Seorang bayi perempuan berumur 6 bulan dibawa ibunya ke UGD dengan keluhan
sejak satu hari yang lalu BAB berupa lender bercampur darah tanpa feses sebanyak
tiga kali dan muntah berwarna hijau lima kali. Anak rewel dan sering menangis
mengangkat kaki, tidak mau makan dan minum, serta badan panas. Hasil pemeriksaan
fisik keadaan tampak sakit sedang, tekanan darah 100/60 mmHg; frekuensi nadi
150x/menit; frekuensi napas 36x/menit; suhu 39 derajat celcius. Rectal toucher
ditemukan ampulla collaps dan tidak ditemukan feses. Darah positif lender, current
jelly positif. Pemeriksaan penunjang BNO 3 Posisi ditemukan adanya tanda-tanda
step ladder dan herring bone, serta air fluid level. USG abdomen ditemukan donut
sign positif.
Brainstorming
1. Mengapa muntah berwarna hijau?
Karena isi perut/muntahnya sudah melewati empedu (fase akhir) yang
mengindikasikan terjadinya obstruksi ileus.
Sasaran Belajar
LO1. Memahami dan Menjelaskan Akut Abdomen
1.1 Definisi
1.2 Etiologi
1.3 Patofisiologi
1.4 Manifestasi Klinis
1.5 Diagnosis dan Diagnosis Banding
1.6 Tatalaksana
1.7 Komplikasi
1.8 Prognosis
1.1 Definisi
Akut abdomen adalah suatu kondisi abdomen yang terjadi secara mendadak pada
umumnya diikuti nyeri perut akibat dari radang, luka, penyumbatan (obstruksi),
kerusakan organ (ruptur), sehingga memerlukan tindakan bedah darurat (Cakmoki,
2007). Siegenthaller (2007) mendefinisikan bahwa akut abdomen adalah suatu
keadaan nyeri perut hebat yang terjadi dalam hitungan jam dan tidak diketahui
diketahui penyebabnya, dimana dianggap sebagai keadaan darurat bedah karena tanda
dan gejala klinisnya.
1.2 Etiologi
Banyak kondisi yang dapat menimbulkan akut abdomen, apapun penyebabnya
gejala utama yang menonjol adalah nyeri akut pada daerah abdomen. Secara garis
besar, akut abdomen dapat disebabkan oleh infeksi atau inflamasi, oklusi obstruksi,
dan perdarahan. Keadaan infeksi atau peradangaan misalnya pada kasus apendisitis,
kolesistitis, atau penyakit Crohn. Keadaan oklusi obstruksi misalnya pada kasus
hernia inkaserata atau volvulus. Sedangkan keadaan perdarahan misalnya pada kasus
trauma organ abdominal, kehamilan ektopik terganggu, atau rupture tumor (Sinha,
2010).
Menurut survei World Gastroenterology Organization, diagnosis akhir pasien dengan
nyeri akut abdomen adalah apendisitis (28%), kolesistitis (10%), obstruksi usus halus
(4%), keadaan akut ginekologi (4%), pancreatitis akut (3%), colic renal (3%),
perforasi ulkus peptic (2,5%) atau diverticulitis akut (1,5%) (Scaglione, 2012).
1.3 Patofisiologi
Nyeri viseral
Nyeri viseral terjadi bila terdapat rangsangan pada organ atau struktur dalam
rongga perut, misalnya cedera atau radang. Peritoneum viserale yang menyelimuti
organ perut dipersarafi oleh sistem saraf otonom dan tidak peka terhadap
perabaan, atau pemotongan. Dengan demikian sayatan atau penjahitan pada usus
dapat dilakukan tanpa rasa nyeri pada pasien. Akan tetapi bila dilakukan
penarikan atau peregangan organ atau terjadi kontraksi yang berlebihan pada otot
sehingga menimbulkan iskemik, misalnya pada kolik atau radang pada
appendisitis maka akan timbul nyeri. Pasien yang mengalami nyeri viseral
biasanya tidak dapat menunjukkan secara tepat letak nyeri sehingga biasanya ia
menggunakan seluruh telapak tangannya untuk menunjuk daerah yang nyeri.
Nyeri viseral kadang disebut juga nyeri sentral (Sjamsuhidajat et all,2004).
