Anda di halaman 1dari 15

Topik : Sistem Imun Innate

: MKDU
Residen : Dr. Stella Sunur
Pembimbing : Dr. Nopriyati, SpKK, FINSDV, FAADV
Sumber : Modlin RL, Kim J, Miller LS, Bangert C, Stingl G. Innate and adaptive immunity in the skin. In: Wolff,
Goldsmith, Katz Si, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine Volume 1. 8th ed. New York: McGraw-Hill Companies; 2012. p.105-125

KELAINAN INFLAMASI BERDASARKAN REAKTIVASI DAN


DISREGULASI SEL T

SEKILAS TENTANG IMUN INNATE DAN ADAPTIF


 Respon imun innate:
 Digunakan pejamu untuk pertahanan diri segera
 Menentukan kualitas dan kuantitas sejumlah respon imun adaptif
 Usia pendek
 Tidak mempunyai memori
 Meliputi sawar fisik (kulit dan epitel mukosa)
 Meliputi faktor pelarut seperti komplemen, peptida antimikroba, kemokin dan
sitokin
 Meliputi sel seperti monosit/makrofag, sel dendritik, sel natural killer dan leukosit
polimorfonuklear

 Respon imun adaptif:


 Mempunyai memori
 Mempunyai spesifisitas
 Usia lebih panjang
 Pada kulit, diawali dengan dendritik antigen-presenting sel pada epidermis (sel
Langerhans) dan sel dendritik dermis
 Dilakukan oleh limfosit T dan antibodi yang dihasilkan oleh limfosit B/sel plasma

Imunitas Innate dan Adaptif pada Kulit


Sistem imun pada manusia terdiri atas dua bagian fungsional berbeda yaitu: (1) innate dan
(2) adaptif. Kedua komponen ini memiliki tipe pengenalan reseptor dan kecepatan yang
berbeda dalam merespon ancaman bagi pejamu (Gambar 10-1). Sel sistem imun innate
terdiri atas makrofag dan sel-sel dendritik (DCs), menggunakan pola pengenalan reseptor
yang dikode secara langsung melalui DNA germ-line, paling sering merespon struktur
biokimia dari berbagai patogen yang berbeda dan menghasilkan respon yang cepat melawan
patogen, meskipun imunitas tidak terbentuk lama. Sebaliknya, sel sistem imun adaptif,
limfosit B dan limfosit T, menghasilkan reseptor antigen spesifik yang dikode oleh

1
pengaturan ulang gen, dibandingkan dengan respon innate, imunitas adaptif berkembang
lebih lambat. Gambaran unik dari respon imun adaptif adalah kemampuan untuk
membentuk dan menyimpan memori sehingga kemampuan memberikan respon lebih cepat
pada keadaan perubahan imunologi selanjutnya. Walaupun respon imun adaptif dan innate
berbeda, kedua respon imun tersebut berinteraksi dan dapat saling mempengaruhi kekuatan
dan tipe pasangannya. Sistem imun adaptif dan innate bekerja secara sinergis sebagai
pertahanan pejamu terhadap infeksi dan kanker. Pada bab ini akan menerangkan peran
respon imun adaptif dan innate dalam menghasilkan mekanisme pertahanan pejamu pada
kulit.

Patogen asing

Respon Innate Respon adaptif

Respon cepat Respon lambat


Pola pengenalan reseptor, dikode germ Ditandai dengan afinitas reseptor awal
line, -CD14, mannose dan scavenger yang rendah
Peningkatan sitokin, molekul ko- Penyusunan gen ulang
stimulator- berperan pada respon dan perluasan klonal
adaptif Respon sel T dan sel B dengan reseptor
Respon langsung untuk pertahanan dikode oleh penyusunan ulang
pejamu seluruh gen
fagositosis Memori
aktivitas antimikroba

Gambar 10.1 Sistem imun vertebrata tingkat tinggi menggunakan respon imun innate dan adaptif.
Respon imun tersebut berbeda cara pengenalan antigen asing dan kecepatan respon; serta saling
melengkapi dalam mengeradikasi patogen asing.

RESPON IMUN INNATE


Mekanisme imun yang digunakan oleh pejamu sebagai pertahanan tubuh segera
disebut imunitas innate. Mekanisme ini meliputi sawar fisik seperti kulit dan epitel mukosa;
faktor pelarut seperti komplemen, peptida antimikroba, kemokin dan sitokin; serta sel
termasuk monosit/makrofag, DCs, sel natural killer (sel NK) dan leukosit polimorfonuklear
(PMNs)(Gambar.10-2)
Pemahaman penulis mengenai imunitas innate berdasarkan penelitian Elie
Metchnikoff, tahun 1884, mempublikasikan penelitian lalat air Daphnia dan interaksinya
dengan ragi-seperti jamur. Peneliti menunjukkan sel-sel lalat air, disebut “fagosit” yang
2
menarik dan memakan spora asing, diikuti “mematikan dan menghancurkan”. Metchnikoff
menjelaskan fungsi utama sistem imun innate: (1) deteksi cepat terhadap mikroba (2)
fagositosis (3) aktivitas antimikroba. Sebagai tambahan pengaturan langsung pada pertahanan
pejamu, sistem imun innate memiliki peran tidak langsung dalam memberi instruksi dan
menentukan tipe respon sel T dan B adaptif. Pada akhirnya menginduksi inflamasi, respon
imun innate juga dapat menyebabkan kerusakan jaringan.

