Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PENDAHULUAN PENATALAKSANAAN KEGAWATDARURATAN

ABDOMINAL NON RAUMA

DISUSUN OLEH:

POLYCARPUS BALA RETU KOTEN

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS GAJAH MADA YOGYAKARTA

TAHUN 2019

1
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA

2.2. kegawat daruratan karena non trauma

1. Obstruksi usus

Obstruksi usus adalah hambatan mekanik atau fungsional pada intestin yang mencegah
transit produk – produk intestin, gas dan cairan. Obstruksi ini dapat terjadi secara partial
ataupun total. Obstruksi dapat terjadi di bagian usus manapun (di usus kecil atau usus
besar) dan merupakan suatu kasus emergensi.

Obstruksi mekanik usus merupakan hambatan fisik lumen baik sebagian atau
total. Sekitar 85% dari obstruksi mekanik terjadi pada usus halus dan 15% diantaranya
terjadi pada usus besar.

Obstruksi sederhana maksudnya suatu hambatan pada satu tempat saja,


sedangkan obstruksi yang terjadi pada dua tempat atau lebih dikenal dengan sebutan
lengkung tertutup.

Examples of Causes of Intestinal Obstruction

Obstruction due to mesenteric


Obstruction due to hernia Obstruction due to volvulus
occlusion

2
Obstruction due to Obstruction due to tumor Obstruction due to adhesions
intussusception

Berdasarkan penyebabnya, obstruksi usus dapat dibagi menjadi dua, yaitu :

1. Obstruksi mekanik
Obstruksi mekanis biasanya timbul akibat usus tersumbat sehingga isi usus tidak
dapat lewat Etiologinya berupa hernia, jaringan parut (postoperatif adhesi),
impacted feses, gallstone, tumor, volvulus, intususepsi, benda asing.

Obstruksi mekanik dapat dibagi menjadi 3 stadium, yaitu:

a. Stadium obstruksi partial


Obstruksi terjadi sebagian, makanan masih bisa sedikit lewat, dapat
flatus/ defekasi sedikit. Obstruksi usus jenis ini biasanya dapat diterapi
dengan terapi non operatif.

b. Stadium obstruksi total / simpel / nonstrangulasi


Terjadi sumbatan total tetapi belum terjadi gangguan vaskularisasi
dinding usus. Usus masih dapat hidup. Obstruksi usus jenis ini harus
diterapi secara operatif.

c. Stadium strangulasi
Vaskularisasi dinding usus terjepit ( strangulasi ) sehingga usus
mengalami nekrosis. Strangulasi dapat terjadi akibat tingginya tekanan
dalam lumen itu sendiri karena membesarnya usus oleh gas dan cairan.
Tetapi sesungguhnya strangulasi itu lebih sering terjadi apabila mekanisme
obstruksi tersebut tidak saja menyumbat lumen usus tetapi juga menyumbat

3
suplai darah mesenterik. Dengan demikian strangulasi lebih banyak ditemui
pada lengkung tertutup daripada jenis obstruksi sederhana.

2. Obstruksi nonmekanik
Obstruksi non mekanis atau ileus adinamik sering terjadi setelah
pembedahan abdomen karena adanya refleks penghambatan peristaltik akibat
visera abdomen yang tersentuh tangan. Refleks penghambatan peristaltik ini
sering disebut sebagai ileus paralitik, walaupun paralisis peristaltik ini tidak
terjadi secara total. Kondisi ini biasanya hanya berlangsung secara temporer dan
akan menghilang dalam waktu 48-72 jam. Fungsi usus halus yang terganggu
postoperatif biasanya akan kembali normal dalam hitungan jam. Dan pada
kolon, akan kembali normal dalam 3-5 hari. Ileus postoperatif ini dimediasi oleh
aktivasi dari refleks inhibisi spinal. Secara anatomi, ada 3 refleks yang
mempengaruhi:

a. Ultrashort reflexes, mempengaruhi dinding usus.


b. Short reflexes, meliputi ganglia prevertebral
c. Long reflexes, meliputi medula spinalis.
Etiologinya lainnya berupa proses inflamasi, infeksi, efek samping obat –
obatan.

Menurut letak sumbatannya maka ileus obstruktif dibagi menjadi dua :

1. Obstruksi letak tinggi, bila mengenai usus halus.


2. Obstruksi letak rendah, bila mengenai usus besar.

2. Peritonitis
Ada 2 jenis peritonitis
A. Peritonitis lokal
1. Appendisitis acute
Keluhan Klasik ialah nyeri ulu hati menjalar ke daerah sekitar pusat selanjutnya
menetap didaerah Mc Burney.Diare,disuria.Nyeri tekan/tanda defans muskuler didaerah
Mc Burney.

4
Pada anamnesis, keluhan utama apendisitis biasanya mula-mula dirasakan di
epigastrium atau region umbilical yang kemudian dapat menyebar dan dirasakan di
seluruh perut. Nyeri kemudian dirasakan berpindah ke perut kanan bawah, tepatnya di
titik Mc Burney. Selain itu terdapat pula keluhan anoreksia, mual, muntah, obstipasi,
dan febris. Namun, keluhan yang dirasakan pasien apendisitis dapat berbeda oleh karena
gejala ditentukan dari posisi ujung apendiks.

Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik hasil yang didapatkan ditentukan terutama oleh posisi
anatomis dari apendiks yang meradang, serta oleh apakah organ tersebut telah
mengalami ruptur ketika pasien pertama diperiksa.

Tanda rangsangan peritoneum lokal di titik Mc Burney yaitu nyeri tekan, nyeri
lepas, dan defens muskuler. Sedangkan nyeri rangsang peritoneum tidak langsung dapat
berupa

1. Nyeri pada sisi kanan bawah yang timbul saat dilakukan palpasi dengan
tekanan pada kuadran kiri bawah– Rovsing’s sign

2. Nyeri pada sisi kanan bawah yang timbul saat palpasi dengan tekanan pada
kuadran kanan bawah dilepaskan tiba-tiba- Blumberg’s sign

3. Nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti saat nafas dalam,
berjalan, batuk, mengedan

 Status Generalis

Keadaan umum pasien tampak kesakitan, membungkuk, dan memegang


perut kanan bawah. Tanda-tanda vital tidak banyak berubah pada apendisitis
tanpa perforasi. Pada pemeriksaan suhu biasanya didapatkan demam ringan
dengan suhu sekitar 37,5-38,5oC, denyut nadi normal atau sedikit meningkat.
Perubahan signifikan biasanya menunjukkan bahwa komplikasi telah terjadi atau
diagnosis lain harus dipertimbangkan.

