Anda di halaman 1dari 60

Corporate Governance, Top Executive Compensation and Firm Performance in Japan

Abstrak

Untuk 174 perusahaan besar Jepang selama 1992-1996, kami menemukan bahwa
gaji eksekutif puncak lebih tinggi di perusahaan dengan mekanisme tata kelola perusahaan
yang lebih lemah, mengendalikan standar penentu ekonomi dari upah. Kami menggunakan
kepemilikan manajemen dan kontrol keluarga ("mekanisme kepemilikan"), dan afiliasi
keiretsu, kehadiran direktur luar, dan ukuran dewan ("mekanisme pemantauan") untuk
mengukur mekanisme tata kelola perusahaan. Kami juga menemukan bahwa kelebihan
pembayaran terkait dengan kepemilikan dan variabel pemantauan berhubungan negatif
dengan kinerja akuntansi berikutnya, konsisten dengan adanya masalah keagenan. Namun,
kami tidak menemukan hubungan antara kelebihan pembayaran ini dan pengembalian saham
berikutnya. @ 2006 Elsevier BV Semua hak dilindungi undang-undang.

Kata kunci: Bank utama; Oportunisme manajerial; Kontrol keluarga

Analisis Komprehensif Pengaruh Family Ownership, Masalah Keagenan, Kebijakan


Dividen, Kebijakan Hutang, Corporate Governance Dan Opportunity Growth
Terhadap Nilai Perusahaan
Abstract
Studi ini mencoba mengeksplorasi sebagai tinjauan komprehensif bagaimana masalah
keagenan dipicu oleh perbedaan kepentingan antara pihak-pihak dalam perusahaan yang
akhirnya mempengaruhi nilai perusahaan. Studi ini akan menguji pengaruh struktur
kepemilikan terhadap konflik keagenan dan bagaimana kaitannya dengan kebijakan
perusahaan terutama kebijakan dividen dan leverage perusahaan. Studi ini juga melihat
pengaruh kebijakan perusahaan pada nilai perusahaan dan menguji peran tata kelola
perusahaan dan peluang pertumbuhan dalam mempengaruhi hubungan antara kebijakan
dividen dan utang untuk meningkatkan nilai perusahaan. Sampel penelitian 276 observasi,
diambil dengan purposive sampling dan menggunakan metode pooled regression untuk
analisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepemilikan keluarga secara negatif
mempengaruhi konflik keagenan dan praktik tata kelola perusahaan. Selanjutnya, adanya
konflik keagenan akan mempengaruhi kebijakan dividen dan utang, yang hanya kebijakan
dividen yang mempengaruhi nilai perusahaan. Dalam penelitian ini juga menemukan bukti
bahwa tata kelola perusahaan dapat memoderasi hubungan antara kebijakan dividen dan nilai
perusahaan. Kami tidak dapat membuktikan peran moderasi peluang pertumbuhan dalam
meningkatkan nilai perusahaan. Kata kunci: Konflik keagenan, kebijakan dividen, utang, tata
kelola perusahaan, peluang pertumbuhan & nilai perusahaan.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Coreetal. (1999) menyelidiki peran yang dimainkan mekanisme tata kelola
perusahaan dalam mengendalikan pembayaran CEO. Mereka menemukan bahwa perusahaan
AS dengan mekanisme tata kelola yang lebih lemah memiliki masalah agensi yang lebih
besar, sebagaimana tercermin dalam gaji yang lebih tinggi kepada CEO daripada yang
dibenarkan kinerja perusahaan mereka masih harus diperiksa apakah mekanisme tata kelola
perusahaan di negara lain mengendalikan oportunisme manajerial melalui kelebihan
pembayaran eksekutif dengan cara yang sama. Kami mempelajari pertanyaan ini
menggunakan perusahaan Jepang karena Jepang secara ekonomi dan budaya berbeda dari AS
untuk membuat analisis ini bermakna.
Ang dan Constand (1997) dan Kang dan Shivdasani (1995) menggambarkan
bagaimana kepemilikan perusahaan Jepang dan mekanisme kontrol berbeda dari yang ada di
AS. Eksekutif Jepang cenderung memiliki lebih sedikit ekuitas, ada lebih sedikit investor
individu, dan pemegang saham besar cenderung pasif kecuali perusahaan mengalami
kesulitan keuangan yang ekstrem (lihat, Kaplan dan Minton, 1994). Difusi kontrol ini dapat
menghasilkan masalah agensi yang lebih besar antara manajer dan pemilik di Jepang daripada
di AS. Namun, beberapa mekanisme tata kelola perusahaan Jepang yang berbeda mungkin
mengurangi masalah agensi ini. Sebagian besar perusahaan Jepang memiliki hubungan dekat
dengan "bank-bank utama" yang memiliki ekuitas dan utang substansial di dalamnya dan
dengan demikian memiliki insentif untuk memantau mereka (misalnya Hirakietal., 2003).
Selain itu, perusahaan sering kali dihubungkan oleh kontrak implisit dan eksplisit ke dalam
kelompok industri yang disebut keiretsu, dan pemantauan timbal balik keiretsumanajerdapat
mengurangi oportunisme manajerial dan asimetri informasi. Kami memeriksa apakah
mekanisme tata kelola perusahaan Jepang ini membantu mengendalikan gaji eksekutif
puncak yang berlebihan.
Di Jepang, seperti kebanyakan komunitas bisnis dunia, paket kompensasi manajerial
masih merupakan rahasia yang relatif terjaga. Meskipun AS telah lama meminta agar data
kompensasi individu diungkapkan untuk lima pejabat bayaran tertinggi, sangat sedikit negara
yang mengikuti jejaknya.Regulator sekuritas Jepang telah mengamanatkan pengungkapan
total kompensasi yang diberikan kepada dewan direksi (lihat Ang dan Constand, 1997;
Kaplan dan Minton, 1994), tetapi tidak memerlukan pengungkapan kompensasi eksekutif
individu. Namun, Kementerian Keuangan Jepang tidak bersifat rahasia. Kami mengumpulkan
data tentang pajak penghasilan pribadi yang dibayarkan oleh eksekutif puncak dari 200
perusahaan Jepang terbesar untuk tahun 1992-1996 dari Daftar KogakuNozeisha, yang
menerbitkan data tentang pajak penghasilan yang dibayarkan oleh penerima upah tertinggi di
Jepang dari daftar pajak dari 520 Kantor Pajak Daerah (Daftar KogakuNozeisha, 1993-
1997). Kami mengumpulkan pajak penghasilan pribadi yang dibayarkan untuk
memperkirakan kompensasi eksekutif individu yang diperoleh setiap tahun, mengikuti Kato
dan Rockel (1992) dan Kato (1997).
Kami memeriksa apakah mekanisme tata kelola perusahaan Jepang yang unik ini
dikaitkan dengan pengurangan gaji eksekutif puncak, setelah mengendalikan faktor penentu
ekonomi pembayaran lainnya, mengikuti Coreetal. (1999). Kami menggunakan mekanisme
tata kelola perusahaan Jepang yang diidentifikasi oleh Hirakietal. (2003), Chen etal. (2003),
dan Kang dan Shivdasani (1995) untuk menguji efektivitas mekanisme pemerintahan Jepang
dalam mengendalikan oportunisme manajerial. Kami menggunakan karakteristik perusahaan
standar (ukuran, kinerja dan risiko) dan eksekutif (usia, pendidikan, dan masa kerja) untuk
memodelkan faktor-faktor penentu ekonomi ini. Seperti yang diharapkan, kami menemukan
bahwa kompensasi eksekutif puncak, rata-rata, lebih rendah untuk keiretsu perusahaan dari
pada untuknon-keiretsu perusahaan, mengendalikan faktor penentu ekonomi dari gaji
eksekutif puncak. Kami juga menemukan bahwa kehadiran direktur luar dikaitkan dengan
berkurangnya gaji eksekutif puncak.
Penjelasan alternatif untuk asosiasi antara variabel tata kelola perusahaan dan
kelebihan pembayaran adalah bahwa asosiasi ini mencerminkan pengukuran atau kesalahan
spesifikasi dalam model tolok ukur pembayaran eksekutif kami. Namun, jika variabel
kepemilikan dan pemantauan kami adalah proksi yang baik untuk mengurangi masalah
keagenan, maka kelebihan pembayaran terkait dengan tata kelola yang buruk harus dikaitkan
dengan kinerja perusahaan yang buruk di masa depan (Coreetal., 1999). Kami menemukan
hubungan negatif antara pembayaran dijelaskan oleh variabel kepemilikan dan pemantauan
dan kinerja akuntansi selanjutnya. Temuan ini menunjukkan bahwa variabel pemantauan dan
kepemilikan mencerminkan efektivitas struktur tata kelola perusahaan, daripada bertindak
sebagai proxy untuk setiap faktor penentu yang dihilangkan dari pembayaran ekuilibrium
CEO. Hasil kami menunjukkan bahwa perusahaan Jepang dengan mekanisme tata kelola
perusahaan yang lebih lemah memiliki masalah agensi pemegang saham - manajer yang lebih
besar; eksekutif puncak menerima bayaran lebih tinggi di perusahaan Jepang dengan masalah
keagenan yang lebih besar; dan perusahaan dengan masalah agensi yang lebih besar
berkinerja lebih buruk. Hasil kami juga menunjukkan bahwa mekanisme tata kelola
perusahaan Jepang seperti keiretsupemantauandan direktur luar membantu menyelesaikan
masalah keagenan di lingkungan bisnis Jepang yang berbeda.
Di Jepang, mirip dengan AS, anggota keluarga pendiri sering mempertahankan
kepemilikan yang kuat dan hak kontrol.3 Kami menemukan bahwa eksekutif puncak Jepang
mendapat lebih banyak di perusahaan yang dikendalikan keluarga daripada perusahaan yang
tidak memiliki pengaruh seperti itu. Selain itu, eksekutif puncak Jepang mendapat lebih
banyak di perusahaan dengan kepemilikan orang dalam yang lebih tinggi. Kedua hasil
bertahan setelah mengendalikan kinerja perusahaan, konsisten dengan kepemilikan ekuitas
eksekutif puncak menyampaikan manfaat lebih dari remunerasi langsung (Demsetz, 1983).
Bagian 2 menjelaskan mekanisme tata kelola perusahaan di perusahaan-perusahaan
Jepang, dengan fokus pada bank utama, keiretsu, dewan dan struktur kepemilikan. Dalam
Bagian 3, kami menjelaskan bagaimana gaji eksekutif puncak dan komponennya ditentukan
di perusahaan Jepang. Bagian 4 menjelaskan bagaimana variabel tata kelola kita diukur, dan
memprediksi pengaruhnya terhadap kompensasi eksekutif puncak. Bagian 5 menjelaskan
pemilihan sampel dan data. Model dan hasil empiris disediakan di Bagian 6. Bagian 7
merangkum dan menyimpulkan.
Pertumbuhan investasi yang berkembang pesat di Indonesia tentunya membawa
dampak secara makro maupun mikro, terutama yang akan dirasakan oleh perusahaan. Salah
satu contoh tersedianya banyak peluang bisnis yang dapat dimanfaatkan, hal ini membawa
konsekuensi berupa kebutuhan pendanaan yang cukup besar. Pendanaan tersebut umumnya
tidak cukup hanya bersumber dari internal financing saja, dibutuhkan juga external financing.
Financing perusahaan dapat diperoleh dari menambah jumlah ekuitas atau menambah jumlah
hutang. Tambahan kepemilikan saham berarti menambah jumlah pengendali
perusahaan.Begitu pula tambahan hutang akan membawa konsekuensi terhadap agency
relationship antara prinsipal, agen dan kreditur.
Konflik antar pihak dalam perusahaan pun semakin besar. Nam (2006) mengatakan
bahwa perusahaan yang memiliki agency conflict yang kecil cenderung mempunyai value of
firm yang relatif tinggi. Hubungan keagenan menjadi kajian yang menarik untuk diteliti.
Terlebih lagi hasil empiris menemukan bahwa masalah agensi sangat mempengaruhi
keputusan dan kebijakan perusahaan dalam meningkatkan nilai perusahaan. Penelitian ini
mencoba untuk menggali secara lebih mendalam tentang bagaimana permasalahan keagenan
yang dipicu oleh perbedaan kepentingan antara pemilik dengan agen akan berpengaruh
terhadap nilai perusahaan. Penelitian ini akan menguji pengaruh dari struktur kepemilikan
terhadap konflik keagenan dan bagaimana dampaknya terhadap kebijakan yang diambil
perusahaan terutama kebijakan dividen dan hutang. Dapat dikatakan bahwa kedua kebijakan
tersebut merupakan kebijakan yang sarat dengan permasalahan keagenan. Penelitian ini akan
melihat bagaimana dampak dari kebijakan tersebut terhadap nilai perusahaan. Selain itu,
penelitian ini akan menguji peran moderasi dari corporate governance dan kesempatan
pertumbuhan dalam melihat pengaruh kebijakan dividen dan leverage terhadap nilai
perusahaan.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Tata kelola perusahaan, kompensasi eksekutif atas dan kinerja perusahaan di


Jepang

2.1 Mekanisme Tata Kelola Perusahaan Jepang


Berbeda dengan sistem monitoring yang berorientasi pasar eksternal perusahaan
publik AS, banyak perusahaan Jepang bergantung pada “berorientasipadahubungan”. Sistem.
Dalam sistem ini, manajer kelompok saling memantau. Pada bagian ini, kami menjelaskan
fitur kelembagaan khas Jepang dan penelitian sebelumnya yang relevan terkait
2.1.1 Bank Utama
Peran pemantauan utama dalam perusahaan-perusahaan Jepang biasanya
ditunjuk untuk satu bank, yang disebut "bank utama," yang biasanya merupakan pemberi
pinjaman utama dan seringkali salah satu pemegang saham terbesar perusahaan (misalnya
Aoki, 1990a, b; Sheard , 1994a, b). Aoki (1994) berpendapat bahwa bank utama secara pasif
memantau manajemen selama waktu "normal" , tetapi sering mengambil peran yang lebih
aktif dan campur tangan dengan manajemen ketika perusahaan menghadapi kesulitan
keuangan. Ini adalah bagaimana sistem bank utama dapat secara efektif menggantikan
mekanisme kontrol berbasis pasar eksternal (misalnya, Aokietal., 1994). Hirakietal. (2003)
menawarkan pandangan alternatif tentang peran pemantauan bank utama. Mereka
berpendapat bahwa bank utama membatasi perusahaan anggota dari melakukan investasi
berisiko tinggi, dan berpotensi tinggi.
Kang dan Shivdasani (1995) mempelajari peran mekanisme tata kelola alternatif
selama pergantian eksekutif puncak Jepang. Menggunakan data pada 270 perusahaan Jepang
selama 1985-1990, mereka menunjukkan bahwa sensitivitas pergantian eksekutif puncak
non-rutin terhadap kinerja pendapatan mengukur secara signifikan lebih tinggi untuk
perusahaan dengan ikatan bank utama daripada perusahaan tanpa ikatan tersebut. Penulis
mengaitkan hasil ini dengan bank-bank utama yang memainkan fungsi tata kelola perusahaan
yang penting. Mereka juga menunjukkan bahwa kemungkinan suksesi orang luar lebih tinggi
untuk perusahaan dengan pemegang saham besar dan ikatan bank utama, menunjukkan
bahwa mekanisme tata kelola ini efektif dalam memberhentikan eksekutif puncak yang
berkinerja buruk.
2.1.2 Keiretsu
Banyak perusahaan di Jepang yang termasuk dalam kelompok perusahaan yang
disebut keiretsu. Sebuah keiretsu adalah kelompok industri, yang anggota perusahaan, terikat
bersama oleh stabil lintas kepemilikan saham, mempertahankan bisnis jangka panjang dan
hubungan keuangan dengan satu sama lain. Menurut Dodwell Marketing Consultants (1990),
ada tujuh belasutamakeiretsudi Jepang. Delapan dari ini diorganisir sekitar komersial bank
(utama) utama dan biasanya disebut sebagai “keuangan”. Keiretsu Kedelapan keuangan
keiretsu adalah Mitsubishi, Mitsui, Sumitomo, Fuyo, DaiichiKangyo Bank (DKB), Sanwa,
Tokai dan Industrial Bank of Japan (IBJ). Untuk keuangan keiretsu, bank utama berfungsi
sebagai "organ sentral dalam kelompok dan memainkan peran utama dalam kegiatan
keuangan dalam kelompok" (Kang dan Shivdasani, 1995). Juga,keuangan keiretsu
perusahaan pada umumnya lebih tinggi pengungkitnya (Nakatani, 1984), dan mereka
meminjam lebih banyak dari lembaga keuangan dalam kelompok, terutama bank utama
(Berglof dan Perotti, 1994).
Berbeda denganfinansial ("horizontal") keiretsu-keiretsu, "vertikal" keiretsu adalah di
mana sekelompok sub kontraktor diorganisasikan di bawah satu perusahaan manufaktur besar
(Hoshi, 1994). Kami berpendapat bahwa hubungan bank utama lebih kuat
untukkeuangankeiretsuperusahaandaripada untukvertikal keiretsu perusahaandan perusahaan
non-keiretsu. Beberapa studi sebelumnya fokus pada karakteristik keuangan keiretsudan
membedakan mereka dari lain keiretsu perusahaan dan perusahaan independen (Berglofdan
Perotti, 1994; Nakatani,1984),dan kita mengikuti klasifikasi ini. Akhirat, keiretsumengacu
pada keuangan keiretsu kecuali dinyatakan lain.
Berglof dan Perotti (1994) berpendapat bahwa keiretsusistemmendorong kerja sama
dan pemantauan timbal balik di antara manajer perusahaan anggotanya melalui ancaman
pemecatan yang diberlakukan koalisi. Dengan mengumpulkan hak suara, keiretsu koalisi
dapat melakukan kontrol atas manajer anggota untuk memastikan bahwa tidak ada manajer
yang berperilaku oportunis. Kolusi di antara para manajer tidak dianjurkan karena
profitabilitas yang buruk mengakibatkan kesulitan keuangan, yang mengarah pada intervensi
oleh pemberi pinjaman terbesar, seringkali bank utama. Berglof dan Perotti (1994) menyebut
keiretsugayadari tata kelola perusahaan ini sebagai “negara kontingen” mekanisme, di mana
sumber kontrol bergeser dari ancaman implisit kekuatan koalisi ke intervensi yang lebih
eksplisit oleh bank utama di saat kesulitan keuangan.
2.1.3 Dewan direksi
Jepang (disebut "torishimari-yaku" atau "yakuin") secara hukum ditunjuk oleh
pemegang saham untuk membuat keputusan strategis dan "mengawasi urusan direksi" atas
nama pemegang saham (Yasui, 1999). Sementara sebuah perusahaan Jepang biasanya
memiliki 20 anggota dewan, perusahaan besar sering memiliki lebih dari 40 direktur; Toyota
Motors memiliki 61 direktur pada tahun 1998.dewan Jepang adalah biasanya didominasi oleh
orang dalam, yaitu pejabat senior dalam perusahaan. Presiden biasanya adalah anggota dewan
yang paling kuat, kecuali dalam kasus yang jarang terjadi ketika ketua ("kaicho"), yang
sering kali adalah mantan presiden, memiliki wewenang yang lebih tinggi daripada presiden
(Kaplan, 1994).
Praktek mempromosikan orang dalam menciptakan struktur hierarkis di dewan, di
mana promosi setiap direktur, serta keamanan kerja, sangat tergantung pada hubungannya
dengan eksekutif puncak (Yasui, 1999). Oleh karena itu, terlepas dari hak hukum masing-
masing direktur, Yasui (1999) mengemukakan bahwa sulit bagi dewan direksi untuk secara
efektif memantau dan mengendalikan eksekutif puncak. Namun, papan Jepang kadang-
kadang termasuk “luar” direktur. Salah satu fungsi dari direktur luar ini adalah untuk
memperkuat pemantauan manajemen perusahaan tuan rumah (Aokietal., 1994; Kaplan dan
Minton, 1994; Sheard, 1994a). Kaplan dan Minton (1994) membedakan antara "bank" di luar
direktur, yang sebelumnya dipekerjakan oleh bank, dan "perusahaan" di luar direktur, yang
sebelumnya dipekerjakan oleh lembaga non-keuangan.
Kaplan dan Minton (1994) menyelidiki faktor penentu penunjukan direktur luar di
perusahaan Jepang. Untuk 119 perusahaan Jepang yang diperdagangkan secara publik selama
1980-1988, mereka menemukan bahwa penunjukan direktur di luar lebih mungkin mengikuti
kinerja harga saham yang buruk. Selain itu, seorang direktur bank lebih cenderung ditunjuk
setelah kerugian akuntansi yang dilaporkan. Mereka juga menunjukkan bahwa penunjukan
direktur bank lebih mungkin jika perusahaan memiliki pinjaman bank yang lebih besar,
sedangkan penunjukan direktur perusahaan lebih mungkin jika perusahaan memiliki
pemegang saham yang lebih terkonsentrasi atau jika berafiliasi dengan keiretsu. Mereka
membandingkan hasil di atas dengan perusahaan-perusahaan besar, non-keuangan AS selama
periode yang sama, dan menemukan bahwa penunjukan direktur yang berafiliasi dengan
pemegang blok besar di AS hampir sama sensitifnya terhadap kinerja perusahaan seperti
penunjukan orang luar di perusahaan Jepang. Hasil-hasil sebelumnya ini menunjukkan bahwa
mekanisme tata kelola berbasis hubungan memainkan peran pemantauan dan disiplin yang
penting di Jepang.
Untuk menambah validitas dugaan di atas, Kaplan dan Minton (1994) menunjukkan
bahwa pergantian eksekutif puncak petahana secara substansial meningkat pada tahun
pengangkatan direktur luar, sementara hasil untuk perusahaan-perusahaan AS agak lebih
lemah. Mereka juga melaporkan beberapa peningkatan dalam kinerja perusahaan-perusahaan
Jepang setelah direktur luar ditunjuk. Kaplan dan Minton (1994) menyimpulkan bahwa bukti
tentang penunjukan direktur luar menunjukkan bahwa tata kelola berbasis hubungan Jepang
secara efektif mendisiplinkan manajer yang berkinerja buruk. Mereka juga berpendapat
bahwa hubungan ini dapat menggantikan mekanisme tata kelola yang lebih berorientasi pasar
di AS.

