Proses Kelahiran Dan Perkembangan Nasion
Proses Kelahiran Dan Perkembangan Nasion
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta hidayah-Nya terutama
nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah mata pelajaran
sejarah “ PROSES KELAHIRAN DAN PERKEMBANGAN NASIONALISME INDONESIA
”. Kemudian shalawat beserta salam kita sampaikan kepada Nabi besar kita Muhammad SAW yang
telah memberikan pedoman hidup yakni al-qur’an dan sunnah untuk keselamatan umat di dunia.
Makalah ini merupakan salah satu tugas mata pelajaran SEJARAH di program studi SMA
N 2 PADANGSIDIMPUAN .
Akhirnya kami menyadari bahwa banyak terdapat kekurangan-kekurangan dalam penulisan
makalah ini, maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari para pembaca
demi kesempurnaan makalah ini.
Kelompok 4
Page 2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Pendahuluan
Daftar Isi
Page 3
I. Nahdatul Ulama ( NU )
J. Tri Koro Darmo
K. Taman Siswa
L. Parindra
M. Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan
Kebangsaan Indonesia ( PPPKI )
N. Kongres Pemuda
O. Gabungan Politik Indonesia ( GAPI )
Daftar Pustaka
Page 4
BAB I
PERKEMBANGAN NASIONALISME INDONESIA
Sejak bangsa Eropa datang ke wilayah Indonesia, bangsa Indonesia telah menyadari
akibat-akibat yang muncul dari kedatangannya itu. Semenjak kedatangan bangsa-bangsa
Eropa tersebut, perlawanan tidak pernah henti-hentinya dilakukan oleh bangsa Indonesia.
Namun periawanan-perlawanan itu selalu mengalami kegagalan. Hal ini disebabkan setiap
perlawanan yang dilakukan terbatas hanya pada daerahnya, atau hanya ingin membebaskan
daerah-daerah dan penduduknya dari kekuasaan asing. Dengan keadaan seperti ini, bangsa
asing dapat lebih mudah untuk menguasainya.
Kegagalan-kegagalan yang dialami bangsa Indonesia dalam perjuangan merebut
kemerdekaan telah mengilhami kaum cendekiawan untuk mengubah pola perjuangan dengan tidak
mengandalkan perjuangan fisik, tetapi lebih mengandalkan perjuangan nonfisik. Dalam arti pada
masa pergerakan nasional, arah perjuangan bangsa Indonesia ditujukan kepada hal-hal sebagai
berikut:
a. Menumbuhkan sikap nasionalisme bangsa yang kuat agar bangsa Indonesia tidak mudah
dipecah-belah lagi oleh bangsa asing, seperti yang terjadi pada masa perjuangan sebelum tahun
1908, dimana perjuangan pada masa itu masih bersifat kedaerahan. Munculnya semangat
nasionalisme akan menumbuhkan persatuan dan kesatuan bangsa.
b. Meningkatkan kecerdasan bangsa melalui penyelenggaraan sistem pendidikan yang
berdasarkan pada nasionalisme, tidak berdasarkan pada sistem pendidikan kolonial.
c. Mengembalikan kesadaran bahwa rakyat Indonesia mempunyai harkat dan martabat yang sama
dengan bangsa penjajah, karena pada dasarnya manusia dilahirkan dengan memiliki hak-hak
yang sama dan dilengkapi dengan potensi kehidupan yang sama pula.
d. Meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui berbagai pendidikan keterampilan, sehingga
kehidupan rakyat tidak terlalu bergantung kepada sektor pertanian dan perkebunan yang selama
itu dieksploitasi oleh penjajah.
Page 5
Sejak akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 telah muncul benih-benih nasionalisme
pada bangsa Indonesia. Munculnya gerakan nasionalisme itu tidak terlepas dari pengaruh
yang datang dari dalam maupun dari luar.
Page 7
menghapuskan kemerdekaan itu. Filipina dikuasai oleh Amerika Serikat dan baru diberi
kemerdekaan oleh Amerika Serikat pada tanggal 4 Juli 1946.
4) Gerakan Nasionalis Rakyat China.
Gerakan ini dipimpin oleh Dr. Sun Yat Sen. la mengadakan pembaharuan di segala
sektor kehidupan bangsa China. Dasar perjuangan yang dikemukakan oleh Sun Yat Sen
adalah San Min Chu I yang terdiri dari (a). Republik China adalah suatu negara nasional
China, (b). Pemerintah China disusun atas dasar demokrasi atau kedaulatan berada di tangan
rakyat, (c). Pemerintah China mengutamakan kesejahteraan sosial bagi rakyatnya.
5) Pergerakan Turki Muda (1908) .
Gerakan ini dipimpin oleh Mustafa Kemal Pasha. la menuntut adanya pembaharuan
dan moderrusasi di segala sektor kehidupan masyarakatnya.
6) Pergerakan Nasionalisme Mesir.
Gerakan ini dipimpin oleh Arabi Pasha (1881-1882) dengan tujuan menentang
kekuasaan bangsa Eropa terutama Inggris atas negeri Mesir.
1. Ideologi Liberalisme.
Ideologi liberalisme diperkenalkan di Indonesia oleh orang-orang Belanda yang
mendukung perjuangan bangsa Indonesia. Orang-orang Belanda tersebut melihat banyak
terjadi penyimpangan-penyimpangan seperti dengan bertindak sangat jauh di luar batas-
batas perikemanusiaan. Tindakan-tindakan pemerintah kolonial Belanda yang mereka
kecam, seperti tindakan pemerasan, kekejaman atau penyiksaan dan lain sebagainya.
Masalah-masalah seperti ini mereka sampaikan pada saat diselenggara-kan sidang
parlemen di negeri Belanda. Mereka mengecam dengan keras segala tindakan yang
dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda bersama kaki tangannya di wilayah Indonesia.
Mereka mengusulkan agar pemerintah kerajaan Belanda memerintahkan pelaksanaan
Page 8
paham liberalisme di Indonesia. Diharapkan paham liberalisme dapat membawa masyarakat
Indonesia kepada perubahan yang lebih baik.
Paham liberalisme merupakan suatu paham yang mengutamakan kemerdekaan individu
atau kebebasan kehidupan masyarakat. Sebab dalam alam kebebasan itu masyarakat dapat
berkembang dan berupaya meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Paham liberalisme ini
dikembangkan oleh organisasi-organisasi politik di Indonesia seperti Indische Partij.
2. Ideologi Nasionalisme.
Ideologi Nasionalisme kali pertama diperkenalkan oleh organisasi politik yang
muncul di wilayah Indonesia. Ideologi Nasionalisme menjadi dasar perjuangan Partai
Nasional Indonesia (PNI) yang diketuai oleh Ir. Soekarno. Nasionalisme sebagai suatu
ideologi menunjukkan suatu bangsa yang mempunyai kesamaan budaya, bahasa, dan
wilayah. Selain itu, juga kesamaan cita-cita dan tujuan. Dengan demikian kelompok tersebut
dapat merasakan adanya kesetiaan yang mendalam terhadap kelompok bangsa itu.
PNI sebagai suatu partai yang berideologi nasionalis mempunyai tujuan untuk
memperjuangkan kehidupan bangsa Indonesia yang bebas. Bahkan cita-cita politiknya yaitu
mencapai Indonesia merdeka dan berdaulat, serta mengusir penjajahan pemerintah kolonial
Belanda di Indonesia.
3. Ideologi Komunis.
Ideologi komunisme diperkenalkan kali pertama oleh Sneevliet, seorang pegawai
perkereta-apian yang berkebangsaan Belanda. Ideologi komunisme ini diwujudkan dalam
pembentukan organisasi yang bemama Indische Social Democratis The Vereeniging
(ISDV). Organisasi ISDV sangat sulit mendapatkan dukungan dari rakyat karena rakyat
kurang mempercayai orang Belanda.
Kesulitan memperoleh dukungan rakyat, Sneevliet kemudian menjalin hubungan
dengan Semaun, seorang ketua cabang Sarekat Islam di Semarang. Terjalinnya hubungan
antara Sneevliet dengan Semaun memunculkan pembentukan Partai Komunis Indonesia
(PKI) pada tahun 1920.
Gerakan PKI yang sangat radikal, dilanjutkan dengan melakukan pemberontakan
tahun 1926 dan 1927. Namun akibat kegagalan dari pem-berontakan itu, PKI dijadikan
sebagai partai teriarang di Indonesia pada masa kekuasaan kolonial Belanda.
4. Ideologi Demokrasi.
Ideologi demokrasi pertama kali muncul di daerah Yunani dengan sistem demokrasi
langsung. Artinya rakyat ikut serta menentukan jalannya suatu pemerintahan. Akan tetapi,
sistem demokrasi ini tidak mungkin dapat dilaksanakan di Indonesia pada masa pergerakan
Nasional. Hal ini disebabkan karena bangsa Indonesia masih berada di bawah penjajahan
Belanda. Belanda tidak mungkin menerapkan sistem demokrasi di wilayah Indonesia,
karena hal itu akan merugikan kekuasaan pemerintah kolonial Belanda.
Sistem demokrasi baru dapat terlaksana di wilayah Indonesia setelah Indonesia
merdeka. Sistem demokrasi yang dilaksanakan di Indonesia dikenal dengan sistem
demokrasi Pancasila.
5. Ideologi Pan-lslamisme.
Ideologi Pan-Islamisme merupakan suatu paham yang bertujuan mempersatukan umat
Islam sedunia. Ideologi ini muncul berkaitan erat dengan kondisi abad ke-19 yang
merupakan kemunduran dunia Islam. Sementara itu, dunia Barat berada dalam kemajuan
dan melakukan penjajahan terhadap negara-negara Islam, termasuk Indonesia yang
mayoritas masyarakatnya beragama Islam.
Page 9
Pan-Islamisme merupakan suatu gerakan yang radikal dan progresif. Hal ini sangat
disadari oleh kaum atau negara-negara imperialisme Barat termasuk Belanda yang menjajah
Indonesia. Semangat yang terkandung dalam gerakan Pan-Islamisme telah membangkitkan
rasa kebangsaan yang kuat dengan didasari ikatan keagamaan. Ideologi ini telah mendorong
munculnya organisasi-organisasi yang berdasarkan keagamaan di wilayah Indonesia seperti
Sarekat Islam (SI), Muhammadiyah, dan lain-lain.
BAB II
ORGANISASI PERGERAKAN NASIONAL INDONESIA
A. Budi Utomo
Pada abad ke-20 tampil beberapa dokter sebagai penggerak bangsa di kawasan Asia
seperti Dr. Sun Yat Sen di Tiongkok, Dr. Jose Rizal di Filipina, serta di Indonesia tampil
dokter-dokter seperti Dr. Wahidin Sudirohusodo, Dr. Sutomo, Dr. Cipto Mangunkusumo
dan Dr. Gunawan Mangunkusumo. Para dokter itu bangkit karena dihadapkan pada
penderitaan masyarakat baik dari segi ekonomi, fisik, maupun kemanusiaan.
Dokter Wahidin Sudirohusodo dengan giat menyebarkan cita-citanya agar di Pulau
Jawa dapat dibentuk suatu perkumpulan yang bertujuan me-majukan pendidikan serta
membiayai anak-anak yang tidak dapat bersekolah namun memiliki kepandaian. Cita-
citanya itu mendapat sambutan dari siswa Sekolah Dokter Jawa di Jakarta seperti Sutomo,
Gunawan Mangunkusumo, Cipto Mangunkusumo dan lain sebagainya. Akhirnya pada
tanggal 20 Mei 1908 Sutomo dan kawan-kawannya mendirikan suatu perkumpulan yang di-
berinama Budi Utomo di Jakarta. Kongres pertama diselenggarakan pada bulan Oktober
1908 dan berhasil memilih Adipati Tirtokusumo (seorang bupati) sebagai ketuanya dan Dr.
Wahidin Sudirohusodo sebagai wakil ketuanya.
Page
10
Untuk mendorong semangat para anggotanya, Budi Utomo mencanang-kan pedoman
yaitu pemuda menjadi motornya dan orangtua menjadi sopirnya, supaya kapal tidak
terdampar di laut karang dan selamat sampai di pelabuhan. Di samping itu, kongres
menghasilkan suatu keputusan tentang tujuan dari pergerakannya, yaitu untuk menjamin dan
mempertahankan kehidupan sebagai bangsa yang terhormat. Perkumpulan ini bergerak
dalam bidang sosial, pendidikan, pengajaran, dan budaya.
Keanggotaan perkumpulan Budi Utomo semula terbatas hanya pada daerah Jawa dan
Madura, kemudian ditambahkan dengan Bali, karena dianggap mempunyai kebudayaan
yang sama. Jika dilihat dari keanggotaan-nya, perkumpulan ini bersifat kedaerahan (lokal).
Walaupun demikian, perkumpulan itu juga sudah dapat dikatakan bersifat nasional. Hal ini
terbukti ketika didirikannya perkumpulan partai-partai politik seperti Permufakatan
Pemimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI), Budi Utomo ikut serta di dalamnya.
Gerakan nasional Budi Utomo semakin bertambah jelas yaitu dengan diubahnya nama Budi
Utomo menjadi Budi Utama (huruf a) dan juga terlihat dengan jelas tujuannya yaitu sejak
tahun 1928 ikut serta melaksanakan cita-cita persatuan Indonesia.
Selanjutnya Budi Utomo mengadakan integrasi derigan organisasi seasas dan
sehaluan. Atas pertimbangan itulah kemudian Budi Utomo lebur menjadi satu dengan PBI
(Persatuan Bangsa Indonesia) menjadi Parindra (Partai Indonesia Raya).
Budi Utomo juga dikenal sebagai organisasi nasional pertama di Indonesia dan
terpanjang usianya sampai dengan proklamasi Indonesia.
Dengan semangat hendak meningkatkan semangat masyarakat, Mas Ngabehi Wahidin
Soediro Husodo, seorang doktor jawa dan termasuk seorang priayi, tahun 1906-1907
melakukan kempanye di kalangan priayi di Pulau Jawa.
Pada akhir 1907, Wahidin bertemu dengan Soetomo, pelajar STOVIA di Batavia.
Pertemuan tersebut berhasil mendorong didirikannya organisasi yang diberi nama Boedi
Oetomo pada hari rabu tanggal 20 Mei 1908 di Batavia. Soetomo kemudian ditunjuk sebagai
ketuanya. Tanggal berdirinya Boedi Oetomo hingga saat ini diperingati sebagai Hari
Kebangkitan Nasional. Budi Utomo juga dikenal sebagai organisasi nasional pertama di
Indonesia dan terpanjang usianya sampai dengan proklamasi Indonesia.
Sekolah Dokter Jawa didirikan Pemerintah Hindia Belanda karena pemerintah merasa
kewalahan menghadapi wabah yang menyerang di daerah Jawa, terutama Banyumas, pada
tahun 1800-an, dan berdasarkan pertimbangan bahwa mendidik penduduk bumiputra untuk
menjadi mantri cacar lebih murah dari pada membayar tenaga dokter Eropa. Sekolah ini
berada di Weltevreden, pusat kota Batavia. Di dalam perkembangannya sekolah ini
mengalami perubahan-perubahan baik dalam syarat-syarat penerimaan siswa, kurikulum,
lama studi, maupun gelar yang diperoleh. Berdasarkan kebijakan pada tahun 1903, yaitu
diperkenankannya seluruh anak-anak di wilayah Hindia Belanda untuk memasuki sekolah
itu, maka nama sekolah itu kemudian dirubah menjadi School tot Opleiding van Inlandsche
Artsen (Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputra) yang disingkat STOVIA.
Ketika kebutuhan pemerintah terhadap tenaga kesehatan semakin meningkat,
pemerintah membantu kegiatan ini dengan bersungguh-sungguh. Pada awalnya Pemerintah
Hindia Belanda sendiri yang berusaha untuk menarik minat para pemuda dari keluarga baik-
baik untuk meningkatkan pendidikannya dengan jalan memberi iming-iming sejumlah
beasiswa dan perumahan gratis. Sebagai imbalannya, mereka harus bersedia masuk pada
dinas pemerintah, antara lain sebagai “mantri cacar”. Akan tetapi, karena tradisi para priyayi
memandang rendah terhadap pekerjaan-pekerjaan praktis seperti dokter dan guru, maka
hanya sedikit saja priyayi yang tertarik pada sekolah itu. Oleh karenanya, pada tahun 1891
pemerintah mengumumkan bahwa setiap anak muda yang ingin memperoleh pendidikan
sebagai Dokter Jawa diperbolehkan masuk di sekolah dasar Eropa secara gratis, dengan
persyaratan bahwa anak muda itu harus cerdas, berasal dari keluarga priyayi, dan berumur
tidak lebih dari tujuh tahun. Mereka akan diterima sebagai siswa ELS secara gratis dengan
persetujuan diam-diam sesudah lulus dari sekolah itu akan menempuh ujian yang berat untuk
masuk di Sekolah Dokter Jawa.Ternyata kebijakan baru itu banyak menarik perhatian
kalangan anak-anak priyayi rendahan dari pada anak-anak priyayi tinggi. Kerena jika
mereka berhasil mendapatkan gelar Dokter Jawa itu, maka status sosial mereka akan
terangkat dari tingkat sebelumnya.
Pada mulanya ELS hanya diperuntukkan bagi anak-anak Eropa dan bagi anak-anak
bumiputra dari golongan tertentu dalam jumlah yang terbatas. Misalnya anak-anak bupati,
patih, wedana, jaksa, dan lain-lainnya, yang haknya disamakan dengan orang Eropa. Akan
tetapi, sejak tahun 1864 seiring dengan semakin tingginya kebutuhan pemerintah terhadap
tenaga-tenaga yang berpendidikan dan mahir berbahasa Belanda, maka sekolah ini juga
terbuka bagi murid-murid yang pintar, yang orang tuanya tidak termasuk dalam golongan
tersebut di atas. Dengan diperbolehkannya anak-anak bumiputra memasuki sekolah ini,
meskipun dengan persyaratan tertentu dan terbatas pada golongan tertentu pula, Pemerintah
Kolonial Belanda merasa tidak menerapkan diskriminasi rasial dalam menjalankan politik
pengajarannya. Meskipun demikian, pada prakteknya banyak sekali diskriminasi yang
dilakukan guru-guru Eropa itu terhadap siswa bumiputra.
Sebenarnya pilihan menjadi Dokter Jawa pada awal abad ke-20 merupakan suatu sikap
yang bertentangan dengan arus zaman, yaitu suatu zaman yang selalu mengedepankan pada
keinginan untuk menjadi pegawai pangreh praja yang akan menjadikannya sebagai seorang
priyayi yang berkuasa, disegani, dan disembah-sembah. Tidak demikian halnya dengan
pekerjaan yang memerlukan keahlian ini. Meskipun sekolah kedokteran membebaskan para
mahasiswanya dari kewajiban membayar uang sekolah dan menerima gaji yang tinggi
sesudah lulus, kedudukan-kedudukan yang menarik itu tidak menyebabkan bertambah
Page
14
besarnya jumlah priyayi muda yang menuntut ilmu di bidang ini. Kemungkinan hal itu
disebabkan karena seleksi penerimaan mahasiswanya yang terlalu ketat serta kewajiban
belajar yang ekstra keras yang menjadi penghalang peminatnya dari kalangan priyayi muda
ini. Selain itu, sikap para priyayi pada waktu itu selalu menganggap bahwa Sekolah Dokter
Jawa atau STOVIA adalah sekolah untuk orang miskin. Penilaian semacam itu terjadi karena
pemerintah menerapkan sistem beasiswa, menggratiskan beaya pendidikan dan
pemondokan, bagi mahasiswa STOVIA. Oleh karena itu, hanya orang tua yang kurang
mampu yang berminat mengirimkan anaknya ke sekolah tersebut. Akan tetapi, justru di
kalangan anak-anak miskin inilah muncul tokoh-tokoh nasional Indonesia yang militan, baik
di bidang kedokteran maupun pejuang sejati.
Kunci dari munculnya tokoh-tokoh nasional Indonesia yang militan dari STOVIA itu
rupanya tak terlepas dari tempat sekolah ini berada. Weltevreden adalah sebuah pusat kota
Batavia. Pusat kegiatan politik, ekonomi, dan kebudayaan, serta sebuah kota besar di Hindia
yang merupakan pintu gerbang dengan dunia luar. Di lingkungan inilah berkumpul para
intelektual yang memungkinkan di antara mereka untuk saling berinteraksi dan saling
bertukar pikiran mengenai berbagai hal. Para pelajar STOVIA yang kebanyakan berasal dari
kota-kota kecil itu memperoleh dorongan intelektual dari kota besar dan modern di
lingkungan sekolahnya. Batavia juga menjadi kediaman suatu kelompok intelektual non
politik pribumi, yang tidak besar tetapi sedang tumbuh. Oleh karena itu wajarlah jika para
pelajar STOVIA bergaul dengan para intelektual itu dengan akibat terpengaruh oleh ide-id
mereka.
Tempat yang paling disenangi sebagian pelajar STOVIA adalah perpustakaan milik
Douwes Dekker, seorang Indo yang sangat mendukung politik etis. Ia tinggal di dekat
STOVIA. Bagi sebagian pelajar STOVIA keberadaan Douwes Dekker mempunyai arti
penting. Ia adalah seorang intelektual yang rumahnya selalu terbuka sebagai tempat
pertemuan, memiliki ruang baca, dan perpustakaan. Di perpustakaan itu tersedia banyak
buku bacaan dan terbuka bagi pelajar bumiputra.
Douwes Dekker pula yang menyebabkan pelajar-pelajar STOVIA seperti Tjipto
Mangoenkoesoemo, Goenawan Mangoenkoesoemo, Surjopranoto, serta Tjokrodirdjo,
mulai belajar menuangkan gagasan-gagasannya dalam surat kabar. Hal ini memungkinkan
karena pelajar-pelajar tersebut dipilih oleh Douwes Dekker sebagai pembantu redaksi
Bataviaasch Nieuwesblad, sebuah surat kabar berbahasa Belanda yang dipimpinnya. Ada
alasan tertentu yang mnyebabkan ia memilih para pelajar itu. Terutama adalah kemampuan
berbahasa Belanda dan ketrampilan menuangkan gagasan yang bagus, serta ketajaman
penglihatan para pelajar itu dalam melihat kondisi sosial di lingkungan sekitarnya.
Kemampuan yang mereka miliki itu sangat diperlukan untuk memperpanjang kelangsungan
hidup sebuah surat kabar yang selalu menyajikan berita-berita aktual.
Perjumpaan para pelajar yang gelisah di perpustakaan Douwes Dekker ini akhirnya
membuahkan suatu polemik yang ditulis oleh Goenawan Mangoenkoesoemo, yang berturut-
turut dimuat dalam Java Bode, sebuah harian berbahasa Belanda di Batavia. Polemik yang
ditulis pada tahun 1905 itu berisi tentang kecamannya terhadap tingkah laku dan adat Jawa
yang dianggapnya sebagai perintang modernisasi. Pada tahun 1905 dan tahun-tahun
sebelumnya, dunia priyayi terutama yang berasal dari kalangan pejabat pemerintah pribumi
sangat dihormati oleh rakyat. Terdapat garis pemisah yang tegas antara priyayi dan bukan
priyayi. Perbedaan itu selalu kelihatan jelas serta selalu mengikat. Dalam keadaan apa pun
suasana penghormatan itu sangat nyata. Goenawan menginginkan adanya perubahan
keadaan adat-istiadat dan tata cara dalam masyarakat. Menurutnya adat yang dibuat oleh
manusia itu dapat dirubah oleh manusia juga. Akan tetapi, semua itu diserahkannya kepada
kaum priyayi agar dapat memberikan contoh dalam membuang adat yang membuat susah
itu. Adat yang telah membelenggu itu telah menjadikan bangsa Jawa tertinggal
Page
15
dibandingkan dengan bangsa Arab dan Cina. Kedua bangsa asing itu masing-masing telah
sadar terhadap perlunya persatuan untuk meningkatkan kedudukan mereka di dalam
masyarakat, terutama dalam meningkatkan kedudukan mereka di dalam masyarakat,
terutama dalam hal meningkatkan perekonomian. Sementara rakyat Jawa kebanyakan
merupakan masyarakat miskin dan penuh dengan penghinaan bangsa-bangsa lainnya.
Anak bangsa telah bangkit, ia mulai berani menyuarakan isi hati yang biasanya
disimpannya rapat-rapat agar orang lain tidak dapat mengetahui, sebuah sikap pengendalian
diri dari budaya khas Jawa. Anak bangsa telah memiliki kepribadian, telah mempunyai
sikap, dan dapat menilai serta menyuarakan dengan jujur sesuai dengan hati nuraninya. Api
kesadaran itu sedikit demi sedikit mulai muncul di kalangan pemuda terpelajar yang dapat
melihat diskriminasi-diskriminasi yang ditimbulkan oleh adat dan tradisi Jawa yang penuh
dengan tatanan feodal serta tahyul yang berlebih-lebihan. Hal itulah yang mengakibatkan
sulitnya manusia Jawa untuk dapat mengaktualisasikan dirinya. Kondisi masyarakat yang
seperti itu yang selalu menjadi bahan perbincangan para pelajar STOVIA. Mereka sering
memperbincangkan berita-berita yang dimuat dalam koran de Locomotief, Bataviaasch
Nieuwesblad, Java Bode, Pemberita Betawi, dan majalah Jong Indie.
Api semangat itu semakin membara terlebih lagi setelah diketahui adanya berita yang
menyatakan bahwa Revolusi Turki yang terjadi pada permulaan tahun 1908 yang digerakkan
oleh The Young Turks dapat menggoyahkan feodalisme Turki. Kejadian-kejadian ini besar
sekali pengaruhnya bagi kalangan terpelajar bumiputra, suatu kelompok kecil lapisan baru
dalam masyarakat bumiputra. Pergulatan-pergulatan pemikiran mengenai nasib rakyat yang
selalu tertindas itu sering dilakukan oleh para pelajar STOVIA pada malam hari setelah
kegiatan belajar mereka selesai. Berita-berita dari luar negri tersebut di atas termasuk
menjadi bahan perbincangan. Demikian pula kepincangan-kepincangan di dalam negri,
terutama di bidang pengajaran, pendidikan, perekonomian, dan kepangreh-prajaan kolonial
menjadi bahan renungan.
Endapan-endapan pemikiran para pemuda yang menginginkan perubahan itu semakin
mengental setelah kedatangan Dokter Wahidin Soedirohoesodo pada akhir tahun 1907 yang
mengkampanyekan keinginannya kepada para priyayi Jawa yang kaya dan berpengaruh agar
diadakan dana belajar untuk membantu para pelajar yang tidak dapat melanjutkan studinya.
Dokter Jawa itu berpendapat bahwa lapisan bawah masyarakat itu perlu untuk diberi
pengajaran yang sebaik-baiknya, karena perluasan pengajaran itu akan dapat menumbuhkan
kesadaran kebangsaan. Gagasan Dokter Jawa itu telah membuka pikiran dan hati para
pelajar STOVIA, serta mendatangkan cita-cita baru. Gagasan yang telah dirumuskan itu
kemudian diterapkan dengan membentuk suatu persatuan di antara orang-orang yang
berkebudayaan sama, yaitu orang Jawa, Sunda, dan Madura, tanpa memandang kedudukan,
kekayaan, atau intelektualitas sebagai salah satu syarat sebagai anggota, untuk dididik agar
terjadi keharmonisan antara negara dan rakyat. Persatuan itu diharapkan dapat memberikan
sesuatu untuk seluruh Pulau Jawa dan Madura sebagai suatu kesatuan geografi dan kultural.
Dengan demikian, tujuan persatuan itu lebih luas dari sekedar bea siswa. Para pelajar itu
berpendapat bahwa sebuah persatuan itu harus dapat berusaha memecahkan setiap masalah
yang dihadapinya. Akhirnya tanggal 20 Mei 1908 ditetapkan sebagai lahirnya organisasi
baru yang mereka namakan Boedi Oetomo, dengan tujuan untuk memperjuangkan nasib
rakyat agar mempunyai kehidupan yang pantas.
KESIMPULAN
Para pelajar STOVIA adalah anak zaman kolonialisme yang hidup pada awal abad ke-
20. Pendidikan Barat telah memungkinkan bagi mereka untuk membentuk kontak-kontak
yang kuat dengan dunia Barat. Terlebih lagi dengan kesukaan membaca, hubungan-
hubungan sosial dengan tokoh-tokoh penting sezaman, maupun dengan teman-teman
Page
16
sehalauan, serta akibat dari kondisi kolonialisme di sepanjang perjalanan kehidupan mereka
itu dapat digunakan untuk melacak proses perkembangan pemahaman mereka terhadap
nasionalisme. Dua tokoh penting yang mempengaruhi sebagian pelajar STOVIA itu, yaitu
Douwes Dekker, dan dr. Wahidin Soedirohoesodo.
Dengan demikian, keberadaan STOVIA sangat berperan penting dalam
perkembangan nasionalisme di Indonesia. Disamping kemampuan individu para pelajar
STOVIA, pendidikan yang menanamkan disiplin tinggi bagi para pelajarnya ini mampu
menyatukan pelajarnya dari berbagai suku bangsa di Indonesia. Selain itu, keberadaannya
di pusat kota menjadikan sekolah ini menjadi tempat persemaian nasionalisme yang bagus
bagi para pelajarnya. Beberapa tokoh pergerakan nasional alumni STOVIA antara lain
adalah dr. Wahidin Soedirohoesodo, dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, dr. Goenawan
Mangoenkoesoemo, dan dr. Soetomo.
B. Perhimpunan Indonesia
Tahun 1908, di Belanda dibentuk organisasi mahasiswa Indonesia bernama Indische
Vereeniging (IV). Awalnya IV hanya bersifat sosial, tetapi kemudian berkembang ke arah
politik. Pada Januari 1924, Indische Vereeniging berganti nama menjadi Indonesische
Vereeniging (Perhimpunan Indonesia). Ideologi yang dikembangkan PI adalah kesatuan
nasional, solidaritas, nonkoperasi, dan swadaya.
Pada tahun 1911 di kota Solo muncul perkumpulan dagang Islam yang bernama
Sarekat dagang Islam dengan Haji Samanhudi sebagai pemimpin. Sebenarnya perkumpulan
ini telah ada sejak tahun 1909, yaitu ketika berada di bawah pimpinan RM. Tirtoadisuryo
yang beranggotakan para pedagang Islam. Sejak dipimpin oleh Haji Samanhudi
perkumpulan itu menjadi sangat berarti dan berpengaruh luas di kalangan para pedagang
Islam.
Namun kemudian, seorang intelektual dari Surabaya yang bernama Haji Omar Said
(HOS) Cokroaminoto yang sekaligus sebagai promotornya mengubah perkumpulan Sarekat
Dagang Islam menjadi Sarekat Islam (SI). Perubahan itu ternyata berpengaruh besar
terhadap sistem keanggotaannya. Anggotanya bukan lagi hanya para pedagang Islam saja,
Page
17
tetapi sudah men-cakup seluruh umat Islam dari berbagai lapisan masyarakat. Perubahan
nama itu terjadi pada tahun 1912 yang mengandung isi dan jiwa serta terfokus pada agama
Islam dengan segala manifestasinya.
Sementara itu, keterlibatan Sarekat Islam dalam Volksraad (Dewan Rakyat) diprotes
keras oleh anggotanya, seperti Semaun. Namun, Sarekat Islam tetap ingin menunjukkan
kesetiaannya kepada pemerintah, walaupun pemerintah mengetahui bahwa organisasi itu
sangat berpengaruh besar terhadap masyarakat. Untuk itu, pemerintah Belanda secara terus-
menerus mengikuti jejak dan gerak-gerik Sarekat Islam dari dekat. Wakil-wakil Sarekat
Islam yang duduk dalam badan itu adalah Abdul Muis (pengarang) dan HOS Cokroaminoto
Tjokroaminoto sebagai ketua, dan Raden Gunawan sebagai wakil ketua.
Pada tanggal 18 Maret 1916, Central Sarekat Islam ini mendapat pengakuan dari
pemerintah Hindia - Belanda. Beberapa tokoh Sarekat Islam yang lain adalah Abdul Muis,
Wignyodisastro, dan Soewardi Soerjaningrat. Ketiga orang ini merupakan pengurus
SI di Bandung. Tokoh lain yang bergabung ialah K.H. Agus Salim.
Pada tanggal 17 – 24 Juni 1916, diadakan kongres Sarekat Islam yang ketiga di
Bandung. Kongres ini dinamakan Kongres (SI) Nasional Pertama. Jumlah cabang SI
ada 50, dan jumlah semua anggota pada waktu itu sudah mencapai 800.000. Dalam
kongres ini, SI mulai melontarkan pernyataan bahwa rakyat perlu diberi kesempatan
berpartisipasi dalam politik
Ternyata pengaruh pergerakan Sarekat Islam di masyarakat sangat kuat. Pengaruhnya
menyebar ke seluruh wilayah Indonesia sehingga menimbulkan pemberontakan, seperti
berikut ini.
Page
18
Pada tahun 1929, Sarekat Islam menyatakan diri menjadi partai dengan nama Partai
Sarekat Islam Indonesia (PSII), Tahun itu juga menjadi sangat penting bagi Sarekat Islam,
karena selain kehilangan banyak anggotanya, Sarekat Islam juga mengambil langkah-
langkah radikal, yaitu keluar dari Volksraad. Hal itu merupakan langkah dan taktik
nonkooperasi yang dilaksanakan oleh Sarekat Islam kepada pemerintah kolonial Belanda.
1) SI yang berpaham Islam, dikenal dengan SI Putih atau golongan kanan.Kelompok ini
dipimpin H.O.S.Tjokroaminoto, H.Agus Salim, dan Suryopranoto yang berpusat di
Yogyakarta.
Pada akhir tahun 1921 (dalam kongres keenam) diputuskan adanya disiplin
partai yakni larangan anggota SI merangkap dua keanggotaan partai politik. Dengan
demikian kelompok Semaun dapat terdepak dari SI. Pada tahun 1923, kelompok
Semaun ini secara resmi diakui sebagai cabang Partai Komunis Indonesia dengan
nama Sarikat Rakyat.
Sejarah awal
Sarekat Dagang Islam
SDI merupakan organisasi ekonomi yang berdasarkan pada agama Islam dan
perekonomian rakyat sebagai dasar penggeraknya. Di bawah pimpinan H. Samanhudi,
perkumpulan ini berkembang pesat hingga menjadi perkumpulan yang berpengaruh. R.M.
Tirtoadisurjo pada tahun 1909 mendirikan Sarekat Dagang Islamiyah di Batavia. Pada tahun
1910, Tirtoadisuryo mendirikan lagi organisasi semacam itu di Buitenzorg. Demikian pula,
di Surabaya H.O.S. Tjokroaminoto mendirikan organisasi serupa tahun 1912.
Tjokroaminoto masuk SI bersama Hasan Ali Surati, seorang keturunan India, yang kelak
kemudian memegang keuangan surat kabar SI, Oetusan Hindia. Tjokroaminoto kemudian
dipilih menjadi pemimpin, dan mengubah nama SDI menjadi Sarekat Islam (SI).
Pada tahun 1912, oleh pimpinannya yang baru Haji Oemar Said Tjokroaminoto, nama
SDI diubah menjadi Sarekat Islam (SI). Hal ini dilakukan agar organisasi tidak hanya
bergerak dalam bidang ekonomi, tapi juga dalam bidang lain seperti politik. Jika ditinjau
dari anggaran dasarnya, dapat disimpulkan tujuan SI adalah sebagai berikut:
SI tidak membatasi keanggotaannya hanya untuk masyarakat Jawa dan Madura saja.
Tujuan SI adalah membangun persaudaraan, persahabatan dan tolong-menolong di antara
muslim dan mengembangkan perekonomian rakyat. Keanggotaan SI terbuka untuk semua
lapisan masyarakat muslim. Pada waktu SI mengajukan diri sebagai Badan Hukum, awalnya
Gubernur Jendral Idenburg menolak. Badan Hukum hanya diberikan pada SI lokal.
Walaupun dalam anggaran dasarnya tidak terlihat adanya unsur politik, tapi dalam
kegiatannya SI menaruh perhatian besar terhadap unsur-unsur politik dan menentang
ketidakadilan serta penindasan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial. Artinya SI
memiliki jumlah anggota yang banyak sehingga menimbulkan kekhawatiran pemerintah
Belanda.
Seiring dengan perubahan waktu, akhirnya SI pusat diberi pengakuan sebagai Badan
Hukum pada bulan Maret tahun 1916. Setelah pemerintah memperbolehkan berdirinya
Page
20
partai politik, SI berubah menjadi partai politik dan mengirimkan wakilnya ke Volksraad
tahun 1917, yaitu HOS Tjokroaminoto; sedangkan Abdoel Moeis yang juga tergabung
dalam CSI menjadi anggota volksraad atas namanya sendiri berdasarkan ketokohan, dan
bukan mewakili Central SI sebagaimana halnya HOS Tjokroaminoto yang menjadi tokoh
terdepan dalam Centraal Sarekat Islam. Tapi Tjokroaminoto tidak bertahan lama di lembaga
yang dibuat Pemerintah Hindia Belanda itu dan ia keluar dari Volksraad (semacam Dewan
Rakyat), karena volksraad dipandangnya sebagai "Boneka Belanda" yang hanya
mementingkan urusan penjajahan di Hindia ini dan tetap mengabaikan hak-hak kaum
pribumi. HOS Tjokroaminoto ketika itu telah menyuarakan agar bangsa Hindia (Indonesia)
diberi hak untuk mengatur urusan dirinya sendiri, yang hal ini ditolak oleh pihak Belanda.
Seiring dengan perubahan waktu, akhirnya SI pusat diberi pengakuan sebagai Badan
Hukum pada bulan Maret tahun 1916. Setelah pemerintah memperbolehkan berdirinya
partai politik, SI berubah menjadi partai politik dan mengirimkan wakilnya ke Volksraad
tahun 1917.
Kongres-kongres Awal
Kongres pertama diadakan pada bulan Januari 1913. Dalam kongres ini
Tjokroaminoto menyatakan bahwa SI bukan merupakan organisasi politik, dan bertujuan
untuk meningkatkan perdagangan antarbangsa Indonesia, membantu anggotanya yang
mengalami kesulitan ekonomi serta mengembangkan kehidupan relijius dalam masyarakat
Indonesia.
Dengan usaha yang baik, mereka berhasil memengaruhi tokoh-tokoh muda SI seperti
Semaoen, Darsono, Tan Malaka, dan Alimin Prawirodirdjo. Hal ini menyebabkan SI pecah
menjadi "SI Putih" yang dipimpin oleh HOS Tjokroaminoto dan "SI Merah" yang dipimpin
Semaoen. SI merah berlandaskan asas sosialisme-komunisme.
Page
21
Adapun faktor-faktor yang mempermudah infiltrasi ISDV ke dalam tubuh SI antar lain:
1. Centraal Sarekat Islam (CSI) sebagai badan koordinasi pusat memiliki kekuasaan yang
lemah. Hal ini dikarenakan tiap cabang SI bertindak sendiri-sendiri. Pemimpin cabang
memiliki pengaruh yang kuat untuk menentukan nasib cabangnya, dalam hal ini
Semaoen adalah ketua SI Semarang.
2. Peraturan partai pada waktu itu memperbolehkan keanggotaan multipartai, mengingat
pada mulanya organisasi seperti Boedi Oetomo dan SI merupakan organisasi non-
politik. Semaoen juga memimpin ISDV (PKI) dan berhasil meningkatkan anggotanya
dari 1700 orang pada tahun 1916 menjadi 20.000 orang pada tahun 1917 di sela-sela
kesibukannya sebagai Ketua SI Semarang.
3. Akibat dari Perang Dunia I, hasil panen padi yang jelek mengakibatkan
membumbungnya harga-harga dan menurunnya upah karyawan perkebunan untuk
mengimbangi kas pemerintah kolonial mengakibatkan dengan mudahnya rakyat
memihak pada ISDV.
4. Akibat kemiskinan yang semakin diderita rakyat semenjak Politik Pintu Terbuka
(sistem liberal) dilaksanakan pemerintah kolonialis sejak tahun 1870 dan wabah pes
yang melanda pada tahun 1917 di Semarang.
