07 84,19
9 Mangsi DTP 1 1 2 45,67 55,65 43,56 48,29 67,54 78,65 65,76 70,65 0 0,45 2,32 0,92 3,45 3,44 3,65 3,51 92,82
10 Restu DTP 1 1 3 56,78 65,66 67,54 63,33 68,78 89,76 78,77 79,10 0,33 0,67 0 0,33 3,89 2,34 3,89 3,37 85,94
103
Persentase
AB ISPA 62,78
Non-
pneumonia
Kab/Kota
Persentase
AB Diare 66,81
Non
spesifik
Kab/Kota
Persentase
injeksi 0,50
Kab/Kota
Rerata Item
Obat 3,18
Kab/Kota
*) Berdasarkan data pada laporan bulanan puskesmas yang dikirim ke Dinkes Kab/Kota, laporan puskesmas terlampir
**) Jumlah Puskemas dengan capaian POR minimal 60% adalah 0 dari 10 total Puskesmas di Kabuapten/Kota.
............, .................. 20..
Petugas, Mengetahui Pejabat/Penanggungjawab Farmasi
………………… ………………………………….
104
Tabel 6. Contoh Perhitungan pada Rekapitulasi Dinas Kesehatan Provinsi Laporan
Triwulan Indikator Peresepan di Kabupaten /Kota
105
Persentase AB ISPA Non-
pneumonia Kab/Kota 58,89
Persentase AB Diare Non
spesifik Kab/Kota 56,43
Persentase Injeksi Kab/Kota
1,52
Rerata Item Obat Kab/Kota 3,35
*) Berdasarkan data pada laporan triwulan Dinkes Kab/Kota yang dikirim ke Dinkes Provinsi, laporan Dinkes Kab/Kota terlampir
……………………………………. ……………………………………………
NIP NIP
106
108
Kasus I
1. Dalam rangka menindaklanjuti surat dari Balai Besar POM Surabaya nomor :
IN.01.01.974.03.12.346 tanggal 2 Maret 2016 dalam rangka operasi penertiban produk
ilegal dengan hasil sebagai berikut : Menjual kosmetika tanpa izin edar/fiktif yaitu BSY
XXX Black Hair Magic sebanyak 1 box berisi 20 sachet @ 20 ml. Dari temuan di atas
toko kosmetik “YY” telah melanggar perundang-undangan yang berlaku. Jelaskan
secara rinci peraturan yang tidak dipenuhi oleh toko tersebut!
Bagaimana peran Petugas Dinas Kesehatan Kab/Kota di wilayah tersebut? Jelaskan!
Pembahasan:
Kasus II
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur mendapatkan laporan berupa surat tembusan dari Balai
Besar POM Surabaya bahwa ditemukan di Toko “FC” yang berlokasi di Kabupaten Pacitan
menjual kosmetika yang mengandung hidrokuinon dengan kadar 10%. Bagaimana tindak
lanjut Saudara sebagai Petugas Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur terkait dengan kasus
tersebut?
Pembahasan:
1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Pasal 8 Ayat 1 (A)
Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau
jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Permenkes 1176 Tahun 2010 Tentang Notifikasi Kosmetika BAB VII
Pasal 19
Pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan notifikasi dilakukan oleh
Menteri dan Kepala Badan.
110
Pasal 20
Pelanggaran terhadap ketentuan dalam peraturan ini dapat dikenakan sanksi
administratif berupa peringatan tertulis:
1. Larangan mengedarkan kosmetika untuk sementara
2. Penarikan kosmetika yang tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan,
kemanfaatan, dan penandaan dari peredaran
3. Pemusnahan kosmetika
4. Penghentian sementara kegiatan produksi dan/atau peredaran kosmetika.
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Kepala Badan.
Kasus I
Ayu adalah apoteker yang lulus pada tahun 2017 dari Fakultas Farmasi Universitas Katolik
Widya Mandala. 2 bulan setelah kelulusan Ayu diterima bekerja di Pedagang Besar Farmasi
yang berlokasi di Kota Malang sebagai penanggungjawab teknis menggantikan Randy yang
akan pindah ke Semarang. Langkah-langkah apa yang harus dilakukan oleh Ayu agar dapat
bekerja di sarana tersebut?
