Anda di halaman 1dari 24

SKENARIO 3

KEMBUNG PADA ANAK

Seorang bayi perempuan berumur 6 bulan dibawa ibunya ke UGD dengan keluhan
sejak satu hari yang lalu BAB berupa lender bercampur darah tanpa feses sebanyak
tiga kali dan muntah berwarna hijau lima kali. Anak rewel dan sering menangis
mengangkat kaki, tidak mau makan dan minum, serta badan panas. Hasil pemeriksaan
fisik keadaan tampak sakit sedang, tekanan darah 100/60 mmHg; frekuensi nadi
150x/menit; frekuensi napas 36x/menit; suhu 39 derajat celcius. Rectal toucher
ditemukan ampulla collaps dan tidak ditemukan feses. Darah positif lender, current
jelly positif. Pemeriksaan penunjang BNO 3 Posisi ditemukan adanya tanda-tanda
step ladder dan herring bone, serta air fluid level. USG abdomen ditemukan donut
sign positif.

Identifikasi Kata Sulit


1. Donut’s sign: gambaran USG yang menunjukkan adanya intususepsi
2. Current jelly: BAB yang berupa lender dan darah, tanpa feses
3. Air fluid level: gambaran USG yang menunjukkan adanya gangguan pada
usus
4. Step ladder: gambaran seperti tangga, karena ada cairan transudat dalam usus
halus yang distensi
5. Herring bone: gambaran seperti tulang ikan, karena ada penebalan dinding
usus halus yang menebal dan menempel
6. Ampulla collaps: kolapsnya ampula akibat gerakan peristaltic karena usus
yang kosong

Brainstorming
1. Mengapa muntah berwarna hijau?
Karena isi perut/muntahnya sudah melewati empedu (fase akhir) yang
mengindikasikan terjadinya obstruksi ileus.

2. Mengapa tidak ada feses pada BAB?


Karena ada sumbatan (obstruksi) pada ileus

3. Diagnosis pasien pada kasus ini?


Invaginasi

4. Apakah penyebab ditemukannya current jelly?


Adanya bendungan vena dan arteri menyebabkan tekanan darah meningkat,
sehingga menjadi iskemik, lalu nekrosis dan akhirnya perdarahan (pada BAB).

5. Pada kasus disebut pasien demam, apakah ada infeksi?


Bisa ada infeksi, karena salah satu etiologi dari invaginasi adalah adanya
infeksi virus (adenovirus)

6. Apa tatalaksana pada pasien?


- NGT
- Resusitasi cairan
- Obat-obat sedatif dan antibiotic
- Reposisi Barium Enema dan Operatif

7. Apa etiologi dari kasus ini?


- Idiopatik: <12 bulan = karena ISPA (infeksi virus), pijat perut, obat diare,
pergantian makanan bayi dari ASI ke makanan cair
- Kausal: >2 tahun

8. Apakah penyebab kolapsnya ampulla?


Karena distensi usus bagian distal

9. Apakah diagnosis bandingnya?


Volvulus, ileus paralitik, appendicitis, obstruksi usus halus

10. Apakah pemeriksaan penunjang?


Foto BNO 3 posisi, USG dan pemeriksaan laboratorium

11. Komplikasi pada scenario?


Peritonitis, syok sepsis, perforasi

12. Apakah prognosisnya?


Baik, kalau penanganan cepat dan tepat

13. Apakah manifestasi klinis lain yang bisa ditemukan?


-metallic sound pada bising usus ketika di auskultasi
- darm contour dan darm steifung

Sasaran Belajar
LO1. Memahami dan Menjelaskan Akut Abdomen
1.1 Definisi
1.2 Etiologi
1.3 Patofisiologi
1.4 Manifestasi Klinis
1.5 Diagnosis dan Diagnosis Banding
1.6 Tatalaksana
1.7 Komplikasi
1.8 Prognosis

LO2. Memahami dan Menjelaskan Invaginasi


2.1 Definisi
2.2 Etiologi
2.3 Klasifikasi
2.4 Patofisiologi
2.5 Manifestasi Klinis
2.6 Diagnosis dan Diagnosis Banding
2.7 Tatalaksana
2.8 Komplikasi
2.9 Prognosis

LO.1 Memahami dan Menjelaskan Akut Abdomen

1.1 Definisi
Akut abdomen adalah suatu kondisi abdomen yang terjadi secara mendadak pada
umumnya diikuti nyeri perut akibat dari radang, luka, penyumbatan (obstruksi),
kerusakan organ (ruptur), sehingga memerlukan tindakan bedah darurat (Cakmoki,
2007). Siegenthaller (2007) mendefinisikan bahwa akut abdomen adalah suatu
keadaan nyeri perut hebat yang terjadi dalam hitungan jam dan tidak diketahui
diketahui penyebabnya, dimana dianggap sebagai keadaan darurat bedah karena tanda
dan gejala klinisnya.

