Anda di halaman 1dari 35

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Intracerebral Hemorrhage


3.1.1 Definisi
Perdarahan intraserebral (PIS) adalah perdarahan yang terjadi di otak yang
disebabkan oleh pecahnya (ruptur) pada pembuluh darah otak. Perdarahan dalam
dapat terjadi di bagian manapun di otak. Darah dapat terkumpul di jaringan otak,
ataupun di ruang antara otak dan selaput membran yang melindungi otak. Perdarahan
dapat terjadi hanya pada satu hemisfer (lobar intracerebral hemorrhage), atau dapat
pula terjadi pada struktur dari otak, seperti thalamus, basal ganglia, pons, ataupun
cerebellum (deep intracerebral hemorrhage).7
3.1.2 Epidemiologi
Di seluruh dunia insiden perdarahan intraserebral berkisar 10 sampai 20 kasus
per 100.000 penduduk dan meningkat seiring dengan usia. Peningkatan risiko terkait
dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah mungkin terkait dengan kurangnya
kesadaran akan pencegahan primer dan akses ke perawatan kesehatan. 7,8
3.1.3 Etiologi
Hipertensi merupakan penyebab terbanyak (72-81%). Perdarahan intraserebral
spontan yang tidak berhubungan dengan hipertensi, biasanya berhubungan dengan
diskrasia darah, hemartroma, neoplasma, aneurisma, AVM, tumor otak metastasis,
pengobatan dengan antikoagulans, gangguan koagulasi seperti pada leukemia atau
trombositopenia, serebralarteritis, amyloid angiopathy dan adiksi narkotika.
Perdarahan intraserebral dapat disebabkan oleh :9,10
1. Hipertensi
Hipertensi lama akan menimbulkan lipohialinosis dan nekrosis fibrinoid yang
memperlemah dinding pembuluh darah yang kemudian menyebabkan ruptur
intima dan menimbulkan aneurisma. Selanjutnya dapat menyebabkan
mikrohematoma dan edema. Hipertensi kronik dapat juga menimbulkan

12
aneurisma-aneurisma kecil (diameternya 1 mm) yang tersebar di sepanjang
pembuluh darah, aneurisma ini dikenal sebagai aneurisma Charcot Bouchard.
2. Cerebral Amyloid Angiopathy
Cerebral Amyloid Angiopathy adalah suatu perubahan vaskular yang unik ditandai
oleh adanya deposit amiloid di dalam tunika media dan tunika adventisia pada
arteri kecil dan arteri sedang di hemisfer serebral. Deposit amiloid menyebabkan
dinding arteri menjadi lemah sehingga kemudian pecah dan terjadi perdarahan
intraserebral. Di samping hipertensi, amyloid angiopathy dianggap faktor
penyebab kedua terjadinya perdarahan intraserebral pada penderita lanjut usia.
3. Arteriovenous Malformation
4. Neoplasma intracranial akibat nekrosis dan perdarahan oleh jaringan neoplasma
yang hipervaskular.

Gambar 1. Lokasi tersering sumber perdarahan intraserebral10

3.1.4 Patofisiologi
Kasus perdarahan intraserebral umumnya terjadi di kapsula interna (70 %), di fossa
posterior (batang otak dan serebelum) 20 % dan 10 % di hemisfer (di luar kapsula
interna). Gambaran patologik menunjukkan ekstravasasi darah karena robeknya
pembuluh darah otak dan diikuti adanya edema dalam jaringan otak di sekitar
hematom. Akibatnya terjadi diskontinuitas jaringan dan kompresi oleh hematom dan

13
edema pada struktur sekitar, termasuk pembuluh darah otak dan penyempitan
atau penyumbatannya sehingga terjadi iskemia pada jaringan yang dilayaninya, maka
gejala klinis yang timbul bersumber dari destruksi jaringan otak, kompresi pembuluh
darah otak / iskemia dan akibat kompresi pada jaringan otak lainnya.10
3.1.5 Gejala Klinis
Secara umum gejala klinis perdarahan intraserebral merupakan gambaran klinis
akibat akumulasi darah di dalam parenkim otak. Perjalanan penyakitnya, sebagian
besar (37,5-70%) per akut. Biasanya disertai dengan penurunan kesadaran. Penurunan
kesadaran ini bervariasi frekuensi dan derajatnya tergantung dari lokasi dan besarnya
perdarahan tetapi secara keseluruhan minimal terdapat pada 60% kasus. Sakit kepala
hebat dan muntah yang merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial dijumpai
pada perdarahan intraserebral, tetapi frekuensinya bervariasi. Tidak adanya sakit
kepala dan muntah tidak menyingkirkan perdarahan intraserebral, sebaliknya bila
dijumpai akan sangat mendukung diagnosis PIS atau perdarahn subarakhnoid sebab
hanya 10% kasus stroke oklusif disertai gejala tersebut. Kejang jarang dijumpai pada
saat onset perdarahan intraserebral.11
3.1.6 Pemeriksaan Fisik
Hipertensi arterial dijumpai pada 91% kasus PIS. Pemeriksaan fundus okuli pada
kasus yang diduga PIS mempunyai tujuan ganda yaitu mendeteksi adanya tanda-
tanda retinopati hipertensif dan mencari adanya perdarahan subhialoid (adanya darah
di ruang preretina, yang merupakan tanda diagnostik perdarahan subarakhnoid) yang
mempunyai korelasi dengan ruptur aneurisma. Kaku kuduk pada 48% kasus PIS.11,12
Gerakan mata, pada perdarahan putamen terdapat deviation conjugae ke arah lesi,
sedang pada perdarahan nukleus kaudatus terjadi kelumpuhan gerak horisontal mata
dengan deviation conjugae ke arah lesi. Perdarahan thalamus akan berakibat
kelumpuhan gerak mata atas (upward gaze palsy), jadi mata melihat ke bawah dan
kedua mata melihat ke arah hidung. Pada perdarahan pons terdapat kelumpuhan gerak
horisontal mata dengan ocular bobbing.11,12

14
Pada perdarahan putamen, reaksi pupil normal atau bila terjadi herniasi unkus
maka pupil anisokor dengan paralisis N. III ipsilateral lesi. Perdarahan di thalamus
akan berakibat pupil miosis dan reaksinya lambat. Pada perdarahan di mesensefalon,
posisi pupil di tengah, diameternya sekitar 4-6 mm, reaksi pupil negatif. Keadaan ini
juga sering dijumpai pada herniasi transtentorial. Pada perdarahan di pons terjadi
pinpoint pupils bilateral tetapi masih terdapat reaksi, pemeriksaan membutuhkan
lup.11,12
Pola pernafasan pada perdarahan diensefalon adalah Cheyne-Stroke, sedang pada lesi
di mesensefalon atau pons pola pernafasannya hiperventilasi sentral neurogenik. Pada
lesi di bagian tengah atau caudal pons memperlihatkan pola pernafasan apneustik.
Pola pernafasan ataksik timbul pada lesi di medula oblongata. Pola pernafasan ini
biasanya terdapat pada pasien dalam stadium agonal.12
3.1.7 Diagnosis
Cara yang paling akurat untuk mendefinisikan stroke hemoragik dengan stroke non
hemoragik adalah dengan CT scan tetapi alat ini membutuhkan biaya yang besar
sehingga diagnosis ditegakkan atas dasar adanya suatu kelumpuhan gejala yang dapat
membedakan manifestasi klinis antara perdarahan infark.13
3.1.8 Tatalaksana
Semua penderita yang dirawat dengan ‟intracerebral hemorrhage‟ harus
mendapat pengobatan untuk :
1. ”Normalisasi” tekanan darah
2. Pengurangan tekanan intrakranial
3. Pengontrolan terhadap edema serebral
4. Pencegahan kejang.
Pasien stroke hemoragik harus dirawat di ICU jika volume hematoma >30 mL,
perdarahan intraventrikuler dengan hidrosefalus, dan keadaan klinis cenderung
memburuk. Hipertensi dapat dikontrol dengan obat, sebaiknya tidak berlebihan
karena adanya beberapa pasien yang tidak menderita hipertensi; hipertensi terjadi
karena cathecholaminergic discharge pada fase permulaan. Lebih lanjut autoregulasi

