Anda di halaman 1dari 14

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kencur (Kaempferia galanga L.) merupakan tanaman tropis yang banyak


tumbuh di berbagai daerah di Indonesia sebagai tanaman yang dipelihara. Tanaman
ini banyak digunakan sebagai ramuan obat tradisional dan sebagai bumbu dalam
masakan sehingga para petani banyak yang membudidayakan tanaman kencur
sebagai hasil pertanian yang diperdagangkan. Bagian dari kencur yang
diperdagangkan adalah buah akar yang ada di dalam tanah yang disebut rimpang
kencur atau rizoma (Barus 2009).
Rimpang kencur sudah dikenal luas di masyarakat baik sebagai bumbu makanan
atau untuk pengobatan, diantaranya adalah batuk, mual, bengkak, bisul dan jamur.
Selain itu minuman beras kencur berkhasiat untuk menambah daya tahan tubuh,
menghilangkan masuk angin, dan kelelahan, dengan dicampur minyak kelapa atau
alkohol digunakan untuk mengurut kaki keseleo atau mengencangkan urat kaki. Komponen
yang terkandung di dalamnya antara lain saponin, flavonoid, polifenol dan minyak atsiri.
Tanaman ini termasuk kelas monocotyledonae, bangsa Zingiberales, suku Zingiberaceae
dan, marga Kaempferia (Winarto 2007).
Perbanyakan kencur secara budidaya konvensional mempunyai beberapa
masalah, antara lain penyediaan bibit dan serangan pathogen. Penyediaan bibit
merupakan masalah paling utama dalam budidaya kencur secara konvensional.
Karakteristik kencur yang bersifat dorman menjadi kendala utama sehingga tidak
tersedia secara kontinyu. Kencur hanya dapat ditanam pada musim hujan karena
pada musim kemarau rimpang mengalami dormansi sehingga perlu adanya
penyediaan bibit yang tidak berasal dari rimpang serta dapat ditanam disetiap
waktu. Salah satu cara penyediaan bibit kencur secara cepat dengan metode kultur
jaringan. Kultur jaringan merupakan suatu teknik menumbuhkan sel, jaringan atau
organ tanaman dalam suatu media secara aseptik. Keberhasilan perbanyakan in
vitro dipengaruhi oleh berbagai faktor di antaranya jenis media dasar serta aplikasi
ZPT yang tepat serta kondisi lingkungan kultur.
Pada perbanyakan in vitro aplikasi ZPT sangat berpengaruh. Peran ZPT auksin
dan sitokinin yang telah terbukti dapat merangsang pertumbuhan dan pembelahan

1
sel pada eksplan dapat dicampurkan pada media dasar MS. Zat pengatur tumbuh
yang digunakan adalah Benzyl Adenin Purine (BAP) dan Naphthalene Acetic Acid
(NAA). Fungsi dari kedua zat pengatur tumbuh tersebut adalah merangsang
pertumbuhan akar dan tunas (Van et al. 1986). Pemberian NAA dan BAP dapat
mempercepat pertumbuhan jika diberikan dalam jumlah yang tepat dan seimbang.
Perbanyakan kencur dapat dilakukan menggunakan teknik kultur jaringan serta
kandungan NAA dan BAP yang tepat.

B. Perumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah;
1. Bagaimanakah teknik perbanyakan in vitro tanaman kencur secara tepat?
2. Konsentrasi BAP dan NAA manakah yang tepat untuk respon perbanyakan
kencur secara in vitro?
3. Respon eksplan kencur manakah yang paling baik dalam perbanyakan secara in
vitro?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Penelitian ini bertujuan untuk :
a. Mendapatkan teknik perbanyakan in vitro tanaman kencur untuk
memproduksi bibit secara cepat.
b. Mendapatkan konsentrasi auksin (NAA) dan sitokinin (BAP) yang paling
tepat untuk pertumbuhan tunas kencur.
c. Mengetahui respon perbanyakan kencur pada pemberian NAA dan BAP
2. Manfaat penelitian ini sebagai sumber pengetahuan bagi pelaku usaha budidaya
dalam penyediaan benih kencur secara cepat dan tepat.
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tanaman Kencur
1. Arti Penting

