Fistula Bronkopleural
BPF Kecil
BPF Besar
Pemeriksaan
Premedikasi
Monitoring
Tehnik Anestesi
Penatalaksanaan Postoperasi
Outcome
Anestesi untuk operasi thoraks telah berkembang sejak tahun 1930an saat
Gale dan Waters (USA) dan Magill (UK) memperkenalksan single-lumen
endobronchial tube untuk intubasi endobronkial selektif.
Mayoritas reseksi paru di UK dilakukan untuk tatalaksana kanker paru:
20% pasien dengan kanker paru memiliki tumor yang dapat direseksi. Operasi
thoraks sangatlah invasif dan kebanyakan pasien adalah lansia perokok dengan
komorbid terkait merokok, terutama PPOK dan penyakit jantung. Mortalitas
operasi setelah pneumonektomi dan lobektomi adalah 6.2% dan 2.4% (Tabel
15.1). Peningkatan jumlah prosedur (meliputi lobektomi) yang dapat dilakukan
dengan torakoskopis yaitu operasi thoraks yang dipandu video (VATS).
Reseksi pulmoner adalah prosedur operasi traumatik fisiologis yang paling
sering. Inflamasi dan respon neurohumoral biasanya sesuai (besar). Inflamasi
dicetus oleh ruptur plak arteri dan thrombosis arterial. Interleukin 6 (IL6)
memiliki peran utama. Ruptur plak di sirkulasi koroner dapat menyebabkan
sindroma koroner akut (ACS). ACS, baik yang unstable angina maupun infark
miokard (NSTEMI atau STEMI), adalah penyebab utama pada kematian dan
morbiditas.Insidensi ACS lebih tinggi pada operasi thoraks dibandingan area lain
kecuali operasi pembuluh darah besar. Penyakit katup jantung jarang terjadi
namun relevan, dengan prevalensi stenosis aorta signifikan sebesar 3% pada
pasien yang berusia diatas 75 tahun. Gagal jantung memiliki prevalensi 2% pada
dekade ke 6 dan meningkat menjadi 10% pada dekade ke 8. Keberadaannya
membawa resiko yang sangat tinggi.
Bronkoskopi rigid dan mediatinoskopi merupakan prosedur investigatif
walaupun bronkoskopi juga dapat digunakan untuk tujuan terapi. Pleurektomi
digunakan untuk penatalaksanaan pneumothoraks spontan rekuren pada dewasa
uda. Seluruh kondisi ini memiliki resiko rendah. Pleurodesis dilakukan untuk
pneumothoraks sekunder akibat PPOK dan efuse pleural malignan. Pasien ini
biasanya dalam kondisi lemah dan memiliki resiko yang lebih tinggi (Tabel 15.1).
Perawatan HDU selalu diindikasikan setelah dilakukan reseksi paru atau
operasi mediastinal mayor. Kebanyakan komplikasi dari operasi thoraks adalah
pulmoner atau kardiak. Beberapa pasien membutuhkan ventilasi postoperasi
akibat munculnya gagal nafas sekunder akibat infeksi atau cidera paru akut (ALI).
Penggunaan cairan intravena selama dan setelah reseksi paru harus diberikan
dengan hati-hati. Hidrasi berlebihan berkaitan dengan timbulnya ALI dan
komplikasi pulmoner lain, terutama setelah dilakukan pneumonektomi.
Operasi yang dilakukan dengan thorakotomi posterolateral sangatlah
menyakitkan. Analgetik yang buruk menyebabkan distres dan mengganggu fungsi
paru dan pembersihan sputum; analgetik resional selalu disarankan baik dalam
bentuk blok paravertebral ataupun epidural thorakal. Tindakan ini memiliki
manfaat untuk menghindari pemberian opioid sistemik yang dapat menyebabkan
depresi pernafasan, atelektasis ataupun supresi batuk.
Penilaian Preoperatif
Fungsi Paru
Klinis – cek status fungsional, roduksi sputum dan pemeriksaan fisik.
Pencitraan – lakukan rontgen thoraks dan CT-scan.
Test fungsi paru – Spirometri (FEV1), difusi (DLCO), gas darah arterial
(PCO2).
Jika dibutuhkan, lakukan cardiopulmoner exercise test (CPET) (VO2max).
Hitung apakah pasien dapat menjalani reseksi paru berdasarkan trias :
spirometri (FEV1), fungsi parenkim(DLCO), dan kapasitas aktivitas
(VO2max).
Kelangsungan hidup berhubungan dengan jumlah fungsional paru tersisa
postoperatif. Hal ini diketahui dengan prediksi fungsi paru postoperatif
(PPO).
Nilai PPO untuk FEV1 dan DLCO dihitung dengan rumus berikut : Nilai
PPO (%) = Nilai preop (%) x (1-% paru yang direseksi/100)
Proporsi paru yang dimiliki tiap lobus dicantumkan di (gambar 15.1).
