Anda di halaman 1dari 28

Akhirnya Senja

Penulis : Sulaiman Tripa

Ketika fajar yang disusul mentari pagi menyinari jagat, tangan Fatimah meremas-
remas tanah makam. Ia masih tak bergerak, bahkan ketika sampai ada berita dari
ujung gampong: tiga wanita tergeletak di jalan dengan sembilan liang pada
masing-masing tubuh mereka.

Fatimah ingin bangkit, tapi tak mampu. Ia sangat ingin melihat tiga wanita itu.
Apalagi, ia dengar ada sembilan liang di masing-masing tubuh mereka. Ketika
sekali lagi ia mau bangkit, tiba-tiba jagat jadi gelap dalam sekejap. Sebelum
semuanya terhapus, ia mulai mendengar Samiun menangis lagi.

Berita itu datang dengan tiba-tiba. Sangat tiba-tiba. Tapi, firasatnya sudah
terlebih dahulu menjemput. Jumat, 25 April 2003, merupakan hari kedelapan
Sabalah tak tidur di rumah. Tapi, ia berusaha pulang.
Ya, sejak Kamis, 17 April malam, delapan orang yang -mungkin- berpakaian hitam
dengan membawa senjata memaksa masuk ke rumah dengan menendang pintu,
untuk bertatap muka dengan suaminya. Sejak itulah, gelembung kegundahan
mulai menusuk batinnya.
Saat itu, malam belum senja.
"Mana Sabalah?" bentak satu di antara orang yang datang tidak dengan
mengetuk pintu, pada malam Jumat itu. Mereka tak memberi salam, tidak
mengucapkan assaamualaikum, selayaknya dilakukan orang-orang, ketika
meminta masuk ke rumah orang. Apalagi, rumah panggung itu, sengaja pintunya
diperendah sedikit agar orang-orang yang akan masuk ke dalamnya sedikit
menunduk.
Fatimah harus mengucek matanya setelah mendadak terbuka dari katup. Tak
begitu tersentak, seperti wanita lain di sana, ia bagai sudah terbiasa menghadapi
kondisi seperti itu. Segera ia melangkah ke palang pintu yang sudah terkelupas
karena ditendang oleh tamu yang datang. Malah ia sempat melilit daun pintu
yang sudah terburai dengan tali.
Sabalah segera menyorongkan tubuhnya lewat gua kecil (celah seukuran
setengah papan sebagai tempat buang air kecil) yang dibuat di dalam kamar,
saat mendengar ada gelagat yang berwarna lain di pintu depan rumah mereka.
Dari balik dinding, ia sempat melihat sekilas bayang-bayang dari pancaran
cahaya lampu templok yang buram. Gelagat yang tak baik, membuat Sabalah
harus turun dan berdiam di bawah rumah. Di bawah gua, tersusun kayu-kayu
bakar dengan tidak teratur, ranting-ranting yang dipungut Sabalah dan Rahmah
dari kebun kosong di gampong (kampung).
Sama sekali tak ada bayang-bayang Sabalah yang terpencar, karena lampu
templok hanya dipasang di ruang tengah. Dengan tirai yang masih melekat di
pintu kamar mereka, tak mungkin bisa menerbangkan cahaya tubuhnya.
Rumah itu hanya memiliki satu ruang tidur dan satu ruang tengah yang
merangkap sebagai dapur. Hanya rumah kecil, beratap daun rumbia yang
dianyam sendiri oleh Fatimah, berdinding papan yang sudah tua, sebagian diikat
dari anyaman kulit bambu.
Ketika mengintip, Sabalah juga melihat bayang-bayang senjata. Tapi, Sabalah tak
tahu jenis senjata apa yang dipakai oleh sang tamu. Sebuah benda yang memiliki
peluru dan bisa meletus kapan saja adalah senjata, pikirnya. "Mana Sabalah?"
bentak mereka lagi.
Satu di antara mereka seperti tak sabar. Ditariknya gorden bergaris kuning dan
hitam yang sudah kusam, yang menutup pintu kamar mereka. Gorden itu sampai
koyak. Sang tamu menoleh ke arah teman-temannya yang berdiri di belakang,
sambil menggeleng. Temannya yang menerima pesan, menggelengkan kepalanya
satu kali ke luar pintu.
"Kau bilang pada Sabalah, kami mencarinya. Penting!"
"Dan kau tak perlu menyembunyikan dia!" kata seorang lain.
Di bawah, Sabalah diam dan terus melilit tubuhnya seperti seekor keong. Derap
langkah mereka terdengar tergesa dan terentak dari lantai papan yang hampir
rapuh menuju tangga, lalu turun, lalu lambat-laun menjauh.
Kiamat kecil sudah lewat, pikir mereka.
Tapi, Sabalah tak juga keluar. Ia menggulung tubuhnya di antara kayu bakar itu,
sampai subuh.
Fatimah sempat membereskan palang pintu yang berserak di lantai. Dikutipnya
satu, satu, dengan lamban. Ia sudah berumur. Pintu depan itu tak lagi tertutup
rapat. Fatimah membiarkannya sedikit terbuka, karena satu palang besar yang
tergeletak tak sanggup diangkatnya. Sehabis itu, ia menuju ke ranjang.
Merebahkan tubuhnya di atas kasur yang tak lagi empuk. Tapi, matanya sudah
tak bisa tidur. Badannya dibolak-balik.
Ketika pikirannya masih meraba-raba tentang apa dan siapa, lalu untuk apa,
Samiun terdengar melengking. Anak mereka satu-satunya itu seperti sedang
berusaha mengungkap takut. Matanya terbuka ketika tamu yang datang
menendang pintu dengan keras.
Fatimah sama sekali tak memanggil Sabalah untuk menenangkan anak mereka
satu-satunya itu. Tidak. Wanita-wanita di gampong itu sangat peka bila ada
sesuatu yang membayangi diri atau suaminya. Ia takut bila memanggil Sabalah.
Tak bisa dibayangkan kalau-kalau masih ada yang mengintip dari luar rumah,
bisa saja dilakukan dari jauh.
Maka, ia menenangkan sendiri Samiun, membelai rambutnya, memangkunya,
sambil melantunkan dodaidi (nyanyian ninabobo), sampai Samiun tak lagi
mengeluarkan air mata. Ketika Samiun masih diberi ASI, saat Samiun menangis
seperti itu, Fatimah akan segera menyusuinya.
Saat itu tak ada tetangga yang mendekat, ketika reriuhan terdengar dari
rumahnya, sekadar menanyakan, "Ada apa di rumahmu, Fatimah?" Tidak ada.
Semua orang akan mengunci rumahnya rapat-rapat. Beberapa orang yang agak
berani hanya mengintip lewat celah dinding rumah. Mereka akan berjalan
perlahan, biar derap langkah mereka tak terdengar oleh orang-orang yang
mungkin masih berada di luar rumah. Sedangkan lampu sudah dimatikan ketika
gelap tiba. Hanya beberapa rumah yang menyisakan sebuah lampu templok di
tengah ruangan.
Seperti wanita-wanita lain di gampong yang suami mereka dicari-cari entah oleh
siapa dan entah untuk apa, Fatimah juga tak bisa mengatupkan matanya
kembali. Sampai subuh. Kokok ayam selalu menjadi penanda kapan fajar akan
tiba. Ayam jantan begitu setia memberitahukan masa yang terus berjalan tak
pernah berhenti. Untuk melihat arloji kecil yang tergantung di dinding, pasti
membutuhkan cahaya. Sedangkan orang-orang di gampong sedang melilit diri
mereka dalam gelap. Jadi, tak mungkin mereka akan menyalakan lampu dalam
masa-masa seperti itu, karena kegelapan dianggap jauh lebih tidak berisiko.
Ini adalah zaman buruk bagi wanita-wanita di gampong yang suaminya dicari-
cari. Mereka tak tahu dari mana datangnya para pencari yang seperti pemburu
itu. Mereka bagai burung hantu yang akan datang hanya saat malam. Yang
dipikirkan oleh wanita-wanita itu adalah suami mereka sedang dalam bahaya.
Mereka seperti sudah siap menghadapi berbagai keadaan. Mereka akan
menenangkan anaknya sendirian. Paling-paling, ketika pagi tiba, beberapa
tetangga yang sedikit bernyali akan mendekati untuk sekadar berbisik-bisik. Tapi,
percayalah, mereka tak akan menanyakan perihal semalam, tentang tamu-tamu
yang tak diundang datang ke rumah.
Fatimah juga seperti itu. Saat Sabalah sudah tak di kamar, ia akan menjaga anak
mereka sampai pagi dan tak lagi memanggil-manggil Sabalah. Sabalah
dibayangkan akan berada di suatu tempat yang aman dalam hatinya, kecuali bila
bayang-bayang lain menghinggap dengan cepat.
Sabalah pasti sedang berusaha menggapai satu tempat yang tak bisa dicari oleh
siapa-siapa, termasuk dirinya, pikir Fatimah.
Tapi, Fatimah akan bermain-main dengan pikiran sampai pagi. Bila suami sudah
dicari, wanita-wanita di gampong tak bisa tidur sampai pagi. Mata mereka
terlihat memerah ketika pagi datang. Lalu, di bawah mata, terlihat lingkaran
hitam yang membesar dan tubuh mereka menjadi kering. Tak ada yang bisa
terlelap. Wanita-wanita selalu dihantui pikiran tentang pintu rumah siapa lagi
yang akan ditendang oleh para pencari itu di malam yang akan datang.
