Anda di halaman 1dari 8

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Kurang Energi Protein (KEP)


2.2.1 Pengertian Kurang Energi Protein (KEP)
KEP adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya
konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari sehingga tidak
memenuhi Angka Kecukupan Gizi (AKG).
KEP banyak terdapat pada masyarakat sosial ekonomi rendah.
Kekurangan protein murni pada stadium berat menyebabkan Kwashiorkor
pada anak-anak dibawah lima tahun. Kekurangan protein sering ditemukan
secara bersamaan dengan kekurangan energi yang menyebabkan kondisi
yang dinamakan marasmus. Sindroma gabungan antara dua jenis
kekurangan ini dinamakan Energi-Protein Malnutrition/EPM atau Kurang
Energi Protein/KEP atau Kurang Kalori Protein/KKP. Sindroma ini
merupakan salah satu masalah gizi di Indonesia.
2.2.2 Faktor Risiko Kurang Energi Protein
Faktor yang menyebabkan timbulnya anak balita menderita gizi yang
kurang terdiri dari tiga bagian, yaitu faktor langsung, latar belakang dan
dasar. Faktor risiko langsung adalah asupan makanan yang tidak adekuat
dan adanya penyakit infeksi yang disebabkan oleh faktor latar belakang,
yaitu kekurangan bahan pangan didalam keluarga, perawatan dan pola
asuh ibu yang kurang baik terhadap anak, serta pelayanan kesehatan dan
sanitasi lingkungan yang buruk. Faktor-faktor tersebut merupakan akibat
dari timbulnya masalah dasar yaitu politik, sosial, ekonomi dan budaya.
2.2.3 Klasifikasi KEP
Untuk tingkat puskesmas penentuan KEP yang dilakukan dengan
menimbang BB anak dibandingkan dengan umur dan menggunakan KMS
dan Tabel BB/U Baku Median WHO-NCHS.
a. KEP ringan bila hasil penimbangan berat badan pada KMS terletak pada
pita warna kuning .
b. KEP sedang bila hasil penimbangan berat badan pada KMS terletak di
Bawah Garis Merah (BGM).
c. KEP berat/gizi buruk bila hasil penimbangan BB/U <60% baku median
WHO-NCHS. Pada KMS tidak ada garis pemisah KEP berat/Gizi buruk
dan KEP sedang, sehingga untuk menentukan KEP berat/gizi buruk
digunakan Tabel BB/U Baku Median WHO-NCHS.
2.2.4 Penyebab dan Dampak KEP
Penyebab KEP terbagi menjadi dua yaitu malnutrisi primer dan
malnutrisi sekunder. Malnutrisi primer adalah keadaan kurang gizi yang
disebabkan oleh asupan protein maupun energi yang tidak adekuat.
Malnutrisi sekunder adalah malnutrisi yang terjadi karena kebutuhan yang
meningkat, menurunnya absorpsi dan/atau peningkatan kehilangan protein
maupun energi dari tubuh.
Kurang energi protein bisa terjadi karena adanya beberapa faktor,
antara lain ialah faktor sosial dan ekonomi seperti kemiskinan dan faktor
lingkungan yaitu tempat tinggal yang padat dan tidak bersih. Selain itu,
pemberiaan Air Susu Ibu (ASI) dan makanan tambahan yang tidak adekuat
juga menjadi penyebabkan terjadinya masalah KEP.
Banyak dampak merugikan yang diakibatkan oleh KEP, antara lain
yaitu menurunnya mutu kehidupan, terganggunya pertumbuhan, gangguan
perkembangan mental anak, serta merupakan salah satu penyebab dari
angka kematian yang tinggi.9 Anak yang menderita KEP apabila tidak
segera ditangani sangat berisiko tinggi, dan dapat berakhir dengan
kematian anak.10 Kurang gizi juga akan menyebabkan timbulnya infeksi
dan sebaliknya penyakit infeksi akan memperburuk kekurangan gizi.11
Hubungan antara KEP dengan penyakit infeksi dapat dijelaskan melalui
mekanisme pertahanan tubuh.
2.2.5 Gejala klinis Balita KEP berat/Gizi buruk
Untuk KEP ringan dan sedang, gejala klinis yang ditemukan hanya
anak tampak kurus. Gejala klinis KEP berat/gizi buruk secara garis besar
dapat dibedakan sebagai marasmus, kwashiorkor atau marasmic-
kwashiorkor. Tanpa mengukur/melihat BB bila disertai edema yang bukan
karena penyakit lain adalah KEP berat/Gizi buruk tipe kwasiorkor.
a. Kwashiorkor:
[1] Edema, umumnya seluruh tubuh, terutama pada punggung kaki
(dorsum pedis)
[2] Wajah membulat dan sembab
[3] Pandangan mata sayu
[4] Rambut tipis, kemerahan seperti warna rambut jagung, mudah
dicabut tanpa rasa sakit, rontok
[5] Perubahan status mental, apatis, dan rewel
[6] Pembesaran hati
[7] Otot mengecil (hipotrofi), lebih nyata bila diperiksa pada posisi
berdiri atau duduk
[8] Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan
berubah warna menjadi coklat kehitaman dan terkelupas (crazy
pavement dermatosis)
[9] Sering disertai :
 penyakit infeksi, umumnya akut
 anemia
 diare.
b. Marasmus:
[1] Tampak sangat kurus, tinggal tulang terbungkus kulit
[2] Wajah seperti orang tua
[3] Cengeng, rewel
[4] Kulit keriput, jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai tidak
ada (baggy pant/pakai celana longgar)
[5] Perut cekung
[6] Iga gambang
[7] Sering disertai :
 penyakit infeksi, umumnya kronis berulang
 diare kronik atau konstipasi/susah buang air
c. Marasmik-Kwashiorkor:
Gambaran klinik merupakan campuran dari beberapa gejala klinik
Kwashiorkor dan Marasmus, dengan BB/U <60% baku median WHO-
NCHS disertai edema yang tidak mencolok.

