Anda di halaman 1dari 28

Tugas baca buku pekan III

Topik : Dermatitis Atopik


Divisi : Alergo imunologi
Nama PPDS : Dr. Nina Melita
Pembimbing : Prof. DR.dr. HM. Athuf Thaha, SpKK(K)
Dr. Nopriyati, SpKK
Sumber : Leung DYM, Eichenfield LF, Boguniewicz M. Atopikc dermatitis (Atopic eczema). In: Wolff,
Goldsmith, Katz Si, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine Volume 1. 8th ed. New York: McGraw-Hill Companies; 2012. P.165-82

DERMATITIS ATOPIK
Dermatitis Atopik (DA) adalah suatu penyakit kulit relaps kronik yang terjadi paling sering
selama masa awal bayi dan anak-anak. Seringkali, dihubungkan dengan abnormalitas pada
fungsi sawar kulit dan sensitisasi alergi. Tidak terdapat gambaran pembeda tunggal dari DA
atau tes laboratorium diagnostik. Oleh karena itu, diagnosis berdasarkan kumpulan temuan
klinik yang dijelaskan oleh Hanifin Rajka dan ditulis pada tabel 14-1.

SEKILAS DERMATITIS ATOPIK


Puncak prevalensi 15-20% pada masa anak-anak awal pada negara industri
 Kelainan relaps kronis dengan gambaran utama:
- Pruritus
- Dermatitis ekzema (akut, subakut, atau kronik) dengan morfologi tipikal dan pola spesifik usia
keterlibatan wajah dan ekstensor pada bayi
- Ekzema fleksural/likenifikasi pada anak dan dewasa
 Biasanya berhubungan dengan:
- Riwayat pribadi atau keluarga atopik (rinitis alergi, asma, dermatitis atopik)
- Xerosis/disfungsi sawar kulit
- Reaktivitas imunoglobulin E
 Dasar genetik dipengaruhi oleh faktor lingkungan dengan perubahan pada respon imunologi sel T,
pemrosesan antigen, sitokin inflamasi, protein pertahanan penjamu, sensitivitas alergen, dan infeksi.

EPIDEMIOLOGI
Sejak tahun 1960-an, terdapat lebih dari tiga kali lipat peningkatan prevalensi DA, lebih jauh
lagi estimasi baru-baru ini mengindikasikan bahwa DA merupakan masalah kesehatan
masyarakat utama di seluruh dunia, dengan prevalensi pada anak-anak 10 persen hingga 20
persen di Amerika Serikat, Eropa Utara dan Barat, Afrika urban, Jepang, Australia, dan negara
industri lainnya. Prevalensi DA pada dewasa diperkirakan 1 persen hingga 3 persen.
Menariknya, prevalensi DA jauh lebih rendah pada negara agraris seperti Cina dan Eropa
Timur, Pedalaman Afrika, dan Asia Tengah. Terdapat jumlah lebih besar wanita untuk DA,
dengan keseluruhan rasio perempuan/laki-laki 1.3:1.0.
Dasar meningkatnya prevalensi DA tidak dipahami dengan baik. Namun, variasi luas
pada prevalensi telah diobservasi di negara-negara yang dihuni kelompok etnik yang mirip,
menyiratkan bahwa faktor lingkungan penting dalam menentukan gambaran penyakit.
Beberapa faktor risiko potensial telah menarik banyak perhatian karena dihubungkan dengan
timbulnya penyakit atopik termasuk jumlah keluarga kecil, meningkatnya penghasilan dan

1
pendidikan baik pada orang berkulit hitam maupun putih, migrasi dari desa ke kota, dan
meningkatnya penggunaan antibiotik, yang kemudian, dikenal dengan nama gaya hidup barat.
Hal-hal ini telah menghasilkan hipotesis higiene bahwa penyakit alergi mungkin dapat
dicegah dengan infeksi, pada masa awal anak-anak, yang ditransmisikan oleh kontak tidak
higienis dengan saudara yang lebih tua. Terjadi peningkatan penyakit autoimun seperti
diabetes, abnormalitas sel T regulator juga memiliki pengaruh.

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS


Dermatitis Atopik merupakan penyakit kulit inflamasi pruritik tinggi yang berasal dari
interaksi kompleks antara kerentanan gen yang menyebabkan defek pada sawar kulit, defek
sistem imun alami, dan meningkatnya respon imunologi terhadap alergen dan antigen
mikroba.

TABEL 14-1
Gambaran Dermatitis Atopik
Gambaran mayor
- Pruritus
- Ruam pada wajah dan atau ekstensor pada bayi dan anak-anak
- Likenifikasi di area fleksural pada anak-anak yang lebih tua
- Kecendrungan ke arah dermatitis kronik relaps atau kronik
- Riwayat pribadi atau keluarga dengan penyakit atopik: asma, rinitis alergika, dermatitis atopik

Temuan Lain
- Kekeringan
- Lipatan Dennie-Morgan (garis menonjol atau lekuk dibawah garis kelopak mata bawah)
- Tanda alergi (penggelapan dibawah mata)
- Wajah pucat
- Pityriasis alba
- Keratosis pilaris
- Ichthyosis vulgaris
- Hiperlinear pada telapak tangan dan telapak kaki
- Dermatografisme putih
(garis putih yang timbul pada kulit dalam 1 menit setelah digores dengan benda tumpul)
- Konjungtivitis
- Keratoconus
- Katarak subkapsular anterior
- Peningkatan immunoglobulin E pada serum
- Reaktivitas tes kulit tipe cepat

Menurunnya Fungsi Sawar Kulit


Dermatitis Atopik dihubungkan dengan menurunnya fungsi sawar kulit karena menurunya
regulasi envelope gen (filaggrin dan loricrin), menurukan level seramid, meningkatkan level
enzim proteolitik endogen, dan meningkatkan kehilangan air trans-epidermal. Tambahan
sabun dan deterjen yang meningkatkan pH kulit, juga meningkatkan aktivitas protease
endogen, yang akhirnya menyebabkan kerusakan lebih lanjut fungsi sawar epidermis. Sawar
epidermis juga dapat dirusak oleh pajanan protease eksogen dari tungau rumah dan
Staphylococcus aureus. Hal ini diperburuk oleh kurangnya inhibitor protease endogen

2
tertentu pada kulit Atopik. Perubahan epidermis ini berkontribusi pada peningkatan absorbsi
alergen ke dalam kulit dan kolonisasi bakteri. Karena epikutan, sebagaimana pada sistemik
atau jalan napas, sensitisasi alergen berakhir pada respon immun alergi pada level yang lebih
tinggi, menurunnya fungsi sawar kulit dapat berperan sebagai tempat sensitisasi alergen dan
merupakan predisposisi bagi anak-anak dengan kelainan ini untuk terkena alergi pernapasan
pada masa lanjut kehidupannya.

Immunopatologi Dermatitis Atopik


Kulit pasien DA yang secara klinik tidak terkena memanifestasikan hiperplasia
epidermal ringan dan infiltrat sel T perivaskular. Lesi kulit ekzema akut dikarateristikkan
dengan edema interseluler (spongiosis) epidermis. Sel penghadir antigen dendritik (contoh;
sel Langerhans (LCs), makrofag) pada lesi dan, untuk daerah yang lebih sempit, pada kulit
tanpa lesi DA menunjukkan molekul immunoglobulin E (IgE) terikat permukaan. Infiltrat
epidermis tipis yang mengandung limfosit T juga sering terobservasi.
Pada dermis lesi akut, terdapat influks sel T dan kadang-kadang monosit-makrofag.
Infiltrat limfosit mengandung, kebanyakan, sel T memori teraktivasi yang membawa CD3,
CD4, dan CD45 RO (menandakan pertemuan sebelumnya dengan antigen). Eosinofil jarang
terdapat pada DA akut. Sel Mast ditemukan dalam jumlah normal pada tingkatan berbeda
degranulasi nya. Lesi likenifikasi kronik dikarakteristikkan dengan epidermis yang hiperplasi
dengan pemanjangan tonjolan, hiperkeratosis prominen, dan spongiosis minimal. Terdapat
peningkatan jumlah IgE yang membawa LCs ke epidermis, dan makrofag mendominasi
infiltrat sel mononuklear. Sel mast meningkat dalam jumlah namun tergranulasi secara
penuh. Neutrofil absen pada lesi kulit DA bahkan dalam kasus meningkatnya kolonisasi dan
infeksi S.aureus. Meningkatnya jumlah eosinofil telah diobservasi pada lesi kulit DA kronik.
Eosinofil ini menjalani proses sitolisis dengan melepaskan granul protein ke dermis bagian
atas dari lesi kulit. Protein dasar utama ekstraseluler yang merupakan turunan eosinofil dapat
dideteksi pada pola fibrilar berhubungan dengan distribusi serat elastik di seluruh dermis
bagian atas. Eosinofil dipikirkan berkontribusi pada inflamasi alergi dengan mensekresikan
sitokin dan mediator yang menambah inflamasi alergi dan mengiduksi cedera jaringan pada
DA melalui produksi oksigen reaktif intermediet dan pelepasan protein granul toksik.
Sitokin dan Kemokin
Inflamasi kulit atopik tersusun oleh ekspresi lokal dari sitokin pro-inflamasi dan kemokin.
Sitokin seperti tumor necrosis factor-α (TNF- α) dan interleukin 1 (IL-1) dari sel residen
(keratinosit, sel mast, sel dendritik (DCs)] terikat pada reseptor di endotel vaskuler,
mengaktivasi jalur sinyal seluler, yang menyebabkan induksi molekul perlekatan sel endotel
vaskuler. Kejadian ini menginisiasi proses cepat, aktivasi, dan adhesi endotel vaskuler diikuti
3
oleh ekstravasasi sel inflamsi ke dalam kulit. Sekali sel inflamasi telah menginfiltrasi ke
dalam kulit, sel-sel ini akan merespon terhadap gradien kemotaktik yang dibentuk oleh
kemokin yang berasal dari lokasi cedera atau infeksi.
Dermatitis atopik akut dihubungkan dengan produksi sitokin T helper 2 (Th2), IL-4
dan IL-13, yang memediasi perubahan isotipe immunoglobulin menjadi sintesis IgE, dan
regulasi naik ekspresi molekul adhesi pada sel endotel. Sebaliknya, IL-5, terlibat dalam
pembentukan dan bertahannya eosinofil, dan predominan pada kronik DA. Peran penting
yang dimainkan oleh sitokin Th2 pada respon inflamasi kulit didukung oleh observasi tikus
transgenik secara genetik memperlihatkan ekspresi IL-4 pada kulitnya dan terbentuk lesi kulit
pruritik inflamasi yang mirip dengan DA. Kulit yang tersensitisasi alergen dari tikus yang
kekurangan IL-5 telah diketahui tidak memiliki eosinofil yang dapat terdeteksi dan
menunjukkan penurunan ketebalan, sedangkan kulit tikus yang kekurangan IL-4
mempelihatkan ketebalan kulit yang normal dari lapisan-lapisan kulitnya, namun kekurangan
jumlah eosinofil. Peningkatan produksi makrofag granulosit yang menjadi faktor stimulasi
koloni pada DA dilaporkan menghambat apoptosis monosit, sehingga berkontribusi pada DA
persisten. Menetapnya DA kronik juga melibatkan produksi sitokin seperti Th1, IL-12 dan IL-
18, juga sitokin yang berhubungan dengan aksi remodeling, termasuk IL-11 dan transforming
growth factor-β1.
Kemokin spesifik kulit, cutaneous T cell-attracting chemokine [CTACK; CC ligan
kemokin 27 9CCL27)}, diregulasi meningkat pada DA dan secara selektif menarik cutaneous
lymphoid antigen (CLA) CC chemokine receptor 10 )CCR10) sel T ke dalam kulit. CCR4
yang terekspresi pada kulit yang memiliki sil T CLA juga dapat terikat pada CCL17 di endotel
vaskular dari venula kutis. Rekrutmen selektif dari sel Th2 yang mengekspresikan CCR4
dimediasi oleh kemokin yang diturunkan dari makrofag dan timus serta sitokin regulasi, yang
keduanya meningkat pada DA. Sebagai tambahan, kemokin seperti fractalkine, interferon
(IFN)-γ-inducible-protein 10, dan monokin yang diprovokasi oleh IFN- γ diregulasi naik di
keratinosit dan hasilnya adalah migrasi sel Th-1 ke arah epidermis, khususnya pada DA
kronik. Peningkatan ekspresi kemokin CC, macrophage chemoattraction protein-4, eotoxin,
dan RANTES (diregulasi pada aktivasi normal sel T yang disekresi dan diekspresikan)
berkontribusi pada infiltrasi makrofag, eosinofil, dan sel T ke dalam lesi kulit DA akut dan
kronik. Lihat bab 11 dan 12 untuk ulasan yang lebih detil dari sitokin dan kemokin pada
inflamasi kulit.