5
 Status lokalis

- Inspeksi: tidak ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada


penderita dengan komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan bawah bisa
dilihat pada masa atau abses periapendikuler.

- Palpasi: didapatkan nyeri terbatas pada regio iliaka kanan, bisa disertai nyeri
lepas (Blumberg’s sign). Defens muskuler menunjukan adanya rangsangan
peritoneum parietal. Nyeri tekan perut kanan bawah merupakan kunci
diagnosis.

- Perkusi: nyeri ketuk Mc Burney karena rangsangan peritoneum

- Auskultasi: peristaltik usus sering normal tetapi juga dapat menghilang


akibat adanya ileus paralitik pada peritonitis generalisata yang disebabkan
oleh apendisitis perforasi.

 Pemeriksaan khusus

- Rovsing’s sign

Positif jika dilakukan palpasi dengan tekanan pada kuadran kiri bawah
dan timbul nyeri pada sisi kanan.

- Psoas sign

Pasien dibaringkan pada sisi kiri, kemudian dilakukan ekstensi dari


panggul kanan. Positif jika timbul nyeri pada kanan bawah, menandakan
apendiks yang meradang menempel di otot psoas mayor.

Gambar Pemeriksaan Psoas sign

6
- Obturator sign

Pada pasien dilakukan fleksi panggul dan dilakukan rotasi internal pada
panggul. Positif jika timbul nyeri pada hipogastrium atau vagina bilamana
apendiks yang meradang bersentuhan dengan otot obturator internus yang
merupakan dinding panggul kecil. Gerakan fleksi dan endorotasi sendi
panggul pada posisi terlentang akan menimbulkan nyeri pada apendisitis
pelvika.

Gambar Pemeriksaan Obturator sign

- Pemeriksaan colok dubur menyebabkan nyeri bila daerah infeksi dapat


dicapai dengan jari telunjuk, misalnya pada apendisitis pelvika. Pada
apendisitis pelvika, tanda perut sering meragukan sehingga kunci diagnosis
adalah nyeri terbatas pada jam 9-12 sewaktu dilakukan colok dubur.

Pada wanita hamil terjadi pergeseran sekum ke kraniolaterodorsal oleh uterus,


oleh karenanya keluhan nyeri pada apendisitis sewaktu hamil trimester II dan III akan
bergeser ke kanan sampai ke pinggang kanan.Tanda pada kehamilan trimester I tidak
berbeda dengan pada orang tidak hamil karena itu perlu dibedakan apakah keluhan nyeri
berasal dari uterus atau apendiks. Bila penderita miring ke kiri, nyeri akan berpindah
sesuai dengan pergeseran uterus, maka nyeri tersebut bukan berasal dari apendiks.

Pemeriksaan Laboratorium

 Laboratorium darah

Leukositosis ringan (10.000-18.000 sel/mm3) biasanya didapatkan pada


pasien dengan akut apendisitis tanpa komplikasi, dan sering disertai dengan

7
dominasi polimorfonuklear. Jumlah sel darah putih di atas 18.000 sel/mm3
meningkatkan kemungkinan apendiks perforasi dengan atau tanpa abses.

 Urin lengkap

Urinalisis berguna untuk menyingkirkan saluran kemih sebagai sumber


infeksi. Meskipun beberapa sel darah putih atau merah bisa berasal dari ureter
atau iritasi kandung kemih sebagai akibat dari radang pada apendiks, bakteriuria
dalam spesimen urin yang diperoleh melalui kateter umumnya tidak terlihat
dalam apendisitis akut.

Pemeriksaan Radiologi

 Foto polos abdomen

Foto polos abdomen jarang mampu menegakkan diagnosis, namun


berguna dalam mengidentifikasi free gas, dan dapat menunjukkan appendicolith
di 7-15% kasus. Ditemukannya sebuah appendicolith membuat kemungkinan
apendisitis akut hingga 90%.
Pada pasien dengan apendisitis akut, pola gas usus yang abnormal sering
terlihat namun bukan merupakan penemuan yang spesifik
 Ultrasonografi
Ultrasound dengan radiasi pengion yang rendah harus menjadi
penunjang pilihan pada pasien muda, dan efektif mengidentifikasi apendiks
abnormal, terutama pada pasien yang kurus.

Graded compression sonography telah diusulkan sebagai cara yang


akurat untuk menegakkan diagnosis apendisitis. Diagnosis sonografi apendisitis
akut memiliki sensitivitas dari 55-96% dan spesifisitas 85-98%. Hasil scan
dianggap positif jika terdapat gambaran aperistaltik, noncompressible apendiks
≥6 mm pada arah anteroposterior. Terlihatnya appendicolith menetapkan
diagnosis. Penebalan dinding apendiks dan adanya cairan periappendiceal sangat
sugestif. Demonstrasi sonografi dari usus buntu yang normal yaitu compressible,

8
struktur tabung blind-ending berukuran ≤5 mm, dapat menyingkirkan diagnosis
apendisitis akut.

Gambar Apendiks normal. A dan B, longitudinal A) dan transversal (B) sonogram,


menunjukkan apendiks (panah) dengan diameter kurang dari 7 mm cut-off point, dikelilingi oleh
lemak noninflamed normal

Gambar Apendiks yang mengalami apendisitis.

Longitudinal dan transversal sonogram menunjukkan apendiks yang membesar (panah)


dikelilingi oleh lemak meradang hyperechoic (panah).

