Anda di halaman 1dari 26

GAMBARAN KUALITAS HIDUP LANSIA DENGAN PENURUNAN

FUNGSI KOGNITIF DI UPT PELAYANAN SOSIAL TRESNA


WERDHA (PSTW) JEMBER

METODELOGI PENELITIAN KEPERAWATAN

oleh
Dewi Negeri Atika Yanti
NIM 162310101030

KEMENTRIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019
1

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Seiring berkembangnya negara Indonesia dengan tingkat perkembangan
yang cukup baik, maka makin tinggi pula usia harapan hidup penduduknya.
sehingga dalam hal ini pemerintah telah memberikan perhatian lebih pada
lansia. Tetapi semakin hari semakin banyaknya masalah terkait lansia. Karena
hal ini merupakan konsekuensi hasil dari pembangunan, yaitu bertambahnya
usia harapan hidup dan banyaknya jumlah usia lansia di indonesia dengan
kondisi usia lanjut pada penduduk indonesia yang mengalami peneurunan
fisik maupun mental sehingga tidak memungkinkan berperan dalam
pembangunan, maka lansia perlu mendapatkan perhatian lebih oleh
masyarakat maupun pemerintah (Maryam dkk, 2008).
Angka populasi lansia yang semakin meningkat membuat pemerintah
perlu membuat kebijakan maupun program yang ditujukan untuk penduduk
lansia. Berbagai kebijakan dan program yang dijalankan pemerintah bertujuan
untuk meningkatkan kualitas hidup lansia, sehingga lansia dapat hidup sehat
dan bahagia dihari tuanya. Hal tersebut telah dibuktikan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 43 Tahun 2004 tentang Pelaksanaan Upaya Peningkatan
Kesejahteraan Lanjut Usia (Ekasari, 2018).
Tetapi seiring bertambahnya usia maka semakin banyak perubahan pada
seorang individu baik secara biologis maupun psikologis yang mengalami
penurunan terutama pada fungsi kognitifnya. Lansia menyadari bahwa dirinya
tidak mampu mengingat dengan baik lagi dibandingkan sebelumnya. Proses
penuaan terjadi secara alamiah, hal tersebut menyebabkan gangguan pada
fungsi kognitifnya. Gangguan yang terjadi pada fungsi kognitifnya tersebut
dapat menimbulkan berbagai masalah seperti kurang dapat menggunakan
strategi daya ingat yang tepat, mudah teralih dengan hal yang tidak penting,
kesulitan dalam memusatkan perhatian, memerlukan lebih banyak waktu
untuk belajar hal baru, dan memerlukan lebih banyak isyarat bantuan untuk
mengingat kembali memori yang pernah tersimpan dalam otaknya. Jadi
2

dengan bertambahnya usia, sebagian besar lansia mengalami kemunduran


daya ingat (Santoso, 2009).
Terdapat 35,6 juta orang di dunia memiliki resiko terkena demensia, lebih
dari setengah presentase (58%) yang tinggal di negara-negara yang memiliki
penghasilam rendah dan menengah, setiap tahunnya ada 7,7 juta kasus baru.
Diperkirakan jumlah ini akan berlipat ganda pada 2030 dan akan menjadi tiga
kali lipat pada tahun 2050. Di Asia Pasifik pada tahun 2005 terdapat 4,3 juta
per tahun kejadian demensia yang akan meningkat menjadi 19,4 juta per tahun
pada tahun 2025. Sedangkan prevalensi di Amerika mencapai 19,8% pada usia
65-74, 27,5% pada usia 75-84 serta di Taiwan dan China prevalensinya
mencapai 9,9% sampai 46,7% pada rentang 60-108 tahun. Menurut
Alzheimer’s Disease International tahun 2014 diperkirakan prevalensi
demensia di Indonesia pada tahun 2015 sebesar 1, 033 juta, sedangkan tahun
2030 sebesar 1,894 juta dan pada tahun 2050 sebesar 3,979 juta. Penurunan
fungsi kognitif pada lansia yang telah menjadikan mereka mengalami
demensia dapat menimbulkan beberapa dampak yang bervariasi tergantung
pada stadium demensia yang dialami oleh lansia. Misalnya pada demensia
stadium awal yaitu kesulitan mengingat memori jangka pendek. Sedangkan
pada stadium yang lebih lanjut lansia akan mengalami kesulitan dalam
melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari, mengalami perubahan perilaku,
dan bergantung kepada orang lain (Dhewi, 2017).
Kurang dari empat tahun Indonesia diperkirakan akan memiliki struktur
penduduk yang tua, dengan persentase penduduk yang berusia 60 tahun atau
lebih paling tidak 10%. Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk lanjut
usia terjadi juga peningkatan jumlah penduduk dengan penyakit degeneratif
seperti demensia yang memiliki presentase Sebanyak 60-70 % mengalami
demensia (Suriastini, 2016).
BPS juga mencatat jumlah penduduk yang memiliki salah satu kriteria
demensia, yaitu mengalami kesulitan mengingat dan konsentrasi. BPS
menemukan bahwa ada 4,07 juta orang di atas 60 tahun di Indonesia yang
mengalami masalah tersebut dengan jumlah terbanyak pada orang di atas 75
tahun. Indonesia juga diperkirakan memiliki jumlah penderita demensia
3