Gambar 10-2. Respon imun innate pada kulit. Respon terhadap faktor eksogen, seperti patogen asing,
radiasi ultraviolet (UV), dan bahan kimia iritan. Sel imun innate [granulosit, fagosit mononuklear, sel
NK, keratinosit] memberi respon berbeda antara lain: (1) pelepasan agen antimikroba; (2) induksi
mediator inflamasi seperti sitokin, kemokin, neuropeptida dan eikosanoid; (3)inisiasi dan modulasi
respon imun adaptif. DDC= sel dendritik dermis; KC= keratinosit; LC= sel Langerhans; MHC II=
major histocompatibility complex class II; Th1= sel T tipe 1,Th2= sel T tipe 2, Th17= sel T tipe 17, T
reg= sel T regulator.

Sawar Fisik dan Kimia


Struktur fisik melindungi pejamu dari banyak patogen dan toksin lingkungan yang
membahayakan pejamu. Kulit dan epitel traktus respiratorius, gastrointestinal dan
genitourinarius merupakan sawar fisik antara pejamu dan dunia luar. Kulit mempunyai peran
penting dalam melindungi individu dari lingkungan eksternal. Epidermis menghambat
penetrasi organisme mikroba, bahan kimia iritan, dan toksin; mengabsorbsi dan memblok
sinar matahari dan radiasi ionisasi; serta menghambat kehilangan air

3
Molekul Sistem Imun Innate
KOMPLEMEN
Salah satu mekanisme utama pertahanan innate mengatasi patogen pada sawar epitel
adalah jalur komplemen alternatif. Tidak seperti jalur komplemen klasik yang membutuhkan
rangsangan antibodi, aktivasi jalur lektin-dependent maupun jalur komplemen alternatif dapat
diaktivasi secara spontan oleh permukaan mikroba tanpa antibodi spesifik (Gambar 10-2).
Pada jalur ini, mekanisme pertahanan pejamu segera teraktivasi segera setelah terpajan
patogen, tanpa memerlukan 5-7 hari untuk pembentukan antibodi.

PEPTIDA ANTIMIKROBA
Peptida antimikroba penting bagi perkembangan mekanisme pertahanan innate
pejamu diberbagai organisme. Tipikal peptida antimikroba ini adalah berperan nyata dan
amphipathic, pada permukaan hidrofobik dan hidrofilik. Aktivitas antimikroba pada peptida
tersebut diduga berhubungan dengan kemampuannya untuk berikatan dengan membran
mikroba (melalui permukaan hidrofobik) dan membentuk lubang pada membran,
menyebabkan kematian mikroba. Terdapat banyak peptida antimikroba yang teridentifikasi
pada berbagai jaringan dan sekresi tubuh manusia. Pada bagian ini fokus pada peptida
antimikroba yang terdapat pada sel kulit residen, temasuk human -defensins (HBD-1, HBD-
2, HBD-3), katelisidin (LL-37), psoriasin dan RNase 7, seluruhnya diproduksi oleh
keratinosit, dan dermcidin, yang disekresi oleh kelenjar keringat manusia. Sebagai tambahan,
terdapat banyak peptida antimikroba lain diproduksi sel yang menginfiltrasi kulit dan
berperan pada respon imun innate kulit.
β-defensin adalah peptida antimikroba kationik kaya-sistein dengan berat molekul
rendah. β -defensin manusia yang pertama, HBD-1, diekspresikan pada epidermis dan tidak
diregulasi oleh agen inflamasi. HBD-1 memilliki aktivitas antimikroba terhadap bakteri Gram
negatif dan berperan dalam diferensiasi keratinosit. β -defensin manusia yang kedua, HBD-2
ditemukan pada lesi pasien psoriasis. Tidak seperti HBD-1, ekspresi HBD-2 dapat diinduksi
oleh komponen mikroba, antara lain Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus, dan
Candida albicans. Tidak hanya komponen mikroba yang dapat menstimulasi ekspresi HBD-2,
sitokin proinflamasi seperti tumor necrosis factor-α (TNF-α) dan interleukin-1 (IL-1) juga
dapat menginduksi transkripsi HBD-2 pada keratinosit. Ketika aktivitas antimikrobial diuji,
ditemukan bahwa HBD-2 efektif melawan bakteri Gram negatif seperti Escherichia coli dan