111
Pembahasan:
Kasus II
Ardi adalah apoteker alumni Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada yang lulus pada tahun
2018. Ardi diterima bekerja sebagai APA di calon apotek yang berlokasi di Kab. Jember.
Langkah-langkah apa yang harus dilakukan oleh Ardi agar dapat bekerja di sarana tersebut?
Pembahasan:
Pengurus Cabang memberikan surat pengantar mutasi antar Kabupaten/Kota dalam satu
Propinsi yang ditujukan kepada Pengurus Cabang yang dituju dengan tembusan kepada
Pengurus Daerah setempat sebagai Laporan (Peraturan Organisasi
PO.006/PP.IAI/1418/V/015 tentang Mutasi Anggota Ikatan Apoteker Indonesia).
c. Mengurus permohonan SIPA
Untuk memperoleh SIPA, Apoteker mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota tempat pekerjaan kefarmasian dilaksanakan dengan
menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 6 terlampir.
- Permohonan SIPA harus melampirkan:
o Fotokopi STRA yang dilegalisir oleh KFN;
o Surat pernyataan mempunyai tempat praktik profesi atau surat keterangan dari
pimpinan fasilitas pelayanan kefarmasian atau dari pimpinan fasilitas produksi
atau distribusi/penyaluran;
o Surat rekomendasi dari organisasi profesi; dan
o Pas foto berwarna ukuran 4 x 6 sebanyak 2 (dua) lembar dan 3 x 4 sebanyak 2
(dua) lembar;
- Dalam mengajukan permohonan SIPA sebagai Apoteker pendamping harus dinyatakan
secara tegas permintaan SIPA untuk tempat pekerjaan kefarmasian pertama, kedua, atau
ketiga.
- Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota harus menerbitkan SIPA paling lama 20 (dua
puluh) hari kerja sejak surat permohonan diterima dan dinyatakan lengkap dengan
menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 7 atau Formulir 8
terlampir.
d. Mengurus permohonan SIA
1. Untuk memperoleh SIA, Apoteker harus mengajukan permohonan tertulis kepada
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
2. Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditandatangani oleh Apoteker
disertai dengan kelengkapan dokumen administratif meliputi:
Fotokopi STRA dengan menunjukan STRA asli;
Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP);
Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak Apoteker;
Fotokopi peta lokasi dan denah bangunan; dan
Daftar prasarana, sarana, dan peralatan.
114
3. Paling lama dalam waktu 6 (enam) hari kerja sejak menerima permohonan dan
dinyatakan telah memenuhi kelengkapan dokumen administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menugaskan tim pemeriksa untuk
melakukan pemeriksaan setempat terhadap kesiapan Apotek.
4. Tim pemeriksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus melibatkan unsur dinas
kesehatan kabupaten/kota yang terdiri atas:
Tenaga kefarmasian; dan
Tenaga lainnya yang menangani bidang sarana dan prasarana.
5. Paling lama dalam waktu 6 (enam) hari kerja sejak tim pemeriksa ditugaskan, tim
pemeriksa harus melaporkan hasil pemeriksaan setempat yang dilengkapi Berita Acara
Pemeriksaan (BAP) kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
6. Paling lama dalam waktu 12 (dua belas) hari kerja sejak Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota menerima laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan dinyatakan
memenuhi persyaratan, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menerbitkan SIA dengan
tembusan kepada Direktur Jenderal, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, Kepala Balai
POM, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, dan Organisasi Profesi.
7. Dalam hal hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dinyatakan masih
belum memenuhi persyaratan, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota harus mengeluarkan
surat penundaan paling lama dalam waktu 12 (dua belas) hari kerja.
8. Tehadap permohonan yang dinyatakan belum memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud pada ayat (7), pemohon dapat melengkapi persyaratan paling lambat dalam
waktu 1 (satu) bulan sejak surat penundaan diterima.
