Anda di halaman 1dari 26

OPERASI THORAKS

Fistula Bronkopleural

Fistula Bronkopleural (BPF) adalah hubungan langsung antara cabang


trakeobronkial dan kavum pleural. Penyebabnya meliputi pecahnya tunggul
bronkial, kanker, lesi inflamasi dan trauma. Pada Negara maju, pecahnya tunggul
bronkial setelah tindakan pneumonektomi adalah penyebab yang paling sering.
Insidensi BPF setelah tindakan pneumonektomi sangatlah rendah di senter
spesialis.

Bentuk minor BPF post-pneumonektomi dapat ditutup secara


bronkoskopis menggunakan lem fibrin. Fistula yang besar membutuhkan
penjahitan ulang tunggul bronkial via thorakotomi ulang.

Penilaian Preoperatif dan Pemeriksaan

Gejala terkait berupa timbulnya pneumothoraks pada pasien yang bernafas


spontan, kesulitan dalam melakukan IPPV akibat kebocoran signifikan atau akibat
cairan yang mengalir ke paru yang normal dari rongga yang mengalami infeksi.

BPF Kecil

 Lemas dan demam ringan


 Batuk ±hemoptisis, mengi atau dyspneu

BPF Besar

 Dyspneu berat dan kelemahan


 Batuk yang mengeluarkan cairan coklat yang banyak

Pemeriksaan

 Rontgen thoraks. Hilangnya cairan dirongga pneumonektomi.


Konsolidasi/kolapsnya bagian paru lain.
 Analisa gas darah untuk menilai hipoksemia, hiperkarbia dan status asam-
basa.
Persiapan Preoperasi

 Resusitasi umum meliputin oksigen dengan face mask.


 Dudukkan pasien untuk mencegah spillover.
 Masukkan drain pada sisi pneumonektomi
 Pindahkan pasien ke ruang operasi dalam posisi duduk dengan drain
terbuka

Premedikasi

 Tidak ada yang diperlukan

Monitoring

 Monitoring dasar rutin


 Tekanan arteri invasif
 Tekanan vena sentral
 Suhu inti
 Gas darah arterial
 Urin output

Tehnik Anestesi

Biasanya akan dianjurkan untuk mengisolasi fistula post-pneumonektomi


dengan endobronchial tube sebelum IPPV dilakukan. Hal ini dapat dilakukan
dengan intubasi endobronchial awake dengan analgetik lokal pada airway (dengan
atau tanpa bronkoskopi fiberoptic) atau induksi inhalasi dan intubasi dibawah
anastesi inhalasi. Tehnik ini harus didiskusikan saat pemeriksaan, namun kedua
tehnik tersebut memiliki banyak kesulitan. Dokter anastesi yang berpengalaman
saat ini menggunakan tehnik berikut:

 Dudukkan pasien dengan drain terbuka


 Preoksigenasi
 Gunakan induksi intravena dan suxamethonium atau rokuronium
 Lakukan bronkoskopi rigid
 Masukkan double-lumen tube ke bronkus dengan bronkoskopi fiber-optik.
 Berikan muscle relaxant.
 IPPV melalui bagian endobronkial pada tube.
 Letakkan pasien pada posisi lateral untuk dilakukan thorakotomi.

Penatalaksanaan Postoperasi

 Tatalaksana sebagai pneumonektomi


 Retensi sputum, infeksi, cidera paru akut (ALI) dan gagal nafas sering
terjadi dan memiliki mortalitas yang tinggi. Tatalaksana dengan
fisioterapi, antibiotik, ventilasi dan trakeostomi dini.
 Infeksi pada rongga pneumonektomi

