Dosen:
Oleh:
Yohanes Dian Aditya – 25118006
Luri Nurlaila Syahid – 25118017
i
III.3.2 Koreksi Geometrik .............................................................29
III.3.3 Penggabungan Citra ...........................................................29
III.3.4 Kombinasi Band.................................................................30
III.3.5 Klasifikasi Citra .................................................................30
III.3.5.1 Klasifikasi Terbimbing (Supervised Classification)
.................................................................................30
III.3.5.2 Klasifikasi Tidak Terbimbing (Unsupervised
Classification) ..........................................................31
III.3.6 Metode Pengambilan Unit Contoh.....................................31
III.3.6.1 Efisiensi relatif pengambilan contoh double
sampling ..................................................................33
III.3.6.2 Metode Pengambilan Jumlah Titik ......................33
III.3.6.3 Contoh Penentuan Jumlah Titik di Kalimantan ...36
III.3.7 Pengukuran In-situ .............................................................36
III.3.7.1 Uji Validasi Hasil Klasifikasi Citra Satelit ..........36
III.3.7.2 Pengukuran PH Tanah .........................................37
III.3.7.3 Pengukuran Tingkat Kematangan Gambut ..........38
III.3.7.4 Pengukuran Ketebalan Gambut ...........................38
III.3.8 Penyajian ............................................................................39
LAMPIRAN ........................................................................................................ 45
ii
DAFTAR LAMPIRAN
iii
DAFTAR GAMBAR DAN ILUSTRASI
iv
DAFTAR TABEL
Tabel II.6.3 Dosis Anjuran dan Manfaat Pemberian Amelioran pada Tanah
Gambut. ......................................... 1Error! Bookmark not defined.
Tabel II.9.2 Daftar 13 Band Satelit Sentinel-2A. ................................................. 23
Tabel III.2.2 Data Sekunder dan Sumber............. 2Error! Bookmark not defined.
v
Bab I Pendahuluan
Sebagai media tumbuh tanaman, lahan gambut telah lama dimanfaatkan petani
untuk menghasilkan bahan pangan dan komoditas perkebunan (Rina dan
Noorginayuwati 2007, Masganti dan Yuliani 2009, Masganti 2013). Semakin
bertambahnya alih fungsi lahan pertanian subur di Pulau Jawa yang selama ini
memasok 60% kebutuhan pangan Indonesia, sehingga lahan pertanian subur
menjadi terbatas semakin menyadarkan betapa pentingnya lahan gambut bagi
pembangunan pertanian, bahkan tidak berlebihan jika lahan gambut dikatakan
sebagai lumbung pangan masa depan Indonesia (Haryono 2013, Masganti 2013).
Pemanfaatan lahan gambut yang lebih masif untuk memasok bahan pangan dipicu
oleh (1) laju alih fungsi lahan pertanian, (2) pertambahan jumlah penduduk, dan (3)
keinginan menjadikan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia. Kondisi ini
mengharuskan adanya usaha untuk meningkatkan kapasitas produksi pangan lahan
gambut melalui pemanfaatan lahan dan penerapan teknologi. Mengandalkan lahan
gambut sebagai pemasok bahan pangan pada masa mendatang didasarkan atas
beberapa pertimbangan, yaitu (1) produktivitas masih rendah, (2) lahan potensial
masih luas, (3) indeks pertanaman (IP) masih rendah, (4) lahan terdegradasi yang
potensial masih luas, (5) pola produksi bahan pangan di lahan gambut bersifat
komplementer dengan pola produksi bahan pangan di Pulau Jawa, dan (6)
kompetisi pemanfaatan lahan untuk tujuan nonpertanian relatif rendah (Masganti
2013).
1
Produktivitas lahan gambut sangat tergantung dari pengelolaan dan tindakan
manusia. Lahan gambut dikenal sebagai lahan yang rapuh atau rentan terhadap
perubahan karakteristik yang tidak menguntungkan. Pengelolaan lahan gambut
perlu hati-hati agar tidak terjadi perubahan karakteristik yang menyebabkan
penurunan produktivitas lahan, apalagi menjadi tidak produktif. Salah satu
pertimbangan yang harus diperhatikan dalam pemanfaatan lahan gambut adalah
tingkat ketebalan gambut tersebut. Menurut Harjowigeno (1997), Adimihardja et
al. (1998) dan Wahyunto et al. (2014) lahan gambut dengan ketebalan 50-100 cm
tergolong lahan gambut dangkal/tipis. Semakin tebal gambut, semakin rendah
potensinya untuk budidaya tanaman pangan.
Sekitar 5.241.473 ha atau 35,17% dari total luas lahan gambut Indonesia tergolong
gambut dangkal (Wahyunto et al. 2014), tersebar di Pulau Papua (2.425.523 ha),
Pulau Sumatera (1.767.303 ha), dan Pulau Kalimantan (1.048.611 ha). Angka ini
akan mengalami dinamika akibat adanya kebakaran lahan gambut dan faktor
lainnya, sehingga menyebabkan penurunan ketebalan gambut menjadi kurang dari
100 cm. Potensi luas lahan gambut tipis terindikasi masih luas, tetapi
pemanfaatannya masih terbatas karena keberadaannya yang terpencar-pencar dan
aksesibilitasnya terbatas, sehingga secara ekonomi kurang menguntungkan,
padahal berbagai teknologi untuk memanfaatkan lahan ini telah tersedia
(Suriadikarta 2012, Nursyamsi et al. 2014).
