DERMATITIS ATOPIK
Dermatitis Atopik (DA) adalah suatu penyakit kulit relaps kronik yang terjadi paling sering
selama masa awal bayi dan anak-anak. Seringkali, dihubungkan dengan abnormalitas pada
fungsi sawar kulit dan sensitisasi alergi. Tidak terdapat gambaran pembeda tunggal dari DA
atau tes laboratorium diagnostik. Oleh karena itu, diagnosis berdasarkan kumpulan temuan
klinik yang dijelaskan oleh Hanifin Rajka dan ditulis pada tabel 14-1.
EPIDEMIOLOGI
Sejak tahun 1960-an, terdapat lebih dari tiga kali lipat peningkatan prevalensi DA, lebih jauh
lagi estimasi baru-baru ini mengindikasikan bahwa DA merupakan masalah kesehatan
masyarakat utama di seluruh dunia, dengan prevalensi pada anak-anak 10 persen hingga 20
persen di Amerika Serikat, Eropa Utara dan Barat, Afrika urban, Jepang, Australia, dan negara
industri lainnya. Prevalensi DA pada dewasa diperkirakan 1 persen hingga 3 persen.
Menariknya, prevalensi DA jauh lebih rendah pada negara agraris seperti Cina dan Eropa
Timur, Pedalaman Afrika, dan Asia Tengah. Terdapat jumlah lebih besar wanita untuk DA,
dengan keseluruhan rasio perempuan/laki-laki 1.3:1.0.
Dasar meningkatnya prevalensi DA tidak dipahami dengan baik. Namun, variasi luas
pada prevalensi telah diobservasi di negara-negara yang dihuni kelompok etnik yang mirip,
menyiratkan bahwa faktor lingkungan penting dalam menentukan gambaran penyakit.
Beberapa faktor risiko potensial telah menarik banyak perhatian karena dihubungkan dengan
timbulnya penyakit atopik termasuk jumlah keluarga kecil, meningkatnya penghasilan dan
1
pendidikan baik pada orang berkulit hitam maupun putih, migrasi dari desa ke kota, dan
meningkatnya penggunaan antibiotik, yang kemudian, dikenal dengan nama gaya hidup barat.
Hal-hal ini telah menghasilkan hipotesis higiene bahwa penyakit alergi mungkin dapat
dicegah dengan infeksi, pada masa awal anak-anak, yang ditransmisikan oleh kontak tidak
higienis dengan saudara yang lebih tua. Terjadi peningkatan penyakit autoimun seperti
diabetes, abnormalitas sel T regulator juga memiliki pengaruh.
TABEL 14-1
Gambaran Dermatitis Atopik
Gambaran mayor
- Pruritus
- Ruam pada wajah dan atau ekstensor pada bayi dan anak-anak
- Likenifikasi di area fleksural pada anak-anak yang lebih tua
- Kecendrungan ke arah dermatitis kronik relaps atau kronik
- Riwayat pribadi atau keluarga dengan penyakit atopik: asma, rinitis alergika, dermatitis atopik
Temuan Lain
- Kekeringan
- Lipatan Dennie-Morgan (garis menonjol atau lekuk dibawah garis kelopak mata bawah)
- Tanda alergi (penggelapan dibawah mata)
- Wajah pucat
- Pityriasis alba
- Keratosis pilaris
- Ichthyosis vulgaris
- Hiperlinear pada telapak tangan dan telapak kaki
- Dermatografisme putih
(garis putih yang timbul pada kulit dalam 1 menit setelah digores dengan benda tumpul)
- Konjungtivitis
- Keratoconus
- Katarak subkapsular anterior
- Peningkatan immunoglobulin E pada serum
- Reaktivitas tes kulit tipe cepat
2
tertentu pada kulit Atopik. Perubahan epidermis ini berkontribusi pada peningkatan absorbsi
alergen ke dalam kulit dan kolonisasi bakteri. Karena epikutan, sebagaimana pada sistemik
atau jalan napas, sensitisasi alergen berakhir pada respon immun alergi pada level yang lebih
tinggi, menurunnya fungsi sawar kulit dapat berperan sebagai tempat sensitisasi alergen dan
merupakan predisposisi bagi anak-anak dengan kelainan ini untuk terkena alergi pernapasan
pada masa lanjut kehidupannya.
Sel T. Kulit yang memiliki sel T memori memainkan peranan penting dalam patogenesis DA,
khususnya pada fase akut penyakit. Konsep ini didukung oleh observasi bahwa kelainan
immunodefisiensi sel T primer dengan lesi kulit akzema yang hilang setelah transplantasi
sum-sum tulang yang berhasil. Lebih jauh lagi, pada hewan percobaan DA, ruam ekzema
tidak terjadi pada keadaan tanpa sel T. Sebagai tambahan, pengobatan dengan inhibitor
calcineurin topikal, yang secara spesifik menargetkan pada sel T, secara bermakna
mengurangi ruam kulit klinis DA.
Beberapa penelitian telah memperlihatkan, pada akut DA, hadirnya sel T yang mirip
Th-2 yang memproduksi sitokin meningkatkan inflamasi kulit alergi. Selama fase kronik DA,
terjadi pertukaran sel mirip Th-1 yang primer menghasilkan IFN-α. Sel mirip Th-2 ini
memulai aktivasi dan apoptosis keratinosit. Baru-baru ini, sel T regulator (Treg) telah
dijelaskan sebagai subtipe yang lebih jauh lagi dari sel T yang memiliki fungsi
immunosupresi dan profil Th1 nya berbeda dari sel Th1 dan Th2. Sel Treg dapat
menginhibisi perkembangan respon Th1 dan TH2. Mutasi pada faktor nuklear yang
5
terekspresi di sel Treg, FoxP3, menyababkan sindrom IPEX (disregulasi imun,
poliendokrinopati, enteropati, X-linked) yang dikateristikkan dengan meningkatnya serum
IgE, alergi makanan, dan ekzema. Menariknya, superantigen staphylococcus menumbangkan
fungsi sel Treg dan mungkin menyebabkan bertambahnya inflamasi kulit.
