Anda di halaman 1dari 173

OLEH:

 JULI AMIRAH NASUTION


 GINA ASHARI DALIMUNTHE
 SINDI LIONI ARITONANG
 SRI FATIMAH
 FATIMAH SAHARA
 RAMADANI
 HARIS MANSYAH SIREGAR
 HARIS RIFAI HASIBUAN
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta hidayah-Nya terutama
nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah mata pelajaran
sejarah “ PROSES KELAHIRAN DAN PERKEMBANGAN NASIONALISME INDONESIA
”. Kemudian shalawat beserta salam kita sampaikan kepada Nabi besar kita Muhammad SAW yang
telah memberikan pedoman hidup yakni al-qur’an dan sunnah untuk keselamatan umat di dunia.
Makalah ini merupakan salah satu tugas mata pelajaran SEJARAH di program studi SMA
N 2 PADANGSIDIMPUAN .
Akhirnya kami menyadari bahwa banyak terdapat kekurangan-kekurangan dalam penulisan
makalah ini, maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari para pembaca
demi kesempurnaan makalah ini.

Padangsidimpuan 21 November 2013

Kelompok 4

Page 2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Pendahuluan
Daftar Isi

BAB I : PERKEMBANGAN NASIONALISME


INDONESIA
A. Muncul dan Berkembangnya Pergerakan Nasional
Indonesia
1. Pengaruh yang Datang dari Dalam (internal)
2. Pengaruh yang Datang dari Luar Negeri
(eksternal)
B. Ideologi yang Berkembang pada Masa Pergerakan
Nasional Indonesia
1. Idelogi Liberalisme
2. Ideologi Nasionalisme
3. Ideologi Komunis
4. Ideologi Demokratis
5. Ideologi Pan-Islamisme

BAB II : ORGANISASI PERGERAKAN NASIONAL


INDONESIA
A. Budi Utomo ( BU )
B. Perhimpunan Indonesia ( PI )
C. Sarekat Islam ( SI )
D. Indische Partij ( IP )
E. Partai Komunis Indonesia ( PKI )
F. Partai Nasional Indonesia ( PNI )
G. Pendidikan Nasional Indonesia ( PNI Baru )
H. Muhammadiyah

Page 3
I. Nahdatul Ulama ( NU )
J. Tri Koro Darmo
K. Taman Siswa
L. Parindra
M. Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan
Kebangsaan Indonesia ( PPPKI )
N. Kongres Pemuda
O. Gabungan Politik Indonesia ( GAPI )

BAB III : PAHLAWAN-PAHLAWAN NASIONALISME


A. Moh. Hatta
B. Amir Sjarifoeddin Hrp
C. Dr. Ernest Douwes Dekker
D. Halim Perdanakesuma
E. Sutomo
F. Agus Salim
G. Dr. Soetomo
H. Zainul Arifin
I. Moh. Husni Thamrin
J. Soerjopranoto
K. R.A. Kartini
L. Soepomo
M. Sutan Syahrir
N. Dewi Sartika
O. Martha Christina Tiahahu
P. Otto Iskandar Dinata
Q. Ahmad Dahlan
R. Tjipto Mangoenkoesoemo
S. Wahid Hasjim

Daftar Pustaka

Page 4
BAB I
PERKEMBANGAN NASIONALISME INDONESIA

A. MUNCUL DAN BERKEMBANGNYA PERGERAKAN NASIONAL


INDONESIA

Sejak bangsa Eropa datang ke wilayah Indonesia, bangsa Indonesia telah menyadari
akibat-akibat yang muncul dari kedatangannya itu. Semenjak kedatangan bangsa-bangsa
Eropa tersebut, perlawanan tidak pernah henti-hentinya dilakukan oleh bangsa Indonesia.
Namun periawanan-perlawanan itu selalu mengalami kegagalan. Hal ini disebabkan setiap
perlawanan yang dilakukan terbatas hanya pada daerahnya, atau hanya ingin membebaskan
daerah-daerah dan penduduknya dari kekuasaan asing. Dengan keadaan seperti ini, bangsa
asing dapat lebih mudah untuk menguasainya.
Kegagalan-kegagalan yang dialami bangsa Indonesia dalam perjuangan merebut
kemerdekaan telah mengilhami kaum cendekiawan untuk mengubah pola perjuangan dengan tidak
mengandalkan perjuangan fisik, tetapi lebih mengandalkan perjuangan nonfisik. Dalam arti pada
masa pergerakan nasional, arah perjuangan bangsa Indonesia ditujukan kepada hal-hal sebagai
berikut:
a. Menumbuhkan sikap nasionalisme bangsa yang kuat agar bangsa Indonesia tidak mudah
dipecah-belah lagi oleh bangsa asing, seperti yang terjadi pada masa perjuangan sebelum tahun
1908, dimana perjuangan pada masa itu masih bersifat kedaerahan. Munculnya semangat
nasionalisme akan menumbuhkan persatuan dan kesatuan bangsa.
b. Meningkatkan kecerdasan bangsa melalui penyelenggaraan sistem pendidikan yang
berdasarkan pada nasionalisme, tidak berdasarkan pada sistem pendidikan kolonial.
c. Mengembalikan kesadaran bahwa rakyat Indonesia mempunyai harkat dan martabat yang sama
dengan bangsa penjajah, karena pada dasarnya manusia dilahirkan dengan memiliki hak-hak
yang sama dan dilengkapi dengan potensi kehidupan yang sama pula.
d. Meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui berbagai pendidikan keterampilan, sehingga
kehidupan rakyat tidak terlalu bergantung kepada sektor pertanian dan perkebunan yang selama
itu dieksploitasi oleh penjajah.

Page 5
Sejak akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 telah muncul benih-benih nasionalisme
pada bangsa Indonesia. Munculnya gerakan nasionalisme itu tidak terlepas dari pengaruh
yang datang dari dalam maupun dari luar.

a. Pengaruh yang Datang dari Dalam (Internal)


Adapun pengaruh timbulnya rasa nasionalisme dari dalam (internal), yaitu sebagai
berikut:
1) Kenangan Kejayaan Masa Lampau
Sebelum imperialisme bangsa Eropa (Barat) masuk ke wilayah Indonesia, banyak
terdapat kerajaan yang besar dan jaya, seperti Kerajaan Sriwijaya sebagai kerajaan maritim
yang menguasai jalur pelayaran dan perdagangan di Selat Malaka. Kerajaan ini pernah
menjadi pusat perdagangan dan bahkan pusat penyebaran agama Budha di Asia Tenggara.
Juga Kerajaan Majapahit di bawah pemerintahan Raja Hayam Wuruk dan dibantu oleh Patih
Gajah Mada menjadi kerajaan yang paling berkuasa di hampir seluruh wilayah Nusantara.
Di samping itu, Kerajaan Majapahit juga dikenal dengan kerajaan Nusantara, karena
wilayahnya mencakup pulau-pulau yang ada di wilayah Nusantara.

2) Penderitaan dan Kesengsaraan Akibat Imperialisme.


Muncul dan berkembangnya imperialisme di dunia membawa perubahan yang sangat
besar dalam kehidupan masyarakat, khususnya di wilayah Indonesia. Pelaksanaan
imperialisme di wilayah ini menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan bagi bangsa
pribumi, karena kaum penjajah hanya berusaha untuk mengeruk keuntungan demi kejayaan
bangsanya sendiri. Kesengsaraan dan penderitaan inilah yang menjadi alasan atau
pendorong munculnya periawanan-perlawanan bangsa Indonesia.

3) Munculnya Golongan Cendekiawan.


Golongan cendekiawan muncul dimana-mana sebagai akibat dari perkembangan dan
peningkatan pendidikan. Akibat lanjut dari penyebaran kaum cendekiawan di dalam
masyarakat, timbullah berbagai gerakan yang menentang penjajah. Oleh karena itu, kaum
cendekiawan pribumi tampil di atas panggung politik dan menjadi penggerak atau pimpinan
pergerakan nasional bangsa Indonesia.
4) Kemajuan dalam Bidang Politik, Sosial-Ekonomi dan Kebudayaan.
Muncul dan berkembangnya gerakan nasionalisme Indonesia juga disebabkan oleh
kemajuan-kemajuan di bidang politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan bangsa Indonesia.
(1) Kemajuan di bidang politik; kegiatan gerakan atau partai-partai nasionalis ingin
menumbangkan dominasi politik kaum imperialis dan kolonialis Belanda (Barat).
Kekuasaan kaum pribumi pada masa itu terkungkung oleh pengaruh politik kolonial
Belanda yang ketat dan kejam. Praktek-praktek penyalahgunaan kekuasaan dan
pelecehan hak asasi manusia sering mewarnai kehidupan politik pemerintahan kolonial,
maka golongan nasionalis tampil menyuarakan aspirasi masyarakat yang terjajah.
(2) Kemajuan di bidang sosial ekonomi; masalah itu terlihat dalam penghapusan eksploitasi
ekonomi asing. Penghapusan itu bertujuan untuk membentuk masyarakat yang bebas
dari kesengsaraan dan kemelaratan sesuai dengan cita-dta keadilan sosial. Kesadaran
meningkatkan taraf hidup bangsa Indonesia menjadi prioritas dan cita-cita perjuangan
kaum nasionalis.
(3) Kemajuan di bidang budaya; kaum nasionalis melihat kebudayaan asli hampir punah
dan berada dalam keadaan sekarat, sehingga perlu diberikan perlindungan dan
rekonstruksi yang memadai. Para pejuang nasionalis perlu memperhatikan dan menjaga
kelestarian serta menumbuhkembangkan kebudayaan asli atau memadukan kedua
kebudayaan itu. Oleh karena perkembangan kebudayaan asli yang tidak
Page 6
menggembirakan itu, maka para pejuang nasionalis menjadikan sektor kebudayaan
menjadi salah satu cita-cita perjuangannya.
Ketiga bidang tersebut merupakan kesatuan yang diperjuangkan secara serentak,
karena ketiganya memberikan ciri-ciri perjuangan nasionalis bangsa Indonesia. Paham
nasionalis pada mulanya berkembang secara lokal atau daerah, namun kemudian menjadi
kolektif dan meluas ke seluruh wilayah Indonesia yang terjajah dan akhirnya menjadi paham
nasionalis dari bangsa Indonesia.

b. Pengaruh yang Datang dari Luar Negeri (Eksternal)


Pengaruh dari luar negeri yang cukup besar perannya dalam memper-cepat pergerakan
politik di Indonesia di antaranya, kemenangan Jepang atas Rusia (1905), Pergerakan
Kebangsaan India, Pergerakan Nasional Filipina, Gerakan Nasionalis China, Gerakan
Nasionalis Turki, Gerakan Nasionalis Mesir.
1) Kemenangan Jepang terhadap Rusia (1905).
Modernisasi Jepang telah membawa banyak perubahan terhadap perkembangan negeri
dan bangsa Jepang di dunia internasional pada masa itu. Jepang maju dengan pesat dalam
segala bidang. Bahkan kekuatan militer Jepang harus diperhitung-kan oleh bangsa-bangsa
Barat, termasuk Amerika Serikat pada masa itu. Untuk membuktikan kekuatan militer
Jepang, Korea menjadi sasaran pertamanya. Kemenangan yang diperolehnya dalam perang
Jepang melawan Korea, menyebabkan pasukan Jepang melanjutkan ekspansinya ke
Manchuria. Dalam penyerangan Jepang terhadap Manchuria itulah pasukan Jepang
berhadapan dengan Rusia, dan ternyata berdampak sangat luas di wilayah Asia. Bangsa-
bangsa di Asia mulai bangkit menentang penjajahan Barat. Hal ini membuktikan bahwa di
berbagai daerah Asia muncul dan berkembang gerakan-gerkan yang bersifat nasional seperti
di China, Filipina, India, Turki, Indonesia bahkan sampai ke daratan Afrika seperti Mesir
dan sebagainya.
2) Pergerakan Kebangsaan India.
Di dalam menghadapi penjajahan Inggris, kaum pergerakan rakyat India membentuk
organisasi kebangsaan yang dikenal dengan nama All India National Congres. Tokoh-tokoh
yang terkenal dalam organisasi itu seperti Mahatma Gandhi, Pandit J. Nehru, B.C. Tilak,
Moh. Ali Jinah, Iskandar Mirza, Liquat Ali Khan dan sebagainya. Di antara para pemimpin
India itu, yang lebih terkenal adalah Mahatma Gandhi yang memiliki dasar perjuangan
sebagai berikut.
(a). Ahimwi (dilarang membunuh), yaitu gerakan anti peperangan,
(b). Hartnl yaitu suatu gerakan rakyat India dalam bentuk aksi yang tidak berbuat apapun
walaupun mereka tetap masuk kantor ataupun pabrik dan sebagainya,
(c). Satyagrnhn yaitu suatu gerakan rakyat India untuk tidak bekerja sama dengan
pemerintah
kolonial Inggris,
(d). Swacicsi yaitu gerakan rakyat India untuk memakai barang-barang buatan negeri
sendiri.

3) Gerakan Kebangsaan Filipina.


Gerakan rakyat Filipina digerakkan dan dikobarkan oleh Dr. Jose Rizal dengan tujuan
untuk mengusir penjajah bangsa Spanyol dari wilayah Filipina. Dr. Jose Rizal berhasil
ditangkap dan pada tanggal 30 September 1896, ia dijatuhi hukuman mati. Kemudian
gerakannya dilanjutkan oleh Emilio Aquinaldo dan berhasil memproklamasikan
kemerdekaan Filipina tanggal 12 Juni 1898 namun kemerdekaan yang berhasil diperolehnya
itu tidak dapat bertahan lama, karena kemunculan Amerika Serikat yang berhasil

Page 7
menghapuskan kemerdekaan itu. Filipina dikuasai oleh Amerika Serikat dan baru diberi
kemerdekaan oleh Amerika Serikat pada tanggal 4 Juli 1946.
4) Gerakan Nasionalis Rakyat China.
Gerakan ini dipimpin oleh Dr. Sun Yat Sen. la mengadakan pembaharuan di segala
sektor kehidupan bangsa China. Dasar perjuangan yang dikemukakan oleh Sun Yat Sen
adalah San Min Chu I yang terdiri dari (a). Republik China adalah suatu negara nasional
China, (b). Pemerintah China disusun atas dasar demokrasi atau kedaulatan berada di tangan
rakyat, (c). Pemerintah China mengutamakan kesejahteraan sosial bagi rakyatnya.
5) Pergerakan Turki Muda (1908) .
Gerakan ini dipimpin oleh Mustafa Kemal Pasha. la menuntut adanya pembaharuan
dan moderrusasi di segala sektor kehidupan masyarakatnya.
6) Pergerakan Nasionalisme Mesir.
Gerakan ini dipimpin oleh Arabi Pasha (1881-1882) dengan tujuan menentang
kekuasaan bangsa Eropa terutama Inggris atas negeri Mesir.

Dengan berkembangnya pergerakan nasional di berbagai daerah di Asia maupun di


Afrika berpengaruh sangat besar terhadap perjuangan rakyat Indonesia di dalam menentang
kekuasaan kolonial Belanda. Gerakan-gerakan yang muncul di Indonesia ditandai dengan
munculnya organisasi-organisasi modern yang didirikan oleh kalangan terpelajar. Tujuan
akhir dari setiap organisasi pergerakan rakyat Indonesia adalah terlepas dari kekuasaan
penjajahan kolonial Belanda atau memerdekakan bangsa Indonesia. Munculnya pergerakan
rakyat Indonesia ditandai dengan berdirinya organisasi Budi Utomo tanggal 20 Mei 1908.
Bahkan tahun ini dijadikan tonggak bersejarah bangkitnya bangsa Indonesia untuk
menentang kekuasaan kolonial Belanda.

B. Ideologi yang Berkembang pada Masa Pergerakan Nasional Indonesia


Awal abad ke-20 dalam sejarah Indonesia dikenal sebagai periode Kebangkitan
Nasional. Pertumbuhan kesadaran yang menjiwai proses itu menurut bentuk manifestasinya
telah melalui langkah-langkah yang wajar, yaitu mulai dari lahirnya ide emansipasi dan
liberal dari status serba terbelakang, baik yang berakar pada tradisi maupun yang tercipta
oleh situasi kolonial. Kemudian segera menyusul ide kemajuan beserta cita-cita untuk
meningkatkan taraf kehidupan bangsa Indonesia. Ide-ide yang muncul tersebut akan
melandasi pergerakan organisasi-organisasi yang tumbuh dan berkembang pada masa itu.
Bahkan masing-masing organisasi memiliki dasar dan idiologi yang dapat memperkuat
kedudukan maupun perjuangannya.
Ideologi-ideologi yang muncul dan berkembang pada masa pergerakan nasional
Indonesia antara lain Ideologi Liberalisme, Nasionalisme, Komunisme, Demokrasi, Pan
Islamisme dan lain-lain.

1. Ideologi Liberalisme.
Ideologi liberalisme diperkenalkan di Indonesia oleh orang-orang Belanda yang
mendukung perjuangan bangsa Indonesia. Orang-orang Belanda tersebut melihat banyak
terjadi penyimpangan-penyimpangan seperti dengan bertindak sangat jauh di luar batas-
batas perikemanusiaan. Tindakan-tindakan pemerintah kolonial Belanda yang mereka
kecam, seperti tindakan pemerasan, kekejaman atau penyiksaan dan lain sebagainya.
Masalah-masalah seperti ini mereka sampaikan pada saat diselenggara-kan sidang
parlemen di negeri Belanda. Mereka mengecam dengan keras segala tindakan yang
dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda bersama kaki tangannya di wilayah Indonesia.
Mereka mengusulkan agar pemerintah kerajaan Belanda memerintahkan pelaksanaan

Page 8
paham liberalisme di Indonesia. Diharapkan paham liberalisme dapat membawa masyarakat
Indonesia kepada perubahan yang lebih baik.
Paham liberalisme merupakan suatu paham yang mengutamakan kemerdekaan individu
atau kebebasan kehidupan masyarakat. Sebab dalam alam kebebasan itu masyarakat dapat
berkembang dan berupaya meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Paham liberalisme ini
dikembangkan oleh organisasi-organisasi politik di Indonesia seperti Indische Partij.

2. Ideologi Nasionalisme.
Ideologi Nasionalisme kali pertama diperkenalkan oleh organisasi politik yang
muncul di wilayah Indonesia. Ideologi Nasionalisme menjadi dasar perjuangan Partai
Nasional Indonesia (PNI) yang diketuai oleh Ir. Soekarno. Nasionalisme sebagai suatu
ideologi menunjukkan suatu bangsa yang mempunyai kesamaan budaya, bahasa, dan
wilayah. Selain itu, juga kesamaan cita-cita dan tujuan. Dengan demikian kelompok tersebut
dapat merasakan adanya kesetiaan yang mendalam terhadap kelompok bangsa itu.
PNI sebagai suatu partai yang berideologi nasionalis mempunyai tujuan untuk
memperjuangkan kehidupan bangsa Indonesia yang bebas. Bahkan cita-cita politiknya yaitu
mencapai Indonesia merdeka dan berdaulat, serta mengusir penjajahan pemerintah kolonial
Belanda di Indonesia.

3. Ideologi Komunis.
Ideologi komunisme diperkenalkan kali pertama oleh Sneevliet, seorang pegawai
perkereta-apian yang berkebangsaan Belanda. Ideologi komunisme ini diwujudkan dalam
pembentukan organisasi yang bemama Indische Social Democratis The Vereeniging
(ISDV). Organisasi ISDV sangat sulit mendapatkan dukungan dari rakyat karena rakyat
kurang mempercayai orang Belanda.
Kesulitan memperoleh dukungan rakyat, Sneevliet kemudian menjalin hubungan
dengan Semaun, seorang ketua cabang Sarekat Islam di Semarang. Terjalinnya hubungan
antara Sneevliet dengan Semaun memunculkan pembentukan Partai Komunis Indonesia
(PKI) pada tahun 1920.
Gerakan PKI yang sangat radikal, dilanjutkan dengan melakukan pemberontakan
tahun 1926 dan 1927. Namun akibat kegagalan dari pem-berontakan itu, PKI dijadikan
sebagai partai teriarang di Indonesia pada masa kekuasaan kolonial Belanda.

4. Ideologi Demokrasi.
Ideologi demokrasi pertama kali muncul di daerah Yunani dengan sistem demokrasi
langsung. Artinya rakyat ikut serta menentukan jalannya suatu pemerintahan. Akan tetapi,
sistem demokrasi ini tidak mungkin dapat dilaksanakan di Indonesia pada masa pergerakan
Nasional. Hal ini disebabkan karena bangsa Indonesia masih berada di bawah penjajahan
Belanda. Belanda tidak mungkin menerapkan sistem demokrasi di wilayah Indonesia,
karena hal itu akan merugikan kekuasaan pemerintah kolonial Belanda.
Sistem demokrasi baru dapat terlaksana di wilayah Indonesia setelah Indonesia
merdeka. Sistem demokrasi yang dilaksanakan di Indonesia dikenal dengan sistem
demokrasi Pancasila.

5. Ideologi Pan-lslamisme.
Ideologi Pan-Islamisme merupakan suatu paham yang bertujuan mempersatukan umat
Islam sedunia. Ideologi ini muncul berkaitan erat dengan kondisi abad ke-19 yang
merupakan kemunduran dunia Islam. Sementara itu, dunia Barat berada dalam kemajuan
dan melakukan penjajahan terhadap negara-negara Islam, termasuk Indonesia yang
mayoritas masyarakatnya beragama Islam.
Page 9
Pan-Islamisme merupakan suatu gerakan yang radikal dan progresif. Hal ini sangat
disadari oleh kaum atau negara-negara imperialisme Barat termasuk Belanda yang menjajah
Indonesia. Semangat yang terkandung dalam gerakan Pan-Islamisme telah membangkitkan
rasa kebangsaan yang kuat dengan didasari ikatan keagamaan. Ideologi ini telah mendorong
munculnya organisasi-organisasi yang berdasarkan keagamaan di wilayah Indonesia seperti
Sarekat Islam (SI), Muhammadiyah, dan lain-lain.

BAB II
ORGANISASI PERGERAKAN NASIONAL INDONESIA

A. Budi Utomo

Didirikan oleh : Dr. Sutomo


Pencetus : Dokter Wahidin Sudirohusodo
Tempat / Tempat : Jakarta pada 20 Mei 1908.
Kongres Pertama : Oktober 1908
Hasil Kongres I : Dipilihnya Ketua Budi Utomo Tirtokusumo (seorang bupati)
- dan Wakil Ketua Dr. Wahidin Sudirohusodo.
Tujuan : melaksanakan cita-cita persatuan Indonesia.

Pada abad ke-20 tampil beberapa dokter sebagai penggerak bangsa di kawasan Asia
seperti Dr. Sun Yat Sen di Tiongkok, Dr. Jose Rizal di Filipina, serta di Indonesia tampil
dokter-dokter seperti Dr. Wahidin Sudirohusodo, Dr. Sutomo, Dr. Cipto Mangunkusumo
dan Dr. Gunawan Mangunkusumo. Para dokter itu bangkit karena dihadapkan pada
penderitaan masyarakat baik dari segi ekonomi, fisik, maupun kemanusiaan.
Dokter Wahidin Sudirohusodo dengan giat menyebarkan cita-citanya agar di Pulau
Jawa dapat dibentuk suatu perkumpulan yang bertujuan me-majukan pendidikan serta
membiayai anak-anak yang tidak dapat bersekolah namun memiliki kepandaian. Cita-
citanya itu mendapat sambutan dari siswa Sekolah Dokter Jawa di Jakarta seperti Sutomo,
Gunawan Mangunkusumo, Cipto Mangunkusumo dan lain sebagainya. Akhirnya pada
tanggal 20 Mei 1908 Sutomo dan kawan-kawannya mendirikan suatu perkumpulan yang di-
berinama Budi Utomo di Jakarta. Kongres pertama diselenggarakan pada bulan Oktober
1908 dan berhasil memilih Adipati Tirtokusumo (seorang bupati) sebagai ketuanya dan Dr.
Wahidin Sudirohusodo sebagai wakil ketuanya.
Page
10
Untuk mendorong semangat para anggotanya, Budi Utomo mencanang-kan pedoman
yaitu pemuda menjadi motornya dan orangtua menjadi sopirnya, supaya kapal tidak
terdampar di laut karang dan selamat sampai di pelabuhan. Di samping itu, kongres
menghasilkan suatu keputusan tentang tujuan dari pergerakannya, yaitu untuk menjamin dan
mempertahankan kehidupan sebagai bangsa yang terhormat. Perkumpulan ini bergerak
dalam bidang sosial, pendidikan, pengajaran, dan budaya.
Keanggotaan perkumpulan Budi Utomo semula terbatas hanya pada daerah Jawa dan
Madura, kemudian ditambahkan dengan Bali, karena dianggap mempunyai kebudayaan
yang sama. Jika dilihat dari keanggotaan-nya, perkumpulan ini bersifat kedaerahan (lokal).
Walaupun demikian, perkumpulan itu juga sudah dapat dikatakan bersifat nasional. Hal ini
terbukti ketika didirikannya perkumpulan partai-partai politik seperti Permufakatan
Pemimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI), Budi Utomo ikut serta di dalamnya.
Gerakan nasional Budi Utomo semakin bertambah jelas yaitu dengan diubahnya nama Budi
Utomo menjadi Budi Utama (huruf a) dan juga terlihat dengan jelas tujuannya yaitu sejak
tahun 1928 ikut serta melaksanakan cita-cita persatuan Indonesia.
Selanjutnya Budi Utomo mengadakan integrasi derigan organisasi seasas dan
sehaluan. Atas pertimbangan itulah kemudian Budi Utomo lebur menjadi satu dengan PBI
(Persatuan Bangsa Indonesia) menjadi Parindra (Partai Indonesia Raya).
Budi Utomo juga dikenal sebagai organisasi nasional pertama di Indonesia dan
terpanjang usianya sampai dengan proklamasi Indonesia.
Dengan semangat hendak meningkatkan semangat masyarakat, Mas Ngabehi Wahidin
Soediro Husodo, seorang doktor jawa dan termasuk seorang priayi, tahun 1906-1907
melakukan kempanye di kalangan priayi di Pulau Jawa.
Pada akhir 1907, Wahidin bertemu dengan Soetomo, pelajar STOVIA di Batavia.
Pertemuan tersebut berhasil mendorong didirikannya organisasi yang diberi nama Boedi
Oetomo pada hari rabu tanggal 20 Mei 1908 di Batavia. Soetomo kemudian ditunjuk sebagai
ketuanya. Tanggal berdirinya Boedi Oetomo hingga saat ini diperingati sebagai Hari
Kebangkitan Nasional. Budi Utomo juga dikenal sebagai organisasi nasional pertama di
Indonesia dan terpanjang usianya sampai dengan proklamasi Indonesia.

PERANAN STOVIA DALAM PERGERAKAN NASIONAL DI INDONESIA

1. Hasil dan Pembahasan


Kondisi Sosial dan Politik Masyarakat Jawa Awal Abad ke-20
Periode akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 merupakan suatu babakan penting dalam
sejarah Indonesia, karena pada periode tersebut mulai muncul manusia-manusia dengan
kesadaran baru yang menginginkan suatu kehidupan yang pantas bagi bangsanya. Keinginan
yang masih samar-samar ini merupakan semboyan Soetomo di dalam pidatonya pada saat
kelahiran BO pada tanggal 20 Mei 1908. Ia menyadari bahwa cita-cita itu tidak akan dapat
terwujud jika hanya diperjuangkan oleh para pelajar saja. Oleh karena itu, dengan sadar ia
mengajak kepada teman-temannya agar membicarakan gagasan itu di dalam lingkungan
rumah tangga mereka, dengan para orang tua agar dapat menggugah perhatian mereka.
Seiring dengan berjalannya waktu, keinginan itu menjadi semakin mengkristal, menjadi
sebuah cita-cita luhur anak bangsa yang menginginkan kemerdekaan bangsanya dari
belenggu penjajahan Belanda yang telah sekian lama menguasai bumi Indonesia.
Munculnya kesadaran ini antara lain dipicu oleh adanya diskriminasi-diskriminasi dan
perbedaan antara priyayi dan rakyat yang semakin tajam, serta adanya penerapan politik etis,
terutama bidang pendidikan. Politik ini dijalankan oleh Pemerintah Belanda kepada bangsa
Indonesia sebagai upaya untuk membalas jasa atas perlakuan mereka yang telah memeras
Page
11
kekayaan bangsa Indonesia selama ini. Gagasan politik Etis ini dilatarbelakangi oleh adanya
artikel karya C. Th. van Deventer, seorang ahli hukum yang pernah tinggal di Hindia selama
tahun 1800-1897, yang berjudul “Een Eereschuld” (Suatu hutang kehormatan) di dalam de
Gids, majalah berkala Belanda. Dinyatakannya bahwa Negeri Belanda berhutang kepada
bangsa Indonesia terhadap semua kekayaan yang telah diperas negeri mereka. Hutang ini
sebaiknya dibayar dengan jalan memberi prioritas utama kepada kepentingan rakyat
Indonesia di dalam menerapkan kebijaksanaan. Politik Etis Jajahan ini dicanangkan pada
pidato tahunan Kerajaan Belanda pada bulan September 1901 yang berisi “suatu kewajiban
yang luhur dan tanggungjawab moral untuk rakyat di Hindia Belanda”. Pesan kerajaan ini
dilanjutkan dengan menyatakan keprihatinan terhadap keadaan ekonomi yang buruk di
Hindia Timur dan meminta agar dibentuk komisi untuk memeriksa keadaan ini.
Politik Etis yang dijalankan ini meliputi tiga upaya untuk menyejahterakan bangsa
Indonesia, yaitu sistem irigasi, emigrasi atau transmigrasi, dan pendidikan. Sebenarnya
tujuan kaum Liberal sebagai pencetus ide ini bagus, yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan
penduduk. Akan tetapi, pada pelaksanaannya semua kembali bermuara kepada kepentingan
ekonomi di pihak Pemerintah Hindia Belanda. Maksudnya segala peningkatan kesejahteraan
rakyat itu tetap dimanfaatkan oleh Pemerintah Hindia Belanda dan bukan bagi kemakmuran
rakyat itu sendiri.
Contoh pelaksanaan Politik Etis yang menguntungkan pihak Pemerintah Hindia
Belanda adalah dibukanya perkebunan-perkebunan tebu di Jawa yang disertai dengan sistem
irigasi yang bagus. Akan tetapi, mereka menggunakan tanah-tanah rakyat yang mereka sewa
dengan harga yang rendah serta menggunakan tenaga rakyat yang mereka bayar rendah pula.
Dengan demikian, adanya irigasi itu bukan untuk meningkatkan produksi para petani, tetapi
justru dimanfaatkan sendiri untuk Pemerintah Hindia Belanda. Selain itu dibukanya
perkebunan-perkebunan tembakau di Deli yang menggunakan tenaga kerja yang berasal dari
Jawa dengan pertimbangan bahwa penduduk di Jawa sudah padat dan mereka lebih terampil
bekerja dari pada penduduk setempat, mengakibatkan adanya transmigrasi dalam beberapa
gelombang. Adapun pendidikan formal yang mereka tawarkan kepada penduduk pribumi
pada mulanya hanya untuk memenuhi pegawai administrasi yang semakin mereka perlukan
dan yang dapat mereka bayar dengan murah.
Sebenarnya perhatian masalah pendidikan formal di Hindia Belanda, terutama di
Jawa, telah ada sejak tahun 1818 dengan adanya peraturan pemerintah yang menetapkan
bahwa penduduk bumiputra diperbolehkan untuk sekolah di sekolah-sekolah Belanda.
Selanjutnya pemerintah akan menetapkan peraturan-peraturan mengenai tata tertib yang
diperlukan sekolah-sekolah bagi penduduk bumiputra itu. Akan tetapi, ternyata kondisi
politik di Jawa tidak memungkinkan bagi pemerintah untuk dapat segera merealisasikan
peraturan itu. Hal ini diakibatkan oleh adanya perang Jawa dan Cultuur Stelsel yang sangat
menyita perhatian pemerintah. Baru pada tahun 1848 peraturan itu dapat terealisasikan. Sifat
pendidikan yang ditawarkan ini berbeda dengan pendidikan pada awal abad ke-20, karena
pendidikan di sini lebih diutamakan bagi calon pegawai dinas pemerintahan dan
tanggungjawabnya diserahkan kepada bupati setempat. Baru pada tahun 1854
tanggungjawab pendidikan bumiputra secara tegas diatur dalam undang-undang. Meskipun
demikian, kaum misionaris Katolik sejak tahun 1814 dan kemudian kaum misionaris
Protestan sejak tahun 1851 juga telah melakukan keaktifan di Jawa terutama di bidang
pendidikan. Pada tahun 1848 di setiap kabupaten didirikan sebuah sekolah setahun, menjadi
dua, dan pada tahun 1852 menjadi 15 sekolah. Dengan demikian, tidak ada lagi pembatasan
sekolah hanya untuk kalangan anak-anak Kristen saja, akan tetapi sudah sampai pada
kebutuhan personil Gubernemen.
Pada akhir abad ke-19, tepatnya tahun 1892, sekolah-sekolah bumiputra dipecah
menjadi dua kelompok. Sekolah “kelas satu” merupakan sekolah istimewa bagi anak-anak
Page
12
pemuka rakyat atau orang-orang bumiputra yang terhormat atau kaya. Sekolah ini
memberikan pendidikan selama 5 tahun dengan penambahan beberapa mata pelajaran
seperti ilmu bumi, sejarah, ilmu hayat, menggambar dengan tangan, dan ilmu ukur tanah.
Biaya sekolah maupun tingkatan tenaga pengajarnya lebih tinggi dari pada sekolah “kelas
dua”. Sedangkan sekolah “kelas dua” diperuntukkan bagi penduduk bumiputra pada
umumnya. Sekolah ini ditempuh selama 3 tahun pelajaran dan hampir tak berbeda denga
sekolah bumiputra terdahulu yang hanya sekedar memberi pelajaran menulis, membaca, dan
berhitung.
Pelajaran sekolah “kelas satu” yang lebih unggul dari pada sekolah “kelas dua” itu
ternyata tidak cukup untuk menempuh ujian kleinambtenaar (pegawai rendah). Untuk
menempuh ujian itu diperlukan Bahasa Belanda yang hanya diberikan di sekolah rendah
Eropa (Europeesche Lagere School). Sekolah ini sangat menarik karena dapat memberikan
keuntungan materiil pada lulusannya, pada hal hanya sejumlah kecil anak-anak bumiputra
yang diterima di sekolah ini. Mereka tidak hanya diharuskan membayar lebih tinggi, tetapi
juga harus mengetahui tata bahasa Belanda. Oleh karena itu, hanya kalangan bangsawan
ataslah yang dapat menikmati pendidikan itu. Salah satu contohnya adalah Pangeran Ario
Tjondronagoro IV, Bupati Kudus (1835), yang kemudian menjadi Bupati Demak pada tahun
1850-1866. Beliau adalah bupati pesisiran yang pertama kali memasukkan pendidikan Barat
bagi putra-putrinya dengan jalan memanggil seorang guru privat bangsa Belanda, C.E.
Kesteren, seorang bangsawan Belanda yang berfaham progresif, yang pada waktu itu
menjabat sebagai redaktur surat kabar de Lokomotif di Semarang. Kondisi sosial masyarakat
Jawa pada awal abad ke-20 ini diwarnai dengan adanya perbedaan-perbedaan hak pada
masing-masing masyarakatnya diakibatkan oleh adanya penggolongan-penggolongan
masyarakat berdasarkan kelas-kelas yang menyulitkan untuk saling berinteraksi antara kelas
satu dengan lainnya tanpa dibebani unsur ewuh-pekewuh, rasa sungkan, terutama dari kelas
sosial yang lebih rendah kepada yang lebih tinggi. Dinding yang membatasi masing-masing
kelas ini juga ditunjang oleh budaya dan bahasa Jawa yang memiliki jenjang pemakaian
berdasarkan kedudukan si penutur terhadap lawan bicaranya.
Selain itu keadaan masyarakat Jawa juga menjadi semakin terbelakang dan tertinggal
dari bangsa-bangsa asing lain di Jawa. Pada tanggal 17 Maret 1900, bangsa Tionghoa di
Hindia mendirikan perkumpulan Tiong Hwa Hwee Kwan, dengan tujuan sebagai protes
terhadap keputusan pemerintah tahun 1899 yang memberikan kedudukan bangsa Jepang
sama dengan bangsa Eropa. Organisasi ini maju dengan pesatnya disertai dengan adanya
dana yang penuh sehingga berhasil memajukan masyarakat Tionghoa yang ada di Jawa.
Sementara itu de Indische Bond (Persatuan Hindia), yaitu organisasinya kaum Indo mulai
bergerak. Mereka menutup pintu bagi kaum bumiputra, dan memperjuangkan dirinya
sendiri. Karena kedua organisasi itu maju dan berhasil, maka mereka meremehkan bangsa
bumiputra. Oleh karena itu, tidak ada yang memperhatikan nasib rakyat yang ditinggalkan
oleh pemimpinnya itu. Pada waktu itu pula, komunitas Arab di Batavia pada tahun 1905
telah mendirikan Jam’iyyat Khair (Perserikatan bagi Kebaikan). Salah satu kegiatannya
adalah membuka sebuah sekolah moderen yang pelajarannya diberikan dalam bahasa
Melayu.
Kemunculan Sekolah Dokter Jawa yang kemudian namanya berubah menjadi STOVIA ini
ternyata mampu merubah sejarah bangsa Jawa, sebuah bangsa yang penakut dan selalu patuh
pada atasan, menjadi bangsa yang mempunyai kepribadian. Keadaan ini tidak lain
disebabkan oleh adanya sistem pendidikan. Meskipun hanya dapat dinikmati oleh sebagian
kecil masyarakat bumiputra, tetapi ternyata mampu membuka cakrawala baru. Keadaan
masyarakat Jawa yang semakin terbelakang dan tertinggal dari bangsa-bangsa asing lain di
Jawa, semakin diberinya batasan antara golongan priyayi dan rakyat dengan mendirikannya
sekolah untuk perwira bumiputra yang hanya boleh dimasuki oleh anak-anak priyayi saja,
Page
13
serta perasaan takut para pembesar terhadap atasannya baik atasan bumiputra maupun
Belanda, ternyata mendapat perhatian sebagian kecil siswa-siswa STOVIA itu.

2. STOVIA: Ladang Persemaian Nasionalisme

Sekolah Dokter Jawa didirikan Pemerintah Hindia Belanda karena pemerintah merasa
kewalahan menghadapi wabah yang menyerang di daerah Jawa, terutama Banyumas, pada
tahun 1800-an, dan berdasarkan pertimbangan bahwa mendidik penduduk bumiputra untuk
menjadi mantri cacar lebih murah dari pada membayar tenaga dokter Eropa. Sekolah ini
berada di Weltevreden, pusat kota Batavia. Di dalam perkembangannya sekolah ini
mengalami perubahan-perubahan baik dalam syarat-syarat penerimaan siswa, kurikulum,
lama studi, maupun gelar yang diperoleh. Berdasarkan kebijakan pada tahun 1903, yaitu
diperkenankannya seluruh anak-anak di wilayah Hindia Belanda untuk memasuki sekolah
itu, maka nama sekolah itu kemudian dirubah menjadi School tot Opleiding van Inlandsche
Artsen (Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputra) yang disingkat STOVIA.
Ketika kebutuhan pemerintah terhadap tenaga kesehatan semakin meningkat,
pemerintah membantu kegiatan ini dengan bersungguh-sungguh. Pada awalnya Pemerintah
Hindia Belanda sendiri yang berusaha untuk menarik minat para pemuda dari keluarga baik-
baik untuk meningkatkan pendidikannya dengan jalan memberi iming-iming sejumlah
beasiswa dan perumahan gratis. Sebagai imbalannya, mereka harus bersedia masuk pada
dinas pemerintah, antara lain sebagai “mantri cacar”. Akan tetapi, karena tradisi para priyayi
memandang rendah terhadap pekerjaan-pekerjaan praktis seperti dokter dan guru, maka
hanya sedikit saja priyayi yang tertarik pada sekolah itu. Oleh karenanya, pada tahun 1891
pemerintah mengumumkan bahwa setiap anak muda yang ingin memperoleh pendidikan
sebagai Dokter Jawa diperbolehkan masuk di sekolah dasar Eropa secara gratis, dengan
persyaratan bahwa anak muda itu harus cerdas, berasal dari keluarga priyayi, dan berumur
tidak lebih dari tujuh tahun. Mereka akan diterima sebagai siswa ELS secara gratis dengan
persetujuan diam-diam sesudah lulus dari sekolah itu akan menempuh ujian yang berat untuk
masuk di Sekolah Dokter Jawa.Ternyata kebijakan baru itu banyak menarik perhatian
kalangan anak-anak priyayi rendahan dari pada anak-anak priyayi tinggi. Kerena jika
mereka berhasil mendapatkan gelar Dokter Jawa itu, maka status sosial mereka akan
terangkat dari tingkat sebelumnya.
Pada mulanya ELS hanya diperuntukkan bagi anak-anak Eropa dan bagi anak-anak
bumiputra dari golongan tertentu dalam jumlah yang terbatas. Misalnya anak-anak bupati,
patih, wedana, jaksa, dan lain-lainnya, yang haknya disamakan dengan orang Eropa. Akan
tetapi, sejak tahun 1864 seiring dengan semakin tingginya kebutuhan pemerintah terhadap
tenaga-tenaga yang berpendidikan dan mahir berbahasa Belanda, maka sekolah ini juga
terbuka bagi murid-murid yang pintar, yang orang tuanya tidak termasuk dalam golongan
tersebut di atas. Dengan diperbolehkannya anak-anak bumiputra memasuki sekolah ini,
meskipun dengan persyaratan tertentu dan terbatas pada golongan tertentu pula, Pemerintah
Kolonial Belanda merasa tidak menerapkan diskriminasi rasial dalam menjalankan politik
pengajarannya. Meskipun demikian, pada prakteknya banyak sekali diskriminasi yang
dilakukan guru-guru Eropa itu terhadap siswa bumiputra.
Sebenarnya pilihan menjadi Dokter Jawa pada awal abad ke-20 merupakan suatu sikap
yang bertentangan dengan arus zaman, yaitu suatu zaman yang selalu mengedepankan pada
keinginan untuk menjadi pegawai pangreh praja yang akan menjadikannya sebagai seorang
priyayi yang berkuasa, disegani, dan disembah-sembah. Tidak demikian halnya dengan
pekerjaan yang memerlukan keahlian ini. Meskipun sekolah kedokteran membebaskan para
mahasiswanya dari kewajiban membayar uang sekolah dan menerima gaji yang tinggi
sesudah lulus, kedudukan-kedudukan yang menarik itu tidak menyebabkan bertambah
Page
14
besarnya jumlah priyayi muda yang menuntut ilmu di bidang ini. Kemungkinan hal itu
disebabkan karena seleksi penerimaan mahasiswanya yang terlalu ketat serta kewajiban
belajar yang ekstra keras yang menjadi penghalang peminatnya dari kalangan priyayi muda
ini. Selain itu, sikap para priyayi pada waktu itu selalu menganggap bahwa Sekolah Dokter
Jawa atau STOVIA adalah sekolah untuk orang miskin. Penilaian semacam itu terjadi karena
pemerintah menerapkan sistem beasiswa, menggratiskan beaya pendidikan dan
pemondokan, bagi mahasiswa STOVIA. Oleh karena itu, hanya orang tua yang kurang
mampu yang berminat mengirimkan anaknya ke sekolah tersebut. Akan tetapi, justru di
kalangan anak-anak miskin inilah muncul tokoh-tokoh nasional Indonesia yang militan, baik
di bidang kedokteran maupun pejuang sejati.
Kunci dari munculnya tokoh-tokoh nasional Indonesia yang militan dari STOVIA itu
rupanya tak terlepas dari tempat sekolah ini berada. Weltevreden adalah sebuah pusat kota
Batavia. Pusat kegiatan politik, ekonomi, dan kebudayaan, serta sebuah kota besar di Hindia
yang merupakan pintu gerbang dengan dunia luar. Di lingkungan inilah berkumpul para
intelektual yang memungkinkan di antara mereka untuk saling berinteraksi dan saling
bertukar pikiran mengenai berbagai hal. Para pelajar STOVIA yang kebanyakan berasal dari
kota-kota kecil itu memperoleh dorongan intelektual dari kota besar dan modern di
lingkungan sekolahnya. Batavia juga menjadi kediaman suatu kelompok intelektual non
politik pribumi, yang tidak besar tetapi sedang tumbuh. Oleh karena itu wajarlah jika para
pelajar STOVIA bergaul dengan para intelektual itu dengan akibat terpengaruh oleh ide-id
mereka.
Tempat yang paling disenangi sebagian pelajar STOVIA adalah perpustakaan milik
Douwes Dekker, seorang Indo yang sangat mendukung politik etis. Ia tinggal di dekat
STOVIA. Bagi sebagian pelajar STOVIA keberadaan Douwes Dekker mempunyai arti
penting. Ia adalah seorang intelektual yang rumahnya selalu terbuka sebagai tempat
pertemuan, memiliki ruang baca, dan perpustakaan. Di perpustakaan itu tersedia banyak
buku bacaan dan terbuka bagi pelajar bumiputra.
Douwes Dekker pula yang menyebabkan pelajar-pelajar STOVIA seperti Tjipto
Mangoenkoesoemo, Goenawan Mangoenkoesoemo, Surjopranoto, serta Tjokrodirdjo,
mulai belajar menuangkan gagasan-gagasannya dalam surat kabar. Hal ini memungkinkan
karena pelajar-pelajar tersebut dipilih oleh Douwes Dekker sebagai pembantu redaksi
Bataviaasch Nieuwesblad, sebuah surat kabar berbahasa Belanda yang dipimpinnya. Ada
alasan tertentu yang mnyebabkan ia memilih para pelajar itu. Terutama adalah kemampuan
berbahasa Belanda dan ketrampilan menuangkan gagasan yang bagus, serta ketajaman
penglihatan para pelajar itu dalam melihat kondisi sosial di lingkungan sekitarnya.
Kemampuan yang mereka miliki itu sangat diperlukan untuk memperpanjang kelangsungan
hidup sebuah surat kabar yang selalu menyajikan berita-berita aktual.
Perjumpaan para pelajar yang gelisah di perpustakaan Douwes Dekker ini akhirnya
membuahkan suatu polemik yang ditulis oleh Goenawan Mangoenkoesoemo, yang berturut-
turut dimuat dalam Java Bode, sebuah harian berbahasa Belanda di Batavia. Polemik yang
ditulis pada tahun 1905 itu berisi tentang kecamannya terhadap tingkah laku dan adat Jawa
yang dianggapnya sebagai perintang modernisasi. Pada tahun 1905 dan tahun-tahun
sebelumnya, dunia priyayi terutama yang berasal dari kalangan pejabat pemerintah pribumi
sangat dihormati oleh rakyat. Terdapat garis pemisah yang tegas antara priyayi dan bukan
priyayi. Perbedaan itu selalu kelihatan jelas serta selalu mengikat. Dalam keadaan apa pun
suasana penghormatan itu sangat nyata. Goenawan menginginkan adanya perubahan
keadaan adat-istiadat dan tata cara dalam masyarakat. Menurutnya adat yang dibuat oleh
manusia itu dapat dirubah oleh manusia juga. Akan tetapi, semua itu diserahkannya kepada
kaum priyayi agar dapat memberikan contoh dalam membuang adat yang membuat susah
itu. Adat yang telah membelenggu itu telah menjadikan bangsa Jawa tertinggal
Page
15
dibandingkan dengan bangsa Arab dan Cina. Kedua bangsa asing itu masing-masing telah
sadar terhadap perlunya persatuan untuk meningkatkan kedudukan mereka di dalam
masyarakat, terutama dalam meningkatkan kedudukan mereka di dalam masyarakat,
terutama dalam hal meningkatkan perekonomian. Sementara rakyat Jawa kebanyakan
merupakan masyarakat miskin dan penuh dengan penghinaan bangsa-bangsa lainnya.
Anak bangsa telah bangkit, ia mulai berani menyuarakan isi hati yang biasanya
disimpannya rapat-rapat agar orang lain tidak dapat mengetahui, sebuah sikap pengendalian
diri dari budaya khas Jawa. Anak bangsa telah memiliki kepribadian, telah mempunyai
sikap, dan dapat menilai serta menyuarakan dengan jujur sesuai dengan hati nuraninya. Api
kesadaran itu sedikit demi sedikit mulai muncul di kalangan pemuda terpelajar yang dapat
melihat diskriminasi-diskriminasi yang ditimbulkan oleh adat dan tradisi Jawa yang penuh
dengan tatanan feodal serta tahyul yang berlebih-lebihan. Hal itulah yang mengakibatkan
sulitnya manusia Jawa untuk dapat mengaktualisasikan dirinya. Kondisi masyarakat yang
seperti itu yang selalu menjadi bahan perbincangan para pelajar STOVIA. Mereka sering
memperbincangkan berita-berita yang dimuat dalam koran de Locomotief, Bataviaasch
Nieuwesblad, Java Bode, Pemberita Betawi, dan majalah Jong Indie.
Api semangat itu semakin membara terlebih lagi setelah diketahui adanya berita yang
menyatakan bahwa Revolusi Turki yang terjadi pada permulaan tahun 1908 yang digerakkan
oleh The Young Turks dapat menggoyahkan feodalisme Turki. Kejadian-kejadian ini besar
sekali pengaruhnya bagi kalangan terpelajar bumiputra, suatu kelompok kecil lapisan baru
dalam masyarakat bumiputra. Pergulatan-pergulatan pemikiran mengenai nasib rakyat yang
selalu tertindas itu sering dilakukan oleh para pelajar STOVIA pada malam hari setelah
kegiatan belajar mereka selesai. Berita-berita dari luar negri tersebut di atas termasuk
menjadi bahan perbincangan. Demikian pula kepincangan-kepincangan di dalam negri,
terutama di bidang pengajaran, pendidikan, perekonomian, dan kepangreh-prajaan kolonial
menjadi bahan renungan.
Endapan-endapan pemikiran para pemuda yang menginginkan perubahan itu semakin
mengental setelah kedatangan Dokter Wahidin Soedirohoesodo pada akhir tahun 1907 yang
mengkampanyekan keinginannya kepada para priyayi Jawa yang kaya dan berpengaruh agar
diadakan dana belajar untuk membantu para pelajar yang tidak dapat melanjutkan studinya.
Dokter Jawa itu berpendapat bahwa lapisan bawah masyarakat itu perlu untuk diberi
pengajaran yang sebaik-baiknya, karena perluasan pengajaran itu akan dapat menumbuhkan
kesadaran kebangsaan. Gagasan Dokter Jawa itu telah membuka pikiran dan hati para
pelajar STOVIA, serta mendatangkan cita-cita baru. Gagasan yang telah dirumuskan itu
kemudian diterapkan dengan membentuk suatu persatuan di antara orang-orang yang
berkebudayaan sama, yaitu orang Jawa, Sunda, dan Madura, tanpa memandang kedudukan,
kekayaan, atau intelektualitas sebagai salah satu syarat sebagai anggota, untuk dididik agar
terjadi keharmonisan antara negara dan rakyat. Persatuan itu diharapkan dapat memberikan
sesuatu untuk seluruh Pulau Jawa dan Madura sebagai suatu kesatuan geografi dan kultural.
Dengan demikian, tujuan persatuan itu lebih luas dari sekedar bea siswa. Para pelajar itu
berpendapat bahwa sebuah persatuan itu harus dapat berusaha memecahkan setiap masalah
yang dihadapinya. Akhirnya tanggal 20 Mei 1908 ditetapkan sebagai lahirnya organisasi
baru yang mereka namakan Boedi Oetomo, dengan tujuan untuk memperjuangkan nasib
rakyat agar mempunyai kehidupan yang pantas.

KESIMPULAN
Para pelajar STOVIA adalah anak zaman kolonialisme yang hidup pada awal abad ke-
20. Pendidikan Barat telah memungkinkan bagi mereka untuk membentuk kontak-kontak
yang kuat dengan dunia Barat. Terlebih lagi dengan kesukaan membaca, hubungan-
hubungan sosial dengan tokoh-tokoh penting sezaman, maupun dengan teman-teman
Page
16
sehalauan, serta akibat dari kondisi kolonialisme di sepanjang perjalanan kehidupan mereka
itu dapat digunakan untuk melacak proses perkembangan pemahaman mereka terhadap
nasionalisme. Dua tokoh penting yang mempengaruhi sebagian pelajar STOVIA itu, yaitu
Douwes Dekker, dan dr. Wahidin Soedirohoesodo.
Dengan demikian, keberadaan STOVIA sangat berperan penting dalam
perkembangan nasionalisme di Indonesia. Disamping kemampuan individu para pelajar
STOVIA, pendidikan yang menanamkan disiplin tinggi bagi para pelajarnya ini mampu
menyatukan pelajarnya dari berbagai suku bangsa di Indonesia. Selain itu, keberadaannya
di pusat kota menjadikan sekolah ini menjadi tempat persemaian nasionalisme yang bagus
bagi para pelajarnya. Beberapa tokoh pergerakan nasional alumni STOVIA antara lain
adalah dr. Wahidin Soedirohoesodo, dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, dr. Goenawan
Mangoenkoesoemo, dan dr. Soetomo.

B. Perhimpunan Indonesia
Tahun 1908, di Belanda dibentuk organisasi mahasiswa Indonesia bernama Indische
Vereeniging (IV). Awalnya IV hanya bersifat sosial, tetapi kemudian berkembang ke arah
politik. Pada Januari 1924, Indische Vereeniging berganti nama menjadi Indonesische
Vereeniging (Perhimpunan Indonesia). Ideologi yang dikembangkan PI adalah kesatuan
nasional, solidaritas, nonkoperasi, dan swadaya.

C. Serikat Islam (SI)


Didirikan Oleh : Haji Samanhudi
Tempat / Tanggal : Solo, 1911
Tujuan : Mengembangkan jiwa dagang.
. Memberikan bantuan kepada anggota-anggota yang
kesulitan. . Memajukan pengajaran dan semua.
Menentang pendapat yang keliru tentang agama
Islam.
Ketua : Oemar Said Cokroaminoto
Ketua kehormatan : Samanhudi

Pada tahun 1911 di kota Solo muncul perkumpulan dagang Islam yang bernama
Sarekat dagang Islam dengan Haji Samanhudi sebagai pemimpin. Sebenarnya perkumpulan
ini telah ada sejak tahun 1909, yaitu ketika berada di bawah pimpinan RM. Tirtoadisuryo
yang beranggotakan para pedagang Islam. Sejak dipimpin oleh Haji Samanhudi
perkumpulan itu menjadi sangat berarti dan berpengaruh luas di kalangan para pedagang
Islam.
Namun kemudian, seorang intelektual dari Surabaya yang bernama Haji Omar Said
(HOS) Cokroaminoto yang sekaligus sebagai promotornya mengubah perkumpulan Sarekat
Dagang Islam menjadi Sarekat Islam (SI). Perubahan itu ternyata berpengaruh besar
terhadap sistem keanggotaannya. Anggotanya bukan lagi hanya para pedagang Islam saja,

Page
17
tetapi sudah men-cakup seluruh umat Islam dari berbagai lapisan masyarakat. Perubahan
nama itu terjadi pada tahun 1912 yang mengandung isi dan jiwa serta terfokus pada agama
Islam dengan segala manifestasinya.
Sementara itu, keterlibatan Sarekat Islam dalam Volksraad (Dewan Rakyat) diprotes
keras oleh anggotanya, seperti Semaun. Namun, Sarekat Islam tetap ingin menunjukkan
kesetiaannya kepada pemerintah, walaupun pemerintah mengetahui bahwa organisasi itu
sangat berpengaruh besar terhadap masyarakat. Untuk itu, pemerintah Belanda secara terus-
menerus mengikuti jejak dan gerak-gerik Sarekat Islam dari dekat. Wakil-wakil Sarekat
Islam yang duduk dalam badan itu adalah Abdul Muis (pengarang) dan HOS Cokroaminoto
Tjokroaminoto sebagai ketua, dan Raden Gunawan sebagai wakil ketua.
Pada tanggal 18 Maret 1916, Central Sarekat Islam ini mendapat pengakuan dari
pemerintah Hindia - Belanda. Beberapa tokoh Sarekat Islam yang lain adalah Abdul Muis,
Wignyodisastro, dan Soewardi Soerjaningrat. Ketiga orang ini merupakan pengurus
SI di Bandung. Tokoh lain yang bergabung ialah K.H. Agus Salim.
Pada tanggal 17 – 24 Juni 1916, diadakan kongres Sarekat Islam yang ketiga di
Bandung. Kongres ini dinamakan Kongres (SI) Nasional Pertama. Jumlah cabang SI
ada 50, dan jumlah semua anggota pada waktu itu sudah mencapai 800.000. Dalam
kongres ini, SI mulai melontarkan pernyataan bahwa rakyat perlu diberi kesempatan
berpartisipasi dalam politik
Ternyata pengaruh pergerakan Sarekat Islam di masyarakat sangat kuat. Pengaruhnya
menyebar ke seluruh wilayah Indonesia sehingga menimbulkan pemberontakan, seperti
berikut ini.

o Pemberontakan di Toli-Toli (Sulawesi Selatan); pemberontakan ini menimbulkan


korban jiwa, yaitu seorang pegawai negeri Belanda dan beberapa orang pegawai bangsa
Indonesia. Pemberontakan itu dihubungkan dengan kedatangan Abdul Muis ke
Sulawesi, yang kebetulan ada keperluan dengan partainya, sehingga ia dituduh terlibat
dalam pemberontakan itu.
o Pemberontakan Cimareme (Jawa barat); pemberontakan ini terjadi karena adanya protes
kaum petani yang menolak menyerahkan padinya kepada pemerintah dengan harga
yang telah ditetapkan. Dalam pemberontakan itu, Sarekat Islam juga dituduh terlibat.

Pada tanggal 20 – 27 Oktober 1917, SI mengadakan kongres yang keempat


(Kongres Nasional Kedua) di Jakarta. Dalam kongres ini di tubuh SI terdapat
perbedaan pendapat. Abdul Muis menyatakan perlunya SI berpartisipasi dalam
Volksraad. Sebaliknya, Semaun dan sebagian kecil pimpinan SI menolak ikut dalam
Volksraad. Perpecahan di dalam tubuh SI ini memberikan peluang kepada H.J.F.M.
Sneevliet dari golongan sosialis untuk memengaruhi sejumlah anggota SI Semarang
agar menjadi anggota ISDV (Indische Sociaal Democratische Vereniging). Dengan taktik
infiltrasi inilah golongan sosialis berhasil menyusup ke dalam tubuh SI. Seorang
tokoh komunis yang pernah tinggal di Moskwa, Darsono menyatakan tidak percaya
pada kepemimpinan HOS. Tjokroaminoto.

Sarekat Islam tidak dapat mempertahankan keutuhan organisasinya dan terpecah


menjadi Sarekat Islam Merah yang dipimpin oleh Semaun dan Sarekat Islam Putih yang
dipimpin oleh HOS Cokroaminoto. Namun Sarekat Islam sampai pada saat itu belum
memakai nama partai.

Page
18
Pada tahun 1929, Sarekat Islam menyatakan diri menjadi partai dengan nama Partai
Sarekat Islam Indonesia (PSII), Tahun itu juga menjadi sangat penting bagi Sarekat Islam,
karena selain kehilangan banyak anggotanya, Sarekat Islam juga mengambil langkah-
langkah radikal, yaitu keluar dari Volksraad. Hal itu merupakan langkah dan taktik
nonkooperasi yang dilaksanakan oleh Sarekat Islam kepada pemerintah kolonial Belanda.

Memasuki tahun 1920 Sarekat Islam pecah menjadi dua yaitu:

1) SI yang berpaham Islam, dikenal dengan SI Putih atau golongan kanan.Kelompok ini
dipimpin H.O.S.Tjokroaminoto, H.Agus Salim, dan Suryopranoto yang berpusat di
Yogyakarta.

2) SI yang berpaham Marxisme atau Komunisme, dengan SI Merah atau golongan


kiri. Kelompok ini dipimpin Semaun yang berpusat di Semarang.

Pada akhir tahun 1921 (dalam kongres keenam) diputuskan adanya disiplin
partai yakni larangan anggota SI merangkap dua keanggotaan partai politik. Dengan
demikian kelompok Semaun dapat terdepak dari SI. Pada tahun 1923, kelompok
Semaun ini secara resmi diakui sebagai cabang Partai Komunis Indonesia dengan
nama Sarikat Rakyat.

Pada tanggal 17-20 Februari 1923, SI menyelenggarakan Kongres Nasional


ketujuh di Madiun. Nama SI pada waktu itu diubah menjadi Partai Sarekat Islam
(PSI). Kemudian atas pengaruh dr. Sukiman yang baru pulang dari Belanda, PSI
diubah menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Dalam perkembangannya
PSII pecah menjadi dua kelompok yakni kelompok Sukiman yang menghendaki
PSII menekankan pada asas kebangsaan, dan kelompok HOS Tjokroaminoto yang
menekankan pada asas agama. Kelompok Sukiman mendirikan partai baru yakni
Partai Islam Indonesia (PARII) Kemudian pada tahun 1930, Sarekat Islam mengalami
kemerosotan akibat adanya berbagai perpecahan dalam tubuh organisasi itu. Sarekat Islam
terbagi menjadi tiga partai yakni PSII Kartosuwiryo, PSII Abikusno, dan Partai Sarekat
Islam Indonesia. Partai ini terhenti aktivitasnya setelah Jepang menduduki wilayah
Indonesia.
Mereka menginginkan SI memperhatikan masalah-masalah keagamaan. Dalam kondisi itu
SI memutuskan untuk bekerja sama dengan pemerintahan kolonial dan berganti nama
menjadi Partai Sarikat Islam. Sehubungan dengan meluasnya semangat persatuan dan
Sumpah Pemuda, nama tersebut diubah menjadi Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII) pada
tahun 1930 dengan ketuanya Haji Agus Salim.
Pada tahun 1940, PSII pecah lagi menjadi PSII Kartosuwiryo. Inilah perkembangan Sarekat
Islam di mana untuk mencapai tujuannya harus menghadapi berbagai tantangan.