Petani banyak memanfaatkan gambut tipis untuk budidaya tanaman pangan dan
hortikultura dibandingkan dengan jenis tanaman lainnya (Masganti dan Yuliani
2009). Bahkan diperkirakan 50-60% produksi tanaman pangan dan hortikultura
dihasilkan dari lahan ini, sehingga sangat potensial menjadi pemasok bahan pangan
pada masa mendatang. Pemanfaatan lahan gambut tipis untuk memasok bahan
pangan yang lebih masif, memerlukan informasi tentang potensi dan
pemanfaatannya untuk tanaman pangan dan hortikultura.
2
I.2 Masalah Penelitian
Dalam memetakan lahan gambut, ditemui banyak kesulitan karena masih ada
perbedaan definisi tentang “lahan gambut” sehingga peta yang telah dihasilkan oleh
berbagai lembaga pun berbeda dan jadi membingungkan. Kendala berikutnya
adalah sumber peta dasar yang berbeda, hal ini membuat ketidakpastian dalam
ukuran dan dimensi dari lahan gambut yang terkandung dalam peta tersebut. Selain
itu, adanya alih fungsi lahan pertanian serta bertambahnya laju pertumbuhan
penduduk menjadikan penelitian terkait pemetaan lahan gambut untuk menentukan
lahan yang cocok untuk produktifitas pertanian menjadi sangat penting dan
diperlukan.
3
Bab II Tinjauan Pustaka
Pembentukan gambut diduga terjadi antara 10.000-5.000 tahun yang lalu (pada
periode Holosin) dan gambut di Indonesia terjadi antara 6.800-4.200 tahun yang
lalu (Andriesse, 1994). Gambut di Serawak yang berada di dasar kubah terbentuk
4.300 tahun yang lalu (Tie and Esterle, 1991), sedangkan gambut di Muara Kaman
Kalimantan Timur umurnya antara 3.850 sampai 4.400 tahun (Diemont and Pons,
1991). Siefermann et al. (1988) menunjukkan bahwa berdasarkan carbon dating
(penelusuran umur gambut menggunakan teknik radio isotop) umur gambut di
Kalimantan Tengah lebih tua lagi yaitu 6.230 tahun pada kedalaman 100 cm sampai
8.260 tahun pada kedalaman 5 m. Dari salah satu lokasi di Kalimantan Tengah,
Page et al. (2002) menampilkan sebaran umur gambut sekitar 140 tahun pada
kedalaman 0-100 cm, 500-5.400 tahun pada kedalaman 100-200 cm, 5.400-7.900
tahun pada kedalaman 200-300 cm, 7.900-9.400 tahun pada kedalaman 300-400
cm, 9.400-13.000 tahun pada kedalaman 400-800 cm dan 13.000-26.000 tahun
pada kedalaman 800-1.000 cm.
4
vegetasi lahan basah. Tanaman yang mati dan melapuk secara bertahap membentuk
lapisan yang kemudian menjadi lapisan transisi antara lapisan gambut dengan
substratum (lapisan di bawahnya) berupa tanah mineral. Tanaman berikutnya
tumbuh pada bagian yang lebih tengah dari danau dangkal ini dan secara
membentuk lapisan-lapisan gambut sehingga danau tersebut menjadi penuh
(Gambar II.1a dan 1b).
Bagian gambut yang tumbuh mengisi danau dangkal tersebut disebut dengan
gambut topogen karena proses pembentukannya disebabkan oleh topografi daerah
cekungan. Gambut topogen biasanya relatif subur (eutrofik) karena adanya
pengaruh tanah mineral. Bahkan pada waktu tertentu, misalnya jika ada banjir
besar, terjadi pengkayaan mineral yang menambah kesuburan gambut tersebut.
5
Tanaman tertentu masih dapat tumbuh subur di atas gambut topogen. Hasil
pelapukannya membentuk lapisan gambut baru yang lama kelamaan memberntuk
kubah (dome) gambut yang permukaannya cembung (Gambar II.1c). Gambut yang
tumbuh di atas gambut topogen dikenal dengan gambut ombrogen, yang
pembentukannya ditentukan oleh air hujan. Gambut ombrogen lebih rendah
kesuburannya dibandingkan dengan gambut topogen karena hampir tidak ada
pengkayaan mineral.
6
• mesotrofik adalah gambut yang agak subur karena memiliki kandungan
mineral dan basa-basa sedang
• gambut oligotrofik adalah gambut yang tidak subur karena miskin mineral
dan basa-basa. Bagian kubah gambut dan gambut tebal yang jauh dari
pengaruh lumpur sungai biasanya tergolong gambut oligotrofik
7
II.3 Karakteristik Fisik
Karakteristik fisik gambut yang penting dalam pemanfaatannya untuk pertanian
meliputi kadar air, berat isi (bulk density, BD), daya menahan beban (bearing
capacity), subsiden (penurunan permukaan), dan mengering tidak balik
(irriversible drying).
Kadar air tanah gambut berkisar antara 100 – 1.300% dari berat keringnya (Mutalib
et al., 1991). Artinya bahwa gambut mampu menyerap air sampai 13 kali bobotnya.
Dengan demikian, sampai batas tertentu, kubah gambut mampu mengalirkan air ke
areal sekelilingnya (Gambar II.3.1). Kadar air yang tinggi menyebabkan BD
menjadi rendah, gambut menjadi lembek dan daya menahan bebannya rendah
(Nugroho, et al, 1997; Widjaja-Adhi, 1997). BD tanah gambut lapisan atas
bervariasi antara 0,1 sampai 0,2 g cm -3 tergantung pada tingkat dekomposisinya.
