Anda di halaman 1dari 19

Tugas baca buku pekan X

Topik : Nekrolisis epidermal


Divisi : Alergo imunologi
Nama PPDS : dr. Silvi Suhardi
Pembimbing : Prof. DR.dr. HM. Athuf Thaha, SpKK(K)
dr. Nopriyati, SpKK
Sumber : Valeyrie L, Roujeau JC. Epidermal Necrolysis (Stevens-Johnson Syndrome and Toxic
Epidermal Necrolysis). In: Wolff, Goldsmith, Katz Si, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ,
editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine Volume 1. 8th ed. New York: McGraw-
Hill Companies; 2011. P. 439-48
NEKROLISIS EPIDERMAL

Sekilas Nekrolisis Epidermal


 Jarang dan mengancam nyawa, terutama disebabkan obat
 Apoptosis yang berat pada keratinosit merangsang aktivasi reaksi sitotoksik dimediasi sel
 Purpura konfluen dan makula eritem berubah menjadi bula kendur dan pelepasan epidermis
terutama pada punggung dan lengan atas dan berhubungan dengan keterlibatan membrane mukosa
 Pemeriksaan patologis menunjukkan nekrosis keseluruhan lapisan epidermis yang berhubungan
dengan infiltrasi ringan sel mononuclear.
 Obat yang berisiko tinggi tercatat sebagai penyebab pada separuh kasus
 Lebih dari 20% kasus adalah idiopatik
 Deteksi dini dan kecurigaan terhadap kemungkinan obat menghasilkan prognosa yang baik.
 Pengobatan simptomatik.
 Gejala sisa biasanya menetap, memerlukan pemeriksaan follow-up sistemik.

Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) merupakan reaksi mukokutan akut yang mengancam jiwa
dengan karakteristik adanya nekrosis yang luas dan epidermolisis.Steven dan Johnson yang
pertama sekali melaporkan dua kasus erupsi kutaneus yang luas berhubungan dengan
stomatitis erosif dan keterlibatan mata yang parah. Pada tahun 1956, Lyell menjelaskan pasien
dengan kehilangan epidermis sekunder menjadi nekrosis dan memperkenalkan sebutan
nekrolisis epidermal toksik. Keduanya SSJdan TEN dikarakteristikan adanya keterlibatan
kulit dan mukosa. Karena persamaan klinis dan histopatologi, factor resiko, obat penyebab
dan mekanisme, terdapat dua kondisi yang sekarang diyakini beberapa varian dari proses
identifikasi untuk membedakan proses yang berlainan dengan melihat body surface area yang
terlibat. Selain itu lebih baik menggunakan design nekrolisis epidermal untuk keduannya.,
seperti yang disebutkan oleh Ruiz-Maldonado (acute disseminated epidermal necrolisis) dan
Lyell (nekrosis eksantematous)

EPIDEMIOLOGI
1
Nekrolisis epidermal jarang terjadi. Insiden keseluruhan SSJ dan TEN diperkirakan 1-6 kasus
perjuta orang-tahun dan diperkirakan 0,4 sampai 1,2 kasus perjuta orang pertahun. EN dapat
terjadi pada segala usia, namun risikonya meningkat setelah usia sekitar 40 tahun dan lebih
sering terjadi pada wanita, dengan sek ratio 0,6. Risiko penyakit ini meningkat pada pasien
dengan HIV, penyakit kolagen vaskuler, dan kanker. Mortalitas keseluruhan pasien yang
berkaitan dengan epidermal nekrolisis sekitar 20-25%, yang bervariasi antara 5-12% pada
SSJ, dan lebih dari 30% pada TEN. Meningkatnya usia, ko-morbiditas yang signifikan, dan
keterlibatan kulit yang lebih luas sangat berpengaruh terhadap prognosis pasien. Di Amerika
laporan kematian menunjukkan tujuh kali lebih tinggi resiko kematian pada orang hitan
dibandingkan dengan kulit putih. Untuk menentukan prognosis pasien digunakan SCORTEN,
dimana skor yang terbaik dinilai oleh beberapa tim.
SCORTEN (sistem skor prognostik pada pasien nekrolisis epidermal)

FAKTOR PROGNOSTIK POIN


Usia>40 tahun 1
HR>120 x/menit 1
Kanker atau keganasan hematologi 1
BSA yang terlibat>10% 1
Level urea serum >10 mM 1
Level bikarbonat serum <20 mM 1
Level glukosa serum >14 mM 1

SCORTEN ANGKA MORTALITAS (%)


