File PDF
File PDF
1106043186
1106043186
ii
Karya Ilmiah Akhir ini telah diperiksa dan disetujui oleh Pembimbing serta telah
dipertahankan di hadapan tim penguji Karya Ilmiah Akhir Spesialis
Pembimbing I
Pembimbing II
111
DEWAN PENGUJI
Ditetapkan di : Depok
Tanggal : 14 Juli 2014
Karya Ilmiah Akhir ini adalah basil karya saya sendiri dan semua sumber
baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
NPM
Tanda Tangan
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan}. Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif lnl Universitas Indonesia berhak menyimpan,
mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),
merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dan saya
selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai
pemilik Hak Cipta.
Dibuat di : Depok
Pada tanggal : 14 Juli 2014
Yang
VI
vii
People with tendency to act aggressively shown that they used destructive coping
strategies to express their anger. Aim of this paper was to describe the application
of Model Adaptasi Roy and Johnson’s Behavioural System Model, focusing on
aggresive behavior. Assertive training intervention that provided to 15 clients and
cognitive behaviour therapy were that provided to 24 clients. Result of this study
shown that sign and symptoms of aggressive behaviour were decreased and
increased of client's ability to express their emotion in contructive way.
Recommended the Model Adaptasi Roy and Johnson’s Behavioural System
Model with assertive training and cognitive behaviour therapy were to derecrease
aggresive behaviour.
viii
Puji Syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan
kasih karuniaNya, saya dapat menyelesaikan Karya Ilmiah Akhir dengan Judul
“Manajemen Kasus Spesialis Keperawatan Jiwa Klien Risiko Perilaku
Kekerasan dengan Pendekatan Model Adaptasi Roy dan Johnson’s
Behavioral System Model di Unit Intensive Rumah Sakit Marzoeki Mahdi
Bogor”. Karya Ilmiah Akhir ini disusun dalam rangka menyelesaikan tugas akhir
untuk meraih gelar Spesialis Keperawatan Jiwa pada Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia.
Penyusunan Karya Ilmiah Akhir dibantu, dibimbing dan didukung oleh berbagai
pihak, dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan terima kasih yang
setulusnya kepada yang terhormat :
1. Ibu Junaiti Sahar, Ph.D selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia beserta seluruh jajarannya
2. Ibu Henny Permatasari S.Kp.,M.Kep Kom, selaku Ketua Program
Pascasarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
3. Ibu Prof. Achir Yani S. Hamid, D.N,Sc., selaku pembimbing I Karya Tulis
Ilmiah dan sebagai Koordinator mata ajar Karya Ilmiah Akhir yang telah
membimbing penulis dengan sabar, bijaksana memberikan masukan serta
motivasi dalam penyelesaian Karya Ilmiah Akhir ini.
4. Ibu Yossie Susanti E.P., SKp, MN selaku pembimbing II yang membimbing
penulis dengan sabar, bijaksana dan juga sangat teliti memberikan masukan
serta motivasi dalam penyelesaian Karya Ilmiah Akhir ini.
5. DR. Mustikasari, SKp, MARS, DR dr Fidiansyah,SpKj, selaku penguji yang
telah banyak memberikan masukan demi penyempurnaan Karya Ilmiah Akhir
ini.
6. Staf Pengajar Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia yang telah membekali dengan ilmu, sehingga penulis mampu
menyusun tugas akhir.
ix
Semoga hasil penulisan Karya Ilmiah Akhir ini bermanfaat dari segi kelimuan
dan dapat memberikan sumbangsih bagi keilmuan dan manfaat aplikatif dalam
meningkatkan kualitas layanan asuhan keperawatan dengan menggunakan
pendekatan Model Adaptasi Roy dan Johnson’s Behavioral System Model,
khususnya bagi klien dengan risiko perilaku kekerasan.
Penulis
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ............................................................................ 1
1.2. Tujuan Karya Ilmiah Akhir ......................................................... 12
xi
BAB 5 PEMBAHASAN
5.1 Hasil Pengkajain kondisi klien dengan resiko perilaku 87
kekerasan....................................................................................
5.1.1 Karakteristik Klien Risiko Perilaku Kekerasan di Ruang 87
Kresna.........................................................................................
5.1.2 Hasil Pengkajian Kondisi Klien dengan Risiko Perilaku
Kekerasan................................................................................... 92
5.1.3 Diagnosis Medis................................................................ 101
5.2 Penerapan asuhan keperawatan spesialis klien Risiko Perilaku
Kekerasan dengan Pendekatan Model Adaptasi Roy dan
Johnson’s Behavioral System Model ......................................... 104
5.3 Efektifitas Penerapan Terapi Assertive Training (AT) dan
Cognitive Behaviour Therapy (CBT) pada klien dengan resiko
108
perilaku kekerasan......................................................................
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xii
Tabel 4.5. Distribusi Sumber Koping pada Klien Risiko Perilaku Kekerasan
Di Kresna, Periode 17 Februari-18 April 2014............................. 78
Tabel 4.6. Distribusi Koping Mekanisme pada Klien Risiko Perilaku
Kekerasan di Kresna, Periode 17 Februari-18 April 2014............ 78
Tabel 4.7. Distribusi Diagnosis Keperawatan yang Menyertai pada Klien
Risiko Perilaku Kekerasan di Kresna, Periode 17 Februari-18 79
April 2014..................................................................................…
Tabel 4.8. Diagnosis Medis Pada Klien Klien Risiko Perilaku Kekerasan di
Kresna, Periode 17 Februari-18 April 2014.................................... 79
Tabel 4.9. Perencanaan Penatalaksanaan pada Klien dengan Risiko Perilaku
Kekerasan di Ruang Kresna RSMM Bogor.................................. 80
Tabel 4.10. Distribusi Pelaksanaan Manajemen Krisis Klien Risiko Perilaku
Kekerasan di Kresna Periode 17 Februari-18 April 2014 …....... 80
Tabel 4.11. Distribusi Pelaksanaan Terapi Spesialis Keperawatan Jiwa pada
Klien Risiko Perilaku Kekerasan di Kresna Periode 17 Februari- 81
18 April 2014………....................................................................
Tabel 4.12. Respon Stressor Perilaku Kekerasan Pada Klien Klien Risiko
Perilaku Kekerasan di Kresna, Periode 17 Februari-18April 83
2014...............................................................................................
Tabel 4.13. Kemampuan Assertive Training (AT) Pada Klien Klien Risiko
Perilaku Kekerasan di Kresna Periode 17 Februari-18 April 84
2014.................................................................................................
Tabel 4.14. Kemampuan Cognitive Behavior Therapy (CBT) Pada Klien
Risiko Perilaku Kekerasan di Kresna Periode 17 Februari-18 85
April 2014
xiii
Bagan 2.1. Model Adaptasi Roy dan Johnson’s Behavioral System Model pada 16
asuhan keperawatan klien dengan Resiko Perilaku Kekerasan.......
xiv
xv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesehatan adalah keadaan sehat fisik, mental dan sosial, bukan semata-mata
bebas dari penyakit (WHO 2009), sedangkan dalam UU RI No. 36 pasal 1 tahun
2009 dijelaskan bahwa kesehatan adalah keadaan sehat baik secara fisik, mental,
spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif
secara sosial dan ekonomis. Berdasarkan definisi tersebut maka seseorang dapat
hidup produktif baik secara sosial dan ekonominya jika memiliki kesehatan bukan
hanya sehat fisik tetapi juga mental, spritual dan sosialnya.
Kesehatan jiwa dapat juga dikatakan sebagai suatu kondisi sehat baik emosional,
psikologis, dan sosial yang ditunjukkan dengan hubungan interpersonal yang
memuaskan antara individu dengan individu lain, memiliki koping yang efektif,
konsep diri positif dan emosi yang stabil (Videbeck, 2011). Kesehatan jiwa
menurut WHO (2001) adalah suatu kondisi sejahtera dimana individu menyadari
kemampuan yang dimilikinya, dapat mengatasi stress dalam kehidupannya, dapat
bekerja secara produktif dan memiliki kontribusi dalam hidupnya serta dalam
kehidupan bermasyarakat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kesehatan jiwa
merupakan bagian yang terpenting dimana dengan sehat jiwa seseorang dapat
hidup produktif dan dapat berkarya baik untuk dirinya ataupun lingkungan
disekitarnya.
Universitas Indonesia
1
mengalami gangguan jiwa (NIMH, 2011). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesda
2007) yang dilakukan oleh Badan Penelitian Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan, menunjukan gangguan jiwa berat 0,46%, gangguan jiwa
ringan 11,60% dan sehat jiwa 87,94%. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesda
2013) di dapatkan data gangguan jiwa berat 0,17%, dan gangguan mental
emosionan 6%. Gangguan jiwa merupakan sindrom perilaku yang secara klinik
bermakna atau adanya sindrom psikologis atau pola yang dihubungkan dengan
terjadinya distress pada seseorang atau adanya ketidakmampuan atau secara
signifikan terjadi peningkatan resiko untuk kematian, sakit, ketidakmampuan atau
kehilangan rasa bebas (DSM IV-TR, 2000 dalam Townsend,2009).
Universitas Indonesia
Data statistik direktorat kesehatan jiwa menunjukan bahwa klien gangguan jiwa
terbesar yaitu skizofrenia sebesar 70% (Dep.Kes, 2003). American Psychiatric
Association (2000) menyebutkan dari beberapa penelitian melaporkan bahwa
kelompok individu yang didiagnosa mengalami skizofrenia mempunyai insiden
lebih tinggi untuk mengalami perilaku kekerasan (American Psychiatric
Association (2000) Dari survey yang dilakukan oleh The National Institute of
Mental Nursing Health’s Epidemiologic Catchment Area terhadap 10.000 orang
yang pernah melakukan perilaku kekerasan di temukan 11,7% terdiagnosis
skizofrenia (Kaplan & Saddock, 1995 dalam Wahyuningsih, D. Keliat, B A ,
Hastono SP., 2009). Survey yang dilakukan oleh badan kesehatan dunia (WHO)
bahwa pada tahun 2001 terdapat 450 juta orang dewasa yang mengalami
gangguan jiwa, 20% penduduk Indonesia menderita gangguan jiwa dengan empat
jenis diantaranya depresi, gangguan alkohol, gangguan bipolar dan skizofrenia,
yang mana penyakit tersebut akan berdampak pada perilaku kekerasan, jika
pikiran kita sudah irrasional dan di luar kendali (Mediaindo, 2004). Jumlah klien
skizofrenia dengan perilaku kekerasan berdasarkan riwayat kekerasan didapatkan
bahwa klien yang memiliki riwayat kekerasan baik sebagai pelaku, korban, atau
saksi lebih banyak yaitu 62,5% dari 72 responden yang diteliti Wahyuningsih, D.
Keliat, B A , Hastono SP.(2009). Penelitian yang dilakukan oleh Pasaribu, Hamid,
Mustikasari (2013) pasien resiko perilaku kekerasan didiagnosis dengan
skizofrenia paranoid sebesar 53,84% dari 13 responden.
Universitas Indonesia
skizoprenia merupakan suatu gangguan jiwa yang ditandai dengan penurunan atau
ketidakmampuan berkomunikasi, gangguan realita (halusinasi dan waham). Afek
yang tidak wajar atau tumpul, adanya gangguan kognitif (tidak mampu berpikir
abstrak) dan mengalami kesukaran dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
Skizoprenia merupakan kumpulan dari gejala berupa gangguan isi dan bentuk
pikiran, persepsi, emosi/perasaan, perilaku dan hubungan interpersonal (Halgin
dan Whitbourne, 2007 dalam Wahyuni, SE, Keliat BA, Nasution Y, Susanti H,
2010). Berdasarkan pemaparan hal tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa
skizoprenia gangguan dalam berpikir dengan benar, gangguan dalam emosi atau
perasaan dan gangguan dalam berperilaku yang mengakibatkan gangguan dalam
berhubungan dengan orang lain.
Simptom dari suatu skizoprenia dibagi dalam 5 dimensi yaitu simptom positif,
simptom negatif, simptom kognitif, simptom agresif dan hostilitas serta simptom
depresi dan anxious (Shives, 2005; Sinaga, 2007). Gejala positif menggambarkan
fungsi normal yang berlebihan dan khas yang meliputi waham, halusinasi,
disorganisasi pembicaraan dan perilaku seperti katatonia atau agitasi/ kegelisahan.
Simptom agresif dan hostile menekankan pada masalah pengendalian impuls.
Hostile bisa berupa penyerangan secara fisik atau verbal terhadap orang lain
termasuk juga didalamnya perilaku mencederai diri sendiri (suicide), merusak
barang orang lain atau seksual acting out. Simptom depresi dan anxious seringkali
didapatkan bersamaan denga simptom lain seperti mood yang mengalami depresi,
mood dengan kecemasan, adanya rasa bersalah (guilt), tension, irritabilitas atau
kecemasan. Berdasarkan pemaparan simptom diatas pada klien skizoprenia
terlihat banyak masalah yang dapat muncul seperti perilaku penyerangan terhadap
orang lain, perilaku mencederai diri sendiri dan orang lain, adanya halusinasi,
harga diri rendah dan perasaan bersalah, adanya depresi, serta waham.
Berdasarkan hal tersebut dapat dibuat kesimpulan bahwa pada pasien skizoprenia
banyak ditemukan kasus dengan masalah keperawatan resiko perilaku kekerasan.
Klien dengan skizoprenia diagnosa keperawatan primer yang dapat muncul
menurut NANDA 2012 dapat berupa resiko perilaku kekerasan, gangguan sensori
Universitas Indonesia
persepsi: halusinasi, harga diri rendah kronik, gangguan proses pikir: waham dan
yang lain (Stuart, 2013).
Angka kejadian perilaku kekerasan pada klien yang masuk ruang emergency
sebesar 25-50% dari jumlah pasien yang datang ke ruang emergency (Gacki-Smit
et al, 2009 dalam Stuart, 2013). Berdasarkan pengalaman dan survey dari masalah
keperawatan yang penulis dapatkan selama melakukan praktik keperawatan jiwa
baik di Residensi 3 di bagian psikiatri RSMM Bogor ditemukan beberapa masalah
keperawatan yaitu halusinasi dengar, isolasi sosial, resiko perilaku kekerasan,
resiko bunuh diri, harga diri rendah, defisit perawatan diri dan waham. Dari tujuh
masalah keperawatan yang penulis temukan masalah yang paling banyak
ditemukan adalah masalah keperawatan Resiko perilaku kekerasan dengan jumlah
100% dari 39 pasien di ruang Kresna Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi
(RSMM) Bogor.
Universitas Indonesia
bagi keluarga membawa pasien ke rumah sakit karena karena klien berisiko
membahayakan diri sendiri dan orang lain (Keliat, 2003). Penelitian yang
dilakukan oleh Wahyuningsih, D. Keliat, B A , Hastono SP (2009) dimana
perilaku kekerasan merupakan penyebab utama klien dibawa ke rumah sakit yaitu
68%. Hasil pelaksanaan praktik selama Residensi 3 penulis mendapatkan dari 39
pasien 100% pasien dibawa ke rumah sakit karena pasien melakukan perilaku
kekerasan yang ditujukan kepada diri pasien sendiri, orang lain dan lingkungan.
Dapat disimpulkan bahwa marah yang tidak konstruktif dapat menimbulkan
perilaku kekerasan dimana klien melukai diri, orang lain dan merusak lingkungan
termasuk alat-alat rumah tangga dan keluarga sehingga klien dibawa ke rumah
sakit oleh keluarga.
Universitas Indonesia
Adapatasi menurut Roy (Roy, 2008 dalam Philips,2010) merupakan suatu proses
dan hasil berpikir dan perasaan seseorang sebagai individu atau dalam kelompok
dengan menggunakan kesadaran dan pilihan untuk membuat integrasi manusia
dan lingkungan. Roy menjelaskan umtuk dapat adaptif manusia sebagai suatu
sistem harus dapat menyesuaikan diri (adaptive system) secara holistik yang
meliputi biologis, psikologis, sosial budaya dan spritual sebagai satu kesatuan
yang mempunya masukan atau inputs, control dan feedback processes dan output
(keluaran/hasil). Proses dari kontrol adalah mekanisme koping yang
dimanifestasikan dengan cara penyesuaian diri. Manusia sebagai sebuah sistem
dapat menyesuaikan diri dengan activitas kognator dan regulator untuk
mempertahankan adaptasi dalam empat cara penyesuaian yaitu: fungsi fisiologis,
konsep diri, fungsi peran dan interdependensi.
Roy menjelaskan model adaptasi keperawatan adalah sustu sistem yang hidup,
terbuka, dapat menyesuaikan diri dari perubahann suatu unsur, zat, materi yang
ada dilingkungan. Manusia dikatakan sebagai sistem yang dapat menyesuaikan
diri digambarkan dalam karakteristik sistem, diamana manusia dilihat sebagai
suatu kesatuan yang saling berhubungan antar unit- unit fungsional atau beberapa
unit fungsional yang memiliki tujuan yang sama. Perilaku kekerasan dapat
diakibatkan oleh toleransi terhadap frustasi yang rendah, koping individu yang
tidak efektif, impulsive dan membayangkan atau secara nyata adanya ancaman
terhadap keberadaan dirinya, tubuh atau kehidupan (Fontaine, 2009). Berdasarkan
hal tersebut perilaku kekerasan terjadi karena ketidakmampuan individu dalam
beradaptasi ataupun mengatasi situasi yang dihadapinya dimana individu tidak
memiliki koping mekanisme yang adaptif dan individu merasakan adanya
ancamanterhadap kehidupannya.
Universitas Indonesia
koping yang digunakan oleh seorang individu sehingga menghaslkan respon baik
yang bersifat konstruktif maupun destruktif dalam rentang adaptif sampai
maladaptif.