sebesar 1,2 juta jiwa dan masuk dalam sepuluh negara dengan demensia
tertinggi di dunia dan di Asia Tenggara pada 2015. Mereka juga melihat
Indonesia sebagai negara dengan peningkatan jumlah penderita demensia
kelompok menengah di Asia Tenggara bersama Filipina, Thailand dan
Vietnam. Terdapat dua penelitian yang menyebut presentase peningkatan
mencapai 5,8 persen dan 4,8 persen (CNN, 2016).
Sedangkan hasil penelitian lain yang dilakukan di Panti Sosial
Margomulyo Kecamatan Puger, Kabupaten Jember. menyatakan bahwa lansia
yang mempunyai status mental kognitif yang normal adalah minoritas
sebanyak 18,2%, sedangkan 41,8% lainnya mengalani ganguan kognitif berat
dan 40% gangguan definitif ringan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa lansia
yang mengalami gangguan kognitif pada sebesar 81,8% (Auliyah, 2009).
Sehingga kondisi lansia yang mengalami mengalami perubahan seperti
perubahan pada segi fisik, kognitif, dan psikososialnya akan berkaitan dengan
adanya perubahan kualitas hidup lansia itu sendiri. Domain dalam kualitas
hidup adalah kesehatan fisik, kesehatan psikologi, hubungan sosial, dan
membuat lansia merasa kehidupannya tidak berarti lagi atau putus asa dalam
menjalani kehidupan. Salah satu tanda rendahnya kualitas hidup pada lanjut
usia yaitu tidak dapat menikmati masa tuanya. Fungsi kognitif dipengaruhi
oleh beberapa hal yaitu bahasa, pekembangan pemikiran, perkembangan
memori atau daya ingat (Marlina, 2012). Penurunan fungsi kognitif dapat
disebabkan oleh beberapa faktor seperti penyakit neurologi, penyakit vaskuler,
depresi dan diabetes melitus. Lupa merupakan bentuk gangguan kognitif yang
paling ringan dan mudah lupa ini bisa berlanjut sampai dengan demensia
sebagai bentuk klinis yang paling berat (Wreksoatmodjo, 2012)
Perubahan fungsi kognitif ini tentunya membawa dampak tersendiri bagi
kehidupan lansia. Studi oleh Surprenant & Neath (2007) menunjukkan bahwa
perubahan fungsi kognitif pada lansia berasosiasi secara signifikan dengan
peningkatan depresi dan memiliki dampak terhadap kualitas hidup seorang
lansia. Selain itu, lansia yang mengalami perubahan fungsi kognitif lebih
banyak kehilangan hubungan dengan orang lain, bahkan dengan keluarganya
sendiri. Kualitas hidup lanjut usia dipengaruhi oleh beberapa aspek yaitu,
4

ekonomi, sosial, dan psikososial. Dengan ekonomi yang memadai kualitas


hidup lansia semakin tinggi, kalau ekonominya rendah, kualitas hidup lansia
juga rendah. Karena kebanyakan lansia ikut dengan anaknya atau tinggal
dirumahnya sendiri, oleh karena itu lansia yang tinggal dirumah sendiri
mengalami kesepian, mencari nafkah sendiri untuk hidup. Aspek sosial lansia
yang suka bersosial akan mengalami kualitas hidupnya tinggi karena lansia
tersebut sering berbincang-bincang dengan teman sebayanya bercanda hura.
Sebuah penelitian sebelumnya oleh Auliyah yang berjudul “Gambaran
Status mental kognitif pada Lansia” tahun 2009 menyatakan bahwa hasil yang
didapatkan lansia yang mempunyai status mental kognitif yang normal adalah
minoritas sebanyak 18,2%, sedangkan 41,8% lainnya mengalani ganguan
kognitif berat dan 40% gangguan definitif ringan. Kesimpulan dari penelitian
tersebut adalah terdapat gangguan kognitif pada lansia yang diteliti sebesar
81,8% dari seluruh lansia yang tinggal di Panti Sosial Margomulyo
Kecamatan Puger, Kabupaten Jember.
Sedangkan penelitian lain oleh Qotifah yang berjudul “Hubungan Status
fungsi Kognitif dengan Kualitas Hidup Lansia” tahun 2017 menyatakan
bahwa lansia yang memiliki status kognitif normal mayoritas memiliki
kualitas hidup yang baik yaitu 92,9%, responden dengan gangguan fungsi
koognitif ringan mayoritas memiliki kualitas hidup buruk sejumlah 66,7%.
Responden dengan gangguan fungsi kognitif berat mayoritas memiliki kualitas
hidup buruk yaitu 70,0%. Dari penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya
menjadikan alasan penulis untuk melakukan penelitian terkait bagaimana
gambaran kualitas hidup terhadap lansia yang memiliki kondisi penurunan
fungsi kognitif khususnya demensia di Panti Sosial Margomulyo kecamatan
Puger , Kabupaten Jember yang memiliki presentase lansia dengan gangguan
fungsi kognitif lebih dari 50% pada tahun 2009.

1.2 Rumusan Masalah


“Bagaimana gambaran kualitas hidup lansia dengan penurunan fungsi kognitif
di UPT Pelayanan Sosial Tresna Werdha (PSTW) Jember?”
1.3 Tujuan Umum
5

Menganalisis gambaran kualitas hidup lansia dengan penurunan fungsi


kognitif di UPT Pelayanan Sosial Tresna Werdha (PSTW) Jember
1.4 Tujuan Khusus
1.4.1 Mengidentifikasi karakteristik lansia dengan kesepian (usia, jenis
kelamin, agama, pendidikan terakhir, status pernikahan, status
pekerjaan, dan lama tinggal di Panti)
1.4.2 Mengidentifikasi tingkat fungsi kognitif pada lansia di UPT Pelayanan
Sosial Tresna Werdha (PSTW) Jember
1.4.3 Mengidentifikasi tingkat kualitas hidup pada lansia di UPT Pelayanan
Sosial Tresna Werdha (PSTW) Jember
1.4.4 Menganalisis gambaran kualitas hidup lansia dengan penurunan
kognitif di UPT Pelayanan Sosial Tresna Werdha (PSTW) Jember

1.5 Manfaat Penelitian


1.5.1 Manfaat Bagi Peneliti
Menambah pengetahuan bagi peneliti terkait gambaran kualitas hidup
lansia dengan penurunan fungsi kognitif di UPT Pelayanan Sosial
Tresna Werdha.
1.5.2 Manfaat Bagi Intitusi Pendidikan
Hasil penelitian diharapkan dapat menambah informasi dan
pengetahuan, khususnya tentang gambaran kualitas hidup lansia dengan
penurunan fungsi kognitif di pelayanan sosial tresna Werdha, sehingga
Institusi Pendidikan diharapkan dapat memberikan atau menemukan
intervensi terbaru terkait penanganan penurunan fungsi kognitif yang
terjadi pada individu melalui hasil riset atau studi literatur dan
sejenisnya.
1.5.3 Manfaat Bagi UPT Pelayanan Sosial Lanjut Tresna Werdha Jember
Penelitian yang dilakukan di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Tresna
Werdha Jember ini diharapkan dapat memberikan informasi yang dapat
menambah pengetahuan tenaga kerja perawat yang ada disana agar
kemudian dapat dilakukan intervensi terhadap lansia yang mengalami
penurunan fungsi kognitif terkait peningkatan kualitas hidupnya.
1.5.4 Manfaat Bagi Keperawatan Gerontik
6

Manfaat bagi keperawatan gerontik adalah hasil yang diperoleh dari


penelitian dapat menjadikan perawat gerontik mengetahui masalah
penurunan fungsi kognitif yang terjadi pada lansia yang tinggal di Panti.
Hal ini diharapkan dapat menjadikan perawat atau tenaga kesehatan lain
menyusun rencana intervensi yang diberikan kepada lansia dengan
masalah keperawatan penurunan fungsi kognitif.
1.5.5 Manfaat Bagi Masyarakat
Hasil penelitian yang didapatkan dari penelitian ini dapat memberikan
informasi kepada masyarakat umum mengenai keadaan lansia dengan
penurunan fungsi kognitif yang tinggal di panti apabila tidak
mendapatkan perhatian serta dukungan sosial terkait kualitas hidupnya.