15
dari aliran darah otak akan terganggu baik karena hipertensi kronik maupun oleh
tekanan intrakranial yang meninggi. Kontrol yang berlebihan terhadap tekanan darah
akan menyebabkan iskemia pada miokard, ginjal dan otak.15
Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg tampak berhubungan dengan penambahan
volume hematoma dibandingkan dengan tekanan darah sistolik ≤ 150 mmHg. Obat-
obat anti hipertensi yang dianjurkan adalah dari golongan :15
1. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitors
2. Angiotensin Receptor Blockers
3. Calcium Channel Blockers
Tindakan segera terhadap pasien dengan PIS ditujukan langsung
terhadap pengendalian TIK serta mencegah perburukan neurologis berikutnya.
Tindakan medis seperti hiperventilasi, diuretik osmotik dan steroid (bila perdarahan
tumoral) digunakan untuk mengurangi hipertensi intrakranial yang disebabkan oleh
efek massa perdarahan. Sudah dibuktikan bahwa evakuasi perdarahan yang luas
meninggikan survival pada pasien dengan koma, terutama yang bila dilakukan segera
setelah onset perdarahan.15
Walau begitu pasien sering tetap dengan defisit neurologis yang jelas. Pasien
memperlihatkan tanda-tanda herniasi unkus memerlukan evakuasi yang sangat segera
dari hematoma. Angiogram memungkinkan untuk menemukan kelainan vaskuler.
Adalah sangat serius untuk memikirkan pengangkatan PIS yang besar terutama bila ia
bersamaan dengan hipertensi intrakranial yang menetap dan diikuti atau telah terjadi
defisit neurologis walau telah diberikan tindakan medis maksimal. Adanya hematoma
dalam jaringan otak bersamaan dengan adanya kelainan neurologis memerlukan
evakuasi bedah segera sebagai tindakan terpilih. 15,16
A. Penilaian dan Pengelolaan Inisial15
Pengelolaan spontan terutama tergantung keadaan klinis pasien serta etiologi,
ukuran serta lokasi perdarahan. Tak peduli tindakan konservatif atau bedah yang akan
dilakukan, penilaian dan tindakan medikal inisial terhadap pasien adalah sama.

16
Saat pasien datang atau berkonsultasi, evaluasi dan pengelolaan awal harus
dilakukan bersama tanpa penundaan yang tidak perlu. Pemeriksaan neurologis inisial
dapat dilakukan dalam 10 menit, menyeluruh. Informasi ini untuk memastikan
prognosis dan membuat rencana selanjutnya. Pemeriksaan neurologis serial
dilakukan.
Tindakan standar adalah untuk mempertahankan jalan nafas, pernafasan, dan
sirkulasi. Hipoksia harus ditindak segera untuk mencegah cedera serebral sekunder
akibat iskemia. Pengamatan ketat dan pengaturan tekanan darah penting baik pada
pasien hipertensif maupun nonhipertensif. Jalur arterial dipasang untuk pemantauan
yang sinambung atas tekanan darah. Setelah PIS, kebanyakan pasien adalah
hipertensif. Penting untuk tidak menurunkan tekanan darah secara berlebihan pada
pasien dengan lesi massa intrakranial dan peninggian TIK, karena secara bersamaan
akan menurunkan tekanan perfusi serebral. Awalnya, usaha dilakukan untuk
mempertahankan tekanan darah sistolik sekitar 160 mmHg pada pasien yang sadar
dan sekitar 180 mmHg pada pasien koma, walau nilai ini tidak mutlak dan
akan bervariasi tergantung masing-masing pasien. Pasien dengan hipertensi berat dan
tak terkontrol diperkenankan untuk mempertahankan tekanan darah sistoliknya di atas
180 mmHg, namun biasanya di bawah 210 mmHg, untuk mencegah meluasnya
perdarahan oleh perdarahan ulang. Pengelolaan awal hipertensinya, lebih disukai
labetalol, suatu antagonis alfa-1, beta-1 dan beta-2 kompetitif. Drip nitrogliserin
mungkin perlu untuk kasus tertentu.
Gas darah arterial diperiksa untuk menilai oksigenasi dan status asam-basa.
Bila jalan nafas tidak dapat dijamin, atau diduga lesi massa intrakranial pada koma
atau obtundan, dilakukan intubasi endotrakheal. Cegah pemakaian agen anestetik
yang akan meninggikan TIK seperti oksida nitro. Agen anestetik aksi pendek lebih
disukai. Bila diduga ada peninggian TIK, dilakukan hiperventilasi
untuk mempertahankan PCO2sekitar 25-30 mmHg, dan setelah kateter Foley
terpasang, diberikanmannitol 1,5 g/kg IV. Tindakan ini juga dilakukan pada pasien
dengan perburukan neurologis progresif seperti perburukan hemiparesis, anisokoria

17
progresif, atau penurunan kesadaran. Dilakukan elektrokardiografi, dan denyut nadi
dipantau.
Darah diambil saat jalur intravena dipasang. Hitung darah lengkap, hitung
platelet, elektrolit, nitrogen urea darah, creatinin serum, waktu protrombin, waktu
tromboplastin parsial, dan tes fungsi hati dinilai. Foto polos dilakukan bila perlu.
Setelah penilaian secara cepat dan stabilisasi pasien, dilakukan CT-scan kepala
tanpa kontras. Sekali diagnosis PIS ditegakkan, pasien dibawa untuk mendapatkan
pemeriksaan radiologis lain yang diperlukan, ke unit perawatan intensif, kamar
operasi atau ke bangsal, tergantung status klinis pasien, perluasan dan lokasi
perdarahan, serta etiologi perdarahan. Sasaran awal pengelolaan adalah pencegahan
perdarahan ulang dan mengurangi efek massa, sedang tindakan berikutnya diarahkan
pada perawatan medikal umum serta pencegahan komplikasi.
B. Mengurangi Efek Massa
Pengurangan efek massa dapat dilakukan secara medikal maupun bedah. Pasien
dengan peninggian TIK dan atau dengan area yang lebih fokal dari efek massa, usaha
nonbedah untuk mengurangi efek massa penting untuk mencegah iskemia serebral
sekunder dan kompresi batang otak yang mengancam jiwa. Tindakan untuk
mengurangi peninggian TIK antara lain :15
1. Elevasi kepala higga 30o untuk mengurangi volume vena intrakranial serta
memperbaiki drainase vena.
2. Manitol intravena (mula-mula 1,5 g/kg bolus, lalu 0,5 g/kg tiap 4-6 jam
untuk mempertahankan osmolalitas serum 295-310 mOsm/L).
3. Restriksi cairan ringan (67-75% dari pemeliharaan) dengan penambahan bolus
cairan koloid bila perlu.
4. Ventrikulostomi dengan pemantauan TIK serta drainase CSS untuk
mempertahankan TIK kurang dari 20 mmHg.
5. Intubasi endotrakheal dan hiperventilasi, mempertahankan PCO2 25-30
mmHg.