Outcome

 Mortalitas sekitar 10-20 %

Prinsip Umum Anestesi untuk Operasi Thoraks

Anestesi untuk operasi thoraks telah berkembang sejak tahun 1930an saat
Gale dan Waters (USA) dan Magill (UK) memperkenalksan single-lumen
endobronchial tube untuk intubasi endobronkial selektif.
Mayoritas reseksi paru di UK dilakukan untuk tatalaksana kanker paru:
20% pasien dengan kanker paru memiliki tumor yang dapat direseksi. Operasi
thoraks sangatlah invasif dan kebanyakan pasien adalah lansia perokok dengan
komorbid terkait merokok, terutama PPOK dan penyakit jantung. Mortalitas
operasi setelah pneumonektomi dan lobektomi adalah 6.2% dan 2.4% (Tabel
15.1). Peningkatan jumlah prosedur (meliputi lobektomi) yang dapat dilakukan
dengan torakoskopis yaitu operasi thoraks yang dipandu video (VATS).
Reseksi pulmoner adalah prosedur operasi traumatik fisiologis yang paling
sering. Inflamasi dan respon neurohumoral biasanya sesuai (besar). Inflamasi
dicetus oleh ruptur plak arteri dan thrombosis arterial. Interleukin 6 (IL6)
memiliki peran utama. Ruptur plak di sirkulasi koroner dapat menyebabkan
sindroma koroner akut (ACS). ACS, baik yang unstable angina maupun infark
miokard (NSTEMI atau STEMI), adalah penyebab utama pada kematian dan
morbiditas.Insidensi ACS lebih tinggi pada operasi thoraks dibandingan area lain
kecuali operasi pembuluh darah besar. Penyakit katup jantung jarang terjadi
namun relevan, dengan prevalensi stenosis aorta signifikan sebesar 3% pada
pasien yang berusia diatas 75 tahun. Gagal jantung memiliki prevalensi 2% pada
dekade ke 6 dan meningkat menjadi 10% pada dekade ke 8. Keberadaannya
membawa resiko yang sangat tinggi.
Bronkoskopi rigid dan mediatinoskopi merupakan prosedur investigatif
walaupun bronkoskopi juga dapat digunakan untuk tujuan terapi. Pleurektomi
digunakan untuk penatalaksanaan pneumothoraks spontan rekuren pada dewasa
uda. Seluruh kondisi ini memiliki resiko rendah. Pleurodesis dilakukan untuk
pneumothoraks sekunder akibat PPOK dan efuse pleural malignan. Pasien ini
biasanya dalam kondisi lemah dan memiliki resiko yang lebih tinggi (Tabel 15.1).
Perawatan HDU selalu diindikasikan setelah dilakukan reseksi paru atau
operasi mediastinal mayor. Kebanyakan komplikasi dari operasi thoraks adalah
pulmoner atau kardiak. Beberapa pasien membutuhkan ventilasi postoperasi
akibat munculnya gagal nafas sekunder akibat infeksi atau cidera paru akut (ALI).
Penggunaan cairan intravena selama dan setelah reseksi paru harus diberikan
dengan hati-hati. Hidrasi berlebihan berkaitan dengan timbulnya ALI dan
komplikasi pulmoner lain, terutama setelah dilakukan pneumonektomi.
Operasi yang dilakukan dengan thorakotomi posterolateral sangatlah
menyakitkan. Analgetik yang buruk menyebabkan distres dan mengganggu fungsi
paru dan pembersihan sputum; analgetik resional selalu disarankan baik dalam
bentuk blok paravertebral ataupun epidural thorakal. Tindakan ini memiliki
manfaat untuk menghindari pemberian opioid sistemik yang dapat menyebabkan
depresi pernafasan, atelektasis ataupun supresi batuk.
Penilaian Preoperatif
Fungsi Paru
 Klinis – cek status fungsional, roduksi sputum dan pemeriksaan fisik.
 Pencitraan – lakukan rontgen thoraks dan CT-scan.
 Test fungsi paru – Spirometri (FEV1), difusi (DLCO), gas darah arterial
(PCO2).
 Jika dibutuhkan, lakukan cardiopulmoner exercise test (CPET) (VO2max).
 Hitung apakah pasien dapat menjalani reseksi paru berdasarkan trias :
spirometri (FEV1), fungsi parenkim(DLCO), dan kapasitas aktivitas
(VO2max).
 Kelangsungan hidup berhubungan dengan jumlah fungsional paru tersisa
postoperatif. Hal ini diketahui dengan prediksi fungsi paru postoperatif
(PPO).
 Nilai PPO untuk FEV1 dan DLCO dihitung dengan rumus berikut : Nilai
PPO (%) = Nilai preop (%) x (1-% paru yang direseksi/100)
 Proporsi paru yang dimiliki tiap lobus dicantumkan di (gambar 15.1).
Contohnya, jika FEV1 preoperatif adalah 60% diprediksi dan dilakukan
lobektomi kiri bawah, nilai PPO FEV1= 60x (1-23/100). Sehingga, PPO
FEV1 adalah 60x0.77 = 46%
 Jika PPO FEV1 diatas 40% mortalitasnya rendah. Jika kurang dari 30%,
mortalitasnya sangat tinggi.
 Jika PPO FEV1 diantara 30% dan 40%, lakukan perhitungan yang sama
untuk PPO DLCO. Sama, mortalitasnya rendah jika jumlahnya diatas 40%
dan sangat tinggi jika dibawah 30%.
 Jika PPO DLCO diantara 30% dan 40%, ukur VO2max preoperatif
menggunakan CPET. Jika VO2max lebih besar dari 15 mL/kg/menit,
mortalitasnya rendah dan sebaliknya jika dibawah 15 mL/kg/menit
mortalitasnya tinggi.
 Pasien dengan sputum terinfeksi harus diterapi dengan antibiotik dan
fisioterapi.
 Pengobatan bronkodilator harus dilanjutkan.
Penyakit Jantung
Beberapa pasien akan memiliki resiko tinggi terhadap penyakit jantung.
Pasien dengan fungsi jantung yang buruk (CCS / NYHA III dan IV) memiliki
resiko yang terbesar dan kelompok ini membutuhkan input kardiologis.
 Periksa status fungsional
 Nilai murmur dan gagal jantung
 Lakukan EKG
 Lakukan echo jika ada murmur sistolik untuk mengukur kemungkinan
stenosis aorta (AS). Operasi dapat dilakukan dengan aman bahkan pada
pasien dengan AS berat asimtomatik dan fungsi sistolik ventrikel kiri yang
normal.
 Jika ragu mengenai kondisi myocardium, rujuk ke dokter jantung untuk
memberikan pendapat dan melakukan uji stres seperti CPET, dobutamine
stress echo (DSE) atau stress MRI.
 Lanjutkan beta blocker dan statin selama periode perioperatif
 Intervensi kardiak preoperatif pada tipe manapun hanya diindikasikan
pada pasien dengan penyakit jantung yang membutuhkan intervensi tidak
tergantung pada operasi yang dijadwalkan.