Faktor predisposisi dan presipitasi pada klien yang melakukan perilaku kekerasan
disebabkan karena faktor biologi, psikologi dan sosiokultural dan ketika individu
mendapatkan stressor yang mana selanjutnya individu akan menunjukan tanda
dan gejala atau bagaimana penilaian klien terhadap strssor. Penilaian klien resiko
perilaku kekerasan terhadap stressor meliputi berbagai respon yaitu respon
kognitif, afektif, fisiologis, perilaku dan sosial. Respon kognitif yang muncul
adalah pemikiran dan penalaran yang negatif, cara berpikir yang tidak rasional
dan tidak logis. Respon afektif yang muncul adalah adanya perasaan jengkel,
kesal, marah, tidak nyaman, mudah tersinggung. Respon fisiologis yang muncul
adalah muka yang merah dan otot tegang, peningkatan frekuensi denyut jantung,
tekanan darah meningkat, tangan mengepal. Respon perilaku dan sosial yang
muncul diantaranya adalah rasa bermusuhan, menarik diri, ketegangan dalan
melakukan hubungan sosial, memukul orang lain, merusak barang-barang atau
bahkan melukai dirinya sendiri lain-lain.
Respon perilaku kekerasan yang tidak dapat dikendalikan oleh klien akan
membawa dampak buruk bagi klien, dan orang-orang yang ada di sekitar klien
seperti keluarga dan juga tenaga kesehatan pada saat klien dibawa ke rumah sakit.
Perilaku klien yang merusak diri dan melakukan tindakan percobaan bunuh diri
terjadi berhubungan dengan perilaku sikap agresif terhadap diri maupun orang
lain (Hillbrand 1995 dalam Sulastri, 2007). Keluarga klien sering menjadi korban
kekerasan yang dilakukan oleh klien sehingga ini sangat berhubungan dengan
alasan klien dibawa ke rumah sakit. Tenaga kesehatan khususnya perawat yang
bekerja di unit gawat darurat dan unit intensif psikiatri sering mengalami dampak
dari perilaku kekerasan klien lebih sering dibandingkan dengan profesi lain
(Carrlson,2000, dalam Fauziah, Hamid, Nuraini 2009). Berdasarkan dari
pemaparan tesebut diatas dampak yang dapat ditimbulkan oleh klien akibat dari
respon perilaku kekerasan maka perawat melakukan manajemen asuhan
Universitas Indonesia
Penangan pada klien perilaku kekerasan pada kondisi akut dilakukan diruang unit
pelayanan intesivif psikiatri atau disebut ruang UPIP. Unit pelayanan intesif
psikiatri merupakan suatu unit pelayan perawatan intensif yang memberikan
perawatan khusus kepada pasien-pasien psikiatri yang berada dalam kondisi
membutuhkan pengawasan ketat. Di beberapa negara unit hal ini diterjemahkan
sebagai unit kedaruratan ataupun unit akut yang pada prinsipnya memiliki tujuan
yang sama yaitu merawat pasien-pasien yang berada dalam kondisi membutuhkan
intervensi segera. Pasien dengan kondisi ini adalah pasien-pasien dalam kondisi
dapat membahayakan diri sendiri, orang lain dan lingkungan seperti yang terjadi
Universitas Indonesia
pada klien dengan perilaku kekerasan. Di Unit intensif psikiatri ini diberikan
tindakan intensif untuk mengatasi kondisi akut klien dengan perilaku kekerasan.
Tindakan intensif adalah tindakan yang diberikan secara terus menerus pada
pasien-pasien dengan kondisi darurat. Klien sebelumnya dilakukan pengkajian
dengan menggunakan intrumens RUFA (Respon Umum Fungsi Adaftif) untuk
menentukan apakah klien di intensif I,II atau III. Sehingga pada UPIP tindakan-
tindakan intensif ini dikategorikan berdasarkan tinggi rendahnya level kedaruratan
yang dialami pasien. Secara umum ada tiga fase tindakan intensif bagi pasien
yaitu: fase intensif I, II, dan III.
Intervensi keperawatan yang tepat pada klien dan keluarga baik ditatanan
pelayanan rumah sakit atau di masyarakat sangat diperlukan dalam mengatasi
masalah perilaku kekerasan. Videbeck (2008) menjelaskan terapi modalitas untuk
klien dengan perilaku kekerasan antara lain terapi kognitif, logoterapi, terapi
realita, dan psikoedukasi keluarga. Strategi preventif untuk mencegah terjadinya
perilaku kekerasan menurut Stuart (2013) adalah peningkatan kesadaran diri,
edukasi klien dan Assertiveness Training (AT).
Assertiveness Training (AT) merupakan salah satu terapi spesialis yang dapat
digunakan untuk melatih kemampuan komunikasi interpersonal dalam berbagai
situasi. Perilaku asertif yang dihasilkan dari latihan asertif membuat klien akan
memiliki pandangan yang lebih baik terhadap diri sendiri, meningkatkan percaya
diri dan meningkatkan hubungan interpersonal yang baik seiring dengan
penurunan perilaku agresif (Townsend, 2009). Assertive Training merupakan
intervensi yang efektif untuk masalah perilaku kekerasan hal ini sudah dibuktikan
berdasarkan penelitian yang telah dilakukan. Penelitian yang dilakukan oleh
Wahyuningsih, D. Keliat, B A , Hastono SP (2009) di RSUD Banyuwangi
menjelaskan bahwa perilaku kekerasan pada kelompok yang mendapatkan terapi
Assertive Training mengalami penurunan secara bermakna berdasarkan respon
perilaku, kognitif, sosial dan fisik pada klien dengan perilaku kekerasan. Hasil
penelitian menjelaskan bahwa Assertive Training berpeluang 24,7% menurunkan
respon fisik pada klien dengan risiko perilaku kekerasan. AT menurunkan
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Karya ilmiah akhir ini difokuskan pada tindakan keperawatan jiwa spesialis
dengan menerapkan penggunaan AT dan CBT. Penerapan terapi ini diberikan
untuk membantu klien meningkatkan fungsi dan keseimbangan perilaku melalui
nurturance, protection, dan stimulation. Pemberian terapi tersebut diharapkan
mampu membuat klien beradaptasi dengan stimulus baru dan mempertahankan
perilaku yang diharapkan (nurturance), melakukan perilaku baru atau perilaku
yang dilatih (stimulation), dan mampu menjaga/mempertahankan perilaku dari
stimulus yang kurang menyenangkan (protection).
B. Tujuan Penulisan
Tujuan Umum
Menggambarkan hasil manajemen kasus spesialis keperawatan jiwa terhadap
klien risiko perilaku kekerasan di Unit Pelayanan Intensive Psikiatri (UPIP)
RSMM Bogor dengan pendekatan model sistem perilaku Dorothea Johnson dan
Adptasi Roy.
Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi karakteristik klien yang mengalami risiko perilaku
kekerasan di ruang Unit Pelayanan Intensive Psikiatri (UPIP) RSMM Bogor.
2. Mengidentifikasi masalah dan kebutuhan klien yang mengalami risiko
perilaku kekerasan di ruang Unit Pelayanan Intensive Psikiatri (UPIP)
RSMM Bogor.
3. Menyusun rencana pelaksanaan manajemen kasus spesialis terhadap klien
yang mengalami risiko perilaku kekerasan di ruang Unit Pelayanan Intensive
Psikiatri (UPIP) RSMM Bogor.
4. Melaksanakan manajemen kasus spesialis terhadap klien yang mengalami
risiko perilaku kekerasan di ruang Unit Pelayanan Intensive Psikiatri (UPIP)
RSMM Bogor.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN TEORITIS
Bab 2 ini penulis akan memaparkan teori yang digunakan dalam penulisan karya
ilmiah akhir dalam melakukan manajmen asuhan keperawatan spesialis pada klien
dengan resiko perilaku kekerasan. Teori keperawatan yang akan digunakan pada
klien dengan resiko perilaku kekerasan adalah dengan pendekatan model Adaptasi
Roy dan Johnson’s Behavioral System Model yang mendapat terapi assertive
training (AT) dan cognitive behavioral therapy (CBT) di ruang Kresna RSMM
Bogor.
Sebagai dasar dari penulisan ilmiah ini penulis menggunkan kerangka ilmiah yang
di mulai dengan menjelaskan input, proses dan output. Input merupakan data awal
pada klien RPK dan proses merupakan tindakan atau peristiwa esensial dalam
mengatasi masalah yang ditemukan pada input. Sedangkan pada output
merupakan hasil yang diharapkan atau pencapaian dari pelaksanaan kegiatan atau
proses. Pendekatan dengan menggunakan model Stress Adaptation Stuart (2013),
terdiri atas proses pengkajian (input), untuk menetapkan diagnosa keperawatan.
Stuart membagi pengkajian pada beberapa elemen yaitu faktor predisposisi,
stressor presipitasi dan penilaian terhadap stressor. Elemen pada faktor
predisposisi dan presipitasi adalah biologi, psikologi dan sosiokultural.
Proses input ini mengunakan pendekatan Model Teori Adaptasi Roy dengan
memperhatikan stimulus sebagai inputnya. Stimulus kontekstual sebagai faktor
predisposisi, stimulus fokal sebagai faktor presipitasi dan ditambahkan dengan
stimulus residual yang memungkinkan munculnya faktor penyebab perilaku
kekerasan. Penilaian terhadap stressor meliputi kognitif (cara memandang
masalah), afektif, fisiologis, perilaku dan sosial. Stuart (2013) menjelaskan
sumber koping menunjukkan adanya kemampuan personal dalam mengatasi
masalah dan sumber koping dapat mempengaruhi kondisi keseimbangan
Universitas Indonesia
seseorang seperti adanya dukungan sosial dan aset material selanjutnya akan
direfleksikan pada keseluruhan perilaku yang ditampilkan.
Tahap proses merupakan tindakan atau peristiwa yang esensial dalam mengatasi
masalah yang ditemukan dalam input dan akan dimulai pembahasannya dari
pemunculan diagnosa keperawatan resiko perilaku kekerasan dan mekanisme
koping yang dilakukan klien dalam mengatasi masalah yang dirasakan. Proses
mekanisme koping dengan menggunakan Model Teori Adaptasi Roy terdiri dari
Regulator dan Cognator, yang nantinya diharapkan klien akan mampu
membentuk sumber koping yang adekuat guna mencapai mode adaptasi perilaku
yang meliputi fisiologi, konsep diri, fungsi peran dan interdependensi. Proses
pelaksanaannya juga akan melihat pada terapi medis dan manajemen asuhan
keperawatan untuk menyelesaikan diagnosa keperawatan resiko perilaku
kekerasan yang muncul, baik secara terapi generalis maupun spesialis yang juga
mempengaruhi kemampuan klien dalam beradaptasi terhadap masalah yang
dihadapinya. Penatalaksanaan klien dengan risiko/perilaku kekerasan (RPK)
diatur pada pilar 4 dari Manajemen Pelayanan Keperawatan Profesional (MPKP),
yakni pelaksanaan Patient Care Delivery pada klien RPK. Pelaksanaan intervensi
asuhan keperawatan pada klien RPK sudah memiliki standar pelaksanaan yang
tercantum pada standar asuhan keperawatan klien dengan RPK.
Universitas Indonesia
Bagan 2.1
Model Adaptasi Roy dan Johnson’s Behavioral System Model pada asuhan keperawatan klien dengan Resiko Perilaku Kekerasan
2.1 Input
Input dimulai dengan penjelasan tentang faktor predisposisi dan presipitasi
penyebab perilaku kekerasan dengan mengunakan Model Stress Adaptation Stuart
(2013), yang membagi pengkajian pada beberapa elemen yaitu faktor predisposisi,
stressor presipitasi dan penilaian terhadap stressor, serta sumber koping. Model
teori adaptasi Roy membaginya dalam stimulus fokal, stimulus kontekstual dan
stimulus residual. Sementara Johnson (1968 dalam Alligood & Tomey, 2010)
menyatakan bahwa behavioural system menentukan interaksi antara individu dan
lingkungan. Individu dipandang sebagai sistem perilaku/ behavioural system dan
lingkungan dipandang sebagai hal diluar individu (behavioural system) yang
dapat mempengaruhi keseimbangan sistem. Behavioural system terdiri dari 8
subsistem perilaku yang juga dipengaruhi biologis, psikologis dan sosiokultural.
Lingkungan bukan merupakan bagian dari subsistem namun berperan dalam
mempertahankan keseimbangan subsistem. Faktor predisposisi pada lingkungan
bukan hanya bagian dari lingkungan individu namun seluruh hal yang dapat
mempengaruhi seluruh sistem.
Universitas Indonesia
2.1.1.1 Biologi
Salah satu faktor predisposisi (penyebab) atau menjadi faktor presipitasi
(pencetus) terjadinya perilaku kekerasan pada individu adalah faktor biologi.
Komponen biologi yang menjadi faktor predisposisi antara lain faktor genetik,
status nutrisi, sensitivitas biologi, keadaan kesehatan umum, paparan terhadap
racun, neurotransmitter, riwayat trauma kepala, penggunaan obat-obatan (Stuart,
2013). Secara biologis untuk faktor predisposisi merupakan sebagai keadaan atau
faktor resiko yang dapat mempengaruhi manusia dalam menghadapi stressor.
Faktor biologis disini meliputi struktur dan fungsi otak. Hasil penelitian
difokuskan pada area oak yang diyakini terlibat dengan terjadinya perilaku agresif
adalah sisitem limbik, lobus frontal dan hipothalamus. Neurotransimiter juga
memiliki dalam munculnya perilaku kekerasan atau penekanan perilaku kekerasan
(Niehoff, 2002: Hoptman, 2003; Stuart & Laraia, 2005; Stuart, 2009). Videback,
(2011) menjelaskan karena kerusakan pada struktur sistem limbik dan lobus
frontal serta lobus temporal otak dapat mengubah kemampuan individu untuk
dapat memodulasi agresif sehingga dapat menyebabkan perilaku agresif atau atau
perilaku kekerasan. Hasil penelitian didapatkan pada klien epilepsi pada daerah
lobus temporal dan frontal klien terdapat episodik agresif dan perilaku kekerasan.
Klien denga tumor otak terutama yang terkena sistem limbik dan lobus temporal
serta pada klien dengan trauma otak menjadi faktor predisposisi agresif dan
perilaku kekerasan (Townson, 2014).
Sistem limbik berkaitan dengan mediasi dorongan dasar, ekspresi emosi dan
tingkah laku manusia seperti ; makan, agresi, dan respon seksual, termasuk proses
pengolahan informasi ke dan dari area lain di otak mempunyai pengaruh pada
emosional dan perilaku. Peningkatan atau penurunan perilaku agresif dapat
terjadi jika ada perubahan pada sistem limbik. Bagian sistem limbik khususnya
amigdala menjadi mediasi ekspresi kemarahan dan ketakutan (Stuart, 2013).
Lobus frontal mempunyai peranan penting dalam mediasi tingkah laku yang
berarti dan untuk berpikir rasional dan merupakan bagian dari otak diamana
tempat pikiran dan emosi berinteraksi. Jika terjadi kerusakan pada lobus ini dapat
Universitas Indonesia
Dapat disimpulkan gangguan yang terjadi pada lobus frontal pada individu dapat
mengalami gangguan proses berpikir dan emosinya dan dapat menjadi penyebab
tindakan irasional dan berperilaku kekerasan. Hipotalamus ini berperan dalam
mempengaruhi terjadinya perilaku agresif/kekerasan dan pada kondisi stress
akan meningaktkan hormon steroid yang dikeluarkan oleh kelenjar adrenal.
Hormon steroid kurang sensitif dalam mengkompensasi, sehingga hipotalamus
menghasilkan banyak hormon steroid dengan stimulasi yang berulang sistem akan
berespon lebih kuat. Respon yang kuat ini yang dapat menyebabkan stress
traumatikpada anak yang bersifat permanen sehingga beresiko mengalami
perilaku kekerasan. Dapat disimpulkan pola asuh dalam keluarga yang beresiko
memeilki pola asuh didalam keluarga dan sring menyaksikan, menontonperilaku
kekerasan anak akan dapat mengadopsi dan menjadi permanen sehingga anak
akan mudah berperilaku kekerasn.
Universitas Indonesia
Faktor biologi lain yang dapat menjadi predisposisi terjadinya perilaku kekerasn
menurut Stuart & Laraia (2005) adalah penyakit yang tidak terkontrol, putus obat,
kecemasan karena kegagalan dalam mengerjakan sesuatu. Akibat dari penyakit
yang tidak terkontrol dan putus obat akan menyebabkan ketidak
seimbangankembali komponenkimia didalam otak yang akhirnya memicu
Universitas Indonesia
2.1.1.2 Psikologi
Stuart, (2013) menjelaskan faktor psikologis yang mendukung perilaku kekerasan
antara lain kepribadian, pengalaman masa lalu, konsep diri, dan pertahanan
psikologi. Pengamalan hidup yang tidak baik dapat menimbulkan penilaian
negatif terhadap situasi dan kejadian yang pada akhirnya akan menimbukan
perasaan negatif. Perasaan negatif yang sering ditemukan adalah merasa
dipermalukan, ketakutan, dibuang, bersalah, menyakitkan, ditolak, tidak adequat,
tidak aman, tidak didengarkan, situasi di luar kontrol, penolakan, terancam,
kelelahan, cepat tersinggung dan direndahkan Varcarolis (2010). Meniru atau
mengadaptasi perilaku kekerasan (modeling) menjadi penyebab seseorang
melakukan perilaku kekerasan. (Townsend, 2014). Individu yang sering terpapar
perilaku kekerasan, baik sebagai korban kekerasan ataupun pengamat perilaku
kekerasan dalam keluarga membuat individu tersebut belajar bahwa penggunaan
kekerasan merupakan salah satu cara untuk mengatasi masalah (Stuart, 2013).