4
P. aeruginosa, serta memiliki efek bakteriostatik lemah terhadap bakteri Gram positif seperti
S.aureus. HBD-3 adalah β –defensin lain, pertama kali diisolasi dari lesi psoriasis. Kontak
antara TNF-α dan bakteri dapat menginduksi ekspresi mRNA HBD-3 pada keratinosit. HBD-
3 memiliki aktivitas antimikroba poten terhadap S. aureus dan Enterococcus faecium resisten-
vankomisin. HBD-3 merupakan β–defensin manusia pertama pada kulit yang memiliki
aktivitas antimikroba efektif terhadap bakteri Gram positif. Lokalisasi β–defensin manusia di
lapisan terluar kulit dan fakta bahwa β–defensin memiliki aktivitas antimikroba terhadap
berbagai mikroba menunjukkan bahwa β–defensin manusia merupakan bagian penting dari
imunitas innate kulit. Selain itu, bukti menunjukkan HBD menarik DCs dan sel T memori
melalui CC kemokin reseptor 6 (CCR6) menunjukkan hubungan antara imunitas innate dan
adaptif kulit.
Katelisidin merupakan peptida kationik dengan domain antimikroba yang bervariasi
secara struktural pada C-terminus. Sedangkan pada mamalia seperti babi atau sapi memiliki
variasi gen katelisidin, laki-laki (dan tikus) hanya memiliki satu gen. Protein prekursor
manusia hCAP18 (human cathelicidin antimicrobial protein 18) dihasilkan oleh sel kulit
termasuk keratinosit, sel mast, neutrofil dan sel duktus kelenjar ekrin. Protease neutrofil
(contoh: proteinase 3) memproses hCAP18 ke dalam molekul efektor LL-37 (dinamakan LL-
37 karena peptide antimikroba aktif asam amino-37 dilepaskan dari terminal-C protein),
memiliki peran penting dalam pertahanan kulit pejamu karena memiliki aktivitas antimikroba,
antijamur dan antivirus. LL-37 juga berperan pada imunitas innate melalui penarikan sel mast
dan netrofil melalui formyl peptide reseptor-like 1 dan melalui induksi pelepasan mediator
dari sel netrofil melalui protein G-dependen, mekanisme-independen IgE. Saat ini telah
ditunjukkan bahwa LL-37 disekresi melalui keringat manusia, dibagi oleh mekanisme serin
protein-dependen ke dalam peptida RK-31 atau KS-30. Menariknya, komponen tersebut
menunjukkan aktivitas antimikroba lebih kuat dari LL-37 intak. Salah satu penginduksi
ekspresi LL-37 paling penting adalah vitamin D, dapat dipicu oleh aktivasi reseptor toll-like
(TLR) reseptor vitamin D dan gen D-1hydroxylase, menyebabkan peningkatan penghancuran
antimikroba.
Pada dermatitis atopik, LL-37 diturunkan regulasinya, mungkin disebabkan oleh efek
T2 sitokin IL-4 dan IL-13, yang menyebabkan kulit atopik lebih rentan terhadap infeksi kulit
seperti S. aureus, virus vaccinia (eczema vaccinatum), atau virus herpes simpleks (eczema
herpeticum). Selanjutnya, pasien rosasea ditemukan memiliki level tinggi proses
pembentukkan peptida katelisidin yang menyimpang (diakibatkan proses post translasi oleh
enzim triptik stratum korneum), berkontribusi pada peningkatan inflamasi kulit. Katelisidin
5
juga membentuk komplek dengan DNA-sendiri, mempromosikan aktivasi TLR9 pada sel
dendritik plasmasitoid dermis, menyebabkan peningkatan inflamasi kulit yang berkontribusi
pada patogenesis psoriasis.
Peptida antimikroba lain yang penting pada manusia telah diidentifikasi, yaitu
psoriasin (S100A7), mengeluarkan efek antimikroba dengan permeabilisasi membran bakteri.
Psoriasin disekresi terutama oleh keratinosit dan berperan utama membunuh bakteri usus
E.coli. Pada kenyataannya, terapi in vivo pada kulit manusia dengan antibodi anti-psoriasin
menghasilkan pertumbuhan E.coli yang masif. Selanjutnya, ekspresi psoriasin oleh keratinosit
menunjukkkan terjadi melalui stimulasi TLR5 oleh flagellin E.coli. Sebagai tambahan
aktivitas antimikroba, psoriasin juga berfungsi sebagai chemoattractant untuk sel CD4 dan
neutrofil.
RNase 7 berasal dari isolasi stratum korneum kulit manusia sehat. RNase 7 memiliki
aktivitas ribonukleasi poten, tetapi juga aktivitas antimikroba spektrum-luas melawan S.
aureus, P.acnes, P. aeruginosa, E. coli, dan C. albican. Produksi RNase 7 dapat diinduksi
pada keratinosit manusia dengan IL-1, IFN- dan bakteri. Menariknya, ekspresi tinggi
RNase 7 pada kulit manusia memberikan perlindungan melawan infeksi kulit S. aureus.
Dermisidin adalah peptida antimikroba yang diekspresikan pada kelenjar keringat
manusia. Dermisidin keluar melalui proses proteolitik postsekretorik dalam keringat yang
menimbulkan peningkatan peptida dermisidin anionik dan kationik yang disekresi pada
permukaan kulit. Peptida dermisidin memiliki aktivitas antimikroba luas melawan S. aureus,
E. coli, E. faecalis dan C. albicans. Meskipun mekanisme kerja dermisidin tidak diketahui,
tidak melibatkan pembentukkan pori seperti pada peptida antimikroba lain.

POLA PENGENALAN RESEPTOR


Bagaimana sel sistem imun innate mengenali patogen asing? Salah satu cara patogen
dapat dikenali dan dihancurkan oleh sistem imun innate adalah melalui reseptor sel fagosit.
Berbeda dengan imunitas adaptif, respon imun innate bergantung pada kumpulan kecil
reseptor germline-encoded yang mengenali pola molekul dari sejumlah besar patogen.
Struktur molekul diperlukan untuk pertahanan hidup mikroba. Sabagai tambahan, pola
molekuler yang berhubungan dengan patogen spesifik terhadap mikroba dan tidak
diekspresikan pada sistem pejamu. Sistem imun innate memiliki cara cerdas untuk
membedakan antara self dan nonself serta menyampaikan pesan pada sistem imun adaptif.