Penderita memperlihatkan pola yang khas sesuai dengan persarafan embrional
organ yang terlibat. Saluran cerna berasal dari foregut yaitu lambung, duodenum,
sistem hepatobilier dan pankreas yang menyebabkan nyeri di ulu hati atau
epigastrium. Bagian saluran cerna yang berasal dari midgut yaitu usus halus usus
besar sampai pertengahan kolon transversum yang menyebabkan nyeri di sekitar
umbilikus. Bagian saluran cerna yang lainnya adalah hindgut yaitu pertengahan
kolon transversum sampai dengan kolon sigmoid yang menimbulkan nyeri pada
bagian perut bawah. Jika tidak disertai dengan rangsangan peritoneum nyeri tidak
dipengaruhi oleh gerakan sehingga penderita biasanya dapat aktif
bergerak(Sjamsuhidajat , dkk., 2004).
Nyeri somatik
Nyeri somatik terjadi karena rangsangan pada bagian yang dipersarafi saraf tepi,
misalnya regangan pada peritoneum parietalis, dan luka pada dinding perut. Nyeri
dirasakan seperti disayat atau ditusuk, dan pasien dapat menunjuk dengan tepat
dengan jari lokasi nyeri. Rangsang yang menimbulkan nyeri dapat berupa
tekanan, rangsang kimiawi atau proses radang (Sjamsuhidajat dkk., 2004).
Gesekan antara visera yang meradang akan menimbulkan rangsang peritoneum
dan dapat menimbulkan nyeri. Perdangannya sendiri maupun gesekan antara
kedua peritoneum dapat menyebabkan perubahan intensitas nyeri. Gesekan inilah
yang menjelaskan nyeri kontralateral pada appendisitis akut. Setiap gerakan
penderita, baik gerakan tubuh maupun gerakan nafas yang dalam atau batuk, juga
akan menambah intensitas nyeri sehingga penderita pada akut abdomen berusaha
untuk tidak bergerak, bernafas dangkal dan menahan batuk (Sjamsuhidajat, dkk.,
2004).
Nyeri alih
Nyeri alih terjadi jika suatu segmen persarafan melayani lebih dari satu daerah.
Misalnya diafragma yang berasal dari regio leher C3-C5 pindah ke bawah pada
masa embrional sehingga rangsangan pada diafragma oleh perdarahan atau
peradangan akan dirasakan di bahu. Demikian juga pada kolestitis akut, nyeri
dirasakan pada daerah ujung belikat. Abses dibawah diafragma atau rangsangan
karena radang atau trauma pada permukaan limpa atau hati juga dapat
menyebabkan nyeri di bahu. Kolik ureter atau kolik pielum ginjal, biasanya
dirasakan sampai ke alat kelamin luar seperti labia mayora pada wanita atau testis
pada pria (Sjamsuhidajat, dkk., 2004).
Nyeri proyeksi
Nyeri proyeksi adalah nyeri yang disebabkan oleh rangsangan saraf sensoris
akibat cedera atau peradangan saraf. Contoh yang terkenal adalah nyeri phantom
setelah amputasi, atau nyeri perifer setempat akibat herpes zooster. Radang saraf
pada herpes zooster dapat menyebabkan nyeri yang hebat di dinding perut
sebelum gejala tau tanda herpes menjadi jelas (Sjamsuhidajat, dkk., 2004).
Hiperestesia
Hiperestesia atau hiperalgesia sering ditemukan di kulit jika ada peradangan pada
rongga di bawahnya. Pada akut abdomen, tanda ini sering ditemukan pada
peritonitis setempat maupun peritonitis umum. Nyeri peritoneum parietalis
dirasakan tepat pada tempat terangsangnya peritoneum sehingga penderita dapat
menunjuk dengan tepat lokasi nyerinya, dan pada tempat itu terdapat nyeri tekan,
nyeri gerak, nyeri batuk serta tanpa rangsangan peritoneum lain dan defans
muskuler yang sering disertai hipersetesi kulit setempat. Nyeri yang timbul pada
pasien akut abdomen dapat berupa nyeri kontinyu atau nyeri kolik (Sjamsuhidajat,
dkk., 2004).