Gambut fibrik yang umumnya berada di lapisan bawah memiliki BD lebih rendah
dari 0,1 g/cm3, tapi gambut pantai dan gambut di jalur aliran sungai bisa memiliki
BD > 0,2 g cm-3 (Tie and Lim, 1991) karena adanya pengaruh tanah mineral.
Volume gambut akan menyusut bila lahan gambut didrainase, sehingga terjadi
penurunan permukaan tanah (subsiden). Selain karena penyusutan volume,
subsiden juga terjadi karena adanya proses dekomposisi dan erosi. Dalam 2 tahun
pertama setelah lahan gambut didrainase, laju subsiden bisa mencapai 50 cm. Pada
tahun berikutnya laju subsiden sekitar 2 – 6 cm tahun-1 tergantung kematangan
gambut dan kedalaman saluran drainase. Adanya subsiden bisa dilihat dari akar
tanaman yang menggantung (Gambar II.3.2).
8
(berdasarkan berat), tidak bisa menyerap air lagi kalau dibasahi. Gambut yang
mengering ini sifatnya sama dengan kayu kering yang mudah hanyut dibawa aliran
air dan mudah terbakar dalam keadaan kering (Widjaja-Adhi, 1988). Gambut yang
terbakar menghasilkan energi panas yang lebih besar dari kayu/arang terbakar.
Gambut yang terbakar juga sulit dipadamkan dan apinya bisa merambat di bawah
permukaan sehingga kebakaran lahan bisa meluas tidak terkendali.
Gambar II.3.1 Air mengalir dari kubah gambut melalui saluran drainase.
Gambar II.3.2 Air mengalir dari kubah gambut melalui saluran drainase.
9
Gambar II.3.3 Tanaman kelapa sawit yang doyong disebabkan karena rendahnya
daya menahan beban tanah gambut.
Lahan gambut umumnya mempunyai tingkat kemasaman yang relatif tinggi dengan
kisaran pH 3 - 5. Gambut oligotropik yang memiliki substratum pasir kuarsa di
Berengbengkel, Kalimantan Tengah memiliki kisaran pH 3,25 – 3,75 (Halim, 1987;
Salampak, 1999). Sementara itu gambut di sekitar Air Sugihan Kiri, Sumatera
Selatan memiliki kisaran pH yang lebih tinggi yaitu antara 4,1 sampai 4,3 (Hartatik
et al., 2004).
10
rendah dan reaksi tanah menjadi semakin masam (Driessen dan Suhardjo, 1976).
Di sisi lain kapasitas tukar kation (KTK) gambut tergolong tinggi, sehingga
kejenuhan basa (KB) menjadi sangat rendah. Tim Institut Pertanian Bogor (1974)
melaporkan bahwa tanah gambut pedalaman di Kalampangan, Kalimantan Tengah
mempunyai nilai KB kurang dari 10%, demikian juga gambut di pantai Timur Riau
(Suhardjo dan Widjaja-Adhi, 1976).
Muatan negatif (yang menentukan KTK) pada tanah gambut seluruhnya adalah
muatan tergantung pH (pH dependent charge), dimana KTK akan naik bila pH
gambut ditingkatkan. Muatan negatif yang terbentuk adalah hasil dissosiasi
hidroksil pada gugus karboksilat atau fenol. Oleh karenanya penetapan KTK
menggunakan pengekstrak amonium acetat pH 7 akan menghasilkan nilai KTK
yang tinggi, sedangkan penetapan KTK dengan pengekstrak amonium klorida
(pada pH aktual) akan menghasilkan nilai yang lebih rendah. KTK tinggi
menunjukkan kapasitas jerapan (sorption capacity) gambut tinggi, namun kekuatan
jerapan (sorption power) lemah, sehingga kation-kation K, Ca, Mg dan Na yang
tidak membentuk ikatan koordinasi akan mudah tercuci.
Secara alamiah lahan gambut memiliki tingkat kesuburan rendah karena kandungan
unsur haranya rendah dan mengandung beragam asam-asam organik yang sebagian
bersifat racun bagi tanaman. Namun demikian asam-asam tersebut merupakan
bagian aktif dari tanah yang menentukan kemampuan gambut untuk menahan unsur
hara. Karakteristik dari asam-asam organik ini akan menentukan sifat kimia
gambut.
Tanah gambut juga mengandung unsur mikro yang sangat rendah dan diikat cukup
kuat (khelat) oleh bahan organik sehingga tidak tersedia bagi tanaman. Selain itu
11
adanya kondisi reduksi yang kuat menyebabkan unsur mikro direduksi ke bentuk
yang tidak dapat diserap tanaman. Kandungan unsur mikro pada tanah gambut
dapat ditingkatkan dengan menambahkan tanah mineral atau menambahkan pupuk
mikro.
12
3. Pembangunan jaringan drainase harus disertai dengan pembangunan
jaringan irigasi dan pintu-pintu yang dapat menjamin keberadaan air dalam
jumlah memadai di lahan gambut;
5. Melakukan penataan lahan dan memilih jenis dan varietas tanaman yang
sesuai dengan ketebalan gambut, kondisi air, dan kesuburan tanah;
7. Tanah gambut yang masih sulit ditanami karena belum matang, dapat
ditanami ubikayu untuk mempercepat kematangan gambut. Tanaman
ubikayu bisa beradaptasi dengan baik pada pH rendah dan mikroorganisme
yang terdapat pada perakarannya mampu mempercepat peruraian gambut;
13
Lahan gambut dengan kedalaman 1,4 - 2 m tergolong sesuai marjinal (kelas
kesesuaian S3) untuk berbagai jenis tanaman pangan. Faktor pembatas utama
adalah kondisi media perakaran dan unsur hara yang tidak mendukung
pertumbuhan tanaman. Tanaman pangan yang mampu beradaptasi antara lain padi,
jagung, kedelai, ubikayu, kacang panjang dan berbagai jenis sayuran lainnya
(Gambar II.6.1).
