Anda di halaman 1dari 147

Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Perbandingan Indeks Sedimen Tersuspensi untuk Identifikasi Total


Suspended Solids (TSS) di Muara Sungai Opak Yogyakarta

Comparison of Suspended Sediment Indices for Identifying Total Suspended


Solids in Opak Estuary Waters Yogyakarta
Marindah Yulia Iswari1*)
1
Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
*)
Email: marindahyuliaiswari@gmail.com

ABSTRAK- Total suspended solids (TSS) merupakan salah satu parameter kualitas air yang dapat diidentifikasi
dengan penginderaan jauh. Berbagai persamaan dan indeks telah dikembangkan oleh penelitian sebelumnya diikuti
dengan berbagai macam jenis citra penginderaan jauh. Persamaan empiris untuk mengestimasi TSS bersifat sementara
karena kondisi berbagai lokasi penelitian tidak selalu sama. Indeks sedimen tersuspensi lebih fleksibel dibandingkan
persamaan karena indeks yang dihasilkan berupa nilai yang mempunyai rentang tertentu. Penelitian ini bertujuan untuk
membandingkan indeks sedimen tersuspensi dengan band math equation dalam mengidentifikasi TSS di perairan muara
Sungai Opak. Indeks sediment tersuspensi yang digunakan untuk penelitian ini meliputi NDSSI (Normalize Difference
Suspended Sediment Index), NSMI (Normalized Suspended Material Index) dan band ratio. NDSSI dan NSMI
mempunyai rentang -1 sampai 1 dengan nilai yang lebih tinggi mengindikasikan bahwa kondisi perairan semakin jernih.
Rentang yang digunakan untuk band ratio berkebalikan dengan NDSSI dan NSMI yaitu 0 sampai tak terhingga. Nilai 0
pada band ratio mengindikasikan perairan jernih dengan nilai yang semakin tinggi menunjukkan kondisi perairan lebih
keruh. Semua standar deviasi pada ketiga indeks menunjukkan standar deviasi yang tinggi. Hasil standar deviasi paling
kecil ditunjukkan oleh model yang dibentuk dari NSMI.

Kata kunci:TSS, indeks sedimen tersuspensi, muara Sungai Opak, Landsat 8 OLI

ABSTRACT- Total suspended solids (TSS) is one of the water quality parameters that can be identified by remote
sensing. Various equations and index has been developed by previous research, followed by various types of remote
sensing imagery. Empirical equations to estimate the TSS is temporary because of the condition of various research
locations are not always the same. Suspended sediment index is more flexible than the equation because index is a
value which has a certain range. This study aimed to compare the suspended sediment index (band math equation) in
identifying TSS in Opak Estuary waters. Suspended sediment index that is used for this study include NDSSI (Normalize
Difference Suspended Sediment Index), NSMI (Normalized Suspended Material Index) and the band ratio. NDSSI and
NSMI has a range of -1 to 1 with higher values indicating that more clear water. The range used for the band ratio
contrasts with NDSSI and NSMI is 0 to infinity. A value of 0 in the band ratio indicates clear waters with higher value
indicates a more turbid water. All the standard deviation on all three indices showed a high standard deviation. The
results of this study showed that NSMI equation has smallest standard deviation.

Keywords: TSS, Suspended Sediment Index, Opak Estuary, Landsat 8 OLI

1. PENDAHULUAN
Salah satu parameter kualitas perairan yang dapat diperoleh dari penginderaan jauh adalah total
suspended solids (TSS). TSS adalah bahan-bahan tersuspensi (diameter > 1μm) yang tertahan pada saringan
milipore dengan diameter pori 0,45 μm (Effendi, 2003). TSS pada sungai dapat diperoleh dari material-
material yang tererosi dan terangkut oleh aliran sungai. Material yang terbawa dari hulu sungai sampai hilir
beberapa di antaranya ada yang mengendap dan ada yang tetap terbawa sampai muara sungai. Muara sungai
merupakan satuan geomorfologi tempat pertemuan antara kumpulan aliran massa air dari daratan dengan
massa air laut atau lautan, atau kadang-kadang juga dengan massa tubuh perairan daratan yang luas, semisal
danau atau laguna (Ongkosongo, 2010). Definisi ini menunjukkan bahwa muara sungai mempunyai
kedinamisan tinggi dikarenakan merupakan jalan pertemuan antara dua lokasi yang berbeda. Muara sungai
sebagai mulut akhir aliran sungai mempunyai konsentrasi TSS yang dinamis. Sebagai daerah kajian, muara
Sungai Opak yang terletak di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai hulu di Gunung Merapi dan
hilir di Laut Selatan Jawa. Sungai ini merupakan salah satu sungai dengan sifat perennial walaupun di musim
kemarau. Kecepatan gelombang pada permukaan perairan di muara Sungai Opak mempunyai rata-rata 20
m/s (Widayanti, 2013). Kondisi di mulut sungai yang berbatasan dengan laut mempunyai kecepatan

-147-
Perbandingan Indeks Sedimen Tersuspensi untuk Identifikasi Total Suspended Solids (TSS) di Muara Sungai Opak Yogyakarta
(Iswari, M.Y.)

gelombang yang lebih tinggi yaitu 22,31 m/s. Dinamika pesisir dan laut mempunyai pengaruh yang cukup
besar pada kondisi di mulut sungai.
Selama beberapa dekade, penginderaan jauh telah mengembangkan dan meningkatkan studinya dalam
bidang kualitas air, termasuk di dalamnya proses upgrade sensor/ instrumen dan pengembangan algoritma
dalam pemrosesan citra (Reif, 2011). Beberapa penelitian sebelumnya telah mengkaji algoritma-algoritma
untuk mencari nilai TSS dari penginderaan jauh. Penelitian Parwati et al. (2008) membandingkan beberapa
algoritma untuk mengestimasi TSS di pesisir Berau dengan hasil algoritma yang paling representatif adalah
algoritma yang dibangun oleh Budhiman (2004). Beberapa penelitian menggunakan persamaan empiris
dalam membuat estimasi TSS dari penginderaan jauh. Penelitian Iswari (2014) membandingkan tiga
persamaan empiris yang dibangun oleh Alashloo et al. (2013), Bhatti et al. (2011) dan Hendrawan dan Asai
(2008). Perbandingan ketiga persamaan empiris tersebut diaplikasikan di muara Sungai Opak dengan citra
ALOS AVNIR-2. Hasil dari perbandingan tiga persamaan kurang sesuai untuk digunakan di perairan muara
Sungai Opak. Persamaan empiris yang dihasilkan dari suatu daerah penelitian belum tentu dapat
diaplikasikan pada daerah yang berbeda. Kondisi perairan yang mempunyai kedinamisan tinggi mempunyai
efek terhadap hasil estimasi dari suatu persamaan empiris yang dibangun pada daerah lain.
Pengembangan analisis spektral terhadap TSS dikembangkan pula seiring dengan penelitian empiris
mengenai TSS. Beberapa peneliti membangun indeks sedimen tersuspensi berdasarkan karakteristik pantulan
spektral TSS.

Gambar 1. Kurva pantulan spektral total solids (mg/l)


Sumber (Farooq, S. 2011)

Penelitian mengenai indeks sedimen tersuspensi pernah dilakukan oleh Doxaran et al. (2002) dengan
mengkaji penggunaan band ratio untuk mengekstraksi material tersuspensi di Gironde, Perancis. Hossain et
al., (2006) membangun sebuah indeks sedimen tersuspensi yang hampir mirip dengan konsep NDVI
(Normalized Difference Vegetation Index) yaitu NDSSI (Normalize Difference Suspended Sediment Index).
Indeks sedimen tersuspensi ini berupa band math equation dengan hasil merupakan nilai indeks yang tidak
memiliki satuan. Indeks lain yang pernah digunakan untuk melihat sedimen pada perairan adalah NSMI
(Normalized Suspended Material Index) dan band ratio. Band ratio pernah digunakan oleh Aber (2011)
dengan membandingkan saluran hijau dan saluran biru. Montalvo (2010) membandingkan ketiga indeks ini
dengan lokasi di daerah pesisir Cabo Rojo, barat daya dari Puerto Rico. Indeks yang paling akurat untuk
mengindentifikasi suspensi perairan di Cabo Rojo adalah NSMI.
Indeks NDSSI, NSMI dan band ratio akan diujikan di pesisir selatan Jawa yaitu muara Sungai Opak.
Pengujian ini bertujuan untuk membaningkan indeks sedimen tersuspensi yang diterapkan di daerah kajian
yang berupa area pertemuan darat dan laut. Indeks yang paling baik dapat digunakan sebagai referensi untuk
penelitian selanjutnya mengingat penelitian mengenai indeks sedimen tersuspensi ini belum banyak
digunakan di Indonesia.

2. METODE
Pengambilan sampel dilakukan pada 9 Oktober 2013 di muara Sungai Opak. Muara Sungai Opak terletak
di selatan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Sampel
diambil dengan alat pengambilan sampel air water sampler tipe HYDRO-BIOS Standard Water Sample.

-148-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Pengambilan sampel menggunakan metode probability sampling. Sampel hasil pengambilan air di lokasi
penelitian ditempatkan di botol dan diujikan di laboratorium. Pengujian untuk mendapatkan konsentrasi TSS
pada sampel menggunakan metode gravimetri sesuai dengan SNI 06-6989.3-2004 (Badan Standarisasi
Nasional, 2004). Sampel yang diambil berjumlah 30 sampel dan digunakan untuk pembuatan model serta
akurasi.

Gambar 2. Lokasi penelitian di muara Sungai Opak Yogyakarta


Sumber (Google Earth)

Daerah kajian merupakan wilayah perairan di muara sehingga diperlukan batasan kajian untuk
memfokuskan pengamatan. Masking daratan merupakan salah satu cara untuk menghilangkan daratan
sehingga pengamatan hanya tertuju pada wilayah perairannya. Pengolahan citra dilakukan dengan software
ENVI 5.0 dan ArcGIS 10.1. Citra yang digunakan adalah citra Landsat 8 OLI perekaman 14 Oktober 2013
dengan level 1T. Citra ini mempunyai resolusi spasial 30m yang menunjukkan dalam satu piksel citra
mewakili 30mx30m di lapangan. Tahapan awal sebelum proses pengolahan citra adalah koreksi citra.
Koreksi yang digunakan yaitu koreksi radiometrik untuk mendapatkan nilai pantulan obyek pada permukaan
bumi. Koreksi radiometrik dilakukan dengan rumus yang telah dicantumkan pada Landsat 8 Handbook
(rumus 1 dan 2).

Lλ = M Q +A (1)

Lλ : nilai spektral dari TOA radiance (watts/( m2*srad *μm)


ML : Nilai radiance multiplicative saluran tertentu
Qcal : Nilai digital number saluran tertentu
AL : Nilai radiance additive saluran tertentu

ρλ′ = MρQ + Aρ (2)

ρλ' : Nilai spektral dari TOA reflectance tanpa koreksi sudut matahari
Mρ : Nilai reflectance multiplicative saluran tertentu
Qcal : Nilai digital number saluran tertentu
Aρ : Nilai reflectance additive saluran tertentu

Indeks sedimen tersuspensi yang digunakan antara lain NDSSI (Normalize Difference Suspended
Sediment Index) yang dikembangkan oleh Hossain et al. (2006) (rumus 3). Indeks ini menghasilkan rentang
nilai -1 sampai 1 dimana nilai yang lebih tinggi menggambarkan air yang lebih jernih sedangkan nilai yang
kecil menggambarkan kekeruhan air ataupun daratan.

NDSSI ∶ (3)

Indeks lainnya dikembangkan oleh Fiuza Borges et al. (2011) yaitu NSMI (Normalized Suspended
Material Index) . Indeks ini menggunakan saluran biru, saluran hijau dan saluran merah (rumus 4). Indeks ini
mempunyai rentang yang sama dengan NDSSI yaitu -1 sampai +1 dengan air jernih mempunyai indeks yang
lebih tinggi.

-149-
Perbandingan Indeks Sedimen Tersuspensi untuk Identifikasi Total Suspended Solids (TSS) di Muara Sungai Opak Yogyakarta
(Iswari, M.Y.)

NSMI ∶ (4)

Indeks pembanding terakhir merupakan indeks yang dibangun oleh Aber (2011) dengan membuat
perbandingan antara dua saluran yaitu saluran hijau dan saluran biru (rumus 5). Band ratio ini mempunyai
nilai dari 0-tidak terhingga dengan nilai lebih tinggi mengindikasikan bahwa kondisi perairan lebih banyak
mengandung sedimen tersuspensi.

Band ratio ∶ (5)

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Indeks sedimentasi tersuspensi merupakan perbandingan saluran dari data penginderaan jauh. Konsep
indeks sedimentasi tersuspensi adalah memainkan saluran yang peka terhadap sedimen tersuspensi dan
saluran yang kurang peka terhadap sedimen tersuspensi. Air jernih mempunyai pantulan yang tinggi di
saluran biru (0,45-0,495 µm) dan akan habis diserap di saluran inframerah dekat (0,75-2,5 µm). Perairan
yang mempunyai kandungan sedimen tersuspensi akan mempunyai material yang memantulkan gelombang
yang diberikan oleh sensor pada satelit penginderaan jauh. Pantulan ini akan semakin meningkat seiring
dengan meningkatnya panjang gelombang. Pantulan sedimen tersuspensi akan mencapai puncaknya pada
panjang gelombang 0,6-0,7 µm dan semakin menurun sampai 1,1 µm (gambar 1).
Pengolahan citra Landsat 8 OLI untuk perolehan informasi indeks sedimen tersuspensi dilakukan dengan
tiga model indeks sedimen tersuspensi (tabel 1). Jumlah sampel yang digunakan untuk mengetahui nilai
indeks sedimen tersuspensi dan pembuatan model sejumlah 17 buah. Sejumlah 3 sampel berada pada area
masking daratan sehingga nilainya 0 dan diabaikan.

Tabel 1.Hasil indeks sedimen tersuspensi pada citra Landsat 8 OLI


No.Sampel NDSSI NSMI Band
analisis indeks ratio
1 0,27873 0,20023 0,80877
2 0,18978 0,23479 0,85041
3 0,47344 0,14655 0,77403
4 0,34389 0,17752 0,79466
5 0,12126 0,25543 0,86338
6 0,36684 0,17934 0,79544
7 0,31814 0,19511 0,81674
8 0,44421 0,15003 0,77856
9 0,1539 0,22104 0,80773
10 0,42777 0,17848 0,80986
11 0,07106 0,18208 0,84202
12 0,0928 0,18782 0,80846
13 0,17708 0,22975 0,87857
14 0,2048 0,23897 0,86261
Rata-rata 0,26169 0,19837 0,8208

Indeks NDSSI menunjukkan bahwa rata-rata indeks pada sampel yang telah diuji mempunyai kisaran
0,26169. Rentang NDSSI yang digunakan adalah -1 sampai 1 dengan nilai yang lebih besar menunjukkan
bahwa perairan yang diamati lebih jernih. Indeks di NDSSI dipengaruhi oleh pantulan saluran biru dan
saluran inframerah dekat. Saluran biru merupakan wilayah di mana air jernih mempunyai pantulan tinggi
sedangkan pada saluran inframerah dekat pantulan sedimen tersuspensi semakin tinggi. Nilai 0,26169
menunjukkan bahwa nilai pantulan di saluran biru masih cukup tinggi dibandingkan dengan pantulan di
inframerah dekat. Kondisi ini ditandai dengan nilai indeks NDSSI yang bernilai positif sehingga dalam
kondisi ini perairan yang diamati tidak terlalu keruh. Indeks NSMI menunjukkan hal yang hampir serupa
dengan nilai indeks rata-rata 0,19837. Nilai ini masih digolongkan pada kondisi normal dengan kekeruhan
yang relatif kecil. Pengolahan dengan indeks band ratio menunjukkan rata-rata indeks sedimen tersuspensi

-150-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

mempunyai kisaran 0,8208. Indeks band ratio menunjukkan nilai 0 merupakan indikasi perairan jernih dan
semakin besar nilai indeks mengindikasikan perairan semakin keruh. Band ratio membandingkan pantulan
di saluran hijau dan saluran biru. Semakin besar nilai di saluran biru menghasilkan indeks band ratio yang
rendah. Kondisi ini disebabkan oleh pantulan air di saluran biru lebih tinggi sehingga jika indeks band ratio
rendah maka kemungkinan perairan tersebut masih dikategorikan jernih.

Gambar 3. Kondisi perairan pada saat pengambilan sampel


Sumber : Iswari, 2014

Hasil nilai indeks sedimen tersuspensi yang diujikan pada citra Landsat 8 OLI semuanya menunjukkan
kondisi perairan di muara Sungai Opak memiliki partikel dalam perairannya. Kondisi ini sesuai dengan di
lapangan karena pada saat pengambilan sampel perairan dalam kondisi jernih namun penetrasi cahaya
matahari tidak bisa menembus dasar perairan (gambar 3). Partikel yang melayang dalam perairan berupa
partikel halus sehingga perairan masih bisa ditembus cahaya.

60 60
TSS Lapangan (mg/l)
TSS Lapangan (mg/l)

50 50
40 40
Sampel Sampel
30 30
20 20
10 10
R² = 0,1613 R² = 0,3054
0 0
0 0,2 0,4 0,6 0 0,1 0,2 0,3
NDSSI NSMI
60
TSS Lapangan (mg/l)

50
40
30 Sampel
20
10 R² = 0,1164

0
0,75 0,8 0,85 0,9
Band ratio

Gambar 4. Grafik perbandingan R2 antara NDSSI, NSMI dan Band Ratio

-151-
Perbandingan Indeks Sedimen Tersuspensi untuk Identifikasi Total Suspended Solids (TSS) di Muara Sungai Opak Yogyakarta
(Iswari, M.Y.)

Perbandingan ketiga indeks sedimen tersuspensi menunjukkan bahwa tidak ada hubungan linear antara
data lapangan dan nilai indeks. Nilai R2 pada ketiga model yang dibuat dari indeks dan data lapangan
menunjukkan angka dibawah 0,5 (gambar 4). Nilai R2 pada pemodelan dengan band ratio mempunyai nilai
paling kecil dibandingkan dua indeks lainnya yaitu 0,116. Nilai R 2 tertinggi ditunjukkan oleh pemodelan
NSMI dengan nilai 0,305. Band ratio menggunakan langsung perbandingan antara dua saluran sedangkan
NSMI menggunakan perbandingan matematis antara saluran tampak. Jumlah saluran yang digunakan untuk
NSMI lebih kompleks dengan disertai perhitungan matematis. Saluran hijau dan saluran merah pada NSMI
mewakili pantulan tinggi untuk sedimen tersuspensi sedangkan saluran biru mewakili pantulan tinggi untuk
air jernih. Konsep inilah yang membuat kecenderungan nilai R2 pada model yang dibuat paling tinggi.

Tabel 2.Perbandingan hasil estimasi dengan citra Landsat 8 OLI dan hasil lapangan
No Estimasi Estimasi Estimasi TSS
Sampel dengan dengan dengan Lapangan
estimasi NDSSI NSMI band ratio (mg/l)
(mg/l) (mg/l) (mg/l)
1 23,463 20,851 21,123 5,40
2 21,104 22,491 23,968 72,80
3 21,676 22,356 24,825 25,30
4 21,113 22,720 24,110 5,90
5 21,375 22,085 21,989 24,20
6 22,342 21,807 22,652 37,40
7 20,746 22,954 25,295 71,10
8 20,906 22,758 23,462 18,10
9 20,835 22,678 21,562 5,70
10 28,984 19,353 6,526 7,80
11 20,563 22,749 23,329 5,90
12 22,083 22,239 20,298 26,40
13 27,343 20,852 11,040 0,70
Std 16,797 16,722 17,191

Ketiga pemodelan diujikan untuk memperoleh estimasi konsentrasi TSS dari data penginderaan jauh.
Hasil estimasi menunjukkan bahwa ketiga indeks yang digunakan menghasilkan konsentrasi nilai TSS yang
lebih seragam dibandingkan dengan TSS yang dihasilkan dari data lapangan (tabel 2). Standar deviasi yang
diperoleh untuk ketiga persamaan mempunyai nilai di atas 10. Standar deviasi menyatakan bagaimana
sebaran data dalam sampel. Semakin besar standar deviasi maka perbedaan sampel terhadap rata-rata
semakin besar. Hasil pemodelan dari tiga indeks menunjukkan bahwa estimasi dengan NSMI mempunyai
nilai paling kecil meskipun selisihnya tidak terlalu besar dengan lainnya yaitu 16,722. Standar deviasi
terbesar ditunjukkan oleh estimasi dengan band ratio. Hasil ini berbanding lurus dengan nilai R2 yang
dihasilkan dari pemodelan yang dibuat. Pemodelan dengan band ratio menunjukkan bahwa nilai R2 paling
kecil dan menghasilkan nilai standar deviasi yang paling besar.
Hasil persebaran estimasi TSS dengan model NSMI menunjukkan konsentrasi yang cukup besar pada
mulut sungai (gambar 5). Mulut sungai merupakan jalan akhir aliran Sungai Opak menuju ke Samudra
Hindia. Kondisi di mulut sungai lebih dinamis dibandingkan di tempat lain karena mendapat pengaruh dari
darat dan laut sekaligus.

-152-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Gambar 5. Sebaran estimasi TSS dengan indeks NSMI

Penelitian perairan dengan penginderaan jauh yang ideal adalah dengan melakukan pengambilan sampel
dan pemilihan citra dengan kondisi waktu yang sama. Dalam penelitian ini pengambilan sampel dilakukan
pada tanggal 9 Oktober 2013 sedangkan citra Landsat 8 OLI yang digunakan mempunyai perekaman 14
Oktober 2013. Citra yang dipilih merupakan citra dengan tanggal perekaman yang paling dekat dengan
pengambilan sampel. Kondisi ini memungkinkan adanya perbedaan pantulan dari perekaman dengan kondisi
sebenarnya sehingga menyebabkan nilai standar deviasi yang dihasilkan tinggi.

4. KESIMPULAN
Ketiga indeks yang dibandingkan semuanya mempunyai nilai standar deviasi yang tinggi. Standar deviasi
yang paling rendah ditunjukkan oleh NSMI dengan diimbangi nilai R2 pada pemodelan non linear yang
paling tinggi. Indeks NSMI menggunakan 3 saluran tampak dengan membandingakn perhitungan matematis
saluran-saluran tersebut. Saluran biru mewakili pantulan tinggi untuk perairan jernih. Saluran hijau dan
saluran merah mewakili penyerapan air jernih yang sebaliknya menunjukkan pantulan tinggi untuk sedimen
tersuspesi.

5. UCAPAN TERIMAKASIH
Penelitian ini baik secara langsung ataupun tidak langsung dibantu oleh beberapa pihak. Terimakasih
kepada keluarga Sutrisna yang sudah berkenan membantu selama pengambilan sampel berlangsung. Ucapan
terimakasih juga ditujukan kepada Prof.Dr.Ir.Gadis Sri Haryani DEA yang berkenan memberikan bimbingan
terhadap penulisan ini dan Mouli DRD yang memberikan kritik dan masukan.

DAFTAR PUSTAKA
Aber, J.S., (2013). Landsat Image Processing. Emporia State University [Online]. Available:
http://academic.emporia.edu/aberjame/remote/landsat/landsat_proc.htm
Alashloo, Moussavi, M., Hwee-San L.,Robabeh, A., dan Sahabeh S., (2013). Total Suspended Sediments Mapping by
Using ALOS Imagery Over The Coastal Waters of Langkawi Island Malaysia. Journal of The Indian Society of
Remote Sensing.
Badan Standarisasi Nasional. Air dan air limbah- Bagian 3: Cara uji padatan tersuspensi total (Total Suspended Solid,
TSS) secara gravimetri). SNI 06-6989.3-2004. 2004
Bhatti, Asif, M., Seigo, N., dan Masataka, T., (2011). Multispectral Remotely Sensed Models for Monitoring
Suspended Sediment: A Case Study of Indus River Pakistan. International Journal of Water Resources and Arid
Environment, 1(6):417-427
Budhiman, S., (2004). Mapping TSM Concentrations from Multisensor Satellite Images in Turbid Tropical Coastal
Waters of Mahakam Delta-Indonesia. Thesis. International Institute for Geo-Information Science and Earth
Observation, Netherlands.
Department of the Interior, U.S. Geological Survey. (2015). Landsat 8 (L8) Data Users Handbook Version 1.0, United
States Geological Survey [Online]. Available : https://landsat.usgs.gov/
documents/Landsat8DataUsersHandbook.pdf

-153-
Perbandingan Indeks Sedimen Tersuspensi untuk Identifikasi Total Suspended Solids (TSS) di Muara Sungai Opak Yogyakarta
(Iswari, M.Y.)

Doxaran, Froidefond, J.M, dan Castaing, P. (2002). A Reflectance Band Ratio Used to Estimate Suspended Matter
Concentrations in Sediment-Dominated Coastal Water. International Journal of Remote Sensing, 33(23):5079-
5085.
Effendi, H., (2003). Telaah Kualitas Air : Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Yogyakarta :
Kanisius
Farooq, S., (2011). Spectral Reflectance of Land Cover. Department of Geology, Aligahr Muslim University [Online].
Available : http://www.geol-amu.org/notes/m1r-1-8.htm
Fiuza, B., Elane Souza, A.C., Pablo, S.S., (2011). Detection of Suspended Sediments in Grande River and Ondas River
– Bahia/Brazil. Federal University of Bahia, Institute of Environmental Sciences and Sustainable Development.
Brazil.
Hendrawan, Gede, I., dan Koji, A., (2008). Study of Suspended Sediment Distribution Using Numerical Model and
Satellite Data in Benoa Bay-Bali, Indonesia. International Journal of Remote Sensing and Earth Science, 5:84-91
Hossain, A.K.M, Azad, Xiaobo, C., dan Yafei, J., (2010). Development of Remote Sensing Based Index for Estimating/
Mapping Suspended Sediment Concentration in River and Lake Environments. in : International Symposium on
Ecohydraulics, Seoul Korea
Iswari, M.Y., (2014). Aplikasi Citra ALOS AVNIR-2 untuk Pemetaan Distribusi Muatan Padatan Tersuspensi (Total
Suspended Solids) di Muara Sungai Opak Yogyakarta. Skripsi. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Montalvo, L.G., (2010). Spectral Analysis of Suspended Material in Coastal Waters: A Comparison between Band
Math Equations. Mayaguez, Puerto Rico. 2010
Parwati, E., Tatik, K., dan Joko, I., (2008). Ekstraksi Informasi Total Suspended Solid (TSS) Menggunakan Data
Penginderaan Jauh Untuk Kawasan Pesisir Berau, Kalimantan Timur. in Proceeding Pertemuaan Ilmiah Tahunan
Masyarakat Penginderaan Jauh XVII, Bandung.
Ongkosongo, O.S.R., (2010). Kuala, Muara Sungai, dan Delta. Jakarta : Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia
Reif, M., (2011). Remote Sensing for Inland Water Quality Monitoring : A U.S Army Corps of Engineering Perspective.
Mississippi : Environmental Laboratory U.S Army
Widayanti, R.D., (2013). Dinamika Harian Penutupan Muara Sungai Opak pada Bulan Oktober-November”. Skripsi.
Universitas Gadjah Mada,Yogyakarta.

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskui presentasi ilmiah

BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2016

Moderator : Dr. Rahmat Arief, Dipl.Ing.


Judul Makalah : Perbandingan Indeks sedimen Tersuspensi untuk Identifikasi Total Suspended Solids
(TSS) di Muara Sungai Opak Yogyaka
Pemakalah : Marindah Yulia I (LIPI)
Diskusi :

Pertanyaan: Rahmat Arief (LAPAN)


1. Seandainya deviasi cukup tinggi, mengapa?

Pertanyaan: Tatik Kartika (LAPAN)


2. Apakah penggunaan data resolusi tinggi perlu penyesuaian?

Pertanyaan: Ita Carolita (LAPAN)


3. Bagaimana pemilihan motodenya apakah itu yang terbaik atau tidak?

Jawaban :
1. Perbedaan tanggal pengambilan sample dan data citra (1 bulan).
2. Penggunaan hanya pada band visible sehingga bisa digunkan dimanapun.
3. Dengan menggunakan 3 penelitian dengan menggunakan metode alos, menggunakan persamaan dan
hasilnya.

-154-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Identifikasi Debu Vulkanik menggunakan Metode Split Windows


dan TVAP pada Citra Satelit Cuaca MTSAT dan Himawari-8
(Studi Kasus: Erupsi Gunung Kelud 13 Februari 2014
dan Gunung Rinjani 31 Oktober - 5 November 2015)

Volcanic Ash Identification using Split Windows and TVAP Technique


in MTSAT and Himawari-8 Weather Satellite Imagery
(Case Study: Kelud Mountain Eruption on 13 February 2014
and Rinjani Mountain on 31 October - 5 November 2015)
Ilham Rosihan Fachturoni1*)
1
Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
*)
E-mail: fachturoni@live.com

ABSTRAK -Indonesia merupakan negara dengan aktivitas vulkanik yang tinggi sehingga urgensi dari informasi adanya
debu vulkanik terutama sebarannya harus segera didiseminasikan kepada masyarakat luas untuk menghindari dampak
negatif yang ditimbulkan. Debu vukanik dapat diidentifikasi dengan menggunakan satelit Cuaca MTSAT-2 dan
Himawari-8 dengan metode Split Windows (SP) dan Multispectral Image Enhancement Technique satau biasa disebut
TVAP (Three-band Volcanic Ash Product). Kedua metode tersebut memanfaatkan kanal IR1, IR2, dan IR4 yang diolah
dengan algoritma tertentu untuk memisahkan antara partikel debu vulkanik dengan awan air/es. Pada kasus erupsi
Gunung Kelud tanggal 13 Februari 2014 dan Gunung Rinjani 31 Oktober-5 November 2015, identifikasi debu dengan
gabungan antara metode TVAP dan SP berhasil menampilkan piksel-piksel debu yang hilang jika hanya menggunakan
satu metode saja. Kedua Metode saling melengkapi dan gabungan keduanya menghasilkan identifikasi debu vulkanik
yang lebih akurat. Pada penelitian ini, diharapkan identifikasi yang akurat dapat menjadi acuan dalam pembuatan
informasi peringatan debu vulkanik dan data dapat digunakan sebagai asimilasi model dispersi debu vulkanik.

Kata kunci:debu vulkanik, split windows, TVAP, MTSAT-2, Himawari-8

ABSTRACT -Indonesia is a country which has a lot of volcano activities. In case to avoid the negative impact,
information about existence (dispertion) of volcanic ash should be disseminated to citizen quickly. Volcanic ash can be
identified with the help of MTSAT-2 and Himawari-8 satellite data using Split Windows (SP) and Multispectral Image
Enhancement Techniques or usually known as Thress-band Volcanic Ash Product (TVAP). Both of the techniques use
IR1, IR2 and IR4 channel which processed with certain algorithm to separate ash particles with water or ice clouds. In
case of Kelud Mountain Eruption on 13 Febuary 2014 and Rinjani Mountain on 31 October-5 November2015,
combination between SP and TVAP technique were successfully display ash pixels which lost when only one of them
were used. Both of the techniques complete each other and combination both of the technique provide more accurate
ash identification. In this paper, Accurate identification is expected to be a reference in the manufacture of volcanic ash
warning information and data can be used as an assimilation of volcanic ash dispersion model.

Keywords: volcanic ash, split windows, TVAP, MTSAT-2, Himawari-8

1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Atmosfer adalah lapisan udara yang menyelimuti bumi dan bertahan karena adanya pengaruh gaya
gravitasi bumi. Atmosfer mengandung berbagai macam bentuk partikel, mulai dari partikel padat, cair dan
gas. Partikel padat di atmosfer dapat berupa aerosol; partikel cair berupa tetes awan (droplets) dan tetes
hujan (raindrops); sedang partikel gas adalah Nitrogen (N2), Oksigen (O2), Karbondioksida (CO2) serta gas-
gas lain yang terkandung di atmosfer. Sebagian besar partikel padat di atmosfer bersumber dari permukaan
bumi, dan partikel-partikel tersebut akan kembali jatuh ke permukaan bumi.
Satu di antara sumber partikel padat di atmosfer adalah erupsi gunung berapi yang menyumbang partikel
padat berupa debu vulkanik sebagai aerosol.

-155-
Identifikasi Debu Vulkanik menggunakan Metode Split Windows dan TVAP pada Citra Satelit Cuaca MTSAT dan Himawari-8 (Studi
Kasus: Erupsi Gunung Kelud 13 Februari 2014 dan Gunung Rinjani 31 Oktober-5 November 2015) (Fachturoni, I.R.)

Dalamperiode 2 tahun terakhir, telah terjadi beberapa Erupsi Gunung berapi di wilayah Indonesia, dua
diantaranya yakni erupsi Gunung Kelud di Jawa Timur (Jatim) pada tanggal 13 Februari 2014 dan erupsi
Gunung Rinjani di Lombok dengan periode waktu yang lama (penulishanya berfokus pada periode antara 31
Oktober – 5 November 2015).
Erupsi Gunung berapi selalu mempunyai Dampak negatif yang berbandinglurus dengan kekuatan letusan
itu sendiri. Semakin kuat letusannya, maka semakin besar Dampak negatif yang dihasilkan. Pada saat erupsi,
Sebagian Debu yang dilontarkan akan jatuh kembali kepermukaan sebagai hujan debu yang dapat merusak
lingkungan dan berbahaya bagi kesehatan. Sebagian debu yang lain akan melayang-layang di atmosfer
terbawa angin dan kehadirannya akan sangat berbahaya bagi dunia penerbangan. Partikel debu vulkanik
dapat merusak mesin pesawat terbang yang akan membahayakan aktifitas penerbangan itu sendiri. Oleh
Karena itu, informasi mengenai eksistensi debu vulkanik yang akurat sangatlah dibutuhkan demi
menghindari berbagai Dampak negatif yang ditimbullkan. Informasi mengenai debu vulkanik dapat
disediakan dengan memanfaatkan alat remote sensing berupa satelit cuaca MTSAT dan Himawari-8 secara
realtime dengan resolusi temporal hinggatiap 10 menitan.
Berdasarkanpaparandiatas, penulis tertarik untuk melakukan Penelitian seputar Identifikasi debu vulkanik
dengan menggunakan satelit MTSAT dan Himawari-8 pada kasus Erupsi Gunung Kelud dan Gunung
Rinjani. Kedua Erupsi tersebut memiliki karakter yang berbeda, Gunung Kelud mengalami Erupsi dengan
kekuatan yang dahsyat dan sesaat (eksplosif) sedangkan Gunung Rinjani mengalami Erupsi dengan kekuatan
lemah dan bertahan lama (strombolin)

1.2 Landasan Teori


Pengamatan cuaca menggunakan satelit cuaca lebih dikenal dengan istilah Remote Sensing. Prinsip kerja
dari satelit cuaca adalah dengan memanfaatkan radiasi gelombang elektromagnetik dari matahari dan bumi.
Satelit cuaca menggunakan radiasi gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang tertentu -yang
selanjutnya akan disebut kanal- dengan sifatnya yang bisa mengalami absorbsi, emisi, refleksi serta
hamburan (scattering).
Satelit MTSATadalah satelit cuaca geostasioner yang memiliki 5 (lima) kanal dengan panjang gelombang
yang berbeda. Kanal IR1 dengan panjang gelombang 10.3-11.3µm; kanal IR2 11.5-12.5 µm; kanal WV
(Water Vapor/IR3) 6.5-7.0 µm; kanal IR4 (Near Infrared/NIR) 3.5-4.0 µm; kanal visible (VIS) 0.55-0.8 µm.
Berkaitan dengan lifetime dari satelit cuaca MTSAT, JMA (Japan Meteorology Agency) telah meluncurkan
satelit generasi terbaru yakni Himawari-8 yang dilengkapi dengan 16 kanal dan peningkatan resolusi spasial
pada tiap-tiap kanal. Selain untuk mengamati fenomena cuaca, satelit cuaca juga dapat dimanfaatkan untuk
mengamati debu vulkanik di atmosfer. Dalam penelitian ini, Penulis berfokus menggunakan 4 kanal (IR1,
IR2, IR4, dan VIS) untuk melakukan identifikasi debu vulkanik di atmosfer. untuk dapat melakukan
identifikasi debu vulkanik, penulis menerapkan beberapa metode untuk mengolah data citra satelit yakni:

1.2.1 Split Windows (SP)

Grafik 1.. Total (garis), absorbsi (titik dan


garis putus putus) dan scattering (garis putus-
putus line). ( I.M. Watson dkk., 2004)
Metode ini memanfaatkan karakteristik yang berbeda antara debu dengan air/es dalam sifat
penyerapannya pada panjang gelombang tertentu (Tupper,2011 dalam Susilawati, 2012). Metode ini sering
disebut juga sebagai BTD (Brightness Temperature Different). Algoritmanbrro piuko

-156-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Prinsip dasar metode split windows adalah dengan memanfaatkan perbedaan nilai emisifitas dua kanal yakni
kanal IR (10.8µm) dan IR2 (12.0µm) terhadap debu dan awan (tetes air/es).
Dari grafik 1.1 di atas, terlihat bahwa nilai emisifitas debu lebih tinggi pada panjang gelombang IR2
(12.0µm) dibanding IR1 (10.8 µm), sedang sebaliknya pada partikel es/tetes air. Dengan menggunakan
metode split window (BTD[IR1-IR2]) maka debu akan diindikasikan dengan nilai negatif (BTD[IR1-IR2] <
0). Namun dalam penentuan nilai batas untuk memisahkan antara awan es dan debu bergantung pada
ketinggian dan perbandingan antara jumlah es dan debu (Pavolonis, 2006 dalam Susilawati, 2012).

1.2.2 Multispectral Image Enhancement Techniques


Merupakan sebuah metode yang digunakan untuk mendeteksi debu vulkanik dengan menggunakan tiga
kanal IR dari satelit geostationer. Tiga kanal tersebut berada pada daerah panjang gelombang 3,9 µm (IR4),
10,7 µm (IR1), dan 12.0 µm (IR2) (Ellrod dkk., 2003). Metode ini disebut juga dengan metode TVAP
(Three-band Volcanic Ash Product).
Dalam tulisan ini, metode TVAP digunakan dalam memperbaiki piksel-piksel debu vulkanik yang tidak
terdeteksi oleh metode split windows.

= 60 + 10( 2 − 1) + 3( 4 − 1) (1.1)

Dimana B adalahnilai TVAP (dalam Kelvin).Nilai B positifmengindikasikanpikseldebuvulkanik.

2. METODE
2.1 Data
Penulisan ini menggunakan beberapa data yakni:
1. Data SIGMET pada tanggal 13-14 februari 2015 dari DARWIN VAAC (Volcanic Ash Advisory
Centre).
2. Data satelit MTSAT (Multi-functional Transport Satellite) berasal dari Japan Meteorologi Agency
(JMA) yang diperoleh dari Pusat Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, subbidang
Pengolahan Citra Satelit.
3. Data angin perlapisan dari GDAS (Global Data Asimilation System). Data dapat diunduh pada situs
web http://ready.a rl.noaa.gov/ready2- bin/extract/extracta.pl.

2.2 Metode Analisis

-157-
Identifikasi Debu Vulkanik menggunakan Metode Split Windows dan TVAP pada Citra Satelit Cuaca MTSAT dan Himawari-8 (Studi
Kasus: Erupsi Gunung Kelud 13 Februari 2014 dan Gunung Rinjani 31 Oktober-5 November 2015) (Fachturoni, I.R.)

Dalam penulisan ini, cara identifikasi debu vulkanik menggunakan dua metode utama, metode split
windows (SP), metode TVAP (Three-band Volcanic Ash Product). Metode Lookup Table merupakan
metode perpanjangan dari metode split window dan TVAP dengan cara membatasi nilai kontur sebagai
threshold dari nilai kontur yang mengindikasikan debu vulkanik.

3. HASILDAN PEMBAHASAN
3.1 Identifikasi Debu Vulkanik pada Erupsi Gunung Kelud

a1G b1

a2 b2

a3 b3

(a) (b)
Gambar 2.Tahap pendeteksian debu vulkanik Gunung Kelud 13-14 Februari 2014 (a) 13 Feb jam 22.00
UTC, (b) 14 Feb jam 00.00UTC. (a1) dan (b1) metode split windows (SP); (a2) dan (b2) metode TVAP;
(a3) dan (b3) gabungan metode SP dan TVAP.

ErupsiGunung Kelud pada 13 Februari 2014 adalam jenis eksplosif yakni terjadi ledakan besar hanya
sekali pada waktu tertentu. Letusan tipe eksplosif dapat memuntahkan material vulkanik sampai pada lapisan
atas atmosfer beberapa kasus bahkan mencapai stratosfer. Berdasarkan laporan dari Badan Nasional

-158-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Penanggulangan Bencana (BNPB), erupsi terjadi pada jam 22.50 WIB (15.50 UTC) dan memuntahkan
material vulkanik hingga ketinggian 17 km.
Gambar 2. merupakan citra hasil indentifikasi debu vulkanik pada kasus erupsi Gunung Kelud tanggal
13 Feb 2014 jam 22.00UTC (a) dan 14 Feb 2014 jam 00.00UTC (b). Metode yang paling dasar digunakan
dalam identifikasi debu vulkanik adalah metode split windows dengan memanfaatkan perbedaan sensitivitas
gelombang IR1 dan IR2 pada debu dan partikel awan (air/es). Metode split windows mengidentifikasi debu
vulkanik pada nilai negatif (-) (Prata, 1989). Terlihat pada gambar 2 (a1 dan b1) konsentrasi debu vulkanik
menyebar dan bergerak ke arah baratdaya berdasarkan perpindahan konsentrasi antara jam 22.00 ke 00.00
UTC. Namun dalam metode SP terlihat bahwa banyak daerah “blank” yang menandaan bahwa ada partikel-
partikel debu yang tidak teridentifikasi dengan metode ini.
Identifikasi debu menggunakan metode TVAP tersaji dalam gambar a2 dan b2 (gambar 3). Berbeda
dengan metode SP, TVAP mengidentifikasi debu vulkanik pada nilai positif. Threshold debu pada TVAP
adalah relatif mulai dari 60 hingga 255 bergantung pada ketebalan lapisan debu dan waktu (siang/malam).
Dalam penggunaannya, threshold harus disesuaikan dengan dengan keadaan lingkungan sehingga didapat
pemisahan yang efektif antara debu dan partikel awan (Ellrod dkk., 2003). Meskipun berhasil
mengidentifikasi debu dengan baik, metode TVAP masih memiliki wilayah “blank” yang menandakan
adanya partikel debu yang hilang (miss identified).
Gambar a3 dan b3 (gambar 2) adalah gabungan antara metode SP dan TVAP. Dalam proses identifikasi
menggunakan masing-masing metode, keduanya memiliki wilayah dimana partikel debu vulkanik tidak
teridentifikasi atau hilang. Dengan menggabungkan keduanya, diperoleh perbaikan identifikasi debu
vulkaknik dimana masing-masing metode memperbaiki dan melengkapi partikel-partikel debu yang hilang
dari citra. Hasil identifikasi debu menggunakan gabungan metode SP dan TVAP berhasil menampilkan
wilayah persebaran debu yang lebih baik dan solid.

3.2 Identifikasi Debu Vulkanik pada Erupsi Gunung Rinjani


Berbeda dengan kasus erupsi Gunung Kelud, Erupsi gunung rinjani terjadi low eksplosive (lemah) dan
berkelanjutan/terus-menerus. Letusan tipe ini tidak banyak mengeluarkan material vulkanik. Posisi debu pun
berada pada level rendah di atmosfer karena lemahnya kekuatan ledakan yang melontarkan debu ke atas.
Akibatnya, awan debu vulkanik pada erupsi Gunung Rinjani memiliki karakter yang tipis dan rendah.
Gambar 3. merupakan citra identifikasi debu vulkanik pada erupsi Gunung Rinjani tanggal 3 November
2015 (a) jam 09.00 UTC; (b) jam 12.00 UTC. Umumnya, metode SP akan mengidentifikasi partikel debu
pada nilai negatif, namun pada kenyataannya tidaklah selalu demikian. Penelitian yang dilakukan oleh Yu
dkk (2002) pada kasus erupsi Gunung Soufriere Hills 26 Desember 1997 mgenidentifikasi debu pada nilai
positif (+1 sampai +3). Kelainan ini disebabkan oleh gangguan penyerapan gelombang inframerah oleh uap
air di atmosfer.Pada daerah tropis, uap air dominan berada pada ketinggian ±3 km. Pada kasus erupsi
Gunung Rinjani, gangguan tersebut lah yang mengakibatkan metode SP baru bisa mengidentifikasi debu
pada nilai positif. Debu vulkanik teridentifikasi pada nilai +1 hingga +1.5.Penyebabnya adalah karena erupsi
Rinjani termasuk letusan yang lemah (low eksplosive) serta ketinggian Gunung Rinjani pun berada pada
ketinggian 3.726 m diatas permukaan laut dimana ketinggian ini adalah wilayah dominan uap air yang dapat
mengakibatkan gangguan pada identifikasi debu vulkanik.
Gambar a2 dan b2 (gambar 3.) adalah identifikasi debu dengan metode TVAP. TVAP mengidentifikasi
debu vulkanik pada threshold 60 sampai 70. Berbeda dengan kasus pada Gunung Kelud, debu pada Gunung
Rinjani memiliki nilai yang lebih kecil. Penyebabnya masih hal yang sama yakni karena sifatnya yang low
eksplosive sehingga debu di atmosfer hanya berada pada level rendah dan konsentrasi debu yang sedikit
(Ellrod dkk., 2003).
Akibat banyaknya gangguan, baik metode SP maupun TVAP tidak sempurna dalam mengidentifikasi
debu yang ada di atmosfer. Penggabungan dua metode ini disajikan pada gambar a3 dan b3 (gambar 3) dan
menghasilkan identifikasi yang lebih baik dengan saling memperbaiki partikel-partikel debu yang hilang
pada masing-masing metode. Meskipun tidak sebanyak pada kasus Gunung Kelud, namun metode gabungan
pada kasus erupsi Gunung Rinjani tetap menghasilkan perbaikan dengan menampilkan partikel debu yang
hilang pada masing-masing metode.

-159-
Identifikasi Debu Vulkanik menggunakan Metode Split Windows dan TVAP pada Citra Satelit Cuaca MTSAT dan Himawari-8 (Studi
Kasus: Erupsi Gunung Kelud 13 Februari 2014 dan Gunung Rinjani 31 Oktober-5 November 2015) (Fachturoni, I.R.)

a1 b1

a2 b2

a3 b3

(a) (b)
Gambar 3. Tahap pendeteksian debu vulkanik Gunung Rinjani 3 November 2015 (a) jam 09.00 UTC, (b)
jam 00.00 UTC. (a1) dan (b1) metode split windows (SP); (a2) dan (b2) metode TVAP; (a3) dan (b3)
gabungan metode SP dan TVAP. Terlihat pada Gambar adanya perbaikan Identifikasi debu vukanik
dengan gabungan dua metode.

3.3 Pergerakandan Estimasi Ketinggian Debu Vulkanik


Dengan identifikasi yang tepat pada tiap periode waktu, maka pola pergerakan debu vulkanik di atmosfer
dapat terlihat dengan membandingkan perubahan posisinya di tiap-tiap waktu. Contohnya, jika kita lihat citra
identifikasi debu vulkanik pada erupsi Gunung Kelud jam 22.00 UTC (13 Februari 2014) dan 00.00 UTC (14
Februari 2014) dan membandingkannya, maka terlihat pola pergerakan debu yang mengarah ke baratdaya
berdasarkan perpindahan konsentrasi debu yang tampak pada citra.
-160-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Hal ini juga dapat diperkuat dengan membuat prakiraan arah pergerakan debu menggunakan model
trajektori HYSPLIT (Hybrid Single Particle Lagrangian Integrated Trajectory Model). Model Trajektori
HYSPLIT menggunakan data angin perlapisan sebagai data utama dalam pembuatan trajektori debu vulkanik
di atmosfer.Dengan membuat model trajektorinya kita akan dapat melihat prakiraan lintasan debu yang
berbeda pada tiap lapisan.

Gambar 4. Model trajektori HYSPLIT di overlay dengan kondisi real


debu vulkanik pada tanggal 14 Februari 2014 jam 00.00 UTC.

Gambar 4. menunjukkan kondisi sebaran debu erupsi Gunung Kelud tanggal 14 Februari 2014 jam
00.00 UTC di overlay dengan trajektori dari model HYSPLIT. Terlihat jelas konsentrasi debu berada tepat
pada trajektori pada ketinggian 16.500 m. Dengan begini, selain mendapatkan arah pergerakan debu kita juga
dapat mengestimasi ketinggian debu di atmosfer dengan cara menganalisis kecocokan posisi debu terhadap
model trajektorinya. Dari Gambar 3.3, dapat ditarik kesimpulan bahwa debu berada pada ketinggian 16.500
m diatas permukaan laut dan akan bergerak terus ke arah baratdaya.

4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil deteksi debu vulkanik pada dua kasus diatas, maka diperoleh kesimpulan bahwa:
a. Penggabungan dua metode split windows dan TVAP mampu meningkatkan keakuratan dalam
pendeteksian debu vulkanik erupsi Gunung Kelud dan Gunung Rinjani. Baik metode split windows
TVAP sama-sama melakukan perbaikan terhadap metode lainnya, dengan menampilkan pixel-pixel debu
yang hilang jika hanya menggunakan satu metode.
b. Dalam pendeteksian debu vulkanik ini, threshold untuk teknik split windows dan TVAP pada kasus
Gunung Kelud adalah SP < 0 dan TVAP >120. Sedangkan thresholdkedua metode untuk kasus Erupsi
Gunung Rinjani adalah SP < 1.5, SP < 0 dan TVAP > 70. Perbedaan thresholdterjadi akibat perbedaan
jenis erupsi yang berdampak pada perbedaan ketinggian dan konsentrasi debu di atmosfer. Semakin
lemah eksplosif semakin kecil threshold TVAP dan threshold metode SP bisa mencapai nilai positif.
c. Dengan mengamati perubahan posisi debu pada tiap waktu, kita dapat memprakirakan pergerakan debu
untuk waktu kedepan. Dibantu oleh model trajektori, kita dapat memprakirakan trajektori dengan lebih
pasti serta dapat juga memprakirakan ketinggian debu berdasarkan kecocokan dengan trajektorinya.

-161-
Identifikasi Debu Vulkanik menggunakan Metode Split Windows dan TVAP pada Citra Satelit Cuaca MTSAT dan Himawari-8 (Studi
Kasus: Erupsi Gunung Kelud 13 Februari 2014 dan Gunung Rinjani 31 Oktober-5 November 2015) (Fachturoni, I.R.)

d. Informasi yang akurat mengenai debu vulkanik dan pergerakannya sangatlah penting untuk segera
didiseminasikan kepada masyarakat agar dampak negatif dari debu vulkanik pada kegiatan masyarakat di
segala bidang dapat dihindari.
e. Dalam dunia penerbangan, adanya debu vulkanik di atmosfer dapat meningkatkan resiko kecelakaan
karena dapat menyebabkan kerusakan mesin pesawat. Oleh sebab itu warning tentang adanya debu
vulkanik sangatlah krusial dan harus secepat mungkin didiseminasikan ke bandara-bandara sekitar.

5. UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih kepada Allah SWT, Ayah, Ibu, keluarga dan semua pihak yang telah membantu
terselesaikannya penelitian ini dan untuk Ni Putu Andini Ganiswari akan semangatnya.

DAFTAR PUSTAKA
Draxler, R.R., (1997). Hybrid Single Particel Lagrangian Integrated Trajectories (HY-SPLIT): Version 4.0 –
User’s guide and model description. NOAA Tech. Memo. ERL ARL-225.
Ellrod, G.P., Connel, B.H., dan Hillger, D.W. (2003). Improved Detection of Airbone Volcanic Ash using
Multispectral Infrared Satellite data. Journal of Geophysical Research, 108.
Prata, J.A., dan Ian J.B., (1989). Detection and discrimination of volcanic ash clouds by infrared rdiometry-
I: Theory.
Kelkar, R.R., (2007). Satellite Meteorology.Hyderabad: BSP.
Susilawati, A. (2012). Identifikasi Debu Vulkanik Menggunakan Citra Satelit MTSAT. Buletin Meteorologi
Klimatologi dan Geofisika. 8(1)
Tjasyono, dan Bayong. (2007a). Meteorologi Indonesia 1: Karakteristik & Sirkulasi Atmosfer. Jakarta:
Badan Meteorologi dan Geofisika.
Tjasyono, dan Bayong. (2007b). Mikrofisika Awan dan Geofisika. University Corporation for Atmospheric
Research. 2011. Volcanic Ash: Observation Tools and Dispersion Models. [online].
http://www.meted.ucar.edu/volcanic_ash/tools/navmenu.php?tab=1&page=3.5.0. (diaksestanggal 23
Juni 2015).
Weather and Climate Prediction labolatory. (2005). Deteksi Debu Vulkanik dengan Satelit MTSAT.
http://weather.meteo.itb.ac.id/ artikel7.php. (diaksestanggal 23 Juni 2015).

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskui presentasi ilmiah

BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2016

Moderator : Dr. Rahmat Arief, Dipl.Ing.


Judul Makalah : Identifikasi Debu Vulkanik menggunakan Metode Split Windows dan TVAP pada
Citra Satelit Cuaca MTSAT dan Himawari-8 (Studi Kasus: Erupsi Gunung Kelud
13 Februari 2014 dan Gunung Rinjani 31 Oktober-5 November 2015)
Pemakalah : Ilham Rosihan Fachturoni (UGM)
Diskusi :

Pertanyaan: Kardasah (Puslitbang BMKG)


Bagaimana menentukan tebal dan tipisnya debu vulkanik dengan parameter tersebut? Apakah tidak
dipengaruhi tinggi?

Jawaban:
Penentuan threshold debu vulkanik dari emphiris. Paper yang ditulis oleh (Ellrod, 2003), Adanya perbedaan
IR pada siang dan malam. Sebenarnya tingi debu juga mempengaruhi

-162-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Uji Skema Dust RGB dan Ash RGB Untuk Informasi Sebaran Debu
Vulkanis Menggunakan Satelit Himawari 8 (Studi Kasus: Erupsi Gunung
Barujari 04 November 2015)

Assessment of Dust RGB and Ash RGB Scheme for Volcanic Ash
Information Using Himawari 8 Satellite (Case Study: Mt. Barujari Eruption,
November 4th 2015)
Pande Putu Hadi Wiguna1*) dan Kadek Setiya Wati2
1
Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Jakarta
2
Stasiun Meteorologi Kelas II Selaparang-BIL, BMKG
*)
E-mail: greenearthcadet@gmail.com

ABSTRAK – Satelit Himawari 8 diluncurkan pada pertengahan tahun 2015 sebagai pengganti satelit MTSAT-2 yang
habis masa orbitnya. Himawari 8 memiliki beberapa kelebihan dibanding MTSAT-2, yaitu jumlah kanal 3 kali lipat dari
kanal MTSAT-2 serta resolusi temporal yang lebih tinggi.Penambahkan kanal pada Himawari 8 memungkinkan
melakukan pengamatan atmosfer yang lebih luas tidak terbatas pada awan meterologis tapi juga dapat digunakan untuk
pengamatan debu vulkanis. WMO merekomendasikan 7 skema RGB untuk menampilkan informasi fisis setiap kanal
satelit yang berguna dalam nephanalysis. Salah satunya adalah skema Dust RGB untuk pengamatan debu vulkanis.
JMA (Japan Meteorological Agency) menerapkan ketujuh skema ini ke satelit Himawari 8 dan melakukan
pengambangan skema lain yaitu Ash RGB. Skema Ash RGB diharapkan mampu mendeteksi debu vulkanis lebih baik
dari skema Dust RGB. Kanal yang digunakan dalam skema Ash RBG identik dengan Dust RGB, perbedaannya hanya
terdapat pada pengaturan gradasi warna pada masing-masing kanal untuk lebih fokus pada fenomena yang akan
diamati. SkemaAsh RGB masih dalam tahap ujicoba karena belum ditetapkan definisi dari setiap warna dalam
tampilannya. Dalam tulisan ini dilakukan uji dua skema tersebut. Dua skema tersebut diterapkan pada peristiwa erupsi
gunung Barujari pada tanggal 4 November 2015. Hasilnya, konfigurasi skema Ash RGB kurang dapat menggambarkan
sebaran debu vulkanis dibanding skema Dust RGB. Hasil skema Dust RGB memiliki warna yang lebih kontras terhadap
awan meteorologis, sehingga memudahkan dalam pengamatan dan analisis.