Semua Penderita Kep Berat

Umumnya
Disertai Dengan Anemia Dan Defisiensi Mikronutrien Lain

2.2 Tuberkulosis (TBC)


2.2.1 Pengertian dan Gejala TBC
Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh
kuman Mycobacterium tuberculosis. Terdapat beberapa spesies
Mycobacterium, antara lain: M. tuberculosis, M. africanum, M. bovis, M.
Leprae, dsb. Yang juga dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA).
Kelompok bakteri Mycobacterium selain Mycobacterium tuberculosis yang
bisa menimbulkan gangguan pada saluran nafas dikenal sebagai MOTT
(Mycobacterium Other Than Tuberculosis) yang terkadang bisa
mengganggu penegakan diagnosis dan pengobatan TBC.
Gejala utama pasien TBC paru yaitu batuk berdahak selama 2
minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak
bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan
menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa
kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Pada pasien dengan
HIV positif, batuk sering kali bukan merupakan gejala TBC yang khas,
sehingga gejala batuk tidak harus selalu selama 2 minggu atau lebih.
2.2.2 Upaya dan Pengendalian
Pencegahan dan pengendalian faktor risiko TBC dilakukan dengan cara:
a. Membudayakan perilaku hidup bersih dan sehat;
b. Membudayakan perilaku etika berbatuk;
c. Melakukan pemeliharaan dan perbaikan kualitas perumahan dan
lingkungannya sesuai dengan standar rumah sehat;
d. Peningkatan daya tahan tubuh;
e. Penanganan penyakit penyerta TBC;
f. Penerapan pencegahan dan pengendalian infeksi TBC di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan, dan di luar Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
2.2.3 Pilar dan Komponen Penanggulangan TBC
a. Integrasi layanan TBC berpusat pada pasien dan upaya pencegahan
TBC.
1) Diagnosis TBC sedini mungkin, termasuk uji kepekaan OAT bagi
semua dan penapisan TBC secara sistematis bagi kontak dan
kelompok populasi berisiko tinggi.
2) Pengobatan untuk semua pasien TBC, termasuk untuk penderita
resistan obat dengan disertai dukungan yang berpusat pada
kebutuhan pasien (patient-centred support).
3) Kegiatan kolaborasi TB/HIV dan tata laksana komorbid TBC yang
lain.
4) Upaya pemberian pengobatan pencegahan pada kelompok rentan
dan berisiko tinggi serta pemberian vaksinasi untuk mencegah TBC.
b. Kebijakan dan sistem pendukung yang berani dan jelas.
1) Komitmen politis yang diwujudkan dalam pemenuhan kebutuhan
layanan dan pencegahan TBC.
2) Keterlibatan aktif masyarakat, organisasi sosial kemasyarakatan
dan pemberi layanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta.
3) Penerapan layanan kesehatan semesta (universal health coverage)
dan kerangka kebijakan lain yang mendukung pengendalian TBC
seperti wajib lapor, registrasi vital, tata kelola dan penggunaan obat
rasional serta pengendalian infeksi.
4) Jaminan sosial, pengentasan kemiskinan dan kegiatan lain untuk
mengurangi dampak determinan sosial terhadap TBC.
c. Intensifikasi riset dan inovasi
1) Penemuan, pengembangan dan penerapan secara cepat alat,
metode intervensi dan strategi baru pengendalian TB.
2) Pengembangan riset untuk optimalisasi pelaksanaan kegiatan dan
merangsang inovasiinovasi baru untuk mempercepat
pengembangan program pengendalian TB.