Gambar II.6.1 Lahan gambut di Kalimantar Timur digunakan untuk sawah (atas)
dan terong (bawah).
14
II.6.2 Pengelolaan Air
Budidaya tanaman pangan di lahan gambut harus menerapkan teknologi
pengelolaan air, yang disesuaikan dengan karakteristik gambut dan jenis tanaman.
Pembuatan saluran drainase mikro sedalam 10 - 50 cm diperlukan untuk
pertumbuhan berbagai jenis tanaman pangan pada lahan gambut. Tanaman padi
sawah pada lahan gambut hanya memerlukan parit sedalam 10-30 cm. Fungsi
drainase adalah untuk membuang kelebihan air, menciptakan keadaan tidak jenuh
untuk pernapasan akar tanaman, dan mencuci sebagian asam-asam organik.
Semakin pendek interval/jarak antar parit drainase maka hasil tanaman semakin
tinggi. Walaupun drainase penting untuk pertumbuhan tanaman, namun semakin
dalam saluran drainase akan semakin cepat laju subsiden dan dekomposisi gambut
Tidak seperti tanah mineral, pH tanah gambut cukup ditingkatkan sampai pH 5 saja
karena gambut tidak memiliki potensi Al yang beracun. Peningkatan pH sampai
tidak lebih dari 5 dapat memperlambat laju dekomposisi gambut. Pengaruh buruk
asam-asam organik beracun juga dapat dikurangi dengan menambahkan bahan-
bahan amelioran yang banyak mengandung kation polivalen seperti terak baja,
tanah mineral laterit atau lumpur sungai (Salampak, 1999; Sabiham et al, 1997).
Pemberian tanah mineral berkadar besi tinggi dapat meningkatkan pertumbuhan
dan produksi tanaman padi (Mario, 2002; Salampak, 1999; Suastika, 2004; Subiksa
et al., 1997).
Pemupukan sangat dibutuhkan karena kandungan hara gambut sangat rendah. Jenis
pupuk yang diperlukan adalah yang mengandung N, P, K, Ca dan Mg. Walaupun
KTK gambut tinggi, namun daya pegangnya rendah terhadap kation yang dapat
dipertukarkan sehingga pemupukan harus dilakukan beberapa kali (split
15
application) dengan dosis rendah agar hara tidak banyak tercuci. Penggunaan
pupuk yang tersedianya lambat seperti fosfat alam akan lebih baik dibandingkan
dengan SP36, karena akan lebih efisien, harganya murah dan dapat meningkatkan
pH tanah (Subiksa et al., 1991). Penambahan kation polivalen seperti Fe dan Al
akan menciptakan tapak jerapan bagi ion fosfat sehingga bisa mengurangi
kehilangan hara P melalui pencucian (Rachim, 1995)
Tanah gambut juga kahat unsur mikro karena dikhelat (diikat) oleh bahan organik
(Rachim, 1995). Oleh karenanya diperlukan pemupukan unsur mikro seperti terusi,
magnesium sulfat dan seng sulfat masing-masing 15 kg ha-1 tahun-1, mangan sulfat
7 kg ha-1 tahun-1, sodium molibdat dan borax masing-masing 0,5 kg ha-1 tahun-1.
Kekurangan unsur mikro dapat menyebabkan kehampaan pada tanaman padi,
tongkol kosong pada jagung atau polong hampa pada kacang tanah.
Tabel II.6.3 Dosis Anjuran dan Manfaat Pemberian Amelioran pada Tanah
Gambut.
Karena keterbatasan akses dan kemampuan untuk mendapatkan pupuk dan bahan
amelioran, maka untuk meningkatkan kesuburan tanah, petani membakar seresah
tanaman dan sebagian lapisan gambut kering sebelum bertanam. Praktek ini dapat
ditemukan di kalangan petani yang menanam sayuran dan tanaman pangan secara
16
tradisional di berbagai tempat di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sumatera
Selatan dan Jambi. Dengan cara ini petani mendapatkan amelioran berupa abu yang
dapat memperbaiki produktivitas gambut. Namun abu hasil pembakaran mudah
hanyut dan efektivitasnya terhadap peningkatan kesuburan tanah tidak berlangsung
lama. Lagi pula cara ini sangat berbahaya karena bisa memicu kebakaran hutan dan
lahan secara lebih luas, mempercepat subsiden, miningkatkan emisi CO2 dan
mendatangkan asap yang mengganggu kesehatan serta mempengaruhi lalu lintas.
Dalam jangka panjang pembakaran seresah dan gambut perlu dicegah untuk
menjaga keberlangsungan pertanian di lahan gambut. Untuk itu diperlukan
bimbingan cara bertani tanpa bakar dan pemberian bantuan amelioran serta pupuk
bagi petani.