2.2 Kompensasi eksekutif puncak Jepang


2.2.1 Praktek kompensasi Jepang
Menurut Hukum Dagang, dewan direksi bertanggung jawab untuk menentukan
jumlah kompensasi eksekutif individu. Jumlah ini harus disetujui oleh pemegang saham,
biasanya pada rapat umum pemegang saham tahunan (NihonKeizaiShinbun, 4/20/96).
Di Jepang, kompensasi eksekutif puncak biasanya terdiri dari gaji tunai dan bonus
tunai. Kompensasi berbasis saham, seperti opsi saham dan hibah saham, tidak digunakan
sampai saat ini karena pembatasan hukum pembelian kembali saham dan perlakuan pajak
yang tidak menguntungkan bagi penerima (Yasui, 1999). Hukum Dagang mensyaratkan
bahwa jumlah gaji eksekutif dinyatakan dengan jelas dalam Anggaran Dasar Perusahaan dan
/ atau disetujui pada rapat umum pemegang saham (Kobayashi, 1997). Dalam praktiknya,
sebagian besar perusahaan menetapkan jumlah maksimum total gaji tahunan yang mereka
bayarkan kepada semua direktur, dan meminta total ini disetujui oleh pemegang saham
umum (Dai-ichi Mutual Life Insurance Company, 1999).Perusahaan biasanya merevisi
jumlah gaji maksimum setiap empat hingga lima tahun untuk menyesuaikan faktor-faktor
seperti inflasi, kondisi ekonomi makro, dan jumlah anggota dewan (Dai-ichi Mutual Life
Insurance Company, 1999). Setelah jumlah maksimum disetujui, dewan direksi secara hukum
bertanggung jawab untuk memutuskan jumlah individu yang dibayarkan kepada masing-
masing direktur. Namun, dewan biasanya memberikan tanggung jawab ini kepada eksekutif
puncak mereka, biasanya presiden perusahaan (Dai-ichi Mutual Life Insurance Company,
1999; Kobayashi, 1997).
Gaji eksekutif individu biasanya ditentukan sebagai kelipatan dari gaji manajer non-
direktur (Pusat Penelitian Sistem Ketenagakerjaan dilaporkan dalam NihonKeizai
Shinbun4/20,/ 96). Rata-rata, ketua memperoleh 420% dari gaji tahunan manajer non-
direktur, presiden 360%, wakil presiden 310%, direktur pelaksana senior 240%, direktur
pelaksana 200%, direktur 160%, dan auditor wajib 150%. Sekitar 70% dari perusahaan yang
disurvei oleh Pusat Penelitian Sistem Ketenagakerjaan mengatakan bahwa mereka meninjau
dan menyesuaikan jumlah gaji eksekutif setiap tahun, dan revisi tersebut didasarkan pada
faktor-faktor seperti kinerja perusahaan, standar industri dan persentase kenaikan gaji
karyawan.
Berbeda dengan gaji, bonus eksekutif adalah apropriasi dari laba ditahan perusahaan,
dan karenanya, jumlah total bonus harus disetujui pada rapat umum pemegang saham
tahunan. Jumlah total bonus direktur didasarkan hampir seluruhnya pada kinerja perusahaan,
terutama jumlah laba setelah pajak (NihonKeizaiShinbun, 4/20/96). Hukum Komersial
mensyaratkan bahwa pemegang saham umum menyetujui jumlah total bonus sebelum bonus
individu ditentukan. Bonus individu didasarkan pada faktor-faktor seperti peringkat eksekutif
dan kinerja individu. Seperti halnya gaji eksekutif, eksekutif puncak biasanya menentukan
jumlah bonus individu (Kobayashi, 1997).
Pemegang saham Jepang jarang menggunakan hak veto mereka atas kompensasi
eksekutif puncak pada rapat umum pemegang saham (Okushima, 1996). Ini karena sangat
sulit bagi pemegang saham individu untuk memperoleh suara mayoritas, karena perusahaan
dan lembaga keuangan yang berafiliasi dengan perusahaan memegang mayoritas saham.
Pemegang saham besar ini umumnya bersimpati kepada manajemen yang berkuasa, dan tidak
melakukan intervensi kecuali perusahaan mengalami kesulitan keuangan (misalnya, Sheard,
1994a, b). Inilah sebabnya mengapa beberapa berpendapat bahwa pemegang saham tidak
cukup melakukan pengawasan dan kontrol atas keputusan kompensasi eksekutif (misalnya,
NihonKeizaiShinbun, 4/20/96). Singkatnya, sebagian besar eksekutif puncak Jepang secara
signifikan memengaruhi keputusan kompensasi dan dapat membayar lebih untuk diri mereka
sendiri, tanpa mekanisme tata kelola yang kuat.
2.4 Penelitian sebelumnya tentang kompensasi eksekutif Jepang.
Ada sedikit penelitian empiris sebelumnya tentang faktor penentu kompensasi
eksekutif Jepang dan peran yang dimainkan oleh tata kelola perusahaan dalam menetapkan
levelnya. Ini terutama karena tidak ada data yang tersedia untuk umum tentang paket
kompensasi eksekutif puncak. Kaplan (1994) mengumpulkan data tentang total gaji dan
bonus yang diperoleh oleh semua direktur dari 119 perusahaan besar Jepang dari 1981-1984,
dan meneliti hubungan antara kompensasi direktur agregat dan kinerja perusahaan. Dia
menemukan bahwa perubahan total kompensasi secara signifikan terkait dengan empat (laba
akuntansi dan pengembalian saham) kinerja perusahaan dipertimbangkan secara individual.
Namun, dalam regresi berganda termasuk keempat ukuran, pendapatan sebelum pajak negatif
dan perubahan dalam penghasilan sebelum pajak yang dikempiskan oleh aset memiliki
kekuatan penjelas terbesar.
Ang dan Constand (1997) mengumpulkan data tentang total gaji dan total bonus
yang dibayarkan kepada semua direktur untuk 364 perusahaan Jepang selama 1980-1992.
Mereka menyelidiki sensitivitas komponen kompensasi total direktur terhadap kinerja
perusahaan jangka pendek dan jangka panjang. Ang dan Constand (1997) menemukan bahwa
(a) hanya total bonus yang dikaitkan dengan pengembalian saham jangka pendek (yaitu, satu
tahun), sementara gaji dan bonus sensitif terhadap perubahan harga dan penjualan saham
jangka panjang (13 tahun) pertumbuhan; (B) hubungan antara bonus dan pengembalian
saham jangka pendek hanya ditemukan untuk pengembalian tahunan yang positif; (c)
perusahaan dengan sensitivitas pembayaran terhadap kinerja yang lebih rendah mencapai
rata-rata lebih tinggi pengembalian yang; (d) sensitivitas pembayaran terhadap kinerja lebih
tinggi untuk keiretsuperusahaandaripada perusahaan non-keiretsu; (e) total perubahan gaji
secara signifikan terkait dengan perubahan dalam pendapatan yang tertinggal dan harga
saham saat ini, sementara perubahan total bonus secara signifikan terkait dengan perubahan
dalam harga saham yang tertinggal, pendapatan yang tertinggal dan pertumbuhan penjualan
saat ini.
Alih-alih memeriksa kompensasi dewan agregat, Kato dan Rockel (1992) langsung
menyelidiki faktor penentu gaji eksekutif puncak Jepang. Mereka menyalahkan individu gaji
eksekutif puncakdari pajak penghasilan pribadi yang dibayarkan pada tahun 1985 oleh
masing-masing eksekutif dari 599 perusahaan terbesar di Jepang. Jumlah pajak penghasilan
pribadi yang dibayarkan oleh pembayar pajak individu tertinggi dilaporkan dalam
JinjiKanriSoran Edisi Khusus yang diterbitkan oleh ToyoKeizaiInc. Kato dan Rockel (1992)
mencatat log pembayaran eksekutif individu pada ukuran dan kinerja perusahaan, serta
variabel-variabel modal manusia seperti sebagai penguasaan dan pendidikan. Mereka
menyimpulkan bahwa tingkat kompensasi eksekutif Jepang berhubungan positif dengan
ukuran perusahaan dan masa jabatan eksekutif.
Kato (1997) meneliti peran yang dimainkan tata kelola perusahaan dalam
menetapkan tingkat upah. Menggunakan set data yang sama seperti Kato dan Rockel (1992),
Kato (1997) menyelidiki efek keiretsuafiliasipada tingkat gaji eksekutif puncak. Dia
menemukan bahwa eksekutif puncak keiretsuperusahaan berpenghasilan 21% lebih rendah
dari eksekutif puncak perusahaan independen, setelah mengendalikan kinerja perusahaan dan
variabel modal manusia. Dia menyarankan bahwa hasil ini konsisten dengan hipotesis bahwa
pemantauan bank utama efektif di keiretsuperusahaan, dan sebagai hasilnya, manajer
cenderung berperilaku oportunistik di keiretsuperusahaandengan membayar sendiri terlalu
banyak.
Singkatnya, penelitian sebelumnya menemukan bahwa kompensasi eksekutif
puncak Jepang secara positif terkait dengan kinerja perusahaan saat ini dan tertinggal,
berdasarkan ukuran akuntansi dan harga saham. Penelitian sebelumnya juga
mendokumentasikan bukti bahwa praktek kompensasi tampaknya berbeda antara keiretsudan
perusahaan lain. Namun, hubungan antara mekanisme tata kelola perusahaan Jepang lainnya
dan gaji eksekutif puncak yang berlebihan belum diperiksa
2.5 Governance variables and their hypothesized effects on top executive compensation
Core et al. (1999) menunjukkan bahwa perusahaan dengan masalah agensi yang lebih
besar membayar eksekutif puncak mereka lebih dari tingkat keseimbangan. diharapkan
bahwa argumen ini juga berlaku untuk perusahaan Jepang, meskipun mereka beroperasi di
lingkungan kelembagaan yang berbeda. Di AS, Ke et al. (1999) menemukan hubungan positif
yang signifikan antara tingkat kompensasi dan kinerja perusahaan, diukur dengan ROA,
untuk perusahaan asuransi publik tetapi tidak ada hubungan seperti itu untuk perusahaan
asuransi swasta. Para penulis berpendapat bahwa jika ada mekanisme pemantauan alternatif,
seperti dalam kasus perusahaan asuransi swasta, perusahaan cenderung kurang bergantung
pada ukuran kinerja objektif, seperti ROA, dalam menentukan kompensasi eksekutif. Mereka
berpendapat bahwa kontrak insentif dalam pengaturan kepemilikan difus menggantikan jenis
mekanisme pemantauan lain yang mungkin di perusahaan yang lebih terkontrol ketat. Peneliti
menyesuaikan argumen kontrak ini dengan pengaturan kelembagaan yang berbeda, yaitu,
perusahaan publik di lingkungan Jepang.
Berikut ini adalah variabel tata kelola yang digunakan dalam penelitian ini, dan efek
hipotesis mereka pada kompensasi eksekutif puncak, setelah mengendalikan untuk penentu
ekonomi spesifik perusahaan dan gaji dari eksekutif.
2.5.1 Bank utama
Aoki et al. (1994) dan Sheard (1994a, b) berpendapat bank utama dapat secara efektif
memantau manajemen perusahaan peminjam. Jika ini benar, maka gaji eksekutif puncak
diharapkan lebih rendah karena hubungan perusahaan dengan bank utama menjadi lebih kuat.
Asosiasi ini diharapkan karena pemantauan bank utama yang kuat membantu mengurangi
kemungkinan oportunisme manajerial. Hipotesis alternatif yang ditawarkan oleh Hiraki et al.
(2003) adalah bahwa bank utama mengekstrak surplus dari perusahaan klien mereka,
konsisten dengan hasil empiris mereka untuk tahun 1985-1991
2.5.2 Keanggotaan Keiretsu
Jika, seperti yang dikemukakan oleh Berglof dan Perotti (1994), sistem keiretsu
menyediakan pemantauan dan kontrol yang efektif terhadap manajer perusahaan anggota,
maka gaji eksekutif puncak diharapkan lebih rendah untuk perusahaan keiretsu daripada
perusahaan non-keiretsu. Selanjutnya, peran bank utama yang lebih kuat dalam keiretsu
mengurangi kebutuhan akan kontrak kompensasi yang lebih berisiko (insentif) yang akan
mengharuskan kenaikan gaji yang diharapkan kepada para manajer yang menolak risiko.
Oleh karena itu, diharapkan perusahaan keiretsu untuk membayar eksekutif puncaknya
kurang dari perusahaan independen, ceteris paribus (Kato, 1997).
2.5.3 Outside directors and board size
Weisbach (1988) memberikan bukti bahwa semakin besar jumlah direktur di luar
dewan, semakin kuat tata kelola perusahaan perusahaan. Dengan demikian, gaji eksekutif
puncak diharapkan lebih rendah ketika perusahaan memiliki direktur luar. Secara teori, setiap
anggota dewan yang tidak secara resmi menjadi bagian dari perusahaan akan dianggap
sebagai direktur luar. Untuk keperluan pengujian, diklasifikasikan direktur yang datang dari
perusahaan lain sebagai direktur luar. tercatat bahwa sangat penting di sini untuk mengontrol
kinerja perusahaan karena,seperti yang dikemukakan oleh Kaplan dan Minton (1994),
pengangkatan direktur luar jauh lebih mungkin untuk perusahaan yang berkinerja buruk.
Pengaruh ukuran dewan pada gaji eksekutif puncak diharapkan menjadi negatif, karena
dewan besar tidak mungkin memfasilitasi pemantauan efektif manajemen puncak perusahaan
(Jensen, 1993). Konsisten dengan argumen ini, Yermack (1996) memberikan bukti bahwa
nilai perusahaan dan kinerja adalah fungsi penurunan ukuran dewan.
2.5.4 Pengaruh keluarga
Sejumlah perusahaan Jepang yang tidak biasa, berada di bawah pengaruh keluarga
pendiri. Anggota keluarga atau rekan sering bertindak sebagai eksekutif puncak perusahaan
yang dikendalikan keluarga ("dozoku"). Keluarga seperti itu menunjuk eksekutif puncak
yang cenderung memiliki insentif dan kemampuan yang lebih tinggi untuk membayar sendiri,
sebuah manifestasi dari masalah agensi yang lebih parah antara pemegang saham eksternal
yang lemah dan orang dalam yang kuat.
Diketahui bahwa tidak ada tes empiris langsung tentang peran keluarga pendiri dalam
memantau kompensasi eksekutif puncak. Jenis studi ini hanya dapat dilakukan di beberapa
negara di mana kompensasi CEO, tata kelola perusahaan dan variabel kinerja tersedia untuk
umum. Anderson dan Reeb (2003) mempelajari perusahaan S dan P500 untuk tahun 1992 -
1999, dan menemukan bahwa pendirian perusahaan keluarga yang dikendalikan dan
dioperasikan berkinerja lebih baik daripada perusahaan non-keluarga yang diukur dengan
ROA dan q Tobin. Hasil ini menunjukkan bahwa kepemilikan keluarga adalah mekanisme
tata kelola yang efektif. Di sisi lain, ada yang berpendapat bahwa pemegang saham
terkonsentrasi, seperti anggota keluarga pendiri, dapat melakukan kontrol yang signifikan
terhadap perusahaan dan mengekstrak manfaat pribadi dari perusahaan (Fama dan Jensen,
1983; Demsetz, 1983; Shleifer an Vishny, 1997).
2.6 Sampel
2.6.1 Seleksi sampel
Perusahaan yang dimasukkan dalam sampel adalah perusahaan yang memiliki data
yang tersedia di basis data Global Vantage Compustat pada harga saham akhir tahun, laba
bersih tahunan konsolidasi, penjualan dan aset selama dua tahun berturut-turut. Hal ini
memungkinkan untuk mengontrol efek saat ini, serta kinerja perusahaan yang lambat pada
gaji eksekutif, menggunakan ukuran kinerja akuntansi dan berbasis saham. Dari kriteria
tersebut, penelitian ini menghasilkan sampel dari 200 perusahaan, yang termasuk perusahaan
terbesar di Jepang.
Peneliti mengidentifikasi nama dan alamat eksekutif puncak untuk setiap perusahaan
di setiap tahun menggunakan masalah Yakuin Shikiho tahun 1993-1997, yang diterbitkan
setiap tahun oleh Toyo Keizai Inc (Yakuin Shikiho, 1993-1997). Direktori ini menyediakan
data pribadi yang terperinci, seperti nama, alamat rumah, judul, tanggal lahir, tanggal
pengambilan posisi, dan hobi, untuk semua anggota dewan dan statutory auditor dari semua
perusahaan yang terdaftar.
Peneliti juga menyertakan eksekutif yang setara dan di atas pangkat presiden ("shacho").
Peneliti melakukan ini karena, meskipun presiden biasanya menjadi pengambil keputusan
tertinggi, ketua terkadang memiliki wewenang yang lebih besar daripada presiden (Kaplan,
1994). Hasilnya, sampel mencakup beberapa wakil ketua ("fuku kaicho") dan ketua
kehormatan ("meiyo kaicho"), meskipun sebagian besar eksekutif yang diidentifikasi adalah
presiden dan ketua ("kaicho").
Selanjutnya, peneliti memperoleh data jumlah pajak penghasilan yang dibayarkan oleh
eksekutif untuk setiap tahun dari terbitan 1992-1996 dalam Daftar Kogaku Nozeisha (Daftar
Pembayar Pajak Penghasilan Tinggi) yang diterbitkan oleh Tokyo Shoko Research. Daftar ini
memberikan pajak penghasilan aktual yang dibayarkan oleh seorang individu, selama
pembayaran pajaknya melebihi ¥ 10 juta, atau sekitar $ 100.000. Ini juga memberikan alamat
masing-masing individu dan, kadang-kadang, pekerjaan. Peneliti mencocokkan nama dan
alamat eksekutif yang diperoleh dari Yakuin Shikiho dengan yang ada di Daftar Kogaku
Nozeisha untuk mendapatkan jumlah pajak penghasilan aktual yang mereka bayar setiap
tahun. Entri diatur oleh lokasi kantor perpajakan kota, dan di dalam setiap lokasi, mereka
diberi peringkat berdasarkan jumlah pajak. Edisi 1993 memiliki data lebih dari 125.000
individu.
Peneliti kemudian memperkirakan jumlah total kompensasi yang diperoleh oleh setiap
individu setiap tahun menggunakan algoritma berikut, yang pada dasarnya sama dengan di
Kato dan Rockel (1992). Peneliti pertama-tama menambahkan kembali jumlah kredit pajak
yang berlaku setiap tahun, yaitu, ¥ 3,9 juta untuk tahun 1992–1994 dan ¥ 6,6 juta untuk tahun
1995–1996, ke jumlah pajak. Peneliti membagi jumlah yang diperoleh dengan tarif pajak
marjinal 50%. Misalnya, jika seorang eksekutif membayar ¥ 27.000.000 dalam pajak pada
tahun 1993, maka penghasilannya yang diperkirakan adalah ¥ 61.800.000 atau (¥ 27.000.000
+ 3.900.000) / 0,5. Meskipun Jepang telah mengadopsi sistem pajak penghasilan progresif,
penelitian ini menerapkan tarif pajak tertinggi 50% untuk semua orang dalam sampel. Siapa
pun yang ada di daftar telah membayar pajak minimum ¥ 10 juta, yang berarti pendapatan
sebelum pajak minimum ¥ 27,8 juta, yang berada di atas ambang batas ¥ 20 juta untuk braket
tertinggi.
Formula ini memiliki beberapa batasan. Pertama, jumlah yang diperoleh adalah
perkiraan dari total pendapatan, yaitu, tidak hanya mencakup gaji dan bonus yang diterima
oleh individu, tetapi juga pendapatan lainnya, seperti dividen, capital gain, warisan, dan
sebagainya. Kato dan Rockel (1992) membela metodologi mereka dengan mengutip bukti
anekdotal yang menunjukkan bahwa eksekutif puncak Jepang tidak mendapatkan porsi
signifikan dari pendapatan mereka dari sumber selain dari perusahaan mereka. Kedua,
metode ini mengabaikan semua celah potensial untuk perhitungan pajak penghasilan. Jika
mereka sebenarnya tersedia tetapi berlaku berbeda untuk masing-masing individu, maka
penerapan tarif pajak yang sama untuk mendukung jumlah pendapatan akan menyebabkan
jumlah yang salah. Namun, Kato dan Rockel (1992) berpendapat bahwa hampir tidak
mungkin bagi pekerja bergaji untuk menemukan celah untuk pajak penghasilan.
Data tentang direksi luar dan persentase saham yang dimiliki oleh dewan direksi
diperoleh dari Yakuin Shikiho, dan data tentang persentase saham yang dimiliki oleh investor
asing diperoleh dari Kaisha Shikiho, juga diterbitkan secara triwulanan oleh Toyo Keizai Inc
(Kaisha dan Shikiko, 1992–1997). Untuk menentukan apakah suatu perusahaan dikendalikan
keluarga, kita merujuk pada edisi 1992 Kigyo Keireysu Soran yang diterbitkan oleh Toyo
Keizai Inc. Sebuah perusahaan diberi kode sebagai milik keluarga jika ada istilah seperti
"dozokushoku", "ichizoku-shoku", atau "ichizoku-kei" di kolom deskripsi perusahaan.
Data tentang afiliasi keiretsu diperoleh dari Pengelompokan Industri edisi 1990 di
Jepang yang diterbitkan oleh Dodwell Marketing Consultants. Dodwell mengklasifikasikan
semua perusahaan yang terdaftar di Jepang baik sebagai keiretsu atau non-keiretsu
menggunakan kriteria seperti proporsi saham biasa yang dimiliki oleh sepuluh pemegang
saham terbesar, jumlah total pinjaman dan jumlah pinjaman dari bank-bank utama. Dodwell
mengidentifikasi anggota delapan keiretsu keuangan yang tercantum dalam Bagian 2.2.
peneliti memperoleh total 1083 pengamatan tahun eksekutif untuk 174 perusahaan dan 300
eksekutif.
2.7 Descriptive statistics
Statistik deskriptif dilaporkan pada Tabel 2.1. Sampel rata-rata pembayaran eksekutif
puncak Jepang adalah ¥ 86,007.000 tahun. Ini berarti sekitar US $ 716.725 per tahun,
menggunakan nilai tukar ¥ 120 per dolar AS. Variabel gaji eksekutif puncak sangat condong
ke kanan, jadi menggunakan log kompensasi, LNCOMP, dalam regresi. Kinerja perusahaan
rata-rata rendah setelah gelembung Jepang, dengan rata-rata pengembalian aset, ROA,
menjadi 1,4%, sedangkan pengembalian saham tahunan rata-rata, RET, adalah 2,7%.
Pengembalian stok rata-rata tahunan untuk sampel ini adalah 0,001%, yang menunjukkan
bahwa sekitar setengah dari sampel memiliki pengembalian negative.
Rosen (1982) dan Smith dan Watts (1992) antara lain berpendapat bahwa perusahaan
yang lebih besar dengan peluang pertumbuhan yang lebih besar dan operasi yang lebih
kompleks akan menuntut eksekutif yang lebih berbakat dan, oleh karena itu, membayar
kompensasi kesetimbangan yang lebih tinggi. Untuk mengontrol ukuran dan peluang
pertumbuhan, peneliti menggunakan logaritma natural dari penjualan, LNSALE, dan rasio
pasar terhadap buku, MB, yang diukur masing-masing pada awal setiap tahun. Peneliti
menggunakan logaritma natural penjualan karena penjualan itu sendiri sangat condong ke
kanan. Sarana dari LNSALE dan MB masing-masing adalah 13,314 dan 2,214.
Studi sebelumnya berpendapat bahwa gaji eksekutif puncak meningkat dalam sumber
daya manusia eksekutif (mis., Agarwal, 1981; Leonard, 1990). Seorang eksekutif dengan
sumber daya manusia yang lebih besar diharapkan memiliki kinerja yang lebih baik, dan
karenanya, dibayar lebih tinggi. Peneliti menggunakan usia, masa kerja, dan tingkat
pendidikan sebagai proxy untuk sumber daya manusia eksekutif puncak Jepang. Usia rata-
rata eksekutif sampel adalah 66,320 tahun, dan masa kerja rata-rata adalah 5,850 tahun, yang
mirip dengan yang dilaporkan oleh Kaplan (1994). Karena sistem kerja seumur hidup,
karyawan umumnya tetap dengan satu perusahaan sampai mereka pensiun, dan prinsip yang
sama berlaku untuk eksekutif puncak.
Tabel 2.1
Descriptive statistics on Japanese executive compensation, economic determinants of
pay, ownership and governancevariables