Pasien dengan stent koroner beresiko tinggi mengalami serangan jantung


perioperatif dan membutuhkan pemeriksaan multidisiplin. Derajat resiko
tergantung pada interval antara masukya stent dan operasi, dan lokasi
serta tipe stent. Pasien dengan stent yang baru dimasukkan, <6 minggu
dengan bare metal stent (BMS) dan <1 tahun dengan drug eluting stent
(DES), dan pasien dengan stent di arteri koronaria sinistra dan proximal
arteri koronaria sinistra anterior descendent memiliki resiko yang paling
besar. Pasien mendapat aspirin ditambah klopidogreal selama 1 tahun
terhakhir stelah pemasangan DES dan 6 minggu setelah pemasangan
BMS. Menghentikan dual terapi dimasa tersebut berhubungan dengan
resiko tinggi mengalami thrombosis stent. Hal ini biasanya fatal jika stent
berada di arteri besar. Selain itu, melanjutkan dual terapi ini dapat
meningkatkan resiko perdarahan perioperatif.. Protokol lokal harus ada
untuk menatalaksana pasien ini. Pendekatan yang disarankan berupa:
 Melanjutkan aspirin namun menghentikan klopidorel 1 minggu
preoperatif.
 Saat 3 hari preoperatif mulai berikan infus agen antiplatelet intravena
short-acting.
 Hentikan infus 8 jam preoperatif dan ulangi kembali postoperatif jika
resiko perdarahan rendah (biasanya setelah beberapa jam).
 Hentikan infus dan mulai ulang pemberian klopidogrel saat pasien dapat
menerima pengobatan oral kembali.
Diabetes dan gagal ginjal ditalaksana sesuai standar. Skrining EKG dan
darah rutin harus selalu dilakukan. Thromoprofilaksis diindikasikan untuk seluruh
prosedur kecuali pada bronkoskopi terisolasi.
Intubasi Endobronkial
Endobronchial tube double lumen (The Carlens), pertama kali
diperkenalkan untuk spirometri bronkopulmoner pada 1949. The Robertshaw
tube, tipe nondisposable terbaik, diperkenalkan pada 1962. Terdapat versi kanan
dan kiri dan tersedia dalam 3 ukuran: kecil, sedang dan besar. Pada banyak unit,
tube reusable (pakai ulang) telah diganti dengan tube sekali pakai, dimana
“Broncocath” adalah yang paling banyak digunakan. Tersedia dengan dalam
beberapa ukuran. Ukuran 35, 37, 39 dan 41 dapat digunakan pada orang dewasa.
Pilihan ukuran tube tergantung pada tinggi pasien (Tabel 15.2).
Kebanyakan dokter anestesi menggunakan tube double lumen untuk
operasi thoraks. Karena alat ini mudah dimasukkan dan stabil setelah dipasang.
Alat ini juga mendukung deflasi paru cepat dan memiliki pembersihan sekresi
yang baik via suction. Peletakkan yang tidak dipandu (blind) tdak
direkomendasikan. Bronkoskopi fibre-optik melalui lumen bronkial harus
dilakukan untuk meletakkan tube dibawah pengawasan langsung. Bronkoskopi
melalui lumen trakea dapat mengkonfirmasi posisi relatif dari karina. Tetapi,
pemeriksaan bronkoskopi diikuti peletakan yang tidak dipandu masih
diperbolehkan. Terdapat dua paham pemikiran mengenai sisi tube mana yang
harus digunakan. Beberapa orang memilih untuk mengintubasi bronkus pada paru
yang normal. Sisanya memilih untuk menggunakan left-sided tubetidak
bergantung pada operasi (seperti pada penggunaan left-sided tubepada
pneumonektomi kiri)
Prosedur Inflasi Cuff
Kembangkan tracheal cuff dahulu kecuali pada bronkiektasis dengan sekresi
purulen, perdarahan pulmoner berat dan fistula bronkopleural. Pada kondisi ini,
kembangkan bronchial cuff terlebih dahulu untuk mencegah overspill.
Saat tracheal cuff sudah mengembang, periksa suara nafas bilateral. Letakkan
stetoskop di lateral dekat dengan aksila.
Dengan ventilasi bilateral, ventilasi perlahan lumen endobronkial, dan buka sisi
lumen trakeal pada tube.
Dengar dan rasakan udara melewati bagian lumen trakea selama IPPV saat
mengembangkan bronchial cuff. Udara yang keluar akan hilang setelah cuff
mengembang jika ukuran dan posisi cuff tepat.
Alternatif untuk tube double lumen adalah bronchus blocker dengan
endotracheal tube biasa atau tube yang dikombinasikan dengan blocker (The
Combivent).
Terdapat beberapa tipe blocker sekali pakai. Blocker dimasukkan ke endotracheal
tubedan diletakkan diantara bronkus pada cabang atas paru menggunakan
bronkoskopi. Saat isolasi paru dibutuhkan, blocker akan dikembangkan. Deflasi
paru melalui lumen blocker, namun hal ini seringkali dinilai lebih lambat
dibandingkan dengan tube double lumen. Stabilitas posisi tidak sebaik tube double
lumen.
Ventilasi Satu Paru (OLV)
Mayoritas operasi thoraks besar dilakukan pada pasien dengan posisi lateral
Saat bagian atas paru dideflasi untuk melakukan operasi, aliran darah pulmoner ke
paru terus berlanjut. Dilakukan pembuatan shunt dan hipoksemia dapat terjadi
Gunakan oksigen konsentrasi 50% selama OLV jika saturasi oksigen PaO2 baik.
Tingkatkan secara perlahan jika saturasi oksigen arterial (SpO2) terlalu rendah.
Hal ini tidak mempengaruhi shunt di bagian atas paru, namun meningkatkan
oksigenasi alveoli dengan prefuse ventilasi rendah di paru bagian bawah.
 Terdapat bukti bahwa inflasi berlebihan (barotrauma dan volutrauma)
menyebabkan cidera paru akut. Penggunaan volume tidal rendah akan
memberikan outcome yang lebih baik pada pasien dengan sindroma distres
pernafasan akut.
 Membatasi ventilasi dapat menyebabkan retensi karbon dioksida, namun
hiperkarbia lebih disukai dibandingkan dengan cidera paru.
 Vasokonstriksi pulmoner hipoksik (HPV) memainkan sedikit peran dalam
mengurangi hipoksemia selama waktu yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan operasi.
 Banyak agen inhalasi menghambat HPV namun hal tersebut tidak
mengganggu oksigenasi arterial selama OLV.
 Paduan umum untuk OLV dijelaskan pada Tabel 15.3.
Terhirup Benda Asing
Benda asing dapat terhirup pada seluruh usia namun lebih sering pada
anak berusia dibawah 3 tahun, lanjut usia, dan pasien yang mengalami kelemahan
atau penurunan kesadaran. Benda asing di cabang trakeobronkial membutuhkan
tindakan pengambilan menggunakan bronkoskopi. Bronskokopi rigid merupakan
instrumen untuk prosedur ini, karena memfasilitasi penggunaan forsep dengan
ukuran yang adekuat. Kacang seringkali terhirup oleh anak dan cenderung
terpecah menjadi beberapa bagian di saluran nafas, melepaskan minyak iritan
yang dapat menyebabkan inflamasi berat.
Penilaian Preoperatif
Terdapat riwayat tersedak, seperti terbatuk saat makan, mengunyah atau
mengemut sebuah benda. Hal lain, seperti batuk kronik disertai mengi, stridor atau
demam dapat menjadi gambaran klinisnya. Infeksi dada presisten pada anak yang
sehat membutuhkan pemeriksaan untuk melihat adanya benda asing.
Pemeriksaan
 Rontgen thoraks. Dapat normal atau menunjukkan emfisema obstruktif,
atelektasis atau konsolidasi. Objek juga dapat terlihat dalam gambaran
radio-opak.
 Pemeriksaan darah lengkap pada anak.
 Pemeriksaan standar berkaitan dengan usia dan kondisi medis.
Premedikasi
 Dokter anestesi cenderung memberikan perhatian khusus untuk anak; tidak
ada hal khusus untuk pasien dewasa
 Berikan premedikasi jika mengalami obstruksi saluran nafas atas
Penatalaksanaan Perioperatif
 Pemeriksaan dasar rutin
Tehnik Anestesi
 Induksi inhalasi direkomendasikan karena IPPV dapat menyebabkan
dislokasi lebih lanjut pada benda asing. Induksi intravena pada dewasa dan
anak yang cukup berumur juga diperbolehkan.
 Induksi inhalasi pada anak kecil dan seluruh pasien dengan obstruksi
saluran nafas atas juga masih direkomendasikan
 Pada kebanyakan pasien, aman untuk menggunakan relaksan. Namun, jika
obstruksi saluran nafas atas terjadi akibat obstruksi di trakea bagian atas
atau laring, akan lebih aman untuk melakukan bronkoskopi dibawah
anestesi inhalasi dalam.
 Jika prosedur memakan waktu yang lama, rokuronium dapat digunakan
dengan sugammadeks yang tersedia untuk reversal.
 Pertahankan anestesi intravena pada dewasa, dan ventilasi perlahan dengan
sistem ventur, jaga agar tidak mendorong benda asing lebih jauh kedalam
saluran nafas.
 Pada anak, gunakan agen volatil dengan ventilasi bronkoskop.
Penatalaksanaan Postbronksoskopi
 Setelah prosedur atraumatik singkat.
 Ventilasi dengan oksigen menggunakan facemask dan guedel airway atau
laryngeal mask.
 Lanjutkan anestesi IV dan pastikan relaksan telah reversi sempurna (nerve
stimulator).
 Perbolehkan pasien untuk sadar.
 Dudukkan.
 Humidifikasi udara/oksigen.
Setelah prosedur traumatik atau panjang
 Kemungkinan akan ada edema saluran nafas atas terutama pada anak kecil
dan ventilasi postoperatif kemungkinan diperlukan.
 Lepaskan bronkoskop dan intubasi ulang denganoral endotracheal tube
kecil.
 Perbolehkan pasien untuk sadar didampingi O2 100%.
 Ekstubasi dan dudukkan.
 Humidifikasi udara/oksigen
 Steroid dan nebulisasi epinefrin dapat bermanfaat.
 Persiapkan untuk intubasi ulang darurat.
 Kembalikan seluruh pasien anak ke HDU.
Lobektomi