Jurang antara SI Merah dan SI Putih semakin melebar saat keluarnya pernyataan
Komintern (Partai Komunis Internasional) yang menentang cita-cita Pan-Islamisme. Pada
saat kongres SI Maret 1921 di Yogyakarta, H. Fachruddin, Wakil Ketua Muhammadiyah
mengedarkan brosur yang menyatakan bahwa Pan-Islamisme tidak akan tercapai bila tetap
bekerja sama dengan komunis karena keduanya memang bertentangan. Di samping itu Agus
Salim mengecam SI Semarang yang mendukung PKI. Darsono membalas kecaman tersebut
dengan mengecam beleid (Belanda: kebijaksanaan) keuangan Tjokroaminoto. SI Semarang
juga menentang pencampuran agama dan politik dalam SI. Oleh karena itu, Tjokroaminoto
lebih condong ke SI haluan kanan (SI Putih).
Pecahnya SI terjadi setelah Semaoen dan Darsono dikeluarkan dari organisasi. Hal ini
ada kaitannya dengan desakan Abdul Muis dan Agus Salim pada kongres SI yang keenam
6-10 Oktober 1921 tentang perlunya disiplin partai yang melarang keanggotaan rangkap.
Anggota SI harus memilih antara SI atau organisasi lain, dengan tujuan agar SI bersih dari
unsur-unsur komunis. Hal ini dikhawatirkan oleh PKI sehingga Tan Malaka meminta
pengecualian bagi PKI. Namun usaha ini tidak berhasil karena disiplin partai diterima
dengan mayoritas suara. Saat itu anggota-anggota PSI dari Muhammadiyah dan Persis pun
turut pula dikeluarkan, karena disiplin partai tidak memperbolehkannya.
Keputusan mengenai disiplin partai diperkuat lagi dalam kongres SI pada bulan
Februari 1923 di Madiun. Dalam kongres Tjokroaminoto memusatkan tentang peningkatan
pendidikan kader SI dalam memperkuat organisasi dan pengubahan nama CSI menjadi
Partai Sarekat Islam (PSI). Pada kongres PKI bulan Maret 1923, PKI memutuskan untuk
Page
22
menggerakkan SI Merah untuk menandingi SI Putih. Pada tahun 1924, SI Merah berganti
nama menjadi "Sarekat Rakyat".
Pada kongres PSI tahun 1929 menyatakan bahwa tujuan perjuangan adalah mencapai
kemedekaan nasional. Karena tujuannya yang jelas itulah PSI ditambah namanya dengan
Indonesia sehingga menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Pada tahun itu juga PSII
menggabungkan diri dengan Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan
Indonesia (PPPKI).
Akibat keragaman cara pandang di antara anggota partai, PSII pecah menjadi beberapa
partai politik, di antaranya Partai Islam Indonesia dipimpin Sukiman, PSII Kartosuwiryo,
PSII Abikusno, dan PSII sendiri. Perpecahan itu melemahkan PSII dalam perjuangannya.
Pada Pemilu 1955 PSII menjadi peserta dan mendapatkan 8 (delapan) kursi parlemen.
Kemudian pada Pemilu 1971 di zaman Orde Baru, PSII di bawah kepemimpinan H. Anwar
Tjokroaminoto kembali menjadi peserta bersama sembilan partai politik lainnya dan
berhasil mendudukkan wakilnya di DPRRI sejumlah 12 (dua belas orang).
Page
23
Indisch Nasionalisme, yang selanjutnya melalui perhimpunan Indonesia dan PNI, diubah
menjadi Indonesische Nationalisme atau Nasional Indonesia. Hal itulah yang menyatakan
bahwa Indische Partij sebagai partai politik pertama di Indonesia.
Tujuan partai itu adalah untuk mempersiapkan kehidupan bangsa Indonesia yang
merdeka. Anggotanya terbuka bagi seluruh masyarakat yang bertempat tinggal di seluruh
wilayah Indonesia. Namun pada kenyataan-nya, yang mula-mula menjadi anggota partai ini
adalah orang-orang Indo Eropa. Oleh karena itu, partai ini tidak dapat berkembang menjadi
partai massa. Hal itu disebabkan oleh stelsel kolonial masih menjadi penghalang dalam
proses interaksi ataupun pergaulan dengan orang-orang asing di Indonesia.
Indische Partij telah menunjukkan garis politiknya secara jelas dan tegas serta
menginginkan suatu kesatuan penduduk yang multirasial. Tujuan partai ini benar-benar
revolusioner, karena ingin mendobrak kenyataan politik rasial yang dilakukan oleh
pemerintah kolonial Belanda di Indonesia.
Untuk mencapai tujuan tersebut ditetapkan cara-cara sebagai berikut.
Page
24
"..... Seandainya aku seorang Belanda, aku protes peringatan yang akan diadakan itu. Aku
akan peringatkan kawan-kawan penjajah bahwa sesungguhnya sangat berbahaya pada saat
itu mengadakan perayaan peringatan kemerdekaan. Aku akan peringatkan semua bangsa
Belanda, jangan menyinggung peradaban bangsa Indonesia yang baru bangun dan menjadi
berani. Sungguh aku akan protes sekeras-kerasnya ....."
Kecaman yang semakin keras menentang pemerintah kolonial Belanda, menyebabkan
ketiga tokoh Indische Partij ditangkap. Pada tahun 1913 mereka diasingkan ke negeri
Belanda.
Tetapi atas permintaan mereka sendiri pembuangan itu dipindahkan ke negeri
Belanda. Kesempatan di negeri Belanda itu oleh mereka digunakan untuk menambah
dan memperdalam ilmu.
Dengan kepergian ketiga pemimpin tersebut maka kegiatan Indische Partij
makin lemah. Kemudian Indische Partij berganti nama menjadi Partai Insulinde
dengan asas utamanya mendidik suatu nasionalisme Hindia dengan memperkuat
cita-cita persatuan bangsa.
Namun pada tahun 1914, Cipto Mangunkusumo dikembalikan ke Indonesia karena
sakit, sedangkan Suwardi Suryaningrat dan Douwes Dekker baru dikembalikan ke Indonesia
pada tahun 1919. Kembalinya Douwes Dekker dari negeri Belanda tidak banyak berarti bagi
perkembangan Partai Insulinde. Pada bulan Juni 1919 partai ini berganti nama
menjadi National Indische Partij (NIP), namun partai ini tidak banyak berpengaruh
terhadap rakyat.
Douwes Dekker tetap terjun ke dunia politik dan Suwardi Suryaningrat terjun ke dunia
pendidikan dan selanjutnya mendirikan perguruan yang diberi nama Taman Siswa. Suwardi
Suryaningrat kemudian dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara. Walaupun Indische Partij
tidak dapat melawan kehendak Belanda, namun perjuangan mereka tetap punyai arti yang
sangat besar dalam pergerakan kebangsaan Indonesia untuk mencapai kemerdekaan.
Dari uraian di atas, perjuangan Indische Partij besar sekali pengaruhnya terhadap
bangsa Indonesia, antara lain dengan propaganda nasionalisme Hindia dan aksi
mencapai kemerdekaan kelak, juga sebagai pembangun semangat, Douwes Dekker
sangat berjasa terhadap bangsa Indonesia. Para tokoh Indische Partij berani
Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan partai komunis yang terbesar di seluruh
dunia, di luar Tiongkok dan Uni Soviet. Sampai pada tahun 1965 anggotanya berjumlah
sekitar 3,5 juta, ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya. PKI juga mengontrol
pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta anggota dan pergerakan petani Barisan
Tani Indonesia yang mempunyai 9 juta anggota. Termasuk pergerakan wanita (Gerwani),
organisasi penulis dan artis dan pergerakan sarjananya, PKI mempunyai lebih dari 20 juta
anggota dan pendukung.
Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi di
bawah dekrit presiden - sekali lagi dengan dukungan penuh dari PKI. Ia memperkuat tangan
Page
25
angkatan bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang penting.
Sukarno menjalankan sistem "Demokrasi Terpimpin". PKI menyambut "Demokrasi
Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa dia mempunyai mandat untuk
persekutuan Konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama dan Komunis yang dinamakan
NASAKOM.
Pada era "Demokrasi Terpimpin", kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum
burjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani,
gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan
ekspor menurun, foreign reserves menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan
militer menjadi wabah.
Partai ini didirikan atas inisiatif tokoh sosialis Belanda, Henk Sneevliet pada 1914,
dengan nama Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) (atau Persatuan Sosial
Demokrat Hindia Belanda). Keanggotaan awal ISDV pada dasarnya terdiri atas 85 anggota
dari dua partai sosialis Belanda, yaitu SDAP (Partai Buruh Sosial Demokratis) dan SDP
(Partai Sosial Demokratis), yang aktif di Hindia Belanda.
Pada Oktober 101 SM ISDV mulai aktif dalam penerbitan dalam bahasa Belanda, "Het Vrije
Woord" (Kata yang Merdeka). Editornya adalah Adolf Baars.
Pada saat pembentukannya, ISDV tidak menuntut kemerdekaan Indonesia. Pada saat
itu, ISDV mempunyai sekitar 100 orang anggota, dan dari semuanya itu hanya tiga orang
yang merupakan warga pribumi Indonesia. Namun demikian, partai ini dengan cepat
berkembang menjadi radikal dan anti kapitalis. Di bawah pimpinan Sneevliet partai ini
merasa tidak puas dengan kepemimpinan SDAP di Belanda, dan yang menjauhkan diri dari
ISDV. Pada 1917, kelompok reformis dari ISDV memisahkan diri dan membentuk partainya
sendiri, yaitu Partai Demokrat Sosial Hindia.
Pada 1917 ISDV mengeluarkan penerbitannya sendiri dalam bahasa Melayu, "Soeara
Merdeka".
Di bawah kepemimpinan Sneevliet, ISDV yakin bahwa Revolusi Oktober seperti yang
terjadi di Rusia harus diikuti Indonesia. Kelompok ini berhasil mendapatkan pengikut di
antara tentara-tentara dan pelaut Belanda yang ditempatkan di Hindia Belanda. Dibentuklah
"Pengawal Merah" dan dalam waktu tiga bulan jumlah mereka telah mencapai 3.000 orang.
Pada akhir 1917, para tentara dan pelaut itu memberontak di Surabaya, sebuah pangkalan
angkatan laut utama di Indonesia saat itu, dan membentuk sebuah dewan soviet. Para
penguasa kolonial menindas dewan-dewan soviet di Surabaya dan ISDV. Para pemimpin
ISDV dikirim kembali ke Belanda, termasuk Sneevliet. Para pemimpin pemberontakan di
kalangan militer Belanda dijatuhi hukuman penjara hingga 40 tahun.
ISDV terus melakukan kegiatannya, meskipun dengan cara bergerak di bawah tanah.
Organisasi ini kemudian menerbitkan sebuah terbitan yang lain, Soeara Ra’jat. Setelah
sejumlah kader Belanda dikeluarkan dengan paksa, ditambah dengan pekerjaan di kalangan
Page
26
Sarekat Islam, keanggotaan organisasi ini pun mulai berubah dari mayoritas warga Belanda
menjadi mayoritas orang Indonesia.
Pada awalnya PKI adalah gerakan yang berasimilasi ke dalam Sarekat Islam. Keadaan
yang semakin parah dimana ada perselisihan antara para anggotanya, terutama di Semarang
dan Yogyakarta membuat Sarekat Islam melaksanakan disiplin partai. Yakni melarang
anggotanya mendapat gelar ganda di kancah perjuangan pergerakan indonesia. Keputusan
tersebut tentu saja membuat para anggota yang beraliran komunis kesal dan keluar dari
partai dan membentuk partai baru yang disebut ISDV. Pada Kongres ISDV di Semarang
(Mei 1920), nama organisasi ini diubah menjadi Perserikatan Komunis di Hindia. Semaoen
diangkat sebagai ketua partai.
PKH adalah partai komunis pertama di Asia yang menjadi bagian dari Komunis
Internasional. Henk Sneevliet mewakili partai ini pada kongresnya kedua Komunis
Internasional pada 1920.
Pada 1924 nama partai ini sekali lagi diubah, kali ini adalah menjadi Partai Komunis
Indonesia (PKI).
Pemberontakan 1926
Rencana pemberontakan itu sendiri sudah dirancang sejak lama. Yakni di dalam
perundingan rahasia aktivis PKI di Prambanan. Rencana itu ditolak tegas oleh Tan Malaka,
salah satu tokoh utama PKI yang mempunyai banyak massa terutama di Sumatra. Penolakan
tersebut membuat Tan Malaka di cap sebagai pengikut Leon Trotsky yang juga sebagai
tokoh sentral perjuangan Revolusi Rusia. Walau begitu, beberapa aksi PKI justru terjadi
setelah pemberontakan di Jawa terjadi. Semisal Pemberontakan Silungkang di Sumatra.
Pada masa awal pelarangan ini, PKI berusaha untuk tidak menonjolkan diri, terutama
karena banyak dari pemimpinnya yang dipenjarakan. Pada 1935 pemimpin PKI Moeso
kembali dari pembuangan di Moskwa, Uni Soviet, untuk menata kembali PKI dalam
gerakannya di bawh tanah. Namun Moeso hanya tinggal sebentar di Indonesia. Kini PKI
bergerak dalam berbagai front, seperti misalnya Gerindo dan serikat-serikat buruh. Di
Belanda, PKI mulai bergerak di antara mahasiswa-mahasiswa Indonesia di kalangan
organisasi nasionalis, Perhimpoenan Indonesia , yang tak lama kemudian berada di dalam
kontrol PKI.
Sejalan dengan peristiwa itu, datanglah Muso seorang tokoh komunis yang sejak lama
berada di Moskow, Uni Soviet. Ia menggabungkan diri dengan Amir Syarifuddin untuk
menentang pemerintah, bahkan ia berhasil mengambil alih pucuk pimpinan PKI. Setelah itu,
ia dan kawan-kawannya meningkatkan aksi teror, mengadu domba kesatuan-kesatuan TNI
dan menjelek-jelekan kepemimpinan Soekarno-Hatta. Puncak aksi PKI adalah
pemberotakan terhadap RI pada 18 September 1948 di Madiun, Jawa Timur. Tujuan
pemberontakan itu adalah meruntuhkan negara RI dan menggantinya dengan negara
komunis. Dalam aksi ini beberapa pejabat, perwira TNI, pimpinan partai, alim ulama dan
rakyat yang dianggap musuh dibunuh dengan kejam. Tindakan kekejaman ini membuat
rakyat marah dan mengutuk PKI. Tokoh-tokoh pejuang dan pasukan TNI memang sedang
menghadapi Belanda, tetapi pemerintah RI mampu bertindak cepat. Panglima Besar
Soedirman memerintahkan Kolonel Gatot Subroto di Jawa Tengah dan Kolonel Sungkono
di Jawa Timur untuk menjalankan operasi penumpasan pemberontakan PKI. Pada 30
September 1948, Madiun dapat diduduki kembali oleh TNI dan polisi. Dalam operasi ini
Muso berhasil ditembak mati sedangkan Amir Syarifuddin dan tokoh-tokoh lainnya
ditangkap dan dijatuhi hukuman mati.
Bangkit kembali
Pada Agustus 1951, PKI memimpin serangkaian pemogokan militan, yang diikuti oleh
tindakan-tindakan tegas terhadap PKI di Medan dan Jakarta. Akibatnya, para pemimpin PKI
kembali bergerak di bawah tanah untuk sementara waktu.
Page
28
Pemilu 1955
Pada Pemilu 1955, PKI menempati tempat ke empat dengan 16% dari keseluruhan
suara. Partai ini memperoleh 39 kursi (dari 257 kursi yang diperebutkan) dan 80 dari 514
kursi di Konstituante.
Pada Juli 1957, kantor PKI di Jakarta diserang dengan granat. Pada bulan yang sama
PKI memperoleh banyak kemajuan dalam pemilihan-pemilihan di beberapa kota. Pada
September 1957, Masjumi secara terbuka menuntut supaya PKI dilarang.
Pada 3 Desember 1957, serikat-serikat buruh yang pada umumnya berada di bawah
pengaruh PKI, mulai menguasai perusahaan-perusahaan milik Belanda. Penguasaan ini
merintis nasionalisasi atas perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh asing. Perjuangan
melawan para kapitalis asing memberikan PKI kesempatan untuk menampilkan diri sebagai
sebuah partai nasional.
Pada Februari 1958 terjadi sebuah upaya koreksi terhadap kebijakan Sukarno yang
mulai condong ke timur di kalangan militer dan politik sayap kanan. Mereka juga menuntut
agar pemerintah pusat konsisten dalam melaksanakan UUDS 1950, selain itu pembagian
hasil bumi yang tidak merata antara pusat dan daerah menjadi pemicu. Gerakan yang
berbasis di Sumatera dan Sulawesi, mengumumkan pada 15 Februari 1958 telah terbentuk
Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Pemerintahan yang disebut
revolusioner ini segera menangkapi ribuan kader PKI di wilayah-wilayah yang berada di
bawah kontrol mereka. PKI mendukung upaya-upaya Soekarno untuk memadamkan
gerakan ini, termasuk pemberlakuan Undang-Undang Darurat. Gerakan ini pada akhirnya
berhasil dipadamkan.
Ketika gagasan tentang Malaysia berkembang, PKI maupun Partai Komunis Malaya
menolaknya.
Dengan berkembangnya dukungan dan keanggotaan yang mencapai 3 juta orang pada
1965, PKI menjadi partai komunis terkuat di luar Uni Soviet dan RRC. Partai itu mempunyai
basis yang kuat dalam sejumlah organisasi massa, seperti SOBSI (Sentral Organisasi Buruh
Seluruh Indonesia), Pemuda Rakjat, Gerwani, Barisan Tani Indonesia (BTI), Lembaga
Kebudajaan Rakjat (Lekra) dan Himpunan Sardjana Indonesia (HSI). Menurut perkiraan
seluruh anggota partai dan organisasi-organisasi yang berada di bawah payungnya mungkin
mencapai seperlima dari seluruh rakyat Indonesia.
Pada Maret 1962, PKI bergabung dengan pemerintah. Para pemimpin PKI, Aidit dan
Njoto, diangkat menjadi menteri penasihat. Pada bulan April 1962, PKI menyelenggarakan
kongres partainya. Pada 1963, pemerintah Malaysia, Indonesia dan Filipina terlibat dalam
pembahasan tentang pertikaian wilayah dan kemungkinan tentang pembentukan sebuah
Page
29
Konfederasi Maphilindo, sebuah gagasan yang dikemukakan oleh presiden Filipina,
Diosdado Macapagal. PKI menolak gagasan pembentukan Maphilindo dan federasi
Malaysia. Para anggota PKI yang militan menyeberang masuk ke Malaysia dan terlibat
dalam pertempuran-pertempuran dengan pasukan-pasukan Inggris dan Australia. Sebagian
kelompok berhasil mencapai Malaysia lalu bergabung dalam perjuangan di sana. Namun
demikian kebanyakan dari mereka ditangkap begitu tiba.
Salah satu hal yang sangat aneh yang dilakukan PKI adalah dengan diusulkannya Angkatan
ke-5 yang terdiri dari buruh dan petani, kemungkinan besar PKI ingin mempunyai semacam
militer partai seperti Partai Komunis Cina dan Nazi dengan SS nya. Hal inilah yang
membuat TNI AD merasa khawatir takut adanya penyelewengan senjata yang dilakukan
PKI dengan "tentaranya".
Pada tahun 1960 keluarlah Undang-Undang Pokok Agraria (UU Pokok Agraria) dan
Undang-Undang Pokok Bagi Hasil (UU Bagi Hasil) yang sebenarnya merupakan kelanjutan
dari Panitia Agraria yang dibentuk pada tahun 1948. Panitia Agraria yang menghasilkan
UUPA terdiri dari wakil pemerintah dan wakil berbagai ormas tani yang mencerminkan 10
kekuatan partai politik pada masa itu. Walaupun undang-undangnya sudah ada namun
pelaksanaan di daerah tidak jalan sehingga menimbulkan gesekan antara para petani
penggarap dengan pihak pemilik tanah yang takut terkena UUPA, melibatkan sebagian
massa pengikutnya dengan melibatkan backing aparat keamanan. Peristiwa yang menonjol
dalam rangka ini antara lain peristiwa Bandar Betsi di Sumatera Utara dan peristiwa di
Klaten yang disebut sebagai ‘aksi sepihak’ dan kemudian digunakan sebagai dalih oleh
militer untuk membersihkannya.
Keributan antara PKI dan Islam (tidak hanya NU, tapi juga dengan Persis dan
Muhammadiyah) itu pada dasarnya terjadi di hampir semua tempat di Indonesia, di Jawa
Barat, Jawa Timur, dan di propinsi-propinsi lain juga terjadi hal demikian, PKI di beberapa
tempat bahkan sudah mengancam kyai-kyai bahwa mereka akan disembelih setelah tanggal
30 September 1965 (hal ini membuktikan bahwa seluruh elemen PKI mengetahui rencana
kudeta 30 September tersebut).
Faktor Malaysia
Negara Federasi Malaysia yang baru terbentuk pada tanggal 16 September 1963
adalah salah satu faktor penting dalam insiden ini. Konfrontasi Indonesia-Malaysia
merupakan salah satu penyebab kedekatan Presiden Soekarno dengan PKI, menjelaskan
motivasi para tentara yang menggabungkan diri dalam gerakan G30S/Gestok (Gerakan Satu
Oktober), dan juga pada akhirnya menyebabkan PKI melakukan penculikan petinggi
Angkatan Darat.
“
Sejak demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur, di mana para demonstran
menyerbu gedung KBRI, merobek-robek foto Soekarno, membawa lambang
negara Garuda Pancasila ke hadapan Tunku Abdul Rahman—Perdana ”
Page
30
Menteri Malaysia saat itu—dan memaksanya untuk menginjak Garuda,
amarah Soekarno terhadap Malaysia pun meledak.
Soekarno yang murka karena hal itu mengutuk tindakan Tunku yang menginjak-injak
lambang negara Indonesia dan ingin melakukan balas dendam dengan melancarkan gerakan
yang terkenal dengan sebutan "Ganyang Malaysia" kepada negara Federasi Malaysia yang
telah sangat menghina Indonesia dan presiden Indonesia. Perintah Soekarno kepada
Angkatan Darat untuk meng"ganyang Malaysia" ditanggapi dengan dingin oleh para
jenderal pada saat itu. Di satu pihak Letjen Ahmad Yani tidak ingin melawan Malaysia yang
dibantu oleh Inggris dengan anggapan bahwa tentara Indonesia pada saat itu tidak memadai
untuk peperangan dengan skala tersebut, sedangkan di pihak lain Kepala Staf TNI Angkatan
Darat A.H. Nasution setuju dengan usulan Soekarno karena ia mengkhawatirkan isu
Malaysia ini akan ditunggangi oleh PKI untuk memperkuat posisinya di percaturan politik
di Indonesia.
Posisi Angkatan Darat pada saat itu serba salah karena di satu pihak mereka tidak
yakin mereka dapat mengalahkan Inggris, dan di lain pihak mereka akan menghadapi
Soekarno yang mengamuk jika mereka tidak berperang. Akhirnya para pemimpin Angkatan
Darat memilih untuk berperang setengah hati di Kalimantan. Tak heran, Brigadir Jenderal
Suparjo, komandan pasukan di Kalimantan Barat, mengeluh, konfrontasi tak dilakukan
sepenuh hati dan ia merasa operasinya disabotase dari belakang[3]. Hal ini juga dapat dilihat
dari kegagalan operasi gerilya di Malaysia, padahal tentara Indonesia sebenarnya sangat
mahir dalam peperangan gerilya.
“
Soekarno adalah seorang individualis. Manusia jang tjongkak dengan suara-
batin yang menjala-njala, manusia jang mengakui bahwa ia mentjintai dirinja
sendiri tidak mungkin mendjadi satelit jang melekat pada bangsa lain.
Soekarno tidak mungkin menghambakan diri pada dominasi kekuasaan
manapun djuga. Dia tidak mungkin menjadi boneka. ”
Di pihak PKI, mereka menjadi pendukung terbesar gerakan "ganyang Malaysia" yang
mereka anggap sebagai antek Inggris, antek nekolim. PKI juga memanfaatkan kesempatan
itu untuk keuntungan mereka sendiri, jadi motif PKI untuk mendukung kebijakan Soekarno
tidak sepenuhnya idealis.
Pada saat PKI memperoleh angin segar, justru para penentangnyalah yang
menghadapi keadaan yang buruk; mereka melihat posisi PKI yang semakin menguat sebagai
suatu ancaman, ditambah hubungan internasional PKI dengan Partai Komunis sedunia,
khususnya dengan adanya poros Jakarta-Beijing-Moskow-Pyongyang-Phnom Penh.
Soekarno juga mengetahui hal ini, namun ia memutuskan untuk mendiamkannya karena ia
masih ingin meminjam kekuatan PKI untuk konfrontasi yang sedang berlangsung, karena
Page
31
posisi Indonesia yang melemah di lingkungan internasional sejak keluarnya Indonesia dari
PBB (20 Januari 1965).
Dari sebuah dokumen rahasia badan intelejen Amerika Serikat (CIA) yang baru
dibuka yang bertanggalkan 13 Januari 1965 menyebutkan sebuah percakapan santai
Soekarno dengan para pemimpin sayap kanan bahwa ia masih membutuhkan dukungan PKI
untuk menghadapi Malaysia dan oleh karena itu ia tidak bisa menindak tegas mereka.
Namun ia juga menegaskan bahwa suatu waktu "giliran PKI akan tiba. "Soekarno berkata,
"Kamu bisa menjadi teman atau musuh saya. Itu terserah kamu. ... Untukku, Malaysia itu
musuh nomor satu. Suatu saat saya akan membereskan PKI, tetapi tidak sekarang.”
Dari pihak Angkatan Darat, perpecahan internal yang terjadi mulai mencuat ketika
banyak tentara yang kebanyakan dari Divisi Diponegoro yang kesal serta kecewa kepada
sikap petinggi Angkatan Darat yang takut kepada Malaysia, berperang hanya dengan
setengah hati, dan berkhianat terhadap misi yang diberikan Soekarno. Mereka memutuskan
untuk berhubungan dengan orang-orang dari PKI untuk membersihkan tubuh Angkatan
Darat dari para jenderal ini.
Gerakan 30 September
Alasan utama tercetusnya peristiwa G30S disebabkan sebagai suatu upaya pada
melawan apa yang disebut "rencana Dewan Jenderal hendak melakukan coup d‘etat terhadap
Presiden Sukarno“.[April 2010]
Aktivitas PKI dirasakan oleh kalangan politik, beberapa bulan menjelang Peristiwa
G30S, makin agresif. Meski pun tidak langsung menyerang Bung Karno, tapi serangan yang
sangat kasar misalnya terhadap apa yang disebut "kapitalis birokrat“[April 2010] terutama yang
bercokol di perusahaan-perusahaan negara, pelaksanaan UU Pokok Agraria yang tidak
menepati waktunya sehingga melahirkan "Aksi Sepihak“ dan istilah "7 setan desa“[April 2010],
serta serangan-serangan terhadap pelaksanaan Demokrasi Terpimpin yang dianggap hanya
bertitik berat kepada "kepemimpinan“-nya dan mengabaikan "demokrasi“-nya[April 2010],
adalah pertanda meningkatnya rasa superioritas PKI[April 2010], sesuai dengan statementnya
yang menganggap bahwa secara politik, PKI merasa telah berdominasi.[April 2010] Anggapan
bahwa partai ini berdominasi,pada akhirnya tidak lebih dari satu ilusi.[April 2010]
Ada pun Gerakan 30 September 1965, secara politik dikendalikan oleh sebuah Dewan
Militer yang diketuai oleh D.N. Aidit dengan wakilnya Kamaruzzaman (Syam), bermarkas
di rumah sersan (U) Suyatno di komplek perumahan AURI, di Pangkalan Udara Halim.
Sedang operasi militer dipimpin oleh kolonel A. Latief sebagai komandan SENKO (Sentral
Komando) yang bermarkas di Pangkalan Udara Halim dengan kegiatan operasi dikendalikan
dari gedung PENAS (Pemetaan Nasional), yang juga instansi AURI dan dari Tugu MONAS
(Monumen Nasional). Sedang pimpinan gerakan, adalah Letkol. Untung Samsuri.
Menurut keterangan, sejak dicetuskannya gerakan itu, Dewan Militer PKI mengambil
alih semua wewenang Politbiro, sehingga instruksi politik yang dianggap sah, hanyalah yang
bersumber dari Dewan Militer. Tapi setelah nampak bahwa gerakan akan mengalami
kegagalan, karena mekanisme pengorganisasiannya tidak berjalan sesuai dengan rencana,
Page
32
maka dewan ini tidak berfungsi lagi. Apa yang dikerjakan ialah bagaimana mencari jalan
menyelamatkan diri masing-masing. Aidit dengan bantuan AURI, terbang ke Yogyakarta,
sedang Syam segera menghilang dan tak bisa ditemui oleh teman-temannya yang
memerlukan instruksi mengenai gerakan selanjutnya.
Antara kebenaran dan manipulasi sejarah. Dalam konflik penafsiran dan kontroversi
narasi atas Peristiwa 30 September 1965 dan peranan PKI, klaim kebenaran bagaikan
pendulum yang berayun dari kiri ke kanan dan sebaliknya, sehingga membingungkan
masyarakat, terutama generasi baru yang masanya jauh sesudah peristiwa terjadi. Tetapi
perbedaan versi kebenaran terjadi sejak awal segera setelah terjadinya peristiwa.
Presiden Soekarno pun berkali-kali melakukan pembelaan bahwa PKI tidak terlibat
dalam peristiwa sebagai partai melainkan karena adanya sejumlah tokoh partai yang
keblinger dan terpancing oleh insinuasi Barat, lalu melakukan tindakan-tindakan, dan karena
itu Soekarno tidak akan membubarkan PKI. Kemudian, pimpinan dan sejumlah perwira
Angkatan Darat memberi versi keterlibatan PKI sepenuhnya, dalam penculikan dan
pembunuhan enam jenderal dan seorang perwira pertama AD pada tengah malam 30
September menuju dinihari 1 Oktober 1965. Versi ini segera diterima secara umum sesuai
fakta kasat mata yang terhidang dan ditopang pengalaman buruk bersama PKI dalam
kehidupan sosial dan politik pada tahun-tahun terakhir. Hanya saja harus diakui bahwa
sejumlah perwira penerangan telah menambahkan dramatisasi artifisial terhadap kekejaman,
melebihi peristiwa sesungguhnya (in factum). Penculikan dan kemudian pembunuhan para
jenderal menurut fakta memang sudah kejam, tetapi dramatisasi dengan pemaparan yang
hiperbolis dalam penyajian, telah memberikan efek mengerikan melampaui batas yang
mampu dibayangkan semula. Dan akhirnya, mengundang pembalasan yang juga tiada
taranya dalam penumpasan berdarah antar manusia di Indonesia.
Terdapat sejumlah nuansa berbeda yang harus bisa dipisahkan satu sama lain dengan
cermat dan arif, dalam menghadapi masalah keterlibatan PKI pada peristiwa-peristiwa
politik sekitar 1965. Bahwa sejumlah tokoh utama PKI terlibat dalam Gerakan 30 September
1965 dan kemudian melahirkan Peristiwa 30 September 1965 –suatu peristiwa di mana enam
jenderal dan satu perwira pertama Angkatan Darat diculik dan dibunuh– sudah merupakan
fakta yang tak terbantahkan. Bahwa ada usaha merebut kekuasaan dengan pembentukan
Page
33
Dewan Revolusi yang telah mengeluarkan sejumlah pengumuman tentang pengambilalihan
kekuasaan, kasat mata, ada dokumen-dokumennya. Bahwa ada lika-liku politik dalam
rangka pertarungan kekuasaan sebagai latar belakang, itu adalah soal lain yang memang
perlu lebih diperjelas duduk masalah sebenarnya, dari waktu ke waktu, untuk lebih
mendekati kebenaran sesungguhnya. Proses mendekati kebenaran tak boleh dihentikan.
Bahwa dalam proses sosiologis berikutnya, akibat dorongan konflik politik maupun konflik
sosial yang tercipta terutama dalam kurun waktu Nasakom 1959-1965, terjadi malapetaka
berupa pembunuhan massal dalam perspektif pembalasan dengan anggota-anggota PKI
terutama sebagai korban, pun merupakan fakta sejarah. Ekses telah dibalas dengan ekses,
gejala diperangi dengan gejala.
Sejak tahun 1964 sampai menjelang meletusnya G30S telah beredar isu sakit parahnya
Bung Karno. Hal ini meningkatkan kasak-kusuk dan isu perebutan kekuasaan apabila Bung
Karno meninggal dunia. Namun menurut Subandrio, Aidit tahu persis bahwa Bung Karno
hanya sakit ringan saja, jadi hal ini bukan merupakan alasan PKI melakukan tindakan
tersebut.
Angkatan kelima
Pada awal tahun 1965 Bung Karno atas saran dari PKI akibat dari tawaran perdana
mentri RRC, mempunyai ide tentang Angkatan Kelima yang berdiri sendiri terlepas dari
ABRI. Tetapi petinggi Angkatan Darat tidak setuju dan hal ini lebih menimbulkan nuansa
curiga-mencurigai antara militer dan PKI.
Dari tahun 1963, kepemimpinan PKI makin lama makin berusaha memprovokasi
bentrokan-bentrokan antara aktivis massanya dan polisi dan militer. Pemimpin-pemimpin
PKI juga menginfiltrasi polisi dan tentara denga slogan "kepentingan bersama" polisi dan
"rakyat". Pemimpin PKI DN Aidit mengilhami slogan "Untuk Ketentraman Umum Bantu
Polisi". Di bulan Agustus 1964, Aidit menganjurkan semua anggota PKI membersihkan diri
dari "sikap-sikap sektarian" kepada angkatan bersenjata, mengimbau semua pengarang dan
seniman sayap-kiri untuk membuat "massa tentara" subjek karya-karya mereka.
Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ribuan petani bergerak merampas tanah yang bukan
hak mereka atas hasutan PKI. Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka dan polisi
dan para pemilik tanah.
Pada permulaan 1965, para buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan karet dan
minyak milik Amerika Serikat. Kepemimpinan PKI menjawab ini dengan memasuki
Page
34
pemerintahan dengan resmi. Pada waktu yang sama, jenderal-jenderal militer tingkat tinggi
juga menjadi anggota kabinet. Jendral-jendral tersebut masuk kabinet karena jabatannya di
militer oleh Sukarno disamakan dengan setingkat mentri. Hal ini dapat dibuktikan dengan
nama jabatannya (Menpangab, Menpangad, dan lain-lain).
Menteri-menteri PKI tidak hanya duduk di sebelah para petinggi militer di dalam
kabinet Sukarno ini, tetapi mereka terus mendorong ilusi yang sangat berbahaya bahwa
angkatan bersenjata adalah merupakan bagian dari revolusi demokratis "rakyat".
Rezim Sukarno mengambil langkah terhadap para pekerja dengan melarang aksi-aksi
mogok di industri. Kepemimpinan PKI tidak berkeberatan karena industri menurut mereka
adalah milik pemerintahan NASAKOM.
Amerika Serikat pada waktu itu sedang terlibat dalam perang Vietnam dan berusaha
sekuat tenaga agar Indonesia tidak jatuh ke tangan komunisme. Peranan badan intelejen
Amerika Serikat (CIA) pada peristiwa ini sebatas memberikan 50 juta rupiah (uang saat itu)
kepada Adam Malik dan walkie-talkie serta obat-obatan kepada tentara Indonesia. Politisi
Amerika pada bulan-bulan yang menentukan ini dihadapkan pada masalah yang
membingungkan karena mereka merasa ditarik oleh Sukarno ke dalam konfrontasi
Indonesia-Malaysia ini.
Salah satu pandangan mengatakan bahwa peranan Amerika Serikat dalam hal ini tidak
besar, hal ini dapat dilihat dari telegram Duta Besar Green ke Washington pada tanggal 8
Agustus 1965 yang mengeluhkan bahwa usahanya untuk melawan propaganda anti-Amerika
di Indonesia tidak memberikan hasil bahkan tidak berguna sama sekali. Dalam telegram
kepada Presiden Johnson tanggal 6 Oktober, agen CIA menyatakan ketidakpercayaan
kepada tindakan PKI yang dirasa tidak masuk akal karena situasi politis Indonesia yang
sangat menguntungkan mereka, dan hingga akhir Oktober masih terjadi kebingungan atas
pembantaian di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali dilakukan oleh PKI atau NU/PNI.
Page
35
Pandangan lain, terutama dari kalangan korban dari insiden ini, menyebutkan bahwa
Amerika menjadi aktor di balik layar dan setelah dekrit Supersemar Amerika memberikan
daftar nama-nama anggota PKI kepada militer untuk dibunuh. Namun hingga saat ini kedua
pandangan tersebut tidak memiliki banyak bukti-bukti fisik.
Faktor ekonomi
Ekonomi masyarakat Indonesia pada waktu itu yang sangat rendah mengakibatkan
dukungan rakyat kepada Soekarno (dan PKI) meluntur. Mereka tidak sepenuhnya
menyetujui kebijakan "ganyang Malaysia" yang dianggap akan semakin memperparah
keadaan Indonesia.
Inflasi yang mencapai 650% membuat harga makanan melambung tinggi, rakyat
kelaparan dan terpaksa harus antri beras, minyak, gula, dan barang-barang kebutuhan pokok
lainnya. Beberapa faktor yang berperan kenaikan harga ini adalah keputusan Suharto-
Nasution untuk menaikkan gaji para tentara 500% dan penganiayaan terhadap kaum
pedagang Tionghoa yang menyebabkan mereka kabur. Sebagai akibat dari inflasi tersebut,
banyak rakyat Indonesia yang sehari-hari hanya makan bonggol pisang, umbi-umbian,
gaplek, serta bahan makanan yang tidak layak dikonsumsi lainnya; pun mereka
menggunakan kain dari karung sebagai pakaian mereka.
Faktor ekonomi ini menjadi salah satu sebab kemarahan rakyat atas pembunuhan
keenam jenderal tersebut, yang berakibat adanya backlash terhadap PKI dan pembantaian
orang-orang yang dituduh anggota PKI di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali serta tempat-
tempat lainnya.
Peristiwa
Pada 1 Oktober 1965 dini hari, enam jenderal senior dan beberapa orang lainnya
dibunuh dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal istana (Cakrabirawa)
yang dianggap loyal kepada PKI dan pada saat itu dipimpin oleh Letkol. Untung. Panglima
Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto kemudian mengadakan
penumpasan terhadap gerakan tersebut.
Pada saat-saat yang genting sekitar bulan September 1965 muncul isu adanya Dewan
Jenderal yang mengungkapkan adanya beberapa petinggi Angkatan Darat yang tidak puas
terhadap Soekarno dan berniat untuk menggulingkannya. Menanggapi isu ini, Soekarno
disebut-sebut memerintahkan pasukan Cakrabirawa untuk menangkap dan membawa
mereka untuk diadili oleh Soekarno. Namun yang tidak diduga-duga, dalam operasi
penangkapan jenderal-jenderal tersebut, terjadi tindakan beberapa oknum yang termakan
emosi dan membunuh Letjen Ahmad Yani, Panjaitan, dan Harjono.
Dokumen Gilchrist yang diambil dari nama duta besar Inggris untuk Indonesia
Andrew Gilchrist beredar hampir bersamaan waktunya dengan isu Dewan Jenderal.
Dokumen ini, yang oleh beberapa pihak disebut sebagai pemalsuan oleh intelejen Ceko di
Page
36
bawah pengawasan Jenderal Agayant dari KGB Rusia, menyebutkan adanya "Teman
Tentara Lokal Kita" yang mengesankan bahwa perwira-perwira Angkatan Darat telah dibeli
oleh pihak Barat[4]. Kedutaan Amerika Serikat juga dituduh memberikan daftar nama-nama
anggota PKI kepada tentara untuk "ditindaklanjuti". Dinas intelejen Amerika Serikat
mendapat data-data tersebut dari berbagai sumber, salah satunya seperti yang ditulis John
Hughes, wartawan The Nation yang menulis buku "Indonesian Upheaval", yang dijadikan
basis skenario film "The Year of Living Dangerously", ia sering menukar data-data apa yang
ia kumpulkan untuk mendapatkan fasilitas teleks untuk mengirimkan berita.
Hingga saat ini tidak ada bukti keterlibatan/peran aktif Soeharto dalam aksi penculikan
tersebut. Satu-satunya bukti yang bisa dielaborasi adalah pertemuan Soeharto yang saat itu
menjabat sebagai Pangkostrad (pada zaman itu jabatan Panglima Komando Strategis
Cadangan Angkatan Darat tidak membawahi pasukan, berbeda dengan sekarang) dengan
Kolonel Abdul Latief di Rumah Sakit Angkatan Darat.
