Anda di halaman 1dari 15

Tugas Baca Buku

Topik : Imunologi
Divisi : Dermatologi Infeksi
PPDS : Dr. Maharani Shalima
Pembimbing : DR.Dr. Rusmawardiana, SpKK(K)
Sumber : Bryceson A, Pfaltzgraff RE, Leprosy. 3 rd ed. New York: Churchill Livingstone; 1990. P 93-
114

7. Imunologi

Respon tubuh dalam menginvasi organisme melibatkan mekanisme pertahanan tubuh spesifik
dan nonspesifik. Mekanisme non spesifik termasuk barier kulit dan mukosa, antisepsis sebum
dan sekresi mukosa, keasaman lambung, produksi protein fase akut, aktivasi alternative
pathway komplemen, antibodi alami, demam, dan fagositosis serta penyerapan sederhana
oleh leukosit polimorfonuklear dan makrofag. Mekanisme spesifik diatur oleh respon imun.
Respon imun berkontribusi dalam penyembuhan dan imunitas, hipersensitivitas dan patologi.
Parasit seperti M.leprae memiliki cara untuk menghindari atau melemahkan mekanisme ini.

IMUNOLOGI DASAR BERKAITAN DENGAN KUSTA

Mikroorganisme terdiri dari dan menghasilkan berbagai substansi kimia berbeda yang
bersifat antigenik. Antigen-antigen mencapai organ limfoid (kelenjar getah bening atau lien)
dimana masing-masing memiliki kemampuan menginduksi respon imun. Tipe respon yang
diinduksi ditentukan oleh sifat alami antigen, sesuai jalan yang dipresentasikan ke limfosit,
dan kejadian selular yang mengikutinya.

Respon Imun

Respon imun terhadap kebanyakan organisme memiliki dua komponen, selular dan humoral.
Cell mediated immunity dimediasi oleh limfosit yang diproses pada fetal oleh timus, dan
disebut sebagai limfosit T atau sel T. Imunitas humoral dimediasi oleh limfosit atau sel B dan
turunannya, sel plasma, yang mensekresikan antibodi. Pada burung, limfosit B diproses pada
bursa Fabricius, organ yang berkaitan dengan usus besar dan tidak memiliki anatomi yang
sama dengan mamalia. Pada manusia, limfosit B diproses oleh sumsum tulang.
Respon diregulasi oleh satu kompleks mekanisme “feedback” selular dan humoral
yang memastikan pembentukan, progresi dan penurunan secara berurutan bila tidak
dibutuhkan lagi. Selanjutnya terdapat beberapa stadium pada respon imun yang dapat
disupresi atau deviasi.
Toleransi imun merupakan bentuk supresi yang paling ekstrim, dan dapat terjadi
akibat satu atau beberapa mekanisme. Terdapat ketidakresponsifan yang diturunkan secara
genetik terhadap antigen tertentu, delesi yang di dapat atau hilangnya fungsi limfosit T
spesifik untuk antigen. Sebaliknya, terdapat supresi non spesifik akibat faktor supresif yang
dilepaskan dari sel atau melalui hilangnya faktor stimulasi secara selektif. Bila respon imun
dilumpuhkan oleh mekanisme spesifik antigen, paparan selanjutnya dengan antigen yang
sama tidak akan memberikan respon apapun. Limfosit T dibutuhkan untuk imunitas humoral
dan cell mediated, sehingga supresi limfosit T dapat mempengaruhi kedua respon imun. Pada
kusta lepromatosa, pasien mampu menghasilkan antibodi tetapi tidak ada respon cell
mediated terhadap M.leprae.

Perubahan pada jaringan limfoid

Selama perjalanan respon imun, perubahan tertentu terlihat pada kelenjar getah bening yang
mendapat antigen, atau pada lien pada kasus antigen sirkulasi. Antigen dari area intradermal
dipresentasikan oleh makrofag yang masuk melalui sinus marginal dan lewat diantara pusat
germinal menuju parakorteks. Setelah itu, bagian nodus yang terlibat tergantung oleh induksi
imunitas selular dan humoral.

Imunitas humoral. Korteks meluas dan jumlah serta ukuran pusat germinal
meningkat, seringkali menonjol dan menyebabkan distorsi sisa nodus. Sel plasma terlihat
pada medulla cord yang mengalami penebalan. Pada respon antibodi murni, parakorteks
mengalami penipisan. Pulasan histologi dengan pyronin, yang mewarnai asam ribonukleat
menjadi merah, menunjukkan aktivitas intens pusat germinal dan medullary cord. Perubahan
ini terlihat pada kusta lepromatosa.

Imunitas selular. Area parakorteks nodus yang perkembangannya tergantung pada


integritas timus selama kehidupan fetus, mengalami perluasan. Area tersebut diisi oleh
limfosit kecil, yang masuk melalui venula postkapiler, dan mulai membelah. Sel besar pucat
yang membelah ini juga pyroninofilik pada pulasan. Limfosit non-pyroninofilik kecil
dihasilkan dan meninggalkan nodus melalui sinus intermediat, serta menjadi menjadi sangat
banyak. Pada respon cell mediated murni, korteks dan medulla mengalami penipisan.
Perubahan ini terlihat pada kusta tuberkuloid.