Lobektomi adalah eksisi pembedahan pada salah satu lobus paru (atau dua lobus
jika lobus medial paru kanan direseksi dengan lobus lainnya). Tindakan ini
dilakukan secara thorakotomi posterolateral ataupun dengan VATS. Indikasi
tindakan biasanya adalah tumor (biasanya malignan), bronkiektasis, TB, dan
infeksi jamur.

Penilaian Preoperatif
 Pasien dengan bronkiektasis biasanya diberikan antibiotik preoperatif
selama beberapa hari dan fisioterapi dengan drainase postural.
 Jika berupa sel kanker kecil, dapat berhubungan dengan sindroma
miastenik (Eaton-Lambert). Gambaran klinis berupa kelemahan anggota
gerak proksimal yang membaik dengan aktivitas. Tidak ada kelemahan
bulbar. Pasien ini sangat sensitif terhadap seluruh muscle relaxant.
 Darah harus tersedia.

Premedikasi

 Penjelasan lengkap mengenai kebutuhan perawatan intensif, monitoring


postopertif dan analgetik yang meliputi manfaat serta resiko blokade
neuraxial.

Monitoring

 Pemeriksaan dasar rutin.


 Tekanan arterial invasif.
 Tekanan vena sentral.
 Suhu inti.
 Gas darah arterial.
 Urin output (jika diberikan anastesi epidural atau pasien beresiko tinggi).

Tehnik Anestesi

 Anestesi umum menggunakan agen volatile atau TIVA, dengan


suplementasi opioid/relaksan. Remifentanil, atrakurium dan desfluran agar
pasien bangun dengan halus dan segera. Nitooksida tidak disarankan.
 Blok regional (epidural thorakal, paravertebral atau epipleural) biasanya
digunakan kecuali jika dikontraindikasikan
 Bronkoskopi biasanya dilakukan terlebih dahulu menggunakan tube single
lumen standar.
 Intubasi dengan double lumen endobronchial tube, atau lanjutkan dengan
standard endotracheal tube dnegan bronchial blocker.
 Tatalaksana hipotensi terkait epidural dengan vasokonstriktor bukan
dengan cairan.
 Anestesi pada satu paru digunakan saat dada terbuka.
 Pada bronkiektasis, lobus yang tersisa dari lobus paru atas tidak terlindung
dari sebaran sekresi. Material infektif dapat melewati endocbronchial cuff
ke paru bawah. Suction berulang pada kedua paru dapat mencegah
kontaminasi. Penyebaran sekresi dari lobus ke lobus dapat dibatasi dengan
menggunakan bronchus blocker untuk menghalangi bronkus tertentu
namun cukup rumit.
 Kerapatan jahitan bronkial diuji sebelum menutup paru. Tunggul bronkial
ditutup dengan air steril. Tekanan hingga 30 cm H2O diberikan secara
manual dari rebreathing bag. Adanya gelembung menandakan adanya
kebocoran.
 Kebocoran signifikan dari permukaan paru membutuhkan tindakan
stapling atau penyegelan dengan lem jaringan.
 Mempertahankan normothermia sangatlah penting terhadap fungsi paru
postoperatif. Pengahangatan, pemberian cairan hangat dan penggunaan
pemanas dan moisture exchanger wajib dilakukan.

