Anda di halaman 1dari 146

UNIVERSITAS INDONESIA

MANAJEMEN KASUS SPESIALIS KEPERAWATAN JIWA


KLIEN DENGAN RISIKO PERILAKU KEKERASAN
MENGGUNAKAN PENDEKATAN MODEL ADAPTASI
ROY DAN JOHNSON’S BEHAVIOURAL SYSTEM
MODEL DI UNIT PELAYANAN INTENSIVE
PSIKIATRI (UPIP) DI RS MM BOGOR

KARYA ILMIAH AKHIR

Riris Ocktryna Silitonga

1106043186

PENDIDIKAN SPESIALIS KEPERAWATAN JIWA


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
JULI 2014

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


UNIVERSITAS INDONESIA

MANAJEMEN KASUS SPESIALIS KEPERAWATAN JIWA


PADA KLIEN DENGAN RISIKO PERILAKU KEKERASAN
MENGGUNAKAN PENDEKATAN MODEL ADAPTASI
ROY DAN JOHNSON’S BEHAVIOURAL SYSTEM
MODEL DI UNIT PELAYANAN INTENSIVE
PSIKIATRI (UPIP) DI RS MM BOGOR

KARYA ILMIAH AKHIR


Diajukan sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Spesialis Keperawatan Jiwa (Sp.Kep.J)

Riris Ocktryna Silitonga

1106043186

PENDIDIKAN SPESIALIS KEPERAWATAN JIWA


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
JULI 2014

ii

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


LEMBAR PERSETUJUAN

Karya Ilmiah Akhir ini telah diperiksa dan disetujui oleh Pembimbing serta telah
dipertahankan di hadapan tim penguji Karya Ilmiah Akhir Spesialis

Keperawatan Jiwa Universitas Indonesia

Depok, Juli 2014

Pembimbing I

Prof. AChitan. S. Hamid, DN.Sc.

Pembimbing II

Yossie Susanti E.P., SKp, MN

111

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


HALAMANPENGESAHAN

Karya Ilmiah Akhir ini diajukan oleh :


Nama : Riris Ocktryna Silitonga
NPM : 1106043186
Program Studi : Pasca Sarjana Spesialis keperawatan Jiwa
Judul Karya Ilmiah : Manajemen Kasus Spesialis Keperawatan Jiwa Klien
Risiko Perilaku Kekerasan dengan Pendekatan Model
Adaptasi Roy dan Johnson's Behavioral System
Model di Unit Intensive Rumah Sakit Marzoeki
Mahdi Bogor.

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima


sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Ners
Spesialis Keperawatan Jiwa pada Program Studi Pasca Sarjana, Faknltas
Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia.

DEWAN PENGUJI

Pembimbing : Prof. Achir Yani S. Hamid, DN.Sc.

Penguji : Dr. Mustikasari, SKp, MARS

Penguji : Dr Hervita Diatri SpKj(K)

Penguji : Ns. Evin N S.Kp., MKep., Sp.Kep.J.

Ditetapkan di : Depok
Tanggal : 14 Juli 2014

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


PERNYATAAN ORISINALITAS

Karya Ilmiah Akhir ini adalah basil karya saya sendiri dan semua sumber
baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.

Nama . Riris Ocktryna Silitonga

NPM

Tanda Tangan

Tanggal 14 Juli 2014

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGA1~ AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di


bawah ini:
Nama : Riris Ocktryna Silitonga
NPNI : 1106043186
Program Studi : Pasca Sarjana
Fakultas : Ilmu Keperawatan
Jenis Karya : Karya .Ilmiah Akhir

Demi pengembangan iImu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksldusif (Non-exclusive Royalty-
Free Rig/It) atas karya ilmiah saya yang berjudul :
Manajemen Kasus Spesialis Keperawatan Jiwa KJien Risiko Perilaku Kekerasan
dengan Pendekatan Model Adaptasi Roy dan Johnson's Behavioral System Model
di Unit Intensive Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogar.

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan}. Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif lnl Universitas Indonesia berhak menyimpan,
mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),
merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dan saya
selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai
pemilik Hak Cipta.

Demikian pemyataan ini saya buat dengan sebenamya.

Dibuat di : Depok
Pada tanggal : 14 Juli 2014
Yang

VI

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


ABSTRAK

Nama : Riris Ocktryna Silitonga

Program Studi : Ilmu Keperawatan- Spesialis Keperawatan Jiwa

Judul : Manajemen Kasus Spesialis Keperawatan Jiwa Klien Risiko


Perilaku Kekerasan dengan Pendekatan Model Adaptasi Roy
dan Johnson’s Behavioral System Model di Unit Intensive
Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor

Klien berperilaku kekerasan menunjukkan ketidakmampuan dalam beradaptasi


secara kognitif dan emosi konstruktif. Tujuan penulisan menggambarkan
penatalaksanaan asuhan keperawatan dengan pendekatan Model Adaptasi Roy
dan Johnson’s Behavioural System Model klien risiko perilaku kekerasan.
Intervensi keperawatan yang dilakukan adalah assertive training pada 15 klien
dan cognitive behaviour therapy pada 24 klien. Hasil assertive training dan
cognitive behaviour therapy dapat menurunkan tanda dan gejala perilaku
kekerasan dan peningkatan kemampuan koping adaptif dalam menghadapi
peristiwa yang menimbulkan perilaku kekerasan. Rekomendasi penerapan Model
Adaptasi Roy dan Johnson’s Behavioural System Model dengan intervensi
keperawatan assertive training dan cognitive behaviour therapy dapat
menurunkan gejala perilaku kekerasan.

Kata kunci : perilaku kekerasan, assertive training, cognitive behaviour


therapy, Model Adaptasi Roy Johnson’s Behavioural System Model

vii

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


ABSTRACT

Name : Riris Ocktryna Silitonga

Study Programe : Psychiatric Specialistic Nursing Programe-Faculty of


Nursing

Title : Psychiatric Nursing Specialist Case Management with


Aggressive Behavior at Intensive care Dr. H. Marzoeki
Mahdi Hospital, Bogor

People with tendency to act aggressively shown that they used destructive coping
strategies to express their anger. Aim of this paper was to describe the application
of Model Adaptasi Roy and Johnson’s Behavioural System Model, focusing on
aggresive behavior. Assertive training intervention that provided to 15 clients and
cognitive behaviour therapy were that provided to 24 clients. Result of this study
shown that sign and symptoms of aggressive behaviour were decreased and
increased of client's ability to express their emotion in contructive way.
Recommended the Model Adaptasi Roy and Johnson’s Behavioural System
Model with assertive training and cognitive behaviour therapy were to derecrease
aggresive behaviour.

Key words: aggressive behavior, assertive training, cognitive behaviour therapy,


Model Adaptasion Roy, Johnson’s Behavioural System Model

viii

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


KATA PENGANTAR

Puji Syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan
kasih karuniaNya, saya dapat menyelesaikan Karya Ilmiah Akhir dengan Judul
“Manajemen Kasus Spesialis Keperawatan Jiwa Klien Risiko Perilaku
Kekerasan dengan Pendekatan Model Adaptasi Roy dan Johnson’s
Behavioral System Model di Unit Intensive Rumah Sakit Marzoeki Mahdi
Bogor”. Karya Ilmiah Akhir ini disusun dalam rangka menyelesaikan tugas akhir
untuk meraih gelar Spesialis Keperawatan Jiwa pada Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia.