1.2 Etiologi
Banyak kondisi yang dapat menimbulkan akut abdomen, apapun penyebabnya
gejala utama yang menonjol adalah nyeri akut pada daerah abdomen. Secara garis
besar, akut abdomen dapat disebabkan oleh infeksi atau inflamasi, oklusi obstruksi,
dan perdarahan. Keadaan infeksi atau peradangaan misalnya pada kasus apendisitis,
kolesistitis, atau penyakit Crohn. Keadaan oklusi obstruksi misalnya pada kasus
hernia inkaserata atau volvulus. Sedangkan keadaan perdarahan misalnya pada kasus
trauma organ abdominal, kehamilan ektopik terganggu, atau rupture tumor (Sinha,
2010).
Menurut survei World Gastroenterology Organization, diagnosis akhir pasien dengan
nyeri akut abdomen adalah apendisitis (28%), kolesistitis (10%), obstruksi usus halus
(4%), keadaan akut ginekologi (4%), pancreatitis akut (3%), colic renal (3%),
perforasi ulkus peptic (2,5%) atau diverticulitis akut (1,5%) (Scaglione, 2012).

1.3 Patofisiologi
Nyeri viseral
Nyeri viseral terjadi bila terdapat rangsangan pada organ atau struktur dalam
rongga perut, misalnya cedera atau radang. Peritoneum viserale yang menyelimuti
organ perut dipersarafi oleh sistem saraf otonom dan tidak peka terhadap
perabaan, atau pemotongan. Dengan demikian sayatan atau penjahitan pada usus
dapat dilakukan tanpa rasa nyeri pada pasien. Akan tetapi bila dilakukan
penarikan atau peregangan organ atau terjadi kontraksi yang berlebihan pada otot
sehingga menimbulkan iskemik, misalnya pada kolik atau radang pada
appendisitis maka akan timbul nyeri. Pasien yang mengalami nyeri viseral
biasanya tidak dapat menunjukkan secara tepat letak nyeri sehingga biasanya ia
menggunakan seluruh telapak tangannya untuk menunjuk daerah yang nyeri.
Nyeri viseral kadang disebut juga nyeri sentral (Sjamsuhidajat et all,2004).
Penderita memperlihatkan pola yang khas sesuai dengan persarafan embrional
organ yang terlibat. Saluran cerna berasal dari foregut yaitu lambung, duodenum,
sistem hepatobilier dan pankreas yang menyebabkan nyeri di ulu hati atau
epigastrium. Bagian saluran cerna yang berasal dari midgut yaitu usus halus usus
besar sampai pertengahan kolon transversum yang menyebabkan nyeri di sekitar
umbilikus. Bagian saluran cerna yang lainnya adalah hindgut yaitu pertengahan
kolon transversum sampai dengan kolon sigmoid yang menimbulkan nyeri pada
bagian perut bawah. Jika tidak disertai dengan rangsangan peritoneum nyeri tidak
dipengaruhi oleh gerakan sehingga penderita biasanya dapat aktif
bergerak(Sjamsuhidajat , dkk., 2004).
Nyeri somatik
Nyeri somatik terjadi karena rangsangan pada bagian yang dipersarafi saraf tepi,
misalnya regangan pada peritoneum parietalis, dan luka pada dinding perut. Nyeri
dirasakan seperti disayat atau ditusuk, dan pasien dapat menunjuk dengan tepat
dengan jari lokasi nyeri. Rangsang yang menimbulkan nyeri dapat berupa
tekanan, rangsang kimiawi atau proses radang (Sjamsuhidajat dkk., 2004).
Gesekan antara visera yang meradang akan menimbulkan rangsang peritoneum
dan dapat menimbulkan nyeri. Perdangannya sendiri maupun gesekan antara
kedua peritoneum dapat menyebabkan perubahan intensitas nyeri. Gesekan inilah
yang menjelaskan nyeri kontralateral pada appendisitis akut. Setiap gerakan
penderita, baik gerakan tubuh maupun gerakan nafas yang dalam atau batuk, juga
akan menambah intensitas nyeri sehingga penderita pada akut abdomen berusaha
untuk tidak bergerak, bernafas dangkal dan menahan batuk (Sjamsuhidajat, dkk.,
2004).
Nyeri alih
Nyeri alih terjadi jika suatu segmen persarafan melayani lebih dari satu daerah.
Misalnya diafragma yang berasal dari regio leher C3-C5 pindah ke bawah pada
masa embrional sehingga rangsangan pada diafragma oleh perdarahan atau
peradangan akan dirasakan di bahu. Demikian juga pada kolestitis akut, nyeri
dirasakan pada daerah ujung belikat. Abses dibawah diafragma atau rangsangan
karena radang atau trauma pada permukaan limpa atau hati juga dapat
menyebabkan nyeri di bahu. Kolik ureter atau kolik pielum ginjal, biasanya
dirasakan sampai ke alat kelamin luar seperti labia mayora pada wanita atau testis
pada pria (Sjamsuhidajat, dkk., 2004).
Nyeri proyeksi
Nyeri proyeksi adalah nyeri yang disebabkan oleh rangsangan saraf sensoris
akibat cedera atau peradangan saraf. Contoh yang terkenal adalah nyeri phantom
setelah amputasi, atau nyeri perifer setempat akibat herpes zooster. Radang saraf
pada herpes zooster dapat menyebabkan nyeri yang hebat di dinding perut
sebelum gejala tau tanda herpes menjadi jelas (Sjamsuhidajat, dkk., 2004).
Hiperestesia
Hiperestesia atau hiperalgesia sering ditemukan di kulit jika ada peradangan pada
rongga di bawahnya. Pada akut abdomen, tanda ini sering ditemukan pada
peritonitis setempat maupun peritonitis umum. Nyeri peritoneum parietalis
dirasakan tepat pada tempat terangsangnya peritoneum sehingga penderita dapat
menunjuk dengan tepat lokasi nyerinya, dan pada tempat itu terdapat nyeri tekan,
nyeri gerak, nyeri batuk serta tanpa rangsangan peritoneum lain dan defans
muskuler yang sering disertai hipersetesi kulit setempat. Nyeri yang timbul pada
pasien akut abdomen dapat berupa nyeri kontinyu atau nyeri kolik (Sjamsuhidajat,
dkk., 2004).
Nyeri kontinyu
Nyeri akibat rangsangan pada peritoneum parietal akan dirasakan terus menerus
karena berlangsung terus menerus, misalnya pada reaksi radang. Pada saat
pemeriksaan penderita peritonitis, ditemukan nyeri tekan setempat. Otot dinding
perut menunjukkan defans muskuler secara refleks untuk melindungi bagian yang
meraadang dan menghindari gerakan atau tekanan setempat (Sjamsuhidaja, dkk.,
2004).
Nyeri kolik
Kolik merupakan nyeri viseral akibat spasme otot polos organ berongga dan
biasanya diakibatkan oleh hambatan pasase dalam organ tersebut (obstruksi usus,
batu ureter, batu empedu, peningkatan tekanan intraluminer). Nyeri ini timbul
karena hipoksia yang dialami oleh jaringan dinding saluran. Karena kontraksi
berbeda maka kolik dirasakan hilang timbul (Sjamsuhidajat, dkk., 2004).
Kolik biasanya disertai dengan gejala mual sampai muntah. Dalam serangan,
penderita sangat gelisah. Yang khas ialah trias kolik yang terdiri dari serangan
nyeri perut yang hilang timbul mual atau muntah dan gerak paksa.
Nyeri iskemik
Nyeri perut juga dapat berupa nyeri iskemik yang sangat hebat, menetap, dan
tidak mereda. Nyeri merupakan tanda adanya jaringan yang terancam nekrosis.
Lebih lanjut akan tampak tanda intoksikasi umum seperti takikardia, keadaan
umum yang jelek dan syok karena resorbsi toksin dari jaringan nekrosis.