Apendiks yang meradang memiliki diameter lebih besar dari 6 mm, dan
biasanya dikelilingi oleh hyperechoic inflamed fat di sonografi. Tanda-tanda
yang sangat mendukung apendisitis yaitu adanya appendicolith, penebalan
caecal apikal.

 Barium enema

Yaitu suatu pemeriksaan X-Ray dengan memasukkan barium ke colon


melalui anus. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan komplikasi-komplikasi dari

9
appendicitis pada jaringan sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan diagnosis
banding.
Foto barium enema yang dilakukan perlahan pada apendisitis akut
memperlihatkan tidak adanya pengisian apendiks dan efek massa pada tepi
medial serta inferior dari caecum; pengisisan lengkap dari apendiks
menyingkirkan apendisitis.

Gambar Apendiks yang normal pada pemeriksaan barium enema


Apendiks terisi penuh dengan kontras, yang secara efektif menyingkirkan diagnosis apendisitis

 Laparoskopi

dapat berfungsi baik sebagai manuver diagnostik dan terapeutik untuk


pasien dengan sakit perut akut dan yang diduga apendisitis akut.

Meskipun dilakukan pemeriksaan dengan cermat dan teliti, diagnosis klinis


apendisitis akut masih mungkin salah pada sekitar 15-20% kasus dimana lebih sering
terjadi pada perempuan terutama yang masih muda oleh karena keluhan yang
menyerupai timbul dari genitalia interna (seperti ovulasi, menstruasi, radang di pelvis,
atau penyakit ginekologik lain).

Untuk menurunkan angka kesalahan diagnosis apendisitis akut, bila diagnosis


meragukan, sebaiknya penderita diobservasi di rumah sakit dengan frekuensi setiap 1-2
jam. Pemeriksaan ultrasonografi dapat meningkatkan akurasi diagnosis.

Kemungkinan apendisitis dapat diyakinkan dengan menggunakan skor Alvarado.


Sistem skor dibuat untuk meningkatkan cara mendiagnosis apendisitis.

10
The Modified Alvarado Score Skor
Gejala Perpindahan nyeri dari ulu hati ke perut kanan 1
bawah
Mual-Muntah 1
Anoreksia 1
Tanda Nyeri di perut kanan bawah 2
Nyeri lepas 1
Demam diatas 37,5°C 1
Pemeriksaan Lab Leukositosis 2
Hitung jenis leukosit shift to the left 1
Total 10
Interpretasi dari Modified Alvarado Score:

 0-4 : kemungkinan Apendisitis kecil

 5-6 : bukan diagnosis Apendisitis

 7-8 : kemungkinan besar Apendisitis

 9-10 : hampir pasti menderita Apendisitis

Tabel The Modified Alvarado score

Tatalaksana apendisitis pada kebanyakan kasus adalah apendektomi.


Keterlambatan dalam tatalaksana dapat meningkatkan kejadian perforasi.Oleh
karenanya, meskipun terdapat modalitas diagnostik yang lebih canggih, pentingnya
intervensi operasi segera tidak harus diminimalkan. Pada pasien dengan presentasi
atipikal, pemeriksaan fisik adalah alat yang paling penting dalam memutuskan apakah
pasien membutuhkan operasi.

Pasien dengan riwayat klasik dan temuan pemeriksaan fisik, dengan analisis urin
normal (atau piuria) dan jumlah leukosit yang tinggi dengan pergeseran ke kiri biasanya
tidak memerlukan studi pencitraan tambahan sebelum apendektomi. Pembedahan juga
diindikasikan pada pasien dengan presentasi atipikal dan temuan radiografi yang
konsisten dengan apendisitis. Setiap pasien dengan nyeri perut atipikal yang memiliki

11
(1) nyeri persisten dan menjadi demam, (2) peningkatan jumlah leukosit, atau (3)
temuan pemeriksaan klinis memburuk harus menjalani laparoskopi diagnostik dan usus
buntu.

Apendektomi dapat dilakukan dengan open atau laparoskopi Menurut Society of


American Gastrointestinal and Endoscopic Surgeons (SAGES) 2010 keadaan yang
sesuai untuk dilakukan laparoskopi diantaranya pada pasien dengan apendisitis tanpa
komplikasi, anak-anak, dan wanita hamil. Prosedur apendektomi laparoskopi sudah
terbukti menghasilkan nyeri pasca bedah yang lebih sedikit, pemulihan yang lebih cepat
dan angka kejadian infeksi luka yang lebih rendah, akan tetapi terdapat peningkatan
kejadian abses intra abdomen dan pemanjangan waktu operasi. Laparoskopi dikerjakan
untuk diagnosa dan terapi pada pasien dengan akut abdomen, terutama pada wanita.

Sebelum dilakukan operasi, maka perlu dilakukan persiapan seperti hidrasi yang
adekuat harus dipastikan, kelainan elektrolit harus diperbaiki, dan kondisi jantung, paru,
dan ginjal harus ditangani terlebih dahulu. Sebuah penelitian meta-analisis telah
menunjukkan efikasi antibiotik pra operasi dalam menurunkan komplikasi infeksi di
apendisitis. Pada apendisitis akut tanpa komplikasi, tidak ada manfaat dalam
memperluas cakupan antibiotik melampaui 24 jam. Pada apendisitis perforasi atau
dengan gangren, antibiotik dilanjutkan sampai pasien tidak demam dan memiliki jumlah
sel darah putih normal. Untuk infeksi intra-abdominal dari saluran pencernaan yang
ringan sampai sedang, Surgical Infection Society telah merekomendasikan terapi
tunggal dengan cefoxitin, cefotetan, atau asam klavulanat tikarsilin. Untuk infeksi yang
lebih berat, terapi tunggal dengan carbapenems atau terapi kombinasi dengan
sefalosporin generasi ketiga, monobactam, atau aminoglikosida ditambah untuk
anaerobik dengan klindamisin atau metronidazole..Rekomendasi serupa untuk anak-
anak.

