Anda di halaman 1dari 6

Corporate Governance, Top Executive Compensation and Firm Performance in Japan

Mekanisme Tata Kelola Perusahaan Jepang


Berbeda dengan sistem monitoring yang berorientasi pasar eksternal perusahaan publik
AS, banyak perusahaan Jepang bergantung pada “berorientasi pada hubungan”. Sistem. Dalam
sistem ini, manajer kelompok saling memantau.
Bank Utama
Peran pemantauan utama dalam perusahaan-perusahaan Jepang biasanya ditunjuk untuk
satu bank, yang disebut "bank utama," yang biasanya merupakan pemberi pinjaman utama dan
seringkali salah satu pemegang saham terbesar perusahaan (misalnya Aoki, 1990a, b; Sheard ,
1994a, b). Aoki (1994) berpendapat bahwa bank utama secara pasif memantau manajemen
selama waktu "normal" , tetapi sering mengambil peran yang lebih aktif dan campur tangan
dengan manajemen ketika perusahaan menghadapi kesulitan keuangan. Ini adalah bagaimana
sistem bank utama dapat secara efektif menggantikan mekanisme kontrol berbasis pasar
eksternal (misalnya, Aokietal., 1994). Hirakietal. (2003) menawarkan pandangan alternatif
tentang peran pemantauan bank utama. Mereka berpendapat bahwa bank utama membatasi
perusahaan anggota dari melakukan investasi berisiko tinggi, dan berpotensi tinggi.
Banyak perusahaan di Jepang yang termasuk dalam kelompok perusahaan yang disebut
keiretsu. Sebuah keiretsu adalah kelompok industri, yang anggota perusahaan, terikat bersama
oleh stabil lintas kepemilikan saham, mempertahankan bisnis jangka panjang dan hubungan
keuangan dengan satu sama lain. Menurut Dodwell Marketing Consultants (1990), ada tujuh
belasutamakeiretsudi Jepang. Delapan dari ini diorganisir sekitar komersial bank (utama) utama
dan biasanya disebut sebagai “keuangan”. Keiretsu Kedelapan keuangan keiretsu adalah
Mitsubishi, Mitsui, Sumitomo, Fuyo, DaiichiKangyo Bank (DKB), Sanwa, Tokai dan Industrial
Bank of Japan (IBJ). Untuk keuangan keiretsu, bank utama berfungsi sebagai "organ sentral
dalam kelompok dan memainkan peran utama dalam kegiatan keuangan dalam kelompok" (Kang
dan Shivdasani, 1995). Juga,keuangan keiretsu perusahaan pada umumnya lebih tinggi
pengungkitnya (Nakatani, 1984), dan mereka meminjam lebih banyak dari lembaga keuangan
dalam kelompok, terutama bank utama (Berglof dan Perotti, 1994).
Berbeda denganfinansial ("horizontal") keiretsu-keiretsu, "vertikal" keiretsu adalah di
mana sekelompok sub kontraktor diorganisasikan di bawah satu perusahaan manufaktur besar
(Hoshi, 1994). Kami berpendapat bahwa hubungan bank utama lebih kuat
untukkeuangankeiretsuperusahaandaripada untukvertikal keiretsu perusahaandan perusahaan
non-keiretsu. Beberapa studi sebelumnya fokus pada karakteristik keuangan keiretsudan
membedakan mereka dari lain keiretsu perusahaan dan perusahaan independen (Berglofdan
Perotti, 1994; Nakatani,1984),dan kita mengikuti klasifikasi ini. Akhirat, keiretsumengacu pada
keuangan keiretsu kecuali dinyatakan lain.
Dewan direksi
Jepang (disebut "torishimari-yaku" atau "yakuin") secara hukum ditunjuk oleh pemegang
saham untuk membuat keputusan strategis dan "mengawasi urusan direksi" atas nama pemegang
saham (Yasui, 1999). Sementara sebuah perusahaan Jepang biasanya memiliki 20 anggota
dewan, perusahaan besar sering memiliki lebih dari 40 direktur; Toyota Motors memiliki 61
direktur pada tahun 1998.dewan Jepang adalah biasanya didominasi oleh orang dalam, yaitu
pejabat senior dalam perusahaan. Presiden biasanya adalah anggota dewan yang paling kuat,
kecuali dalam kasus yang jarang terjadi ketika ketua ("kaicho"), yang sering kali adalah mantan
presiden, memiliki wewenang yang lebih tinggi daripada presiden (Kaplan, 1994).