Meski demikian, Suharto merupakan pihak yang paling diuntungkan dari peristiwa
ini. Banyak penelitian ilmiah yang sudah dipublikasikan di jurnal internasional mengungkap
keterlibatan Suharto dan CIA. Beberapa diantaranya adalah, Cornell Paper, karya Benedict
R.O'G. Anderson and Ruth T. McVey (Cornell University), Ralph McGehee (The
Indonesian Massacres and the CIA), Government Printing Office of the US (Department of
State, INR/IL Historical Files, Indonesia, 1963-1965. Secret; Priority; Roger Channel;
Special Handling), John Roosa (Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement
and Suharto's Coup d'État in Indonesia), Prof. Dr. W.F. Wertheim (Serpihan Sejarah Th65
yang Terlupakan).
Korban
Jenderal TNI Abdul Harris Nasution yang menjadi sasaran utama, selamat dari upaya
pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan beliau,
Lettu CZI Pierre Andreas Tendean tewas dalam usaha pembunuhan tersebut.
Bripka Karel Satsuit Tubun (Pengawal kediaman resmi Wakil Perdana Menteri II dr.J.
Leimena)
Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)
Page
37
Letkol Sugiyono Mangunwiyoto (Kepala Staf Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)
Para korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang
dikenal sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober.
Pasca Kejadian
Pasca pembunuhan beberapa perwira TNI AD, PKI mampu menguasai dua sarana
komunikasi vital, yaitu studio RRI di Jalan Merdeka Barat dan Kantor Telekomunikasi yang
terletak di Jalan Merdeka Selatan. Melalui RRI, PKI menyiarkan pengumuman tentang
Gerakan 30 September yang ditujukan kepada para perwira tinggi anggota “Dewan
Jenderal” yang akan mengadakan kudeta terhadap pemerintah. Diumumkan pula
terbentuknya “Dewan Revolusi” yang diketuai oleh Letkol Untung Sutopo.
Di Jawa Tengah dan DI. Yogyakarta, PKI melakukan pembunuhan terhadap Kolonel
Katamso (Komandan Korem 072/Yogyakarta) dan Letnan Kolonel Sugiyono (Kepala Staf
Korem 072/Yogyakarta). Mereka diculik PKI pada sore hari 1 Oktober 1965. Kedua perwira
ini dibunuh karena secara tegas menolak berhubungan dengan Dewan Revolusi. Pada
tanggal 1 Oktober 1965 Sukarno dan sekretaris jendral PKI Aidit menanggapi pembentukan
Dewan Revolusioner oleh para "pemberontak" dengan berpindah ke Pangkalan Angkatan
Udara Halim di Jakarta untuk mencari perlindungan.
“
Saya perintahkan kepada Jenderal Mayor Soeharto, sekarang Angkatan Darat
pimpinannya saya berikan kepadamu, buatlah Angkatan Darat ini satu
Angkatan dari pada Republik Indonesia, Angkatan Bersenjata daripada
Republik Indonesia yang sama sekali menjalankan Panca Azimat Revolusi,
yang sama sekali berdiri di atas Trisakti, yang sama sekali berdiri di atas
Nasakom, yang sama sekali berdiri di atas prinsip Berdikari, yang sama sekali
berdiri atas prinsip Manipol-USDEK.
”
Page
38
Manipol-USDEK telah ditentukan oleh lembaga kita yang tertinggi sebagai
haluan negara Republik Indonesia. Dan oleh karena Manipol-USDEK ini
adalah haluan daripada negara Republik Indonesia, maka dia harus dijunjung
tinggi, dijalankan, dipupuk oleh semua kita. Oleh Angkatan Darat, Angkatan
Laut, Angkatan Udara, Angkatan Kepolisian Negara. Hanya jikalau kita
berdiri benar-benar di atas Panca Azimat ini, kita semuanya, maka barulah
revousi kita bisa jaya.
Dalam sebuah Konferensi Tiga Benua di Havana di bulan Februari 1966, perwakilan
Uni-Sovyet berusaha dengan segala kemampuan mereka untuk menghindari pengutukan
atas penangkapan dan pembunuhan orang-orang yang dituduh sebagai PKI, yang sedang
terjadi terhadap rakyat Indonesia. Pendirian mereka mendapatkan pujian dari rejim Suharto.
Parlemen Indonesia mengesahkan resolusi pada tanggal 11 Februari, menyatakan
"penghargaan penuh" atas usaha-usaha perwakilan-perwakilan dari Nepal, Mongolia, Uni-
Sovyet dan negara-negara lain di Konperensi Solidaritas Negara-Negara Afrika, Asia dan
Amerika Latin, yang berhasil menetralisir usaha-usaha para kontra-revolusioner apa yang
dinamakan pergerakan 30 September, dan para pemimpin dan pelindung mereka, untuk
bercampur-tangan di dalam urusan dalam negeri Indonesia."
Dalam bulan-bulan setelah peristiwa ini, semua anggota dan pendukung PKI, atau
mereka yang dianggap sebagai anggota dan simpatisan PKI, semua partai kelas buruh yang
diketahui dan ratusan ribu pekerja dan petani Indonesia yang lain dibunuh atau dimasukkan
ke kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi
di Jawa Tengah (bulan Oktober), Jawa Timur (bulan November) dan Bali (bulan Desember).
Berapa jumlah orang yang dibantai tidak diketahui dengan persis - perkiraan yang
konservatif menyebutkan 500.000 orang, sementara perkiraan lain menyebut dua sampai
tiga juta orang. Namun diduga setidak-tidaknya satu juta orang menjadi korban dalam
bencana enam bulan yang mengikuti kudeta itu.
Pada akhir 1965, antara 500.000 dan satu juta anggota-anggota dan pendukung-
pendukung PKI telah menjadi korban pembunuhan dan ratusan ribu lainnya dipenjarakan di
kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama sekali. Sewaktu regu-regu militer
yang didukung dana CIA menangkapi semua anggota dan pendukung PKI yang terketahui
dan melakukan pembantaian keji terhadap mereka, majalah "Time" memberitakan:
Page
39
"Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan dalam skala yang sedemikian sehingga
pembuangan mayat menyebabkan persoalan sanitasi yang serius di Sumatera Utara,
di mana udara yang lembap membawa bau mayat membusuk. Orang-orang dari
daerah-daerah ini bercerita kepada kita tentang sungai-sungai kecil yang benar-
benar terbendung oleh mayat-mayat. Transportasi sungai menjadi terhambat secara
serius."
Di pulau Bali, yang sebelum itu dianggap sebagai kubu PKI, paling sedikit 35.000
orang menjadi korban di permulaan 1966. Di sana para Tamin, pasukan komando elite Partai
Nasional Indonesia, adalah pelaku pembunuhan-pembunuhan ini. Koresponden khusus dari
Frankfurter Allgemeine Zeitung bercerita tentang mayat-mayat di pinggir jalan atau dibuang
ke dalam galian-galian dan tentang desa-desa yang separuh dibakar di mana para petani tidak
berani meninggalkan kerangka-kerangka rumah mereka yang sudah hangus.
Supersemar
Lima bulan setelah itu, pada tanggal 11 Maret 1966, Sukarno memberi Suharto
kekuasaan tak terbatas melalui Surat Perintah Sebelas Maret. Ia memerintah Suharto untuk
mengambil "langkah-langkah yang sesuai" untuk mengembalikan ketenangan dan untuk
melindungi keamanan pribadi dan wibawanya. Kekuatan tak terbatas ini pertama kali
digunakan oleh Suharto untuk melarang PKI. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya,
Sukarno dipertahankan sebagai presiden tituler diktatur militer itu sampai Maret 1967.
Peringatan
Pada 29 September - 4 Oktober 2006, para eks pendukung PKI mengadakan rangkaian
acara peringatan untuk mengenang peristiwa pembunuhan terhadap ratusan ribu hingga
jutaan jiwa di berbagai pelosok Indonesia. Acara yang bertajuk "Pekan Seni Budaya dalam
rangka memperingati 40 tahun tragedi kemanusiaan 1965" ini berlangsung di Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Indonesia, Depok. Selain civitas academica Universitas Indonesia,
acara itu juga dihadiri para korban tragedi kemanusiaan 1965, antara lain Setiadi, Murad
Aidit, Haryo Sasongko, dan Putmainah.
PNI atau Partai Nasional Indonesia adalah partai politik tertua di Indonesia. Partai
ini didirikan pada 4 Juli 1927 dengan nama Perserikatan Nasional Indonesia dengan
ketuanya pada saat itu adalah Dr. Tjipto Mangunkusumo, Mr. Sartono, Mr Iskaq
Tjokrohadisuryo dan Mr Sunaryo. PNI didirikan oleh Ir. Sukarno pada tahun 1927. Dengan
tiga asasnya, yaitu berdiri di atas kaki sendiri, nonkooperasi, dan marhaenisme, PNI
bertujuan mencapai Indonesia Merdeka.
Page
41
PNI didirikan di Bandung tanggal 4 Juli 1927 sebagai penjelmaan dari Algemene Studie Club.
Tokoh-tokoh pendirinya yaitu Ir. Soekarno, Dr. Tjiptomangunkusumo, Soejadi, Mr. Iskaq
Tjokrohadisuryo, Mr. Boediarto, Mr. Soenario, Mr. Sartono, dan Dr. Samsi. Dalam anggaran
dasarnya, tujuan PNI adalah mencapai Indonesia Merdeka. Asas PNI adalah self-help (menolong
diri sendiri) dan macht vorming (kekuatan sendiri); bersifat non-kooperatif dengan kaum imperialis.
Sedangkan ideologinya adalah marhaenisme (nama seorang petani di Bandung Selatan) yang
mendasarkan kekuatan pada rakyat kecil seperti petani, buruh, dan pedagang kecil yang mampu
berdikari dan tidak bergantung kepada orang lain. Asas PNI, mengadopsi dari ajaran atau gerakan
Mahatma Gandhi (swadesi, satyagraha, hartal), sedangkan ideologi Marhaen mengadopsi dari
gerakan proletariat kaum sosialis.
Karena kegiatannya yang antipenjajah, radikal, dan ekstrim (dimata Belanda), tokoh-
tokohnya sering diperingati dan dalam pengawasan polisi Hindia-Belanda. Pada tanggal 17-18
Desember 1927, PNI berhasil memelopori pembentukan PPPKI (Perhimpunan Perhimpunan Politik
Kebangsaan Indonesia). Pada tanggal 24 Desember 1929, pemerintah Hindia-Belanda menangkap
empat tokoh PNI, yaitu Ir. Soekarno, Maskoen Sumadireja, Gatot Mangkoepraja, dan Supriadinata.
Mereka ditangkap karena dituduh melakukan provokasi untuk melakukan pemberontakan kepada
Belanda. Di depan sidang Pengadilan Negeri (Landraad) Bandung, Ir. Soekarno mengajukan
pembelaannya yang berjudul “Indonesia Menggugat”.
Meskipun tidak ada bukti kongkrit untuk melakukan
pemberontakan, tetapi pada akhirnya ke empat tokoh PNI
tersebut dijatuhi hukuman penjara di penjara Sukamiskin,
Bandung.
Ditangkapnya tokoh-tokoh penting PNI (khususnya
Soekarno) oleh Belanda, Mr. Sartono mengambil inisiatif
membubarkan PNI, dengan alasan “untuk menghindari atau
mendahului vonis Belanda yang menetapkan PNI sebagai partai
terlarang”. Mr. Sartono kemudian mendirikan Partai Indonesia
(Partindo), sedangkan pemimpin lain yang tidak setuju terhadap
pembubaran PNI, mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia
(PNI-Baru) dengan tokoh-tokoh utamanya Drs. Moh. Hatta dan
Sutan Syahrir. Ketika keluar dari penjara, Ir. Soekarno akhirnya
memilih Partindo sebagai media gerakan politiknya.
Partai Nasional Indonesia (PNI) dibentuk di Bandung pada tanggal 4 Juli 1927 dengan
tokoh-tokohnya Ir. Soekarno, Iskaq, Budiarto, Cipto Mangunkusumo, Tilaar, Soedjadi, dan
Soenaryo. Dalam pengurus besar PNI, Ir. Soekarno ditunjuk sebagai ketua, Iskaq sebagai
sekretaris/bendahara, dan Dr. Samsi sebagai komisaris. Sementara itu dalam perekrutan
anggota disebutkan bahwa mantan anggota PKI tidak diperkenankan menjadi anggota PNI,
juga pegawai negeri yang memungkinkan berperan sebagai mata-mata pemerintah kolonial.
Ada dua macam cara yang dilakukan oleh PNI untuk memperkuat diri dan pengaruhnya di
dalam masyarakat, yaitu:
b. Usaha ke luar: Dengan memeperkuat opini publik terhadap tujuan PNI, antara lain
melalui rapat-rapat umum dan menerbitkan surat kabar Benteng Priangan di Bandung
dan Persatuan Indonesia di Batavia.
Page
42
Peningkatan kegiatan rapat-rapat umum di cabang-cabang sejak bulan Mei 1929
menimbulkan suasana yang tegang. Pemerintah kolonial Belanda lebih banyak melakukan
pengawasan secara tegas terhadap kegiata-kegiatan PNI yang dianggap membahayakan
keamanan dan ketertiban. Sering kali polisi menghentikan pidato karena dianggap telah
menghasut rakyat.
Pada tahun 1925, Ir. Soekarno mendirikan perkumpul-an Algeemene Studie Club di
Bandung. Atas insiatif perkumpulan ini maka pada tanggal 4 Juli 1927 berdirilah partai
politik baru yaitu Partai Nasional Indonesia. Para pendirinya adalah Ir. Soekarno, Dr. Tjipto
Mangunkusumo, Ir. Anwari, Mr. Sartono, Mr. Iskaq Tjokrohadisuryo, Mr. Sunaryo, Mr.
Budiarto, dan Dr. Samsi. Dari 8 orang pendiri ini, 5 orang merupakan mantan anggota
Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda.
Tujuan PNI adalah untuk mencapai Indonesia Merdeka. Adapun asasnya adalah Self
help, non kooperatif, dan marhaenisme. Pada waktu rapat di Bandung tanggal 17 – 18
Desember 1927, PNI dapat menggalang persatuan dengan Partai Sarekat Islam
Indonesia, Budi Utomo, Pasundan, Sumatranche Bond, Kaum Betawi, Indonesische
Studieclub, dan Algeemene Studieclub dengan membentuk Pemufakatan Perhimpunan-
Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPKI). Permufakatan ini bertujuan
menyatukan aksi dalam menghadapi imperialisme Belanda.
Dalam Kongres PNI yang pertama di Surabaya (27 – 30 Mei 1928) disahkan susunan
pengurus seperti berikut:
Dalam kongres ini juga disahkan program kegiatan yang meliputi bidang politik,
ekonomi, dan sosial. Dengan program yang jelas diperkuat dengan propaganda-propaganda
Ir. Soekarno sebagai seorang ahli pidato, maka PNI dalam waktu singkat banyak
memperoleh dukungan massa mulai dari Jawa Barat sampai seluruh Jawa, Sumatera,
Kalimantan, dan Sulawesi.
Kongres PNI yang kedua tanggal 18 - 20 Mei 1929 di Jakarta, menetapkan untuk
memilih kembali pengurus PB PNI yang lama. Di samping itu juga memutuskan program
kegiatan di bidang ekonomi/sosial dan politik.
Di bidang ekonomi/sosial antara lain menyokong perkembangan Bank Nasional
Indonesia, mendirikan koperasi-koperasi, mendirikan sekolah-sekolah, rumah sakitrumah
sakit, dan lain-lain. Sedangkan di bidang politik, mengadakan hubungan dengan
Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda dan menunjuk Perhimpunan Indonesia sebagai
wakil PPPKI di luar negeri.
Melihat sepak terjang PNI yang gigih dan semakin memperoleh simpati rakyat
Indonesia, pemerintah kolonial Belanda menjadi semakin cemas. Pada akhir tahun
1929 tersebar desas-desus PNI akan melakukan pemberontakan pada awal tahun
Page
43
1930. Maka berdasarkan desas-desus ini pada tanggal 24 Desember 1929, pemerintah
Hindia Belanda mengadakan penggeledahan dan menangkap empat tokoh PNI, yaitu
Ir. Soekarno, Gatot Mangkuprodjo, Maskoen, dan Soepriadinata. Mereka diajukan
di depan pengadilan Bandung. Dalam proses peradilan itu Ir. Soekarno melakukan
pembelaan dengan judul ”Indonesia Menggugat” akan tetapi hakim kolonial tetap
menjatuhi hukum penjara kepada keempat tokoh ini. Bagaimana pendapatmu atas
nasib yang dialami para tokoh PNI tersebut?
Penangkapan terhadap para tokoh PNI merupakan pukulan berat dan
menggoyahkan partai. Pada kongres luar biasa tanggal 25 April 1931 diputuskan
untuk membubarkan PNI. Hal ini menyebabkan pro dan kontra. Mereka yang setuju
PNI dibubarkan mendirikan Partai Indonesia (Partindo) dipimpin Mr. Sartono.
Sedangkan yang tidak setuju PNI dibubarkan masuk ke dalam Pendidikan Nasional
Indonesia (PNI-Baru) dipimpin Moh. Hatta dan Syahrir.
1. Usaha Politik
Yaitu dengan cara memperkuat rasa kebangsaan persatuan dan kesatuan. Memajukan
pengetahuan sejarah kebangsaan, mempererat kerja sama dengan bangsa-bangsa Asia
dan menumpas segala perintang kemerdekaan dan kehidupan politik. Dalam bidamh
politik, PNI berhasil menghimpunorganisas-organisasi pergerakan lainnya ke dalam
suatu wadah yang disebut Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik
Kebangsaan Indonesia.
2. Usaha Ekonomi
Yaitu dengan memajukan perdagangan rakyat, kerajinan atau industri keci, bank-bank,
sekolah-sekolah, dan koperasi.
3. Usaha Sosial
Yaitu dengan memajukan pengajaran yang bersifat nasional, mengurangi
pengangguran, mengangkat derajat kaum wanita, meningkatkan transmigrasi dan
memperbaiki kesejahteraan rakyat.
Gerakan PNI dipimpin oleh tokoh-tokoh berbobot, seperti Ir. Soekarno, Mr. Ali
Sasrtoamijoyo, Mr. Sartono, yang berpengaruh luas di berbagai daerah di Indonesia. Ir.
Soekarno dengan keahliannya berpidato, berhasil menggerakkan rakyat sesuai dengan
tujuan PNI. Pengaruh PNI juga sangat terasa pada organisasi-organisasi pemuda hingga
melahirkan Sumpah Pemuda dan organisasi wanita yang melahirkan Kongres
Perempuan di Yogyakarta pada 22 Desember 1928.
Masa ini disebut sebagai periode pertama lahirnya partai politik di Indoneisa (waktu
itu Hindia Belanda). Lahirnya partai menandai adanya kesadaran nasional. Pada masa itu
semua organisasi baik yang bertujuan sosial seperti Budi Utomo dan Muhammadiyah,
Page
44
ataupun yang berazaskan politik agama dan sekuler seperti Serikat Islam, PNI dan Partai
Katolik, ikut memainkan peranan dalam pergerakan nasional untuk Indonesia merdeka.
Di luar dewan rakyat ada usaha untuk mengadakan gabungan partai politik dan
menjadikannya semacam dewan perwakilan rakyat. Pada tahun 1939 dibentuk KRI (Komite
Rakyat Indoneisa) yang terdiri dari GAPI (Gabungan Politik Indonesia) yang merupakan
gabungan dari partai-partai yang beraliran nasional, MIAI (Majelis Islamil A―laa
Indonesia) yang merupakan gabungan partai-partai yang beraliran Islam yang terbentuk
tahun 1937, dan MRI (Majelis Rakyat Indonesia) yang merupakan gabungan organisasi
buruh.
Pada tahun 1939 di Hindia Belanda telah terdapat beberapa fraksi dalam volksraad
yaitu Fraksi Nasional, Perhimpunan Pegawai Bestuur Bumi-Putera, dan Indonesische
Nationale Groep. Sedangkan di luar volksraad ada usaha untuk mengadakan gabungan dari
Partai-Partai Politik dan menjadikannya semacam dewan perwakilan nasional yang disebut
Komite Rakyat Indonesia (K.R.I). Di dalam K.R.I terdapat Gabungan Politik Indonesia
(GAPI), Majelisul Islami A'laa Indonesia (MIAI) dan Majelis Rakyat Indonesia (MRI).
Fraksi-fraksi tersebut di atas adalah merupakan partai politik - partai politik yang pertama
kali terbentuk di Indonesia.
Pada masa ini, semua kegiatan partai politik dilarang, hanya golongan Islam diberi
kebebasan untuk membentuk partai Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Partai
Masyumi), yang lebih banyak bergerak di bidang sosial.
1927 - Didirikan di Bandung oleh para tokoh nasional seperti Dr. Tjipto
Mangunkusumo, Mr. Sartono, Mr Iskaq Tjokrohadisuryo dan Mr Sunaryo. Selain itu
para pelajar yang tergabung dalam Algemeene Studie Club yang diketuai oleh Ir.
Soekarno turut pula bergabung dengan partai ini.
1928 - Berganti nama dari Perserikatan Nasional Indonesia menjadi Partai Nasional
Indonesia
1929 - PNI dianggap membahayakan Belanda karena menyebarkan ajaran-ajaran
pergerakan kemerdekaan sehingga Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan perintah
penangkapan pada tanggal 24 Desember 1929. Penangkapan baru dilakukan pada
tanggal 29 Desember 1929 terhadap tokoh-tokoh PNI di Yogyakarta seperti Soekarno,
Gatot Mangkupraja, Soepriadinata dan Maskun Sumadiredja
Page
45
1930 - Pengadilan para tokoh yang ditangkap ini dilakukan pada tanggal 18 Agustus
1930. Setelah diadili di pengadilan Belanda maka para tokoh ini dimasukkan dalam
penjara Sukamiskin, Bandung.[3] Dalam masa pengadilan ini Ir. Soekarno menulis
pidato "Indonesia Menggugat" dan membacakannya di depan pengadilan sebagai
gugatannya.
1931 - Pimpinan PNI, Ir. Soekarno diganti oleh Mr. Sartono. Mr. Sartono kemudian
membubarkan PNI dan membentuk Partindo pada tanggal 25 April 1931.[3] Moh. Hatta
yang tidak setuju pembentukan Partindo akhirnya membentuk PNI Baru. Ir. Soekarno
bergabung dengan Partindo.
1933 - Ir. Soekarno ditangkap dan dibuang ke Ende, Flores sampai dengan 1942.
1934 - Moh. Hatta dan Syahrir dibuang ke Bandaneira sampai dengan 1942.
1955 - PNI memenangkan Pemilihan Umum 1955.
1973 - PNI bergabung dengan empat partai peserta pemilu 1971 lainnya membentuk
Partai Demokrasi Indonesia.
1998 - Dipimpin oleh Supeni, mantan Duta besar keliling Indonesia, PNI didirikan
kembali.
1999 - PNI menjadi peserta pemilu 1999.
2002 - PNI berubah nama menjadi PNI Marhaenisme dan diketuai oleh Sukmawati
Soekarno, anak dari Soekarno.
Pemilu 1955 memunculkan 4 partai politik besar, yaitu : Masyumi, PNI, NU dan PKI.
Masa tahun 1950 sampai 1959 ini sering disebut sebagai masa kejayaan partai politik, karena
partai politik memainkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara melalui
sistem parlementer. Sistem banyak partai ternyata tidak dapat berjalan baik. Partai politik
tidak dapat melaksanakan fungsinya dengan baik, sehingga kabinet jatuh bangun dan tidak
dapat melaksanakan program kerjanya. Sebagai akibatnya pembangunan tidak dapat berjaan
dengan baik pula. Masa demokrasi parlementer diakhiri dengan Dekrit 5 Juli 1959, yang
mewakili masa masa demokrasi terpimpin.
Pada masa demokrasi terpimpin ini peranan partai politik mulai dikurangi, sedangkan
di pihak lain, peranan presiden sangat kuat. Partai politik pada saat ini dikenal dengan
NASAKOM (Nasional, Agama dan Komunis) yang diwakili oleh NU, PNI dan PKI. Pada
masa Demokrasi Terpimpin ini nampak sekali bahwa PKI memainkan peranan bertambah
kuat, terutama melalui G 30 S/PKI akhir September 1965).
Setelah itu Indonesia memasuki masa Orde Baru dan partai-partai dapat bergerak lebih
leluasa dibanding dengan msa Demokrasi terpimpin. Suatu catatan pada masa ini adalah
munculnya organisasi kekuatan politik bar yaitu Golongan Karya (Golkar). Pada pemilihan
umum thun 1971, Golkar muncul sebagai pemenang partai diikuti oleh 3 partai politik besar
yaitu NU, Parmusi (Persatuan Muslim Indonesia) serta PNI.
Pada tahun 1973 terjadi penyederhanaan partai melalui fusi partai politik. Empat partai
politik Islam, yaitu : NU, Parmusi, Partai Sarikat Islam dan Perti bergabung menjadi Partai
Persatu Pembangunan (PPP). Lima partai lain yaitu PNI, Partai Kristen Indonesia, Parati
Katolik, Partai Murba dan Partai IPKI (ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia)
bergabung menjadi Partai Demokrasi Indonesia. Maka pada tahun 1977 hanya terdapat 3
organisasi keuatan politik Indonesia dan terus berlangsung hinga pada pemilu 1997.
Setelah merdeka, Indonesia menganut sistem Multi Partai sehingga terbentuk banyak
sekali Partai Politik. Memasuki masa Orde Baru (1965 - 1998), Partai Politik di Indonesia
hanya berjumlah 3 partai yaitu Partai Persatuan Pembangunan, Golongan Karya, dan Partai
Demokrasi Indonesia. Di masa Reformasi, Indonesia kembali menganut sistem multi partai.
Pada 2012, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) melakukan revisi atas Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.
Pemilu 1955
Page
47
Pemilu 1955 diikuti oleh 172 kontestan partai politik. Empat partai terbesar
diantaranya adalah PNI (22,3 %)/57 kursi, Masyumi (20,9%)/57 Kursi, Nahdlatul Ulama
(18,4%)/ 45 kursi, dan PKI (15,4%)/39 kursi.
Pemilu 1971
Pemilu 1971 diikuti oleh 10 kontestan, yaitu:
1. Partai Katolik
2. Partai Syarikat Islam Indonesia
3. Partai Nahdlatul Ulama
4. Partai Muslimin Indonesia
5. Golongan Karya=8
6. Partai Kristen Indonesia
7. Partai Musyawarah Rakyat Banyak
8. Partai Nasional Indonesia
9. Partai Islam PERTI
10. Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia
Pemilu 1977–1997
Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 diikuti oleh 3 kontestan yang sama, yaitu:
Pemilu 1999
Pemilu 1999 menggunakan sistem proporsional dengan daftar stelsel tertutup dan
diikuti oleh 48 partai politik, yaitu:
Pemilu 2004
Pemilu 2004 menggunakan sistem proporsional dengan daftar terbuka dan diikuti oleh
24 partai politik, yaitu:
Page
49
13. Partai Amanat Nasional
14. Partai Karya Peduli Bangsa
15. Partai Kebangkitan Bangsa
16. Partai Keadilan Sejahtera
17. Partai Bintang Reformasi
18. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
19. Partai Damai Sejahtera
20. Partai Golongan Karya
21. Partai Patriot Pancasila
22. Partai Sarikat Indonesia
23. Partai Persatuan Daerah
24. Partai Pelopor
Pemilu 2009
Pemilu 2009 menggunakan sistem proporsional dengan daftar terbuka dan diikuti oleh
38 partai politik nasional dan 6 partai politik lokal Aceh, yaitu.
Page
50
30. Partai Patriot
31. Partai Demokrat*
32. Partai Kasih Demokrasi Indonesia (PKDI)
33. Partai Indonesia Sejahtera (PIS)
34. Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU)
35. Partai Merdeka
36. Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PPNUI)
37. Partai Sarikat Indonesia (PSI)
38. Partai Buruh
Catatan: Tanda * menandakan partai yang memiliki kursi di DPR hasil pemilu sebelumnya.
Pemilu 2014
Berikut adalah daftar 12 partai politik yang ditetapkan oleh KPU sebagai peserta
Pemilu 2014.
1. Partai NasDem
2. Partai Kebangkitan Bangsa*
3. Partai Keadilan Sejahtera*
4. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan*
5. Partai Golongan Karya*
6. Partai Gerakan Indonesia Raya*
7. Partai Demokrat*
8. Partai Amanat Nasional*
9. Partai Persatuan Pembangunan*
10. Partai Hati Nurani Rakyat*
11. Partai Bulan Bintang (No. Urut 14)
12. Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (No. Urut 15)
Catatan: Tanda * menandakan partai yang memiliki kursi di DPR hasil pemilu sebelumnya.
Page
51
Peraturan
Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Partai Politik di Indonesia
sejak masa kemerdekaan adalah:
Sekarang jumlah partai yang diakui oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum) 44 partai
mulai dari partai Hanura sampai partai Buruh.Dari tahun ke tahun jumlah ini bertambah
terus.Sebenarnya hal ini tidak efektif digunakan di Indonesia, semakin banyak partai
semakin banyak terjadi perpecahan golongan dan semakin sulit juga bagi rakyat untuk
memilihnya.Seharusnya pemerintah bisa membatasi jumlah pertai yang ada.Berikut daftar
partai – partai berserta lamabangnya yang ikut serta dalam pemilu 2009 :
No. No.
Lambang dan nama partai Lambang dan nama partai
Urut urut
1 Partai Hati Nurani Rakyat Partai Demokrasi
20
Partai Karya Peduli Kebangsaan
2
Bangsa 21 Partai Republika Nusantara
Partai Pengusaha dan 22 Partai Pelopor
3
Pekerja Indonesia 23 Partai Golongan Karya
Partai Peduli Rakyat Partai Persatuan
4 24
Nasional Pembangunan
Partai Gerakan Indonesia 25 Partai Damai Sejahtera
5
Raya Partai Nasional Benteng
6 Partai Barisan Nasional 26
Kerakyatan Indonesia
Partai Keadilan dan 27 Partai Bulan Bintang
7
Persatuan Indonesia Partai Demokrasi
8 Partai Keadilan Sejahtera 28
Indonesia Perjuangan
9 Partai Amanat Nasional 29 Partai Bintang Reformasi
Partai Perjuangan 30 Partai Patriot
10
Indonesia Baru 31 Partai Demokrat
11 Partai Kedaulatan Partai Kasih Demokrasi
12 Partai Persatuan Daerah 32
Indonesia
13 Partai Kebangkitan Bangsa 33 Partai Indonesia Sejahtera
14 Partai Pemuda Indonesia Partai Kebangkitan
34
Nasional Ulama
Page
52
Partai Nasional Indonesia 35 Partai Merdeka
15
Marhaenisme Partai Persatuan Nahdlatul
36
Partai Demokrasi Ummah Indonesia
16
Pembaruan 37 Partai Sarikat Indonesia
17 Partai Karya Perjuangan 38 Partai Buruh
18 Partai Matahari Bangsa
Partai Penegak Demokrasi
19
Indonesia
Didirikan Oleh :
Tempat / Tanggal :Yogyakarta, 25-27 Desember 1931
Ketua : . Sjahrir
Tujuan : menginginkan kemerdekaan Indonesia dan
nonkooperasi, tetapi strategi perjuangannya
berbeda
Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Baru) ini lahir pada bulan Desember 1931.
Organisasi ini dipimpin oleh orang-orang yang memiliki gaya yang berbeda dengan
Soerkarno.
Dari sini muncul tokoh baru yaitu Sultan Syahrir (20 tahun) yang waktu itu masih
menjadi mahasiswa di Amsterdam. Walaupun cita-cita dan haluan kedua partai itu sama,
yaitu kemerdekaan Indonesia dan nonkooperasi, tetapi strategi perjuangannya berbeda. PNI
Baru lebih menekankan pentingnya pendidikan kader.
Page
53
Pada tanggal 25-27 Desember 1931 (menurut Soebadio Sastroastomo diadakan pada
bulan Februari 1932) sebuah konferensi diadakan di Yogyakarta untuk merampungkan
penyatuan golongan-golongan Merdeka yang mana kelompok tersebut diberi nama
Pendidikan Nasional Indonesia atau yang dikenal sebagai PNI-Baru dengan Soekemi
sebagai ketuanya. Sjahrir terpilih sebagai ketua cabang Jakarta dan sekretaris cabangnya
adalah Djohan Sjahroezah.
Kemudian dalam Kongres Pendidikan Nasional Indonesia bulan Juni 1932 yang
berlangsung di Bandung, Sjahrir terpilih menjadi Pimpinan Umum Pendidikan Nasional
Indonesia menggantikan Soekemi. Dalam kongres itu dirumuskan bahwa PNI Baru adalah
sebagai suatu partai kader politik yang merupakan partai kader. Keputusan bahwa PNI Baru
adalah sebagai partai kader setelah mengalami diskusi yang cukup panjang dan rumit yang
pada akhirnya argumentasi Sjahrir yang cukup kuat untuk membawa PNI Baru sebagai
partai kader dapat diterima oleh sebagian besar pengurus. Dan dengan pulangnya Hatta pada
awal tahun 193, Pimpinan Umum PNI Baru diserahkan oleh Sjahrir kepada Hatta.
Arah sentral pendidikan diungkapkan ke dalam 150 pertanyaan di dalam KIM yang
mencakup banyak aspek politik, ekonomi, dan sosial. Secar keseluruhan, jawaban-jawaban
itu mengandung suatu doktrin yang jelas walaupun sederhana, bahwa kekuasaan politik
didistribusikan menurut distribusi kekuasaan ekonomi dalam suatu masyarakat, bahwa
kebebasan politik tanpa persamaan di bidang ekonomi sangatlah terbatas dan bahwa
kemerdekaan Indonesia baru merupakan realita jika disertai perubahan ekonomi,
sebagaimana pernyataan (kunci) sebagai berikut, “Mengapa demokrasi politik saja tidak
cukup?”. Jawabannya, “Demokrasi politik saja tidak cukup karena ia akan
dilumpuhakan oleh otokrasi yang masih ada di bidang-bidang ekonomi dan sosial.
Mayoritas rakyat masih menderita dibawah kekuasaan kaum kapitalis dan majikan”.
Page
54
Suasana dalam kursus-kursus yang diselenggarakan oleh Pendidikan Nasional
Indonesia dan kesungguhan anggota-anggotanya mengingatkan banyak orang kepada
“Workers Education Essocition” (WEA-Perhimpunan Pendidikan Kaum Buruh) yang
berusaha memberikan pendidikan kepada masyarakat Inggris pada akhir abad 19. WEA
mempunyai ikatan-ikatan yang kuat dengan gerakan Fabian dan sebagian kegiatannya
adalah memberikan pendidikan sosialis.
Meskipun anggota PNI Baru bukan terdiri dari kelas pekerja, karena sebagian besar
mereka adalah berpendidikan menengah, namun mereka menginginkan suatu pendidikan
politik yang berwarna sosialis yang akan membawa mereka melampaui batas-batas gaya
agitasi nasionalisme yang sempit. Dengan cara ini, PNI Baru, dibawah kepemimpinan Hatta
dan Sjharir, mengembangkan suatu pandangan dunia yang khas dan suatu cara yang unik
dalam membahas masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh pergerakan kebangsaan.
Malai tahun 1933, dengan meningkatnya tekanan politik dari pemerintah Belanda, PNI
Baru akan menempuh taktik-taktik yang membedakannya dengan PNI Lama. Para
pemimpin PNI Baru kemudian mengembangkan pandangan bahwa aksi massa benar-benar
sulit, jika bukan msutahil, dilaksanakan dalam lingkungan seperti itu, dan ketergantungan
hanya kepada seorang pemimpin saja dapat mengakibatkan lumpuhnya suatu partai apabila
sang pemimpin ditangkap. Oleh karena itu, PNI Baru lebih bertujuan menghasilkan kader-
kader pemimpin yang dapat menggantikan para pemimpin yang ditangkap.
Yang pasti PNI Baru memiliki pandangan yang berbeda dengan PNI Lama ataupun
Partindo. PNI Baru bersikap kritis dengan terhadap watak PNI Lama dan Partindo seperti
gaya agitasi yang ekspresif dan mempertahankan persatuan nasional tanpa syarat. Bagi Hatta
dan Sjahrir, persatuan tidak ada artinya kecuali apabila didasarkan pada pengertian atas
prinsip-prinsip bersama.
PNI Baru, menurut Benhard Dahm, banyak berhutang kepada tradisi sosial demokrasi
Eropa. Ciri khasnya adalah pengutamaan terhadap teori sosial sebagai suatu peoman aksi,
adanya koherensi pada pandangan dunianya yang merangkul analisis-analisis tentang
kapitalisme, imperialisme dan munculnya fasisme yang saling melengkapi dan berusaha
untuk menempatkan kemalangan Indonesia dalam suatu gambaran global. Tentu saja harus
Page
55
diakui bahwa sejauh menyangkut analisis-analisis mengenai imperialisme dan tatanan
sosial, PNI Baru tidak memiliki ideologis.
Disini tampak jelas adanya pengaruh-pengaruh Marxis terhadap PNI Baru, karena
organisasi ini merasa yakin akan perlunya perjuangan melawan kaum borjuis pribumi,
sehingga membuatnya jatuh dari kalangan dagang Islam maupun priyayi pemerintahan.
Dengan demikian, gerakan nasionalis yang tidak bersifat keagamaan terpecah antara model
“aksi massa” dan model “pembentukan kader”. Sesungguhnya, pada tahun 1930-an, kedua
model tersebut sama-sama tidak mempunyai peluang untuk berhasil, juga karena politiknya
yang sangat kolot dan keras dari Gubernur Jenderal de Jonge. Karena kegiatan aktivitas
politik PNI Baru yang dinilai mulai membahayakan bagi pemerintah kolonial Belanda, maka
pada tanggal 25 Februari 1934 jajaran teras PNI Baru seperti Hatta, Sjahrir, Bondan,
Baurhanuddin, Murwoto Soeka, Hamdani, Wangsawidjaja, Basri, Atmadipura, Oesman,
Setiarata, Kartawikanta, Tisno, Wagiman, dan Karwani ditangkap. Sekitar bulan Januari
1935, Hatta, Sjahrir dan beberapa pemimpin PNI Baru lainnya diasingkan ke Boven Digul.
Di samping itu, pemimpinnya kemudian di tangkap dan dibuang ke luar Jawa.
Page
56
mandat kepada Pengurus Besar PNI tentang sikap selanjutnya yang akan diambil sesudah
putusan dari Raad van Justitie.
Sesudah keluar putusan dari Raad van Justitie, dengan mandat yang diterima Pengurus
Besar itu, pada tanggal 25 April 1931 (seminggu setelah keluar putusan dari Raad van
Justitie) atas putusan kongres luar biasa dinyatakan pembubaran PNI dengan alasan karena
keadaan yang memaksa. Keputusan itu diambil antara lain atas pertimbangan bahwa putusan
hukuman itu tidak hanya menimpa keempat pimpinan PNI, tetapi juga mengenai organisasi
PNI. Kemudian pada tanggal 29 April 1931, di Jakarta didirikan partai politik baru dengan
nama Partai Indonesia (Partindo). Pada dasarnya, Partindo adalah PNI dengan nama lain.
Para pemimpinnya yakin bahwa cara itu akan mencegah tindakan dari pemerintah penentang
Partindo.
Golongan Merdeka tidak senang melihat pembubaran PNI itu yang kemudian disusul
dengan Partindo. Mereka tidak tinggal diam, tetapi berusaha untuk mendirikan suatu
organisasi sendiri. Mereka selalu berhubungan dengan Mohammad Hatta yang masih berada
di negeri Belanda. Akhirnya, pada bulan Desember 1931 di Yogyakarta didirikan organisasi
baru bagi mereka dengan nama Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Baru).