Mereka akan menunggu suami mereka pulang, sampai suasana benar-benar
sunyi. Biasanya, suami akan menjenguk istrinya, tapi selalu tak memberitahukan
kepada istri mereka, tentang apa yang sedang dihadapi. Sama sekali tidak
memberi tahu. Sabalah juga.
Sabalah naik ke rumah menjelang subuh. Saat itu kokok ayam sudah melengking
untuk keempat kalinya. Ia naik lewat gua yang dibuka pelan-pelan. Digerakkan
tubuhnya sedikit-sedikit sampai bisa tersangkut. Lalu, dengan dua tangannya,
mengayunkan tubuhnya sampai ke atas.
"Ini Cutbang (Abang)," bisiknya, pelan. Sangat pelan.
"Ya," sahut Fatimah.
Sabalah segera memeluknya. Fatimah juga merangkul tubuh yang kurus kering
itu.
"Cutbang akan pergi beberapa waktu!" bisik Sabalah.
Fatimah tak berkata apa-apa. Ia hanya mendekap kuat. Tak mengeluarkan air
mata. Wanita sudah jarang mengeluarkan air mata untuk suami yang mau pergi.
Wanita akan melepaskannya bila kegundahannya datang. Sedang air mata akan
menjadi penanda mati. Lagi pula, wanita sedang meneguhkan kesetiaan agar
suaminya pulang dengan selamat. Air mata hanya akan menambah beban hidup
yang harus dilanjutkan.
"Tapi, saat senja, Cutbang akan berusaha pulang," bisik Sabalah lagi, meyakinkan
Fatimah. Sabalah tak akan berprasangka ketika Fatimah tak mengeluarkan air
mata.
Sabalah mendekati anak mereka. Tapi, Fatimah tak melepaskan dekapannya
beberapa saat. Fatimah tak berbisik sepatah kata pun, meski sekadar berucap,
"Cutdek (adik) akan merindukan Cutbang." Dekapannya seolah memberi tahu
tentang kerinduannya yang akan membayang di waktu-waktu yang akan datang.
Sabalah menciumi Samiun, ketika tangan Fatimah melepaskannya. Ia mencium
pelan di dahi anaknya. Sangat pelan, bahkan kumisnya yang lebat sekalipun tak
ditekan, karena takut Samiun akan terbuka matanya. "Abu (ayah) sayang
padamu, Nak!" katanya. "Tapi, Abu harus pergi sebentar. Cuma sebentar.
Percayalah, Abu akan kembali dengan cepat!"

Sabalah menatap Fatimah dalam kelam itu. Sabalah saat itu dapat dengan jelas
menatap alur muka Fatimah. Dengan tangan kanannya, Sabalah mencoba
mengusap wajah Fatimah yang lelah. Jemarinya membelai alur wajah yang sudah
keriput itu. Kemudian tangannya yang satu lagi membelai rambut Fatimah yang
jarang diberikan sampo.
Fatimah, dalam gelap itu, berusaha meraih tubuh Sabalah. Ia mendekap lagi. Kali
ini lama dan air matanya keluar dengan terpaksa. Sabalah merangkul Fatimah
dengan kuat. Entah kenapa, malam itu Sabalah mendengar tangis yang tertahan.
"Maafkan Cutbang, karena Cutdek harus menanggung beban ini!" bisik Sabalah.
"Jangan hiraukan air mataku! Tapi, aku takut!" balas Fatimah.
"Cutbang tahu! Maafkan Cutbang. Tapi, Cutbang tak punya kekuatan!"
"Kita tak akan sanggup, Cutbang!"
"Tapi, Cutbang akan pulang. Cutbang akan kembali dengan cepat!"
"Cutdek tahu!"
"Cutbang cinta sama kamu dunia-akhirat!"
"Cutdek tahu!"
"Cutbang berpikir tentang Samiun!"
"Cutdek akan membelai anak kita, Cutbang!"
Sabalah mengusap air mata Fatimah yang menetes di wajahnya beberapa titik,
dengan tangan kanannya. Dalam gelap ia berusaha menatap dalam. Ia membelai
rambut Fatimah sekali lagi.
"Cutbang akan mengetuk gua sembilan kali! Cutdek bisa menanda ketukan itu,
dan yakinilah Cutbang akan datang!"
Dengan pelan, Sabalah melepaskan dekapan Fatimah. Ia menunduk meraih dua
papan gua untuk dibuka. Beberapa saat, ia turun pelan-pelan, menginjak kayu
bakar yang tersusun tak teratur di bawah rumah. Tak terdengar sedikit pun
ranting yang patah akibat injakan Sabalah, di atas kayu yang bertumpuk itu.
Fatimah lalu menutupnya kembali dengan rapat. Ia lalu menelungkup menatap
lewat gua kecil yang tetap dibuka. Padahal, di bawah, bayang tubuh itu sungguh
tak tampak. Tapi, Fatimah ingin mengantarkan perjalanannya. Beberapa saat
kemudian, Fatimah bangkit, lalu kembali merebahkan tubuhnya di ranjang.
Memalingkan wajahnya ke kanan, berusaha menatap wajah Samiun yang sedang
terlelap.
Tangannya tak lagi membelai rambut Samiun. Ia sangat takut bila anaknya itu
terjaga, lalu melepaskan jeritannya ke udara. Langit akan pecah dan para
tetangga akan kembali mengintip lewat celah dinding, dengan pintu rumah
mereka yang selalu tertutup rapat, tanpa seorang pun yang akan menanyakan,
"Fatimah, ada apa di rumahmu?" Fatimah hanya memandangnya. Menatap
dalam gelap wajah anaknya. Sampai subuh. Ia sangat menghafal gerakan tubuh
itu yang sesekali bolak-balik dari kiri ke kanan, dari kanan ke kiri.
Di bawah, udara senja bertambah menusuk tubuh. Gemerisik dedaunan terdengar
pelan oleh angin yang mengipas. Rumah tetangga terasa mati. Tak ada bisikan
yang terdengar. Lampu, bah kan bayang-bayang cahaya pun, dari rumah sekitar,
tak ada sama sekali.
Sabalah keluar dengan membawa serta sehelai sarung yang dililit pada tubuhnya.
Itu akan digunakan untuk menahan dingin yang selalu datang ketika hari sudah
terlalu senja.
Pagi-pagi, setelah sembahyang subuh, Fatimah menyapu halaman depan dari
ceceran daun dari pohon cokelat. Ada 34 batang di sekeliling rumahnya yang
membuat posisi rumah itu seperti terbungkus pepohonan. Dedaunan yang lebat,
memungkinkan orang-orang bersembunyi di baliknya.
Fatimah terus menyapu. Ketika hampir selesai, ia sempat menoleh memerhatikan
rumahnya. Ternyata, sudah banyak yang berubah. Beberapa kali Fatimah
menyusuri tapak sepatu para tamu yang datang semalam. Tak tampak. Sama
sekali tak meninggalkan jejak. Ia bahkan sempat berjalan sampai ke pintu pagar
untuk melihat, barangkali ia dapat menemukan bekas tapak sepatu. Tapi, tak ada
yang tersisa.
"Mungkinkah ada orang yang datang pagi-pagi untuk menghapusnya?"
tanyanya, dalam hati.
Dari pintu pagar, ia menatap rumahnya itu. Rumah panggung dengan tiang yang
sudah tua. Tapi, masih kokoh. Tiangnya sebagian sudah berwarna putih. Tidak
lagi berwarna cokelat, layaknya warna kayu aslinya. Kaki tiang tampak kehitam-
hitaman, karena Sabalah selalu membilas oli bekas di sana, agar rayap tak
menggigitnya hingga patah-patah.
Serambi kecil sebelah utara masih bisa digunakan, tempat dulu ia dan Sabalah
bercengkerama, sambil menikmati mentari sore yang bersujud ke sela bukit.
Beberapa waktu setelah mereka menikah, di serambi itu, Fatimah juga kerap
mengeringkan rambutnya setelah dikeramas. Sabalah sering mendekat dan
mendekapnya dari belakang, sambil menikmati wewangian rambut Fatimah.
Sabalah kemudian menjadikan serambi sebagai tempat untuk menambal
jaringnya yang robek. Sehabis pulang melaut, ada saja peralatan melaut yang
rusak. Di sana pula Sabalah memperbaiki alat pancingnya.
Di gampong itu tak semua kapal memakai mesin. Nelayan-nelayan kecil hanya
memiliki jalo (kapal berukuran 3 meter dan hanya ada pengayuh). Tak ada mesin.
Sabalah menggunakan jalo untuk melaut. Dengan jaring kecil dan kawe rantang
(alat pancing bermata kail banyak), ia melabuh hanya sampai tiga mil dari darat.
Tidak lebih dari jarak itu.
Ketika pulang, Sabalah membawa pulang beberapa ekor ikan, setelah beberapa
lainnya dijual untuk menutupi biaya sehari-hari. Seperti biasa, jalo ditambatkan di
alur yang menjulur ke dekat rumah, yang bersambungan dari pintu-pintu tambak
penduduk. Alur itu bersambung ke sungai yang mengalir melewati gampong.
