Anda di halaman 1dari 21

Faktor pendorong munculnya pergerakan nasional di Indonesia

Munculnya semangat kebangsaan yang ada pada masyarakat Indonesia


dipengaruhi oleh faktor dari dalam (intern) dan faktor dari luar (ekstern).
Faktor ekstern yang mempengaruhi nasionalisme Indonesia adalah: (1) pengaruh
faham-faham modern dari Eropa (liberalisme, humanisme, nasionalisme,
komunisme); (2) pengaruh gerakan Pan-Islamisme; (3) Pengaruh pergerakan
bangsa terjajah di Asia; dan (4) Pengaruh kemenangan Jepang atas Rusia.

Sedangkan faktor Intern yang mendorong munculnya semangat kebangsaan atau


nasionalisme adalah: (1) timbulnya kembali golongan pertengahan, kaum
terpelajar; (2) adanya penderitaan dan kesengsaraan yang dialami oleh seluruh
rakyat dalam berbagai bidang kehidupan; (3) pengaruh golongan peranakan; dan
(4) adanya keinginan untuk melepaskan diri dari imperialisme.

Faktor pendorong munculnya pergerakan nasional di Indonesia | faktor Intern


dan Ekstern. Berikut penjelasan mengenai faktor Intern dan Ekstern munculnya
pergerakan nasional di Indonesia.
Faktor Ekstern
1. Munculnya kesadaran tentang pentingnya semangat kebangsaan, semangat
nasional, perasaan senasib sebagai bangsa terjajah, serta keinginan untuk
mendirikan negara berdaulat lepas dari cengkeraman imperialisme di seluruh
negara-negara jajahan di Asia, Afrika, dan Amerika latin pada akhir abad ke-19
dan awal abad ke-20.

2. Fase tumbuhnya anti imperialisme berkembang bersamaan dengan atau


dipengaruhi oleh lahirnya golongan terpelajar yang memperoleh pengalaman
pergaulan internasional serta mendapatkan pemahaman tentang ide-ide
baru dalam kehidupan bernegara yang lahir di Eropa, seperti demokrasi,
liberalisme, dan komunisme melalui pendidikan formal dari negara-negara barat.

3. Paham-paham tersebut pada dasarnya mengajarkan tentang betapa pentingnya


persamaan derajat semua warga negara tanpa membedakan warna kulit, asal usul
keturunan, dan perbedaan keyakinan agama. Paham tersebut masuk ke Indonesia
dan dibawa oleh tokoh-tokoh Belanda yang berpandangan maju, golongan
terpelajar Indonesia yang memperoleh pendidikan Barat, serta alim ulama yang
menunaikan ibadah haji dan memiliki pergaulan dengan sesama umat muslim
seluruh dunia.

4. Perang dunia I (1914-1919) telah menyadarkan bangsa-bangsa terjajah bahwa


negara-negara imperialis telah berperang diantara mereka sendiri. Perang

1
tersebut merupakan perang memperebutkan daerah jajahan. Tokoh-tokoh
pergerakan nasional di Asia, Afrika dan Amerika Latin telah menyadari bahwa
kini saatnya telah tiba bagi mereka untuk melakukan perlawanan terhadap
panjajah yang sudah lelah berperang.

5. Menculnya rumusan damai mengenai penentuan nasib sendiri (self


determination) presiden Amerika Serikat Woodrow Wilson pasca perang dunia I
disambut tokoh-tokoh pergerakan nasional Indonesia sebagai pijakan dalam
perjuangan mewujudkan kemerdekaan.

6. Lahirnya komunisme melalui Revolusi Rusia 1917 yang diikuti dengan semangat
anti kapitalisme dan imperialisme telah mempengaruhi timbulnya ideologi
perlawanan di negara-negara jajahan terhadap imperialisme dan
kapitalisme Barat. Konflik ideologi dunia antara kapitalisme atau imperialisme
sosialisme atau komunisme telah memberikan dorongan bagi bangsa-bangsa
terjajah untuk melawan kapitalisme atau imperialisme Barat.

7. Munculnya nasionalisme di Asia dan di negara-negara jajahan lainnya di seluruh


dunia telah mengilhami tokoh-tokoh pergerakan nasional untuk melakukan
perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Kemenangan Jepang atas Rusia 1905
telah memberikat keyakinan bagi tokoh nasionalis Indonesia bahwa bangsa kulit
putih Eropa dapat dikalahkan oleh kulit berwarna Asia. Demikian juga, model
pergerakan nasional yang dilakukan oleh Mahatma Gandhi di India, Mastapha
Kemal Pasha di Turki, serta Dr. Sun Yat Sen di Cina telah memberikan inspirasi
bagi kalangan terpelajar nasionalis Indonesia bahwa inperialisme Belanda dapat
dilawan melalui organisasi modern dengan cara memajukan ekonomi, pendidikan,
sosial, budaya, dan politik pada bangsa Indonesia terlebih dahulu sebelum
memperjuangkan kemerdekaan.

Faktor Intern
1. Penjajahan mengakibatkan terjadinya penderitaan rakyat Indonesia yang tidak
terkira. Sistem penjajahan Belanda yang eksploitatif terhadap sumber daya alam
dan manusia Indonesia serta sewenang-wenang terhadap warga pribumi telah
menyadarkan penduduk Indonesia tentang adanya sistem kolonialisme
Imperialisme Barat yang menerapkan ketidaksamaan dan perlakuan membeda-
bedakan (diskriminatif).

2. Kenangan akan kejayaan masa lalu. Rakyat Indonesia pada umumnya menyadari
bahwa mereka pernah memiliki negara kekuasaan yang jaya dan berdaulat di
masa lalu (Sriwijaya dan Majapahit). Kejayaan ini menimbulkan kebanggaan dan

2
meningkatnya harga diri suatu bangsa, oleh karena itu rakyat Indonesia berusaha
untuk mengembalikan kebanggaan dan harga diri sebagai suatu bangsa tersebut.

3. Lahirnya kelompok terpelajar yang memperoleh pendidikan Barat dan Islam


dari luar negeri . kesempatan ini terbuka setelah pemerintah kolonial Belanda
pada awal abad ke-20 menjalankan politik Etis (edukasi, imigrasi, dan irigasi).
Orang-orang Indonesia yang memperoleh pendidikan barat berasal dari kalangan
priayi abangan yang memiliki status bangsawan. Sebagian lainnya berasal dari
kalangan priayi dan santri yang secara sosial ekonomi memiliki kemampuan untuk
menunaikan ibadah haji serta memperoleh pendidikan tertentu diluar negeri.

4. Lahirnya kelompok terpelajar islam telah menyadarkan bangsa Indonesia


terjajah yang sebagian besar penduduknya beragama Islam. Kelompok intelektual
Islam telah menjadi agent of change atau agen pengubah cara pandang
masyarakat bahwa nasib bangsa Indonesia yang terjajah tersebut tidak dapat
diperbaiki melalui belas kasihan penjajah seperti Politik Etis misalnya. Nasib
bangsa Indonesia harus diubah oleh bangsa Indonesia sendiri dengan cara
memberdayakan bangsa melalui peningkatan taraf hidup di bidang ekonomi,
pendidikan, sosial dan budaya.

5. Menyebarnya paham-paham baru yang lahir di Eropa, seperti demokrasi,


liberalisme, sosialisme, dan komunisme di negeri jajahan (Indonesia) yang
dilakukan oleh kalangan terpelajar.