Penyusunan Karya Ilmiah Akhir dibantu, dibimbing dan didukung oleh berbagai
pihak, dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan terima kasih yang
setulusnya kepada yang terhormat :

1. Ibu Junaiti Sahar, Ph.D selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia beserta seluruh jajarannya
2. Ibu Henny Permatasari S.Kp.,M.Kep Kom, selaku Ketua Program
Pascasarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
3. Ibu Prof. Achir Yani S. Hamid, D.N,Sc., selaku pembimbing I Karya Tulis
Ilmiah dan sebagai Koordinator mata ajar Karya Ilmiah Akhir yang telah
membimbing penulis dengan sabar, bijaksana memberikan masukan serta
motivasi dalam penyelesaian Karya Ilmiah Akhir ini.
4. Ibu Yossie Susanti E.P., SKp, MN selaku pembimbing II yang membimbing
penulis dengan sabar, bijaksana dan juga sangat teliti memberikan masukan
serta motivasi dalam penyelesaian Karya Ilmiah Akhir ini.
5. DR. Mustikasari, SKp, MARS, DR dr Fidiansyah,SpKj, selaku penguji yang
telah banyak memberikan masukan demi penyempurnaan Karya Ilmiah Akhir
ini.
6. Staf Pengajar Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia yang telah membekali dengan ilmu, sehingga penulis mampu
menyusun tugas akhir.

ix

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


7. Direktur Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor yang telah memberikan
izin untuk praktik klinik keperawatan jiwa 3.
8. Para pasien yang dirawat di ruang Kresna yang sudah banyak memberikan
pembelajaran dan pengalaman baru bagi penulis, terimakasih karena kalian
penulis dapat menyelesaikan tulisan ini.
9. Seluruh rekan perawat ruangan, khususnya ruang Kresna, terima kasih atas
kerjasama selama penulis menjalani praktik klinik keperawatan jiwa 3.
10. Keluarga tercinta, Suami-ku Nesos Sitohang dan kedua anak-ku, Juan dan
Queen, terima kasih atas dukungan dan pengorbanan kalian.
11. Rekan-rekan angkatan VII Program Spesialis Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia atas kekompakan dan kerjasama yang
baik. Kita memang kumpulan orang hebat
12. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian Karya Ilmiah Akhir
ini

Semoga hasil penulisan Karya Ilmiah Akhir ini bermanfaat dari segi kelimuan
dan dapat memberikan sumbangsih bagi keilmuan dan manfaat aplikatif dalam
meningkatkan kualitas layanan asuhan keperawatan dengan menggunakan
pendekatan Model Adaptasi Roy dan Johnson’s Behavioral System Model,
khususnya bagi klien dengan risiko perilaku kekerasan.

Depok, Juli 2014

Penulis

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ...................................................................................... i


HALAMAN JUDUL ............................................................................... ......... ii
LEMBAR PERSETUJUAN .............................................................................. iii
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................... iv
PERNYATAAN ORISINALITAS .................................................................... v
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI .............................................. vi
ABSTRAK ......................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... viii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xi
DAFTAR BAGAN ............................................................................................ xiii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xiv

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ............................................................................ 1
1.2. Tujuan Karya Ilmiah Akhir ......................................................... 12

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Input .......................................................................................... 17
2.2 Proses .......................................................................................... 31
2.2.1 Diagnosa Keperawatan ................................................... 31
2.2.2 Sumber koping ............................................................... 34
2.2.3 Mekanisme koping ......................................................... 36
2.2.4 Penatalaksanaan.............................................................. 37
2.2.5 Manajemen Pelayanan .................................................... 37
2.2.6 Intervensi Keperawatan .................................................. 39
2.3 Out Put........................................................................................ 49
2.3.1 Mekanisme Koping......................................................... 49
2.3.2 Behavioural System......................................................... 50
2.3.3 Perilaku............................................................................ 51
2.4 Model Konseptual Asuhan Keperawatan................................ 51
2.4.1 Model Adaptasi Roy........................................................ 51
2.4.2 Model Johnson’s Behavioral System Model.................. 57
BAB 3. PROFIL RUMAH SAKIT Dr. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR
3.1 Gambaran Umum Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor 62
3.2 Gambaran Pengembangan Manajemen Keperawatan Jiwa
Profesional (MPKP) RSMM Bogor.............................................. 65
3.3 Model Praktik Keperawatan Profesional di Ruang Kresna.......... 66

xi

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


BAB 4 MANAJEMEN ASUHAN DAN PELAYANAN
KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN RISIKO PERILAKU
KEKERASAN
4.1 Hasil Pengkajian Klien dengan Risiko Perilaku Kekerasan di
Ruang Kresna ............................................................................... 72
4.1.1 Karakteristik Klien............................................................. 73
4.1.2 Faktor Predisposisi............................................................. 74
4.1.3 Faktor presipitasi............................................................... 75
4.1.4 Penilaian Terhadap Stresor ............................................... 77
4.1.5 Sumber Koping.................................................................. 78
4.1.6 Koping mekanisme............................................................ 79
4.1.7 Diagnosis Keperawatan dan Medik................................... 79
4.2 Penatalaksanaan Klien dengan Diagnosa Keperawatan Risiko
perilaku kekerasan
4.2.1 Rencana Tindakan.............................................................. 80
4.2.2 Implementasi Keperawatan................................................ 80
4.2.3 Evaluasi Hasil.................................................................... 82
4.3 Kendala Pelaksanaan Asuhan Keperawatan............................... 85
4.4 Rencana Tindak Lanjut............................................................... 86

BAB 5 PEMBAHASAN
5.1 Hasil Pengkajain kondisi klien dengan resiko perilaku 87
kekerasan....................................................................................
5.1.1 Karakteristik Klien Risiko Perilaku Kekerasan di Ruang 87
Kresna.........................................................................................
5.1.2 Hasil Pengkajian Kondisi Klien dengan Risiko Perilaku
Kekerasan................................................................................... 92
5.1.3 Diagnosis Medis................................................................ 101
5.2 Penerapan asuhan keperawatan spesialis klien Risiko Perilaku
Kekerasan dengan Pendekatan Model Adaptasi Roy dan
Johnson’s Behavioral System Model ......................................... 104
5.3 Efektifitas Penerapan Terapi Assertive Training (AT) dan
Cognitive Behaviour Therapy (CBT) pada klien dengan resiko
108
perilaku kekerasan......................................................................