Karena jalo bisa ditambat begitu dekat, Sabalah sangat mudah membawa pulang
jaring dan alat pancing ke rumah. Semua diperbaiki di serambi rumah sebelah
utara.
Ada dua kursi bambu yang sedikit terukir di serambi itu. Sudah tua. Terlihat sudah
rapuh dan beberapa bagian tampak sudah diikat dengan tali plastik, karena
ikatan dari rotan sudah banyak yang putus. Kursi itu dihadiahkan orang tua
Fatimah, ketika mereka baru menikah.
Sementara serambi kecil sebelah barat terdapat sebuah beurandang (lumbung)
padi berukuran kecil. Melingkar dari anyaman kulit bambu. Berdiameter satu
meter. Tapi, sudah tak berisi. Di bawah beurandang, terletak sebuah kandang
ayam kecil yang tidak begitu bersih, dengan tumpukan kayu bakar di kanan-
kirinya.
Di antara dua serambi kecil itu, terletak ruangan tengah dan kamar tidur dengan
tumpukan kayu bakar di bawahnya. Tinggi tiang hanya satu meter. Sehingga, bila
mereka mau ke bawah, harus menunduk dan berjalan dengan pelan, bila tak ingin
kepalanya terantuk.
Sebelah utara rumah terdapat kompleks kuburan keluarga. Di sanalah semua
kerabat dikuburkan. Mulai dari abusyik (kakek), masyik (nenek), abua (abang dari
ayah), mawa (istri abua), cutma (saudara sepupu yang lebih tua), dikuburkan di
sana. Kuburan itu tak berhias. Tak berkeramik. Hanya sedikit penanda yang
dibuat dari semen dengan dua batu khusus sebagai batu nisan.
Tak ada kuburan yang berhias di sini. Semua biasa saja. Hanya sebagai penanda
untuk kuburan si A atau si B. Teungku-teungku (ulama) di sana berbeda pendapat
tentang kuburan. Menghias kuburan, ada yang mengatakan makruh hukumnya.
Sebagian malah ada yang menganggapnya haram. Kuburan-kuburan yang sedikit
mewah, biasanya hanya orang-orang berilmu. Makam para ulama sedikit dihias.
Di sebagian gampong, kuburan ulama juga dibuat rumah-rumah sebagai
pemayung. Kuburan di kompleks keluarga itu juga seperti itu. Tak ada penghias.
Kuburan itu terletak dalam satu pagar dengan lokasi rumah.
Sumur keluarga berada di halaman rumah paling depan. Rumah panggung di sini
mensyaratkan orang-orang yang akan masuk ke dalamnya untuk mencuci kaki
terlebih dahulu. Dari sumur ke tangga, tersusun ter atur bebatuan seukuran tapak
sebagai tempat jalan.
Sumur di rumah itu masih berair cokelat. Tapi, tak keruh. Airnya banyak. Bisa
diambil, walau dengan tali yang tak panjang. Kedalam annya hanya 1-2 meter.
Awalnya, tidak ada pembatas. Tak ada cincin. Sumur digali dari celah pokok
rumbia. Di dalam sumur tampak akar-akar rumbia yang mengipas-ngipas
mengikuti irama air.
Kakus terletak di sebelah utara. Sekitar 50 meter dari rumah. Dari sumur sekitar
200 meter. Bila membuang hajat, mereka harus membawa air dengan timba. Tak
ada bak air di sana. Penampung kotoran terletak di bawah kakus, yang dibuat
dari dua balok dengan lapisan seng bekas di antara dua balok itu.
Gampong itu bernama Masjid. Di sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka.
Ini adalah gampong pinggir laut, berjarak sekitar dua kilometer. Gampong itu
juga dekat dengan bukit. Walau gampong pesisir, masyarakat di sini lebih banyak
yang memilih berkebun. Ini dapat terlihat dengan adanya pohon cokelat pada
setiap rumah. Bila berada di tengah-tengah gampong, tak ada yang tahu bahwa
kawasan ini sebenarnya masuk sebagai kawasan pesisir.
Antara rumah Sabalah dan Selat Malaka, terlintang jalan raya yang
menghubungkan Banda Aceh dan Sumatra Utara. Ada sebuah jembatan tua di
atas alur yang sering dilalui Sabalah. Di sampingnya ada bangunan tua yang dulu
dipakai sebagai penjara dan sekarang tak dipakai lagi. Kini, bangunan itu sungguh
mengerikan bagi orang-orang di sana, karena di sumur belakang bangunan,
sudah empat kali ditemukan mayat yang sudah membusuk.
Mayat-mayat yang ditemukan itu selalu diambil oleh wanita-wanita gampong.
Mungkin hanya wanita yang berani. Mereka mengangkatnya dan membawa
pulang hingga ke rumah. Ketika zaman buruk hinggap di sini, wanita-wanita
gampong itu tampak begitu perkasa.
Belum banyak yang berubah dari rumah itu. Orang-orangnya juga masih seperti
dulu. Makan ikan besar-besar. Dalam masyarakat di selatan, orang tua mereka
selalu bilang bahwa makan ikan besar-besar akan cacingan. Cacing dalam perut
akan menggigit dan murka.
Wanita di gampong selatan harus selalu bilang begitu, karena tak punya cukup
uang untuk selalu beli ikan. Orang sekeluarga sering makan sebutir telur
bercampur parutan kelapa, lalu digoreng. Sebutir telur akan dimakan bersama-
sama untuk beberapa orang.
Wanita yang memasak harus memotong telur itu menjadi beberapa bagian.
Seluruh anggota keluarga harus mengambil sepotong masing-masing. Tak boleh
lebih. Dari potongan telur, selalu menjadi penanda jumlah orang yang sudah
makan dan yang belum.
Baru berbeda ketika ada tamu di rumah. Kawom-syedara (keluarga besar) yang
sekali-sekali datang ke rumah, akan dijamu sebagai raja. Tamu menjadi orang
yang istimewa di rumah-rumah orang gampong. Mereka akan memotong ayam
atau itik sebagai menu. Biasanya, ayam atau itik itu baru dipotong ketika hari
meugang (hari menyambut puasa dan Lebaran) tiba.
Pola makan ikan sangat berbeda dari sebagian orang di utara. Keluarga Sabalah
salah satunya yang merupakan seorang pelaut. Seorang nelayan. Pola makan
seperti itu sangat wajar.
Sabalah seorang nelayan yang gigih. Selalu saja ia membawa pulang beberapa
ikan ke rumah. Kalaupun tidak dapat dari melaut, ia akan membelinya di pasar.
Yang penting ada ikan untuk di rumah. Bila sesekali tak membawa hasil dari
melaut dan tak punya uang juga, ia bahkan akan berusaha mengutangnya dari
mugee (penjual), asal ada sesuatu yang bisa dibawa pulang ke rumah.
Ketika musim ikan siblah (ikan sebelah, yang dipercaya sebagai ikan bekas
dimakan Nabi Nuh yang dibuang ke laut), masing-masing anggota keluarga
makan satu ekor ikan yang sudah dipanggang. Orang-orang luar gampong yang
tak pernah tinggal di sana akan terheran-heran melihatnya.
Fatimah segera masuk ke rumah. Tiba-tiba ia tersentak dari lamunan saat Samiun
menangis keras. Anak itu akan menangis sejadi-jadinya, bila saat membuka
matanya, tak ada Fatimah di sampingnya.
Dengan bergegas ia naik lewat pintu depan yang sudah rusak. Sedari pagi
Fatimah belum sempat membetulkan palang yang rusak ditendang tamu malam
yang datang. Sebab, satu palang tak sanggup diangkatnya untuk dipasang
kembali.
Segera ia naik ke atas meraih Samiun yang melengking. Fatimah kemudian
menggendongnya. Anak itu tak berhenti menangis. Biasanya, sewaktu digendong,
ia akan diam. Kali ini tidak.
Fatimah pergi ke dapur, yang memang satu ruangan dengan ruang tengah, untuk
membuat air manis, lalu dimasukkan ke botol dot dan diberikan kepada Samiun.
Itu dilakukan karena Samiun tak lagi diberi air susu ibu. Ketika air manis diberikan,
anak itu tak juga diam.
Fatimah memasang ayunan di ruang tengah. Ia menidurkan anak itu di sana. Ia
mendendangkan syair dodaidi. Butuh empat jam hingga Samiun kembali terlelap,
dari katup mata yang terbuka dan diiringi lengkingan tangis yang membuat riuh
gampong.
Laa ilaa ha illallah... Muhammadun(r) Rasulullah... Laa ilaa ha illallah... Kalimah
taybah, keu payong pagee (1) Meu seulaweut keu Rasulullah (2) Nak geu kubah
jalan di akhe (3) Beurijang rayek si gam mutuah... (4) Jak peulupaih nibak ceulaka
(5) Jak prang maksiet beubagah-bagah (6) Bekna gundah nibak hatee (7) Bek
takot hai aneuk mutuah (8) Bek ta surot langkah peudong agama (9) Le that jaroe
nyang meudarah (10) Gabuek lam gapaih man sigom donya (11) Ka lawan ureung
peu hanco ngoen buet teugaih (12) Bek le meu gundah bah pih nyawong keulua
(13) Laa ilaa ha illallah... Muhammadun(r) Rasulullah... Laa ilaa ha illallah...