18
Pada pasien sadar dengan efek massa regional akibat PIS, peninggian kepala,
restriksi cairan, dan manitol biasanya memadai. Tindakan ini dilakukan
untuk memperbaiki tekanan perfusi serebral dan mengurangi cedera iskemik
sekunder. Harus ingat bahwa tekanan perfusi serebral adalah sama dengan tekanan
darah arterial rata-rata dikurangi tekanan intrakranial, hingga tekanan darah sistemik
harus dipertahankan pada tingkat normal, atau lebih disukai sedikit lebih tinggi dari
tingkat normal. Diusahakan tekanan perfusi serebral setidaknya 70 mmHg, bila perlu
memakai vasopresor seperti dopamin intravena atau fenilefrin.15
Pasien sadar dipantau dengan pemeriksaan neurologis serial, pemantauan TIK
jarang diperlukan. Pada pasien koma yang tidak sekarat (moribund), TIK dipantau
secara rutin. Disukai ventrikulostomi karena memungkinkan mengalirkan CSS,
karenanya lebih mudah mengontrol TIK. Perdarahan intraventrikuler menjadi esensial
karena sering terjadi hidrosefalus akibat hilangnya jalur keluar CSS. Lebih disukai
pengaliran CSS dengan ventrikulostomi dibanding hiperventilasi untuk pengontrolan
TIK jangka lama. Pemantauan TIK membantu menilai manfaat tindakan medikal dan
membantu memutuskan apakah intervensi bedah diperlukan.15
Pemakaian kortikosteroid untuk mengurangi edema serebral akibat PIS pernah
dilaporkan bermanfaat pada banyak kasus anekdotal. Namun penelitian menunjukkan
bahwa deksametason tidak menunjukkan manfaat, di samping jelas meningkatkan
komplikasi (infeksi dan diabetes). Namun digunakan deksametason pada perdarahan
parenkhimal karena tumor yang berdarah dimana CT-scan memperlihatkan edema
serebral yang berat.15
Pada gangguan neurologis, Diuretic Osmotik (Manitol) merupakan jenis diuretik
yang paling banyak digunakan. Manitol adalah suatu Hiperosmotik Agent yang
digunakan dengan segera meningkat. Volume plasma untuk meningkatkan aliran
darah otak dan menghantarkan oksigen (Norma D McNair dalam Black, Joyce M,
2005). Ini merupakan salah satu alasan manitol sampai saat ini masih digunakan
untuk mengobati klien menurunkan peningkatan tekanan intrakranial. Manitol selalu
dipakai untuk terapi edema otak, khususnya pada kasus dengan Hernisiasi. Manitol

19
masih merupakan obat magic untuk menurunkan tekanan intrakranial, tetapi jika
hanya digunakan sebagai mana mestinya. Bila tidak semestinya akan menimbulkan
toksisitas dari pemberian manitol, dan hal ini harus dicegah dan dimonitor.15
Terapi penatalaksanaan untuk menurunkan peningkatan tekanan intrakranial
dimulai bilamana tekanan Intrakranial 20-25 mmHg. Management penatalaksanaan
peningkatan tekanan Intrakranial salah satunya adalah pemberian obat diuretik
osmotik (manitol), khususnya pada keadaan patologis edema otak.
Tidak direkomendasikan untuk penatalaksanaan tumor otak. Seperti yang telah
dijelaskan di atas, diuretik osmotik (manitol) menurunkan cairan total tubuh lebih
dari kation total tubuh sehingga menurunkan volume cairan intraseluler.15
Dosis untuk menurunkan tekanan intracranial dengan mannitol yaitu 0,25 – 1
gram/kgbb diberikan bolus intravena, atau dosis tersebut diberikan intravena selama
lebih dari 10 – 15 menit. Manitol dapat jugadiberikan atau dicampur dalam larutan
Infus 1,5 – 2 gram/kgbb sebagai larutan 15-20% yang diberikan selama 30-60 menit.
Manitol diberikan untuk menghasilkan nilai serum osmolalitas 310 – 320 mOsm/L.
Osmolalitas serum sering kali dipertahankan antara 290 – 310 mOsm. Tekanan
Intrakranial harus dimonitor, harus turun dalam waktu 60 - 90 menit, karena
efek manitol dimulai setelah 0,5 - 1 jam pemberian. Fungsi ginjal, elektrolit,
osmolalitas serum juga dimonitor selama pasien mendapatkan manitol. Perawat perlu
memperhatikan secara serius, pemberian manitol bila osmolalitas lebih dari 320
mOsm/L. Karena diureis, hipotensi dan dehidrasi dapat terjadi dengan pemberian
manitol dalam jumlah dosis yang banyak. Foley catheter harus dipasang selama
pasien mendapat terapi manitol. Dehidrasi adalah manisfestasi dari peningkatan
sodium serum dan nilai osmolalitas.15
3.1.9 Prognosis
Perdarahan yang besar jelas mempunyai morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
diperkirakan mortalitas seluruhnya berkisar 26-50%. Mortalitas secara dramatis
meningkat pada perdarahan talamus dan serebelar yang diameternya lebih dari 3 cm,
dan pada perdarahan pons yang lebih dari 1 cm. Untuk perdarahan lobar mortalitas

20
berkisar dari 6-30 %. Bila volume darah sesungguhnya yang dihitung (bukan
diameter hematomnya), maka mortalitas kurang dari 10% bila volume darahnya
kurang dari 20 mm3 dan 90% bila volume darahnya lebih dari 60 mm3.14
Kondisi neurologik awal setelah terserang perdarahan juga penting untuk prognosis
pasien. Pasien yang kesadarannya menurun mortalitas meningkat menjadi 63%.
Mortalitas juga meningkat pada perdarahan yang besar dan letaknya dalam, pada
fossa posterior atau yang meluas masuk ke dalam ventrikel. Felmann E mengatakan
bahwa 45% pasien meninggal bila disertai perdarahan intraventrikular. Suatu
penilaian dilakukan untuk memperkirakan mortalitas dalam waktu 30 hari pertama
dengan menggunakan 3 variabel pada saat masuk rumah sakit yaitu Glasgow Coma
Scale (GCS), ukuran perdarahan dan tekanan nadi. Perdarahan kecil bila ukurannya
kurang dari satu lobus, sedangkan perdarahan besar bila ukurannya lebih dari satu
lobus. Bila GCS lebih dari 9, perdarahannya kecil, tekanan nadi kurang dari 40
mmHg, maka probabilitas hidupnya dalam waktu 30 hari adalah 98%. Tetapi bila
pasien koma, perdarahannya besar dan tekanan nadinya lebih dari 65 mmHg, maka
probabilitas hidupnya dalam waktu 30 hari hanya 8%. Pada PIS hipertensif jarang
terjadi perdarahan ulang.14
3.2 Anestesi Umum
3.2.1 Definisi
Anestesi merupakan suatu peristiwa hilangnya sensasi, perasaan
nyeri bahkan hilangnya kesadaran sehingga memungkinkan
dilakukan pembedahan.17
Tujuan anestesi yaitu :
 Hipnotik
 Analgesi
 Relaksasi otot
Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri atau
sakit secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih

21
kembali (reversible). Komponen trias anestesi ideal terdiri dari
hipnotik, analgesi, dan relaksasi otot.17
Cara pemberian anestesi umum :17
1. Parenteral (intramuscular/intravena)
Digunakan untuk tindakan yang singkat atauinduksi anestesi.
Umumnya diberikan thiopental, namun pada kasus tertentu dapat
digunakan ketamin, diazepam, dll. Untuk tindakan yang lama
anestesi parenteral dikombinasikan dengan cara lain.
2. Anestesi inhalasi