1.4 Manifestasi Klinis


Nyeri yang disebabkan abdomen akut bisa ditandai dengan cara mulainya, sifat,
faktor pencetus atau lokalisasinya. Ada 3 jenis mulainya nyeri abdomen : eksplosif,
cepat, dan bertahap. Pasien yang medadak dicekam nyeri eksplosif, kemungkinan
disebabkan pecahnya viskus berongga ke dalam cavitas peritonealis bebas atau
menderita vascular accident berkelanjutan. Kolik yang berasal dari ginjal dan saluran
empedu bisa muncul secara mendadak, tetapi jarang menyebabkan nyeri begitu parah
sehingga pasien tidak berdaya. Pasien dengan nyeri yang cepat, dan yang cepat
memburuk mungkin menderita pankreatitis akut, trombosis mesentrica, atau
strangulasi usus halus. Pasien dengan nyeri yang dimulai bertahap mungkin
menderita peradangan peritoneum, seperti yagn terlihat dalam appendisitis atau
divertikulisis.
Keparahan nyeri bisa dinilai sebagai menyiksa, parah, tumpul atau seperti kolik.
Nyeri menyiksa tidak berespon terhadap narkotika, yang menggambarkan adanya
suatu lesi vaskular akut seperti ruptur aneurisma abdominalis atau infark usus. Nyeri
yang parah mudah dikendalikan oleh obat khas peritonitis akibat viskus yang pecah
atau pankreatitis akut. Nyeri tumpul, samar-samar yang sukar dilokalisasi
menggambarkan suatu proses peradangan dan sering merupakan gejala awal
appendisitis. Nyeri kolik, yang ditandai dengan kram dan dorongan (rush)
menggambarkan gastroenteritis. Nyeri akibat obstruksi usus halus mekanik juga
bersifat kolik, tetapi mempunyai pola berirama dengan interval bebas.

1.5 Diagnosis dan Diagnosis Banding


Anamnesis
Dalam anamnesis penderita akut abdomen, perlu ditanyakan dahulu permulaan
nyerinya, letaknya, keparahannya dan, perubahannya, lamanya dan faktor yang
mempengaruhinya. Adakah riwayat keluhan serupa.
Muntah sering didapatkan pada pasien akut abdomen. Pada obstruksi usus tinggi,
muntah tidak akan berhenti dan bertambah berat. Konstipasi didapatkan pada
obstruksi usus besar dan pada peritonitis umum. Nyeri tekan didapatkan pada iritasi
peritoneum. Jika ada radang peritoneum setempat ditemukan tanda rangsang
peritoneum yang sering disertai defans muskuler. Pertanyaan mengenai defekasi,
miksi daur haid, dan gejala lain seperti keadaan sebelum serangan akut abdomen
harus dimasukkan dalam anamnesis (Sjamsuhidajat, dkk., 2004).

Inspeksi
Pasien nyeri visera terisolasi seperti yang ditemukan dalam obstruksi usus, bisa sering
mengubah posisi, tetapi jika nyeri terlokalisasi atau ada iritasi pertoneum generalisata,
maka sering pasien menghindari gerakan. Pasien peritonitis yang luas sering
membawa lututnya ke atas untuk merelaksasi tegangan abdomen. Pasien dengan
keadaan peradangan yang berkontak dengan muskulus psoas bisa memfleksi paha
yang berhubungan. Pasien pankreatitis parah bisa duduk di ranjang dengan lutunya
ditarik ke dadanya, beryun-ayun maju mundur pada serangan nyeri.

