Anda di halaman 1dari 138

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER

DI BIDANG SUMBER DAYA KESEHATAN


SEKSI KEFARMASIAN DAN SEKSI ALAT KESEHATAN
DAN PERBEKALAN RUMAH TANGGA
DINAS KESEHATAN PROVINSI JAWA TIMUR
JALAN JENDERAL AHMAD YANI NO 118
SURABAYA
17 SEPTEMBER – 20 SEPTEMBER 2018

PERIODE LI

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA
SURABAYA
2018
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
LAPORAN PKPA

Demi perkembangan ilmu pengetahuan, Saya sebagai mahasiswa Universitas Katolik


Widya Mandala Surabaya:
Nama : Mahasiswa Program Studi Profesi Apoteker Periode LI Fakultas
Farmasi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya (Nama Terlampir)
Menyetujui laporan PKPA kami :
Di : Bidang Sumber Daya Kesehatan Seksi Kefarmasian dan Alat
Kesehatan dan Perbekalan Rumah Tangga Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur
Alamat : Jalan Jenderal Ahmad Yani No. 118, Surabaya
Waktu : 17 September – 20 September 2018

Untuk dipublikasikan/ ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital Library
Perpustakaan Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya untuk kepentingan
akademik sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.
Demikian pernyataan persetujuan publikasi laporan PKPA ini saya buat dengan
sebenarnya.

Surabaya, September 2018


a.n. Komting Apoteker LI
Koordinator PKPA

Jefferson Wiarto, S.Farm.


DAFTAR NAMA MAHASISWA
PROGRAM PROFESI APOTEKER PERIODE LI
PESERTA PKPA PEMERINTAHAN
SEKSI KEFARMASIAN DAN PERBEKALAN KESEHATAN

Abdul Aziz, S.Farm. 2448717095


Adytya Dewanti, S.Farm. 2448717096
Agata Amaslia Aden, S.Farm. 2448717097
Alfian Rizki Putra, S.Farm. 2448717098
Anastasia H.C. Devi, S.Farm. 2448717099
Angela Lia Christina, S.Farm. 2448717100
Anis Dian Patricia, S.Farm. 2448717101
Aprisilia Melyana Sadipun, S.Farm. 2448717102
Chia Esti Phany, S.Farm. 2448717103
Christian Farandy, S.Farm. 2448717104
Christina Thresdy Wijaya, S.Farm. 2448717105
Daeng A.R.Elok Aulia, S.Farm. 2448717106
Desy Liyadi, S.Farm. 2448717107
Diah Intan Savilla, S.Farm. 2448717108
Evanda Ratna Thalia K, S.Farm. 2448717109
Evi Nurwinda, S.Farm. 2448717110
Firenciani Graciana, S.Farm. 2448717111
Fitri Illa K.S., S.Farm. 2448717112
Florensia Retha Budianty, S.Farm. 2448717113
Friantana Rayadi David, S.Farm. 2448717114
Heny Kristi Meitasari, S.Farm. 2448717115
Hety SetyaWardhani, S.Farm. 2448717116
Hilarius Satu Senga, S.Farm. 2448717117
Ivana Rahayu Latuasan, S.Farm. 2448717118
Jefferson Wiarto, S.Farm. 2448717119
Kadek Bambang Sutrasena A., S.Farm. 2448717120
Liberti Nesty Tulimau, S.Farm. 2448717121
Luh Putu Widiasih W. T., S.Farm. 2448717122
Magdalena Eka Putri, S.Farm. 2448717123
Melita Nesiamer Daud, S.Farm. 2448717124
Monica Emastirinda Mbagha, S.Farm. 2448717125
Naomi A.B.Bonga, S.Farm. 2448717126
Nori Diva Tanisa, S.Farm. 2448717127
Ogirlna Awaeh, S.Farm. 2448717128
Patrikus Mario Guido T, S.Farm. 2448717129
Pipit Sandra, S.Farm. 2448717130
Priska Rosalia, S.Farm. 2448717131
Revicha Anggraini, S.Farm. 2448717132
Rista Aulia, S.Farm. 2448717133
Robert Daniswara, S.Farm. 2448717134
Rosela Dike Rantis, S.Farm. 2448717135
Sela Talia, S.Farm. 2448717136
SennaWijaya, S.Farm. 2448717137
Siti Alifah Nurlayli, S.Farm. 2448717138
Sonia Tiffani, S.Farm. 2448717139
Theresia Anggraeni Wedo, S.Farm. 2448717140
Thresna W.R.Loko Demu, S.Farm. 2448717141
Tya Claudia Gandeware, S.Farm. 2448717142
Ursula Dua K.Bura, S.Farm. 2448717143
Veronica Farda Seprila P, S.Farm. 2448717144
Vincentius Tio Putra W, S.Farm. 2448717145
Winda Winarto, S.Farm. 2448717146
Yahya Iqbal Winanta, S.Farm. 2448717147
Yana Pramadani, S.Farm. 2448717148
Yeni Agustina, S.Farm. 2448717149
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas berkat rahmat-
Nya, kami mahasiswa Program Studi Profesi Apoteker Periode LI Fakultas Farmasi
Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya dapat melaksanakan Praktek Kerja Profesi
Apoteker di Bidang Sumber Daya Kesehatan Seksi Kefarmasian dan Alat Kesehatan dan
Perbekalan Rumah Tangga Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur yang dilaksanakan pada 17
September – 20 September 2018.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan laporan banyak pihak telah memberikan
dukungan serta bimbingan sehingga pada akhirnya laporan praktek kerja profesi ini dapat
diselesaikan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampakan rasa terima
kasih kepada:
1. Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya kami dapat mengikuti serta
menyelesaikan laporan PKPA dengan baik.
2. Dr. dr. Kohar Hari Santoso, Sp.An, KIC, KAP selaku Kepala Dinas Kesehatan
Provinsi Jawa Timur yang telah berkenan memberikan izin untuk
melaksanakan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Dinas Kesehatan Provinsi
Jawa Timur.
3. drg. M.V.S. Mahanani, M.Kes. selaku Kepala Bidang Sumber Daya Kesehatan
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur yang telah memberikan kesempatan
kepada kami untuk dapat melaksanakan Praktek Kerja Profesi Apoteker di
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur.
4. Dra.Retnowati, M.Kes., Apt. selaku Kepala Seksi Kefarmasian Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Timur yang telah memberikan kesempatan kepada
kami untuk dapat melaksanakan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Timur
5. Drs. Arif Zaidi, Apt. selaku Kepala Seksi Alat Kesehatan dan Perbekalan
Rumah Tangga yang telah memberikan kesempatan kepada kami sehingga
kami dapat melaksanakan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Dinas Kesehatan
Provinsi Jawa Timur.
6. Dra. Susilo Ari Wardhani, M.Kes., Apt. selaku Koordinator Pelaksana Praktek
Kerja Profesi Apoteker di Bidang Sumber Daya Kesehatan Seksi Kefarmasian
dan Alat Kesehatan dan Perbekalan Rumah Tangga Dinas Kesehatan Provinsi

i
Jawa Timur yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama
pelaksanaan PKPA dan proses penyusunan laporan.
7. Seluruh staf di Dinas Kesehatan Kota Pasuruan, Gudang Farmasi Kota
Pasuruan, dan Puskesmas Bugul Kidul yang telah bersedia menerima
kunjungan kami dengan baik dan memberikan berbagai ilmu yang sangat
bermanfaat.
8. Drs. Kuncoro Foe, Ph.D., Apt. selaku Rektor Universitas Katolik Widya
Mandala Surabaya yang telah memberikan fasilitas dan bantuan sehingga
PKPA ini dapat terlaksana dengan baik.
9. Sumi Wijaya, S.Si., Ph.D., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas
Katolik Widya Mandala Surabaya yang telah memberikan izin dalam
pelaksanaan PKPA ini.
10. Elisabeth Kasih, M.Farm.Klin., Apt. selaku Ketua Program Studi Profesi
Apoteker Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya yang telah berkenan
mengupayakan terlaksananya PKPA ini.
11. Dra. Hj. Emi Sukarti, M.Si., Apt, selaku Koordinator Praktek Kerja Profesi
Apoteker bidang Pemerintahan Program Profesi Apoteker Fakultas Farmasi
Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya yang telah mengarahkan dan
membimbing kami selama PKPA.
12. Teman-teman Program Profesi Apoteker angkatan LI atas dukungan dan kerja
sama yang baik selama pelaksanaan dan penyusunan Laporan Praktek Kerja
Profesi Apoteker ini,
13. Semua pihak yang tidak dapat penuliskan satu per satu atas bantuan yang
diberikan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam membantu
terselenggaranya kegiatan dan penyusunan laporan PKPA ini.
Kami menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kata sempurna, maka kritik dan
saran yang membangun sangat diharapkan demi perbaikan generasi di masa mendatang.
Semoga Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) ini dapat bermanfaat dan
memberikan sumbangan yang berarti bagi banyak pihak dalam memperoleh pengetahuan dan
informasi.
Surabaya, September 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar ........................................................................................................... i
Daftar Isi ..................................................................................................................... iii
Daftar Tabel ................................................................................................................ v
Daftar Gambar............................................................................................................ v
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2 Tujuan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Apotek....................................... 2
1.3 Manfaat Praktek Kerja Profesi Apoteker di Apotek..................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 4
2.1 Tinjauan tentang Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur ............................. 4
2.2 Tinjauan tentang Struktur Organisasi Dinas Kesehatan Provinsi Jawa
Timur ......................................................................................................... 5
2.3 Tinjauan tentang Seksi Kefarmasian ........................................................... 9
2.3.1 Tinjauan tentang Program Seksi Kefarmasian .............................. 10
2.3.1.1 Tinjauan tentang Program Tata Kelola Obat Publik ........... 10
2.3.1.2 Tinjauan tentang Program Pelayanan Masyarakat .............. 20
2.3.1.3 Tinjauan tentang Program Pelayanan Kefarmasian ............ 25
2.3.1.4 Tinjauan tentang Program Narkotika, Psikotropika, dan
Zat adiktif (NAPZA).......................................................... 35
2.3.1.5 Tinjauan tentang Program Obat Tradisional (OT) .............. 43
2.3.1.6 Tinjauan tentang Program Obat Kosmetik ......................... 46
2.3.1.7 Tinjauan tentang Makanan dan Minuman .......................... 48
2.4 Tinjauan tentang Seksi Alat Kesehatan dan Perbekalan Rumah Tangga ..... 53
2.4.1 Tinjauan tentang Pengamanan Alat Kesehatan dan PKRT ............ 56
2.4.2 Tata Cara Pemberian Sertifikat Produksi ...................................... 56
2.4.3 Ijin Edar Alkes dan PKRT ........................................................... 57
2.4.4 Pelaporan Produksi Alkes dan PKRT ........................................... 57
BAB III HASIL KEGIATAN ..................................................................................... 58
3.1 Tinjauan Umum tentang Pelayanan Kesehatan di Kota Pasuruan ................ 58
3.2 Tinjauan Struktur Organisasi Kesehatan Kota Pasuruan ............................. 59
3.3 Tinjauan tentang Instalasi Farmasi Kota Pasuruan ...................................... 60

iii
3.3.1 Perencanaan Obat dan Perbekalan Kesehatan di Kota/Kabupaten
Pasuruan .......................................................................................... 61
3.3.2 Pengadaan Obat dan Perbekalan Kesehatan di UPK Kota Pasuruan . 62
3.3.3 Penerimaan Obat dan Perbekalan Kesehatan di UPT Kota Pasuruan 63
3.3.4 Penyimpanan, Penataan Obat dan Perbekalan Kesehatan di UPT Kota
Pasuruan .......................................................................................... 65
3.3.5 Pendistribusian Obat dan Perbekalan Kesehatan di UPT Kota Pasuruan 66
3.3.6 Pencatatan, Pelaporan, Evaluasi Obat, dan Perbekalan Kesehatan di
UPT Kota Pasuruan ......................................................................... 67
3.4 Tinjauan tentang Pusat Kesehatan Masyarakat Bugul Kidul ........................... 67
3.4.1 Visi, Misi, Motto, Kebijakan Mutu dan Tata Nilai UPT Puskesmas
Bugul Kidul ..................................................................................... 69
3.4.2 Data Ketenagaan Puskesmas Bugul Kidul ........................................ 70
3.4.3 Manajemen Pengelolaan Sediaan Farmasi dan BMHP Anggaran Obat 70
3.4.4 Pengadaan Obat ............................................................................... 72
3.4.5 Penyimpanan dan Penataan Obat ..................................................... 73
3.4.6 Pendistribusian Obat ........................................................................ 75
3.4.7 Pengendalian Obat Golongan Psikotropika dan Obat-Obat Tertentu
(OOT) .............................................................................................. 75
3.4.8 Peresepan Psikotropika .................................................................... 76
3.4.9 Gudang Penyiapan Perbekalan Farmasi Puskesmas Bugul Kidul ...... 77
3.4.10 Pengendalian Mutu Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas Bugul Kidul 78
BAB IV STUDI KASUS .................................................................................................. 79
4.1 Studi Kasus Makanan dan Minuman .............................................................. 79
4.2 Studi Kasus NAPZA ...................................................................................... 83
4.3 Studi Kasus Farkomik dan POR ..................................................................... 92
4.4 Studi Kasus Obat Tradisional dan Kosmetik ................................................... 108
4.5 Studi Kasus Pelayanan Masyarakat ................................................................ 110
4.6 Studi Kasus Alkes .......................................................................................... 115
4.7 Studi Kasus Obat Publik ................................................................................. 119
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................... 126
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 128

iv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Indikator Kinerja, Definisi Operasional dan Target Penggunaan Obat
Rasional.................................................................................................... 32
Tabel 2.2 Penyimpanan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi menurut
PerMenKes RI No 3 Tahun 2015 .............................................................. 38
Tabel 2.3 Daftar Bahan Tambahan Pangan yang Diperbolehkan ............................... 51
Tabel 4.1 Jenis BTP Pengawet ................................................................................. 81
Tabel 4.2 Penyimpanan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi (PerMenKes
RI Nomor 3 Tahun 2015) .......................................................................... 88

DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Struktur Organisasi Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur ............... 8
Gambar 3.1 Struktur Organisasi Dinas Kesehatan Kota Pasuruan.......................... 59
Gambar 3.2 Struktur Organisasi UPK Pengelola Obat Publik dan Perbekalan
Kesehatan .......................................................................................... 60
Gambar 3.3 Ruang Karantina Penerimaan Barang ................................................. 64
Gambar 3.4 Instalasi Farmasi Kota Pasuruan ........................................................ 64
Gambar 3.5 Rak Penyimpanan Obat di Puskesmas Bugul Kidul............................ 74
Gambar 3.6 Lemari Pendingin di Puskesmas Bugul Kidul .................................... 74
Gambar 3.7 Lemari Penyimpanan Psikotropika dan OTT...................................... 77
Gambar 3.8 Penataan dan Penyimpanan Obat di Puskesmas Bugul Kidul ............. 78

v
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kesehatan merupakan salah satu aspek penting bagi kehidupan manusia dalam
kemajuan suatu negara. Kesehatan, menurut Undang-undang No. 36 tahun 2009 didefinisikan
sebagai keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan
setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Menurut World Health
Organization (WHO) kesehatan merupakan suatu keadaan sehat yang utuh baik secara fisik,
mental dan sosial serta tidak hanya keadaan bebas dari penyakit atau kecacatan, yang
memungkinkan setiap orang dapat hidup produktif secara sosial dan ekonomi, maka perlu
dilakukan upaya kesehatan untuk mencapai keadaan sehat.
Definisi upaya kesehatan menurut Undang-undang No 36 tahun 2009, merupakan
setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang bertujuan untuk
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Upaya kesehatan dapat dilaksanakan melalui
serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintegrasi dan berkesinambungan untuk
memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui program peningkatan
kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), pengobatan penyakit (kuratif), dan
pemulihan kesehatan (rehabilitatif) oleh pemerintah dan/ atau masyarakat
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur merupakan suatu instansi Pemerintah Daerah
tingkat Provinsi di bidang kesehatan. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur secara struktural
bertanggungjawab kepada Gubernur Jawa Timur dan secara fungsional berkoordinasi dengan
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia demi mewujudkan upaya kesehatan masyarakat.
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur dipimpin oleh Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa
Timur. Dalam melaksanakan tugasnya kepala dinas kesehatan Provinsi dibantu oleh empat
Bidang yaitu Bidang Pelayanan Kesehatan Masyarakat, Bidang Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit, Bidang Pelayanan Kesehatan, dan Bidang Sumber Daya Kesehatan.
Bidang Sumber Daya Kesehatan (PSDK) membawahi Seksi Kefarmasian, Seksi Alkes
& PKRT dan Seksi Sumber Daya Manusia Kesehatan. Seksi Kefarmasian memiliki
kewenangan dalam mengatur penyusunan program untuk meningkatkan upaya kesehatan
sesuai dengan pekerjaan kefarmasian dalam bidang obat publik, obat tradisional, kosmetika,
makanan dan pelayanan kefarmasian. Menurut PP No 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan
Kefarmasian, yang dimaksud tentang pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk

1
2

pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan


pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter,
pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Seksi
Alkes dan PKRT memiliki beberapa kewenangan dalam bidang alat kesehatan dan perbekalan
kesehatan rumah tangga. Salah satu profesi yang berperan dalam seksi Alkes dan PKRT
adalah Apoteker.
Peran seorang Apoteker sebagai salah satu tenaga kesehatan kefarmasian sangat
berpengaruh dalam upaya peningkatan kesehatan masyarakat. Seorang Apoteker diharapkan
memiliki kompetensi yang cukup dalam berbagai hal di bidang kefarmasian mulai dari aspek
ilmu pengetahuan, hukum, etika, dan aspek legalitas sehingga dapat menjalankan tugas pokok
dan fungsinya dengan baik. Apoteker harus menguasai kemampuan pengelolaan sediaan
farmasi dan pelayanan kefarmasian sesuai dengan standar yang berlaku sesuai Peraturan
Menteri Kesehatan RI No. 73 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian.
Selain itu, Apoteker juga berperan dalam bidang Sumber Daya Kesehatan terhadap
seksi kefarmasian, dan seksi alat kesehatan serta perbekalan kesehatan rumah tangga yang
bertanggunjawab langsung terhadap Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur. Oleh
karena itu, Apoteker harus dibekali wawasan mengenai pengawasan, pembinaan, dan
pengendalian perbekalan farmasi. Menyadari besarnya tanggung jawab yang dimiliki oleh
seorang Apoteker, maka calon Apoteker wajib mengikuti Praktek Kerja Profesi Apoteker
(PKPA) di Dinas Kesehatan Jawa Timur yang dilaksanakan pada tanggal 17 September – 20
September 2018.

1.2 Tujuan Praktek Kerja Profesi Apoteker


Praktek Kerja Profesi di Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur khususnya di Seksi
Kefarmasian, dan seksi Alat Kesehatan dan Perbekalan Rumah Tangga bertujuan untuk :
1. Meningkatkan pemahaman calon Apoteker tentang peran, fungsi, posisi, dan tanggung
jawab Apoteker dalam lembaga pemerintahan.
2. Membekali calon Apoteker agar memiliki wawasan, pengetahuan, keterampilan, dan
pengalaman praktis untuk melakukan pekerjaan kefarmasian di lembaga
pemerintahan.
3. Mempersiapkan calon Apoteker dalam memasuki dunia kerja sebagai tenaga farmasi
yang professional.
3

1.3 Manfaat Praktek Kerja Profesi Apoteker


Praktek Kerja Profesi Apoteker di Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur khususnya di
Seksi Kefarmasian, dan Seksi Alat Kesehatan dan Perbekalan Rumah Tangga bermanfaat
untuk :
1. Mengetahui, memahami tugas dan tanggung jawab Apoteker dalam menjalankan
pekerjaan kefarmasian di lembaga pemerintahan.
2. Mendapatkan pengalaman praktis mengenai pekerjaan kefarmasian di lembaga
pemerintahan.
3. Meningkatkan rasa percaya diri untuk menjadi Apoteker yang profesional.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan tentang Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur


Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur yang terletak di Jl. Ahmad Yani 118, Surabaya.
Pembangunan bidang kesehatan pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan kesadaran,
kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang untuk mewujudkan derajat kesehatan
yang optimal. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur memiliki visi yang ingin dicapai yakni
“Masyarakat Jawa Timur Mandiri untuk Hidup Sehat”. Berdasarkan visi Dinas Kesehatan
Provinsi, maka misi dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur adalah “Menggerakkan
pembangunan berwawasan kesehatan dan penanggulangan masalah kesehatan. Meningkatkan
dan mendayagunakan sumber daya kesehatan”. Dalam mewujudkan visi dan misi Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Timur bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan
lembaga-lembaga kesehatan seperti puskesmas, rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya.
Masyarakat yang mandiri untuk hidup sehat adalah suatu kondisi dimana masyarakat Jawa
Timur menyadari, mau, dan mampu untuk mengenali, mencegah dan mengatasi permasalahan
kesehatan yang dihadapi, sehingga dapat bebas dari gangguan kesehatan, baik yang
disebabkan karena penyakit termasuk gangguan kesehatan akibat bencana, maupun
lingkungan dan perilaku yang tidak mendukung untuk hidup sehat (Dinkes Prov Jatim, 2018).
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur dalam mewujudkan misinya menetapkan
tujuan sebagai berikut (Dinkes Prov Jatim, 2018):
1. Untuk mewujudkan misi ”Menggerakkan pembangunan berwawasan kesehatan“,
maka ditetapkan tujuan yaitu mewujudkan mutu lingkungan yang lebih sehat,
pengembangan sistem kesehatan lingkungan kewilayahan, serta menggerakkan
pembangunan berwawasan kesehatan.
2. Untuk mewujudkan misi ”Mendorong terwujudnya kemandirian masyarakat untuk
hidup sehat”, maka ditetapkan tujuan yaitu memberdayakan individu, keluarga dan
masyarakat agar mampu menumbuhkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
serta mengembangkan Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat (UKBM).
3. Untuk mewujudkan misi ”Mewujudkan, memelihara dan meningkatkan pelayanan
kesehatan yang bermutu, merata, dan terjangkau”, maka ditetapkan tujuan yaitu:
 Meningkatkan akses, pemerataan dan kualitas pelayanan kesehatan melalui
Rumah Sakit, Balai Kesehatan, Puskesmas dan jaringannya.

4
5

 Meningkatkan kesadaran gizi keluarga dalam upaya meningkatkan status gizi


masyarakat.
 Menjamin ketersediaan, pemerataan, pemanfaatan, mutu, keterjangkauan obat
dan perbekalan kesehatan serta pembinaan mutu makanan.
 Mengembangkan kebijakan, sistem pembiayaan dan manajemen pembangunan
kesehatan.
4. Untuk mewujudkan misi ”Meningkatkan upaya pengendalian penyakit dan
penanggulangan masalah kesehatan”, maka ditetapkan tujuan yaitu mencegah
menurunkan dan mengendalikan penyakit menular dan tidak menular serta masalah
kesehatan lainnya.
5. Untuk mewujudkan misi ”Meningkatkan dan mendayagunakan sumberdaya
kesehatan”, maka ditetapkan tujuan yaitu meningkatkan jumlah, jenis, mutu dan
penyebaran tenaga kesehatan sesuai standar.

2.2 Tinjauan tentang Struktur Organisasi Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur
Berdasarkan Peraturan Gubernur Nomor 74 Tahun 2016 tentang Kedudukan,
Susunan Organisasi, Uraian Tugas dan Fungsi serta Tata Kerja Dinas Kesehatan mempunyai
tugas melaksanakan urusan pemerintahan daerah berdasarkan asas otonomi dan tugas
pembantuan di bidang kesehatan dan menyelenggarakan fungsi:
a. Perumusan kebijakan di bidang kesehatan;
b. Pelaksanaan kebijakan di bidang kesehatan;
c. Pelaksanaan evaluasi dan pelaporan di bidang kesehatan;
d. Pelaksanaan administrasi Dinas di bidang kesehatan; dan
e. Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Gubernur terkait dengan tugas dan
fungsinya.
Dalam melaksanakan tugasnya Kepala Dinas Kesehatan dibantu oleh:
1. Sekretaris
Sekretaris mempunyai tugas merencanakan, melaksanakan, mengkoordinasikan dan
mengendalikan kegiatan administrasi umum, kepegawaian, perlengkapan, penyusunan
program, keuangan, hubungan masyarakat dan protokol. Sekretariat dipimpin oleh Sekretaris
yang berada dibawah dan bertanggungjawab kepada Kepala Dinas. Sekretariat terdiri dari:
1. Sub Bagian Tata Usaha;
2. Sub Bagian Penyusunan Program;
3. Sub Bagian Keuangan
6

2. Bidang Kesehatan Masyarakat


Bidang ini mempunyai tugas melaksanakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan
operasional serta koordinasi di bidang kesehatan keluarga dan gizi masyarakat, promosi
kesehatan, pemberdayaan masyarakat, kesehatan lingkungan, kesehatan kerja dan kesehatan
olah raga.
Bidang Pelayanan Kesehatan terdiri atas:
1. Seksi Kesehatan Keluarga dan Gizi Masyarakat;
2. Seksi Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat;
3. Seksi Kesehatan Lingkungan, Kesehatan Kerja dan Olah Raga.
3. Bidang Pengendalian Penyakit dan Masalah Kesehatan
Bidang ini mempunyai tugas menyusun perencanaan, merumuskan kebijaksanaan
teknis operasional, melaksanakan kegiatan pembinaan pengawasan dan pengendalian dalam
kegiatan pencegahan masalah kesehatan, surveilans epidemiologi, pemberantasan penyakit,
penyehatan air serta penyehatan lingkungan.Bidang Pengendalian Penyakit dan Masalah
Kesehatan terdiri atas:
1. Seksi Surveilans dan Imunisasi;
2. Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular;
3. Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular dan Kesehatan
Jiwa.
4. Bidang Pengembangan Sumber Daya Kesehatan
Bidang ini mempunyai tugas menyusun perencanaan, merumuskan kebijakan teknis
operasional di bidang pendayagunaan tenaga kesehatan, kefarmasian dan perbekalan
kesehatan serta pembiayaan kesehatan.
Bidang Sumber Daya Kesehatan membawahi:
1. Seksi Kefarmasian;
2. Seksi Alat Kesehatan dan Perbekalan Rumah Tangga;
3. Seksi Sumber Daya Manusia Kesehatan.
5. Bidang Pelayanan Kesehatan
Bidang ini mempunyai tugas melaksanakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan
operasional, koordinasi serta evaluasi di bidang pelayanan kesehatan primer, pelayanan
kesehatan rujukan, pelayanan kesehatan tradisional, fasilitas pelayanan kesehatan, mutu dan
akreditasi, kecelakaan lalu-lintas, jaminan kesehatan serta penanggulangan bencana bidang
kesehatan. Bidang ini terdiri dari 3 seksi yaitu :
a. Seksi Pelayanan Kesehatan Primer;
7

b. Seksi Pelayanan Kesehatan Rujukan;


c. Seksi Pelayanan Kesehatan Tradisional.
6. UPT Fungsional Rumah Sakit
7. UPT
8. Kelompok Jabatan Fungsional
Kepala Dinas Kesehatan
Dr. Dr. Kohar Hari Santoso, Sp.An., KIC., KAP
Sekretaris
Hertanto, SKM., M.Si

Subag Tata Usaha Subag Penyusunan Program dan Subag Keuangan


Nugroho Edy Suharto, SH Anggaran drg. Shinta Sawitri, M.Kes
Mohamad Yoto, SKM., M.Kes

Bidang Pelayanan Kesehatan Bidang Pencegahan dan Bidang Pelayanan Kesehatan Bidang Sumber Daya
Masyarakat Pengendalian Penyakit dr. Dian Islami, M.Kes Kesehatan
drg. Vitria Dewi, M.Si drg. Ansarul Fahrudda, M.Kes drg. MVS. Mahanani, M.Kes
Seksi Pelayanan Kesehatan
Seksi Promosi Kesehatan dan Primer Seksi Kefarmasian
Seksi Surveilans dan Imunisasi
Pemberdayaan Masyarakat drg. Lili Aprilianti Dra. Retnowati, Apt., M.Kes
Gito Hartono, SKM., M.Kes
Desi Aviajiati, SKM., M.Kes
Seksi Alat Kesehatan dan Perbekalan
Seksi Pencegahan dan Seksi Pelayanan Kesehatan
Seksi Kesehatan Lingkungan, Rumah Tangga
Pengendalian Penyakit Menular Rujukan
Kesehatan Kerja dan Olah Drs. Muhammad Arif Zaidi, Apt
Siti Murtini, SKM., M.Kes dr. Ninis Herlina Kirana Sari
Raga
Edy Basuki, SKM., M.Si
Seksi Sumber Daya Manusia
Seksi Pencegahan Pengamatan Seksi Pelayanan Kesehatan
Kesehatan
Seksi Kesehatan Keluarga dan Gizi Penyakit Tidak Menular dan Tradisional
drg. Titin Sumarlik, M.Kes
Masyarakat Kesehatan Jiwa Dra. Elmi Mufidah, Apt
drg. Sulvy Dwi Anggraini, M.Kes Bambang Purwanto, SKM., M.Kes

UPT

Gambar 2.1 Struktur Organisasi Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur

8
9

2.3 Tinjauan tentang Seksi Kefarmasian


Seksi Kefarmasian merupakan bagian dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur
yang berada di bawah Bidang Sumber Daya Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Gubernur Jawa Timur No 74 Tahun 2016 tentang Kedudukan, Susunan Organisasi,
Uraian Tugas dan Fungsi serta Tata Kerja Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur Pasal 14.
Seksi Kefarmasian, mempunyai tugas:
a. Menyiapkan bahan penyusunan perencanaan program pembinaan dan pengendalian
tata kelola, produksi, dan distribusi obat publik, obat tradisional, kosmetika, makanan
dan pelayanan kefarmasian.
b. Menyiapkan bahan penyusunan rumusan kebijakan tentang program pembinaan dan
pengendalian tata kelola, produksi, dan distribusi obat publik, obat tradisional,
kosmetika, makanan dan pelayanan kefarmasian.
c. Menyiapkan bahan pelaksanaan kebijakan program pembinaan dan pengendalian tata
kelola, produksi, dan distribusi obat publik, obat tradisional, kosmetika, makanan dan
pelayanan kefarmasian.
d. Menyiapkan bahan rumusan pedoman umum, petunjuk pelaksanaan, petunjuk teknis
serta prosedur tetap program pembinaan dan pengendalian tata kelola, produksi, dan
distribusi obat publik, obat tradisional, kosmetika, makanan dan pelayanan
kefarmasian.
e. Menyiapkan bahan penyusunan dan pelaksanaan sosialisasi kebijakan, pedoman
umum, petunjuk pelaksanaan, petunjuk teknis serta prosedur tetap program
pembinaan dan pengendalian tata kelola produksi, dan distribusi obat publik, obat
tradisional, kosmetika, makanan dan pelayanan kefarmasian.
f. Menyiapkan bahan penyusunan dan pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi
program pembinaan dan pengendalian tata kelola, produksi dan distribusi obat
publik, obat tradisional, kosmetika, makanan dan pelayanan kefarmasian.
g. Menyiapkan bahan pemantauan, pembinaan, pengendalian dan evaluasi tata kelola
produksi dan distribusi obat publik, obat tradisional, kosmetika, makanan dan
pelayanan kefarmasian.
h. Menyiapkan bahan koordinasi tentang tata kelola, produksi dan distribusi obat
publik, obat tradisional, kosmetika, makanan dan pelayanan kefarmasian.
i. Menyiapkan bahan perencanaan, pengadaan, pengelolaan serta pelaporan obat buffer
provinsi, obat program kesehatan, obat untuk penanggulangan Kejadian Luar Biasa
dan Bencana, dan obat yang bersifat insidentil.
10

j. Menyiapkan bahan rekomendasi penerbitan pengakuan pedagang besar farmasi


cabang dan izin usaha kecil obat tradisional.
k. Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan Kepala Bidang.