1.6 Keaslian Penelitian


Penelitian yang mendasari penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah
penelitian yang dilakukan oleh Chandra.,dkk yang berjudul “Gambaran
fungsi kognitif pada lansia di Desa Koka Kecamatan Tombulu” tahun 2016
yang dipublikasikan dalam bentuk jurnal penelitian. Pada penelitian tersebut
dilakukan untuk bertujuan mengetahui tingkat fungsi kognitif yang terjadi
pada lansia dengan responden berusia lebih dari 60 tahun. Sedangkan pada
penelitian yang dilakukan sekarang bertujuan untuk menilai bagaimana
kualitas hidup lansia yang telah mengalami gangguan fungsi kognitif atau
mengalami penurunan fungsi kognitif.

Tabel 1.1 Keaslian Penelitian


Topik Penelitian Sebelumnya Penelitian Sekarang
Judul Gambaran fungsi kognitif pada Gambaran kualitas hidup lansia
lansia di Desa Koka Kecamatan dengan penurunan fungsi
Tombulu kognitif di UPT Pelayanan
Sosial Tresna Werdha (PSTW)
Jember
Tempat Desa Koka Kecamatan Tombulu UPT Pelayanan Sosial Tresna
7

Werdha (PSTW) Jember


Peneliti, Chandra H. Manurung Dewi Negeri Atika Yanti
Tahun Winifred Karema
JunitaMaja P.S.
Sampel 53 orang 80 orang
Variabel Fungsi kognitif Kualitas hidup
Instrumen MMSE (Mini Mentas State MMSE (Mini Mentas State
Penelitian Examination) dan Mini Cog Examination) dan WHOQOL
(WHO Quality of Life)
Teknik Purposive sampling Purposive sampling
sampling
Populasi Lansia yang berdomisili di Desa Lansia yang mengalami
Koka Kecamatan Tombulu serta penurunan fungsi kognitif
terdaftar sebagai warga desa.
Uji statistik Deskriptif Deskriptif
Jenis Deskriptif Deskriptif
penelitian
8

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Lanjut Usia

2.1.1 Pengertian Lanjut Usia

Penuaan merupakan suatu keadaan yang terjadi pada kehidupan


manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, yang d imulai
sejak permulaan kehidupan dan tidak hanya dimulai pada waktu tertentu.
Menua merupakan proses yang alami, yang memiliki arti bahwa seseorang
telah melalui tiga tahap kehidupan yaitu anak, dewasa, dan tua. Usia tua
memiliki arti bahwa seseorang telah mengalami kemunduran, misalnya
kemunduran fisik yang ditandai dengan kulit mengendur, rambut menjadi
putih, gigi menjadi ompong, pendengaran kurang jelas, penglihatan
semakin memburuk, terjadi perubahan gerakan yang akan menjadi lambat,
dan figur tubuh yang tidak proporsional. Menua bukanlah suatu penyakit,
tetapi merupakan proses berangsur-angsur yang dapat mengakibatkan
perubahan yang kumulatif dan merupakan proses menurunnya imunitas
tubuh dalam mengahadapi rangsangan dari luar dan dalam tubuh yang
akan berakhir dengan kematian. Proses menua merupakan proses alamiah
yang terjadi secara terus-menerus dan umumnya dialami oleh semua
makhluk hidup. Proses menua merupakan kombinasi antara macam-
macam faktor yang berkaitan dan kecepatan proses menua pada organ
tubuh setiap individu tidak akan sama (Nugroho, 2008:11&12).

Menurut UU No.13/Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia, lanjut


usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun atau lebih dan
merupakan tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia
(Dewi, 2014). Lansia merupakan keadaan yang ditandai oleh adanya
kegagalan seseorang dalam mempertahankan keseimbangan terhadap
kondisi stres fisiologis dimana kegagalan ini berkaitan dengan penurunan
daya kemampuan untuk hidup serta kepekaan secara individual yang
meningkat (Hawari, 2001 dalam Efendi dan Makhfudli, 2009). Menurut
Prof. Dr. Koesoemanto, SpKJ, lansia adalah seseorang yang telah berusia
9

lebih dari 65/70 tahun. Menurut Bee (1996), tahap lansia dimulai dari usia
dewasa lanjut (65-75 tahun) sampai usia dewasa yang sangat lanjut. Jika
dilihat dari pembagian usia menurut beberapa ahli diatas, kesimpulannya
adalah lansia merupakan seseorang yang telah berusia 65 tahun keatas.
Namun di Indonesia pada umumnya batasan usia lansia adalah usia 60
tahun atau lebih (Nugroho, 2009).

Lanjut usia merupakan bagian dari proses tumbuh kembang


seseorang. Menurut Dra. Ny. Jos Masdani dalam Nugroho (2000),
menyebutkan bahwa lansia merupakan proses lanjutan dari usia dewasa.
Kedewasaan dapat dapat dibagi menjadi 4 bagian utama, yaitu fase
iuventus (antara 25 dan 40 tahun), fase vertilitas ( antara 40 hingga 50
tahun), fase prasenium ( antara 55 hingga 65 tahun), dan fase senium
(antara 65 tahun hingga tutup usia) (Azizah, 2011:1).

