Anda di halaman 1dari 14

LEMBAR TUGAS MANDIRI

FAKULTAS KEDOKTERAN

HEMATOLOGI DAN ONKOLOGI


Limfoma sebagai Diagnosis Banding Leukemia Akut
oleh Mohammad Idzhar Arrizal (1506668403)

Limfoma: Sebuah Pendahuluan

Limfoma merupakan jenis keganasan darah yang cukup banyak ditemukan di masyarakat. Limfoma
adalah kelompok penyakit yang disebabkan oleh limfosit ganas yang berakumulasi di nodus limfatikus
dan jaringan limfoid lainnya sehingga menyebabkan limfoadenopati. Penyakit ini dapat keluar menuju
darah atau menginfiltrasi organ di luar jaringan limfoid. Limfoma secara garis besar terbagi atas limfoma
Hodgkin (HL) dan limfoma non-Hodgkin (NHL). Pembagian ini berdasarkan adanya sel Reed-Sternberg
(RS) pada limfoma Hodgkin.1

Limfoma Hodgkin1-4

Limfoma Hodgkin hanya menyumbang sebagian kecil dari seluruh kasus limfoma, yaitu sekitar 15%. Di
dunia, terutama negara barat, kasus limfoma Hodgkin ditemukan pada sekitar 3 dari 100.000 populasi,
yang mana penyakit ini lebih didominasi oleh laki-laki dengan rasio 1,3:1. Limfoma Hodgkin banyak
ditemukan pada rentang usia 16 hingga 65 tahun dengan puncaknya pada usia 30 sampai 40 tahun.
Etiologi dari limfoma Hodgkin hingga saat ini belum diketahui secara jelas. Akan tetapi, limfoma
Hodgkin dikaitkan dengan mononukleosis yang terjadi akibat infeksi EBV. Hal ini terbukti dengan
ditemukannya 40% penderita limfoma Hodgkin yang memiliki kadar titer antibodi yang tinggi terhadap
EBV.2-3

Limfoma Hodgkin biasanya ditemukan berasal dari satu atau lebih nodus limfatikus yang dapat menyebar
ke jaringan limfoid lain. Hal ini berbeda dengan limfoma non-Hodgkin yang umumnya berasal dari
jaringan ekstranodus. Limfoma Hodgkin memiliki suatu karakteristik yang khas, yaitu ditemukannya sel
Reed-Sternberg. Sel Reed-Stenberg merupakan sel limfosit malignan dengan inti ganda. Sel ini akan
mengeluarkan sitokin untuk meningkatkan rekrutmen sel-sel lainnya seperti makrofag, limfosit, dan
granulosit. Sel ini merupakan sel yang berasal dari sel B di sentrum germinativum atau pascasentrum
germinativum. 1-3

Limfoma Hodgkin diklasifikasikan menjadi dua bentuk utama oleh WHO, yaitu sebagai berikut.1-4

1
Pemicu 3 Hematologi dan Onkologi Mohammad Idzhar Arrizal (1506668403)

 Limfoma Hodgkin klasik1-4


Limfoma Hodgkin klasik ditandai dengan ditemukannya lebih dari 90% sel Reed-Sternberg.3
Berdasarkan kesamaan immunophenotype, limfoma Hodgkin klasik selanjutnya dikategorikan
menjadi empat subtipe berbeda, yakni sebagai berikut.2-4

Gambar 1. Imunofenotipe sel Reed-Sternberg.