Ada juga yang menarik perhatian yaitu pengaturan sel Th17 terhadap
imunopatogenesis DA. Sel-sel tersebut menghasilkan sitokin inflamasi seperti IL17 dan
diperkirakan berperan pada pertahanan host terhadap induksi keratinosit untuk menghasilkan
peptida anti mikroba seperti promosi kemotaktis neutrofil. Th17 meningkat pada lesi kulit
penyakit autoimun, seperti psoriasis, yang menimbulkan respon inflamasi, termasuk infiltrasi
neutrofil tetapi juga meredakan infeksi kulit. Dibandingkan dengan psoriasis, lesi kulit DA
jelas tampak adanya lebih sedikit sel T yang lebih ekpresikan IL-17, tetapi meningkatkan
jumlah sel IL-4+. Lebih lanjut, telah ditemukan sitokin Th2, IL-4 dan IL-13, menghambat IL-
17 menginduksi generasi peptida antimikroba. Menariknya, peningkatan independen ekspresi
sel IL-22, sebenarnya melalui produksi sel Th17, dapat ditemukan pada kulit DA dan
diperkirakan berkontribusi dengan hiperplasia epidermis.
Genetika
6
Dermatitis atopik secara familial ditransmisikan dengan pengaruh maternal yang kuat.
Gambaran genom keluarga dengan DA telah mengimplikasikan regio kromosom yang
tumpang tindih dengan penyakit kulit inflamasi lainnya seperti psoriasis. Bersama dengan
penelitian gen, hal ini telah menyediakan pengetahuan yang lebih dalam mengenai
patogenesis DA. Meskipun banyak gen yang sepertinya terlibat dalam pembentukan DA,
terdapat ketertarikan khusus pada peran potensial dari gen sawar kulit/difrensiasi epidermis
dan gen respon imun/pertahanan pejamu.
Mutasi kehilangan fungsi dari protein sawar epidermis, filaggrin, telah diperlihatkan
sebagai faktor predisposisi utama untuk DA sama seperti ichthyosis vulgaris, kelainan
keratinisasi yang dihibungkan dengan DA. Dari catatan, gen filaggrin ditemukan pada
kromosom 1q21 yang mengandung gen (termasuk loricrin dan S100 protein terikat kalsium)
pada kompleks diferensiasi epidermis, yang diketahui akan diekspresikan di epidermis.
Analisis mikro DNA menunjukkan regulasi naik dari protein terikat kalsium S100 dan
regulasi turun dari loricrin dan filagrin pada DA. Pendekatan gen kandidat juga
mengimplikasikan varian pada gen SPINK5, yang banyak diekspresikan di bagian paling atas
dari epidermis dimana produknya, LEKT1, menginhibisi dua protease serin yang terlibat
dalam inflamasi dan deskuamasi (enzim triptik stratum korneum dan enzim chymotriptik
stratum korneum). Ekspresi enzim triptik stratum korneum dan enzim chymotryptic stratum
korneum meningkat pada DA, menyiratkan bahwa ketidakseimbangan aktivitas protease
melawan inhibitor protease mungkin berkontribusi pada inflamasi akut Atopik. Observasi ini
menciptakan peran kunci terganggunya fungsi sawar kulit pada patogenesis DA, karena
formasi sawar kulit memungkinkan terjadinya kehilangan air transepidermal dan yang lebih
penting, meningkatkan masuknya alergen, antigen, dan bahwa kimia dari lingkungan yang
menyebabkan respon inflamasi kulit. Penting untuk dicatat bahwa mutasi filagrin, dan
tampaknya mutasi lainnya yang mempengaruhi sawar kulit, dapat terjadi pada individu yang
tidak terkena DA, pasien dengan ichthyosis vulgaris yang tidak memiliki DA, dan
kebanyakan pasien DA dengan respon inflamasi yang lebih hebat. Oleh karena itu, produk gen
lainnya juga terlibat dalam patologi DA.
Kromosom 5q31-33 mengandung cluster keluarga dari gen sitokin IL-3, IL-4, IL-5,
IL-13, faktor stimulasi makrofag granulosit yang diekspresika oleh sel Th2. perbandingan
kasus kontrol menunjukkan hubungan genotip antara alel T dari polimorfisme 590C/T dari
gen IL-4 dengan DA. Karena alel T dihubungkan dengan meningkatnya aktivitas promoter
gen IL-4 bila dibandingkan dengan alel C, hal ini menunjukkan bahwa perbedaan genetik
dalam aktivitas transkripsi gen IL-4 mempengaruhi predisposisi DA. Sebagai tambahan, suatu
hubungan DA dengan mutasi fungsi yang didapat pada subunit α dari resptor IL-4 telah
7
dilaporkan, menyediakan dukungan lebih lanjut bagi konsep yang mengatakan bahwa ekspresi
gen IL-4 memainkan peranan penting pada DA. Mutasi fungsional pada regio promoter
kemokin C-C, RANTES, dan eotaxin, juga varian IL-13, subunit β dari reseptor permukaan
afinitas tinggi untuk IgE (FceR1) ditemukan di basofil dan sel mast menunjukkan dasar
genetik yang tumpang tindih dengan penyakit Atopik lainnya. Keterlibatan immunoglobulin
sel T dan molekul-1 yang mengandung mucin, dan gen IL-18 mendukung peran sel T CD4
dan disregulasi gen Th1 pada patofisiologi DA. Hal yang sama, laporan hubungan DA
dengan polimorfisme gen NOD1, yang mengkode reseptor pengenalan patogen sistosolik dan
reseptor mirip Toll, menunjukkan peran penting gen pertahanan pejamu dalam patogenesis
DA. Pembaca dirujuk ke bab 8 dan referensi 31 untuk diskusi yang lebih lengkap mengenai
genetika DA.
TEMUAN KLINIS
Diagnosis DA berdasarkan temuan klinik yang dirangkum pada tabel 14-1. Biasanya DA
dimulai selama masa bayi. Kira-kira 50 persen pasien mendapat penyakit ini pada tahun
pertama kehidupan dan 30 persen tambahan antara usia 1-5 tahun. Antara 50 persen dan 80
persen pasien dengan DA juga terkena rinitis alergi atau asma pada masa anak-anak. Banyak
pasien ini mengalami DA yang lebih parah saat mereka mulai terkena alergi pernapasan.
Lesi Kutan
8
Pruritus hebat dan reaktivitas kutan merupakan gambaran kardinal DA. Pruritus dapat
intermiten sepanjang hari tapi biasanya memburuk pada sore dan malam hari.
