Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN HEMOTORAKS

Oleh; Dessy Anggraeni Saputri; 1206218770

I. Anatomi dan fisiologi


Pleura adalah membran serosa yang membungkus paru sebagai kantong dengan dua
dinding. Pleura viseralis membungkus paru dan fisura antara kedua lobus paru. Pleura
parientalis membungkus paru dari dalam pada setiap hemitoraks, mediastinum, dan puncak
diafragma; kemudian bergabung dengan pleura viseralis pada hilus (Black & Hawks, 2014).

Secara makroskopis, pleura normal memiliki permukaan licin, mengkilap dan


semitransparan. Pleura terbagi menjadi 3 bagian, yaitu pleura parietal, pleura visceral dan
rongga pleura.

a. Pleura parietal.
Pleura parietal terbagi dalam beberapa bagian, yaitu pleura kostalis yang
berbatasan dengan iga dan otot-otot interkostal, pleura diafragmatik, pleura servikal
atau kupula sepanjang 2-3 cm menyusur sepertiga medial klavikula di belakang otot-
otot sternokleidomastoid, dan pleura mediastinal yang membungkus organ-organ
mediastinum. Pleura parietal diinervasi saraf-saraf interkostalis dan nervus frenikus
serta mendapat aliran darah sistemik
b. Pleura viseralis
Luas permukaan pleura viseral sekitar 4.000 cm2 pada laki-laki dewasa dengan
berat badan 70 kg. pleura viseralis membatasi permukaan luar parenkim paru
termasuk fisura interlobaris.pleura viseralis diinervasi saraf-saraf otonom dan
mendapat aliran darah dari sirkulasi pulmoner.
c. Rongga pleura.
Rongga pleura berisi cairan. Cairan tersebut berfungsi sebagai pemisah pleura
viseralis dan pleura parietalis dan sebagai pergerakan pada kedua pleura selama
proses respirasi. Cairan ini berasal dari pembuluh darah intratoraks, kelenjar getah
bening intratoraks, pembuluh kapiler paru, ruang interstisial paru, dan rongga
peritoneum. Cairan mengandung 1500-4500 sel/ml terdiri dari makrofag, limfosit, sel
darah merah dan mesotel bebas serta diatur keseimbangan starling yang ditimbulkan
oleh tekanan pleura dan kapiler, kemampuan sistem penyaliran limfatik pleura dan
keseimbangan elektrolit.

Secara mikroskopis, pleura terbagi menjadi lima lapisan, yaitu lapisan selapis mesotel,
lamina basalis, lapisan elastik superfi sial, lapisan jaringan ikat longgar dan lapisan jaringan
fibroelastik dalam. Kolagen tipe I dan III yang diproduksi oleh lapisan jaringan ikat
merupakan komponen utama penyusun matriks ekstraseluler pleura dan merupakan 80%
berat kering struktur ini. Lapisan jaringan fibroelastik dalam menempel erat pada iga, otot-
otot dinding dada, diafragma, mediastinum dan paru. Lapisan jaringan ikat longgar tersusun
atas jaringan lemak, fibroblas, monosit, pembuluh darah, saraf dan limfatik.

II. Definisi, faktor resiko, dan etiologi penyakit


Hemotorax adalah keadaan dimana kavitas paru-paru terisi oleh darah. Hemotorax
disebabkan karena adanya trauma dada, baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Selain itu
hemotorax dapat terjadi karena keganasan neoplasma, rupture pembuluh darah akibat
pebengkakan aorta, dan komplikasi operasi. Trauma tumpul dapat menyebabkan hemotorax
karena tulang iga yang mengalami fraktur dapat melukai paru-paru. Ketika terjadi fraktur iga,
serpihan tulang iga maupun patahan tulang iga yang msih ada di rongga dada dapat
mencederai paru-paru. Biasanya cedera ini mengenai alveolus. Alveolus sendiri adalah
struktur yang banyak dikelilingis oleh pembuluh darah. Pembuluh darah ini akan pecah
setelah trauma. Pembuluh darah yang pecah ini akan menyababkan perdarahan. Darah yang
keluar dari pembuluh akan berkumpul di rongga pleura. Suatu keberadaan darah dalam
pleura dapat diklasifikasikan sebagai hemotorax apabila volume darah minimal 300-500 ml
(Pooler,2009).