Muhammadun(r) Rasulullah... Siang itu, hari masih terik. Panasnya menyengat.
Matahari perlahan mulai beranjak ke ufuk barat. Terasa pelan. Anak-anak sekolah
masih terlihat sedang menuju rumah masing-masing. Dari depan rumah, Fatimah
menatap anak-anak sekolah yang tampak jelas sedang berpeluh keringat. Mereka
menelusuri jalan gampong yang penuh kerikil tajam.
Jalan gampong tepat berada sebelah barat rumah itu. Sebagian jalan yang
menghubungkan dengan gampong di utara sudah dibeton sejak tahun 1988.
Beton itu berukuran sekitar 40 sentimeter. Dua sisi sejajar berada di kiri dan
kanan jalan. Kalau sebuah mobil, memang pas berjalan di atasnya. Sedangkan di
sisi jalan, sudah dipenuhi semak, karena tak dibersihkan dengan meuseuraya,
gotong royong.
Jalan dibangun cepat, karena Partai Blau di gampong ini menang pada tahun
1987. Kalau yang menang itu Partai Biru atau Gelap, malah tidak mendapat apa-
apa, ketika secara nasional Partai Blau yang menjadi pemenang. Seperti beberapa
gampong lain. Saat itu, semua orang seperti harus memilih Partai Blau itu. Kalau
tidak, akibat yang akan diterima gampong akan parah.
Gampong yang tak bisa memenangkan Partai Blau, sudah ada kasak-kusuk
keamanan. Setiap malam harus ronda dan para orang gampong yang menjadi
penjaga sering direndam aparat keamanan di sungai, karena kedapatan sedang
lelap. Di gampong-gampong yang memenangkan Partai Blau jarang terjadi
seperti itu.
Banyak elite politik yang tidak memikirkan efek yang akan diterima orang
gampong. Orang-orang yang sudah berhasil terpilih untuk duduk di dewan,
akhirnya lupa kepada pemilih yang tetap morat-marit. Tak ada perubahan ketika
ada atau tidak wakil mereka di sana.
Zaman ini, wakil diberi gaji yang besar dengan berbagai fasilitas mewah. Tak
terlihat mereka sebagai pelayan, karena mereka selalu harus dilayani dengan
baik.
Orang-orang yang vokal waktu berkampanye, sering meninggalkan orang
gampong seorang diri, dan tidak ada yang mendampingi, ketika berbagai 'hantu
Blau' datang ke gampong, karena orang gampong tak memilih Partai Blau.
Saat itu, Partai Blau memang partai top. Gampong inilah yang kedapatan salah
satu program pembangunan, karena memenangkan Partai Blau. Gampong yang
telah melalui berbagai peristiwa pahit. Kini, kepahitan itu kembali datang, dan
orang tua-orang tua di sini sudah tidak mau anak-anaknya terus menderita.
Anak-anak mereka yang sudah sekolah sampai ke jenjang sekolah menengah
atas, ingin diberi berbagai pilihan oleh orang tuanya. Pada masa lalu ada yang
masuk ke perguruan tinggi, ada juga yang menjadi polisi dan tentara, juga yang
menjadi pegawai negeri.
Ketika pemberontakan terjadi, ada juga beberapa anak muda yang masuk
menjadi tentara pemberontak.
Ketika panas menyengat, rumput-rumput sama sekali tak ber gerak. Angin siang
sedang beristirahat di kaki Bukit Cot Me. Bukit kecil itu berada di ujung selatan
persawahan Masjid yang luas. Orang-orang yang baru pulang dari Bukit
Tumatang, sibuk mengipas-ngipas diri di serambi rumah.
Dulu, selalu terlihat orang-orang yang sedang menghabiskan siang di bawah
meunasah (surau) tinggi. Meunasah panggung. Tempat duduk panggung yang
terbuat dari bambu yang tak dibelah di bawah meunasah, dipenuhi orang-orang
yang beristirahat. Sebagian saling ngobrol. Duduk bersila. Satu-dua selalu terlihat
keluar dari meunasah baru. Mereka baru saja selesai melaksanakan salat zuhur.
Di halaman meunasah, tampak beberapa ekor kambing yang sedang merumput.
Meunasah panggung di gampong itu memiliki 20 tiang. Empat tiang utama
menopang di masing-masing sisinya. Sehingga, secara keseluruhan berjumlah 16
tiang. Sedangkan empat tiang lagi menahan atap di dua tangga depan, terletak di
sebelah barat ujung kanan dan kiri meunasah.
Dua buah tangga meunasah tersebut masing-masing memiliki 19 anak tangga.
Antara satu anak tangga dengan yang lain memiliki jarak sekitar 40 sentimeter,
dengan kemiringan tangga sekitar 30 derajat.
Meunasah tinggi sudah berusia 70 tahun. Beberapa papan lantai dengan tebal
sekitar 5 sentimeter sudah tampak terkelupas. Tampak ukir an tradisional yang
terukir di dinding yang tingginya 45 sentimeter.
Di gampong ini, sudah dibangun sebuah meunasah baru yang permanen.
Berpagar indah. Punya dua pintu. Sekelilingnya sudah dibuat tangga dengan
sedikit ukiran.
Meunasah itu tidak dirobohkan saat meunasah baru yang permanen sudah
dibangun. Jadi, di gampong itu sudah memiliki dua meunasah yang saling
berdekatan, yang berada dalam satu pagar.
Tak jauh, di sebelah barat meunasah, ada sebuah sungai yang mengalir. Tidak
terlalu besar sungai itu. Sungai itu meliuk-liuk mengikuti alur gampong yang tidak
rata. Air sungai sudah cokelat. Sama seperti air sumur Fatimah yang berada di
depan rumah, yang di dalamnya mengipas-ngipas akar rumbia.
Hampir tak ditemui bebatuan di pinggir sungai. Sepanjang bantaran terlihat
lumpur liat yang menjijikkan.
Melewati 24 April malam itu, masa terasa panjang bagi Fatimah, karena Sabalah
tak mengetuk gua sembilan kali. Kamis dini hari itu, Sabalah tak mendekap
Fatimah sama sekali. Seperti sudah seminggu ia lakukan, sejak 17 April, saat tamu
tak diundang datang ke rumah mereka.
Jantung Fatimah berdegup kencang, gundah-gelisahnya menggunung, ketika
beberapa waktu terlewati setelah ayam berkokok tiga kali di ujung gampong, tapi
Sabalah tak juga mengetuk gua. Padahal, lengkingan ayam jantan itu sudah
terdengar yang ketiga kalinya.
Mungkin, masa itu telah tiba, pikir Fatimah.
"Ah, aku tak boleh berpikir yang macam-macam," Fatimah ber usaha menepis
berbagai pikiran.
Tiba-tiba ia teringat masa kecil, ketika orang tuanya mengingatkan Fatimah
untuk tidak berjalan sendiri, karena di gampong ada halum bili (binatang dalam
sebuah legenda) dan gegasi (manusia raksasa yang hidup di hutan) di mana-
mana. Mereka sedang meng hantui gampong.
"Tapi, mungkinkah Cutbang diambil halum bili atau gegasi?" tanya Fatimah,
membatin.
Rasanya, malam itu yang datang bukan halum bili atau gegasi, tapi manusia. Ya,
manusia! Pikirnya.
Sesekali, Fatimah menoleh ke samping kanan, menatap wajah Samiun dalam
kelam. Ia tak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan tamu-tamu terhadap
Sabalah, yang malam itu datang tanpa memberi salam, bila akhirnya mereka
mendapatkan Sabalah. Sangat jelas, mereka tidak datang dengan salam sepuluh
jari, layaknya orang yang bertamu.
Mereka tak mungkin sebagai halum bili, pikirnya lagi.
Tamu tak diundang di gampong bisa datang kapan saja. Bisa datang siang
ataupun malam. Tentu, dengan bentuk yang berbeda. Tapi, halum bili akan
datang ketika terik sampai di ubun-ubun, saat tak ada seorang pun yang
melihatnya. Cerita orang gampong, orang-orang yang datang sendirian ke sungai
akan diterkam, lalu dikunyah-kunyah di kedalaman sungai.
Halum bili menunggu orang gampong di tepi sungai!
Mereka juga tak mungkin sebagai gegasi, pikir Fatimah lagi.
Gegasi itu berbadan besar, berambut tebal, bergigi baja, seperti kapak. Tapi,
tamu tak diundang dan tanpa memberi salam malam itu, tak berukuran, seperti
yang diceritakan orang gampong.
Gegasi itu juga hanya menunggu orang gampong di tepi hutan!
Ah, aku tak boleh berpkir macam-macam, Fatimah lagi-lagi membatin.
Fajar hampir menyingsing saat mata Fatimah tidak terkatup seperti malam
sebelumnya, yang menunggu cutbang-nya mengetuk gua sembilan kali. Lampu
templok ruangan tengah tak menebar bayang-bayang. Tak ada gemerisik daun
cokelat di samping rumah. Beberapa kali Samiun membolak-balikkan badannya
dalam lelap.
Fatimah dengan setia menunggu suaminya pulang ke rumah, lalu suaminya itu
akan pergi lagi, setelah mendekapnya kuat-kuat.
