Lembar Tugas Mandiri Fakultas Kedokteran: Limfoma Sebagai Diagnosis Banding Leukemia Akut
Lembar Tugas Mandiri Fakultas Kedokteran: Limfoma Sebagai Diagnosis Banding Leukemia Akut
FAKULTAS KEDOKTERAN
Limfoma merupakan jenis keganasan darah yang cukup banyak ditemukan di masyarakat. Limfoma
adalah kelompok penyakit yang disebabkan oleh limfosit ganas yang berakumulasi di nodus limfatikus
dan jaringan limfoid lainnya sehingga menyebabkan limfoadenopati. Penyakit ini dapat keluar menuju
darah atau menginfiltrasi organ di luar jaringan limfoid. Limfoma secara garis besar terbagi atas limfoma
Hodgkin (HL) dan limfoma non-Hodgkin (NHL). Pembagian ini berdasarkan adanya sel Reed-Sternberg
(RS) pada limfoma Hodgkin.1
Limfoma Hodgkin1-4
Limfoma Hodgkin hanya menyumbang sebagian kecil dari seluruh kasus limfoma, yaitu sekitar 15%. Di
dunia, terutama negara barat, kasus limfoma Hodgkin ditemukan pada sekitar 3 dari 100.000 populasi,
yang mana penyakit ini lebih didominasi oleh laki-laki dengan rasio 1,3:1. Limfoma Hodgkin banyak
ditemukan pada rentang usia 16 hingga 65 tahun dengan puncaknya pada usia 30 sampai 40 tahun.
Etiologi dari limfoma Hodgkin hingga saat ini belum diketahui secara jelas. Akan tetapi, limfoma
Hodgkin dikaitkan dengan mononukleosis yang terjadi akibat infeksi EBV. Hal ini terbukti dengan
ditemukannya 40% penderita limfoma Hodgkin yang memiliki kadar titer antibodi yang tinggi terhadap
EBV.2-3
Limfoma Hodgkin biasanya ditemukan berasal dari satu atau lebih nodus limfatikus yang dapat menyebar
ke jaringan limfoid lain. Hal ini berbeda dengan limfoma non-Hodgkin yang umumnya berasal dari
jaringan ekstranodus. Limfoma Hodgkin memiliki suatu karakteristik yang khas, yaitu ditemukannya sel
Reed-Sternberg. Sel Reed-Stenberg merupakan sel limfosit malignan dengan inti ganda. Sel ini akan
mengeluarkan sitokin untuk meningkatkan rekrutmen sel-sel lainnya seperti makrofag, limfosit, dan
granulosit. Sel ini merupakan sel yang berasal dari sel B di sentrum germinativum atau pascasentrum
germinativum. 1-3
Limfoma Hodgkin diklasifikasikan menjadi dua bentuk utama oleh WHO, yaitu sebagai berikut.1-4
1
Pemicu 3 Hematologi dan Onkologi Mohammad Idzhar Arrizal (1506668403)
2
Pemicu 3 Hematologi dan Onkologi Mohammad Idzhar Arrizal (1506668403)
limfatikus pada area servikal bagian bawah, supraklavikula, juga mediastinal. Prognosis dari
limfoma ini pun terbilang cukup baik.1-3
3
Pemicu 3 Hematologi dan Onkologi Mohammad Idzhar Arrizal (1506668403)
4
Pemicu 3 Hematologi dan Onkologi Mohammad Idzhar Arrizal (1506668403)
Mekanisme patogenesis limfoma Hodgkin belum diketahui secara jelas. Namun, banyak hipotesis
mengaitkan terjadinya limfoma Hodgkin dengan infeksi EBV. Hal ini disebabkan karena penderita
mononukleosis akibat EBV diketahui memiliki sel limfosit dengan morfologi yang hampir serupa dengan
sel Reed-Sternberg yang diduga merupakan bentuk progresi sel limfosit menjadi sebuah keganasan. Pada
dasarnya, sel Reed-Sternberg ini berasal dari sel Limfosit B yang mengalami kegagalan dalam proses
rekombinasi V(D)J dan hipermutasi somatis yang berperan dalam ekspresi reseptor imunoglobulin pada
permukaan sel tersebut. Dalam kondisi normal, sel yang gagal mengekspresikan reseptor tersebut akan
mengalami apoptosis atau pemrograman kembali ekspresi gen reseptor. Namun, dalam kondisi infeksi
5
Pemicu 3 Hematologi dan Onkologi Mohammad Idzhar Arrizal (1506668403)
EBV, terjadi aktivasi faktor transkripsi NF-κB yang dapat mencegah terjadinya apoptosis sel limfosit B
abnormal sebelumnya. Terdapat beberapa hipotesis mengenai mekanisme infeksi EBV dalam
mengaktivasi faktor transkripsi NF-κB, yaitu sebagai berikut.2-3
Sel tumor EBV+ mengekspresikan protein LMP-1 (latent membrane protein-1) yang meningkatkan
aktivasi faktor transkripsi NF-κB.