Kencur sudah sejak lama dikenal dan ditanam di Indonesia. Tanaman kencur
mempunyai kegunaan tradisional dan sosial cukup luas dalam masyarakat
Indonesia (Rukmana 1994). Rimpang tanaman kencur mempunyai khasiat obat
antara lain untuk menyembuhkan batuk dan mengeluarkan dahak (ekspektoran),
mencuci luka yang bernanah, borok atau kudis. Khasiat lain dari kencur adalah
untuk mengobati diare dan menghilangkan darah kotor. Tanaman kencur adalah
salah satu sumber suplemen yang mempunyai potensi cukup baik. Tanaman kencur
ini telah menyebar luas di beberapa daerah di Indonesia dan salah satu daerah
sentra produksi terbesar adalah Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Manfaat
tanaman kencur antara lain sebagai bahan baku obat-obatan, kosmetika, makanan
dan minuman serta mengandung zat-zat kimia tertentu yang berperan dalam
kesehatan manusia (Subroto 1987 dan Pramono 1994).
Permintaan kencur dari tahun ke tahun terus meningkat dengan laju
peningkatan sebesar 18,54 % per tahun dan pada tahun 1990 permintaan mencapai
107.256 kg (Pribadi 1993). Rimpang kencur memiliki kandungan antara lain
saponin, flavonoid, fenol serta minyak atsiri sehingga manfaat utama kencur
sebagai penambah nafsu makan, infeksi bakteri, obat batuk, disentri, tonikum,
ekspektoran, masuk angin, sakit perut (Syamsuhidayat dan Johnny 1991). Minyak
atsiri di dalam rimpang kencur mengandung etil sinnamat dan metil p-
metoksisinamat yang banyak digunakan di dalam industri kosmetika dan
dimanfaatkan sebagai obat asma dan anti jamur. Banyaknya manfaat kencur
memungkinkan pengembangan pembudidayaannya dilakukan secara intensif yang
disesuaikan dengan produk akhir yang diinginkan (Otih et al. 2005)

3
4

2. Biologi

Tanaman terna kecil yang siklus hidupnya semusim atau beberapa musim.
Akar rimpang kencur menempel pada umbi akar dan sebagian lagi terletak di atas
tanah. Bentuk rimpang umumnya bulat, bagian tengah berwarna putih dan
pinggirnya coklat kekuningan dan berbau harum. Rimpang kencur terdapat
didalam tanah bergerombol dan bercabang-cabang dengan induk rimpang di
tengah. Kulit ari berwarna coklat dan bagian dalam putih berair dengan aroma
yang tajam. Rimpang yang masih muda berwarna putih kekuningan dengan
kandungan air yang lebih banyak dan rimpang yang lebih tua ditumbuhi akar pada
ruas-ruas rimpang berwarna putih kekuningan. Berikut ini adalah taksonomi dari
tanaman kencur :
Kingdom : Plantae (Tumbuh-tumbuhan)
Divisio : Spermatophyta (Tumbuhan berbiji)
Subdivisio : Angiospermae (Berbiji tertutup)
Class : Monocotyledonae (Biji berkeping satu)
Ordo : Zingiberales
Famili : Zingiberaceae
Genus : Kaempferia
Spesies : Kaemferia galanga L.
Tanaman kencur memiliki batang semu yang sangat pendek, terbentuk dari
pelepah-pelepah daun yang saling menutupi. Daun-daun kencur tumbuh tunggal,
melebar dan mendatar hampir rata dengan permukaan tanah. Jumlah daun
bervariasi antara 8-10 helai dan tumbuh secara berlawanan satu sama lain. Bentuk
daun elip melebar sampai bundar, ukuran panjang daun 7-12 cm dan lebarnya 3-6
cm, serta berdaging agak lebar. Bunga kencur keluar dalam bentuk buliran
setengah duduk dari ujung tanaman di sela-sela daun. Warna bunganya putih,
ungu hingga lembayung dan tiap tangkai bunga berjumlah 4-12 kuntum bunga.
Bunga kencur berwarna putih berbau harum terdiri dari empat helai daun
mahkota. Tangkai bunga berdaun kecil sepanjang 2–3 cm, tidak bercabang, dapat
tumbuh lebih dari satiu tangkai, panjang tangkai 5–7 cm berbentuk bulat dan
beruas ruas. Putik menonjol keatas berukuran 1–1,5 cm, tangkai sari berbentuk
5