Hemotorax dibagi menjadi tiga kategori menurut Pooler (2009) yaitu :

a Hemotorax Kecil, Apabila volume kurang dari 300-500 ml, biasanya dalam keadaan
ini darah mampu diabsorbsi oleh paru-paru dari rongga plura. Proses ini akan
memakan waktu 10-14 hari sampai pleura bersih dari darah tanpa menimbulkan
komplikasi.
b Hemotorax moderate, Apabila volume darah melebihi 500-100 ml. Darah akan
mengisi sepertiga dari rongga pleura maka akan menimbulkan gejala penekanan paru-
paru dan kehilangan darah di intravaskuler.
c Hemotorax besar (large hemotorax), apabila volume darah dalam rongga pleura lebih
dari 1000 ml. Pada hemotorax besar, darah akan mengisi setengah atau lebih rongga
pleura. Keadaan ini terjadi apabila terjadi perdarahan pada pembuluh darah
bertekanan tinggi. Hemotorax besar membutuhkan penanganan drainase sesegera
mungkin, bahkan apabila drainasi tidak efektif untuk mengeluarkan darah maka
dibutuhkan tindakan operasi bedah (Pooler,2009).
d Hemotorax Masif, akumulasi darah dalam rongga pleura dengan volume lebih dari
1500 ml (Caroline & Eling,2010). Darah yang hilang mencapai 25%-30% dari total
darah yang mengalir ke paru-paru. Sehingga pasien yang mengalaminya akan
mengalami syok berat. Paru-paru dapat menampung darah kurang lebih 3000 ml,
sehingga pada keadaan hemotorax masif rongga dada hampir dipenuhi oleh darah
(Caroline & Eling,2010).

III. Manifestasi klinis


a. Respon Hemodinamik
Ketika terjadi perdarahan dan volume darah masuk ke rongga pleura, maka
volume darah dalam pebuluh darah akan berkurang, sehingga terjadi syok
hipovolemik. Syok hipovolemik akan menyebabkan berbagai macam manifestasi
klinis. Syok hipovolemik akan menyebabkan berkurangnya tekanan nadi, karena
darah yang di pompa oleh jantung sedikit. Selain itu syok hipovolemik akan
menyebabkan darah sebagai pembawa oksigen akan berkurang. Sehingga, tubuh akan
kekurangan oksigen, untuk kompensasi hal ini jantung akan memompa darah dengan
cepat (trakikardi) dan mempercepat pernafasan (trakipnea).
Akumulasi darah dalam rongga pleura pada akhirnya akan menyebabkan tekanan
pada jantung. Apabila jantung tertekan maka darah akan sulit memasuki ruangan
atrium jantung. Sehingga akan terjadi pengumpulan darah di area vena kava. Selain
darah kesulitan untuk memasuki rongga jantung, jantung juga akan kesulitan dalam
memompa darah ke seluruh tubuh. Akibatnya kardiak output jantung akan menurun.
Keadaan ini dapat mengakibatkan tubuh kekurangan oksigen karena ada gangguan
dalam proses distribusi oksigen ke seluruh tubuh.
b. Respon Respirasi
Akumulasi darah dalam rongga pleura akan menekan paru-paru sehingga dapat
menyebabkan paru-paru kolaps. Kolapsnya paru-paru dapat menyebabkan gangguan
oksigenasi. Paru-paru gagal mengembang dan kolap sehingga menyebabkan udara
tidak bisa masuk ke dalam paru-paru. Nafas penderita akan mengalami dyspnea di
mana nafas lambat dan dangkal.
Respon lain adalah ketika darah yang memenuhi rongga pleura biasanya berasala
dari jaringan parenkim paru (alveolus). Apabila kapiler darah alveolus megeluarkan
darahnya ke rongga pleura maka akan terjadi gangguan pertukaran gas antara alveolus
dan pembuluh kapiler paru. Akibatnya fungsi perfusi paru akan terganggu. Karena
alveolus tidak bisa melakukan pertukaran gas dengan kapiler.
VI. Patofisiologi (WOC/mindmap)
(Terlampir)
VII. Komplikasi
Hemotorax yang tidak segera ditangani akan menimbulkan berbagai dampak yang
berbahaya bagi pasien. Darah yang berkumpul dalam rongga pleura apabila tidak dikeluarkan
akan menjadi zat iritan. Menurut Gourlay (2002) dalam Jones et.all (2005) darah yang
terakumulasi akan menyebabkan peningkatan efusi serum yang meningkatkan volume rongga
pleura. Darah yang dibiarkan akan mengalami penggumpalan dalam rongga pleura (Jones
et.all,2005). Pada klien dengan posisi rekumben maka gumpalan akan terbentuk dan menebal
di area dasar posterior, apeks dan sedikit di bagian anterior pleura. Setelah terjadi
penggumpalan maka akanterbentuk hemotorax terorganisasi. Hemotorax terorganisasi terdiri
dari tiga lapisan. Lapisan paling dalam berisi darah yang masih sedikit cair, lapisan tengah
berisi deposit jaringan fibrin yang sudah terorganisasi, sedangkan lapisan paling luar berisi
fibroblas yang menghasilkan matrix fibrin. Dalam matrix fibrin akan terbentuk pertunasan
pembuluh darah baru. Kumpulan fibroblas ini akan menghasilkan jaringan kolagen yang
menyebabkan fibrosis pada paru-paru. Jaringan skar yang terbentuk akan menyebabkan paru-
paru sulit melakukan ekspansi, karena jaringan skar akan menekan paru-paru dan
menyebabkan paru-paru menjadi kaku atau mungkin mengalami contract. Kondisi in disebut
fibrinothorax.