6. Muncul dan berkembangnya semangat persamaan derajat pada masyarakat


Indonesia dan berkembang menjadi gerakan politik yang sifatnya nasional.
Tindakan pemerintah kolonial yang sifatnya semakin represif seperti
pembuangan para pemimpin Indische Partiij pada 1913, ikut campurnya Belanda
dalam urusan internal Sarekat Islam, dan penangkapan tokoh-tokoh nasionalis
telah menimbulkan gerakan nasional untuk memperoleh kebebasan berbicara,
berpolitik, serta menentukan nasib sendiri tanpa dicampuri pemerintah kolonial
Belanda.

3
1. Faktor Ekstern
Timbulnya pergerakan nasional Indonesia di samping disebabkan oleh kondisi
dalam negeri, juga ada faktor yang berasal dari luar (ekstern). Berikut ini
faktor-faktor ekstern yang memberi dorongan dan energi terhadap lahirnya
pergerakan nasional di Indonesia.
a. Kemenangan Jepang atas Rusia
Selama ini sudah menjadi suatu anggapan umum jika keperkasaan Eropa (bangsa
kulit putih) menjadi simbol superioritas atas bangsa-bangsa lain dari kelompok
kulit berwarna. Hal itu ternyata bukan suatu kenyataan sejarah. Perjalanan
sejarah dunia menunjukkan bahwa ketika pada tahun 1904-1905 terjadi
peperangan antara Jepang melawan Rusia, ternyata yang keluar sebagai
pemenang dalam peperangan itu adalah Jepang. Hal ini memberikan semangat
juang terhadap para pelopor pergerakan nasional di Indonesia.
b . Partai Kongres India
Dalam melawan Inggris di India, kaum pergerakan nasional di India membentuk
All India National Congress (Partai Kongres India), atas inisiatif seorang Inggris
Allan Octavian Hume pada tahun 1885. Di bawah kepemimpinan Mahatma Gandhi,
partai ini kemudian menetapkan garis perjuangan yang meliputi Swadesi, Ahimsa,
Satyagraha, dan Hartal. Keempat ajaran Ghandi ini, terutama Satyagraha
mengandung makna yang memberi banyak inspirasi terhadap perjuangan di
Indonesia.
c . Filipina di bawah Jose Rizal
Filipina merupakan jajahan Spanyol yang berlangsung sejak 1571 – 1898. Dalam
perjalanan sejarah Filipina muncul sosok tokoh yang bernama Jose Rizal yang
merintis pergerakan nasional dengan mendirikan Liga Filipina. Pada tahun 1892
Jose Rizal melakukan perlawanan bawah tanah terhadap penindasan Spanyol.
Tujuan yang ingin dicapai adalah bagaimana membangkitkan nasionalisme Filipina
dalam menghadapi penjajahan Spanyol. Dalam perjuangannya Jose Rizal dihukum
mati pada tanggal 30 Desember 1896, setelah gagal dalam pemberontakan
Katipunan. Sikap patriotisme dan nasionalisme yang ditunjukkan Jose Rizal
membangkitkan semangat rela berkorban dan cinta tanah air bagi para
cendekiawan di Indonesia.
d . Gerakan Nasionalisme Cina
Dinasti Manchu (Dinasti Ching) memerintah di Cina sejak tahun 1644 sampai
1912. Dinasti ini dianggap dinasti asing oleh bangsa Cina karena dinasti ini bukan
keturunan bangsa Cina. Masuknya pengaruh Barat menyebabkan munculnya
gerakan rakyat yang menuduh bahwa Dinasti Manchu sudah lemah dan bekerja
sama dengan imperialis Barat. Oleh karena itu muncul gerakan rakyat Cina untuk
menentang penguasa asing yaitu para imperialis Barat dan Dinansti Manchu yang
juga dianggap penguasa asing. Munculnya gerakan nasionalisme Cina diawali
dengan terjadinya pemberontakan Tai Ping (1850 – 1864) dan kemudian disusul

4
oleh pemberontakan Boxer. Gerakan ini ternyata berimbas semangatnya di tanah
air Indonesia.
e . Gerakan Turki Muda
Gerakan nasionalisme di Turki pada tahun 1908 dipimpin oleh Mustafa Kemal
Pasha. Gerakannya dinamakan Gerakan Turki Muda. Ia menuntut adanya
pembaruan dan modernisasi di segala sektor kehidupan masyarakatnya. Gerakan
Turki Muda memberikan pengaruh politis bagi pergerakan bangsa Indonesia
sebab mengarah pada pembaruan-pembaruan dan modernisasi.

2. Faktor Intern
a. Sejarah Masa Lampau yang Gemilang
Indonesia sebagai bangsa telah mengalami zaman nasional pada masa kebesaran
Majapahit dan Sriwijaya. Kedua kerajaan tersebut, terutama Majapahit
memainkan peranan sebagai negara nasional yang wilayahnya meliputi hampir
seluruh Nusantara. Kebesaran ini membawa pikiran dan angan-angan bangsa
Indonesia untuk senantiasa dapat menikmati kebesaran itu. Hal ini dapat
menggugah perasaan nasionalisme golongan terpelajar pada dekade awal abad
XX.
b . Penderitaan Rakyat Akibat Penjajahan
Bangsa Indonesia mengalami masa penjajahan yang panjang dan menyakitkan
sejak masa Portugis. Politik devide et impera, monopoli perdagangan, sistem
tanam paksa, dan kerja rodi merupakan bencana bagi rakyat Indonesia.
Penderitaan itu menjadikan rakyat Indonesia muncul kesadaran nasionalnya dan
mulai memahami perlunya menggalang persatuan. Atas prakarsa para kaum
intelektual, persatuan itu dapat diwujudkan dalam bentuk perjuangan yang
bersifat modern. Perjuangan tidak lagi menggunakan kekuatan senjata tetapi
dengan menggunakan organisasi-organisasi pemuda.
c . Pengaruh Perkembangan Pendidikan Barat di Indonesia
Perkembangan sistem pendidikan pada masa Hindia Belanda tidak dapat
dipisahkan dari politik etis. Ini berarti bahwa terjadinya perubahan di negeri
jajahan (Indonesia) banyak dipengaruhi oleh keadaan yang terjadi di negeri
Belanda. Tekanan datang dari Partai Sosial Demokrat yang di dalamnya ada van
Deventer. Pada tahun 1899, Mr. Courad Theodore van Deventer melancarkan
kritikan-kritikan yang tajam terhadap pemerintah penjajahan Belanda. Kritikan
itu ditulis dan dimuat dalam jurnal Belanda, de Gids dengan judul Een eereschuld
yang berarti hutang budi atau hutang kehormatan. Dalam tulisan tersebut
dijelaskan bahwa kekosongan kas negeri Belanda telah dapat diisi kembali berkat
pengorbanan orang-orang Indonesia. Oleh karena itu, Belanda telah berhutang
budi kepada rakyat Indonesia. Untuk itu harus dibayar dengan peningkatan
kesejahteraan melalui gagasannya yang dikenal dengan Trilogi van Deventer.
Apakah kalian masih ingat dengan isi Trilogi van Deventer? Politik yang

5
diperjuangkan dalam rangka mengadakan kesejahteraan rakyat dikenal dengan
nama politik etis. Untuk mendukung pelaksanaan politik etis, pemerintah Belanda
mencanangkan Politik Asosiasi dengan semboyan unifikasi. Politik Asosiasi
berkaitan dengan sikap damai dan menciptakan hubungan harmonis antara Barat
(Belanda) dan Timur (rakyat pribumi). Dalam bidang pendidikan, tujuan Belanda
semula adalah untuk mendapatkan tenaga kerja atau pegawai murahan dan
mandor-mandor yang dapat membaca dengan gaji yang murah. Untuk kepentingan
tersebut Belanda mendirikan sekolah-sekolah untuk rakyat pribumi. Dengan
demikian, jelaslah bahwa pelaksanaan politik etis tidak terlepas dari kepentingan
pemerintah Belanda. Sistem pengajaran kolonial dibagi dalam dua jenis yaitu
pengajaran pendidikan umum dan pengajaran kejuruan. Keduanya diselenggarakan
untuk tingkat menengah ke atas. Berikut ini contoh-contoh sekolah yang
didirikan pada zaman kolonial Belanda. Lihat tabel 5.1.