Universitas Indonesia
Perilaku kekerasan terjadi 2 kali lebih sering pada uisa muda 57% dibanding usia
tua 30% (rata-rata dibawah 28 tahun). Jenis kelamin merupakan salah satu
predisposisi terjadinya perilaku kekerasan berdasarkan hasil penelitian Keliat
(2003) dimana karakteristik jenis kelamin berhubungan dengan kejadian perilaku
kekerassan secara verbal dengan hasil didapatkan laki-laki dua kali lipat lebih
banyak dari klien perempuan (p value 0,01) dan usia yang paling banyak 30
tahun kebawah.
Perilaku kekerasan dapat terjadi juga pada kondisi sosial seperti kemiskinan,
ketidakmampuan memenuhi kebutuhan hidup, masalah perkawinan, keluarga
single parent, pengangguran, kesulitan mempertahankan tali persaudaraan,
struktur keluargasan kontrol sosial (Stuart & Laraia, 2005). Masalah status sosial
Universitas Indonesia
Kepercayaan atau keyakinan spiritual, nilai, dan norma menurut Keliat dan Sinaga
(1991) juga dapat mempengaruhi ungkapan marah seseorang. Tatanan norma
dalam budaya tertentu membatasi seseorang dalam dalam mengekspresikan marah
sehingga dapat menyebabkan hambatan dalam mengekspresikan kemarahan
dengan cara sehat (Stuart, 2013). Selanjutnya Stuart (2013) menjelaskan bahwa
hubungan interpersonal yang tidak adekuat dan saling tidak mempercayai, tidak
memperoleh dukungan, komunikasi yang tidak efektif dalam keluarga maupun
masyarakat dapat meningkatkan terjadinya perilaku kekerasan.
Universitas Indonesia
mengatur/controlling; apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan oleh klien;
menahan klien bertentangan dengan keinginan klien dan memaksa untuk minum
obat. Hal ini menggambarkan bahwa pada klien skizofrenia perilaku kekerasan
dapat terjadi karena dipicu kondisi cemas, frustasi, merasa tersinggung dan
ditambah lagi dengan kondisi lingkungan yang kurang nyaman.
Berdasarkan asal stressor, asal stressor ada dua internal dan eksternal. Stresor
internal berasal dari diri sendiri seperti proses penuaan, hilang kepercayaan diri,
perasaan tidak mampu, hilang kepercayaan diri, ketidakberdayaan dan lain
sebagainya. Stressor eksternal berasal dar luar diri contoh keluarga dan
lingkungan sekitar kita (kelompok dan masyarakat) seperti kehilangan amggota
keluarga, orang yang dicintai,adanya tuntutan dari keluarga dan masyarakat dan
lain-lain. Berdasarkan lamanya dan jumlah stressor terkait dengan sejak kapan,
sudah berapa lama, frekuensinya berapa kali serta jumlah stressornya. Penanganan
lebih intensif jika klien baru pertama kali terkena masalah dan tujuan tindakan
adalah pencegahan primer. Jumlah stressor dan frekuensi mempengaruhi individu,
Universitas Indonesia
jika frekuensi dan jumlah stressor terkena masalah sedikit akan memerlukan
penanganan yang berbeda dibandingkan dengan frekuensi dsn jumlah stressornya
lebih banyak.
Universitas Indonesia
Stressor presipitasi yang lain adanya abnormal pada pintu mekanisme pada klien
skizoprenia. Yang dimaksud pintu mekanisme adalah proses elektrik yang
melibatkan elektrolit, hal ini memicu penghambatan saraf dan rangsang umpan
balik yang terjadi pada sistem saraf. Penurunan pintu mekanisme/gating proses ini
ditunjukan dengan ketidakmampuan individu dalam memilih stimuli secara
selektif (Hong et al., 2007 dalam Stuart, 2013). Faktor biologis lainnya yang
merupakan predisposisi dapat menjadi faktor presipitasi dengan memperhatikan
asal stressor, baik internal, atau lingkungan eksternal individu dan menurut
Stuart& Laraia, 2005) waktu dan frekuensi terjadinya stresor perilaku kekerasan
penting untuk dikaji.
Universitas Indonesia
Pada klien agresif untuk respon kognitiff selalu dikaitkan atau dihubungkan
dengan psikologis individu, bentuk respon yang muncul atau tergambar pada klien
yang melakukan perilaku kekerasan adalah permusuhan, kemarahan dan
keyakinan yang irasional. Respon kognitif yang ditemukan pada klien yang
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Pada klien perilaku kekerasan respon fisiologis yang timbul adalah karena adanya
kegiatan sistem syaraf otonom bereaksi terhadap sekresi epinerpin sehingga
meningkatkan tekanan darah, takikardi, wajah memerah, pupil
Universitas Indonesia
Respon perilaku pada klien dengan perilaku kekerasan dapat ditujukan ke diri
sendiri, orang lain, dan lingkungan, seperti melukai atau mencelakai diri sendiri,
membanting alat-alat rumah tangga, merusak barang-barang, berteriak- teriak,
mengancam dan memukul orang lain dan lain sebagainya. Perilaku yang
ditampilakan pada klien dengan perilaku kekerasan menurut Stuart dan Laraia
(2005) adalah agitasi, motorik berupa bergerak cepat, tidak dapat duduk tenang,
kata-kata menekan, memerintah dan dengan suara keras.
Universitas Indonesia
Tanda dari respon sosial klien perilaku kekerasan menurut Rawlin, William dan
Beck (1993, dalam Wahyuningsih, D. Keliat, B A , Hastono SP, 2009) adalah
menyalahkan orang lain, berkata kasar dan menolak hubungan dengan orang lain,
mengejek, melanggar batas jarak personal saat interaksi. Berdasarkan uraian
diatas dapat disimpulkan bahwa respon sosial yang apat muncul pada klien resiko
perilaku kekerasan adalah menarik diri, tidak bersahabat dengan orang lain,
pengasingan atau adanya penolakan dan juga bermusuhan dengan orang lain.
2.2 Proses
Proses merupakan tindakan yang dilakukan untuk mengatasi masalah yang
ditemukan pada input. Aktivitas pada proses merupakan peristiwa esensial
dalam mengatasi masalah yang ditemukan dengan menggunakan sumber-sumber
yang ditemukan pada input.
Universitas Indonesia
2.2.1.1 Definisi
Perilaku kekerasan merupakan salah satu respon terhadap stressor yang dihadapi
seseorang, yang ditunjukan dengan perilaku aktual melakukan kekerasan baik
pada diri swndiri, orang lain maupun lingkungan secar verbal dan non verbal
(Stuart, 2013). Menurut Nanda (2009) perilaku kekerasan adalah perilaku
individu yang dapat membahayakan diri sendiri orang, orang lain baik secara
fisik, emosional atau sexualitas. Perilaku kekerasan atau agresifitas merupakan
suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik
maupun psikologis (Berkowitz, 1993 dalam Depkes, 2000). Keliat (2003)
menjelaskan perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan
untuk melukai seseorang, baik secara fisik maupun psikologis. Berdasarkan
beberapa penyataan tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa perilaku
kekerasan atau agresiitas adalah perilaku yang mencederai diri sendiri, orang lain
dan lingkungan baik secara verbal, verbal fisik dan psikologis yang dapat
mengakibatkan kerugian seperti trauma fisik, psikologis bahkan sampai pada
kematian.
Universitas Indonesia
Skema 2.2
Hirarki Perilaku Kekerasan
Tinggi
Melukai dalam tingkat serius dan bahaya
Melukai dalam tingkat tidak berbahaya
3 Mengancanm dengan kata-kata dengan rencana melukai
Menyentuh orang lain dengan cara menakutkan
4
Mengucapkan kata-kat ancaman, tanpa rencana melukai
5 Mendekati orang lain dengan ancman
Bicara keras dan menuntun
6
Memperlihatkan permusuhan tingkat rendah
7 Rendah
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
masalah dan lain-lain. Faktor yang mempengaruhi sistem perilaku agar menjadi
sehat/ stabil atau membuat menjadi sakit/ tidak stabil adalah pengalaman, proses
belajar dan maturasi (Johnson 1980, dalam Alligood & Tomey, 2010). Hal ini
tercermin dalam kemampuan personal, dimana melalui ketiga hal diatas individu
dapat mempertahankan keseimbangan sistem perilaku, atau sebaliknya
mengakibatkan gangguan pada keseimbangan sistem perilaku. Kemampuan yang
diharapkan pada klien perilaku kekerasan adalah kemampuan mengenal dan
mengontrol perilaku kekerasan dengan pengetahuan yang digunakan. Kemampuan
generalis yang harus dimiliki klien untuk mengontrol kekerasannya yaitu dengan
melakukan latihan fisik (tarik nafas dalam, pukul kasur/ bantal), patuh minum
obat, mengungkapkan kemarahan secara verbal, dan melatih emosi secara
spiritual. Kemampuan lanjut yang harus dikuasai dalam mengontrol perilaku
kekerasan adalah kemampuan mereduksi perilaku kekerasan mengungkapkan
kebutuhan dan keinginan secara asertif, serta kemampuan mengontrol pikiran dan
perilaku yang negatif.
Universitas Indonesia
keluarga, kelompok dengan membentuk self help group, dan dukungan kelompok
dalam bentuk lain.
Sumber koping individu yang lain dalam menghadapi stresor adalah kesehatan
dan energi, keyakinan/spiritual, keyakinan positif, ketrampilan sosial dan
pemecahan masalah, sumber-sumber sosial dan material, dan kesejahahteraan
secara fisik. Spiritual/keyakinan dan aspek positif pada diri sendiri dijadikan
sebagai dasar dan mendukung usaha koping seseorang dalam menghadapi
kenyataan yang kurang menguntungkan. Ketrampilan pemecahan masalah
meliputi kemampuan mencari informasi, identifikasi masalah, memilih alternatif,
dan melaksanakan tindakan sesuai perencanaan. Ketrampilan sosial membantu
penyelesaian masalah yang melibatkan orang lain, meningkatkan kerjasama dan
dukungan dari orang lain, dan memberikan kontrol sosial pada individu.
Sumber koping juga didukung oleh aset material diartikan sebagai kondisi
keuangan dan jangkauan terhadap pelayanan kesehatan. Kondisi keuangan yang
adekuat meningkatkan pilihan koping individu pada sebagian besar situasi yang
penuh dengan stress. Status ekonomi yang adekuat merupakan sumber koping
dalam menghadapi situasi yang penuh dengan stress (Townsend, 2009).
Ketersediaan aset materi membuat keleluasaan klien dalam berobat dan
mendapatkan akses pengobatan. Kondisi sosial ekonomi rendah berhubungan
dengan hidup dalam kemiskinan, tinggal di pemukiman padat, nutrisi tidak
adekuat, tidak ada perawatan pre natal, dan perasaan putus asa serta tidak berdaya
untuk mengubah kondisi hidup dalam kemiskinan.
Universitas Indonesia
2.2.3 Penatalaksanaan
Berdasarkan Diagnosic and Statistical Manual of Mental Disorders, fourth
edition, Text Revision (DSM-IV-TR) American Psychiatric Association (APA),
terdapat lima tipe diagnosa Skizofrenia yang paling dominan meliputi: skizofrenia
paranoid, skizofrenia disorganisasi (hebefrenik), skizofrenia katatonik, skizofrenia
tak terinci (terdiferensiasi), dan skizofrenia residual (Barlow & Durand, 2005;
Copel, 2007; Stuart, 2009; Varcarolis, 2010; Rhoads, 2011; Videbeck, 2011;
Shives, 2012). Perilaku Kekerasan merupakan salah satu gejala dari skizoprenia
sehingga penatalksanaan secara medis mengacu pada diagnosa skizofrenia dan
penatalaksanaan pengobatan atau psikofarmaka terapi antipsikotik dan pengobatan
psikososial (Gorman 2007 dalam Townsend, 2009).
Universitas Indonesia
Jenis MPKP profesional tingkat I disebut sebagai MPKP basic (dasar) dengan
tenaga perawat pelaksana minimal D3 Keperawatan, tetapi kepala ruangan dan
ketua tim berpendidikan minimal S1 Keperawatan. MPKP profesional tingkat II
disebut sebagai MPKP intermediate (menengah) dengan tenaga minimal D3
Keperawatan dan mayoritas Ners Sarjana Keperawatan, dan sudah memiliki
tenaga Spesialis Keperawatan Jiwa. Sedangkan MPKP profesional tingkat III
disebut juga MPKP advance (tingkat lanjut) dimana semua tenaga perawatnya
minimal Ners Sarjana Keperawatan, dan sudah mempunyai tenaga Spesialis
Keperawatan Jiwa dan Doktor Keperawatan yang bekerja di area keperawatan
jiwa.
Pendekatan MPKP yang dilaksanakan di rumah sakit jiwa terdiri atas 4 pilar
utama yaitu Management Approach, Compensatory Reward, Professional
Relationship dan Patient Care Delivery (Keliat & Akemat, 2006). Pilar I adalah
management approach terdiri dari kegiatan: perencanaan (planning),
pengorganisasian (organizing), pengarahan (directing) dan pengendalian
(controlling). Fungsi perencanaan terdiri dari kegiatan penentuan visi, misi,
filosofi dan pembuatan rencana jangka pendek (harian, bulanan, dan tahunan).
Fungsi pengorganisasian terdiri dari kegiatan pembuatan struktur organisasi dan
pembagian alokasi pasien. Fungsi pengarahan terdiri dari kegiatan operan, pre dan
post conference, supervisi, pendelegasian, dan penciptaan iklim motivasi. Fungsi
pengarahan terdiri dari kegiatan penghitungan indikator mutu, survey diagnosa
medis dan keperawatan, survey kepuasan, dan audit dokumentasi.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
c) Latihan Asertif
Salah satu intervensi keperawatan untuk mencegah terjadinya perilaku kekerasan
adalah membangun komunikasi asertif dengan mengajarkan keterampilan
komunikasi efektif (Townsend (2009) dan Stuart (2013). Assertiveness Training
menurut Kaplan & Saddock (2005) adalah tindakan untuk melatih seseoang dalam
mencapai perilaku assertif. Assertiveness Training merupakan program latihan
perilaku melatih seseorang untuk menyampaikan akan kebutuhan, hak, dan
menentukan pilihan napa mengabaikan hak orang lain ( Forkas, 1997). Stuart
(2013) menjelaskan perilaku asertif adalah suatu dasar kemampuan interpersonal
seseorang yang meliputi berbagai hal seperti:
1) Berkomunikasi secara langsung dengan orang lain
2) Dapat mengatakan tidak terhadap suatu permintaan yang tidak rasional
3) Mampu untuk menyampaikan perasaannya
4) Mengekspresikan penghargaan kepada orang lain sesuai dengan situasi
atau kondisi seeorang
5) Menerima pujian dari orang lain
Ketrampilan assertif dapat dilatih dengan terapi generalis dan terapi spesialis.
Terapi generalis klien diajarkan mengontrol marah secara sosial dan dengan terapi
spesialis yaitu latihan asertive training dimana klien diajarkan untuk
mengungkapkan kebutuhan dan keinginannya secara asertif. Assertiveness
Training bertujuan untuk mengurangi ketergantungan, perilaku pasif dan agresif,
serta meningkatkan perilaku asertif (Rawlins, Williams, & Beck, 1993). Hopkins,
(2005) menyatakan perilaku asertif akan membuat seseorang merasa nyaman
terhadap diri sendiri dan orang lain, mengembangkan rasa saling menghormati
dengan orang lain, meningkatkan harga diri, membantu mencapai tujuan,
mengurangi kecemasan, melindungi diri agar tidak dimanfaatkan oleh orang lain.
Pelaksanaan dititikberaktkan pada melatih individu mengelola perilaku agresif
dan menyampaikan kebutuhan dengan cara yang berbeda (Rawlins, Williams, &
Beck 1993).
Universitas Indonesia
Pelaksanaan assertive training dibagi dalam 5 sesi yaitu; sesi satu adalah
mengidentifikasi kejadian yang membuat marah atau kesal dan sikap yang muncul
pada saat ada kejadian yang membuat klien marah atau kesal. Metode yang
digunakan pada sesi 1 ini adalah berdiskusi dan tanya jawab, instruction serta
modeling. Sesi 2 : melatih klien mengungkapkan keinginan dan kebutuhan serta
cara memenuhinya. Metode yang digunakan dalam sesi dua ini adalah diskusi dan
tanya jawab, serta instruction. Sesi 3 : melatih kemampuan sikap asertif dalam
mengungkapkan kebutuhan dan keinginan. Metode yang digunakan dalam sesi
tiga ini adalah diskusi dan tanya jawab, instruction, modeling, role playing, feed
back dan implementasi. Sesi 4 : melatih kemampuan mengatakan “tidak” untuk
permintaan orang lain yang tidak rasional dan menyampaikan alasannya. Metode
yang digunakan dalam sesi empat ini adalah diskusi dan tanya jawab, instruction,
modeling, role playing, feedback dan implementation. Sesi 5: melatih klien
mempertahan sikap asertif dalam mengungkapkan kebutuhan dan keinginan serta
mengatakan “tidak” terhadap permintaan orang lain yang tidak rasional. Metode
yang digunakan adalah diskusi dan tanya jawab, instruction, modeling, role
playing, feed back dan implementation.