Penggunaan antibiotik terbatas 24 sampai 48 jam dalam kasus apendisitis


nonperforasi. Sedangkan untuk apendisitis perforasi, dianjurkan terapi diberikan selama
7 sampai 10 hari. Antibiotik IV biasanya diberikan sampai jumlah sel darah putih
normal dan pasien tidak demam selama 24 jam. Selain itu pemberian analgesik untuk

12
menghilangkan nyeri juga diberikan pada pasien baik sebelum maupun sesudah operasi
untuk mengurangi keluhan.
Interval apendektomi dilakukan minimal 6 minggu setelah kejadian akut
direkomendasikan untuk semua pasien yang diobati baik nonoperatif atau dengan
drainase abses sederhana.
2. Kholesistitis acute
KU: nyeri hebat didaerah subkostal kanan dan pemerksaan fisik:Nyeri tekan/defans
didaerah subkostal kanan.

Keluhan yang agak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah kolik perut di
sebelah kanan atas epigastrium dan nyeri tekan, takikardia serta kenaikan suhu tubuh.
Keluhan tersebut dapat memburuk secara progresif. Kadang – kadang rasa sakit
menjalar ke pundak atau skapula kanan dan dapat berlangsung sampai 60 menit tanpa
reda. Berat ringannya keluhan sangat bervariasi tergantung dari adanya kelainan
inflamasi yang ringan sampai dengan gangren atau perforasi kandung empedu. Sekitar
60 – 70% pasien melaporkan adanya riwayat serangan yang sembuh spontan.

Tanda peradangan peritoneum seperti peningkatan nyeri dengan penggetaran


atau pada pernapasan dalam dapat ditemukan. Pasien mengalami anoreksia dan sering
mual. Muntah relatif sering terjadi dan dapat menimbulkan gejala dan tanda deplesi
volume vaskuler dan ekstraseluler. Pada pemeriksaan fisis, kuadran kanan atas abdomen
hampir selalu nyeri bila dipalpasi. Pada seperempat sampai separuh pasien dapat diraba
kandung empedu yang tegang dan membesar. Inspirasi dalam atau batuk sewaktu
palpasi subkosta kudaran kanan atas biasanya menambah nyeri dan menyebabkan
inspirasi terhenti (tanda Murphy).

Ketokan ringan pada daerah subkosta kanan dapat menyebabkan peningkatan


nyeri secara mencolok. Nyeri lepas lokal di kuadran kanan atas sering ditemukan, juga
distensi abdomen dan penurunan bising usus akibat ileus paralitik, tetapi tanda
rangsangan peritoneum generalisata dan rigiditas abdomen biasanya tidak ditemukan,
asalkan tidak ada perforasi. Ikterus dijumpai pada 20% kasus, umumnya derajat ringan
(bilirubin < 4,0 mg/dl). Apabila konsentrasi bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya
batu di saluran empedu ekstra hepatik. Pada pasien – pasien yang sudah tua dan dengan

13
diabetes mellitus, tanda dan gejala yang ada tidak terlalu spesifik dan kadang hanya
berupa mual saja.

Walaupun manifestasi klinis kolesistitis akalkulus tidak dapat dibedakan dengan


kolesistitis kalkulus, biasanya kolesistitis akalkulus terjadi pada pasien dengan keadaan
inflamasi kandung empedu akut yang sudah parah walaupun sebelumnya tidak terdapat
tanda – tanda kolik kandung empedu. Biasanya pasien sudah jatuh ke dalam kondisi
sepsis tanpa terdapat tanda – tanda kolesistitis akut yang jelas sebelumnya.

Tatalaksana

Terapi konservatif

Walaupun intervensi bedah tetap merupakan terapi utama untuk kolestasis akut
dan komplikasinya, mungkin diperlukan periode stabilisasi di rumah sakit sebelum
kolesistektomi. Pengobatan umum termasuk istirahat total, perbaiki status hidrasi
pasien, pemberian nutrisi parenteral, diet ringan, koreksi elektrolit, obat penghilang rasa
nyeri seperti petidin dan antispasmodik. Pemberian antibiotik pada fase awal sangat
penting untuk mencegah komplikasi seperti peritonitis, kolangitis dan septisemia.
Golongan ampisilin, sefalosporin dan metronidazol cukup memadai untuk mematikan
kuman – kuman yang umum terdapat pada kolesistitis akut seperti E. Coli, Strep.
faecalis dan Klebsiela, namun pada pasien diabetes dan pada pasien yang
memperlihatkan tanda sepsis gram negatif, lebih dianjurkan pemberian antibiotik
kombinasi.

Berdasarkan rekomendasi Sanford, dapat diberikan ampisilin/sulbactam dengan


dosis 3 gram / 6 jam, IV, cefalosporin generasi ketiga atau metronidazole dengan dosis
awal 1 gram, lalu diberikan 500 mg / 6 jam, IV. Pada kasus – kasus yang sudah lanjut
dapat diberikan imipenem 500 mg / 6 jam, IV. Bila terdapat mual dan muntah dapat
diberikan anti – emetik atau dipasang nasogastrik tube. Pemberian CCK secara
intravena dapat membantu merangsang pengosongan kandung empedu dan mencegah
statis aliran empedu lebih lanjut. Pasien – pasien dengan kolesistitis akut tanpa
komplikasi yang hendak dipulangkan harus dipastikan tidak demam dengan tanda –
tanda vital yang stabil, tidak terdapat tanda – tanda obstruksi pada hasil laboratorium

14
dan USG, penyakit – penyakit lain yang menyertai (seperti diabetes mellitus) telah
terkontrol. Pada saat pulang, pasien diberikan antibiotik yang sesuai seperti
Levofloxasin 1 x 500 mg PO dan Metronidazol 2 x 500 mg PO, anti-emetik dan
analgesik yang sesuai.