2.3.1. Tinjauan tentang Program Seksi Kefarmasian


2.3.1.1 Tinjauan tentang Program Tata Kelola Obat Publik

Pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan membutuhkan dukungan berbagai


pihak, baik diselenggarakan oleh Pusat, Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Wujud dari
dukungan tersebut dapat berupa kegiatan, anggaran dan komitmen. Anggaran yang diperlukan
dapat berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi dan
Kabupaten/Kota, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Dana Alokasi
Khusus (DAK) sub bidang pelayanan kefarmasian.
Kegiatan tata kelola obat publik dan perbekalan kesehatan pada program kefarmasian
dan alat kesehatan merupakan penggambaran visi dan misi Presiden Republik Indonesia yaitu
“Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong-
Royong”. Tujuan Direktorat Tata Kelola Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan mendukung
tujuan pembangunan kesehatan pada tahun 2015-2019, yaitu:
1. Meningkatnya status kesehatan masyarakat dan;
2. Meningkatnya daya tanggap (responsiveness) dan perlindungan masyarakat terhadap
risiko sosial dan finansial di bidang kesehatan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 64 Tahun 2015 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan, Direktorat Tata Kelola Obat Publik dan Perbekalan
Kesehatan mempunyai tugas melaksanakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan,
penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pemberian bimbingan teknis dan
supervisi, serta pemantauan, evaluasi, dan pelaporan di bidang tata kelola obat publik dan
perbekalan kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam rangka melaksanakan tugas tersebut, Direktorat Tata Kelola Obat Publik dan
Perbekalan Kesehatan menyelenggarakan fungsi sebagai berikut:
1. Penyiapan perumusan kebijakan di bidang perencanaan dan penilaian ketersediaan,
pengendalian harga dan pengaturan pengadaan, serta pengendalian dan pemantauan
pasar obat publik dan perbekalan kesehatan;
11

2. Penyiapan pelaksanaan kebijakan di bidang perencanaan dan penilaian ketersediaan,


pengendalian harga dan pengaturan pengadaan, serta pengendalian dan pemantauan
pasar obat publik dan perbekalan kesehatan;
3. Penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang perencanaan
dan penilaian ketersediaan, pengendalian harga dan pengaturan pengadaan, serta
pengendalian dan pemantauan pasar obat publik dan perbekalan kesehatan;
4. Penyiapan pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang perencanaan dan
penilaian ketersediaan, pengendalian harga dan pengaturan pengadaan, serta
pengendalian dan pemantauan pasar obat publik dan perbekalan kesehatan.
5. Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan di bidang perencanaan dan penilaian
ketersediaan, pengendalian harga dan pengaturan pengadaan, serta pengendalian dan
pemantauan pasar obat publik dan perbekalan kesehatan;
6. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat.
Salah satu tujuan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan adalah agar dana
yang tersedia dapat digunakan dengan sebaik-baiknya dan berkesinambungan guna memenuhi
kepentingan masyarakat yang berobat ke Unit Pelayanan Kesehatan Dasar (Puskesmas). Agar
tujuan tersebut dapat terlaksana dengan baik, maka diantara semua yang terlibat dalam
pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan sebaiknya ada pembagian tugas dan peran
seperti di bawah ini :
1. Tingkat Pusat
Departemen Kesehatan R.I :
a. Menyiapkan, mengirimkan dan mensosialisasikan berbagai Keputusan Menteri
Kesehatan ke unit–unit terkait antara lain :
- Daftar Harga Obat PKD, Obat Program dan Obat Generik
- Pedoman Teknis Perencanaan Pengadaan Obat Publik dan Perbekalan
Kesehatan
- Pedoman Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan
- Pedoman Supervisi dan Evaluasi Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan
- Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN)
b. Menyediakan Obat Buffer Stok Nasional,
c. Menyediakan Obat untuk masyarakat miskin
d. Melakukan Pelatihan Petugas Pengelola Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan
di Provinsi maupun Kabupaten/Kota, dengan prioritas Kabupaten/Kota bentukan
baru
12

e. Melakukan Bimbingan Teknis, Monitoring dan Evaluasi Ketersediaan Obat


Publik dan Perbekalan Kesehatan
f. Menyediakan Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas
g. Menyediakan Fasilitator untuk pelatihan pengelola obat publik dan perbekalan
kesehatan.
h. Menyediakan Pedoman Advokasi Penyediaan Anggaran Kepada Pemerintah
Provinsi/Kabupaten/Kota.

2. Tingkat Provinsi
Dinas Kesehatan Provinsi :
a. Menyediakan dan mengelola obat buffer stok Provinsi
b. Melakukan kompilasi rencana kebutuhan obat Kabupaten/ Kota
c. Melakukan Pelatihan Petugas Pengelola Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan
di Kabupaten/Kota
d. Melakukan Bimbingan Teknis, Monitoring dan Evaluasi Ketersediaan Obat
Publik dan Perbekalan Kesehatan ke Kabupaten/Kota
e. Menyediakan Fasilitator untuk pelatihan pengelola obat publik dan perbekalan
kesehatan di Kabupaten/Kota maupun Puskesmas
f. Melaksanakan Advokasi Penyediaan Anggaran Kepada Pemerintah Provinsi.

3. Tingkat Kabupaten/Kota
a. Perencanaan kebutuhan obat untuk pelayanan kesehatan dasar disusun oleh tim
perencanaan obat terpadu berdasarkan sistem “bottom up”.
b. Perhitungan rencana kebutuhan obat untuk satu tahun anggaran disusun dengan
menggunakan pola konsumsi dan atau epidemiologi.
c. Mengkoordinasikan perencanaan kebutuhan obat dari beberapa sumber dana,
agar jenis dan jumlah obat yang disediakan sesuai dengan kebutuhan dan tidak
tumpang tindih.
d. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota mengajukan rencana kebutuhan obat
kepada Pemerintah Kabupaten/Kota, Pusat, Provinsi dan sumber lainnya.
e. Melakukan Pelatihan Petugas Pengelola Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan
untuk Puskesmas
f. Melakukan Bimbingan Teknis, Monitoring dan Evaluasi Ketersediaan Obat
Publik dan Perbekalan Kesehatan ke Puskesmas
13

g. Melaksanakan Advokasi Penyediaan Anggaran Kepada Pemerintah


Kabupaten/Kota
h. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota bertanggungjawab terhadap pendistribusian
obat kepada unit pelayanan kesehatan dasar.
i. Dinas Kesehatan Kab/Kota bertanggungjawab terhadap penanganan obat dan
perbekalan kesehatan yang rusak dan kedaluwarsa.
j. Dinas Kesehatan Kab/Kota bertanggungjawab terhadap jaminan mutu obat yang
ada di IFK dan UPK.
4. Tingkat Puskesmas dan Sub Unit Pelayanan Kesehatan
a. Menyediakan data dan informasi mutasi obat dan perbekalan kesehatan serta
kasus penyakit dengan baik dan akurat.
b. Setiap akhir bulan menyampaikan laporan pemakaian obat dan perbekalan
kesehatan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat.
c. Bersama Tim Perencanaan Obat Terpadu membahas rencana kebutuhan
Puskesmas.
d. Mengajukan permintaan obat dan perbekalan kesehatan kepada Dinas Kesehatan
Kabupaten/kota sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan.
e. Melaporkan dan mengirim kembali semua jenis obat rusak/ kedaluwarsa kepada
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
f. Melaporkan kejadian obat dan perbekalan Kesehatan yang hilang kepada Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Secara garis besar, sistem pengelolaan obat yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan
Provinsi sama dengan sistem pengelolaan obat yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota. Perbedaan hanya pada sumber anggaran yang diterima, dimana Dinas
Kesehatan Provinsi alokasi dana berasal dari APBD Provinsi. Sedangkan Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota alokasi dana diperoleh dari APBD Kabupaten/Kota.
Sistem perencanaan dan pengadaan obat yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan
Provinsi terdiri dari obat program atau obat pelayanan kesehatan dasar yang merupakan buffer
stok provinsi yang akan digunakan apabila stok obat di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
menipis atau habis dan juga untuk memenuhi kebutuhan obat untuk program khusus dari
pusat.
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melakukan pengelolaan obat publik untuk obat
pelayanan kesehatan dasar yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan obat di Puskesmas
pada wilayah Kabupaten/Kota yang didistribusikan dari pusat. Siklus Pengelolaan obat publik
14

yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan dimulai dari tahap perencanaan sampai pada tahap
pengendalian dan pengelolaan meliputi :
a. Perencanaan
Perencanaan kebutuhan obat publik dan perbekalan kesehatan adalah salah satu
fungsi yang menentukan dalam proses pengadaan obat publik dan perbekalan
kesehatan.Tujuan perencanaan kebutuhan obat publik dan perbekalan kesehatan adalah untuk
menetapkan jenis dan jumlah obat sesuai dengan pola penyakit dan kebutuhan pelayanan
kesehatan dasar termasuk program kesehatan yang telah ditetapkan. Proses perencanaan
kebutuhan obat publik dan perbekalan kesehatan diawali dari data yang disampaikan
Puskesmas (LPLPO) ke Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota yang selanjutnya dikompilasi
menjadi rencana kebutuhan obat publik dan perbekalan kesehatan di Kabupaten/Kota yang
dilengkapi dengan teknik-teknik perhitungannya. Selanjutnya dalam perencanaan kebutuhan
buffer stok Pusat maupun Provinsi dengan menyesuaikan terhadap kebutuhan obat publik dan
perbekalan kesehatan di Kabupaten/Kota dan tetap mengacu kepada DOEN.
Berbagai kegiatan yang dilakukan dalam perencanaan kebutuhan obat adalah:
1. Tahap Pemilihan Fungsi Seleksi atau Pemilihan Obat Perbekalan Kesehatan
sangat diperlukan sesuai dengan jumlah penduduk dan pola penyakit di daerah.
Beberapa persyaratan untuk mendapatkan pengadaan obat yang baik, sebaiknya
diawali dengan dasar-dasar seleksi kebutuhan obat yaitu meliputi :
a. Obat dan Perbekalan Kesehatan yang dipilih harus memiliki ijin edar dari
Pemerintah RI.
b. Obat dipilih berdasarkan seleksi ilmiah, medik dan statistik yang memberikan
efek terapi jauh lebih baik dibandingkan resiko efek samping yang akan
ditimbulkan.
c. Jenis obat yang dipilih seminimal mungkin dengan cara menghindari duplikasi
dan kesamaan jenis.
d. Jika ada obat baru harus ada bukti yang spesifik untuk efek terapi yang lebih baik.
e. Hindari penggunaan obat kombinasi, kecuali jika obat kombinasi mempunyai efek
yang lebih baik dibanding obat tunggal.
f. Apabila jenis obat banyak, maka kita memilih berdasarkan obat pilihan (drug of
choice) dari penyakit yang prevalensinya tinggi.
2. Tahap Kompilasi Pemakaian Obat
Kompilasi pemakaian obat berfungsi untuk mengetahui pemakaian bulanan masing-
masing jenis obat di unit pelayanan kesehatan/puskesmas selama setahun dan sebagai data
15

pembanding bagi stok optimum. Informasi yang didapat dari kompilasi pemakaian obat
adalah :
a. Jumlah pemakaian tiap jenis obat pada masing-masing unit pelayanan kesehatan/
Puskesmas.
b. Persentase pemakaian tiap jenis obat terhadap total pemakaian setahun seluruh
unit pelayanan kesehatan/ Puskesmas.
c. Pemakaian rata-rata untuk setiap jenis obat untuk tingkat Kabupaten/ Kota.

3. Tahap Perhitungan Kebutuhan Obat.


Penentukan kebutuhan obat merupakan tantangan yang berat yang harus dihadapi
oleh tenaga farmasi yang bekerja di Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota maupun unit Pelayanan
Kesehatan Dasar (PKD). Masalah kekosongan obat atau kelebihan obat dapat terjadi apabila
informasi semata-mata hanya berdasarkan informasi yang teoritis kebutuhan pengobatan.
Dengan koordinasi dan proses perencanaan untuk pengadaan obat secara terpadu serta melalui
tahapan seperti diatas, maka diharapkan obat yang direncanakan dapat tepat jenis dan tepat
jumlah serta tepat waktu dan tersedia pada saat dibutuhkan. Adapaun pendekatan perencanaan
kebutuhan dapat dilakukan melalui beberapa metode :
a. Metode Konsumsi
Didasarkan atas analisa data konsumsi obat tahun sebelumnya, dimana untuk
menghitung jumlah obat yang dibutuhkan berdasarkan metode konsumsi perlu diperhatikan
hal-hal sebagai berikut :
1. Pengumpulan dan pengolahan data.
2. Analisa data untuk informasi dan evaluasi.
3. Perhitungan perkiraan kebutuhan obat.
4. Penyesuaian jumlah kebutuhan obat dengan alokasi dana.
b. Metode Morbiditas
Metode morbiditas adalah perhitungan kebutuhan obat berdasarkan pola penyakit,
perkiraan kenaikan kunjungan dan waktu tunggu (lead time). Langkah-langkah dalam metode
ini :
1. Menentukan jumlah penduduk yang akan dilayani.
2. Menentukan jumlah kunjungan kasus berdasarkan frekuensi penyakit.
3. Menyediakan standar/ pedoman pengobatan yang digunakan.
4. Menghitung perkiraan kebutuhan obat.
5. Penyesuaian dengan alokasi dana yang tersedia.
16

c. Penyimpanan
Penyimpanan adalah suatu kegiatan menyimpan dan memelihara dengan cara
menempatkan obat-obatan yang diterima pada tempat yang dinilai aman dari pencurian serta
gangguan fisik yang dapat merusak mutu obat. Tujuan penyimpanan obat-obatan adalah
untuk :
- Memelihara mutu obat
- Menghindari penggunaan yang tidak bertanggung jawab
- Menjaga kelangsungan persediaan
- Memudahkan pencarian dan pengawasan
Kegiatan penyimpanan obat meliputi :
- Pengaturan tata ruang
- Penyusunan stok obat
- Pencatatan stok obat
- Pengamatan mutu obat
c. Distribusi
Distribusi adalah suatu rangkaian kegiatan dalam rangka pengeluaran dan
pengiriman obat-obatan yang bermutu, terjamin keabsahan serta tepat jenis dan jumlah dari
gudang obat secara merata dan teratur untuk memenuhi kebutuhan unit-unit pelayanan
kesehatan. Tujuan distribusi yaitu:
1. Terlaksananya distrubusi obat secara merata dan teratur sehingga dapat diperoleh pada
saat dibutuhkan.
2. Terjaminnya kecukupan persediaan obat di unit pelayanan kesehatan.
Kegiatan Distribusi Kegiatan distribusi obat di Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota
terdiri dari :
- Kegiatan Distribusi Rutin
Perencanaan Distribusi pada Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota merencanakan dan
melaksanakan pendistribusian obat-obatan ke unit pelayanan kesehatan di wilayah
kerjanya.Untuk itu dilakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
a. Perumusan stok optimum
Perumusan stok optimum persediaan dilakukan dengan mem-perhitungkan siklus
distribusi rata-rata pemakaian, waktu tunggu serta ketentuan mengenai stok pengaman.
Rencana distribusi obat ke setiap unit pelayanan kesehatan termasuk rencana tingkat
ketersediaan, didasarkan kepada besarnya stok optimum setiap jenis obat di setiap unit
pelayanan kesehatan.
17

Stok Optimum = Stok Kerja + Stok Pengaman

Stok Kerja : Rata-rata pemakaian obat dalam satu periode tertentu


Pada akhir periode distribusi akan diperoleh persediaan sebesar stok pengaman di
setiap unit pelayanan kesehatan. Rencana tingkat ketersediaan di IF tiap akhir periode juga
dapat ditetapkan. Tujuan dari penetapan rencana ketersediaan pada akhir atau awal rencana
distribusi adalah untuk memastikan bahwa persediaan obat di IF cukup untuk melayani
kebutuhan obat selama periode distribusi tersebut. Posisi persediaan yang direncanakan
tersebut diharapkan dapat mengatasi setiap penyimpangan keterlambatan pelaksanaan
permintaan obat oleh unit pelayanan kesehatan atau pengiriman obat oleh IF di
Kabupaten/Kota.
2. Penetapan frekuensi pengiriman obat ke unit pelayanan kesehatan
Frekuensi pengiriman obat-obatan ke unit pelayanan kesehatan ditetapkan dengan
memperhatikan :
- Anggaran yang tersedia
- Jarak UPK dari IF
- Fasilitas gudang UPK
- Sarana yang ada di IF
- Jumlah tenaga di IF
- Faktor geografis dan cuaca
3. Penyusunan peta lokasi, jalur dan jumlah pengiriman.
Agar alokasi biaya distribusi dapat dipergunakan secara efektif dan efisien maka IF
perlu membuat peta lokasi dari unit-unit pelayanan kesehatan di wilayah kerjanya. Jarak (km)
antara IF dengan setiap unit pelayanan kesehatan dicantumkan pada peta lokasi.
Dengan mempertimbangkan jarak, biaya transportasi atau kemudahan fasilitas yang
tersedia, dapat ditetapkan rayonisasi dari wilayah pelayanan distribusi. Disamping itu
dilakukan pula upaya untuk memanfaatkan kegiatan-kegiatan tertentu yang dapat membantu
pengangkutan obat ke unit pelayanan kesehatan, misalnya kunjungan rutin petugas
Kabupaten/Kota ke unit pelayanan kesehatan, pertemuan dokter Puskesmas yang
diselenggarakan di Kabupaten/Kota dan sebagainya.
Atas dasar ini dapat ditetapkan jadwal pengiriman untuk setiap rayon distribusi
misalnya ada rayon distribusi yang dapat dilayani sebulan sekali, ada rayon distribusi yang
dapat dilayani triwulan dan ada yang hanya dapat dilayani tiap enam bulan disesuaikan
dengan anggaran yang tersedia dan lokasi unit pelayanan kesehatan.
18

- Kegiatan Distribusi Khusus


Kegiatan distribusi khusus di IF Kabupaten/Kota dilakukan sebagai berikut :
1. IF Kabupaten/Kota menyusun rencana distribusi obat untuk masing-masing program
sesuai dengan rencana pelaksanaan kegiatan program yang diterima dari Dinas
Kesehatan Provinsi atau Kabupaten/Kota. IF di Kabupaten/Kota bekerjasama dengan
penanggung jawab program mengusahakan pendistribusian obat sebelum pelaksanaan
kegiatan masing-masing program.
2. Distribusi obat program kepada Puskesmas dilakukan atas permintaan penanggung
jawab program yang diketahui oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
3. Untuk pelaksanaan program penanggulangan penyakit tertentu seperti malaria,
frambusia dan penyakit kelamin, bilamana obatnya diminta langsung oleh petugas
program kepada IF Kabupaten/Kota tanpa melalui Puskesmas, maka petugas yang
bersangkutan harus membuat laporan permintaan dan pemakaian obat yang diketahui
oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
4. Obat program yang diberikan langsung oleh petugas program kepada penderita di
lokasi sasaran, diperoleh/diminta dari Puskesmas yang membawahi lokasi sasaran.
Setelah selesai pelaksanaan pemberian obat, bilamana ada sisa obat harus
dikembalikan ke Puskesmas yang bersangkutan. Khusus untuk program diare
diusahakan ada sejumlah persediaan obat di Posyandu yang pengadaannya diatur oleh
Puskesmas.
Tata Cara Pendistribusian Obat :
1. IF di Kabupaten/ Kota melaksanakan distribusi obat ke Puskesmas di wilayah
kerjanya sesuai dengan kebutuhan masing-masing unit pelayanan kesehatan.
2. Puskesmas Induk mendistribusikan kebutuhan obat-obatan untuk Puskesmas
Pembantu, Puskesmas Keliling dan Unit Pelayanan Kesehatan lainnya yang ada di
wilayah binaannya.
3. Distribusi obat-obatan dapat pula dilaksanakan langsung dari IF ke Puskesmas
Pembantu sesuai dengan situasi dan kondisi wilayah atas persetujuan Kepala Dinas
Kesehatan.
4. Tata cara distribusi obat ke UPK dapat dilakukan dengan cara dikirim oleh IF atau
diambil oleh UPK.
5. Obat yang akan dikirim ke Puskesmas harus disertai dengan LPLPO dan atau
SBBK.Sebelum dilakukan pengepakan atas obat yang akan dikirim, maka perlu
dilakukan pemeriksaan terhadap :
19

- Jenis dan jumlah obat


- Kualitas/kondisi obat
- Isi kemasan dan kekuatan sediaan
- Kelengkapan dan kebenaran dokumen pengiriman obat
- No. Batch
- Tgl Kadaluarsa
6. Tiap pengeluaran obat dari IF harus segera dicatat pada kartu stok obat dan kartu stok
induk obat serta Buku Harian Pengeluaran Obat.
4. Penggunaan Obat
Penggunaan obat hendaknya berpedoman pada penggunaan obat rasional dengan
mengacu pada pedoman pengobatan dasar di puskesmas. Penggunaan obat di setiap
puskesmas hendaknya dikendalikan dengan baik agar kualitas pelayanan obat dapat terjaga
dan meningkatkan efisiensi pemanfaatan dana obat. Pengendalian penggunaan obat meliputi :
persentase penggunaan antibiotika, persentase penggunaan injeksi, persentase rata-rata jumlah
resep, persentase penggunaan obat generik berdasarkan resep dan dilakukan pencatatan serta
berdasarkan kesesuaian dengan pedoman.
5. Penghapusan
Penghapusan adalah rangkaian kegiatan pemusnahan sediaan farmasi dalam rangka
pembebasan barang milik/kekayaan negara dari tanggung jawab berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Tujuan penghapusan sediaan farmasi adalah sebagai
berikut :
a. Penghapusan merupakan bentuk pertanggung jawaban petugas terhadap sediaan
farmasi yang diurusinya, yang sudah ditetapkan untuk dihapuskan/dimusnahkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
b. Menghindarkan pembiayaan (biaya penyimpanan, pemeliharaan, penjagaan dan lain-
lain) atau barang yang sudah tidak layak untuk dipelihara.
c. Menjaga keselamatan dan terhindar dari pengotoran lingkungan.
Bupati/Walikota mengeluarkan Surat Keputusan Penghapusan Obat. Dalam Surat
Keputusan ini ditentukan cara penghapusan yaitu dengan jalan memusnahkan obat :
a. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, membentuk Panitia Pemusnahan,
dengan tugas-tugas antara lain:
1. Menentukan cara-cara pemusnahan dengan memperhatikan ketentuan yang
berlaku dan koordinasikan dengan Balai POM
2. Menyiapkan obat yang akan dimusnahkan
20

3. Menyiapkan pelaksanaan pemusnahan, sesuai dengan tata cara yang


disetujui, misalnya obat sediaan tablet dengan cara direndam, ditanam atau
dibakar dengan menggunakan insinerator, larutan dengan cara dituang
isinya.
4. Menetapkan lokasi pemusnahan yang jauh dari pemukiman dan lokasi
tersebut memang tempat pembuangan.
5. Membuat Berita Acara Pemusnahan (BAP)
6. Menyampaikan laporan pelaksanaan pekerjaan kepada Bupati/Walikota
setempat.
b. Berdasarkan laporan dari Panitia Pemusnahan, Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota setempat melaporkan kepada Bupati/Walikota, tentang
pelaksanaan Surat Keputusan Pemusnahan, yaitu:
1. Laporan pelaksanaan dari panitia pemusnahan
2. Berita Acara Pemusnahan (BAP)
6. Pencatatan dan Pelaporan
Pencatatan dan pelaporan merupakan rangkaian kegiatan dalam rangka penatausahaan
obat-obatan secara tertib baik obat-obatan yang diterima, disimpan, didistribusikan maupun
yang digunakan di unit-unit pelayanan kesehatan. Kegiatan ini dilakukan untuk memastikan
bahwa rencana distribusi akan dapat didukung sepenuhnya oleh sisa stok obat dalam gudang
penyimpanan unit pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan. Sarana yang digunakan
untuk pencatatan dan pelaporan obat yaitu LPLPO, kartu stok, buku catatan penerimaan, buku
catatan pengeluaran, buku catatan resep, buku catatan obat rusak atau kedaluwarsa, buku
penunjang lain. Pencatatan dan pelaporan dapat bermanfaat untuk perencanaan, pengendalian
persediaan, pengendalian distribusi, dan laporan pengelolaan obat.
7. Pengendalian dan Penilaian
Pengendalian dan penilian persediaan merupakan salah satu kegiatan untuk menjamin
tersedianya persediaan dalam jenis dan jumlah yang tepat sesuai dengan kebutuhan,
menghitung jumlah persediaan optimal, dan menjaga keseimbangan antara besarnya manfaat
yang diperoleh dari inventory dengan biaya yang dikeluarkan.

2.3.1.2 Tinjauan tentang Program Pelayanan Masyarakat


Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 31 Tahun 2016
tentang perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan No. 889/MENKES/PER/V/2011 tentang
Registrasi, Izin Praktik, dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian, setiap tenaga kefarmasian yang
21

akan menjalankan pekerjaan kefarmasian wajib memiliki surat izin sesuai tempat tenaga
kefarmasian bekerja. Surat izin tersebut yang dimaksud antara lain:
1. SIPA bagi Apoteker
2. SIPTTK bagi Tenaga Teknis Kefarmasian
Selanjutnya dalam Pasal 18 dijelaskan lebih lanjut:
1. SIPA bagi Apoteker di fasilitas kefarmasian hanya diberikan untuk 1 (satu) tempat
fasilitas kefarmasian.
2. Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) SIPA bagi Apoteker
di fasilitas pelayanan kefarmasian dapat diberikan untuk paling banyak 3 (tiga) tempat
fasilitas pelayanan kefarmasian.
Ruang lingkup program pelayanan masyarakat mencakup Perizinan Tenaga
Kefarmasian (khususnya Apoteker) dan Perizinan Sarana Kefarmasian. Beberapa perizinan
tenaga kefarmasian (khususnya apoteker) antara lain :
1. Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA) dan STRTTK bagi Tenaga Teknis
Kefarmasian
Menteri mendelegasikan pemberian STRA kepada KFN, sedangkan STRTTK kepada
Kadinkes Provinsi (dalam hal ini, Provinsi Jawa Timur melalui Pelayanan Perizinan Terpadu
(P2T)). STRA dan STRTTK berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diregistrasi ulang
selama memenuhi persyaratan. Registrasi ulang harus dilakukan minimal 6 (enam) bulan
sebelum STRA atau STRTTK habis masa berlakunya.
2. Surat Bukti Lapor
Apoteker wajib mengurus surat bukti lapor agar identitas apoteker dapat
terdokumentasi pada bank data tenaga apoteker di Provinsi Jawa Timur. Bagi Apoteker yang
hendak bekerja di luar Provinsi Jawa Timur wajib mengurus surat lolos butuh. Bukti lapor
dan Lolos Butuh dapat diurus di Bidang Sumber Daya Kesehatan Seksi Sumber Daya
Manusia Kesehatan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur dengan melampirkan persyaratan
yang telah ditentukan.
3. Surat Lolos Butuh (jika akan bekerja di luar provinsi Jawa Timur)
Surat Lolos Butuh ini mendapatkan rekomendasi dari Organisasi Profesi Setempat
(IAI Cabang), maka pengajuan permohonan oleh pemohon kepada Pengurus Cabang setempat
dengan melampirkan :
1. Fotokopi Kartu Tanda Anggota atau Surat Keterangan Keanggotaan dari Pengurus
Daerah bagi yang masih dalam pengurusan Kartu Tanda Anggota
2. Fotokopi STRA/Surat penugasan/Surat Ijin Kerja
22

3. Surat keterangan dari tempat praktek atau tempat bekerja


4. Bagi yang akan mendirikan apotek sendiri cukup dengan membuat surat
pernyataan bermaterai
5. Akta Notaris Perjanjian kerjasama antara apoteker dengan Investor bagi apoteker
yang bukan Pemilik Sarana
6. Fotokopi Sertifikat Kompetensi Apoteker
7. Bagi apoteker yang berasal dari cabang atau daerah lain harus melampirkan Surat
Lolos Butuh
8. Surat Keterangan Domisili
9. Untuk daerah-daerah perbatasan antar Kabupaten atau Kota ataupun Propinsi
maka ketentuan lebih lanjut diatur dengan Peraturan Pengurus Cabang dan
Pengurus Daerah setempat.
Berdasarkan SK PP IAI No 007/PO/PP-IAI/V/2010 tentang Peraturan Organisasi
terkait Rekomendasi Ijin Praktek atau Kerja disebutkan surat rekomendasi dikeluarkan oleh
pengurus cabang dengan disertai tembusan kepada pengurus daerah sebagai laporan. Surat
lolos butuh merupakan surat bagi apoteker yang akan bekerja di luar kota dan atau luar
provinsi.
Cara untuk mengurus surat lolos butuh bagi :
1. Lolos butuh bagi lulusan baru
a. Pemohon melakukan registrasi keanggotaan melalui Pengurus Daerah setempat
dimana Perguruan Tinggi tersebut berada sesuai dengan Peraturan Organisasi
tentang Registrasi Anggota.
b. Pemohon mengajukan permohonan kepada pengurus daerah setempat dimana
Perguruan Tinggi tersebut berada dengan melampirkan :
- Fotokopi ijazah pendidikan profesi apoteker dan surat sumpah.
- Surat pernyataan kesanggupan mematuhi kode etik apoteker.
- Fotokopi bukti lapor ke Dinas Kesehatan Provinsi setempat.
- Surat keterangan dari calon tempat kerja (bagi yang akan mendirikan apotek
sendiri cukup dengan membuat surat pernyataan bermaterai.
2. Lolos butuh antar Provinsi
a. Pemohon mengajukan permohonan ke Pengurus Daerah melalui Pengurus Cabang
setempat dengan melampirkan :
- Surat keterangan dari tempat kerja lama
23

- Surat keterangan dari tempat kerja baru (bagi yang ingin mendirikan apotek
sendiri cukup membuat surat pernyataan bermaterai)
- Kartu tanda anggota.
b. Pengurus Cabang memberikan surat pengantar yang ditujukan kepada Pengurus
Daerah setempat.
c. Surat keterangan lolos butuh antar Kabupaten/Kota dalam satu Provinsi.

4. Surat Persetujuan Pergantian Apoteker di Sarana Produksi, Distribusi maupun


Pelayanan
Apoteker yang hendak berpindah kerja dari sarana kefarmasian lain baik sarana
produksi, distribusi maupun pelayanan, maka Apoteker lama atau/dan Apoteker Pengganti
wajib mengurus Surat Persetujuan Pergantian Apoteker, dengan melampirkan persyaratannya
yaitu :
1. Persyaratan Permohonan Pergantian Apoteker Pengelola Apotek :
a. Surat Permohonan Pergantian Apoteker Pengelola Apotek.
b. Fotokopi Ijazah, STRA, Sumpah Apoteker yang dilegalisir atas nama Apoteker
Pengelola Apotek pengganti.
c. Surat Pernyataan dgn materai Rp. 6000,- tentang kesanggupannya sebagai Apoteker
Pengelola Apotek di Apotek sesuai dengan jam praktek.
d. Fotokopi KTP.
e. Fotokopi SIPA lama dan baru.
f. Fotokopi SIA aatas nama Apoteker Pengelola Apotek lama.
g. Surat Keterangan/Persetujuan dari Dinkes Kabupaten/Kota.

2. Persyaratan Permohonan Surat Persetujuan Pergantian APJ IFRS :


a. Surat Permohonan Pergantian APJ IFRS.
b. Surat Persetujuan Pergantian APJ IFRS.
c. Fotokopi Ijazah S1 Farmasi dan Apoteker, Sumpah Apoteker, STRA yang telah
dilegalisir.
d. Fotokopi KTP.
e. Surat Pernyataan kesediaan bekerja sebagai APJ IFRS– Fotocopi Izin Rumah Sakit.
f. Kelengkapan lain dari Apoteker Penanggungjawab IFRS yangbaru bagi yang
pernah bekerja di sarana kesehatan (Program studi Kefarmasian, Perbekalan
Kesehatan dan Rumah Sakit).
24

3. Persyaratan Permohonan Pergantian Penanggungjawab di Sarana Produksi :


a. Surat Permohonan Pergantian Penanggungjawab (tercantum nama industri, alamat
industri, nama direktur, nama APJ lama, nama APJ baru).
b. Surat Perjanjian Kerja APJ yg baru dengan direktur.
c. Asli surat pernyataan kesediaan bekerja Apoteker baru sebagai PJ.
d. Asli surat keterangan Apoteker bar sebagai penanggungjawab dari industri.
e. Asli surat pengunduran diri Apoteker yang lama sebagai penanggungjawab.
f. Asli surat pemberhentian Apoteker yang lama sebagai penanggungjawab dari
industri.
g. Asli Berita Acara Penyerahan Tugas dari Apoteker lama ke Apoteker baru.
h. Fotokopi Ijazah APJ baru.
i. Fotokopi STRA APJ baru.
j. Fotokopi Izin Produksi atas nama APJ lama.
4. Persyaratan Permohonan Pergantian Penanggungjawab di Sarana Distribusi :
a. Surat Permohonan Pergantian Penanggungjawab.
b. Fotokopi Ijazah S1 Farmasi dan Apoteker, Bukti Sumpah Apoteker, STRA yang
telah dilegalisir.
c. Fotokopi KTP (Penanggungjawab lama dan baru/pengganti) Surat Pernyataan
kesediaan bekerja sebagai penanggung jawab secara fulltime.
d. Fotokopi Izin Sarana Distribusi.
5. Surat Penempatan Bekerja Apoteker (Ketenagaan)
Setiap Apoteker harus mengurus Surat Ketenagaan dimana sebagai persyaratan
pengurusan Surat Izin Apotek (SIA) dikhususkan bagi Apoteker yang bekerja di sarana
pelayanan Apotek. Persyaratan Permohonan Surat Ketenagaan :
a. Surat permohonan ditujukan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi.
b. Kelengkapan Form AP1.
c. Fotokopi Ijazah, STRA dan Sumpah Apoteker.
d. Surat Rekomendasi dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dimana
Apoteker bekerja.
e. Pengajuan Nama Apotek.
Bagi Apotek Baru wajib mendaftarkan nama apotek dengan mengajukan usulan nama
(minimal 3 nama apotek) agar tidak terjadi duplikasi nama. Pengajuan nama apotek dapat
dilakukan secara langsung datang ke Seksi Kefarmasian ataupun melalui telepon. Dalam hal
25

Perizinan Sarana Kefarmasian, pelimpahan wewenang Perizinan Sarana Kefarmasian antara


lain :
1. Direktur Jenderal Farmasi dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia : Industri Farmasi, Industri Kosmetika, Industri Alkes (Produksi Alkes),
Industri PKRT (Produksi PKRT), PBF Pusat, PAK Pusat, IOT/IEBA
2. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi : PBF cabang, PAK Cabang, UKOT (Daerah Jawa
Timur melalui P2T)
3. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota : Apotek, Toko Obat, Toko Alkes, IRTP,
UMOT.