Universitas Indonesia
1) Komunikasi
Komunikasi merupakan sarana dalam upaya antisipasi krisis dalam merawat klien
dengan perilaku kekerasan. Perawat diharapkan dapat melakukan komunikasi
verbal dan non verbal secara terapeutik.Strategi komunikasi verbal dan nonverbal
dapat digunakan untuk mencegah situasi krisis. Komunikasi verbal seperti bicara
dengan lembut, suara rendah untuk membantu mengurangi kegelisahan klien,
tidak membalas suara keras klien, kalimat pendek dan sederhana. Komunikasi non
verbal seperti kontak mata, ekspresi wajah dan sikap tubuh yang relaks,tenang,
sikap terbuka dan tidak memasukkan tangan kedalam saku, gerakan tidak
tergesa-gesa, dengan menjaga jarak aman antara 1-3 langkah dari klien. Dengan
melakukan komunikasi yang terapeutik dengan klien perawat diharapkan dapat
mengurangi perilaku agresif klien. Saat berinteraksi dengan klien perawat harus
waspada terhadap tanda verbal dan perilaku klien. Menurut Stuart, (2009) jika
klien mulai gelisah, mulai berbicara keras dengan kata-kata kasar, perawat tetap
lembut, tidak meninggikan suaranya dan menanggapi perilaku klien. Penerapan
teknik komunikasi yang teraupetik pada klien dengan perilaku kekerasan akan
memperlihatkan kepedulian perawat dan meningkatkan keyakinan klien terhadap
petugas.
2) Perubahan lingkungan
Lingkungan dapat menstimulus perilaku kekerasan dan lingkungan yang padat,
panas, ribut, tidak ada privasi menjadi stressor lingkungan yang mengarah kepada
perilaku kekerasan (Stuart, 2013). Modifikasi terhadap lingkungan dapat
dilakukan pada lingkungan fisik dan psikis klien. Stuart (2013).menyarankan
untuk melakukan modifikasi fisik pada lingkungan seperti penggunaan warna
lembut, pencahayaan dan temperatur ruangan yang cukup dan suara yang
terkontrol. Modifikasi lingkungan secara psikis dapat dilakukan dengan
pengaturan jadual interaksi oleh perawat, menyediakan privasi pada klien, tidak
memaksakan suatu kegiatan pada klien. Pengaturan penggunaan ruangan juga
dapat dilakukan agar tidak terdapat tumpang tindih kegiatan. Cara ini
meminimalkan klien terhindar dari situasi yang dapat meningkatkan kegelisahan
(Stuart, 2013). Modifikasi lingkungan juga dapat dilakukan dengan memodifikasi
Universitas Indonesia
lingkungan keluarga yaitu dengan adanya terapi generalis dan terapi spesialis.
Terapi generalis yang diberikan adalah memberikan pendidikan kesehatan kepada
keluarga dan keluarga dilatih bagaimana meraway klien dengan perilaku
kekerasan. Terapi spesialis yang diberikan pada keluarga dengan perilaku
kekerasan adalah dengan psychoeducation therapy dan triangle therapy.
3) Perilaku
Tindakan yang dapat dilakukan dalam manajemen perilaku adalah pembatasan
perilaku, kontrak perilaku, time out, dan token economy (Stuart, 2013).
Pembatasan perilaku dilakukan dengan cara melakukan kontrak perilaku dengan
memberitahu kepada klien perilaku yang dapat diterimaatau diperbolehkan dan
tidak dapat diterima atau tidak diperbolehkan serta konsekunsi dari perilaku yang
tidak dapat diterima. Tujuan dilakukan kontrak perilaku adalah untuk membantu
klien mempertahankan perilaku yang adaptif sesuai dengan kesepakatan dengan
klien. Apabila klien dapat melakukan perilaku yang diperkenankan maka klien
mendapatkan hadiah atau yang disebut token economy. Token economy dilakukan
dengan cara memberikan hadiah berupa barang, menerima imbalan atau
mendapatkan hak istimewa ketika klien mampu mengontrol perilakunya.
Penerapan token economy menurut Stuart (2013) pada klien yang dirawat di
rumah sakit, secara signifikan menunjukkan penurunan perilaku agresif dan jika
klien tidak dapat melakukan perilaku yang diperkenankan maka klien akan
mendapat sanksi atau time out.
Universitas Indonesia
bagaimana seseorang berpikir dan brtingkah laku positif dalam setiap interaksi.
Cognitive Behaviour Therapy adalah terapi yang digunakan untuk memodifikasi
pikiran, perasaan dan perilaku dengan menekankan peran otak dalam
menganalisa, memutuskan, bertanya, berbuat dan memutuskan kembali, sehingga
dengan merubah status pikiran dan perasaanya tersebut, diharapkan klien dapat
merubah perilakunya dari perilaku negatif menjadi perilaku yang positif
(Oemarjoedi, 2003). British Association for Behavioural and Cognitive
Psychotherapies (2006) menjelaskan bahwa Cognitive behaviour therapy adalah
terapi yang membantu individu merubah cara berfikir dan prilakunya sehingga
perubahan itu membuat individu merasa lebih baik, dan terapi ini berfokus pada
masalah here and now serta kesulitan yang dihadapi. Epigiee (2009) menjelaskan
terapi CBT terapi yang didasari dari gabungan beberapa intervensi yang dirancang
untuk merubah cara berpikir dan memahami situasi dan perilaku sehingga
mengurangi frekuensi perilaku negatif dan emosi yang menganggu.
Pelaksanaan CBT dibagi menjadi lima sesi: Sesi 1: melatih klien mengungkapkan
perasaan, kognitif otomatis yang negatif tentang diri sendiri, orang lain dan
lingkungan yang dialami klien dan mengenali penyimpangan kognitif dan
perilaku negatif yang dialami dan menyepakati untuk mengubah. Sesi 2: melatih
melawan pikiran otomatis yang negatif yang berkaitan dengan perilaku yang di
tampilkan. Sesi 3: menyusun rencana perilaku, melatih melakukan kegiatan yang
dipilih. Sesi 4: mengevaluasi kemajuan dan perkembangan terapi, mengevaluasi
secara kognitif dan perilaku disepakati. Sesi 5: pencegahan kekambuhan melalui
pentingnya psikofarmaka untuk mempertahankan kognitif positif dan perilaku
adaptif secara mandiri dan berkesinambungan. Hasil penelitian menjelaskan
Cognitive Behaviour Therapy dapat meningkatkan kemampuan kognitif yang
dilakukan (Fauziah Fauziah, Hamid, Nuraini 2009). Beberapa penelitian yang
dilakuka oleh Hidayat, E Keliat,B.K, Wardani,IY., (2011), Lelono SK, Keliat BA,
Besral, (2011), dan Sudiatmika Sudiatmika IK, Keliat BA, Wardani IY (2011)
pada klien dengan resiko perilaku kekerasan menunjukkan bahwa CBT secara
bermakna menurunkan komposit perilaku kekerasan pada klien denga perilaku
kekerasan.
Universitas Indonesia
4) Psikofarmaka
Allen et al.,2003 dalam Stuart & Laraia (2005) mengatakan intervensi
farmakologi terbukti efektif dalam manajemen perilaku kekerasan. Stuart &
Laraia (2005) juga menjelaskan pemberian obat sebaiknya dilakukan peroral jika
kondisi memungkinkan, pemberian injeksi intramuskuler akan meningkatkan
efek samping dan juga membuat trauma pada klien. Pemberian antipsikotik
pilihan paling sering digunkan dalam mengatasi klien dengan kondisi perilaku
agresif dan obat ini dikombiasi dengan obat anti ansietas seperti benzodiazepine
(Suart, 2013). Pemberian obat-obatan anti ansietas dan sedative-hipnotik sangat
efektif diberikan untuk mengatasi agitasi yang akut (Stuart, 2013). Anti ansietas,
sedatif-hipnotik, antidepresan, mood stabilizer, dan antipsikotik merupakan obat-
obatan yang bisa diberikan untuk mengatasi perilaku agresif.
Universitas Indonesia
Merupakan antagonis pusat yang kuat dari reseptor dopamine. Efek samping
hampir sama dengan Chlorpromazine.
Antipsikotik atipikal sangat efektif membantu klien dengan gejala negative dan
positif. Stuart, (2013) menjelaskan mekanisme kerja antipsikotik atipikal adalah
dengan memblokade dopamine dan serotonin (5HT2) pada reseptor pasca sinaptik
neuron diotak. Beberapa jenis antipsikotik atipikal yang dapat digunakan, yaitu:
1) Clozapin (Clozaril); mengurangi gejala apatis, penarikan diri, anhedonia, dan
afek datar, pada hampir 30% klien kronis yang resisten terhadap pengobatan.
Dosis mulai 25 mg sampai dengan 300-400mg/hari. Efek samping: sedasi,
kejang grand mal, sialore, peningkatan BB, takikardia, hipotensi, demam, dan
peningkatan enzim hati. Pada 1% klien dengan pemakaian bulan 1-6 dapat
mengakibatkan agranulositosis, sehingga membutuhkan pemeriksaan sel
darah putih berkala.
Universitas Indonesia
Potter dan Perry (2010) peran penting dari seorang perawat dalam pemberian
obat kepada klien menurut adalah dengan mengajarkan pada klien dan
keluarganya mengenai pemberian obat yang tepat dan benar serta memantaunya.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Pengembangan dari perilaku dependency ini berubah dari bergantung total kepada
orang lain kearah bergantung pada diri sendiri.
2.3.3 Perilaku
Perilaku merupakan output yang dapat diobservasi pada klien. Perilaku yang
ditampilkan merupakan pilihan individu dalam mempertahankan keseimbangan.
Perilaku merupakan refleksi dari hasil belajar melalui tindakan keperawatan yang
diberikan. Pemberian terapi asertif diharapkan mampu meningkatkan kemampuan
klien mengatasi masalah yang menimbulkan perilaku kekerasan. Klien akan lebih
mampu mengontrol marah dengan meningkatkan kemampuan menyampaikan
emosi/perasaan secara asertif. Latihan ini juga akan meningkatkan kemampuan
dalam berhubungan dengan orang lain dengan meningkatkan kemampuan
mengatasi konflik. Pemberian terapi CBT mambantu klien dalam pengaturan
kembali komponen kognitif terhadap perilaku kekekrasan. Pengaturan kembali
goal, set, choice akan menghasilkan perilaku yang lebih adaptif. Secara
keseluruhan pemberian terapi akan meningkatkan kemampuan dalam mengatasi
masalah akibat perilaku kekerasaan dan penurunan tanda dan gejala resiko
perilaku kekerasan akibat kemampuan klien mengatasi masalah.
Universitas Indonesia
respon yang muncul pada klien perilaku kekerasan seperti: respon kognitif,
afektif, perilaku, dan respon sosial; 2) stimulus kontekstual yaitu semua stimulus
yang ada pada saat itu yang berkontribusi terhadap efek dari stimulus fokal.
Stimulus kontekstual pada klien perilaku kekerasan meliputi karakteristik klien,
yaitu usia, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, status perkawinan, status
ekononi, dan lama mengalami sakit. Sedangkan stimulus residual adalah faktor
lingkungan lain yang mungkin membawa pengaruh pada kondisi klien tapi sulit
untuk diukur. 3) stimulus residual adalah faktor lingkungan yang memberi efek
terhadap situasi tertentu. Stimulus kontekstual pada klien perilaku kekerasan
meliputi karakteristik klien, yaitu usia, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan,
status perkawinan, status ekononi, dan lama mengalami sakit. Sedangkan
stimulus residual adalah faktor lingkungan lain yang mungkin membawa
pengaruh pada kondisi klien tapi sulit untuk diukur. Stimulus residual pada klien
perilaku kekerasan menurut Townsend (2009) diantaranya kepercayaan,
pengalaman, pengetahuan, sikap, atau ancaman yang mempengaruhi perilaku
klien.
Model adaptasi Roy menggambarkan suatu model yang terdiri atas input, proses
kontrol, efektor dan output. Input pada manusia berupa stimulus-stimulus yang
diterima baik yang berasal dari lingkungan luar atau dari dirinya sendiri.
Stimulus- stimulus tersebut meliputi stimulus internal yang merupakan tingkat
adaptasi individu dan menggambarkan rentang stimulus yang bisa ditoleransi oleh
Universitas Indonesia
individu dan stimulus yang masuk melaui input selanjutnya akan diproses melalui
proses kontrol (Fitzpatrick & Whall, 1989).
Proses kontrol dari manusia adalah mekanisme koping. Ada dua mekanisme
koping, yaitu regulator dan kognator yang mana kedua mekanisme koping ini
bertindak untuk mencapai mode adaptif. Regulator adalah mekanisme koping
yang berespon terhadap system saraf, kimiawi, dan endokrin (Tomey & Alligood,
2006) dan lebih cenderung untuk masalah fisik atau mekanisme tubuh, sedangkan
kognator adalah mekanisme koping yang berespon terhadap jalur pikiran dan
emosi, yang meliputi proses persepsi-informasi, proses belajar, pengambilan
keputusan, dan emosi (Fitzpatrick & Whall, 1989) sehingga kognator lebih
cenderung kearah pikiran dan emosi. Tujuan dari penerapan mekanisme koping
ini yang adalah untuk mencapai keempat model adaptif yang telah disebutkan
sebelumnya. Keempat model adaptif tersebut ditentukan dengan menganalisa dan
mengelompokkan perilaku klien, dan digambarkan sebagai suatu system yang
berinteraksi dengan regulator dan kognator, sehingga perilaku yang dihasilkan
dari aktivitas regulator dan kognator ini dapat diamati dalam keempat model
adaptif tersebut (Fitzpatrick & Whall, 1989). Stimulus yang ada akan
mempengaruhi invidivu sehingga akan membuat mekanisme koping bekerja
(regulator dan kognator) yang nantinya akan mempengaruhi mode adaptif
individu tersebut, sehingga perilaku yang muncul adalah hasil dari proses
mekanisme koping terhadap model adaptif yang terganggu akibat stimulus yang
muncul.
Model Adaptasi Roy terbagi atas empat model adaptif Roy, pertama model
fisiologis, yang berkaitan dengan proses fisik dan kimiawi yang meliputi fungsi
dan aktivitas makhluk hidup. Ada lima kebutuhan yang teridentifikasi pada model
fisiologis yaitu oksigenasi, nutrisi, eliminasi, aktivitas dan tidur, dan
perlindungan. Tomey & Alligood (2006) menjelaskan kebutuhan dasar dari
model ini adalah tercapainya integritas fisiologis. Model adaptasi kedua adalah
konsep diri, yang merupakan salah satu model psikososial. Fokus pada model ini
adalah pada psikososial dan spiritual makhluk hidup. Kebutuhan dasar dari model
adaptasi ini adalah bagaimana individu untuk menjadi sesuatu yang bermakna
Universitas Indonesia
dengan perasaan kesatuan, bermakna dan berguna bagi lingkungan. Konsep diri
merupakan gabungan dari keyakinan dan perasaan tentang dirinya yang terbentuk
dari persepsi internal dan persepsi dari luar dirinya sendiri (Tomey & Alligood,
2006). Model konsep diri ini menggambarkan bagaimana persepsi diri individu
tentang dirinya dan apa arti dan manfaat individu untuk orang lain dan
lingkungan.
Model adaptasi ketiga adalah model fungsi peran, yaitu model sosial. Fokus pada
model adaptasi ini adalah bagaimana peran individu di masyarakat. Peran yang
merupakan pengharapan bagaimana individu menjalankan posisinya dan peran
yang ditampilkan individu berupa peran primer, sekunder dan tersier. Peran
primer adalah perilaku utama yang dipakai oleh individu selama periode tertentu,
berdasarkan usia, jenis kelamin, dan tahap perkembangan. Peran sekunder
meliputi semua asumsi individu untuk memenuhi tugas yang berkaitan dengan
tahap perkembangan dan peran primer. Peran selanjutnya adalah tersier yang
berkaitan dengan peran sekunder dan menggambarkan bagaimana inividu
memenuhi peran yang mereka jalani. Peran menetap secara alami, bebas dipilih
oleh individu, dengan aktivitas seperti klub atau hobi (Tomey & Alligood, 2006).
Model peran tersier ini adalah peran yang disandang oleh individu dalam
kehidupannya, dimana individu tidak hanya menyandang satu peran tapi banyak
peran baik untuk diri sendiri atau di komunitas dimana klien berada. Terakhir
adalah model interdependensi atau saling ketergantungan. Fokus dari model ini
adalah hubungan dekat dari seseorang. Hubungan saling ketergantungan meliputi
keinginan dan kemampuan untuk memberi dan menerima dari orang lain yang
meliputi semua aspek yang ditawarkan. Menurut Tomey & Alligood, (2006)
terdapat dua fokus hubungan pada model ini pertama yaitu interdependensi
dengan orang lain yang berarti dan kedua adalah interdependensi dengan support
system. Model ini menggambarkan keterkaitan individu dengan orang lain dan
support system dimana akan ada proses memberi dan menerima dengan orang lain
dan lingkungan.
Setelah menggambarkan Model Adaptasi Roy tentang input, proses kontrol yang
melibatkan mekanisme koping regulator dan kognator, kemudian dilanjutkan
Universitas Indonesia
dengan yang disebut efektor. Efektor akan melihat model adaptasi mana yang
terganggu, bisa satu model atau beberapa model yang terganggu pada satu
kesempatan dan hasilnya akan terlihat pada output. Di output ini menurut
Fitzpatrick & Whall (1989) akan muncul respon adaptif jika individu mampu
mengatasi stimulus yang ada dan juga akan muncul respon inefektif jika individu
tidak mampu berespon terhadap stimulus dengan kemampuan yang dimilikinya.
Jika yang muncul adalah respon yang tidak efektif akan membuat siklus terulang
kembali, respon inefektif tersebut akan menjadi stimulus dan proses terjadi
kembali sampai pada output. Berikut gambar model adaptasi Roy berdasarkan
penjelasan di atas:
Empat elemen penting dalam teori Model Adaptasi Roy yaitu individu,
lingkungan, kesehatan dan keperawatan. Roy menggambarkan manusia sebagai
model yang adaptif, dimana manusia merupakan suatu keseluruhan dengan
bagian-bagian yang berfungsi sebagai satu kesatuan untuk mencapai suayu tujuan
(Tomey & Alligood, 2006). Menurut Fitzpatrick & Whall (1989) manusia adalah
suatu sistem yang hidup, terbuka dan adaptif yang bertukar energy dan masalah
dengan lingkungan. Karena sebagai system, maka manusia juga bisa
dideskripsikan dalam hal input, proses kontrol dan umpan balik, dan output.