Tipe Sel Kunci pada Kulit Dermatitis Atopik


Antigen-presenting cells. Kulit dermatitis Atopik mengandung dua tipe afinitas tinggi:
(1) LCs dan (2) infllammatory dendritic epidermal cells (IDECs), IgE yang mengandung LCs
4
yang tampaknya memainkan peranan penting dalam presentasi alergen kulit ke sel Th2 yang
memproduksi IL-4. Dalam hal ini, IgE yang mengandung LCs dari lesi kulit DA, namun
bukan LCs yang sedikit memiliki permukaan IgE, mampu mempresentasikan alergen inhalasi
ke sel T. Hasil ini menunjukkan bahwa IgE terikat sel pada LCs memfasilitasi penangkapan
dan internalisasi alergen ke dalam LCs sebelum pemrosesannya dan presentasi antigen ke sel
T. IgE yang mengadung LCs yang telah menangkap alergen tampaknya mengaktivasi sel Th2
memori pada kulit atopik, tapi mereka juga bermigrasi ke limfonodus untuk menstimulasi sel
T polos di sana untuk lebih meluaskan kerja sel Th2 sistemik. Stimulasi FceRI pada
permukaan LCs oleh alergen menyebabkan pelepasan sinyal kemotaktik dan rekrutmen sel
prekursor IDECs dan sel T in vitro. Stimulasi FcrRI pada IDECS menyebabkan pelepasan
jumlah yang banyak dari sinyal pro-inflamasi, yang memberikan kontribusi pada penguatan
respon imun alergi.
Berbeda dengan penyakit kulit inflamasi lainnya, seperti dermatitis kontak alergi atau
psoriasis vulgaris, sangat sedikit jumlah plasmasitosit DCs (pDCs), yang memainkan peran
penting dalam pertahanan pejamu terhadap infeksi virus, dapat dideteksi pada lesi kulit DA.
pDCs di darah perifer pasien dengan DA mengandung varian trimetrik dari FceRI di
permukaan selnya, yang diperantarai oleh molekul IgE. Fungsi imun termodifikasi dari pDCs
dari pasien dengan DA setelah stimulasi alergen yang diperantarai FecRI mungkin
memberikan kontribusi pada defisiensi lokal IFN tipe I, yang menyebabkan meningkatnya
kerentanan pasien DA terhadap infeksi kulit viral seperti ekzema herpetikum.

Sel T. Kulit yang memiliki sel T memori memainkan peranan penting dalam patogenesis DA,
khususnya pada fase akut penyakit. Konsep ini didukung oleh observasi bahwa kelainan
immunodefisiensi sel T primer dengan lesi kulit akzema yang hilang setelah transplantasi
sum-sum tulang yang berhasil. Lebih jauh lagi, pada hewan percobaan DA, ruam ekzema
tidak terjadi pada keadaan tanpa sel T. Sebagai tambahan, pengobatan dengan inhibitor
calcineurin topikal, yang secara spesifik menargetkan pada sel T, secara bermakna
mengurangi ruam kulit klinis DA.
Beberapa penelitian telah memperlihatkan, pada akut DA, hadirnya sel T yang mirip
Th-2 yang memproduksi sitokin meningkatkan inflamasi kulit alergi. Selama fase kronik DA,
terjadi pertukaran sel mirip Th-1 yang primer menghasilkan IFN-α. Sel mirip Th-2 ini
memulai aktivasi dan apoptosis keratinosit. Baru-baru ini, sel T regulator (Treg) telah
dijelaskan sebagai subtipe yang lebih jauh lagi dari sel T yang memiliki fungsi
immunosupresi dan profil Th1 nya berbeda dari sel Th1 dan Th2. Sel Treg dapat
menginhibisi perkembangan respon Th1 dan TH2. Mutasi pada faktor nuklear yang

5
terekspresi di sel Treg, FoxP3, menyababkan sindrom IPEX (disregulasi imun,
poliendokrinopati, enteropati, X-linked) yang dikateristikkan dengan meningkatnya serum
IgE, alergi makanan, dan ekzema. Menariknya, superantigen staphylococcus menumbangkan
fungsi sel Treg dan mungkin menyebabkan bertambahnya inflamasi kulit.
Ada juga yang menarik perhatian yaitu pengaturan sel Th17 terhadap
imunopatogenesis DA. Sel-sel tersebut menghasilkan sitokin inflamasi seperti IL17 dan
diperkirakan berperan pada pertahanan host terhadap induksi keratinosit untuk menghasilkan
peptida anti mikroba seperti promosi kemotaktis neutrofil. Th17 meningkat pada lesi kulit
penyakit autoimun, seperti psoriasis, yang menimbulkan respon inflamasi, termasuk infiltrasi
neutrofil tetapi juga meredakan infeksi kulit. Dibandingkan dengan psoriasis, lesi kulit DA
jelas tampak adanya lebih sedikit sel T yang lebih ekpresikan IL-17, tetapi meningkatkan
jumlah sel IL-4+. Lebih lanjut, telah ditemukan sitokin Th2, IL-4 dan IL-13, menghambat IL-
17 menginduksi generasi peptida antimikroba. Menariknya, peningkatan independen ekspresi
sel IL-22, sebenarnya melalui produksi sel Th17, dapat ditemukan pada kulit DA dan
diperkirakan berkontribusi dengan hiperplasia epidermis.

Keratinosit. Keratinosit memainkan peranan kitis dalam bertambahnya inflamasi kulit


Atopik. Keratinosit DA mensekresikan profil unik kemokin dan sitokin setelah pajanan
terhadap sitokin pro-inflamasi. Ini termasuk level tinggi RANTES setelah stimulasi dengan
TNF-α dan IFN-γ. Keratinosit juga merupakan sumber penting lymphopoetin stroma sistemik
(TSLP), yang mengaktivasi DCs dan sel T polos untuk memproduksi IL-4 dan IL-13
(difrensiasi sel Th2). Kepentingan TSLP pada patogenesis DA didukung dengan observasi
bahwa tikus yang secara genetik dimanipulasi untuk mengekspresikan TSLP berlebihan pada
kulit mengalami inflamasi kulit yang mirip DA. Derivat kulit TSLP juga dianggap sebagi
pemicu timbulnya ashma.
Keratinosit juga memainkan peranan kunci dalam respon imun alami kuli via ekspresi
reseptor mirip Toll, produksi sitokin pro-inflamasi dan peptida antimikroba (seperti defensin β
manusia dan cathelicidin) sebagai respon terhadap cedera jaringan atau invasi mikroba.
Beberapa penelitian sekarang telah memperlihatkan bahwa keratinosit DA menghasilkan
jumlah yang lebih sedikit dari peptida antimikroba dan hal ini mungkin merupakan
predisposisi individu DA untuk terjadinya kolonisasi DA dan infeksi S.aureus, virus, dan
jamur. Defek ini, namun, tampaknya didapat sebagai hasil inhibisi yang dimediasi sitokin
Th-2 (IL-4, IL-10, dan IL-13) yang menyebabkan terhambatnya pembentukan peptida
antimikroba yang diinduksi oleh TNF dan IFN-γ.

Genetika
6
Dermatitis atopik secara familial ditransmisikan dengan pengaruh maternal yang kuat.
Gambaran genom keluarga dengan DA telah mengimplikasikan regio kromosom yang
tumpang tindih dengan penyakit kulit inflamasi lainnya seperti psoriasis. Bersama dengan
penelitian gen, hal ini telah menyediakan pengetahuan yang lebih dalam mengenai
patogenesis DA. Meskipun banyak gen yang sepertinya terlibat dalam pembentukan DA,
terdapat ketertarikan khusus pada peran potensial dari gen sawar kulit/difrensiasi epidermis
dan gen respon imun/pertahanan pejamu.
Mutasi kehilangan fungsi dari protein sawar epidermis, filaggrin, telah diperlihatkan
sebagai faktor predisposisi utama untuk DA sama seperti ichthyosis vulgaris, kelainan
keratinisasi yang dihibungkan dengan DA. Dari catatan, gen filaggrin ditemukan pada
kromosom 1q21 yang mengandung gen (termasuk loricrin dan S100 protein terikat kalsium)
pada kompleks diferensiasi epidermis, yang diketahui akan diekspresikan di epidermis.
Analisis mikro DNA menunjukkan regulasi naik dari protein terikat kalsium S100 dan
regulasi turun dari loricrin dan filagrin pada DA. Pendekatan gen kandidat juga
mengimplikasikan varian pada gen SPINK5, yang banyak diekspresikan di bagian paling atas
dari epidermis dimana produknya, LEKT1, menginhibisi dua protease serin yang terlibat
dalam inflamasi dan deskuamasi (enzim triptik stratum korneum dan enzim chymotriptik
stratum korneum). Ekspresi enzim triptik stratum korneum dan enzim chymotryptic stratum
korneum meningkat pada DA, menyiratkan bahwa ketidakseimbangan aktivitas protease
melawan inhibitor protease mungkin berkontribusi pada inflamasi akut Atopik. Observasi ini
menciptakan peran kunci terganggunya fungsi sawar kulit pada patogenesis DA, karena
formasi sawar kulit memungkinkan terjadinya kehilangan air transepidermal dan yang lebih
penting, meningkatkan masuknya alergen, antigen, dan bahwa kimia dari lingkungan yang
menyebabkan respon inflamasi kulit. Penting untuk dicatat bahwa mutasi filagrin, dan
tampaknya mutasi lainnya yang mempengaruhi sawar kulit, dapat terjadi pada individu yang
tidak terkena DA, pasien dengan ichthyosis vulgaris yang tidak memiliki DA, dan
kebanyakan pasien DA dengan respon inflamasi yang lebih hebat. Oleh karena itu, produk gen
lainnya juga terlibat dalam patologi DA.
Kromosom 5q31-33 mengandung cluster keluarga dari gen sitokin IL-3, IL-4, IL-5,
IL-13, faktor stimulasi makrofag granulosit yang diekspresika oleh sel Th2. perbandingan
kasus kontrol menunjukkan hubungan genotip antara alel T dari polimorfisme 590C/T dari
gen IL-4 dengan DA. Karena alel T dihubungkan dengan meningkatnya aktivitas promoter
gen IL-4 bila dibandingkan dengan alel C, hal ini menunjukkan bahwa perbedaan genetik
dalam aktivitas transkripsi gen IL-4 mempengaruhi predisposisi DA. Sebagai tambahan, suatu
hubungan DA dengan mutasi fungsi yang didapat pada subunit α dari resptor IL-4 telah
7
dilaporkan, menyediakan dukungan lebih lanjut bagi konsep yang mengatakan bahwa ekspresi
gen IL-4 memainkan peranan penting pada DA. Mutasi fungsional pada regio promoter
kemokin C-C, RANTES, dan eotaxin, juga varian IL-13, subunit β dari reseptor permukaan
afinitas tinggi untuk IgE (FceR1) ditemukan di basofil dan sel mast menunjukkan dasar
genetik yang tumpang tindih dengan penyakit Atopik lainnya. Keterlibatan immunoglobulin
sel T dan molekul-1 yang mengandung mucin, dan gen IL-18 mendukung peran sel T CD4
dan disregulasi gen Th1 pada patofisiologi DA. Hal yang sama, laporan hubungan DA
dengan polimorfisme gen NOD1, yang mengkode reseptor pengenalan patogen sistosolik dan
reseptor mirip Toll, menunjukkan peran penting gen pertahanan pejamu dalam patogenesis
DA. Pembaca dirujuk ke bab 8 dan referensi 31 untuk diskusi yang lebih lengkap mengenai
genetika DA.