Indikator pendidikan, DEDU, ditetapkan menjadi satu jika suatu COMP adalah
kompensasi tunai dalam ribuan yen yang diperkirakan dari jumlah pajak penghasilan aktual
menggunakan rumus berikut (dalam ribuan yen): COMP (Pajak + 3900) /0,5 jika tahun-tahun
tersebut antara tahun 1992 dan 1994, dan COMP (Pajak + 6600) / 0,5 setelahnya. LNCOMP
adalah log alami dari COMP. ROA adalah pengembalian aset yang dihitung sebagai (Net
Incomet) / (Total Assetst − 1). RET adalah pengembalian saham tahunan yang dihitung
sebagai (Harga Saham + Dividen Per Sharet) / (Harga Saham − 1) −1, disesuaikan dengan
stock split dan dividen saham. SALE adalah total penjualan tahunan dalam jutaan yen.
LNSALE adalah log alami penjualan. Rasio pasar-terhadap-buku adalah pada awal setiap
tahun. STDRET adalah standar deviasi pengembalian saham tahunan selama 3 tahun
disesuaikan dengan dividen yang dibayarkan.
LEV adalah leverage yang dihitung sebagai (Total Liabilityt) / (Total Assetst). AGE
adalah usia eksekutif puncak pada 31 Desember setiap tahun. TENURE adalah tahun pada
posisi saat ini pada 31 Juli setiap tahun. DEDU adalah indikator pendidikan, 1 jika dia
memiliki gelar sarjana atau lebih tinggi, 0 sebaliknya. OWN adalah persentase saham yang
dimiliki oleh semua direktur. DFAMILY adalah indikator keluarga ("Dozoku"), jika
perusahaan digambarkan sebagai "dozoku" oleh Toyo Keizai (Kigyo Keiretsu Soran, 1992).
"Dozoku" mengacu pada perusahaan yang anggota keluarga pendirinya memiliki pengaruh
kuat terhadap manajemen. KR adalah indikator keiretsu, jika perusahaan milik salah satu
dari delapan kelompok perusahaan, sebaliknya. OUT adalah jumlah direktur luar. DOUT
adalah indikator direktur luar, jika ada setidaknya satu direktur luar, sebaliknya. BSIZE
adalah jumlah direktur di dewan. DMBANK adalah indikator bank utama, jika pemberi
pinjaman terbesar perusahaan juga merupakan pemegang saham terbesar di antara eksekutif
bank memiliki gelar sarjana atau lebih tinggi, dan nol sebaliknya. Dalam sampel penelitian,
lebih dari 83% eksekutif telah menerima pendidikan tinggi.
Kepemilikan manajemen, OWN, adalah persentase dari saham yang beredar yang
dimiliki oleh semua anggota dewan. Peningkatan kepemilikan manajerial dapat berdampak
pada manajer yang mengakar (Stulz, 1988). Peneliti berharap bahwa para manajer yang
berkepentingan akan lebih cenderung membayar sendiri tingkat kompensasi yang lebih
tinggi. Peneliti berharap OWN dan COMP berkorelasi positif. Kepemilikan rata-rata adalah
2,289% dengan 32,6% menjadi yang tertinggi. Terakhir, indikator DFAMILY adalah 1 jika
perusahaan mendapati keluarga dikendalikan dan 0 sebaliknya. Hampir 20% dari perusahaan
sampel dikendalikan keluarga. Peneliti membahas selanjutnya variabel tata kelola yang
menjadi fokus pengujian. KR adalah indikator keiretsu, yang ditetapkan ke satu jika
perusahaan milik salah satu dari delapan keiretsu keuangan dan nol sebaliknya. Sekitar 43,3%
dari pengamatan tahun-perusahaan adalah untuk perusahaan keiretsu. Jumlah rata-rata
direktur luar, OUT, adalah 2.059. Sebagai ukuran alternatif pemantauan eksternal,
menggunakan DOUT, yang merupakan variabel indikator yang ditetapkan ke 1 jika ada
setidaknya satu direktur luar di papan tulis, dan nol jika tidak.
BSIZE adalah jumlah direktur di dewan, yang rata-rata adalah 29,991 dan yang
maksimum adalah 60. DMBANK adalah variabel indikator bank-utama yang ditetapkan ke 1
jika pemberi pinjaman terbesar juga merupakan pemegang saham terbesar di antara bank-
bank. Kang dan Shivdasani (1995) menggunakan variabel indikator yang sama untuk
menunjukkan apakah suatu perusahaan memiliki hubungan dengan bank utama. Namun,
karena sebagian besar perusahaan memiliki bank utama, peneliti berasumsi bahwa apakah
bank utama adalah pemberi pinjaman terkemuka dan di antara pemegang saham terbesar.
Peneliti menggunakan DMBANK untuk mengukur kekuatan bukan hanya keberadaan
hubungan dengan bank utama. Rata-rata DMBANK adalah 0,504
Pada Tabel 2.2, melaporkan statistik ringkasan untuk sampel regresi, dengan fokus
pada perbedaan antara perusahaan keiretsu dan non-keiretsu. Peneliti menghilangkan
pengamatan dengan nilai lebih besar dari tingkat 99 persentil atau lebih kecil dari 1 persentil
untuk variabel berikut: LNCOMP, ROA, LNSALE, MB dan OWN. Proses ini menghasilkan
sampel akhir dari 751 pengamatan tahun eksekutif untuk 117 perusahaan dan 147 eksekutif
untuk regresi. Sampel regresi berisi 405 tahun perusahaan non-keiretsu dan 346 tahun
perusahaan keiretsu. Perusahaan non-keiretsu membayar eksekutif mereka secara signifikan
lebih banyak (COMP dari ¥ 85.778.000 vs ¥ 64.591.000) daripada perusahaan keiretsu.
Perusahaan non-keiretsu lebih menguntungkan, berarti ROA adalah 0,016 vs 0,011; dan
menumpuk pengembalian yang lebih tinggi, 0,071 vs 0,055. Perusahaan non-keiretsu juga
lebih berisiko, 0,259 vs 0,213 menggunakan risiko ukuran, STDRET, yang merupakan
standar deviasi dari pengembalian bulanan perusahaan selama tiga tahun sebelumnya.
Eksekutif non-keiretsu sedikit lebih muda dari rekan-rekan mereka keiretsu. Namun, mereka
telah memegang posisi teratas selama rata-rata 6,910 tahun, berbeda dengan 4,040 tahun
untuk eksekutif keiretsu.
Hasil yang lebih menarik adalah dengan variabel kepemilikan dan tata kelola.
Dibandingkan dengan perusahaan keiretsu, nilai OWN secara signifikan lebih tinggi untuk
non-keiretsu dengan rata-rata 3,532, dan perusahaan non-keiretsu lebih cenderung
dikendalikan oleh keluarga. Nilai rata-rata DFAMILY adalah 0,321 untuk perusahaan non-
keiretsu vs 0,078 untuk perusahaan keiretsu. Ini menunjukkan bahwa keluarga tidak dapat
mempertahankan kontrol langsung dalam organisasi keiretsu yang saling terkait. Perusahaan
Keiretsu cenderung memiliki dewan direksi yang lebih besar, tetapi memiliki jumlah direktur
luar yang sama dengan perusahaan non-keiretsu. Minat khusus dalam variabel tata kelola
adalah DMBANK, kasus di mana pemberi pinjaman terbesar juga merupakan pemegang
saham teratas di antara semua bank yang memiliki saham. Enam puluh tujuh persen
perusahaan keiretsu memiliki hubungan bank utama yang kuat dibandingkan dengan 38,8%
perusahaan non-keiretsu, dan perbedaannya signifikan secara statistik.
Tabel 2.2
Comparison of executive compensation and firm characteristics between keiretsu
and non-keiretsu firms

2.8.1 Empirical Evidence


2.8.1 Determinants of Japanese Executive Pay
Dalam penelitian ini ditemukan set pertama dari hasil regresi pada Tabel 3. Pada
kolom (3), ditunjukkan hasil regresi LNCOMP, log kompensasi eksekutif puncak, pada faktor
penentu ekonomi dan variabel kontrol terpilih yang tidak terkait dengan tata kelola
perusahaan. Keuntungan menggunakan kompensasi log sebagai variabel dependen adalah
bahwa koefisien regresi mengukur efek proporsional variabel terhadap kompensasi, daripada
efek nilai dolar. Ditunjukkan tanda yang diprediksi pada setiap variabel dalam regresi pada
kolom (2). Disertakan variabel indikator industri dan tahun untuk menangkap perbedaan rata-
rata potensial dalam gaji eksekutif di industri dan tahun.
Tabel 2.3
Regressions of log of top executive compensation, LNCOMP, on the economic determinants
of pay, ownership and governance variables with industry- and year-indicators (N = 750)
(1) (2) (3) (4) (5)

Full model-
Variable Expected Basic model- Full model- annual
sign pooled pooled averages

Intercept 9.479 8.702 8.812


(34.61) (27.22) (16.96)

Firm performance variables


ROA + 1.965 3.539 3.487
(1.31) (2.40) (1.79)
RET + −0.122 −0.109 −0.044
(−1.21) (−1.24) (−0.22)

Size variable
LNSALE + 0.136 0.120 0.113
(8.27) (5.43) (3.59)

Growth opportunity variable


MB + 0.067 0.072 0.055
(2.40) (2.69) (2.67)

Risk variable
STDRET + 0.112 −0.012 0.044
(0.83) (−0.09) (0.25)
LEV +/− −1.072 −0.709 −0.640
(−5.83) (−3.78) (−7.27)

Human capital variables


AGE + 0.001 0.009 0.008
(0.14) (3.15) (4.37)
TENURE + 0.031 0.027 0.026
(7.80) (7.54) (5.64)
DEDU + −0.101 0.025 −0.004
(−1.79) (0.45) (−0.06)

Ownership variables
OWN + 0.022 0.026
(4.95) (7.14)
DFAMILY + 0.279 0.273
(4.81) (8.06)

Governance variables
KR − −0.052 −0.033
(−1.50) (−0.86)
DOUT − −0.062 −0.057
(−1.77) (−1.75)
DMBANK − 0.050 0.013
(1.44) (0.31)
BSIZE + 0.004 0.006
(1.42) (1.37)
Industry indicators Yes Yes Yes
(continued on next page)

Table 3 (continued )

(1) (2) (3) (4) (5)

Expected Basic model- Full model- Full model-annual


Variable
sign pooled pooled Averages

Year indicators Yes Yes No

Governance variables

Adjusted R2 0.280 0.375 0.385

F-value 18.16 20.53

F-value: ownership and governance 19.45

variables = 0
( , ) Significant at the 1% (5%, 10%) level, two-tailed. See Table 1 for
variable definitions.

