Anda di halaman 1dari 23

PENDAHULUAN

Latar belakang
Jagung manis (sweet corn) merupakan komoditas palawija dan termasuk

dalam keluarga (famili) rumput-rumputan (Gramineae) genus Zea dan spesies Zea

mays Saccharata. Jagung manis memiliki ciri-ciri endosperm berwarna bening,

kulit biji tipis, kandungan pati sedikit, pada waktu masak biji berkerut. Produk

utama jagung manis adalah buah/ tongkolnya, biji jagung manis mempunyai

bentuk, warna dan kandungan endosperm yang bervariasi tergantung pada

jenisnya, biji jagung manis terdiri atas tiga bagian utama yaitu kulit biji (seed

coat), endosperm dan embrio (Koswara , 2009). Tanaman jagung manis umumnya

ditanam untuk dipanen muda yaitu 69 – 82 hari setelah tanam atau pada saat

masak susu (milking stage).

Proses pematangan merupakan proses perubahan gula menjadi pati sehingga

biji jagung manis yang belum masak mengandung kadar gula lebih tinggi dan

kadar pati lebih rendah. Sifat ini ditentukan oleh gen sugari (su) resesif yang

berfungsi untuk menghambat pembentukan gula menjadi pati. Dengan adanya gen

resesif tersebut menyebabkan tanaman jagung menjadi 4 – 8 kali lebih manis

dibandingkan dengan tanaman jagung biasa, kadar gula yang tinggi menyebabkan

biji menjadi berkeriput (Rifianto, 2010). Jagung manis termasuk dalam keluarga

rumput–rumputan, tanaman jagung manis dalam sistematika (Taksonomi)

tumbuhan dan diklasifikasikan sebagai berikut : 5 Kingdom : Plantae Divisio :

Spermatophyta Sub Divisio : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Ordo :

Graminae Famili : Graminaeae Genus : Zea Spesies : Zea mays Saccharata Sturt

L. (Rukmana, 2010). Tanaman jagung termasuk jenis tanaman semusim. Akar

tanaman jagung dapat tumbuh dan berkembang dengan baik pada kondisi tanah
yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Pada kondisi tanah

yang subur dan gembur, jumlah akar tanaman jagung sangat banyak. Sementara

pada tanah yang kurang baik akar yang tumbuh jumlahnya terbatas. Batang

tanaman jagung bulat silindris, tidak berlubang, dan beruas – ruas (berbuku –

buku) sebanyak 8 – 20 ruas. Jumlah ruas tersebut bergantung pada varietas yang

ditanam dan umur tanaman.

Tanaman jagung tingginya sangat bervariasi, tergantung pada jenis varietas

yang ditanam dan kesuburan tanah. Struktur daun tanaman jangung terdiri atas

tangkai daun, lidah daun, dan telinga daun. Jumlah daun setiap tanaman jagung

bervariasi antara 8 – 48 helai, namun pada umumnya berkisar antara 18 - 12 helai

tergantung pada varietas dan umur tanaman daun jagung berbentuk pita atau garis

dengan letak tulang daun di tengah- tengah daun sejajar dengan daun, berbulu

halus, serta warnanya bervariasi (Rukmana, 2010). Daun tanaman jagung keluar

dari buku – buku batang. Daun terdiri dari tiga bagian yaitu kelopak daun, 6 lidah

daun dan helai daun. Kelopak daun umumnya membungkus batang (Purwono dan

Hartono, 2006). Pada saat jagung berkecambah, akar yang berada dekat ujung biji

yang menempel pada janggel, kemudian memanjang dengan diikuti oleh akar-akar

samping. Akar adventatif merupakan bentukan akar lain yang tumbuh dari

pangkal batang di atas permukaan tanah kemudian menembus dan masuk kedalam

tanah ( Suprapto dan Marzuki, 2005).

Tujuan Praktikum
Adapun tujuan praktikum adalah agar mahasiswa dapat memahami macam-

macam interaksi gen dan dapat membandingkan antara nisbah interaksi gen

dengan nisbah hukum mendel pada tanaman jagung manis

(zea mays saccharata L).


Kegunaan Penulisan
Adapun kegunaan penulisan ini adalah sebagai salah satu syarat untuk

mengikuti praktikum di Laboratorium Dasar Pemuliaan Tanaman Program Studi

Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Dan

sebagai sumber informasi bagi pihak yang membutuhkan.


TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman Jagung (Zea Mays Saccharata L)


Jagung manis (Zea mays saccharata) termasuk tanaman semusim dari jenis

graminae yang memiliki batang tunggal dan termasuk tanaman monoceous. Siklus

hidup tanaman ini terdiri dari fase vegetatif dan generatif. Secara lengkap jagung

dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan)

Divisio : Spermatophyta (tumbuhan berbiji) Sub Divisio : Angiospermae (berbiji

tertutup) Classis : Monocotyledone (berkeping satu) Ordo : Graminae (rumput-

rumputan) Familia : Graminaceae Genus : Zea Species : Zea mays saccharata

Jagung memiliki akar serabut dan memiliki batang tegak dengan daun tunggal di

setiap buku (Farnham et al., 2003).