Tabel 5.1 Pendidikan yang Berkembang Pada Masa Kolonial


d . Pengaruh Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia
Perkembangan pendidikan di Indonesia juga banyak diwarnai oleh pendidikan yang

6
dikelola umat Islam. Ada tiga macam jenis pendidikan Islam di Indonesia yaitu
pendidikan di surau atau langgar, pesantren, dan madrasah. Walaupun dasar
pendidikan dan pengajarannya berlandaskan ilmu pengetahuan agama Islam, mata
pelajaran umum lainnya juga mulai disentuh. Usaha pemerintah kolonial Belanda
untuk memecah belah dan Kristenisasi tidak mampu meruntuhkan moral dan iman
para santri. Tokoh-tokoh pergerakan nasional dan pejuang muslim pun
bermunculan dari lingkungan ini. Banyak dari mereka menjadi penggerak dan
tulang punggung perjuangan kemerdekaan. Rakyat Indonesia yang mayoritas
adalah kaum muslim ternyata merupakan salah satu unsur penting untuk
menumbuhkan semangat nasionalisme Indonesia. Para pemimpin nasional yang
bercorak Islam akan sangat mudah untuk memobilisasi kekuatan Islam dalam
membangun kekuatan bangsa.
e . Pengaruh Perkembangan Pendidikan Kebangsaan di Indonesia
Berkembangnya sistem pendidikan Barat melahirkan golongan terpelajar. Adanya
diskriminasi dalam pendidikan kolonial dan tidak adanya kesempatan bagi
penduduk pribumi untuk mengenyam pendidikan, mendorong kaum terpelajar
untuk mendirikan sekolah untuk kaum pribumi. Sekolah ini juga dikenal sebagai
sekolah kebangsaan sebab bertujuan untuk menanamkan rasa nasionalisme di
kalangan rakyat dan mencetak generasi penerus yang terpelajar dan sadar akan
nasib bangsanya. Selain itu sekolah tersebut terbuka bagi semua masyarakat
pribumi dan tidak membedakan dari kalangan mana pun. Tokoh-tokoh pribumi
yang mendirikan sekolah kebangsaan antara lain Ki Hajar Dewantara mendirikan
Taman Siswa, Douwes Dekker mendirikan Ksatrian School, dan Moh. Syafei
mendirikan perguruan Indonesische Nederlandsche School Kayu Tanam (INS
Kayu Tanam).

7
PERBEDAAN PERJUANGAN SESUDAH DAN SEBELUM 1908

Penyebab kegagalan perjuangan Indonesia sebelum tahun 1908


1. Kurang adanya persatuan
2. Faktor persenjataan
Senjata yang dimiliki para pejuang Indonesia masih sangat sederhana
3. Politik Devide et Impera
Siasat Belanda mengadu domba antar sesama bangsa Indonesia berhasil
4. Pemimpinnya adalah bangsawan yang sangat bergantung pemimpin

Perubahan Strategi Perjuangan Setelah tahun 1908


1. Perjuangan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia mulai menonjolkan persatuan
2. Perjuangan yang dilakukan tidak lagi menggunakan senjata tradisional
melainkan menggunakan organisasi modern
3. Pemimpin perjuangan ialah golongan cerdik pandai,bukan lagi golongan
bangsawan atau pemimpin daerah yang lainnya.

Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah partai politik di Indonesia. PKI adalah
partai komunis non-penguasa terbesar di dunia setelah Rusia dan Tiongkok
sebelum akhirnya dihancurkan pada tahun 1965 dan dinyatakan sebagai partai
terlarang pada tahun berikutnya.[1][2]
Sebuah organisasi awal yang penting didirikan oleh sosialis Belanda Henk
Sneevliet dan Sosialis Hindia lain yang pada dasarnya membentuk tenaga kerja di
pelabuhan pada tahun 1914, dibawah nama Indies Social Democratic Association
(dalam bahasa Belanda: Indische Sociaal Democratische Vereeniging-, ISDV).
ISDV pada dasarnya dibentuk oleh 85 anggota dari dua partai sosialis Belanda,
SDAP dan Partai Sosialis Belanda yang kemudian menjadi SDP komunis, yang
berada dalam kepemimpinan Hindia Belanda.[3] Para anggota Belanda dari ISDV
memperkenalkan ide-ide Marxis untuk mengedukasi orang-orang Indonesia
mencari cara untuk menentang kekuasaan kolonial.
Pada Oktober 1915 ISDV mulai aktif dalam penerbitan surat kabar berbahasa
Belanda, "Het Vrije Woord" (Kata yang Merdeka). Editornya adalah Adolf Baars.

8
Pada saat pembentukannya, ISDV tidak menuntut kemerdekaan untuk Indonesia.
Pada saat itu, ISDV mempunyai sekitar 100 orang anggota, dan dari semuanya itu
hanya tiga orang yang merupakan warga pribumi Indonesia. Namun, partai ini
dengan cepat berkembang menjadi radikal dan anti kapitalis. Tapi berubah ketika
Sneevliet memindahkan markas mereka dari Surabaya ke Semarang dan menarik
banyak penduduk asli dari berbagai elemen seperti agama, nasionalis dan aktivis
gerakan lainnya yang akhir-akhir ini tumbuh di Hindia Belanda sejak tahun 1900.
Di bawah pimpinan Sneevliet partai ini merasa tidak puas dengan kepemimpinan
SDAP di Belanda, dan yang menjauhkan diri dari ISDV dan menolak untuk
bekerjasama dengan pemerintah karena menolak "berpura-pura" menjadi Dewan
Masyarakat (Volksraad Volksraad (Hindia Belanda). Pada tahun 1917 kelompok
reformis dari ISDV memisahkan diri, dan membentuk partai sendiri dengan nama
Partai Demokrat Sosial Hindia. Pada tahun 1917 ISDV meluncurkan sendiri
publikasi pertama berbahasa Indonesia, Soeara Merdeka.
Di bawah kepemimpinan Sneevliet, ISDV yakin bahwa Revolusi Oktober seperti
yang terjadi di Rusia harus diikuti di Indonesia. Kelompok ini berhasil
mendapatkan pengikut di antara tentara-tentara dan pelaut Belanda yang
ditempatkan di Hindia Belanda. Dibentuklah 'Pengawal Merah' dan dalam waktu
tiga bulan jumlah mereka telah mencapai 3.000 orang. Pada akhir 1917, para
tentara dan pelaut itu memberontak di Surabaya, sebuah pangkalan angkatan
laut utama di Indonesia saat itu, dan membentuk sebuah dewan soviet. Para
penguasa kolonial menindas dewan-dewan soviet di Surabaya dan ISDV. Para
pemimpin ISDV dikirim kembali ke Belanda, termasuk Sneevliet. Para pemimpin
pemberontakan di kalangan militer Belanda dijatuhi hukuman penjara hingga 40
tahun.[butuh rujukan]
Sementara itu, ISDV membentuk blok dengan organisasi anti-kolonialis Sarekat
Islam. Banyak anggota SI seperti dari Surabaya, Semaun dan Darsono dari Solo
tertarik dengan ide-ide Sneevliet. Sebagai hasil dari strategi Sneevliet akan
"blok dalam", banyak anggota SI dibujuk untuk mendirikan revolusioneris yang
lebih dalam Marxis-didominasi Sarekat Rakjat.[4]
ISDV terus bekerja secara klandestin. Meluncurkan publikasi lain, Soeara
Rakyat. Setelah kepergian paksa beberapa kader Belanda, dalam kombinasi
dengan pekerjaan di dalam Sarekat Islam, keanggotaan telah berpindah dari
mayoritas Belanda ke mayoritas Indonesia. Pada tahun 1919 hanya memiliki 25
anggota Belanda, dari total anggota yang kurang dari 400.[butuh rujukan]
Pembentukan dan pertumbuhan
Pada Kongres ISDV di Semarang (Mei 1920), nama organisasi ini diubah menjadi
Perserikatan Komunis di Hindia (PKH). Semaun adalah ketua partai dan Darsono
menjabat sebagai wakil ketua. Sekretaris, bendahara, dan tiga dari lima anggota
komite adalah orang Belanda.[4] PKH adalah partai komunis Asia pertama yang