2.3.1.3 Tinjauan tentang Program Pelayanan Kefarmasian


Berdasarkan WHO 1983, penggunaan obat dikatakan rasional bila pasien menerima
pengobatan sesuai dengan kebutuhan, dalam periode waktu yang adekuat, dan dengan biaya
yang paling murah untuknya dan masyarakat. Secara praktis penggunaan obat dikatakan
rasional jika memenuhi kriteria 4T1W, yaitu :
1. Tepat pasien
2. Tepat obat
3. Tepat dosis
4. Tepat interval waktu pemberian
5. Waspada terhadap efek samping obat
Pentingnya tujuan penggunaan obat yang rasional adalah :
a. Untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi belanja obat yaitu sebagai salah satu
upaya cost effective medical interventions
b. Untuk mempermudah akses masyarakat dalam memperoleh obat dengan harga
terjangkau
c. Untuk mencegah dampak penggunaan obat yang tidak tepat sehingga dapat
membahayakan pasien
d. Untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat/pasien terhadap mutu pelayanan
kesehatan.
Penggunaan obat dikatakan tidak rasional apabila :
1. Polifarmasi, yaitu obat dalam jumlah yang banyak dalam suatu resep (dan atau
tanpa resep) untuk efek klinik yang tidak sesuai
2. Penggunaan antibiotika secara tidak tepat dosis dan indikasinya
3. Penggunaan injeksi yang berlebihan ketika formulasi oral lebih tepat
26

4. Pemberian resep yang tidak sesuai dengan indikasi klinis dan diagnosis
5. Swamedikasi yang tidak tepat, seperti tidak patuh pada batasan dosis.
a. Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 72 Tahun 2016 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, yang dimaksud dengan Rumah Sakit adalah
institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara
paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Pelayanan
kefarmasian di Rumah Sakit meliputi dua kegiatan yaitu kegiatan yang bersifat manajerial
berupa pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan Bahan Medis Habis Pakai (BMHP)
dan kegiatan pelayanan farmasi klinik. Kegiatan pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan
dan BMHP yang dilakukan di Rumah Sakit berdasarkan Permenkes RI Nomor 72 Tahun 2016
adalah :
1. Kegiatan pemilihan untuk menetapkan jenis sediaan farmasi, alat kesehatan dan
BMHP sesuai dengan kebutuhan.
2. Perencanaan kebutuhan untuk menentukan jumlah dan periode pengadaan sediaan
famasi, alat kesehatan dan BMHP sesuai dengan hasil kegiatan pemilihan untuk
menjamin terpenuhinya kriteria tepat jenis, tepat jumlah, tepat waktu dan efisien.
3. Pengadaan kebutuhan untuk merealisasikan perencanaan kebutuhan.
4. Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis, spesifikasi,
jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam kontrak atau surat
pesanan dengan kondisi fisik yang diterima.
5. Penyimpanan sediaan farmasi, alat kesehatan dan BMHP sesuai dengan
persyaratan kefarmasian.
6. Pendistribusian/menyalurkan/menyerahkan sediaan farmasi, alat kesehatan dan
BMHP dari tempat penyimpanan sampai kepada unit pelayanan/pasien dengan
tetap menjamin mutu, stabilitas, jenis, jumlah dan ketepatan waktu.
7. Pemusnahan dan penarikan sediaan farmasi, alat kesehatan dan BMHP.
8. Pengendalian terhadap jenis dan jumlah persediaan dan penggunaan sediaan
farmasi, alat kesehatan dan BMHP.
9. Kegiatan adminsitrasi yang dilakukan meliputi : pencatatan dan pelaporan,
administrasi keuangan, dan adminitrasi penghapusan.
Pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang diberikan Apoteker
kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan meminimalkan risiko
27

terjadinya efek samping karena obat. Pelayanan farmasi klinik yang dilakukan berdasarkan
Permenkes No 72 Tahun 2016 meliputi :
1. Pengkajian dan pelayanan resep, bertujuan menganalisa kebenaran dan keilegalan
resep, bila ditemukan masalah terkait obat harus segera dikonsultasikan kepada
dokter penulis resep. Apoteker harus melakukan pengkajian resep sesuai
persyaratan administrasi, farmasetik dan persyaratan klinis.
2. Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat (RPO) merupakan proses untuk
mendapatkan informasi terkait seluruh obat atau sediaan farmasi lain yang
pernah dan sedang digunakan.
3. Rekonsiliasi obat dilakukan dengan membandingkan instruksi pengobatan dengan
obat yang telah didapat pasien.
4. Pelayanan Informasi Obat (PIO) merupakan kegiatan penyediaan dan pemberian
informasi, rekondemasi obat yang independen, akurat, tidak bias, terkini dan
komprehensif yang dilakukan oleh Apoteker.
5. Konseling obat adalah suatu akitivitas pemberian nasihat atau saran terkait obat
dari Apoteker (Konselor) kepada pasien dan/atau keluarganya.
6. Visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan
Apoteker secara mandiri atau bersama tim tenaga kesehatan untuk mengamati
kondisi klinis pasien secara langsung dan mengkaji masalah terkait obat,
memantau terapi obat dan reaksi obat yang tidak dikehendaki, meningkatkan
terapi obat yang rasional dan menyajikan informasi obat kepada dokter, pasien
serta profesional kesehatan lainnya.
7. Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan suatu proses yang mencakup kegiatan
untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien.
8. Monitoring Efek Samping Obat yang digunakan untuk memantau setiap respon
terhadap obat yang tidak dikehendaki, yang terjadi pada dosis lazim yang
digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi.
9. Evaluasi Penggunaan Obat.
b. Pelayanan Kefarmasian di Apotek
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2016
tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, yang dimaksud dengan Apotek adalah
sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukannya praktek kefarmasian oleh Apoteker.
Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada
pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti
28

untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Menurut Permenkes RI Nomor 73 Tahun 2016
tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, cakupan standar pelayanan kefarmasian
meliputi:
1. Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai terdiri dari :
a. Perencanaan
b. Pengadaan
c. Penerimaan
d. Penyimpanan
e. Pemusnahan
f. Pengendalian
g. Pencatatan dan Pelaporan
2. Pelayanan Farmasi Klinik, terdiri dari :
a. Pengkajian resep
b. Dispensing
c. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
d. Konseling
e. Pelayanan Kefarmasian di rumah (home pharmacy care)
f. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
g. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)

c. Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas


Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2014
tentang Pusat Kesehatan Mayarakat, yang dimaskud dengan Puskesmas adalah fasilitas
pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya
kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan
preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi–tingginya di wilayah
kerjanya.
Prinsip penyelenggaraan Puskesmas meliputi :
1. Paradigma Sehat
Puskesmas mendorong seluruh pemangku kepentingan untuk berkomitmen dalam
upaya mencegah dan mengurangi resiko kesehatan yang dihadapi individu, keluarga,
kelompok dan masyarakat
2. Pertanggung jawaban wilayah
Puskesmas bertanggung jawab terhadap pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya
29

3. Kemandirian masyarakat
Puskesmas mendorong kemandirian hidup sehat bagi individu, keluarga, kelompok,
dan masyarakat
4. Pemerataan
Puskesmas menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang dapat diakses dan terjangkau
oleh seluruh masyarakat di wilayah kerjanya secara adil tanpa membedakan status sosial,
ekonomi, agama, budaya, dan kepercayaan
5. Teknologi tepat guna
Puskesmas menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan dengan memanfaatkan teknologi
tepat guna yang sesuai dengan kebutuhan pelayanan, mudah dimanfaatkan dan tidak
berdampak buruk pada lingkungan
6. Keterpaduan dan kesinambungan
Puskesmas mengintegrasikan dan mengoordinasikan penyelenggaraan UKM dan UKP
lintas program dan lintas sektor serta melaksanakan sistem rujukan yang didukung dengan
manajemen Puskesmas. Puskesmas memiliki tugas untuk melaksanakan kebijakan kesehatan
untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya dalam rangka
mendukung terwujudnya kecamatan sehat sedangkan fungsi Puskesmas adalah sebagai
penyelenggara tingkat pertama upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan
perseorangan di wilayah kerjanya. Selain memiliki tugas dan fungsi yang jelas, Puskesmas
juga memilki wewenang tersendiri. Kewenangan yang dimiliki Puskesmas tercantum dalam
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2014 tentang Pusat
Kesehatan Mayarakat. Kewenangan tersebut antara lain :
a. Melaksanakan perencanaan berdasarkan analisa masalah kesehatan masyarakat dan
analisa kebutuhan pelayanan yang diperlukan
b. Melaksanakan advokasi dan sosialisasi kebijakan kesehatan
c. Melaksanakan komunikasi, informasi, edukasi dan pemberdayaan masyarakat
dalam bidang kesehatan
d. Menggerakan masyarakat untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah
kesehatan pada setiap tingkat perkembangan masyarakat yang bekerjasama dengan
sektor terkait
e. Melaksanakan pembinaan teknis terhadap jaringan pelayanan dan upaya kesehatan
berbasis masyarakat
f. Melaksanakan peningkatan kompetensi sumber daya manusia Puskesmas
g. Memantau pelaksanaan pembangunan agar berwawasan kesehatan
30

h. Melaksankaan pencatatan, pelaporan dan evaluasi terhadap akses mutu, dan


cakupan pelayanan kesehatan dan memberikan rekomendasi terkait masalah
kesehatan masyarakat termasuk dukungan terhada sistem kewaspadaan dini dan
respon penanggulangan penyakit.
Untuk struktur organisasi Puskesmas, susunannya tergantung dari kegiatan dan beban
tugas masing–masing Puskesmas tersebut. Sebagai acuan dapat digunakan pola struktur
organisasi Puskesmas berdasarkan PerMenKes RI Nomor 75 Tahun 2014, sebagai berikut :
1. Kepala Puskesmas
2. Kepala Sub bagian tata usaha
3. Penanggung jawab UKM dan Keperawatan Kesehatan Masyarakat
4. Penanggung jawab UKP, kefarmasian dan Laboratorium
5. Penanggung jawab jaringan pelayanan Puskesmas dan jejaring fasilitas pelayanan
kesehatan.
Berdasarkan Permenkes Nomor 74 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Puskesmas, cakupan standar pelayanan kefarmasian meliputi:
1. Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai, terdiri dari :
a. Perencanaan kebutuhan
b. Permintaan
c. Penerimaan
d. Penyimpanan
e. Pendistribusian
f. Pengendalian
g. Pencatatan, pelaporan, dan pengarsipan
h. Pemantauan dan evaluasi pengelolaan.
2. Pelayanan farmasi klinik, terdiri dari :
a. Pengkajian resep, penyerahan Obat, dan pemberian informasi Obat
b. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
c. Konseling
d. Ronde/visite pasien (khusus Puskesmas rawat inap)
e. Pemantauan dan pelaporan efek samping Obat
f. Pemantauan terapi Obat
g. Evaluasi penggunaan Obat.
31

d. Pelayanan Kefarmasian di Pedagang Eceran Obat (Toko Obat)


Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan
Kefarmasian, menyebutkan bahwa fasilitas pelayanan kefarmasian dapat berupa Apotek,
Instalasi Rumah Sakit, klinik, toko obat atau praktek bersama. Toko obat merupakan sarana
yang memiliki izin untuk menyimpan obat bebas dan obat bebas terbatas untuk dijual secara
eceran.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No 1331/MENKES/SK/X/2002 tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan RI No 167/KAB/VIII/ 1972 tentang Pedagang
Eceran Obat. Penanggung jawab teknis farmasi di toko obat adalah seorang Asisten Apoteker.
Pemberian izin pedagang eceran obat wajib memiliki izin tertulis dari Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota dengan tembusan kepada Menteri Kesehatan, Kepala Dinas
Kesehatan Provinsi serta Balai POM setempat. Dalam hal izin sarana, pemohon mengajukan
permohonan kepada DinKes Kabupaten/Kota setempat disertai berita acara dilengkapi dengan
nama dan alamat pemohon, alamat dan denah tempat usaha, nama dan alamat asisten
apoteker, fotokopi ijasah, surat penugasan, Surat Izin Kerja Asisten Apoteker dan surat
pernyataan kesediaan bekerja Asisten Apoteker sebagai penanggung jawab teknis. Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota akan melakukan peninjauan sarana dan setelahnya Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota akan mengeluarkan sertifikat. Pedagang eceran obat harus
memasang papan nama dengan tulisan “toko obat berizin, tidak menerima resep dokter” dan
dipasang di depan toko. Tulisan tersebut harus mudah dilihat umum dan dibagian bawah
pojok kanan harus dicantumkan nomor izin. Selain itu, pedagang eceran obat dilarang
menerima atau melayani resep dokter dan membuat obat, membungkus atau membungkus
kembali.

e. Indikator Pelayanan Kefarmasian Sesuai Standar


Definisi operasional Puskesmas yang melaksanakan Pelayanan Kefarmasian Sesuai
Standar adalah Puskesmas yang melaksanakan Pemberian Informasi Obat dan Konseling yang
terdokumentasi. Cara perhitungan indikator Persentase Puskesmas yang melaksanakan
pelayanan kefarmasian sesuai standar :
% Puskesmas yang melaksanakan pelayanan kefarmasian sesuai standar

=
32

f. Indikator Penggunaan Obat Rasional


Indikator Penggunaan Obat Rasional merupakan indicator persentase Kabupaten/ Kota
yang menerapkan Penggunaan Obat Rasional (POR) di Puskesmas adalah Kabupaten/Kota
dengan 20% Puskesmasnya memiliki nilai rerata Penggunaan Obat Rasional (POR) minimal
60%.

Tabel 2.1 Indikator Kinerja, Definisi Operasional dan Target Penggunaan Obat Rasional
Tahun 2015-2019
Indikator Definisi Operasional Target
Kinerja
2015 2016 2017 2018 2019

Persentase Puskesmas yang melaksanakan 62% 64% 66% 68% 70%


Penggunaan penggunaan obat secara rasional melalui
Obat Rasional penilaian terhadap penatalaksanaan
di Pusksmas kasus ISPA non pneumonia, diare non
spesifik, penggunaan injeksi pada kasus
myalgia, dan rerata item obat per lembar
resep

1. Tujuan Indikator POR


Mengingat setiap pemberian obat harus didasarkan pada indikasi penggunaan dan
diagnosis, serta mempertimbangkan segi ilmiah kemanfaatannya, maka dokter bertanggung
jawab sepenuhnya terhadap mutu penggunaan obat yang diberikan. Jika prosedur medik yang
diterima adalah pedoman pengobatan di pusat pelayanan setempat, maka pemantauan
penggunaan obat yang rasional bertujuan untuk menilai apakah praktek penggunaan obat yang
dilakukan telah sesuai dengan pedoman pengobatan yang berlaku.

2. Manfaat Indikator POR


a. Bagi dokter/pelaku pengobatan
Pemantauan penggunaan obat dapat digunakan untuk melihat mutu pelayanan
pengobatan dan mutu keprofesian.Dengan pemantauan ini maka dapat dideteksi adanya
33

kemungkinan penggunaan yang berlebih (over prescribing), kurang (under prescribing),


boros (extravagant prescribing) maupun tidak tepat (incorrect prescribing).
b. Segi perencanaan obat
Pemantauan penggunaan obat secara teratur dapat digunakan untuk membuat
perencanaan obat dan perkiraan kebutuhan obat secara lebih rasional. Upaya tersebut tidak
dapat berdiri sendiri. Perencanaan yang didasarkan pada data morbiditas dan pola konsumsi
yang akurat memberikan jaminan kecukupan ketersediaan obat.
c. Segi Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Pemantauan obat tidak saja bermanfaat terhadap mutu pelayanan dan upaya intervensi,
tetapi juga sebagai sarana pembinaan bagi kinerja tenaga kesehatan setempat untuk fasilitas
pelayanan kesehatan.

3. Perhitungan
Persentase Indikator Kinerja POR :

% Kinerja POR

Keterangan :
a = Persentase penggunaan antibiotik pada ISPA Non Pneumonia (angka riil)
b = Persentase penggunaan antibiotik pada Diare Non Spesifik (angka riil)
c = Persentase penggunaan injeksi pada Myalgia (angka riil)

d= %

Indikator Peresepan terdiri dari :


a. Penggunaan antibiotika pada ISPA Non Pneumonia maksimal 20%
Persentase penggunaan antibiotik pada ISPA non pneumonia

Jika a ≤ 20%, maka persentase capaian indikator kinerja POR adalah 100%

b. Penggunaan Antibiotika pada Diare Non Spesifik maksimal 8%


Persentase penggunaan antibiotik pada Diare non spesifik
34

c. Penggunaan injeksi pada Myalgia maksimal 1%


Persentase penggunaan injeksi pada myalgia

d. Rerata item obat yang diresepkan (untuk 3 penyakit tersebut di atas) maksimal 2,6

Jika d ≤ 2,6 item, maka persentase capaian indikator kinerja POR adalah 100%

4. Pengumpulan data peresepan dan mekanisme pelaporan


Pengumpulan data peresepan dilakukan oleh petugas Puskesmas /Puskesmas
Pembantu, satu kasus setiap hari untuk diagnosis yang telah ditetapkan sehingga didapat 25
data untuk setiap kasus per bulan. Kemudian petugas Puskesmas melakukan perhitungan
seperti dijelaskan pada poin Nomor 3. Untuk selanjutnya setiap bulan di kirimkan ke Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota. Pada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota data dari setiap
Puskesmas di wilayahnya di rekapitulasi per triwulan untuk dikirimkan ke Dinas Kesehatan
Provinsi. Pada Dinas Kesehatan Provinsi data dari setiap Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
diwilayahnya direkapitulasi per triwulan untuk kemudian dikirimkan ke tingkat Pusat dalam
hal ini Kepada Direktorat Pelayanan Kefarmasian.
5. Cara Pengisian Formulir Monitor Indikator Peresepan :
Formulir Monitor Indikator Peresepan digunakan hanya untuk kasus pasien yang
berobat ke Puskesmas/Puskesmas pembantu (pustu) dengan diagnosis tunggal ISPA non-
pneumonia (batuk-pilek), diare akut non spesifik, dan penyakit sistem otot dan jaringan.
Pemilihan ketiga diagnosis berdasarkan :

a. Termasuk 10 penyakit terbanyak


b. Diagnosis dapat ditegakkan oleh petugas tanpa memerlukan pemeriksaan penunjang
c. Pedoman terapi untuk ketiga diagnosis jelas
d. Tidak memerlukan antibiotik/injeksi
e. Selama ini ketiganya dianggap potensial untuk diterapi secara tidak rasional.
Berikut merupakan tahap proses pengisian formulir monitor indikator peresepan di
puskesmas atau puskesmas pembantu (pustu) :
35

a. Pasien diambil dari register harian, 1 kasus per hari untuk setiap diagnosis terpilih.
Dengan demikian dalam 1 bulan diharapkan terkumpul sekitar 25 kasus per
diagnosis terpilih.
b. Bila pada hari tersebut tidak ada pasien dengan diagnosis tersebut, kolom
dikosongkan, dan diisi dengan diagnosis yang sama, yang diambil pada hari-hari
berikutnya.
c. Untuk masing-masing diagnosis tersebut, diambil pasien dengan urutan pertama
pada hari pencatatan. Diagnosis diambil yang tunggal, tidak ganda atau yang
disertai penyakit/keluhan lain.
d. Puyer dan obat kombinasi ditulis rincian jenis obatnya.
e. Jenis obat termasuk obat minum, injeksi, dan obat luar.
f. Imunisasi tidak dimasukkan dalam kategori injeksi.
g. Istilah antibiotik termasuk kemoterapi dan antiamoeba.
h. Kolom “kesesuaian dengan pedoman” dikosongkan. Kolom ini akan diisi oleh
pembina pada saat kunjungan supervisi (diambil 10 sampel peresepan secara acak
untuk diskusi).

2.3.1.4 Tinjauan tentang Program Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif (NAPZA)
NAPZA merupakan singkatan dari narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif lainnya,
meliputi zat alami atau sintetis yang bila dikonsumsi menimbulkan perubahan fungsi fisik dan
psikis, serta menimbulkan ketergantungan (Menkes, 2015). Oleh karena itu obat ini sangat
penting dan bermanfaat dalam pelayanan kesehatan serta perlu diperhatikan dampaknya bagi
masyarakat. Pengelolaan narkotika dan psikotropika harus mengikuti kaidah pengelolaan
yaitu tersedia, aman, bermutu dan berkhasiat. Untuk penerapan kaidah tersebut, pemerintah
telah menetapkan Undang-Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Undang-Undang No
5 Tahun 1997 tentang Psikotropika serta Permenkes No 3 Tahun 2015 tentang Peredaran,
Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2015 tentang Peredaran,
Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi,
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis,
yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi
sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Psikotropika
adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat
psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan
36

khas pada aktivitas mental dan perilaku. Prekursor adalah zat atau bahan pemula atau bahan
kimia yang dapat digunakan sebagai bahan baku/penolong untuk keperluan proses produksi
industri farmasi atau produk antara, produk ruahan, dan produk jadi yang mengandung
ephedrine, pseudoephedrine, norephedrine/phenylpropanolamine, ergotamin, ergometrine,
atau potasium permanganat.
Pengelolaan sediaan farmasi golongan Narkotika, Psikotropika dan Prekursor ini
merupakan tanggung jawab sepenuhnya dari apoteker dalam berbagai hal :
1. Peredaran
Peredaran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi terdiri dari Penyaluran dan
Penyerahan. Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi yang diedarkan harus memenuhi
persyaratan keamanan, khasiat, dan mutu.
2. Penyaluran
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2015
tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika, dan
Prekursor Farmasi penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi hanya dapat
dilakukan berdasarkan surat pesanan atau Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat
(LPLPO) untuk pesanan dari Puskesmas.
Pengiriman Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi yang dilakukan oleh
Industri Farmasi, PBF, atau Instalasi Farmasi Pemerintah harus dilengkapi dengan :
a. Surat Pesanan
b. Faktur dan/atau surat pengantar barang, paling sedikit memuat:
1. Nama Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi
2. Bentuk sediaan
3. Kekuatan
4. Kemasan
5. Jumlah
6. Tanggal kedaluwarsa
7. Nomor bets
3. Penyerahan
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2015
tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika, dan
Prekursor Farmasi penyerahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi hanya dapat
dilakukan dalam bentuk obat jadi dan harus dilaksanakan oleh Apoteker di fasilitas pelayanan
kefarmasian. Penyerahan Narkotika dan/atau Psikotropika hanya dapat dilakukan oleh :
37

a. Apotek
b. Puskesmas
c. Instalasi Farmasi Rumah Sakit
d. Instalasi Farmasi Klinik
e. Dokter
Penyerahan Prekursor Farmasi hanya dapat dilakukan oleh:
a. Apotek
b. Puskesmas
c. Instalasi Farmasi Rumah Sakit
d. Instalasi Farmasi Klinik
e. Dokter
f. Toko Obat
4. Penyimpanan
Penyimpanan adalah kegiatan menyimpan dan memelihara dengan cara menempatkan
narkotika dan psikotropika yang diterima pada tempat yang khusus, yang terhindar dari
pencurian serta gangguan fisik yang dapat merusak mutu. Sesuai dengan PerMenKes RI No 3
Tahun 2015 tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika,
Psikotropika, dan Prekursor Farmasi pada BAB III Pasal 25 ayat (1) menyebutkan bahwa
tempat penyimpanan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dapat berupa gudang,
ruangan, atau lemari khusus. Dalam pasal 26, gudang yang dimaksudkan pada pasal 25 ayat
(1) harus memenuhi persyaratan :
a. Dinding dibuat dari tembok dan hanya mempunyai pintu yang dilengkapi dengan
pintu jeruji besi dengan 2 (dua) buah kunci yang berbeda.
b. Langit-langit dapat terbuat dari tembok beton atau jeruji besi.
c. Jika terdapat jendela atau ventilasi harus dilengkapi dengan jeruji besi.
d. Gudang tidak boleh dimasuki oleh orang lain tanpa izin Apoteker penanggung
jawab.
e. Kunci gudang dikuasai oleh Apoteker penanggung jawab dan pegawai lain yang
dikuasakan.
Pada pasal 26 ruang khusus yang dimaksudkan pada pasal 25 ayat 1, harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut :
a. Dinding dan langit-langit terbuat dari bahan yang kuat.
b. Jika terdapat jendela atau ventilasi harus dilengkapi dengan jeruji besi.
c. Mempunyai satu pintu dengan 2 (dua) buah kunci yang berbeda.
38

d. Kunci ruang khusus dikuasai oleh Apoteker penanggung jawab/Apoteker yang


ditunjuk dan pegawai lain yang dikuasakan.
e. Tidak boleh dimasuki oleh orang lain tanpa izin Apoteker penanggung
jawab/Apoteker yang ditunjuk.
Pada pasal 26 lemari khusus yang dimaksudkan pada pasal 25 ayat 1, harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut :
1. Terbuat dari bahan yang kuat.
2. Tidak mudah dipindahkan dan mempunyai 2 (dua) buah kunci yang berbeda.
3. Harus diletakkan dalam ruang khusus di sudut gudang, untuk Instalasi Farmasi
Pemerintah.
4. Diletakkan di tempat yang aman dan tidak terlihat oleh umum, untuk Apotek,
Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Puskesmas, Instalasi Farmasi Klinik, dan Lembaga
Ilmu Pengetahuan.
5. Kunci lemari khusus dikuasai oleh Apoteker penanggung jawab/Apoteker yang
ditunjuk dan pegawai lain yang dikuasakan.
Persyaratan penyimpanan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dapat
dilihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Penyimpanan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi menurut PerMenKes
RI No 3 Tahun 2015
Industri Farmasi PBF Instalasi Apotek Puskesmas
Farmasi
Narkotika Gudang khusus
yang terdiri atas :
a. Gudang khusus Narkotika dalam
bentuk bahan baku; dan Lemari khusus
b. Gudang khusus Narkotika

Psikotropika Gudang khusus atau ruang khusus


yang terdiri atas :
a. Gudang khusus atau ruang khusus
Psikotropika dalam bentuk bahan
baku; dan
b. Gudang khusus atau ruang khusus Lemari khusus
Psikotropika dalam bentuk obat jadi.

Prekursor Gudang khusus atau ruang khusus


Lemari khusus
39

5. Pemusnahan
Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan No 3 Tahun 2015 tentang Peredaran,
Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi
pada Bab IV, Pemusnahan dilakukan Apoteker terhadap narkotika dan psikotropika yang
rusak, kedaluwarsa, dan atau tidak memenuhi syarat untuk digunakan dalam pelayanan
kesehatan. Sedangkan dokumen pengelolaan narkotika dan psikotropika dapat dimusnahkan
setelah disimpan lebih dari 3 (tiga) tahun. Langkah-langkah pemusnahan sesuai dengan pasal
40 sebagai berikut:
1. Penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas distribusi/fasilitas pelayanan
kefarmasian/pimpinan lembaga/dokter praktik perorangan menyampaikan surat
pemberitahuan dan permohonan saksi kepada :
a. Kementrian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan, bagi Instalasi
Farmasi Pemerintah Pusat.
b. Dinas Kesehatan Provinsi dan/atau Balai Besar/Balai Pengawas Obat dan
Makanan setempat, bagi Importir, Industri Farmasi, PBF, Lembaga Ilmu
Pengetahuan, atau Instalasi Farmasi Pemerintah Provinsi.
c. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan/atau Balai Besar /Balai Pengawas Obat dan
Makanan setempat, bagi Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi
Klinik, Instalasi Farmasi Pemerintah Kabupaten/Kota, Dokter, atau Toko Obat.
2. Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan, Dinas Kesehatan
Provinsi, Balai Besar/Balai Pengawas Obat dan Makanan setempat, dan Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota menetapkan petugas di lingkungannya menjadi saksi
pemusnahan sesuai dengan surat permohonan sebagai saksi.
3. Pemusnahan disaksikan oleh petugas yang telah ditetapkan.
4. Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi dalam bentuk bahan baku, produk
antara, dan produk ruahan harus dilakukan sampling untuk kepentingan pengujian
oleh petugas yang berwenang sebelum dilakukan pemusnahan.
5. Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi harus
dilakukan pemastian kebenaran secara organoleptis oleh saksi sebelum dilakukan
pemusnahan.
Langkah-langkah membuat berita acara pemusnahan dilakukan sesuai dengan pasal 42
adalah sebagai berikut :
a. Penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas distribusi/fasilitas pelayanan
kefarmasian/pimpinan lembaga/dokter praktik perorangan yang melaksanakan
40

pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi harus membuat


Berita Acara Pemusnahan.
b. Berita Acara Pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (a), paling sedikit
memuat:
1. Hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan
2. Tempat pemusnahan
3. Nama penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas distribusi/fasilitas
pelayanan kefarmasian/pimpinan lembaga/dokter praktik perorangan
4. Nama petugas kesehatan yang menjadi saksi dan saksi lain badan/sarana
tersebut
5. Nama dan jumlah Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi yang
dimusnahkan
6. Cara pemusnahan
7. Tanda tangan penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas distribusi/fasilitas
pelayanan kefarmasian/pimpinan lembaga/dokter praktik perorangan dan
saksi.
c. Berita Acara Pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (a) dibuat dalam
rangkap 3 (tiga) dan tembusannya disampaikan kepada Direktur Jenderal dan
Kepala Badan/Kepala Balai.
6. Pencatatan dan Pelaporan
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2015
tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika, dan
Prekursor Farmasi pada Bab V, pasal 43 dan 44 mengenai pencatatan yaitu :
1. Industri Farmasi, PBF, Instalasi Farmasi Pemerintah, Apotek, Puskesmas,
Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik, Lembaga Ilmu
Pengetahuan, atau dokter praktik perorangan yang melakukan produksi,
Penyaluran, atau Penyerahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi
wajib membuat pencatatan mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran Narkotika,
Psikotropika, dan Prekursor Farmasi.
2. Toko Obat yang melakukan penyerahan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi
wajib membuat pencatatan mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran Prekursor
Farmasi dalam bentuk obat jadi.
3. Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling sedikit terdiri
atas :
41

a. Nama, bentuk sediaan, dan kekuatan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor


Farmasi
b. Jumlah persediaan
c. Tanggal, nomor dokumen, dan sumber penerimaan
d. Jumlah yang diterima
e. Tanggal, nomor dokumen, dan tujuan penyaluran/penyerahan
f. Jumlah yang disalurkan/diserahkan
g. Nomor bets dan kedaluwarsa setiap penerimaan, penyaluran dan penyerahan
h. Paraf atau identitas petugas yang ditunjuk
4. Pencatatan yang dilakukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
harus dibuat sesuai dengan dokumen penerimaan dan dokumen penyaluran
termasuk dokumen impor, dokumen ekspor dan/atau dokumen penyerahan.
Seluruh dokumen pencatatan, dokumen penerimaan, dokumen penyaluran,
dan/atau dokumen penyerahan termasuk surat pesanan Narkotika, Psikotropika,
dan Prekursor Farmasi wajib disimpan secara terpisah paling singkat tiga tahun.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun
2015 tentang Peredaran, Penyimpanan Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika,
Psikotropika, dan Prekursor Farmasi pada Bab V, pasal 45 mengenai pelaporan
yaitu :
a. Industri Farmasi yang memproduksi Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor
Farmasi wajib membuat, menyimpan, dan menyampaikan laporan produksi
dan penyaluran produk jadi Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi
setiap bulan kepada Direktur Jenderal dengan tembusan Kepala Badan.
b. PBF yang melakukan penyaluran Narkotika, Psikotropika dan Prekursor
Farmasi dalam bentuk obat jadi wajib membuat, menyimpan, dan
menyampaikan laporan pemasukan dan penyaluran Narkotika, Psikotropika,
dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi setiap bulan kepada Kepala
Dinas Kesehatan Provinsi dengan tembusan Kepala Badan/Kepala Balai.
c. Instalasi Farmasi Pemerintah Pusat wajib membuat, menyimpan, dan
menyampaikan laporan pemasukan dan penyaluran Narkotika, Psikotropika,
dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi kepada Direktur Jenderal
dengan tembusan Kepala Badan
d. Instalasi Farmasi Pemerintah Daerah wajib membuat, menyimpan, dan
menyampaikan laporan pemasukan dan penyaluran Narkotika, Psikotropika,
42

dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi kepada Kepala Dinas
Kesehatan Provinsi atau Kabupaten/Kota setempat dengan tembusan kepada
Kepala Balai setempat
e. Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4)
paling sedikit terdiri atas :
- Nama, bentuk sediaan, dan kekuatan Narkotika, Psikotropika, dan/atau
Prekursor Farmasi
- Jumlah persediaan awal dan akhir bulan
- Tanggal, nomor dokumen, dan sumber penerimaan
- Jumlah yang diterima
- Tanggal, nomor dokumen, dan tujuan penyaluran
- Jumlah yang disalurkan
- Nomor bets dan kedaluwarsa setiap penerimaan atau penyaluran dan
persediaan awal dan akhir.
5. Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik, Lembaga Ilmu
Pengetahuan, dan dokter praktik perorangan wajib membuat, menyimpan, dan
menyampaikan laporan pemasukan dan penyerahan/penggunaan Narkotika dan
Psikotropika, setiap bulan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
dengan tembusan Kepala Balai setempat.
6. Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) paling sedikit terdiri atas :
- Nama, bentuk sediaan, dan kekuatan Narkotika, Psikotropika, dan/ atau
Prekursor Farmasi
- Jumlah persediaan awal dan akhir bulan
- Jumlah yang diterima
- Jumlah yang diserahkan
7. Puskesmas wajib membuat, menyimpan, dan menyampaikan laporan pemasukan
dan penyerahan/penggunaan Narkotika dan Psikotropika sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan
8. Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 sampai dengan ayat 4 dan ayat 6
dapat menggunakan sistem pelaporan Narkotika, Psikotropika, dan/atau Prekursor
Farmasi secara elektronik
9. Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 sampai dengan ayat 4 dan ayat 6
disampaikan paling lambat setiap tanggal 10 bulan berikutnya.
43

10. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan Narkotika, Psikotropika,
dan/atau Prekursor Farmasi diatur oleh Direktur Jenderal.