Ditemukan bahwa koefisien pada ukuran perusahaan (LNSALE) 0,136, peluang


pertumbuhan (MB) 0,067, dan masa kerja eksekutif (TENURE) 0,031 secara statistik positif
signifikan, seperti yang diperkirakan. Namun, koefisien ROA, metrik berbasis pendapatan,
dan RET, ukuran pengembalian saham tahunan peneliti tidak signifikan, menunjukkan
bahwa ukuran kinerja saat ini tidak menjelaskan pembayaran saat ini dengan sangat baik.
Koefisien pada pendidikan (DEDU) secara marginal negatif signifikan, tidak
konsisten dengan hipotesis yang ada. Kato (1997) juga menemukan koefisien negatif pada
variabel pendidikan, tetapi secara statistik tidak signifikan. Koefisien pada leverage
keuangan (LEV) secara signifikan negatif, menunjukkan bahwa perusahaan dengan tingkat
utang yang lebih tinggi membayar eksekutif puncak mereka lebih sedikit. Diduga bahwa
LEV menangkap pemantauan oleh debtholders eksternal (John dan John, 1993). Ukuran
risiko langsung, STDRET, positif, tetapi tidak signifikan secara statistik. Statistik regresi
keseluruhan (R2 disesuaikan = 28%, F = 18.16, p<0.01) menunjukkan bahwa total
kompensasi CEO secara signifikan terkait dengan permintaan perusahaan untuk CEO
berkualitas tinggi, kinerja, risiko dan modal manusia.
Kolom (4) dan (5) menunjukkan hasil untuk model lengkap yang menggabungkan
variabel pemantauan dan kepemilikan, masing-masing menggunakan pendekatan gabungan
dan regresi tahunan. Termasuk variabel pemantauan dan kepemilikan meningkatkan R2
yang disesuaikan dari regresi dari 28,0% menjadi 37,5%. Bukti ini menunjukkan bahwa
variabel tata kelola perusahaan menambah kekuatan penjelas yang signifikan pada model
untuk gaji eksekutif puncak. Perubahan koefisien terbesar antara kolom (3) dan kolom (4)
adalah untuk ROA yang sekarang 3.539 (berlawanan dengan 1.965) dan sekarang signifikan
secara statistik dalam arah yang diharapkan. Ini menunjukkan bahwa gaji eksekutif puncak
sangat positif terkait dengan kinerja akuntansi tetapi tidak terkait dengan kinerja
pengembalian saham. Koefisien pada variabel pendidikan eksekutif puncak, DEDU,
sekarang 0,025 (dibandingkan dengan -0,101), meskipun secara statistik tidak signifikan.
Perubahan tanda koefisien pendidikan dalam model lengkap (termasuk variabel tata kelola)
mirip dengan yang ada di Kato (1997).
Selanjutnya adalah variabel kepemilikan, OWN dan DFAMILY. Koefisien
kepemilikan oleh semua direktur (OWN) adalah 0,022 dan signifikan pada tingkat 1%. Ini
menunjukkan bahwa seorang eksekutif puncak yang dewannya memiliki persentase lebih
tinggi dari saham perusahaannya sendiri menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi. Tidak
ada data kepemilikan saham individual yang terperinci, peneliti tidak dapat menyimpulkan
apakah penghasilan yang lebih besar ini sebagian besar berasal dari gaji dan bonusnya atau
dari dividen atas saham yang dimilikinya. Temuan ini sedikit kontras dengan Hiraki et al.
(2003) dan Chen et al. (2003) yang menemukan hubungan positif antara kepemilikan
manajerial dan nilai perusahaan.
Koefisien pada DFAMILY adalah positif (0,279) dan signifikan pada level 1%. Ini
menunjukkan bahwa perusahaan yang dikendalikan keluarga pendiri cenderung membayar
eksekutif puncaknya, yang konsisten dengan tata kelola yang lemah. Interpretasi dari
koefisien pada DFAMILY adalah bahwa gaji eksekutif puncak di perusahaan yang anggota
keluarga pendirinya memiliki pengaruh kuat dalam manajemen adalah 22% lebih tinggi
daripada di perusahaan tanpa pengaruh tersebut. Temuan ini konsisten dengan argumen
teoritis yang ditawarkan dalam Demsetz (1983), yang menunjukkan bahwa ketika sebuah
keluarga adalah pemilik utama di perusahaan, anggota keluarga memiliki insentif untuk
membayar lebih mahal untuk diri mereka sendiri.
Terakhir, peneliti melihat variabel tata kelola. Ditemukan bahwa untuk perusahaan
keiretsu, KR negatif (−0,052), konsisten dengan Kato (1997). Hasil ini sedikit konsisten
dengan mekanisme pemerintahan keiretsu yang efektif dalam mengurangi oportunisme
manajerial. Dalam istilah ekonomi, ditemukan bahwa gaji eksekutif puncak perusahaan
keiretsu adalah sekitar 5% lebih kecil dari perusahaan nonkeiretsu, semuanya sama.
Koefisien kehadiran direksi luar, DOUT, adalah -0,062 dan sedikit negatif. Temuan
ini mirip dengan Kaplan dan Minton (1994) yang menyarankan bahwa direktur luar ini
menjalankan fungsi tata kelola yang penting. Secara ekonomi, gaji eksekutif adalah 6,2%
lebih kecil untuk tingkat kinerja yang sama ketika ada setidaknya satu direktur luar di
dewan.
Dalam tes tindak lanjut (tidak berkekurangan), peneliti memeriksa apakah keiretsu
menggunakan pengaruhnya, sebagian, melalui dewan direksi. Meskipun ada banyak bukti
bahwa anggota dewan di luar melakukan lebih banyak pemantauan, Kaplan dan Minton
(1994) menunjukkan bahwa anggota dewan bank lebih waspada daripada anggota dewan
perusahaan. Peneliti mempartisi para direktur luar dengan apakah mereka berafiliasi dengan
bank atau tidak. Peneliti kemudian berinteraksi setiap kelompok dengan indikator keiretsu.
Ditemukan bahwa jika perusahaan keiretsu memiliki direktur bank, tingkat kompensasi,
LNCOMP, secara signifikan kurang dari itu untuk perusahaan keiretsu tanpa direktur bank.
Ini menunjukkan bahwa anggota dewan bank dikaitkan dengan kompensasi eksekutif
puncak yang lebih rendah. Kaplan dan Minton (1994) menunjukkan bahwa kehadiran
anggota dewan di luar bank terkait berkorelasi dengan pendapatan saat ini negatif dan
kinerja pasar saham yang buruk, menunjukkan bahwa efek pemantauan potensial ini bersifat
endogen.
Variabel indikator, DMBANK, mewakili pengaruh bank utama. Ditemukan
koefisiennya menjadi 0,050 dan tidak signifikan secara statistik. Koefisien positif tetapi
tidak signifikan ini kontras dengan Kang dan Shivdasani (1995), yang menemukan bahwa
pergantian eksekutif puncak non-rutin lebih mungkin terjadi pada perusahaan dengan ikatan
bank utama. Kurangnya signifikansi secara efektif mirip dengan Hiraki et al. (2003) untuk
periode pengujian mereka 1992-1998.15 Kami tidak menemukan efek pemantauan bank
utama.
Akhirnya, koefisien pada ukuran board, BSIZE, yaitu 0,004 adalah positif, meskipun
tidak signifikan secara statistik. Koefisien pada BSIZE menyiratkan bahwa peningkatan
satu standar deviasi dalam ukuran papan (yaitu, sekitar 10) dikaitkan dengan peningkatan
4% dalam total kompensasi CEO. Temuan kami mirip dengan penelitian lain yang gagal
menemukan hubungan yang signifikan antara ukuran dewan dan proksi tata kelola
perusahaan di Jepang. Temuan kami kontras dengan Core et al. (1999) yang menemukan
hubungan positif yang kuat antara kompensasi eksekutif puncak dan ukuran dewan direksi
untuk perusahaan A.S.
2.8.2 Sensitivity Test
Dalam tes ini, kami menguji sensitivitas hasil di dua bidang. Pertama, peneliti
menguji dampak laba negatif pada kompensasi eksekutif puncak. Variabel indikator untuk
kerugian memiliki koefisien negatif −0.134 yang signifikan secara statistik pada tingkat 10%,
menunjukkan bahwa CEO perusahaan yang tidak menguntungkan dibayar rata-rata 13% lebih
rendah daripada CEO perusahaan yang menguntungkan. Koefisien pada ROA adalah 7.983,
yang lebih dari dua kali koefisien 3.539 dalam pooled regression pada kolom (4), dan itu
tetap signifikan pada level 1%. Interaksi antara variabel indikator kerugian dan ROA
memiliki koefisien −10.150, yang signifikan pada tingkat 1% dan negatif seperti yang
diharapkan. Koefisien ini menunjukkan bahwa sensitivitas pembayaran / kinerja secara
signifikan lebih rendah untuk perusahaan yang tidak menguntungkan daripada perusahaan
yang menguntungkan. Koefisien kemiringan bersih untuk perusahaan pelaporan kerugian
(−2.167 = 7.983-10.150) tidak berbeda secara signifikan dari nol, konsisten dengan
pemotongan gaji yang tidak cenderung mengikuti kinerja yang buruk. Secara keseluruhan,
pemeriksaan spesifikasi ini menunjukkan bahwa sensitivitas kinerja pembayaran untuk
eksekutif puncak Jepang sangat berbeda untuk perusahaan yang menguntungkan dan tidak
menguntungkan.
Kedua, peneliti menguji efek ROA, RET, dan LNSALE yang tertera untuk kolom (4).
Estimasi koefisien untuk RET, −0.086, dan RET yang ada, −0.119, tidak signifikan secara
statistik. Ini kemungkinan mencerminkan penurunan umum di pasar saham Jepang selama
periode waktu yang kita pelajari. Namun, koefisien ROA lagging sebesar 4,889 signifikan
pada level 1% dan koefisien LNSALE lagging −0,061 tidak signifikan secara statistik.
Hubungan yang kuat antara gaji eksekutif puncak dan ROA saat ini dan yang terlambat
menunjukkan bahwa gaji eksekutif puncak Jepang terutama didasarkan pada profitabilitas
akuntansi daripada penjualan atau pengembalian saham.
Kolom (5) melaporkan hasil untuk koefisien rata-rata dari lima regresi cross-sectional
tahunan. Pendekatan ini mengontrol korelasi cross-sectional dalam regresi (Fama dan
MacBeth, 1973). Tanda-tanda dan signifikansi statistik dari variabel kepemilikan dan tata
kelola mirip dengan yang untuk regresi gabungan dalam kolom (4). Perubahan penting adalah
bahwa koefisien ROA berkurang sedikit menjadi 3,487 dan menjadi tidak signifikan secara
statistik.
Singkatnya, baik variabel kepemilikan dan pemantauan memiliki hubungan cross-
sectional substantif dengan tingkat gaji eksekutif puncak, setelah mengendalikan standar
ekonomi penentu (ukuran perusahaan, peluang pertumbuhan, kinerja perusahaan
kontemporer, risiko perusahaan, dan variabel modal manusia). Khususnya, berkenaan dengan
variabel kepemilikan, ditemukan bahwa kompensasi CEO adalah fungsi yang meningkat dari
total kepemilikan direksi dan pengaruh keluarga pendiri. Sehubungan dengan variabel
pemantauan, kompensasi CEO lebih tinggi ketika dewan lebih besar, tidak ada direktur luar
di dewan, dan perusahaan bukan anggota grup keiretsu.
2.9 Predicted Excess Compensation and Future Performance
Bagian ini membahas apakah variasi cross-sectional dalam gaji eksekutif puncak
dijelaskan oleh variabel kepemilikan dan pengawasan dewan mewakili masalah agensi atau
faktor-faktor penentu ekonomi yang dihilangkan dari tingkat kompensasi ekuilibrium.
Asumsi yang dipertahankan adalah bahwa hasil signifikan pada variabel kepemilikan dan
pemantauan mencerminkan adanya masalah agensi yang belum terselesaikan; yaitu,
kepemilikan dan mekanisme pemantauan tertentu kondusif untuk pengukuhan CEO. Di
bawah hipotesis ini, variabel kepemilikan dan pemantauan mewakili untuk efektivitas
struktur tata kelola perusahaan dalam mengendalikan masalah agensi.
Atau, bukti cross-sectional bahwa variabel kepemilikan dan pemantauan menjelaskan
variasi dalam pembayaran CEO dapat dihasilkan dari model yang tidak ditentukan untuk
upah ekuilibrium CEO, tidak termasuk variabel mekanisme pemantauan dan kepemilikan.
Dalam skenario ini, proksi pemantauan dan kepemilikan variabel untuk beberapa faktor
penentu ekonomi yang dihilangkan berkorelasi, seperti kualitas CEO, kompleksitas pekerjaan
CEO, atau potensi tradeoff pemantauan-insentif penyediaan perusahaan. Untuk membedakan
antara penjelasan alternatif ini diperiksa apakah komponen kompensasi yang dijelaskan oleh
variabel tata kelola perusahaan berkorelasi dengan akuntansi periode masa depan dan kinerja
pasar saham (Core et al., 1999).
Dalam Lampiran I, peneliti merangkum bagaimana Core et al. (1999) secara empiris
membedakan antara dua penjelasan. Persamaan A1 mendefinisikan 'prediksi kelebihan
kompensasi' sebagai variabel tunggal yang dibentuk oleh komposit linear tertimbang dari
variabel tata kelola perusahaan, di mana nilai spesifik perusahaan dari variabel tata kelola
perusahaan dikalikan dengan koefisien yang diperkirakan pada Tabel 3. Perusahaan Jepang
beroperasi di bawah rezim pengungkapan mandat yang jauh lebih longgar daripada di
Amerika Serikat. Untuk menerapkan Core et al. (1999) dalam konteks ini, peneliti memilih
variabel tata kelola yang paling tidak signifikan secara marginal dalam Tabel 3. Dua variabel
pemantauan digunakan untuk membangun PREXMN: DOUT, kehadiran direktur luar di
papan; dan BSIZE, jumlah direktur di dewan. Demikian pula, dua variabel kepemilikan
digunakan untuk membangun PREXOW: OWN, persentase saham beredar yang dimiliki oleh
semua direktur; dan DFAMILY, variabel indikator untuk bisnis yang dikendalikan keluarga.
PREDEX, perkiraan kelebihan kompensasi karena tata kelola perusahaan, dibangun
menggunakan keempat variabel tata kelola perusahaan.
Jika hubungan antara kompensasi dan mekanisme tata kelola mencerminkan tingkat
entrenchment manajerial, peneliti berharap untuk mengamati hubungan negatif antara
prediksi kelebihan kompensasi dan kinerja perusahaan berikutnya. Jika hubungan antara
kompensasi dan struktur dewan dan variabel-variabel pemantauan mencerminkan faktor-
faktor penentu ekonomi yang dihilangkan dari pembayaran CEO, kami berharap tidak ada
asosiasi atau mungkin asosiasi positif.
Tabel 4 melaporkan hasil regresi dari kinerja akuntansi satu tahun ke depan (ROAt + 1)
dan kinerja pasar saham (RETt + 1) terhadap prediksi kelebihan kompensasi yang disebabkan
oleh struktur dewan dan mekanisme pemantauan kepemilikan dan satu set variabel yang
mewakili faktor penentu ekonomi dari kinerja perusahaan. Peneliti juga memasukkan
variabel indikator industri untuk mengontrol akuntansi istimewa dan kinerja harga saham
dalam setiap kelompok industri selama periode yang relevan, dan variabel indikator waktu
untuk mengukur kinerja relatif terhadap kinerja rata-rata dalam sampel yang sama. jangka
waktu. Peneliti memodifikasi Core et al. (1999) model untuk memasukkan leverage (LEV),
ukuran perusahaan (LNSALE) dan ukuran risiko, standar deviasi dari tiga tahun sebelumnya
dari pengembalian pasar saham bulanan (STDRET), sebagai kontrol untuk penentu kinerja
akuntansi. LEV menangkap dampak dari struktur modal (mis., Biaya bunga) pada kinerja
laba, dan karenanya, peneliti mengharapkannya memiliki koefisien negatif. LNSALE
digunakan untuk menangkap peluang pertumbuhan dan profitabilitas yang terkait dengan
perusahaan besar dan kami berharap hal itu terkait positif dengan kinerja pendapatan di masa
depan (mis. Gaver dan Gaver, 1993) dan STDRET adalah ukuran pengukuran risiko
perusahaan.
Panel A melaporkan hasil ketika variabel dependen adalah kinerja akuntansi satu tahun
ke depan (ROAt + 1). Kolom (3) menunjukkan bahwa menggunakan regresi gabungan,
koefisien pada prediksi kelebihan kompensasi (PREDEX) adalah -0,007 dan signifikan secara
statistik pada tingkat 1%. Dengan demikian, asosiasi negatif ini menunjukkan bahwa
koefisien pada variabel tata kelola yang diperkirakan dalam model kompensasi CEO (pada
Tabel 3) mencerminkan efektivitas tata kelola perusahaan, alih-alih menangkap faktor-faktor
penentu ekonomi yang diabaikan dari upah ekuilibrium. Signifikansi ekonomi dari kelebihan
kompensasi pada kinerja operasi berikutnya adalah material: peningkatan deviasi satu standar
dalam kelebihan kompensasi (= 0,234, tidak ternoda) dikaitkan dengan penurunan ROA
tahunan sekitar 0,002% (= -0,007 × 0,234) per tahun. Karena ROA rata-rata dalam sampel
adalah sekitar 1,4%, ini menyiratkan kerugian sekitar 2,8% (= 0,002% / 1,4%) dari ROA rata-
rata sampel. Koefisien pada leverage, LEV, .00,078, secara signifikan negatif dan koefisien
pada ukuran perusahaan, LNSALE, adalah 0,003 positif secara signifikan, keduanya
konsisten dengan prediksi. Rata-rata regresi cross-sectional tahunan yang dilaporkan pada
kolom (4) hampir identik dengan kolom (3).
Dalam rangka untuk menilai lebih lanjut kepentingan relatif dari struktur dewan dan
mekanisme kepemilikan, peneliti menghitung dua ukuran yang berbeda dari kompensasi
berlebih yang diprediksi, disebabkan oleh struktur kepemilikan (PREXOW), dan secara
terpisah dengan variabel pemantauan (PREXMN). Dua ukuran ini memiliki korelasi negatif
yang signifikan secara statistik −0,059 (p<0,108, berekor dua), menunjukkan bahwa dua
kelompok mekanisme tata kelola adalah pengganti. Ketika peneliti memasukkan kedua
langkah dalam kolom (5), kami menemukan bahwa prediksi kelebihan kompensasi terkait
dengan kepemilikan (PREXOW) dan mekanisme pemantauan (PREXMN) keduanya
berhubungan negatif dengan kinerja akuntansi berikutnya, meskipun koefisien pada
PREXMN tidak signifikan. Peningkatan satu standar deviasi dalam kelebihan kompensasi
terkait dengan struktur kepemilikan (= 0,233, tidak ternoda) menyebabkan penurunan ROA
tahunan sekitar 0,12% (= .000,005 × 0,233) per tahun, kerugian tersirat sekitar 8,5% (=
0,12% /1.4%) dari ROA rata-rata sampel. Bukti ini menunjukkan bahwa kepemilikan orang
dalam mempengaruhi sejauh mana CEO dibayar lebih tinggi relatif terhadap faktor-faktor
penentu ekonomi, yang memprediksi manifestasi dari ketidakefisienan kontrak lainnya dalam
perusahaan yang mengarah pada kinerja selanjutnya yang lebih buruk. Sebagai tes
sensitivitas, kami memberikan ringkasan dari regresi cross-sectional tahunan dalam kolom
(6). Hasilnya secara substansial sama.

Table 2.4
Regressions of subsequent operating performance (ROAt+1) and subsequent stock
performance (RETt+1) on predicted excess CEO compensation, control variables
and industry- and year-dummies
(1) (2) (3) (4) (5) (6)

Components of excess
Variable Expected Total excess compensation compensation

Sign
Annual
Pooled Annual averages Pooled averages
Panel A: Dependent variable is ROAt+1

Intercept 0.029 0.024 0.026 0.018

(4.60) (5.11) (4.12) (2.42)

PREDEX − −0.007 −0.011

(−2.17) (−2.79)

PREXOW − −0.005 −0.009

(−1.71) (−2.08)

PREXMN − −0.012 −0.020

(−0.11) (−0.02)

STDRET + 0.003 0.006 0.003 0.006

(1.09) (1.43) (1.00) (1.31)

LEV ? −0.078 −0.079 −0.076 −0.078

(−17.57) (−29.40) (−16.81) (−26.08)

LNSALE + 0.003 0.003 −0.003 0.004

(5.95) (7.94) (6.36) (6.38)

Adj. R2 0.403 0.404 0.399 0.395

F-value 43.11 32.29

Panel B: Dependent variable is RETt+1

Intercept −0.365 0.150 −0.353 0.121

(3.61) (0.63) (3.48) (0.55)

PREDEX − 0.030 0.000

(0.50) (0.00)

PREXOW − 0.022 0.027

(0.31) (0.20)

PREXMN − −0.116 −0.200

(0.81) (−1.40)

STDRET + −0.066 −0.056 −0.062 −0.060

(−1.30) (−0.91) (−1.25) (−0.97)

LEV ? −0.024 −0.093 −0.033 −0.085

(−0.51) (−1.06) (−0.68) (−1.08)

MB − −0.008 −0.007 −0.008 −0.005

(−0.87) (−0.74) (−0.95) (−0.59)

LNMV − 0.010 −0.005 0.010 −0.003


(1.31) (−0.29) (−1.11) (−0.16)

Adj. R2 0.47 0.215 0.464 0.020

F-value 48.14 44.64

( , ) Significant at the 1% (5%, 10%) level, two-tailed.


ROA is the return on assets calculated as (Net Incomet) / (Total Assetst−1). RET is the annual stock return calculated as
(Stock Pricet + Dividend Per Sharet) / (Stock Pricet−1) − 1, adjusted for stock splits and stock dividends. SALE is
annual total sales in millions yen. PREDEX is the predicted excess compensation related to both governance and
ownership mechanisms. PREXOW is the excess compensation attributable to the ownership mechanisms. PREXMN is
the excess compensation attributable to the monitoring mechanisms. STDRET is the standard deviation of annual stock
returns for 3 years adjusted for dividends paid. LEV is the leverage calculated as (Total Liability) / (Total Assets).
LNSALE is the natural log of sales. MB is the market-to-book ratio at the beginning of each year. LNMV is the natural
log of market value of equity.