Lahan gambut dengan ketebalan antara 1,4-2 m tergolong sesuai marjinal (kelas
kesesuaian S3) untuk beberapa tanaman tahunan seperti karet dan kelapa sawit,
sedangkan gambut yang tipis termasuk agak sesuai (kelas kesesuaian S2). Gambut
dengan ketebalan 2-3 m tidak sesuai untuk tanaman tahunan kecuali jika ada
sisipan/pengkayaan lapisan tanah atau lumpur mineral (Djainudin et al., 2003).
Gambut dengan ketebalan >3m diperuntukkan sebagai kawasan konservasi sesuai
dengan Keputusan Presiden No. 32/1990. Hal ini disebabkan kondisi lingkungan
lahan gambut dalam yang rapuh (fragile) apabila dikonversi menjadi lahan
pertanian.
17
II.7.2 Pengelolaan Air
Salah satu komponen penting dalam pengaturan tata air lahan gambut adalah
bangunan pengendali berupa pintu air di setiap saluran. Pintu air berfungsi untuk
mengatur muka air tanah supaya tidak terlalu dangkal dan tidak terlalu dalam.
Gambar II.7.2 Tanaman sagu yang tumbuh di rawa gambut tanpa memerlukan
drainase.
18
Semakin dalam saluran drainase semakin cepat terjadi penurunan permukaan
(subsiden) dan dekomposisi gambut sehingga ketebalan gambut akan cepat
berkurang dan daya sangganya terhadap air menjadi menurun. Jika lahan gambut
digunakan untuk perkebunan sagu (Gambar II.7.2) atau nipah, pembuatan saluran
drainase tidak diperlukan karena kedua jenis tanaman ini merupakan tanaman rawa
yang toleran terhadap genangan. Sagu dapat menjadi alternatif tanaman sumber
karbohidrat selain beras. Tanaman nipah menghasilkan nira, bahan baku gula
dengan rendemen tinggi dan kualitas yang tidak kalah dibandingkan gula aren.
Unsur hara utama yang perlu ditambahkan untuk berbagai tanaman tahunan di lahan
gambut terutama adalah unsur P dan K. Tanpa unsur tersebut pertumbuhan tanaman
sangat merana dan hasil tanaman yang diperoleh sangat rendah. Sedangkan unsur
hara lainnya seperti N dibutuhkan dalam jumlah yang relatif rendah karena bisa
tersedia dari proses dekomposisi gambut.
19
gambut, seperti kebakaran lahan yang menjadi langganan di 8 (delapan) propinsi di
Sumatera dan Kalimantan.
Lahan gambut menjadi menarik, seharusnya tidak hanya karena sebagai biang
kerok kebakaran lahan namun juga dikarenakan lahan gambut memiliki banyak
potensi yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan yang positif dan tentunya
dengan cara dan teknologi yang tepat. Namun demikian, kepastian luas dan sebaran
kawasan lahan gambut ini akan sulit diperoleh bila tidak melalui kegiatan survei
dan pemetaan kawasan lahan gambut. Kegiatan pemetaan pun apabila dilakukan
sendiri-sendiri secara terpisah-pisah oleh pihak-pihak yang berkepentingan tanpa
mengacu pada metode dan standar yang sama pasti akan menimbulkan
ketidakpastian luas dan sebaran lahan gambut ini.
Pemerintah Indonesia meluncurkan Kebijakan Satu Peta dengan tujuan agar kita
memiliki peta sebagai informasi geospasial (IG) yang tidak membingungkan dan
dapat dipertanggungjawabkan. Tentu kebijakan ini menjadi penting untuk
diterapkan dalam pemetaan lahan gambut di Indonesia.
Kebijakan satu peta meliputi empat unsur yaitu: 1) satu referensi, dimana setiap
kegiatan pemetaan harus merujuk ke satu referensi Informasi Geospasial Dasar
(IGD); 2) satu standar, dimana setiap kegiatan pemetaan dilakukan berdasarkan
standar yang sama; 3) satu basisdata, IG harus dibangun berdasarkan format
basisdata yang merujuk format basisdata geospasial dan tidak hanya dalam format
basisdata statistik; 4) satu portal, IG dibagi pakaikan dan didistribusikan melalui
portal yang baku yaitu Ina Geoportal sebagai infrastruktur berbagi pakai dalam
tatanan Infrastruktur Data Geospasial Nasional.
Sejalan dengan Kebijakan Satu Peta tentunya diharapkan kegiatan pemetaan lahan
gambut di Indonesia dapat memenuhi keempat unsur tersebut agar dapat diperoleh
informasi lahan gambut yang handal dan tidak membingungkan. Pemenuhan
terhadap standar yang sama khususnya yang telah disepakati sebagai Standar
Nasional Indonesia (SNI) dalam kegiatan pemetaan akan menghasilkan peta yang
20
jelas dan tidak membingungkan. Untuk hal ini pemerintah telah menerbitkan
standar dalam bentuk SNI untuk kegiatan pemetaan (Lampiran A).
Standar untuk pemetaan lahan gambut diawali dengan penerbitan SNI tentang
definisi lahan gambut, hal ini penting mengingat masih banyaknya penafsiran yang
berbeda tentang lahan gambut. Lahan gambut yang dimaksud sesuai definisi yang
dibakukan adalah: “Lahan dengan tanah jenuh air, terbentuk dari endapan yang
berasal dari penumpukan sisa tanaman (residu) jaringan tumbuhan masa lampau
yang melapuk dengan ketebalan lebih dari 50 cm” (SNI 7925-2013). Dengan
merujuk definisi ini diharapkan semuanya memiliki kesamaan dalam memahami
lahan gambut sehingga mempermudah dan memperlancar langkah kegiatan
selanjutnya, terutama dalam kegiatan pemetaan sebagai upaya menginventarisasi
luasan dan sebaran lahan gambut di Indonesia.