Praktek mempromosikan orang dalam menciptakan struktur hierarkis di dewan, di mana
promosi setiap direktur, serta keamanan kerja, sangat tergantung pada hubungannya dengan
eksekutif puncak (Yasui, 1999). Oleh karena itu, terlepas dari hak hukum masing-masing
direktur, Yasui (1999) mengemukakan bahwa sulit bagi dewan direksi untuk secara efektif
memantau dan mengendalikan eksekutif puncak. Namun, papan Jepang kadang-kadang termasuk
“luar” direktur. Salah satu fungsi dari direktur luar ini adalah untuk memperkuat pemantauan
manajemen perusahaan tuan rumah (Aokietal., 1994; Kaplan dan Minton, 1994; Sheard, 1994a).
Kaplan dan Minton (1994) membedakan antara "bank" di luar direktur, yang sebelumnya
dipekerjakan oleh bank, dan "perusahaan" di luar direktur, yang sebelumnya dipekerjakan oleh
lembaga non-keuangan.
Praktek kompensasi Jepang
Menurut Hukum Dagang, dewan direksi bertanggung jawab untuk menentukan jumlah
kompensasi eksekutif individu. Jumlah ini harus disetujui oleh pemegang saham, biasanya pada
rapat umum pemegang saham tahunan (NihonKeizaiShinbun, 4/20/96).
Di Jepang, kompensasi eksekutif puncak biasanya terdiri dari gaji tunai dan bonus
tunai. Kompensasi berbasis saham, seperti opsi saham dan hibah saham, tidak digunakan sampai
saat ini karena pembatasan hukum pembelian kembali saham dan perlakuan pajak yang tidak
menguntungkan bagi penerima (Yasui, 1999). Hukum Dagang mensyaratkan bahwa jumlah gaji
eksekutif dinyatakan dengan jelas dalam Anggaran Dasar Perusahaan dan / atau disetujui pada
rapat umum pemegang saham (Kobayashi, 1997). Dalam praktiknya, sebagian besar perusahaan
menetapkan jumlah maksimum total gaji tahunan yang mereka bayarkan kepada semua direktur,
dan meminta total ini disetujui oleh pemegang saham umum (Dai-ichi Mutual Life Insurance
Company, 1999).Perusahaan biasanya merevisi jumlah gaji maksimum setiap empat hingga lima
tahun untuk menyesuaikan faktor-faktor seperti inflasi, kondisi ekonomi makro, dan jumlah
anggota dewan (Dai-ichi Mutual Life Insurance Company, 1999). Setelah jumlah maksimum
disetujui, dewan direksi secara hukum bertanggung jawab untuk memutuskan jumlah individu
yang dibayarkan kepada masing-masing direktur. Namun, dewan biasanya memberikan
tanggung jawab ini kepada eksekutif puncak mereka, biasanya presiden perusahaan (Dai-ichi
Mutual Life Insurance Company, 1999; Kobayashi, 1997).
Peneliti ini menemukan bukti hubungan negatif antara kompensasi yang diprediksi oleh
variabel kepemilikan dan mekanisme pemantauan dan kinerja akuntansi berikutnya, tetapi tidak
ada hubungan dengan kinerja pengembalian di masa depan. Temuan ini menunjukkan bahwa
bobot variabel pemantauan dan kepemilikan dalam persamaan kompensasi terkait dengan
efektivitas struktur tata kelola perusahaan, daripada menjadi proksi untuk faktor penentu yang
diabaikan dari upah ekuilibrium eksekutif puncak. Dengan demikian, hasil menunjukkan bahwa
perusahaan Jepang dengan mekanisme tata kelola yang lebih lemah memiliki masalah agensi
yang lebih besar; bahwa eksekutif puncak di perusahaan-perusahaan dengan masalah agensi
yang lebih besar mendapatkan bayaran lebih tinggi; dan bahwa perusahaan dengan masalah
agensi yang lebih besar berperforma lebih buruk.
