Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teori


2.1.1 Rumah Sakit
2.1.1.1 Pengertian
Menurut WHO (World Health Organization), rumah sakit adalah bagian

integral dari suatu organisasi sosial dan kesehatan dengan fungsi menyediakan

pelayanan paripurna (komprehensif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan pencegahan

penyakit (preventif) kepada masyarakat. Rumah sakit juga merupakan pusat pelatihan

bagi tenaga kesehatan dan pusat penelitian medik.


Berdasarkan undang-undang No. 44 Tahun 2009 tentang rumah sakit, yang

dimaksudkan dengan rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang

menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang

menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.

2.1.1.2 Indikator Mutu Pelayanan Rumah Sakit

Indikator adalah suatu perangkat yang dapat digunakan dalam pemantauan

suatu proses tertentu. Indikator pelayanan rumah sakit yang dapat dipakai untuk

mengetahui tingkat pemanfaatan, mutu, dan efisiensi pelayanan rumah sakit antara

lain (Depkes RI, 2005):

1. Bed Occupancy Rate (BOR) adalah persentase pemakaian tempat tidur pada

satuan waktu tertentu yang digunakan untuk mengetahui tingkat pemanfaatan

tempat tidur rumah sakit. Angka BOR yang rendah menunjukkan kurangnya

pemanfaatan fasilitas perawatan rumah sakit oleh masyarakat. Angka BOR

yang tinggi (lebih dari 85 %) menunjukkan tingkat pemanfaatan tempat tidur

yang tinggi sehingga perlu pengembangan rumah sakit atau penambahan

9
tempat tidur. Nilai parameter yang ideal antara 60-85%.

2. Average Length Of Stay (ALOS) adalah rata-rata lama rawat seorang pasien.

ALOS selain digunakan untuk mengukur efisiensi pelayanan rumah sakit juga

dapat menggambarkan mutu pelayanan rumah sakit, apabila diterapkan pada

diagnosis tertentu dapat dijadikan hal yang perlu pengamatan lebih lanjut.

Nilai AVLOS yang ideal antara 6-9 hari.

3. Bed Turn Over (BTO): adalah frekuensi pemakaian tempat tidur pada satu

periode, berapa kali tempat tidur dipakai dalam satu satuan waktu tertentu.

Idealnya dalam satu tahun, satu tempat tidur rata-rata dipakai 40-50 kali..

4. Turn Over Interval (TOI) adalah rata-rata hari dimana tempat tidur tidak

ditempati dari telah diisi ke saat terisi berikutnya. Semakin besar TOI maka

efisiensi penggunaan tempat tidur semakin jelek. Idealnya tempat tidur

kosong tidak terisi pada kisaran 1-3 hari.

5. Net Death Rate (NDR): angka kematian netto yaitu angka kematian 48 jam

setelah dirawat untuk tiap-tiap 1000 penderita keluar, digunakan untuk

mengetahui mutu pelayanan/perawatan rumah sakit. Semakin rendah NDR

suatu rumah sakit berarti bahwa mutu pelayanan rumah sakit tersebut semakin

baik. Nilai NDR yang masih dapat ditolerir adalah kurang dari 25 per 1000

pasien keluar.

6. Gross Death Rate (GDR): angka kematian brutto yaitu angka kematian umum

untuk setiap 1000 penderita keluar, digunakan untuk mengetahui mutu

pelayanan/perawatan rumah sakit. Semakin rendah GDR berarti mutu

pelayanan rumah sakit semakin baik. Nilai GDR seyogyanya tidak lebih dari

45 per 1000 pasien keluar.