Sel Reed-Sternberg menunjukkan ekspresi seragam marka aktivasi, CD30, serta secara beragam
positif untuk CD15, juga tidak mengekspresikan antigen yang umum ditemukan pada leukosit, yaitu
CD45. Epstein-Barr virus latent membrane protein dapat dideteksi pada beberapa kasus.
Sumber: Rubin R, Strayer DS, editors. Rubin’s patholology: Clinicopathologic foundations of
medicine. 6th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer; 2012.

o Nodular sclerosis Hodgkin lymphoma1-4


Subtipe limfoma ini dicirikan dengan adanya variasi dari sel Reed-Sternberg yang berbentuk
lakunar yang mana inti sel terletak di tengah dikelilingi dengan ruang yang cukup luas. Selain itu,
limfoma ini juga ditandai dengan penebalan jaringan ikat kapsul nodus limfatikus bersama
dengan sklerosis yang memanjang dari kapsul ke bagian korteks yang menyebabkan terbentuknya
nodulus-nodulus. Berdasarkan immunophenotyping, sel Reed-Sternberg tersebut diketahui positif
untuk marka sel pax-5 (faktor transkripsi sel B), CD15, dan CD30. Insidensi jenis limfoma ini
sama jumlahnya pada perempuan dan laki-laki. Limfoma ini cenderung melibatkan nodus

2
Pemicu 3 Hematologi dan Onkologi Mohammad Idzhar Arrizal (1506668403)

limfatikus pada area servikal bagian bawah, supraklavikula, juga mediastinal. Prognosis dari
limfoma ini pun terbilang cukup baik.1-3

Gambar 2. Nodular sclerosis Hodgkin lymphoma.


Terdapat pita kolagen aseluler yang berwarna merah muda dan tampak jelas yang membentuk
gambaran nodulus-nodulus (kiri), dan terlihat gambaran sel-sel inflamasi, seperti eosinofil, sel
Reed-Sternberg, dan sel lacunar (kanan).
Sumber: 1.) Kumar V, Abbas AK, Aster JC, editors. Robbins and cotran pathologic basis of disease.
9th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2015. 2.) Rubin R, Strayer DS, editors. Rubin’s patholology:
Clinicopathologic foundations of medicine. 6th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer; 2012.

o Lymphocyte-rich Hodgkin lymphoma1-4


Limfoma jenis ini merupakan jenis yang kurang umum dijumpai, yakni hanya berkisar 5% dari
total kejadian limfoma Hodgkin klasik. Limfoma ini dicirikan dengan banyaknya infiltrat sel
limfosit. Jenis ini berbeda dengan limfoma lainnya, yang mana sel Reed-Sternberg yang
ditemukan merupakan sel mononuklear. Limfoma subtipe ini juga diasosiasikan dengan adanya
infeksi EBV.1-3
o Mixed cellularity Hodgkin lymphoma1-4
Mixed cellularity Hodgkin lymphoma menyumbang sekitar 20—25% dari seluruh kasus limfoma
Hodgkin klasik dan merupakan subtipe yang kerap dijumpai pada pasien infeksi HIV-1. Nodus
limfatikus yang terlibat dalam perkembangan penyakit ini biasanya mengandung sel Reed-
Sternberg juga beragam jenis infiltrat, seperti eosinofil, limfosit, sel plasma, dan makrofag.
Limfoma ini dijumpai lebih banyak pada laki-laki dan pada usia tua. Gejala B sistemik cukup
sering dijumpai pada kasus limfoma ini. Limfoma ini pun memiliki prognosis yang cukup baik.1-3

3
Pemicu 3 Hematologi dan Onkologi Mohammad Idzhar Arrizal (1506668403)

Gambar 3. Mixed-cellularity Hodgkin lymphoma. Terlihat sel Reed-Sternberg binuklear yang


dikelilingi oleh sel-sel reaktif, yang meliputi eosinofil, limfosit, dan histiosit.
Sumber: Kumar V, Abbas AK, Aster JC, editors. Robbins and cotran pathologic basis of disease.
9th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2015.

o Lymphocyte-depleted Hodgkin lymphoma1-4


Limfoma ini merupakan jenis limfoma dengan jumlah kasus paling kecil, yaitu kurang dari 5%.
Jenis ini mengandung sedikit sekali infiltrat limfosit dan didominasi oleh sel Reed-Sternberg yang
memiliki morfologi binuklear. Pada hampir 90% kasus, sel Reed-Sternberg ditemukan terinfeksi
EBV.1-3

Gambar 4. Lymphocyte-depleted Hodgkin lymphoma.