2.3 Kurang Energi Protein dan Risiko TB


Timbulnya penyakit TB paru tidak lepas dari peranan faktor risiko.
Status gizi sangat berperan penting. Anak dengan gizi buruk akan
mengakibatkan kekurusan, lemah dan rentan terserang infeksi TB.
Terjadinya infeksi dipengaruhi oleh virulensi dan banyaknya basil
tuberkulosis serta daya tahan tubuh (immunologi), sedangkan daya tahan
tubuh anak sangat dipengaruhi oleh keadaan dan asupan gizi seorang
anak. Terutama menonjol di populasi yang mengalami stres, nutrisi buruk,
lingkungan penuh sesak, perawatan kesehatan yang tidak memadai, dan
perpindahan tempat.
Dalam perspektif epidemiologi yang melihat kejadian penyakit
sebagai hasil interaksi antar tiga komponen pejamu (host), penyebab
(agent), dan lingkungan (environment) dapat ditelaah faktor risiko dari
simpul-simpul tersebut. Pada sisi pejamu, kerentanan terhadap infeksi
Mycobacterium tuberculosis sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh
seseorang pada saat itu. Orang dengan status gizi yang buruk lebih mudah
untuk terinfeksi dan terjangkit TBC.
Status gizi yang buruk dapat memengaruhi tanggapan tubuh berupa
pembentukan antibodi dan limfosit terhadap adanya kuman penyakit.
Pembentukan ini memerlukan bahan baku protein dan karbohidrat,
sehingga pada anak dengan gizi buruk produksi antibodi dan limfosit
terhambat. Gizi buruk dapat menyebabkan gangguan imunologi dan
memengaruhi proses penyembuhan penyakit. Pada penderita KEP terjadi
atrofi kelenjar timus dan tonsil yang mengakibatkan penurunan sistem
imunitas seluler sehingga penderita KEP menjadi lebih rentan terhadap
infeksi.
Diagnosis TB pada KEP sangat sulit dibedakan dengan klinis
pneumonia, namun diketahui angka kematian TB pada KEP tinggi.15 Pada
penelitian yang dilakukan di Molakalmuru didapatkan 386 anak usia 0-6
tahun KEP, dimana usia 3-6 tahun sebanyak 6,5% terinfeksi TB, dengan
8,17% diantaranya adalah anak perempuan.
Penularan dari orang ke orang, droplet lendir berinti yang dibawa oleh
udara. Penularan jarang terjadi dengan kontak langsung melalui kotoran
cair terinfeksi atau barang-barang yang terkontaminasi. Faktor lingkungan
terutama sirkulasi udara yang buruk, dapat memperbesar penularan.
Anak dicurigai menderita tuberkulosis apabila terdapat panas yang
naik turun dan lama dengan atau tanpa batuk dan pilek, nafsu makan
menurun (anoreksia), penurunan berat badan selama 3 bulan berturut-turut
tanpa sebab dan tidak naik dalam 1 bulan walaupun sesudah dengan
penanganan gizi yang baik, lesu, pembesaran kelenjar limfe tanpa disertai
nyeri dan diare persisten yang tak kunjung sembuh. Diagnosis penyekit ini
berdasarkan gambaran klinis, uji tuberkulin positif dan kelainan radiologis
paru.
Pengobatan secara umum dilakukan dengan meningkatkan gizi anak
untuk daya tahan tubuh dan istirahat. Pemberian obat yang terbaik saat ini
adalah kombinasi INH dengan rifampisin. Hal yang perlu diperhatikan
dalam pemberian obat yaitu pemberian obat tahap intensif atau lanjutan
diberikan setiap hari, dosis obat disesuaikan dengan berat badan anak,
pengobatan tidak boleh terputus dijalan. Selain pemberian obat-obatan
pada tuberkulosis anak juga diperhatikan keadaan gizi dan lingkungan
penderita. Sumber infeksi harus dicari dan juga diobati.
Daftar Pustaka