Contohnya, jika FEV1 preoperatif adalah 60% diprediksi dan dilakukan
lobektomi kiri bawah, nilai PPO FEV1= 60x (1-23/100). Sehingga, PPO
FEV1 adalah 60x0.77 = 46%
Jika PPO FEV1 diatas 40% mortalitasnya rendah. Jika kurang dari 30%,
mortalitasnya sangat tinggi.
Jika PPO FEV1 diantara 30% dan 40%, lakukan perhitungan yang sama
untuk PPO DLCO. Sama, mortalitasnya rendah jika jumlahnya diatas 40%
dan sangat tinggi jika dibawah 30%.
Jika PPO DLCO diantara 30% dan 40%, ukur VO2max preoperatif
menggunakan CPET. Jika VO2max lebih besar dari 15 mL/kg/menit,
mortalitasnya rendah dan sebaliknya jika dibawah 15 mL/kg/menit
mortalitasnya tinggi.
Pasien dengan sputum terinfeksi harus diterapi dengan antibiotik dan
fisioterapi.
Pengobatan bronkodilator harus dilanjutkan.
Penyakit Jantung
Beberapa pasien akan memiliki resiko tinggi terhadap penyakit jantung.
Pasien dengan fungsi jantung yang buruk (CCS / NYHA III dan IV) memiliki
resiko yang terbesar dan kelompok ini membutuhkan input kardiologis.
Periksa status fungsional
Nilai murmur dan gagal jantung
Lakukan EKG
Lakukan echo jika ada murmur sistolik untuk mengukur kemungkinan
stenosis aorta (AS). Operasi dapat dilakukan dengan aman bahkan pada
pasien dengan AS berat asimtomatik dan fungsi sistolik ventrikel kiri yang
normal.
Jika ragu mengenai kondisi myocardium, rujuk ke dokter jantung untuk
memberikan pendapat dan melakukan uji stres seperti CPET, dobutamine
stress echo (DSE) atau stress MRI.
Lanjutkan beta blocker dan statin selama periode perioperatif
Intervensi kardiak preoperatif pada tipe manapun hanya diindikasikan
pada pasien dengan penyakit jantung yang membutuhkan intervensi tidak
tergantung pada operasi yang dijadwalkan.
Lobektomi adalah eksisi pembedahan pada salah satu lobus paru (atau dua lobus
jika lobus medial paru kanan direseksi dengan lobus lainnya). Tindakan ini
dilakukan secara thorakotomi posterolateral ataupun dengan VATS. Indikasi
tindakan biasanya adalah tumor (biasanya malignan), bronkiektasis, TB, dan
infeksi jamur.
Penilaian Preoperatif
Pasien dengan bronkiektasis biasanya diberikan antibiotik preoperatif
selama beberapa hari dan fisioterapi dengan drainase postural.
Jika berupa sel kanker kecil, dapat berhubungan dengan sindroma
miastenik (Eaton-Lambert). Gambaran klinis berupa kelemahan anggota
gerak proksimal yang membaik dengan aktivitas. Tidak ada kelemahan
bulbar. Pasien ini sangat sensitif terhadap seluruh muscle relaxant.
Darah harus tersedia.
Premedikasi
Monitoring
Tehnik Anestesi
Penatalaksanaan Postoperasi
Drain apikal dan basal diletakkan saat operasi (apikal anterior ke basal)
dengan suction pada -2kPa dan dibawah water seal.
Pastikan relaksan terlah direversi sempurna (nerve stimulator)
Ekstubasi dalam posisi duduk, bernafas secara spontan.
Berikan oksigen humidifikasi dengan face mask.
Kebocoran udara persisten dapat memberikan masalah.
Komplikasi
Mediastinoskopi/ Mediastinotomi
Premedikasi
Monitoring
Pemeriksaan dasar rutin; pemasangan jalur(infus) arterial dapat
bermanfaat.
Tehnik anestesi
Penatalaksanaan postoperasi
Tumor mediastinum anterior dan superior primer paling sering terjadi pada
dewasa muda. Tumor meliputi thymoma, thyroid retrosternal dan teratoma.
Sebesar 10% pasien dengan myasthenia gravis memiliki thymoma dan myasthenia
menimbulkan masalah yang berbeda. Tumor mediastinal anterior cenderung
menimbulkan permasalahan selama tindakan anestesi. Masalah terbesar berupa
kompresi dan obstruksi saluran nafas serta struktur vaskular, yang paling sering
adalah vena cava superior (SVC). Mortalitas operasi di senter spesialis adalah
rendah dan memiliki outcome yang baik setelah dilakukan reseksi kuratif.
Rekurensi merupakan masalah pada beberapa tumor. Kondisi tersebut dapat
merespon kemoterapi atau radioterapi. Beberapa tumor (cth, teratoma sekunder)
dapat memerlukan operasi ulang.
Prosedur
Premedikasi
Monitoring
Tehnik anestesi
Beberapa tumor menekan trakea saat pasien dalam posisi supinase dan
pasien tdak dapat berbaring.