Konsekuensinya adalah menggaruk, papul prurigo (gambar 14-1), likenifikasi (gambar 14-2),
lesi kulit ekzema. Lesi kulit akut dikarakteristikkan dengan papul eritem, dengan pruritus
hebat yang dihubungkan dengan ekskoriasi, vesikel di atas kulit eritem, dan eksudat serosa
(gambar 14-3). Dermatitis subakut dikarakteristikkan dengan eritema, ekskoriasi, papul
berkrusta (gambar 14-4). DA kronik dikarakteristikkan oleh plak tebal kulit, likenifikasi, dan
papul fibrotik (prurigo nodularis; Gambar 14-5). Pada DA kronik, ketiga tingkatan reaksi
kulit seringkali terdapat pada individu yang sama. Pada semua tingkatan DA, pasien biasanya
memiliki kulit kering dan cerah (gambar 14-6).
Distribusi dan pola reaksi kulit bervariasi menurut usia pasien dan aktivitas penyakit. Pada
bayi, DA umumnya lebih akut dan secara primer melibatkan wajah, kulit kepala, dan
permukaan ekstensor ekstremitas (gambar 14-7). Area popok biasanya bersih. Pada anak-anak
yang lebih tua, dan mereka yang memiliki penyakit kulit jangka lama, pasien terkena bentuk
kronik DA dengan likenifikasi dan lokalisasi ruam pada lipatan fleksor ekstremitas (gambar
14-8). DA seringkali mereda seiring bertambahnya usia pasien, menyebabkan individu
dewasa dengan kulit yang cendrung untuk gatal dan terinflamasi bila terpajan dengan iritan
eksogen. Ekzema tangan kronik mungkin merupakan manifestasi primer pada banyak orang
dewasa dengan DA (gambar 14-9). Gambaran yang berhubungan dengan DA lainnya di
daftar pada tabel 14-1.
1 2 3
Gambar 14-1. Papul prurigo pada dermatitis atopik. Gambar 14-2. Likenifikasi pada leher dan bahu pada
pasien dermatitis atopik dewasa. Gambar 14-3. Gambaran krusta dan lesi eksematus pada dermatitis atopik
balita.
Tes Laboratorium
Tes laboratoriun tidak diperlukan pada evaluasi dan pengobatan rutin DA yang tidak
disertai dengan komplikasi. Level IgE serum meningkat pada sekitar 70 persen hingga 80
persen pasien DA. Hal ini dihubungkan dengan sensitisasi melawan inhalan dan alergen
makanan dan atau bersamaan dengan terdapatnya rinitis alergi dan asma. Sebaliknya, 20
persen hingga 30 persen pasien DA memiliki level IgE serum normal. Tipe DA ini memiliki
9
sensitisasi IgE yang rendah melawan inhalan atau alergen makanan. Namun, beberapa pasien
ini mungkin memiliki sensitisasi IgE melawan antimikroba seperti toksin S.aureus dan
Candida albicans atau Malassezia sympodialis yang dapat dideteksi. Hal lainnya, beberapa
pasien ini menunjukkan reaksi positif menggunakak tes tempel Atopik terlepas tes kulit reaksi
cepat yang negatif.
Mayoritas pasien dengan DA juga memiliki eosinofilia darah perifer. Pasien dengan
DA memiliki pelepasan histamin spontan yang tinggi dari basofil. Temuan ini sepertinya
mencerminkan respon imun Th2 sistemik pada DA khususnya pasien yang memiliki level IgE
serum yang meningkat. Pentingnya, darah perifer kulit yang mengandung sel CLA T pada DA
mengekspresikan baik CD4 atau CD8 secara spontan mensekresikan IL-5 dan IL-13, yang
secara fungsional memperpanjang hidup eosinofil dan memulai sintesis IgE.
4 5 7
6 8 9
Gambar 4. Papul eritem pada pasien dermatitis atopik subakut. Gambar 5. Likenifikasi dan hiperpigmentasi
berat pada prurigo papul terlihat pada pasien dengan dermatitis atopik kronik. Gambar 6. Infiltrat, kulit wajah
eritem dengan sisik pada dermatitis atopik dewasa. Penjelasan garis mata infraorbita bagian lateral (Dennie-
Morgan). Gambar 7. Garukan pada bayi dengan dermatitis atopik. Gambar 8. Dermatitis atopik pada balita
dengan likenifikasi antekubiti dan papul pruritik ekzema berat. Gambar 9. Papul khas, vesikel dan erosi pada
tangan dermatitis atopik.
Kotak 14-1
Diagnosis banding Dermatitis Atopik
Paling sering GANGGUAN YANG KURANG UMUM/JARANG
Dermatitis kontak (alergi dan iritan) YANG PREDOMINAN PADA BAYI/ANAK-ANAK
Dermatitis seboroik Metobolik/berkaitan dengan gizi
Skabies o Fenilketonuria
Psoriasis o Defisiensi prolidase
Iktiosis vulgaris o Defisiensi karboksilase multipel
Keratosis pilaris o Defisiensi seng (akrodermatitis enteropatika;
Dermatofitosis prematuritas; defisiensi seng ASI; kista
fibrosis)
Dapat dipertimbangkan Gangguan imunodefisiensi primer
Ekzema asteatotik o Gangguan imunodefisiensi gabungan yang
Liken simpleks kronik berat
Dermatitis numuler o Sindrom DiGeorge
Dermatosis juvenil palmar-plantar o Hipogammaglobulinemia
Impetigo o Agammaglobulinema
Erupsi obat o Sindrom Wiskott-Aldrich
Dermatitis perioral o Ataksia-telagiektasia
Pitiriasis alba o Sindrom hiperimmunoglobulin E
Gangguan fotosensitivitas (hydroa vacciniforme; o Kandidiasis mukokutaneus kronik
erupsi ringan polimorfik, porfiria) o Sindrom Omenn
Dermatitis molluskum
Sindrom genetik
GANGGUAN YANG JARANG, PREDOMINAN o Sindrom Netherton
PADA REMAJA & DEWASA o Sindrom Hurler
Limfoma sel T kutaneus (mikosis fungoides atau Gangguan inflamasi, autoimun
sindrom Sezary), Dermatosis terkait HIV, Lupus o Gastroenteritis eosinofilik
eritematosus, Dermatomiositis o Enteropati sensitif gluten
Penyakit graft-versus-host o Lupus eritematosus neonatus
Pemfigus foliaceus dan Dermatitis herpetiformis Gangguan proliferatif
Gangguan fotosensitivitas (hydroa vacciniforme; o Histiositosis sel Langerhans
erupsi ringan polimorfik, porfiria)
KOMPLIKASI
Masalah mata/okuler
Komplikasi mata berkaitan dengan DA berat yang dapat berujung pada morbiditas
yang signifikan. Dermatitis kelopak mata dan blefaritis kronik umumnya dikaitkan dengan
DA dan dapat menyebabkan gangguan penglihatan dari ulkus kornea. Keratokonjungtivitis
Atopik biasanya bilateral dan dapat mempunyai gejala yang tidak mengenakkan meliputi rasa
12
gatal, rasa terbakar, rasa tersayat-sayat, dan keluarnya sekret mukoid yang terus menerus.