Auskultasi
Auskultasi diperlukan untuk menentukan ada atau tidaknya bising usus. Teknik
auskultasi dilakukan dengan menempatkan bagian corong stetoskop di atas dinding
abdomen anterior yang dimulai dengan kuadran kiri bawah, kemudian dalam empat
kuadran. Bising usus bernada tinggi yang timbul dalam dorongan yang bersamaan
nyeri menunjukkan obstruksi usus halus.

Palpasi
Hernia inguinalis, femoralis, dan ventralis harus diperiksa dengan cermat pada tiap
pasien nyeri abdomen. Palpasi dimulai sejauh mungkin dari pusat nyeri dan harus
dilakukan dengan lembut dengan satu jari tangan. Secara bertahap jari tangan
bergerak ke arah area nyeri tekan maksimum. Kemudian mempalpasi apakah terdapat
defence muscular atau spasme. Tempatkan tangan dengan lembut di atas muskulus
rectus dang tekan sedikit serta minta pasien menarik napas dalam. Jika spasme
volunter, maka akan didapatkan m rectus yang mendasari relaksasi. Tetapi jika ada
spasme sejati, maka akan didapatkan otot kaku tegang di keseluruhan siklus
pernapasan. Adanya otot kaku tegang akan menegakkan adanya peritonitis.
Jika lesi terletak di dalam dinding abdomen, maka akan ada nyeri tekan, tetapi jika
lesi intraperitoneum, maka nyeri tekan akan menurun selama muskulus rectus tetap
tegang.

Tes Iliopsoas

Pasien ditempatkan dengan sisi tak


nyeri dibawah. Tungkai pada sisi nyeri
digerakkan dalam arah anteroposterior.
Jika muskulus psoas kaku maka
tes iliopsoas positif dan menandakan
adanya proses peradangan dekat
muskulus psoas.
Tes Obturator
Pasien ditempatkan dalam
posisi terlentang dengan lutut
difleksi dan articulatio coxae
ditempatkan dalam rotasi interna
dan kemudian eksterna. Jika
terdapat nyeri maka tes ini dikatakan positif. Tanda positif mengindikasian adanya
appendix vermiformis perforata, abses lokalisata, atau adanya hernia obturator.

Cullen sign

Murphy sign
Bermanfaat dalam mendiagnosis radang
vesica biliaris akut. Pemeriksa menekan
kuadran kanan atas dan pasien diminta
inhalasi dalam. Inspirasi menyebabkan hati
turun, yang menyebabkan vesica biliaris
yang meradang menabrak jari tangan
pemeriksa.
Rosving sign
Ada bila nyeri kuadran kanan bawah yang disebabkan oleh palpasi kuadran kiri
bawah. Sering menyertai pada apendisitis.
Pemeriksaan Penunjang
Foto polos abdomen, USG

Sabiston, D C. 1995. Buku Ajar Bedah: Bagian 1.

Pemeriksaan radiologi
Foto thoraks

Selalu harus diusahakan pembuatan foto thoraks dalam posisi tegak untuk
menyingkirkan adanya kelainan pada thoraks atau trauma pada thoraks.
Harus juga diperhatikan adanya udara bebas di bawah diafragma atau adanya
gambaran usus dalam rongga thoraks pada hernia diafragmatika.

1) Plain abdomen foto tegak


Akan memperlihatkan udara bebas dalam rongga peritoneum, udara bebas
retroperitoneal dekat duodenum, corpus alienum, perubahan gambaran usus.
2) IVP (Intravenous Pyelogram)
Karena alasan biaya biasanya hanya dimintakan bila ada persangkaan trauma
pada ginjal.
3) Pemeriksaan Ultrasonografi dan CT-scan
Berguna sebagai pemeriksaan tambahan pada penderita yang belum dioperasi
dan disangsikan adanya trauma pada hepar dan retroperitoneum.
Pencitraan yang di rekomendasi menurut lokasi nyeri akut abdomen
(Cartwright, 2008).

Lokasi nyeri Pencitraan


Kuadran kanan atas Ultrasonografi
Kuadran kiri atas CT
Kuadran kanan bawah CT dengan media kontras IV
Kuadran kiri bawah CT dengan media kontras IV dan oral
Suprapubis Ultrasonografi
Pemeriksaan khusus

1) Abdominal paracentesis
Merupakan pemeriksaan tambahan yang sangat berguna untuk menentukan
adanya perdarahan dalam rongga peritoneum. Lebih dari 100.000 eritrosit/mm
dalam larutan NaCl yang keluar dari rongga peritoneum setelah dimasukkan
100--200 ml larutan NaCl 0.9% selama 5 menit, merupakan indikasi untuk
laparotomi.
2) Pemeriksaan laparoskopi
Dilaksanakan bila ada akut abdomen untuk mengetahui langsung sumber
penyebabnya.
3) Rektosigmoidoskopi
Bila dijumpai perdarahan dan anus perlu dilakukan rektosigmoidoskopi.
4) NGT
Pemasangan nasogastric tube (NGT) untuk memeriksa cairan yang keluar dari
lambung pada trauma abdomen.
Dari data yang diperoleh melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
tambahan dan pemeriksaan khusus dapat diadakan analisis data untuk
memperoleh diagnosis kerja dan masalah-masalah sampingan yang perlu
diperhatikan. Dengan demikian dapat ditentukan tujuan pengobatan bagi
penderita dan langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai tujuan
pengobatan.