Terapi bedah

kolesistostomi atau kolesistektomi darurat mungkin perlu dilakukan pada pasien


yang dicurigai atau terbukti mengalami komplikasi kolesistitis akut, misalnya empiema,
kolesistitis emfisematosa atau perforasi. Pada kasus kolesistitis akut nonkomplikata,
hampir 30 % pasien tidak berespons terhadap terapi medis dan perkembangan penyakit
atau ancaman komplikasi menyebabkan operasi perlu lebih dini dilakukan (dalam 24
sampai 72 jam). Komplikasi teknis pembedahan tidak meningkat pada pasien yang
menjalani kolesistektomi dini dibanding kolesistektomi yang tertunda. Penundaan
intervensi bedah mungkin sebaiknya dicadangkan untuk (1) pasien yang kondisi medis
keseluruhannya memiliki resiko besar bila dilakukan operasi segera dan (2) pasien yang
diagnosis kolesistitis akutnya masih meragukan.

Kolesistektomi dini/segera merupakan terapi pilihan bagi sebagian besar pasien


kolesistitis akut. Di sebagian besar sentra kesehatan, angka mortalitas untuk
kolesistektomi darurat mendekati 3 %, sementara resiko mortalitas untuk kolesistektomi
elektif atau dini mendekati 0,5 % pada pasien berusia kurang dari 60 tahun. Tentu saja,
resiko operasi meningkat seiring dengan adanya penyakit pada organ lain akibat usia
dan dengan adanya komplikasi jangka pendek atau jangka panjang penyakit kandung
empedu. Pada pasien kolesistitis yang sakit berat atau keadaan umumnya lemah dapat
dilakukan kolesistektomi dan drainase selang terhadap kandung empedu.
Kolesistektomi elektif kemudian dapat dilakukan pada lain waktu.

B.Peritonitis Diffusa

Keluhan & tanda2 fisik peritonitis diffusa ialah : nyeri hebat seluruh perut dan
nyeri tekan disertai defans muskuler seluruh dinding perut.

15
3.Pendarahan pada saluran cerna
Seperti dalam menghadapi pasien-pasien gawat darurat lainnya dimana dalam
melaksanakan prosedur diagnosis tidak harus selalu melakukan anamnesis yang sangat
cermat dan pemeriksaan fisik yang sangat detil, dalam hal ini yang diutamakan adalah
penanganan A - B – C ( Airway – Breathing – Circulation ) terlebih dahulu. Bila pasien
dalam keadaan tidak stabil yang didahulukan adalah resusitasi ABC. Setelah keadaan
pasien cukup stabil maka dapat dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lebih
seksama.
Pada anamnesis yang perlu ditanyakan adalah riwayat penyakit hati kronis,
riwayat dispepsia, riwayat mengkonsumsi NSAID, obat rematik, alkohol, jamu –
jamuan, obat untuk penyakit jantung, obat stroke. Kemudian ditanya riwayat penyakit
ginjal, riwayat penyakit paru dan adanya perdarahan ditempat lainnya. Riwayat muntah-
muntah sebelum terjadinya hematemesis sangat mendukung kemungkinan adanya
sindroma Mallory Weiss.
Dalam pemeriksaan fisik yang pertama harus dilakukan adalah penilaian ABC,
pasien- pasien dengan hematemesis yang masif dapat mengalami aspirasi atau sumbatan
jalan nafas, hal ini sering ini sering dijumpai pada pasien usia tua dan pasien yang
mengalami penurunan kesadaran. Khusus untuk penilaian hemodinamik (keadaan
sirkulasi) perlu dilakukan evaluasi jumlah perdarahan.
 Perdarahan < 8%  hemodinamik stabil
 Perdarahan 8%-15%  hipotensi ortostatik
 Perdarahan 15-25%  renjatan (shock)
 Perdarahan 25%-40%  renjatan + penurunan kesadaran
 Perdarahan >40%  moribund
Pemeriksaan fisik lainnya yang penting yaitu mencari stigmata penyakit hati
kronis (ikterus, spider nevi, asites, splenomegali, eritema palmaris, edema tungkai),
masa abdomen, nyeri abdomen, rangsangan peritoneum, penyakit paru, penyakit
jantung, penyakit rematik dan lain-lain. Pemeriksaan yang tidak boleh dilupakan adalah
colok dubur. Warna feses ini mempunyai nilai prognostic.
Dalam prosedur diagnosis ini penting melihat aspirat dari Naso Gastric Tube
(NGT). Aspirat berwarna putih keruh menandakan perdarahan tidak aktif, aspirat

16
berwarna merah marun menandakan perdarahan massif sangat mungkin perdarahan
arteri. Seperti halnya warna feses maka warna aspirat pun dapat memprediksi mortalitas
pasien. Walaupun demikian pada sekitar 30% pasien dengan perdarahan tukak duodeni
ditemukan adanya aspirat yang jernih pada NGT.
Dalam prosedur diagnostik ini perlu dilakukan beberapa pemeriksaan
penunjang. Antara lain laboratorium darah lengkap, faal hemostasis, faal hati, faal
ginjal, gula darah, elektrolit, golongan darah, rontgen dada dan elektrokardiografi.
Dalam prosedur diagnosis ini pemeriksaan endoskopi merupakan gold standard.
Tindakan endoskopi selain untuk diagnostik dapat dipakai pula untuk terapi. Prosedur
ini tidak perlu dilakukan segera (bukan prosedur emergensi), dapat dilakukan dalam
kurun waktu 12 - 24 jam setelah pasien masuk dan keadaan hemodinamik stabil. Tidak
ada keuntungan yang nyata bila endoskopi dilakukan dalam keadaan darurat. Dengan
pemeriksaan endoskopi ini lebih dari 95% pasien-pasien dengan hemetemesis, melena
atau hematemesis –melena dapat ditentukan lokasi perdarahan dan penyebab
perdarahannya.
Untuk kepentingan klinik biasanya dibedakan perdarahan karena ruptur varises
dan perdarahan bukan karena ruptur varises (variceal bleeding dan non variceal
bleeding).
Identifikasi varises biasanya memakai cara red whale marking. Yaitu dengan
menentukan besarnya varises (F1-F2-F3), jumlah kolom (sesuai jam), lokasi di
esophagus (Lm,Li,Lg) dan warna ( biru, cherry red, hematocystic).
Untuk ulkus memakai kriteria Forrest.
- Forrest Ia : Tukak dengan perdarahan aktif dari arteri
- Forrest Ib : Tukak dengan perdarahan aktif berupa oozing
- Forrest IIa : Tukak dengan visible vessel
- Forrest IIb : Tukak dengan ada klot diatasnya yang sulit dilepas
- Forrest IIc : Tukak dengan klot diatasnya yang dapat dilepas
- Forrest III : Tukak dengan dasar putih tanpa klot.
Pada beberapa keadaan dimana pemeriksaan endoskopi tidak dapat dilakukan,
pemeriksaan dengan kontras barium( OMD) mungkin dapat membantu. Untuk pasien
yang tidak mungkin dilakukan endoskopi dapat dilakukan pemeriksaan dengan