Kebanyakan mikroorganisme terdiri dari antigen yang diantaranya memiliki dua tipe
respon.
Antigen

Antigen M.leprae didiskusikan pada bab 2. Komentar berikut ini menunjukkan peran antigen
secara umum.

Kimia alami. Beberapa antigen, terutama polisakarida dan kimia sederhana (hapten)
dengan afinitas buruk terhadap protein host, hanya bersifat antigenik lemah terutama
berkenaan dengan imunitas selular. M.leprae kaya akan polisakarida, yang dapat membelah
protein atau lipid induknya.

Ukuran molekular. Konsentrasi antigen yang sangat tinggi dapat menginduksi


toleransi dibandingkan imuitas. Pada host yang sudah diimunisasi, konsentrasi tertentu dapat
mensupresi ekspresi imunitas selular (desensitisasi), menghasilkan keadaan yang sama
dengan deviasi imun. Mekanisme ini dapat menutupi proses downgrading pada kusta
borderline. Pasien dengan penyakit multibasiler memiliki konsentrasi antigen yang tinggi,
terutama phenolic glycolipid pada seluruh jaringan terinfeksi, dan pada plasma serta urin.
Konsentrasi antigen yang sangat rendah juga dapat bersifat toleransi.

Kelarutan. Antigen yang sangat larut dapat mencapai konsentrasi sirkulasi yang
tinggi dan kurang imunogenik dibanding antigen yang kurang larut, atau yang berkompleks
dengan protein host.

Rute presentasi jaringan limfoid. Antigen dapat mencapai jaringan limfoid melalui
aliran darah sepanjang limfatik. Antigen tersebut dapat bebas atau ditangkap oleh makrofag.
Antigen yang kurang larut, diinokulasi secara intradermal, difagositosis oleh makrofag dan
ditangkap limfatik menuju kelenjar getah bening yang sangat imunogenik, terutama
berkenaan dengan imunitas selular. Hal ini menjadi masalah bila M.leprae diinokulasikan
melalui kulit. Antigen yang diabsorpsi dari usus cenderung menginduksi supresi imun.
Antigen sangat larut yang bersirkulasi secara bebas di aliran darah sangat tidak efisien dalam
menginduksi imunitas, terutama imunitas selular, dan bertanggung jawab dalam menginduksi
toleransi. M.leprae cenderung bermultiplikasi pada sel Schwann di syaraf perifer. Sel
Schwann merupakan daerah khusus karena organisme merupakan intraselular dan tidak
menignduksi ekspresi molekul kelas II, dan karena tidak terdapat pembuluh limfatik pada
perineurium. Antigen yang disekresi oleh M.leprae kemungkinan langsung menuju darah
vena, dan mencapai lien, dimana pada keadaan dan konsentrasi yang memungkinkan lebih
mensupresi dibandingkan menginduksi imunitas selular.
Adjuvan. Substansi tertentu, terutama dinding sel lemak Mycobacteria memiliki
kemampuan memperbesar respon imun selular dan humoral menjadi antigen bervariasi yang
diinokulasi pada emulsi dengan adjuvan. Dinding sel M.leprae kemungkinan berperan
sebagai adjuvan yang efisien.

Sistem HLA dan presentasi antigen


Akibat infeksi pada manusia, setidaknya sebagian, dipengaruhi oleh genetik. Gen
mempengaruhi infeksi pada dua poin. Pertama, segera setelah infeksi ketika gen dapat
menentukan apakah organisme dapat bermultiplikasi pada manusia dan menyebabkan
penyakit, contohnya tersedia atau tidaknya substrat penting untuk parasit intraselular tertentu.
Poin kedua yaitu segera setelah infeksi timbul dan menentukan respon host terhadap infeksi,
hingga selanjutnya mempengaruhi pola dan hasil penyakit. Bila gen tunggal terlibat, kaitan
dengan penyakit dapat jelas, seperti pada spondilitis ankylosa dan HLA-B27. Tetapi
seringkali banyak gen terlibat, dan pewarisannya kompleks, serta sejumlah faktor lainnya
mempengaruhi hasil infeksi. Selanjutnya sulit untuk mengidentifikasi pengaruh genetik. Pada
kusta, satu kelompok gen, terletak pada kompleks HLA, telah dikaitkan dengan hasil infeksi
M.leprae. Tetapi, kompleks HLA memiliki peran yang lebih fundamental dalam infeksi
karena kompleks tersebut menentukan cara saat antigen dipresentasikan pada limfosit dan
selanjutnya mengontrol induksi respon imun, terutama cell mediated immunity. Kompleks
HLA juga ‘membatasi’ interaksi limfosit terhadap tipe sel tertentu, yang membawa molekul
permukaannya, atau ‘produk gen’, dihasilkan berdasarkan perintah gen HLA. Kompleks gen,
produk dan interaksinya dengan limfosit T diketahui sebagai sistem HLA. Produk HLA
(human leukocyte antigen) juga merupakan antigen transplantasi jaringan.
Gen HLA terletak seperti untaian manik-manik, pada kromosom rantai pendek. Gen
HLA di bagi menjadi dua kelas. Kelas I terdiri atas gen (HLA-) A, B, dan C. Kelas II terdiri
atas tiga kelompok gen (HLA-) DP, DQ, dan DR. Setiap gen memiliki kemungkinan varian
yang berbeda atau alel, yang memberikan sistem HLA variabilitas luas atau polimorfisme,
dan tercatat berbagai variasi resistensi manusia dan kecenderungan terhadap infeksi (Alel
merupakan gen sebagai perumpamaan seperti pemain pada posisi khusus tim sepakbola). Gen
mengontrol produksi molekul glikoprotein tertentu, yang merupakan bagian dari membran sel
dan dapat diekspresikan pada permukaan sel. Molekul kelas I diekspresikan oleh sebagian
besar sel nukleasi dan molekul kelas II oleh sel imunokompeten, seperti sel B, sel T
teraktivasi, dan antigen presenting cell (monosit, sel dendritik makrofag, dan sel langerhans).
Sel Schwann tidak mengekspresikan molekul kelas II.
Limfosit T hanya akan mengenali antigen yang dipresentasikan yang berkaitan
dengan molekul HLA pada permukaan antigen presenting cell. Limfosit T sitotoksik
mengenali molekul kelas I sehingga mampu berperan dalam melawan berbagai variasi sel,
seperti sel tumor dan sel yang terinfeksi virus. Limfosit T regulasi (sel T helper) dan
kemungkinan beberapa sel T supresor mengenali molekul kelas II, sehingga interaksinya
terbatas pada sel imunokompeten. Beberapa produk gen, tergantung pada alel, dapat
meningkatkan fungsi sel T secara efisien, lainnya menghasilkan respon sel T yang buruk atau
tanpa respon dan berkontribusi terhadap kecenderungan organisme. Istilah immune response
(Ir) dan immune susceptibility (Is) terkadang digunakan pada gen-gen ini.