6
Kunci utama adalah penemuan Toll- like reseptor (TLRs), yang dinamakan setelah gen
Drosophila Toll yang mempunyai produk protein, Toll, berpartisipasi dalam imunitas innate
dan perkembangan dorsoventral pada lalat buah. Pentingnya signal Toll pada sel mamalia
dikonfirmasi oleh demonstrasi TLRs4 protein transmembran kaya-leucine yang terlibat dalam
pengenalan lipopolisakarida (LPS).
Selain TLR terdapat berbagai molekul transmembran lain yang dapat mengenal
keberadaan patogen, meliputi protein NOD, protein trigerring reseptors expressed on myeloid
cells (TREM), molekul family of Siglec dan kelompok reseptor lektin tipe-C. Kemudian
diekspresikan pada antigen-presenting cells (APC) sebagai contoh, dectin-1 dan DC-SIGN
[DC-specific intercellular adhesion molecule 3 (ICAM-3) menangkap nonintegrin] yang
sebenarnya diekspresikan pada makrofag jaringan. Molekul tersebut mampu memediasi
ikatan mikroorganisme, memfasilitasi fagositosis, dan menginduksi aktivasi jalur sinyal
sehingga terjadi aktivitas antimikroba.
Anggota dari famili protein TREM berfungsi sebagai penguat respon innate. Sebagai
contoh akibat aktivasi protein TREM adalah septikemia yang mengancam jiwa dan demam
hemoragik mematikan yang disebabkan oleh infeksi virus Morburg dan Ebola.

RESEPTOR TOLL-LIKE
Terdapat substansi yang mendukung peran TLRs mamalia pada imunitas innate
(Gambar 10-3). Pertama, TLRs mengenali pola molekular patogen yang ada pada berbagai
bakteri, jamur dan virus. Kedua, TLRs diekspresikan pada tempat yang terpajan mikroba.
Ketiga, aktivasi TLRs menginduksi jalur sinyal yang mengstimulasi produksi molekul efektor
antimikroba dan juga mempromosikan ekspresi molekul ko-stimulator serta pelepasan sitokin
dan sebagai hasilnya, peningkatan respon adaptif. Keempat, TLRs secara langsung
mengaktifkan mekanisme pertahanan pejamu kemudian melawan benda asing tersebut.
Penelitian yang dilakukan di laboratorium Modlin dan lainnya mengawali penemuan
lipoprotein mikroba memicu respon pejamu melalui TLR2, membutuhkan fungsi acyl untuk
bekerja. Selanjutnya, lipoprotein triacylated ditemukan mengaktivasi heterodimer TLR2/1,
dimana lipoprotein diacylated ditemukan mengaktivasi heterodimer TLR2/6. Untuk
mengenali bakteri, sistem TLR berlebihan: TLR9 diaktivasi oleh unmethylated DNA
sequences (CpG dinucleotides) ditemukan pada DNA bakteri dan TLR5 diaktivasi oleh
flagela bakteri. TLRs spesifik terlibat dalam pengenalan virus: TLR3 diaktivasi oleh viral
derived RNA rantai ganda serta TLR7 dan TLR8 oleh viral derived RNA rantai tunggal.
Temuan bahwa TLRs yang berbeda memiliki pola ekspresi berbeda juga, khususnya pada
7
monosit, makrofag, sel dendritik, sel B, endotel, dan epitel, mengesankan bahwa setiap TLR
dapat memicu respon spesifik pejamu. Selanjutnya, TLRs diekspresikan pada kompartemen
subseluler spesifik: TLR7,8, dan 9 yang berlokalisasi di dalam endosom, bertemu dengan
patogen mikroba di jalur endocytic. TLR lain diekspresikan pada permukaan sel dan
mendeteksi ikatan mikroba di lingkungan ekstraseluler.

Gambar 10-3. TLRS memediasi system imun innate pada pertahanan pejamu. Aktivasi TLRS oleh
ligan spesifik menginduksi (1) pelepasan sitokin dan molekul ko-stimulator yang memerintahkan
respon imun adaptif, (2) respon antimikroba langsung dan (3) kerusakan jaringan. CpG DNA=
imunostimulator sitosin dan guanine yang kaya sekuens DNA. dsDNA= double stranded DNA, LPS=
lipopolisakarida, NF-κB, ssRNA= single stranded RNA, X= ligan yang tidak diketahui.

Ekspresi TLRs pada sel monosit/makrofag sesuai dengan peran TLRs dalam
memodulasi respon inflamasi melalui pelepasan sitokin. Karena sel bermigrasi ke daerah yang
berinteraksi dengan lingkungan -paru-paru, kulit dan usus – lokasi sel TLR –pengekspresi
dapat mengkondisikan sel untuk melawan serangan mikroba. Ekspresi TLRs oleh adiposit, sel
epitel intestinal, dan sel endotel dermal mendukung pendapat bahwa TLRs berperan menjaga
terhadap invasi mikroorganisme. Regulasi ekspresi TLR penting dalam pertahanan pejamu,
namun beberapa faktor telah diidentifikasi memodulasi proses ini. IL-4 mendownregulasi
ekspresi TLR, menyatakan bahwa respon imun adaptif T helper 2 (T2) dapat menghambat
aktivasi TLR.