7. Sistem Pelaporan Narkotika dan Psikotropika (SIPNAP)


Software SIPNAP adalah sebuah program sistem pelaporan narkotika dan
psikotropika. Program ini dikembangkan dan dikelola oleh Direktorat Bina Produksi dan
Distribusi Kefarmasian, Ditjen Binfar dan Alkes, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Aplikasi ini diperuntukkan bagi seluruh Unit Pelayanan Kesehatan (Puskesmas, Rumah Sakit,
Apotek), Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Dinas
Kesehatan Provinsi di seluruh Indonesia.
8. Sanksi Hukum tentang Penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 14 ayat
4. Pelanggaran mengenai penyalahgunaan Narkotika akan diberikan sanksi administratif oleh
Menteri atas rekomendasi dari Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan, berupa:
a. Teguran
b. Peringatan
c. Denda administratif
d. Penghentian sementara kegiatan, atau pencabutan izin

2.3.1.5 Tinjauan tentang Program Obat Tradisional (OT)


Menururt Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 006 Tahun 2012
tentang Industri dan Usaha Obat Tradisional menyatakanObat tradisional adalah bahan atau
ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian
(galenik) atau campuran bahan tersebut yang secara turun-temurun telah digunakan untuk
pengobatan berdasarkan pengalaman. Dalam pembuatan obat tradisional, terdapat beberapa
aspek kegiatan pembuatan obat tradisional yang bertujuan untuk menjamin agar produk yang
dihasilkan senantiasa memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan sesuai dengan tujuan
penggunaannya. Seluruh aspek kegiatan pembuatan obat tradisional tersebut tertuang dalam
CPOTB (Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik).
Terdapat beberapa jenis usaha pembuatan obat tradisional yaitu :
1. Industri OT (IOT) adalah industri yang dapat membuat semua bentuk sediaan obat
tradisional.
2. Usaha Kecil Obat Tradisional (UKOT) adalah usaha yang dapat membuat semua
bentuk sediaan obat tradisional, kecuali bentuk sediaan tablet dan efervesen
44

3. Usaha Mikro Obat Tradisional (UMOT) adalah usaha yang hanya membuat
sediaan obat tradisional dalam bentuk param, tapel, pilis, cairan obat luar dan
rajangan.
4. Usaha jamu racikan adalah usaha yang dilakukan oleh depot jamu atau sejenisnya
yang dimiliki perorangan dengan melakukan pencampuran sediaan jadi dan/ atau
sediaan.
5. Usaha jamu gendong adalah usaha yang dilakukan oleh perorangan dengan
menggunakan bahan obat tradisional dalam bentuk cairan yang dibuat segar
dengan tujuan untuk dijajakan langsung kepada konsumen.
1. Izin Edar Obat Tradisional
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 007 Tahun
2012 2012 tentang Registrasi Obat Tradisional bahwa Obat Tradisional yang diedarkan di
wilayah Indonesia wajib memiliki izin edar. Izin edar OT diberikan oleh Kepala Badan dan
dilaksanakan melalui mekanisme registrasi sesuai dengan tatalaksana yang ditetapkan. Izin
edar yang diperoleh akan berlaku selama jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang
selama memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Izin edar dikecualikan untuk obat tradisional
yang dibuat oleh usaha jamu racikan dan usaha jamu gendong, dengan kata lain, kedua usaha
tersebut tidak perlu memiliki izin edar. Obat tradisional yang dapat diberikan izin edar harus
memenuhi kriteria beberapa kriteria yang disyaratkan antara lain:
a. Menggunakan bahan yang memenuhi persyaratan keamanan dan mutu.
b. Dibuat dengan menerapkan CPOTB
c. Harus memenuhi persyaratan Farmakope Herbal Indonesia atau persyaratan lain
yang diakui.
d. Berkhasiat yaitu dibuktikan secara empiris, turun temurun, dan/ atau secara ilmiah
e. Terdapat penandaan pada OT yang berisi informasi yang objektif, lengkap, dan
tidak menyesatkan.
f. Dilarang mengandung etil alkohol lebih dari 1%, kecuali dalam bentuk sediaan
tingtur yang pemakaiannya dengan pengenceran; bahan kimia obat yang
merupakan hasil isolasi atau sintetik berkhasiat obat; narkotika atau psikotropika;
dan/ atau bahan lain yang berdasarkan pertimbangan kesehatan dan/ atau
berdasarkan penelitian membahayakan kesehatan.
g. Dilarang dibuat dan/ atau diedarkan dalam bentuk sediaan: intravaginal; tetes
mata; parenteral; dan supositoria, kecuali digunakan untuk kondisi wasir.
45

2. Tata Cara Registrasi OT


Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No 007 Tahun 2012 tentang Registrasi dan
Perizinan Obat Tradisional hanya dapat dilakukan oleh IOT, UKOT, atau UMOT. Tata cara
registrasi OT berdasarkan PerMenKes RI No 007 Tahun 2012 pasal 14 adalah sebagai
berikut:
a. Permohonan registrasi diajukan kepada Kepala Badan
b. Ketentuan mengenai tata laksana registrasi ditetapkan dengan Peraturan Kepala
Badan
c. Dokumen registrasi merupakan dokumen rahasia yang dipergunakan terbatas
hanya untuk keperluan evaluasi oleh yang berwenang.
Pada pasal 15 dikatakan bahwa terhadap permohonan registrasi dikenai biaya sebagai
penerimaan negara bukan pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dan bila
permohonan registrasi ditolak, maka biaya yang telah dibayarkan tidak dapat ditarik kembali.
Pada pasal 16 menjelaskan bahwa Dokumen Registrasi dievaluasi, dan untuk
melakukan evaluasi dibentuk Komite Nasional Penilaian Obat Tradisional dan Tim Penilai
Keamanan, Khasiat/ Manfaat, dan Mutu yang pendiriannya ditetapkan dengan Peraturan
Kepala Badan. Komite/ tim tersebut akan memberikan rekomendasi kepada Kepala Badan
dan Kepala badan akan memberikan persetujuan berupa izin edar atau penolakan registrasi
(Pasal 18 ayat 1). Dalam hal, pemberian izin edar maka pemegang nomor izin edar
diwajibkan untuk memproduksi atau mengimpor dan mengedarkan obat tradisional selambat-
lambatnya 1 (satu) tahun setelah tanggal persetujuan dikeluarkan. Beberapa kewajiban yang
harus dipenuhi oleh pemegang nomor izin edar adalah sebagai berikut:
a. Pemegang nomor izin edar wajib melakukan pemantauan terhadap keamanan,
khasiat/ manfaat, dan mutu produk yang beredar.
b. Apabila terjadi ketidaksesuaian terhadap keamanan, khasiat/ manfaat, dan mutu
produk, pemegang nomor izin edar wajib melakukan penarikan produk dari
peredaran dan melaporkan kepada Kepala Badan.
c. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemantauan, penarikan produk dari peredaran,
dan pelaporan sebagaimana dimaksud ditetapkan melalui Peraturan Kepala Badan.

2.3.1.6 Tinjauan tentang Program Obat Kosmetik


Pengertian Kosmetik menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 1176/ MENKES/ PER/ VIII/ 2010 tentang Notifikasi Kosmetik adalah bahan atau
sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan pada bagian luar tubuh manusia (epidermis,
46

rambut, kuku, bibir dan organ genital bagian luar) atau gigi dan mukosa mulut terutama untuk
membersihkan, mewangikan, mengubah penampilan dan atau memperbaiki bau badan atau
melindungi atau memelihara tubuh pada kondisi baik.
Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dari Kosmetik yang diproduksi adalah
sebagai berikut :
1. Menggunakan bahan yang memenuhi standar dan persyaratan mutu serta persyaratan
lain yang ditetapkan.
2. Diproduksi dengan menggunakan cara pembuatan kosmetik yang baik.
3. Terdaftar pada dan mendapat izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Berdasarkan bahan dan penggunaannya, produk kosmetik dibagi dalam 2 golongan
yaitu :
1. Kosmetik golongan I adalah:
a. Kosmetik yang digunakan untuk bayi.
b. Kosmetik yang digunakan disekitar mata, rongga mulut dan mukosa lainnya.
c. Kosmetik yang mengandung bahan dengan persyaratan kadar dan penandaan.
d. Kosmetik yang mengandung bahan dan fungsinya belum lazim serta belum
diketahui keamanan dan kemanfaatannya.
2. Kosmetik golongan II adalah kosmetik yang tidak termasuk golongan I.
Berdasarkan keputusan Kepala Badan BPOM RI No HK.00.05.4.1745 tahun 2017
tentang Kosmetik bahwa bahan kosmetik harus memenuhi persyaratan mutu sesuai dengan
Kodeks Kosmetik Indonesia atau standar lain yang diakui. Selain itu, suatu industri kosmetik
harus memenuhi persyaratan Cara Pembuatan Kosmetik yang Baik dimana Penerapan Cara
Pembuatan Kosmetik yang Baik dilaksanakan secara bertahap dengan memperhatikan
kemampuan industri kosmetik.
1. Izin Edar Kosmetik
Menurut Keputusan Kepala BPOM RI No HK.00.05.4.1745 Tahun 2017 tentang
Kosmetik dikatakan bahwa sebelum kosmetik di edarkan, kosmetik harus didaftarkan untuk
mendapatkan izin edar dari Kepala Badan. Adapun pihak yang berhak untuk mendaftarkan
produk kosmetik adalah :
a. Produsen kosmetik yang mendapat izin usaha Industri
b. Perusahaan yang bertanggung jawab atas pemasaran
c. Badan hukum yang ditunjuk atau diberi kuasa oleh perusahaan dari negara asal.
Tata cara permohonan izin edar adalah sebagai berikut:
47

1. Permohonan izin edar diajukan secara tertulis kepada Kepala Badan dengan
mengisi formulir dan disket pendaftaran dengan sistem registrasi elektronik yang
telah ditetapkan, untuk dilakukan penilaian.
2. Penilaian kosmetik golongan I dilakukan dalam 2 (dua) tahap yaitu :
(1) Proses pra penilaian yang merupakan tahap pemeriksaan kelengkapan dan
keabsahan dokumen;
(2) Proses penilaian yang merupakan proses evaluasi terhadap dokumen dan data
pendukung.
3. Penilaian kosmetik golongan II hanya dilakukan terhadap kelengkapan dan
keabsahan dokumen
4. Kerahasiaan keterangan dan atau data dalam permohonan izin edar dijamin oleh
Kepala Badan.
5. Hasil penilaian dapat berupa pemberian izin edar, penambahan data atau penolakan.
6. Apabila diperoleh izin edar, akan berlaku selama 5 (lima) tahun.
2. Persyaratan Wadah dan Penandaan Kosmetik
Wadah kosmetik yang digunakan harus dapat melindungi isi terhadap pengaruh dari
luar dan dapat menjamin mutu, keutuhan dan keaslian isinya. Wadah yang digunakan harus
mempertimbangkan keamanan pemakai dan dibuat dari bahan yang tidak mengeluarkan atau
menghasilkan bahan berbahaya atau suatu bahan yang dapat mengganggu kesehatan, dan
tidak mempengaruhi mutu. Kemudian, untuk melindungi wadah (kemasan primer) maka
digunakan pembungkus sebagai kemasan sekunder.
Wadah dan pembungkus harus diberikan penandaan yang berisi informasi yang
lengkap, objektif dan tidak menyesatkan. Penandaan harus berisi informasi yang sesuai
dengan data pendaftaran yang telah disetujui oleh Kepala Badan dimana penandaan kosmetik
tidak boleh berisi informasi seolah-olah sebagai obat, tulisan harus jelas dan mudah dibaca
(menggunakan huruf latin dan angka arab), penandaan yang ditulis dengan bahasa asing harus
disertai keterangan mengenai kegunaan, cara penggunaan dan keterangan lain dalam Bahasa
Indonesia. Pada etiket wadah dan atau pembungkus harus dicantumkan informasi/ keterangan
sebagai berikut :
a. Nama produk
b. Nama dan alamat produsen atau importi/ penyalur
c. Ukuran, isi atau berat bersih
d. Komposisi dengan nama bahan sesuai dengan kodeks kosmetik Indonesia atau
nomenklatur lainnya yang berlaku
48

e. Nomor izin edar


f. Nomor bets/ kode produksi
g. Kegunaan dan cara penggunaan kecuali untuk produk yang sudah jelas
penggunaannya
h. Bulan dan tahun kedaluwarsa bagi produk yang stabilitasnya kurang dari 30 bulan
i. Penandaan lain yang berkaitan dengan keamanan dan atau mutu.
Pada penulisan nama bahan kosmetik dalam komposisi, harus mengacu pada Kodeks
Kosmetika Indonesia atau standar lain yang diakui (BPOM, 2017).

2.3.1.7 Tinjauan tentang Program Makanan dan Minuman


Program makanan dan minuman adalah termasuk salah satu program di seksi
kefarmasian yang bertujuan untuk tersedianya pangan yang aman, bermutu, dan bergizi.
Sasaran dari program makanan dan minuman adalah petugas Dinas Kesehatan Provinsi,
petugas Dinas Kesehatan Kabupaten, produsen IRTP, distributor, konsumen. Berdasarkan
Petunjuk Teknis Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota. Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Timur memiliki Program Makanan dan Minuman yang memiliki
berbagai kegiatan diantaranya adalah :
1. Pembinaan dan pengendalian pelaksanaan pengawasan dan registrasi makanan
minuman produksi rumah tangga, dimana kegiatan yang dilakukan adalah :
a. Pengambilan sampel jajanan anak sekolah.
b. Monitoring makanan minuman industri rumah tangga (IRT) di Kabupaten/ Kota
c. Pelaksanaan penyuluhan bagi produsen makanan minuman IRT, bekerjasama
dengan Dinkes Kabupaten/Kota untuk penerbitan PIRT.
2. Melakukan koordinasi pengawasan dan pengendalian dalam rangka penggunaan bahan
tambahan yang dilarang termasuk cemaran mikroba patogen dalam makanan
minuman produksi rumah tangga skala Provinsi, dimana kegiatan yang dilakukan
adalah :
a. Pertemuan teknis bagi petugas makanan minuman Kabupate/ Kota.
b. Pertemuan koordinasi dengan Dinkes Kabupaten/ Kota dan lintas sektor terkait.
c. Koordinasi dengan Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) di
Surabaya dan sektor terkait dalam pengawasan dan pengendalian penggunaan
bahan tambahan pangan (BTP).
49

d. Melaksanakan koordinasi dengan Dinkes Kabupaten/Kota untuk pelaksanaan


penyuluhan BTP bagi guru, masyarakat dan sektor terkait.
Dinas Kesehatan (Dinkes) Pemerintah Kabupaten/ Kota Jawa Timur memiliki
Program Makanan dan Minuman yang bertugas dalam:
1. Pengawasan dan registrasi makanan minuman produksi rumah tangga.
2. Pelaksanaan pengawasan dan registrasi makanan minuman produk rumah tangga.
3. Pelaksanaan penyuluhan keamanan makmin dalam rangka sertifikasi produksi
makanan minuman IRT.
4. Menerbitkan sertifikat laik sehat bagi produsen makanan minuman siap saji.
5. Melakukan pengawasan dan pengendalian dalam rangka penggunaan bahan
tambahan yang dilarang termasuk cemaran mikroba patogen dalam makmin
produksi rumah tangga skala Kabupaten/ Kota.
3. Tinjauan tentang Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP)
Menurut Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pasal 111 ayat(1)
menyatakan bahwa makanan dan minuman yang digunakan masyarakat harus didasarkan
pada standar dan/ atau persyaratan kesehatan. Terkait hal tersebut di atas, Undang-Undang
tersebut mengamanahkan bahwa makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan
standar, persyaratan kesehatan, dan/atau membahayakan kesehatan dilarang untuk diedarkan,
ditarik dari peredaran, dicabut izin edar dan disita untuk dimusnahkan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia No HK.03.1.23.04.12.2206 Tahun 2012 Tentang Cara Produksi Pangan yang Baik
(CPPB) merupakan salah satu faktor penting untuk memenuhi standar mutu atau persyaratan
keamanan pangan yang ditetapkan untuk pangan. CPPB sangat berguna bagi kelangsungan
hidup industri pangan baik yang berskala kecil, sedang, maupun yang berskala besar. Melalui
CPPB ini, industri pangan dapat menghasilkan pangan yang bermutu, layak dikonsumsi, dan
aman bagi kesehatan. Dengan menghasilkan pangan yang bermutu dan aman untuk
dikonsumsi, kepercayaan masyarakat niscaya akan meningkat, dan industri pangan yang
bersangkutan akan berkembang pesat. Dengan berkembangnya industri pangan yang
menghasilkan pangan bermutu dan aman untuk dikonsumsi, maka masyarakat pada umumnya
akan terlindung dari penyimpangan mutu pangan dan bahaya yang mengancam kesehatan.
Pemeriksaan sarana produksi pangan IRTP sebaiknya didahului dengan pemeriksaan
awal dan diikuti dengan pemeriksaan lanjutan sekaligus melakukan verifikasi terhadap tindak
lanjut perbaikan yang dilakukan oleh IRTP. Selama pemeriksaan, tenaga Pengawas Pangan
50

Kabupaten/Kota (District Food Inspector/ DFI) didampingi oleh penanggung jawab IRTP
yang diperiksa.
Cara penetapan ketidaksesuaian sarana produksi pangan Industri Rumah Tangga (IRT)
masing-masing elemen diperiksa apakah memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam
CPPB–IRT. Jika elemen yang diperiksa memenuhi persyaratan CPPB–IRT, maka kolom
ketidaksesuaian tidak diisi atau dibiarkan kosong. Jika elemen yang diperiksa tidak memenuhi
persyaratan CPPB–IRT, atau kondisi IRTP sesuai dengan kalimat pernyataan negatif pada
elemen yang diperiksa, maka menjadi temuan ketidaksesuaian dengan kriteria yang ditetapkan
CPPB–IRT (minor, mayor, serius atau kritis). Masing-masing elemen diperiksa berdasarkan
Cara Produksi Pangan yang Baik Untuk Industri Rumah Tangga.

4. Tinjauan Peraturan tentang Pangan


Menurut Undang-Undang RI No 18 Tahun 2012 tentang Pangan, yang dimaksud
dengan pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian,
perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan dan air, baik yang diolah maupun
tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia,
termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan
dalam proses penyiapan, pengolahan dan/atau pembuatan makanan atau minuman.
Keamanan pangan menurut Undang-Undang RI No 18 Tahun 2012 adalah kondisi dan
upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia,
dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia
serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman
dikonsumsi. Penyelenggaraan keamanan pangan tersebut dapat dilakukan diantaranya melalui
sanitasi pangan, pengaturan terhadap bahan tambahan pangan, pengaturan terhadap pangan
produk rekayasa genetik, pengaturan terhadap iradiasi pangan, penetapan standar kemasan
pangan, pemberian jaminan keamanan pangan dan mutu pangan, dan jaminan produk halal
bagi yang dipersyaratkan. Upaya untuk menjaga keamanan pangan adalah dengan pemberian
kemasan pada produk pangan. Kemasan pangan menurut Undang-Undang RI No 18 Tahun
2012 adalah bahan yang digunakan untuk mewadahi dan/atau membungkus pangan, baik
yang bersentuhan langsung dengan pangan ataupun tidak.

5. Tinjauan Bahan Tambahan Pangan


Dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No 033 Tahun 2012 tentang Bahan Tambahan
Pangan, yang dimaksud dengan bahan tambahan pangan merupakan bahan yang ditambahkan
ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat dan/atau bentuk pangan. Pangan yang diproduksi
51

dan yang akan diedarkan dilarang menggunakan bahan tambahan pangan yang melampaui
ambang batas maksimal yang telah ditentukan dan bahan yang dilarang digunakan sebagai
bahan tambahan pangan. Bahan tambahan pangan tersebut juga dapat mempunyai atau tidak
mempunyai nilai gizi. Bahan tambahan pangan yang diperbolehkan menurut PerMenKes RI
No 033 Tahun 2012 terdiri dari 27 golongan, yang dapat dilihat pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Daftar Bahan Tambahan Pangan yang diperbolehkan
No Bahan Tambahan Pangan yang diperbolehkan
1. Antibuih (Antifoaming agent)
2. Antikempal (Anticaking agent)
3. Antioksidan (Antioxidant)
4. Bahan pengkarbonasi (Carbonating agent)
5. Garam pengemulsi (Emulsifiying agent)
6. Gas untuk kemasan (Packaging gas)
7. Humektan (Humectant)
8. Pelapis (Glazing agent)
9. Pemanis (Sweetener)
10. Pembawa (Carrier)
11. Pembentuk gel (Gelling agent)
12. Pembuih (Foaming agent)
13. Pengatur keasaman (Acidity regulator)
14. Pengawet (Preservative)
15. Pengembang (Raising agent)
16. Pengemulsi (Emulsifier)
17. Pengental (Thickener)
18. Pengeras (Fiming agent)
19. Penguat rasa (Flavour enhancer)
20. Peningkat volume (Bulking agent)
21. Penstabil (Stabilizer)
22. Peretensi warna (Colour retention agent)
23. Perisa (Flavouring)
24. Perlakuan tepung (Flour treatment agent)
25. Pewarna (Colour)
26. Propelan (Propelant)
27. Sekuestran (Sequestrant)

Bahan tambahan yang dilarang digunakan antara lain asam borat dan senyawanya,
asam salisilat dan garamnya, dietilpirokarbonat, dulsin, formalin, kalium bromat, kalium
52

klorat, kloramfenikol, minyak nabati yang dibrominasi, nitrofurazon, dulkamara, kokain,


nitrobenzen, sinamil antranilat, dihidrosafrol, biji tonka, minyak kalamus, minyak tansi, dan
minyak sasafras.

6. Persyaratan Mutu Makanan dan Minuman serta Peran Dinas Kesehatan Provinsi
Persyaratan mutu makanan dan minuman diatur dalam:
a. Keputusan Dirjen POM No. 03725/ B/ SK/ VII/ 1989 tentang Batas Maksimum
Cemaran Logam dalam Makanan.
b. Keputusan Dirjen POM No. 03726/ B/ SK/ VII/ 1989 tentang Batas Maksimum
Cemaran Mikroba dalam Makanan.
Peran Dinas Kesehatan Provinsi dalam hal persyaratan dan mutu makanan
minuman yang tercantum dalam Keputusan Dirjen POM No 02240/ B/ SK/ VII/ 1991
tentang Pedoman Persyaratan Mutu serta Label dan Periklanan Makanan dan Minuman
antara lain :
a. Melakukan koordinasi dan pelatihan pengambilan contoh makanan minuman
hasil industri rumah tangga.
b. Melakukan koordinasi pengawasan dan pengendalian dalam rangka pencegahan
dan mengatasi Kejadian Luar Biasa (KLB) akibat pencemaran makanan dalam
skala Provinsi.
c. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan pemeriksaan sarana produksi dan
distribusi makanan dan minuman industri rumah tangga.
d. Pembinaan dan pengendalian pelaksanaan pengawasan dan registrasi makanan
minuman produksi rumah tangga.
e. Melakukan pembinaan dan pengendalian penerbitan sertifikat laik sehat bagi
produsen makanan minuman siap saji.
f. Melakukan koordinasi pengawasan dan pengendalian dalam rangka penggunaan
bahan tambahan yang dilarang termasuk cemaran mikroba patogen dalam
makanan minuman produksi rumah tangga.

7. Pengamanan Makanan dan Minuman


Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur No 2 Tahun 2016 Pasal 45
tentang Upaya Kesehatan, setiap peredaran makanan dan minuman di wilayah Provinsi Jawa
Timur harus aman dan bermutu. Untuk menjamin keamanan dan mutu makanan dan minuman
sebagaimana dimaksud setiap orang atau badan yang memproduksi, mengolah, serta
mendistribusikan makanan dan minuman wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut :
53

1. Menjamin keamanan dan sanitasi hygene serta bahan tambahan dalam makanan
dan minuman.
2. Mengedarkan makanan dan minuman yang telah memiliki izin edar sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
3. Memberikan informasi tentang kandungan gizi yang benar dan dapat
dipertanggung jawabkan secara laboratoris.
4. Tidak mengandung bahan berbahaya.
Dalam rangka pengawasan keamanan, mutu dan gizi pangan, setiap pangan olahan
kemasan yang diproduksi di dalam negeri atau yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia
untuk diperdagangkan dalam kemasan eceran sebelum diedarkan wajib memiliki surat
persetujuan pendaftaran. Surat persetujuan pendaftaran sebagaimana dimaksud ditetapkan
oleh Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan. Pangan olahan kemasan yang diproduksi
oleh industri rumah tangga wajib memiliki Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah
Tangga yang diterbitkan oleh Bupati/ Walikota. Pangan olahan yang berumur di bawah 7
(tujuh) hari yang diproduksi oleh pelaku usaha rumah tangga harus mendapatkan sertifikat
layak konsumsi dari Bupati/ Walikota. Sertifikat layak konsumsi diberikan apabila pangan
yang diproduksi tidak mengandung bahan berbahaya. Pengamanan anak usia sekolah terhadap
makanan jajanan anak sekolah merupakan tanggung jawab dinas kesehatan, dinas pendidikan
dan lintas sektor terkait.

2.4 Tinjauan tentang Seksi Alat Kesehatan dan Perbekalan Rumah Tangga
Pada Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 74 Tahun 2016 Pasal 14 dijelaskan
bahwa Seksi Alat Kesehatan dan Perbekalan Rumah Tangga merupakan bagian dari Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Timur yang berada di bawah Bidang Sumber Daya Kesehatan. Visi
dari seksi Alat Kesehatan dan Perbekalan Rumah Tangga adalah menjamin alat kesehatan
yang beredar aman, bermutu dan bermanfaat.
Dalam Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 74 tahun 2016 Pasal 14 ayat (2) yang
menjelaskan tentang tugas seksi kefarmasian.Seksi Alat Kesehatan dan Perbekalan Rumah
Tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf e angka 2, mempunyai tugas:
a. Menyiapkan bahan penyusunan perencanaan program pembinaan dan
pengendalian tata kelola, produksi dan distribusi alat kesehatan dan perbekalan
kesehatan rumah tangga.
54

b. Menyiapkan bahan rumusan kebijakan tentang program pembinaan dan


pengendalian tata kelola, produksi dan distribusi alat kesehatan dan
perbekalan kesehatan rumah tangga.
c. Menyiapkan bahan pelaksanaan kebijakan program pembinaan dan pengendalian
tata kelola, produksi dan distribusi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan
rumah tangga.
d. Menyiapkan bahan rumusan pedoman umum, petunjuk pelaksanaan, petunjuk
teknis serta prosedur tetap program pembinaan dan pengendalian tata kelola,
produksi dan distribusi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah
tangga.
e. Menyiapkan bahan penyusunan dan pelaksanaan sosialisasi kebijakan, pedoman
umum, petunjuk pelaksanaan, petunjuk teknis serta prosedur tetap program
pembinaan dan pengendalian tata kelola, Produksi dan distribusi alat
kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga.
f. Menyiapkan bahan penyusunan dan pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi
program pembinaan dan pengendalian tata kelola, produksi dan distribusi alat
kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga.
g. Menyiapkan bahan pelaksanaan pemantauan, pembinaan, pengendalian dan
evaluasi tata kelola, produksi dan distribusi alat kesehatan dan perbekalan
kesehatan rumah tangga.
h. Menyiapkan bahan koordinasi tentang tata kelola, produksi dan distribusi alat
kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga.
i. Melaksanakan pengawasan terhadap produksi dan distribusi produk alat
kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga.
j. Menyiapkan bahan rekomendasi penerbitan pengakuan cabang Penyalur Alat
Kesehatan.
k. Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan Kepala Bidang.
Peran Seksi Alat Kesehatan dan Perbekalan Rumah Tangga :
1. Melakukan pembinaan terhadap pelaksanaan produksi dan distribusi alat kesehatan
dan PKRT.
2. Melakukan pemantauan terhadap produksi dan distribusi alat kesehatan dan
PKRT.
3. Melakukan, melaksanakan Norma Standar Prosedur Kriteria (NSPK) melalui tata
cara produksi dan distribusi yang baik untuk alat kesehatan dan PKRT.
55

Peran Stakeholder :
Seksi alat kesehatan dan PKRT memastikan bahwa masyarakat memperoleh alat
kesehatan yang bermutu dan bermanfaat, maka bekerja sama dengan seluruh stake holder.
Yang termasuk dalam stake holder yaitu :
1. Pemerintah
a. Menyusun dan melaksanakan Norma Standar Prosedur Kriteria (NSPK).
b. Melakukan post marketing surveillance.
c. Melakukan audit , monitoring sarana.
d. Meningkatkan pelayanan perijinan.
e. Melaksanakan pembinaan terutama industri local agar mampu bersaing dalam
era globalisasi.
2. Produsen
a. Melakukan audit internal secara berkala terhadap proses produksi.
b. Melakukan pemantauan efek samping dan melaporkan.
c. Menerapkan cara produksi yang baik.
d. Melakukan PMS dan vigilance.
e. Melakukan pelaporan secara berkala.
3. Distributor
a. Melakukan pelaporan secara berkala.
b. Melakukan PMS dan atau vigilance.
c. Menerapkan cara distribusi yang baik.
4. Pengguna
a. Kesadaran untuk menggunakan alat kesehatan yang terdaftar.
b. Kesadaran untuk melaporkan efek samping penggunaan.

2.4.1 Tinjauan tentang Pengamanan Alat Kesehatan dan PKRT


Pengamanan alat kesehatan dilakukan melalui dua proses yaitu pengamanan I dan
pengamanan II.
- Pengamanan I (Pre market)
Pengamanan I dilakukan pada sarana produksi, sarana distribusi sebelum produk
tersebut dipasarkan. Pembuktian pengamanan pada sarana produksi harus memiliki
sertifikat produksi. Sarana distribusi Alat kesehatan dan PKRT harus memiliki ijin
penyalur dan produk tersebut harus memiliki ijin edar sebelum produk diedarkan.
56

- Pengamanan II (Post market)


Pengamanan II dilakukan ketika produk sudah berada di pasaran yaitu melalui
pengawasan produk dan pengawasan sarana produksi dan distribusi. Dalam
pengawasan produk pada pasaran dengan melakukan sampling dan vigilance,
sedangkan untuk pengawasan saran produksi dan distribusi dilakukan dengan cara
melakukan audit sarana.

2.4.2 Tata Cara Pemberian Sertifikat Produksi


Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No
1189/MENKES/PER/VIII/2010 tentang Produksi Alat Kesehatan dan Perbekalan Kesehatan
Rumah Tangga Pasal 30, sertifikat produksi hanya berlaku selama 5 tahun dan dapat
dilakukan perpanjangan sertifikat selama masih memenuhi ketentuan yang berlaku.
Perpanjangan sertifikat produksi diajukan 3 bulan sebelum masa berlakunya habis kepada
Direktur Jendral Bina Kefarmasian dan Alkes melalui Kepala Dinas Kesehatan Provinsi.
Perubahan sertifikat produksi dapat dilakukan apabila terjadi hal-hal sebagai berikut :
1. Perubahan badan usaha
2. Perubahan nama dan alamat perusahaan
3. Penggantian penanggung jawab teknis
4. Penggantian pemilik/pimpinan perusahaan
5. Perubahan klasifikasi.
Pencabutan sertifikat produksi dapat dilakukan apabila terjadi hal-hal sebagai berikut :
1. Terjadi pelanggaran terhadap persyaratan dan peraturan perundang-undangan yang
dapat mengakibatkan bahaya terhadap keselamatan pengguna, pekerjaan, atau
lingkungan
2. Terbukti sudah tidak lagi menerapkan Cara Pembuatan Alat Kesehatan atau PKRT
yang Baik.
Pelaksanaan pencabutan sertifikat produksi dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1. Peringatan tertulis sebanyak dua kali berturut-turut dengan tenggang waktu masing-
masing dua bulan
2. Penghentian sementara
3. Pencabutan sertifikat produksi, apabila terjadi pelanggaran terhadap persyaratan dan
peraturan yang dapat mengakibatkan bahaya bagi pengguna dan pekerja.
57

2.4.3 Izin Edar Alkes dan PKRT


Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No 1190/MENKES/PER/VIII/2010 tentang
Izin Edar Alat Kesehatan dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga, izin edar yang diberikan
kepada perusahaan untuk produk Alkes/PKRT, yang akan diimpor, digunakan dan/atau
diedarkan di wilayah Republik Indonesia, berdasarkan penilaian terhadap mutu, keamanan,
dan kemanfaatan.
Berdasarkan peraturan tersebut, alat kesehatan dan PKRT yang beredar di Indonesia
harus memiliki izin edar dari Kementrian Kesehatan RI.