Terlihat gambaran sel Reed-Sternberg dan jumlah limfosit reaktif pada jaringan fibrosis menurun.
Sumber: Rubin R, Strayer DS, editors. Rubin’s patholology: Clinicopathologic foundations of
medicine. 6th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer; 2012.

4
Pemicu 3 Hematologi dan Onkologi Mohammad Idzhar Arrizal (1506668403)

 Limfoma Hodgkin predominasi limfosit1-4


Bentuk limfoma Hodgkin ini memiliki morfologi yang cukup berbeda dengan limfoma Hodgkin
klasik. Dengan demikian, limfoma ini kerap disebut sebagai limfoma Hodgkin nonklasik. Pada
limfoma Hodgkin predominan, tidak begitu banyak ditemukan sel Reed-Sternberg, tetapi dijumpai sel
popcorn. Sel popcorn merupakan sel limfosit dan histiosit dengan nukleus multilobus yang
menyerupai bulir popcorn. Tidak seperti sel Reed-Sternberg pada limfoma Hodgkin klasik, sel
popcorn memiliki marka berupa CD20 dan BCL 6 yang merupakan marka normal sel limfosit B pada
sentrum germinativum. Limfoma ini hanya menyumbang sekitar 5% dari seluruh kasus limfoma
Hodgkin. Limfoma jenis ini lebih banyak ditemukan pada pasien pria dengan usia kurang dari 35
tahun. Gejala awal yang dirasakan umumnya berupa limfadenopati di daerah servikal dan aksila.1-4

Gambar 5. Limfoma Hodgkin predominasi limfosit.


Terdapat limfosit yang terlihat matur yang dikelilingi oleh sel popcorn yang berukuran besar, pucat,
dan tersebar.
Sumber: Kumar V, Abbas AK, Aster JC, editors. Robbins and cotran pathologic basis of disease. 9th
ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2015.

Mekanisme patogenesis limfoma Hodgkin belum diketahui secara jelas. Namun, banyak hipotesis
mengaitkan terjadinya limfoma Hodgkin dengan infeksi EBV. Hal ini disebabkan karena penderita
mononukleosis akibat EBV diketahui memiliki sel limfosit dengan morfologi yang hampir serupa dengan
sel Reed-Sternberg yang diduga merupakan bentuk progresi sel limfosit menjadi sebuah keganasan. Pada
dasarnya, sel Reed-Sternberg ini berasal dari sel Limfosit B yang mengalami kegagalan dalam proses
rekombinasi V(D)J dan hipermutasi somatis yang berperan dalam ekspresi reseptor imunoglobulin pada
permukaan sel tersebut. Dalam kondisi normal, sel yang gagal mengekspresikan reseptor tersebut akan
mengalami apoptosis atau pemrograman kembali ekspresi gen reseptor. Namun, dalam kondisi infeksi

5
Pemicu 3 Hematologi dan Onkologi Mohammad Idzhar Arrizal (1506668403)

EBV, terjadi aktivasi faktor transkripsi NF-κB yang dapat mencegah terjadinya apoptosis sel limfosit B
abnormal sebelumnya. Terdapat beberapa hipotesis mengenai mekanisme infeksi EBV dalam
mengaktivasi faktor transkripsi NF-κB, yaitu sebagai berikut.2-3