Dalam rangka untuk menilai lebih lanjut kepentingan relatif dari struktur dewan dan
mekanisme kepemilikan, peneliti menghitung dua ukuran yang berbeda dari kompensasi
berlebih yang diprediksi, disebabkan oleh struktur kepemilikan (PREXOW), dan secara
terpisah dengan variabel pemantauan (PREXMN). Dua ukuran ini memiliki korelasi negatif
yang signifikan secara statistik −0,059 (p<0,108, berekor dua), menunjukkan bahwa dua
kelompok mekanisme tata kelola adalah pengganti. Ketika peneliti memasukkan kedua
langkah dalam kolom (5), kami menemukan bahwa prediksi kelebihan kompensasi terkait
dengan kepemilikan (PREXOW) dan mekanisme pemantauan (PREXMN) keduanya
berhubungan negatif dengan kinerja akuntansi berikutnya, meskipun koefisien pada
PREXMN tidak signifikan. Peningkatan satu standar deviasi dalam kelebihan kompensasi
terkait dengan struktur kepemilikan (= 0,233, tidak ternoda) menyebabkan penurunan ROA
tahunan sekitar 0,12% (= .000,005 × 0,233) per tahun, kerugian tersirat sekitar 8,5% (=
0,12% /1.4%) dari ROA rata-rata sampel. Bukti ini menunjukkan bahwa kepemilikan orang
dalam mempengaruhi sejauh mana CEO dibayar lebih tinggi relatif terhadap faktor-faktor
penentu ekonomi, yang memprediksi manifestasi dari ketidakefisienan kontrak lainnya dalam
perusahaan yang mengarah pada kinerja selanjutnya yang lebih buruk. Sebagai tes
sensitivitas, kami memberikan ringkasan dari regresi cross-sectional tahunan dalam kolom
(6). Hasilnya secara substansial sama.
Panel B melaporkan hasil ketika variabel dependen adalah pengembalian saham satu
tahun ke depan (RETt + 1). Baik koefisien pada total kompensasi berlebih yang diprediksi
(PREDEX), maupun koefisien pada prediksi kelebihan kompensasi yang terkait dengan salah
satu mekanisme kepemilikan (PREXOW) atau mekanisme pemantauan (PREXMN)
signifikan. Koefisien rata-rata dari regresi cross-sectional tahunan serupa meskipun rata-rata
R2 yang disesuaikan jauh lebih rendah.
Singkatnya, peneliti menemukan bukti hubungan negatif antara kompensasi yang
diprediksi oleh variabel kepemilikan dan mekanisme pemantauan dan kinerja akuntansi
berikutnya, tetapi tidak ada hubungan dengan kinerja pengembalian di masa depan. Temuan
ini menunjukkan bahwa bobot variabel pemantauan dan kepemilikan dalam persamaan
kompensasi terkait dengan efektivitas struktur tata kelola perusahaan, daripada menjadi
proksi untuk faktor penentu yang diabaikan dari upah ekuilibrium eksekutif puncak. Dengan
demikian, hasil kami menunjukkan bahwa perusahaan Jepang dengan mekanisme tata kelola
yang lebih lemah memiliki masalah agensi yang lebih besar; bahwa eksekutif puncak di
perusahaan-perusahaan dengan masalah agensi yang lebih besar mendapatkan bayaran lebih
tinggi; dan bahwa perusahaan dengan masalah agensi yang lebih besar berperforma lebih
buruk.
B. Analisis Komprehensif Pengaruh Family Ownership, Masalah Keagenan,
Kebijakan Dividen, Kebijakan Hutang, Corporate Governance dan Opportunity
Growth Terhadap Nilai Perusahaan
2.10 Struktur Kepemilikan
Struktur kepemilikan perusahaan juga dapat mempengaruhi masalah keagenan dalam
suatu perusahaan. Ketika suatu perusahaan sebagian besar sahamnya dimiliki oleh keluarga,
konflik keagenan antara pemilik perusahaan (prinsipal) dengan manajer (sebagai agen) masih
jarang terjadi. Arifin (2003) menyatakan bahwa perusahaan yang sahamnya sebagian besar
dimiliki oleh keluarga dapat mengurangi masalah agensi dibanding dengan perusahaan publik
yang tidak memiliki pengendali utama. Rendahnya biaya agensi diharapkan akan
meningkatkan nilai perusahaan. Di Indonesia sekitar 90 % perusahaan yang sahamnya
dimiliki dan dikendalikan oleh satu keluarga (bukan perusahaan konglomerasi). Kondisi ini
tidak beda jauh dengan di negara berkembang lainnya seperti Spanyol (La Porta, 1999).
Ditinjau dari sudut teori keagenan, perusahaan dengan kepemilikan dan pengendalian
keluarga yang tinggi relatif mempunyai kelebihan. Arifin (2003) mengatakan bahwa
kelebihan bagi perusahaan yang dimiliki dan dikendalikan oleh keluarga adalah adanya
kecenderungan untuk memiliki manajemen yang merupakan anggota dari keluarga, sehingga
hal ini akan mengurangi konflik keagenan antara pemegang saham dengan manajemen,
seperti yang biasa terjadi pada perusahaan yang terdapat pemisahan antara manajemen
dengan pemilik. Dengan pola kepemilikan yang terkonsentrasi dan pemilik utama yang
dominan adalah keluarga, masalah agensi yang mungkin timbul adalah konflik antara
pemegang saham pengendali dengan pemegang saham minoritas.
2.11 Teori Keagenan
Timbulnya fenomena kepemilikan perusahaan yang semakin menyebar dan terjadinya
diversifikasi penguasaan saham perusahaan mengakibatkan terpisahnya kepemilikan
(ownership) dan pengelolaan perusahaan (manajemen). Pemisahan tersebut menimbulkan
masalah karena terdapatnya dua kepentingan yaitu antara pemilik dan manajemen yang tidak
selalu sejalan. Agen (pihak yang menerima tugas dan wewenang) tidak selalu bertindak
sesuai keinginan prinsipal (pihak yang memberi wewenang) maka timbullah masalah
keagenan (agency problem). Esensi dari teori keagenan adalah kontrak antara prinsipal dan
agen, sehingga fokus utama dari teori ini adalah menentuan kontrak yang paling efisien
antara prinsipal dan agen. Wewenang dan tanggungjawab agent maupun principal diatur
dalam kontrak kerja atas persetujuan bersama.
Ketidaksimetrisan informasi antara agen dan prinsipal merupakan salah satu contoh
kontrak yang tidak efisien. Pihak agen mempunyai informasi yang lebih banyak dan privat
yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi. Atau pihak prinsipal yang mempunyai
kekuatan dan kekuasaan lebih besar dibanding agen dapat membuat keputusan yang
berbenturan dengan kepentingan manajer. Konflik keagenan dalam perusahaan dapat
mempengaruhi jalannya perusahaan dalam mencapai tujuannya yaitu memaksimalkan nilai
perusahaan. Beberapa mekanisme pengawasan dapat dilakukan untuk mengharmonasiasi
hubungan antara agen dan prinsipal.
2.12 Mekanisme Bonding dan Monitoring
Menurut Jensen dan Meckling (1976) mekanisme bonding melalui kebijakan dividen,
struktur kepemilikan, dan struktur hutang dapat digunakan untuk mengurangi agency costs
yang timbul dari masalah keagenan (agency conflict). Crutchley dan Hansen (1989)
mengatakan bahwa penggunaan hutang diharapkan dapat mengurangi konflik keagenan.
Penambahan hutang dalam struktur modal dapat mengurangi penggunaan saham sehingga
mengurangi biaya keagenan. Ketika berhutang, perusahaan memiliki kewajiban untuk
mengembalikan pinjaman dan membayar beban bunga secara periodik. Kondisi ini
menyebabkan manajer harus bekerja keras untuk memenuhi kewajiban tersebut dengan cara
meningkatkan laba. Namun, sebagai konsekuensi dari kebijakan ini, perusahaan menghadapi
biaya keagenan hutang dan risiko kebangkrutan (Crutchley dan Hansen: 1989). Hal ini juga
didukung oleh hasil Grossman dan Hart (1980), keberadaan kreditur dalam struktur modal
merupakan salah satu alternatif mengurangi konflik keagenan. Keberadaan kreditur akan
meningkatkan pengawasan dan membatasi ruang gerak manajemen. Keberadaan utang akan
memaksa manajemen membatasi terjadinya perks, perquisites dan menjalankan perusahaan
dengan lebih efisien karena adanya kemungkinan terjadi financial distress serta kehilangan
kendali dan reputasi (Firth et al., 2002).
Lebih jauh dikatakan oleh Harris dan Raviv (1990) bahwa masalah agensi antara
pemegang saham dan manajer tidak dapat diselesaikan hanya melalui kontrak berdasarkan
aliran kas dan pengeksternalan investasi saja, tetapi dapat dikurangi dengan penerbitan
hutang. Hutang digunakan sebagai alat pendisiplinan manajer agar bekerja lebih keras untuk
membayar kembali hutang dan bunganya. Mekanisme bonding lainnya yaitu kebijakan
dividen dapat digunakan sebagai pengurang masalah agensi antara manajer dan pemegang
saham (Jensen dan Meckling, 1976). Pembayaran dividen dapat mengurangi discretionary
funds yang tersedia bagi manajer, yang dapat digunakan untuk pengeluaran perks, perquisite,
sehingga membantu mengatasi konflik antara manajer dan pemegang saham (Jensen and
Meckling, 1976). Dengan menggunakan teori signaling, Easterbrook, 1984; Bhattacharya,
1979 menemukan hubungan antara growth opportunities dan kebijakan dividen. Hasil
empiris menunjukkan perusahaan dengan high quality dipercaya mempunyai komitmen
memberikan dividen yang tinggi sebagai sinyal kepada pasar (Easterbrook, 1984;
Bhattacharya, 1979). Perusahaan yang memberikan dividen tinggi bertujuan untuk
mengurangi kesenjangan informasi antara manajer dan investor, dan dividen tinggi dianggap
berhubungan dengan kesempatan investasi yang tinggi. Jensen, 1996 juga memberikan
penjelasan bahwa dividen merupakan incentive roles dipandang dari sudut contracting cost.
2.13 Corporate Governance
Permasalahan agensi muncul ketika kepengurusan suatu perusahaan terpisah dari
kepemilikannya. Corporate governance adalah semua upaya untuk mencari cara terbaik
dalam menjalankan perusahaan, dimana kebijakan-kebijakan dan peraturan-peraturan yang
ada dalam corporate governance dapat digunakan untuk mengontrol manajemen. Dengan
melakukan pengawasan yang diarahkan pada perilaku manajer agar bisa dinilai apakah
tindakannya bermanfaat bagi perusahaan (pemilik) atau bagi manajer sendiri. Secara umum
implementasi good corporate governance dipercaya dapat meningkatkan kinerja atau nilai
perusahaan (Siallagan, 2006). Kebijakan dividen dan hutang sebagai mekanisme pengawasan
masalah agensi (Jensen & Meckling, 1976) dalam upaya untuk meningkatkan nilai
perusahaan akan lebih kuat hasilnya ketika perusahaan menerapkan good corporate
governance. Hal ini tercermin ketika manajer melakukan pengambilan keputusan atas
kebijakan-kebijakan perusahaan seperti leverage, dividen, kompensasi dan lainnya, pihak
manajer (agen) akan berusaha untuk allign dengan tujuan prinsipal yaitu kemakmuran
pemegang saham dan nilai perusahaan. Perilaku oportunistik agen dapat diminimalisasi
dengan good corporate governance. Dengan mengurangi peluang bagi manajer untuk
berperilaku menyimpang dan memperkaya diri sendiri diharapkan nilai perusahaan akan
meningkat, yaitu ditandai dengan meningkatnya harga saham dan kemakmuran para
pemegang saham.
Struktur kepemilikan perusahaan juga dapat berpengaruh pada corporate governance
(Hermawan, 2009). Masalah agensi yang mungkin timbul adalah antara pemilik dengan
manajemen dan antara pemegang saham pengendali dengan pemegang saham minoritas.
Kepemilikan yang terkonsentrasi pada satu golongan (mayoritas) akan lebih banyak
mengawasi dan memonitoring pelaksanaan manajemen perusahaan. Prinsipal akan
mengontrol perilaku manajer agar allign dengan tujuan perusahaan yaitu meningkatkan nilai
perusahaan dan akhirnya meningkatkan kekayaan pemegang saham (Shareholder’s wealth).
2.14 Growth Opportunity
Dalam melihat pengaruh dari kebijakan yang diambil oleh perusahaan seperti
kebijakan dividen dan hutang terhadap nilai perusahaan, baik investor maupun pelaku pasar
juga akan mempertimbangkan potensi pertumbuhan yang dimiliki oleh perusahaan. Menurut
Fama (1978) nilai suatu perusahaan semata-mata dipengaruhi oleh peluang investasi, oleh
karena itu investasi merupakan suatu keputusan yang sangat penting dalam perusahaan.
Myers (1977) mengkaitkan peluang investasi dengan pencapaian tujuan perusahaan (Adam
dan Goyal, 2003). Peluang investasi memberikan petunjuk yang lebih luas bahwa nilai
perusahaan tergantung pada pengeluaran perusahaan di masa yang akan datang. Pemilihan
opsi-opsi investasi adalah tergantung oleh kebijakan manajer untuk melakukan expenditure di
masa mendatang. Manajer harus dapat melakukan kebijakan yang tepat terkait dengan
investasi sehingga nilai perusahaan dapat meningkat. Keputusan investasi sangat penting,
karena untuk mencapai tujuan perusahaan hanya akan dihasilkan melalui kegiatan investasi
perusahaan. Perusahaan dengan kesempatan investasi yang besar mengindikasi bahwa
perusahaan tersebut memiliki prospek ke depan yang cerah, sehingga akan berdampak positif
pada harga saham.
2.15 Nilai Perusahaan
Tujuan utama perusahaan adalah meningkatkan nilai perusahaan melalui peningkatan
kemakmuran pemilik atau para pemegang saham. Salah satu cara untuk mengukur nilai
perusahaan adalah dengan menggunakan Tobin‟s Q. Rasio Q adalah rasio pasar terhadap
nilai buku yang dihitung dari rasio harga pasar ekuitas perusahaan ditambah hutang dibagi
dengan nilai aset perusahaan. Selain menggunakan Tobin‟s Q, dalam menilai value of firm
dapat menggunakan metode PBV (Price to Book Value). Hasnawati, 2005 mengatakan bahwa
nilai perusahaan dipengaruhi oleh faktor keputusan pendanaan, kebijakan dividen, faktor
eksternal perusahaan seperti tingkat inflasi, kurs mata uang asing, pertumbuhan ekonomi,
politik dan psychology pasar. Ada juga yang mendefinisikan nilai perusahaan sebagai nilai
pasar. Karena nilai perusahaan yang dapat memberikan kemakmuran pemagang saham secara
maksimum apabila harga saham perusahaan meningkat. Semakin tinggi harga saham, makin
tinggi kemakmuran pemegang saham.
2.16 Hipotesis
2.16.1 Pengaruh Kepemilikan Keluarga Terhadap Konflik Keagenan
Menurut teori agensi, struktur kepemilikan perusahaan dapat mempengaruhi masalah
keagenan dalam suatu perusahaan, misalnya masalah agensi yang antara pemilik dengan
manajemen dan antara pemegang saham pengendali dengan pemegang saham minoritas.
Menurut Demsetz dan Lehn (1985) perusahaan keluarga akan memiliki lebih sedikit masalah
agensi antara pemilik dengan manajemen karena pemilik dapat memonitor manajer secara
langsung. Selain itu, pengetahuan yang lebih baik mengenai kegiatan bisnis oleh pemilik
yang merupakan keluarga akan membuat mereka lebih mudah mendeteksi adanya manipulasi
dalam angka yang dilaporkan, sehingga mereka dapat terus memeriksa kegiatan yang terjadi
(Anderson dan Reeb, 2003).
Perusahaan yang sahamnya banyak dikuasai oleh keluarga menunjukkan
kecenderungan memiliki manajemen yang merupakan anggota dari keluarga, sehingga hal ini
akan mengurangi konflik keagenan antara pemegang saham dengan manajemen, seperti yang
biasa terjadi pada perusahaan yang terdapat pemisahan antara manajemen dengan pemilik.
Oleh sebab itu, perusahaan yang dimiliki keluarga biasanya tidak memiliki masalah agensi
yang biasa terjadi pada perusahaan dengan pemisahan manajemen dan pemilik, yaitu
terjadinya ketidakselarasan tujuan dari manajemen dan pemilik. Namun, kepemilikan oleh
keluarga yang sekaligus menjadi manajemen dapat menimbulkan adanya masalah agensi
yang lain, yaitu antara pemegang saham mayoritas dengan pemegang saham minoritas
(Gilson dan Gordon, 2003: Maury, 2006 dalam Hermawan, 2009).
Dengan demikian dapat ditarik hipotesis sebagai berikut:
Hipotesis 1 : Perusahaan dengan kepemilikan keluarga tinggi memiliki tingkat konflik
keagenan yang lebih rendah dengan perusahaan yang kepemilikan keluarga rendah
2.16.2 Pengaruh Kepemilikan Keluarga, Konflik Keagenan Terhadap Corporate
Governance
Ide dasar pengelolaan agency theory memberikan cara pandang baru mengenai
corporate governance. Perusahaan ditunjukkan sebagai suatu hubungan kerja sama antara
prinsipal (pemegang saham atau pemilik perusahaan) dan agen (manajemen). Adanya vested
interest manajemen mengakibatkan perlunya proses check and balance untuk mengurangi
kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan oleh manajemen. Good governance memberikan
jaminan bahwa investor akan memperoleh returns yang memadai atas dana yang ditanamkan
ke perusahaan; bagi authority bodies, good governance akan meningkatkan efisiensi dan
kredibilitas pasar modal sebagai salah satu alternatif investasi, sehingga secara umum
penerapan Good Corporate Governance dipercaya dapat meningkatkan kinerja atau nilai
perusahaan (Siallagan, 2006).
Corporate governance diharapkan akan dapat berfungsi untuk menekan atau
menurunkan biaya keagenan (agency cost), untuk memberikan keyakinan kepada investor
bahwa mereka akan menerima return atas dana yang telah mereka investasikan dan membuat
para investor yakin bahwa manajer akan memberikan keuntungan bagi mereka, dan tidak
akan berinvestasi ke dalam proyek-proyek yang tidak menguntungkan. Corporate
governance juga berkaitan dengan bagaimana para investor mengontrol para manajer
(Shleifer and Vishny, 1999). Struktur kepemilikan perusahaan juga dapat berpengaruh pada
corporate governance (Hermawan, 2009). Masalah agensi yang mungkin timbul adalah
antara pemilik dengan manajemen dan antara pemegang saham pengendali dengan pemegang
saham minoritas.Perusahaan dengan kepemilikan keluarga yang tinggi cenderung
kepemilikan sahamnya terkonsentrasi pada suatu golongan (blocked). Ali et al. (2007)
mengatakan bahwa perusahaan keluarga yang terkonsentrasi memiliki agency conflict yang
kecil, discretionary yang sedikit sehingga memiliki komponen laba yang dapat memprediksi
arus laba lebih baik dan earning response coefficient yang lebih besar. Kim dan Yi (2005)
menemukan bahwa perusahaan keluarga memiliki tingkat corporate governance yang lebih
parah karena adanya entrenchment agency problem. Anderson dan Reeb (2003) juga
menemukan bahwa board of directors perusahaan keluarga cenderung lebih tidak independen
dan didominasi oleh anggota keluarga. Pada saat penyusunan dewan direksi, begitu pula
komite audit, keluarga cenderung memilih dari anggota keluarganya sendiri. Alhasil, proses
pengawasan dapat menjadi tidak efektif dan berpeluang melakukan ekspropriasi terhadap
pemegang saham minoritas. Hal ini dapat melemahkan independensi dewan direksi maupun
komite audit.
Sehingga dapat ditarik hipotesis kedua dan ketiga yaitu:
Hipotesis 2 : Perusahaan dengan kepemilikan keluarga tinggi memiliki tingkat corporate
governance yang lebih rendah dengan perusahaan yang kepemilikan keluarganya rendah.
Hipotesis 3: Tingkat konflik keagenan berpengaruh positif terhadap tingkat corporate
governance
2.16.3 Pengaruh Agency Conflict Terhadap Kebijakan Deviden dan Hutang
Masalah keagenan mempengaruhi kebijakan perusahaan yang menyangkut dividen
dan hutang. Konflik yang mungkin terjadi adalah antara pemegang saham dengan manajer
dan antara pemegang saham dengan debtholders. Konflik keagenan yang timbul antara
pemegang saham dengan manajer biasanya didasarkan adanya kecenderungan dari manajer
untuk memaksimalkan utilitasnya dengan mengorbankan utilitas pemegang saham. Manajer
akan mengejar keuntungan pribadi saja padahal ini bertentangan dengan tujuan yang
diharapkan oleh pemegang saham yaitu nilai perusahaan yang meningkat (Jensen &
Meckling, 1976). Agen mempunyai kecenderungan untuk mendapatkan keuntungan pribadi
yang sebesar-besarnya dengan menggunakan biaya yang dikeluarkan oleh pihak prinsipal.
Perilaku tersebut dinamakan keterbatasan rasional (bounded rationality) dan menghindari
atau tidak suka menanggung resiko (risk averse) (Bathala, et al., 1994).
Manajer sebagai agen mempunyai kepentingan yang bertujuan memaksimalkan
utilitasnya sehingga berpotensi berpeluang untuk berperilaku oportunis dengan menggunakan
free cash flow demi kepentingan pribadi. Free cash flow akan digunakan untuk memperkaya
diri manajer melalui perks dan perqusities. Seorang manajer yang hanya menomersatukan
kepentingan pribadi akan menetapkan kebijakan dividen yang dapat merugikan utilitas
pemegang saham (prinsipal). Masalah keagenan yang timbul antara pemegang saham dengan
pemegang hutang disebabkan oleh perbedaan sikap prinsipal dan agen terhadap resiko bisnis
(Jensen dalam Harjito, 2005). Pemegang saham lebih peduli terhadap resiko sistematik yang
dapat diminimumkan dengan melakukan investasi pada portofolio yang terdiversifikasi
dengan baik, sedangkan manajer lebih peduli dengan resiko keseluruhan yang dihadapi oleh
perusahaan. Tambahan hutang akan meningkatkan probabilitas perusahaan mengalami
kebangkrutan. Hal ini terkait dengan reputasi manajer, dimana reputasi akan menurun apabila
perusahaan mengalami kebangkrutan. Hal tersebut akan menciptakan kondisi dimana para
manajer berusaha untuk mengurangi penggunaan hutang yang akan menyebabkan perusahaan
berpotensi mengalami kebangkrutan dan akhirnya merugikan reputasi manajer.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat ditarik hipotesis keempat dan kelima yaitu:
Hipotesis 4: Tingkat konflik keagenan berpengaruh negatif terhadap kebijakan dividen
perusahaan.
Hipotesis 5: Tingkat konflik keagenan berpengaruh negatif terhadap kebijakan hutang
perusahaan.