Pada kusta, molekul HLA-DR dibutuhkan untuk mempresentasikan antigen M.leprae


pada limfosit T reaktif. Sebagai hasilnya yaitu sel TH berproliferasi: sehingga HLA-DR
merupakan gen Ir untuk M.leprae. bagaimanapun, sel Ts juga dapat berproliferasi,
kemungkinan sebagai bagian sistem kontrol yang normal. DR3 juga dikaitkan dengan kusta
tuberkuloid dan hasil tes lepromin yang positif. Satu gen HLA lainnya, DQw1, dapat secara
sebaliknya menjadi gen Is untuk kusta karena berkaitan dengan kusta lepromatosa dan tes
lepromin yang negatif.

Presentasi antigen tanpa molekul HLA


Gambar 7.3 menunjukkan antigen bebas mampu menstimulasi sel B dan sel T supresor.
Mungkin bahwa pada individu yang tidak mengekspresikan HLA-DR secara efisien, antigen
yang larut dari M.leprae menginduksi bentuk supresi imun dengan menstimulasi sel T
supresor produksi antibodi, yang dapat menyebabkan timbulnya kusta lepromatosa.

Induksi respon imun


Antigen dibawa menuju jaringan limfoid, dan dipresentasikan dengan tepat, mensensitisasi
limfosit T dan B pada klon sesuai yang memiliki area reseptor spesifik pada permukaannya.
Hal ini memicu kaskade komplikasi interaksi selular yang dimediasi oleh produk larut
(sitokin) monosit (monokin) dan limfosit (limfokin).
Pelajaran dari rangkaian yang masih belum dapat dimengerti ini, dapat dimungkinkan
dengan ketersediaan antibodi monoklonal: antibodi dihasilkan dari limfosit B klon tunggal
yang hanya mengenali antigen tunggal atau epitopee. Berbagai monoklonal antibodi yang
berbeda telah berguna, dan antigen yang dikenali pada permukaan limfosit tidak berkorelasi
secara penting dengan fungsi sel-sel. (tabel 7.1)
Limfosit B
Reseptor imunoglobulin D pada permukaan bereaksi dengan antigen bebas dan membelah
beberapa kali untuk memproduksi sel plasma yang mensekresi antibodi spesifik, pada satu
atau lebih kelas imunoglobulin. Beberapa antigen memerlukan bantuan dari sel TH untuk
memicu limfosit B. Sel memori B juga dihasilkan. Pada respon imun primer, secara normal
antibodi IgM dihasilkan terlebih dahulu, kemudian IgG. IgM bersirkulasi sebagai pentamer,
dan efisien dalam membersihkan sirkulasi dengan membentuk kompleks besar bersama
antigen dari organisme yang kemudian dibuang melalui fagositosis. Tetapi IgM kurang baik
dalam mempenetrasi jaringan. Antibodi IgG mempenetrasi jaringan inflamasi dengan baik
dan mengopsonisasi atau membunuh organisme bebas, tetapi bukan orgaisme intraselular.
Antibodi IgA mencegah perlekatan organisme pada permukaan mukosa. Tidak ada peran
proteksi yang diperlihatkan untuk antibodi pada kusta, meskipun antibodi IgA dan IgG dapat
memiliki peran proteksi melawan reinfeksi.