Berikut disajikan ilustrasi proses pemetaan lahan gambut menurut SNI 7925-2013
dimana peta lahan gambut skala 1: 50.000 berasal dari interpretasi citra satelit
resolusi menengah hingga tinggi berdasarkan tipologi lahan gambut (Gambar
II.8.1).
Gambar II.8.1 Proses pemetaan lahan gambut skala 1:50.000: dengan pendekatan
multistage
21
Sekretaris Pokja Pemetaan Sumberdaya Lahan, Pertanian dan Gambut berasal dari
BIG dan anggotanya terdiri dari instansi yang terkait dengan proses pemetaan lahan
gambut yakni:
3. Kementerian Kehutanan
8. Wetland International
Dalam upaya untuk merivisi peta lahan gambut di Indonesia, metode pemetaan
yang digunakan adalah metode pemetaan lahan gambut skala 1:50.000 berbasis
citra penginderaan jauh, SNI 7925:2013 (Badan Standarisasi Nasional, 2013).
II.9.1 DEMNAS
22
DEMNAS (DEM Nasional) adalah DEM yang dikeluarkan oleh Badan Informasi
Geospasial (BIG) sebagai Lembaga penyedia data spasial di Indonesia. DEM
Nasional dibangun dari beberapa sumber data meliputi data IFSAR (resolusi 5m),
TERRASAR-X (resolusi 5m) dan ALOS PALSAR (resolusi 11.25m), dengan
menambahkan data Masspoint hasil stereo-plotting. Resolusi spasial DEMNAS
adalah 0.27-arcsecond, dengan menggunakan datum vertikal EGM2008.
II.9.2 Sentinel-2A
23
Satelit ini merupakan salah satu dari dua satelit pada Program Copernicus yang
telah diluncurkan dari total perencanaan sebanyak 6 satelit. Sebelumnya telah
diluncurkan Satelit Sentinel-1A yang merupakan satelit radar pada tanggal 3 April
2014, dan segera menyusul kemudian yaitu Satelit Sentinel-2B pada tahun 2017
mendatang.
24
Bab III Metode dan Pelaksanaan
Data yang dikumpulkan terbagi menjadi data primer dan data sekunder, data
primer meliputi pengambilan sampel tingkat kematangan gambut, ketebalan
gambut, PH tanah serta validasi klasifikasi citra. Sedangkan data sekunder meliputi
data citra satelit Sentinel 2, Digital Elevation Model (DEM), Peta Geologi, Peta
Rupa Bumi Indonesia 1:25.000, Peta Sebaran Lahan Gambut Kalimantan
1:250.000.
25
III.2.2 Pengumpulan Data Sekunder
Data sekunder yang dikumpulkan antara lain citra satelit Sentinel 2
Sedangkan data sekunder meliputi data citra satelit Sentinel 2, Digital Elevation
Model Nasional (DEMNas), Peta Geologi, Peta Rupa Bumi Indonesia 1:25.000,
Peta Sebaran Lahan Gambut Kalimantan 1:250.000. Sumber data berasal dari
instansi dan situs terkait dapat dilihat pada tabel III.1.
26
nyata (real world) divisualisaikan dengan bantuan teknologi komputer grafis dan
teknologi virtual reality (Mogal, 1993). DEM berfungsi untuk melihat perbedaan
ketinggian pada lahan gambut serta sebagai acuan dalam menentukan jenis tanaman
pertanian yang cocok sesuai dengan relief permukaan bumi.
27
III.3. Pengolahan Data
28
dipengaruhi oleh lima faktor yakni: pantulan atau reflektansi objek, bentuk dan
besaran interaksi atmosfer, kemiringan dan arah hadap lereng, sudut pandang
sensor, dan sudut ketinggian matahari.
29
III.3.4 Kombinasi Band
30
kelas yaitu sebanyak N+1, dimana N adalah jumlah band yang digunakan. Hal
tersebut dilakukan untuk menhindari matrik ragam-peragam yang singular, dimana
piksel per kelasnya tidak bisa dihitung (Jaya 2007).
Metode pengambilan unit contoh secara umum ada dua bentuk Teknik sampling,
yaitu teknik sampling acak (random sampling techniques), dan Teknik sampling
sistematik (systematic sampling techniques).
Teknik sampling secara acak dapat dilakukan, baik tanpa stratifikasi (simple
random sampling), yaitu apabila populasi yang diukur adalah kondisinya relatif
homogen, maupun dengan cara stratifikasi (stratified random sampling), yaitu
apabila populasi yang diukur kondisinya heterogen. Sedangkan teknik sampling
31
sistematik dilakukan dengan pemilihan unit contoh pertama secara acak dan
pemilihan unit contoh berikutnya dilakukan secara sistematik (systematic sampling
with random start) dan dapat dilakukan baik tanpa stratifikasi (simple systematic
sampling with random start) maupun dengan stratifikasi (stratified systematic
sampling with random start).
32
III.3.6.1 Efisiensi relatif pengambilan contoh double sampling
Namun, pendekatan ini akan membutuhkan jumlah sampel tanah yang sangat
tinggi. Metode ini jarang digunakan saat ini, bahkan untuk pemetaan tanah mineral,
33
kecuali area yang akan dipetakan relatif kecil. Pendekatan yang lebih sering
digunakan adalah teknik 'terrain', yang didasarkan pada kondisi fisiografi,
pengelompokan tanah dengan sifat yang serupa (Aguilar et al. 2005). Untuk lahan
gambut, kami mendorong penggunaan pendekatan transek (Gambar III.4 B)
sehingga jumlah sampel dapat dikurangi tanpa mengurangi kualitas.