Kata kunci: Himawari 8, Debu Vulkanis, skema Dust RGB, skema Ash RGB

ABSTRACT -Himawari 8 satellite was launched in mid2015 as a replacement of the MTSAT-2 satellite wich is already
retired. Himawari 8 satellite has several advantages over MTSAT-2. It has three times of channel better than MTSAT-2
and its temporal resolution higher than MTSAT-2. Upgrading channel at Himawari 8 make an opportunity to observing
atmosphere, not only the meteorological cloud but also for volcanic ash observation. WMO recommends 7 RGB scheme
to display physical information in any channels that are useful in nephanalysis. One is a scheme for the observation of
volcanic ash, Dust RGB Scheme. JMA(Japan Meteorological Agency) apply this seventh scheme to the Himawari 8
satellite and developing another scheme namely Ash RGB scheme. Ash RGB scheme is expected to detect volcanic ash
better than Dust RGB scheme. Channels using in Dust RGB scheme are identic with Ash RGB, the different is gradation
color setting in each channels. It is for focusing in what phenomena we observe. Ash RGB scheme are still being tested
because it has not been established definitions of each color in appearance. In this paper, the authors conducted a test
against this scheme. Two schemes are applied to the events Barujari volcanic eruption on November 4th, 2015. As a
result, the configuration can describe Ash RGB scheme can’t show volcanic ash clearly than the Dust scheme. The Dust
scheme have more colors contrasting against meteorological cloud, making it easier to observation and analysis.

Keywords: Himawari 8, Volcanic Ash, Dust RGB Scheme, Ash RGB Scheme

1. PENDAHULUAN
Satelit meteorologi mulai digunakan sebagai solusi untuk pengamatan di wilayah yang sulit dijangkau
oleh pengamatan meteorologi di permukaan seperti wilayah laut, gurun, atau pegunungan. Satelit
meteorologi memiliki keunggulan utama yaitu mampu mengamati fenomena meteorologi secara global dan
berkelanjutan. Program World Weather Watch dari WMO (World Meteorology Organization) di dukung
oleh jaringan satelit baik geostasionari maupun polar orbit. Dalam mendukung program tersebut, JMA
(Japan Meteorology Agency) telah mengorbitkan satelit geostasionari meteorologi terbaru, Himawari 8.

-163-
Uji Skema Dust RGB dan Ash RGB Untuk Informasi Sebaran Debu Vulkanis Menggunakan Satelit Himawari 8 (Studi Kasus: Erupsi
Gunung Barujari 04 November 2015) (Wiguna, P.P.H. dkk.)

Himawari 8 berhasil diluncurkan pada tanggal 7 Oktober 2014, dan dijadwalkan mulai beroperasi pada bulan
Juli 2015. Fitur terbarunya yaitu The new Advanced Himawari Image mengalami peningkatan pada resoulis
spasial dan frekwensi pengamatannya dibanding dengan versi terdahulu. Penambahan teknologi berupa kanal
yang tersedia, kini berjumlah 16 (3 kanal visible, 3 kanal near-infrared, 10 kanal inframerah) dari
sebelumnya hanya 5 kanal saja.Resolusi spasial mencapai 0.5 km untuk kanal visible dan 2 km untuk kanal
inframerah.Resousi temporal yang pada versi terdahulu hanya 60 menit, saat ini mencapai 10 menit untuk
pemindaian secara keseluruhan dan 2.5 menit untuk pemindaian area terbatas.
Peningkatan kemampuan ini diharapkan mampu memberikan informasi yang lebih detail dalam
mengamati pergerakan siklon tropis maupun awan-awan konvektif yang dapat menyebabkan hujan dengan
intensitas lebat. Selain siklon tropis dan awan konvektif, diharapkan juga mampu mengamati dan mendeteksi
pergerakan dari debu vulkanis maupun aerosol lainnya di atmosfer.

Tabel 1. Perbandingan Spesifikasi Kanal Himawari 8 Versus Himawari 7

Wave length Himawari-8/9 MTSAT-1R/2


[µm] Band Spatial Central wave length Channel Spatial
number resolution [µm] name resolution
at SSP AHI-8 AHI-9 at SSP
[km] (Himawari-8) (Himawari-9) [km]

0.47 1 1 0.47063 0.47059 - -


0.51 2 1 0.51000 0.50993 - -
0.64 3 0.5 0.63914 0.63972 VIS 1
0.86 4 1 0.85670 0.85668 - -
1.6 5 2 1.6101 1.6065 - -
2.3 6 2 2.2568 2.2570 - -
3.9 7 2 3.8853 3.8289 IR4 4
6.2 8 2 6.2429 6.2479 IR3 4
6.9 9 2 6.9410 6.9555 - -
7.3 10 2 7.3467 7.3437 - -
8.6 11 2 8.5926 8.5936 - -
9.6 12 2 9.6372 9.6274 - -
10.4 13 2 10.4073 10.4074 IR1 4
11.2 14 2 11.2395 11.2080 - -
12.4 15 2 12.3806 12.3648 IR2 4
13.3 16 2 13.2807 13.3107 - -

Dalam sebuah citra satelit, terkandung banyak informasi fisis yang sangat berguna untuk melakukan
nephanalysis. Namun setiap analisis dibutuhkan ketrampilan dan pengalaman untuk dapat menginterpretasi
dan mengekstraksi informasi yang dibutuhkan dari citra satelit. Teknik RGB (red-blue-green) composite
imagery merupakan teknik menampilkan citra satelit dengan melakukan overlay dari beberapa kanal
sekaligus. Teknik RGB menggabungkan informasi dari beberapa kanal berbeda ke dalam satu produk,
sehingga menghasilkan lebih banyak informasi daripada produk yang hanya dihasilkan dari satu kanal.
Umumnya, teknik RGB lebih mudah digunakan dan lebih efektif dalam menggambarkan suatu fenomena
meteorologi. Akan tetapi, biasanya memerlukan pelatihan dan pengalaman dalam menginterpretasi sehingga
produk dapat digunakan dengan tepat. Beberapa produk ada yg intuitif, sementara yang lain tidak dan hal ini
dapat mengakibatkan salah interpretasi.

-164-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

WMO merekomendasikan 7 skema RGB yang diterapkan dalam RGB composite imagery menggunakan
satelit Himawari-8/9. Salah satunya adalah skema dust yang pengaplikasiannya bisa digunakan dalam
mendeteksi debu vulkanis. Selain itu, pihak JMA sebagai pemilik Himawari 8 juga membuat skema
tersendiri untuk mendeteksi debu vulkanis, yaitu skema ash. Baik dalam skema dust maupun ash digunakan
kanal dengan panjang gelombang yang sama. Perbedaannya hanya terletak pada pengaturan gradasi untuk
lebih focus pada fenomena yang berbeda. Kedua skema ini dapat ditampilkan dari penggabungan 3 citra
berbeda yaitu BTD(brightness temperature difference) di kanal B15(12.4 µm) dengan B13(10.4 µm), BTD
kanal B13(10.4 µm) dengan B11(8.6 µm), dan kanal B13(10.4 µm).
Letusan gunung menghasilkan debu vulkanis dengan konsentrasi sulfur dioksida (SO2) yang tinggi.
Kadar SO2 dapat terdeteksi oleh kanal IR 8.6 µm. Debu vulkanis yang mengandung SO2 lebih transparan di
IR 10.4 µm dibanding kanal IR 8.6 µm sehingga apabila perbedaan brightness temperature positif, berarti itu
adalah debu vulkanis. Awan meteorologis lebih transparan pada IR 8.6 µm dari pada 10.4 µm sehingga
apabila BTD (brightness temperaturedifference) negatif, maka itu adalah awan meteorologis.
Penelitian ini menggunakan contoh studi kasus saat kejadian letusan gunung Barujari pada tanggal 4
November 2015 di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Gunung Barujari merupakan anak dari gunung
Rinjani. Pada saat letusan di tanggal 4 November 2015, arah sebaran debu vulkanisnya mengarah ke arah
Barat hingga mencapai wilayah Bali dan Jawa Timur.

2. METODE
2.1 Data
Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data raw dari citra satelit Himawari 8 yang
didapat di sub bagian citra satelit BMKG Jakarta. Data yang digunakan adalah data pada kanal 8.6 µm, 10.4
µm, dan 12.4 µm.
2.2 Alat Penelitian
Penelitian ini menggunakan peralatan sebagai berikut:
2.2.1 Perangkat Keras
Perangkat keras yang digunakan dalam penelitian ini yaitu laptop dengan merek Asus seri N46vm dengan
spesifikasi sebagai berikut :
 Operating System : Windows 7 Ultimate 64 bit
 Processor : Intel® Core ™ i5-3210M CPU @ 2.50 GHz 2.50 GHz
 Memory : 8 Gigabyte RAM
2.2.2 Perangkat Lunak
Pengolahan data menggunakan perangkat lunak GMSLPD 64-bit yang dapat dijalankan pada platform
Windows 64-bit.
2.3 Teknik Pengolahan Data
Untuk mengamati sebaran debu vulkanis digunakan teknik RGB dengan 2 skema berbeda, yaitu skema
dust dan skema ash. Kedua skema ini menggunakan kanal yang sama, perbedaannya hanya pada pengaturan
gradasi untuk lebih menspesifikasikan pada fenomena tertentu. Teknik RGB berarti menggabungkan 3 citra
yang berbeda untuk ditampilkan hanya dalam 1 citra yang lebih informatif.
Sebelum digabungkan, setiap citra harus diproses terlebih dahulu. Adapun proses yang dilakukan adalah
sebagai berikut:
2.3.1 Contrast Stretching
Citra pertama, kanal 10.4 µm, dilakukan contrast stretching. Contrast stretching dilakukan dengan
memperhatikan bagaimana kanal dapat mendeteksi adanya partikel debu pada suatu lapisan. Suhu radiasi
yang dipancarkan oleh permukaan lebih besar daripada suhu radiasi yang dipancarkan oleh debu-debu
disuatu lapisan. Akan tetapi dalam melakukan contrast stretching terdapat keterbatasan yaitu ketika malam
hari, suhu radiasi dari debu akan sama dengan suhu radiasi dari permukaan.

-165-
Uji Skema Dust RGB dan Ash RGB Untuk Informasi Sebaran Debu Vulkanis Menggunakan Satelit Himawari 8 (Studi Kasus: Erupsi
Gunung Barujari 04 November 2015) (Wiguna, P.P.H. dkk.)

(a) (b)
Gambar 1. Perbandingan suhu radiasi yang dipancarkan permukaan dengan debu-debu pada suatu lapisan. (a)
Kondisi di siang hari dan (b) Kondisi di malam hari

Untuk membatasi tingkat kontras pada citra dan untuk menguatkan tampilan dari debu, dilakukan
pengaturan suhu radiasi dengan range suhu yang relatif sempit. Disini terlihat salah satu perbedaan antara
skema dust dengan skema ash dimana pada skema dust range suhu radiasi adalah 261 Kelvin – 289 Kelvin,
sedangkan skema ash menggunakan range suhu radiasi 208 Kelvin – 243 Kelvin. Perbedaan ini bertujuan
untuk lebih fokus kepada karakteristik dari debu vulkanis. Baik pada skema dust maupun skema ash hasil
dari contrast stretching akan meningkatkan ciri-ciri dari debu vulkanis. Hal ini akan memberikan informasi
yang lebih bermanfaat ketika digabungkan dengan citra lainnya dalam citra RGB.

2.3.2 BTD (Brightness Temperature Difference)


Selain menggunakan citra kanal tunggal, skema dust dan skema ash juga menggunakan perbedaan dari 2
kanal, dimana nilai kecerahan suhu pada satu citra dikurangi dengan nilai kecerahan suhu pada citra lainnya.
Hal ini bertujuan untuk mempermudah dalam mendeteksi keberadaan debu vulkanis dibanding dengan
menggunakan citra kanal tunggal.
Dalam skema dust dan skema ash digunakan nilai BTD (brightness temperature difference)antara kanal
12.4 µm dengan kanal 10.4 µm. Energi inframerah yang melewati lapisan debu vulkanis memiliki suhu
kecerahan lebih dingin di kanal 10.4 µm daripada kanal 12.4 µm. Hal ini dikarenakan debu vulkanis lebih
sensitif dan menyerap lebih banyak energi dari kanal 10.4 µm. Sifat debu vulkanis ini menyebabkan nilai
BTD menjadi positif cerah. Sebaliknya energi inframerah yang melewati lapisan awan, dimana awan kurang
peka terhadap gelombang pada kanal 10.4 µm. Hal ini menyebabkan nilai suhu kecerahan pada kanal 10.4
µm lebih besar daripada kanal 12.4 µm. Sehingga menghasilkan BTD dengan nilai negatif dan berwarna
gelap.

Gambar 2. Perbedaan absorbs dari lapisan debu vulkanis dengan lapisan awan meteorologis. Nilai 12.0 µm dan 10.8
µm pada gambar dianggap mendekati kanal Himawari 8 yaitu kanal 12.4 µm dan kanal 10.4 µm.

-166-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Range suhu radiasi kanal 12.4 µm dan 10.4 µm dibatasi pada angka -4 Kelvin dan 2 Kelvin baik pada
skema dust maupun skema Ash. Sehingga dapat dihasilkan citra yang menggambarkan dengan jelas
keberadaap debu vulkanis yang mana sangat berguna ketika nanti dilakukan proses RGB.
Selain menggunakan nilai BTD kanal 12.4 µm dan 10.4 µm, pada skema dust dan skema ash juga
digunakan nilai BTD dari kanal 10.4 µm dengan kanal 8.6 µm. Akan tetapi baik pada lapisan debu vulkanis
maupun awan meteorologis, nilai BTD dari keduanya selalu negatif. Hal ini tentunya dapat menyulitkan
dalam membedakan keduanya. Akan tetapi ketika dilakukan pengaturan pada range suhu radiasi pada kanal
ini, dimana suhu dibatasi pada 0 Kelvin sampai 15 Kelvin di skema dust, dan -4 Kelvin sampai 5 Kelvin di
skema ash, didapatkan tampilan citra yang cukup baik dalam membedakan debu vulkanis dengan awan
meteorologis.

2.3.3 Teknik RGB (Red-Green-Blue)


Selanjutnya adalah menggabungkan ketiga citra yang telah dihasilkan dari proses contrast stretching dan
BTD dengan menggunakan teknik RGB. Baik pada skema dust maupun skema ash, pembagian warna
terbaik dari setiap citra adalah sebagai berikut:
 Merah untuk citra hasil BTD dari kanal 12.4 µm dikurangi kanal 10.4 µm
 Hijau untuk citra hasil BTD dari kanal 10.4 µm dikurangi kanal 8.6 µm
 Hijau untuk citra contrast stretching kanal 10.4 µm

Gambar 3. Hasil penggabungan 3 citra dengan teknik RGB. Nilai 12.0 µm, 10.8 µm dan 8.7 µm pada gambar dianggap
mendekati kanal Himawari 8 yaitu kanal 12.4 µm, 10.4 µm dan 8.6 µm.

Warna-warna yang dihasilkan dalam citra RGB selanjut didefinisikan sebagai berikut:

-167-
Uji Skema Dust RGB dan Ash RGB Untuk Informasi Sebaran Debu Vulkanis Menggunakan Satelit Himawari 8 (Studi Kasus: Erupsi
Gunung Barujari 04 November 2015) (Wiguna, P.P.H. dkk.)

Gambar 4. Interpretasi warna yang dihasilkan dari citra RGB baik dengan skema dust maupun skema ash

2.4 Diagram Alir Penelitian

Debu Vulkanis Letusan


Gn. Barujari

Himawari 8

Teknik RGB

Skema Dust Skema Ash


R : IR 12.0 – IR 10.8 ; R : IR 12.0 – IR 10.8 ;
range -4 – 2 (K) ; range -4 – 2 (K) ;
gamma = 1.0 gamma = 1.0
G : IR 10.8 – IR 8.7 ; G : IR 10.8 – IR 8.7 ;
range 0-15 (K) ; range(-4)-5 (K) ;
gamma = 2.5 gamma = 1.0
B : IR 10.8 ; range B : IR 10.8 ; range
261-289 (K); gamma = 208-243 (K); gamma =
1.0 1.0
Perbandingan skema
dust dan skema ash

Kesimpulan

2.5 Lokasi Penelitian


Lokasi penelitian adalah gunung Barujari yang merupakan anak gunung Rinjani yang terletak di pulau
Lombok, Nusa Tenggara Barat. Gunung ini memiliki kawah berukuran 170x20 meter (m) dengan ketinggian
2.296-2.376 meter di atas permukaan laut (m dpl). Gunung Barujari berada di sisi timur kaldera Danau
Segara Anak. Gunung Barujari terakhir meletus pada 25 Oktober 2015 dan 3 November 2015. Letusan
terakhir bahkan berlangsung hingga bulan Desember 2015 (volcanodiscovery, 2015). Sebelumnya, Gunung
Barujari tercatat meletus pada Mei 2009 dan 2004. Letusan pada 2004 tidak memakan korban, namun pada

-168-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

2009 menelankorban hingga 31 orang akibat banjir bandang pada kokok atau Sungai Tanggek akibat
desakan lava ke Segara Anak. Gunung Barujari juga pernah erupsi pada 1944, 1966, dan 1994.

(a) (b)
Gambar 5.Lokasi penelitian. (a) Peta menunjukan lokasi kaldera Samalas di dalam komplek Gunung Rinjani beserta
ulasan arah aliran piroklastik sejak 1257 sebelum masehi (Lavigne dkk, 2013). (b) Peta satelit menunjukan lokasi
Gunung Barujari dalam kaldera (NASA Space Shuttle image ISS005-E-15296, 2002).

3. PEMBAHASAN
3.1 Teknik RGB Skema Dust
Hasil pengolahan citra satelit dengan menggunakan teknik RGB skema dust menampilkan sebaran debu
vulkanis dengan warna merah muda terang dengan background warna biru muda yang mewakili lautan dan
daratan. Pada pukul 00.00 UTC hingga 03.00 UTC, sebaran debu vulkanis Gunung Barujari mengarah ke
arah barat hingga menutupi Jawa Timur bagian tengah hinggaselatan dan hampir seluruh Pulau Bali. Kondisi
inilah yang mengakibatkan bandar udara Blimbing Sari yang terletak di daerah Banyuwangi, Bandara
Ngurah Rai di Bali, Bandara Selaparang Mataram dan Bandara Internasional Lombok di Lombok ditutup
sejak pagi hari sekitar pukul 08.45 WITA pada tanggal 4 November 2015.

(a) (b)
Gambar 6. Citra yang ditampilkan dengan skema dust. (a) Skema dust pukul 00.00 UTC atau pukul 08.00 WITA.
(b) Skema dust pukul 03.00 UTC atau pukul 11.00 WITA

Memasuki pukul 04.00 UTC, sebaran debu vulkanis Gunung Barujari bergeser ke arah Barat Daya
sehingga hanya menutupi daerah Jawa Timur dan Pulau Bali bagian tengah hingga selatan. Semakin sore
sebaran debu vulkanis semakin mengarah ke arah Barat Daya sehingga hanya tinggal menutupi wilayah Jawa
Timur dan Bali bagian selatan.

-169-
Uji Skema Dust RGB dan Ash RGB Untuk Informasi Sebaran Debu Vulkanis Menggunakan Satelit Himawari 8 (Studi Kasus: Erupsi
Gunung Barujari 04 November 2015) (Wiguna, P.P.H. dkk.)

(a) (b)
Gambar 7. Citra yang ditampilkan dengan skema dust. (a) Skema dust pukul 04.00 UTC atau pukul 12.00 WITA.
(b) Skema dust pukul 11.00 UTC atau pukul 19.00 WITA

Pada pukul 11.00 UTC, debu vulkanis terpantau sudah tidak menutupi wilayah Jawa Timur. hanya
sebarannya masih terpantau di sekitar perairan selatan Jawa Timur. untuk wilayah Pulau Bali, liputan debu
vulkanis yang cukup pekat masih nampak di perairan Pulau Bali bagian timur.

-170-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

(a) (b)
Gambar 8. Citra yang ditampilkan dengan skema dust. (a) Skema dust pukul 12.00 UTC atau pukul 20.00 WITA.
(b) Skema dust pukul 13.00 UTC atau pukul 21.00 WITA

Satu jam kemudian yaitu pukul 12.00 UTC, sebaran debu vulkanis ini kembali menutupi Pulau Bali
bagian tengah hingga timur. Mulai pukul 13.00 UTC, sebaran debu vulkanis Gunung Barujari tampak
menyebar. Sebarannya mencapai sebagian besar wilayah Pulau Bali mulai dari Pulau Bali bagian barat
hingga timur serta menyebar ke perairan selatan Pulau Lombok. Arah sebarannya semakin mengarah ke
barat daya hingga selatan Kondisi ini terus bertahan hingga pukul 17.00 UTC.

(a) (b)
Gambar 9. Citra yang ditampilkan dengan skema dust. (a) Skema dust pukul 17.00 UTC atau pukul 01.00 WITA.
(b) Skema dust pukul 18.00 UTC atau pukul 02.00 WITA

Selanjutnya pukul 18.00 UTC sebaran debu vulkanis di atas wilayah Bali menutupi Pulau Bali bagian
tengah sampai selatan. Mulai pukul 23.00 UTC sebaran debu vulkanis mulai mengarah ke barat daya
semakin menjauhi Pulau Bali dan hanya menutupi wilayah barat Pulau Lombok hingga ke perairan selatan
Pulau Bali.

(a) (b)
Gambar 10. Citra yang ditampilkan dengan skema dust. (a) Skema dust pukul 21.00 UTC atau pukul 05.00 WITA.
(b) Skema dust pukul 24.00 UTC atau pukul 08.00 WITA

-171-
Uji Skema Dust RGB dan Ash RGB Untuk Informasi Sebaran Debu Vulkanis Menggunakan Satelit Himawari 8 (Studi Kasus: Erupsi
Gunung Barujari 04 November 2015) (Wiguna, dkk.)

3.2 Teknik RGB Skema Ash


Hasil pengolahan citra satelit dengan teknik RGB skema ash memiliki tampilan yang tidak jauh berbeda
dengan hasil dari skema dust. Warna debu vulkanis adalah merah muda tetapi sedikit lebih transparan.
Begitu juga warna background dari skema ash. Terlihat daratan dan perarairan diwakili dengan warna biru
muda yang lebih muda daripada warna yang ditampilkan oleh skema dust. Arah sebaran debu vulkanis pda
pukul 00.00 UTC dapat dilihat dari citra adalah menuju arah barat menutupi sebagian Pulau Bali hingga
sebagian Jawa Timur.

(a) (b)
Gambar 11. Citra yang ditampilkan dengan skema ash. (a) Skema ash pukul 00.00 UTC atau pukul 08.00 WITA.
(b) Skema ashpukul 03.00 UTC atau pukul 11.00 WITA
Pukul 04.00 UTC, terlihat pergerakan debu vulkanis gunung Barujari bergerak ke arah barat daya.
Sebaran debu masih menutupi Pulau Bali bagian selatan dan sebagian perairan tenggara Jawa Timur.
Semakin sore, pergerakan debu vulkanis makin mengarah ke arah barat daya hingga selatan, sehingga hanya
menutupi Pulau Bali bagian selatan dan sebian perairan Jawa Timur bagian Tenggara.

(a) (b)
Gambar 12. Citra yang ditampilkan dengan skema ash. (a) Skema ash pukul 04.00 UTC atau pukul 12.00 WITA.
(b) Skema ashpukul 11.00 UTC atau pukul 19.00 WITA

Pada pukul 11.00 UTC, debu vulkanis terlihat mulai menjauhi wilayah Jawa Timur. Sebarannya masih
terpantau di sekitar perairan selatan Jawa Timur dan perairan timur Pulau Bali. Satu jam kemudian yaitu
pukul 12.00 UTC, sebaran debu vulkanis hanya berada di sekitar perairan Pulau Bali bagian timur.

-172-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

(a) (b)
Gambar 13. Citra yang ditampilkan dengan skema ash. (a) Skema ash pukul 12.00 UTC atau pukul 20.00 WITA.
(b) Skema ashpukul 13.00 UTC atau pukul 21.00 WITA

Mulai pukul 13.00 UTC, sebaran debu vulkanis Gunung Barujari tampak menyebar. Sebarannya
mencapai sebagian besar wilayah Pulau Bali mulai dari Pulau Bali bagian barat hingga timur serta menyebar
ke perairan selatan Pulau Lombok. Kondisi ini terus bertahan hingga pukul 17.00 UTC.

(a) (b)
Gambar 14. Citra yang ditampilkan dengan skema ash. (a) Skema ash pukul 17.00 UTC atau pukul 01.00 WITA.
(b) Skema ashpukul 18.00 UTC atau pukul 02.00 WITA

Selanjutnya pukul 18.00 UTC sebaran debu vulkanis cukup pekat di atas wilayah Bali menutupi Pulau
Bali bagian tengah sampai selatan. Sebaran debu vulkanis di atas Pulau Bali semakin terbuka. Sebagian
besar menyebar di atas wilayah perairan selatan Pulau Bali dan menutupi wilayah barat Pulau Lombok.

(a) (b)
Gambar 15. Citra yang ditampilkan dengan skema ash. (a) Skema ash pukul 21.00 UTC atau pukul 05.00 WITA.
(b) Skema ashpukul 24.00 UTC atau pukul 08.00 WITA

-173-
Uji Skema Dust RGB dan Ash RGB Untuk Informasi Sebaran Debu Vulkanis Menggunakan Satelit Himawari 8 (Studi Kasus: Erupsi
Gunung Barujari 04 November 2015) (Wiguna, dkk.)

4. KESIMPULAN
Dari citra satelit Himawari-8 tanggal 4 November 2015 diketahui bahwa arah sebaran debu vulkanis pada
pukul 00 UTC mengarah ke arah barat Pulau Lombok terdispersi hingga menutupi sebagian Pulau Bali dan
sebagian Jawa Timur.Pukul 06 UTC, pola dispersi debu vulkanis mulai sporadis ke arah Barat dan Barat
Daya dari sumber letusan. Pada pukul 12 UTC, sebaran debu vulkanis secara sporadis mencapai Bali,
Lombok dan pulau Sumbawa. Setelah pukul 21 UTC, sebaran debu vulkanis semakin mengarah ke aras barat
daya hingga selatan, sehingga Pulau Bali tidak tertutupi lagi dan hanya menyisakan bagian barat Pulau
Lombok hingga perairan selatan Pulau Bali yang tertutupi oleh debu vulkanis.
Pengolahan data citra satelit baik menggunakan teknik RGB skema dust maupun skema ash
menggunakan kanal yang sama, yaitu kanal 8.6 µm, 10.4 µm dan 12.4 µm. Perbedaan antara kedua skema ini
hanya terletak pada pengaturan gradasi warnanya, sehingga terdapat sedikit perbedaan warna pada hasil
kedua skema ini. Penggunaan kedua skema ini, baik skema dust maupun skema ash, sama-sama dapat
menggambarkan pergerakan debu vulkanis dengan baik, namun warna debu vulkanis yang ditampilkan oleh
skema dust cenderung lebih kontras dan menyala jika dibandingkan dengan warna yang ditampilkan oleh
skema ash. Warna background yang ditampilkan skema ash memang lebih menyala, akan tetapi tidak
mampu menampilkan warna debu vulkanis yang kontras dan menyala seperti pada skema dust. Hal ini tentu
sedikit menyulitkan apabila debu vulkanis sedikit bercampur dengan awan meteorologis, karena warna debu
vulkanis yang lebih menyala merah muda akan lebih memudahkan dalam mendeteksi keberadaannya di
sekitar awan meteorologis.

5. UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Esa, Ida Sang Hyang Widhi, atas berkat Beliau, penelitian
ini dapat terselesaikan. Ucapan terimakasih kepada penulis kedua yang membantu dalam pengerjaan dan
pengolahan data dari penelitian ini. Terimakasih kepada teman-teman di sub bidang pengolahan citra satelit
BMKG Jakarta atas bantuannya dalam menyediakan data satelit Himawari-8, serta tak lupa para dosen
STMKG yang telah membantu saya dalam memperkaya teori mengenai satelit dan inderaja.

DAFTAR PUSTAKA
Eumetrain, (2010). Volcanic Ash Training Module, [daring] (http://www.eumetrain.org/data/1/144/
navmenu.php?page=3.3.0, diakses 12 Juni 2016)
Molthan, A.L., Fuell, K.K., Oswald, H.K., dan Knaff, J.A., (2012). Developing of RGB Composite Imagery for
Operational Weather Forecasting Applications, [daring] (www.goes-r.gov/downloads/2012-AMS/poster01/301-
Molthan.pdf, diakses 18 Februari 2016).
Granyia, Baru Jari, (2015). Son of Rinjani and Samalas – A Time Line [daring] (https://volcanohotspot.wordpress.
com/2015/11/06/baru-jari-son-of-rinjani-and-samalas-a-time-line/, diakses 11 Juni 2016)
Kurino, T., (2015). Introduction to Himawari- 8/9 Operation, Data Disemination and Products [daring] (www.goes-
r.gov/downloads/.../09-2015_JMA%20presentation_Kurino.pdf, diakses 10 Juni 2016)
Meteorological Satellite Center, (2015). Dust RGB Detection of Yellow Sand (Asian Dust) [daring]
(http://www.data.jma.go.jp/mscweb/en/VRL/VLab_RGB/RGBimage.html, diakses 10 Juni 2016).
Shimizu, A., (2015), Outline of RGB Composite Imagery [daring] (www.data.jma.go.jp/mscweb/en
/...RGB/.../Outline_RGB_composite.pdf, diakses 10 Juni 2016)
The COMET® Program, (2015). Multispectral Satellite Application: RGB Products Explained [daring]
(http://www.meted.ucar.edu/satmet/multispectral_topics/rgb/navmenu.php?tab=1&page=3-2-4&type=text#, diakses
12 Juni 2016)
Volcano Discovery, (2015). Rinjani Volcani [daring] (https://www.volcanodiscovery.com/rinjani.html, diakses 10 Juni
2016)

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskui presentasi ilmiah

BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2016

Moderator : Dr. Rahmat Arief, Dipl.Ing.


Judul Makalah : Uji Skema Dust RGB dan Ash RGB Untuk Informasi Sebaran Debu Vulkanis
Menggunakan Satelit Himawari 8 (Studi Kasus Erupsi Gunung Barujari 04
November 2015)
Pemakalah : Pande Putu Hadi Wiguna (STMKG)
Diskusi :

-174-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Saran: Bani (BMKG)


Untuk contoh kasus berbeda yaitu ketika ada awan vulkanis sekitar ash

-175-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Komparasi Klasifikasi Citra Digital untuk Pemetaan Spesies Mangrove di


Teluk Benoa, Bali Menggunakan Citra Worldview-2

Digital Image Classification Comparison For Mangrove Species Mapping in


Benoa Bay, Bali Using Worldview-2 Image
Erika Dwi Candra1*) dan Widyanissa Rahmayani1
1)
Kartografi dan Penginderaan Jauh, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada
*)
E-mail: erikadwic@gmail.com

ABSTRAK- Mangrove merupakan vegetasi yang berperan sangat penting dalam keseimbangan ekosistem, terutama
pada ekosistem pesisir. Memahami spesies mangrove sangat penting untuk studi ekosistem mangrove. Teknologi
penginderaan jauh memiliki peranan penting dalam pemetaan mangrove melalui kemampuannya untuk melihat suatu
fenomena secara spasial. Citra Worldview-2 memiliki aspek spektral dengan sensor multispektral dan aspek spasial
yang termasuk dalam resolusi spasial tinggi. Aspek spektral dan spasial Worldview-2 ditambah dengan algoritma
klasifikasi citra digital memiliki potensi untuk mengidentifikasi mangrove pada level spesies. Potensi ini didasarkan
pada objek yang berbeda memberikan intensitas nilai pantulan spektral yang berbeda, dalam hal ini spesies mangrove
yang berbeda. Julat pantulan difokuskan pada julat panjang gelombang inframerah dekat yang perbedaan intensitasnya
merepresentasikan adanya perbedaan struktur internal daun vegetasi dan dimungkinkan adanya perbedaan spesies
vegetasi. Klasifikasi digital yang digunakan dalam penelitian ini adalahMaximum Likelihood, Minimum distance to
mean, Paralelpiped, dan Classification Tree Analysis (CTA). Hasil dari klasifikasi masing-masing algoritma tersebut
kemudian divalidasi dengan data lapangan untuk menghasilkan nilai akurasi. Penelitian ini diharapkan mampu
mengahasilkan peta spesies mangrove dengan algoritma klasifikasi yang paling baik. Hutan mangrove di sebagian
Teluk Benoa, Bali dipilih sebagai lokasi penelitian.

Kata kunci: Worldview-2, mangrove, spesies mangrove, supervised, Classification Tree Analysis

ABSTRACT-Mangrove is a vegetation that has a crucial role in the ecosystem sustainability, especially in coastal
ecosystems. Understanding mangrove species was important in mangrove ecosystem studies. Remote sensing
technology has advantages on mapping mangrove ecosystem, through its ability in viewing phenomena spatially.
Wordview-2 image has spectral aspect with multispectral sensor and spatial aspect which included in image with high
spatial resolution. Worldview-2 advantages combine with digital image classification algorithm had a potential to
identify mangrove up to species level. Those potential was based on the fact that different object has a different spectral
reflectance value, in this case different object means different mangrove species. Reflectance range was focused in the
range of near infrared waves because its intensity difference shows different leaf internal structure of vegetation and a
possibility of different species of the vegetation. Digital image classification algorithm that used in this research is
Maximum Likelihood, Minimum distance to mean, Paralelpiped, and Classification Tree Analysis (CTA). The
classification result of each classification algorithm was validated with the field observation in order to produce an
accurate value. This research has a purpose to create a map of mangrove species with the best classification algorithm.
Mangrove forest in TelukBenoa, Bali was chosen as the location of the research.

Keywords: Worldview-2, mangrove, mangrove species, supervised, Classification Tree Analysis

1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Mangrove merupakan hutan hijau yang tahan terhadap garam dan membentuk ekosistem antara daratan dan
lautan, selain itu hutan mangrove berperan sebagai habitat tempat keberlanjutan hidup berbagai biodiversitas serta
keberadaannya turut memberikan manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap kehidupan
manusia (Heenkenda, dkk., 2014). Hutan Mangrove memiliki fungsi ekologi dan sosial ekonomi yang penting
karena peran ekologinya dalam berbagai hal seperti stabilitas garis pantai, pengurangan erosi pesisir, penyimpan
sedimen dan nutrien, pelindung dari badai, pengontrol arus dan banjir serta pengontrol kualitas air (Bahuguna, dkk.,
2008). Secara umum hutan mangrove dapat ditemukan pada zona intertidal laut, ekosistem pesisir dan estuaria dari
wilayah dan negara tropis dan sub-tropis (FAO, 2007). Hutan Mangrove Teluk Benoa merupakan salah satu
kekayaan mangrove Indonesia yang berada Pulau Bali.

-176-
Komparasi Klasifikasi Citra Digital untuk Pemetaan Spesies Mangrove di Teluk Benoa, Bali Menggunakan Citra Worldview-2 (Candra,
E.D., dkk.)

Beberapa tahun belakang, penelitian terkait fungsi ekologis dan ekonomi mangrove telah banyak dilakukan
untuk menciptakan manajemen yang efektif dalam menangani hutan mangrove menjadi ekosistem alam yang
berkelanjutan (Suratman, 2008; Alongi, 2002; Metcalfe, 2007; Pham, 2016). Informasi terkait kerapatan serta
distribusi spasial dari hutan mangrove yang akurat dan terkini masih sedikit didokumentasikan (Malik, 2016).
Beberapa peneliti menyatakan dalam penelitiannya bahwa pemetaan mangrove dengan survey lapangan merupakan
kegiatan yang sulit, mamakan waktu tenaga serta biaya karena akses yang sulit (Jia, 2014; Heenkenda, 2014; Yh,
2015). Teknologi penginderaan jauh merupakan cara yang ideal untuk memetakan mangrove karena kelebihannya
dlam menggambarkan fenomena muka bumi sacara spasial dan menyeluruh. Pemanfaatan citra satelit pun telah
mengalami perkembangan yang signifikan, keberadaan citra resolusi tinggi merupakan salah satu perkembangan
dalam pemetaan mangrove.
Salah satu citra resolusi tinggi Worldview 2 memiliki potensi pemetaan mangrove hingga level spesies yang
perlu diteliti dan dikembangkan. Spesies mangrove yang berbeda memiliki kerapatan kanopi yang juga berbeda, hal
tersebut mengakibatkan karakteristik pola spektral yang juga berbeda saat ditangkap oleh sensor gelombang
elektromagnetik (Yh, 2015). Worldview-2 memiliki rentang spektral yang lebar serta ideal untuk identifikasi
komposisi spesies (Heenkenda, 2014) dengan resolusi spasial 2 m yang meningkatkan potensi pemetaan spesies
mangrove secara akurat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan Worlview-2 dalam memetakan
jenis mangrove hingga level spesies di Hutan Mangrove Teluk Benoa, Bali. Tujuan lain dari penelitian ini adalah
untuk menghasilkan kelas spesies mangrove menggunakan metode klasifikasi digital terselia Maximum Likelihood,
Minimum distance to mean dan Paralelpiped dan CTA (Classification Tree Analyst) serta mengetahui akurasi
pemetaan dari kedua metode tersebut.

2. METODE
2.1 Studi Area
Penelitian ini berfokus pada sebagian daerah dari hutan mangrove yang ada di Teluk Benoa. Luas total Hutan
Mangrove yang berada di Pulau Bali bagian selatan ini sebesar 1300 ha. Hutan mangrove yang menjadi daerah
kajian pada penelitian ini hanya sebagiannya yaitu dengan luas 400 ha yang merupakan Taman Hutan Raya Ngurah
Rai. Fokus kajian penelitian digambarkan pada Gambar 1.

Gambar 1.Citra Worldview-2 Komposit 742 (inframerah dekat 1, kuning, biru) Lokasi Kajian

Menurut Wiyanto dan Fiqoh (2015), jenis mangrove yang terdapat di Teluk Benoa berjumlah 11 jenis/spesies.
Sebelas jenis mangrove tersebut yaitu Rhizopora mucronata, Rhizopora stylosa, Rhizophora apiculata, Avicenia
marina, Avicenia officinalis, Sonneratia alba, Sonneratia caseolaris, Bruguiera gymnorrhyza, Bruguiera
cylindrical, Xylocarpus granatum, dan Ceriop tagal.Daerah kajian ini merupakan daerah konservasi yang terdiri
dari vegetasi mangrove alami dan artificial.

-177-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

2.2 Citra Worldview-2


Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah citra Worldview-2 bagian daerah selatan Pulau Bali perekaman
tanggal 20 Mei 2015 yang diperolehDigital Globe Foundation. Citra dengan resolusi spektral dan spasial tinggi
menyebabkan citra Worldview 2 merupakan solusi yang tepat untuk studi vegetasi (DigitalGlobe, 2008). Citra
Worldview-2 memiliki 8 saluran multispektral dengan resolusi spasial 2 m dan satu buah saluran pankromatik
dengan resolusi spasial 0,5 m. Spesifikasi dari citra Worldview 2 dijabarkan pada Tabel 1.

Tabel 1.Spesifikasi Citra Worldview-2


Band Panjang Gelombang (nm)
Pankromatik/Panchromatic 450-800
1. Coastal 400-450
2. Biru/Blue 450-510
3. Hijau/Green 510-580
4. Kuning/Yellow 585-625
5. Merah/Red 630-690
6. Merah Tepi/Red Edge 705-745
7. Inframerah Dekat 1/Near Infrared 1 760-895
8. Inframerah Dekat 2/Near Infrared 2 860-1040
Sumber: Digital Globe, 2010

2.3 Pre-processing dan Pengolahan Citra


Proses koreksi citra ini tidak dilakukan koreksi geometrik. Hal ini disebabkan oleh resolusi spasial citra
Worldview-2 sebesar 2 meter sehingga dalam pengambilan GCP diperlukan GPS dengan akurasi yang tinggi yaitu
GPS Geodetik. Disebabkan oleh keterbatasan kesediaan peralatan GPS Geodetik maka tidak dilakukan
pengambilan GCP untuk koreksi geometrik. Selain itu, data yang diperoleh dari Digital Globe Fondation berupa
data dengan level 2A. Pada level ini citra sudah terkoreksi geometrik secara global dengan akurasi sebesar 90%.
Apabila citra ditampalkan dengan peta dasar Indonesia yaitu Peta Rupabumi Indonesia (RBI) skala 1:25.000, citra
sudah menampal dan tidak terjadi pergeseran secara signifikan pada kenampakan citra dan peta. Oleh karena itu,
tanpa dilakukan koreksi geometrik citra Worldview-2 tetap dapat digunakan dalam penelitian dengan eror yang
kecil.
Pra-proccessing citra dilakukan pada aspek radiometrik untuk mendapatkan nilai pantulan sebenarnya dari objek
yang dikaji. Citra Worldview-2 yang diperoleh dari Digital Globe Fondation merupakan citra yang belum diolah
secara radiometrik dan nilai pikselnya berupa Digital Number (DN). Nilai piksel tersebut merupakan perentangan
nilai objek pada nilai bit 11 yang dimiliki satelit Worldview-2. Nilai piksel tersebut masih berupa nilai digital hasil
konversi banyaknya spektral cahaya yang memasuki satelit dan belum mengalami pengolahan sehingga masih
memiliki banyak gangguan. Oleh karena itu dikonversi menjadi nilai top-of-atmosphere spectral radiance. Proses
klasifikasi multispektral yang akan dilakukan bergantung pada nilai pantulan objek sehingga nilai radiance tersebut
dikonversi menjadi nilai reflectance.
Citra terkoreksi radiometrik kemudian dilakukan masking dengan wilayah non-mangrove untuk memfokuskan
kajian pada hutan mangrove. Hal ini bertujuan agar nilai piksel dari objek selain mangrove tidak ikut terklasifikasi.
Pada proses pra-lapangan juga dilakukan pembuatan peta sampel dengan mengklasifikasikan objek mangrove pada
citra yang telah dikoreksi. Proses klasifikasi dilakukan secara digital dengan metode klasifikasi tak terselia K-
means. Klasifikasi unsupervised dilakukan dengan dasar bahwa perbedaan jenis mangrove memberikan pola
pantulan spektral yang berbeda, khususnya pada panjang gelombang inframerah. Gambar 2 menunjukkan kurva
pantulan dari beberapa spesies mangrove. Berdasarkan hasil klasifikasi tersebut diberikan sejumlah titik sampel
yaitu 80. Lokasi sampel ditentukan dengan metode stratifiedaline. Peta titik sampel hasil preprocessing terlihat
pada Gambar 3.

-178-
Komparasi Klasifikasi Citra Digital untuk Pemetaan Spesies Mangrove di Teluk Benoa, Bali Menggunakan Citra Worldview-2 (Candra,
E.D., dkk.)

(a) (b)
Gambar 2. (a) Kurva Spektral Avicennia marina dan Rhizophora conjugate (Kuenzer, dkk., 2011) (b) Pantulan Spektral Jenis
Mangrove, Saltmash, dan Tubuh Air (Kamal dan Phinn, 2011)

Gambar 3.Peta Lokasi Sampel

2.4 Survei Lapangan


Kerja lapangan dilakukan selama tujuh hari, yaitu tanggal 18 Mei 2016 sampai 24 Mei 2016. Data lapangan
dibagi menjadi dua yaitu data untuk membangun model dan data untuk uji akurasi. Tim peneliti terdiri dari tiga
orang yaitu penulis yang dibantu oleh satu orang pendamping dan satu orang dari Balai Pengendali Perubahan
Iklim dan Kebakaran Hutan dan Lahan yang membantu dalam mengidentifikasi jenis mangrove dan melakukan
pengukuran. Akses untuk mencapai lokasi sampel dapat dicapai melalui dua cara yaitu jalan darat dan air. Jalan
darat dicapai dengan berjalan kaki pada jalur tracking yang telah ada dan digunakan sebagai jalur wisata mangrove.
Selain jalur tracking, pada beberapa lokasi masih terdapat pematang yang dapat dilalui. Jalur air dipilih untuk
menjangkau lokasi sampel yang jauh dari darat dan tergenang air cukup tinggi. Jalur air dicapai dengan perahu
yang disewa dari nelayan setempat. Kegiatan lapangan berupa pendataan jenis mangrove pada lokasi sampel yang
telah ditentukan.

2.5 Resampling Citra


Resampling citra dilakukan untuk mengubah ukuran piksel citra menjadi lebih besar atau downscaling.
Resampling citra ini dilakukan karena adanya potensi pada beberapa spesies mangrove ukurannya melebihi 2 m
sehingga tidak tergambarkan pada satu piksel citra Worldview-2 yaitu 2 m. Ukuran piksel 10 m menggabungkan
atau mengagregasi beberapa piksel berukuran 2 m. Oleh karena itu, pada penelitian ini digunakan dua ukuran piksel
yaitu 2 m dan 10 m.

-179-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

2.6 Klasifikasi Spesies Mangrove


Klasifikasi spesies mangrove dilakukan menggunakan dua metode yaitu klasifikasi multispektral supervised dan
Classification Tree Analysis.Klasifikasi supervised merupakan klasifikasi objek berbasis piksel menggunakan
algoritma tertentu berdasarkan training area yang diberikan. Training area yang diberikan telah memiliki sistem
klasifikasi tertentu dalam hal ini adalah spesies mangrove. Training area tersebut diberikan untuk melatih
komputer untuk mengenali objek berdasarkan kecenderungan nilai spektralnya. Algoritma yang digunakan yaitu
Maximum Likelihood, Minimum distance to mean dan Paralelpiped.
Classification Tree Analyst merupakan salah satu algoritma machine learning untuk memperoleh keputusan
seperti berupa kelas klasifikasi. CTA ini terdiri dari cabang yang mewakili atribut dan daun yang mewakili
keputusan atau yang disebut dengan decision tree. Decision tree dibangun berdasarkan training areadengan atribut
seperti nilai piksel.

2.7 Uji Akurasi


Uji akurasi dilakukan untuk mengetahui tingkat akurasi hasil interpretasi dalam hal ini adalah interpretasi jenis
mangrove. Metode yang digunakan adalah metode error matrix. Metode ini didasarkan pada hasil interpretasi dan
pengamatan langsung di lapangan. Variabel yang digunakan dalam penghitungan akurasi adalah jenis-jenis
mangrove yang diperoleh dari sampel klasifikasi dan sampel uji akurasi. Metode error matrix digunakan karena
data penginderaan jauh yang digunakan bukan berupa data kontinyu melainkan diskrit. Contoh tabel error matrix
ditunjukkan pada Gambar 4.

Gambar 4.Tabel Error Matrix


Sumber: Congalton dan Green, 2009 dengan modifikasi

2.8 Diagram Alir


Secara sederhana alur penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 5.

Gambar 5. Diagram Alir Penelitian

-180-
Komparasi Klasifikasi Citra Digital untuk Pemetaan Spesies Mangrove di Teluk Benoa, Bali Menggunakan Citra Worldview-2 (Candra,
E.D., dkk.)

3. HASILDAN PEMBAHASAN
Pra proccessing citra dilakukan untuk memperbaiki kualitas citra. Koreksi radiometrik yang dilakukan untuk
memperbaiki nilai piksel citra sehingga menggambarkan nilai pantulan dari setiap objek. Koreksi ini perlu
dilakukan karena data citra akan digunakan dalam klasifikasi multispektral yang melibatkan nilai piksel citra.
Tahap koreksi radiometrik dibatasi sampai pada tahap top-of-atmosphere spectral reflectance. Hal ini disebabkan
oleh klasifikasi multispektral hanya memproses nilai spektral dalam satu scene tiap bandnya. Citra hasil koreksi
radiometrik inilah yang digunakan dalam pemrosesan data.
Objek mangrove dikenali dengan posisinya yang hanya terdapat di area tertentu seperti wilayah pesisir. Untuk
membedakan vegetasi mangrove dan non mangrove yang ada di sekitarnya yaitu dengan rona pada warna merah
yang terbentuk. Mangrove akan memiliki warna merah yang lebih gelap karena pengaruh objek air yang ada di
bawahnya. Vegetasi non mangrove akan dikenali dengan warna merah yang lebih terang. Secara visual perbedaan
vegetasi mangrove dan non mangrove ditampilkan pada Gambar 6. Setelah didapatkan objek mangrove saja,
dilakukan masking untuk memisahkan objek mangrove tersebut dengan objek lainnya. Hal ini bertujuan agar pada
pemrosesan data selanjutnya nilai piksel dari objek lain tidak terhitung.

Gambar 6.Perbedaan Warna Objek Vegetasi Mangrove dan Non Mangrove

Penentuan lokasi sampel didasarkan pada hasil klasifikasi multispektral unsupervised dengan asumsi setiap
spesies mangrove memiliki pola yang berbeda-beda pada setiap panjang gelombang. Klasifikasi multispektral
unsupervised dilakukan dengan dua metode yaitu ISODATA dan K-means pada berbagai tingkat iterasi.
Berdasarkan berbagai percobaan yang dilakukan metode K-means dengan iterasi 5 memberikan hasil terbaik.
Diperoleh empat kelas jenis mangrove dengan persebaran yang paling mengelompok. Tingkat iterasi dibawah dan
di atas 5 sebaran kelasnya menjadi sangat acak seperti disebabkan piksel-piksel di antara kanopi bisa terkelaskan
menjadi kelas jenis yang berbeda.
Terdapat beberapa jenis mangrove yang dapat teridentifikasi saat kerja lapangan, yaitu: Rhizopora apiculata,
Rhizopora mucronata, Sonneratia alba, Bruguiera gymnorhiza, Ceriops tagal, Rhizopora stylosa, Avicennia
marina, dan Aegiceras corniculatum. Berdasarkan lokasi sampel yang telah ditentukan jenis mangrove Rhizopora
apiculata, Rhizopora mucronata, Sonneratia alba, dan Bruguiera gymnorhiza merupakan jenis mangrove yang
mendominasi daerah kajian. Jenis-jenis lain yang ditemukan saat identifikasi cenderung berjumlah sedikit sehingga
diabaikan perbedaan jenisnya pada setiap titik sampelnya.
Data lapangan tersebut digunakan untuk membangun model dengan jumlah sampel sebanyak 40 sampel. Model
klasifikasi berbasis piksel dilakukan dengan klasifikasi multispektral supervised. Model dibangun dengan ketiga
algoritma supervised yang digunakan yaitu Maximum Likelihood, Minimum distance to mean dan Paralelpiped.
Hasilnya adalah algoritma Minimum distance to mean memberikan hasil klasifikasi yang terbaik. Hal ini terlihat
pada klasifikasi dengan algoritma Maximum Likelihood dan Paralelpiped tidak menghasilkan kelas yang sesuai
dengan training area yang diberikan yaitu hanya menghasilkan dua kelas dari empat kelas training area yang
diberikan. Hal ini dapat disebabkan oleh jumlah sampel pada beberapa kelas tidak proporsional atau jumlahnya
sangat sedikit. Kelas training area berjumlah empat dengan kelas spesies Rhizopora apiculata, Rhizopora
mucronata, Sonneratia alba, dan Bruguiera gymnorhiza. Algoritma Minimum distance to mean menjadi salah satu
algoritma yang menghasilkan empat kelas spesies tersebut.
Pemodelan kelas spesies mangrove menggunakan metode Minimum distance to mean dan CTA pada skala 2 m
dan 10 m citra Worldview-2 ditampilkan pada Gambar 7. Berdasarkan keempat klasifikasi tersebut secara

-181-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

keseluruhan memiliki pola yang hampir sama. Spesies Rhizopora apiculata dan Rhizopora mucronatamendominasi
bagian hutan mangrove artificial atau buatan, sedangkan mangrove yang tumbuh secara alami didominasi oleh
Sonneratia alba.Spesies Bruguiera gymnorhiza juga terdapat di daerah kajian. Pada keempat klasifikasi ditemukan
Bruguiera gymnorhiza dengan sebaran yang berbeda. Klasifikasi dengan Minimum distance to mean
menggambarkan spesies Bruguiera gymnorhiza tersebar pada sisi yang dekat dengan daratan. Hal ini sesuai dengan
karakteristik spesies Bruguiera gymnorhiza yang cenderung ditemukan pada substrat lumpur yang masih keras
yaitu area yang dekat dengan pantai. Hasil berbeda ditunjukkan oleh hasil CTA yaitu spesies Bruguiera
gymnorhiza ditemukan pada sisi hutan alami yang cenderung dekat dengan laut dan terendam air dalam waktu
cukup lama. Karakteristik area ini kurang sesuai untuk hidup Bruguiera gymnorhiza sehingga dimungkinkan
adanya kesalahan dalam klasifikasi dengan CTA pada beberapa piksel.

Gambar 7.Kelas Spesies Mangrove Hasil klasifikasi

Perbedaan klasifikasi menghasilkan perbedaan luasan setiap kelas pula. Tiga dari empat klasifikasi memiliki
pola luasan yang sama, yaitu spesies Bruguiera gymnorhiza memiliki luas terkecil, diikuti Rhizopora apiculata dan
Rhizopora mucronata, serta Sonneratia alba memiliki luasan terbesar. Pola yang berbeda ditunjukkan oleh hasil
CTA pada ukuran piksel 2 m. Apabila dibandingkan dengan kondisi lapangan luasan Bruguiera gymnorhiza
memang paling kecil karena tidak banyak ditemukan pada titik sampel. Akan tetapi hanya klasifikasi CTA pada 2
m yang tidak menunjukkan hal yang sesuai kondisi lapangan justru menunjukkan bahwa Bruguiera gymnorhiza
memiliki luas lebih besar dibanding Rhizopora apiculata.Selain itu, Rhizopora apiculata dan Rhizopora mucronata
ditemukan mendominasi pada area artificial atau buatan. Hal ini juga sesuai dengan kondisi konservasi hutan
mangrove tersebut menurut Balai Pengendali Perubahan Iklim dan Kebakaran Hutan dan Lahan yang saat ini
menaungi hutan mangrove daerah kajian. Sebelum dilakukannya penanaman mangrove dilakukan kajian untuk
mengetahui spesies yang paling cocok atau sesuai dengan kondisi lahan. Hasilnya adalah Rhizopora apiculata dan
Rhizopora mucronata menjadi spesies yang dipilih untuk ditanam di lahan tersebut. Rhizopora mucronata ditanam
dengan jumlah yang paling banyak karena dianggap paling sesuai dengan kondisi lahan dan juga tahan terhadap
penyakit. Sonneratia alba mendominasi area hutan mangrove yang tumbuh secara alami. Spesies ini dianggap
cocok tumbuh pada daerah yang dekat dengan laut karena sebagai pelindung dari gelombang laut. Ukuran satu
individu spesies ini juga tergolong besar sehingga pada klasifikasi dihasilkan luasan yang besar pula. Walaupun

-182-
Komparasi Klasifikasi Citra Digital untuk Pemetaan Spesies Mangrove di Teluk Benoa, Bali Menggunakan Citra Worldview-2 (Candra,
E.D., dkk.)

jumlah individu Sonneratia alba belum tentu lebih banyak dibandingkan Rhizopora mucronata. Gambar 8
menggambarkan grafik perbedaan luasan setiap kelas spesies mangrove.