1.6 Tatalaksana
Tujuan dari penatalaksanaan Akut abdomen antara lain, adalah :
1) Penyelamatan jiwa penderita
2) Meminimalisasi kemungkinan terjadinya cacat dalam fungsi fisiologis alat
pencemaan penderita.

Biasanya langkah-langkah itu terdiri dari :


1) Tindakan penanggulangan darurat
a) Berupa tindakan resusitasi untuk memperbaiki sistim pernafasan dan
kardiovaskuler yang merupakan tindakan penyelamatan jiwa penderita. Bila
sistim vital penderita sudah stabil dilakukan tindakan lanjutan.
b) Restorasi keseimbangan cairan dan elektrolit.
c) Pencegahan infeksi dengan pemberian antibiotika.

2)Tindakan penanggulangan definitif Tujuan pengobatan di sini adalah :


a) Penyelamatan jiwa penderita dengan menghentikan sumber perdarahan.
b) Meminimalisasi cacad yang mungkin terjadi dengan cara :
o Menghilangkan sumber kontaminasi.
o Meminimalisasi kontaminasi yang telah terjadi dengan membersihkan
rongga peritoneum.
o Mengembalikan kontinuitaspassage usus dan menyelamatkan sebanyak
mungkin usus yang sehat untuk meminimalisasi cacat fisiologis.

Tindakan untuk mencapai tujuan ini berupa operasi dengan membuka rongga
abdomen yang dinamakan laparotomi.

Laparotomi eksplorasi darurat


a) Tindakan sebelum operasi
1) Keadaan umum sebelum operasi setelah resusitasi sedapat mungkin harus
stabil. Bila ini tidak mungkin tercapai karena perdarahan yang sangat besar,
dilaksanakan operasi langsung untuk menghentikan sumber perdarahan.
2) Pemasangan NGT (nasogastric tube)
3) Pemasangan dauer-katheter
4) Pemberian antibiotika secara parenteral pads penderita dengan persangkaan
perforasi usus, shock berat atau trauma multipel.
5) Pemasangan thorax-drain pads penderita dengan fraktur iga, haemothoraks
atau pneumothoraks.
b) Insisi laparotomi untuk eksplorasi sebaiknya insisi median atau para median
panjang.
c) Langkah-langkah pada laparotomi darurat adalah :
1) Segera mengadakan eksplorasi untuk menemukan sumber perdarahan.
2) Usaha menghentikan perdarahan secepat mungkin. Bila perdarahan berasal
dari organ padat penghentian perdarahan dicapai dengan tampon abdomen
untuk sementara. Perdarahan dari arteri besar hams dihentikan dengan
penggunaan klem vaskuler. Perdarahan dari vena besar dihentikan dengan
penekanan langsung.
3) Setelah perdarahan berhenti dengan tindakan darurat diberikan kesempatan
pads anestesi untuk memperbaiki volume darah.
4) Bila terdapat perforasi atau laserasi usus diadakan penutupan lubang
perforasi atau reseksi usus dengan anastomosis.
5) Diadakan pembersihan rongga peritoneum dengan irigasi larutan NaCl
fisiologik.
6) Sebelum rongga peritoneum ditutup harus diadakan eksplorasi sistematis
dari seluruh organ dalam abdomen mulai dari kanan atas sampai kiri bawah
dengan memperhatikan daerah retroperitoneal duodenum dan bursa
omentalis.
7) Bila sudah ada kontaminasi rongga peritoneum digunakan drain dan
subkutis serta kutis dibiarkan terbuka.

1.7 Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder, dimana komplikasi
tersebut dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut, yaitu :
a. Komplikasi Dini
- Septikemia dan syok septik
- Syok hipovolemik
- Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan kegagalan multi
sistem
- Abses residual intraperitoneal
- Portal Pyemia (misal abses hepar)
b. Komplikasi Lanjut
- Adhesi
- Obstruksi intestinal rekuren

1.8 Prognosis
Prognosis untuk peritonitis lokal dan ringan adalah baik, sedangkan pada peritonitis
umum prognosisnya mematikan akibat organisme virulen.

LO2. Memahami dan Menjelaskan Invaginasi


2.1 Definisi
Intususepsi adalah proses dimana suatu segmen usus bagian proksimal masuk ke
dalam lumen usus bagian distalnya sehingga menyebabkan obstruksi usus dan dapat
berakhir dengan strangulasi. Umumnya bagian yang proksimal (intususeptum) masuk
ke bagian distal (intussussipien).