Jarak antara titik pengamatan dalam transek ditentukan oleh skala peta dan variasi
ketebalan dan sifat gambut. Untuk wilayah yang luas, transek tambahan (titik
34
pengamatan) dapat ditambahkan di antara transek yang ada. Ketika pengamatan
terperinci diperlukan, maka jarak antara satu titik ke titik lainnya di dalam kisi atau
di dalam masing-masing harus sekitar 500 m.
Gambar III.3.6.2.2 Peta ketebalan gambut. Peta sampel berdasarkan transek dari
barat-timur: (atas) kontur ketebalan gambut; (bawah) ketebalan
penampang
35
III.3.6.3 Contoh Penentuan Jumlah Titik di Kalimantan:
Berdasarkan Aguilar et al. (2005) jika ingin membuat peta lahan gambut skala
1:50.000 maka, intensitas pengambilan sampel yang ideal adalah satu titik
pengambilan sampel untuk 25 ha (250.000 m2). sehingga:
87.860.000.000 𝑚²
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑡𝑖𝑡𝑖𝑘 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 = = 351.440 𝑡𝑖𝑡𝑖𝑘
250.000 𝑚²
Tetapi, pengambilan titik sampel dilapangan tidak akan diambil sebanyak jumlah
titik sampel diatas (351.440 titik) karena titik sampel masih harus disesuaikan
dengan bentuk transek yang mengikuti bentuk lahan gambut di lapangan.
Kemudian titik sampel yang akan di ambil hanya titik-titik tertentuk membentuk
pola mata angin (Gambar III.4.1) sehingga jumlah titik sampel yang akan diambil
lebih sedikit daripada 351440 titik tanpa mengurangi kualitas sampling.
36
accuracy adalah elemen yang diklasifikasikan secara benar untuk setiap kategori
dibagi dengan total elemen yang diklasifikasikan ke dalam kategori tersebut.
Penilaian tingkat akurasi dilakukan dengan cara membandingkan data yang
diperoleh dari hasil pengecekan lapangan (ground truth) dengan klasifikasi yang
diperoleh.
37
III.3.7.3 Pengukuran Tingkat Kematangan Gambut
Tingkat kematangan tanah gambut dalam pengamatan di lapangan dapat dilakukan
dengan cara mengambil segenggam tanah gambut dan memersnya dengan tangan.
Kriteria mentah atau matang dari gambut dapat ditunjukkan dengan melihat hasil
cairan dan sisa bahan perasan. Ketentuan dalam menentukan kematangan gambut
untuk masing-masing katagori adalah sebagai berikut:
1) Tingkat kematangan fibrik yaitu apabila kandungan serat yang tertinggal dalam
telapak tangan setelah pemerasan adalah tiga per empat bagian atau lebih (>3/4).
2) Tingkat kematangan hemik yaitu apabila kandungan serat yang tertinggal dalam
telapak tangan setelah pemerasan adalah antara kurang dari tiga per empat sampai
seperempat bagian atau lebih (<3/4>1/4).
3) Tingkat kematangan saprik yaitu apabila kandungan serat yang tertinggal dalam
telapak tangan setelah pemerasan adalah kurang dari seperempat bagian
(<1/4).>3m) sekitar 5%, gambut dalam dan tengahan (tebal 1m – 3m) sekitar 11%
-12%, dan gambut dangkal sekitar 15% (Noor, 2001). Kadar abu dan kadar bahan
organik mempunyai hubungan dengan tingkat kematangan gambut. Gambut
mentah (fibrik) mempunyai kadar abu 3,09% dengan kadar bahan organik 45,9%.
Sedangkan gambut hemik mempunyai kadar abu 8,04% dengan kadar bahan
organik 51,7% dan gambut matang (saprik) mempunyai kadar abu 12,04% dengan
kadar bahan organik 78,3% (Setiawan, 1991).
38
terputar dan menyimpan gambut masuk ke dalamnya. Bor kemudian diangkat untuk
mengeluarkan gambut di dalam kontainer. Panjang kontainer bor adalah 0,5 m,
sehingga dalam satu kali pengeboran, tebal gambut yang dapat terambil adalah 0,5
m. Untuk memperoleh gambut pada kedalaman yang lebih besar, maka jumlah
tangkai ekstensi yang digunakan ditambah.
III.3.8 Penyajian
Pada tahap ini dilakukan penyajian data sebaran lahan gambut dan area yang
berpotensi digunakan sebagai lahan pertanian berdasarkan tingkat ketebalan
gambut, kematangan gambut, jenis tanah, serta PH tanah.
39
Bab IV Analisis
40
sampai kedalaman 75 cm dapat ditata sebagai sawah;
b. Gambut dengan kedalaman 75 - 150 cm untuk hortikultura semusim,
Padi gogo, Palawija, dan tanaman tahunan;
c. Gambut hingga kedalaman 2,5 m hanya untuk perkebunan seperti
Kelapa, Kelapa sawit, dan Karet;
d. Gambut lebih dari 2,5 m sebaiknya digunakan untuk budidaya tanaman
kehutanan seperti Sengon, Sungkai, Jelutung/Pantung, Meranti, Pulai,
dan Ramin.