"Aku akan pulang ke rumah selalu menemuimu," kata Sabalah selalu, sebelum
meninggalkan Fatimah.
Gumamnya kembali tersentak ketika kokok ayam kembali membahana di
gampong. Lalu, subuh akan datang, menunggu fajar mulai menerangi jagat
sedikit demi sedikit. Lalu, mentari pagi menebarkan cahayanya ke bumi.
Fatimah bangkit dari ranjang yang sudah tua. Ia menuju timba plastik yang berisi
air di sudut dapur. Ia segera berwudu untuk melaksanakan sembahyang subuh. Di
atas tikar sembahyang, Fatimah masih sempat menoleh ke kanan, Samiun masih
lelap, sebelum akhirnya ia bertakbir.
Selesai sembahyang subuh, Fatimah kembali merebahkan tubuhnya di atas
ranjang. Ia sempat membuka gua kecil dan melihat ke bawah. Ia berpikir, siapa
tahu cutbang-nya sedang melilit tubuhnya seperti keong di atas tumpukan kayu
bakar yang tersusun tak teratur di bawah rumah.
Sama sekali kosong di bawah sana.
Sesampai di ranjang, ia kembali ingat perkataan cutbang malam Rabu.
"Bisakah Cutbang pergi ke Malaysia untuk beberapa waktu?"
"Cutdek takut sekali, Cutbang. Tapi, Cutdek bukannya mau menahan Cutbang!"
Mungkinkah Sabalah pergi ke sana tanpa berpamitan pada Fatimah?
Rasanya, tidak mungkin. Sama sekali tak mungkin, pikirnya. Itu bukan kebiasaan
Sabalah.
Fatimah bangkit dari tempat tidur, sebelum bayang-bayang menggunung lebih
besar lagi. Ia segera turun ke bawah untuk meraih sapu lidi dan membersihkan
halaman dari ceceran daun cokelat yang berserakan.
Sepertinya, angin sedikit keras mengipas-ngipas, hingga banyak dedaunan yang
jatuh pagi itu.
Tak selesai itu dilakukan, Fatimah harus segera naik ke rumah lagi, karena Samiun
sudah melengking di atas ranjang. Ia akan menangis sejadi-jadinya, saat
membuka mata tak menangkap ada Fatimah di sampingnya.
Ssstt, ada Mak, ada Mak, bisiknya dalam hati.
Ketika sampai ke atas, Fatimah segera meraih tubuh Samiun dan
menggendongnya. Tapi, Samiun tak berhenti menangis. Ia menangis dengan
keras. Sampai-sampai, tetangga datang ke rumah itu. Para tetangga seperti
sudah memberanikan diri untuk saling menyapa dengan Fatimah. Padahal, sudah
seminggu tak dilakukan, karena mereka juga tahu ada tamu tak diundang yang
datang ke rumah Fatimah.
Tak ada yang mau mencari-cari masalah pada saat zaman buruk seperti itu.
Orang-orang yang bertanya-tanya sekalipun akan terkena imbas akhirnya. Lagi
pula, mereka tidak tahu sama sekali, siapa tamu yang tak diundang itu. Sama
sekali tak tahu.
Dari balik dinding malam itu, mereka hanya melihat ada bayang-bayang senjata
yang dipegang oleh beberapa orang, yang mungkin berpakaian hitam. Tapi,
menurut orang yang tinggal di rumah di depan meunasah, jumlah tamu itu sama
sekali bukan delapan orang, tapi lebih. Mereka melihat beberapa orang berdiri di
pinggir pohon melinjo dengan memakai penutup kepala.
Tapi, mereka tidak mau menebak-nebak, karena gelap malam itu hanya
menyisakan sedikit bayang.
Pagi itu, mereka naik ke rumah Fatimah. Mereka seperti melupakan bahwa di
zaman buruk, dinding-dinding bisa turut berbicara. Sesama orang gampong sudah
saling curiga dan ada rasa takut yang sangat.
"Ke mana Sabalah?" tanya mereka.
Pertanyaan itu kontan membuat Fatimah terasa berat. Ia lang sung ingat
tendangan yang memecahkan palang pintu rumahnya.
Seperti wanita lain, Fatimah juga akan menjaga Sabalah sepanjang waktu.
Karena itu, ia tak akan menjawab pertanyaan itu sampai kapan pun. Karena, di
zaman buruk itu, dinding-dinding rumah sekalipun bisa turut berbicara.
Samiun tak berhenti menangis. Hari sudah siang. Seperti tak ada obat yang
mampu mendiamkannya. Fatimah sudah membuat air manis, lalu dimasukkan
dalam botol dot dan diberikan kepada Samiun. Tak juga diam. Lalu, dia menyu sui
bayinya kembali, yang sebenarnya sudah dihentikan beberapa bulan lalu. Samiun
tak juga diam.
Fatimah tak henti membaca syair dodaidi. Biasanya, Samiun akan diam setelah
beberapa saat. Tapi, ketika itu Samiun tak juga diam.
Para tetangga gampong yang sedari tadi di sana, satu per satu pulang ke rumah
masing-masing.
Fatimah sama sekali tak menceritakan ada delapan tamu sedang mencari
suaminya, saat senja seminggu yang lalu. Orang-orang gampong tahu sendiri dari
mulut ke mulut, karena ada seseorang yang mengintip lewat celah dinding dan
melihat ada bayang yang masuk ke rumah mereka.
Mulanya, hanya beberapa orang yang tahu. Tapi, dalam beberapa hari saja,
desas-desus tentang Sabalah sudah diketahui seluruh gampong. Mereka mengira
Sabalah sudah dibawa malam itu. Mereka tak tahu bahwa Sabalah ternyata
sempat turun lewat gua, saat tamu tak diundang itu memperlihatkan niat yang
tak baik.
Mereka juga tak berani menanyakan kepada Fatimah. Mereka tak ingin tahu dari
Fatimah, karena takut akan terlibat dalam masalah itu.
Kepada sesama penduduk gampong, orang-orang hanya mempertanyakan
kesalahan apa dan kepada siapa Sabalah bersalah.
Di zaman-zaman buruk, orang-orang bisa dianggap bersalah kapan saja dan bisa
oleh siapa saja. Apalagi, mayat-mayat sering ditemukan dalam kondisi yang tidak
wajar sebagai manusia.
Maka, wajar jika orang-orang gampong menjadi ketakutan. Ketika seorang warga
mendapatkan masalah seperti itu, tak ada orang yang menanyakan keadaan,
apalagi untuk berusaha mencari tahu.
Masalah lainnya, akan mencari tahu di mana dan kepada siapa? Di zaman buruk,
ini juga menjadi tidak jelas.
Banyak orang yang kemudian memilih berdiam di dalam rumah saja. Tak hanya
malam. Siang pun umumnya rumah-rumah akan terkunci rapat.
Persoalan bayang sudah menjadi ketakutan di gampong pada zaman buruk.
Wanita-wanita di gampong akan mendekap erat suaminya sepanjang malam. Tak
sedetik pun mereka mengizinkan suaminya keluar rumah.
Anehnya, pada zaman buruk itu, wanita-wanita sudah jarang mengeluarkan air
mata. Mereka seperti sudah sangat kebal dengan berbagai keadaan. Justru para
suami yang menjadi makin ketakutan akan keadaan gampong yang tak menentu.
Sabalah juga sudah berkali-kali mengungkapkan kegelisahannya kepada Fatimah.
Mereka saling berbisik di tempat tidur.
"Akhir-akhir ini banyak orang yang masuk ke gampong kita," kata Sabalah,
malam sebelum tamu tak diundang itu datang.
"Apa Cutbang melihatnya?"
"Tidak. Cutbang tak melihatnya!"
"Lalu, Cutbang dengar dari mana?"
"Dari orang-orang."
"Bukankah tak ada lagi orang-orang nongkrong selama ini?"
"Tapi, mereka kan saling berbisik!"
"Berbisik dengan siapa?"
"Ya, dengan orang-orang gampong!"
"Cutbang! Kalau tak lihat, baiknya jangan diceritakan saja!"
"Ya, tapi Cutbang tak enak perasaan!"
"Ah, jangan terlalu dibawa ke perasaan. Nanti Cutbang sakit jantung!"
"Tapi, masa, sih, Cutdek tak dengar?"
"Dengar, sih, Cutbang. Tapi, kabar angin itu kan bisa benar, juga bisa salah!
Cutbang, kita selalu jadi korban kabar angin!"
Fatimah terus berusaha mendiamkan Samiun yang sedang menangis keras. Ia
seperti tak mau diberikan apa saja. Air manis dalam botol dot. Bahkan, Fatimah
menyusuinya. Tapi, Samiun tak juga diam.
Fatimah seperti sudah habis akal. Tak pernah Samiun seperti itu. Memang, waktu
bangun pagi, bila tak ada Fatimah di sampingnya, ia akan menangis. Tapi, ketika
Fatimah menggendongnya dan mendendangkan syair dodaidi, Samiun akan diam.
Kali ini tidak. Fatimah bahkan sudah mengalunkan syair berjam-jam.
Sungguh, Fatimah merasa sulit mendiamkannya. Ia sampai tak bisa sembahyang
zuhur, karena lengkingan Samiun makin menjadi.