17
angiografi atau skintigrafi. Hasil pemeriksaan endoskopi untuk pasien-pasien perdaahan
non varises mempunyai nilai prognostik. Dengan menganalisis semua data yang ada
dapat ditentukan strategi penanganan yang lebih adekwat.
1. Penatalaksanaan
Pengelolaan pasien dengan perdarahan akut SCBA meliputi tindakan umum dan
tindakan khusus .
 Tindakan umum:
Tindakan umum terhadap pasien diutamakan untuk ABC. Terhadap pasien
yang stabil setelah pemeriksaan dianggap memadai, pasien dapat segera
dirawat untuk terapi lanjutan atau persiapan endoskopi. Untuk pasien-pasien
risiko tinggi perlu tindakan lebih agresif seperti:
a. Pemasangan IV line paling sedikit 2 dengan jarum(kateter) yang besar
minimal no 18. Hal ini penting untuk keperluan transfusi. Dianjurkan
pemasangan CVP.
b. Oksigen sungkup/ kanula. Bila ada gangguan A-B perlu dipasang ETT.
c. Mencatat intake output, harus dipasang kateter urine
d. Memonitor Tekanan darah, Nadi, saturasi oksigen dan keadaan lainnya
sesuai dengan komorbid yang ada.
e. Melakukan bilas lambung agar mempermudah dalam tindakan
endoskopi.
Dalam melaksanakan tindakan umum ini, terhadap pasien dapat diberikan
terapi :
o transfusi untuk mempertahankan hematokrit > 25%
o Pemberian vitamin K
o Obat penekan sintesa asam lambung (PPI)
o Terapi lainnya sesuai dengan komorbid
Terhadap pasien yang diduga kuat karena ruptura varises gastroesofageal
dapat diberikan oktreotid bolus 50 µg dilanjutkan dengan drip 50 µg tiap 4
jam.
Sebagian besar pasien dengan perdarahan SCBA dapat berhenti sendiri,
tetapi pada 20% dapat berlanjut. Walaupun sudah dilakukan terapi endoskopi

18
pasien dapat mengalami perdarahan ulang. Oleh karena itu perlu dilakuka
assessmen yang lebih akurat untuk memprediksi perdarahan ulang dan
mortalitas.
 Terapi khusus
1. Varises gastroesofageal:
- Terapi medikamentosa dengan obat vasoaktif (Otreotid, Somatostatin,
Glipressin (Terlipressin)
- Terapi mekanik dengan balon Sengstaken Blackmore atau Minesota
- Terapi endoskopi (Skleroterapi, Ligasi)
- Terapi secara radiologik dengan pemasangan TIPS (Transjugular
Intrahepatic Portosystemic Shunting) dan Perkutaneus obliterasi spleno
– porta.
- Terapi pembedahan (Shunting, Transeksi esofagus + devaskularisasi +
splenektomi, Devaskularisasi + splenektomi )
Outcome pasien ruptura varises gastroesofageal sangat bergantung pada
berbagai faktor antara lain 1) Beratnya penyakit hati (Kriteria Child-
Pugh), 2) Ada tidak adanya varises gaster, walupun disebutkan dapat
diatasi dengan semacam glue (histoakrilat) 3) Komorbid yang lain seperti
ensefalopati, koagulopati, hepato renal sindrom dan infeksi.
2. Tukak peptik
- Terapi medikamentosa (PPI, Obat vasoaktif )
- Terapi endoskopi : Injeksi (adrenalin-saline, sklerosan,glue,etanol),
Termal (koagulasi, heatprobelase), Mekanik (hemoklip, stapler)
- Terapi bedah
Untuk pasien -pasien yang dilakukan terapi non bedah perlu dimonitor
akan kemungkinan perdarahan ulang. Second look endoscopy masih
kontroversi
Realimentasi bergantung pada hasil endoskopi. Pasien-pasien bukan
risiko tinggi dapat diberikan diet segera setelah endoskopi sedangkan
pasen dengan risiko tinggi perlu puasa antara 24 -48 jam, kemudian baru
diberikan makanan secara bertahap.

19
Untuk mencegah perdarahan berulang dapat dilakukan tindakan :
 Varises esophagus :
- Terapi medik dengan betabloker nonselektif
- Terapi endoskopi dengan skleroterapi atau ligasi
 Tukak peptik
- Tukak gaster PPI selama 8-12 minggu dan tukak duodeni PPI 6-8
minggu.
- Bila ada infeksi helicobacter pilory perlu dieradikasi dengan
pemberian antibiotik.
- Bila pasien memerlukan NSAID, diganti dulu dengan analgetik dan
kemudian dipilih NSAID selektif ditamabh dengan PPI atau
misoprostol.