0-1 3,2
2 12,1
3 35,8
4 58,3
>5 90

ETIOLOGI
Patofisiologi EN masih belum jelas, tetapi saat ini obat diduga kuat paling berperan. Lebih
dari 100 jenis obat dilaporkan sebagai penyebab. Lebih dari 100 obat yang berbeda yang
mempunyai peranan pada, tetapi hanya sedikit yang memiliki resiko tinggi yang tercatat
separuh kasus di Eropa (Tabel 40-2), yang dibuktikan dengan dua penelitian case control
multinasional. Obat-obatan yang paling berisiko yaitu antibakterial sulfonamid, antikonvulsan
aromatik, allopurinol, obat-obatan AINS oksikam, lamotrigin, dan nevirapin. Resiko
tampaknya terutama pada 8 pekan pengobatan. Penurunan lambat eskalasi dosis menimbulkan
rash pada lamotrigin, dan nevirapin, tetapi tidak terdapat bukti bahwa ini menurunkan resiko
EN. Oxbamazi carkarbazepin, suatu derivat 10 keto dari karbamazepin , memiliki resiko yang
2
lebih rendah dibandingkan reaksi silang yang terdapat pada carbamazepin. Banyak obat anti
inflamasi nonsteroid (terutama derivate oxicam dan diklofenak) yang diduga berhubungan
dengan EN. Obat yang memiliki resiko yang lebih rendah yang juga dilaporkan adalah suatu
antibiotik non sulfonamide seperti aminopenisillin, quinolon, sefalosporin, dan tetrasiklin.
Kortikosteroid jelas berhubungan dengan resiko relatif.
Peran agen infeksius pada terjadinya EN kurang menonjol dibandingkan pada eritema
multiforme. Bagaimanapun, kasus EN berhubungan dengan infeksi Mycoplasma
pneumonia,penyakit virus, dan imunisasi pernah dilaporkan., sebagian adalah pada anak-anak.
Penelitian jarang ini menyebutkan bahwa keterlibatan obat bukan merupakan satu-satunya
penyebab EN., tetapi masih terdapat sedikit bukti yang menyebutkan berhubungan dengan
infeksi dapat menjelaskan sebagian kecil dari persentase kasus.

TABEL 40-2 Pengobatan dan Risiko Epidermal Necrolysis:


.Risiko Tinggi Risiko Lebih rendah Risiko yang masih Risiko yang belum
diragukan terbukti
Allopurinol, Acetic acid NSAID (cth Parasetamol Aspirin,
sulfamethoksazol, diklofenak), (asetaminofen), sulfonylurea,
sulfadiazin, aminopenicillin, analgesik pirazolon, diuretik thiazid,
sulfapyridin, sefalosporin, kortikosteroid, furosemid,
sulfadoxin, kuinolon, NSAID lainnya (kecuali aldactone,
sulfasalazin, siklin, aspirin), Ca channel bloker, β
karbamazepin, makrolid sertralin. bloker
lamotrigin, ,angiotensin-converting
fenobarbital, enzyme inhibitor,
fenitoin, angiotensin II reseptor
fenilbutazon, antagonis.
nevirapin,
oksikamNSAID,
thiacetazon

Selain itu kasus EN juga dilaporkan setelah transplantasi sumsum tulang belakang,
sebagian merupakan bentuk ekstrim dari penyakit graft-versus –host. Kaitan antara EN dan
penyakit graft-versus-host sulit untuk dinilai karena lesi kulit dan gambaran histologi
kulitnya sangat mendekati. Lupus eritromatosus (systemic LE atau subcutaneous LE)
berhubungan dengan meningkatnya resiko EN. Pada beberapa kasus, obat merupakan
penyebab yang sering meragukan dan nekrosis dapat merupakan suatu bentuk yang ekstrim
dari gambaran kutaneus lupus. Akhirnya radioterapi tambahan pada pengobatan yang
menggunakan obat –obatan antiepileptik seperti fenitoin, fenobarbital, atau karbamazepin
dapat memicu EN pada tempat radiasi. Pada praktek klinis, penyebab karena obat dapat

3
dengan jelas menjadi penyebab kisaran 60% kasus dan dicurigai pada 20% kasus. Penyebab
lain ( infeksi, GVH, LE) yang jarang muncul lebih kurang 20 % kasus idiopatik.