Sejarah awal
Sarekat Dagang Islam

Organisasi Sarekat Dagang Islam (SDI) pada awalnya merupakan perkumpulan


pedagang-pedagang Islam. Organisasi ini dirintis oleh Haji Samanhudi di Surakarta pada 16
Oktober 1905, dengan tujuan awal untuk menghimpun para pedagang pribumi Muslim
(khususnya pedagang batik) agar dapat bersaing dengan pedagang-pedagang besar
Page
19
Tionghoa. Pada saat itu, pedagang-pedagang keturunan Tionghoa tersebut telah lebih maju
usahanya dan memiliki hak dan status yang lebih tinggi dari pada penduduk Hindia Belanda
lainnya. Kebijakan yang sengaja diciptakan oleh pemerintah Hindia-Belanda tersebut
kemudian menimbulkan perubahan sosial karena timbulnya kesadaran di antara kaum
pribumi yang biasa disebut sebagai Inlanders.

SDI merupakan organisasi ekonomi yang berdasarkan pada agama Islam dan
perekonomian rakyat sebagai dasar penggeraknya. Di bawah pimpinan H. Samanhudi,
perkumpulan ini berkembang pesat hingga menjadi perkumpulan yang berpengaruh. R.M.
Tirtoadisurjo pada tahun 1909 mendirikan Sarekat Dagang Islamiyah di Batavia. Pada tahun
1910, Tirtoadisuryo mendirikan lagi organisasi semacam itu di Buitenzorg. Demikian pula,
di Surabaya H.O.S. Tjokroaminoto mendirikan organisasi serupa tahun 1912.
Tjokroaminoto masuk SI bersama Hasan Ali Surati, seorang keturunan India, yang kelak
kemudian memegang keuangan surat kabar SI, Oetusan Hindia. Tjokroaminoto kemudian
dipilih menjadi pemimpin, dan mengubah nama SDI menjadi Sarekat Islam (SI).

Pada tahun 1912, oleh pimpinannya yang baru Haji Oemar Said Tjokroaminoto, nama
SDI diubah menjadi Sarekat Islam (SI). Hal ini dilakukan agar organisasi tidak hanya
bergerak dalam bidang ekonomi, tapi juga dalam bidang lain seperti politik. Jika ditinjau
dari anggaran dasarnya, dapat disimpulkan tujuan SI adalah sebagai berikut:

1. Mengembangkan jiwa dagang.


2. Membantu anggota-anggota yang mengalami kesulitan dalam bidang usaha.
3. Memajukan pengajaran dan semua usaha yang mempercepat naiknya derajat rakyat.
4. Memperbaiki pendapat-pendapat yang keliru mengenai agama Islam.
5. Hidup menurut perintah agama.

SI tidak membatasi keanggotaannya hanya untuk masyarakat Jawa dan Madura saja.
Tujuan SI adalah membangun persaudaraan, persahabatan dan tolong-menolong di antara
muslim dan mengembangkan perekonomian rakyat. Keanggotaan SI terbuka untuk semua
lapisan masyarakat muslim. Pada waktu SI mengajukan diri sebagai Badan Hukum, awalnya
Gubernur Jendral Idenburg menolak. Badan Hukum hanya diberikan pada SI lokal.
Walaupun dalam anggaran dasarnya tidak terlihat adanya unsur politik, tapi dalam
kegiatannya SI menaruh perhatian besar terhadap unsur-unsur politik dan menentang
ketidakadilan serta penindasan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial. Artinya SI
memiliki jumlah anggota yang banyak sehingga menimbulkan kekhawatiran pemerintah
Belanda.

Seiring dengan perubahan waktu, akhirnya SI pusat diberi pengakuan sebagai Badan
Hukum pada bulan Maret tahun 1916. Setelah pemerintah memperbolehkan berdirinya

Page
20
partai politik, SI berubah menjadi partai politik dan mengirimkan wakilnya ke Volksraad
tahun 1917, yaitu HOS Tjokroaminoto; sedangkan Abdoel Moeis yang juga tergabung
dalam CSI menjadi anggota volksraad atas namanya sendiri berdasarkan ketokohan, dan
bukan mewakili Central SI sebagaimana halnya HOS Tjokroaminoto yang menjadi tokoh
terdepan dalam Centraal Sarekat Islam. Tapi Tjokroaminoto tidak bertahan lama di lembaga
yang dibuat Pemerintah Hindia Belanda itu dan ia keluar dari Volksraad (semacam Dewan
Rakyat), karena volksraad dipandangnya sebagai "Boneka Belanda" yang hanya
mementingkan urusan penjajahan di Hindia ini dan tetap mengabaikan hak-hak kaum
pribumi. HOS Tjokroaminoto ketika itu telah menyuarakan agar bangsa Hindia (Indonesia)
diberi hak untuk mengatur urusan dirinya sendiri, yang hal ini ditolak oleh pihak Belanda.

Seiring dengan perubahan waktu, akhirnya SI pusat diberi pengakuan sebagai Badan
Hukum pada bulan Maret tahun 1916. Setelah pemerintah memperbolehkan berdirinya
partai politik, SI berubah menjadi partai politik dan mengirimkan wakilnya ke Volksraad
tahun 1917.

Kongres-kongres Awal

Kongres pertama diadakan pada bulan Januari 1913. Dalam kongres ini
Tjokroaminoto menyatakan bahwa SI bukan merupakan organisasi politik, dan bertujuan
untuk meningkatkan perdagangan antarbangsa Indonesia, membantu anggotanya yang
mengalami kesulitan ekonomi serta mengembangkan kehidupan relijius dalam masyarakat
Indonesia.

Kongres kedua diadakan pada bulan Oktober 1917.

Kongres ketiga diadakan pada tanggal 29 September hingga 6 Oktober 1918 di


Surabaya. Dalam kongres ini Tjokroaminoto menyatakan jika Belanda tidak melakukan
reformasi sosial berskala besar, SI akan melakukannya sendiri di luar parlemen.

Masuknya Pengaruh Komunisme

SI yang mengalami perkembangan pesat, kemudian mulai disusupi oleh paham


sosialisme revolusioner. Paham ini disebarkan oleh H.J.F.M Sneevliet yang mendirikan
organisasi ISDV (Indische Sociaal-Democratische Vereeniging) pada tahun 1914. Pada
mulanya ISDV sudah mencoba menyebarkan pengaruhnya, tetapi karena paham yang
mereka anut tidak berakar di dalam masyarakat Indonesia melainkan diimpor dari Eropa
oleh orang Belanda, sehingga usahanya kurang berhasil. Sehingga mereka menggunakan
taktik infiltrasi yang dikenal sebagai "Blok di dalam", mereka berhasil menyusup ke dalam
tubuh SI oleh karena dengan tujuan yang sama yaitu membela rakyat kecil dan menentang
kapitalisme namun dengan cara yang berbeda.

Dengan usaha yang baik, mereka berhasil memengaruhi tokoh-tokoh muda SI seperti
Semaoen, Darsono, Tan Malaka, dan Alimin Prawirodirdjo. Hal ini menyebabkan SI pecah
menjadi "SI Putih" yang dipimpin oleh HOS Tjokroaminoto dan "SI Merah" yang dipimpin
Semaoen. SI merah berlandaskan asas sosialisme-komunisme.

Page
21
Adapun faktor-faktor yang mempermudah infiltrasi ISDV ke dalam tubuh SI antar lain:

1. Centraal Sarekat Islam (CSI) sebagai badan koordinasi pusat memiliki kekuasaan yang
lemah. Hal ini dikarenakan tiap cabang SI bertindak sendiri-sendiri. Pemimpin cabang
memiliki pengaruh yang kuat untuk menentukan nasib cabangnya, dalam hal ini
Semaoen adalah ketua SI Semarang.
2. Peraturan partai pada waktu itu memperbolehkan keanggotaan multipartai, mengingat
pada mulanya organisasi seperti Boedi Oetomo dan SI merupakan organisasi non-
politik. Semaoen juga memimpin ISDV (PKI) dan berhasil meningkatkan anggotanya
dari 1700 orang pada tahun 1916 menjadi 20.000 orang pada tahun 1917 di sela-sela
kesibukannya sebagai Ketua SI Semarang.
3. Akibat dari Perang Dunia I, hasil panen padi yang jelek mengakibatkan
membumbungnya harga-harga dan menurunnya upah karyawan perkebunan untuk
mengimbangi kas pemerintah kolonial mengakibatkan dengan mudahnya rakyat
memihak pada ISDV.
4. Akibat kemiskinan yang semakin diderita rakyat semenjak Politik Pintu Terbuka
(sistem liberal) dilaksanakan pemerintah kolonialis sejak tahun 1870 dan wabah pes
yang melanda pada tahun 1917 di Semarang.

SI Putih (H. Agus Salim, Abdul Muis, Suryopranoto, Sekarmadji Maridjan


Kartosoewirjo) berhaluan kanan berpusat di kota Yogyakarta. Sedangkan SI Merah
(Semaoen, Alimin, Darsono) berhaluan kiri berpusat di kota Semarang. Sedangkan HOS
Tjokroaminoto pada mulanya adalah penengah di antara kedua kubu tersebut.

Jurang antara SI Merah dan SI Putih semakin melebar saat keluarnya pernyataan
Komintern (Partai Komunis Internasional) yang menentang cita-cita Pan-Islamisme. Pada
saat kongres SI Maret 1921 di Yogyakarta, H. Fachruddin, Wakil Ketua Muhammadiyah
mengedarkan brosur yang menyatakan bahwa Pan-Islamisme tidak akan tercapai bila tetap
bekerja sama dengan komunis karena keduanya memang bertentangan. Di samping itu Agus
Salim mengecam SI Semarang yang mendukung PKI. Darsono membalas kecaman tersebut
dengan mengecam beleid (Belanda: kebijaksanaan) keuangan Tjokroaminoto. SI Semarang
juga menentang pencampuran agama dan politik dalam SI. Oleh karena itu, Tjokroaminoto
lebih condong ke SI haluan kanan (SI Putih).

Penegakan Disiplin Partai

Pecahnya SI terjadi setelah Semaoen dan Darsono dikeluarkan dari organisasi. Hal ini
ada kaitannya dengan desakan Abdul Muis dan Agus Salim pada kongres SI yang keenam
6-10 Oktober 1921 tentang perlunya disiplin partai yang melarang keanggotaan rangkap.
Anggota SI harus memilih antara SI atau organisasi lain, dengan tujuan agar SI bersih dari
unsur-unsur komunis. Hal ini dikhawatirkan oleh PKI sehingga Tan Malaka meminta
pengecualian bagi PKI. Namun usaha ini tidak berhasil karena disiplin partai diterima
dengan mayoritas suara. Saat itu anggota-anggota PSI dari Muhammadiyah dan Persis pun
turut pula dikeluarkan, karena disiplin partai tidak memperbolehkannya.

Keputusan mengenai disiplin partai diperkuat lagi dalam kongres SI pada bulan
Februari 1923 di Madiun. Dalam kongres Tjokroaminoto memusatkan tentang peningkatan
pendidikan kader SI dalam memperkuat organisasi dan pengubahan nama CSI menjadi
Partai Sarekat Islam (PSI). Pada kongres PKI bulan Maret 1923, PKI memutuskan untuk

Page
22
menggerakkan SI Merah untuk menandingi SI Putih. Pada tahun 1924, SI Merah berganti
nama menjadi "Sarekat Rakyat".

Partai Sarekat Islam Indonesia

Pada kongres PSI tahun 1929 menyatakan bahwa tujuan perjuangan adalah mencapai
kemedekaan nasional. Karena tujuannya yang jelas itulah PSI ditambah namanya dengan
Indonesia sehingga menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Pada tahun itu juga PSII
menggabungkan diri dengan Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan
Indonesia (PPPKI).

Akibat keragaman cara pandang di antara anggota partai, PSII pecah menjadi beberapa
partai politik, di antaranya Partai Islam Indonesia dipimpin Sukiman, PSII Kartosuwiryo,
PSII Abikusno, dan PSII sendiri. Perpecahan itu melemahkan PSII dalam perjuangannya.
Pada Pemilu 1955 PSII menjadi peserta dan mendapatkan 8 (delapan) kursi parlemen.
Kemudian pada Pemilu 1971 di zaman Orde Baru, PSII di bawah kepemimpinan H. Anwar
Tjokroaminoto kembali menjadi peserta bersama sembilan partai politik lainnya dan
berhasil mendudukkan wakilnya di DPRRI sejumlah 12 (dua belas orang).

D. Indische Partij (IP)


Didirikan oleh :Dr. Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (alias
Setyabudi)
Dr. Cipto Mangunkusumo,
Ki Hajar Dewantara
Tempat/Tanggal :Bandung pada 25 Desember 1912.
Organisasi :Organisasi campuran indo dan bumiputera.
Tujuannya
:Membangun lapangan hidup dan menganjurkan kerjasama
atas dasar persamaan ketatanegaraan guna memajukan
tanah air Hindia dan mempersiapkan kehidupan rakyat yang
merdeka.
Semboyan : Hindia for Hindia ( Indonesia hanya diperuntukkan bagi
orang-orang yang menetap dan bertempat tinggal di
Indonesia tanpa terkecuali dan tanpa memandang apapun
jenis bangsanya)

Organisasi ini dimaksudkan sebagai pengganti Indische Bond. Sebagai organisasi


kaum Indonesia dan Eropa yang didirikan pada tahun 1898. Ketiga tokoh pendiri Indische
Partij dikenal dengan Tiga Serangkai, yaitu Douwes Dekker (Danudirdja Setiabudi), dr.
Cipto Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Indische Partij
merupakan pergerakan nasional yang bersifat politik murni dengan semangat nasionalisme
modern.
Indische Partij berdiri atas dasar nasionalisme yang luas menuju kemerdekaan
Indonesia. Indonesia dianggap sebagai National Home bagi semua orang, baik
penduduk bumi putera maupun keturunan Belanda, Cina, dan Arab, yang mengaku
Indonesia sebagai tanah air dan kebangsaannya. Paham ini pada waktu itu dikenal sebagai

Page
23
Indisch Nasionalisme, yang selanjutnya melalui perhimpunan Indonesia dan PNI, diubah
menjadi Indonesische Nationalisme atau Nasional Indonesia. Hal itulah yang menyatakan
bahwa Indische Partij sebagai partai politik pertama di Indonesia.

Tujuan partai itu adalah untuk mempersiapkan kehidupan bangsa Indonesia yang
merdeka. Anggotanya terbuka bagi seluruh masyarakat yang bertempat tinggal di seluruh
wilayah Indonesia. Namun pada kenyataan-nya, yang mula-mula menjadi anggota partai ini
adalah orang-orang Indo Eropa. Oleh karena itu, partai ini tidak dapat berkembang menjadi
partai massa. Hal itu disebabkan oleh stelsel kolonial masih menjadi penghalang dalam
proses interaksi ataupun pergaulan dengan orang-orang asing di Indonesia.
Indische Partij telah menunjukkan garis politiknya secara jelas dan tegas serta
menginginkan suatu kesatuan penduduk yang multirasial. Tujuan partai ini benar-benar
revolusioner, karena ingin mendobrak kenyataan politik rasial yang dilakukan oleh
pemerintah kolonial Belanda di Indonesia.
Untuk mencapai tujuan tersebut ditetapkan cara-cara sebagai berikut.

1) Memelihara nasionalisme dengan cara meresapkan cita-cita kesatuan bangsa Indonesia.

2) Memberantas rasa kesombongan rasial.

3) Memberantas usaha-usaha untuk membangkitkan kebencian antar-agama.

4) Berusaha mendapatkan persamaan hak bagi semua orang Indonesia (Hindia).

5) Memperbesar pengaruh pro Hindia (Indonesia) di dalam pemerintahan.

6) Memperbaiki ekonomi rakyat Indonesia dengan memperkuat mereka yang


lemah ekonominya.

Sebagai media untuk menyebarluaskan pandangan-pandangan Indische Partij


digunakan surat kabar De Express. Melalui surat kabar ini Indische Partij berkembang
ke berbagai daerah. Hal ini terbukti didirikannya 30 cabang IP dengan anggota
sejumlah 7.300 orang yang sebagian besar merupakan Indo-Belanda, sedangkan
jumlah anggota bangsa Indonesia 1500 orang.
Melihat tujuan dan cara-cara yang ditempuh untuk mencapai tujuan di atas
dapat dikatakan bahwa Indische Partij merupakan partai politik yang pertama kali di
Indonesia. Permohonan ijin pendirian partai ditolak oleh pemerintah Hindia Belanda
dan Indische Partij dinyatakan sebagai partai terlarang dengan alasan organisasi itu
berdasar politik dan mengancam keamanan umum.
Pada waktu pemerintah kolonial Belanda hendak merayakan ulang tahun ke-
100 kemerdekaan Negeri Belanda dari penjajahan Perancis, di Bandung dibentuklah
”Komite Bumiputera”. Komite ini menerbitkan tulisan Suwardi Suryaningrat yang
berjudul ”Als ik een Nederlander was ...” Yang isinya merupakan sindiran tajam
mengenai ketidakadilan di daerah jajahankarena pemerintah kolonial Belanda memungut
dana dari rakyat Indonesia. Tindakan itu membakar kemarahan tokoh bangsa Indonesia
seperti Suwardi Suryaningrat, Cipto Mangunkusumo, Douwes Dekker. Mereka ingin
menggagalkan niat Belanda dengan menyebarkan brosur yang berjudul A/s ik een
Nederlander was (Andaikan aku seorang Belanda). Isi brosur itu di antaranya sebagai
berikut.

Page
24
"..... Seandainya aku seorang Belanda, aku protes peringatan yang akan diadakan itu. Aku
akan peringatkan kawan-kawan penjajah bahwa sesungguhnya sangat berbahaya pada saat
itu mengadakan perayaan peringatan kemerdekaan. Aku akan peringatkan semua bangsa
Belanda, jangan menyinggung peradaban bangsa Indonesia yang baru bangun dan menjadi
berani. Sungguh aku akan protes sekeras-kerasnya ....."
Kecaman yang semakin keras menentang pemerintah kolonial Belanda, menyebabkan
ketiga tokoh Indische Partij ditangkap. Pada tahun 1913 mereka diasingkan ke negeri
Belanda.
Tetapi atas permintaan mereka sendiri pembuangan itu dipindahkan ke negeri
Belanda. Kesempatan di negeri Belanda itu oleh mereka digunakan untuk menambah
dan memperdalam ilmu.
Dengan kepergian ketiga pemimpin tersebut maka kegiatan Indische Partij
makin lemah. Kemudian Indische Partij berganti nama menjadi Partai Insulinde
dengan asas utamanya mendidik suatu nasionalisme Hindia dengan memperkuat
cita-cita persatuan bangsa.
Namun pada tahun 1914, Cipto Mangunkusumo dikembalikan ke Indonesia karena
sakit, sedangkan Suwardi Suryaningrat dan Douwes Dekker baru dikembalikan ke Indonesia
pada tahun 1919. Kembalinya Douwes Dekker dari negeri Belanda tidak banyak berarti bagi
perkembangan Partai Insulinde. Pada bulan Juni 1919 partai ini berganti nama
menjadi National Indische Partij (NIP), namun partai ini tidak banyak berpengaruh
terhadap rakyat.
Douwes Dekker tetap terjun ke dunia politik dan Suwardi Suryaningrat terjun ke dunia
pendidikan dan selanjutnya mendirikan perguruan yang diberi nama Taman Siswa. Suwardi
Suryaningrat kemudian dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara. Walaupun Indische Partij
tidak dapat melawan kehendak Belanda, namun perjuangan mereka tetap punyai arti yang
sangat besar dalam pergerakan kebangsaan Indonesia untuk mencapai kemerdekaan.
Dari uraian di atas, perjuangan Indische Partij besar sekali pengaruhnya terhadap
bangsa Indonesia, antara lain dengan propaganda nasionalisme Hindia dan aksi
mencapai kemerdekaan kelak, juga sebagai pembangun semangat, Douwes Dekker
sangat berjasa terhadap bangsa Indonesia. Para tokoh Indische Partij berani

E. Partai Komunis Indonesia (PKI)

Didirikan Oleh : Amir Syarifuddin


Tempat / Tanggal :
Tujuan :

Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan partai komunis yang terbesar di seluruh
dunia, di luar Tiongkok dan Uni Soviet. Sampai pada tahun 1965 anggotanya berjumlah
sekitar 3,5 juta, ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya. PKI juga mengontrol
pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta anggota dan pergerakan petani Barisan
Tani Indonesia yang mempunyai 9 juta anggota. Termasuk pergerakan wanita (Gerwani),
organisasi penulis dan artis dan pergerakan sarjananya, PKI mempunyai lebih dari 20 juta
anggota dan pendukung.

Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi di
bawah dekrit presiden - sekali lagi dengan dukungan penuh dari PKI. Ia memperkuat tangan
Page
25
angkatan bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang penting.
Sukarno menjalankan sistem "Demokrasi Terpimpin". PKI menyambut "Demokrasi
Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa dia mempunyai mandat untuk
persekutuan Konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama dan Komunis yang dinamakan
NASAKOM.

Pada era "Demokrasi Terpimpin", kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum
burjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani,
gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan
ekspor menurun, foreign reserves menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan
militer menjadi wabah.

Sebelum Revolusi Indonesia

Gerakan Awal PKI

Partai ini didirikan atas inisiatif tokoh sosialis Belanda, Henk Sneevliet pada 1914,
dengan nama Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) (atau Persatuan Sosial
Demokrat Hindia Belanda). Keanggotaan awal ISDV pada dasarnya terdiri atas 85 anggota
dari dua partai sosialis Belanda, yaitu SDAP (Partai Buruh Sosial Demokratis) dan SDP
(Partai Sosial Demokratis), yang aktif di Hindia Belanda.

Pada Oktober 101 SM ISDV mulai aktif dalam penerbitan dalam bahasa Belanda, "Het Vrije
Woord" (Kata yang Merdeka). Editornya adalah Adolf Baars.

Pada saat pembentukannya, ISDV tidak menuntut kemerdekaan Indonesia. Pada saat
itu, ISDV mempunyai sekitar 100 orang anggota, dan dari semuanya itu hanya tiga orang
yang merupakan warga pribumi Indonesia. Namun demikian, partai ini dengan cepat
berkembang menjadi radikal dan anti kapitalis. Di bawah pimpinan Sneevliet partai ini
merasa tidak puas dengan kepemimpinan SDAP di Belanda, dan yang menjauhkan diri dari
ISDV. Pada 1917, kelompok reformis dari ISDV memisahkan diri dan membentuk partainya
sendiri, yaitu Partai Demokrat Sosial Hindia.

Pada 1917 ISDV mengeluarkan penerbitannya sendiri dalam bahasa Melayu, "Soeara
Merdeka".

Di bawah kepemimpinan Sneevliet, ISDV yakin bahwa Revolusi Oktober seperti yang
terjadi di Rusia harus diikuti Indonesia. Kelompok ini berhasil mendapatkan pengikut di
antara tentara-tentara dan pelaut Belanda yang ditempatkan di Hindia Belanda. Dibentuklah
"Pengawal Merah" dan dalam waktu tiga bulan jumlah mereka telah mencapai 3.000 orang.
Pada akhir 1917, para tentara dan pelaut itu memberontak di Surabaya, sebuah pangkalan
angkatan laut utama di Indonesia saat itu, dan membentuk sebuah dewan soviet. Para
penguasa kolonial menindas dewan-dewan soviet di Surabaya dan ISDV. Para pemimpin
ISDV dikirim kembali ke Belanda, termasuk Sneevliet. Para pemimpin pemberontakan di
kalangan militer Belanda dijatuhi hukuman penjara hingga 40 tahun.

ISDV terus melakukan kegiatannya, meskipun dengan cara bergerak di bawah tanah.
Organisasi ini kemudian menerbitkan sebuah terbitan yang lain, Soeara Ra’jat. Setelah
sejumlah kader Belanda dikeluarkan dengan paksa, ditambah dengan pekerjaan di kalangan

Page
26
Sarekat Islam, keanggotaan organisasi ini pun mulai berubah dari mayoritas warga Belanda
menjadi mayoritas orang Indonesia.

Pembentukan Partai Komunis

Pada awalnya PKI adalah gerakan yang berasimilasi ke dalam Sarekat Islam. Keadaan
yang semakin parah dimana ada perselisihan antara para anggotanya, terutama di Semarang
dan Yogyakarta membuat Sarekat Islam melaksanakan disiplin partai. Yakni melarang
anggotanya mendapat gelar ganda di kancah perjuangan pergerakan indonesia. Keputusan
tersebut tentu saja membuat para anggota yang beraliran komunis kesal dan keluar dari
partai dan membentuk partai baru yang disebut ISDV. Pada Kongres ISDV di Semarang
(Mei 1920), nama organisasi ini diubah menjadi Perserikatan Komunis di Hindia. Semaoen
diangkat sebagai ketua partai.

PKH adalah partai komunis pertama di Asia yang menjadi bagian dari Komunis
Internasional. Henk Sneevliet mewakili partai ini pada kongresnya kedua Komunis
Internasional pada 1920.

Pada 1924 nama partai ini sekali lagi diubah, kali ini adalah menjadi Partai Komunis
Indonesia (PKI).

Pemberontakan 1926

Pada November 1926 PKI memimpin pemberontakan melawan pemerintahan kolonial


di Jawa Barat dan Sumatera Barat. PKI mengumumkan terbentuknya sebuah republik.
Pemberontakan ini dihancurkan dengan brutal oleh penguasa kolonial. Ribuan orang
dibunuh dan sekitar 13.000 orang ditahan. Sejumlah 1.308 orang, umumnya kader-kader
partai, dikirim ke Boven Digul, sebuah kamp tahanan di Papua [2]. Beberapa orang
meninggal di dalam tahanan. Banyak aktivis politik non-komunis yang juga menjadi sasaran
pemerintahan kolonial, dengan alasan menindas pemberontakan kaum komunis. Pada 1927
PKI dinyatakan terlarang oleh pemerintahan Belanda. Karena itu, PKI kemudian bergerak
di bawah tanah.

Rencana pemberontakan itu sendiri sudah dirancang sejak lama. Yakni di dalam
perundingan rahasia aktivis PKI di Prambanan. Rencana itu ditolak tegas oleh Tan Malaka,
salah satu tokoh utama PKI yang mempunyai banyak massa terutama di Sumatra. Penolakan
tersebut membuat Tan Malaka di cap sebagai pengikut Leon Trotsky yang juga sebagai
tokoh sentral perjuangan Revolusi Rusia. Walau begitu, beberapa aksi PKI justru terjadi
setelah pemberontakan di Jawa terjadi. Semisal Pemberontakan Silungkang di Sumatra.

Pada masa awal pelarangan ini, PKI berusaha untuk tidak menonjolkan diri, terutama
karena banyak dari pemimpinnya yang dipenjarakan. Pada 1935 pemimpin PKI Moeso
kembali dari pembuangan di Moskwa, Uni Soviet, untuk menata kembali PKI dalam
gerakannya di bawh tanah. Namun Moeso hanya tinggal sebentar di Indonesia. Kini PKI
bergerak dalam berbagai front, seperti misalnya Gerindo dan serikat-serikat buruh. Di
Belanda, PKI mulai bergerak di antara mahasiswa-mahasiswa Indonesia di kalangan
organisasi nasionalis, Perhimpoenan Indonesia , yang tak lama kemudian berada di dalam
kontrol PKI.

Peristiwa Madiun 1948


Page
27
Pada 8 Desember 1947 sampai 17 Januari 1948 pihak Republik Indonesia dan
pendudukan Belanda melakukan perundingan yang dikenal sebagai Perundingan Renville.
Hasil kesepakatan perundingan Renville dianggap menguntungkan posisi Belanda.
Sebaliknya,RI menjadi pihak yang dirugikan dengan semakin sempit wilayah yang
dimiliki.Oleh karena itu, kabinet Amir Syarifuddin diaggap merugikan bangsa, kabinet
tersebut dijatuhkan pada 23 Januari 1948. Ia terpaksa menyerahkan mandatnya kepada
presiden dan digantikan kabinet Hatta.

Selanjutnya Amir Syarifuddin membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) pada 28


Juni 1948. Kelompok politik ini berusaha menempatkan diri sebagai oposisi terhadap
pemerintahan dibawah kabinet Hatta. FDR bergabung dengan Partai Komunis Indonesia
(PKI) merencanakan suatu perebutan kekuasaan.

Beberapa aksi yang dijalankan kelompok ini diantaranya dengan melancarkan


propaganda antipemerintah, mengadakan demonstrasi-demonstrasi, pemogokan, menculik
dan membunuh lawan-lawan politik, serta menggerakkan kerusuhan dibeberapa tempat.

Sejalan dengan peristiwa itu, datanglah Muso seorang tokoh komunis yang sejak lama
berada di Moskow, Uni Soviet. Ia menggabungkan diri dengan Amir Syarifuddin untuk
menentang pemerintah, bahkan ia berhasil mengambil alih pucuk pimpinan PKI. Setelah itu,
ia dan kawan-kawannya meningkatkan aksi teror, mengadu domba kesatuan-kesatuan TNI
dan menjelek-jelekan kepemimpinan Soekarno-Hatta. Puncak aksi PKI adalah
pemberotakan terhadap RI pada 18 September 1948 di Madiun, Jawa Timur. Tujuan
pemberontakan itu adalah meruntuhkan negara RI dan menggantinya dengan negara
komunis. Dalam aksi ini beberapa pejabat, perwira TNI, pimpinan partai, alim ulama dan
rakyat yang dianggap musuh dibunuh dengan kejam. Tindakan kekejaman ini membuat
rakyat marah dan mengutuk PKI. Tokoh-tokoh pejuang dan pasukan TNI memang sedang
menghadapi Belanda, tetapi pemerintah RI mampu bertindak cepat. Panglima Besar
Soedirman memerintahkan Kolonel Gatot Subroto di Jawa Tengah dan Kolonel Sungkono
di Jawa Timur untuk menjalankan operasi penumpasan pemberontakan PKI. Pada 30
September 1948, Madiun dapat diduduki kembali oleh TNI dan polisi. Dalam operasi ini
Muso berhasil ditembak mati sedangkan Amir Syarifuddin dan tokoh-tokoh lainnya
ditangkap dan dijatuhi hukuman mati.

Bangkit kembali

Pada 1950, PKI memulai kembali kegiatan penerbitannya, dengan organ-organ


utamanya yaitu Harian Rakjat dan Bintang Merah. Pada 1950-an, PKI mengambil posisi
sebagai partai nasionalis di bawah pimpinan D.N. Aidit, dan mendukung kebijakan-
kebijakan anti kolonialis dan anti Barat yang diambil oleh Presiden Soekarno. Aidit dan
kelompok di sekitarnya, termasuk pemimpin-pemimpin muda seperti Sudisman, Lukman,
Njoto dan Sakirman, menguasai pimpinan partai pada 1951. Pada saat itu, tak satupun di
antara mereka yang berusia lebih dari 30 tahun. Di bawah Aidit, PKI berkembang dengan
sangat cepat, dari sekitar 3.000-5.000 anggota pada 1950, menjadi 165 000 pada 1954 dan
bahkan 1,5 juta pada 1959 [4]

Pada Agustus 1951, PKI memimpin serangkaian pemogokan militan, yang diikuti oleh
tindakan-tindakan tegas terhadap PKI di Medan dan Jakarta. Akibatnya, para pemimpin PKI
kembali bergerak di bawah tanah untuk sementara waktu.

Page
28
Pemilu 1955

Pada Pemilu 1955, PKI menempati tempat ke empat dengan 16% dari keseluruhan
suara. Partai ini memperoleh 39 kursi (dari 257 kursi yang diperebutkan) dan 80 dari 514
kursi di Konstituante.

Pada Juli 1957, kantor PKI di Jakarta diserang dengan granat. Pada bulan yang sama
PKI memperoleh banyak kemajuan dalam pemilihan-pemilihan di beberapa kota. Pada
September 1957, Masjumi secara terbuka menuntut supaya PKI dilarang.

Pada 3 Desember 1957, serikat-serikat buruh yang pada umumnya berada di bawah
pengaruh PKI, mulai menguasai perusahaan-perusahaan milik Belanda. Penguasaan ini
merintis nasionalisasi atas perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh asing. Perjuangan
melawan para kapitalis asing memberikan PKI kesempatan untuk menampilkan diri sebagai
sebuah partai nasional.

Pada Februari 1958 terjadi sebuah upaya koreksi terhadap kebijakan Sukarno yang
mulai condong ke timur di kalangan militer dan politik sayap kanan. Mereka juga menuntut
agar pemerintah pusat konsisten dalam melaksanakan UUDS 1950, selain itu pembagian
hasil bumi yang tidak merata antara pusat dan daerah menjadi pemicu. Gerakan yang
berbasis di Sumatera dan Sulawesi, mengumumkan pada 15 Februari 1958 telah terbentuk
Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Pemerintahan yang disebut
revolusioner ini segera menangkapi ribuan kader PKI di wilayah-wilayah yang berada di
bawah kontrol mereka. PKI mendukung upaya-upaya Soekarno untuk memadamkan
gerakan ini, termasuk pemberlakuan Undang-Undang Darurat. Gerakan ini pada akhirnya
berhasil dipadamkan.

Pada 1959, militer berusaha menghalangi diselenggarakannya kongres PKI. Namun


demikian, kongres ini berlangsung sesuai dengan jadwal dan Presiden Soekarno sendiri
memberi angin pada komunis dalam sambutannya. Pada 1960, Soekarno melancarkan
slogan Nasakom yang merupakan singkatan dari Nasionalisme, Agama, dan Komunisme.
Dengan demikian peranan PKI sebagai mitra dalam politik Soekarno dilembagakan. PKI
membalasnya dengan menanggapi konsep Nasakom secara positif, dan melihatnya sebagai
sebuah front bersatu yang multi-kelas.

Ketika gagasan tentang Malaysia berkembang, PKI maupun Partai Komunis Malaya
menolaknya.

Dengan berkembangnya dukungan dan keanggotaan yang mencapai 3 juta orang pada
1965, PKI menjadi partai komunis terkuat di luar Uni Soviet dan RRC. Partai itu mempunyai
basis yang kuat dalam sejumlah organisasi massa, seperti SOBSI (Sentral Organisasi Buruh
Seluruh Indonesia), Pemuda Rakjat, Gerwani, Barisan Tani Indonesia (BTI), Lembaga
Kebudajaan Rakjat (Lekra) dan Himpunan Sardjana Indonesia (HSI). Menurut perkiraan
seluruh anggota partai dan organisasi-organisasi yang berada di bawah payungnya mungkin
mencapai seperlima dari seluruh rakyat Indonesia.

Pada Maret 1962, PKI bergabung dengan pemerintah. Para pemimpin PKI, Aidit dan
Njoto, diangkat menjadi menteri penasihat. Pada bulan April 1962, PKI menyelenggarakan
kongres partainya. Pada 1963, pemerintah Malaysia, Indonesia dan Filipina terlibat dalam
pembahasan tentang pertikaian wilayah dan kemungkinan tentang pembentukan sebuah
Page
29
Konfederasi Maphilindo, sebuah gagasan yang dikemukakan oleh presiden Filipina,
Diosdado Macapagal. PKI menolak gagasan pembentukan Maphilindo dan federasi
Malaysia. Para anggota PKI yang militan menyeberang masuk ke Malaysia dan terlibat
dalam pertempuran-pertempuran dengan pasukan-pasukan Inggris dan Australia. Sebagian
kelompok berhasil mencapai Malaysia lalu bergabung dalam perjuangan di sana. Namun
demikian kebanyakan dari mereka ditangkap begitu tiba.

Salah satu hal yang sangat aneh yang dilakukan PKI adalah dengan diusulkannya Angkatan
ke-5 yang terdiri dari buruh dan petani, kemungkinan besar PKI ingin mempunyai semacam
militer partai seperti Partai Komunis Cina dan Nazi dengan SS nya. Hal inilah yang
membuat TNI AD merasa khawatir takut adanya penyelewengan senjata yang dilakukan
PKI dengan "tentaranya".

Isu masalah tanah dan bagi hasil

Pada tahun 1960 keluarlah Undang-Undang Pokok Agraria (UU Pokok Agraria) dan
Undang-Undang Pokok Bagi Hasil (UU Bagi Hasil) yang sebenarnya merupakan kelanjutan
dari Panitia Agraria yang dibentuk pada tahun 1948. Panitia Agraria yang menghasilkan
UUPA terdiri dari wakil pemerintah dan wakil berbagai ormas tani yang mencerminkan 10
kekuatan partai politik pada masa itu. Walaupun undang-undangnya sudah ada namun
pelaksanaan di daerah tidak jalan sehingga menimbulkan gesekan antara para petani
penggarap dengan pihak pemilik tanah yang takut terkena UUPA, melibatkan sebagian
massa pengikutnya dengan melibatkan backing aparat keamanan. Peristiwa yang menonjol
dalam rangka ini antara lain peristiwa Bandar Betsi di Sumatera Utara dan peristiwa di
Klaten yang disebut sebagai ‘aksi sepihak’ dan kemudian digunakan sebagai dalih oleh
militer untuk membersihkannya.

Keributan antara PKI dan Islam (tidak hanya NU, tapi juga dengan Persis dan
Muhammadiyah) itu pada dasarnya terjadi di hampir semua tempat di Indonesia, di Jawa
Barat, Jawa Timur, dan di propinsi-propinsi lain juga terjadi hal demikian, PKI di beberapa
tempat bahkan sudah mengancam kyai-kyai bahwa mereka akan disembelih setelah tanggal
30 September 1965 (hal ini membuktikan bahwa seluruh elemen PKI mengetahui rencana
kudeta 30 September tersebut).

Faktor Malaysia

Negara Federasi Malaysia yang baru terbentuk pada tanggal 16 September 1963
adalah salah satu faktor penting dalam insiden ini. Konfrontasi Indonesia-Malaysia
merupakan salah satu penyebab kedekatan Presiden Soekarno dengan PKI, menjelaskan
motivasi para tentara yang menggabungkan diri dalam gerakan G30S/Gestok (Gerakan Satu
Oktober), dan juga pada akhirnya menyebabkan PKI melakukan penculikan petinggi
Angkatan Darat.


Sejak demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur, di mana para demonstran
menyerbu gedung KBRI, merobek-robek foto Soekarno, membawa lambang
negara Garuda Pancasila ke hadapan Tunku Abdul Rahman—Perdana ”
Page
30
Menteri Malaysia saat itu—dan memaksanya untuk menginjak Garuda,
amarah Soekarno terhadap Malaysia pun meledak.

Soekarno yang murka karena hal itu mengutuk tindakan Tunku yang menginjak-injak
lambang negara Indonesia dan ingin melakukan balas dendam dengan melancarkan gerakan
yang terkenal dengan sebutan "Ganyang Malaysia" kepada negara Federasi Malaysia yang
telah sangat menghina Indonesia dan presiden Indonesia. Perintah Soekarno kepada
Angkatan Darat untuk meng"ganyang Malaysia" ditanggapi dengan dingin oleh para
jenderal pada saat itu. Di satu pihak Letjen Ahmad Yani tidak ingin melawan Malaysia yang
dibantu oleh Inggris dengan anggapan bahwa tentara Indonesia pada saat itu tidak memadai
untuk peperangan dengan skala tersebut, sedangkan di pihak lain Kepala Staf TNI Angkatan
Darat A.H. Nasution setuju dengan usulan Soekarno karena ia mengkhawatirkan isu
Malaysia ini akan ditunggangi oleh PKI untuk memperkuat posisinya di percaturan politik
di Indonesia.

Posisi Angkatan Darat pada saat itu serba salah karena di satu pihak mereka tidak
yakin mereka dapat mengalahkan Inggris, dan di lain pihak mereka akan menghadapi
Soekarno yang mengamuk jika mereka tidak berperang. Akhirnya para pemimpin Angkatan
Darat memilih untuk berperang setengah hati di Kalimantan. Tak heran, Brigadir Jenderal
Suparjo, komandan pasukan di Kalimantan Barat, mengeluh, konfrontasi tak dilakukan
sepenuh hati dan ia merasa operasinya disabotase dari belakang[3]. Hal ini juga dapat dilihat
dari kegagalan operasi gerilya di Malaysia, padahal tentara Indonesia sebenarnya sangat
mahir dalam peperangan gerilya.

Mengetahui bahwa tentara Indonesia tidak mendukungnya, Soekarno merasa kecewa


dan berbalik mencari dukungan PKI untuk melampiaskan amarahnya kepada Malaysia.
Soekarno, seperti yang ditulis di otobiografinya, mengakui bahwa ia adalah seorang yang
memiliki harga diri yang sangat tinggi, dan tidak ada yang dapat dilakukan untuk mengubah
keinginannya meng"ganyang Malaysia".


Soekarno adalah seorang individualis. Manusia jang tjongkak dengan suara-
batin yang menjala-njala, manusia jang mengakui bahwa ia mentjintai dirinja
sendiri tidak mungkin mendjadi satelit jang melekat pada bangsa lain.
Soekarno tidak mungkin menghambakan diri pada dominasi kekuasaan
manapun djuga. Dia tidak mungkin menjadi boneka. ”
Di pihak PKI, mereka menjadi pendukung terbesar gerakan "ganyang Malaysia" yang
mereka anggap sebagai antek Inggris, antek nekolim. PKI juga memanfaatkan kesempatan
itu untuk keuntungan mereka sendiri, jadi motif PKI untuk mendukung kebijakan Soekarno
tidak sepenuhnya idealis.

Pada saat PKI memperoleh angin segar, justru para penentangnyalah yang
menghadapi keadaan yang buruk; mereka melihat posisi PKI yang semakin menguat sebagai
suatu ancaman, ditambah hubungan internasional PKI dengan Partai Komunis sedunia,
khususnya dengan adanya poros Jakarta-Beijing-Moskow-Pyongyang-Phnom Penh.
Soekarno juga mengetahui hal ini, namun ia memutuskan untuk mendiamkannya karena ia
masih ingin meminjam kekuatan PKI untuk konfrontasi yang sedang berlangsung, karena

Page
31
posisi Indonesia yang melemah di lingkungan internasional sejak keluarnya Indonesia dari
PBB (20 Januari 1965).

Dari sebuah dokumen rahasia badan intelejen Amerika Serikat (CIA) yang baru
dibuka yang bertanggalkan 13 Januari 1965 menyebutkan sebuah percakapan santai
Soekarno dengan para pemimpin sayap kanan bahwa ia masih membutuhkan dukungan PKI
untuk menghadapi Malaysia dan oleh karena itu ia tidak bisa menindak tegas mereka.
Namun ia juga menegaskan bahwa suatu waktu "giliran PKI akan tiba. "Soekarno berkata,
"Kamu bisa menjadi teman atau musuh saya. Itu terserah kamu. ... Untukku, Malaysia itu
musuh nomor satu. Suatu saat saya akan membereskan PKI, tetapi tidak sekarang.”

Dari pihak Angkatan Darat, perpecahan internal yang terjadi mulai mencuat ketika
banyak tentara yang kebanyakan dari Divisi Diponegoro yang kesal serta kecewa kepada
sikap petinggi Angkatan Darat yang takut kepada Malaysia, berperang hanya dengan
setengah hati, dan berkhianat terhadap misi yang diberikan Soekarno. Mereka memutuskan
untuk berhubungan dengan orang-orang dari PKI untuk membersihkan tubuh Angkatan
Darat dari para jenderal ini.

Gerakan 30 September

Alasan utama tercetusnya peristiwa G30S disebabkan sebagai suatu upaya pada
melawan apa yang disebut "rencana Dewan Jenderal hendak melakukan coup d‘etat terhadap
Presiden Sukarno“.[April 2010]

Aktivitas PKI dirasakan oleh kalangan politik, beberapa bulan menjelang Peristiwa
G30S, makin agresif. Meski pun tidak langsung menyerang Bung Karno, tapi serangan yang
sangat kasar misalnya terhadap apa yang disebut "kapitalis birokrat“[April 2010] terutama yang
bercokol di perusahaan-perusahaan negara, pelaksanaan UU Pokok Agraria yang tidak
menepati waktunya sehingga melahirkan "Aksi Sepihak“ dan istilah "7 setan desa“[April 2010],
serta serangan-serangan terhadap pelaksanaan Demokrasi Terpimpin yang dianggap hanya
bertitik berat kepada "kepemimpinan“-nya dan mengabaikan "demokrasi“-nya[April 2010],
adalah pertanda meningkatnya rasa superioritas PKI[April 2010], sesuai dengan statementnya
yang menganggap bahwa secara politik, PKI merasa telah berdominasi.[April 2010] Anggapan
bahwa partai ini berdominasi,pada akhirnya tidak lebih dari satu ilusi.[April 2010]

Ada pun Gerakan 30 September 1965, secara politik dikendalikan oleh sebuah Dewan
Militer yang diketuai oleh D.N. Aidit dengan wakilnya Kamaruzzaman (Syam), bermarkas
di rumah sersan (U) Suyatno di komplek perumahan AURI, di Pangkalan Udara Halim.
Sedang operasi militer dipimpin oleh kolonel A. Latief sebagai komandan SENKO (Sentral
Komando) yang bermarkas di Pangkalan Udara Halim dengan kegiatan operasi dikendalikan
dari gedung PENAS (Pemetaan Nasional), yang juga instansi AURI dan dari Tugu MONAS
(Monumen Nasional). Sedang pimpinan gerakan, adalah Letkol. Untung Samsuri.

Menurut keterangan, sejak dicetuskannya gerakan itu, Dewan Militer PKI mengambil
alih semua wewenang Politbiro, sehingga instruksi politik yang dianggap sah, hanyalah yang
bersumber dari Dewan Militer. Tapi setelah nampak bahwa gerakan akan mengalami
kegagalan, karena mekanisme pengorganisasiannya tidak berjalan sesuai dengan rencana,

Page
32
maka dewan ini tidak berfungsi lagi. Apa yang dikerjakan ialah bagaimana mencari jalan
menyelamatkan diri masing-masing. Aidit dengan bantuan AURI, terbang ke Yogyakarta,
sedang Syam segera menghilang dan tak bisa ditemui oleh teman-temannya yang
memerlukan instruksi mengenai gerakan selanjutnya.

Antara kebenaran dan manipulasi sejarah. Dalam konflik penafsiran dan kontroversi
narasi atas Peristiwa 30 September 1965 dan peranan PKI, klaim kebenaran bagaikan
pendulum yang berayun dari kiri ke kanan dan sebaliknya, sehingga membingungkan
masyarakat, terutama generasi baru yang masanya jauh sesudah peristiwa terjadi. Tetapi
perbedaan versi kebenaran terjadi sejak awal segera setelah terjadinya peristiwa.

Di tingkat internasional, Kantor Berita RRC (Republik Rakyat Cina), Xinhua,


memberikan versi bahwa Peristiwa 30 September 1965 adalah masalah internal Angkatan
Darat Indonesia yang kemudian diprovokasikan oleh dinas intelijen Barat sebagai upaya
percobaan kudeta oleh PKI.[April 2010]

Presiden Soekarno pun berkali-kali melakukan pembelaan bahwa PKI tidak terlibat
dalam peristiwa sebagai partai melainkan karena adanya sejumlah tokoh partai yang
keblinger dan terpancing oleh insinuasi Barat, lalu melakukan tindakan-tindakan, dan karena
itu Soekarno tidak akan membubarkan PKI. Kemudian, pimpinan dan sejumlah perwira
Angkatan Darat memberi versi keterlibatan PKI sepenuhnya, dalam penculikan dan
pembunuhan enam jenderal dan seorang perwira pertama AD pada tengah malam 30
September menuju dinihari 1 Oktober 1965. Versi ini segera diterima secara umum sesuai
fakta kasat mata yang terhidang dan ditopang pengalaman buruk bersama PKI dalam
kehidupan sosial dan politik pada tahun-tahun terakhir. Hanya saja harus diakui bahwa
sejumlah perwira penerangan telah menambahkan dramatisasi artifisial terhadap kekejaman,
melebihi peristiwa sesungguhnya (in factum). Penculikan dan kemudian pembunuhan para
jenderal menurut fakta memang sudah kejam, tetapi dramatisasi dengan pemaparan yang
hiperbolis dalam penyajian, telah memberikan efek mengerikan melampaui batas yang
mampu dibayangkan semula. Dan akhirnya, mengundang pembalasan yang juga tiada
taranya dalam penumpasan berdarah antar manusia di Indonesia.

Setelah berakhirnya masa kekuasaan formal Soeharto, muncul kesempatan untuk


menelaah bagian-bagian sejarah –khususnya mengenai Peristiwa 30 September 1965 dan
PKI yang dianggap kontroversial atau mengandung ketidakbenaran. Kesempatan itu
memang kemudian digunakan dengan baik, bukan saja oleh para sejarawan dalam batas
kompetensi kesejarahan, tetapi juga oleh mereka yang pernah terlibat dengan peristiwa atau
terlibat keanggotaan PKI. Bila sebelum ini penulisan versi penguasa sebelum reformasi
banyak dikecam karena di sana sini mengandung unsur manipulasi sejarah, ternyata pada
sisi sebaliknya di sebagian kalangan muncul pula kecenderungan manipulatif yang sama
yang bertujuan untuk memberi posisi baru dalam sejarah bagi PKI, yakni sebagai korban
politik semata. Pendulum sejarah kali ini diayunkan terlalu jauh ke kiri, setelah pada masa
sebelumnya diayunkan terlalu jauh ke kanan.

Terdapat sejumlah nuansa berbeda yang harus bisa dipisahkan satu sama lain dengan
cermat dan arif, dalam menghadapi masalah keterlibatan PKI pada peristiwa-peristiwa
politik sekitar 1965. Bahwa sejumlah tokoh utama PKI terlibat dalam Gerakan 30 September
1965 dan kemudian melahirkan Peristiwa 30 September 1965 –suatu peristiwa di mana enam
jenderal dan satu perwira pertama Angkatan Darat diculik dan dibunuh– sudah merupakan
fakta yang tak terbantahkan. Bahwa ada usaha merebut kekuasaan dengan pembentukan
Page
33
Dewan Revolusi yang telah mengeluarkan sejumlah pengumuman tentang pengambilalihan
kekuasaan, kasat mata, ada dokumen-dokumennya. Bahwa ada lika-liku politik dalam
rangka pertarungan kekuasaan sebagai latar belakang, itu adalah soal lain yang memang
perlu lebih diperjelas duduk masalah sebenarnya, dari waktu ke waktu, untuk lebih
mendekati kebenaran sesungguhnya. Proses mendekati kebenaran tak boleh dihentikan.
Bahwa dalam proses sosiologis berikutnya, akibat dorongan konflik politik maupun konflik
sosial yang tercipta terutama dalam kurun waktu Nasakom 1959-1965, terjadi malapetaka
berupa pembunuhan massal dalam perspektif pembalasan dengan anggota-anggota PKI
terutama sebagai korban, pun merupakan fakta sejarah. Ekses telah dibalas dengan ekses,
gejala diperangi dengan gejala.

Isu sakitnya Bung Karno

Sejak tahun 1964 sampai menjelang meletusnya G30S telah beredar isu sakit parahnya
Bung Karno. Hal ini meningkatkan kasak-kusuk dan isu perebutan kekuasaan apabila Bung
Karno meninggal dunia. Namun menurut Subandrio, Aidit tahu persis bahwa Bung Karno
hanya sakit ringan saja, jadi hal ini bukan merupakan alasan PKI melakukan tindakan
tersebut.

Angkatan kelima

Pada kunjungan Menlu Subandrio ke Tiongkok, Perdana Menteri Zhou Enlai


menjanjikan 100.000 pucuk senjata jenis chung, penawaran ini gratis tanpa syarat dan
kemudian dilaporkan ke Bung Karno tetapi belum juga menetapkan waktunya sampai
meletusnya G30S.

Pada awal tahun 1965 Bung Karno atas saran dari PKI akibat dari tawaran perdana
mentri RRC, mempunyai ide tentang Angkatan Kelima yang berdiri sendiri terlepas dari
ABRI. Tetapi petinggi Angkatan Darat tidak setuju dan hal ini lebih menimbulkan nuansa
curiga-mencurigai antara militer dan PKI.

Dari tahun 1963, kepemimpinan PKI makin lama makin berusaha memprovokasi
bentrokan-bentrokan antara aktivis massanya dan polisi dan militer. Pemimpin-pemimpin
PKI juga menginfiltrasi polisi dan tentara denga slogan "kepentingan bersama" polisi dan
"rakyat". Pemimpin PKI DN Aidit mengilhami slogan "Untuk Ketentraman Umum Bantu
Polisi". Di bulan Agustus 1964, Aidit menganjurkan semua anggota PKI membersihkan diri
dari "sikap-sikap sektarian" kepada angkatan bersenjata, mengimbau semua pengarang dan
seniman sayap-kiri untuk membuat "massa tentara" subjek karya-karya mereka.

Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ribuan petani bergerak merampas tanah yang bukan
hak mereka atas hasutan PKI. Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka dan polisi
dan para pemilik tanah.

Bentrokan-bentrokan tersebut dipicu oleh propaganda PKI yang menyatakan bahwa


petani berhak atas setiap tanah, tidak peduli tanah siapapun (milik negara = milik bersama).
Kemungkinan besar PKI meniru revolusi Bolsevik di Rusia, di mana di sana rakyat dan
partai komunis menyita milik Tsar dan membagi-bagikannya kepada rakyat.

Pada permulaan 1965, para buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan karet dan
minyak milik Amerika Serikat. Kepemimpinan PKI menjawab ini dengan memasuki
Page
34
pemerintahan dengan resmi. Pada waktu yang sama, jenderal-jenderal militer tingkat tinggi
juga menjadi anggota kabinet. Jendral-jendral tersebut masuk kabinet karena jabatannya di
militer oleh Sukarno disamakan dengan setingkat mentri. Hal ini dapat dibuktikan dengan
nama jabatannya (Menpangab, Menpangad, dan lain-lain).

Menteri-menteri PKI tidak hanya duduk di sebelah para petinggi militer di dalam
kabinet Sukarno ini, tetapi mereka terus mendorong ilusi yang sangat berbahaya bahwa
angkatan bersenjata adalah merupakan bagian dari revolusi demokratis "rakyat".

Aidit memberikan ceramah kepada siswa-siswa sekolah angkatan bersenjata di mana


ia berbicara tentang "perasaan kebersamaan dan persatuan yang bertambah kuat setiap hari
antara tentara Republik Indonesia dan unsur-unsur masyarakat Indonesia, termasuk para
komunis".

Rezim Sukarno mengambil langkah terhadap para pekerja dengan melarang aksi-aksi
mogok di industri. Kepemimpinan PKI tidak berkeberatan karena industri menurut mereka
adalah milik pemerintahan NASAKOM.

Tidak lama PKI mengetahui dengan jelas persiapan-persiapan untuk pembentukan


rezim militer, menyatakan keperluan untuk pendirian "angkatan kelima" di dalam angkatan
bersenjata, yang terdiri dari pekerja dan petani yang bersenjata. Bukannya memperjuangkan
mobilisasi massa yang berdiri sendiri untuk melawan ancaman militer yang sedang
berkembang itu, kepemimpinan PKI malah berusaha untuk membatasi pergerakan massa
yang makin mendalam ini dalam batas-batas hukum kapitalis negara. Mereka, depan jendral-
jendral militer, berusaha menenangkan bahwa usul PKI akan memperkuat negara. Aidit
menyatakan dalam laporan ke Komite Sentral PKI bahwa "NASAKOMisasi" angkatan
bersenjata dapat dicapai dan mereka akan bekerjasama untuk menciptakan "angkatan
kelima". Kepemimpinan PKI tetap berusaha menekan aspirasi revolusioner kaum buruh di
Indonesia. Di bulan Mei 1965, Politbiro PKI masih mendorong ilusi bahwa aparatus militer
dan negara sedang diubah untuk mengecilkan aspek anti-rakyat dalam alat-alat negara.

Faktor Amerika Serikat

Amerika Serikat pada waktu itu sedang terlibat dalam perang Vietnam dan berusaha
sekuat tenaga agar Indonesia tidak jatuh ke tangan komunisme. Peranan badan intelejen
Amerika Serikat (CIA) pada peristiwa ini sebatas memberikan 50 juta rupiah (uang saat itu)
kepada Adam Malik dan walkie-talkie serta obat-obatan kepada tentara Indonesia. Politisi
Amerika pada bulan-bulan yang menentukan ini dihadapkan pada masalah yang
membingungkan karena mereka merasa ditarik oleh Sukarno ke dalam konfrontasi
Indonesia-Malaysia ini.

Salah satu pandangan mengatakan bahwa peranan Amerika Serikat dalam hal ini tidak
besar, hal ini dapat dilihat dari telegram Duta Besar Green ke Washington pada tanggal 8
Agustus 1965 yang mengeluhkan bahwa usahanya untuk melawan propaganda anti-Amerika
di Indonesia tidak memberikan hasil bahkan tidak berguna sama sekali. Dalam telegram
kepada Presiden Johnson tanggal 6 Oktober, agen CIA menyatakan ketidakpercayaan
kepada tindakan PKI yang dirasa tidak masuk akal karena situasi politis Indonesia yang
sangat menguntungkan mereka, dan hingga akhir Oktober masih terjadi kebingungan atas
pembantaian di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali dilakukan oleh PKI atau NU/PNI.

Page
35
Pandangan lain, terutama dari kalangan korban dari insiden ini, menyebutkan bahwa
Amerika menjadi aktor di balik layar dan setelah dekrit Supersemar Amerika memberikan
daftar nama-nama anggota PKI kepada militer untuk dibunuh. Namun hingga saat ini kedua
pandangan tersebut tidak memiliki banyak bukti-bukti fisik.

Faktor ekonomi

Ekonomi masyarakat Indonesia pada waktu itu yang sangat rendah mengakibatkan
dukungan rakyat kepada Soekarno (dan PKI) meluntur. Mereka tidak sepenuhnya
menyetujui kebijakan "ganyang Malaysia" yang dianggap akan semakin memperparah
keadaan Indonesia.

Inflasi yang mencapai 650% membuat harga makanan melambung tinggi, rakyat
kelaparan dan terpaksa harus antri beras, minyak, gula, dan barang-barang kebutuhan pokok
lainnya. Beberapa faktor yang berperan kenaikan harga ini adalah keputusan Suharto-
Nasution untuk menaikkan gaji para tentara 500% dan penganiayaan terhadap kaum
pedagang Tionghoa yang menyebabkan mereka kabur. Sebagai akibat dari inflasi tersebut,
banyak rakyat Indonesia yang sehari-hari hanya makan bonggol pisang, umbi-umbian,
gaplek, serta bahan makanan yang tidak layak dikonsumsi lainnya; pun mereka
menggunakan kain dari karung sebagai pakaian mereka.

Faktor ekonomi ini menjadi salah satu sebab kemarahan rakyat atas pembunuhan
keenam jenderal tersebut, yang berakibat adanya backlash terhadap PKI dan pembantaian
orang-orang yang dituduh anggota PKI di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali serta tempat-
tempat lainnya.

Peristiwa
Pada 1 Oktober 1965 dini hari, enam jenderal senior dan beberapa orang lainnya
dibunuh dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal istana (Cakrabirawa)
yang dianggap loyal kepada PKI dan pada saat itu dipimpin oleh Letkol. Untung. Panglima
Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto kemudian mengadakan
penumpasan terhadap gerakan tersebut.

Isu Dewan Jenderal

Pada saat-saat yang genting sekitar bulan September 1965 muncul isu adanya Dewan
Jenderal yang mengungkapkan adanya beberapa petinggi Angkatan Darat yang tidak puas
terhadap Soekarno dan berniat untuk menggulingkannya. Menanggapi isu ini, Soekarno
disebut-sebut memerintahkan pasukan Cakrabirawa untuk menangkap dan membawa
mereka untuk diadili oleh Soekarno. Namun yang tidak diduga-duga, dalam operasi
penangkapan jenderal-jenderal tersebut, terjadi tindakan beberapa oknum yang termakan
emosi dan membunuh Letjen Ahmad Yani, Panjaitan, dan Harjono.

Isu Dokumen Gilchrist

Dokumen Gilchrist yang diambil dari nama duta besar Inggris untuk Indonesia
Andrew Gilchrist beredar hampir bersamaan waktunya dengan isu Dewan Jenderal.
Dokumen ini, yang oleh beberapa pihak disebut sebagai pemalsuan oleh intelejen Ceko di

Page
36
bawah pengawasan Jenderal Agayant dari KGB Rusia, menyebutkan adanya "Teman
Tentara Lokal Kita" yang mengesankan bahwa perwira-perwira Angkatan Darat telah dibeli
oleh pihak Barat[4]. Kedutaan Amerika Serikat juga dituduh memberikan daftar nama-nama
anggota PKI kepada tentara untuk "ditindaklanjuti". Dinas intelejen Amerika Serikat
mendapat data-data tersebut dari berbagai sumber, salah satunya seperti yang ditulis John
Hughes, wartawan The Nation yang menulis buku "Indonesian Upheaval", yang dijadikan
basis skenario film "The Year of Living Dangerously", ia sering menukar data-data apa yang
ia kumpulkan untuk mendapatkan fasilitas teleks untuk mengirimkan berita.

Isu Keterlibatan Soeharto

Hingga saat ini tidak ada bukti keterlibatan/peran aktif Soeharto dalam aksi penculikan
tersebut. Satu-satunya bukti yang bisa dielaborasi adalah pertemuan Soeharto yang saat itu
menjabat sebagai Pangkostrad (pada zaman itu jabatan Panglima Komando Strategis
Cadangan Angkatan Darat tidak membawahi pasukan, berbeda dengan sekarang) dengan
Kolonel Abdul Latief di Rumah Sakit Angkatan Darat.

Meski demikian, Suharto merupakan pihak yang paling diuntungkan dari peristiwa
ini. Banyak penelitian ilmiah yang sudah dipublikasikan di jurnal internasional mengungkap
keterlibatan Suharto dan CIA. Beberapa diantaranya adalah, Cornell Paper, karya Benedict
R.O'G. Anderson and Ruth T. McVey (Cornell University), Ralph McGehee (The
Indonesian Massacres and the CIA), Government Printing Office of the US (Department of
State, INR/IL Historical Files, Indonesia, 1963-1965. Secret; Priority; Roger Channel;
Special Handling), John Roosa (Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement
and Suharto's Coup d'État in Indonesia), Prof. Dr. W.F. Wertheim (Serpihan Sejarah Th65
yang Terlupakan).