corong pendek. Buah kencur termasuk buah kotak beruang 3 dengan bakal buah
yang letaknya tenggelam, tetapi sulit sekali menghasilkan biji.
Hampir seluruh bagian tanaman kencur mengandung minyak atsiri. Zat-zat
kimia yang telah banyak diteliti adalah pada rimpangnya, yakni mengandung
minyak atsiri 2,4%-3,9%, juga cinnamal, aldehide, asam motil p-cumarik, etil
ester dan pentadekan. Dalam literatur lain disebutkan bahwa rimpang kencur
mengandung sineol, paraeumarin, asam anisic, gom, pati (4,14%) dan mineral
(13,73%). Kandungan kimia tersebut sangat berguna bagi obat-obatan, terutama
obat batuk, sakit perut dan obat pengeluaran keringat (Muhlisah 1999).
3. Budidaya
Perbanyakan tanaman kencur dilakukan menggunakan rimpang-rimpang.
Sebelum ditanam rimpang benih ditunaskan terlebih dahulu dengan cara
menyemai rimpang di tempat yang teduh ditutup dengan jerami dan disiram setiap
hari. Untuk penyimpanan benih, biasa digunakan wadah atau rak-rak terbuat dari
bambu atau kayu sebagai alas. Penanaman dilakukan apabila hujan sudah mulai
turun. Benih rimpang bertunas yang siap ditanam di lapangan sebaiknya yang
baru keluar tunasnya (tinggi tunas < 1 cm), sehingga dapat beradaptasi langsung
dan tidak mudah rusak. Apabila hujan terlambat turun, lebih baik rimpang
ditanam langsung di lapangan, tanpa ditunaskan terlebih dahulu. Karena berbeda
dengan jahe, rimpang kencur bisa ditanam pada saat hujan belum turun asal
rimpangnya belum bertunas. Rimpang akan beradaptasi dengan lingkungan, pada
saat hujan turun tunas akan tumbuh dengan serempak.
B. Kultur Jaringan dalam Pengembangan Ketersediaan Benih
1. Pengertian

Kultur jaringan atau budidaya in vitro adalah suatu metode untuk mengisolasi
bagian dari tanaman seperti protoplasma, sel, jaringan atau organ yang serba
steril, ditumbuhkan pada media buatan yang steril, dalam botol kultur yang steril
dan dalam kondisi yang aseptik, sehingga bagian-bagian tersebut dapat
memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi suatu tanaman yang lengkap.
Keberhasilan kultur jaringan tanaman dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya sterilisasi, pemilihan bahan eksplan, faktor lingkungan seperti pH,
6

cahaya dan temperatur, serta kandungan ZPT (Zat Pengatur Tumbuh) dalam
media kultur (Indrianto dan Yuni 2002).
Metode kultur jaringan dikembangkan untuk membantu memperbanyak
tanaman, khususnya untuk tanaman yang sulit dikembangbiakkan secara
generatif. Bibit yang dihasilkan dari kultur jaringan mempunyai beberapa
keunggulan, antara lain: mempunyai sifat yang identik dengan induknya, dapat
diperbanyak dalam jumlah yang besar sehingga tidak terlalu membutuhkan tempat
yang luas, mampu menghasilkan bibit dengan jumlah besar dalam waktu yang
singkat, kesehatan dan mutu bibit lebih terjamin, kecepatan tumbuh bibit lebih
cepat dibandingkan dengan perbanyakan konvensional (Hutami dan
Purnamaningsih 2003).
Menurut (Lu 1993) Kelebihan teknik kultur jaringan adalah dapat
memperbanyak tanaman tertentu yang sangat sulit dan lambat diperbanyak secara
konvensional, dalam waktu singkat dapat menghasilkan jumlah bibit yang lebih
besar, perbanyakannya tidak membutuhkan tempat yang luas, dapat dilakukan
sepanjang tahun tanpa mengenal musim, bibit yang dihasilkan lebih sehat dan
dapat memanipulasi genetik dan biaya pengangkutan bibit lebih murah.
Kelemahannya adalah dibutuhkannya biaya yang relatif lebih besar untuk
pengadaan laboratorium, dibutuhkan keahlian khusus untuk mengerjakannya dan
tanaman yang dihasilkan berukuran kecil dengan kondisi aseptik, terbiasa di
lingkungan hidup dengan kelembaban tinggi dan relatif stabil sehingga perlu
perlakuaan khusus setelah aklimatisasi dan perlu penyesuaian lagi untuk ke
lingkungan eksternal (Pramono 2007).