PATOGENESIS
Sekalipun rangkaian yang tepat tentang keterlibatan selular dan molekular belum sepenuhnya
diketahui, beberapa penelitian memberikan petunjuk penting mengenai patogenesis epidermal
necrolysis . Pola imunologi pada lesi awal menunjukkan adanya reaksi imun sitotoksik
melawan keratinosit yang menyebabkan apoptosis yang berat. Penelitian imunopatologi
memperlihatkan pada lesi awal munculnya sel sitotoksik termasuk natural killer T cell (NKT)
dan limfosit T CD8+ spesifik obat ; monosit/makrofag dan granulosit juga dipanggil.
Bagaimanapun, secara umum diterima bahwa sel sitotoksik spesifik dan non spesifik sangat
sedikit berada pada lesi menjelaskan kiematian sel pada keseluruhan lapisan dan area yang
luas dari epidermis dxan membrane mukosa Amplifikasi oleh sitokin dicurigai dalam beberpa
tahun, khususnya terhadap faktor aktivasi “reseptor kematian” pada membrane sel, khususnya
TNFα dan factor terlarut Fas-L ligant (Fas-L). Pada dekade terakhir secara luas diterima
bahwa Fas-L menginduksi apoptosis keratinosit pada EN, meskipun hanya berdasarkan
sedikit bukti dan temuan yang kurang sesuai. Penelitian terbaru yang penting menimbulkan
dogma bahwa timbulnya granulisin pada EN. Granulisin timbul pada cairan bula EN yang
konsentrasinya lebih tinggi dari porfirin, granzyme B, atau Fas-L. Pada konsentrasi tingi,
hanya granulisin, dan kadar porfirin yang lebih rendah, yang dapat mematikan keratinosit
manusia in vitro; Fas-L tidak. Selanjutnya injeksi granulisin pada dermis pada mencit normal
menimbulkan lesi klinis dan histologist EN.
Ketika digabungkan dengan hasil diatas, sangat menguatkan mekanisme efektor pada
EN sudah ditemukan. Sel T sitotoksik timbul dan selalu spesifik langsung terhadap bentuk
asal dari obat dibandingkan dengan metabolit reaktif, berlawanan dengan postulat yang sudah
ada 20 tahun. Sel-sel ini membunuh keratinosit secara langsung dan tidak langsung melalui
pemanggilan sel lainnya yang menghasilkan mediator terlarut yang menyebabkan kematian
sel, prinsip dari granulisin.
Kemajuan in I dipahami sebagai langkah akhir dari poin reaksi pada inhibisi pada
proses mengeluarkan dan/atau menghambat granulisin sebagai tujuan utama intervensi terapi.
Sedikit diketahui bahwa pada tahap awal dan menengah. Belum dapat dipahami
mengapa hanya sebagian individu timbul respon imun violent terhadap obat dan mengapa sel
efektor khusus yang langsung terhadap kulit dan epitel lainnya. Kenyataannya, banyak obat
4
yang berhubungan resiko tinggi pada EN dan dapat juga menginduksi berbagai reaksi yang
lebih ringan atau yang lebih sering. Obat spesifik CD8 sitotoksik limfosit T juga kadang
ditemukan pada reaksi kulit pada fenotip yang lebih ringan. Menguatkan, dugaan regulasi
abnormal respon imun. Pengaturan sel T CD 4 CD 25 telah diperlihatkan berpotensi penting
pada pencegahan kerusakan epidermis yang berat yang diinduksi oleh limfosit T sitotoksik
reaktif pada tikus model EN. Regulasi sel yang serupa meminkan peranan penting pada erupsi
obat pada manusia. Regulasi system imun untuk mengobatri pasien EN dapat merupakan
komorbiditas dari penyakit lsin ysng sering seperti kanker, HIV, penyakit bkolagen vaskuler,
dari pengobatan yang bersamaan, sebagi contoh, kortikosteroid; atau dari latar belakang
genetik.
Suseptibiltas genetik dapat memainkan peranan penting terjadinya EN terhadap
bebrapoa obat beresiko tinggi. Kaitan yang kuat diobservasi di Han China antara antigen
leukosit manusia HLA-B1502 dan EN yang diinduksi karbamazepin dan antara HLA-B5801
dan EN yang diinduksi oleh allopurinol. Hubungan antara epidermal necrolysis yang
diinduksi karbamazepin dan HLA-B1502 terlihat pada beberapa Negara di Asia kecuali
Jepang dan Korea. Hubungan antara epidermal necrolysis yang diinduksi karbamazepin dan
HLA-B1502 tidak terlihat pada orang Eropa yang btidak mempunyai keturunan Asia.
Disamping itu, HLA-B5801 telah disebutkan berhubungan dengan EN yang disebkan
allopurinol di Jepang dan Eropa, tetapi sedikit berhubungan di Taiwan.

GAMBARAN KLINIS
Sekalipun pada kasus yang memerlukan perawatan di bangsal, dokter mempunyai peranan
penting pada pasien dengan EN.

5
Gambar 40-1. Pohon keputusan untuk pasien nrujukan dengan EN. (diambil dari Ellis MW: suatu
laporan kasus dan algoritme untuk merujuk poasien dengan SSJ dan TEN ke pusat luka bakar.

RIWAYAT PERJALANAN PENYAKIT


NE secara klinis dimulai dalam waktu 8 pekan (biasanya 4 hingga 30 hari) setelah onset
paparan obat pertama kali. Hanya pada kasus yang sangat jarang reaksi timbul dan tidak
terpikirkan, dengan obat yang sama timbul lebih cepat, dalam beberapa jam. Gejala tidak
spesifik seperti demam, sakit kepala, rhinitis, batuk, atau lemah dapat timbul sebelum lesi
mukokutaneus selama 1-3 hari. Nyeri menelan dan rasa terbakar atau rasa seperti tersengat
pada mata berkembang progresif, diikuti keterlibatan membran mukosa. Kisaran 1-3 kasus
dimulai dengan gejala tidak spesifik, 1-3 kasus dengan keterlibatan mukosa mulut, dan 1-3
kasus dengan eksantema. Bagaimanapun gejala awal, progresivitas cepat, penambahan gejala
baru, nyeri hebat, dan gejala konstitusional harus menandai onset penyakit berat.

LESI KUTANEUS
Pada awal erupsi distribusi biasanya simetris di wajah, trunkus atas, dan tungkai bagian
proksimal. Lengan bagian distal seperti halnya tungkai sebagian terlibat, tetapi rash dapat

6
cepat meluas ke bagian tubuh lain dalam waktu beberapa hari dan bahkan dalam beberapa
jam. Lesi kulit awal dengan karakteristik eritema, dusky red, makula purpura, bentuk ireguler,
yang berkonfluence cepat. Lesi target atipikal dengan bagian tengah gelap juga dapat
ditemukan (Gambar 40-2A). Lesi nekrotik yang berkonfluens mengakibatkan eritem difus
dan luas. Nickolsky sign atau pergeseran epidermis oleh penekanan lateral, positif pada zona
eritem (gambar 40-3 dan gambar 40-3.1 pada edisi online). Pada tahap ini, lesi berkembang
menjadi bula kendur, yang menyebar dengan penekanan dan mudah pecah (lihat gambar 40-
2B). Epidermis nekrotik terlepas pada penekanan atau trauma gesekan, mengakibatkan area
terlibat luas, merah dan kadang dermis menjadi tampak (lihat gambar 40-2C dan 40-2D). Pada
tempat lain, epidermis dapat terlibat.
Pasien diklasifikasikan menjadi tiga kelompok berdasarkan total area detachment atau
detachable (Nickolsky positif): (1) SJS, kurang dari 10% BSA; (2) SJS/TEN overlap, 10-
30%; (3) TEN, lebih dari 30% BSA (gambar 40-3.2 pada edisi online). Evaluasi tepat
terhadap luasnya lesi sulit, khususnya pada zona dengan lesi kecil. Hal yang menbantu adalah
mengingat permukaan satu tangan (telapak dan jari) mewakili <1 % BSA.