2.4.4 Pelaporan Produksi Alkes dan PKRT


Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No 1189/MENKES/PER/VIII/2010
tentang Produksi Alat Kesehatan dan PKRT, menyebutkan bahwa perusahaan yang
memproduksi, mengemas kembali, merakit, merekondisi atau remanufacturing harus
melaporkan produksinya minimal setiap satu tahun sekali kepada Direktur Jenderal dengan
tembusan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dan Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota setempat dengan menggunakan formulir 14 yang terlampir. Peraturan
Menteri Kesehatan RI No 1190/MENKES/PER/VIII/2010 tentang Izin Edar Alat Kesehatan
dan PKRT wajib menyampaikan laporan hasil monitoring efek samping secara berkala satu
tahun sekali, sesuai contoh dalam formulir 3 yang terlampir.
Pemusnahan Alkes dan PKRT
Pemusnahan yang dilakukan pada Alkes dan PKRT berdasarkan Peraturan Menteri
Kesehatan RI No 1190/MENKES/PER/VIII/2010 tentang Izin Edar Alat Kesehatan dan
PKRT, yaitu dalam keadaan sebagai berikut :
1. Diproduksi tanpa memenuhi persyaratan yang berlaku
2. Telah kedaluwarsa
3. Tidak memenuhi syarat untuk digunakan dalam pelayanan kesehatan atau kepentingan
ilmu pengetahuan dan teknologi
4. Dicabut izin edarnya.
Pemusnahan tersebut dilakukan oleh perusahaan yang memproduksi, mengedarkan
Alkes dan PKRT, orang yang bertanggung jawab atas sarana kesehatan, pemerintah,
pemerintah daerah Provinsi, dan/atau pemerintah daerah Kabupaten/Kota.
BAB III
HASIL KEGIATAN

3.1 Tinjauan Umum tentang Pelayanan Kesehatan di Kabupaten Pasuruan


Kota Pasuruan memiliki luas wilayah sebesar 36,58 km2 dengan jumlah penduduk
197.696 jiwa. Pembagian wilayah Pelayanan Kesehatan, yaitu meliputi 4 kecamatan, 34 desa,
8 Puskesmas dan 29 Puskesmas Pembantu (PUSTU). Pelayanan Kesehatan di Kota Pasuruan
sejalan dengan visi dan misi Dinas Kesehatan Kota Pasuruan. Visi Dinas Kesehatan Kota
Pasuruan adalah terwujudnya tata kelola pelayanan kesehatan untuk kesejahteraan dan
kemaslahtan masyarakat dan Misinya adalah meningkatkan pelayanan kesehatan yang merata,
terjangkau dan bermutu; meningkatkan pemberdayaan masyarakat dan peningkatan
kemitraan; meningkatkan profesionalisme tenaga kesehatan serta pengembangan manajemen,
sarana dan prasarana kesehatan. Selain itu, Dinas Kesehatan Kabupaten Pasuruan memiliki 12
indikator Standar Pelayanan Minimal Kesehatan (SPM) yaitu :
a. Pelayanan kesehatan ibu hamil
b. Pelayanan kesehatan ibu bersalin
c. Pelayanan kesehtana bayi baru lahir
d. Pelayanan kesehatan balita
e. Pelayanan kesehatan pada usia pendidikan dasar
f. Pelayanan kesehatan pada usia produktif
g. Pelayanan kesehatan pada usia lanjut
h. Pelayanan kesehatan penderita Hipertensi
i. Pelayanan kesehatan penderita Diabetes Melitus
j. Pelayanan kesehatan orang dengan gangguan jiwa berat
k. Pelayanan kesehatan orang dengan Tuberkulosis
l. Pelayanan kesehatan orang dengan resiko terinfeksi HIV
Dengan demikian selain mewujudkan masyarakat yang sehat Dinas Kesehatan Kota
Pasuruan juga mewujudkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas
dan terjangkau.

58
59

3.2 Tinjauan Struktur Organisasi Kesehatan Kabupaten Pasuruan


Struktur Organisasi Dinas Kesehatan Kabupaten Pasuruan ditetapkan dengan
Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan No. 16 Tahun 2016 dan Perbup No. 44 Tahun 2016
tentang Kedudukan, Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi Serta Tata Kerja Dinas Kesehatan
Kabupaten Pasuruan. Dinas Kesehatan dipimpin oleh seorang Kepala Dinas dan dalam
menjalankan tugasnya dibantu oleh satu orang Sekretaris dan 4 (empat) orang kepala
Bidang, yaitu : Bidang Kesehatan Masyarakat, Bidang Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit, Bidang Pelayanan Kesehatan dan Bidang Sumber Daya Kesehatan Sekretariat.
Stuktur organisasi dapat dilhat pada Gambar 3.1
KEPALA DINAS KESEHATAN

KELOMPOK JABATAN SEKRETARIAT


FUNGSIONAL

SUB BAGIAN PENYUSUNAN


PROGRAM & KEUANGAN

SUB BAGIAN PENYUSUNAN UMUM &


KEPEGAWAIAN

BIDANG KESEHATAN BIDANG PENCEGAHAN BIDANG PELAYANAN


MASYARAKAT & PENGENDALIAN DAN SUMBER DAYA
PENYAKIT KESEHATAN

SEKSI KESEHATAN SEKSI SURVAILENS & SEKSI PELAYANAN


KELUARGA & GIZI IMUNISASI KESEHATAN

SEKSI KESEHATAN SEKSI PENCEGAHAN & SEKSI KEFARMASIAN,


LINGKUNGAN, PENGENDALIAN ALAT KESEHATAN &
KESEHATAN PENYAKIT MENULAR PERBEKALAN
BERKERJA &
OLAHRAGA

SEKSI PROMOSI & SEKSI PENGENDALIAN SEKSI SUMBER DAYA


PEMBERDAYAN PENYAKIT TIDAK MANUSIA BIDANG
KESEHATAN MENULAR KESEHATAN

UPT KEFARMASIAN UPT PUSKESMAS

Gambar 3.1 Stuktur Organisasi Dinas Kesehatan Kabupaten Pasuruan


60

3.3 Tinjauan tentang Instalasi Farmasi Kota Pasuruan


Instasi Farmasi Pemerintah merupakan sarana tempat penyimpanan dan penyaluran
sediaan farmasi dan alat kesehatan milik pemerintah, baik pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah, dalam rangka pelayanan kesehatan (Permenkes RI No. 75, 2014). Instalasi
Farmasi Kota/Unit Perbekalan Kefarmasian (UPK) merupakan sarana instalasi farmasi yang
berada di Jalan Ir.H.Juanda 66 B Kota Pasuruan yang berfungsi sebagai sarana penyimpanan
dan penyaluran sediaan farmasi dan alat kesehatan di kota Pasuruan. Instalasi Farmasi Kota
merupakan unit pelaksana teknis dalam bidang pengelolaan obat publik (Oblik) dan
perbekalan kesehatan. Struktur organisasi dari UPK Pengelola Obat Publik dan Perbekalan
Kesehatan berdasarkan Peraturan walikota Pasuruan No. 56 Tahun 2016 dapat dilihat pada
Gambar 3.2.

Kepala UPK Unit Perbekalan Kefarmasian (UPK)

Kelompok Jabatan Fungsional Kepala Sub. Bagian Tata Usaha

Petugas Penerimaan Petugas Pencatatan


Penyimpanan dan Pelaporan dan
Distribusi Evaluasi

Gambar 3.2 Struktur Organisasi UPK Pengelola Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan

Instalasi Farmasi Kota Pasuruan memiliki awal dari bangunan lama yang diresmikan
tahun 1993 dengan luas bangunan 210,39 m² di atas tanah 666 m² dan berada di Jalan Dr
wahidin S No.202 Kota Pasuruan. Bangunan baru dari Instalasi Farmasi Kota diresmikan
pada 07 Februari 2018 dengan luas total bangunan 660 m² di atas luas tanah 2500 m² terdiri
dari dua lantai dan berada di Jalan Jalan Ir H juanda 66 B Kota Pasuruan.
Visi dari Unit Pengelola Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan (POPPK) Kabupaten
Pasuruan antara lain yaitu terwujudnya pusat pengelola obat publik dan perbekalan kesehatan
yang optimal dan dapat dipertanggung jawabkan untuk menunjang pelayanan kesehatan di
Kota Pasuruan, sedangkan Misi Unit Pengelola Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan
(POPPK) adalah :
a. Menjamin ketersediaan obat dan perbekalan kesehatan di unit pelayanan kesehatan
dasar, baik dalam jumlah maupun jenis obat secara kontinyu.
61

b. Menjaga mutu, khasiat dan keamanan obat agar selalu terjamin melalui peningkatan
profesionalisme penyimpanan dan pendistribusian obat hingga ke unit pelayanan
kesehatan dasar.
c. Meningkatkan pencatatan dan pelaporan obat dan perbekalan kesehatan dengan
pemanfaatan teknologi informasi.
d. Mewujudkan masyarakat yang sehat di Dinas Kesehatan Kabupaten Pasuruan, dengan
mewujudkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas dan
terjangkau.
Dalam menyelenggarakan manajemen pengelolaan Unit Perbekalan Kefarmasian di
Dinas Kesehatan Kabupaten Pasuruan didukung dengan sumber daya manusia yang terdiri
dari tenaga Pegawai negeri sipil dan Non pegai negeri sipil. Tenaga PNS terdiri dari :
1. Apoteker (3 orang)
2. Tata Usaha (1 orang )
3. Asisten Apoteker (1 orang)
4. Satpam (2 orang)
Tenaga Non PNS terdiri dari :
1. ADM
2. CS Driver (2 orang).
Bagian sarana ruangan penyimpanan yang terdapat dalam gedung yaitu terdapat
gudang utama yang selanjutnya terdapat pembagian ruang penyimpanan untuk sediaan atau
perbekalan antibiotik/ ruang khusus, ruang alat kesehatan, ruang vaksin dan ruang Expired
Date. Siklus Manajemen Pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan yang dilakukan
oleh Unit Perbekalan Kefarmasian Dinas Kesehatan Kota Pasuruan meliputi perencanaan,
pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, penggunaan, pencatatan dan
pelaporan. Manajemen pengelolaan yang dilakukan oleh Instalasi Farmasi Kota bertujuan
agar menyediakan dan memastikan ketersediaan obat publik dan perbekalan kesehatan yang
menjamin keamanan, mutu, dan khasiat terutama untuk penyediaan pada unit pusat kesehatan
masyarakat (Puskesmas).

3.3.1 Perencanaan Obat dan Perbekalan Kesehatan di Kota/Kabupaten Pasuruan


Perencanaan kebutuhan obat publik dan perbekalan kesehatan adalah salah satu fungsi
yang menentukan dalam proses pengadaan obat publik dan perbekalan kesehatan dengan
tujuan yaitu menetapkan jenis dan jumlah obat sesuai dengan pola penyakit dan kebutuhan
62

pelayanan kesehatan dasar termasuk program kesehatan yang ditetapkan (Direktorat Bina
Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan, 2007). Kegiatan perencanaan obat publik dan
perbekalan farmasi untuk pelayanan kesehatan dasar yang dilakukan oleh Instalasi Farmasi
Kota Pasuruan dilaksanakan oleh tim perencanaan obat terpadu/UPK (kompilator)
berdasarkan sistem bottom up planning. Pelaksanaan kegiatan perencanaan berdasarkan data
yang diperoleh dari pengelola program dan PKM yaitu pengelola obat serta petugas lab.
Pelaksanaan perencanaan obat yang dilakukan di Instalasi Farmasi Kota Pasuruan terdapat
beberapa faktor pertimbangan yang menjadi dasar dari kegiatan perencanaan kebutuhan obat
publik dan perbekalan kesehatan yaitu :
a. Data pemakaian obat dan perbekalan kesehatan di Puskesmas pada tahun/periode
sebelumnya (Laporan pemakaian dan Lembar Permintaan Obat),
b. Usulan dari Puskesmas, dan Pemegang Program ,
c. Stok Obat di UPK pada awal tahun,
d. Life Time / Waktu Kadaluarsa,
e. Rencana Penyediaan (Jumlah Bulan) ,
f. Waktu tunggu (Lead time)
g. Pemilihan daftar obat didasarkan pada DOEN (Daftar Obat Essensial Nasional) dan
FORNAS (Formularium Nasional) yang diberlakukan sesuai harga yang ditelah
ditetapkan oleh pemerintah
h. Penyesuaian jumlah kebutuhan dengan alokasi dana yang tersedia dan Ketersediaan
Stok Buffer Provinsi (PKD, Obat Program).
Setelah mempertimbangkan beberapa faktor diatas maka dilakukan perhitungan rencana
kebutuhan obat di Instalasi Farmasi Kota Pasuruan untuk satu tahun anggaran yang disusun
dengan menggunakan metode konsumsi dan/atau berdasarkan metode epidemiologi.
Perencanaan kebutuhan obat dilakukan koordinasi dari beberapa sumber dana, agar jenis dan
jumlah obat yang disediakan sesuai dengan kebutuhan dan tidak mengalami tumpang tindih.
Hasil perencanaan kebutuhan akan dilakukan pengajuan oleh Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota kepada Pemerintah Kabupaten/Kota, Pusat, Provinsi dan sumber lain.

3.3.2 Pengadaan Obat dan Perbekalan Kesehatan di UPK Kota Pasuruan


Dalam melakukan pengadaan obat publik dan perbekalan kesehatan, Unit Perbekalan
Kefarmasian (UPK) kota Pasuruan, melakukan pengadaan terutama untuk obat yang
merupakan Drug of Choice dari analisa 10 besar penyakit yang dapat diperoleh dari data
63

pengobatan di Puskesmas. Jenis pengadaan obat pada UPK Kota Pasuruan yaitu didasarkan
sumber dana anggaran yaitu melalui :
1. DanaAPBD Kota Pasuruan,
2. APBN/ DAK (Dana Anggaran Khusus),
3. BPJS,
4. Penerimaan Dana Bagi Hasil Pajak Rokok,
5. Buffer Provinsi (berupa obat yang disediakan oleh Provinsi) dan
6. Obat Program (yang berasal dari Kementrian Kesehatan dan Dinas Kesehatan
Provinsi yaitu seperti obat TB, obat HIV, dan lain sebagainya).
Sistem pengadaan obat dan perbekalan kesehatan dilakukan setiap satu tahun sekali
oleh pejabat pengadaan di Dinas Kesehatan Kabupaten Pasuruan melalui e-purchasing atau
pengadaan dengan penunjukan langsung dan Lelang oleh Badan Pelayanan Pengadaan milik
pemerintah kota. Penggunaan metode e-purchasing dalam sistem pengadaan dilakukan agar
pengadaan obat sesuai aturan, lebih mudah dan efisien dengan tetap menjamin ketersediaan
obat. Pengadaan obat secara Lelang merupakan kerjasama antara Kementerian Kesehatan dan
Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah (LKPP).

3.3.3 Penerimaan Obat dan Perbekalan Kesehatan di UPT Kota Pasuruan


Penerimaan obat publik dan perbekalan kesehatan pada Instalasi Farmasi Kota
Pasuruan dilakukan dengan penerimaan dari sumber pengadaan pemasok/beberapa PBF dan
dilakukan pengecekan awal saat barang diterima digudang. Tempat penerimaan gudang
melalui jalur belakang dan barang akan diletakkan pada ruang karantina untuk dilakukan
kesesuaian antara surat pesanan dan faktur dan dilanjutkan pengecekan terhadap :
a. Jenis kesesuaian obat dan perbekalan kesehatan yang dipesan.
b. Jumlah obat dan perbekalan kesehatan yang dipesan.
c. Nomor batch dari obat yang dipesan.
d. Keutuhan fisik kondisi obat dan perbekalan kesehatan yang diterima.
e. Waktu expired date obat.
Setelah dilakukan pengecekkan terhadap pesanan maka obat dan perbekalan kesehatan
dipindah dari ruang karantina gudang ke tempat penyimpanan yang sesuai. Jika terdapat
ketidak sesuaian barang yang diterima dengan surat penerimaan barang, maka obat dan
perbekalan kesehatan tidak akan dilakukan penerimaan dan dilakukan pengembalian. Obat
dan perbekalan kesehatan yang diterima maka akan dilakukan pencatatan pada buku
64

penerimaan dan dilakukan entry data, penulisan pada kartu stock barang dan penulisan pada
buku expired date untuk memastikan pengendalian terhadap adanya obat expired yang masih
terdapat pada penyimpanan. Penerimaan obat juga diikuti dengan mengarsip bukti
penerimaan.

Gambar 3.3 Ruang Karantina Penerimaan Barang

Gambar 3.4 Instalasi Farmasi Kota Pasuruan


65

3.3.4 Penyimpanan, Penataan Obat dan Perbekalan Kesehatan di UPT Kota Pasuruan
Penyimpanan adalah suatu kegiatan menyimpan dan memelihara dengan
menempatkan obat-obatan dan perbekalan kesehatan yang diterima pada tempat yang dinilai
aman dari pencurian serta gangguan fisik yang dapat merusak mutu obat. Tujuan
penyimpanan dan penataan obat pada UPT Kota Pasuruan yaitu untuk :
1. Memelihara mutu obat
2. Menghindari penggunaan yang tidak bertanggung jawab
3. Menjaga kelangsungan persediaan
4. Memudahkan pencarian dan pengawasan
Kegiatan penyimpanan obat dan perbekalan kesehatan di UPT Kota Pasuruan meliputi
pengaturan tata ruang yang dimana terdapat gudang umum (obat dengan penyimpanan suhu
ruangan), ruang khusus (untuk sediaan yang membutuhkan penyimpanan dengan suhu
<25°C), ruang penyimpanan untuk alat kesehatan, ruang untuk obat expired date, ruang
o
vaksin, ruang penyimpanan untuk narkotika dan psikotropika. Obat dengan suhu < 25 C
dikontrol dengan alat pengukur suhu yang diperiksa tiga kali sehari dan didokumentasikan,
contohnya adalah antibiotik, salep, injeksi, sediaan padat. Sistem penataan obat yang
digunakan berdasarkan abjad/ alfabetis, kelas terapi, bentuk sediaan dan FEFO dan FIFO.
Kartu stok terdiri dari kartu stok gudang dan kartu stok induk, stock opname dilakukan setiap
2 bulan sekali dengan menyamakan kartu stok induk, stok gudang dan fisik barang. Kartu stok
dibuat berdasarkan tahun pengadaan dan sumber dana yaitu :
1. Kartu stok warna putih berasal dari sumber Dana Alokasi Khusus
2. Kartu stok warna kuning berasal dari sumber Dana Alokasi Umum
3. Kartu stok warna hijau berasal dari Buffer Provinsi
4. Kartu stok merah berasal dari obat program APBN yang disiapkan dari petugas UPT
Kota Pasuruan.
Secara umum kondisi bangunan dan sistem penyimpanan di Instalasi Farmasi Kota
Pasuruan sudah sesuai dengan persyaratan dalam peraturan yang ada sebagai sarana
penyimpanan, namun terdapat beberapa ketidaksesuaian dalam pelaksanaan tata ruang
penyimpanan yaitu :
 Sistem Tata Udara dan Pencahayaan dalam gudang umum
Berdasarkan Permenkes RI No. 74, 2016, ruangan penyimpanan harus memperhatikan
kondisi sanitasi, temperatur, kelembaban, ventilasi, pemisahan untuk menjadin mutu produk
dan keamanan petugas. Ruangan diharapkan memungkinkan masuknya cahaya yang cukup
66

dan ruang penyimpanan diharapkan dilengkapi dengan rak/lemari obat, pallet, pendingin
ruangan (AC) serta berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia Tahun 2015 tentang Petunjuk Pelaksanaan Cara Distribusi Obat yang
Baik, kriteria kondisi penyimpanan yang baik yaitu dapat mempertahankan suhu yang sesuai
dengan persyaratan penyimpanan produk. Sebagaimana yang dikatakan bahwa seharusnya
tempat penyimpanan dilengkapi dengan pencahayaan serta pengaturan suhu agar dapat
menjaga mutu obat selama penyimpanan, sedangkan gudang ruang umum pada Instalasi
Farmasi Kota Pasuruan sudah terdapat pendingin ruangan namun belum dapat digunakan
akibat adanya kerusakan teknis. Pencahayaan pada ruang umum sebaiknya diatur agar tidak
terlalu terang untuk untuk mencegah kerusakan fisik obat akibat pencahayaan berlebih.
 Kondisi lantai gudang yang kurang memadai
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik IndonesiaTahun 2015
tentang Petunjuk Pelaksanaan Cara Distribusi yang Baik yaitu pada Bab III tentang bangunan
dan peralatan, dijelaskan bahwa bangunan tempat penyimpanan dibangun dengan lantai yang
mudah dibersihkan, mempunyai permukaan yang rata, bebas dari keretakan dan lubang yang
terbuka serta pada kondisi penyimpanan yang baik memiliki kriteria bersih, bebas dari
sampah dan debu. Bangunan gudang di Instalasi Farmasi Kota Pasuran memiliki permukaan
lantai yang rata (telah dilapisi epoksi) sehingga memungkinkan kondisi penyimpanan yang
bersih tanpa adanya partikel yang terperangkap..

3.3.5 Pendistribusian Obat dan Perbekalan Kesehatan di UPT Kota Pasuruan


Pendistribusian obat dan perbekalan kesehatan di Instalasi Farmasi Kota Pasuruan
dilakukan setiap 1 bulan sekali ke masing-masing 8 Puskesmas yang ada di Kota Pasuruan.
Jumlah pendistribusian Obat dilakukan menggunakan alat transportasi berupa mobil
pengantar serta kendaraan sepeda motor. Jumlah yang didistribusikan sesuai dengan jumlah
permintaan pengadaan sesuai dengan Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat dari
Puskesmas. Proses pendistribusian juga memperhitungkan jumlah stok optimum dan sisa stok
dari data penggunaan Puskesmas. Jarak waktu pendistribusian setelah Laporan Pemakaian dan
Lembar Permintaan Pendistribusian obat dan perbekalan kesehatan dilakukan berdasarkan
sistem FEFO yaitu First Expired First Out untuk mencegah adanya obat kedaluwarsa. Obat
dengan jangka waktu expired lebih dekat akan didistribusikan terlebih dahulu kepada
67

Puskesmas yang membutuhkan obat tertentu. Setelah berdasarkan FEFO, maka


pendistribusian obat akan dilakukan berdasarkan sitem FIFO yaitu First In First Out.
Pencatatan stok obat yang dilakukan pendistribusian dilakukan untuk menghindari dan
mencegah ketidak sesuaian stok. Pencatatan dilakukan secara manual dan secara data
komputer menggunakan sistem Sistem Informasi Manajemen Puskesmas (SIMPUS).
Kegiatan yang dilakukan di bagian distribusi antara lain Evaluasi Permintaan Dan Pengisian
LPLPO, Persetujuan Pemberian Obat/ BMPH, Menyiapkan Obat/ BMHP, Pengecekan,
Repacking, Pengangkutan, Serah Terima Obat/ BMPH dan Mengarsip SBBK.

3.3.6 Pencatatan, Pelaporan dan Evaluasi Obat dan Perbekalan Kesehatan di UPT Kota
Pasuruan
Pencatatan dan pelaporan terhadap kegiatan pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dilakukan terhadap perencanaan kebutuhan,
pengadaan, penerimaan, pendistribusian, pengendalian persediaan, pengembalian,
pemusnahan dan penarikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai.
Pencatatan, pelaporan dan evaluasi obat dan perbekalan kesehatan di UPT Kota Pasuruan
dilakukan dalam periode waktu tertentu (bulanan, triwulanan, semester atau pertahun).
Dalam melakukan pencatatan pelaporan dan evaluasi obat dan perbekalan kesehatan,
UPT Kota Pasuruan melakukan pelaporan berdasarkan pemeriksaan terhadap buku
penerimaan, buku pengeluaran, buku penyimpanan, buku expired date, kartu stock , laporan
mutasi obat, laporan ketersediaan obat, laporan Penggunan Obat Rasional (POR), laporan
penggunaan obat generik, laporan pemakaian narkotika/ psikotropika, laporan nilai
persediaan.
Pencatatan, Pelaporan dan Evaluasi Obat dan Perbekalan Kesehatan di UPT Kota
Pasuruan meliputi laporan mutasi obat tribulanan, laporan ketersediaan, obat bulanan, laporan
signa, laporan stok opname, laporan ARF dan NON ARV bulanan, Narkotik-Psikotropik dan
laporan nilai IKK bulanan nilai.

3.4 Tinjauan tentang Pusat Kesehatan Masyarakat Bugul Kidul


Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) merupakan unit pelaksana teknis dinas
kesehatan kabupaten/ kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan
kesehatan di suatu wilayah kerja. Puskesmas didirikan dengan tujuan untuk menyelengarakan
upaya kesehatan masyarakat maupun upaya kesehatan perorangan tingkat pertama (dasar),
68

dan lebih mengutamakan upaya pelayanan kesehatan promotif dan preventif, untuk
meningkatkan derajat kesehatan pasien setinggi - tingginya di wilayah kerjanya.
Puskesmas Bugul Kidul berdiri sejak tahun 1986 yang awalnya merupakan Puskesmas
Pembantu (Pustu) dengan seiring bertambahnya jumlah penduduk dan kepadatan wilayah,
Pustu berubah menjadi UPT Puskesmas Bugul Kidul dengan luas wilayah 11,11 km2.
Puskesmas Bugul Kidul adalah salah satu puskesmas di kota Pasuruan terletak di Jalan
Trunojoyo No. 293 Pasuruan, Jawa Timur. Puskesmas Bugul Kidul memiliki akreditasi utama
dengan kepala puskesmas drg. Lanny Aryani dan penanggung jawab ruang obat sekaligus
pemegang program pelayanan kefarmasian Siti Munawaroh, Amd. Farm.
Puskesmas Bugul Kidul mempunyai 1 orang tenaga teknis kefarmasian. Fasilitas
pelayanan kesehatan yang dilakukan di Puskesmas Bugul Kidul masih pada tingkat pelayanan
pertama, sehingga pelayanan obat dan alat kesehatan juga sesuai dengan tingkat pelayanan
kefarmasian dasar. Pelayanan kesehatan di Puskesmas Bugul Kidul hanya menerima pasien
rawat jalan dengan fasilitas kesehatan yang minimal, apabila pasien datang dengan
penanganan khusus maka akan dirujuk pada pelayanan kesehatan tingkat kedua seperti rumah
sakit tipe B. Pelayanan kesehatan di Puskesmas Bugul Kidul ini ditujukan untuk 6 kelurahan
diantaranya:
1. Kelurahan Bakalan,
2. Kelurahan Krampyangan,
3. Kelurahan Bugul Kidul,
4. Kelurahan Tapaan,
5. Kelurahan Kapel, dan
6. Kelurahann Blandongan.
Kecamatan Bugul Kidul mempunyai penduduk 31.422 jiwa dengan KK 7262. Ada 2 macam
posyandu yakni posyandu balita sebanyak 44 buah dan posyandu lansia sebanyak 28 buah,
selain itu terdapat pos Upaya Kesehatan Kerja (UKK) sebanyak 4 buah, dan Pos Pembinaan
Terpadu untuk Penyakit Tidak Menular sebanyak 6 buah. Puskesmas Bugul Kidul melakukan
pelayanan dengan mengutamakan 2 macam pelayanan kesehatan yaitu:
1. Unit Kesehatan Masyarakat (UKM) meliputi:
- Promosi Kesehatan (PromKes).
- Kesehatan Lingkungan (KesLing).
- Kesehatan Ibu dan Anak (KIA).
- Gizi
69

- Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit Menular dan Tidak Menular (P2M).


- Kegiatan Pelayanan Keperawatan Kesehatan Masyarakat (PerkesMas).
- Kesehatan Gigi dan Mulut (Kes.Gilut).
- Kesehatan Jiwa (Kes. Jiwa).
- Lansia
- Kesehatan Indra (Kes. Indra).
2. Pelayanan Kesehatan Perorangan (PKM) Meliputi:
- Pendaftaran
- Pemeriksaan Umum
- Pemeriksaan Kesehatan Gigi dan mulut
- Pemeriksaan KIA, KB, Imunisasi
- Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)
- Konsultasi Gizi
- Tindakan Medis Ringan - Sedang
- Laboratorium
- Farmasi
Fasilitas penunjang kesehatan di Puskesmas Bugul Kidul diantaranya ruang promosi
kesehatan yang mempunyai program UKM dan UKP, ruang Laboratorium melayani
pemeriksaan Infeksi Menular Seksual (IMS), ruang Vaksin, ruang pemeriksaan Lansia diatas
55 tahun, Poli Umum dengan rentang usia 5 - 55 tahun, Poli Manajemen Terpadu Balita Sakit
(MTBS) dibawah usia 5 tahun, ruang Tindakan, ruang Kesehatan Gigi dan Mulut (Poli Gigi),
Ruang Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), ruang Pelayanan Kefarmasian dan Loket Pendaftaran
dengan penerimaan resep perhari mencapai ± 70 resep, pelayanan resep dalam bentuk obat
jadi maupun racikan di ruang pelayanan kefarmasian membutuhkan waktu antara 2-3 menit /
resep.

3.4.1 Visi, Misi, Motto, Kebijakan Mutu, dan tata nilai UPT Puskesmas Bugul Kidul
Visi UPT Puskesmas Bugul Kidul :
Mewujudkan pelayanan kesehatan dengan konsep pelayanan prima
Misi UPT Puskesmas Bugul Kidul :
1. Memelihara dan meningkatkan kesehatan individu, keluarga dan masyarakat
beserta lingkungannya.
70

2. Memelihara dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu dan


terjangkau dalam bentuk promotif, preventif dan kuratif.
3. Mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup sehat.
4. Mewujudkan pelayanan kesehatan yang transparan dan profesional.
Motto UPT Puskesmas Bugul Kidul :
Masyarakat sehat paripurna tujuan kami
Kebijakan Mutu
Puskesmas Bugul Kidul berupaya memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu
dan mengutamakan kesehatan pasien.
Tata Nilai / Budaya Kerja
a. Terbuka : mau menerima pendapat dan kritik dari orang lain
b. Adil : tidak memihak
c. Jujur : melaksanakan tugas menjunjung tinggi integritas
d. Ikhlas : melayani dengan sepenuh hati
e. Rajin : bekerja dengan giat dan sungguh - sungguh

3.4.2 Data Ketenagaan Puskesmas Bugul Kidul


Puskesmas Bugul Kidul memilki ketenagaan berjumlah 49 orang, secara terinci yakni
Kepala Puskesmas 1 orang PNS, Dokter 2 orang PNS, Kepala Tata Usaha 1 orang PNS,
Perawat 14 orang yang terbagi 9 orang PNS dan 4 orang kontrak, perawat gigi 2 orang ( 1
orang PNS, dan 1 orang magang), Bidan 15 orang dimana 4 orang PNS, 2 PTT, 4 kontrak, 5
magang, Tenaga Teknis Kefarmasian 1 orang PNS, Petugas Gizi 2 orang PNS, Administrasi 4
orang (2 PNS, 2 kontrak), Santarian 1 orang PNS, Laboratorium 1 orang PNS, Petugas
pendaftaran 2 orang tenaga kontrak, Sopir 1 orang tenaga kontrak, keamanan dan kebersihan
memiliki 2 orang tenaga kontrak.

3.4.3 Manajemen Pengelolaan Sediaan Farmasi dan BMHP Anggaran Obat


Angaran untuk pengadaan obat didapatkan dari dana Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan
Dana Alokasi Umum (DAU). Dana JKN berdasarkan jumlah kapitasi dari peserta BPJS yang
masuk ke Puskesmas Bugul Kidul. APBD, DAK dan DAU berasal dari pemerintah Kota
71

Pasuruan sedangkan program dari pemerintah berupa alokasi obat - obat seperti oralit, obat
anti tuberkolusis, vitamin A, obat cacing, suplemen Fe dan Asam Folat.
a. Perencanaan Permintaan Obat
Perencanaan permintaan obat di Puskesmas Bugul Kidul dilakukan setiap bulan
dengan melihat jumlah stok akhir yang dihitung dari penggunaan obat Pustu, sisa Gudang dan
ruang Instalasi Farmasi. Standar prosedur operasional yang dilakukan di Puskesmas Bugul
Kidul antara lain:
1. Mencatat dan menghitung pemakaian obat selama 1 bulan
2. Menghitung stok optimum dengan rumus:

3. Menentukan kebutuhan obat untuk bulan depan dengan cara:


Stok optimum dikurangi sisa stok.
4. Mengajukan perencanaan dan permintaan obat tersebut kepada kepala Puskesmas.
5. Melakukan revisi laporan apabila perencanaan tidak disetujui.
6. Apabila disetuju, selanjutnya mengajukan perencanaan permintaan obat ke Instalasi
Farmasi Kota Pasuruan.
Jika pelayanan kesehatan di Puskesmas Bugul Kidul mengalami kekosongan
persediaan obat belum sampai waktu pengadaan, maka pihak Puskesmas (terutama
petugas kefarmasian) akan membon sementara obat kepada Unit Perbekalan
Kefarmasian (UPK) sampai dilakukannya pengadaan kembali dibulan berikutnya.
b. Perencanaan Usulan Tahunan Obat
Penyediaan obat merupakan proses kegiatan seleksi obat dan bahan medis habis pakai
untuk menentukan jenis dan jumlah obat dalam rangka pemenuhan kebutuhan. Penggunaan
obat dalam proses kegiatan yang dilakukan agar obat yang diterima sesuai kebutuhan
berdasarkan permintaan untuk memenuhi kebutuhan obat di unit pelayanan Puskesmas.
1. Petugas farmasi merekap pemakaian obat selama 1 (satu) tahun.
2. Petugas farmasi menentukan jenis dan jumlah obat yang akan diminta selama 1
(satu) tahun.
3. Petugas farmasi menyusun permintaan obat dengan membuat laporan usulan
kebutuhan obat selama 1 (satu) tahun.
4. Petugas mengisi formulir LPLPO dan mengajukan kepada Kepala Puskesmas.
5. Petugas mengirim form LPLPO ke UPT Unit perbekalan kefarmasian (UPK).
72

6. Petugas menerima dan memeriksa obat sesuai dengan jenis, jumlah, masa
kedaluarsa.
7. Obat JKN berasal dari dana kapitas BPJS khusus untuk obat Formularium Nasional
mencakup perencanaan sebagai berikut:
a) Merencanakan jumlah kebutuhan obat Formularium Nasional sesuai dengan
kebutuhan Puskesmas Bugul Kidul dengan menyesuaikan anggaran
berdasarkan 10 penyakit terbanyak, pemakaian obat tahun lalu dan tren
pemakaian obat.
b) Perencaaan yang sudah dicatat kemudian dimasukkan kedalam usulan /
RKA (Rencana Kegiatan Anggaran) di website JKN secara online.
c) Melaksanakan AKP / penyerapan anggaran dalam 1 tahun untuk nantinya
diproses dan diteruskan ke penyedia.
d) Barang pesanan datang dilanjutkan pencairan NPD (Nota Pencairan Dana)
untuk pembayaran ke penyedian.
e) Proses pembelian obat JKN melalui 2 cara yaitu e-catalog / e-purchasing dan
pembelian langsung (apabilaobat tidak tercantum / tidak bisa melakukan
pembelian melalui e-catalog).
8. Obat APBD, DAK dan DAU diperoleh dari dana Pemerintah Kota Pasuruan.
9. Obat program dari dana alokasi pemerintah pusat.
10. Rumus permintaan obat dalam 1 tahun : (18 x rata - rata pemakaian obat per
bulan) – sisa stok dikalikan 18 = persediaan selama 1 tahun dan juga buffer stok 6
bulan.