Konjungtivitis vernal merupakan proses inflamasi kronik rekuren bilateral yang berat yang
berkaitan dengan hipertrofi papiler, atau terbentuk benjolan-benjolan (cobblestone) pada
konjungtiva kelopak mata atas. Hal ini biasanya terjadi pada pasien berusia lebih muda dan
mempunyai insiden musiman yang bisa ditandai, sering terjadi musim semi. Pruritus yang
intens yang berkaitan dengan pajanan terhadap iritan, cahaya, atau keringat. Keratokonus
merupakan sebuah deformitas kornea yang dipercayai berasal dari gesekan kronis mata pada
pasien dengan DA dan rinitis alergika. Katarak dilaporkan pada literatur sebelumnya yang
dapat terjadi hingga 21% dari pasien dengan DA berat. Namun demikian, tidak jelas apakah
hal ini utamanya disebabkan manifestasi primer DA ataukah merupakan akibat penggunaan
glukokortikoid sistemik dan topikal secara berlebihan, khususnya di sekitar mata. Memang,
studi yang terbaru menyarankan bahwa skrining rutin untuk katarak pada pasien dengan DA
tidak produktif kecuali jika ada perhatian tentang efek samping potensial dari terapi steroid.
Infeksi
DA dapat dipersulit dengan infeksi kulit viral berulang kali yang mencerminkan defek
fungsi sel T lokal. Infeksi virus yang paling serius adalah herpes simpleks (lihat bab 193),
yang dapat mempengaruhi pasien dari seluruh usia, yang menyebabkan erupsi Kaposi
variseliform atau eksema herpetikum. Setelah periode inkubasi 5 hingga 12 hari, multipel,
gatal, erupsi lesi vesikopustuler dengan pola diseminata; lesi vesikuler umbilicated, cenderung
menonjol, dan sering menjadi berdarah dan berkrusta (gambar 14-10) dan menyebabkan erosi
yang sangat nyeri dan berlekuk di tengahnya (punched-out). Lesi ini dapat bergabung menjadi
besar, dan area yang berdarah dapat meluas ke seluruh tubuh.
Meskipun infeksi cacar air (smallpox) telah dieradikasi selulruh dunia sejak akhir
1970-an, ancaman bioterorisme (dengan cacar air dan agen infeksius lainnya) telah membuat
negara ini mempertimbangkan ulang peraturan program inisiasi vaksin. Pada pasien DA,
vaksin cacar air (atau bahkan pajanan terhadap individu yang tervaksin) (lihat bab 195) dapat
menyebabkan erupsi meluas yang berat (disebut eksema vaksinatum) yang tampak sangat
mirip dengan eksema herpetikum. Sehingga, pada pasien dengan DA, vaksinasi
dikontraindikasikan kecuali ada indikasi yang jelas tentang risiko cacar air. Sebagai tambahan,
keputusan vaksinasi anggota keluarga harus mempertimbangkan eksema vaksinatum yang
potensial terjadi melalui kontak rumah tangga.
Infeksi jamur superfisial juga merupakan topik yang umum pada individu atopik dan
dapat berkontribusi terhadap kambuhnya DA. Pasien dengan DA mempunyai peningkatan
prevalensi infeksi Trichophyton rubrum yang dibandingkan dengan kontrol non Atopik. Ada
ketertarikan khusus terhadap peranan M. furfur (Pityrosporum ovale atau P. orbiculare) pada
13
DA. M. furfur merupakan ragi lipofilik (lihat bab 189) yang umumnya muncul pada area
seboroik dari kulit. Antibodi IgE terhadap M. furfur umumnya ditemukan pada pasien DA dan
paling sering pada pasien dengan dermatitis kepala dan leher. Sebaliknya, sensitisasi IgE
jarang diobservasi pada kontrol normal atau asma. Reaksi tes tempel (patch test) alergen
positif terhadap ragi ini juga telah ditunjukkan. Peran yang potensial dari M. furfur
sebagaimana infeksi dermatofit lainnya yang lebih jauh didukung oleh pengurangan tingkat
keparahan DA pada kulit pada pasien setelah pengobatan dengan agen antijamur.
10
Gambar 10.Ekzema herpetikum. Vesikel khas dan krusta pada pasien dengan penyakit
diseminata
S. aureus ditemukan pada lebih dari 90% dari lesi kulit DA. Krusta warna madu,
folikulitis, dan pioderma merupakan indikator infeksi kulit bakterial, biasanya disebabkan
oleh S. aureus, yang memerlukan terapi antibiotik. Limfadenopati regional umumnya terdapat
pada pasien ini. Peran S. aureus pada DA didukung oleh observasi bahwa pasien dengan DA
yang berat, bahkan pada pasien dengan infeksi yang jelas, dapat menunjukkan respon klinis
terhadap pengobatan gabungan antibiotik antistafilokokal dan glukokortikoid topikal.
Meskipun pustulosis stafilokokal rekuren dapat menjadi masalah yang signifikan pada DA,
infeksi S. aureus yang dalam jarang terjadi dan seharusnya menaikkan kemungkinan sindrom
imunodefisiensi seperti sindrom hipe-IgE. Stafilokokus yang resisten metisilin mungkin
merupakan patogen yang penting pada beberapa pasien.