Korban

Keenam pejabat tinggi yang dibunuh tersebut adalah:

 Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando


Operasi Tertinggi)
 Mayjen TNI Raden Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD bidang Administrasi)
 Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD bidang
Perencanaan dan Pembinaan)
 Mayjen TNI Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen)
 Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik)
 Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan
Darat)

Jenderal TNI Abdul Harris Nasution yang menjadi sasaran utama, selamat dari upaya
pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan beliau,
Lettu CZI Pierre Andreas Tendean tewas dalam usaha pembunuhan tersebut.

Selain itu beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban:

 Bripka Karel Satsuit Tubun (Pengawal kediaman resmi Wakil Perdana Menteri II dr.J.
Leimena)
 Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)
Page
37
 Letkol Sugiyono Mangunwiyoto (Kepala Staf Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)

Para korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang
dikenal sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober.

Pasca Kejadian

Pasca pembunuhan beberapa perwira TNI AD, PKI mampu menguasai dua sarana
komunikasi vital, yaitu studio RRI di Jalan Merdeka Barat dan Kantor Telekomunikasi yang
terletak di Jalan Merdeka Selatan. Melalui RRI, PKI menyiarkan pengumuman tentang
Gerakan 30 September yang ditujukan kepada para perwira tinggi anggota “Dewan
Jenderal” yang akan mengadakan kudeta terhadap pemerintah. Diumumkan pula
terbentuknya “Dewan Revolusi” yang diketuai oleh Letkol Untung Sutopo.

Di Jawa Tengah dan DI. Yogyakarta, PKI melakukan pembunuhan terhadap Kolonel
Katamso (Komandan Korem 072/Yogyakarta) dan Letnan Kolonel Sugiyono (Kepala Staf
Korem 072/Yogyakarta). Mereka diculik PKI pada sore hari 1 Oktober 1965. Kedua perwira
ini dibunuh karena secara tegas menolak berhubungan dengan Dewan Revolusi. Pada
tanggal 1 Oktober 1965 Sukarno dan sekretaris jendral PKI Aidit menanggapi pembentukan
Dewan Revolusioner oleh para "pemberontak" dengan berpindah ke Pangkalan Angkatan
Udara Halim di Jakarta untuk mencari perlindungan.

Pada tanggal 6 Oktober Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan "persatuan


nasional", yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya, dan penghentian
kekerasan. Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota dan
organisasi-organisasi massa untuk mendukung "pemimpin revolusi Indonesia" dan tidak
melawan angkatan bersenjata. Pernyataan ini dicetak ulang di koran CPA bernama
"Tribune".

Pada tanggal 12 Oktober 1965, pemimpin-pemimpin Uni-Soviet Brezhnev, Mikoyan


dan Kosygin mengirim pesan khusus untuk Sukarno: "Kita dan rekan-rekan kita bergembira
untuk mendengar bahwa kesehatan anda telah membaik...Kita mendengar dengan penuh
minat tentang pidato anda di radio kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap tenang dan
menghindari kekacauan...Imbauan ini akan dimengerti secara mendalam."

Pada tanggal 16 Oktober 1965, Sukarno melantik Mayjen Suharto menjadi


Menteri/Panglima Angkatan Darat di Istana Negara. Berikut kutipan amanat presiden
Sukarno kepada Suharto pada saat Suharto disumpah[5]:


Saya perintahkan kepada Jenderal Mayor Soeharto, sekarang Angkatan Darat
pimpinannya saya berikan kepadamu, buatlah Angkatan Darat ini satu
Angkatan dari pada Republik Indonesia, Angkatan Bersenjata daripada
Republik Indonesia yang sama sekali menjalankan Panca Azimat Revolusi,
yang sama sekali berdiri di atas Trisakti, yang sama sekali berdiri di atas
Nasakom, yang sama sekali berdiri di atas prinsip Berdikari, yang sama sekali
berdiri atas prinsip Manipol-USDEK.

Page
38
Manipol-USDEK telah ditentukan oleh lembaga kita yang tertinggi sebagai
haluan negara Republik Indonesia. Dan oleh karena Manipol-USDEK ini
adalah haluan daripada negara Republik Indonesia, maka dia harus dijunjung
tinggi, dijalankan, dipupuk oleh semua kita. Oleh Angkatan Darat, Angkatan
Laut, Angkatan Udara, Angkatan Kepolisian Negara. Hanya jikalau kita
berdiri benar-benar di atas Panca Azimat ini, kita semuanya, maka barulah
revousi kita bisa jaya.

Soeharto, sebagai panglima Angkatan Darat, dan sebagai Menteri dalam


kabinetku, saya perintahkan engkau, kerjakan apa yang kuperintahkan
kepadamu dengan sebaik-baiknya. Saya doakan Tuhan selalu beserta kita dan
beserta engkau!

Dalam sebuah Konferensi Tiga Benua di Havana di bulan Februari 1966, perwakilan
Uni-Sovyet berusaha dengan segala kemampuan mereka untuk menghindari pengutukan
atas penangkapan dan pembunuhan orang-orang yang dituduh sebagai PKI, yang sedang
terjadi terhadap rakyat Indonesia. Pendirian mereka mendapatkan pujian dari rejim Suharto.
Parlemen Indonesia mengesahkan resolusi pada tanggal 11 Februari, menyatakan
"penghargaan penuh" atas usaha-usaha perwakilan-perwakilan dari Nepal, Mongolia, Uni-
Sovyet dan negara-negara lain di Konperensi Solidaritas Negara-Negara Afrika, Asia dan
Amerika Latin, yang berhasil menetralisir usaha-usaha para kontra-revolusioner apa yang
dinamakan pergerakan 30 September, dan para pemimpin dan pelindung mereka, untuk
bercampur-tangan di dalam urusan dalam negeri Indonesia."

Penangkapan dan pembantaian

Dalam bulan-bulan setelah peristiwa ini, semua anggota dan pendukung PKI, atau
mereka yang dianggap sebagai anggota dan simpatisan PKI, semua partai kelas buruh yang
diketahui dan ratusan ribu pekerja dan petani Indonesia yang lain dibunuh atau dimasukkan
ke kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi
di Jawa Tengah (bulan Oktober), Jawa Timur (bulan November) dan Bali (bulan Desember).
Berapa jumlah orang yang dibantai tidak diketahui dengan persis - perkiraan yang
konservatif menyebutkan 500.000 orang, sementara perkiraan lain menyebut dua sampai
tiga juta orang. Namun diduga setidak-tidaknya satu juta orang menjadi korban dalam
bencana enam bulan yang mengikuti kudeta itu.

Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-


organisasi muslim sayap-kanan seperti barisan Ansor NU dan Tameng Marhaenis PNI
melakukan pembunuhan-pembunuhan massal, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Ada laporan-laporan bahwa Sungai Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat
sampai di tempat-tempat tertentu sungai itu "terbendung mayat".

Pada akhir 1965, antara 500.000 dan satu juta anggota-anggota dan pendukung-
pendukung PKI telah menjadi korban pembunuhan dan ratusan ribu lainnya dipenjarakan di
kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama sekali. Sewaktu regu-regu militer
yang didukung dana CIA menangkapi semua anggota dan pendukung PKI yang terketahui
dan melakukan pembantaian keji terhadap mereka, majalah "Time" memberitakan:

Page
39
"Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan dalam skala yang sedemikian sehingga
pembuangan mayat menyebabkan persoalan sanitasi yang serius di Sumatera Utara,
di mana udara yang lembap membawa bau mayat membusuk. Orang-orang dari
daerah-daerah ini bercerita kepada kita tentang sungai-sungai kecil yang benar-
benar terbendung oleh mayat-mayat. Transportasi sungai menjadi terhambat secara
serius."

Di pulau Bali, yang sebelum itu dianggap sebagai kubu PKI, paling sedikit 35.000
orang menjadi korban di permulaan 1966. Di sana para Tamin, pasukan komando elite Partai
Nasional Indonesia, adalah pelaku pembunuhan-pembunuhan ini. Koresponden khusus dari
Frankfurter Allgemeine Zeitung bercerita tentang mayat-mayat di pinggir jalan atau dibuang
ke dalam galian-galian dan tentang desa-desa yang separuh dibakar di mana para petani tidak
berani meninggalkan kerangka-kerangka rumah mereka yang sudah hangus.

Di daerah-daerah lain, para terdakwa dipaksa untuk membunuh teman-teman mereka


untuk membuktikan kesetiaan mereka. Di kota-kota besar pemburuan-pemburuan rasialis
"anti-Tionghoa" terjadi. Pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai pemerintah yang
mengadakan aksi mogok sebagai protes atas kejadian-kejadian kontra-revolusioner ini
dipecat.

Paling sedikit 250,000 orang pekerja dan petani dipenjarakan di kamp-kamp


konsentrasi. Diperkirakan sekitar 110,000 orang masih dipenjarakan sebagai tahanan politik
pada akhir 1969. Eksekusi-eksekusi masih dilakukan sampai sekarang, termasuk belasan
orang sejak tahun 1980-an. Empat tapol, Johannes Surono Hadiwiyino, Safar Suryanto,
Simon Petrus Sulaeman dan Nobertus Rohayan, dihukum mati hampir 25 tahun sejak
kudeta itu.

Supersemar

Lima bulan setelah itu, pada tanggal 11 Maret 1966, Sukarno memberi Suharto
kekuasaan tak terbatas melalui Surat Perintah Sebelas Maret. Ia memerintah Suharto untuk
mengambil "langkah-langkah yang sesuai" untuk mengembalikan ketenangan dan untuk
melindungi keamanan pribadi dan wibawanya. Kekuatan tak terbatas ini pertama kali
digunakan oleh Suharto untuk melarang PKI. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya,
Sukarno dipertahankan sebagai presiden tituler diktatur militer itu sampai Maret 1967.

Kepemimpinan PKI terus mengimbau massa agar menuruti kewenangan rejim


Sukarno-Suharto. Aidit, yang telah melarikan diri, ditangkap dan dibunuh oleh TNI pada
tanggal 24 November, tetapi pekerjaannya diteruskan oleh Sekretaris Kedua PKI Nyoto.

Pertemuan Jenewa, Swiss

Menyusul peralihan tampuk kekuasaan ke tangan Suharto, diselenggarakan pertemuan


antara para ekonom orde baru dengan para CEO korporasi multinasional di Swiss, pada
bulan Nopember 1967. Korporasi multinasional diantaranya diwakili perusahaan-
perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British
Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The
International Paper Corporation, US Steel, ICI, Leman Brothers, Asian Development Bank,
dan Chase Manhattan. Tim Ekonomi Indonesia menawarkan: tenaga buruh yang banyak dan
murah, cadangan dan sumber daya alam yang melimpah, dan pasar yang besar.
Page
40
Hal ini didokumentasikan oleh Jhon Pilger dalam film The New Rulers of World
(tersedia di situs video google) yang menggambarkan bagaimana kekayaan alam Indonesia
dibagi-bagi bagaikan rampasan perang oleh perusahaan asing pasca jatuhnya Soekarno.
Freeport mendapat emas di Papua Barat, Caltex mendapatkan ladang minyak di Riau, Mobil
Oil mendapatkan ladang gas di Natuna, perusahaan lain mendapat hutan tropis. Kebijakan
ekonomi pro liberal sejak saat itu diterapkan.

Peringatan

Sesudah kejadian tersebut, 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan Gerakan


30 September (G-30-S/PKI). Hari berikutnya, 1 Oktober, ditetapkan sebagai Hari Kesaktian
Pancasila. Pada masa pemerintahan Soeharto, biasanya sebuah film mengenai kejadian
tersebut juga ditayangkan di seluruh stasiun televisi di Indonesia setiap tahun pada tanggal
30 September. Selain itu pada masa Soeharto biasanya dilakukan upacara bendera di
Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya dan dilanjutkan dengan tabur bunga di makam
para pahlawan revolusi di TMP Kalibata. Namun sejak era Reformasi bergulir, film itu
sudah tidak ditayangkan lagi dan hanya tradisi tabur bunga yang dilanjutkan.

Pada 29 September - 4 Oktober 2006, para eks pendukung PKI mengadakan rangkaian
acara peringatan untuk mengenang peristiwa pembunuhan terhadap ratusan ribu hingga
jutaan jiwa di berbagai pelosok Indonesia. Acara yang bertajuk "Pekan Seni Budaya dalam
rangka memperingati 40 tahun tragedi kemanusiaan 1965" ini berlangsung di Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Indonesia, Depok. Selain civitas academica Universitas Indonesia,
acara itu juga dihadiri para korban tragedi kemanusiaan 1965, antara lain Setiadi, Murad
Aidit, Haryo Sasongko, dan Putmainah.

F. Partai Nasional Indonesia ( PNI )

Didirikan Oleh : Ir. Soekarno


Tempat / Tanggal : 4 Juli 1927
Sebelumnya : Perserikatan Nasional Indonesia
Ketua 1. Dr. Tjipto Mangunkusumo
2. Mr. Sartono
3. Mr Iskaq Tjokrohadisuryo
4. Mr Sunaryo
Tujuan : Tujuan PNI adalah kemerdekaan Indonesia, dan
tujuan itu akan dicapai dengan asas “percaya pada diri
sendiri”. Artinya: memperbaiki keadaan politik,
ekonomi, sosial, dan budaya yang sudah dirusak oleh
penjajahan, dengan kekuatan sendiri.

PNI atau Partai Nasional Indonesia adalah partai politik tertua di Indonesia. Partai
ini didirikan pada 4 Juli 1927 dengan nama Perserikatan Nasional Indonesia dengan
ketuanya pada saat itu adalah Dr. Tjipto Mangunkusumo, Mr. Sartono, Mr Iskaq
Tjokrohadisuryo dan Mr Sunaryo. PNI didirikan oleh Ir. Sukarno pada tahun 1927. Dengan
tiga asasnya, yaitu berdiri di atas kaki sendiri, nonkooperasi, dan marhaenisme, PNI
bertujuan mencapai Indonesia Merdeka.
Page
41
PNI didirikan di Bandung tanggal 4 Juli 1927 sebagai penjelmaan dari Algemene Studie Club.
Tokoh-tokoh pendirinya yaitu Ir. Soekarno, Dr. Tjiptomangunkusumo, Soejadi, Mr. Iskaq
Tjokrohadisuryo, Mr. Boediarto, Mr. Soenario, Mr. Sartono, dan Dr. Samsi. Dalam anggaran
dasarnya, tujuan PNI adalah mencapai Indonesia Merdeka. Asas PNI adalah self-help (menolong
diri sendiri) dan macht vorming (kekuatan sendiri); bersifat non-kooperatif dengan kaum imperialis.
Sedangkan ideologinya adalah marhaenisme (nama seorang petani di Bandung Selatan) yang
mendasarkan kekuatan pada rakyat kecil seperti petani, buruh, dan pedagang kecil yang mampu
berdikari dan tidak bergantung kepada orang lain. Asas PNI, mengadopsi dari ajaran atau gerakan
Mahatma Gandhi (swadesi, satyagraha, hartal), sedangkan ideologi Marhaen mengadopsi dari
gerakan proletariat kaum sosialis.
Karena kegiatannya yang antipenjajah, radikal, dan ekstrim (dimata Belanda), tokoh-
tokohnya sering diperingati dan dalam pengawasan polisi Hindia-Belanda. Pada tanggal 17-18
Desember 1927, PNI berhasil memelopori pembentukan PPPKI (Perhimpunan Perhimpunan Politik
Kebangsaan Indonesia). Pada tanggal 24 Desember 1929, pemerintah Hindia-Belanda menangkap
empat tokoh PNI, yaitu Ir. Soekarno, Maskoen Sumadireja, Gatot Mangkoepraja, dan Supriadinata.
Mereka ditangkap karena dituduh melakukan provokasi untuk melakukan pemberontakan kepada
Belanda. Di depan sidang Pengadilan Negeri (Landraad) Bandung, Ir. Soekarno mengajukan
pembelaannya yang berjudul “Indonesia Menggugat”.
Meskipun tidak ada bukti kongkrit untuk melakukan
pemberontakan, tetapi pada akhirnya ke empat tokoh PNI
tersebut dijatuhi hukuman penjara di penjara Sukamiskin,
Bandung.
Ditangkapnya tokoh-tokoh penting PNI (khususnya
Soekarno) oleh Belanda, Mr. Sartono mengambil inisiatif
membubarkan PNI, dengan alasan “untuk menghindari atau
mendahului vonis Belanda yang menetapkan PNI sebagai partai
terlarang”. Mr. Sartono kemudian mendirikan Partai Indonesia
(Partindo), sedangkan pemimpin lain yang tidak setuju terhadap
pembubaran PNI, mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia
(PNI-Baru) dengan tokoh-tokoh utamanya Drs. Moh. Hatta dan
Sutan Syahrir. Ketika keluar dari penjara, Ir. Soekarno akhirnya
memilih Partindo sebagai media gerakan politiknya.

Partai Nasional Indonesia (PNI) dibentuk di Bandung pada tanggal 4 Juli 1927 dengan
tokoh-tokohnya Ir. Soekarno, Iskaq, Budiarto, Cipto Mangunkusumo, Tilaar, Soedjadi, dan
Soenaryo. Dalam pengurus besar PNI, Ir. Soekarno ditunjuk sebagai ketua, Iskaq sebagai
sekretaris/bendahara, dan Dr. Samsi sebagai komisaris. Sementara itu dalam perekrutan
anggota disebutkan bahwa mantan anggota PKI tidak diperkenankan menjadi anggota PNI,
juga pegawai negeri yang memungkinkan berperan sebagai mata-mata pemerintah kolonial.
Ada dua macam cara yang dilakukan oleh PNI untuk memperkuat diri dan pengaruhnya di
dalam masyarakat, yaitu:

a. Usaha ke dalam: Usaha-usaha terhadap lingkungan sendiri, antara lain mengadakan


kursus-kursus, mendirikan sekolah-sekolah dan bank-bank.

b. Usaha ke luar: Dengan memeperkuat opini publik terhadap tujuan PNI, antara lain
melalui rapat-rapat umum dan menerbitkan surat kabar Benteng Priangan di Bandung
dan Persatuan Indonesia di Batavia.

Page
42
Peningkatan kegiatan rapat-rapat umum di cabang-cabang sejak bulan Mei 1929
menimbulkan suasana yang tegang. Pemerintah kolonial Belanda lebih banyak melakukan
pengawasan secara tegas terhadap kegiata-kegiatan PNI yang dianggap membahayakan
keamanan dan ketertiban. Sering kali polisi menghentikan pidato karena dianggap telah
menghasut rakyat.

Akhirnya pemerintah Hindia Belanda beranggapan bahwa tiba saatnya untuk


melakukan tindakan terhadap PNI. Bahkan Gubernur Jenderal de Graef telah mendapatkan
tekanan dari konservatif Belanda yang tergabung dalam Vanderlansche Club untuk
bertindak tegas karena mereka berkeyakinan bahwa PNI melanjutkan taktik PKI.

Pada tahun 1925, Ir. Soekarno mendirikan perkumpul-an Algeemene Studie Club di
Bandung. Atas insiatif perkumpulan ini maka pada tanggal 4 Juli 1927 berdirilah partai
politik baru yaitu Partai Nasional Indonesia. Para pendirinya adalah Ir. Soekarno, Dr. Tjipto
Mangunkusumo, Ir. Anwari, Mr. Sartono, Mr. Iskaq Tjokrohadisuryo, Mr. Sunaryo, Mr.
Budiarto, dan Dr. Samsi. Dari 8 orang pendiri ini, 5 orang merupakan mantan anggota
Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda.

Tujuan PNI adalah untuk mencapai Indonesia Merdeka. Adapun asasnya adalah Self
help, non kooperatif, dan marhaenisme. Pada waktu rapat di Bandung tanggal 17 – 18
Desember 1927, PNI dapat menggalang persatuan dengan Partai Sarekat Islam
Indonesia, Budi Utomo, Pasundan, Sumatranche Bond, Kaum Betawi, Indonesische
Studieclub, dan Algeemene Studieclub dengan membentuk Pemufakatan Perhimpunan-
Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPKI). Permufakatan ini bertujuan
menyatukan aksi dalam menghadapi imperialisme Belanda.

Dalam Kongres PNI yang pertama di Surabaya (27 – 30 Mei 1928) disahkan susunan
pengurus seperti berikut:

1) Ketua : Ir. Soekarno


2) Sekretaris/Bendahara: : Mr. Iskaq Tjokrohadisuryo
3) Anggota : Dr. Samsi Sastrowidagdo, Mr. Sartono, Mr. Sunaryo, dan Ir
Anwari.

Dalam kongres ini juga disahkan program kegiatan yang meliputi bidang politik,
ekonomi, dan sosial. Dengan program yang jelas diperkuat dengan propaganda-propaganda
Ir. Soekarno sebagai seorang ahli pidato, maka PNI dalam waktu singkat banyak
memperoleh dukungan massa mulai dari Jawa Barat sampai seluruh Jawa, Sumatera,
Kalimantan, dan Sulawesi.
Kongres PNI yang kedua tanggal 18 - 20 Mei 1929 di Jakarta, menetapkan untuk
memilih kembali pengurus PB PNI yang lama. Di samping itu juga memutuskan program
kegiatan di bidang ekonomi/sosial dan politik.
Di bidang ekonomi/sosial antara lain menyokong perkembangan Bank Nasional
Indonesia, mendirikan koperasi-koperasi, mendirikan sekolah-sekolah, rumah sakitrumah
sakit, dan lain-lain. Sedangkan di bidang politik, mengadakan hubungan dengan
Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda dan menunjuk Perhimpunan Indonesia sebagai
wakil PPPKI di luar negeri.
Melihat sepak terjang PNI yang gigih dan semakin memperoleh simpati rakyat
Indonesia, pemerintah kolonial Belanda menjadi semakin cemas. Pada akhir tahun
1929 tersebar desas-desus PNI akan melakukan pemberontakan pada awal tahun
Page
43
1930. Maka berdasarkan desas-desus ini pada tanggal 24 Desember 1929, pemerintah
Hindia Belanda mengadakan penggeledahan dan menangkap empat tokoh PNI, yaitu
Ir. Soekarno, Gatot Mangkuprodjo, Maskoen, dan Soepriadinata. Mereka diajukan
di depan pengadilan Bandung. Dalam proses peradilan itu Ir. Soekarno melakukan
pembelaan dengan judul ”Indonesia Menggugat” akan tetapi hakim kolonial tetap
menjatuhi hukum penjara kepada keempat tokoh ini. Bagaimana pendapatmu atas
nasib yang dialami para tokoh PNI tersebut?
Penangkapan terhadap para tokoh PNI merupakan pukulan berat dan
menggoyahkan partai. Pada kongres luar biasa tanggal 25 April 1931 diputuskan
untuk membubarkan PNI. Hal ini menyebabkan pro dan kontra. Mereka yang setuju
PNI dibubarkan mendirikan Partai Indonesia (Partindo) dipimpin Mr. Sartono.
Sedangkan yang tidak setuju PNI dibubarkan masuk ke dalam Pendidikan Nasional
Indonesia (PNI-Baru) dipimpin Moh. Hatta dan Syahrir.
1. Usaha Politik
Yaitu dengan cara memperkuat rasa kebangsaan persatuan dan kesatuan. Memajukan
pengetahuan sejarah kebangsaan, mempererat kerja sama dengan bangsa-bangsa Asia
dan menumpas segala perintang kemerdekaan dan kehidupan politik. Dalam bidamh
politik, PNI berhasil menghimpunorganisas-organisasi pergerakan lainnya ke dalam
suatu wadah yang disebut Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik
Kebangsaan Indonesia.
2. Usaha Ekonomi
Yaitu dengan memajukan perdagangan rakyat, kerajinan atau industri keci, bank-bank,
sekolah-sekolah, dan koperasi.
3. Usaha Sosial
Yaitu dengan memajukan pengajaran yang bersifat nasional, mengurangi
pengangguran, mengangkat derajat kaum wanita, meningkatkan transmigrasi dan
memperbaiki kesejahteraan rakyat.
Gerakan PNI dipimpin oleh tokoh-tokoh berbobot, seperti Ir. Soekarno, Mr. Ali
Sasrtoamijoyo, Mr. Sartono, yang berpengaruh luas di berbagai daerah di Indonesia. Ir.
Soekarno dengan keahliannya berpidato, berhasil menggerakkan rakyat sesuai dengan
tujuan PNI. Pengaruh PNI juga sangat terasa pada organisasi-organisasi pemuda hingga
melahirkan Sumpah Pemuda dan organisasi wanita yang melahirkan Kongres
Perempuan di Yogyakarta pada 22 Desember 1928.

Masa penjajahan Belanda

Masa ini disebut sebagai periode pertama lahirnya partai politik di Indoneisa (waktu
itu Hindia Belanda). Lahirnya partai menandai adanya kesadaran nasional. Pada masa itu
semua organisasi baik yang bertujuan sosial seperti Budi Utomo dan Muhammadiyah,

Page
44
ataupun yang berazaskan politik agama dan sekuler seperti Serikat Islam, PNI dan Partai
Katolik, ikut memainkan peranan dalam pergerakan nasional untuk Indonesia merdeka.

Kehadiran partai politik pada masa permulaan merupakan menifestasi kesadaran


nasional untuk mencapai kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Setelah didirikan Dewan
Rakyat , gerakan ini oleh beberapa partai diteruskan di dalam badan ini. Pada tahun 1939
terdapat beberapa fraksi di dalam Dewan Rakat, yaitu Fraksi Nasional di bawah pimpinan
M. Husni Thamin, PPBB (Perhimpunan Pegawai Bestuur Bumi Putera) di bawah pimpinan
Prawoto dan Indonesische Nationale Groep di bawah pimpinan Muhammad Yamin.

Di luar dewan rakyat ada usaha untuk mengadakan gabungan partai politik dan
menjadikannya semacam dewan perwakilan rakyat. Pada tahun 1939 dibentuk KRI (Komite
Rakyat Indoneisa) yang terdiri dari GAPI (Gabungan Politik Indonesia) yang merupakan
gabungan dari partai-partai yang beraliran nasional, MIAI (Majelis Islamil A―laa
Indonesia) yang merupakan gabungan partai-partai yang beraliran Islam yang terbentuk
tahun 1937, dan MRI (Majelis Rakyat Indonesia) yang merupakan gabungan organisasi
buruh.

Pada tahun 1939 di Hindia Belanda telah terdapat beberapa fraksi dalam volksraad
yaitu Fraksi Nasional, Perhimpunan Pegawai Bestuur Bumi-Putera, dan Indonesische
Nationale Groep. Sedangkan di luar volksraad ada usaha untuk mengadakan gabungan dari
Partai-Partai Politik dan menjadikannya semacam dewan perwakilan nasional yang disebut
Komite Rakyat Indonesia (K.R.I). Di dalam K.R.I terdapat Gabungan Politik Indonesia
(GAPI), Majelisul Islami A'laa Indonesia (MIAI) dan Majelis Rakyat Indonesia (MRI).
Fraksi-fraksi tersebut di atas adalah merupakan partai politik - partai politik yang pertama
kali terbentuk di Indonesia.

Masa pendudukan Jepang

Pada masa ini, semua kegiatan partai politik dilarang, hanya golongan Islam diberi
kebebasan untuk membentuk partai Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Partai
Masyumi), yang lebih banyak bergerak di bidang sosial.

Propaganda PNI di tahun 1920-an

 1927 - Didirikan di Bandung oleh para tokoh nasional seperti Dr. Tjipto
Mangunkusumo, Mr. Sartono, Mr Iskaq Tjokrohadisuryo dan Mr Sunaryo. Selain itu
para pelajar yang tergabung dalam Algemeene Studie Club yang diketuai oleh Ir.
Soekarno turut pula bergabung dengan partai ini.
 1928 - Berganti nama dari Perserikatan Nasional Indonesia menjadi Partai Nasional
Indonesia
 1929 - PNI dianggap membahayakan Belanda karena menyebarkan ajaran-ajaran
pergerakan kemerdekaan sehingga Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan perintah
penangkapan pada tanggal 24 Desember 1929. Penangkapan baru dilakukan pada
tanggal 29 Desember 1929 terhadap tokoh-tokoh PNI di Yogyakarta seperti Soekarno,
Gatot Mangkupraja, Soepriadinata dan Maskun Sumadiredja

Page
45
 1930 - Pengadilan para tokoh yang ditangkap ini dilakukan pada tanggal 18 Agustus
1930. Setelah diadili di pengadilan Belanda maka para tokoh ini dimasukkan dalam
penjara Sukamiskin, Bandung.[3] Dalam masa pengadilan ini Ir. Soekarno menulis
pidato "Indonesia Menggugat" dan membacakannya di depan pengadilan sebagai
gugatannya.
 1931 - Pimpinan PNI, Ir. Soekarno diganti oleh Mr. Sartono. Mr. Sartono kemudian
membubarkan PNI dan membentuk Partindo pada tanggal 25 April 1931.[3] Moh. Hatta
yang tidak setuju pembentukan Partindo akhirnya membentuk PNI Baru. Ir. Soekarno
bergabung dengan Partindo.
 1933 - Ir. Soekarno ditangkap dan dibuang ke Ende, Flores sampai dengan 1942.
 1934 - Moh. Hatta dan Syahrir dibuang ke Bandaneira sampai dengan 1942.
 1955 - PNI memenangkan Pemilihan Umum 1955.
 1973 - PNI bergabung dengan empat partai peserta pemilu 1971 lainnya membentuk
Partai Demokrasi Indonesia.
 1998 - Dipimpin oleh Supeni, mantan Duta besar keliling Indonesia, PNI didirikan
kembali.
 1999 - PNI menjadi peserta pemilu 1999.
 2002 - PNI berubah nama menjadi PNI Marhaenisme dan diketuai oleh Sukmawati
Soekarno, anak dari Soekarno.

Tokoh-tokoh dan mantan tokoh-tokoh


 Dr. Tjipto Mangunkusumo
 Mr. Sartono
 Mr Iskaq Tjokrohadisuryo
 Mr Sunaryo
 Soekarno
 Moh. Hatta
 Gatot Mangkoepradja
 Soepriadinata
 Maskun Sumadiredja
 Amir Sjarifuddin
 Wilopo
 Hardi
 Suwiryo
 Ali Sastroamidjojo
 Djuanda Kartawidjaja
 Mohammad Isnaeni
 Supeni
 Sanusi Hardjadinata
 Sarmidi Mangunsarkoro
 Partai Nasional Indonesia Marhaenisme (PNI Marhaenisme), sebelumnya
bernama Partai Nasional Indonesia - Supeni (PNI Supeni), adalah salah satu partai
politik di Indonesia. Dalam Pemilu 2009, partai ini bernomor urut 15.
 Tanggal berdiri : 20 Mei 1998 (PNI Supeni) - 20 Mei 2002 (PNI Marhaenisme)
Inisiator : - Tokoh pendiri : Supeni Azas : Marhaenisme Lambang partai : Logo
kepala banteng dalam bingkai segitiga.

Masa pasca proklamasi kemerdekaan


Page
46
Beberapa bulan setelah proklamsi kemerdekaan, terbuka kesempatan yang besar untuk
mendirikan partai politik, sehingga bermunculanlah parti-partai politik Indonesia. Dengan
demikian kita kembali kepada pola sistem banyak partai.

Pemilu 1955 memunculkan 4 partai politik besar, yaitu : Masyumi, PNI, NU dan PKI.
Masa tahun 1950 sampai 1959 ini sering disebut sebagai masa kejayaan partai politik, karena
partai politik memainkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara melalui
sistem parlementer. Sistem banyak partai ternyata tidak dapat berjalan baik. Partai politik
tidak dapat melaksanakan fungsinya dengan baik, sehingga kabinet jatuh bangun dan tidak
dapat melaksanakan program kerjanya. Sebagai akibatnya pembangunan tidak dapat berjaan
dengan baik pula. Masa demokrasi parlementer diakhiri dengan Dekrit 5 Juli 1959, yang
mewakili masa masa demokrasi terpimpin.

Pada masa demokrasi terpimpin ini peranan partai politik mulai dikurangi, sedangkan
di pihak lain, peranan presiden sangat kuat. Partai politik pada saat ini dikenal dengan
NASAKOM (Nasional, Agama dan Komunis) yang diwakili oleh NU, PNI dan PKI. Pada
masa Demokrasi Terpimpin ini nampak sekali bahwa PKI memainkan peranan bertambah
kuat, terutama melalui G 30 S/PKI akhir September 1965).

Setelah itu Indonesia memasuki masa Orde Baru dan partai-partai dapat bergerak lebih
leluasa dibanding dengan msa Demokrasi terpimpin. Suatu catatan pada masa ini adalah
munculnya organisasi kekuatan politik bar yaitu Golongan Karya (Golkar). Pada pemilihan
umum thun 1971, Golkar muncul sebagai pemenang partai diikuti oleh 3 partai politik besar
yaitu NU, Parmusi (Persatuan Muslim Indonesia) serta PNI.

Pada tahun 1973 terjadi penyederhanaan partai melalui fusi partai politik. Empat partai
politik Islam, yaitu : NU, Parmusi, Partai Sarikat Islam dan Perti bergabung menjadi Partai
Persatu Pembangunan (PPP). Lima partai lain yaitu PNI, Partai Kristen Indonesia, Parati
Katolik, Partai Murba dan Partai IPKI (ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia)
bergabung menjadi Partai Demokrasi Indonesia. Maka pada tahun 1977 hanya terdapat 3
organisasi keuatan politik Indonesia dan terus berlangsung hinga pada pemilu 1997.

Setelah gelombang reformasi terjadi di Indonesia yang ditandai dengan tumbangnya


rezim Suharto, maka pemilu dengan sistem multi partai kembali terjadi di Indonesia. Dan
terus berlanjut hingga pemilu 2014 nanti.

Setelah merdeka, Indonesia menganut sistem Multi Partai sehingga terbentuk banyak
sekali Partai Politik. Memasuki masa Orde Baru (1965 - 1998), Partai Politik di Indonesia
hanya berjumlah 3 partai yaitu Partai Persatuan Pembangunan, Golongan Karya, dan Partai
Demokrasi Indonesia. Di masa Reformasi, Indonesia kembali menganut sistem multi partai.

Pada 2012, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) melakukan revisi atas Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.

Pemilu 1955

Page
47
Pemilu 1955 diikuti oleh 172 kontestan partai politik. Empat partai terbesar
diantaranya adalah PNI (22,3 %)/57 kursi, Masyumi (20,9%)/57 Kursi, Nahdlatul Ulama
(18,4%)/ 45 kursi, dan PKI (15,4%)/39 kursi.

Pemilu 1971
Pemilu 1971 diikuti oleh 10 kontestan, yaitu:

1. Partai Katolik
2. Partai Syarikat Islam Indonesia
3. Partai Nahdlatul Ulama
4. Partai Muslimin Indonesia
5. Golongan Karya=8
6. Partai Kristen Indonesia
7. Partai Musyawarah Rakyat Banyak
8. Partai Nasional Indonesia
9. Partai Islam PERTI
10. Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia

Pemilu 1977–1997
Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 diikuti oleh 3 kontestan yang sama, yaitu:

1. Partai Persatuan Pembangunan


2. Golongan Karya
3. Partai Demokrasi Indonesia

Pemilu 1999
Pemilu 1999 menggunakan sistem proporsional dengan daftar stelsel tertutup dan
diikuti oleh 48 partai politik, yaitu:

1. Partai Indonesia Baru


2. Partai Kristen Nasional Indonesia
3. Partai Nasional Indonesia - Supeni
4. Partai Aliansi Demokrat Indonesia
5. Partai Kebangkitan Muslim Indonesia
6. Partai Ummat Islam
7. Partai Kebangkitan Ummat
8. Partai Masyumi Baru
9. Partai Persatuan Pembangunan
10. Partai Syarikat Islam Indonesia
11. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
12. Partai Abul Yatama
13. Partai Kebangsaan Merdeka
14. Partai Demokrasi Kasih Bangsa
15. Partai Amanat Nasional
16. Partai Rakyat Demokratik
17. Partai Syarikat Islam Indonesia 1905
Page
48
18. Partai Katolik Demokrat
19. Partai Pilihan Rakyat
20. Partai Rakyat Indonesia
21. Partai Politik Islam Indonesia Masyumi
22. Partai Bulan Bintang
23. Partai Solidaritas Pekerja
24. Partai Keadilan
25. Partai Nahdlatul Ummat
26. Partai Nasional Indonesia - Front Marhaenis
27. Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia
28. Partai Republik
29. Partai Islam Demokrat
30. Partai Nasional Indonesia - Massa Marhaen
31. Partai Musyawarah Rakyat Banyak
32. Partai Demokrasi Indonesia
33. Partai Golongan Karya
34. Partai Persatuan
35. Partai Kebangkitan Bangsa
36. Partai Uni Demokrasi Indonesia
37. Partai Buruh Nasional
38. Partai Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong
39. Partai Daulat Rakyat
40. Partai Cinta Damai
41. Partai Keadilan dan Persatuan
42. Partai Solidaritas Pekerja Seluruh Indonesia
43. Partai Nasional Bangsa Indonesia
44. Partai Bhinneka Tunggal Ika Indonesia
45. Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia
46. Partai Nasional Demokrat
47. Partai Ummat Muslimin Indonesia
48. Partai Pekerja Indonesia

Pemilu 2004

Pemilu 2004 menggunakan sistem proporsional dengan daftar terbuka dan diikuti oleh
24 partai politik, yaitu:

1. Partai Nasional Indonesia Marhaenisme


2. Partai Buruh Sosial Demokrat
3. Partai Bulan Bintang
4. Partai Merdeka
5. Partai Persatuan Pembangunan
6. Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan
7. Partai Perhimpunan Indonesia Baru
8. Partai Nasional Banteng Kemerdekaan
9. Partai Demokrat
10. Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia
11. Partai Penegak Demokrasi Indonesia
12. Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia

Page
49
13. Partai Amanat Nasional
14. Partai Karya Peduli Bangsa
15. Partai Kebangkitan Bangsa
16. Partai Keadilan Sejahtera
17. Partai Bintang Reformasi
18. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
19. Partai Damai Sejahtera
20. Partai Golongan Karya
21. Partai Patriot Pancasila
22. Partai Sarikat Indonesia
23. Partai Persatuan Daerah
24. Partai Pelopor

Pemilu 2009
Pemilu 2009 menggunakan sistem proporsional dengan daftar terbuka dan diikuti oleh
38 partai politik nasional dan 6 partai politik lokal Aceh, yaitu.

Partai politik nasional

1. Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura)


2. Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB)*
3. Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI)
4. Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN)
5. Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra)
6. Partai Barisan Nasional (Barnas)
7. Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI)*
8. Partai Keadilan Sejahtera (PKS)*
9. Partai Amanat Nasional (PAN)*
10. Partai Perjuangan Indonesia Baru (PIB)
11. Partai Kedaulatan
12. Partai Persatuan Daerah (PPD)
13. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)*
14. Partai Pemuda Indonesia (PPI)
15. Partai Nasional Indonesia Marhaenisme (PNI Marhaenisme)*
16. Partai Demokrasi Pembaruan (PDP)
17. Partai Karya Perjuangan (PKP)
18. Partai Matahari Bangsa (PMB)
19. Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI)*
20. Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK)*
21. Partai Republika Nusantara (RepublikaN)
22. Partai Pelopor*
23. Partai Golongan Karya (Golkar)*
24. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)*
25. Partai Damai Sejahtera (PDS)*
26. Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia (PNBK Indonesia)
27. Partai Bulan Bintang (PBB)*
28. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)*
29. Partai Bintang Reformasi (PBR)*

Page
50
30. Partai Patriot
31. Partai Demokrat*
32. Partai Kasih Demokrasi Indonesia (PKDI)
33. Partai Indonesia Sejahtera (PIS)
34. Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU)
35. Partai Merdeka
36. Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PPNUI)
37. Partai Sarikat Indonesia (PSI)
38. Partai Buruh

Catatan: Tanda * menandakan partai yang memiliki kursi di DPR hasil pemilu sebelumnya.

Partai politik lokal Aceh

A. Partai Aceh Aman Seujahtra (PAAS)[2]


B. Partai Daulat Aceh (PDA)
C. Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA)
D. Partai Rakyat Aceh (PRA)[3]
E. Partai Aceh (PA)
F. Partai Bersatu Aceh (PBA)

Pemilu 2014
Berikut adalah daftar 12 partai politik yang ditetapkan oleh KPU sebagai peserta
Pemilu 2014.

Partai politik nasional

1. Partai NasDem
2. Partai Kebangkitan Bangsa*
3. Partai Keadilan Sejahtera*
4. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan*
5. Partai Golongan Karya*
6. Partai Gerakan Indonesia Raya*
7. Partai Demokrat*
8. Partai Amanat Nasional*
9. Partai Persatuan Pembangunan*
10. Partai Hati Nurani Rakyat*
11. Partai Bulan Bintang (No. Urut 14)
12. Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (No. Urut 15)

Catatan: Tanda * menandakan partai yang memiliki kursi di DPR hasil pemilu sebelumnya.

Partai politik lokal Aceh

1. Partai Damai Aceh


2. Partai Nasional Aceh
3. Partai Aceh

Page
51
Peraturan
Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Partai Politik di Indonesia
sejak masa kemerdekaan adalah:

1. Maklumat X Wakil Presiden Muhammad Hatta (1955)


2. Undang-Undang Nomor 7 Pnps Tahun 1959 tentang Syarat-Syarat dan Penyederhanaan
Kepartaian
3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1960 tentang Pengakuan, Pengawasan, dan
Pembubaran Partai-Partai
4. Undang-Undang Nomor 3 tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya
5. Undang-Undang Nomor 3 tahun 1985 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya
6. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik
7. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik
8. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (berlaku saat ini)

Sekarang jumlah partai yang diakui oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum) 44 partai
mulai dari partai Hanura sampai partai Buruh.Dari tahun ke tahun jumlah ini bertambah
terus.Sebenarnya hal ini tidak efektif digunakan di Indonesia, semakin banyak partai
semakin banyak terjadi perpecahan golongan dan semakin sulit juga bagi rakyat untuk
memilihnya.Seharusnya pemerintah bisa membatasi jumlah pertai yang ada.Berikut daftar
partai – partai berserta lamabangnya yang ikut serta dalam pemilu 2009 :

No. No.
Lambang dan nama partai Lambang dan nama partai
Urut urut
1 Partai Hati Nurani Rakyat Partai Demokrasi
20
Partai Karya Peduli Kebangsaan
2
Bangsa 21 Partai Republika Nusantara
Partai Pengusaha dan 22 Partai Pelopor
3
Pekerja Indonesia 23 Partai Golongan Karya
Partai Peduli Rakyat Partai Persatuan
4 24
Nasional Pembangunan
Partai Gerakan Indonesia 25 Partai Damai Sejahtera
5
Raya Partai Nasional Benteng
6 Partai Barisan Nasional 26
Kerakyatan Indonesia
Partai Keadilan dan 27 Partai Bulan Bintang
7
Persatuan Indonesia Partai Demokrasi
8 Partai Keadilan Sejahtera 28
Indonesia Perjuangan
9 Partai Amanat Nasional 29 Partai Bintang Reformasi
Partai Perjuangan 30 Partai Patriot
10
Indonesia Baru 31 Partai Demokrat
11 Partai Kedaulatan Partai Kasih Demokrasi
12 Partai Persatuan Daerah 32
Indonesia
13 Partai Kebangkitan Bangsa 33 Partai Indonesia Sejahtera
14 Partai Pemuda Indonesia Partai Kebangkitan
34
Nasional Ulama

Page
52
Partai Nasional Indonesia 35 Partai Merdeka
15
Marhaenisme Partai Persatuan Nahdlatul
36
Partai Demokrasi Ummah Indonesia
16
Pembaruan 37 Partai Sarikat Indonesia
17 Partai Karya Perjuangan 38 Partai Buruh
18 Partai Matahari Bangsa
Partai Penegak Demokrasi
19
Indonesia

G. Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru)

Didirikan Oleh :
Tempat / Tanggal :Yogyakarta, 25-27 Desember 1931
Ketua : . Sjahrir
Tujuan : menginginkan kemerdekaan Indonesia dan
nonkooperasi, tetapi strategi perjuangannya
berbeda

Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Baru) ini lahir pada bulan Desember 1931.
Organisasi ini dipimpin oleh orang-orang yang memiliki gaya yang berbeda dengan
Soerkarno.

Dari sini muncul tokoh baru yaitu Sultan Syahrir (20 tahun) yang waktu itu masih
menjadi mahasiswa di Amsterdam. Walaupun cita-cita dan haluan kedua partai itu sama,
yaitu kemerdekaan Indonesia dan nonkooperasi, tetapi strategi perjuangannya berbeda. PNI
Baru lebih menekankan pentingnya pendidikan kader.

Mohammad Hatta kemudian membuat kesepakatan dengan Soedjadi Moerad, untuk


menerbitkan majalah yang diterbitkan sekali dalam 10 hari guna pendidikan kader baru.
Hatta mengusulkan majalah itu diberi nama “Daulat Rakjat”, yang mempertahankan asa
kerakyatan yang sebenarnya dalam segala susunan politik, perekonomian dan pergaulan
sosial. Kemudian Hatta dan Sjahrir bermufakat agar Sjahrir pulang ke Indonesia pada bulan
Desember 1931 untuk membantu “Golongan Merdeka” serta membantu “Daulat Rakjat”.

Page
53
Pada tanggal 25-27 Desember 1931 (menurut Soebadio Sastroastomo diadakan pada
bulan Februari 1932) sebuah konferensi diadakan di Yogyakarta untuk merampungkan
penyatuan golongan-golongan Merdeka yang mana kelompok tersebut diberi nama
Pendidikan Nasional Indonesia atau yang dikenal sebagai PNI-Baru dengan Soekemi
sebagai ketuanya. Sjahrir terpilih sebagai ketua cabang Jakarta dan sekretaris cabangnya
adalah Djohan Sjahroezah.

Kemudian dalam Kongres Pendidikan Nasional Indonesia bulan Juni 1932 yang
berlangsung di Bandung, Sjahrir terpilih menjadi Pimpinan Umum Pendidikan Nasional
Indonesia menggantikan Soekemi. Dalam kongres itu dirumuskan bahwa PNI Baru adalah
sebagai suatu partai kader politik yang merupakan partai kader. Keputusan bahwa PNI Baru
adalah sebagai partai kader setelah mengalami diskusi yang cukup panjang dan rumit yang
pada akhirnya argumentasi Sjahrir yang cukup kuat untuk membawa PNI Baru sebagai
partai kader dapat diterima oleh sebagian besar pengurus. Dan dengan pulangnya Hatta pada
awal tahun 193, Pimpinan Umum PNI Baru diserahkan oleh Sjahrir kepada Hatta.

Dimasukkannya kata “Pendidikan” ke dalam nama partai mengandung maksud yang


serius. Sebagian besar kegiatan partai ini adalah menyelenggarakan pendidikan politik bagi
para anggotanya, yang sebagian dilakukan melalui halaman-halaman “Daulat Rakjat” dan
tulisan-tulisan lain, termasuk risalah “Kearahan Indonesia Merdeka” (KIM) yang secara
khusus ditulis oleh Hatta sebagai semacam manifesto pergerakan itu.

Arah sentral pendidikan diungkapkan ke dalam 150 pertanyaan di dalam KIM yang
mencakup banyak aspek politik, ekonomi, dan sosial. Secar keseluruhan, jawaban-jawaban
itu mengandung suatu doktrin yang jelas walaupun sederhana, bahwa kekuasaan politik
didistribusikan menurut distribusi kekuasaan ekonomi dalam suatu masyarakat, bahwa
kebebasan politik tanpa persamaan di bidang ekonomi sangatlah terbatas dan bahwa
kemerdekaan Indonesia baru merupakan realita jika disertai perubahan ekonomi,
sebagaimana pernyataan (kunci) sebagai berikut, “Mengapa demokrasi politik saja tidak
cukup?”. Jawabannya, “Demokrasi politik saja tidak cukup karena ia akan
dilumpuhakan oleh otokrasi yang masih ada di bidang-bidang ekonomi dan sosial.
Mayoritas rakyat masih menderita dibawah kekuasaan kaum kapitalis dan majikan”.

Page
54
Suasana dalam kursus-kursus yang diselenggarakan oleh Pendidikan Nasional
Indonesia dan kesungguhan anggota-anggotanya mengingatkan banyak orang kepada
“Workers Education Essocition” (WEA-Perhimpunan Pendidikan Kaum Buruh) yang
berusaha memberikan pendidikan kepada masyarakat Inggris pada akhir abad 19. WEA
mempunyai ikatan-ikatan yang kuat dengan gerakan Fabian dan sebagian kegiatannya
adalah memberikan pendidikan sosialis.

Meskipun anggota PNI Baru bukan terdiri dari kelas pekerja, karena sebagian besar
mereka adalah berpendidikan menengah, namun mereka menginginkan suatu pendidikan
politik yang berwarna sosialis yang akan membawa mereka melampaui batas-batas gaya
agitasi nasionalisme yang sempit. Dengan cara ini, PNI Baru, dibawah kepemimpinan Hatta
dan Sjharir, mengembangkan suatu pandangan dunia yang khas dan suatu cara yang unik
dalam membahas masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh pergerakan kebangsaan.

Malai tahun 1933, dengan meningkatnya tekanan politik dari pemerintah Belanda, PNI
Baru akan menempuh taktik-taktik yang membedakannya dengan PNI Lama. Para
pemimpin PNI Baru kemudian mengembangkan pandangan bahwa aksi massa benar-benar
sulit, jika bukan msutahil, dilaksanakan dalam lingkungan seperti itu, dan ketergantungan
hanya kepada seorang pemimpin saja dapat mengakibatkan lumpuhnya suatu partai apabila
sang pemimpin ditangkap. Oleh karena itu, PNI Baru lebih bertujuan menghasilkan kader-
kader pemimpin yang dapat menggantikan para pemimpin yang ditangkap.

Yang pasti PNI Baru memiliki pandangan yang berbeda dengan PNI Lama ataupun
Partindo. PNI Baru bersikap kritis dengan terhadap watak PNI Lama dan Partindo seperti
gaya agitasi yang ekspresif dan mempertahankan persatuan nasional tanpa syarat. Bagi Hatta
dan Sjahrir, persatuan tidak ada artinya kecuali apabila didasarkan pada pengertian atas
prinsip-prinsip bersama.

PNI Baru, menurut Benhard Dahm, banyak berhutang kepada tradisi sosial demokrasi
Eropa. Ciri khasnya adalah pengutamaan terhadap teori sosial sebagai suatu peoman aksi,
adanya koherensi pada pandangan dunianya yang merangkul analisis-analisis tentang
kapitalisme, imperialisme dan munculnya fasisme yang saling melengkapi dan berusaha
untuk menempatkan kemalangan Indonesia dalam suatu gambaran global. Tentu saja harus

Page
55
diakui bahwa sejauh menyangkut analisis-analisis mengenai imperialisme dan tatanan
sosial, PNI Baru tidak memiliki ideologis.

Kesadaran diri akan perjuangan melawan kapitalisme, imperialisme dan fasisme


melalui kegiatan intelektual masih mempunyai arti penting pada tahun 1948 ketika anggota-
anggota PNI Baru yang masih hidup, bersama-sama dengan orang yang sependirian dan
generasi yang lebih muda keluar Partai Sosialis untuk mendirikan PSI.

Disini tampak jelas adanya pengaruh-pengaruh Marxis terhadap PNI Baru, karena
organisasi ini merasa yakin akan perlunya perjuangan melawan kaum borjuis pribumi,
sehingga membuatnya jatuh dari kalangan dagang Islam maupun priyayi pemerintahan.
Dengan demikian, gerakan nasionalis yang tidak bersifat keagamaan terpecah antara model
“aksi massa” dan model “pembentukan kader”. Sesungguhnya, pada tahun 1930-an, kedua
model tersebut sama-sama tidak mempunyai peluang untuk berhasil, juga karena politiknya
yang sangat kolot dan keras dari Gubernur Jenderal de Jonge. Karena kegiatan aktivitas
politik PNI Baru yang dinilai mulai membahayakan bagi pemerintah kolonial Belanda, maka
pada tanggal 25 Februari 1934 jajaran teras PNI Baru seperti Hatta, Sjahrir, Bondan,
Baurhanuddin, Murwoto Soeka, Hamdani, Wangsawidjaja, Basri, Atmadipura, Oesman,
Setiarata, Kartawikanta, Tisno, Wagiman, dan Karwani ditangkap. Sekitar bulan Januari
1935, Hatta, Sjahrir dan beberapa pemimpin PNI Baru lainnya diasingkan ke Boven Digul.
Di samping itu, pemimpinnya kemudian di tangkap dan dibuang ke luar Jawa.

Partindo, PNI Baru, Dan Gerindo

Setelah pergeledahan dan penangkapan terhadap beberapa pemimpin PNI, Mr.


Sortono dan Ir. Anwari mengambil alih pimpinan pusat PNI. Pada tanggal 19 Januari 1930,
Sartono dan Anwari mengeluarkan perintah kepada pengurus-pengurus cabang dan para
anggotanya agar menghentikan semua kegiatan politik dan membatasi kegiatan pada bidang
sosial dan ekonomi. Pada tanggal 22 Desember 1930 Landraad Bandung mengeluarkan
keputusan terhadap Ir. Soekarno dkk. Keputusan itu memberikan angin akan rupa langkah
baru yang akan diambil oleh Pengurus Besar PNI. Pada bulan Februari 1931 dilangsungkan
kongres luar biasa PNI di Yogyakarta untuk membicarakan situasi politik waktu itu dan
langkah-langkah yang akan ditempuh. Kongres antara lain memutuskan memberikan

Page
56
mandat kepada Pengurus Besar PNI tentang sikap selanjutnya yang akan diambil sesudah
putusan dari Raad van Justitie.

Sesudah keluar putusan dari Raad van Justitie, dengan mandat yang diterima Pengurus
Besar itu, pada tanggal 25 April 1931 (seminggu setelah keluar putusan dari Raad van
Justitie) atas putusan kongres luar biasa dinyatakan pembubaran PNI dengan alasan karena
keadaan yang memaksa. Keputusan itu diambil antara lain atas pertimbangan bahwa putusan
hukuman itu tidak hanya menimpa keempat pimpinan PNI, tetapi juga mengenai organisasi
PNI. Kemudian pada tanggal 29 April 1931, di Jakarta didirikan partai politik baru dengan
nama Partai Indonesia (Partindo). Pada dasarnya, Partindo adalah PNI dengan nama lain.
Para pemimpinnya yakin bahwa cara itu akan mencegah tindakan dari pemerintah penentang
Partindo.

Dalam maklumatnya tertanggal 30 April 1931 dalam majalah Persatuan Indonesia


dinyatakan bahwa Partindo berdiri di atas dasar nasionalisme Indonesia, self help, dan
tujuannya adalah kemerdekaan Indonesia. Dalam mencapai tujuan itu, Partindo yang
dipimpin oleh Sartono akan mendasarkan pada kekuatan sendiri. Anggota Partindo sebagian
besar berasal dari anggota PNI. Pada permulaan bulan Februari 1932, Partindo mempunyai
anggota sekitar 3.000 orang.

Golongan Merdeka tidak senang melihat pembubaran PNI itu yang kemudian disusul
dengan Partindo. Mereka tidak tinggal diam, tetapi berusaha untuk mendirikan suatu
organisasi sendiri. Mereka selalu berhubungan dengan Mohammad Hatta yang masih berada
di negeri Belanda. Akhirnya, pada bulan Desember 1931 di Yogyakarta didirikan organisasi
baru bagi mereka dengan nama Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Baru).

Jika PNI-Baru dibandingkan dengan Partindo, pada hakikatnya tidak ada perbedaan
yang besar. Kedua organisasi itu berdiri di atas dasar yang tidak jauh berbeda, yaitu
nasionalisme Indonesia dan demokrasi. Tujuannya adalah kemerdekaan Indonesia yang
hendak dicapai dengan kekuatan sendiri tanpa meminta bantuan siapa pun (self-help) dan
tidak mau bekerja sama dengan pemerintah kolonial. Perbedaan adalah dalam cara mencapai
tujuan. PNI-Baru berkeyakinan bahwa kemerdekaan Indonesia tidak akan dapat dicapai

Page
57
dengan agitasi belaka, tetapi memerlukan kerja yang terorganisasi. Kemerdekaan hanya
dapat dicapai melalui usaha-usaha orang-orang yang terdidik.

Tidak lama sesudah PNI-Baru lahir, Ir. Soekarno yang baru menjalani setengah
hukuman yang dijatuhkan kepadanya, pada tanggal 31 Desember 1931 dibebaskan dari
penjara. Ia kemudian selama enam bulan lebih berusaha keras untuk menyatukan partai itu,
tetapi tidak berhasil, dan akhirnya ia masuk Partindo.

Setelah Ir. Soekarno kembali dan memimpin Partindo, partai ini yang sebelumya
kurang berani jika dibandingkan dengan PNI mengalami perkembangan pesat. Jumlah
anggotanya dan cabangnya meningkat. Isi pidato-pidatonya makin lama makin berani. PNI-
Baru baru berkembang pesat setelah organisasi ini dipimpin oleh Sultan Syahrir dan
kemudian Mohammad Hatta. Pada tahun 1932, PNI-Baru sering mengadakan rapat
propaganda. Materi yang disampaikan antara lain tentang riwayat pergerakan nasional
Indonesia, kemerdekaan Indonesia, kedudukan daerah jajahan dan daya upaya untuk
mencapai kemerdekaan itu, persatuan, kapitalisme, dan imperialisme. Jumlah anggota
meningkat walaupun kalah jika dibandingkan dengan Partindo.

Makin meningkatnya perjuangan kedua partai ini, menimbulkan rasa khawatir di


kalangan pemerintah. Kemudian dibuatlah berbagai macam peraturan yang bermaksud
hendak mengekang perkembangannya. Tindakan pertama yang dilakukan oleh Gubernur
Jenderal de Jonge adalah dengan dikeluarkannya ordonansi pengekangan pers. Sejak
berlakunya ordonansi ini tahun 1931 sampai tahun 1936 (selama pemerintahan de Jonge)
sebanyak 27 surat kabar menjadi korban.

Setelah keluar ordonansi, kebebasan berbicara dalam rapt-rapat menjadi sangat


terbatas. Polisi yang biasa menghadiri rapat-rapat dianjurkan agak bertindak lebih keras.
Atas dasar itu, polisi-polisi dapat bertindak sesuka hati. Mereka dapat memberhentikan
pembicara-pembicara dalam suatu rapat jika sekiranya materi yang dibicarakan
menyinggung pemerintah. Demikian pula jika dalam rapat-rapat partai diperlihatkan simbol-
simbol nasional Indonesia. Tekanan-tekanan yang demikian itu tidak hanya menimpa
Partindo dan PNI-Baru, tetapi juga partai-partai lainnya.

Page
58
Usaha pemerintah untuk mematikan Partindo dan PNI-Baru tidak hanya dengan cara
tersebut. Untuk mengurangi jumlah anggota, dikeluarkannya larangan terhadap para
pegawai pemerintah untuk memasuki kedua partai itu. Pegawai-pegawai pemerintah yang
terlibat dalam aksi-aksi golongan nonkooperasi ini dikenai hukuman. Tindakan pemerintah
yang lain untuk menekan kedua partai itu ialah dengan dilaksanakan exorbitant rechten hak
luar biasa yang dimiliki oleh Gubernur Jenderal untuk mengasingkan seseorang yang
dianggap membahayakan ketentraman umum. Mereka yang dianggap berbahaya diasingkan
ke Boven Digul di Irian Jaya.

Hak luar biasa Gubernur Jenderal tersebut menimpa pemimpin-pemimpin Partindo


dan PNI-Baru. Ir. Soekarno yang baru dibebaskan dari penjara pada akhir tahun 1931, pada
bulan Juli 1933 ditangkap lagi. Tanpa diadili kemudian ia diasingkan ke Flores, kemudian
dipindah ke Bengkulu, Sumatra, sampai pembebasannya oleh pemerintah pendudukan
Jepang pada tahun 1942.

Reaksi Terhadap Penggeledahan Pemerintah

Sikap Vanderlandse Club yang jelas anti-gerakan nasional dan ketakutan kalangan
Belanda serta hasutan pers Belanda terhadap propaganda Partai Nasional Indonesia adalah
faktor-faktor penting yang memengaruhi perintah dalam melakukan tindakan.
Bagaimanapun, pihak pemerintah mempunyai kewajiban untuk menyelamatkan politik
penjajahan dan melindungi warga negara Belanda. Demikianlah, pada tanggl 10 Januari
Kiewiet de Jonge, selaku wakil pemerintah, memberikan keterangan tentang alasan
penggeledahan dan penangkapan para anggota pengurus Partai Nasional Indonesia. Nada
dan isinya sama dengan hasutan pers Belanda. Dikatakannya bahwa kegiatan Partai
Nasional Indonesia menyebar benih ketidakpuasan di kalangan masyarakat, yang lambat
laun menimbulkan ketegangan dan akhirnya pasti menimbulkan pemberontakan. Berita
yang serius ini harus segara disusul dengan tindakan cepat untuk menjaga keselamatan dan
menghindarkan kemungkinan meletusnya pemberontakan.

Nada dan irama keterangan pemerintah itu tidak mengherankan kalangan Indonesia
baik yang duduk dalam Volksraad sebagai wakil golongan maupun yang ada di luar. Tidak
ada orang yang percaya akan maksud menimbulkan pemberontakan dari pihak Partai

Page
59
Nasional Indoensia. Keterangan pemerintah itu tidak dapat memberikan keyakinan kepada
para Volksraad yang berhaluan kooperatif dan kepada para nasionalis Indonesia yang
bersikap nonkooperatif. Demikianlah, alih-alih menjadi reda, suasana menjadi bertambah
tegang. Baik nasionalis lunak maupun nasionalis keras bertekad untuk menggalakkan
usahanya dalam menghadapi politik penjajahan. Pada tanggal 12 Januari, PPPKI
mengadakan rapat umum untuk protes dan mengutuk tindakan pemerintah dan
menganjurkan kemerdekaan sampai cita-citanya terkabul. Nasional lunak yang duduk
sebagai angota Volksraad pada tanggal 27 Januari, membentuk Nationale Fractie (Fraksi
Nasional) dengan tujuan untuk memerjuangkan kemerdekaan Indonesia melalui saluran
legal.