Peran Pruritus pada Dermatitis Atopik


Pruritus merupakan gambaran utama dari DA, bermanifestasi sebagai hiperaktivitas
kutaneus dan penggarukan setelah pajanan dengan alergen, perubahan kelembaban, keringat
berlebihan, dan iritan konsentrasi rendah. Kontrol pruritus menjadi penting karena cedera
mekanik dari menggaruk dapat menyebabkan pelepasan kemokin dan sitokin pro-inflamasi,
dan berakhir dengan siklus jahat menggaruk-gatal yang lebih merusak ruam kulit DA.
Mekanisme pruritus pada DA hanya sedikit dimengerti. Pelepasan histamin yang diinduksi
alergen dari sel mast bukan merupakan penyebab eksklusif pruritus pada DA, karena
antihistamin tidak efektif dalam mengontrol gatal pada DA. Observasi bahwa pengobatan
dengan kortikosteroid topikal dan inhibitor calcineurin efektif untuk mengurangi pruritus
menunjukkan bahwa sel inflamasi memainkan peranan penting dalam pruritus. Molekul yang
telah diimplikasikan pada pruritus termasuk sitokin dari sel T seperti IL-31, neuropeptida dari
stres, protease seperti protease yang dapat beraksi pada reseptor protease aktif, eicosanoids,
dan protein turunan eosinofil. Pembaca dirujuk ke bab 102 untuk diskusi lengkap mengenai
patofisiologi pruritus.

TEMUAN KLINIS
Diagnosis DA berdasarkan temuan klinik yang dirangkum pada tabel 14-1. Biasanya DA
dimulai selama masa bayi. Kira-kira 50 persen pasien mendapat penyakit ini pada tahun
pertama kehidupan dan 30 persen tambahan antara usia 1-5 tahun. Antara 50 persen dan 80
persen pasien dengan DA juga terkena rinitis alergi atau asma pada masa anak-anak. Banyak
pasien ini mengalami DA yang lebih parah saat mereka mulai terkena alergi pernapasan.

Lesi Kutan

8
Pruritus hebat dan reaktivitas kutan merupakan gambaran kardinal DA. Pruritus dapat
intermiten sepanjang hari tapi biasanya memburuk pada sore dan malam hari.
Konsekuensinya adalah menggaruk, papul prurigo (gambar 14-1), likenifikasi (gambar 14-2),
lesi kulit ekzema. Lesi kulit akut dikarakteristikkan dengan papul eritem, dengan pruritus
hebat yang dihubungkan dengan ekskoriasi, vesikel di atas kulit eritem, dan eksudat serosa
(gambar 14-3). Dermatitis subakut dikarakteristikkan dengan eritema, ekskoriasi, papul
berkrusta (gambar 14-4). DA kronik dikarakteristikkan oleh plak tebal kulit, likenifikasi, dan
papul fibrotik (prurigo nodularis; Gambar 14-5). Pada DA kronik, ketiga tingkatan reaksi
kulit seringkali terdapat pada individu yang sama. Pada semua tingkatan DA, pasien biasanya
memiliki kulit kering dan cerah (gambar 14-6).
Distribusi dan pola reaksi kulit bervariasi menurut usia pasien dan aktivitas penyakit. Pada
bayi, DA umumnya lebih akut dan secara primer melibatkan wajah, kulit kepala, dan
permukaan ekstensor ekstremitas (gambar 14-7). Area popok biasanya bersih. Pada anak-anak
yang lebih tua, dan mereka yang memiliki penyakit kulit jangka lama, pasien terkena bentuk
kronik DA dengan likenifikasi dan lokalisasi ruam pada lipatan fleksor ekstremitas (gambar
14-8). DA seringkali mereda seiring bertambahnya usia pasien, menyebabkan individu
dewasa dengan kulit yang cendrung untuk gatal dan terinflamasi bila terpajan dengan iritan
eksogen. Ekzema tangan kronik mungkin merupakan manifestasi primer pada banyak orang
dewasa dengan DA (gambar 14-9). Gambaran yang berhubungan dengan DA lainnya di
daftar pada tabel 14-1.

1 2 3

Gambar 14-1. Papul prurigo pada dermatitis atopik. Gambar 14-2. Likenifikasi pada leher dan bahu pada
pasien dermatitis atopik dewasa. Gambar 14-3. Gambaran krusta dan lesi eksematus pada dermatitis atopik
balita.

Tes Laboratorium
Tes laboratoriun tidak diperlukan pada evaluasi dan pengobatan rutin DA yang tidak
disertai dengan komplikasi. Level IgE serum meningkat pada sekitar 70 persen hingga 80
persen pasien DA. Hal ini dihubungkan dengan sensitisasi melawan inhalan dan alergen
makanan dan atau bersamaan dengan terdapatnya rinitis alergi dan asma. Sebaliknya, 20
persen hingga 30 persen pasien DA memiliki level IgE serum normal. Tipe DA ini memiliki

9
sensitisasi IgE yang rendah melawan inhalan atau alergen makanan. Namun, beberapa pasien
ini mungkin memiliki sensitisasi IgE melawan antimikroba seperti toksin S.aureus dan
Candida albicans atau Malassezia sympodialis yang dapat dideteksi. Hal lainnya, beberapa
pasien ini menunjukkan reaksi positif menggunakak tes tempel Atopik terlepas tes kulit reaksi
cepat yang negatif.
Mayoritas pasien dengan DA juga memiliki eosinofilia darah perifer. Pasien dengan
DA memiliki pelepasan histamin spontan yang tinggi dari basofil. Temuan ini sepertinya
mencerminkan respon imun Th2 sistemik pada DA khususnya pasien yang memiliki level IgE
serum yang meningkat. Pentingnya, darah perifer kulit yang mengandung sel CLA T pada DA
mengekspresikan baik CD4 atau CD8 secara spontan mensekresikan IL-5 dan IL-13, yang
secara fungsional memperpanjang hidup eosinofil dan memulai sintesis IgE.

4 5 7

6 8 9

Gambar 4. Papul eritem pada pasien dermatitis atopik subakut. Gambar 5. Likenifikasi dan hiperpigmentasi
berat pada prurigo papul terlihat pada pasien dengan dermatitis atopik kronik. Gambar 6. Infiltrat, kulit wajah
eritem dengan sisik pada dermatitis atopik dewasa. Penjelasan garis mata infraorbita bagian lateral (Dennie-
Morgan). Gambar 7. Garukan pada bayi dengan dermatitis atopik. Gambar 8. Dermatitis atopik pada balita
dengan likenifikasi antekubiti dan papul pruritik ekzema berat. Gambar 9. Papul khas, vesikel dan erosi pada
tangan dermatitis atopik.

DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING


Tabel 14-1 merupakan daftar gambaran klinis dari DA. Dari gambaran mayor, pruritus
dan dermatitis ekzema kronis berulang dengan morfologi dan distribusi khas penting untuk
diagnosis. Gambaran lain, termasuk alergi eksogen atau peningkatan IgE, juga tesedia, dan
beberapa gambaran lain yang berhubungan pada tabel dapat menjadi tanda yang bermanfaat
10
untuk membedakan individu dengan DA dari populasi umum yang tidak terkena. Beragam
kriteria diagnostik telah ditujukkan untuk memandu diagnosis klinis, definisi pasien untuk
penelitian klinik, dan penelitian epidemiologi populasi. Daftar kriteria diagnostik yang telah
disaring dan cocok untuk penelitian epidemiologi telah dibuat dan divalidasi oleh pekerja di
United Kingdom.
Kotak 14-1 mendata sejumlah penyakit kulit inflamasi, imunodefisiensi, keganasan
kulit, kelainan genetik, penyakit infeksi, dan infestasi yang berbagi gejala dan dengan tanda
DA. Penyakit-penyakit ini harus dipertimbangkan dan digugurkan sebelum diagnosis DA
dibuat. Bayi yang datang pada tahun pertama kehidupan dengan gagal tumbuh, diare, ruam
eritem berkrusta menyeluruh dan atau infeksi sistemik harus dievaluasi untuk sindrom
imunodefisiensi kombinasi berat. Sindrom Wiskott-Aldrich merupakan kelainan resesif terkait
kromosom X yang dikarakteristikkan dengan temuan kulit yang hampir tidak dapat dibedakan
dari DA. Penyakit ini dihubungkan dengan trombositopeni, abnormalitas pada imunitas
seluler dan humoral, dan infeksi bakteri berat berulang. Sindrom hiper-IgE dikarakteristikkan
dengan peningkatan level IgE serum, fungsi sel T terganggu, infeksi bakteri dalam berulang,
termasuk abses kulit karena S.aureus dan atau pruritus kulit karena pustulosis S.Aureus, atau
oleh dermatofitosis yang membandel. Erupsi papulopustular pada wajah dan kulit kepala
dapat terlihat pada awal kehidupan. Meskipun S.aureus merupakan patogen penting pada
kelainan ini, infeksi oleh bakteri lain, virus, dan jamur dapat terjadi, khususnya bila pasien
menggunakan antibiotik profilaksis anti-staphyloccous jangka panjang. Gambaran sindrom
hiper-IgE lain meliputi pneumonia dengan pembentukan pneumatocele, kelainan gigi dengan
gigi susu menetap, fraktur tulang/, dan osteopeni. Bentuk autosomal resesif dari sindrom
hiper-IgE menunjukkan eosinofilia berat, infeksi virus dan bakteri berulang, meningkatnya
resiko penyakit autoimun, dan manifestasi neurologis berat, tetapi bukan berupa
pneumatoceles dan defek gigi dan tulang. Sekarang defisiensi Tyk2 dan defisiensi dedicator
of Cytokinesis 8 protein (DOCK8) telah ditemukan, menyebabkan defek yang luas terhadap
aktivasi sel-T.
Penting untuk dikenali bahwa orang dewasa yang datang dengan ekzema, alergi
pernapasan, atau riwayat Atopik dalam keluarga mungkin menderita dermatitis kontak alergi.
Alergen kontak harus dipertimbangkan pada pasien DA yang tidak merespon pengobatan
yang cukup. Dari catatan, kontak alergi terhadap glukokortikoid topikal dan inhibitor
calcineurin topikal telah dilaporkan pada pasien dengan dermatitis kronik. Sebagai tambahan,
limfoma sel T kutan harus disingkirkan pada setiap orang dewasa yang datang dengan
dermatitis kronik yang memiliki respon buruk terhadap terapi glukokortikoid topikal.
Idealnya, biopsi harus dilakukan dari 3 tempat terpisah, karena histologi mungkin
11
menunjukkan spongiosis dan infiltrat seluler yang mirip DA. Dermatitis ekzema juga telah
dilaporkan dengan virus HIV sebagaimana dengan beragam jenis infestasi seperti skabies.
Kondisi lain yang dapat membingungkan dengan DA termasuk psoriasis, ichtyosis, dan
dermatitis seboroik.