KETERLIBATAN MEMBRAN MUKOSA


Keterlibatan membaran mukosa (mendekati selalu paling tidak 2 tempat) tampak pada hampir
90% kasus dan dapat mengawali atau diikuti erupsi kulit. Dimulai dengan eritema diikuti
erosi nyeri pada mukaosa mulut, mata dan genitalia. Hal ini biasanya mengakibatkan kelainan
saluran pencernaan, photophobia, konjungtivitis dan nyeri berkemih. Rongga mulut dan batas
bibir hampir selalu bervariasi terlibat dan gambaran erosi hemoragik nyeri diliputi
pseudomembran putih keabuan dan krrusta pada bibir (gambar 40-4). Kisaran 80% pasien
memiliki lesi konjungtiva, manifestasi umum adalah nyeri, photophobia, lakrimasi,
kemerahan, dan discharge. Bentuk berat dapat mengakibatkan epithelial defect corneal
ulseration, uveitis anterior dan konjungtivitis purulenta. Sinekia antara kelopak mata dan
konjungtiva pernah terjadi. Mungkin terdapat bulu mata rontok 9lihat gambar 40-4B). Erosi
genitalia sering terjadi, terutama wanita, dan dapat menjadi sinekia.
Kuku lepas terjadi pada bentuk berat.

GEJALA EKSTRAKUTANEUS
7
NE dihubungkan dengan demam tinggi, nyeri dan kelemahan. Keterlibatan organ viseral juga
mungkin, sebagian dengan komplikasi pulmonal dan digestif. Komplikasi pulmonal awal
terjadi pada kisaran 25% pasien dan manifestasi esensial dengan peningkatan frekwensi nafas
dan batuk, yang harus menjadi perhatian khusus. Keterlibatan bronkial pada NE tidak
berkorelasi dengan luasnya lesi kulit atau agen penyebab. Pada kebanyakan kasus gambaran
radiologi normal tetapi dapat berkembang cepat menjadi lesi interstitial yang dapat
berkembang menjadi acute respiratory distress syndrome (ARDS). Pada semua laporan kasus,
ketika kegagalan respirasi akut berkembang cepat setelah onset keterlibatan kulit,
berhubungan dengan diagnosis buruk. Pada kasus dengan respirasi tidak normal, bronkoskopi
fiberoptic mungkin berguan untuk membedakan detachment epitel spesifik pada bronkus dari
infeksi pneumonitis, yang memiliki prognosis lebih baik.
Keterlibatan traktus gastrointestinal lebih sedikit diiamati, dengan nekrosis epitel
ooesoofagus, usus kecil, atau kolon bermanifestasi diare berat dengan malabsorpsi, melena
dann bahkan perforasi kolon. Keterlibatan ginjal telah dilaporkan. Proteinuria,
mikroalbimminuria, hematuria, dan azotemia tidak jarang. Kerusakan tubulus proksimal dapat
mengakibatkan nekrosis sel tubulus dengan proses sama yang mengancurkan sel epidermal.
Glomerulonefritis jarang.

Gambar 40-2 A. Erupsi awal. Makula


dusky red eritem (lesi target atipikal
datar) yang progresif menyatu dan
menunjukkan detachment epidermis. B.
Gambaran awal dengan vesikel dan bula,
catat atap bula yang berwarna dusky,
mengarah kuat sebagai nekrosis
epidermis. C. Erupsi lanjut. Bula dan
detachment epidermis telah menjadi
erosi konfluens.D. NE yang telah pecah
menyeluruh dikarakteristikkan dengan
area erosi menandakan pengelupasan.

UJI LABORATORIK
NILAI LABORATORIK
8
Tidak ada uji laboratorik untuk mendukung diagnosis NE. Pemeriksaan laboratorik
bermanfaat untuk mengevaluasi keparahan dan penatalaksanaan harian untuk semua kondisi
yang mengancam nyawa pada intensive care unit.
Evaluasi frekwensi pernapasan dan oksigennasi darah langkah awal yang harus
dilakukan pada ruang gawat darurat. Beberapa penanda harus diperiksa pada pemeriksaan
kadar gas darah arteri. Bikarbonat serum 20 mM mengindikasikan diagnosis yang buruk.
Biasanya akibat alkalosis respiratorik berhubungan spesifik denngan keterllibatan bronkus
dan lebih jarang dari asidosis metabolik.
Kehilangan cairan transdermal masif bertanggung jawab sebagai penyebab
ketidakseimbangan elektrolit, hipoalbuminemia, dan hipoproteinemia, dan umumnya
insufisiensi renal ringan dan transient dan azotemia prerenal. Peningkatan nitrogen uurea
darah adalah satu penanda kkeparahan. Anemia adalah umum, dan leukosiosis ringan sama
halnya dengan trombositopenia dapat terjadi. Netropenia sering dipertimbangkan sebagai
faktor prognosis yang tidak diinginkan tetapi terlalu jarang memiliki pengaruh signifikan pada
SCORTEN. Limfopenia CD4+ perifer transiennt hampir selalu tampak dan berhubungan
dengan penurunan fungsi sel T. Peningkatan ringan enzim hepar dan amilase (paling mungkin
kelenjar saliva) sering tetapi tanpa pengaruh pada prognosis. Keadaan hipermetabolik
bertanggung jawab pada inhibisi sekresi insulin atau resistensi insulin, yang menghasilkan
hiperglikemi dan kadang diabetes. Kadar glikosa darah >14 mM merupakan penanda
keparahan. Ketidaknormalan nilai laboratorik lain dapat terjadi, mengindikasikan keterlibatan
organ lain dan komplikasi seperti sepsis.