9. Apabila pemohon tidak dapat memenuhi kelengkapan persyaratan sebagaimana
dimaksud pada ayat (8), makaPemerintah Daerah Kabupaten/Kota mengeluarkan Surat
Penolakan.
10. Apabila Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam menerbitkan SIA melebihi jangka
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Apoteker pemohon dapat
menyelenggarakan Apotek dengan menggunakan BAP sebagai pengganti SIA (PMK RI
No. 9 Tahun 2011).
115
Kasus I
A. Sebuah perusahaan PKRT mengekspor anti nyamuk bakar tanpa bahan aktif ke luar
negeri. Setelah sampai di negara tujuan dan dilakukan analisa oleh perusahaan pemesan,
ternyata anti nyamuk bakar tanpa bahan aktif tersebut tidak sesuai dengan spesifikasi
yang diinginkan oleh perusahaan pemesan anti nyamuk bakar tersebut. Kemudian,
dikembalikan ke Indonesia untuk diperbaiki sesuai spesifikasi yang diinginkan, akan
tetapi oleh bea cukai sesampai di pelabuhan Tanjung Perak, anti nyamuk bakar tersebut
ditahan, tidak bisa dikeluarkan karena tidak memiliki nomor registrasi. Carilah solusi
untuk perusahaan PKRT tersebut sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku!
Pembahasan:
Kasus II
Pada suatu hari, penyalur alat kesehatan (PAK) PT. Jaya Surabaya mendapatkan pekerjaan
untuk mengadakan alat kesehatan berupa alat X-ray dan alat bedah Urologi ke RS Swasta dr.
Subroto, karena sulit mendapatkan alat tersebut, penanggungjawab PT. Jaya yang seorang
asisten apoteker tersebut memesan ke industri alat kesehatan di Jerman. Bagaimana menurut
saudara dalam kasus tersebut? Langkah apa yang harus dilakukan supaya PT. Jaya tidak
melanggar aturan yang berlaku?
Pembahasan:
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1191/Menkes/Per/Viii/2010
Tentang Penyaluran Alat Kesehatan
Alat Kesehatan adalah instrumen, aparatus, mesin dan/atau implan yang tidak
mengandung obat yang digunakan untuk mencegah, mendiagnosis, menyembuhkan
dan meringankan penyakit, merawat orang sakit, memulihkan kesehatan pada
manusia, dan/atau membentuk struktur dan memperbaiki fungsi tubuh.
Penyalur Alat Kesehatan, disingkat PAK adalah perusahaan berbentuk badan
hukum yang memiliki izin untuk pengadaan, penyimpanan, penyaluran alat
kesehatan dalam jumlah besar sesuai ketentuan perundang-undangan.
Ekspor dan impor alat kesehatan hanya dapat dilakukan oleh produsen alat
kesehatan yang telah memiliki sertifikat produksi dan/atau PAK.
Surat keterangan ekspor dan impor ini harus terlebih dahulu memiliki izin edar dari
Direktur Jendral.
- Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1190/Menkes/Per/Viii/2010
Tentang Izin Edar Alat Kesehatan Dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga
Izin edar adalah izin yang diberikan kepada perusahaan untuk produk alat
kesehatan atau perbekalan kesehatan rumah tangga, yang akan diimpor, digunakan
dan/atau diedarkan di wilayah Republik Indonesia, berdasarkan penilaian terhadap
mutu, keamanan, dan kemanfaatan.
Surat keterangan impor adalah izin kepada perusahaan yang memasukkan alat
kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga yang tidak memiliki registrasi ke
dalam wilayah Republik Indonesia untuk kepentingan tertentu sesuai ketentuan
berlaku.