Fatimah akhirnya menggendong Samiun untuk membawanya ke mantri di
gampong. Tidak jauh dari rumahnya. Hanya beda lorong. Tetapi, sesampai di
sana, pintu rumah itu terkunci rapat. Seperti tak ada seorang pun di dalamnya.
Ia kembali membawa ke depan meunasah, setelah melihat ada beberapa pemuda
yang kebetulan sedang berbicara. Ia minta diantarkan ke kota untuk mencari tahu
apakah Samiun sedang sakit. Tapi, tak ada pemuda yang mau, karena mereka
takut akan terjadi apa-apa.
Samiun tak berhenti menangis, saat Fatimah terduduk lemas di sana.
Sangat ironis, perubahan gampong terjadi dalam tiba-tiba. Setelah ada tamu tak
diundang datang ke rumahnya, ketakutan warga gampong makin menjadi-jadi.
Akhirnya, Fatimah memberanikan mengetuk rumah-rumah yang di dekat
meunasah. Ia mengetuk pintu rumah itu seperti kesetanan. Ia sudah tak peduli
jika pemilik rumah akan keluar dan memarahinya, memperlihatkan wajah yang
padam dengan mata yang merah seperti saga.
Tapi, tetap tak ada yang keluar. Hingga Fatimah menjerit di tengah halaman
meunasah sejadi-jadinya.
"Hei, para lelaki, ke mana kalian bersembunyi?"
Saat itu, Fatimah terlihat sangat tegar.
"Tidakkah kalian harus memperlihatkan kekuatan kalian? Apakah kalian tak sadar
akan kejantanan kalian?" Kata-kata yang keluar dari mulut Fatimah, makin tak
terkontrol.
"Lihat diri kalian! Lihat! Di mana tanggung jawab kalian untuk melindungi wanita
gampong?"
Fatimah tak berhenti berteriak lantang. Tapi, tak ada orang-orang yang keluar
dari rumahnya yang terkunci rapat.
Gampong itu seperti kehilangan kekuatan. Tak ada juga keberanian dari keusyik
(kepala kampung), yang sudah mengundurkan diri beberapa waktu lalu, karena
tak berani bertanggung jawab atas keselamatan orang-orang di gampong.
Zaman buruk, katanya, sangat membahayakan jiwa siapa saja.
Setelah mundurnya keusyik, tak ada lagi yang memimpin gampong ini. Akhirnya,
jabatan keusyik dipegang oleh camat di kecamatan.
Tak ada laki-laki yang keluar, ketika Fatimah menjerit-jerit. Tak ada wanita yang
keluar, ketika Fatimah menjerit-jerit.
Ketika itu, Fatimah terlihat benar-benar seperti orang lemas. Ia terduduk di
halaman meunasah yang berumput tebal dengan dikelilingi kotoran lembu.
Tak berapa lama, seorang wanita muda mendekati Fatimah. Ya, Suhaibah
namanya. Ia baru pulang dari meudagang (memperdalam ilmu agama di
pesantren). Wajahnya tak begitu kokoh seperti raksasa yang akan melawan siapa
saja.
Dipegangnya tangan Fatimah untuk bisa berdiri tegak. Mereka berdua menatap
dinding-dinding langit. Tiba-tiba, Samiun berhenti menangis. Hari sudah sore.
Suhaibah menuntun tangan Fatimah untuk pulang ke rumah, yang halamannya
sudah kembali penuh dengan ceceran daun cokelat, setelah pagi tadi disapu
sampai bersih.
"Kita harus kuat!" kata Suhaibah, pendek.
Suhaibah, membelakangi Fatimah. Ia meninggalkan rumah Fatimah bersama
Samiun yang sudah diam.
Saat itu, jingga langit di balik bukit sebelah barat sudah merekah. Itu sebagai
pertanda semua orang gampong harus mengunci pintu rumahnya rapat-rapat,
karena masa itu adalah zaman buruk.
Fatimah masih sedang menyapu halaman pada Jumat pagi itu. Seorang anak
gampong dengan tergesa menjumpainya.
"Cutma... Cutma... Polem (panggilan untuk orang yang lebih tua) Balah, Cutma,
Polem Balah...."
Napas anak itu tampak terengah-engah.
"Kenapa dengan polem-mu?"
"Polem Balah... Polem Balah...."
Anak itu langsung berlari menuju rumahnya di ujung lorong. Fatimah belum tahu
apa yang disampaikannya. Ia kembali melanjutkan membersihkan halaman. Tapi,
pikirannya mulai tak tenang. Gelembung gundah tiba-tiba mengkristal. Segera ia
menyelesaikan pekerjaannya itu.
Tak berapa lama, seorang penduduk gampong datang menjumpai Fatimah. Tapi,
ia juga tak memberitahukannya dengan jelas. Ada seseorang yang
memberitahukan kepadanya, bahwa seseorang sedang berada di kebun pinang
Cot Me.
Lelaki itu adalah Bardan, keusyik yang sudah mengundurkan diri. Tapi, ia sendiri
tak tahu, siapa yang bilang dan perihal siapa yang dimaksud dengan seseorang di
kebun pinang.
Bardan mengetahui dari desas-desus bahwa Sabalah tak ada lagi di rumah. Ia
mendengar, Sabalah sudah dibawa oleh rombongan tamu.
"Apakah mencari Polem Sabalah?" tanya Bardan.
Ketika Fatimah tak menjawab, Bardan juga meninggalkan Fatimah yang sedikit
bengong di halaman rumahnya.
Seburuk inikah zaman ini, pikirnya.
Dengan cepat Fatimah langsung naik ke rumah. Sesampai di sana, ia melihat
Samiun yang masih terlelap. Berkali-kali ia mengelilingi rumah dan tak tahu apa
yang mau dikerjakan.
Fatimah benar-benar terlihat bingung.
Ia juga beberapa kali membuka gua kecil dan menatap ke bawah. Ia
membayangkan Sabalah sedang mengayunkan tubuhnya naik ke rumah.
"Ke mana engkau, Cutbang?" gumamnya.
Suhaibah yang datang tanpa mengetuk pintu, begitu mengagetkan Fatimah. Ia
terkejut hebat.
"Astaghfirullah...."
"Kita harus pergi ke sana!" tegas Suhaibah.
Tiba-tiba, saat pagi datang, Suhaibah mendengar kabar seseorang itu. Karena itu,
ia segera menuju rumah Fatimah.
"Tapi, aku gelisah. Sangat gelisah."
"Siapa yang tak gelisah? Tapi, sepertinya kita harus kuat!"
Suhaibah turun ke bawah dan hilang dalam sekejap.
Rupanya, ia pergi mengetuk beberapa rumah tetangga dengan pelan, memberi
salam, mengucapkan assalamualaikum, lalu me ngajak mereka ramai-ramai pergi
ke Cot Me. Hanya Jamilah dan Habsah yang mau. Jamilah adalah istri Bardan,
sedangkan Habsah, istri Teungku Jafar, teungku di gampong yang akhir-akhir ini
juga memilih berdiam diri di dalam rumah yang terkunci.
Matahari belum tinggi saat mereka berempat memutuskan untuk pergi ke Cot Me
untuk melihat seseorang. Ya, melihat seseorang, yang informasi tentangnya
diberikan oleh seseorang. Mereka tidak ditemani oleh lelaki siapa pun. Fatimah
membawa serta Samiun yang masih terlelap.
Ketika memutuskan untuk berangkat, wajah mereka tak terlihat pucat. Memulai
berjalan, anak di gendongan Fatimah itu terjaga.
Di jalan, mereka sama sekali tak sempat berpikir, bagaimana bila berpapasan
dengan orang lain. Tak berpikir. Padahal, kepengecutan lelaki di gampong itu
muncul karena bayangan akan bertemu muka dengan orang-orang, yang
kebetulan sedang melintasi jalan mereka.
Mereka harus berjalan ke tepi gampong, sebelum melalui jalan setapak yang
sudah sunyi. Tapi, gampong juga sudah seperti mati.
Suara jangkrik seperti mengikuti irama langkah mereka yang tak teratur. Dalam
genangan air di kanan-kiri jalan setapak menuju Cot Me, masih terdengar bunyi
kodok yang sedang berdendang.
Fatimah tak membawa apa-apa, selain sehelai batik baru yang dibungkus dalam
kain sarung gendongan anaknya. Perjalanan tersebut hanya dua kilometer dari
gampong. Tak butuh waktu lama untuk sampai ke sana. Tapi, ketika zaman
buruk, tak ada seorang gampong pun yang pergi ke bukit, karena diyakini bisa
berakibat fatal.
Kini, Bardan memberitahukan ada seseorang di bukit Cot Me yang diberikan oleh
seseorang. Fatimah merasa sangat gundah. Karena itu, ia ingin menemui Sabalah,
yang tak mengetuk gua sembilan kali selama dua senja yang sudah lewat.
Hanya karena itu, Fatimah seperti memiliki kekuatan, walau mungkin Sabalah ada
di bukit, ada di tempat yang berbahaya. Maka, Fatimah, bersama dengan tiga
wanita lain datang menjemputnya. Tiga wanita perkasa yang menemaninya ke
sana.
Barangkali benar, harapnya.
Fatimah tidak bisa berjalan cepat lagi. Ia sudah berumur. Apalagi, zaman buruk
sangat menguras kondisi psikologisnya. Ia tampak lebih tua dua kali lipat dari
umur aslinya.