2.16.4 Pengaruh Kebijakan Dividen dan Hutang Terhadap Nilai Perusahaan


Hutang adalah instrumen yang sangat sensitif terhadap perubahan nilai perusahaan.
Teori Modigliani dan Miller mengatakan bahwa nilai perusahaan ditentukan oleh struktur
modal, semakin tinggi proporsi hutang maka semakin tinggi harga saham. Harga saham yang
semakin tinggi berarti semakin tinggi pula nilai perusahaan. Keinginan investor sebagai
pemilik perusahaan adalah perusahaan yang mempunyai nilai yang tinggi, yang menunjukkan
kemakmuran pemegang saham juga tinggi. Oleh karena itu sesuai dengan preposisi
Modigliani dan Miller (1976), para pemilik perusahaan lebih suka apabila perusahaan
menciptakan hutang pada tingkat tertentu untuk menaikkan nilai perusahaan.
Crutchley dan Hansen (1989) mengatakan bahwa penggunaan hutang diharapkan
dapat mengurangi konflik keagenan. Penambahan hutang dalam struktur modal dapat
mengurangi penggunaan saham sehingga mengurangi biaya keagenan ekuitas. Perusahaan
memiliki kewajiban untuk mengembalikan pinjaman dan membayar beban bunga secara
periodik. Jensen (1986) melihat masalah keagenan dari “freecashflow”, yaitu ketersediaan
uang yang dapat digunakan manajer untuk kegiatan “konsumtif” adalah kelebihan dana yang
ada diperusahaan setelah semua proyek investasi yang menghasilkan net presentvalue positif
dilaksanakan. Mekanisme bonding dengan meningkatkan hutang dapat mengurangi jumlah
freecashflowdimana dana tersebut dialihkan untuk membayar bunga hutang dan pokok
hutang. Selain itu juga dengan peningkatan hutang maka kebutuhan akan pendanaan
perusahaan tidak perlu dengan tambahan saham (outsideequity).
Mekanisme pengendalian dengan keberadaan kreditur dalam struktur modal
perusahaan tentunya dapat meningkatkan pengawasan dan membatasi ruang gerak
manajemen. Grossman dan Hart(1980) menyatakan keberadaan utang akan memaksa
manajemen untuk mengkonsumsi lebih sedikit prequisities. Kondisi ini menyebabkan
manajer bekerja keras untuk meningkatkan laba sehingga dapat memenuhi kewajiban dari
penggunaan hutang. Sebagai konsekuensi dari kebijakan ini, perusahaan menghadapi biaya
keagenan hutang dan risiko kebangkrutan. Penambahan hutang dalam struktur modal dapat
mengurangi penggunaan saham sehingga mengurangi biaya keagenan ekuitas.
Jensen dan Meckling, 1976 mengatakan bahwa dividen dapat digunakan untuk
mengurangi masalah agensi antara manajer dan pemegang saham. Pembayaran dividen dapat
mengurangi discretionaryfunds yang tersedia bagi manajer, yang dapat digunakan untuk
pengeluaran perquisite,sehingga membantu mengatasi konflik antara manajer dan pemegang
saham tersebut. Masalah keagenan antara prinsipal dan agen juga timbul pada saat hubungan
antara prinsipal dan agen terjadi imperfectin formation(Stilglitz, 1992).
Ketika perusahaan berada dalam kondisi free cash flow yang berlebih memicu
manajer untuk melakukan perilaku yang menyimpang. Free cash flow dapat dikurangi
dengan meningkatkan dividen tunai. Dalam teori agensi, jika laba tidak dibagikan kepada
pemegang saham, maka laba tersebut akan dialokasikan pada proyek-proyek yang kurang
menguntungkan sehingga hanya menguntungkan manajemen perusahaan atau bisa jadi
digunakan untuk kepentingan pribadi manajemen. Rozeff: 1982 dalam Arifin: 2005
menyarankan peningkatan pemberian dividen untuk mengurangi biaya agensi. Dengan
peningkatan pemberian dividen diprediksikan akan meningkatkan kemungkinan perusahaan
mendapatkan dana dari luar dan perusahaan semakin sering dimonitor oleh investor baru.
Pembayaran dividen juga mempunyai pengaruh terhadap peningkatan pengawasan
dari luar sehingga mempengaruhi perilaku manajer yang ingin mempertahankan
kedudukannya dengan berusaha bekerja lebih baik lagi. Kebijakan tersebut menyebabkan
meningkatnya modal dari luar (Myers dan Majluf, 1994 dalam Harjito: 2006).
Borokhovichetal ; 2005 juga mengatakan bahwa dividen bertindak sebagai mekanisme untuk
mengurangi masalah agensi. Menurut Crutchley dan Hansen (1989), peningkatan dividen
diharapkan dapat mengurangi biaya keagenan. Hal ini disebabkan karena dividen yang besar
menjadikan rasio laba ditahan kecil sehingga perusahaan membutuhkan tambahan dana dari
sumber eksternal, seperti menerbitkan saham baru. Penerbitan saham baru akan menyebabkan
kinerja dimonitor oleh bursa dan investor baru. Adanya pengawasan tersebut akan
menyebabkan manajer bertindak sesuai dengan kepentingan pemegang saham sehingga
mengurangi biaya yang berkaitan dengan emisi saham baru (floating cost).
Berdasarkan argumen yang disampaikan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
kebijakan dividen dan hutang perusahaan dapat mempengaruhi nilai perusahaan. Dengan
demikian, dalam penelitian ini diduga bahwa kebijakan dividen dan hutang perusahaan
mempengaruhi nilai perusahaan secara positif. Hipotesis yang diajukan sebagai berikut:
Hipotesis 6 : Kebijakan dividen perusahaan berpengaruh secara positif terhadap nilai
perusahaan.
Hipotesis 7 : Kebijakan hutang perusahaan berpengaruh secara positif terhadap nilai
perusahaan.

2.16.4 Corporate governancedan GrowthOpportunityMemoderasi Hubungan Kebijakan


Dividen dan Hutang Terhadap Nilai Perusahaan
Good governance memberikan jaminan bahwa investor akan memperoleh returns yang
memadai atas dana yang ditanamkan ke perusahaan; bagi authority bodies, Good governance
akan meningkatkan efisiensi dan kredibilitas pasar modal sebagai salah satu alternatif
investasi, sehingga secara umum penerapan Good Corporate governance dipercaya dapat
meningkatkan kinerja atau nilai perusahaan (Siallagan, 2006). Corporate governance
diharapkan akan dapat berfungsi untuk menekan atau menurunkan biaya keagenan (agency
cost), untuk memberikan keyakinan kepada investor bahwa mereka akan menerima return
atas dana yang telah mereka investasikan dan membuat para investor yakin bahwa manajer
akan memberikan keuntungan bagi mereka, dan tidak akan berinvestasi ke dalam proyek-
proyek yang tidak menguntungkan. Corporate governancejuga berkaitan dengan bagaimana
para investor mengontrol para manajer (ShleiferandVishny, 1999).
Diterapkannya Good Corporate governancedalam suatu perusahaan akan berdampak
terhadap pengambilan keputusan atas kebijakan-kebijakan perusahaan seperti leverage,
dividen, kompensasi dan lainnya. Pihak manajer (agen) akan berusaha untuk allign dengan
tujuan prinsipal yaitu kemakmuran pemegang saham. Dalam menetapkan kebijakan dividen
dan hutang, mau tidak mau harus diakui juga akan muncul konflik keagenan. Perilaku
oportunistik dari agen berpotensi untuk mengarahkan kebijakan yang hanya menguntungkan
bagi diri pribadi. Namun hal tersebut dapat diminimalisasiapabila perusahaan menerapkan
goodcorporategovernance. Dengan mengurangi peluang bagi manajer untuk berperilaku
menyimpang dan memperkaya diri sendiri diharapkan nilai perusahaan akan meningkat, yaitu
ditandai dengan meningkatnya harga saham dan kemakmuran para pemegang saham.
Menurut Fama (1978) nilai suatu perusahaan semata-mata dipengaruhi oleh peluang
investasi, oleh karena itu investasi merupakan suatukeputusan yang sangat penting dalam
perusahaan. Myers(1977) mengkaitkan peluang investasi dengan pencapaian tujuan
perusahaan (Adam dan Goyal, 2003) dan pertama kali memperkenalkan IOS. Jadi prospek
perusahaan dapat ditaksir dari Investment Opportunity Set (IOS). Peluang investasi
memberikan petunjuk yang lebih luas bahwa nilai perusahaan tergantung pada pengeluaran
perusahaan di masa yang akan datang. Investment Opportunity Set (IOS) merupakan suatu
kombinasi assetinplace dan pilihan investasi masa depan (Myers, 1977). Keputusan investasi
sangat penting, karena untuk mencapai tujuan perusahaan hanya akan dihasilkan melalui
kegiatan investasi perusahaan.
Perusahaan dengan kesempatan investasi yang besar mengindikasi bahwa perusahaan
tersebut memiliki prospek ke depan yang cerah, sehingga akan berdampak positif pada harga
saham. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan Modigliani dan Miller bahwa perubahan
harga saham lebih ditentukan oleh kemampuan untuk menghasilkan earningdan kesempatan
investasi yang tinggi. Penelitian lain dilakukan oleh Chen etal. (2000) menunjukkan bahwa
perusahaan dengan set kesempatan investasi yang tinggi memiliki respon positif yang
signifikan terhadap harga saham, sedangkan perusahaan dengan set kesempatan investasi
yang rendah memiliki responnegatif terhadap harga saham.
Kesempatan bertumbuh berperan dalam mempengaruhi kebijakan perusahaan, seperti
kebijakan hutang, dividen, dan lain-lain. Perusahaan yang mengalami tingkat pertumbuhan
akan memerlukan tambahan modal untuk membiayai pertumbuhannya. Manajemen
perusahaan akan mengambil keputusan-keputusan yang dapat mendukung terciptanya tingkat
pertumbuhan yang baik bagi perusahaan. Dalam hal ini, keputusan yang akan mereka
pertimbangkan adalah keputusanmengenai sumber modal yang akan mereka pergunakan
untuk kegiatan operasional perusahaan. Salah satu modal yang dapat mereka pergunakan
adalah hutang. Pada perusahaan yang memiliki tingkat pertumbuhan pesat cenderung lebih
banyak menggunakan hutang daripada perusahaan yang memiliki tingkat pertumbuhan yang
lebih lambat. Hal ini disebabkan karena mereka membutuhkan tambahan modal yang dapat
mereka pergunakan untuk membiayai pertumbuhan perusahaan. Sehingga semakin tinggi
tingkat pertumbuhan perusahaan maka tingkat hutangnya juga akan semakin tinggi. Secara
teoritis tingkat pertumbuhan berpengaruh positif terhadap kebijakan hutang. Namun terdapat
juga beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan berpengaruh negatif
terhadap kebijakan hutang (Kaaro, 2007).
Begitu pula dengan kebijakan dividen (Deskmukh, 2005; dalam Kusuma, 2006) akan
mengatakan bahwa para manajer memotong dividen ketika perusahaan sedang menghadapi
kesulitan keuangan untuk menghindari kemungkinan tidak membayar di masa datang.
Berdasarkan argumen yang disampaikan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Corporate
governancedan growthopportunity mempunyai peran dalam mempengaruhi hubungan antara
kebijakan dividen dan leverageterhadap nilai perusahaan. Corporate governanceyang baik
akan memperkuat hubungan kebijakan dividen dan hutang terhadap nilai perusahaan.
Sedangkan growthopportunity memperlemah hubungan kebijakan dividen dan hutang
terhadap nilai perusahaan. Hipotesis yang diajukan sebagai berikut:
Hipotesis 8 : Tingkat Corporate governanceberpengaruh secara positif terhadap hubungan
antara kebijakan dividen dan leverage terhadap nilai perusahaan.
Hipotesis 9 : Growthopportunitiesberpengaruh secara negatif terhadap hubungan antara
kebijakan dividen dan leverage terhadap nilai perusahaan.

2.17 Metodologi Penelitian


2.17.1 Sampel dan Data
Populasi penelitian ini adalah perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia tahun 2004 sampai dengan tahun 2010. Pemilihan sampel dengan metode
purposive sampling. Sumber data sekunder yang digunakan berasal dari Indonesian Capital
Market Directory (ICMD) dan website idx.co.id, serta data index Corporate
governance(ICG) diperoleh dari publikasi IICD. Data laporan keuangan dan laporan tahunan
yang digunakan adalah tahun 2004 sampai dengan tahun 2010. Sedangkan data ICG yang
digunakan untuk tahun 2005, 2007, 2008, 2009 dan 2010. Informasi yang digunakan dalam
penelitian ini berupa: total asset, sales, operating expenses, Debt to Equity Ratio (DER),
Dividend Pay ou tRatio (DPR), Price to book value (PBV),dan ROI diperoleh dari laporan
keuangan, sedangkan informasi tahun berdiri dari laporan tahunan. IndexCorporate
governance(ICG)diperoleh dari IICD.
2.17.2 Pengujian Hipotesis
Terdapat lima hubungan utama yang akan diuji dalam penelitian ini, yaitu hubungan
pertama adalah pengaruh kepemilikan keluarga terhadap tingkat agency conflict. Hubungan
kedua adalah pengaruh kepemilikan keluarga dan tingkat agencyconflict terhadap tingkat
penerapan corporategovernance. Hubungan ketiga adalah pengaruh tingkat conflict agency
terhadap kebijakan dividen dan hutang perusahaan. Hubungan keempat adalah pengaruh
kebijakan dividen dan hutang terhadap nilai perusahaan. Terakhir penulis menambahkan
variabel moderasigrowthopportunity dan Corporate governanceuntuk melihat pengaruh
variabel-variabel tersebut terhadap hubungan antara kebijakan dividen dan hutang terhadap
nilai perusahaan. Berikut kelima model penelitian :

AC = α + β1 FO it + β2LNSIZE it + β3 AGEit + εit ........................... (1)


CG = α + β1 FO it + β2 AC it + β3 ROI it + β4 LNSIZE it + β5 AGEit + εit ............. (2)
DPR = α + β1 AC it + β2 ROI it + β3 LNSIZE it + β4 AGEit + εit ............................. (3)
DER = α + β1 AC it + β2 ROI it + β3 LNSIZE it + β4 AGEit + εit ........................... (4)
PBV = α + β1 DER it + β2 DPR it + β3 CG it+ β4 GRW it + β5 DER*GRW + β6
DPR*GRW + β7 DER*CG + β8 DPR*CG + β9 ROI it + β10 LNSIZE it + β11
AGEit + εit................................................................................................. (5)
Dimana : AC : Agency cost perusahaan i pada tahun t
FO : Dummy Family Ownership, 1 untuk kepemilikan keluarga > 50% dan 0
untuk lainnya perusahaan i pada tahun t
PBV : Valu e of theFirm atau nilai perusahaan perusahaan i pada tahun t
DER : Kebijakan Hutang perusahaan i pada tahun t
DPR : Kebijakan Dividen perusahaan i pada tahun t
CG : Corporate governance index perusahaan i pada tahun t
GRW : Growth opportunity perusahaan i pada tahun t
DER*GRW : Variabel interaksi DER dan GRW
DPR*GRW : Variabel interaksi DPR dan GRW
DER*CG :Variabel interaksi DER dan CG
DPR*GRW : Variabel interaksi DPR dan CG
SIZE : Ukuran perusahaan i pada tahun t
AGE : Umur perusahaan i pada tahun t ROI : Return On Investment perusahaan i
pada tahun t
2.18 Operasionalisasi Variabel Penelitian
2.18.1 Value of The Firm
Nilai Perusahaan (PBV) menggunakan pengukuran Pricetobookvalue. PBV adalah
perbandingan antara marketvalue of equity (MVE) dengan bookvalue of equity (BVE). MVE
adalah hasil perkalian dari harga saham penutupan akhir tahun dengan jumlah saham yang
beredar pada akhir tahun. BVE diperoleh dari selisih total aset perusahaan dengan total
kewajiban.
2.18.2 Family ownership
Pengukuran familyownershipdalam penelitian ini mengikuti Arifin (2003), yaitu
struktur kepemilikan digolongkan menjadi perusahaan keluarga dan perusahaan non-
keluarga. Dimana keluarga didefinisikan sebagai semua individu dan perusahaan yang
kepemilikannya tercatat (kepemilikan > 5% wajib dicatat), yang bukan perusahaan publik,
negara, institusi keuangan, dan publik (individu yang kepemilikannya tidak wajib dicatat).
Kemudian, jika proporsi kepemilikan keluarga > 50% maka perusahaan tersebut akan
dikategorikan sebagai perusahaan keluarga, dan sebaliknya jika proporsi kepemilikan
keluarga <50% maka akan dikategorikan sebagai perusahaan non-keluarga. Dengan
menggunakan dummy variabel, perusahaan keluarga diberi angka satu (1) dan perusahaan
non-keluarga diberi angka nol (0).
2.18.3 Agency cost
Penelitian ini menggunakan dua pendekatan dalam mengukur agencycost (Ang, etal.,
2009) yaitu : (1) Rasio total operatingexpenses dengan annualsales, (2) Rasio annualsales
dengan total asset.

2.18.4 Kebijakan Hutang


Pengukuran dalam penelitian ini menggunakan : Debt to Equity Ratio (DER), yaitu
total hutang dibagi total ekuitas.
2.18.5 Kebijakan Dividen
Ukuran dividen menggunakan dividend pay out ratio (DPR), yaitu rasio antara
dividen terhadap net income.
2.18.6 Corporate governance
Pengukuran Corporate governancedalam penelitian ini menggunakan Corporate
governanceIndex (CGI) yang dikeluarkan oleh IICD.
2.18.7 GrowthOpportunity
Mengutip Huang, 2005, penelitian ini menggunakan indikator untuk variabel
kesempatan bertumbuh (GRW) berupa Asset Growth; menggambarkan kenaikan
(pertumbuhan) aktiva setiap tahun

(GRW) = Total Asset tahun t – Total Asset tahun t-1


Total Asset tahun t
2.18.8 Variabel Kontrol
Dalam menguji hipotesis dalam penelitian ini akan dikembangkan beberapa model
penelitian dengan memasukkan beberapa variabel kontrol, yaitu: firmsize, firmage, dan ROI.
FirmSize diukur dengan menggunakan nilai logaritma dari total aset. Firmage (umur
perusahaan) merupakan penjumlahan tahun dari perusahaan berdiri sampai dengan tahun
pengamatan dan kinerja diukur dengan menggunakan ROI yaitu rasio profit aftertax terhadap
total aset.

2.19 Hasil Penelitian


2.19.1 Pengujian Hipotesis dan Pembahasan

Model 1: Pengaruh Kepemilikan Keluarga Terhadap Konflik Keagenan.