Analisis Komprehensif Pengaruh Family Ownership, Masalah Keagenan, Kebijakan
Dividen, Kebijakan Hutang, Corporate Governance dan Opportunity Growth Terhadap Nilai
Perusahaan

Struktur Kepemilikan
Struktur kepemilikan perusahaan juga dapat mempengaruhi masalah keagenan dalam
suatu perusahaan. Ketika suatu perusahaan sebagian besar sahamnya dimiliki oleh keluarga,
konflik keagenan antara pemilik perusahaan (prinsipal) dengan manajer (sebagai agen) masih
jarang terjadi. Arifin (2003) menyatakan bahwa perusahaan yang sahamnya sebagian besar
dimiliki oleh keluarga dapat mengurangi masalah agensi dibanding dengan perusahaan publik
yang tidak memiliki pengendali utama. Rendahnya biaya agensi diharapkan akan meningkatkan
nilai perusahaan. Di Indonesia sekitar 90 % perusahaan yang sahamnya dimiliki dan
dikendalikan oleh satu keluarga (bukan perusahaan konglomerasi). Kondisi ini tidak beda jauh
dengan di negara berkembang lainnya seperti Spanyol (La Porta, 1999).
Ditinjau dari sudut teori keagenan, perusahaan dengan kepemilikan dan pengendalian
keluarga yang tinggi relatif mempunyai kelebihan. Arifin (2003) mengatakan bahwa kelebihan
bagi perusahaan yang dimiliki dan dikendalikan oleh keluarga adalah adanya kecenderungan
untuk memiliki manajemen yang merupakan anggota dari keluarga, sehingga hal ini akan
mengurangi konflik keagenan antara pemegang saham dengan manajemen, seperti yang biasa
terjadi pada perusahaan yang terdapat pemisahan antara manajemen dengan pemilik. Dengan
pola kepemilikan yang terkonsentrasi dan pemilik utama yang dominan adalah keluarga, masalah
agensi yang mungkin timbul adalah konflik antara pemegang saham pengendali dengan
pemegang saham minoritas.
2.8 Mekanisme Bonding dan Monitoring
Menurut Jensen dan Meckling (1976) mekanisme bonding melalui kebijakan dividen,
struktur kepemilikan, dan struktur hutang dapat digunakan untuk mengurangi agency costs yang
timbul dari masalah keagenan (agency conflict). Crutchley dan Hansen (1989) mengatakan
bahwa penggunaan hutang diharapkan dapat mengurangi konflik keagenan. Penambahan hutang
dalam struktur modal dapat mengurangi penggunaan saham sehingga mengurangi biaya
keagenan. Ketika berhutang, perusahaan memiliki kewajiban untuk mengembalikan pinjaman
dan membayar beban bunga secara periodik. Kondisi ini menyebabkan manajer harus bekerja
keras untuk memenuhi kewajiban tersebut dengan cara meningkatkan laba. Namun, sebagai
konsekuensi dari kebijakan ini, perusahaan menghadapi biaya keagenan hutang dan risiko
kebangkrutan (Crutchley dan Hansen: 1989).
2.9 Corporate Governance
Permasalahan agensi muncul ketika kepengurusan suatu perusahaan terpisah dari
kepemilikannya. Corporate governance adalah semua upaya untuk mencari cara terbaik dalam
menjalankan perusahaan, dimana kebijakan-kebijakan dan peraturan-peraturan yang ada dalam
corporate governance dapat digunakan untuk mengontrol manajemen. Dengan melakukan
pengawasan yang diarahkan pada perilaku manajer agar bisa dinilai apakah tindakannya
bermanfaat bagi perusahaan (pemilik) atau bagi manajer sendiri. Secara umum implementasi
good corporate governance dipercaya dapat meningkatkan kinerja atau nilai perusahaan
(Siallagan, 2006). Kebijakan dividen dan hutang sebagai mekanisme pengawasan masalah agensi
(Jensen & Meckling, 1976) dalam upaya untuk meningkatkan nilai perusahaan akan lebih kuat
hasilnya ketika perusahaan menerapkan good corporate governance.
Struktur kepemilikan perusahaan juga dapat berpengaruh pada corporate governance
(Hermawan, 2009). Masalah agensi yang mungkin timbul adalah antara pemilik dengan
manajemen dan antara pemegang saham pengendali dengan pemegang saham minoritas.