Anestesi dengan menggunakan gas atau cairan anestesi yang


mudah menguap (volaitile agent) sebagai zat anestetik melalui
udara pernafasan. Zat anestetik yang digunakan berupa
campuran gas (dengan oksigen) dan konsentrasi zat anestetik
tersebut tergantung dari tekanan parsialnya. Tekanan parsial
dalam jaringan otak akan menentukan kekuatan daya anestesi,
zat anestetika disebut kuat bila dengan tekanan parsial yang
rendah sudah dapat memberi anestesi yang adekuat.
3.2.2 Faktor yang Mempengaruhi Anastesi Umum
A. Faktor Respirasi17
Hal-hal yang mempengaruhi tekanan parsial zat anestetika dalam
alveolus adalah:
1. Konsentrasi zat anestetika yang diinhalasi; semakin tinggi
konsentrasi, semakin cepat kenaikan tekanan parsial
2. Ventilasi alveolus; semakin tinggi ventilasi, semakin cepat
kenaikan tekanan parsial
B.Faktor Sirkulasi17
Saat induksi, konsentrasi zat anestetika dalam darah arterial lebih
besar daripada darah vena. Faktor yang mempengaruhinya adalah:

22
 Perubahan tekanan parsial zat anestetika yang jenuh dalam
alveolus dan darah vena. Dalam sirkulasi, sebagian zat anestetika
diserap jaringan dan sebagian kembali melalui vena.
 Koefisien partisi darah/gas yaitu rasio konsentrasi zat anestetika
dalam darah terhadap konsentrasi dalam gas setelah keduanya
dalam keadaan seimbang.
 Aliran darah, yaitu aliran darah paru dan curah jantung.
C.Faktor Jaringan2
 Perbedaan tekanan parsial obat anestetika antara darah arteri
dan jaringan
 Koefisien partisi jaringan/darah
 Aliran darah dalam masing-masing 4 kelompok jaringan (jaringan
kaya pembuluh darah, kelompok intermediate, lemak, dan
jaringan sedikit pembuluh darah)

D. Faktor Zat Anestetika


Potensi dari berbagai macam obat anestetika ditentukan oleh
MAC (Minimal Alveolus Concentration), yaitu konsentrasi terendah
zat anestetika dalam udara alveolus yang mampu mencegah
terjadinya tanggapan (respon) terhadap rangsang rasa sakit.
Semakin rendah nilai MAC, semakin poten zat anestetika tersebut.17
E. Faktor Lain17
 Ventilasi, semakin besar ventilasi, semakin cepat pendalaman
anestesi
 Curah jantung, semakin tinggi curah jantung, semakin lambat
induksi dan pendalaman anestesia

23
 Suhu, semakin turun suhu, semakin larut zat anestesia sehingga
pendalaman anestesia semakin cepat.
3.2.3 Prosedur Anastesi Umum18
A. Persiapan Pra Anestesi Umum
Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan baik elektif
maupun darurat harus dipersiapkan dengan baik karena
keberhasilan anestesi dan pembedahan sangat dipengaruhi oleh
persiapan pra anestesi. Kunjungan pra anestesi pada bedah elektif
umumnya dilakukan 1-2 hari sebelumnya, sedangkan pada bedah
darurat waktu yang tersedia lebih singkat.
Tujuan kunjungan pra anestesi:
- Mempersiapkan mental dan fisik pasien secara optimal dengan
melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium, dan
pemeriksaan lain.
- Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang
sesuai keadaan fisik dan kehendak pasien. Dengan demikian,
komplikasi yang mungkin terjadi dapat ditekan seminimal
mungkin.
- Menentukan klasifikasi yang sesuai dengan hasil pemeriksaan fisik,
dalam hal ini dipakai klasifikasi ASA (American Society of
Anesthesiology) sebagai gambaran prognosis pasien secara
umum.
B. Persiapan Pasien
1. Anamnesis
Anamnesis dapat diperoleh dari pasien sendiri (autoanamnesis)
atau melalui keluarga pasien (alloanamnesis). Dengan cara ini kita
dapat mengadakan pendekatan psikologis serta berkenalan
dengan pasien.Yang harus diperhatikan pada anamnesis:

24
a. Identifikasi pasien, missal: nama, umur, alamat, pekerjaan, dll.
b. Riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita yang
mungkin dapat menjadi penyulit dalam anestesi, antara lain:
penyakit alergi, diabetes mellitus, penyakit paru-paru kronik
(asma bronchial, pneumonia, bronchitis), penyakit jantung dan
hipertensi (infark miokard, angina pectoris, dekompensasi
kordis), penyakit hati, dan penyakit ginjal.
c. Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan
mungkin menimbulkan interaksi dengan obat-obat anestetik.
Misalnya kortikosteroid, obat antihipertensi, obat-obat
antidiabetik, antibiotika golongan aminoglikosida, obat penyakit
jantung seperti digitalis, diuretika, obat anti alergi, tranquilizer,
monoamino oxidase inhibitor, bronkodilator.
d. Riwayat operasi dan anestesi yang pernah dialami diwaktu yang
lalu, berapa kali, dan selang waktunya. Apakah pasien
mengalami komplikasi saat itu seperti kesulitan pulih sadar,
perawatan intensif pasca bedah.
e. Kebiasaan buruk sehari-hari yang mungkin dapat mempengaruhi
jalannya anestesi seperti: merokok dan alkohol.
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan keadaan gigi-
geligi, tindakan buka mulut, lidah relative besar sangat penting
untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi
intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi
intubasi.Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang keadaan
umum tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi,
perkusi dan auskultasi semua sistem organ tubuh pasien.
3. Pemeriksaan laboratorium

25
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai
dengan dugaan penyakit yang sedang dicurigai. Banyak fasilitas
kesehatan yang mengharuskan uji laboratorium secara rutin
walaupun pada pasien sehat untuk bedah minor, misalnya
pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa
pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien di atas 50 tahun ada
anjuran pemeriksaan EKG dan foto toraks. Praktek-praktek
semacam ini harus dikaji ulang mengingat biaya yang harus
dikeluarkan dan manfaat minimal uji-uji semacam ini.
Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
laboratorium, kemudian dibuat rencana obat dan teknik anestesi
yang digunakan. Misalnya pada diabetes mellitus, induksi tidak
menggunakan ketamin yang dapat menimbulkan hiperglikemia.
Pada penyakit paru kronik, mungkin operasi lebih baik dilakukan
dengan teknik analgesia regional daripada anestesi umum
mengingat kemungkinan komplikasi paru pasca bedah. Dengan
perencanaan anestesi yang tepat, kemungkinan terjadinya
komplikasi sewaktu pembedahan dan pasca bedah dapat dihindari.
4. Kebugaran untuk anestesi
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk
menyiapkan agar pasien dalam keadaan bugar, sebaliknya pada
operasi cito penundaan yang tidak perlu harus dihindari.
5. Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anesthesia.
Regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan
napas merupakan risiko utama pada pasien-pasien yang menjalani
anesthesia. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien
yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesia harus

26
dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu
sebelum induksi anestesia. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-
8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak
berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anesthesia.
Minuman bening, air putih, the manis sampai 3 jam dan untuk
keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam
sebelum induksi anesthesia.
6. Klasifikasi Status Fisik
Berdasarkan status fisik pasien pra anestesi, ASA (TheAmerican
Society of Anesthesiologists) membuat klasifikasi yang membagi
pasien kedalam 5 kelompok atau kategori sebagai berikut:
ASA I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.
ASA II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
ASA III :Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas
rutin terbatas.
ASA IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat
melakukan aktivitas rutin danpenyakitnya merupakan
ancaman kehidupannya setiap saat.
ASA V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa
pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat (cito)
dengan mencantumkan tanda darurat (E=emergency), misalnya
ASA I E atau III E.
7. Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi
anesthesia dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan
bangun dari anesthesia diantaranya :
-Meredakan kecemasan dan ketakutan

27
-Memperlancar induksi anesthesia
-Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
-Meminimalkan jumlah obat anestetik
-Mengurangi mual muntah pasca bedah
-Menciptakan amnesia
-Mengurangi isi cairan lambung
-Mengurangi refleks yang membahayakan
Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seorang dihadapkan pada
situasi yang tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien
dapat membangun kepercayaan dan menenteramkan pasien. Obat
pereda kecemasan bisa digunakan diazepam peroral 10-15 mg
beberapa jam sebelum induksi anestesia. Jika disertai nyeri karena
penyakitnya, dapat diberikan opioid misalnya petidin 50 mg
intramuskular.
Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan
pneumonitis asam. Untuk meminimalkan kejadian diatas dapat
diberikan antagonis reseptor H2 histamin misalnya oral simetidin
600 mg atau oral ranitidin (zantac) 150 mg 1-2 jam sebelum jadwal
operasi.
Untuk mengurangi mual muntah pasca bedah sering ditambahkan
premedikasi intramuskular, dewasa domperidol 2,5-5mg atau
ondansentron 2-4 mg (zofran, narfoz).
C. Persiapan Peralatan Anestesi
Tindakan anestesi yang aman tidak terlepas dari kelengkapan
peralatan anestesi yang baik. Baik tidak berarti harus canggih dan
mahal, tetapi lebih berarti berfungsi, sesuai dengan tujuan kita
memberi anesthesia yang lancer dan aman.