3.4.4 Pengadaan Obat


Prosedur pengadaan obat yang dilakukan di Puskesmas Bugul Kidul sebagai berikut :
1. Petugas melakukan pencatatan sisa obat.
2. Petugas melakukan pencatatan pemakaian obat
3. Petugas merencanakan permintaan obat berdasarkan pemakaian
4. Petugas melaporkan pemakaian dan permintaan obat setiap bulan ( LPLPO)
5. Petugas menyerahkan laporan LPLPO ke Unit Perbekalan Kefarmasian dengan
persetujuan Kepala Puskesmas.
73

3.4.5 Penyimpanan dan Penataan Obat


Penyimpanan obat adalah suatu kegiatan menyimpan dan memelihara dengan cara
menempatkan obat-obatan yang diterima pada tempat yang dinilai aman dari pencurian serta
gangguan fisik yang dapat merusak mutu obat.Tujuan penyimpanan obat yaitu memelihara
mutu obat, menghindari penggunaan yang tidak bertanggung jawab, menjaga kelangsungan
persediaan obat, dan memudahkan pencarian dan pengawasan. Penyimpanan obat yang
dilakukan meliputi pengaturan tata ruang, penyusunan stock obat, dan pengamatan mutu obat.
Penyimpanan dan penataan obat dalam gudang maupun ruang farmasi dalam Puskesmas
Bugul Kidul berdasarkan sistem FIFO (First In First Out), sistem FEFO (First Expired First
Out) secara alfabetis dan sesuai dengan bentuk sediaannya dapat dan rak penyimpanan obat di
puskesmas bugul kidul dapat dilihat pada Gambar 3.5. Lemari pendingin di Puskesmas
Bugul Kidul Puskesmas Bugul Kidul dapat dilihat pada Gambar 3.6. Prosedur penyimpanan
sebagai berikut :
1. Mencatat obat yang diterima dalam kartu stok.
2. Mencocokkan jumlah obat yaitu obat yang diterima dan sisa stok obat sebelumnya.
3. Obat disusun secara alfabetis.
4. Obat dirotasi dengan system FEFO (obat dengan ED yang lebih pendek digunakan
lebih dulu), lalu FIFO (obat yang diterima lebih dulu digunakan lebih dulu)
5. Obat disimpan pada rak
6. Khusus untuk gudang obat : obat yang disimpan di lantai harus diletakkan di atas
palet.
7. Khusus untuk gudang obat : tumpukan dus sebaiknya harus sesuai dengan petunjuk.
8. Obat dikelompokkan berdasarkan bentuk sediaan dan suhu penyimpanan (supositoria,
sirup, tablet, alkes, dll).
9. Untuk mempermudah dan terlihat jelas, obat ditandai dengan pemberian sticker
berwarna terang yang berisi waktu kedaluarsa obat.
a. Warna merah masa kedaluarsa < 3 (tiga) bulan.
b. Warna kuning masa kedaluarsa 3 ( tiga) sampai dengan 6 (enam) bulan.
c. Warna hijau masa kedaluarsa > 6 (enam) bulan.
10. Letakkan kartu stok di dekat obatnya.
11. Menjaga mutu obat sesuai aturan penyimpanannya.
74

Gambar 3.5 Rak Penyimpanan Obat di Puskesmas Bugul Kidul

Gambar 3.6. Lemari pendingin di Puskesmas Bugul Kidul


75

3.4.6 Pendistribusian Obat


Distribusi merupakan kegiatan pengeluaran dan penyerahan sediaan farmasi dan alat
medis habis pakai secara merata dan teratur untuk memenuhi kebutuhan sub unit / satelit
farmasi puskesmas dan jaringannya. Tujuannya untuk memenuhi kebutuhan sediaan farmasi
sub unit pelayanan kesehtan yang ada di wilayah kerja Puskesmas dengan jenis, mutu, jumlah,
dan waktu yang tepat. Proses pendistribusian obat yang dilakukan di Puskesmas Bugul Kidul
antara lain :
a. Petugas kefarmasian menerima obat dari Unit Perbekalan Kefarmasian.
b. Petugas kefarmasian memeriksa spesifikasi pesanan obat apakah sudah sesuai
dengan pesanan atau belum dan mencatat jumlah obat di kartu stok.
c. Petugas kefarmasian menyimpan obat di gudang obat di Puskesmas berdasarkan
aturan alfabetis dan menggunakan metode FIFO (First In First) Out dan FEFO (First
Expired First Out), serta berdasarkan bentuk sediaan obat.
d. Petugas kefarmasian mendistribusikan obat secara teratur untuk memenuhi
kebutuhan sub unit puskesmas dan puskesmas pembantu sesuai dengan permintaan,
serta mendistribusikan obat kepada pasien dengan cara pemberian obat sesuai resep
yang diterima.

3.4.7 Pengendalian Obat Golongan Psikotropika dan Obat-Obat Tertentu (OOT)


Pengendalian obat golongan psikotropika dan OOT di Puskemas Bugul Kidul
dilakukan antara lain:
1. Menyimpan obat Psikotropika dan OOT di lemari khusus penyimpanannya.
2. Setiap pelayanan obat Psikotropika dan OOT dilakukan oleh Tenaga teknis
kefarmasian.
3. Mencatat jumlah setiap obat psikotropika dan OOT yang masuk di kartu stok di
buku daftar pemakaian.
4. Mencocokkan jumlah pemakaian dan pemasukkan yang dicatat di buku harian
pemakaian obat setiap bulannya.
5. Menghitung sisa jumlah nyata tablet yang terdapat di tempat penyimpanan dan
mencocokkan dengan sisa jumlah yang tertulis di kartu stok.
6. Bila jumlah nyata lebih dari sisa jumlah yang tertulis di kartu stok, dilakukan
pemeriksaan kesalahan pencatatan jumlah pemasukkan maupun pengeluaran kartu
stok.
76

7. Bila jumlah nyata kurang dari sisa yang tertulis di kartu stok, berarti telah terjadi
kehilangan obat sehingga harus menulis jumlah obat yang hilang dan jenisnya pada
laporan obat hilang.

3.4.8 Peresepan Psikotropika


Peresepan obat golongan narkotika psikotropika di Puskesmas Bugul Kidul dilakukan
sesuai standar prosedur operasional sebagai berikut :
a. Petugas farmasi menerima resep yang mengandung obat narkotika/psikotropika
b. Petugas farmasi memeriksa kelengkapan resep.
c. Jika belum lengkap petugas konfirmasi dengan dokter penulis resep.
d. Apabila sudah jelas petugas farmasi menyiapkan obat sesuai resep.
e. Petugas farmasi mengambil obat narkotik/ psikotropik di lemari khusus sesuai
dengan resep.
f. Petugas farmasi memberikan etiket.
g. Petugas farmasi melakukan pemeriksaan ulang terhadap resep.
h. Petugas farmasi memanggil pasien/ keluarga pasien memastikan identitas pasien
sesuai dengan identitas resep.
i. Petugas farmasi menjelaskan tentang aturan penggunaan obat.
j. Petugas farmasi memberikan obat pada pasien.
Puskesmas Bugul Kidul melakukan pengadaan obat narkotika. Untuk obat psikotropika
dan obat–obat tertentu disimpan menggunakan lemari yang mempunyai 2 pintu dengan kunci
ganda, kunci lemari disimpan oleh tenaga teknis kefarmasian. Lemari penyimpanan
psikotropika Puskesmas Bugul Kidul dapat dilihat pada Gambar 3.7.
77

Gambar 3.7 Lemari Penyimpanan Psikotropika dan OOT

3.4.9 Gudang penyimpanan Perbekalan Farmasi Puskesmas Bugul Kidul


Gudang tempat penyimpanan sediaan farmasi di Puskesmas Bugul Kidul berdasarkan
pada stabilitas sediaan obat (sediaan yang harus disimpan di suhu dingin, efek farmakologi,
bentuk sediaan dan alfabetis untuk memudahkan pengambilan). Obat-obat yang tergolong
high alert dan obat yang tergolong LASA diberi penandaan dengan menggunakan stiker hal
ini bertujuan untuk memudahkan pemantauan obat-obat tersebut dimana warna merah untuk
obat dengan waktu kedaluwarsa kurang dari 3 bulan dan warna kuning untuk waktu
kedaluwarsa yang kurang 6 bulan. Penataan dan penandaan obat di gudang obat Puskesmas
Bugul Kidul dapat dilihat pada Gambar 3.8.
78

Gambar 3.8 Penataan dan penyimpanan obat di Puskesmas Bugul Kidul


Berdasarkan persyaratan Peraturan Menteri Kesehatan No 74 Tahun 2016 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas, penyimpanan sediaan farmasi di gudang obat
Puskesmas Bugul telah sesuai dengan yang dipersyaratkan. Akan tetapi ada beberapa hal yang
perlu dilakukan pemantauan suhu ruangan yang dikurangi dengan penggunaan pendingin
ruangan agar stabilitas obat dapat terjaga dan penataan sediaan farmasi di gudang obat ada
yang masih belum berpallet. Disarankan untuk menjaga kebersihan tempat penyimpanan obat
yang perlu ditingkatkan untuk dapat menjamin kualitas sediaan obat yang disimpan.

3.4.10 Pengendalian Mutu Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas Bugul Kidul


Menurut Peraturan Menteri Keshatan No. 74 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Puskesmas pasal 5 menyebutkan bahwa untuk menjamin mutu Pelayanan
Kefarmasian di Puskesmas harus dilakukan pengendalian mutu pelayanan kefarmasian yang
terdiri dari monitoring dan evaluasi.
BAB IV

STUDI KASUS

4.1 Studi Kasus Makanan dan Minuman

Kasus I

Dari hasil monitoring pada Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) masih banyak
dijumpai sebagai berikut:
 Banyak minuman yang berlabel sebagai minuman berkhasiat
 Pembelian label produk tidak memenuhi persyaratan yang telah ditentukan
Pertanyaan:
1. Bagaimana pendapat anda terhadap pernyataan tersebut
2. Bagaimana tindak lanjut anda jika anda sebagai Petugas Dinas Kesehatan?

Pembahasan:

Berdasarkan peraturan pemerintah No.69 tahun 1999 mengenai label dan iklan pangan
yang berbunyi label pangan adalah setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk
gambar, tulisan, kombinasi keduanya, atau bentuk lain yang disertakan pada pangan,
dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada, atau merupakan bagian kemasan pangan, yang
selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini disebut Label.

Pada kasus ini banyak minuman dengan label sebagai minuman berkhasiat maka
melanggar PP No.69 tahun 1999 BAB II pasal 7 yang berbunyi dilarang dicantumkan
pernyataan atau keterangan dalam bentuk apapun bahwa pangan yang bersangkutan dapat
berfungsi sebagai obat. Dan pemberian produk juga tidak memenuhi persyaratan maka
melanggar Undang-Undang No. 18 tahun 2018 pasal 89 yang berbunyi Setiap orang dilarang
memperdagangkan pangan yang tidak sesuai dengan keamanan pangan dan mutu pangan yang
tercantum dalam label kemasan pangan. Dengan persyaratan label yang sudah diatur pada
Undang-Undang 18 tahun 2012 pasal 96 ayat 2 yaitu menyatakan bahwa informasi
sebagaimana dimaksud terkait dengan asal, keamanan, mutu, kandungan gizi, dan keterangan
lain yang diperlukan.

Tindak lanjut dari pelanggaran pada kasus 1 ini adalah Melakukan sidak ke IRTP dan
mengecek kelengkapan dokumen formulir permohonan persetujuan iklan. Apabila benar
terjadi pelanggaan tersebut maka akan dilakukan teguran dan peringatan secara tertulis

79
80

sebagai tahap awal dan apabila pihak produsen masih tidak menghiraukan teguran petugas
maka diberikan tindakan tegas yaitu mengeluarkan larangan untuk mengedarkan produk
untuk sementara waktu atau perintah untuk menarik produk pangan dari peredaran,
pemusnahan pangan jika terbukti membahayakan kesehatan dan jiwa manusia atau denda
paling tinggi 50 juta dan pencabutan izin produksi atau izin usaha ( Bab V pasal 61 ayat 2).

Kasus II

Petugas Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur dan Dinas Kesehatan Kabupaten XX
melakukan pembinaan terhadap suatu industri Rumah Tangga Pangan yang memproduksi
kerupuk puli. Setelah dicurigai dan dilakukan sampling pengujian laboratorium ternyata
kerupuk puli tersebut mengandung boraks.

Pertanyaan:
1. Bagaimana tindak lanjut saudara sebagai Petugas Dinas Kesehatan Kabupaten XX
terkait dengan kasus tersebut?
2. Apakah berbahaya jika mengonsumsi produk tersebut? Jelaskan!

Pembahasan:
Nama ilmiah dari boraks itu sendiri adalah sodium tetraboratedecahydrate
(Na2BO7.10H2O ) yang lebih umum disebut dengan nama pijer, petitet, bleng, gendar dan air
kl. Sinonim dari boraks itu sendiri yaitu natrium biborat, natrium piroborat, natrium tetraborat
yang seharusnya hanya digunakan dalam industri non pangan. Karakteristik boraks adalah
berbentuk kristal putih, tidak berbau, larut dalam air, tidak larut dalam alkohol, stabil pada
suhu serta tekanan normal. Fungsi yang sebenarnya dari boraks dalam bidang non medis
sebagai bahan pengawet untuk mengawetkan kayu, antiseptik kayu dan pengontrol kecoa.
Dan penggunaannya dalam bidang medis sebagai obat cuci mata yang dikenal sebagai
boorwater. Asam borat juga digunakan sebagai obat kumur, semprot hidung dan salep luka
kecil. Tetapi bahan ini tidak boleh diminum atau digunakan pada bekas luka luas.

Penyalahgunaan boraks paling sering terjadi dan dimanfaatkan sebagai bahan pengawet
makanan serta sebagai pengenyal makanan, biasanya didapati pada mie, bakso, lontong dan
kerupuk. Pada Peraturan Mentri Kesehatan No 033 tahun 2012 mengenai Bahan Tambahan
Pangan (BTP) terdapat banyak bahan pengawet pada makanan yang lebih aman dibandingkan
dengan boraks, seperti pada tabel 4.1 dibawah ini:
81

Tabel 4.1 Jenis BPT pengawet


No. Jenis BTP Pengawet (Preservative)
1. Asam sorbat dan garamnya (Sorbic acid and its salts):
Asam sorbat (Sorbic acid)
Natrium sorbat (Sodium sorbate)
Kalium sorbat (Potassium sorbate)
Kalsium sorbat (Calcium sorbate)
2. Asam benzoat dan garamnya (Benzoic acid and its salts):
Asam benzoat (Benzoic acid)
Natrium benzoat (Sodium benzoate)
Kalium benzoat (Potassium benzoate)
Kalsium benzoat (Calcium benzoate )
3. Etil para-hidroksibenzoat (Ethyl para- hydroxybenzoate)
4. Metil para-hidroksibenzoat (Methyl para hydroxybenzoate)
5. Sulfit (Sulphites):
Belerang dioksida (Sulphur dioxide)
Natrium sulfit (Sodium sulphite )
Natrium bisulfit (Sodium bisulphate)
Natrium metabisulfit (Sodium metabisulphite)
Kalium metabisulfit (Potassium metabisulphite)
Kalium sulfit (Potassium sulphite)
Kalsium bisulfit (Calcium bisulphite)
Kalium bisulfit (Potassium bisulphite)
6. Nisin (Nisin)
7. Nitrit (Nitrites):
Kalium nitrit (Potassium nitrite)
Natrium nitrit (Sodium nitrite)
8. Nitrat (Nitrates):
Natrium nitrat (Sodium nitrate)
Kalium nitrat (Potassium nitrate)
9. Asam propionat dan garamnya (Propionic acid and its salts):
Asam propionat (Propionic acid)
Natrium propionate (Sodium propionate)
Kalsium propionate (Calcium propionate)
Kalium propionate (Potassium propionate)
10 Lisozim hidroklorida (Lysozyme hydrochloride)
Konsumsi boraks dapat menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Pada jangka
pendek dapat menyebabkan mual, muntah, batuk, sakit kepala, diare, dan demam. Pada
penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan gangguan susunan saraf pusat, ginjal, hati.
82

Pada kasus ini kerupuk puli yang dicampur dengan boraks melanggar Undang-Undang No. 18
tahun 2012 mengenai Pangan pada pasal 67 yang berbunyi:
1. Keamanan pangan diselenggarakan untuk menjaga pangan tetap aman, higinise,
bermutu, bergizi dan tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya
masyarakat.
2. Kemanana pangan dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan cemaran biologis,
kimia, dan benda lain yang dapat menganggu, merugikan dan membahayakan
kesehatan manusia.
Karena berdasarkan Peraturan Mentri Kesehatan No 033 tahun 2012, borkas
merupakan salah satu zat kimia yang dilarang untuk ditambahkan pada makanan maupun
minuman.

Upaya dan tindak lanjut yang dapat dilakukan oleh dinas kesehatan yaitu:
 Membuat berita acara terkait adanya temuan kandungan boraks pada kerupuk puli oleh
dinas kesehatan Kota XX
 Memberikan peringatan kepada industri rumah tangga pangan terkait untuk
menghentikan pemasaran produk pada masyarakat
 Bekerja sama dengan BPOM untuk melakukan penarikan kerupuk puli yang beredar di
pasaran yang mengandung Borax
 Melakukan penyuluhan kepada indutri-industri pembuat kerupuk tentang bahaya
borax.
Sebagai pengenyal:
 STTP (Sodium tripoliphosphate) food grade, biasa digunakan untuk bahan pengenyal
bakso dan mie, bahan penjaga kesegaran ikan, udang dan cumi selama proses
pendistribusian, bahan pengenyal dan penjaga struktur nugget, serta untuk industri
kerupuk. Kadar pemakaian 0,3-0,5%
 Karagenan, merupakan senyawa hidrokoloid hasil ekstraksi (Mutemainna Karim dan
Dian Nisa Fitri Aspari) rumput laut jenis karaginofit seperti Eucheuma sp., Chondrus
sp., Hypnea sp., dan Gigartina sp. Karagenan dapat berfungsi sebagai pembentuk gel,
bahan penstabil, pengemulsi, pensuspensi, dan pendispersi. Kadar pemakaian 1-2%
dari total berat adonan.
83

4.2 Studi Kasus Napza


Kasus I
1. Ketika melakukan monitoring dan evaluasi pengelolaan Narkotika dan Psikotropika di
Apotek XX, petugas Dinas Kesehatan Kota Surabaya menemukan:
a. Tidak mengirimkan laporan narkotika dan psikotropika selama 3 bulan berturut-
turut;
b. Terdapat perbedaan stok Diazepam pada kartu stok dengan jumlah fisik;
c. Melayani turunan resep narkotika dan psikotropika yang sudah detur;
d. Buku pencatatan narkotika dan psikotropika tidak ada.
Sebagai petugas Dinas Kesehatan Kota Surabaya, langkah apa yang saudara lakukan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku?
Pembahasan:

Landasan Hukum
a. Kasus 1a (tidak mengirimkan laporan narkotika dan psikotropika selama 3 bulan berturut-
turut)
− Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika pasal
14
(2) Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi
pemerintah, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan,
dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan wajib membuat, menyampaikan, dan
menyimpan laporan berkala mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran narkotika
yang berada dalam penguasaannya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyimpanan secara khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan jangka waktu, bentuk, isi, dan tata cara
pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
(4) Pelanggaran terhadap ketentuan mengenai penyimpanan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan/atau ketentuan mengenai pelaporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dikenai sanksi administratif oleh Menteri atas rekomendasi dari Kepala
Badan Pengawas Obat dan Makanan berupa:
a) teguran;
b) peringatan;
84

c) denda administratif;
d) penghentian sementara kegiatan; atau
e) pencabutan izin.
− Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika Pasal
33 ayat (1)
Pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah,
apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, lembaga penelitian dan/atau
lembaga pendidikan, wajib membuat dan menyimpan catatan mengenai kegiatan
masing-masing yang berhubungan dengan psikotropika.
Pasal 34
Pabrik obat, pedagang besar farmasi, apotek, rumah sakit, puskesmas, lembaga
penelitian dan/atau lembaga pendidikan wajib melaporkan catatan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 33 ayat (1) kepada Menteri secara berkala.
Pasal 51
(1) Menteri berwenang mengambil tindakan administratif terhadap pabrik obat,
pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi Pemerintah, apotek,
rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, lembaga penelitian dan/atau
lembaga pendidikan, dan fasilitas rehabilitasi yang melakukan pelanggaran
terhadap ketentuan undang-undang ini.
(2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa :
a) teguran lisan;
b) teguran tertulis;
c) penghentian sementara kegiatan;
d) denda administratif;
e) pencabutan izin praktek.
− Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2015 tentang
Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika dan
Prekursor Farmasi
Pasal 45
(6) Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik, Lembaga Ilmu
Pengetahuan, dan dokter praktik perorangan wajib membuat, menyimpan, dan
menyampaikan laporan pemasukan dan penyerahan/penggunaan narkotika dan
85

psikotropika setiap bulan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota


dengan tembusan Kepala Balai setempat.
(9) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) dan ayat (6)
dapat menggunakan sistem pelaporan narkotika, psikotropika, dan/atau prekursor
farmasi secara elektronik.
(10) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) dan ayat (6)
disampaikan paling lambat setiap tanggal 10 bulan berikutnya.
Pasal 47
Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan Menteri ini dikenai sanksi
administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
− Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 4 Tahun 2018 tentang
Pengawasan, Pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor
Farmasi di Fasilitas Pelayanan Kefarmasian Lampiran B (Pedoman Teknis
Pengelolaan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi di Fasilitas Pelayanan
Kefarmasian).
b. Kasus 1b (terdapat perbedaan stok diazepam pada kartu stok dengan jumlah fisik)
− Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2015 tentang
Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika dan
Prekursor Farmasi pasal 43 ayat (4)
Pencatatan yang dilakukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus
dibuat sesuai dengan dokumen penerimaan dan dokumen penyaluran termasuk
dokumen impor, dokumen ekspor dan/atau dokumen penyerahan.
− Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 4 Tahun 2018 tentang
Pengawasan, Pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor
Farmasi di Fasilitas Pelayanan Kefarmasian Lampiran B
3.20. Melakukan investigasi adanya selisih stok dengan fisik saat stok opname dan
mendokumentasikan hasil investigasi dalam bentuk Berita Acara hasil
investigasi selisih stok menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam
Formulir 10. Dokumentasi harus mampu telusur dan dapat diperlihatkan saat
diperlukan.
c. Kasus 1c (melayani turunan resep narkotika dan psikotropika yang sudah detur)
− Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika pasal
43 ayat (3)
86

Rumah sakit, apotek, pusat kesehatan masyarakat, dan balai pengobatan hanya dapat
menyerahkan narkotika kepada pasien berdasarkan resep dokter.
− Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika pasal
14 ayat (4)
Penyerahan psikotropika oleh apotek, rumah sakit, puskesmas dan balai pengobatan,
puskesmas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan resep
dokter.
− Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2015 tentang
Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika dan
Prekursor Farmasi pasal 19 ayat (5)
Apotek, Puskesmas, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, dan Instalasi Farmasi Klinik
hanya dapat menyerahkan narkotika dan/atau psikotropika kepada pasien berdasarkan
resep dokter.
− Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 4 Tahun 2018 tentang
Pengawasan, Pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor
Farmasi di Fasilitas Pelayanan Kefarmasian Lampiran B
4.2. Penyerahan narkotika, psikotropika, dan prekursor farmasi golongan obat keras
kepada pasien hanya dapat dilakukan berdasarkan resep dokter.
d. Kasus 1d (buku pencatatan narkotika dan psikotropika tidak ada)
− Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika pasal
33 ayat (1)
Pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah,
apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, lembaga penelitian dan/atau
lembaga pendidikan, wajib membuat dan menyimpan catatan mengenai kegiatan
masing-masing yang berhubungan dengan psikotropika.
− Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2015 tentang
Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika dan
Prekursor Farmasi pasal 43 ayat (1)
Industri Farmasi, PBF, Instalasi Farmasi Pemerintah, Apotek, Puskesmas, Instalasi
Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik, Lembaga Ilmu Pengetahuan, atau
dokter praktik perorangan yang melakukan produksi, penyaluran, atau penyerahan
narkotika, psikotropika, dan prekursor farmasi wajib membuat pencatatan mengenai
pemasukan dan/atau pengeluaran narkotika, psikotropika, dan prekursor farmasi.
87

− Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 4 Tahun 2018 tentang
Pengawasan, Pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor
Farmasi di Fasilitas Pelayanan Kefarmasian Lampiran B. Pencatatan yang dilakukan
harus tertib dan akurat.
Tindak Lanjut Petugas Dinas Kesehatan Kota Surabaya
1) Memberikan sanksi administratif secara berjenjang sesuai peraturan yang berlaku
(peringatan, penghentian kegiatan sementara, dan pencabutan izin).
2) Melakukan pembinaan kepada Apoteker Penanggungjawab dan/atau apoteker lain yang
berpraktek di Apotek XX.
3) Melakukan evaluasi atau follow-up mengenai tindakan perbaikan yang dilakukan oleh
apotek.
Tindak Lanjut Apoteker PenanggungJawab Apotek XX
1) Melakukan pelaporan narkotika dan psikotropika sesuai peraturan yang berlaku (setiap
bulan paling lambat tanggal 10 melalui aplikasi SIPNAP).
2) Melakukan investigasi mengenai selisih stok diazepam dengan melakukan penelusuran
dokumen yang berhubungan (seperti surat pesanan dan resep yang mengandung
diazepam) dan mendokumentasikannya dalam bentuk Berita Acara Hasil Investigasi
Ketidaksesuaian Stok. Selisih stok dapat dicegah dengan melakukan pencatatan pada kartu
stok saat penerimaan dan pengeluaran barang, serta melakukan kegiatan stok opname
secara rutin (minimal sekali dalam satu bulan).
3) Mempelajari dan mematuhi peraturan terkait kriteria resep yang dapat dilayani serta
mensosialisasikan kepada tenaga kefarmasian lain di apotek.
4) Melakukan pencatatan narkotika dan psikotropika secara tertib dan akurat pada buku
pencatatan narkotika dan psikotropika.
Kasus II
Jelaskan secara singkat "Penyimpanan Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi"?

Pembahasan:

Penyimpanan narkotika, psikotropika dan prekursor farmasi secara singkat dapat dilihat
pada Tabel 4.2
88

Tabel 4.2. Penyimpanan Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi (Permenkes RI


Nomor 3 Tahun 2015)
Sarana Narkotika Psikotropika Prekursor Farmasi
a. Bahan baku
Gudang/ruang
Gudang khusus Gudang/ruang khusus
khusus
Industri Farmasi a. Bahan baku b. Obat jadi
a. Bahan baku
b. Obat jadi Gudang penyimpanan obat yang
b. Obat jadi
aman berdasarkan analisis risiko
a. Bahan baku
Gudang/ruang
Gudang khusus Gudang/ruang khusus
Pedagang Besar khusus
a. Bahan baku b. Obat jadi
Farmasi a. Bahan baku
b. Obat jadi Gudang penyimpanan obat yang
b. Obat jadi
aman berdasarkan analisis risiko
Instalasi Farmasi Ruang/lemari Ruang/lemari Gudang penyimpanan obat yang
Pemerintah khusus khusus aman berdasarkan analisis risiko
Apotek,
Puskesmas,
Instalasi Farmasi
Tempat penyimpanan obat yang
Rumah Sakit, Lemari khusus Lemari khusus
aman berdasarkan analisis risiko
Instalasi Farmasi
Klinik, Lembaga
Ilmu Pengetahuan

Penjelasan lebih rinci terkait penyimpanan narkotika, psikotropika dan prekursor


farmasi ditetapkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun
2015 tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika
dan Prekursor Farmasi, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Pasal 24
Tempat penyimpanan narkotika, psikotropika, dan prekursor farmasi di fasilitas
produksi, fasilitas distribusi, dan fasilitas pelayanan kefarmasian harus mampu
menjaga keamanan, khasiat, dan mutu narkotika, psikotropika, dan prekursor farmasi.
b. Pasal 25
(1) Tempat penyimpanan narkotika, psikotropika, dan prekursor farmasi dapat berupa
gudang, ruangan, atau lemari khusus.
(2) Tempat penyimpanan narkotika dilarang digunakan untuk menyimpan barang
selain narkotika.
(3) Tempat penyimpanan psikotropika dilarang digunakan untuk menyimpan barang
selain psikotropika.
(4) Tempat penyimpanan prekursor farmasi dalam bentuk bahan baku dilarang
digunakan untuk menyimpan barang selain prekursor farmasi dalam bentuk bahan
baku.
89

c. Pasal 26
(1) Gudang khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
− dinding dibuat dari tembok dan hanya mempunyai pintu yang dilengkapi
dengan pintu jeruji besi dengan 2 (dua) buah kunci yang berbeda;
− langit-langit dapat terbuat dari tembok beton atau jeruji besi;
− jika terdapat jendela atau ventilasi harus dilengkapi dengan jeruji besi;
− gudang tidak boleh dimasuki oleh orang lain tanpa izin apoteker
penanggungjawab; dan
− kunci gudang dikuasai oleh apoteker penanggungjawab dan pegawai lain yang
dikuasakan.
(2) Ruang khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
− dinding dan langit-langit terbuat dari bahan yang kuat;
− jika terdapat jendela atau ventilasi harus dilengkapi dengan jeruji besi;
− mempunyai satu pintu dengan 2 (dua) buah kunci yang berbeda;
− kunci ruang khusus dikuasai oleh apoteker penanggungjawab/apoteker yang
ditunjuk dan pegawai lain yang dikuasakan; dan
− tidak boleh dimasuki oleh orang lain tanpa izin apoteker
penanggungjawab/apoteker yang ditunjuk.
(3) Lemari khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
− terbuat dari bahan yang kuat;
− tidak mudah dipindahkan dan mempunyai 2 (dua) buah kunci yang berbeda;
− harus diletakkan dalam ruang khusus di sudut gudang, untuk instalasi farmasi
pemerintah;
− diletakkan di tempat yang aman dan tidak terlihat oleh umum, untuk apotek,
instalasi farmasi rumah sakit, puskesmas, instalasi farmasi klinik, dan lembaga
ilmu pengetahuan ; dan
− kunci lemari khusus dikuasai oleh apoteker penanggungjawab atau apoteker
yang ditunjuk dan pegawai lain yang dikuasakan.
90

d. Pasal 27
Penyimpanan narkotika, psikotropika, dan prekursor farmasi wajib memenuhi Cara
Produksi Obat yang Baik, Cara Distribusi Obat yang Baik, dan/atau standar pelayanan
kefarmasian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
e. Pasal 28
(1) Industri Farmasi yang memproduksi narkotika harus memiliki tempat
penyimpanan narkotika berupa gudang khusus, yang terdiri atas:
− gudang khusus narkotika dalam bentuk bahan baku; dan
− gudang khusus narkotika dalam bentuk obat jadi.
(2) Gudang khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada dalam penguasaan
apoteker penanggungjawab.
f. Pasal 29
(1) Industri Farmasi yang memproduksi psikotropika harus memiliki tempat
penyimpanan psikotropika berupa gudang khusus atau ruang khusus, yang terdiri
atas:
− gudang khusus atau ruang khusus psikotropika dalam bentuk bahan baku; dan
− gudang khusus atau ruang khusus psikotropika dalam bentuk obat jadi.
(2) Gudang khusus atau ruang khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada
dalam penguasaan apoteker penanggungjawab.
g. Pasal 30
(1) PBF yang menyalurkan narkotika harus memiliki tempat penyimpanan narkotika
berupa gudang khusus.
(2) Dalam hal PBF menyalurkan narkotika dalam bentuk bahan baku dan obat jadi,
gudang khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus terdiri atas:
− gudang khusus narkotika dalam bentuk bahan baku; dan
− gudang khusus narkotika dalam bentuk obat jadi.
(3) Gudang khusus untuk tempat penyimpanan narkotika sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) berada dalam penguasaan apoteker penanggungjawab.
h. Pasal 31
(1) PBF yang menyalurkan psikotropika harus memiliki tempat penyimpanan
psikotropika berupa gudang khusus atau ruang khusus.
91

(2) Dalam hal PBF menyalurkan psikotropika dalam bentuk bahan baku dan obat jadi,
gudang khusus atau ruang khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
terdiri atas:
− gudang khusus atau ruang khusus psikotropika dalam bentuk bahan baku; dan
− gudang khusus atau ruang khusus psikotropika dalam bentuk obat jadi.
(3) Gudang khusus atau ruang khusus untuk tempat penyimpanan psikotropika
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berada dalam penguasaan
apoteker penanggungjawab.
i. Pasal 32
(1) Instalasi Farmasi Pemerintah yang menyimpan narkotika atau psikotropika harus
memiliki tempat penyimpanan narkotika atau psikotropika berupa ruang khusus
atau lemari khusus.
(2) Ruang khusus atau lemari khusus tempat penyimpanan narkotika atau psikotropika
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada dalam penguasaan apoteker
penanggungjawab atau apoteker yang ditunjuk.
j. Pasal 33
(1) Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Puskesmas, Instalasi Farmasi Klinik, dan
Lembaga Ilmu Pengetahuan harus memiliki tempat penyimpanan narkotika atau
psikotropika berupa lemari khusus.
(2) Lemari khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada dalam penguasaan
apoteker penanggungjawab.
k. Pasal 34
Dokter praktik perorangan yang menggunakan narkotika atau psikotropika untuk
tujuan pengobatan harus menyimpan narkotika atau psikotropika di tempat yang aman
dan memiliki kunci yang berada di bawah penguasaan dokter.
l. Pasal 35
(1) Industri Farmasi yang menggunakan prekursor farmasi dalam bentuk bahan baku
untuk memproduksi prekursor farmasi atau PBF yang menyalurkan prekursor
farmasi dalam bentuk bahan baku harus memiliki tempat penyimpanan prekursor
farmasi berupa gudang khusus atau ruang khusus.
(2) Gudang khusus atau ruang khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada
dalam penguasaan Apoteker penanggungjawab.
92

m. Pasal 36
(1) Industri Farmasi yang memproduksi prekursor farmasi dalam bentuk obat jadi,
PBF yang menyalurkan prekursor farmasi dalam bentuk obat jadi, atau Instalasi
Farmasi Pemerintah harus menyimpan prekursor farmasi dalam bentuk obat jadi
dalam gudang penyimpanan obat yang aman berdasarkan analisis risiko.
(2) Apotek, Puskesmas, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik, dan
Lembaga Ilmu Pengetahuan harus menyimpan prekursor farmasi dalam bentuk
obat jadi di tempat penyimpanan obat yang aman berdasarkan analisis risiko.