Gambar 8. Perbandingan Luasan Spesies Mangrove

Hasil klasifikasi tersebut kemudian diuji akurasi menggunakan data yang diperoleh dari lapangan. Data ini
berupa data sampel yang berjumlah 20 dan berbeda dari sample yang digunakan untuk membangun model atau
trainingarea. Uji akurasi menggunakan error matrix dan nilai akurasinya dilihat dari akurasi keseluruhan atau
overallaccuracy. Hasilnya adalah klasifikasi dengan CTA pada ukuran piksel 2 m memberikan akurasi tertinggi
dibandingkan klasifikasi yang lain. Klasifikasi Minimum distance to mean juga memiliki akurasi tertinggi setelah
CTA 2 m. Akurasi terendah ditunjukkan pada klasifikasi CTA pada ukuran piksel 10 m. Akan tetapi, hasil ini
menunjukkan ketidakstabilan akurasi informasi yang dihasilkan. Pada perbandingan luasan, klasifikasi CTA pada 2
m menjadi satu-satunya klasifikasi yang tidak menunjukkan kesesuaian luasan setiap spesies.
Klasifikasi dengan akurasi tinggi dan juga memberikan informasi luasan paling sesuai adalah klasifikasi
Minimum distance to mean pada piksel 2 m. Oleh karena itu, klasifikasi Minimum distance to mean lebih baik
digunakan dalam memetakan spesies mangrove pada daerah kajian penelitian ini. Di luar hasil penelitian ini,
sampel yang digunakan untuk uji akurasi memiliki peranan penting dalam menentukan akurasi dari metode
klasifikasi. Jumlah dan juga sebaran dari titik sampel sangat menentukan besar kecilnya nilai akurasi dari
klasifikasi. Semakin banyak dan menyebar untuk mewakili setiap kelas maka akan semakin sesuai nilai akurasi
yang dihasilkan dengan kondisi di lapangan. Nilai akurasi penelitian ini terbatas oleh jumlah sampel yang dimiliki
untuk uji akurasi. Gambar 9 menggambarkan grafik perbandingan nilai akurasi dari keempat metode klasifikasi.

Gambar 9. Perbandingan Akurasi Klasifikasi

4. KESIMPULAN
Kesimpulan dari penelitian ini adalah:
1. Klasifikasi Minimum distance to mean dengan ukuran piksel original Worldview-2 yaitu 2 m memberikan
hasil yang terbaik dibandingkan metode klasifikasi yang lain untuk memetakan spesies mangrove di daerah
penelitian ini, dan

-183-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

2. Nilai akurasi yang dicapai penelitian ini sangat dipengaruhi oleh jumlah dan sebaran sampel yang
digunakan untuk uji akurasi.

5. UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terima kasih ditujukan kepada pihak-pihak yang telah membantu menyelesaikan penelitian ini, dari
mulai tahap persiapan, pengambilan data, pengolahan data, hingga penulisan makalah ini. Terima kasih kami
sampaikan kepada seluruh jajaran Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada yang telah memfasilitasi kami
dalam menimba ilmu. Kami sampaikan terima kasih juga kepada dosen pembimbing Prof. Dr. Hartono, DEA.,
DESS. dan Dr. Pramaditya Wicaksono, M.Sc. yang telah mengarahkan dan membimbing penulis dalam penelitian.
Tak lupa kami sampaikan terima kasih kepada Mbak Wulan dari Balai Pengendali Perubahan Iklim dan Kebakaran
Hutan dan Lahan yang telah membatu dalam pelaksanaan survei lapangan. Terima kasih juga kami sampaikan
kepada Pak Pujo dari Balai Pengendali Perubahan Iklim dan Kebakaran Hutan dan Lahan, Pak Dwi dari Balai
Pemantapan Kawasan Hutan Bali, Mas Hernan, Mas Dayat dan Pak Suletra.

DAFTAR PUSTAKA
Alongi, D.M., (2002). Present state and future of the world’s mangrove forests. Environ. Conserv,29:331–349.
Bahuguna, A., Nayak, S., dan Roy, D., (2008). Impact of the tsunami and earthquake of 26th December 2004 on the vital
coastal ecosystems of the Andaman and Nicobar Islands assessed using RESOURCESAT AWiFS data. International
Journal of Applied Earth Observation and Geoinformation,10(2):229–237.
DigitalGlobe. (2009). The Benefits of the 8 Spectral Bands of WorldView-2; DigitalGlobe: Longmont, CO, USA.
Food and Agriculture Organization. (2007) The World’s Mangroves 1980–2005; FAO Forestry Paper 153; Food and
Agriculture Organization of the United Nations: Rome, Italy,
Heenkenda, M., Joyce, K. E., Maier, S., dan Bartolo, R., (2014). Mangrove Species Identification: Comparing WorldView-2
with Aerial Photographs. Remote Sensing,6:6064-6087.
Malik, A., Mertz,O., dan Fensholt,R., (2016). Mangrove Forest Decline : Conseqquences for Livelihoods and environment in
South Sulawesi. Regional Environmental Change.
Jia, M., Zhang, Y., Song, K.., dan Ren, C., (2014). Mapping the Distribution of mangrove Species in the Core one of mai Po
Marshes Nature Reserve, Hongkong , using Hyperspectral Data and High Resolution Data. International Journal of Applied
Earth Observation and Geoinformation33:226-231.
Kamal, M., danPhinn, S. (2011). Hyperspectral Data for Mangrove Species Mapping: A Comparison of Pixel-Based and
Object-Based Approach. Remote Sensing, 3:2222-2242.
Kuenzer, C., Bluemel, A., Gebhardt, S., Quoc, T. V., dan Dech, S. (2011). Remote Sensing of Mangrove Ecosystems: A
Review. Remote Sensing, 3:878-928.
Metcalfe, K. (2007). The Biological Diversity, Recovery from Disturbance and Rehabilitation of Mangroves in Darwin
Harbour, Northern Territory. In Faculty of Education, Health & Science; pp. 1–17. Charles Darwin University: Darwin,
NT, Australia.
Pham, dan Thien, D., (2016). Impacts of mangrove management systems on mangrove changes In the Northern Coast of
Vietnam. Tropics. 24(4):141-151.
Suratman, M.N. (2008). Carbon Sequestration Potential of Mangroves in Southeast Asia. In Managing Forest Ecosystems: The
Challenge of Climate Change; Bravo, F., Jandl, R., LeMay, V.,Gadow, K., Eds.; Springer: New York, NY, USA; pp. 297–
315.
Wiyanto, D. B., dan Faiqoh, E. (2015). Analisis vegetasi dan struktur komunitas Mangrove Di Teluk Benoa, Bali. Journal of
Marine and Aquatic Sciences, 1-7.
Yh, Z., Liu, K., dan Liu, L., (2015). Retrieval of Magrove Aboveground Biomass at Individual Species Level with
WorldView-2 Images. Remote Sensing,7:12192-12214
Congalton, R. G., dan Green, K. (2009). Assessing the Accuracy of Remotely Sensed Data. New York: CRC Press.
Digital Globe. (2010). Digital Globe Data Sheet. Diakses pada 9 Januari 2016, dari
http://global.digitalglobe.com/sites/default/files/DG_WorldView2_DS_PROD.pdf

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskui presentasi ilmiah

BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2016

Moderator : D. Heri Yuli Sulyantara


Judul Makalah : Komparasi Klasifikasi Citra Digital untuk Pemetaan Spesies Mangrove di Teluk
Benoa, Bali Menggunakan Citra Worldview-2
Pemakalah : Erika Dwi Candra (UGM)
Diskusi :

-184-
Komparasi Klasifikasi Citra Digital untuk Pemetaan Spesies Mangrove di Teluk Benoa, Bali Menggunakan Citra Worldview-2 (Candra,
E.D., dkk.)

Peranyaan: Bambang Trisakti (LAPAN)


1. Mengapa pada klasifikasi Minimum Distance to Mean piksel 2m lebih bagus dibandingkan dengan yang 10m,
sementara pada Classication Tree Analysis yang 10m lebih bagus dibandingkan dengan yang 2m?
2. Sampling sudah general, jadi akurasi lebih tinggi dibandingkan general. Tetapi disini kenapa terbalik?

Jawaban :
1. Untuk ukuran resampling 10m memang lebih general, hasil klasifikasi untuk 2m sebenarnya lebih acak dan nilai
akurasinya tidak konsisten karena sample dari hasil uji akurasinya sendiri.
2. Sampel hanya berupa titik, jadi hanya di koordinat tertentu saja dan bisa di ukuran 2m. Pada koordinat sample
uji akurasi itu adalah ukuran yang berbeda dengan sekitarnya.

Peranyaan: Dewi (Kementerian PUPR)


Apa manfaat dengan kita mengetahui klasifikasi dari spesies yang ada di suatu lokasi, dan apa tindak
lanjutnya?

Jawaban:
Salah satu manfaatnya yaitu untuk pendugaan biomassa dan stok karbon, karena dari pendugaan biomassa
dan stok karbon dipengaruhi oleh spesies masing-masing. Tiap spesies memiliki kemampuan yang
berbeda dalam menyimpan stok karbon maupun biomassa.

-185-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Klasifikasi Vegetasi Berbasis Objek pada Citra Quickbird Menggunakan


Metode Nearest Neighbors untuk Mengetahui Akurasi dengan TTA Mask
Sekitar Kawasan Ruang Terbuka Hijau Denggung, Kecamatan Sleman

Object-Based Classification of Vegetation on Quickbird Image Using Nearest


NeighborstoKnow Accuracy with TTA Mask Around of the Green Open
Space Region in Denggung, Sleman District

Fathurrofi Braharsyah Habibi1*)


1
Mahasiswa Sarjana Kartografi dan Penginderaan Jauh, FGE, UGM
*)
E-mail: fathurrofi.b.h@mail.ugm.ac.id

ABSTRAK – Ketersediaannya ruang terbuka hijau menjadi penting. Masalah perkotaan yang sering muncul
disebabkan oleh penurunan kualitas udara sehat akibat berkurangnya pepohonan sebagai adanya alih fungsi lahan
menjadi kawasan budidaya baik untuk kawasan permukiman maupun kawasan komersial. Object-based image analysis
(OBIA) merupakan salah satu metode yang diharapkan dapat digunakan untuk memperoleh informasi tersebut dari citra
Quickbird. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahuiakurasi dari kelas vegetasi berdasarkan OBIA
menggunakanmetode Nearest Neighbors (NN). Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), Normalized
Difference Water Index (NDWI), danSecondModified Soil Adjusted Vegetation Index (MSAVI2) diperoleh dari nilai
piksel citra untuk membantu proses klasifikasi. Hasil ditunjukkan dengan dua kelasdari penilaian indeks ini, yaitu objek
vegetasi, dan non-vegetasi. Selanjutnya, kelas vegetasi dapat dibedakan lagi menjadikelas pohon, semak/perdu, dan
penutup tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode yang diusulkan memiliki akurasimencapai 96,84%
menggunakan Test and Training Area (TTA) Mask.

Kata kunci: Citra Quickbird, OBIA, Nearest Neighbors, Vegetasi, TTA Mask

ABSTRACT –Availability of green open space is important. Urban problems is often appear caused by decrease in air
quality healthy due to reduced trees as the conversion of land into cultivation area is both for residential areas and
commercial areas. Object-based image analysis (OBIA) is one method that expected to be used to obtain such
information from Quickbird image. The aimed from this study is to know accuracy from vegetation classes based on
OBIA using Nearest Neighbors (NN) method. Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), Normalized Difference
Water Index (NDWI), and Second Modified Soil Adjusted Vegetation Index (MSAVI2) are obtained from the pixel values
of the image to help the classification process. The results shown two classes from this index values, which vegetation,
and non-vegetation. For the next, the vegetation classes can be distinguished into trees, bushes/shrubs, and ground
cover class. The result shows that method which proposed has result 96,84%, using Test and Training Area (TTA)
Mask.

Keywords: Quickbird image, OBIA, Nearest Neighbors, Vegetation, TTA Mask

1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tutupan vegetasi dalam daerah perkotaan memiliki peran penting di kehidupan manusia, ini dipengaruhi
karena adanya iklim perkotaan termasuk suhu, kelembapan, kecepatan angin, dan mengurangi kebisingan
(Hofmann, dkk., 2011). Salah satu hal yang dilakukan dalam perencanaan perkotaan adalah dengan
pemetaan dan pemantauan tutupan vegetasi karena hal ini memiliki fungsi yang esensial, seperti pengelolaan
udara, iklim dan kualitas air, pengurangan kebisingan, perlindungan spesies, dan pengembangan aktivitas
rekreasi (Puissant, dkk., 2014). Namun, tutupan vegetasi ini merupakan fenomena yang cepat berkembang
dan berubah, terutama terjadinya pertambahan penduduk, dan adanya kebutuhan sosial, ekonomi dan
kesehatan di daerah perkotaan dengan akses yang memadai. Adanya informasi tutupan vegetasi ini, maka
pemetaan dan pemantauan tutupan vegetasi harus dilakukan secara berkelanjutan, cepat, dan akurat.
Penginderaan jauh dengan berbagai jenis sensor telah menunjukkan keefektifan dan keefisienannya dalam
proses pemetaan dan pemantauan yang menggantikan metode survey terestrial. Ketersediaannya resolusi
dalam citra penginderaan jauh, seperti resolusi spasial, spektral, radiometrik, dan temporal, mendorong para
pengguna untuk lebih mudah memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan data dari segi kemampuan sensor
terhadap pemisahan objek pada kisaran panjang gelombang tertentu dapat ditinjau dengan resolusi
-186-
Klasifikasi Vegetasi Berbasis Objek pada Citra Quickbird Menggunakan Metode Nearest Neighbors untuk Mengetahui Akurasi
Menggunakan TTA Mask Sekitar Kawasan Ruang Terbuka Hijau Denggung, Kecamatan Sleman (Habibi, F.B.)

spektralnya, dari segi kepekaan sensor terhadap objek satu dengan yang lain dapat ditinjau dengan resolusi
radiometriknya, dari segi seri waktu secara kontinu dapat ditinjau dengan resolusi temporalnya, dan dari segi
ukuran terkecil objek yang ditinjau dengan resolusi spasialnya (Danoedoro, 2012).Hal ini menjadikan
kebutuhan data bukan lagi masalah yang perlu dipertimbangkan, terutama setelah adanya citra beresolusi
spasial tinggi hingga sangat tinggi.
Teknologi pengolah citra digital menggunakan satelit penginderaan jauh berkembang semakin pesat.
Perusahaan-perusahaan satelit penginderaan jauh pun telah bersaing dengan kualitas yang mendekati foto
udara. Pada 1991, perusahaan Space Imaging muncul dengan satelit Ikonos resolusi spasial hingga mencapai
1 meter, diikuti oleh Quickbird dengan resolusi lebih tinggi hingga 0,6 meter, serta satelit-satelit yang
lainnya (Danoedoro, 2012). Akan tetapi, bukan terpacu pada resolusinya saja, pengolahannya pun telah
berkembang dengan pesat dari interpretasi visual hingga interpretasi digital (Zylshal, dkk., 2016), dan dari
per-piksel hingga per-objek.
Topik mengenai “Klasifikasi Vegetasi Berbasis Objek pada Citra Quickbird Menggunakan Metode
Nearest Neighbors untuk Mengetahui Akurasi dengan TTA MaskSekitar Kawasan Ruang Terbuka Hijau
Denggung,Kecamatan Sleman” menarik untuk dikaji. Penelitian ini berfokus pada tutupan vegetasi yang ada
di Sebagian Ruang Terbuka Hijau Denggung, Kecamatan Sleman, Kabupaten Sleman. Penggunaan analisis
citra berbasis objek menjadi dasar dalam perolehan objek vegetasi yang tampak pada citra dengan berbagai
bantuan klasifikasi berbasis objek, seperti informasi bentuk, tekstur, hubungan konten dengan objek yang
lain dari beberapa kumpulan piksel yang sama yang disebut sebagai segmen atau objek (Hay dan Castilla,
2006).

1.2 Rumusan Masalah


Peningkatan kebutuhan informasi tutupan vegetasi tentunya diimbangi dengan meningkatnya
pemanfaatan citra penginderaan jauh sebagai sumber data yang berkelanjutan. Citra penginderaan jauh
berbagai resolusi telah banyak dimanfaatkan diberbagai bidang penginderaan jauh baik menggunakan teknik
interpretasi visual maupun dengan teknik interpretasi digital. Teknik interpretasi digital yang paling umum
digunakan adalah klasifikasi multispektral berbasis piksel (pixel-based classification) yang dalam
pengolahannya menggunakan unsur informasi spektral saja dengan mengabaikan adanya informasi spasial
dalam citra. Padahal informasi spasial ini masih melekat dikarakteristik setiap citra penginderaan jauh
sehingga dengan alasan tersebut kemudian muncul teknik klasifikasi baru yang mengombinasikan antara
unsur spektral dan spasial yang disebut klasifikasi berbasis objek (object-based classification) (Hussein,
2013).
Klasifikasi berbasis objek secara umum masih bagian dari OBIA (Object-Based Image Analysis),
berdasarkan kesepakatan umum bahwa OBIA ini dibangun dengan melibatkan segmentasi terlebih dahulu,
lalu dilakukan deteksi tepi, ektraksi fitur, dan kemudian klasifikasi (Blaschke, 2010).Segmentasi citra
mendasarkan objek dibagi menjadi segmen-segmen atau objek-objek berdasarkan tingkat homogenitas
piksel-piksel. Hasil segmen ini menjadikan deteksi tepi dari unsur warna dan bentuk (tingkat kehalusan dan
tingkat kekompakan) dapat terdelineasi dengan baik. Akan tetapi, hasil delineasi ini belum dapat mengenali
objek dengan baik sehingga diperlukan adanya ekstraksi fitur dan klasifikasi objek.
Interpretasi citra secara visual/manual memakan waktu yang lama dan tenaga yang mumpuni, serta
subjektif. Terlebih apabila cakupan areanya luas, yang menimbulkan pengolahan digitizing on screen kurang
efisien dan memakan waktu lebih lama untuk interpretasi. Selain itu, klasifikasi citra berbasis piksel juga
mengandung gangguan berupa “salt and papper” yang dirasa kurang efektif untuk visualisasi. Terlebih
apabila hasil klasifikasi berbasis piksel ini terdapat satu piksel yang mengandung satu objek, yang
seharusnya satu piksel ini mengklasifikasikannya ke objek dengan piksel yang lebih homogen. Teknologi
penginderaan jauh dengan cara otomatis/semi-otomatis melalui klasifikasi berbasis objek dirasa mampu
untuk menandingi klasifikasi citra secara visual/manual yang memakan waktu lama dan klasifikasi berbasis
piksel yang mengandung banyak gangguan.
Permasalahan yang sering muncul di kawasan perkotaan diakibatkan karena adanya aktivitas sosial dan
ekonomi yang pesat sehingga membombardir peruntukan fungsi kawasan, seperti hilangnya ruang publik.
Sebagaimana fungsi adanya ruang publik yang biasanya dalam bentuk ruang terbuka hijau memiliki posisi
substansial untuk menampung perkembangan perkotaan. Oleh karena itu, adanya OBIA untuk mendeteksi
ruang terbuka hijau dengan akurat dan efisien sangat dibutuhkan keberadaannya. Apalagi informasi yang
selalu ter-update diperlukan adanya agar perubahan-perubahan ruang publik yang biasanya berbentuk ruang
terbuka hijau tidak dijadikan sasaran sebagai konversi lahan. Selain itu, hal yang mengatur khususnya dalam
perencanaan perkotaan perlu mempertimbangkan hukum yang disajikan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW).
-187-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

1.3 Posisi dan Tujuan Penelitian


Kebutuhan dengan adanya metode baru menyebabkan fokusnya pada metodologi yang disebut analisis
citra berbasis objek (Object Based Image Analysis/OBIA). Berbeda pada metode berbasis piksel yang
seringkali memberikan hasil yang terbatas. Terutama jika objek strukturalnya kecil untuk dideteksi sehingga
penggunaan berbasis objek yang lebih tepat (Blaschke, dkk., 2008). OBIA merupakan sub-disiplin ilmu GIS
yang ditujujan untuk membagi citra penginderaan jauh menjadi objek citra yang bermakna dan menilai
karakteristik mereka melalui skala spasial, spektral, dan temporal (Hay dan Castilla, 2006).
Klasifikasi OBIA sudah mulai banyak dilakukan untuk pemetaan. Menurut hasil penelusuran Google
Cendekia, semua teknik klasifikasi citra telah menunjukkan pertumbuhan yang stabil dalam jumlah
publikasi. Baru-baru ini, klasifikasi berdasarkan objek telah menunjukkan banyak pertumbuhan
(GISGeography, 2016). Penelitian sebelumnya, Gao, dkk. (2007) melakukan klasifikasi OBIA dengan
metode Nearest Neighbors (NN) pada citra Landsat ETM+ dihasilkan akurasi 80.59% dan lebih tinggi
dibandingkan dengan klasifikasi berbasis piksel. Sementara, metode yang digunakan Gao, dkk. (2007) dan
penelitian ini menggunakan metode yang sama, yaitu metode Nearest Neighbors (NN). Namun, hal yang
membedakan pada penelitian Gao, dkk. (2007), pada penelitian ini menggunakan citra Quickbird dengan
resolusi spasial yang lebih tinggi dibandingkan dengan Landsat ETM+.
Zylshal, dkk. (2016), menggunakan OBIA dengan menerapkan klasifikasi SVM (Support Vector
Machine) pada citra Pleiades-1A menghasilkan akurasi 86% dari referensi data. Akan tetapi, kelas yang
digunakan oleh Zylshal, dkk. (2016) menggunakan jumlah kelas yang cukup sedikit, yaitu kelas vegetasi,
non-vegetasi, dan tubuh air sehingga menghasilkan akurasi yang cukup tinggi pula, sedangkan pada
penelitian ini menggunakan lima kelas, yaitu non-vegetasi, tubuh air, pohon, perdu/semak, dan penutup
tanah untuk diperoleh bagaimana akurasinya.
Dalam pengenalan pola, beberapa penelitian yang menggunakan analisis tekstur, antara lain:klasifikasi
kanker usus, klasifikasi gigi, pengenalan pola buah apel, klasifikasi jenis parket kayu jati, membedakan masa
usia tanam sawit, mendeteksi potensi kanker payudara, sampai identifikasi macan tutul (Aprilianti, dkk.,
2013; Simarmata, dkk., 2015;Qur’aina, dkk., 2012; Hakim, 2012; Gandharum dan Chen, 2011; Hartadi,
2011; Budiarso, 2010). Pada penelitian penggunaan informasi tekstur objek dengan co-occurrence matrix
(Haralick, 1979) yang dapat dihitung dari tiap data band tunggal dan dipergunakan sebagai masukan pada
klasifikasi citra satelit multiband, multitemporal atau radar dan telah memperoleh hasil dengan keakuratan
yang cukup tinggi (Kushardono, dkk., 1995; Kushardono, 2012; Mirzapour, 2015). Namun, penelitian ini
diterapkan untuk mengetahui akurasi dengan menggunakan nearest neighbors dan dapat membedakan
objektidak hanya dengan analisis tekstur saja, tetapi membedakan objek berdasarkan nilai pantulan spektral
juga diperlukan dengan bantuan saluran inframerah dekat pada Quickbird. Untuk itu, penelitian ini ingin
membuktikan apakah kombinasi antara pengenalan terhadap tekstur dan warna dapat menghasilkan akurasi
yang tinggi pula dengan penelitian sebelumnya yang hanya menggunakan analisis tekstur saja.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui akurasi dari kelas vegetasi berdasarkan OBIA menggunakan
metode nearest neighbors (NN).

2. METODE
2.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di sekitar kawasan ruang terbuka hijau Denggung, Kecamatan Sleman,
Kabupaten Sleman yang ditunjukkan pada Gambar 1. Lokasi penelitian ini memiliki ukuran 1711 piksel x
1557piksel dengan resolusi spasial 0,5 meter. Berdasarkan aspek fisik, ruang terbuka hijau Denggung masih
terpengaruh dataran aluvial yang didominasi oleh penggunaan lahan pertanian. Disisi lain, lahan terbangun
pada lokasi penelitian menggambarkan pola yang cukup beragam dari pola yang teratur hingga tidak
teratur.Lokasi penelitian ini dijadikan sebagai area of interest (AOI) karena daerah ini merepresentasikan
kawasan perkotaan, yang secara umum menampakan vegetasi dengan kerapatan rendah, yaitu lapangan bola,
taman-taman, jaringan jalan, perindustrian, dan lahan jasa dan pertokoan.Selain itu, berdasarkan informasi
kontur yang diperoleh dari Badan Informasi Geospasial (2016), kenampakan yang dihasilkan
merepresentasikan wilayah yang homogen datar dan landai.

-188-
Klasifikasi Vegetasi Berbasis Objek pada Citra Quickbird Menggunakan Metode Nearest Neighbors untuk Mengetahui Akurasi
Menggunakan TTA Mask Sekitar Kawasan Ruang Terbuka Hijau Denggung, Kecamatan Sleman (Habibi, F.B.)

Gambar 1. Lokasi Penelitian: Denggung, Sleman (Quickbird © 2014)

2.2 Bahan Penelitian


Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah citra Quickbird pan-sharpening yang telah terkoreksi,
dengan empat saluran multispektral (16 bit) di akuisisi 19 Agustus 2014. Secara detail ditunjukkan pada
Tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik Citra Quickbird (Purwadhi dan Sanjoto, 2009)

Kriteria Karakteristik
Ketinggian Orbit 450 km
Sudut Inklinasi 97,2 derajat
Lebar Sapuan 16,5 x 16,5 km
Satelit
Resolusi Temporal 1-3,5 hari, tergantung pada lintang
(300off-nadir)
Jenis Sensor Pankromatik (450- Resolusi spasial
Push Broom Liner 900) nm 0,6 meter
Array Biru (450-520) nm Resolusi spasial
Hijau (520-600) nm 2,4 meter
Merah (630-690) nm
Inframerah dekat
(760-900) nm
Penggunaan Citra Analisis perubahan penggunaan lahan,
Quickbird eksplorasi minyak dan gas, studi
lingkungan, pemetaan skala besar

Citra Quickbird (resolusi 0,651 meter) mempunyai ketelitian hampir dua kali ketelitian citra Ikonos
pankromatic. Quickbird tidak menawarkan stasiun bumi perekam di negara lain. Pertimbangan parameter
teknis dianggap sulit bila pengguna (user) membangun stasiun bumi sendiri. Pengguna dapat membeli
langsung (build in ground station) dari operator satelitnya. Distribusi data hanya menggunakan satu stasiun

-189-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

bumi dan yang didistribusikan bukan “row data” (data mentah), tetapi data produk standar dan citra yang
sudah diolahnya dengan hasil pengembangan perangkat lunak. Namun demikian data Quickbird sudah
dipasarkan lewat internet dengan mengakses data (terbatas) secara gratis pada website “Google Earth” dan
dapat juga berlangganan (terbatas atau tidak terbatas). Aplikasi citra Quickbird untuk analisis perubahan
penggunaan lahan, eksplorasi minyak dan gas, studi lingkungan, pemetaan skala besar (hingga skala 1:1000)
(Purwadhi dan Sanjoto, 2009)

2.3 Pra-pemrosesan
Sebelum proses OBIA diterapkan, masukan indeks objek sangat penting dalam menjalankan tingkatan
piksel, seperti digunakannya Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), Normalized Difference Water
Index (NDWI), dan Second Modified Soil Adjusted Vegetation Index (MSAVI2).Nilai indeks ini dimasukkan
ke dalam fungsi OBIA dengan berbasiskanoperasi matematika (+,−,×,÷) yang melibatkan piksel-piksel,
misalnya layer 2 dikurangi dari layer 1. Ini berarti bahwa setiap piksel yang memiliki nilai sama di kedua
lapisan akan menghasilkan nilai 0 (nol) (Trimble, 2014a). NDVI ini telah banyak digunakan untuk
penginderaan jauh terutama pada vegetasi selama bertahun-tahun. Indeks ini menggunakan pancaran atau
pantulan dari saluran merah di kisaran 630-690 nm dan dari saluran inframerah dekat di kisaran 760-900 nm.
Saluran merah terletak di serapan klorofil yang kuat, sementara saluran inframerah dekat terletak di pantulan
tinggi pada kanopi vegetasi. Dua saluran memberikan perbedaan yang sangat dalam melalui kanopi vegetasi
hingga mampu menonjolkan aspek kerapatan vegetasi (Danoedoro, 2012).Sementara,NDWI yang kini
dilakukan untuk mengekstraksi dan klasifikasi fitur tubuh air telah banyak digunakan (Gao, 1996; Xu, 2006;
Zylshal, dkk., 2016). NDVI dan NDWI diformulakan sebagai persamaan (1) dan (2).

= .........................................................................................................................(1)

= .......................................................................................................................(2)

Kelas vegetasi yang nantinya akan dijadikan sebagai training sample akan menghasilkan gangguan dari
latar belakang tanah. Hal ini dapat berupa variasi respons spektral tanah yang berbeda-beda, yang
menyebabkan kurang akuratnya indeks vegetasi yang dihasilkan (Danoedoro, 2012). Indeks yang digunakan
untuk mereduksi gangguan tanah tersebut dengan menggunakan MSAVI2, yang diformulakan sebagai
persamaan (3).

( ( ) ( ))
= .............................................................(3)

2.4 Segmentasi
Pengimplementasian metode OBIA, langkah pertama dengan melakukan proses segmentasi citra.
Penelitian ini menggunakan algoritma multiresolution segmentation di dalam Trimble® eCognition
Developer 9.0. Segmentasi diperoleh dari piksel-piksel citra untuk memperoleh objek yang secara homogen
dan mudah dikenali pada tahap klasifikasi dengan mengombinasikan hasil secara visual dan perhitungan
matematis, seperti extraction feature. Pada tahap segmentasi, objek akan terpisah berdasarkan parameter
skala, warna, dan bentuk (kekompakan dan kehalusan). Karakter warna berseberangan langsung dengan
karakter bentuk. Sementara, karakter kekompakan berseberangan dengan karakter kehalusan. Keempat
karakter tersebut diukur dengan tingkat heterogenitasnya (h), sedangkan karakter skala ditentukan dengan
jumlah piksel minimal dalam satu objek. Karakter-karakter ini dalam multiresolution segmentation
digunakan untuk meminimalkan nilai heterogenitas objek citra untuk resolusi tertentu (Trimble, 2014a).
Namun, segmentasi langkah pertama ini dilakukan dengan penilaian dari grafik rate of change of local
variance (ROC-LV) yang mengindikasikan tingkatan skala yang mana citra dapat tersegmen dengan cara
yang paling tepat.
Algoritma segmentasi kedua diterapkan setelah langkah segmentasi pertama dilakukan berdasarkan
penilaian menggunakan ESP Tool. Algoritma kedua ini dikenal dengan spectral difference segmentation
yang biasa digunakan pada studi vegetasi (Zylshal, dkk., 2016; Puissant, dkk., 2014). Algoritma ini
mendasarkan penggabungan tetangga objek citra sesuai dengan nilai intensitas layer citra rata-rata. Tetangga
objek citra digabung apabila perbedaan antara intensitas layer rata-rata objek di bawah nilai yang diberikan
oleh nilai maksimal dari spectral difference (Trimble, 2014). Dengan demikian, evaluasi hasil segmentasi ini

-190-
Klasifikasi Vegetasi Berbasis Objek pada Citra Quickbird Menggunakan Metode Nearest Neighbors untuk Mengetahui Akurasi
Menggunakan TTA Mask Sekitar Kawasan Ruang Terbuka Hijau Denggung, Kecamatan Sleman (Habibi, F.B.)

dilakukan secara visual agar nilai maksimal dari spectral difference yang diberikan objek tergabung dengan
baik.

2.5 Klasifikasi
Menurut Hudelot dan Thonnat (2003), analisis citra dan interpretasi ini membutuhkan penerapan
pengetahuan domain, dan pengetahuan analisis citra. Pengetahuan domain mengacu pada terminologi suatu
objek semantik dimodelkan dalam ontologi. Pengetahuan yang digunakan untuk interpretasi citra
memerlukan adanya pengetahuan kualitatif dan informasi kuantitatif. Pengetahuan kuantitatif mengacu pada
perilaku spektral dan spasial obyek yang menarik di citra resolusi tinggi dijelaskan secara ilmiah, misalnya
vegetasi memiliki indeks yang tinggi di NDVI (Normalized Difference Vegetation Index), jalan memiliki
bentuk memanjang sehingga diimplementasikan ke indeks bentuk pada perangkat lunak eCognition.
Sementara, pengetahuan kualitatif mengacu pada informasi citra dan tergantung interpreter, seperti pemilihan
training sample dengan mempertimbangkan unsur interpretasi.
Proses OBIA yang optimal memacu pembuatan ontologi yang matang dari objek yang akan diidentifikasi.
Pendefinisian objek merupakan bagian yang vital dalam interpretasi citra. Pendefinisian terhadap objek ini
berhubungan dengan unsur-unsur interpretasi dan salah satu pertimbangan dalam penentuan training sample.
Pertimbangan yang paling sering digunakan menurut Sutanto (1986) ada 9 (sembilan) unsur-unsur
interpretasi, yaitu: rona/warna, bentuk, ukuran, tekstur, pola, bayangan, situs, asosiasi, dan konvergensi
bukti.
Secara umum, tahap klasifikasi mendasarkan pada proses klasifikasi terselia (supervised
classification).Setelah penutup lahan/penggunaan lahan ditetapkan sebelumnya, maka selanjutnya dipilih
training sample untuk tiap kelas. Model klasifikasi dibagi sesuai dengan classifier apa yang digunakan:
maximum likelihood atau nearest neighbors. Klasifikasi maximum likelihood menghitung probabilitas bahwa
piksel atau objek untuk masing-masing kelas dan kemudian menetapkan piksel atau objek untuk kelas
dengan probabilitas yang tertinggi (Richards, 1999). Pengolahan citra pada ENVI memungkinkan
digunakannya klasifikasi maximum likelihood, sedangkan klasifikasi nearest neighbors adalah bagian dari
paradigma berbasis objek dengan menggunakan perangkat lunak eCognition dan memberikan setiap objek ke
kelas yang paling dekat (Platt dan Rapoza, 2008).
Training sample pada penelitian ini dilakukan tiga kali tahap, yaitu pertama dilakukan pembedaan
terhadap kelas vegetasi, non-vegetasi dan tubuh air yang sesuai berdasarkan penelitian sebelumnya (Zylshal,
dkk., 2016), kedua dengan membedakan kelas pohon dengan non-pohon, dan terakhir dilakukan pembedaan
terhadap kelas perdu/semak dan penutup tanah. Pembedaan kelas vegetasi menjadi pohon dan non-pohon,
dan non-pohon dibedakan menjadi semak/perdu dan penutup tanah diklasifikasi berdasarkan Peraturan
Menteri Pekerjaan Umum No. 5 (2008) dan sesuai berdasarkan klasifikasi yang dilakukan pada penelitian
sebelumnya (Hapsari, 2015).
Pertama, kelas vegetasi dan kelas non-vegetasi dipilih untuk dijadikan training sample dengan
memanfaatkan unsur interpretasi warna dan tekstur, yang mana vegetasi memiliki tekstur lebih kasar
dibanding kelas non-vegetasi dan vegetasi dominan memiliki warna hijau sedangkan non-vegetasi memiliki
beragam kenampakan warna. Sementara, pemilihan training sample pada kelas tubuh air memiliki tingkat
kesulitan yang tinggi, yang mana selain memiliki pengetahuan interpretasi harus didukung pengetahuan
kognitif tentang objeknya. Selain itu, pemanfaatan indeks seperti NDVI, NDWI, dan MSAVI2, sangat
membantu dalam mengklasifikasikan kelas vegetasi, non-vegetasi, dan tubuh air.
Kedua, kelas vegetasi dibedakan menjadi kelas pohon dan non-pohon. Training sample dipilih dengan
sampel yang memiliki kekhasan dari tiap-tiap kelas. Kelas pohon dan non-pohon dapat dikenali berdasarkan
warna dan teksturnya, yang mana pohon memiliki warna hijau lebih tua dan tekstur lebih kasar dibandingkan
dengan non-pohon yang lebih muda dan tekstur lebih halus. Disisi lain, penilaian berdasarkan nearest
neighborsmenggunakan hanya dengan warna, yang mana dari nilai rata-rata saluran 1 (biru), saluran 2
(hijau), saluran 3 (merah), dan saluran 4 (inframerah dekat). Hal ini dikarenakan pantulan yang diberikan
khususnya pada saluran 4 memberikan pengaruh kuat terhadap kelas vegetasi.

-191-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Gambar 2.Training Sample untuk Mengklasifikasi Kelas Vegetasi, Non-vegetasi, dan Tubuh Air

Gambar 3. Training Sample untuk Mengklasifikasi Kelas Pohon dan Non-pohon

Ketiga, training sample untuk semak/perdu dan penutup tanah dikenali berdasarkan pengalaman kognitif
interpreter, yang mana semak/perdu memiliki vegetasi yang lebih pekat dibanding penutup tanah. Sementara,
penutup tanah dikenali dengan adanya sedikit vegetasi dan masih terkontaminasi dengan tanah. Kelas semak
dan perdu dikategorikan menjadi satu kelas karena kedua objek ini tidak dapat dibedakan berdasar
interpretasi citra (Hapsari, 2015). Sementara, penilaian berdasarkan nearest neighbors menggunakan unsur
warna dan tekstur, yang diimplementasikan dengan nilai rata-rata nilai saluran 1, 2, 3, dan 4, dan tekstur
Haralick (GLCM Entropy, GLCM Standard Deviation, GLCM Homogeneity, dan GLCM Correlation).

-192-
Klasifikasi Vegetasi Berbasis Objek pada Citra Quickbird Menggunakan Metode Nearest Neighbors untuk Mengetahui Akurasi
Menggunakan TTA Mask Sekitar Kawasan Ruang Terbuka Hijau Denggung, Kecamatan Sleman (Habibi, F.B.)

Gambar 4. Trainingsample untuk Mengklasifikasi Kelas Perdu/Semak dan Penutup Tanah

Perbaikan klasifikasi dilakukan untuk memperbaiki hasil klasifikasi yang gagal, seperti terklasifikasinya
bayangan pada non-vegetasi dan vegetasi menjadi tubuh air. Adanya hal tersebut, algoritma perbaikan yang
diterapkan untuk menghilangkan klasifikasi yang gagal dengan menggunakan nilai brightness dan informasi
kontekstual, seperti “relative border to neighbor” (Zylshal, dkk., 2016), tetapi algoritma perbaikan pada
penelitian ini tidak menggunakan parameter tekstur. Asumsi yang dilakukan dengan menilai objek tubuh air
dengan nilai brightness yang rendah dan memiliki hubungan terdekat dengan objek lain yaitu sesama objek
tubuh air memiliki indeks 1 (satu) dan apabila tubuh air tidak memiliki kedekatan dengan objek yang sama
maka nilai indeks 0 (nol).

Citra Quickbird Pan-


Sharpening Terkoreksi

NDVI NDWI MSAVI2

Proses Segmentasi
Level Umum
Vegetasi, Non-
vegetasi, dan Tubuh
Air Citra Segmen

Level Vegetasi
Pohon dan Non- Training Sample
Pohon

Level Non-Pohon Algoritma Nearest


Semak/Perdu dan Neighbors
Penutup Tanah

Penilaian Akurasi
dengan TTA Mask

Vegetasi
(Data Vector)

Gambar 5. Diagram Alir Proses


-193-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Langkah penting dalam proses rekayasa ontologi adalah pengembangan dasar pengetahuan yang
mencerminkan semantik objek ke perincian yang lebih kompleks (Belgiu, 2013). Oleh karena itu, hal ini
menimbulkan banyak masalah apabila objek yang diidentifikasi memiliki fungsi yang berbeda, tetapi citra
menetapkan objek dengan hasil yang sama dan mirip sehingga hal ini dibutuhkan koreksi lapangan atau data
pendukung. Namun, koreksi pada penelitian ini menggunakan referensi berdasarkan visual dan klasifikasi
berdasarkan metode nearest neighbors. Klasifikasi penentuan semantik objek vegetasi menjadi kriteria yang
sangat penting dalam mengidentifikasi objek di dunia nyata. Untuk itu, dilakukan penilaian akurasi agar hasil
klasifikasi yang dihasilkan memiliki kevalidan. Penilaian akurasi ini dilakukan dengan Test and Training
Area (TTA) Mask. Pemilihan training area dipilih tiap-tiap kelas agar kelas terwakili dengan baik. TTA
Mask ini dinilai berdasarkan luasan dengan satuan jumlah piksel dari kelas hasil klasifikasi dengan kelas
referensi (Trimble, 2014b). Overall accuracy dihitung berdasarkan kelas hasil klasifikasi yang benar dengan
hasil referensi dibagi dengan jumlah seluruh luas poligon sampel (dalam satuan piksel).

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1 Hasil Segmentasi
Metode untuk memperoleh hasil segmentasi efektif pertama dengan menjalankan ESP Tool untuk
memperoleh estimasi nilai skala optimum. ESP Tool secara otomatis melakukan segmen yang ditetapkan
pengguna dengan memperbaiki peningkatan parameter skala, dan perhitungan local variance (LV)sebagai
nilai standar deviasi rata-rata dari objek untuk setiap tingkat objek yang diperoleh melalui segmentasi. Grafik
dari LV digunakan untuk mengevaluasi parameter skala yang tepat dan tergantung sifat data citra (Drǎguƫ
dkk., 2010). Hasil segmentasi yang diperoleh secara simultan dilakukan dengan ESP Tool, dan trial dan
error. Trial dan errordigunakan untuk menentukan parameter yang cocok untuk menghasilkan nilai bentuk
dan kekompakan yang sesuai dengan kenampakan di permukaan bumi. Berdasarkan parameter trial dan
error yang diperoleh, nilai bentuk dan kekompakan yang cocok secara berturut-turut 0,5 dan 0,3 sesuai
dengan Drǎguƫ dkk. (2010), dan sesuai dengan Zylshal (2016) yang dilakukan untuk membedakan objek
vegetasi.
Nilai bentuk dan kekompakansetelah didapatkan, kemudian perolehan dari penggunaan ESP Tool
digunakan untuk memperoleh parameter skala optimum. ESP Tool ini akan memilih parameter
skalaberdasarkangrafik ROC dan kurva LV.Grafik ROC ini menunjukkan tingkat osilasi antara puncak dan
lembah yang bervariasi, tetapi pemilihan parameter skala ini ditentukandengan perubahan puncak dan
lembah yang secara drastis, sedangkan pada kurva LV yang semakin datar maka jenis objek akan semakin
representatif terhadap tingkatan skalayang ditunjuk (Drǎguƫ dkk., 2010). Dengan demikian, estimasi
parameter skala 86 diputuskan untuk digunakan sebagai parameter skala (Gambar 6).

Gambar 6. Hasil ESP Tool: Nilai parameter skala 86 menunjukkan nilai optimum

Penilaian dengan ESP Tool memungkinkan citra dapat diimplementasikan dengan parameter segmentasi
sehingga didapatkan segmen terbaik. Parameter skala 86 ini baik karena pertemuan puncak dan lembah pada
grafik ROC memiliki rentang yang tinggi sehingga hal ini baik untuk membedakan objek yang satu dengan

-194-
Klasifikasi Vegetasi Berbasis Objek pada Citra Quickbird Menggunakan Metode Nearest Neighbors untuk Mengetahui Akurasi
Menggunakan TTA Mask Sekitar Kawasan Ruang Terbuka Hijau Denggung, Kecamatan Sleman (Habibi, F.B.)

yang lain. Sementara, kurva LV yang digambarkan tanpa banyak lekukan garis menjadikan prioritas utama
dalam pemilihan parameter skala. Maka dari itu, adanya penggunaan ESP Tool ini parameter skala yang
dipilih menjadi objektif saat melakukan segmentasi citra sehingga tanpa mengurangi esensi dengan
melakukan pemilihan parameter skala secara manual.

Tabel 2. Parameter Segmentasi

Algoritma
Level Masukan Layer Skala Bentuk Kekompakan
segmentasi
1 Multiresolution B, G, R, NIR 86 0,5 0,3
segmentation

Level Algoritma Masukan Layer Maximum spectral difference


segmentasi
2 Spectral difference B, G, R, NIR 30
segmentation

(a)

(b)
Gambar 7. Hasil Segmentasi. (a) Algoritma Multiresolution Segmentation, parameter skala = 86, (b)Spectral
Difference Segmentation (Quickbird © 2014)

Segmentasi kedua dilakukan dengan algoritma spectral difference segmentation. Segmentasi ini
dilakukan karena objek hasil segmen yang dihasilkan dari level 1 masih memiliki banyak over-
-195-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

segment(Gambar 7a). Adanya permasalahan tersebut dibutuhkan parameter yang mendasarkan objek hasil
segmen dapat tergabung dengan objek yang lain dengan catatan bahwa objek yang lain memiliki pengaruh
dekat terhadap hasil maksimum intensitas rata-rata yang diharapkan. Berdasarkan hasil visual, nilai spectral
difference 30 tergabung dengan cukup baik sehingga nilai ini digunakan (Gambar 7b). Hal yang perlu
dipahami bahwa kekurangan dengan menggunakan parameter segmentasi ini digunakan pada citra yang
sama sehingga dengan citra yang berbeda atau daerah kajian yang berbeda akan menghasilkan parameter
segmentasi yang berbeda pula.

3.2 Hasil Klasifikasi dan Akurasi


Hasil klasifikasi dengan metode nearest neighbors(NN) dihasilkan pada Gambar 8. dan Gambar 10. Hasil
klasifikasi akhir ini menghasilkan lima kelas: tubuh air, non-vegetasi, penutup tanah, pohon, dan
semak/perdu. Pada klasifikasi awal dibedakan tiga kelas (vegetasi, non-vegetasi, dan tubuh air). Hal ini
bertujuan agar klasifikasi secara umum dapat terpisah dengan baik. Tiga kelas ini dilakukan dengan
menggunakan metode NN dengan pendekatan nilai NDVI, NDWI, dan MSAVI2. Sebelumnya sampel telah
dipilih untuk dihitung dengan metode NN. Hasil yang diperoleh masih memiliki beberapa kesalahan, seperti
adanya bayangan pada vegetasi dan non-vegetasi dikategorikan sebagai tubuh air. Hal ini akan mengurangi
akurasi yang dihasilkan oleh pendekatan dengan metode NN. Penciptaan aturan set untuk menghilangkan
bayangan tersebut secara akurat dapat dilakukan dengan menambahkan unsur nilai brightness dan relative
border to neighbors. Nilai brightness ini mudah dilakukan dengan menggunakan asumsi dasar bahwa objek
bayangan dari vegetasi dan non-vegetasi menghasilkan nilai brightness yang berbeda pada objek tubuh air
sehingga objek dapat dipisahkan. Namun, ada objek yang memiliki nilai brightness dekat dengan yang lain
sehingga masih dikategorikan tubuh air. Hal ini dapat dihindari dengan menerapkan informasi kontekstual,
yang mana tubuh air akan berasosiasi dengan tubuh air yang lain sehingga hasil dari over-segment mampu
dalam mengatasi hal ini.

Gambar 8. Hasil Klasifikasi Nearest Neighbors pada Tiga Kelas: Vegetasi (Hijau), Non-vegetasi (Merah), dan
Tubuh Air (Biru)

-196-
Klasifikasi Vegetasi Berbasis Objek pada Citra Quickbird Menggunakan Metode Nearest Neighbors untuk Mengetahui Akurasi
Menggunakan TTA Mask Sekitar Kawasan Ruang Terbuka Hijau Denggung, Kecamatan Sleman (Habibi, F.B.)

Gambar 9. HasilPerbaikan Klasifikasi dari Pengaruh Bayangan

Gambar 10. Hasil Klasifikasi pada Lima Kelas: Tubuh Air (Biru), Non-vegetasi (Merah), Penutup Tanah (Putih),
Pohon (Hijau Tua), dan Semak/Perdu (Hijau Muda)

-197-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Klasifikasi yang dihasilkan dari tiga kelas, kemudian vegetasi dapat dibedakan lagi menjadi objek pohon,
semak/perdu, dan penutup tanah. Namun, semak/perdu dan penutup tanah merupakan bagian dari kelas non-
pohon. Ontologi dalam menerapkan kelas objek sangat penting karena dasar pembedaan objek dengan
menggunakan nearest neighbors (NN) memiliki relasi yang khusus sehingga kelas objek akan dikategorikan
dengan kelas objek lain yang mendekati berdasarkan perhitungan matematis. Klasifikasi NN ini diperlukan
kecermatan untuk menentukan sampel kelas yang dijadikan kelas vegetasi. Sebagaimana kelas pohon dan
non-pohon dapat terpisah dengan baik menggunakan rata-rata nilai saluran 1, 2, 3, dan 4, sedangkan kelas
semak/perdu dan penutup tanah menggunakan rata-rata nilai saluran 1, 2, 3, dan 4, dan tekstur Haralick
(GLCM Entropy, GLCM Standard Deviation, GLCM Homogeneity, dan GLCM Correlation). Dalam menilai
klasifikasi NN dilakukan dengan meninjau optimalisasi feature space sehingga kelas terpisah dengan baik.
Pembuktian hasil klasifikasi yang dilakukan mendasarkan pada hasil akurasi yang diperoleh. Data
referensi untuk menilai hasil akurasi digunakan dengan TTA Mask. TTA Mask ini merupakan metode yang
diusulkan pada perangkat lunak eCognition untuk memperoleh evaluasi terhadap kelas-kelas yang
dihasilkan. Training area yang dijadikan referensi dari tiap-tiap kelas dipilih dengan acak dengan variabilitas
dan ukuran yang memprioritaskan kelas vegetasi sehingga kelas vegetasi diambil sampel yang lebih banyak
dibandingkan dengan non-vegetasi dan tubuh air. Hasil akurasi yang dihasilkan dari TTA Mask ini
menghasilkan akurasi total 96,84%. Namun, hal ini berbeda apabila yang ditinjau per kelas.
Pada hasil klasifikasi kelas penutup tanah banyak terjadi ketidaksesuaian terhadap data referensi, ada
yang dinilai sebagai non-vegetasi, pohon, dan semak/perdu. Kelas non-vegetasi adalah salah satu kelas yang
banyak diklasifikasikan sebagai kelas penutup tanah. Hal ini disebabkan karena kelas penutup tanah masih
terkontaminasi dengan objek tanah sehingga analisis dengan menggunakan saluran dan tekstur tidak stabil
untuk diterapkan. Sementara, pada referensi objek yang lain yang diklasifikasikan menjadi penutup tanah
tidak berpengaruh secara signifikan karena masih dalam lingkup ranah vegetasi.
Kesalahan yang lain yang dilakukan proses klasifikasi selain kelas penutup lahan, seperti kelas pohon dan
semak/perdu yang dikategorikan sebagai kelas non-vegetasi berdasarkan referensi. Hal ini berbeda dengan
penutup tanah yang terjadi akibat terkontaminasi dengan objek tanah, tetapi hal ini diakibatkan oleh
kesalahan segmentasi sebagaimana terjadi under-segment dan hasil segmen objek yang dihasilkan tersebut
lebih didominasi oleh kelas non-vegetasi dibandingkan dengan kelas pohon ataupun kelas semak/perdu.

Gambar 11.Training Area untuk dilakukan Penilaian Akurasi

-198-
Klasifikasi Vegetasi Berbasis Objek pada Citra Quickbird Menggunakan Metode Nearest Neighbors untuk Mengetahui Akurasi
Menggunakan TTA Mask Sekitar Kawasan Ruang Terbuka Hijau Denggung, Kecamatan Sleman (Habibi, F.B.)

Tabel 3. HasilPenilaian Akurasi dengan TTA Mask (satuan piksel)

Referensi
Tubuh Non- Penutup Akurasi
Pohon Semak/Perdu Total Pengguna
Air vegetasi Tanah
Tubuh Air 37702 0 0 0 0 37702 100%
Non-vegetasi 442 104175 0 0 0 104617 99,58%
Penutup
0 2746 55842 360 963 59911 93,2%
Klasifikasi

Tanah
Pohon 0 3915 0 150254 1928 156097 96,26%
Semak/perdu 0 1903 0 0 28010 29913 93,64%
Total 38144 112739 55842 150614 30901 388240
Akurasi
98,84% 92,4% 100% 99,76% 90,64%
Pembuat
Total Akurasi 96,84%

Usulan metode yang digunakan pada penelitian ini masih memiliki banyak kekurangan, diantaranya set
aturan yang dibangun masih bergantung pada informasi spektral dan temporal. Adanya kelemahan tersebut
menimbulkan daerah yang berbeda dengan sensor yang berbeda dan perkembangan objek tidak dapat
dilakukan pada prinsip dan prosedur yang sama sehingga masih dapat diterapkan dengan modifikasi
tambahan untuk mengakomodasi kelemahan tersebut. Modifikasi tambahan tersebut dapat berupa dengan
data tambahan digital surface model (DSM) dan digital terrrain model (DTM), seperti digunakannya data
LiDAR (Light Detection and Ranging) untuk mendukung proses klasifikasi vegetasi menghasilkan akurasi
yang tinggi.

4. KESIMPULAN
Penelitian ini mencoba untuk menggabungkan beberapa tahapan algoritma nearest nighbors antar kelas
dan perbaikan klasifikasi dalam OBIA untuk mengekstrak informasi tentang ruang terbuka hijau. Dengan
memanfaatkan citra Quickbird resolusi tinggi, diperoleh bahwa metode yang diusulkan mampu memberikan
derajat kesamaan yang tinggi dalam hal segmentasi dan hasil klasifikasi dengan interpretasi pada sampel
hasil segmentasi dengan menggunakan TTA Mask. Akurasi keseluruhan pada metode yang diusulkan pada
penelitian ini adalah 96,84%. Hasil akurasi ini menunjukkan metode evaluasi dari proses segmentasi hingga
diperolehnya klasifikasi vegetasi yang mudah dilaksanakan dan diterapkan. Metode evaluasi ini menampung
informasi akurasi dari tiap kelas dengan menggunakan OBIA yang terus berkembang dalam hal menilai hasil
klasifikasi dan batas-batas objek yang dihasilkan dari proses segmentasi.
Penggunaan OBIA dalam penelitian ini dapat digunakan sebagai alternatif pemecahan masalah dalam
pemantauan ruang terbuka hijau secara berkala. Alternatif ini mampu diterapkan untuk melakukan klasifikasi
secara digital dan dapat dilakukan dalam jangka waktu lebih cepat dengan standar akurasi yang telah
ditentukan dibandingkan dengan klasifikasi konvensional menggunakan berbasis piksel.

5. UCAPAN TERIMAKASIH
Penelitian ini banyak dibantu oleh dosen yang dahulu membimbing saya hingga menyediakan citra
Quickbird yang ada di Sebagian Kecamatan Sleman, 2014. Saya ingin berterima kasih sekali kepada Iswari
Nur Hidayati, S.Si., M.Sc., dan teman-teman dari www.researchgate.net yang mau berbagi ilmu dan forum
pengguna perangkat lunak eCognition Developer (community.ecognition.com) atas diskusi yang menarik
terkait topik yang berhubungan dengan penelitian ini, serta teman-teman KPJ 2011 yang selalu mendukung
berjalannya penelitian ini hingga selesai.