Penelitian ini menggunakan dua pengukuran agencyconflict (AC_1 dan AC_2). Hasil uji
signifikansi model (tabel 4.1 pada lampiran 2) dengan menggunakan dua ukuran tersebut
memperlihatkan nilai F statistik sebesar 5.32 (1.91) dengan probabilita F sebesar 0,0015
(0.1283) sehingga pada level signifikasi di bawah 10 persen dapat dikatakan bahwa
familyownershipsecara bersama-sama mempengaruhi agencyconflict (AC_1). Sedangkan
dengan menggunakan AC_2, level signifikansi berada di atas 10%, sehingga dapat dikatakan
bahwa variabel independen tidak signifikan mempengaruhi variabel dependen. Nilai R2 yang
diperoleh sebesar 0.0631 dengan pengukuran AC_1, sedangkan bila menggunakan
pendekatan AC_2 nilai R2 yang diperoleh sebesar 0.0107. Nilai R2 tersebut menunjukkan
bahwa sebesar 6% (1%) variasi AC_1 (AC_2) dapat dijelaskan oleh variabel bebasnya yaitu
kepemilikan keluarga (familyownership), ukuran perusahaan dan usia perusahaan, selebihnya
variasi agencyconflict dipengaruhi oleh faktor-faktor lain di luar model. Nilai R2 tersebut di
atas dapat dikatakan tidak terlalu bagus.
Hasil pengujian menunjukkan koefisien regresi familyownershipbertanda negatif (-
0.024) dengan p-value 0.038 (pengukuran AC_1). Koefisien bertanda negatif berarti bahwa
hubungan antara familyownershipdengan tingkat agencyconflict bersifat negatif, artinya
semakin tinggi tingkat kepemilikan saham oleh keluarga maka konflik keagenan akan
semakin rendah/berkurang. Tingkat signifikansi α < 10% berarti H0 ditolak atau hipotesis 1
yang mengatakan perusahaan publik dengan kepemilikan keluarga tinggi memiliki tingkat
konflik keagenan yang lebih rendah dengan perusahaan yang kepemilikan keluarga rendah
terbukti (dengan pengukuran berupa rasio operatingexpenses dibagi annualsales (AC_1).
Arah hubungan pun sesuai dengan yang diharapkan.
Indonesia yang merupakan salah satu negara berkembang ditemukan banyak
perusahaan publik yang struktur kepemilikan perusahaan dimiliki oleh keluarga (La Porta,
1999; Arifin, 2003; Siregar dan Utama, 2008). Merujuk pada teori keagenan, struktur
kepemilikan perusahaan yang dikuasai oleh keluarga memiliki konflik keagenan yang rendah
antara manajer dan pemegang saham. Hal ini disebabkan karena fungsi pengendalian atau
pengawasan terhadap manajer lebih ketat dibandingkan pengendalian oleh pemegang saham
pada perusahaan yang tanpa pengendali utama (Anderson dan Reeb, 2003). Temuan ini juga
sejalan dengan hasil penelitian Demsetzdan Lehn (1985) karena pemilik dapat memonitor
manajer secara langsung. Hasil penelitian ini juga mendukung temuan Gilson dan Gordon,
2003; Maury, 2006).
Variabel kontrol yang secara signifikan mempengaruhi agencyconflict, baik dengan
pengukuran AC_1 maupun AC_2 hanya variabel LnSize. Hubungan bersifat negatif, terlihat
dari koefisien lnsize yang bernilai negatif. Semakin besar perusahaan maka tingkat konflik
keagenanmenjadi berkurang.
Model 2 : Pengaruh Kepemilikan Keluarga dan Konflik Keagenan Terhadap
Corporate Governance. Melihat hasil uji signifikansi model, nilai F statistik sebesar 29.11
dengan probabilita F sebesar 0,000 (tabel 4.2 pada lampiran 2) sehingga pada level signifikasi
di bawah 10 persen dapat dikatakan bahwa variabel family ownership secara bersama-sama
mempengaruhi corporate governance. Hasil uji determinasi diperoleh R2 sebesar 0.3576,
sehingga dapat dikatakan bahwa 36 % variasi Corporate governance dapat dijelaskan oleh
masing-masing variabel bebasnya yaitu agency conflict dan family ownership, ROI, LnSize
dan Age, selebihnya variasi dipengaruhi oleh faktor-faktor lain di luar model. Besarnya nilai
R2 tersebut dikatakan bagus.
Variabel familyownershipmemiliki koefisien regresi bertanda negatif (-0.030) dan p-
value 0.000. Tingkat signifikansi < 10% berarti H0 ditolak dan dapat dikatakan bahwa
hipotesis perusahaan dengan kepemilikan keluarga tinggi memiliki tingkat Corporate
governance yang rendah dengan perusahaan yang kepemilikan keluarganya rendah dapat
diterima/terbukti. Koefisien bertanda negatif berarti bahwa hubungan antara family ownership
dengan Corporate governance bersifat negatif, artinya semakin tinggi kepemilikan saham
perusahaan oleh keluarga akan semakin rendah tingkat corporate governance. Koefisien
bertanda negatif berarti sesuai dengan arah hubungan yang diprediksikan.
Untuk hasil hipotesis 3, dengan menggunakan pengukuran AC_1, hasil uji
signifikansi model memperlihatkan nilai F statistik sebesar 29.11 dengan probabilita F
sebesar 0.0000, sedangkan dengan AC_2, memperlihatkan nilai F statistik sebesar 28.83
dengan probabilita F sebesar 0.0000 (tabel 4.2 pada lampiran 2). Dengan demikian, pada
level signifikasi di bawah 10 persen variabel independen secara signifikan mempengaruhi
variabel dependen, atau dengan kata lain, agency conflict (AC_1 dan AC_2),
familyownership, ukuran perusahaan, umur perusahaan dan ROI secara bersama-sama secara
signifikan mempengaruhi besaran corporate governance. Hasil uji determinasi diperoleh R2
sebesar 0.3598, menunjukkan bahwa 36 % variasi Corporate governance dapat dijelaskan
oleh masing-masing variabel bebasnya yaitu agency conflict, family ownership, ukuran
perusahaan, umur perusahaan dan ROI, selebihnya variasi dipengaruhi oleh faktor-faktor lain
di luar model. Besarnya nilai R2 tersebut dikatakan bagus.
Koefisien agency conflict dengan pengukuran total operatingexpenses dibagi
annualsales (AC_1) bernilai positif sebesar 0.058 p-value 0.000 dan koefisien agencyconflict
dengan indikator annual sales dibagi total aset (AC_2) sebesar 0.067 dengan p-value 0.000
(tabel 4.2 lampiran 2). Koefisien bertanda positif berarti hubungan antara tingkat konflik
keagenan dengan Corporate governance bersifat positif berarti bahwa semakin tinggi konflik
keagenan antara manajer dan pemegang saham maka tingkat Corporate governance semakin
rendah. Tingkat signifikansi α < 10% mengandung arti bahwa H0 ditolak atau hipotesis 3
yang mengatakan tingkat konflik keagenan berpengaruh secara positif terhadap Corporate
governance terbukti. Arah hubungan pun sesuai dengan yang diharapkan.
Hasil ini mendukung temuan dari DeFondetal. (2005), Bushmanetal. (2004) yang
menyatakan bahwa manajemen dalam perusahaan keluarga akan mengurangi kekuatan
struktur governance (dengan menggunakan proksi dewan komisaris dan komite audit).
Bushman dan Piotraski (2006) menemukan bahwa Corporate governancepada perusahaan
yang dimiliki dan dikendalikan oleh keluarga adalah lebih rendah dari perusahaan yang tidak
dikendalikan oleh keluarga, hal ini dikarenakan timbulnya entrenchment. Investor juga
memiliki persepsi yang lebih negatif terhadap perusahaan yang dimiliki dan dikendalikan
oleh keluarga dibanding perusahaan bukan perusahaan keluarga. Bozec dan Bozec (2007)
menemukan bahwa terdapat hubungan negatif antara konsentrasi kepemilikan perusahaan
dengan praktek corporate governance. Tingkat konsentrasi kepemilikan perusahaan di
Indonesia dapat mempengaruhi kinerja komisaris independen dan komite audit dalam
mengawasi jalannya perusahaan. Corporate governance merupakan perangkat atau alat yang
dapat melindungi para investor dari perilaku oportunistik para agen/manajer. Hasil uji
hipotesis ini tidak berbeda dengan temuan Shleifer dan Vishny (1999), yang mengatakan
bahwa Corporate governanceterbukti dapat mengurangi agency conflict antara manajer
dengan pemegang saham.
Pengaruh variabel kontrol yang signifikan pada model 2, yaitu lnsize dan ROI.
Variabel lnsizemempengaruhi Corporate governance secara positif dan signifikan. Semakin
besar perusahaan semakin tinggi penerapan corporate governancenya. Variabel kontrol
selanjutnya yang terlihat signifikan adalah return on investment. Tingkat ROI yang tinggi
tanpa didukung oleh implementasi good Corporate governance mempersulit perusahaan
memperoleh kepercayaan dari para investor. Oleh karena itu semakin tinggi ROI semakin
tinggi corporate governance.
Pengujian Model 3 : Pengaruh Agency Conflict terhadap Kebijakan Dividen. Nilai F
statistik (lihat tabel 4.3 lampiran 2) dengan pengukuran AC_1 dan AC_2 adalah sebesar 15.35 (15.10)
dengan probabilita F sebesar 0.0000 (0.0000) sehingga pada level signifikasi di bawah 10 persen
variabel agency conflict secara bersama-sama secara signifikan mempengaruhi besaran dividend
payout ratio. Nilai R2 sebesar 0.1910 (18.85), menunjukkan bahwa 19 % (18.9%) variasi devidend
payout ratio dapat dijelaskan oleh masing-masing variabel bebasnya yaitu agency conflict, ukuran
perusahaan, umur perusahaan dan ROI, selebihnya variasi dipengaruhi oleh faktor-faktor lain di luar
model. Besarnya nilai R2 tersebut dapat dibilang cukup bagus.
Dan hasil regresi memperlihatkan koefisien agency conflict AC_1 sebesar -5.201 p-
value 0.365 dan koefisien AC_2 sebesar 0.707 dengan p-value 0.905. Koefisien bertanda
negatif berarti hubungan antara agency conflict dengan kebijakan dividen bersifat negatif
artinya bahwa semakin tinggi konflik keagenan maka pembayaran dividen kepada pemegang
saham semakin kecil/menurun. Sedangkan koefisien bertanda positif berarti hubungan antara
agency conflict dengan kebijakan dividen bersifat positif artinya bahwa semakin tinggi
konflik keagenan maka pembayaran dividen kepada pemegang saham semakin tinggi. Baik
variabel agency conflict dengan pengukuran AC_1 dan AC_2 memperlihatkan tingkat
signifikansi α > 10% berarti H0 diterima dan hipotesis 4 yang mengatakan tingkat konflik
keagenan berpengaruh terhadap kebijakan dividen secara negatif tidak terbukti.
Pada model 3, variabel kontrol yang signifikan adalah lnsize dan ROI. Variabel
kontrol lnsize mempengaruhi kebijakan dividen perusahaan. Semakin besar perusahaan
semakin membutuhkan tambahan pendanaan untuk mendukung operasional perusahaan.
Begitu juga dengan variabel kontrol ROI, pihak pemberi dana (internal financing maupun
external financing) tentunya sangat berhati-hati dalam memberikan pendanaan, salah satu
faktor yang menjadi perhatian adalah tingkat pengembalian (misalnya ROI). Semakin besar
perusahaan, investor akan meminta tingkat pengembalian yang lebih tinggi.
Model 4 : Pengaruh Agency Conflict terhadap Kebijakan Hutang. Untuk uji
signifikansi model (tabel 4.3), memperlihatkan nilai F statistik sebesar 25.88 (31.37) dengan
probabilita F sebesar 0.0000 (0.0000) sehingga pada level signifikasi di bawah 10 persen
variabel independen mempengaruhi variabel dependen. Nilai R2 untuk model 4 sebesar
0.2840 (32.55). Hasil ini menunjukkan bahwa 28% (33%) variasi debt equity ratio dapat
dijelaskan oleh masing-masing variabel bebasnya yaitu agency conflict, selebihnya variasi
dipengaruhi oleh faktor-faktor lain di luar model. Besarnya nilai R2 tersebut sangat bagus.
Hasil regresi untuk menjawab hipotesis 5 memperlihatkan besarnya koefisien agency conflict
AC_1 sebesar -0.573 dengan p-value 0.189 dan koefisien AC_2 sebesar -2.353 dengan p-
value 0.000. Koefisien bertanda negatif berarti hubungan antara agency conflict dengan
kebijakan hutang bersifat negatif artinya bahwa semakin tinggi konflik keagenan maka
penggunaan hutang sebagai sumber pendanaan perusahaan semakin rendah.
Penelitian ini menemukan hasil signifikansi yang berbeda untuk dua pengukuran
yang berbeda. Dengan AC_1 memperlihatkan tingkat signifikansi α > 10% berarti H0
diterima dan hipotesis 5 yang mengatakan tingkat konflik keagenan berpengaruh terhadap
kebijakan hutang secara negatif tidak terbukti. Berlawanan dengan AC_1, hasil uji
signifikansi untuk pengukuran AC_2 berada di bawah 10 %, berarti H0 ditolak yang secara
singkat dapat disimpulkan bahwa tingkat konflik keagenan berpengaruh secara negatif
terhadap kebijakan hutang perusahaan terbukti. Arah hubungan pun sesuai dengan prediksi.
Variabel kontrol yang signifikan adalah lnsize dan ROI.
Model 5: Pengaruh Kebijakan Dividen dan Hutang Terhadap Nilai
Perusahaan. Untuk uji signifikansi model, memperlihatkan nilai F statistik sebesar 14.42
dengan probabilita F sebesar 0.0000 (tabel 4.4 pada lampiran 2) sehingga pada level
signifikasi di bawah 10 persen variabel independen mempengaruhi variabel dependen. Atau
dengan kata lain, DER, DPR, CG, GRW, DPR*GRW, DER*GRW, CG*DPR, CG*DER,
ROI, LnSize dan Age secara bersama-sama secara signifikan mempengaruhi besaran PBV.
Nilai R2 untuk model tersebut sebesar 0.3969 dan prob-F sebesar 0.0000. Hasil ini
menunjukkan bahwa 40 % variasi PBV dapat dijelaskan oleh masing-masing variabel
bebasnya yaitu DER, DPR, CG, GRW, DPR*GRW, DER*GRW, CG*DPR, CG*DER, ROI,
LnSize dan Age, selebihnya variasi dipengaruhi oleh faktor-faktor lain di luar model.
Besarnya nilai R2 tersebut sangat bagus.
Hasil regresi untuk hipotesis 6 memperlihatkan koefisien dividen sebesar -0.151 p-
value 0.000. Koefisien bertanda negatif berarti hubungan antara kebijakan dividen dengan
nilai perushaan bersifat negatif, artinya bahwa semakin besar tingkat dividend payout ratio
maka nilai perusahaan akan semakin rendah. Tingkat signifikansi α < 10% berarti H0 ditolak
dan disimpulkan bahwa hipotesis 6 yang mengatakan kebijakan dividen perusahaan
berpengaruh secara positif terhadap nilai perusahaan terbukti, namun dengan arah hubungan
yang berlawanan. Sehingga kesimpulannya bahwa kebijakan dividen perusahaan berpengaruh
secara negatif terhadap nilai perusahaan. Semakin tinggi tingkat dividend payout ratio
(pembayaran dividen kepada pemegang saham) maka nilai perusahaan akan semakin rendah.
Hasil tersebut sesuai dengan temuan Litzenberger dan Ramswamy (1979, 1982); Ang dan
Peterson (1985). Temuan mereka membuktikan bahwa dividend payout ratio yang tinggi
akan menyebabkan higher required return yang tinggi sehingga menyebabkan nilai pasar
saham menurun. Investor melihat pembagian dividen sebagai bagian dari laba bersih
perusahaan yang tidak dapat diinvestasikan sehingga cash flow dari investasi di masa yang
akan datang berkurang. Hal ini menjadi “bad news” bagi investor yang peduli dengan
nilai/cash flow investasi di masa yang akan datang. Weston dan Brigham (1997) mengatakan
bahwa kebijakan optimal merupakan kebijakan yang menciptakan keseimbangan antara
dividen saat ini dan pertumbuhan di masa yang akan datang sehingga dapat memaksimumkan
laba.
Sedangkan hasil regresi untuk menjawab hipotesis 7 memperlihatkan koefisien
hutang sebesar 0.336 dengan nilai prob sebesar 0.607. Koefisien bertanda positif berarti
hubungan antara kebijakan hutang dengan nilai perushaan bersifat positif, artinya bahwa
semakin besar tingkat penggunaan hutang perusahaan maka nilai perusahaan akan semakin
tinggi. Tingkat signifikansi α > 10% berarti H0 diterima atau dengan kata lain hipotesis 7
yang mengatakan kebijakan hutang perusahaan berpengaruh secara positif terhadap nilai
perusahaan tidak terbukti, walaupun arah hubungan sesuai dengan prediksi.
Model ini juga digunakan untuk melakukan pengujian hipotesis ke 8 dan ke 9, yaitu
apakah corporate governance dan growth opportunity memoderasi hubungan kebijakan
dividen dan hutang terhadap nilai perusahaan. Variabel moderasi pertama yaitu corporate
governance memperlihatkan nilai koefisien sebesar 2.771 dengan p-value 0.10 (tabel 4.5 pada
lampiran 2). Koefisien bertanda positif berarti hubungan antara corporate governance dengan
nilai perusahaan bersifat positif, artinya semakin tinggi corporate governance maka nilai
perusahaan akan semakin meningkat. Tingkat signifikansi α < 10% berarti H0 ditolak dan
dapat ditarik kesimpulan bahwa hipotesis yang mengatakan tingkat corporate governance
berpengaruh terhadap nilai perusahaan terbukti. Sedangkan variabel moderasi kedua yaitu
opportunity growth memperlihatkan nilai koefisien sebesar -0.515 dengan p-value 0.22.
Tingkat signifikansi α > 10% berarti H0 diterima, sehingga hipotesis yang mengatakan
tingkat opportunity growth berpengaruh terhadap nilai perusahaan tidak terbukti.
Karena hasil di atas memperlihatkan variabel corporate governance yang memiliki
signifikansi < 10%, maka hanya corporate governance yang dapat memoderasi hubungan
antara kebijakan dividen terhadap nilai perusahaan dan hubungan antara kebijakan hutang
terhadap nilai perusahaan. Hal ini terbukti/konsisten dari hasil regresi yang memperlihatkan
nilai koefisien interaksi antara variabel corporate governance dengan kebijakan dividen
sebesar 0.234 dengan p-value 0.000. Koefisien bertanda positif berarti corporate governance
memperkuat hubungan antara dividen dengan nilai perusahaan. Tingkat signifikansi α < 10%
berarti hipotesis 8 yang mengatakan tingkat corporate governance berpengaruh secara positif
terhadap hubungan antara kebijakan dividen terhadap nilai perusahaan terbukti. Sedangkan
hipotesis yang mengatakan tingkat corporate governance berpengaruh secara positif terhadap
hubungan antara kebijakan hutang terhadap nilai perusahaan tidak terbukti secara signifikan.
Schellenger et al. (1989) : dalam Wawo (2010) menemukan bahwa terdapat
hubungan positif antara corporate governance (yang diproksikan dengan jumlah dewan
komisaris independen) dan kinerja pasar perusahaan. Bila dihubungkan dengan kualitas
informasi dan manajemen laba, beberapa hasil penelitian memperlihatkan bahwa perusahaan
dengan corporate governance yang baik cenderung menghasilkan kualitas informasi yang
lebih baik, rendahnya manajemen laba atau melaporkan ulang laba (Machuga et al. (2007),
McMullen (1996), Beasly (1996); Agrawal et al., (2005): dalam Wawo (2010); Dechow et al.
(1996); Klein (2002). Hasil penelitian Musnadi (2006): dalam Nuryaman (2009)
menunjukkan bahwa konsentrasi kepemilikan oleh individu sebagai mekanisme corporate
governance dapat meningkatkan kinerja perusahaan. Sedangkan temuan yang berlawanan
dihasilkan oleh Siregar (2006) yaitu kualitas audit tidak efektif sebagai mekanisme corporate
governance.
Variabel opportunity growth tidak terbukti secara signifikan mempunyai hubungan
antara dengan nilai perusahaan. Hasil hipotesis lainnya yaitu (1) growth opportunities
berpengaruh secara negatif terhadap hubungan antara kebijakan dividen terhadap nilai
perusahaan, dan (3) growth opportunities berpengaruh secara negatif terhadap hubungan
antara kebijakan hutang terhadap nilai perusahaan tidak terbukti.
Hampir sama dengan model-model sebelumnya, variabel kontrol yang signifikan
adalah lnsize dan ROI. Variabel kontrol lnsize mempengaruhi nilai PBV perusahaan.
Semakin besar perusahaan semakin tinggi nilai PBVnya. Pasar menilai lebih tinggi market
value dari book valuenya. Investor melihat bahwa semakin besar perusahaan, semakin
prospektif kinerja perusahaan tersebut. Variabel kontrol lainnya yaitu ROI secara signifikan
mempengaruhi nilai PBV. Semakin tinggi ROI perusahaan, semakin tinggi nilai PBV.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
3.1.1 Tata kelola perusahaan, kompensasi eksekutif atas dan kinerja perusahaan di
Jepang
Peneliti menyelidiki hubungan antara kompensasi eksekutif puncak dan efektivitas
mekanisme tata kelola perusahaan untuk perusahaan Jepang. Peneliti menggunakan keiretsu,
bank utama dan outside director dummies sebagai proksi untuk kekuatan mekanisme
pemantauan. Peneliti menggunakan kepemilikan direktur agregat dan kontrol keluarga
sebagai proksi untuk mekanisme kontrol kepemilikan. Peneliti menemukan bahwa gaji
eksekutif puncak rata-rata lebih sedikit untuk perusahaan keiretsu, mirip dengan Kato (1997).
Hasil ini menunjukkan bahwa perusahaan keiretsu lebih efektif memantau manajemen
mereka. Atau, hasil di atas menunjukkan bahwa lebih mudah bagi manajer non-keiretsu untuk
membubuhkan diri dan berperilaku oportunistik, dan sebagai hasilnya, manajer mengambil
kompensasi yang berlebihan. Peneliti juga menemukan sedikit bukti bahwa bank-bank utama
berperan dalam pemantauan keiretsu atas pembayaran berlebih. Peneliti menemukan bahwa
dewan yang lebih kecil dan kehadiran direktur luar dikaitkan dengan gaji eksekutif puncak
yang lebih rendah, konsisten dengan argumen pemantauan dan bukti AS sebelumnya.
Peneliti menemukan bahwa kepemilikan saham yang lebih besar oleh dewan
dikaitkan dengan pendapatan eksekutif puncak yang lebih tinggi. Demikian pula, pengaruh
keluarga yang lebih besar pada perusahaan dikaitkan dengan pendapatan eksekutif puncak
yang lebih tinggi. Hasil ini konsisten dengan entrenchment manajerial, meskipun ada
kemungkinan bahwa mereka mencerminkan pendapatan dividen yang lebih tinggi daripada
gaji yang berlebihan. Secara keseluruhan, kami menemukan bahwa kompensasi eksekutif
puncak berkurang ketika struktur tata kelola perusahaan menjadi lebih kuat.
Menambah bukti ini, peneliti juga menemukan bukti hubungan negatif antara
kompensasi yang diprediksi oleh variabel kepemilikan dan pemantauan dan kinerja akuntansi
berikutnya, tetapi tidak ada hubungan dengan kinerja pengembalian di masa depan. Jika
variasi cross-sectional dalam pembayaran eksekutif dijelaskan oleh variabel tata kelola
perusahaan mencerminkan efektivitas mekanisme ini dalam mengendalikan masalah agensi,
kelebihan kompensasi yang diprediksi oleh variabel tata kelola perusahaan harus dikaitkan
secara negatif dengan kinerja perusahaan di masa depan. Dengan demikian, hasil peneliti
menunjukkan bahwa perusahaan Jepang dengan struktur pemerintahan yang lebih lemah
memiliki masalah agensi yang lebih besar; bahwa CEO di perusahaan dengan masalah
keagenan yang lebih besar dibayar lebih tinggi; dan bahwa perusahaan dengan masalah
agensi yang lebih besar berperforma lebih buruk. Hasil ini memperluas bukti sebelumnya
bahwa mekanisme tata kelola perusahaan Jepang adalah adaptasi yang sukses untuk
lingkungan kelembagaan Jepang yang berbeda.
Penurunan pasar saham baru-baru ini dan bukti manipulasi manajerial telah
memusatkan perhatian pemegang saham pada gaji eksekutif puncak yang berlebihan dan tata
kelola perusahaan yang lemah di perusahaan-perusahaan A.S. Beberapa institusi sekarang
memeringkat perusahaan di seluruh dunia berdasarkan tata kelola perusahaan mereka,
biasanya menggunakan praktik AS terbaik sebagai patokan. Hasil kami menunjukkan bahwa
peringkat ini dapat ditingkatkan dengan memasukkan mekanisme tata kelola perusahaan yang
unik yang telah berkembang di negara lain sebagai tanggapan terhadap struktur kelembagaan
mereka yang berbeda.
3.1.2 Analisis Komprehensif Pengaruh Family Ownership, Masalah Keagenan,
Kebijakan Dividen, Kebijakan Hutang, Corporate Governance dan Opportunity
Growth Terhadap Nilai Perusahaan
Perusahaan dengan kepemilikan keluarga tinggi memiliki tingkat konflik keagenan
yang lebih rendah dengan perusahaan yang kepemilikan keluarga rendah (dengan
menggunakan pengukuran operating expenses dibagi annual sales). Perusahaan publik
dengan kepemilikan keluarga tinggi memiliki tingkat corporate governance yang lebih
rendah dengan perusahaan yang kepemilikan keluarganya rendah.
1. Tingkat konflik keagenan berpengaruh secara positif terhadap corporate
governance (menggunakan dua pendekatan). Semakin tinggi agency conflict dalam
suatu perusahaan maka semakin tinggi corporate governance. Corporate
governance merupakan perangkat atau alat yang dapat melindungi para investor
dari perilaku oportunistik para agen/manajer.
2. Tidak adanya hubungan antara agency conflict dengan kebijakan dividen.
3. Bila dikaitkan dengan struktur kepemilikan saham oleh keluarga, perusahaan yang
porsi kepemilikan kelurganya mendekati batas mayoritas atau dominasi tertentu
cenderung tidak menggunakan mekanisme bonding peningkatan dividen untuk
mengurangi masalah agensi.
4. Tidak adanya hubungan antara agency conflict dengan kebijakan hutang.
5. Terdapat hubungan antara kebijakan dividen dengan nilai perusahaan. Namun
dengan arah hubungan yang berlawanan. Kesimpulan yang bisa diambil yaitu
semakin besar tingkat dividend payout ratio (pembayaran dividen kepada
pemegang saham) maka nilai perusahaan akan semakin kecil; dividend payout ratio
yang tinggi akan menyebabkan higher required return yang tinggi sehingga
menyebabkan nilai pasar saham menurun.
6. Kebijakan hutang perusahaan tidak mempunyai pengaruh secara positif terhadap
nilai perusahaan. Tingkat corporate governance mempunyai pengaruh positif
terhadap hubungan antara kebijakan dividen terhadap nilai perusahaan.
7. Corporate governance tidak mempunyai pengaruh positif terhadap hubungan
antara kebijakan hutang terhadap nilai perusahaan. Sejalan dengan hasil
sebelumnya yang memperlihatkan bahwa kebijakan hutang tidak mempunyai
pengaruh terhadap nilai perusahaan, sehingga variabel corporate governance tidak
mempunyai peran memoderasi hubungan tersebut.
8. Variabel opportunity growth tidak terbukti secara signifikan mempengaruhi secara
negatif hubungan antara kebijakan dividen dengan nilai perusahaan.
9. Variabel opportunity growth tidak terbukti secara signifikan mempengaruhi secara
negatif hubungan antara kebijakan hutang dengan nilai perusahaan.