 Sel tumor EBV+ mengekspresikan protein LMP-1 (latent membrane protein-1) yang meningkatkan
aktivasi faktor transkripsi NF-κB.
 Aktivasi NF-κB yang terjadi pada sel tumor EBV+ disebabkan oleh adanya mutasi yang
mengakibatkan inhibitor terhadap NF-κB, yaitu A20 (dikenal juga sebagai TNF alpha-induced
protein 3) dan IκB, kehilangan fungsinya.
 EBV, yang dapat mempertahankan ekspresi NF-κB, akan mencegah terjadinya apoptosis sel limfosit
B abnormal. Sel limfosit B yang abnormal tersebut akan mengalami mutasi kembali pada tahap
selanjutnya sehingga terjadi akumulasi dari mutasi yang akhirnya mengubah morfologi sel limfosit B
abnormal menjadi sel Reed-Sternberg

Sel Reed-Sternberg akan memproduksi beberapa sitokin yang akan meningkatkan rekrutmen sel-sel imun
lainnya yang disebut sebagai sel reaktif, seperti makrofag, granulosit, dan limfosit lainnya. Sel-sel reaktif
tersebut berikutnya akan menyekresikan beberapa substansi yang berperan untuk menunjang
pertumbuhan dari sel-sel tumor. Hal ini disebut juga sebagai mekanisme “cross-talk”. Contohnya,
eosinofil dan sel T mengekspresikan ligan yang mengaktivasi reseptor CD30 atau CD40 yang terdapat di
permukaan dari sel Reed-Sternberg, yang selanjutnya mengirimkan sinyal aktivasi faktor transkripsi NF-
κB. Sel Reed-Sternberg juga dapat memproduksi molekul imunomodulator untuk menghambat kerja sel
imun sehingga sel Reed-Sternberg tidak dapat dikenali dan dihancurkan oleh respons imun tubuh.2

6
Pemicu 3 Hematologi dan Onkologi Mohammad Idzhar Arrizal (1506668403)

Gambar 6. Mekanisme “cross-talk” antara sel Reed-Sternberg dengan sel normal yang mengelilinginya
pada limfoma Hodgkin.
Sumber: Kumar V, Abbas AK, Aster JC, editors. Robbins and cotran pathologic basis of disease. 9th ed.
Philadelphia: Elsevier Saunders; 2015.

Manifestasi yang sering muncul pada kebanyakan pasien adalah pembesaran kelenjar getah bening
superfisial yang tidak nyeri, asimetris, dan tegas. Sebanyak 60—70% pasien mengalami pembesaran di
nodus servikalisnya, sekitar 10—15% di nodus aksilarisnya, serta di nodus inguinalis pada 6-12% pasien.
Dalam beberapa kasus, ukuran nodus dapat mengecil kemudian membesar secara spontan. Biasanya,
penyakit ini dilokalisasi pada mulanya di daerah kelenjar getah bening perifer tunggal. Gejala sistemik
lainnya yang timbul pada pasien, antara lain demam (dengan pola intermiten atau tipe Pel-Ebstein [pasien
mengalami demam tinggi selama satu hingga dua minggu diikuti dengan periode afebrile untuk satu
hingga dua minggu berikutnya]), berkeringat pada malam hari, penurunan berat badan—ketiga gejala
sebelumnya dikenal dengan istilah gejala B, lemas, dan pruritus terutama pada jenis sklerosis noduler.
Selain itu, terdapat nyeri di daerah abdomen akibat hepatosplenomegali atau pembesaran kelenjar yang
masif juga nyeri tulang akibat destruksi lokal atau infiltrasi sumsum tulang. Tanda-tanda obstruksi seperti
edema ekstremitas, sindrom vena kava, dan kompresi medula spinalis juga dapat ditemukan.1-4

Riwayat dan pemeriksaan fisik pasien penting dalam menegakkan diagnosis limfoma Hodgkin. Akan
tetapi, dasar untuk menentukan pengobatan limfoma Hodgkin yang ideal adalah penentuan stadium yang
akurat. Pada pemeriksaan darah, anemia normositik normokrom, eosinofilia, peningkatan laju endap
darah sering ditemukan, dan pada flow cytometry, limfosit abnormal atau limfositosis dalam sirkulasi
dapat terdeteksi. Selain itu, obstruksi biliaris ekstrahepatik karena pembesaran kelenjar getah bening porta
hepatis dapat terjadi. Pada pemeriksaan fungsi ginjal, terdapat peningkatan kreatinin dan ureum yang