2. Aplikasi
Aplikasi kultur jaringan sebagai salah satu sarana pengadaan bibit untuk
tujuan komersial belum dikenal secara meluas di Indonesia, namun tidak
demikian halnya di negara maju, perbanyakan melalui kultur jaringan sudah
diterapkan sejak lama di beberapa negara. Salah satu faktor yang menjadi kendala
aplikasi teknologi baru tersebut adalah modal awal yang cukup tinggi, untuk itu
perlu dilakukan upaya penekanan biaya produksi dengan mencari metoda
perbanyakan yang efisien dengan hasil yang maksimal.
7

Dalam penyimpanan in vitro media yang digunakan umumnya media dasar


Murashige dan Skoog yang diperkaya dengan zat pengatur tumbuh dengan
konsentrasi tertentu sesuai dengan hasil penelitian. Namun adakalanya media
tanaman diganti karena respon tanaman yang telah berkurang pada media tersebut
yang terlihat pada penampilan tunas menjadi pendek dan layu, daun menguning,
ataupun gugur daun. Di samping itu terjadi juga pergantian media tumbuh hal ini
dilakukan untuk memperbaiki pertumbuhan tanaman, karena responnya mulai
kurang baik.

C. Peran NAA dan BAP dalam Teknik Kultur Jaringan

Konsep zat pengatur tumbuh diawali dengan konsep hormon tanaman.


Hormon tanaman adalah senyawa-senyawa organik tanaman yang dalam
konsentrasi yang rendah mempengaruhi proses-proses fisiologis. Proses-proses
fisiologis ini terutama tentang proses pertumbuhan, differensiasi dan
perkembangan tanaman. Proses-proses lain seperti pengenalan tanaman,
pembukaan stomata, translokasi dan serapan hara dipengaruhi oleh hormon
tanaman. Hormon tanaman kadang-kadang juga disebut fitohormon. Dengan
berkembangnya pengetahuan biokimia dan dengan majunya industri kimia maka
ditemukan banyak senyawa-senyawa yang mempunyai pengaruh fisiologis yang
serupa dengan hormon tanaman. Senyawa-senyawa sintetik ini pada umumnya
dikenal dengan nama zat pengatur tumbuh tanaman (ZPT).
Zat pengatur tumbuh merupakan senyawa organik bukan nutrisi pada
konsentrasi yang rendah dapat mendorong, menghambat atau secara kualitatif
merubah pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Zat pengatur tumbuh tanaman
berperan penting dalam mengontrol proses biologi dalam jaringan tanaman
(Davies 1995). ZPT utama yang terdapat secara alami pada tanaman adalah
auksin, giberilin, sitokinin, asam absisat dan etilen. Auksin mempunyai peran
ganda ter-gantung pada struktur kimia, konsentrasi, dan jaringan tanaman yang
diberi perlakuan. Pada umumnya auksin digunakan untuk menginduksi
pembentukan kalus, kultur suspensi, dan akar, yaitu dengan memacu pemanjangan
dan pembelahan sel di dalam jaringan kambium (Pierik 1987). Auksin yang ada
8