10
2.1.2 Bed Occupancy Rate (BOR)
2.1.2.1 Pengertian

Bed Occupancy Rate (BOR) adalah persentase pemakaian tempat tidur pada

satuan waktu tertentu yang digunakan untuk mengetahui tingkat pemanfaatan tempat

tidur rumah sakit. Angka BOR yang rendah menunjukkan kurangnya pemanfaatan

fasilitas perawatan rumah sakit oleh masyarakat. Angka BOR yang tinggi (lebih

dari 85%) menunjukkan tingkat pemanfaatan tempat tidur yang tinggi sehingga

perlu pengembangan rumah sakit atau penambahan tempat tidur. Nilai parameter

yang ideal antara 60-85%, Depkes RI, 2005.

Cara menghitung Bed Occupancy Rate (BOR) adalah sebagai berikut:

BOR = Jumlah Hari Perawatan X 100 %

Jumlah Tempat Tidur x Jumlah Hari Dalam Satu Periode

Keterangan:

Jumlah hari perawatan = banyaknya pasien yang dirawat dalam satu

hari periode

Jumlah tempat tidur = banyaknya tempat tidur yang digunakan di

rumah sakit

Jumlah hari dalam satu periode = jumlah seluruh hari dalam satu bulan

Jadi data hari perawatan diambil dari jumlah pasien yang dirawat setiap

hari dan diakumulasikan dalam periode tertentu, misalnya: mingguan, bulanan,

triwulan dan tahunan.

2.1.2.2 Faktor – Faktor Yang Memengaruhi Bed Occupancy Rate (BOR)

Menurut Sulistiyono (2014) menyatakan bahwa beberapa pendekatan bisa

11
digunakan untuk mengetahui faktor – faktor yang mempengaruhi angka BOR

suaru rumah sakit. Pendekatan – pendekatan ini adalah analisis utilitas, analisis

pasar (pemasaran) dan analisi pendekatan sistem. Faktor – faktor yang

mempengaruhi BOR antara lain:

1. Tarif

Tarif menurut Azwar (2012) adalah besarnya biaya yang harus dikelurkan

untuk memperoleh jasa pelayanan. Faktor – faktor yang mempengaruhi

tarif adalah:

a. Biaya invetasi, gedung, pembelian adalah biaya pembangunan

gedung, pembelian berbagai alat medis, pembelian peralatan non

medis serta biaya pendidikan dan pelatihan tenaga pelaksana.

b. Biaya kegiatan rutin

Mencakup semua biaya yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan

berbagai kegiatan baik biaya untuk kegiatan yang berhubungan

langsung dengan kebutuhan pelayanan kesehatan maupun tidak.

c. Biaya rencanan pengembangan

Mencakup rencana perluasan bangunan, penambahan peralatan,

penambahan jumlah dan peningkatan pengetahuan serta

keterampilan karyawan dan ataupun rencanan penambahan jenis

pelayanan.

d. Besarnya target keuntungan

2. Ketersediaan pelayanan

Ketersediaan pelayanan adalah tersedianya pelayanan setiap saat

12
dibutuhkan, diukur dengan:

a. Ketersediaan tenaga setiap dibutuhkan

b. Ketersediaan jenis pelayanan

3. Ketersediaan fasilitas atau sarana kesehatan

Sarana kesehatan adalah segala fasilitas yang digunakan dalam pelayanan

kesehatan yang bersifat baik dan lingkungan yang disediakan oleh rumah

sakit bersih, seperti:

a. Sumber air bersih

b. Kebersihan lantai kamar mandi dan toilet diukur melalui

kebersihan dan rasio terhadap tempat tidur. Fasilitas rawat inap

diukur dengan ketesediaan fasilitas tempat tidur, almari, kursi,

wastafel, televisi, kulkas, penerangan dan ventilasi.

4. Transportasi

Transportasi yang dimaksud seperti ketersediaan ambulance.

5. Jaminan pelayanan kesehatan

Undang – Undang Dasar Tahun 1945 pasal 28H ayat 3 menyatakan bahwa

setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan

pengembangan dirinya secara utuh sebagai umat yang bermartabat.

Adapun bebrapa contoh jaminan pelayanan kesehatan yang saat ini

digunakan oleh masyarakat seperti BPJS, Jamkesmas, ansuransi –

ansuransi swasta, dll.