Kotak 14-1
Diagnosis banding Dermatitis Atopik
Paling sering GANGGUAN YANG KURANG UMUM/JARANG
 Dermatitis kontak (alergi dan iritan) YANG PREDOMINAN PADA BAYI/ANAK-ANAK
 Dermatitis seboroik  Metobolik/berkaitan dengan gizi
 Skabies o Fenilketonuria
 Psoriasis o Defisiensi prolidase
 Iktiosis vulgaris o Defisiensi karboksilase multipel
 Keratosis pilaris o Defisiensi seng (akrodermatitis enteropatika;
 Dermatofitosis prematuritas; defisiensi seng ASI; kista
fibrosis)
Dapat dipertimbangkan  Gangguan imunodefisiensi primer
 Ekzema asteatotik o Gangguan imunodefisiensi gabungan yang
 Liken simpleks kronik berat
 Dermatitis numuler o Sindrom DiGeorge
 Dermatosis juvenil palmar-plantar o Hipogammaglobulinemia
 Impetigo o Agammaglobulinema
 Erupsi obat o Sindrom Wiskott-Aldrich
 Dermatitis perioral o Ataksia-telagiektasia
 Pitiriasis alba o Sindrom hiperimmunoglobulin E
 Gangguan fotosensitivitas (hydroa vacciniforme; o Kandidiasis mukokutaneus kronik
erupsi ringan polimorfik, porfiria) o Sindrom Omenn
 Dermatitis molluskum
 Sindrom genetik
GANGGUAN YANG JARANG, PREDOMINAN o Sindrom Netherton
PADA REMAJA & DEWASA o Sindrom Hurler
 Limfoma sel T kutaneus (mikosis fungoides atau  Gangguan inflamasi, autoimun
sindrom Sezary), Dermatosis terkait HIV, Lupus o Gastroenteritis eosinofilik
eritematosus, Dermatomiositis o Enteropati sensitif gluten
 Penyakit graft-versus-host o Lupus eritematosus neonatus
 Pemfigus foliaceus dan Dermatitis herpetiformis  Gangguan proliferatif
 Gangguan fotosensitivitas (hydroa vacciniforme; o Histiositosis sel Langerhans
erupsi ringan polimorfik, porfiria)

KOMPLIKASI
Masalah mata/okuler
Komplikasi mata berkaitan dengan DA berat yang dapat berujung pada morbiditas
yang signifikan. Dermatitis kelopak mata dan blefaritis kronik umumnya dikaitkan dengan
DA dan dapat menyebabkan gangguan penglihatan dari ulkus kornea. Keratokonjungtivitis
Atopik biasanya bilateral dan dapat mempunyai gejala yang tidak mengenakkan meliputi rasa

12
gatal, rasa terbakar, rasa tersayat-sayat, dan keluarnya sekret mukoid yang terus menerus.
Konjungtivitis vernal merupakan proses inflamasi kronik rekuren bilateral yang berat yang
berkaitan dengan hipertrofi papiler, atau terbentuk benjolan-benjolan (cobblestone) pada
konjungtiva kelopak mata atas. Hal ini biasanya terjadi pada pasien berusia lebih muda dan
mempunyai insiden musiman yang bisa ditandai, sering terjadi musim semi. Pruritus yang
intens yang berkaitan dengan pajanan terhadap iritan, cahaya, atau keringat. Keratokonus
merupakan sebuah deformitas kornea yang dipercayai berasal dari gesekan kronis mata pada
pasien dengan DA dan rinitis alergika. Katarak dilaporkan pada literatur sebelumnya yang
dapat terjadi hingga 21% dari pasien dengan DA berat. Namun demikian, tidak jelas apakah
hal ini utamanya disebabkan manifestasi primer DA ataukah merupakan akibat penggunaan
glukokortikoid sistemik dan topikal secara berlebihan, khususnya di sekitar mata. Memang,
studi yang terbaru menyarankan bahwa skrining rutin untuk katarak pada pasien dengan DA
tidak produktif kecuali jika ada perhatian tentang efek samping potensial dari terapi steroid.

Infeksi
DA dapat dipersulit dengan infeksi kulit viral berulang kali yang mencerminkan defek
fungsi sel T lokal. Infeksi virus yang paling serius adalah herpes simpleks (lihat bab 193),
yang dapat mempengaruhi pasien dari seluruh usia, yang menyebabkan erupsi Kaposi
variseliform atau eksema herpetikum. Setelah periode inkubasi 5 hingga 12 hari, multipel,
gatal, erupsi lesi vesikopustuler dengan pola diseminata; lesi vesikuler umbilicated, cenderung
menonjol, dan sering menjadi berdarah dan berkrusta (gambar 14-10) dan menyebabkan erosi
yang sangat nyeri dan berlekuk di tengahnya (punched-out). Lesi ini dapat bergabung menjadi
besar, dan area yang berdarah dapat meluas ke seluruh tubuh.
Meskipun infeksi cacar air (smallpox) telah dieradikasi selulruh dunia sejak akhir
1970-an, ancaman bioterorisme (dengan cacar air dan agen infeksius lainnya) telah membuat
negara ini mempertimbangkan ulang peraturan program inisiasi vaksin. Pada pasien DA,
vaksin cacar air (atau bahkan pajanan terhadap individu yang tervaksin) (lihat bab 195) dapat
menyebabkan erupsi meluas yang berat (disebut eksema vaksinatum) yang tampak sangat
mirip dengan eksema herpetikum. Sehingga, pada pasien dengan DA, vaksinasi
dikontraindikasikan kecuali ada indikasi yang jelas tentang risiko cacar air. Sebagai tambahan,
keputusan vaksinasi anggota keluarga harus mempertimbangkan eksema vaksinatum yang
potensial terjadi melalui kontak rumah tangga.
Infeksi jamur superfisial juga merupakan topik yang umum pada individu atopik dan
dapat berkontribusi terhadap kambuhnya DA. Pasien dengan DA mempunyai peningkatan
prevalensi infeksi Trichophyton rubrum yang dibandingkan dengan kontrol non Atopik. Ada
ketertarikan khusus terhadap peranan M. furfur (Pityrosporum ovale atau P. orbiculare) pada
13
DA. M. furfur merupakan ragi lipofilik (lihat bab 189) yang umumnya muncul pada area
seboroik dari kulit. Antibodi IgE terhadap M. furfur umumnya ditemukan pada pasien DA dan
paling sering pada pasien dengan dermatitis kepala dan leher. Sebaliknya, sensitisasi IgE
jarang diobservasi pada kontrol normal atau asma. Reaksi tes tempel (patch test) alergen
positif terhadap ragi ini juga telah ditunjukkan. Peran yang potensial dari M. furfur
sebagaimana infeksi dermatofit lainnya yang lebih jauh didukung oleh pengurangan tingkat
keparahan DA pada kulit pada pasien setelah pengobatan dengan agen antijamur.

10

Gambar 10.Ekzema herpetikum. Vesikel khas dan krusta pada pasien dengan penyakit
diseminata

S. aureus ditemukan pada lebih dari 90% dari lesi kulit DA. Krusta warna madu,
folikulitis, dan pioderma merupakan indikator infeksi kulit bakterial, biasanya disebabkan
oleh S. aureus, yang memerlukan terapi antibiotik. Limfadenopati regional umumnya terdapat
pada pasien ini. Peran S. aureus pada DA didukung oleh observasi bahwa pasien dengan DA
yang berat, bahkan pada pasien dengan infeksi yang jelas, dapat menunjukkan respon klinis
terhadap pengobatan gabungan antibiotik antistafilokokal dan glukokortikoid topikal.
Meskipun pustulosis stafilokokal rekuren dapat menjadi masalah yang signifikan pada DA,
infeksi S. aureus yang dalam jarang terjadi dan seharusnya menaikkan kemungkinan sindrom
imunodefisiensi seperti sindrom hipe-IgE. Stafilokokus yang resisten metisilin mungkin
merupakan patogen yang penting pada beberapa pasien.

Dermatitis tangan
Pasien dengan DA sering menderita dermatitis tangan iritan yang nonspesifik. Hal ini
sering dipicu oleh pembasahan berulang dan melalui pencucian tangan dengan sabun yang
kasar, deterjen, dan disinfektan. Individual Atopik dengan pekerjaan yang melibatkan kerja
basah rentan untuk mendapatkan dermatitis tangan. Hal ini merupakan penyebab umum
diabilitas pekerjaan.

Dermatitis eksfoliativa
14
Pasien dengan keterlibatan kulit yang luas dapat mengalami dermatitis eksfoliativa
(lihat bab 23). Hal ini dikaitkan dengan kemerahan yang merata, timbul sisik, krusta,
toksisitas sistemik, limfadenopati dan demam. Meskipun komplikasi ini jarang, dan dapat
membahayakan secara potensial. Hal ini biasanya disebabkan oleh superinfeksi, sebagai
contoh, melalui S. aureus yang menghasilkan toksin, atau infeksi herpes simpleks, iritasi kulit
yang berkelanjutan, atau terapi terkait. Pada beberapa kasus, penarikan glukokortikoid
sistemik yang ditujukan untuk mengontrol DA berat dapat menjadi faktor pencetus
eritroderma eksfoliativa.