Aktivasi NF-κB yang terjadi pada sel tumor EBV+ disebabkan oleh adanya mutasi yang
mengakibatkan inhibitor terhadap NF-κB, yaitu A20 (dikenal juga sebagai TNF alpha-induced
protein 3) dan IκB, kehilangan fungsinya.
EBV, yang dapat mempertahankan ekspresi NF-κB, akan mencegah terjadinya apoptosis sel limfosit
B abnormal. Sel limfosit B yang abnormal tersebut akan mengalami mutasi kembali pada tahap
selanjutnya sehingga terjadi akumulasi dari mutasi yang akhirnya mengubah morfologi sel limfosit B
abnormal menjadi sel Reed-Sternberg
Sel Reed-Sternberg akan memproduksi beberapa sitokin yang akan meningkatkan rekrutmen sel-sel imun
lainnya yang disebut sebagai sel reaktif, seperti makrofag, granulosit, dan limfosit lainnya. Sel-sel reaktif
tersebut berikutnya akan menyekresikan beberapa substansi yang berperan untuk menunjang
pertumbuhan dari sel-sel tumor. Hal ini disebut juga sebagai mekanisme “cross-talk”. Contohnya,
eosinofil dan sel T mengekspresikan ligan yang mengaktivasi reseptor CD30 atau CD40 yang terdapat di
permukaan dari sel Reed-Sternberg, yang selanjutnya mengirimkan sinyal aktivasi faktor transkripsi NF-
κB. Sel Reed-Sternberg juga dapat memproduksi molekul imunomodulator untuk menghambat kerja sel
imun sehingga sel Reed-Sternberg tidak dapat dikenali dan dihancurkan oleh respons imun tubuh.2
6
Pemicu 3 Hematologi dan Onkologi Mohammad Idzhar Arrizal (1506668403)
Gambar 6. Mekanisme “cross-talk” antara sel Reed-Sternberg dengan sel normal yang mengelilinginya
pada limfoma Hodgkin.
Sumber: Kumar V, Abbas AK, Aster JC, editors. Robbins and cotran pathologic basis of disease. 9th ed.
Philadelphia: Elsevier Saunders; 2015.
Manifestasi yang sering muncul pada kebanyakan pasien adalah pembesaran kelenjar getah bening
superfisial yang tidak nyeri, asimetris, dan tegas. Sebanyak 60—70% pasien mengalami pembesaran di
nodus servikalisnya, sekitar 10—15% di nodus aksilarisnya, serta di nodus inguinalis pada 6-12% pasien.
Dalam beberapa kasus, ukuran nodus dapat mengecil kemudian membesar secara spontan. Biasanya,
penyakit ini dilokalisasi pada mulanya di daerah kelenjar getah bening perifer tunggal. Gejala sistemik
lainnya yang timbul pada pasien, antara lain demam (dengan pola intermiten atau tipe Pel-Ebstein [pasien
mengalami demam tinggi selama satu hingga dua minggu diikuti dengan periode afebrile untuk satu
hingga dua minggu berikutnya]), berkeringat pada malam hari, penurunan berat badan—ketiga gejala
sebelumnya dikenal dengan istilah gejala B, lemas, dan pruritus terutama pada jenis sklerosis noduler.