Tak seorang pun ditemui dalam perjalanan itu. Tak ada siapa-siapa yang
berpapasan muka. Jalan setapak yang dulu bersih, kini sudah dipenuhi semak,
karena tak ada orang yang melaluinya.
Beberapa kali mereka harus membersihkan rumput gajah yang selutut, yang
sudah menutupi jalan setapak.
"Jalan saja, tak perlu menoleh kanan-kiri," tegur Habsah.
"Ya," jawab Suhaibah.
Habsah melihat Suhaibah yang berjalan tak tenang, karena kondisi jalan yang
begitu sepi. Tak ada siapa-siapa.
Begitu sampai di pagar kebun yang dituju, Fatimah melangkah lebih dahulu.
Sehelai batik solo panjang yang masih baru, diapit di tangan kanannya. Samiun,
tak seperti pagi kemarin, tak menangis terus-menerus. Ia tampak tenang dalam
gendongan, walau kondisi sangat sepi.
Ya, kebun pinang itu.
Kebun yang tidak ada lagi penanda, karena kawat duri sebagai pagar sudah tak
terlihat lagi. Mungkin, sudah jatuh ke tanah dan pemiliknya tak berani
memperbaikinya, sehingga kebun ini terlihat bagai tak ada pemilik. Semak
belukar sudah setinggi pinggang.
Hanya pohon pinang yang mengelilingi kebun, yang dapat ditandai sebagai
pembatas. Mungkin, pagar berada di dekat pohon pinang yang berjejer. Di dalam
kebun itu juga ada pohon kelapa dan pohon cokelat. Dari jauh, kebun itu tampak
seperti hutan besar, karena tanamannya tak pernah dirawat.
Kebun itu sangat luas. Mungkin sampai empat hektar. Dengan semak belukar
yang lebat, mereka tak bisa melihat, bila ada orang di sudut yang lain.
"Kita tak boleh berpencar!" tegas Jamilah.
"Husss, jangan berbicara!" kata Habsah.
Tak ada lagi yang berbicara setelah itu. Keempatnya hanya memandang dari
sudut ke sudut yang lain. Mereka mencari kalau-kalau ada Sabalah di sana.
Mereka tak memanggil atau menjerit.
"Cutbang pasti tak akan mendengarnya," kata Fatimah, yakin.
Suhaibah lalu menemukan sebuah penunjuk. Beberapa semak yang sudah patah-
patah. Semak yang ditemui di sana adalah putri malu yang berduri dan batang
seraput. Lalu, mereka mengikuti deretan semak yang patah-patah itu. Tak jauh
dari sana ditemukan sebuah balok kecil yang terdapat sembilan titik darah di
gagangnya.
Semak patah-patah seukuran pinggang itu sangat membantu mereka
menemukan ada sesuatu di sebuah sudut. Ada sesuatu. Bahkan, dalam kepungan
semak, batang yang patah itu seperti ruang panjang. Mereka mengikutinya
seperti air yang mengikuti alur.
Mereka terus berjalan dengan pelan. Dua tangan mereka membersihkan semak
yang menerkam sarung yang mereka pakai. Sesekali, harus dibersihkan beberapa
pohon kecil yang sudah merintangi perlaluan.
Akhirnya, mereka semua terpatung tiba-tiba, saat Suhaibah tak berbicara sepatah
kata pun. Suhaibah menunjuk ke satu arah: seseorang yang sedang goyah di
pohon pinang. Berdirinya tak lagi kokoh, memandang ke tanah, dengan tangan ke
belakang. Ya, tertunduk memandang ke tanah.
Mereka berusaha mencapai jarak yang lebih dekat, walau hati berdegup kencang.
Apakah mereka akan bertatap muka dengan seseorang? Suhaibah tak mendekat.
Mungkin, mata Suhaibah lebih terang dari tiga wanita yang lain yang sudah tua,
sehingga Suhaibah dengan jelas dapat melihat seseorang yang hanya bercelana
dalam berwarna cokelat, dengan tangannya sedang terikat ke belakang di
sebatang pohon pinang muda. Tinggi pohon pinang itu tak lebih dari dua meter.
Belum berbunga.
Suhaibah benar-benar tak bisa menggerakkan kakinya.
Ketiga wanita itu terus mendekat sampai hanya tersisa beberapa meter saja.
Ketika sampai di dekat tubuh itu, mereka terperangah hebat.
"Astaghfirullah," ucap Jamilah dan Habsah, bersamaan.
Jamilah lalu terpatung beberapa saat, ketika Fatimah masih ber usaha mendekat
dan makin mencium bau orang yang sangat dikenalnya. Ya, Sabalah. Fatimah
berusaha lebih dekat lagi. Tidak salah lagi, itu adalah Sabalah. Wanita itu berjalan
bersama anak dalam gendongan.
"Cutbang!" seru Fatimah, sedikit keras.
Seketika, Samiun mengeluarkan kata-kata pertama dalam hidup, dan ia
mengucap sebutan itu dengan pasti, "Abu!"
Fatimah terlihat sangat tegar. Tak meneteskan air mata barang setitik pun. Ia
berdiri di depan Sabalah. Tangan kirinya memegang punggung Samiun yang
berada di gendongan, sedang tangan kanannya digerakkan perlahan-lahan,
menyentuh wajah yang sudah beku itu. Fatimah membelai rambut Sabalah yang
menegang, karena lumuran darah yang sudah mengering.
"Cutbang!" panggilnya, pelan.
Ketiga wanita di sampingnya masih terpatung. Lambat laun mereka berusaha
mendekat. Lutut Suhaibah sampai bergetar hebat. Langkahnya hampir tak bisa
diayunkan lagi. Jamilah dan Habsah tampak pucat pasi.
Fatimah masih bisa mengamati sekujur tubuh Sabalah. Hanya bercelana dalam.
Di tubuhnya kini ternganga sembilan lubang. Dua lubang di antaranya masih
terlihat mengeluarkan darah. Ia menghitung dari ujung rambut sampai ujung
kaki. Mulai dari balik telinga, ada satu lubang. Di bawah mulut, ia temukan satu
lubang. Lalu, ia melihat di leher yang terbuka satu liang.
Terus ia melihat ke bawah. Di antara ketiak dan payudara ada satu, dan satu di
dada sebelah kiri. Kemudian di perut, tumit, dan jempol kaki kanan. Fatimah
meraba celana dalam Sabalah dan kemudian memasukkan tangannya ke
dalamnya, karena melihat darah juga mengering di celana. Di sana, Fatimah
menemukan dua lubang lagi.
Dua lubang yang masih mengeluarkan darah adalah di tumit dan di dada sebelah
kiri. Sedangkan tujuh lubang yang lain sama sekali tak mengeluarkan darah lagi.
Darah yang tumpah sudah menge ring seperti keping-keping.
Fatimah melihat dua tangannya yang terikat ke belakang menggunakan tali nilon
berwarna biru. Tali nilon itu dililit dari pergelangan tangan sampai siku. Kedua
pangkal tangannya diikat ketat di pohon pinang itu, sehingga bisa menahan
tubuh yang hampir roboh.
Mulut Sabalah masih menggantung setetes darah yang mengering seperti
benang. Kaki Sabalah sedikit terlipat dan setengah menggantung. Sepertinya, tali
yang terlihat sampai ke sikunya yang menyebabkan ia setengah tergantung. Di
lehernya terdapat bekas tali. Sabalah terlihat menunduk ke bawah, ke tanah,
karena tali nilon di lehernya sudah dilepaskan dan terburai di tanah yang
bersemak.
Di samping pohon pinang, beberapa daun sudah terpercik darah. Ada empat
selongsong peluru di ujung tali nilon yang terburai.
Tak ada kayu atau balok di sekitar pohon pinang. Fatimah ber usaha menemukan
bekas jejak, tapi tak ada. Mungkin seseorang sudah menghapusnya, pikirnya.
Fatimah lalu mendekat ke tubuh Sabalah. Hingga antara tubuhnya dan tubuh
Sabalah tak ada lagi ruang.
"Apa Cutbang tak ingin menatapku?" tanyanya.
Ia mengusap wajah itu dengan bersahaja. Batik baru yang dibawa dari rumah
dililit di ujung jarinya, kemudian membersihkan wajah Sabalah yang berlumur
darah.
Suhaibah tak bisa menahan lengkingan yang sudah pecah. Sungguh tak bisa.
"Ya, Allah," teriaknya, keras.
Habsah dan Jamilah memeluknya.
"Tak boleh begitu! Tak boleh!" kata Habsah.
Suhaibah terdiam.
Fatimah masih membelai wajah Sabalah, saat ketiga wanita itu berusaha
melepaskan ikatannya. Habsah membuka simpul tali nilon di siku Sabalah dengan
menggunakan giginya.
Tubuh Sabalah berada dalam dekapan Fatimah untuk beberapa waktu, ketika
simpul tali nilon sudah dilepas dari pohon pinang muda.
"Aku ingin berada dalam dekapan Cutbang lama-lama," bisik Fatimah.
Ketiga wanita itu mencoba memegang tubuh itu. Mereka memegang dua tangan
Sabalah yang sudah kaku. Suhaibah memegang tubuh dari belakang dengan
kedua tangannya. Kedua tangan Suhaibah dimasukkan ke bawah ketiak. Sedang
Fatimah berada di depan.