DAFTAR PUSTAKA
Aprilianti, Z., Rizal, A., dan Dayawati, R.N., (2013). Klasifikasi Kanker Usus Berdasarkan Citra Mikrosjopik Patologi
Menggunakan Contourlet Tranform dan Support Vector Machine. Jurnal Elektro, 6(2):123-134.
Budiarso, Z., (2010). Identifikasi Macan Tutul dengan Metode Grey Level Coocurent Matrix (GLCM). Fakultas
Teknologi Informasi Universitas Stikubank Semarang.Jurnal Dinamika Informatika, 2(2).
Drǎguƫ, L., Tiede, D., dan Levick, S.R., (2010). ESP: a Tool to Estimate Scale Parameter for Multiresolution Image
Segmentation of Remotely Sensed Data. International Journal of Geographical Information Science,24(6):859-871.

-199-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Gao, B.C., (1996). NDWI – A Normalized Difference Water Index for Remote Sensing of Vegetation Liquid Water
From Space. Remote Sens. Environ, 58(3):257–266.
Gandharum, L., dan Chen, C.F.,(2010). Pemanfaatan Informasi Tekstur untuk Klasifikasi Tanaman Sawit
Menggunakan Citra FORMOSAT-2. Jurnal Sains dan Teknologi Kebumian Indonesia,1(2).
Kushardono, D., (2012). Klasifikasi Spasial Penutup Lahan dari Data SAR Multi-Polarisasi Dengan Normalized
Difference Polarization Index dan Informasi Fitur Keruangan Matrik Kookurensi. Jurnal Inderaja dan Lahta Citra
Digital, 9(1):12-24.
Mirzapour, F., dan Ghassemian, H., (2015). Fast GLCM and Gabor Filters for Texture Classification of Very High
Resolution Remote Sensing Images. International Journal of Information & Communication Technology Research,
7(3):21-30.
Platt, R.V., dan Rapoza, L., (2008). An Evaluation of an Object-Oriented Paradigm for Land Use/Land Cover
Classification. The Professional Geographer, 60(1):87-100.
Puissant, A., Rougier, S., dan Stumpf, A., (2014). Object-Oriented Mapping of Urban Trees Using Random Forest
Classifier. International Journal of Applied Earth Obsveration Geoinformation, 26:235–245.
Xu, H., (2006). Modification of Normalized Difference Water Index (NDWI) to Enhance Open Water Features in
Remotely Sensed Imagery. International Journal of Remote Sensing, 27(14):3025–3033.
Zylshal, Sulma, S., Yulianto, F., Nugroho, J.T., dan Sofan, P., (2016). A Support Vector Machine Object Based Image
Analysis Approach on Urban Green Space Extraction Using Pleiades-1A Imagery. Modeling Earth Systems and
Environment, 2(54):1-12.
Danoedoro, P., (2012). Pengantar Penginderaan Jauh Digital. Yogyakarta: Penerbit ANDI.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.8 Tahun 2008 tentang Pedoman dan Penyediaan Ruang Terbuka Hijau di
Kawasan Perkotaan. Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum.
Purwadhi, S.H., dan Sanjoto, T.B. (2009). Pengantar Interpretasi Citra Penginderaan Jauh. Semarang: LAPAN dan
UNNES.
Richards, J.A., (1999). Remote Sensing Digital Image Analysis. New York: Springer Verlag.
Sutanto., (1986). Penginderaan Jauh (Jilid 1). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Trimble., (2014a). eCognition® Developer Reference Book. München, Germany.
Trimble., (2014b). eCognition® Developer User Guide. München, Germany.
Hapsari, E., (2015). Klasifikasi Ruang Terbuka Hijau Berbasis Objek (Object Based Image Analysis) Menggunakan
Citra Pleiades untuk Pemetaan Ketersediaan Ruang Terbuka Hijau (Kasus di Perkotaan Purwokerto Tahun 2013).
(Sarjana Sains Undergraduate Thesis), UGM (Gadjah Mada University), Yogyakarta.
Hussein, S., (2013). Kajian Akurasi Klasifikasi Berbasis Objek untuk Ekstraksi Penutup Lahan dengan Menggunakan
Citra ALOS AVNIR-2. (Sarjana Sains Undergraduate Thesis), UGM (Gadjah Mada University), Yogyakarta.
Gao, Y., Mas, J.F., Niemeyer, I., Marpu, P.R., dan Palacio, J.L., (2007). Object Based Image Analysis for Mapping
Land Cover In A Forest Area. Proceedings of 5th International Symposium on Spatial Data Quality 2007, ITC,
Enschede, The Netherlands.
Haralick, M.R., (1979). Statistical and Structural Approaches to Texture. Proceedings of the IEEE, Vol. 67, No. 5,
May, pp. 786-804.
Hudelot, C., dan Thonnat, M., (2003). A Cognitive Vision Platform for Automatic Recognition of Natural Complex
Objects. Proceedings of the 15th IEEE International Conference on Tools with Artificial Intelligence, Washington
DC, USA.
Kushardono, D., Fukue, K., Shimoda, H., dan Sakata, T., (1995). Comparison of Multitemporal Image Classification
Methods. IEEE Proc. of IGARSS, 2:1282-1284.
Qur’ania, A., Karlitasar, L., dan Sufiatul, M. (2012). Analisis Tekstur dan Ekstraksi Fitur Warna untuk Klasifikasi Apel
Berbasis Citra. Prosiding Lokakarya Komputasi dalam Sains dan Teknologi Nuklir. Universitas Pakuan, Bogor.
Belgiu, M., dan J., Thomas., (2013). Ontology Based Interpretation of Very High Resolution Imageries-Grounding
Ontologies on Visual Interpretation Keys. 16th AGILE Conference on Geographic Information Science.
Hay, G.J., dan Castilla, G., (2006). Object-Based Image Analysis: Strengths, Weaknesses, Opportunities, and Threats
(SWOT). 1st International Conference on Object-Based Image Analysis (OBIA 2006), Salzburg University, Austria.
ISPRS Archives, vol XXXVI-4/C42.
BIG. (2016). Geospasial untuk Negeri. diunduh 2 Juni 2016 www.tanahair.indonesia.go.id/home/
Blashcke, T., Lang, S., dan Hay, G.J. (2008). Object-Based Image Analysis – Spatial Concepts for Knowledge-Driven
Remote Sensing Applications, diunduh 14 Juni 2016 dari www.researchgate.net/publication/
GISGeography., (2016). Image Classification Techniques in Remote Sensing, diakses 14 Juni 2016 dari
www.gisgeography.com/
Hakim, M.A.R., (2012). Klasifikasi Parket Kayu Jati Berdasarkan Analisa Tekstur GLDM Menggunakan Metode
Backpropagation Jurusan Teknik Informatika, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Gunadarma, diunduh 15 Juni
2016 dari www.publication.gunadarma.ac.id/bitstream/123456789/1041/1/50405485.pdf
Hartadi, R., Santoso, I., dan Hidayatno, A., (2011). Deteksi Potensi Kanker Payudara pada Mammogram Menggunakan
Metode Gray Level Co-Occurrence Matrices. Diunduh 15 Juni 2016 dari www.eprints.undip.ac.id/25566/
Hofmann P., Strobl J., dan Nazarkulova A., (2011). Mapping green spaces in Bishkek—how reliable can spatial
analysis be? MDPI J Remote Sens, 3:1088–1103, diunduh 31 Mei 2016 dari www.mdpi.com/journal/remotesensing

-200-
Klasifikasi Vegetasi Berbasis Objek pada Citra Quickbird Menggunakan Metode Nearest Neighbors untuk Mengetahui Akurasi
Menggunakan TTA Mask Sekitar Kawasan Ruang Terbuka Hijau Denggung, Kecamatan Sleman (Habibi, F.B.)

Simarmata, L.R., Arifin, A.Z., dan Yuniarty, A., (2015). Klasifikasi Citra Gigi Berbasis Tekstur dengan Filter Gabor,
diakses 14 Juni 2016 dari https://www.researchgate.net/publication/

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah

BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016

Moderator : Dedi Irawadi


Judul Makalah : Klasifikasi Vegetasi Berbasis Objek pada Citra Quickbird Menggunakan NDVI untuk
Mendukung Penyediaan Informasi Penginderaan Jauh (Studi Kasus: Sekitar Kawasan
Ruang Terbuka Hijau Denggung, Sleman)
Pemakalah : Fathurrofi B. Habibi (UGM)
Diskusi :

Pertanyaan: Danang (BIG):


Salah satu kriteria pemetaan adalah penutup lahan yang biasa dilakukan secara visual, dapatkah pembuatan
base map mengacu pada pengolahan digital?

Jawaban:
Pengolahan menggunakan Quickbird untuk lebih mudah melakukan klasifikasi digital, dengan mengetahui
objek apa yang akan diidentifikasi.

Pertanyaan: Dr. Dede Dirgahayu (LAPAN):


Scale berapa yang optimal sebagai parameter yang optimal dan berapa nilai threshold-nya?

Jawaban:
Parameter yang digunakan adalah multiresolusi untuk mengukur kekompakan dan kehalusan. Kekompakan
sebesar 0.3, kehalusan sebesar 0.7 dan scalenya 0.5.

-201-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016

Pemetaan Terumbu Karang di Indonesia: Komparasi 7 Metode


Klasifikasi Terawasi dan Pengaruh Lokasi yang Berbeda

Coral Reef Mapping in Indonesia: Comparison of Seven Supervised


Classification Method and the Effect of Site Dependency

Gathot Winarso1*), Masita Dwi Mandini Manessa2, Syarif Budhiman1, dan Ariyo Kanno2
1
Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN
2
Graduate School of Science and Engineering, Yamaguchi University, JAPAN
*)
E-mail: gathot_winarso@lapan.go.id

ABSTRAK- Pengembangan metode pemetaan terumbu karang telah lama dilakukan di Indonesia. Ada 3 tahapan
krusial dalam pengolahan data untuk ekstraksi informasi terumbu karang yaitu koreksi atmosfer, koreksi kolom air
dan klasifikasi. Pada penelitian terdahulu, koreksi atmosfer menggunakan Lyzenga et al (2006) telah terbukti
meningkatkan akurasi pemetaan pada penggunaan data dengan 3 kanal visible. Akan tetapi hasil ini didapatkan dari
satu lokasi penelitiandan ada kemungkinan tidak sesuai pada lokasi yang berbeda. Untuk mendapatkan hasil yang
lebih akurat pada studi ini dilakukan analisa hasil koreksi atmosferik tersebut pada beberapa lokasi yang berbeda.
Lebih lanjut, tujuh metode klasifikasi terawasi yang berbeda dibandingkan akurasinya yaitu Maximum Likelihood,
Neural Network, Support Vector Machine, Random Forest, Decision Tree, Naive Bayes dan Logit. Tujuan dari
penelitian ini adalah mendapatkan gambaran metode klasifikasi yang bekerja dengan ada baik pada lokasi yang
berbeda di Indonesia dan mendapatkan gambaran performa koreksi atmosfernya. Data yang digunakan adalah
SPOT-6 dengan 3 kanal sinar tampak dan 1 kanal NIR. Lokasi penelitian dan data lapangan diambil di Pulau
Menjangan, Bali, Gili Terawangan, NTB dan Pulau Kapoposan Sulawesi Selatan. Performa akurasi koreksi atmosfer
dan klasifikasi bervariasi pada lokasi yang berbeda dengan nilai akurasi antara 40-77 %. Koreksi atmosfer Lyzenga
et al (2006) meningkatkan akurasi tetapi tidak lebih dari 3 %. Perbedaan akurasi diantara metode klasifikasi yang
berbeda bervariasi dengan selisih antara 0.3-2.7 %. Dari hasil analisa dapat disimpulkan bahwa akurasi terbaik
diperoleh dari koreksi atmosfer Lyzenga et al (2006) dan dengan metode klasifikasi Maximum Likelihood yang
berbeda sedikit dengan Random Forest dan pengaruh lokasi menjadi faktor yang dominan yang mempengaruhi total
akurasi dari faktor lain.

Kata kunci: Terumbu karang, koreksi atmosfer, klasifikasi

ABSTRACT-In Indonesia, the development of coral reef mapping has been done for a long time. There are three
crucial stages in data processing for extracting the coral reef information, namely, atmospheric correction, water-
column correction, and classification technique. The past study had shown that atmospheric correction using
Lyzenga's et al (2006) improved the mapping accuracy for 3 visible band sensor. However, the results obtained was
based on one site evaluation, then the site dependency might occur. Then, to get a more precise result this study
multiple the number of evaluated sites then assess the performance of atmospheric correction.Moreover, seven
supervised classification method were also compared: Maximum Likelihood, Neural Network, Support Vector
Machine, Random Forest, Decision Tree, Naive Bayes and logit. The purpose of this study is to get an overview of
the classification technique that works within Indonesia and the performance of atmospheric correction. The study
used SPOT-6 imagery with three visible and one NIR bands. The research location and field data were taken at
Menjangan Island in Bali, Gili Trawangan in West Nusa Tenggara and Kapoposan Island in South Sulawesi.. As a
result, the performance of atmospheric correction and classification was varied at each site with an overall
accuracy of 40-77%. Lyzenga’s et al (2006) atmospheric correction increases the accuracy, but not more than 3%.
The difference in accuracy for each classification method varied by a margin of between 0.3-2.7 %. From this study,
it can be concluded that the best accuracy is obtained from Lyzenga’s et al (2006) atmospheric correction and the
Maximum Likelihood which is not much different with Random Forest classification and the site dependency was
dominant factor that affected to the overall accuracy rather than other factor.

Keywords: Coral reef, atmospheric correction, classification

1. INTRODUCTION
In Indonesia, development of coral reef mapping has been done for along time since Siregar (1996)
using SPOT-2 Data which only have red and green channel at the visible spectrum which able to
penetrate water column. Then Winarso (1997) applied the sama method using Landsat TM which has
blue and green channel that blue spectrum penetrate more into water column then green and red.Coral
-202-
Pemetaan Terumbu Karang di Indonesia: Komparasi 7 Metode Klasifikasi Terawasi dan Pengaruh Lokasi yang Berbeda
(Winarso, G., dkk.)

reef mapping for whole Indonesia has been done 1999-2001 for COREMAP Project using available
method (Winarso, et al., 2004). This activity was presented on International Coral Reef Symposium 2000
at Denpasar Bali. They used Lyzenga (1978) for water column correction then applied different
classification method that are unsupervised classificasion (Winarso, et al. 2004) and density slicing
(Siregar, 1996).
Atmospheric and sea-surface noise both affect the accuracy of bottom-type identification. Lyzenga
(1981) describes the method for correcting the atmospheric and sea-surface noise. It is assumed that the
radiance value of deep water for each wavelength comprises sea-surface scattering and atmospheric
effects without bottom-object reflectance information. However, this assumption does not always hold
true. As an improvement, Lyzenga et al. (2006)corrected for the sea-surface and atmospheric scattering
by using the near infrared (NIR) band. Classification method is also affected to the accuracy. A number of
studies that have identified coral reefs using satellite imagery data have focused on supervised
classification methods including: maximum likelihood, spectral angle mapper, texture analysis, and
decision tree (Benfield, et al, 2007; Wongprayoon, et al, 2007). In mapping bottom-type distribution in
shallow coral reef habitats, the supervised classification method shows better accuracy compared with the
unsupervised classification method (Green, et al, 2000).
Manessa, et. al. (2014) compared dark pixel Lyzenga (1981) noise reduction with Lyzenga et al
(2006) for generate bottom type classification at Gili's Island. Lyzenga et al. (2006) noise reduction
improve the accuracy and reduce missed classification of bottom type when applied on data with 3 visible
band, dark pixel Lyzenga (1981) better when applied on more than 3 visible data. However, that result
was done at a single location that perhaps site dependecy occurs. In this paper, site dependency affect was
investigated using SPOT-6 data which available enough for Indonesia seawaters. Not only site
depedency, the affect of classification method also was investigated.

2. MATERIAL AND METHOD


2.1. Study Area
This research located on 3 different location that is Gili Matra Islands Lombok, Kapoposang Island
South Sulawesi and Menjangan Island Bali as shown in Figure 1. Geographically, Gili Matra Islands
spans 116°00′–116°08′E and 8°20′–8°23′S, encompassing an area to the northwest of Lombok Island. The
Gili Matra Marine Natural Park includes three islands: Gili Trawangan, Gili Meno, and Gili Air. The Gili
Matra Islands consist of a variety of shallow-water bottom types: hard coral, soft coral, dead coral, dead
coral with algae, rubble, sand, and seagrass.
Several research projects have investigated the biodiversity of the Gili Matra Islands (Djohar, 1999;
Muhlis, 2009; Climate Change Reserach Team, 2011). The reefs of the Gili Matra Islands contain several
species of both hard and soft corals at depths in the range 1–30 m. Boulder brain coral, massive coral,
branch coral, and foliose coral are species commonly found. The shallow-water area of Gili Meno
contains highly productive areas of seagrass beds with Thallassia sp. the most abundant species. Seagrass
beds provide a nursery habitat for several fish species, crab, and shrimp, in addition to providing feeding
grounds for turtles. Gili Matra is famous for turtle migration routes as a feeding ground for turtle species.
Menjangan Island located on northern part of western Bali Island. Menjangan Island area is one of
marine eco-tourism destinaton which is part of West Bali National Park area. Menjangan Island
geographically located between 114º12'02'' - 114º14'30'' East dan 8º05'20''- 8º17'20'' South that the beauty
of under water scenary is fomous amoung overseas and local tourist (Yudasmara, 2013). Explained more
that diversity index is 1.29-1.59 with mortality index 0.73-0.88 and categorized low community structure,
low biodiversity and high mortality rate.

-203-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016

Figure 1. Study Site on 3 Different Location that Are Bali, Lombok and Sulawesi

Kapoposan Island is located at Makassar Strait South Sulawesi. Kapoposan Island is marine protected
area which is located Spermonde Archipelago. This island is surrounded by almost coral, sand and
seagrass. Transect line method for sampling showed that average percentage of coral covering was
48,53% and it was classified as moderate coral reef covering (Papu, 2011). Nadiarti, et al., (2012) resulted
that continues seagrass beds were only found in five different sites of Kapoposang coastal waters were in
variable and the highest seagrass cover was found in two sites, in the north-west part of the island
dominated by Thalassia hemprichii and 2) in the north part of the island dominated by Enhalus acoroides.

2.2. Satellite Imagery


SPOT (Systeme Probatoire de l’Observation de la Terre) is collaboration project between France,
Sweden and Belgium under Centre National d’Etudes Spatiales (CNES) coordination, the space agency
of France. SPOT program is developing into international commercial scale after launched seventh
generation satellite that launched on 30 June 2014 from Satish Dhawan Space Center India and is
controlled by SPOT Image located Tolouse City, France.
Instrument board on SPOT-6 is the highest spatial resolution of remote sensing sensor among SPOT
Series satellite. SPOT-6 has two kind of sensor that is multispectral at 6 m spatial resolution and
pancromatic at 1.5 m spatial resolution. Multispectal spectrum is lying at blue, green, red and NIR as a
common high resolution satellite (SPOT-6 & SPOT-7 Imagery User Guide, 2013).

2.3. In Situ Data


The classification object of mapping focuses on dominant habitat types; thus, the survey methods
should be simple, quick, and able to cover large areas. The manta tow technique is used to estimate
general variations in the benthic communities of coral reefs, for which the unit of interest is either the
entire reef or a large. portion of it. Manta boards are large boards assembled from wood or glass-
reinforced plastic that act as hydrofoils (Green, et al. 2000). A modification of this technique is applied in
this research by incorporating an underwater camera and the Global Positioning System (GPS) to record
the bottom type along a transect, widely known as a belt transect. Technically, this requires two observers
to swim along the belt transect and count the target benthic objects within the coral reef habitat. The
length of each transect line is 20–100 m, and the underwater video technique records information within a
belt 5 m wide. The data collection for the coral reef ecosystem of the Gili Islands and Menjangan
Islandare a collaborative effort between CReSOS (Center for Remote Sensing and Ocean Science,
Udayana University—JAXA program) and the Research Institute for Marine Research and Observation
(Ministry of Marine Affairs and Fisheries Republic of Indonesia). The observation data for the coral reef
and seagrass were measured and analyzed by the Climate Change Research Team (2011).
There are two types of data used in the analysis: transect belt video data analyzed at 10-m intervals,
and rapid surveys. There are five different classes of bottom type identified from the video and visual
observation, which is recognized as a coarse complexity class. The five bottom types identified are coral,
sand, mixed bottom (i.e., sand, rock, coral, rubble, and seagrass), rubble, and seagrass. These bottom
types are used as the habitat classes in the classification process.

-204-
Pemetaan Terumbu Karang di Indonesia: Komparasi 7 Metode Klasifikasi Terawasi dan Pengaruh Lokasi yang Berbeda
(Winarso, G., dkk.)

Meanwhile, Kapososang Island site in situ data was collected by Remote Sensing Application Center,
National Institute of Aeronautics and Space collaboration with Marine and Coastal Resource Resource
Body Maros. Field survey was done on 9-11 June 2015 and collected some data but little bit different
with Gili Matra and Menjangan Islands survey. In this area we applied photo-transect (Roelfsema and
Pinn, 2009) that combined the use of photo and GPS then each photo will be inserted location. The
habitat type was described from foto and it was possible more one photo at each pixel then we choosed
the dominant one. The habitat type classification was same with Gili Matra and Menjangan Island field
data.

2.4. Lyzenga 81 Correction Method


In Lyzenga’s (1981) correction method, sea-surface scattering or atmospheric scattering are implicitly
assumed homogeneous over the target area. For deep water, the observed spectral radiance (L) at infinite
h ( ∞ ≡ limh→∞L) is assumed not to include bottom reflectance, such that the water depth only consists
of information related to external reflection from the water surface and atmospheric scattering. Then, the
effects of sea-surface scattering or atmospheric scattering can be removed by subtracting the average
radiance of the deep water ( ∞ ). The new equation for the transformed radiance is written as:
i = log ( − ∞ )………………………………………………………………………………………………………………………(1)

2.5. Lyzenga 06 Correction Method

In Lyzenga’s 2006 correction method (Lyzenga, et al.2006), sea-surface scattering or atmospheric


scattering are not assumed homogeneous over the target area; they are expected to vary from pixel to
pixel. Their variations are related linearly to the radiance of the NIR band, for which the exponential term
of reflectance equation is negligible. The correction method removes the pixel-wise variations of sea-
surface scattering or atmospheric scattering using the NIR band. Thus, we can expect a correlation
between ∞ and LNIRfor an arbitrary visible wavelength. The new equation for the transformed radiance is
written as:

i = log ( − − ∙ )……………………………………………………………………………(2)

2.6. Classification Method


The classification method was compared in this paper is seven supervised classification method that
is Maximum Likelihood, Neural Network, Support Vector Machine, Random Forest, Decision Tree,
Naive Bayes and Logit.
Maximum Likelihood, this method is one of the most popular methods of classification in remote
sensing, in which a pixel with the maximum likelihood is classified into belonging to class k (Murai,
1999).It touches a probability density function, meaning, the classifier guesses the probability with which
a specific pixel belongs to a specific class. Larger deviations from the center point will be allowed where
a pixel is not in the area of a contesting category - less where such a competition exists.
Neural Network, Neural Networks are relatively crude electronic networks of neurons based on the
neural stucture of the brain. Neural Networks have been use on wide variatey of application, one of the
application was in satellite image classification. A neural network consists of units, arranged in layers,
which convert an input vector into some output. Neural networks type that most commontly used in
remote sensing is the feed-forward back-propagation multi-layer perceptron (MLP) type (Atkinson and
Tatnall, 1997. This type of Neural Network is also used in R Programming that applicated for image
processing in this paper.
Support Vector Machine, is a machine learning method which use a certain distance between
sample as the criterion of classification, based on the principle of structural risk minimization. This
method has been used for satellite image classification and patern recognation (Yang, et al, 2015). The
application of Support Vector Machine on remote sensing was increasing recently, because their ablity to
generalize well with limited training sample than commontly dealed with remote sensing (Mountrakis, et
al, 2011).
Random Forest, Random Forest is a classification algorithm with a simple structure a forest trees.
According to Breimen (2001) in Stephen and Diesing (2014) the trees differ from those produced by rpart
because they are not subsequently pruned.Two components of randomness are introduced into the
construction of the individual trees. Firstly, each tree is constructed using a random bootstrapped
-205-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016

sample of the training data. Secondly, rather than testing all features for the best split, a random subset of
variables is tested at each split in each tree. The idea behind introducing the randomness into the
construction of the trees and averaging the result over many trees is that the final outcome will be less
subject to any random fluctuations in the training dataset and will have an increased capacity for
generalising patterns. The prediction is made for unobserved data by taking a majority vote of the
individual trees. The samples not part of the bootstrapped sample for each tree, referred to as ‘out-of-bag’
(OOB) samples, are used to create a cross-validated prediction error for the forest. Also, as part of the
construction of the random forest, the OOB samples are used to formulate a measure of feature
importance. This is done by randomly shuffling the values of each input feature in turn and observing
how much the prediction error of the OOB samplesincreases. Random Forest is an accurate algorithm
having the unusual ability to handle thousands of variables without deletion or deterioration of
accuracy(Breiman, 2004).
Decision Tree, Decision Tree classifier is a simple, practical and widely used classification technique
in remote sensing. The decision tree classifers organized a series of test question and condition in tree
structure. The root and internal nodes contain attribute test condition to separate recordes that have
different characteristic. Decision tree classifer has advantages for remote sensing classification problem
caused by their non-parametric nature, simplicity, robustness with respect to non-linier and noisy relation
among input features and class labels, and computation efficiency (Pal and Mather, 2001).
Naive-Bayes, Naive-Bayes classification represent a supervised learning method as a statistical
method for calssification. Naive-bayes classifier computes the conditional a-posterior probabilities of a
categorical class variable given independent predictor variables using tha Bayes rule. Naive-Bayes
calssifier is one of Bayesian Networks type applicated into remote sensing insteed a General Bayesian
Network, a Bayesian Network Augmented naive Bayes and the Tree Augmented Naive bayes.
Logit, The logit model is a simple statistical technique designed to analyse categorical data.Logit
classifer based on Logit Model and also called Logistic Regression. In the logit model the log odds of the
outcome is modeled as a linier combination of the predictor variables. Diagnostic statictics indicate that
the logit model able to classify remotely sensed data (Seto and Kaufmann, 2005).

2.7. Accuracy Test


The accuracy test was referenced to thematic accuracy, which has the non-positional characteristics of
spatial data. If the data were to be subjected to hyperspectral or multispectral classification, then thematic
accuracy would correlate to classification accuracy (Stehman, 1997). This accuracy refers to the
correspondence between the class label and the trueǁ class, which is generally defined as that observed on
the ground during field surveys (Green, et al., 2000). In other words, it refers to how much of the class,
which is labeled as coral reef on a classified image, is a coral reef in situ.
In this assessment, an error matrix (user accuracy) was used to identify object accuracy, and
kappa analysis used to identify statistical difference accuracy. The accuracy of the predicted coral reef
ecosystem map is represented as user accuracy. A user of this map will find that each time an area labeled
as coral reef on the map is visited, there is only an n% probability that it is actually coral reef (Green, et
al., 2000). Moreover, the kappa statistic is an estimator of n parameters for a population of subjects and
observers (Abraira, et al., 1999). The kappa coefficient was first proposed by Cohen (1960). It measures
whether two (or more) observers are independent by classifying items or observations into the same set of
n mutually exclusive and exhaustive categories. It may be of interest to use a measure that summarizes
the extent to which the observers agree in their classifications (Kvalseth, 2011). Based on kappa statistics,
one can test whether two datasets have statistically different accuracies (Smith, 2012). This statistical
evaluation is used to assess the two Lyzenga correction methods in two cases.

3. RESULT AND DISCUSSION


Seven (7) classification images for each noise correction and each location were resulted from image
processing step. Totally 42 imaged were resulted and analyzed. Visually the different between each image
could be investigated but the accuracy assesment could not be done. Some sample classification images
shown in Fig. 2, sample for Maximum Likehood and Random forest using Lyzenga 1981 and Lyzenga
2006 for each location.

-206-
Pemetaan Terumbu Karang di Indonesia: Komparasi 7 Metode Klasifikasi Terawasi dan Pengaruh Lokasi yang Berbeda
(Winarso, G., dkk.)

Figure 2. Sample of Classification Result Images.

Based on these images the accurassy and kappa assement was done. Overall accuracy for all method
and all location was lied on 55 % with Kappa 0.55. This result categorised low accuracy compared with
Manessa el al (2014) that reachead 66-69 % accuracy using World View 2, Prayuda (2008) resulted
69.6 % accuracy and Siregar (2010) reached until 79%. It seems due to site different because location
sparated accuracy resulted the accuract between 40% - 77%. the accuracy each location was 40%, 68%,
77% at Menjangan Island, Gili Matra Islands and Kapoposan Island respectivelly. The lowest accuracy
was resulted from Menjangan Islands that expexted due to the total area of coral reef was smalest that two
other. Highest accuracy was resulted from Kapoposan Island and this island was the bigest coral reef area
than other. The wide area of coral reef ecosystem resulted more dominated bottom type. The other
expected reason was due to the age of coral reef growth, during the survey at Kapoposan Island reef crest
was not found and the reef crest was indication of old reef formation.

-207-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016

Figure 3. Accuracy and Kappa Test Result for Each Classificaton Method, Noise Correction
Method and Diferent Location.

The performance of different atmospheric correction was not varied much, the accuracy different was
lied at 0.07 % - 2.7 %, bigest different was found at Gili Matra Island and the lowest different was
resulted from Kapoposan Island. Lyzenga et al (2006) atmospheric correction increases the accuracy but
not more than 3%. It look bit different with Manessa (2014) result that for tree band better by using
Lyzenga (1978) atmosferic correction that Lyzenga et al (2006). This problem was resulted different
sensor which used by Manessa (2014), SPOT-6 and World View have different spectrum in NIR
band.NIR II's World View 2 spectrum lied on 860-1040 nm, longer spectrum on NIR to SWIR lower
water depth penetration that applied on MODIS data when atmosferic correction using SWIR band better
than NIR band (Wang and Shi, 2007).
As a result, the performance of atmospheric correction and classification was varied at each site with
an overall accuracy of 41-63%. The difference in accuracy for each classification methods varied by a
margin of between 0.3-3.9%. It seems that classification method not too affect to accuracy result, and site
depedency seems be dominant factor for accuracy result.

4. CONCLUSION
As a result, the performance of atmospheric correction and classification was varied at each site with
an overall accuracy of 40-77%. Lyzenga’s (2006) atmospheric correction increases the accuracy but not
more than 2.7%. The difference in accuracy for each classification methods varied by a margin of
between 0.3-3.9%. From this study, it can be concluded that the best accuracy is obtained from Lyzenga’s
(2006) atmospheric correction and the Random Forest classification and the site dependency was
dominant factor that affacted to the overal accuracy rather than other factor.

5. ACKNOWLEDGEMENT
We would like to say tanks to Yamaguchi University and Remote Sensing Application Center that
establish the colloration and support the attending Ass Prof Ario Kanno and Masita DM Mannesa,
M.Engto visit to Indonesia. Because of that we could work together to finish this paper.

REFERENCES
Abraira, V., Vargas, A.P.D., dan Cajal, H.R.,(1999). Generalization of the kappa coefficient for ordinal categorical
data, multiple observers and incomplete designs. Questiio, 23:561–571.
Atkinson, P.M., dan Tatnall, A.R.L., (2010). Introduction Neural Networks in Remote Sensing. IJRS.
Benfield, S.L., Guzman, H.M., Mair, J.M., Young, J.A.T., (2007). Mapping the distribution of coral reefs and
associated sublittoral habitats in Pacific Panama: A comparison of optical satellite sensors and classification
methodologies. Int. J. Remote Sens,28:5047–5070.
Breiman, L.,(2004). Consistency for a Simple Model of Random Forests. Technical Report 670, Statistics
Departement University of California at Berkeley.
Cohen, J.A., (1960). Coefficient of agreement for nominal scales. Educ. Psychol. Meas. 20:37–46.
Climate Change Research Team,2011. Observation and Study on Marine Protected Area, Research Report;
Research Institute for Marine Observation, Ministry of Marine Affairs and Fisheries: Negara, Bali, Indonesia.

-208-
Pemetaan Terumbu Karang di Indonesia: Komparasi 7 Metode Klasifikasi Terawasi dan Pengaruh Lokasi yang Berbeda
(Winarso, G., dkk.)

Djohar, I.,(2001). Kondisi Karang Scleractinia Pada Daerah Rataan Dan Lereng Terumbu Karang di Taman Wisata
Alam Laut GIli Indah, Lombok, NTB. Thesis, Bogor Agricultural University, Bogor, Indonesia.
Green, E.P., Mumby, P.J., Clark, C.D.,dan Edwards, T.M.,(2000). Remote Sensing Handbook for Tropical Coastal
Management; Coastal Management Sourcebooks, 3; UNESCO Publishing: Paris, France.
Hastie, T., Tibshirani, R., Friedman, J., (2009).The Elements of Statistical Learning: Data Mining, Inference, and
Prediction. New York: Springer. 745 p.
Kvalseth, T.O.,(2011). Kappa Coefficient of Agreement. International Encyclopedia of Statistical Science; Lovric,
M., Ed.; Springer: Berlin, Germany, pp. 710–713.
Lyzenga, D.R., (1978). Passive remote sensing techniques for mapping water depth and bottom features. Appl. Opt.
17:379–383
Lyzenga, D.R.,(1981). Remote sensing of bottom reflectance and water attenuation parameters in shallow water
using Aircraft and Landsat data. Int. J. Remote Sens,2:72–82.
Lyzenga, D.R., Malinas, N.P.,dan Tanis, F.J., (2006). Multispectral bathymetry using a simple physically based
algorithm. IEEE Trans. Geosci. Remote Sens,44:2251–2259.
Manessa, M.D.M., Kanno, A., Sekine, M., Ampou, E.E., Widagti, N., dan As-Syakur, A., (2014). Shallow-water
Benthic Identification using Multispectral Satellite Imagery : Investigation on the Effect of Improving Noice
Correction and Spectral Cover. Remote Sens, 6:4454-4472. doi:10.3390/rs6054454
Muhlis, M.,(2009). Ekosistem terumbu karang dan kondisi oseanografi perairan kawasan wisata bahari Lombok.
Berk. Penel. Hayati. 26:111–118.
Murai, S.,(1999). Remote Sensing Note. Japan Association of Remote Sensing.
Mountrakis, G., Im, J., dan Ogole, C., (2011). Support Vector Machine in Remote Sensing : A Review. ASPRS.,
Journal of Photogrametry and Remote Sensing, 66(3).
Nadiarti, Riani, E., Djuwita, I., Budiharsono, S., dan Purbayanto, A., (2012). Seagrass Beds Distribution and Their
Structure in the Surrounding Coastal Waters of Kapoposan Island, Shout Sulawesi. JPSL, 2(1):11-16.
Pal, M., dan Mather, P.M., (2001). Decision Tree Based Calssification of rmeotely Senssed Data. Procedding of
22nd ACRS, Singapore.
Papu, A., (2011). Percent coral cover condition ar Kapoposan Islands, Pangkajene Kepulauan, South Sulawesi
Province. FMIPA, Sam Ratulangi University.
Prayuda, B., (2008). Multispectral Classification using ALOS Satellite Imagery and Bathymetryc Data for Benthic
Shalow Water Object Identification. Proceeding of PIT MAPIN XVII (Indonesian Society of Remote Sensing)
Bandung.
Roelfsema, C.,dan Pinn, S., (2009). A Manual for Conducting Georeferenced Photo Transects Survey to Assess the
Benthos of Coral Reef and Seagrass Habitats. School of Geography, Planning and Environmental Management,
University of Queensland.
Seto, K.C., dan Kaufmann, R.K., (2005). Using Logit Models to Classify Land Cover and Land-cover change from
landsat Thematic Mapper. International Journal of Remote Sensing,26(3).
Siregar, V.P., (1996). Algorthm development of Coral reef Mapping in Menjangan Island Bali using Satellite
Imagery. Proceeding of Seminar Maritim Makassar 1996.
Siregar, V.P., (2010). Shallow Water Benthic Substrat Mapping Congkak and Lebar Reefs Seribu Archipelago using
Quick Bird Imagery . Jurnal ofTropical Marine Science and Technology, 2(1).
Smith, R.B.,(2012). Remote Sensing of Environment; MicroImages Inc.: Lincoln, NE, USA.
SPOT 6 and SPOT 7 Imagery User Guide, 2013. SI/DC/13034-v1.0. Astrium Toulouse France.
Stehman, S.V.,(1997). Selecting and interpreting measures of thematic classification accuracy. Remote Sens.
Environ. 62:77–89.
Stephens, D.,dan Diesing, M., (2014). A Comparison of Supervised Classification Methods for the Prediction of
Substrate Type Using Multibeam Acoustic and Legacy Grain-Size Data. Plos One, 9(4).
Wang, M., dan Shi,W., (2007). The NIR–SWIR combined atmospheric correction approach for MODIS ocean color
data processing. Optics Express, 15:15722−15733.
Yang, B., Cao, C., Xing, Y., dan Li, X., (2015). Automatic Classification of Remote Sensing Images Using Multiple
Classifier System. Mathematical Problem in Engineering, Article ID 954086.
Yudasmara, G.A., (2013). Analysis of Coral Reef Ecosystem Potency and Condition of Menjangan Island for
Marine Eco-tourism based on Intergrated Education. Proceeding of Seminar Nasional FMIPA UNDHIKSA III.
Winarso, G., 2007. Study of Coral Reef Distribution and Condition using Landsat Data Multitemporal at Panggang
Pramuka Islands and Sorrounding Seribu Archipelago. Thesis, Marine Science and Technology Diponegoro
University, Semarang.
Winarso, G., Budhiman, S. Dewanti, R., Hasyim, B., dan Tedjasukmana, B., (2005). Coral Reef Spatial Information
Extraction using Remote Sensing Data. Remote Sensing Application Center LAPAN Indonesia.
Wongprayoon, S., Vieira, C.A.O.,dan Leach, J.H.J., (2007).Spatial Accuracy Assessment for Coral Reef
Classification. In proceeding of the XIII Brazilian Remote Sensing Symposium, Florianopolis, Brazil. pp.
6273–6281.

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskusi presentasi ilmiah
-209-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh - 2016

BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016

Moderator : Dedi Irawadi


Judul Makalah : Pemetaan Terumbu Karang di Indonesia : Komparasi 7 Metode Klasifikasi
Terawasi dan Pengaruh Lokasi yang Berbeda
Pemakalah : Gathot Winarso
Diskusi :

Taufik (Pusfatja LAPAN):


Akurasi tidak bisa digeneralisasi karena lokasi akan berpengaruh. Apakah yang dilakukan koreksi TOA
atau surface? Karena reflektan surface dan koreksi surface akan mempemgaruhi serta suhu perlu dicek.

Jawaban:
Site dependency selalu ada tetapi perlu diketahui metode mana yang dapat digunakan di semua tempat.
Pada penelitian ini belum menggunakan surface reflektan

-210-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Metode Classification and Tree Method (CART) dan Geostatistik


untuk Analisis Perubahan Tutupan Lahan di Sub DAS Rawan Banjir
CiHeuleut– CiLuar

Classification and Tree Method (CART) and Geostatistics


for Land Use Land Cover Change Pattern Analysis in Flood Prone
CiHeuleut–CiLuar Watershed
Revi Hernina1*), dan Arif Wicaksono2
1
Departemen Geografi Universitas Indonesia
2
School of Remote Sensing, Suranaree University of Technology, Nakhon Ratchasima 30000 Thailand
*)
Email: revie12@yahoo.com

ABSTRAK–Akhir-akhir ini Sub DAS Ci Heuleut – Ci Luar sering mengalami banjir, dan yang terakhir terjadi pada
tanggal 16 November 2015. Penelitian ini memfokuskan kepada analisis pola perubahan tutupan lahan di daerah
tangkapan hujan dengan membandingkan data dari peta topografi 1:25.000 tahun 1998 dan Citra Landsat 8 tahun 2015.
Pewilayahan daerah tangkapan hujan menggunakan Digital Elevation Mode (DEM) dari SRTM NASA yang diunduh
dari laman CGIAR (Consortium of International Agriculture Research). Wilayah daerah tangkapan hujan menunjukkan
bahwa 86,82 % luas wilayah berada di Kota Bogor, sedangkan 13,18 % di Kabupaten Bogor. Untuk meningkatkan
resolusi spasial data Landsat 8, digunakan metode High Pass Filtering. Metode CART (Classification and Regression
Tree) digunakan untuk menghasilkan citra tutupan lahan tahun 2015 dengan menggunakan kombinasi layer biru, hijau,
dekat infra-merah, SWIR I, SWIR II, NDVI, dan NDBI. Citra tutupan lahan tahun 2015 terdiri dari pertanian (17,72%),
tanah kosong (16,51%), padang rumput (2,97%), perkotaan (47,96%) dan badan air (3,12%) dengan tingkat akurasi
74,88%. Dengan menggunakan Indeks Moran I, perubahan tutupan lahan menunjukkan spatial autocorrelation
denganpola kluster.

Kata kunci:Perubahan Tutupan Lahan, DAS, CART, Geostatistik

ABSTRACT-Flood frequently happens in Ciluar-Ciheulet Watershed, which is a part of Ciliwung Basin located in
Bogor Municipality, and the latest flood occurred on 16 November 2015. In relation to flood analysis, this article
focuses on the spatial pattern analysis of land use land cover changes (LULCC) in the watershed by comparing 1998
topographic map 1:25000 and Landsat 8 data of 2015. To delineate the watershed area, Digital Elevation Mode (DEM)
originated from NASA SRTM was downloaded from CGIAR (Consortium of International Agriculture Research)
website. The watershed delineation showed that 86,82 % of the area was located in Bogor Municipality, while 13,18 %
was located in Bogor Regency. To enhance the spatial resolution of Landsat 8, High Pass Filtering. CART
(Classification and Regression Tree) was performed to produce LULC image of 2015 by utilizing blue, green, near-
infrared, SWIR 1, SWIR 2, NDVI, and NDBI. LULC in 2015 includes agriculture (17.72%), bare land (16.51%),
grassland (2.97%), urban (47.96%) and water bodies (3.12%) with 74.88% overall accuracy. LULC in the watershed
had changed 69.46% during 1998- 2015 period, which was dominated by changes from agriculture to urban. Spatial
autocorrelation using Moran I indicated that LULCC was clustered spatially distributed.

Keywords:LULC Change, CART, Geostatistics

1. PENDAHULUAN
Akhir – akhir ini Sub DAS Ci Helueut – Ci Luar sering mengalami banjir, dan yang terakhir terjadi pada
tanggal 16 November 2015. Berkaitan dengan hal tersebut sangat menarik untuk menganalisis pola
perubahan lahan di daerah tangkapan hujan baik secara spasial maupun temporal. Klasifikasi tutupan lahan
penggunaan lahan (LULC) dalam penelitian ini menggunakan metode Classification and Tree Method
(CART) dan Geostatistik Dalam penelitiannya di DAS Xiangxi, China, Cao, Li menggunakan metode
Classification and Tree Method (CART) dan Geostatistik. Hasil penelitian menunjukkantingkatsignifikan
overall accuracy sebesar 75,5%.Berdasarkan hal tersebut tujuan dari penelitian ini adalah untuk :
1. Mengidentifikasi penggunaan lahan di Sub DAS Ci Heleut- Ci-Luar tahun 2015 menggunakan metode
CART (Clasification and Regression Tree) menggunakan citra Landsat 8;
2. Menganalisis perubahan lahan yang terjadi lahan di Sub DASCi Heleut- Ci-Luar tahun 1998- 2015
dengan analisis statistik spatial Moran I.

-211-
Metode Classification and Tree Method (CART) dan Geostatistik untuk Analisis Perubahan Tutupan Lahan di Sub DAS Rawan
Banjir CiHeuleut– CiLuar (Hernina, R.., dkk.)

2. METODE
2.1 Wilayah Penelitian
Wilayah penelitian yaitu Sub DAS CiHeuleut – CiLuar yang berada di Kota Bogor Provinsi Jawa Barat.
Kota Bogor terletak 60 kilometer di selatan Jakarta, ibukota Republik Indonesia. Kota Bogor terletak di
ketinggian antara 190 m dan 330 m dari permukaan laut. Temperatur udara rata-rata 33,9o C tiap bulan,
terendah 18,8o C dan tertinggi 36,1o C. Kelembaban udara mencapai 90,8 % dengan curah hujan rata-rata per
bulan sekitar 352,5 – 576,1 mm. Luas Kota Bogor sebesar 11.850 Ha, yang terdiri dari 6 kecamatan dan 68
kelurahan. Jumlah penduduk Kota Bogor pada tahun 2014 mencapai 1.030.720 jiwa dengan kepadatan
penduduk 8.698 jiwa per km2. Setelah didelineasi dengan data DEM NASA SRTM, lokasi daerah tangkapan
hujan ini merupakan bagian dari DAS Ciliwung (lihat Gambar 1.). Di sebelah barat, berbatasan dengan
Kebun Raya Bogor, sedangkan beberapa lokasi yang cukup familiar di dalamnya adalah Kampus IPB
Baranangsiang dan Kampus Universitas Pakuan. Nomenklatur Ci-Luar di Kota Bogor terdapat pada peta
topografi Bakosurtanal edisi 1998 skala 1 : 50.000. Wilayah penelitian juga dilitasi oleh Jalan Tol Jagorawi
dan Jalan Tol BORR (Bogor Outer Ring Road).

2.2 Metode
2.2.1 Delineasi daerah tangkapan hujan
Untuk mendelineasi Sub DAS CiHeuleut- CiLuar digunakan data NASA SRTM yang diunduh dari laman
CGIAR-CSI (Consortium Global Agricultural Research Centers-Consortium for Spatial Information)
dengan resolusi spasial 30 meter dan kesalahan vertikal tidak melebihi 16 meter. Pihak CGIAR-CSI telah
melakukan proses tampalan untuk menutup daerah yang tidak memiliki data (void) yaitu dengan menampal
dengan data DEM tambahan yang lebih tinggi resolusinya atau apabila tidak tersedia maka digunakan DEM
SRTM 30. Sebagai bahan perbandingan, DEM yang berasal dari citra stereo satelit ZY-3 dengan resolusi
spasial 4 meter pernah digunakan untuk mendelineasi daerah tangkapan hujan Huashan, China. Selain itu,
delineasi DEM bisa dilakukan melalui peta kontur skala 1 : 50.000 seperti yang dilakukan pada delineasi
daerah tangkapan hujan Xiangxi, Cina.

Kali Ciluar

Sungai
Cisadane

Kali
Ciheleut
B

Kali
Ciluar

Legenda
Kota Bogor
Kebun Raya
Sub-DAS
Sungai
Sungai
Ciliwung

Gambar 1. (A) Wilayah penelitian (B) Foto CiLuar, (C) Foto CiHeleut.

-212-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

2.2.2 CART Algorithm


Metode CART (Classfication and Regression Tree) merupakan bagian dari decision tree image analysis
dimana dalam metode ini terdiri dari tiga komponen utama yaitu hipotesis, rule, dan variable. Hipotesis
dalam penelitian ini mengasumsikan bahwa klasifikasi penggunaan lahan di daerah tangkapan hujan Kali
Ciheuleut- Ciluar berdasarkan rule dari variabel- variabel band Landsat 8 (biru, hijau, merah, near-
inframerah, SWIR I, dan SWIR 2) dan indeks vegetasi (NDVI) dan index bangunan (NDBI). Sebagai bahan
perbandingan, (Cao dkk., 2010) menggunakan metode CART untuk mengklasifikasikan perubahan
penggunaan lahan di Sungai Xiangxi dengan memanfaatkan 16 variabel yang berasal dari band Landsat TM
1987 dan Landsat TM 2000 diantaranya band 1 – 5, NDVI, dan DEM. Langkah awal dalam artikel ini adalah
memilih training area pada citra Landsat berdasarkan kelas penggunaan lahan yang akan dibandingkan
dengan peta topografi 1998 yaitu: (a) pertanian, (b)tanah kosong, (c) kebun, (d) perkotaan, (e) badan air.
Training area dipilih berdasarkan foto- foto di lapangan dan pengamatan menggunakan Google Earth
tertanggal 21 Juni 2015.
Setelah diamati terdapat kelas penggunaan lahan yang signifikan di sebelah timur wilayah penelitian yaitu
padang rumput berupa lapangan golf sehingga dalam penelitian iniditambahkankelas padang rumput.
Setelah mendijitasi training area, langkah selanjutnya adalah mengkonversi data training area berupa pixel
menjadi ASCII. Fail ASCII dari masing- masing training area di komputasi menggunakan metode CART
dengan mengelompokkan 50% data sebagai training sample dan 50% sebagai sample test. Hasil dari metode
CART kemudian dimanfaatkan untuk membuat peta penggunaan lahan.

2.2.3 Accuracy Assessment


Penelitian ini mengasumsikan bahwa ketepatan peta mencapai 85% dan kesalahan yang dapat ditoleransi
mencapai 15%.Penelitian ini menggunakan 203 titik acuan sebagai referensi yang memuat informasi tentang
klasifikasi penggunaan lahan tahun 2015.Penarikan sample menggunakan metode stratified random
sampling. Kemudian mengupload ke dalam Google Earth tertanggal 21 Juni 2015 dan dilakukan klarifikasi
apakah sesuai antara peta penggunaan lahan dengan citra Google Earth.

2.2.4 Diagram Alir

Gambar 2. Diagram Alir

-213-
Metode Classification and Tree Method (CART) dan Geostatistik untuk Analisis Perubahan Tutupan Lahan di Sub DAS Rawan
Banjir CiHeuleut– CiLuar (Hernina, R.., dkk.)

3. HASILDAN PEMBAHASAN
3.1 Delineasi Daerah Tangkapan Hujan (Sub-DAS)CiHeuleut- CiLuar
Hasil deliniasi data DEM dari NASA SRTMmenunjukkan bahwa 85,14% wilayah Sub DAS CiHeuluet-
CiLuar secara administratif berada di Kota Bogor sedangkan 14,86% terletak di Kabupaten Bogor (Tabel 1).
Selanjutnya hasil delineasi DAS Ci Heuleut– CiLuar digunakan sebagai mask data Landsat 8 tahun 2015 dan
dijitasi peta topografi tahun 1998. Sebelum melakukan pengolahan citra, dilakukan proses pan-sharpening
untuk meningkatkan resolusi spasial dari 30 meter menjadi 15 meter dengan metode High Pass Filtering
(HPF). Keunggulan HPF ini dikarenakan HPF mampu menajamkan citra terutama edge dan texture tanpa
menurunkan bagian yang lain dalam satu citra.

Gambar 3. Hasil Pengolahan Data DEM NASA SRTM. (A) Data DEM SRTM yang telah dilakukan proses
fill, (B)Sub DAS CiHeuleut-CiLuar

Tabel 1.Wilayah Administratif Lokasi Penelitian

Penggunaan Lahan 1998


Nama Wilayah (hectares)
Percentase
Kecamatan Administratif Non-Urban Urban
Bogor Utara 55.92 % 651.35 510.85
Bogor Timur Kota Bogor 22.07 % 248.43 210.34
Bogor Tengah 8.83 % 20.10 163.48
Sukaraja Kabupaten Bogor 13.18 % 211.81 62.13
Sumber: Pengolahan Data dari dijitasi Peta Bakosurtanal tahun 1998

3.2 Hasil klasifikasi Land Use Land Cover menggunakan Metode CART
Hasil pengolahan training area masing- masing klas menggunakan metode CARTmenunjukkan
pemisahan yang jelas menurut layer (lihat Gambar 5.), namun demikian metode CART menunjukkan bahwa
band hijau, merah, SWIR 1, SWIR 2, NDBI tidak digunakan dalam menentukan kelas land use land cover di
daerah tangkapan hujan CiHeuleut- Ci Luar. Pada metode ini, CART berhasil memisahkan kelas yang

-214-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

berhubungan vegetasi dengan menggunakan NDVI dan band NIR dimana hal ini dikarenakan band NIR dan
band merah merupakan band yang memiliki reflektan vegetasi yang paling tinggi diantara band lainnya.
Selain itu, band biru mampu dimanfaatkan oleh metode CART untuk mengklasifikasi kelas badan air, hal ini
memang menjadi karakteristik band biru Landsat 8 yang didesain untuk mendeteksi pantulan dari badan air.
Penelitian ini menambahkan satu kelas yaitu padang rumput kedalam peta penggunaan lahan tahun 2015,
dikarenakan luas padang rumput cukup signifikan sebesar 61,88 hektar (2,97%) dan tampak sangat jelas
dalam citra pembanding Google Earth terlihat mengelompok
di sebelah timur wilayah sub-DAS CiHeuleut– CiLuar.

Gambar 4. Sebaran titik sampel

-215-
Metode Classification and Tree Method (CART) dan Geostatistik untuk Analisis Perubahan Tutupan Lahan di Sub DAS Rawan
Banjir CiHeuleut– CiLuar (Hernina, R.., dkk.)

Citra Landsat 8Path 122 Row 65


Tanggal 15 Agustus 2015
(Biru, Hijau, Merah, Near Infra Red, SWIR 1, SWIR 2, NDVI, NDBI)

NIR ≤ 19438 NIR > 19438


Padang
Rumput
Biru> 10078
Biru ≤ 10078
Perkotaan

NDVI > 0.345


NDVI ≤ 0.345
Kebun
Biru ≤ 9489
Badan Biru> 9489
Air
Biru ≤ 9822 Biru> 9822
Pertanian Tanah Kosong

Gambar 5. Diagram Alir Pemisahan Kelas Penggunaan Lahan Hasil Metode CART

Secara visual perubahan penggunaan lahan di Sub-DAS CiHeuleut- CiLuar tampak mengelompok di
bagian tengah, timur, utara dan selatan dari Sub- DAS (Lihat Gambar 5). Hal ini disebabkan masih adanya
lahan pertanian yang berpotensi berubah menjadi perkotaan, sedangkan di sebelah barat Sub-DAS cenderung
tidak terjadi perubahan penggunaan lahan dikarenakan merupakan permukiman teratur. Pesatnya
pertumbuhan perkotaan di daerah Sub-DAS tidak terlepas dari peranan Jalan Tol Jagorawi yang melintasi
wilayah ini dan juga adanya pembangunan jalan BORR (Bogor Outer Ring Road) yang semakin
melancarkan arus orang, barang, dan jasa sehingga diduga memerlukan permintaan yang besar akan
infrastruktur perkotaaan seperti perumahan.