Dengan demikian maka dapat disimpulkan manusia adalah suatu sistem yang
terdiri dari input, kontrol dan umpan balik dan output yang terbuka, adaptif dan
yang melakukan interaksi dengan lingkungannya.
Universitas Indonesia
Elemen lingkungan digambarkan oleh Roy adalah sebagai dunia di dalam dan
sekitar individu. Lingkungan merupakan input untuk individu dan sebagai sistem
yang adaptif dan lingkungan juga sebagai stimulus baik internal maupun
eksternal. Stimulus tersebut nantinya bisa dikelompokkan menjadi stimulus fokal,
kontekstual dan residual. Berdasarkan hal tersebut diatas maka defenisi akhir dari
lingkungan menurut Fitzpatrick& Whall, (1989) adalah semua kondisi, situasi dan
pengaruh lingkungan yang mempengaruhi perkembangan dan perilaku dari
individu atau kelompok. Elemen kesehatan dari model adaptasi Roy adalah suatu
kondisi dan proses hidup dan menjadi individu yang memiliki keseluruhan
integritas. Dengan demikian integritas adalah kesehatan, jika individu tidak
memiliki integritas berarti turunnya kesehatan. Sehingga kesehatan diartikan
tidak hanya kondisi yang bebas penyakit, tapi juga usaha mempertahankan
kondisi sejahtera (Fitzpatrick & Whall, 1989).
Roy memandang keperawatan sebagai suatu ilmu dan sebagai suatu praktik,
sebagai ilmu keperawatan berfungsi untuk mengamati, menggolongkan, dan
menghubungkan proses dimana individu secara positif mempengaruhi status
kesehatannya sedangkan sebagai praktik keperawatan berfungsi menggunakan
ilmu pengetahuan untuk memberikan pelayanan pada kliennya (Fitzpatrick &
Whall, 1989). Tujuan keperawatan untuk meningkatkan interaksi seseorang
dengan lingkungan, yaitu dengan cara meningkatkan adaptasi dalam empat
Universitas Indonesia
model, yaitu : (1) fungsi fisiologis, (2) konsep diri, (3) fungsi peran, (4)
interdependensi. Adaptasi akan meningkatkan integritas dan berkontribusi
terhadap kesehatan individu, kualitas hidup, dan meninggal dengan kemuliaan.
Menurut Fitzpatrick &Whall (1989) tujuan keperawatan dapat dicapai ketika
stimulus fokal berada di area adaptasi yang sudah ditetapkan oleh individu,
sehingga saat stimulus fokal muncul, individu akan mampu beradaptasi atau
berespon secara positif .
Johnson (1980 dalam Parker &Smith, 2010) membagi sistem perilaku menjadi 7
subsitem perilaku yakni achievement, affiliate, aggressive, dependency,
Universitas Indonesia
eliminative, ingestive,dan sexual. Grubss (1980, dalam Parker & Smith, 2010)
menambahkan subsistem kedelapan, yakni restorative. Subsistem akan
menghasilkan perilaku hasil dari interelasi masing-masing subsistem. Subsistem
yang difokuskan pada kerangka konsep ini terdiri dari 4 subsistem yakni
pencapaian (achievement), afiliasi (affiliate), ketergantungan (dependency), dan
agresifitas/proteksi (aggressive/protection). Perilaku yang ditunjukkan
dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, motif, konsep diri, kultur, dan norma sosial.
Universitas Indonesia
Faktor lain yang mempengaruhi sistem perilaku agar menjadi sehat/stabil atau
membuat menjadi sakit/ tidak stabil adalah pengalaman, proses belajar dan
maturasi. Kondisi ini tercermin dalam penilaian klien terhadap stressor dan
sumber koping. Penilaian terhadap stressor meliputi kognitif (cara memandang
masalah), afektif, fisiologis, perilaku dan sosial. Sumber koping menunjukkan
kemampuan personal dalam mengatasi masalah. Stuart (2009) menambahkan
kajian tentang sumber koping yang dapat mempengaruhi kondisi keseimbangan
seseorang yakni dukungan sosial dan aset material. Kondisi ini kemudian akan
direfleksikan pada keseluruhan perilaku yang ditampilkan. Perilaku merupakan
interelasi antara subsistem. Setiap individu akan berusaha menjaga dan
mempertahankan kestabilan dari suatu sistem, namun interaksi dengan
lingkungaan dapat menyebabkan ketidakstabilan sistem perilaku. Peristiwa ini
akan mempengaruhi ketahanan seseorang dalam menghadapi perubahan akibat
stressor/stimulus yang datang (stress tolerance flexibility).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Jika terdapat perubahan yang menuntut kestabilan sistem perilaku namun tidak
mengakibatkan gangguan sistem perilaku, maka tidak membutuhkan intervensi.
Sebaliknya, jika sistem perilaku menjadi terganggu, maka akan menimbulkan
masalah.Perilaku kekerasan dapat muncul sebagai konsekuensi ketidakmampuan
klien mengatasi masalah akibat stressor lingkungan yang mengakibatkan
perubahan pada perilaku.
Universitas Indonesia
BAB 3
PROFIL RUMAH SAKIT DR. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR
Bab ini akan menguraikan tentang profil Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi
(RSMM) Bogor dan profil Ruang Pelayanan Intensive Psikitri Kresna yang
merupakan ruang rawat inap intensive psikiatri klien dengan resiko perilaku
kekerasan yang menjadi kelolaan. Bab ini juga membahas tentang manajemen
pelayanan keperawatan jiwa yang dilaksanakan di ruang Kresna RSMM Bogor.
3.1 Gambaran Umum Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi (RSMM) Bogor
Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi (RSMM) Bogor merupakan rumah sakit
jiwa pertama di Indonesia yang didirikan oleh pemerintah India Belanda pada
tahun 1882. Tahun 1978 rumah sakit RSMM bernama Rumah Sakit Jiwa Pusat
Bogor, seiring dengan perkembangan pelayanan yang diberikan maka tahun 2002
diberi RSMM diberi nama rumah sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor
berdasarkan SK Menkes No.266/ menkes/sk/IV/2002 tanggal 10 April 2002.
Tahun 2007 RS Dr. H. Marzoeki Mahdi berdasarkan pada keputusan Menteri
Kesehatan RI ditetapkan menjadi 15 UPT Depkes dengan menerapkan PPK-BLU
berdasarkan SK Menkes No. 756/Menkes/SK/VI/2007 tanggal 26 Juni 2007 dan
berubah status menjadi Badan Layanan Umum (BLU).
Sebagai Badan Layanan Umum maka struktur organisasni RSMM terdiri dari
Direktur Utama yang membawahi 3 Direksi yaitu Medik dan Keperawatan, SDM
dan Pendidikan, Keuangan dan Administrasi Umum. Selain itu terdapat Dewan
Pengawas, Komite Medik yang membawahi staf medik fungsional, Komite Etik
dan Hukum, serta Satuan Pemeriksaan Intern. Perubahan status Badan Layanan
Umum memberikan perubahan dalam pelayanan sehingga RSMM bukan hanya
memberikan layanan psikiatri, dan NAPZA, RSMM juga memberikan layanan
umum.
62
Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
63
RSMM Bogor bukan hanya RS jiwa pertama di Indonesia tetapi juga merupakan
rumah sakit jiwa pertama yang mengembangkan pelayanan manajemen Model
Praktik Keperawatan Profesional (MPKP). Pengembangan MPKP di RSMM
bekerjasama dengan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia yang
dimulai sejak tahun 2001 dan ruang Srikandi merupakan ruang rawat inap
Psikiatri pertama yang menggunakan metode pelayanan manajemen MPKP yang
didirikan pada bulan Maret 2001 dan merupakan kelas 1. Kebutuhan konsumen
dirasakan semakin meningkat untuk mendapatkan pelayanan yang optimal,
sementara ruang srikandi hanya menampung 18 orang klien. Berdasarkan kondisi
tersebut maka pada tahun 2003 dibuka ruang Sadewa sebagai ruang rawat inap
psikiatri kedua yang menerapkan manajemen MPKP. Berdasarkan pengalaman
klien yang dirawat di kedua ruangan tersebut rata-rata lama rawat mencapai 21
hari pihak manajemen RSMM Bogor selanjutnya menetapkan pada tahun 2007
seluruh ruang rawat inap menggunakan manajemen layananan dengan
menggunakan metode MPKP. Kebijakan tersebut berjalan dengan baik terlebih
pada proses pelaksanaannya mendapat dukungan dari pihak Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia melalui praktik mahasiswa baik dari program
profesi, magister maupun spesialis.
Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
64
Mengingat RSMM Bogor sebagai rumah sakit tipe A dan menjadi pusat rujukan
pelaksanaan MPKP di seluruh Indonesia maka selanjutnya mencanangkan pada
tahun 2010 seluruh ruangan baik ruang psikiatri maupun ruang perawatan umum
(fisik) menggunakanmetode pendekatan manajemen dengan menggunakan
MPKP.
RSMM Bogor saat ini mempunyai 516 tempat tidur untuk rawat inap psikiatri, 60
tempat tidur untuk rawat inap NAPZA, dan 144 tempat tidur untuk rawat inap
umum. RSMM Bogor ini telah memiliki 14 rawat inap psikiatri, 3 rawat inap
NAPZA dan 8 rawat inap umum. RSMM Bogor juga memiliki unit rawat jalan
psikiatri, instalasi gawat darurat psikiatri, unit rawat jalan spesialistik lain dan
instalasi gawat darurat umum.
Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi bogor guna melaksanakan visi dan misi
yang tertera di atas terus berupaya meningkatkan pelayanan bekerjasama dengan
berbagai pihak termasuk Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (FIK
UI). Pelayanan kesehatan kepada klien baik yang mengalami masalah fisik
maupun psikiatri mencoba ditangani secara komprehensif dan holistik. Guna
mencapai hal tersebut maka RSMM Bogor telah menyiapkan satu ruang untuk
Consultation Liaison Psychiatric (CLP) yang rencananya akan mulai dibuka pada
bulan Juli 2012.
Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
65
Sejak awal tahun 2006 kerja sama antara FIK-UI dan RSMM dilanjutkan dengan
yaitu dengan menempatkan mahasiswa magister keperawatan Jiwa di ruang rawat
inap RSMM. Kerja sama antara FIK-UI dan RSMM dilanjutkan dengan
menempatkan mahasiswa magister keperawatan jiwa di ruang rawat inap RSMM,
dengan tujuan dapat menerapkan MPKP baik untuk manajemen pelayanan
keperawatan maupun manajemen kasus spesialis keperawatan jiwa di 4 ruang
fisik dan 13 ruang psikiatri. Selain itu mahasiswa juga ditempatkan di ruang
Instalasi Gawat Darurat (IGD) Psikiatri, dan Poli Jiwa dengan tujuan pencapaian
kompetensi dalam menangani kasus gangguan jiwa akut dengan tujuan
mengenalkan dan menerapkan MPKP baik untuk manajemen pelayanan
keperawatan maupun manajemen kasus spesialis keperawatan jiwa dan
perkembangan MPKP pada tahun 2013 ini yaitu 4 ruangan fisik, 14 ruangan
psikiatri, dan IGD telah melaksanakan MPKP.
Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
66
Indikator mutu pelayanan di Ruang Kresna pada bulan Januari – Maret 2014 yaitu
BOR ruangan rata- rata 74,36%, ALOS 4 hari dan TOI 1 hari. Masalah
keperawatan pada bulan Januari – Maret 2014 sesuai dengan urutannya adalah
resiko/perilaku kekerasan 100 %, halusinasi 96%, defisit perawatan diri 83,3%,
isolasi sosial 86,4 %, harga diri rendah 66%, resiko bunuh diri 16% dan Waham
2%. Diagnosa medis terbesar adalah skizofrenia paranoid yaitu sebesar 78%,
psikotik akut 17% afektif bipolar 5 %.
Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
67
Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
68
Berdasarkan uraian tersebut diatas diketahui bahwa jumlah kegiatan MPKP adalah
30 kegiatan. Kompetensi seorang kepala ruangan harus dapat menguasai semua 30
kegiatan dan komptensi seorang ketua tim harus mampu menguasai 18 kegiatan.
Kegitan yang harus dikuasai oleh ketua tim adalah yaitu pembuatan rencana
bulanan dan harian, alokasi klien, pre dan post conference, supervisi, iklim
motivasi, pendelegasian, penilaian kinerja, kolaborasi saat visit dokter, case
conference dan pemberian asuhan keperawatan pada klien dan keluarga pada
tujuh diagnosa keperawatan yang sudah ditetapkan. Kompetensi seorang perawat
pelaksana adalah mampu menguasai 8 kegiatan yaitu pembuatan rencana kerja
harian dan pemberian asuhan keperawatan pada klien dan keluarga pada tujuh
diagnosa keperawatan yaitu halusinasi, risiko perilaku kekerasan diri, harga diri
rendah, isolasi sosial, defisit perawatan diri, waham dan risiko bunuh diri.
Hasil studi dokumentasi di Ruang Kresna telah terpampang visi, misi, filosofi,
struktur, organisasi, daftar alokasi klien, daftar indikator mutu dan hasil survey
kesehatan. Selain itu juga telah tersedia daftar dinas, buku visit dokter, jadwal
rapat keperawatan, format pengkajian dan berbagai format dokumentasi asuhan
keperawatan. Ruang Kresna juga sudah memiliki protap penangan klien diruang
intensif dimulai dari pengkajian dengan menggunakan Respon Umum Fungsi
Adaftif atau RUFA. Pengkajian klien diruang intensif dengan menggunkan RUFA
dari RUFA I, RUFA II dan RUFA III. Berdasarkan pembagian RUFA tersebut
maka tindakan keperawatannya dengan intensif I, intensif II dan intensif III.
Terdapat juga protap pengekangan fisik pada klien perilaku kekerasan. Secara
terperinci hasil pengkajian pengembangan MPKP di ruang Kresna dapat dilihat
pada tabel 3.1
Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
69
Tabel 3.1
Pelaksanaan Manajemen Pelayanan MPKP
Ruang Kresna Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor, April 2014
Kepala
No Kegiatan Katim 2
Ruangan
PERENCANAAN
1 Visi 100 -
2 Misi 100 -
3 Filosofi 100 -
4 Rencana Kegiatan Harian 100 100
Rencana Kegiatan Bulanan 90 90
Rencana Kegiatan Tahunan 90 -
PENGORGANISASIAN
1 Struktur organisasi 100 -
2 Daftar Dinas 100 100
3 Daftar Alokasi Klien 100 100
PENGARAHAN
1 Operan 100 -
2 Supervisi 100 90
3 Pre conference 100 100
4 Post conference 100 100
5 Iklim motivasi 100 100
6 Pendelegasian 100 100
PENGENDALIAN
1 Audit Dokumentasi 100 -
2 Indikator Mutu 100 -
3 Survey Kepuasan 100 -
4 Survey Masalah 100 -
COMPENSATORY REWARD
1 Penilaian Kinerja 100 100
2 Pengembangan Staf 100 -
PROFESIONAL RELATIONSHIP
1 Case conference 100 90
2 Visite dokter 100 100
3 Rapat Keperawatan 100 -
4 Rapat Tim Kesehatan 90 -
PATIENT CARE DELIVERY
1 Resiko perilaku kekerasan 90 100
2 Halusinasi 90 100
3 Resiko bunuh diri 90 100
4 Defisit perawatan diri 90 100
5 Harga diri rendah 90 80
6 Isolasi sosial 90 80
7 Waham 90 100
Jumlah Kemampuan 32 19
Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
70
Ruang Kresna memberikan asuhan keperawatan tidak hanya pada klien juga pada
keluarga. Pemberian asuhan keperawatan untuk kelompok klien, diberikan dalam
bentuk terapi aktivitas kelompok (TAK). Ruang Kresna mengadakan terapi
aktivitas kelompok sebanyak satu kali sehari. Terapi aktivitas kelompok dipimpin
oleh perawat ruang Kresna secara bergantian. Jenis TAK yang dilakukan adalah
ssuai dengan kondisi klien di ruang kresna yaitu terapi musik, stimulasi persepsi,.
Pencatatan pelaksanaan kegiatan dan pencapaian klien TAK dicatat dalam buku
laporan TAK.
Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
71
BAB 4
MANAJEMEN ASUHAN KEPERAWATAN SPESIALIS JIWA PADA
KLIEN DENGAN RISIKO PERILAKU KEKERASAN
DI RUANG KRESNA
Pada bab ini akan menjelaskan pelaksanaan manajemen asuhan keperawatan pada
klien yang mengalami risiko perilaku kekerasan dengan pemberian Assertive
Training (AT) dan Cognitive Behaviour Therapy (CBT) melalui pendekatan
model Adaptasi Roy dan Johnson’s Behavioral System Model.Pelaksanaan
asuhan keperawatan diawali dengan pengkajian, dengan pendekatan model Stuart
yaitu pengkajian faktor predisposisi, presipitasi, penilaian terhadap stresor,
sumber koping dan mekanisme koping.menegakan diagnosis keperawatan
berdasarkan data yang diperoleh melalui pengkajian.
71
Universitas Indonesia
yang cepat rata-rata 1 hari dan banyaknya klien yang datang dari gawat darurat
dan poliklinik membuat klien juga harus cepat segera ditangani sesuai dengan
prosedur penaganan intesive di ruang Kresna, sebelum dipindahkan keruang
intermedite seperti ruang Gatot kaca.