A. Konsep asuhan keperawatan


Menurut krisanty, (2009) pengkajiandan diagnose secara teoritis yaitu:
1. Pengkajian
a) Pengkajian primer
Pengkajian yang dilakukan untuk menentukan masalah yang mengancam nyawa,
harus mengkaji dengan cepat apa yang terjadi di lokasi kejadian. Paramedik
mungkin harus melihat. Apabila sudah ditemukan luka tikaman, luka trauma
benda lainnya, maka harus segera ditangani, penilaian awal dilakukan prosedur

20
ABC jika ada indikasi, jika korban tidak berespon, maka segera buka dan
bersihkan jalan napas.
1) Airway, dengan Kontrol Tulang Belakang, membuka jalan napas menggunakan
teknik ’head tilt chin lift’ atau menengadahkan kepala dan mengangkat dagu,
periksa adakah benda asing yang dapat mengakibatkan tertutupnya jalan napas.
Muntahan, makanan, darah atau benda asing lainnya.
2) Breathing, dengan ventilasi yang adekuat, memeriksa pernapasan dengan
menggunakan cara ’lihat-dengar-rasakan’ tidak lebih dari 10 detik untuk
memastikan apakah ada napas atau tidak, selanjutnya lakukan pemeriksaan status
respirasi korban (kecepatan, ritme dan adekuat tidaknya pernapasan).
3) Circulation, dengan kontrol perdarahan hebat, jika pernapasan korban tersengal-
sengal dan tidak adekuat, makabantuan napas dapat dilakukan. Jika tidak ada
tanda-tanda sirkulasi, lakukan resusitasi jantung paru segera. Rasio kompresi dada
dan bantuan napas dalam RJP adalah 15 : 2 (15 kali kompresi dada dan 2 kali
bantuan napas.
b) Pengkajian skunder
1) pengkajian fisik
i. Inspeksi
 Harus teliti, meteorismus, darm contour, darm steifung, adanya tumor,
dilatasi vena, benjolan di tempat terjadi hernia, dll
 Sikap penderita pada peritonitis : fleksi artic. coxae dan genue
sehingga melemaskan dinding perut dan rasa sakit
ii. Palpasi
 Diperhatikan adanya distensi perut, defans muskuler, sakit tekan
titik McBurney, iliopsoas sign, obturator sign, rovsing sign, rebound tenderness.
 Rectal toucher : untuk menduga kausa ileus mekanik, invaginasi,
tumor, appendikuler infiltrate.
 pemeriksaan vaginal
iii. Perkusi
 Penting untuk menilai adanya massa atau cairan intra abdominal
iv. Auskultasi
 Harus sabar dan teliti
 Borboryghmi, metalic sound pada ileus mekanik
 Silent abdomen pada peritonitis / ileus paralitik.
c) Pengkajian pada trauma abdomen
1) Trauma Tembus abdomen
a. Dapatkan riwayat mekanisme cedera ; kekuatan tusukan/tembakan ; kekuatan
tumpul (pukulan).

21
b. Inspeksi abdomen untuk tanda cedera sebelumnya : cedera tusuk, memar, dan
tempat keluarnya peluru.
c. Auskultasi ada/tidaknya bising usus dan catat data dasar sehingga perubahan
dapat dideteksi. Adanya bising usus adalah tanda awal keterlibatan
intraperitoneal ; jika ada tanda iritasi peritonium, biasanya dilakukan laparatomi
(insisi pembedahan kedalam rongga abdomen).
d. Kaji pasien untuk progresi distensi abdomen, gerakkan melindungi, nyeri tekan,
kekakuan otot atau nyeri lepas, penurunan bising usus, hipotensi dan syok.
e. Kaji cedera dada yang sering mengikuti cedera intra-abdomen, observasi cedera
yang berkaitan.
f. Catat semua tanda fisik selama pemeriksaan pasien.
2) Trauma tumpul abdomen
a. Metode cedera.
b. Waktu awitan gejala.
c. Lokasi penumpang jika kecelakaan lalu lintas (sopir sering menderita ruptur limpa
atau hati). Sabuk keselamatan digunakan/tidak, tipe restrain yang digunakan.
d. Waktu makan atau minum terakhir.
e. Kecenderungan perdarahan.
f. Penyakit danmedikasi terbaru.
g. Riwayat immunisasi, dengan perhatian pada tetanus.
h. Alergi, lakukan pemeriksaan cepat pada seluruh tubuh pasienuntuk mendeteksi
masalah yang mengancam kehidupan.

B. Diagnosa keperawatan
1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan perdarahan
2. Nyeri berhubungan dengan adanya trauma abdomen atau luka penetrasi abdomen.
3. Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan pembedahan, tidak adekuatnya
pertahanan tubuh
4. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan fisik
5. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake yang kurang.

22
RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
No Diagnosa
Keperawatan
1 Kekurangan Setelah 1. Kaji tanda-tanda 1. untuk
. volume dilakukan vital. mengidentifikas
cairan b/d tindakan i defisit volume
perdarahan keperawatan 2. Pantau cairan cairan.
1x24 jam, parenteral dengan 2. mengidentifikas
volume cairan elektrolit, i keadaan
tidak antibiotik dan perdarahan,
mengalami vitamin serta Penurunan
kekurangan. sirkulasi volume
cairan
KH: menyebabkan
* Intake dan kekeringan
output 3. Kaji tetesan mukosa dan
seimbang infus. pemekatan urin.
* Turgor kulit Deteksi dini
baik 4. Kolaborasi : memungkinkan
* Perdarahan (-) Berikan cairan terapi
parenteral sesuai pergantian
indikasi. cairan segera.

23
5. Cairan parenteral 3. awasi tetesan
( IV line ) sesuai untuk
dengan umur. mengidentifikas
6. Pemberian i kebutuhan
tranfusi darah. cairan.
4. cara parenteral
membantu
memenuhi
kebutuhan
nuitrisi tubuh.
5. Mengganti
cairan dan
elektrolit secara
adekuat dan
cepat.
6. menggantikan
darah yang
keluar.