Tanggal 27 Januari 1930, M.H. Thamrin mengumumkan lahirnya Fraksi Nasional


dalam Volksraad, yang bertujuan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia secepat-cepatnya.
Untuk mencapai tujuan tersebut, Fraksi Nasional melakukan usaha-usaha seperti berikut:

1. Berusaha mencapai perubahan ketatanegaraan,

2. Berusaha melenyapkan semua perbedaan-perbedaan politik, ekonomi, dan tingkat


pendidikan yang diakibatkan oleh antitesis kolonial.

3. Menggunakan semua jalan yang sah untuk tujuan tersebut.

Anggota Volksraad yang masuk sebagai anggota Fraksi Nasional adalah Kusumo
Utomo, Mochtar, Soangkupon, Surono, Dwijosewojo, Otto Iskandar Dinata, Sukardjo
Wirjopranoto, Mohammad Noor, Abdul Rasyid, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Moh. Husni
Thamrin. Fraksi Nasional dipimpin oleh H.M Thamrin. Anggota Fraksi Nasional berjumlah
10 orang, berasal dari berbagai perkumpulan dan berbagai suku. Meskipun disadari
sepenuhnya bahwa keanekaragaman keanggotaan itu mencerminkan kelemahan komposisi
Fraksi Nasional dalam tindakan-tindakannya, harus diakui bahwa perbentukan Fraksi
Nasional adalah salah satu usaha untuk menjatuhkan segala tenaga nasional yang ada di
dalam Volksraad sebagai wakil dari masing-masing perkumpulan. Penyatuan tenaga
nasional itu bersifat mutlak untuk menghadapi pihak lawan. Sementara itu, Soekarno,

Page
60
Maskun, Gatot Mangkrupradja, dan Supriadinata tetap ditahan di rumah kurungan di
Bandung menunggu perkara dimajukan di pengadilan.

Sudah sewajarnya bahwa perjuangan baru itu dapat ditafsirkan bermacam-macam


sesuai dengan paham penafsiran masing-masing. Belum lagi dapat dipastikan bahwa
pemerintah akan mengambil tindakan lebih lanjut terhadap PNI sesuai dengan bunyi pasal
169 yang diterapkan pada proses perkara Soekarno; karena tindakan yang berkelanjutan itu
berarti pengintensifan perjuangan pergerakan nasional menuju kemerdekaan. Pembubaran
partai tidak akan dilakukan oleh pemerintah. Paling barter adalah perintah untuk membatasi
geraknya. Jika ditafsirkan dari sudut itu, tindakan Sartono dapat dikatakan gegabah. Ada
lagi interpretasi lain yang menghendaki agar pembubaran partai itu ditawarkan dalam rapat
umum disertai penjelasan lengkap, demikian suara harian Keng Po. Dalam Bintang Timur,
Hatta menyalahkan tindakan Sartono. Dikatakannya bahwa pemerintah tidak akan
mengeluarkan perintah pembubaran PNI untuk menghindari tumbuhnya paham komunis.
Akan tetapi, pemerintah akan berusaha sekeras-kerasnya untuk melemahkan dan
melumpuhkan PNI. Dalam hal itu, jawaban yang paling tepat adalah bahwa pihak PNI harus
memperkuat diri untuk menghadapi tindakan pemerintah. Dengan jalan demikian, hak hidup
partai dipertahankan sampai saat yang terakhir. Siapa pun boleh memberikan tafsiran
menurut pahamnya masing-masing. Pahamnya itulah yang dianggap benar, namun
kebenaran masih merupakan khayalan. Kenyataan yang harus diterima adalah bahwa
Sartono mengambil kebijakan sendiri untuk membubarkan PNI, tidak menunggu perintah
pembubaran dari pihak pemerintah. Apakah pemerintah akan mengeluarkan perintah
pembubaran atau tidak, itu pun pada hakikatnya teka-teki. Penilaian kebijaksanann Sartono
sebagai pemimpin partai baru dapat dilakukan setelah memerhatikan sepak terjang Partindo
sebagai penjelmaan PNI yang dikenakkan pasal 169 KUHP pada proses perkara Soekarno.
Manifesto Partindo yang dikeluarkan tanggal 1931 sesuai dengan cita-cita politik Moh.
Hatta. Soal pembentukan kader, asa self-help, penerapan pedagogi sosial dalam pendidikan
massa, dan lain-lain sudah sesuai dengan angan-angan Hatta.

Di penghujung bulan Desember 1931, Sultan Sjahrir tidak setuju dengan Partindo, dan
mendirikan partai baru yang bernama Pendidikan Nasional Indonesia (PNI). Singgkatan
partai baru yang dipimpin Sultan Sjahrir itu sama dengan singkatan PNI Lama yang telah
dibubarkan. Untuk menghindari salah paham, PNI Sjahrir ini disebut PNI Baru. Pendidikan

Page
61
Nasional Indonesia didirikan di Yogyakarta. PNI Baru mempunyai haluan sosial-
revolusioner. Watak sosial-revolusioner itu dinyatakan dalam pembentukan organisasi
massa proletariat yang diharapkan pada kapitalisme dan borjuis, tidak pandang dari luar
maupun dari dalam negeri sendiri. Bagaimanapun, perjuang kelas terhadap kapitalisme dan
borjuis tidak dapat dielakkan. Untuk tujuan itu, diperlukan kader-kader terdidik yang harus
mengajar massa. Demikianlah, PNI Baru itu diam-diam bergerak di dalam masyarakat,
namun mengutamakan pendidikan kader. Justru itulah sebabnya partai baru itu bermaksud
untuk merealisasikan tujuan pembentukan masyarakat yang bebas dari pengaruh kapitalime
dan imperialisme. Kapitalisme dan imperialisme itulah sebenarnya diciptakan kelas-kelas
dalam masyarakat. Paham yang dianut PNI Baru itu adalah paham Sosialisme-Marxisme.
Justru perkembangan Marxisme yang demikian itulah yang sangat ditakuti oleh pihak
pemerintah. Oleh karena itu, meskipun PNI Baru bekerja secar diam-diam, ia dianggap
membahayakan kedudukan pemerintah kolonial.

Partindo adalah partai massa. Di mana-mana mengadakan propaganda dalam rapat


untuk memperoleh massa pengikut. Sesuai dengan cara kerja Partai Nasional Indonesia,
Partindo mengarahkan kegiatannya pada pembentukan massa-aksi. Tujuan utama Partindo
adalah mencapai kemerdekaan. Untuk tujuan tersebut, diperlukan kesatuan barisan kulit
berwarna yang harus menghadapi pemerintahan asing. Kesatuan kulit berwarna yang
dimaksut oleh Partindo tidak memperhitungkan perbedaan kelas dan kepercayaan, seperti
dinyatakan dalam siarannya tanggal 1 Mei 1931. Jelaslah, musuh utama dalam perjuangan
kemerdekaan adalah imperialisme. Demikianlah, Partindo itu berbahaya bagi pemerintah
karena aksinya; PNI Baru karena ideologinya. Dari sudut inilah kita akan menilai tindakan
pemerintah terhadap kedua gerakan nasional tersebut.

Sebelum Gubeenur Jenderal Greaff meninggalkan Indonesia, ia masih sempat


memberikan jasanya kepada pergerakan nasional Indonesia, yang ditindasnya selama
pemerintahannya. Demikanlah, tindakan Gubernur Jenderal itu jika boleh disebut sebagai
jasa. Tindakan yang dimaksud adalah memberi grasi kepada Soekarno yang ditetapkan pada
tanggal 4 September 1932: hukuman Soekarno dari 4 tahun dikurangi 2 tahun. Pada bulan
itu juga, ia diganti oleh Gubernur Jenderal de Jonge. Tanggal 14 Desember 1931, Soekarno
menulis surat kepada Mr. Sartono bahwa ada maksud dari kaum pergerakan nasional dari
berbagai tempat untuk beramai-ramai menjemput Soekarno pada tanggal 31 Desember 1931

Page
62
di halaman penjara Sukamiskin. Sehubungan dengan maksud itu dan bertalian dengan
zaman meleset (malaise) yang sedang mengganas, ia menghendakai maksud itu dibatalkan.
Kawan-kawan dari Bandung dan sekitarnya bisa bertemu dengannya sepanjang hari di
rumah karena baru pada hari berikutnya ia akan berangkat ke Jawa Timur untuk menghadiri
kongres Indonesia Raya, yang sengaja diselengarakan untuk menyambut bebasnya Soekarno
dari penjara. Kongres Indonesia Raya diadakan pada tanggal 1-3 Januari 1932, dipimpin
oleh Dr. Sutomo, bertempat di Surabaya. Di setiap stasiun yang dilalui oleh Soekarno dalam
perjalanan menuju Surabaya, ia disambut oleh kawan-kawannya yang sepaham, ini suatu
bukti bahwa Soekarno masih mendapat simpati dari masyarakat. Juga dalam kongres itu, ia
mendapat cukup kesempatan untuk berbicara.

Setelah kenyataan bahwa setelah keluar penjara Sukamiskin, Soekarno dihadapkan


pada pilihan antara dua partai revolusipner, yakni Partindo di bawah pimpinan Sartono dan
PNI Baru di bawah pimpinan Sjahrir. Sedangkan Partai Nasional Indonesia telah
dibubarkan.

Dampak Penahanan Pemimpin

Dalam masa Soekarno meringkuk di penjara Sukamiskin, beberapa pihak mencoba


mengatasi situasi dengan berbagai jalan yang sudah barang tentu cocok dengan cita-cita serta
kepentingan masing-masing. Mengingat keanekaragaman haluan dan strategi politik, maka
reaksi-reaksi yang bermacam-macam itu menciptakan situasi politik yang sangat kompleks.
Ketegangan dan konflik terjadi secara bertubi-tubi, suatu proses yang hanya membuat
perpecahan menjadi bertambah parah. Apakah skenario yang penuh konflik itu memang
telah dibayangkan oleh pemerintah Hindia Belanda–yang lazim digambarkan terampil
dalam menjalankan politik divide et impera–hal itu tidak diketahui. Yang jelas ialah bahwa
motif penangkapan para pemimpin ialah untuk mencegah terulangnya huru-hara tahun 1926,
sekaligus memperlemah kedudukan PNI, dan rupanya sama sekali tidak untuk menumpas
organisasi nasionalnya.

Gubernur Jenderal de Graeff sebagai seorang liberal lebih condong menjalankan


politik toleransi, namun desakan golongan konservatif di Negeri Belanda dan Indonesia

Page
63
memaksanya bertindak keras. Tafsiran dari pihak kaum nasionalis terhadap politik itu
berbeda-beda sehingga berbedalah pula reaksinya.

Sartono dengan pandangannya yang legalistik segera menginstruksikan agar semua


kegiatan cabang sementara waktu dihentikan, bahkan berusaha untuk membubarkan PNI
serta kemudian mendirikan partai baru. Tindakannya itu dimaksudkan agar dengan identitas
baru organisasi baru tidak menjadi sasaran dan buronan penguasa. Sikap seperti itu dikritik
secara pedas oleh Moh. Hatta yang mengatakan bahwa PNI telah bunuh diri sebelum
berhadapan benar-benar dengan lawannya. PNI yang menjalankan politik elitis gagal dalam
memobilisasikan massa. Dengan mengambil sikap tersebut, telah kehilangan
kewibawaannya di kalangan rakyat pada umumnya, di antara para anggota khususnya.

Ada sekelompok anggota PNI yang tidak mau mengikuti haluan Sartono; mereka
mendirikan studieclub di beberapa tempat antara lain di Batavia, Bandung, Semarang,
Surabaya, Malang, dan Pelembang. Kemdian mereka mendirikan sendiri Golongan
Merdeka, yang kemudian lebih terkenal sebagai PNI-Baru.

Seperti diketahui Soetomo mengambil kesempatan untuk melaksanakan cita-citanya,


yaitu mendirikan organisasi tersendiri dengan gaya dan isi yang berbeda dari PNI dengan
politik agitasinya. PBI didirikan lebih cenderung untuk bergaya sebagai aktivitas sosial-
ekonomis.

Menurut pandangan Moh. Hatta kesimpangsiuran dan kekacauan di kalangan kaum


nasionalis adalah adanya manifestasi krisis ideologi. Sesungguhnya meskipun gayanya
berbea-beda, isi perjuangan kaum nasionalis seharusnya sama, sehingga banyak konflik
dapat diatasi. Disinilah sebenarnya letaknya persatuan dan tidak seperti yang dikonsepsikan
Soekarno tentang hakikat organisasi PPPKI. Seperti apa yang kemudian dirumuskan oleh
Golongan Merdeka yang kemudian terhimpun dengan nama PNI-Baru atau Pendidikan
Nasional Indonesai, ialah bahwa ideologi politik harus berdasarkan kebangsaan dan
kerakyatan (nasionalisme dan demokrasi).

Pada ummnya, bentuk-bentuk alternatif tidak memakai gaya politik agitasional, tetapi
bergaya sosial-ekonomis. Lagi pula organisasi perlu disusun sebaik-baiknya dengan tidak

Page
64
secara langsung mencoba menggerakkan massa, melainkan menyelanggarakan kaderisasi
pemimpin yang cakap.

Apabila dalam kerangka PPPKI telah timbul perpecahan antara PSI dan organisasi
sekuler, maka di lingkungan organisasi-organisasi yang disebut terakhir pertentangannya
menjadi-jadi, khususnya antara Partindo dan PNI-Baru.

Pihak pertama beranggapan bahwa dia adalah kelanjutan PNI Lama serta waris niali-
nilai perjuangannya. Dalam situasi baru semua kegiatan dilakukan secara berhati-hati,
namun tanpa meninggalkan ideologi politiknya, ialah kemerdekaan Indonesia, swadaya,
menentukan nasib sendiri, swadesi, dan kedaulatan rakyat. Di samping rapat-rapat umum
juga diusahakan adanya perkumpulan debat, koperasi, kursus-kursus, dan lain sebagainya.
Partindo mempunyai cabangnya terutama di Jawa Barat, khususnya di Batavia dan Bandung.
Di antara anggota-anggotanya terdapat banyak pengikut gigih Soekarno. Pada awal 1932
jumlah anggota ditaksir lebih kurang tiga ribu orang, yang sebagian besar terdapat di
Batavia, termasuk pula para mahasiswa RHS dan GHS.

Intervensi pemerintah Hindia Belanda menimbulkan kejutan di kalangan anggota PNI


dan banyak yang menyadari arti kritik yang dilancarkan oleh Moh. Hatta, antara lain politik
agitasi lebih mudah dijalankan daripada menyusun organisasi yang baik dan melatih para
anggotanya untuk menjadi kader politik yang baik. Pidato-pidato yang berkobar-kobar
adalah hal yang dangkal dan tidak mempunyai pengaruh yang mendalam. Pertumbuhan
partai lewat kaderisasi lebih mantap daripada lewat mobilisasi dengan demagogi. Kegiatan
kelompok-kelompok kecil lebih terarah pada aktivitas untuk meningkatkan kesejahteraan
sosial rakyat, antara lain kopersi- kursus-kursus, dan lain sebagainya. Besarlah kekecewaan
di kalangan PNI akan peristiwa intervensi gubernemen. Mereka yang tidak ikut ajakan
Sartono mulai bergabung dengan nama Golongan Merdeka, antara lain dibawah pimpinan
Soedjadi. Kemudian terjadi proliferasi dan di berbagai tempat didirikan perkumpulan-
perkumpulan yang akhirnya dapat dihimpun dalam PNI Baru.

Kedua aliran tersebut diatas sebenarnya mewakili antagolisme yang timbul antara
Soekarno dan Moh. Hatta. Sesungguhnya debat telah berjalan cukup lama; persoalannya
sesungguhnya tidak menyangkut isi asas tujuan perjuangan nasional, melainkan lebih

Page
65
menyangkut soal gaya politik. Pada hakikatnya gaya itu memang dapat dikembalikan pada
perbedaan kepribadian. Dengan keulungan berpidato Soekarno lebih mudah menggerakkan
massa serta menanam kesadaran serta semangat nasional. Sebaliknya Moh. Hatta adalah
termasuk tipe pemikir dan mahir dalam merumuskan prinsip perjuangan serta menganalisis
situasi politik. Kalau Soekarno sangat mampu membuat agitasi, Hatta lebih memikirkan
organisasi. Oleh karena bagi yang kedua kaderisasi vital, maka yang lebih diutamakan
adalah pendidikan politik. Akibatnya intervensi gubernemen Hindia Belanda menunjukkan
bahwa politik agitasi Soekarno tidak banyak mempunyai dampaknya.

Arena politik yang diciptakan oleh pergerakan nasional sejak 1927 terisi oleh forum-
forum yang diciptakan oleh rapat-rapat umum, kongres-kongres, dan berbagai bidang
ekonomi dan sosial. Media massa kemudian mengkomunikasikan segala kegiatan itu secara
luas kepada khalayak ramai. Dalam hal ini sangat menonjollah peranan golongan
nonkooperasi, khususnya PNI dan kemudian Partindo dan PNI Baru. Proses yang terjadi
ialah pendidikan politik atau sosialisasi politik bagi anggota kedua partai tersebut. Dengan
demikian, terjadilah proses pemahaman dan penyadaran dengan konsep-konsep, seperti
pemahaman serta penyadaran sehubungan dengan masalah kebangsaan, kerakyatan,
kemerdekaan, swadaya, swadesi, dan lain sebagainya. Secara khusus Soekarno memasukkan
konsep marhaenisme, sosio-nasionalisme, dan sosio-demokrasi.

Ideologi Politik
Dalam menjalankan sosialisasi politik para pemimpin partai nasionalis sebagai elite
modern menghadapi masalah bagaimana mencapai dan memobilisasi massa, mengingat
bahwa mereka terpisah oleh jarak sosial dari rakyat. Berbeda dengan SI (PSI) yang
berdasarkan ideolgi religius, PNI dan kemudian Partindo atau PNI Baru sebagai organisasi
nasionalis sekuler membutuhkan ideologi politik yang nonrelegius. Dalam hal ini
lingkungan PNI Soekarnolah yang telah banyak memberi sumbangan konsepsi-konsepsi
politik, antara lain konsep marhaenisme, sosio-nasionalisme, dan sosio-demokrasinya.

Menurut pandangan Soekarno, jalan untuk menghadapi kolonialisme dengan


kapitalismenya tidak lain ialah dengan menggerakkan massa yang paling menderita sebagai
korban sistem kolonial itu. maka dari itu, ideolgi nasionalisme sewajarnya mencakup aksi
massa dari rakyat menjadi sosio-nasionalisme. Selanjutnya peningkatan taraf hidup rakyat

Page
66
baru dapat dilaksanakan setelah kolonialisme terhapus; maka dikatakannya bahwa
perjuangan antikolonialisme merupakan “jembatan emas” menuju ke alam merdeka dan
sejahtera. Perjuangan itu dengan sendirinya menjadi pertentangan ras. Meskipun demikian,
Soekarno juga menyatakan bahwa perjuangan melawan kapitalisme perlu dilakukan juga.

Justru dalam hal ini, PNI Baru mempunyai strategi yang berlawanan dengan Soekarno.
Disangsikannya apakah agitasi politik itu sebagai sosioalisasi politik betul-betul efektif dan
sebaliknya menurut anggapannya kaderisasi dan pemantapan organisasi merupakan cara
yang lebih tepat untuk meningkatkan proses politisasi itu. Situasi sesudah penangkapan
Soekarno akhir tahun 1929 membuktikan bahwa strategi yang terakhir memang tepat.
Pengikut massa tidak bedaya sedikit jua pun.

Setelah kira-kira dua tahun arena politik menghirup suasana yang lebih tenang serta
aktivitas organisasi pergerakan lebih banyak meliputi bidang pendidikan, ekonomi, dan
kesejahteraan rakyat, maka dengan dibebaskannya Soekarno pada akhir Desember 1931,
lambat laun politik mulai bergerak lagi; hal itu disebabkan tidak lain karena Soekarno mulai
terjun kembali ke gelanggang politik.

Perlu ditambahkan di sisi bahwa keanggotaan Partindo dan juga PNI Baru, pada
umumnya terbatas di kota-kota besar di Jawa, khususnya di Jawa Barat dengan Bandung
dan Batavia dengan pusatnya. Di Jawa Timur, di mana PBI mempunyai pengaruhnya
sukarlah Partindo melebarkan sayapnya.

Di samping itu, konsep sosio-demokrasi diterangkan sebagai sistem kerakyatan, tetapi


bukan seperti yang terwujud di Barat sebagai demokrasi parlementer melainkan yang
didasarkan suara terbanyak. Meskipun Soekarno tidak asing terhadap ideologi Barat, namun
tampak ada usaha mengadaptasikannya kepada situasi Indonesia. Sebaliknya, ideologi yang
dianut PNI Baru merupakan konsepsi Hatta dan Sjahrir yang mengikuti ideologi sosialisme.

Perbedaan-perbedaan isi ideologi kedua pihak sesungguhnya tidak terlalu prinsipal,


akan tetapi di sini yang mencolok adalah perbedaan gaya serta jiwa perjuangan mereka.
Soekarno lebih cenderung ke suatu populisme, sedang pihak Hatta dan Sjahrir lebih ke arah

Page
67
elitisme. Kedua pihak sebenarnya sampai akhir aktivitasnya pada tahun 1933 belum berhasil
memantapkan partainya sebagai mobilisasi rakyat yang efektif.

Bahwasanya arena politik terutama di kota-kota – dan khususnya di Jawa – tampak


jelas dari uraian sampai di sini. Keadaan itu dapat dijelaskan dengan menunjukkan pada
kepemimpinan organisasi nonkooperasi yang ada di tangan kaum inteligensia hasil
pendidikan Barat, baik dari Negeri Belanda maupun Indonesia. Dari tahun 1927 sampai
tahun 1933 golongan elite kota itulah yang menjadi faktor penggerak utama perkembangan
gerakan nasionalis nonkooperasi dan radikal. Bila dilacak akar sosialnya maka mereka
berasal dari golongan elite, antara lain priyayi pamong praja (BB).

Dipandang dari perspektif konflik sosial, khususnya perjuangan kekuasaan, kaum


inteligensia sebagai elite modern menghadapi elite religius dengan otoritas kharismatiknya,
priyayi BB dengan otoritas setengahnya tradisonal setengahnya legal-rasional, yang
semuanya menguasai sebagian besar struktur kekuasaan. Dalam menghadapi kekuasaan
kolonial, kaum inteligensia tidak beraliansi dengan elite religius karena jarak sosial-
kulturnya sangat besar.

Oleh karena jarak dengan golongan-golongan itu dengan para pemimpin masih cukup
jauh, maka diperlukan pemimpin tingkat bawahan. Untuk mengerahkan dan melatih
merekalah PNI Baru menyelenggarakan kursus-kursus dan latihan. Dengan demikian,
struktur organisasi dapat dimantapkan sehingga dapat berfungsi sebagai basis yang kuat bagi
pergerkan.

Masalah Persatuan
Salah satu isu yang sangat berpengaruh terhadap pernggalangan persatuan di antara
organisasi-organisasi pergerakan nasional tahun tiga puluhan ialah sekitar soal konsepsi
persatuan itu sendiri. Dalam hal ini yang menonjol ialah perdebatan dan pertentangan
pendapat antara Partindo dan PNI Baru, atau seperti umum yang digambarkan sebagai
pertentangan antara golongan Soekarno dan Hatta. Seperti sejak awal perkembangan PPPKI
telah dilancarkan kritik tajam oleh Hatta mengenai PPPKI sebagai bentuk persatuan, seperti
yang dikonsepsikan oleh Soekarno, yaitu pengintegrasian berbagai organisasi dalam satu

Page
68
wadah atau lembaga. Lembaga itu akan bertindak berdasarkan keputusan berlandasan
mufakat.
Dalam konsepsi persatuan seperti itu tidak diperhitungkan adanya berbagai unsur yang
mewakili golongan, aliran, kepentingan, ataup kelas sosial yang beraneka ragam. Persatuan
yang terwujud menurut Hatta adalah lancung oleh karena menurut analisisnya dengan
perspektif sosialis terkandung di dalamnya kontradiksi dan konflik kepentingan, lagi pula
ideologi-ideologi yang bertolak belakang satu sama lain.
Isu tersebut di atas mulai hangat lagi pada tahun 1932 dan 1933 sewaktu timbul
gagasan untuk mempersatukan lagi Partindo dan PNI Baru. Kecuali pertentangan pandangan
politik tersebut, ketidakserasian hubungan antara pemimpin kedua partai itu merupakan
faktor penghambat persatuan. Sjahrir yang sudah ada di Indonesia sejak awal 1932 berusaha
keras menjajagi situasi politik untuk dapat mengarahkan PNI Baru. Suatu kompromi dengan
Partindo tidak dapat dicapainya. Mengenai masalah demokrasi ada pula perbedaan konsepsi
soal demokrasi atau kedaulatan rakyat.
Setelah mengadakan pembicaraan luas dengan Soekarno, akhirnya Sjahrir
berkesimpulan bahwa Soekarno merupakan faktor politik yang sanantiasa perlu
diperhitungkan sehingga tidak lagi menghalang-halangi atau menentang usahanya, antara
lain dalam membenahi dan menghidupkan lagi PPPKI. Sadar akan kharisma yang ada
padanya serta yakin akan peranan yang dapat dijalankannya, maka Soekarno bergerak terus
sesuai dengan gaya lamanya tanpa terlalu melibatkan diri dalam debat soal ideologi serta
pertentangan antara Partindo dan PNI Baru.
Dalam periode pasca-Sukamiskin, Soekarno masih optimis dan penuh semangat
namun tidak disadari bahwa kajayaan dari masa sebelum 1930 sudah pudar; timbul banyak
kekecewaan atau kebimbangan di kalangan PNI Lama. Di samping itu, sudah terjadi garis
pemisah antara kelompok Partindo dan PNI Baru sehingga hal itu menjadi penghalang
pokok bagi proses pemersatuan. Akhirnya, Soekarno pun tidak berdaya melaksanakannya.
Usaha dalam PPPKI juga terbentur pada masalah perpecahan, antara lain Partindo dan
PNI Baru pada satu pihak dan pemimpin PPPKI pada pihak lain, padahal keikutsertaan
kedua partai itu atau salah satu daripadanya dianggap sangat perlu. Dalam hubungan ini
perlu di tambahkan bahwa tokoh Soetomo merupakan faktor kontroversial yang
menimbulkan ketidakserasian dalam tubuh PPPKI serta sangat melemahkannya. Baik
pengundurannya sebagai pengurus harian maupun reorganisasi yang dilakukan oleh

Page
69
Soekarno tidak berdaya untuk memperkokoh kedudukan PPPKI yang telah kehilangan
momentumnya, dan dalam hal ini kharisma Soekarno tidak dapat berbuat apa-apa.
Dengan ditangkapnya Soekarno pada 1 Agustus 1933 sebenarnya nasip PPPKI sudah
tidak memberi harapan lagi. “Sebenarnya PPPKI mati tetapi tidak pernah secara resmi
dikubur”. Meskipun demikian, hal itu tidak berarti bahwa gagasan tentang persatuan serta
pemersatu organisasi sudah mati, sama sekali tidak. Dalam tahun-tahun berikutnya secara
terus-menerus ada usaha-usaha untuk mewujudkan badan pemersatu itu.

Berakhirnya Masa Nonkooperasi


Periode awal tahun 1932 sampai dengan pertengahan 1933 tidak hanya ditandai oleh
perpecahan gerakan nasionalis serta kegagalan usaha pengintegrasian organisasi-organisasi
nasionalis, tetapi juga oleh aksi politik yang semakain meningkat terutama sebagai dampak
positif agitasi yang dijalankan oleh Soekarno. Di sisni dijumpai kekuatan-kekuatan sosial
yang antagonistik sehingga gerakan nasionalis sebagai totalitas menjadi kontra produktif,
bahkan dalam rangka kondisi ekonomis serta situasi politik menuju ke perbenturan kekuatan
nasionalis dengan kekuatan kolonial. Akselerasi aktivitas pada satu pihak hanya memancing
politik serta tindakan yang semakin reaksioner pada pihak lain. Lebih-lebih dalam hal ini
pemerintahan Gubernur Jenderal de Jonge tidak tanggung-tanggung secara konsekuen
menjalankan politik “purifikasi” atau “permunian”, artinya menumpas segala kecnderungan
ke arah radikalisasi dengan agitasi massa dan semua bentuk nonkooperasi. Maka dari itu,
gerak-gerik Partindo dan PNI Baru senantiasa diawasi secara ketat.
Aksi massa dan politik agitasi Soekarno selama lebih kurang satu tahun dari
pertengahan 1932 samapai petengahan 1933 merupakan titik puncak perkembangan
Partindo. Jumlah anggotanya naik dari 4.300 menjadi 20.000 orang.
Selama periode itu, frekuensi rapat-rapat meningkat pula, antara sehubungan dengan
perjalanan keliling Soekarno ke berbagai tempat cabang-cabang di Jawa Tengah dan Jawa
Timur. Dalam bulan Agustus dan September 1932, Soekarno berpidato di muka tidak kurang
dari 30.000 orang. Kemudian dalam bulan Februari 1933 bersama Gatot Mangkoepradja dan
Alamsyah, Soekarno bersafari ke Jawa Tengah dan mengunjungi 17 cabang di mana mereka
berbicara di muka rapat-rapat yang penuh sesak. Di mana-mana pokok pidatonya berkisar
sekitar marhaenisme, sosial-nasionalisme, dan Indonesia Merdeka.
Dalam suasana yang semakin panas dapat diduga bahwa penguasa sudah siap untuk
bertindak. Tindakan pertama ialah pemberangusan surat kabar Fikiran Rakyat pada tanggal

Page
70
19 Juli 1933 yang memuat sebuah cartoon. Pada 1 Agustus semua rapat Partindo dan PNI
Baru di larang dan hari itu juga Soekarno ditahan. Sehari kemudian dikeluarkan larangan
bagi semua pegawai negeri masuk menjadi anggota partai tersebut. Tindakan-tindakan itu
kesemuanya dilegitimasikan oleh pemerintah Hindia Belanda semata-mata untuk menjamin
rust en orde dan dilandaskan pada artikel 153 bis dan ter.
Bagi PNI Baru, akhir yang tragis dari politik agitasi memang dalam kritiknya selalu
dibayangkan akan terjadi; maka kejadian-kejadian itu memberi pembenaran bagi
strateginya. Meskipun demikian, politik ketat sejak 1 Agustus itu tidak memberi ruang
bergerak lagi kepada PNI Baru. Politik Gubernur Jenderal de Jonge tidak bersifat setengah-
tengah, maka dalam bulan Desember 1933 PNI Baru yang menjadi sasaran: Moh. Hatta dan
Sjahrir, ditangkap, dan PNI Baru dilarang.
Dengan tangan besinya, Gubernur Jenderal de Jonge hendak mempertahankan
otoritasnya, sehingga setiap gerakan bernada radikal atau revolusioner tanpa ampun
ditindasnya dengan alasan bahwa pemerintah kolonial bertanggung jawan atas keadaan di
Hindia Belanda, baginya dibayangkan bahwa dalam massa 300 tahun berikutnya pemerintah
itu akan masih tetap tegak berdiri. Politik represifnya berhasil menghentikan gerakan politik
nonkooperasi sama sekali.
Dalam hubungan ini perlu ditambahkan bahwa selama dalam tahanan, Soekarno –
menurut dokumen-dokumen arsip kolonial – telah menulis surat kepada pemerintah Hindia
Belanda sampai empat kali, yaitu tanggal 30 Agustus, 3, 21, dan 28 September yang
kesemuanya memuat pernyataan bahwa dia telah melepaskan prinsip politik nonkooperasi,
bahkan selanjutnya dia tidak lagi akan melakukan kegiatan politik. Sudah barang tentu hal
itu menggemparkan kaum nasionalis serta menimbulkan bermacam-macam reaksi. Ada
yang penuh keheranan atau kekecewaan, ada pula yang merasa cengkel atas perubahan sikap
yang berbalik 180 derajat itu.
Terlepas dari berbagai tafsiran itu rupanya aliran nonkooperasi tidak berdaya lagi,
lebih-lebih karena salah seorang perintis dan pelopornya telah mengingkari sendiri sikap
politik itu. Pembuangan Soekarno ke Digul diperkirakan membawa risiko karena dapat
mempengaruhi bekas anggota PKI yang dalam jumlah besar ada di sana. Akhirnya, dipilih
Flores sebagai tempat pembuangannya. Soekarno diberangkatkan pada Februari 1934.
Meskiupun PNI Baru tidak menjalankan politik agitasi dan aksi massa, namun
hubungannya dengan golongan komunis di Belanda dipakai sebagai alasan untuk menahan
Hatta, Sjahrir, dan anggota Badan Pekerja PNI dalam bulan Desember 1934.

Page
71
Kesimpulan
Ketika Sartono membubuarkan PNI pada tahun 1930, banyak anggotanya yang tidak
setuju. Mereka menyebut dirinya sebagai “Golongan Merdeka”. Dengan giat mereka
medirikan studi club-studi club baru, seperti Studi Club Nasional Indonesia di Jakarta dan
Studi Club Rakyat Indonesia di Bandung. Selanjutnya, mereka mendirikan Komite Perikatan
Golongan Merdeka untuk menarik anggota-anggota PNI dan untuk menghadapi Partindo.
Pada bulan Desember 1931, Golongan Merdeka membentuk Pendidikan Nasional
Indonesia (PNI Baru). Mula-mula Sultan Syahrir dipilih sebagai ketuanya. Moh. Hatta
kemudian dipilih sebagai ketua pada tahun 1932 setelah kembali dari Belanda. Strategi
perjuangan PNI Baru tidak jauh berbeda dengan PNI maupun dengan Partindo. Organisasi-
organisasi tersebut tetap sama-sama menggunakan taktik perjuangan non-kooperatif dalam
mencapai kemerdekaan politik. Adapun perbedaan antara PNI Baru dengan Partindo adalah
sebagai berikut:
1. PPPKI oleh PNI Baru dianggap sebagai “persatean” bukan persatuan karena anggota-
anggotanya memilii ideologi yang berbeda-beda. Sementara itu, Partindo manganggap
PPPKI dapat menjadi wadah persatuan yang kuat daripada mereka berjuang sendiri.

2. Dalam upaya mencapai kemerdekaan, PNI Baru lebih mengutamakan pendidikan


politik dan sosial. Partindo lebih mengandalkan organisasi massa dengan aksi-aksi
massa untuk mencapai kemerdekaan.

Pada tahun 1933, PNI Baru memiliki 65 cabang. Untuk mempersiapkan masyarakat
dalam mencapai kemerdekaan, PNI Baru melakukan kegiatan penerangan untuk rakyat dan
penyuluhan koperasi. Kegiatan-kegiatan PNI Baru tersebut dan ditambah dengan sikapnya
yang non-kooperatif dianggap oleh pemerintah kolonial membahayakan. Oleh karena itu,
pada bulan Februari 1934 Bung Hatta, Sultan Syahrir Maskun, Burhannuddin, Murwoto,
dan Bondan ditangkap pemerintah kolonial. Bung Hatta diasingkan ke hulu sungai Digul,
Papua. Kemudian dipindahkan ke Banda Neira pada tahun 1936 dan akhirnya ke Sukabumi
pada tahun 1942. Dengan demikian, hanya partai-partai yang bersikap kooperatif saja yang
dibiarkan hidup oleh pemerintah kolonial Belanda.
Pembubaran PNI pada kongres bulan April 1931 mengakibatkan terjadinya
perpecahan di kalangan anggotanya. Kelompok yang menyetujui pembubaran mendirikan

Page
72
Partindo. Sedangkan kelompok yang tidak setuju mempersatukan diri membentuk
“Golongan Merdeka”. Pada bulan Desember 1931, golongan merdeka mendirikan partai
baru, sesuai dengan saran Hatta. Partai itu diberi nama Pendidikan Nasional Indonesia (lebih
sering disebut PNI-Baru) dipimpin oleh Sukemi.
PNI didirikan di Bandung pada 4 Juli 1924 oleh kaum terpelajar yang dipimpin oleh
Ir. Soekarno. Kaum muda terpelajar itu tergabung dalam Algemene Studieclub (Bandung)
dan kebanyakan dari mereka adalah mantan anggota Perhimpunan Indonesia yang telah
kembali ke tanah air. Keradikalan PNI sudah tampak sejak pertama didirikannya. Ini terlihat
dari strategi perjuangannya yang berhaluan nonkooperasi. PNI tidak mau ikut dalam dewan-
dewan yang diadakan oleh pemerintah.

Tujuan PNI adalah kemerdekaan Indonesia dan tujuan itu akan dicapai dengan asas
“percaya pada diri sendiri”. Artinya: memperbaiki keadaan politik, ekonomi, sosial, dan
budaya yang sudah dirusak oleh penjajahan, dengan kekuatan sendiri. Semua itu akan
dicapai melalui berbagai usaha, antara lain:

1. Usaha politik, yaitu dengan cara memperkuat rasa kebangsaan persatuan dan kesatuan.
Memajukan pengetahuan sejarah kebangsaan, mempererat kerja sama dengan bangsa-
bangsa Asia dan menumpas segala perintang kemerdekaan dan kehidupan politik. Dalam
bidang politik, PNI berhasil menghimpun organisasi-organisasi pergerakan lainnya ke
dalam satu wadah yang disebut Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik
Kebangsaan Indonesia;

2. Usaha ekonomi, yaitu dengan memajukan perdagangan rakyaat, kerajinan atau industri
kecil, bank-bank, sekolah-sekolah, dan terutama koperasi;

3. Usaha sosial, yaitu dengan memajukan pengajaran yang bersifat nasional, emngurangi
pengangguran, mengangkat derajat kaum wanita, meningkatkan transmigrasi dan
memperbaiki kesehatan rakyat.

Gerakan PNI dipimpin oleh tokoh-tokoh berbobot, seperti Ir. Soekarno, Mr. Ali
Sastroamijoyo, Mr. Sartono, yang berpengaruh luas di berbagai daerah di Indoenesia. Ir.
Soekarno dengan keahliannya berpidato, berhasil menggerakkan rakyat sesuai dengan
tujuan PNI. Pengaruh PNI juga sangat terasa pada organisasi-organisasi pemuda hingga
melahirkan Sumpah Pemuda dan organisasi wanita yang melahirkan Kongres Perempuan di
Yogyakarta pada 22 Desember 1928.

H. Muhammadiyah

Nama Lengkap :Persyarikatan Muhammadiyah


Didirikan oleh : K.H. Ahmad Dahlan
Tempat /Tanggal :Yogyakarta pada 18 November 1912.

Page
73
Tujuan : (1) mengembangkan agama Islam sesuai perintah dan ajaran
Nabi Muhammad SAW;
(2) membantu dan meningkatkan kehidupan masyarakat;
(3) memajukan pendidikan di Indonesia.
Muhammadiyah : ‫محمدية‬
Pemimpin Saat Ini : Prof Dr HM Din Syamsuddin
Anggota : ± 35 juta orang..

Pada tanggal 18 November 1912, Ahmad Dahlan - seorang pejabat pengadilan dari
kraton Yogyakarta dan sarjana Muslim berpendidikan dari Mekah - didirikan
Muhammadiyah di Yogyakarta . Ada sejumlah motif di balik berdirinya gerakan ini . Di
antara yang penting adalah keterbelakangan masyarakat Muslim dan penetrasi Kristen .
Ahmad Dahlan , banyak dipengaruhi oleh reformis Mesir Muhammad ' Abduh ,
dianggap modernisasi dan pemurnian agama dari praktik sinkretis yang sangat penting
dalam mereformasi agama ini . Oleh karena itu, sejak awal Muhammadiyah telah sangat
peduli dengan menjaga tauhid , tauhid dan pemurnian dalam masyarakat .
Muhammadiyah mendapat surat Keputusan badan hukum dari pemerintah pada
tanggal 22 Agustus 1914. Setelah berbadan hukum, organisasi ini mulai mendapat sambutan
kalangan Islam sehingga mulai berkembang. Muhammadiyah adalah organisasi yang
bercorak kooperatif (bekerjasama) dengan pemerintah Belanda.
Dengan kegiatan tersebut Muhammadiyah turut mendukung perjuangan memperoleh
kemerdekaan. Peranannya dalam menumbuhkan kesadaran bangsa tentang pentingnya
kemajuan dan kemerdekaan sangat besar.
Amal usaha yang dilakukan Muhammadiyah dalam upaya menjunjung tinggi dan
menegakkan agama Islam, meliputi :
o Mendirikan, memelihara, dan membantu mendirikan sekolah-sekolah berdasarkan
agama Islam untuk meningkatkan harkat dan martabat bangsa Indonesia;
o Mendirikan dan memelihara tempat ibadah;
o Mendirikan dan memelihara rumah sakit untuk menjaga kesehatan masyarakat;
o Mendirikan dan memelihara panti asuhan untuk anak yatim piatu;
o Membentuk badan perjalanan haji ke tanah suci;
o Membentuk organisasi otonom untuk menampung masyarakat sesuai usia, jenis
kelamin untuk berjuang meningkatkan martabat sebagai orang Islam

Dari tahun 1913 sampai tahun 1918, Muhammadiyah mendirikan lima Sekolah Islam . Pada
tahun 1919 sebuah sekolah tinggi Islam , Hooge School Muhammadiyah didirikan . Dalam
mendirikan sekolah , Muhammadiyah mendapat bantuan yang signifikan dari Boedi Oetomo
, sebuah gerakan nasionalis yang penting di Indonesia pada paruh pertama abad kedua puluh
, seperti dalam bentuk menyediakan guru Muhammadiyah telah umumnya dihindari politik
. . Tidak seperti rekan tradisionalis nya, Nahdatul Ulama , tidak pernah membentuk partai
politik Sejak berdirinya, ia telah mengabdikan dirinya untuk kegiatan pendidikan dan sosial
.
Pada tahun 1925 , dua tahun setelah kematian Dahlan , Muhammadiyah hanya
memiliki 4.000 anggota, bahkan telah membangun 55 sekolah dan dua klinik di Surabaya
dan Yogyakarta Setelah Abdul Karim Amrullah memperkenalkan organisasi untuk
Minangkabau dinamis masyarakat muslim , Muhammadiyah berkembang pesat . . Pada
tahun 1938 , organisasi mengklaim memiliki 250.000 anggota , mengelola 834 masjid , 31

Page
74
perpustakaan , 1.774 sekolah , dan 7630 ulama . Minangkabau Pedagang menyebar
organisasi untuk seluruh Indonesia.
Selama pergolakan politik 1965-66 dan kekerasan , Muhammadiyah menyatakan
pemusnahan " Gestapu / PKI " ( Gerakan 30 September dan Partai Komunis Indonesia )
merupakan Perang Suci , pandangan yang didukung oleh kelompok-kelompok Islam lainnya
. ( lihat juga : pembunuhan Indonesia dari 1965-1966 ) . Selama " reformasi Indonesia "
1998 , beberapa bagian dari Muhammadiyah mendesak pimpinan untuk membentuk partai .
Oleh karena itu, mereka - termasuk Muhammadiyah ketua , Amien Rais , mendirikan Partai
Amanat Nasional . Meskipun mendapat dukungan besar dari para anggota Muhammadiyah
, partai ini tidak memiliki hubungan resmi dengan Muhammadiyah . Pemimpin
Muhammadiyah mengatakan anggota organisasinya bebas untuk menyesuaikan diri dengan
partai politik memilih disediakan pihak tersebut mereka telah berbagi nilai-nilai dengan
Muhammadiyah.
Muhammadiyah didukung oleh beberapa organisasi otonom :

Aisyiyah ( Perempuan )
Pemuda Muhammadiyah ( Pemuda )
Nasyiatul Aisyiyah ( Remaja Putri )
Ikatan Pelajar Muhammadiyah ( Asosiasi Mahasiswa )
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah ( College student )
Tapak Suci Putra Muhammadiyah ( Pencak Silat )
Hizbul Wathan ( Pramuka ) .

Struktur pengurus pusat terdiri dari lima penasehat , ketua, wakil ketua , sekretaris umum
dan beberapa deputi , bendahara dan beberapa deputi, serta beberapa wakil ketua.

I. Nahdhatul Ulama
Didirikan Oleh : KH. Hasyim Asyari
KH. Abdul Wahab Hasbullah
KH. Bisri
KH. Ridwan
Tempat / Tanggal : Surabaya, 31 Januari 1926
Tujuan : untuk memelihara kebiasaan bergama Islam secara tradisi
menurut mazhab Syafi’I, Maliki, Hanafi, dan Hambali

Nahdhatul Ulama (NU) didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya. Tokoh-tokoh
pendirinya antara lain KH. Hasyim Asyari (Pesantren Tebuireng), KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH.
Bisri (Pesantren Jombang), KH. Ridwan (Semarang), dan lain-lain. Latar belakang didirikannya NU
antara lain untuk memelihara kebiasaan bergama Islam secara tradisi menurut mazhab Syafi’I,
Maliki, Hanafi, dan Hambali.
Dalam mencapai cita-citanya, NU melakukan berbagai kegiatan, antara lain :
a) mengadakan perhubungan di antara ulama-ulama yang bermazhab Syafi’I, Maliki, Hanafi, dan
Hambali.
b) memeriksa kitab-kitab yang akan dipergunakan sebelum mengajar agar dapat diketahui
apakah kitab itu termasuk kitab-kitab Ahli Sunnah Wal Jama’ah atau kitab-kitab ahli bid’ah.
c) menyiarkan agama Islam berasaskan pada kitab Ahli Sunnah Wal Jama’ah.
d) membangun madrasah-madrasah, mesjid, pondok-pondok pesantren, serta hal-hal yang
berhubungan dengan anak yatim-piatu serta fakir miskin.

Page
75
J. Tri Koro Dharmo (Jong Java)

Didirikan Oleh : dr. Satiman Wiryosanjoyo


Tempat / Tanggal : 7 Maret 1915 di gedung Kebangkitan Nasional, Jakarta
Tujuan : memupuk rasa cinta tanah air, memperluas persaudaraan,
dan kebudayaan Jawa.
Kongres Pertama : Solo pada tanggal 12 Juni 1918
Hasil Kongres I : nama Tri Koro Darmo diubah menjadi Jong
Javanen Bond (Jong Java).
Ketua : dr. Satiman Wiryosanjoyo
Wakil Ketua : Wongsonegoro

Tri Koro Dharmo adalah perkumpulan pemuda yang pertama kali berdiri.
Perkumpulan ini dibentuk atas petunjuk Budi Utomo pada 7 Maret 1915 di gedung
KebangkitanNasional, Jakarta oleh dr. Satiman Wiryosanjoyo dan pemuda-pemuda Jawa,
seperti Satiman, Kadarman, Sumardi, Jaksodipuro (Wongsonegoro), Sarwono, dan
Mawardi. Trikoro Dharmo berarti tiga tujuan mulia, yaitu Sakti, Budi dan Bhakti.
Kegiatannya seputar memupuk rasa cinta tanah air, memperluas persaudaraan, dan
mengembangkan kebudayaan Jawa. Sebagian besar anggotannya adalah murid-murid
sekolah menengah asal Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Kenggotaan Trikoro Dharmo pada mulanya hanya terbatas pada kalangan pemuda dari
Jawa dan Madura. Akan tetapi, diperluas dengan semboyannya Jawa Raya yang meliputi
Jawa, Sunda, Bali, dan Lombok. Pada tanggal 9 Desember 1917 di Jakarta berdiri organisasi
Jong Sumatranen Bond. Tokoh-tokoh nasional yang pernah menjadi anggota Jong
Sumatranen Bond, antara lain Moh.Hatta, Moh.Yamin, M. Tasil, Bahder Djohan, dan Abu
Hanifah. Jong Minahasa berdiri pada tanggal 5 Januari 1918 di Manado dengan tokohnya
A.J.H.W.Kawilarang dan V.Adam. Jong Celebes dengan tokoh-tokohnya Arnold
Monomutu, Waworuntu, dan Magdalena Mokoginta. Jong Ambon berdiri pula pada tanggal
1 Juni 1923 di Jakarta.
Dengan semangat kedaerahaannya itu, pada kongres Trikoro Dharmo di Solo tanggal
12 Juni 1918 nama trikoro Dharmo diubah menjadi Jong Java. Kegiatan Jong Java masih
tetap bergerak dalam bidang sosial budaya. Pada kongres kelima bulan Mei 1922 di Solo
dan kongres luar biasa Desember 1922 ditetapkan bahwa Jong Java tidak akan mencampuri
masalah politik. Anggota Jong Java hanya diperbolehkan terjun dalam dunia politik setelah
mereka tamat belajar.
Tahun 1929, Jong Java dibubarkan dan diganti dengan Indonesia Muda yang bersifat
nasionalis. Tri Koro Dharmor memiliki perangkat antara lain : dr. Satiman Wiryosanjoyo
(ketua), Wongsonegoro (wakil ketua), dan Sutomo (sekretaris).

K. Taman Siswa

Didirikan Oleh : Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantoro)


Tempat/ Tanggal : 3 Juli 1922, Yogyakarta

Page
76
Tujuannya : 1. mengembangkan edukasi dan kultural yang direalisasikan
dengan baik, terbukti dengan pendirian sekolah-sekolah di
lingkungan Taman Siswa.
2. memajukan pendidikan bangsa Indonesia agar mempunyai
harga diri yang sama dengan bangsa lain yang merdeka
Semboyan : 1. Ing ngarso sung tulodo
2. Ing madya mangun karso
3. Tut wuri handayani

Setelah Indische Partij dilarang oleh pemerintah Hindia-Belanda tahun 1913, salah seorang
tokohnya yaitu Ki Hajar Dewantara (Suwardi Suryaningrat) mengalihkan perjuangannya ke bidang
pendidikan. Pada tanggal 3 Juli 1922, Ki Hajar Dewantara mendirikan Perguruan Taman Siswa di
Yogyakarta. Tujuannya adalah memajukan pendidikan bangsa Indonesia agar mempunyai harga diri
yang sama dengan bangsa lain yang merdeka. Meskipun tidak bergerak dibidang politik, tetapi
Perguruan Taman Siswa termasuk organisasi yang mempunyai andil dalam pergerakan nasional
untuk mencapai kemerdekaan.
Sekolah-sekolah yang didirikan diantaranya
 Taman Kanak-Kanak disebut Taman Indiria,
 Sekolah Dasar disebut Taman Anak,
 SLTP disebut Taman Muda, dan
 SLTA disebut Taman Madya.

Semboyan pendidikannya yang terkenal adalah


 “Ing ngarso sung tulodo” (di depan harus memberikan contoh atau teladan),
 “Ing madya mangun karso” (jika di tengah harus bekerja sama), dan
 “Tut wuri handayani” (jika di belakang harus memberikan dorongan).

Semboyan ini kemudian menjadi semboyan Departemen Pendidikan Nasional.


Sementara itu, hari lahir Ki Hajar Dewantara tanggal 2 Mei selalu diperingati sebagai Hari
Pendidikan Nasional.

Patrap Triloka dipakai sebagai panduan dan pedoman dalam dunia pendidikan di
Indonesia.

Panji Tamansiswa
1. Bentuk : berbentuk perisai dengan ukuran lebar dibandingkan panjang 2 : 3. Dibagian
bawah , mulai batas 2/3 dari atas melengkung.

2. Isi :

a. Lambang Tamansiswa;
b. Suci Tata Ngesti Tunggal;
c. Tahun Masehi 1922 dan hiasannya.

Page
77
Panji Taman Siswa.

3. Warna : dasar hijau, lambang Tamansiswa,tulisan, angka, hiasan dan rumbainya


berwarna kuning emas.

4. Arti warna : kuning emas = cahaya, cemerlang, cita-cita luhur; hijau : harapan, selalu
berkembang, pendidikan.

5. Ukuran Baku : 50 cm x 75 cm. Untuk keperluan lain ukuran berbanding 2 : 3.

Taman Siswa berdiri pada tanggal 3 Juli 1922, Taman Siswa adalah badan
perjuangan kebudayaan dan pembangunan masyarakat yang menggunakan pendidikan
dalam arti luas untuk mencapai cita-citanya. Bagi Tamansiswa, pendidikan bukanlah tujuan
tetapi media untuk mencapai tujuan perjuangan, yaitu mewujudkan manusia Indonesia yang
merdeka lahir dan batinnya. Merdeka lahiriah artinya tidak dijajah secara fisik, ekonomi,
politik, dsb; sedangkan merdeka secara batiniah adalah mampu mengendalikan keadaan.
Bebicara Taman Siswa tidak bisa lepas dari pendirinya yaitu Raden Mas Soewardi
Soeryaningrat atau yang biasa di kenal dengan Ki Hajar Dewantara. Beliau mendirikan
Taman Siswa bertujuan untuk pendidikan pemuda Indonesia dan juga sebagai alat
perjuangan bagi rakyat Indonesia. Tujuan Taman Siswa adalah membangun anak didik
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, merdeka lahir
batin, luhur akal budinya, cerdas dan berketerampilan, serta sehat jasmani dan rohaninya
untuk menjadi anggota masyarakat yang mandiri dan bertanggung jawab atas kesejahteraan
bangsa, tanah air, serta manusia pada umumnya. Meskipun dengan susunan kalimat yang
berbeda namun tujuan pendidikan Taman Siswa ini sejalan dengan tujuan pendidikan
nasional.

A. BERDIRINYA TAMAN SISWA


Taman siswa berdiri pada 3 Juli 1922, pendirinya adalah Raden Mas Soewardi
Soeryaningrat atau yang biasa dikenal dengan Ki Hajar Dewantara. Awal pendirian Taman
Siswa diawali dengan ketidakpuasan dengan pola pendidikan yang dilakukan oleh
pemerintah kolonial, karena jarang sekali negara kolonial yang memberikan fasilitas
pendidikan yang baik kepada negara jajahannya. Seperti yang dikatakan oleh ahli sosiolog
Amerika “pengajaran merupakan dinamit bagi sistem kasta yang dipertahankan dengan
keras di dalam daerah jajahan”.

Page
78
Oleh sebab itu maka didirikanlah Taman Siswa, berdirinya Taman Siswa merupakan
tantangan terhadap politik pengajaran kolonial dengan mendirikan pranata tandingan.
Taman Siswa adalah badan perjuangan kebudayaan dan pembangunan masyarakat yang
menggunakan pendidikan dalam arti luas untuk mencapai cita-citanya. Bagi Taman Siswa,
pendidikan bukanlah tujuan tetapi media untuk mencapai tujuan perjuangan, yaitu
mewujudkan manusia Indonesia yang merdeka lahir dan batinnya. Merdeka lahiriah artinya
tidak dijajah secara fisik, ekonomi, politik, dsb, sedangkan merdeka secara batiniah adalah
mampu mengendalikan keadaan.

Dengan proses berdirinya Taman Siswa Ki Hajar Dewantara telah


mengesampingkan pendapat revolusioner pada masa itu, tetapi dengan seperti itu secara
langsung usaha Ki Hajar merupakan lawan dari politik pengajaran kolonial. Lain dari pada
itu kebangkitan bangsa-bangsa yang dijajah dan perlawanan terhadap kekuasaan kolonial
umumnya disebut dengan istilah nasionalisme atau paham kebangsaan menuju
kemerdekaan. Taman Siswa mencita-citakan terciptanya pendidikan nasional, yaitu
pendidikan yang beralas kebudayaan sendiri. Dalam pelaksanaanya pendidikan Taman
Siswa akan mengikuti garis kebudayaan nasional dan berusaha mendidik angkatan muda di
dalam jiwa kebangsaan.

Pendidikan Taman Siswa dilaksanakan berdasar Sistem Among, yaitu suatu sistem
pendidikan yang berjiwa kekeluargaan dan bersendikan kodrat alam dan kemerdekaan.
Dalam sistem ini setiap pendidik harus meluangkan waktu sebanyak 24 jam setiap harinya
untuk memberikan pelayanan kepada anak didik sebagaimana orang tua yang memberikan
pelayanan kepada anaknya.

Sistem Among tersebut berdasarkan cara berlakunya disebut Sistem Tut Wuri
Handayani. Dalam sistem ini orientasi pendidikan adalah pada anak didik, yang dalam
terminologi baru disebut Student Centered. Di dalam sistem ini pelaksanaan pendidikan
lebih didasarkan pada minat dan potensi apa yang perlu dikembangkan pada anak didik,
bukan pada minat dan kemampuan apa yang dimiliki oleh pendidik. Apabila minat anak
didik ternyata akan ke luar “rel” atau pengembangan potensi anak didik di jalan yang salah
maka pendidik berhak untuk meluruskannya.

Gambar: Logo Taman Siswa

Untuk mencapai tujuan pendidikannya, Taman Siswa menyelanggarakan kerja sama


yang selaras antar tiga pusat pendidikan yaitu lingkungan keluarga, lingkungan perguruan,
dan lingkungan masyarakat. Pusat pendidikan yang satu dengan yang lain hendaknya saling

Page
79
berkoordinasi dan saling mengisi kekurangan yang ada. Penerapan sistem pendidikan seperti
ini yang dinamakan Sistem Trisentra Pendidikan atau Sistem Tripusat Pendidikan.

Pendidikan Tamansiswa berciri khas Pancadarma, yaitu Kodrat Alam


(memperhatikan sunatullah), Kebudayaan (menerapkan teori Trikon), Kemerdekaan
(memperhatikan potensi dan minat maing-masing indi-vidu dan kelompok), Kebangsaan
(berorientasi pada keutuhan bangsa dengan berbagai ragam suku), dan Kemanusiaan
(menjunjung harkat dan martabat setiap orang).

Sekolah-sekolah yang didirikan diantaranya


 Taman Kanak-Kanak disebut Taman Indiria,
 Sekolah Dasar disebut Taman Anak,
 SLTP disebut Taman Muda, dan
 SLTA disebut Taman Madya.

B. REAKSI PEMERINTAH KOLONIAL TERHADAP TAMAN SISWA

Taman Siswa bisa dianggap sebagai tempat pemupukan kader masyarakat Indonesia
dimasa mendatang dan yang sudah pasti akan berusaha pula untuk menumbangkan
kekuasaan kolonial. Oleh karena itu pemerintah kolonial berusaha untuk menghalang-
halangi perkembangan Taman Siswa khususnya, dan sekolah-sekolah partikelir umumnya.
Sejak itu, Taman Siswa menghadapi perjuangan asasi, melawan politik pemerintah Hindia
Belanda. Pada tahun 1931 timbul pendapat dikalangan orang Belanda yang memperingatkan
pemerintah, bahwa apabila tidak diadakan peninjauan kembali, Taman Siswa akan
menguasai keadaan dalam tempo sepuluh tahun.
Pemerintah konservatif Gubernur Jenderal de jonge menyambut kegelisahan orang
Belanda dengan mengeluarkan “ordonansi pengawasan” yang dimuat dalam Staatsblad no.
494 tanggal 17 September 1932. Isi dan tujuan dari ordonansi itu ialah memberi kuasa
kepada alat-alat pemerintah untuk mengurus wujud dan isi sekolah-sekolah partikelir yang
tidak dibiayai oleh negeri. Sekolah partikelir harus meminta izin lebih dahulu sebelum
dibuka dan guru-gurunya harus mempunyai izin mengajar. Rencana pengajaran harus pula
sesuai dengan sekolah-sekolah negeri, demikian juga peraturan-peraturannya. Ordonansi itu
menimbulkan perlawanan umum dikalangan masyarakat Indonesia dan dimulai oleh
prakarsa Ki Hajar Dewantara yang mengirimkan protes lewat telegram kepada Gubernur
Jenderal di Bogor pada tanggal 1 Oktober 1932.
Pada tanggal 3 Oktober 1932 Ki Hajar Dewantara mengirimkan maklumat kepada
segenap pimpinan pergerakan rakyat, dan menjelaskan lebih lanjut sikap yang diambil
Taman Siswa. Aksi melawan ordonansi ini disokong sepenuhnya oleh 27 organisasi, antara
lain Istri sedar, PSII, Dewan Guru Perguruan Kebangsaan di Jakarta, Budi Utomo,
Paguyuban Pasundan, Persatuan Mahasiswa, PPPI, Partindo, Muhammadiyah, dan lain-
lainnya. Golongan peranakan Arab dan Tionghoa juga menyokong aksi ini. Pers nasional
tidak kurang menghantam ordonansi itu melalui tajuk rencananya. Mohammad Hatta
sebagai pemimpin Pendidikan Nasional Indonesia, menganjurkan supaya mengorganisasi
aksi yang kuat. Pada bulan Desember 1932, Wiranatakusumah, anggota Volksraad
mengajukan pertanyaan pada pemerintah dan disusul pada bulan Januari 1933 dengan
sebuah usul inisiatif.
Usul inisiatif yang disokong oleh kawan-kawannya di Volksraad, berisi: menarik
kembali ordonansi yang lama serta mengangkat komisi untuk merencanakan perubahan
Page
80
yang tetap. Budi Utomo dan Paguyuban Pasundan mengancam akan menarik wakil-
wakilnya dari dewan-dewan, apabila ordonansi ini tidak dicabut pada tanggal 31 Maret
1933. Juga dikalangan para ulama aksi melawan ordonansi sekolah liar ini mendapat
sambutan, terbukti dengan adanya rapat-rapat Persyarikatan Ulama di Majalengka dan
Ulama-ulama Besar di Minangkabau. Pemerintah terkejut akan tekad perlawanan akan
masyarakat Indonesia dan setelah mengeluarkan beberapa penjelasan dan mengadakan
pertemuan dengan Ki Hajar Dewantara, akhirnya dengan keputusan Gubernur Jenderal
tanggal 13 Februari 1933 ordonansi Sekolah liar diganti dengan ordonansi baru.
Perlawan Taman Siswa terhadap ordonansi sekolah liar merupakan masa gemilang
bagi sejarahnya, yang juga berarti mempertahankan hak menentukan diri sendiri bagi bangsa
Indonesia. Sesudah itu Taman Siswa akan mengadakan lagi perlawanan terhadap peraturan
pemerintah kolonial yang dapat dianggap merugikan rakyat. Pada tahun 1935 Taman Siswa
mempunyai 175 cabang yang tersebar di sekolahnnya ada 200 buah, dari mulai sekolah
rendah hingga sekolah menengah.