Almatsier, S. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia; 2009


Depkes RI. Pedoman Tata Laksana Kurang Energi Protein pada Anak di
Puskesmas dan di Rumah Tanggga. Edisi revisi. Jakarta; 2005
Depkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis 2006; 2006 (cited
2011 july 24); Ailable from:
http://www.tbindonesia.or.id/pdf/BUKU_PEDOMAN_NASIONAL.pdf
Erna K, Ramdhagama N.R, dkk. Perbedaan Status Gizi Penderita Tuberkulosis
Paru antara Sebelum Pengobatan dan Saat Pengobatan Fase Lanjutan di
Johar Baru, Jakarta Pusat. 2018. Artikel Penelitian. Fakultas Kedokteran
Universitas YARSI: Jakarta. Vol. 5 (2):74-78
Hull, D. Dasar-Dasar Pediatri edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;
2008
Krisno, A. Dasar-Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia; 2007
Lecture Notes. Penyakit Infeksi edisi ke 6. Jakarta: Erlangga; 2008
Nadila F, Anggraini D.I. Manajemen Anak Gizi Buruk Tipe Marasmus dengan TB
Paru. Fakultas Kedokteran: Universitas Lampung. 2016; Vol. 6(1):36-43
Nelson. Ilmu Kesehatan Anak. Ed 15. Vol 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC; 2000
Safuar S.S. Karakteristik Balita Kurang Energi Protein (KEP) Di Puskesmas
Saigon Kecamatan Pontianak Timur. 2014. Fakultas Kedokteran:
Universitas Tanjungpura, Pontianak
Suharsi. Hubungan Pola Asuh Ibu dan Penyakit Infeksi dengan Anak Balita
Kurang Energi Protein di Kabupaten Demak Provinsi Jawa Tengah; 2001
Wirawan, A. Profil penderita tuberculosis anak di puskesmas Derek tahun 2004-
2005. Jurnal cermin dunia kedokteran 2008; 35:127-132

Anda mungkin juga menyukai