Universitas Indonesia
Tabel 4.1
Distribusi Karakteristik Klien dengan Risiko Perilaku Kekerasan
di Krena , Periode 17 Februari-18 April 2014 (n = 39)
No Variabel Jumlah Presentase
(%)
1. Usia
a. 18- 24 Tahun 10 25,64
b. 25- 60 Tahun 29 74,36
2. Pendidikan
a. Rendah (SD) 10 25,64
b. Menengah (SMP) 19 48,72
c. Tinggi (SMA & PT) 10 25,64
3. Pekerjaan
a. Bekerja 8 20,51
b. Tidak bekerja 31 79,49
4. Status Perkawinan
a. Menikah 5 12,82
b. Belum menikah 28 71,80
c. Janda/duda 6 15,38
5 Onset
a. ≤ 1 tahun 5 12,82
15 38,47
b. 1 – 5 tahun 19 48,71
c. > 5 tahun
6 Frekuensi masuk RS
a. 1 kali 10 25,64
29 74,36
b. 2-5 kali
Universitas Indonesia
Tabel 4.2
Distribusi Faktor Predisposisi pada Klien Risiko Perilaku Kekerasan
di Kresna Periode 17 Februari-18April 2014(n = 39)
No Faktor Predisposisi Jumlah Persentase
(%)
1. Biologis
a. Genetik 20 51,28
b. NAPZA 9 23,08
c. Trauma kepala 10 25,64
2. Psikologis
a. Pola asuh 15 38,46
b. Sikap pasif agresif 20 51,28
c. Sikap agresif 19 48,71
d. Konsep diri 30 76,92
e. Riwayat kekerasan 29 74,36
f. Kehilangan 30 76,92
3. Sosial
a. Masalah pekerjaan 28 71,79
b. Masalah pernikahan 6 15,38
c. Ekonomi rendah 31 79,48
d. Putus sekolah/pendidikan 29 74,35
rendah
Berdasarkan Tabel 4.3 dapat dipaparkan berdasar sifat stressor didapatkan bahwa
faktor presipitasi biologis adalah karena putus obat sebanyak 29 orang (74,35%)
hal ini dikarenakan klien merasa sudah sembuh dan klien merasa jenuh dan bosan
meminum obat. Stresor psikologis disebabkan karena keinginan tidak terpenuhi
sebesar 36 klien atau 92,30%. Keinginan tidak terpenuhi didalamnya termasuk
ingin punya punya istri atau punya pacar, ingin punya motor, ingin punya hp dan
ingin dapat pekerjaan. Stresor sosial budaya sebagian karena adanya masalah
pekerjaan yaitu sebesar 31 klien (79,48%), masalah pekerjaan yang dialami klien
terkait dengan karena tidak ada bekerja. Sumber permasalahan pada klien
sebagian besar berasal dari luar individu (eksternal) sebesar 69,32% hal ini terjadi
karena stigma dari keluarga atau masyrakat, kurangnya support sistem. Lama
klien terpapar stresor sebagaian besar kurang dari 1 tahun yaitu 9 orang (56,41%)
dan sebesar 64,10% klien mengalami lebih dari 3 stressor.
Universitas Indonesia
Tabel 4.3
Distribusi Faktor Presipitasi pada Klien Risiko Perilaku Kekerasan
di Kresna , Periode 17 Februari-18April 2014 (n = 39)
No Faktor Presipitasi Jumlah Persentase
(%)
1. Sifat
a. Biologis
- Putus obat 29 74,35
b. Psikologis
- Keinginan tidak terpenuhi 36 92,30
- Kegagalan 30 76,92
c. Sosial budaya
- Masalah ekonomi 28 71,79
- Masalah pekerjaan 31 79,48
- Konflik lingkungan/teman 5 12,82
- Konflik keluarga 6 15,38
2. Asal Stresor
a. Internal 12 30,77
b. Eksternal 27 69,23
3. Waktu
a. < 1 tahun 22 56,41
b. 2-5 tahun 17 43,59
4. Jumlah Stresor
a. 1-2 Stresor 14 35,90
b. > 3 Stresor 25 64,10
Tabel 4.4 menjelaskan bahwa sebagian besar respon kognitif yang dilakukan klien
perilaku kekerasan adalah tidak mampu menyelesaikan masalah yaitu sebanyak
sebesar 69,23%. Respon afektif dalam menghadapi masalah yaitu mudah
tersinggung sebesar 36%. Respon fisik yang masih aktual ditemukan adalah sorot
mata yang tajam sebesar 44,4% dan perilaku mondar-mandir sebesar 38,8%.
Respon perilaku yang dapat diobservasi pada klien risiko perilaku kekerasan
adalah nada tinggi yaitu sebanyak 9 orang (31,03%) dan gelisah (27,58%).
Respon sosial yang ditampilkan adalah dengan cara menarik diri sebanyak 8 orang
(53,3%).
Universitas Indonesia
Tabel 4.4
Distribusi Penilaian Terhadap Stresor pada Klien Risiko Perilaku Kekerasan
di Kresna, Periode 17 Februari-18 April 2014 (n = 39)
No Penilaian Terhadap Stresor Jumlah %e
1. Respon Kognitif
Tidak mampu mengontrol PK 39 100
Punya pikiran negatif dalam menghadapi stresor 30 76,92
Mendominasi pembicaraan 32 82,05
Bawel 22 56,41
Sarkasme 24 61,53
Meremehkan keputusan 23 58,97
Flight of idea 32 82,05
Perubahan isi pikir 33 84,61
Ingin memukul orang lain 39 100
2. Respon Afektif
Afek labil 39 100
Marah 39 100
Kecewa/ kesal 39 100
Curiga 34 87,17
Mudah tersinggung 39 100
Frustasi 20 51,28
Merasa tidak aman dan nyaman 15 38,46
Merasa jengkel 39 100
Dendam 26 66,66
3. Respon Fisiologis
Muka merah 39 100
Pandangan tajam 36 92,30
Mengatup rahang dengan kuat 30 76,92
Mengepalkan tangan 34 87,17
Tekanan darah meningkat 30 76,92
Denyut nadi meningkat 31 79,48
Pupil dilatasi 1 2,56
Tonus otot meningkat 20 51,28
Mual 0 0
Frekuensi BAB meningkat 5 12,82
Kadang konstipasi 5 12,82
Kewaspadaan meningkat 32 82,05
Wajah tegang 39 100
4. Respon Perilaku
Mondar-mandir 36 92,30
Melempar/memukul benda/ orang lain 24 61,53
Merusak barang 15 38,46
Sikap bermusuhan 39 100
Agresif/ pasif 39 100
Sinis 38 97,43
Curiga 28 71,79
Perilaku verbal ingin memukul 34 87,17
Memberontak 16 41,02
Nada suara keras 32 82,05
5. Respon Sosial
Bicara kasar 39 100
Suara tinggi, menjerit, berteriak 39 100
Mengancam secara verbal atau fisik 39 100
Pengasingan 29 74,35
Penolakan 20 51,28
Ejekan 25 64,10
Mentertawakan 11 28,20
Menarik diri 28 71,79
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Tabel 4.5
Distribusi Sumber Koping pada Klien Risiko Perilaku Kekerasan
Di Kresna, Periode 17 Februari-18 April 2014 (n = 39)
No Sumber Koping Jumlah Persentase
(%)
1. Kemampuan Personal
a. Tidak tahu cara mengatasi risiko perilaku 32 82,05
kekerasan
b. Tahu cara mengatasi risiko perilaku kekerasan 7 17,95
2. Dukungan Sosial
a. Dukungan keluarga
- Ada, mampu merawat 11 28,20
b. Dukungan kelompok
- Tidak ada 39 100
c. Dukungan masyarakat
- Tidak ada 37 94,87
3. Ketersediaan Aset
a. Pembayaran
- BPJPS 37 95
- Pribadi 2 5
4. Keyakinan Positif
a. Yakin akan sembuh 39 100
Universitas Indonesia
Tabel 4.7
Distribusi Diagnosis Keperawatan yang Menyertai pada Klien Risiko
Perilaku Kekerasan di Kresna, Periode 17 Februari-18 April 2014 (n = 39)
Tabel 4.8
Diagnosis Medis Pada Klien Klien Risiko Perilaku Kekerasan
di Kresna, Periode 17 Februari-18 April 2014 (n = 39)
Persentase
Aspek Medis n (39)
(%)
Diagnosis Medis:
- Skizoprenia paranoid 25 64,10
- Psikotik Akut 11 28,20
- Skizoafektif 3 7,7
Universitas Indonesia
Tabel 4.9
Perencanaan Penatalaksanaan pada Klien dengan Risiko Perilaku Kekerasan di
Ruang Kresna RSMM Bogor
Strategi Pencegahan Strategi Antisipasi Strategi Pembatasan
Th/Generalis Th/ Spesialis Th/ Spesialis Manajemen krisis
Terapi Assertive Cognitive behavior 1. Restrain
generalis trainning therapy
2. Seclusion
Tabel 4.10
Distribusi Pelaksanaan Manajemen Krisis Klien Risiko Perilaku Kekerasan
di Kresna Periode 17 Februari-18 April 2014 (n = 39)
No Terapi Keperawatan Jumlah Presentasi (%)
1. Restraint 28 71,79%
2. Seklusi/isolasi 15 38,46%
Berdasarkan tabel 4.10 dijelaskan manajemen krisis yang dilakukan pada klien
dengan resiko kekrasan didapatkan klien yang dilakukan restaint sebesar 71,79%
atau 28 klien klien dilakukan restraint karena klien dalam kondisi akut dan klien
masuk dalam penilaian Respon Umum Fungsi Adaptif (RUFA) 1 dengan tindakan
intervensi I yaitu klien dilakukan restraint sebagai jalan terakhir dari tindakan dan
Universitas Indonesia
bukan sebagai terapi. Klien yang mendapatkan tindakan restraint dan seklusi
terjadi pada 4 orang klien.
Pelaksanaan restraint pada klien dengan kondisi akut perlu mendapat perhatian
dengan tetap menjaga dan memperhatiakn keamana dan keselamatan klien dan
petugas dan juga menjaga privacy klien. Selama praktik penulis juga memberikan
pelatihan bagi perawat diruagan tentang manajemen krisi dan cara melakukan
restraint yang aman bagi klien dan juga aman bagi tim dalam menagani kondisi
krisis. Termasuk lamanya waktu melakukan restraint pada orang dewasa
maksimal 4 jam dan pada anak anak dan geriatri maksimal 2 jam (Townsend,
2009). Sehingga saat pelaksanaan restraint klien ang dalam kondisi akut tidak
dilihat oleh klien lain dan ruang tempat klien direstraint pun tidak dapat dengan
mudah dilihat oleh pasien lain.
Tabel 4.11
Distribusi Pelaksanaan Terapi Spesialis Keperawatan Jiwa pada Klien Risiko
Perilaku Kekerasan di Kresna Periode 17 Februari-18 April 2014 (n = 39)
No Terapi Keperawatan Jumlah
1. Terapi Generalis 39
2. Terapi Spesialis
a. Cognitive behavior therapy 24
b. Assertive training 15
Terapi spesialis merupakan terapi lanjutan dan terapi ini dapat diberikan
bersamaan dengan terapi generalis yang diberikan oleh perawat ruangan atau
mahasiswa keperawatan yang praktik, diberikan terhadap 39 klien. Klien dengan
resiko perilaku kekerasan pemberian terapi spesialis yaitu: Assertive training (AT)
dan Cognitive Behavior Therapy (CBT). Pemberian Assertive training (AT)
Universitas Indonesia
diberikan pada klien resiko perilaku kekerasan dengan perilaku verbal yang
dimunculkan oleh klien dan tidak diikuti perilaku fisik atau non verbal. Klien
resiko perilaku kekerasan diberikan terapi spesialis Cognitive Behavior Therapy
(CBT) jika perilaku kekerasan yang dimunculkan oleh klien bukan hanya secara
verbal tetapi juga dengan non verbal atau tindakan fisik. Assertive training (AT)
diberikan pada 15 klien.
Terapi AT rata-rata diberikan dalam 1-3 kali pertemuan hal ini terjadi karena
masa akut klien sudah tertangani sehingga klien dipindahkan ke ruang gatot kaca
sehingga terapi tidak sampai tuntas namun penilaian tanda dan gejala diawal tetap
diukur dan akhir dari terapi yang diberikan sebelum klien dipindahkan ke ruang
gatot kaca. Keterampilan yang dilatih kepada klien dalam pelaksanaan assertive
trainning khususnya dengan masalah risiko perilaku kekerasan yaitu melatih
kemampuan mengungkapkan marah secara langsung dan secara asertif kepada
orang lain, mengekspresikan sesuatu secara tepat, menyampaikan kebutuhan dan
keinginan. Setelah mengikuti assertive trainning sesi 1-3, klien menunjukkan
peningkatan kemampuan dalam hal mengungkapkan secara asertif terutama dalam
hal mengekspresikan kebutuhan atau keinginan baik secara verbal maupun non
verbal. Cognitive Behavior Therapy (CBT) diberikan terhadap 24 klien dengan
frekuensi interaksi rata-rata 1-3 sesi. Tujuan dari pelaksanaan terapi ini adalah
merubah pikiran maupun perilaku negatif yang ada dalam diri klien untuk dirubah
menjadi hal positif yang bersifat adaptif. Setelah dilakukan terapi kognitif perilaku
klien banyak mengalami perubahan khususnya dalam respon kognitif, perilaku
dan sosialnya.
Universitas Indonesia
dan gejala yang muncul dan kedua alat ini dipakai setelah klien mendapat terapi
dan saat klien akan dipindahkan ke ruang gatot kaca. Semakin tinggi skor maka
semakin banyak tanda dan gejala dari respon yang muncul dari stressor, semakin
rendah skor maka semakin rendah tanda dan gejala akibat dari respon stressor.
Tabel 4.12
Respon Stressor Perilaku Kekerasan Pada Klien Klien Risiko Perilaku
Kekerasan di Kresna, Periode 17 Februari-18April 2014 (n = 39)
AT (n=15) CBT (n=24 )
Aspek Pre Post Selisih Pre Post Selisih
7,46 3,53 8,25 4,79
Kognitif 3,93 3,46
(82,96%) (39,25%) (91,66%) (53,24)
Pemberian terapi CBT juga menunjukkan penurunan tanda dan gejala RPK.
Penurunan pada aspek kognitif sebesar 3,46 poin. Penurunan pada aspek afektif
sebesar 3,42. Penurunan pada aspek fisiologi sebesar 4,75 poin. Penurunan pada
aspek perilaku sebesar 4,63 poin. Penurunan pada aspek sosial sebesar 3,34 poin.
Universitas Indonesia
Penurunan paling tinggi terdapat pada aspek fisiologis disusul oleh penurunan
aspek perilaku.
Kemampuan klien dalam latihan asertif juga dilakukan dengan menggunakan alat
ukur terhadap masing-masing sesi AT. Alat ukur ini mengacu pada penelitian
Alini (2012). Masing-masing sesi memiliki pernyataan sebagai berikut sesi 1: 3
pernyataan, sesi 2: 4 pernyataan, sesi 3: 9 pernyataan, sesi 4: 3 pernyataan dan sesi
5: 6 pernyataan, sehingga total jumlah pernyataan adalah 25 pernyataan. Semakin
tinggi jumlah skor maka semakin tinggi kemampuan klien mengatasi masalah
perilaku kekerasan. Pengukuran ini dilakukan setelah pemberian terapi sesi AT.
Hasil pengukuran tsb akan dipaparkan pada tabel 4.13.
Kemampuan klien dalam latihan CBT juga dilakukan dengan menggunakan alat
ukur terhadap masing-masing sesi pelaksanaan CBT. Masing-masing sesi
memiliki pernyataan sebagai berikut sesi 1: 3 pernyataan, sesi 2: 3 pernyataan,
sesi 3: 3 pernyataan, sesi 4: 3 pernyataan dan sesi 5; 10 pernyataan, sehingga total
jumlah pernyataan adalah 22 pernyataan. Semakin tinggi jumlah skor maka
semakin tinggi kemampuan klien mengatasi masalah perilaku kekerasan.
Pengukuran ini dilakukan setelah pemberian terapi sesi III dah CBT dan saat klien
mau pindah keruangan Gatot kaca. Hasil pengukuran tsb akan dipaparkan pada
tabel 4.13.
Tabel 4.13
Kemampuan Assertive Training (AT) Pada Klien Risiko Perilaku Kekerasan
di Kresna Periode 17 Februari-18 April 2014 (n = 14)
Σ Pre Post Selisih
Sesi Kemampuan
Sesi I 3 0,40 2,6 2,2
Sesi II 4 0,93 3,66 2,73
Sesi III 9 0,86 7,8 6,93
Sesi IV - - - -
Sesi V - - - -
Universitas Indonesia
sebelum terapi 0, 40 atau 13,33% menjadi 2,6 atau 86,66%. Kemampuan sesi 2
sebelum terapi 0,93 atau 23,33% menjadi 3,66 atau 91, 66%. Kemampuan sesi 3
sebelum terapi 0,86 atau 9,62% menjadi 7,8 atau 86,66%.
Tabel 4.14
Kemampuan Cognitive Behavior Therapy (CBT) Pada Klien Risiko
Perilaku Kekerasan di Kresna Periode 17 Februari-18 April 2014 (n = 25)
Σ Pre Post Selisih
Sesi Kemampuan
Sesi I 3 0,29 2,66 2,37
Sesi II 3 0,58 2,70 2,12
Sesi III 3 0,29 2,75 2,46
Sesi IV - - - -
Sesi V
Universitas Indonesia
klien mudah terstimlus untuk menjadi gelisah karena klien tidak ada waktu untuk
sendiri dan klien juga jenuh bila harus berinteraksi lagi dengan topik yang sama
dan diulang- ulang.
Universitas Indonesia
BAB 5
PEMBAHASAN
Universitas Indonesia
87
WHO (2011) menyatakan tujuh per seribu populasi orang dewasa terutama usia
15-35 tahun mengalami skizofrenia, sedangkan Stuart (2013) menjelaskan bahwa
pada usia dewasa mempunyai resiko tinggi terjadinya gangguan jiwa. National
Institute of Mental Health (NIMH) berdasarkan hasil sensus penduduk Amerika
Serikat tahun 2004, memperkirakan 26,2% penduduk yang berusia 18 tahun atau
lebih mengalami gangguan jiwa (NIMH, 2011). Skizofrenia jarang terjadi pada
penderita berusia kurang dari 10 tahun atau lebih dari 50 tahun (Sinaga, 2007).