BAB 6 SIMPULAN DAN SARAN


6.1 . Simpulan .......................................................................... 113
6.2 . Saran ................................................................................ 116

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

xii

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Pelaksanaan manajemen pelayanan MPKP Ruang Kresna RS 69


MM Bogor April 2014 ...................................................................
Tabel 4.1. Distribusi Karakteristik Klien dengan Risiko Perilaku Kekerasan
di Krena, Periode 17 Februari-18 April 2014…………................. 73
Tabel 4.2. Distribusi Faktor Predisposisi pada Klien Risiko Perilaku
Kekerasan di Kresna Periode 17 Februari-18April 2014.............. 74
Tabel 4.3. Distribusi Faktor Presipitasi pada Klien Risiko Perilaku
Kekerasan di Kresna , Periode 17 Februari-18April 2014.............. 75
Tabel 4.4. Distribusi Penilaian Terhadap Stresor pada Klien Risiko Perilaku
Kekerasan di Kresna, Periode 17 Februari-18 April 2014............. 76

Tabel 4.5. Distribusi Sumber Koping pada Klien Risiko Perilaku Kekerasan
Di Kresna, Periode 17 Februari-18 April 2014............................. 78
Tabel 4.6. Distribusi Koping Mekanisme pada Klien Risiko Perilaku
Kekerasan di Kresna, Periode 17 Februari-18 April 2014............ 78
Tabel 4.7. Distribusi Diagnosis Keperawatan yang Menyertai pada Klien
Risiko Perilaku Kekerasan di Kresna, Periode 17 Februari-18 79
April 2014..................................................................................…
Tabel 4.8. Diagnosis Medis Pada Klien Klien Risiko Perilaku Kekerasan di
Kresna, Periode 17 Februari-18 April 2014.................................... 79
Tabel 4.9. Perencanaan Penatalaksanaan pada Klien dengan Risiko Perilaku
Kekerasan di Ruang Kresna RSMM Bogor.................................. 80
Tabel 4.10. Distribusi Pelaksanaan Manajemen Krisis Klien Risiko Perilaku
Kekerasan di Kresna Periode 17 Februari-18 April 2014 …....... 80
Tabel 4.11. Distribusi Pelaksanaan Terapi Spesialis Keperawatan Jiwa pada
Klien Risiko Perilaku Kekerasan di Kresna Periode 17 Februari- 81
18 April 2014………....................................................................
Tabel 4.12. Respon Stressor Perilaku Kekerasan Pada Klien Klien Risiko
Perilaku Kekerasan di Kresna, Periode 17 Februari-18April 83
2014...............................................................................................
Tabel 4.13. Kemampuan Assertive Training (AT) Pada Klien Klien Risiko
Perilaku Kekerasan di Kresna Periode 17 Februari-18 April 84
2014.................................................................................................
Tabel 4.14. Kemampuan Cognitive Behavior Therapy (CBT) Pada Klien
Risiko Perilaku Kekerasan di Kresna Periode 17 Februari-18 85
April 2014

xiii

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1. Model Adaptasi Roy dan Johnson’s Behavioral System Model pada 16
asuhan keperawatan klien dengan Resiko Perilaku Kekerasan.......

Bagan 2.2. Hirarki Perilaku Kekerasan................................................................. 33

Bagan 2.3. Continum of nursing intervention in managing aggresive behavior 39


(Stuart, 2013).......................................................................................

Bagan 2.4. Model adapatsi Roy............................................................................. 55

Bagan 2.5. Johnson's Behavioral System Model................................................... 58

xiv

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. : Rekapitulasi Hasil Pengkajian Klien Risiko Perilaku Kekerasan di


Ruang Kresna RS. Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor.
Lampiran 2. : Rekapitulasi Klien Risiko Perilaku Kekerasan yang Mendapatkan
Assertive Training (AT) dan Cognitive Behaviour Therapy (CBT)
di Ruang KresnaRS. Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor.
Lampiran 3 : Modul Assertive Training (AT)
Lampiran 4 : Modul Cognitive Behaviour Therapy (CBT)

xv

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kesehatan adalah keadaan sehat fisik, mental dan sosial, bukan semata-mata
bebas dari penyakit (WHO 2009), sedangkan dalam UU RI No. 36 pasal 1 tahun
2009 dijelaskan bahwa kesehatan adalah keadaan sehat baik secara fisik, mental,
spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif
secara sosial dan ekonomis. Berdasarkan definisi tersebut maka seseorang dapat
hidup produktif baik secara sosial dan ekonominya jika memiliki kesehatan bukan
hanya sehat fisik tetapi juga mental, spritual dan sosialnya.

Kesehatan jiwa dapat juga dikatakan sebagai suatu kondisi sehat baik emosional,
psikologis, dan sosial yang ditunjukkan dengan hubungan interpersonal yang
memuaskan antara individu dengan individu lain, memiliki koping yang efektif,
konsep diri positif dan emosi yang stabil (Videbeck, 2011). Kesehatan jiwa
menurut WHO (2001) adalah suatu kondisi sejahtera dimana individu menyadari
kemampuan yang dimilikinya, dapat mengatasi stress dalam kehidupannya, dapat
bekerja secara produktif dan memiliki kontribusi dalam hidupnya serta dalam
kehidupan bermasyarakat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kesehatan jiwa
merupakan bagian yang terpenting dimana dengan sehat jiwa seseorang dapat
hidup produktif dan dapat berkarya baik untuk dirinya ataupun lingkungan
disekitarnya.

WHO (2009) memperkirakan 450 juta orang di seluruh dunia mengalami


gangguan mental, sekitar 10% orang dewasa mengalami gangguan jiwa dan 25%
penduduk diperkirakan akan mengalami gangguan jiwa pada usia tertentu selama
hidupnya. Gangguan jiwa mencapai 13% dari penyakit secara keseluruhan dan
kemungkinan akan berkembang menjadi 25% di tahun 2030. National Institute of
Mental Health (NIMH) berdasarkan hasil sensus penduduk Amerika Serikat tahun
2004, memperkirakan 26,2% penduduk yang berusia 18 tahun atau lebih

Universitas Indonesia
1

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


2

mengalami gangguan jiwa (NIMH, 2011). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesda
2007) yang dilakukan oleh Badan Penelitian Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan, menunjukan gangguan jiwa berat 0,46%, gangguan jiwa
ringan 11,60% dan sehat jiwa 87,94%. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesda
2013) di dapatkan data gangguan jiwa berat 0,17%, dan gangguan mental
emosionan 6%. Gangguan jiwa merupakan sindrom perilaku yang secara klinik
bermakna atau adanya sindrom psikologis atau pola yang dihubungkan dengan
terjadinya distress pada seseorang atau adanya ketidakmampuan atau secara
signifikan terjadi peningkatan resiko untuk kematian, sakit, ketidakmampuan atau
kehilangan rasa bebas (DSM IV-TR, 2000 dalam Townsend,2009).

Gangguan jiwa merupakan suatu kondisi kesehatan individu yang ditandai


adannya gangguan pada pola pikir, perasaan (mood), kemampuan interaksi serta
kemampuan melakukan aktifitas sehari-hari (Alliance on mental Illness of
America, 2010). Ketidakmampuan yang terjadi pada klien dengan gangguan jiwa
menimbulkan disabilitas, di Amerika diperkirakan 51 juta penduduk Amerika
terdiagnosis gangguan jiwa dan 6,5 jutanya mengalami disabilitas akibat dari
gangguan jiwa berat. Hasil Riset Kesehatan Dasar 2007 (Riskesda 2007) angka
prevelensi terjadinya gangguan jiwa berat adalah 4,6 permil yang artinya dari
1000 penduduk Indonesia 4-5 orang menderita gangguan jiwa berat (Balitbang
Depkes RI, 2008). Berdasarkan pusat data dan informasi Depkes RI tahun 2008
penduduk Indonesia tahun 2007 berjumlah 225.642.124 diperikirakan klien yang
mengalami gangguan jiwa sebesar 1.037.454 orang.