pada tanaman jumlahnya sangat sedikit, maka perlu ditambah auksin eksogen.
Dalam proses pembentukan organ seperti tunas atau akar ada interaksi antara
zat pengatur tumbuh eksogen yang ditambahkan ke dalam media dengan zat
pengatur tumbuh endogen yang diproduksi oleh jaringan tanaman (Winata, 1987).
Penambahan auksin atau sitokinin ke dalam media kultur dapat meningkatkan
konsentrasi zat pengatur tumbuh endogen di dalam sel, sehingga menjadi faktor
pemicu dalam proses tumbuh dan perkembangan jaringan. Untuk memacu
pembentukan tunas dapat di-lakukan dengan memanipulasi dosis auksin dan sito-
kinin eksogen (Poonsapaya et al.1989). Kombinasi antara sitokinin dengan auksin
dapat memacu morfogenesis dalam pembentukan tunas (Flick et al. 1993).
Keuntungan memakai ZPT atau perangsang pertumbuhan, antara lain
memperbaiki sistem perakaran dan mempercepat keluarnya akar bagi tanaman
muda (bibit), mencegah gugur daun, bunga dan buah, memperbanyak
pertumbuhan vegetatif dan anakan mempercepat pematangan buah dengan warna
seragam dan hasil yang tinggi, meningkatkan proses fotosintesis (Darmawan dan
Justika 2010).

1. NAA
Menurut Sriyanti dan Wijayani (1994), NAA (Naphtalene Acetic Acid) adalah
zat pengatur tumbuh yang tergolong auksin. Pengaruh auksin terhadap
perkembangan sel menunjukkan bahwa auksin dapat meningkatkan sintesa protein
yang dapat digunakan sebagai sumber tenaga dalam pertumbuhan.
Istilah auksin diberikan pada sekelompok senyawa kimia yang memiliki
fungsi utama mendorong pemanjangan kuncup yang sedang berkembang.
Beberapa auksin dihasilkan secara alami oleh tumbuhan, misalnya IAA
(indoleacetic acid), PAA (Phenylacetic acid), 4-chloroIAA (4-chloroindole acetic
acid) dan IBA (indolebutyricacid) dan beberapa lainnya merupakan auksin
sintetik, misalnya NAA (napthaleneacetic acid), 2,4-D (2,4
dichlorophenoxyacetic acid) dan MCPA (2-methyl-4chlorophenoxyacetic acid).
9

2. BAP
Kelompok sitokinin yang merupakan turunan adenin paling aktif dalam
proses pembelahan sel adalah Benzil Amino Purin (BAP). Perlakuan sitokinin
pada seluruh tanaman untuk memproduksi tunas sebagai sumber eksplan pada
mikropropagasi atau perbanyakan konvensional sangat disarankan (Norton and
Norton 1986).
Benzyl Amino Purin (BAP) salah satu jenis sitokinin yang sering digunakan
dalam kultur jaringan. BAP merupakan turunan adenin yang disubstitusi pada
posisi 6 yang bersifat paling aktif .Di antara berbagai hormon sitokinin sintetik,
BAP paling sering digunakan karena sangat efektif menginduksi pembentukan
daun dan penggandaan tunas, mudah didapat dan harganya relatif murah. Pada
eksplan yang ditambahkan hormon BAP akan tumbuh tunas. Usaha untuk
menghasilkan jumlah tunas yang maksimum, penentuan jenis zat pengatur tumbuh
dengan kombinasi metode pengkulturan merupakan salah satu kunci penting
dalam kultur jaringan. Penggunaan hormon BAP untuk menggandakan tunas
secara in vitro banyak berhasil pada tanaman temulawak.
10

III. METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Maret 2015 hingga April 2016.
Bahan eksplan berasal dari hasil dan penelitian dilakukan di Laboratorium
Fisiologi Tumbuhan dan Bioteknologi Fakultas Pertanian Universitas Sebelas
Maret.