C. SIKAP TAMAN SISWA PADA REVOLUSI DAN INDONESIA MERDEKA


Pada saat setelah Indonesia merdeka Taman Siswa mengadakan Rapat Besar
(Konferensi) yang ke-9 di Yogyakarta. Tapi pada masa kemerdekaan ini tidak semua guru
Taman Siswa menyadari akan datang juga masa baru untuk Perguruan nasional mereka.
Dalam Rapat besar itu terdapat tiga pendapat dikalangan Taman Siswa dalam menghadapi
kemerdekaan.
Pertama, pendapat bahwa tugas Taman Siswa telah selesai dengan tercapainya
Indonesia merdeka. Karena menurut pendukung pendapat ini, peran taman siswa sebagai
penggugah keinsafan nasional sudah habis, dan faktor melawan pemerintah jajahan tidak
ada lagi.
Kedua, Taman Siswa masih perlu ada, sebelum pemerintah Republik dapat
mengadakan sekolah-sekolah yang mencukupi keperluan rakyat. Lagi pula isi sekolah-
sekolah negeri pun belum dapat diubah sekaligus sebagai warisan sistem pengajaran yang
lampau.
Ketiga, sekolah-sekolah partikelir yang memang mempunyai dasar sendiri tetap
diperlukan, walaupun nantinya jumlah sekolah sudah cukup dan isinya juga sudah nasional.
Perbedaan pendapat dikalang Taman Siswa membawa dampak yang tidak bisa
dielakan, para pendukung pendapat pertama banyak yang meninggalkan Taman Siswa.
Taman Siswa banyak ditinggalkan oleh pendukung akatif yang tahan uji. Namun hal ini
tidak mengherankan karena sebenarnya orang-orang Taman Siswa hanya berpindah tempat
mengisi kemerdekaan. Misal saja bapak Taman Siswa sendiri, Ki Hajar Dewantara, pada
awal kemerdekaan menjadi Mentri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama
didalam pemerintahan. Bagi Taman Siswa sendiri yang terpenting ialah pembentukan
panitia yang berkewajiban meninjau kembalinya peraturan Taman Siswa dengan segala
isinya. Panitia ini diketuai oleh S. Manggoensarkoro dan kesimpiulan panitia ini diterima
dalam Rapat Besar Umum (Kongres) V di Yogyakarta pada bulan Desember 1947.
Pada masa itu, Belanda sudah memulai aksi militernya yang pertama pada 21 Juli
1947, sehingga Rapat Besar Umum, membahas tentang kedudukan cabang-cabang di daerah
pendudukan. Di daerah pendudukan Belanda muncul sebutan “sekolah liar” tapi tidak hanya
sekolah partikelir saja tapi sekolah republik pun dinyatakan “sekolah liar” ketika sekolah di
Jakarta ditutup, maka gedung Taman Siswa di jalan Garuda 25 dibanjiri oleh murid-murid.
Semangat yang luar biasa ditunjukan oleh sekolah Taman Siswa yang berada di daerah
pendudukan, mereka berusaha mempertahankan sekolah mereka meski Majelis Luhur di
Yogyakarta tidak menyetujui diteruskanya sekolah di daerah pendudukan. Tapi akhirnya
Page
81
majelis Luhur mengizinkan untuk membuka terus cabang-cabang Taman Siswa di daerah
pendudukan.

D. TAMAN SISWA SETELAH KEMERDEKAAN


Salah satu masalah yang dihadapi Taman Siswa setelah kemerdekaan ialah meninjau
kembali hubungan dengan pemerintah kita sendiri, terutama dalam hal penerimaan subsidi.
Di kalang perguruan tinggi, banyak perbedaan dalam menghadapi masalah ini, yaitu mereka
yang dapat menerima subsidi itu dan digunakan untuk pengelolaan sekolah tapi tetap melihat
berapa besar pengaruhnya agar tidak menggangu prinsip “merdeka mengurus diri sendiri”
dan mereka yang beranggapan agar melepas sikap oposisi seperti pada masa kolonial karena
dianggap tidak cocok saat Indonesia merdea. Pada tahun 1946, sempat ada keterbukaan
untuk menghadapi masa kemerdekaan untuk merumuskan kembali sas dan dasar , namun
dalam pelaksanaanya mengenai subsidi ini masih banyak yang ingin memelihara keadaan
seperti yang lalu.
Di kalangan para pemimpin sedikitnya tedapat dua aliran. Yang pertama aliran yang
memnginginkan Taman Siswa terlepas dari sistem pendidikan pemerintah, merupakan
lembaga pendidikan yang independen, hidup dalam cita-citanya sendiri dan terus berusaha
agar sebagian masyarakat menerima konsep pendidikan nasional. Caranya ialah dengan
tetap mempertahankan sistem pondok yang relatif terasing dari masyarakat sekitarnya.
Aliran pemikiran yang kedua ialah mereka yang berpendapat bahwa perkembangan
masyarakat Indonesia baru sangat berbeda dengan keadaan zaman kolonial, oleh karena
perubahan perlu dihadapi dengan pemikiran baru. Taman Siswa dapat menyumbangkan
pengalaman dan keahlian untuk Menteri Pendidikan dalam usahanya mengembangkan
kebijaksanaan politik pendidikan nasional.

L. PARINDRA (Partai Indonesia Raya)

Didirikan Oleh :
Tempat / Tanggal :
Tujuan : a. Memperkokoh semangat persatuan
kebangsaan.
b. Terus berjuang untuk memperoleh suatu
pemerintahan yang berdasarkan demokratis
dan nasionalisme.
c. Berusaha meningkatkan kesejahteraan
rakyat baik bidang ekonomi maupun sosial.

Lahirnya Parindra
Dalam kongres yang diselenggarakan pada tahun 1934 di Malang yang dihadiri 38
cabang dibicarakan komunikasi antar pulau agar dapat dilakukan melalui pelayaran yang
diperkuat oleh koperasi. Selain itu kongres akan memajukan pendidikan rakyat dan
kepanduan yang diberi nama Suryawirawan. Dilumpuhkannya gerakan nonkoperasi pada
tahun 1930-an mempercepat perkembangan kerjasama PBI dan BU. Usaha penyatuan
antarperhimpunan pergerakan nasional terwujud dengan berdirinya Partai Indonesia Raya
Page
82
(Parindra). Parindra merupakan hasil fusi dari Budi Utomo (BU) dengan Persatuan Bangsa
Indonesia (PBI) dalam kongres fusinya tanggal 24-26 Desember 1935 di Solo. Sebagai ketua
terpilih dr. Sutomo (PBI), dan Wakil Ketua, Wuryaningrat (BU) dengan kantor pusat di
Surabaya. Usaha penyatuan antar perhimpunan pergerakan nasional terwujud dengan
berdirinya Partai Indonesia Raya (Parindra). Organisasi lain yang kemudian bergabung ke
dalam Parindra ialah Sarekat Minahasa, Sarekat Ambon, Perkumpulan Kaum Betawi,
Sarekat Selebes, dan Sarekat Sumatra.. Dengan terbentuknya Parindra berati persatuan
golongan koperasi makin kuat. Pada tahun 1936 partai itu mempunyai 57 cabang dengan
3.425 anggota.
Tujuan Parindra tidak jauh berbeda dengan PBI yang menginginkan Indonesia mulia
dan sempurna.
Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan usaha-usaha sebagai berikut.
a. Memperkokoh semangat persatuan kebangsaan.
b. Terus berjuang untuk memperoleh suatu pemerintahan yang berdasarkan demokratis
dan
nasionalisme.
c. Berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat baik bidang ekonomi maupun sosial.
Dalam politiknya Parindra bersikap non-koperasi yang insidentil artinya apabila ada
kejadian yang sangat mengecewakan organisasi itu, maka diputuskan untuk sementara
menarik wakil-wakilnya dari dalam badan perwakilan. Parindra sangat aktif dan konstruktif
terhadap perkembangan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Untuk menolong petani
didirikan Perkumpulan Rukun Tani dan untuk memajukan pelayaran didirikan Rukun
Pelayaran Indonesia (Rupelin), dan juga didirikan Bank Nasional Indonesia.
Untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia, Parindra melakukan program-program,
yakni:http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=4372079726298618840
1) Melakukan pencerdasan secara politik-ekonomi-sosial kepada masyarakat sebagai bekal
dalam menjalankan pemerintahan sendiri di masa depan;
2) Menggalang persatuan dan kesatuan Indonesia tanpa memandang suku, agama, ras,
pendidikan dan kedudukannya;
3) Membentuk dan menjalankan aksi besar hingga diperoleh pemerintahan yang
demokratis, berdasar kepentingan dan kebutuhan bangsa Indonesia;
4) Bekerja keras di setiap bidang usaha untuk meninfkatkan kesejahteraan rakyat baik
secara ekonomis, sosial, maupun politis;
5) Mengusakan adanya persamaan dan kewajiban serta kedudukan dalam hukum bagi
seluruh warga Negara Indonesia.

Masa Kejayaan Parindra


Kongres Pertama yang diselenggarakan di Jakarta pada 15-18 bulan Mei 1937
diputuskan bahwa Parindra bersikap koperatif dan anggota yang ada dalam dewan harus
tetap loyal pada partainya. Dan dalam kongres tersebut menghasilkan keputusan sebagai
berikut: Parindra bukan bersikap koperasi atau non-koperasi. Tetapi dewan-dewan
perwakilan, ia mau mencampurinya, artinya bahwa anggota-anggota Parindra yang masih
duduk dalam dewan-dewan, mulai waktu itu bertindak sebagai wakil partai bahwa Parindra
akan berusaha, supaya partai itu dapat menempatkan sebanyak-banyaknya wakil dalam
dewan-dewan dan oleh sebab itu cabang-cabang dibolehkan turut pada perjuangan
pemilihan. Jika dalam suatu hal ditentukan istimewa sikap partai dan sesuatu anggota
bersikap yang berbedaan dengan sikap itu, maka anggota itu harus memilih antara
pemecatan sebagai anggota partai atau menarik diri dari dewan. Jika sekiranya sikap partai
belum diketahuinya, maka anggota merdeka mengambil sikap sendiri, tetapi sikapnya itu
tidak boleh berlawanan dengan asas-asas partai semuanya.
Page
83
Parindra mencapai kejayaan ketika pada saat itu Parindra dapat mendudukan
wakilnya dalam Volksraad, yaitu Muhammad Husni Thamrin. Parindra banyak melakukan
kritik terhadap Belanda, bahkan terhadap Petisi Soetarjo 1936, karena dinilai kurang
mengakomodasi kepentingan rakyat.
Parindra berjuang agar wakil-wakil volksraad semakin bertambah sehingga suara
yang berhubungan dengan upaya mencapai Indonesia merdeka semakin diperhatikan oleh
pemerintah Belanda. Perjuangan Parindra dalam volksraad cukup berhasil, terbukti
pemerintah Belanda mengganti istilah inlandeer menjadi Indonesier.
Anggota pengurus besar seperti M. Husni Thamrin, Sukarjo Wiryopranoto, dan lain-
lain telah mendorong Parindra hidup sebagai partai Nasional, yang dapat dikatakan partai
yang paling kuat pada waktu itu.
Dengan sikap moderat, Parindra dapat mendudukkan wakilnya di dalam Volkrsraad,
yaitu Muh. Husni Tamrin. Usaha Parindra lebih banyak dicurahkan dalam pembangunan
terutama di bidang ekonomi dan sosial, antara lain sebagai berikut:
a. Mendirikan poliklinik-poliklinik.
b. Mendirikan Rukun Tani untuk membantu dan memajukan kaum tani.
c. Membentuk sarekat-sarekat kerja.
d. Menganjurkan swadesi dalam bidang ekonomi, ditempuh dengan mendirikan bank-bank
yang berpusat pada Bank Nasional Indonesia di Surabaya.
e. Membentuk Rukun Pelayaran Tani (Rupelin), untuk membantu dan memajukan
pelayaran dari bangsa Indonesia.
f. Mendirikan organisasi pemuda berbentuk kepanduan dengan nama Surya Wirawan.
Selanjutnya diambil 2 mosi. Mosi yang pertama mengenai perlunya memperbaiki
pelayaran perahu bangsa Indonesia, kepada pemerintah akan didesak, supaya sedapt-
dapatnya membuka sekolah dengan selekas-lekasnya untuk mendidik pelayar-pelayar
bangsa Indonesia. Mosi yang kedua supaya menambah Rukun Tani sebanyak-banyaknya,
oleh sebab itu, umpamanya akan diminta kepada Pemerintah, supaya pengawasan atas
badan-badan itu dikurangi kerasnya dan supaya diadakan aturan lain tentang “badan-badan
hokum negari” (Inlandsche rechtspersonen). Parindra berusaha mencapai Indonesia Mulia.
Selama tahun 1934, dilakuakan propaganda amat banyak sekali. Untuk memperbaiki
perekonomian rakyat, Parindra membentuk organisasi rukun tani, membentuk sarikat-
sarikat sekerja, menganjurkan swadesi ekonomi, dan mendirikan “Bank Nasional
Indonesia”. Kongres kedua dilaksanakan di Bandung pada 24-27 Desember 1938.
Karena saat itu Dr. Sutomo sudah meninggal maka kongres memilih K.R.M.
Wuryaningrat untuk menjadi ketua partai. Dalam Kongres itu diambil keputusan-keputusan,
antara lain: tidak menerima peranakan (Indo) menjadi anggota, berusaha keras mengurangi
pengangguran, dan meningkatkan transmigrasi guna memperbaiki kesejahteraan.
Sepak terjang Parindra begitu gencar. Parindra menjadi pelopor pembentukan Fraksi
Nasional, bahkan dengan kegagalam petisi Soertarjo, Parindra mengambil inisiatif untuk
menggalang persatuan politik, menuju pembentukan badan konsentrasi nasional. Badan
Konsentrasi Nasional itu terbentuk pada Mei 1939, yang disebut Gabungan Politik
Indonesia (GAPI).

Kesimpulan
Partai Indonesia Raya merupakan partai politik yang bergerak berdasarkan rasa
nasionalisme Indonesia dengan tujuan menjadikan Indonesia Muliadan Sempurna. Parindra
menganut azas kooperatif, atau memilih untuk berkerja sama dengan pemerintahan
belanda.mereka melakukan ini dengan cara menjadi dewan-dewan untuk waktu tertentu.
Cikal bakal PARINDRA adalah indische studie club di surabaya yang dipimpin oleh Dr.

Page
84
Sutomo. Pada tahun 1931 perkumpulan ini kemudian diubah menjadi Partai Bangsa
Indonesia (PBI).
Tujuan perjuangannya adalah untuk menyempurnakan derajat bangsa Indonesia
dengan melakukan hal-hal yang nyata dan dapat dirasakan oleh rakyat banyak, seperti
memajukan pendidikan, mendirikan koperasi rakyat, mendirikan bank-bank untuk rakyat
dan juga mendirikan persatuan nelayan.
Tokoh tokoh yang mengikuti parindra antara lain Woeryaningrat, RM Margono
Djojohadikusumo, R. panji soeroso, dan Mr. soesanto tirtoprodjo, M. Husni Thamrin dan
Sukarjo Wiryopranoto
Pada tahun 1937, Parindra memiliki anggota 4.600 orang. Pada akhir tahun 1938,
anggotanya menjadi 11.250 orang. Anggota ini sebagian besar terkonsentrasi di Jawa Timur.
Pada bulan Mei 1941 (menjelang perang Pasifik), Partai Indonesia Raya diperkirakan
memiliki anggota sebanyak 19.500 orang.
Perkembangan selanjutnya, banyak organisasi yang bergabung dengan parindra.
seperti Sarekat sumatra, sarekat ambon, kaum betawi, timor verbond dan sebagainya.

M. Pemufakatan Perhimpunan- Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia

Didirikan Oleh :
Tempat / Tanggal : 17 Desember 1927.
Tujuan : a.Menyamakan arah aksi kebangsaan serta
memperkuat dan memperbaiki organisasi
dengan melakukan kerjasama diantara
anggota-anggotanya,
b. Menghindarkan perselisihan diantara para
anggotanya yang dapat memperlemah aksi
kebangsaan.

(PPPKI) didirikan pada tanggal 17 Desember 1927. Anggopta PPPKI terdiri atas
Partai Nasional Indonesia, Partai Serikat Islam, Budi Utomo, Pasundan, Sumatranen
Bond, Kaum Betawi, dan Indonesische Studie Club. Tujuan PPPKI adalah :
a.Menyamakan arah aksi kebangsaan serta memperkuat dan
memperbaiki organisasi dengan melakukan kerjasama diantara
anggota-anggotanya,
b. Menghindarkan perselisihan diantara para anggotanya yang dapat
memperlemah aksi kebangsaan.
Pengurus PPPKI disebut Majelis Pertimbangan yang terdiri atas ketua,
penulis, bendahara, dan wakil-wakil dari partai-partai yang tergabung didalamnya.

Pembentukan Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan


Indonesia (PPPKI).

Di kalangan pemimpin pergerakan nasional muncul gagasan untuk membentuk


gabungan (fusi) dari partai-partai politik yang ada. Tujuannya untuk memperkuat dan
mempersatukan tindakan-tindakan dalam menghadapi pemerintah kolonial. Usaha itu
dirintis oleh Sarekat Islam, Muhammadiyah, Jong Islamiten Bond, Pasundan, Persatuan
Minahasa, Sarekat Ambon dan Sarekat Madura. Pada bulan September 1926 berhasil

Page
85
dibentuk Komite Persatuan Indonesia. Akan tetapi, usaha tersebut tidak berhasil dengan baik
sehingga tidak satu pun organisasi gabungan (fusi) yang dihasilkan.

Pada tanggal 17-18 Desember 1927 diadakan sidang di Bandung yang dihadiri oleh
wakil-wakil dari PNI, Algemeene Studieclub, PSI (Partai sarekat Islam), Boedi Oetomo,
Pasundan, Sarekat Sumatra, Kaum Betawi, dan Indinesische studieclib. Sidang tersebut
memutuskan untuk membentuk (PPPKI) dengan tujuan sebagai berikut.

Sebagai suatu alat organisasi yang tetap dari federasi itu, dibentuklah dewan
pertimbangan yang terdiri atas seorang ketua, sekretaris, bendahara, dan wakil partai-partai
yang bergabung. Dr. Soetomo dari Studieclub sebagai Ketua Majelis Pertimbangan dan Ir.
Anwari dari PNI sebagai sekretaris.

N. Kongres Pemuda

Didirikan Oleh :
Tempat / Tanggal :
Tujuan :

1. Kongres Pemuda I

Keinginan untuk bersatu seperti yang didengung-dengungkan oleh Perhimpunan


Indonesia (PI) dan Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) telah tertanam dalam
sanubari pemuda-pemuda Indonesia. Untuk itu, pada tanggal 30 April-2 Mei 1926 di Jakarta
diadakan kongres pemuda Indonesia yang pertama.

Dalam kongres itu dilakukan beberapa kali pidato tentang pentingnya Indonesia
bersatu. Disampaikan pula tentang upaya-upaya memperkuat rasa persatuan yang harus
tumbuh di atas kepentingan golongan, bangsa dan agama. Selanjutnya juga dibicarakan
tentang kemungkinan bahasa dan kesusastraan Indonesia kelak dikemudian hari.
Para mahasiswa Jakarta dalam kongres tersebut juga membicarakan tentang upaya
mempersatukan perkumpulan-perkumpulan pemuda menjadi satu badan gabumgan (fusi).
Walaupun pembicaraan mengenai fusi tidak membuahkan hasil yang memuaskan, kongres
itu telah memperkuat cita-cita Indonesia bersatu.

2. Kongres Pemuda II

Kongres Pemuda II diadakan dua tahun setelah Kongres Pemuda Indonesia pertama,
tepatnya pada tanggal 27-28 Oktober 1928. Kongres itu dihadiri oleh wakil-wakil dari
perkumpulan-perkumpulan pemuda ketika itu diantara lain Pemuda Sumatera, Pemuda
Indonesia, Jong Bataksche Bond, Sekar Rukun, Pemuda Kaum Betawi, Jong Islamiten
Bond, Jong Java, Jong Ambon dan Jong Celebes. PPPI yang memimpin kongres ini sengaja
mengarahkan kongres pada terjadinya fusi organisasi-organisasi pemuda.
Susunan panitia Kongres Pemuda II yang sudah terbentuk sejak bulan Juni 1928 adalah
sebagai berikut.

Ketua : Sugondo Joyopuspito dari PPPI


Page
86
Wakil ketua : Joko Marsaid dari Jong Java

Sekretaris : Moh. Yamin dari Jong Sumatranen Bond

Bendahara : Amir Syarifuddin dari Jong Bataksche Bond

Pembantu I : Johan Moh. Cai dari Jong Islamiten Bond

Pembantu II : Koco Sungkono dari Pemuda Indonesia

Pembantu III : Senduk dari Jong Cilebes

Pembantu IV : J. Leimena dari Jong Ambon

Pembantu V : Rohyani dari Pemuda Kaum Betawi

Kongres Pemuda II dilaksanakan selama dua hari, 27-28 Oktober 1928. persidangan
yang dilaksanakan sebanyak tiga kali di antaranya membahas persatuan dan kebangsaan
Indonesia, pendidikan, serta pergerakan kepanduan. Kongres tersebut berhasil mengambil
keputusan yang dikenal sebagai Sumpah Pemuda sebagai berikut.

Rumusan tersebut dibuat oleh sekretaris panitia, Moh. Yamin dan dibacakan oleh
ketua kongres, Sugondo Joyopuspito, secara hikmat di depan kongres. Selanjutnya
diperdengarkan lagu Indonesia Raya yang diciptakan dan dibawakan oleh W.R. Supratman
dengan gesekan biola. Peristiwa bersejarah itu merupakan hasil kerja keras para pemuda
pelajar Indonesia. Dengan tiga butir Sumpah Pemuda itu, setiap organisasi pemuda
kedaerahan secara konsekuen meleburkan diri kedalam satu wadah yang telah disepakati
bersama, yaitu Indonesia Muda.

Berkembangnya Taktik Moderat dan Kooperatif dalam Perkembangan Nasional


Berkembangnya taktik moderat dan kooperatif dalam pergerakan nasional Indonesia
disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:
1. Krisis ekonomi (malaise) yang terjadi sejak tahun 1921 dan berulang pada akhir tahun
1929. Bahkan, pada awal tahun 1930-an krisis ekonomi itu tidak kunjung reda.
2. Kebijakan keras pemerintahan Gubernur Jenderal de Jonge menyebabkan kaum
pergerakan, terutama golongan nonkooperatif, sangat menderita. Setiap gerakan yang
radikal atau revolusioner akan ditindas dengan alasan bahwa pemerintah kolonial
bertanggung jawab atas keadaan di Hindia Belanda.
3. Pada tahun 1930-an, kaum pergerakan nasional terutama yang berada di Eropa
menyaksikan bahwa perkembangan paham fasisme dan Naziisme mengancam kedudukan
negara-negara demokrasi. Demikian pula Jepang sebagai negara fasis di Asia telah
melakukan ekspansinya ke wilayah Pasifik sehingga ada yang mendekatkan kaum nasionalis
dengan penguasa kolonial, yaitu mempertahankan demokrasi terhadap bahaya fasisme.
Kesadaran itu muncul pertama kali di kalangan Perhimpunan Indoesia yang terlebih dahulu
telah melakukan taktik kooperatif.

O. Gabungan Politik Indonesia (GAPI)

Page
87
Didirikan Oleh : 21 Mei 1939

Tempat / Tanggal :

Tujuan :

GAPI adalah organisasi kerja sama antara partai-partai politik di


Indonesia. Organisasi ini didirikan pada tanggal 21 Mei 1939. GAPI berdiri atas
prakarsa Muhammad Husni Thamrin. Anggota GAPI adalah Parindra,
Pasundan,Gerindo, Persatuan Minahasa, PSII, PII, dan Perhimpunan Politik Katolik
Indonesia.

GAPI membentuk pengurus yang disebut Secretariat Tetap. Pengurus


Sekretariat Tetap dijabat oleh Abikusno Cokrosuyoso dari PSII 9Penulis Umum ),
Muhammad Husni Thamrin dari Parindra (bendahara), dan Mr. Amir Syarifuddin dari
Gerindo (pembantu penulis).

GAPI beberapa kali mengadakan kongres. Pada Kongres Rakyat Indonesia


yang diselenggarakan pada tanggal 23-25 Desember 1939 dihasilkan beberapa
keputusan sebagai berikut :

a. Menuntut Indonesia berparlemen. Tuntutan ini dilakukan sebagai reaksi atas


ditolaknya Petisi Sutarjo dalam Volskraad sehingga Volskraad dianggap bukan
parlemen.
b. Diakuinya Merah Putih sebagai bendera persatuan, Indonesia Raya sebagai lagu
persatuan, dan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.

Pergerakan Kaum Wanita.

Pada awalnya pergerakan wanita Indonesia dilakukan oleh perorangan.


Pelopor pergerakan wanita pada masa itu adalah R.A Kartini dan R. Dewi Sartika .Keduanya
ingin mengangkat derajat kaum wanita melalui pendidikan.

Perhatian yang besar dari R.A Kartini dan R. Dewi Sartika terhadap kaum
wanita telah mengilhami pergerakan kaum wanita untuk membentuk organisasi. Pada
awalnya tujuan organisasi perempuan itu untuk memperbaiki kedudukan sosialnya.
Namun, dalam perkembangannya organisasi itu juga berwawasan kebangsaan.

Pembentukan GAPI dipelopori oleh M.H. Thamrin dari Parindra.


Pelaksanaan program GAPI secara kongret mulai terwujud dalam rapatnya pada tanggal 4
Juli 1939. Dalam rapat itu diputuskan untuk mengadakan Kongres Rakyat Indonesia yang
akan memperjuangkan penentuan nasib sendiri serta persatuan dan kesatuan Indonesia.
Namun, sebelum aksi dapat dilancarkan secara besar-besaran, pada tanggal 9 Septamber
1939 terdengar kabar bahwa Perang Dunia II telah berkobar. Oleh karena itu, dalam
pernyataan pada tanggal 19 September 1939, GAPI menyerukan agar dalam keadaan penuh
bahaya dapat dibina hubungan kerja sama yang sebaik-baiknya antara Belanda dan
Indonesia.
Aksi pertama GAPI terselenggara dengan mengadakan rapat umum di Jakarta pada tanggal
1 Oktober 1939. Pada pertengahan Desember 1939 diselenggarakan rapat umum di beberapa
Page
88
tempat. Dengan semboyan “Indonesia Berparlemen” dalam setiap aksinya GAPI mendesak
pemerintah agar membentuk parlemen yang dipilih dan dari rakyat sebagai pengganti
Volksraad dan dengan pemerimtahan yang bertanggung jawab kepada parlemen tersebut.
Untuk itu, kepala-kepala departemen harus digantikan menteri-menteri yang bertanggung
jawab kepada parlemen.

Tanggapan pemerintah kolonial Belanda baru dikeluarkan pada tanggal 10 Februari


1940 melalui menteri jajahan Welter yang menyatakan bahwa perkembangan dalam bidang
jasmani dan rohani akan memerlukan tanggung jawab dalam bidang ketatanegaraan. Sudah
barang tentu hak-hak ketatanegaraan memerlukan tanggung jawab dari para pemimpin.
Tanggung jawab ini hanya dapat dipikul apabila rakyat telah memahami kebijaksanaan
politik. Selama pemerintah Belanda bertanggung jawab atas kebijakan politik di Hindia
Belanda, tidak mungkin didirikan parlemen Indonesia yang mengambil alih tanggung jawab
tersebut.

Tentu saja penolakan itu menimbulkan kekecewaan, tetapi GAPI masih meneruskan
perjuangannya. Dalam rapat tanggal 23 Februari 1940, GAPI menganjurkan pendirian
Panitia Parlemen Indonesia sebagai tindak lanjut aksi Indonesia Berparlemen. Akan tetapi,
kesempatan bergerak bagi GAPI sudah tidak ada lagi. Pada awal Mei 1940, Belanda
diduduki oleh Jerman sehingga Perang Dunia II telah berkobar di Negeri Belanda. Meskipun
negerinya sudah diduduki oleh Jerman, tetapi Belanda tidak mau mundur setapak pun dari
bumi Indonesia.

Sikap pemerintah Belanda yang konservatif itu tidak mengurangi loyalitas rakyat
Indonesia terhadap Belanda, bahkan ada keinginan umum untuk bekerja sama dalam
menghadapi perang itu. Sebagai imbalan dari kesetiaan bangsa Indonesia tersebut, Gubernur
Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer menjanjikan perubahan dalam berbagai segi
kehidupan masyarakat. Akan tetapi, gagasan mengenai perubahan itu harus disimpan dahulu
hingga perang selesai. Pada tanggal 10 Mei 1941 dalam pidatonya, Ratu Wilhelmina
menyatakan kesediaannya untuk mempertimbangkan suatu penyesuaian ketatanegaraan
Belanda terhadap keadaan yang berubah serta menentukan kedudukan daerah
seberangdalam struktur Kerajaan Belanda. Akan tetapi, masalah itu pun ditunda hingga
Perang Dunia II selesai.

Usulan pembentukan milisi pribumi yang berdasarkan kewajiban warga negara


untuk mempertahankan negerinya juga ditolak oleh pemerintah kolonial dengan alasan
bahwa perang modern lebih memerlukan angkatan perang yang professional. Sikap
menunda itu pun diperlihatkan Belanda pada saat dilontarkan Piagam Atlantik (Atlantic
Charter) oleh Perdana Menteri Inggris Woodrow Wilson dan Presiden Amerika Serikat F.D.
Roosevelt yang menjamin hak setiap bangsa untuk memilh bentuk pemerintahannya sendiri.

Satu-satunya hasil dari berbagai upaya kaum pergerakan melalui Dewan Rakyat
adalah pembentuka Komisi Vismen (Commissie-Visman) pada bulan Maret 1941. Komisi
tersebut bertugas meneliti keinginan, cita-cita, serta pendapat yang ada pada berbagai
golongan masyarakat mengenai perbaikan pemerintahan. Hasilnya diumumkan pada bulan
Desember 1941 yang menyatakan bahwa penduduk sangat puas dengan pemerintah
Belanda.

Page
89
Dr.Drs.H.MUHAMMAD HATTA

NAMA LAHIR :
 MUHAMMAD ATHAR ( Athar berarti harum )
LAHIR DI :
 12 Agustus 1902 di Fort de kock ( sekarang kota Tebingtinggi ), Hindia Belanda
MENINGGAL :
 14 Maret 1980 pada umur 77 dan dimakamkan Tanah kusir, Jakarta, Indonesia.
PENGHARGAAN :
 Bapak koperasi Indonesia
 Bandara internasional Indonesia diberi nama BANDAR UDARA SOEKORNO –
HATTA
 Jalan di Belanda kawasan HAARLEM dengan nama Mohammed Hattastraat
 Salah satu PAHLAWAN NASIONAL INDONESIA pada tanggal 23 Oktober 1986
JABATAN :

Page
90
 wakil presiden ke I ( 18 Agustus 1945 – 1 Desember 1956 ) digantikan oleh SRI
SULTAN HAMENGKUBUWONO IX.
 Perdana menteri Indonesia ke 3 ( 29 Januari 1948 – 5 september 1956 ) yang
didahului oleh AMIR SJARIFUDDIN. Digantikan oleh SUSANTO
TIRTOPRODJO 20 Desember 1949 dan MUHAMMAD NATSIR 5 September
1950.
 Menteri pertahanan RI ke 4 ( 29 Januari 1948 – 4 Agustus 1949 ). Didahului oleh
AMIR SJARIFUDDIN. Digantikan oleh SRI SULTAN HAMENGKUBUWONO
IX .
ISTRI :
 RAHMI RACHIM

ANAK :
 MEUTIA HATTA
 GEMALA HATTA
 HALIDA HATTA
AGAMA :
 Islam
TANDA TANGAN

KEHIDUPAN AWAL
Mohammad Hatta lahir dari pasangan Muhammad Djamil dan Siti Saleha. Ayahnya
merupakan seorang keturunan ulama tarekat di Batuhampar, dekat Payakumbuh, Sumatera
Barat. Sedangkan ibunya berasal dari keluarga pedagang di BUKITTINGGI. Ayahnya
meninggal pada saat ia masih berumur tujuh bulan. Setelah kematian ayahnya, ibunya
menikah dengan Agus Haji Ning, seorang pedagang dari Palembang, Haji Ning sering
berhubungan dagang dengan Ilyas Bagindo Marah, kakeknya dari pihak ibu. Dari
perkawinan Siti Saleha dengan Haji Ning, mereka dikaruniai empat orang anak, yang
kesemuanya adalah perempuan.

PENDIDIKAN DAN PERGAULAN


Mohammad Hatta pertama kali mengenyam pendidikan formal di sekolah swasta.
Setelah enam bulan, ia pindah ke sekolah rakyat dan sekelas dengan Rafiah, kakaknya.
Namun, pelajarannya berhenti pada pertengahan semester kelas tiga. Ia lalu pindah ke ELS
di Padang (kini SMA Negeri 1 Padang) sampai tahun 1913, kemudian melanjutkan ke
MULO sampai tahun 1917. Selain pengetahuan umum, ia telah ditempa ilmu-ilmu agama
sejak kecil. Ia pernah belajar agama kepada Muhammad Jamil Jambek, Abdullah Ahmad,
dan beberapa ulama lainnya.

Page
91
MASA STUDI DI NEGERI BELANDA

Pada tahun 1921 Hatta tiba di Negeri Belanda untuk belajar pada Handels Hoge School
di Rotterdam. Ia mendaftar sebagai anggota Indische Vereniging. Tahun 1922, perkumpulan
ini berganti nama menjadi Indonesische Vereniging. Perkumpulan yang menolak bekerja
sama dengan Belanda itu kemudian berganti nama lagi menjadi Perhimpunan Indonesia (PI).

Hatta juga mengusahakan agar majalah perkumpulan, Hindia Poetra, terbit secara
teratur sebagai dasar pengikat antaranggota. Pada tahun 1924 majalah ini berganti nama
menjadi Indonesia Merdeka.

Hatta lulus dalam ujian handels economie (ekonomi perdagangan) pada tahun 1923.
Semula dia bermaksud menempuh ujian doctoral di bidang ilmu ekonomi pada akhir tahun
1925. Karena itu pada tahun 1924 dia non-aktif dalam PI. Tetapi waktu itu dibuka jurusan
baru, yaitu hukum negara dan hukum administratif. Hatta pun memasuki jurusan itu
terdorong oleh minatnya yang besar di bidang politik.

Perpanjangan rencana studinya itu memungkinkan Hatta terpilih menjadi Ketua PI


pada tanggal 17 Januari 1926. Pada kesempatan itu, ia mengucapkan pidato inaugurasi yang
berjudul “Economische Wereldbouw en Machtstegenstellingen”–Struktur Ekonomi Dunia
dan Pertentangan kekuasaan. Dia mencoba menganalisis struktur ekonomi dunia dan
berdasarkan itu, menunjuk landasan kebijaksanaan non-kooperatif.

Sejak tahun 1926 sampai 1930, berturut-turut Hatta dipilih menjadi Ketua PI. Di
bawah kepemimpinannya, PI berkembang dari perkumpulan mahasiswa biasa menjadi
organisasi politik yang mempengaruhi jalannya politik rakyat di Indonesia. Sehingga
akhirnya diakui oleh Pemufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPI) PI
sebagai pos depan dari pergerakan nasional yang berada di Eropa.PI melakukan propaganda
aktif di luar negeri Belanda. Hampir setiap kongres intemasional di Eropa dimasukinya, dan
menerima perkumpulan ini. Selama itu, hampir selalu Hatta sendiri yang memimpin
delegasi.

Pada tahun 1926, dengan tujuan memperkenalkan nama “Indonesia”, Hatta memimpin
delegasi ke Kongres Demokrasi Intemasional untuk Perdamaian di Bierville, Prancis. Tanpa
banyak oposisi, “Indonesia” secara resmi diakui oleh kongres. Nama “Indonesia” untuk
menyebutkan wilayah Hindia Belanda ketika itu telah benar-benar dikenal kalangan
organisasi-organisasi internasional.

Hatta dan pergerakan nasional Indonesia mendapat pengalaman penting di Liga


Menentang Imperialisme dan Penindasan Kolonial, suatu kongres internasional yang
diadakan di Brussels tanggal 10-15 Pebruari 1927. Di kongres ini Hatta berkenalan dengan
pemimpin-pemimpin pergerakan buruh seperti G. Ledebour dan Edo Fimmen, serta tokoh-
tokoh yang kemudian menjadi negarawan-negarawan di Asia dan Afrika seperti Jawaharlal
Nehru (India), Hafiz Ramadhan Bey (Mesir), dan Senghor (Afrika). Persahabatan
pribadinya dengan Nehru mulai dirintis sejak saat itu.

Pada tahun 1927 itu pula, Hatta dan Nehru diundang untuk memberikan ceramah bagi
“Liga Wanita Internasional untuk Perdamaian dan Kebebasan” di Gland, Swiss. Judul
ceramah Hatta L ‘Indonesie et son Probleme de I’ Independence (Indonesia dan Persoalan
Kemerdekaan).
Page
92
Bersama dengan Nazir St. Pamontjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdul Madjid
Djojoadiningrat, Hatta dipenjara selama lima setengah bulan. Pada tanggal 22 Maret 1928,
mahkamah pengadilan di Den Haag membebaskan keempatnya dari segala tuduhan. Dalam
sidang yang bersejarah itu, Hatta mengemukakan pidato pembelaan yang mengagumkan,
yang kemudian diterbitkan sebagai brosur dengan nama “Indonesia Vrij”, dan kemudian
diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai buku dengan judul Indonesia Merdeka.

Antara tahun 1930-1931, Hatta memusatkan diri kepada studinya serta penulisan
karangan untuk majalah Daulat Ra‘jat dan kadang-kadang De Socialist. Ia merencanakan
untuk mengakhiri studinya pada pertengahan tahun 1932.

KEMBALI KETANAH AIR

Pada bulan Juli 1932, Hatta berhasil menyelesaikan studinya di Negeri Belanda dan
sebulan kemudian ia tiba di Jakarta. Antara akhir tahun 1932 dan 1933, kesibukan utama
Hatta adalah menulis berbagai artikel politik dan ekonomi untuk Daulat Ra’jat dan
melakukan berbagai kegiatan politik, terutama pendidikan kader-kader politik pada Partai
Pendidikan Nasional Indonesia. Prinsip non-kooperasi selalu ditekankan kepada kader-
kadernya.

Reaksi Hatta yang keras terhadap sikap Soekarno sehubungan dengan penahannya
oleh Pemerintah Kolonial Belanda, yang berakhir dengan pembuangan Soekarno ke Ende,
Flores, terlihat pada tulisan-tulisannya di Daulat Ra’jat, yang berjudul “Soekarno Ditahan”
(10 Agustus 1933), “Tragedi Soekarno” (30 Nopember 1933), dan “Sikap Pemimpin” (10
Desember 1933).

Pada bulan Pebruari 1934, setelah Soekarno dibuang ke Ende, Pemerintah Kolonial
Belanda mengalihkan perhatiannya kepada Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Para
pimpinan Partai Pendidikan Nasional Indonesia ditahan dan kemudian dibuang ke Boven
Digoel. Seluruhnya berjumlah tujuh orang. Dari kantor Jakarta adalah Mohammad Hatta,
Sutan Sjahrir, dan Bondan. Dari kantor Bandung: Maskun Sumadiredja, Burhanuddin,
Soeka, dan Murwoto. Sebelum ke Digoel, mereka dipenjara selama hampir setahun di
penjara Glodok dan Cipinang, Jakarta. Di penjara Glodok, Hatta menulis buku berjudul
“Krisis Ekonomi dan Kapitalisme”.

MASA PEMBUANGAN

Pada bulan Januari 1935, Hatta dan kawan-kawannya tiba di Tanah Merah, Boven
Digoel (Papua). Kepala pemerintahan di sana, Kapten van Langen, menawarkan dua pilihan:
bekerja untuk pemerintahan kolonial dengan upah 40 sen sehari dengan harapan nanti akan
dikirim pulang ke daerah asal, atau menjadi buangan dengan menerima bahan makanan in
natura, dengan tiada harapan akan dipulangkan ke daerah asal. Hatta menjawab, bila dia mau
bekerja untuk pemerintah kolonial waktu dia masih di Jakarta, pasti telah menjadi orang
besar dengan gaji besar pula. Maka tak perlulah dia ke Tanah Merah untuk menjadi kuli
dengan gaji 40 sen sehari.

Dalam pembuangan, Hatta secara teratur menulis artikel-artikel untuk surat kabar
Pemandangan. Honorariumnya cukup untuk biaya hidup di Tanah Merah dan dia dapat pula
Page
93
membantu kawan-kawannya. Rumahnya di Digoel dipenuhi oleh buku-bukunya yang
khusus dibawa dari Jakarta sebanyak 16 peti. Dengan demikian, Hatta mempunyai cukup
banyak bahan untuk memberikan pelajaran kepada kawan-kawannya di pembuangan
mengenai ilmu ekonomi, sejarah, dan filsafat. Kumpulan bahan-bahan pelajaran itu di
kemudian hari dibukukan dengan judul-judul antara lain, “Pengantar ke Jalan llmu dan
Pengetahuan” dan “Alam Pikiran Yunani.” (empat jilid).

Pada bulan Desember 1935, Kapten Wiarda, pengganti van Langen, memberitahukan
bahwa tempat pembuangan Hatta dan Sjahrir dipindah ke Bandaneira. Pada Januari 1936
keduanya berangkat ke Bandaneira. Mereka bertemu Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Mr.
Iwa Kusumasumantri. Di Bandaneira, Hatta dan Sjahrir dapat bergaul bebas dengan
penduduk setempat dan memberi pelajaran kepada anak-anak setempat dalam bidang
sejarah, tatabuku, politik, dan lain-Iain.

KEMBALI KE JAWA : MASA PENDUDUKAN JEPANG

Pada tanggal 3 Pebruari 1942, Hatta dan Sjahrir dibawa ke Sukabumi. Pada tanggal 9
Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang, dan pada tanggal 22
Maret 1942 Hatta dan Sjahrir dibawa ke Jakarta.

Pada masa pendudukan Jepang, Hatta diminta untuk bekerja sama sebagai penasehat.
Hatta mengatakan tentang cita-cita bangsa Indonesia untuk merdeka, dan dia bertanya,
apakah Jepang akan menjajah Indonesia? Kepala pemerintahan harian sementara, Mayor
Jenderal Harada. menjawab bahwa Jepang tidak akan menjajah. Namun Hatta mengetahui,
bahwa Kemerdekaan Indonesia dalam pemahaman Jepang berbeda dengan pengertiannya
sendiri. Pengakuan Indonesia Merdeka oleh Jepang perlu bagi Hatta sebagai senjata
terhadap Sekutu kelak. Bila Jepang yang fasis itu mau mengakui, apakah sekutu yang
demokratis tidak akan mau? Karena itulah maka Jepang selalu didesaknya untuk memberi
pengakuan tersebut, yang baru diperoleh pada bulan September 1944.Selama masa
pendudukan Jepang, Hatta tidak banyak bicara. Namun pidato yang diucapkan di Lapangan
Ikada (sekarang Lapangan Merdeka) pada tanggaI 8 Desember 1942 menggemparkan
banyak kalangan. Ia mengatakan, “Indonesia terlepas dari penjajahan imperialisme Belanda.
Dan oleh karena itu ia tak ingin menjadi jajahan kembali. Tua dan muda merasakan ini
setajam-tajamnya. Bagi pemuda Indonesia, ia Iebih suka melihat Indonesia tenggelam ke
dalam lautan daripada mempunyainya sebagai jajahan orang kembali.”

PROKLAMASI

Pada awal Agustus 1945, Panitia Penyidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan


Indonesia diganti dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, dengan Soekamo
sebagai Ketua dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Ketua. Anggotanya terdiri dari wakil-
wakil daerah di seluruh Indonesia, sembilan dari Pulau Jawa dan dua belas orang dari luar
Pulau Jawa.

Pada tanggal 16 Agustus 1945 malam, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia


mempersiapkan proklamasi dalam rapat di rumah Admiral Maeda (JI Imam Bonjol,
sekarang), yang berakhir pada pukul 03.00 pagi keesokan harinya. Panitia kecil yang terdiri
dari 5 orang, yaitu Soekamo, Hatta, Soebardjo, Soekarni, dan Sayuti Malik memisahkan diri
Page
94
ke suatu ruangan untuk menyusun teks proklamasi kemerdekaan. Soekarno meminta Hatta
menyusun teks proklamasi yang ringkas. Hatta menyarankan agar Soekarno yang
menuliskan kata-kata yang didiktekannya. Setelah pekerjaan itu selesai. mereka
membawanya ke ruang tengah, tempat para anggota lainnya menanti.Soekarni mengusulkan
agar naskah proklamasi tersebut ditandatangi oleh dua orang saja, Soekarno dan Mohammad
Hatta. Semua yang hadir menyambut dengan bertepuk tangan riuh.

Tanggal 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno


dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia, tepat pada jam 10.00 pagi di Jalan
Pengangsaan Timur 56 Jakarta.Tanggal 18 Agustus 1945, Ir Soekarno diangkat sebagai
Presiden Republik Indonesia dan Drs. Mohammad Hatta diangkat menjadi Wakil Presiden
Republik Indonesia. Soekardjo Wijopranoto mengemukakan bahwa Presiden dan Wakil
Presiden harus merupakan satu dwitunggal.

PERIODE MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN INDONESIA

Indonesia harus mempertahankan kemerdekaannya dari usaha Pemerintah Belanda


yang ingin menjajah kembali. Pemerintah Republik Indonesia pindah dari Jakarta ke
Yogyakarta. Dua kali perundingan dengan Belanda menghasilkan Perjanjian Linggarjati dan
Perjanjian Reville, tetapi selalu berakhir dengan kegagalan akibat kecurangan pihak
Belanda.

Untuk mencari dukungan luar negeri, pada Juli I947, Bung Hatta pergi ke India
menemui Jawaharlal Nehru dan Mahatma Gandhi. dengan menyamar sebagai kopilot
bernama Abdullah (Pilot pesawat adalah Biju Patnaik yang kemudian menjadi Menteri Baja
India di masa Pemerintah Perdana Menteri Morarji Desai). Nehru berjanji, India dapat
membantu Indonesia dengan protes dan resolusi kepada PBB agar Belanda dihukum.

Kesukaran dan ancaman yang dihadapi silih berganti. September 1948 PKI melakukan
pemberontakan. 19 Desember 1948, Belanda kembali melancarkan agresi kedua. Presiden
dan Wapres ditawan dan diasingkan ke Bangka. Namun perjuangan Rakyat Indonesia untuk
mempertahankan kemerdekaan terus berkobar di mana-mana. Panglima Besar Soediman
melanjutkan memimpin perjuangan bersenjata.

Pada tanggal 27 Desember 1949 di Den Haag, Bung Hatta yang mengetuai Delegasi
Indonesia dalam Konperensi Meja Bundar untuk menerima pengakuan kedaulatan Indonesia
dari Ratu Juliana.Bung Hatta juga menjadi Perdana Menteri waktu Negara Republik
Indonesia Serikat berdiri. Selanjutnya setelah RIS menjadi Negara Kesatuan Republik
Indonesia, Bung Hatta kembali menjadi Wakil Presiden.

PERIODE TAHUN 1950 - 1956

Selama menjadi Wakil Presiden, Bung Hatta tetap aktif memberikan ceramah-
ceramah di berbagai lembaga pendidikan tinggi. Dia juga tetap menulis berbagai karangan
dan buku-buku ilmiah di bidang ekonomi dan koperasi. Dia juga aktif membimbing gerakan
koperasi untuk melaksanakan cita-cita dalam konsepsi ekonominya. Tanggal 12 Juli 1951,
Bung Hatta mengucapkan pidato radio untuk menyambut Hari Koperasi di Indonesia.
Karena besamya aktivitas Bung Hatta dalam gerakan koperasi, maka pada tanggal 17 Juli
1953 dia diangkat sebagai Bapak Koperasi Indonesia pada Kongres Koperasi Indonesia di

Page
95
Bandung. Pikiran-pikiran Bung Hatta mengenai koperasi antara lain dituangkan dalam
bukunya yang berjudul Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun (1971).

Pada tahun 1955, Bung Hatta mengumumkan bahwa apabila parlemen dan konsituante
pilihan rakyat sudah terbentuk, ia akan mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden. Niatnya
untuk mengundurkan diri itu diberitahukannya melalui sepucuk surat kepada ketua
Perlemen, Mr. Sartono. Tembusan surat dikirimkan kepada Presiden Soekarno. Setelah
Konstituante dibuka secara resmi oleh Presiden, Wakil Presiden Hatta mengemukakan
kepada Ketua Parlemen bahwa pada tanggal l Desember 1956 ia akan meletakkan
jabatannya sebagai Wakil Presiden RI. Presiden Soekarno berusaha mencegahnya, tetapi
Bung Hatta tetap pada pendiriannya.Pada tangal 27 Nopember 1956, ia memperoleh gelar
kehormatan akademis yaitu Doctor Honoris Causa dalam ilmu hukum dari Universitas
Gajah Mada di Yoyakarta. Pada kesempatan itu, Bung Hatta mengucapkan pidato
pengukuhan yang berjudul “Lampau dan Datang”.

Sesudah Bung Hatta meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI, beberapa
gelar akademis juga diperolehnya dari berbagai perguruan tinggi. Universitas Padjadjaran
di Bandung mengukuhkan Bung Hatta sebagai guru besar dalam ilmu politik perekonomian.
Universitas Hasanuddin di Ujung Pandang memberikan gelar Doctor Honoris Causa dalam
bidang Ekonomi. Universitas Indonesia memberikan gelar Doctor Honoris Causa di bidang
ilmu hukum. Pidato pengukuhan Bung Hatta berjudul “Menuju Negara Hukum”.

Pada tahun 1960 Bung Hatta menulis “Demokrasi Kita” dalam majalah Pandji
Masyarakat. Sebuah tulisan yang terkenal karena menonjolkan pandangan dan pikiran Bung
Hatta mengenai perkembangan demokrasi di Indonesia waktu itu.Dalam masa pemerintahan
Orde Baru, Bung Hatta lebih merupakan negarawan sesepuh bagi bangsanya daripada
seorang politikus.

Hatta menikah dengan Rahmi Rachim pada tanggal l8 Nopember 1945 di desa
Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Mereka mempunyai tiga orang putri, yaitu Meutia
Farida, Gemala Rabi’ah, dan Halida Nuriah. Dua orang putrinya yang tertua telah menikah.
Yang pertama dengan Dr. Sri-Edi Swasono dan yang kedua dengan Drs. Mohammad Chalil
Baridjambek. Hatta sempat menyaksikan kelahiran dua cucunya, yaitu Sri Juwita Hanum
Swasono dan Mohamad Athar Baridjambek.

Pada tanggal 15 Agustus 1972, Presiden Soeharto menyampaikan kepada Bung Hatta
anugerah negara berupa Tanda Kehormatan tertinggi “Bintang Republik Indonesia Kelas I”
pada suatu upacara kenegaraan di Istana Negara.

Bung Hatta, Proklamator Kemerdekaan dan Wakil Presiden Pertama Republik


Indonesia, wafat pada tanggal 14 Maret 1980 di Rumah Sakit Dr Tjipto Mangunkusumo,
Jakarta, pada usia 77 tahun dan dikebumikan di TPU Tanah Kusir pada tanggal 15 Maret
1980.

Page
96
AMIR SJARIFOEDDIN

NAMA :

 AMIR SJARIFOEDDIN HARAHAP

LAHIR DI :

 , 27 April 1907 Sumatera Utara.

PARTAI POLITIK :
Page
97
 PSI dan PKI

PROFESI :

 POLITIKUS

AGAMA :

 KRISTEN

JABATAN

 Perdana Menteri Indinesia ke 2 ( 3 Juli 1947 – 29 Januari 1948 ) yang didahului


SUTAN SYAHRIL. Lalu digantikan MOHAMMAD HATTA.
 Menteri Pertahanan Republik Indonesia ke 3 ( 14 November 1945 – 29 Januari 1948
) yang didahulukan oleh IMAM MUHAMMAD SULIYOADIKUSUMO. Lalu
digantikan oleh MUHAMMAD HATTA.
 Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia ke 1 ( 2 September 1945
– 12 maret 1946 ) lalu digantikan MUHAMMAD NATSIR.

MENINGGAL :

 19 Desember 1948 pada usia 41 tahun di Surakarta, Jawa Tengah.

Amir Sjarifoeddin Harahap berasal dari keluarga Batak Muslim, Amir menjadi
pemimpin sayap kiri terdepan pada masa Revolusi. Pada tahun 1948, ia dieksekusi mati oleh
pemerintah karena terlibat dalam pemberontakan komunis.

KELUARGA

Ayahnya, Djamin gelar Baginda Soripada (1885-1949), seorang jaksa di Medan.


Ibunya, Basunu Siregar (1890-1931), dari keluarga Batak yang telah membaur dengan
masyarakat Melayu-Islam di Deli. Ayahnya keturunan keluarga kepala adat dari Pasar
Matanggor di Padang Lawas Tapanuli.

PENDIDIKAN

Amir menikmati pendidikan di ELS atau sekolah dasar Belanda di Medan pada tahun
1914 hingga selesai Agustus 1921. Atas undangan saudara sepupunya, T.S.G. Mulia yang
baru saja diangkat sebagai anggota Volksraad dan belajar di kota Leiden sejak 1911, Amir
pun berangkat ke Leiden. Tak lama setelah kedatangannya dalam kurun waktu 1926-1927
dia menjadi anggota pengurus perhimpunan siswa Gymnasium di Haarlem, selama masa itu
pula Amir aktif terlibat dalam diskusi-diskusi kelompok kristen misalnya dalam CSV-op

Page
98
Java yang menjadi cikal bakal GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia). Ia tinggal di
rumah guru pemeluk Kristen Calvinis, Dirk Smink, dan di sini juga Mulia menumpang.

Namun pada September 1927, sesudah lulus ujian tingkat kedua, Amir kembali ke
kampung halaman karena masalah keluarga, walaupun teman-teman dekatnya mendesak
agar menyelesaikan pendidikannya di Leiden. Kemudian Amir masuk Sekolah Hukum di
Batavia, menumpang di rumah Mulia (sepupunya) yang telah menjabat sebagai direktur
sekolah pendidikan guru di Jatinegara. Kemudian Amir pindah ke asrama pelajar
Indonesisch Clubgebouw, Kramat 106, ia ditampung oleh senior satu sekolahnya, Mr.
Muhammad Yamin.

Amir pindah agama dari Islam ke Kristen pada tahun 1931. Bukti-bukti khotbahnya di
gereja Protestan terbesar di Batak Batavia masih ada sampai sekarang.

PERJUANGAN

Menjelang invasi Jepang ke Hindia Belanda, Amir berusaha—menyetujui dan


menjalankan garis Komunis Internasional agar kaum kiri menggalang aliansi dengan
kekuatan kapitalis untuk menghancurkan Fasisme. Barangkali ini mempunyai hubungan
dengan pekerjaan politik Musso dengan kedatangannya ke Hindia Belanda dalam tahun
1936.

Ia kemudian dihubungi oleh anggota-anggota kabinet Gubernur Jenderal, menggalang


semua kekuatan anti-fasis untuk bekerja bersama dinas rahasia Belanda dalam menghadapi
serbuan Jepang. Rencana itu tidak banyak mendapat sambutan. Rekan-rekannya sesama
aktivis masih belum pulih kepercayaan terhadapnya akibat polemik pada awal tahun 1940-
an, serta tidak paham akan strateginya melawan Jepang. Mereka ingin menempuh taktik lain
yaitu, berkolaborasi dengan Jepang dengan harapan Jepang akan memberi kemerdekaan
kepada Hindia Belanda setelah kolonialis Belanda dikalahkan. Dalam hal ini garis Amir
yang terbukti benar.

Pada bulan Januari 1943 ia tertangkap oleh fasis Jepang, di tengah gelombang-
gelombang penangkapan yang berpusat di Surabaya. Kejadian ini dapat ditafsirkan sebagai
terbongkarnya jaringan suatu organisasi anti fasisme Jepang yang sedikit banyak
mempunyai hubungan dengan Amir. Terutama dari sisa-sisa kelompok inilah Amir, kelak
ketika menjadi Menteri Pertahanan, mengangkat para pembantunya yang terdekat. Namun
demikian identifikasi penting kejadian Surabaya itu, dari sedikit yang kita ketahui melalui
sidang-sidang pengadilan mereka tahun 1944, hukuman terberat dijatuhkan pada bekas para
pemimpin Gerindo dan Partindo Surabaya.

Sebuah dokumen NEFIS (Netherlands Expeditionary Forces Intelligence Service),


instansi rahasia yang dipimpin Van Mook, tertanggal 9 Juni 1947 menulis tentang Amir; "ia
mempunyai pengaruh besar di kalangan massa dan orang yang tak mengenal kata takut".
Belanda mungkin tahu bahwa penghargaan berbau mitos terhadapnya di kalangan Pesindo
berasal dari cerita para tahanan sesamanya. Bagaimana ia menghadapi siksaan fisik dan
moral yang dijatuhkan Jepang. Diceritakan, misalnya, bagaimana ia tertawa ketika para
penyiksa menggantungnya dengan kaki di atas.

Dalam Persetujuan Renville tanggungjawab yang berat ini terletak dipundak kaum
Komunis, khususnya Amir sebagai negosiator utama dari Republik Indonesia. Kabinet Amir
Page
99
Sjarifuddin mengundurkan diri dengan sukarela dan tanpa perlawanan samasekali, ketika
disalahkan atas persetujuan Renville oleh golongan Masyumi dan Nasionalis.

PERISTIWA MADIUN

Setelah Peristiwa Madiun 1948, pemerintahan Hatta menuduh PKI berupaya


membentuk negara komunis di Madiun dan menyatakan perang terhadap mereka. Amir
Sjarifuddin, sebagai salah seorang tokoh PKI, yang pada saat peristiwa Madiun meletus
sedang berada di Yogyakarta dalam rangka kongres Serikat Buruh Kereta Api (SBKA) turut
ditangkap beserta beberapa kawannya.

19 Desember 1948, sekitar tengah malam, di kompleks makam desa Ngalihan, kepala
Amir Sjarifuddin ditembak dengan pistol oleh seorang letnan Polisi Militer, sebuah satuan
khusus dalam Angkatan Bersenjata Indonesia. Sebelum itu beberapa orang penduduk desa
setempat diperintahkan menggali sebuah lubang kubur besar. Dari rombongan sebelas orang
yang diangkut dengan truk dari penjara di Solo, Amir orang pertama yang ditembak mati
malam itu. Beberapa hari sebelumnya, ia dan beberapa orang lainnya, secara diam-diam
telah dipindahkan ke rumah penjara ini dari tempat penahanan mereka di Benteng
Yogyakarta

Dr.ERNEST DOUWES DEKKER

NAMA :

 DOUWES DEKKER atau DANUDIRJA SETIABUDI

LAHIR DI :

 Pasuruan 8 Oktober 1879


Page
100
PEKERJAAN :

 Politikus
 Wartawan
 Aktivis
 Penulis

PASANGAN :

 Clara Charlotte Deije


 Johanna P. Mossel
 Haroemi Wanasita (Nelly Kruymel)

MENINGGAL :

 28 Agustus 1950 di usia 70 di Bandung, Jawa Barat

Ia adalah salah seorang peletak dasar nasionalisme Indonesia di awal abad ke-20,
penulis yang kritis terhadap kebijakan pemerintah penjajahan Hindia-Belanda, wartawan,
aktivis politik, serta penggagas nama "Nusantara" sebagai nama untuk Hindia-Belanda yang
merdeka. Setiabudi adalah salah satu dari "Tiga Serangkai" pejuang pergerakan
kemerdekaan Indonesia, selain dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan Suwardi Suryaningrat.

MASA MUDA

Pendidikan dasar ditempuh Nes di Pasuruan. Sekolah lanjutan pertama-tama


diteruskan ke HBS di Surabaya, lalu pindah ke Gymnasium Koning Willem III School,
sekolah elit setingkat HBS di Batavia. Selepas lulus sekolah ia bekerja di perkebunan kopi
"Soember Doeren" di Malang, Jawa Timur. Di sana ia menyaksikan perlakuan semena-mena
yang dialami pekerja kebun, dan sering kali membela mereka. Tindakannya itu membuat ia
kurang disukai rekan-rekan kerja, namun disukai pegawai-pegawai bawahannya. Akibat
konflik dengan manajernya, ia dipindah ke perkebunan tebu "Padjarakan" di Kraksaan
sebagai laboran.[1] Sekali lagi, dia terlibat konflik dengan manajemen karena urusan
pembagian irigasi untuk tebu perkebunan dan padi petani. Akibatnya, ia dipecat.

PERANG BOER

Menganggur dan kematian mendadak ibunya, membuat Nes memutuskan berangkat


ke Afrika Selatan pada tahun 1899 untuk ikut dalam Perang Boer Kedua melawan Inggris.[2]
Ia bahkan menjadi warga negara Republik Transvaal.[1] Beberapa bulan kemudian kedua
saudara laki-lakinya, Julius dan Guido, menyusul. Nes tertangkap lalu dipenjara di suatu
kamp di Ceylon. Di sana ia mulai berkenalan dengan sastera India, dan perlahan-lahan
pemikirannya mulai terbuka akan perlakuan tidak adil pemerintah kolonial Hindia Belanda
terhadap warganya.

Page
101
SEBAGAI WARTAWAN YANG KRISIS DAN AKTIVITAS AWAL

DD dipulangkan ke Hindia Belanda pada tahun 1902, dan bekerja sebagai agen
pengiriman KPM, perusahaan pengiriman milik negara. Penghasilannya yang lumayan
membuatnya berani menyunting Clara Charlotte Deije, putri seorang dokter asal Jerman
yang tinggal di Hindia Belanda, pada tahun 1903.