9
menjadi bagian dari Komunis Internasional. Henk Sneevliet mewakili partai pada
kongres kedua Komunis Internasional 1921.
Pada periode menjelang kongres keenam Sarekat Islam pada tahun 1921, anggota
menyadari strategi Sneevliet dan mengambil langkah untuk menghentikannya.
Agus Salim, sekretaris organisasi, memperkenalkan sebuah gerakan untuk
melarang anggota SI memegang keanggotaan dan gelar ganda dari pihak lain di
kancah perjuangan pergerakan indonesia. Keputusan tersebut tentu saja
membuat para anggot komunis kecewa dan keluar dari partai, seperti oposisi dari
Tan Malaka dan Semaun yang juga keluar dari gerakan karena kecewa untuk
kemudian mengubah taktik dalam perjuangan pergerakan indonesia. Pada saat
yang sama, pemerintah kolonial Belanda menyerukan tentang pembatasan
kegiatan politik, dan Sarekat Islam memutuskan untuk lebih fokus pada urusan
agama, meninggalkan komunis sebagai satu-satunya organisasi nasionalis yang
aktif.[5]
Bersama Semaun yang berada jauh di Moskow untuk menghadiri Far Eastern
Labor Conference pada awal 1922, Tan Malaka mencoba untuk mengubah
pemogokan terhadap pekerja pegadaian pemerintah menjadi pemogokan nasional
untuk mencakup semua serikat buruh Indonesia. Hal ini ternyata gagal, Tan
Malaka ditangkap dan diberi pilihan antara pengasingan internal atau eksternal.
Dia memilih yang terakhir dan berangkat ke Rusia.[5]
Pada Mei 1922, Semaun kembali setelah tujuh bulan di Rusia dan mulai mengatur
semua serikat buruh dalam satu organisasi. Pada tanggal 22 September, Serikat
Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (Persatuan Vakbonded Hindia) dibentuk.[6]
Pada kongres Komintern kelima pada tahun 1924, ia menekankan bahwa "prioritas
utama dari partai-partai komunis adalah untuk mendapatkan kontrol dari
persatuan buruh" karena tidak mungkin ada revolusi yang sukses tanpa persatuan
kelas buruh ini
Pada 1924 nama partai ini sekali lagi diubah, kali ini adalah menjadi Partai
Komunis Indonesia (PKI).[7]
Pemberontakan 1926

Pertemuan PKI di Batavia (sekarang Jakarta), 1925


Pada Mei 1925, Komite Exec dari Komintern dalam rapat pleno memerintahkan
komunis di Indonesia untuk membentuk sebuah front anti-imperialis bersatu

10
dengan organisasi nasionalis non-komunis, tetapi unsur-unsur ekstremis
didominasi oleh Alimin & Musso menyerukan revolusi untuk menggulingkan
pemerintahan kolonial Belanda.[8] Dalam sebuah konferensi di Prambanan, Jawa
Tengah, serikat buruh perdagangan yang dikontrol komunis memutuskan revolusi
akan dimulai dengan pemogokan oleh para pekerja buruh kereta api yang akan
menjadi sinyal pemogokan yang lebih umum dan luas untuk kemudian revolusi akan
bisa dimulai. Hal ini akan mengarah pada PKI yang akan menggantikan pemerintah
kolonial.[8]
Pada November 1926 PKI memimpin pemberontakan melawan pemerintahan
kolonial di Jawa Barat dan Sumatera Barat. PKI mengumumkan terbentuknya
sebuah republik. Bersama Alimin, Musso yang merupakan salah satu pemimpin PKI
di era tersebut sedang tidak berada di Indonesia. Ia sedang melakukan
pembicaraan dengan Tan Malaka yang tidak setuju dengan langkah
pemberontakan tersebut. Pemberontakan ini akhirnya dihancurkan dengan brutal
oleh penguasa kolonial. Ribuan orang dibunuh dan sekitar 13.000 orang ditahan,
4.500 dipenjara, sejumlah 1.308 yang umumnya kader-kader partai diasingkan,
dan 823 dikirim ke Boven Digul, sebuah kamp tahanan di Papua [9]. Beberapa
orang meninggal di dalam tahanan. Banyak aktivis politik non-komunis yang juga
menjadi sasaran pemerintahan kolonial, dengan alasan menindas pemberontakan
kaum komunis. Pada 1927 PKI dinyatakan terlarang oleh pemerintahan Belanda.
Karena itu, PKI kemudian bergerak di bawah tanah.
Rencana pemberontakan itu sendiri sudah dirancang sejak lama. Yakni di dalam
perundingan rahasia aktivis PKI di Prambanan. Rencana itu ditolak tegas oleh Tan
Malaka, salah satu tokoh utama PKI yang mempunyai banyak massa terutama di
Sumatra. Tan Malaka memprediksi bahwa pemberontakan akan gagal, karena
menurutnya basis kaum proletar Indonesia adalah rakyat petani bukan buruh
seperti di Uni Soviet. Penolakan tersebut membuat Tan Malaka di cap sebagai
pengikut Leon Trotsky yang juga sebagai tokoh sentral perjuangan Revolusi
Rusia. Walau begitu, beberapa aksi PKI justru terjadi setelah pemberontakan di
Jawa terjadi. Semisal Pemberontakan Silungkang di Sumatra.
Pada masa awal pelarangan ini, PKI berusaha untuk tidak menonjolkan diri,
terutama karena banyak dari pemimpinnya yang dipenjarakan. Pada 1935
pemimpin PKI Musso kembali dari pengasingan di Moskwa, Uni Soviet, untuk
menata kembali PKI dalam gerakannya di bawah tanah. Namun Musso hanya
tinggal sebentar di Indonesia. Kemudian PKI bergerak di berbagai front, seperti
misalnya Gerindo dan serikat-serikat buruh. Di Belanda, PKI mulai bergerak di
antara mahasiswa-mahasiswa Indonesia di kalangan organisasi nasionalis,
Perhimpoenan Indonesia , yang tak lama kemudian berpihak pada PKI [10].
Kebangkitan pasca-perang
PKI muncul kembali di panggung politik setelah Jepang menyerah pada tahun
1945, dan secara aktif mengambil bagian dalam perjuangan kemerdekaan dari