3.2 Keterbatasan Penelitian


Peneliti sangat menyadari sepenuhnya bahwa penelitian ini mengandung banyak
keterbatasan, baik dari pihak peneliti maupun faktor-faktor di luar kendali peneliti, yaitu
antara lain:

1. Pengujian dilakukan dengan menggunakan single equation (di running secara terpisah)
sehingga ada kemungkinan timbul bias.
2. Unit analisis hanya berasal dari perusahaan manufaktur yang listing di BEI. Hal ini
disadari oleh peneliti bahwa hasil penelitian menjadi lebih sempit dalam melakukan
generalisasi hasil.
3. Periode pengamatan dalam penelitian ini cukup, namun terdapat keterbatasan data
corporate governance index yang diperoleh dari IICD, terutama data corporate
governance index tahun 2006 tidak tersedia. Selain itu, data corporate governance
index tahun 2009, 2010 yang tersedia sangat terbatas.
DAFTAR PUSTAKA
Allen, JR (1996) 'The Uses of Performance Measurement in Government', Government
Finance Review 12(4): 11–16.
Behn, RD (2003) 'Why Measure Performance? Different Purposes Require
DifferentMeasures', Public Administration Review 63(5): 586–606.
Bouckaert, G.(1990) 'The History of the Productivity Movement', Public Productivity and
Management Review 14(1): 53–89.
Bouckaert, G. (1992) 'Public Productivity in Retrospective', in M. Holzer (ed.) Public
Productivity Handbook, pp. 15–46. New York: Marcel Dekker.
Bovaird, T. (2000) 'Best Value in the United Kingdom: Using Benchmarking and
Competition to Achieve Value for Money', International Review of Administrative
Sciences 66(3): 415–32.
Carter, N. and Klein, R. (1995) How Organizations Measure Success: The Use of
Performance Indicators in Government. London:
Routledge. Christensen, M. and Yoshimi, H. (2003) 'Sector Performance Reporting: New
Public Management and Contingency Theory Insights', Government Auditing Review
10(Mar.): 71–83. Coastal Zone Management Act (nd) The National Coastal Management
Performance Measurement http://www.ocrm.nos.noaa.gov/pdf/CMPerfMeas.pdf
Easton, D. (1953) The Political System: An Inquiry into the State of Political Science. New
York:
Alfred A. Knopf. Easton, D. (1957) 'An Approach to the Analysis of Political Systems',
World Politics 9: 393–400.
Gendron, Y., Cooper, DJ and Townley, B. (2001) 'In the Name of Accountability: State
Auditing, Independence and New Public Management', Accounting, Auditing &
Accountability Journal 14(3): 278–310.
Gianakis, GA (2004) 'The Promise of Public Sector Performance Measurement: Anodyne or
Placibo', Public Administration Quarterly 26(1): 35–65. Gormley, WT and Weimer, DL
(1999) Organizational Report Cards. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Halachmi, A. (1996a) 'Promises and Possible Pitfalls on the Way to SEA Reporting', in A.
Halachmi and G. Bouckaert (eds) Organizational Performance and Measurement in the
Public Sector, pp. 77–100. Westport, CT: Buku Kuorum.
Halachmi, A. (1996b) 'Measure of Excellence', in Hill et al .(eds) Quality Innovation and
Measurement in the Public Sector, pp. 9–23.
Frankfurt am Main. Halachmi, A. (1999) 'Mandated Performance Measurement: A Help or a
Hindrance', National Productivity Review 18(2): 59–67.
Halachmi, A. (2002) 'Performance Measurement, Accountability, and Improved
Performance', Public Performance & Management Review 25(4): 370–4.
Halachmi, A. (2004) 'Performance Measurements, Accountability and Improving
Performance', in M. Holzer and SH Lee (eds) Public Productivity Handbook, 333–53.
New York: Marcel Dekker.
Halachmi, A. and Montgomery, VL (2000) 'Best Value and Accountability: Issues and
Observations', International Review of Administrative Sciences 66(3): 393–414.
Kaplan, R and Norton, D. (1996) The Balanced Score Card: Translating Strategy into Action.
Boston, MA: Harvard Business School Press.
Lasswell, HD (1936) Politics: Who Gets What, When, How. New York: McGraw-Hill.
McGregor, DM (1960) The Human Side of the Enterprise. New York: McGraw-Hill.
Mintzberg, H. (1994) 'The Fall and Rise of Strategic Planning', Harvard Business Review
(Jan.–Feb.): 107–14 (Reprint 94107).
Mui, YQ (2004) 'Md. Union Opposes Mandatory “Exit” Tests', The Washington Post, 26
May, p. B03, URL: http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/articles/A55989–
2004May25.html
Peckenpaugh, J. (2001) 'Bush to Link Agencies' Budgets to Performance in 2003',
GovExec.com, 10 April, URL: http://www.govexec.com/dailyfed/0401/041001p2.htm
Pierce, J. and Puthucheary, N. (1997) 'Using Performance Measures to Drive Change Within
the Public Sector The NSW Experience', NSW Treasury TRP 97–3, URL:
http://www.treasury.nsw.gov.au/pubs/trp97_3/nswexper.htm
Adam, Tim and Goyal, Vidhan K. 2003. The Investment Opportunity Set and its Proxy
Variabels: Theory and Evidence. Hong Kong University of Science and Technology.
Amihud, Y. Dan B. Lev. 1981. Risk Reduction as a Managerial Motive for Conglomerate
Merger. Bell Journal of Economics, 12, ppp 605-627
Ang, James S., Rebel A., Cole dan James Wuh Lin. 2000. Agency Costs and Ownership
Structure. The Journal of Finance, Vol. 55 No. 1. pp. 81-106.
Anderson, Ronald C., Sattar A. Mansi, dan David M. Reeb. 2003. Founding Family
ownership and The Agency Cost of Debt. Journal of Financial Economics, Vol. 68, pp.
263-285.
Arifin, Z. 2003. Efektifitas Mekanisme Bonding Dividen dan Hutang untuk Mengurangi
Masalah Agensi Pada Perusahaan di Bursa Efek Jakarta. Journal Siasat Bisnis, Vol. 1
No. 8 pp. 19-31 Arifin, Z. & Nina, R. 2006. Pengaruh Corporate Governance terhadap
Efektifiktas mekanisme Pengurangan Masalah Agensi. Journal Siasat Bisnis, Vol. 3 No.
11 pp. 237-247
Bathala, C.T, et al. 1994. Managerial Ownership, Debt Policy, and the Impact of Institutional
Holdings, and Agency Perspective. Financial Management 23. pp 38-50
Bhattacharya, S. 1979. Imperfect Information, Dividend Policy, and „the-bird-in-the-hand‟
Fallacy. Journal of Economics 10. pp. 259-270
Black, F., Scholes, M. 1973. The Effects on Dividend Yield and Dividend Policy on
Common Stock Prices and Returns.. Journal of Financial Economics
Berle, A. & Means, G. 1932. The Modern Corporateion and Private Property. Macmillan,
New York.
Borokhovich, Kenneth A., kelly R. Brunaski, Yvetter Harman dan James B. Kehr. 2005.
Dividend, Corporate Monitor and Agency Cost. The Financial Review Vol 40. Pp 37-65
Bozec, Yes dan Richard Bozec. 2007. Ownerhsip Concentration and Corporate Governance
Practices: Substitution or Expropriation Effects? Canadian Journal of Administrative
Science Vol. 24 no. 3 pp 182-190
Brigham E. 2004. Fundamentarls of Financial Management, 6th. Ed. Harcourt Brace College
of Business Administration.
Bushman, R. dan Piotroski, J. 2006. Financial Reporting Inventive for Conservative
Accounting: The Influence of Legal and Political Institutions. Journal of Accounting and
Economics, 42 (1-2), pp. 107-48.
Bushman, R. Dan Smith, AJ. 2001. Financial Accounting Information and Corporate
Governance. URL: http://www.ssrn.com
Bushman, R, Qi Chen, Ellen Engel dan Abbie Smith. 2004. Financial Accounting
Information, Organizational Complexity and Corporate Governance Systems. Journal of
Accounting and Economics 37, pp. 167-201
Chen, Chiung-Jung & Yu, Chwo-Ming Joseph. 2011. Managerial Ownership, Diversification,
and Firm Performance: Evidence from an Emerging Market. International Business
Review xxx (2001); xxxxxx
Chen, Lin, Ma, Yue, & Xuan, Yuhai. Ownership Structure and Financial Constraints:
Evidence From A Structural Estimation. Journal of Financial Economics 102 (2011)
416–431
Chen, Alin dan Lanfeng Kao. 2005. The Conflict Between Agency Theory and Corporate
Control on Managerial Ownership: The Evidence from Taiwan IPO Performance.
International Journal of Business 10 (1), pp39-59
Crutchley, Claire E dan Robert S. Hansen. 1989. A Test of The Agency Theory of
Managerial Ownership, Corporate Leverage and Corporate Dividends. Fianncial
Managerment Vol. 18 pp 36-46
De Angelo, H. Da R.W. Masulis. 1980. Optimal Capital Structure Under Corporate and
Personal Taxation. Journal of Financial Economics 8, pp. 3-30.
Dechow, Patricia M., 1994 accounting earnings and cash flows as measures of firm
performance: the role of accounting accruals. Journal of accounting and economics, 18,
3-42
DeFond, M.L., Hung, M., 2004. Investor Protection and Corporate Governance: Evidence
from Worldwide CEO Turnover. Journal of Accounting Research 42, 269-312
Demsetz, Harold dan Belen Villalonga. 2001. Ownership Structure and Corporate
Performance. Journal of Corporate Finance Vol 7 pp 209-233
Easterbrook, Frank H. 1984. Two Agency-Cost Explanations of Dividends. The American
Economic Review, Vol. 74 No. 4, pp. 650-659
Fama, E. Dan Jensen, M. 1983. Separation of Ownership and Control, Journal of Law and
Economics, Vol. 25, pp. 302-325
Facciao, mara dan Lasfer, M.A. 2000. Managerial Ownership, Board Structure and Firm
Value: The UK Evidence. URL: http://www.ssrn.com.
Fich, M. Elizier, Jie, Cai, Tran, AnhL. 2011. Stock Option Grants to Target CEOs During
Private Merger Negotiations. Journal of Financial Economics 101 (2011) 413–430
Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI). Corporate Governance Tata Kelola
Perusahaan, http://www.fcgi.or.id
Gaver, J. J. dan K. M. Gaver. 1993. Additional Evidence on the Association Between the
Investment Opportunity Set and Corporate Financing, Dividend, and Compensation
Policies. Journal Accounting & Economics, 16, pp. 126-160
Goyal, Vidhan K., Kenneth Lehn, Stanko Racic. 2002. Growth Opportunities and Corporate
Debt Policy: The Case of The US Defense Industry. Journal of Financial Economics. pp.
35-59.
Grossman, Sanford J. dan Oliver D. Hart. 1982. Corporate Financial Structure and
Managerial Incentives. University of Chicago Press, Chicago.
Harris, M. & Raviv, A. 1990. Capital Structure and The Informational Role of Debt. Journal
of Finance 45, 321-349
Harris, M. & Raviv, A. 2008. A Theory of Board Control and Size. The review of Financial
Studies 21 (4), 1797-1832
Huang, Chin-Sheng, Chun-Fan You dan Szu-Hsien Lin. 2009. Cash Dividend, Stock
Dividend and Subsequent Growth. http://www.sciencedirect.com/science
Huang G., dan M.S. Frank. 2005. The Determinants of capital Structure: Evidence from
China. China Economics Review 17, pp. 14-36
Harjito, Agus & Nurfauziah. 2006. Hubungan Kebijakan Hutang, Insider Owenership dan
Kebijakan Deviden Dalam Mekanisme Pengawasan Masalah Agensi di Indonesia. JAAI,
Vol. 10 No. 2.
Hart, O., 1995. Corporate Governance: Some Theory and Implications. The Economic
Journal, 105, 678-689.
Harris, M. dan Raviv, A. 1988. Corporate Control Cotests and Capital Structure. Journal of
Financial Economics 20, pp. 55-86
Harris, M. dan Raviv, A. 1991. The Theory of Capital Structure. Journal of Finance 46 pp.
297-355
Hasnawati, Sri. 2005. Dampak Set Peluang Investasi Terhadap Nilai Perusahaan Publik di
Bursa Efek Jakarta. JAAI Vol. 9 No. 2, pp. 117-126 Hermawan, Ancella. 2009.
Kepemilikan Keluarga dan Corporate Governance. Disertasi Program Pascasarjana Ilmu
Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Jaggi, B. Leung S., & Gul, F. 2009. Family Control, Board Independence and Earnings
Management. Evidence Based on Hong Kong Firms. Journal of Accounting and Public
Policy, 28 (4). 281
Jensen, M.C. and Meckling, W.H. (1976). “Theory of The Firm: Managerial Behavior,
Agency Costs and Ownership Structure”. Journal of Financial Economics 3: 305-360.
Kaen, Fred R. 2003. A Blueprint for Corporate Governance; Strategy Accountability, and the
Preservation of Shareholder Value. New York NY. American Management Association.
Kallapur, Sanjay, and mark A. Trombley. 1999. The Association Between Investment
Opportunity Set and Realized Growth. Journal of Business, Financial, and Accounting,
96. pp. 505-519
Kaaro, Hermeindito. 2001b. The Association Between Financing Decision and Investment
Decision. Journal Ekonomi dan Bisnis Vol. VII No. 2, pp 151-164
Kaaro, Hermeindito dan Hartono, Jogiyanto. 2002. Perilaku Keputusan Investasi berbasis
peluang Investasi dan etersediaan Keuangan Internal. Simposium Nasional Akuntansi 5.
Semarang Kent, Baker H., Gary E. Powell dan E. Theodore Veit. 2002. Journal of
Economics and Finance Vol. 26 No. 3, pp. 267-283
Kusuma, Hadri & Erlan Susanto. 2004. Efektivitas Mekanisme Bonding: Kasus
Perusahaanperusahaan yang dikontrol Komisaris Independen. JAAI, Vol. 8 No. 1
Kusuma, Hadri. 2006. Efek Informasi Asimetri Terhadap Kebijakan Dividen. JAAI Vol. 10
No. 1.
Kim, Jeong-Bon, Li, Yinghua, Zang, Liandong. 2011. CFOs Versus CEOs : Equity
Incentives and Crashes. Journal of Financial Economics 101 (2011) 713–730
La porta, R., F. Loperz-de-silanes, A. Shleifer, R., 1999. Corporate Ownership Around The
World. Journal of finance, 54, p. 471-517
Leland, H. dan D . Pyle. 1997. Information Asymmetries, Financial Intermediation. Journal
of Finance Vol 32 pp 371-388
Litzenberger, Robert H dan Krishna Ramaswamy. 1979. The Effects of Personal Taxes and
Dividens on Capital Asset Prices: Theory and Empirical Evidence.. Journal of Financial
Economics 7. pp. 163-195.
Litzenberger, Robert H dan Krishna Ramaswamy. 1982. The Effects of Dividend on
Common Stocks Prices: Theory and Empirical Evidence. Journal of Finance 37. pp. 429-
443.
Myers, S. C and Majluf, N. S. 1984. “Corporate Financing and Investment Decisions When
Firms Have Information that Investors Do Not Have”. Journal of Financial Economics
13: 187-221.
Nuryaman. 2009. Pengaruh Konsentrasi Kepemilikan, Ukuran Perusahaan, dan Mekanisme
Corporate governance terhadap Pengungkapan Sukarela. Jurnal Akuntansi dan Keuangan
Indonesia Vol. 6 No. 1.
Rahayu, Dyah Sih. 2005. Pengaruh Kepemilikan Saham Manajerial dan Institusional Pada
Struktur Modal Perusahaan. Jurnal Akuntansi & Auditing, Vol. 01/No. 02/Mei 2005:
181-197
Rozeff, Michael S. 1982. Dividends and Agency Costs. Journal of Financial Research Vol 5
pp 249259
Scott, William R. 2006. Financial Accounting Theory, 4rd. Ed. Scarborough, Ontario:
Prentice-hall, Canad
Shleifer, Andrei, Robert Vishny, 1997. A Survey of Corporate Governance. The Joural of
Finance, June, Vol 52 (2), 737-783
Schulze, William S., Michael H. Lubatkin, Richard N. Dino dan Ann K Buchholtz. 2001.
Agency Relationships in Family Firms: Theory and Evidence. Organization Science Vol.
12 No. 2, pp. 99-116.
Siallagan, Hamonangan, Mas‟ud Machfoedz, 2006. Mekanisme Corporate Governance,
Kualitas Laba dan Nilai Perusahaan, Simposium Nasional Akuntansi 9, Padang.
Suharli, Michell. 2007. Pengaruh Profitability dan Investment Opportunity Set Terhadap
Kebijakan Dividen Tunai dengan Likuiditas sebagai Variabel Penguat. Jurnal Akuntansi
dan Keuangan, Vol. 9 No. 1. pp 9-17 Siregar, Sylvia Veronica, 2005. Pengaruh
Struktur Kepemilikan, Ukuran Perusahaan dan Praktek Corporate Governane terhadap
Pengelolaan Laba (Earnings Management) dan Kekeliruan Penilaian Pasar. Disertasi
Program Studi Ilmu Manajemen Pascarsarjana Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Suranta, Eddy dan Pratana Puspa Medistusi, 2005. Pengaruh Good Corporate Governance
terhadap Praktek Manajemen Laba. Konferensi Nasional Akuntansi, Peran Akuntansi
dalam membangun Good Corporate Governance, hal 1-8.
Villalaonga, B. dan Amit, R. How do Family Ownership, Control and Management Affect
Firm Value.? Journal of Financial EconVomics 80, pp 385-417
Vilasuso, Jon dan Alanson Minkler. 2001. Agency Cost, Asset Specificity, and the Capital
Structure of the Firm. Journal of Economic Behavior & Orgnization Vol. 44, pp. 55-69
Wang, D. 2006. Founding Family Ownership Earning Quality. Journal of Accounting
Research 44. Pp 619-656
Wardhani, Ratna. 2009. Disertasi Program Studi Ilmu Manajemen Pascarsarjana Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia.
Wawo, Andi. 2010. Pengaruh Corporate Governance dan Konsentrasi Kepemilikan terhadap
Daya Informasi Akuntansi. Simposium Nasional Akuntansi XIII, Purwokerto.
Xie, Biao, Wallace N. Davidson III, dan Peter J. Dadalt, 2003. Earnings Management and
Corporate Governance: The role of the board and the Adit committee. Journal of
Corporate Finance. Vol. 9, 295-316
Zhang, Hua, Gao, Yun-zhe, & Han, Dong-ping. 2010. “Debt Level and Equity Agency Costs:
Evidence from Public Listed Companies in China. International Conference on
Management Science & Engineering (17th). Australia

Anda mungkin juga menyukai