PENELITIAN LENGKAP TLR


TLR-Menginduksi Pelepasan Sitokin
8
Aktivasi TLR dari berbagai tipe sel telah menunjukkan memicu pelepasan sitokin
proinflamasi dan imunomodulator. Aktivasi TLR monosit dan DC menginduksi IL-12 dan
IL-18, dibutuhkan untuk regenerasi respon Th1, dan IL1, IL-6, IL-23, melibatkan generasi
respon Th17, sama halnya dengan anti-inflamasi IL-10. Induksi relatif pola sitokin spesifik
menentukan respon sel-T tipe adaptif.

M dan Diferensiasi DC
TLR dapat mengatur fagositosis baik melalui peningkatan fusi endosom dengan kompartemen
lisosom atau induksi program gen fagositik meliputi reseptor scavenger multipel. Aktivasi
TRLs pada monosit menyebabkan induksi IL-15 dan IL-15R, memicu diferensiasi ke bentuk
CD209+ M dengan aktivitas mikrobisidal. Aktivasi TLRs pada monosit juga menginduksi
GM-CSF dan GM-CSFR, memicu diferensiasi ke bentuk DC imatur dengan kemampuan
melepaskan sitokin dan menimbulkan antigen terhadap sel T. Sebagai tambahan, aktivasi
TLRs pada DC immatur menyebabkan maturasi lanjut dengan peningkatan kemampuan
stimulasi oleh sel T.

TLR-Menginduksi Aktivitas Antimikroba


Pada Drosophila, Toll penting dalam pertahanan pejamu. Kecenderungan pada tikus dengan
mutasi spontan TLR terhadap infeksi bakteri mengindikasikan bahwa TLRs mamalia bekerja
dengan cara yang sama. Aktivasi TLR2 oleh lipoprotein mikroba menginduksi aktivasi
sintesis promotor inducible nitric oxide (NO) (NOS-II atau iNOS), mengakibatkan produksi
NO, agen antimikroba yang sudah dikenal. Ada bukti kuat bahwa aktivasi TLRs2 dapat
membunuh Mycobacterium tuberculosis intraseluler pada makrofag tikus dan manusia. Pada
makrofag tikus, aktivasi TLR2 lipoprotein bakteri menyebabkan pembunuhan NO-dependent
pada basil tuberkel intraselular. Pada monosit manusia dan makrofag alveolar, lipoprotein
bakteri mengaktivasi TLR2 untuk membunuh M. tuberculosis intraselular; ini terjadi pada
jalur antimikroba berupa NO-independent. Meskipun, mekanisme kunci antimikroba untuk
monosit manusia TLR-teraktivasi melibatkan induksi 25-hydroxyvitamin D3-1-hydroxylase
(CYP27b1), dengan merubah 25D menjadi bentuk 1,25D aktif, upregulasi dan aktivasi
reseptor vitamin D (VDR), dan penurunan induksi antimikroba katelisidin peptide.
Kemampuan aktivasi TLR2/1 untuk meningkatkan regulasi ekspresi CYP27b1 dan VDR
adalah IL-15 dependent. Pemicu simultan aktivitas IL-1 dan aktivasi VDR menginduksi
HBD-2, juga dibutuhkan untuk aktivitas antimikroba.

9
Aktivasi TLRs 3,4,7,8 dan 9 menyebabkan induksi aktivitas antivirus, tergantung pada
sekresi IFN tipe I dan melibatkan jalur signal spesifik. Dua jalur TLR-mediated sudah
teridentifikasi: produksi IFN tipe I terjadi melalui jalur MyD88-independent dalam respon
aktivasi TLR3 dan TLR4, serta mengikuti stimulasi agonis TLRs7,8 dan 9, melalui jalur
MyD88-dependent.
Aktivasi TLRs dapat juga merugikan, menyebabkan kerusakan jaringan. Pemberian
LPS pada tikus dapat bermanifestasi syok septik, tergantung pada TLR4. Bukti bahwa aktivasi
TLR2 oleh Propionibacterium acnes menginduksi respon inflamasi pada akne vulgaris,
menyebabkan kerusakan jaringan. Aliprantis dkk menunjukkan bahwa lipoprotein mikroba
menginduksi apoptosis melalui TLR2. Lipoprotein mikroba mempunyai kemampuan
menginduksi aktivasi TLR-dependent pertahanan pejamu dan patologi jaringan. Kedua jalur
sinyal serupa dengan reseptor TNF dan sinyal CD40, mengakibatkan aktivasi nuclear factor-
κB dan apoptosis. Sistem imun dapat menggunakan molekul yang sama untuk mengaktivasi
mekanisme pertahanan pejamu dan melalui apoptosis, menurunkan regulasi respon akibat
kerusakan jaringan. Aktivasi TLR dapat menyebabkan hambatan jalur presentasi antigen
MHC kelas II, dapat menurunkan regulasi respon imun mengakibatkan kerusakan jaringan
tapi juga berperan sebagai imunosupresi. Aktivasi Toll juga terlibat dalam destruksi tulang.
Prinsip biologis pengaturan TLRs pada pertahanan pejamu manusia dapat disimpulkan
dari penemuan bahwa mutasi TLR4 berhubungan dengan hiporesponsif LPS pada manusia.
Menurut kesimpulan, satu dapat mengantisipasi manusia dengan perubahan genetik pada TLR
dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi mikroba tertentu. Selanjutnya,
memungkinkan memanfaatkan jalur aktivasi TLR sebagai alat untuk mendukung respon imun
pada vaksinasi dan pengobatan penyakit infeksi serta untuk menghilangkan respon yang
merugikan pejamu.