Dermatitis tangan
Pasien dengan DA sering menderita dermatitis tangan iritan yang nonspesifik. Hal ini
sering dipicu oleh pembasahan berulang dan melalui pencucian tangan dengan sabun yang
kasar, deterjen, dan disinfektan. Individual Atopik dengan pekerjaan yang melibatkan kerja
basah rentan untuk mendapatkan dermatitis tangan. Hal ini merupakan penyebab umum
diabilitas pekerjaan.
Dermatitis eksfoliativa
14
Pasien dengan keterlibatan kulit yang luas dapat mengalami dermatitis eksfoliativa
(lihat bab 23). Hal ini dikaitkan dengan kemerahan yang merata, timbul sisik, krusta,
toksisitas sistemik, limfadenopati dan demam. Meskipun komplikasi ini jarang, dan dapat
membahayakan secara potensial. Hal ini biasanya disebabkan oleh superinfeksi, sebagai
contoh, melalui S. aureus yang menghasilkan toksin, atau infeksi herpes simpleks, iritasi kulit
yang berkelanjutan, atau terapi terkait. Pada beberapa kasus, penarikan glukokortikoid
sistemik yang ditujukan untuk mengontrol DA berat dapat menjadi faktor pencetus
eritroderma eksfoliativa.
Terapi topikal
Hidrasi Kulit. Pasien dengan DA mengalami penurunan fungsi sawar kulit, dan kulit kering
19
pada baju dapat mengiritasi. Penggunaan cairan lebih pada deterjen bubuk dan menambahkan
siklus pembilasan kedua memfasilitasi pembuangan deterjen.
Rekomendasi mempertimbangkan kondisi lingkungan sekitar seharusnya meliputi
kontrol suhu dan kelembaban untuk menghindari masalah yang terkait dengan panas,
humiditas, dan perspirasi. Setiap usaha seharusnya dibuat untuk membuat anak-anak dapat
aktif sebisa mungkin. Olahraga tertentu, seperti berenang, dapat lebih baik ditoleransi
daripada olahraga lain yang menyebabkan keringat berlebihan, kontak fisik, atau pakaian dan
peralatan yang berat, tetapi klorin seharusnya sesegera mungkin setelah berenang dan kulit
diberi pelembab. Meskipun sinar UV (ultraviolet) dapat menguntungkan bagi beberapa pasien
dengan DA, tabir surya seharusnya digunakan untuk menghindari terbakarnya kulit akibat
sinar matahari. Namun demikian, sebelum tabir surya menjadi sebuah iritan, harus diperiksa
terlebih dahulu apakah produk tabir surya yang bersifat iritan.
Alergen Spesifik. Makanan dan aeroalergen seperti tungau debu, jamur dan polen telah
diobservasi dapat menyebabkan kambuhnya DA. Alergen potensial dapat diidentifikasi
dengan mengambil anamnesa riwayat dengan hati-hati dan merencanakan tes tusuk kulit
selektif atau kadar IgE serum spesifik. Tes kulit negatif atau tes serum untuk alergen spesifik
IgE yang mempunyai nilai prediktif tinggi untuk menentukan alergen yang dicurigai. Serum
IgE serum total normal, namun demikian, tidak mengungkapkan kemungkinan IgE alergen
spesifik yang ada. Tes in vitro atau kulit yang positif, khususnya pada makanan, sering tidak
berkorelasi dengan gejala klinis dan seharusnya dikonfirmasi dengan diet eliminasi makanan
terkontrol. Pemantangan makanan yang terimplikasi pada hasil rintangan terkontrol pada
perbaikan klinis. Diet eliminasi yang berlebihan, yang pada beberapa kasus dapat terjadi
defisit nutrisi, sangat jarang, jika pernah, diperlukan, dikarenakan bahkan dengan tes kulit
positif multipel, mayoritas pasien yang bereaksi terhadap tiga atau lebih makanan pada
tantangan terkontrol. Pada pasien DA yang alergi tungau debu, penghindaran tungau debu
yang diperpanjang telah ditemukan mengalami perbaikan terhadap penyakit kulit mereka.
Pengukuran tingkat penghindaran meliputi penggunaan bantal bebas tungau debu, matras, dan
kotak; mencuci kasur di dalam air panas per minggunya; penyingkiran karpet kamar tidur; dan
mengurangi kadar kelembaban di dalam ruangan dengan pemasangan AC. Dikarenakan ada
banyak pemicu yang berkontribusi terhadap gejolak DA, perhatian seharusnya difokuskan
pada identifikasi dan pengaturan faktor pemicu yang penting terhadap pasien secara
individual. Bayi dan anak berusia muda tampaknya lebih memiliki kecenderungan alergi
makanan, padahal anak-anak yang berusia lebih tua dan dewasa yang tampaknya lebih sensitif
terhadap aeroalergen lingkungan.
20
Stresor Emosional. Meskipun stres emosional tidak menyebabkan DA, namun hal ini sering
menyebabkan kambuhnya penyakit. Pasien DA sering berespon terhadap frustasi, rasa malu,
atau kejadian yang membuat stres lainnya dengan meningkatnya gatal dan garukan. Pada
beberapa situasi, garukan merupakan suatu kebiasaan dan umumnya kurang dikaitkan dengan
kekambuhan sekunder yang signifikan. Penilaian psikologis atau konseling seharusnya
dipertimbangkan pada pasien yang mengalami kesulitan dengan pemicu emosional atau
masalah psikologis, yang berkontribusi terhadap sulitnya mengatur penyakit. Hal ini terutama
khusus pada remaja dan dewasa muda yang mempertimbangkan agar penyakit kulit mereka
sangat mengganggu. Relaksasi, modifikasi perilaku, atau biofeedback dapat membantu pada
pasien dengan kebiasaan menggaruk.
Agen Infeksi. Antibiotik anti-stafilokokus sangat membantu dalam pengobatan pasien yang
terutama terkolonisasi atau terinfeksi dengan S. aureus. Sefalosporin atau penisilin resisten-
penisilinase (dikloksasiklin, oksasiklin, atau kloksasiklin) biasanya menguntungkan bagi
pasien yang resisten terhadap strain S. aureus. Oleh karena stafilokokus resisten eritromisin
merupakan hal yang umum, eritromisin dan antibiotik makrolida terbaru biasanya digunakan
secara terbatas. Antimikroba topikal seperti mupirosin, asam fusidat, atau yang terbaru
retapamulin menawarkan beberapa kepentingan pengobatan lesi yang bersifat impetiginosa.