PROGNOSIS DAN PERJALANAN KLINIS PENYAKIT


Perjalanan penyakit alamiah dari DA ini tidak diketahui secara menyeluruh
dikarenakan studi-studi memiliki kekurangan dalam artian tidak menyertakan ukuran sampel
yang adekuat, definisi dari status remisi yang tidak jelas, lamanya waktu follow up yang tidak
adekuat, adanya bias seleksi pada kohort awal, dan banyaknya pasien yang hilang ketika di-
follow up. Namun demikian, meskipun hasil dari DA sulit untuk diperkirakan pada setiap
individu yang mendapatkannya, penyakit ini secara umum cenderung lebih berat dan menetap
pada anak-anak berusia muda. Periode remisi tampaknya lebih sering muncul seiring
pertambahan usia pasien. Resolusi spontan DA telah dilaporkan terjadi setelah usia 5 tahun
pada 40%-60% pasien yang terkena selama masa bayi, khususnya jika penyakit mereka ringan
sifatnya. Meskipun studi terbaru menyiratkan bahwa kira-kira 84% anak-anak yang penyakit
DA-nya mengalami perluasan hingga masa remaja, studi yang lebih baru telah melaporkan
bahwa DA menghilang pada kira-kira 20% anak-anak diikuti terus dari masa bayi hingga
remaja, tetapi menjadi lebih berkurang parahnya pada 65% kasus. Sebagai tambahan, lebih
dari satu setengah remaja yang diobati dermatitis ringannya dapat mengalami relapsnya
penyakit seiring mereka beranjak dewasa. Mutasi filagrin dihubungkan dengan tingginya
angka dermatitis atopik persisten pada masa anak lanjut atau masa dewasa. Pentingnya
konseling pekerjaan, bagi dewasa yang mempunyai riwayat DA pada masa kanak-kanak telah
berada pada remisi selama bertahun-tahun dapat kembali mengalami dermatitis tangan,
khususnya jika aktivitas harian memerlukan pembasahan tangan yang berulang-ulang. Faktor
prediktif berikut berkorelasi dengan prognosis DA yang buruk: DA yang meluas pada anak-
anak, DA yang terkait dengan rinitis alergika dan asma, riwayat DA pada keluarga atau
saudara, usia awal pada waktu terkena DA, cenderung mengenai anak tunggal, dan kadar IgE
serum yang tinggi.
PENATALAKSANAAN
Tatalaksana DA yang baik memerlukan pendekatan sistematis dan multiprolong yang
menggabungkan hidrasi kulit yang terkena, terapi farmakologis, dan identifikasi serta
15
eliminasi faktor pencetus seperti iritan, alergen, agen infeksius, dan stres emosional (gambar
14-11). Banyak faktor yang menyebabkan gejala khas dari AD menjadi kompleks. Sehingga,
rencana pengobatan seharusnya diindividualisasi untuk mengurutkan pola reaksi penyakit
kulit pada setiap pasien, meliputi ketajaman ruam, dan faktor pencetus yang unik pada pasien
tertentu. Pada pasien yang tidak respon terhadap pengobatan konvensional, agen alternatif
anti-inflamasi dan imunomodulator mungkin diperlukan.

Terapi topikal
Hidrasi Kulit. Pasien dengan DA mengalami penurunan fungsi sawar kulit, dan kulit kering

(xerosis) berkontribusi terhadap morbiditas penyakit dengan timbulnya mikrofisura dan


retakan pada kulit, yang dapat menjadi portal masuknya patogen kulit, iritan, dan alergen.
Masalah ini dapat meluas selama bulan-bulan musim dingin yang kering dan pada lingkungan
kerja tertentu. Mandi dengan air hangat sedikitnya 20 menit yang diikuti dengan pemberian
emolien oklusif untuk mendapatkan kelembaban dapat meringankan gejala pasien.
Penggunaan emolien efektif yang dikombinasikan dengan terapi hidrasi membantu
mengembalikan dan menyiapkan sawar stratum korneum, dan dapat menurunkan kebutuhan
glukokortikoid topikal. Pelembab tersedia dalam bentuk losio, krim, atau salep. Beberapa
losio dan krim dapat mengiritasi dikarenakan pengawet yang ditambahakan, pelarut, dan
pengharum. Lotio mengandung air yang dapat mengering yang disebabkan oleh efek
penguapan. Salep hidrofilik dapat diambil dalam berbagai derajat kekentalan/kepekatan
tergantung kepada pilihan pasien. Salep oklusif terkadang tidak dapat ditoleransi dengan baik
dikarenakan berlawanan dengan fungsi saluran kelenjar ekrin dan induksi folikulitis. Pada
pasien ini, agen yang tidak terlalu oklusif yang seharusnya digunakan.
Terapi topikal untuk menggantikan lapisan lemak epidermal yang abnormal,
memperbaiki hidrasi kulit, dan mengurangi disfungsi sawar kulit dapat berguna secara
terapetik. Studi telah menunjukkan keuntungan preparat topikal dengan komposisi yang jelas
lemak dan seramid, sama halnya dengan krim nonsteroid yang mengandung palmitamid
MEA, sebagai asam lemak esensial, dan krim hidrofilik dengan asam glisirretinitik
(MAS063ADP). Studi klinis lebih jauh untuk mendefinisikan keuntungan relatif terhadap
pelembab tradisonal dan agen antiinflamasi topikal akan membantu.
Hidrasi, dengan cara mandi atau balut basah, mendorong penetrasi glukokortikoid
topikal transepidermal. Balutan juga bekerja sebagai sawar terhadap penggarukan yang
menetap, yang akhirnya dapat mendorong penyembuhan yang cepat dari lesi yang terbuka.
Balut basah direkomendasikan untuk digunakan pada area dermatitis berat yang terkena lama
yang tidak respon terhadap terapi. Namun demikian, penggunaan yang berlebihan dari balut
basah ini dapat menyebabkan maserasi kulit yang dipersulit dengan komplikasi infeksi
16
sekunder. Balut basah atau mandi juga secara potensial dapat menyebabkan kekeringan dan
keretakan pada kulit jika tidak diikuti dengan penggunaan emolien topikal. Sehingga, terapi
balut basah diberikan untuk DA yang kurang terkontrol dan seharusnya diawasi secara ketat
oleh dokter.

Terapi Anti Inflamasi Topikal


Penelitian terbaru terhadap TEWL, seperti halnya pada berbagai parameter barrier epidermis
termasuk hidrasi stratum korneum dan kekeringannya. Peneliti menemukan bukti dengan
berbagai parameter ketika pasien DA diterapi dengan topikal steroid ( krim betametason
valerat 0,1% ) dan topikal calsineurin inhibitor ( krim pimecrolimus 1% ) dioleskan pada lesi
di ekstremitas atas. Mikroskop elektron digunakan mengevaluasi struktur barrier yang
dibentuk oleh lapisan lipid dan ektrusi badan lamellar reguler pada kulit yang diterapi dengan
calsineurin inhibitor tetapi tidak sesuai dengan lipid bilayer ekstraseluler dan hanya sebagian
terisi badan lamelarnya pada kulit yang diterapi dengan steroid. Kedua terapi ini
menormalkan diferensiasi epidermis dan mengurangi hiperproliferasi epidermis. Kedua anti
inflamasi meningkatkan ekspresi filagrin dan involucrin pada kulit. Betametason valerat
paling baik mengurangi gejala klinis dan proliferasi epidermis, terapi dua kali sehari
digunakan selama 3 minggu pada epidermis yang menebal. Peneliti menyimpulkan bahwa
sejak pimecrolimus terbukti memperbaiki sawar epidermis dan tidak menyebabkan atropi
kulit, itu mungkin digunakan pada pengobatan DA jangka panjang. Bagaimanapun penemuan
steroid topikal lebih efektif mengurangi gejala klinis dan inflamasi mendukung penggunaan
steroid topikal untuk intervensi akut pada flare DA .

Terapi Glukokortikoid Topikal. Glukokortikoid topikal merupakan batu pijakan untuk


tatalaksana lesi kulit eksematus. Oleh karena efek samping yang potensial terjadi, sebagian
besar dokter menggunakan glukokortikoid topikal hanya untuk mengontrol eksaserbasi akut
DA. Namun demikian, studi terbaru menyiratkan bahwa sekali kontrol DA tercapai dengan
regimen glukokortikoid topikal harian, kontrol jangka panjang dapat dicapai pada pasien
dengan aplikasi flutikason topikal dua kali sepekan ke area yang telah menyembuh namun
rentan terhadap timbulnya ekzema.
Pasien harus diberi instruksi penggunaan glukokortikoid topikal secara hati-hati untuk
menghindari efek samping potensial. Glukokortikoid terfluorinasi poten harus dihindari pada
muka, genitalia, dan area intertriginosa. Preparat glukokortikoid potensi rendah umumnya
direkomendasikan untuk area-area ini. Pasien harus diberikan instruksi pengaplikasian
glukokortikoid pada lesi kulit mereka dan untuk menggunakan emolien pada kulit yang tidak
terlibat. Kegagalan pasien untuk merespon glukokortikoid topikal terkadang disebabkan
17
persediaan yang tidak adekuat. Penting utnuk diingatkan bahwa terapi ini memerlukan kira-
kira 30 gram krim atau salep untuk menutupi seluruh permukaan kulit orang dewasa. Untuk
mengobati seluruh tubuh dua kali sehari selama 2 pekan memerlukan 840 gram (2 lb)
glukokortikoid topikal.
Ada tujuh kelas glukokortikoid topikal, diurutkan menurut potensinya berdasarkan
kerja vasokontriktornya. Oleh karena efek sampingnya yang potensial, glukokortikoid potensi
yang sangat tinggi seharusnya hanya digunakan dalam jangka waktu yang sangat singkat dan
pada area yang terlikenifikasi tetapi tidak pada wajah atau area intertriginosa. Tujuannya
adalah untuk menggunakan emolien untuk meningkatkan hidrasi kulit dan glukokortikoid
potensi rendah untuk terapi menetap. Glukokortikoid potensi sedang dapat digunakan untuk
periode waktu yang agak lama untuk mengobati DA kronik yang meliputi punggung dan
ekstrimitas. Formulasi baru topikal steroid termasuk formulasi gel tanpa dasar alkohol untuk
melembabkan kulit dan solution, minyak, sabun dan shampoo yang bermanfaat pada hear
bearing surface.
Faktor yang mendorong potensi dan efek samping glukokortikoid topikal meliputi
struktur molekuler campuran, vehikulum, jumlah obat yang diaplikasikan, lamanya aplikasi,
oklusi, sebagaimana faktor host, meliputi usia, area permukaan tubuh dan berat, inflamasi
kulit, lokasi anatomis dari kulit yang diobati, dan perbedaan individual pada metabolisme
kutaneus dan sistemik. Efek samping dari glukokortikoid topikal secara langsung berkaitan
dengan peringkat potensi dari campuran dan lamanya penggunaan, sehingga merupakan hal
yang wajib bagi para klinisi untuk menyeimbangkan kebutuhan untuk steroid yang lebih paten
dengan efek samping yang potensial. Sebagai tambahan, salep mempunyai potensi besar
untuk menembus epidermis, yang menyebabkan peningkatan absorpsi sistemik ketika
dibandingkan dengan krim. Efek samping dari glukokortikoid topikal dapat dibagi menjadi
efek samping lokal dan sistemik yang dihasilkan dari supresi aksis hipotalamus-pituitari-
adrenal. Efek samping lokal meliputi terbentuknya striae, atrofi kulit, dermatitis perioral, dan
akne rosasea. Efek samping potensial glukokortikoid topikal yang dapat menyebabkan supresi
adrenal merupakan hal terbesar yang terhadi pada bayi dan anak berusia muda. Sebagai
catatan, studi anak berusia 3 bulan menemukan bahwa krim flutikason propionat 0.05%,
formulasi potensi sedang, merupakan regimen yang aman dan efektif ketika diaplikasikan
pada wajah dan seluruh area yang signifikan pada tubuh hingga 1 bulan dan krim ini telah
diterima pemakaiannya pada anak-anak berusia 12 bulan atau lebih.
Dikarenakan kulit yang tampak normal pada DA menunjukkan bukti disregulasi
imunologis, penggunaan kortikosteroid topikal sebagai terapi maintenens telah dilaporkan
pada beberapa studi terkontrol. Sekali kontrol terhadap DA dengan pemberian regimen obat
18
sekali sehari telah dicapai, kontrol jangka panjang dapat dipertahankan dengan aplikasi
flutikason dua kali satu pekan ke area kulit yang terkena. Memberikan hasil dari pengamatan
barrier kulit dan abnormalitas imunologis dan kolonisasi pada kulit DA, oleh S. aureus,
sangat penting untuk menunjukkan terapi proaktif yang terjadi unutk mengontrol sisa
penyakit, tidak hanya aplikasi pada obat aktif menjadi kulit yang tidak terpengaruh.