"Sebentar, aku masih ingin memeluk Cutbang!" larang Fatimah.
"Kita bawa pulang saja dulu, nanti di rumah bisa memeluk lagi," kata Suhaibah,
setengah bergetar, dengan mata berkaca-kaca.
"Tidak, aku mau di sini. Cutbang sudah beberapa senja tak pulang ke rumah. Aku
sangat rindu padanya! Biasanya, Cutbang akan pulang saat menjelang subuh. Ia
akan membelai dan memelukku, aku akan mendekapnya. Tapi, Cutbang sudah
lama tak pulang. Kenapa kalian tak membiarkanku melepaskan rindu di sini.
Bukan di rumah!"
"Tapi...."
Suhaibah tak melanjutkan kata-katanya. Lidahnya terasa kelu. Gelombang kaca
makin terpancar dari matanya yang mulai sayu. Ia berdiri memegang bahu
Fatimah dengan tangan kirinya. Tangan kanannya membelai rambut Samiun yang
sama sekali tak menangis.
Sedangkan Jamilah mencari dua pokok bambu di pagar yang sudah roboh.
Pandangannya liar ke kanan-kiri. Matanya tak lekang memandang Fatimah
bersama Habsah dan Suhaibah. Ia ingin menggunakan bambu itu untuk menandu
tubuh Sabalah ke rumah.
"Belum lepaskah rindu Cutpo kepada Polem Balah?" tanya Suhaibah lagi.
"Baiklah. Tapi, aku akan mendekapnya lagi sampai di rumah. Aku janji!"
Suhaibah memberi kode kepada Jamilah dan Habsah agar segera memikirkan
cara mengangkat tubuh Sabalah. Dua batang bambu yang diambil Jamilah dari
pagar yang roboh didekatkan ke tubuh yang sudah dibaringkan di atas semak.
Fatimah masih memegang wajahnya. Matanya tak lekang memandangi wajah
Sabalah.
Fatimah mengeluarkan batik panjang itu. Jamilah mencoba memasangnya, tapi
tak bisa. Habsah mencoba membalut tubuh bersatu dengan batang bambu
dengan menggunakan batik itu.
"Cutma, jangan begitu, nanti Cutbang kesakitan!" Fatimah melarang.
Fatimah lalu membuka simpul sarungnya. Lalu, sarung yang dipakai dilepaskan,
hingga hanya tinggal rok dalam yang dikenakannya. Setelah itu, ia melilitkan
batik baru itu sebagai pengganti sarung yang sudah dilepas. Tubuh Sabalah
dimasukkannya ke dalam sarung, lalu dimasukkannya dua batang bambu itu.
"Kalian jangan menyakiti Cutbang. Lihat cara membawanya!"
Fatimah mengambil posisi paling depan. Samiun tak dilepaskan dari gendongan.
Kemudian, di belakangnya ada Habsah. Sementara, paling belakang, Suhaibah
dan Jamilah. Keempat wanita itu mengangkut tubuh Sabalah dengan berjalan
kaki lewat jalan setapak yang sudah ditutupi semak. Jalan yang tadi pagi
digunakan.
Mereka tak pernah berhenti sepanjang perjalanan. Tak ada seorang pun yang
berpapasan dengan mereka sampai gotongan tubuh itu mendekati tepi gampong.
Tak ada siapa-siapa yang dijumpai.
Siapa-siapa yang membayangi gampong seperti bayang. Seperti mimpi. Seperti
pikir. Hingga para lelaki gampong menjadi penakut. Lelaki gampong menjadi
pengecut.
Ada dua orang lelaki yang langsung menunduk begitu melihat empat wanita
masuk ke jalan gampong sedang menandu sesosok tubuh. Mereka melihat sekilas
gotongan itu, lalu berlari dengan kencang ke meunasah. Sesampai di sana,
secepat kilat mereka mengambil sepasang gagang, lalu mulai menabuh tambo
(beduk).
Orang-orang terperangah. Pasalnya, mereka tak pernah mendengar lagi bunyi
tambo, walau di gampong ada orang yang pergi.
Mereka bergegas keluar. Mereka kembali merasa asing. Karena merasa asing
itulah, mereka harus keluar. Di zaman-zaman buruk, sesuatu yang asing harus
dicari tahu, bila tak ingin mendapatkan masalah.
Ya, yang asing itu terasa karena tambo yang ditabuh itu tak berhenti juga.
Pemuda penabuh tambo sesekali melihat ke halaman meunasah. Bila jumlah
orang dirasa belum mencapai jumlah lelaki yang ada di gampong, ia belum
berhenti menabuh tambo. Hingga seseorang membentaknya, "Hei, ada apa?
Siapa yang pergi?"
Dengan lantang, anak muda penabuh tambo berteriak. "Kejantanan kita telah
hilang. Hai, semua penakut, pergilah ke rumah Sabalah, jenguklah Fatimah!"
Pemuda itu lalu turun. Ia segera menuju ke rumah Sabalah. Lalu, orang-orang
mengikutinya. Tapi, sebagian memilih pulang ke rumah masing-masing.
Sesampai di rumah, tubuh Sabalah baru sampai di pintu pagar. Mereka terpatung
melihat empat wanita mengangkut sebuah tubuh. Mereka tidak berkeringat dan
satu orang pun tidak mengeluarkan air mata. Para orang gampong masih
terpana, sebelum Habsah dengan keras mengatakan kepada mereka, "Hei, kalian
pulang saja ke rumah masing-masing!"
Fatimah memandikan sendiri tubuh beku itu. Sabalah dibaringkan di gua yang di
bawahnya kayu bakar tersusun tak teratur. Air dinaikkan ke kamar oleh Suhaibah.
Sebelum air diguyur, Fatimah memeluknya lama.
"Seperti janjiku, Cutbang, Cutdek akan memelukmu lama," katanya, setengah
berbisik ke telinga Sabalah.
Lalu, Fatimah meletakkan seluruh air di hadapannya. Dua lembar papan yang ada
di gua dibuka dengan segera. Sebelumnya, Fatimah masih sempat menelungkup
dan membuka matanya, untuk melihat lewat gua kecil ke bawah sana.
Lalu, tubuh itu mulai dibersihkan sampai ke segala relung. Sampai tak ada yang
tersisa. Semua noda dibasuh sampai bersih, hingga sembilan liang yang berdiam
di tubuh itu tampak jelas. Bahkan, Fatimah menemukan sebutir peluru yang
tersisa. Semua lubang sudah tidak mengeluarkan darahnya.
Setelah air sudah dialirkan, ia lalu memindahkan tubuh itu ke samping gua.
Seorang diri. Di sana, sudah disusun kain kafan. Ia langsung membalutnya dengan
kain kafan hingga berlapis sembilan. Ia melakukannya dengan rapi. Setelah
selesai, Fatimah lalu memanggil ketiga wanita itu untuk mengangkat tubuh itu ke
ruangan tengah.
Itu tak berlangsung lama. Bardan dan beberapa lelaki sudah berada di rumah itu
dan mereka tak meminta tubuh Sabalah dibasuh kembali. Biasanya, di gampong,
ketika ada orang yang perlu dimandikan, maka teungku akan melakukannya
bersama beberapa orang tua gampong.
Mereka lalu meminta izin pada Fatimah untuk mensalatkannya dengan segera.
Tanpa sepengetahuan Fatimah, Bardan sudah menyuruh empat orang untuk
menggali liangnya di sebelah barat rumah mereka. Di bawah ceceran daun
cokelat yang belum dibersihkan oleh Fatimah. Tak lama menggali liang, karena
tanahnya lunak.
Setelah salat selesai, Bardan dan empat pemuda gampong langsung menggotong
tubuh Sabalah ke liang. Dengan beberapa doa dan sedikit talqin, Sabalah lalu
dikuburkan. Tak banyak orang yang ada di sana. Hanya beberapa orang. Orang
gampong sedang mengunci diri di dalam rumah masing-masing.
Fatimah lalu duduk di kepala kuburnya. Tak bangkit lagi. Setelah semua orang
sudah pulang ke rumah masing-masing pun, Fatimah dengan setia menunggu di
makam. Ia tak berkata apa-apa, ketika menunggu Sabalah pulang.
Fatimah terus terduduk, walau matahari mulai turun. Lalu, senja. Ia tak juga
bangkit. Samiun sama sekali tak menangis. Berkali-kali ia memanggil, "Abu!"
Samiun juga tak terlelap sedikit pun. Sama seperti Fatimah, yang menunggu
Sabalah di tepi makam.
Ketika fajar yang disusul mentari pagi menyinari jagat, tangan Fatimah meremas-
remas tanah makam. Ia masih tak bergerak, bahkan ketika sampai ada berita dari
ujung gampong: tiga wanita tergeletak di jalan dengan sembilan liang pada
masing-masing tubuh mereka.
Fatimah ingin bangkit, tapi tak mampu. Ia sangat ingin melihat tiga wanita itu.
Apalagi, ia dengar ada sembilan liang di masing-masing tubuh mereka. Ketika
sekali lagi ia mau bangkit, tiba-tiba jagat jadi gelap dalam sekejap. Sebelum
semuanya terhapus, ia mulai mendengar Samiun menangis lagi.

Tamat

Anda mungkin juga menyukai