Database Cochrane menganalisis intervensi mupirosin dan asam fusidat topikal terhadap
impetigo adalah sama efektifnya atau lebih efektif dibandingkan dengan penggunaan oral
untuk pasien dengan penyakit yang terbatas dan asam fusidat dan mupirosin sama efektifnya.
namun demikian, pada pasien harus menggunakan antibiotik topikal bila diperlukan utnuk
mencegah timbulnya organisme resisten.
Penggunaan neomisin topikal dapat menyebabkan timbulnya dermatitis kontak
alergika seperti neomisin, merupakan alergen yang sering menyebabkan dermatitis kontak.
Bagaimanapun pada pasien superinfeksi yang luas, penyebab antibiotik sistemik sering
terjadi. Methicilin-resistent Staphylococcus memerlukan kultur dan tes sensitivitas untuk
menentukan antibiotik yang tepat. Mandi dengan sodium hydroclorid cair (bleach) dapat
bermanfaat pada pasien DA dengan ekzema superinfeksi, terutam yang yang rekuren terhadap
MRSA, meskipun mereka dapat mengiritasi. Sebagai catatan, pada penelitian terkontrol dua
kali seminggu mandi berendam selama 3 bulan menunjukkan manfaat klinis, meskipun
kolonisasi S. Aureus tidak terlihat, kadangkala dikombinasikan dengan mupirosin intranasal 5
hari setiap bulannya.
Herpes simpleks dapat memancing dermatitis rekuren dan dapat disalahdiagnosa
sebagai infeksi S. aureus. Adanya lesi punch-out, vesikel, dan/atau lesi kulit terinfeksi yang
21
tidak berespon terhadap antibiotik oral seharusnya menginisiasi pencarian herpes simpleks.
Hal ini dapat didiagnosa melalui pengecatan Tzanck stain-Giemsa dari sel yang dikerok dari
basis vesikel, esai imunofluoresen langsung/direk, identifikasi reaksi rantai polimerase (PCR)
dari bahan herpes genitalis, atau melalui kultur virus. Untuk infeksi yang diperkirakan
disebabkan oleh herpes simpleks, agen anti-inflamasi topikal dapat tidak dilanjutkan, paling
tidak secara temporer. Pengobatan antivirus untuk infeksi herpes simpleks kutaneus
merupakan hal yang sangat penting pada pasien dengan DA yang menyebar luas karena
penyebaran mengancam nyawa telah dilaporkan. Asiklovir, 400 mg tiga kali sehari selama 10
hari atau 200 mg empat kali sehari selama 10 hari per oral (atau dosis ekuivalen dari satu
pengobatan antiherpes terbaru), berguna pada dewasa dengan herpes simpleks yang berasal
dari kulit. Pengobatan intravena mungkin diperlukan untuk eksema herpetikum yang berat.
Dosisnya harus diatur menurut berat badan pada anak-anak.
Infeksi dermatofit dapat mempersulit DA dan dapat berkontribusi terhadap eksaserbasi
aktivitas penyakit. Pasien dengan infeksi dermatofit atau antibodi IgE terhadap Malassezia
dapat mendapat keuntungan dari percobaan terapi antijamur topikal maupun sistemik.
Pruritus. Pengobatan pruritus pada DA seharusnya secara langsung diarahkan terutama pada
penyebab dasarnya. Pengurangan inflamasi dan kekeringan kulit dengan glukokortikoid
topikal dan hidrasi kulit, khususnya, sering secara simptomatis mengurangi pruritus. Alergen
yang terhisap dan tertelan seharusnya dieliminasi jika terdokumentasi dapat menyebabkan
ruam kulit pada tantangan terkontrol. Antihistamin sistemik bekerja terutama dengan cara
memblok reseptor H1 pada dermis, sehingga meringankan pruritus yang diinduksi oleh
histamin. Namun demikian, histamin hanya merupakan salah satu dari banyak mediator yang
dapat menginduksi pruritus kulit. Kemudian, pasien tertentu dapat memperoleh sedikit
keuntungan dari terapi antihistamin. Beberapa antihistamin yang juga merupakan ansiolitik
ringan dan dapat menawarkan keringanan simtomatik melalui efek trankuilizer dan sedatif.
Studi dari antihistamin yang terbaru dan non-sedatif menunjukkan hasil yang variabel dalam
keefektivitasan pengaturan pruritus pada DA, merkipun mereka mungkin berguna dalam
menangani pasien DA dengan urtikaria atau rinitis alergika yang terjadi bersamaan.
Oleh karena pruritus biasanya menjadi buruk pada malam hari, antihistamin sedatif,
sebagai contoh, hidroksizin atau difenhidramin, dapat menawarkan keuntungan dengan efek
samping soporifiknya ketika digunakan pada waktu tidur. Doksepin hidroklorida memiliki
baik antidepresan trisiklik maupun efek blok reseptor histamin H1 dan H2. Obat-obat ini
dapat digunakan pada dosis 10-75 mg per oral pada malam hari atau hingga 75 mg pada
pasien dewasa. Jika pruritus nokturnal tetap berat, penggunaan sedatif jangka pendek atau
22
memperpanjang waktu istirahat secara adekuat mungkin dapat dilakukan. Pengobatan DA
dengan antihistamin topikal secara umum tidak direkomendasikan dikarenakan sensitisasi
kutaneusnya yang potensial. Namun demikian, aplikasi jangka pendek (satu pekan) krim
doksepin 5% topikal telah dilaporkan mengurangi pruritus tanpa sensitisasi. Sebagai catatan,
sedasi merupakan sebuah efek samping dari aplikasi krim doksepin yang menyeluruh, dan
dermatitis kontak alergi telah dilaporkan.
Preparat tar
Preparat tar coal dapat mempunyai efek antipruritus dan anti inflamasi meskipun biasanya
tidak seterkenal obat-obatan dari glukokortikoid topikal. Preparat tar dapat berguna dalam
mengurangi potensi glukokortikoid topikal yang didapat dari terapi pemeliharaan DA kronik.