Limfosit T
Sel T helper bereaksi dengan antigen dan molekul HLA kelas II pada antigen presenting cell
dan menjadi teraktivasi. Stadium ini memerlukan monokin interleukin I yang disekresikan
sebagai respon terhadap fagositosis dan pinocytosis. Sel TH yang teraktivasi mensekresi
limfokin interleukin 2. Sel TH memiliki reseptor untuk interleukin 2, dimana saat adanya
antigen dapat menyebabkan pembelahan dan kemudian menyebabkan timb ulnya populasi sel
efektor dan sel memori. Sel memori menetap untuk menginisiasi respon imun sekunder. Sel
TH bekerja sama limfosit T dengan menghasilkan limfokin interleukin 4 (sel B growth
factor).
Sel T sitotoksik (CD8) bereaksi dengan antigen dan molekul HLA kelas I pada
antigen presenting cell, teraktivasi dan menyebabkan pembelahan sama seperti yang terjadi
pada sel TH. Sel Tc yang teraktivasi, kadang disebut killer lymphocyte atau sel Tk,
membunuh sel tumor tertentu dan sel terinfeksi virus pada keberadaan antibodi.
Sel supresor (Ts) mensupresi aktivitas TH. Sel CD8 in vitro memiliki fungsi ini, dan
beberapa peneliti menyebutkan bahwa sel CD4 mengandung populasi sel supresor. Sel
tertetntu dapat bekerja dengan membunuh sel TH atau dengan ‘membersihkan’ limfokin yang
ada yang dibutuhkan untuk proliferasi TH. Sebagai tambahan, makrofag dapat mensupresi
aktivitas TH melalui produksi prostaglandin. Peran sel supresor dalam meregulasi respon
pada kusta tuberkuloid dan mensupresi respon pada kusta lepromatosa, masih menjadi
perdebatan dan belum dapat dipastikan.
Sel natural killer. Limfosit ini (sel NK), tidak diaktivasi secara imunologi. Sel
tersebut membunuh sel tumor dan sel terinfeksi virus tanpa antibodi. Tidak terdapat peran
sel-sel ini pada kusta.

Ekspresi respon imun

Imunitas humoral (antibody mediated)


Terdapat beberapa cara antibodi membantu tubuh untuk menyingkirkan organisme. Pada saat
yang sama respon yang tidak diinginkan terhadap banyak antigen dapat menginduksi keadaan
hipersensitivitas yang berkontribusi terhadap patologi penyakit.
Mekanisme yang paling penting berupa:
1. Antibodi berkombinasi dengan toksin dan menetralkannya, seperti pada difteria atau
tifoid, tetapi kemungkinan tidak pada kusta.
2. Antibodi yang bersirkulasi (opsonisasi atau complement fixing) bereaksi dengan
antigen pada dinding organisme. Pada kasus pertama terjadi fagositosis yang cepat
dan efisien. Pada kasus berikutnya komplemen terikat dan organisme mengalami lisis.
Tidak satupun mekanisme ini berperan dalam pertahanan melawan kusta.
3. Antibodi secara pasif melindungi sel host dan dapat bereaksi dengan antigen.
Antibodi ini merupakan satu dari dua jenis antibodi. Antibodi ini bersifat sitofilik
untuk makrofag, pada kasus dimana sel lebih lebih mampu untuk menangkap
mikroorganisme: mekanisme ini dapat memiliki peran penting pada cell mediated
immunity terhadap organisme intraselular fakultatif tertentu, tetapi tidak
meningkatkan daya fagosit makrofag, dan dapat tidak relevan dengan kusta. Sebagai
alternatif, antibodi kelas IgE bersifat reaginik dan terikat pada sel mast. Antigen
sirkulasi bereaksi dengan ikatan antibodi menimbulkan fenomena anafilaksis lokal
atau sistemik. Hal ini tampaknya tidak terjadi pada kusta.
4. Antibodi presipitasi berkombinasi dengan antigen, yang tampak berlebih, dan
membentuk kompleks pada tempat ikatan komplemen. Hal ini membutuhkan tempat,
baik di sirkulasi maupun di jaringan. Kompleks yang terbentuk di sirkulasi akan
terdeposit, tergantung ukuran, pada ruang endotel pembuluh darah, terutama di
glomerulus, kulita dan membran sinovial. Depot antigen, pada jaringan, seperti nodul
lepromatosa, dapat berasal dari tingkatan konsentrasi antigen. Antibodi menyebar dari
sirkulasi dan pada konsentrasi relatif yang sesuai, terbentuk kompleks dan terdeposit.
Komplemen terikat dan pelepasan komponen ketiga serta komponen lainnya nenarik
leukosit polimorfonuklear yang terakumulasi, memfagosit kompleks dan melepaskan
enzim, dimana yang paling poten berupa protease yang dapat menyebabkan kerusakan
jaringan. Aktivasi endotelium vaskular lebih jauh menyebabkan adhesi leukosit dan
platelet, trombosis dan hemoragi. Proses ini penting pada terbentuknya reaksi tipe 2
kusta.