Inhibitor Kalsineurin Topikal. Takrolimus dan pimekrolimus topikal telah dikembangkan


sebagai imunomodulator non steroid. Salep takrolimus 0.03% telah diterima pemakaiannya
untuk pengobatan intermiten DA moderat hingga berat pada anak-anak berusia 2 tahun atau
lebih, dengan salep takrolimus 0.1% yang telah diterima pemakaiannya pada dewasa; padahal
penggunaan krim pimekrolimus 1% telah diterima pemakaiannya pada anak berusia 2 tahun
atau lebih dengan DA ringan-moderat. Kedua obat tersebut telah terbukti efektif dengan profil
keamanan yang baik hingga 4 tahun dengan salep takrolimus dan hingga 2 tahun dengan krim
pimekrolimus. Efek samping yang paling sering diobservasi dengan inhibitor kalsineurin
topikal adalah sensasi rasa terbakar pada kulit. Hal yang sangat penting, pengobatan dengan
inhibitor kalsineurin topikal tidak dikaitkan dengan atrofi kulit, sehingga mereka khususnya
berguna untuk pengobatan area seperti wajah dan daerah intertriginosa. Surveilans yang
masih terus berjalan dan laporan terbaru tidak menunjukkan sebuah tren meningkatnya
frekuensi superinfeksi virus khususnya eksema herpetikum. Taraf keamanan jangka panjang
inhibitor kalsineurin topikal belum ditegakkan. Kasus jarang berupa keganasan kulit dan
limfoma yang telah dilaporkan dengan takrolimus topikal, meskipun level kualitas data dan
aplikabilitas laporan lain dinilai rendah pada laporan konferensi ilmiah. Penting, pada
penelitian case control dari data base yang disebut kohort dari 293, 253 pasien DaA
ditemukan meningkatnya resiko limfoma dengan menggunakan TCIs. Dua kali atau tiga kali
seminggu terapi pemeliharaan menggunakan oinment tacrolimus juga pernah dilaporkan pada
orang dewasa dan anak dengan DA.

Identifikasi dan Eliminasi Faktor Pemicu


Pertimbangan Umum. Pasien dengan DA lebih rentan terhadap iritan daripada individu yang
tidak terkena. Sehingga, penting untuk mengidentifikasi dan mengeliminasi faktor pendorong
yang memacu siklus gatal-garukan. Hal ini meliputi sabun atau deterjen, pakaian serat kasar,
dan pajanan terhadap suhu dan kelembaban yang ekstrim. Alkohol dan astringen merupakan
senyawa juga yang mengeringkan. Ketika sabun digunakan, mereka harus mempunyai
aktivitas defatting minimal dan pH yang netral. Baju baru dapat dicuci sebelum digunakan
untuk menurunkan kadar formaldehida dan bahan kimia yang ditambahkan. Sisa deterjen

19
pada baju dapat mengiritasi. Penggunaan cairan lebih pada deterjen bubuk dan menambahkan
siklus pembilasan kedua memfasilitasi pembuangan deterjen.
Rekomendasi mempertimbangkan kondisi lingkungan sekitar seharusnya meliputi
kontrol suhu dan kelembaban untuk menghindari masalah yang terkait dengan panas,
humiditas, dan perspirasi. Setiap usaha seharusnya dibuat untuk membuat anak-anak dapat
aktif sebisa mungkin. Olahraga tertentu, seperti berenang, dapat lebih baik ditoleransi
daripada olahraga lain yang menyebabkan keringat berlebihan, kontak fisik, atau pakaian dan
peralatan yang berat, tetapi klorin seharusnya sesegera mungkin setelah berenang dan kulit
diberi pelembab. Meskipun sinar UV (ultraviolet) dapat menguntungkan bagi beberapa pasien
dengan DA, tabir surya seharusnya digunakan untuk menghindari terbakarnya kulit akibat
sinar matahari. Namun demikian, sebelum tabir surya menjadi sebuah iritan, harus diperiksa
terlebih dahulu apakah produk tabir surya yang bersifat iritan.

Alergen Spesifik. Makanan dan aeroalergen seperti tungau debu, jamur dan polen telah
diobservasi dapat menyebabkan kambuhnya DA. Alergen potensial dapat diidentifikasi
dengan mengambil anamnesa riwayat dengan hati-hati dan merencanakan tes tusuk kulit
selektif atau kadar IgE serum spesifik. Tes kulit negatif atau tes serum untuk alergen spesifik
IgE yang mempunyai nilai prediktif tinggi untuk menentukan alergen yang dicurigai. Serum
IgE serum total normal, namun demikian, tidak mengungkapkan kemungkinan IgE alergen
spesifik yang ada. Tes in vitro atau kulit yang positif, khususnya pada makanan, sering tidak
berkorelasi dengan gejala klinis dan seharusnya dikonfirmasi dengan diet eliminasi makanan
terkontrol. Pemantangan makanan yang terimplikasi pada hasil rintangan terkontrol pada
perbaikan klinis. Diet eliminasi yang berlebihan, yang pada beberapa kasus dapat terjadi
defisit nutrisi, sangat jarang, jika pernah, diperlukan, dikarenakan bahkan dengan tes kulit
positif multipel, mayoritas pasien yang bereaksi terhadap tiga atau lebih makanan pada
tantangan terkontrol. Pada pasien DA yang alergi tungau debu, penghindaran tungau debu
yang diperpanjang telah ditemukan mengalami perbaikan terhadap penyakit kulit mereka.
Pengukuran tingkat penghindaran meliputi penggunaan bantal bebas tungau debu, matras, dan
kotak; mencuci kasur di dalam air panas per minggunya; penyingkiran karpet kamar tidur; dan
mengurangi kadar kelembaban di dalam ruangan dengan pemasangan AC. Dikarenakan ada
banyak pemicu yang berkontribusi terhadap gejolak DA, perhatian seharusnya difokuskan
pada identifikasi dan pengaturan faktor pemicu yang penting terhadap pasien secara
individual. Bayi dan anak berusia muda tampaknya lebih memiliki kecenderungan alergi
makanan, padahal anak-anak yang berusia lebih tua dan dewasa yang tampaknya lebih sensitif
terhadap aeroalergen lingkungan.
20
Stresor Emosional. Meskipun stres emosional tidak menyebabkan DA, namun hal ini sering
menyebabkan kambuhnya penyakit. Pasien DA sering berespon terhadap frustasi, rasa malu,
atau kejadian yang membuat stres lainnya dengan meningkatnya gatal dan garukan. Pada
beberapa situasi, garukan merupakan suatu kebiasaan dan umumnya kurang dikaitkan dengan
kekambuhan sekunder yang signifikan. Penilaian psikologis atau konseling seharusnya
dipertimbangkan pada pasien yang mengalami kesulitan dengan pemicu emosional atau
masalah psikologis, yang berkontribusi terhadap sulitnya mengatur penyakit. Hal ini terutama
khusus pada remaja dan dewasa muda yang mempertimbangkan agar penyakit kulit mereka
sangat mengganggu. Relaksasi, modifikasi perilaku, atau biofeedback dapat membantu pada
pasien dengan kebiasaan menggaruk.

Agen Infeksi. Antibiotik anti-stafilokokus sangat membantu dalam pengobatan pasien yang
terutama terkolonisasi atau terinfeksi dengan S. aureus. Sefalosporin atau penisilin resisten-
penisilinase (dikloksasiklin, oksasiklin, atau kloksasiklin) biasanya menguntungkan bagi
pasien yang resisten terhadap strain S. aureus. Oleh karena stafilokokus resisten eritromisin
merupakan hal yang umum, eritromisin dan antibiotik makrolida terbaru biasanya digunakan
secara terbatas. Antimikroba topikal seperti mupirosin, asam fusidat, atau yang terbaru
retapamulin menawarkan beberapa kepentingan pengobatan lesi yang bersifat impetiginosa.
Database Cochrane menganalisis intervensi mupirosin dan asam fusidat topikal terhadap
impetigo adalah sama efektifnya atau lebih efektif dibandingkan dengan penggunaan oral
untuk pasien dengan penyakit yang terbatas dan asam fusidat dan mupirosin sama efektifnya.
namun demikian, pada pasien harus menggunakan antibiotik topikal bila diperlukan utnuk
mencegah timbulnya organisme resisten.
Penggunaan neomisin topikal dapat menyebabkan timbulnya dermatitis kontak
alergika seperti neomisin, merupakan alergen yang sering menyebabkan dermatitis kontak.
Bagaimanapun pada pasien superinfeksi yang luas, penyebab antibiotik sistemik sering
terjadi. Methicilin-resistent Staphylococcus memerlukan kultur dan tes sensitivitas untuk
menentukan antibiotik yang tepat. Mandi dengan sodium hydroclorid cair (bleach) dapat
bermanfaat pada pasien DA dengan ekzema superinfeksi, terutam yang yang rekuren terhadap
MRSA, meskipun mereka dapat mengiritasi. Sebagai catatan, pada penelitian terkontrol dua
kali seminggu mandi berendam selama 3 bulan menunjukkan manfaat klinis, meskipun
kolonisasi S. Aureus tidak terlihat, kadangkala dikombinasikan dengan mupirosin intranasal 5
hari setiap bulannya.
Herpes simpleks dapat memancing dermatitis rekuren dan dapat disalahdiagnosa
sebagai infeksi S. aureus. Adanya lesi punch-out, vesikel, dan/atau lesi kulit terinfeksi yang
21
tidak berespon terhadap antibiotik oral seharusnya menginisiasi pencarian herpes simpleks.
Hal ini dapat didiagnosa melalui pengecatan Tzanck stain-Giemsa dari sel yang dikerok dari
basis vesikel, esai imunofluoresen langsung/direk, identifikasi reaksi rantai polimerase (PCR)
dari bahan herpes genitalis, atau melalui kultur virus. Untuk infeksi yang diperkirakan
disebabkan oleh herpes simpleks, agen anti-inflamasi topikal dapat tidak dilanjutkan, paling
tidak secara temporer. Pengobatan antivirus untuk infeksi herpes simpleks kutaneus
merupakan hal yang sangat penting pada pasien dengan DA yang menyebar luas karena
penyebaran mengancam nyawa telah dilaporkan. Asiklovir, 400 mg tiga kali sehari selama 10
hari atau 200 mg empat kali sehari selama 10 hari per oral (atau dosis ekuivalen dari satu
pengobatan antiherpes terbaru), berguna pada dewasa dengan herpes simpleks yang berasal
dari kulit. Pengobatan intravena mungkin diperlukan untuk eksema herpetikum yang berat.
Dosisnya harus diatur menurut berat badan pada anak-anak.
Infeksi dermatofit dapat mempersulit DA dan dapat berkontribusi terhadap eksaserbasi
aktivitas penyakit. Pasien dengan infeksi dermatofit atau antibodi IgE terhadap Malassezia
dapat mendapat keuntungan dari percobaan terapi antijamur topikal maupun sistemik.