2.1.2.3 Dampak Bed Occupancy Rate (BOR)

Menurut Sudra (2010:44) nilai ideal BOR dikatakan secara statistik semakin

13
tinggi nilai BOR berarti semakin tinggi pula penggunaan tempat tidur yang tersedia untuk

perawatan pasien. Namun perlu diperhatikan pula bahwa semakin banyak pasien yang

dilayanai berarti semakin sibuk dan semakin berat pula beban kerja petugas kesehatan di

unit tersebut. Akibatnya, pasien kurang mendapatkan perhatian yang dibutuhkan dalam

proses perawatan. Pada akhirnya, peningkatan BOR yang terlalu tinggi ini justru bisa

menurunkan kualitas kinerja tim medis dan menurukan kepuasan serta keselamatan

pasien. Di sisi lain, semakin rendah BOR berarti semakin sedikit tempat tidur yang

digunakan untuk merawat pasien dibandingkan dengan tempat tidur yang telah

disediakan. Dengan kata lain, jumlah pasien yang sedikit ini bisa menimbulkan kesulitan

pendapatan ekonomi bagi pihak rumah sakit.

Dengan memperhatikan hal-hal tersebut maka perlu adanya suatu nilai

ideal yang menyeimbangkan suatu kualitas medis, kepuasan pasien, keselamatan

pasien, dan aspek pendapatan ekonomi bagi pihak rumah sakit. Maka nilai ideal

untuk BOR yang disarankan adalah 75%-85% (Sudra, 2010:44)

2.1.3 Burnout
2.1.3.1 Pengertian

Psikolog Amerika Herbert Freudenberger pertama kali menggunakan

istilah "kelelahan" pada tahun 1970-an untuk menjelaskan keletihan dan standar

tinggi yang dialami oleh orang-orang yang bekerja dalam pekerjaan "membantu",

seperti keperawatan (Holdren and Coustasse, 2015). King dalam Retno,

Machmuroch, Priyatama (2014) juga menerangkan bahwa burnout adalah

keadaan stres psikologi yang sangat berat pada seseorang yang mengalami

kelelahan emosional dan sedikit motivasi untuk bekerja. Ivancevich dalam Retno,

Machmuroch & Priyatama (2014) menambahkan bahwa burnout adalah suatu

14
proses psikologis pembawaan stres kerja yang tidak hilang, menghasilkan

kelelahan emosi, perubahan kepribadian, dan perasaan penurunan pencapaian

pribadi.

Menurut Pines and Maslach (1993) dalam Harnida (2015) burnout

merupakan kelelahan secara fisik, emosional, dan mental yang disebabkan

keterlibatan jangka panjang dalam situasi yang penuh dengan tuntutan emosional.

Burnout merupakan suatu kondisi psikologis yang dialami individu akibat dari

timbulnya stress dalam jangka waktu yang lama dan dengan intensitas yang cukup

tinggi, yang ditandai dengan kelelahan fisik, mental, dan emosional, serta

rendahnya pengahargaan terhadap diri sendiri yang mengakibatkan individu

merasa terpisah dari lingkungannya.

Berdasarkan beberapa definisi diatas disimpulkan bahwa burnout

merupakan kelelahan secara fisik, emosional, dan mental yang disebabkan

keterlibatan jangka panjang dalam situasi yang penuh dengan tuntutan dan stress.

2.1.3.2 Sumber Burnout

Menurut Pines dan Aronson dalam Retno, Machmuroch, Priyatama

(2014) terdapat empat faktor penyebab yang menimbulkan terjadinya burnout,

yaitu:

a. Faktor keterlibatan dengan penerima pelayanan

Dalam pekerjaan pelayanan sosial (human services atau helping

profession), para pekerjanya memiliki keterlibatan langsung dengan objek

kerja atau kliennya sehingga berbagai stressor dan kelelahan secara fisik

maupun psikis berdampak langsung kepada tenaga pelayanan sosial.