Penatalaksanaan Postoperasi

 Drain apikal dan basal diletakkan saat operasi (apikal anterior ke basal)
dengan suction pada -2kPa dan dibawah water seal.
 Pastikan relaksan terlah direversi sempurna (nerve stimulator)
 Ekstubasi dalam posisi duduk, bernafas secara spontan.
 Berikan oksigen humidifikasi dengan face mask.
 Kebocoran udara persisten dapat memberikan masalah.

Komplikasi

 Perdarahan. Ganti volume yang hilang. Dapat membutuhkan pembedahan


eksploratif.
 Retensi sputum, infeksi, cidera paru akut, dan gagal nafas. Tatalaksana
dengan fisioterapi, antibiotik, ventilasi dan trakeostomi dini.
Operasi Mediastinum

Operasi mediastinum dapat dibagi menjadi 2 kategori:

 Diagnostik – mediastinoskopi, mediastinotomi


 Terapeutik – eksisi tumor dan kista

Prosedur mediastinoskopi dan mediastinotomi digunakan untuk menilai


keterlibatan nodus limfe mediastinal untuk menentukan stage karsinoma, saat
sampel diambil. Pasien ini dikategorikan untuk menjalani pneumonektomi dan
lobektomi namun prosedur stagingnya beresiko rendah.

Pasien dengan tumor mediastinum primer berukuran besar memiliki resiko


tinggi, yang diakibatkan oleh obstruksi jalan nafas. Pasien tersebut membutuhkan
prosedur diagnostik minor namun masalah saluran nafasnya sebenarnya
membutuhkan operasi mediastinal mayor. Beberapa pasien dengan thymoma
memiliki myasthenia gravis. Thymoma jarang memiliki ukuran yang dapat
menyebabkan obstruksi saluran nafas.

Mediastinoskopi/ Mediastinotomi

Mediastinoskopi adalah masuknya mediastinoskop ke area paratrakheal melalui


insisi kecil diatas takik suprasternal. Biopsi dapat diambil dan nodus limfe dapat
dipalpasi dengan jari. Mediastinotomi adalah membuka bagian anterior
mediastinum melalui insisi pada bantalan kartilago kostalis kedua. Pleura dapat
mengalami cidera.

Penilaian preoperatif dan pertimbangan

 Nilai obstruksi trakea atau deviasi dengan pemeriksaan klinis (stridor


inspirasi), rontgen thoraks (PA dan lateral) atau CT scan.
 Myasthenia merupakan kasus khusus yang membutuhkan penanganan
pakar.

Premedikasi

 Tidak ada yang dibutuhkan.

Monitoring
 Pemeriksaan dasar rutin; pemasangan jalur(infus) arterial dapat
bermanfaat.

Tehnik anestesi

 Bronkoskopi rigid/ fiber-optik biasanya dilakukan terlebih dahulu.


 Pasien dalam posisi supinasi dengan bantal diletakkan dibawah bahu dan
leher diekstensikan.
 Anestesi umum dengan agen volatile atau TIVA, suplementasi dengan
opioid/relaksan. Remifentanil, atrakurium dan desfluran
direkomendasikan. Nito oksida tidak disarankan.
 Adanya obstruksi saluran sangat mungkin terjadi.
 Jika mengenai pleura saat mediastinotomi, biasanya tidak menimbulkan
masalah apabila tidk ada kebocoran dari paru. IPPV denan PEEP menjaga
paru tetap mengembang.

Penatalaksanaan postoperasi

 Pastikan relaksan telah direversi.


 Ekstubasi dalam keadaan duduk.
 Periksa kemungkinan pneumothoraks dengan rontgen thoraks.

Operasi Mediastinal Besar

Tumor mediastinum anterior dan superior primer paling sering terjadi pada
dewasa muda. Tumor meliputi thymoma, thyroid retrosternal dan teratoma.
Sebesar 10% pasien dengan myasthenia gravis memiliki thymoma dan myasthenia
menimbulkan masalah yang berbeda. Tumor mediastinal anterior cenderung
menimbulkan permasalahan selama tindakan anestesi. Masalah terbesar berupa
kompresi dan obstruksi saluran nafas serta struktur vaskular, yang paling sering
adalah vena cava superior (SVC). Mortalitas operasi di senter spesialis adalah
rendah dan memiliki outcome yang baik setelah dilakukan reseksi kuratif.
Rekurensi merupakan masalah pada beberapa tumor. Kondisi tersebut dapat
merespon kemoterapi atau radioterapi. Beberapa tumor (cth, teratoma sekunder)
dapat memerlukan operasi ulang.
Prosedur

Operasi biasanya dilakukan dengan sternotomi median dalam posisi supinasi,


namun tumor kecil dapat direseksi secara transservikal. Hilangnya darah dapat
dipertimbangkan.