Selain itu, terdapat nyeri di daerah abdomen akibat hepatosplenomegali atau pembesaran kelenjar yang
masif juga nyeri tulang akibat destruksi lokal atau infiltrasi sumsum tulang. Tanda-tanda obstruksi seperti
edema ekstremitas, sindrom vena kava, dan kompresi medula spinalis juga dapat ditemukan.1-4
Riwayat dan pemeriksaan fisik pasien penting dalam menegakkan diagnosis limfoma Hodgkin. Akan
tetapi, dasar untuk menentukan pengobatan limfoma Hodgkin yang ideal adalah penentuan stadium yang
akurat. Pada pemeriksaan darah, anemia normositik normokrom, eosinofilia, peningkatan laju endap
darah sering ditemukan, dan pada flow cytometry, limfosit abnormal atau limfositosis dalam sirkulasi
dapat terdeteksi. Selain itu, obstruksi biliaris ekstrahepatik karena pembesaran kelenjar getah bening porta
hepatis dapat terjadi. Pada pemeriksaan fungsi ginjal, terdapat peningkatan kreatinin dan ureum yang
7
Pemicu 3 Hematologi dan Onkologi Mohammad Idzhar Arrizal (1506668403)
disebabkan oleh obstruksi ureter. Sindrom nefrotik pun dapat terjadi. Biopsi pun dapat digunakan menjadi
salah satu alternatif metode diagnosis pada pasien dengan limfoma Hodgkin yang sudah berada di
stadium III, pasien dengan gejala B yang umum pada keganasan, dan pasien yang juga menderita HIV.1-4
Metode diagnosis yang banyak digunakan sekarang ini adalah dengan modalitas radiologi positron
emission tomography (PET) scan atau computed tomography (CT) scan. PET scan digunakan untuk
meningkatkan sensitivitas dalam mendeteksi massa tumor yang masih dini yang mungkin belum dapat
terdeteksi oleh CT scan. Sementara itu, CT scan digunakan untuk menentukan lokasi spesifik dari letak
tumor yang tidak dapat terlihat menggunakan PET scan. Oleh karena itu, kedua metode ini
dikombinasikan menjadi satu.1-4
Gambar 7. Metode PET/CT scan dalam menegakkan diagnosis limfoma Hodgkin. Dari hasil pemeriksaan
terlihat gambaran fokus multipel di atas dan di bawah diafragma.
Sumber: Hoffbrand A, Moss PAH. Hoffbrand’s essential haematology. 7th ed. West Sussex: John Wiley
& Sons; 2016.
Penentuan staging sangat penting untuk terapi dan menilai prognosis. Limfoma memiliki staging yang
berbeda dengan staging TNM yang umumnya digunakan pada seluruh jenis tumor solid. Limfoma
diklasifikasikan menjadi beberapa stadium menggunakan sistem staging Ann Arborr. Stadium I
ditegakkan jika terdapat keterlibatan satu regio kelenjar getah bening atau struktur jaringan limfoid
(limpa, timus, cincin Waldeyer) atau keterlibatan satu organ ekstralimfatik. Stadium II ditegakkan apabila
8
Pemicu 3 Hematologi dan Onkologi Mohammad Idzhar Arrizal (1506668403)
terdapat keterlibatan dua atau lebih regio kelenjar getah bening pada sisi diafragma yang sama atau
keterlibatan satu organ ekstranodus yang berdekatan dengan nodus limfatikus pada sisi diafragma yang
sama. Stadium III ditegakkan jika ditemukan keterlibatan regio nodus limfatikus pada kedua sisi
diafragma, atau disertai keterlibatan limpa, atau satu organ ekstranodus yang berdekatan, atau keduanya.
Stadium IV ditegakkan jika terdapat keterlibatan difus (diseminata) pada satu atau lebih organ ekstranodus
atau jaringan dengan atau tanpa keterlibatan nodus limfatikus. Stadium I dan II diduga memiliki
prognosis yang cukup baik, sedangkan stadium III dan IV lazimnya memiliki prognosis yang lebih buruk.
Prognosis bergantung pada usia, stadium, dan gambaran histologis. Secara keseluruhan, sekitar 85%
pasien dapat diobati.1-4
Sumber: Kumar V, Abbas AK, Aster JC, editors. Robbins and cotran pathologic basis of disease. 9th ed.
Philadelphia: Elsevier Saunders; 2015.