2.2 Etiologi
Etiologi dari intususepsi terbagi menjadi 2, yaitu idiopatik dan kausal.
a. Idiopatik
Menurut kepustakaan, 90-95 % intususepsi pada anak di bawah umur satu tahun tidak
dijumpai penyebab yang spesifik sehingga digolongkan sebagai “infantile idiophatic
intussusceptions”. Kepustakaan lain menyebutkan di Asia, etiologi idiopatik dari
intususepsi berkisar antara 42-100%.
Definisi dari istilah intususepsi ‘idiopatik’ bervariasi di antara penelitian terkait
intususepsi. Sebagian besar peneliti menggunakan istilah ‘idiopatik’ untuk
menggambarkan kasus dimana tidak ada abnormalitas spesifik dari usus yang
diketahui dapat menyebabkan intususepsi seperti diverticulum meckel atau polip yang
dapat diidentifikasi saat pembedahan.
Dalam kasus idiopatik, pemeriksaan yang teliti dapat mengungkapkan hipertrofi
jaringan limfoid mural (Peyer patch), yang disebabkan oleh infeksi adenovirus atau
rotavirus.
Intususepsi idiopatik memiliki etiologi yang tidak jelas. Salah satu teori untuk
menjelaskan kemungkinan etiologi intususepsi idiopatik adalah bahwa hal itu terjadi
karena Peyer patch yang membesar; hipotesis ini berasal dari 3 pengamatan: (1)
penyakit ini sering didahului oleh infeksi saluran pernapasan atas, (2) wilayah
ileokolika memiliki konsentrasi tertinggi dari kelenjar getah bening di mesenterium,
dan (3) pembesaran kelenjar getah bening sering dijumpai pada pasien yang
memerlukan operasi. Apakah Peyer patch yang membesar adalah reaksi terhadap
intususepsi atau sebagai penyebab intususepsi, masih tidak jelas.
b. Kausal
Pada penderita intususepsi yang lebih besar (lebih dua tahun), adanya kelainan usus
dapat menjadi penyebab intususepsi atau “lead point” seperti: inverted Meckel’s
diverticulum, polip usus, leiomioma, leiosarkoma, hemangioma, blue rubber blep
nevi, lymphoma dan duplikasi usus. Divertikulum Meckel adalah penyebab paling
utama, diikuti dengan polip seperti peutz-jeghers syndrome, dan duplikasi
intestinal. Lead pointlain diantaranya lymphangiectasias, perdarahan submukosa
dengan Henoch-Schönlein purpura, trichobezoars dengan Rapunzel
syndrome, caseating granulomas yang berhubungan dengan tuberkulosis abdominal.
Lymphosarcoma sering dijumpai sebagai penyebab intususepsi pada anak yang
berusia di atas enam tahun. Intususepsi dapat juga terjadi setelah laparotomi, yang
biasanya timbul setelah dua minggu pasca bedah, hal ini terjadi akibat gangguan
peristaltik usus, disebabkan manipulasi usus yang kasar dan lama, diseksi
retroperitoneal yang luas dan hipoksia lokal.

2.3 Klasifikasi
Jenis intususepsi dapat dibagi menurut lokasinya pada bagian usus mana yang terlibat,
pada ileum dikenal sebagai jenis ileo-ileal.
Pada kolon dikenal dengan jenis colo-colica dan sekitar ileo-caecal disebut ileocaecal,
jenis-jenis yang disebutkan di atas dikenal dengan intususepsi tunggal dimana
dindingnya terdiri dari tiga lapisan.
Jika dijumpai dinding yang terdiri dari lima lapisan, hal ini sering pada keadaan yang
lebih lanjut disebut jenis intususepsi ganda, sebagai contoh adalah jenis ileo-ileo-
colica atau colo-colica. Suwandi J.Wijayanto E. di Semarang selama 3 tahun (1981-
1983) pada pengamatannya mendapatkan jenis intususepsi sebagai berikut: Ileo-ileal
25%, ileo-colica 22,5%, ileo-ileo-colica 50% dan colo-colica 22,5%.

2.4 Patofisiologi
Patogenesis dari intususepsi diyakini akibat sekunder dari ketidakseimbangan
pada dorongan longitudinal sepanjang dinding intestinal. Ketidakseimbangan ini
dapat disebabkan oleh adanya massa yang bertindak sebagai “lead point” atau oleh
pola yang tidak teratur dari peristalsis (contohnya, ileus pasca operasi). Gangguan
elektrolit berhubungan dengan berbagai masalah kesehatan yang dapat
mengakibatkan motilitas intestinal yang abnormal, dan mengarah pada terjadinya
invaginasi. Beberapa penelitian terbaru pada binatang menunjukkan pelepasan nitrit
oksida pada usus, suatu neurotransmitter penghambat, menyebabkan relaksasi dari
katub ileocaecal dan mempredisposisi intususepsi ileocaecal. Penelitian lain telah
mendemonstrasikan bahwa penggunaan dari beberapa antibiotik tertentu dapat
menyebabkan hiperplasia limfoid ileal dan dismotilitas intestinal dengan intususepsi.
Sebagai hasil dari ketidakseimbangan, area dari dinding usus terinvaginasi ke
dalam lumen. Proses ini terus berjalan, dengan diikuti area proximal dari intestinal,
dan mengakibatkan intususeptum berproses sepanjang lumen dari intususipiens.
Apabila terjadi obstruksi sistem limfatik dan vena mesenterial, akibat penyakit
berjalan progresif dimana ileum dan mesenterium masuk ke dalam caecum dan colon,
akan dijumpai mukosa intussusseptum menjadi oedem dan kaku. Mengakibatkan
obstruksi yang pada akhirnya akan dijumpai keadaan strangulasi dan perforasi usus.
Pembuluh darah mesenterium dari bagian yang terjepit mengakibatkan
gangguan venous return sehingga terjadi kongesti, oedem, hiperfungsi goblet sel serta
laserasi mukosa usus. Hal inilah yang mendasari terjadinya salah satu manifestasi
klinis intususepsi yaitu BAB darah lendir yang disebut juga red currant jelly stool.
2.5 Manifestasi Klinis
Pada kasus-kasus yang khas, nyeri kolik hebat yang timbul mendadak, hilang
timbul, sering kumat dan disertai dengan rasa tersiksa yang menggelisahkan serta
menangis keras pada anak yang sebelumnya sehat. Pada awalnya, bayi mungkin dapat
dihibur tetapi jika invaginasi tidak cepat di reduksi bayi menjadi semakin lemah dan
lesu. Akhirnya terjadi keadaan seperti syok dengan kenaikan suhu tubuh sampai 41 C,
nadi menjadi lemah-kecil, pernafasan menjadi dangkal, dan nyeri dimanifestasikan
hanya dengan suara rintihan.
Muntah terjadi pada kebanyakan kasus dan biasanya pada bayi lebih sering pada
fase awal. Pada fase lanjut, muntah disertai dengan empedu, tinja dengan gambaran
normal dapat dikeluarkan pada beberapa jam pertama setelah timbul gejala kemudian
pengeluaran tinja sedikit atau tidak ada, dan kentut jarang atau tidak ada. Darah
umumnya keluar pada 12 jam pertama, tetapi kadang-kadang tidak keluar sampai 1-2
hari. Pada bayi 60% mengeluarkan tinja bercampur darah berwarna merah serta
mukus (Mansoer, 2001) dan (Pickering, 2000).