Penilaian Preoperatif dan pertimbangan

 Gejala pernafasan, batuk, mengi, stridor atau dyspneu menandakan adanya


obstruksi trakea.
 Rontgen thoraks (AP dan lateral) dan CT scan untuk mengevaluasi trakea.
 Tes fungsi paru dengan flow volume loop.
 Terkadang dilakukan pemeriksaan echo atau angiografi pulmoner
(keterlibatan perikardium atau arteri pulmoner).
 Pasien mysthenik sering membutuhkan steroid dan agen imunosupresi
lain. Steroid tambahan kemungkinan diperlukan.
 Optimalkan antikolinesterase preoperatif (minta pendapat spesialis saraf).
Hentikan antikolinesterase 4 jam sebelum operasi.
 Penjelasan lengkap mengenai kebutuhan perawatan intensif, kemungkinan
membutuhkan ventilasi postoperasi, monitoring dan analgetik meliputi
manfaat dan resiko dari blokade neuraxial.
 Darah harus tersedia.

Premedikasi

 Tidak ada yang diperlukan.

Monitoring

 Pemeriksaan dasar rutin


 Tekanan arterial invasif
 Tekanan vena sentral (femoral jika SVC mengalami obstruksi)
 Suhu inti
 Gas darah arterial
 Urin output (jika dilakukan anastesi epidural atau pasien beresiko tinggi)

Tehnik anestesi
 Beberapa tumor menekan trakea saat pasien dalam posisi supinase dan
pasien tdak dapat berbaring.
 Akses vena ekstremitas inferior jika SVC mengalami obstruksi.
 Anestesi umum dengan agen volatil atau TIVAyang disuplementasi
dengan opioid dan relaksan. Remifentanil, atrakurium dan desfluran
direkomendasikan. Nitro oksida tidak disarankan.
 Pertimbangan khusus mengenai penggunaan muscle relaxant pada
myasthenia gravis. Uniknya pasien myasthenia sensitif terhadap relaksan
nondepolarisasi namun resisten terhadap suxamethonium. Gunakan
atrakurium dosis sangat rendah atau tidak gunakan reaksan sama sekali.
Selalu gunakan nerve stimulator jika menggunakan relaksan.
 Sternotomi tidak terlalu nyeri dibandingkan thorakotomi. Blok regional
adalah opsional namun dapat bermanfaat pada myasthenia dimana blok
motorik nya minimal.
 Kehilangan darah adalah masalah utama dan darah harus selalu tersedia.
 Gunakan FiO2 kompatibel dengan saturasi oksigen arterial adekuat dan
batasi cairan intravena jika pasien telah mendapat kemoterapi dengan
bleomycin (resiko cidera paru akut).

Obstruksi saluran nafas

Pilihan untuk menatalaksana tumor yang menekan saluran nafas, yaitu:

 Induksi pasien dengan posisi yang membuat pasien nyaman untuk


bernafas (biasanya duduk atau lateral). Kemudian disupinasikan untuk
intubasi.
 Induksi inhalasi (dapat menjadi sulit).
 Induksi intravena diikuti dengan suxamethonium atau rokuronium dan
bronkoskopi rigid untuk membebaskan saluran nafas.
 Gunakan bypass kardiopulmoner dengan kanulai vena serta arteri femoral
perkutaneus terbangun, terutama pada keberadaan obstruksi saluran nafas
yang jelas atau penekanan arteri pulmoner.

Penatalaksanaan postoperatif
 Pastikan relaksan telah direversi penuh (nerve stimulator).
 Ekstubasi pada posisi duduk, bernafas secara spontan.
 Berikan oksigen humudifikasi melalui face mask/
 Hati hati terhadap pemberian cairan intravena (cidera paru akut).
 Tatalaksana hipotensi terkait epidural dengan vasokonstriktor, bukan
dengan cairan.
 Pertimbangkan ventilasi mekanik jika operasi berlangsung lama, pasien
myasthenia, seksio saraf besar (cth frenikus) atau patensi jalan nafas masih
bermasalah.
 Berikan kembali antikolinesterase (hanya pada pasien myasthenia gravis).

Pleurektomi dan Pleurodesis

Pleurektomi adalah pembuangan bagian pleura parietal. Hal ini merupakan pilihan
terapi untuk pasien yang sesuai (biasanya pasien dewasa muda kurus) dengan
pneumothoraks spontan. Pleua dilepaskan kecuali yang dibagian diatas diafragma
dan di permukaan mediastinum yang kemudian akan melekat kembali ke dinding
dada. Biasanya dilakukan dengan tehnik VATS namun pendekatan dengan
pembukaan thoraks dapat dilakukan. Pleurektomi bilateral terkarang dibutuhkan
dan dilakukan dengan sternotomi. Pleurodesis adalah memasukkan sebuah
substansi ke rongga pleura (biasanya talk) untuk menciptakan perlekatan
inflamasi. Hal ini diindikasikan pada pasien dengan pneumothoraks sekunder
akibat PPOK, pasien laki laki tinggi dan kurus serta pasien dengan efusi maligna.
Tindakan ini dilakukan menggunakan tehnik VATS.

Penilaian Preoperatif dan Pemeriksaan

 Seluruh pneumothoraks harus di drain sebelum tindakan anestesi.

Premedikasi

 Tidak ada yang diperlukan

Monitoring

 Pemeriksaan dasar rutin


 Tekanan arteri invasif pada pasien
Tehnik Anestesi

Pleurektomi VATS dan Terbuka/ VATS Pleurodesis

 Anestesi umum dengan agen volatil atau TIVA yang disuplementasi


dengan opioid/relaksan. Nitro oksida memperbesar ukuran
pneumothoraks, sehingga tidak boleh digunakan.
 Blok regional (epidural thorakal, paravertebral atau epipleural) biasanya
digunakan untuk pleurektomi terbuka kecuali jika dikontraindikasikan.
 Epidural tidak dibutuhkan untuk prosedur VATS.
 Intubasi dengan double-lumen endobronchial tube. Minimalkan tekanan
pengembangan. Ventilasi tekanan positif dapat menyebabkan timbulnya
tension pneumothoraks. Potensi keberadaan pneumothoraks pada sisi yang
tidak dioperasi.
 Anestesi satu paru digunakan bila thoraks terbuka.
 Gunakan vasokonstriktor, jangan cairal, untuk menatalaksana hipotensi
terkait epidural.
 Uji kebocoran udara sebagaimana dijelaskan untuk lobektomi.
 Mempertahankan normothermia sangatlah penting terhadap fungsi paru
postoperatif. Pengahangatan, pemberian cairan hangat dan penggunaan
pemanas dan moisture exchanger wajib dilakukan.

