Topik : Imunologi
Divisi : Dermatologi Infeksi
PPDS : Dr. Maharani Shalima
Pembimbing : DR.Dr. Rusmawardiana, SpKK(K)
Sumber : Bryceson A, Pfaltzgraff RE, Leprosy. 3 rd ed. New York: Churchill Livingstone; 1990. P 93-
114
7. Imunologi
Respon tubuh dalam menginvasi organisme melibatkan mekanisme pertahanan tubuh spesifik
dan nonspesifik. Mekanisme non spesifik termasuk barier kulit dan mukosa, antisepsis sebum
dan sekresi mukosa, keasaman lambung, produksi protein fase akut, aktivasi alternative
pathway komplemen, antibodi alami, demam, dan fagositosis serta penyerapan sederhana
oleh leukosit polimorfonuklear dan makrofag. Mekanisme spesifik diatur oleh respon imun.
Respon imun berkontribusi dalam penyembuhan dan imunitas, hipersensitivitas dan patologi.
Parasit seperti M.leprae memiliki cara untuk menghindari atau melemahkan mekanisme ini.
Mikroorganisme terdiri dari dan menghasilkan berbagai substansi kimia berbeda yang
bersifat antigenik. Antigen-antigen mencapai organ limfoid (kelenjar getah bening atau lien)
dimana masing-masing memiliki kemampuan menginduksi respon imun. Tipe respon yang
diinduksi ditentukan oleh sifat alami antigen, sesuai jalan yang dipresentasikan ke limfosit,
dan kejadian selular yang mengikutinya.
Respon Imun
Respon imun terhadap kebanyakan organisme memiliki dua komponen, selular dan humoral.
Cell mediated immunity dimediasi oleh limfosit yang diproses pada fetal oleh timus, dan
disebut sebagai limfosit T atau sel T. Imunitas humoral dimediasi oleh limfosit atau sel B dan
turunannya, sel plasma, yang mensekresikan antibodi. Pada burung, limfosit B diproses pada
bursa Fabricius, organ yang berkaitan dengan usus besar dan tidak memiliki anatomi yang
sama dengan mamalia. Pada manusia, limfosit B diproses oleh sumsum tulang.
Respon diregulasi oleh satu kompleks mekanisme “feedback” selular dan humoral
yang memastikan pembentukan, progresi dan penurunan secara berurutan bila tidak
dibutuhkan lagi. Selanjutnya terdapat beberapa stadium pada respon imun yang dapat
disupresi atau deviasi.
Toleransi imun merupakan bentuk supresi yang paling ekstrim, dan dapat terjadi
akibat satu atau beberapa mekanisme. Terdapat ketidakresponsifan yang diturunkan secara
genetik terhadap antigen tertentu, delesi yang di dapat atau hilangnya fungsi limfosit T
spesifik untuk antigen. Sebaliknya, terdapat supresi non spesifik akibat faktor supresif yang
dilepaskan dari sel atau melalui hilangnya faktor stimulasi secara selektif. Bila respon imun
dilumpuhkan oleh mekanisme spesifik antigen, paparan selanjutnya dengan antigen yang
sama tidak akan memberikan respon apapun. Limfosit T dibutuhkan untuk imunitas humoral
dan cell mediated, sehingga supresi limfosit T dapat mempengaruhi kedua respon imun. Pada
kusta lepromatosa, pasien mampu menghasilkan antibodi tetapi tidak ada respon cell
mediated terhadap M.leprae.
Selama perjalanan respon imun, perubahan tertentu terlihat pada kelenjar getah bening yang
mendapat antigen, atau pada lien pada kasus antigen sirkulasi. Antigen dari area intradermal
dipresentasikan oleh makrofag yang masuk melalui sinus marginal dan lewat diantara pusat
germinal menuju parakorteks. Setelah itu, bagian nodus yang terlibat tergantung oleh induksi
imunitas selular dan humoral.