118
Persyaratan:
Permohonan Sertifikat Produksi hanya dapat dilakukan Badan Usaha yang harus
memenuhi persyaratan administratif dan teknis. Sertifikat produksi merupakan prasyarat
untuk mengajukan permohonan izin edar.
a) Sertifikat Produksi Alat Kesehatan Kelas A, yaitu sertifikat yang diberikan kepada
pabrik yang memproduksi alat kesehatan kelas I, kelas lla, kelas lIb dan kelas III;
b) Sertifikat Produksi Alat Kesehatan Kelas B, yaitu sertifikat yang diberikan kepada
pabrik yang telah layak memproduksi alat kesehatan kelas I, kelas lla, dan kelas
IIb
c) Sertifikat Produksi Alat Kesehatan Kelas C, yaitu sertifikat yang diberikan kepada
pabrik yang telah layak memproduksi alat kesehatan kelas I dan lla
119
Pasal 25
1) Perusahaan harus memiliki penanggungjawab teknis yang berpendidikan sesuai
dengan jenis produk yang diproduksi dan bekerja penuh waktu.
2) Penanggungjawab teknis yang dimaksud pada ayat (1) memiliki pendidikan:
Kelas A : Apoteker, sarjana lain yang sesuai atau memiliki sertifikat yang
sesuai, dan D3 ATEM untuk Alat Kesehatan Elektromedik.
Kelas B : Minimal D3 Farmasi, Kimia, Teknik yang sesuai dengan
bidangnya.
Kelas C : SMK Farmasi atau pendidikan tenaga lain yang sederajat yang
mempunyai kualifikasi sesuai dengan bidangnya.
- Peran Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur
Melakukan peninjauan langsung PAK PT. Jaya terkait sertifikat produksi, surat
keterangan impor alat kesehatan/PKRT.
Memberi teguran lisan, teguran tertulis dan tidak berhak mencabut izin PAK.
Melihat Sertifikat produksi Perusahaan yang akan mengekspor alat kesehatan
dan/atau PKRT harus memiliki sertifikat produksi dan produknya telah memiliki
izin edar diberikan certificate of free sale (dikeluarkan oleh Menteri). (PMK 1189,
2010).
Solusi untuk PT. Jaya
1) Apabila PT. Jaya Surabaya melakukan produksi X-Ray dan alat bedah Urologi
(Alkes resiko sedang-tinggi), harus memiliki penanggungjawab PAK seorang
apoteker.
2) Apabila PT. Jaya tidak memiliki surat keterangan impor atau telah non aktif, maka
PAK tidak boleh melakukan impor.
Kasus
1. Jelaskan secara singkat cara / metode melakukan perhitungan kebutuhan obat?
2. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur menerima Hasil Pemeriksaan sarana PBF dan
Petugas Balai Besar BPOM Surabaya sebagai berikut:
a. Ditemukan apoteker tidak bekerja secara penuh.
b. Pada saat penerimaan barang tidak dilakukan pemeriksaan kesesuaian bets dan
kedaluarsa
120
c. Belum tersedia area khusus untuk penyimpanan produk retur, rusak, dan kedaluarsa
yang aman dan terpisah
d. Ketika ditemukan penyaluran obat keras dalam jumlah besar pada toko obat dan
perorangan
e. Alat pemantau suhu (termometer) rusak sehingga tidak dilakukan pemantauan suhu
dan belum tersedia alat monitor kelembapan.
f. Beberapa faktur penjualan tidak dilengkapi dengan surat pesanan
Bagaimana tindak lanjut saudara sebagai Petugas Dinkes Provinsi Jatim terkait dengan kasus
tersebut?
Pembahasan:
Berdasarkan Kepmenkes 1121/MENKES/SK/XII/2008 metode untuk melakukan
perhitungan kebutuhan obat ada 2, yaitu :
a. Metoda konsumsi
Didasarkan atas analisa data konsumsi obat tahun sebelumnya. Jenis data yang
perlu dipersiapkan untuk metoda konsumsi, diantaranya :
a. Alokasi dana
b. Daftar obat
c. Stok awal
d. Penerimaan
e. Pengeluaran
f. Sisa stok
g. Obat hilang / rusak, kedaluarsa
h. Kekosongan obat
i. Pemakaian rata-rata / pergerakan obat pertahun
j. Lead time
k. Stok pengaman
l. Perkembangan pola kunjungan
b. Metoda Morbiditas
Perhitungan kebutuhan obat berdasarkan pola penyakit, perkiraan kenaikan
kunjungan dan lead time. Langkah dalam metoda ini adalah :
a. Menentukan jumlah penduduk yang akan dilayani
b. Menentukan jumlah kunjungan kasus berdasarkan frekuensi penyakit
121
Temuan:
a. Ditemukan apoteker tidak bekerja secara penuh.