Penatalaksanaan Postoperatif

 Drain apikal dan basal diletakkan saat operasi dengan suction pada 2kPa
dan dengan water seal.
 Reversi relaksan
 Ekstubasi pada posisi duduk, bernafas secara spontan.
 Berikan oksigen humidifikasi dengan face mask
 Berikan analgetik yang adekuat
 Kebocoran udara persisten dapat memberikan masalah
 Insidensi rekurensi pneumothoraks setelah pleurektomi sangat rendah.
Pneumonektomi

Pneumonektomi adalah eksisi keseluruhan paru untuk pasien kanker paru.


Tindakan ini dilakukan melalui thorakotomi posterolateral. Resikonya lebih tinggi
dibanding lobektomi dengan mortalitas operasi hingga 6%.

Penilaian Preoperatif

 Standar untuk kasus operasi thoraks secara umum.


 Persiapan darah harus tersedia.
 Pasien dapat memiliki sindroma myasthenik.

Premedikasi

 Tidak ada yang diperlukan.


 Penjelasan lengkap mengenai kebutuhan perawatan intensif, monitoring
postoperasi dan analgetik yang meliputi manfaat dan resiko blokasi
neuraxial.

Monitoring

 Pemeriksaan dasar rutin


 Tekanan arteri invasif
 Tekanan vena sentral
 Suhu inti
 Gas darah arteri
 Urin output (jika anestesi epidural dilakukan atau pasien beresiko tinggi)

Tehnik anestesi

 Anestesi umum dengan agen volatil atau TIVA yang disuplementasi


dengan opioid/relaksan. Remifentanil, atrakurium dan desfluran
direkomendasikan. Nitro oksida tidak disarankan.
 Blok regional (epidural thorakal, paravertebral atau epipleural) biasanya
digunakan kecuali jika dikontraindikasikan.
 Bronkoskopi rigid biasanya dilakukan terlebih dahulu.
 Intubasi dengan double-lumen endobronchial tube.
 Anestesi satu paru digunakan saat dada terbuka.
 Tatalaksana hipotensi terkait anestesi epidural dengan vasokonstriktor,
bukan cairan.
 Perdarahan hebat daru arteri pulmoner kadang-kadang terjadi.
 Kerapatan jahitan bronkial diuji dengan air steril dan tekanan hingga 30
cm H2O yang dimasukkan secara kompresi manual dengan rebreathing
bag. Adanya gelembung menandakan adanya kebocoran.
 Mempertahankan normothermia sangatlah penting terhadap fungsi paru
postoperatif. Pengahangatan, pemberian cairan hangat dan penggunaan
pemanas dan moisture exchanger wajib dilakukan.

Penatalaksanaan Postoperasi

 Drain basal diletakkan saat operasi


 Pastikan relaksan telah direversi sempurna (nerve stimulator)
 Ekstubasi dalam posisi duduk, bernafas secara spontan.
 Berikan oksigen humidifikasi dengan facemask
 Batasi cairan intravena
 Gunakan vasokonstriktor, bukan cairan untuk menatalaksana hipotensi
terkait anastesi epidural.
 Jangan pernah gunakan suction pada drain pneumonektomi. Dokter bedah
cenderung untuk membuka klem drain selama 1 menit setiap 1 jam untuk
mengeluarkan darah. Drain dilepaskan setelah 24 jam.

Komplikasi

 Perdarah di rongga pleural. Diperiksa dengan melepaskan klem drain.


Ganti volume darah yang hilang. Kemungkinan membutuhkan
pembedahan eksploratif.
 Retensi sputum, infeksi, cidera paru akut dan gagal nafas. Hal tesebut
memiliki mortalitas tinggi setelah tindakan pneumonektomi Tatalaksana
dengan fisioterapi, antibiotik, ventilasi dan trakeostomi dini.
 Infeksi di rongga pneumonektomi. Hal ini membutuhkan draining dan
dapat berhubungan dengan fistula bronkopleural.
 Atrial fibrilasi. Tatalaksana dengan beta blocker±amiodaron, digoxin
biasanya tidak efektif.

Analgetik Post Operasi

Nyeri setelah thorakotomi lebih berat dibandingkan dengan tindakan insisi


lainnya. Oleh karena itu, blok regional biasanya digunakan, didampingi dengan
analgetik sistemik jika diperlukan. Seluruh blok kecuali epidural biasanya
memerlukan agen sistemik tambahan untuk mencapai efek analgetik optimal.
Blok biasanya digunakan untuk 3 hari postoperatif pertama. Kateter kemudian
dilepaskan dan dilanjutkan dengan analgetik sistemik. Nyeri neuropati kronik
sering terjadi setelah thorakotomi. Krioanalgetik pada nervus interkostal tidak lagi
digunakan karena menyebabkan insidensi tinggi terjadinya nyeri neuropatik.

Sumber Nyeri

 Dinding thoraks dan kebanyak dari pleura via nervus interkostalis.


 Pleura diafragmatika via nervus frenikus.
 Pleura mediastinal via nervus vagus.
 Sendi bahu via nervus spinalis C5-C7.

Tujuan Analgetik

 Mengurangi distres
 Memperbaiki fungsi paru dan pembersihan sputum
 Mengurangi komplikasi dan lama rawat inap, dan meningkatkan outcome.