2.1.2 Klasifikasi Lanjut Usia

Menurut WHO (1999), dalam Azizah (2011), mengemukakan


penggolongan lanjut usia berdasarkan usia kronologis atau biologis lansia
menjadi 4 kelompok. Penggolongan tersebut antara lain adalah:
1. Usia pertengahan (middle age), yaitu antara usia 45 hingga 59 tahun
2. Lanjut usia (elderly), yaitu antara usia 60 hingga 70 tahun

3. Lanjut usia tua (old), yaitu antara usia 75 hingga 90 tahun

4. Usia sangat tua (very old), yaitu diatas 90 tahun.

Menurut Prof. DR. Koesoemanto Setyonegoro, SpKJ, lanjut usia


dikelompokkan menjadi usia dewasa muda (elderly adulthood) yaitu usia
18/20- 25 tahun, usia dewasa penuh (middle years) atau maturitas yaitu
usia 25-60/65 tahun, lanjut usia (geriatric age) yaitu usia lebih dari 65/70
tahun yang terbagi menjadi usia 70-75 tahun (young old), usia 75-80 tahun
(old), dan usia lebih dari 80 tahun (very old). Menurut Hurlock (1979),
perbedaan tahap lanjut usia dibagi menjadi dua yaitu early old age (usia
60-70 tahun) dan advanced old age (usia 70 tahun keatas). Menurut
Burnside (1979), terdapat empat tahapan lanjut usia, antara lain adalah
10

young old (60-69), middle age old (70-79), old-old (usia 80-89), dan very
old-old (usia 90 tahun ke atas) (Nugroho, 2008:24).

2.1.3 Tugas Perkembangan Lanjut Usia


Burnside (1979), Duvall (1977), dan Havighurst (1953) yang dikutip
dalam Potter dan Perry (2005 dalam Azizah, 2011) , menyatakan bahwa
lansia memiliki tugas perkembangan khusus dengan seiring tahap
kehidupan. Tujuh kategori utama tugas perkembangan lansia adalah:
1. Melakukan penyesuaian terhadap penurunan kekuatan fisik dan
kesehatan

2. Melakukan penyesuaian terhadap masa pensiun dan penurunan


pendapatan

3. Melakukan penyesuaian ketika kematian pasangan

4. Menerima diri sendiri sebagai lansia

5. Mempertahankan kepuasan dalam pengaturan hidup

6. Mendefinisikan ulang hubungan dengan anak yang dewasa

7. Menentukan cara untuk mempertahankan kualitas hidup

Dengan mengetahui tugas perkembangan, lansia diharap mampu


melakukan penyesuaian diri dengan adanya penurunan kekuatan dan
penurunan kesehatan secara bertahap, mencari kegiatan pengganti tugas-
tugas terdahulu yang menghabiskan sebagian besar waktu disaat masih
muda. Untuk beberapa orang lansia, kewajiban untuk menghadiri rapat yang
menyangkut kegiatan sosial sangat sulit dilakukan karena kesehatan dan
pendapatan mereka yang menurun setelah pensiun, mereka sering
mengundurkan diri dari kegiatan sosial. Selain itu, sebagian besar lansia
perlu melakukan persiapan dan penyesuaian diri dalam menghadapi
kehilangan pasangan, perlu membangun ikatan dengan anggota kelompok
usia mereka untuk menghindari kesepian dan menerima kematian dengan
tentram (Azizah, 2011:2).
11

2.1.4 Perubahan yang Terjadi pada Lansia


Perkembangan usia menyebabkan lansia mengalami perubahan-
perubahan yang menuntut dirinya melakukan penyesuaian secara terus-
menerus (Mubarak dkk, 2011). Semakin bertambahnya usia manusia,
terjadi proses penuaan secara degeneratif yang akan berdampak pada
perubahan-perubahan pada diri manusia (Azizah, 2011). Perubahan-
perubahan yang terjadi pada lansia meliputi:
a) Perubahan Kondisi Fisik

Perubahan kondisi fisik pada lansia antara lain adalah perubahan


ke tingkat sel hingga sistem organ tubuh, diantaranya adalah
sistem pernapasan, pendengaran, penglihatan, kardiovaskular, sistem
pengaturan tubuh, muskuloskeletal, gastrointestinal, urogenital, endokrin,
dan integumen.
b) Perubahan Kognitif
Perubahan kognitif yang terjadi pada lansia meliputi, memory
(daya ingat/ingatan), IQ (Intellegent Quocient), kemampuan belajar
(Learning), kemampuan pemahaman (Comprehension), pemecahan
masalah (problem solving), pengambilan keputusan (deccision making),
kebijaksanaan (wisdom), kinerja (performance), dan motivasi.
c) Perubahan Spiritual
Spiritualitas pada lansia bersifat universal, intrinsik dan merupakan
proses individual yang berkembang sepanjang rentang kehidupan.lansia
yang telah mempelajari cara menghadapi perubahan hidup melalui
mekanisme keimanan akhirnya dihadapkan pada tantangan akhir yaitu
kematian. Harapan memungkinkan individu dengan keimanan spiritual
atau religius untuk bersiap menghadapi krisis kehilangan dalam hidup
sampai kematian.
d) Perubahan Psikososial
Perubahan psikososial yang terjadi pada lansia antara lain meliputi,
pensiun, perubahan aspek kepribadian, perubahan dalam peran sosial di
masyarakat, dan perubahan minat. Menurut Mubarak et el (2009),
perubahan psikososial pada lansia adalah minat, isolasi dan kesepian, dan
12

peranan iman.
e) Penurunan fungsi dan potensi seksual

Penurunan fungsi dan potensi seksual pada lansia sering


berhubungan dengan berbagai gangguan fisik, seperti gangguan jantung,
gangguan metabolisme, vaginitis, dan baru selesai operasi prostatektomi.
Menurut Kuntjoro (2002), faktor psikologis yang menyertai lansia
berkaitan dengan seksualitas antara lain seperti rasa tabu atau malu bila
mempertahankan kehidupan seksual pada lansia.
Menurut Maryam et al (2008), perubahan-perubahan yang terjadi
pada lansia adalah perubahan fisik, perubahan sosial dan perubahan
psikologis.
a) Perubahan fisik
Perubahan fisik yang terjadi pada lansia terjadi pada sel,
kardivaskular, sistem respirasi, persarafan, muskuloskeletal,
gastrointestinal, genitourinaria, vesika urinaria, vagina, pendengaran,
penglihatan, endokrin, kulit, belajar dan memori, inteligensi, personality
dan adjusment, dan pencapaian.
b) Perubahan sosial
Perubahan sosial ini meliputi perubahan peran, keluarga emptiness,
teman, abuse, masalah hukum, pensiun, ekonomi, rekreasi, keamanan,
transportasi, politik, pendidikan, dan agama.
c) Perubahan psikologis
Perubahan yang terjadi pada lansia meliputi short term memory,
frustasi, kesepian, takut kehilangan kebebasan, takut menghadapi
kematian, perubahan keinginan, depresi dan kecemasan.