2.6 Diagnosis dan Diagnosis Banding


DIAGNOSIS
Gejala klinis yang menonjol :
1. Nyeri perut secara tiba-tiba, nyeri bersifat serang-serangan, nyeri menghilang
selama 10-20 menit, kemudia tibul lagi serangan baru
2. Teraba massa tumor di perut bentuk bujur pada bagian kanan atas, kanan bawah,
atas tengah, kiri bawah atau kiri atas
3. Buang air besar campur darah dan lendir (current jelly)

Pemeriksaan fisik
Inspeksi
Sukar sekali membedakan prolapsus rektum dari invaginasi.
Invaginasi didapatkan invaginatum bebas dari dinding anus, sedangkan prolapsus
berhubungan secara sirkuler dengan dinding anus.

Palpasi
Teraba sausage shape, suatu massa yang posisinya mengikuti garis usus colon
ascendens sampai ke sigmoid dan rektum. Massa tumor sukar diraba bila berada di
belakang hepar atau pada dinding yang tegang.

Perkusi
Pada tempat invaginasi terkesan suatu rongga kosong.

Auskultasi
Bising usus terdengar meninggi selama serangan kolik menjadi normal kembali di
luar serangan. Bila invaginasi panjang hingga ke daerah rektum pada pemeriksaan
colok dubur mungkin teraba ujung invaginasi seperti porsio uterus Universitas
Sumatera Utara disebut pseudoporsio. Pada sarung tangan terdapat lendir dan darah.
Harus dibedakan dengan prolapsus rektum.
Pemeriksaan Radiologi
Foto polos abdomen
Distribusi udara di dlm usus tdk merata, usus terdesak ke kiri atas, bila telah lanjut
terlihat tanda2 obstruksi usus dengan gambaran air fluid level.

Reposisi barium enema:


- Di bawah fluoroskopi didapati gambaran cupping dari invaginasi (pemeriksaan ini
kontraindikasi bila sudah terdapat tanda- tanda peritonitis).
- Reposisi hidrostatik dengan cara memasukkan barium melalui anus menggunakan
kateter dengan tekanan hidrostatik tidak boleh melewati satu meter air dan tidak boleh
dilakukan pengurutan atau penekanan manual di perut sewaktu dilakukan reposisi
hidrostatik, dapat dikerjakan sekaligus sewaktu diagnosis Rontgen ditegakkan,
syaratnya adalah keadaan umum mengizinkan, tidak ada gejala dan tanda rangsangan
peritoneum, anak tidak toksik, dan tidak terdapat obstruksi tinggi. Pengelolaan
berhasil jika barium kelihatan masuk ileum.

DIAGNOSIS BANDING
- Gastroenteritis, bila diikuti dengan intususepsi dapat ditandai jika dijumpai
perubahan rasa sakit, muntah dan perdarahan.
- Divertikulum Meckel, dengan perdarahan, biasanya tidak ada rasa nyeri.
- Disentri amoeba, disini diare mengandung lendir dan darah, serta adanya obstipasi,
bila disentri berat disertai adanya nyeri di perut, tenesmus dan demam.
- Enterokolitis, tidak dijumpai adanya nyeri di perut yang hebat.
- Prolapsus recti atau Rectal prolaps, dimana biasanya terjadi berulang kali dan pada
colok dubur didapati hubungan antara mukosa dengan kulit perianal, sedangkan pada
intususepsi didapati adanya celah.

2.7 Tatalaksana
Barium Enema
Kontra indikasi : obstruksi usus, dijumpai tanda2 peritonitis, gejala inveginasi sdh lwt
dari 24 jam, dehidrasi berat, usia penderita diatas 2 tahun.
Kateter yang telah diolesi pelicin dimasukkan ke rektum dan difiksasi dengan plester,
melalui kateter bubur barium dialirkan dan aliran barium dideteksi dgn alat floroskopi
sampai intususepsi dapat diidentifikasi dan dibuat foto.