7
Pemicu 3 Hematologi dan Onkologi Mohammad Idzhar Arrizal (1506668403)

disebabkan oleh obstruksi ureter. Sindrom nefrotik pun dapat terjadi. Biopsi pun dapat digunakan menjadi
salah satu alternatif metode diagnosis pada pasien dengan limfoma Hodgkin yang sudah berada di
stadium III, pasien dengan gejala B yang umum pada keganasan, dan pasien yang juga menderita HIV.1-4

Metode diagnosis yang banyak digunakan sekarang ini adalah dengan modalitas radiologi positron
emission tomography (PET) scan atau computed tomography (CT) scan. PET scan digunakan untuk
meningkatkan sensitivitas dalam mendeteksi massa tumor yang masih dini yang mungkin belum dapat
terdeteksi oleh CT scan. Sementara itu, CT scan digunakan untuk menentukan lokasi spesifik dari letak
tumor yang tidak dapat terlihat menggunakan PET scan. Oleh karena itu, kedua metode ini
dikombinasikan menjadi satu.1-4

Gambar 7. Metode PET/CT scan dalam menegakkan diagnosis limfoma Hodgkin. Dari hasil pemeriksaan
terlihat gambaran fokus multipel di atas dan di bawah diafragma.
Sumber: Hoffbrand A, Moss PAH. Hoffbrand’s essential haematology. 7th ed. West Sussex: John Wiley
& Sons; 2016.

Penentuan staging sangat penting untuk terapi dan menilai prognosis. Limfoma memiliki staging yang
berbeda dengan staging TNM yang umumnya digunakan pada seluruh jenis tumor solid. Limfoma
diklasifikasikan menjadi beberapa stadium menggunakan sistem staging Ann Arborr. Stadium I
ditegakkan jika terdapat keterlibatan satu regio kelenjar getah bening atau struktur jaringan limfoid
(limpa, timus, cincin Waldeyer) atau keterlibatan satu organ ekstralimfatik. Stadium II ditegakkan apabila

8
Pemicu 3 Hematologi dan Onkologi Mohammad Idzhar Arrizal (1506668403)

terdapat keterlibatan dua atau lebih regio kelenjar getah bening pada sisi diafragma yang sama atau
keterlibatan satu organ ekstranodus yang berdekatan dengan nodus limfatikus pada sisi diafragma yang
sama. Stadium III ditegakkan jika ditemukan keterlibatan regio nodus limfatikus pada kedua sisi
diafragma, atau disertai keterlibatan limpa, atau satu organ ekstranodus yang berdekatan, atau keduanya.
Stadium IV ditegakkan jika terdapat keterlibatan difus (diseminata) pada satu atau lebih organ ekstranodus
atau jaringan dengan atau tanpa keterlibatan nodus limfatikus. Stadium I dan II diduga memiliki
prognosis yang cukup baik, sedangkan stadium III dan IV lazimnya memiliki prognosis yang lebih buruk.
Prognosis bergantung pada usia, stadium, dan gambaran histologis. Secara keseluruhan, sekitar 85%
pasien dapat diobati.1-4

Tabel 1. Sistem Staging Limfoma Hodgkins Ann Arborr

Sumber: Kumar V, Abbas AK, Aster JC, editors. Robbins and cotran pathologic basis of disease. 9th ed.
Philadelphia: Elsevier Saunders; 2015.

9
Pemicu 3 Hematologi dan Onkologi Mohammad Idzhar Arrizal (1506668403)

Gambar 8. Sistem Staging Limfoma Hodgkins Ann Arborr


Sumber: Hoffbrand A, Moss PAH. Hoffbrand’s essential haematology. 7th ed. West Sussex: John Wiley
& Sons; 2016.