Sel pada Sistem Imun Innate


FAGOSIT
Dua sel utama dari sistem imun innate yang ditandai oleh fungsi fagositik yaitu
makrofag dan PMNs. Sel ini memiliki kemampuan menangkap, mengenali dan
menghancurkan patogen. Beberapa fungsi sel tersebut diregulasi melalui TLRS dan reseptor
komplemen.
PMNs secara normal tidak terdapat pada kulit; namun, selama proses inflamasi, sel
tersebut migrasi ke tempat infeksi dan inflamasi, dimana PMN adalah sel fagositik yang
paling cepat direkrut. Sel ini memiliki reseptor yang mengenali patogen secara langsung (lihat
10
Pola Pengenalan Reseptor), dan karena ekspresi FcγRIII/CD16 dan C3bR/CD35, dapat
memfagositosis mikroba ditutupi dengan antibodi dan dengan komponen komplemen C3b.
Sebagai konsekuensi, granul (terdiri dari mieloperoksidase, elastase, laktoferin, kolagenase
dan enzim lain) dikeluarkan, dan radikal superoksid mikrobisidal (O2-) dihasilkan.

Fungsi efektor fagosit. Aktivasi fagosit oleh patogen menginduksi beberapa mekanisme
efektor penting, sebagai contoh, memicu produksi sitokin. Sejumlah sitokin penting disekresi
oleh makrofag sebagai respon terhadap mikroba, termasuk IL-1, IL-6, TNF-α, IL-8, IL-12,
dan IL-10.
Mekanisme pertahanan tubuh lain yang dipicu oleh fagosit sebagai respon terhadap
patogen adalah induksi respon antimikroba langsung. Sel fagositik seperti PMNs dan
makrofag mengenali patogen, mencerna, dan menginduksi mekanisme efektor antimikroba
untuk membunuh patogen. Induksi dan/atau pengeluaran radikal oksigen toksik, enzim
lisosomal, dan peptida antimikroba menyebabkan pembunuhan langsung organisme mikroba.
Demikian juga, aktivasi TLRs makrofag menginduksi berbagai jalur antimikroba yang sudah
didiskusikan di atas.

Subsets Makrofag dan Program Fungsional. Sitokin dari respon adaptif sel T
mempengaruhi diferensiasi makrofag: hasil pengobatan IFN- pada makrofag yang
“diaktivasi secara klasik”, dengan aktivitas antimikroba, dimana berlawanan dengan IL-4 atau
IL-13 memicu diferensiasi makrofag yang “ diaktivasi alternatif”, berkontribusi terhadap
imunitas humoral dan antiparasit. Sitokin dihasilkan oleh respon imun innate juga
menginduksi program diferensiasi makrofag. IL-10 menginduksi program fagositik makrofag,
menyebabkan uptake lipid dan bakteri. Berbeda dengan IL-15 menginduksi program
antimikroba makrofag. Data menegaskan bahwa respon imun innate, secara selektif
menginduksi IL-10 versus IL-15, program diferensiasi makrofag untuk fagositosis versus
respon antimikrobial yang secara luas menentukan hasil akhir infeksi.
Sel fagositik sebagai sistem imun innate juga dapat diaktivasi oleh sistem imun
adaptif. CD40 merupakan glikoprotein 50 kd terdapat pada permukaan sel B, monosit, DC
dan sel endotelial. Ligan CD40 adalah CD40L, merupakan protein membran 33 kd tipe II,
terutama diekspresikan pada sel T CD4+ teraktivasi dan sel mast. Interaksi CD40-CD40L
berperan penting dalam perkembangan fungsi efektor. Sel T CD4+ mengaktifkan makrofag
dan monosit untuk menghasilkan TNF-α, IL-1, IL-12, interferon-γ (IFN- γ), dan NO melalui

11
interaksi CD40-CD40L. CD40L telah menunjukkan suatu sirkulasi penyelamatan monosit
dari kematian apoptosis, sehingga memperpanjang kelangsungan hidup di tempat inflamasi.
Sebagai tambahan, interaksi CD40-CD40L selama aktivasi sel T oleh APCs mengakibatkan
produksi IL-12. Kemudian, dapat disimpulkan interaksi CD40-CD40L antara sel T dan
makrofag berperan dalam pemeliharaan respon seluler tipe T1 dan respon mediasi inflamasi.
Penelitian lain membuktikan bahwa peran interaksi CD40-CD40L pada aktivasi sel B,
diferensiasi, dan penggantian kelas Ig. Sebagai tambahan, interaksi CD40-CD40L
menyebabkan upregulation B7.1 (CD80) dan B7.2 (CD86) pada sel B. Aktivitas kostimulasi
ini menginduksi sel B kemudian bertindak menguatkan respon sel T. Mekanisme ini
menekankan pentingnya saling mempengaruhi antara sistem imun innate dan adaptif dalam
menghasilkan respon pejamu yang efektif.