A B C
Hilir
Hilir Hilir

Tengah Tetap
Tengah Tengah
Berubahke:
Badan Air
Badan Air Badan Air
Pertanian
Pertanian
Pertanian Tanah kosong
Tanah kosong
Tanah kosong Kebun
Kebun Hulu Kebun
Perkotaan Hulu Perkotaan
Hulu
Perkotaan Padang Rumput
Sungai Padang Rumput Sungai
Batas Sub-DAS Sungai Batas Sub-DAS
Batas Sub-DAS

Gambar 6. (A) Peta Penggunaan Lahan Sub DAS CiHeuleut- CiLuar tahun 1998 , (B) Peta Pengunaan Lahan Sub-
DAS CiHeuleut- CiLuar tahun 2015, (C)
Peta Perubahan Penggunaan Lahan 1998 -2015
Sumber : Pengolahan Data Peta Topografi 1998 dan Landsat 8 2015

-216-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Dari hasil accuracy assessment yang dilakukan (lihat Tabel 2), tampak bahwa kelas perkotaaan memiliki
user’s accuracy yang paling tinggi.Kelas badan air memiliki producer’s dan user’s accuracy yang paling
rendah dibandingkan dengan kelas lainnya hal ini disebabkan oleh sedikitnya jumlah titik sample referensi
badan air dikarenakan dalam artikel ini digunakan metode stratified random sampling dimana luas kelas
yang paling besar memiliki jumlah titik referensi yang besar pula. Berdasarkanoverall accuracy dan Kappa
Hatditemukan nilai sebesar 74,88 % dan 0.6288, hal ini diduga bahwa dalam melakukan sample training
area masih terdapat beberapa ketidaksempurnaan diantaranya terdapat pencampuran pixel antara tanah
kosong dan pertanian. Berdasarkan citra Google Earth biasanya tanah kosong terdapat bersebelahan dengan
lahan pertanian dan biasanya lahan kosong tersebut dalam persiapan menunggu musim tanam. Dalam
meneliti perubahan dinamis perubahan lahan di DAS Sungai Xiangxi, China menggunakan metode CART,
Cao, Li [5] menemui overall accuracy sebesar 75,5%.

Tabel 2. Confusion Matrix antara klas tutupan lahan dengan titik acuan referensi Google Earth

Titik Referensi di Google Earth Tanggal Citra 21 Juni 2015


Klas Pertanian Tanah Kebun Perkotaan Badan Padang Total User's
Tutupan Kosong Air Rumput Accuracy
Lahan
2015
Pertanian 20 - 7 7 2 - 36 55.56%
Tanah 2 14 7 10 - 1 34 41.18%
Kosong
Kebun 2 - 21 - - 1 24 87.50%
Perkotaan - 1 3 93 - - 97 95.88%
Badan Air 1 1 3 - 1 - 6 16.67%
Padang 2 - - 1 - 3 6 50.00%
Rumput
Total 27 16 41 111 3 5 203
Producer's 74.07% 87.50% 51.22% 83.78% 33.33% 60.00%
Accuracy
Overall Accuracy 74.88%
Kappa Hat 0.6288
Sumber: Pengolahan Data

Selama tahun 1998 – 2015, kelas pertanian mengalami penurunan yang signifikan yaitu sebesar 57,02 %
dari sebesar 858,46 hektar di tahun 1998 menjadi 368,96 hektar pada tahun 2015 (lihatGambar 6). Kelas
tanah kosong dan badan air mengalami kenaikan, hal ini dapat dijelaskan berdasarkan citra Google Earth
bahwa kelas tanah kosong biasanya dalam tahap persiapan menjadi perumahan dimana sedang terjadi tahap
pekerjaan cut and fill. Sedangkan kelas badan air, berdasarkanGoogle Earth bahwa di perumahan yang baru
biasanya terdapat fasilitas kolam renang dan diduga ini bisa menyebabkan perubahan yang pada awalnya
kelas perkotaan kemudian setelah beberapa tahun menjadi badan air.

Luas Tutupan Lahan di Sub-DAS Ciheuleut- Ciluar 1998- 2015 (dalam hektar)
1000 926,25 998,73
858,46
800
600
368,97 343,85
400 244,14
144,52 150,64 64,99 61,89
200
0,16 0,00
0
Pertanian Tanah Kosong Kebun Perkotaan Badan Air Padang Rumput
Tahun 1998 Tahun 2015

Gambar 7. Grafik Luas Tutupan Lahan 1998 -2015


Sumber : Pengolahan Data Peta Topografi 1998 dan Landsat 8 2015
-217-
Metode Classification and Tree Method (CART) dan Geostatistik untuk Analisis Perubahan Tutupan Lahan di Sub DAS Rawan
Banjir CiHeuleut– CiLuar (Hernina, R.., dkk.)

Dengan menggunakan metode spatial auto-correlation Morans I, diketahui bahwa pada tingkat
kepercayaan 95% pola distribusi perubahan penggunaan lahan di daerah tangapan hujan DAS CiHeuleut-
CiLuar mempunyai pola terklusterisasi.

4. KESIMPULAN
Selama tahun 1998 – 2015, kelas pertanian mengalami penurunan yang signifikan yaitu sebesar 57,02 %
atau 858,46 hektar pada tahun 1998 menjadi 368,96 hektar pada tahun 2015Sedangkan kelas perkotaan
mengalami peningkatan luas dari 926.25 Ha menjadi 998.73 Ha. Metode CART dapat mengklasifikasikan
enam kelas tutupan lahan untuk citra satelit beresolusi spasial medium dengan tingkat akurasi yang cukup
signifikan yaitu sebesar 74.8%. Hasil analisis pola perubahan tutupan lahan di daerah tangkapan hujan Kali
Ciheuleut- Ciluar mengindikasikan pola kluster.

DAFTAR PUSTAKA
Hotimah, O., Wirutomo, P., dan Alikodra, H.S., (2015). Conservation of world heritage botanical garden in an
environmentally friendly city. in The 5th Sustainable Future for Human Security.Science Direct.
B.P.S.K. Bogor(2015). Badan Pusat Statistik Kota Bogor: Bogor. p. 209.
Digital Elevation Mode (DEM) NASA SRTM 90m, NASA, Editor. 2001.
Kun, G., Wang, J., dan Wang, Y., (2015). Application of ZY-3 remote sensing image in the research of Huashan
experimental watershed, in RSHS14 and ICGRHWE14. IAHS Press: Guangzhou, China. p. 56.
Cao, X., et al., (2010). Dynamic Remote Sensing Monitoring of Land Use Change in Xiangxi River Watershed by
Decision Tree Method in 2010 18th International Conference on Geoinformatics. ieee.org: Beijing. p. 4.
Gao, J., (2009). Digital Analysis of Remotely Sensed Imagery. McGraw-Hill.
Fitzpatrick-Lins, K., (1981). Comparison of sampling procedures and data analysis for a land-use and land-cover map.
Photogramm Eng Remote Sensing, 47(3): p.7.

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskui presentasi ilmiah

BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2016

Moderator : Kustiyo
Judul Makalah : Metode Classification danTree Method (CART) dan Geostatistik untuk Analisis
Perubahan Tutupan Lahan di Sub DAS Rawan Banjir Ci Heuleut - Ci Luar
Pemakalah : Revi Hernina (UI)
Diskusi :

Pertanyaan: Dr. Bambang Trisakti (LAPAN)


Apa yang dimaksud building indeks? band apa saja yang digunakan, kenapa dipakai untuk building indeks?

Jawaban:
Building Indeks adalah Indeks bangunan, menggunakan band biru dan band merah. Menggunakan band
tersebut karena baik digunakan untuk pemukiman/ indeks bangunan.

Pertanyaan: Kustiyo (LAPAN):


Kenapa menggunakan data dari BIG dan data Landsat untuk membandingkannya?

Jawaban:
Untuk tahun 1998 tidak ada spesifik khusus untuk menggunakan data tersebut, sehingga menggunakan data
dari google earth (landsat).

-218-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Pola Spektral Berbagai Tipe Mudvolcano


Menggunakan Analytical Spectral Devices

Spectral Pattern of Several Types Mudvolcano


Using Analytical Spectral Devices
Tri Muji Susantoro1,2*), Alia Saskia P1, dan Ketut Wikantika1
1
Center of Remote Sensing, Institut Teknologi Bandung
2
Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS”
*)
E-mail: trimuji_s@yahoo.com

ABSTRAK - Pada kajian ini dilakukan percobaan di laboratorium untuk menganalisis spektral dari mudvolcano
menggunakan Analytical Spectral Devices (ASD). Beberapa tipe mudvolcano diukur pantulannya spektralnya. Hal ini
dilakukan untuk mengidentifikasi panjang gelombang yang paling peka terhadap berbagai tipe mudvolcano. Kondisi
mudvolcano yang dikaji meliputi; mudvolcano kering, sangat cair, cair, sangat pekat, mengandung minyak ringan dan
mengandung minyak berat. Analisis dilakukan dengan mengkaji pola spektralnya. Hasil analisis menunjukkan secara
umum pola spektral mudvolcano adalah rendah, kecuali untuk mudvolcano kering. Perbedaan pola pantulan secara
signifikan pada panjang gelombang 1318 nm dan 1389 nm. Pada panjang gelombang 1318 nm minyak ringan
mempunyai pantulan yang lebih tinggi tinggi dibandingkan dengan yang lainnya, sedangkan minyak berat mempunyai
pantulan yang sangat rendah. Adapun hasil pola pantulan tertinggi ke rendah pada panjang gelombang 1318 nm
meliputi minyak ringan, mudvolcano cair, mudvolcano sangat pekat, mudvolcano dengan minyak ringan, mudvolcano
dengan minyak berat, mudvolcano sangat cair dan minyak berat. Pola pantulan tersebut dapat digunakan untuk
membedakan tipe mudvolcano. Adapun untuk meningkatkan perbedaan tipe mudvolcano dengan membandingkan
panjang gelombang 1318 nm dengan 1389 nm.

Kata kunci: mudvolcano, pola spektral, panjang gelombang, minyak berat, minyak ringan, ASD

ABSTRACT-The study has been conducted by experimental research to analyze spectral patterns of mud volcanoes
using Analytical Spectral Devices (ASD). The spectral patterns of several types of mudvolcanoes were measured. The
objective of this research is identifying the sensitive wavelength from different types of mud volcanoes. Types of mud
volcanoes in this research include: dry mud volcanoes, very liquid mud volcanoes, liquid mud volcanoes, highly
concentrated mud volcanoes, mud volcanoes with light oil and heavy oil. Analysis was conducted by reviewing the
spectral patterns. The analysis showed all types of mud volcanoes has low spectral pattern, except dry mud volcanoes.
The differences of spectral patterns are clear at wavelength 1318 nm and 1389 nm. At wavelength 1318 nm, light oil
has a higher spectral pattern than others, while heavy oil has a very low spectral pattern. The results of spectral
patterns from highest to lowest spectral at wavelength 1318 include: light oil, liquid mud volcanoes, highly
concentrated mud volcanoes, mud volcanoes with light oil, mud volcanoes with heavy oil, very liquid mud volcanoes
and mud volcanoes with heavy oil. The spectral pattern at wavelength 1318 nm and 1389 nm can be used to distinguish
the type of mud volcanoes. For improving the different types of mudvolcanoes is by comparing the wavelength of 1318
nm to 1389 nm.

Keywords: mud volcano, spectral pattern, wavelength, heavy oil, light oil, ASD

1. PENDAHULUAN
Kondisi produksi migas terus menurun dari tahun ke tahun, dimana pada tahun 1995 mencapai 1,6 juta
barrels/day menjadi 0,8 juta barrels/day pada tahun 2014. Padahal konsumsi terus meningkat (Muin, 2014).
Disisi lain harga minyak dewasa ini turun menjadi sekitar U$D 40/Barrel (Bowler, 2015;
http://www.eia.gov/). Penurunan harga minyak sampai U$D 49 menjadi tekanan berat bagi penghasil minyak
di dunia (Baumeister dan Kilian, 2015). Hal ini mengakibatkan kegiatan eksplorasi tidak berjalan dengan
baik. Berdasarkan hal tersebut diperlukan alternatif teknologi yang murah untuk tetap mengoptimalkan
kegiatan eksplorasi.
Eksplorasi minyak dan gas bumi yang dimulai dengan pencarian fenomena pada permukaan bumi yang
menggambarkan lokasi sumberdaya migas. Pemetaan kondisi permukaan bumi diawali dengan pemetaan
umum (reconnaissance), dan apabila ada indikasi tersimpannya migas, dilakukan pemetaan detil. Teknologi
pengindraan jauh efektif untuk eksplorasi awal tersebut. Akuisisi dan pengolahan data pengindraan jauh

-219-
Pola Spektral Berbagai Tipe Mudvolcano Menggunakan Analytical Spectral Devices (Susantoro, T.M., dkk.)

untuk eksplorasi migas akan mengurangi resiko eksplorasi dan mengurangi biaya (Satellite Imaging
Corporation, 2016).
Salah satu fenomena permukaan yang menjadi indikasi adanya migas di bawah permukaan bumi adalah
rembesan. Data global adanya rembesan diperkirakan lebih dari 1150 rembesan dari 84 negara (Status
Agustus 2009). Ada tiga tipe rembesan berdasarkan jenisnya, yaitu rembesan gas, rembesan minyak dan
mudvolcano (Etiope, 2009). Namun demikian terkadang tipe-tipe rembesan tersebut berasosiasi satu dengan
yang lainnya, dimana pada mudvolcano terkadang terdapat minyak dan atau gas. Adapun detil data tipe-tipe
rembesan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Data Rembesan yang TerkaitdenganMigas di Dunia (Etiope, 2009)


Benua Negara Rembesan Rembesan Mudvolcano Total Rembesan Gas
Minyak Gas Rembesan danmudvolcano yang
dianalisis
Eropa 16 39 40 211 250 180
Asia 29 85 48 54 187 53
Afrika 14 35 5 0 40 2
N. Amerika 2 114 323 0 437 307
C.S. 19 82 6 30 118 16
Amerika
Aceania 4 45 15 28 88 38

Total 84 400 437 323 1160 596

Sedangkan berdasarkan kenampakannya di lapangan, rembesan dibedakan menjadi, yaitu macroseep,


microseep. Macroseep merupakan rembesan migas yang dapat dilihat langsung secara kasat mata
keberadaannya dipermukaan (Tedesco, 1995 dalam van der Meer dkk., 2002). Adanya macroseep
dipermukaan bisa dilihat dalam bentuk latung atau aspal seperti di Buton, kolam minyak ataupun gelembung
gas apabila berasosiasi dengan air atau mudvolcano. Microseep merupakan rembesan hidrokarbon yang
terjadi secara vertikal atau mendekati vertikal dari reservoar ke permukaan, tetapi tidak dapat dilihat
langsung secara kasat mata (van der Meer dkk., 2002). Mudvolcano merupakan fenomena seperti rembesan
migas yang terjadi dimana cairan yang kaya sedimen halus sebagai bagian dari unit batuan naik ke
permukaan oleh daya apung karena perbedaan tekanan dengan densitas yang besar antara massa berlumpur
dan tekanan dari beban sedimen diatasnya dengan kepadatan tinggi. Tekanan yang tinggi biasanya
memberikan efek dari produksi gas di dalamnya (terutama metana) (Albarello, dkk., 2012). Informasi
mudvolcano dapat digunakan untuk kajian kondisi bawah permukaan dan sebagai panduan tentang indikasi
adanya akumulasi migas di daerah yang belum dieksplorasi. Geokimia gas data dari mudvolcano dapat
dianalisis untuk kemungkinan adanya batuan induk dan tingkat kematangannya (Istadi dkk., 2012). Hal ini
juga dikuatkan oleh Tredgett (2009) adanya mudvolcano biasanya sering digunakan untuk mendeteksi
adanya rembesan minyak dan gas.
Susantoro dan Herru (2013) menerangkan rembesan migas merupakan faktor penting dalam eksplorasi.
Adanya rembesan menunjukkan bahwa daerah tersebut sudah terbukti terdapat migas. Rembesan tersebut
digunakan sebagai faktor skreening dan perankingan rencana eksplorasi migas. Link (1952) dalam Parry
(2015) menjelaskan pada awalnya sejarah eksplorasi migas di dunia berdasarkan adanya rembesan migas
dan banyak lapangan migas besar merupakan hasil pengeboran dari adanya rembesan. Fenomena yang
merupakan bukti adanya migas di bawah permukaan bumi dapat dideteksi dengan pendekatan rembesan dan
mudvolcano.
Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan kajian pola spektral berbagai tipe mudvolcano. Hal ini
diharapkan dalam kegiatan eksplorasi migas terutama di daerah yang frontier dapat diawali dengan pemetaan
mudvolcano. Dimana mudvolcan sebagai fenomena permukaan terbukti merupakan bagian penting dari
adanya migas di bawahnya. Kajian ini dilakukan dengan menggunakan spektrometer jenis Analytical
Spectral Devices (ASD). Adapun sampel mudvolcano berasal dari Attambua, Nusa Tenggara Timur

2. METODE
Kajian pola spektral berbagai tipe mudvolcano dilakukan dengan tiga tahap, yaitu pengambilan sampel
mudvolcano di daerah Attambua, Nusa Tenggara Timur, analisis pola spektral dengan Analytical Spectral
Devices (ASD) dan analisis model pola spektral berbagai tipe mud volcano. Adapun lokasi rembesan di
daerah Attambua dan Sekitarnya, Nusa Tenggara Timur (Gambar 1), sedangkan ASD yang digunakan dapat
dilihat pada Gambar 2.
-220-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Gambar 1.Lokasi Pengambilan Sampel Rembesan di Attambua dan Sekitarnya (PPPTMGB LEMIGAS, 2015).

Gambar 2. Analytical Spectral Devices (ASD) yang Digunakan untuk Pembuatan Pola Spektral

ASD yang digunakan dalam perekaman spektral berbagai tipe mudvolcano merupakan FieldSpec Pro
FR spectroradiometer dengan karakteristik (http://www.laboratorynetwork.com/doc/fieldspec-pro-fr-
portable-spectroradiometer-0001) :
- Kisaranspektral 350 – 2500 nm
- Interval sampling 1,4 nm pada 350 – 1000 nm dan 2 nm pada 1000-2500 nm
- Resolusispektral 3 nm @700 nm, 10 nm @ 1500 nm dan 10 nm @ 2100nm.
- Jumlahsaluran 1512 saluransebelumdilakukaninterpolasi.
- Resolusispektral: 3 nm @ 700 nm, 10 nm @ 1.500 nm, dan 10 nm @ 2.100 nm.
- Akurasipanjanggelombang ± 1 nm
- Waktu scan tiap 0,1detikuntukseluruhrentangspectral.

Mud volcano dari pengambilan sampel di Attambua dan sekitarnya yang dikaji meliputi mudvolcano
kering, sangat cair, cair, sangat pekat, mengandung minyak ringan dan mengandung minyak berat.
Pemisahan tipe mudvolcano ini dilakukan secara manual, dimana untuk mudvolcano kering diambil yang
-221-
Pola Spektral Berbagai Tipe Mudvolcano Menggunakan Analytical Spectral Devices (Susantoro, T.M., dkk.)

kandungan airnya sangat sedikit sehingga secara visual sudah berupa mudvolcano retakan. Pada mudvolcano
sangat cair diambil dititik semburan dengan konsentrasi air yang dominan, sedangkan mudvolcano cair
diambil pada daerah yang diperkirakan kandungan air dan mud diperkirakan relatif sama. Hal ini dapat
dilihat secara visual ketika didiamkan mengendap dengan ukuran air dan mud yang seimbang. Mudvolcano
diambil pada daerah dengan didominasi oleh mud sehingga ketika diendapkan jumlah mud lebih banyak ¾
bagian.
Pada percobaan ini khususnya untuk mudvolcano yang mengandung minyak dilakukan dengan
penambahan crude oil dengan dua jenis yang berbeda, yaitu minyak ringan (sweat oil) dan minyak berat
(heavy oil). Minyak ringan merupakan minyak yang dalam kondisi suhu lingkungan normal masih dalam
wujud cair. Minyak berat merupakan minyak yang dalam lingkungan normal menjadi latung (seperti aspal
padat), sehingga memerlukan pemanasan untuk menjadi cair kembali.
Perekaman pola spektral pada berbagai tipe Mudvolcano tersebut dilakukan dengan perulangan 3 kali.
Sebelum digunakan, ASD selalu dikalibrasi dengan obyek yang berwarna putih sehingga menghasilkan pola
spektral maksimal dan lurus, kemudian baru dilakukan perekaman pola spektral setiap tipe Mudvolcano.
Analisis dilakukan untuk mengkaji pola spektral yang dihasilkan pada masing-masing Mudvolcano sehingga
diharapkan dapat dimanfaatkan untuk memetakan tipe Mudvolcano. Adapun diagram alir kajian dapat dilihat
pada Gambar 3.

Gambar 3. Diagram Alir Kajian

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Berdasarkan hasil perekaman pola pantulan spektral berbagai tipe mudvolcano diperoleh bahwa secara
umum mempunyai pola pantulan spektral yang rendah untuk semua jenis mudvolcano, kecuali untuk
mudvolcano kering mempunyai pola pantulan spektral yang tinggi. Mudvolcano cair, mudvolcano sangat
pekat dan mudvolcano dengan dengan minyak ringan mempunyai pola spektral yang relatif sama bentuknya.
Demikian juga untuk mudvolcano yang sudah kering. Perbedaan dari masing-masing mudvolcano tersebut
pada tingkat pantulan spektralnya. Mudvolcano kering mempunya pantulan spektral yang paling tinggi,
kemudian mudvolcano cair, mudvolcano sangat pekat dan mudvolcano yang mengandung minyak ringan
(Gambar 4). Pada panjang gelombang 1318 nm keempat tipe mudvolcano tersebut meningkat dan pada
panjang gelombang 1389 nm cenderung menurun.
Scholte (2005) menerangkan informasi pola spektral merupakan pemahaman tentang interaksi antara
energi elektromagnetik dan permukaan yang diamati. Mineral lempung dan tanah lempung mempunyai sifat
fisik dan kimia yang unik dan secara spektral dapat didiagnosa dari panjang gelombang pendek inframerah
(SWIR). Penyerapan SWIR tergantung dari komposisi dan karakteristik ikatan atom yang terjadi pada

-222-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

mineral lempung atau tanah lempung. Dimana secara umum komposisinya terdiri dari alumunium,
magnesium dan atau oksida besi.

Gambar 4. Pola Pantulan Spektral Mudvolcano Kering, Mudvolcano Cair, Mudvolcano Sangat Pekat dan
Mudvolcano dengan Minyak Ringan.

Pola spektral pada mudvolcano kering berdasarkan data perpustakaan spektral (Clark, dkk., 2003)
merupakan mineral lempung jenis montmorillonite. Kusumadinata (1980) menjelaskan mudvolcano yang
keluar ke permukaan bumi dibentuk dari lempung atau lumpur. Istadi dkk. (2012) menjelaskan secara umum
mudvolcano berukuran fragmen lempung, cair dan terdapat gas. Hal ini ditegaskan penelitian Scholte (2005)
dimana mudvolcano secara umum kaya akan mineral lempung.
Adapun pada minyak ringan dan minyak berat pola pantulan kedua obyek tersebut sangat berbeda.
Minyak ringan mempunyai pola pantulan spektral cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan minyak berat.
Pada panjang gelombang 1318 nm minyak ringan mempunyai kecenderungan tinggi dan kemudian turun
pada panjang gelombang 1389 nm. Demikian juga untuk minyak berat, walaupun tidak sesignifikan pada
minyak ringan tetapi masih mempunyai pola pantulan yang sama (Gambar 5).

-223-
Pola Spektral Berbagai Tipe Mudvolcano Menggunakan Analytical Spectral Devices (Susantoro, T.M., dkk.)

Gambar 5. Pola pantulan spektral minyak berat dan minyak ringan

Secara umum pola spektral pada berbagai tipe mudvolcano mulai menunjukkan perbedaan pola pada
panjang gelombang 1100 nm. Dimana pada panjang gelombang tersebut spektral meningkat dan kemudian
turun pada panjang gelombang 1200 nm. Pada panjang gelombang 1318 nm berbagai tipe mudvolcano
cenderung naik, tetapi untuk minyak ringan turun seperti pola air jernih. Untuk minyak berat terdapat pola
relatif datar dan ada anomali pada panjang gelombang 1318 nm. Pada panjang gelombang 1389 nm spektral
berkurang, mana pada panjang gelombang tersebut cenderung diserap oleh berbagai tipe mudvolcano.
Kemudian pola spektral mengalami peningkatan kembali dengan tertinggi pada panjang gelombang 1576 nm
untuk minyak ringan, 1677 nm untuk mudvolcano cair dan sangat pekat, 1616 nm pada mudvolcano dengan
minyak ringan, 1597 nm pada minyak berat dan 1644 nm pada mudvolcano dengan minyak berat (Gambar
6).

Gambar 6. Anomali Perubahan Pola Spektral Berbagai Tipe Mudvolcano

Hasil kajian ini diharapkan dapat digunakan untuk mendukung eksplorasi migas terutama di daerah
frontier. Sebaran mudvolcano di Indonesia dijelaskan oleh Etiope (2009) meliputi kepulauan Sumatera,
Jawa, Timor dan Kepulauan Tanimbar dan Irian Jaya. Menurut Dimitrov (2002) ketinggian mudvolcano

-224-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

bervariasi antara 300-400 meter, bahkan ada yang lebih dari 500 meter. Bahkan di Utara Irian Jaya tutupan
mudvolcano mencapai lebih dari 100 m2

4. KESIMPULAN
Pola pantulan spektral Mudvolcano kering pada hasil analisis mempunyai spektral paling tinggi. Dimana
pola pantulan tersebut berdasarkan spectral libraries USGS mempunyai jenis mineral lempung
montmorillonite. adapun pola pantulan spektral untuk seluruh mudvolcano cair baik yang mengandung
minyak maupun murni mudvolcano mempunyai spektral yang rendah. Mudvolcano cair, mudvolcano sangat
pekat dan mudvolcano dengan dengan minyak ringan mempunyai pola spektral yang relatif sama bentuknya.
Perbedaan dari masing-masing mudvolcano tersebut pada tingkat pantulan spektralnya. Adapun pada minyak
ringan dan minyak berat pola pantulan kedua obyek tersebut sangat berbeda. Minyak ringan mempunyai pola
pantulan spektral cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan minyak berat. Secara umum pola spektral
pada berbagai tipe mudvolcano mulai menunjukkan perbedaan pola pada panjang gelombang 1100 nm.
Dimana pada panjang gelombang tersebut spektral meningkat dan kemudian turun pada panjang gelombang
1200 nm. Pada panjang gelombang 1318 nm berbagai tipe mudvolcano cenderung naik, tetapi untuk minyak
ringan turun seperti pola air jernih. Minyak berat terdapat pola relatif datar dan ada anomali pada panjang
gelombang 1318 nm. Pada panjang gelombang 1389 nm spektral berkurang, mana pada panjang gelombang
tersebut cenderung diserap oleh berbagai tipe mudvolcano. Kemudian pola spektral mengalami peningkatan
kembali dengan tertinggi pada panjang gelombang 1576 nm untuk minyak ringan, 1677 nm untuk
mudvolcano cair dan sangat pekat, 1616 nm pada mudvolcano dengan minyak ringan, 1597 nm pada
minyak berat dan 1644 nm pada mudvolcano dengan minyak berat. Berdasarkan hal tersebut potensi kajian
detil mudvolcano dapat dikaji dengan membandingkan panjang gelombang 1318 nm dengan 1389 nm.

5. UCAPAN TERIMAKASIH
Terima kasih kami ucapkan kepada TIM Eksplorasi Kawasan Timur Indonesia dan TIM Pemetaan
Rembesan Pulau Timur, Koordinator Program Penelitian dan Pengembangan Teknologi Eksplorasi, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bum “LEMIGAS” untuk kesempatannya
bergabung dan ikut survei di wilayah Attambua dan Sekitarnya. Terima kasih juga kami ucapkan kepada Lab
XRD, Pusat Survei Geologi, Badan Geologi, yaitu Bapak Isnu, Bapak Purwo dan Ibu Fitriani Agustin yang
telah memfasilitasi untuk mempergunakan spektrometer.

DAFTAR PUSTAKA
Albarello, D., Palo, M., dan Martinell, G., (2012). Monitoring methane emission of mud volcanoes by seismic tremor
measurements: a pilot study. Natural Hazards and Earth System Sciences
Baumeister, C., dan Kilian, L., (2015). Understanding the Decline in the Price of Oil Since June 2014. Diunduh tanggal
2 April 2016 dari http://ssrn.com.abstract=2557316.
Bowler, T., (2015). Falling Oil Prices: Who are the Winners and Losers?. World Geography 3202/00.
http://www.bbc.com/news/business-29643612. Diunduh tanggal 2 April 2016.
Clark, R.N., Swayze, G.A., Wise, R., Livo, K.E., Hoefen, T.M., Kokaly, R.F., dan Sutley, S.J., (2003). USGS Digital
Spectral Library. splib05a.
Dimitrov, L., (2002). Mud Volcanoes- The Most Important Pathway for Degassing Deeply Buried Sediment. Earth-
Science Review. 59: 49-76.
Etiope, G., (2009). A Global Dataset of Onshore and Oil Seeps: A New Tool for hydrocarbon Exploration. Oil and Gas
Business. http://www.Ogbus.ru/eng/. Diunduh Tanggal 17 Juni 2016.
Istadi, B.P., Handoko, T., Wibowo, Sunardi, E., Hadi, S., dan Sawolo, N., (2012). Mudvolcano and Its Evolution. Earth
Sciences. ISBN 978-953-307.861-8. Publisher In Tech Europe and China. Diunduh Tanggal 17 Juni 2016 dari
http://www.intechopen.com/books/earth-sciences/mud-volcano-and-its-evolution.
Muin, A., (2014). Ketahanan Energi Nasional. Tantangan bagi Pemerintahan Joko Widodo. Dialog Kebangsaan Arah
Kebijakan Ekonomi, Politik Pemerintahan, Jokowi. Jakarta.
Parry, C., (2015). Oil Seeps- The only Real Direct Hydrocabon Indicator.FORCE”Underexplored Plays. Stavanger.
PPPTMGB LEMIGAS. (2015). Studi Pemetaan Rembesan Minyak dan gas Bumi di Daerah Timor, Indonesia Timur.
Kelompok Sistem Hidrokrabon. KP3 Teknologi Eksplorasi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak
dan Gas Bumi. BadanLitbang ESDM. Kementerian ESDM. Jakarta.
Satellite Imaging Corporation, (2016). Satellite Images for Oil and Gas exploration. Manor Spring Court. Tomball.
USA. Diunduh tanggal 2 April 2016 dari http://www.satimagingcorp.com/applications/energy/exploration/oil-
exploration/.
Scholte, K., (2005). Hyperspectral Remote Sensing and Mud Volcanism in Azerbaijan. Dissertation. Departmen of
Geotechnology. Deflt University of Technology. Nederland.

-225-
Pola Spektral Berbagai Tipe Mudvolcano Menggunakan Analytical Spectral Devices (Susantoro, T.M., dkk.)

Susantoro, T.M., dan Herru, L.S. (2013). Metode Screening dan Ranking dalam Penentuan Lokasi Eksplorasi Migas
Kawasan Timur Indonesia. Majalah Mineral dan Energi. ISSN: 1693-4121. Badan Litbang Energi dan
Sumberdaya Mineral. Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral.
Tredgett, P. (2012). New Approach to Deepwater Frontier Exploration. Geo Expro. TGS-NOPEC. Geophyisical
Company (TGS).
Van der Meer., van Dijk, P., Werff, H.V.D., dan Yang Hong., (2002). Remote Sensing and Petroleum Seepage: a
Review and Case Study. Terra Nova, 14. Blackwell cience Ltd.
Data keteranganalat ASD jenisFieldSpec Pro FR spectroradiometer. Diunduh pada tanggal 17 Juni 2016 dari
http://www.laboratorynetwork.com/doc/fieldspec-pro-fr-portable-spectroradiometer-0001
Data Perkembangan harga minyak dunia Tahun 1999-2015. Diunduh tanggal 2 April 2016 dari http://www.eia.gov/
finance/markets/).

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah

BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016

Moderator : D. Heri Yuli Sulyantara


Judul Makalah : Pola Spektral Berbagai Tipe Mudvolcano Menggunakan Analytical Spectral Devices
Pemakalah : Tri Muji Susantoro (ITB)
Diskusi :

Pertanyaan: Dr. Bambang Trisakti (LAPAN)


Apakah memungkinkan Spektral di korelasi untuk melihat kondisi tersebut? Bagaiman jika dibuat pola dan
nilainya mungkin akan lebih rendah?

Jawaban :
Khusus untuk mudvolcano belum dicoba. Tetapi dari konsep yang ada dilakukan klasifikasi khususnya
spektral analisis, dimasukan sebagai library di ENVI dan akan menghasilkan langsung klasifikasinya.
Spektra langsung bisa ke objek tanpa gangguan. Disini mencoba menggunakan metode flash di ENVI, baru
sampai radiometrik dan hasilnya sangat bagus.

-226-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Hasil Awal Analisis Citra Berbasis Objek pada Data TerraSAR-X


Polarisasi Ganda dengan Menggunakan Algoritma Fuzzy
untuk Deteksi Fase Pertumbuhan Padi
Initial Results of Geographic Object Based Image Analysis (GEOBIA)
on Dual Polarization TerraSAR-X Data with Fuzzy Algorithm
for Rice Crop Stages Detection

Zylshal1*), Nurwita Mustika Sari1, Galdita Aruba Chulafak1,


Randy Prima Brahmantara2, dan Wolfgang Koppe3
1
Remote Sensing Application Center, Indonesian National Institute of Aeronautics and Space (LAPAN)
2
Remote Sensing Data and Technology Center, Indonesian National Institute of Aeronautics and Space (LAPAN)
3
Infoterra GmbH, Astrium Geo-Information Services, 88039 Friedrichshafen, Germany
*)
E-mail: Zylshal@lapan.go.id

ABSTRAK – Penelitian ini memberikan informasi awal hasil penggunaan metode GEOBIA dengan algoritma fuzzy
pada data polarisasi ganda (HH dan VV) TerraSAR-X untuk mengidentifikasi tahap-tahap pertumbuhan padi di
sebagian daerah Karawang, Jawa Barat. Dua jenis algoritma segmentasi yakni algoritma Multiresolution Segmentation
dan Spectral Difference Segmentation kemudian digunakan secara berurutan dalam melakukan segmentasi citra ke
dalam objek-objek primitif yang relatif homogen. Pengolahan data kemudian dilanjutkan ke dalam tahap klasifikasi
dengan menggunakan skema fuzzy classification. Penelitian ini terdiri dari dua level segmentasi dan klasifikasi. Level 1
berfungsi untuk memisahkan semua objek selain lahan sawah seperti tubuh air, semak belukar, permukiman, dan
pepohonan. Baru kemudian pada level 2, kelas lahan sawah diidentifikasi dan diklasifikasi menjadi 4 kelas yang lebih
detil, terkait dengan fase pertumbuhan padi (pengairan, pertumbuhan awal, vegetatif, dan generatif). Sebagai informasi
awal, performa algoritma klasifikasi fuzzy kemudian diuji dengan menggunakan informasi classification stability dan
best classification results. Hasil awal menunjukkan bahwa penggunaan data polarisasi ganda data TerraSAR-X
memberikan hasil yang cukup baik dalam mengidentifikasi fase pertumbuhan padi khususnya pada awal masa tanam.
Masih belum tersedianya data lapangan membuat informasi akurasi hasil klasifikasi masih belum bisa disajikan. Untuk
itu, analisis yang lebih lanjut dengan menyertakan informasi pengukuran lapangan dan data tambahan seperti peta lahan
baku sawah masih diperlukan untuk memberikan informasi yang lebih lengkap lagi.

Kata kunci: GEOBIA, TerraSAR-X, Fuzzy, Padi, Polarisasi Ganda

ABSTRACT -This study describes the initial results of GEOBIA method using fuzzy classification on single-date Dual
Polarization (HH and VV) TerraSAR-X data to detect different rice crop development stage from flooding to late
vegetative stage, in some part of Karawang, West Java, Indonesia. Multiresolution segmentation and spectral
difference segmentation were then performed respectively to segment the relatively homogenous feature into primitive
objects. It was then followed by a fuzzy classification scheme. At this stage, we created 2 levels of segmentation and
classification schemes. The first level was to separate all non-rice crop objects (i.e. waterbody, trees, and settlements).
The second level targeted specifically the rice-crop object of level 1. Afterwards the rice-crop of level 1 was classified
into four different classes which represented four different rice crop development stages (flooding, transplanting,
generative, and vegetative). As initial results, we then calculated the classification stability and its best classification
results as the indicator how well the classification method performed within the classification scheme we built. The
results indicated that the dual-pol information from TerraSAR-X information have a good performance on identifying
different stages of rice crop especially for the early stages. The lack of field data measurement makes the assessment of
mapping accuracy difficult. Thus, for more comprehensive results, further data analysis including field measurement
data as well as another ancillary data are still needed.

Keywords: GEOBIA, TerraSAR-X, Fuzzy, Rice Crop, Dual Polarization

-227-
Hasil Awal Analisis Citra Berbasis Objek pada Data TerraSAR-X Polarisasi Ganda dengan Menggunakan Algoritma Fuzzy untuk
Deteksi Fase Pertumbuhan Padi (Zylshal, dkk.)

1. INTRODUCTION
This paper described the initial results of GEOBIA method using fuzzy classification on single-date Dual
Polarization (HH and VV) TerraSAR-X data to detect different rice crop development stage, in some part of
Karawang, West Java, Indonesia. As the staple on some Asian countries, the study of the availability of rice
becomes a matter of urgency related in terms of food security.SAR data, in general have been proven to be
able to detect lowland rice system with its unique temporal signature of the backscatter coefficient (sigma
naught or σ0) (Nelson et al., 2014). A method using X-band HH SAR for monitoring rice crops area where
monitoring is based on the analysis of temporal SAR data is proven suitable for multiple
environments(Pazhanivelan et al., 2015).
X-band SAR sensor has been proven to have high correlation with stem fresh weight, biomass panicles,
and the amount of biomass. It also has high sensitivity for transplantation and will helps to create an accurate
growth and harvest prediction (Inoue, Sakaiya, and Wang, 2014). The use of dual-pol TerraSAR-X image for
rice crop monitoring has been done and proven to be successful by (Koppe et al., 2013; Lopez-Sanchez,
Ballester-Berman, and Hajnsek, 2011).The problem was, these researches are all conducted outside
Indonesia. Although the rain or heavy clouds would affect high frequency band SAR image data(Ka, Ku, or
X), the certainty of data acquisition at the desired timing and the stability of data quality are superior than the
optical sensors (Inoue et al., 2014).
The typical Indonesian rice-field with its small fragmented parcels considered well suited for the
GEOBIA with the ability to focus on objects or parcel using segmentation process, and incorporate
hierarchical features. On the parcel level, traditional pixel-based analysis of remotely sensed data results in
inaccurate identification of some crops due to pixel heterogeneity, mixed pixels, spectral similarity, and crop
pattern variability, since it is concentrate only on the properties of single pixels (Peña-Barragán, Ngugi,
Plant, and Six, 2011; Singha, Wu, and Zhang, 2016). The transplanting time for each of these parcels,
especially with the conventional type of rice-crop, usually have differences throughout the region. Therefore,
we proposed to use multilevel fuzzy classification algorithm as it provide a more flexible results as opposed
to the crisp classification algorithm, that hopefully able to give a better results. As of the time of this written,
a specific use of GEOBIA with fuzzy classification on TerraSAR-X Dual-polarization data has not been
done, especially in Karawang Region. Therefore, the aim of this paper is to attempt the use of GEOBIA on
Dual-polarization TerraSAR-X data with fuzzy algorithm for Rice Crop Stages Detection in Karawang
Region, West Java, Indonesia, and evaluate the result and its potential.

2. METHOD
2.1 Data
This study used two TerraSAR-X (TSX) data on StripMap mode with 6m spatial resolution, acquired on
27 March 2016.

-228-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

(a) (b)
Figure 1.TSX data, StripMap Mode, Descending, 27˚. Red colored rectangle indicated the Area of Interest (AOI),
(a) TerraSAR-X StripMap HH, (b) TerraSAR-X StripMap VV

2.2 Data Processing


These two data were HH and VV co-polarization with incident angle at 27˚. These data were processed as
follow.

Preprocessing
TerraSAR-X Level 1b complex data were converted to intensity (squared amplitude) since polarimetric
backscatter analysis was based on intensity values. In order to extract plot-level specific crop information,
the images should be registered to each other and to the existing GIS data with high accuracy. Because SAR
side-looking geometry causes geometric distortions when projecting slant range geometry on Earth a Digital
Elevation Model (DEM) together with satellite orbit information was used in the orthorectification process.
Due to high inherent slant range location accuracy up to 0.5 m (Eineder, Minet, Steigenberger, Cong, and
Fritz, 2011) no ground control points are needed for orthorectification. With orthorectification, a radiometric
calibration to sigma nought was also carried out using the following equation (Fritz and Eineder, 2010):

 0 ij dB   10 * Log 10 K * DN 2 ij sin  ij ………………………. (1)

where, DN is the pixel amplitude of the i, j pixel, K the calibration factor, and α the local incidence angle
of the i, j pixel. The equation was used to transform the amplitude of the backscattered signal (DN) into the
backscattering coefficient (σ0ij) in decibel. The calibration factor for TerraSAR-X images varies between 10-6
and 10-4 depending on the incidence angle and polarization. The radiometric calibration is a requirement for
multi-temporal analysis of different images. These data were then clipped with the AOI boundary shown in
Figure 1, and then imported into Trimble® eCognition 9.2. An additional arithmetic layer of “HH-VV” were
then created and exported as independent image layer, to be used as additional data to make an RGB
composite.

-229-
Hasil Awal Analisis Citra Berbasis Objek pada Data TerraSAR-X Polarisasi Ganda dengan Menggunakan Algoritma Fuzzy untuk
Deteksi Fase Pertumbuhan Padi (Zylshal, dkk.)

(a) (b)
Figure 2. Cropped TSX data based on AOI, (a) Additional TSX Arithmetic layers (HH-VV), (b) TerraSAR-X RGB
composite R: HH, G:VV, B:HH-VV

Segmentation
Multiresolution segmentation algorithm based on the Fractal Net Evolution Approach (Baatz and Schäpe,
2000) followed by Spectral difference Segmentation algorithm (Trimble, 2014) were conducted to the data,
in the form of multilevel hierarchy approach with two different levels (Figure 3). The level 2 consist of
bigger object size that level 1, and act as level 1’s super object.Level 1, as the sub-objects of level 2, inherit
the object parameters from level 2.

Figure 3.Multi-level hierarchical network of image objects used in this study

Classification
In this study, we conducted the classification stage using fuzzy logic. In fuzzy logic, the set membership
values can range between 0 and 1 (inclusively), as opposed to crisp classification. The degree of truth of a
statement can range between 0 and 1 and is not constrained to the two logical values ‘true’ (=1) and ‘false’
(=0) as in classical predicate logic(Hofmann, Blaschke, and Strobl, 2011). This procedure requests to define
the membership functions. These functions calculate many parameters based both backscatter values and on
the semantic relationships between the different objects and assign to each object a probabilistic value
variable between 0 and 1. The classification process requests to define a class hierarchy(Emmolo, Orlando,
and Villa, 2008). The hierarchy class contains the classification outline as shown in Figure 3. Table 1 and
Table 2 show the fuzzy membership function used on level 2 and level 1, respectively.
-230-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Tabel 1. Fuzzy membership function used for describing rice and non-rice field landcover
GLCM Homogeneity GLCM Homogeneity
Class Name HH VV
(HH) (VV)
Rice

Non-Rice

Water

Tabel 2. Fuzzy membership function used for detecting rice growth stage
Class Name HH VV HH-VV

Stage1

Stage2

Stage3

- -

-231-
Hasil Awal Analisis Citra Berbasis Objek pada Data TerraSAR-X Polarisasi Ganda dengan Menggunakan Algoritma Fuzzy untuk
Deteksi Fase Pertumbuhan Padi (Zylshal, dkk.)

TS-X SM TS-X SM
27-3-2016 HH 27-3-2016 VV

Sigma Naught
Calibration

Radar Speckle
Suppression
Gamma map filter

AOI Subset

Dual-pol Variables
calculation

Multiresolution
Segmentation

Spectral Difference
Segmentation

Fuzzy logic
classification

Evaluation

Map (0327)

Figure 4. Data Processing Flowchart

-232-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

2.3 Evaluation
In this preliminary result, we deployed two evaluation techniques for the classified fuzzy classes. These
evaluation techniques were ‘classification stability’ and ‘best classification result’. ‘Classification stability’
evaluates the differences in degrees of membership between the best classification result and the second best
classification result for each object. The difference were then calculated as a percentage (Trimble, 2014). The
small value indicated an ambiguous the classification. ‘Best classification result’ on the other hand assesses
how high is the memberships of belonging to a class. This information indicates how good the objects of a
class satisfy the class description(Gercek, 2010).

3. RESULTS AND DISCUSSION


In total, there are 52536 primitive object generated by the first segmentation process using multiresolution
segmentation algorithm (Figure 5a). The result was deemed over-segmented in most of the areas. Further
visual evaluation then showed that the over-segmented objects are able to represent its boundary quite well.
The second segmentation process were then deployed and generated as the upper object level (super-object).
With this step, the primitive object number was reduced to 7625. By merging the similar adjacent object to
each other, we managed to get a more representative object boundary as shown in figure 5b. The complete
segmentation parameters used is shown in Table 3.

Tabel 3. Segmentation parameters


Level Segmentation Algorithm Layer Input (weight) Scale Shape Compactness
1 Multiresolution Segmentation HH (3), VV (4), HH-VV(4),
20 0.2 0.4
HH/VV(2)
Level Segmentation Algorithm Layer Input Maximum Spectral Difference
2 Spectral Difference Segmentation HH (3), VV (4), HH-VV(4),
1
HH/VV(2)

(a) (b)
Figure 5. The segmentation results, (a) Multiresolution segmentation algorithm, (b) Spectral Difference Segmentation
Using the membership function in Table 1 and Table 2, we managed to create 6 different classes. These classes were
put in a hierarchical manner as shown in Figure 6. Figure 7 shows the classification results.

-233-
Hasil Awal Analisis Citra Berbasis Objek pada Data TerraSAR-X Polarisasi Ganda dengan Menggunakan Algoritma Fuzzy untuk
Deteksi Fase Pertumbuhan Padi (Zylshal, dkk.)

Figure 6.Class hierarchy

Figure 7. Classification Result

There are 6 classes in total what we were able to detect and extract. These classes were generally
categorized into two type of classes. The first category was “water”, “rice”, and “Non-rice”, and acted as the
first step in differentiating rice-crop field in the area. The second category was, “stage1”, “stage2”, and
“stage3”. These classes fell specifically within the previous “rice” type, and therefore inherit all the object
parameters from “rice” classes. We then evaluate these results by calculating the classification stability as
well as the best classification result, as shown in Table 4.

-234-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

(a) (b)
Figure 8. Fuzzy Classification evaluation, (a) classification stability, (b) best classification result

Tabel 4. Classification Stability and best classification results for 6 classes


Classification Stability Best Classification Result
Class Mean StdDev Mean StdDev
Non-Rice 0.965529 0.134379 0.977146 0.089525
Water 0.840469 0.243987 0.840582 0.243818
Rice 0.607211 0.343288 0.838063 0.215461
Stage1 0.817832 0.281182 0.858219 0.234899
Stage2 0.714482 0.29157 0.714482 0.29157
Stage3 0.799886 0.329082 0.921799 0.192117

-235-
Hasil Awal Analisis Citra Berbasis Objek pada Data TerraSAR-X Polarisasi Ganda dengan Menggunakan Algoritma Fuzzy untuk
Deteksi Fase Pertumbuhan Padi (Zylshal, dkk.)

Classification Stability Best Classification Result


1 1
0,9 0,9
0,8 0,8
0,7 0,7
0,6 0,6
0,5 0,5
0,4 0,4
0,3 0,3
0,2 0,2
0,1 0,1
0 0
Non-Rice Water Rice Stage1 Stage2 Stage3 Non-Rice Water Rice Stage1 Stage2 Stage3

Mean StdDev Mean StdDev

(a) (b)

Figure 9.Classification Stability and best classification results for 6 classes

The evaluation of stability and efficiency showed that, the “non-rice” class pose a better results compared
to the other classes, which means that this class was better separable from the similar classes given their class
definition. With almost all classes were on above 0.7 on classification stability, it’s safely to say that for this
particular purpose, the proposed method worked well in detect and separating different stages of rice crop
growth. The lowest score on “rice” class, was an exception. Further investigation on this classes, were
revealed that the proposed method seems unable to differentiate the “non-rice” feature that has similar leaf-
structure as the paddy-rice, such as grass and shrubs. As an initial results, this was our first guess. As for
detecting different rice growth stages, the proposed method were able to perform well, since the X-band and
different growth stages of rice generate a distinctive backscattering signature that can be easily
separated from other land use classes. This finding was also reported by (Koppe et al., 2013).
As for the exact stages these detected features further analysis as well as comprehensive field
measurement are still needed, especially for the specific region of Karawang. Following the σ0value on other
region explained by (Koppe et al., 2013; Kucuk, Taskin, and Erten, 2016; Nelson et al., 2014; Pazhanivelan
et al., 2015), we can roughly estimates the actual stages of our initial results. “Stage1” correspond to the
transplanting, “stage2” correspond to vegetative, and “stage3” correspond to the generative stage.The use of
multitemporal X-band SAR data, might also increase the change of better differentiating the rice-crop and
non-rice-crop landuse, since the rice phenology has its own specific characteristic throughout the year, as
well as identifying specifically which stages it was on the classified objects that we analyzed. The use of
multitemporal SAR data, has been proved useful to get more detailed on rice phenology information, as
reported by (Koppe et al., 2013; Kucuk et al., 2016; Nelson et al., 2014; Pazhanivelan et al., 2015).The
further aim is to use a more complete multitemporal data for a year timeframe, to see the effect of seasonal
dynamic of the crop.

4. CONCLUSION
This initial result showed that, the use of single date dual-polarization TerraSAR-X data combined with
fuzzy classification using GEOBIA can be used as an indicator on detecting different stages of rice crop.
However, forcing to only use a single date data, has its own limitation, such as identifying the exact growth
stage of the rice crop. The use of TerraSAR-X StripMap data with it 2.5 meter spatial resolution, can give a
better understanding on the rice phenology especially on the parcel level. Therefore, the dual-polarization
TerraSAR-X data can be used as an alternative option on rice crop monitoring, given that we use several
multitemporal dual-polarization data. The next step would be to conduct the analysis using multitemporal
data, as well as, conducting a through field measurement that spanned for a year, to specifically identified
theσ0 characteristic in Karawang region, and to test the proposed method on different area in Indonesia.

-236-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

5. ACKNOWLEDMENT
TerraSAR-X data were provided by AIRBUS Defence and Space. Trimble® eCognition 9.2 was provided
by Trimble. The authors also would like to thank LAPAN Remote Sensing Technology and Data Center as
well as LAPAN Remote Sensing Application Center for the technical support.

REFERENCES
Baatz,M., andSchäpe,A., (2000). Multiresolution Segmentation : an optimization approach for high quality multi-scale
image segmentation. Journal of Photogrammetry and Remote Sensing, 58(3–4):12–23.
Eineder,M., Minet,C., Steigenberger,P., Cong,X., and Fritz,T., (2011). Imaging Geodesy-Toward Centimeter-Level
Ranging Accuracy With TerraSAR-X. IEEE Transactions on Geoscience and Remote Sensing, 49(2):661–671.
article. http://doi.org/10.1109/TGRS.2010.2060264
Emmolo, D., Orlando,P., and Villa,B., (2008). Evaluation of Capabilities of Fuzzy Logic Classification of Different
Kind of Data. The International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences,
XXXVII(B7):685–690.
Fritz,T., and Eineder,M., (2010). TerraSAR-X Basic Product Specification Document. TerraSAR-X Ground Segment.
Gercek, D. (2010). Object-Based Classification of Landforms Based on Their Local Geometry and Geomorphometric
Context. Middle East Technical Univeristy.
Hofmann,P., Blaschke,T., andStrobl,J., (2011). Quantify the robustness of fuzzy rule sets in object based image
analysis. International Journal of Remote Sensing, 32(22):7359–
7381.http://doi.org/10.1080/01431161.2010.523727.
Inoue,Y., Sakaiya,E., andWang,C.,(2014). Potential of X-band images from high-resolution satellite SAR sensors to
assess growth and yield in paddy rice. Remote Sensing, 6(7):5995–6019. http://doi.org/10.3390/rs6075995
Koppe,W., Gnyp,M.L., Hütt,C., Yao,Y., Miao,Y., Chen,X., andBareth,G., (2013). Rice monitoring with multi-temporal
and dual-polarimetric TerraSAR-X data. International Journal of Applied Earth Observations and Geoinformation,
21, 568–576. http://doi.org/10.1016/j.jag.2012.07.016
Kucuk,C., Taskin,G., andErten,E., (2016). Paddy-Rice Phenology Classification Based on Machine-Learning Methods
Using Multitemporal Co-Polar X-Band SAR Images. IEEE Journal of Selected Topics in Applied Earth
Observations and Remote Sensing, (January), 1–11. http://doi.org/10.1109/JSTARS.2016.2547843
Lopez-Sanchez,J.M., Ballester-Berman,J.D., andHajnsek,I., (2011). First results of rice monitoring practices in Spain by
means of time series of TerraSAR-X dual-pol images. IEEE Journal of Selected Topics in Applied Earth
Observations and Remote Sensing, 4(2):412–422. http://doi.org/10.1109/JSTARS.2010.2047634
Nelson,A., Setiyono,T., Rala,A.B., Quicho,E.D., Raviz,J.V., Abonete,P.J., …, andNinh,N.H., (2014). Towards an
operational SAR-based rice monitoring system in Asia: Examples from 13 demonstration sites across Asia in the
RIICE project. Remote Sensing, 6(11):10773–10812. http://doi.org/10.3390/rs61110773
Pazhanivelan,S., Kannan,P., Christy, N.M.P., Subramanian,E., Jeyaraman,S., Nelson,A., … andYadav,M., (2015). Rice
crop monitoring and yield estimation through COSMO Skymed and TerraSAR-X: A SAR-based experience in
India. International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences - ISPRS
Archives, 40(7W3):85–92. http://doi.org/10.5194/isprsarchives-XL-7-W3-85-2015
Peña-Barragán,J.M., Ngugi,M.K., Plant,R.E., andSix,J., (2011). Object-based crop identification using multiple
vegetation indices, textural features and crop phenology. Remote Sensing of Environment, 115(6):1301–1316.
http://doi.org/10.1016/j.rse.2011.01.009
Singha,M., Wu,B., andZhang,M., (2016). An Object-Based Paddy Rice Classification Using Multi-Spectral Data and
Crop Phenology in Assam, Northeast India. Remote Sensing, 8(6):479. http://doi.org/10.3390/rs8060479
Trimble. (2014). eCognition ® Developer Reference Book. Trimble. Germany.
________________________________________________________________________________
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah

BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2016

Moderator : Dedi Irawadi


Judul Makalah : Hasil Awal Analisis Citra Berbasis Objek pada Data TerraSAR-X Polarisasi Ganda (Dual
Polarization) dengan Menggunakan Algoritma Fuzzy untuk Identifikasi Fase Pertumbuhan
Padi
Pemakalah : Zylshal (LAPAN)
Diskusi :

-237-
Hasil Awal Analisis Citra Berbasis Objek pada Data TerraSAR-X Polarisasi Ganda dengan Menggunakan Algoritma Fuzzy untuk
Deteksi Fase Pertumbuhan Padi (Zylshal, dkk.)
Pertanyaan: Kadarsah (BMKG)
1. Apa manfaat langsung yang dirasakan petani dari teknologi ini.

Jawaban:
TerraSARX dapat menghasilkan resolusi yang detail sehingga dapat menjadi masukan dalam pengambilan
keputusan.

Pertanyaan: Laode (Univ. Haluoleo)


2. Kenapa tidak menggunakan citra ALOS dan bagaimana validasinya?

Jawaban:
Penggunaan X-band pada TerraSAR-X untuk identifikasi padi adalah hal baru, dan sudah terbukti bisa
digunakan untuk identifikasi padi, khususnya di awal-awal pertumbuhan.Data ini dianggap paling sesuai
dengan pendekatan yang dibangun pada makalah ini, dibandingkan dengan data ALOS-2 PALSAR yang
menggunakan gelombang L. Validasi yang dilakukan untuk membedakan padi dan non padi.