28
Intubasi trakea ialah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam
trakea melalui rima glottis, sehingga ujung distalnya berada kira-
kira pada pertengahan antara pita suara dan bifurkasio trakea.
Tujuan intubasi trakea adalah:
1. Pembebasan jalan napas
2. Pemberian napas buatan dengan bag and mask
3. Pemberian napas buatan secara mekanik (respirator)
4. Memungkinkan penghisapan sekret secara adekuat
5. Mencegah aspirasi asam lambung (dengan adanya balon
yang dikembangkan)
6. Mencegah distensi lambung.
7. Pemberian oksigen dosis tinggi.
Sebelum melakukan tindakan intubasi trakea, ada beberapa alat
yang perlu disiapkan yang disingkat dengan STATICS.18,19
1) S= Scope
Yang dimaksud scope di sini adalah stetoskop dan
laringoskop. Stestoskop untuk mendengarkan suara paru dan
jantung serta laringoskop untuk melihat laring secara langsung
sehingga bisa memasukkan pipa trake dengan baik dan benar.
Secara garis besar, dikenal dua macam laringoskop:20
a. Bilah/daun/blade lurus (Miller, Magill) untuk bayi-anak-dewasa.
b. Bilah lengkung (Macintosh) untuk anak besar-dewasa.

29
Gambar 2. Miller Blade18
Gambar 3. Macintosh Blade18
Pilih bilah sesuai dengan usia pasien. Yang perlu diperhatikan lagi
adalah lampu pada laringoskop harus cukup terang sehingga laring
jelas terlihat.
2) T=Tubes
Yang dimaksud tubes adalah pipa trakea. Pada tindakan anestesia,
pipa trakea mengantar gas anestetik langsung ke dalam trakea dan
biasanya dibuat dari bahan standar polivinil klorida. Ukuran
diameter pipa trakea dalam ukuran milimeter. Bentuk penampang
pipa trakea untuk bayi, anak kecil, dan dewasa berbeda. Untuk bayi
dan anak kecil di bawah usia lima tahun, bentuk penampang
melintang trakea hampir bulat, sedangkan untuk dewasa seperti

30
huruf D. Oleh karena itu pada bayi dan anak di bawah lima tahun
tidak menggunakan kaf (cuff) sedangkan untuk anak besar-dewasa
menggunakan kaf supaya tidak bocor. Alasan lain adalah
penggunaan kaf pada bayi-anak kecil dapat membuat trauma
selaput lendir trakea dan postintubation croup.19,20
Pipa trakea dapat dimasukkan melalui mulut (orotracheal tube) atau
melalui hidung (nasotracheal tube). Nasotracheal tube umumnya
digunakan bila penggunaan orotracheal tube tidak memungkinkan,
mislanya karena terbatasnya pembukaan mulut atau dapat
menghalangi akses bedah. Namun penggunaan nasotracheal tube
dikontraindikasikan pada pasien dengan farktur basis kranii.19,20
Di pasaran bebas dikenal beberapa ukuran pipa trakea yang tampak
pada tabel di bawah ini:
Tabel 1. Ukuran Pipa Trakea dan Peruntukannya19
Usia Diameter Skala French Jarak Sampai
(mm) Bibir
Prematur 2,0-2,5 10 10 cm
Neonatus 2,5-3,5 12 11cm
1-6 bulan 3,0-4,0 14 11 cm
½-1 tahun 3,0-3,5 16 12 cm
1-4 tahun 4,0-4,5 18 13 cm
4-6 tahun 4,5-,50 20 14 cm
6-8 tahun 5,0-5,5* 22 15-16 cm
8-10 tahun 5,5-6,0* 24 16-17 cm
10-12 tahun 6,0-6,5* 26 17-18 cm
12-14 tahun 6,5-7,0 28-30 18-22 cm
Dewasa wanita 6,5-8,5 28-30 20-24 cm
Dewasa pria 7,5-10 32-34 20-24 cm
*Tersedia dengan atau tanpa kaf
Cara memilih pipa trakea untuk bayi dan anak kecil:
Diameter dalam pipa trakea (mm) = 4,0 + ¼ umur
(tahun)

31
Panjang pipa orotrakeal (cm) = 12 + ½ umur
(tahun)
Panjang pipa nasotrakeal (cm) = 12 + ½ umur
(tahun)
Pipa endotrakea adalah suatu alat yang dapat mengisolasi jalan
nafas, mempertahankan patensi, mencegah aspirasi serta

mempermudah ventilasi, oksigenasi dan pengisapan.

Gambar 4. Pipa endotrakea19


Pipa endotrakea terbuat dari material silicon PVC (Polyvinyl
Chloride) yang bebas lateks, dilengkapi dengan 15mm konektor
standar. Termosensitif untuk melindungi jaringan mukosa dan
memungkinkan pertukaran gas, serta struktur radioopak yang
memungkinkan perkiraan lokasi pipa secara tepat. Pada tabung
didapatkan ukuran dengan jarak setiap 1cm untuk memastikan
kedalaman pipa.20
Anatomi laring dan rima glotis harus dikenal lebih dulu. Besar pipa
trakea disesuaikan dengan besarnya trakea. Besar trakea
tergantung pada umur. Pipa endotrakea yang baik untuk seorang
pasien adalah yang terbesar yang masih dapat melalui rima glotis
tanpa trauma. Pada anak dibawah umur 8 tahun trakea berbentuk
corong, karena ada penyempitan di daerah subglotis (makin kecil

32
makin sempit). Oleh karena itu pipa endaotrakeal yang dipakai pada
anak, terutama adalah pipa tanpa balon (cuff). Bila dipakai pipa
tanpa balon hendaknya dipasang kasa yang ditempatkan di faring
di sekeliling pipa tersebut untuk mencegah aspirasi untuk fiksasi
dan agar tidak terjadi kebocoran udara inspirasi. Bila intubasi
secara langsung (memakai laringoskop dan melihat rima glotis)
tidak berhasil, intubasi dilakukan secara tidak langsung (tanpa
melihat trakea) yang juga disebut intubasi tanpa lihat (blind). Cara
lain adalah dengan menggunakan laringoskop serat optic. Untuk
orang dewasa dan anak diatas 6 tahun dianjurkan untuk memakai
pipa dengan balon lunak volume besar tekanan rendah, untuk anak
kecil dan bayi pipa tanpa balon lebih baik. Balon sempit volume
kecil tekanan tinggi hendaknya tidak dipakai karena dapat
menyebabkan nekrosis mukosa trakea. Pengembangan balon yang
terlalu besar dapat dihindari dengan memonitor tekanan dalam
balon (yang pada balon lunak besar sama dengan tekanan dinding
trakea dan jalan nafas) atau dengan memakai balon tekanan
terbatas. Pipa hendaknya dibuat dari plastik yang tidak iritasif.19
Pemakaian pipa endotrakea sesudah 7 sampai 10 hari hendaknya
dipertimbangkan trakeostomi, bahkan pada beberapa kasus lebih
dini. Pada hari ke-4 timbul kolonisasi bakteri yang dapat
menyebabkan kondritis bahkan stenosis subglotis.20
Kerusakan pada laringotrakea telah jauh berkurang dengan adanya
perbaikan balon dan pipa. Jadi trakeostomi pada pasien koma dapat
ditunda jika ekstubasi diperkirakan dapat dilakukan dalam waktu 1-
2 minggu. Akan tetapi pasien sadar tertentu memerlukan ventilasi
intratrakea jangka panjang mungkin merasa lebih nyaman dan