Pruritus. Pengobatan pruritus pada DA seharusnya secara langsung diarahkan terutama pada
penyebab dasarnya. Pengurangan inflamasi dan kekeringan kulit dengan glukokortikoid
topikal dan hidrasi kulit, khususnya, sering secara simptomatis mengurangi pruritus. Alergen
yang terhisap dan tertelan seharusnya dieliminasi jika terdokumentasi dapat menyebabkan
ruam kulit pada tantangan terkontrol. Antihistamin sistemik bekerja terutama dengan cara
memblok reseptor H1 pada dermis, sehingga meringankan pruritus yang diinduksi oleh
histamin. Namun demikian, histamin hanya merupakan salah satu dari banyak mediator yang
dapat menginduksi pruritus kulit. Kemudian, pasien tertentu dapat memperoleh sedikit
keuntungan dari terapi antihistamin. Beberapa antihistamin yang juga merupakan ansiolitik
ringan dan dapat menawarkan keringanan simtomatik melalui efek trankuilizer dan sedatif.
Studi dari antihistamin yang terbaru dan non-sedatif menunjukkan hasil yang variabel dalam
keefektivitasan pengaturan pruritus pada DA, merkipun mereka mungkin berguna dalam
menangani pasien DA dengan urtikaria atau rinitis alergika yang terjadi bersamaan.
Oleh karena pruritus biasanya menjadi buruk pada malam hari, antihistamin sedatif,
sebagai contoh, hidroksizin atau difenhidramin, dapat menawarkan keuntungan dengan efek
samping soporifiknya ketika digunakan pada waktu tidur. Doksepin hidroklorida memiliki
baik antidepresan trisiklik maupun efek blok reseptor histamin H1 dan H2. Obat-obat ini
dapat digunakan pada dosis 10-75 mg per oral pada malam hari atau hingga 75 mg pada
pasien dewasa. Jika pruritus nokturnal tetap berat, penggunaan sedatif jangka pendek atau

22
memperpanjang waktu istirahat secara adekuat mungkin dapat dilakukan. Pengobatan DA
dengan antihistamin topikal secara umum tidak direkomendasikan dikarenakan sensitisasi
kutaneusnya yang potensial. Namun demikian, aplikasi jangka pendek (satu pekan) krim
doksepin 5% topikal telah dilaporkan mengurangi pruritus tanpa sensitisasi. Sebagai catatan,
sedasi merupakan sebuah efek samping dari aplikasi krim doksepin yang menyeluruh, dan
dermatitis kontak alergi telah dilaporkan.

Preparat tar
Preparat tar coal dapat mempunyai efek antipruritus dan anti inflamasi meskipun biasanya
tidak seterkenal obat-obatan dari glukokortikoid topikal. Preparat tar dapat berguna dalam
mengurangi potensi glukokortikoid topikal yang didapat dari terapi pemeliharaan DA kronik.
Produk tar coal terbaru yang telah dikembangkan yang lebih dapat diterima karena telah
dikurangi bau dan pernodaannya pada pakaian. Sampo tar dapat membantu untuk dermatitis
kepala dan sering membantu mengurangi konsentrasi dan frekuensi aplikasi glukokortikoid
topikal. Preparat tar seharusnya tidak digunakan pada kulit yang terinfeksi akut, karena hal ini
sering menyebabkan iritasi akut. Efek samping yang berkaitan dengan tar meliputi folikulitis
dan fotosensitivitasi. Ada risiko teoritis dar tar bahwa bahan ini dapat menjadi sebuah
karsinogenik berdasarkan studi observasi pekerja yang menggunakan komponen tar pada
pekerjaan mereka; bagaimanapun, penelitian epidemiologik tidak menunjukkan hasil yang
sama ketika digunakan secara topikal.

Fototerapi
Sinar matahari alamiah sering menguntungkan bagi pasien DA. Namun demikian, jika sinar
matahari berlangsung pada keadaan panas atau kelembaban tinggi, sehingga memicu
timbulnya keringat dan gatal, yang sangat mengganggu pasien. UVA dan UVB frekwensi
lebar/broadband, UVB frekwensi sempit/narrowband (311 nm), UVA-1 (340-400 nm), dan
fototerapi UVA-B kombinasi dapat merupakan tambahan terapi yang berguna dalam
tatalaksana DA. Investigasi mekanisme foto imunologis yang bertanggung jawab dengan atau
tanpa psoralen, padahal UVB menekan efek imunosupresif melalui memblok fungsi antigen
yang mempresentasikan LCs dan mengubah produksi sitokin keratinosit. Fotokemoterapi
dengan psoralen dan cahaya UVA dapat diindikasikan pada pasien dengan DA yang parah dan
menyebar luas, meskipun studi yang membandingkannya dengan mode fototerapi lainnya
sangat terbatas. Efek samping jangka panjang meliputi eritema, nyeri kulit, pruritus, dan
pigmentasi. Efek jangka panjang meliputi penuaan kulit prematur dan keganasan kulit
prematur (lihat bab 238 dan 239 untuk diskusi yang lebih diskusi yang lebih detil tentang
fototerapi dan fotokemoterapi).
23
Rawat inap
Pasien DA yang mengalami eritroderma atau yang telah mengalami penyakit kulit yang berat
dan menyebar luas yang resisten terhadap terapi rawat jalan seharusnya dirawat inap sebelum
pertimbangan terapi alternatif sistemik (lihat Terapi Sistemik). Pada banyak kasus,
penghindaran pasien dari alergen lingkungan atau stres emosional, edukasi pasien yang intens,
dan pengobatan komplikasi sebagai hasil terapi pada perbaikan DA. Pembersihan kulit pasien
selama rawat inap juga dapat memfasilitasi pasien dengan tes alergen kulit dan dapat secara
adekuat mengontrol tantangan provokatif agar dapat secara tepat mengidentifikasi atau
menemukan alergen potensial.

Terapi sistemik
Glukokortikoid Sistemik. Penggunaan glukokortikoid sistemik, seperti prednison oral,
jarang diindikasikan pada pengobatan DA kronik. Beberapa pasien dan dokter memilih
menggunakan glukokortikoid sistemik untuk menghindari pengobatan kulit yang
menghabiskan waktu meliputi terapi hidrasi dan topikal. Namun demikian, perbaikan klinis
yang dramatis yang dapat terjadi seiring dengan glukokortikoid sistemik sering dikaitkan
dengan kambuhnya DA secara cepat setelah penghentian glukokortikoid sistemik. Perjalanan
singkat glukokortikoid oral dapat digunakan untuk eksaserbasi DA akut padahal pengobatan
lainnya sedang diinstitusikan. Jika obat glukokortikoid oral diberikan dalam jangka waktu
pendek, sangat penting untuk mengurangi dosis secara bertahap dan memulai perawatan kulit
yang intensif, khususnya dengan glukokortikoid topikal dan mandi yang cukup sering yang
diikuti aplikasi emolien, untuk mencegah kambuhnya DA kembali.

Siklosporin. Siklosporin merupakan obat imunosupresif poten yang bekerja terutama pada sel
T dengan cara menekan transkripsi sitokin. Obat mengikat siklofilin, sebuah protein
intraseluler, dan kompleks ini, pada gilirannya, menginhibisi kalsineurin, sebuah molekul
yang diperlukan untuk inisiasi transkripsi gen sitokin. Studi multipel mendemonstrasikan
bahwa baik anak-anak maupun dewasa dengan DA yang berat, secara refrakter terhadap
pengobatan konvensional, dapat menguntungkan dari pengobatan siklosporin jangka pendek.
Regimen oral yang bervariasi yang telah direkomendasikan: 5 mg/kg yang secara umum telah
digunakan dengan keberhasilan pada penggunaan jangka pendek dan jangka panjang (satu
tahun), padahal beberapa pihak mengadvokasikan dosis harian tidak tergantung berat badan
pada dewasa dengan dosis harian siklosporin mikroemulsi 150 mg (150 mg) atau 300 mg
(dosis tinggi). Pengobatan dengan siklosporin dikaitkan dengan berkurangnya penyakit kulit
dan meningkatnya kualitas hidup (lihat bab 234 untuk diskusi lebih jauh). Pemutusan terapi

24
dapat menyebabkan relapsnya penyakit kulit dengan cepat, meskipun beberapa pasien dapat
mengalami remisi menetap. Meningkatnya kreatinin serum atau gangguan ginjal dan
hipertensi yang signifikan merupakan efek samping yang spesifik yang berkaitan dengan
penggunaan siklosporin.