Pelangaran:
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1148/Menkes/Per/VI/2011 tentang Pedagang Besar Farmasi pasal 7 tentang tata cara
pemberian izin PBF ayat 2 poin (j) telah termuat jelas bahwa apoteker penangungawab yang
bekerja di PBF haruslah bersedian untuk bekerja penuh.
Permohonan harus ditandatangani oleh direktur/ketua dan apoteker calon penanggungjawab
disertai dengan kelengkapan administratif sebagai berikut:
a. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP)/identitas direktur/ketua;
b. Susunan direksi/pengurus;
c. Pernyataan komisaris/dewan pengawas dan direksi/pengurus tidak pernah terlibat
pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang farmasi;
d. Akta pendirian badan hukum yang sah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
e. Surat Tanda Daftar Perusahaan;
f. Fotokopi Surat Izin Usaha Perdagangan;
g. Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak;
h. Surat bukti penguasaan bangunan dan gudang;
122
Temuan:
c. Belum tersedia area khusus untuk penyimpanan produk retur, rusak, dan kedaluarsa
yang aman dan terpisah
Pelanggaran :
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HL
03.1.34.11.12.7542 Tahun 2012 Tentang Pedoman Teknis Cara Distribusi Obat yang Baik,
Bab III : Bangunan dan Peralatan pada poin 3.3 menerangkan bahwa :
Harus ada area terpisah dan terkunci antara obat dan/atau bahan obat yang menunggu
keputusan lebih lanjut mengenai statusnya, meliputi obat dan/atau bahan obat yang diduga
palsu, yang dikembalikan, yang ditolak, yang akan dimusnahkan, yang ditarik, dan yang
kedaluarsa dari obat dan/atau bahan obat yang dapat disalurkan.
Dibuatnya peraturan adanya area khusus untuk obat yang retur, rusak, dan kedaluarsa adalah
untuk menghindari tercampurnya obat yang akan disalurkan dengan obat retur,rusak, atau
kedaluarsa.
Temuan:
d. Ketika ditemukan penyaluran obat keras dalam jumlah besar pada toko obat dan
perorangan
Pelanggaran:
Peraturan kepala BPOM nomor 7 tahun 2016 pasal 7 ayat (1) sebagimana apotek,
instalasi farmasi rumah sakit dan instalasi farmasi klinik yang tidak melaksanakan
pengelolaan obat-obat tertentu sebagaimana diatur dalam peraturan kepala badan ini dapat
dikenai sanksi administratif berupa rekomendasi :
a. Peringatan
b. Peringatan keras
c. Penghentian sementara kegiatan dan atau
d. Pencabutan izin
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf
d ditujukan kepada dinkes provinsi, dinkes kabupaten/kota atau satuan kerja perangkat daerah
penerbit izin.
Temuan:
e. Alat pemantau suhu (termometer) rusak sehingga tidak dilakukan pemantauan suhu ,
dan belum tersedia alat monitor kelembapan.
Pelanggaran:
Termometer adalah alat yang digunakan untuk mengukur suhu (temperatur), ataupun
perubahan suhu. Suhu terdiri dari :
Chiler atau cold room ( 2-8 oC) digunakan untuk penyimpanan vaksin dan serum
Frezeer room (-15 s/d – 25 oC) digunakan untuk menyimpan vaksin OPV
Tindak lanjut petugas dinas kesehatan Provinsi Jawa Timur:
1. Segera memberikan peringatan kepada penanggungjawab dan melakukan perbaikan
termometer atau mengganti termometer yang baru
2. Memindahkan sediaan yang membutuhkan penyimpanan dengan suhu tertentu pada
ruangan yang memiliki pengatur suhu
3. Membuat SOP dalam pemantauan suhu yang terdiri dari : suhu minimal dimonitor 3 kali
sehari setiap pagi, siang dan malam serta dokumentasikan.