Imunitas humoral. Korteks meluas dan jumlah serta ukuran pusat germinal
meningkat, seringkali menonjol dan menyebabkan distorsi sisa nodus. Sel plasma terlihat
pada medulla cord yang mengalami penebalan. Pada respon antibodi murni, parakorteks
mengalami penipisan. Pulasan histologi dengan pyronin, yang mewarnai asam ribonukleat
menjadi merah, menunjukkan aktivitas intens pusat germinal dan medullary cord. Perubahan
ini terlihat pada kusta lepromatosa.
Kebanyakan mikroorganisme terdiri dari antigen yang diantaranya memiliki dua tipe
respon.
Antigen
Antigen M.leprae didiskusikan pada bab 2. Komentar berikut ini menunjukkan peran antigen
secara umum.
Kimia alami. Beberapa antigen, terutama polisakarida dan kimia sederhana (hapten)
dengan afinitas buruk terhadap protein host, hanya bersifat antigenik lemah terutama
berkenaan dengan imunitas selular. M.leprae kaya akan polisakarida, yang dapat membelah
protein atau lipid induknya.
Kelarutan. Antigen yang sangat larut dapat mencapai konsentrasi sirkulasi yang
tinggi dan kurang imunogenik dibanding antigen yang kurang larut, atau yang berkompleks
dengan protein host.
Rute presentasi jaringan limfoid. Antigen dapat mencapai jaringan limfoid melalui
aliran darah sepanjang limfatik. Antigen tersebut dapat bebas atau ditangkap oleh makrofag.
Antigen yang kurang larut, diinokulasi secara intradermal, difagositosis oleh makrofag dan
ditangkap limfatik menuju kelenjar getah bening yang sangat imunogenik, terutama
berkenaan dengan imunitas selular. Hal ini menjadi masalah bila M.leprae diinokulasikan
melalui kulit. Antigen yang diabsorpsi dari usus cenderung menginduksi supresi imun.
Antigen sangat larut yang bersirkulasi secara bebas di aliran darah sangat tidak efisien dalam
menginduksi imunitas, terutama imunitas selular, dan bertanggung jawab dalam menginduksi
toleransi. M.leprae cenderung bermultiplikasi pada sel Schwann di syaraf perifer. Sel
Schwann merupakan daerah khusus karena organisme merupakan intraselular dan tidak
menignduksi ekspresi molekul kelas II, dan karena tidak terdapat pembuluh limfatik pada
perineurium. Antigen yang disekresi oleh M.leprae kemungkinan langsung menuju darah
vena, dan mencapai lien, dimana pada keadaan dan konsentrasi yang memungkinkan lebih
mensupresi dibandingkan menginduksi imunitas selular.
Adjuvan. Substansi tertentu, terutama dinding sel lemak Mycobacteria memiliki
kemampuan memperbesar respon imun selular dan humoral menjadi antigen bervariasi yang
diinokulasi pada emulsi dengan adjuvan. Dinding sel M.leprae kemungkinan berperan
sebagai adjuvan yang efisien.
Limfosit T
Sel T helper bereaksi dengan antigen dan molekul HLA kelas II pada antigen presenting cell
dan menjadi teraktivasi. Stadium ini memerlukan monokin interleukin I yang disekresikan
sebagai respon terhadap fagositosis dan pinocytosis. Sel TH yang teraktivasi mensekresi
limfokin interleukin 2. Sel TH memiliki reseptor untuk interleukin 2, dimana saat adanya
antigen dapat menyebabkan pembelahan dan kemudian menyebabkan timb ulnya populasi sel
efektor dan sel memori. Sel memori menetap untuk menginisiasi respon imun sekunder. Sel
TH bekerja sama limfosit T dengan menghasilkan limfokin interleukin 4 (sel B growth
factor).
Sel T sitotoksik (CD8) bereaksi dengan antigen dan molekul HLA kelas I pada
antigen presenting cell, teraktivasi dan menyebabkan pembelahan sama seperti yang terjadi
pada sel TH. Sel Tc yang teraktivasi, kadang disebut killer lymphocyte atau sel Tk,
membunuh sel tumor tertentu dan sel terinfeksi virus pada keberadaan antibodi.