11
Belanda. Banyak unit bersenjata berada di bawah kontrol atau pengaruh PKI.
Meskipun milisi PKI memainkan peran penting dalam memerangi Belanda, Presiden
Soekarno khawatir bahwa semakin kuatnya pengaruh PKI akhirnya akan
mengancam posisinya. Selain itu, pertumbuhan PKI bermasalah sektor sayap
kanan lebih dari pemerintahan Indonesia serta beberapa kekuatan asing,
khususnya semangat penuh anti-komunis dari Amerika Serikat. Dengan demikian
hubungan antara PKI dan kekuatan lain yang juga berjuang untuk kemerdekaan
pada umumnya berjalan sengit.
Pada Februari 1948 PKI dan Partai Sosialis membentuk front bersama, yaitu
Front Demokrasi Rakyat. Front ini tidak bertahan lama, namun Partai Sosialis
kemudian bergabung dengan PKI. Pada saat itu milisi Pesindo berada di bawah
kendali PKI.
Pada tanggal 11 Agustus 1948 Musso kembali ke Jakarta setelah dua belas tahun
di Uni Soviet. Politibiro PKI direkonstruksi, termasuk D.N. Aidit, M.H. Lukman
dan Njoto. Pada 5 September 1948 dia memberikan pidato anjuran agar
Indonesia merapat kepada Uni Soviet. Dan anjuran itu berujung pada peristiwa
pemberontakan PKI di Madiun, Jawa Timur.
Peristiwa Madiun 1948
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Peristiwa Madiun
Setelah penandatanganan Perjanjian Renville pada tahun 1948, hasil kesepakatan
perundingan Renville dianggap menguntungkan posisi Belanda. Sebaliknya,
Indonesia menjadi pihak yang dirugikan dengan semakin sempit wilayah yang
dimiliki. Banyak unit bersenjata dari Partai Republik kembali dari zona konflik.
Hal ini memberikan beberapa keyakinan sayap kanan Indonesia bahwa mereka
akan mampu menandingi PKI secara militer. Unit gerilya dan milisi di bawah
pengaruh PKI diperintahkan untuk membubarkan diri. Di Madiun kelompok militer
PKI menolak untuk pergi bersama dengan perlucutan senjata para anggota yang
dibunuh pada bulan September tahun yang sama. Pembunuhan itu memicu
pemberontakan kekerasan. Hal Ini memberikan alasan untuk menekan PKI. Hal ini
diklaim oleh sumber-sumber militer bahwa PKI telah mengumumkan proklamasi
'Republik Soviet Indonesia' pada tanggal 18 September dengan menyebut Musso
sebagai presiden dan Amir Syarifuddin sebagai perdana menteri. Pada saat yang
sama PKI mengecam pemberontakan dan meminta tenang. Pada 30 September
Madiun diambil alih oleh TNI dari Divisi Siliwangi. Ribuan kader partai terbunuh
dan 36 000 dipenjara. Di antara beberapa pemimpin yang dieksekusi termasuk
Musso yang dibunuh pada 31 Oktober saat tertangkap di Desa Niten Kecamatan
Sumorejo, Ponorogo. Diduga ketika Musso mencoba melarikan diri dari penjara.
Aidit dan Lukman pergi ke pengasingan di Republik Rakyat Tiongkok. Namun, PKI
tidak dilarang dan terus berfungsi. Rekonstruksi partai dimulai pada tahun 1949.

12
Bangkit kembali

DN Aidit berbicara pada pertemuan pemilu 1955


Pada 1950, PKI memulai kembali kegiatan penerbitannya, dengan organ-organ
utamanya yaitu Harian Rakjat dan Bintang Merah. Pada 1950-an, PKI mengambil
posisi sebagai partai nasionalis di bawah pimpinan D.N. Aidit, dan mendukung
kebijakan-kebijakan anti kolonialis dan anti Barat yang diambil oleh Presiden
Soekarno. Aidit dan kelompok di sekitarnya, termasuk pemimpin-pemimpin muda
seperti Sudisman, Lukman, Njoto dan Sakirman, menguasai pimpinan partai pada
1951. Pada saat itu, tak satupun di antara mereka yang berusia lebih dari 30
tahun. Di bawah Aidit, PKI berkembang dengan sangat cepat, dari sekitar 3.000-
5.000 anggota pada 1950, menjadi 165.000 pada 1954 dan bahkan 1,5 juta pada
1959 [11]
Oposisi lanjutan oleh Belanda terhadap Irian Jaya adalah masalah yang sering
diangkat oleh PKI selama tahun 1950.
Pada Agustus 1951, PKI memimpin serangkaian pemogokan-pemogokan, yang
diikuti oleh tindakan-tindakan tegas oleh kubu yang menentang PKI di Medan dan
Jakarta. Akibatnya, para pemimpin PKI kembali bergerak di bawah tanah untuk
sementara waktu.
Pada Februari 1958 sebuah upaya kudeta yang dilakukan oleh kekuatan pro-AS
antara militer dan politik sayap kanan. Para pemberontak, yang berbasis di
Sumatera dan Sulawesi, memproklamasikan Pemerintah Revolusioner Republik
Indonesia pada tanggal 15 Februari. Pemerintah Revolusioner yang terbentuk ini
segera mulai menangkapi ribuan anggota PKI di daerah di bawah kendali mereka.
PKI mendukung upaya Soekarno untuk memadamkan pemberontakan, termasuk
pemberlakuan hukum darurat militer. Pemberontakan itu akhirnya dikalahkan.

13
Pada bulan Agustus 1959 terjadi upaya atas nama militer untuk mencegah
penyelenggaraan kongres PKI. Namun kongres digelar sesuai jadwal, dan
ditangani oleh Sukarno sendiri. Pada tahun 1960 Sukarno meluncurkan slogan
Nasakom, singkatan dari Nasionalisme, Agama, Komunisme. Dengan demikian
peran PKI sebagai mitra junior dalam pemerintahan Sukarno resmi dilembagakan.
PKI menyambut baik peluncuran konsep Nasakom, melihatnya dari segi front
persatuan multikelas.
Pemilu 1955

Perayaan Milad PKI yang ke 45 di Jakarta pada awal tahun 1965

Pemimpin DN Aidit bersama Sukarno di acara perayaan ulang tahun Partai


Komunis Indonesia
Sebelum pemilihan 1955, PKI disukai Sukarno untuk rencana 'demokrasi
terpimpin' dan merupakan pendukung aktif Sukarno.[12] Pada Pemilu 1955, PKI
menempati tempat ke empat dengan 16% dari keseluruhan suara. Partai ini
memperoleh 39 kursi (dari 257 kursi yang diperebutkan) dan 80 dari 514 kursi di
Konstituante.
Pada Juli 1957, kantor PKI di Jakarta diserang dengan granat. Pada bulan yang
sama PKI memperoleh banyak kemajuan dalam pemilihan-pemilihan di beberapa
kota. Pada September 1957, Masjumi yang merasa tersaingi oleh PKI secara
terbuka menuntut supaya PKI dilarang [13].
Pada 3 Desember 1957, serikat-serikat buruh yang pada umumnya berada di
bawah pengaruh PKI, mulai menguasai perusahaan-perusahaan milik Belanda.
Penguasaan ini merintis nasionalisasi atas perusahaan-perusahaan yang dimiliki
oleh asing. Perjuangan melawan para kapitalis asing memberikan PKI kesempatan
untuk menampilkan diri sebagai sebuah partai nasional.