Jagung mempunyai akar serabut dengan tiga macam akar yaitu akar seminal

akar adventif, dan akar kait atau penyangga. Akar seminal adalah akar yang

berkembang dari radikula dan embrio. Akar adventif adalah akar yang semula

berkembang dari buku diujung mesokotil. Akar adventif 8 berkembang menjadi

serabut akar tebal. Akar seminal hanya sedikit berperan dalam siklus hidup

jagung. Akar adventif berperan dalam pengambilan air dan hara. Bobot total akar

jagung terdiri atas 52% akar adventif dan seminal serta 48% akar nodal. Akar kait

atau penyangga adalah akar adventif yang muncul pada satu atau tiga buku di atas

permukaan tanah. Fungsi dari akar penyangga adalah menyangga tanaman agar

tetap tegak dan mengatasi rebah batang serta membantu penyerapan hara dan air.

Perkembangan akar jagung (kedalaman dan penyebarannya) bergantung pada

varietas, pengolahan tanah, sifat fisik dan kimia tanah, keadaan air tanah, dan

pemupukan (Subekti et al., 2007).


Tanaman jagung mempunyai batang yang tidak bercabang, berbentuk

silindris, dan terdiri atas sejumlah ruas dan buku ruas. Pada buku ruas terdapat

tunas yang berkembang menjadi tongkol. Dua tunas teratas berkembang menjadi

tongkol yang produktif. Batang memiliki tiga komponen jaringan utama, yaitu

kulit (epidermis), jaringan pembuluh (bundles vasculer), dan pusat batang (pith).

Bundles vasculer tertata dalam lingkaran konsentris dengan kepadatan bundles

yang tinggi, dan lingkaranlingkaran menuju perikarp dekat epidermis. Kepadatan

bundles berkurang begitu mendekati pusat batang. Konsentrasi bundles vasculer

yang tinggi di bawah epidermis menyebabkan batang tahan rebah

(Subekti et al., 2007).

Tanaman jagung memerlukan beberapa minggu untuk berkembang dari

benih hingga dewasa, rata-rata tingginya mencapai 2 - 3.5 m (Riahi dan

Ramaswamy, 2003). Daun jagung mulai terbuka sesudah koleoptil muncul di atas

permukaan tanah. Setiap daun terdiri atas helaian daun, ligula, dan pelepah daun

yang erat melekat pada batang. Jumlah daun sama dengan jumlah buku batang.

Jumlah daun umumnya berkisar antara 10 - 18 helai, rata-rata munculnya daun

yang terbuka 9 sempurna adalah 3 - 4 hari setiap daun (Subekti et al., 2007).

Daun tanaman jagung mampu berkembang hingga 20 - 21 helai daun,

walaupun jagung memproduksi 20 helai daun namun hanya 14 - 15 saja yang

menyelesaikan stadia vegetatifnya (Farnham et al., 2003). Jagung disebut juga

tanaman berumah satu (monoceuos) karena bunga jantan dan betinanya terdapat

dalam satu tanaman. Bunga betina muncul dari axxilary apices tajuk. Bunga

jantan (tassel) berkembang dari titik tumbuh apikal diujung tanaman. Rambut

jagung (silk) adalah pemanjangan dari saluran stylar ovary yang matang pada
tongkol. Rambut jagung tumbuh dengan panjang hingga 30,5 cm atau lebih

sehingga keluar dari ujung kelobot. Panjang rambut jagung bergantung pada

panjang tongkol dan kelobot (Subekti et al., 2007).

Tanaman jagung mempunyai 1 atau 2 tongkol, yang bergantung pada

varietasnya. Tongkol jagung diselimuti oleh daun kelobot. Tongkol jagung yang

terletak pada bagian atas umumnya lebih dahulu terbentuk dan lebih besar

dibanding yang terletak pada bagian bawah. Setiap tongkol terdiri dari 10 - 16

baris biji yang jumlahnya selalu genap. Biji jagung disebut kariopsis, dinding

ovary atau perikarp menyatu dengan kulit biji atau testa, membentuk dinding buah

(Subekti et al., 2007).

Syarat Tumbuh

Iklim
Jagung dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa karakter diantaranya

lingkungan tempat tumbuh dan umur panen. Jenis jagung berdasarkan lingkungan

tempat tumbuh meliputi jagung yang tumbuh di dataran rendah tropik (< 1 000 m

dpl), dataran rendah subtropik dan mid-altitude (1 000 – 1 600 m dpl), dan dataran

tinggi tropik (>1 600 m dpl). Jenis jagung berdasarkan umur panen

dikelompokkan menjadi dua yaitu jagung berumur genjah dan umur dalam.

Jagung umur genjah adalah jagung yang dipanen pada umur kurang dari 90 hari

sedangkan jagung umur dalam dipanen pada umur lebih dari 90 hari

(Iriany et al., 2007).

Suhu optimum untuk pertumbuhan tanaman jagung rata-rata 260C sampai

300C dan pH tanah 5.7 – 6.8 (Subandi dalam Iriany et al., 2007). Agar dapat

tumbuh dengan baik, tanaman jagung memerlukan temperatur rata-rata antara 14 -

30 0C, dengan curah hujan sekitar 600 mm – 1 200 mm per tahun yang
didistribusikan rata selama musim tanam. Intensitas cahaya matahari sangat

diperlukan untuk pertumbuhan yang baik. Tanaman jagung membutuhkan cahaya

matahari secara langsung bukan di tempat-tempat terlindung karena dapat

mengurangi hasil (Sudjana et al., 1991).

Hari panas dan suhu malam yang tinggi meningkatkan pertumbuhan secara

keseluruhan, dan walaupun suhu panas adalah ideal untuk pertumbuhan vegetatif

dan tongkol, suhu sedang adalah optimum untuk akumulasi karbohidrat

(Rubatzky dan yamaguchi, 1998).