Selain fibrinothorax, komplikasi lain adalah terjadinya infeksi. Darah yang terakumulasi
merupakan media yang sangat subur untuk perkembangan bakteri ataupun pagen infeksi lain.
Apabila hemothorax tidak ditangani segera maka akan berkembangn infeksi pada torax.

VIII. Pengkajian
Pengkajian Fisik

1. Sistem Pernapasan :
 Sesak napas
 Nyeri, batuk-batuk.
 Terdapat retraksi klavikula/dada.
 Pengambangan paru tidak simetris.
 Fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain.
 Pada perkusi ditemukan Adanya suara sonor/hipersonor/timpani
 Pada asukultasi suara nafas menurun, bising napas yang berkurang/menghilang.
 Pekak dengan batas seperti garis miring/tidak jelas.
 Dispnea dengan aktivitas ataupun istirahat.
 Gerakan dada tidak sama waktu bernapas.
2. Sistem Kardiovaskuler
- Nyeri dada meningkat karena pernapasan dan batuk.
- Takhikardia, lemahPucat,
- Hb turun /normal.
- Hipotensi.
3. Sistem Persyarafan : Tidak ada kelainan.
4. Sistem Perkemihan: Tidak ada kelainan.
5. Sistem Pencernaan : Tidak ada kelainan.
6. Sistem Muskuloskeletal - Integumen.
 Kemampuan sendi terbatas.
 Ada luka bekas tusukan benda tajam.
 Terdapat kelemahan.
 Kulit pucat, sianosis, berkeringat, atau adanya kripitasi sub kutan.
7. Sistem Endokrine :
- Terjadi peningkatan metabolisme.
- Kelemahan.
8. Sistem Sosial / Interaksi: Tidak ada hambatan.
9. Spiritual : Ansietas, gelisah, bingung, pingsan.

Pemeriksaan Diagnostik
1 AGD; menentukan kadar oksigen dan karbondioksida dalam darah; hipoksia
atau hiperkapnia