Sel supresor (Ts) mensupresi aktivitas TH. Sel CD8 in vitro memiliki fungsi ini, dan
beberapa peneliti menyebutkan bahwa sel CD4 mengandung populasi sel supresor. Sel
tertetntu dapat bekerja dengan membunuh sel TH atau dengan ‘membersihkan’ limfokin yang
ada yang dibutuhkan untuk proliferasi TH. Sebagai tambahan, makrofag dapat mensupresi
aktivitas TH melalui produksi prostaglandin. Peran sel supresor dalam meregulasi respon
pada kusta tuberkuloid dan mensupresi respon pada kusta lepromatosa, masih menjadi
perdebatan dan belum dapat dipastikan.
Sel natural killer. Limfosit ini (sel NK), tidak diaktivasi secara imunologi. Sel
tersebut membunuh sel tumor dan sel terinfeksi virus tanpa antibodi. Tidak terdapat peran
sel-sel ini pada kusta.
Supresi
Supresi imun dapat timbul akibat regulasi berlebih, terutama bila bagian lengan efektor tidak
efisien, atau akibat abnormalitas respon. Klon sel T, atau gen Ir dapat tidak ada. Klon sel T
dapat dibunuh oleh toleransi yang diinduksi antigen. Antigen bebas dapat menginduksi sel
supresor. Beberapa antigen, bahkan bila dipresentasi secara sesuai, lebih menginduksi Ts
dibandingkan sel TH. M.leprae memiliki antgien tersebut. Kegagalan perubahan produksi
dari IgM ke IgG dengan overproduksi IgM yang persisten dapat me-masking antigen dari sel
T, atau memegang peran efektor dan regulasi antibodi IgG. Jaringan limfoid yang disibukkan
dengan keberadaan antigen dapat berespon kurang baik terhadap lainnya (kompetisi
antigenik). Mekanisme tersebut dapat berkontribusi terhadap supresi sebagian imunitas
selular yang ditemukan pada kasus kusta LL.
Kehamilan mensupresi imunitas selular, dan memperngaruhi pola kusta. Beberapa
penyakit menyebabkan kerusakan respon imun, termasuk malaria, campak dan malnutrisi.
Efeknya pada infeksi kusta primer tidak diketahui. Beberapa obat, yang paling umum
diantaranya yaitu kortikosteroid yang merupakan imunosupresif. Pengetahuan mengenai obat
tersebut yang digunakan pada reaksi. Efek virus HIV pada infeksi M.leprae tidak diketahui.
Apakah kusta akan menjadi penyakit AIDS?
2. Respon humoral.
a. Antibodi terhadap antigen M.leprae dapat dideteksi pada sera pasien kusta TT tetapi
dengan frekuensi dan titer yang rendah dibandingkan kusta LL (tabel 7.3).
b. Autoantibodi tidak dihasilkan.
Kusta lepromatosa
1. Respon selular. Ketiadaan imunitas selular ditunjukkan pada jalan berikut ini:
a. Tidak terbentuk tuberkel. Gambaran histologik pada leproma: makrofag yang tidak
berdiferensiasi, sering mengalami kerusakan akibat edema dan penuhnya basil, tanpa
limfosit disekitarnya. Basil hidup dan mati dikelilingi oleh ‘busa’ phenolic glycolipid.
Tidak terdapat pengaturan granuloma menuju inti dan lapisan luar. TH (CD4) dan
terutama sel Ts/c (CD8) tersebar secara luas. Beberapa sel memproduksi interleukin
2, sekitar 20 kali lebih sedikit dibandingkan pada granuloma tuberkuloid, tetapi sama
banyak untuk sel dengan reseptor untuk interleukin 2. Injeksi interleukin 2 atau
interferon gamma pada lesi kusta menginduksi upgarding lokal dengan penghilangan
M.leprae dari area lokal.
b. Tes lepromin negatif.
c. Limfonodus menunjukkan pusat germinal yang terbentuk dengan baik dan medullary
cord penuh dengan sel plasma. Area parakorteks tidak terbentuk dengan sempurna
dan digantikan oleh makrofag yang tidak berdiferensisasi dan seringkali berbasil.