Faktor air merupakan salah satu faktor pembatas untuk pertumbuhan

jagung. Kebutuhan air yang terbanyak pada tanaman jagung adalah stadia

pembungaan dan stadia pengisian biji. Jumlah radiasi surya yang diterima oleh

tanaman selama fase berbunga juga merupakan faktor yang penting untuk

penentuan jumlah biji (Subandi, Syam dan Widjono, 1988).

Adapun hama yang menyerang jagung diantaranya adalah ulat tanah

(Agrotis interjectionis), ulat penggerek jagung (Ostrinia furnacalis), dan ulat

penggerek tongkol (Heliothis armigera armigera). Selain hama, terdapat beberapa

penyakit yang bisa menyerang tanaman jagung yaitu : penyakit bulai yang 8

disebabkan cendawan Peronosclerospora maydis, penyakit hawar daun yang

disebabkan oleh Ezserohilum turcicum, dan penyakit karat yang disebabkan oleh

Puccinia sorghi (Palungkun dan Indriani, 1992).

Tanah
Jagung memiliki akar serabut dan memiliki batang tegak dengan daun

tunggal di setiap buku (Farnham et al., 2003). Jagung mempunyai akar serabut

dengan tiga macam akar yaitu akar seminal akar adventif, dan akar kait atau

penyangga. Akar seminal adalah akar yang berkembang dari radikula dan embrio.
Akar adventif adalah akar yang semula berkembang dari buku diujung mesokotil.

Akar adventif 8 berkembang menjadi serabut akar tebal. Akar seminal hanya

sedikit berperan dalam siklus hidup jagung. Akar adventif berperan dalam

pengambilan air dan hara. Bobot total akar jagung terdiri atas 52% akar adventif

dan seminal serta 48% akar nodal. Akar kait atau penyangga adalah akar adventif

yang muncul pada satu atau tiga buku di atas permukaan tanah. Fungsi dari akar

penyangga adalah menyangga tanaman agar tetap tegak dan mengatasi rebah

batang serta membantu penyerapan hara dan air. Perkembangan akar jagung

(kedalaman dan penyebarannya) bergantung pada varietas, pengolahan tanah, sifat

fisik dan kimia tanah, keadaan air tanah, dan pemupukan (Subekti et al., 2007).

Tanaman jagung mempunyai batang yang tidak bercabang, berbentuk

silindris, dan terdiri atas sejumlah ruas dan buku ruas. Pada buku ruas terdapat

tunas yang berkembang menjadi tongkol. Dua tunas teratas berkembang menjadi

tongkol yang produktif. Batang memiliki tiga komponen jaringan utama, yaitu

kulit (epidermis), jaringan pembuluh (bundles vasculer), dan pusat batang (pith).

Bundles vasculer tertata dalam lingkaran konsentris dengan kepadatan bundles

yang tinggi, dan lingkaranlingkaran menuju perikarp dekat epidermis. Kepadatan

bundles berkurang begitu mendekati pusat batang. Konsentrasi bundles vasculer

yang tinggi di bawah epidermis menyebabkan batang tahan rebah

(Subekti et al., 2007).

Tanaman jagung memerlukan beberapa minggu untuk berkembang dari

benih hingga dewasa, rata-rata tingginya mencapai 2 - 3.5 m. Daun jagung mulai

terbuka sesudah koleoptil muncul di atas permukaan tanah. Setiap daun terdiri

atas helaian daun, ligula, dan pelepah daun yang erat melekat pada batang. Jumlah
daun sama dengan jumlah buku batang. Jumlah daun umumnya berkisar antara 10

- 18 helai, rata-rata munculnya daun yang terbuka 9 sempurna adalah 3 - 4 hari

setiap daun (Subekti et al., 2007).

Daun tanaman jagung mampu berkembang hingga 20 - 21 helai daun,

walaupun jagung memproduksi 20 helai daun namun hanya 14 - 15 saja yang

menyelesaikan stadia vegetatifnya (Farnham et al., 2003). Jagung disebut juga

tanaman berumah satu (monoceuos) karena bunga jantan dan betinanya terdapat

dalam satu tanaman. Bunga betina muncul dari axxilary apices tajuk. Bunga

jantan (tassel) berkembang dari titik tumbuh apikal diujung tanaman. Rambut

jagung (silk) adalah pemanjangan dari saluran stylar ovary yang matang pada

tongkol. Rambut jagung tumbuh dengan panjang hingga 30,5 cm atau lebih

sehingga keluar dari ujung kelobot. Panjang rambut jagung bergantung pada

panjang tongkol dan kelobot (Subekti et al., 2007).

Tanaman jagung mempunyai 1 atau 2 tongkol, yang bergantung pada

varietasnya. Tongkol jagung diselimuti oleh daun kelobot. Tongkol jagung yang

terletak pada bagian atas umumnya lebih dahulu terbentuk dan lebih besar

dibanding yang terletak pada bagian bawah. Setiap tongkol terdiri dari 10 - 16

baris biji yang jumlahnya selalu genap. Biji jagung disebut kariopsis, dinding

ovary atau perikarp menyatu dengan kulit biji atau testa, membentuk dinding buah

(Subekti et al., 2007)


INTERAKSI GEN PADA TANAMAN JAGUNG MANIS (Zea
Mays Saccharata L)

Penyimpangan Semu Hukum Mendel


Orang yang pertama mengadakan percobaan perkawinan silang ialah Gregor

Mendel, seorang rahip Australia yang hidup pada tahun 1822-1884, dan dia

dikenal sebagai pencipta atau Bapak Genetika. Beliau melakukan serangkaian

percobaan persilangan pada kacang ercis (Pisum sativum). Percobaan yang

dilakukannya selama bertahun-tahun tersebut, Mendel berhasil menemukan

prinsip-prinsip pewarisan sifat yang kemudian menjadi landasan utama bagi

perkembangan genetika sebagai suatu cabang ilmu pengetahuan (Suryo, 2008).