Usia pelaku kekerasan paling banyak dibawah 30 tahun dan hal ini dikaitkan
dengan kegagalan dalam memenuhi tugas perkembangan dan adanya tuntutan
lingkungan (Keliat, 2003). Penelitian yang dilakukan oleh Bobes, Fillat, Arango
(2009); Belli dan Ural (2012) didapatkan bahwa pada klien usia muda lebih
cendrung melakukan perilaku kekerasan dan ini juga sesuai dengan temuan yang
dilakukan Pasaribu, Hamid, Mustikasari (2013) dan Hastuti, Hamid, Mustikasari
(2013) bahwa resiko/ perilaku kekerasan terjadi pada usia muda usia produktif
(20-42 tahun). Berdasarkan dari beberapa hasil temuan diatas didapatkan bahwa
usia muda adalah usia produktif dimana individu dituntut terhadap pencapaian
aktualisasi diri baik yang datang dari diri sendiri, keluarga, maupun lingkungan
dan jika tugas terebut tidak tercapai atau mengalami kegagalan maka individu
cendrung melakukan perilaku kekerasan sebagai akibat dari kegagalan. Usia juga
mempengaruhi klien dalam menerima pembelajaran terapi karena usia > 45 tahun
kemampuan untuk menerima latihan terapi pun hasilnya akan berbeda dengan usia
kurang dari 45 tahun.
Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
89
5.1.1.2 Pendidikan
Pendidikan merupakan suatu tolok ukur untuk menilai kemampuan seseorang
dalam berinteraksi dengan orang lain secara efektif, dan tingkat pendidikan juga
akan mempengaruhi cara orang berfikir dan melakukan analisa suatu masalah,
dalam membuat keputusan, memecahkan masalah dan mempengaruhi individu
dalam menilai stressor. Tingkat pendidikan pada sebagian pada klien resiko
perilaku kekerasan di ruang Kresna adalah pendidikan menengah lebih banyak
yaitu 19 orang (48,72%) yaitu 19 orang (48,72%) dibanding dengan pendidikan
rendah dan tinggi. Hasil ini menunjukan bahwa latar belakang pendidikan klien
resiko perilaku kekerasan cukup bisa dipakai ataupun dimanfaatkan oleh klien
dalam menerima pengetahuan ataupun informasi. Hasil ini juga dapat membantu
dalam pemberian asuhan keperawatan terhadap klien dan pemberian terapi baik
generalis maupun spesialis Assertive Training (AT) dan Cognitive Behaviour
Therapy (CBT). Notoatmodjo (2003) menjelaskan bahwa dalam jangka pendek
(immediate impact) pendidikan akan menghasilkan perubahan atau peningkatan
pengetahuan individu.
Hasil ini berbeda dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Keliat (2003)
menjelaskan bahwa perilaku kekerasan biasanya dilakukan oleh individu dengan
latar belakang pendidikan rendah. Penelitian oleh Pasaribu, Hamid, Mustikasari
(2013) dimana 53,84% klien yang dirawat di ruang Gatot kaca RSMM Bogor
dengan resiko perilaku kekerasan berpendidikan tinggi. Berbeda dengan penelitian
yang dilakukan oleh Hastuti Hamid, Mustikasari (2013) dimana didapatkan hasil
yang hampir sama dengan penulis dapatkan yaitu 46,6% berpendidikan
menengah.
Berdasarkan berapa temuan pada penelitian sebelumnya didapatkan bahwa tingkat
pendidikan seeorang mempengaruhi individu dalam berespon terhadap stressor
dan penggunaan strategi mekanisme koping. Hal ini sesuai dengan Stuart (2013)
yang menjelaskan bahwa strategi koping sangat berhubungan dengan fungsi
kognitif. Dengan pendidikan yang tinggi maka akan mempengaruhi kemampuan
seseorang dalam memiliki penalaran yang rasional dan berpikir kritis dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Dengan adanya pendidikan tinggi akan
Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
90
Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
91
Mustikasari (2013) 53, 3%. Penelitian lain juga dijelaskan bahwa angka kejadian
perilaku kekerasan pada klien dengan skizorenia didapatkan pada klien yang
belum menikah (Bobes, Fillat, Arango (2009); Belli dan Ural, 2012). Faktor
predisposisi terjadinya perilaku kekerasan salah satunya adalah ketidak mampuan
mencintai sehingga kien yang bercerai atau tidak memiliki pasangan masuk dalam
risiko mengalami gangguan jiwa Stuart (2009). Dengan demikian dapat
disimpulkan kegagalan dan mencapai tugas perkembangan usia dewasa, seperti
tidak mampu menjalin hubngan intim, tidak mampu mencintai dan tidak memiliki
pasangan hidup atau adanya peceraian merupakan stressor bagi indivdu yang
membuat individu tersebutmenjai malu, frustasi dan marah sehingga
mengakibatkan individu mengalai perilaku kekerasan.
Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
92
mengamati perilaku kekerasan seseorang yang menjadi role model seperti orang
tua, rekan, saudara, olahragawan, dan entertainment figur (Stuart, 2013). Dengan
demikian dapat dijelaskan bahwa perilaku kekerasan juga dapat muncul akibat
klien seringdirawat dan klien juga melihat perilaku kekerasan yang terjadi dimana
klien tinggal termasuk saat klien dirawat.
Menurut Townsend (2009), faktor genetik biasanya ditemukan pada individu yang
memiliki keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan gangguan jiwa. Klien
Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
93
yang dirawat oleh anggota keluaga yang mengalami gangguan jiwa akan
mengadopsi perilaku orang yag mengasuh berpotensi mengalami gangguan jiwa
dibandingkan dengan populasi. Temuan pada klien yang dikelola, hanya 1 klien
yang memiliki ibu yang menderita skizopfrenia. Faktor genetik lain ditemukan
dari sepupu, uwak, dan bibi. Hal ini membuktikan bahwa memang secara genetik,
gangguan jiwa memang diturunkan.
Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
94
sebelumnya serta dari beberapa referensi yang ada dapat disimpulkan bahwa
kondisi ekonomi seseorang mempengaruhi individu dalam kehidupan sosial klien
dan keluarga klien sehingga klien merasa tidak berdaya, merasa ditolak oleh
keluaraga atau lingkungan. Kondisi ekonomi rendahpun menghalangi klien untuk
menggapai harapan, cita-cita dan kenginan, semua hal tersebut diatas menjadi
predisposissi klien berperilaku kekerasan.
Secara psikologis pada faktor presiptasi adalah adanya keinginan yang tidak
terpenuhi sebesar 92,30 %. Keingina tidak terpenuhi disini adalah ingin menikah,
ingin punya pasangan, ingin mempunyai pekerjaan, ingin mempunyai motor dan
juga ingin mempunyai HP. Kegagalan dalam mencapai keinginan- keinginan
tersebut membuat klien merasa kecewa sehingga muncul perilaku kekerasan.
Sumber stressor yang dialami klien dengan resiko prilaku kekerasan berasal dari
internal dan ekstrenal diri klien. Sumber stressor internal klien adalah kegagalan
Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
95
Klien resiko perilaku kekerasan yang dirawat diruang Kresna waktu terpaparnya
dengan stressor < 1 tahun adalah sebesar 56,41 %. Stuart (2013) menjelaskan
waktu atau lamanya stressor terkait dengan sejak kapan, sudah berapa lama serta
sudah berapa kali kejadiannya. Hal in perlu dilakukan pengkajian karena jika
klien baru pertama kali terpapar stressor atau masalah maka penanggannya harus
lebih intensif supaya tidak terulang kembali dengan tujuan untuk tindakan
pencegahan.
Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
96
Dengan demikian jelaslah bahwa peran perawat disini besar dalam melakukan
pengkajian tingkah laku adaptasi klien dan stimulus yang mempengaruhi klien
sehingga klien dapat menemukan koping yang positif bagi dirinya.
Subsistem Afiliasi yaitu berkaitan dengan kebutuhan klien dalam hal fungsi
keamanan dan membuat kemungkinan inklusi sosial, intimasi (keakraban), dan
membentuk pertahanan yang kuat dari ikatan sosial. Pada klien risiko perilaku
kekerasan pengkajian dari subsistem afiliasi difokuskan pada hubungan
interpersonal seperti kegagalan klien dalam mempertahankan hubungan dengan
seseorang untuk mendapatkan inklusi sosial dan kedekatan (intimacy), tidak
mampu berbagi dan tidak mampu berhubungan dengan orang lain. Hal ini
ditunjukan dengan kurang atau tidak adanya dukungan baik dari keluarga,
kelompok dan lingkungan dan klien akhirnya berperilaku menghindar dari
interaksi, menarik diri, dan bermusuhan.
Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
97
mencari dukungan dan bantuan dari orang lain serta ketidakmampuan klien
menggunakan sumber yang ada pada dirinya. Hal ini dapat tercermin dari
mekanisme koping yang digunakan oleh klien yakni menghindar. Dengan
menghindar menunjukan ketidakmampuan klien dalam memecahkan masalah
dengan asertif. Klien lebih banyak berperilaku mensupresi masalah, bermusuhan
dengan orang lain dan melakukan kekerasan untuk menyelesaikan masalahnya.
Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
98
untuk mengetahuni kemaknaan dari kedian yang dialmi oleh klien. Klien dengan
resiko perilaku kekerasan respon kognitif yang paling banyak 100% adalah tidak
mampu mengontrol perilaku kekerasannya dan juga ingin memukul seseorang.
Penderita skizofrenia terdapat penurunan fungsi kognitif dan yang sering
ditemukan adalah gangguan memori dan fungsi eksekutif lainnya (Sinaga, 2007).
Gangguan memori yang paling sering terjadi adalah gangguan memori segera dan
memori jangka panjang dan fungsi eksekutif yang terganggu adalah kemampuan
berbahasa, memecahkan masalah, mengambil keputusan, atensi dan perencanaan.
Hal ini terjadi karena klien memandang negatif terhadap (stressor) yang ada dan
klien tidak mempunyai kemampuan untuk mengatasinya. Respon afektif pada
klien dengan resiko perilaku kekerasan yang nampak pada klien yakni afek labil
marah, kesal, kecewa dan jengkal masing-masing sebesar 100%. Sinaga (2007)
menjelaskan bahwa respon afektif berhubungan dengan rendahnya metabolisme
glukosa di area brodman 22 (korteks bahasa, asosiatif, sensori). Sedangkan respon
fisiologis yang paling sering ditimbulkan adalah muka merah dan wajah tegang.
Respon perilaku klien klien dengan resiko perilaku kekerasan yang dapat dilihat
adalah respon agresif dan bermusuhan masing-masing 100%. Respon sosial yang
dimunculkan oleh klien dengan resiko perilaku kekerasan adalah paling banyak
adalah bicara kasar, menjerit/berteiak dan mengancam secara verbal sebesar
100%. Klien skizoprenaia mengalami simptom agresif dan hostilitas atau
bermusuhan karena klien mengalami masalah dalam hal pengendalian impuls.
Hostilitas yang muncul pada klien ini berupa penyerangan baik fisik maupun
verbal dan ditujukan pada dirinya sendiri, orang lain dan juga lingkungannya
seperti merusak alat rumah tangga (Sinaga, 2007). Berdasarkan dari penilaian klie
resiko perilaku kekerasan terhadap stressor menunjukan 100% kilien dalam
kondiri agresif dan bermusuhan ini terjadi karena klien dalam kondisi akut dan
klien belum menggunakan mekanisme koping yang adaptif dalam menghadapi
masalahnya. Klien juga dirawat diruang Kresna yang merupakan ruang rawat
intensif psikiatri dimana klien masih dalam kondisi akut akut dimana klien dalam
penilaian dengan RUFA ada pada RUFA I dengan skor 1-10.
Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
99
Dukungan sosial pada klien dengan resiko perilaku kekerasan didapatkan hasil
adanya dukungan keluarga tetapi kelurga tidak mampu merawat klien sebesar
71,80%. Keluarga seharusnya menjadi tempat atau lembaga pengasuhan (care
giver) yang paling dapat memberi kasih sayang, efektif, dan ekonomis (Stuart,
2009). Klien dengan resiko perilaku kekerasan dalam kondisi akut sering
melakukan penyerangan atau mengancam anggota keluarga sehingga keluarga
pun menagalami kondisi yang panik dan tidak tahu lagi yang harus dilakukan
pada klien.
Ketersediaan aset pada klien resiko perilaku kekerasan didapatkan hasil sebesar
95% klien adalah peserta jaminan kesehatan (Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial) BPJS. Dalam model stress adaptasi Stuart (2013) menjelaskan bahwa
material asset sebagai salah satu sumber koping. Ketersediaan aset ekonomi
Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
100
Penggunaan fasilitas pelayanan kesehatan penting bagi klien dan keluarga untuk
membawa klien kontrol dan juga tentunya untuk mencegah kekambuhan. Fasilitas
kesehatan yang mudah dijangkau dan tidak banyak mengeluarkan transportasi
bagi klien dan keluarga merupak hal yang menjadi perhatian buat klien untuk
dapat menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan. Tenaga kesehatan yang juga
bisa mengatasi dan menangani klien sangat berperan membantu klien dan
keluarga untuk menggunakan fasilitas kesehatan. Keyakinan klien klien resiko
perilaku kekerasan didapatkan hasil sebesar 100%, dimana klien yakin akan
pengobatan yang dijalaninya, klien yakin untuk sembuh dan mampu mengatasi
masalahnya dan klien juga yakin akan pelayanan tenaga kesehatan di rumah sakit
khususnya di ruag Kresna.
Model adaptasi Roy menjadikan mekanisme koping sebagai suatu proses yang
dipakai untuk membantu klien dalam meningkatkan kemampuan konsep dirinya
sehingga klien dapat berespon adaptif. Mekanisme koping pada model adaptasi
Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
101
Roy ada dua bentuk mekanisme koping, yaitu regulator dan kognator (Roy, 2009).
Mekanisme koping regulator adalah mekanisme koping yang berespon terhadap
system saraf, kimiawi, dan endokrin (Tomey & Alligood, 2006) dan lebih
cenderung untuk masalah fisik atau mekanisme tubuh. Klien dengan resiko
perilaku kekerasan mekanisme koping regulator yang digunakan adalah adanya
terjadinya reaksi tubuh akibat klien mengalami putus obat atau dalam kondisi
putus obat klien akan menjadi gelisah, jalan mondar-mandir, mudah tersinggung
tidak dapat tidur, dan mengalami penurun dalam persepsi dan proses pikir.
Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
102
gambaran klinis skizofrenia paranoid ini penuh dengan curiga, kasar, pada
umumnya bersama halusinasi terutama halusinasi pendengaran, gangguan
persepsi, gangguan afek, serta gangguan pada keinginan/minat (International
Clasification of Diseases (ICD-X) dalam Pardede, Keliat, Wardani, 2013). Hal ini
diperkuat oleh Kaplan dan Saddock (2007) yang menjelaskan bahwa perilaku
kekerasan paling sering dilakukan klien dengan skizopresnia paranoid. Hal ini
dapat terjadi kemungkinan besar disebabkan karena adanya perasaan curiga
terhadap orang lain sehingga klien menampilkan perilaku paranoid dengan
membatasi hubungan dengan orang lain, melidungi ego dengan cara yang agresif.
Videbeck (2011) memaparkan bahwa klien dengan delusi selalu punya keyakinan
bahwa orang lain akan menyakitinya dan klien delusi mencoba melawannya
dengan melakukan perilaku agresif untuk mempertahankan dirinya dan ini
dilakukan sebagai respon klien akibat dari mendengar suara yang didengarnya
yang isinya menggaanggu klien. Klien dengan skizoprenia sering mengalami
halusinasi pendengaran, dimana isi suar-suara yang didengar oleh klien adalah
ancaman dan hinaan kepada klien dan adanya perintah dari suara yang
didengarnya untuk melakukan tindakan melukai dirinya sendiri atau melukai
orang lain.
Tanda dan gejala klien dengan skizoprenia dari dimensi perilaku yang dapat
dilihat adalah klien terlihat lebih banyak berbicara, senyum dan tertawa sendiri,
klien juga mengatakan mendengar suara, melihat, menghirup, mengecap dan
merasa sesuatu yang tidak nyata, merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan,
serta tidak melakukan perawatan diri. Klien susah mempertahankan kontak mata,
tiba-tiba menyeringai atau tertawa tanpa sebab yang jelas (Townsend, 2009; Stuart
& Fontaine, 2009). Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa klien
dengan resko perilaku kekerasan banyak ditemukan pada diagnosa medis dengan
skizoprenia khusunya skizoprenia paranoid, dimana hal ini terjadi karena adanya
gejala positif halusinasi dan delusi yang mana klien mengikuti perintah dari suara
yang didengarnya sehingga klien tidak dapat mengontrol perilakunya dan juga
Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
103
perasaan curiga klien terhadap sekitarnya, perilaku agresi muncul dalam rangka
melindungi diri klien.
Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
104
bosan, dan hal tersesbut menjadi alasan utama klien menghentikan atau
mengurangi dosis obat. Efek samping antipsikotik dibagi menjadi dua bagian
yaitu efek samping neurologis dan non neurologis. Efek samping neurologis yang
serius adalah efek samping ekstrapiramidal (reaksi distonia akut, akatisia, dan
parkinsonisme), diskinesia tardif, kejang, dan sindroma maligna neuroleptik. Efek
samping non neurologis mencakup sedasi, fotosensitivitas, dan gejala
antikolinergik seperti mulut kering, pandangan kabur, konstipasi, retensi urin, dan
hipotensi ortostatik (Videbeck, 2011).
Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
105
dan pilihan untuk membuat integrasi dengan manusia dan lingkungan (Callista
Roy,2008, hal 138 dalam Alligood& Tomey, 2010).