Limfoma Non-Hodgkin1-5

Berdasarkan klasifikasi WHO, sekitar 80% limfoma non-Hodgkin berasal dari sel limfosit B dan 20%
sisanya berasal dari sel T. Insidensi limfoma non-Hodgkin ditemukan meningkat pada beberapa tahun
terakhir, yaitu sekitar 15 dari 100.000 populasi. Limfoma non-Hodgkin ditemukan memiliki keterkaitan
dengan beberapa sindrom lain, seperti ataksia telangiektasis, sindrom Wiskott-Aldrich, serta beberapa
infeksi seperti HTLV, Helicobacter pylori yang terkait dengan extranodal marginal zone lymphoma,
EBV yang terkait dengan limfoma Burkitt, dan lain-lain.2-3

Gambar 9. Persentase jenis-jenis limfoma non-Hodgkin.


Sumber: Hoffbrand A, Moss PAH. Hoffbrand’s essential haematology. 7th ed. West Sussex: John Wiley
& Sons; 2016.

10
Pemicu 3 Hematologi dan Onkologi Mohammad Idzhar Arrizal (1506668403)

Pertumbuhan sel limfosit secara ganas dapat ditemukan pada setiap tahapan diferensiasi dari sel limfosit,
baik sel B maupun sel T. Pada hakikatnya, pertumbuhan abnormal tersebut disebabkan oleh mutasi
protoonkogen dan tumor suppressor gene (TSG) selama proses rekombinasi, hipermutasi somatis, atau
isotype switching reseptor sel limfosit B berupa imunoglobulin serta sel limfosit T berupa T-cell receptor
(TCR). Proliferasi abnormal yang terjadi pada sel dewasa akan bersifat lebih indolent dibandingkan
dengan sel imatur. Terdapat beberapa contoh mutasi berupa translokasi kromosom yang dapat
menyebabkan aktivasi proliferasi abnormal sel limfosit, seperti translokasi antara kromosom 8 dan 14
pada limfoma Burkitt, translokasi kromosom 14 dan 18 pada limfoma folikuler dan translokasi kromosom
11 dan 14 pada limfoma sel mantel. Translokasi kromosom 8 menuju ke kromosom 14 menyebabkan gen
MYC yang merupakan protoonkogen terekspresikan karena terletak di dekat gen yang mengode rantai
konstan imunoglobulin. Hal ini menyebabkan terjadinya proliferasi abnormal sel limfosit B pada kasus
limfoma Burkitt.4-5

Tabel 2. Translokasi Kromosom pada Limfoma Non-Hodgkin

Sumber: Kumar V, Abbas AK, Aster JC, editors. Robbins and cotran pathologic basis of disease. 9th ed.
Philadelphia: Elsevier Saunders; 2015.

Manifestasi klinis yang dapat dijumpai pada pasien dengan limfoma non-Hodgkin adalah limfadenopati.
Limfoma jenis ini lebih banyak menimbulkan manifestasi ekstranodus sehingga umumnya disertai dengan
gejala tambahan sesuai dengan lokasi tumor tersebut, misalnya extranodal marginal zone lymphoma yang
biasanya ditemukan di daerah GALT (gut-associated lymphoid tissue) akan memiliki gejala
gastrointestinal, seperti dispepsia. Di samping itu, hepatomegali dan splenomegali pun kerap ditemukan.2-
5

Selain anamnesis dan pemeriksaan fisik, beberapa pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dalam
menegakkan diagnosis limfoma non-Hodgkin, antara lain sebagai berikut.5