Cell mediated immunity (lymphocyte and macrophage mediated)


Secara normal, antibodi tidak mempenetrasi sel. Organisme tertentu menjadi beradaptasi
terhadap kehidupan intraselular, dan pada organisme yang beradaptasi terhadap kehidupan
intra makrofag terutama yang terlindungi dengan baik. Organisme ini termasuk Leishmania,
M.leprae, M.tuberculosis, fungi tertentu dan yang kurang umum, organisme intraselular
fakultatif, Salmonella dan Brucella. Imunitas selular merupakan yang paling penting dalam
hubungannya dengan infeksi yang disebabkan oleh organisme ini. Imunitas selular juga
terlibat dalam beberapa infeksi viral, pada penolakan graft dan imunitas tumor.
Terdapat dua cara sel dapat menghasilkan dan memelihara keadaan imunitas, yaitu
dengan aktivasi makrofag dan sitotoksitas limfosit. Selain itu, terdapat beberapa mekanisme
terlibat dalam produksi keadaan delayed hipersensitivity yang berkontribusi terhadap
patologi.
1. Spesifisitas limfosit T tersensitisasi, dihasilkan di area parakorteks jaringan limfoid,
memasuki sirkulasi dan kembali menuju area atau area yang mengandung antigen.
Pada kasus kusta, ini merupakan makrofag terinfeksi yang predominan pada kulit dan
syaraf. Disini TH (CD4) mengenali antigen, dipresentasi oleh antigen presenting cell
dengan molekul HLA yang sesuai, dan dijalankan oleh interleukin 2, mensekresi
interferon gamma. Limfokin ini menghambat migrasi makrifag, sehingga memainkan
peran pada fokalisasi lesi, dan yang lebih penting memicu ‘respiratory burst’, reaksi
rantai enzimatik yang menghasilkan H2O2 yang membunuh organisme intraselular.
Kapasitas makrofag untuk mencerna organisme yang telah dimatikan juga
meningkat. Proses ini akan berlanjut, dan ditingkatkan dengan pengambilan lebih
banyak limfosit, selama adanya antigen yang dipresentasikan dan sel T mampu
menghasilkan serta mengenali interleukin 2.
2. Sel Tc (CD8) berespon dengan cara yang sama tetapi sel tersebut mensekresikan
limfotoksin yang akan menghancurkan sel yang mengandung antigen. Sel tersebut
dapat bertanggung jawab terhadap kaseasi pada tuberkulosis, ulserasi pada kutaneus
leishmaniasis dan destruksi kanker dan sel terinfeksi virus. Sel CD8 terlihat
menyolok pada lesi kusta, tetapi perannya belum banyak diketahui.
Limfokin. Limfokin bukan merupakan imunoglobulin. Limfokin terutama
merupakan glikoprotein dan memiliki variasi kerja yang sangat pendek: efeknya
selanjutnya hanya lokal, kebalikan dengan antibodi sirkulasi. Sebagai tambahan
interleukin 2, interferon gamma dan limfotoksin, limfosit teraktivasi menghasilkan
beberapa limfokin lainnya yang sudah teridentifikasi dan diketahui melalui aktivitas
bilologinya. Ini termasuk faktor reaksi kulit, yang meningkatkan permeabilitas
kapiler, faktor kemotaktik, yang menarik makrofag, tumour necrosis factor, dan
mitogenic factor yang menyebabkan limfosit tidak tersensitisasi secara spesifik untuk
membelah dan mensekresi limfokin, selanjutnya memperbesar respon. Penggunaan
antibodi monoklonal menyebabkan teridentifikasinya berbagai limfokin, dan
reklasifikasinya (Tbael 7.2).
Kejadian ini menyebbakan fenomena cell mediated immunity dan delayed
hipersensitivity yang terlihat pada jaringan. Termasuk, yaitu:
1. Fokalisasi dan pembelahan makrofag.
2. Akumulasi limfosit sekita makrofag.
3. Perubahan makrofag menjadi sel epiteloid, sering dengan gambaran giant cells.
Langkah 1,2 dan 3 menghasilkan tuberkel, gambaran karakteristik histologi cell
mediated immunity. Ini merupakan fungsi interleukin 4.
4. Meningkatnya aktivitas enzimatik makrofag dan meningkatnya kemampuan
untuk memfagosit dan mencerna organisme. Meningkatnya aktivitas ini tidak
spesifik terhadap organisme yang menginduksi respon imun.
5. Nekrosis sentral, atau ulserasi yang menutupi kulit.
Saat hasil akhir proses ini berupa eliminasi atau invasi organisme dan proteksi
melawan reinfeksi, keadaan cell mediated immunity terlihat; saat hanya adanya
inflamasi, hipersensitivitas selular atau delayed terlihat.