2 Hemoglobin/hemotokrit; jika hasil menurun menunjukan kehilangan darah


3 X-ray dada; mengevaluasi organ atau struktur dada; merupakan pilihan utama
ketika klien mengalami trauma dada oleh benda tumpul.
4 CT toraks; lebih sensitif dibandingkan x-ray dalam mendeteksi cedera dada,
memar di paru-paru, hemotoraks, dan pneumotoraks.
5 Toraks ultrasound; membantu menentukan kelainan pada dada.
6 Toraksentesi; dilakukan untuk meringankan tekanan intratoraks karena
akumulasi cairan dalam rongga pleura, adanya darah atau cairan serosa
menunjukan hemotoraks.
IX. Masalah keperawatan dan diagnosis yang mungkin muncul
1 Ketidakefektifan pola pernapasan b.d penurunan ekspansi paru karena
penumpukan cairan
2 Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d peningkatan sekresi sekret dan
penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan.
3 Perubahan kenyamanan : Nyeri akut b.d trauma jaringan dan reflek spasme
otot sekunder.
4 Gangguan mobilitas fisik b.d ketidakcukupan kekuatan dan ketahanan untuk
ambulasi dengan alat eksternal.
5 Kerusakan integritas kulit b.d trauma mekanik terpasang WSD.
X. Prioritas diagosis
1. Ketidakefektifan pola pernapasan b.d penurunan ekspansi paru karena
penumpukan cairan
2. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d peningkatan sekresi sekret dan
penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan.
3. Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan reflek spasme otot
sekunder
XI. Rencana asuhan keperawatan (NCP) minimal 3 diagnosis keperawatan
XII. Treatment/ pengobatan dan terapi/medikasi
WSD (Water Seal Drainage) merupakan suatu sistem drainage yang menggunakan water
seal (perendaman air) untuk mengalirkan udara dan atau cairan dari cavum pleura (rongga
pleura). Tujuan WSD yaitu membuat pengembangan paru kembali normal sehingga klien
dapat menunjukkan pola napas yang adekuat dengan menggunakan prinsip steril, sistem
tertutup, dan adanya perbedaan tekanan antara botol dan rongga pleura. WSD digunakan
dalam menangani klien hemotoraks, pneumotoraks, dan hemopneumotoraks
6 Jenis-jenis WSD
WSD memiliki 3 jenis yang digunakan sesuai dengan keperluan klien yang
memiliki indikasi hemotoraks, pneumotoraks, dan hemopneumotoraks diantaranya
system satu botol, system dua botol, dan system tiga botol.
a. Sistem satu botol

Ujung akhir pipa drainase dari dada klien dihubungkan kedalam satu botol yang
memungkinkan udara dan cairan mengalir dari rongga pleura tetapi tidak
mengizinkan udara maupun cairan kembali ke dalam rongga dada. Secara
fungsional, drainase tergantung pada gaya gravitasi dan mekanisme pernapasan,
oleh karena itu botol harus diletakkan lebih rendah. Sistem satu botol digunakan
pada kasus pnemothoraks sederhana sehingga hanya membutuhkan gaya
gravitasi saja untuk mengeluarkan isi pleura. Di setiap botol ada batas cairan
yakni 2/3 penuh, dan ketika sudah 2/3 penuh maka botol harus segera diganti.
Hal ini dikarenakan kalau melebihi garis 2/3 maka cairan atau udara pada pleura
tidak dapat dikeluarkan.

b. Sistem dua botol


Sistem dua botol ini menggunakan dua botol dimana botol 1 untuk
menerima cairan atau udara dari klien dan botol 2 untuk membuat segel air.
Udara atau cairan dari rongga pleura diterima oleh botol 1. Udara dari botol 1
disalurkan ke botol 2, udara keluar dari akan membentuk gelembung dan
akhirnya disalurkan ke mesin untuk diperiksa. Botol ini juga memiliki batas
cairan yakni 2/3 guna cairan pleura dapat dikeluarkan
c. Sistem tiga botol

Pada sistem tiga botol ini ada penambahan botol ketiga yaitu untuk mengontrol
jumlah cairan suction yang digunakan. Sistem tiga botol menggunakan 3 botol
yang masing-masing berfungsi sebagai penampung, water seal, dan pengatur
yang mengatur tekanan penghisap. Botol ketiga merupakan pengatur hisapan
yang merupakan botol tertutup yang mempunyai katup atmosferik atau tabung
manometer yang berfungsi untuk mengatur dan mengendalikan mesin penghisap
yang digunakan.