4.3 Studi Kasus Farkomik dan POR


Kasus I
1. Berdasarkan surat dari Balai Besar POM Surabaya Nomor:XX/94/02.13.7692 tanggal 5
Februari 2017 Perihal Hasil Pemeriksaan Apotek “USF”, didapatkan hasil sebagai
berikut:
a. Tidak memiliki arsip surat pemesanan obat;
b. Terdapat obat yang disimpan dalam plastik klip tanpa ada identitas obat tersebut
c. Tidak mencantumkan nomor bets dan tanggal kedaluarsa pada kartu stok
d. Tidak ada pencatatan pelayanan informasi obat;
e. Terdapat obat yang rusak dan kedaluarsa pada rak obat

Pertanyaan :
1. Sebagai Apoteker di Dinas Kesehatan Kota setempat, apa yang harus dilakukan?
2. Sebagai Apoteker di Apotek tersebut, apa yang harus ditindak lanjuti?

Pembahasan:
1. Berdasarkan surat dari Balai Besar POM Surabaya Nomor:XX/94/02.13.7692 tanggal 5
Februari 2017 Perihal Hasil Pemeriksaan Apotek “USF”, didapatkan hasil sebagai
berikut:
a. Tidak memiliki arsip surat pemesanan obat
Permenkes No. 9 tahun 2017 Bab IV pasal 19:
“Setiap apoteker dan tenaga teknis kefarmasian harus bekerja sesuai dengan standar
profesi, standar prosedur operasional, standar pelayanan, etika profesi, menghormati
hak pasien dan mengutamakan kepentingan pasien.”
93

Permenkes No. 73 tahun 2016 Bab II pasal 3 (2b):


“Dalam menjamin kualitas pelayanan kefarmasian maka pengadaan sediaan farmasi
harus melalui jalur resmi sesuai ketentuan peraturan perundang-undang.”

b. Terdapat obat yang disimpan dalam plastik klip tanpa identitas.

Permenkes No. 73 tahun 2016 BAB II pasal 3 (2):

“Obat/bahan obat harus disimpan dalam wadah dan harus ditulis dengan informasi
yang jelas pada wadah tersebut. Wadah tersebut sekurang-kurangnya memuat nama
obat, nomor bets, dan tanggal kedaluarsa. Tempat obat tidak digunakan untuk
penyimpanan barang lainnya yang menyebabkan kontaminasi. “

c. Kartu stok tidak mencantumkan nomor bets, tanggal kedaluarsa dan pencatatan mutasi
obat tidak dilakukan dengan tertib.

Permenkes No. 73 tahun 2016 BAB II pasal 3 (2) :

“Pengendalian persediaan dilakukan dengan kartu stok baik dengan cara manual atau
elektronik. Kartu stok sekurang-kurangnya memuat nama obat, tanggal kedaluarsa,
jumlah pemasukan, jumlah pengeluaran, dan sisa persediaan.”

d. Tidak ada pencatatan pelayanan informasi obat (PIO)

Permenkes No. 73 tahun 2016 BAB III Pasal 3 (3):

“Pelayanan informasi obat harus didokumentasikan untuk membantu penelusuran


kembali dalam waktu yang relatif singkat.

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam dokumentasi PIO: topik pertanyaan, tanggal
dan waktu PIO diberikan, metode PIO (lisan, tertulis, lewat telpon), data pasien (umur,
jenis kelamin, BB, informasi lain seperti riwayat alergi, pasien sedang
hamil/menyusui, data lab) uraian pertanyaan, jawaban pertanyaan, referensi, metode
pemberian jawaban (lisan, tertulis, melalui telpon), dan data apoteker yang
memberikan PIO”.

e. Terdapat obat yang rusak dan kedaluarsa pada rak obat


Permenkes No. 73 tahun 2016 BAB II pasal 3 (2):
“Obat kedaluarsa/ rusak harus dimusnahkan sesuai dengan jenis dan bentuk sediaan. “
94

PP No. 51 tahun 2009 BAB II pasal 6 (3)


“Pengadaan Sediaan Farmasi harus dapat menjamin keamanan, mutu, manfaat dan
khasiat Sediaan Farmasi”.

Tindakan yang dillakukan:


Berdasarkan Permenkes RI Nomor 49 Tahun 2016, Dinas Kesehatan Daerah Provinsi
dan Kabupaten/ Kota Tipe A memiliki Tugas dan Fungsi sebagai berikut

Tugas:
Dinas kesehatan Provinsi mempunyai tugas membantu Gubernur melaksanakan
urusan pemerintahan di bidang kesehatan yang menjadi kewenangan Daerah dan Tugas
Pembantuan yang ditugaskan kepada Daerah provinsi. Dinas kesehatan Kabupaten/Kota
mempunyai tugas membantu Bupati/Wali Kota melaksanakan urusan Pemerintahan di bidang
kesehatan yang menjadi kewenangan Daerah dan tugas Pembantuan yang diberikan kepada
Daerah Kabupaten/Kota.

Fungsi:

1) Perumusan kebijakan di bidang kesehatan masyarakat, pencegahan dan pengendalian


penyakit, pelayanan kesehatan, kefarmasian, alat kesehatan dan Perbekalan Kesehatan
Rumah Tangga (PKRT) serta sumber daya kesehatan;
2) Pelaksanaan kebijakan di bidang kesehatan masyarakat, pencegahan dan pengendalian
penyakit, pelayanan kesehatan, kefarmasian, alat kesehatan dan perbekalan kesehatan
rumah tangga (PKRT) serta sumber daya kesehatan;
3) Pelaksanaan evaluasi dan pelaporan di bidang kesehatan masyarakat, pencegahan dan
pengendalian penyakit, pelayanan kesehatan, kefarmasian, alat kesehatan dan perbekalan
kesehatan rumah tangga (PKRT) serta sumber daya kesehatan;
4) Pelaksanaan administrasi dinas sesuai dengan lingkup tugasnya; dan
5) Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Kepala Daerah terkait dengan bidang
kesehatan.

Berdasarkan PP Nomor 41 Tahun 2007, tugas Apoteker dalam Jabatan Struktural di


Dinas Kabupaten/Kota:
1) Perumusan kebijakan teknis bidang kesehatan
2) Penyelenggaraan sebagian urusan pemerintahan dan pelayanan umum di bidang
kesehatan
3) Pembinaan dan pelaksanaan tugas di bidang kesehatan
95

4) Pelaksanaan urusan kesekretariatan


5) Pelaksanaan tugas lain yang diberikan walikota sesuai dengan tugas pokok dan fungsi.

Tindakan yang dilakukan sebagai Apoteker atas penyimpangan pada pemeriksaan di


apotek
 Melakukan peringatan keras pada apoteker pengelola apotek atas penyimpangan yang
terjadi.
 Melakukan pembinaan terhadap penyimpangan tersebut.
 Mengenai temuan penyimpangan maka tindak lanjut lebih jauh akan ditangani oleh
BPOM.
Sebagai Apoteker di Apotek tersebut, yang harus ditindak lanjuti adalah
Berdasarkan Permenkes Nomor 35 Tahun 2014 pasal 3
(1) Mengenai standar pelayanan kefarmasian di apotek:
 Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai
 Pelayanan farmasi klinik
(2) Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai sebagaimana
 Perencanaan
 Pengadaan peneriman
 Penyimpanan
 Pemusnahan
 Pengendalian
 Pencatatan pelaporan
Pelayanan farmasi klinik sebagaimana dimaksud pada ayat 1
 Pengkajian resep
 Dispensing
 Pelayanan Informasi Obat
 Konseling
 Pelayanan kefarmasian di rumah
 Pemantauan terapi obat(PTO)
 Monitoing Efek samping Obat (MESO)
Berdasarkan Permenkes Nomor 7 Tahun 2016 tentang B3 “Penyimpanan obat/bahan
obat obat tertentu yang rusak atau kedaluarsa disimpan di tempat yang aman dan terpisah dari
96

obat/bahan lainnya, emeri penandaan yang jelas dan membuat daftar obat/bahan obat yang
rusak serta kedaluarsa.”
Tindakan yang dilakukan Apoteker Pengelola Apotek:
Melakukan pembenahan pada bagian yang kurang sesuai dengan perundang undangan :
 Membuat SOP
 Melakukan pengadaan dengan cara legal ( PBF beserta faktur)
 Melakukan penyimpanan obat yang baik dan benar sesuai dengan spesifikasi obat ( bisa
dilakukan dengan cara alfabetis, bentuk sediaan, suhu, farmakologi dll)
 Melakukan dokumentasi

Kasus II
Jelaskan indikator persentase penggunaan obat rasional di Puskesmas yang meliputi
definisi operasional, pengumpulan data dan perhitungannya secara rinci!

Pembahasan:

Indikator persentase penggunaan obat rasional:


a. Indikator Peresepan
 Rerata jumlah item obat dalam resep
 % Peresepan dengan nama generik
 % Peresepan dengan antibiotik
 % Peresepan dengan suntikan
 % Peresepan yang sesuai DOEN
b. Indikator Pelayanan
 Rerata waktu konsultasi
 Rerata waktu penyerahan obat
 % Obat yang sesungguhnya diserahkan
 % Obat yang dilabel secara adekuat
c. Indikator Fasilitas
 Pengetahuan pasien tentang dosis yang benar
 Ketersediaan daftar obat esensial
 Ketersediaan key drugs
97

Definisi Operasional
 Persentase penggunaan antibiotik pada penatalaksanaan kasus ISPA non-pneumonia,
diare non-spesifik, penggunaan injeksi pada penatalaksanaan kasus myalgia, dan rerata
item obat perlembar resep di Puskesmas, terhadap seluruh kasus ISPA non-
pneumonia, diare non-spesifik dan Myalgia di sarana yang sama.
 Persentase Kabupaten/ Kota yang menerapkan Penggunaan Obat Rasional di
Puskesmas adalah Kabupaten/ Kota yang 20 % Puskesmasnya memiliki nilai rerata
Penggunaan Obat Rasional minimal 60 %.

Persentase Indikator Kinerja POR

Keterangan :
a = Persentase penggunaan antibiotik pada ISPA non pneumonia
maksimal 20% (angka riil)
Cara mencari nilai a:

Jika a ≤ 20 %, maka persentase capaian indikator kinerja POR adalah 100 %


b = Persentase penggunaan antibiotic pada Diare non spesifik maksimal
8 % (angka riil)
Cara mencari nilai b :

Jika b ≤ 8 %, maka persentase capaian indikator kinerja POR adalah 100 %.


c = Persentase penggunaan injeksi pada Myalgia maksimal 1% (angka riil) Cara mencari
nilai:

Jika c ≤ 1 %, maka persentase capaian indikator kinerja POR adalah 100%.


d = Rerata item obat yang diresepkan (untuk 3 penyakit tersebut di
atas) maksimal 2,6
98

Cara mencari nilai d :

= x 100 %

 Jika d ≤ 2,6 item, maka persentase capaian indikator kinerja POR adalah100 %
 Jika d ≥ 4 item, maka persentase capaian indikator kinerja POR adalah 0 %.

Cara Pengumpulan Data :


1. Dilakukan setiap hari oleh petugas Puskesmas/Pustu
2. Sampel pasien diambil dari resep/register harian, 1 pasien/hari untuk setiap diagnosis
 min 25 pasien dari tiap diagnosis per bulan
3. Apabila hari tersebut tidak ada pasien dengan diagnosis tersebut diisi dengan pasien
hari berikutnya dan seterusnya.
4. Bila pasien dengan diagnosis tersebut lebih dari 1, diambil pasien dengan urutan
pertama.
5. Obat racikan dituliskan rincian obatnya.
6. Jenis obat termasuk obat luar, obat minum dan injeksi.
7. Injeksi tidak termasuk imunisasi
99

Tabel 1 Contoh Perhitungan Pada Formulir Pelaporan Indikator Peresepan ISPA NON
PNEUMONIA
FORMULIR PELAPORAN INDIKATOR PERESEPAN ISPA NON PNEUMONIA
Puskesmas :P Bulan: Juli
Kabupaten/Kota : Q Tahun: 2016
Provinsi :R
Tgl No. Nama Umur Jml Antibiotik Nama Obat Dosis Lama Pemakaian Sesuai
Item Ya/Tidak Obat (hari) Pedoman
Obat Ya/Tidak
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
1 1 Ny. A 33 th 4 Ya a. Amox 3x1 3-4
b. PCT 3x1 3-4
c. GG 3x1 3-4
d. CTM 3x1 3-4
2 2 Tn. B 37 th 4 Ya a. Amox 3x1 3-4
b. GG 3x1 3-4
c. CTM 3x1 3-4
d. Asmef 3x1 3-4
3 3 Ny. C 35 th 4 Tidak a. PCT 3x1 3-4
b. Ambro 3x1 3-4
c. Deksa 2x1 3-4
d. Vit. C 1x1 10
4 4 Tn. G 30 th 3 Tidak a. PCT 3x1 3-4
b. Ambro 3x1 3-4
c. Deksa 2x1 3-4
5 5 An. D 7 th 3 Ya a. Amox 3x1/2 4
b. PCT 3x1/2 4
c. Deksa 3x1/2 4

Total Item Obat A =18 B=3

Rerata Item Obat / =A/N


Lembar Resep =18/5
= 3,6
N = 5 lembar
Persentase AB
resep B / N x
100% = 3/5
x 100% =
60%

Petugas.

……………………………
NIP.
100

Tabel 2 Contoh Perhitungan Pada Formulir Pelaporan Indikator Peresepan Diare Non
Spesifik
FORMULIR PELAPORAN INDIKATOR PERESEPAN DIARE NON SPESIFIK
Puskesmas :P Bulan: Juli
Kabupaten/Kota : Q Tahun: 2016
Provinsi :R
Tgl No. Nama Umur Jml Anti Nama Obat Dosis Obat Lama Sesuai
Item biotik Pemakaian Pedoman Ya/
Obat Ya/ (hari) Tidak
Tidak
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
1 1 A 2 th 2 Ya a. Neokao 3x1 cth 5 A
b. Cotri Syr 2 x1 cth 5

2 2 B 13 th 4 Ya a. Cotry Syr 2x2 3-4 B


b. PCT 4x1 3-4
c. Vit. B6 3x1 ac 3-4
d. Oralit 2x1 3-4
3 3 C 1 th 4 Ya a. Cotry Syr 2x1 3-4 C
b. Pamol 3x1 pulv 3-4
c. B Comp 3x1 pulv 3-4
d. Vit. B6 3x1 pulv 3-4
4 4 D 4 th 3 Ya a. Cotry Syr 2x1 cth 4 D
b. Metroni 3x1 pulv 4
c. B6 3x1 pulv 4
5 5 E 3 th 3 Ya a. Cotry Syr 2x1 cth 4 E
b. Metroni 3x1 pulv 4
c. B6 3x1 pulv 4
Total Obat A = 16 B=5

Rerata item obat per A/N


lembar resep = 16/5
N = 5 lembar = 3,2
resep Persentase AB B / N x
100%
= 5/5 x
100%

= 100%

Petugas,

…………………………………
NIP.
101

Tabel 3. Contoh Perhitungan pada Formulir Pelaporan Indikator Peresepan Myalgia


FORMULIR PELAPORAN INDIKATOR PERESEPAN MYALGIA
Puskesmas :P Bulan: Juli
Kabupaten/Kota : Q Tahun: 2016
Provinsi :R

Tgl No. Nama Umur Jml Anti Nama Obat Dosis Obat Lama Sesuai Pedoman
Item biotik Ya/ Pemakaian Ya/
Obat Tidak (hari) Tidak
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
1 1 Ny. A 45 th 4 Tidak a. Antalg 3x1 3-4 Ny. A
b. B1 3x1 3-4
c. B6 3x1 3-4
d. Diaze 3x1 3-4
2 2 Tn. B 55 th 4 Tidak a. Asmef 3x1 3-4 Tn. B
b. Piroxi 3x1 3-4
c. Bcom 3x1 3-4
d. Gluko 1x1 10
3 3 Ny. C 50 th 4 Tidak a. Piroxi 2x1 3 Ny. C
b. Kalk 3x1 3-4
c. NaDikl 3x1 3-4
d. Armov 1x1 3
4 4 Tn. D 41 th 3 Tidak a. Asmef 3x1 3-4 Tn. D
b. Neuro 1x1 5
c. Piroxic 2x1 5
5 5 Tn. Y 37 th 4 Tidak a. Piroxi 2x1 3 Tn. Y
b. Kalk 3x1 3-4
c. NaDikl 3x1 3-4
Total Item Obat A=19 B=0

Rerata Item Obat/ A/N=


Lembar Resep 19/5 =
N = 5 lembar 3,8
resep
B / N x 100%
Persentase AB = 0/5 x 100%
=0

Petugas,

………………………………
NIP.
102

Tabel 4 LAPORAN INDIKATOR POR DI PUSKESMAS

Nama Puskesmas : Puskesmas Bulan: Juli


Jenis Puskesmas : Perawatan Tahun: 2016
Jumlah Apoteker : 1
Jumlah AA/D3 :2
Farmasi :3
Jumlah Dokter :3
Kabupaten/Kota : Jakarta Selatan
Provinsi : DKI Jakarta

% % % Rerata Item / Lembar Resep


Penggunaan Penggunaan Penggunaan
Antibiotik Antibiotik Injeksi
ISPA Diare Myalgia Rata-
pada ISPA pada Diare pada
rata
Non- Non- Myalgia
Pneumonia Spesifik
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
60 100 0 3,6 3,2 3,8 3,53

Petugas,

………………………….

NIP.
Tabel 5 Contoh Perhitungan Indikator POR pada Rekapitulasi Dinas Kesehatan
REKAPITULASI DINAS KESEHATAN

Kabupaten/Kota :Q Periode Bulan : Juli - September


Provinsi :R Tahun : 2016
Capaian
% Penggunaan Antibiotik pada % Penggunaan Antibiotik pada % Penggunaan injeksi pada POR K
Data Umum Puskesmas Rerata Item / Lembar Resep
ISPA Non Pneumonia Diare Non Spesifik Myalgia E
No. PKM T
Jenis Jml Rata
Jml Jml Rata- Rata- Rata-
Puskesm Apote Juli Agt Sept Juli Agt Sept Juli Agt Sept Juli Agt Sept -
AA Dokter Rata Rata rata
as ker Rata
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) (14) (15) (16) (17) (18) (19) (20) (21) (22) (23)

1 Kasih DTP 1 2 3 60,00 59,21 63,78 61,00 100 88,22 87,45 91,89 0 0 0 0 3,60 3,24 3,80 3,55 68,75
2 Setia DTP 1 1 3 52,15 51,23 62,98 55,45 40,69 31,12 40,02 37,28 0,23 1,44 0,65 0,77 2,95 3,48 3,43 3,29 99,75
3 Hati DTP 1 2 3 85,89 80,07 78,90 81,62 79,91 69,41 84,31 77,88 0 0,86 0 0,29 2,27 3,78 3,41 3,15 80,71
4 Surya DTP 1 2 3 50,67 49,96 55,67 52,10 45,67 56.78 56,89 53,11 0 0,76 0 0,25 3,45 3,56 4,32 3,78 96,18
5 Pelita DTP 1 1 3 78,65 65,54 67,43 70,54 34,56 57.67 76,78 56,34 0,34 0,22 0 0,19 2,33 4,31 3,44 3,36 89,84
6 Cahaya DTP 1 1 2 67,54 65,43 56,44 63,14 45,89 78,64 67,45 63,99 0 0,12 1,22 0,45 2,14 3,23 3,21 2,86 90,45
7 Mulya DTP 1 2 3 43,45 55,43 56,42 51,77 67,89 78,66 67,65 71,40 0 1,23 1,34 0,86 2,87 2,31 3,22 2,80 92,04
8 Hakkai DTP 1 1 3 86,54 78,65 76,54 80,58 65,76 65,66 67,87 66,43 0,23 1,22 1,24 0,90 3,21 2,32 3,67 3,07 84,19
9 Mangsi DTP 1 1 2 45,67 55,65 43,56 48,29 67,54 78,65 65,76 70,65 0 0,45 2,32 0,92 3,45 3,44 3,65 3,51 92,82
10 Restu DTP 1 1 3 56,78 65,66 67,54 63,33 68,78 89,76 78,77 79,10 0,33 0,67 0 0,33 3,89 2,34 3,89 3,37 85,94

103
Persentase
AB ISPA 62,78
Non-
pneumonia
Kab/Kota

Persentase
AB Diare 66,81
Non
spesifik
Kab/Kota
Persentase
injeksi 0,50
Kab/Kota
Rerata Item
Obat 3,18
Kab/Kota

*) Berdasarkan data pada laporan bulanan puskesmas yang dikirim ke Dinkes Kab/Kota, laporan puskesmas terlampir

**) Jumlah Puskemas dengan capaian POR minimal 60% adalah 0 dari 10 total Puskesmas di Kabuapten/Kota.
............, .................. 20..
Petugas, Mengetahui Pejabat/Penanggungjawab Farmasi

………………… ………………………………….

104
Tabel 6. Contoh Perhitungan pada Rekapitulasi Dinas Kesehatan Provinsi Laporan
Triwulan Indikator Peresepan di Kabupaten /Kota

REKAPITULASI DINAS KESEHATAN PROVINSI


LAPORAN TRIWULAN INDIKATOR PERESEPAN DI KABUPATEN KOTA

Provinsi: R Periode Bulan : Juli - Sept


Tahun : 2016
% Penggunaan % Penggunaan
Kabupaten/Kota Jumlah Puskesmas Jumlah Tenaga Antibiotik pada Antibiotik pada % Penggunaan Rerata Item Jenis
No. Perawatan Non AA / D3 Apoteker Dokter ISPA Non- Diare Non- Injeksi pada Obat/ Lembar Ket
Perawatan Farmasi Pneumonia Spesifik Myalgia Resep
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12)
1 Jakarta Selatan 20 15 75 35 80 62,78 66,81 0,51 3,18
2 Jakarta Utara 20 25 90 45 90 67,89 60,08 2,31 3,54
3 Jakarta Pusat 17 30 94 47 95 45,01 48,98 0,24 3,12
4 Jakarta Barat 25 25 100 50 100 48,90 54,31 1,21 3,23
5 Jakarta Timur 27 31 110 55 100 56,67 50,90 0,98 3,30
6 Kep. Seribu 7 15 22 10 22 78,09 65,51 3,59 3,56
7
8
9
10
11
12
dst

105
Persentase AB ISPA Non-
pneumonia Kab/Kota 58,89
Persentase AB Diare Non
spesifik Kab/Kota 56,43
Persentase Injeksi Kab/Kota
1,52
Rerata Item Obat Kab/Kota 3,35

*) Berdasarkan data pada laporan triwulan Dinkes Kab/Kota yang dikirim ke Dinkes Provinsi, laporan Dinkes Kab/Kota terlampir

Petugas ………., ……………………20..

Mengetahui Pejabat/Penanggungjawab Farmasi Dinas Prov

……………………………………. ……………………………………………

NIP NIP

106
108

4.4 Studi Kasus Obat Tradisional dan Kosmetik

Kasus I

1. Dalam rangka menindaklanjuti surat dari Balai Besar POM Surabaya nomor :
IN.01.01.974.03.12.346 tanggal 2 Maret 2016 dalam rangka operasi penertiban produk
ilegal dengan hasil sebagai berikut : Menjual kosmetika tanpa izin edar/fiktif yaitu BSY
XXX Black Hair Magic sebanyak 1 box berisi 20 sachet @ 20 ml. Dari temuan di atas
toko kosmetik “YY” telah melanggar perundang-undangan yang berlaku. Jelaskan
secara rinci peraturan yang tidak dipenuhi oleh toko tersebut!
Bagaimana peran Petugas Dinas Kesehatan Kab/Kota di wilayah tersebut? Jelaskan!
Pembahasan:

1. Peraturan Menteri Kesehatan RI NOMOR 1175/MENKES/PER/VIII/2010 BAB 1 pasal 1 :


Kosmetik adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan pada bagian luar
tubuh manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir dan organ genital bagian luar) atau gigi
dan mukosa mulut terutama untuk membersihkan, mewangikan, mengubah
penampilan dan atau memperbaiki bau badan atau melindungi atau memelihara tubuh
pada kondisi baik.
2. Peraturan Menteri Kesehatan RI NOMOR 1176/MENKES/PER/VIII/2010 Tentang
Notifikasi Kosmetika Bab 2:
 Pasal 3
Setiap kosmetika hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar dari Menteri. Izin
edar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa notifikasi.
 Pasal 4
Notifikasi dilakukan sebelum kosmetika beredar oleh pemohon kepada Kepala Badan.
3. Keputusan Kepala BPOM Nomor HK.00.05.4.1745:
Kosmetik yang diproduksi dan atau diedarkan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut
menggunakan bahan yang memenuhi standar dan persyaratan mutu serta persyaratan lain
yang ditetapkan; diproduksi dengan menggunakan cara pembuatan kosmetik yang baik;
terdaftar izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan.
109

4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen


 Pasal 8 Ayat 1 (A)
Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa
yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
5. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
 Pasal 197
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi
dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun
dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).

Peran Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota:


1. Pembinaan secara teknis mengenai penerapan cara pembuatan kosmetika yang baik guna
menghasilkan kosmetika yang aman, bermutu dan bermanfaat.
2. Sosialisasi,penyuluhan dan workshop tentang peraturan perundang undangan yang berlaku
untuk meningkatkan pengetahuan di bidang kosmetika.
3. Pemberdayaan masyarakat.

Kasus II
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur mendapatkan laporan berupa surat tembusan dari Balai
Besar POM Surabaya bahwa ditemukan di Toko “FC” yang berlokasi di Kabupaten Pacitan
menjual kosmetika yang mengandung hidrokuinon dengan kadar 10%. Bagaimana tindak
lanjut Saudara sebagai Petugas Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur terkait dengan kasus
tersebut?
Pembahasan:
1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
 Pasal 8 Ayat 1 (A)
Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau
jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Permenkes 1176 Tahun 2010 Tentang Notifikasi Kosmetika BAB VII
 Pasal 19
Pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan notifikasi dilakukan oleh
Menteri dan Kepala Badan.
110

 Pasal 20
Pelanggaran terhadap ketentuan dalam peraturan ini dapat dikenakan sanksi
administratif berupa peringatan tertulis:
1. Larangan mengedarkan kosmetika untuk sementara
2. Penarikan kosmetika yang tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan,
kemanfaatan, dan penandaan dari peredaran
3. Pemusnahan kosmetika
4. Penghentian sementara kegiatan produksi dan/atau peredaran kosmetika.
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Kepala Badan.

Peran Dinas Kesehatan Provinsi


1. Melakukan pembuatan berita acara dan menyampaikan temuan tersebut kepada pihak
manajemen industri kosmetika tersebut untuk dilakukan perbaikan.
2. Pembinaan secara teknis mengenai penerapan cara pembuatan kosmetika yang baik guna
menghasilkan kosmetika yang aman, bermutu dan bermanfaat.
3. Sosialisasi, penyuluhan dan workshop tentang peraturan perundang undangan yang
berlaku untuk meningkatkan pengetahuan di bidang kosmetika.
4. Pemberdayaan masyarakat

4.5 Studi Kasus Pelayanan Masyarakat

Kasus I
Ayu adalah apoteker yang lulus pada tahun 2017 dari Fakultas Farmasi Universitas Katolik
Widya Mandala. 2 bulan setelah kelulusan Ayu diterima bekerja di Pedagang Besar Farmasi
yang berlokasi di Kota Malang sebagai penanggungjawab teknis menggantikan Randy yang
akan pindah ke Semarang. Langkah-langkah apa yang harus dilakukan oleh Ayu agar dapat
bekerja di sarana tersebut?
111

Pembahasan:

Langkah-langkah yang dilakukan:


a. Mengurus mutasi anggota antar kota/kabupaten dalam satu propinsi
Pemohon mengajukan permohonan ke Pengurus Cabang setempat dengan mengisi formulir
Permohonan Mutasi dan melampirkan :
- Fotokopi KTA yang masih berlaku
- Fotokopi KTP yang masih berlaku
- Surat keterangan tidak berpraktik/bekerja lagi di tempat praktik/kerja sebelumnya
- Borang resertifikasi masa kompetensi tahun berjalan yang sudah di verifikasi oleh tim
resertifikasi
Kemudian pengurus cabang memberikan surat pengantar mutasi antar kabupaten/kota
dalam satu propinsi yang ditujukan kepada pengurus cabang yang dituju dengan tembusan
kepada pengurus daerah setempat sebagai laporan (Peraturan Organisasi
PO.006/PP.IAI/1418/V/015 tentang Mutasi Anggota Ikatan Apoteker Indonesia).

b. Mengurus permohonan SIPA


Untuk memperoleh SIPA, Apoteker mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota tempat pekerjaan kefarmasian dilaksanakan dengan
menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 6 terlampir.
- Permohonan SIPA harus melampirkan:
 Fotokopi STRA yang dilegalisir oleh KFN;
 Surat pernyataan mempunyai tempat praktik profesi atau surat keterangan dari
pimpinan fasilitas pelayanan kefarmasian atau dari pimpinan fasilitas produksi
atau distribusi/penyaluran;
 Surat rekomendasi dari organisasi profesi; dan
 Pas foto berwarna ukuran 4 x 6 sebanyak 2 (dua) lembar dan 3 x 4 sebanyak 2
(dua) lembar;
- Dalam mengajukan permohonan SIPA sebagai Apoteker pendamping harus
dinyatakan secara tegas permintaan SIPA untuk tempat pekerjaan kefarmasian
pertama, kedua, atau ketiga.
- Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota harus menerbitkan SIPA paling lama 20
(dua puluh) hari kerja sejak surat permohonan diterima dan dinyatakan lengkap
112

dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 7 atau Formulir


8 terlampir (PMK RI No. 889 tahun 2011).
c. Mengurus surat pergantian apoteker penanggungjawab PBF
Persyaratan Permohonan Pergantian Penanggungjawab di Sarana Distribusi:
- Surat Permohonan Pergantian Penanggungjawab
- Fotokopi Ijazah Sarjana Farmasi dan Apoteker, Sumpah Apoteker, STRA (legalisir)
- Fotokopi KTP (Penanggungjawab lama dan baru/pengganti)
- Surat Pernyataan kesediaan bekerja sebagai penanggungjawab secara penuh waktu.
- Fotokopi Izin Sarana Distribusi (PMK RI No. 34 tahun 2014).

Kasus II

Ardi adalah apoteker alumni Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada yang lulus pada tahun
2018. Ardi diterima bekerja sebagai APA di calon apotek yang berlokasi di Kab. Jember.
Langkah-langkah apa yang harus dilakukan oleh Ardi agar dapat bekerja di sarana tersebut?