Jika PNI-Baru dibandingkan dengan Partindo, pada hakikatnya tidak ada perbedaan
yang besar. Kedua organisasi itu berdiri di atas dasar yang tidak jauh berbeda, yaitu
nasionalisme Indonesia dan demokrasi. Tujuannya adalah kemerdekaan Indonesia yang
hendak dicapai dengan kekuatan sendiri tanpa meminta bantuan siapa pun (self-help) dan
tidak mau bekerja sama dengan pemerintah kolonial. Perbedaan adalah dalam cara mencapai
tujuan. PNI-Baru berkeyakinan bahwa kemerdekaan Indonesia tidak akan dapat dicapai
Page
57
dengan agitasi belaka, tetapi memerlukan kerja yang terorganisasi. Kemerdekaan hanya
dapat dicapai melalui usaha-usaha orang-orang yang terdidik.
Tidak lama sesudah PNI-Baru lahir, Ir. Soekarno yang baru menjalani setengah
hukuman yang dijatuhkan kepadanya, pada tanggal 31 Desember 1931 dibebaskan dari
penjara. Ia kemudian selama enam bulan lebih berusaha keras untuk menyatukan partai itu,
tetapi tidak berhasil, dan akhirnya ia masuk Partindo.
Setelah Ir. Soekarno kembali dan memimpin Partindo, partai ini yang sebelumya
kurang berani jika dibandingkan dengan PNI mengalami perkembangan pesat. Jumlah
anggotanya dan cabangnya meningkat. Isi pidato-pidatonya makin lama makin berani. PNI-
Baru baru berkembang pesat setelah organisasi ini dipimpin oleh Sultan Syahrir dan
kemudian Mohammad Hatta. Pada tahun 1932, PNI-Baru sering mengadakan rapat
propaganda. Materi yang disampaikan antara lain tentang riwayat pergerakan nasional
Indonesia, kemerdekaan Indonesia, kedudukan daerah jajahan dan daya upaya untuk
mencapai kemerdekaan itu, persatuan, kapitalisme, dan imperialisme. Jumlah anggota
meningkat walaupun kalah jika dibandingkan dengan Partindo.
Page
58
Usaha pemerintah untuk mematikan Partindo dan PNI-Baru tidak hanya dengan cara
tersebut. Untuk mengurangi jumlah anggota, dikeluarkannya larangan terhadap para
pegawai pemerintah untuk memasuki kedua partai itu. Pegawai-pegawai pemerintah yang
terlibat dalam aksi-aksi golongan nonkooperasi ini dikenai hukuman. Tindakan pemerintah
yang lain untuk menekan kedua partai itu ialah dengan dilaksanakan exorbitant rechten hak
luar biasa yang dimiliki oleh Gubernur Jenderal untuk mengasingkan seseorang yang
dianggap membahayakan ketentraman umum. Mereka yang dianggap berbahaya diasingkan
ke Boven Digul di Irian Jaya.
Sikap Vanderlandse Club yang jelas anti-gerakan nasional dan ketakutan kalangan
Belanda serta hasutan pers Belanda terhadap propaganda Partai Nasional Indonesia adalah
faktor-faktor penting yang memengaruhi perintah dalam melakukan tindakan.
Bagaimanapun, pihak pemerintah mempunyai kewajiban untuk menyelamatkan politik
penjajahan dan melindungi warga negara Belanda. Demikianlah, pada tanggl 10 Januari
Kiewiet de Jonge, selaku wakil pemerintah, memberikan keterangan tentang alasan
penggeledahan dan penangkapan para anggota pengurus Partai Nasional Indonesia. Nada
dan isinya sama dengan hasutan pers Belanda. Dikatakannya bahwa kegiatan Partai
Nasional Indonesia menyebar benih ketidakpuasan di kalangan masyarakat, yang lambat
laun menimbulkan ketegangan dan akhirnya pasti menimbulkan pemberontakan. Berita
yang serius ini harus segara disusul dengan tindakan cepat untuk menjaga keselamatan dan
menghindarkan kemungkinan meletusnya pemberontakan.
Nada dan irama keterangan pemerintah itu tidak mengherankan kalangan Indonesia
baik yang duduk dalam Volksraad sebagai wakil golongan maupun yang ada di luar. Tidak
ada orang yang percaya akan maksud menimbulkan pemberontakan dari pihak Partai
Page
59
Nasional Indoensia. Keterangan pemerintah itu tidak dapat memberikan keyakinan kepada
para Volksraad yang berhaluan kooperatif dan kepada para nasionalis Indonesia yang
bersikap nonkooperatif. Demikianlah, alih-alih menjadi reda, suasana menjadi bertambah
tegang. Baik nasionalis lunak maupun nasionalis keras bertekad untuk menggalakkan
usahanya dalam menghadapi politik penjajahan. Pada tanggal 12 Januari, PPPKI
mengadakan rapat umum untuk protes dan mengutuk tindakan pemerintah dan
menganjurkan kemerdekaan sampai cita-citanya terkabul. Nasional lunak yang duduk
sebagai angota Volksraad pada tanggal 27 Januari, membentuk Nationale Fractie (Fraksi
Nasional) dengan tujuan untuk memerjuangkan kemerdekaan Indonesia melalui saluran
legal.
Anggota Volksraad yang masuk sebagai anggota Fraksi Nasional adalah Kusumo
Utomo, Mochtar, Soangkupon, Surono, Dwijosewojo, Otto Iskandar Dinata, Sukardjo
Wirjopranoto, Mohammad Noor, Abdul Rasyid, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Moh. Husni
Thamrin. Fraksi Nasional dipimpin oleh H.M Thamrin. Anggota Fraksi Nasional berjumlah
10 orang, berasal dari berbagai perkumpulan dan berbagai suku. Meskipun disadari
sepenuhnya bahwa keanekaragaman keanggotaan itu mencerminkan kelemahan komposisi
Fraksi Nasional dalam tindakan-tindakannya, harus diakui bahwa perbentukan Fraksi
Nasional adalah salah satu usaha untuk menjatuhkan segala tenaga nasional yang ada di
dalam Volksraad sebagai wakil dari masing-masing perkumpulan. Penyatuan tenaga
nasional itu bersifat mutlak untuk menghadapi pihak lawan. Sementara itu, Soekarno,
Page
60
Maskun, Gatot Mangkrupradja, dan Supriadinata tetap ditahan di rumah kurungan di
Bandung menunggu perkara dimajukan di pengadilan.
Di penghujung bulan Desember 1931, Sultan Sjahrir tidak setuju dengan Partindo, dan
mendirikan partai baru yang bernama Pendidikan Nasional Indonesia (PNI). Singgkatan
partai baru yang dipimpin Sultan Sjahrir itu sama dengan singkatan PNI Lama yang telah
dibubarkan. Untuk menghindari salah paham, PNI Sjahrir ini disebut PNI Baru. Pendidikan
Page
61
Nasional Indonesia didirikan di Yogyakarta. PNI Baru mempunyai haluan sosial-
revolusioner. Watak sosial-revolusioner itu dinyatakan dalam pembentukan organisasi
massa proletariat yang diharapkan pada kapitalisme dan borjuis, tidak pandang dari luar
maupun dari dalam negeri sendiri. Bagaimanapun, perjuang kelas terhadap kapitalisme dan
borjuis tidak dapat dielakkan. Untuk tujuan itu, diperlukan kader-kader terdidik yang harus
mengajar massa. Demikianlah, PNI Baru itu diam-diam bergerak di dalam masyarakat,
namun mengutamakan pendidikan kader. Justru itulah sebabnya partai baru itu bermaksud
untuk merealisasikan tujuan pembentukan masyarakat yang bebas dari pengaruh kapitalime
dan imperialisme. Kapitalisme dan imperialisme itulah sebenarnya diciptakan kelas-kelas
dalam masyarakat. Paham yang dianut PNI Baru itu adalah paham Sosialisme-Marxisme.
Justru perkembangan Marxisme yang demikian itulah yang sangat ditakuti oleh pihak
pemerintah. Oleh karena itu, meskipun PNI Baru bekerja secar diam-diam, ia dianggap
membahayakan kedudukan pemerintah kolonial.
Page
62
di halaman penjara Sukamiskin. Sehubungan dengan maksud itu dan bertalian dengan
zaman meleset (malaise) yang sedang mengganas, ia menghendakai maksud itu dibatalkan.
Kawan-kawan dari Bandung dan sekitarnya bisa bertemu dengannya sepanjang hari di
rumah karena baru pada hari berikutnya ia akan berangkat ke Jawa Timur untuk menghadiri
kongres Indonesia Raya, yang sengaja diselengarakan untuk menyambut bebasnya Soekarno
dari penjara. Kongres Indonesia Raya diadakan pada tanggal 1-3 Januari 1932, dipimpin
oleh Dr. Sutomo, bertempat di Surabaya. Di setiap stasiun yang dilalui oleh Soekarno dalam
perjalanan menuju Surabaya, ia disambut oleh kawan-kawannya yang sepaham, ini suatu
bukti bahwa Soekarno masih mendapat simpati dari masyarakat. Juga dalam kongres itu, ia
mendapat cukup kesempatan untuk berbicara.
Page
63
memaksanya bertindak keras. Tafsiran dari pihak kaum nasionalis terhadap politik itu
berbeda-beda sehingga berbedalah pula reaksinya.
Ada sekelompok anggota PNI yang tidak mau mengikuti haluan Sartono; mereka
mendirikan studieclub di beberapa tempat antara lain di Batavia, Bandung, Semarang,
Surabaya, Malang, dan Pelembang. Kemdian mereka mendirikan sendiri Golongan
Merdeka, yang kemudian lebih terkenal sebagai PNI-Baru.
Pada ummnya, bentuk-bentuk alternatif tidak memakai gaya politik agitasional, tetapi
bergaya sosial-ekonomis. Lagi pula organisasi perlu disusun sebaik-baiknya dengan tidak
Page
64
secara langsung mencoba menggerakkan massa, melainkan menyelanggarakan kaderisasi
pemimpin yang cakap.
Apabila dalam kerangka PPPKI telah timbul perpecahan antara PSI dan organisasi
sekuler, maka di lingkungan organisasi-organisasi yang disebut terakhir pertentangannya
menjadi-jadi, khususnya antara Partindo dan PNI-Baru.
Pihak pertama beranggapan bahwa dia adalah kelanjutan PNI Lama serta waris niali-
nilai perjuangannya. Dalam situasi baru semua kegiatan dilakukan secara berhati-hati,
namun tanpa meninggalkan ideologi politiknya, ialah kemerdekaan Indonesia, swadaya,
menentukan nasib sendiri, swadesi, dan kedaulatan rakyat. Di samping rapat-rapat umum
juga diusahakan adanya perkumpulan debat, koperasi, kursus-kursus, dan lain sebagainya.
Partindo mempunyai cabangnya terutama di Jawa Barat, khususnya di Batavia dan Bandung.
Di antara anggota-anggotanya terdapat banyak pengikut gigih Soekarno. Pada awal 1932
jumlah anggota ditaksir lebih kurang tiga ribu orang, yang sebagian besar terdapat di
Batavia, termasuk pula para mahasiswa RHS dan GHS.
Kedua aliran tersebut diatas sebenarnya mewakili antagolisme yang timbul antara
Soekarno dan Moh. Hatta. Sesungguhnya debat telah berjalan cukup lama; persoalannya
sesungguhnya tidak menyangkut isi asas tujuan perjuangan nasional, melainkan lebih
Page
65
menyangkut soal gaya politik. Pada hakikatnya gaya itu memang dapat dikembalikan pada
perbedaan kepribadian. Dengan keulungan berpidato Soekarno lebih mudah menggerakkan
massa serta menanam kesadaran serta semangat nasional. Sebaliknya Moh. Hatta adalah
termasuk tipe pemikir dan mahir dalam merumuskan prinsip perjuangan serta menganalisis
situasi politik. Kalau Soekarno sangat mampu membuat agitasi, Hatta lebih memikirkan
organisasi. Oleh karena bagi yang kedua kaderisasi vital, maka yang lebih diutamakan
adalah pendidikan politik. Akibatnya intervensi gubernemen Hindia Belanda menunjukkan
bahwa politik agitasi Soekarno tidak banyak mempunyai dampaknya.
Arena politik yang diciptakan oleh pergerakan nasional sejak 1927 terisi oleh forum-
forum yang diciptakan oleh rapat-rapat umum, kongres-kongres, dan berbagai bidang
ekonomi dan sosial. Media massa kemudian mengkomunikasikan segala kegiatan itu secara
luas kepada khalayak ramai. Dalam hal ini sangat menonjollah peranan golongan
nonkooperasi, khususnya PNI dan kemudian Partindo dan PNI Baru. Proses yang terjadi
ialah pendidikan politik atau sosialisasi politik bagi anggota kedua partai tersebut. Dengan
demikian, terjadilah proses pemahaman dan penyadaran dengan konsep-konsep, seperti
pemahaman serta penyadaran sehubungan dengan masalah kebangsaan, kerakyatan,
kemerdekaan, swadaya, swadesi, dan lain sebagainya. Secara khusus Soekarno memasukkan
konsep marhaenisme, sosio-nasionalisme, dan sosio-demokrasi.
Ideologi Politik
Dalam menjalankan sosialisasi politik para pemimpin partai nasionalis sebagai elite
modern menghadapi masalah bagaimana mencapai dan memobilisasi massa, mengingat
bahwa mereka terpisah oleh jarak sosial dari rakyat. Berbeda dengan SI (PSI) yang
berdasarkan ideolgi religius, PNI dan kemudian Partindo atau PNI Baru sebagai organisasi
nasionalis sekuler membutuhkan ideologi politik yang nonrelegius. Dalam hal ini
lingkungan PNI Soekarnolah yang telah banyak memberi sumbangan konsepsi-konsepsi
politik, antara lain konsep marhaenisme, sosio-nasionalisme, dan sosio-demokrasinya.
Page
66
baru dapat dilaksanakan setelah kolonialisme terhapus; maka dikatakannya bahwa
perjuangan antikolonialisme merupakan “jembatan emas” menuju ke alam merdeka dan
sejahtera. Perjuangan itu dengan sendirinya menjadi pertentangan ras. Meskipun demikian,
Soekarno juga menyatakan bahwa perjuangan melawan kapitalisme perlu dilakukan juga.
Justru dalam hal ini, PNI Baru mempunyai strategi yang berlawanan dengan Soekarno.
Disangsikannya apakah agitasi politik itu sebagai sosioalisasi politik betul-betul efektif dan
sebaliknya menurut anggapannya kaderisasi dan pemantapan organisasi merupakan cara
yang lebih tepat untuk meningkatkan proses politisasi itu. Situasi sesudah penangkapan
Soekarno akhir tahun 1929 membuktikan bahwa strategi yang terakhir memang tepat.
Pengikut massa tidak bedaya sedikit jua pun.
Setelah kira-kira dua tahun arena politik menghirup suasana yang lebih tenang serta
aktivitas organisasi pergerakan lebih banyak meliputi bidang pendidikan, ekonomi, dan
kesejahteraan rakyat, maka dengan dibebaskannya Soekarno pada akhir Desember 1931,
lambat laun politik mulai bergerak lagi; hal itu disebabkan tidak lain karena Soekarno mulai
terjun kembali ke gelanggang politik.
Perlu ditambahkan di sisi bahwa keanggotaan Partindo dan juga PNI Baru, pada
umumnya terbatas di kota-kota besar di Jawa, khususnya di Jawa Barat dengan Bandung
dan Batavia dengan pusatnya. Di Jawa Timur, di mana PBI mempunyai pengaruhnya
sukarlah Partindo melebarkan sayapnya.
Page
67
elitisme. Kedua pihak sebenarnya sampai akhir aktivitasnya pada tahun 1933 belum berhasil
memantapkan partainya sebagai mobilisasi rakyat yang efektif.
Oleh karena jarak dengan golongan-golongan itu dengan para pemimpin masih cukup
jauh, maka diperlukan pemimpin tingkat bawahan. Untuk mengerahkan dan melatih
merekalah PNI Baru menyelenggarakan kursus-kursus dan latihan. Dengan demikian,
struktur organisasi dapat dimantapkan sehingga dapat berfungsi sebagai basis yang kuat bagi
pergerkan.
Masalah Persatuan
Salah satu isu yang sangat berpengaruh terhadap pernggalangan persatuan di antara
organisasi-organisasi pergerakan nasional tahun tiga puluhan ialah sekitar soal konsepsi
persatuan itu sendiri. Dalam hal ini yang menonjol ialah perdebatan dan pertentangan
pendapat antara Partindo dan PNI Baru, atau seperti umum yang digambarkan sebagai
pertentangan antara golongan Soekarno dan Hatta. Seperti sejak awal perkembangan PPPKI
telah dilancarkan kritik tajam oleh Hatta mengenai PPPKI sebagai bentuk persatuan, seperti
yang dikonsepsikan oleh Soekarno, yaitu pengintegrasian berbagai organisasi dalam satu
Page
68
wadah atau lembaga. Lembaga itu akan bertindak berdasarkan keputusan berlandasan
mufakat.
Dalam konsepsi persatuan seperti itu tidak diperhitungkan adanya berbagai unsur yang
mewakili golongan, aliran, kepentingan, ataup kelas sosial yang beraneka ragam. Persatuan
yang terwujud menurut Hatta adalah lancung oleh karena menurut analisisnya dengan
perspektif sosialis terkandung di dalamnya kontradiksi dan konflik kepentingan, lagi pula
ideologi-ideologi yang bertolak belakang satu sama lain.
Isu tersebut di atas mulai hangat lagi pada tahun 1932 dan 1933 sewaktu timbul
gagasan untuk mempersatukan lagi Partindo dan PNI Baru. Kecuali pertentangan pandangan
politik tersebut, ketidakserasian hubungan antara pemimpin kedua partai itu merupakan
faktor penghambat persatuan. Sjahrir yang sudah ada di Indonesia sejak awal 1932 berusaha
keras menjajagi situasi politik untuk dapat mengarahkan PNI Baru. Suatu kompromi dengan
Partindo tidak dapat dicapainya. Mengenai masalah demokrasi ada pula perbedaan konsepsi
soal demokrasi atau kedaulatan rakyat.
Setelah mengadakan pembicaraan luas dengan Soekarno, akhirnya Sjahrir
berkesimpulan bahwa Soekarno merupakan faktor politik yang sanantiasa perlu
diperhitungkan sehingga tidak lagi menghalang-halangi atau menentang usahanya, antara
lain dalam membenahi dan menghidupkan lagi PPPKI. Sadar akan kharisma yang ada
padanya serta yakin akan peranan yang dapat dijalankannya, maka Soekarno bergerak terus
sesuai dengan gaya lamanya tanpa terlalu melibatkan diri dalam debat soal ideologi serta
pertentangan antara Partindo dan PNI Baru.
Dalam periode pasca-Sukamiskin, Soekarno masih optimis dan penuh semangat
namun tidak disadari bahwa kajayaan dari masa sebelum 1930 sudah pudar; timbul banyak
kekecewaan atau kebimbangan di kalangan PNI Lama. Di samping itu, sudah terjadi garis
pemisah antara kelompok Partindo dan PNI Baru sehingga hal itu menjadi penghalang
pokok bagi proses pemersatuan. Akhirnya, Soekarno pun tidak berdaya melaksanakannya.
Usaha dalam PPPKI juga terbentur pada masalah perpecahan, antara lain Partindo dan
PNI Baru pada satu pihak dan pemimpin PPPKI pada pihak lain, padahal keikutsertaan
kedua partai itu atau salah satu daripadanya dianggap sangat perlu. Dalam hubungan ini
perlu di tambahkan bahwa tokoh Soetomo merupakan faktor kontroversial yang
menimbulkan ketidakserasian dalam tubuh PPPKI serta sangat melemahkannya. Baik
pengundurannya sebagai pengurus harian maupun reorganisasi yang dilakukan oleh
Page
69
Soekarno tidak berdaya untuk memperkokoh kedudukan PPPKI yang telah kehilangan
momentumnya, dan dalam hal ini kharisma Soekarno tidak dapat berbuat apa-apa.
Dengan ditangkapnya Soekarno pada 1 Agustus 1933 sebenarnya nasip PPPKI sudah
tidak memberi harapan lagi. “Sebenarnya PPPKI mati tetapi tidak pernah secara resmi
dikubur”. Meskipun demikian, hal itu tidak berarti bahwa gagasan tentang persatuan serta
pemersatu organisasi sudah mati, sama sekali tidak. Dalam tahun-tahun berikutnya secara
terus-menerus ada usaha-usaha untuk mewujudkan badan pemersatu itu.
Page
70
19 Juli 1933 yang memuat sebuah cartoon. Pada 1 Agustus semua rapat Partindo dan PNI
Baru di larang dan hari itu juga Soekarno ditahan. Sehari kemudian dikeluarkan larangan
bagi semua pegawai negeri masuk menjadi anggota partai tersebut. Tindakan-tindakan itu
kesemuanya dilegitimasikan oleh pemerintah Hindia Belanda semata-mata untuk menjamin
rust en orde dan dilandaskan pada artikel 153 bis dan ter.
Bagi PNI Baru, akhir yang tragis dari politik agitasi memang dalam kritiknya selalu
dibayangkan akan terjadi; maka kejadian-kejadian itu memberi pembenaran bagi
strateginya. Meskipun demikian, politik ketat sejak 1 Agustus itu tidak memberi ruang
bergerak lagi kepada PNI Baru. Politik Gubernur Jenderal de Jonge tidak bersifat setengah-
tengah, maka dalam bulan Desember 1933 PNI Baru yang menjadi sasaran: Moh. Hatta dan
Sjahrir, ditangkap, dan PNI Baru dilarang.
Dengan tangan besinya, Gubernur Jenderal de Jonge hendak mempertahankan
otoritasnya, sehingga setiap gerakan bernada radikal atau revolusioner tanpa ampun
ditindasnya dengan alasan bahwa pemerintah kolonial bertanggung jawan atas keadaan di
Hindia Belanda, baginya dibayangkan bahwa dalam massa 300 tahun berikutnya pemerintah
itu akan masih tetap tegak berdiri. Politik represifnya berhasil menghentikan gerakan politik
nonkooperasi sama sekali.
Dalam hubungan ini perlu ditambahkan bahwa selama dalam tahanan, Soekarno –
menurut dokumen-dokumen arsip kolonial – telah menulis surat kepada pemerintah Hindia
Belanda sampai empat kali, yaitu tanggal 30 Agustus, 3, 21, dan 28 September yang
kesemuanya memuat pernyataan bahwa dia telah melepaskan prinsip politik nonkooperasi,
bahkan selanjutnya dia tidak lagi akan melakukan kegiatan politik. Sudah barang tentu hal
itu menggemparkan kaum nasionalis serta menimbulkan bermacam-macam reaksi. Ada
yang penuh keheranan atau kekecewaan, ada pula yang merasa cengkel atas perubahan sikap
yang berbalik 180 derajat itu.
Terlepas dari berbagai tafsiran itu rupanya aliran nonkooperasi tidak berdaya lagi,
lebih-lebih karena salah seorang perintis dan pelopornya telah mengingkari sendiri sikap
politik itu. Pembuangan Soekarno ke Digul diperkirakan membawa risiko karena dapat
mempengaruhi bekas anggota PKI yang dalam jumlah besar ada di sana. Akhirnya, dipilih
Flores sebagai tempat pembuangannya. Soekarno diberangkatkan pada Februari 1934.
Meskiupun PNI Baru tidak menjalankan politik agitasi dan aksi massa, namun
hubungannya dengan golongan komunis di Belanda dipakai sebagai alasan untuk menahan
Hatta, Sjahrir, dan anggota Badan Pekerja PNI dalam bulan Desember 1934.
Page
71
Kesimpulan
Ketika Sartono membubuarkan PNI pada tahun 1930, banyak anggotanya yang tidak
setuju. Mereka menyebut dirinya sebagai “Golongan Merdeka”. Dengan giat mereka
medirikan studi club-studi club baru, seperti Studi Club Nasional Indonesia di Jakarta dan
Studi Club Rakyat Indonesia di Bandung. Selanjutnya, mereka mendirikan Komite Perikatan
Golongan Merdeka untuk menarik anggota-anggota PNI dan untuk menghadapi Partindo.
Pada bulan Desember 1931, Golongan Merdeka membentuk Pendidikan Nasional
Indonesia (PNI Baru). Mula-mula Sultan Syahrir dipilih sebagai ketuanya. Moh. Hatta
kemudian dipilih sebagai ketua pada tahun 1932 setelah kembali dari Belanda. Strategi
perjuangan PNI Baru tidak jauh berbeda dengan PNI maupun dengan Partindo. Organisasi-
organisasi tersebut tetap sama-sama menggunakan taktik perjuangan non-kooperatif dalam
mencapai kemerdekaan politik. Adapun perbedaan antara PNI Baru dengan Partindo adalah
sebagai berikut:
1. PPPKI oleh PNI Baru dianggap sebagai “persatean” bukan persatuan karena anggota-
anggotanya memilii ideologi yang berbeda-beda. Sementara itu, Partindo manganggap
PPPKI dapat menjadi wadah persatuan yang kuat daripada mereka berjuang sendiri.
Pada tahun 1933, PNI Baru memiliki 65 cabang. Untuk mempersiapkan masyarakat
dalam mencapai kemerdekaan, PNI Baru melakukan kegiatan penerangan untuk rakyat dan
penyuluhan koperasi. Kegiatan-kegiatan PNI Baru tersebut dan ditambah dengan sikapnya
yang non-kooperatif dianggap oleh pemerintah kolonial membahayakan. Oleh karena itu,
pada bulan Februari 1934 Bung Hatta, Sultan Syahrir Maskun, Burhannuddin, Murwoto,
dan Bondan ditangkap pemerintah kolonial. Bung Hatta diasingkan ke hulu sungai Digul,
Papua. Kemudian dipindahkan ke Banda Neira pada tahun 1936 dan akhirnya ke Sukabumi
pada tahun 1942. Dengan demikian, hanya partai-partai yang bersikap kooperatif saja yang
dibiarkan hidup oleh pemerintah kolonial Belanda.
Pembubaran PNI pada kongres bulan April 1931 mengakibatkan terjadinya
perpecahan di kalangan anggotanya. Kelompok yang menyetujui pembubaran mendirikan
Page
72
Partindo. Sedangkan kelompok yang tidak setuju mempersatukan diri membentuk
“Golongan Merdeka”. Pada bulan Desember 1931, golongan merdeka mendirikan partai
baru, sesuai dengan saran Hatta. Partai itu diberi nama Pendidikan Nasional Indonesia (lebih
sering disebut PNI-Baru) dipimpin oleh Sukemi.
PNI didirikan di Bandung pada 4 Juli 1924 oleh kaum terpelajar yang dipimpin oleh
Ir. Soekarno. Kaum muda terpelajar itu tergabung dalam Algemene Studieclub (Bandung)
dan kebanyakan dari mereka adalah mantan anggota Perhimpunan Indonesia yang telah
kembali ke tanah air. Keradikalan PNI sudah tampak sejak pertama didirikannya. Ini terlihat
dari strategi perjuangannya yang berhaluan nonkooperasi. PNI tidak mau ikut dalam dewan-
dewan yang diadakan oleh pemerintah.
Tujuan PNI adalah kemerdekaan Indonesia dan tujuan itu akan dicapai dengan asas
“percaya pada diri sendiri”. Artinya: memperbaiki keadaan politik, ekonomi, sosial, dan
budaya yang sudah dirusak oleh penjajahan, dengan kekuatan sendiri. Semua itu akan
dicapai melalui berbagai usaha, antara lain:
1. Usaha politik, yaitu dengan cara memperkuat rasa kebangsaan persatuan dan kesatuan.
Memajukan pengetahuan sejarah kebangsaan, mempererat kerja sama dengan bangsa-
bangsa Asia dan menumpas segala perintang kemerdekaan dan kehidupan politik. Dalam
bidang politik, PNI berhasil menghimpun organisasi-organisasi pergerakan lainnya ke
dalam satu wadah yang disebut Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik
Kebangsaan Indonesia;
2. Usaha ekonomi, yaitu dengan memajukan perdagangan rakyaat, kerajinan atau industri
kecil, bank-bank, sekolah-sekolah, dan terutama koperasi;
3. Usaha sosial, yaitu dengan memajukan pengajaran yang bersifat nasional, emngurangi
pengangguran, mengangkat derajat kaum wanita, meningkatkan transmigrasi dan
memperbaiki kesehatan rakyat.
Gerakan PNI dipimpin oleh tokoh-tokoh berbobot, seperti Ir. Soekarno, Mr. Ali
Sastroamijoyo, Mr. Sartono, yang berpengaruh luas di berbagai daerah di Indoenesia. Ir.
Soekarno dengan keahliannya berpidato, berhasil menggerakkan rakyat sesuai dengan
tujuan PNI. Pengaruh PNI juga sangat terasa pada organisasi-organisasi pemuda hingga
melahirkan Sumpah Pemuda dan organisasi wanita yang melahirkan Kongres Perempuan di
Yogyakarta pada 22 Desember 1928.
H. Muhammadiyah
Page
73
Tujuan : (1) mengembangkan agama Islam sesuai perintah dan ajaran
Nabi Muhammad SAW;
(2) membantu dan meningkatkan kehidupan masyarakat;
(3) memajukan pendidikan di Indonesia.
Muhammadiyah : محمدية
Pemimpin Saat Ini : Prof Dr HM Din Syamsuddin
Anggota : ± 35 juta orang..
Pada tanggal 18 November 1912, Ahmad Dahlan - seorang pejabat pengadilan dari
kraton Yogyakarta dan sarjana Muslim berpendidikan dari Mekah - didirikan
Muhammadiyah di Yogyakarta . Ada sejumlah motif di balik berdirinya gerakan ini . Di
antara yang penting adalah keterbelakangan masyarakat Muslim dan penetrasi Kristen .
Ahmad Dahlan , banyak dipengaruhi oleh reformis Mesir Muhammad ' Abduh ,
dianggap modernisasi dan pemurnian agama dari praktik sinkretis yang sangat penting
dalam mereformasi agama ini . Oleh karena itu, sejak awal Muhammadiyah telah sangat
peduli dengan menjaga tauhid , tauhid dan pemurnian dalam masyarakat .
Muhammadiyah mendapat surat Keputusan badan hukum dari pemerintah pada
tanggal 22 Agustus 1914. Setelah berbadan hukum, organisasi ini mulai mendapat sambutan
kalangan Islam sehingga mulai berkembang. Muhammadiyah adalah organisasi yang
bercorak kooperatif (bekerjasama) dengan pemerintah Belanda.
Dengan kegiatan tersebut Muhammadiyah turut mendukung perjuangan memperoleh
kemerdekaan. Peranannya dalam menumbuhkan kesadaran bangsa tentang pentingnya
kemajuan dan kemerdekaan sangat besar.
Amal usaha yang dilakukan Muhammadiyah dalam upaya menjunjung tinggi dan
menegakkan agama Islam, meliputi :
o Mendirikan, memelihara, dan membantu mendirikan sekolah-sekolah berdasarkan
agama Islam untuk meningkatkan harkat dan martabat bangsa Indonesia;
o Mendirikan dan memelihara tempat ibadah;
o Mendirikan dan memelihara rumah sakit untuk menjaga kesehatan masyarakat;
o Mendirikan dan memelihara panti asuhan untuk anak yatim piatu;
o Membentuk badan perjalanan haji ke tanah suci;
o Membentuk organisasi otonom untuk menampung masyarakat sesuai usia, jenis
kelamin untuk berjuang meningkatkan martabat sebagai orang Islam
Dari tahun 1913 sampai tahun 1918, Muhammadiyah mendirikan lima Sekolah Islam . Pada
tahun 1919 sebuah sekolah tinggi Islam , Hooge School Muhammadiyah didirikan . Dalam
mendirikan sekolah , Muhammadiyah mendapat bantuan yang signifikan dari Boedi Oetomo
, sebuah gerakan nasionalis yang penting di Indonesia pada paruh pertama abad kedua puluh
, seperti dalam bentuk menyediakan guru Muhammadiyah telah umumnya dihindari politik
. . Tidak seperti rekan tradisionalis nya, Nahdatul Ulama , tidak pernah membentuk partai
politik Sejak berdirinya, ia telah mengabdikan dirinya untuk kegiatan pendidikan dan sosial
.
Pada tahun 1925 , dua tahun setelah kematian Dahlan , Muhammadiyah hanya
memiliki 4.000 anggota, bahkan telah membangun 55 sekolah dan dua klinik di Surabaya
dan Yogyakarta Setelah Abdul Karim Amrullah memperkenalkan organisasi untuk
Minangkabau dinamis masyarakat muslim , Muhammadiyah berkembang pesat . . Pada
tahun 1938 , organisasi mengklaim memiliki 250.000 anggota , mengelola 834 masjid , 31
Page
74
perpustakaan , 1.774 sekolah , dan 7630 ulama . Minangkabau Pedagang menyebar
organisasi untuk seluruh Indonesia.
Selama pergolakan politik 1965-66 dan kekerasan , Muhammadiyah menyatakan
pemusnahan " Gestapu / PKI " ( Gerakan 30 September dan Partai Komunis Indonesia )
merupakan Perang Suci , pandangan yang didukung oleh kelompok-kelompok Islam lainnya
. ( lihat juga : pembunuhan Indonesia dari 1965-1966 ) . Selama " reformasi Indonesia "
1998 , beberapa bagian dari Muhammadiyah mendesak pimpinan untuk membentuk partai .
Oleh karena itu, mereka - termasuk Muhammadiyah ketua , Amien Rais , mendirikan Partai
Amanat Nasional . Meskipun mendapat dukungan besar dari para anggota Muhammadiyah
, partai ini tidak memiliki hubungan resmi dengan Muhammadiyah . Pemimpin
Muhammadiyah mengatakan anggota organisasinya bebas untuk menyesuaikan diri dengan
partai politik memilih disediakan pihak tersebut mereka telah berbagi nilai-nilai dengan
Muhammadiyah.
Muhammadiyah didukung oleh beberapa organisasi otonom :
Aisyiyah ( Perempuan )
Pemuda Muhammadiyah ( Pemuda )
Nasyiatul Aisyiyah ( Remaja Putri )
Ikatan Pelajar Muhammadiyah ( Asosiasi Mahasiswa )
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah ( College student )
Tapak Suci Putra Muhammadiyah ( Pencak Silat )
Hizbul Wathan ( Pramuka ) .
Struktur pengurus pusat terdiri dari lima penasehat , ketua, wakil ketua , sekretaris umum
dan beberapa deputi , bendahara dan beberapa deputi, serta beberapa wakil ketua.
I. Nahdhatul Ulama
Didirikan Oleh : KH. Hasyim Asyari
KH. Abdul Wahab Hasbullah
KH. Bisri
KH. Ridwan
Tempat / Tanggal : Surabaya, 31 Januari 1926
Tujuan : untuk memelihara kebiasaan bergama Islam secara tradisi
menurut mazhab Syafi’I, Maliki, Hanafi, dan Hambali
Nahdhatul Ulama (NU) didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya. Tokoh-tokoh
pendirinya antara lain KH. Hasyim Asyari (Pesantren Tebuireng), KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH.
Bisri (Pesantren Jombang), KH. Ridwan (Semarang), dan lain-lain. Latar belakang didirikannya NU
antara lain untuk memelihara kebiasaan bergama Islam secara tradisi menurut mazhab Syafi’I,
Maliki, Hanafi, dan Hambali.
Dalam mencapai cita-citanya, NU melakukan berbagai kegiatan, antara lain :
a) mengadakan perhubungan di antara ulama-ulama yang bermazhab Syafi’I, Maliki, Hanafi, dan
Hambali.
b) memeriksa kitab-kitab yang akan dipergunakan sebelum mengajar agar dapat diketahui
apakah kitab itu termasuk kitab-kitab Ahli Sunnah Wal Jama’ah atau kitab-kitab ahli bid’ah.
c) menyiarkan agama Islam berasaskan pada kitab Ahli Sunnah Wal Jama’ah.
d) membangun madrasah-madrasah, mesjid, pondok-pondok pesantren, serta hal-hal yang
berhubungan dengan anak yatim-piatu serta fakir miskin.
Page
75
J. Tri Koro Dharmo (Jong Java)
Tri Koro Dharmo adalah perkumpulan pemuda yang pertama kali berdiri.
Perkumpulan ini dibentuk atas petunjuk Budi Utomo pada 7 Maret 1915 di gedung
KebangkitanNasional, Jakarta oleh dr. Satiman Wiryosanjoyo dan pemuda-pemuda Jawa,
seperti Satiman, Kadarman, Sumardi, Jaksodipuro (Wongsonegoro), Sarwono, dan
Mawardi. Trikoro Dharmo berarti tiga tujuan mulia, yaitu Sakti, Budi dan Bhakti.
Kegiatannya seputar memupuk rasa cinta tanah air, memperluas persaudaraan, dan
mengembangkan kebudayaan Jawa. Sebagian besar anggotannya adalah murid-murid
sekolah menengah asal Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Kenggotaan Trikoro Dharmo pada mulanya hanya terbatas pada kalangan pemuda dari
Jawa dan Madura. Akan tetapi, diperluas dengan semboyannya Jawa Raya yang meliputi
Jawa, Sunda, Bali, dan Lombok. Pada tanggal 9 Desember 1917 di Jakarta berdiri organisasi
Jong Sumatranen Bond. Tokoh-tokoh nasional yang pernah menjadi anggota Jong
Sumatranen Bond, antara lain Moh.Hatta, Moh.Yamin, M. Tasil, Bahder Djohan, dan Abu
Hanifah. Jong Minahasa berdiri pada tanggal 5 Januari 1918 di Manado dengan tokohnya
A.J.H.W.Kawilarang dan V.Adam. Jong Celebes dengan tokoh-tokohnya Arnold
Monomutu, Waworuntu, dan Magdalena Mokoginta. Jong Ambon berdiri pula pada tanggal
1 Juni 1923 di Jakarta.
Dengan semangat kedaerahaannya itu, pada kongres Trikoro Dharmo di Solo tanggal
12 Juni 1918 nama trikoro Dharmo diubah menjadi Jong Java. Kegiatan Jong Java masih
tetap bergerak dalam bidang sosial budaya. Pada kongres kelima bulan Mei 1922 di Solo
dan kongres luar biasa Desember 1922 ditetapkan bahwa Jong Java tidak akan mencampuri
masalah politik. Anggota Jong Java hanya diperbolehkan terjun dalam dunia politik setelah
mereka tamat belajar.
Tahun 1929, Jong Java dibubarkan dan diganti dengan Indonesia Muda yang bersifat
nasionalis. Tri Koro Dharmor memiliki perangkat antara lain : dr. Satiman Wiryosanjoyo
(ketua), Wongsonegoro (wakil ketua), dan Sutomo (sekretaris).
K. Taman Siswa
Page
76
Tujuannya : 1. mengembangkan edukasi dan kultural yang direalisasikan
dengan baik, terbukti dengan pendirian sekolah-sekolah di
lingkungan Taman Siswa.
2. memajukan pendidikan bangsa Indonesia agar mempunyai
harga diri yang sama dengan bangsa lain yang merdeka
Semboyan : 1. Ing ngarso sung tulodo
2. Ing madya mangun karso
3. Tut wuri handayani
Setelah Indische Partij dilarang oleh pemerintah Hindia-Belanda tahun 1913, salah seorang
tokohnya yaitu Ki Hajar Dewantara (Suwardi Suryaningrat) mengalihkan perjuangannya ke bidang
pendidikan. Pada tanggal 3 Juli 1922, Ki Hajar Dewantara mendirikan Perguruan Taman Siswa di
Yogyakarta. Tujuannya adalah memajukan pendidikan bangsa Indonesia agar mempunyai harga diri
yang sama dengan bangsa lain yang merdeka. Meskipun tidak bergerak dibidang politik, tetapi
Perguruan Taman Siswa termasuk organisasi yang mempunyai andil dalam pergerakan nasional
untuk mencapai kemerdekaan.
Sekolah-sekolah yang didirikan diantaranya
Taman Kanak-Kanak disebut Taman Indiria,
Sekolah Dasar disebut Taman Anak,
SLTP disebut Taman Muda, dan
SLTA disebut Taman Madya.
Patrap Triloka dipakai sebagai panduan dan pedoman dalam dunia pendidikan di
Indonesia.
Panji Tamansiswa
1. Bentuk : berbentuk perisai dengan ukuran lebar dibandingkan panjang 2 : 3. Dibagian
bawah , mulai batas 2/3 dari atas melengkung.
2. Isi :
a. Lambang Tamansiswa;
b. Suci Tata Ngesti Tunggal;
c. Tahun Masehi 1922 dan hiasannya.
Page
77
Panji Taman Siswa.
4. Arti warna : kuning emas = cahaya, cemerlang, cita-cita luhur; hijau : harapan, selalu
berkembang, pendidikan.