125
Solusi:
a. Harus tersedia prosedur tertulis dan peralatan yang sesuai untuk mengendalikan
lingkungan selama penyimpanan obat dan/atau bahan obat.
b. Area penyimpanan harus dipetakan pada kondisi suhu yang mewakili. Sebelum
digunakan, harus dilakukan pemetaan awal sesuai dengan prosedur tertulis. Pemetaan
harus diulang sesuai dengan hasil kajian risiko atau jika dilakukan modifikasi yang
signifikan terhadap fasilitas atau peralatan pengendali suhu. Peralatan pemantauan suhu
harus ditempatkan sesuai dengan hasil pemetaan.
c. Semua peralatan untuk penyimpanan dan penyaluran obat dan/atau bahan obat harus
didesain, diletakkan dan dipelihara sesuai dengan standar yang ditetapkan. Harus tersedia
program perawatan untuk peralatan vital, seperti termometer, genset, dan chiller.
d. Peralatan yang digunakan untuk mengendalikan atau memonitor lingkungan
penyimpanan obat dan/atau bahan obat harus dikalibrasi, serta kebenaran dan kesesuaian
tujuan penggunaan diverifikasi secara berkala dengan metodologi yang tepat. Kalibrasi
peralatan harus mampu tertelusur.
e. Kegiatan perbaikan, pemeliharaan, dan kalibrasi peralatan harus dilakukan sedemikian
rupa sehingga tidak mempengaruhi mutu obat dan/atau bahan obat ( BPOM,2012).
Temuan:
f. Beberapa faktur penjualan tidak dilengkapi dengan surat pesanan.
Pelanggaran:
PP No. 73 Tahun 2016 tentang standar pelayanan kefarmasian di Apotek pada Bab 2
Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai, Point C
mengenai penerimaan, dimana pada saat menerima sediaan farmasi dari PBF yaitu
Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis spesifikasi, jumlah, mutu,
waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam surat pesanan dengan kondisi fisik yang
diterima.
Tindak lanjut yang dilakukan adalah
a. Memberikan peringatan kepada PBF agar sebaiknya melengkapi dokumen faktur
penjualan dengan surat pesanan sebagai bukti pembelian obat oleh pihak Apotek kepada
distributor resmi.
b. Membuat surat pernyataan dimana intinya melengkapi dokumen faktur penjualan dengan
surat pesanan.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan kegiatan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Dinas Kesehatan
Provinsi Jawa Timur yang telah dilaksanakan pada tanggal 17 – 20 September 2018 di bidang
Pemerintahan khususnya pada bagian Kefarmasian dan Perbekalan Kesehatan, maka dapat
disimpulkan:
1. Calon Apoteker mampu memahami tujuan, fungsi, tugas dan wewenang pada bidang
kefarmasian dan perbekalan kesehatan di Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur.
Calon Apoteker juga dapat memahami program yang ada antara lain
Farmakoekonomi dan Penggunan Obat Rasional, Ketenagaan dan Pelayanan
Masyarakat, Obat Publik, NAPZA, Alat Kesehatan dan PKRT, Makanan dan
Minuman, Obat Tradisional dan Kosmetik.
2. Kunjungan ke Gudang Farmasi Kota Pasuruan memberikan pengetahuan dan
pemahaman kepada calon Apoteker tentang perencanaan, pengadaan, penerimaan,
penyimpanan, pendistribusian, pencatatan dan pelaporan serta monitoring dan
evaluasi pendistribusian sediaan farmasi di lingkup Kota Pasuruan.