33
diberi kemungkinan untuk mampu berbicara jika trakeotomi
dilakukan lebih dini.19
3) A=Airway
Airway yang dimaksud adalah alat untk menjaga terbukanya jalan
napas yaitu pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau
pipa hidung-faring (naso-tracheal airway). Pipa ini berfungsi untuk
menahan lidah saat pasien tidak sadar agar lidah tidak menyumbat

jalan napas.19
(a) (b)
Gambar 5. (a) OPA dan posisinya(b) NTA dan posisinya19
4) T=Tape
Tape yang dimaksud adalah plester untuk fiksasi pipa supaya tidak
terdorong atau tercabut.19
5) I=Introducer
Introducer yang dimaksud adalah mandrin atau stilet dari kawat
yang dibungkus plastik (kabel) yang mudah dibengkokkan untuk
pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan.19
6) C=Connector
Connector yang dimaksud adalah penyambung antara pipa dengan
bag valve mask ataupun peralatan anestesia.19
7. S=Suction

34
Suction yang dimaksud adalah penyedot lendir, ludah, dan cairan
lainnya.
Indikasi intubasi trakea sangat bervariasi dan umumnya
digolongkan sebagai berikut:19
o Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun.
Misalnya akibat kelainan anatomi, bedah khusus, bedah posisi
khusus, pembersihan sekret jalan napas, dan lain-lainnya.
o Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi.
Misalnya saat resusitasi dan ventilasi jangka panjang.
o Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi.
Kontraindikasi pemasangan ETT adalah:19
a. Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang
vertebra servical, sehingga sangat sulit untuk dilakukan
intubasi.
b. Keadaan trauma / obstruksi jalan nafas atas, mencegah
aspirasi, penanganan jalan nafas jangka panjang,
mempermudah proses weaning ventilator
Kesulitan memasukkan pipa trakea berhubungan dengan variasi
anatomi yang dijumpai.Klasifikasi tampakan faring pada saat mulut
terbuka masimal dan lidah dijulurkan maksimal menurut Mallampati
dibagi menjadi empat kelas.19
Kesulitan intubasi umumnya ditemui pada kondisi:19
1. Leher pendek dan berotot
2. Mandibula menonjol
3. Maksila/gigi depan menonjol
4. Uvula tidak terlihat (Mallampati 3 atau 4)
5. Gerak sendi temporo-mandibular terbatas
6. Gerak verteba servikal terbatas.

35

Gambar 7. Mallampati Classification and Cormack-Lehanne


Classification5
D. Teknik Intubasi Trakea19,20
Sebelum melakukan intubasi, perlu dipersiapkan alat-alat yang
diperlukan dan diperiksa keadaannya, misalkan apakah kaf pada
intubasi tidak bocor, nyala lampu pada laringoskop, dan lain-lain.

Gambar 6. Sniffing position17


Keberhasilan intubasi tergantung dari posisi pasien yang benar.
Kepala pasien harus sejajar atau lebih tinggi dengan pinggang
dokter anestesi untuk mencegah ketegangan bagian belakang yang
tidak perlu selama laringoskopi. Elevasi kepala sedang (sekitar 5-10
cm diatas meja operasi) dan ekstensi dari atlantoocipito join
membuat pasien berada pada posisi sniffing yang diinginkan.
Bagian bawah dari tulang leher dibuat fleksi dengan menempatkan
kepala diatas bantal.
Persiapan untuk induksi dan intubasi juga meliputi preoksigenasi
rutin. Setelah induksi anestesi umum, mata rutin direkat dengan
plester karena anestesi umum menghilangkan refleks proteksi
cornea.
Laringoskop dipegang oleh tangan kiri. Dengan mulut pasien
terbuka lebar, blade dimasukan pada sisi kanan dari orofaring
dengan hati-hati untuk menghindari gigi. Geserkan lidah ke kiri dan
masuk menuju dasar dari faring dengan pinggir blade. Puncak dari

36
lengkung blade biasanya di masukan ke dalam vallecula, dan ujung
blade lurus menutupi epiglotis. Handle diangkat dan jauh dari
pasien secara tegak lurus dari mandibula pasien untuk melihat pita
suara. Terperangkapnya lidah antara gigi dan blade dan
pengungkitan dari gigi harus dihindari. Orotracheal tube (OTT)
diambil dengan tangan kanan, dan ujungnya dilewatkan melalui pita
suara yang terbuka (abduksi). Balon OTT harus berada dalam
trachea bagian atas tapi diluar laring. Langingoskop ditarik dengan
hati- hati untuk menghindari kerusakan gigi. Balon dikembungkan

dengan minimal udara yang dibutuhkan untuk meminimalkan


tekanan yang ditransmisikan pada mukosa trachea.19,20
Gambar 7. Tampilan glottis selama laringoskopi17
Setelah intubasi, dada dan epigastrium dengan segera diauskultasi
dan capnogragraf dimonitor untuk memastikan ETT ada di
intratracheal. Walaupun deteksi kadar CO2 dengan capnograf yang
merupakan konfirmasi terbaik dari letak OTT di trachea, tapi tidak
dapat mengecualikan intubasi bronchial. Manifestasi dini dari
intubasi bronkhial adalah peningkatan tekanan respirasi puncak.
Posisi pipa dapat dilihat dengan radiografi dada, tapi ini jarang
diperlukan kecuali dalam ICU. Setelah yakin OTT berada dalam

37
posisi yang tepat, pipa diplester atau diikat untuk mengamankan
posisi.19,20
E. Komplikasi19,20
Komplikasi intubasi antara lain:
1. selama intubasi
- Trauma gigi geligi - Laserasi bibir, gusi ,
laring
- Merangsang saraf simpatis - Intubasi bronkus
- Intubasi esophagus - Aspirasi
- Spasme bronkus
2. Selama Ekstubasi
- Spasme laring - Aspirasi
- Gangguan fonasi - Edema glotis-subglotis
- Infeksi laring, faring, dan trakea
Tatalaksana jalan napas merupakan aspek yang fundamental pada
praktik anestesi dan perawatan emergensi. Intubasi endotrakeal
termasuk tatalaksana yang cepat, sederhana, aman dan teknik
nonbedah yang dapat mencapai semua tujuan dari tatalaksana
jalan napas yang diinginkan, misalnya menjaga jalan napas tetap
paten, menjaga paru-paru dari aspirasi, membuat ventilasi yang
cukup selama dilakukan ventilasi mekanik, dan sebagainya. Faktor-
faktor predisposisi terjadinya komplikasi pada intubasi endotrakeal
dapat dibagi menjadi:
Faktor pasien
 Komplikasi sering terjadi pada bayi, anak dan wanita dewasa
karena memiliki laring dan trakea yang kecil serta cenderung
terjadinya edema pada jalan napas.