Gambar 40-3 Tahap eksantema awal


dengan nickolsky sign

9
Gambar e 40-3.1
Bula, erosi, dan area luas Nickolsky sign
positif pada punggung pasien NET. Stu
tujuan terapi lokal adalah untuk
melindungi detachable epidermis dari
detached dengan menggunakan kompres
antishear.

Gambar e 40-3.2
Evolusi NET pada hari ke-4 (A), 7
(B), dan 17 (C) setelah onset. Catat
bahwa perbaikan epidermis tertunda
pada area awal detachment versus
detachable pada lokasi ke-7.

HISTOPATOLOGI
Biopsi kulit untuk histologik rutin dan penelitian imunofluorescen yang mungkin harus
dipertimbangkan, khususnya apabila terdapat diagnosis lain untuk dipertimbangkan. Pada
tahap awal, keterlibatan mukosa dikarakteristikan dengan keratinosit apoptosis terpisah pada
lapisan suprabasal, yang menyebar cepat menjadi nekrosis tebal dan detachment
subepidermal (gambar 40-5). Apoptosis sel epitel dapat melibatkan kelenjar keringat dan
folikel rambut. Terdapat sel infiltrat mononuklear sedang pada papila dermis, kebanyakan
limfosit, kadang CD8+ dan makrofag. Eosinofil sepertinya lebih jarang pada kasus EN berat.
Hasil imunofluorecen direk adalah negatif. Histopatologi melibatkan membran mukosa,
jarang, menunjukkan penanda serupa.

10
Gambar 40-4 A. Erosi dan nekrosis luas bibir bagian bawah dan mukosa mulut. B. Erosi masif ditutupi krusta
pada bibir. Catat juga mengenai bulu mata yang lepas.

Gambar 40-5 Gambaran histologik NET. A. Nekrosis eosinofil epidermis pada tahap puncak, dengan respon
inflamasi ringan pada dermis. Catat mengenai celah pada zona junction. B. Nekrotik epidermis lengkap telah
detached dari dermis dan lekuk seperti lembaran.

DIAGNOSIS BANDING
(Kotak 40-1)
Presentasi ringan NE harus debedakan dengan eritema multiforme minor (EMM) (lihat bab
39). Kasus NE awal lebih sering didignosis sebagai varicella. Lesi kulit yang menjadi
progresif cepat dan keterlibatan membaran mukosa yang berat meningkatkan kemungkinan
NE.
Timbulnya keterlibatan membran mukosa tidak hanya pada satu lokasi saja
meningkatkan kecurigaan suatu alternatif diagnosis: staphiloccoccal scalded skin syndrome
pada bayi; purpura fulminan pada anak dan dewasa muda; acute generalized exanthematous

11
pustulosis, fototoksik, atau bula karena tekanan pada dewasa. Luka bakar atau terkelupas
seringkali menjadi tanda apabila terjadi kehilangan jaringan.
Linear imunnoglobulin A (IG A) bullous disease dan pemfigus paraneoplastik muncul
dengan progresivitas yang tidakakut. Penemuan patologi dan temuan positif pada
imunoflurescent direk penting untuk diagnosis ini.
Secara umum, termasuk patologik, generalized bullous fixed drug eruption (GBFDE)
menggambarkan EM. Hal ini dapat memiliki mekanisme yang sama yang berhubungan
dengan obat. Bagaimanapun, perbedaan itu berguna karena GBFDE memiliki prognosis yang
lebih baik, kemungkinan disebabkan keterlibatan membran mukosa yang ringan dan tidak ada
komplikasi visceral. Sebelum serangan, onset cepat setelah asupan obat dan bula batas tegas
dan sangat besar merupakan tanda khas GBFDE.
Destruksi toksik epittelial, melalui kontak (fumigant) atau ditelan (keracunan kolkisin,
overdosis metotreksat), mengakibatkan gambaran klinik NE, tapi dengan erosi kulit
predominan pada lipatan. Pada kasus yang jarang, penyebabnya biasanya jelas.
Pelaporan berlebih pada SSJ adalah hal yang umum. Hal ini biasanya disebabkan
kebingungan antara deskuamasi dan pelepasan epiidermis, dan juga antara membran mukosa
dan kulit periorifisium. Karena kebingungan ini, pasien dengan rash deskuamasi dan bibir
bersisik jarang sekali didiagnosis dan dilaporkan sebagai SSJ.