2 Nyeri b/d Setelah 1. Kaji karakteristik 1. Mengetahui


. adanya dilakukan nyeri. tingkat nyeri
trauma tindakan 2. Beri posisi semi klien.
abdomen atau keperawatan fowler. 2. Mengurngi
luka penetrasi 1x24 jam, 3. Anjurkan tehnik kontraksi
abdomen. Nyeri klien manajemen nyeri abdomen
teratasi. seperti distraksi 3. Membantu
4. Managemant mengurangi rasa
KH: lingkungan yang nyeri dengan
 Skala nyeri nyaman. mengalihkan

24
0 5. Kolaborasi pemb perhatian
 Ekspresi erian analgetik 4. lingkungan
tenang. sesuai indikasi. yang nyaman
dapat
memberikan
rasa nyaman
klien
5. analgetik
membantu
mengurangi rasa
nyeri.
3 Resiko Setelah 1. Kaji tanda-tanda 1. Mengidentifika
. infeksi b/d dilakukan infeksi. si adanya resiko
tindakan tindakan infeksi lebih
pembedahan, keperawatan 2. Kaji keadaan dini.
tidak 1x24 jam, luka. 2. Keadaan luka
adekuatnya infeksi tidak yang diketahui
pertahanan terjadi. 3. Kaji tanda-tanda lebih awal dapat
tubuh. vital. mengurangi
KH: resiko
* Tanda-tanda 4. Lakukan cuci infeksi.
infeksi (-) tangan sebelum 3. Suhu tubuh
* Leukosit kntak dengan naik dapat di
5000-10.000 pasien. indikasikan
mm3 5. Lakukan adanya proses
pencukuran pada infeksi.
area operasi 4. Menurunkan
(perut kanan resiko
bawah terjadinya
6. Perawatan luka kontaminasi
dengan prinsip mikroorganisme

25
sterilisasi. .
7. Kolaborasi 5. Dengan
pemberian pencukuran
antibiotik klien terhindar
dari infeksi post
operasi
6. Teknik aseptik
dapat
menurunkan
resiko infeksi
nosokomial
7. Antibiotik
mencegah
adanya infeksi
bakteri dari luar.
4 Gangguan Setelah 1. Kaji kemampuan 1. identifikasi
. mobilitas dilakukan pasien untuk kemampuan
fisik tindakan bergerak. klien dalam
berhubungan keperawatan 2. Dekatkan mobilisasi.
dengan 1x24 peralatan yang 2. meminimalisir
kelemahan jam, diharapka dibutuhkan pergerakan kien.
fisik n dapat pasien. 3. melatih otot-
bergerak 3. Berikan latihan otot klien.
bebas. gerak aktif pasif. 4. membantu
4. Bantu kebutuhan dalam
KH: pasien. mengatasi
 Mempertaha 5. Kolaborasi kebutuhan dasar
nkan mobilitas dengan ahli klien.
optimal fisioterapi. 5. terapi
fisioterapi dapat
memulihkan

26
kondisi klien.
5 Gangguan Setelah 1. Ajarkan dan 1. Keletihan
. nutrisi kurang dilakukan bantu klien untuk berlanjut

dari tindakan istirahat sebelum menurunkan


keinginan untuk
kebutuhan keperawatan makan
makan.
tubuh b/d 1x24 jam, 2. Awasi
2. Adanya
intake yang nutrisi klien pemasukan
pembesaran hepar
kurang. terpenuhi. diet/jumlah
dapat menekan
KH: kalori, tawarkan saluran gastro
 Nafsu makan makan sedikit intestinal dan
meningkat tapi sering dan menurunkan
 BB tawarkan pagi kapasitasnya.
Meningkat paling sering.
 Klien tidak 3. Pertahankan 3. Akumulasi

lemah hygiene mulut partikel makanan


di mulut dapat
yang baik
menambah baru
sebelum makan
dan rasa tak
dan sesudah
sedap yang
makan .
menurunkan
4. Anjurkan makan nafsu makan.
pada posisi duduk 4. Menurunkan
tegak. rasa penuh pada
5. Berikan diit abdomen dan
tinggi kalori, dapat

rendah lemak meningkatkan


pemasukan.
5. Glukosa
dalam
karbohidrat
cukup efektif
untuk pemenuhan
energi, sedangkan

27
lemak sulit untuk
diserap/dimetabol
isme sehingga
akan membebani
hepar.

DAFTAR PUSTAKA

American College of Surgeon. 2004. Advanced Trauma Life Support. Terjemahan


IKABI (Ikatan Ahli Bedah Indonesia). First Impression :USA

28
Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, et al. The Appendix. Shwartz’s Principles of
Surgery. 9th Ed. USA: McGrawHill Companies. 2010.

Djumhana, Ali. (2011) Perdarahan Akut Saluran Cerna bagian Bawah.


http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2011/03/pendarahan_akut_saluran
cerna_bagian_atas.pdf.

Humes DJ and Simpson J: Acute appendicitis. BMJ. 333:530–534. 2006.

Jong, Wim de. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2 . EGC : Jakarta

King, Maurice . 2002. Bedah Primer Trauma. EGC : Jakarta

Lalisang TJM. Kolesistektomi laparoskopi. Dalam: Sulaiman HA, Akbar NA, Lesmana
LA, Noer HMS. Buku ajar ilmu penyakit hati. Jakarta: Jayaabadi; 2007.185-91

Marijata. 2006. Pengantar Dasar Bedah Klinis. Unit Pelayanan Kampus fakultas
Kedokteran Universitas Gajah Mada : Yogyakarta

Pridady. Kolesistitis. Dalam: Sudoyono AW, Setiyohadi B, editor. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Jilid I Edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2010.718-20

Richard A Hodin, MD. 2007. General Approach to Blunt Abdominal Trauma in Adult.
UpToDate

29
S. Di Saverio, G. Tugnoli, F. Catena, L. Ansaloni, N. Naidoo. Trauma Surgery Volume 2
Thoracic and Abdominal Trauma. World society of emergency surgery. Springer.
NewYork.

Sandy Craig, MD. 2006. Abdominal Blunt Trauma. E-Medicin

Sjamsuhidajat, de Jong. (2010). Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta : EGC

Snell RS. Abdomen: Bagian II Cavitas Abdominalis. In: Sugiharto L, Hartanto H,


Listiawati E, Suyono YJ, Susilawati, Nisa TM, et al. Anatomi Klinik untuk
Mahasiswa Kedokteran. 6th ed. Jakarta:EGC, 2006.p230-1

Vermiform Appendix. WebMD LLC; c1994-2014 [Updated: 2013 Oct 18, cited Jul
2014]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/195652.

Weissleder R, Wittenberg J, Harisinghani MG et-al. Primer of diagnostic imaging.


Mosby Inc. (2007)

30

Anda mungkin juga menyukai