Taman Siswa berdiri pada tanggal 3 Juli 1922, Taman Siswa adalah badan
perjuangan kebudayaan dan pembangunan masyarakat yang menggunakan pendidikan
dalam arti luas untuk mencapai cita-citanya. Bagi Tamansiswa, pendidikan bukanlah tujuan
tetapi media untuk mencapai tujuan perjuangan, yaitu mewujudkan manusia Indonesia yang
merdeka lahir dan batinnya. Merdeka lahiriah artinya tidak dijajah secara fisik, ekonomi,
politik, dsb; sedangkan merdeka secara batiniah adalah mampu mengendalikan keadaan.
Bebicara Taman Siswa tidak bisa lepas dari pendirinya yaitu Raden Mas Soewardi
Soeryaningrat atau yang biasa di kenal dengan Ki Hajar Dewantara. Beliau mendirikan
Taman Siswa bertujuan untuk pendidikan pemuda Indonesia dan juga sebagai alat
perjuangan bagi rakyat Indonesia. Tujuan Taman Siswa adalah membangun anak didik
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, merdeka lahir
batin, luhur akal budinya, cerdas dan berketerampilan, serta sehat jasmani dan rohaninya
untuk menjadi anggota masyarakat yang mandiri dan bertanggung jawab atas kesejahteraan
bangsa, tanah air, serta manusia pada umumnya. Meskipun dengan susunan kalimat yang
berbeda namun tujuan pendidikan Taman Siswa ini sejalan dengan tujuan pendidikan
nasional.
Page
78
Oleh sebab itu maka didirikanlah Taman Siswa, berdirinya Taman Siswa merupakan
tantangan terhadap politik pengajaran kolonial dengan mendirikan pranata tandingan.
Taman Siswa adalah badan perjuangan kebudayaan dan pembangunan masyarakat yang
menggunakan pendidikan dalam arti luas untuk mencapai cita-citanya. Bagi Taman Siswa,
pendidikan bukanlah tujuan tetapi media untuk mencapai tujuan perjuangan, yaitu
mewujudkan manusia Indonesia yang merdeka lahir dan batinnya. Merdeka lahiriah artinya
tidak dijajah secara fisik, ekonomi, politik, dsb, sedangkan merdeka secara batiniah adalah
mampu mengendalikan keadaan.
Pendidikan Taman Siswa dilaksanakan berdasar Sistem Among, yaitu suatu sistem
pendidikan yang berjiwa kekeluargaan dan bersendikan kodrat alam dan kemerdekaan.
Dalam sistem ini setiap pendidik harus meluangkan waktu sebanyak 24 jam setiap harinya
untuk memberikan pelayanan kepada anak didik sebagaimana orang tua yang memberikan
pelayanan kepada anaknya.
Sistem Among tersebut berdasarkan cara berlakunya disebut Sistem Tut Wuri
Handayani. Dalam sistem ini orientasi pendidikan adalah pada anak didik, yang dalam
terminologi baru disebut Student Centered. Di dalam sistem ini pelaksanaan pendidikan
lebih didasarkan pada minat dan potensi apa yang perlu dikembangkan pada anak didik,
bukan pada minat dan kemampuan apa yang dimiliki oleh pendidik. Apabila minat anak
didik ternyata akan ke luar “rel” atau pengembangan potensi anak didik di jalan yang salah
maka pendidik berhak untuk meluruskannya.
Page
79
berkoordinasi dan saling mengisi kekurangan yang ada. Penerapan sistem pendidikan seperti
ini yang dinamakan Sistem Trisentra Pendidikan atau Sistem Tripusat Pendidikan.
Taman Siswa bisa dianggap sebagai tempat pemupukan kader masyarakat Indonesia
dimasa mendatang dan yang sudah pasti akan berusaha pula untuk menumbangkan
kekuasaan kolonial. Oleh karena itu pemerintah kolonial berusaha untuk menghalang-
halangi perkembangan Taman Siswa khususnya, dan sekolah-sekolah partikelir umumnya.
Sejak itu, Taman Siswa menghadapi perjuangan asasi, melawan politik pemerintah Hindia
Belanda. Pada tahun 1931 timbul pendapat dikalangan orang Belanda yang memperingatkan
pemerintah, bahwa apabila tidak diadakan peninjauan kembali, Taman Siswa akan
menguasai keadaan dalam tempo sepuluh tahun.
Pemerintah konservatif Gubernur Jenderal de jonge menyambut kegelisahan orang
Belanda dengan mengeluarkan “ordonansi pengawasan” yang dimuat dalam Staatsblad no.
494 tanggal 17 September 1932. Isi dan tujuan dari ordonansi itu ialah memberi kuasa
kepada alat-alat pemerintah untuk mengurus wujud dan isi sekolah-sekolah partikelir yang
tidak dibiayai oleh negeri. Sekolah partikelir harus meminta izin lebih dahulu sebelum
dibuka dan guru-gurunya harus mempunyai izin mengajar. Rencana pengajaran harus pula
sesuai dengan sekolah-sekolah negeri, demikian juga peraturan-peraturannya. Ordonansi itu
menimbulkan perlawanan umum dikalangan masyarakat Indonesia dan dimulai oleh
prakarsa Ki Hajar Dewantara yang mengirimkan protes lewat telegram kepada Gubernur
Jenderal di Bogor pada tanggal 1 Oktober 1932.
Pada tanggal 3 Oktober 1932 Ki Hajar Dewantara mengirimkan maklumat kepada
segenap pimpinan pergerakan rakyat, dan menjelaskan lebih lanjut sikap yang diambil
Taman Siswa. Aksi melawan ordonansi ini disokong sepenuhnya oleh 27 organisasi, antara
lain Istri sedar, PSII, Dewan Guru Perguruan Kebangsaan di Jakarta, Budi Utomo,
Paguyuban Pasundan, Persatuan Mahasiswa, PPPI, Partindo, Muhammadiyah, dan lain-
lainnya. Golongan peranakan Arab dan Tionghoa juga menyokong aksi ini. Pers nasional
tidak kurang menghantam ordonansi itu melalui tajuk rencananya. Mohammad Hatta
sebagai pemimpin Pendidikan Nasional Indonesia, menganjurkan supaya mengorganisasi
aksi yang kuat. Pada bulan Desember 1932, Wiranatakusumah, anggota Volksraad
mengajukan pertanyaan pada pemerintah dan disusul pada bulan Januari 1933 dengan
sebuah usul inisiatif.
Usul inisiatif yang disokong oleh kawan-kawannya di Volksraad, berisi: menarik
kembali ordonansi yang lama serta mengangkat komisi untuk merencanakan perubahan
Page
80
yang tetap. Budi Utomo dan Paguyuban Pasundan mengancam akan menarik wakil-
wakilnya dari dewan-dewan, apabila ordonansi ini tidak dicabut pada tanggal 31 Maret
1933. Juga dikalangan para ulama aksi melawan ordonansi sekolah liar ini mendapat
sambutan, terbukti dengan adanya rapat-rapat Persyarikatan Ulama di Majalengka dan
Ulama-ulama Besar di Minangkabau. Pemerintah terkejut akan tekad perlawanan akan
masyarakat Indonesia dan setelah mengeluarkan beberapa penjelasan dan mengadakan
pertemuan dengan Ki Hajar Dewantara, akhirnya dengan keputusan Gubernur Jenderal
tanggal 13 Februari 1933 ordonansi Sekolah liar diganti dengan ordonansi baru.
Perlawan Taman Siswa terhadap ordonansi sekolah liar merupakan masa gemilang
bagi sejarahnya, yang juga berarti mempertahankan hak menentukan diri sendiri bagi bangsa
Indonesia. Sesudah itu Taman Siswa akan mengadakan lagi perlawanan terhadap peraturan
pemerintah kolonial yang dapat dianggap merugikan rakyat. Pada tahun 1935 Taman Siswa
mempunyai 175 cabang yang tersebar di sekolahnnya ada 200 buah, dari mulai sekolah
rendah hingga sekolah menengah.
Didirikan Oleh :
Tempat / Tanggal :
Tujuan : a. Memperkokoh semangat persatuan
kebangsaan.
b. Terus berjuang untuk memperoleh suatu
pemerintahan yang berdasarkan demokratis
dan nasionalisme.
c. Berusaha meningkatkan kesejahteraan
rakyat baik bidang ekonomi maupun sosial.
Lahirnya Parindra
Dalam kongres yang diselenggarakan pada tahun 1934 di Malang yang dihadiri 38
cabang dibicarakan komunikasi antar pulau agar dapat dilakukan melalui pelayaran yang
diperkuat oleh koperasi. Selain itu kongres akan memajukan pendidikan rakyat dan
kepanduan yang diberi nama Suryawirawan. Dilumpuhkannya gerakan nonkoperasi pada
tahun 1930-an mempercepat perkembangan kerjasama PBI dan BU. Usaha penyatuan
antarperhimpunan pergerakan nasional terwujud dengan berdirinya Partai Indonesia Raya
Page
82
(Parindra). Parindra merupakan hasil fusi dari Budi Utomo (BU) dengan Persatuan Bangsa
Indonesia (PBI) dalam kongres fusinya tanggal 24-26 Desember 1935 di Solo. Sebagai ketua
terpilih dr. Sutomo (PBI), dan Wakil Ketua, Wuryaningrat (BU) dengan kantor pusat di
Surabaya. Usaha penyatuan antar perhimpunan pergerakan nasional terwujud dengan
berdirinya Partai Indonesia Raya (Parindra). Organisasi lain yang kemudian bergabung ke
dalam Parindra ialah Sarekat Minahasa, Sarekat Ambon, Perkumpulan Kaum Betawi,
Sarekat Selebes, dan Sarekat Sumatra.. Dengan terbentuknya Parindra berati persatuan
golongan koperasi makin kuat. Pada tahun 1936 partai itu mempunyai 57 cabang dengan
3.425 anggota.
Tujuan Parindra tidak jauh berbeda dengan PBI yang menginginkan Indonesia mulia
dan sempurna.
Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan usaha-usaha sebagai berikut.
a. Memperkokoh semangat persatuan kebangsaan.
b. Terus berjuang untuk memperoleh suatu pemerintahan yang berdasarkan demokratis
dan
nasionalisme.
c. Berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat baik bidang ekonomi maupun sosial.
Dalam politiknya Parindra bersikap non-koperasi yang insidentil artinya apabila ada
kejadian yang sangat mengecewakan organisasi itu, maka diputuskan untuk sementara
menarik wakil-wakilnya dari dalam badan perwakilan. Parindra sangat aktif dan konstruktif
terhadap perkembangan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Untuk menolong petani
didirikan Perkumpulan Rukun Tani dan untuk memajukan pelayaran didirikan Rukun
Pelayaran Indonesia (Rupelin), dan juga didirikan Bank Nasional Indonesia.
Untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia, Parindra melakukan program-program,
yakni:http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=4372079726298618840
1) Melakukan pencerdasan secara politik-ekonomi-sosial kepada masyarakat sebagai bekal
dalam menjalankan pemerintahan sendiri di masa depan;
2) Menggalang persatuan dan kesatuan Indonesia tanpa memandang suku, agama, ras,
pendidikan dan kedudukannya;
3) Membentuk dan menjalankan aksi besar hingga diperoleh pemerintahan yang
demokratis, berdasar kepentingan dan kebutuhan bangsa Indonesia;
4) Bekerja keras di setiap bidang usaha untuk meninfkatkan kesejahteraan rakyat baik
secara ekonomis, sosial, maupun politis;
5) Mengusakan adanya persamaan dan kewajiban serta kedudukan dalam hukum bagi
seluruh warga Negara Indonesia.
Kesimpulan
Partai Indonesia Raya merupakan partai politik yang bergerak berdasarkan rasa
nasionalisme Indonesia dengan tujuan menjadikan Indonesia Muliadan Sempurna. Parindra
menganut azas kooperatif, atau memilih untuk berkerja sama dengan pemerintahan
belanda.mereka melakukan ini dengan cara menjadi dewan-dewan untuk waktu tertentu.
Cikal bakal PARINDRA adalah indische studie club di surabaya yang dipimpin oleh Dr.
Page
84
Sutomo. Pada tahun 1931 perkumpulan ini kemudian diubah menjadi Partai Bangsa
Indonesia (PBI).
Tujuan perjuangannya adalah untuk menyempurnakan derajat bangsa Indonesia
dengan melakukan hal-hal yang nyata dan dapat dirasakan oleh rakyat banyak, seperti
memajukan pendidikan, mendirikan koperasi rakyat, mendirikan bank-bank untuk rakyat
dan juga mendirikan persatuan nelayan.
Tokoh tokoh yang mengikuti parindra antara lain Woeryaningrat, RM Margono
Djojohadikusumo, R. panji soeroso, dan Mr. soesanto tirtoprodjo, M. Husni Thamrin dan
Sukarjo Wiryopranoto
Pada tahun 1937, Parindra memiliki anggota 4.600 orang. Pada akhir tahun 1938,
anggotanya menjadi 11.250 orang. Anggota ini sebagian besar terkonsentrasi di Jawa Timur.
Pada bulan Mei 1941 (menjelang perang Pasifik), Partai Indonesia Raya diperkirakan
memiliki anggota sebanyak 19.500 orang.
Perkembangan selanjutnya, banyak organisasi yang bergabung dengan parindra.
seperti Sarekat sumatra, sarekat ambon, kaum betawi, timor verbond dan sebagainya.
Didirikan Oleh :
Tempat / Tanggal : 17 Desember 1927.
Tujuan : a.Menyamakan arah aksi kebangsaan serta
memperkuat dan memperbaiki organisasi
dengan melakukan kerjasama diantara
anggota-anggotanya,
b. Menghindarkan perselisihan diantara para
anggotanya yang dapat memperlemah aksi
kebangsaan.
(PPPKI) didirikan pada tanggal 17 Desember 1927. Anggopta PPPKI terdiri atas
Partai Nasional Indonesia, Partai Serikat Islam, Budi Utomo, Pasundan, Sumatranen
Bond, Kaum Betawi, dan Indonesische Studie Club. Tujuan PPPKI adalah :
a.Menyamakan arah aksi kebangsaan serta memperkuat dan
memperbaiki organisasi dengan melakukan kerjasama diantara
anggota-anggotanya,
b. Menghindarkan perselisihan diantara para anggotanya yang dapat
memperlemah aksi kebangsaan.
Pengurus PPPKI disebut Majelis Pertimbangan yang terdiri atas ketua,
penulis, bendahara, dan wakil-wakil dari partai-partai yang tergabung didalamnya.
Page
85
dibentuk Komite Persatuan Indonesia. Akan tetapi, usaha tersebut tidak berhasil dengan baik
sehingga tidak satu pun organisasi gabungan (fusi) yang dihasilkan.
Pada tanggal 17-18 Desember 1927 diadakan sidang di Bandung yang dihadiri oleh
wakil-wakil dari PNI, Algemeene Studieclub, PSI (Partai sarekat Islam), Boedi Oetomo,
Pasundan, Sarekat Sumatra, Kaum Betawi, dan Indinesische studieclib. Sidang tersebut
memutuskan untuk membentuk (PPPKI) dengan tujuan sebagai berikut.
Sebagai suatu alat organisasi yang tetap dari federasi itu, dibentuklah dewan
pertimbangan yang terdiri atas seorang ketua, sekretaris, bendahara, dan wakil partai-partai
yang bergabung. Dr. Soetomo dari Studieclub sebagai Ketua Majelis Pertimbangan dan Ir.
Anwari dari PNI sebagai sekretaris.
N. Kongres Pemuda
Didirikan Oleh :
Tempat / Tanggal :
Tujuan :
1. Kongres Pemuda I
Dalam kongres itu dilakukan beberapa kali pidato tentang pentingnya Indonesia
bersatu. Disampaikan pula tentang upaya-upaya memperkuat rasa persatuan yang harus
tumbuh di atas kepentingan golongan, bangsa dan agama. Selanjutnya juga dibicarakan
tentang kemungkinan bahasa dan kesusastraan Indonesia kelak dikemudian hari.
Para mahasiswa Jakarta dalam kongres tersebut juga membicarakan tentang upaya
mempersatukan perkumpulan-perkumpulan pemuda menjadi satu badan gabumgan (fusi).
Walaupun pembicaraan mengenai fusi tidak membuahkan hasil yang memuaskan, kongres
itu telah memperkuat cita-cita Indonesia bersatu.
2. Kongres Pemuda II
Kongres Pemuda II diadakan dua tahun setelah Kongres Pemuda Indonesia pertama,
tepatnya pada tanggal 27-28 Oktober 1928. Kongres itu dihadiri oleh wakil-wakil dari
perkumpulan-perkumpulan pemuda ketika itu diantara lain Pemuda Sumatera, Pemuda
Indonesia, Jong Bataksche Bond, Sekar Rukun, Pemuda Kaum Betawi, Jong Islamiten
Bond, Jong Java, Jong Ambon dan Jong Celebes. PPPI yang memimpin kongres ini sengaja
mengarahkan kongres pada terjadinya fusi organisasi-organisasi pemuda.
Susunan panitia Kongres Pemuda II yang sudah terbentuk sejak bulan Juni 1928 adalah
sebagai berikut.
Kongres Pemuda II dilaksanakan selama dua hari, 27-28 Oktober 1928. persidangan
yang dilaksanakan sebanyak tiga kali di antaranya membahas persatuan dan kebangsaan
Indonesia, pendidikan, serta pergerakan kepanduan. Kongres tersebut berhasil mengambil
keputusan yang dikenal sebagai Sumpah Pemuda sebagai berikut.
Rumusan tersebut dibuat oleh sekretaris panitia, Moh. Yamin dan dibacakan oleh
ketua kongres, Sugondo Joyopuspito, secara hikmat di depan kongres. Selanjutnya
diperdengarkan lagu Indonesia Raya yang diciptakan dan dibawakan oleh W.R. Supratman
dengan gesekan biola. Peristiwa bersejarah itu merupakan hasil kerja keras para pemuda
pelajar Indonesia. Dengan tiga butir Sumpah Pemuda itu, setiap organisasi pemuda
kedaerahan secara konsekuen meleburkan diri kedalam satu wadah yang telah disepakati
bersama, yaitu Indonesia Muda.
Page
87
Didirikan Oleh : 21 Mei 1939
Tempat / Tanggal :
Tujuan :
Perhatian yang besar dari R.A Kartini dan R. Dewi Sartika terhadap kaum
wanita telah mengilhami pergerakan kaum wanita untuk membentuk organisasi. Pada
awalnya tujuan organisasi perempuan itu untuk memperbaiki kedudukan sosialnya.
Namun, dalam perkembangannya organisasi itu juga berwawasan kebangsaan.
Tentu saja penolakan itu menimbulkan kekecewaan, tetapi GAPI masih meneruskan
perjuangannya. Dalam rapat tanggal 23 Februari 1940, GAPI menganjurkan pendirian
Panitia Parlemen Indonesia sebagai tindak lanjut aksi Indonesia Berparlemen. Akan tetapi,
kesempatan bergerak bagi GAPI sudah tidak ada lagi. Pada awal Mei 1940, Belanda
diduduki oleh Jerman sehingga Perang Dunia II telah berkobar di Negeri Belanda. Meskipun
negerinya sudah diduduki oleh Jerman, tetapi Belanda tidak mau mundur setapak pun dari
bumi Indonesia.
Sikap pemerintah Belanda yang konservatif itu tidak mengurangi loyalitas rakyat
Indonesia terhadap Belanda, bahkan ada keinginan umum untuk bekerja sama dalam
menghadapi perang itu. Sebagai imbalan dari kesetiaan bangsa Indonesia tersebut, Gubernur
Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer menjanjikan perubahan dalam berbagai segi
kehidupan masyarakat. Akan tetapi, gagasan mengenai perubahan itu harus disimpan dahulu
hingga perang selesai. Pada tanggal 10 Mei 1941 dalam pidatonya, Ratu Wilhelmina
menyatakan kesediaannya untuk mempertimbangkan suatu penyesuaian ketatanegaraan
Belanda terhadap keadaan yang berubah serta menentukan kedudukan daerah
seberangdalam struktur Kerajaan Belanda. Akan tetapi, masalah itu pun ditunda hingga
Perang Dunia II selesai.
Satu-satunya hasil dari berbagai upaya kaum pergerakan melalui Dewan Rakyat
adalah pembentuka Komisi Vismen (Commissie-Visman) pada bulan Maret 1941. Komisi
tersebut bertugas meneliti keinginan, cita-cita, serta pendapat yang ada pada berbagai
golongan masyarakat mengenai perbaikan pemerintahan. Hasilnya diumumkan pada bulan
Desember 1941 yang menyatakan bahwa penduduk sangat puas dengan pemerintah
Belanda.
Page
89
Dr.Drs.H.MUHAMMAD HATTA
NAMA LAHIR :
MUHAMMAD ATHAR ( Athar berarti harum )
LAHIR DI :
12 Agustus 1902 di Fort de kock ( sekarang kota Tebingtinggi ), Hindia Belanda
MENINGGAL :
14 Maret 1980 pada umur 77 dan dimakamkan Tanah kusir, Jakarta, Indonesia.
PENGHARGAAN :
Bapak koperasi Indonesia
Bandara internasional Indonesia diberi nama BANDAR UDARA SOEKORNO –
HATTA
Jalan di Belanda kawasan HAARLEM dengan nama Mohammed Hattastraat
Salah satu PAHLAWAN NASIONAL INDONESIA pada tanggal 23 Oktober 1986
JABATAN :
Page
90
wakil presiden ke I ( 18 Agustus 1945 – 1 Desember 1956 ) digantikan oleh SRI
SULTAN HAMENGKUBUWONO IX.
Perdana menteri Indonesia ke 3 ( 29 Januari 1948 – 5 september 1956 ) yang
didahului oleh AMIR SJARIFUDDIN. Digantikan oleh SUSANTO
TIRTOPRODJO 20 Desember 1949 dan MUHAMMAD NATSIR 5 September
1950.
Menteri pertahanan RI ke 4 ( 29 Januari 1948 – 4 Agustus 1949 ). Didahului oleh
AMIR SJARIFUDDIN. Digantikan oleh SRI SULTAN HAMENGKUBUWONO
IX .
ISTRI :
RAHMI RACHIM
ANAK :
MEUTIA HATTA
GEMALA HATTA
HALIDA HATTA
AGAMA :
Islam
TANDA TANGAN
KEHIDUPAN AWAL
Mohammad Hatta lahir dari pasangan Muhammad Djamil dan Siti Saleha. Ayahnya
merupakan seorang keturunan ulama tarekat di Batuhampar, dekat Payakumbuh, Sumatera
Barat. Sedangkan ibunya berasal dari keluarga pedagang di BUKITTINGGI. Ayahnya
meninggal pada saat ia masih berumur tujuh bulan. Setelah kematian ayahnya, ibunya
menikah dengan Agus Haji Ning, seorang pedagang dari Palembang, Haji Ning sering
berhubungan dagang dengan Ilyas Bagindo Marah, kakeknya dari pihak ibu. Dari
perkawinan Siti Saleha dengan Haji Ning, mereka dikaruniai empat orang anak, yang
kesemuanya adalah perempuan.
Page
91
MASA STUDI DI NEGERI BELANDA
Pada tahun 1921 Hatta tiba di Negeri Belanda untuk belajar pada Handels Hoge School
di Rotterdam. Ia mendaftar sebagai anggota Indische Vereniging. Tahun 1922, perkumpulan
ini berganti nama menjadi Indonesische Vereniging. Perkumpulan yang menolak bekerja
sama dengan Belanda itu kemudian berganti nama lagi menjadi Perhimpunan Indonesia (PI).
Hatta juga mengusahakan agar majalah perkumpulan, Hindia Poetra, terbit secara
teratur sebagai dasar pengikat antaranggota. Pada tahun 1924 majalah ini berganti nama
menjadi Indonesia Merdeka.
Hatta lulus dalam ujian handels economie (ekonomi perdagangan) pada tahun 1923.
Semula dia bermaksud menempuh ujian doctoral di bidang ilmu ekonomi pada akhir tahun
1925. Karena itu pada tahun 1924 dia non-aktif dalam PI. Tetapi waktu itu dibuka jurusan
baru, yaitu hukum negara dan hukum administratif. Hatta pun memasuki jurusan itu
terdorong oleh minatnya yang besar di bidang politik.
Sejak tahun 1926 sampai 1930, berturut-turut Hatta dipilih menjadi Ketua PI. Di
bawah kepemimpinannya, PI berkembang dari perkumpulan mahasiswa biasa menjadi
organisasi politik yang mempengaruhi jalannya politik rakyat di Indonesia. Sehingga
akhirnya diakui oleh Pemufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPI) PI
sebagai pos depan dari pergerakan nasional yang berada di Eropa.PI melakukan propaganda
aktif di luar negeri Belanda. Hampir setiap kongres intemasional di Eropa dimasukinya, dan
menerima perkumpulan ini. Selama itu, hampir selalu Hatta sendiri yang memimpin
delegasi.
Pada tahun 1926, dengan tujuan memperkenalkan nama “Indonesia”, Hatta memimpin
delegasi ke Kongres Demokrasi Intemasional untuk Perdamaian di Bierville, Prancis. Tanpa
banyak oposisi, “Indonesia” secara resmi diakui oleh kongres. Nama “Indonesia” untuk
menyebutkan wilayah Hindia Belanda ketika itu telah benar-benar dikenal kalangan
organisasi-organisasi internasional.
Pada tahun 1927 itu pula, Hatta dan Nehru diundang untuk memberikan ceramah bagi
“Liga Wanita Internasional untuk Perdamaian dan Kebebasan” di Gland, Swiss. Judul
ceramah Hatta L ‘Indonesie et son Probleme de I’ Independence (Indonesia dan Persoalan
Kemerdekaan).
Page
92
Bersama dengan Nazir St. Pamontjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdul Madjid
Djojoadiningrat, Hatta dipenjara selama lima setengah bulan. Pada tanggal 22 Maret 1928,
mahkamah pengadilan di Den Haag membebaskan keempatnya dari segala tuduhan. Dalam
sidang yang bersejarah itu, Hatta mengemukakan pidato pembelaan yang mengagumkan,
yang kemudian diterbitkan sebagai brosur dengan nama “Indonesia Vrij”, dan kemudian
diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai buku dengan judul Indonesia Merdeka.
Antara tahun 1930-1931, Hatta memusatkan diri kepada studinya serta penulisan
karangan untuk majalah Daulat Ra‘jat dan kadang-kadang De Socialist. Ia merencanakan
untuk mengakhiri studinya pada pertengahan tahun 1932.
Pada bulan Juli 1932, Hatta berhasil menyelesaikan studinya di Negeri Belanda dan
sebulan kemudian ia tiba di Jakarta. Antara akhir tahun 1932 dan 1933, kesibukan utama
Hatta adalah menulis berbagai artikel politik dan ekonomi untuk Daulat Ra’jat dan
melakukan berbagai kegiatan politik, terutama pendidikan kader-kader politik pada Partai
Pendidikan Nasional Indonesia. Prinsip non-kooperasi selalu ditekankan kepada kader-
kadernya.
Reaksi Hatta yang keras terhadap sikap Soekarno sehubungan dengan penahannya
oleh Pemerintah Kolonial Belanda, yang berakhir dengan pembuangan Soekarno ke Ende,
Flores, terlihat pada tulisan-tulisannya di Daulat Ra’jat, yang berjudul “Soekarno Ditahan”
(10 Agustus 1933), “Tragedi Soekarno” (30 Nopember 1933), dan “Sikap Pemimpin” (10
Desember 1933).
Pada bulan Pebruari 1934, setelah Soekarno dibuang ke Ende, Pemerintah Kolonial
Belanda mengalihkan perhatiannya kepada Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Para
pimpinan Partai Pendidikan Nasional Indonesia ditahan dan kemudian dibuang ke Boven
Digoel. Seluruhnya berjumlah tujuh orang. Dari kantor Jakarta adalah Mohammad Hatta,
Sutan Sjahrir, dan Bondan. Dari kantor Bandung: Maskun Sumadiredja, Burhanuddin,
Soeka, dan Murwoto. Sebelum ke Digoel, mereka dipenjara selama hampir setahun di
penjara Glodok dan Cipinang, Jakarta. Di penjara Glodok, Hatta menulis buku berjudul
“Krisis Ekonomi dan Kapitalisme”.
MASA PEMBUANGAN
Pada bulan Januari 1935, Hatta dan kawan-kawannya tiba di Tanah Merah, Boven
Digoel (Papua). Kepala pemerintahan di sana, Kapten van Langen, menawarkan dua pilihan:
bekerja untuk pemerintahan kolonial dengan upah 40 sen sehari dengan harapan nanti akan
dikirim pulang ke daerah asal, atau menjadi buangan dengan menerima bahan makanan in
natura, dengan tiada harapan akan dipulangkan ke daerah asal. Hatta menjawab, bila dia mau
bekerja untuk pemerintah kolonial waktu dia masih di Jakarta, pasti telah menjadi orang
besar dengan gaji besar pula. Maka tak perlulah dia ke Tanah Merah untuk menjadi kuli
dengan gaji 40 sen sehari.
Dalam pembuangan, Hatta secara teratur menulis artikel-artikel untuk surat kabar
Pemandangan. Honorariumnya cukup untuk biaya hidup di Tanah Merah dan dia dapat pula
Page
93
membantu kawan-kawannya. Rumahnya di Digoel dipenuhi oleh buku-bukunya yang
khusus dibawa dari Jakarta sebanyak 16 peti. Dengan demikian, Hatta mempunyai cukup
banyak bahan untuk memberikan pelajaran kepada kawan-kawannya di pembuangan
mengenai ilmu ekonomi, sejarah, dan filsafat. Kumpulan bahan-bahan pelajaran itu di
kemudian hari dibukukan dengan judul-judul antara lain, “Pengantar ke Jalan llmu dan
Pengetahuan” dan “Alam Pikiran Yunani.” (empat jilid).
Pada bulan Desember 1935, Kapten Wiarda, pengganti van Langen, memberitahukan
bahwa tempat pembuangan Hatta dan Sjahrir dipindah ke Bandaneira. Pada Januari 1936
keduanya berangkat ke Bandaneira. Mereka bertemu Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Mr.
Iwa Kusumasumantri. Di Bandaneira, Hatta dan Sjahrir dapat bergaul bebas dengan
penduduk setempat dan memberi pelajaran kepada anak-anak setempat dalam bidang
sejarah, tatabuku, politik, dan lain-Iain.
Pada tanggal 3 Pebruari 1942, Hatta dan Sjahrir dibawa ke Sukabumi. Pada tanggal 9
Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang, dan pada tanggal 22
Maret 1942 Hatta dan Sjahrir dibawa ke Jakarta.
Pada masa pendudukan Jepang, Hatta diminta untuk bekerja sama sebagai penasehat.
Hatta mengatakan tentang cita-cita bangsa Indonesia untuk merdeka, dan dia bertanya,
apakah Jepang akan menjajah Indonesia? Kepala pemerintahan harian sementara, Mayor
Jenderal Harada. menjawab bahwa Jepang tidak akan menjajah. Namun Hatta mengetahui,
bahwa Kemerdekaan Indonesia dalam pemahaman Jepang berbeda dengan pengertiannya
sendiri. Pengakuan Indonesia Merdeka oleh Jepang perlu bagi Hatta sebagai senjata
terhadap Sekutu kelak. Bila Jepang yang fasis itu mau mengakui, apakah sekutu yang
demokratis tidak akan mau? Karena itulah maka Jepang selalu didesaknya untuk memberi
pengakuan tersebut, yang baru diperoleh pada bulan September 1944.Selama masa
pendudukan Jepang, Hatta tidak banyak bicara. Namun pidato yang diucapkan di Lapangan
Ikada (sekarang Lapangan Merdeka) pada tanggaI 8 Desember 1942 menggemparkan
banyak kalangan. Ia mengatakan, “Indonesia terlepas dari penjajahan imperialisme Belanda.
Dan oleh karena itu ia tak ingin menjadi jajahan kembali. Tua dan muda merasakan ini
setajam-tajamnya. Bagi pemuda Indonesia, ia Iebih suka melihat Indonesia tenggelam ke
dalam lautan daripada mempunyainya sebagai jajahan orang kembali.”
PROKLAMASI
Untuk mencari dukungan luar negeri, pada Juli I947, Bung Hatta pergi ke India
menemui Jawaharlal Nehru dan Mahatma Gandhi. dengan menyamar sebagai kopilot
bernama Abdullah (Pilot pesawat adalah Biju Patnaik yang kemudian menjadi Menteri Baja
India di masa Pemerintah Perdana Menteri Morarji Desai). Nehru berjanji, India dapat
membantu Indonesia dengan protes dan resolusi kepada PBB agar Belanda dihukum.
Kesukaran dan ancaman yang dihadapi silih berganti. September 1948 PKI melakukan
pemberontakan. 19 Desember 1948, Belanda kembali melancarkan agresi kedua. Presiden
dan Wapres ditawan dan diasingkan ke Bangka. Namun perjuangan Rakyat Indonesia untuk
mempertahankan kemerdekaan terus berkobar di mana-mana. Panglima Besar Soediman
melanjutkan memimpin perjuangan bersenjata.
Pada tanggal 27 Desember 1949 di Den Haag, Bung Hatta yang mengetuai Delegasi
Indonesia dalam Konperensi Meja Bundar untuk menerima pengakuan kedaulatan Indonesia
dari Ratu Juliana.Bung Hatta juga menjadi Perdana Menteri waktu Negara Republik
Indonesia Serikat berdiri. Selanjutnya setelah RIS menjadi Negara Kesatuan Republik
Indonesia, Bung Hatta kembali menjadi Wakil Presiden.
Selama menjadi Wakil Presiden, Bung Hatta tetap aktif memberikan ceramah-
ceramah di berbagai lembaga pendidikan tinggi. Dia juga tetap menulis berbagai karangan
dan buku-buku ilmiah di bidang ekonomi dan koperasi. Dia juga aktif membimbing gerakan
koperasi untuk melaksanakan cita-cita dalam konsepsi ekonominya. Tanggal 12 Juli 1951,
Bung Hatta mengucapkan pidato radio untuk menyambut Hari Koperasi di Indonesia.
Karena besamya aktivitas Bung Hatta dalam gerakan koperasi, maka pada tanggal 17 Juli
1953 dia diangkat sebagai Bapak Koperasi Indonesia pada Kongres Koperasi Indonesia di
Page
95
Bandung. Pikiran-pikiran Bung Hatta mengenai koperasi antara lain dituangkan dalam
bukunya yang berjudul Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun (1971).
Pada tahun 1955, Bung Hatta mengumumkan bahwa apabila parlemen dan konsituante
pilihan rakyat sudah terbentuk, ia akan mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden. Niatnya
untuk mengundurkan diri itu diberitahukannya melalui sepucuk surat kepada ketua
Perlemen, Mr. Sartono. Tembusan surat dikirimkan kepada Presiden Soekarno. Setelah
Konstituante dibuka secara resmi oleh Presiden, Wakil Presiden Hatta mengemukakan
kepada Ketua Parlemen bahwa pada tanggal l Desember 1956 ia akan meletakkan
jabatannya sebagai Wakil Presiden RI. Presiden Soekarno berusaha mencegahnya, tetapi
Bung Hatta tetap pada pendiriannya.Pada tangal 27 Nopember 1956, ia memperoleh gelar
kehormatan akademis yaitu Doctor Honoris Causa dalam ilmu hukum dari Universitas
Gajah Mada di Yoyakarta. Pada kesempatan itu, Bung Hatta mengucapkan pidato
pengukuhan yang berjudul “Lampau dan Datang”.
Sesudah Bung Hatta meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI, beberapa
gelar akademis juga diperolehnya dari berbagai perguruan tinggi. Universitas Padjadjaran
di Bandung mengukuhkan Bung Hatta sebagai guru besar dalam ilmu politik perekonomian.
Universitas Hasanuddin di Ujung Pandang memberikan gelar Doctor Honoris Causa dalam
bidang Ekonomi. Universitas Indonesia memberikan gelar Doctor Honoris Causa di bidang
ilmu hukum. Pidato pengukuhan Bung Hatta berjudul “Menuju Negara Hukum”.
Pada tahun 1960 Bung Hatta menulis “Demokrasi Kita” dalam majalah Pandji
Masyarakat. Sebuah tulisan yang terkenal karena menonjolkan pandangan dan pikiran Bung
Hatta mengenai perkembangan demokrasi di Indonesia waktu itu.Dalam masa pemerintahan
Orde Baru, Bung Hatta lebih merupakan negarawan sesepuh bagi bangsanya daripada
seorang politikus.
Hatta menikah dengan Rahmi Rachim pada tanggal l8 Nopember 1945 di desa
Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Mereka mempunyai tiga orang putri, yaitu Meutia
Farida, Gemala Rabi’ah, dan Halida Nuriah. Dua orang putrinya yang tertua telah menikah.
Yang pertama dengan Dr. Sri-Edi Swasono dan yang kedua dengan Drs. Mohammad Chalil
Baridjambek. Hatta sempat menyaksikan kelahiran dua cucunya, yaitu Sri Juwita Hanum
Swasono dan Mohamad Athar Baridjambek.
Pada tanggal 15 Agustus 1972, Presiden Soeharto menyampaikan kepada Bung Hatta
anugerah negara berupa Tanda Kehormatan tertinggi “Bintang Republik Indonesia Kelas I”
pada suatu upacara kenegaraan di Istana Negara.
Page
96
AMIR SJARIFOEDDIN
NAMA :
LAHIR DI :
PARTAI POLITIK :
Page
97
PSI dan PKI
PROFESI :
POLITIKUS
AGAMA :
KRISTEN
JABATAN
MENINGGAL :
Amir Sjarifoeddin Harahap berasal dari keluarga Batak Muslim, Amir menjadi
pemimpin sayap kiri terdepan pada masa Revolusi. Pada tahun 1948, ia dieksekusi mati oleh
pemerintah karena terlibat dalam pemberontakan komunis.
KELUARGA
PENDIDIKAN
Amir menikmati pendidikan di ELS atau sekolah dasar Belanda di Medan pada tahun
1914 hingga selesai Agustus 1921. Atas undangan saudara sepupunya, T.S.G. Mulia yang
baru saja diangkat sebagai anggota Volksraad dan belajar di kota Leiden sejak 1911, Amir
pun berangkat ke Leiden. Tak lama setelah kedatangannya dalam kurun waktu 1926-1927
dia menjadi anggota pengurus perhimpunan siswa Gymnasium di Haarlem, selama masa itu
pula Amir aktif terlibat dalam diskusi-diskusi kelompok kristen misalnya dalam CSV-op
Page
98
Java yang menjadi cikal bakal GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia). Ia tinggal di
rumah guru pemeluk Kristen Calvinis, Dirk Smink, dan di sini juga Mulia menumpang.
Namun pada September 1927, sesudah lulus ujian tingkat kedua, Amir kembali ke
kampung halaman karena masalah keluarga, walaupun teman-teman dekatnya mendesak
agar menyelesaikan pendidikannya di Leiden. Kemudian Amir masuk Sekolah Hukum di
Batavia, menumpang di rumah Mulia (sepupunya) yang telah menjabat sebagai direktur
sekolah pendidikan guru di Jatinegara. Kemudian Amir pindah ke asrama pelajar
Indonesisch Clubgebouw, Kramat 106, ia ditampung oleh senior satu sekolahnya, Mr.
Muhammad Yamin.
Amir pindah agama dari Islam ke Kristen pada tahun 1931. Bukti-bukti khotbahnya di
gereja Protestan terbesar di Batak Batavia masih ada sampai sekarang.
PERJUANGAN
Pada bulan Januari 1943 ia tertangkap oleh fasis Jepang, di tengah gelombang-
gelombang penangkapan yang berpusat di Surabaya. Kejadian ini dapat ditafsirkan sebagai
terbongkarnya jaringan suatu organisasi anti fasisme Jepang yang sedikit banyak
mempunyai hubungan dengan Amir. Terutama dari sisa-sisa kelompok inilah Amir, kelak
ketika menjadi Menteri Pertahanan, mengangkat para pembantunya yang terdekat. Namun
demikian identifikasi penting kejadian Surabaya itu, dari sedikit yang kita ketahui melalui
sidang-sidang pengadilan mereka tahun 1944, hukuman terberat dijatuhkan pada bekas para
pemimpin Gerindo dan Partindo Surabaya.