Kotak 40-1 Diagnosis banding NE

Most likely
NE terbatas (Sindrom Stevens Johnson)
- Eritema multiforme mayor
- Varisela
NE luas
- Acute generalized exanthematous pustulosis
- Generalized bullous fixed drug eruption

Consider
- Pemfigus paraneoplastik
- Linear immunoglobulin A bullous disease
- Bula tekanan setelah koma
- Reaksi fototoksik
- Graft versus host disease

Always rule out


- Staphilococcal scalded skin syndrome
- Thermal burns
- Nekrosis kulit dari disseminated intravascular coagulation or purpura fulminans
- Chemical toxicity (misal colchicine intoxication, overdosis methotrexate)

12
KOMPLIKASI DAN SEKUELE
Selama fase akut, komplikasi paling sering NE adalah sepsis. Kehilangan epitelial
mempredisposisi pasien mengalami infeksi, merupakan penyebab utama kematian.
Staphylococcus aureus dan Pseudomonas merupakan patogen paling sering, tapi sekitar
sepertiga biakan darah yang positif mengandung enterobakteri yang tidak ada di kulit, temuan
yang menduga adanya translokasi bakteri dari lesi saluran cerna. Kegagalan organ multisistem
dan komplikasi pulmonal masing-masing ditemukan lebih dari 30% dan 15% kasus.
Kemajuan dalam NE yang paling penting adalah pemahaman saat ini bahwa sekuele
lebih sering dan berat daripada yang diperkirakan sebelumnnya. Setelah risiko yang telah
dikenal pada fase akut, NE dapat menjadi penyakit kronik. Perhatian medikal harus ditujukan
pada fase tersebut, untuk lebih memahami frekuensi, mekanisme dan evolusi sekuele.
Penanganan dan pencegahan sekuele yang adekuat sama pentingnya dengan menyelamatkan
jiwa pada fase akut.
Studi kohort besar di Eropa menunjukkan sekitar 90% pasien yang bertahan dari NE
menderita sekuele pada 1 tahun, dengan rerata tiga masalah berbeda pada satu pasien dan
pengaruh negatif dalam kualitas hidup pada sekitar separuh pasien (grup regiSCAR, data
belum dipublikasi).
Simptom yang mengarah kelainan stres paska traumatik tidak jarang. Konsultasi
psikiatri dan/atau dukungan psikologikal mungkin dibutuhkan pada sebagian besar kasus.
Komplikasi oftalmik lambat dilaporkan pada sekitar 20-75% pasien NE, dengan gambaran
yang jelas sekitar 50% (Gambar 40-6). Hubungan antara keparahan keterlibatan okular awal
dan perkembangan komplikasi lambat saat ini tampak dipahami dengan baik. Komplikasi
oftalmik lambat secara mendasar disebabkan oleh perubahan fungsional epitelium
konjungtiva dengan kekeringan dan selaput lakrimal abnormal. Hal ini menyebabkan
inflamasi kronik, fibrosis, enteropion, trikiasis dan simblefaron. Iritasi jangka-lama dan
defisiensi sel punca pada limbus menyebabkan metaplasia epitelium korneal dengan ulserasi
nyeri, skar, dan perubahan penglihatan. Lesi mata yang berat seperti ini biasanya berkembang
pada pasien tanpa tanda okular jelas lama fase akut NE.
Hipopigmentasi dan/atau hiperpigmentasi adalah paling sering; skar hipertrofik atau
atrofik residual jarang terjadi. Perubahan kuku, termasuk perubahan pigmentasi dasar kuku,
ridging, kuku distrofik, dan anonikia permanen, terjadi pada lebih dari 30% kasus (Gambar
40-7). Sekuele pada mulut terjadi sekitar sepertiga pasien dengan keluhan kering, perubahan
daya kecap dan perubahan gigi lambat.
13
Komplikasi vulva dan vaginal pada NE dilaporkan sekitar 25% pasien. Dispareuni
tidak jarang dan dihubungkan dengan vagina yang kering, gatal, nyeri dan perdarahan.
Perlekatan genital mungkin membutuhkan pembedahan. Striktur esofageal, intestinal, uretral,
dan anal dapat berkembang pada kasus yang jarang. Penyakit paru kronik dapat ditemukan
setelah NE, sering disertai dengan bronkiolitis obliterans, dan biasanya membutuhkan
transplantasi paru-paru. Karena komplikasi lambat dan sekuele dapat terjadi tanpa diketahui,
sangat disarankan bagi pasien yang bertahan dari NE untuk melakukan pengamatan lanjut
klinis beberapa pekan setelah dipulangkan dan setahun kemudian, termasuk pemeriksaan oleh
spesialis mata dan organ lain berdasarkan indikasi oleh gejala dan simptom abnormal.

Gambar 40-6 Komplikasi okular lambat pada SSJ. Tampak kekeruhan


epitelium korneal, neovaskular, dan bulu mata teriritasi pada kelopak mata
bawah (Fotografi disediakan oleh Julie Gueudry MD dan Marc Muraine MD,
PhD, RS Charles Nicolle, Rouen, Perancis)

Gambar 40-7 Pertumbuhan kembali kuku abnormal setelah SSJ


PROGNOSIS DAN PERJALANAN PENYAKIT
Pelepasan epidermal berlangsung selama 5-7 hari. Kemudian pasien memasuki fase plateau,
berhubungan dengan reepitelisasi progresif. Hal ini memakan waktu beberapa hari sampai
14
beberapa pekan tergantung keparahan penyakit dan keadaan umum pasien sebelumnya.
Selama periode ini, komplikasi yang mengancam jiwa sperti sepsis atau kegagalan sistemik
dapat terjadi. Rerata mortalitas NE kisaran 22-25%, bervariasi dari 5-12% untuk SSJ, dan
>30% untuk NET. Prognosis tidak dipengaruhi oleh tipe atau dosis obat penyebab atau adanya
infeksi HIV (lihat tabel 40-1).
Pengamatan lanjutan prospektif telah menunjukkan peningkatan mortalitas secara
abnormal, selama periode 3 bulan setelah pulang dari RS, tampak akibat dampak negatif NE
pada kondisi kronik yang berat sebelumnya sebagai contoh keganasan (regiSCAR, data belum
dipublikasi).