Keturunan dihasilkan oleh induknya banyak yang tidak dapat di analisis

secara Mendel sederhana, seperti dihibrid dan monohibrid. Oleh karena itu, terjadi

penyimpangan semu pada hukum mendel. Penyimpangan semu hukum mendel

adalah penyimpangan yang tidak keluar dari hukum Mendel walaupun terjadi

perubahan pada rasio F2-nya karena gen memiliki sifat yang berbeda-beda

sehingga rasio fenotipe tidak sama dengan yang diuraikan oleh hukum Mendel

(Abdurrahman, 2008)

Penyimpangan semu hukum Mendel disebabkan oleh genetik dan interaksi alel

dimana alel-alel yang berasal dari gen yang berbeda terkadang berinteraksi

dengan memunculkan perbandingan fenotipe yang tidak umum. Hal ini

menyebabkan dominasi suatu alel terhadap alel lain tidak selalu terjadi.

(Yunus, 2006).

Pada beberapa gen yang berinteraksi atau dipengaruhi oleh gen lain,

digunakan untuk menumbuhkan karakter. Gen-gen itu mungkin terdapat pada

kromosom sama (berangkai), mungkin pula pada kromosom berbeda. Setelah


penemuan Mendel dan penelitian awal tentang pewarisan sifat secara bebas,

diketahui bahwa tidak semua keturuan yang bersegregasi dapat dipisahkan

menjadi kelas-kelas yang jelas dengan nisbah yang sederhana. Keragaman nisbah

genetika Mendel ini dapat dijelaskan berdasarkan adanya interaksi gen, yaitu

pengaruh satu alel terhadap alel lain pada lokus yang sama dan juga pengaruh satu

gen pada satu lokus terhadap gen pada lokus lain. (Crowder, 1993)

Peristiwa dua gen atau lebih yang bekerjasama atau menghalang-

halangidalam memperlihatkan fenotipe, disebut interaksi gen. Interaksi gen mula-

mula ditemukan oleh William Bateson (1861-1926) dan R. C. Punnet (1906)

padabentuk pial (jengger) ayam.Karena ada interaksi maka perbandingan fenotipe

keturunan hibrid menyimpang dari penemuan Mendel, disebut juga

penyimpangan Hukum Mendel. Peristiwa penyimpangan persilangan monohibrida

dominan resesif menghasilkan F2 dengan perbandingan dominan : resesif = 3 : 1,

sedangkan dihibrida akan menghasilkan perbandingan 9 : 3 : 3 : 1. Pada kasus

tertentu, perbandingan tersebut tidak tepat sama dengan perbandingan tersebut.

Misalnya, persilangan monohibrida menghasilkan perbandingan 1 : 2 :1,

sedangkan persilangan dihibrida menghasilkan perbandingan 9 : 6 : 1 (Gen

duplikat dengan efek kumulatif) atau 15 : 1 (Polimeri atau Epistasis dominan

duplikat). Kalau menurut Mendel fenotipe F2 itu ada 4 kelas, tetapi karena ada

interaksi susut menjadi 2 atau 3 kelas. (Yatim, 1986)

Pengertian Interaksi Gen


Interaksi gen adalah penyimpangan semu terhadap hukum Mendel yang

tidak melibatkan modifikasi nisbah fenotipe, tetapi menimbulkan fenotipe-

fenotipe yang merupakan hasil kerja sama atau interaksi dua pasang gen

nonalelik. Selain terjadi interaksi antar alel, interaksi juga dapat terjadi secara
genetik. Selain mengalami berbagai modifikasi rasio fenotipe karena adanya

peristiwa aksi gen tertentu, terdapat pula penyimpangan semu terhadap hukum

Mendel yang tidak melibatkan modifikasi rasio fenotipe, tetapi menimbulkan

fenotipe-fenotipe yang merupakan hasil kerja sama atau interaksi dua pasang gen

nonalelik (Suryo, 2001).

Fenotipe adalah hasil produk gen yang dibawa untuk diekspresikan ke

dalam lingkungan tertentu. Lingkungan ini tidak hanya meliputi berbagai faktor

eksternal seperti: temperatur dan banyaknya suatu kualitas cahaya. Sedangkan

faktor internalnya meliputi: Hormon dan enzim. Gen merinci struktur protein.

Semua enzim yang diketahui adalah protein. Enzim melakukan fungsi katalis,

yang menyebabkanpemecahan atau penggabungan berbagai molekul. Semua

reaksi kimiawi yang terjadi di dalam sel merupakan persoalan metabolisma.

Reaksi – reaksi ini merupakan reaksi pengubahan bertahap satu substansi menjadi

substansi lain, setiap langkah (tahap) diperantarai oleh suatu enzim spesifik.