Nyeri kontinyu
Nyeri akibat rangsangan pada peritoneum parietal akan dirasakan terus menerus
karena berlangsung terus menerus, misalnya pada reaksi radang. Pada saat
pemeriksaan penderita peritonitis, ditemukan nyeri tekan setempat. Otot dinding
perut menunjukkan defans muskuler secara refleks untuk melindungi bagian yang
meraadang dan menghindari gerakan atau tekanan setempat (Sjamsuhidaja, dkk.,
2004).
Nyeri kolik
Kolik merupakan nyeri viseral akibat spasme otot polos organ berongga dan
biasanya diakibatkan oleh hambatan pasase dalam organ tersebut (obstruksi usus,
batu ureter, batu empedu, peningkatan tekanan intraluminer). Nyeri ini timbul
karena hipoksia yang dialami oleh jaringan dinding saluran. Karena kontraksi
berbeda maka kolik dirasakan hilang timbul (Sjamsuhidajat, dkk., 2004).
Kolik biasanya disertai dengan gejala mual sampai muntah. Dalam serangan,
penderita sangat gelisah. Yang khas ialah trias kolik yang terdiri dari serangan
nyeri perut yang hilang timbul mual atau muntah dan gerak paksa.
Nyeri iskemik
Nyeri perut juga dapat berupa nyeri iskemik yang sangat hebat, menetap, dan
tidak mereda. Nyeri merupakan tanda adanya jaringan yang terancam nekrosis.
Lebih lanjut akan tampak tanda intoksikasi umum seperti takikardia, keadaan
umum yang jelek dan syok karena resorbsi toksin dari jaringan nekrosis.
Inspeksi
Pasien nyeri visera terisolasi seperti yang ditemukan dalam obstruksi usus, bisa sering
mengubah posisi, tetapi jika nyeri terlokalisasi atau ada iritasi pertoneum generalisata,
maka sering pasien menghindari gerakan. Pasien peritonitis yang luas sering
membawa lututnya ke atas untuk merelaksasi tegangan abdomen. Pasien dengan
keadaan peradangan yang berkontak dengan muskulus psoas bisa memfleksi paha
yang berhubungan. Pasien pankreatitis parah bisa duduk di ranjang dengan lutunya
ditarik ke dadanya, beryun-ayun maju mundur pada serangan nyeri.
Auskultasi
Auskultasi diperlukan untuk menentukan ada atau tidaknya bising usus. Teknik
auskultasi dilakukan dengan menempatkan bagian corong stetoskop di atas dinding
abdomen anterior yang dimulai dengan kuadran kiri bawah, kemudian dalam empat
kuadran. Bising usus bernada tinggi yang timbul dalam dorongan yang bersamaan
nyeri menunjukkan obstruksi usus halus.
Palpasi
Hernia inguinalis, femoralis, dan ventralis harus diperiksa dengan cermat pada tiap
pasien nyeri abdomen. Palpasi dimulai sejauh mungkin dari pusat nyeri dan harus
dilakukan dengan lembut dengan satu jari tangan. Secara bertahap jari tangan
bergerak ke arah area nyeri tekan maksimum. Kemudian mempalpasi apakah terdapat
defence muscular atau spasme. Tempatkan tangan dengan lembut di atas muskulus
rectus dang tekan sedikit serta minta pasien menarik napas dalam. Jika spasme
volunter, maka akan didapatkan m rectus yang mendasari relaksasi. Tetapi jika ada
spasme sejati, maka akan didapatkan otot kaku tegang di keseluruhan siklus
pernapasan. Adanya otot kaku tegang akan menegakkan adanya peritonitis.
Jika lesi terletak di dalam dinding abdomen, maka akan ada nyeri tekan, tetapi jika
lesi intraperitoneum, maka nyeri tekan akan menurun selama muskulus rectus tetap
tegang.
Tes Iliopsoas
Cullen sign
Murphy sign
Bermanfaat dalam mendiagnosis radang
vesica biliaris akut. Pemeriksa menekan
kuadran kanan atas dan pasien diminta
inhalasi dalam. Inspirasi menyebabkan hati
turun, yang menyebabkan vesica biliaris
yang meradang menabrak jari tangan
pemeriksa.
Rosving sign
Ada bila nyeri kuadran kanan bawah yang disebabkan oleh palpasi kuadran kiri
bawah. Sering menyertai pada apendisitis.