PENGOBATAN
NE merupakan penyakit mengancam jiwa membutuhkan penanganan optimal: pengenalan
awal dan penghentian obat penyebab serta perawatan suportif pada RS yang sesuai.
Penghentian segera agen penyebab dihubungkan dengan peningkatan rerata angak
harapan hidup yang diinduksi oleh obat dengan eliminasi waktu paruh yang cepat.
Sebaliknya, hal ini lebih disukai untuk meneruskan setiap medikasi yang penting dan tidak
dicurigai. Hal ini akan mencegah ketidakmauan klinisi untuk meresepkan di kemudian hari.
Pada kasus yang meragukan, semua obat yang tidak menyelamatkan jiwa harus dihentikan,
serta obat yang diberikan selama 8 pekan terakhir.

PENGOBATAN SIMPTOMATIK
Hanya pasien dengan keterlibatan kulit sedikit, nilai SCORTEN 0 atau1, dan penyakit tidak
progresif secrara cepat dapat diobati di bangsal biasa. Sisanya harus ditransfer ke ICU atau
burn centers. Tidak ada pengobatan spesifik yang menunjukkan efikasi dan yang terpenting
adalah suportif. Perawatan suportif terdiri atas mempertahankan keseimbangan hemodinamik
dan mencegah komplikasi yang mengancamm jiwa. Tujuannya secara dasar sama dengan luka
bakar luas.
NE dihubungkan dengan kehilangan cairan signifikan dari erosi, mengakibatkan
hipovolemia dan ketidakseimbangan elektrolit. Penggantian cairan harus dimulai sesegera
mungkin dan disesuaikan setiap hari. Volume infus biasanya kurang dari luka bakar dengan
luas serupa, karena tidak ada edema interstitial jalur vena perifer lebih dipilih jika
memungkinkan, karena tempat masuknya infus sering menyebabkan lepasnya epidermis dan

15
rentan terhadap infeksi. Temperatur sekitar harus dinaikkan menjadi 28-30 0 C. Penggunaan
kasur air-udara meningkatkan kenyamanan pasien.
Dukungan nutrisi awal didukung oleh nasogastrik tube untuk meningkatkan
penyembuhan dan menurunkan risiko translokasi bakteri dari saluran cerna. Untuk
menurunkan risiko infeksi, penanganan aseptik dan hati-hati diperlukan. Spesimen kulit,
darah, dan urin harus dibiak untuk bakteri dan jamur dengan interval yang sering. Antibiotika
profilaksis tidak diindikasikan. Pasien harus menerima antibiotika jika diduga terdapat infeksi
klinis. Antikoagulai prfilaksis diberikan selama di RS.
Penulis tidak merekomendasikan debridemen nekrotik epidermis yang ekstensif dan
agresif pada NE karena nekrosis superfisial bukan hambatan untuk reepitelisasi, dan mungkin
mempercepat proliferasi sel punca karena sitokin inflamasi. Ini merupakan perbedaan yang
tercatat antara penulis bab ini dan rekomendasi US Burn centers. Beberapa seri saat ini
menduga bahwa debridement tidak perlu untuk luka bakar superfisial atau pada NE. Tidak ada
kebijakkan standar dalam kompres luka dan penggunaan antiseptik. Hal ini merupakan
masalah pengalamn untuk setiap pusat. Keahlian pada bagian perawat khusus, manipulasi
hati-hati, dan protokol pencegahan dan pengobatan nyeri yang agresif penting.
Mata harus diperiksa setiap hari oleh ahli mata. Emolien bebas zat tambahan, tetes
mata antibiotika atau antiseptik dan vitamin A sering digunakan setiap 2 jam pada fase akut,
diindikasikan mencegah perlekatan pada awal sinekia. Grft membran amniotik cryopreserved
dini telah diajukan mampu menurunkan rerata sekuele mata berat.
Mulut harus dicuci beberapa kali seharai dengan solusio antiseptik atau antifungal.

PENGOBATAN SPESIFIK PADA FASE AKUT


Karena pentingnya mekanisme imunologik dan sitotoksik, sejumlah besar terapi
imunosupresif dan/atau antiinflamasi telah dicoba untuk mengurangi progesivitas penyakit.
Tidak ada yang secara jelas terbukti efikasinya. Prevalensi penyakit yang rendah membuat
randomized clinical trial sulit dilakukan.

KORTIKOSTEROID. Penggunaan kortikosteroid sistemik masih menjadi kontroversi.


Beberapa studi menunjukkan terapi tersebut dapat mencegah perluasan penyakit jika
diberikan selama fase akut, terutama dosis denyut intravena selama beberapa hari. Studi lain
menyimpuulkan bahwa steroid tidak dapat menghentikan progresivitas penyakit. Dan bahkan
dihubungkan dengan peningkatan mortalitas dan efek simpang, terutama sepsis. Jadi,
16
kortikosteroid sistemik tidak dapat direkomendasikan sebagai terapi utama NE, tapi studi
kohort besar menduga ada keuntungan yang harus dieksplor menggunakan studi prospektif.