Penggunaan model adaptasi Roy dalam penulisan ilmiah ini bertujuan untuk
mengatasi masalah klien dengan resiko perilaku kekerasan. Pengkajian dengan
menggunakan Stuart meluputi faktor predisposissi, faktor presipitasi pada klien
denga resiko perilaku kekerasan merupakan suatu input yang berupa stimulus
fokal. Stimulus konstektual terlihat pada karakteristik klien resiko perilaku
kekerasan. Sedangkan stimulus residual pada klien resko perilaku kekerasan dapat
ditemukan pada sikap, nilai, keyakinan dan pengetahuan yang dimilki oleh klien.
Berdasarkan hasil pengkajian tersebut maka dikelompokan sesuai dengan
stimulus- stimulus dalam model adaptasi Roy. Klien dengan resiko perilaku
kekerasan yang mendapat stimulus- stimulus seperti stimulus fokal, stimulus
kontekstual dan stimulus residual mendorong bekerjanya proses kontrol dalam
bentuk mekanime koping yang dimiliki klien dengan resiko perilaku kekeraan.
Mekanisme koping dalam model adaptasi Roy adalah sistem kognator yang
berhubungan dengan masalah kognitif dan emosi. Klien dengan resiko perilaku
kekerasan penggunaan mekanisme koping sistem kognator ini tidak menghasilkan
proses adaptasi dengan baik sehingga menimbulkan perilaku kekerasan. Out put
dari resiko perilaku kekerasan ini dapat terlihat pada respon kognitif, afektif,
fisiologis, perilaku dan sosial. Respon-respon yang muncul menjadikan perilaku
tidak efektif dan membuat mekanisme umpan balik pada model adaptasi Roy yang
dapat menggangu proses adaptasi selanjutnya. Berdasarkan hal tersebut maka
tindakan keperawatan yang diberikan pada klien dengan resiko perilaku kekerasan
adalah bertujuan untuk memperkuat mekanisme koping pada sistem kognator
klien tersebut.
Hasil akhir dari proses adaptasi berupa respon adaptif, namun jika perilaku yang
ditampilkan individu tidak menggambarkan integritas maka akan berubah menjadi
respon yang inefektif (Robinson & Kish, 2001). Respon inefektif yang muncul
dapat dalam bentuk perilaku yaitu perilaku agresf dan atau perilaku kekerasan.
Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
106
Hal ini diperkuat oleh Johnson (1980, dalam Alligood & Tomey, 2010) yang
menjelaskan bahwa stressor yang dialami klien perilaku kekerasan berasal
lingkungan. Banyak stressor akan mempengaruhi keseimbangan sistem perilaku
klien tetapi lingkungan bukan bagian dari sistem perilaku tetapi dapat
mempengaruhi sistem perilaku. Sama halnya dengan model adaptasi Roy perilaku
dipengaruhi dari lingkungan baik lingkungan internal maupun eksternal. Klien
yang mengalami resiko perilaku kekerasan karena adanya ancaman pada
lingkungan dimana klien berada. Lingkungan bukan merupakan bagian dari
sistem perilaku individu tetapi dapat mempengaruhi sistem perilaku. Stresor pada
lingkungan ini dapat berupa stressor internal dan eksternal. Stresor internal terdiri
dari aspek biologis, psikologis dan sosiokultural. Pengkajian pada sistem perilaku
dilihat dari subsistem yang terancam akibat munculnya masalah pada lingkungan.
Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
107
terhadap diri, dan meminta bantuan orang lain terhadap masalah kesehatan yang
dialaminya dengan berfokus fokus pada kebutuhan yang memerlukan bantuan
baik sosial, psikososial, dan sosiokultural. Hasil dari perilaku dependency ini
adalah adanya perubahan dari tergantung total kepada orang lain menjadi
bergantung pada diri sendiri. Klien resiko perilaku kekerasan yang mengalami
kegagalan menunjukan adanya ketidakmampuan klien dalam mencari dukungan
atau bantuan diluar dirinya sehingga yang terjadi adalah klien dalam menghadapi
stresor melakukannya sesuai dengan kemapuan dan sikap klien. Dengan demikian
klien mengabaikan bantuan orang lain dan memecahkan masalahnya dengan
maldaptif seperti supresi, bermusuhan dengan orang lain dan melakukan
kekerasan dalam menyelesaikan masalahnya. Subsistem aggresive/ protection
mempunyai fungsi untuk perlindungan (protection) diri, pemeliharaan
(preservation) sehingga dengan demikian dapat tercapai perlindungan diri (self-
protection) dan pertahanan diri (self-assertion).
Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
108
Fungsi pada subsistem ini adalah penetapan tujuan atau harapan, dapat
membedakan tujuan jangka panjang dan pendek, interpretasi masukan dalam
menilai tujuan pencapaian dan adanya pengakuan dari orang lain. Pada klien yang
mengalami resiko perilaku kekerasan didapatkan kondisi bahwa klien tidak
mampu menetapkan tujuan dan tidak berperilaku sesuai dengan harapan klien
sehingga dalam mengatasi masalah klien berperilaku agresif.
Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
109
Klien dengan masalah perilaku kekerasan dapat terjadi karena masalah regulator
internal klien. Perawat berperan dalam mengatur kembali struktur yang terganggu
melalui pendekatan ulang pada tujuan (goal), membuat tujuan baru (set), mencari
sumber-sumber terkait (choice) dan melatih klien mempraktikkan perilaku yang
dipilih (action). Perawat bersama klien mendiskusikan kembali tujuan dan
harapan yang ingin dicapai dan menentukan dorongan (drive) klien untuk
melakukan tujuan yang ingin diraih. Kemudian perawat dan klien bersama-sama
mencari kemungkinan perilaku tersebut dilakukan, kemudian melakukan perilaku
yang dipilih dan dipertahankan. Kegiatan ini diintegrasikan pada terapi AT dan
CBT yang telah dilakukan pada setiap tahapan terapi.
Hasil pemberian terapi Assertive Training (AT) didapatkan hasil adalah terjadi
peningkatan kemampuan klien dalam melakukan terapi, peningkatan pada tiap
tiap sesi dengan rata-rata peningkatan kemampuan sesi 1 sebesar 2,2 atau 73,33%.
Peningkatan kemampuan kemampuan sesi 2 sebesar 2,73 atau 68,33%.
Peningkatan kemampuan sesi 3 sebesar 6,93 atau 77,04%. Peningakatan
kemampuan klien dalam terapi tidak dapat mencapai 100% hal ini dikarenakan
klien dalam perawatan diruang intensif, pemberian terapi psikofarmaka baru 2-3
hari sehingga respon terapipun belum banyak mempengaruhi fungsi kognitif
klien. Jika dilihat dari penurunan respon klien terhadap stresor maka dengan
pemberian terapi Assertive Training (AT) menurunkan gejala kognitif sebesar
Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
110
3,93 (43,71%), gejala afektif 4,40 (48,89%), gejala fisiologis 4,47 (49,63%),
perilaku 4,6 (46%) dan gejala sosial 5,07 (63,33%). Penurunan yang tinggi
terhadap tanda dan gejala risiko perilaku kekerasan pada gejala sosial hal ini dapat
terjadi karena dengan klien dilatih untuk bersikap asertive dalam mengungkapkan
kebutuhan dan keinginan pada sesi 2 dari pelaksanaan terapi AT. Latihan sesi 2
ini klien secara tidak langsung melakukan interaksi sosial terhadap orang yang
diminta untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya. Dengan demikian klien
akan bersikap tidak kasar dalam menyampaikan kebutuhan atau keinginan,
mengungkapkan keibutuhan dan keinginan dengan suara tidak keras, dan klien
tidak mengancam saat meminta kebutuhan dan keinginanya. Pemberian AT pada
klien perilaku kekerasan dengan demikian dapat menurunkan tanda dan gejala
risiko perilaku kekerasan dan meningkatkan kemampuan klien dalam
menyampaikan kebutuhan dan keinginan dengan baik dan asertif sehingga tetap
terjalin interaksi sosial dengan lingkungan.
Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
111
Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
112
Penurunan gejala kognitif dicapai karena dengan pelaksanaan terapi CBT, klien
memiliki kemampuan berpikir yang positif, dapat membedakan pikiran yang
rasional dan yang tidak rasional. Pemikiran klien untuk melakukan perilaku
kekerasan menurun dan menganggap perilaku kekerasan yang dialaminya sebagai
perilaku maladaptif yang dapat mencelakakan dirinya, orang lain dan lingkungan.
Tanda dan gejala sosial mengalami penurunan karena melalui CBT menyebabkan
perubahan penilaian dan keyakinan terhadap kejadian baik karena orang lain,
lingkungan maupun diri sendiri yang tadinya negatif hanya berdasarkan opininya
sendiri menjadi positif berdasarkan fakta. Pikiran dan keyakinan yang positif
menyebabkan klien tidak membatasi diri dalam berhubungan dengan orang lain.
Penurunan tanda dan gejala RPK dengan menggunakan CBT juga dibuktikan
dalam penelitian Fauziah Fauziah, Hamid, Nuraini (2009), Hidayat, E
Keliat,B.K, Wardani (2011), Sudiatmika IK, Keliat BA, Wardani IY, (2011) dan
Lelono SK, Keliat BA, Besral (2011). Berbagai penelitian tersebut membuktikan
bahwa terapi kognitif perilaku bermakna dalam meningkatkan kemampuan
kognitif klien perilaku kekerasan, menurunkan gejala afektif, fisiologis dan
meningkatkan kemampuan sosialisasi klien. Keberhasilan terapi ini terletak pada
perubahan pola pikir terhadap perilaku kekerasan, kemampuan penilaian/analisis
terhadap masalah yang dihadapi.
Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
113
model adaptasi Roy menekankan pada proses klien beradaptasi dengan stimulus-
stimulus baik ekternal maupun internal. Penggabungan kedua konsep ini adalah
dengan adanya proses adaptasi perubahan perilaku menuju keseimbangan
perilaku. Pencapaian keseimbangan subsistem menunjukkan proses adaptasi yang
adaptif, sedangkan gangguan keseimbangan subsistem menunjukkan proses
adaptasi yang maladaptif.
Klien dengan masalah perilaku kekerasan dapat terjadi karena masalah regulator
internal klien. Perawat berperan dalam mengatur kembali struktur yang terganggu
melalui pendekatan ulang pada tujuan (goal), membuat tujuan baru (set), mencari
sumber-sumber terkait (choice) dan melatih klien mempraktikkan perilaku yang
dipilih (action). Perawat bersama klien mendiskusikan kembali tujuan dan
harapan yang ingin dicapai dan menentukan dorongan (drive) klien untuk
melakukan tujuan yang ingin diraih. Kemudian perawat dan klien bersama-sama
mencari kemungkinan perilaku tersebut dilakukan, kemudian melakukan perilaku
yang dipilih dan dipertahankan. Kegiatan ini diintegrasikan pada terapi AT dan
CBT yang telah dilakukan pada setiap tahap terapi.
Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
113
BAB 6
SIMPULAN DAN SARAN
Pada bab 6 ini ini akan diuraikan simpulan dari penyusunan karya ilmiah akhir
beserta saran bagi pihak-pihak terkait yang berhubungan dengan praktik klinik
keperawatan jiwa di unit psikiatri.
6.1 Simpulan
Simpulan dari pelaksanaan manajemen asuhan kasus spesialis pada klien dengan
risiko perilaku kekerasan di Ruang Kresna Rumah Sakit Jiwa Marzoeki Mahdi
Bogor adalah sebagai berikut :
6.1.1 Karakteristik klien dengan masalah risiko perilaku kekerasan di Ruang
Kresna mayoritas berusia dewasa 25 – 55 tahun, dengan rata-rata usia 32 tahun,
pendidikan rata – rata klien berpendidikan menengah, sebagian tidak bekerja,
dengan status perkawinan kebanyakan belum menikah, onset atau lamanya sakit
rata-rata > 5 tahun dan frekuensi masuk RS rata-rata adalah 3 kali.
6.1.2.2 Faktor presipitasi yang paling banyak ditemukan pada klien risiko
perilaku kekerasan yaitu dari aspek biologis karena putus obat, dari aspek
psikologis yakni adanya keinginan yang tidak terpenuhi dan aspek sosial budaya
yaitu masalah pekerjaan. Asal stressor sebagian besar berasal dari luar paling
banyak , dalam waktu rata-rata 2-5 tahun dengan jumlah stresor lebih dari 3
stresor.
6.1.2.3 Penilaian stresor pada klien sebagian besar respon kognitif adalah tidak
mampu mengontrol perilaku kekerasan dan keinginan untuk memukul. Respon
113
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
114
afektif dalam menghadapi masalah yaitu afek labil marah, kecewa/ kesal, mudah
tersinggung dan merasa jenkel. Respon fisik yang masih aktual ditemukan pada
klien adalah muka merah dan wajah tegang. Respon perilaku yang dapat agresif.
Respon sosial yang ditampilkan adalah bicara kasar, menjerit dn mengancam
orang lain.
6.1.2.4 Sumber Koping klien risiko perilaku kekerasan adalah tidak tahu cara
mengatasi risiko perilaku kekerasan, sebagian besar klien resiko perilaku
kekerasan memiliki dukungan keluarga tetapi tidak mengetahui perawatan klien.
Klien tidak mendapat dukungan kelompok dan dukungan masyarakat, hampir
semua klien memiliki asuransi kesehatan BPJS. Jarak rumah dan pelayanan
keshatan terjangkau. Keyakinan positif akan kesembuhan akan penyakitnya pada
semua klien dan Mekanisme koping yang biasa dilakukan klien adalah
memendam masalah.
6.1.2.5 Diagnosa medis yang paling banyak adalah skizoprenia paranoid dan
terapi yang banyak dipakai adalah golongan tipikal seperti haloperidol,
klorpromazine, sedangkan diagnosa keperawatan yang menyertai perilaku
kekerasan klien adalah halusinasi, dan isolasi sosial.
Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
115
4,72 dan aspek sosial sebesar 3,34 poin. Penurunan paling tinggi terdapat pada
aspek perilaku disusul oleh penurunan aspek fisiologis.
Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
116
6.2 Saran
Berdasarkan simpulan , ada beberapa hal yang dapat disarankan kepada pihak–
pihak terkait dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan jiwa khususnya di
ruang Kresna
6.2.1 Pelayanan Keperawatan
6.2.1.1 Direktur RSMM
a. Menetapkan kebijakan terkait dengan program pelayanan keperawatan
spesialistik khususnya penerbitan standar asuhan keperawatan terkait
dengan pelaksanaan manajemen kasus spesialis pada klien dengan
perilaku kekerasan khususnya di ruagan perawatan intensif.
b. Adanya kebijakan SOP penangan klien dengan kondisi gaduh gelisah di
ruang Intensif dan mempunyai indikator penilaian yang sama antara tim
dokter dan keperawatan sehingga mempunyai persepsi yang sama
dalam penangana gaduh gelisah. Penanganan yang tepat dan cepat akan
membantu memperbaiki pikiran, perasaan dan perilaku klien sehingga
klien mudah menerima latihan atau terapi yang diberikan.
Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
117
Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
118
Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
119
Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
DAFTAR PUSTAKA
Alini, Keliat, BA., Wardani IY., (2012) Pengaruh Terapi Assertiveness Training
dan Progressive Muscle Relaxation terhadap gejala dan kemampuan klien
dengan perilaku kekerasan Tesis. Jakarta. FIK UI. Tidak dipublikasikan
Arthur & Zheng (2006). Need of Family Member about Schizophrenia. Journal of
Psychological Nursing & mental Helath Services. February, Vol.44.pg 38
Boyd, M.A. & Nihart, M.A. (2002). Psychiatric nursing contemporary practice.
USA: Lippincott Raven Publisher
Fauziah, Hamid, Nuraini (2009). Pengaruh terapi perilaku kognitif pada klien
skizoprenia dengan perilaku kekerasan, Tesis. Jakarta. FIK UI. Tidak
dipublikasikan
Frisch, N.,C.& Frisch,L.,E (2006) Psychiatric Mental health Nursing. (3th Ed.).
Canada: Thomson corporation
Keliat & Sinaga.(1991), Asuhan keperawatan pada klien marah, Jakarta : EGC
Keliat, B.A. (2003). Pemberdayaan klien dan keluarga dalam perawatan klien
skizofrenia dengan perilaku kekerasan di RSJP Bogor. Disertasi. Jakarta.
FKM UI. tidak dipublikasikan
Keliat, B.A. & Akemat. (2006). Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Lelono SK, Keliat BA, Besral (2011) Efektivitas Cognitive Behavioral Therapy
(CBT) dan Rational Emotive Behavioral Therapy (REBT) Terhadap Klien
Perilaku Kekerasan, Halusinasi dan Harga Diri Rendah di RS Dr. H.
Marzoeki Mahdi Bogor
Parker, M and Smith, M.C (2010). Nursing theories and nursing practice.3rd
Edition. Philadelphia. F.A Davis Company.
Rawlin, William & Beck, (1998) Mental health psychiatric nursing a holistic life
cycle approach. 2nd edition. St Louis: Mosby Year Book.Inc
Sinaga, B.R. (2007). Skizofrenia dan diagnosa banding. Jakarta: Balai Penerbit
FIK UI
Sudiatmika IK, Keliat BA, Wardani IY, (2011) Efektivitas cognitive behaviour
therapy dan rational emotive behaviour therapy terhadap klien dengan
perilaku kekerasan dan halusinasi di Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi
Bogor
Stuart, G.W (2013). Principles and practice of psychiatric nursing. (9th edition).
St Louis: Mosby
Tomey, A.M & Alligood, M.R. (2010). Nursing theorists and their work. (6th ed).
St. Louis: Mosby Years Book Inc.
Tomey, M.A (2001), Nursing Theories and Their Work, The C.V. Mosby
Company St. Louis : Mosby Years Book Inc.