Semua langkah yang mengubah substansi pendahulu (precursor) menjadi produk

akhir menyusun suatu jalur biosintesis.Interaksi gen terjadi bila dua atau lebih gen

mengekspresikan protein enzim yang mengkatalis langkah – langkah dalam suatu

jalur bersama (William D., 1991)

Pada beberapa gen yang berinteraksi atau dipengaruhi oleh gen lain,

digunakan untuk menumbuhkan karakter. Gen-gen itu mungkin terdapat pada

kromososm sama (berangkai), mungkin pula pada kromosom berbeda. Setelah

penemuan Mendel dan penelitian awal tentang pewarisan sifat secara bebas,

diketahui bahwa tidak semua keturunan yang besegrasi dapat dipisahkan menjadi

kelas-kelas yang jelas dengan nisbah yang sederhana. Keragaman nisbah genetika
Mendel ini dapat dijelaskan berdasarkan adanya interaksi gen, yaitu pengaruh satu

alel terhadap alel lain pada lokus yang sama dan juga pengaruh satu gen pada satu

lokus terhadap genpada lokus lain (Crowder, 1993).

Peristiwa dua gen atau lebih yang bekerjasama atau menghalang-halangi

dalam memperlihatkan fenotipe, disebut interaksi gen. Interaksi gen mula-mula

ditemukan oleh William Bateson (1861-1926) dan R. C. Punnet (1906) pada

bentuk pial (jengger) ayam. Karena ada interaksi maka perbandingan fenotipe

keturunan hybrid menyimpang dari penemuan Mendel, disebut juga

penyimpangan Hukum Mendel. Peristiwa penyimpangan persilangan monohibrida

dominan resesif menghasikan F2 dengan perbandingan dominan : reseif = 3 : 1,

sedangkan dihibrida akan menghasilkan perbandingan 9 : 3 : 3 : 1. Pada kasus

tertentu, perbandingan tersebut tidak tepat sama dengan perbandingan tersebut.

Misalmya, persilangan monohibrida menghasilkan perbandingan 1 : 2 : 1.

Sedangkan persilangan dihibrida menghasilkan perbandingan 9 : 6 : 1 (Gen

duplikat dengan efek kumulatif) atau 15 : 1 ( Polimer atau Epitasis dominan

duplikat). Kalau menurut Mendel fenotipe F2 itu ada 4 kelas, tetapi karena ada

interaksi susut menjadi 2 atau 3 kelas (Yatim, 1986).

Faktor yang Menyebabkan Interaksi Gen


Dalam ilmu genetika dikenal dua macam persilangan, yaitu persilangan

monohibrid dan persilangan dihibrid. Dalam kondisi normal, persilangan

monohibrid menurut hukum Mendel I akan menghasilkan perbandingan individu

keturunan 3 : 1 atau 1 : 2 : 1. Sedangkan persilangan dihibrid, menurut hukum

Mendel II akan menghasilkan individu keturunan 9 : 3 : 3 : 1 Akan tetapi dalam

percobaan-percobaan genetika, para ahli sering menemukan rasio fenotip yang

ganjil, seakan-akan tidak mengikuti hukum Mendel. Misalnya pada perkawinan


antara 2 individu dengan 2 sifat beda (dihibrid), ternyata ratio fenotip F2 tidak

selalu 9 : 3 : 3 : 1. Seringkali dijumpai perbandingan-perbandingan yang berbeda

dari aturan Mendel, seperti 9 : 7, 12 : 3 : 1, 15 : 1, 9 : 3 : 4 dan lain-lain. Bila

diteliti dengan seksama angka-angka perbandingan di atas, ternyata juga

merupakan penggabungan angka-angka perbandingan Mendel 9 : 7 = 9 : (3+3+1),

12 : 3 : 1 = (9+3) : 3 : 1, 15 : 1 = (9+3+3) : 1, 9 : 3 : 4 = 9 : 3 : (3+1) dan

seterusnya. Oleh karena adanya perbedaan pada perbandingan fenotipe, maka hal

ini disebut sebagai penyimpangan semu hukum Mendel, karena masih mengikuti

hukum Mendel (Standfield, 1991).

Penyimpangan semu pada hukum Mendel dapat terjadi karena adanya

beberapa gen yang saling memengaruhi dalam menghasilkan fenotip. Meskipun

demikian, perbandingan fenotip tersebut masih mengikuti prinsip-prinsip Hukum

Mendel. Salah satu contoh penyimpangan semu Hukum Mendel yaitu epistasi-

hipostasi. Epistasis adalah sebuah atau sepasang gen yang menutupi atau

mengalahkan ekspresi gen lain yang tidak selokus (sealel). Sedangkan hipostasis

adalah gen yang tertutupi oleh sebuah atau sepasang gen lain yang tidak selokus

(yang bukan alelnya). Ada beberapa macam bentuk epistasi antara lain epistasi

dominan, epistasi resesif, epistasi dominan-resesif, epistasi dominan duplikat,

epistasi resesif duplikat, dan gen duplikat dengan efek kumulatif (Suryo, 2008).

Pada peristiwa epistasis dominan terjadi penutupan ekspresi gen oleh suatu

gen dominan yang bukan alelnya. Perbandingan fenotipe pada generasi F2 dengan

adanya epistasis dominan adalah 12 : 3 : 1. Angka perbandingan tersebut

merupakan variasi dari perbandingan dihibrid 9 : 3 : 3 : 1 . Peristiwa epistasis

dominan dapat dilihat misalnya pada pewarisan warna buah waluh besar
(Cucurbita pepo). Dalam hal ini terdapat gen Y yang menyebabkan buah

berwarna kuning dan alelnya y yang menyebabkan buah berwarna hijau. Selain

itu, ada gen W yang menghalangi pigmentasi dan w yang tidak menghalangi

pigmentasi. Misalnya, persilangan antara waluh putih (WWYY) dan waluh hijau

(wwyy) menghasilkan generasi F2 berwarna putih, kuning, dan hijau dengan

perbandingan 12 : 3 : 1 (Suryo, 2008).