IMUNOGLOBULIN INTRAVENA. Usulan penggunaan IVIG dosis tinggi berdasarkan atas


hipotesis bahwa kematian sel dimediasi-Fas dapat dihilangkan oleh aktivitas anti-Fas yang
ada dalam sejumlah Ig manusia normal. Keuntungan telah dibuktikan dalam beberapa studi
dan laporan kasus, tapi dibantah oleh sebagian pihak. Jadi, IVIG tidak dapat dipikirkan
sebagain perawatan standar, terutama setelah temuan akhir ini bahwa jalur Fas-L/Fas tidak,
atau hanya sedikit, terlibat dalam mekanisme NE. Jika digunakan, perhatian minimal untuk
mencegah preparat yang nefrotoksik secara potensial.

SIKLOSPORIN A. Siklosporin merupakan agen imunosupresif yang kuat dihubungkan


dengan efek biologic yang secara teoritis berguna dalam pengobatan NE: aktivasi sitokin T
helper 2, menghambat mekanisme CD8+ sitotoksik, dan efek antiapoptosis melalui inhibisi
Fas-L, nuclear factor-ĸB, dan TNF-α. Beberapa laporan kasus dan serial menduga efikasi
siklosporin A dalam menahan progresifitas NE tanpa efek samping yang mengkhawatirkan
ketika diberikan pada awal.

PLASMAFERESIS atau HEMODIALISA. Penggunaan plasmaferesis atau hemodialisa yang


rasional menyebabkan pembersihan medikasi penyebab, metabolitnya, atau mediator
inflamasi seperti sitokin. Serial kecil melaporkan efikasi dan keamanannya dalam mengobati
NE. Di samping itu, pemikiran tidak ada bukti dan risiko terkait dengan kateter intravascular,
pengobatan ini tidak dapat direkomendasikan.

AGEN FAKTOR NEKROSIS ANTITUMOR. Antibodi monoklonal anti-TNF telah sukses


digunakan untuk mengobati beberapa pasien. Karena uji kontrol acak sebelumnya tentang
talidomid, agen anti-TNF, telah dihentikan karena meningkatkan mortalitas secara signifikan,
perhatian ekstrim disarankan dalam penggunaan agen anti-TNF untuk mengobati NE.

PENGOBATAN SEKUELE
Pengobatan sangat menjanjikan telah berkembang saat ini untuk sekuele okular NE, termasuk
lensa skleral gas permeable dan graft sel punca autologous dari limbus kontralateral atau
mukosa mulut. Dengan pengecualian sekuele okular, hanya sedikit laporan kasus
17
berhubungan dengan pengobatan sekuele. Fotoproteksi dan laser kosmetik dapat membantu
menyelesaikan perubahan pigmentasi pada kulit.

PENCEGAHAN
Pencegahan primer hanya layak dilakukan pada populasi dimana ada hubungan kuat telah
dibangun antara genetic maker sederhana dan risiko NE. Hal tersebut pada kasus HLAB*1502
dan NE diinduksi oleh karbamazepin. FDA telah mengeluarkan rekomendasi untuk menguji
pasien dari “keturunan Asia” untuk HLAB*1502 sebelum peresepan karbamazepin.
Rekomendasi ini harus disaring untuk mengeksklusi orang Jepang dan Korea. Pada individu
asal Cina Han, obat antiepileptik alternative harus diresepkan secara hati-hati, meskipun
kemungkinan ada juga hubungan antara NE dengan fenitoin dan HLAB*1502. Status
penelitian saat ini tentang farmakogenetik NE (RegiSCAR, data belum dipublikasi) membuat
tidak mungkin temuan genetic marker lain menjadi berguna sebagai pencegahan primer.
Pencegahan sekunder penting untuk pasien yang mengalami NE dan menolak
mendapat medikasi apa pun. Hal yang paling penting adalah mengevaluasi obat penyebab.
Pada uji in vitro dan uji tempel terhadap medikasi biasanya dapat berguna dalam
mengeksplorasi alergi obat. Ketika digunakan pada pasien NE, sensitivitas mereka adalah
rendah. Pemeriksaan seksama pada semua pajanan medikasi dalam beberapa pekan sebelum
onset reaksi menyebabkan identifikasi kemungkinan obat penyebab pada sekitar 75% kasus.
Kriteria klinis paling berguna adalah durasi pengobatan sebelum onset (biasanya 4-30 hari),
tidak adanya asupan sebelumnya, dan penggunaan obat yang diketahui berhubungan dengan
risiko tinggi.
Beberapa kasus yang dipublikasi SSJ atau NET rekuren biasa disebabkan pemberian
kembali medikasi sama atau berhubungan sangat dekat yang tidak sengaja. Studi
epidemiologi dan in vitro menduga bahwa daftar medikasi reaktif-silang yang mungkin agak
sempit, berdasarkan atas kemiripan kimiawi yang dekat. Sebagai contoh, tidak ada bukti
bahwa pasien yang mengalami SSJ atau NET karena reaksi terhadap sulfonamid anti-infeksi
akan terjadi peningkatan risiko untuk reaksi terhadap medikasi diuretik terkait-sulfonamid
atau antidiabetik. Hanya sulfonamid anti-infeksi harus dikontraindikasikan pada keadaan ini.
Daftar medikasi diduga dan molekul dengan struktur biokimiawi sama harus diberikan
kepada pasien berupa ‘kartu alergi” personal. Hal ini juga sangat berguna untuk mendukung
bahwa daftar obat yang sering dipakai tidak dapat dicurigai. Karena saat ini indikasi

18
kerentanan genetik mengalami NE, peresepan agen yang dicurigai kepada anggota keluarga
juga harus dihindari.

19

Anda mungkin juga menyukai