Gangguan jiwa berat yang banyak ditemukan adalah skizofrenia. Skizofrenia


adalah sekumpulan sindroma klinik yang ditandai dengan perubahan kognitif,
emosi, persepsi dan aspek lain dari perilaku (Kaplan & Sadock, 2007). Klien
dengan skizofrenia menunjukan perilaku maladaptif seperti penampilan yang
buruk, berkurangnya kemampuan untuk bekerja, perilaku stereotip, agitasi,
agresif, dan negativism. Pikiran negatif pada klien skizofrenia timbul karena
adanya kesulitan dalam berpikir jernih dan logis, sering kali sulit konsentrasi
sehingga perhatian mudah beralih dan berlanjut membuat klien menjadi gaduh

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


3

gelisah (Stuart, 2013). Gangguan jiwa merupakan respon maladaptif terhadap


stressor dari dalam lingkungan yang berhubungan dengan perasaan dan perilaku
yang tidak sejalan dengan budaya/ kebiasaan/ norma setempat dan mempengaruhi
interaksi sosial individu, kegiatan dan fungsi tubuh (Townsend, 2009).
Berdasarkan uraian tersebut diatas menjelaskan bahwa individu yang mengalami
skizofrenia mengalami perubahan maladaptif pada pikiran, perilaku dan perasaan.

Data statistik direktorat kesehatan jiwa menunjukan bahwa klien gangguan jiwa
terbesar yaitu skizofrenia sebesar 70% (Dep.Kes, 2003). American Psychiatric
Association (2000) menyebutkan dari beberapa penelitian melaporkan bahwa
kelompok individu yang didiagnosa mengalami skizofrenia mempunyai insiden
lebih tinggi untuk mengalami perilaku kekerasan (American Psychiatric
Association (2000) Dari survey yang dilakukan oleh The National Institute of
Mental Nursing Health’s Epidemiologic Catchment Area terhadap 10.000 orang
yang pernah melakukan perilaku kekerasan di temukan 11,7% terdiagnosis
skizofrenia (Kaplan & Saddock, 1995 dalam Wahyuningsih, D. Keliat, B A ,
Hastono SP., 2009). Survey yang dilakukan oleh badan kesehatan dunia (WHO)
bahwa pada tahun 2001 terdapat 450 juta orang dewasa yang mengalami
gangguan jiwa, 20% penduduk Indonesia menderita gangguan jiwa dengan empat
jenis diantaranya depresi, gangguan alkohol, gangguan bipolar dan skizofrenia,
yang mana penyakit tersebut akan berdampak pada perilaku kekerasan, jika
pikiran kita sudah irrasional dan di luar kendali (Mediaindo, 2004). Jumlah klien
skizofrenia dengan perilaku kekerasan berdasarkan riwayat kekerasan didapatkan
bahwa klien yang memiliki riwayat kekerasan baik sebagai pelaku, korban, atau
saksi lebih banyak yaitu 62,5% dari 72 responden yang diteliti Wahyuningsih, D.
Keliat, B A , Hastono SP.(2009). Penelitian yang dilakukan oleh Pasaribu, Hamid,
Mustikasari (2013) pasien resiko perilaku kekerasan didiagnosis dengan
skizofrenia paranoid sebesar 53,84% dari 13 responden.

Skizoprenia merupakan gangguan neurobiologikal otak yang persisten dan serius,


sindroma yang secara klinis dapat mengakaibatkan kerusakan hidup baik secara
individu, keluarga dan komunitas (Stuart, 2013). Keliat (2006) menjelaskan

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


4

skizoprenia merupakan suatu gangguan jiwa yang ditandai dengan penurunan atau
ketidakmampuan berkomunikasi, gangguan realita (halusinasi dan waham). Afek
yang tidak wajar atau tumpul, adanya gangguan kognitif (tidak mampu berpikir
abstrak) dan mengalami kesukaran dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
Skizoprenia merupakan kumpulan dari gejala berupa gangguan isi dan bentuk
pikiran, persepsi, emosi/perasaan, perilaku dan hubungan interpersonal (Halgin
dan Whitbourne, 2007 dalam Wahyuni, SE, Keliat BA, Nasution Y, Susanti H,
2010). Berdasarkan pemaparan hal tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa
skizoprenia gangguan dalam berpikir dengan benar, gangguan dalam emosi atau
perasaan dan gangguan dalam berperilaku yang mengakibatkan gangguan dalam
berhubungan dengan orang lain.

Simptom dari suatu skizoprenia dibagi dalam 5 dimensi yaitu simptom positif,
simptom negatif, simptom kognitif, simptom agresif dan hostilitas serta simptom
depresi dan anxious (Shives, 2005; Sinaga, 2007). Gejala positif menggambarkan
fungsi normal yang berlebihan dan khas yang meliputi waham, halusinasi,
disorganisasi pembicaraan dan perilaku seperti katatonia atau agitasi/ kegelisahan.
Simptom agresif dan hostile menekankan pada masalah pengendalian impuls.
Hostile bisa berupa penyerangan secara fisik atau verbal terhadap orang lain
termasuk juga didalamnya perilaku mencederai diri sendiri (suicide), merusak
barang orang lain atau seksual acting out. Simptom depresi dan anxious seringkali
didapatkan bersamaan denga simptom lain seperti mood yang mengalami depresi,
mood dengan kecemasan, adanya rasa bersalah (guilt), tension, irritabilitas atau
kecemasan. Berdasarkan pemaparan simptom diatas pada klien skizoprenia
terlihat banyak masalah yang dapat muncul seperti perilaku penyerangan terhadap
orang lain, perilaku mencederai diri sendiri dan orang lain, adanya halusinasi,
harga diri rendah dan perasaan bersalah, adanya depresi, serta waham.
Berdasarkan hal tersebut dapat dibuat kesimpulan bahwa pada pasien skizoprenia
banyak ditemukan kasus dengan masalah keperawatan resiko perilaku kekerasan.
Klien dengan skizoprenia diagnosa keperawatan primer yang dapat muncul
menurut NANDA 2012 dapat berupa resiko perilaku kekerasan, gangguan sensori

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


5

persepsi: halusinasi, harga diri rendah kronik, gangguan proses pikir: waham dan
yang lain (Stuart, 2013).

Angka kejadian perilaku kekerasan pada klien yang masuk ruang emergency
sebesar 25-50% dari jumlah pasien yang datang ke ruang emergency (Gacki-Smit
et al, 2009 dalam Stuart, 2013). Berdasarkan pengalaman dan survey dari masalah
keperawatan yang penulis dapatkan selama melakukan praktik keperawatan jiwa
baik di Residensi 3 di bagian psikiatri RSMM Bogor ditemukan beberapa masalah
keperawatan yaitu halusinasi dengar, isolasi sosial, resiko perilaku kekerasan,
resiko bunuh diri, harga diri rendah, defisit perawatan diri dan waham. Dari tujuh
masalah keperawatan yang penulis temukan masalah yang paling banyak
ditemukan adalah masalah keperawatan Resiko perilaku kekerasan dengan jumlah
100% dari 39 pasien di ruang Kresna Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi
(RSMM) Bogor.