Antimetabolit. Mikofenolat mofetil merupakan inhibitor biosintesis yang digunakan sebagai


sebuah imunosupresan pada transplantasi organ, yang telah digunakan untuk pengobatan
refrakter gangguan kulit inflamasi (lihat bab 228). Laporan studi open-label melaporkan
bahwa mikofenolat mofetil oral jangka pendek, 2 gram sehari, sebagai hasil monoterapi dalam
membersihkan lesi kulit pada dewasa dengan DA yang resisten terhadap pengobatan lainnya,
meliputi steroid oral dan topikal dan psoralen dan sinar UVA. Obat tersebut secara umum
dapat ditoleransi dengan baik dengan pengecualian satu pasien yang mengalami herpes
retinitis yang merupakan akibat sekunder terhadap agen imunosupresif ini. Supresi sumsum
tulang yang terkait dengan dosis obat ini juga telah diobservasi. Hasil yang serupa yang
dilaporkan sebelumnya pada studi terbuka lainnya dari sepuluh pasien dengan pengurangan
indeks SCORAD (Scoring Atopic Dermatitis) rata-rata dari 68% dari keseluruhan sepuluh
pasien. Sebagai catatan, tidak seluruh pasien menemukan keuntungan dari terapi ini. Lagipula
pengobatan harus dihentikan jika pasien tidak mengalami respon dalam waktu empat hingga
delapan pekan. Studi yang dikontrol dengan baik serta menemukan dosis diperlukan untuk
obat ini.
Metotreksat merupakan antimetabolit dengan efek inhibitor poten pada sintesis sitokin
inflamasi dan kemotaksis sel. Metotreksat yang telah digunakan untuk pasien DA dengan
penyakit rekalsitran, meskipun percobaan terkontrol kurang mencukupi. Dosis yang dipakai
pada DA lebih sering daripada dosis yang dipakai per pekannya pada psoriasis. Azatioprin
merupakan analog purin dengan efek anti inflamasi dan antiproliferatif; azatioprin yang telah
digunakan untuk DA berat, meskipun tidak ada percobaan terkontrol yang telah dilaporkan.
Myelosupresi merupakan efek samping yang signifikan, dan kadar tiopurimetil transferase
dapat memperkirakan individu manasaja yang berada pada risiko DA.

Terapi lainnya
Interferon-γ. IFN-γ dikenal menekan respon IgE dan meregulasi ke bawah proliferasi dan
fungsi sel Th2. Beberapa studi pada pasien dengan DA, meliputi percobaan multisenter, buta-
ganda, plasebo-terkontrol dan dua percobaan terbuka jangka panjang, telah menunjukkan
bahwa pengobatan dengan rekombinan manusia IFN-γ menghasilkan perbaikan klinik.
Pengurangan keparahan klinik DA yang berkorelasi dengan kemampuan IFN-γ untuk

25
menurunkan hitung eosinofil total. Gejala seperti influenza merupakan efek samping yang
umumnya terlihat pada awal pengobatan.

Omalizumab. Pengobatan pasien dengan DA berat dan serum IgE yang meningkat dengan
anti-Ig monoklonal telah menunjukkan kurangnya efikasi pada tiga pasien dewasa dan
perbaikan yang signifikan pada tiga pasien remaja. Penelitian terbuka pada 11 pasien dewasa
dengan tingkat IgE yang tinggi diobati dengan anti Ig-E, beberapa pasien mendapatkan
perbaikan klinis, yang lainya tidak mendapatkan perbaikan dan beberapa semakin memburuk
kondisi DA nya berdasarkan perubahan SCORAD. Saat ini, marker spesifik belum ditemukan
untuk mengidentifikasi respon potensial.

Imunoterapi Alergen. Tidak seperti rinitis alergika dan asma ekstrinsik, imunoterapi dengan
aeroalergen tidak terbukti bersifat efikasius pada tatalaksana DA. Ada laporan anekdot dari
eksaserbasi dan perbaikan kedua penyakit. Studi terbaru dari imunoterapi spesifik selama
lebih dari 12 bulan pada dewasa dengan DA yang tersensitisasi dengan tungau debu yang
menunjukkan perbaikan pada SCORAD sebagaimana pengurangan pada penggunaan steroid
topikal. Namun demikian, studi yang terkontrol dengan baik masih diperlukan untuk
mendeterminasi peran imunoterapi dengan penyakit ini. Penelitian kontrol terbaru dengan
imunoterapi sublingual menunjukkan manfaat pada DA anak yang disensitisasi dengan
alergen tungau debu. Data ini memerlukan penelitian terhadap populasi anak yang lebih besar,
menunjukkan pengaruh alam tehadap DA.

Fotoperesis Ekstrakorporeal. Fotoferesis ekstrakorporeal terdiri dari perjalanan leukosit


terikat psoralen melalui sistem sinar UVA ekstrakorporeal. Perbaikan klinis pada lesi kulit
berkaitan dengan kadar IgE yang berkurang telah dilaporkan pada beberapa pasien dengan
DA yang berat dan resisten yang telah diobati dengan fotoferesis ekstrakorporeal dan
glukokortikoid topikal.

Probiotik. Pemberian probiotik Lactobacillus rhamnosus strain GG pada perinatal telah


menunjukkan dalam menurunkan insiden DA pada anak-anak yang berisiko selama dua tahun
pertama kehidupan. Ibu yang diberikan baik plasebo maupun laktobasilus GG setiap hari
selama 4 pekan sebelum persalinan dan kemudian baik ibu (jika memberikan ASI) maupun
bayi yang dilanjutkan dengan terapi harian selama 6 tahun. Pada studi follow-up, kelompok
yang sama dinilai adanya potensial pencegahan DA pada 4 tahun. Hasilnya menyiratkan
bahwa efek preventif dari Lactobacillus GG pada DA dapat meluas selama masa bayi.
Pada studi kedua, anak-anak dengan DA yang diobati dengan dua strain Lactobacillus
selama 6 pekan mengalami perbaikan pada eksemanya dibandingkan pasien yang hanya diberi

26
plasebo, meskipun indeks SCORAD tidak berubah secara signifikan. Respon terapi
ditemukan lebih disebutkan pada pasien dengan tes kulit prick positif dan kadar IgE yang
meningkat. Studi lainnya pada anak-anak dengan DA moderat hingga berat yang diobati
selama 8 pekan dengan L. fermentum pada studi plesebo terkontrol yang menunjukkan
perbaikan indeks SCORAD pada 16 pekan. Studi ini menyiratkan bahwa probiotik ini, atau
paling sedikit beberapa strain laktobasilus, mungkin bersifat preventif, mempunyai efek yang
berlangsung lama pada insiden DA pada sekelompok pasien. Penelitian lainnya ke dalam
subkelompok responden, terapi optimal [rute (misal langsung ke bayi atau melalui ASI);
lamanya pengobatan; strain laktobasilus], sama dengannya mekanisme yang terlibat yang
jelas merupakan hal yang sangat dibutuhkan.
Penelitian metanalisis terbaru menemukan suatu bentuk pengaturan probiotik pada
anak dengan penyakit sedang sampai berat dalam penurunan nilai SCORAD (rata-rata
perubahan dari baseline, -3.01; 95% konfiden interval;, -5,36 sampai 0.66; P= .01). Durasi
penggunaan probiotik, umur dan tipe probiotik yang digunakan tidak mempengaruh hasil.
Penelitian metaanalisis lainya menemukan bahwa bukti langsung yang lebih diterima untuk
probotik adalah efikasi dalam pencegahan, dibandingkan pengobatan DA pada anak.
Sebaliknya, penelitian terdahulu, suplemen dengan Lactobacillus GG selama hamil dan masa
awal bayi juga mengurangi insiden DA yang tidak dipengaruhi oleh keparahan DA pada anak,
tetrapi berhubungan dengan meningkatnya angka episode rekuren wheezy bronchitis.
Cochrane review menyimpulkan bahwa probiotik tidak efektif untuk pengobatan ekzema pada
anak dan pengobatan probiotik menimbulkan resiko rendah timbulnya kejadian yang tidak
diinginkan.

Pengobatan Herbal Cina. Beberapa percobaan klinik plasebo terkontrol telah disarankan
bahwa pasien dengan DA berat dapat mengambil keuntungan dengan terapi herbal Cina (lihat
bab 242). Mereka secara signifikan mengurangi penyakit kulit dan menurunkan pruritus.
Respon yang menguntungkan dari terapi herbal Cina, namun demikian, sering hanya
temporer, dan keefektivitasan dapat berkurang seiring berjalannya pengobatan. Kemungkinan
toksisitas hepatik, efek samping terhadap jantung, atau reaksi idiosinkratik tetap menjadi
perhatian. Bahan spesifik dari herbal juga tetap harus dijabarkan dan beberapa sediaan yang
telah ditemukan telah terkontaminasi dengan kortikosteroid. Sekarang ini, terapi herbal Cina
untuk DA sedang dipertimbangkan untuk diselidiki lebih jauh.

Vitamn D oral. Penelitian random awal, penelitian double blind placebo-controlled melihat
manfaat suplemen vitamin D oral pada anak dengan DA di Boston dari februari sampai maret.
Sebelas pasien anak pertama sekali dengan DA ringan yang diterapi dengan vitamin D oral
27
(1,000 UI ergocalciferol) atau plasebo, sekali sehari selama satu bulan. Angka IgA dibuktikan
dengan 4 sanpai 6 subyek kelompok vitamin D (80%), dibandingkan dengan satu dari lima
subyek pada kelompok plasebo (p= 0,04). Sebagi tambahan, terdapat penurunan yang besar
skala EASI vitamin D, dibandingkan dengan kelompok plasebo, meskipun perbedaannya
tidak signifikan secara statistik. Sebagai tambahan, pada pada penelitian terkontrol, 14 subyek
sehat dan 14 subyek denngan DA diberikan suplemen vitamin D 3 oral (cholecalciferol) selama
3 minggu. Ekspresi AMP cathelisidin meningkat signifikan pada biopsi kulit DA,
dibandingkan terhadap kulit sehat atau kulit yang tidak terdapat lesi DA, diduga pemakaian
vitamin D oral menimbulkan respon imun innate pada pasien DA.

Edukasi sebagai intervensi


Edkasi dapat dipertimbangkan sebagai intervensi terapi pada manajemen dermatitis atopik.
Edukasi intensif mengenai penyakit sydah dilakukan secara random, penelitian terkontrol
membuktikan kualitas hidup subyektif dan objektif skor keparahan ekzema. Edukasi intensif
dapat mencakup keseluruhan “center based” pasien/ family teaching, tulisan hand out dan
rencana pengobatan, pasien/famili support , dan media accessed. Beberapa sumber yang on
line dirinci pada tabel 14.2.

Pasien datang dengan riwayat


pruritus
Pasien sesuai dengan kriteria DA Hanifin Rajka

Pelayanan kulit secara umum mengukur: Evaluasi untuk kondisi lain


 Edukasi
 Hidrasi kulit dan penggunaan emolien/perbaikan sawar kulit
 Penghindaran iritan
 Identifikasi dan penghindaran alergen yang sudah terbukti
 Terapi anti-inflamasi (steroid topikal, inhibitor kalsineurin
topikal)
 Identifikasi dan tatalaksana penyulit infeksi bakteri, virus dan
jamur Hasilnya baik?
 Tatalaksana aspek psikososial dari penyakit
 Nilai kembali diagnosa DA
Titrasi terapi topikal, menggunakan emolien/perbaikan
 Pertimbangkan peranan infeksius dan alergen
kulit steroid topikal atau inhibitor kalsineurin topikal
yang tidak disadari, dll
sebagaimana yang dibutuhkan secara teratur
 Pertimbangkan pemahaman pasien yang rendah
serta ketidakpatuhan pasien terhadap terapi
Gambar 14-11. Pendekatan terhadap pasien DA. Hasilnya baik?

 Konsultasi ke spesialis DA
 Pertimbangkan biopsi kulit
 Pertimbangkan rawat inap
 Pertimbangkan penggunaan siklosporin A, terapi
ultraviolet dll

28

Anda mungkin juga menyukai