Peristiwa epistasis resesif terjadi apabila suatu gen resesif menutupi

ekspresi gen lain yang bukan alelnya. Akibat peristiwa ini, pada generasi F2 akan

diperoleh perbandingan fenotipe 9 : 3 : 4 yang merupakan variasi dari persilangan

dihibrid. Contoh epistasis resesif dapat dilihat pada pewarisan warna bulu mencit

(Mus musculus). Ada dua pasang gen nonalelik yang mengatur warna bulu pada

mencit, yaitu gen A menyebabkan bulu berwarna kelabu, gen a menyebabkan bulu

berwarna hitam, gen C menyebabkan pigmentasi normal, dan gen c menyebabkan

tidak ada pigmentasi. Jika mencit berbulu kelabu (AACC) disilangkan dengan

albino (aacc) maka akan menghasilkan keturunan berwarna kelabu, hitam dan

albino dengan rasio fenotipe yaitu 9 : 3 : 4 (Suryo, 2008).

Epistasis dominan-resesif dapat terjadi apabila gen dominan dari pasangan

gen I epistatis terhadap pasangan gen II yang bukan alelnya, sementara gen resesif

dari pasangan gen II ini juga epistatis terhadap pasangan gen I. Epistasis ini

menghasilkan perbandingan fenotipe 13 : 3 pada generasi F2. Contoh peristiwa

epistasis dominan-resesif dapat dilihat pada pewarisan warna bulu ayam ras.

Dalam hal ini terdapat pasangan gen I, yang menghalangi pigmentasi, dan alelnya,

yang tidak menghalangi pigmentasi. Selain itu, terdapat gen C, yang

menimbulkan pigmentasi, dan alelnya, c, yang tidak menimbulkan pigmentasi.


Gen I dominan terhadap C dan c, sedangkan gen c dominan terhadap I dan i

(Standfield, 1991).

Apabila gen dominan dari pasangan gen I epistatis terhadap pasangan gen

II yang bukan alelnya, sementara gen dominan dari pasangan gen II ini juga

epistatis terhadap pasangan gen I, maka epistasis yang terjadi dinamakan epistasis

dominan duplikat. Kedua gen itu berada bersama-sama dan fenotipnya merupakan

gabungan dari kedua sifat gen-gen dominan tersebut. Epistasis ini menghasilkan

perbandingan fenotipe 15 : 1 pada generasi F2. Contoh peristiwa epistasis

dominan duplikat dapat dilihat pada pewarisan bentuk buah Capsella. Ada dua

macam bentuk buah Capsella, yaitu segitiga dan oval. Bentuk segitiga disebabkan

oleh gen dominan C dan D, sedang bentuk oval disebabkan oleh gen resesif c dan

d. Dalam hal ini C dominan terhadap D dan d, sedangkan D dominan terhadap C

dan c (James, 1994).

Apabila gen resesif dari suatu pasangan gen, katakanlah gen I, epistatis

terhadap pasangan gen lain, katakanlah gen II, yang bukan alelnya, sementara gen

resesif dari pasangan gen II ini juga epistatis terhadap pasangan gen I, maka

epistasis yang terjadi dinamakan epistasis resesif duplikat. Epistasis ini

menghasilkan perbandingan fenotipe 9 : 7 pada generasi F2. Sebagai contoh

peristiwa epistasis resesif ganda dapat dikemukakan pewarisan kandungan HCN

pada tanaman Trifolium repens. Gen L menyebabkan terbentuknya enzim L yang

mengatalisis perubahan bahan dasar menjadi bahan antara berupa glukosida

sianogenik. Alelnya, l, menghalangi pembentukan enzim L. Gen H menyebabkan

terbentuknya enzim H yang mengatalisis perubahan glukosida sianogenik menjadi

HCN, sedangkan gen h menghalangi pembentukan enzim H. Dengan demikian, l


epistatis terhadap H dan h, sementara h epistatis terhadap L dan l. Persilangan dua

tanaman dengan kandungan HCN sama-sama rendah tetapi genotipenya berbeda

(LLhh dengan llHH) akan menghasilkan keturunan dengan tingkat HCN tinggi (9)

dan tingkat HCN rendah (7) (Suryo, 2008).

Peristiwa gen duplikat yang mempunyai efek kumulatif data terjadi bila

keberadaan gen-gen yang resesif memberi efek yang sama, misalnya gen aa dan

bb akan menghasilakan sifat fenotipe yang sama. Epistasi ini akan menghasilkan

perbandingan fenotipe, yaitu 9 : 6 : 1. Sebagai contoh, pada Cucurbita pepo

dikenal tiga macam bentuk buah, yaitu cakram, bulat, dan lonjong. Gen yang

mengatur pemunculan fenotipe tersebut ada dua pasang, masing-masing B dan b

serta L dan l. Apabila pada suatu individu terdapat sebuah atau dua buah gen

dominan dari salah satu pasangan gen tersebut, maka fenotipe yang muncul adalah

bentuk buah bulat (B-ll atau bbL-). Sementara itu, apabila sebuah atau dua buah

gen dominan dari kedua pasangan gen tersebut berada pada suatu individu, maka

fenotipe yang dihasilkan adalah bentuk buah cakram (B-L-). Adapun fenotipe

tanpa gen dominan (bbll) akan berupa buah berbentuk lonjong (Standfield, 1991).