Perilaku kekerasan merupakan respon maladaptif dari marah. Marah adalah


perasaan jengkel atau perasaan yang tidak menyenangkan yang merupakan bagian
dalam kehidupan sehari-hari (Stuart& Laraia, 2005, Stuart, 2013). Marah
merupakan perasaan jengkel yang timbul sebagai respon terhadap kecemasan/
kebutuhan yang tidak terpenuhi yang dirasakan sebagai ancaman (Stuart, 2013)
dan perilaku kekerasan adalah respon maladaptif dari marah, hasil dari kemarahan
yang ekstrem (panik). Keliat (2003) menyatakan klien dengan perilaku kekerasan
merupakan orang yang ambigue, selalu dalam kecemasan, mempunyai penilaian
yang negatif terhadap diri sendiri dan orang lain, tidak mampu menyelesaikan
masalah dengan baik, sehingga perilaku kekerasan merupakan salah satu cara
yang digunakan oleh klien untuk menyelesaikan masalah. Jika marah ditujukan
kedalam diri sendiri marah dapat menyebabkan depresi dan juga harga diri rendah
karenanya, jika marah diungkapkan dengan tidak tepat dapat memperburuk
hubungan dengan orang lain, ketika marahnya ditekan/supresi, marah dapat
berubah menjadi kebencia yang dapat dimanifestasikan dengan menunujukan
perilaku diri yang negatif mulai dari pasif hingga agresif (Townsend, 2014).
Masalah keperawatan perilaku kekerasan pada klien merupakan salah atau alasan

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


6

bagi keluarga membawa pasien ke rumah sakit karena karena klien berisiko
membahayakan diri sendiri dan orang lain (Keliat, 2003). Penelitian yang
dilakukan oleh Wahyuningsih, D. Keliat, B A , Hastono SP (2009) dimana
perilaku kekerasan merupakan penyebab utama klien dibawa ke rumah sakit yaitu
68%. Hasil pelaksanaan praktik selama Residensi 3 penulis mendapatkan dari 39
pasien 100% pasien dibawa ke rumah sakit karena pasien melakukan perilaku
kekerasan yang ditujukan kepada diri pasien sendiri, orang lain dan lingkungan.
Dapat disimpulkan bahwa marah yang tidak konstruktif dapat menimbulkan
perilaku kekerasan dimana klien melukai diri, orang lain dan merusak lingkungan
termasuk alat-alat rumah tangga dan keluarga sehingga klien dibawa ke rumah
sakit oleh keluarga.

Townsend (2009) menjelaskan bahwa dengan meniru atau mengadaptasi perilaku


kekerasan (modeling) menjadi penyebab seseorang melakukan perilaku
kekerasan. Individu yang sering terpapar perilaku kekerasan, baik sebagai korban
kekerasan ataupun pengamat perilaku kekerasan dalam keluarga membuat
individu tersebut belajar bahwa penggunaan kekerasan merupakan salah satu cara
untuk mengatasi masalah (Stuart, 2013). Menurut teori pembelajaran sosial Riyadi
dan Purwanto (2009), bahwa perilaku kekerasan merupakan proses sosialisasi
sebagai hasil dari pembelajaran internal dan ektenal. Proses pembelajaran
eksternal terjadi ketika individu mengamati perilaku kekerasan seseorang yang
menjadi role model seperti orang tua, rekan, saudara, olahragawan, dan
entertainment figur (Stuart, 2013). Proses internal ini juga dapat dipelajari melalui
tayangan kekerasan pada media massa. Proses pembelajaran internal terjadi ketika
individu mendapatkan penguatan atau reinforcement ketika melakukan perilaku
kekerasan untuk pencapai tujuan. Townsend (2009) menyatakan melalui operant
conditioning bahwa perilaku kekerasan akan digunakan dalam mencapai tujuan
saat perilaku tersebut mendapat penguatan dari lingkungan. Perilaku kekerasan
yang ditujukan klien dapat terjadi karena individu tidak dapat menyesuaikan diri
atau beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi didalam dirinya.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


7

Adapatasi menurut Roy (Roy, 2008 dalam Philips,2010) merupakan suatu proses
dan hasil berpikir dan perasaan seseorang sebagai individu atau dalam kelompok
dengan menggunakan kesadaran dan pilihan untuk membuat integrasi manusia
dan lingkungan. Roy menjelaskan umtuk dapat adaptif manusia sebagai suatu
sistem harus dapat menyesuaikan diri (adaptive system) secara holistik yang
meliputi biologis, psikologis, sosial budaya dan spritual sebagai satu kesatuan
yang mempunya masukan atau inputs, control dan feedback processes dan output
(keluaran/hasil). Proses dari kontrol adalah mekanisme koping yang
dimanifestasikan dengan cara penyesuaian diri. Manusia sebagai sebuah sistem
dapat menyesuaikan diri dengan activitas kognator dan regulator untuk
mempertahankan adaptasi dalam empat cara penyesuaian yaitu: fungsi fisiologis,
konsep diri, fungsi peran dan interdependensi.

Roy menjelaskan model adaptasi keperawatan adalah sustu sistem yang hidup,
terbuka, dapat menyesuaikan diri dari perubahann suatu unsur, zat, materi yang
ada dilingkungan. Manusia dikatakan sebagai sistem yang dapat menyesuaikan
diri digambarkan dalam karakteristik sistem, diamana manusia dilihat sebagai
suatu kesatuan yang saling berhubungan antar unit- unit fungsional atau beberapa
unit fungsional yang memiliki tujuan yang sama. Perilaku kekerasan dapat
diakibatkan oleh toleransi terhadap frustasi yang rendah, koping individu yang
tidak efektif, impulsive dan membayangkan atau secara nyata adanya ancaman
terhadap keberadaan dirinya, tubuh atau kehidupan (Fontaine, 2009). Berdasarkan
hal tersebut perilaku kekerasan terjadi karena ketidakmampuan individu dalam
beradaptasi ataupun mengatasi situasi yang dihadapinya dimana individu tidak
memiliki koping mekanisme yang adaptif dan individu merasakan adanya
ancamanterhadap kehidupannya.

Model Stress adaptasi Stuart memandang perilaku manusia dalam perspektif


psikodinamika dimana masalah keperawatan jiwa pada perilaku kekerasan
menggunakan pendekatan model Stuart (2013). Stuart (2013) juga menjelaskan
psikodinamika masalah keperawatan dimulai dengan menganalisa faktor
predisposisi, presipitasi, penilaian terhadap stesor, sumber koping dan mejanisme

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


8

koping yang digunakan oleh seorang individu sehingga menghaslkan respon baik
yang bersifat konstruktif maupun destruktif dalam rentang adaptif sampai
maladaptif.

Faktor predisposisi dan presipitasi pada klien yang melakukan perilaku kekerasan
disebabkan karena faktor biologi, psikologi dan sosiokultural dan ketika individu
mendapatkan stressor yang mana selanjutnya individu akan menunjukan tanda
dan gejala atau bagaimana penilaian klien terhadap strssor. Penilaian klien resiko
perilaku kekerasan terhadap stressor meliputi berbagai respon yaitu respon
kognitif, afektif, fisiologis, perilaku dan sosial. Respon kognitif yang muncul
adalah pemikiran dan penalaran yang negatif, cara berpikir yang tidak rasional
dan tidak logis. Respon afektif yang muncul adalah adanya perasaan jengkel,
kesal, marah, tidak nyaman, mudah tersinggung. Respon fisiologis yang muncul
adalah muka yang merah dan otot tegang, peningkatan frekuensi denyut jantung,
tekanan darah meningkat, tangan mengepal. Respon perilaku dan sosial yang
muncul diantaranya adalah rasa bermusuhan, menarik diri, ketegangan dalan
melakukan hubungan sosial, memukul orang lain, merusak barang-barang atau
bahkan melukai dirinya sendiri lain-lain.