2.2 Konsep perubahan kognitif pada lansia

2.2.1 Definisi perubahan kognitif

Perubahan kognitif merupakan perubahan yang dapat dilihat pada


aspek aspek tertentu meliputi kemampuan memecahkan masalah, memori,
perhatian, dan bahasa. Penurunan fungsi pada saraf pusat dapat terjadi
13

seiring pertambahan perubahan itu dialami hamper semua orang yang


mencapai usia 70-an tahun (Pudjiastuti, 2003).

Namun, ada juga penyimpangan, beberapa orang yang berusia 70 tahun


masih dapat melakukan hal tersebut dengan baik. Sedangkan kemunduran
intelektual atau kognitif yang terjadi sebelum usia 50 tahun dapat
dikategorikan sebagai keadaan yang yang abnormal atau patologis.
Penyakit dan proses penuaan patologis dapat mengurangi fungsi kognitif
seseorang. Penelitian menunjukkan bahwa terdapat fungsi otak yang tidak
mengalami perubahan dengan bertambahnya usia seperti penyimpanan
sebuah informasi. Salah satu cara untuk mempertahankan fungsi kognitif
pada lansia adalah dengan cara menstimulasi otak dan diistirahatkan
dengan tidur. Kegiatan seperti membaca, mendengarkan berita dan cerita
melalui media sebaiknya dijadikan sebuah kebiasaan karena hal ini
bertujuan agar otak tidak beristirahat secara terus menerus serta permainan
yang prosedurnya membutuhkan konsentrasi atau atensi, orientasi (tempat,
waktu, dan situasi) dan memori (Abdullah, 2014).

2.2.2 Dampak yang ditimbulkan penurunan fungsi kognitif

Menurut Pudjiastari (2003 )Perubahan fungsi kognitif pada lansia akan


mengakibatkan beberapa masalah sebagai berikut :

a. Memori panjang yang merupakan kondisi atau keadaan dimana lansia


akan kesulitan dalam mengungkapkan kembali cerita atau kejadian
yang tidak begitu menarik perhatiannya dan informasi baru atau
informasi tentang orang. Kesulitan apabila melakukan pekerjaan yang
membutuhkan daya ingat yang kompleks atau rumit.

b. Proses informasi keadaan dimana lansia mengalami kesulitan dalam


menerima informasi baru seperti TV maupun film.

selain itu terdapat beberapa masalah yang terjadi akibat perubahan


intelektual yang berkaitan dengan fungsi kognitifnya meliputi hal-hal
sebagai berikut :

a. Kinerja intelektual yang diukur dengan tes kemampuan verbal dalam


14

bidang vokabulator (kosa kata), informasi dan komprehensi mencapai


puncak pada usia 20-30 tahun dan kemudian menetap sepanjang hidup,
sedikitnya sampai usia pertengahan 80-an tahun, apabila tidak
terindikasi suatu penyakit tertentu.

b. Kemampuan melaksanakan tugas yang diberi batas waktu, terkait


waktu, dan membutuhkan kecepatan, misalnya mengolah informasi,
mencapai puncaknya sekitar usia 20 tahun kemudian menurun lambat
laun sepanjang hidup.

2.2.3 Penyebab Penurunan Fungsi Kognitif pada lanjut usia


Terkait dengan perubahan fisik, terjadi perubahan pada sistem
persarafan lansia, yaitu berat otak menurun atau mengalami penyusutan
(atropi) sebesar 10 –20% seiring dengan penuaan, dan hal ini berkurang
setiap hari. Hal ini dikarenakan terjadinya penurunan jumlah sel otak serta
terganggunya mekanisme perbaikan sel otak (Fatimah, 2010). Otak
mengalami penebalan meningeal atrofi serebral (penurunan volume otak).
Mula-mula tonjolan dendrit di neuron hilang, di susul bengkaknya batang
dendrit dan badan sel. Secara progresif terjadi fragmentasi dan kematian
sel terjadi deposit lipofunchsin (Darmojo, 2009). Beberapa faktor yang
diperkirakan sebagai pernyebab gangguan kognitif global sebagai berikut :
a. Gangguan neurotransmitter
b. Gangguan cerebral blood flow
c. Gangguan metabolisme neuron
d. Patologi neuron
e. Gangguan homeostasis ion kalsium (Ca2+).
Pada proses penuaan otak, terjadi penurunan jumlah neuron secara
bertahap yang meliputi area girus temporal superior (merupakan area yang
paling cepat kehilangan neuron), girus presentralis dan area striata. Secara
patologis penurunan jumlah neuron kolinergik akan menyebabkan
berkurangnya neurotransmiter asetilklolin sehingga menimbulkan
gangguan kognitif dan perilaku (Soetedjo, 2006). Pengurangan volume dan
massa otak pada penuaan yang normal tidak hanya diakibatkan oleh
15

hilangnya jumlah neuron, tetapi juga karena adanya perubahan di dalam


neuron: berkurangnya cabang-cabang neuron 13(spina dendrit),
pengurangan kerapatan sinapsis, dan merosotnya lapisan myelin yang
melapisi akson pada neuron (Fatimah, 2010). Penurunan fungsi kognitif
akan menyebabkan gangguan pada sistem saraf pusat, yaitu pengurangan
massa otak dan pengurangan aliran darah otak. Selanjutnya akan
menyebabkan atrosit berploriferasi sehingga neurotransmitter (dopamin
dan serotonin) akan berubah. Perubahan pada neurotransmitter ini akan
meningkatkan aktivitas enzim monoaminoksidase (Pranarka 2006).

2.2.4 Alat Ukur status kognitif


Mini Mental Stase Examination (MMSE) adalah pemeriksaan yang
paling sering digunakan untuk mengetahui fungsi kognitif. MMSE
diperkenalkan oleh Folstein pada tahun 1975. MMSE dipakai untuk
melakukan skrining pada pasien dengan gangguan kognitif, menelusuri
perubahan dalam fungsi kognitif dari waktu ke waktu pada alat ukur
MMSE ini terdiri dari dua bagian yaitu:
a. Bagian pertama hanya membutuhkan respon-respon verbal saja dan
hanya mengkaji orientasi, ingatan serta perhatian.
b. Bagian kedua adalah memeriksa kemampuan untuk menuliskan suatu
kalimat, menamai objek, mengikuti perintah verbal dan tertulis, serta
menyalin suatu desain poligon yang kompleks. Skor 1 untuk jawaban
yang benar dan skor 0 untuk jawaban yang salah. Nilai maksimum untuk
pemeriksaan MMSE adalah 30. Menurut Foldstein dalam buku
Mubarak,dkk (2006) dalam Marlina (2012), MMSE terdiri dari:
a. Orientasi, meliputi pertanyaan tentang orientasi waktu dan orientasi
tempat, skor maksimal 10.
b. Registrasi, meliputi pertanyaan tentang mengatakan3 benda yang kita
sebutkan, 1 detik untuk masing-masing benda kemudian meminta
untuk mengulang, skor maksimal 3.
c. Perhatian dan Kalkulasi, meliputi pertanyaan tentang hitungan
(menghitung mundur dari 100 dengan selisih 7, berhenti setelah 5
16