11
Pemicu 3 Hematologi dan Onkologi Mohammad Idzhar Arrizal (1506668403)

 Hitung darah lengkap dan gambaran darah tepi5


Pada tahap awal perjalanan penyakit, parameter darah pasien umumnya berada dalam rentang normal.
Namun, ketika penyakit mulai berprogresi, pasien dapat mengalami anemia, trombositopenia,
leukopenia, atau pansitopenia sekunder akibat infiltrasi sumsum tulang, atau limfositosis dengan sel-
sel malignan bersirkulasi dalam darah.
 Pemeriksaan kimia klinik5
Pemeriksaan kimia klinik mencakup pengukuran kadar laktat dehidrogenase (LDH) dalam serum, uji
fungsi hati, uji elektrolit (seperti Na, K, Cl, Ca, dan P), serta pengukuran gula darah puasa dan 2 jam
pascamakan (postprandial).
 Foto toraks5
Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi adanya adenopati hilus atau mediastinum, efusi pleura atau
perikardial, dan keterlibatan jaringan parenkim.
 Computed tomography (CT) scan5
Pemeriksaan CT scan servikal, toraks, abdomen, dan pelvis digunakan untuk mendeteksi pembesaran
kelenjar getah bening, hepatosplenomegali, atau filling defect di hati dan limpa. Saat ini, pemeriksaan
CT scan merupakan uji yang paling banyak digunakan untuk penentuan staging awal, menilai respons
pengobatan, dan melaksanakan perawatan lanjutan.
 Positron emission tomography (PET) scan5
Pemeriksaan PET scan dengan menggunakan F-18 2-deoksiglukosa (FDG) dapat dimanfaatkan untuk
mengevaluasi pasien dengan limfoma non-Hodgkin pada tahap awal. Namun, uji ini lebih berfungsi
dalam evaluasi pasien pascaperawatan membedakan adanya rekurensi atau penyakit sisa dari adanya
nekrosis atau fibrosis. Uji ini pun memiliki nilai prediktif terhadap kejadian relaps yang lebih tinggi
dibandingkan dengan pencitraan dengan CT scan.

12
Pemicu 3 Hematologi dan Onkologi Mohammad Idzhar Arrizal (1506668403)

Gambar 10. Gambaran radiologi limfoma non-Hodgkin.


Sumber: Hoffbrand A, Moss PAH. Hoffbrand’s essential haematology. 7th ed. West Sussex: John
Wiley & Sons; 2016.

 Biopsi kelenjar getah bening, sumsum tulang, dan situs ekstranodus (jika diperlukan)5
 Analisis imunofenotipe5
 Pemeriksaan sitogenetik5

Pemeriksaan lain mungkin diindikasikan bergantung kepada presentasi klinis pasien.

Penutup

Berdasarkan keberadaan sel Reed-Sternberg, limfoma dibagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu
limfoma Hodgkin dan limfoma non-Hodgkin. Jika penjelasan di atas dikaitkan dengan kondisi pasien
pada pemicu, diagnosis kerja pasien belum dapat dipastikan karena gejala yang muncul tidak terlalu khas.
Diperlukan data tambahan berupa riwayat pasien leih lanjut dan hasil pemeriksaan penunjang agar
diagnosis pasien dapat ditegakkan segera beserta stadium pasien, serta pengobatan yang tepat dapat
diberikan.

13
Pemicu 3 Hematologi dan Onkologi Mohammad Idzhar Arrizal (1506668403)

Daftar Pustaka

1. Hoffbrand A, Moss PAH. Hoffbrand’s essential haematology. 7th ed. West Sussex: John Wiley &
Sons; 2016.
2. Kumar V, Abbas AK, Aster JC, editors. Robbins and cotran pathologic basis of disease. 9th ed.
Philadelphia: Elsevier Saunders; 2015.
3. Rubin R, Strayer DS, editors. Rubin’s patholology: Clinicopathologic foundations of medicine. 6th ed.
Philadelphia: Wolters Kluwer; 2012.
4. Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Fauci AS, Longo DL, Loscalzo J, editors. Harrison’s principles
of internal medicine. 19th ed. New York: McGraw Hill; 2012.
5. Sumantri R, Reksodiputro AH, Irawan C. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,
Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2006.

14

Anda mungkin juga menyukai