Pemeriksaan Penunjang
Foto polos abdomen, USG
Pemeriksaan radiologi
Foto thoraks
Selalu harus diusahakan pembuatan foto thoraks dalam posisi tegak untuk
menyingkirkan adanya kelainan pada thoraks atau trauma pada thoraks.
Harus juga diperhatikan adanya udara bebas di bawah diafragma atau adanya
gambaran usus dalam rongga thoraks pada hernia diafragmatika.
1) Abdominal paracentesis
Merupakan pemeriksaan tambahan yang sangat berguna untuk menentukan
adanya perdarahan dalam rongga peritoneum. Lebih dari 100.000 eritrosit/mm
dalam larutan NaCl yang keluar dari rongga peritoneum setelah dimasukkan
100--200 ml larutan NaCl 0.9% selama 5 menit, merupakan indikasi untuk
laparotomi.
2) Pemeriksaan laparoskopi
Dilaksanakan bila ada akut abdomen untuk mengetahui langsung sumber
penyebabnya.
3) Rektosigmoidoskopi
Bila dijumpai perdarahan dan anus perlu dilakukan rektosigmoidoskopi.
4) NGT
Pemasangan nasogastric tube (NGT) untuk memeriksa cairan yang keluar dari
lambung pada trauma abdomen.
Dari data yang diperoleh melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
tambahan dan pemeriksaan khusus dapat diadakan analisis data untuk
memperoleh diagnosis kerja dan masalah-masalah sampingan yang perlu
diperhatikan. Dengan demikian dapat ditentukan tujuan pengobatan bagi
penderita dan langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai tujuan
pengobatan.
1.6 Tatalaksana
Tujuan dari penatalaksanaan Akut abdomen antara lain, adalah :
1) Penyelamatan jiwa penderita
2) Meminimalisasi kemungkinan terjadinya cacat dalam fungsi fisiologis alat
pencemaan penderita.
Tindakan untuk mencapai tujuan ini berupa operasi dengan membuka rongga
abdomen yang dinamakan laparotomi.
1.7 Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder, dimana komplikasi
tersebut dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut, yaitu :
a. Komplikasi Dini
- Septikemia dan syok septik
- Syok hipovolemik
- Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan kegagalan multi
sistem
- Abses residual intraperitoneal
- Portal Pyemia (misal abses hepar)
b. Komplikasi Lanjut
- Adhesi
- Obstruksi intestinal rekuren
1.8 Prognosis
Prognosis untuk peritonitis lokal dan ringan adalah baik, sedangkan pada peritonitis
umum prognosisnya mematikan akibat organisme virulen.
2.2 Etiologi
Etiologi dari intususepsi terbagi menjadi 2, yaitu idiopatik dan kausal.
a. Idiopatik
Menurut kepustakaan, 90-95 % intususepsi pada anak di bawah umur satu tahun tidak
dijumpai penyebab yang spesifik sehingga digolongkan sebagai “infantile idiophatic
intussusceptions”. Kepustakaan lain menyebutkan di Asia, etiologi idiopatik dari
intususepsi berkisar antara 42-100%.
Definisi dari istilah intususepsi ‘idiopatik’ bervariasi di antara penelitian terkait
intususepsi. Sebagian besar peneliti menggunakan istilah ‘idiopatik’ untuk
menggambarkan kasus dimana tidak ada abnormalitas spesifik dari usus yang
diketahui dapat menyebabkan intususepsi seperti diverticulum meckel atau polip yang
dapat diidentifikasi saat pembedahan.
Dalam kasus idiopatik, pemeriksaan yang teliti dapat mengungkapkan hipertrofi
jaringan limfoid mural (Peyer patch), yang disebabkan oleh infeksi adenovirus atau
rotavirus.