jawaban), skor maksimal 5.Apabila tidak mampu menghitung,


mintakan untuk mengeja suatu kata yang terdiri dari 5 huruf dari
belakang.
d. Mengingat, meliputi pertanyaan tentang daya ingat, menyebutkan 3
benda yang disebutkan pada poin registrasi, skor maksimal 3.
e. Bahasa, meliputi pertanyaan tentang menyebutkan 2 benda yang kita
tunjuk, mengulang kalimat dan memerintah (membaca, menulis dan
meniru gambar), skor maksimal 9.
Berdasarkan ada tidaknya gangguan fungsi kognitif dapat dibagi
menjadi :
Nilai ≥ 22 = tidak mengalami gangguan fungsi kognitif/baik.
Nilai ≤ 21 = mengalami gangguan fungsi kognitif/buruk.

2.4 Konsep Kualitas hidup pada lansia


2.4.1 Definisi kualitas hidup
Menurut WHO, kualitas hidup dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya; jenis kelamin, usia, pendidikan, pekerjaan, status pernikahan,
penghasilan, hubungan dengan orang lain, dan standar referensi. Setiap
orang memiliki kualitas hidup yang berbeda tergantung dari masing-
masing individu dalam menyikapi permasalahan yang terjadi dalam
dirinya. Jika menghadapi dengan positif maka akan baik pula kualitas
hidupnya, tetapi lain halnya jika dihadapi dengan negatif maka akan buruk
pula kualitas hidupnya. Usia memengaruhi tingkat kualitas hidup
seseorang sehingga lansia masih bisa beraktivitas. Ini sesuai dengan hasil
dari penelitian yang menunjukan bahwa usia mempengaruhi masing-
masing domain (Qotifah, 2017).
2.4.2 Faktor yang mempengaruhi kualitas hidup
Menurut Ekasari (2018) Terdapat delapan faktor yang mempengaruhi
kualitas hidup seseorang, yaitu:
1. kontrol, berkaitan dengan kontrol terhadap perilaku yang dilakukan
oleh seseorang, seperti pembahasan terhadap kegiatan untuk menjaga
kondisi tubuh.
17

2. Kesempatan yang potensial, berkaitan dengan seberapa besar


seseorang dapat melihat peluang yang dimilikinya.
3. Keterampilan, berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk
melakukan keterampilan lain yang mengakibatkan ia dapat
mengembangkan dirinya, seperti mengikuti suatu kegiatan atau kursus
tertentu.
4. Sistem dukungan, termasuk didalamnya dukungan yang berasal dari
lingkungan keluarga, masyarakat maupun sarana-sarana fisik seperti
tempat tinggal atau rumah yang layak dan fasilitas-fasilitas yang
memadai sehinga dapat menunjang kehidupan.
5. Kejadian dalam hidup, hal ini terkait dengan tugas perkembangan dan
stress yang diakibatkan oleh tugas tersebut. Kejadian dalam hidup
sangat berhubungan erat dengan tugas perkembangan yang harus
dijalani, dan terkadang kemampuan seseorang untuk menjalani tugas
tersebut mengakibatkan tekanan tersendiri.
6. Sumber daya, terkait dengan kemampuan dan kondisi fisik seseorang.
Sumber daya pada dasarnya adalah apa yang dimiliki olehseseorang
sebagai individu.
7. Perubahan lingkungan, berkaitan dengan perubahan yang terjadi pada
lingkungan sekitar seperti rusaknya tempat tinggal akibatbencana.
8. Perubahan politik, berkaitan dengan masalah Negara seperti
krisimoneter sehingga menyebabkan orang kehilangan pekerjaan/ mata
pencaharian. Selain itu, kualitas hidup seseorang dapat dipengaruhi
oleh beberapa faktor diantaranya, mengenali diri sendiri, adaptasi,
merasakan perasaan orang lain, perasaan kasih dan sayang, bersikap
optimis, mengembangkan sikap empati

2.4.3 Aspek-Aspek Kualitas Hidup


Menurut WHO (1996) dalam Marlina (2012) terdapat empat aspek
mengenai kualitas hidup, diantaranya sebagai berikut:
1. Kesehatan fisik, diantaranyaAktivitas sehari-hari, ketergantungan pada
zat obat dan alat bantu medis, energi dan kelelahan, mobilitas,rasa
18

sakit dan ketidaknyamanan, tidur dan istirahat, kapasitas kerja.


2. Kesejahteraan psikologi, diantaranya image tubuh dan penampilan,
perasaan negative, perasaan positif, harga diri, spiritualitas/ agama/
keyakinan pribadi, berpikir , belajar , memori dan konsentrasi.
3. Hubungan sosial, diantaranya hubungan pribadi, dukungan sosial,
aktivitas seksual.
4. Hubungan dengan lingkungan, diantaranya sumber keuangan,
kebebasan, keamanan fisik dan keamanan kesehatan dan perawatan
sosial : aksesibilitas dan kualitas, lingkungan rumah, Peluang untuk
memperoleh informasi dan keterampilan baru, partisipasi dalam dan
peluang untuk kegiatan rekreasi / olahraga, lingkungan fisik ( polusi/
suara / lalu lintas / iklim ), mengangkut.