B. Bahan dan Alat Penelitian


1. Persemaian benih
Media yang digunakan dalam persemaian ini adalah tanah alfisol dan pasir.
Tanah dan pasir digunakan untuk menyemai benih kencur dengan perbandingan
3:1. Alat yang digunakan antara lain nampan, polibag dan semprotan.
2. Pembuatan media dasar Murashige dan Skoog (MS)
Bahan yang digunakan dalam pembuatan media ini adalah gula pasir halus,
agar, aquades, larutan hara makro, larutan hara mikro, NAA, BAP, dan larutan
FEDTA. Alat yang digunakan antara lain magnetic stirrer, pH meter, gelas ukur,
autoclave, timbangan analitik, botol kultur dan tutup aluminium.
3. Penanaman eksplan
Bahan yang digunakan dalam penanaman ini adalah eksplan kencur, spirtus,
alkohol, chlorox dan aquades steril. Alat yang digunakan antara lain laminar air
flow, pinset, pisau dan lampu bunsen.

C. Perancangan Penelitian

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak lengkap


(RAL) dengan perlakuan kombinasi pemberian NAA dan BAP sebagai berikut:
a. B0N0 = 0 ppm BAP + 0 ppm NAA
b. B1N0 = 2 ppm BAP + 0 ppm NAA
c. B2N0 = 4 ppm BAP + 0 ppm NAA
d. B3N0 = 6 ppm BAP + 0 ppm NAA
e. B0N1 = 0 ppm BAP + 0,5 ppm NAA
f. B1N1 = 2 ppm BAP + 0,5 ppm NAA

10
11

g. B2N1 = 4 ppm BAP + 0,5 ppm NAA


h. B3N1 = 6 ppm BAP + 0,5 ppm NAA
i. B0N2 = 0 ppm BAP + 1 ppm NAA
j. B1N2 = 2 ppm BAP + 1 ppm NAA
k. B2N2 = 4 ppm BAP + 1 ppm NAA
l. B3N2 = 6 ppm BAP + 1 ppm NAA
m. B0N3 = 0 ppm BAP + 1,5 ppm NAA
n. B1N3 = 2 ppm BAP + 1,5 ppm NAA
o. B2N3 = 4 ppm BAP + 1,5 ppm NAA
p. B3N3 = 6 ppm BAP + 1,5 ppm NAA
Satu unit perlakuan diulang 3 kali sehingga jumlah keseluruhan 48 unit
percobaan.

D. Pelaksanaan Penelitian

Tata laksana penelititan direncanakan sebagai berikut:


1. Persemaian benih
Eksplan diperoleh dari benih yang berasal dari lahan di Sukoharjo.
Penyemaian dilakukan dengan media tanam yang terdiri atas tanah dan pasir
dengan perbandingan 3:1 dan penanaman dilakukan pada polibag.
2. Pembuatan media tanam
Media yang digunakan sebagai sumber makanan dan media tumbuh
eksplan dibuat dari bahan yang terdiri atas larutan hara makro, larutan hara
mikro, larutan FEDTA, NAA, BAP, agar, dan gula dicampur dan dimasak
hingga mendidih. Setelah mendidih dipindahkan ke dalam botol kultur. Media
1 liter dapat mencukupi media untuk 40 botol kultur. Media harus disterilkan
dengan mesin autoklaf sehingga terhindar dari kontaminasi.
3. Sterilisasi Alat
Semua botol dan alat dicuci dan dikeringkan kemudian disterilkan
menggunakan autoklaf. Botol dicuci dengan menggunakan sabun dan alat
pembersih kemudian dikeringkan di atas wadah kertas. Setelah botol dan alat
yang sudah kering botol dibungkus dengan kertas alumunium foil sedangkan
12