Intususepsi idiopatik memiliki etiologi yang tidak jelas. Salah satu teori untuk
menjelaskan kemungkinan etiologi intususepsi idiopatik adalah bahwa hal itu terjadi
karena Peyer patch yang membesar; hipotesis ini berasal dari 3 pengamatan: (1)
penyakit ini sering didahului oleh infeksi saluran pernapasan atas, (2) wilayah
ileokolika memiliki konsentrasi tertinggi dari kelenjar getah bening di mesenterium,
dan (3) pembesaran kelenjar getah bening sering dijumpai pada pasien yang
memerlukan operasi. Apakah Peyer patch yang membesar adalah reaksi terhadap
intususepsi atau sebagai penyebab intususepsi, masih tidak jelas.
b. Kausal
Pada penderita intususepsi yang lebih besar (lebih dua tahun), adanya kelainan usus
dapat menjadi penyebab intususepsi atau “lead point” seperti: inverted Meckel’s
diverticulum, polip usus, leiomioma, leiosarkoma, hemangioma, blue rubber blep
nevi, lymphoma dan duplikasi usus. Divertikulum Meckel adalah penyebab paling
utama, diikuti dengan polip seperti peutz-jeghers syndrome, dan duplikasi
intestinal. Lead pointlain diantaranya lymphangiectasias, perdarahan submukosa
dengan Henoch-Schönlein purpura, trichobezoars dengan Rapunzel
syndrome, caseating granulomas yang berhubungan dengan tuberkulosis abdominal.
Lymphosarcoma sering dijumpai sebagai penyebab intususepsi pada anak yang
berusia di atas enam tahun. Intususepsi dapat juga terjadi setelah laparotomi, yang
biasanya timbul setelah dua minggu pasca bedah, hal ini terjadi akibat gangguan
peristaltik usus, disebabkan manipulasi usus yang kasar dan lama, diseksi
retroperitoneal yang luas dan hipoksia lokal.
2.3 Klasifikasi
Jenis intususepsi dapat dibagi menurut lokasinya pada bagian usus mana yang terlibat,
pada ileum dikenal sebagai jenis ileo-ileal.
Pada kolon dikenal dengan jenis colo-colica dan sekitar ileo-caecal disebut ileocaecal,
jenis-jenis yang disebutkan di atas dikenal dengan intususepsi tunggal dimana
dindingnya terdiri dari tiga lapisan.
Jika dijumpai dinding yang terdiri dari lima lapisan, hal ini sering pada keadaan yang
lebih lanjut disebut jenis intususepsi ganda, sebagai contoh adalah jenis ileo-ileo-
colica atau colo-colica. Suwandi J.Wijayanto E. di Semarang selama 3 tahun (1981-
1983) pada pengamatannya mendapatkan jenis intususepsi sebagai berikut: Ileo-ileal
25%, ileo-colica 22,5%, ileo-ileo-colica 50% dan colo-colica 22,5%.
2.4 Patofisiologi
Patogenesis dari intususepsi diyakini akibat sekunder dari ketidakseimbangan
pada dorongan longitudinal sepanjang dinding intestinal. Ketidakseimbangan ini
dapat disebabkan oleh adanya massa yang bertindak sebagai “lead point” atau oleh
pola yang tidak teratur dari peristalsis (contohnya, ileus pasca operasi). Gangguan
elektrolit berhubungan dengan berbagai masalah kesehatan yang dapat
mengakibatkan motilitas intestinal yang abnormal, dan mengarah pada terjadinya
invaginasi. Beberapa penelitian terbaru pada binatang menunjukkan pelepasan nitrit
oksida pada usus, suatu neurotransmitter penghambat, menyebabkan relaksasi dari
katub ileocaecal dan mempredisposisi intususepsi ileocaecal. Penelitian lain telah
mendemonstrasikan bahwa penggunaan dari beberapa antibiotik tertentu dapat
menyebabkan hiperplasia limfoid ileal dan dismotilitas intestinal dengan intususepsi.
Sebagai hasil dari ketidakseimbangan, area dari dinding usus terinvaginasi ke
dalam lumen. Proses ini terus berjalan, dengan diikuti area proximal dari intestinal,
dan mengakibatkan intususeptum berproses sepanjang lumen dari intususipiens.
Apabila terjadi obstruksi sistem limfatik dan vena mesenterial, akibat penyakit
berjalan progresif dimana ileum dan mesenterium masuk ke dalam caecum dan colon,
akan dijumpai mukosa intussusseptum menjadi oedem dan kaku. Mengakibatkan
obstruksi yang pada akhirnya akan dijumpai keadaan strangulasi dan perforasi usus.
Pembuluh darah mesenterium dari bagian yang terjepit mengakibatkan
gangguan venous return sehingga terjadi kongesti, oedem, hiperfungsi goblet sel serta
laserasi mukosa usus. Hal inilah yang mendasari terjadinya salah satu manifestasi
klinis intususepsi yaitu BAB darah lendir yang disebut juga red currant jelly stool.