Bila kolom bubur barium bergerak maju menandai proses reduksi sedang berlanjut,
tetapi bila terhenti dapat diulangi 2-3 kali dengan jarak waktu 3-4 menit. Reduksi
dinyatakan gagal bila tekanan barium dipertahankan selama 10-15 menit dan tidak
dijumpai kemajuan.
Reduksi barium enema dinyatakan berhasil bila :
 Rectal tube ditarik dari anus dan bubur barium keluar dengan disertai massa feses
dan udara
 Pada floroskopi terlihat bubur barium mengisi seluruh kolon dan sebagian usus
halus, jadi adanya refluks ke dalam ileum
 Hilangnya massa tumor di abdomen
 Perbaikan secara klinis terlihat, anak menjadi tertidur serta tes norit positif

Reduksi dengan tindakan operasi


1. Perbaiki keadaan umum
a. Resusitasi cairan
b. dekompresi abdomen dengan NGT
c. pemberian antibiotik dan obat sedatif u/ mengurangi nyeri

Pasien baru boleh dioperasi bila sudah yakin bahwa perfusi jaringan telah baik, hal ini
ditandai dengan produksi urin sekita 0,5 – 1 cc/kgBB/jam. Nadi < 120 x/menit,
pernafasan < 40 x / menit. Akral yang semula dingin dan lembab telah berubah
menjadi hangan dan kering, turgor kulis membaik dan temperatur badan < 38C.
Reduksi saja telah mencukupi, tidak diperlukan fiksasi usus ke setiap arah karena
fiksaasi tidak menurunkan risiko kekambuhan. Dan biasanya apandektomi dilakukan.

2.8 Komplikasi
Intususepsi dapat menyebabkan terjadinya obstruksi usus. Komplikasi lain yang dapat
terjadi adalah dehidrasi dan aspirasi dari emesis yang terjadi. Iskemia dan nekrosis
usus dapat menyebabkan perforasi dan sepsis. Nekrosis yang signifikan pada usus
dapat menyebabkan komplikasi yang berhubungan dengan “short bowel syndrome”.
Meskipun diterapi dengan reduksi operatif maupun radiografik, striktur dapat muncul
dalam 4-8 minggu pada usus yang terlibat.

2.9 Prognosis
Kematian disebabkan oleh intususepsi idiopatik akut pada bayi dan anak-anak
sekarang jarang di negara maju. Sebaliknya, kematian terkait dengan intususepsi tetap
tinggi di beberapa negara berkembang. Pasien di negara berkembang cenderung untuk
datang ke pusat kesehatan terlambat, yaitu lebih dari 24 jam setelah timbulnya gejala,
dan memiliki tingkat intervensi bedah, reseksi usus dan mortalitas lebih tinggi.
Mortalitas secara signifikan lebih tinggi (lebih dari sepuluh kali lipat dalam
kebanyakan studi) pada bayi yang ditangani 48 jam setelah timbulnya gejala daripada
bayi yang ditangani dalam waktu 24 jam setelah onset pertama. Angka rekurensi dari
intususepsi untuk reduksi nonoperatif dan operatif masing-masing rata-rata 5% dan 1-
4%.

DAFTAR PUSTAKA
Irish MS. Pediatric intussusception surgery. Medscape Reference [serial online]
Available from: URL:http://emedicine.medscape.com/article/937730-
overview#showall

Wyllie R. Ileus, adhesi, insusepsi dan obstruksi lingkar tertutup in Nelson Ilmu
Kesehatan Anak. Behrmen, Kliegmen, Arvin editors. 15th ed. Vol 2. EGC: Jakarta.
1999. p.1319.

Ramachandran P. Intussusception in pediatric surgery diagnosis and management.


Puri P, Hollwarth M editors. Spinger: Dordrecht Heidelberg. 2009.

Kartono D. Invaginasi in Kumpulan kuliah ilmu bedah. Reksoprodjo S, Pusponegoro


AD, et al. Binarupa Aksara: Tangerang. 2005.

Pendergast LA & Wilson M. Intussusception: a sonographer’s perspective. JDMS


19:231-238. Jul-Aug. 2003.

Fallan ME. Intussusception in Pediatric Surgery, Ashcraft KW, Holder TM (eds). 4th
ed. Philadelphia: WB Saunders Company, 2005.

Bines J, Ivanoff B. Acute Intussusception in Infants and Children: Incidence, Clinical


Presentation and Management: A Global Perspective. Geneva, Switzerland: World
Health Organization, 2002.

Boudville IC, Phua KB, Quak SH, Lee BW, Han HH, Verstraeten T, et al. The
epidemiology of Paediatric Inturssusception in Singapore: 1997 to 2004. Ann Acad
Med Singapore 2006;35:674-9.e

Ekenze SO, Mgbor SO. Childhood intussusception: The implications of delayed


presentation. Afr J Paediatr Surg 2011;8:15-8.

van Heek NT, Aronson DC, Halimun EM, Soewarno R, Molenaar JC, Vos A.
Intussusception in a tropical country: comparison among patient populations in
Jakarta, Jogyakarta, and Amsterdam. J Pediatr Gastroenterol Nutr 1999;29:402-5.

Murdani Abdullah, M. Adi Firmansyah. Diagnostic Approach of Abdominal Pain.


2012. Department of Internal Medicine, Faculty of Medicine, University of Indonesia
– Cipto Mangunkusumo Hospital. Jakarta Pusat.

Ignacio RC, Fallat ME. Intussusception. In: Holcomb GW. III, Murphy JM, eds.
Ashcraft’s Pediatric Surgery. Philadelphia, PA: Elsevier, 2010.p.508.

Hooker RL, Schulman MH, Yu Chang & Kan JH. Radiographic evaluation of
intussusception: utility of left side down decubitus view. RSNA 2008;248:3.

Anda mungkin juga menyukai