Sinus intermediat tidak mengandung limfosit.
d. Limfosit dari pasien kusta lepromatosa tidak berubah menjadi sel blast secara in vitro
pada keberadaan M.leprae, juga tidak mengaktivasi makrifag atau menghambat
migrasinya, ataupun menghasilkan interferon gamma. Defek secara in vitro ini
sebagian bersifat reversibel pada sebagian pasien dengan penambahan interleukin 2.
Jumlah limfosit bersirkulasi, yang mampu mengikat M.leprae pada permukaannya
jauh lebih rendah pada pasien lepromatosa dibandingkan tuberkuloid.
Beberapa peneliti, yang menggunakan teknik biakan khusus menunjukkan adanya
sirkulasi sel Ts yang mungkin berbeda dibandingkan yang ditujukkan oleh pasien
tuberkuloid. Saat dibiakkan dengan M.leprae, phenolic glycolipid atau antigen 36 kd,
sel ini mensupresi respon HLA-D yang sesuai sel TH pada antigen M.leprae.
Penghilangan sel Ts yang sebagian tersimpan in vitro bertanggungjawab pada
sebagian pasien LL. Signifkansi pengamatan in vitro yang belum diterima secara luas
ini, masih belum jelas.
e. Makrofag dari pasien lepromatosa dapat distimulasi secara in vitro untuk mencerna
M.leprae bila limfosit dari pasien tuberkuloid (tetapi tidak dari pasien lepromatosa)
ditambahkan pada biakan. Makrofag dari pasien lepromatosa menghasilkan monokin
yang menghambat produksi interleukin 2.
f. Penyakit tidak sembuh secara spontan.
Antibodi pada kusta tidak memiliki peran penting ataupun protektif apapun. Antibodi
tersebut tidak mampu mencapai organisme intraselular. Antibodi memainkan peran pada
reaksi tipe 2, tetapi tidak memiliki keuntungan pada pasien. Tidak diketahui bila antibodi
autoimun dapat menyebabkan kerusakan jaringan, yang dihasilkan akibat kerusakan jaringan
atau merupakan manifestasi aktivitas tambahan M.leprae pada limfonodus dan tidak
berkaitan secara langsung terhadap pola klinis atau patologi kusta.
Tes lepromin
Lepromin merupakan preparat semi standar dari basil nodul lerpomatosa, atau liver
armadillo.
0,1 ml diinjeksikan secara intradermal dan pada area yang diperiksa setelah 72 jam
(reaksi Fernandez), dan tiga atau empat pekan (reaksi Mitsuda) untuk nodul palpabel dimana
diameter diukur dan diklasifikasi:
Tanpa nodul negatif
1-2 mm ± (meragukan)
3-5 mm +
>5 mm ++
Ulserasi +++
Reaksi Fernandez positif mengindikasikan adanya delayed hipersensitivity terhadap
antigen M.leprae, dan merupakan indikasi infeksi sebelumnya dengan ini atau reaksi silang
dengan Mycobacterium. Reaksi Mitsuda positif mungkin mengindikasikan seseorang pernah
terpapar sebelumnya terhadap antigen M.leprae dan telah terbentuk hipersensitivitas selular
ataupun mampu membentuk respon cell mediated spesifik terhadap M.leprae, yang
memberikan nilai prognostik (lihat halaman 212).
Tes tersebut positif pada kasus kusta TT dan BT, tetapi tidak dapat digunakan untuk
diagnosis. Terdapat beberapa tingkatan reaksi silang dengan antigen Mycobacteria lainnya.
Infeksi dengan M.tuberculosis, imunisasi dengan BCG atau tes kulit sebelumnya dengan
lepromin dapat menginduksi Mitsuda yang positif pada seseorang yang sehat.