3. Kunjungan yang dilakukan ke Puskesmas Bugul Kidul Kota Pasuruan memberikan
pengetahuan dan pemahaman tentang pengelolaan obat yang meliputi perencanaan,
pengadaan dan pelaporan penggunaan sediaan farmasi. Calon Apoteker juga dapat
memahami program Puskesmas dan kegiatan pelayanan kefarmasian tingkat dasar.
126
127
5.2. Saran
Berdasarkan kegiatan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Dinas Kesehatan
Provinsi Jawa Timur yang telah dilaksanakan pada tanggal 17– 20 September 2018 di bidang
Pemerintahan khususnya pada bagian Kefarmasian dan Perbekalan Kesehatan, maka hal yang
dapat disarankan adalah:
1. Bagi Seksi Kefarmasian dan Perbekalan Kesehatan.
Bila memungkinkan adanya tambahan waktu untuk melakukan kunjungan singkat
yaitu mengamati kegiatan seksi perbekalan farmasi dan alat kesehatan sehari-hari,
dalam mengelola perbekalan farmasi serta bagaimana peran Apoteker dalam
memastikan obat dan alat kesehatan sudah sesuai kebutuhan. Dengan adanya
kunjungan singkat tersebut calon Apoteker dapat melihat kenyataan dilapangan
sehingga dapat memiliki gambaran kegiatan bagian perbekalan farmasi dan alat
kesehatan terlepas dari teori yang diperoleh.
2. Bagi Mahasiswa
Diharapkan lebih konsentrasi dan lebih aktif dalam menggali informasi selama
proses Praktek Kerja Profesi Apoteker di seksi Faralkes berlangsung sehingga bisa
memperoleh banyak pengetahuan yang baru.
DAFTAR PUSTAKA
BPOM RI, 2015, Petunjuk Pelaksanaan Cara Distribusi Obat yang Baik, Jakarta : Badan
POM RI.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1991, Keputusan Dirjen POM No. 02240/ B / SK
/ VII/ 1991 tentang Pedoman Persyaratan Mutu serta Label dan Periklanan,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009, Undang-Undang Republik Indonesia No.
36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
Jakarta.
Departemen Kesehatan Indonesia, 2010, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No. 1176 / MENKES / PER / VIII Tahun 2010 tentang Notifikasi Kosmetika,
Departemen Kesehatan Indonesia, Jakarta.
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, 2018, Visi dan Misi, Diakses pada 17 September
2018, http://dinkes.jatimprov.go.id.
Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Departemen Kesehatan Indonesia,
2007, Pedoman Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan di Daerah
Perbatasan, Direktur Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Departemen
Kesehatan Indonesia, Jakarta.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2012, Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No. 6 Tahun 2012 tentang Industri dan Usaha OT, Menteri Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2012, Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No. 7 Tahun 2012 tentang Regristasi Obat Tradisional yang diedarkan di
Indonesia, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2012, Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No. 33 Tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan, Menteri
Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2012, Undang-Undang Republik Indonesia No.
18 Tahun 2012 tentang Pangan, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2017, Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No. 74 Tahun 2017 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Puskesmas, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. HK
00.05.4.1745 Tahun 2017 tentang Kosmetik.
Pemerintah Kabupaten Pasuruan, 2016, Peraturan Bupati Pasuruan Nomor 56 Tahun 2016
tentang Kedudukan, Susunan, Organisasi, Tugas dan Fungsi serta Tata Kerja Dinas
Komunikasi dan Informatika Kabupaten Pasuruan, Bupati Pasuruan, Pasuruan.
Pemerintah Provinsi Jawa Timur, 2016, Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur No. 2 Tahun
2016 Pasal 45 tentang Upaya Kesehatan, Pemerintah Provinsi Jawa Timur, Jawa
Timur.
128
129
Pemerintah Provinsi Jawa Timur, 2016, Peraturan Gubernur Provinsi. Jawa Timur No 74
Tahun 2016 tentang Kedudukan, Susunan Organisasi, Uraian Tugas dan Fungsi,
serta Tata Kerja Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur.
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. HK.
03.1.2.3.04.12. 2206 tahun 2012 tentang Tata Cara Produksi Pangan yang Baik.