Saran: Dr. Dede Dirgahayu (LAPAN)


Kenapa menggunakan data TerraSAR-X harus diberi alasannya. Penggunaan single date sangat susah untuk
melihat perubahan fase sehingga perlu adanya penggantian judul menjadi identifikasi padi dan non padi saja,
tidak sampai pada fase pertumbuhan.

Jawaban:
Penggunaan data single date TerraSAR-X memang memiliki kekurangan dalam hal keterbatasan informasi
temporal ketika harus melakukan studi terkait rice phenology. Untuk itu, penulis telah menyesuaikan judul
redaksi makalah dari “identifikasi” ke “deteksi” fase pertumbuhan padi.

-238-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh – 2016

Analisis Pengaruh Deformasi Muka Tanah terhadap Pembangunan di


Daerah Pesisir dengan Teknik Differential Interferometric Synthetic
Aperture Radar (DInSAR) (Studi Kasus: Pesisir Bangkalan, Madura)

Analysis Influence of Deformation toward Development in Coastal Areas


with Differential Interferometric Synthetic Aperture Radar (DInSAR)
Technique (Case Study: Coastal Area Bangkalan, Madura)
Muhammad Irsyadi Firdaus1*), Joko Purnomo1, Awalina Lukmana C. R.1,
dan Mokhamad Nur Cahyadi1
1
Jurusan Teknik Geomatika, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)
*)
E-mail: irsyadifirdaus@gmail.com

ABSTRAK - Deformasi muka tanah merupakan perubahan posisi pada muka tanah baik perubahan ke atas maupun
perubahan ke bawah dari posisi awalnya. Perubahan muka tanah merupakan hal yang serius terutama apabila terjadi di
daerah pesisir pantai. Kondisi tersebut terjadi karena daerah pesisir sangat rentan terhadap pengaruh lingkungan, baik
yang berasal dari daratan maupun dari lautan. Akibat dari peristiwa tersebut tentunya akan mengancam terhadap
keberadaan pembangunan di sekitar pesisir. Oleh karena itu, perlu pemantauan deformasi tanah di daerah pesisir laut.
Pemantauan besar deformasi tanah dengan menggunakan data ALOS PALSAR metode Differential InSAR (DInSAR)
(Studi Kasus: Pesisir Bangkalan, Madura). Akuisisi data ALOS PALSAR (Level 1.0) tersebut pada tahun 2009, 2010 dan
2011. Hasil processing menunjukkan terjadi deformasi sebesar 0.1 cm sampai dengan 0.9 cm. Meskipun demikian hasil
pengolahan masih menunjukkan error displacement dikarenakan noise, distorsi geometrik dari sinyal radar dan panjang
baseline pada pasangan citra. Penurunan yang terjadi dengan rate 0.1 cm sampai dengan 0.9 cm dikategorikan relatif
aman untuk pengembangan pembangunan di wilayah tersebut. Penelitian ini akan berguna dalam keberlanjutan
perencanaan pembangunan infrastruktur di daerah pesisir Bangkalan.

Kata kunci: Satelit ALOS PALSAR, Deformasi, Differential Interferometric Synthetic Aperture Radar (DInSAR).

ABSTRACT - Ground surface deformation is a change in position of earth’s surface, change up or down from the first
position. Changes in ground level are a serious matter, especially when occurs in coastal areas because coastal areas are
particularly vulnerable to get pressure from the environment, both from land and from sea. As a result, deformation in
coastal area will certainly threaten existence of development in the coastal area. In this case, research on deformation is
expensive and takes a long time when used conventional methods. Main purpose of this research is to give alternative
solution for this problem. This research discusses the use of radar technology as an alternative solution in mapping and
determining deformation with effective, inexpensive because it can be done with ALOS PALSAR imagery analyzes using
Differential InSAR (DInSAR) Technique. Output of this research is map of deformation rate in coastal areas, Bangkalan
and will be compared with the rate of deformation in the past three years between the period 2009, 2010, 2011. Processing
result indicated deformation occurs in coastal areas, Bangkalan in rate 0.1 cm/year until 0.9 cm/year.
Additionally, Long baseline, geometric distortion and noise of imagery pair make the result contain error displacement
also. This study will be useful in sustainability planning infrastructure development in coastal areas, Bangkalan.

Keywords: ALOS PALSAR Satellite, Deformation, Differential Interferometric Synthetic Aperture Radar (DInSAR).

1. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang memiliki ribuan daerah pesisir. Daerah pesisir
merupakan daerah pembatas antara daratan dengan lautan. Wilayah pesisir memiliki kondisi strategis dari
sebuah tempat. Namun demikian, daerah tersebut juga memiliki kelemahan. Salah satu kekurangannya
adalah deformasi muka tanah.Deformasi muka tanah (DMT) merupakan permasalahan yang umumterjadi di
kota – kotabesar. Permukaan tanah pada daerah yang mengalami deformasi akan terjadi penurunan atau
kenaikan muka tanah yang dapat berlangsung dalam kurun waktu yang relatif lama. Adanya deformasi muka
tanah akan mengancam terhadap pembangunan di daerah pesisir.
DInSAR adalah teknologi pencitraan radar kesamping dengan memanfaatkan informasi fase, amplitudo
danpanjang gelombang dalam pengolahannya untuk mendapatkan topografi dan deformasi. Metode yang
-239-
Analisis Pengaruh Deformasi Muka Tanah terhadap Pembangunan di Daerah Pesisir dengan Teknik Differential Interferometric
Synthetic Aperture Radar (DInSAR) (Studi Kasus: Pesisir Bangkalan, Madura) (Firdaus, M.I., dkk.)

digunakan adalah twopass interferometric dengan menggunakan 3-arsec (90 m) Shuttle Radar Topography
Mission (SRTM) sebagai Digital Elevation Model (DEM) referensi untuk menghapus unsur fase topografi.
(Saputro dkk, 2012).
Untuk mendeteksi deformasi, interferogram harus dibentuk dari dua citra SAR yang meliput area
pada suatu wilayah yang sama dengan waktu yang berbeda. InSAR memberikan informasi dalam arah Line of
Sight (LOS). Setelah data phase di unwrap dengan metode DInSAR nilai deformasi dapat diketahui. Untuk
mengetahui pergerakan tanah dari waktu ke waktu dengan menggunakan Phase Displacement.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan citra ALOS PALSAR (Level 1.0) dengan akuisisi tahun
2009, 2010, 2011 untuk mengetahui besar deformasi di daerah pesisir bangkalan akibat tekanan lingkungan,
baik yang berasal dari daratan maupun lautan. Pengolahan DInSAR ini menggunakan software pengolahan
citra radar.

2. METODE
2.1 Data dan Lokasi Penelitian
Data utama yang digunakan adalah citra ALOS PALSAR Level 1.0 dengan polarisasi Fine-Beam Single
Polarization (FBD). Data DEM SRTM3 digunakan sebagai model elevasi dan bersama dengan citra hasil
interferogram untuk melakukan proses DInSAR.

Tabel 1 Data yang Digunakan


No. Nama Citra Perekaman Frame Arah
1 ALPSRP264397040 10 Januari 2011 7040 Ascending
2 ALPSRP210717040 7 Januari 2010 7040 Ascending
3 ALPSRP163747040 19 Februari 2009 7040 Ascending

Bangkala

Surabaya

Gambar 1. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini di daerah Pesisir Kabupaten Bangkalan – Provinsi Jawa Timur. Lokasi ini dipilih
karena Pesisir Bangkalan terbentuk dari endapan alluvial yang terdiri dari materialberukuran lempung dan
pasirsehingga masihmemungkinkan tahapan pemadatan dan berpengaruh dengan deformasi muka tanah.

2.2 Tahap Pemrosesan Data


Tahapan pengolahan data dapat dibedakan menjadi dua jenis pengolahan, antara lain :

2.2.1 Pra Pengolahan (Pre-Processing).


2.2.1.1 Data SAR
Pada tahapan ini dilakukan proses pemilihan data SAR dari Satelit yaitu ALOS PALSAR. Pemilihan data
dilakukan untuk mendapatkan topografi dan deformasi area tersebut.
2.2.1.2 SAR Processing
SAR Processing dilakukan untuk membuat raw data citra dari signal data atau data sinyal yang biasa
disebut dengan level 1.

2.2.2 Pengolahan (Processing).


Pada tahap ini dilakukan beberapa proses antara lain :
a. Data Format SLC.
-240-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh – 2016

Setelah dilakukan SAR Processing, maka tahap selanjutnya yaitu pemberian karakteristik respon pantulan
yang diterima dari target di permukaan bumi. Output dari proses ini berupa citra kompleks yang disebut
dengan Single Look Complex image (SLC) dimana proses ini menggunakan data raw hasil dari tahapan
sebelumnya.

b. Interferometry SAR Processing.


Tahapan ini pada intinya adalah membentuk citra interferogram dari sepasang data SLC. Sepasang data SLC
ini adalah dua buah data yang diambil pada daerah yang sama, namun posisi satelit yang berbeda. Sebuah
citra interferogram yang baik dapat dibentuk dari dua buah citra SLC yang memiliki karakteristik yang sama
dan memiliki panjang baseline yang tidak terlalu jauh. Citra SLC dilakukan beberapa proses pengolahan citra
antara lain registrasi citra dan formasi interferogram untuk menggambarkan topografi yang memiliki unsur
deformasi, noise dan atmosfer.

c. Multilook
Prosesor sinyal SAR dapat menggunakan sintetis aperture secara penuh dan penyimpanan lengkap data
sinyal untuk menghasilkan resolusi tinggi meskipun sangat berbintikbintik pada produk Single Look
Complex (SLC) citra SAR. Multiple looks mungkin dihasilkan pada proses multilook oleh rentang rata-rata
dan / atau resolusi sel azimut.

d. Corregistration
Gambar co-registration merupakan dasar untuk Interferometri SAR (InSAR) pencitraan dan aplikasi, seperti
generasi DEM peta dan analisis. Untuk mendapatkan kualitas gambar InSAR tinggi, gambar yang kompleks

individual harus menjadi co-terdaftar untuk akurasisub-pixel.


e. Interferometry SAR Processing.
Tahapan ini pada intinya adalah membentuk citra interferogram dari sepasang data SLC. Sepasang data SLC
ini adalah dua buah data yang diambil pada daerah yang sama, namun posisi satelit yang berbeda. Sebuah
citra interferogram yang baik dapat dibentuk dari dua buah citra SLC yang memiliki karakteristik yang sama

dan memiliki panjang baseline yang tidak terlalu jauh.


f. Interferogram.
Setelah dilakukan Interferometry SAR Processing, maka didapat citra interferogram yang masih dipengaruhi
oleh efek kelengkungan bumi, efek orbit satelit, efek topografi, efek noise dan efek deformasi.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Untuk merubah data PALSAR Level 1.0 (RAW) ke dalam data Level 1.0 (SLC) digunakan program
pengolahan citra radar. Proses ini yaitu merekonstruksi citra SAR sehingga menjadi tipe data Single Look
Complex (SLC) yang kemudian nantinya akan digunakan untuk proses interferometri.

3.1 Pembuatan Citra Format Single Look Complex (SLC)


Data yang digunakan adalah data ALOS PALSAR dengan format raw data. Data ini kemudian dilakukan
pengolahan yang telah dijelaskan pada metodologi sehingga didapatkan citra dengan format SLC. Dari
masing-masing data mentah, dibentuk Single Look Complex yang merupakan matrix complex hamburan,
data fase dan amplitudonya masih dalam satu file. Gambar dan Gambar memperlihatkan hasil pengolahan
dari masing-masing citra.

3.2 Pengolahan InSAR


Pada tahap selanjutnya yaitu pengolahan data citra ALOS PALSAR level 1.0 yang diambil pada tanggal 19
Februari 2009, 7 Januari 2010 dan 10 Januari 2011. Pengolahan ini menggunakan perangkat lunak
pengolahan citra radar.

3.3 DEM Kabupaten Bangkalan


DEM yang digunakan dalam penelitian ini adalah DEM dari SRTM3. DEM SRTM3 memiliki ketelitian
horizontal 0,00083° sebanding dengan ~90 m dan ketelitian vertikal tidak melebihi 16 m. DEM ini diunduh
dari software ENVI langsung dengan memasukkan citra yang akan menjadi referensi. Kegunaan DEM
SRTM3 adalah untuk mengurangi phase topografi yang terdapat pada phase interferogram untuk
mendapatkan phase deformasi (Hanssen, 2001).

-241-
Analisis Pengaruh Deformasi Muka Tanah terhadap Pembangunan di Daerah Pesisir dengan Teknik Differential Interferometric
Synthetic Aperture Radar (DInSAR) (Studi Kasus: Pesisir Bangkalan, Madura) (Firdaus, M.I., dkk.)

Gambar 2. DEM Kabupaten Bangkalan

3.4 Proses Interferogram Phase


Citra SLC terbentuk menjadi interferogram phase dan amplitude dengan tahapan mencari area tampalan
(offset), registrasi, dan komputasi. Hasil Interferogram phase dapat dilihat pada Gambar 4 adalah
interferogram yang telah dikurangkan dengan efek topografi yang berupa citra phase dan amplitude dalam
sistem koordinat radar.

Gambar 3 Hasil Interferogram Phase (dari Kiri Tahun 2009-2010, 2010-2011, dan Tahun 2009-2011)

3.5 Proses Koherensi Citra SAR


Objek water bodies di sekeliling pesisir Bangkalan akan menunjukkan warna putih keabu abuan dengan nilai
koherensi lebih kecil dari 0,1 sampai mendekati 0. Hal ini disebabkan karena water bodies bergerak terus
menerus secara konstan. Pada daratan memiliki koherensi antara 0,2 – 0,4. Rendahnya koherensi ini karena
sebagian besar area studi kasus memiliki kerapatan vegetasi yang tinggi. Kerapatan vegetasi ini akan
mempengaruhi nilai koherensi citra karena pergerakan dan perubahan vegetasi akan berpengaruh pada
pantulan backscatter-nya. Hasil citra koherensi pesisir bangkalan rendah juga disebabkan oleh panjang
baseline antar dua pengamatan yang besar. Apabila citra koherensi memiliki tingkat koherensi yang tinggi,
maka scalebar pada Gambar 5, 6, 7 di atas akan menuju warna gelap.

Gambar 4 Hasil Koherensi Citra SAR (dari kiri tahun 2009-2010, 2010-2011, dan tahun 2009-2011)
3.6 Proses Interferogram Setelah Filtering
Hasil interferogram yang sudah difiltering menunjukkan adanya noise yang relatif berkurang pada area yang
-242-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh – 2016

sebelumnya masih memiliki tingkat koherensi tinggi. Dapat dilihat pada Gambar 8, 9, 10 grafik phase hasil
interferogram sesudah filtering. Interferogram setelah filtering menunjukkan peningkatan ketajaman area
yang masih memiliki koherensi yang tinggi.

Gambar 5 Hasil Interferogram Setelah Filtering (dari Kiri Tahun 2009-2010, 2010-2011, dan Tahun 2009-2011

3.7 Proses Unwraping


Setelah interferogram di unwrap pola deformasi area sudah dapat diketahui meski masih dalam satuan phase.

Gambar 6. Hasil Proses Unwraping (dari kiri tahun 2009-2010, 2010-2011, dan tahun 2009-2011)

3.8 Proses Interferogram Geocode


Tahapan akhir ini adalah meng-georeference-kan citra amplitude, phase setelah filtering dan masking,
koherensi, dan citra hasil unwrap.

Gambar 7. Hasil Interferogram Setelah Geocode (dari Kiri Tahun 2009-2010, 2010-2011,
dan Tahun 2009- 2011)

3.9 Analisis Pengolahan DInSAR


Pada Gambar 8, 9 dan 10 menunjukkan hasil proses DInSAR besar deformasi daerah pesisir bangkalan.
Dapat disimpulkan terjadi deformasi Antara 0.1 cm sampai 0.9 cm. Banyaknya piksel yang kosong pada citra
menyebabkan sukarnya menganalisis besar deformasi. Untuk melihat sebaran deformasi di Kepulauan

-243-
Analisis Pengaruh Deformasi Muka Tanah terhadap Pembangunan di Daerah Pesisir dengan Teknik Differential Interferometric
Synthetic Aperture Radar (DInSAR) (Studi Kasus: Pesisir Bangkalan, Madura) (Firdaus, M.I., dkk.)

Mentawai berdasarkan hasil unwrap dilakukan cross section atau irisan melintang pada area-area yang
mengalami subsidence atau uplift. Pada Gambar 2 menunjukkan kecendurungan area studi kasus mengalami
uplift. Untuk memudahkan menafsirkan besar displacement tahun 2009-2010, dapat dilihat pada Gambar 8
bahwa besar displacement berada pada rentang 0.1 cm sampai 0.9 cm. Displacement sering terjadi uplift
sebesar 0.2 cm sampai 0.4 cm.

Gambar 8. Besar Displacement Gambar 9. Besar Displacement Gambar 10. Besar Displacement
Tahun 2009-2010 Tahun 2010-2011 Tahun 2009-2011

Besar displacement tahun 2010-2011, dapat dilihat pada Gambar 9 bahwa besar displacement berada pada
rentang 0.1 cm sampai 0.8 cm. Displacement sering terjadi uplift sebesar 0.1 cm sampai 0.6 cm. Untuk besar
displacement tahun 2009-2011, dapat dilihat pada Gambar 10 bahwa besar displacement berada pada rentang
0.1 cm sampai 0.8 cm. Displacement sering terjadi uplift sebesar 0.1 cm sampai 0.5 cm.
Hal ini dapat dilihat dari tingkat ketebalan diagram. Diagram yang tebal menunjukkan intensitas uplift.
Ratarata deformasi muka tanah di daerah pesisir bangkalan adalah sebesar 4.468 mm per tahun.
Adapun hasil peta deformasi muka tanah di daerah pesisir bangkalan tersebut adalah

Gambar 11. Peta Deformasi Pesisir Bangkalan Tahun 2009 -2010

-244-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh – 2016

Gambar 12. Peta Deformasi Pesisir Bangkalan Tahun 2010-2011

Gambar 13. Peta Deformasi Pesisir Bangkalan Tahun 2009-2011

Meskipun hasil deformasi dapat diketahui tetapi hasil pengolahan menunjukkan low displacement value.
Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
1. Panjang Baseline
Dari tahap pre-process didapatkan panjang baseline perpendicular dengan beda waktu pengamatan
(baseline temporal). Dampak dari baseline perpendicular ini berpengaruh pada korelasi yang didapat dari
interferometry processing. Hal tersebut akan mengakibatkan karakteristik objek dari kedua posisi semakin
berbeda, yang dapat menimbulkan low coherence value. Berikut panjang baseline masing-masing pasangan
citra.
2. Geometri Pencitraan Radar
Area studi kasus memiliki topografi beragam sehingga dapat menyebabkan distorsi berupa layover,
shadow, dan foreshortening. Distorsi tersebut sangat dipengaruhi oleh dua hal yaitu incidence angle dari
SAR dan juga local slope dari daerah yang dicitrakan. Pengaruh dari layover, shadow, dan foreshortening
akan memberikan efek kepada proses unwrapping dan kembalinya sinyal pantul ke sensor radar.
3. Kondisi Atmosfer
Perbedaan keterlambatan perambatan sinyal saat diterima transmitter radar dipengaruhi oleh efek
atmosfer. Efek troposfer pada perambatan gelombang elektromagnetik akan menyebabkan keterlambatan
phase yang akan berpengaruh terhadap penentuan jarak. Pada lapisan troposfer tersebar uap air (water
vapour). Selama akuisisi data SAR memasuki musim penghujan, sehingga besar kelembaman pada lapisan
troposfer relatif tinggi.

4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian mengenai analisa deformasi akibat gempa bumi menggunakan citra ALOS
PALSAR, maka didapatkan beberapa kesimpulan, yaitu:
1. Hasil pengolahan DInSAR didapatkan besar deformasi terhadap Line of Sight(LOS) dengan nilai 0.1
cm sampai dengan 0.9 cm.

-245-
Analisis Pengaruh Deformasi Muka Tanah terhadap Pembangunan di Daerah Pesisir dengan Teknik Differential Interferometric
Synthetic Aperture Radar (DInSAR) (Studi Kasus: Pesisir Bangkalan, Madura) (Firdaus, M.I., dkk.)

2. Berdasarkan hasil unwrap menunjukkan bahwa di daerah pesisir bangkalan bagian selatan terjadi
uplift dengan besaran rata-rata 4.468 mm per tahun.
3. Akuisisi data SAR, 19 Februari 2009, 7 Januari 2010 dan 10 Januari 2011 terjadi uplift di daerah
pesisir bangkalan bagian selatan.

5. UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Orang tua, Saudara dan Keluarga yang selalu memberikan
dukungan doa, moral dan materiil yang diberikan kepada penulis selama ini. Bapak Mokhamad Nur Cahyadi,
ST., M.Sc., Ph. D selaku Pembimbing yang telah meluangkan waktu, bantuan, dukungan serta kesabarannya
membimbing penulis dalam penyusunan penelitian ini dari awal sampai akhir. Serta semua teman dan
pihak yang turut memberi dukungan, motivasi dan doa.

DAFTAR PUSTAKA
European Space Agency, InSAR Principles., (2007). Guideline for SAR Interferometry Processing and Interpretation:
The Netherlands.
Hilmi, M dkk., (2013). Analisa Geospasial Penyebab Penurunan Muka Tanah Di Kota Semarang. Prosiding SNST ke-4
Tahun 2013 Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang. Semarang, Indonesia.
Ng, A.H., dkk., (2008). Radar Interferometry for Ground Subsidence Monitoring Using ALOS PALSAR Data. Beijing :
The International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences. Vol.
XXXVII. Part B7.
Sari, A.R., dkk., (2014). Penerapan Metode Dinsar Untuk Analisa Deformasi Akibat Gempa Bumi Dengan
Validasi Data Gps Sugar (Studi Kasus: Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat). ITS dan BPPT: Surabaya.
Sharav, A., (2003). Differential SAR Interferometry for Crustal Deformation Study. The Netherlands : International
Institute For Geo-Information Science And Earth Observation Enschede.
Sophian, R.I., (2010). Penurunan Muka di Kota-Kota Besar Pesisir Pantai Udara Jawa (Studi Kasus: Kota Semarang).
Bulletin of Scientific Contribution. 8 (1):41-60.
Umar. (2011). Kajian Pengaruh Gelombang Terhadap Kerusakan pantai Matang Danau Kabupaten Sambas. Jurnal
Teknik Sipil Untan. 11(1):92-102.
Yuwono, B.D., (2013). Korelasi Penurunan Muka Tanah Dengan Penurunan Muka Air Tanah Di Kota Semarang.
Jurnal Teknik. 34(3):188-195.

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskui presentasi ilmiah

BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016

Judul Makalah : Analisis Pengaruh Deformasi Muka Tanah terhadap Pembangunan di Daerah Pesisir
dengan Teknik Differential Interferometric Synthetic Aperture Radar (DInSAR) (Studi
Kasus: Pesisir Bangkalan, Madura)
Pemakalah : Muhammad Irsyadi Firdaus
Diskusi :

(Tidak ada diskusi)

-246-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Stereokompilasi Unsur Rupabumi Skala 1:25.000


Menggunakan Data TerraSAR-X dan Citra SPOT-6

Stereocompilation of Topographic Features Scale 1:25,000


Using TerraSAR-X and SPOT-6 Image Data

Danang Budi Susetyo1*), M. Fifik Syafiudin1, dan Aji Putra Perdana1


1
Pusat Pemetaan Rupabumi dan Toponim – Badan Informasi Geospasial
Jl. Raya Jakarta-Bogor Km. 46, Cibinong, Jawa Barat 16911
*)
E-mail: danang.budi@big.go.id

ABSTRAK – Informasi geospasial dasar yang disajikan dalam Peta Rupabumi Indonesia (RBI) di antaranya diperoleh
melalui metode kompilasi unsur secara tiga dimensi dari data radar dan citra optis. Data radar utamanya digunakan
untuk ekstraksi unsur hipsografi, seperti masspoint, breakline, atau sungai, sedangkan citra optis digunakan untuk
membantu ekstraksi unsur planimetris seperti jalan atau bangunan serta interpretasi penutup lahan. Metode digitasi
secara tiga dimensi atau stereoplotting (stereokompilasi) dilakukan pada skala menengah (1:50.000 dan 1:25.000).
Metode ini membentuk model tiga dimensi menggunakan data Orthorectified Radar Image (ORRI) atau citra optis
dengan stereomate yang dibentuk dari data ORRI dan Digital Surface Model (DSM). Model tiga dimensi yang
terbentuk selanjutnya digunakan untuk melakukan plotting secara tiga dimensi, sehingga dihasilkan unsur rupabumi
yang memiliki nilai ketinggian berdasarkan datum tertentu. Tulisan ini membahas metode stereokompilasi dan ekstraksi
informasi rupabumi pada skala 1:25.000 menggunakan data TerraSAR-X dan citra SPOT-6. Data hasil ekstraksi
dikelola dengan skema basis data rupabumi di Pusat Pemetaan Rupabumi dan Toponim, Badan Informasi Geospasial.

Kata kunci: stereokompilasi, stereoplotting, unsur rupabumi, skala 1:25.000, TerraSAR-X, citra SPOT-6

ABSTRACT – Basic geospatial information that is presented in Indonesia Topographic Map can be three-
dimensionally extracted from either radar or optical images using stereo-compilation technique. Radar image is mainly
used for extracting 3D features (hypsography), such as masspoints, breaklines, or streams, whereas the optical image
is used for delineating 2D features (planimetric) such as road or building, and land use / land cover. Three-dimensional
digitization method or stereoplotting (stereocompilation) are used to medium scale (e.g., 1:50,000 and 1:25,000). This
method generates three dimension model using Orthorectified Radar Image (ORRI) or optical image data with
stereomate formed from ORRI and Digital Surface Model (DSM) data. That three dimensional model then used for
plotting in three dimensions, so it produces topographic features that have elevation values from specific datum. This
paper discusses about stereocompilation and topographic information extraction at scale 1:25,000 using TerraSAR-X
and SPOT-6. Data extraction will then be managed with database scheme in Central for Topographic Mapping and
Toponym, Geospatial Information Agency.

Keywords: stereocompilation, stereoplotting, topographic features, scale 1:25,000, TerraSAR-X, SPOT-6 image

1. PENDAHULUAN
Peta dasar sebagaimana tertuang dalam Pasal 12 Undang-undang No. 4 Tahun 2011 terdiri atas garis
pantai, hipsografi, perairan, nama rupabumi, batas wilayah, transportasi dan utilitas, bangunan dan fasilitas
umum, dan penutup lahan. Selain nama rupabumi dan batas wilayah yang didapatkan saat survei lapangan,
untuk pemetaan tiga dimensi fitur-fitur tersebut dihasilkan melalui tahapan stereoplotting. Sumber datanya
adalah dapat berupa citra radar maupun optis. Data radar utamanya digunakan untuk ekstraksi unsur
hipsografi, seperti masspoint, garis punggung bukit, atau sungai, sedangkan citra optis digunakan untuk
membantu ekstraksi unsur planimetris seperti jalan dan bangunan serta interpretasi penutup lahan.
Keuntungan menggunakan stereoplotting interaktif adalah diperoleh data 3D dengan akurasi tinggi serta
objek-objek yang diinginkan (Pranadita dan Harintaka, 2013).
Proses stereokompilasi diawali dari pembentukan model 3D yang digunakan untuk proses stereoplotting.
Data dasar yang digunakan berbeda untuk masing-masing level skala, di mana peta RBI skala besar
menggunakan foto udara, sedangkan peta RBI skala menengah menggunakan data radar (Synthetic Aperture
Radar/SAR). Salah satu data radar yang dapat digunakan untuk pemetaan RBI adalah TerraSAR-X, yang
terdiri dari Orthorectified Radar Image (ORRI) dan Digital Surface Model (DSM). Data radar digunakan

-247-
Stereokompilasi Unsur Rupabumi Skala 1:25.000 Menggunakan Data TerraSAR-X dan Citra SPOT-6 (Susetyo, D.B., dkk.)

karena tidak terpengaruh dengan kondisi awan saat akuisisi. Meski demikian, secara visual data radar tidak
dapat digunakan untuk interpretasi penutup lahan atau ekstraksi unsur planimetris (seperti jalan dan
bangunan) secara mendetail, sehingga perlu digunakan citra optis untuk membantu keperluan tersebut. Peta
RBI skala 1:25.000 dapat menggunakan citra SPOT-6 untuk ekstraksi unsur planimetris dan interpretasi
penutup lahan.
Tulisan ini membahas metode stereokompilasi unsur rupabumi skala 1:25.000 menggunakan data
TerraSAR-X dan citra SPOT-6. Pembahasan lebih spesifik kepada konsep data radar untuk ekstraksi unsur
rupabumi, mulai dari akuisisi data, pembentukan model 3D, hingga teknis penarikan unsur pada tahap
stereoplotting berdasarkan Petunjuk Pelaksanaan Pemetaan Rupabumi Skala 1:25.000 Tahapan
Stereokompilasi Tahun 2016.

2. METODE
1. Akuisisi data radar
Tahap ini menjelaskan bagaimana data radar diakuisisi sehingga siap digunakan untuk pemetaan.
Akuisisi tidak dilakukan langsung oleh BIG, sehingga penjelasan mengenai tahap ini sifatnya hanya
sebatas konsep.
2. Pembentukan model 3D
Tahap ini menjelaskan konsep pembentukan model 3D menggunakan data radar untuk pada akhirnya
digunakan dalam proses stereokompilasi.
3. Stereokompilasi
Stereokompilasi dijelaskan dengan mengacu pada skema basisdata rupabumi tahun 2016. Pedoman yang
digunakan adalah Petunjuk Pelaksanaan Pemetaan Rupabumi Skala 1:25.000 Tahapan Stereokompilasi
Tahun 2016.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1 Akuisisi data radar
Prinsip dasar akuisisi data radar adalah transmisi gelombang elektromagnetik secara side-looking dari
wahana (satelit/pesawat) untuk kemudian dipantulkan oleh objek dan diterima oleh receiver sehingga
didapatkan informasi mengenai posisi, daya pantulan objek, atau informasi lainnya (Hupton, 2009). Data
tersebut kemudian diproses hingga didapatkan citra 2D dengan resolusi dan akurasi tinggi.

Gambar 1. Geometri SAR (Hupton, 2009)

Satelit TerraSAR-X pertama kali diluncurkan pada tanggal 15 Juni 2007 di Baikonur, Kazakhstan
menggunakan wahana peluncur Dnepr-1 milik Rusia/Ukraina sebagai misi lanjutan dari radar X-SAR dan
Shuttle Radar Topography Mission (SRTM) yang dilakukan oleh National Aeronautics and Space
Administration (NASA) dan Italian Space Agency (ASI) pada tahun 1994 dan 2000. Tujuan utamanya adalah
untuk menyediakan data X-band SAR untuk kepentingan ilmiah (seperti hidrologi, klimatologi, oseanografi,
monitoring lingkungan, monitoring bencana, hingga kartografi) dan mendirikan pasar Earth Observation
(EO) komersial di Eropa (Werninghaus & Buckreuss, 2012).
TerraSAR-X dapat dioperasikan dalam mode spotlight, stripmap, dan scanSAR. Ketiga mode tersebut
berpengaruh terhadap cakupan area dan resolusi spasial dari data yang dihasilkan. Airbus Defence and
Space(2014) menjelaskan ketiga mode tersebut sebagai berikut:
- Spotlight
-248-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Mode spotlight dapat dibagi menjadi tiga tipe: SpotLight (SL), High Resolution SpotLight (HS), dan
Staring SpotLight (ST). SpotLight memiliki cakupan area 10 km x 10 km (lebar x panjang), High
Resolution SpotLight 5-10 km x 5 km (lebar x panjang), sedangkan Staring SpotLight tergantung
pada incident angle, di mana makin besar incident angle makin proporsional geometri cakupan area
yang didapatkan (misalnya dengan incident angle 20° cakupan areanya/lebar x panjang adalah 7,5
km x 2,5 km, sedangkan jika incident angle-nya 60° maka cakupan areanya menjadi 4 km x 3,7 km).
Secara resolusi spasial ketiga tipe tersebut juga memberikan hasil yang berbeda, dimana Staring
SpotLight menghasilkan resolusi 0,25 m, High Resolution SpotLight 1 m, dan SpotLight 2 m.
- Stripmap
Resolusi spasial yang didapatkan menggunakan model stripmap adalah 3 m, dengan cakupan area
mencapai 30 km x 50 km (lebar x panjang). Mode ini digunakan oleh ERS-1 dan beberapa satelit
radar lainnya.
- ScanSAR
Sama seperti spotlight, mode scanSAR juga dapat dibagi menjadi beberapa tipe: ScanSAR (SC) dan
Wide ScanSAR (WS). ScanSAR memiliki cakupan area 100 km, dengan resolusi spasial mencapai
18,5 m. Wide ScanSAR memiliki cakupan area 270 km dengan resolusi spasial 40 m.

Gambar 2. Mode akuisisi TerraSAR-X (Airbus Defence and Space, 2014)

Konsep pembentukan DEM menggunakan data SAR adalah menggunakan dua image pada cakupan area
yang sama namun diakuisisi dengan sudut perekaman yang berbeda. Secara umum, pembentukan DEM
menggunakan data SAR harus melalui beberapa proses, yaitu registrasi image, filtering dan kalkulasi
interferogram, phase unwrapping, dan transformasi phase-to-height (Crosetto, 2002).

Gambar 3. Pembentukan DEM menggunakan data SAR (INTERMAP, 2009)

Pembentukan DSM TerraSAR-X dapat dilakukan menggunakan dua metode, yaitu interferometry dan
radargrammetry. Interferometry menggunakan perbedaan fase dari dua image dengan geometri yang sama,
dengan repeat pass selama 11 hari atau single pass secara simultan, sedangkan radargrammetry
-249-
Stereokompilasi Unsur Rupabumi Skala 1:25.000 Menggunakan Data TerraSAR-X dan Citra SPOT-6 (Susetyo, D.B., dkk.)

menggunakan dua image dengan perbedaan geometri akuisisi atau merupakan rekonstruksi 3D (Meyer,
2011). SAR interferometry lebih akurat dibandingkan radargrammetry, namun radargrammetry mengatasi
kelemahan dari interferometry terkait diskoneksi temporal akibat dari repeat pass selama 11 hari (Kiefl,
Koppe, & Hennig, 2010). Terkait data untuk pemetaan RBI, DSM yang digunakan terdiri dari dua metode
tersebut.

Gambar 4. Metode pembentukan DSM pada TerraSAR-X: (a) Radargrammetry, (b) Interferometry (Meyer, 2011).

3.2 Pembentukan model 3D


Data ORRI dan DSM tersebut kemudian dibentuk stereomate yang akan digunakan sebagai pasangan
image dari ORRI untuk membentuk model 3D. Prinsipnya berkebalikan dengan metode fotogrammetri. Jika
dalam fotogrammetri diukur paralaks antara dua foto yang kemudian dikonversi menjadi informasi
ketinggian, maka pembentukan model 3D dari data radar adalah dengan mendapatkan paralaks dari
ketinggian pada DSM untuk ditambahkan ke ORRI untuk menghasilkan stereomate. Stereomate tersebut
akan menjadi pasangan dari citra ORRI yang diolah pada workstation stereo fotogrammetri untuk
membentuk model 3D (Mulyana, 2007).

Gambar 5. (a) Data ORRI, (b) Data DSM

Selain membentuk model 3D antara ORRI dan stereomate, dibentuk pula model 3D antara citra SPOT-6
dengan stereomate. Model 3D tersebut digunakan untuk melakukan plotting unsur-unsur planimetris serta
penutup lahan, sehingga secara teknis model dari radar dan citra digunakan secara bergantian untuk saling
melengkapi. Ketelitian geometrik di sini harus diperhatikan, karena dapat berpengaruh terhadap ketelitian
topografi yang dihasilkan dari model 3D yang bersumber dari citra optis, sehingga citra SPOT-6 harus
terlebih dahulu diregistrasikan ke ORRI. Metodenya dapat berupa image to image dengan mengacu pada
titik-titik ikat yang terlihat jelas di kedua citra (misal persimpangan jalan atau pojok bangunan) dan
terdistribusi merata dalam 1 Nomor Lembar Peta (NLP) citra.

-250-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

3.3 Streokompilasi
Setelah model 3D terbentuk, stereoplotting dilakukan pada unsur alam terlebih dahulu seperti perairan,
garis punggung bukit (breakline), dan masspoint, kemudian dilanjutkan pada unsur buatan seperti jaringan
transportasi dan bangunan. Terakhir, unsur penutup lahan juga dilakukan stereoplotting dengan referensi
citra optis (Aprilana, 2010).
Proses stereokompilasi mengacu pada fitur-fitur yang perlu diekstrak berdasarkan skema basisdata
rupabumi. Fitur-fitur tersebut tertuang dalam Daftar Kode Unsur Rupabumi yang dikeluarkan oleh Pusat
Pemetaan Rupabumi dan Toponim BIG. Tahap stereokompilasi dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Perairan
Plotting unsur perairan diawali dari segmen terluar dari pulau yang dipetakan, yaitu garis pantai. Seperti
halnya sungai, garis pantai juga mengacu pada data ORRI, yang berarti garis pantai yang di-plotting
tersebut adalah muka laut berdasarkan kenampakan di citra. Garis pantai tersebut merupakan muka laut
sesaat karena bersumber dari citra, bukan muka laut rata-rata yang bersumber dari pengukuran pasang
surut air laut.
Setelah garis pantai selesai di-plotting, selanjutnya dapat dilakukan plotting unsur sungai. Plotting sungai
diawali dari segmen sungai yang bermuara ke pantai. Plotting sungai dilakukan dari hulu ke muara, agar
tidak terjadi kesalahan posisi saat membentuk titik gasetir hulu dan muara sungai. Hasil akhir basisdata
perairan (setelah ditambahkan dengan hasil survei lapangan) adalah sungai yang dapat diidentifikasi orde
sungainya, sehingga sejak stereoplotting sudah dapat dilakukan pemilihan level sungai untuk
mengidentifikasi hirarki dari segmen sungai pada sebuah jaringan (Sen dan Gokgoz, 2012). Hal tersebut
juga untuk mengantisipasi sungai yang menggantung jika data tersebut dilakukan generalisasi (Susetyo,
Nuraeni, dan Perdana, 2016).
Terkait geometri, yang perlu diperhatikan adalah lebar dari sebuah segmen sungai. Lebar sungai minimal
yang ditetapkan untuk di-plotting menjadi sungai dua garis adalah 0,5 mm atau 12,5 m pada skala
1:25.000. Angka 0,5 mm merujuk pada ketelitian horizontal terendah yang dapat ditoleransi berdasarkan
Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial No. 15 Tahun 2014 tentang Ketelitian Peta Dasar. Sungai
dengan lebar lebih dari 12,5 m di-plotting sebagai sungai dua garis, dengan garis tepi sungai dan garis
tengah sungai disimpan dalam kode unsur yang berbeda. Sungai dua garis lebih diprioritaskan untuk di-
plotting setelah garis pantai. Setelah sungai dua garis selesai di-plotting, selanjutnya adalah sungai satu
garis (sungai dengan lebar kurang dari 12,5 m), alur sungai, kanal, dan terakhir saluran irigasi/drainase.
Ketinggian unsur perairan yang di-plotting mengacu pada nilai muka air unsur tersebut. Misalkan, ketika
melakukan plotting pada sungai dua garis, maka ketinggian garis tepi sungai adalah ketinggian muka air
pada perbatasan sungai dan daratan. Hal itu menyebabkan nilai elevasi vertex di kanan dan kiri sungai
seharusnya relatif sama. Begitu pula pada danau atau rawa, karena nilai elevasi muka air sama, maka
nilai elevasi vertex di garis pembentuk danau atau rawa juga harus sama.
b. Hipsografi
Plotting unsur hipsografi dimulai dari breakline. Breakline digunakan sebagai batas saat terjadi
perubahan ketinggian yang ekstrem, seperti garis tepi galian/timbunan, garis lembah, garis patahan
tebing, dan garis punggung bukit. Plotting unsur breakline utamanya dilakukan pada daerah bergunung
atau berbukit untuk menampilkan relief topografi pada daerah tersebut, meskipun tidak menutup
kemungkinan breakline diperlukan pada daerah yang datar.
Setelah breakline selesai di-plotting, selanjutnya dilakukan plotting terhadap unsur masspoint. Masspoint
adalah titik-titik DEM yang menggambarkan topografi secara umum, sehingga plotting masspoint akan
sangat menentukan kualitas DTM yang dihasilkan. Plotting masspoint dilakukan secara random,dengan
kerapatan bergantung pada detail objeknya. Jika topografi objek yang di-plotting bergunung atau
berbukit, maka masspoint di-plotting secara rapat (hingga kerapatan 10 m), sedangkan jika topografinya
datar, maka masspoint di-plotting dapat secara jarang (hingga kerapatan 100 m).
Plotting masspoint harus memperhatikan garis-garis yang membatasinya, yaitu sungai dan breakline.
Masspoint tidak boleh terlalu dekat dengan sungai dan breakline agar DTM yang dihasilkan menjadi
logis. Masspoint juga tidak boleh berada di dalam perairan. Selain itu, nilai elevasi juga harus
diperhatikan, dimana masspoint tidak boleh lebih rendah daripada sungai dan tidak boleh lebih tinggi
daripada breakline.
Unsur hipsografi, baik masspoint maupun breakline di-plotting di atas tanah (bare earth). Jika plotting
dilakukan di atas wilayah yang tertutup vegetasi atau bangunan, maka ketinggian tanah mengacu pada
area terbuka di sekitarnya, untuk kemudian diturunkan terhadap permukaan vegetasi atau bangunan di
wilayah tersebut.
-251-
Stereokompilasi Unsur Rupabumi Skala 1:25.000 Menggunakan Data TerraSAR-X dan Citra SPOT-6 (Susetyo, D.B., dkk.)

c. Transportasi dan utilitas


Prinsip plotting unsur jalan hampir sama dengan plotting unsur sungai. Plotting unsur jalan dimulai dari
kelas jalan yang diidentifikasi sebagai kelas jalan yang tertinggi, sehingga jalan yang di-plotting terlebih
dahulu adalah jalan arteri, kemudian jalan kolektor, jalan lokal, jalan lain, dan terakhir jalan setapak.
Aturan secara geometri juga sama antara jalan dengan sungai, yaitu jalan dengan lebar lebih dari 12,5 m
di-plotting sebagai jalan dua garis, dengan garis tepi jalan di-plotting terlebih dahulu, baru kemudian
centerline jalan.
Selain jalan, unsur-unsur transportasi lain seperti landas pacu, air strip, dermaga, atau jembatan juga di-
plotting berdasarkan kenampakan pada model. Aturan geometrinya sama seperti jalan, dengan mengacu
pada angka 0,5 mm. Jika geometri unsur-unsur tersebut segmennya lebih dari 12,5 m x 12,5 m maka di-
plotting sebagai garis, sedangkan jika kurang dari 12,5 m x 12,5 m maka di-plotting sebagai titik.
Unsur utilitas yang terlihat di model juga harus dilakukan plotting. Unsur utilitas tersebut adalah unsur
yang membentuk jaringan instalasi, seperti jaringan kabel transmisi listrik, tiang listrik, jaringan kabel
telepon, menara telepon, atau saluran air hujan. Unsur utilitas yang berupa bangunan tempat jaringan
utilitas tersebut dikelola, seperti kantor PLN, kantor PAM, atau kantor POS dan objek-objek yang tidak
terlihat di atas tanah seperti jaringan kabel transmisi listrik bawah tanahdan jaringan kabel telepon bawah
tanah ditambahkan dari hasil survei lapangan.
d. Bangunan dan fasilitas umum
Unsur bangunan dan fasilitas umum juga menggunakan acuan 12,5 m x 12,5 m untuk menentukan
geometri unsur tersebut menjadi garis atau titik. Bangunan dengan geometri lebih dari 12,5 m x 12,5 m
di-plotting menggunakan garis tepi bangunan, sedangkan bangunan yang geometrinya kurang dari luasan
tersebut kode unsurnya menyesuaikan fungsi bangunan tersebut yang didapatkan dari hasil survei
lapangan.
Selain di-plotting secara individual, bangunan dan fasilitas umum pada peta RBI skala 1:25.000 juga
dapat di-plotting sebagai blok permukiman.Sesuai dengan SNI 7645:2010 tentang Klasifikasi Penutup
Lahan, permukiman didefinisikan sebagai areal atau lahan yang digunakan sebagai lingkungan tempat
tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung kehidupan. Sekumpulan objek
bangunan yang terkumpul menjadi satu dan memiliki pola tertentu dapat di-plotting sebagai
permukiman.
e. Vegetasi dan lahan terbuka
Poligon penutup lahan dalam basisdata RBI dihasilkan dari garis penutup lahan, perairan, dan
transportasi. Garis penutup lahan di-plotting menggunakan garis batas area vegetasi dan lahan terbuka,
yaitu garis untuk membatasi kenampakan penutup lahan berbeda yang tidak dibatasi oleh fitur sungai
maupun jalan.

Gambar 6. Contoh hasil stereokompilasi berdasarkan kenampakan di citra

Hasil stereoplotting berbentuk titik dan garis. Unsur garis dari masing-masing unsur selanjutnya dibentuk
poligon. Poligon perairan dibentuk dari garis perairan, poligon transportasi dibentuk dari garis transportasi,
poligon bangunan dibentuk dari garis bangunan, dan poligon penutup lahan dibentuk dari garis penutup
lahan, sungai, dan jalan. Sebelum dibentuk poligon, terlebih dahulu harus dibuat titik label yang
merepresentasikan masing-masing penutup lahan. Titik label tersebut nantinya digunakan untuk mengisi

-252-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

atribut pada poligon yang terbentuk, sekaligus dapat digunakan sebagai petunjuk dalam peta manuskrip yang
dibawa saat survei lapangan.

4. KESIMPULAN
Pemetaan rupabumi skala 1:25.000 diawali dari akuisisi data radar, pembentukan model 3D, dan
stereokompilasi. Prinsip dasar akuisisi data radar adalah transmisi gelombang elektromagnetik secara side-
looking dari wahana (satelit/pesawat) untuk kemudian dipantulkan oleh objek dan diterima oleh receiver
sehingga didapatkan informasi mengenai posisi, daya pantulan objek, atau informasi lainnya (Hupton, 2009).
Data tersebut kemudian diproses hingga didapatkan citra 2D dengan resolusi dan akurasi tinggi.
Data radar dalam bentuk ORRI dan DSM tersebut kemudian dibentuk model 3D. Prinsipnya adalah
membentuk stereomate yang akan digunakan sebagai pasangan image dari ORRI. Model 3D tersebut
kemudian digunakan untuk melakukan stereoplotting, dengan dilakukan pada unsur alam terlebih dahulu
seperti perairan, garis punggung bukit (breakline), dan masspoint, kemudian dilanjutkan pada unsur buatan
seperti jaringan transportasi dan bangunan. Terakhir, unsur penutup lahan juga dilakukan stereoplotting
dengan referensi citra optis (Aprilana, 2010).

5. UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Pusat Pemetaan Rupabumi dan Toponim, Badan Informasi
Geospasial, khususnya kepada Kepala Bidang dan Tim RBI Skala Kecil dan Menengah (SKM) yang telah
membantu penulis dalam mendapatkan hal-hal yang dibutuhkan dalam penyusunan makalah ini, baik ide,
data, dokumen, dan pembelajaran yang membuat penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Tulisan ini
diharapkan dapat menjadi referensi dan dokumentasi ilmiah dari kegiatan yang sudah dilaksanakan di PPRT
untuk digunakan dalam melakukan pengembangan metode ke depan.

DAFTAR PUSTAKA
Airbus Defence and Space. (2014). TerraSAR-X Image Product Guide: Basic and Enhanced Radar Satellite Imagery.
Aprilana. (2010). Proses Stereoplotting Data IFSAR untuk Memutakhirkan Peta RBI Skala 1 : 25.000 Daerah
Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Rekayasa, XIV(4):202–215.
Badan Informasi Geospasial. (2014). Peraturan Kepala BIG No. 15 Tahun 2014 Tentang Ketelitian Peta Dasar.
Cibinong.
Badan Informasi Geospasial. (2016). Petunjuk Pelaksanaan Pemetaan Rupabumi Skala 1:25.000 Tahapan
Stereokompilasi. Cibinong. Diunduh dari http://tx.technion.ac.il/~dalyot/docs/Intro-DTM.pdf
Badan Standardisasi Nasional. (2010). SNI 7645:2010 tentang Klasifikasi Penutup Lahan. Jakarta.
Crosetto, M. (2002). Calibration and Validation of SAR Interferometry for DEM Generation. ISPRS Journal of
Photogrammetry and Remote Sensing, (DECEMBER 2002). http://doi.org/10.1016/S0924-2716(02)00107-7
Hupton, J.R. (2009). Three-Dimensional Target Modeling with Synthetic Aperture Radar. California Polytechnic State
University.
INTERMAP. (2009). Interferometric Synthetic Aperture Radar. Venezia.
Kiefl, N., Koppe, W., dan Hennig, S.D. (2010). Terrasar-X Stereo Digital Elevation Models for Complex Terrain
Conditions in Alpine Regions and Its Suitability for Orthorectification Purposes of Optical and Sar Imagery. In
ISPRS TC VII Symposium (Vol. XXXVIII, pp. 333–336). Vienna, Austria.
Meyer, N. (2011). DEM products from TerraSAR-X & TanDEM-X.
Mulyana, A.K. (2007). Analisis Tekstur Citra IFSAR untuk Ekstraksi Fitur Rupabumi. In Ekstraksi Unsur Rupabumi
dan Studi Deformasi dari Citra Radar dan ASTER (pp. 1–12). Cibinong: Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan
Nasional (BAKOSURTANAL).
Pranadita, S., dan Harintaka. (2013). Pembuatan Model Elevasi Digital dari Stereoplotting Interaktif Foto Udara Format
Sedang dengan Kamera Digicam. Jurnal Ilmiah Geomatika, 19(2):101–105.
Republik Indonesia. (2011). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Informasi Geospasial.
Jakarta.
Sen, A., dan Gokgoz, T. (2012). Clustering Approaches for Hydrographic Generalization. In GIS Ostrava. Ostrava.
Susetyo, D.B., Nuraeni, D., dan Perdana, A.P. (2016). Aturan Topologi untuk Unsur Perairan dalam Skema Basis data
Spasial Rupabumi Indonesia. In SEMINAR NASIONAL II Pengelolaan Pesisir dan Daerah Aliran Sungai.
Yogyakarta: Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada.
Werninghaus, R., dan Buckreuss, S. (2012). The TerraSAR-X Mission and System Design. IEEE Transactions on
Geoscience and Remote Sensing, 60(5):1–4.

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah

-253-
Stereokompilasi Unsur Rupabumi Skala 1:25.000 Menggunakan Data TerraSAR-X dan Citra SPOT-6 (Susetyo, D.B., dkk.)

BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016

Judul Makalah : Stereokompilasi Unsur Rupabumi Skala 1:25.000 Menggunakan Data Terrasar-X
dan Citra SPOT-6
Nama Pemakalah : Danang Budi Susetyo (BIG)
Diskusi :

Pertanyaan: Dr. Ety Parwati (LAPAN)


1. Apa argumentasi yang menguatkan pernyataan tersebut? Sungai dan breakline masspoint tidak boleh
terlalu dekat dengan sungai dan breakline agar DTM yang dihasilkan menjadi logis
2. Seperti disebutkan pada jawaban a, bahwa sungai dan breakline adalah pembatas. Sungai menghasilkan
cekungan pada DTM, sedangkan breakline menghasilkan punggung bukit. Selain membentuk model 3D
antara ORRI dan stereomate, dibentuk pula model 3D antara citra SPOT-6 dengan stereomate.
Bagaimana perbedaan akurasi antara 3D yang dibentuk dari ORRI dan 3D yang dibentuk dari sitra
SPOT?

Jawaban:
1. Sungai dan breakline adalah garis pembatas pada DTM, sehingga jika ada masspoint yang terlalu dekat
dengan sungai atau breakline, maka ada kemungkinan terrain yang dihasilkan menjadi tidak smooth
atau menjadi terlalu curam, sehingga masspoint tidak boleh terlalu dekat dengan sungai atau breakline.
Masspoint juga tidak boleh berada dalam perairan
Masspoint tidak boleh masuk ke dalam area perairan, karena perairan tidak boleh bergelombang.
Perairan dalam DTM hanya dibentuk oleh garis tepi perairan, dan untuk perairan tergenang seperti
danau, rawa, kolam, empang, dll harus datar, sedangkan untuk perairan yang mengalir seperti sungai,
ketinggian di kedua sisinya harus sama
2. Selama ini dalam pemetaan RBI, data ORRI adalah yang digunakan sebagai acuan geometri.

-254-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Penerapan Teknik Polarimetric Interferometry Synthetic Aperture Radar


(PolInSAR) untuk Estimasi Cadangan Karbon Hutan Tropis Indonesia
Menggunakan Citra ALOS PALSAR Full-Polarimetric

Implementation of Polarimetric Interferometry Synthetic Aperture Radar


(PolInSAR) Technique for Carbon Stocks Estimation of Indonesia Tropical
Forest using ALOS PALSAR Full-Polarimetric Image
Laode Muh. Golok Jaya1*), Ketut Wikantika2, Katmoko Ari Sambodo3 dan Armi Susandi4
1
Fakultas Teknik Universitas Halu Oleo Kendari
1
Program Doktor Radar Remote Sensing-Institut Teknologi Bandung
2
Pusat Penginderaan Jauh Institut Teknologi Bandung
3
Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh-Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)
4
Program Studi Meteorologi Institut Teknologi Bandung
*)
E-mail: laode251@yahoo.com

ABSTRAK-Makalah ini bertujuan untuk menganalisis penerapan teknik Polarimetric Interferometry Synthetic
Aperture Radar (Polinsar) untuk estimasi tinggi vegetasi dalam rangka pemetaan cadangan karbon hutan tropis di
wilayah Indonesia. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra satelit ALOS PALSARFull-Polarimetric.
Penerapan teknik Polinsar ini merupakan upaya untuk memperoleh informasi geospasial cadangan karbon yang
memiliki ketidakpastian yang paling minimum sesuai yang dikehendaki dalam MRV (Monitoring, Reporting and
Verification) cadangan karbon. Indonesia sebagai pemilik hutan tropis kedua terbesar di dunia sangat berkepentingan
terhadap informasi cadangan karbon tersebut dalam rangka mitigasi perubahan iklim.Metode penelitian yang dilakukan
adalah menganalis koherensi interferometric phase dari dua buah citra ALOS PALSARFull-Polarimetric single-
baseline dengan empat polarisasi (HH, HV, VH dan VV) dan dengan temporal baseline tertentu. Koherensi
interferometric phase sangat berkaitan dengan model Random Volume Over Ground (RVOG) yang terbentuk untuk
menghasilkan estimasi tinggi vegetasi dan nilai cadangan karbon yang memiliki tingkat keandalan yang baik.Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa nilai koherensi interferometric phase adalah maksimum 0,218 yang disebabkan
adanya dekorelasi temporal dari kedua citra koheren yang digunakan. Dekorelasi temporal sendiri disebabkan oleh
temporal baseline kedua buah citra ALOS PALSARyang digunakan. Hasil estimasi RVOG menunjukkan bahwa tinggi
vegetasi di daerah penelitian adalah 20,5-28,9 meter (R2=0,53).