Akses vena ekstremitas inferior jika SVC mengalami obstruksi.
Anestesi umum dengan agen volatil atau TIVAyang disuplementasi
dengan opioid dan relaksan. Remifentanil, atrakurium dan desfluran
direkomendasikan. Nitro oksida tidak disarankan.
Pertimbangan khusus mengenai penggunaan muscle relaxant pada
myasthenia gravis. Uniknya pasien myasthenia sensitif terhadap relaksan
nondepolarisasi namun resisten terhadap suxamethonium. Gunakan
atrakurium dosis sangat rendah atau tidak gunakan reaksan sama sekali.
Selalu gunakan nerve stimulator jika menggunakan relaksan.
Sternotomi tidak terlalu nyeri dibandingkan thorakotomi. Blok regional
adalah opsional namun dapat bermanfaat pada myasthenia dimana blok
motorik nya minimal.
Kehilangan darah adalah masalah utama dan darah harus selalu tersedia.
Gunakan FiO2 kompatibel dengan saturasi oksigen arterial adekuat dan
batasi cairan intravena jika pasien telah mendapat kemoterapi dengan
bleomycin (resiko cidera paru akut).
Penatalaksanaan postoperatif
Pastikan relaksan telah direversi penuh (nerve stimulator).
Ekstubasi pada posisi duduk, bernafas secara spontan.
Berikan oksigen humudifikasi melalui face mask/
Hati hati terhadap pemberian cairan intravena (cidera paru akut).
Tatalaksana hipotensi terkait epidural dengan vasokonstriktor, bukan
dengan cairan.
Pertimbangkan ventilasi mekanik jika operasi berlangsung lama, pasien
myasthenia, seksio saraf besar (cth frenikus) atau patensi jalan nafas masih
bermasalah.
Berikan kembali antikolinesterase (hanya pada pasien myasthenia gravis).
Pleurektomi adalah pembuangan bagian pleura parietal. Hal ini merupakan pilihan
terapi untuk pasien yang sesuai (biasanya pasien dewasa muda kurus) dengan
pneumothoraks spontan. Pleua dilepaskan kecuali yang dibagian diatas diafragma
dan di permukaan mediastinum yang kemudian akan melekat kembali ke dinding
dada. Biasanya dilakukan dengan tehnik VATS namun pendekatan dengan
pembukaan thoraks dapat dilakukan. Pleurektomi bilateral terkarang dibutuhkan
dan dilakukan dengan sternotomi. Pleurodesis adalah memasukkan sebuah
substansi ke rongga pleura (biasanya talk) untuk menciptakan perlekatan
inflamasi. Hal ini diindikasikan pada pasien dengan pneumothoraks sekunder
akibat PPOK, pasien laki laki tinggi dan kurus serta pasien dengan efusi maligna.
Tindakan ini dilakukan menggunakan tehnik VATS.
Premedikasi
Monitoring
Penatalaksanaan Postoperatif
Drain apikal dan basal diletakkan saat operasi dengan suction pada 2kPa
dan dengan water seal.
Reversi relaksan
Ekstubasi pada posisi duduk, bernafas secara spontan.
Berikan oksigen humidifikasi dengan face mask
Berikan analgetik yang adekuat
Kebocoran udara persisten dapat memberikan masalah
Insidensi rekurensi pneumothoraks setelah pleurektomi sangat rendah.
Pneumonektomi
Penilaian Preoperatif
Premedikasi
Monitoring
Tehnik anestesi
Penatalaksanaan Postoperasi
Komplikasi
Sumber Nyeri
Tujuan Analgetik
Mengurangi distres
Memperbaiki fungsi paru dan pembersihan sputum
Mengurangi komplikasi dan lama rawat inap, dan meningkatkan outcome.
Tehnik Analgetik
Blok Regional
Blok interkostal
Blok ekstrapleural
Blok intrapleural
Blok paravertebral
Blok epidural
Analgetik sistemik
Analgetik parenteral – opioid (biasanya PCA), parasetamol, NSAID dan
tramadol.
Anestesi Regional
Mudah dilakukan namun durasi kerja nya pendek untuk tiap penyuntikan.
Tidak mengontrol nyeri dari pleura diafragmatika, struktur mediastinum
dan area yang disuplai oleh rami primer posterior.
Blok ekstrapleural
Blok intrapleural
Agen anastesi lokal diletakkan diantara pleura parietal dan visceral melalui
kateter terpasang.
Agen analgetik bekerja dengan cara memblok nervus interkostal
Jangan menyebarkan agen di rongga paravertebral.
Analgetik tidak terprediksi karena sebagian obat dapat keluar melalui
drain thoraks, berikatan dengan darah di thoraks, dan absorbsi sistemik
yang cepat.
Tidak dapat digunakan setelah pneumonektomi.
Blok paravertebral
Analgetik Sistemik
Bronkoskopi Rigid