2.4.4 Alat Ukur kualitas hidup


Untuk mengukur kualitas hidup seseorang WHO telah membentuk
WHO Quality of Life (QOL) Group. Kelompok ini telah melakukan
penelitian di 15 negara yang berbeda budaya, norma dan adat istiadatnya.
Dengan demikian WHO telah berhasil mengatasi hal yang paling
kontroversial tentang emics dan etics dengan mengaplikasikan sebuah
kuesioner yang sama pada berbagai budaya yang berbeda. Pengukuran
kualitas hidup dilakukan menggunakan instrumen World Health
Organization Quality of Life-100 (WHOQOL-100). WHOQOL-100 terdiri
dari 100 pertanyaan yang mencakup 25 segi (facets) dan sudah
diterjemahkan dalam berbagai bahasa di 15 negara tersebut. Kemudian
WHO menyusun WHOQOL-BREF yang merupakan versi singkat dari
WHOQOL-100. WHOQOL-BREF dapat digunakan bila waktu yang
diperlukan untuk menyelesaikan 100 pertanyaan terlalu lama dantingkat
dari segi (facets) secara rinci tidak diperlukan, misalkan pada survei
epidemiologi dan percobaan klinik. Hasil penelitian menggunakan
WHOQOL-100 di 15 negara menunjukkan beberapa pertanyaan valid
untuk menyusun WHOQOL-BREF.
WHOQOL-BREF terdiri dari 24 facets yang mencakup 4 domain dan
19

terbukti dapat digunakan untuk mengukur kualitas hidup seseorang.


Keempat domain tersebut adalah: i) kesehatan fisik (physical health)
terdiri dari 7 pertanyaan; ii) psikologik (psychological) 6 pertanyaan; iii)
hubungan sosial (social relationship) 3pertanyaan; dan iv) lingkungan
(environment) 8 pertanyaan. WHOQOL-BREF juga mengukur 2 facets
dari kualitas hidup secara umum yaitu: i) kualitas hidup secara
keseluruhan (over all qualityof life); dan ii) kesehatan secara umum
(general health). Walaupun WHOQOL-BREF ini sudah digunakan di 23
negara pada usia dewasa namun penggunaan WHOQOL-BREF untuk
lansia masih belum banyak dilakukan,khususnya di Indonesia. Tetapi
disebuah Penelitian menilai validitas dan reliabilitas dari WHOQOL-
BREF untuk mengukur kualitas hidup pada lansia. Hasil penelitian
menunjukkan instrumen WHOQOL-BREF valid dan reliable untuk
mengukur kualitas hidup pada lansia (Salim.,dkk, 2007).

2.5 Gambaran kualitas hidup lansia dengan penurunan fungsi kognitif


Seseorang yang memiliki gangguan fungsi kognitif buruk mayoritas
memiliki kualitas hidup buruk bahkan pada seseorang dengan gangguan
fungsi koognitif yang berat mayoritas juga memiliki kualitas hidup buruk.
Penurunan fungsi kognitif lansia menyebabkan ketidakmampuan dalam
melakukan aktifitas normal sehari-hari, dan juga merupakan alasan
terjadinya ketergantungan terhadap orang lain yang bila berkelanjutan
akan berpengaruh terhadap kualitas hidup lansia. Hal tersebut telah sesuai
dengan teori bahwa fungsi kognitif yang menurun dapat menyebabkan
terjadinya ketidakmampuan lansia dalam melakukan aktifitas normal
sehari-hari. Hal ini dapat mengakibatkan para lansia sering bergantung
pada orang lain untuk merawat diri sendiri (Qotifah, 2017).

2.6 Peran Perawat dalam menangani lansia dengan penurunan fungsi


kognitif terkait kualitas hidup
Perawat dalam menentukan diagnosa demensia harus tetap memantau
gejala yang ada sepanjang waktu agar dapat membedakan persisten atau
20

revesibelnya gejala. Pengkajian terhadap fungsi kognitif, perilaku dan


status fungsional pada lansia juga perlu dilakukan oleh perawat untuk
mengetahui perjalanan gangguan yang terjadi dan menyesuaikan intervensi
terapeutik sesuai tingkat kemampuan. Berdasarkan hasil pengkajian
tersebut, perawat dapat mengidentifikasi tingkat depresi dan gangguan
kognitif yang dialami lansia sehingga diagnosa demensia dengan
kerusakan memori dapat ditegakkan dengan tepat. Kunci perawatan lansia
demensia dengan kerusakan memori adalah merencanakan dan mengelola
aktivitas yang dapat dilakukan untuk menghindari frustasi, penurunan
harga diri dan stres berkaitan dengan respon perilaku (Stanley & Beare,
2007 dalam Malahayati, 2013).
Banyak kegiatan yang dapat digunakan untuk meningkatkan
kemampuan memori lansia. Salah satu intervensi keperawatan yang dapat
dilakukan adalah stimulasi kognitif. Stimulasi kognitif merupakan
intervensi yang dilakukan kepada lansia dengan demensia melalui kegiatan
yang menyenangkan dan menstimulasi kemampuan berpikir,
berkonsentrasi dan juga melatih memori . Aktivitas sehari-hari dapat
dijadikan sarana untuk menstimulasi kemampuan kognitif lansia misalnya
kegiatan membaca, menonton televisi, atau bercerita mengenai satu tema.
Kegiatan ini sebaiknya dijadikan sebuah kebiasaan dengan tujuan agar
otak tidak beristirahat secara terus menerus (Malahayati, 2013).
21

2.7 Kerangka Teori

Proses menua merupakan Perubahan kognitif merupakan Menurut WHO, kualitas hidup
kombinasi antara macam-macam perubahan yang dapat dilihat pada dipengaruhi oleh beberapa faktor
faktor yang berkaitan dan aspek aspek tertentu meliputi diantaranya; jenis kelamin, usia,
kecepatan proses menua pada kemampuan memecahkan masalah, pendidikan, pekerjaan, status pernikahan,
organ tubuh setiap individu tidak memori, perhatian, dan bahasa penghasilan, hubungan dengan orang
akan sama (Nugroho, 2008) (Pudjiastuti,2003). lain, dan standar referensi (Qotifah,
2017).