Respon perilaku kekerasan yang tidak dapat dikendalikan oleh klien akan
membawa dampak buruk bagi klien, dan orang-orang yang ada di sekitar klien
seperti keluarga dan juga tenaga kesehatan pada saat klien dibawa ke rumah sakit.
Perilaku klien yang merusak diri dan melakukan tindakan percobaan bunuh diri
terjadi berhubungan dengan perilaku sikap agresif terhadap diri maupun orang
lain (Hillbrand 1995 dalam Sulastri, 2007). Keluarga klien sering menjadi korban
kekerasan yang dilakukan oleh klien sehingga ini sangat berhubungan dengan
alasan klien dibawa ke rumah sakit. Tenaga kesehatan khususnya perawat yang
bekerja di unit gawat darurat dan unit intensif psikiatri sering mengalami dampak
dari perilaku kekerasan klien lebih sering dibandingkan dengan profesi lain
(Carrlson,2000, dalam Fauziah, Hamid, Nuraini 2009). Berdasarkan dari
pemaparan tesebut diatas dampak yang dapat ditimbulkan oleh klien akibat dari
respon perilaku kekerasan maka perawat melakukan manajemen asuhan

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


9

keperawatan spesialis jiwa yang dapat menunjukan hasil dimana dapat


menurunkan tanda dan gejala dari respon klien perilaku kekerasan dan
meningkatkan kemampuan klien dalam melakukan perilaku yang adaptif dalam
mengatasi kemarahan yang muncul.

Manajemen asuhan keperawatan spesialis keperawata jiwa yang diberikan pada


klien dengan resiko perilaku kekerasan terdiri dari tiga strategi, yakni strategi
preventif yang bertujuan untuk mencegah terjadinya perilaku kekerasan dari
seperti kesadaran diri, pendidikan pada klien dan dan latihan assertif; strategi
antisipasi untuk mengantisipasi berulangnya tindakan kekerasan pada klien yang
masih berisiko tinggi dengan cara latihan komunikasi verbal dan nonverbal,
perubahan lingkungan, intervensi perilaku, dan penggunaan obat-obatan, dan
strategi pengekangan, seklusi, isolasi pada kondisi akut teknik manajemen krisis
(Stuart, 2013) dan penanganan perilaku kekerasan ini tentunya membutuhkan
penangan medis berupa pemberian antipsikotik yang dapat menurunkan respon
tanda dan gejala perilaku kekerasan klien. Peran psikofarmakas sangat penting
intervensi farmakologis yang efektif dalam manajemen perilaku agresif (Hankin et
al, 2011 dalam Stuart 2013). Penggunaan obat-obatan antipsikotik dapat
mengurangi angka kejadian untuk dilakukan restraint dan seklusi. Pasien harus
diberikan pilihan obat oral dahuu jika memungkinkan baru dengan injeksi
intramuskular, suntikan dapat meningkatkan risiko efek samping serta
trauma pada pasien (Stuart, 2013).

Penangan pada klien perilaku kekerasan pada kondisi akut dilakukan diruang unit
pelayanan intesivif psikiatri atau disebut ruang UPIP. Unit pelayanan intesif
psikiatri merupakan suatu unit pelayan perawatan intensif yang memberikan
perawatan khusus kepada pasien-pasien psikiatri yang berada dalam kondisi
membutuhkan pengawasan ketat. Di beberapa negara unit hal ini diterjemahkan
sebagai unit kedaruratan ataupun unit akut yang pada prinsipnya memiliki tujuan
yang sama yaitu merawat pasien-pasien yang berada dalam kondisi membutuhkan
intervensi segera. Pasien dengan kondisi ini adalah pasien-pasien dalam kondisi
dapat membahayakan diri sendiri, orang lain dan lingkungan seperti yang terjadi

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


10

pada klien dengan perilaku kekerasan. Di Unit intensif psikiatri ini diberikan
tindakan intensif untuk mengatasi kondisi akut klien dengan perilaku kekerasan.
Tindakan intensif adalah tindakan yang diberikan secara terus menerus pada
pasien-pasien dengan kondisi darurat. Klien sebelumnya dilakukan pengkajian
dengan menggunakan intrumens RUFA (Respon Umum Fungsi Adaftif) untuk
menentukan apakah klien di intensif I,II atau III. Sehingga pada UPIP tindakan-
tindakan intensif ini dikategorikan berdasarkan tinggi rendahnya level kedaruratan
yang dialami pasien. Secara umum ada tiga fase tindakan intensif bagi pasien
yaitu: fase intensif I, II, dan III.

Intervensi keperawatan yang tepat pada klien dan keluarga baik ditatanan
pelayanan rumah sakit atau di masyarakat sangat diperlukan dalam mengatasi
masalah perilaku kekerasan. Videbeck (2008) menjelaskan terapi modalitas untuk
klien dengan perilaku kekerasan antara lain terapi kognitif, logoterapi, terapi
realita, dan psikoedukasi keluarga. Strategi preventif untuk mencegah terjadinya
perilaku kekerasan menurut Stuart (2013) adalah peningkatan kesadaran diri,
edukasi klien dan Assertiveness Training (AT).

Assertiveness Training (AT) merupakan salah satu terapi spesialis yang dapat
digunakan untuk melatih kemampuan komunikasi interpersonal dalam berbagai
situasi. Perilaku asertif yang dihasilkan dari latihan asertif membuat klien akan
memiliki pandangan yang lebih baik terhadap diri sendiri, meningkatkan percaya
diri dan meningkatkan hubungan interpersonal yang baik seiring dengan
penurunan perilaku agresif (Townsend, 2009). Assertive Training merupakan
intervensi yang efektif untuk masalah perilaku kekerasan hal ini sudah dibuktikan
berdasarkan penelitian yang telah dilakukan. Penelitian yang dilakukan oleh
Wahyuningsih, D. Keliat, B A , Hastono SP (2009) di RSUD Banyuwangi
menjelaskan bahwa perilaku kekerasan pada kelompok yang mendapatkan terapi
Assertive Training mengalami penurunan secara bermakna berdasarkan respon
perilaku, kognitif, sosial dan fisik pada klien dengan perilaku kekerasan. Hasil
penelitian menjelaskan bahwa Assertive Training berpeluang 24,7% menurunkan
respon fisik pada klien dengan risiko perilaku kekerasan. AT menurunkan

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


11

komposit perilaku kekerasan (respon kognitif, afektif, perilaku, sosial, fisik)


sebesar 50.4% (Alini, Keliat BA, Wardani IY., 2012). Peneltian yang telah
dilakukan oleh Pasaribu, Hamid, Mustikasari (2013) pada klein RPK yang
diberikan AT menunjukkan peningkatan kemampuan klien dalam hal berperilaku
secara asertif terutama dalam hal mengekspresikan kebutuhan atau keinginan baik
secara verbal maupun non verbal.

Tindakan keperawatan lainnya adalah terapi relaksasi progresif, terapi perilaku,


terapi perilaku kognitif/ cognitive behavioural therapy (CBT), dan rational
emotional behaviour therapy (REBT). Pelaksanaan CBT pada klien skizofrenia
dengan perilaku kekerasan menunjukan adanya perubahan cara berpikir yang
positif dan perilaku yang lebih adaptif (Fauziah, Hamid, Nuraini , 2009).
Pemberian CBT dan REBT yang dilakukan oleh beberapa peneliti seperti Hidayat,
E Keliat,B.K, Wardani (2011), Lelono SK, Keliat BA, Besral (2011) dan
Sudiatmika IK, Keliat BA, Wardani IY, (2011) meunjukkan peningkatan secara
bermakna kemampuan klien dalam mengatasi masalah dan terjadi penurunan
tanda dan gejala marah klien perilaku kekerasan.