15
b. Faktor lingkungan kerja

Faktor ini berkaitan dengan beban kerja yang berlebihan, konflik

peran, ambiguitas peran, dukungan sosial dari rekan kerja yang tidak

memadai, dukungan sosial dari atasan tidak memadai, kontrol yang rendah

terhadap pekerjaan, peraturan-peraturan yang kaku, kurangnya stimulasi

dalam pekerjaan, kurangnya kesempatan untuk promosi, imbalan yang

diberikan tidak mencukupi, kurangnya dukungan sosial dari atasan,

tuntutan pekerjaan, pekerjaan yang monoton.

c. Faktor individu

Faktor ini meliputi faktor demografik (jenis kelamin, latar

belakang etnis, usia, status perkawinan, latar belakang pendidikan) dan

karakeristik kepribadian (konsep diri rendah, kebutuhan diri yang terlalu

besar, kemampuan yang rendah dalam mengendalikan emosi, locus of

control eksternal, introvert).

1) Jenis Kelamin

Menurut Feber (1991) dalam Suharti (2013) perempuan lebih

rentan terkena burnout dibandingkan dengan laki- laki. Laki-laki

lebih mudah terkena burnout karena mereka memiliki jenis

komunikasi yang lebih rendah disbanding wanita sehingga laki-

laki cenderung menyimpan masalahnya sendiri.

2) Usia

Faktor usia sering dikaitkan dengan burnout karena usia yang

muda cenderung lebih sedikit pengalaman, harapan akan cita-cita

16
masih tinggi, idealisme, banyak tuntutan sehingga mereka lebih

cenderung terkena burnout.

3) Lama bekerja

Setiap orang pasti mempunyai tingkat kejenuhan yang

berbeda dalam pekerjaanya, lama bekerja disini pun mempunyai

kaitan yang cukup erat dalam mempengaruhi burnout. Tidak ada

pengembangan karir dalam waktu lama, minimal reward dari

pimpinan terhadap pegawai yang telah lama bekerja dan gaji yang

kurang proporsional merupakan awal terjadi nya burnout.

d. Faktor sosial budaya


Faktor ini meliputi keseluruhan nilai yang dianut masyarakat

umum berkaitan dengan profesi pelayan sosial.

2.1.3.3 Dimensi Burnout

Tiga dimensi burnout menurut Maslach (2001) yaitu:

a. Kelelahan emosional (Emotional exhausted)

Mengacu pada perasaan emosional yang terlalu berat dan

kehabisan sumber daya emosi seseotrang. Sumber utama dari

kelelahan ini adalah beban kerja dan konflik pribadi ditempat kerja.

Orang yang kehilangan energi ini akan merasa kesulitan menjalani

hari lain dan orang lain.

b. Depersonalisasi (Depersoanlization)

Mengacu pada sikap negatif, kasar, menjauhnya seseorang

dari lingkungan sosial, cenderung tidak peduli dengan lingkungan

sekitar, kehilangan idealisme, prilaku tersebut merupkan upaya

17
untuk melindungi diri dari tuntutan emosional yang berlebihan.

c. Penghargaan diri rendah (low self acomplishment)

Hal ini mengacu pada penilaian rendah terhadap kompetensi

diri dan pencapaian keberhasilan diri dalam pekerjaan, ditandai

denan menurunnya self efficacy yang dikaitkan dengan stress dan

ketidakmampuan untuk mengatasi tuntutan pekerjaan dapat

diperburuk oleh kurangnya dukungan sosial dan kesempatan untuk

berkembang secara professional. Pada dimensi ini akan muncul

perasaan tidak mampu dalam membantu klien sehingga

menyebabkan rasa putus asa pada diri sendiri yang mengakibatkan

kegagalan pada pekerjaan.