14
Pada Februari 1958 terjadi sebuah upaya koreksi terhadap kebijakan Sukarno
yang mulai condong ke timur di kalangan militer dan politik sayap kanan. Mereka
juga menuntut agar pemerintah pusat konsisten dalam melaksanakan UUDS 1950,
selain itu pembagian hasil bumi yang tidak merata antara pusat dan daerah
menjadi pemicu. Gerakan yang berbasis di Sumatera dan Sulawesi, mengumumkan
pada 15 Februari 1958 telah terbentuk Pemerintah Revolusioner Republik
Indonesia (PRRI). Pemerintahan yang disebut revolusioner ini segera menangkapi
ribuan kader PKI di wilayah-wilayah yang berada di bawah kontrol mereka. PKI
mendukung upaya-upaya Soekarno untuk memadamkan gerakan ini, termasuk
pemberlakuan Undang-Undang Darurat. Gerakan ini pada akhirnya berhasil
dipadamkan.
Pada 1959, militer berusaha menghalangi diselenggarakannya kongres PKI.
Namun, kongres ini berlangsung sesuai dengan jadwal dan Presiden Soekarno
sendiri memberi angin pada komunis dalam sambutannya. Pada 1960, Soekarno
melancarkan slogan Nasakom yang merupakan singkatan dari Nasionalisme,
Agama, dan Komunisme. Dengan demikian peranan PKI sebagai mitra dalam politik
Soekarno dilembagakan. PKI membalasnya dengan menanggapi konsep Nasakom
secara positif, dan melihatnya sebagai sebuah front bersatu yang multi-kelas
dan multi-golongan.
1960

Dipa Nusantara Aidit (kiri) dan Revang dalam kongres kelima Partai Persatuan
Sosialis Jerman, Berlin Timur, 11 Juli 1958
Meskipun PKI mendukung Sukarno, ia tidak kehilangan otonomi politiknya. Pada
bulan Maret 1960, PKI mengecam penanganan demokratis anggaran oleh Sukarno.
Pada tanggal 8 Juli, Harian Rakyat menerbitkan sebuah artikel yang mengkritik
kebijakan pemerintah. Pemimpin PKI sempat ditangkap oleh militer, namun
kemudian dibebaskan atas perintah dari Sukarno.
Ketika gagasan tentang Malaysia berkembang, PKI maupun Partai Komunis Malaya
menolaknya, dan baik PKI maupun Partai Komunis Malaya menganggap
pembentukan Malaysia sebagai proyek neo-kolonialisme dan neo-imperialisme
Inggris dan sekutunya.
Dengan berkembangnya dukungan dan keanggotaan yang mencapai 3 juta orang
pada 1965, PKI menjadi partai komunis terkuat di luar Uni Soviet dan RRT.

15
Partai itu mempunyai basis yang kuat dalam sejumlah organisasi massa, seperti
SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), Pemuda Rakjat, Gerwani,
Barisan Tani Indonesia (BTI), Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra) dan Himpunan
Sardjana Indonesia (HSI). Menurut perkiraan seluruh anggota partai dan
organisasi-organisasi yang berada di bawah payungnya mungkin mencapai
seperlima dari seluruh rakyat Indonesia.
Pada Maret 1962, PKI bergabung dengan pemerintah. Para pemimpin PKI, Aidit
dan Njoto, diangkat menjadi menteri penasihat. Pada bulan April 1962, PKI
menyelenggarakan kongres partainya. Pada 1963, pemerintah Malaysia, Indonesia
dan Filipina terlibat dalam pembahasan tentang pertikaian wilayah dan
kemungkinan tentang pembentukan sebuah Konfederasi Maphilindo, sebuah
gagasan yang dikemukakan oleh presiden Filipina, Diosdado Macapagal. PKI
menolak gagasan pembentukan Maphilindo dan federasi Malaysia. Para anggota
PKI yang militan menyeberang masuk ke Malaysia dan terlibat dalam
pertempuran-pertempuran dengan pasukan-pasukan Inggris dan Australia.
Sebagian kelompok berhasil mencapai Semenanjung Malaysia lalu bergabung
dalam perjuangan di sana. Namun kebanyakan dari mereka ditangkap begitu tiba.
Sebagian satuan tempur PKI aktif di wilayah perbatasan Kalimantan.
Salah satu hal yang dilakukan PKI setelah masuk kedalam pemerintahan Orde
Lama adalah dengan diusulkannya Angkatan ke-5 yang terdiri dari buruh dan
petani, Pimpinan PKI bermaksud dengan dibentuknya angkatan kelima ini
diharapkan dapat mendukung mobilisasi massa untuk menuntaskan Operasi
Dwikora dalam menghadapi Malaysia. Namun, hal ini membuat TNI AD merasa
khawatir takut adanya penyelewengan senjata yang dilakukan PKI.
Pada Januari 1964 PKI mulai menyita properti Inggris yang dimiliki oleh
perusahaan-perusahaan Inggris di Indonesia.
Pada pertengahan 1960-an Departemen Luar Negeri Amerika Serikat
memperkirakan keanggotaan partai meningkat menjadi sekitar 2 juta (3,8% dari
populasi usia kerja negara).[14]
Pembunuhan massal dan akhir dari PKI
Lihat pula: Pembantaian di Indonesia 1965–1966 dan Sejarah Indonesia (1965-
1966)
Sukarno bertindak menyeimbangkan antara PKI, militer, faksi nasionalis, dan
kelompok-kelompok Islam terancam oleh kepopuleran PKI. Pengaruh
pertumbuhan PKI menimbulkan keprihatinan bagi pihak Amerika Serikat dan
kekuatan barat anti-komunis lainnya. Situasi politik dan ekonomi menjadi lebih
tidak stabil; Inflasi tahunan mencapai lebih dari 600 persen dan kehidupan
Indonesia memburuk.
PKI dirasakan oleh kalangan politik, beberapa bulan menjelang Peristiwa G30S,
makin kuat. Sehingga para pesaing PKI mulai khawatir PKI akan memenangkan
pemilu berikutnya. Gerakan-gerakan untuk menentang PKI mulai bermunculan,

16
dan dipelopori oleh Angkatan Darat. Pada Desember 1964, Chaerul Saleh dari
Partai Murba (dibentuk oleh mantan pemimpin PKI Tan Malaka) menyatakan
bahwa PKI sedang mempersiapkan kudeta. PKI menuntut larangan Partai Murba,
tuntutan itu dipaksakan kepada Soekarno pada awal 1965. Dalam konteks
Konfrontasi dengan Malaysia, PKI menyerukan untuk 'mempersenjatai rakyat'.
Sebagian besar pihak dari tentara Angkatan Darat melarang hal ini. Sikap
Soekarno tetap secara resmi untuk tidak terlalu mengambil sikap atas hal
tersebut karena Sukarno cenderung mendukung Konfrontasi dengan Malaysia
seperti PKI. Pada bulan Juli sekitar 2000 anggota PKI mulai menggelar pelatihan
militer di dekat pangkalan udara Halim. Terutama dalam konsep 'mempersenjatai
rakyat' yang telah memenangkan banyak dukungan di antara kalangan militer
Angkatan Udara dan Angkatan Laut. Pada tanggal 8 September demonstran PKI
memulai untuk pengepungan selama dua hari di Konsulat AS di Surabaya. Pada
tanggal 14 September, Aidit mengalamatkan kepada gerilyawan PKI untuk
mendesak anggota agar waspada dari hal-hal yang akan datang. Pada 30
September Pemuda Rakyat dan Gerwani, kedua organisasi PKI terkait menggelar
unjuk rasa massal di Jakarta terhadap krisis inflasi yang melanda.