Penanganan pada klien dengan masalah perilaku kekerasan dilakukan secara


terintegrasi dengan menggunakan pendekatan model Johnson’s Behavioral
System Model. Model ini menitikberatkan pada peran perawat sebagai regulator
eksternal dan pengawasan terhadap respon klien (Johnson, 1980, 1990 dalam
Parker & Smith, 2010). Pada model Johnson’s Behavioral System Model manusia
sebagai sebuah sistem perilaku, dimana keseimbangan sistem perilaku akan
mengakibatkan kondisi sehat, sebaliknya jika terdapat gangguan pada
keseimbangan sistem perilaku akan mengakibatkan kondisi sakit. Menurut
Johnson (1980 dalam Alligood & Tomey, 2010), individu dianggap sebagai
sebuah sistem perilaku, yang berarti bahwa seseorang/ individu ditentukan oleh
perbuatan dan perilaku. Individu sebagai sistem perilaku terdiri atas beberapa
subsistem yang saling berhubungan. Setiap subsistem memiliki tujuan/ fokus
masing-masing, saling berkaitan/ berhubungan satu sama lain untuk membentuk
suatu perilaku. Klien yang mengalami perilaku kekerasan mengalami gangguan

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


12

keseimbangan perilaku, ketidakseimbangan sistem yang mengakibatkan


munculnya gangguan tersebut harus diselesaikan dengan pendekatan yang sesuai.

Karya ilmiah akhir ini difokuskan pada tindakan keperawatan jiwa spesialis
dengan menerapkan penggunaan AT dan CBT. Penerapan terapi ini diberikan
untuk membantu klien meningkatkan fungsi dan keseimbangan perilaku melalui
nurturance, protection, dan stimulation. Pemberian terapi tersebut diharapkan
mampu membuat klien beradaptasi dengan stimulus baru dan mempertahankan
perilaku yang diharapkan (nurturance), melakukan perilaku baru atau perilaku
yang dilatih (stimulation), dan mampu menjaga/mempertahankan perilaku dari
stimulus yang kurang menyenangkan (protection).

B. Tujuan Penulisan
Tujuan Umum
Menggambarkan hasil manajemen kasus spesialis keperawatan jiwa terhadap
klien risiko perilaku kekerasan di Unit Pelayanan Intensive Psikiatri (UPIP)
RSMM Bogor dengan pendekatan model sistem perilaku Dorothea Johnson dan
Adptasi Roy.

Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi karakteristik klien yang mengalami risiko perilaku
kekerasan di ruang Unit Pelayanan Intensive Psikiatri (UPIP) RSMM Bogor.
2. Mengidentifikasi masalah dan kebutuhan klien yang mengalami risiko
perilaku kekerasan di ruang Unit Pelayanan Intensive Psikiatri (UPIP)
RSMM Bogor.
3. Menyusun rencana pelaksanaan manajemen kasus spesialis terhadap klien
yang mengalami risiko perilaku kekerasan di ruang Unit Pelayanan Intensive
Psikiatri (UPIP) RSMM Bogor.
4. Melaksanakan manajemen kasus spesialis terhadap klien yang mengalami
risiko perilaku kekerasan di ruang Unit Pelayanan Intensive Psikiatri (UPIP)
RSMM Bogor.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


13

5. Mengidentifikasi keberhasilan manajemen kasus pada klien risiko perilaku


kekerasan di ruang Unit Pelayanan Intensive Psikiatri (UPIP) RSMM Bogor
dengan pendekatan model sistem perilaku Dorothea Johnson dan Adaptasi
Roy.
6. Tersusunnya rencana tindak lanjut asuhan keperawatan jiwa untuk klien
risiko perilaku kekerasan di ruang Unit Pelayanan Intensive Psikiatri (UPIP)
RSMM Bogor.
7. Menguraikan implikasi assertive training dan cognitive behavioral therapy
pada klien risiko perilaku kekerasan di ruang Unit Pelayanan Intensive
Psikiatri (UPIP) RSMM Bogor dengan pendekatan model sistem perilaku
Dorothea Johnson dan Adaptasi Roy
8. Menyusun rekomendasi berdarkan implikasi hasil pelaksanaan asuhan
keperawatan pada klien dengan resiko perilaku kekerasan.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


14

BAB 2
TINJAUAN TEORITIS

Bab 2 ini penulis akan memaparkan teori yang digunakan dalam penulisan karya
ilmiah akhir dalam melakukan manajmen asuhan keperawatan spesialis pada klien
dengan resiko perilaku kekerasan. Teori keperawatan yang akan digunakan pada
klien dengan resiko perilaku kekerasan adalah dengan pendekatan model Adaptasi
Roy dan Johnson’s Behavioral System Model yang mendapat terapi assertive
training (AT) dan cognitive behavioral therapy (CBT) di ruang Kresna RSMM
Bogor.

Sebagai dasar dari penulisan ilmiah ini penulis menggunkan kerangka ilmiah yang
di mulai dengan menjelaskan input, proses dan output. Input merupakan data awal
pada klien RPK dan proses merupakan tindakan atau peristiwa esensial dalam
mengatasi masalah yang ditemukan pada input. Sedangkan pada output
merupakan hasil yang diharapkan atau pencapaian dari pelaksanaan kegiatan atau
proses. Pendekatan dengan menggunakan model Stress Adaptation Stuart (2013),
terdiri atas proses pengkajian (input), untuk menetapkan diagnosa keperawatan.
Stuart membagi pengkajian pada beberapa elemen yaitu faktor predisposisi,
stressor presipitasi dan penilaian terhadap stressor. Elemen pada faktor
predisposisi dan presipitasi adalah biologi, psikologi dan sosiokultural.

Proses input ini mengunakan pendekatan Model Teori Adaptasi Roy dengan
memperhatikan stimulus sebagai inputnya. Stimulus kontekstual sebagai faktor
predisposisi, stimulus fokal sebagai faktor presipitasi dan ditambahkan dengan
stimulus residual yang memungkinkan munculnya faktor penyebab perilaku
kekerasan. Penilaian terhadap stressor meliputi kognitif (cara memandang
masalah), afektif, fisiologis, perilaku dan sosial. Stuart (2013) menjelaskan
sumber koping menunjukkan adanya kemampuan personal dalam mengatasi
masalah dan sumber koping dapat mempengaruhi kondisi keseimbangan

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


15

seseorang seperti adanya dukungan sosial dan aset material selanjutnya akan
direfleksikan pada keseluruhan perilaku yang ditampilkan.
Tahap proses merupakan tindakan atau peristiwa yang esensial dalam mengatasi
masalah yang ditemukan dalam input dan akan dimulai pembahasannya dari
pemunculan diagnosa keperawatan resiko perilaku kekerasan dan mekanisme
koping yang dilakukan klien dalam mengatasi masalah yang dirasakan. Proses
mekanisme koping dengan menggunakan Model Teori Adaptasi Roy terdiri dari
Regulator dan Cognator, yang nantinya diharapkan klien akan mampu
membentuk sumber koping yang adekuat guna mencapai mode adaptasi perilaku
yang meliputi fisiologi, konsep diri, fungsi peran dan interdependensi. Proses
pelaksanaannya juga akan melihat pada terapi medis dan manajemen asuhan
keperawatan untuk menyelesaikan diagnosa keperawatan resiko perilaku
kekerasan yang muncul, baik secara terapi generalis maupun spesialis yang juga
mempengaruhi kemampuan klien dalam beradaptasi terhadap masalah yang
dihadapinya. Penatalaksanaan klien dengan risiko/perilaku kekerasan (RPK)
diatur pada pilar 4 dari Manajemen Pelayanan Keperawatan Profesional (MPKP),
yakni pelaksanaan Patient Care Delivery pada klien RPK. Pelaksanaan intervensi
asuhan keperawatan pada klien RPK sudah memiliki standar pelaksanaan yang
tercantum pada standar asuhan keperawatan klien dengan RPK.