2.5 Manifestasi Klinis
Pada kasus-kasus yang khas, nyeri kolik hebat yang timbul mendadak, hilang
timbul, sering kumat dan disertai dengan rasa tersiksa yang menggelisahkan serta
menangis keras pada anak yang sebelumnya sehat. Pada awalnya, bayi mungkin dapat
dihibur tetapi jika invaginasi tidak cepat di reduksi bayi menjadi semakin lemah dan
lesu. Akhirnya terjadi keadaan seperti syok dengan kenaikan suhu tubuh sampai 41 C,
nadi menjadi lemah-kecil, pernafasan menjadi dangkal, dan nyeri dimanifestasikan
hanya dengan suara rintihan.
Muntah terjadi pada kebanyakan kasus dan biasanya pada bayi lebih sering pada
fase awal. Pada fase lanjut, muntah disertai dengan empedu, tinja dengan gambaran
normal dapat dikeluarkan pada beberapa jam pertama setelah timbul gejala kemudian
pengeluaran tinja sedikit atau tidak ada, dan kentut jarang atau tidak ada. Darah
umumnya keluar pada 12 jam pertama, tetapi kadang-kadang tidak keluar sampai 1-2
hari. Pada bayi 60% mengeluarkan tinja bercampur darah berwarna merah serta
mukus (Mansoer, 2001) dan (Pickering, 2000).
Pemeriksaan fisik
Inspeksi
Sukar sekali membedakan prolapsus rektum dari invaginasi.
Invaginasi didapatkan invaginatum bebas dari dinding anus, sedangkan prolapsus
berhubungan secara sirkuler dengan dinding anus.
Palpasi
Teraba sausage shape, suatu massa yang posisinya mengikuti garis usus colon
ascendens sampai ke sigmoid dan rektum. Massa tumor sukar diraba bila berada di
belakang hepar atau pada dinding yang tegang.
Perkusi
Pada tempat invaginasi terkesan suatu rongga kosong.
Auskultasi
Bising usus terdengar meninggi selama serangan kolik menjadi normal kembali di
luar serangan. Bila invaginasi panjang hingga ke daerah rektum pada pemeriksaan
colok dubur mungkin teraba ujung invaginasi seperti porsio uterus Universitas
Sumatera Utara disebut pseudoporsio. Pada sarung tangan terdapat lendir dan darah.
Harus dibedakan dengan prolapsus rektum.
Pemeriksaan Radiologi
Foto polos abdomen
Distribusi udara di dlm usus tdk merata, usus terdesak ke kiri atas, bila telah lanjut
terlihat tanda2 obstruksi usus dengan gambaran air fluid level.
DIAGNOSIS BANDING
- Gastroenteritis, bila diikuti dengan intususepsi dapat ditandai jika dijumpai
perubahan rasa sakit, muntah dan perdarahan.
- Divertikulum Meckel, dengan perdarahan, biasanya tidak ada rasa nyeri.
- Disentri amoeba, disini diare mengandung lendir dan darah, serta adanya obstipasi,
bila disentri berat disertai adanya nyeri di perut, tenesmus dan demam.
- Enterokolitis, tidak dijumpai adanya nyeri di perut yang hebat.
- Prolapsus recti atau Rectal prolaps, dimana biasanya terjadi berulang kali dan pada
colok dubur didapati hubungan antara mukosa dengan kulit perianal, sedangkan pada
intususepsi didapati adanya celah.
2.7 Tatalaksana
Barium Enema
Kontra indikasi : obstruksi usus, dijumpai tanda2 peritonitis, gejala inveginasi sdh lwt
dari 24 jam, dehidrasi berat, usia penderita diatas 2 tahun.
Kateter yang telah diolesi pelicin dimasukkan ke rektum dan difiksasi dengan plester,
melalui kateter bubur barium dialirkan dan aliran barium dideteksi dgn alat floroskopi
sampai intususepsi dapat diidentifikasi dan dibuat foto.
Bila kolom bubur barium bergerak maju menandai proses reduksi sedang berlanjut,
tetapi bila terhenti dapat diulangi 2-3 kali dengan jarak waktu 3-4 menit. Reduksi
dinyatakan gagal bila tekanan barium dipertahankan selama 10-15 menit dan tidak
dijumpai kemajuan.