Dalam Persetujuan Renville tanggungjawab yang berat ini terletak dipundak kaum
Komunis, khususnya Amir sebagai negosiator utama dari Republik Indonesia. Kabinet Amir
Page
99
Sjarifuddin mengundurkan diri dengan sukarela dan tanpa perlawanan samasekali, ketika
disalahkan atas persetujuan Renville oleh golongan Masyumi dan Nasionalis.
PERISTIWA MADIUN
19 Desember 1948, sekitar tengah malam, di kompleks makam desa Ngalihan, kepala
Amir Sjarifuddin ditembak dengan pistol oleh seorang letnan Polisi Militer, sebuah satuan
khusus dalam Angkatan Bersenjata Indonesia. Sebelum itu beberapa orang penduduk desa
setempat diperintahkan menggali sebuah lubang kubur besar. Dari rombongan sebelas orang
yang diangkut dengan truk dari penjara di Solo, Amir orang pertama yang ditembak mati
malam itu. Beberapa hari sebelumnya, ia dan beberapa orang lainnya, secara diam-diam
telah dipindahkan ke rumah penjara ini dari tempat penahanan mereka di Benteng
Yogyakarta
NAMA :
LAHIR DI :
Politikus
Wartawan
Aktivis
Penulis
PASANGAN :
MENINGGAL :
Ia adalah salah seorang peletak dasar nasionalisme Indonesia di awal abad ke-20,
penulis yang kritis terhadap kebijakan pemerintah penjajahan Hindia-Belanda, wartawan,
aktivis politik, serta penggagas nama "Nusantara" sebagai nama untuk Hindia-Belanda yang
merdeka. Setiabudi adalah salah satu dari "Tiga Serangkai" pejuang pergerakan
kemerdekaan Indonesia, selain dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan Suwardi Suryaningrat.
MASA MUDA
PERANG BOER
Page
101
SEBAGAI WARTAWAN YANG KRISIS DAN AKTIVITAS AWAL
DD dipulangkan ke Hindia Belanda pada tahun 1902, dan bekerja sebagai agen
pengiriman KPM, perusahaan pengiriman milik negara. Penghasilannya yang lumayan
membuatnya berani menyunting Clara Charlotte Deije, putri seorang dokter asal Jerman
yang tinggal di Hindia Belanda, pada tahun 1903.
Rumah DD, pada saat yang sama, yang terletak di dekat Stovia menjadi tempat
berkumpul para perintis gerakan kebangkitan nasional Indonesia, seperti Sutomo dan Cipto
Mangunkusumo, untuk belajar dan berdiskusi. Budi Utomo (BO), organisasi yang diklaim
sebagai organisasi nasional pertama, lahir atas bantuannya. Ia bahkan menghadiri kongres
pertama BO di Yogyakarta.
Aspek pendidikan tak luput dari perhatian DD. Pada tahun 1910 (8 Maret) ia turut
membidani lahirnya Indische Universiteit Vereeniging (IUV), suatu badan penggalang dana
untuk memungkinkan dibangunnya lembaga pendidikan tinggi (universitas) di Hindia
Belanda. Di dalam IUV terdapat orang Belanda, orang-orang Indo, aristokrat Banten dan
perwakilan dari organisasi pendidikan kaum Tionghoa THHK.
INDISCHE PARTIJ
Berangkat dari organisasi kaum Indo, Indische Bond dan Insulinde, ia menyampaikan
gagasan suatu "Indië" (Hindia) baru yang dipimpin oleh warganya sendiri, bukan oleh
pendatang. Ironisnya, di kalangan Indo ia mendapat sambutan hangat hanya di kalangan
kecil saja, karena sebagian besar dari mereka lebih suka dengan status quo, meskipun kaum
Indo direndahkan oleh kelompok orang Eropa "murni" toh mereka masih dapat dilayani oleh
pribumi.
Tidak puas karena Indische Bond dan Insulinde tidak bisa bersatu, pada tahun 1912
Nes bersama-sama dengan Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat mendirikan
partai berhaluan nasionalis inklusif bernama Indische Partij ("Partai Hindia").[1][4]
Kampanye ke beberapa kota menghasilkan anggota berjumlah sekitar 5000 orang dalam
waktu singkat. Semarang mencatat jumlah anggota terbesar, diikuti Bandung. Partai ini
sangat populer di kalangan orang Indo, dan diterima baik oleh kelompok Tionghoa dan
pribumi, meskipun tetap dicurigai pula karena gagasannya yang radikal. Partai yang anti-
kolonial dan bertujuan akhir kemerdekaan Indonesia ini dibubarkan oleh pemerintah
kolonial Hindia Belanda setahun kemudian, 1913 karena dianggap menyebarkan kebencian
terhadap pemerintah.
Pada rentang masa ini dibentuk pula Nationaal Indische Partij (NIP), sebagai
organisasi pelanjut Indische Partij yang telah dilarang. Pembentukan NIP menimbulkan
perpecahan di kalangan anggota Insulinde antara yang moderat (kebanyakan kalangan Indo)
dan yang progresif (menginginkan pemerintahan sendiri, kebanyakan orang Indonesia
pribumi). NIP akhirnya bernasib sama seperti IP: tidak diizinkan oleh Pemerintah.
Pada tahun 1919, DD terlibat (atau tersangkut) dalam peristiwa protes dan kerusuhan
petani/buruh tani di perkebunan tembakau Polanharjo, Klaten. Ia terkena kasus ini karena
dianggap mengompori para petani dalam pertemuan mereka dengan orang-orang Insulinde
cabang Surakarta, yang ia hadiri pula. Pengadilan dilakukan pada tahun 1920 di Semarang.
Hasilnya, ia dibebaskan; namun kasus baru menyusul dari Batavia: ia dituduh menulis
hasutan di surat kabar yang dipimpinnya. Kali ini ia harus melindungi seseorang (sebagai
redaktur De Beweging) yang menulis suatu komentar yang di dalamnya tertulis
"Membebaskan negeri ini adalah keharusan! Turunkan penguasa asing!". Yang membuatnya
kecewa adalah ternyata alasan penyelidikan bukanlah semata tulisan itu, melainkan
"mentalitas" sang penulis (dan dituduhkan ke DD). Setelah melalui pembelaan yang
panjang, DD divonis bebas oleh pengadilan.
Atas dorongan Suwardi Suryaningrat yang saat itu sudah mendirikan Perguruan
Taman Siswa, ia kemudian ikut dalam dunia pendidikan, dengan mendirikan sekolah
"Ksatrian Instituut" (KI) di Bandung. Ia banyak membuat materi pelajaran sendiri yang
instruksinya diberikan dalam bahasa Belanda. KI kemudian mengembangkan pendidikan
bisnis, namun di dalamnya diberikan pelajaran sejarah Indonesia dan sejarah dunia yang
materinya ditulis oleh Nes sendiri. Akibat isi pelajaran sejarah ini yang anti-kolonial dan
pro-Jepang, pada tahun 1933 buku-bukunya disita oleh pemerintah Keresidenan Bandung
dan kemudian dibakar. Pada saat itu Jepang mulai mengembangkan kekuatan militer dan
politik di Asia Timur dengan politik ekspansi ke Korea dan Tiongkok. DD kemudian juga
dilarang mengajar.
Serbuan Jerman ke Denmark dan Norwegia, dan akhirnya ke Belanda, pada tahun
1940 mengakibatkan ditangkapnya ribuan orang Jerman di Hindia Belanda, berikut orang-
orang Eropa lain yang diduga berafiliasi Nazi. DD yang memang sudah "dipantau", akhirnya
ikut digaruk karena dianggap kolaborator Jepang, yang mulai menyerang Indocina Perancis.
Ia juga dituduh komunis.
PENGASINGAN DI SURINAME
DD ditangkap dan dibuang ke Suriname pada tahun 1941 melalui Belanda. Di sana ia
ditempatkan di suatu kamp jauh di pedalaman Sungai Suriname yang bernama Jodensavanne
("Padang Yahudi").[2] Tempat itu pada abad ke-17 hingga ke-19 pernah menjadi tempat
permukiman orang Yahudi yang kemudian ditinggalkan karena kemudian banyak pendatang
yang membuat keonaran.
Ketika kabar berakhirnya perang berakhir, para interniran (buangan) di sana tidak
segera dibebaskan. Baru menjelang pertengahan tahun 1946 sejumlah orang buangan
dikirim ke Belanda, termasuk DD. Di Belanda ia bertemu dengan Nelly Albertina Gertzema
nee Kruymel, seorang perawat. Nelly kemudian menemaninya kembali ke Indonesia.
Kepulangan ke Indonesia juga melalui petualangan yang mendebarkan karena DD harus
mengganti nama dan menghindari petugas intelijen di Pelabuhan Tanjung Priok. Akhirnya
mereka berhasil tiba di Yogyakarta, ibukota Republik Indonesia pada waktu itu pada tanggal
2 Januari 1947.
Tak lama setelah kembali ia segera terlibat dalam posisi-posisi penting di sisi Republik
Indonesia. Pertama-tama ia menjabat sebagai menteri negara tanpa portofolio dalam Kabinet
Sjahrir III, yang hanya bekerja dalam waktu hampir 9 bulan. Selanjutnya berturut-turut ia
menjadi anggota delegasi negosiasi dengan Belanda, konsultan dalam komite bidang
keuangan dan ekonomi di delegasi itu, anggota DPA, pengajar di Akademi Ilmu Politik, dan
terakhir sebagai kepala seksi penulisan sejarah (historiografi) di bawah Kementerian
Penerangan. Di mata beberapa pejabat Belanda ia dianggap "komunis" meskipun ini sama
sekali tidak benar.
Pada periode ini DD tinggal satu rumah dengan Sukarno. Ia juga menempati salah satu
rumah di Kaliurang. Dan dari rumah di Kaliurang inilah pada tanggal 21 Desember 1948 ia
Page
105
diciduk tentara Belanda yang tiba dua hari sebelumnya di Yogyakarta dalam rangka "Aksi
Polisionil". Setelah diinterogasi ia lalu dikirim ke Jakarta untuk diinterogasi kembali.
Tak lama kemudian DD dibebaskan karena kondisi fisiknya yang payah dan setelah
berjanji tak akan melibatkan diri dalam politik. Ia dibawa ke Bandung atas permintaannya.
Harumi kemudian menyusulnya ke Bandung. Setelah renovasi, mereka lalu menempati
rumah lama (dijulukinya "Djiwa Djuwita") di Lembangweg.
Ernest Douwes Dekker wafat dini hari tanggal 28 Agustus 1950 (tertulis di batu
nisannya; 29 Agustus 1950 versi van der Veur, 2006) dan dimakamkan di TMP Cikutra,
Bandung.
PENGHARGAAN
Di Belanda, nama DD juga dihormati sebagai orang yang berjasa dalam meluruskan
arah kolonialisme (meskipun hampir sepanjang hidupnya ia berseberangan posisi politik
dengan pemerintah kolonial Belanda; bahkan dituduh "pengkhianat").
Page
106
HALIM PERDANAKUSUMA
NAMA :
LAHIR :
DINAS :
LAMA DINAS :
Page
107
1940 – 1947
PANGKAT :
MARSDA
PENGHARGAAN :
MENINGGAL :
Jasad Halim kemudian sempat dikebumikan di kampung Gunung Mesah, tidak jauh
dari Gopeng, Perak, Malaysia. Pusat data Tokoh Indonesia mencatat, di daerah Gunung
Mesah itu banyak bermukim penduduk keturunan Sumatera. Beberapa tahun kemudian,
kuburan Halim digali dan jasadnya dibawa ke Jakarta dan dimakamkan kembali di Taman
Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Ketika Perjanjian Haadyai antara Malaysia dengan Partai Komunis Malaya diadakan
pada tahun 1989, seorang Indonesia turut muncul dalam gencatan senjata tersebut. Seorang
penulis nasionalis Malaysia, Ishak Haji Muhammad (Pak Sako), menduga komunis warga
Indonesia tersebut ialah Iswahyudi.
Page
108
PENGHORMATAN
Pemerintah Indonesia memberi penghormatan atas jasa dan perjuangan Halim, dengan
menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional dan mengabadikan namanya pada Bandar
Udara Halim Perdanakusuma di Jakarta. Pemerintah juga mengabadikan namanya pada
kapal perang KRI Abdul Halim Perdanakusuma.
SUTOMO
NAMA :
SUTOMO
LAHIR DI :
AGAMA :
Islam
JABATAN :
MENINGGAL :
Page
109
di padang arafah 7 Oktober 1981
MASA MUDA
Sutomo pernah menjadi seorang jurnalis yang sukses. Kemudian ia bergabung dengan
sejumlah kelompok politik dan sosial. Ketika ia terpilih pada 1944 untuk menjadi anggota
Gerakan Rakyat Baru yang disponsori Jepang, hampir tak seorang pun yang mengenal dia.
Namun semua ini mempersiapkan Sutomo untuk peranannya yang sangat penting, ketika
pada Oktober dan November 1945, ia menjadi salah satu Pemimpin yang menggerakkan dan
membangkitkan semangat rakyat Surabaya, yang pada waktu itu Surabaya diserang habis-
habisan oleh tentara-tentara NICA. Sutomo terutama sekali dikenang karena seruan-seruan
pembukaannya di dalam siaran-siaran radionya yang penuh dengan emosi.Meskipun
Page
110
Indonesia kalah dalam Pertempuran 10 November itu, kejadian ini tetap dicatat sebagai salah
satu peristiwa terpenting dalam sejarah Kemerdekaan Indonesia.
SETELAH KEMERDEKAAN
Setelah kemerdekaan Indonesia, Sutomo sempat terjun dalam dunia politik pada tahun
1950-an, namun ia tidak merasa bahagia dan kemudian menghilang dari panggung politik.
Pada akhir masa pemerintahan Soekarno dan awal pemerintahan Suharto yang mula-mula
didukungnya, Sutomo kembali muncul sebagai tokoh nasional.
Namun pada awal 1970-an, ia kembali berbeda pendapat dengan pemerintahan Orde
Baru. Ia berbicara dengan keras terhadap program-program Suharto sehingga pada 11 April
1978 ia ditahan oleh pemerintah Indonesia yang tampaknya khawatir akan kritik-kritiknya
yang keras. Baru setahun kemudian ia dilepaskan oleh Suharto. Meskipun semangatnya
tidak hancur di dalam penjara, Sutomo tampaknya tidak lagi berminat untuk bersikap vokal.
Setelah pemerintah didesak oleh Gerakan Pemuda (GP) Ansor dan Fraksi Partai
Golkar (FPG) agar memberikan gelar pahlawan kepada Bung Tomo pada 9 November 2007.
Akhirnya gelar pahlawan nasional diberikan ke Bung Tomo bertepatan pada peringatan Hari
Pahlawan tanggal 10 November 2008. Keputusan ini disampaikan oleh Menteri Komunikasi
dan Informatika Kabinet Indonesia Bersatu, Muhammad Nuh pada tanggal 2 November
2008 di Jakarta.
Page
111
Pada tahun 1950-an di Surabaya, Bung Tomo berusaha sebagai penolong tukang becak
pertama yakni dengan mendirikan pabrik sabun melalui uang iuran tukang becak untuk
pendirian pabrik sabun. Pabrik tersebut didirikan oleh dan untuk tukang becak akan tetapi
kelanjutan ide pendirian pabrik sabun berhasil nihil dan tanpa adanya pertanggungan-
jawaban keuangan.
AGUS SALIM
NAMA :
LAHIR DI :
PROFESI :
Jurnalis
Diplomat
JABATAN :
Page
112
MENINGGAL :
Haji Agus Salim (lahir dengan nama Mashudul Haq (berarti "pembela kebenaran");
lahir di Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat, Hindia Belanda, 8 Oktober 1884 – meninggal
di Jakarta, Indonesia, 4 November 1954 pada umur 70 tahun) adalah seorang pejuang
kemerdekaan Indonesia. Haji Agus Salim ditetapkan sebagai salah satu Pahlawan Nasional
Indonesia pada tanggal 27 Desember 1961 melalui Keppres nomor 657 tahun 1961.
LATAR BELAKANG
Agus Salim lahir dari pasangan Soetan Salim gelar Soetan Mohamad Salim dan Siti
Zainab. Jabatan terakhir ayahnya adalah Jaksa Kepala di Pengadilan Tinggi Riau.
Pendidikan dasar ditempuh di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah khusus anak-anak
Eropa, kemudian dilanjutkan ke Hoogere Burgerschool (HBS) di Batavia. Ketika lulus, ia
berhasil menjadi lulusan terbaik di HBS se-Hindia Belanda.
Setelah lulus, Salim bekerja sebagai penerjemah dan pembantu notaris pada sebuah
kongsi pertambangan di Indragiri. Pada tahun 1906, Salim berangkat ke Jeddah, Arab Saudi
untuk bekerja di Konsulat Belanda di sana. Pada periode inilah Salim berguru pada Syeh
Ahmad Khatib, yang masih merupakan pamannya.
Salim kemudian terjun ke dunia jurnalistik sejak tahun 1915 di Harian Neratja sebagai
Redaktur II. Setelah itu diangkat menjadi Ketua Redaksi. Menikah dengan Zaenatun Nahar
dan dikaruniai 8 orang anak. Kegiatannya dalam bidang jurnalistik terus berlangsung hingga
akhirnya menjadi Pemimpin Harian Hindia Baroe di Jakarta. Kemudian mendirikan
Suratkabar Fadjar Asia. Dan selanjutnya sebagai Redaktur Harian Moestika di Yogyakarta
dan membuka kantor Advies en Informatie Bureau Penerangan Oemoem (AIPO).
Bersamaan dengan itu Agus Salim terjun dalam dunia politik sebagai pemimpin Sarekat
Islam.
KARYA TULIS
KARYA TERJEMAHAN
Menjinakkan Perempuan Garang (dari The Taming of the Shrew karya Shakespeare)
Cerita Mowgli Anak Didikan Rimba (dari The Jungle Book karya Rudyard Kipling)
Sejarah Dunia (karya E. Molt)
Page
113
KARIR POLITIK
Pada tahun 1915, Salim bergabung dengan Sarekat Islam (SI), dan menjadi pemimpin
kedua di SI setelah H.O.S. Tjokroaminoto.Peran Agus Salim pada masa perjuangan
kemerdekaan RI antara lain:
Presiden Sukarno dan Agus Salim dalam tahanan Belanda, 1949.Di antara tahun 1946-
1950 ia laksana bintang cemerlang dalam pergolakan politik Indonesia, sehingga kerap kali
digelari "Orang Tua Besar" (The Grand Old Man). Ia pun pernah menjabat Menteri Luar
Negeri RI pada kabinet Presidentil dan di tahun 1950 sampai akhir hayatnya dipercaya
sebagai Penasehat Menteri Luar Negeri.
Pada tahun 1952, ia menjabat Ketua di Dewan Kehormatan PWI. Biarpun penanya
tajam dan kritikannya pedas namun Haji Agus Salim dikenal masih menghormati batas-
batas dan menjunjung tinggi Kode Etik Jurnalistik.
Setelah mengundurkan diri dari dunia politik, pada tahun 1953 ia mengarang buku
dengan judul Bagaimana Takdir, Tawakal dan Tauchid harus dipahamkan? yang lalu
diperbaiki menjadi Keterangan Filsafat Tentang Tauchid, Takdir dan Tawakal.
Ia meninggal dunia pada 4 November 1954 di RSU Jakarta dan dimakamkan di TMP
Kalibata, Jakarta. Namanya kini diabadikan untuk stadion sepak bola di Padang.
Page
114
Dr. SOETOMO
NAMA :
Dr.SOETOMO
LAHIR DI :
Ngepeh, Loceret, Nganjuk 30 Juli 1888 Jawa Timur.
KEBANGSAAN :
Hindia Belanda
Pada tahun 1903, Soetomo menempuh pendidikan kedokteran di School tot Opleiding
van Inlandsche Artsen, Batavia. Bersama kawan-kawan dari STOVIA inilah Soetomo
mendirikan perkumpulan yang bernama Budi Utomo, pada tahun 1908. Setelah lulus pada
tahun 1911, ia bekerja sebagai dokter pemerintah di berbagai daerah di Jawa dan Sumatra.
Pada tahun 1917, Soetomo menikah dengan seorang perawat Belanda. Pada tahun 1919
sampai 1923, Soetomo melanjutkan studi kedokteran di Belanda.
Pada tahun 1924, Soetomo mendirikan Indonesian Study Club (dalam bahasa Belanda
Indonesische Studie Club atau Kelompok Studi Indonesia) di Surabaya, pada tahun 1930
mendirikan Partai Bangsa Indonesia dan pada tahun 1935 mendirikan Parindra (Partai
Indonesia Raya).
Page
115
ZAINUL ARIFIN
NAMA :
K.H.ZAINUL ARIFIN
LAHIR DI :
JABATAN :
Kiai Haji Zainul Arifin atau lengkapnya Kiai Haji Zainul Arifin Pohan (lahir di
Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, 2 September 1909 – meninggal di Jakarta, 2 Maret
1963 pada umur 53 tahun) adalah seorang politisi Nahdlatul Ulama (NU) terkemuka yang
sejak remaja di zaman penjajahan Belanda sudah aktif dalam organisasi kepemudaan NU,
GP Ansor, jabatan terakhirnya ialah ketua DPRGR sejak 1960 - 1963.
Zainul Arifin lahir sebagai anak tunggal dari keturunan raja Barus, Sultan Ramali bin
Tuangku Raja Barus Sultan Sahi Alam Pohan dengan perempuan bangsawan asal
Page
116
Kotanopan, Mandailing, Siti Baiyah boru Nasution. Ketika Zainul masih balita kedua
orangtuanya bercerai dan ia dibawa pindah oleh ibunya ke Kotanopan, kemudian ke Kerinci,
Jambi. Di sana ia menyelesaikan HIS (Hollands Indische School) dan sekolah menengah
calon guru, Normal School. Selain itu, Arifin juga memperdalam pengetahuan agama di
Madrasah di surau dan saat menjalani pelatihan seni bela diri Pencak Silat. Arifin juga
seorang pecinta kesenian yang aktif dalam kegiatan seni sandiwara musikal melayu, Stambul
Bangsawan sebagai penyanyi dan pemain biola. Stambul Bangsawan merupakan awal
perkembangan seni panggung sandiwara modern Indonesia. Dalam usia 16 tahun Zainul
merantau ke Batavia (Jakarta).
Selama era pendudukan militer Jepang, Zainul Arifin ikut mewakili NU dalam
kepengurusan Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) dan terlibat dalam
pembentukan pasukan semi militer Hizbullah.
Page
117
Untuk menarik simpati warga hingga ke pedesaan, organisasi-organisasi Islam
(utamanya NU) diberi kesempatan untuk lebih aktif terlibat dalam pemerintahan di bawah
pendudukan militer Jepang. Zainul Arifin ditugaskan untuk membentuk model
kepengurusan tonarigumi, cikal bakal Rukun Tetangga, di Jatinegara yang kemudian
dibentuk pula hingga ke pelosok-pelosok desa di Pulau Jawa. Ketika Perang Asia Pasifik
semakin memanas, Jepang mengizinkan dibentuknya laskar-laskar semi militer rakyat.
Pemuda-pemuda Islam direkrut lewat jalur tonarigumi membentuk Hizbullah (Tentara
Allah). Arifin dipercaya sebagai Panglima Hizbullah dengan tugas utama mengkoordinasi
pelatihan-pelatihan semi militer di Cibarusa, dekat Bogor. Dalam puncak kesibukan latihan
perang guna mengantisipasi terjadinya Perang Asia Pasifik, Kemerdekaan Indonesia
diproklamasikan Sukarno-Hatta pada 17 Agustus 1945 di Jakarta.
Setelah Belanda akhirnya mengakui kedaulatan RI akhir tahun 1949, Zainul Arifin
kembali ke Parlemen sebagai wakil Partai Masyumi di DPRS dan kemudian wakil Partai
NU ketika akhirnya partai kiai tradisionalis ini memisahkan diri dari Masyumi tahun 1952.
Setahun sesudahnya, Arifin berkiprah di lembaga eksekutif dengan menjabat sebagai wakil
perdana menteri (waperdam) dalam Kabinet Ali Sastroamijoyo I yang memerintah dua tahun
penuh (1953-1955).
Untuk pertama kalinya dalam sejarah NU, tiga jabatan menteri (sebelumnya NU selalu
hanya mendapat jatah satu posisi menteri saja) dijabat tokoh-tokoh NU dengan Zainul Arifin
sebagai tokoh NU pertama menjabat sebagai waperdam. Kabinet itu sendiri sukses
menyelenggarakan Konfrensi Asia Afrika di Bandung. Dalam tahun 1955 itu pula Zainul
Page
118
berangkat haji untuk pertama dan terakhir kali ke Tanah Suci bersama Presiden Sukarno. Di
sana ia dihadiahi sebilah pedang berlapis emas oleh Raja Arab Saudi, Raja Saud.
Sekembalinya dari sana Zainul merupakan salah satu tokoh penting yang berhasil
menempatkan partai NU ke dalam "tiga besar" pemenang pemilu 1955, dimana jumlah kursi
NU di DPR meningkat dari hanya 8 menjadi 45 kursi. Selain kembali ke parlemen sebagai
wakil ketua I DPR RI, setelah pemilu 1955, Arifin juga mewakili NU dalam Majelis
Konstituante hingga lembaga ini dibubarkan Sukarno lewat dekrit 5 Juli 1959 karena
dipandang gagal merumuskan UUD baru. Pasca Dekrit, Indonesia dinyatakan kembali ke
UUD 1945 dan memasuki era Demokrasi Terpimpin. Pada masa itu terjadi pemusatan
kekuasaan pada diri Presiden yang berkeras untuk menerapkan faham NASAKOM
(Nasionalis, Agama, dan Komunis) yang menyudutkan partai-partai agama yang tidak ingin
Partai Komunis Indonesia (PKI) berkembang di Indonesia.
KARIR POLITIK
Sejak proklamasi kemerdekaan Zainul Arifin langsung duduk dalam Badan Pekerja
Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), cikal bakal lembaga legislatif MPR/DPR.
Hingga akhir hayatnya Arifin aktif di parlemen mewakili partai Masyumi dan kemudian
partai NU setelah NU keluar dari Masyumi pada 1952. Hanya selama 1953-1955 ketika
menjabat sebagai wakil perdana menteri dalam kabinet Ali-Arifin (Kabinet Ali
Sastroamijoyo I) Zainul terlibat dalam badan eksekutif. Kabinet di era Demokrasi
Parlementer ini sukses menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada 1955.
Pemilu pertama 1955 mengantar Zainul Arifin sebagai anggota Majelis Konstituante
sekaligus wakil ketua DPR sampai kedua lembaga dibubarkan Sukarno melalui Dekrit
Presiden 5 Juli 1959.Memasuki era Demokrasi Terpimpin itu, Arifin bersedia mengetuai
DPR Gotong Royong (DPRGR) sebagai upaya partai NU membendung kekuatan Partai
Komunis Indonesia (PKI) di parlemen. Ditengah meningkatnya suhu politik, pada 14 Mei
1962, saat salat Idul Adha di barisan terdepan bersama Sukarno, Zainul tertembak peluru
yang diarahkan seorang pemberontak DI/TII dalam percobaannya membunuh presiden.
Zainul Arifin akhirnya wafat 2 Maret 1963 setelah menderita luka bekas tembakan
dibahunya selama sepuluh bulan.
Page
119
MOHAMMAD HUSNI THAMRIN
NAMA :
MOHAMMAD HUSNI THAMRIN
LAHIR DI :
Weltevreden, Batavia, Hindia Belanda 16 Februari 1894
PEKERJAAN :
Politikus
PENGHARGAAN :
Pahlawan Nasional Indonesia
MENINGGAL :
11 Januari 1941 di usia 46 tahun di makamkan di taman pemakaman umum
KEHIDUPAN AWAL
Ia dikenal sebagai salah satu tokoh Betawi (dari organisasi Kaoem Betawi) yang
pertama kali menjadi anggota Volksraad ("Dewan Rakyat") di Hindia Belanda, mewakili
kelompok Inlanders ("pribumi"). Sejak 1935 ia menjadi anggota Volksraad melalui
Parindra. Thamrin juga salah satu tokoh penting dalam dunia sepakbola Hindia Belanda
(sekarang Indonesia), karena pernah menyumbangkan dana sebesar 2000 Gulden pada tahun
1932 untuk mendirikan lapangan sepakbola khusus untuk rakyat Hindia Belanda pribumi
yang pertama kali di daerah Petojo, Batavia (sekarang Jakarta).
Kematiannya penuh dengan intrik politik yang kontroversial. Tiga hari sebelum
kematiannya, ia ditahan tanpa alasan jelas. Menurut laporan resmi, ia dinyatakan bunuh diri
namun ada dugaan ia dibunuh oleh petugas penjara. Jenazahnya dimakamkan di TPU Karet,
Jakarta. Di saat pemakamannya, lebih dari 10000 pelayat mengantarnya yang kemudian
berdemonstrasi menuntuk penentuan nasib sendiri dan kemerdekaan dari Belanda.
Namanya diabadikan sebagai salah satu jalan protokol di Jakarta dan proyek perbaikan
kampung besar-besaran di Jakarta ("Proyek MHT") pada tahun 1970-an .
Page
121
SOERJOPRANOTO
NAMA :
LAHIR DI :
DIKENAL KARENA :
MENINGGAL :
Soerjopranoto, dengan nama kecil Iskandar, adalah kakak Soewardi Soeryaningrat (Ki
Hadjar Dewantara). Secara genealogis, Soerjopranoto adalah seorang bangsawan. Ia adalah
putra sulung dari Kanjeng Pangeran Aryo (KPA) Suryaningrat, yang mana sang ayah sendiri
adalah putra tertua dari Paku Alam III. Ini berarti Suryopranoto adalah anak laki-laki
pertama dari seorang putra mahkota. Namun, hak naik tahta sang ayah menjadi batal karena
ia terserang penyakit mata yang mengakibatkan kebutaan.
Page
122
Iskandar, sebagai anak bangsawan, termasuk golongan pribumi yang kedudukannya
"disamakan" dengan kalangan bangsa Eropa. Dengan statusnya itulah ia bisa masuk Sekolah
Rendah Eropa atau Europeesche Lagere School (ELS). Setamat dari ELS, Suryopranoto
mengambil Klein Ambtenaren Cursus atau Kursus Pegawai Rendah, yang kurang lebih
setingkat dengan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) yang sekarang setara dengan
SMP.
PERJUANGAN
Pada zaman Perang Perebutan Mahkota III (1747-1755) ia ikut terjun dalam
perjuangan melawan Belanda (VOC), dan pernah memberikan jasa yang luar biasa kepada
Pangeran Mangkubumi, adik Sultan Pakubuwono II. Sebab itu kepadanya dijanjikan
kedudukan yang baik, apabila pemberontakan Pangeran Mangkubumi itu berhasil dengan
kemenangan.
Tapi sesudah perang selesai dan Pangeran Mangkubumi memperoleh bagian Barat
Kerajaan Mataram setelah Perjanjian Gijanti (1755) dan ia naik tahta menjadi Sultan
Hamengku Buwono ke-I, Sri Sultan alpa akan janjinya, dan memberikan Ronodigdoyo pada
kedudukannya sebagai prajurit.
Page
123
Karena sakit hati, maka Ronodigdoyo meninggalkan istana tanpa pamit dan kemudian
mendirikan perguruan di desa Sewon. Ia kawin dengan gadis desa setempat dan kemudian
beranak tiga orang, yaitu : Prawironoto, Prawirodirdjo, dan seorang anak perempuan, Sedah
Mirah (Sirih Mirah).
Dikemudian hari putera mahkota, yang nantinya menjadi Sri Sultan Hamengku
Buwono ke-II, yang belum tahu menahu asal usul Sedah Mirah, telah jatuh cinta kepada
gadis desa itu. Maka tanpa sengaja setelah mereka menikah, Ronodigdoyo terangkat dengan
sendirinya kepada kedudukan yang mulia, sebagai besan Sri Sultan Hamengku Buwono Ke-
I.
Ketika Sultan yang pertama mangkat pada tahun 1792, putera mahkota segera naik
tahta menjadi Sultan Hamengku Buwono ke-II, dan Sedah Mirah diangkat menjadi
permaisuri, bergelar Kanjeng Ratu Kencana Woelan (atau Kencana Woengoe). Dari
permaisuri yang berasal dari rakyat jelata ini dilahirkan tiga orang anak, puteri semua, dan
ternyata ketiganya diperistri oleh bangsawan-bangsawan yang memiliki kedudukan yang
penting dalam sejarah, dan menurunkan pejuang-pejuang bangsa. Yang Pertama adalah
Kanjeng Ratu Ayoe yang kemudian menjadi permaisuri Sri Paku Alam ke-II dan menjadi
asal keturunan pahlawan-pahlawan nasional Aoejopranoto, dan Ki Hadjar Dewantara. Yang
Kedua, Kanjeng Ratu Anom yang diperistri oleh Adipati Madiun dan kemudian yang Ketiga,
Kanjeng Ratu Timoer, yang deperistri oleh Patih Sedolawe dan menurunkan
Gondokoesoemo, yang cukup dikenal dalam Perang Diponogoro (1825-1830).
ASAL-USUL KELUARGA
Istri beliau bernama Djauharin Insjiah putri almarhum Kyai haji Abdussakur,
Penghulu (Landraad) Agama Islam, dari Karanganyar Banyumas, telah wafat terlebih
dahulu dalam tahun 1951 pada usia 67 tahun.
Page
124
Pangeran Sasraningrat yang berpangkat Gusti Wakil mengangkatnya menjadi Wedana
Sentana, dengan titel "Panji" di Praja Paku Alaman.
Disamping itu beliau memahirkan diri dalam bela diri : yaitu Kuntau dan Toya dari
seorang Tionghoa dari Kanton.
Pada masa ini ketika ayahnya menugaskan dia mengurus adiknya Suwardi
Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) masuk Sekolah Dokter Stovia di Jakarta ia menitipkan
surat pada adiknya dengan ajakan atas nama pemuda masyarakat + pelajar-pelajar Bogor
kepada student Stovia untuk mendirikan perkumpulan "Pirukunan Jawi" yang boleh
dianggap sebagai voorloper (pendahulu) dari ide mendirikan "Boedi Oetomo". Tapi
ajakannya itu gagal, karena tidak mendapat tanggapan.
Pada tahun 1908 sampai dengan 1914 ia dipekerjakan sebagai pegawai pemerintah
Hindia Belanda dan menjabat sebagai Kepala Dinas Pertanian (Landbouw Consulent) untuk
daerah Wonosobo, Dieng, Batus dengan tugas mengawasi perkebunan tembakau
berkedudukan di Kejajar Garung kemudian dipindahkan ke Wonosobo karena harus
merangkap juga pekerjaan memimpin sekolah pertanian.
Berhubung ada kejadian di Parakan (Temanggung) pada tahun 1914, dimana seorang
Asisten Wedana, yang anggota Sarekat Islam, dipecat dari pekerjaannya karena
keanggotaannya itu, maka beliau sebagai pembela keadilan dengan protes keras menyobek-
nyobek ijazah-ijazahnya sendiri dan melemparkannya bersama bundelan kunci dihadapan
Residen Belanda atasannya sambil kontan minta berhenti.
Selanjutnya beliau bersumpah tidak akan lagi bekerja pada pemerintah penjajah
Belanda untuk selama-lamanya, dan memberikan seluruh tenaga dan fikirannya pada
perjuangan pergerakan politik menentang penjajahan.
Soerjopranoto di zaman pergerakan politik aktif dalam beberapa pergerakan antara lain:
BOEDI OETOMO
Sepulang beliau ke Yogyakarta pada tahun 1908 beliau menggabungkan diri pada
perkumpulan "Boedi Oetomo". Segera bbeliau diangkat menjadi Sekretasis Pengurus Besar
Boedi Oetomo berkedudukan di Yogyakarta (periode setelah Dwidjosewojo).
Page
125
Perasuransian Jiwa O.L.Mij Boemi Poetera (awalnya Onderlonge
Levensverzekering Maatschappij PGHB)
Dalam periode ini untuk mendirikan Maskapai Asuransi Jiwa dikemukakan oleh Pak
Dwidjosewojo dalam Kongres Boedi Oetomo di Yogyakarta akhir tahun 1910.
Tidak puas bergerak dalam Boedi Oetomo karena tidak bersifat kerakyatan dan tidak
revolusioner, beliau minta diri keluar setelah usul beliau untuk mendinamisir menjadi
pergerakan rakyat ditolak.
Anggotanya diberi pangkat seperti dalam kemiliteran. Adhi Dharma (=kebaktian yang
luhur) bergerak di ekonomi. Usaha-usahanya a.l : meliput tabungan, koperasi pertukangan,
pendidikan, kesehatan perbantuan nasihat hukum dan kesemua usahanya didasarkan atas
gotong royong.
Selain itu ia juga mendirikan sekolah-sekolah untuk rakyat umum (rakyat kecil pada
khususnya) yaitu S.R.-S.M.P.-Sekolah Guru-Schakel-School.
Page
126
Dia juga membuka biro-biro penasihat hukum, khusus diperuntukkan bagi orang-
orang desa, yang ketika itu kurang terpelajar, sehingga mudah ditipu dan diperlakukan
sewenang-wenang oleh para pegawai Pangreh-praja. Pada masa ini beliau menerbitkan buku
"Pemimpin Landraad Civiel" yang berisi Hukum Acara Perdata dan Pidana dengan gaya
bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti.
Karena pertumbuhan Adi Dharma pesat dan besar luas pengaruhnya, lagi terang-
terangan aksi-aksinya dalam membela keadilan terhadap kesewenang-wenangan alat-alat
pemerintah Hindia Belanda sampai mirip suatu aksi politik, maka arbeidsleger Adhi Dharma
dilarang, kantor-kantor Markas Besarnya dijaga polisi untuk mencegah dan menakut-nakuti
anggota-anggotanya berkunjung, para pengurusnya dibayangi oleh dinas reserse polisi
dalam kehidupan sehari-hari.
Pada pokoknya Barisan Kerja Adhi Dharma kena pukulan yang hebat bagi semua
badan-badan pendirinya. Akan tetapi B.K.A.D bagaimana pun juga telah berhasil :
baca buku karangan Prof. Pringgodigdo berjudul : " Sejarah pergerakan Politik".
Beliau masuk Partai Sarekat Islam pada tahun 1911 dan karena keaktifannya segera
menjadi anggota Pucuk Pimpinan. Begitu aktif, tangkas dan beraninya, sehingga beliau
menduduki tempat sebagai pembantu Tjokroaminoto yang utama. Soerjopranoto menjadi
orang kedua di dalam partai. Dalam kursus-kursus partai yang secara periodik
diselenggarakan di jalan Kepatihan Paku Alaman Yogyakarta, beliau adalah seorang
gurunya. Menurut Hamka, yang memberikan pelajaran ialah H. Fachruddin, Soerjopranoto
(dalam ilmu Sosiologi) dan Tjokroaminoto (Sosialisme dan Islam).
Page
127
Soerjopranoto melaksanakan teori pada prakteknya. Pemogokan ini begitu luas dan hebat
sehingga oleh " De Express" beliau disebut "De stakings Koning" (=Raja Pemogokan). Yang
dihadapi sebagai lawan pada waktu itu adalah P.E.B. (Politiek Economische Bond) dibawah
pimpinan Engelenberg dan Brugers (kumpulannya Tuan-Tuan Pabrik).
Sebagai ide tentang bentuk ketatanegaraan telah dikemukakan pula dalam kongres
tersebut. Suatu sentral Serikat Sekerja yang terdiri dari buruh dan buruh tani akan menjadi
"Eerste Kamer" dari perwakilan rakyat,sedang "Tweede Kamer"nya merupakan perwakilan
partai-partai politik. Kedua Kamer ini yang akan merupakan "Dewan Rakyat" yang
sesungguhnya, yang akan dapat mempersatukan tenaga untuk beraksi menentang modal dari
penjajah asing.
Ketika pada tahun 1908 Dr. E.F.E.Douwes Dekker (1879-1950) seorang indi yang
berayah Belanda dan ibu Jawa, berhasil menggeser kedudukan Zaalberg (Hoofd-redakteur
yang reaksioner) menjadi pemimpin redaksi dari "Bataviaasch-Nieuwsblad" maka ia segera
memasukkan pembantu-pembantu tetapnya, orang-orang pergerakan seperti Soerjopranoto,
Tjokrodirdjo, Dr. Tjipto dan Goenawan Mangunkusumo dan lain lain.