Kata kunci: PolInSAR, Alos Palsar, Full-Polarimetric, Estimasi Tinggi, Koherensi, Dekorelasi Temporal, RVOG

ABSTRACT - This paper aims to analyze the application of Polarimetric Synthetic Aperture Radar Interferometry
(Polinsar) techniques to estimate vegetation heights for carbon stocks mapping ofIndonesia tropical forests. The data
used in this study is ALOS PALSARFull-Polarimetric image. Application of Polinsar technique is an attempt to
acquire geospatial information of carbon stocks that have the most minimum uncertainty as desired in carbon stocks
MRV (Monitoring, Reporting and Verification). Indonesia that has the second largest tropical forest in the world is very
concerned about information of carbon stocks due to climate change mitigation. The research method is analyzing the
interferometric phase coherence of two Full-Polarimetric ALOS PALSARimages baseline with four single-
polarization (HH, HV, VH and VV) and with a certain temporal baseline. Coherence interferometric phase is
associated with the model Random Volume over Ground (RVOG) formed to estimate vegetation heights and carbon
stock volume that has a good reliability. The results of this study indicate that the value of coherence interferometric
phase is a maximum of 0.218 caused by temporal decorrelation. Temporal decorrelation itself caused by temporal
baseline of ALOS PALSARimage pair. RVOG estimation results indicate that the height of the vegetation in the study
area is 20.5-28.9 meters (R2=0.53).

Keywords: Polinsar, ALOS PALSAR, Full-Polarimetric, Height Estimation, Coherence, Temporal Decorrelation,
RVOG

1. PENDAHULUAN
Teknik Polarimetric Interferometry Synthetic Aperture Radar (PolInSAR) merupakan gabungan dari dua
buah teknik analisis citra radar yakni Teknik Polarimetric SAR (PolSAR) dan Interferometry SAR (InSAR).
Teknik PolInSAR dikembangkan untuk memadukan keunggulan kedua buah teknik tersebut. Salah satu
keunggulan teknik PolInSAR adalah diketahuinya secara jelas posisi pusat phase interferometrik dan
-255-
Penerapan Teknik Polarimetric Interferometry Synthetic Aperture Radar (PolInSAR) untuk Estimasi Cadangan Karbon Hutan
Tropis Indonesia menggunakan Citra ALOS PALSAR Full-Polarimetric (Jaya, L.M.G., dkk.)

topografi permukaan (ground topography) yang menghasilkan tinggi obyek (Cloude dan Papathannasiou,
1998). Salah satu penerapan penting dari keunggulan tersebut adalah dalam menentukan tinggi vegetasi dan
menghitung volume biomassa atau cadangan karbon pada kawasan hutan. Keunggulan lainnya adalah teknik
PolInSAR dapat membedakan struktur hamburan balik (scattering) gelombang radar dari suatu obyek
apakah merupakan surface scattering, surface-volume scattering atau volume-only scattering. Dengan
mengkombinasikan hasil volume-only scattering dengan kejelasan posisi pusat fase interferometrik-ground
topography, dapat mengatasi terjadinya saturasi pada pengukuran volume seperti pada vegetasi hutan.
Sejalan dengan upaya mitigasi perubahan iklim, upaya estimasi cadangan karbon sangat penting untuk
lebih memahami perilaku siklus karbon di atmosfer. Indonesia perlu mengembangkan mekanisme estimasi
cadangan karbon pada kawasan hutan di Indonesia untuk memperoleh kepastian mengenai besarnya jumlah
cadangan karbon, kondisi, sebaran dan nilai emisi yang dapat diserap atau dilepaskan ke atmosfer oleh hutan
tersebut. Mekanisme tersebut dikenal dengan istilah MRV (Measurement, Reporting and Verification) atau
Pengukuran, Pelaporan dan Penilaian.
Kegiatan MRV meliputi pengukuran dan pelaporan efektivitas pengurangan atau penyerapan Gas-gas
Rumah Kaca (GRK) secara kuantitatif menggunakan metode dan prosedur yang andal, transparan dan
akuntabel. MRV merupakan bagian dari sistem pemantauan karbon global dimana metode pengukuran dan
hasil yang disampaikan harus menggunakan kaidah-kaidah ilmiah yang baku dan konsisten. Hasil dari MRV
akan dijadikan sebagai dasar pembayaran atas kinerja penurunan emisi. Setiap kegiatan MRV harus sejalan
dengan prinsip-prinsip pelaporan IPCC (Inter-Governmental Panel on Climate Change/Panel
Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim), yaitu harus transparan, akurat, konsisten, lengkap dan dapat
dibandingkan dan memiliki ketidakpastian yang minimum (Bernard dan Minang, 2011; Jaya dan Saleh,
2012; FAO, 2013).
Penelitian ini akan menganalisis penerapan teknik PolInSAR untuk estimasi tinggi vegetasi dalam rangka
pemetaan cadangan karbon pada kawasan hutan tropis Indonesia. Sesuai dengan persyaratan MRV cadangan
karbon sebagaimana disebutkan di atas, maka penerapan teknik PolInSAR memberikan harapan untuk
memperoleh estimasi tinggi vegetasi dengan kepastian yang optimum.

2. METODE
2.1 Lokasi penelitian
Lokasi penelitian berada di Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara. Secara spesifik,
lokasi penelitian adalah hutan tropis Wolasi yang sebagian besar berada dalam kawasan hutan lindung
Wolasi, berjarak kurang lebih 30 kilometer di sebelah selatan Kota Kendari, ibukota Provinsi Sulawesi
Tenggara. Peta lokasi penelitian digambar dalam Gambar 1.

Gambar 1. Peta lokasi studi

2.2 Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra ALOS PALSARFull Polarimetrik dan DEM.
Karakteristik data dapat dilihat dalam Tabel 1 berikut.

Tabel 1 Karakteristik data

-256-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

No Jenis Karakteristik Sumber Data Kegunaan


Data
1 Alos  Frekuensi : L-Band JAXA (Japan  Membentuk citra yang
Palsar  Panjang gelombang : 23 cm Aerospace koheren
 Polarisasi : Full Polarimetric HH, HV, Exploration  Membentuk Volume
VH dan VV Agency) Scattering untuk model
 Resolusi piksel : 20 meter Random Volume over
 Tahun Akuisisi : 2009 dan 2010 Ground (RVoG)
 Mode : Single Look Complex (SLC)
2 DEM Berasal dari SRTM NASA  Membentuk model
(Shuttle Radar Topography Mission) permukaan dijital
dengan ketelitian 1 arc sec (30 meter)  Untuk koreksi slope
(radiometric terrain
flattening)

2.3 Perangkat keras dan perangkat lunak


Perangkat keras dan lunak yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat dalam Tabel 2 berikut.
Tabel 2 Perangkat keras dan lunak yang digunakan dalam penelitian
A. Perangkat Keras
No Nama Alat Spesifikasi Kegunaan
1 Laptop Processor : Intel Atom Pemrosesan data dan penulisan
HDD : 500 GB laporan penelitian
RAM : 4 GB
2 Hagameter Merek : HAGA Untuk mengukur tinggi pohon
3 GPS Handheld Merek : Garmin Untuk pengukuran koordinat
pohon
4 Pita ukur Untuk pengukuran DBH
B. Perangkat Lunak
No Nama Software Provider Lisensi
1 PolSARPRO European Space Agency (ESA) Open Source
2 Sentinel-1 ToolBox European Space Agency (ESA) Open Source

2.4 Diagram Alir Penelitian


Dua buah citra ALOS PALSARFull Polarimetric digunakan dalam penelitian ini adalah hasil akuisisi
tanggal 2 Mei 2010 (sebagai master) dan 29 April 2009 (sebagai slave). Kedua buah citra tersebut diproses
menggunakan perangkat lunak Sentinel-1 Toolbox untuk melihat koefisien backscatter keduanya. Sedangkan
untuk pembentukan matriks Sinlcair [S2] digunakan perangkat lunak PolSARPRO. Oleh karena terdapat dua
buah citra SAR, maka yang terbentuk adalah matriks Sinlcair 2 x [S2] Master-Slave. Kemudian dilakukan
tranformasi menjadi matriks koherensi kovariansi [T6]. Dengan matriks [T6] tersebut, selanjutnya dapat
dianalisis koherensi kedua citra, optimisasi koherensi, pembentukan interferogram dan perhitungan tinggi
fase interferometrik.
Langkah-langkah penelitian yang dilakukan selengkapnya dapat dilihat dalam Gambar 2 berikut.

-257-
Penerapan Teknik Polarimetric Interferometry Synthetic Aperture Radar (PolInSAR) untuk Estimasi Cadangan Karbon Hutan
Tropis Indonesia menggunakan Citra ALOS PALSAR Full-Polarimetric (Jaya, L.M.G., dkk.)

Gambar 2. Diagram Alir Penelitian

3. HASILDAN PEMBAHASAN
Teknik Polarimetric Synthetic Aperture Radar (SAR) Interferometry (PolInSAR) diusulkan
pertama kali oleh Cloude dan Papathanassiou (1998). PolInSAR adalah teknik penginderaan jauh radar
berdasarkan pada kombinasi koherensi (coherence combination) radar polarimetrik (Pol-SAR) dan SAR
Interferometry (InSAR) dimana secara substansi lebih sensitif terhadap parameter struktur dari hamburan
volume (misalnya hutan) dibandingkan menggunakan Pol-SAR atau In-SAR (Lee dkk., 2010).
Tabel 3 berikut memperlihatkan kelebihan dan kelemahan teknik Polarimetrik SAR (Polsar),
Interferometry SAR (Insar) dan Polarimetrik SAR Interferometry (Polinsar).

Tabel 3. Kelebihan dan Kelemahan Polsar, Insar dan Polinsar


No. Teknik Tujuan Kelebihan Kelemahan
1 Polsar Mengkarakterisasi obyek melalui Peka terhadap orientasi Rentan terhadap masalah
pengukuran hamburan balik obyek, bentuk dan entropy, khususnya daerah
(backscatter) komposisi obyek bervegetasi
2 Insar Mengkarakterisasi obyek melalui 1. Tidak terpengaruh oleh Hanya berlaku untuk ko-
kombinasi sinyal secara koheren dari entropy obyek. polarisasi (pasangan citra
dua buah posisi pengukuran yang 2. Dapat membentuk yang sama polarisasi, misal
berbeda (baik along track model interferogram HH atau VV)
interferometry maupun across track untuk berbagai aplikasi
interferometry)
3 Polinsar Pemodelan struktur vertikal (misal Interferogram dapat Rentan terhadap pengaruh
vegetasi) dengan memanfaatkan fase, dibentuk baik dari citra ko- temporal decorrelation.
amplitude koheren interferometry polarisasi maupun cross- Keberhasilan teknik
melalui pemisahan pusat fase pada polarisasi (Richards, 2009) Polinsar sangat tergantung
polarisasi yang berbeda (Wenxue, pada koherensi pasangan
2015) citra (Lee dan Pottier, 2009)

Citra ALOS PALSARhasil perekaman tanggal 29 April 2009 dan 2 Mei 2010 masing-masing
dalam mode SLC dan memiliki empat polarisasi yaitu HH, HV, VH dan VV. Keempat polarisasi tersebut
memiliki karakteristik masing-masing dalam pemetaan cadangan karbon. Dari keempat polarisasi tersebut,
polarisasi HV telah diketahui paling memiliki korelasi dengan cadangan karbon (Luckman dkk, 1997; Le
Toan dkk, 2011, Richards, 2009).
Bila ditinjau dari nilai koefisien backscatter, kedua citra hasil akuisisi yang berbeda tanggal
perekamannya tersebut memiliki nilai yang relatif sama sebagaimana ditampilkan pada Gambar 3 dan 4.Nilai
koefisien backscatter untuk polarisasi HH berkisar antara -8,2 sampai dengan -26,54, polarisasi HV antara -
14,54 sampai dengan -33,66, polarisasi HV mirip dengan polarisasi HV dengan koefisien backscatter antara -
-258-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

14,65 sampai dengan -33,43. Adapun polarisasi VV, memiliki koefisien backscatter antara -8,71 sampai
dengan -27,42.

Gambar 3. Citra ALOS PALSARfull polarimetrik yang telah terkoreksi geometrik hasil perekaman 29 April 2009
berturut-turut dari kiri ke kanan polarisasi HH, HV, VH dan VV

Gambar 4. Citra ALOS PALSARfull polarimetrik yang telah terkoreksi geometrik hasil perekaman 2 Mei 2010
berturut-turut dari kiri ke kanan polarisasi HH, HV, VH dan VV

Adapun rentang nilai koefisien backscatter (σ° dalam dB) dari kedua citra ALOS
PALSARtersebut dapat dilihat dalam tabel 4 berikut:

Tabel 4. Rentang nilai koefisien backscatter (σ° dalam dB)


Tanggal Perekaman σ° HH σ° HV σ° VH σ° VV
(maks/Min) (maks/Min) (maks/Min) (maks/Min)
29 April 2009 -8,27/-26,54 -14,54/-33,66 -14,65/-33,29 -8,96/-27,42
2 Mei 2010 -8,2/-26,19 -14,6/-33,42 -14,73/-33,43 -8,71/-27,21

Dalam analisis koherensi citra ALOS PALSARFull-polarimetrik perlu diperhatikan adanya azas
resiprokal yaitu bahwa polarisasi HV akan sama dengan polarisasi VH. Hal ini berarti bahwa kedua
polarisasi tersebut memiliki karakteristik yang mirip dalam pola hamburan baliknya (scatter).
Sejak diusulkan oleh Cloude dan Papathanassiou (1998), teknik Polinsar telah mengalami banyak
perbaikan dan penyempurnaan melalui penyempurnaan analisis temporal decorrelation, coherence
optimisation, penyempurnaan model Random Volume over Ground, inversi tinggi vegetasi, hingga
penyempurnaan pada estimasi ground topography dan penerapan Polinsar pada dual polarisasi
(Papathanassiou dan Cloude, 2001, Mette dkk, 2003; Florian dkk, 2006)
Integrasi teknik polarimetrik dan interferometrik ke dalam Polinsar ini dilakukan untuk menerapkan
kelebihan-kelebihan dari kedua teknik tersebut. Namun demikian, tidak berarti teknik Polinsar tidak
memiliki kelemahan. Kelemahan utama dari teknik Polinsar adalah rentan terhadap temporal
decorrelation(Mette, 2006; Richards, 2009; Lee dan Pottier, 2009).

-259-
Penerapan Teknik Polarimetric Interferometry Synthetic Aperture Radar (PolInSAR) untuk Estimasi Cadangan Karbon Hutan
Tropis Indonesia menggunakan Citra ALOS PALSAR Full-Polarimetric (Jaya, L.M.G., dkk.)

Dalam perspektif pengukuran cadangan karbon, teknik Interferometry SAR (Insar) dapat mengukur atau
menentukan pusat fase keseluruhan dari sebuah signal pada sebuah piksel yang ditinjau akan tetapi tidak
dapat membedakan letak titik hamburan (scattering point) apakah berada pada kanopi vegetasi atau berada
pada permukaan tanah. Masalah ini dapat diselesaikan melalui penerapan polarisasi pada lingkup
interferometry (Polinsar) (Cloude dan Papathanassiou, 1998).
Polarimetri peka terhadap bentuk dan orientasi obyek, sementara interferometri peka terhadap distribusi
spasial dan tinggi obyek. Dengan demikian Polinsar memiliki kemampuan mengindentifikasi mekanisme
hamburan pada suatu medium dengan menerapkan perbedaan fase pada polarisasi yang berbeda. Oleh karena
itu Polinsar tidak hanya menggunakan beda fase, tetapi juga amplitude dari koherensi kompleks
interferometri untuk menentukan struktur vertikal dari volume vegetasi dengan memisahkan lokasi antara
pusat fase pada berbagai polarisasi yang berbeda (Richards, 2009; Lee dan Pottier, 2009; Wenxue dkk,
2015).
Sebuah system Polinsar bekerja berdasarkan dua buah data citra polarimetrik yang berasal dari dua buah
posisi pengamatan yang berbeda yang menghasilkan complex polarimetric interferometric coherency, yakni
(Richard, 2009) :
〈 ∗〉
= | | ∆∅ = ∗ ∗ (1)
〈 〉〈 〉

dan adalah vektor target pada citra yang akan di-interferensi-kan, karena kedua vektor tersebut
mengandung informasi yang dibutuhkan dalam membentuk citra interferometrik dari semua kombinasi
polarisasi.
Untuk dua buah citra SAR yang koheren, perbedaan fase interferometrik diformulasikan sebagai berikut
(Richards, 2009):
∆ =∆ +∆ + ∆ + ∆ (2)

∗〉
Dari bentuk persamaan (1) kita dapat menuliskan bahwa 〈 =〈 ∗ ( ∗ )∗ 〉 = ∗ 〈 ∗ 〉

dan sebaliknya untuk denominator-nya. merupakan vector filter Unitarian (Cloude dan Papathanossiou,
1998). Selanjutnya, oleh karena vector bobot konstan maka dapat dikeluarkan dari operator ekspektasi <>.
Sehingga complex coherence dapat dituliskan sebagai :
∗ 〈 ∗ 〉 ∗
= atau = (3)
∗ 〈 ∗ 〉 ∗ 〈 ∗ 〉 ∗ ∗

Dimana dan adalah matriks koherensi masing-masing citra SAR serta :


∗ ∗ 〉
Ω = Ε( )≡〈 (4)

Merupakan matriks gabungan dari complex coherence atau joint image complex coherency matix yang berisi
informasi baik polarimetrik maupun interferometrik.
Untuk koregistrasi dua buah citra SAR full-polarimetrik yang koheren, dapat dibentuk matriks Hermitian
6x6 (T6 matrix) sebagai berikut :
[ ] [Ω ]
[ ]=〈 [ ∗ ∗
]〉 = (5)
[Ω ]∗ [ ]
Dimana <> merepresentasikan operator multi-looking dan * merupakan transformasi Hermitian. [ ]
dan [ ] merepresentasikan matriks koherensi Hermitian baku (standard Hermitian coherency matrix) yang
berisikan informasi full-polarisasi masing-masing citra SAR full-polarimetrik. Adapun [Ω ] merupakan
matriks kompleks baru dengan dimensi 3x3 yang mengandung informasi tidak saja terkait informasi
polarimetrik, tetapi juga hubungan fase interferometrik (interferometric phase) antar kanal polarimetrik
dalam kedua citra yang koheren tersebut.
Nilai koherensi polarisasi HV-HV kedua buah citra SAR adalah maksimum 0,218. Nilai koherensi
tersebut kecil karena adanya temporal baseline yang menyebabkan temporal dekorelasi yang besar. Gambar
5 memperlihatkan interferogram polarisasi HV-HV dan nilai koherensinya.

-260-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Gambar 5. Koherensi polarisasi HV-HV citra ALOS PALSARpada wilayah studi

Dengan nilai koherensi yang kecil, pusat fase interferometric menjadi kurang optimum ditentukan. Hal
tersebut akan berpengaruh pada pembentukan Random Volume Over Ground (RVOG) untuk estimasi tinggi
vegetasi. Gambar 6memperlihatkan secara berturut-turut : (A) Citra ALOSFull-Polarimetrik wilayah studi
dalam mode RGB-Pauli, (B) Wilayah yang ditinjau, (C) Tinggi RVOG dalam bentuk dua dimensi, (D dan E)
memperlihatkan tinggi RVOG dalam bentuk tiga dimensi.Hasil tersebut memperlihatkan bahwa tinggi
RVOG dari lokasi yang dipilih (Gambar 6.(A)) memiliki tinggi vegetasi maksimum 20,5 meter (Gambar 6
(D)). Pada bagian lain wilayah studi tinggi vegetasi dapat mencapai 28,9 meter (Gambar 6 (E))

A B C

D
E
Gambar 6. (A) Citra Alos Full-Polarimetrik wilayah studi dalam mode RGB-Pauli, (B) Wilayah yang ditinjau, (C)
Tinggi RVOG dalam bentuk dua dimensi, (D dan E) tinggi RVOG dalam bentuk tiga dimensi

Untuk menilai tingkat ketelitian hasil estimasi tinggi RVOG maka perlu divalidasi dengan tinggi aktual
di lapangan. Hasil validasi tinggi RVoG dibandingkan dengan tinggi vegetasi hasil survai lapangan pada
sampling plot disajikan dalam Gambar 7.

-261-
Penerapan Teknik Polarimetric Interferometry Synthetic Aperture Radar (PolInSAR) untuk Estimasi Cadangan Karbon Hutan
Tropis Indonesia menggunakan Citra ALOS PALSAR Full-Polarimetric (Jaya, L.M.G., dkk.)

Gambar 7. Hasil validasi tinggi RVOG terhadap tinggi hasil survai lapangan

Hasil validasi memperlihatkan bahwa nilai korelasi antara model tinggi hasil estimasi terhadap ukuran
tinggi aktual relatif kurang baik dimana nilai R2 hanya mencapai 0,5257. Kemungkinan hal tersebut
disebabkan disamping adanyatemporal dekorelasi yang besar juga kondisi topografi yang curam dan
bergelombang yang menyebabkan terjadinya distorsi citra ALOS PALSARserta kemungkinan pengukuran
aktual di lapangan yang kurang teliti.

4. KESIMPULAN
Dari penelitian ini dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut,
a. Keunggulan teknik PolINSAR dibandingkan beberapa teknik lainnya dalam estimasi cadangan karbon
yaknikemampuannya dalam memodelkan struktur fisik vegetasi khususnya tinggi vegetasi.
b. Sumber utama ketidakpastian estimasi tinggi vegetasi menggunakan teknik PolInSAR adalah dekorelasi
temporal akibat adanya temporal baseline dua buah citra SAR yang digunakan. Semakin panjang
temporal baseline (dalam penelitian ini 1 tahun) maka dekorelasi temporal juga semakin besar. Semakin
besar dekorelasi temporal maka nilai koherensi interferometrik menjadi lebih kecil, artinya makin tidak
koheren dan ketelitian hasil estimasi tinggi vegetasi juga berkurang.
c. Penerapan teknik Polinsar menggunakan citra ALOS PALSARfull-polarimetrik dapat dipertimbangkan
untuk digunakan dalam pemetaan cadangan karbon pada hutan tropis Indonesia karena kemampuan sinyal
backscatter (hamburan balik) yang berkorelasi dengan volume vegetasi dan kemampuannya dalam
memodelan struktur vertikal vegetasi berdasarkan fase, amplitudo koheren interferometri dan pemisahan
pusat fase pada polarisasi yang berbeda menghasilkan estimasi tinggi yang cukup reliabel.
d. Meskipun dikatakan cukup reliable, namun hasil penelitian ini memperlihatkan masihrendahnya nilai
akurasi hasil estimasi tinggi vegetasi dengan nilaiR2=0,5257.Penyebab utamanya kemungkinan karena
temporal dekorelasi yang besar. Disamping itu, kondisi daerah studi yang bergelombang yang
menyebabkan distorsi citra SAR kemungkinan ikut mempengaruhi estimasi posisi pusat fase
interferometrik.

5. UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Profesor Masanobu Shimada dan rekan
dari Japan Aerospace and Exploration Agency (JAXA) atas kesediannya menyediakan citra satelit ALOS
PALSARFull-Polarimetric yang digunakan dalam penelitian ini.Ucapan terima kasih juga disampaikan
kepada Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Kemenristekdikti atas biaya yang diberikan untuk
penelitian ini melalui Hibah Penelitian Produk Terapan Tahun 2016.

-262-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

DAFTAR PUSTAKA

Bernard, Florence, M., dan Peter, A., (2011).Strengthening Measurement, Reporting and Verification (MRV) for
REDD+. International Institute for Sustainable Development
Cloude, S.R., dan Papathanassiou, K.., (1998). Polarimetric SAR Interferometry. IEEE Transactions on Geoscience and
Remote Sensing, 36(5):1551-1565.
FAO, (2013). National Forest Monitoring Systems: Monitoring and Measurement, Reporting and Verification (M &
MRV) in the context of REDD+ Activities.
Florian, K., Papathanassiou K., Hajnsek, I.,dan Coscia, A., (2006). Potential of forest height estimation using X band by
means of two different inversion scenarios, ESA 3-11536/06/I-EC
Jaya, Surati, I.N., dan Buce, S.M., (2012). Peta Jalan (Road Map) MRV Kehutanan. Direktorat Jenderal Planologi
Kehutanan, Kementerian Kehutanan RI dan UN-REDD Programme Indonesia.
Le, T., Quegan, S., Davidson, M.W.J., Baltzer, H., Paillou, P., Papathanassiou, K., Plummer, S., Rocca, F., Saatchi, S.,
Shugart, H., dan Ulander, L. (2011). The BIOMASS Mission : Mapping global forest biomass to better
understand the terrestrial carbon cycle. Remote Sensing of Environment, 115:2850-2860
Lee, S., Kugler, F., Papathanassiou, K., dan Hajnsek, I., (2010). Polarimetric SAR Interferometry for Forest Application
at P-Band: Potentials and Chalenges. German Aerospace Center (DLR), Institute of Radio Frequency
Technology and Radar System (DLR-HR)
Lee, Jong, S., dan Pottier, E., (2009). Polarimetric Radar Imaging from Basics to Applications. CRC Press, ISBN 978-
1-4200-5497-2
Luckman, A.J., (1997). Texture in airborne SAR imagery of tropical forest and its relationship to forest regeneration
stage.International Journal of Remote Sensing, 18:1333-1349
Mette, T., Papathanassiou, K.P., Hajnsek, I., dan Zimmermann, R. (2003).Forest Biomass Estimation using Polarimetric
SAR Interferometry.
Mette, dan Tobias (2006). Forest Biomass Estimation from Polarimetric SAR Interferometry.Dissertation, Technischen
Universität München
Papathanassiou, K.,dan Cloude, S.R. (2001). Single base-line Polarimetric SAR Interferometry.IEEE Transactions on
Geoscience and Remote Sensing, 39(11):2352-2363
Richards, J.A., (2009). Remote Sensing with Imaging Radar, Signals and Communication Technology, ISBN: 978-3-
642-02019-3, Springer
Wenxue, F., Huadong, G., Xinwu, L., Bangsen, T.,dan Zhongchang, S., (2015). Extended Three-Stage Polarimetric
SAR Interferometry Algorithm by Dual-Polarization Data.IEEE Transactions on Geoscience and Remote
Sensing. DOI: 10.1109/TGRS.2015.2505707

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskui presentasi ilmiah

BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016

Moderator : Kustiyo
Judul Makalah : Penerapan Teknik Polarimetric Interferometry Synthetic Aperture Radar (PolInSAR)
untuk Estimasi Cadangan Karbon Hutan Tropis Indonesia Menggunakan Citra
Alos Palsar Full-Polarimetric
Pemakalah : Laode Muh. Golok Jaya (Univ. Halu Oleo)
Diskusi :

Pertanyaan: Ita Carolita (LAPAN)


Bagaimana kita melihat hasil mana yang lebih baik, apakah ada perbedaan tiap polarisasinya?

Jawaban:
Data Interferometry digunakan untuk fasenya, apabila vegetasinya sangat dinamik menggunakan
polarimetrik. Gabungan dari kedua tersebut bisa untuk membedakan fasenya dan diharapkan kita memiliki
data single baseline. Untuk koherensi dipengaruhi oleh pertumbuhan vegetasi. Polarimetrik bisa full
digunakan untuk vegetasi yang tidak lebat dan kompleks.

-263-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Rancang Bangun Sistem Pengolahan Data Light Detection and Ranging


(LiDAR) Airbone Laser Scanning untuk Ekstraksi Digital Terain Model
(DTM) Studi Kasus Kalimantan Tengah

Design of Data Processing Systems Light Detection and Ranging (LiDAR)


Airborne Laser Scanning for the Extraction of Digital Terrain Models
(DTM) A Case Study in Central Kalimantan
Kuncoro Adi Pradono1*), dan Katmoko Ari Sambodo1
1
Pusat Teknologi dan Data Penginderaan - Jauh
*)
Email: kuncoro.adi@lapan.go.id

ABSTRAK - LiDAR (Light Detection and Ranging) adalah sebuah teknologi penginderaan jauh optis yang dapat
mengukur jarak dari sebuah objek melalui pancaran cahaya menggunakan pulsa laser. Dengan tingkat akurasi posisi dan
orientasi tinggi yang dihasilkan oleh GPS dan IMU, maka pantulan sinar laser dari objek permukaan bumi dapat
dihitung. Melalui penurunan dari perhitungan pantulan pulsa laser dapat dibuat model elevasi yang menampilkan
ketinggian permukaan yaitu data Digital Surface Model (DSM). Untuk keperluan aplikasi penginderaan jauh dari data
point cloud di atas dapat pula diturunkan menjadi koordinat (x,y,z) dari titik-titik secara digital, yang mewakili bentuk
topografi suatu terrain yaitu data Digital Terrain Model (DTM). Penelitian ini membahas mengenai rancang bangun
sistem pengolahan data DSM LiDAR menjadi DTM menggunakan software open source ”lidar2dems”. Software ini
akan mengolah point cloud hasil pulsa laser dari perangkat Airbone Laser Scanning (ALS) dalam sebuah polygon
shapefile yang sudah berada pada Sistem Referensi Spasial (SRS), kemudian setiap polygon akan memiliki kelas yang
akan mempengaruhi pilihan klasifikasi yang akan diproses dengan model piecewise. Kemudian dilakukan filterisasi,
grinding dan gap fill untuk menghasilan raster dari point cloud. Dari hasil eksperimen didapatkan adalah data DSM dan
DTM dengan resolusi 1 meter yang unsur vegetasi tidak ikut dihilangkan.

Kata kunci: LiDAR, Digital Surface Model, Digital Terrain Model, Point cloud.

ABSTRACT - LiDAR (Light Detection and Ranging)is a optical remote sensing technology which can measure a
distance from object through pulse a laser beam. The accuracy of position and orientation from GPS and IMU, so
reflectance of laser beam could be measured. By using calculation of pulse laser beam reflectance, model of elevation
which show the height of surface which called as Digital Surface Model. For remote sensing needs with point cloud
data, coordinate (x,y,z) could be determined which show topographical of terrain usually know as Digital Terrain
Model (DTM). This research will tell about the design data processing LIDAR DSM to convert DTM data using open
source software “lidar2dems”. This software will process point cloud from Airbone Laser Scanning (ALS) laser beam
to polygon shapefile in Spatial Reference System (SRS) then every polygon shapefile will have class which influence of
classification and processed with piecewise model. After that raster will be produced by Filtration, grinding and gap
filling process from point clouds. The result from this research are1 meter resolution DSM and DTM data without
vegetation aspect.

Keywords: LiDAR, Digital Surface Model, Digital Terrain Model, Point cloud.

1. PENDAHULUAN
Airbone Lidar Scanning (ALS) adalah sistem LiDAR yang paling umum untuk menghasilkan model
elevasi digital. Gabungan dari airbone dan sensor pemindai merupakan cara yang paling efektif dan efisien
untuk mengumpulkan data elevasi hingga ribuan mil persegi. Untuk area yang lebih kecil dimana
memerlukan densitas yang lebih tinggi dapat digunakan helikopter atau Terreserial Laser Scan (TLS). Lidar
merupakan akronim dari light detection and ranging. Cara kerja LiDAR dapat dianalogikan seperti RADAR
hanya saja, lidar menggunakan pulsa laser diskrit sedangkan RADAR menggunakan gelombang
elektromagnet. Lidar merupakan teknologi yang menembakkan sinar laser dengan memanfaatkan emisi
gelombang cahaya untuk memperoleh posisi geometri tiap titik laser. Titik-titik yang diperoleh dari scanning
lidar merupakan titik-titik yang sudah memiliki koordinat tiga dimensi yang berasal dari multy return sinyal
lidar pada suatu obyek yang kemudian dapat dimodelkan secara tiga dimensi dan titik-titik tersebut disebut
points cloud. Rentang atau jarak antara scanner ke target dan informasi posisi dan orientasi yang diperoleh

-264-
Rancang Bangun Sistem Pengolahan Data Light Detection and Ranging (LiDAR) Airbone Laser Scanning untuk Ekstraksi Digital
Terain Model (DTM) Studi Kasus Kalimantan Tengah (Pradono, K.A., dkk.)

dari Global Positioning Sistem (GPS) dan Inertial Measurment Unit (IMU) dapat menentukan lokasi target
dengan akurasi tinggi dalam ruang tiga dimensi (Habib, 2008).
Pengambilan data pada survei ALS dapat dilakukan pada siang maupun malam hari dengan syarat kondisi
cuaca yang memungkinkan pesawat untuk terbang. Survei dapat dilakukan pada malam hari, karena sensor
ALS memancarkan energi sendiri berupa sinar laser. Lidar memiliki kelebihan yaitu dapat memancarkan
laser untuk akuisisi data mencapai 200 kHz yang dapat mengukur 200000 pulsa per detik, dengan memutar
scanner yang bergerak memutar pada interval 0.004 derajad. Data lidar terdiri dari point clouds yang
menampilkan titik-titik hasil penyiaman, Digital Terrain Model (DTM), dan Digital Surface Model (DSM).
Banyak faktor yang mempengaruhi kualitas data lidar, diantaranya adalah kuat lemahnya signal pancaran,
daerah topografi yang diamati, kecepatan terbang pesawat, dan jarak antara sensor dengan obyek (Harding,
2009). Semua faktor tersebut dapat diminimalisir dengan cara menentukan terlebih dahulu hal-hal yang harus
dilakukan sebelum pengambilan data. Dengan kebutuhan tersebut maka dilakukan rancang bangun sistem
pengolahan data lidar sehingga data LAS point cloud dapat diproses menjadi DSM, DTM dan CHM.

Gambar 1. Proses Akusisi Data Lidar dengan ALS (Habib, 2008)

2. METODE
2.1. Progresive Morphological Filter
Morphological Filter yaitu sebuah metode filter pada data LIDAR yang digunakan untuk memisahkan
objek ground dan non-ground. Proses matemetis Mophologi terdiri atas operasi kernel erosi dan dilasi
dengan ukuran window tertentu. Konsep dilasi dan erosi dikembangkan untuk mencari nilai max dan min
dari nilai pixel dengan fungsi kernel melalui nilai ketetanggaan (neighborhood). Untuk pengamatan dari titik
p(x,y,z), maka dilasi dari elevasi z pada titik x dan y didefinisikan sebagai :

= max( )( , )∈ …………………………………………………………..……………………..(1)

Erosi merupakan kebalikan dari dilasi yang didefinisikan sebagai berikut :

= min( )( , )∈ ……………………………………………………………….………………..(2)

Dimana titik (x p,yp,zp) merupakan titik ketetanggan dari dari titik p dengan window sebesar w. Kombinasi
operasi matematis yaitu erosi kemudian dilasi dilakukan untuk memfilter non-ground point pada data lidar.
Operasi tersebut dikenal dengan nama opening. Berikut adalah ilustrasi bagaimana pemfilteran non-ground
point pada sebuah dataset.

-265-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Gambar 2. Proses Filter Window 1D (Zhang, 2003)

Ukuran window tersebut akan berubah-ubah sesuai dengan objek non-ground, sehingga user harus
mendefinisikan dan mengubah-ubah window sesuai dengan objek (Kilian dkk, 1996). Namun ukuran
window yang ideal tidak akan pernah dapat dijumpai untuk berbagai macam topografi.
Progresive Morphological Filter merupakan metode filter yang dikembangkan dari morphological filter
diaplikasikan pada software ini sebagai penyempurnaan yang memperbaiki proses penentuan window dan
berbagai macam topografi.

Gambar 3. Algorithma Progresive Morphological Filter

Data pengukuran LIDAR dengan elevasi min diletakan dalam sebuah grid dimana koordinat point (x,y,z)
pada cell. Apabila tidak ada data pada cell maka diambil dari nilai ketetanggan terdekat. Operasi opening
yang menjadi komponen utama progressive morphological filter diaplikasikan pada grid. Iterasi pertama,
elevasi min bersama dengan inisial filter window menyediakan input untuk proses pemfilteran. Pada iterasi
berikutnya, permukaan yang telah difilter dari iterasi sebelumnya dan ukuran window yang telah diperbesar
dari langkah 3, digunakan sebagai input untuk filter. Output dari langkah ini yaitu a) permukaan yang lebih
halus dari morphological filter dan b) non ground point yang terdeteksi dari perbedaan threshold dari
elevasi. Ukuran window diperbesar dan threshold dari elevasi dikalkulasi. Langkah 2 hingga 3 diulang
sampai ukuran filter window lebih besar dari nilai max yang didefinisi. Nilai ini biasanya diatur sedikit lebih
besar dari nilai max. Langkah terahir adalah mengenerate DTM dari dataset setela seluruh non ground point
telah dihilangkan. Seluruh tahapan tersebut telah dikemas dalam software lidar2dems yang bersifat open
source.

-266-
Rancang Bangun Sistem Pengolahan Data Light Detection and Ranging (LiDAR) Airbone Laser Scanning untuk Ekstraksi Digital
Terain Model (DTM) Studi Kasus Kalimantan Tengah (Pradono, K.A., dkk.)

Pemilihan parameter pada progresive morphological filter sangat mempengaruhi hasil. Untuk filter
window dapat dipilih filter yang linear dan simetris sehingga pemrograman operasi opening menjadi lebih
sederahana. Dengan keuntungan fitur topografi yang berubah secara bertahap dapat dipertahankan namun
membutuhkan waktu komputasi yang lebih lama. Untuk pemilihan window yang linier didefinisikan sebagai
berikut:

=2 +1…………………………………………………………….…………………………………(3)

Dimana k = 1,2 ,…..M merupakan iterasi dan b inisial window. Alternatif lain untuk meningkatkan waktu
komputasi, window dapat dibuat secara exponensial. Dengan keuntungan akan mengurangi waktu iterasi
dalam proses pemfilteran. Untuk pemilian window secara exponensial didefinisikan sebagai berikut:

=2 + 1…………………………………………………..................……………………………….(4)

Threshold perbedaan elevasi ditentukan sesuai dengan slope dari topografi. Hubungan perbedaan
max elevasi dhmax(t)(k) untuk suatu terrain dengan ukuran window wk dan slope s dapat didefinisikan sebagai
berikut:

( )( )
= ( ) ……………………………………………………………………………………………..(5)

Dimana threshold elevasi dhT,kdiperoleh dari :

ℎ ≤3
ℎ , ( − ) + ℎ >3
ℎ ℎ , > ℎ

Dimana dhT,k (threshold elevasi), s (slope), c (ukuran cell, dh0 (threshold awal).

Gambar 4. Proses Progresive Morphological Filter (Zhang,2003)

2.2. Pengolahan Data LIDAR


Data yang diperoleh dari sensor ORION m/c 300 Optech hasil akuisisi dari pesawat oleh Surtech berupa
dataLAS dan shapefile. Sehingga perlu dilakukan ekstraksi agar dapat dilakukan pengolahan lebih lanjut
dengan software lidar2dems. Lokasi yang diakusisi direpresentasikan dalam shapefile terdiri dari satu atau
lebih polygon yang bersebelahan. Setiap polygon akan memiliki kelas yang sebagai atribut untuk mewakili
pilihan klasifikasi, dimana akan diproses secara terpisah dengan model piecewise untuk membuat DEM di
setiap polygon. Shapefile harus ada pada Sistem Referensi Spasial (SRS) supaya ketika diolah menjadi raster

-267-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

ada koordinatnya. Semua polygon yang berada pada lokasi pengamatan harus mencakup dimana ada data
LiDAR karena daerah diluarnya akan menerima efek interpolasi realistis dalam proses gap-filling.
Ada 4 jenis klasifikasi sebagai atribut polygon dalam perancangan sistem pengolahan data LiDAR ini
untuk mengoptimalkan ground classification. Setiap polygon pada shapefile dapat secara spesifik sesuai
dengan bentuk terrain-nya, yang mana nilai yang bersesuaian pada kemiringan (slope) dan nilai sel (cell
value) akan digunakan sebagai masukan pada Progressive Morphological Filter (model ground filter di
PCL). Berikut ini merupakan tipe terrain yang digunakan :
1. Flat non-forest, area yang relatif datar dengan sedikit hingga hampir tanpa vegetasi (slope 1, cell size 3).
2. Flat forest, area yang relatif datar yang yang berhutan (slope 1, cell size 2).
3. Complex non-forest, area dengan berbagai kemiringan tipe terrain dengan sedikit hingga tanpa vegetasi
(slope 2, cell size 2).
4. Complex forest, area dengan berbagai kemiringan tipe terrain yang berhutan (slope 10, cell size 2).
Perlu diketahui bahwa keuntungan untuk pengolahan daerah datar ada pada lama proses bukan dari
keakuratan hasil. Untuk tipe terrain yang meragukan pilhan terbaik adalah jenis complex. Sedangkan apabila
jenis medan tidak ditentukan berhutan atau tidak nilai default akan digunakan (slope 1, cell size 3). Utilitas
lidar2dems memiliki berbagai macam filter untuk memangkas point cloud yang akan diolah antara lain
decimation, maxsd, maxangel, maxz dan returnnum.
Selama proses grinding, dataset raster akan dihasilkan dari pengolahan point cloud dalam radius di setiap
tengah pixel untuk mengidentifikasi point mana yang akan digunakan sebagai perhitungan data ketinggian.
Semakin kecil jari-jari, semakin sedikit poin yang digunakan sementara untuk memberikan resolusi yang
lebih tinggi yang efektif juga meningkatkan potensi gaps. Untuk DSM hal ini jarang bermasalah, sehingga
nilai gaps 0,56 dirasa cukup baik. Namun, untuk DTM (ground) di kawasan hutan gaps data menjadi
signifikan dikarenakan densitas point pada tanah yang rendah. Untuk membantu mengisi gaps data yang
lebih baik, dapat dibuat iterasi melalui DTM dengan memperbesar jari-jari grinding.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Perancangan sistem pengolahan data LIDAR saat ini telah beroperasi berkat kerjasama LAPAN dan
AGS (Applied Geo Solution) di Jakarta. Dataset raw diperoleh dari AGS melalui akusisi yang dilakukan
Surtech kemudian melalui kerjasama dibagunlah software lidar2dem untuk mengolah data lidar menjadi
DTM. Visualisasi ketersediaan data lidar di wilayah kalimantan dapat dilihat melalui gambar berikut.

Gambar 5. Terdapat 30 Strip dengan Ferry Lines Antar Lokasi. (Sumber. Data akusisi)

Rancang bangun perangkat keras pengolahan data lidar menggunakan perangkat seperti dalam Tabel 1.
Untuk melakukan pemrosesan data dalam melakukan ekstraksi DTM perangkat lunak open source yang
digunakan dalam sistem antara lain:
 Ubuntu 14.04 LTS Operating system yang disusun dan disesuaikan librarynya untuk proses pengolahan.
 Python sebagai bahasa pemrograman untuk menerjemahkan algorithma atau psudo code.
 LASzip sebagai library kompresi untuk membaca dan menulis data LAS dengan lisensi LGPL

-268-
Rancang Bangun Sistem Pengolahan Data Light Detection and Ranging (LiDAR) Airbone Laser Scanning untuk Ekstraksi Digital
Terain Model (DTM) Studi Kasus Kalimantan Tengah (Pradono, K.A., dkk.)

 PDAL sebagai manipolator dan translator data point cloud dengan library BDS C++ untuk mengolah
data menjadi vektor maupun raster.
 PCL sebagai aplikasi standalone untuk mengolah gambar 2D/3D dan point cloud dengan lisensi BSD
 Lidar2dem merupakan kumpulan library untuk memudahkan pengolahan data lidar menggunakan
library PDAL sehingga point dan grinding point cloud proses menjadi raster.

Tabel 1.Perangkat Pengolahan.


No Komponen Spesifikasi
1 Komputer Server Precision Tower 7810 (Precision Tower 7810) Intel(R) Xeon(R) CPU E5-2620
v3 @ 2.40GHz ,64GB DDR 3, Ubuntu Os
2 Komputer Client Pavilion 23 Inter Core i5 16GB DDR 3, Windows 10
3 Envi 5.0 License GIS software
4 QGIS Lyon Open source GIS software

Pada percobaan pengolahan dataset lidar telah berhasil dilakukan. Data citra diolah satu persatu pada tiap
tahapan untuk mengetahui perbedaan waktu yang digunakan. Berikut waktu proses sampai data dapat
ditampilkan menjadi raster.

Tabel 2. Waktu Proses Data


No Tahapan Lama Proses Keterangan
1 Classifiying 4:10:21.951186 s Membuat region shp dari DEM
2 Create DEM 0:29:35.990870 s Proses DEM
3 Create DTM 1:06:10.728278 s Proses DTM
4 Create CHM 0:00:22.959643 s Proses Canopy
(Sumber: Hasil Pengolahan)

Dari hasil pengolahan tersebut didapatkan tiga hasil berupa DSM, DTM dan CHM dengan resolusi 1 meter.
Berikut contoh potongan dari hasil pengolahan.

Gambar 6. Data Hasil Pengolahan dalam 1 Jalur Terbang (Sumber: Hasil Pengolahan)

-269-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

(a) (b)

(c)

Gambar 7. Tampilan 3D Potongan Pengolahan Data dengan lidar2dem (a) DSM, (b) DTM dan (c) CHM (Sumber:
Hasil Pengolahan)

(a) (b)

(c)
Gambar 8. Tampilan 2D Potongan Pengolahan Data dengan lidar2dem (a) DSM, (b) DTM dan (c) CHM (Sumber:
Hasil Pengolahan)

-270-
Rancang Bangun Sistem Pengolahan Data Light Detection and Ranging (LiDAR) Airbone Laser Scanning untuk Ekstraksi Digital
Terain Model (DTM) Studi Kasus Kalimantan Tengah (Pradono, K.A., dkk.)

4. KESIMPULAN
Rancang bangun sistem pengolahan data lidar telah diimplementasikan pada tahun 2015. Sistem ini
dibangun dengan software open source lidar2dems dengan kerja sama LAPAN dan AGS. Kendala yang
dihadapi sistem pengolahan ini adalah resource memory dan storage untuk pengolahan data yang cukup
besar karena data LAS yang diolah tiap jalur terbang sangat besar. Beberapa data juga mengalami gagal
proses saat classify. Untuk pengembangan kedepan terdapat peluang multiprocessing untuk efisiensi
resource dan percepatan pengolahan.

5. UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih disampaikan kepada Drs. Kustiyo, M.Si, yang telah menyediakan fasilitas
pengolahan datanya dan Steven Hagen berbagai training, diskusinya selama melakukan eksperimen.

DAFTAR PUSTAKA
Habib, A.F., Al-Durgham, M., Kersting, A. P., dan Quackenbush, (2008).Error Budget LiDAR Systems and Quality
Control of The Derived Point Cloud,Departement of Geomatics Engineering, University of Calgary.
TheInternational Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Vol.
XXXVII, Part B1, Beijing.
Harding, (2009).Topographic Laser Ranging and Scanning Principles and Processing: Pulsed Laser Altimetric
Ranging Techniques and Implication for Terrain Mapping. CRC Press, New York.
Kilian, J., Haala, N., dan Englich, M., (1996). Capture and evaluation of airborne laser scanner data,Int. Arch.
Photogramm. Remote Sens., 31:383-388.
Keqi, Z., Shu-Ching, C., Member, Dean, W., Mei-Ling, S., Jianhua, Y., dan Chengcui, Z., (2003). A Progressive
Morphological Filter for Removing Nonground Measurements From Airborne LIDAR Data. Transactions On
Geoscience And Remote Sensing. 41(4).

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskusi presentasi ilmiah

BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016

Moderator : Dr. Rahmat Arief, Dipl.Ing.


Judul Makalah : Rancang Bangun Sistem Pengolahan Data Light Detection and Ranging (LiDAR)
Airbone Laser Scanning untuk Ekstraksi Digital Terain Model (DTM) Studi kasus
Perkebunan Kelapa Sawit Kalimantan Tengah
Pemakalah : Kuncoro Adi Pradono (LAPAN)
Diskusi:

Pertanyaan: Dr. Tatik Kartika (LAPAN):


Line harus lurus kemudian terputus itu kenapa?

Jawaban:
Terkadang di file shp nya ada yang bolong-bolong jadi gagal classify-nya.

Pertanyaan: Haris Suka Dyatmika (LAPAN):


Kenapa gagal proses classify?

Jawaban:
Karena tidak ada data yang pada density image tidak terbentuk dan pada segi hardware-nya

Pertanyaan: Ita Carolita (LAPAN):


Apakah LAPAN masih kerjasama dengan AGS? Dan Data masih bisa diambil?

Jawaban:
Kerjasamanya hanya berupa pengolahan data saja. Pada tahun 2015 LAPAN dan AGS kerjasama untuk
membangun Software-nya dan datanya bisa di-request.

-271-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Pemanfaatan Data Resolusi Sangat Tinggi Pleiades


untuk Identifikasi Saluran Irigasi

Application of Pleiades Very High Resolution Data


for Irrigation Channel Identification
Udhi C. Nugroho1*) dan Bambang Trisakti1
1
Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, LAPAN
*)
E-mail: udhi.catur@lapan.go.id

ABSTRAK -Berdasarkan statistik lahan pertanian tahun 2014 yang di keluarkan oleh Kementerian Pertanian, pada
tahun 2013 Indonesia mempunyai 8.132.345,91 hektar lahan sawah. Dari total lahan sawah tersebut ada 4.417.581,92
hektar yang merupakan sawah irigasi. Sehingga inventarisasi dan pengelolaan saluran irigasi perlu dilakukan untuk
mendukung program nasional ketahanan pangan dan mencapai swasembada pangan. Saluran irigasi terdiri dari
beberapa jenis saluran, yaitu saluran irigasi primer, sekunder, dan tersier. Oleh karena itu pada penelitian ini dilakukan
kajian kemampuan citra satelit resolusi sangat tinggi Pleiades untuk identifikasi saluran irigasi di Kabupaten
Sukoharjo.Identifikasi saluran irigasi dilakukan dengan membuat komposit RGB dengan kombinasi manual dan
membuat komposit dengan metode Spectral Processing Exploitation and Analysisi Resources - Line of Comunication
for Water (SPEAR LOC-Water) untuk menajamkan penampakan saluran air dan tubuh air. Komposit manual dibuat
untuk komposittrue color dan beberapa komposit false color, selanjutnya semua komposit yang dibuat dibandingkan
untuk mendapatkan komposit yang paling dapat mengidentifikasi saluran air dan membedakan dengan objek
disekitarnya. Hasil memperlihatkan bahwa komposit false color menggunakan menggunakan kombinasi (Blue, Red dan
NIR) dan komposit dengan metode SPEAR LOC-Waterdapat membuat perbedaan spektral antara objek air dengan
objek lainnya semakin tinggi, sehingga saluran air dapat diindentifikasi dengan cukup akurat, walaupun sedikit
permasalahan dengan kemiripan kenampakan saluran air dan jalan aspal. Penggunaan kunci interpretasi asosiasi untuk
posisi, lokasi dan bentuk saluran air dapat mempermudah identifikasi dan meningkatkan akurasi

Kata kunci:penginderaan jauh, pleaides, saluran irigasi, komposit kanalfalse color

ABSTRACT - Based on 2014 statistics of agricultural land that is issued by the Ministry of Agriculture, in 2013
Indonesia has 8,132,345.91 hectares of paddy fields. Of the total rice area of 4,417,581.92 hectares are irrigated rice.
Sothe inventory and management of irrigation canal need to be done to support the national program for food security
and food self-supporting. Irrigation channel consists of several types of canals, there are primary canal, secondary
canal, and tertiary canal. Therefore, in this research study of the ability of very high resolution Pleiades satellite
imagery for irrigation canals identification in the Sukoharjo area. Identification of irrigation canals is done to make an
RGB composite combined manual and create a composite with the method Spectral Exploitation and Analysisi
Processing Resources - Line of Communications for Water (SPEAR LOC-Water) to sharpen the appearance drains and
water bodies. Composite manual created for true color composites and some false color composite, then all composites
are made compared to obtain a composite that most can identify irrigation and distinguish surrounding objects. The
results showed that the false color composite using a combination (Blue, Red and NIR) and composite with methods
SPEAR LOC-Water can make the difference spectral between objects of water with other objects getting higher, so that
the irrigation can be identified accurately enough, although a little problem with similarity of appearance irrigation
and road asphalt. Use of the key interpretation of the association for position, location and shape of the irrigation can
make easy for identification and improve the accuracy of identification results

Keywords: remote sensing, Pleiades, irrigation canal, false color band composite

1. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara agraris dimana sektor pertanian dalam tatanan pembangunan nasional
memegang peranan penting dalam menyediakan bahan pangan bagi seluruh penduduk. Pembangunan pada
sisi pertanian menjadi bagian penting dalam pembangunan nasional secara umum. Berdasarkan data statistik
pertanian luas lahan sawah di Indonesia pada tahun 2013 adalah 8.132.345,91 Ha dan 4.417.581,92 Ha
(54.32%) nya merupakan sawah irigasi, sisanya 3714763.99 Ha (45.68%) merupakan sawah non irigasi
(Pusdatin, 2014). Dengan sebagian besar lahan sawah di Indonesia adalah sawah irigasi maka perlu adanya
pengelolaan jaringan irigasi agar air bisa terdistribusi dengan baik dan merata. Salah satu bagian dari
pengelolaan tersebut adalah pemetaan jaringan irigasi yang sudah ada.Hal ini diperlukan agar irigasi yang
sudah ada dapat digunakan secara efisien, karena irigasi memanfaatkan sebesar 87 persen dari total

-272-
Pemanfaatan Data Resolusi Sangat Tinggi Pleiades untuk Identifikasi Saluran Irigasi (Nugroho, U.C., dkk)

penggunaan air untuk berbagaikeperluan di Indonesia dengan kecenderungan yang semakin menurun
karenameningkatnya pertumbuhan permintaan terhadap air di luar irigasi (Pasandaran, 2005). Keberadaan
lahan beririgasi seharusnya dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas hasil pertanian pada lahan tersebut
sehingga berdampak pada kesejahteraan masyarakat setempat (Purwanto, 2013).
Pembagian jaringan irigasi terdiri jaringan utama yang merupakan jaringan irigasi yang berada dalam
satusistem irigasi mulai dari bangunan utama, saluran induk/primer, saluran sekunder, dan bangunan sadap
serta bangunan pelengkap lainnya. Saluran primer adalah saluran yangmembawa air dari bangunan utama ke
saluran sekunder dan ke petak–petak tersieryang diairi. Saluran sekunder adalah saluran yang membawa air
dari saluran primer kesaluran tersier dan petak–petak tersier yang diairi. Sedangkan jaringan
tersiermerupakan jaringan irigasi yang berfungsi sebagai prasarana pelayanan air di dalampetak tersier yang
terdiri dari saluran pembawa disebut saluran tersier, saluran pembagiyang disebut saluran kuarter dan saluran
pembuang (Robert danSjarief, 2005).
Pada saat ini pemetaan jaringan irigasi di Indonesia masih mengandalkan pengamatan langsung di
lapangan yang datanya kemudian diolah kembali menggunakan perangkat GIS (Oktavianti dkk., 2014; Kono
dkk., 2014; Apriana dkk., 2014). Hal tersebut akan memberikan kendala lamanya waktu apabila dibutuhkan
pemetaan secara rapid mapping, serta membutuhkan kebutuhan pendanaan yang cukup mahal untuk
kebutuhan survei lapangan. Oleh karena itu teknologi penginderaan jauh dapat berperan serta dalam
mengidentifikasi jaringan irigasi dengan kelebihan cakupan wilayah yang lebih luas, dapat dilakukan
pemantauan berkelanjutan, serta kebutuhan pendanaan yang lebih murah dibandingkan dengan survei
lapangan. Salah satu citra satelit penginderaan jauh yang dapat digunakan untuk melakukan pemetaan
jaringan irigasi adalah citra satelit Pleiades. Saat ini terdapat dua satelit Pleiades yang mempunyai spesifikasi
yang sama, yaitu satelit Pleiades 1A yang diorbitkan pada tahun 2011 dan satelit Pleiades 1B yang diorbitkan
pada tahun 2012.