38
 Pasien yang memiliki jalan napas yang sulit cenderung
mengalami trauma.
 Pasien dengan variasi kongenital seperti penyakit kronik yang
didapat menimbulkan kesulitan saat dilakukan intubasi atau
cenderung mendapatkan trauma fisik atau fisiologis selama
intubasi.
 Komplikasi sering terjadi saat situasi emergensi.
Faktor yang berhubungan dengan anestesia
 Ilmu pengetahuan, teknik keterampilan dan kemampuan
menangani situasi krisis yang dimiliki anestesiologis memiliki
peranan penting terjadinya komplikasi selama tatalaksana jalan
napas.
 Intubasi yang terburu-buru tanpa evaluasi jalan napas atau
persiapan pasien dan peralatan yang adekuat dapat
menimbulkan kegagalan dalam intubasi.5
Faktor yang berhubungan dengan peralatan:
 Bentuk standar dari endotracheal tube (ETT) akan memberikan
tekanan yang maksimal pada bagian posterior laring. Oleh sebab
itu, kerusakan yang terjadi pada bagian tersebut tergantung dari
ukuran tube dan durasi pemakaian tube tersebut.
 Pemakaian stilet dan bougie merupakan faktor predisposisi
terjadinya trauma.
 Bahan tambahan berupa plastik dapat menimbulkan iritasi
jaringan.
 Sterilisasi tube plastik dengan etilen oksida dapat menghasilkan
bahan toksik berupa etilen glikol jika waktu pengeringan
inadekuat.

39
 Tekanan yang tinggi pada kaf dapat menimbulkan cedera atau kaf
dengan tekanan rendah dapat pula menimbulkan cedera jika
ditempatkan di bagian yang tidak tepat.
Kesulitan menjaga jalan napas dan kegagalan intubasi mencakup
kesulitan ventilasi dengan sungkup, kesulitan saat menggunakan
laringoskopi, kesulitan melakukan intubasi dan kegagalan intubasi.
Situasi yang paling ditakuti adalah tidak dapat dilakukannya
ventilasi maupun intubasi pada pasien apnoe karena proses
anestesi. Kegagalan dalam oksigenasi dapat menyebabkan
kematian atau hipoksia otak. Krikotirotomi (bukan trakeostomi)
merupakan metode yang dipilih ketika dalam keadaan emergensi
seperti pada kasus cannot-ventilation-cannot-intubation (CVCI).
F. Ekstubasi19,20
a. Ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika intubasi kembali
menimbulkan kesulitan atau adanya resiko aspirasi
b. Ekstubasi umumnya dikerjakan pada keadaan anestesia sudah
ringan dengan catatan tidak terjadi spasme laring
c. Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut, laring, faring, dari
sekret dan cairan.
G. Rumatan Anestesi (maintenance)19,20
Rumatan anestesi dapat dikerjakan dengan secara intravena
(anesthesia intravena total) atau dengan inhalasi atau dengan
campuran intravena inhalasi. Rumatan anestesi biasanya mengacu
pada trias anestesi yaitu tidur ringan (hipnosis) sekedar tidak sadar,
analgesia cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah tidak
menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang cukup.
Rumatan intravena misalnya dengan menggunakan opioid dosis
tinggi, fentanil 10-50 ug/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan

40
pasien tidur dengan analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan
relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga
menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan
infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anestesi
total intravena menggunakan opioid, pelumpuh otot, dan ventilator.
Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara +
O2 atau N2O + O2.
Rumataninhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 3:1
ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4 vol%, atau isofluran
2-4 vol%, atau sevofluran 2-4 vol% bergantung apakah pasien
bernapas spontan, dibantu (assisted), atau dikendalikan
(controlled).
H. Monitoring Perianestesi
Pasien harus diobservasi terus (pernafasan, tekanan darah, dan
nadi) sesudah operasi dan anestesi selesai sewaktu masih dikamar
bedah dan kamar pulih. Bila pasien gelisah, harus diteliti apakah
karena kesakitan atau karena hipoksia (tekanan darah menurun,
nadi cepat) misalnya karena hipovolemia (perdarahan di dalam
perut atau kekurangan cairan).19,20

BAB IV
ANALISA KASUS

Perdarahan intraserebral (PIS) adalah perdarahan yang terjadi di otak yang


disebabkan oleh pecahnya (ruptur) pada pembuluh darah otak. Perdarahan dalam
dapat terjadi di bagian manapun di otak. Pada pasien ini, Nn.L.A berusia 20 tahun

41
datang dengan pasien yang tiba-tiba mengeluhkan sakit kepala berat. Dari anamnesis
gejala yang dirasakan pasien sesuai dengan gejala pada perdarahan intraserebral yaitu
sakit kepala hebat yang merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial dijumpai
pada perdarahan intraserebral. Tidak adanya sakit kepala dan muntah tidak
menyingkirkan perdarahan intraserebral, sebaliknya bila dijumpai akan sangat
mendukung diagnosis PIS. Diketahui pula pasien tidak ada riwayat penyakit
sebelumnya, namun diketahui ayah pasien memililki riwayat stroke yang merupakan
faktor resiko penyakit ini. Cara yang paling akurat untuk mendefinisikan perdarahan
intraserebral adalah dengan CT scan. Pada pasien ini, dari pemeriksaan CT scan
kepala didapatkan pendarahan intrakranial: perdarahan akut di regio temporal-parietal
kiri ukuran 4,5 x 4,4 x 6,1cm (volume ±60 cc) dengan perifokal edema
mengakibatkan kompresi ventrikel lateralis kiri, herniasi uncal kiri dan midline shift
ke kanan sejauh 1,1 cm. Dari data tersebut, ditegakkan diagnosis perdarahan
intraserebral pada pasien Nn.L.A.7,11,13
.Perawatan di ICU saat pasien berada di RS Raden Mattaher sudah tepat dilakukan
karena menurut pedoman, pasien stroke hemoragik harus dirawat di ICU jika volume
hematoma >30 mL, perdarahan intraventrikuler dengan hidrosefalus, dan keadaan
klinis cenderung memburuk. . Pada pasien ini juga telah dilakukan tindakan bedah
yaitu kraniotomi untuk menghilangkan bekuan darah. Hal ini sesuai karena tindakan
bedah jika terjadi perdarahan dengan volume≥60 mL dengan tanda peningkatan
tekanan intrakranial akut dan ancaman herniasi.15
Pada saat kunjungan pra anestesi (anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang), didapatkan status fisik pada pasien ini adalah ASA 3E, yaitu Pasien
dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin terbatas dan tindakan
evakuasi hematoma intracerebral pada pasien ini harus segera dilakukan.
Sebelum dilakukan tindakan induksi anastesi, premedikasi diberikan
kepada pasien. Premedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam
sebelum induksi anesthesia dengan tujuan untuk meredakan

42
kecemasan dan ketakutan, memperlancar induksi anesthesia,
mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus, meminimalkan
jumlah obat anestetik, mengurangi mual muntah pasca bedah,
menciptakan amnesia, mengurangi isi cairan lambung, dan
mengurangi refleks yang membahayakan. Pada pasien ini, sesaat
sebelum dilakukan induksi anestesidiberikan obat ranitidine 50 mg dan ondansentron
4 mg. Tujuan pemberian ranitidine adalah untuk mengurangi sekresi asam lambung
sehingga meminimalkan kejadian pneumositis asam. Ondansteron diberikan untuk
mengurangi rasa mual muntah pasca bedah dengan dosis 2-4 mg.
Pengelolaan anestesia pada kasus ini adalah dengan general anestesi menggunakan
teknik anestesia secara induksi intravena dan rumatan inhalasi. Induksi pada pasien
ini dengan injeksi propofol 140mg iv dan fentanyl 110mcg dan insersi ETT spiral
dengan balon ukuran 7.5 difasilitasi dengan atracurium 40mg. Dosis pemeliharaan
dengan menggunakan anestesi inhalasi: sevoflurans + N2O : O2.
Induksi anestesi merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak
sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi. Pada saat induksi, setelah
pemberian oksigen 100% dilanjutkan pemberian fentanyl 110 mcg. Fentaniyl
merupakan analgetik terpilih untuk bedah saraf dengan dosis 1-3 mcg/kgBB pelan-
pelan secara intravena. Dosis yang diberikan pada pasien ini sudah sesuai. Pada
pasien ini diberikan propofol 140mg iv. Propofol merupakan obat induksi anestesi
cepat dengan onset 30-45 detik, didistribusikan dan dieliminasikan dengan cepat dan
dimetabolisme di hepar. Propofol diberikan dengan dosis bolus untuk induksi 2-
2,5mg/kg, dosis rumatan untuk anestesi intravena total 4-12 mg/Kg/jam dan dosis
sedasi perawatan intensif 0,2 mg/Kg. Efeksamping propofol pada sistem pernafasan
yaitu adanya depresi pernapasan, apneu, bronkospasme, dan laringospasme. Pada
susunan saraf pusat adanya sakit kepala, pusing, euforia, kebingungan, gerakan
klonik-mioklonik, epistotonus, mual, muntah. Pada daerah penyuntikan dapat terjadi