Keragaman Genetik Pada Tanaman Jagung Manis (Zea Mays Saccharata L)


Keragaman genetik alami merupakan sumber bagi setiap progam pemulian

tanaman. Variasi ini dapat dimanfaatkan, seperti semula dilakukan oleh manusia,

dengan cara melakukan introduksi secara sederhana dan tehnik dan seleksi atau

dapat dimanfaat dalam program persilangan yang canggih untuk mendapatkan

rekombinasi genetik yang baru. Jika perbedaan antar 2 individu yang mempunyai

faktor lingkungan yang sama dapat diukur maka perbedaan ini berasal dari variasi

genotip kedua tanaman tersebut (Welsh, 1991).


Jagung manis (Zea mays saccharata [Sturt.] Bailey) merupakan tanaman

berumah satu (monoecious) dengan letak bunga jantan terpisah namun masih pada

satu tanaman. Struktur morfologis bunga yang terpisah serta sifat protandri (bunga

jantan masak lebih dahulu dari bunga betina) menyebabkan peluang terjadinya

penyerbukan silang besar (99%) daripada penyerbukan sendiri (Mac Gillivray,

1961 yang dikutip Wijaya, 2004).

Berdasarkan kaidah kesetimbangan Hardy- Weinberg, frekuensi alel

maupun frekuensi genotipe tidak berubah dari generasi ke generasi. Masing-

masing individu akan memiliki peluang yang sama dengan individu manapun,

kecuali ada mekanisme yang membatasi sehingga terjadi selfing (Welsh, 1981).

Jagung manis termasuk dalam famili Poaceae yang tergolong tanaman C4 yang

mampu beradaptasi baik pada faktor-faktor pembatas pertumbuhan dan hasil

(Muhajir, 1988 dalam Ariyani, 2008).

Jagung memiliki laju fotosintesis yang tinggi, tingkat kompensasi CO2

yang rendah, dan tidak jenuh cahaya untuk fotosintesis sekalipun dalam cahaya

matahari penuh. Kondisi itu menunjukkan bahwa jagung sangat efektif dalam

pembentukan fotosintat dan sangat sesuai dengan lingkungan di daerah tropik.

Ada tipe jagung yang disebut tipe dent (Zea mays indentata) dan tipe flint (Zea

mays indurata). Jagung tipe dent memiliki lekukan di puncak bijinya karena

adanya pati keras di bagian pinggir dan pati lembek di bagian puncak. Tipe jagung

flint disebut juga jagung mutiara, berbiji agak bulat dengan bagian luar yang keras

dan licin. Bagian luar jagung yang keras pada tipe flint itu disebabkan bagian luar

endosperm yang terdiri dari pati keras. Jagung manis merupakan mutasi kedua

jagung tersebut menjadi tipe gula yang resesif (Palungkun dan Budiarti, 2000).
Dengan demikian, jagung manis merupakan suatu individu mutan.

Terdapat perbedaan antara jagung manis dengan jagung nirmanis. Jagung manis

memiliki bunga jantan dan rambut tongkol yang berwarna putih, serta pangkal

batang bawah pada 5 hari setelah tanam yang berwarna hijau. Untuk jagung

nirmanis, baik bunga jantan, rambut tongkol serta pangkal batang bawah pada 5

hari setelah tanam berwarna ungu karena terdapat ekspresi antosianin. Terdapat

dua kelas alel mutan yang mempengaruhi endosperm. Kelas mutan pertama

meliputi brittle-1 (bt1), brittle-2 (bt2), shrunken-1 (sh1), shrunken-2 (sh2), serta

shrunken-4 (sh4). Sedangkan kelas mutan yang lainnya adalah amylose extender

(ae), dull (du), sugary-1 (su1), sugary-2 (su2), dan waxy (wx) (Wijaya, 2004).

Sifat manis pada jagung manis disebabkan adanya gen su1 (sugary-1), bt2

(brittle-2), atau sh2 (shrunken-2). Rasa manis pada endosperm jagung

dikendalikan secara monoalelik homozigot resesif. Dengan demikian, rasa manis

merupakan 9 sifat kualitatif, yaitu fenotipe merupakan ekspresi langsung dari

genotipe dengan mengabaikan pengaruh lingkungan (Fehr, 1987).

Mutasi pada lokus sugary pada kromosom 4 menyebabkan penumpukan

fitoglikogen, yaitu polisakarida yang terdiri dari molekul-molekul glukosa yang

dihubungkan dengan ikatan α-D-1,4 dan α-D-1,6 dengan komposisi > 25% dari

berat kering butir. Jaringan endosperm jagung tersusun oleh sel yang memiliki

tiga set kromosom (3n, triploid) yang berasal dari pembuahan dua inti polar oleh

satu gamet jantan. Walaupun pembuahan zigot dan endosperm hampir bersamaan,

inti 3n pada endosperm lebih cepat membelah dibandingkan zigot (2n, diploid).

Di tahap awal perkembangannya, endosperm jagung manis berkembang terhambat

karena perubahan gula menjadi pati, sehingga menghasilkan endosperm cair yang
kaya akan glukosa. Glukosa terfosforilasi menjadi glukosa-6P (glu-6P) yang

selanjutnya terisomerasi menjadi fruktosa-6P (fru-6P). Kedua molekul (glu-6P dan

fru-6P) akan terdimerasi menjadi sukrosa-diP (suk-diP) dan terpolimerasi menjadi

pati. Pati akan terakumulasi sejalan dengan meningkatnya umur endosperm. Pada

jagung manis, gen su1 akan menghalangi polimerasi sukrosa menjadi pati,

sedangkan gen bt1 mencegah penguraian balik suk-diP menjadi glu- 6P dan fru-

6P. Kedua gen ini memungkinkan perpanjangan waktu panen jagung manis dan

mempertahankan kemanisannya selama beberapa hari tanpa pendinginan

(Rubatzky dan Yamaguchi, 1998)