2.1.3.4 Gejala Burnout

George dan Jones dalam Harnida (2015) menjelaskan tentang gejala-

gejala burnout, yaitu:

a. Kelelahan fisik (physical exhaustion)

Kelelahan fisik ditunjukkan dengan adanya kekurangan energi,

merasa kelelahan dalam kurun waktu yang panjang dan menunjukkan

keluhan fisik seperti sakit kepala, mual, susah tidur, dan mengalami

perubahan kelelahan makan yang diekspresikan dengan kurang

bergairah dalam bekerja, lebih banyak melakukan kesalahan, merasa

sakit padahal tidak terdapat kelainan fisik.

b. Kelelahan mental (mental exhaustion)

Kelelahan mental ditunjukkan oleh adanya sikap sinis terhadap

18
orang lain, bersikap negatif terhadap orang lain, cenderung merugikan

diri sendiri, pekerjaan dan organisasi, dan kehidupan pada umumnya

diekspresikan dengan mudah curiga terhadap orang lain, menunjukkan

sikap sinis terhadap orang lain, menunjukan sikap agresif baik dalam

bentuk ucapan maupun perbuatan, menunjukkan sikap masa bodoh

terhadap orang lain dan dengan sengaja menyakiti diri sendiri.

c. Kelelahan emosional (emotional exhaustion)

Kelelahan emosional ditunjukkan oleh gejala-gejala seperti depresi,

perasaan tidak berdaya, dan merasa terperangkap dalam pekerjaan

yang diekspresikan dengan sering merasa cemas dalam bekerja, mudah

putus asa, merasa tersiksa dalam melaksanakan pekerjaan, mengalami

kebosanan atau kejenuhan dalam bekerja.

d. Penghargaan diri rendah (low self acomplishment)

Penghargaan diri rendah ditandai oleh adanya penyimpulan bahwa

dirinya tidak mampu mengerjakan tugas dengan baik dimasa lalu dan

beranggapan sama untuk masa depannya yang diekspresikan degan

merasa tidak pernah melakukan sesuatu yang bermanfaat, menganggap

bahwa pekerjaan sudah tidak mempunyai arti bagi dirinya,

menganggap baha pekerjaan sudah tidak mempunyai arti bagi dirinya,

menganggap bahwa dirinya tidak mempunyai masa depan dalam

organisasi. Berdasarkan penjelasan di atas, burnout memiliki banyak

gejala mulai dari gejala fisik, emosi, mental, dan pengharaan diri yang

rendah.

19
2.1.3.5 Akibat Burnout

Beberapa akibat burnout bagi individu dan organisasi (Jewell & Siegall

(1998) dalam Lailani (2012) antara lain:

a. Individu

Menurut Jackson akibat burnout bagi individu adalah

memburuknya kualitas hubungan rumah tangga, masalah kesehatan

dan hubungan yang buruk dengan rekan sekerja.

b. Organisasi

Akibat burnout bagi organisasi adalah penurunan kualitas

pelayanan dan ketidakpuasan klien terhadap pelayanan yang

diberikan merendahnya keterlibatan kerja pada bidangnya dan

meningkatnya orang yang resign sehingga angka turnover pada

suatu rumah sakit akan tinggi. Stres di tempat kerja merupakan

keadaan yang tidak bisa dihindari. Menurut Schaufeli dan Buunk

(dalam Lailani, 2012) ada beberapa variabel individu yang

mempengaruhi stres yang dialami individu, salah satunya adalah

variabel efikasi diri.