Yang perlu diperhatikan dalam mengelola lahan bergambut adalah lapisan yang
berada di bawah gambut. Jika di bawah gambut terdapat tanah aluvial tanpa pirit,
maka lahan ini cukup subur dan hampir mirip dengan lahan potensial. Namun
apabila di bawah gambut terdapat lapisan pasir, sebaiknya tidak usah digunakan
untuk pertanian, karena disamping tidak subur, kalau gambutnya habis akan
menjadi padang pasir. Apabila di bawah gambut terdapat lapisan pirit,
pengelolaannya harus hati-hati dan tanahnya harus dijaga agar selalu dalam
keadaan berair (agar piritnya tidak teroksidasi) atau dibuatkan sistem drainase yang
memungkinkan tercucinya materi pirit.
41
Bab V Kesimpulan
1. Metode in-situ umumnya memberikan hasil yang relatif lebih teliti dan lebih
akurat dibandingkan metode lainnya. Akan tetapi, untuk cakupan areal yang
lebih luas, metode in-situ ini umumnya tidak efisien karena timbulnya
kesalahan‐kesalahan dalam pengukuran, baik yang disebabkan oleh cara
pengukurannya maupun yang disebabkan oleh pengukurnya yang relatif lebih
besar. Metode pengindraan jauh umumnya memberikan keunggulan biaya
yang relatif lebih murah dibandingkan dengan metode in-situ dan sangat cocok
untuk luasan areal yang relatif besar. Namun akurasi dari metode yang
mengandalkan teknik ini umumnya relatif lebih rendah. Dengan
memperhatikan keunggulan dan keterbatasan dari 2 metode yang telah
disebutkan, maka metode pemetaan hutan dengan mengkombinasikan metode
penginderaan jauh dan pengukuran in-situ menjadi sebuah pilihan, dengan
harapan mendapatkan data dan informasi yang relatif lebih teliti, sementara
dapat menekan biaya serta cocok untuk luasan yang relatif besar.Metode
kombinasi ini lebih banyak digunakan untuk menghemat biaya tetapi tidak
mengurangi ketelitian yang diharapkan.
42
DAFTAR PUSTAKA
Aguilar F. J., Aguera F., Aguilar M. A., Carvajal F. 2005. Effects of terrain
morphology, sampling density and interpolation methods on grid DEM
accuracy. Photogrammetric Engineering and Remote Sensing 71(7):805–
816.
Agus, F. 2009. Cadangan karbon, emisi gas rumah kaca dan konservasi lahan
gambut. Prosiding Seminar Dies Natalis Universitas Brawidjaya ke 46, 31
Januari 2009, Malang.
Andriesse, J.P. 1994. Constrainsts and opportunities for alternative use options of
tropical peat land. In B.Y. Aminuddin (Ed.). Tropical Peat; Proceedings of
International Symposium on Tropical Peatland, 6-10 May 1991, Kuching,
Sarawak, Malaysia.
Diemont, W.H. and L.J. Pons. 1991. A preliminary note on peat formation and
gleying in Mahakam inland floodplain, East kalimantan, Indonesia. Proc.
International Symposium on Tropical Peatland. 6-10 May 1991, Kuching,
Serawak, Malaysia.
Djainudin, D., Marwan H., Subagjo H., dan A. Hidayat. 2003. Petunjuk Teknis
Evaluasi Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Pertanian. Balai Penelitian
Tanah, Bogor.
Driessen, P.M. 1978. Peat soils. pp: 763-779. In: IRRI. Soil and rice. IRRI. Los
Banos. Philippines.
Driessen, P.M., dan H. Suhardjo. 1976. On the defective grain formation of sawah
rice on peat. Soil Res. Inst. Bull. 3: 20 – 44. Bogor.
Germer, J., dan J. Sauaerborn. 2008. Estimation of the impact of oil palm plantation
establishment on greenhouse gas balance. Environ. Development
Sustainability 10:697-716.
43
Hadi, A., Haridi, M., Inubushi, K., Purnomo, E., Razie, F. and Tsuruta, H. 2001.
Effects of land-use change on tropical peat soil on the microbial population
and emission of greenhouse gases. Microbes and Environments 16: 79-86.
Halim, A. 1987. Pengaruh pencampuran tanah mineral dan basa dengan tanah
gambut pedalaman Kalimantan Tengah dalam budidaya tanaman kedelai.
Disertasi Fakultas Pascasarjana, IPB. Bogor.
Hardjowigeno, S. 1986. Sumber daya fisik wilayah dan tata guna lahan: Histosol.
Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Hal. 86-94.
Hatano, R., Tomoaki, M., Untung, D., Limin, S.H., Syaiful, A. 2004. Impact of
agriculture and wild-fire on CO2, CH4 and N2O emissions from tropical
peat soil in Central Kalimantan, Indonesia, Necessity of Establishment of
Inventory on Carbon Cycling in Tropical Peatland Ecosystems for
Sustainable Agroproduction and Environmental Conservation, Report
number 13574012, Field Science Center for Northern Biosphere, Hokkaido
University, Sapporo, pp. 11-14.
Herman dan F. Agus 2008. Analisis finansial dan opportunity cost emisi CO2 dari
perkebunan kelapa sawit. Laporan Tahunan 2008, Konsorsium Litbang
Perubahan Iklim Sektor Pertanian. Balai Besar Sumber Daya Lahan
Pertanian, Bogor.
Hooijer, A., Silvius, M., Wösten, H., Page, S. 2006. PEAT-CO2, Assessment of
CO2 emissions from drained peatlands in SE Asia, Delft Hydraulics report
Q3943.
44
LAMPIRAN
45
Lampiran A
46