Tehnik Analgetik

Blok Regional

 Blok interkostal
 Blok ekstrapleural
 Blok intrapleural
 Blok paravertebral
 Blok epidural

Analgetik sistemik
 Analgetik parenteral – opioid (biasanya PCA), parasetamol, NSAID dan
tramadol.

Anestesi Regional

Block nervus interkostal

 Mudah dilakukan namun durasi kerja nya pendek untuk tiap penyuntikan.
 Tidak mengontrol nyeri dari pleura diafragmatika, struktur mediastinum
dan area yang disuplai oleh rami primer posterior.

Blok ekstrapleural

 Kateter yang dipasang diletakkan di kantung pleura yang mengalami


retraksi sehingga bagian ujungnya berada di sendi kostoverberal.
 Anestesi lokal menyebar ke rongga paravertebral memberikan efek
analgetik pada rami primer anterior dan posterior.

Blok intrapleural

 Agen anastesi lokal diletakkan diantara pleura parietal dan visceral melalui
kateter terpasang.
 Agen analgetik bekerja dengan cara memblok nervus interkostal
 Jangan menyebarkan agen di rongga paravertebral.
 Analgetik tidak terprediksi karena sebagian obat dapat keluar melalui
drain thoraks, berikatan dengan darah di thoraks, dan absorbsi sistemik
yang cepat.
 Tidak dapat digunakan setelah pneumonektomi.

Blok paravertebral

 Kateter dimasukkan perkutaneus pada tingkat dimana penyebaran obat


berada di rongga paravertebral. Jadi, injeksi multipel pada tingkat berbeda
dapat digunakan sebagai “satu dosis” biasanya digabungkan dengan blok
ekstrapleural untuk analgetik postoperatif.
 Blok pada rami primer anterior dan posterior.
 Memberikan analgetik yang baik, dengan kemungkinan efek samping
yang lebih rendah dibandingkan dengan epidural.
 Cukup sulit untuk memposisikan secara akurat dan mempertahankan
posisinya dibandingkan dengan tehnik epidural
 Kerugian terbesarnya adalah reliabilitas inferior dibandingkan epidural.

Blok Epidural thorakal

Dinilai sebagai gold standard.

Tingginya area blok membutuhkan pendekatan torakal (biasanya sekitar T5-T6)

Pendekatan paramedian lebih mudah dibandingkan dengan midline.

Gunakan larutan anestesi lokal lemah dikombinasikan dengan opioid (biasanya


0.125% bupivakain dengan fentanil 2mcg/ml)

Memberikan efek analgetik yang sangat baik

Jarang menyebabkan blok motorik.

Kateter urin diperlukan pada kebanyakan pasien.

Hipotensi akibat blok simpatik harus ditangani dengan vasokonstriktor (seperti


norepinefrin infus) dibandingkan dengan cairan, dikarenakan pasien tidak
mengalami hipovolemik.

Patient-controlled epidural analgesia (PCEA) dengan bolus disamping infus lebih


baik dibandingkan infus saja.

Analgetik Sistemik

Jika tidak menggunakan anestesi epidural thorakal, analgetik yang seimbang


menggunakan parasetamol, NSAID dan opioid selalu diperlukan. Pemberian dapat
ditambahkan dengan tramadol.

Bronkoskopi Rigid

Bronkoskopi fiber-optik sudah banyak digunakan dan menggantikan penggunaan


bronkoskopi rigid untuk mendiagnosa penyakit paru. Tindakan ini digunakan
manuver terapeutik seperti mengambil benda asing, memasukkan stent atau
mengambil tumor. Ventilasi selama bronkoskopi dilakukan dengan injektor
Venturi atau ventilating broncoscope. High-frequency jet ventilation populer
dibeberapa negara namun tidak digunakan secara luas di Inggris.

Penilaian dan Pemeriksaan Preoperatif


 Nilai adanya obstruksi atau deviasi trakea dengan pemeriksaan fisik
(stridor inspirasi), rontgen thorak (PA dan lateral) tau CT-scan.
Premedikasi
 Tidak ada yang diperlukan.
 Lanjutkan pengobatan jantung dan paru.
 Hindari sedatif jika terdapat obstruksi bronkial.
Monitoring
 Pemeriksaan dasar rutin
Ventilator
Injektor venturi
 Biasanya digunakan pada pasien dewasa.
 Masukkan oksigen tekanan tinggi secara persisten ke injektor pada bagian
pangkal bronkoskop.
 Ujung pangkal bronkoskop harus terbuka agar udara masuk selama
inspirasi dan keluar saat ekspirasi. Jika saluran nafas atas mengalami
obstruksi dan sulit dikeluarkan, dapat terjadi barotrauma serius.
Ventilating bronchoscope
 Gunakan pada bayi atau anak dimana mereka rentan mengalami
barotrauma dengan tehnik injektor venturi.
 Lensa kaca menutup ujung pangkal bronkoskop.
 Sirkuit T-piece diletakkan di ujung pangkal dan ventilasi tekanan positif
manual dapat dimulai
 Anestesi dipertahankan dengan agen inhalasi.
Tehnik Anestesi
 Induksi intravena (dewasa), induksi intravena atau inhalasi (anak).
 Muscle relaxant kerja pendek (suxamethonium, mivacurium).
 Pertahankan anestesi biasanya secara intravena pada dewasa (propofol dan
remifentanil) dan inhalasi (sevofluran) pada anak-anak.
 Jika bronkoskopi memakan waktu lama atau diikuti tindakan pembedahan,
gunakan muscle relaxant kerja lama seperti atrakurium.
Penatalaksanaan Post Bronkoskopi
 Berikan IPPV dengan oksigen melalui facemask dan Guedel atau
laryngeal mask airway.
 Lanjutkan anestesi IV dan periksa apakah relaksan telah direversi (nerve
stimulator).
 Bangunkan dalam posisi duduk atau berbaring di sisi supuratif
(mengasilkan sekret) jika terdapat sekret.
 Persiapkan untuk intubasi ulang.

Anda mungkin juga menyukai