Ini dalah suatu infiltrasi yang amat efektif dan merupakan jasa pertama dari Dr. E.F.E.
douwes Dekker (alias Danudirdja Setiabudhi), seorang kerabat jauh E. Douwes Dekker
(Multatuli).
1. Opium-regie Bond
2. Perserikatan Personeel Pandhuis Bond (P.P.P.B) mulai periode Sosrokardono.
3. Personeel Fabrieks Bond (P.F.B) yang dalam tahun 1912 mengadakan pemogokan
atas modal gula di onderneming-onderneming Belanda.
4. Persatuan Pergerakan Kaum Buruh (P.P.K.B), mulai dari Abdul Noeis, Semaoen dan
H. Agus Salim. Ini organisasi gabungan dari 22 Sarekat Buruh.
5. Redaksi "Fajar" kemudian "Mustika" (sesudah H. Agus Salim) kemudian juga
Redaksi "Pahlawan", (Kaderblad dari Opium-regie Bond) dan "Suara Berkelahi"
(Kaderblad dari P.P.K.B).
Selama menjadi orang partai Sarekat Islam beliau pernah masuk penjara sampai tiga
kali karena spreek-delict dan tak terhitung lagi pembredelan dan pembeslahan atas hasil
tulisan-tulisannya. Sekali ia dipenjarakan di Malang (1923-3 bulan), kedua di Semarang
(1926-6 bulan) dan ketiga kalinya di Bandung(Sukamiskin) selama 16 bulan (1933), dengan
peringatan untuk keempat kalinya akan diganjar 4 x 16 bulan.
Pada era 1932 sampai dengan 1936, ironis sekali bahwa Soerjopranoto yang ikut
membesarkan SI melalui berbagai krisis pada tahun 1933 malah diskors bersama dr.
Soekiman Wirjosandjojo oleh Tjokroaminoto dan Salim karena membongkar korupsi.
Dikemudian hari skorsing dicabut dan mereka berdua kemudian mendirikan Partai Islam
Indonesia (PII). Tetapi dalam partai ini beliau tidak pernah aktif karena agaknya merasa
kecelok (salah kira) sebab azas dan programnya ternyata sangat jauh dari apa yang diangan-
angankan sebelumnya. Tenaga dan pikirannya terutama dicurahkan untuk kemajuan
P.P.P.B, Opium Regir Bond, dan sekolah Adhi Dharma Institut (didirikan tahun 1917 di
Yogyakarta, dulu cabangnya di Malang, Surabaya, dan Magelang serta Kotaraja). Antara
Page
128
tahun 1933 dan 1935 masuk dipenjara Sukamiskin karena pers delict berhubung dengan
tulisan-tulisannya dalam buku ensiklopedia yang ditulis secara jelas sederhana untuk rakyat
jelata tetapi sifat isinya mencela pedas dan menggugat kejahatan Kapitalisme dan
Kolonialisme dengan maksud supaya cepat meluas menggugah hati rakyat memberikan diri
dalam menuntut akan hak-haknya.
Pada era 1942 sampai dengan 1945, karena sekolah Adhi Dharma di zaman Jepang
dibubarkan dan partai-partai dilarang maka beliau kemudian menjadi guru (sampai 1947)
ditaman tani "Taman Siswa" yang didirikan adiknya Ki Hajar Dewantara, juga untuk
menhindari tugas-tugas dari pemerintah pendudukan Jepang. Dalam masa ini beliau juga
menjadi anggota Cuo Sangi In (semacam D.P.A).
Di zaman R.I.-Yogyakarta disamping menjadi guru Taman Siswa, beliau tidak sedikit
memberi kursus-kursus kepada para pemuda, selaku seorang yang partai-loos. Pada waktu
itu beliau menerbitkan dua buku : satu tentang pelajaran Sosialisme dan dua tentang ilmu
Tata-negara, guna secara sederhana lekas menambah pengetahuan dan pengertian dasar pada
golongan pemuda-pemuda dan rakyat lapisan bawah yang sedang berjuang melaksanakan
perang kemerdekaan.
Pada era 1949 sampai dengan 1958 beliau sudah berhenti sama sekali dari aktivitas
dan kesibukan bekerja dan hanya menjadi :
1. Simpatisan P.S.I.I dan simpatisan aliran politik yang progresif dan cinta tanah air.
2. Anggota kehormatan Kongres Rakyat
Pada tanggal 15 Oktober 1959 jam 24.00 beliau meninggal dunia disebabkan usianya
yang sudah 88 tahun di Cimahi, Jawa Barat. Pada tanggal 17 Oktober 1959, jenazah
dikebumikan dimakam keluarga "Rachmat Jati" di Kota Gede Yogyakarta dengan upacara
pamakaman sebagai Perwira Tinggi.
Hidup dalam keadaan yang amat sederhana, serta kekurangan boleh dikatakan
terpencil (banyak orang yang takut bergaul) karena mudah dituiduh sebagai golongan
pemberontak anti Belanda atau komunis karena sangat radikal, suaminya keluar masuk
penjara, karena kerap tersangkut perkara-perkara politik (seluruhnya 6 kali - 3 kali dalam
perkara-perkara besar) suatu kehidupan yang berketentuan dengan harus memelihara banyak
anak, para pemmbaca dapat membayangkan betapa sulitnya bagi beliau ini. Ia dapat
mengalami perjalanan sejarah bangsa hingga tahun 1951. Jadi setelah pengunduran tentara
Belanda dari Yogyakarta dan keamanan agak pulih kembali, dalam keadaan tentram, setelah
lama menderita penyakit jantung dan darah rendah.
Dalam hidupnya beliau besar jasanya untuk kepentingan rakyat sekitar kampung
tempat tinggalnya. Banyaklah amal yang ditinggalkan sebagai seorang Muslimat yang saleh
sebagai manusia biasa, kasih sayang pada sesama. Banyaklah yang mengantar jenazahnya
sampai ke Pemakaman Keluarga (Rachmat-Jati" di Gambiran (Kota Gede) Yogyakarta.
Banyak yang ditinggalkannya, mengenangkan kesuciannya, kesetiaannya serta
keteguhannya, dan sahabat-sahabatnya yang meneteskan air mata karena rasa haru. Semoga
Tuhan Yang Maha Tahu memberi kelapangan pada beliau di alam kubur. Ia meninggal
dalam usia 67 tahun pada tahun 1951.
Semaun : Soerjopranoto bukan anggota P.K.I (Semaun adalah pendiri P.K.I tetapi kemudian
keluar dan mendirikan Partai Murba).
H. Van Kol : (Catatan dalam sebuah buku "De vak - vereniging") "Dit boek over de
Vakvereniging Aangeboden door iemand, die ten volle sympathiseert men Uw streven het
Lot der misbedeelden te verzachten - 5 Januari 1923. "Soerjopranoto.........een intensief,
werkzaam en dadenrijk leven". Artinya, "Buku tentang pergerakan vak ini dipersembahkan
padamu, oleh seorang yang menaruh simpati dengan perjuanganmu guna meringankan nasib
rakyat yang dalam segala0galanya serba kekurangan dalam hidupnya. Voorschtenwijk 5
Page
130
Januari 1923. Soerjopranoto........seorang yang intensif, bekerja keras dan hidupnya penuh
dengan tindakan (Terjemahan penyusun).
K.H. Agus Salim : Hij is opliegend vanwege de reinheid zijner gedachten. (Dia cepat naik
pitam karena kemurnian pikirannya). Bersama KH. Agus Salim, Soerjopranoto menjadi saah
seorang pemimpin Persatuan Pergerakan Kaum Buruh (PPKB) yang berpusat di
Yogyakarta.
Zaalberg (redaktur Bataviaasch Niewsblad) : Dia meberi julukan untuk Soerjopranoto "de
Javaanse Edelman met een ontembare wil" (bangsawan Jawa dengan tekad yang tak
terjinakkan).
"Waarde Heer Resink" De strijd gat mij eerst om de harde klappen. Politieke
tegenstellingen worden voorlopig nog op straat uitgevochten (Beliau menolak duduk
sebagai anggota). Artinya : Tuan Resink Yth, Perjuangan kudasarkan terlebih dahulu untuk
perkelahian. Politik yang masih simpang siur, sementara diselesaikan dengan perkelahian
dijalan-jalan. (terjemahan penyusun).
Sesobek kertas yang isinya kutipan dicatat dari buku "Strijden en worstelen om de
overwinning" isi seperti berikut : "In strijd of in Zaken, in alles wat gij doet, gelde een regel,
als goud, ja zo gaat het de worsteling om macht wees dat uw motto : 'Vertrouw Uw eigen
kracht'". Artinya : di dalam pergolakan atau sesuatu urusan, dalam segala hal yang kau
perbuat, berlaku satu dasar, bagaikan emas, demikian tinggi nilainya, di dalam berjuang
untuk sukses atau kekuasaan ini adalah semboyannya : "Percaya pada kekuatan diri sendiri"
(terjemahan penyusun)
Page
131
KARTINI
NAMA :
RADEN ANJENG KARTINI
LAHIR DI :
Jepara, Jawa Tengah, Hindia Belanda 21 April 1879
DIKENAL KARENA :
Emansipasi Wanita
PASANGAN :
R.M.A.A. SINGGIH DJOJO ADHININGRAT
MENINGGAL :
17 September 1904 di usia 25 di Rembang, Jawa tengah
Raden Adjeng Kartini (lahir di Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879 – meninggal di
Rembang, Jawa Tengah, 17 September 1904 pada umur 25 tahun) atau sebenarnya lebih
tepat disebut Raden Ayu Kartini adalah seorang tokoh suku Jawa dan Pahlawan Nasional
Indonesia. Kartini dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi.
BIOGRAFI
Raden Adjeng Kartini adalah seseorang dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan
Jawa, putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara. Ia adalah putri dari istri
pertama, tetapi bukan istri utama. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti
Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Dari sisi
ayahnya, silsilah Kartini dapat dilacak hingga Hamengkubuwana VI.
Ayah Kartini pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Peraturan kolonial
waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A.
Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi[2], maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Adjeng
Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah
Page
132
Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A.
Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo.
Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara
sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro
IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun. Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang
pintar dalam bidang bahasa. Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS
(Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah
usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit.
Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan
menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya
adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan majalah
Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya
untuk memajukan perempuan pribumi, karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada
pada status sosial yang rendah.
Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter
Brooshooft, ia juga menerima leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada
langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup
berat, juga ada majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun kemudian
beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari surat-
suratnya tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian, sambil membuat
catatan-catatan. Kadang-kadang Kartini menyebut salah satu karangan atau mengutip
beberapa kalimat. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tapi juga
masalah sosial umum. Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan,
otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Di antara buku
yang dibaca Kartini sebelum berumur 20, terdapat judul Max Havelaar dan Surat-Surat
Cinta karya Multatuli, yang pada November 1901 sudah dibacanya dua kali. Lalu De Stille
Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus. Kemudian karya Van Eeden yang bermutu
tinggi, karya Augusta de Witt yang sedang-sedang saja, roman-feminis karya Nyonya
Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die
Waffen Nieder (Letakkan Senjata). Semuanya berbahasa Belanda.
Oleh orangtuanya, Kartini disuruh menikah dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati
Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini menikah
pada tanggal 12 November 1903. Suaminya mengerti keinginan Kartini dan Kartini diberi
kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang
kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai
Gedung Pramuka.
Anak pertama dan sekaligus terakhirnya, Soesalit Djojoadhiningrat, lahir pada tanggal
13 September 1904. Beberapa hari kemudian, 17 September 1904, Kartini meninggal pada
usia 25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.
Page
133
SURAT-SURAT
Setelah Kartini wafat, Mr. J.H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-
surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada teman-temannya di Eropa. Abendanon saat
itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku itu
diberi judul Door Duisternis tot Licht yang arti harfiahnya "Dari Kegelapan Menuju
Cahaya". Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada 1911. Buku ini dicetak sebanyak
lima kali, dan pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat Kartini.
Pada tahun 1922, Balai Pustaka menerbitkannya dalam bahasa Melayu dengan judul
yang diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran, yang
merupakan terjemahan oleh Empat Saudara. Kemudian tahun 1938, keluarlah Habis Gelap
Terbitlah Terang versi Armijn Pane seorang sastrawan Pujangga Baru. Armijn membagi
buku menjadi lima bab pembahasan untuk menunjukkan perubahan cara berpikir Kartini
sepanjang waktu korespondensinya. Versi ini sempat dicetak sebanyak sebelas kali. Surat-
surat Kartini dalam bahasa Inggris juga pernah diterjemahkan oleh Agnes L. Symmers.
Selain itu, surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Jawa dan
Sunda.
PEMIKIRAN
Surat-surat Kartini juga berisi harapannya untuk memperoleh pertolongan dari luar.
Pada perkenalan dengan Estelle "Stella" Zeehandelaar, Kartini mengungkap keinginan
untuk menjadi seperti kaum muda Eropa. Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa
akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit,
dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu.
Pada pertengahan tahun 1903 saat berusia sekitar 24 tahun, niat untuk melanjutkan
studi menjadi guru di Betawi pun pupus. Dalam sebuah surat kepada Nyonya Abendanon,
Kartini mengungkap tidak berniat lagi karena ia sudah akan menikah. "...Singkat dan pendek
saja, bahwa saya tiada hendak mempergunakan kesempatan itu lagi, karena saya sudah
akan kawin..." Padahal saat itu pihak departemen pengajaran Belanda sudah membuka pintu
kesempatan bagi Kartini dan Rukmini untuk belajar di Betawi.
Saat menjelang pernikahannya, terdapat perubahan penilaian Kartini soal adat Jawa.
Ia menjadi lebih toleran. Ia menganggap pernikahan akan membawa keuntungan tersendiri
dalam mewujudkan keinginan mendirikan sekolah bagi para perempuan bumiputra kala itu.
Dalam surat-suratnya, Kartini menyebutkan bahwa sang suami tidak hanya mendukung
keinginannya untuk mengembangkan ukiran Jepara dan sekolah bagi perempuan bumiputra
saja, tetapi juga disebutkan agar Kartini dapat menulis sebuah buku.
Perubahan pemikiran Kartini ini menyiratkan bahwa dia sudah lebih menanggalkan
egonya dan menjadi manusia yang mengutamakan transendensi, bahwa ketika Kartini
hampir mendapatkan impiannya untuk bersekolah di Betawi, dia lebih memilih berkorban
untuk mengikuti prinsip patriarki yang selama ini ditentangnya, yakni menikah dengan
Adipati Rembang.
BUKU
Pada 1922, oleh Empat Saudara, Door Duisternis Tot Licht disajikan dalam bahasa
Melayu dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang; Boeah Pikiran. Buku ini diterbitkan
oleh Balai Pustaka. Armijn Pane, salah seorang sastrawan pelopor Pujangga Baru, tercatat
Page
135
sebagai salah seorang penerjemah surat-surat Kartini ke dalam Habis Gelap Terbitlah
Terang. Ia pun juga disebut-sebut sebagai Empat Saudara.
Pada 1938, buku Habis Gelap Terbitlah Terang diterbitkan kembali dalam format
yang berbeda dengan buku-buku terjemahan dari Door Duisternis Tot Licht. Buku
terjemahan Armijn Pane ini dicetak sebanyak sebelas kali. Selain itu, surat-surat Kartini juga
pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Armijn Pane menyajikan
surat-surat Kartini dalam format berbeda dengan buku-buku sebelumnya. Ia membagi
kumpulan surat-surat tersebut ke dalam lima bab pembahasan. Pembagian tersebut ia
lakukan untuk menunjukkan adanya tahapan atau perubahan sikap dan pemikiran Kartini
selama berkorespondensi. Pada buku versi baru tersebut, Armijn Pane juga menciutkan
jumlah surat Kartini. Hanya terdapat 87 surat Kartini dalam "Habis Gelap Terbitlah Terang".
Penyebab tidak dimuatnya keseluruhan surat yang ada dalam buku acuan Door Duisternis
Tot Licht, adalah terdapat kemiripan pada beberapa surat. Alasan lain adalah untuk menjaga
jalan cerita agar menjadi seperti roman. Menurut Armijn Pane, surat-surat Kartini dapat
dibaca sebagai sebuah roman kehidupan perempuan. Ini pula yang menjadi salah satu
penjelasan mengapa surat-surat tersebut ia bagi ke dalam lima bab pembahasan.
Surat-surat Kartini juga diterjemahkan oleh Sulastin Sutrisno. Pada mulanya Sulastin
menerjemahkan Door Duisternis Tot Licht di Universitas Leiden, Belanda, saat ia
melanjutkan studi di bidang sastra tahun 1972. Salah seorang dosen pembimbing di
Leiden meminta Sulastin untuk menerjemahkan buku kumpulan surat Kartini
tersebut. Tujuan sang dosen adalah agar Sulastin bisa menguasai bahasa Belanda
dengan cukup sempurna. Kemudian, pada 1979, sebuah buku berisi terjemahan
Sulastin Sutrisno versi lengkap Door Duisternis Tot Licht pun terbit.
Buku kumpulan surat versi Sulastin Sutrisno terbit dengan judul Surat-surat Kartini,
Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya. Menurut Sulastin, judul terjemahan
seharusnya menurut bahasa Belanda adalah: "Surat-surat Kartini, Renungan Tentang
dan Untuk Bangsa Jawa". Sulastin menilai, meski tertulis Jawa, yang didamba
sesungguhnya oleh Kartini adalah kemajuan seluruh bangsa Indonesia.
Buku terjemahan Sulastin malah ingin menyajikan lengkap surat-surat Kartini yang
ada pada Door Duisternis Tot Licht. Selain diterbitkan dalam Surat-surat Kartini,
Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya, terjemahan Sulastin Sutrisno juga dipakai
dalam buku Kartini, Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan Suaminya.
Buku lain yang berisi terjemahan surat-surat Kartini adalah Letters from Kartini, An
Indonesian Feminist 1900-1904. Penerjemahnya adalah Joost Coté. Ia tidak hanya
menerjemahkan surat-surat yang ada dalam Door Duisternis Tot Licht versi
Abendanon. Joost Coté juga menerjemahkan seluruh surat asli Kartini pada Nyonya
Abendanon-Mandri hasil temuan terakhir. Pada buku terjemahan Joost Coté, bisa
ditemukan surat-surat yang tergolong sensitif dan tidak ada dalam Door Duisternis
Tot Licht versi Abendanon. Menurut Joost Coté, seluruh pergulatan Kartini dan
penghalangan pada dirinya sudah saatnya untuk diungkap.
Buku Letters from Kartini, An Indonesian Feminist 1900-1904 memuat 108 surat-
surat Kartini kepada Nyonya Rosa Manuela Abendanon-Mandri dan suaminya JH
Page
136
Abendanon. Termasuk di dalamnya: 46 surat yang dibuat Rukmini, Kardinah,
Kartinah, dan Soematrie.
Sampul Panggil Aku Kartini Saja, dikompilasi oleh Pramoedya Ananta Toer.
Selain berupa kumpulan surat, bacaan yang lebih memusatkan pada pemikiran Kartini
juga diterbitkan. Salah satunya adalah Panggil Aku Kartini Saja karya Pramoedya Ananta
Toer. Buku Panggil Aku Kartini Saja terlihat merupakan hasil dari pengumpulan data dari
berbagai sumber oleh Pramoedya.
Akhir tahun 1987, Sulastin Sutrisno memberi gambaran baru tentang Kartini lewat
buku Kartini Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan suaminya.
Gambaran sebelumnya lebih banyak dibentuk dari kumpulan surat yang ditulis untuk
Abendanon, diterbitkan dalam Door Duisternis Tot Licht.
Kartini dihadirkan sebagai pejuang emansipasi yang sangat maju dalam cara berpikir
dibanding perempuan-perempuan Jawa pada masanya. Dalam surat tanggal 27
Oktober 1902, dikutip bahwa Kartini menulis pada Nyonya Abendanon bahwa dia
telah memulai pantangan makan daging, bahkan sejak beberapa tahun sebelum surat
tersebut, yang menunjukkan bahwa Kartini adalah seorang vegetarian.[3] Dalam
kumpulan itu, surat-surat Kartini selalu dipotong bagian awal dan akhir. Padahal,
bagian itu menunjukkan kemesraan Kartini kepada Abendanon. Banyak hal lain
yang dimunculkan kembali oleh Sulastin Sutrisno.
Aku Mau ... Feminisme dan Nasionalisme. Surat-surat Kartini kepada Stella
Zeehandelaar 1899-1903
KONTROVERSI
Ada kalangan yang meragukan kebenaran surat-surat Kartini. Ada dugaan J.H.
Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan saat itu, merekayasa surat-surat
Kartini. Kecurigaan ini timbul karena memang buku Kartini terbit saat pemerintahan
kolonial Belanda menjalankan politik etis di Hindia Belanda, dan Abendanon termasuk yang
berkepentingan dan mendukung politik etis. Hingga saat ini pun sebagian besar naskah asli
surat tak diketahui keberadaannya. Menurut almarhumah Sulastin Sutrisno, jejak keturunan
J.H. Abendanon pun sukar untuk dilacak Pemerintah Belanda.
Page
137
Penetapan tanggal kelahiran Kartini sebagai hari besar juga agak diperdebatkan. Pihak
yang tidak begitu menyetujui, mengusulkan agar tidak hanya merayakan Hari Kartini saja,
namun merayakannya sekaligus dengan Hari Ibu pada tanggal 22 Desember. Alasan
mereka adalah agar tidak pilih kasih dengan pahlawan-pahlawan wanita Indonesia lainnya,
karena masih ada pahlawan wanita lain yang tidak kalah hebat dengan Kartini seperti Cut
Nyak Dhien, Martha Christina Tiahahu,Dewi Sartika dan lain-lain.Menurut mereka, wilayah
perjuangan Kartini itu hanyalah di Jepara dan Rembang saja, Kartini juga tidak pernah
memanggul senjata melawan penjajah. Sikapnya yang pro terhadap poligami juga
bertentangan dengan pandangan kaum feminis tentang arti emansipasi wanita. Dan berbagai
alasan lainnya. Pihak yang pro mengatakan bahwa Kartini tidak hanya seorang tokoh
emansipasi wanita yang mengangkat derajat kaum wanita Indonesia saja, melainkan adalah
tokoh nasional; artinya, dengan ide dan gagasan pembaruannya tersebut dia telah berjuang
untuk kepentingan bangsanya. Cara pikirnya sudah melingkupi perjuangan nasional.
Utrecht: Di Utrecht Jalan R.A. Kartini atau Kartinistraat merupakan salah satu jalan
utama, berbentuk 'U' yang ukurannya lebih besar dibanding jalan-jalan yang
menggunakan nama tokoh perjuangan lainnya seperti Augusto Sandino, Steve Biko,
Che Guevara, Agostinho Neto.
Venlo: Di Venlo Belanda Selatan, R.A. Kartinistraat berbentuk 'O' di kawasan
Hagerhof, di sekitarnya terdapat nama-nama jalan tokoh wanita Anne Frank dan
Mathilde Wibaut.
Amsterdam: Di wilayah Amsterdam Zuidoost atau yang lebih dikenal dengan
Bijlmer, jalan Raden Adjeng Kartini ditulis lengkap. Di sekitarnya adalah nama-
nama wanita dari seluruh dunia yang punya kontribusi dalam sejarah: Rosa
Luxemburg, Nilda Pinto, Isabella Richaards.
Haarlem: Di Haarlem jalan Kartini berdekatan dengan jalan Mohammed Hatta,
Sutan Sjahrir dan langsung tembus ke jalan Chris Soumokil presiden kedua Republik
Maluku Selatan.
SOEPOMO
Page
138
JABATAN :
Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia ke 1 (19 Agustus 1945
– 14 November 1945 ) lalu digantikan oleh SOEWANDI.
NAMA :
Prof. Mr. Dr Soepomo
Prof. Mr. Dr Soepomo (Ejaan Soewandi: Supomo; lahir di Sukoharjo, Jawa Tengah,
22 Januari 1903 – meninggal di Jakarta, 12 September 1958 pada umur 55 tahun) adalah
seorang pahlawan nasional Indonesia. Soepomo dikenal sebagai arsitek Undang-undang
Dasar 1945, bersama dengan Muhammad Yamin dan Sukarno
Page
139
PEMIKIRAN
Hampir tidak ada biografi tentang Soepomo, kecuali satu yang dikerjakan Soegito
(1977) berdasarkan proyek Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Marsilam
Simanjuntak berpendapat bahwa Soepomo adalah sumber dari munculnya fasisme di
Indonesia. Soepomo mengagumi sistem pemerintahan Jerman dan Jepang. Simanjuntak
menilai Negara "Orde Baru" ala Jenderal Soeharto adalah bentuk negara yang paling dekat
dengan ideal Soepomo, kesimpulan yang masih perlu diperdebatkan ulang.
MENINGGAL DUNIA
Soepomo meninggal dalam usia muda akibat serangan jantung di Jakarta pada tahun
1958 dan dimakamkan di Solo.
SUTAN SYAHRIR
Page
140
NAMA :
SUTAN SYAHRIR
LAHIR DI :
Padang Panjang, Sumatera Barat 5 Maret 1909
ISTRI :
Maria Duchateau
Siti Wahyunah
MENINGGAL :
9 April 1966 di usia 57 di Zurich, Swiss.
JABATAN :
Perdana Menteri Indonesia ke 1 ( 14 November 1945 – 3 Juli 1947) kemudian
digantikan oleh AMIR SJARIFOEDDIN.
Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia ke 2 (14 November 1945- 12 Maret 1946)
didahului oleh R.A.A WIRANATAKUSUMA. Lalu digantikan oleh
SUDARSONO.
RIWAYAT
Syahrir lahir dari pasangan Mohammad Rasad gelar Maharaja Soetan bin Soetan
Leman gelar Soetan Palindih dan Puti Siti Rabiah yang berasal dari Koto Gadang, Agam,
Sumatera Barat [2] Ayahnya menjabat sebagai penasehat sultan Deli dan kepala jaksa
(landraad) di Medan. Syahrir bersaudara seayah dengan Rohana Kudus, aktivis serta
wartawan wanita yang terkemuka.
Page
141
Sekolah MULO di Medan (sekitar tahun 1925)
Syahrir mengenyam sekolah dasar (ELS) dan sekolah menengah (MULO) terbaik di
Medan, dan membetahkannya bergaul dengan berbagai buku-buku asing dan ratusan novel
Belanda. Malamnya dia mengamen di Hotel De Boer (kini Hotel Natour Dharma Deli), hotel
khusus untuk tamu-tamu kulit putih.
Pada 1926, ia selesai dari MULO, masuk sekolah lanjutan atas (AMS) di Bandung,
sekolah termahal di Hindia Belanda saat itu. Di sekolah itu, dia bergabung dalam Himpunan
Teater Mahasiswa Indonesia (Batovis) sebagai sutradara, penulis skenario, dan juga aktor.
Hasil mentas itu dia gunakan untuk membiayai sekolah yang ia dirikan, Tjahja
Volksuniversiteit, Cahaya Universitas Rakyat.
Aksi sosial Syahrir kemudian menjurus jadi politis. Ketika para pemuda masih
terikat dalam perhimpunan-perhimpunan kedaerahan, pada tanggal 20 Februari 1927,
Syahrir termasuk dalam sepuluh orang penggagas pendirian himpunan pemuda nasionalis,
Jong Indonesië. Perhimpunan itu kemudian berubah nama jadi Pemuda Indonesia yang
menjadi motor penyelenggaraan Kongres Pemuda Indonesia. Kongres monumental yang
mencetuskan Sumpah Pemuda pada 1928.
Sebagai siswa sekolah menengah, Syahrir sudah dikenal oleh polisi Bandung sebagai
pemimpin redaksi majalah himpunan pemuda nasionalis. Dalam kenangan seorang
temannya di AMS, Syahrir kerap lari digebah polisi karena membandel membaca koran
yang memuat berita pemberontakan PKI 1926; koran yang ditempel pada papan dan selalu
dijaga polisi agar tak dibaca para pelajar sekolah.
Dalam tulisan kenangannya, Salomon Tas berkisah perihal Syahrir yang mencari
teman-teman radikal, berkelana kian jauh ke kiri, hingga ke kalangan anarkis yang
mengharamkan segala hal berbau kapitalisme dengan bertahan hidup secara kolektif – saling
berbagi satu sama lain kecuali sikat gigi. Demi lebih mengenal dunia proletar dan organisasi
pergerakannya, Syahrir pun bekerja pada Sekretariat Federasi Buruh Transportasi
Internasional.
Selain menceburkan diri dalam sosialisme, Syahrir juga aktif dalam Perhimpunan
Indonesia (PI) yang ketika itu dipimpin oleh Mohammad Hatta. Di awal 1930, pemerintah
Hindia Belanda kian bengis terhadap organisasi pergerakan nasional, dengan aksi razia dan
memenjarakan pemimpin pergerakan di tanah air, yang berbuntut pembubaran Partai
Page
142
Nasional Indonesia (PNI) oleh aktivis PNI sendiri. Berita tersebut menimbulkan
kekhawatiran di kalangan aktivis PI di Belanda. Mereka selalu menyerukan agar pergerakan
jangan jadi melempem lantaran pemimpinnya dipenjarakan. Seruan itu mereka sampaikan
lewat tulisan. Bersama Hatta, keduanya rajin menulis di Daulat Rakjat, majalah milik
Pendidikan Nasional Indonesia, dan memisikan pendidikan rakyat harus menjadi tugas
utama pemimpin politik.
“ ”
"Pertama-tama, marilah kita mendidik, yaitu memetakan jalan menuju
kemerdekaan," katanya.
Hatta kemudian kembali ke tanah air pada Agustus 1932, segera pula ia memimpin
PNI Baru. Bersama Hatta, Syahrir mengemudikan PNI Baru sebagai organisasi pencetak
kader-kader pergerakan. Berdasarkan analisis pemerintahan kolonial Belanda, gerakan
politik Hatta dan Syahrir dalam PNI Baru justru lebih radikal tinimbang Soekarno dengan
PNI-nya yang mengandalkan mobilisasi massa. PNI Baru, menurut polisi kolonial, cukup
sebanding dengan organisasi Barat. Meski tanpa aksi massa dan agitasi; secara cerdas,
lamban namun pasti, PNI Baru mendidik kader-kader pergerakan yang siap bergerak ke arah
tujuan revolusionernya.
Karena takut akan potensi revolusioner PNI Baru, pada Februari 1934, pemerintah
kolonial Belanda menangkap, memenjarakan, kemudian membuang Syahrir, Hatta, dan
beberapa pemimpin PNI Baru ke Boven-Digoel. Hampir setahun dalam kawasan malaria di
Papua itu, Hatta dan Syahrir dipindahkan ke Bandaneira untuk menjalani masa pembuangan
selama enam tahun.
Sementara Soekarno dan Hatta menjalin kerja sama dengan Jepang, Syahrir
membangun jaringan gerakan bawah tanah anti-fasis. Syahrir yakin Jepang tak mungkin
memenangkan perang, oleh karena itu, kaum pergerakan mesti menyiapkan diri untuk
merebut kemerdekaan di saat yang tepat. Simpul-simpul jaringan gerakan bawah tanah
kelompok Syahrir adalah kader-kader PNI Baru yang tetap meneruskan pergerakan dan
kader-kader muda yakni para mahasiswa progresif.
Sastra, seorang tokoh senior pergerakan buruh yang akrab dengan Syahrir, menulis:
Page
143
“
Di bawah kepemimpinan Syahrir, kami bergerak di bawah tanah, menyusun
kekuatan subjektif, sambil menunggu perkembangan situasi objektif dan
tibanya saat-saat psikologis untuk merebut kekuasaan dan kemerdekaan. ”
Situasi objektif itu pun makin terang ketika Jepang makin terdesak oleh pasukan
Sekutu. Syahrir mengetahui perkembangan Perang Dunia dengan cara sembunyi-sembunyi
mendengarkan berita dari stasiun radio luar negeri. Kala itu, semua radio tak bisa
menangkap berita luar negeri karena disegel oleh Jepang. Berita-berita tersebut kemudian ia
sampaikan ke Hatta. Sembari itu, Syahrir menyiapkan gerakan bawah tanah untuk merebut
kekuasaan dari tangan Jepang.
Syahrir yang didukung para pemuda mendesak Soekarno dan Hatta untuk
memproklamasikan kemerdekaan pada 15 Agustus karena Jepang sudah menyerah, Syahrir
siap dengan massa gerakan bawah tanah untuk melancarkan aksi perebutan kekuasaan
sebagai simbol dukungan rakyat. Soekarno dan Hatta yang belum mengetahui berita
menyerahnya Jepang, tidak merespon secara positif. Mereka menunggu keterangan dari
pihak Jepang yang ada di Indonesia, dan proklamasi itu mesti sesuai prosedur lewat
keputusan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dibentuk oleh Jepang.
Sesuai rencana PPKI, kemerdekaan akan diproklamasikan pada 24 September 1945.
Sikap Soekarno dan Hatta tersebut mengecewakan para pemuda, sebab sikap itu
berisiko kemerdekaan RI dinilai sebagai hadiah Jepang dan RI adalah buatan Jepang. Guna
mendesak lebih keras, para pemuda pun menculik Soekarno dan Hatta pada 16 Agustus.
Akhirnya, Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus.
MASA REFORMASI
Revolusi menciptakan atmosfer amarah dan ketakutan, karena itu sulit untuk berpikir
jernih. Sehingga sedikit sekali tokoh yang punya konsep dan langkah strategis meyakinkan
guna mengendalikan kecamuk revolusi. Saat itu, ada dua orang dengan pemikirannya yang
populer kemudian dianut banyak kalangan pejuang republik: Tan Malaka dan Sutan Syahrir.
Dua tokoh pergerakan kemerdekaan yang dinilai steril dari noda kolaborasi dengan
Pemerintahan Fasis Jepang, meski kemudian bertentangan jalan dalam memperjuangan
kedaulatan republik.
Di masa genting itu, Bung Syahrir menulis Perjuangan Kita. Sebuah risalah peta
persoalan dalam revolusi Indonesia, sekaligus analisis ekonomi-politik dunia usai Perang
Dunia II. Perjungan Kita muncul menyentak kesadaran. Risalah itu ibarat pedoman dan peta
guna mengemudikan kapal Republik Indonesia di tengah badai revolusi.
Page
144
dan rakyat kita." Dia juga mengejek gaya agitasi massa Soekarno yang menurutnya tak
membawa kejernihan.
Perjuangan Kita adalah karya terbesar Syahrir, kata Salomon Tas, bersama surat-
surat politiknya semasa pembuangan di Boven Digul dan Bandaneira. Manuskrip itu disebut
Indonesianis Ben Anderson sebagai, "Satu-satunya usaha untuk menganalisa secara
sistematis kekuatan domestik dan internasional yang memperngaruhi Indonesia dan yang
memberikan perspektif yang masuk akal bagi gerakan kemerdekaan pada masa depan."
Terbukti kemudian, pada November ’45 Syahrir didukung pemuda dan ditunjuk
Soekarno menjadi formatur kabinet parlementer. Pada usia 36 tahun, mulailah lakon Syahrir
dalam panggung memperjuangkan kedaulatan Republik Indonesia, sebagai Perdana Menteri
termuda di dunia, merangkap Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri.
PENCULIKAN
Penculikan Perdana Menteri Sjahrir merupakan peristiwa yang terjadi pada 26 Juni
1946 di Surakarta oleh kelompok oposisi Persatuan Perjuangan yang tidak puas atas
diplomasi yang dilakukan oleh pemerintahan Kabinet Sjahrir II dengan pemerintah Belanda
karena sangat merugikan perjuangan Bangsa Indonesia saat itu. Kelompok ini menginginkan
pengakuan kedaulatan penuh (Merdeka 100%), sedangkan kabinet yang berkuasa hanya
menuntut pengakuan kedaulatan atas Jawa dan Madura.
Kelompok Persatuan Perjuangan ini dipimpin oleh Mayor Jendral Soedarsono dan
14 pimpinan sipil, di antaranya Tan Malaka dari Persatuan Perjuangan bersama dengan
Panglima besar Jendral sudirman. Perdana Menteri Sjahrir ditahan di suatu rumah
peristirahatan di Paras.
Presiden Soekarno sangat marah atas aksi penculikan ini dan memerintahkan Polisi
Surakarta menangkap para pimpinan kelompok tersebut. Tanggal 1 Juli 1946, ke-14
pimpinan berhasil ditangkap dan dijebloskan ke penjara Wirogunan.
Tanggal 2 Juli 1946, tentara Divisi 3 yang dipimpin Mayor Jendral Soedarsono
menyerbu penjara Wirogunan dan membebaskan ke 14 pimpinan penculikan.
Kelak Let. Kol. Soeharto menjadi Presiden RI Soeharto dan menerbitkan catatan
tentang peristiwa pemberontakan ini dalam buku otobiografinya Ucapan, Pikiran dan
Tindakan Saya.
DIPLOMASI SYAHRIR
Setelah kejadian penculikan Syahrir hanya bertugas sebagai Menteri Luar Negeri,
tugas sebagai Perdana Menteri diambil alih Presiden Soekarno. Namun pada tanggal 2
Oktober 1946, Presiden menunjuk kembali Syahrir sebagai Perdana Menteri agar dapat
melanjutkan Perundingan Linggarjati yang akhirnya ditandatangani pada 15 November
1946.
Tanpa Syahrir, Soekarno bisa terbakar dalam lautan api yang telah ia nyalakan.
Sebaliknya, sulit dibantah bahwa tanpa Bung Karno, Syahrir tidak berdaya apa-apa.
Sebagaimana argumen Bung Hatta bahwa revolusi mesti dikendalikan; tak mungkin
revolusi berjalan terlalu lama, revolusi yang mengguncang ‘sendi’ dan ‘pasak’ masyarakat
jika tak dikendalikan maka akan meruntuhkan seluruh ‘bangunan’.
Agar Republik Indonesia tak runtuh dan perjuangan rakyat tak menampilkan wajah
bengis, Syahrir menjalankan siasatnya. Di pemerintahan, sebagai ketua Badan Pekerja
Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), ia menjadi arsitek perubahan Kabinet
Presidensil menjadi Kabinet Parlementer yang bertanggung jawab kepada KNIP sebagai
lembaga yang punya fungsi legislatif. RI pun menganut sistem multipartai. Tatanan
pemerintahan tersebut sesuai dengan arus politik pasca-Perang Dunia II, yakni kemenangan
demokrasi atas fasisme. Kepada massa rakyat, Syahrir selalu menyerukan nilai-nilai
kemanusiaan dan anti-kekerasan.
Page
146
Ada satu cerita perihal sikap konsekuen pribadi Syahrir yang anti-kekerasan. Di
pengujung Desember 1946, Perdana Menteri Syahrir dicegat dan ditodong pistol oleh
serdadu NICA. Saat serdadu itu menarik pelatuk, pistolnya macet. Karena geram, dipukullah
Syahrir dengan gagang pistol. Berita itu kemudian tersebar lewat Radio Republik Indonesia.
Mendengar itu, Syahrir dengan mata sembab membiru memberi peringatan keras agar siaran
itu dihentikan, sebab bisa berdampak fatal dibunuhnya orang-orang Belanda di kamp-kamp
tawanan oleh para pejuang republik, ketika tahu pemimpinnya dipukuli.
Jalan berliku diplomasi diperkeruh dengan gempuran aksi militer Belanda pada 21
Juli 1947. Aksi Belanda tersebut justru mengantarkan Indonesia ke forum Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB). Setelah tidak lagi menjabat Perdana Menteri (Kabinet Sjahrir III),
Syahrir diutus menjadi perwakilan Indonesia di PBB. Dengan bantuan Biju Patnaik, Syahrir
bersama Agus Salim berangkat ke Lake Success, New York melalui New Delhi dan Kairo
untuk menggalang dukungan India dan Mesir.
Pada 14 Agustus 1947 Syahrir berpidato di muka sidang Dewan Keamanan PBB.
Berhadapan dengan para wakil bangsa-bangsa sedunia, Syahrir mengurai Indonesia sebagai
sebuah bangsa yang berabad-abad berperadaban aksara lantas dieksploitasi oleh kaum
kolonial. Kemudian, secara piawai Syahrir mematahkan satu per satu argumen yang sudah
disampaikan wakil Belanda, Eelco van Kleffens. Dengan itu, Indonesia berhasil merebut
kedudukan sebagai sebuah bangsa yang memperjuangan kedaulatannya di gelanggang
internasional. PBB pun turut campur, sehingga Belanda gagal mempertahankan upayanya
untuk menjadikan pertikaian Indonesia-Belanda sebagai persoalan yang semata-mata urusan
dalam negerinya.