SEL NATURAL KILLER


Sel NK muncul sebagai limfosit granular besar. Pada manusia, mayoritas sel
menunjukkan fenotip CD3-, CD56+, CD16+, CD94+, CD161+. Fungsi sel ini mensurvei tubuh
untuk mencari sel yang berubah, melalui transformasi atau infeksi virus (contoh
sitomegalovirus), bakteri (contoh Listeria monocytogenes) atau parasit (contoh Toxoplasma
gondii). Patogen ini kemudian dibunuh secara langsung melalui mekanisme
perforin/granzyme atau Fas/FasL-dependent atau secara tidak langsung melalui sekresi sitokin
(contoh IFN-γ).

Bagaimana sel NK membedakan antara jaringan normal dan berubah atau terinfeksi
patogen? Semua sel ternukleasi mengekspresikan molekul MHC kelas I. Sel NK memiliki
reseptor, disebut reseptor inhibitor killer, yang mengenali molekul MHC kelas I itu sendiri.
Pengenalan ini menghasilkan penghantaran sinyal negatif ke sel NK yang melumpuhkannya.
Apabila sel ternukleasi kehilangan ekspresi molekul MHC kelas I, biasanya terjadi setelah
perubahan keganasan atau infeksi virus, sel NK akan menjadi teraktivasi dan membunuhnya.
Sel NK memiliki reseptor pengaktivasi yang mengikat ligan seperti-MHC pada sel
target. Salah satu reseptor adalah NKGD2, dimana berikatan dengan rantai MHC kelas I non
klasik manusia terkait dengan molekul A dan B, MICA dan MICB. MICA dan MICB tidak
diekspresikan dalam jumlah yang banyak pada jaringan normal, tapi muncul berlebihan pada
karsinoma. Sel NK mampu membunuh MICA/MICB penghasil tumor, dimana memberi kesan
peran NKGD2 sebagai penjaga imun.

12
Tipe sel lain, pada tikus, mampu menghasilkan fungsi serupa yaitu IFN penghasil
pembunuh DC, dimana memberikan beberapa gambaran dengan DCs dan sel NK. Ekuivalen
pada manusia belum ditemukan.