Produk tar coal terbaru yang telah dikembangkan yang lebih dapat diterima karena telah
dikurangi bau dan pernodaannya pada pakaian. Sampo tar dapat membantu untuk dermatitis
kepala dan sering membantu mengurangi konsentrasi dan frekuensi aplikasi glukokortikoid
topikal. Preparat tar seharusnya tidak digunakan pada kulit yang terinfeksi akut, karena hal ini
sering menyebabkan iritasi akut. Efek samping yang berkaitan dengan tar meliputi folikulitis
dan fotosensitivitasi. Ada risiko teoritis dar tar bahwa bahan ini dapat menjadi sebuah
karsinogenik berdasarkan studi observasi pekerja yang menggunakan komponen tar pada
pekerjaan mereka; bagaimanapun, penelitian epidemiologik tidak menunjukkan hasil yang
sama ketika digunakan secara topikal.
Fototerapi
Sinar matahari alamiah sering menguntungkan bagi pasien DA. Namun demikian, jika sinar
matahari berlangsung pada keadaan panas atau kelembaban tinggi, sehingga memicu
timbulnya keringat dan gatal, yang sangat mengganggu pasien. UVA dan UVB frekwensi
lebar/broadband, UVB frekwensi sempit/narrowband (311 nm), UVA-1 (340-400 nm), dan
fototerapi UVA-B kombinasi dapat merupakan tambahan terapi yang berguna dalam
tatalaksana DA. Investigasi mekanisme foto imunologis yang bertanggung jawab dengan atau
tanpa psoralen, padahal UVB menekan efek imunosupresif melalui memblok fungsi antigen
yang mempresentasikan LCs dan mengubah produksi sitokin keratinosit. Fotokemoterapi
dengan psoralen dan cahaya UVA dapat diindikasikan pada pasien dengan DA yang parah dan
menyebar luas, meskipun studi yang membandingkannya dengan mode fototerapi lainnya
sangat terbatas. Efek samping jangka panjang meliputi eritema, nyeri kulit, pruritus, dan
pigmentasi. Efek jangka panjang meliputi penuaan kulit prematur dan keganasan kulit
prematur (lihat bab 238 dan 239 untuk diskusi yang lebih diskusi yang lebih detil tentang
fototerapi dan fotokemoterapi).
23
Rawat inap
Pasien DA yang mengalami eritroderma atau yang telah mengalami penyakit kulit yang berat
dan menyebar luas yang resisten terhadap terapi rawat jalan seharusnya dirawat inap sebelum
pertimbangan terapi alternatif sistemik (lihat Terapi Sistemik). Pada banyak kasus,
penghindaran pasien dari alergen lingkungan atau stres emosional, edukasi pasien yang intens,
dan pengobatan komplikasi sebagai hasil terapi pada perbaikan DA. Pembersihan kulit pasien
selama rawat inap juga dapat memfasilitasi pasien dengan tes alergen kulit dan dapat secara
adekuat mengontrol tantangan provokatif agar dapat secara tepat mengidentifikasi atau
menemukan alergen potensial.
Terapi sistemik
Glukokortikoid Sistemik. Penggunaan glukokortikoid sistemik, seperti prednison oral,
jarang diindikasikan pada pengobatan DA kronik. Beberapa pasien dan dokter memilih
menggunakan glukokortikoid sistemik untuk menghindari pengobatan kulit yang
menghabiskan waktu meliputi terapi hidrasi dan topikal. Namun demikian, perbaikan klinis
yang dramatis yang dapat terjadi seiring dengan glukokortikoid sistemik sering dikaitkan
dengan kambuhnya DA secara cepat setelah penghentian glukokortikoid sistemik. Perjalanan
singkat glukokortikoid oral dapat digunakan untuk eksaserbasi DA akut padahal pengobatan
lainnya sedang diinstitusikan. Jika obat glukokortikoid oral diberikan dalam jangka waktu
pendek, sangat penting untuk mengurangi dosis secara bertahap dan memulai perawatan kulit
yang intensif, khususnya dengan glukokortikoid topikal dan mandi yang cukup sering yang
diikuti aplikasi emolien, untuk mencegah kambuhnya DA kembali.
Siklosporin. Siklosporin merupakan obat imunosupresif poten yang bekerja terutama pada sel
T dengan cara menekan transkripsi sitokin. Obat mengikat siklofilin, sebuah protein
intraseluler, dan kompleks ini, pada gilirannya, menginhibisi kalsineurin, sebuah molekul
yang diperlukan untuk inisiasi transkripsi gen sitokin. Studi multipel mendemonstrasikan
bahwa baik anak-anak maupun dewasa dengan DA yang berat, secara refrakter terhadap
pengobatan konvensional, dapat menguntungkan dari pengobatan siklosporin jangka pendek.
Regimen oral yang bervariasi yang telah direkomendasikan: 5 mg/kg yang secara umum telah
digunakan dengan keberhasilan pada penggunaan jangka pendek dan jangka panjang (satu
tahun), padahal beberapa pihak mengadvokasikan dosis harian tidak tergantung berat badan
pada dewasa dengan dosis harian siklosporin mikroemulsi 150 mg (150 mg) atau 300 mg
(dosis tinggi). Pengobatan dengan siklosporin dikaitkan dengan berkurangnya penyakit kulit
dan meningkatnya kualitas hidup (lihat bab 234 untuk diskusi lebih jauh). Pemutusan terapi
24
dapat menyebabkan relapsnya penyakit kulit dengan cepat, meskipun beberapa pasien dapat
mengalami remisi menetap. Meningkatnya kreatinin serum atau gangguan ginjal dan
hipertensi yang signifikan merupakan efek samping yang spesifik yang berkaitan dengan
penggunaan siklosporin.
Terapi lainnya
Interferon-γ. IFN-γ dikenal menekan respon IgE dan meregulasi ke bawah proliferasi dan
fungsi sel Th2. Beberapa studi pada pasien dengan DA, meliputi percobaan multisenter, buta-
ganda, plasebo-terkontrol dan dua percobaan terbuka jangka panjang, telah menunjukkan
bahwa pengobatan dengan rekombinan manusia IFN-γ menghasilkan perbaikan klinik.