Lansia merupakan seseorang


Terkait dengan perubahan fisik, terjadi
yang telah berusia 65 tahun
perubahan pada sistem persarafan
keatas. Namun di Indonesia Menurut Ekasari (2018) Terdapat
lansia, yaitu berat otak menurun atau
pada umumnya batasan usia delapan faktor yang
mengalami penyusutan (atropi) sebesar
lansia adalah usia 60 tahun
10–20% seiring dengan penuaan mempengaruhi kualitas hidup
atau lebih (Nugroho, 2009).
(Fatimah, 2010)
seseorang, yaitu:
Menurut Azizah (2011) 1. kontrol
perubahan yang terjadi 2. Kesempatan yang potensial
pada lansia : Menurut Pudjiastari (2003 ) Dampak
a) Perubahan perubahan fungsi kognitif pada lansia : 3. Keterampilan
Kondisi Fisik a. Memori panjang 4. Sistem dukungan
b) Perubahan
b) Perubahan kognitif
Kognitif b. Proses informasi keadaan dimana 5. Kejadian dalam hidup
c) Perubahan lansia mengalami
6. Sumber daya
Spiritual selain itu perubahan intelektual,sebagai
d) Perubahan berikut : 7. Perubahan lingkungan
Psikososial a. Kinerja intelektual 8. Perubahan politik
e) Penurunan fungsi
dan potensi b.b. Kemampuan melaksanakan
kemampuan melaksanakan tugas
tugas
seksual
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah H. 2014. Pengaruh Terapi Brain Gym Terhadap Peningkatan Fungsi


Kognitif Pada Lanjut Usia Di Posyandu Lanjut Usia Desa Pucangan
Kartasura. Jurnal Ilmu Kesehatan. Surakarta: UMS Surakarta.
https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=books&cd=1&
cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwjxzKi65LnhAhVWOSsKHbOKCFAQFjAA
egQIABAC&url=http%3A%2F%2Feprints.ums.ac.id%2F32228%2F2%2F4.B
AB%2520I.pdf&usg=AOvVaw3ezZQlqJ2v6s4gjZgGEybs

Auliyah, NI. 2009. Gambaran Status Mental Kognitif Pada Lansia di Panti Sosial
Tresna Werdha Margomulyo Kecamatan Puger Jember. Skripsi. Fakultas
kedokteran Universitas Jember.

Azizah, L. M. 2011. Keperawatan Lanjut Usia. Jilid 1. Yogyakarata: Graha

Ilmu.

CNN. 2016. Indonesia Lupa Catat Jumlah penderita Demensia. Jakarta. 24


September. https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20160924070505-255-
160792/indonesia-lupa-catat-jumlah-penderita-demensia

Darmojo, Boedhi. (2009). Buku Ajar Geriatri. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.

Dewi, S. R. 2014. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Yogyakarta: Deepublish

Dhewi, RRK. 2017. Kebutuhan Caregiver dalam Merawat Lansia dengan


Demensia di Panti Werdha Kota Semarang. Skripsi. Departemen Ilmu
Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

Efendi, F. dan Makhfudli. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas (Teori dan


Praktik dalam Keperawatan). Jakarta: Salemba Medika.
Ekasari MF., Riasmini NM., Tien H. 2018. Meningkatkan Kualitas Hidup Lansia
Konsep dan Berbagai Intervensi. Edisi 1. Malang : Penerbit Wineka Media.
https://books.google.co.id/books?id=lWCIDwAAQBAJ&printsec=frontcover
&dq=kualitas+hidup+lansia&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwjinJG79qnhAhUF
XisKHYfNCR4Q6AEIMzAB#v=onepage&q=kualitas%20hidup%20lansia&f
=false

Fatimah, M.S., Puruhita, N.2010.Gizi pada lansia. Dalam: Martono H, Pranaka K.


Buku ajar Boedhi-Darmojo: geriatri (ilmu kesehatan usia lanjut). Jakarta

Malahayati, D. 2013. Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat


Perkotaan Kasus Demensia pada Nenek NA dengan Kerusakan Memori di
Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti. Karya Ilmiah Akhir. Fakultas Ilmu
Keperawatan Program Ners Depok.

Marlina, R. D. (2012). Hubungan antara Fungsi Kognitif dengan Kemampuan


Interaksi Sosial pada Lansia di Kelurahan Mandan Wilayah Kerja Puskesmas
Sukoharjo. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Maryam. S., Ekasari MF., Rosidawati dkk. 2008. Mengenal Usia Lanjut dan
Perawatannya. Edisi 1. Jakarta : Penerbit Salemba Medika.
https://books.google.co.id/books?id=jxpDEZ27dnwC&printsec=frontcover&d
q=proses+penuaan+pada+lansia&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwjs_paQmqXh
AhVGb30KHcfeBZYQ6AEILTAA#v=onepage&q=proses%20penuaan%20p
ada%20lansia&f=false

Mubarak, W. I., Chayatin, N., dan Santoso, B. A. 2009. Ilmu Keperawatan


Komunitas 2. Jakarta: Salemba Medika.

Nugroho, W. 2008. Keperawatan Gerontik dan Geriatrik. Edisi 3. Jakarta: EGC.


Nugroho, W. 2009. Komunikasi dalam keperawatan gerontik. Jakarta: EGC.

Pudjiastuti, SS., Utomo B. 2003. Fisioterapi pada Lansia. Edisi 1. Jakarta :


Penerbit Buku Kedokteran EGC.
https://books.google.co.id/books?id=TSAJKghQzI0C&pg=PA28&dq=peru
bahan+kognitif+pada+lansia&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwjaluDljbPhAh
UBi3AKHV-
kDqIQ6AEIYDAI#v=onepage&q=perubahan%20kognitif%20pada%20lans
ia&f=false

Qotifah. 2017. Hubungan Antara Fungsi Kognitif dengan Kualitas Hidup pada
Lansia di Posyandu Lansia Wilayah Puskesmas Nogosari. Skripsi. Program
Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Surakarta.

Salim, O.C., dkk. (2007). Validitas dan Reliabilitas WHOQOL-BREF untuk


Mengukur Kualitas Hidup Lanjut Usia. 26(1) : 27-38.

Santoso H., Ismail A. 2009. Memahami Krisis Lanjut Usia : Uraian Medis dan
Pedagogis-Pastoral. Edisi 1. Jakarta : Penerbit Gunung Mulia.
https://books.google.co.id/books?id=A6hYGWbczFYC&pg=PA50&dq=lansia
+dengan+demensia&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwjN-
bnaoaXhAhVf8HMBHTzpBUsQ6AEIMzAB#v=onepage&q=lansia%20deng
an%20demensia&f=false

Suriastini., Turana Y., Firman W. 2016. Angka Prevalensi Demensia : Perlu


Perhatian Kita Semua. Survey Meter.

Surprenant, A.M. Neath, I. 2007. Cognitive Aging. Dalam J.M. Wilmoth&K.F.


Ferraro (Eds.). Gerontology : perspectives and issues (pp.89-110).New York:
Springer Publishing Company, LLC.
Sutedjo, AY. 2006. Mengenal Penyakit Melalui Pemeriksaan Laboratorium,
Yogyakarta: Amara Books

Wreksoatmodjo, Budi Riyanto. (2012). Hubungan Social Engangement dengan


Fungsi Kognitif. Jakarta : CDK-190 39

Anda mungkin juga menyukai