KERATINOSIT
Pemikiran pertama yang perlu diperhatikan dalam mempertahankan sawar fisik kulit,
keratinosit, sel predominan di epidermis, dapat berpartisipasi dalam imunitas innate dengan
meningkatkan imun dan atau respon inflamasi melalui sekresi sitokin dan kemokin, metabolit
asam arakidonat, komponen komplemen, dan peptida antimikroba.
Keratinosit pada kulit yang terganggu menghasilkan hanya sedikit mediator ini, seperti
sitokin IL-1, IL-7 dan transforming growth factor-β (TGF-β). Keratinosit residen
mengandung sejumlah besar preformed dan IL-1α aktif secara biologis serta IL-1β imatur
dalam sitoplasma. Seperti peran in vivo IL-1 intraseluler tersimpan merupakan pencetus cepat
inflamasi dan proses perbaikan setelah kerusakan epidermis. IL-7 merupakan faktor
pertumbuhan limfosit penting yang memiliki peran dalam kelangsungan dan proliferasi
limfosit T pada kulit manusia. Ada beberapa bukti IL-7 mengarahkan perkembangbiakan sel
limfoma pada sindrom Sezary.
TGF-β, efek pengaturan-pertumbuhan pada keratinosit dan fibroblas, memodulasi
inflamasi demikian juga respon imun dan penting untuk perkembangan LC (lihat di sel
Langerhan). Pada penghantaran sesuatu yang berbahaya, atau yang berpotensial berbahaya,
stimulus (seperti hipoksia, trauma, radiasi non-ionizing, hapten atau bahan kimia reaktif cepat
seperti racun tumbuhan katekol poison ivy, silika, LPS, dan toksin mikroba), produksi
dan/atau pelepasan sitokin sering meningkat secara dramatis. Konsekuensi biologik peristiwa
ini beragam dan termasuk inisiasi inflamasi (IL-1, TNF-α, IL-6, anggota dari kelompok
kemokin), pengaturan fenotip dan fungsi LC (IL-1, GM-CSF, TNF-α, IL-10, IL-15), aktivasi
sel T (IL-15, IL-18), penghambat sel T (IL-10, TGF-β) dan penyimpangan respon limfositik
tipe 1 (IL-12, IL-18), tipe 2 (limfopoietin stromal timik) atau arah Th17 (IL-23). Pada
beberapa kasus, keratinosit juga berperan dalam memperkuat sinyal inflamasi pada epidermis
yang berasal dari sejumlah kecil kumpulan sel epidermis. Satu contoh yang menonjol adalah
induksi sitokin pro inflamasi seperti TNF-α pada keratinosit oleh LC berasal dari IL-1 β pada
fase awal dermatitis kontak alergi. Pada stimulus yang kuat, keratinosit berasal dari sitokin
bisa dilepaskan ke dalam sirkulasi dalam jumlah yang dapat menimbulkan efek sistemik.
Selama reaksi sunburn yang berat, kadar serum IL-1, IL-6 dan TNF-α meningkat dan
mungkin menimbulkan manifestasi sistemik pada reaksi ini, seperti demam, leukositosis dan
13
produksi protein fase akut. Ada bukti yang menunjukkan sitokin IL-6 dan IL-10 yang
diinduksi radiasi UV dapat memicu produksi autoantibodi dan ikut terlibat pada kondisi
eksaserbasi penyakit autoimun seperti lupus eritematosus. Fakta bahwa produksi sekresi
keratinosit dapat mencapai sirkulasi juga digunakan sebagai tujuan terapi. Demonstrasi oleh
Fenjves dkk yang melakukan graft transfer gen apolipoprotein E keratinosit manusia ke tikus
menghasilkan penemuan apolipoprotein E dalam sirkulasi tikus mendukung suatu pendekatan.
Beberapa fungsi innate keratinosit dapat timbul dengan aktivasi TLR, sejak keratinosit
mengekspresikan TLRs1-6 dan 9. Jadi dengan merasakan adanya potogen mikroba melalui
TLRs, keratinosit dapat timbul sebagai respon pertama dalam imunitas innate kulit. Aktivasi
TLRs menyebabkan produksi sitokin proinflamasi keratinosit (termasuk TNF- dan IL-8),
peptida anti mikroba (HBD-2 dan HBD-3) dan mediator oksigen reaktif (iNOS). Aktivasi
TLR3 dan TLR9 pada keratinosit menginduksi produksi interferon tipe 1 (IFN-/), mungkin
penting dalam meningkatkan respon imun antiviral. Akhirnya, respon yang dimediasi TLR
dapat ditingkatkan melalui sinyal bahaya seperti toksin, iritan, sinar UV, purin yang dihasilkan
selama proses infeksi (aktivasi reseptor P2x7), dan aktivasi reseptor pola alain (NOD1 dan
NOD2), secara keseluruhan meningkatkan aktivasi caspase-1 yang dimediasi inflamasom
menghasilkan pembelahan pro-Il-1 menjadi bentuk aktif.
Fungsi penting lain dari keratinosit adalah produksi/sekresi faktor yang mengatur
influks dan refluks leukosit ke dalam dan ke luar kulit. Dua contoh baik yaitu kemokin timus
dan kemokin diregulasi-aktivasi (TARC; CC ligan kemokin 17, atau CCL17) dan cutaneus T
cell-attracting chemokine (CTACK)/CCL27 dan reseptor yang sesuai CCR4 dan CCR10,
dengan selektif mengekspresikan pada kulit limfosit T. Penghalang kedua kemokin
menghambat secara drastis migrasi sel T ke kulit tikus hipersensitivitas kontak (CHS). Protein
inflamasi KC-diturunkan dari makrofag 3α (MIP-3α)/CCL20 juga berperan penting dalam
pengrekrutan leukosit ke epidermis. Sekresi dipicu atau ditingkatkan oleh IL-17 dan reseptor
yang berlawanan CCR6 tampak pada precursor LC dan sel T tertentu. Sitokin T-17, IL-17, IL-
21, dan IL-22 juga memodulasi fungsi imunitas innate keratinosit lain. Sebagai contoh IL-17
dan IL-22 meningkatkan produksi peptida antimikroba keratinosit termasuk HBD-2,
katelisidin dan psoriasin. Sebagai tambahan IL-21 dan IL-22 menginduksi proliferasi
keratinosit mengakibatkan hiperplasia dan akantosis epidermis yang tampak pada psoriasis.
Demonstrasi reseptor sitokin dan respon sitokin oleh keratinosit menunjukkan sifat
fungsional sel ini diatur oleh sel sistem imun. Sebagai akibatnya, keratinosit mengekspresi

14
atau diinduksi untuk mengekspresi, gugus permukaan secara imunologik dapat dapat menjadi
target oleh leukosit untuk stimulasi atau penghambat transduksi sinyal.
Keratinosit mensekresi faktor lain seperti neuropeptida, eikosanoid dan spesies
oksigen reaktif. Mediator ini memiliki inflamasi yang kuat dan sifat imunomodulator serta
berperan penting dalam patogenesis inflamasi kutaneus dan penyakit infeksi begitu juga pada
penuaan.
Keratinosit mensintesis komplemen dan berhubungan dengan reseptor, termasuk
reseptor C3b [reseptor komplemen 1 (CR1), CD35], reseptor CR2virus EpsteinBarr (reseptor
C3d, CD21), reseptor C5a (CD88), protein kofaktor membran (CD46), faktor akselerasi
pembusukan (CD55) dan protektin komplemen (CD59). CD59 dapat melindungi keratinosit
dari serangan oleh komplemen. Keterlibatannya karena CD2 menstimulasi sekresi sitokin
proinflamasi dari keratinosit. Kofaktor membran (CD46) dilaporkan sebagai reseptor untuk
protein M dari Streptococci grup A dan virus campak. Ligasi ini menginduksi sitokin
proinflamasi dalam keratinosit seperti IL-1α, IL-6, dan GM-CSF.

15

Anda mungkin juga menyukai