Regulasi dan supresi respon imun


Regulasi
Beberapa sistem regulasi normal ditunjukkan pada gambar 7.3. Sel Ts mensupresi respon sel
TH pada antigen dan dapat menghambat replikasi sel B yang teraktivasi. Mekanisme yang
dilakukan oleh sel ini tidak diketahui. Antibodi meregulasi respon imun dengan beberapa
cara. Antibodi IgG membentuk kompleks dengan antigen yang menghambat proliferasi
limfosit B. Antibodi dapat me-masking antigen pada presenting cell. Bagian area bervariasi
dari ‘closed jaws’ dari Fab part molekul imunoglobulin diketahui sebagai idiotipe: yang
memiliki konfigurasi molekular yang spesifik terhadap antigen. Selama respon antigen
antibodi, jaws terbuka dan idiotipe terekspos. Idiotipe sendiri bersifat antigenik dan
menginduksi antibodi anti-idiotipik yang selanjutnya menciptakan jaringan regulasi yang
tidak terputus. Sebagai tambahan modulasi respon antibodi, antibodi anti-idiotipe, yang area
bervariasinya memiliki formasi antigen alami, mensupresi aktivitas TH, kemungkinan dengan
berkompetisi untuk area pengenalan antigen. Stimulus antigenik kuat, sebagai contoh oleh
M.leprae, menginduksi respon antibodi poliklonal terhadap antigen terkait maupun yang
tidak terkait.

Supresi
Supresi imun dapat timbul akibat regulasi berlebih, terutama bila bagian lengan efektor tidak
efisien, atau akibat abnormalitas respon. Klon sel T, atau gen Ir dapat tidak ada. Klon sel T
dapat dibunuh oleh toleransi yang diinduksi antigen. Antigen bebas dapat menginduksi sel
supresor. Beberapa antigen, bahkan bila dipresentasi secara sesuai, lebih menginduksi Ts
dibandingkan sel TH. M.leprae memiliki antgien tersebut. Kegagalan perubahan produksi
dari IgM ke IgG dengan overproduksi IgM yang persisten dapat me-masking antigen dari sel
T, atau memegang peran efektor dan regulasi antibodi IgG. Jaringan limfoid yang disibukkan
dengan keberadaan antigen dapat berespon kurang baik terhadap lainnya (kompetisi
antigenik). Mekanisme tersebut dapat berkontribusi terhadap supresi sebagian imunitas
selular yang ditemukan pada kasus kusta LL.
Kehamilan mensupresi imunitas selular, dan memperngaruhi pola kusta. Beberapa
penyakit menyebabkan kerusakan respon imun, termasuk malaria, campak dan malnutrisi.
Efeknya pada infeksi kusta primer tidak diketahui. Beberapa obat, yang paling umum
diantaranya yaitu kortikosteroid yang merupakan imunosupresif. Pengetahuan mengenai obat
tersebut yang digunakan pada reaksi. Efek virus HIV pada infeksi M.leprae tidak diketahui.
Apakah kusta akan menjadi penyakit AIDS?

TEMUAN IMUNOLOGIK PADA KUSTA


Karakteristik patologik dan klinik kusta membentuk spektrum dari LL ke TT. Faktor yang
terutama menentukan penyakit pasien individu pada spektrum ini yaitu adanya cell mediated
immunity yang diekspresikan. Pada kusta tuberkuloid, imunitas selular dan hipersensitivitas
terbentuk dengan baik. Pada kusta lepromatosa, imunitas selular dan hipersensitivitas tidak
ada; pada LL, induksi dan atau ekspresi dapat mengalami kerusakan. Pada penyakit
borderline kerusakan lebih pada ekspresi dibandingkan induksi. Sebagai tambahan, respon
antibodi pada kutub terlihat berbeda dan walaupun perbedaan ini tidak secara langsung
berkontribusi terhadap spektrum pasien, tetapi berkontribusi pada aspek tertentu lainnnya dari
penyakit.

Karakteristik respon imun pada kutub


Kusta tuberkuloid
1. Respon selular. Adanya imunitas selular ditunjukkan dengan karakteristik tertentu
penyakit pada kutub ini dan beberapa data eksperimental lainnya (gambar 7.4).
a. Karakteristik histologis penting berupa tuberkel: (sel epiteloid makrofag khusus)
difokalisasi oleh limfosit. Pada bagian tengah, granuloma merupakan sel TH (CD4)
dan sel dengan reseptor untuk interleukin 2. Pada lapisan luar berupa sel TH, Ts/c (sel
CD8) dan sel yang memproduksi interleukin 2. Antigen kelas II HLA terekspresi
secara besar oleh sel imunokompeten. Temuan ini mendukung organisasi menjadi inti
sel helper yang meluas yang diaktivasi oleh interleukin 2, menyebabkan aktivasi
makrofag dan kerusakan basil, serta zona regulasi perifer sel supresor atau sitotoksik.
b. Delayed cutaneous hipersensitivity terlihat dan ditunjukkan dengan tes lepromin yang
positif.
c. Nodus limfa menunjukkan area parakorteks yang terbentuk dengan baik dan berisi sel
blast pironinofilik. Sinus intermediat berisi sejumlah limfosit non-pironinofilik. Pusat
germinal terbentuk kurang baik dan medullary cord berisi beberapa sel plasma.
d. Limfosit pasien kusta tuberkuloid, dibiakkan secar in vitro saat adanya basil kusta,
bertransformasi menjadi sel blast, mengaktivasi makrofag dan menghambat
migrasinya. Tingkat transformasi limfosit berkorelasi dengan spektrum penyakit
pasien, dan intensitas inflamasi lesi kulit. Teknik biakan khusus juga menunjukkan
adanya sel CD8 yang bersirkulasi dan supresif.
e. Makrofag dari pasien kusta tuberkuloid dapat distimulasi in vitro, untuk mencerna
M.leprae bila limfosit dari pasien tuberkuloid (tetapi bukan dari pasien lepromatosa)
ditambahkan pada biakan.
f. Penyakit cenderung sembuh secara spontan.