Tabel 1.Spesifikasi Satelit Pleiades

Kanal Panjang Gelombang Resolusi


Band 1 – Blue 430-550 nm 2m
Band 2 – Green 490-610 nm 2m
Band 3 – Red 600-720 nm 2m
Band 4 – NIR 750-950 nm 2m
Panchromatic 480-830 nm 0.5 m

Citra Satelit Pleiades mempunyai 4 kanal multispektal dengan resolusi spasial 2 m dan kanal
Panchromaticdengan resolusi spasial 0.5 m (Tabel 1). Dengan spesifikasi tersebut, citra satelit Pleides
diharapkan mampu untuk mengidentifikasi jaringan irigasi. Serta dengan variasi kanal, mampu mendeteksi
keberadaan jaringan irigasi baik secara pengamatan visual, digital atau gabungan keduanya. Tujuan dari
penelitian ini adalah mengidentifikasi jaringan irigasi menggunakan data citra Pleiades.

2. METODE
Penelitian ini menggunakan data citra satelit Pleiades Pansharpened dengan resolusi 0.5m yang diakuisisi
tanggal 18 Maret 2015 dengan wilayah kajian adalah Kabupaten Sukoharjo. Untuk mendapatkan informasi
jaringan irigasi dilakukan identifikasi secara manual yang didasarkan pada citra satelit Pleiades yang sudah
diolah menjadi komposit RGB tertentu, sehingga saluran irigasi dapat dibedakan secara jelas dengan obyek
lainnya. Pada penelitian ini, komposit RGB false color yang digunakan terdiri dari dua metode yaitu, metode
kombinasi Kanal Blue, Red, NIR dan metode berdasarkan Spectral Exploitation and Analysisi Processing
Resources - Line of Communications for Water (SPEAR LOC-Water).
Untuk mendapatkan kombinasi RGB yang tepat, pertama kali yang dilakukan adalah mengambil nilai
spektral pada obyek saluran irigasi, dan obyek–obyek lainnya yang secara visual mirip dengan saluran
irigasi. Dalam hal ini, obyek yang mirip dengan saluran irigasi adalahjalan tanah, jalan beraspal, vegetasi,
dan bayangan.

-273-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Gambar 1. Grafik Nilai Spektral Obyek pada Data Citra Pleiades

Pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa semua obyek kecuali bayangan mempunyai kemiripan pola spektral
pada kanal red dan kanal green. Sedangkan pada kanal blue dan kanal NIR, pola spektral semua obyek mulai
berbeda. Khusus untuk pola spektral irigasi dengan jalan aspal, sangat berhimpit pada kanal red dan green,
dan pada kanal blue nilai spektral jalan aspal sedikit lebih tinggi daripada irigasi, kemudian pada kanal NIR
nilai spektral nya hampir sama.
Berdasarkan pola spektral masing-masing obyek tersebut, maka dibuat suatu algorithma komposit RGB
agar obyek irigasi tampak lebih jelas pada citra dengan cara meninggikan nilai spektral pada kanal Red
karena pada kanal tersebut nilai spektral obyek irigasi paling tinggi. Algoritma komposit RGB yang
digunakan adalah, R = 2 x (Red + NIR) G = Red B = Red – Blue.
Sedangkan metode SPEAR LOC – Water, adalah metode yang bertujuan untuk menonjolkan obyek air
menggunakan data multispektral. Metode ini dapat diproses dengan software Envi, menggunakan
toolboxSPEAR LOC – Water Wizard (ENVI, 2014). Hasil dari proses SPEAR LOC – Water Wizard adalah 3
single band PCA yang kemudian akan disusun menjadi komposit RGB.

3. HASILDAN PEMBAHASAN
Identifikasi saluran irigasi menggunakan data citra Pleiades memerlukan komposit RGB yang
menonjolkan saluran irigasi, karena pada komposit RGB true color penampakan saluran irigasi masih mirip
dengan beberapa obyek lainnya. Pada saluran irigasi yang kondisi air nya keruh penampakannya mirip
dengan jalan tanah, sedangkan pada saluran irigasi yang kondisi airnya jernih penampakannya mirip dengan
jalan aspal dan bayangan. Hal ini terjadi karena nilai spektral obyek–obyek tersebut hampir sama pada kanal
red, green, blue. Untuk memudahkan analisis, penyajian gambar komposit RGB false color akan di fokuskan
pada 3 wilayah.
1

Gambar 2. Citra Pleiades RGB 321 True Color


-274-
Pemanfaatan Data Resolusi Sangat Tinggi Pleiades untuk Identifikasi Saluran Irigasi (Nugroho, U.C., dkk)

Sehingga diperlukan komposit RGB false color yang dapat menampilkan saluran irigasi dengan lebih
menonjol. Berdasarkan komposit RGB R = 2 x (Red + NIR) G = Red B = Red – Blue, saluran irigasi dapat
terlihat lebih jelas dengan warna biru gelap, sedangkan jalan aspal tampak lebih cerah.Vegetasi berwarna
merah, dan untuk tanah terbuka berwarna biru cerah. Sedangkan untuk jalan tanah berwarna putih kebiruan.

Gambar 3. Perbandingan Antara Citra Pleiades Komposit RGB 321 (atas) dengan Komposit RGB R = 2 x (Red +
NIR) G = Red B = Red – Blue (bawah)

Sedangkan untuk komposit RGB menggunakan hasil SPEAR LOC – Water Wizard, saluran irigasi tampak
berwarna hijau, hampir sama dengan jalan aspal. Selain itu juga penampakan citra yang dihasilkan
cenderung lebih kabur.

Gambar 3. Perbandingan Antara Citra Pleiades Komposit RGB 321 (atas) dengan Komposit RGB 123 Band PCA
Hasil SPEAR LOC - Water (bawah)

-275-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Berdasarkan kedua komposit RGB false color tadi, saluran irigasi dapat dilihat lebih menonjol dengan
menggunakan komposit RGB R = 2 x (Red + NIR) G = Red B = Red – Blue. Walaupun pada beberapa
lokasi ada kemiripan dengan jalan aspal. Sehingga untuk melakukan identifikasi perlu menggunakan kunci-
kunci interpretasi yang menjadi ciri bahwa obyek tersebut adalah saluran irigasi.

Tabel 1. Ciri–Ciri Saluran Irigasi pada Citra Pleiades

Ciri - Ciri Penampakan pada citra Pleiades


Berbentuk lurus sedikit
berkelok

Melewati bawah jalan

Terdapat jembatan

Saluran irigasi berbentuk garis-garis lurus dengan sedikit berkelok atau lengkungan berbeda dengan
sungai yang berbentuk berkelok-kelok, hal ini karena saluran irigasi dibangun oleh manusia, sedangkan
sungai dibentuk oleh proses alam. Kemudian saluran irigasi apabila bertemu dengan jalan, maka saluran
irigasi melintas di bawah jalan atau jalannya dalam bentuk jembatan. Pada saluran irigasi juga terdapat
jembatan-jembatan kecil yang biasa untuk jalur transportasi petani. Ciri-ciri saluran irigasi tersebut dapat
lebih jelas dilihat pada tabel 1.
Informasi jaringan irigasi yang didapatkan dari citra satelit penginderaan jauh resolusi tinggi dapat
bermanfaat sebagai salah satu masukan dalam pengelolaan aset irigasi sebagai salah satu komponen aset
irigasi (Arif, 2007). Informasi jaringan irigasi ini selain untuk mengetahui persebaran jaringan irigasi yang
ada pada saat ini juga bisa digunakan untuk perencaraan pembangunan irigasi secara efektif dan efisien.

4. KESIMPULAN
Kesimpulan pada penelitian ini adalah :
a. Saluran irigasi dapat diidentifikasi lebih jelas menggunakan komposit RGB R = 2 x (Red + NIR) G = Red
B = Red – Blue dibandingkan dengan menggunakan komposit RGB 321(true color) maupun komposit
RGB 123 band PCA hasil proses SPEAR LOC – Water
b. Saluran irigasi mempunyai kemiripan dengan jalan beraspal, untuk membedakannya perlu menggunakan
kunci-kunci interpretasi

-276-
Pemanfaatan Data Resolusi Sangat Tinggi Pleiades untuk Identifikasi Saluran Irigasi (Nugroho, U.C., dkk)

5. UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh atas dukungannya dalam
penelitian ini dan Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh atas data citra Pleiades yang dapat kami
gunakan.

DAFTAR PUSTAKA
Apriana, I.W., Piarsa,A.K.,Nyoman, I., dan Bayupati, I.,P.,A., (2014). Aplikasi Geografis Pemetaan Bangunan dan
Jaringan Irigasi Berbasis Mobile Android. Jurnal Merpati, 2(1):12 – 17
Arif, S.S., Prabowo, A., Suprato, A., dan Kuniawan, J., (2007). Perencanaan Manajemen Aset Irigasi (PMA):
Pengembangan dan Konsepsinya di Indonesia. Jurnal Keteknikan Pertanian, 21(1):45 - 56
Gleyzes, M.A., Perret, L., dan Kubik, P. (2012). Pleiades system architecture and main performances. Proceedings of
International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, XXII ISPRS
Congres, Meuolbore, Australia
Kodoatie, Robert J., dan Sjarief, R., (2005). Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu. Yogyakarta : Penerbit Andi
Kono, A.S., Rumambi, D.P., Pakasi, S. dan Wulur, H., (2014). Analisis Jaringan Irigasi Bendungan Sangkub Kabupaten
Bolaang Mongondow Utara Berbasis Spasial. Jurnal COCOS, 4(5)
Lillesand, Thomas M., Kiefer, Ralph W., dan Chipman, J.W., (2015). Remote Sensing and Image Interpretation :
Seventh Edition. USA: Willey
Oktavianti, Subari, dan Yulius, E., (2014).Pemetaan Jaringan Irigasi Daerah Jawa Barat Berbasis Sistem Informasi
Geografis (SIG). Jurnal Bentang, 2(1):53 – 65
Pasandaran, E., (2005). Pengelolaan Infrastruktur Irigasi Dalam Kerangka Ketahanan Pangan Nasional. Jurnal Analisis
Kebijakan Pertanian, 5(2):126 – 149
Purwanto, M.Y.J., Subari, dan Nur, F.F., (2013). Pengembangan Prasarana Irigasi Untuk Peningkatan Produktivitas
Lahan di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Jurnal Irigasi, 8(1):35 - 45
Pusdatin Kementerian dan Pertanian, (2014). Statistik Lahan Pertanian Tahun 2009 – 2013. Jakarta:Pusdatin
Kemenpan

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat presentasi diskusi ilmiah

BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016

Moderator : D. Heri Yuli Sulyantara


Judul Makalah : Pemanfaatan Data Resolusi Sangat Tinggi Pleiades untuk Identifikasi Saluran Irigasi
Pemakalah : Udhi C. Nugroho (LAPAN)
Diskusi :

Pertanyaan: La Ode (Universitas Halu Oleo):


Apakah dengan metode ini bisa mengidentifikasi saluran irigasi yang rusak?

Jawaban :
Tidak bisa mengidentifikasi dengan kemampuan resolusi spasial 0.5m, tapi bisa mengidentifikasi efek
kerusakannya, seperti evaporasi yang menurun di lahan sawah sekitarnya. Ada algoritma yang digunakan
untuk menghitung evaporasi, misalnya menggunakan Citra Landsat untuk melihat penurunan evaporasi.

Pertanyaan: Masagus (Kementerian PUPR):


Sulit untuk identifikasi saluran irigasi yang rusak, sehingga harus melakukan survey lapangan. Apa ada
metode yang digunakan?

Jawaban :
Identifikasi sedang dilakukan dan sedang kerjasama dengan Balai Irigasi Kementerian PU dan Perumahan
Rakyat dengan lokasi di Merauke. Baru dilakukan tahap interpretasi awal, belum disesuaikan survey
lapangan dan baru selesai. Jadi belum ditampilkan pada presentasi ini.

-277-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Uji Akurasi Foto Udara dengan Menggunakan Data UAV pada Kawasan
Padat Pemukiman Penduduk (Studi Kasus: Kawasan Padat Sayidan,
Daerah Istimewa Yogyakarta)

Accuration Test of UAV’s Aerial Photo in Densely Populated Areas


(Case Study: Sayidan, Special Province of Yogyakarta)
Anggara Setyabawana Putra1*), Edwin Maulana4,6, Aries Dwi Wahyu Rahmadana5,
Theresia Retno Wulan2,6,7, I Wayan Wisnu Yoga Mahendra3, dan Mega Dharma Putra6
1
Ilmu Statistika Konsentrasi Manajemen Kebencanaan, Universitas Islam Indonesia
2
Badan Informasi Geospasial
3
Geografi dan Ilmu Lingkungan, Universitas Gadjah Mada
4
Magister Manajemen Bencana, Universitas Gadjah Mada
5
Magister Perencanaan Pengelolaan Pesisir dan Daerah Aliran Sungai, Universitas Gadjah Mada
6
Parangtritis Geomaritime Science Park
7
Program Doktor Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada
*)
E-mail: setyabawana@gmail.com

ABSTRAK - Data foto udara dapat digunakan sebagai data pendukung untuk melakukan pemetaan dengan skala detil,
karena memiliki resolusi spasial yang tinggi. Namun pada prakteknya, tingkat akurasi dari foto udara kurang
diperhatikan, sehingga analisis yang dilakukan kurang maksimal dan tidak sesuai dengan kaidah kartografis. Penelitian
ini dilakukan untuk menguji presentase akurasi data foto udara dengan menggunakan UAV tipe quadcopter. Wilayah
kajian penelitian adalah di kawasan padat Sayidan, Daerah Istimewa Yogyakarta. Pemotretan dilakukan pada tinggi
jelajah 52,4m. Hasil akurasi foto udara dengan menggunakan wahana quadcopter menunjukkan bahwa akurasi foto
udara yang dihasilkan lebih dari 85%.

Kata kunci: akurasi, foto udara, UAV

ABSTRACT - Aerial photographs data could be used as supporting data for mapping with detailed scale, because it
has a high spatial resolution. However, in practice, the accuracy of aerial photographs is less noticeable, so the result
analysis is not good enough and not in accordance with cartographic rules. This study was conducted to test the
percentage of aerial photograph data accuracy using UAV (quadcopter). This research was held in densely populated
area namely Sayidan, Yogyakarta. The quadcopter flies in height of 52,4 m to take the photo. The results shows that the
accuracy of aerial photographs produced is more than 85%.

Keywords: accuracy, aerial photo, UAV

1. PENDAHULUAN
Metode penginderaan jauh dewasa kini mengalami kemajuan yang sangat pesat. Perkembangan itu
meliputi alat atau instrumen pengambilan data dan juga proses pengolahan data dengan menggunakan
perangkat lunak komputer. Teknologi pengambilan data berupa foto (fotogrametri) untuk kepentingan
pemetaan yang kini sedang berkembang pesat adalah teknologi Unmanned Aerial Vehicle (UAV) (Haala
dkk.,2011). Unmanned Aerial Vehicle (UAV) dan fotogrametri digital merupakan sebuah teknologi pemetaan
wilayah yang terbaru. UAV memiliki beberapa kelebihan dibanding dengan teknologi pemetaan lainnya,
yaitu murah, sederhana dan mudah dibawa berpindah-pindah (mobile) (Berteska dan Ruzgiene, 2013). Selain
itu, juga dapat digunakan dalam situasi yang memiliki resiko tinggi seperti lokasi-lokasi yang sulit
terjangkau serta masih berpotensi untuk dikembangkan.
Sensor UAV tidak seperti sensor satelit. Berbeda dengan satelit yang memiliki beragam jenis sensor dan
resolusi spektral dari menengah (multi spektral) hingga sangat tinggi (hiperspektral), sensor pada UAV
masih sangat terbatas dan masih terus berkembang (Ramadhani dkk., 2015). UAV secara konfigurasi
airframe dibagi menjadi dua, yakni fixed-wing dan rotary-wing(rotor).Multicopter adalah salah satu hasil
pengembangan dari UAV jenis rotary-wing. UAV multicopter menggunakan dua atau lebih rotor. Jenis-jenis
multicopterdiantaranya adalah Bicopter (2 rotor), Tricopter (3 rotor) dan Quadcopter (4 rotor). UAV jenis
multicopter mempunyai banyak keunggulan. Wahana jenis rotary-wings atau multirotorcopter memiliki
-278-
Uji Akurasi Foto Udara dengan Menggunakan Data UAV pada Kawasan Padat Pemukiman Penduduk (Studi Kasus: Kawasan
Padat Sayidan, Daerah Istimewa Yogyakarta) (Putra, A.S., dkk.)

keunggulan pada kemampuan manuver yang tinggi, mengacu padakemampuannya untuk mempertahankan
posisi (hover) dan mengubah arah terbang di sekeliling pusat rotasi (Ramadhani dkk., 2015). UAV bertipe
Quadcopter memiliki keunggulan tersendiri yakni dapat bergeraklebih stabil dan dapat terbang secara
vertikal, sehingga untuk pemotretan dikawasan-kawasan tertentu, seperti kawasan padat pemukiman dapat
dilakukan dengan lebih mudah. Efek sidelap-overlap (area pertampalan) juga dapat terpenuhi dengan baik,
karena kecepatan UAV tidak terlalu tinggi sehingga foto udara yang dihasilkan juga lebih bagus.

Gambar 1. Flight Path


Sumber: Hickin, 2014

Overlap merupakan tumpang tindih foto, meliputi areal yang sama dalam satu jalur terbang, sedangkan
sidelap adalah tumpang tindih antara foto-foto yang berdekatan dalam jalur penerbangan pararel (Philipson
dan Philpot, 2012). Efek overlap dalam jalur penerbangan foto udara sebesar 60%, sedangkan untuk sidelap
sebesar 25-30% (Hickin, 2014). Pada Gambar 1 dapat diamati bahwa foto nomor 1 dan 2 menunjukan efek
overlap, sedangkan foto nomer 6 dan 7 menunjukan efek sidelap. Permasalahan yang sering dihadapi pada
saat dilakukan proses pemotretan foto udara adalah relief displacement. Relief displacement biasa disebut
juga distorsi geometri adalah jarak dua foto udara akibat perbedaan elevasi (Schenk, 2005; Devi dan Veena,
2014).

Gambar 2. Relief Displacement


Sumber : Devi dan Veena, 2014

Foto udara kualitas tinggi merupakan salah satu faktor signifikan untuk efisiensi dan standar kualitas
produk pemetaan, seperti Digital Elevation Model (DEM) dan Ortho-images. Kualitas data DEM dan
Ortofoto dipengaruhi oleh resolusi kamera, ketinggian terbang, dan akurasi Ground Control Points
(GCP)(Berteska dan Ruzgiene, 2013). Kamera yang digunakan sebagai instrument pemotretan pada UAV
memiliki resolusi dan tingkat akurasi yang berbeda-beda. Penelitian ini dilakukan untuk menguji tingkat

-279-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

akurasi foto udara dari hasil pemotretan dikawasan padat pemukiman penduduk Sayidan, Daerah Istimewa
Yogyakarta dengan menggunakan UAV bertipe Quadcopter

2. METODE
2.1 Instrumen UAV
UAV yang digunakan dalam penelitian ini adalah DJI Phantom 3 profesional, yang merupakan wahana
jenis multirotor (Quadcopter). Jumlah baling-balingwahana ini berjumlah empat, dengan berat 1280 gr
(include battery and propelers). Proses pengoprasian wahana ini membutuhkan dua orang operator. DJI
Phantom 3 Profesional belum dilengkapi dengan aplikasi untuk penentuan jalur terbang, maka proses
pemotretan dilakukan secara manual dengan memperhatikan aspek sidelap dan overlap.

Gambar 3. DJI Phantom 3 Professional


Sumber: Putra, 2016

DJI Phantom 3 profesional dilengkapi spesifikasi teknis yang lebih canggih dibandingkan dengan tipe DJI
Phantom sebelumnya (tipe 1 dan 2). Penggunaan DJI Phantom 3 profesional lebih mudah dengan
menggunakan remote kontol dan informasi terkait performa dapat dikontrol dari aplikasi softwareyang dapat
diakses menggunakan smartphone. Penggunaan ruang yang sempitpun dapat digunakan untuk menerbangkan
UAV tersebut. UAV tipe quadcopter ini memiliki kemampuan manuver yang tinggi dan dapat terbang dalam
posisi tetap atau biasa dikenal dengan istilah hovering. Tabel 1 menunjukkan spesifiasi UAV dan kamera
yang digunakan pada DJI Phantom 3 profesional.

Tabel 1.Spesifikasi UAV dan kamera


Spesifikasi UAV Spesifikasi Kamera
Sony EXMOR
Jenis Quadcopter Sensor
1/2.3”
1280 (include battery and
Berat Lens FOV 940 20mm
propellers)
Kecepatan 16m/s Resolusi 12.4 MP
Durasi Terbang 23 menit Resolusi foto 4000x3000 pixel
Intelligent Flight Battery 68 Wh /
Energi /Voltage Format foto JPEG, DNG
15.2 V
Jarak Transmisi remot
3 KM Iso 100 - 1600
kontrol
Sumber: http://www.dji.com/product/phantom-3-pro/info

2.2 Wilayah Kajian

-280-
Uji Akurasi Foto Udara dengan Menggunakan Data UAV pada Kawasan Padat Pemukiman Penduduk (Studi Kasus: Kawasan
Padat Sayidan, Daerah Istimewa Yogyakarta) (Putra, A.S., dkk.)

Kampung Sayidan, berada di Desa Prawirodirjan, Kecamatan Gondomanan, KotaYogyakarta, Provinsi


Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara geografis terletak 7°48'09.8"S 110°22'12.1"E. Masyarakat kampong
Sayidan menurut sejarah adalah pendatang dari etnis arab. Orang Jawa menyebut etnis Arab tersebut sebagai
sayid, maka terbiasalah sebutan Sayidan (sayid-an), namun berdasarkan studi lapangan yang telah dilakukan,
mayoritas penduduk Sayidan merupakan orang Jawa.
Kampung Sayidan sebelah utara berbatasan dengan Desa Ngupasan, Sebelah timur berbatasan dengan
Desa Wirogunan, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Keparakan dan sebelah barat berbatasan
Kecamatan Kraton. Kampung Sayidan terletak di bantaran Sungai Code yang berhulu di Gunung Merapi.
Karena posisi tersebut, Kampung Sayidan rawan akan bencana banjir. Permukiman padat Sayidan
dipisahkan oleh Sungai Code yang secara landscape analysis permukiman berada pada gosong sungai,
lembah sungai dan tanggul alam. Banjir yang melanda wilayah Sayidan terjadi pada permukiman yang
dibangun pada gosong sungai dan sebagian lembah sungai.
Kondisi Kampung Sayidan yang rawan banjir mendapatkan perhatian dari Pemerintah Kota Yogyakarta
khususnya dalam penataan wilayah di bantaran sungai. Kampung Sayidan memiliki keunikan dari penataan
wilayah pasca kejadian banjir tahun 2015 yaitu muka bangunan permukiman yang ada disarankan untuk
menghadap ke sungai. Pengaturan muka permukiman diharapkan akan kewaspadaan dan kepedulian
masyarakat Sayidan dalam menjaga Sungai Code.
Pemotretan dilakukan di kawasan padat pemukiman Sayidan, Daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal
15 Juni 2016, dengan tinggi jelajah 172 FT (52, 4 Meter) pukul 10.53 WIB. Didapatkan 150 frame foto
tegak. Setiap frame foto disusun menggunakan aplikasi pemetaan untuk memperoleh satu kawasan Sayidan.
Foto tegak Kampung Sayidan memberikan gambaran detail wilayah kajian yang dapat diimplementasikan
dalam perencanaan hingga antisipasi terhadap kejadian bencana. Deskripsi wilayah kajian dapat diamati pada
Gambar 4.

Gambar 4. Deskripsi Wilayah Kajian


Sumber: Maulana, 2016

2.3 Uji Akurasi


Pengujian akurasi perlu dilakukan agar data yang didapatkan dari foto udara bisa dikatakan sesuai dengan
kondisi di lapangan. Secara teknis perhitungan akurasi dilakukan dengan memperbandingkan data hasil
klasifikasi dengan kondisi lapangan (Ibrahim, 2014). Dengan demikian, ada beberapa tahapan yang harus
dilakukan dalam uji akurasi data foto udara ini. Secara sederhana, tahapan uji akurasi dapat diamati pada
Gambar 5.

-281-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Persiapan

Penentuan AOI
(Area of Interest)

Koordinasi
Tim

Pengumpulan Koreksi
Pemotretan Mozaik Ortopotho
Data Foto Data Foto

Tidak Koreksi
Layak Akurasi

Layak

Layout

Gambar 5. Diagram Alir


Sumber: Putra, 2016

Pada tahapan koreksi akurasi, dilakukan perhitungan dengan menggunakan persamaan Omisi dan Komisi.
Komisi adalah kondisi dimana hasi intepretasi lebih panjang/luas dari lapangan sedangkan Omisi adalah
kondisi dimana hasil intepretasi lebih pendek/sempit dari lapangan (Ibrahim, 2014). Persamaan yang
digunakan adalah sebagai berikut :


Akurasi = 1 − 100%

Dimana∆ = Interpretasi - Lapangan

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1 Deskripsi Kampung Sayidan
Kampung Sayidan merupakan kawasan padat pemukiman penduduk yang berada di pusat Kota
Yogyakarta. Kampung Sayidan terbagi menjadi tiga Rukun Warga, yakni RW 04, RW 05 dan RW 06.
Potensi ekonomi yang ada di Kampung Sayidan adalah kerajinan dari tempurung kelapa berupa tas, kap
lampu, aksesoris/perhiasan. Selain potensi ekonomi, Kampung Sayidan juga memiliki potensi bencana,
berupa bencana banjir, karena letaknya di bantaran Sungai Code.

-282-
Uji Akurasi Foto Udara dengan Menggunakan Data UAV pada Kawasan Padat Pemukiman Penduduk (Studi Kasus: Kawasan
Padat Sayidan, Daerah Istimewa Yogyakarta) (Putra, A.S., dkk.)

Gambar 5. Kawasan Sayidan


Sumber: Putra, 2016
Secara visual (Gambar 5.), dapat diamati bahwa bangunan pemukiman kawasan Sayidan saling
berhimpitan dikarenakan padatnya penggunaan lahan di kawasan tersebut. Sebagian besar penggunaan lahan
di kawasan Sayidan adalah bangunan tempat tinggal permanen. Akses jalan untuk transportasi hanya bisa
digunakan untuk kendaraan beroda dua. Keterbatasan lahan tersebut menyebabkan warga harus bisa
memanfaatkan ruang semaksimal mungkin, sehingga banyak dijumpai warung-warung atau rumah makan
yang bangunanya jadi satu dengan tempat tinggal.

3.2Proses Akuisisi Data Foto Udara


Pemotretan dilakukan dengan menggunakan UAV tipe Quadcopter,pada pukul 10.53 WIB dengan
ketinggian jelajah 172 FT didapatkan sebanyak 150 foto tegak kawasan Sayidan. Foto tegak hasil pemotretan
yang nantinya digunakan untuk analisis dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Foto tegak kawasan Sayidan


Sumber: Putra, 2016

Foto tegak hasil pemotretan sudah memuat titik koordinat, karena kamera yang terpasang di UAV sudah
dilengkapi dengan fitur geotaging. Selanjutnya foto tegak diolah dengan menggunakan softwareAgisoft
Photoscan untuk dilakukan proses mosaic sehingga didapatkan orthophoto kawasan Sayidan. Salah satu
tahapan pengolahan foto udara dan hasil orthophoto dapat diamati pada Gambar 7.

-283-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Gambar 7. Poses orthophoto


Sumber: Putra, 2016

Pemotretan dilakukan di sebagian kawasan Sayidan. Resolusi spasial yang didapatkan dari foto
udara adalah 2,1 cm, menunjukkan bahwa resolusi spasial yang dihasilkan sangat tinggi. Selain
orthophoto, juga didapatkan data Digital Elevation Model (DEM). Orthophoto dan DEM kawasan
Sayidan dapat diamati pada Gambar 8.

Gambar 8. Orthophotodan DEM


Sumber: Analisis, 2016

3.3Uji Akurasi Data Foto Udara


Setelah didapatkan orthophoto kawasan Sayidan, selanjudnya dilakukan uji akurasi foto udara. Pemilihan
sampel untuk objek amatan dilakukan dengan metode purposive sampling. Metode purposive sampling
adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2005). Pertimbangan yang
digunakan adalah efektifitas waktu, keterjangkauan pengukuran objek dan daya jelajah perangkat. Lokasi
pengukuran dapat diamati pada Gambar 8.

-284-
Uji Akurasi Foto Udara dengan Menggunakan Data UAV pada Kawasan Padat Pemukiman Penduduk (Studi Kasus: Kawasan
Padat Sayidan, Daerah Istimewa Yogyakarta) (Putra, A.S., dkk.)

Gambar 9. Lokasi Pengukuran Objek


Sumber: Analisis, 2016

Pengukuran dilakukan secara interpretasi dan lapangan. Terdapat lima lokasi pengukuran untuk
melakukan uji akurasi. Dari lima akurasi tersebut masing-masing diambil satu objek. Pada Tabel 2. dapat
diamati ukuran objek hasil pengukuran baik itu secara interpretasi maupun pengukuran langsung di
lapangan.

Tabel 2. Pengukuran Objek


Ukuran
No Objek PengukuranLap
Intepretasi (m)
angan (m)
1 LebarJembatan 1,59 m 1,75 m
2 PanjangJembatan 18,9 m 18,10 m
3 PanjangAtap Seng 1 4m 4,12 m
4 PanjangAtap Seng 2 2m 2,07 m
5 PanjangTembok 2,7 m 2,42 m
Sumber : Analisis, 2016

Data hasil pengukuran pada Tabel 2. Kemudian dilakukan perhitungan dengan persamaan Komisi dan
Omisi. Berikut adalah salah satu perhitungan objek berupa lebar jembatan dikawasan Sayidan.


Akurasi = 1 − 100%
, ,
Akurasi = 1 − ,
100%
,
Akurasi = 1 − ,
100%
Akurasi = 1— 0,0914286 100%
Akurasi = [0,90857143] 100%
Akurasi91 % ( )

Perhitungan dengan metode yang sama, dilakukan pada objek lainya. Yakni panjang jembatan, panjang
atap seng (1 dan 2) dan panjang tembok. Hasil perhitungan kemudian dirangkum pada Tabel 3.

-285-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Tabel 3. Hasil Perhitungan Akurasi

Ukuran
No Objek Intepretasi PengukuranLapangan ∆ Akurasi
(m) (m)
1 LebarJembatan 1,59 m 1,75 m -0,16 m 91%
2 PanjangJembatan 18,9 m 18,10 m 0,8 m 96%
PanjangAtap Seng
3 1
4m 4,12 m
-0,12 m 97%
PanjangAtap Seng
4 2
2m 2,07 m
-0,07 m 97%
5 PanjangTembok 2,7 m 2,42 m 0,28 m 88%
Sumber : Analisis, 2016

Nilai delta ∆ (delta) adalah selisih dari interpretasi dan pengukuran lapangan. Nilai minus pada delta tidak
mempengaruhi perhitungan, dikarenakan persamaan Komisi dan Omisi memuat tanda mutlak. Dengan
demikian perhitungan akurasi akan lebih akurat.

4. KESIMPULAN
Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan dengan metode Omisi dan Komisi, didapatkan bahwa
objek memiliki akurasi yang sangat tinggi. Pemotretan pada kawasan padat penduduk lebih cocok dengan
menggunakan UAV tipe quadcopter. Hal ini disebabkan UAV dengan tipe quadcopter lebih stabil dalam
menghadapi kondisi angin yang ekstrim. Hasil uji akuisisi menunjukkan bahwa pengambilan data UAV di
Kawasan Padat Penduduk Sayidan menghasilkan data dengan resolusi 2,1 cm. Data ini lebih dari cukup
untuk melakukan pemetaan detil. Hasil perhitungan akurasi dengan menggunakan metode omisi dan komisi
menunjukkan bahwa ketelitian data yang dihasilkan lebih dari 83%.

5. UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terima kasih diberikan kepada panitia penyelenggara seminar. Lebih lanjut, ucapan terima kasih
juga disampaikan kepada Badan Informasi Geospasial dan Parangtritis Geomaritime Science Park. Ucapan
terima kasih juga disampaikan kepada Prof. Dr.rer.nat. Junun Sartohadi dan Syamsul Bachri P.Hd yang
selalu membimbing penulis hingga sekarang.

DAFTAR PUSTAKA
Berteska, T., dan Ruzgiene, B.,(2013). Photogrammetric mapping based on UAV imagery. Geodesy and Cartography,
39(4):158-163.
Devi, S., dan Veena., (2014). Measurement of Relief Displacement from Vertical Photograph. International Journal of
Science, Engineering and Technology Research (IJSETR), 3(10).
Haala, N., Cramer, M., Weimer, F., dan Trittler, M. (2011). Performance Test on UAV-Based Photogrammetric Data
Collection. International Archives of The Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Science,
XXXVIII-1/C22, 7-12.
Hickin, E.J.,(2014). Maps and Mapping A cartographic manual: Third Edition. Department of Geography, Simon
Fraser University with R.S.Graphics and Printings
Ibrahim, F., (2014). Teknik Klasifikasi Berbasis Objek Citra Penginderaan Jauh untuk Pemetaan Tutupan Lahan
Sebagian Kecamatan Mlati Kabupaten Sleman. Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Philipson, P., (2012).Remote Sensing FundamentalsPhotogrammetry. Cornell University .
Ramadhani dkk., (2015). Pemetaan Pulau Kecil Dengan Pendekatan Berbasis Objek Menggunakan Data Unmaned
Aerial Vehicle (UAV) Studi Kasus di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Majalah Ilmiah Globe Volume,
17(2):125-134.
Schenk, T., (2005). Introduction to Photogrametry. The Ohio State University: Department of Civil and Environmental
Engineering and Geodetic Science.
Sugiyono(2005). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah

BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016

-286-
Uji Akurasi Foto Udara dengan Menggunakan Data UAV pada Kawasan Padat Pemukiman Penduduk (Studi Kasus: Kawasan
Padat Sayidan, Daerah Istimewa Yogyakarta) (Putra, A.S., dkk.)

Moderator : Dedi Irawadi


Judul Makalah : Uji Akurasi Foto Udara Dengan Menggunakan Data UAV Pada Kawasan Padat
Pemukiman Penduduk (Studi Kasus Kawasan Padat Sayidan, Daerah Istimewa
Yogyakarta)
Pemakalah : Anggara S. Putra (UII)
Diskusi :

Pertanyaa : Agus (PUPR)


1. Melihat dari jumlah sampling untuk uji akurasi terlalu sedikit sehingga adakah kemungkinan penambahan
GCP?

Pertanyaan: Danang (BIG)


2. Kenapa titik samplenya tidak menyebar secara merata?

Jawaban :
1. Pemelihan sample berdasarkan purposing sample sehingga sesuai dengan keterbatasan yang dimiliki.
2. Karena dilokasi penelitian sedang terjadi konflik pemukiman sehingga sulit memperoleh informasi.

Saran: F.B Habibi (UGM)


Perlu memperbanyak titik GCM untuk DSMnya jika kurang bisa menggunakan Google Map

-287-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Teknik Rekonstruksi Informasi yang Hilang


untuk Reflektan Aqua MODIS Band 6

The Technique of Missing Information Reconstruction


for Band 6 Aqua MODIS Reflectance
Andy Indradjad 1*), Noriandini Dewi Salyasari1, dan Rahmat Arief1
1
Pusat Teknologi dan Data Penginderaan jauh LAPAN
*)
E-mail: anindra26@gmail.com

ABSTRAK - Data penginderaan jauh dapat mengalami kerusakan yang disebabkan oleh kerusakan sensor, ataupun
kondisi atmosfir.Salah satu contoh kerusakan yang terjadi pada data citra penginderaan jauh adalah pada data Aqua
Modis band 6 yang mengalami kegagalan sensor sehingga terdapat banyak informasi yang hilang. Teknik rekonstruksi
informasi yang hilang pada data penginderaan jauh telah banyak dikembangkan dalam beberapa dekade terakhir.
Penulisan ini bertujuan memberikan gambaran mengenai metode rekonstruksi informasi yang hilang. Metode yang
digunakan dalam merekonstruksi informasi adalah dengan menggunakan metode berbasis spasial. Terdapat berbagai
macam metode berbasis spasial, salah satunya adalah dengan menggunakan metode interpolasi NaN. Pada bagian hasil
akan menunjukkan kemampuan metode interpolasi NaN dalam merekonstruksi data Aqua MODIS band 6 yang rusak.

Kata kunci: data rekonstruksi, modis band 6, aqua

ABSTRACT - The data of remote sensing might be broken caused by sensor or atmosphere condition. One of the
damage occurs in Band 6 Aqua Modis was a sensor failure so there was a lot of missing information. The technique of
reconstruction of the missing information has been developed within a last decade. This paper aims to provide the
description about the technique of reconstruction of the missing information. The method used to reconstruct
information was spatial method. One of the method used for fixing spatial base was NaN interpolation method. The
result of this method will be observed in reconstruction of the broken of data Aqua Modis Band 6.

Keywords: reconstruction data,modis band 6, aqua

1. PENDAHULUAN
Pada tahun 2013, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)telah meningkatkan kapasitas
stasiun bumi dan menerima (akuisisi) data satelit resolusi rendah, menengah dan tinggi untuk seluruh
Indonesia seperti: Terra/Aqua, NPP, Landsat-7, LDCM, SPOT-5, SPOT-6, SPOT-7 melalui stasiun bumi
satelit penginderaan jauh Parepare (Pusfatja,2015). Data satelit penginderaan jauh resolusi rendah yang dapat
diperoleh secara gratis dari satelit Terra/ Aqua, sudah lama dimanfaatkan di Indonesia untuk pemantauan
cuaca, kebakaran hutan, kekeringan lahan melalui kehijauan tanaman, hingga prediksi zona potensi
penangkapan ikan (Kushardono,dkk, 2014).
Melihat pemanfaatan data citra resolusi rendah begitu penting, maka diharapkan dengan data resolusi
rendah yang dihasilkan oleh LAPAN dapat memberikan informasi yang jelas dan akurat juga. Salah satu data
citra resolusi rendah adalah data citra MODIS yang terdiri dari 36 band spektral yaitu visible to infrared
dengan panjang gelombang 0.415µm hingga 14.235 µm. Sedangkan nadir resolusi spasial terdiri dari 1000
m, 500m sampai dengan 250m. Data citra penginderaan jauh MODIS tidak hanya dapat dimanfaatkan untuk
lahan, laut dan udara tetapi juga pada aplikasi, interdisiplin dan pengetahuan lingkungan (V.V.Salomonson
dkk, 2006).
Band-band yang terdapat pada titik nadir resolusi spasial 250 m terdiri dari band 1-2 dengan 40
detektor/band, sedangkan pada resolusi spasial 500 m terdiri dari band-band 3-7 (20 detektor / band), dan
1000m untuk band-band 8-36 (10 detektor / band). Band 1-19, dan 26 adalah Reflective Solar Bands (RSB))
dan yang lainnya adalah band yang memancarkan thermal (TEB). 36 band spektral didistribusikan, menurut
panjang gelombang mereka pada empat focal plane assemblies (FPAs): terdiri data visible (VIS), near
infrared (NIR), short- and mid-wave infrared (SMIR), dan long-wave infrared (LWIR ) (Xiong dkk, 2004).

-288-
Teknik Rekonstruksi Informasi yang Hilang untuk Reflektan Aqua MODIS Band 6 (Indradjad, A., dkk.)

Sedangkan untuk data citra resolusi rendah MODIS, pada citra satelit Aqua terdapat kerusakan pada salah
satu nilai spektralnya yaitu pada band 6. Spesifikasi data citra MODIS dan Signal Noise Ratio dapat dilihat
pada Gambar 1.Kerusakan band 6 Aqua MODIS diakibatkan 15 dari 20 detectors di panjang gelombang
(1.628–1.652 µm) tidak dapat difungsikan atau terdapat noise. Noise diakibatkan adanya kerusakan sensor
yang tidak efektif pada gelombang tersebut dan adanya pengaruh keadaan atmosfer. Kerusakan pada nilai
spektral band 6 Aqua MODIS mengakibatkan adanya stripping. Hal tersebut merupakan masalah yang
serius, dikarenakan stripping menyebabkan beberapa bagian atau informasi citra menjadi hilang, dan
mengakibatkan hasil pemanfaatan tidak optimal (Wang, dkk, 2006).

Tabel 1. Spesifikasi Citra MODIS dan Signal Ratio

Band Central Bandwith Spectral SNR


Wavelength (µm) Radiance (Signal-to-Noise
(µm) (W/m2 - µm – Ratio)
sr)
1 0.645 06.20-0.670 21.8 128
2 0.858 0.841-0.876 24.7 201
3 0.469 0.459-0.479 35.3 243
4 0.555 0.545-0.565 29.0 228
5 1.240 1.230-1.250 5.4 74
6 1.640 1.628-1.652 7.3 275
7 2.130 2.105-2.155 1.0 110

Gambar 1. Kegagalan Sensor pada Aqua MODIS Band 6

Pada Gambar 1 dapat dilihat pahwa kerusakan pada band 6 Aqua MODIS tampak menyeluruh pada data
citra. Dari 20 detector yang terdapat pada citra hanya terdapat 5 detector yang valid sehingga diperlukan
adanya rekonstruksi citra. Rekonstruksi citra band 6 Aqua MODIS adalah pembangunan ulang atau
penyusunan ulang untuk mendapatkan output citra resolusi rendah Aqua MODIS yang lebih baik dengan
melakukan proyeksi setalah diketahui nilai pergerakan piksel dari proses registrasi. Proyeksi ini dilakukan
dengan proses perhitungan untuk memperoleh nilai piksel yang belum diketahui atau menyempurnakan nilai
yang sudah diketahui (Frederick, 2005).
Untuk merekonstruksi informasi yang hilang dari data citra penginderaan jauh merupakan salah satu isu
hingga saat ini. Karena setiap piksel yang ada pada data penginderaan jauh sangat bernilai. Untuk itu
dibutuhkan metode yang dapat memperkirakan nilai-nilai yang telah hilang dari piksel yang tersisa. Berbagai
macam metode ditawarkan. Yang pertama menggunakan metode berbasis spasial yaitu metode tanpa
menggunakan tambahan informasi dari citra lainnya. Metode yang kedua adalah berbasis nilai spektral yang
mengekstrak informasi dari nilai spektral lainnya, jadi menggunakan informasi band lain dalam satu citra
untuk merekonstruksi data. Metode yang ketiga adalah berbasis temporal yang menggunakan bantuan data
lain yang diterima pada posisi yang sama dengan waktu yang berbeda/time series. Dan yang terakhir adalah
menggunakan metode hybrid yaitu dengan menggabungkan dari tiga pendekatan metode yang sebelumnya.
Dalam makalah ini, akan dibuat penulisan dari hasil penelitian merekonstrusi informasi yang hilang
pada band 6 Aqua MODIS dengan menggunakan metode berbasil spasial.
Metode berbasis spasial yang akan dicoba adalah metode interpolasi dengan menggunakan pengaruh
nilai NaN.Nantinya hasil dari penelitian dari metode interpolasi itu akan dibandingkan dengan data asli yang

-289-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

telah diberi simulasi error dan diharapkan metode tersebut dapat dengan tepat mengembalikan informasi
yang hilang dan dapat berfungsi secara operasional dan sesuai dengan kebutuhan.

2. METODE
Metode yang digunakan dalam merekonstruksi informasi yang hilang dalam makalah ini adalah metode
yang berbasis spasial.Salah satu metode spasial yang digunakan adalah metode interpolasi. Dalam bagian ini
akan dijelaskan secara rinci mengenai metode spasial –interpolasi.

2.1 METODE SPASIAL


Metode berbasis spasial merupakan salah satu metode yang sangat tradisional. Pada intinya metode ini
adalah sebuah metode yang tidak menggunakan alat bantu atau sumber informasi lainnya dalam
merekonstruksi informasi yang hilang. Metode berbasis spasial akan menggunakan bagian dari dirinya untuk
melakukan perbaikan. Perbaikan data tersebut dengan melakukan pendekatan bahwa informasi yang hilang
dan data yang tersisa berada pada struktur statistik dan geomatik yang sama (Shen dkk, 2015). Metode
berbasis spasial akan memanfaatkan korelasi dari informasi lokal dan non lokal yang ada di dalamnya.
Metode ini dapat juga dimanfaatkan dalam pengolahan data citra penginderaan jauh. Karena kurangnya
referensi dalam menggunakan metode spasial, maka tujuan dari metode spasial ini pada intinya adalah
kehalusan transisi antar bagian dalam citra seperti wilayah tepi yang berhubungan, tidak kabur dan tekstur
yang konsisten.

2.2 METODE INTERPOLASI


Salah satu metode spasial yang paling banyak digunakan dalam proses pengolahan adalah metode
interpolasi. Metode interpolasi memegang peranan penting dalam manipulasi data citra digital. Interpolasi
berarti melakukan proses pendekatan dalam pemetaan piksel-piksel data citra hingga memungkinkan terjadi
perubahan. Pemetaan dalam hal ini berusaha untuk mendapatkan hasil yang terbaik dari piksel-piksel yang
ada di sekitarnya. Hasil dari metode interpolasi akan sangat bervariasi bergantung dengan data input dan
metode yang digunakan. Dalam konteks penginderaan jauh, interpolasi merupakan proses estimasi nilai
piksel pada area yang tidak diukur untuk keperluan rekonstruksi data citra. Interpolasi spasial mempunyai
dua asumsi yaitu atribut yang bersifat kontinu dan atribut yang saling berhubungan. Kedua asumsi tersebut
dapat berimplikasi pada logika bahwa pendugaan atribut data dapat dilakukan berdasarkan data dari lokasi-
lokasi di sekitarnya dan nilai pada piksel-piksel yang berdekatan akan lebih mirip daripada nilai piksel-piksel
yang berjauhan (Syaeful, 2013).
Algoritma yang biasa digunakan dalam metode interpolasi kali ini adalah dengan menggunakan metode
interpolasi linier. Interpolasi linier adalah jenis interpolasi yang paling sederhana. Pada intinya interpolasi
linier akan menghitung titik tengah antara dua titik. Interpolasi linier memiliki keuntungan yaitu proses
pengolahan yang cepat dan mudah (Hadi, 2016).
Interpolasi linier menerapkanurutan dari titik-titik hasil garis polygonal dimana setiap garis lurus
menghubungkan dua titik berturut-turut. Oleh Karena itu setiap titik (P;Q) diinterpolasi secara independent
dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

P(t) = (1-t). P + t.Q…………………………………………………………………………………….. (1)

Dimana t adalah variasi dari 0 sampai 1 (Gomes A, 2010).

Metode interpolasi linier yang digunakan adalah dengan menggunakan cara menghubungkan antar
titik-titik data dengan NaN sehingga lebih banyak disebut dengan metode interpolasi NaN. Interpolasi NaN
menawarkan beberapa pendekatan yang berbeda yang dapat memberikan timbal balik dalam akurasi,
kecepatan dan memori yang dibutuhkan untuk menjalankan metode ini. Semua metode yang ada pada
interpolasi NaN didasarkan pada aljabar linier dan PDE diskrit. Pendekatan yang digunakan dapat
membangun sistem untuk melakukan perubahan pada setiap nilai array yang tidak diketahui dan merubahnya
kepada nilai yang diketahui. Pada kasus array yang memiliki ukuran yang kecil, metode ini cukup cepat dan
efisien.
Adapun rincian metode interpolasi-NaN yang digunakan adalah sebagai berikut dan proses metode ini
digambarkan pada Gambar 2:
1. Input Data Error: Data yang menjadi input dalam metode ini adalah data hasil akuisisi yaitu data
reflektan band 6 Aqua MODIS.

-290-
Teknik Rekonstruksi Informasi yang Hilang untuk Reflektan Aqua MODIS Band 6 (Indradjad, A., dkk.)

2. Penentuan NaN Data: Menetukan terlebih dahulu nilai data yang error dan menggantinya
dengan nilai NaN.
3. Pendekatan Matematis: Dilakukan penyelesaian dengan menghitung beda turunan parsial pada
baris dan kolom data citra yang akan dikoreksi
4. Interpolasi: Melakukan penyelesaian dengan mengganti data NaN dari hasil perhitungan
matematis dari nilai-nilai piksel di sekitarnya.
5. Data Hasil Koreksi: Data hasil rekonstruksi menggunakan metode interpolasi NaN

Input Data Penentuan Pendekatan Data Hasil


Interpolasi
Error NaN Data Matematis Koreksi

Gambar 2. Alur Metode Interpolasi NaN

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Data yang digunakan dalam makalah ini adalah data band 6 Aqua MODIS pada tanggal 31 Mei 2016.
Data tersebut nantinya akan diolah dengan menggunakan metode interpolasi NaN. Namun untuk
mendapatkan nilai Peak Signal to Noise Ratio (PSNR) maka diperlukan data benar yang disimulasikan error.
Untuk itu digunakan data band 6 Terra MODIS pada lokasi yang sama dan tanggal yang sama dengan band 6
Aqua MODIS yaitu pada tanggal 31 Mei 2016. Dari hasil uji coba rekonstruksi data menggunakan
interpolasi NaN pada simulasi error band 6 Terra MODIS, didapatkan hasil seperti pada Gambar 3.
Sedangkan hasil interpolasi NaN pada band 6 Aqua MODIS didapatkan hasil seperti pada Gambar 4. PSNR
untuk simulasi error digambarkan pada Tabel 2. Dari hasil yang didapatkan, metode interpolasi-NaN mampu
secara efektif melakukan rekonstruksi informasi yang hilang pada data citra penginderaan jauh yang terdapat
error di dalamnya. Untuk data band 6 Aqua MODIS yang memiliki tingkat kesalahan yang tinggi dalam area
yang luas juga dapat diperbaiki dan menghasilkan data yang benar menggunakan metode interpolasi NaN.
Namun mengingat nilai PSNR yang didapat masih terbilang kecil, maka diperlukan kajian yang lebih dalam
lagi dengan membandingkan dengan metode spasial atau spektral lainnya.

(a) (b) (c)


Gambar 3. Band 6 Terra MODIS. (a) Reflektan Band 6 Terra, (b) Simulasi Error Band 6 Terra dan
(c) Hasil Interpolasi NaN

-291-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016

Gambar 4. Band 6 Aqua MODIS. (a) Reflektan Band 6 Aqua, (b) Hasil Interpolasi NaN

Tabel 2. Nilai PSNR Data Band 6 Terra MODIS terhadap Data Asli

File PSNR
(Peak Signal-to-
Noise Ratio)
Data Simusi Error 29.18
Data Hasil Koreksi 44.29

4. KESIMPULAN
Tidak semua data resolusi rendah memiliki kualitas yang bagus. Salah satunya adalah data AQUA
MODIS yang memiliki kegagalan sensor di salah satu nilai spektralnya di band 6, sehingga mengakibatkan
adanya stripping dalam jumlah yang besar pada citra. Hal itu tentu mempengaruhi informasi yang akan
dihasilkan. Dengan menggunakan metode interpolasi NaN pada data citra tersebut, didapatkan hasil yang
efektif untuk merekonstruksi informasi yang hilang pada band 6 Aqua MODIS. Namun dengan masih
kecilnya nilai PSNR pada data simulasi error sebesar 44.29, maka perlu dilakukan kajian yang lebih dalam
lagi akan metode-metode rekonstruksi informasi yang hilang lainnya,sehingga didapatkan kualitas data yang
bagus dan dapat menghasilkan informasi yang akurat kepada pengguna.

5. UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih ditujukan kepada Tim Stasiun Bumi Pusat Teknologi dan Data LAPAN akan
partisipasinya dalam kegiatan operasional penerimaan data resolusi rendah. Data resolusi rendah Aqua dan
Terra MODIS digunakan dalam kajian metode yang terdapat dalam makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA
Frederick, W.,Ralph, T.H., Eamon, B.B., (2005).Super-Resolution Image Synthesis usingprojections onto Convex Sets
in the Frequency Domain. IS&T/SPIE Symposium on Electronic Imaging, Conference on Computational Imaging.
Vol. 5674. San Jose. hal. 479-490.
Gomes, A., (2010). Geometric Computing. Interpolation Method, diunduh 7 Juni 2016 dari
http://www.di.ubi.pt/~agomes/tcg/lectures/04-lecture.pdf
Hadi, S., (2016). Metode Interpolasi dan Implementasinya Dalam Citra Digital, diunduh 6 Juni 2016 dari
https://www.researchgate.net/publication/264846311
Hadi, S.B., (2013). Metode Interpolasi Spasial Dalam Studi Geografi. Geomedia, 11(2). Jurusan Pendidikan Geografi
FIS UNY.
Kushardono, D., Syarif, B., Trisakti, B., Suwarsono, Maryanto,A., Widipaminto, A., Khomarudin, R.M., Winanto.
(2014). Menentukan Spesifikasi Sensor Satelit Penginderaan Jauh Nasional Berdasarkan Informasi Kebutuhan
Pengguna. Prosiding Seminar Nasional Penginderaan Jauh.Bogor, Indonesia
Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh,Tim. (2015). Sistem Pemantuan Bumi Nasional: Pusat Pemanfaatan
Penginderaan Jauh.LAPAN

-292-
Teknik Rekonstruksi Informasi yang Hilang untuk Reflektan Aqua MODIS Band 6 (Indradjad, A., dkk.)

Shen,H., Li, X., Cheng, Q., Zeng, C., Yang, G., dan Huifang, L., Zhang, L., (2015). Missing Information
Reconstruction of Remote Sensing Data: A Technical Review.IEEE Geoscience and Remote Sensing Magazine.
Salomonson,V.V., Barnes,W.L., Xiong,X., Kempler,S., dan Masuoka,E. (2002). An overview of the Earth Observing
System MODIS instrument and associated data systems performance, in Proc. ARSS, pp. 1174–1176.
Wang,L., Qu,J., Xiong, X., Hao, Xianjun., Xie, Yong, C., dan Nianzeng. (2006). A New Method For Retrieving Band 6
of Aqua MODIS. IEEE Geoscience and Remote Sensing Letters, 3(2).
XiongX., ChiangK., Erives, H., Che, N., Sun, J., Isaacman, T. A., dan Salomonson,V.V., (2004).Status of Aqua MODIS
on-orbit calibration and characterization.SPIE 5570, Sensors, Systems, and Next- Generation Satellites VIII, 317
doi:10.1117/12.564940

*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskui presentasi ilmiah

BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2016

Moderator : Dr. Rahmat Arief, Dipl.Ing.


Judul Makalah : Teknik Rekonstruksi Informasi yang Hilang untuk Reflektan Aqua MODIS Band 6
Pemakalah : Andy Indradjad (LAPAN)
Diskusi :

Pertanyaan: Budhi Gustiandi (LAPAN)


1. Apakah bisa menggabungkan data yang rusak dengan data yang tidak rusak dari tanggal yang berbeda?

Pertanyaan: Dr. Rahmat Arif, Dipl.Ing. (LAPAN)


2. Apakah bisa dijelaskan metode lain selain interpolasi untuk memperbaiki citra?

Jawaban:
1. Bisa, Karena dengan menggunakan metode penggabungan data secara time series. Bahkan dengan band
yang lain juga bisa.
2. Karena ini kegiatan awal, maka dimulai dari yang simple.

-293-

Anda mungkin juga menyukai