Pengurangan keparahan klinik DA yang berkorelasi dengan kemampuan IFN-γ untuk
25
menurunkan hitung eosinofil total. Gejala seperti influenza merupakan efek samping yang
umumnya terlihat pada awal pengobatan.
Omalizumab. Pengobatan pasien dengan DA berat dan serum IgE yang meningkat dengan
anti-Ig monoklonal telah menunjukkan kurangnya efikasi pada tiga pasien dewasa dan
perbaikan yang signifikan pada tiga pasien remaja. Penelitian terbuka pada 11 pasien dewasa
dengan tingkat IgE yang tinggi diobati dengan anti Ig-E, beberapa pasien mendapatkan
perbaikan klinis, yang lainya tidak mendapatkan perbaikan dan beberapa semakin memburuk
kondisi DA nya berdasarkan perubahan SCORAD. Saat ini, marker spesifik belum ditemukan
untuk mengidentifikasi respon potensial.
Imunoterapi Alergen. Tidak seperti rinitis alergika dan asma ekstrinsik, imunoterapi dengan
aeroalergen tidak terbukti bersifat efikasius pada tatalaksana DA. Ada laporan anekdot dari
eksaserbasi dan perbaikan kedua penyakit. Studi terbaru dari imunoterapi spesifik selama
lebih dari 12 bulan pada dewasa dengan DA yang tersensitisasi dengan tungau debu yang
menunjukkan perbaikan pada SCORAD sebagaimana pengurangan pada penggunaan steroid
topikal. Namun demikian, studi yang terkontrol dengan baik masih diperlukan untuk
mendeterminasi peran imunoterapi dengan penyakit ini. Penelitian kontrol terbaru dengan
imunoterapi sublingual menunjukkan manfaat pada DA anak yang disensitisasi dengan
alergen tungau debu. Data ini memerlukan penelitian terhadap populasi anak yang lebih besar,
menunjukkan pengaruh alam tehadap DA.
26
plasebo, meskipun indeks SCORAD tidak berubah secara signifikan. Respon terapi
ditemukan lebih disebutkan pada pasien dengan tes kulit prick positif dan kadar IgE yang
meningkat. Studi lainnya pada anak-anak dengan DA moderat hingga berat yang diobati
selama 8 pekan dengan L. fermentum pada studi plesebo terkontrol yang menunjukkan
perbaikan indeks SCORAD pada 16 pekan. Studi ini menyiratkan bahwa probiotik ini, atau
paling sedikit beberapa strain laktobasilus, mungkin bersifat preventif, mempunyai efek yang
berlangsung lama pada insiden DA pada sekelompok pasien. Penelitian lainnya ke dalam
subkelompok responden, terapi optimal [rute (misal langsung ke bayi atau melalui ASI);
lamanya pengobatan; strain laktobasilus], sama dengannya mekanisme yang terlibat yang
jelas merupakan hal yang sangat dibutuhkan.
Penelitian metanalisis terbaru menemukan suatu bentuk pengaturan probiotik pada
anak dengan penyakit sedang sampai berat dalam penurunan nilai SCORAD (rata-rata
perubahan dari baseline, -3.01; 95% konfiden interval;, -5,36 sampai 0.66; P= .01). Durasi
penggunaan probiotik, umur dan tipe probiotik yang digunakan tidak mempengaruh hasil.
Penelitian metaanalisis lainya menemukan bahwa bukti langsung yang lebih diterima untuk
probotik adalah efikasi dalam pencegahan, dibandingkan pengobatan DA pada anak.
Sebaliknya, penelitian terdahulu, suplemen dengan Lactobacillus GG selama hamil dan masa
awal bayi juga mengurangi insiden DA yang tidak dipengaruhi oleh keparahan DA pada anak,
tetrapi berhubungan dengan meningkatnya angka episode rekuren wheezy bronchitis.
Cochrane review menyimpulkan bahwa probiotik tidak efektif untuk pengobatan ekzema pada
anak dan pengobatan probiotik menimbulkan resiko rendah timbulnya kejadian yang tidak
diinginkan.
Pengobatan Herbal Cina. Beberapa percobaan klinik plasebo terkontrol telah disarankan
bahwa pasien dengan DA berat dapat mengambil keuntungan dengan terapi herbal Cina (lihat
bab 242). Mereka secara signifikan mengurangi penyakit kulit dan menurunkan pruritus.
Respon yang menguntungkan dari terapi herbal Cina, namun demikian, sering hanya
temporer, dan keefektivitasan dapat berkurang seiring berjalannya pengobatan. Kemungkinan
toksisitas hepatik, efek samping terhadap jantung, atau reaksi idiosinkratik tetap menjadi
perhatian. Bahan spesifik dari herbal juga tetap harus dijabarkan dan beberapa sediaan yang
telah ditemukan telah terkontaminasi dengan kortikosteroid. Sekarang ini, terapi herbal Cina
untuk DA sedang dipertimbangkan untuk diselidiki lebih jauh.
Vitamn D oral. Penelitian random awal, penelitian double blind placebo-controlled melihat
manfaat suplemen vitamin D oral pada anak dengan DA di Boston dari februari sampai maret.
Sebelas pasien anak pertama sekali dengan DA ringan yang diterapi dengan vitamin D oral
27
(1,000 UI ergocalciferol) atau plasebo, sekali sehari selama satu bulan. Angka IgA dibuktikan
dengan 4 sanpai 6 subyek kelompok vitamin D (80%), dibandingkan dengan satu dari lima
subyek pada kelompok plasebo (p= 0,04). Sebagi tambahan, terdapat penurunan yang besar
skala EASI vitamin D, dibandingkan dengan kelompok plasebo, meskipun perbedaannya
tidak signifikan secara statistik. Sebagai tambahan, pada pada penelitian terkontrol, 14 subyek
sehat dan 14 subyek denngan DA diberikan suplemen vitamin D 3 oral (cholecalciferol) selama
3 minggu. Ekspresi AMP cathelisidin meningkat signifikan pada biopsi kulit DA,
dibandingkan terhadap kulit sehat atau kulit yang tidak terdapat lesi DA, diduga pemakaian
vitamin D oral menimbulkan respon imun innate pada pasien DA.
Konsultasi ke spesialis DA
Pertimbangkan biopsi kulit
Pertimbangkan rawat inap
Pertimbangkan penggunaan siklosporin A, terapi
ultraviolet dll
28