2. Respon humoral.
a. Antibodi terhadap antigen M.leprae dapat dideteksi pada sera pasien kusta TT tetapi
dengan frekuensi dan titer yang rendah dibandingkan kusta LL (tabel 7.3).
b. Autoantibodi tidak dihasilkan.
Kusta lepromatosa
1. Respon selular. Ketiadaan imunitas selular ditunjukkan pada jalan berikut ini:
a. Tidak terbentuk tuberkel. Gambaran histologik pada leproma: makrofag yang tidak
berdiferensiasi, sering mengalami kerusakan akibat edema dan penuhnya basil, tanpa
limfosit disekitarnya. Basil hidup dan mati dikelilingi oleh ‘busa’ phenolic glycolipid.
Tidak terdapat pengaturan granuloma menuju inti dan lapisan luar. TH (CD4) dan
terutama sel Ts/c (CD8) tersebar secara luas. Beberapa sel memproduksi interleukin
2, sekitar 20 kali lebih sedikit dibandingkan pada granuloma tuberkuloid, tetapi sama
banyak untuk sel dengan reseptor untuk interleukin 2. Injeksi interleukin 2 atau
interferon gamma pada lesi kusta menginduksi upgarding lokal dengan penghilangan
M.leprae dari area lokal.
b. Tes lepromin negatif.
c. Limfonodus menunjukkan pusat germinal yang terbentuk dengan baik dan medullary
cord penuh dengan sel plasma. Area parakorteks tidak terbentuk dengan sempurna
dan digantikan oleh makrofag yang tidak berdiferensisasi dan seringkali berbasil.
Sinus intermediat tidak mengandung limfosit.
d. Limfosit dari pasien kusta lepromatosa tidak berubah menjadi sel blast secara in vitro
pada keberadaan M.leprae, juga tidak mengaktivasi makrifag atau menghambat
migrasinya, ataupun menghasilkan interferon gamma. Defek secara in vitro ini
sebagian bersifat reversibel pada sebagian pasien dengan penambahan interleukin 2.
Jumlah limfosit bersirkulasi, yang mampu mengikat M.leprae pada permukaannya
jauh lebih rendah pada pasien lepromatosa dibandingkan tuberkuloid.
Beberapa peneliti, yang menggunakan teknik biakan khusus menunjukkan adanya
sirkulasi sel Ts yang mungkin berbeda dibandingkan yang ditujukkan oleh pasien
tuberkuloid. Saat dibiakkan dengan M.leprae, phenolic glycolipid atau antigen 36 kd,
sel ini mensupresi respon HLA-D yang sesuai sel TH pada antigen M.leprae.
Penghilangan sel Ts yang sebagian tersimpan in vitro bertanggungjawab pada
sebagian pasien LL. Signifkansi pengamatan in vitro yang belum diterima secara luas
ini, masih belum jelas.
e. Makrofag dari pasien lepromatosa dapat distimulasi secara in vitro untuk mencerna
M.leprae bila limfosit dari pasien tuberkuloid (tetapi tidak dari pasien lepromatosa)
ditambahkan pada biakan. Makrofag dari pasien lepromatosa menghasilkan monokin
yang menghambat produksi interleukin 2.
f. Penyakit tidak sembuh secara spontan.

2. Respon humoral (gambar 7.5)


a. Antibodi terhadap antigen M.leprae dan mikobakteria lainnya dapat dideteksi dengan
titer yang tinggi dengan fiksasi komplemen, presipitasi, hemaglutinasi indirek,
imunofluoresen, dan ELISA (lihat tabel 7.3). Pesipitin hingga 5 antigen tampak pada
80% sera pasien lepromatosa. Level serum IgG meningkat.
b. Sera pasien lepromatosa secara in vitro tidak menghambat respon blastogenik
terhadap M.leprae dari limfosit pasien tuberkuloid. Pengamatan ini mengimplikasikan
ketiadaan terbentuknya antibodi pada sera tersebut.
c. Banyak autoantibodi dihasilkan. Termasuk diantaranya antibodi spesifik seperti yang
melawan tiroid, syaraf, testis dan mukosa gaster, serta antibodi reaksi silang seperti
faktor rematoid (anti-imunoglobulin), anti-DNA, krioglobulin, dan kardiolipin yang
menyebabkan peningkatan tes positif palsu untuk sifilis pada reaksi Wasserman.

Antibodi pada kusta tidak memiliki peran penting ataupun protektif apapun. Antibodi
tersebut tidak mampu mencapai organisme intraselular. Antibodi memainkan peran pada
reaksi tipe 2, tetapi tidak memiliki keuntungan pada pasien. Tidak diketahui bila antibodi
autoimun dapat menyebabkan kerusakan jaringan, yang dihasilkan akibat kerusakan jaringan
atau merupakan manifestasi aktivitas tambahan M.leprae pada limfonodus dan tidak
berkaitan secara langsung terhadap pola klinis atau patologi kusta.