alat dibungkus dengan kertas payung kemudian disterilisasi dengan autoklaf


pada suhu 121°C dan tekanan 17,5 psi selama 30 menit. Selama sterilisasi
autoklaf ditutup rapat sehingga tekanan di dalam autoklaf naik. Tekanan tinggi
tersebut dipertahankan selama 30 menit dengan mengecilkan api, selanjutnya
katup dibuka untuk membuang uap air sehingga tekanan akan turun hingga ke
tekanan 0 psi dan dilakukan sampai tiga kali. Autoklaf dibuka dan peralatan
yang sudah disterilisasi dikeluarkan. Peralatan yang sudah disterilkan disimpan
di tempat yang bersih.
4. Sterilisasi Eksplan
Tunas yang tumbuh dipotong beberapa bagian untuk menghilangkan noda
atau kotoran yang terdapat pada eksplan kemudian disterilisasi dengan cara
dicuci. Pencucian dilakukan di bawah air mengalir dan dengan menggunakan
sabun sampai bersih kemudian merendam eksplan dalam larutan fungisida
dalam waktu 15-30 menit. Setelah dilakukan perendaman pada larutan
fungisida eksplan dicuci menggunakan aquades kemudian direndam dalam
larutan clorox 5,25% (sunclin 100%) dan dilakukan di dalam Laminar Air
Flow ( LAF).
5. Penanaman eksplan
Penanaman eksplan dilakukan di dalam (LAF). Eksplan yang telah
disterilisasi di luar LAF dimasukkan ke dalam LAF. Alat-alat yang akan
digunakan dalam penanaman eksplan seperti : lampu bunsen, spirtus, pinset,
botol kultur jaringan, petridish, kertas buram dan pisau steril dimasukkan ke
dalam LAF. Semua proses penanaman dan pengupasan hingga eksplan siap
ditanam, dilakukan di dalam LAF untuk menghindari adanya kontaminasi.
Penanaman diawali dengan mengambil eksplan dari gelas menggunakan pinset
dan merendam eksplan dalam Clorox 5,25% dalam waktu 5 menit kemudian
meletakkan eksplan pada petridish untuk dilakukan pengupasan bagian terluar
eksplan kemudian dilakukan penanaman ke dalam boltor kultur di atas lampu
bunsen untuk menghindari kontaminasi.
13

6. Pemeliharaan
Pemeliharaan dilakukan terhadap botol-botol kultur yang hanya berisi
media maupun yang sudah berisi eksplan disemprot dengan menggunakan
spirtus. Penyemprotan dilakukan setiap hari. Penyemprotan pada botol kultur
dilakukan untuk menghindari kontaminasi yang disebabkan oleh lingkungan
sekitar botol kultur yang kurang steril.
E. Pengamatan Peubah
Variabel yang diamati pada penelitian ini, yaitu:
1. Saat muncul tunas
Pengamatan dilakukan pada saat tunas mulai muncul dari eksplan.
Pengamatan dan perhitungan waktu muncul tunas dilakukan dengan hitungan hari
setelah tanam (HST)
2. Jumlah tunas
Pengamatan dilakukan pada saat tunas sudah muncul dari eksplan.
Pengamatan dan perhitungan jumlah tunas dilakukan setiap minggu sampai
penelitian selesai.
3. Tinggi tunas
Pengamatan dilakukan pada saat tunas sudah tumbuh dari eksplan.
Pengamatan dan perhitungan tinggi tunas dilakukan setiap minggu sampai
penelitian selesai
4. Saat muncul akar
Pengamatan dilakukan pada saat akar mulai muncul dari eksplan. Pengamatan
dan perhitungan waktu muncul tunas dilakukan dengan hitungan hari setelah
tanam (HST).
5. Jumlah akar
Pengamatan dilakukan pada saat akar sudah muncul dari eksplan.
Pengamatan dan perhitungan jumlah akar dilakukan setiap minggu sampai
penelitian selesai.
14

6. Panjang akar
Pengamatan dilakukan pada saat akar sudah tumbuh dari eksplan.
Pengamatan dan perhitungan akar dilakukan setiap minggu sampai penelitian
selesai
7. Saat muncul daun
Pengamatan pada daun dilakukan dengan mengamati waktu muncul daun.
8. Jumlah daun
Pengamatan jumlah daun dilakukan dengan menghitung daun pada saat
akhir penelitian pada masing-masing tanaman.

F. Analisis Data
Data hasil penelitian yang diperoleh dianalisa secara deskriptif, karena dari
uji kenormalan data, sebaran data tidak normal dan kelengkapannya kurang dari
50%. Sehingga data tidak dapat dianalisis dengan menggunakan analisis ragam.

Anda mungkin juga menyukai