Kemampuannya menulis laporan pengalaman peperangannya di surat kabar


terkemuka membuat ia ditawari menjadi reporter koran Semarang terkemuka, De
Locomotief. Di sinilah ia mulai merintis kemampuannya dalam berorganisasi. Tugas-tugas
jurnalistiknya, seperti ke perkebunan di Lebak dan kasus kelaparan di Indramayu,
membuatnya mulai kritis terhadap kebijakan kolonial. Ketika ia menjadi staf redaksi
Bataviaasch Nieuwsblad, 1907, tulisan-tulisannya menjadi semakin pro kaum Indo dan
pribumi. Dua seri artikel yang tajam dibuatnya pada tahun 1908. Seri pertama artikel dimuat
Februari 1908 di surat kabar Belanda Nieuwe Arnhemsche Courant setelah versi bahasa
Jermannya dimuat di koran Jerman Das Freie Wort, "Het bankroet der ethische principes in
Nederlandsch Oost-Indie" ("Kebangkrutan prinsip etis di Hindia Belanda") kemudian
pindah di Bataviaasche Nieuwsblad. Sekitar tujuh bulan kemudian (akhir Agustus) seri
tulisan panas berikutnya muncul di surat kabar yang sama, "Hoe kan Holland het spoedigst
zijn koloniën verliezen?" ("Bagaimana caranya Belanda dapat segera kehilangan koloni-
koloninya?", versi Jermannya berjudul "Hollands kolonialer Untergang"). Kembali
kebijakan politik etis dikritiknya. Tulisan-tulisan ini membuatnya mulai masuk dalam radar
intelijen penguasa.[3]

Rumah DD, pada saat yang sama, yang terletak di dekat Stovia menjadi tempat
berkumpul para perintis gerakan kebangkitan nasional Indonesia, seperti Sutomo dan Cipto
Mangunkusumo, untuk belajar dan berdiskusi. Budi Utomo (BO), organisasi yang diklaim
sebagai organisasi nasional pertama, lahir atas bantuannya. Ia bahkan menghadiri kongres
pertama BO di Yogyakarta.

Aspek pendidikan tak luput dari perhatian DD. Pada tahun 1910 (8 Maret) ia turut
membidani lahirnya Indische Universiteit Vereeniging (IUV), suatu badan penggalang dana
untuk memungkinkan dibangunnya lembaga pendidikan tinggi (universitas) di Hindia
Belanda. Di dalam IUV terdapat orang Belanda, orang-orang Indo, aristokrat Banten dan
perwakilan dari organisasi pendidikan kaum Tionghoa THHK.

INDISCHE PARTIJ

Karena menganggap BO terbatas pada masalah kebudayaan (Jawa), DD tidak banyak


terlibat di dalamnya. Sebagai seorang Indo, ia terdiskriminasi oleh orang Belanda murni
("totok" atau trekkers). Sebagai contoh, orang Indo tidak dapat menempati posisi-posisi
kunci pemerintah karena tingkat pendidikannya. Mereka dapat mengisi posisi-posisi
menengah dengan gaji lumayan tinggi. Untuk posisi yang sama, mereka mendapat gaji yang
lebih tinggi daripada pribumi. Namun, akibat politik etis, posisi mereka dipersulit karena
pemerintah koloni mulai memberikan tempat pada orang-orang pribumi untuk posisi-posisi
yang biasanya diisi oleh Indo. Tentu saja pemberi gaji lebih suka memilih orang pribumi
karena mereka dibayar lebih rendah. Keprihatinan orang Indo ini dimanfaatkan oleh DD
untuk memasukkan idenya tentang pemerintahan sendiri Hindia Belanda oleh orang-orang
Page
102
asli Hindia Belanda (Indiërs) yang bercorak inklusif dan mendobrak batasan ras dan suku.
Pandangan ini dapat dikatakan original, karena semua orang pada masa itu lebih aktif pada
kelompok ras atau sukunya masing-masing.

Berangkat dari organisasi kaum Indo, Indische Bond dan Insulinde, ia menyampaikan
gagasan suatu "Indië" (Hindia) baru yang dipimpin oleh warganya sendiri, bukan oleh
pendatang. Ironisnya, di kalangan Indo ia mendapat sambutan hangat hanya di kalangan
kecil saja, karena sebagian besar dari mereka lebih suka dengan status quo, meskipun kaum
Indo direndahkan oleh kelompok orang Eropa "murni" toh mereka masih dapat dilayani oleh
pribumi.

Tidak puas karena Indische Bond dan Insulinde tidak bisa bersatu, pada tahun 1912
Nes bersama-sama dengan Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat mendirikan
partai berhaluan nasionalis inklusif bernama Indische Partij ("Partai Hindia").[1][4]
Kampanye ke beberapa kota menghasilkan anggota berjumlah sekitar 5000 orang dalam
waktu singkat. Semarang mencatat jumlah anggota terbesar, diikuti Bandung. Partai ini
sangat populer di kalangan orang Indo, dan diterima baik oleh kelompok Tionghoa dan
pribumi, meskipun tetap dicurigai pula karena gagasannya yang radikal. Partai yang anti-
kolonial dan bertujuan akhir kemerdekaan Indonesia ini dibubarkan oleh pemerintah
kolonial Hindia Belanda setahun kemudian, 1913 karena dianggap menyebarkan kebencian
terhadap pemerintah.

Akibat munculnya tulisan terkenal Suwardi di De Expres, "Als Ik Een Nederlander


Was" (Seandainya Aku Seorang Belanda), ketiganya lalu diasingkan ke Belanda, karena DD
dan Cipto mendukung Suwardi.

DALAM PEMBUANGAN DI EROPA

Masa di Eropa dimanfaatkan oleh Nes untuk mengambil program doktor di


Universitas Zürich, Swiss, dalam bidang ekonomi. Di sini ia tinggal bersama-sama
keluarganya. Gelar doktor diperoleh secara agak kontroversial dan dengan nilai "serendah-
rendahnya", menurut istilah salah satu pengujinya. Karena di Swis ia terlibat konspirasi
dengan kaum revolusioner India, ia ditangkap di Hong Kong dan diadili dan ditahan di
Singapura (1918). Setelah dua tahun dipenjara, ia pulang ke Hindia Belanda 1920.

KEGIATAN JURNALIS DAN PERISTIWA POLANHARJO

Sekembalinya ia ke Batavia setelah dipenjara DD aktif kembali dalam dunia


jurnalistik dan organisasi. Ia menjadi redaktur organ informasi Insulinde yang bernama De
Beweging. Ia menulis beberapa seri artikel yang banyak menyindir kalangan pro-koloni serta
sikap kebanyakan kaumnya: kaum Indo. Targetnya sebetulnya adalah de-eropanisasi orang
Indo, agar mereka menyadari bahwa demi masa depan mereka berada di pihak pribumi,
bukan seperti yang terjadi, berpihak ke Belanda. Organisasi kaum Indo yang baru dibentuk,
Indisch Europeesch Verbond (IEV), dikritiknya dalam seri tulisan "De tien geboden"
(Sepuluh Perintah Tuhan) dan "Njo Indrik" (Sinyo Hendrik). Pada seri yang disebut terakhir,
IEV dicap olehnya sebagai "liga yang konyol dan kekanak-kanakan".
Page
103
Sejumlah pamflet lepas yang cukup dikenal juga ditulisnya pada periode ini, seperti
"Een Natie in de maak" (Suatu bangsa tengah terbentuk) dan "Ons volk en het
buitenlandsche kapitaal" (Bangsa kita dan modal asing).

Pada rentang masa ini dibentuk pula Nationaal Indische Partij (NIP), sebagai
organisasi pelanjut Indische Partij yang telah dilarang. Pembentukan NIP menimbulkan
perpecahan di kalangan anggota Insulinde antara yang moderat (kebanyakan kalangan Indo)
dan yang progresif (menginginkan pemerintahan sendiri, kebanyakan orang Indonesia
pribumi). NIP akhirnya bernasib sama seperti IP: tidak diizinkan oleh Pemerintah.

Pada tahun 1919, DD terlibat (atau tersangkut) dalam peristiwa protes dan kerusuhan
petani/buruh tani di perkebunan tembakau Polanharjo, Klaten. Ia terkena kasus ini karena
dianggap mengompori para petani dalam pertemuan mereka dengan orang-orang Insulinde
cabang Surakarta, yang ia hadiri pula. Pengadilan dilakukan pada tahun 1920 di Semarang.
Hasilnya, ia dibebaskan; namun kasus baru menyusul dari Batavia: ia dituduh menulis
hasutan di surat kabar yang dipimpinnya. Kali ini ia harus melindungi seseorang (sebagai
redaktur De Beweging) yang menulis suatu komentar yang di dalamnya tertulis
"Membebaskan negeri ini adalah keharusan! Turunkan penguasa asing!". Yang membuatnya
kecewa adalah ternyata alasan penyelidikan bukanlah semata tulisan itu, melainkan
"mentalitas" sang penulis (dan dituduhkan ke DD). Setelah melalui pembelaan yang
panjang, DD divonis bebas oleh pengadilan.

AKTIVITAS PENDIDIKAN DAN KSATRIAN INSTITUT

Sekeluarnya dari tahanan dan rentetan pengadilan, DD cenderung meninggalkan


kegiatan jurnalistik dan menyibukkan diri dalam penulisan sejumlah buku semi-ilmiah dan
melakukan penangkaran anjing gembala Jerman dan aktif dalam organisasinya. Prestasinya
cukup mengesankan, karena salah satu anjingnya memenangi kontes dan bahkan mampu
menjawab beberapa pertanyaan berhitung dan menjawab beberapa pertanyaan tertulis.

Atas dorongan Suwardi Suryaningrat yang saat itu sudah mendirikan Perguruan
Taman Siswa, ia kemudian ikut dalam dunia pendidikan, dengan mendirikan sekolah
"Ksatrian Instituut" (KI) di Bandung. Ia banyak membuat materi pelajaran sendiri yang
instruksinya diberikan dalam bahasa Belanda. KI kemudian mengembangkan pendidikan
bisnis, namun di dalamnya diberikan pelajaran sejarah Indonesia dan sejarah dunia yang
materinya ditulis oleh Nes sendiri. Akibat isi pelajaran sejarah ini yang anti-kolonial dan
pro-Jepang, pada tahun 1933 buku-bukunya disita oleh pemerintah Keresidenan Bandung
dan kemudian dibakar. Pada saat itu Jepang mulai mengembangkan kekuatan militer dan
politik di Asia Timur dengan politik ekspansi ke Korea dan Tiongkok. DD kemudian juga
dilarang mengajar.

KEGIATAN SEBELUM PEMBUANGAN.

Karena dilarang mengajar, DD kemudian mencari penghasilan dengan bekerja di


kantor Kamar Dagang Jepang di Jakarta. Ini membuatnya dekat dengan Mohammad Husni
Thamrin, seorang wakil pribumi di Volksraad. Pada saat yang sama, pemerintah Hindia
Page
104
Belanda masih trauma akibat pemberontakan komunis (ISDV) tahun 1927, memecahkan
masalah ekonomi akibat krisis keuangan 1929, dan harus menghadapi perkembangan
fasisme ala Nazi di kalangan warga Eropa (Europaeer).

Serbuan Jerman ke Denmark dan Norwegia, dan akhirnya ke Belanda, pada tahun
1940 mengakibatkan ditangkapnya ribuan orang Jerman di Hindia Belanda, berikut orang-
orang Eropa lain yang diduga berafiliasi Nazi. DD yang memang sudah "dipantau", akhirnya
ikut digaruk karena dianggap kolaborator Jepang, yang mulai menyerang Indocina Perancis.
Ia juga dituduh komunis.

PENGASINGAN DI SURINAME

DD ditangkap dan dibuang ke Suriname pada tahun 1941 melalui Belanda. Di sana ia
ditempatkan di suatu kamp jauh di pedalaman Sungai Suriname yang bernama Jodensavanne
("Padang Yahudi").[2] Tempat itu pada abad ke-17 hingga ke-19 pernah menjadi tempat
permukiman orang Yahudi yang kemudian ditinggalkan karena kemudian banyak pendatang
yang membuat keonaran.

Kondisi kehidupan di kamp sangat memprihatinkan. Sampai-sampai DD, yang waktu


itu sudah memasuki usia 60-an, sempat kehilangan kemampuan melihat. Di sini
kehidupannya sangat tertekan karena ia sangat merindukan keluarganya. Surat-menyurat
dilakukannya melalui Palang Merah Internasional dan harus melalui sensor.

Ketika kabar berakhirnya perang berakhir, para interniran (buangan) di sana tidak
segera dibebaskan. Baru menjelang pertengahan tahun 1946 sejumlah orang buangan
dikirim ke Belanda, termasuk DD. Di Belanda ia bertemu dengan Nelly Albertina Gertzema
nee Kruymel, seorang perawat. Nelly kemudian menemaninya kembali ke Indonesia.
Kepulangan ke Indonesia juga melalui petualangan yang mendebarkan karena DD harus
mengganti nama dan menghindari petugas intelijen di Pelabuhan Tanjung Priok. Akhirnya
mereka berhasil tiba di Yogyakarta, ibukota Republik Indonesia pada waktu itu pada tanggal
2 Januari 1947.

PERJUANGAN PADA MASA REVOLUSI KEMERDEKAAN DAN AKHIR HAYAT

Tak lama setelah kembali ia segera terlibat dalam posisi-posisi penting di sisi Republik
Indonesia. Pertama-tama ia menjabat sebagai menteri negara tanpa portofolio dalam Kabinet
Sjahrir III, yang hanya bekerja dalam waktu hampir 9 bulan. Selanjutnya berturut-turut ia
menjadi anggota delegasi negosiasi dengan Belanda, konsultan dalam komite bidang
keuangan dan ekonomi di delegasi itu, anggota DPA, pengajar di Akademi Ilmu Politik, dan
terakhir sebagai kepala seksi penulisan sejarah (historiografi) di bawah Kementerian
Penerangan. Di mata beberapa pejabat Belanda ia dianggap "komunis" meskipun ini sama
sekali tidak benar.

Pada periode ini DD tinggal satu rumah dengan Sukarno. Ia juga menempati salah satu
rumah di Kaliurang. Dan dari rumah di Kaliurang inilah pada tanggal 21 Desember 1948 ia

Page
105
diciduk tentara Belanda yang tiba dua hari sebelumnya di Yogyakarta dalam rangka "Aksi
Polisionil". Setelah diinterogasi ia lalu dikirim ke Jakarta untuk diinterogasi kembali.

Tak lama kemudian DD dibebaskan karena kondisi fisiknya yang payah dan setelah
berjanji tak akan melibatkan diri dalam politik. Ia dibawa ke Bandung atas permintaannya.
Harumi kemudian menyusulnya ke Bandung. Setelah renovasi, mereka lalu menempati
rumah lama (dijulukinya "Djiwa Djuwita") di Lembangweg.

Di Bandung ia terlibat kembali dengan aktivitas di Ksatrian Instituut. Kegiatannya


yang lain adalah mengumpulkan material untuk penulisan autobiografinya (terbit 1950: 70
jaar konsekwent) dan merevisi buku sejarah tulisannya.

Ernest Douwes Dekker wafat dini hari tanggal 28 Agustus 1950 (tertulis di batu
nisannya; 29 Agustus 1950 versi van der Veur, 2006) dan dimakamkan di TMP Cikutra,
Bandung.

PENGHARGAAN

Jasa DD dalam perintisan kemerdekaan diekspresikan dalam banyak hal. Di setiap


kota besar dapat dijumpai jalan yang dinamakan menurut namanya: Setiabudi. Jalan
Lembang di Bandung utara, tempat rumahnya berdiri, sekarang bernama Jalan Setiabudi. Di
Jakarta bahkan namanya dipakai sebagai nama suatu kecamatan, yakni Kecamatan Setiabudi
di Jakarta Selatan.

Di Belanda, nama DD juga dihormati sebagai orang yang berjasa dalam meluruskan
arah kolonialisme (meskipun hampir sepanjang hidupnya ia berseberangan posisi politik
dengan pemerintah kolonial Belanda; bahkan dituduh "pengkhianat").

Page
106
HALIM PERDANAKUSUMA

NAMA :

 ABDUL HALIM PERDANAKUSUMA

LAHIR :

 18 November 1922 di Sampang, Madura, Jawa Timur

DINAS :

 Angktan Laut Hindia Belanda


 Tentara Nasional Indonesia
 Angkatan Udara

LAMA DINAS :
Page
107
 1940 – 1947

PANGKAT :

 MARSDA

PENGHARGAAN :

 Pahlawan Nasional Indonesia

MENINGGAL :

 Malaysia 14 Desember 1947 di usia 25 tahun dan dimakamkan di Taman Makam


Pahlawan Kalibata

Ia meninggal dunia saat menjalankan tugas semasa perang Indonesia - Belanda di


Sumatera, yaitu ketika ditugaskan membeli dan mengangkut perlengkapan senjata dengan
pesawat terbang dari Thailand.

GUGUR PADA TUGAS

Semasa perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia melawan penjajah Belanda


di Sumatera pada tahun 1948, Halim Perdanakusuma dan Marsma Iswahyudi ditugaskan
membeli perlengkapan senjata di Thailand. Keduanya ditugaskan dengan pesawat terbang
jenis Anderson. Pesawat terbang itu dipenuhi dengan berbagai senjata api, diantaranya
karabin, stun gun, pistol dan bom tangan.

Dalam perjalanan pulang, pesawat terbang tersebut jatuh. Tidak diketahui


penyebabnya, namun diduga karena cuaca buruk atau karena ditembak (disabotase).
Bangkai pesawat terbang tersebut ditemukan di sebuah hutan berdekatan dengan kota
Lumut, Perak, Malaysia (ketika itu masih bernama Uni Malaya). Namun tim penyelamat
hanya menemukan jasad Halim, sementara jasad Iswahyudi tidak diketemukan dan tidak
diketahui nasibnya hingga sekarang. Begitu juga dengan berbagai perlengkapan senjata api
yang mereka beli di Thailand, tidak diketahui kemana rimbanya.

Jasad Halim kemudian sempat dikebumikan di kampung Gunung Mesah, tidak jauh
dari Gopeng, Perak, Malaysia. Pusat data Tokoh Indonesia mencatat, di daerah Gunung
Mesah itu banyak bermukim penduduk keturunan Sumatera. Beberapa tahun kemudian,
kuburan Halim digali dan jasadnya dibawa ke Jakarta dan dimakamkan kembali di Taman
Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.

Ketika Perjanjian Haadyai antara Malaysia dengan Partai Komunis Malaya diadakan
pada tahun 1989, seorang Indonesia turut muncul dalam gencatan senjata tersebut. Seorang
penulis nasionalis Malaysia, Ishak Haji Muhammad (Pak Sako), menduga komunis warga
Indonesia tersebut ialah Iswahyudi.

Page
108
PENGHORMATAN

Pemerintah Indonesia memberi penghormatan atas jasa dan perjuangan Halim, dengan
menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional dan mengabadikan namanya pada Bandar
Udara Halim Perdanakusuma di Jakarta. Pemerintah juga mengabadikan namanya pada
kapal perang KRI Abdul Halim Perdanakusuma.

SUTOMO

NAMA :

 SUTOMO

LAHIR DI :

 Surabaya, 3 Oktober 1920 Jawa Timur

AGAMA :

 Islam

JABATAN :

 Menteri Tenaga kerja dan Transmikrasi Republik Indonesia ke 10 ( 27 Agustus 1964


– 26 Maret 1966) yang didahului AHEM ERNINGPRDJA lalu digantikan
AWALUDDIN DJAMIN

MENINGGAL :
Page
109
 di padang arafah 7 Oktober 1981

Bung Tomo, adalah pahlawan yang terkenal karena peranannya dalam


membangkitkan semangat rakyat untuk melawan kembalinya penjajah Belanda melalui
tentara NICA, yang berakhir dengan pertempuran 10 November 1945 yang hingga kini
diperingati sebagai Hari Pahlawan.

Sutomo dilahirkan di Kampung Blauran, di pusat kota Surabaya. Ayahnya bernama


Kartawan Tjiptowidjojo, seorang kepala keluarga dari kelas menengah. Ia pernah bekerja
sebagai pegawai pemerintahan, sebagai staf pribadi di sebuah perusahaan swasta, sebagai
asisten di kantor pajak pemerintah, dan pegawai kecil di perusahan ekspor-impor Belanda.
Ia mengaku mempunyai pertalian darah dengan beberapa pendamping dekat Pangeran
Diponegoro yang dikebumikan di Malang. Ibunya berdarah campuran Jawa Tengah, Sunda,
dan Madura. Ayahnya adalah seorang serba bisa. Ia pernah bekerja sebagai polisi di
kotapraja, dan pernah pula menjadi anggota Sarekat Islam, sebelum ia pindah ke Surabaya
dan menjadi distributor lokal untuk perusahaan mesin jahit Singer.

MASA MUDA

Sutomo dibesarkan di rumah yang sangat menghargai pendidikan. Ia berbicara dengan


terus terang dan penuh semangat. Ia suka bekerja keras untuk memperbaiki keadaan. Pada
usia 12 tahun, ketika ia terpaksa meninggalkan pendidikannya di MULO, Sutomo
melakukan berbagai pekerjaan kecil-kecilan untuk mengatasi dampak depresi yang melanda
dunia saat itu. Belakangan ia menyelesaikan pendidikan HBS-nya lewat korespondensi,
namun tidak pernah resmi lulus.

Sutomo kemudian bergabung dengan KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia).


Belakangan Sutomo menegaskan bahwa filsafat kepanduan, ditambah dengan kesadaran
nasionalis yang diperolehnya dari kelompok ini dan dari kakeknya, merupakan pengganti
yang baik untuk pendidikan formalnya. Pada usia 17 tahun, ia menjadi terkenal ketika
berhasil menjadi orang kedua di Hindia Belanda yang mencapai peringkat Pandu Garuda.
Sebelum pendudukan Jepang pada 1942, peringkat ini hanya dicapai oleh tiga orang
Indonesia.

PEMIMPIN PERJUANGAN PERTEMPURAN SURABAYA 10 NOVEMBER 1945

Sutomo pernah menjadi seorang jurnalis yang sukses. Kemudian ia bergabung dengan
sejumlah kelompok politik dan sosial. Ketika ia terpilih pada 1944 untuk menjadi anggota
Gerakan Rakyat Baru yang disponsori Jepang, hampir tak seorang pun yang mengenal dia.
Namun semua ini mempersiapkan Sutomo untuk peranannya yang sangat penting, ketika
pada Oktober dan November 1945, ia menjadi salah satu Pemimpin yang menggerakkan dan
membangkitkan semangat rakyat Surabaya, yang pada waktu itu Surabaya diserang habis-
habisan oleh tentara-tentara NICA. Sutomo terutama sekali dikenang karena seruan-seruan
pembukaannya di dalam siaran-siaran radionya yang penuh dengan emosi.Meskipun

Page
110
Indonesia kalah dalam Pertempuran 10 November itu, kejadian ini tetap dicatat sebagai salah
satu peristiwa terpenting dalam sejarah Kemerdekaan Indonesia.

SETELAH KEMERDEKAAN

Setelah kemerdekaan Indonesia, Sutomo sempat terjun dalam dunia politik pada tahun
1950-an, namun ia tidak merasa bahagia dan kemudian menghilang dari panggung politik.
Pada akhir masa pemerintahan Soekarno dan awal pemerintahan Suharto yang mula-mula
didukungnya, Sutomo kembali muncul sebagai tokoh nasional.

Padahal, berbagai jabatan kenegaraan penting pernah disandang Bung Tomo. Ia


pernah menjabat Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata/Veteran sekaligus
Menteri Sosial Ad Interim pada 1955-1956 di era Kabinet Perdana Menteri Burhanuddin
Harahap. Bung Tomo juga tercatat sebagai anggota DPR pada 1956-1959 yang mewakili
Partai Rakyat Indonesia.

Namun pada awal 1970-an, ia kembali berbeda pendapat dengan pemerintahan Orde
Baru. Ia berbicara dengan keras terhadap program-program Suharto sehingga pada 11 April
1978 ia ditahan oleh pemerintah Indonesia yang tampaknya khawatir akan kritik-kritiknya
yang keras. Baru setahun kemudian ia dilepaskan oleh Suharto. Meskipun semangatnya
tidak hancur di dalam penjara, Sutomo tampaknya tidak lagi berminat untuk bersikap vokal.

Ia masih tetap berminat terhadap masalah-masalah politik, namun ia tidak pernah


mengangkat-angkat peranannya di dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Ia sangat
dekat dengan keluarga dan anak-anaknya, dan ia berusaha keras agar kelima anaknya
berhasil dalam pendidikannya.

Sutomo sangat bersungguh-sungguh dalam kehidupan imannya, namun tidak


menganggap dirinya sebagai seorang Muslim saleh, ataupun calon pembaharu dalam agama.
Pada 7 Oktober 1981 ia meninggal dunia di Padang Arafah, ketika sedang menunaikan
ibadah haji. Berbeda dengan tradisi untuk memakamkan para jemaah haji yang meninggal
dalam ziarah ke tanah suci, jenazah Bung Tomo dibawa kembali ke tanah air dan
dimakamkan bukan di sebuah Taman Makam Pahlawan, melainkan di Tempat Pemakaman
Umum Ngagel di Surabaya.

GELAR PAHLAWAN NASIONAL

Setelah pemerintah didesak oleh Gerakan Pemuda (GP) Ansor dan Fraksi Partai
Golkar (FPG) agar memberikan gelar pahlawan kepada Bung Tomo pada 9 November 2007.
Akhirnya gelar pahlawan nasional diberikan ke Bung Tomo bertepatan pada peringatan Hari
Pahlawan tanggal 10 November 2008. Keputusan ini disampaikan oleh Menteri Komunikasi
dan Informatika Kabinet Indonesia Bersatu, Muhammad Nuh pada tanggal 2 November
2008 di Jakarta.

Page
111
Pada tahun 1950-an di Surabaya, Bung Tomo berusaha sebagai penolong tukang becak
pertama yakni dengan mendirikan pabrik sabun melalui uang iuran tukang becak untuk
pendirian pabrik sabun. Pabrik tersebut didirikan oleh dan untuk tukang becak akan tetapi
kelanjutan ide pendirian pabrik sabun berhasil nihil dan tanpa adanya pertanggungan-
jawaban keuangan.

AGUS SALIM

NAMA :

 MASHADUL HAQ ( PEMBELA KEBENARAN)

LAHIR DI :

 Kota Gadang, Sumatera Utara 8 Oktober 1884

PROFESI :

 Jurnalis
 Diplomat

JABATAN :

 Menteri Negeri Republik Indonesia ke 3 (3Juli 1947 – 20 Desember 1949) yang


didahului oleh SUTAN SYAHRIR. Digantikan oleh MOHAMMAD ROEM.
 Menteri Muda Luar Negeri Indonesia ke 1 (12 Maret 1946 – 3 Juli 1947)
kemudian digantikan oleh TAMSIL.

Page
112
MENINGGAL :

 4 November 1954 di usia 70 tahun di Jakarta.

Haji Agus Salim (lahir dengan nama Mashudul Haq (berarti "pembela kebenaran");
lahir di Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat, Hindia Belanda, 8 Oktober 1884 – meninggal
di Jakarta, Indonesia, 4 November 1954 pada umur 70 tahun) adalah seorang pejuang
kemerdekaan Indonesia. Haji Agus Salim ditetapkan sebagai salah satu Pahlawan Nasional
Indonesia pada tanggal 27 Desember 1961 melalui Keppres nomor 657 tahun 1961.

LATAR BELAKANG

Agus Salim lahir dari pasangan Soetan Salim gelar Soetan Mohamad Salim dan Siti
Zainab. Jabatan terakhir ayahnya adalah Jaksa Kepala di Pengadilan Tinggi Riau.

Pendidikan dasar ditempuh di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah khusus anak-anak
Eropa, kemudian dilanjutkan ke Hoogere Burgerschool (HBS) di Batavia. Ketika lulus, ia
berhasil menjadi lulusan terbaik di HBS se-Hindia Belanda.

Setelah lulus, Salim bekerja sebagai penerjemah dan pembantu notaris pada sebuah
kongsi pertambangan di Indragiri. Pada tahun 1906, Salim berangkat ke Jeddah, Arab Saudi
untuk bekerja di Konsulat Belanda di sana. Pada periode inilah Salim berguru pada Syeh
Ahmad Khatib, yang masih merupakan pamannya.

Salim kemudian terjun ke dunia jurnalistik sejak tahun 1915 di Harian Neratja sebagai
Redaktur II. Setelah itu diangkat menjadi Ketua Redaksi. Menikah dengan Zaenatun Nahar
dan dikaruniai 8 orang anak. Kegiatannya dalam bidang jurnalistik terus berlangsung hingga
akhirnya menjadi Pemimpin Harian Hindia Baroe di Jakarta. Kemudian mendirikan
Suratkabar Fadjar Asia. Dan selanjutnya sebagai Redaktur Harian Moestika di Yogyakarta
dan membuka kantor Advies en Informatie Bureau Penerangan Oemoem (AIPO).
Bersamaan dengan itu Agus Salim terjun dalam dunia politik sebagai pemimpin Sarekat
Islam.

KARYA TULIS

 Riwayat Kedatangan Islam di Indonesia


 Dari Hal Ilmu Quran
 Muhammad voor en na de Hijrah
 Gods Laatste Boodschap
 Jejak Langkah Haji Agus Salim (Kumpulan karya Agus Salim yang dikompilasi
koleganya, Oktober 1954)

KARYA TERJEMAHAN

 Menjinakkan Perempuan Garang (dari The Taming of the Shrew karya Shakespeare)
 Cerita Mowgli Anak Didikan Rimba (dari The Jungle Book karya Rudyard Kipling)
 Sejarah Dunia (karya E. Molt)

Page
113
KARIR POLITIK

Pada tahun 1915, Salim bergabung dengan Sarekat Islam (SI), dan menjadi pemimpin
kedua di SI setelah H.O.S. Tjokroaminoto.Peran Agus Salim pada masa perjuangan
kemerdekaan RI antara lain:

 anggota Volksraad (1921-1924)


 anggota panitia 9 BPUPKI yang mempersiapkan UUD 1945
 Menteri Muda Luar Negeri Kabinet Sjahrir II 1946 dan Kabinet III 1947
 pembukaan hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara Arab, terutama
Mesir pada tahun 1947
 Menteri Luar Negeri Kabinet Amir Sjarifuddin 1947
 Menteri Luar Negeri Kabinet Hatta 1948-1949

Presiden Sukarno dan Agus Salim dalam tahanan Belanda, 1949.Di antara tahun 1946-
1950 ia laksana bintang cemerlang dalam pergolakan politik Indonesia, sehingga kerap kali
digelari "Orang Tua Besar" (The Grand Old Man). Ia pun pernah menjabat Menteri Luar
Negeri RI pada kabinet Presidentil dan di tahun 1950 sampai akhir hayatnya dipercaya
sebagai Penasehat Menteri Luar Negeri.

Pada tahun 1952, ia menjabat Ketua di Dewan Kehormatan PWI. Biarpun penanya
tajam dan kritikannya pedas namun Haji Agus Salim dikenal masih menghormati batas-
batas dan menjunjung tinggi Kode Etik Jurnalistik.

Setelah mengundurkan diri dari dunia politik, pada tahun 1953 ia mengarang buku
dengan judul Bagaimana Takdir, Tawakal dan Tauchid harus dipahamkan? yang lalu
diperbaiki menjadi Keterangan Filsafat Tentang Tauchid, Takdir dan Tawakal.

Ia meninggal dunia pada 4 November 1954 di RSU Jakarta dan dimakamkan di TMP
Kalibata, Jakarta. Namanya kini diabadikan untuk stadion sepak bola di Padang.

Page
114
Dr. SOETOMO

NAMA :
 Dr.SOETOMO

LAHIR DI :
 Ngepeh, Loceret, Nganjuk 30 Juli 1888 Jawa Timur.

KEBANGSAAN :
 Hindia Belanda

MENINGGAL : 30 Mei 1938 pada usia 49 di Surabaya, Jawa Timur.

Dr. Soetomo (lahir di Ngepeh, Loceret, Nganjuk, Jawa Timur, 30 Juli


1888 – meninggal di Surabaya, Jawa Timur, 30 Mei 1938 pada umur 49 tahun) adalah tokoh
pendiri Budi Utomo, organisasi pergerakan yang pertama di Indonesia.

Pada tahun 1903, Soetomo menempuh pendidikan kedokteran di School tot Opleiding
van Inlandsche Artsen, Batavia. Bersama kawan-kawan dari STOVIA inilah Soetomo
mendirikan perkumpulan yang bernama Budi Utomo, pada tahun 1908. Setelah lulus pada
tahun 1911, ia bekerja sebagai dokter pemerintah di berbagai daerah di Jawa dan Sumatra.
Pada tahun 1917, Soetomo menikah dengan seorang perawat Belanda. Pada tahun 1919
sampai 1923, Soetomo melanjutkan studi kedokteran di Belanda.

Pada tahun 1924, Soetomo mendirikan Indonesian Study Club (dalam bahasa Belanda
Indonesische Studie Club atau Kelompok Studi Indonesia) di Surabaya, pada tahun 1930
mendirikan Partai Bangsa Indonesia dan pada tahun 1935 mendirikan Parindra (Partai
Indonesia Raya).
Page
115
ZAINUL ARIFIN

NAMA :

 K.H.ZAINUL ARIFIN

LAHIR DI :

 Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara 2 September 1909.

JABATAN :

 Ketua Dewan Perwakilan Rakyat ke 2 ( 1960-1963) yang didahului oleh


SOEKARNO. Kemudian digantikan oleh ARUDJI KARTAWINATA.
 W akil Perdana Menteri Indonesia (30 Juli 1953-12 Agustus 1955) didahului oleh
PRAWOTO MANGKUSASMITO. Kemudian digantikan DJANU ISMAIL.

MENINGGAL : 2 Maret 1963 di usia 53 di Jakarta

Kiai Haji Zainul Arifin atau lengkapnya Kiai Haji Zainul Arifin Pohan (lahir di
Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, 2 September 1909 – meninggal di Jakarta, 2 Maret
1963 pada umur 53 tahun) adalah seorang politisi Nahdlatul Ulama (NU) terkemuka yang
sejak remaja di zaman penjajahan Belanda sudah aktif dalam organisasi kepemudaan NU,
GP Ansor, jabatan terakhirnya ialah ketua DPRGR sejak 1960 - 1963.

MASA KANAK-KANAK DAN PENDIDIKAN

Zainul Arifin lahir sebagai anak tunggal dari keturunan raja Barus, Sultan Ramali bin
Tuangku Raja Barus Sultan Sahi Alam Pohan dengan perempuan bangsawan asal

Page
116
Kotanopan, Mandailing, Siti Baiyah boru Nasution. Ketika Zainul masih balita kedua
orangtuanya bercerai dan ia dibawa pindah oleh ibunya ke Kotanopan, kemudian ke Kerinci,
Jambi. Di sana ia menyelesaikan HIS (Hollands Indische School) dan sekolah menengah
calon guru, Normal School. Selain itu, Arifin juga memperdalam pengetahuan agama di
Madrasah di surau dan saat menjalani pelatihan seni bela diri Pencak Silat. Arifin juga
seorang pecinta kesenian yang aktif dalam kegiatan seni sandiwara musikal melayu, Stambul
Bangsawan sebagai penyanyi dan pemain biola. Stambul Bangsawan merupakan awal
perkembangan seni panggung sandiwara modern Indonesia. Dalam usia 16 tahun Zainul
merantau ke Batavia (Jakarta).

DARI GEMEENTE KE GP ANSOR

Berbekal ijazah HIS Arifin diterima bekerja di pemerintahan kotapraja kolonial


(Gemeente) sebagai pegawai di Perusahaan Air Minum (PAM) di Pejompongan Jakarta
Pusat. Di sana ia sempat bekerja selama lima tahun, sebelum akhirnya terkena PHK saat
resesi global yang bermula di AS dan berdampak hingga ke wilayah Hindia Belanda. Keluar
dari gemeente Arifin kemudian memilih bekerja sebagai guru sekolah dasar dan mendirikan
pula balai pendidikan untuk orang dewasa, Perguruan Rakyat, di kawasan Meester Cornelis
(Jatinegara sekarang). Zainul juga sering memberi bantuan hukum bagi masyarakat Betawi
yang membutuhkan sebagai tenaga Pokrol Bambu, pengacara tanpa latar belakang
pendidikan Hukum namun menguasai Bahasa Belanda. Selain itu ia pun aktif kembali dalam
kegiatan seni sandiwara musikal tradisional Betawi yang berasal dari tradisi Melayu,
Samrah. Ia sempat mendirikan kelompok samrah bernama Tonil Zainul. Dari kegiatan
kesenian ini ia berkenalan dan selanjutnya sangat akrab bersahabat dengan tokoh perfilman
nasional, Jamaluddin Malik yang kala itu juga bergiat dalam kegiatan Samrah. Kedua
mereka kemudian bergabung dengan Gerakan Pemuda (GP) Ansor yang ketika itu memang
aktif merekrut tenaga-tenaga muda.

Selama menjadi anggota GP Ansor inilah Arifin kemudian semakin meningkatkan


pengetahuan agama dan ketrampilan berdakwahnya sebagai muballigh muda lewat
pelatihan-pelatihan khas Ansor. Kepiawaian Zainul dalam berpidato, berdebat dan
berdakwah ternyata menarik perhatian tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama, organisasi induk
Ansor termasuk: Wahid Hasyim, Mahfudz Shiddiq, Muhammad Ilyas, dan Abdullah Ubaid.
Hanya dalam beberapa tahun saja, Zainul Arifin sudah menjadi Ketua Cabang NU Jatinegara
dan berikutnya sebagai Ketua Majelis Konsul NU Batavia. dan bekerja di perusahaan air
minum (PAM) pemerintah kotapraja (gemeente). Di kota ini ia juga sempat menjadi guru
sekolah di daerah-daerah Jatinegara dan Bukit Duri Tanjakan. Selain itu Arifin pernah pula
menjalani profesi pokrol bambu, pengacara bumiputra yang tidak memerlukan pendidikan
hukum formal. Tahun 1930-an ia mulai bergabung dengan Gerakan Pemuda Ansor dan
beberapa tahun kemudian sudah aktif di organisasi induk NU, mula-mula sebagai Ketua
Cabang Jatinegara dan akhirnya diamanahi sebagai ketua Majelis Konsul NU Jakarta hingga
datangnya tentara Jepang tahun 1942.

MENJADI PANGLIMA HIZBULLAH MASYUMI

Selama era pendudukan militer Jepang, Zainul Arifin ikut mewakili NU dalam
kepengurusan Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) dan terlibat dalam
pembentukan pasukan semi militer Hizbullah.

Page
117
Untuk menarik simpati warga hingga ke pedesaan, organisasi-organisasi Islam
(utamanya NU) diberi kesempatan untuk lebih aktif terlibat dalam pemerintahan di bawah
pendudukan militer Jepang. Zainul Arifin ditugaskan untuk membentuk model
kepengurusan tonarigumi, cikal bakal Rukun Tetangga, di Jatinegara yang kemudian
dibentuk pula hingga ke pelosok-pelosok desa di Pulau Jawa. Ketika Perang Asia Pasifik
semakin memanas, Jepang mengizinkan dibentuknya laskar-laskar semi militer rakyat.
Pemuda-pemuda Islam direkrut lewat jalur tonarigumi membentuk Hizbullah (Tentara
Allah). Arifin dipercaya sebagai Panglima Hizbullah dengan tugas utama mengkoordinasi
pelatihan-pelatihan semi militer di Cibarusa, dekat Bogor. Dalam puncak kesibukan latihan
perang guna mengantisipasi terjadinya Perang Asia Pasifik, Kemerdekaan Indonesia
diproklamasikan Sukarno-Hatta pada 17 Agustus 1945 di Jakarta.

PASKA PROKLAMASI KEMERDEKAAN

Zainul kemudian bertugas mewakili partai Masyumi di Badan Pekerja Komite


Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), cikal bakal DPR-MPR, sambil terus memegang
tampuk pimpinan Hizbullah yang sudah menjelma menjadi pasukan bersenjata. Selama
masa Revolusi, selain mengikuti sidang-sidang BP KNIP yang berpindah-pindah tempat
karena kegawatan situasi, Arifin juga memimpin gerakan-gerakan gerilya Laskar Hizbullah
di Jawa Tengah dan Jawa Timur selama Agresi Militer I dan II. Dalam memimpin Laskar
Hizbullah Zainul menggunakan jalur tonarigumi atau Rukun Tetangga yang dulu dibinanya
hingga meliputi desa-desa terpencil di Jawa. Saat terjadi Agresi Militer II bulan Desember
1948, Belanda berhasil menjatuhkan Yogyakarta dan menawan Sukarno-Hatta. Dalam
keadaan darurat, BP KNIP praktis tidak berfungsi. Arifin lantas terlibat sebagai anggota
Komisariat Pemerintah Pusat di Jawa (KPPD), bagian dari Pemerintahan Darurat Republik
Indonesia (PDRI) yang berkedudukan di Bukit Tinggi, Sumatera Barat.

Tugas utama Zainul melakukan konsolidasi atas badan-badan perjuangan yang


melancarkan taktik gerilya di bawah komandan Jenderal Sudirman. Saat pemerintah
melebur segenap pasukan bersenjata ke dalam satu wadah Tentara Nasional Indonesia,
Zainul Arifin sempat dipercaya sebagai Sekertaris Pucuk Pimpinan TNI. Namun akhirnya,
ketika banyak mantan anggota laskar Hizbullah yang dinyatakan tidak bisa diterima menjadi
anggota TNI karena tidak berpendidikan "modern" dan hanya lulusan Madrasah, ia memilih
mengundurkan diri dan berkonsentrasi meneruskan perjuangan sipil di jalur politik.

BERKIPRAH DI LEGISLATIF DAN EKSEKUTIF

Setelah Belanda akhirnya mengakui kedaulatan RI akhir tahun 1949, Zainul Arifin
kembali ke Parlemen sebagai wakil Partai Masyumi di DPRS dan kemudian wakil Partai
NU ketika akhirnya partai kiai tradisionalis ini memisahkan diri dari Masyumi tahun 1952.
Setahun sesudahnya, Arifin berkiprah di lembaga eksekutif dengan menjabat sebagai wakil
perdana menteri (waperdam) dalam Kabinet Ali Sastroamijoyo I yang memerintah dua tahun
penuh (1953-1955).

Untuk pertama kalinya dalam sejarah NU, tiga jabatan menteri (sebelumnya NU selalu
hanya mendapat jatah satu posisi menteri saja) dijabat tokoh-tokoh NU dengan Zainul Arifin
sebagai tokoh NU pertama menjabat sebagai waperdam. Kabinet itu sendiri sukses
menyelenggarakan Konfrensi Asia Afrika di Bandung. Dalam tahun 1955 itu pula Zainul
Page
118
berangkat haji untuk pertama dan terakhir kali ke Tanah Suci bersama Presiden Sukarno. Di
sana ia dihadiahi sebilah pedang berlapis emas oleh Raja Arab Saudi, Raja Saud.
Sekembalinya dari sana Zainul merupakan salah satu tokoh penting yang berhasil
menempatkan partai NU ke dalam "tiga besar" pemenang pemilu 1955, dimana jumlah kursi
NU di DPR meningkat dari hanya 8 menjadi 45 kursi. Selain kembali ke parlemen sebagai
wakil ketua I DPR RI, setelah pemilu 1955, Arifin juga mewakili NU dalam Majelis
Konstituante hingga lembaga ini dibubarkan Sukarno lewat dekrit 5 Juli 1959 karena
dipandang gagal merumuskan UUD baru. Pasca Dekrit, Indonesia dinyatakan kembali ke
UUD 1945 dan memasuki era Demokrasi Terpimpin. Pada masa itu terjadi pemusatan
kekuasaan pada diri Presiden yang berkeras untuk menerapkan faham NASAKOM
(Nasionalis, Agama, dan Komunis) yang menyudutkan partai-partai agama yang tidak ingin
Partai Komunis Indonesia (PKI) berkembang di Indonesia.

KARIR POLITIK

Sejak proklamasi kemerdekaan Zainul Arifin langsung duduk dalam Badan Pekerja
Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), cikal bakal lembaga legislatif MPR/DPR.
Hingga akhir hayatnya Arifin aktif di parlemen mewakili partai Masyumi dan kemudian
partai NU setelah NU keluar dari Masyumi pada 1952. Hanya selama 1953-1955 ketika
menjabat sebagai wakil perdana menteri dalam kabinet Ali-Arifin (Kabinet Ali
Sastroamijoyo I) Zainul terlibat dalam badan eksekutif. Kabinet di era Demokrasi
Parlementer ini sukses menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada 1955.

Pemilu pertama 1955 mengantar Zainul Arifin sebagai anggota Majelis Konstituante
sekaligus wakil ketua DPR sampai kedua lembaga dibubarkan Sukarno melalui Dekrit
Presiden 5 Juli 1959.Memasuki era Demokrasi Terpimpin itu, Arifin bersedia mengetuai
DPR Gotong Royong (DPRGR) sebagai upaya partai NU membendung kekuatan Partai
Komunis Indonesia (PKI) di parlemen. Ditengah meningkatnya suhu politik, pada 14 Mei
1962, saat salat Idul Adha di barisan terdepan bersama Sukarno, Zainul tertembak peluru
yang diarahkan seorang pemberontak DI/TII dalam percobaannya membunuh presiden.
Zainul Arifin akhirnya wafat 2 Maret 1963 setelah menderita luka bekas tembakan
dibahunya selama sepuluh bulan.

Page
119
MOHAMMAD HUSNI THAMRIN

NAMA :
 MOHAMMAD HUSNI THAMRIN

LAHIR DI :
 Weltevreden, Batavia, Hindia Belanda 16 Februari 1894

PEKERJAAN :
 Politikus

PENGHARGAAN :
 Pahlawan Nasional Indonesia

MENINGGAL :
 11 Januari 1941 di usia 46 tahun di makamkan di taman pemakaman umum

karet bivak, Jakarta

Mohammad Husni Thamrin (lahir di Weltevreden, Batavia, 16 Februari


1894 – meninggal di Senen, Batavia, 11 Januari 1941 pada umur 46 tahun) adalah seorang
politisi era Hindia Belanda yang kemudian dianugerahi gelar pahlawan nasional Indonesia.

KEHIDUPAN AWAL

Thamrin lahir di Weltevreden, Batavia (sekarang Jakarta), Hindia Belanda, pada 16


Februari 1894. Ayahnya adalah seorang Belanda dengan ibu orang Betawi. Sejak kecil ia
dirawat oleh pamannya dari pihak ibu karena ayahnya meninggal, sehingga ia tidak
menyandang nama Belanda. Sementara itu kakeknya, Ort, seorang Inggris, merupakan
pemilik hotel di bilangan Petojo, menikah dengan seorang Betawi yang bernama
Noeraini.Ayahnya, Tabri Thamrin, adalah seorang wedana dibawah gubernur jenderal Johan
Cornelis van der Wijck. Setelah lulus dari Gymnasium Koning Willem III School te Batavia,
Thamrin mengambil beberapa jabatan sebelum bekerja di perusahaan perkapalan
Koninklijke Paketvaart-Maatschappij.
Page
120
KARIER

Ia dikenal sebagai salah satu tokoh Betawi (dari organisasi Kaoem Betawi) yang
pertama kali menjadi anggota Volksraad ("Dewan Rakyat") di Hindia Belanda, mewakili
kelompok Inlanders ("pribumi"). Sejak 1935 ia menjadi anggota Volksraad melalui
Parindra. Thamrin juga salah satu tokoh penting dalam dunia sepakbola Hindia Belanda
(sekarang Indonesia), karena pernah menyumbangkan dana sebesar 2000 Gulden pada tahun
1932 untuk mendirikan lapangan sepakbola khusus untuk rakyat Hindia Belanda pribumi
yang pertama kali di daerah Petojo, Batavia (sekarang Jakarta).

Kematiannya penuh dengan intrik politik yang kontroversial. Tiga hari sebelum
kematiannya, ia ditahan tanpa alasan jelas. Menurut laporan resmi, ia dinyatakan bunuh diri
namun ada dugaan ia dibunuh oleh petugas penjara. Jenazahnya dimakamkan di TPU Karet,
Jakarta. Di saat pemakamannya, lebih dari 10000 pelayat mengantarnya yang kemudian
berdemonstrasi menuntuk penentuan nasib sendiri dan kemerdekaan dari Belanda.

Namanya diabadikan sebagai salah satu jalan protokol di Jakarta dan proyek perbaikan
kampung besar-besaran di Jakarta ("Proyek MHT") pada tahun 1970-an .

Page
121
SOERJOPRANOTO

NAMA :

 RADEN MAS SOERJOPRANOTO

LAHIR DI :

 Jogjakarta 11 Januari 1871

DIKENAL KARENA :

 Pahlawan Nasional Indonesia

MENINGGAL :

 15 Oktober 1959 di umur 88 di Cimahi, Jawa Barat

Raden Mas Soerjopranoto (Ejaan Soewandi: Suryopranoto) (lahir di Jogjakarta, 11


Januari 1871 – meninggal di Tjimahi, 15 Oktober 1959 pada umur 88 tahun) adalah salah
satu Pahlawan Nasional Indonesia yang dikukuhkan sebagai pahlawan nasional yang ke-3
oleh Presiden RI, Soekarno, pada 30 November 1959 (Surat Keputusan Presiden Republik
Indonesia No. 310 Tahun 1959, tanggal 30 November 1959).Ia dimakamkan di Kotagede,
Yogyakarta.

LATAR BELAKANG DAN PENDIDIKAN

Soerjopranoto, dengan nama kecil Iskandar, adalah kakak Soewardi Soeryaningrat (Ki
Hadjar Dewantara). Secara genealogis, Soerjopranoto adalah seorang bangsawan. Ia adalah
putra sulung dari Kanjeng Pangeran Aryo (KPA) Suryaningrat, yang mana sang ayah sendiri
adalah putra tertua dari Paku Alam III. Ini berarti Suryopranoto adalah anak laki-laki
pertama dari seorang putra mahkota. Namun, hak naik tahta sang ayah menjadi batal karena
ia terserang penyakit mata yang mengakibatkan kebutaan.
Page
122
Iskandar, sebagai anak bangsawan, termasuk golongan pribumi yang kedudukannya
"disamakan" dengan kalangan bangsa Eropa. Dengan statusnya itulah ia bisa masuk Sekolah
Rendah Eropa atau Europeesche Lagere School (ELS). Setamat dari ELS, Suryopranoto
mengambil Klein Ambtenaren Cursus atau Kursus Pegawai Rendah, yang kurang lebih
setingkat dengan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) yang sekarang setara dengan
SMP.

Lulus dari kursus tersebut, Suryopranoto diterima menjadi pegawai kantor


pemerintahan kolonial di Toeban. Ia akhirnya dipecat dari pekerjaan tersebut karena
menempeleng seorang pejabat kolonial berkulit putih.

Sekembalinya dari Toeban, Suryopranoto langsung diangkat sebagai wedono sentono


di Praja Pakualaman dengan pangkat panji. Jabatan itu kurang lebih sama dengan kepala
bagian administrasi istana.

Pada tahun 1900, Suryopranoto mendirikan sebuah organisasi bernama Mardi


Kaskaya. Sebagian besar pengurus organisasi ini adalah kerabat Pakualaman. Mardi
Kaskaya kurang lebih mirip sebuah koperasi simpan-pinjam. Pada akhir tahun 1901,
Suryopranoto mendirikan sebuah klub pertemuan dengan nama Societeit Sutrohardjo. Klub
ini kurang lebih merupakan sebuah perpustakaan yang sangat sederhana. Dalam klub ini,
orang bisa membaca berbagai bacaan, seperti surat kabar dan majalah.

Sehubungan dengan keberadaan Mardi Kaskaya, ruang gerak rentenir semakin


berkurang. Mereka sering menemui umpatan dan cacian ketika keluar masuk kampung-
kampung. Akibatnya, konflik terbuka sering terjadi. Insiden-insiden tersebut dianggap oleh
pejabat kolonial sebagai gangguan ketentraman umum karena keberadaan Mardi Kaskaya
dengan Suryopranoto sebagai pendirinya. Oleh karena itulah pejabat kolonial
"menyekolahkan" Suryopranoto ke MLS (Middelbare Landbouw School = Sekolah
Menengah Pertanian) di Bogor.

PERJUANGAN

Pangeran Soerjopranoto dan juga bangsawan-bangsawan lainnya di Praja Paku


Alaman, umumnya tidak pernah menyembunyikan kenyataan sejarah, bahwa di dalam tubuh
kerabat Paku Alaman itu, terutama Sri Paku Alam ke-II telah mengalir darah rakyat jelata
yang segar yang berasal dari seorang petani di desa Sewon, Bantul, Yogyakarta, yang
bernama Ronodigdoyo.

Pada zaman Perang Perebutan Mahkota III (1747-1755) ia ikut terjun dalam
perjuangan melawan Belanda (VOC), dan pernah memberikan jasa yang luar biasa kepada
Pangeran Mangkubumi, adik Sultan Pakubuwono II. Sebab itu kepadanya dijanjikan
kedudukan yang baik, apabila pemberontakan Pangeran Mangkubumi itu berhasil dengan
kemenangan.

Tapi sesudah perang selesai dan Pangeran Mangkubumi memperoleh bagian Barat
Kerajaan Mataram setelah Perjanjian Gijanti (1755) dan ia naik tahta menjadi Sultan
Hamengku Buwono ke-I, Sri Sultan alpa akan janjinya, dan memberikan Ronodigdoyo pada
kedudukannya sebagai prajurit.
Page
123
Karena sakit hati, maka Ronodigdoyo meninggalkan istana tanpa pamit dan kemudian
mendirikan perguruan di desa Sewon. Ia kawin dengan gadis desa setempat dan kemudian
beranak tiga orang, yaitu : Prawironoto, Prawirodirdjo, dan seorang anak perempuan, Sedah
Mirah (Sirih Mirah).

Dikemudian hari putera mahkota, yang nantinya menjadi Sri Sultan Hamengku
Buwono ke-II, yang belum tahu menahu asal usul Sedah Mirah, telah jatuh cinta kepada
gadis desa itu. Maka tanpa sengaja setelah mereka menikah, Ronodigdoyo terangkat dengan
sendirinya kepada kedudukan yang mulia, sebagai besan Sri Sultan Hamengku Buwono Ke-
I.

Ketika Sultan yang pertama mangkat pada tahun 1792, putera mahkota segera naik
tahta menjadi Sultan Hamengku Buwono ke-II, dan Sedah Mirah diangkat menjadi
permaisuri, bergelar Kanjeng Ratu Kencana Woelan (atau Kencana Woengoe). Dari
permaisuri yang berasal dari rakyat jelata ini dilahirkan tiga orang anak, puteri semua, dan
ternyata ketiganya diperistri oleh bangsawan-bangsawan yang memiliki kedudukan yang
penting dalam sejarah, dan menurunkan pejuang-pejuang bangsa. Yang Pertama adalah
Kanjeng Ratu Ayoe yang kemudian menjadi permaisuri Sri Paku Alam ke-II dan menjadi
asal keturunan pahlawan-pahlawan nasional Aoejopranoto, dan Ki Hadjar Dewantara. Yang
Kedua, Kanjeng Ratu Anom yang diperistri oleh Adipati Madiun dan kemudian yang Ketiga,
Kanjeng Ratu Timoer, yang deperistri oleh Patih Sedolawe dan menurunkan
Gondokoesoemo, yang cukup dikenal dalam Perang Diponogoro (1825-1830).

ASAL-USUL KELUARGA

Soerjopranoto dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 11 Januari tahun 1871 sebagai


putera tertua dari Kanjeng Pangeran Haryo Soerjaningrat putra sulung Sri Paku Alam III (
yang tidak dapat menjadi Paku Alam IV karena buta ). Pakualaman adalah daerah
Kulonprogo.

Istri beliau bernama Djauharin Insjiah putri almarhum Kyai haji Abdussakur,
Penghulu (Landraad) Agama Islam, dari Karanganyar Banyumas, telah wafat terlebih
dahulu dalam tahun 1951 pada usia 67 tahun.

Selain disekolahkan Soerjopranoto mendapat didikan di rumah tentang budipekerti.


Dan sesuai dengan adat pusaka kebangsawanan beliau diwajibkan mengerti dan memahami
senitari, kerawitan (gamelan), seni sastra (membuat sajak, syair, nyanyian jawa). Menjelang
dewasa mulailah Soerjopranoto mempelajari soal ketatanegaraan, perekonomian,
kemasyarakatan, sejarah, keTuhanan dan lain sebagainya. Perpustakaan beliau meliputi
kurang lebih 3500 buku tentang berbagai ilmu pengetahuan. Dia kemudian berhasil
mendapat ijasah Klein Ambtenaar.

Karena dipandang terlalu "lastig" (membuat onar) di dalam masyarakat Yogyakarta


atas usaha Assistent Resident beliau "dibuang" ke Tuban )Gresik) sebagai pegawai di
Controleurs-Kantoor. Di sini beliau membela teman pegawainya hingga menempeleng
atasannya (seorang Belanda). Ia minta berhenti dan segera pulang kembali ke Yogyakarta.
Untuk menghindari tindakan hukum pemerintah Hindia Belanda atas dirinya, pamannya

Page
124
Pangeran Sasraningrat yang berpangkat Gusti Wakil mengangkatnya menjadi Wedana
Sentana, dengan titel "Panji" di Praja Paku Alaman.

Karena masih dianggap sebagai "Pengganggu", Assistent Resident "membuang"


beliau ke Bogor dengan alasan disekolahkan pada Sekolah Pertanian (Eropeesch Afdeling)
dengan surat tugas langsung ditanda tangani Gubernur Jenderal sebagai "izin
istimewa".Disini ia tinggal dirumah orang Belanda bernama Van Hinllopen Laberton yang
menganut ajaran teosofi yang membenci penjajahan dan perbedaan hak bangsa-bangsa.
Soerjopranoto merasa manamukan sahabat, guru kawan dan orangtua sekaligus. Pada tahun
1907 ia berhasil mendapat ijasah Landbouwkundige dan Landbouw-leraar.

Disamping itu beliau memahirkan diri dalam bela diri : yaitu Kuntau dan Toya dari
seorang Tionghoa dari Kanton.

Pada masa ini ketika ayahnya menugaskan dia mengurus adiknya Suwardi
Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) masuk Sekolah Dokter Stovia di Jakarta ia menitipkan
surat pada adiknya dengan ajakan atas nama pemuda masyarakat + pelajar-pelajar Bogor
kepada student Stovia untuk mendirikan perkumpulan "Pirukunan Jawi" yang boleh
dianggap sebagai voorloper (pendahulu) dari ide mendirikan "Boedi Oetomo". Tapi
ajakannya itu gagal, karena tidak mendapat tanggapan.

Pada tahun 1908 sampai dengan 1914 ia dipekerjakan sebagai pegawai pemerintah
Hindia Belanda dan menjabat sebagai Kepala Dinas Pertanian (Landbouw Consulent) untuk
daerah Wonosobo, Dieng, Batus dengan tugas mengawasi perkebunan tembakau
berkedudukan di Kejajar Garung kemudian dipindahkan ke Wonosobo karena harus
merangkap juga pekerjaan memimpin sekolah pertanian.

Berhubung ada kejadian di Parakan (Temanggung) pada tahun 1914, dimana seorang
Asisten Wedana, yang anggota Sarekat Islam, dipecat dari pekerjaannya karena
keanggotaannya itu, maka beliau sebagai pembela keadilan dengan protes keras menyobek-
nyobek ijazah-ijazahnya sendiri dan melemparkannya bersama bundelan kunci dihadapan
Residen Belanda atasannya sambil kontan minta berhenti.

Selanjutnya beliau bersumpah tidak akan lagi bekerja pada pemerintah penjajah
Belanda untuk selama-lamanya, dan memberikan seluruh tenaga dan fikirannya pada
perjuangan pergerakan politik menentang penjajahan.

AKTIVITAS DALAM PERGERAKAN

Soerjopranoto di zaman pergerakan politik aktif dalam beberapa pergerakan antara lain:

 BOEDI OETOMO

Sepulang beliau ke Yogyakarta pada tahun 1908 beliau menggabungkan diri pada
perkumpulan "Boedi Oetomo". Segera bbeliau diangkat menjadi Sekretasis Pengurus Besar
Boedi Oetomo berkedudukan di Yogyakarta (periode setelah Dwidjosewojo).

Page
125
 Perasuransian Jiwa O.L.Mij Boemi Poetera (awalnya Onderlonge
Levensverzekering Maatschappij PGHB)

Dalam periode ini untuk mendirikan Maskapai Asuransi Jiwa dikemukakan oleh Pak
Dwidjosewojo dalam Kongres Boedi Oetomo di Yogyakarta akhir tahun 1910.

Kongres menerimanya dengan aklamasi tapi pelaksanaannya tertunda-tunda.


Kemudian pada permulaan tahun 1912 Pak Dwidjosewojo mengemukakan ide itu kepada
Kongres Perserikatan Guru-Guru Hindia Belanda (PGHB) di Magelang. Usul itu diterima
dengan gembira pada tanggal 12 Februari 1912, Dengan nama "Onderlinge
Levensverzekering Maatschappij PGHB". Karena beratnya biaya, sedang verzekerden
belum banyak yang masuk, maka pengurus mengajukan permohonan supaya diberi subsidi
sebesar F 300 (tigaratus gulden) dengan syarat bahwa Maskapai hanya dibuka untuk
pegawai negeri bangsa bumi putera. Dewan Komisaris pada masa itu dibentuk yang terdiri
dari R.M. Dwidjosewojo, R. Sastrowidjono, R.M. Soerjopranoto dan Dr. R. Soestandar yang
tidak menerima honorarium apa-apa. Seka itu namanya diubah menjadi O.L.Mij Bumi
Putera.

 Barisan Kerja (=Arbeids leger) Adhi Dharma

Tidak puas bergerak dalam Boedi Oetomo karena tidak bersifat kerakyatan dan tidak
revolusioner, beliau minta diri keluar setelah usul beliau untuk mendinamisir menjadi
pergerakan rakyat ditolak.

Soerjopranoto tidak tinggal diam, beliau memperluas aktivitasnya sendiri langsung


dikalangan rakyat jelata dengan mendirikan Arbeidsleger Adhi Dharma (Barisan Kerja A.D)
Pada tahun 1915 di Yogyakarta yang organisasinya disusun seperti di dalam ketentaraan
("eenstrijdend leger") sampai kepelosok-pelosok dusun, di lereng-lereng dan di puncak-
puncak gunung ada wakil-wakilnya.