43
nyeri. Dosis pemberian propofol pada pasien ini sudah sesuai yaitu dibutuhkan dosis
137,5 mg propofol dan telah diberikan 140mg propofol.
Pada pasien ini diberikan obat pelumpuh otot atracurium 40 mg iv, yang merupakan
non depolaritation intermediete acting. Atracurium dipilih sebagai agen penginduksi
karena mempunyai beberapa keunggulan antara lain metabolisme terjadi di dalam
darah (plasma) terutama melalui suatu reaksi kimia unik yang disebut eliminasi
Hofman. Reaksi ini tidak tergantung pada fungsi hati atau ginjal. Selain itu tidak
mempunyai efek kumulasi pada pemberian berulang dan tidak menyebabkan
perubahan fungsi kardiovaskular. Dosis intubasi dan relaksasi otot adalah 0,5-0,6
mg/kgBB (iv), dan dosis pemeliharaan yaitu 0,1-0,2 mg/kgBB (iv). Dosis dari
pemberian atracurium pasien ini sudah sesuai.
Insersi ETT spiral balon dengan ukuran 7.5 pada pasien ini sudah sesuai
dilakukan. ETT spiral digunakan pada pasien ini karena pasien berada dalam keadaan
miring. Ukuran ETT untuk wanita dewasa adalah 6,5-8,5. Untuk bayi dan anaka-anak
dibawah 5 tahun tidak menggunakan balon sedangkan untuk anak besar-dewasa
digunakan balon supaya tidak bocor. Insersi ETT dilakukan dari mulut.
Pada pasien ini diberikan maintenance O2 + N2O + sevoflourance. Oksigen diberikan
untuk mencukupi oksigen jaringan. Pemberian anestesi dengan N2O harus disertai O2
minimal 25%, gas ini bersifat sebagai anestetik lemah tetapi analgetiknya kuat.
Sevoflurane merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih anestesi lebih cepat
dibandingkan isoflurane. Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil, jarang
menyebabkan aritmia. Setelah pemberian dihentikan, sevoflurane cepat dikeluarkan
oleh tubuh.
Kebutuhan total cairan pada pasien ini, yaitu 2860ml selama operasi, terdiri dari
jumlah cairan pengganti puasa 550ml, maintenance 110ml, stress operasi 440ml dan
perdarahan 1000ml. pada pasien ini lamanya operasi adalah 5 jam 15 menit. Cairan
yang telah masuk RL sebanyak 3000ml, Nacl 800ml, HES 500ml, dan PRC 500ml.
Kebutuhan cairan pada pasien ini telah tercukupi, namun tetap harus dipantau dalam
pengawasan ketat.

44
Setelah operasi selesai pasien langsung dibawa ke ICU setelah sebelumnya dilakukan
reintubasi menggunakan ETT non spiral ukuran 7,5 balon. Hal ini sudah sesuai
dilakukan karena posisi pasien selama di ICU terlentang. Instruksi ekstubasi setalah
24 jam.
Pasien ini diberi obat tambahan yaitu Ketorolac 30 mg/8 jam, Kalnex 5mg/ 8 jam,
Omeprazole 40 mg/24 jam bertujuan sebagai analgetik. Instruksi mode ventilator
yaitu TV: 400 ml, PEEP 5, FiO2 100, RR: 15 dan diberikan injeksi sedasi Mo:Mi =
1:1.

DAFTAR PUSTAKA

1. Wijaya, Chicilia W.T. Laporan Kasus Neurologi. Jakarta:UMJ;2014


2. Hemphill, dkk. Guidelines for Management of Spontaneous Intracerebral
Hemorrhage. AHA/ASA 2015;46:2032–2060
3. Latief SA, dkk. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi Kedua. Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. Jakarta, 2010
4. Morgan GE, Mikhail MS. Clinical Anesthesiology. 4th ed. Appleton &
Lange.Stamford, 199
5. Soerasdi E., Satriyanto M.D., Susanto E. Buku Saku Obat-Obat Anesthesia
Sehari hari. Bandung, 2010
6. Werth, M. Pokok-Pokok Anestesi. EGC, Jakarta, 2010
7. Castel JP, Kissel P. Spontaneous intracerebral and infratentorial hemorrhage.
In:Youmans JR. ed. Neurological Surgery, 3rd ed, vol.IIIl. Philadelphia: WB
Saunders Company; 2006 .p. 1890-1913.
8. Luyendijk W. Intracerebral hemorrhage. In : Vinken FG, Bruyn GW, editors.
Handbook of Clinical Neurology. New York : Elsevier ; 2005; 660-719.
9. Perdarahan Intraserebral Hipertensif Abdul Gofar Sastrodiningrat Divisi Ilmu
Bedah Saraf Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas

45
Sumatera Utara, Medan Suplemen Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39
y No. 3 y September 2006.
10. Rumantir CU. Gangguan peredaran darah otak. Pekanbaru : SMF Saraf RSUD
Arifin Achmad/FK UNRI. Pekanbaru. 2007.
11. Goetz Christopher G. Cerebrovascular Diseases. In : Goetz: Textbook of
Clinical Neurology, 3rd ed. Philadelphia : Saunders. 2007.
12. Rumantir CU. Pola Penderita Stroke Di Lab/UPF Ilmu Penyakit Saraf
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Hasan Sadikin
Bandung Periode 1984-1985. Laporan Penelitian Pengalaman Belajar Riset
Dokter Spesialis Bidang Ilmu Penyakit Saraf. 2000.
13. Ropper AH, Brown RH. Cerebrovascular Diseases. In : Adam and Victor’s
Priciples of Neurology. Eight edition. New York : Mc Graw-Hill. 2005.
14. Kelompok Studi Stroke PERDOSSI. Pencegahan Primer Stroke. Dalam :
Guideline Stroke 2007. Jakarta.
15. Baehr M, Frotscher M. Duus’ : Topical Diagnosis in Neurology. 4 th revised
edition. New York : Thieme. 2005.
16. El-Mitwalli, A., Malkoff, M D.,.2008. Intracerebral Hemorrhage. The Internet
Journal of Advanced Nursing Practice.
17. Soenarto, R.F. 2012, Buku Ajar Anestesiologi. Departemen Anestesiologi dan
Intensive Care FKUI. Jakarta. Hal : 197-205
18. Mangku Gde, Senapathi Tjokorda Gde Agung Senapathi. 2010. Buku Ajar
Ilmu Anestesia dan Reaminasi. Bagian Obat Anestetika. Macanan Jaya
Cemerlang. Jakarta. Hal 24-36
19. Latief, S.A. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensife FKUI. Jakarta. Hal :1, 29-32
20. Muhiman muhardi, Thaib Muhadri, Sunatrio S, Dahlan Ruslan. Anestesiologi.
Premedikasi. FKUI. Jakarta. Hal :59-62

46

Anda mungkin juga menyukai