Van Kleffens dianggap gagal membawa kepentingan Belanda dalam sidang Dewan
Keamanan PBB. Berbagai kalangan Belanda menilai kegagalan itu sebagai kekalahan
seorang diplomat ulung yang berpengalaman di gelanggang internasional dengan seorang
diplomat muda dari negeri yang baru saja lahir. Van Kleffens pun ditarik dari posisi sebagai
wakil Belanda di PBB menjadi duta besar Belanda di Turki.
Syahrir populer di kalangan para wartawan yang meliput sidang Dewan Keamanan
PBB, terutama wartawan-wartawan yang berada di Indonesia semasa revolusi. Beberapa
surat kabar menamakan Syahrir sebagai The Smiling Diplomat.
Syahrir mewakili Indonesia di PBB selama 1 bulan, dalam 2 kali sidang. Pimpinan
delegasi Indonesia selanjutnya diwakili oleh Lambertus Nicodemus Palar (L.N.) Palar
sampai tahun 1950.
Page
147
Selepas memimpin kabinet, Sutan Syahrir diangkat menjadi penasihat Presiden
Soekarno sekaligus Duta Besar Keliling. Pada tahun 1948 Syahrir mendirikan Partai Sosialis
Indonesia (PSI) sebagai partai alternatif selain partai lain yang tumbuh dari gerakan komunis
internasional. Meskipun PSI berhaluan kiri dan mendasarkan pada ajaran Marx-Engels,
namun ia menentang sistem kenegaraan Uni Soviet. Menurutnya pengertian sosialisme
adalah menjunjung tinggi derajat kemanusiaan, dengan mengakui dan menjunjung
persamaan derajat tiap manusia
AKHIR HIDUP
Tahun 1955 PSI gagal mengumpulkan suara dalam pemilihan umum pertama di
Indonesia. Setelah kasus PRRI tahun 1958[4], hubungan Sutan Syahrir dan Presiden
Soekarno memburuk sampai akhirnya PSI dibubarkan tahun 1960. Tahun 1962 hingga 1965,
Syahrir ditangkap dan dipenjarakan tanpa diadili sampai menderita stroke. Setelah itu
Syahrir diijinkan untuk berobat ke Zürich Swis, salah seorang kawan dekat yang pernah
menjabat wakil ketua PSI Sugondo Djojopuspito menghantarkan beliau di Bandara
Kemayoran dan Syahrir memeluk Sugondo degan air mata, dan akhirnya meninggal di Swiss
pada tanggal 9 April 1966.
KARYA
1. Pikiran dan Perjuangan, tahun 1950 (kumpulan karangan dari Majalah ”Daulat
Rakyat” dan majalah-majalah lain, tahun 1931 – 1940)
2. Pergerakan Sekerja, tahun 1933
3. Perjuangan Kita, tahun 1945
4. Indonesische Overpeinzingen, tahun 1946 (kumpulan surat-surat dan karangan-
karangan dari penjara Cipinang dan tempat pembuangan di Digul dan Banda-Neira,
dari tahun 1934 sampau 1938).
5. Renungan Indonesia, tahun 1951 (diterjemahkan dari Bahasa Belanda: Indonesische
Overpeinzingen oleh HB Yassin)
6. Out of Exile, tahun 1949 (terjemahan dari ”Indonesische Overpeinzingen” oleh
Charles Wolf Jr. dengan dibubuhi bagian ke-2 karangan Sutan Sjahrir)
7. Renungan dan Perjuangan, tahun 1990 (terjemahan HB Yassin dari Indonesische
Overpeinzingen dan Bagian II Out of Exile)
8. Sosialisme dan Marxisme, tahun 1967 (kumpulan karangan dari majalah “Suara
Sosialis” tahun 1952 – 1953)
9. Nasionalisme dan Internasionalisme, tahun 1953 (pidato yang diucapkan pada Asian
Socialist Conference di Rangoon, tahun 1953)
10. Karangan–karangan dalam "Sikap", "Suara Sosialis" dan majalah–majalah lain
11. Sosialisme Indonesia Pembangunan, tahun 1983 (kumpulan tulisan Sutan Sjahrir
diterbitkan oleh Leppenas)
Page
148
JABATAN
DEWI SARTIKA
Page
149
NAMA :
DEWI SARTIKA
LAHIR DI :
DIKENAL SEBAGAI :
PASANGAN :
MENINGGAL :
Biografi
Dewi Sartika dilahirkan di keluarga priyayi Sunda, Nyi Raden Rajapermas dengan
Raden Somanagara. Meskipun bertentangan dengan adat waktu itu, ayah-ibunya bersikukuh
menyekolahkan Dewi Sartika di sekolah Belanda. Setelah ayahnya wafat, Dewi Sartika
diasuh oleh pamannya (kakah ibunya) yang menjadi patih di Cicalengka. Oleh pamannya
itu, ia mendapatkan pengetahuan mengenai kebudayaan Sunda, sementara wawasan
kebudayaan Barat didapatkannya dari seorang nyonya Asisten Residen berkebangsaan
Belanda.
Sedari kecil , Dewi Sartika sudah menunjukkan bakat pendidik dan kegigihan untuk
meraih kemajuan. Sambil bermain di belakang gedung kepatihan, beliau sering
Page
150
memperagakan praktik di sekolah, belajar baca-tulis, dan bahasa Belanda, kepada anak-anak
pembantu di kepatihan. Papan bilik kandang kereta, arang, dan pecahan genting
dijadikannya alat bantu belajar.
Waktu itu, Dewi Sartika baru berumur sekitar sepuluh tahun, ketika Cicalengka
digemparkan oleh kemampuan baca-tulis dan beberapa patah kata dalam bahasa Belanda
yang ditunjukkan oleh anak-anak pembantu kepatihan. Gempar, karena waktu itu belum ada
anak (apalagi anak rakyat jelata) yang memiliki kemampuan seperti itu, dan diajarkan oleh
seorang anak perempuan.
Setelah remaja, Dewi Sartika kembali lagi kepada ibunya di Bandung. Jiwanya yang
telah dewasa semakin menggiringnya untuk mewujudkan cita-citanya. Hal ini didorong pula
oleh pamannya, Bupati Martanagara, yang memang memiliki keinginan yang sama. Tetapi,
meski keinginan yang sama dimiliki oleh pamannya, tidak menjadikannya serta merta dapat
mewujudkan cita-citanya. Adat yang mengekang kaum wanita pada waktu itu, membuat
pamannya mengalami kesulitan dan khawatir. Namun karena kegigihan semangatnya yang
tak pernah surut, akhirnya Dewi Sartika bisa meyakinkan pamannya dan diizinkan
mendirikan sekolah untuk perempuan.
Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata,
beliau memiliki visi dan cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika, guru di sekolah Karang
Pamulang, yang saat itu merupakan sekolah Latihan Guru.
Terjemahan: Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah
Suriawinata, beliau mempunyai visi dan cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika, guru di
sekolah Karang Pamjulang, yang waktu itu merupakan sekolah Latihan Guru.
Sejak 1902, Dewi Sartika sudah merintis pendidikan bagi kaum perempuan. Di
sebuah ruangan kecil, di belakang rumah ibunya di Bandung, Dewi Sartika mengajar di
hadapan anggota keluarganya yang perempuan. Merenda, memasak, jahit-menjahit,
membaca, menulis dan sebagainya, menjadi materi pelajaran saat itu
Usai berkonsultasi dengan Bupati R.A. Martenagara, pada 16 Januari 1904, Dewi
Sartika membuka Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia-Belanda. Tenaga
pengajarnya tiga orang : Dewi Sartika dibantu dua saudara misannya, Ny. Poerwa dan Nyi.
Oewid. Murid-murid angkatan pertamanya terdiri dari 20 orang, menggunakan ruangan
pendopo kabupaten Bandung.
Page
152
4 Januari 1800
Lahir Abubu, Nusa Laut, Maluku, Hindia
Belanda
2 Januari 1818 (umur 17)
Meninggal
Laut Banda, Maluku, Indonesia
Martha Christina tercatat sebagai seorang pejuang kemerdekaan yang unik yaitu
seorang puteri remaja yang langsung terjun dalam medan pertempuran melawan tentara
kolonial Belanda dalam perang Pattimura tahun 1817. Di kalangan para pejuang dan
masyarakat sampai di kalangan musuh, ia dikenal sebagai gadis pemberani dan konsekwen
terhadap cita-cita perjuangannya.
Sejak awal perjuangan, ia selalu ikut mengambil bagian dan pantang mundur.
Dengan rambutnya yang panjang terurai ke belakang serta berikat kepala sehelai kain berang
(merah) ia tetap mendampingi ayahnya dalam setiap pertempuran baik di Pulau Nusalaut
maupun di Pulau Saparua. Siang dan malam ia selalu hadir dan ikut dalam pembuatan kubu-
kubu pertahanan. Ia bukan saja mengangkat senjata, tetapi juga memberi semangat kepada
kaum wanita di negeri-negeri agar ikut membantu kaum pria di setiap medan pertempuran
sehingga Belanda kewalahan menghadapi kaum wanita yang ikut berjuang.
Di dalam pertempuran yang sengit di Desa Ouw – Ullath jasirah Tenggara Pulau
Saparua yang nampak betapa hebat srikandi ini menggempur musuh bersama para pejuang
rakyat. Namun akhirnya karena tidak seimbang dalam persenjataan, tipu daya musuh dan
pengkhianatan, para tokoh pejuang dapat ditangkap dan menjalani hukuman. Ada yang
Page
153
harus mati digantung dan ada yang dibuang ke Pulau Jawa. Kapitan Paulus Tiahahu divonis
hukum mati tembak. Martha Christina berjuang untuk melepaskan ayahnya dari hukuman
mati, namun ia tidak berdaya dan meneruskan bergerilyanya di hutan, tetapi akhirnya
tertangkap dan diasingkan ke Pulau Jawa.
Di Kapal Perang Eversten, Martha Christina Tiahahu menemui ajalnya dan dengan
penghormatan militer jasadnya diluncurkan di Laut Banda menjelang tanggal 2 Januari
1818. Menghargai jasa dan pengorbanan, Martha Christina dikukuhkan sebagai Pahlawan
Kemerdekaan Nasional oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Perjuangan
Martha Christina Tiahahu dilahirkan di Abubu Nusalaut pada tanggal 4 Januari 1800
merupakan anak sulung dari Kapitan Paulus Tiahahu dan masih berusia 17 tahun ketika
mengikuti jejak ayahnya memimpin perlawanan di Pulau Nusalaut. Pada waktu yang sama
Kapitan Pattimura sedang mengangkat senjata melawan kekuasaan Belanda di Saparua.
Perlawanan di Saparua menjalar ke Nusalaut dan daerah sekitarnya.
Pada waktu itu sebagian pasukan rakyat bersama para Raja dan Patih bergerak ke
Saparua untuk membantu perjuangan Kapitan Pattimura sehingga tindakan Belanda yang
akan mengambil alih Benteng Beverwijk luput dari perhatian.
Guru Soselissa yang memihak Belanda melakukan kontak dengan musuh mengatas-
namakan rakyat menyatakan menyerah kepada Belanda. Tanggal 10 Oktober 1817 Benteng
Beverwijk jatuh ke tangan Belanda tanpa perlawanan.
Dalam pertempuran ini Richemont tertembak mati. Meyer dan pasukannya bertahan
di tanjakan Negeri Ouw. Dari segala penjuru pasukan rakyat mengepung, sorak sorai
pasukan bercakalele, teriakan yang menggigilkan memecah udara dan membuat bulu roma
berdiri.
Page
154
kaum perempuan dari Ulath dan Ouw untuk turut mendampingi kamu laki-laki di medan
pertempuran.
Baru di medan ini Belanda berhadapan dengan kaum perempuan fanatik yang turut
bertempur. Pertempuran semakin sengit katika sebuah peluru pasukan rakyat mengenai leher
Meyer, Vermeulen Kringer mengambil alih komando setelah Meyer diangkat ke atas kapal
Eversten.
Vermeulen Kringer memberi komando untuk keluar dari kubu-kubu dan kembali
melancarkan serangan dengan sangkur terhunus. Pasukan rakyat mundur dan bertahan di
hutan, seluruh negeri Ulath dan Ouw diratakan dengan tanah, semua yang ada dibakar dan
dirampok habis-habisan.
Martha Christina dan sang Ayah serta beberapa tokoh pejuang lainnya tertangkap
dan dibawa ke dalam kapal Eversten. Di dalam kapal ini para tawanan dari Jasirah Tenggara
bertemu dengan Kapitan Pattimura dan tawanan lainnya.
Mereka diinterogasi oleh Buyskes dan dijatuhi hukuman. Karena masih sangat
muda, Buyskes membebaskan Martaha Christina Tiahahu dari hukuman, namun sang Ayah,
Kapitan Paulus Tiahahu tetap dijatuhi hukuman mati.
Tanggal 16 Oktober 1817 Martha Christina Tiahahu beserta sang Ayah dibawa ke
Nusalaut dan ditahan di benteng Beverwijk sambil menunggu pelaksanaan eksekusi mati
bagi ayahnya.
Martha Christina Tiahahu mendampingi sang Ayah pada waktu memasuki tempat
eksekusi, kemudian Martha Christina Tiahahu dibawa kembali ke dalam benteng Beverwijk
dan tinggal bersama guru Soselissa.
Dalam suatu Operasi Pembersihan pada bulan Desember 1817 Martha Christina
Tiahahu beserta 39 orang lainnya tertangkap dan dibawa dengan kapal Eversten ke Pulau
Jawa untuk dipekerjakan secara paksa di perkebunan kopi.
Page
155
Selama di atas kapal ini kondisi kesehatan Martha Christina Tiahahu semakin
memburuk, ia menolak makan dan pengobatan.
Akhirnya pada tanggal 2 Januari 1818, selepas Tanjung Alang, Martha Christina
Tiahahu menghembuskan nafas yang terakhir. Jenazah Martha Christina Tiahahu
disemayamkan dengan penghormatan militer ke Laut Banda.
Page
156
OTTO ISKANDAR DI NATA
31 Maret 1897
Lahir
Bojongsoang, Bandung, Jawa Barat
20 Desember 1945 (umur 48)
Meninggal
Tangerang, Banten, Jawa Barat
Agama Islam
Awal kehidupan
Oto Iskandar di Nata lahir pada 31 Maret 1897 di Bojongsoang, Kabupaten Bandung.
Ayah Oto adalah keturunan bangsawan Sunda bernama Nataatmadja. Oto adalah anak ketiga
dari sembilan bersaudara.[1]
Pra kemerdekaan
Dalam kegiatan pergarakannya di masa sebelum kemerdekaan, Oto pernah menjabat
sebagai Wakil Ketua Budi Utomo cabang Bandung pada periode 1921-1924, serta sebagai
Wakil Ketua Budi Utomo cabang Pekalongan tahun 1924. Ketika itu, ia menjadi anggota
Gemeenteraad ("Dewan Kota") Pekalongan mewakili Budi Utomo.
Page
157
Oto juga aktif pada organisasi budaya Sunda bernama Paguyuban Pasundan. Ia
menjadi Sekretaris Pengurus Besar tahun 1928, dan menjadi ketuanya pada periode 1929-
1942. Organisasi tersebut bergerak dalam bidang pendidikan, sosial-budaya, politik,
ekonomi, kepemudaan, dan pemberdayaan perempuan.
Oto juga menjadi anggota Volksraad ("Dewan Rakyat", semacam DPR) yang
dibentuk pada masa Hindia Belanda untuk periode 1930-1941.
Pada masa penjajahan Jepang, Oto menjadi Pemimpin surat kabar Tjahaja (1942-
1945). Ia kemudian menjadi anggota BPUPKI dan PPKI yang dibentuk oleh pemerintah
pendudukan Jepang sebagai lembaga-lembaga yang membantu persiapan kemerdekaan
Indonesia.
Pasca kemerdekaan
Pahlawan nasional
Oto Iskandar di Nata diangkat sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Surat
Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 088/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November
1973. Sebuah monumen perjuangan Bandung Utara di Lembang, Bandung bernama
"Monumen Pasir Pahlawan" didirikan untuk mengabadikan perjuangannya.
Nama Oto Iskandar di Nata juga diabadikan sebagai nama jalan di beberapa kota di
Indonesia.
Keluarga
Page
158
Ahmad Dahlan
1 Agustus 1868
Lahir
Yogyakarta
23 Februari 1923
Meninggal
Yogyakarta
Pendiri Muhammadiyah
Dikenal karena
dan Pahlawan Nasional
Pendahulu Tidak ada, jabatan baru
Pengganti K.H. Ibrahim
Agama Islam
Hj. Siti Walidah
Nyai Abdullah
Pasangan Nyai Rum
Nyai Aisyah
Nyai Yasin
Djohanah
Siradj Dahlan
Siti Busyro
Anak Irfan Dahlan
Siti Aisyah
Siti Zaharah
Dandanah
Kyai Haji Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis (lahir di Yogyakarta, 1 Agustus
1868 – meninggal di Yogyakarta, 23 Februari 1923 pada umur 54 tahun) adalah seorang
Pahlawan Nasional Indonesia. Ia adalah putera keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga
K.H. Abu Bakar. KH Abu Bakar adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid
Besar Kasultanan Yogyakarta pada masa itu, dan ibu dari K.H. Ahmad Dahlan adalah puteri
Page
159
dari H. Ibrahim yang juga menjabat penghulu Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada
masa itu.
Pada umur 15 tahun, ia pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada
periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu
dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah.
Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, ia berganti nama menjadi Ahmad
Dahlan.
Pada tahun 1903, ia bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua tahun. Pada
masa ini, ia sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU,
KH. Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, ia mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman,
Yogyakarta.
Sepulang dari Mekkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai
Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan
Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad
Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan
Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah.[1] Disamping itu KH. Ahmad Dahlan pernah pula
menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. la juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai
Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya
dengan Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Ia pernah
pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta.[3]
Pengalaman Organisasi
Disamping aktif dalam menggulirkan gagasannya tentang gerakan dakwah
Muhammadiyah, ia juga dikenal sebagai seorang wirausahawan yang cukup berhasil dengan
berdagang batik yang saat itu merupakan profesi wiraswasta yang cukup menggejala di
masyarakat.
Sebagai seorang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat dan mempunyai gagasan-
gagasan cemerlang, Dahlan juga dengan mudah diterima dan dihormati di tengah kalangan
masyarakat, sehingga ia juga dengan cepat mendapatkan tempat di organisasi Jam'iyatul
Khair, Budi Utomo, Syarikat Islam dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Page
160
Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan pun mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk
melaksanakan cita-cita pembaruan Islam di bumi Nusantara. Ahmad Dahlan ingin
mengadakan suatu pembaruan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama
Islam. la ingin mengajak umat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan al-
Qur'an dan al-Hadits. Perkumpulan ini berdiri bertepatan pada tanggal 18 November 1912.
Dan sejak awal Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik
tetapi bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan.
Dahlan juga bersahabat dan berdialog dengan tokoh agama lain seperti Pastur van Lith
pada 1914-1918. Van Lith adalah pastur pertama yang diajak dialog oleh Dahlan. Pastur van
Lith di Muntilan yang merupakan tokoh di kalangan keagamaan Katolik. Pada saat itu Kiai
Dahlan tidak ragu-ragu masuk gereja dengan pakaian hajinya[7].
Pahlawan Nasional
Atas jasa-jasa KH. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa Indonesia
melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia
menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun
1961. Dasar-dasar penetapan itu ialah sebagai berikut:
1. KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari
nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat;
2. Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan ajaran
Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan
beramal bagi masyarakat dan umat, dengan dasar iman dan Islam;
3. Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan
pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa
ajaran Islam; dan
Page
162
Tjipto Mangoenkoesoemo
Dokter Cipto menikah dengan seorang Indo pengusaha batik, sesama anggota
organisasi Insulinde, bernama Marie Vogel pada tahun 1920.
Berbeda dengan kedua rekannya dalam "Tiga Serangkai" yang kemudian mengambil
jalur pendidikan, Cipto tetap berjalan di jalur politik dengan menjadi anggota Volksraad.
Karena sikap radikalnya, pada tahun 1927 ia dibuang oleh pemerintah penjajahan ke Banda.
Perjalanan Hidup
Cipto Mangunkusumo dilahirkan pada 4 Maret 1886 di desa Pecagakan Jepara. Ia
adalah putera tertua dari Mangunkusumo, seorang priyayi rendahan dalam struktur
masyarakat Jawa. Karier Mangunkusumo diawali sebagai guru bahasa Melayu di sebuah
sekolah dasar di Ambarawa, kemudian menjadi kepala sekolah pada sebuah sekolah dasar
di Semarang dan selanjutnya menjadi pembantu administrasi pada Dewan Kota di
Semarang. Sementara, sang ibu adalah keturunan dari tuan tanah di Mayong, Jepara.
Page
163
Pendidikan
Ketika menempuh pendidikan di Stovia, Cipto mulai memperlihatkan sikap yang
berbeda dari teman-temannya. Teman-teman dan guru-gurunya menilai Cipto sebagai
pribadi yang jujur, berpikiran tajam dan rajin. “Een begaafd leerling”, atau murid yang
berbakat adalah julukan yang diberikan oleh gurunya kepada Cipto. Di Stovia Cipto juga
mengalami perpecahan antara dirinya dan lingkungan sekolahnya. Berbeda dengan teman-
temannya yang suka pesta dan bermain bola sodok, Cipto lebih suka menghadiri ceramah-
ceramah, baca buku dan bermain catur. Penampilannya pada acara khusus, tergolong
eksentrik, ia senantiasa memakai surjan dengan bahan lurik dan merokok kemenyan.
Ketidakpuasan terhadap lingkungan sekelilingnya, senantiasan menjadi topik pidatonya.
Baginya, Stovia adalah tempat untuk menemukan dirinya, dalam hal kebebasan berpikir,
lepas dari tradisi keluarga yang kuat, dan berkenalan dengan lingkungan baru yang
diskriminatif.
Kondisi kolonial lainnya yang ditentang oleh Cipto adalah diskriminasi ras. Sebagai
contoh, orang Eropa menerima gaji yang lebih tinggi dari orang pribumi untuk suatu
pekerjaan yang sama. Diskriminasi membawa perbedaan dalam berbagai bidang misalnya,
peradilan, perbedaan pajak, kewajiban kerja rodi dan kerja desa. Dalam bidang
pemerintahan, politik, ekonomi dan sosial, bangsa Indonesia menghadapi garis batas warna.
Tidak semua jabatan negeri terbuka bagi bangsa Indonesia. Demikian juga dalam
perdagangan, bangsa Indonesia tidak mendapat kesempatan berdagang secara besar-
besaran, tidak sembarang anak Indonesia dapat bersekolah di sekolah Eropa, tidak ada orang
Indonesia yang berani masuk kamar bola dan sociteit. Semua diukur berdasarkan warna
kulit.
Page
164
berpendapat Cipto kemudian keluar dari dinas pemerintah dengan konsekuensi
mengembalikan sejumlah uang ikatan dinasnya yang tidak sedikit.
Selain dalam bentuk tulisan, Cipto juga sering melancarkan protes dengan bertingkah
melawan arus. Misalnya larangan memasuki sociteit bagi bangsa Indonesia tidak
diindahkannya. Dengan pakaian khas yakni kain batik dan jas lurik, ia masuk ke sebuah
sociteit yang penuh dengan orang-orang Eropa. Cipto kemudian duduk dengan kaki
dijulurkan, hal itu mengundang kegaduhan di sociteit. Ketika seorang opas (penjaga)
mencoba mengusir Cipto untuk keluar dari gedung, dengan lantangnya Cipto memaki-maki
sang opas serta orang-orang berada di dekatnya dengan mempergunakan bahasa Belanda.
Kewibawaan Cipto dan penggunaan bahasa Belandanya yang fasih membuat orang-orang
Eropa terperangah.
Budi Utomo
Terbentuknya Budi Utomo pada 20 Mei 1908 disambut baik Cipto sebagai bentuk
kesadaran pribumi akan dirinya. Pada kongres pertama Budi Utomo di Yogyakarta, jatidiri
politik Cipto semakin nampak. Walaupun kongres diadakan untuk memajukan
perkembangan yang serasi bagi orang Jawa, namun pada kenyataannya terjadi keretakan
antara kaum konservatif dan kaum progesif yang diwakili oleh golongan muda. Keretakan
ini sangat ironis mengawali suatu perpecahan ideology yang terbuka bagi orang Jawa.
Dalam kongres yang pertama terjadi perpecahan antara Cipto dan Radjiman. Cipto
menginginkan Budi Utomo sebagai organisasi politik yang harus bergerak secara
demokratis dan terbuka bagi semua rakyat Indonesia. Organisasi ini harus menjadi pimpinan
bagi rakyat dan jangan mencari hubungan dengan atasan, bupati dan pegawai tinggi lainnya.
Sedangkan Radjiman ingin menjadikan Budi Utomo sebagai suatu gerakan kebudayaan
yang bersifat Jawa.
Cipto tidak menolak kebudayaan Jawa, tetapi yang ia tolak adalah kebudayaan keraton
yang feodalis. Cipto mengemukakan bahwa sebelum persoalan kebudayaan dapat
dipecahan, terlebih dahulu diselesaikan masalah politik. Pernyataan-pernyataan Cipto bagi
jamannya dianggap radikal. Gagasan-gagasan Cipto menunjukkan rasionalitasnya yang
tinggi, serta analisis yang tajam dengan jangkauan masa depan, belum mendapat tanggapan
luas. Untuk membuka jalan bagi timbulnya persatuan di antara seluruh rakyat di Hindia
Belanda yang mempunyai nasib sama di bawah kekuasaan asing, ia tidak dapat dicapai
dengan menganjurkan kebangkitan kehidupan Jawa. Sumber keterbelakangan rakyat adalah
penjajahan dan feodalisme.
Meskipun diangkat sebagai pengurus Budi Utomo, Cipto akhirnya mengundurkan diri
dari Budi Utomo yang dianggap tidak mewakili aspirasinya. Sepeninggal Cipto tidak ada
lagi perdebatan dalam Budi Utomo akan tetapi Budi Utomo kehilangan kekuatan
progesifnya.
Setelah mengundurkan diri dari Budi Utomo, Cipto membuka praktik dokter di Solo.
Meskipun demikian, Cipto tidak meninggalkan dunia politik sama sekali. Di sela-sela
kesibukkannya melayani pasiennya, Cipto mendirikan Raden Ajeng Kartini Klub yang
bertujuan memperbaiki nasib rakyat. Perhatiannya pada politik semakin menjadi-jadi setelah
dia bertemu dengan Douwes Dekker yang tengah berpropaganda untuk mendirikan Indische
Page
165
Partij. Cipto melihat Douwes Dekker sebagai kawan seperjuangan. Kerjasama dengan
Douwes Dekker telah memberinya kesempatan untuk melaksanakan cita-citanya, yakni
gerakan politik bagi seluruh rakyat Hindia Belanda. Bagi Cipto Indische Partij merupakan
upaya mulia mewakili kepentngan-kepentingan semua penduduk Hindia Belanda, tidak
memandang suku, golongan, dan agama.
Pada tahun 1912 Cipto pindah dari Solo ke Bandung, dengan dalih agar dekat dengan
Douwes Dekker. Ia kemudian menjadi anggota redaksi penerbitan harian de Expres dan
majalah het Tijdschrijft. Perkenalan antara Cipto dan Douwes Dekker yang sehaluan itu
sebenarnya telah dijalin ketika Douwes Dekker bekerja pada Bataviaasch Nieuwsblad.
Douwes Dekker sering berhubungan dengan murid-murid Stovia.
Aksi Komite Bumi Putera mencapai puncaknya pada 19 Juli 1913, ketika harian De
Express menerbitkan suatu artikel Suwardi Suryaningrat yang berjudul “Als Ik Een
Nederlander Was” (Andaikan Saya Seorang Belanda). Pada hari berikutnya dalam harian
De Express Cipto menulis artikel yang mendukung Suwardi untuk memboikot perayaan
kemerdekaan Belanda. Tulisan Cipto dan Suwardi sangat memukul Pemerintah Hindia
Belanda, pada 30 Juli 1913 Cipto dan Suwardi dipenjarakan, pada 18 Agustus 1913 keluar
surat keputusan untuk membuang Cipto bersama Suwardi Suryaningrat dan Douwes Dekker
ke Belanda karena kegiatan propaganda anti Belanda dalam Komite Bumi Putera. Selama
masa pembuangan di Belanda, bersama Suwardi dan Douwes Dekker, Cipto tetap
melancarkan aksi politiknya dengan melakukan propaganda politik berdasarkan ideologi
Indische Partij. Mereka menerbitkan majalah De Indier yang berupaya menyadarkan
masyarakat Belanda dan Indonesia yang berada di Belanda akan situasi di tanah jajahan.
Majalah De Indier menerbitkan artikel yang menyerang kebijaksanaan Pemerintah Hindia
Belanda.
Kehadiran tiga pemimpin tersebut di Belanda ternyata telah membawa pengaruh yang
cukup berarti terhadap organisasi mahasiswa Indonesia di Belanda. Indische Vereeniging,
pada mulanya adalah perkumpulan sosial mahasiswa Indonesia, sebagai tempat saling
memberi informasi tentang tanah airnya. Akan tetapi, kedatangan Cipto, Suwardi dan
Douwes Dekker berdampak pada konsep-konsep baru dalam gerakan organisasi ini. Konsep
“Hindia bebas dari Belanda dan pembentukan sebuah negara Hindia yang diperintah
rakyatnya sendiri mulai dicanangkan oleh Indische Vereeniging. Pengaruh mereka semakin
terasa dengan diterbitkannya jurnal Indische Vereeniging yaitu Hindia Poetra pada 1916.
Insulinde
Page
166
Oleh karena alasan kesehatan, pada tahun 1914 Cipto diperbolehkan pulang kembali
ke Jawa dan sejak saat itu dia bergabung dengan Insulinde, suatu perkumpulan yang
menggantikan Indische Partij. Sejak itu, Cipto menjadi anggota pengurus pusat Insulinde
untuk beberapa waktu dan melancarkan propaganda untuk Insulinde, terutama di daerah
pesisir utara pulau Jawa. Selain itu, propaganda Cipto untuk kepentingan Insulinde
dijalankan pula melalui majalah Indsulinde yaitu Goentoer Bergerak, kemudian surat kabar
berbahasa Belanda De Beweging, surat kabar Madjapahit, dan surat kabar Pahlawan. Akibat
propaganda Cipto, jumlah anggota Insulinde pada tahun 1915 yang semula berjumlah 1.009
meningkat menjadi 6.000 orang pada tahun 1917. Jumlah anggota Insulinde mencapai
puncaknya pada Oktober 1919 yang mencapai 40.000 orang. Insulinde di bawah pengaruh
kuat Cipto menjadi partai yang radikal di Hindia Belanda. Pada 9 Juni 1919 Insulinde
mengubah nama menjadi Nationaal-Indische Partij (NIP).
Pada tahun 1918 Pemerintah Hindia Belanda membentuk Volksraad (Dewan Rakyat).
Pengangkatan anggota Volksraad dilakukan dengan dua cara. Pertama, calon-calon yang
dipilih melalui dewan perwakilan kota, kabupaten dan propinsi. Sedangkan cara yang kedua
melalui pengangkatan yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Gubernur jenderal
Van Limburg Stirum mengangkat beberapa tokoh radikal dengan maksud agar Volksraad
dapat menampung berbagai aliran sehingga sifat demokratisnya dapat ditonjolkan. Salah
seorang tokoh radikal yang diangkat oleh Limburg Stirum adalah Cipto.
Bagi Cipto pembentukan Volksraad merupakan suatu kemajuan yang berarti, Cipto
memanfaatkan Volksraad sebagai tempat untuk menyatakan pemikiran dan kritik kepada
pemerintah mengenai masalah sosial dan politik. Meskipun Volksraad dianggap Cipto
sebagai suatu kemajuan dalam sistem politik, namun Cipto tetap menyatakan kritiknya
terhadap Volksraad yang dianggapnya sebagai lembaga untuk mempertahankan kekuasaan
penjajah dengan kedok demokrasi.
Melihat kenyataan itu, Pemerintah Hindia Belanda menganggap Cipto sebagai orang
yang sangat berbahaya, sehingga Dewan Hindia (Raad van Nederlandsch Indie) pada 15
Oktober 1920 memberi masukan kepada Gubernur Jenderal untuk mengusir Cipto ke daerah
yang tidak berbahasa Jawa. Akan tetapi, pada kenyataannya pembuangan Cipto ke daerah
Jawa, Madura, Aceh, Palembang, Jambi, dan Kalimantan Timur masih tetap membahayakan
pemerintah. Oleh sebab itu, Dewan Hindia berdasarkan surat kepada Gubernur Jenderal
mengusulkan pengusiran Cipto ke Kepulauan Timor. Pada tahun itu juga Cipto dibuang dari
daerah yang berbahasa Jawa tetapi masih di pulau Jawa, yaitu ke Bandung dan dilarang
keluar kota Bandung. Selama tinggal di Bandung, Cipto kembali membuka praktik dokter.
Selama tiga tahun Cipto mengabdikan ilmu kedokterannya di Bandung, dengan sepedanya
ia masuk keluar kampung untuk mengobati pasien.
Di Bandung, Cipto dapat bertemu dengan kaum nasionalis yang lebih muda, seperti
Sukarno yang pada tahun 1923 membentuk Algemeene Studie Club. Pada tahun 1927
Algemeene Studie Club diubah menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI). Meskipun Cipto
tidak menjadi anggota resmi dalam Algemeene Studie Club dan PNI, Cipto tetap diakui
Page
167
sebagai penyumbang pemikiran bagi generasi muda. Misalnya Sukarno dalam suatu
wawancara pers pada 1959, ketika ditanya siapa di antara tokoh-tokoh pemimpin Indonesia
yang paling banyak memberikan pengaruh kepada pemikiran politiknya, tanpa ragu-ragu
Sukarno menyebut Cipto Mangunkusumo.
Pada akhir tahun 1926 dan tahun 1927 di beberapa tempat di Indo-nesia terjadi
pemberontakan komunis. Pemberontakan itu menemui ke-gagalan dan ribuan orang
ditangkap atau dibuang karena terlibat di dalamnya. Dalam hal ini Cipto juga ditangkap dan
didakwa turut serta dalam perlawanan terhadap pemerintah. Hal itu disebabkan suatu
peristiwa, ketika pada bulan Juli 1927 Cipto kedatangan tamu seorang militer pribumi yang
berpangkat kopral dan seorang kawannya. Kepada Cipto tamu tersebut mengatakan
rencananya untuk melakukan sabotase dengan meledakkan persediaan-persediaan mesiu,
tetapi dia bermaksud mengunjungi keluarganya di Jatinegara, Jakarta, terlebih dahulu.
Untuk itu dia memerlukan uang untuk biaya perjalanan. Cipto menasehatkan agar orang itu
tidak melakukan tindakan sabotase, dengan alasan kemanusiaan Cipto kemudian
memberikan uangnya sebesar 10 gulden kepada tamunya.
Page
168
Wahid Hasjim
Page
169
Kiai Haji Abdul Wahid Hasjim (lahir di Jombang, Jawa Timur, 1 Juni
1914 – meninggal di Cimahi, Jawa Barat, 19 April 1953 pada umur 38 tahun) adalah
pahlawan nasional Indonesia dan menteri negara dalam kabinet pertama Indonesia. Ia adalah
ayah dari presiden keempat Indonesia, Abdurrahman Wahid dan anak dari Hasyim Asy'arie,
salah satu pahlawan nasional Indonesia. Wahid Hasjim dimakamkan di Tebuireng,
Jombang.
Pada tahun 1939, NU menjadi anggota MIAI (Majelis Islam A'la Indonesia), sebuah
badan federasi partai dan ormas Islam di zaman pendudukan Belanda. Saat pendudukan
Jepang yaitu tepatnya pada tanggal 24 Oktober 1943 beliau ditunjuk menjadi Ketua Majelis
Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) menggantikan MIAI. Selaku pemimpin Masyumi
beliau merintis pembentukan Barisan Hizbullah yang membantu perjuangan umat Islam
mewujudkan kemerdekaan. Selain terlibat dalam gerakan politik, tahun 1944 beliau
mendirikan Sekolah Tinggi Islam di Jakarta yang pengasuhannya ditangani oleh KH. A.
Kahar Muzakkir. Menjelang kemerdekaan tahun 1945 ia menjadi anggota BPUPKI dan
PPKI.
Wahid Hasjim adalah salah satu putra bangsa yang turut mengukir sejarah negeri ini
pada masa awal kemerdekaan Republik Indonesia.Terlahir Jumat Legi, 5 Rabi’ul Awal 1333
Hijriyah atau 1 Juni 1914, Wahid mengawali kiprah kemasyarakatannya pada usia relatif
muda. Setelah menimba ilmu agama ke berbagai pondok pesantren di Jawa Timur dan
Mekah, pada usia 21 tahun Wahid membuat “gebrakan” baru dalam dunia pendidikan pada
zamannya. Dengan semangat memajukan pesantren, Wahid memadukan pola pengajaran
pesantren yang menitikberatkan pada ajaran agama dengan pelajaran ilmu umum.Sistem
klasikal diubah menjadi sistem tutorial. Selain pelajaran Bahasa Arab, murid juga diajari
Bahasa Inggris dan Belanda. Itulah madrasah nidzamiyah.
Karier politiknya terus menanjak dengan cepat. Ketua PBNU, anggota Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), hingga Menteri Agama pada tiga kabinet (Hatta,
Natsir, dan Sukiman). Banyak kontribusi penting yang diberikan Wahid bagi agama dan
bangsa.
Rumusan "Ketuhanan Yang Maha Esa" dalam Pancasila sebagai pengganti dari
"Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya" tidak terlepas dari peran seorang
Wahid Hasjim. Wahid dikenal sebagai tokoh yang moderat, substantif, dan inklusif.
Wahid Hasjim meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan mobil di Kota Cimahi
tanggal 19 April 1953.
Page
170
DAFTAR PUSTAKA
http://mustaqimzone.wordpress.com/2011/07/26/lahirnya-nasionalisme-di-indonesia/
http://sifull.blogspot.com/2013/03/parindra-partai-indonesia-raya.html
Suhartono.1994. Sejarah Pergerakan Nasional Dari Budi Utomo sampai proklamasi 1908-
1945. Yogyakarta: pustaka pelajar (anggota IKAPI).
http://shalahuddinzulfin.wordpress.com/2012/05/31/partai-indonesia/
http://ssbelajar.blogspot.com/2012/06/lahirnya-partai-indonesia-raya-parindra.html
"http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Partai_Indonesia_Raya&oldid=7435294"
"http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Gabungan_Politik_Indonesia&oldid=6638435"
"http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Nasionalisme_Indonesia&oldid=7348124"
http://masyarakatsejarahindonesia.blogspot.com/2009/09/perkembangan-nasionalisme-di-
asia-dan.html
http://xcacingpanasx.blogspot.com/2012/11/lahirnya-nasionalisme-indonesia.html
http://iwak-pithik.blogspot.com/2012/05/sejarah-organisasi-pergerakan-nasional.html
http://www.kumpulansejarah.com/2013/06/sejarah-organisasi-pergerakan-nasional.html
http://akrabsenada.blogspot.com/2013/08/muncul-dan-berkembangnya-pergerakan.html
http://iwak-pithik.blogspot.com/2012/08/biografi-ir-soekarno.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Ki_Hadjar_Dewantara
http://kolom-biografi.blogspot.com/2009/02/biografi-ki-hajar-dewantara.html
Ibid, hal.76
Page
171
op.cit, hal.73
Ibid, hal.79
Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, Bandung: Salamadani Pustaka Semesta, 2009,
hal.395
Takashi Shiraisi, Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, op.cit, hal.102
Robert Van Niel, Munculnya Elite Modern Indonesia, Jakarta: Pustaka Jaya, 2009, hal.212
Tashadi dkk, Tokoh-Tokoh Pemikir Paham Kebangsaan, Jakarta: Depdikbud, 1993, hal.70
Ibid, hal.102
Takashi Shiraisi, Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, op.cit, hal.146
Ibid, hal.192
Page
172
Ibid, hal.195-199
Ibid, hal.205-206
Ibid, hal.215
Hering, Soekarno Bapak Indonesia Merdeka, Jakarta: Hasta Mitra, 2003, hal.190
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1996,
hal.278
Page
173