Kepemilikan yang terkonsentrasi pada satu golongan (mayoritas) akan lebih banyak mengawasi
dan memonitoring pelaksanaan manajemen perusahaan. Prinsipal akan mengontrol perilaku
manajer agar allign dengan tujuan perusahaan yaitu meningkatkan nilai perusahaan dan akhirnya
meningkatkan kekayaan pemegang saham (Shareholder’s wealth).
2.10 Growth Opportunity
Dalam melihat pengaruh dari kebijakan yang diambil oleh perusahaan seperti kebijakan
dividen dan hutang terhadap nilai perusahaan, baik investor maupun pelaku pasar juga akan
mempertimbangkan potensi pertumbuhan yang dimiliki oleh perusahaan. Menurut Fama (1978)
nilai suatu perusahaan semata-mata dipengaruhi oleh peluang investasi, oleh karena itu investasi
merupakan suatu keputusan yang sangat penting dalam perusahaan. Myers (1977) mengkaitkan
peluang investasi dengan pencapaian tujuan perusahaan (Adam dan Goyal, 2003).
Peluang investasi memberikan petunjuk yang lebih luas bahwa nilai perusahaan
tergantung pada pengeluaran perusahaan di masa yang akan datang. Pemilihan opsi-opsi
investasi adalah tergantung oleh kebijakan manajer untuk melakukan expenditure di masa
mendatang. Manajer harus dapat melakukan kebijakan yang tepat terkait dengan investasi
sehingga nilai perusahaan dapat meningkat. Keputusan investasi sangat penting, karena untuk
mencapai tujuan perusahaan hanya akan dihasilkan melalui kegiatan investasi perusahaan.
Perusahaan dengan kesempatan investasi yang besar mengindikasi bahwa perusahaan tersebut
memiliki prospek ke depan yang cerah, sehingga akan berdampak positif pada harga saham.
Bukti empiris
Perusahaan dengan kepemilikan keluarga tinggi memiliki tingkat konflik keagenan yang
lebih rendah dengan perusahaan yang kepemilikan keluarga rendah (dengan menggunakan
pengukuran operating expenses dibagi annual sales). Perusahaan publik dengan kepemilikan
keluarga tinggi memiliki tingkat corporate governance yang lebih rendah dengan perusahaan
yang kepemilikan keluarganya rendah. Tingkat konflik keagenan berpengaruh secara positif
terhadap corporate governance (menggunakan dua pendekatan). Semakin tinggi agency conflict
dalam suatu perusahaan maka semakin tinggi corporate governance. Corporate governance
merupakan perangkat atau alat yang dapat melindungi para investor dari perilaku oportunistik
para agen/manajer. Penelitian menunjukan tidak adanya hubungan antara agency conflict dengan
kebijakan dividen.
Bila dikaitkan dengan struktur kepemilikan saham oleh keluarga, perusahaan yang porsi
kepemilikan kelurganya mendekati batas mayoritas atau dominasi tertentu cenderung tidak
menggunakan mekanisme bonding peningkatan dividen untuk mengurangi masalah agensi.
Terdapat hubungan antara kebijakan dividen dengan nilai perusahaan. Namun dengan arah
hubungan yang berlawanan. Kesimpulan yang bisa diambil yaitu semakin besar tingkat dividend
payout ratio (pembayaran dividen kepada pemegang saham) maka nilai perusahaan akan
semakin kecil; dividend payout ratio yang tinggi akan menyebabkan higher required return yang
tinggi sehingga menyebabkan nilai pasar saham menurun.
Kebijakan hutang perusahaan tidak mempunyai pengaruh secara positif terhadap nilai
perusahaan. Tingkat corporate governance mempunyai pengaruh positif terhadap hubungan
antara kebijakan dividen terhadap nilai perusahaan. Corporate governance tidak mempunyai
pengaruh positif terhadap hubungan antara kebijakan hutang terhadap nilai perusahaan. Sejalan
dengan hasil sebelumnya yang memperlihatkan bahwa kebijakan hutang tidak mempunyai
pengaruh terhadap nilai perusahaan, sehingga variabel corporate governance tidak mempunyai
peran memoderasi hubungan tersebut.

Anda mungkin juga menyukai