Soeharto menghadiri pemakaman jenderal-jenderal yang dibunuh pada tanggal 5


Oktober 1965. (Gambar oleh Departemen Penerangan Indonesia)
Pada malam 30 September dan 1 Oktober 1965, enam jenderal senior Indonesia
dibunuh dan mayat mereka dibuang ke dalam sumur. Pembunuh para jenderal
mengumumkan keesokan harinya bahwa Dewan Revolusi baru telah merebut
kekuasaan, yang menyebut diri mereka "Gerakan 30 September ("G30S").
Dengan banyaknya jendral tentara senior yang mati atau hilang, Jenderal
Suharto mengambil alih kepemimpinan tentara dan menyatakan kudeta yang gagal
pada 2 Oktober. Tentara dengan cepat menyalahkan upaya kudeta PKI dan
menghasut dengan kampanye propaganda anti-Komunis di seluruh Indonesia.
Bukti yang mengaitkan PKI untuk pembunuhan para jenderal tidak meyakinkan,
yang mengarah ke spekulasi bahwa keterlibatan mereka sangat terbatas, atau
bahwa Suharto mengorganisir peristiwa, secara keseluruhan atau sebagian, dan
mengkambinghitamkan kepada komunis.[butuh rujukan] Dalam pembersihan anti-
komunis melalui kekerasan berikutnya, diperkirakan 500.000 komunis (atau
dicurigai) dibunuh, dan PKI secara efektif dihilangkan (lihat Pembantaian di
Indonesia 1965–1966). Jenderal Suharto kemudian mengalahkan Sukarno secara

17
politik dan diangkat menjadi presiden pada tahun 1968, karena
mengkonsolidasikan pengaruhnya atas militer dan pemerintah.
Pada tanggal 2 Oktober basis di Halim berhasil ditangkap oleh pihak tentara.
Harian Rakyat mengambil isu pada sebuah artikel yang berisi untuk mendukung
kudeta G30S, tetapi spekulasi kemudian bangkit mengenai apakah itu benar-
benar mewakili pendapat dari PKI.[siapa?] Sebaliknya pernyataan resmi PKI pada
saat itu adalah bahwa upaya G30S merupakan urusan internal di dalam angkatan
bersenjata mereka. Pada tanggal 6 Oktober kabinet Sukarno mengadakan
pertemuan pertama sejak 30 September. Menteri PKI hadir. Sebuah resolusi
mengecam G30S disahkan. Njoto ditangkap langsung setelah pertemuan itu.
Presiden Soekarno berkali-kali melakukan pembelaan bahwa PKI tidak terlibat
dalam peristiwa sebagai partai melainkan karena adanya sejumlah tokoh partai
yang bertindak di luar kontrol dan terpancing oleh inisiasi Barat, dan karena itu
Soekarno tidak akan membubarkan PKI. Kemudian, pimpinan dan sejumlah
perwira Angkatan Darat memberi versi keterlibatan PKI sepenuhnya, dalam
penculikan dan pembunuhan enam jenderal dan seorang perwira pertama
Angkatan Darat pada tengah malam 30 September menuju dinihari 1 Oktober
1965. Versi ini segera diterima secara umum sesuai fakta kasat mata yang
terhidang dan ditopang pengalaman buruk bersama PKI dalam kehidupan sosial
dan politik pada tahun-tahun terakhir. Hanya saja harus diakui bahwa sejumlah
perwira penerangan telah menambahkan dramatisasi terhadap kekejaman,
melebihi peristiwa sesungguhnya (in factum). Penculikan dan kemudian
pembunuhan para jenderal menurut fakta memang sudah kejam, tetapi
dramatisasi dengan pemaparan yang hiperbolis dalam penyajian, telah
memberikan efek mengerikan melampaui batas yang mampu dibayangkan semula.
Dan akhirnya, mengundang pembalasan yang juga tiada taranya dalam penumpasan
berdarah antar manusia di Indonesia.
Manifestasi besar diadakan di Jakarta dua hari kemudian, menuntut pelarangan
PKI. Kantor utama milik PKI dibakar. Pada tanggal 13 Oktober organisasi Islam
Ansor mengadakan aksi unjuk rasa anti-PKI di seluruh Jawa. Pada tanggal 18
Oktober sekitar seratus PKI dibunuh oleh pihak Ansor. Pemusnahan secara
sistematis untuk partai telah dimulai.
Antara 300.000 sampai satu juta orang Indonesia dibunuh dalam pembunuhan
massal yang digelar.[15] [4] Para korban termasuk juga non-komunis yang dibunuh
karena kesalahan identitas atau "kesalahan oleh asosiasi". Namun, kurangnya
informasi menjadi tidak mungkin untuk menentukan angka pasti dari jumlah
korban yang dibunuh. Banyak para peneliti hari ini menjelaskan korban yang
dibunuh antara 200.000 sampai 500.000 orang.[16] Sebuah studi dari CIA
tentang peristiwa di Indonesia ini menilai bahwa "Dalam hal jumlah korban
pembantaian oleh anti-PKI, Indonesia masuk dalam salah satu peringkat
pembunuhan massal terburuk pada abad ke-20 ...".[17]

18
Time menyajikan berita berikut pada tanggal 17 Desember 1966:
Komunis, simpatisan merah dan keluarga mereka dibantai yang mencapai ribuan.
Unit tentara dilaporkan telah mengeksekusi ribuan komunis setelah diinterogasi
di penjara-penjara terpencil. Berbekal pisau berbilah lebar yang disebut parang,
kelompok Muslim merayap di malam hari ke rumah-rumah komunis, membunuh
seluruh keluarga dan mengubur mayat mereka di kuburan dangkal.
Kampanye pembunuhan ini sangatlah kejam di beberapa daerah pedesaan di Jawa
Timur, para milisi Islam menancapkan kepala korban pada tiang dan mereka
mengarak melalui desa-desa. Pembunuhan telah ada pada skala tinggi sehingga
pembuangan mayat menciptakan masalah sanitasi yang serius di Jawa Timur dan
Sumatera Utara di mana udara lembab penuh bau busuk daging. Pengunjung dari
daerah tersebut mengatakan sungai kecil dan besar yang telah benar-benar
tersumbat dengan mayat tubuh.
Meskipun motif pembunuhan tampaknya bernuansa politik, beberapa ahli
berpendapat bahwa kejadian tersebut disebabkan oleh keadaan panik dan
ketidakpastian politik. Bagian dari kekuatan anti-komunis yang bertanggung
jawab atas pembantaian terdiri dari para pelaku tindak kriminal seperti para
preman, yang telah diberi izin untuk terlibat dalam tindakan yang tidak masuk
akal berupa kekerasan.[18] Motif lain yang terjadi juga telah dieksplorasi.
Di tingkat internasional, Kantor Berita RRT (Republik Rakyat Tiongkok), Xinhua,
memberikan versi bahwa Peristiwa 30 September 1965 adalah masalah internal
Angkatan Darat Indonesia yang kemudian diprovokasikan oleh dinas intelijen
Barat sebagai upaya percobaan kudeta oleh PKI.[April 2010]
Di antara daerah-daerah yang terkena dampak terburuk adalah pulau Bali, di
mana PKI telah berkembang pesat sebelum tindakan kerasasan tersebut. Pada
tanggal 11 November bentrokan meletus antara PKI dan PNI, yang berakhir
dengan pembantaian terhadap anggota dan simpatisan yang dituduh PKI. Jika
banyak dari pogrom anti-PKI di seluruh daerah lain itu dilakukan oleh organisasi-
organisasi politik Islam, pembunuhan di Bali dilakukan atas nama Hindu. Bali
berdiri sebagai satu-satunya tempat di Indonesia dimana tentara lokal dalam
beberapa cara intervensi cenderung mengurangi praktik pembantaian tersebut.
Pada tanggal 22 November, Aidit ditangkap dan dibunuh.
Pada bulan Desember militer menyatakan bahwa Aceh telah dibersihkan dari
komunis. Bersamaan, khusus Pengadilan Militer yang dibentuk untuk mengadili
dan memenjarakan para anggota PKI. Pada 12 Maret, partai PKI secara resmi
dilarang oleh Suharto, dan serikat buruh pro-PKI SOBSI dilarang pada bulan
April.
Penjara-penjara di Jakarta begitu penuh, hampir seluruh penjara digunakan
untuk menahan anggota PKI. Banyak tahanan politik ditahan tanpa dasar yang
jelas. Sejak saat itu, identitas banga Indonesia berubah total sesudah 1965.
Semangat anti-kolonialisme hilang dan anti-komunisme menjadi dasar identitas