Reduksi barium enema dinyatakan berhasil bila :
Rectal tube ditarik dari anus dan bubur barium keluar dengan disertai massa feses
dan udara
Pada floroskopi terlihat bubur barium mengisi seluruh kolon dan sebagian usus
halus, jadi adanya refluks ke dalam ileum
Hilangnya massa tumor di abdomen
Perbaikan secara klinis terlihat, anak menjadi tertidur serta tes norit positif
Pasien baru boleh dioperasi bila sudah yakin bahwa perfusi jaringan telah baik, hal ini
ditandai dengan produksi urin sekita 0,5 – 1 cc/kgBB/jam. Nadi < 120 x/menit,
pernafasan < 40 x / menit. Akral yang semula dingin dan lembab telah berubah
menjadi hangan dan kering, turgor kulis membaik dan temperatur badan < 38C.
Reduksi saja telah mencukupi, tidak diperlukan fiksasi usus ke setiap arah karena
fiksaasi tidak menurunkan risiko kekambuhan. Dan biasanya apandektomi dilakukan.
2.8 Komplikasi
Intususepsi dapat menyebabkan terjadinya obstruksi usus. Komplikasi lain yang dapat
terjadi adalah dehidrasi dan aspirasi dari emesis yang terjadi. Iskemia dan nekrosis
usus dapat menyebabkan perforasi dan sepsis. Nekrosis yang signifikan pada usus
dapat menyebabkan komplikasi yang berhubungan dengan “short bowel syndrome”.
Meskipun diterapi dengan reduksi operatif maupun radiografik, striktur dapat muncul
dalam 4-8 minggu pada usus yang terlibat.
2.9 Prognosis
Kematian disebabkan oleh intususepsi idiopatik akut pada bayi dan anak-anak
sekarang jarang di negara maju. Sebaliknya, kematian terkait dengan intususepsi tetap
tinggi di beberapa negara berkembang. Pasien di negara berkembang cenderung untuk
datang ke pusat kesehatan terlambat, yaitu lebih dari 24 jam setelah timbulnya gejala,
dan memiliki tingkat intervensi bedah, reseksi usus dan mortalitas lebih tinggi.
Mortalitas secara signifikan lebih tinggi (lebih dari sepuluh kali lipat dalam
kebanyakan studi) pada bayi yang ditangani 48 jam setelah timbulnya gejala daripada
bayi yang ditangani dalam waktu 24 jam setelah onset pertama. Angka rekurensi dari
intususepsi untuk reduksi nonoperatif dan operatif masing-masing rata-rata 5% dan 1-
4%.
DAFTAR PUSTAKA
Irish MS. Pediatric intussusception surgery. Medscape Reference [serial online]
Available from: URL:http://emedicine.medscape.com/article/937730-
overview#showall
Wyllie R. Ileus, adhesi, insusepsi dan obstruksi lingkar tertutup in Nelson Ilmu
Kesehatan Anak. Behrmen, Kliegmen, Arvin editors. 15th ed. Vol 2. EGC: Jakarta.
1999. p.1319.
Fallan ME. Intussusception in Pediatric Surgery, Ashcraft KW, Holder TM (eds). 4th
ed. Philadelphia: WB Saunders Company, 2005.
Boudville IC, Phua KB, Quak SH, Lee BW, Han HH, Verstraeten T, et al. The
epidemiology of Paediatric Inturssusception in Singapore: 1997 to 2004. Ann Acad
Med Singapore 2006;35:674-9.e
van Heek NT, Aronson DC, Halimun EM, Soewarno R, Molenaar JC, Vos A.
Intussusception in a tropical country: comparison among patient populations in
Jakarta, Jogyakarta, and Amsterdam. J Pediatr Gastroenterol Nutr 1999;29:402-5.
Ignacio RC, Fallat ME. Intussusception. In: Holcomb GW. III, Murphy JM, eds.
Ashcraft’s Pediatric Surgery. Philadelphia, PA: Elsevier, 2010.p.508.
Hooker RL, Schulman MH, Yu Chang & Kan JH. Radiographic evaluation of
intussusception: utility of left side down decubitus view. RSNA 2008;248:3.