Sifat alami defisiensi imun pada kusta lepromatosa


Temuan imunologi pada kusta mengindikasikan bahwa terdapat defisiensi imunitas selular
terhadap M.leprae pada pasien dengan penyakit lepromatosa. Klon limfosit yang seharusnya
berespon tetapi tidak ada atau ketidakresponsifan atau bersepon secara abnormal. Hasil
akhirnya terdapat produksi interleukin 2, interferon gamma, dan limfokin lainnya yang tidak
adekuat, sehingga granuloma tidak terorganisir, makrifag tidak diaktivasi dan tidak mampu
untuk mencerna M.leprae. Gambaran hipersensitivitas selular lainnya juga tidak ada. Adanya
bukti mendukung bahwa klon limfosit T bertanggungjawab terhadap adanya M.leprae, tetapi
sel TH tidak diinduksi atau tidak mampu bermultiplikasi, kemungkinan akibat kegagalan
memproduksi IL2 ketika distimulasi ulang dengan antigen. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa sebaliknya sel Ts diproduksi, mampu menghambat peran kecil TH yang terlihat.
Sebagai tambahan, sel TH yang bertanggungjawab terhadap mikobakteria lainnya gagal
berespon terhadap epitope M.leprae yang bereaksi silang, sehingga pasien lepromatosa tidak
mendapatkan bantuan tambahan yang tidak spesifik ini. HLA-DR diekspresikan pada pasien
lepromatosa tetapi gen lr HLA-DR3 lebih jarang diturunkan dibandingkan pada pasien
tuberkuloid, dimana HLA-DQW3 diturunkan lebih sering (lihat halaman 97). Masih mungkin
bahwa defek diakibatkan oleh pengaruh genetik. Bila tidak, sesorang harus menyebutkan
bahwa pengenalan awal M.leprae oleh pasien menginduksi toleransi (lihat halaman 94).
Defek ini biasanya absolut dan ireversibel pada LL.
Pada BB dan BL, serta beberapa pasien yang diklasifikasikan sebagai LL< defek
bersifat reversibel setelah kemoterapi dan hilangnya antigen. Manipulasi in vitro juga dapat
juga dapat membalikkan sebagian defek pada sebagian pasien. Ini menyokong bahwa faktor
tambahan, reversibel dapat mensupresi imunitas selular. Ini dapat merupakan produk
M.leprae seperti antigen dengan epitope supresif, atau produk respon imun seperti kompleks
imun, antibodi yang meningkat atau idiotipik atau produksi berlebih sel Ts regulasi. Faktor
supresif yang dihasilkan makrofag pada LL juga dapat berkontribusi.
Defisiensi berat imunitas selular pada LL bersifat spesifik untuk M.leprae. Terdapat
depresi imunitas selular menyeluruh secara sebagian pada beberapa dengan LL berat.
Terdapat penurunan jumlah sirkulasi limfosit T, dan tes fungsi limfosit in vitro terhadap
antigen lainnya dapat sedikit terganggu. Respon mereka terhadap sensitisasi dengan beberapa
agen kimia (misalnya dinitroklorobenzen) terganggu, responnya terhadap beberapa tes kulit
antigen mengalami penurunan, mereka menolak graft kulit homolog lebih lambat dan
cenderung lebih rentan terhadap penyakit. Depresi ini, yang cenderung mengalami perbaikan
setelah pengobatan, mungkin diakibatkan oleh disorganisasi limfonodus dan akibat kompetisi
antigenik.

Tes lepromin
Lepromin merupakan preparat semi standar dari basil nodul lerpomatosa, atau liver
armadillo.
0,1 ml diinjeksikan secara intradermal dan pada area yang diperiksa setelah 72 jam
(reaksi Fernandez), dan tiga atau empat pekan (reaksi Mitsuda) untuk nodul palpabel dimana
diameter diukur dan diklasifikasi:
Tanpa nodul negatif
1-2 mm ± (meragukan)
3-5 mm +
>5 mm ++
Ulserasi +++
Reaksi Fernandez positif mengindikasikan adanya delayed hipersensitivity terhadap
antigen M.leprae, dan merupakan indikasi infeksi sebelumnya dengan ini atau reaksi silang
dengan Mycobacterium. Reaksi Mitsuda positif mungkin mengindikasikan seseorang pernah
terpapar sebelumnya terhadap antigen M.leprae dan telah terbentuk hipersensitivitas selular
ataupun mampu membentuk respon cell mediated spesifik terhadap M.leprae, yang
memberikan nilai prognostik (lihat halaman 212).
Tes tersebut positif pada kasus kusta TT dan BT, tetapi tidak dapat digunakan untuk
diagnosis. Terdapat beberapa tingkatan reaksi silang dengan antigen Mycobacteria lainnya.
Infeksi dengan M.tuberculosis, imunisasi dengan BCG atau tes kulit sebelumnya dengan
lepromin dapat menginduksi Mitsuda yang positif pada seseorang yang sehat.

Leprolin dan leprosin


Ini merupakan ekstrak M.leprae yang larut dan telah digunakan untuk menguji delayed
hypersensitivity pada studi epidemiologi. Antigen tidak spesifik dan interpretasi hasil
positifnya sulit.

Anda mungkin juga menyukai