2.1.3.6 Alat Ukur Burnout

Maslach Burnout Inventory-Human Service Survey merupakan alat ukur

burnout yang paling baik untuk menentukan burnout syndrome pada profesi

yang berhubungan langsung dengan orang atau human service. MBI-HSS

20
terdiri dari tiga dimensi yaitu kelelahan fisik dan emosional, depersonalisasi,

dan penurunan personal accomplishment. Dimensi kelelahan emosional

menggambarkan perasaan kelelahan, terkurasnya energinya dan perasaan

kosong yang berkepanjangan. Dimensi depersonalisasi berhubungan dengan

sikap sinis dan menarik diri terhadap orang lain dalam bekerja. Sedangkan,

dimensi penurunan personal accomplishment menggambarkan perasaan tidak

berdaya dan tidak kompeten pada pekerjaannya. MBI-HSS terdiri atas 22 butir

pernyataan dimana tiap butir mengandung lima pilihan jawaban yaitu 1 (tidak

pernah), 2 (jarang), 3 (kadang-kadang), 4 (sering), dan 5 (selalu). Kuesioner

yang dibagikan berisi butir-butir pernyataan positif dan negatif. Jumlah item

pernyataan positif adalah delapan buah yaitu pada pernyataan 4, 7, 9, 12, 17,

18, 19, dan 21. Sedangkan item pernyataan 1, 2, 3, 5, 6, 8, 10, 11, 13, 14, 15,

16, 20, dan 22 merupakan pernyataan negatif. Skor untuk pernyataan positif

dibalik dengan pernyataan negatif yaitu 1 (selalu), 2 (sering), 3 (kadang-

kadang), 4 (jarang), dan 5 (tidak pernah). Pernyataan nomor 1, 2, 3, 6, dan 14

termasuk dalam pernyataan kelelahan fisik dan emosional. Penyataan nomor 5,

8, 9, 10, 13, 15, 16, dan 20 merupakan pernyataan depersonalisasi. Sedangkan

pernyataan nomor 4, 7, 11, 12, 14, 17, 18, 19, 21, dan 22 termasuk dalam

pernyataan low personal accomplishment.

Rentang minimum maksimum instumen ini adalah 22 x 5 = 110 sampai

dengan 22 x 1 = 22. Luas jarak sebarannya adalah 110-22 = 88. Dengan

demikian setiap satuan deviasi standarnya (σ) bernilai 88/6 = 14,67 dibulatkan

ke atas menjadi 15, dengan 6 merupakan konstanta. Nilai mean teoritisnya (µ)

21
adalah skor terendah dikalikan tingkat kategori yaitu, 22 x 3 = 66 (Azwar,

2011).

2.1.3.7 Hubungan BOR dengan Burnout

BOR merupakan salah satu indikator mutu pelayana rumah sakit. Semakin

tinggi BOR akan menggambarkan rumah sakit tersebut semakin baik. Angka BOR

yang rendah menunjukkan kurangnya pemanfaatan fasilitas perawatan rumah sakit

oleh masyarakat. Angka BOR yang tinggi (lebih dari 85 %) menunjukkan tingkat

pemanfaatan tempat tidur yang tinggi sehingga perlu pengembangan rumah sakit atau

penambahan tempat tidur. Nilai parameter yang ideal antara 60-85% (Depkes RI,

2005). Profesi perawat merupakan profesi yang rentan terhadap burnout karena

jenis pekerjaan perawat penuh dengan tekanan, beban kerja yang meningkat dan

tuntutan secara emosional yang dapat menimbulkan stress. Stress kerja yang

dialami perawat dalam waktu yang lama dan terus menerus dapat menyebabkan

burnout.

22
2.1.4 Kerangka Konsep

Faktor – faktor yang


memperngaruhi BOR:
1. Internal:
- SDM
- Sarana
prasarana Faktor yang
- Kualitas mempengaruhi
pelayanan. burnout:
2. Eksternal 1. Faktor
- Banyaknya keterlibatan
rumah sakit dengan
swasta. penerimaan
pelayanan
2. Faktor
lingkungan
kerja
3. Faktor individu
4. Faktor sosial
BOR Burnout budaya

1. Stress
2. Penrunan kualitas pelayanan

Keterangan :
= variabel diteliti
= variabel tidak diteliti

23
Gambar 2.1
Kerangka Konsep Penelitian Hubungan BOR dengan burnout pada

perawat diruang rawat inap RSUD Wangaya Denpasar.

24

Anda mungkin juga menyukai