Inetraksi Gen Pada Tanaman Jagung Manis (Zea Mays Saccharata L)


Pengamatan dilakukan pada 15 tongkol jagung manis kuning kisut. Dari

15 tongkol jagung manis yang diamati tidak semuanya merupakan jagung manis

dengan fenotipe biji kuning kisut. Rasa manis pada jagung manis ditentukan oleh

bentuk tampilan kisut pada biji jagung manis. Berdasarkan jumlah biji kisut, dapat

dilihat bahwa hampir semua sampel yang diamati membawa sifat manis, hal

tersebut dapat dilihat dengan adanya biji kisut pada tiap sampel. Hal tersebut juga

didukung dengan penelitian Nurmayanti (2011).

Pada penelitian ini zuriat ditanam dalam bentuk biji kisut. Dengan

demikian bila tanaman diself akan terjadi segregasi biji dalam bentuk sebagai

berikut: 1. 100 % kuning bulat atau 100 % kuning kisut 2. 9 kuning bulat : 7

kuning kisut 3. 12 kuning bulat : 4 kuning kisut 4. 15 kuning bulat : 1 kuning kisut

5. 9 kuning bulat : 3 kuning kisut : 3 putih bulat : 1 putih kisut. Jika dalam satu

tongkol jagung manis terdapat perbandingan 9 biji bulat : 7 biji kisut (43,75%)

atau 12 biji bulat : 4 biji kisut (25%) maka jagung tersebut sudah dapat dikatakan

jagung manis. Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa bahwa beberapa tongkol
mengandung biji putih pada tongkolnya yaitu pada ulangan dua sampel satu, dua,

empat dan pada ulangan tiga sampel dua, empat, lima. Sedangkan pada ulangan

satu semua sampel yang diamati mengandung biji kisut sampai 100%. Hal yang

dapat mempengaruhi segregasi tersebut adalah faktor dari dalam gen itu sendiri.

Keadaan lingkungan juga sangat mempengaruhi penampakan gen. Dalam

kenyataannya penampakan fenotipe adalah akibat interaksi antara genotipe dan

lingkungan (Welsh, 1981).


KESIMPULAN

1. Penyebab terjadinya penyimpangan semu Hukum Mendel adalah

keturunan dihasilkan oleh induknya banyak yang tidak dapat di analisis

secara Mendel sederhana, seperti dihibrid dan monohibrid.


2. Interaksi gen adalah peristiwa dua gen atau lebih yang bekerjasama

atau menghalang-halangi dalam memperlihatkan fenotipe.


3. Selain terjadi interaksi antar alel, interaksi dapat terjadi secara genetik.
4. Jagung manis (Zea mays saccharata L) merupakan tanaman berumah

satu (monoecious) dengan letak bunga jantan terpisah namun masih

pada satu tanaman.


5. Dari 15 tongkol jagung manis kuning kisut yang diamati. Rasa manis

pada jagung manis ditentukan oleh bentuk tampilan kisut pada biji

jagung manis.
6. Pengamatan dilakukan pada 15 tongkol jagung manis kuning kisut.

Dari 15 tongkol jagung manis yang diamati tidak semuanya merupakan

jagung manis dengan fenotipe biji kuning kisut


DAFTAR PUSTAKA

Crowder, L.V. 1997. Pemuliaan Tanaman. Fakultas Pertanian. Universitas Gadjah


Mada.

Acquaah, G. 2005. Principles of Crop Production. New Jersey (US): Pearson


Education Inc.

Azrai, M., H. Aswidinnoor, J. Koswara, M. Surahman, dan J. R. Hidajat. 2006.


Analisi GenetiK Ketahanan Jagung terhadap Penyakit Bulai. Penelitian
pertanian tanaman pangan. 25 (2): 71 – 77

Bahar, H., dan Zen, S. 2015. Parameter Genetik Pertumbuhan Tanaman, Hasil dan
Komponen Hasil Jagung. Zuriat. 4 (1): 4 - 7.

Carsono, N. 2008. Peran Pemuliaan Tanaman dalam Meningkatkan Produksi


Pertanian di Indonesia.

Corebima, A. D. 2013. Genetika Mendel . Surabaya : Airlangga University Press

Crowder, L.V. 1993. Genetika Tumbuhan. Gadjah Mada University Press:


Yogyakarta.

Crowder,L.V.1993. Genetika Tumbuhan. Yogyakarta: Gadjah Mada University


Press.

Deptan. 2006. Panduan Pengujian Individual, Kebaruan, Keunikan, Keseragaman,


dan kestabilan.

Dudley, J. W. and R. H. Moll. 1969. Interpretation and Use of Estimate of


Heritability and Genetic Variances in Plant Breeding. Crop Science
9 (3): 257 – 262.

Hikam, S. 2003. Pemanfaatan Epistasis Bentuk Biji Didalam Perakitan Jagung


Manis Harapan Lampung Super Sweet. Poster pada Simposium.

Suryo. 1998. Genetika. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta.Pai, Anna.


1992. Dasar Dasar Genetika (terjemahan Muchidin Apandi). Erlangga:
Jakarta.

Yatim, Wildan. 1986. Genetika. Transito : Bandung.

Yogyakarta. Dahlan, M. dan S. Slamet. 1992. Pemuliaan Tanaman Jagung.


Prosiding Simposium Pemuliaan Tanaman I. Komda Jawa Timur.
p. 17-38.

Anda mungkin juga menyukai