9
Pemicu 3 Hematologi dan Onkologi Mohammad Idzhar Arrizal (1506668403)
Limfoma Non-Hodgkin1-5
Berdasarkan klasifikasi WHO, sekitar 80% limfoma non-Hodgkin berasal dari sel limfosit B dan 20%
sisanya berasal dari sel T. Insidensi limfoma non-Hodgkin ditemukan meningkat pada beberapa tahun
terakhir, yaitu sekitar 15 dari 100.000 populasi. Limfoma non-Hodgkin ditemukan memiliki keterkaitan
dengan beberapa sindrom lain, seperti ataksia telangiektasis, sindrom Wiskott-Aldrich, serta beberapa
infeksi seperti HTLV, Helicobacter pylori yang terkait dengan extranodal marginal zone lymphoma,
EBV yang terkait dengan limfoma Burkitt, dan lain-lain.2-3
10
Pemicu 3 Hematologi dan Onkologi Mohammad Idzhar Arrizal (1506668403)
Pertumbuhan sel limfosit secara ganas dapat ditemukan pada setiap tahapan diferensiasi dari sel limfosit,
baik sel B maupun sel T. Pada hakikatnya, pertumbuhan abnormal tersebut disebabkan oleh mutasi
protoonkogen dan tumor suppressor gene (TSG) selama proses rekombinasi, hipermutasi somatis, atau
isotype switching reseptor sel limfosit B berupa imunoglobulin serta sel limfosit T berupa T-cell receptor
(TCR). Proliferasi abnormal yang terjadi pada sel dewasa akan bersifat lebih indolent dibandingkan
dengan sel imatur. Terdapat beberapa contoh mutasi berupa translokasi kromosom yang dapat
menyebabkan aktivasi proliferasi abnormal sel limfosit, seperti translokasi antara kromosom 8 dan 14
pada limfoma Burkitt, translokasi kromosom 14 dan 18 pada limfoma folikuler dan translokasi kromosom
11 dan 14 pada limfoma sel mantel. Translokasi kromosom 8 menuju ke kromosom 14 menyebabkan gen
MYC yang merupakan protoonkogen terekspresikan karena terletak di dekat gen yang mengode rantai
konstan imunoglobulin. Hal ini menyebabkan terjadinya proliferasi abnormal sel limfosit B pada kasus
limfoma Burkitt.4-5
Sumber: Kumar V, Abbas AK, Aster JC, editors. Robbins and cotran pathologic basis of disease. 9th ed.
Philadelphia: Elsevier Saunders; 2015.
Manifestasi klinis yang dapat dijumpai pada pasien dengan limfoma non-Hodgkin adalah limfadenopati.
Limfoma jenis ini lebih banyak menimbulkan manifestasi ekstranodus sehingga umumnya disertai dengan
gejala tambahan sesuai dengan lokasi tumor tersebut, misalnya extranodal marginal zone lymphoma yang
biasanya ditemukan di daerah GALT (gut-associated lymphoid tissue) akan memiliki gejala
gastrointestinal, seperti dispepsia. Di samping itu, hepatomegali dan splenomegali pun kerap ditemukan.2-
5
Selain anamnesis dan pemeriksaan fisik, beberapa pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dalam
menegakkan diagnosis limfoma non-Hodgkin, antara lain sebagai berikut.5
11
Pemicu 3 Hematologi dan Onkologi Mohammad Idzhar Arrizal (1506668403)
12
Pemicu 3 Hematologi dan Onkologi Mohammad Idzhar Arrizal (1506668403)
Biopsi kelenjar getah bening, sumsum tulang, dan situs ekstranodus (jika diperlukan)5
Analisis imunofenotipe5
Pemeriksaan sitogenetik5
Penutup
Berdasarkan keberadaan sel Reed-Sternberg, limfoma dibagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu
limfoma Hodgkin dan limfoma non-Hodgkin. Jika penjelasan di atas dikaitkan dengan kondisi pasien
pada pemicu, diagnosis kerja pasien belum dapat dipastikan karena gejala yang muncul tidak terlalu khas.
Diperlukan data tambahan berupa riwayat pasien leih lanjut dan hasil pemeriksaan penunjang agar
diagnosis pasien dapat ditegakkan segera beserta stadium pasien, serta pengobatan yang tepat dapat
diberikan.
13
Pemicu 3 Hematologi dan Onkologi Mohammad Idzhar Arrizal (1506668403)
Daftar Pustaka
1. Hoffbrand A, Moss PAH. Hoffbrand’s essential haematology. 7th ed. West Sussex: John Wiley &
Sons; 2016.
2. Kumar V, Abbas AK, Aster JC, editors. Robbins and cotran pathologic basis of disease. 9th ed.
Philadelphia: Elsevier Saunders; 2015.
3. Rubin R, Strayer DS, editors. Rubin’s patholology: Clinicopathologic foundations of medicine. 6th ed.
Philadelphia: Wolters Kluwer; 2012.
4. Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Fauci AS, Longo DL, Loscalzo J, editors. Harrison’s principles
of internal medicine. 19th ed. New York: McGraw Hill; 2012.
5. Sumantri R, Reksodiputro AH, Irawan C. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,
Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2006.
14