Anggotanya diberi pangkat seperti dalam kemiliteran. Adhi Dharma (=kebaktian yang
luhur) bergerak di ekonomi. Usaha-usahanya a.l : meliput tabungan, koperasi pertukangan,
pendidikan, kesehatan perbantuan nasihat hukum dan kesemua usahanya didasarkan atas
gotong royong.

Selain itu ia juga mendirikan sekolah-sekolah untuk rakyat umum (rakyat kecil pada
khususnya) yaitu S.R.-S.M.P.-Sekolah Guru-Schakel-School.

Kegiatannya yang lain adalah mengadakan ceramah-ceramah/diskusi-diskusi tentang


soal-soal kemasyarakatan dan pergerakan. Hasilnya antara lain timbulnya Yong Islamieten
Bond dengan ketuanya Sjamsuridjal yang adalah adik bungsu dari ibu Soerjopranoto, yang
dikemudian hari menjadi walikota (Gubernur) pertama Jakarta.

Beberapa usahanya yang lain antara lain mengadakan kursus-kursus pemberantasan


buta huruf dan kerajinan tangan bagi kaum wanita yang diadakan pada tiap sore hari Jumat
khusus untuk menampung wanita-wanita desa (luar kota) yang pulang dari berdagang di
pasar.

Page
126
Dia juga membuka biro-biro penasihat hukum, khusus diperuntukkan bagi orang-
orang desa, yang ketika itu kurang terpelajar, sehingga mudah ditipu dan diperlakukan
sewenang-wenang oleh para pegawai Pangreh-praja. Pada masa ini beliau menerbitkan buku
"Pemimpin Landraad Civiel" yang berisi Hukum Acara Perdata dan Pidana dengan gaya
bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti.

Untuk membantu rakyat umum mendirikan koperasi gotong-royong dengan nama


"Mardi Kaskoyo" yang terbuka bagi para keluarga kaum pergerakan dan rakyat umum.

Selain itu ia mendirikan penerbitan penyuluhan "Medan Budiman". Dalam periode


Adhi Dharma pada menerbitkan buku kecil berjudul " kekuatan bathin" (de kracht die
overwint).

Karena pertumbuhan Adi Dharma pesat dan besar luas pengaruhnya, lagi terang-
terangan aksi-aksinya dalam membela keadilan terhadap kesewenang-wenangan alat-alat
pemerintah Hindia Belanda sampai mirip suatu aksi politik, maka arbeidsleger Adhi Dharma
dilarang, kantor-kantor Markas Besarnya dijaga polisi untuk mencegah dan menakut-nakuti
anggota-anggotanya berkunjung, para pengurusnya dibayangi oleh dinas reserse polisi
dalam kehidupan sehari-hari.

Pada pokoknya Barisan Kerja Adhi Dharma kena pukulan yang hebat bagi semua
badan-badan pendirinya. Akan tetapi B.K.A.D bagaimana pun juga telah berhasil :

1. menggugah jiwa rakyat kecil akan kesadaran harga dirinya.


2. merupakan persiapan penggalangan gerakan rakyat jelata, gerakan buruh dan tani
terbukti dalam periode berdirinya Personeel Fabrick Bond (gula) tahun 1917,
Perserikatan Pegawai Pegadaian Bumi Putera, Serikat Buruh Pegawai Jawatan
Candu dan Garam dll.

baca buku karangan Prof. Pringgodigdo berjudul : " Sejarah pergerakan Politik".

 Partai Sarikat Islam

Beliau masuk Partai Sarekat Islam pada tahun 1911 dan karena keaktifannya segera
menjadi anggota Pucuk Pimpinan. Begitu aktif, tangkas dan beraninya, sehingga beliau
menduduki tempat sebagai pembantu Tjokroaminoto yang utama. Soerjopranoto menjadi
orang kedua di dalam partai. Dalam kursus-kursus partai yang secara periodik
diselenggarakan di jalan Kepatihan Paku Alaman Yogyakarta, beliau adalah seorang
gurunya. Menurut Hamka, yang memberikan pelajaran ialah H. Fachruddin, Soerjopranoto
(dalam ilmu Sosiologi) dan Tjokroaminoto (Sosialisme dan Islam).

Dalam Kongres SI di Surabaya tahun 1919 Soerjopranoto mengemukakan, bahwa


kemenangan klas dan menjadikan alat-alat produksi menjadi milik umum, tidak harus
dicapai dengan aksi bersenjata tapi bisa secara moral, protes-protes, dan jika perlu dengan
"pemogokan", kesemua itu harus dilakukan secara serentak. Soerjopranoto dikemudian hari
memimpin suatu pemogokan umum dikalangan kaum pekerja pabrik-pabrik gula yang
bergabung dalam Sarekat buruh pertama yang didirikan di Indonesia pada tahun 1917 P.F.B.
( Personeel Fabrieks Bond) di jawa Tengah dan Jawa Timur. Pemogokan ini yang pertama
kali pada tanggal 20 Agustus 1920 di pabrik gula madu Kismo. Dengan perbuatan ini

Page
127
Soerjopranoto melaksanakan teori pada prakteknya. Pemogokan ini begitu luas dan hebat
sehingga oleh " De Express" beliau disebut "De stakings Koning" (=Raja Pemogokan). Yang
dihadapi sebagai lawan pada waktu itu adalah P.E.B. (Politiek Economische Bond) dibawah
pimpinan Engelenberg dan Brugers (kumpulannya Tuan-Tuan Pabrik).

Sebagai ide tentang bentuk ketatanegaraan telah dikemukakan pula dalam kongres
tersebut. Suatu sentral Serikat Sekerja yang terdiri dari buruh dan buruh tani akan menjadi
"Eerste Kamer" dari perwakilan rakyat,sedang "Tweede Kamer"nya merupakan perwakilan
partai-partai politik. Kedua Kamer ini yang akan merupakan "Dewan Rakyat" yang
sesungguhnya, yang akan dapat mempersatukan tenaga untuk beraksi menentang modal dari
penjajah asing.

Ketika pada tahun 1908 Dr. E.F.E.Douwes Dekker (1879-1950) seorang indi yang
berayah Belanda dan ibu Jawa, berhasil menggeser kedudukan Zaalberg (Hoofd-redakteur
yang reaksioner) menjadi pemimpin redaksi dari "Bataviaasch-Nieuwsblad" maka ia segera
memasukkan pembantu-pembantu tetapnya, orang-orang pergerakan seperti Soerjopranoto,
Tjokrodirdjo, Dr. Tjipto dan Goenawan Mangunkusumo dan lain lain.

Ini dalah suatu infiltrasi yang amat efektif dan merupakan jasa pertama dari Dr. E.F.E.
douwes Dekker (alias Danudirdja Setiabudhi), seorang kerabat jauh E. Douwes Dekker
(Multatuli).

Sesuai dengan rencana perjuangan SI maka didirikanlah perhimpunan-perhimpunan


buruh. Program ini menjadi tanggung jawab Soerjopranoto dan ia pun menjadi pemimpin :

1. Opium-regie Bond
2. Perserikatan Personeel Pandhuis Bond (P.P.P.B) mulai periode Sosrokardono.
3. Personeel Fabrieks Bond (P.F.B) yang dalam tahun 1912 mengadakan pemogokan
atas modal gula di onderneming-onderneming Belanda.
4. Persatuan Pergerakan Kaum Buruh (P.P.K.B), mulai dari Abdul Noeis, Semaoen dan
H. Agus Salim. Ini organisasi gabungan dari 22 Sarekat Buruh.
5. Redaksi "Fajar" kemudian "Mustika" (sesudah H. Agus Salim) kemudian juga
Redaksi "Pahlawan", (Kaderblad dari Opium-regie Bond) dan "Suara Berkelahi"
(Kaderblad dari P.P.K.B).

Selama menjadi orang partai Sarekat Islam beliau pernah masuk penjara sampai tiga
kali karena spreek-delict dan tak terhitung lagi pembredelan dan pembeslahan atas hasil
tulisan-tulisannya. Sekali ia dipenjarakan di Malang (1923-3 bulan), kedua di Semarang
(1926-6 bulan) dan ketiga kalinya di Bandung(Sukamiskin) selama 16 bulan (1933), dengan
peringatan untuk keempat kalinya akan diganjar 4 x 16 bulan.

Pada era 1932 sampai dengan 1936, ironis sekali bahwa Soerjopranoto yang ikut
membesarkan SI melalui berbagai krisis pada tahun 1933 malah diskors bersama dr.
Soekiman Wirjosandjojo oleh Tjokroaminoto dan Salim karena membongkar korupsi.
Dikemudian hari skorsing dicabut dan mereka berdua kemudian mendirikan Partai Islam
Indonesia (PII). Tetapi dalam partai ini beliau tidak pernah aktif karena agaknya merasa
kecelok (salah kira) sebab azas dan programnya ternyata sangat jauh dari apa yang diangan-
angankan sebelumnya. Tenaga dan pikirannya terutama dicurahkan untuk kemajuan
P.P.P.B, Opium Regir Bond, dan sekolah Adhi Dharma Institut (didirikan tahun 1917 di
Yogyakarta, dulu cabangnya di Malang, Surabaya, dan Magelang serta Kotaraja). Antara
Page
128
tahun 1933 dan 1935 masuk dipenjara Sukamiskin karena pers delict berhubung dengan
tulisan-tulisannya dalam buku ensiklopedia yang ditulis secara jelas sederhana untuk rakyat
jelata tetapi sifat isinya mencela pedas dan menggugat kejahatan Kapitalisme dan
Kolonialisme dengan maksud supaya cepat meluas menggugah hati rakyat memberikan diri
dalam menuntut akan hak-haknya.

Karena kesehatannya banyak sekali terganggu, sepulangdari Sukamiskin dan


kekuatannya sudah mengurang kerena tambah tua, maka beliau terpaksa membatasi diri
dalam lapangan partai Islam Indonesia untuk lebih mencurahkan tenaga-pikirannya duna
kemajuan sekolah Adhi Dharma. Institut juga memberi kursus-kursus sore dan malam
tentang ilmu pengetahuan umum (ketata-negaraan,sejarah,ekonomi,etnologi,geografi) pada
orang-orang tua dan pemuda-pemuda yang kurang mampu membiayai pelajarannya tapi
mempunyai kecerdasan untuk hasrat yang lebih maju. Maksud beliau ialah untuk
mendapatkan pengalaman guna mendirikan Universitas bagi rakyat lapisan bawah. Akan
tetapi kena rintangan onderwijsverbod (yang dicabut kembali dengan perantara tuan Gobius
advisuer van Inlandse zaken).

Pada era 1942 sampai dengan 1945, karena sekolah Adhi Dharma di zaman Jepang
dibubarkan dan partai-partai dilarang maka beliau kemudian menjadi guru (sampai 1947)
ditaman tani "Taman Siswa" yang didirikan adiknya Ki Hajar Dewantara, juga untuk
menhindari tugas-tugas dari pemerintah pendudukan Jepang. Dalam masa ini beliau juga
menjadi anggota Cuo Sangi In (semacam D.P.A).

ERA SETELAH KEMERDEKAAN

Di zaman R.I.-Yogyakarta disamping menjadi guru Taman Siswa, beliau tidak sedikit
memberi kursus-kursus kepada para pemuda, selaku seorang yang partai-loos. Pada waktu
itu beliau menerbitkan dua buku : satu tentang pelajaran Sosialisme dan dua tentang ilmu
Tata-negara, guna secara sederhana lekas menambah pengetahuan dan pengertian dasar pada
golongan pemuda-pemuda dan rakyat lapisan bawah yang sedang berjuang melaksanakan
perang kemerdekaan.

Pada era 1949 sampai dengan 1958 beliau sudah berhenti sama sekali dari aktivitas
dan kesibukan bekerja dan hanya menjadi :

1. Simpatisan P.S.I.I dan simpatisan aliran politik yang progresif dan cinta tanah air.
2. Anggota kehormatan Kongres Rakyat

Pada tanggal 15 Oktober 1959 jam 24.00 beliau meninggal dunia disebabkan usianya
yang sudah 88 tahun di Cimahi, Jawa Barat. Pada tanggal 17 Oktober 1959, jenazah
dikebumikan dimakam keluarga "Rachmat Jati" di Kota Gede Yogyakarta dengan upacara
pamakaman sebagai Perwira Tinggi.

Dengan keputusan Presiden beliau diangkat sebagai :

 Pahlawan Kemerdekaan Nasional RI (Kep. Presiden RI No. 310)


 Mahaputra, tingkat II Republik Indonesia (17 Agustus 1960, dianugerahi secara
anumerta).
Page
129
Pada semasa hidupnya beliau beristrikan seorang puteri bernama R.A. Djauharin
Insijah, puteri seorang Penghulu Agama Islam dari Karanganyar-Banyumas H. Abdussakur
yang pada waktu itu menjabat ketua Dewan Agama daerah Banyumas. Ibu Soerjopranoto
ini adalah puteri yang sangat saleh dan tebal imannya serta kuat rasa keagamaannya. Dalam
hidupnya sebagai Ibu yang banyak anaknya beliau tetap setoa dalam kegembiraannya
dengan apa adanya. Dalam masa remajanya dilahirkan dalam keluarga yang sangat berada,
kini beliau harus menjalani kehidupan sebagai istri dari seorang pejuang yang keras, yang
tak kenal kompromi itu. Meskipun begitu beliau dapat menyesuaikan diri bahkan
mendampinginya sedapat-dapatnya dengan "jiwanya" yang penuh iman itu.

Hidup dalam keadaan yang amat sederhana, serta kekurangan boleh dikatakan
terpencil (banyak orang yang takut bergaul) karena mudah dituiduh sebagai golongan
pemberontak anti Belanda atau komunis karena sangat radikal, suaminya keluar masuk
penjara, karena kerap tersangkut perkara-perkara politik (seluruhnya 6 kali - 3 kali dalam
perkara-perkara besar) suatu kehidupan yang berketentuan dengan harus memelihara banyak
anak, para pemmbaca dapat membayangkan betapa sulitnya bagi beliau ini. Ia dapat
mengalami perjalanan sejarah bangsa hingga tahun 1951. Jadi setelah pengunduran tentara
Belanda dari Yogyakarta dan keamanan agak pulih kembali, dalam keadaan tentram, setelah
lama menderita penyakit jantung dan darah rendah.

Dalam hidupnya beliau besar jasanya untuk kepentingan rakyat sekitar kampung
tempat tinggalnya. Banyaklah amal yang ditinggalkan sebagai seorang Muslimat yang saleh
sebagai manusia biasa, kasih sayang pada sesama. Banyaklah yang mengantar jenazahnya
sampai ke Pemakaman Keluarga (Rachmat-Jati" di Gambiran (Kota Gede) Yogyakarta.
Banyak yang ditinggalkannya, mengenangkan kesuciannya, kesetiaannya serta
keteguhannya, dan sahabat-sahabatnya yang meneteskan air mata karena rasa haru. Semoga
Tuhan Yang Maha Tahu memberi kelapangan pada beliau di alam kubur. Ia meninggal
dalam usia 67 tahun pada tahun 1951.

'''Beberapa ucapan dari kawan-kawan seperjuangannya :''' Bapak ALIMIN : (Dalam


bukunya " Riwayat Hidupku"). Soerjapranoto meskipun beliau tidak ada hubungan politik
yang bersangkutan dengan PKI, saya tetap menghargai jasa-jasa beliau dihari-hari yang
lampau. Soerjopranoto adalah satu-satunya orang dari kalangan Kaum Ningrat yang
pertama-tama berjuang di tengah-tengah massa. Kira-kira dalam tahun 1914/1916 ia
mengorganisir gerakan-gerakan umum (yang pertama kalinya di Indonesia) pun diseluruh
Jawa Tengah dan Jawa Timur, sehingga ia mendapat julukan "Raja Pemogokan (De Staking
Koning). Soerjopranoto sangat digemari oleh para warga Sarekat Islam. Soerjopranoto
adalah orang yang kedua dalam kalangan SI sesudah H.O.S. Cokroaminoto. Saya mengenal
Soerjopranoto sebagai seorang yang sangat sederhana, seorang yang terhindar daripada
watak yang ijdel (congkak-penulis) dan boros.

Semaun : Soerjopranoto bukan anggota P.K.I (Semaun adalah pendiri P.K.I tetapi kemudian
keluar dan mendirikan Partai Murba).

H. Van Kol : (Catatan dalam sebuah buku "De vak - vereniging") "Dit boek over de
Vakvereniging Aangeboden door iemand, die ten volle sympathiseert men Uw streven het
Lot der misbedeelden te verzachten - 5 Januari 1923. "Soerjopranoto.........een intensief,
werkzaam en dadenrijk leven". Artinya, "Buku tentang pergerakan vak ini dipersembahkan
padamu, oleh seorang yang menaruh simpati dengan perjuanganmu guna meringankan nasib
rakyat yang dalam segala0galanya serba kekurangan dalam hidupnya. Voorschtenwijk 5
Page
130
Januari 1923. Soerjopranoto........seorang yang intensif, bekerja keras dan hidupnya penuh
dengan tindakan (Terjemahan penyusun).

K.H. Agus Salim : Hij is opliegend vanwege de reinheid zijner gedachten. (Dia cepat naik
pitam karena kemurnian pikirannya). Bersama KH. Agus Salim, Soerjopranoto menjadi saah
seorang pemimpin Persatuan Pergerakan Kaum Buruh (PPKB) yang berpusat di
Yogyakarta.

Zaalberg (redaktur Bataviaasch Niewsblad) : Dia meberi julukan untuk Soerjopranoto "de
Javaanse Edelman met een ontembare wil" (bangsawan Jawa dengan tekad yang tak
terjinakkan).

Pemerintah Belanda kewalahan menghadapi Soerjopranoto yang telah 3 kali dipenjara


belum juga berkurang perlawanannya, akhirnya mereka mencoba menawarkan kedudukan
yang tinggi sebagai anggota Volksraad melalui surat dari Meneer Resink. Soerjopranoto
tertawa terbahak-bahak dan langsung membalas sebagai berikut :

"Waarde Heer Resink" De strijd gat mij eerst om de harde klappen. Politieke
tegenstellingen worden voorlopig nog op straat uitgevochten (Beliau menolak duduk
sebagai anggota). Artinya : Tuan Resink Yth, Perjuangan kudasarkan terlebih dahulu untuk
perkelahian. Politik yang masih simpang siur, sementara diselesaikan dengan perkelahian
dijalan-jalan. (terjemahan penyusun).

Sesobek kertas yang isinya kutipan dicatat dari buku "Strijden en worstelen om de
overwinning" isi seperti berikut : "In strijd of in Zaken, in alles wat gij doet, gelde een regel,
als goud, ja zo gaat het de worsteling om macht wees dat uw motto : 'Vertrouw Uw eigen
kracht'". Artinya : di dalam pergolakan atau sesuatu urusan, dalam segala hal yang kau
perbuat, berlaku satu dasar, bagaikan emas, demikian tinggi nilainya, di dalam berjuang
untuk sukses atau kekuasaan ini adalah semboyannya : "Percaya pada kekuatan diri sendiri"
(terjemahan penyusun)

Page
131
KARTINI

NAMA :
 RADEN ANJENG KARTINI

LAHIR DI :
 Jepara, Jawa Tengah, Hindia Belanda 21 April 1879

DIKENAL KARENA :
 Emansipasi Wanita

PASANGAN :
 R.M.A.A. SINGGIH DJOJO ADHININGRAT

MENINGGAL :
17 September 1904 di usia 25 di Rembang, Jawa tengah

Raden Adjeng Kartini (lahir di Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879 – meninggal di
Rembang, Jawa Tengah, 17 September 1904 pada umur 25 tahun) atau sebenarnya lebih
tepat disebut Raden Ayu Kartini adalah seorang tokoh suku Jawa dan Pahlawan Nasional
Indonesia. Kartini dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi.

BIOGRAFI

Raden Adjeng Kartini adalah seseorang dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan
Jawa, putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara. Ia adalah putri dari istri
pertama, tetapi bukan istri utama. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti
Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Dari sisi
ayahnya, silsilah Kartini dapat dilacak hingga Hamengkubuwana VI.

Ayah Kartini pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Peraturan kolonial
waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A.
Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi[2], maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Adjeng
Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah
Page
132
Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A.
Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo.

Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara
sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro
IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun. Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang
pintar dalam bidang bahasa. Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS
(Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah
usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit.

Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan
menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya
adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan majalah
Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya
untuk memajukan perempuan pribumi, karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada
pada status sosial yang rendah.

Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter
Brooshooft, ia juga menerima leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada
langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup
berat, juga ada majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun kemudian
beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari surat-
suratnya tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian, sambil membuat
catatan-catatan. Kadang-kadang Kartini menyebut salah satu karangan atau mengutip
beberapa kalimat. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tapi juga
masalah sosial umum. Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan,
otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Di antara buku
yang dibaca Kartini sebelum berumur 20, terdapat judul Max Havelaar dan Surat-Surat
Cinta karya Multatuli, yang pada November 1901 sudah dibacanya dua kali. Lalu De Stille
Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus. Kemudian karya Van Eeden yang bermutu
tinggi, karya Augusta de Witt yang sedang-sedang saja, roman-feminis karya Nyonya
Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die
Waffen Nieder (Letakkan Senjata). Semuanya berbahasa Belanda.

Oleh orangtuanya, Kartini disuruh menikah dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati
Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini menikah
pada tanggal 12 November 1903. Suaminya mengerti keinginan Kartini dan Kartini diberi
kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang
kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai
Gedung Pramuka.

Anak pertama dan sekaligus terakhirnya, Soesalit Djojoadhiningrat, lahir pada tanggal
13 September 1904. Beberapa hari kemudian, 17 September 1904, Kartini meninggal pada
usia 25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.

Berkat kegigihannya Kartini, kemudian didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan


Kartini di Semarang pada 1912, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun,
Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah "Sekolah Kartini". Yayasan
Kartini ini didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis.

Page
133
SURAT-SURAT

Setelah Kartini wafat, Mr. J.H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-
surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada teman-temannya di Eropa. Abendanon saat
itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku itu
diberi judul Door Duisternis tot Licht yang arti harfiahnya "Dari Kegelapan Menuju
Cahaya". Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada 1911. Buku ini dicetak sebanyak
lima kali, dan pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat Kartini.

Pada tahun 1922, Balai Pustaka menerbitkannya dalam bahasa Melayu dengan judul
yang diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran, yang
merupakan terjemahan oleh Empat Saudara. Kemudian tahun 1938, keluarlah Habis Gelap
Terbitlah Terang versi Armijn Pane seorang sastrawan Pujangga Baru. Armijn membagi
buku menjadi lima bab pembahasan untuk menunjukkan perubahan cara berpikir Kartini
sepanjang waktu korespondensinya. Versi ini sempat dicetak sebanyak sebelas kali. Surat-
surat Kartini dalam bahasa Inggris juga pernah diterjemahkan oleh Agnes L. Symmers.
Selain itu, surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Jawa dan
Sunda.

Terbitnya surat-surat Kartini, seorang perempuan pribumi, sangat menarik perhatian


masyarakat Belanda, dan pemikiran-pemikiran Kartini mulai mengubah pandangan
masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi di Jawa. Pemikiran-pemikiran Kartini
yang tertuang dalam surat-suratnya juga menjadi inspirasi bagi tokoh-tokoh kebangkitan
nasional Indonesia, antara lain W.R. Soepratman yang menciptakan lagu berjudul Ibu Kita
Kartini.

PEMIKIRAN

Pada surat-surat Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat


itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar surat-suratnya berisi
keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai
penghambat kemajuan perempuan. Dia ingin wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan
belajar. Kartini menulis ide dan cita-citanya, seperti tertulis: Zelf-ontwikkeling dan Zelf-
onderricht, Zelf- vertrouwen dan Zelf-werkzaamheid dan juga Solidariteit. Semua itu atas
dasar Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid (yaitu Ketuhanan, Kebijaksanaan dan
Keindahan), ditambah dengan Humanitarianisme (peri kemanusiaan) dan Nasionalisme
(cinta tanah air).

Surat-surat Kartini juga berisi harapannya untuk memperoleh pertolongan dari luar.
Pada perkenalan dengan Estelle "Stella" Zeehandelaar, Kartini mengungkap keinginan
untuk menjadi seperti kaum muda Eropa. Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa
akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit,
dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu.

Pandangan-pandangan kritis lain yang diungkapkan Kartini dalam surat-suratnya


adalah kritik terhadap agamanya. Ia mempertanyakan mengapa kitab suci harus dilafalkan
Page
134
dan dihafalkan tanpa diwajibkan untuk dipahami. Ia mengungkapkan tentang pandangan
bahwa dunia akan lebih damai jika tidak ada agama yang sering menjadi alasan manusia
untuk berselisih, terpisah, dan saling menyakiti. "...Agama harus menjaga kita daripada
berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu..."
Kartini mempertanyakan tentang agama yang dijadikan pembenaran bagi kaum laki-laki
untuk berpoligami. Bagi Kartini, lengkap sudah penderitaan perempuan Jawa yang dunianya
hanya sebatas tembok rumah.

Surat-surat Kartini banyak mengungkap tentang kendala-kendala yang harus dihadapi


ketika bercita-cita menjadi perempuan Jawa yang lebih maju. Meski memiliki seorang ayah
yang tergolong maju karena telah menyekolahkan anak-anak perempuannya meski hanya
sampai umur 12 tahun, tetap saja pintu untuk ke sana tertutup. Kartini sangat mencintai sang
ayah, namun ternyata cinta kasih terhadap sang ayah tersebut juga pada akhirnya menjadi
kendala besar dalam mewujudkan cita-cita. Sang ayah dalam surat juga diungkapkan begitu
mengasihi Kartini. Ia disebutkan akhirnya mengizinkan Kartini untuk belajar menjadi guru
di Betawi, meski sebelumnya tak mengizinkan Kartini untuk melanjutkan studi ke Belanda
ataupun untuk masuk sekolah kedokteran di Betawi.

Keinginan Kartini untuk melanjutkan studi, terutama ke Eropa, memang terungkap


dalam surat-suratnya. Beberapa sahabat penanya mendukung dan berupaya mewujudkan
keinginan Kartini tersebut. Ketika akhirnya Kartini membatalkan keinginan yang hampir
terwujud tersebut, terungkap adanya kekecewaan dari sahabat-sahabat penanya. Niat dan
rencana untuk belajar ke Belanda tersebut akhirnya beralih ke Betawi saja setelah dinasihati
oleh Nyonya Abendanon bahwa itulah yang terbaik bagi Kartini dan adiknya Rukmini.

Pada pertengahan tahun 1903 saat berusia sekitar 24 tahun, niat untuk melanjutkan
studi menjadi guru di Betawi pun pupus. Dalam sebuah surat kepada Nyonya Abendanon,
Kartini mengungkap tidak berniat lagi karena ia sudah akan menikah. "...Singkat dan pendek
saja, bahwa saya tiada hendak mempergunakan kesempatan itu lagi, karena saya sudah
akan kawin..." Padahal saat itu pihak departemen pengajaran Belanda sudah membuka pintu
kesempatan bagi Kartini dan Rukmini untuk belajar di Betawi.

Saat menjelang pernikahannya, terdapat perubahan penilaian Kartini soal adat Jawa.
Ia menjadi lebih toleran. Ia menganggap pernikahan akan membawa keuntungan tersendiri
dalam mewujudkan keinginan mendirikan sekolah bagi para perempuan bumiputra kala itu.
Dalam surat-suratnya, Kartini menyebutkan bahwa sang suami tidak hanya mendukung
keinginannya untuk mengembangkan ukiran Jepara dan sekolah bagi perempuan bumiputra
saja, tetapi juga disebutkan agar Kartini dapat menulis sebuah buku.

Perubahan pemikiran Kartini ini menyiratkan bahwa dia sudah lebih menanggalkan
egonya dan menjadi manusia yang mengutamakan transendensi, bahwa ketika Kartini
hampir mendapatkan impiannya untuk bersekolah di Betawi, dia lebih memilih berkorban
untuk mengikuti prinsip patriarki yang selama ini ditentangnya, yakni menikah dengan
Adipati Rembang.

BUKU

Pada 1922, oleh Empat Saudara, Door Duisternis Tot Licht disajikan dalam bahasa
Melayu dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang; Boeah Pikiran. Buku ini diterbitkan
oleh Balai Pustaka. Armijn Pane, salah seorang sastrawan pelopor Pujangga Baru, tercatat
Page
135
sebagai salah seorang penerjemah surat-surat Kartini ke dalam Habis Gelap Terbitlah
Terang. Ia pun juga disebut-sebut sebagai Empat Saudara.
Pada 1938, buku Habis Gelap Terbitlah Terang diterbitkan kembali dalam format
yang berbeda dengan buku-buku terjemahan dari Door Duisternis Tot Licht. Buku
terjemahan Armijn Pane ini dicetak sebanyak sebelas kali. Selain itu, surat-surat Kartini juga
pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Armijn Pane menyajikan
surat-surat Kartini dalam format berbeda dengan buku-buku sebelumnya. Ia membagi
kumpulan surat-surat tersebut ke dalam lima bab pembahasan. Pembagian tersebut ia
lakukan untuk menunjukkan adanya tahapan atau perubahan sikap dan pemikiran Kartini
selama berkorespondensi. Pada buku versi baru tersebut, Armijn Pane juga menciutkan
jumlah surat Kartini. Hanya terdapat 87 surat Kartini dalam "Habis Gelap Terbitlah Terang".
Penyebab tidak dimuatnya keseluruhan surat yang ada dalam buku acuan Door Duisternis
Tot Licht, adalah terdapat kemiripan pada beberapa surat. Alasan lain adalah untuk menjaga
jalan cerita agar menjadi seperti roman. Menurut Armijn Pane, surat-surat Kartini dapat
dibaca sebagai sebuah roman kehidupan perempuan. Ini pula yang menjadi salah satu
penjelasan mengapa surat-surat tersebut ia bagi ke dalam lima bab pembahasan.

 Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya

Surat-surat Kartini juga diterjemahkan oleh Sulastin Sutrisno. Pada mulanya Sulastin
menerjemahkan Door Duisternis Tot Licht di Universitas Leiden, Belanda, saat ia
melanjutkan studi di bidang sastra tahun 1972. Salah seorang dosen pembimbing di
Leiden meminta Sulastin untuk menerjemahkan buku kumpulan surat Kartini
tersebut. Tujuan sang dosen adalah agar Sulastin bisa menguasai bahasa Belanda
dengan cukup sempurna. Kemudian, pada 1979, sebuah buku berisi terjemahan
Sulastin Sutrisno versi lengkap Door Duisternis Tot Licht pun terbit.
Buku kumpulan surat versi Sulastin Sutrisno terbit dengan judul Surat-surat Kartini,
Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya. Menurut Sulastin, judul terjemahan
seharusnya menurut bahasa Belanda adalah: "Surat-surat Kartini, Renungan Tentang
dan Untuk Bangsa Jawa". Sulastin menilai, meski tertulis Jawa, yang didamba
sesungguhnya oleh Kartini adalah kemajuan seluruh bangsa Indonesia.
Buku terjemahan Sulastin malah ingin menyajikan lengkap surat-surat Kartini yang
ada pada Door Duisternis Tot Licht. Selain diterbitkan dalam Surat-surat Kartini,
Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya, terjemahan Sulastin Sutrisno juga dipakai
dalam buku Kartini, Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan Suaminya.

 Letters from Kartini, An Indonesian Feminist 1900-1904

Buku lain yang berisi terjemahan surat-surat Kartini adalah Letters from Kartini, An
Indonesian Feminist 1900-1904. Penerjemahnya adalah Joost Coté. Ia tidak hanya
menerjemahkan surat-surat yang ada dalam Door Duisternis Tot Licht versi
Abendanon. Joost Coté juga menerjemahkan seluruh surat asli Kartini pada Nyonya
Abendanon-Mandri hasil temuan terakhir. Pada buku terjemahan Joost Coté, bisa
ditemukan surat-surat yang tergolong sensitif dan tidak ada dalam Door Duisternis
Tot Licht versi Abendanon. Menurut Joost Coté, seluruh pergulatan Kartini dan
penghalangan pada dirinya sudah saatnya untuk diungkap.
Buku Letters from Kartini, An Indonesian Feminist 1900-1904 memuat 108 surat-
surat Kartini kepada Nyonya Rosa Manuela Abendanon-Mandri dan suaminya JH

Page
136
Abendanon. Termasuk di dalamnya: 46 surat yang dibuat Rukmini, Kardinah,
Kartinah, dan Soematrie.

 Panggil Aku Kartini Saja

Sampul Panggil Aku Kartini Saja, dikompilasi oleh Pramoedya Ananta Toer.
Selain berupa kumpulan surat, bacaan yang lebih memusatkan pada pemikiran Kartini
juga diterbitkan. Salah satunya adalah Panggil Aku Kartini Saja karya Pramoedya Ananta
Toer. Buku Panggil Aku Kartini Saja terlihat merupakan hasil dari pengumpulan data dari
berbagai sumber oleh Pramoedya.

 Kartini Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan suaminya

Akhir tahun 1987, Sulastin Sutrisno memberi gambaran baru tentang Kartini lewat
buku Kartini Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan suaminya.
Gambaran sebelumnya lebih banyak dibentuk dari kumpulan surat yang ditulis untuk
Abendanon, diterbitkan dalam Door Duisternis Tot Licht.
Kartini dihadirkan sebagai pejuang emansipasi yang sangat maju dalam cara berpikir
dibanding perempuan-perempuan Jawa pada masanya. Dalam surat tanggal 27
Oktober 1902, dikutip bahwa Kartini menulis pada Nyonya Abendanon bahwa dia
telah memulai pantangan makan daging, bahkan sejak beberapa tahun sebelum surat
tersebut, yang menunjukkan bahwa Kartini adalah seorang vegetarian.[3] Dalam
kumpulan itu, surat-surat Kartini selalu dipotong bagian awal dan akhir. Padahal,
bagian itu menunjukkan kemesraan Kartini kepada Abendanon. Banyak hal lain
yang dimunculkan kembali oleh Sulastin Sutrisno.

 Aku Mau ... Feminisme dan Nasionalisme. Surat-surat Kartini kepada Stella
Zeehandelaar 1899-1903

Sebuah buku kumpulan surat kepada Stella Zeehandelaar periode 1899-1903


diterbitkan untuk memperingati 100 tahun wafatnya. Isinya memperlihatkan wajah
lain Kartini. Koleksi surat Kartini itu dikumpulkan Dr Joost Coté, diterjemahkan
dengan judul Aku Mau ... Feminisme dan Nasionalisme. Surat-surat Kartini kepada
Stella Zeehandelaar 1899-1903.
"Aku Mau ..." adalah moto Kartini. Sepenggal ungkapan itu mewakili sosok yang
selama ini tak pernah dilihat dan dijadikan bahan perbincangan. Kartini berbicara
tentang banyak hal: sosial, budaya, agama, bahkan korupsi.

KONTROVERSI

Ada kalangan yang meragukan kebenaran surat-surat Kartini. Ada dugaan J.H.
Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan saat itu, merekayasa surat-surat
Kartini. Kecurigaan ini timbul karena memang buku Kartini terbit saat pemerintahan
kolonial Belanda menjalankan politik etis di Hindia Belanda, dan Abendanon termasuk yang
berkepentingan dan mendukung politik etis. Hingga saat ini pun sebagian besar naskah asli
surat tak diketahui keberadaannya. Menurut almarhumah Sulastin Sutrisno, jejak keturunan
J.H. Abendanon pun sukar untuk dilacak Pemerintah Belanda.

Page
137
Penetapan tanggal kelahiran Kartini sebagai hari besar juga agak diperdebatkan. Pihak
yang tidak begitu menyetujui, mengusulkan agar tidak hanya merayakan Hari Kartini saja,
namun merayakannya sekaligus dengan Hari Ibu pada tanggal 22 Desember. Alasan
mereka adalah agar tidak pilih kasih dengan pahlawan-pahlawan wanita Indonesia lainnya,
karena masih ada pahlawan wanita lain yang tidak kalah hebat dengan Kartini seperti Cut
Nyak Dhien, Martha Christina Tiahahu,Dewi Sartika dan lain-lain.Menurut mereka, wilayah
perjuangan Kartini itu hanyalah di Jepara dan Rembang saja, Kartini juga tidak pernah
memanggul senjata melawan penjajah. Sikapnya yang pro terhadap poligami juga
bertentangan dengan pandangan kaum feminis tentang arti emansipasi wanita. Dan berbagai
alasan lainnya. Pihak yang pro mengatakan bahwa Kartini tidak hanya seorang tokoh
emansipasi wanita yang mengangkat derajat kaum wanita Indonesia saja, melainkan adalah
tokoh nasional; artinya, dengan ide dan gagasan pembaruannya tersebut dia telah berjuang
untuk kepentingan bangsanya. Cara pikirnya sudah melingkupi perjuangan nasional.

PERINGATAN HARI KARTINI

Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108


Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan
Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap
tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.

Nama jalan di Belanda

 Utrecht: Di Utrecht Jalan R.A. Kartini atau Kartinistraat merupakan salah satu jalan
utama, berbentuk 'U' yang ukurannya lebih besar dibanding jalan-jalan yang
menggunakan nama tokoh perjuangan lainnya seperti Augusto Sandino, Steve Biko,
Che Guevara, Agostinho Neto.
 Venlo: Di Venlo Belanda Selatan, R.A. Kartinistraat berbentuk 'O' di kawasan
Hagerhof, di sekitarnya terdapat nama-nama jalan tokoh wanita Anne Frank dan
Mathilde Wibaut.
 Amsterdam: Di wilayah Amsterdam Zuidoost atau yang lebih dikenal dengan
Bijlmer, jalan Raden Adjeng Kartini ditulis lengkap. Di sekitarnya adalah nama-
nama wanita dari seluruh dunia yang punya kontribusi dalam sejarah: Rosa
Luxemburg, Nilda Pinto, Isabella Richaards.
 Haarlem: Di Haarlem jalan Kartini berdekatan dengan jalan Mohammed Hatta,
Sutan Sjahrir dan langsung tembus ke jalan Chris Soumokil presiden kedua Republik
Maluku Selatan.

SOEPOMO

Page
138
JABATAN :
 Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia ke 1 (19 Agustus 1945
– 14 November 1945 ) lalu digantikan oleh SOEWANDI.

NAMA :
 Prof. Mr. Dr Soepomo

LAHIR DI : Sukoharjo, Jawa Tengah 22 Januari 1903


AGAMA : Islam
MENINGGAL : 12 September 1958 di usia 55 tahun, Jakarta.

Prof. Mr. Dr Soepomo (Ejaan Soewandi: Supomo; lahir di Sukoharjo, Jawa Tengah,
22 Januari 1903 – meninggal di Jakarta, 12 September 1958 pada umur 55 tahun) adalah
seorang pahlawan nasional Indonesia. Soepomo dikenal sebagai arsitek Undang-undang
Dasar 1945, bersama dengan Muhammad Yamin dan Sukarno

Persatuan Pendidikan Dr.soepomo

Sebagai putra keluarga priyayi, Ia berkesempatan meneruskan pendidikannya di ELS


(Europeesche Lagere School) di Boyolali (1917), MULO (Meer Uitgebreid Lagere
Onderwijs) di Solo (1920), dan menyelesaikan pendidikan kejuruan hukum di Bataviasche
Rechtsschool di Batavia pada tahun 1923. Ia kemudian ditunjuk sebagai pegawai negeri
pemerintah kolonial Hindia Belanda yang diperbantukan pada Ketua Pengadilan Negeri
Sragen (Soegito 1977).

Antara tahun 1924 dan 1927 Soepomo mendapat kesempatan melanjutkan


pendidikannya ke Rijksuniversiteit Leiden di Belanda di bawah bimbingan Cornelis van
Vollenhoven, profesor hukum yang dikenal sebagai "arsitek" ilmu hukum adat Indonesia
dan ahli hukum internasional, salah satu konseptor Liga Bangsa Bangsa. Thesis doktornya
yang berjudul Reorganisatie van het Agrarisch Stelsel in het Gewest Soerakarta
(Reorganisasi sistem agraria di wilayah Surakarta) tidak saja mengupas sistem agraria
tradisional di Surakarta, tetapi juga secara tajam menganalisis hukum-hukum kolonial yang
berkaitan dengan pertanahan di wilayah Surakarta (Pompe 1993). Ditulis dalam bahasa
Belanda, kritik Soepomo atas wacana kolonial tentang proses transisi agraria ini dibungkus
dalam bahasa yang halus dan tidak langsung, menggunakan argumen-argumen kolonial
sendiri, dan hanya dapat terbaca ketika kita menyadari bahwa subyektivitas Soepomo sangat
kental diwarnai etika Jawa (lihat buku Franz Magnis-Suseno "Etika Jawa" dan tulisan-
tulisan Ben Anderson dalam Language and Power sebagai tambahan acuan tentang etika
Jawa untuk memahami cara pandang dan strategi agency Soepomo).

Page
139
PEMIKIRAN

Hampir tidak ada biografi tentang Soepomo, kecuali satu yang dikerjakan Soegito
(1977) berdasarkan proyek Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Marsilam
Simanjuntak berpendapat bahwa Soepomo adalah sumber dari munculnya fasisme di
Indonesia. Soepomo mengagumi sistem pemerintahan Jerman dan Jepang. Simanjuntak
menilai Negara "Orde Baru" ala Jenderal Soeharto adalah bentuk negara yang paling dekat
dengan ideal Soepomo, kesimpulan yang masih perlu diperdebatkan ulang.

MENINGGAL DUNIA

Soepomo meninggal dalam usia muda akibat serangan jantung di Jakarta pada tahun
1958 dan dimakamkan di Solo.

SUTAN SYAHRIR

Page
140
NAMA :
 SUTAN SYAHRIR

LAHIR DI :
 Padang Panjang, Sumatera Barat 5 Maret 1909

ISTRI :
 Maria Duchateau

 Siti Wahyunah

MENINGGAL :
 9 April 1966 di usia 57 di Zurich, Swiss.

JABATAN :
 Perdana Menteri Indonesia ke 1 ( 14 November 1945 – 3 Juli 1947) kemudian
digantikan oleh AMIR SJARIFOEDDIN.

 Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia ke 2 (14 November 1945- 12 Maret 1946)
didahului oleh R.A.A WIRANATAKUSUMA. Lalu digantikan oleh
SUDARSONO.

 Menteri Luar Negeri Republik Indonesia ke 2 ( 14 November 1945-3 juli 1947 )


didahului oleh ACHMAD SOEBARDJO. Digantikan oleh AGUS SALIM.

Sutan Syahrir (ejaan lama:Soetan Sjahrir) (lahir di Padang Panjang, Sumatera


Barat, 5 Maret 1909 – meninggal di Zürich, Swiss, 9 April 1966 pada umur 57 tahun) adalah
seorang politikus dan perdana menteri pertama Indonesia. Ia menjabat sebagai Perdana
Menteri Indonesia dari 14 November 1945 hingga 20 Juni 1947. Syahrir mendirikan Partai
Sosialis Indonesia pada tahun 1948. Ia meninggal dalam pengasingan sebagai tawanan
politik dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta. Sutan Syahrir ditetapkan sebagai salah
seorang Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 9 April 1966 melalui Keppres nomor 76
tahun 1966 .

RIWAYAT

Syahrir lahir dari pasangan Mohammad Rasad gelar Maharaja Soetan bin Soetan
Leman gelar Soetan Palindih dan Puti Siti Rabiah yang berasal dari Koto Gadang, Agam,
Sumatera Barat [2] Ayahnya menjabat sebagai penasehat sultan Deli dan kepala jaksa
(landraad) di Medan. Syahrir bersaudara seayah dengan Rohana Kudus, aktivis serta
wartawan wanita yang terkemuka.
Page
141
Sekolah MULO di Medan (sekitar tahun 1925)

Syahrir mengenyam sekolah dasar (ELS) dan sekolah menengah (MULO) terbaik di
Medan, dan membetahkannya bergaul dengan berbagai buku-buku asing dan ratusan novel
Belanda. Malamnya dia mengamen di Hotel De Boer (kini Hotel Natour Dharma Deli), hotel
khusus untuk tamu-tamu kulit putih.

Pada 1926, ia selesai dari MULO, masuk sekolah lanjutan atas (AMS) di Bandung,
sekolah termahal di Hindia Belanda saat itu. Di sekolah itu, dia bergabung dalam Himpunan
Teater Mahasiswa Indonesia (Batovis) sebagai sutradara, penulis skenario, dan juga aktor.
Hasil mentas itu dia gunakan untuk membiayai sekolah yang ia dirikan, Tjahja
Volksuniversiteit, Cahaya Universitas Rakyat.

Di kalangan siswa sekolah menengah (AMS) Bandung, Syahrir menjadi seorang


bintang. Syahrir bukanlah tipe siswa yang hanya menyibukkan diri dengan buku-buku
pelajaran dan pekerjaan rumah. Ia aktif dalam klub debat di sekolahnya. Syahrir juga
berkecimpung dalam aksi pendidikan melek huruf secara gratis bagi anak-anak dari keluarga
tak mampu dalam Tjahja Volksuniversiteit.

Aksi sosial Syahrir kemudian menjurus jadi politis. Ketika para pemuda masih
terikat dalam perhimpunan-perhimpunan kedaerahan, pada tanggal 20 Februari 1927,
Syahrir termasuk dalam sepuluh orang penggagas pendirian himpunan pemuda nasionalis,
Jong Indonesië. Perhimpunan itu kemudian berubah nama jadi Pemuda Indonesia yang
menjadi motor penyelenggaraan Kongres Pemuda Indonesia. Kongres monumental yang
mencetuskan Sumpah Pemuda pada 1928.

Sebagai siswa sekolah menengah, Syahrir sudah dikenal oleh polisi Bandung sebagai
pemimpin redaksi majalah himpunan pemuda nasionalis. Dalam kenangan seorang
temannya di AMS, Syahrir kerap lari digebah polisi karena membandel membaca koran
yang memuat berita pemberontakan PKI 1926; koran yang ditempel pada papan dan selalu
dijaga polisi agar tak dibaca para pelajar sekolah.

Syahrir melanjutkan pendidikan ke negeri Belanda di Fakultas Hukum, Universitas


Amsterdam. Di sana, Syahrir mendalami sosialisme. Secara sungguh-sungguh ia berkutat
dengan teori-teori sosialisme. Ia akrab dengan Salomon Tas, Ketua Klub Mahasiswa Sosial
Demokrat, dan istrinya Maria Duchateau, yang kelak dinikahi Syahrir, meski sebentar.
(Kelak Syahrir menikah kembali dengan Poppy, kakak tertua dari Soedjatmoko dan Miriam
Boediardjo).

Dalam tulisan kenangannya, Salomon Tas berkisah perihal Syahrir yang mencari
teman-teman radikal, berkelana kian jauh ke kiri, hingga ke kalangan anarkis yang
mengharamkan segala hal berbau kapitalisme dengan bertahan hidup secara kolektif – saling
berbagi satu sama lain kecuali sikat gigi. Demi lebih mengenal dunia proletar dan organisasi
pergerakannya, Syahrir pun bekerja pada Sekretariat Federasi Buruh Transportasi
Internasional.

Selain menceburkan diri dalam sosialisme, Syahrir juga aktif dalam Perhimpunan
Indonesia (PI) yang ketika itu dipimpin oleh Mohammad Hatta. Di awal 1930, pemerintah
Hindia Belanda kian bengis terhadap organisasi pergerakan nasional, dengan aksi razia dan
memenjarakan pemimpin pergerakan di tanah air, yang berbuntut pembubaran Partai
Page
142
Nasional Indonesia (PNI) oleh aktivis PNI sendiri. Berita tersebut menimbulkan
kekhawatiran di kalangan aktivis PI di Belanda. Mereka selalu menyerukan agar pergerakan
jangan jadi melempem lantaran pemimpinnya dipenjarakan. Seruan itu mereka sampaikan
lewat tulisan. Bersama Hatta, keduanya rajin menulis di Daulat Rakjat, majalah milik
Pendidikan Nasional Indonesia, dan memisikan pendidikan rakyat harus menjadi tugas
utama pemimpin politik.

“ ”
"Pertama-tama, marilah kita mendidik, yaitu memetakan jalan menuju
kemerdekaan," katanya.

Pengujung tahun 1931, Syahrir meninggalkan kampusnya untuk kembali ke tanah


air dan terjun dalam pergerakan nasional. Syahrir segera bergabung dalam organisasi Partai
Nasional Indonesia (PNI Baru), yang pada Juni 1932 diketuainya. Pengalaman
mencemplungkan diri dalam dunia proletar ia praktekkan di tanah air. Syahrir terjun dalam
pergerakan buruh. Ia memuat banyak tulisannya tentang perburuhan dalam Daulat Rakyat.
Ia juga kerap berbicara perihal pergerakan buruh dalam forum-forum politik. Mei 1933,
Syahrir didaulat menjadi Ketua Kongres Kaum Buruh Indonesia.

Hatta kemudian kembali ke tanah air pada Agustus 1932, segera pula ia memimpin
PNI Baru. Bersama Hatta, Syahrir mengemudikan PNI Baru sebagai organisasi pencetak
kader-kader pergerakan. Berdasarkan analisis pemerintahan kolonial Belanda, gerakan
politik Hatta dan Syahrir dalam PNI Baru justru lebih radikal tinimbang Soekarno dengan
PNI-nya yang mengandalkan mobilisasi massa. PNI Baru, menurut polisi kolonial, cukup
sebanding dengan organisasi Barat. Meski tanpa aksi massa dan agitasi; secara cerdas,
lamban namun pasti, PNI Baru mendidik kader-kader pergerakan yang siap bergerak ke arah
tujuan revolusionernya.

Karena takut akan potensi revolusioner PNI Baru, pada Februari 1934, pemerintah
kolonial Belanda menangkap, memenjarakan, kemudian membuang Syahrir, Hatta, dan
beberapa pemimpin PNI Baru ke Boven-Digoel. Hampir setahun dalam kawasan malaria di
Papua itu, Hatta dan Syahrir dipindahkan ke Bandaneira untuk menjalani masa pembuangan
selama enam tahun.

MASA PENDUDUKAN JEPANG

Sementara Soekarno dan Hatta menjalin kerja sama dengan Jepang, Syahrir
membangun jaringan gerakan bawah tanah anti-fasis. Syahrir yakin Jepang tak mungkin
memenangkan perang, oleh karena itu, kaum pergerakan mesti menyiapkan diri untuk
merebut kemerdekaan di saat yang tepat. Simpul-simpul jaringan gerakan bawah tanah
kelompok Syahrir adalah kader-kader PNI Baru yang tetap meneruskan pergerakan dan
kader-kader muda yakni para mahasiswa progresif.

Sastra, seorang tokoh senior pergerakan buruh yang akrab dengan Syahrir, menulis:

Page
143

Di bawah kepemimpinan Syahrir, kami bergerak di bawah tanah, menyusun
kekuatan subjektif, sambil menunggu perkembangan situasi objektif dan
tibanya saat-saat psikologis untuk merebut kekuasaan dan kemerdekaan. ”
Situasi objektif itu pun makin terang ketika Jepang makin terdesak oleh pasukan
Sekutu. Syahrir mengetahui perkembangan Perang Dunia dengan cara sembunyi-sembunyi
mendengarkan berita dari stasiun radio luar negeri. Kala itu, semua radio tak bisa
menangkap berita luar negeri karena disegel oleh Jepang. Berita-berita tersebut kemudian ia
sampaikan ke Hatta. Sembari itu, Syahrir menyiapkan gerakan bawah tanah untuk merebut
kekuasaan dari tangan Jepang.

Syahrir yang didukung para pemuda mendesak Soekarno dan Hatta untuk
memproklamasikan kemerdekaan pada 15 Agustus karena Jepang sudah menyerah, Syahrir
siap dengan massa gerakan bawah tanah untuk melancarkan aksi perebutan kekuasaan
sebagai simbol dukungan rakyat. Soekarno dan Hatta yang belum mengetahui berita
menyerahnya Jepang, tidak merespon secara positif. Mereka menunggu keterangan dari
pihak Jepang yang ada di Indonesia, dan proklamasi itu mesti sesuai prosedur lewat
keputusan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dibentuk oleh Jepang.
Sesuai rencana PPKI, kemerdekaan akan diproklamasikan pada 24 September 1945.

Sikap Soekarno dan Hatta tersebut mengecewakan para pemuda, sebab sikap itu
berisiko kemerdekaan RI dinilai sebagai hadiah Jepang dan RI adalah buatan Jepang. Guna
mendesak lebih keras, para pemuda pun menculik Soekarno dan Hatta pada 16 Agustus.
Akhirnya, Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus.

MASA REFORMASI

Revolusi menciptakan atmosfer amarah dan ketakutan, karena itu sulit untuk berpikir
jernih. Sehingga sedikit sekali tokoh yang punya konsep dan langkah strategis meyakinkan
guna mengendalikan kecamuk revolusi. Saat itu, ada dua orang dengan pemikirannya yang
populer kemudian dianut banyak kalangan pejuang republik: Tan Malaka dan Sutan Syahrir.
Dua tokoh pergerakan kemerdekaan yang dinilai steril dari noda kolaborasi dengan
Pemerintahan Fasis Jepang, meski kemudian bertentangan jalan dalam memperjuangan
kedaulatan republik.

Di masa genting itu, Bung Syahrir menulis Perjuangan Kita. Sebuah risalah peta
persoalan dalam revolusi Indonesia, sekaligus analisis ekonomi-politik dunia usai Perang
Dunia II. Perjungan Kita muncul menyentak kesadaran. Risalah itu ibarat pedoman dan peta
guna mengemudikan kapal Republik Indonesia di tengah badai revolusi.

Tulisan-tulisan Syahrir dalam Perjuangan Kita, membuatnya tampak berseberangan


dan menyerang Soekarno. Jika Soekarno amat terobsesi pada persatuan dan kesatuan,
Syahrir justru menulis, "Tiap persatuan hanya akan bersifat taktis, temporer, dan karena itu
insidental. Usaha-usaha untuk menyatukan secara paksa, hanya menghasilkan anak banci.
Persatuan semacam itu akan terasa sakit, tersesat, dan merusak pergerakan."

Dan dia mengecam Soekarno. "Nasionalisme yang Soekarno bangun di atas


solidaritas hierarkis, feodalistis: sebenarnya adalah fasisme, musuh terbesar kemajuan dunia

Page
144
dan rakyat kita." Dia juga mengejek gaya agitasi massa Soekarno yang menurutnya tak
membawa kejernihan.

Perjuangan Kita adalah karya terbesar Syahrir, kata Salomon Tas, bersama surat-
surat politiknya semasa pembuangan di Boven Digul dan Bandaneira. Manuskrip itu disebut
Indonesianis Ben Anderson sebagai, "Satu-satunya usaha untuk menganalisa secara
sistematis kekuatan domestik dan internasional yang memperngaruhi Indonesia dan yang
memberikan perspektif yang masuk akal bagi gerakan kemerdekaan pada masa depan."

Terbukti kemudian, pada November ’45 Syahrir didukung pemuda dan ditunjuk
Soekarno menjadi formatur kabinet parlementer. Pada usia 36 tahun, mulailah lakon Syahrir
dalam panggung memperjuangkan kedaulatan Republik Indonesia, sebagai Perdana Menteri
termuda di dunia, merangkap Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri.

PENCULIKAN

Penculikan Perdana Menteri Sjahrir merupakan peristiwa yang terjadi pada 26 Juni
1946 di Surakarta oleh kelompok oposisi Persatuan Perjuangan yang tidak puas atas
diplomasi yang dilakukan oleh pemerintahan Kabinet Sjahrir II dengan pemerintah Belanda
karena sangat merugikan perjuangan Bangsa Indonesia saat itu. Kelompok ini menginginkan
pengakuan kedaulatan penuh (Merdeka 100%), sedangkan kabinet yang berkuasa hanya
menuntut pengakuan kedaulatan atas Jawa dan Madura.

Kelompok Persatuan Perjuangan ini dipimpin oleh Mayor Jendral Soedarsono dan
14 pimpinan sipil, di antaranya Tan Malaka dari Persatuan Perjuangan bersama dengan
Panglima besar Jendral sudirman. Perdana Menteri Sjahrir ditahan di suatu rumah
peristirahatan di Paras.

Presiden Soekarno sangat marah atas aksi penculikan ini dan memerintahkan Polisi
Surakarta menangkap para pimpinan kelompok tersebut. Tanggal 1 Juli 1946, ke-14
pimpinan berhasil ditangkap dan dijebloskan ke penjara Wirogunan.

Tanggal 2 Juli 1946, tentara Divisi 3 yang dipimpin Mayor Jendral Soedarsono
menyerbu penjara Wirogunan dan membebaskan ke 14 pimpinan penculikan.

Presiden Soekarno marah mendengar penyerbuan penjara dan memerintahkan


Letnan Kolonel Soeharto, pimpinan tentara di Surakarta, untuk menangkap Mayjen
Soedarsono dan pimpinan penculikan. Lt. Kol. Soeharto menolak perintah ini karena dia
tidak mau menangkap pimpinan/atasannya sendiri. Dia hanya mau menangkap para
pemberontak kalau ada perintah langsung dari Kepala Staf militer RI, Jendral Soedirman.
Presiden Soekarno sangat marah atas penolakan ini dan menjuluki Lt. Kol. Soeharto sebagai
perwira keras kepala (koppig).

Kelak Let. Kol. Soeharto menjadi Presiden RI Soeharto dan menerbitkan catatan
tentang peristiwa pemberontakan ini dalam buku otobiografinya Ucapan, Pikiran dan
Tindakan Saya.

Lt. Kol. Soeharto berpura-pura bersimpati pada pemberontakan dan menawarkan


perlindungan pada Mayjen Soedarsono dan ke 14 orang pimpinan di markas resimen tentara
di Wiyoro. Malam harinya Lt. Kol. Soeharto membujuk Mayjen Soedarsono dan para
Page
145
pimpinan pemberontak untuk menghadap Presiden RI di Istana Presiden di Jogyakarta.
Secara rahasia, Lt. Kol. Soeharto juga menghubungi pasukan pengawal Presiden dan
memberitahukan rencana kedatangan Mayjen Soedarsono dan pimpinan pemberontak.

Tanggal 3 Juli 1946, Mayjen Soedarsono dan pimpinan pemberontak berhasil


dilucuti senjatanya dan ditangkap di dekat Istana Presiden di Yogyakarta oleh pasukan
pengawal presiden. Peristiwa ini lalu dikenal sebagai pemberontakan 3 Juli 1946 yang gagal.

DIPLOMASI SYAHRIR

Setelah kejadian penculikan Syahrir hanya bertugas sebagai Menteri Luar Negeri,
tugas sebagai Perdana Menteri diambil alih Presiden Soekarno. Namun pada tanggal 2
Oktober 1946, Presiden menunjuk kembali Syahrir sebagai Perdana Menteri agar dapat
melanjutkan Perundingan Linggarjati yang akhirnya ditandatangani pada 15 November
1946.

Tanpa Syahrir, Soekarno bisa terbakar dalam lautan api yang telah ia nyalakan.
Sebaliknya, sulit dibantah bahwa tanpa Bung Karno, Syahrir tidak berdaya apa-apa.

Syahrir mengakui Soekarno-lah pemimpin republik yang diakui rakyat. Soekarno-


lah pemersatu bangsa Indonesia. Karena agitasinya yang menggelora, rakyat di bekas teritori
Hindia Belanda mendukung revolusi. Kendati demikian, kekuatan raksasa yang sudah
dihidupkan Soekarno harus dibendung untuk kemudian diarahkan secara benar, agar energi
itu tak meluap dan justru merusak.

Sebagaimana argumen Bung Hatta bahwa revolusi mesti dikendalikan; tak mungkin
revolusi berjalan terlalu lama, revolusi yang mengguncang ‘sendi’ dan ‘pasak’ masyarakat
jika tak dikendalikan maka akan meruntuhkan seluruh ‘bangunan’.

Agar Republik Indonesia tak runtuh dan perjuangan rakyat tak menampilkan wajah
bengis, Syahrir menjalankan siasatnya. Di pemerintahan, sebagai ketua Badan Pekerja
Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), ia menjadi arsitek perubahan Kabinet
Presidensil menjadi Kabinet Parlementer yang bertanggung jawab kepada KNIP sebagai
lembaga yang punya fungsi legislatif. RI pun menganut sistem multipartai. Tatanan
pemerintahan tersebut sesuai dengan arus politik pasca-Perang Dunia II, yakni kemenangan
demokrasi atas fasisme. Kepada massa rakyat, Syahrir selalu menyerukan nilai-nilai
kemanusiaan dan anti-kekerasan.

Dengan siasat-siasat tadi, Syahrir menunjukkan kepada dunia internasional bahwa


revolusi Republik Indonesia adalah perjuangan suatu bangsa yang beradab dan demokratis
di tengah suasana kebangkitan bangsa-bangsa melepaskan diri dari cengkeraman
kolonialisme pasca-Perang Dunia II. Pihak Belanda kerap melakukan propaganda bahwa
orang-orang di Indonesia merupakan gerombolan yang brutal, suka membunuh, merampok,
menculik, dll. Karena itu sah bagi Belanda, melalui NICA, menegakkan tertib sosial
sebagaimana kondisi Hindia Belanda sebelum Perang Dunia II. Mematahkan propaganda
itu, Syahrir menginisiasi penyelenggaraan pameran kesenian yang kemudian diliput dan
dipublikasikan oleh para wartawan luar negeri.

Page
146
Ada satu cerita perihal sikap konsekuen pribadi Syahrir yang anti-kekerasan. Di
pengujung Desember 1946, Perdana Menteri Syahrir dicegat dan ditodong pistol oleh
serdadu NICA. Saat serdadu itu menarik pelatuk, pistolnya macet. Karena geram, dipukullah
Syahrir dengan gagang pistol. Berita itu kemudian tersebar lewat Radio Republik Indonesia.
Mendengar itu, Syahrir dengan mata sembab membiru memberi peringatan keras agar siaran
itu dihentikan, sebab bisa berdampak fatal dibunuhnya orang-orang Belanda di kamp-kamp
tawanan oleh para pejuang republik, ketika tahu pemimpinnya dipukuli.