19
bangsa. Kebencian terhadap sesama orang Indonesia menjadi basis untuk
menentukan siapa warganegara yang jahat dan baik.[19]
Beberapa peristiwa yang menggemparkan itu dituangkan dalam novel fiksi populer
dan difilmkan dengan judul yang sama yaitu The Year of Living Dangerously
(1982).
Perkembangan pasca-1965
Meskipun mendapat perlawanan secara sporadis, PKI berdiri dengan lumpuh
setelah pembunuhan 1965-1966. Sebagai hasil dari pembunuhan massal ini,
kepemimpinan partai lumpuh di semua tingkat, meninggalkan banyak mantan
pendukung dan kekecewaan simpatisan, tanpa pemimpin lagi, dan tidak
terorganisir. Pada bulan September 1966, sisa-sisa partai politbiro mengeluarkan
pernyataan kritik diri, mengkritik kerjasama sebelumnya dengan rezim Sukarno.
Setelah pembunuhan Aidit dan Njoto, Sudisman, pemimpin PKI di tingkat
keempat sebelum Oktober 1963, mengambil alih kepemimpinan partai. Dia
berusaha untuk membangun kembali partai atas dasar saling keterkaitan tiga
kelompok anggota, namun hanya berdampak sedikit kemajuan sebelum akhirnya ia
ditangkap pada Desember 1966 [20]. Pada tahun 1967 ia dijatuhi hukuman mati.
Beberapa kader PKI telah mengungsi di sebuah wilayah terpencil di selatan
Blitar, Jawa Timur menyusul tindakan kekerasan terhadap partai. Di antara para
pemimpin yang hadir di Blitar adalah anggota Politbiro Rewang, teoretikus partai
Oloan Hutapea, dan pemimpin Jawa Timur Ruslan Widjajasastra. Blitar
merupakan daerah tertinggal dengan PKI yang memiliki dukungan kuat di
kalangan kaum tani. Pihak militer tidak menyadari bahwa PKI telah mampu
mengkonsolidasikan dirinya di sana. Para pemimpin PKI ini bergabung dengan
Letkol Pratomo, mantan komandan Distrik Militer Pandeglang di Jawa Barat, yang
membantu memberikan pelatihan militer untuk Komunis lokal di Blitar. Namun
pada Maret 1968 kekerasan meletus di Blitar, petani lokal menyerang para
pemimpin dan kader Nahdatul Ulama, sebagai balasan atas Nahdatul Ulama yang
telah memainkan peran dalam penganiayaan antikomunis. Sekitar 60 kader NU
tewas. Namun ilmuwan politik Australia Harold Crouch berpendapat bahwa itu
tidak mungkin bahwa pembunuhan kader NU di Blitar telah dilakukan atas
perintah dari para pemimpin PKI di Blitar. Militer menyadari daerah kantong PKI
di Blitar tersebut dan menghancurkannya pada pertengahan tahun 1968.[21]
Beberapa kader partai yang sementara di luar Indonesia pada saat peristiwa 30
September. Terutama delegasi yang cukup besar melakukan perjalanan ke
Republik Rakyat Tiongkok untuk berpartisipasi dalam perayaan ulang tahun
Revolusi Cina. Sedangkan yang lainnya telah meninggalkan Indonesia untuk
melanjutkan studi di Eropa Timur. Dalam pengasingan, aparatur partai terus
berfungsi. Bagaimanapun, sebagian besar dari mereka terisolasi dari
perkembangan politik di dalam Indonesia. Di Jawa, beberapa desa yang dikenal
sebagai tempat perlindungan bagi anggota atau simpatisan yang telah

20
diidentifikasi oleh pihak berwenang, dan dilindungi di bawah pengawasan secara
hati-hati untuk waktu yang cukup.
Sampai tahun 2004, mantan anggota PKI masih dilarang dan masuk daftar hitam
dari banyak pekerjaan termasuk apabila ingin bekerja di pemerintahan,
sebagaimana kebijakan rezim Soeharto yang telah dijalankan sejak pembersihan
PKI tahun 1965. Selama masa presiden Abdurrahman Wahid, ia mengundang
mantan buangan PKI untuk kembali ke Indonesia pada tahun 1999, dan
mengusulkan menghilangkan pembatasan diskusi terbuka atas ideologi komunis.
Dalam berdebat untuk penghapusan larangan itu, Wahid mengutip dari UUD 1945
Indonesia, yang tidak melarang atau bahkan secara khusus menyebutkan
komunisme. Usulan Wahid itu ditentang oleh beberapa kelompok masyarakat
Indonesia, khususnya kelompok Islam konservatif. Dalam sebuah protes pada
April 2000, sebuah kelompok yang disebut Front Islam Indonesia berjumlah
sepuluh ribu orang datang ke Jakarta terkait usulan Wahid. Tentara tidak
segera menolak proposal tersebut, namun menjanjikan "studi komprehensif dan
teliti" terhadap ide tersebut.[22]
Wacana permintaan maaf
Presiden Joko Widodo berencana akan meminta maaf kepada keluarga korban
PKI yang telah menjadi korban pelanggaran Hak Asasi Manusia di masa
pembangunan Orde Baru,[23] namun kabar itu dibantah langsung oleh
presiden.[24][25] Menurut Menkopolhukam Luhut Panjaitan upaya-upaya untuk
rekonsiliasi pelanggaran HAM masa lampau diakui sedang dilakukan dan terus
mencari format yang tepat.[26] Sedangkan Jaksa Agung Muhammad Prasetyo yang
tengah mengupayakan langkah non yudisial atau rekonsiliasi yang berujung pada
ungkapan penyesalan negara terhadap peristiwa itu dengan tetap menolak
permintaan maaf oleh Presiden.[27]
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengharapkan presiden dapat mengambil
inisiatif untuk meminta maaf atau menyatakan penyesalan kepada korban
pelanggaran HAM pasca 1965 mengingat dampaknya begitu besar berkelanjutan
ke anak, saudara dan keturunan terkait. Dengan tidak berdirinya proses
peradilan pada peristiwa 1965, tidak semua korban baik yang sudah dibunuh,
dibuang ke pulau pengasingan maupun dipenjara terlibat langsung dengan PKI.[28]
Kontra
Beberapa ormas dan elemen agama menolak wacana permintaan maaf tersebut
dan menggelar aksi unjuk rasa.[29][30] Menhan Ryamizard Ryacudu menolak
permintaan maaf terhadap PKI dengan alasan PKI yang melakukan pembunuhan
terhadap 7 jenderal.[31] Permintaan maaf terhadap PKI juga ditolak oleh KSAD
Jenderal Gatot Nurmantyo.[32]
Penolakan permintaan maaf terhadap PKI juga datang dari budayawan Taufiq
Ismail karena menurutnya PKI telah 3 kali memberontak yaitu tahun 1927, 1948
dan 1965.[33]

21

Anda mungkin juga menyukai