Pembahasan:

Langka-langkah yang dilakukan:


a. Mengurus bukti lapor dan lolos butuh
Surat lolos butuh ditujukan ke Dinas Kesehatan Provinsi terkait (Jawa Tengah) disertai
kelengkapan administrasi sebagai berikut :
- Fotokopi ijazah & transkrip Sarjana dan Apoteker yang telah dilegalisir
- Fotokopi surat sumpah Apoteker
- Fotokopi bukti lapor/kartu registrasi
- Fotokopi KTP
- Pas foto ukuran 3x4 (2 lembar)
b. Mengurus mutasi anggota antar kota dalam satu Provinsi
Pemohon mengajukan permohonan ke Pengurus Cabang setempat dengan mengisi
Formulir Permohonan Mutasi dan melampirkan :
- Fotokopi KTA yang masih berlaku
- Fotokopi KTP yang masih berlaku
- Surat Keterangan tidak berpraktik/bekerja lagi di tempat praktik/kerja sebelumnya
- Borang Resertifikasi masa kompetensi tahun berjalan yang sudah di verifikasi oleh tim
resertifikasi.
113

Pengurus Cabang memberikan surat pengantar mutasi antar Kabupaten/Kota dalam satu
Propinsi yang ditujukan kepada Pengurus Cabang yang dituju dengan tembusan kepada
Pengurus Daerah setempat sebagai Laporan (Peraturan Organisasi
PO.006/PP.IAI/1418/V/015 tentang Mutasi Anggota Ikatan Apoteker Indonesia).
c. Mengurus permohonan SIPA
Untuk memperoleh SIPA, Apoteker mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota tempat pekerjaan kefarmasian dilaksanakan dengan
menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 6 terlampir.
- Permohonan SIPA harus melampirkan:
o Fotokopi STRA yang dilegalisir oleh KFN;
o Surat pernyataan mempunyai tempat praktik profesi atau surat keterangan dari
pimpinan fasilitas pelayanan kefarmasian atau dari pimpinan fasilitas produksi
atau distribusi/penyaluran;
o Surat rekomendasi dari organisasi profesi; dan
o Pas foto berwarna ukuran 4 x 6 sebanyak 2 (dua) lembar dan 3 x 4 sebanyak 2
(dua) lembar;
- Dalam mengajukan permohonan SIPA sebagai Apoteker pendamping harus dinyatakan
secara tegas permintaan SIPA untuk tempat pekerjaan kefarmasian pertama, kedua, atau
ketiga.
- Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota harus menerbitkan SIPA paling lama 20 (dua
puluh) hari kerja sejak surat permohonan diterima dan dinyatakan lengkap dengan
menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 7 atau Formulir 8
terlampir.
d. Mengurus permohonan SIA
1. Untuk memperoleh SIA, Apoteker harus mengajukan permohonan tertulis kepada
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
2. Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditandatangani oleh Apoteker
disertai dengan kelengkapan dokumen administratif meliputi:
 Fotokopi STRA dengan menunjukan STRA asli;
 Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP);
 Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak Apoteker;
 Fotokopi peta lokasi dan denah bangunan; dan
 Daftar prasarana, sarana, dan peralatan.
114

3. Paling lama dalam waktu 6 (enam) hari kerja sejak menerima permohonan dan
dinyatakan telah memenuhi kelengkapan dokumen administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menugaskan tim pemeriksa untuk
melakukan pemeriksaan setempat terhadap kesiapan Apotek.
4. Tim pemeriksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus melibatkan unsur dinas
kesehatan kabupaten/kota yang terdiri atas:
 Tenaga kefarmasian; dan
 Tenaga lainnya yang menangani bidang sarana dan prasarana.
5. Paling lama dalam waktu 6 (enam) hari kerja sejak tim pemeriksa ditugaskan, tim
pemeriksa harus melaporkan hasil pemeriksaan setempat yang dilengkapi Berita Acara
Pemeriksaan (BAP) kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
6. Paling lama dalam waktu 12 (dua belas) hari kerja sejak Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota menerima laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan dinyatakan
memenuhi persyaratan, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menerbitkan SIA dengan
tembusan kepada Direktur Jenderal, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, Kepala Balai
POM, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, dan Organisasi Profesi.
7. Dalam hal hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dinyatakan masih
belum memenuhi persyaratan, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota harus mengeluarkan
surat penundaan paling lama dalam waktu 12 (dua belas) hari kerja.
8. Tehadap permohonan yang dinyatakan belum memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud pada ayat (7), pemohon dapat melengkapi persyaratan paling lambat dalam
waktu 1 (satu) bulan sejak surat penundaan diterima.
9. Apabila pemohon tidak dapat memenuhi kelengkapan persyaratan sebagaimana
dimaksud pada ayat (8), makaPemerintah Daerah Kabupaten/Kota mengeluarkan Surat
Penolakan.
10. Apabila Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam menerbitkan SIA melebihi jangka
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Apoteker pemohon dapat
menyelenggarakan Apotek dengan menggunakan BAP sebagai pengganti SIA (PMK RI
No. 9 Tahun 2011).
115

4.6 Studi Kasus Alkes

Kasus I
A. Sebuah perusahaan PKRT mengekspor anti nyamuk bakar tanpa bahan aktif ke luar
negeri. Setelah sampai di negara tujuan dan dilakukan analisa oleh perusahaan pemesan,
ternyata anti nyamuk bakar tanpa bahan aktif tersebut tidak sesuai dengan spesifikasi
yang diinginkan oleh perusahaan pemesan anti nyamuk bakar tersebut. Kemudian,
dikembalikan ke Indonesia untuk diperbaiki sesuai spesifikasi yang diinginkan, akan
tetapi oleh bea cukai sesampai di pelabuhan Tanjung Perak, anti nyamuk bakar tersebut
ditahan, tidak bisa dikeluarkan karena tidak memiliki nomor registrasi. Carilah solusi
untuk perusahaan PKRT tersebut sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku!

Pembahasan:

Kasus ini melanggar aturan seperti yang terdapat pada :


- Lampiran Permenkes 1190/MENKES/PER/VIII/2010
Berdasarkan resiko yang ditimbulkan dalam penggunaan produk PKRT khususnya anti
nyamuk bakar termasuk Kelas Ill (Resiko Tinggi): PKRT yang mengandung Pestisida
dimana pada penggunaannya dapat menimbulkan akibat serius seperti karsinogenik.
PKRT ini sebelum beredar perlu mengisi formulir pendaftaran dan memenuhi
persyaratan, melakukan pengujian pada laboratorium yang telah ditentukan serta telah
mendapatkan persetujuan dari KOMISI PESTISIDA.
- Permenkes No. 1189/MENKES/PER/VIII/2010 BAB 4 PASAL 36
1) Perusahaan harus memiliki sertifikat produksi alat kesehatan dan/atau PKRT dapat
mengekspor alat kesehatan dan/atau PKRT ke luar wilayah Republik Indonesia.
2) Perusahaan yang memiliki sertifikat produksi tetapi tidak mengedarkan alat
kesehatan dan/atau PKRT di wilayah Republik Indonesia atau hanya untuk
keperluan ekspor dapat memohon surat keterangan ekspor dikeluarkan oleh
Direktur Jenderal.
3) Perusahaan yang akan mengekspor alat kesehatan dan/atau PKRT yang memiliki
sertifikat produksi dan produknya telah memiliki izin edar diberikan certificate of
free sale.
4) Certificate of free sale sebagaimana dimaksud merupakan surat keterangan yang
dikeluarkan oleh Menteri yang menerangkan bahwa suatu produk alat kesehatan
dan/atau PKRT sudah mendapatkan izin edar atau telah bebas dijual di Indonesia.
116

- Permenkes RI No. 1191/MENKES/PER/VIII/2010 tentang Penyaluran Alat Kesehatan


BAB 4 PASAL 36
1) Ekspor dan impor hanya dapat dilakukan oleh produsen yang telah memiliki
sertifikat produksi dan/atau PAK
2) Produsen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang akan melakukan ekspor,
Direktur Jenderal dapat memberikan:
a) Sertifikat bebas jual (certificate of free sale) bagi alat kesehatan yang telah
memiliki izin edar
b) Sertifikat bebas ekspor (certificate of exportation) bagi alat kesehatan yang
tidak memiliki izin edar dan diproduksi oleh produsen yang telah memiliki
sertifikat produksi.
B. Pihak bea cukai mengira bahwa produk anti nyamuk bakar tersebut adalah produk impor
yang harus memiliki izin edar di Indonesia seperti pada Permenkes No. 1190 Tahun 2010
pasal 5 ayat 1.Produk anti nyamuk bakar tersebut termasuk produk yang diretur dari
negara pemesan karena tidak sesuai spesifikasi yang diinginkan, dan produk tidak
diedarkan di Indonesia.

Solusi bagi perusahaan PKRT :


Sebagai seorang Apoteker yang bekerja di Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, solusi
yang dapat diberikan kepada perusahaan PKRT ini adalah:
1. Menunjukkan sertifikat produksi PKRT kepada pihak bea cukai, sertifikat ini
menunjukkan bahwa produk anti nyamuk bakar tersebut benar-benar telah
diproduksi di Indonesia bukan dari negara lain.
2. Menunjukkan sertifikat bebas ekspor (certificate of exportation) kepada petugas
bea cukai dan menjelaskan produk tersebut untuk diekspor ke luar negeri dan
tidak diperdagangkan di Indonesia.
3. Untuk mencegah terjadinya retur dari negara pemesan, sebaiknya disesuaikan
dengan spesifikasi yang diinginkan dari pihak pemesan agar tidak sampai
dilakukan retur.
4. Sebaiknya produk yang diretur disertai dengan surat jalan agar pada saat masuk
pelabuhan, pihak bea cukai tidak salah paham yang dapat berdampak pada
penahanan produk.
117

Kasus II
Pada suatu hari, penyalur alat kesehatan (PAK) PT. Jaya Surabaya mendapatkan pekerjaan
untuk mengadakan alat kesehatan berupa alat X-ray dan alat bedah Urologi ke RS Swasta dr.
Subroto, karena sulit mendapatkan alat tersebut, penanggungjawab PT. Jaya yang seorang
asisten apoteker tersebut memesan ke industri alat kesehatan di Jerman. Bagaimana menurut
saudara dalam kasus tersebut? Langkah apa yang harus dilakukan supaya PT. Jaya tidak
melanggar aturan yang berlaku?
Pembahasan:
 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1191/Menkes/Per/Viii/2010
Tentang Penyaluran Alat Kesehatan
 Alat Kesehatan adalah instrumen, aparatus, mesin dan/atau implan yang tidak
mengandung obat yang digunakan untuk mencegah, mendiagnosis, menyembuhkan
dan meringankan penyakit, merawat orang sakit, memulihkan kesehatan pada
manusia, dan/atau membentuk struktur dan memperbaiki fungsi tubuh.
 Penyalur Alat Kesehatan, disingkat PAK adalah perusahaan berbentuk badan
hukum yang memiliki izin untuk pengadaan, penyimpanan, penyaluran alat
kesehatan dalam jumlah besar sesuai ketentuan perundang-undangan.
 Ekspor dan impor alat kesehatan hanya dapat dilakukan oleh produsen alat
kesehatan yang telah memiliki sertifikat produksi dan/atau PAK.
 Surat keterangan ekspor dan impor ini harus terlebih dahulu memiliki izin edar dari
Direktur Jendral.
- Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1190/Menkes/Per/Viii/2010
Tentang Izin Edar Alat Kesehatan Dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga
 Izin edar adalah izin yang diberikan kepada perusahaan untuk produk alat
kesehatan atau perbekalan kesehatan rumah tangga, yang akan diimpor, digunakan
dan/atau diedarkan di wilayah Republik Indonesia, berdasarkan penilaian terhadap
mutu, keamanan, dan kemanfaatan.
 Surat keterangan impor adalah izin kepada perusahaan yang memasukkan alat
kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga yang tidak memiliki registrasi ke
dalam wilayah Republik Indonesia untuk kepentingan tertentu sesuai ketentuan
berlaku.
118

Izin Edar, Pasal 5


1) Alat kesehatan dan/atau PKRT yang akan diimpor, digunakan dan/atau diedarkan di
wilayah Republik Indonesia harus terlebih dahulu memiliki izin edar.
2) Izin edar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Direktur Jenderal
atau pejabat yang ditunjuk.
Kriteria Mendapat Izin Edar
 Keamanan dan kemanfaatan PKRT, dibuktikan dengan menggunakan bahan yang
tidak dilarang dan tidak melebihi batas kadar yang telah ditentukan sesuai peraturan
dan/atau data klinis atau data lain yang diperlukan.
 Mutu, yang dinilai dari cara pembuatan yang baik dan menggunakan bahan dengan
spesifikasi yang sesuai dan memenuhi persyaratan yang ditentukan
- Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1189/Menkes/Per/Viii/2010
Tentang Produksi Alat Kesehatan Dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga
Sertifikat produksi adalah sertifikat yang diberikan oleh Menteri Kesehatan kepada
pabrik yang telah melaksanakan cara pembuatan yang baik untuk memproduksi alat
kesehatan dan/atau perbekalan kesehatan rumah tangga.
 Pasal 6
1) Produksi alat kesehatan dan/atau PKRT hanya dapat dilakukan oleh perusahaan
yang memiliki sertifikat produksi.
2) Sertifikat produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh
Direktur Jenderal.

Persyaratan:
Permohonan Sertifikat Produksi hanya dapat dilakukan Badan Usaha yang harus
memenuhi persyaratan administratif dan teknis. Sertifikat produksi merupakan prasyarat
untuk mengajukan permohonan izin edar.
a) Sertifikat Produksi Alat Kesehatan Kelas A, yaitu sertifikat yang diberikan kepada
pabrik yang memproduksi alat kesehatan kelas I, kelas lla, kelas lIb dan kelas III;
b) Sertifikat Produksi Alat Kesehatan Kelas B, yaitu sertifikat yang diberikan kepada
pabrik yang telah layak memproduksi alat kesehatan kelas I, kelas lla, dan kelas
IIb
c) Sertifikat Produksi Alat Kesehatan Kelas C, yaitu sertifikat yang diberikan kepada
pabrik yang telah layak memproduksi alat kesehatan kelas I dan lla
119

 Pasal 25
1) Perusahaan harus memiliki penanggungjawab teknis yang berpendidikan sesuai
dengan jenis produk yang diproduksi dan bekerja penuh waktu.
2) Penanggungjawab teknis yang dimaksud pada ayat (1) memiliki pendidikan:
 Kelas A : Apoteker, sarjana lain yang sesuai atau memiliki sertifikat yang
sesuai, dan D3 ATEM untuk Alat Kesehatan Elektromedik.
 Kelas B : Minimal D3 Farmasi, Kimia, Teknik yang sesuai dengan
bidangnya.
 Kelas C : SMK Farmasi atau pendidikan tenaga lain yang sederajat yang
mempunyai kualifikasi sesuai dengan bidangnya.
- Peran Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur
 Melakukan peninjauan langsung PAK PT. Jaya terkait sertifikat produksi, surat
keterangan impor alat kesehatan/PKRT.
 Memberi teguran lisan, teguran tertulis dan tidak berhak mencabut izin PAK.
 Melihat Sertifikat produksi Perusahaan yang akan mengekspor alat kesehatan
dan/atau PKRT harus memiliki sertifikat produksi dan produknya telah memiliki
izin edar diberikan certificate of free sale (dikeluarkan oleh Menteri). (PMK 1189,
2010).
Solusi untuk PT. Jaya
1) Apabila PT. Jaya Surabaya melakukan produksi X-Ray dan alat bedah Urologi
(Alkes resiko sedang-tinggi), harus memiliki penanggungjawab PAK seorang
apoteker.
2) Apabila PT. Jaya tidak memiliki surat keterangan impor atau telah non aktif, maka
PAK tidak boleh melakukan impor.

4.7 Studi Kasus Obat Publik

Kasus
1. Jelaskan secara singkat cara / metode melakukan perhitungan kebutuhan obat?
2. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur menerima Hasil Pemeriksaan sarana PBF dan
Petugas Balai Besar BPOM Surabaya sebagai berikut:
a. Ditemukan apoteker tidak bekerja secara penuh.
b. Pada saat penerimaan barang tidak dilakukan pemeriksaan kesesuaian bets dan
kedaluarsa
120

c. Belum tersedia area khusus untuk penyimpanan produk retur, rusak, dan kedaluarsa
yang aman dan terpisah
d. Ketika ditemukan penyaluran obat keras dalam jumlah besar pada toko obat dan
perorangan
e. Alat pemantau suhu (termometer) rusak sehingga tidak dilakukan pemantauan suhu
dan belum tersedia alat monitor kelembapan.
f. Beberapa faktur penjualan tidak dilengkapi dengan surat pesanan

Bagaimana tindak lanjut saudara sebagai Petugas Dinkes Provinsi Jatim terkait dengan kasus
tersebut?

Pembahasan:
Berdasarkan Kepmenkes 1121/MENKES/SK/XII/2008 metode untuk melakukan
perhitungan kebutuhan obat ada 2, yaitu :
a. Metoda konsumsi
Didasarkan atas analisa data konsumsi obat tahun sebelumnya. Jenis data yang
perlu dipersiapkan untuk metoda konsumsi, diantaranya :
a. Alokasi dana
b. Daftar obat
c. Stok awal
d. Penerimaan
e. Pengeluaran
f. Sisa stok
g. Obat hilang / rusak, kedaluarsa
h. Kekosongan obat
i. Pemakaian rata-rata / pergerakan obat pertahun
j. Lead time
k. Stok pengaman
l. Perkembangan pola kunjungan

b. Metoda Morbiditas
Perhitungan kebutuhan obat berdasarkan pola penyakit, perkiraan kenaikan
kunjungan dan lead time. Langkah dalam metoda ini adalah :
a. Menentukan jumlah penduduk yang akan dilayani
b. Menentukan jumlah kunjungan kasus berdasarkan frekuensi penyakit
121

c. Menyediakan standar / pedoman pengobatan yang digunakan


d. Penyesuaian dengan alokasi dana yang tersedia

Data yang perlu dipersiapkan untuk perhitungan metode morbiditas :


a. Perkiraan jumlah populasi
b. Komposisi demografi dari populasi
c. Menetapkan pola morbiditas penyakit berdasarkan kelompok umur - penyakit
d. Frekuensi kejadian masing-masing penyakit pertahun untuk seluruh populasi pada
kelompok umur yang ada
e. Menghitung perkiraan jumlah obat X jenis obat untuk setiap diagnosa, yang
dibandingkan dengan standar pengobatan
f. Menghitung jenis, jumlah, dosis dan frekuensi dan lama pemberian obat berdasarkan
standar pengobatan
g. Data jumlah penderita untuk 10 jenis penyakit terbesar dan total penderita tiap jenis
obat untuk menghitung kebutuhan obat untuk pemakaian tahun mendatang. Rumus :
jumlah kasus x jumlah obat menurut pedoman pengobatan

Temuan:
a. Ditemukan apoteker tidak bekerja secara penuh.

Pelangaran:
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1148/Menkes/Per/VI/2011 tentang Pedagang Besar Farmasi pasal 7 tentang tata cara
pemberian izin PBF ayat 2 poin (j) telah termuat jelas bahwa apoteker penangungawab yang
bekerja di PBF haruslah bersedian untuk bekerja penuh.
Permohonan harus ditandatangani oleh direktur/ketua dan apoteker calon penanggungjawab
disertai dengan kelengkapan administratif sebagai berikut:
a. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP)/identitas direktur/ketua;
b. Susunan direksi/pengurus;
c. Pernyataan komisaris/dewan pengawas dan direksi/pengurus tidak pernah terlibat
pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang farmasi;
d. Akta pendirian badan hukum yang sah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
e. Surat Tanda Daftar Perusahaan;
f. Fotokopi Surat Izin Usaha Perdagangan;
g. Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak;
h. Surat bukti penguasaan bangunan dan gudang;
122

i. Peta lokasi dan denah bangunan


j. Surat pernyataan kesediaan bekerja penuh apoteker penanggungjawab; dan
k. Fotokopi Surat Tanda Registrasi Apoteker penanggungjawab.
Tindakan yang dilakukan oleh petugas Dinas Kesehatan Provinsi Jatim :
a. Memberi peringatan
b. Memberikan pembinaan kepada apoteker yang bertanggungjawab
c. Memberikan sanksi jika tetap tidak ada perubahan
Temuan :
b. Pada saat penerimaan barang tidak dilakukan pemeriksaan kesesuaian bets dan
kedaluarsa
Pelanggaran :
Perka BPOM HK 03.1.34.11.12.7542 Tahun 2012 tentang Pedoman Teknis Cara
Distribusi Obat yang Baik Pasal 3 yaitu :
1) PBF dan PBF Cabang dalam menyelenggarakan pengadaan, penyimpanan, dan
penyaluran obat dan/atau bahan obat wajib menerapkan Pedoman Teknis CDOB.
2) Pedoman Teknis CDOB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan ini.
Proses penerimaan bertujuan untuk memastikan bahwa kiriman obat dan/atau bahan
obat yang diterima benar, berasal dari pemasok yang disetujui, tidak rusak atau tidak
mengalami perubahan selama transportasi.
Obat dan/atau bahan obat tidak boleh diterima jika kedaluarsa, atau mendekati tanggal
kedaluarsa sehingga kemungkinan besar obat dan/atau bahan obat telah kedaluarsa sebelum
digunakan oleh konsumen. Nomor bets dan tanggal kedaluarsa obat dan/atau bahan obat harus
dicatat pada saat penerimaan, untuk mempermudah penelusuran.
Tindakan yang dilakukan oleh petugas Dinas Kesehatan Provinsi Jatim :
Pelanggaran terhadap ketentuan Pedoman Teknis CDOB dapat dikenai sanksi
administratif sebagai berikut:
a. Peringatan tertulis;
b. Penghentian sementara kegiatan; dan
c. Pencabutan Sertifikat CDOB.
Pengenaan sanksi administratif berupa Pencabutan Sertifikat CDOB sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 angka 3 diberikan dalam hal:
123

a. Terjadi penyimpangan penerapan CDOB yang mengakibatkan penyalahgunaan


pendistribusian obat dan/atau bahan obat; atau
b. PBF atau PBF Cabang dengan sengaja melakukan tindakan yang mengakibatkan tidak
terlaksananya penerapan CDOB.

Temuan:
c. Belum tersedia area khusus untuk penyimpanan produk retur, rusak, dan kedaluarsa
yang aman dan terpisah

Pelanggaran :
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HL
03.1.34.11.12.7542 Tahun 2012 Tentang Pedoman Teknis Cara Distribusi Obat yang Baik,
Bab III : Bangunan dan Peralatan pada poin 3.3 menerangkan bahwa :
Harus ada area terpisah dan terkunci antara obat dan/atau bahan obat yang menunggu
keputusan lebih lanjut mengenai statusnya, meliputi obat dan/atau bahan obat yang diduga
palsu, yang dikembalikan, yang ditolak, yang akan dimusnahkan, yang ditarik, dan yang
kedaluarsa dari obat dan/atau bahan obat yang dapat disalurkan.

Tindakan yang dilakukan oleh petugas Dinas Kesehatan Provinsi Jatim :


Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia
Nomor HL 03.1.34.11.12.7542 Tahun 2012 Tentang Pedoman Teknis Cara Distribusi Obat
yang Baik, Pelanggaran terhadap ketentuan Pedoman Teknis CDOB dapat dikenai sanksi
administratif sebagai berikut:
a. Peringatan tertulis;
b. Penghentian sementara kegiatan; dan
c. Pencabutan Sertifikat CDOB.
Pengenaan sanksi administratif berupa Pencabutan Sertifikat CDOB sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 angka 3 diberikan dalam hal:
a. Terjadi penyimpangan penerapan CDOB yang mengakibatkan penyalahgunaan
pendistribusian obat dan/atau bahan obat; atau
b. PBF atau PBF Cabang dengan sengaja melakukan tindakan yang mengakibatkan tidak
terlaksananya penerapan CDOB.
Solusi:
Langkah pertama yang dilakukan oleh PBF sebaiknya memisahkan obat–obatan
tersebut dengan obat yang akan di salurkan pada wadah tertentu atau diberi penandaan.
Sesegera mungkin membuat area khusus untuk obat retur, rusak, dan kedaluarsa tersebut.
124

Dibuatnya peraturan adanya area khusus untuk obat yang retur, rusak, dan kedaluarsa adalah
untuk menghindari tercampurnya obat yang akan disalurkan dengan obat retur,rusak, atau
kedaluarsa.
Temuan:
d. Ketika ditemukan penyaluran obat keras dalam jumlah besar pada toko obat dan
perorangan
Pelanggaran:
Peraturan kepala BPOM nomor 7 tahun 2016 pasal 7 ayat (1) sebagimana apotek,
instalasi farmasi rumah sakit dan instalasi farmasi klinik yang tidak melaksanakan
pengelolaan obat-obat tertentu sebagaimana diatur dalam peraturan kepala badan ini dapat
dikenai sanksi administratif berupa rekomendasi :
a. Peringatan
b. Peringatan keras
c. Penghentian sementara kegiatan dan atau
d. Pencabutan izin
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf
d ditujukan kepada dinkes provinsi, dinkes kabupaten/kota atau satuan kerja perangkat daerah
penerbit izin.
Temuan:
e. Alat pemantau suhu (termometer) rusak sehingga tidak dilakukan pemantauan suhu ,
dan belum tersedia alat monitor kelembapan.
Pelanggaran:
Termometer adalah alat yang digunakan untuk mengukur suhu (temperatur), ataupun
perubahan suhu. Suhu terdiri dari :
 Chiler atau cold room ( 2-8 oC) digunakan untuk penyimpanan vaksin dan serum
 Frezeer room (-15 s/d – 25 oC) digunakan untuk menyimpan vaksin OPV
Tindak lanjut petugas dinas kesehatan Provinsi Jawa Timur:
1. Segera memberikan peringatan kepada penanggungjawab dan melakukan perbaikan
termometer atau mengganti termometer yang baru
2. Memindahkan sediaan yang membutuhkan penyimpanan dengan suhu tertentu pada
ruangan yang memiliki pengatur suhu
3. Membuat SOP dalam pemantauan suhu yang terdiri dari : suhu minimal dimonitor 3 kali
sehari setiap pagi, siang dan malam serta dokumentasikan.
125

Solusi:
a. Harus tersedia prosedur tertulis dan peralatan yang sesuai untuk mengendalikan
lingkungan selama penyimpanan obat dan/atau bahan obat.
b. Area penyimpanan harus dipetakan pada kondisi suhu yang mewakili. Sebelum
digunakan, harus dilakukan pemetaan awal sesuai dengan prosedur tertulis. Pemetaan
harus diulang sesuai dengan hasil kajian risiko atau jika dilakukan modifikasi yang
signifikan terhadap fasilitas atau peralatan pengendali suhu. Peralatan pemantauan suhu
harus ditempatkan sesuai dengan hasil pemetaan.
c. Semua peralatan untuk penyimpanan dan penyaluran obat dan/atau bahan obat harus
didesain, diletakkan dan dipelihara sesuai dengan standar yang ditetapkan. Harus tersedia
program perawatan untuk peralatan vital, seperti termometer, genset, dan chiller.
d. Peralatan yang digunakan untuk mengendalikan atau memonitor lingkungan
penyimpanan obat dan/atau bahan obat harus dikalibrasi, serta kebenaran dan kesesuaian
tujuan penggunaan diverifikasi secara berkala dengan metodologi yang tepat. Kalibrasi
peralatan harus mampu tertelusur.
e. Kegiatan perbaikan, pemeliharaan, dan kalibrasi peralatan harus dilakukan sedemikian
rupa sehingga tidak mempengaruhi mutu obat dan/atau bahan obat ( BPOM,2012).

Temuan:
f. Beberapa faktur penjualan tidak dilengkapi dengan surat pesanan.

Pelanggaran:
PP No. 73 Tahun 2016 tentang standar pelayanan kefarmasian di Apotek pada Bab 2
Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai, Point C
mengenai penerimaan, dimana pada saat menerima sediaan farmasi dari PBF yaitu
Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis spesifikasi, jumlah, mutu,
waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam surat pesanan dengan kondisi fisik yang
diterima.
Tindak lanjut yang dilakukan adalah
a. Memberikan peringatan kepada PBF agar sebaiknya melengkapi dokumen faktur
penjualan dengan surat pesanan sebagai bukti pembelian obat oleh pihak Apotek kepada
distributor resmi.
b. Membuat surat pernyataan dimana intinya melengkapi dokumen faktur penjualan dengan
surat pesanan.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Berdasarkan kegiatan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Dinas Kesehatan
Provinsi Jawa Timur yang telah dilaksanakan pada tanggal 17 – 20 September 2018 di bidang
Pemerintahan khususnya pada bagian Kefarmasian dan Perbekalan Kesehatan, maka dapat
disimpulkan:
1. Calon Apoteker mampu memahami tujuan, fungsi, tugas dan wewenang pada bidang
kefarmasian dan perbekalan kesehatan di Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur.
Calon Apoteker juga dapat memahami program yang ada antara lain
Farmakoekonomi dan Penggunan Obat Rasional, Ketenagaan dan Pelayanan
Masyarakat, Obat Publik, NAPZA, Alat Kesehatan dan PKRT, Makanan dan
Minuman, Obat Tradisional dan Kosmetik.
2. Kunjungan ke Gudang Farmasi Kota Pasuruan memberikan pengetahuan dan
pemahaman kepada calon Apoteker tentang perencanaan, pengadaan, penerimaan,
penyimpanan, pendistribusian, pencatatan dan pelaporan serta monitoring dan
evaluasi pendistribusian sediaan farmasi di lingkup Kota Pasuruan.
3. Kunjungan yang dilakukan ke Puskesmas Bugul Kidul Kota Pasuruan memberikan
pengetahuan dan pemahaman tentang pengelolaan obat yang meliputi perencanaan,
pengadaan dan pelaporan penggunaan sediaan farmasi. Calon Apoteker juga dapat
memahami program Puskesmas dan kegiatan pelayanan kefarmasian tingkat dasar.

126
127

5.2. Saran
Berdasarkan kegiatan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Dinas Kesehatan
Provinsi Jawa Timur yang telah dilaksanakan pada tanggal 17– 20 September 2018 di bidang
Pemerintahan khususnya pada bagian Kefarmasian dan Perbekalan Kesehatan, maka hal yang
dapat disarankan adalah:
1. Bagi Seksi Kefarmasian dan Perbekalan Kesehatan.
Bila memungkinkan adanya tambahan waktu untuk melakukan kunjungan singkat
yaitu mengamati kegiatan seksi perbekalan farmasi dan alat kesehatan sehari-hari,
dalam mengelola perbekalan farmasi serta bagaimana peran Apoteker dalam
memastikan obat dan alat kesehatan sudah sesuai kebutuhan. Dengan adanya
kunjungan singkat tersebut calon Apoteker dapat melihat kenyataan dilapangan
sehingga dapat memiliki gambaran kegiatan bagian perbekalan farmasi dan alat
kesehatan terlepas dari teori yang diperoleh.
2. Bagi Mahasiswa
Diharapkan lebih konsentrasi dan lebih aktif dalam menggali informasi selama
proses Praktek Kerja Profesi Apoteker di seksi Faralkes berlangsung sehingga bisa
memperoleh banyak pengetahuan yang baru.
DAFTAR PUSTAKA
BPOM RI, 2015, Petunjuk Pelaksanaan Cara Distribusi Obat yang Baik, Jakarta : Badan
POM RI.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1991, Keputusan Dirjen POM No. 02240/ B / SK
/ VII/ 1991 tentang Pedoman Persyaratan Mutu serta Label dan Periklanan,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009, Undang-Undang Republik Indonesia No.
36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
Jakarta.
Departemen Kesehatan Indonesia, 2010, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No. 1176 / MENKES / PER / VIII Tahun 2010 tentang Notifikasi Kosmetika,
Departemen Kesehatan Indonesia, Jakarta.
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, 2018, Visi dan Misi, Diakses pada 17 September
2018, http://dinkes.jatimprov.go.id.
Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Departemen Kesehatan Indonesia,
2007, Pedoman Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan di Daerah
Perbatasan, Direktur Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Departemen
Kesehatan Indonesia, Jakarta.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2012, Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No. 6 Tahun 2012 tentang Industri dan Usaha OT, Menteri Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2012, Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No. 7 Tahun 2012 tentang Regristasi Obat Tradisional yang diedarkan di
Indonesia, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2012, Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No. 33 Tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan, Menteri
Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2012, Undang-Undang Republik Indonesia No.
18 Tahun 2012 tentang Pangan, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2017, Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No. 74 Tahun 2017 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Puskesmas, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. HK
00.05.4.1745 Tahun 2017 tentang Kosmetik.
Pemerintah Kabupaten Pasuruan, 2016, Peraturan Bupati Pasuruan Nomor 56 Tahun 2016
tentang Kedudukan, Susunan, Organisasi, Tugas dan Fungsi serta Tata Kerja Dinas
Komunikasi dan Informatika Kabupaten Pasuruan, Bupati Pasuruan, Pasuruan.
Pemerintah Provinsi Jawa Timur, 2016, Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur No. 2 Tahun
2016 Pasal 45 tentang Upaya Kesehatan, Pemerintah Provinsi Jawa Timur, Jawa
Timur.

128
129

Pemerintah Provinsi Jawa Timur, 2016, Peraturan Gubernur Provinsi. Jawa Timur No 74
Tahun 2016 tentang Kedudukan, Susunan Organisasi, Uraian Tugas dan Fungsi,
serta Tata Kerja Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur.
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. HK.
03.1.2.3.04.12. 2206 tahun 2012 tentang Tata Cara Produksi Pangan yang Baik.

Anda mungkin juga menyukai