Meski jatuh-bangun akibat berbagai tentangan di kalangan bangsa sendiri, Kabinet


Sjahrir I, Kabinet Sjahrir II sampai dengan Kabinet Sjahrir III (1945 hingga 1947) konsisten
memperjuangkan kedaulatan RI lewat jalur diplomasi. Syahrir tak ingin konyol menghadapi
tentara sekutu yang dari segi persenjataan jelas jauh lebih canggih. Diplomasinya kemudian
berbuah kemenangan sementara. Inggris sebagai komando tentara sekutu untuk wilayah
Asia Tenggara mendesak Belanda untuk duduk berunding dengan pemerintah republik.
Secara politik, hal ini berarti secara de facto sekutu mengakui eksistensi pemerintah RI.

Jalan berliku diplomasi diperkeruh dengan gempuran aksi militer Belanda pada 21
Juli 1947. Aksi Belanda tersebut justru mengantarkan Indonesia ke forum Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB). Setelah tidak lagi menjabat Perdana Menteri (Kabinet Sjahrir III),
Syahrir diutus menjadi perwakilan Indonesia di PBB. Dengan bantuan Biju Patnaik, Syahrir
bersama Agus Salim berangkat ke Lake Success, New York melalui New Delhi dan Kairo
untuk menggalang dukungan India dan Mesir.

Pada 14 Agustus 1947 Syahrir berpidato di muka sidang Dewan Keamanan PBB.
Berhadapan dengan para wakil bangsa-bangsa sedunia, Syahrir mengurai Indonesia sebagai
sebuah bangsa yang berabad-abad berperadaban aksara lantas dieksploitasi oleh kaum
kolonial. Kemudian, secara piawai Syahrir mematahkan satu per satu argumen yang sudah
disampaikan wakil Belanda, Eelco van Kleffens. Dengan itu, Indonesia berhasil merebut
kedudukan sebagai sebuah bangsa yang memperjuangan kedaulatannya di gelanggang
internasional. PBB pun turut campur, sehingga Belanda gagal mempertahankan upayanya
untuk menjadikan pertikaian Indonesia-Belanda sebagai persoalan yang semata-mata urusan
dalam negerinya.

Van Kleffens dianggap gagal membawa kepentingan Belanda dalam sidang Dewan
Keamanan PBB. Berbagai kalangan Belanda menilai kegagalan itu sebagai kekalahan
seorang diplomat ulung yang berpengalaman di gelanggang internasional dengan seorang
diplomat muda dari negeri yang baru saja lahir. Van Kleffens pun ditarik dari posisi sebagai
wakil Belanda di PBB menjadi duta besar Belanda di Turki.

Syahrir populer di kalangan para wartawan yang meliput sidang Dewan Keamanan
PBB, terutama wartawan-wartawan yang berada di Indonesia semasa revolusi. Beberapa
surat kabar menamakan Syahrir sebagai The Smiling Diplomat.

Syahrir mewakili Indonesia di PBB selama 1 bulan, dalam 2 kali sidang. Pimpinan
delegasi Indonesia selanjutnya diwakili oleh Lambertus Nicodemus Palar (L.N.) Palar
sampai tahun 1950.

PARTAI SOSIALISASI INDONESIA

Page
147
Selepas memimpin kabinet, Sutan Syahrir diangkat menjadi penasihat Presiden
Soekarno sekaligus Duta Besar Keliling. Pada tahun 1948 Syahrir mendirikan Partai Sosialis
Indonesia (PSI) sebagai partai alternatif selain partai lain yang tumbuh dari gerakan komunis
internasional. Meskipun PSI berhaluan kiri dan mendasarkan pada ajaran Marx-Engels,
namun ia menentang sistem kenegaraan Uni Soviet. Menurutnya pengertian sosialisme
adalah menjunjung tinggi derajat kemanusiaan, dengan mengakui dan menjunjung
persamaan derajat tiap manusia

HOBI DIRGANTARA DAN MUSIK

Meskipun perawakannya kecil, yang oleh teman-temannya sering dijuluki Si Kancil,


Sutan Syahrir adalah salah satu penggemar olah raga dirgantara, pernah menerbangkan
pesawat kecil dari Jakarta ke Yogyakarta pada kesempatan kunjungan ke Yogyakarta. Di
samping itu juga senang sekali dengan musik klasik, di mana beliau juga bisa memainkan
biola.

AKHIR HIDUP

Tahun 1955 PSI gagal mengumpulkan suara dalam pemilihan umum pertama di
Indonesia. Setelah kasus PRRI tahun 1958[4], hubungan Sutan Syahrir dan Presiden
Soekarno memburuk sampai akhirnya PSI dibubarkan tahun 1960. Tahun 1962 hingga 1965,
Syahrir ditangkap dan dipenjarakan tanpa diadili sampai menderita stroke. Setelah itu
Syahrir diijinkan untuk berobat ke Zürich Swis, salah seorang kawan dekat yang pernah
menjabat wakil ketua PSI Sugondo Djojopuspito menghantarkan beliau di Bandara
Kemayoran dan Syahrir memeluk Sugondo degan air mata, dan akhirnya meninggal di Swiss
pada tanggal 9 April 1966.

KARYA

1. Pikiran dan Perjuangan, tahun 1950 (kumpulan karangan dari Majalah ”Daulat
Rakyat” dan majalah-majalah lain, tahun 1931 – 1940)
2. Pergerakan Sekerja, tahun 1933
3. Perjuangan Kita, tahun 1945
4. Indonesische Overpeinzingen, tahun 1946 (kumpulan surat-surat dan karangan-
karangan dari penjara Cipinang dan tempat pembuangan di Digul dan Banda-Neira,
dari tahun 1934 sampau 1938).
5. Renungan Indonesia, tahun 1951 (diterjemahkan dari Bahasa Belanda: Indonesische
Overpeinzingen oleh HB Yassin)
6. Out of Exile, tahun 1949 (terjemahan dari ”Indonesische Overpeinzingen” oleh
Charles Wolf Jr. dengan dibubuhi bagian ke-2 karangan Sutan Sjahrir)
7. Renungan dan Perjuangan, tahun 1990 (terjemahan HB Yassin dari Indonesische
Overpeinzingen dan Bagian II Out of Exile)
8. Sosialisme dan Marxisme, tahun 1967 (kumpulan karangan dari majalah “Suara
Sosialis” tahun 1952 – 1953)
9. Nasionalisme dan Internasionalisme, tahun 1953 (pidato yang diucapkan pada Asian
Socialist Conference di Rangoon, tahun 1953)
10. Karangan–karangan dalam "Sikap", "Suara Sosialis" dan majalah–majalah lain
11. Sosialisme Indonesia Pembangunan, tahun 1983 (kumpulan tulisan Sutan Sjahrir
diterbitkan oleh Leppenas)

Page
148
JABATAN

1. Perdana Menteri pertama Republik Indonesia


2. Ketua Partai Sosialis Indonesia (PSI)
3. Ketua delegasi Republik Indonesia pada Perundingan Linggarjati
4. Duta Besar Keliling (Ambassador-at-Large) Republik Indones

DEWI SARTIKA

Page
149
NAMA :

 DEWI SARTIKA

LAHIR DI :

 Cicalengka, Bandung 4 Desember 1884

DIKENAL SEBAGAI :

 Perintis Pendidikan Wanita

PASANGAN :

 Raden Kanduruan Agah Suriawinata

MENINGGAL :

 11 September 1947 di usia 62 di Tasikmalaya

Dewi Sartika (lahir di Bandung, 4 Desember 1884 – meninggal di Tasikmalaya, 11


September 1947 pada umur 62 tahun) adalah tokoh perintis pendidikan untuk kaum wanita,
diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia tahun 1966.

Biografi

Dewi Sartika dilahirkan di keluarga priyayi Sunda, Nyi Raden Rajapermas dengan
Raden Somanagara. Meskipun bertentangan dengan adat waktu itu, ayah-ibunya bersikukuh
menyekolahkan Dewi Sartika di sekolah Belanda. Setelah ayahnya wafat, Dewi Sartika
diasuh oleh pamannya (kakah ibunya) yang menjadi patih di Cicalengka. Oleh pamannya
itu, ia mendapatkan pengetahuan mengenai kebudayaan Sunda, sementara wawasan
kebudayaan Barat didapatkannya dari seorang nyonya Asisten Residen berkebangsaan
Belanda.

Sedari kecil , Dewi Sartika sudah menunjukkan bakat pendidik dan kegigihan untuk
meraih kemajuan. Sambil bermain di belakang gedung kepatihan, beliau sering

Page
150
memperagakan praktik di sekolah, belajar baca-tulis, dan bahasa Belanda, kepada anak-anak
pembantu di kepatihan. Papan bilik kandang kereta, arang, dan pecahan genting
dijadikannya alat bantu belajar.

Waktu itu, Dewi Sartika baru berumur sekitar sepuluh tahun, ketika Cicalengka
digemparkan oleh kemampuan baca-tulis dan beberapa patah kata dalam bahasa Belanda
yang ditunjukkan oleh anak-anak pembantu kepatihan. Gempar, karena waktu itu belum ada
anak (apalagi anak rakyat jelata) yang memiliki kemampuan seperti itu, dan diajarkan oleh
seorang anak perempuan.

Setelah remaja, Dewi Sartika kembali lagi kepada ibunya di Bandung. Jiwanya yang
telah dewasa semakin menggiringnya untuk mewujudkan cita-citanya. Hal ini didorong pula
oleh pamannya, Bupati Martanagara, yang memang memiliki keinginan yang sama. Tetapi,
meski keinginan yang sama dimiliki oleh pamannya, tidak menjadikannya serta merta dapat
mewujudkan cita-citanya. Adat yang mengekang kaum wanita pada waktu itu, membuat
pamannya mengalami kesulitan dan khawatir. Namun karena kegigihan semangatnya yang
tak pernah surut, akhirnya Dewi Sartika bisa meyakinkan pamannya dan diizinkan
mendirikan sekolah untuk perempuan.

Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata,
beliau memiliki visi dan cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika, guru di sekolah Karang
Pamulang, yang saat itu merupakan sekolah Latihan Guru.

Terjemahan: Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah
Suriawinata, beliau mempunyai visi dan cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika, guru di
sekolah Karang Pamjulang, yang waktu itu merupakan sekolah Latihan Guru.

Sejak 1902, Dewi Sartika sudah merintis pendidikan bagi kaum perempuan. Di
sebuah ruangan kecil, di belakang rumah ibunya di Bandung, Dewi Sartika mengajar di
hadapan anggota keluarganya yang perempuan. Merenda, memasak, jahit-menjahit,
membaca, menulis dan sebagainya, menjadi materi pelajaran saat itu

Usai berkonsultasi dengan Bupati R.A. Martenagara, pada 16 Januari 1904, Dewi
Sartika membuka Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia-Belanda. Tenaga
pengajarnya tiga orang : Dewi Sartika dibantu dua saudara misannya, Ny. Poerwa dan Nyi.
Oewid. Murid-murid angkatan pertamanya terdiri dari 20 orang, menggunakan ruangan
pendopo kabupaten Bandung.

Setahun kemudian, 1905, sekolahnya menambah kelas, sehingga kemudian pindah


ke Jalan Ciguriang, Kebon Cau. Lokasi baru ini dibeli Dewi Sartika dengan uang tabungan
pribadinya, serta bantuan dana pribadi dari Bupati Bandung. Lulusan pertama keluar pada
tahun 1909, bahasa sundabisa lebih mememenuhi syarat kelengkapan sekolah formal.

Pada tahun-tahun berikutnya di beberapa wilayah Pasundan bermunculan beberapa


Sakola Istri, terutama yang dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda yang memiliki cita-
cita yang sama dengan Dewi Sartika. Pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan Sakola Istri
di kota-kota kabupaten (setengah dari seluruh kota kabupaten se-Pasundan). Memasuki usia
ke-sepuluh, tahun 1914, nama sekolahnya diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah
Keutamaan Perempuan). Kota-kota kabupaten wilayah Pasundan yang belum memiliki
Sakola Kautamaan Istri tinggal tiga/empat, semangat ini menyeberang ke Bukittinggi, di
Page
151
mana Sakola Kautamaan Istri didirikan oleh Encik Rama Saleh. Seluruh wilayah Pasundan
lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap kota kabupatennya pada tahun 1920,
ditambah beberapa yang berdiri di kota kewedanaan.

Bulan September 1929, Dewi Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya


yang telah berumur 25 tahun, yang kemudian berganti nama menjadi "Sakola Raden Déwi".
Atas jasanya dalam bidang ini, Dewi Sartika dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah
Hindia-Belanda.

Dewi Sartika meninggal 11 September 1947 di Tasikmalaya, dan dimakamkan


dengan suatu upacara pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon-Desa Rahayu
Kecamatan Cineam. Tiga tahun kemudian dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman
Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar, Kabupaten Bandung.

MARTHA CHRISTINA TIAHAHU

Page
152
4 Januari 1800
Lahir Abubu, Nusa Laut, Maluku, Hindia
Belanda
2 Januari 1818 (umur 17)
Meninggal
Laut Banda, Maluku, Indonesia

patung di Ambon, Maluku; patung di


Monumen
Abubu
Pekerjaan Gerilyawan
Tahun aktif 1817
Penghargaan Pahlawan Nasional Indonesia

Martha Christina Tiahahu (lahir di Nusa Laut, Maluku, 4 Januari


1800 – meninggal di Laut Banda, Maluku, 2 Januari 1818 pada umur 17 tahun) adalah
seorang gadis dari Desa Abubu di Pulau Nusalaut. Lahir sekitar tahun 1800 dan pada waktu
mengangkat senjata melawan penjajah Belanda berumur 17 tahun. Ayahnya adalah Kapitan
Paulus Tiahahu, seorang kapitan dari negeri Abubu yang juga pembantu Thomas Matulessy
dalam perang Pattimura tahun 1817 melawan Belanda.

Martha Christina tercatat sebagai seorang pejuang kemerdekaan yang unik yaitu
seorang puteri remaja yang langsung terjun dalam medan pertempuran melawan tentara
kolonial Belanda dalam perang Pattimura tahun 1817. Di kalangan para pejuang dan
masyarakat sampai di kalangan musuh, ia dikenal sebagai gadis pemberani dan konsekwen
terhadap cita-cita perjuangannya.

Sejak awal perjuangan, ia selalu ikut mengambil bagian dan pantang mundur.
Dengan rambutnya yang panjang terurai ke belakang serta berikat kepala sehelai kain berang
(merah) ia tetap mendampingi ayahnya dalam setiap pertempuran baik di Pulau Nusalaut
maupun di Pulau Saparua. Siang dan malam ia selalu hadir dan ikut dalam pembuatan kubu-
kubu pertahanan. Ia bukan saja mengangkat senjata, tetapi juga memberi semangat kepada
kaum wanita di negeri-negeri agar ikut membantu kaum pria di setiap medan pertempuran
sehingga Belanda kewalahan menghadapi kaum wanita yang ikut berjuang.

Di dalam pertempuran yang sengit di Desa Ouw – Ullath jasirah Tenggara Pulau
Saparua yang nampak betapa hebat srikandi ini menggempur musuh bersama para pejuang
rakyat. Namun akhirnya karena tidak seimbang dalam persenjataan, tipu daya musuh dan
pengkhianatan, para tokoh pejuang dapat ditangkap dan menjalani hukuman. Ada yang

Page
153
harus mati digantung dan ada yang dibuang ke Pulau Jawa. Kapitan Paulus Tiahahu divonis
hukum mati tembak. Martha Christina berjuang untuk melepaskan ayahnya dari hukuman
mati, namun ia tidak berdaya dan meneruskan bergerilyanya di hutan, tetapi akhirnya
tertangkap dan diasingkan ke Pulau Jawa.

Di Kapal Perang Eversten, Martha Christina Tiahahu menemui ajalnya dan dengan
penghormatan militer jasadnya diluncurkan di Laut Banda menjelang tanggal 2 Januari
1818. Menghargai jasa dan pengorbanan, Martha Christina dikukuhkan sebagai Pahlawan
Kemerdekaan Nasional oleh Pemerintah Republik Indonesia.

Perjuangan
Martha Christina Tiahahu dilahirkan di Abubu Nusalaut pada tanggal 4 Januari 1800
merupakan anak sulung dari Kapitan Paulus Tiahahu dan masih berusia 17 tahun ketika
mengikuti jejak ayahnya memimpin perlawanan di Pulau Nusalaut. Pada waktu yang sama
Kapitan Pattimura sedang mengangkat senjata melawan kekuasaan Belanda di Saparua.
Perlawanan di Saparua menjalar ke Nusalaut dan daerah sekitarnya.

Pada waktu itu sebagian pasukan rakyat bersama para Raja dan Patih bergerak ke
Saparua untuk membantu perjuangan Kapitan Pattimura sehingga tindakan Belanda yang
akan mengambil alih Benteng Beverwijk luput dari perhatian.

Guru Soselissa yang memihak Belanda melakukan kontak dengan musuh mengatas-
namakan rakyat menyatakan menyerah kepada Belanda. Tanggal 10 Oktober 1817 Benteng
Beverwijk jatuh ke tangan Belanda tanpa perlawanan.

Sementara di Saparua pertempuran demi pertempuran terus berkobar. Karena


semakin berkurangnya persediaan peluru dan mesiu pasukan rakyat mundur ke pegunungan
Ulath-Ouw. Diantara pasukan itu terdapat pula Martha Christina Tiahahu beserta para Raja
dan Patih dari Nusalaut.

Tanggal 11 Oktober 1817 pasukan Belanda dibawah pimpinan Richemont bergerak


ke Ulath, namun berhasil dipukul mundur oleh pasukan rakyat. Dengan kekuatan 100 orang
prajurit, Meyer beserta Richemont kembali ke Ulath. Pertempuran berkobar kembali, korban
berjatuhan di kedua belah pihak.

Dalam pertempuran ini Richemont tertembak mati. Meyer dan pasukannya bertahan
di tanjakan Negeri Ouw. Dari segala penjuru pasukan rakyat mengepung, sorak sorai
pasukan bercakalele, teriakan yang menggigilkan memecah udara dan membuat bulu roma
berdiri.

Di tengah keganasan pertempuran itu muncul seorang gadis remaja bercakalele


menantang peluru musuh. Dia adalah putri Nusahalawano, Martha Christina Tiahahu,
srikandi berambut panjang terurai ke belakang dengan sehelai kain berang (kain merah)
terikat di kepala.

Dengan mendampingi sang Ayah dan memberikan kobaran semangat kepada


pasukan Nusalaut untuk menghancurkan musuh, jujaro itu telah memberi semangat kepada

Page
154
kaum perempuan dari Ulath dan Ouw untuk turut mendampingi kamu laki-laki di medan
pertempuran.

Baru di medan ini Belanda berhadapan dengan kaum perempuan fanatik yang turut
bertempur. Pertempuran semakin sengit katika sebuah peluru pasukan rakyat mengenai leher
Meyer, Vermeulen Kringer mengambil alih komando setelah Meyer diangkat ke atas kapal
Eversten.

Tanggal 12 Oktober 1817 Vermeulen Kringer memerintahkan serangan umum


terhadap pasukan rakyat, ketika pasukan rakyat membalas serangan yang begitu hebat ini
dengan lemparan batu, para Opsir Belanda menyadari bahwa persediaan peluru pasukan
rakyat telah habis.

Vermeulen Kringer memberi komando untuk keluar dari kubu-kubu dan kembali
melancarkan serangan dengan sangkur terhunus. Pasukan rakyat mundur dan bertahan di
hutan, seluruh negeri Ulath dan Ouw diratakan dengan tanah, semua yang ada dibakar dan
dirampok habis-habisan.

Martha Christina dan sang Ayah serta beberapa tokoh pejuang lainnya tertangkap
dan dibawa ke dalam kapal Eversten. Di dalam kapal ini para tawanan dari Jasirah Tenggara
bertemu dengan Kapitan Pattimura dan tawanan lainnya.

Mereka diinterogasi oleh Buyskes dan dijatuhi hukuman. Karena masih sangat
muda, Buyskes membebaskan Martaha Christina Tiahahu dari hukuman, namun sang Ayah,
Kapitan Paulus Tiahahu tetap dijatuhi hukuman mati.

Mendengar keputusan tersebut, Martha Christina Tiahahu memandang sekitar


pasukan Belanda dengan tatapan sayu namun kuat yang menandakan keharuan mendalam
terhadap sang Ayah.

Tiba-tiba Martha Christina Tiahahu merebahkan diri di depan Buyskes memohonkan


ampun bagi sang ayah yang sudah tua, namun semua itu sia-sia.

Tanggal 16 Oktober 1817 Martha Christina Tiahahu beserta sang Ayah dibawa ke
Nusalaut dan ditahan di benteng Beverwijk sambil menunggu pelaksanaan eksekusi mati
bagi ayahnya.

Martha Christina Tiahahu mendampingi sang Ayah pada waktu memasuki tempat
eksekusi, kemudian Martha Christina Tiahahu dibawa kembali ke dalam benteng Beverwijk
dan tinggal bersama guru Soselissa.

Sepeninggal ayahnya Martha Christina Tiahahu masuk ke dalam hutan dan


berkeliaran seperti orang kehilangan akal. Hal ini membuat kesehatannya terganggu.

Dalam suatu Operasi Pembersihan pada bulan Desember 1817 Martha Christina
Tiahahu beserta 39 orang lainnya tertangkap dan dibawa dengan kapal Eversten ke Pulau
Jawa untuk dipekerjakan secara paksa di perkebunan kopi.

Page
155
Selama di atas kapal ini kondisi kesehatan Martha Christina Tiahahu semakin
memburuk, ia menolak makan dan pengobatan.

Akhirnya pada tanggal 2 Januari 1818, selepas Tanjung Alang, Martha Christina
Tiahahu menghembuskan nafas yang terakhir. Jenazah Martha Christina Tiahahu
disemayamkan dengan penghormatan militer ke Laut Banda.

Berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 012/TK/Tahun


1969, tanggal 20 Mei 1969, Martha Christina Tiahahu secara resmi diakui sebagai Pahlawan
Nasional.

Page
156
OTTO ISKANDAR DI NATA

31 Maret 1897
Lahir
Bojongsoang, Bandung, Jawa Barat
20 Desember 1945 (umur 48)
Meninggal
Tangerang, Banten, Jawa Barat
Agama Islam

Raden Oto Iskandar di Nata (lahir di Bandung, Jawa Barat, 31 Maret


1897 – meninggal di Mauk, Tangerang, Banten, 20 Desember 1945 pada umur 48 tahun)
adalah salah satu Pahlawan Nasional Indonesia. Ia mendapat nama julukan si Jalak Harupat.

Awal kehidupan

Oto Iskandar di Nata lahir pada 31 Maret 1897 di Bojongsoang, Kabupaten Bandung.
Ayah Oto adalah keturunan bangsawan Sunda bernama Nataatmadja. Oto adalah anak ketiga
dari sembilan bersaudara.[1]

Oto menempuh pendidikan dasarnya di Hollandsch-Inlandsche School (HIS)


Bandung, kemudian melanjutkan di Kweekschool Onderbouw (Sekolah Guru Bagian
Pertama) Bandung, serta di Hogere Kweekschool (Sekolah Guru Atas) di Purworejo, Jawa
Tengah. Setelah selesai bersekolah, Oto menjadi guru HIS di Banjarnegara, Jawa Tengah.
Pada bulan Juli 1920, Oto pindah ke Bandung dan mengajar di HIS bersubsidi serta
perkumpulan Perguruan Rakyat.

Pra kemerdekaan
Dalam kegiatan pergarakannya di masa sebelum kemerdekaan, Oto pernah menjabat
sebagai Wakil Ketua Budi Utomo cabang Bandung pada periode 1921-1924, serta sebagai
Wakil Ketua Budi Utomo cabang Pekalongan tahun 1924. Ketika itu, ia menjadi anggota
Gemeenteraad ("Dewan Kota") Pekalongan mewakili Budi Utomo.

Page
157
Oto juga aktif pada organisasi budaya Sunda bernama Paguyuban Pasundan. Ia
menjadi Sekretaris Pengurus Besar tahun 1928, dan menjadi ketuanya pada periode 1929-
1942. Organisasi tersebut bergerak dalam bidang pendidikan, sosial-budaya, politik,
ekonomi, kepemudaan, dan pemberdayaan perempuan.

Oto juga menjadi anggota Volksraad ("Dewan Rakyat", semacam DPR) yang
dibentuk pada masa Hindia Belanda untuk periode 1930-1941.

Pada masa penjajahan Jepang, Oto menjadi Pemimpin surat kabar Tjahaja (1942-
1945). Ia kemudian menjadi anggota BPUPKI dan PPKI yang dibentuk oleh pemerintah
pendudukan Jepang sebagai lembaga-lembaga yang membantu persiapan kemerdekaan
Indonesia.

Pasca kemerdekaan

Setelah proklamasi kemerdekaan, Oto menjabat sebagai Menteri Negara pada


kabinet yang pertama Republik Indonesia tahun 1945. Ia bertugas mempersiapkan
terbentuknya BKR dari laskar-laskar rakyat yang tersebar di seluruh Indonesia. Dalam
melaksanakan tugasnya, Oto diperkirakan telah menimbulkan ketidakpuasan pada salah satu
laskar tersebut. Ia menjadi korban penculikan sekelompok orang yang bernama Laskar
Hitam, hingga kemudian hilang dan diperkirakan terbunuh di daerah Banten.[2].

Pahlawan nasional
Oto Iskandar di Nata diangkat sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Surat
Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 088/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November
1973. Sebuah monumen perjuangan Bandung Utara di Lembang, Bandung bernama
"Monumen Pasir Pahlawan" didirikan untuk mengabadikan perjuangannya.

Nama Oto Iskandar di Nata juga diabadikan sebagai nama jalan di beberapa kota di
Indonesia.

Keluarga

Sutradara Nia Dinata adalah salah seorang cucunya.

Page
158
Ahmad Dahlan

1 Agustus 1868
Lahir
Yogyakarta
23 Februari 1923
Meninggal
Yogyakarta
Pendiri Muhammadiyah
Dikenal karena
dan Pahlawan Nasional
Pendahulu Tidak ada, jabatan baru
Pengganti K.H. Ibrahim
Agama Islam
Hj. Siti Walidah
Nyai Abdullah
Pasangan Nyai Rum
Nyai Aisyah
Nyai Yasin
Djohanah
Siradj Dahlan
Siti Busyro
Anak Irfan Dahlan
Siti Aisyah
Siti Zaharah
Dandanah

Kyai Haji Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis (lahir di Yogyakarta, 1 Agustus
1868 – meninggal di Yogyakarta, 23 Februari 1923 pada umur 54 tahun) adalah seorang
Pahlawan Nasional Indonesia. Ia adalah putera keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga
K.H. Abu Bakar. KH Abu Bakar adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid
Besar Kasultanan Yogyakarta pada masa itu, dan ibu dari K.H. Ahmad Dahlan adalah puteri

Page
159
dari H. Ibrahim yang juga menjabat penghulu Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada
masa itu.

Latar Belakang Keluarga dan Pendidikan


Nama kecil KH. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwisy. Ia merupakan anak
keempat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhan saudaranya perempuan, kecuali adik
bungsunya. Ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, salah
seorang yang terkemuka di antara Walisongo, yaitu pelopor penyebaran agama Islam di
Jawa.[1] Silsilahnya tersebut ialah Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana 'Ainul
Yaqin, Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng
Gribig (Djatinom), Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru Kapindo,
Kyai Ilyas, Kyai Murtadla, KH. Muhammad Sulaiman, KH. Abu Bakar, dan Muhammad
Darwisy (Ahmad Dahlan).[2]

Pada umur 15 tahun, ia pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada
periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu
dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah.
Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, ia berganti nama menjadi Ahmad
Dahlan.

Pada tahun 1903, ia bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua tahun. Pada
masa ini, ia sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU,
KH. Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, ia mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman,
Yogyakarta.

Sepulang dari Mekkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai
Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan
Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad
Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan
Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah.[1] Disamping itu KH. Ahmad Dahlan pernah pula
menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. la juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai
Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya
dengan Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Ia pernah
pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta.[3]

KH. Ahmad Dahlan dimakamkan di KarangKajen, Yogyakarta.

Pengalaman Organisasi
Disamping aktif dalam menggulirkan gagasannya tentang gerakan dakwah
Muhammadiyah, ia juga dikenal sebagai seorang wirausahawan yang cukup berhasil dengan
berdagang batik yang saat itu merupakan profesi wiraswasta yang cukup menggejala di
masyarakat.

Sebagai seorang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat dan mempunyai gagasan-
gagasan cemerlang, Dahlan juga dengan mudah diterima dan dihormati di tengah kalangan
masyarakat, sehingga ia juga dengan cepat mendapatkan tempat di organisasi Jam'iyatul
Khair, Budi Utomo, Syarikat Islam dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad SAW.

Page
160
Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan pun mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk
melaksanakan cita-cita pembaruan Islam di bumi Nusantara. Ahmad Dahlan ingin
mengadakan suatu pembaruan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama
Islam. la ingin mengajak umat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan al-
Qur'an dan al-Hadits. Perkumpulan ini berdiri bertepatan pada tanggal 18 November 1912.
Dan sejak awal Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik
tetapi bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan.

Gagasan pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini juga mendapatkan


resistensi, baik dari keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya. Berbagai fitnahan,
tuduhan dan hasutan datang bertubi-tubi kepadanya. la dituduh hendak mendirikan agama
baru yang menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya kyai palsu, karena sudah meniru-
niru bangsa Belanda yang Kristen, mengajar di sekolah Belanda, serta bergaul dengan tokoh-
tokoh Budi Utomo yang kebanyakan dari golongan priyayi, dan bermacam-macam tuduhan
lain. Saat itu Ahmad Dahlan sempat mengajar agama Islam di sekolah OSVIA Magelang,
yang merupakan sekolah khusus Belanda untuk anak-anak priyayi. Bahkan ada pula orang
yang hendak membunuhnya. Namun ia berteguh hati untuk melanjutkan cita-cita dan
perjuangan pembaruan Islam di tanah air bisa mengatasi semua rintangan tersebut.

Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada


Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru
dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus
1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh
bergerak di daerah Yogyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan
perkembangan organisasi ini. Maka dari itu kegiatannya dibatasi. Walaupun
Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srandakan, Wonosari, Imogiri dan
lain-Iain telah berdiri cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan keinginan
pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka KH. Ahmad Dahlan menyiasatinya
dengan menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama lain.
Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Al-Munir di Ujung Pandang, Ahmadiyah[4] di Garut.
Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang
mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan dalam kota Yogyakarta sendiri ia
menganjurkan adanya jama'ah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan
menjalankan kepentingan Islam.

Berbagai perkumpulan dan jama'ah ini mendapat bimbingan dari Muhammadiyah,


diantaranya ialah Ikhwanul-Muslimin,[5] Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci,
Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta'awanu
alal birri, Ta'ruf bima kanu wal- Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi.[6]

Dahlan juga bersahabat dan berdialog dengan tokoh agama lain seperti Pastur van Lith
pada 1914-1918. Van Lith adalah pastur pertama yang diajak dialog oleh Dahlan. Pastur van
Lith di Muntilan yang merupakan tokoh di kalangan keagamaan Katolik. Pada saat itu Kiai
Dahlan tidak ragu-ragu masuk gereja dengan pakaian hajinya[7].

Gagasan pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan


mengadakan tabligh ke berbagai kota, disamping juga melalui relasi-relasi dagang yang
dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan sambutan yang besar dari masyarakat di
berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama dari berbagai daerah lain berdatangan kepadanya
untuk menyatakan dukungan terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah makin lama makin
Page
161
berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Mei 1921 Dahlan
mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-
cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah
Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921.

Sebagai seorang yang demokratis dalam melaksanakan aktivitas gerakan dakwah


Muhammadiyah, Dahlan juga memfasilitasi para anggota Muhammadiyah untuk proses
evaluasi kerja dan pemilihan pemimpin dalam Muhammadiyah. Selama hidupnya dalam
aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, telah diselenggarakan dua belas kali pertemuan
anggota (sekali dalam setahun), yang saat itu dipakai istilah AIgemeene Vergadering
(persidangan umum).

Pahlawan Nasional

Atas jasa-jasa KH. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa Indonesia
melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia
menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun
1961. Dasar-dasar penetapan itu ialah sebagai berikut:

1. KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari
nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat;
2. Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan ajaran
Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan
beramal bagi masyarakat dan umat, dengan dasar iman dan Islam;
3. Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan
pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa
ajaran Islam; dan

Dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah mempelopori


kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan dan berfungsi sosial, setingkat
dengan kaum pria.

Page
162
Tjipto Mangoenkoesoemo

Dr. Cipto Mangunkusumo atau Tjipto Mangoenkoesoemo (Pecangakan,


Ambarawa, Semarang, 1886 – Jakarta, 8 Maret 1943) adalah seorang tokoh pergerakan
kemerdekaan Indonesia. Bersama dengan Ernest Douwes Dekker dan Ki Hajar Dewantara
ia dikenal sebagai "Tiga Serangkai" yang banyak menyebarluaskan ide pemerintahan sendiri
dan kritis terhadap pemerintahan penjajahan Hindia Belanda. Ia adalah tokoh dalam Indische
Partij, suatu organisasi politik yang pertama kali mencetuskan ide pemerintahan sendiri di
tangan penduduk setempat, bukan oleh Belanda. Pada tahun 1913 ia dan kedua rekannya
diasingkan oleh pemerintah kolonial ke Belanda akibat tulisan dan aktivitas politiknya, dan
baru kembali 1917.

Dokter Cipto menikah dengan seorang Indo pengusaha batik, sesama anggota
organisasi Insulinde, bernama Marie Vogel pada tahun 1920.

Berbeda dengan kedua rekannya dalam "Tiga Serangkai" yang kemudian mengambil
jalur pendidikan, Cipto tetap berjalan di jalur politik dengan menjadi anggota Volksraad.
Karena sikap radikalnya, pada tahun 1927 ia dibuang oleh pemerintah penjajahan ke Banda.

Ia wafat pada tahun 1943 dan dimakamkan di TMP Ambarawa.

Perjalanan Hidup
Cipto Mangunkusumo dilahirkan pada 4 Maret 1886 di desa Pecagakan Jepara. Ia
adalah putera tertua dari Mangunkusumo, seorang priyayi rendahan dalam struktur
masyarakat Jawa. Karier Mangunkusumo diawali sebagai guru bahasa Melayu di sebuah
sekolah dasar di Ambarawa, kemudian menjadi kepala sekolah pada sebuah sekolah dasar
di Semarang dan selanjutnya menjadi pembantu administrasi pada Dewan Kota di
Semarang. Sementara, sang ibu adalah keturunan dari tuan tanah di Mayong, Jepara.

Meskipun keluarganya tidak termasuk golongan priyayi birokratis yang tinggi


kedudukan sosialnya, Mangunkusumo berhasil menyekolahkan anak-anaknya pada jenjang
yang tinggi. Cipto beserta adik-adiknya yaitu Gunawan, Budiardjo, dan Syamsul Ma’arif
bersekolah di Stovia, sementara Darmawan, adiknya bahkan berhasil memperoleh beasiswa
dari pemeintah Belanda untuk mempelajari ilmu kimia industri di Universitas Delf, Belanda.
Si bungsu, Sujitno terdaftar sebagai mahasiswa Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta.

Page
163
Pendidikan
Ketika menempuh pendidikan di Stovia, Cipto mulai memperlihatkan sikap yang
berbeda dari teman-temannya. Teman-teman dan guru-gurunya menilai Cipto sebagai
pribadi yang jujur, berpikiran tajam dan rajin. “Een begaafd leerling”, atau murid yang
berbakat adalah julukan yang diberikan oleh gurunya kepada Cipto. Di Stovia Cipto juga
mengalami perpecahan antara dirinya dan lingkungan sekolahnya. Berbeda dengan teman-
temannya yang suka pesta dan bermain bola sodok, Cipto lebih suka menghadiri ceramah-
ceramah, baca buku dan bermain catur. Penampilannya pada acara khusus, tergolong
eksentrik, ia senantiasa memakai surjan dengan bahan lurik dan merokok kemenyan.
Ketidakpuasan terhadap lingkungan sekelilingnya, senantiasan menjadi topik pidatonya.
Baginya, Stovia adalah tempat untuk menemukan dirinya, dalam hal kebebasan berpikir,
lepas dari tradisi keluarga yang kuat, dan berkenalan dengan lingkungan baru yang
diskriminatif.

Beberapa Peraturan-peraturan di Stovia menimbulkan ketidak puasan pada dirnya,


seperti semua mahasiswa Jawa dan Sumatra yang bukan Kristen diharuskan memakai
pakaian tadisional bila sedang berada di sekolah. Bagi Cipto, peraturan berpakaian di Stovia
merupakan perwujudan politik kolonial yang arogan dan melestarikan feodalisme. Pakaian
Barat hanya boleh dipakai dalam hirarki administrasi kolonial, yaitu oleh pribumi yang
berpangkat bupati. Masyarakat pribumi dari wedana ke bawah dan yang tidak bekerja pada
pemerintahan, dilarang memakai pakaian Barat. Implikasi dari kebiasaan ini, rakyat
cenderung untuk tidak menghargai dan menghormati masyarakat pribumi yang memakai
pakaian tradisional.

Keadaan ini senantiasa digambarkannya melalui De Locomotief, pers kolonial yang


sangat progresif pada waktu itu, di samping Bataviaasch Nieuwsblad. Sejak tahun 1907
Cipto sudah menulis di harian De Locomotief. Tulisannya berisi kritikan, dan menentang
kondisi keadaan masyarakat yang dianggapnya tidak sehat. Cipto sering mengkritik
hubungan feodal maupun kolonial yang dianggapnya sebagai sumber penderitaan rakyat.
Dalam sistem feodal terjadi kepincangan-kepincangan dalam masyarakat. Rakyat umumnya
terbatas ruang gerak dan aktivitasnya, sebab banyak kesempatan yang tertutup bagi mereka.
Keturunanlah yang menentukan nasib seseorang, bukan keahlian atau kesanggupan. Seorang
anak “biasa” akan tetap tinggal terbelakang dari anak bupati atau kaum ningrat lainnya.

Kondisi kolonial lainnya yang ditentang oleh Cipto adalah diskriminasi ras. Sebagai
contoh, orang Eropa menerima gaji yang lebih tinggi dari orang pribumi untuk suatu
pekerjaan yang sama. Diskriminasi membawa perbedaan dalam berbagai bidang misalnya,
peradilan, perbedaan pajak, kewajiban kerja rodi dan kerja desa. Dalam bidang
pemerintahan, politik, ekonomi dan sosial, bangsa Indonesia menghadapi garis batas warna.
Tidak semua jabatan negeri terbuka bagi bangsa Indonesia. Demikian juga dalam
perdagangan, bangsa Indonesia tidak mendapat kesempatan berdagang secara besar-
besaran, tidak sembarang anak Indonesia dapat bersekolah di sekolah Eropa, tidak ada orang
Indonesia yang berani masuk kamar bola dan sociteit. Semua diukur berdasarkan warna
kulit.

Tulisan-tulisannya di harian De Locomotief, mengakibatkan Cipto sering mendapat


teguran dan peringatan dari pemerintah. Untuk mempertahankan kebebasan dalam

Page
164
berpendapat Cipto kemudian keluar dari dinas pemerintah dengan konsekuensi
mengembalikan sejumlah uang ikatan dinasnya yang tidak sedikit.

Selain dalam bentuk tulisan, Cipto juga sering melancarkan protes dengan bertingkah
melawan arus. Misalnya larangan memasuki sociteit bagi bangsa Indonesia tidak
diindahkannya. Dengan pakaian khas yakni kain batik dan jas lurik, ia masuk ke sebuah
sociteit yang penuh dengan orang-orang Eropa. Cipto kemudian duduk dengan kaki
dijulurkan, hal itu mengundang kegaduhan di sociteit. Ketika seorang opas (penjaga)
mencoba mengusir Cipto untuk keluar dari gedung, dengan lantangnya Cipto memaki-maki
sang opas serta orang-orang berada di dekatnya dengan mempergunakan bahasa Belanda.
Kewibawaan Cipto dan penggunaan bahasa Belandanya yang fasih membuat orang-orang
Eropa terperangah.

Budi Utomo

Terbentuknya Budi Utomo pada 20 Mei 1908 disambut baik Cipto sebagai bentuk
kesadaran pribumi akan dirinya. Pada kongres pertama Budi Utomo di Yogyakarta, jatidiri
politik Cipto semakin nampak. Walaupun kongres diadakan untuk memajukan
perkembangan yang serasi bagi orang Jawa, namun pada kenyataannya terjadi keretakan
antara kaum konservatif dan kaum progesif yang diwakili oleh golongan muda. Keretakan
ini sangat ironis mengawali suatu perpecahan ideology yang terbuka bagi orang Jawa.

Dalam kongres yang pertama terjadi perpecahan antara Cipto dan Radjiman. Cipto
menginginkan Budi Utomo sebagai organisasi politik yang harus bergerak secara
demokratis dan terbuka bagi semua rakyat Indonesia. Organisasi ini harus menjadi pimpinan
bagi rakyat dan jangan mencari hubungan dengan atasan, bupati dan pegawai tinggi lainnya.
Sedangkan Radjiman ingin menjadikan Budi Utomo sebagai suatu gerakan kebudayaan
yang bersifat Jawa.

Cipto tidak menolak kebudayaan Jawa, tetapi yang ia tolak adalah kebudayaan keraton
yang feodalis. Cipto mengemukakan bahwa sebelum persoalan kebudayaan dapat
dipecahan, terlebih dahulu diselesaikan masalah politik. Pernyataan-pernyataan Cipto bagi
jamannya dianggap radikal. Gagasan-gagasan Cipto menunjukkan rasionalitasnya yang
tinggi, serta analisis yang tajam dengan jangkauan masa depan, belum mendapat tanggapan
luas. Untuk membuka jalan bagi timbulnya persatuan di antara seluruh rakyat di Hindia
Belanda yang mempunyai nasib sama di bawah kekuasaan asing, ia tidak dapat dicapai
dengan menganjurkan kebangkitan kehidupan Jawa. Sumber keterbelakangan rakyat adalah
penjajahan dan feodalisme.

Meskipun diangkat sebagai pengurus Budi Utomo, Cipto akhirnya mengundurkan diri
dari Budi Utomo yang dianggap tidak mewakili aspirasinya. Sepeninggal Cipto tidak ada
lagi perdebatan dalam Budi Utomo akan tetapi Budi Utomo kehilangan kekuatan
progesifnya.

Setelah mengundurkan diri dari Budi Utomo, Cipto membuka praktik dokter di Solo.
Meskipun demikian, Cipto tidak meninggalkan dunia politik sama sekali. Di sela-sela
kesibukkannya melayani pasiennya, Cipto mendirikan Raden Ajeng Kartini Klub yang
bertujuan memperbaiki nasib rakyat. Perhatiannya pada politik semakin menjadi-jadi setelah
dia bertemu dengan Douwes Dekker yang tengah berpropaganda untuk mendirikan Indische

Page
165
Partij. Cipto melihat Douwes Dekker sebagai kawan seperjuangan. Kerjasama dengan
Douwes Dekker telah memberinya kesempatan untuk melaksanakan cita-citanya, yakni
gerakan politik bagi seluruh rakyat Hindia Belanda. Bagi Cipto Indische Partij merupakan
upaya mulia mewakili kepentngan-kepentingan semua penduduk Hindia Belanda, tidak
memandang suku, golongan, dan agama.

Pada tahun 1912 Cipto pindah dari Solo ke Bandung, dengan dalih agar dekat dengan
Douwes Dekker. Ia kemudian menjadi anggota redaksi penerbitan harian de Expres dan
majalah het Tijdschrijft. Perkenalan antara Cipto dan Douwes Dekker yang sehaluan itu
sebenarnya telah dijalin ketika Douwes Dekker bekerja pada Bataviaasch Nieuwsblad.
Douwes Dekker sering berhubungan dengan murid-murid Stovia.

Pada Nopember 1913, Belanda memperingati 100 tahun kemerdekaannya dari


Perancis. Peringatan tersebut dirayakan secara besar-besaran, juga di Hindia Belanda.
Perayaan tersebut menurut Cipto sebagai suatu penghinaan terhadap rakyat bumi putera
yang sedang dijajah. Cipto dan Suwardi Suryaningrat kemudian mendirikan suatu komite
perayaan seratus tahun kemerdekaan Belanda dengan nama Komite Bumi Putra. Dalam
komite tersebut Cipto dipercaya untuk menjadi ketuanya. Komite tersebut merencanakan
akan mengumpulkan uang untuk mengirim telegram kepada Ratu Wihelmina, yang isinya
meminta agar pasal pembatasan kegiatan politik dan membentuk parlemen dicabut. Komite
Bumi Putra juga membuat selebaran yang bertujuan menyadarkan rakyat bahwa upacara
perayaan kemerdekaan Belanda dengan mengerahkan uang dan tenaga rakyat merupakan
suatu penghinaan bagi bumi putera.

Aksi Komite Bumi Putera mencapai puncaknya pada 19 Juli 1913, ketika harian De
Express menerbitkan suatu artikel Suwardi Suryaningrat yang berjudul “Als Ik Een
Nederlander Was” (Andaikan Saya Seorang Belanda). Pada hari berikutnya dalam harian
De Express Cipto menulis artikel yang mendukung Suwardi untuk memboikot perayaan
kemerdekaan Belanda. Tulisan Cipto dan Suwardi sangat memukul Pemerintah Hindia
Belanda, pada 30 Juli 1913 Cipto dan Suwardi dipenjarakan, pada 18 Agustus 1913 keluar
surat keputusan untuk membuang Cipto bersama Suwardi Suryaningrat dan Douwes Dekker
ke Belanda karena kegiatan propaganda anti Belanda dalam Komite Bumi Putera. Selama
masa pembuangan di Belanda, bersama Suwardi dan Douwes Dekker, Cipto tetap
melancarkan aksi politiknya dengan melakukan propaganda politik berdasarkan ideologi
Indische Partij. Mereka menerbitkan majalah De Indier yang berupaya menyadarkan
masyarakat Belanda dan Indonesia yang berada di Belanda akan situasi di tanah jajahan.
Majalah De Indier menerbitkan artikel yang menyerang kebijaksanaan Pemerintah Hindia
Belanda.

Kehadiran tiga pemimpin tersebut di Belanda ternyata telah membawa pengaruh yang
cukup berarti terhadap organisasi mahasiswa Indonesia di Belanda. Indische Vereeniging,
pada mulanya adalah perkumpulan sosial mahasiswa Indonesia, sebagai tempat saling
memberi informasi tentang tanah airnya. Akan tetapi, kedatangan Cipto, Suwardi dan
Douwes Dekker berdampak pada konsep-konsep baru dalam gerakan organisasi ini. Konsep
“Hindia bebas dari Belanda dan pembentukan sebuah negara Hindia yang diperintah
rakyatnya sendiri mulai dicanangkan oleh Indische Vereeniging. Pengaruh mereka semakin
terasa dengan diterbitkannya jurnal Indische Vereeniging yaitu Hindia Poetra pada 1916.

Insulinde
Page
166
Oleh karena alasan kesehatan, pada tahun 1914 Cipto diperbolehkan pulang kembali
ke Jawa dan sejak saat itu dia bergabung dengan Insulinde, suatu perkumpulan yang
menggantikan Indische Partij. Sejak itu, Cipto menjadi anggota pengurus pusat Insulinde
untuk beberapa waktu dan melancarkan propaganda untuk Insulinde, terutama di daerah
pesisir utara pulau Jawa. Selain itu, propaganda Cipto untuk kepentingan Insulinde
dijalankan pula melalui majalah Indsulinde yaitu Goentoer Bergerak, kemudian surat kabar
berbahasa Belanda De Beweging, surat kabar Madjapahit, dan surat kabar Pahlawan. Akibat
propaganda Cipto, jumlah anggota Insulinde pada tahun 1915 yang semula berjumlah 1.009
meningkat menjadi 6.000 orang pada tahun 1917. Jumlah anggota Insulinde mencapai
puncaknya pada Oktober 1919 yang mencapai 40.000 orang. Insulinde di bawah pengaruh
kuat Cipto menjadi partai yang radikal di Hindia Belanda. Pada 9 Juni 1919 Insulinde
mengubah nama menjadi Nationaal-Indische Partij (NIP).

Pada tahun 1918 Pemerintah Hindia Belanda membentuk Volksraad (Dewan Rakyat).
Pengangkatan anggota Volksraad dilakukan dengan dua cara. Pertama, calon-calon yang
dipilih melalui dewan perwakilan kota, kabupaten dan propinsi. Sedangkan cara yang kedua
melalui pengangkatan yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Gubernur jenderal
Van Limburg Stirum mengangkat beberapa tokoh radikal dengan maksud agar Volksraad
dapat menampung berbagai aliran sehingga sifat demokratisnya dapat ditonjolkan. Salah
seorang tokoh radikal yang diangkat oleh Limburg Stirum adalah Cipto.

Bagi Cipto pembentukan Volksraad merupakan suatu kemajuan yang berarti, Cipto
memanfaatkan Volksraad sebagai tempat untuk menyatakan pemikiran dan kritik kepada
pemerintah mengenai masalah sosial dan politik. Meskipun Volksraad dianggap Cipto
sebagai suatu kemajuan dalam sistem politik, namun Cipto tetap menyatakan kritiknya
terhadap Volksraad yang dianggapnya sebagai lembaga untuk mempertahankan kekuasaan
penjajah dengan kedok demokrasi.

Pada 25 Nopember 1919 Cipto berpidato di Volksraad, yang isinya mengemukakan


persoalan tentang persekongkolan Sunan dan residen dalam menipu rakyat. Cipto
menyatakan bahwa pinjaman 12 gulden dari sunan ternyata harus dibayar rakyat dengan
bekerja sedemikian lama di perkebunan yang apabila dikonversi dalam uang ternyata
menjadi 28 gulden.

Melihat kenyataan itu, Pemerintah Hindia Belanda menganggap Cipto sebagai orang
yang sangat berbahaya, sehingga Dewan Hindia (Raad van Nederlandsch Indie) pada 15
Oktober 1920 memberi masukan kepada Gubernur Jenderal untuk mengusir Cipto ke daerah
yang tidak berbahasa Jawa. Akan tetapi, pada kenyataannya pembuangan Cipto ke daerah
Jawa, Madura, Aceh, Palembang, Jambi, dan Kalimantan Timur masih tetap membahayakan
pemerintah. Oleh sebab itu, Dewan Hindia berdasarkan surat kepada Gubernur Jenderal
mengusulkan pengusiran Cipto ke Kepulauan Timor. Pada tahun itu juga Cipto dibuang dari
daerah yang berbahasa Jawa tetapi masih di pulau Jawa, yaitu ke Bandung dan dilarang
keluar kota Bandung. Selama tinggal di Bandung, Cipto kembali membuka praktik dokter.
Selama tiga tahun Cipto mengabdikan ilmu kedokterannya di Bandung, dengan sepedanya
ia masuk keluar kampung untuk mengobati pasien.

Di Bandung, Cipto dapat bertemu dengan kaum nasionalis yang lebih muda, seperti
Sukarno yang pada tahun 1923 membentuk Algemeene Studie Club. Pada tahun 1927
Algemeene Studie Club diubah menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI). Meskipun Cipto
tidak menjadi anggota resmi dalam Algemeene Studie Club dan PNI, Cipto tetap diakui
Page
167
sebagai penyumbang pemikiran bagi generasi muda. Misalnya Sukarno dalam suatu
wawancara pers pada 1959, ketika ditanya siapa di antara tokoh-tokoh pemimpin Indonesia
yang paling banyak memberikan pengaruh kepada pemikiran politiknya, tanpa ragu-ragu
Sukarno menyebut Cipto Mangunkusumo.

Pada akhir tahun 1926 dan tahun 1927 di beberapa tempat di Indo-nesia terjadi
pemberontakan komunis. Pemberontakan itu menemui ke-gagalan dan ribuan orang
ditangkap atau dibuang karena terlibat di dalamnya. Dalam hal ini Cipto juga ditangkap dan
didakwa turut serta dalam perlawanan terhadap pemerintah. Hal itu disebabkan suatu
peristiwa, ketika pada bulan Juli 1927 Cipto kedatangan tamu seorang militer pribumi yang
berpangkat kopral dan seorang kawannya. Kepada Cipto tamu tersebut mengatakan
rencananya untuk melakukan sabotase dengan meledakkan persediaan-persediaan mesiu,
tetapi dia bermaksud mengunjungi keluarganya di Jatinegara, Jakarta, terlebih dahulu.
Untuk itu dia memerlukan uang untuk biaya perjalanan. Cipto menasehatkan agar orang itu
tidak melakukan tindakan sabotase, dengan alasan kemanusiaan Cipto kemudian
memberikan uangnya sebesar 10 gulden kepada tamunya.

Setelah pemberontakan komunis gagal dan dibongkarnya kasus peledakan gudang


mesiu di Bandung, Cipto dipanggil pemerintah untuk menghadap pengadilan karena
dianggap telah memberikan andil dalam membantu anggota komunis dengan memberi uang
10 gulden dan diketemukannya nama-nama kepala pemberontakan dalam daftar tamu Cipto.
Sebagai hukumannya Cipto kemudian dibuang ke Banda pada tahun 1928.

Dalam pembuangan, penyakit asmanya kambuh. Beberapa kawan Cipto kemudian


mengusulkan kepada pemerintah agar Cipto dibebaskan. Ketika Cipto diminta untuk
menandatangani suatu perjanjian bahwa dia dapat pulang ke Jawa dengan melepaskan hak
politiknya, Cipto secara tegas mengatakan bahwa lebih baik mati di Banda daripada
melepaskan hak politiknya. Cipto kemudian dialihkan ke Makasar, dan pada tahun 1940
Cipto dipindahkan ke Sukabumi. Kekerasan hati Cipto untuk berpolitik dibawa sampai
meninggal pada 8 Maret 1943.

Page
168
Wahid Hasjim

Menteri Agama Republik Indonesia ke-1


Masa jabatan
30 September 1945 – 14 November 1945
Presiden Ir. Sukarno
Didahului oleh Tidak ada, jabatan baru
Digantikan
Rasjidi
oleh
Masa jabatan
6 September 1950 – 3 April 1952
Presiden Soekarno
Didahului oleh Masjkur
Digantikan
Fakih Usman
oleh
Informasi pribadi
1 Juni 1914
Lahir Jombang, Jawa Timur, Hindia
Belanda
19 April 1953 (umur 38)
Meninggal
Cimahi, Jawa Barat, Indonesia
Kebangsaan Indonesia
Suami/istri Solehah binti K.H. Bisri Syansuri
K.H. Abdurrahman Wahid
Aisyah Hamid Baidlowi
K.H. Salahuddin Wahid
Anak
dr. Umar Wahid, Sp.P
Lily Chodijah Wahid
Hasyim Wahid
Agama Islam

Page
169
Kiai Haji Abdul Wahid Hasjim (lahir di Jombang, Jawa Timur, 1 Juni
1914 – meninggal di Cimahi, Jawa Barat, 19 April 1953 pada umur 38 tahun) adalah
pahlawan nasional Indonesia dan menteri negara dalam kabinet pertama Indonesia. Ia adalah
ayah dari presiden keempat Indonesia, Abdurrahman Wahid dan anak dari Hasyim Asy'arie,
salah satu pahlawan nasional Indonesia. Wahid Hasjim dimakamkan di Tebuireng,
Jombang.

Pada tahun 1939, NU menjadi anggota MIAI (Majelis Islam A'la Indonesia), sebuah
badan federasi partai dan ormas Islam di zaman pendudukan Belanda. Saat pendudukan
Jepang yaitu tepatnya pada tanggal 24 Oktober 1943 beliau ditunjuk menjadi Ketua Majelis
Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) menggantikan MIAI. Selaku pemimpin Masyumi
beliau merintis pembentukan Barisan Hizbullah yang membantu perjuangan umat Islam
mewujudkan kemerdekaan. Selain terlibat dalam gerakan politik, tahun 1944 beliau
mendirikan Sekolah Tinggi Islam di Jakarta yang pengasuhannya ditangani oleh KH. A.
Kahar Muzakkir. Menjelang kemerdekaan tahun 1945 ia menjadi anggota BPUPKI dan
PPKI.

Wahid Hasyim dengan segudang pemikiran tentang agama, negara, pendidikan,


politik, kemasyarakatan, NU, dan pesantren, telah menjadi lapisan sejarah ke-Islaman dan
ke-Indonesiaan yang tidak dapat tergantikan oleh siapapun.

Wahid Hasjim adalah salah satu putra bangsa yang turut mengukir sejarah negeri ini
pada masa awal kemerdekaan Republik Indonesia.Terlahir Jumat Legi, 5 Rabi’ul Awal 1333
Hijriyah atau 1 Juni 1914, Wahid mengawali kiprah kemasyarakatannya pada usia relatif
muda. Setelah menimba ilmu agama ke berbagai pondok pesantren di Jawa Timur dan
Mekah, pada usia 21 tahun Wahid membuat “gebrakan” baru dalam dunia pendidikan pada
zamannya. Dengan semangat memajukan pesantren, Wahid memadukan pola pengajaran
pesantren yang menitikberatkan pada ajaran agama dengan pelajaran ilmu umum.Sistem
klasikal diubah menjadi sistem tutorial. Selain pelajaran Bahasa Arab, murid juga diajari
Bahasa Inggris dan Belanda. Itulah madrasah nidzamiyah.

Meskipun ayahandanya, hadratush syaikh Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama,


butuh waktu beberapa tahun bagi Wahid Hasjim untuk menimbang berbagai hal sebelum
akhirnya memutuskan aktif di NU. Pada usia 25 tahun Wahid bergabung dengan Majelis
Islam A’la Indonesia (MIAI), federasi organisasi massa dan partai Islam saat itu. Setahun
kemudian Wahid menjadi ketua MIAI.

Karier politiknya terus menanjak dengan cepat. Ketua PBNU, anggota Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), hingga Menteri Agama pada tiga kabinet (Hatta,
Natsir, dan Sukiman). Banyak kontribusi penting yang diberikan Wahid bagi agama dan
bangsa.

Rumusan "Ketuhanan Yang Maha Esa" dalam Pancasila sebagai pengganti dari
"Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya" tidak terlepas dari peran seorang
Wahid Hasjim. Wahid dikenal sebagai tokoh yang moderat, substantif, dan inklusif.

Wahid Hasjim meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan mobil di Kota Cimahi
tanggal 19 April 1953.

Page
170
DAFTAR PUSTAKA

http://mustaqimzone.wordpress.com/2011/07/26/lahirnya-nasionalisme-di-indonesia/

http://sifull.blogspot.com/2013/03/parindra-partai-indonesia-raya.html

Suhartono.1994. Sejarah Pergerakan Nasional Dari Budi Utomo sampai proklamasi 1908-
1945. Yogyakarta: pustaka pelajar (anggota IKAPI).
http://shalahuddinzulfin.wordpress.com/2012/05/31/partai-indonesia/

http://ssbelajar.blogspot.com/2012/06/lahirnya-partai-indonesia-raya-parindra.html

"http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Partai_Indonesia_Raya&oldid=7435294"

"http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Gabungan_Politik_Indonesia&oldid=6638435"

"http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Nasionalisme_Indonesia&oldid=7348124"

http://masyarakatsejarahindonesia.blogspot.com/2009/09/perkembangan-nasionalisme-di-
asia-dan.html

http://xcacingpanasx.blogspot.com/2012/11/lahirnya-nasionalisme-indonesia.html

http://iwak-pithik.blogspot.com/2012/05/sejarah-organisasi-pergerakan-nasional.html

http://www.kumpulansejarah.com/2013/06/sejarah-organisasi-pergerakan-nasional.html

http://akrabsenada.blogspot.com/2013/08/muncul-dan-berkembangnya-pergerakan.html

http://iwak-pithik.blogspot.com/2012/08/biografi-ir-soekarno.html

http://id.wikipedia.org/wiki/Ki_Hadjar_Dewantara

http://kolom-biografi.blogspot.com/2009/02/biografi-ki-hajar-dewantara.html

Safrizal Rambe, Sarekat Islam Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia 1905-1942,


Jakarta: Yayasan Kebangkitan Insan Cendekia, 2008, hal.59-61

Ibid, hal.76

Takashi Shiraisi, Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, Jakarta:


Graffiti, 1977, hal.73-74

Safrizal Rambe, Sarekat Islam Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia 1905-1942,

Page
171
op.cit, hal.73

Ibid, hal.79

Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, Bandung: Salamadani Pustaka Semesta, 2009,
hal.395

Safrizal Rambe, Sarekat Islam Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia 1905-1942,


op.cit, hal.80

Takashi Shiraisi, Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, op.cit, hal.102

Safrizal Rambe, Sarekat Islam Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia 1905-1942,


op.cit, hal.84

Robert Van Niel, Munculnya Elite Modern Indonesia, Jakarta: Pustaka Jaya, 2009, hal.212

Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, op.cit, hal.408

Tashadi dkk, Tokoh-Tokoh Pemikir Paham Kebangsaan, Jakarta: Depdikbud, 1993, hal.70

Safrizal Rambe, Sarekat Islam Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia 1905-1942,


op.cit, hal.75

Google, H.O.S Tjokroaminoto, (Online), http://www.google.com, diakses 21 Mei 2010

Safrizal Rambe, Sarekat Islam Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia 1905-1942,


op.cit, hal.100

Ibid, hal.102

Takashi Shiraisi, Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, op.cit, hal.146

Safrizal Rambe, Sarekat Islam Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia 1905-1942,


op.cit, hal.107

Takashi Shiraisi, Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, op.cit,


hal.313-314

Safrizal Rambe, Sarekat Islam Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia 1905-1942,


op.cit,hal.155

Robert Van Niel, Munculnya Elite Modern Indonesia, op.cit, hal.301

Safrizal Rambe, Sarekat Islam Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia 1905-1942


op.cit, hal.188

Ibid, hal.192

Page
172
Ibid, hal.195-199

Ibid, hal.205-206

Ibid, hal.215

Hering, Soekarno Bapak Indonesia Merdeka, Jakarta: Hasta Mitra, 2003, hal.190

Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1996,
hal.278

John Ingleson, Jalan Ke Pengasingan, Pergerakan Nasionalis Indonesia, Tahun 1927-


1934, Jakarta: LP3ES, 1983, hal.81

Safrizal Rambe, Sarekat Islam Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia 1905-1942


op.cit, hal.217

John Ingleson, Jalan Ke Pengasingan, Pergerakan Nasionalis Indonesia, Tahun 1927-


1934, op.cit,

Page
173

Anda mungkin juga menyukai