7 Teknik Pemasangan WSD


 Klien berbaring dengan sedikit miring menghadap sisi yang tidak mengalami
fraktur
 Tentukan tempat pemasangan WSD. misalnya, klien mengalami faktur iga 5-8,
maka dipasang di sela iga VII atau VIII dan tentukan tebal dinding toraks
 Secara steril diberi tanda pada slang WSD dari lobang terakhir slang WSD tebal
dinding toraks (misalnya dengan ikatan benang)
 Cuci tempat yang akan dipasang WSD dan sekitarnya dengan cairan antiseptik
 Daerah tempat masuk slang WSD dan sekitarnya dibius setempat secara
infiltrate dan block
 Insisi kulit subkutis dan otot dada di tengah sela iga. Dan diteruskan secara
tajam menembus pleura
 Dengan klem arteri lurus lobang diperlebar secara tumpul
 Slang WSD diklem dengan arteri klem didorong masuk ke rongga pleura (dgn
sedikit tekanan)
 Fiksasi slang WSD sesuai dengan tanda pada slang WSD
 Daerah luka dibersihkan dan diberi zalf steril agar kedap udara dan dihubungkan
pada botol 2 dan 3 sesuai dengan kebutuhan.
8 Cara Perawatan WSD
a Perawatan WSD
Perawatan WSD ini terdiri atas perawatan luka dan perawatan slang dan
botol WSD. Untuk perawatan luka, verband diganti 3 hari sekali dan diberi zalf
steril untuk mengurangi bahaya infeksi. Sedangkan untuk perawatan slang dan
botol adalah dengan cara cairan dalam botol merupakan cairan antiseptik dan
diganti setiap hari, botol harus diganti ketika sudah penuh 2/3 dan harus steril.
Dalam masa pemasangan WSD, perlu mencatat ada atau tidaknya pertambahan
cairan dan gelembung udara.
b Perawatan klien yang terpasang WSD
- Awal pemasangan WSD
 Klien harus terinformasikan dengan jelas prosedur yang dilakukan dan
mendapatkan persetujuan dari klien.
 Alat yang diperlukan siap untuk pelaksanaan prosedur yang aman.
 Pertahankan teknik aseptic.
 Posisikan pasien nyaman dan tepat.
 Analgesic telah diberikan.
 Memasang vena akses untuk kondisi emergensi pemberian
cairan/medikasi bila diperlukan.
- Selama pemasangan WSD
 Menemani pasien.
 Monitor tanda nyeri dan distress.
 Monitor tanda vital dan saturasi oksigen tiap 15 menit pada jam pertama.
 Beri oksigen.
 Monitor area insersi WSD jika ada tanda emfisema subkutan.
 Monitor drainase yang perlu didokumentasikan pada form observasi.
 Pastikan tube/selang paten, cek undulasi selama pasien bernafas.
 Cek bubling (menunjukkan udara dalam rongga pleura).
 Jika undulasi dan/atau bubling tidak tampak anjurkan pasien untuk
batuk; jika tidak berhasil informasikan medis.
9 Kriteria Pencabutan WSD
Pencabutan WSD dapat dilakukan ketika paru-paru klien sudah mengembung secara
normal pada pemeriksaan fisik atau radiologic. Selain itu pencabutan juga dapat
dilakukan apabila darah atau cairan tidak keluar lagi ke botol WSD dan tidak
adanya pus dari selang WSD (tidak ada komplikasi empyema).

Daftar Pustaka:

Black, J.m., Hawks, J.H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah; Manajemen Klinis untuk
Hasil yang Diharapkan. Singapore: Elsevier

Caroline, Nancy, Eling, Bob. (2011). Caroline’s Emergency Care in the Street. London: Jones
and Barlett Publisher

Doenges, M. E., Moorhouse, M. F., & Murr, A. C. (2010). Nursing Care Plans: Guidlines for
Individualizing Client Care Across the Life Span, Edition 8. Philadelphia: F.A. Davis
Company.

Jones, Riyad Karmy, et.all.(2005).Thoracic Trauma and Critical Care. Massacushet: Kluwer
Academic Publisher.

Pooler, Charlotte. (2009). Porth Pathophysiology: Concept of Altered Healt State.


Philladhelphia: Lippincott Willian & Wilkins

Anda mungkin juga menyukai