Penggunaan model Behavioral System dalam penanganan klien dengan RPK


dititik beratkan pada peran perawat sebagai regulator eksternal dan pengawasan
terhadap respon klien (Johnson, 1980, 1990 dalam Parker & Smith, 2010). Terapi
modalitas diberikan untuk membantu klien meningkatkan fungsi dan
keseimbangan perilaku melalui pemeliharaan/pengasuhan (nurturance),
perlindungan (protection), dan stimulasi (stimulation). Pelaksanaan kegiatan ini
terangkum pada pemberian terapi spesialis jiwa, yakni assertive training (AT) dan
cognitive behavioral therapy (CBT). Pemberian terapi tersebut diharapkan
mampu membuat klien beradaptasi dengan stimulus baru dan mempertahankan
perilaku yang diharapkan (nurturance), melakukan perilaku baru atau perilaku
yang dilatih (stimulation), dan mampu menjaga/mempertahankan perilaku dari
stimulus yang kurang menyenangkan (protection).

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


16

Bagan 2.1
Model Adaptasi Roy dan Johnson’s Behavioral System Model pada asuhan keperawatan klien dengan Resiko Perilaku Kekerasan

Input Proses Efektor Output


kontrol
Faktot Predisposisi
1. Stress Internal: Mekanisme koping : Fisiologis
 Biologi: genetik, kerusakan Konsep diri Respon adaptif:
Regulator
struktur otak, trauma fisik, Cognator Fungsi peran  Kognitif
penggunaan napza Interdependensi  Afektif
 Pskologi  Fisiologis
2. Stress Eksternal: Resko Perilaku Kekerasann  Perilaku
Sosial buadaya: usia, jenis  Sosial
kelamin, pendidikan, pekerjaan
pekerjaan, status perkawinan,
Sumber Koping
Faktor Presipitasi 1. Kemapuan personal
 Sifat : biologis, psikologis, 1. 1. Perubahan tanda
Proses belajar: pengalaman, maturasi dan gejala RPK
sosiokultural
 Asal : internal, ekstresnal 2. Dukungan sosial: individu, keluarga, 2. 2. Peningkatan
 Jumlah kelompok kemampuan
 Waktu 3. Aset material klien RPK
4. Keyakinan positif 3.
Penilaian terhadap stressor
Kognitif; Afektif ; Fisiologis;
Respon inefektif:
Perilaku; Sosial
 Kognitif
Terapis Medis:
Tindakan keperawatan :  Afektif
Dimensi pengkajian: 1. Tindakan keperawatan generalis  Fisiologis
Psikofarmaka(Antipsikoti
1. Internal stressor: Biologi, 2. Tindakan keperawatan spesialis  Perilaku
k tipikal dan atipikal)
psikologi  Assertive Training (AT)  Sosial
2. Eksternal stressor: Sosial  .Cognitive Behaviour Therapy (CBT).
3. Learning, Experience
4. Maturation
5. Other changing factors
Model Praktik Keperawatan Profesional (MPKP)
(biological, psychological,
Pilar I Management Approach
sociological)
Pilar II Compensatory Reward
Pilar III Professional Relationship
Universitas Indonesia
Stress tolerance flexibility Pilar IV Patient Care Delivery
Umpan balik
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
17

Pengorganisasian tulisan ini menggunakan alur pikir berdasarkan integrasi dari


teori Model Adaptasi Roy dan Johnson’s Behavioral System Model yang diawali
dengan input yang terdiri atas stimulus fokal, stimulus kontekstual dan stimulus
residual. Dilanjutkan dengan proses kontrol, yaitu mekanisme koping, yang
terdiri regulator dan kognator. Selanjutnya efektor dan output difokuskan pada
konsep diri, yang merupakan salah satu model psikososial dan model ini focus
pada psikososial dan spiritual makhluk hidup.

2.1 Input
Input dimulai dengan penjelasan tentang faktor predisposisi dan presipitasi
penyebab perilaku kekerasan dengan mengunakan Model Stress Adaptation Stuart
(2013), yang membagi pengkajian pada beberapa elemen yaitu faktor predisposisi,
stressor presipitasi dan penilaian terhadap stressor, serta sumber koping. Model
teori adaptasi Roy membaginya dalam stimulus fokal, stimulus kontekstual dan
stimulus residual. Sementara Johnson (1968 dalam Alligood & Tomey, 2010)
menyatakan bahwa behavioural system menentukan interaksi antara individu dan
lingkungan. Individu dipandang sebagai sistem perilaku/ behavioural system dan
lingkungan dipandang sebagai hal diluar individu (behavioural system) yang
dapat mempengaruhi keseimbangan sistem. Behavioural system terdiri dari 8
subsistem perilaku yang juga dipengaruhi biologis, psikologis dan sosiokultural.
Lingkungan bukan merupakan bagian dari subsistem namun berperan dalam
mempertahankan keseimbangan subsistem. Faktor predisposisi pada lingkungan
bukan hanya bagian dari lingkungan individu namun seluruh hal yang dapat
mempengaruhi seluruh sistem.

2.1.1 Faktor Predisposisi


Faktor predisposisi menggambarkan faktor resiko yang dimiliki oleh pasien.
Stuart (2013) menganggap bahwa pengalaman masa lalu memiliki makna dan
pengaruh tersendiri bagi setiap individu. Faktor predisposisi dibagi menjadi tiga
elemen yaitu biologi, psikologi dan sosiokultural.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


18

2.1.1.1 Biologi
Salah satu faktor predisposisi (penyebab) atau menjadi faktor presipitasi
(pencetus) terjadinya perilaku kekerasan pada individu adalah faktor biologi.
Komponen biologi yang menjadi faktor predisposisi antara lain faktor genetik,
status nutrisi, sensitivitas biologi, keadaan kesehatan umum, paparan terhadap
racun, neurotransmitter, riwayat trauma kepala, penggunaan obat-obatan (Stuart,
2013). Secara biologis untuk faktor predisposisi merupakan sebagai keadaan atau
faktor resiko yang dapat mempengaruhi manusia dalam menghadapi stressor.

Faktor biologis disini meliputi struktur dan fungsi otak. Hasil penelitian
difokuskan pada area oak yang diyakini terlibat dengan terjadinya perilaku agresif
adalah sisitem limbik, lobus frontal dan hipothalamus. Neurotransimiter juga
memiliki dalam munculnya perilaku kekerasan atau penekanan perilaku kekerasan
(Niehoff, 2002: Hoptman, 2003; Stuart & Laraia, 2005; Stuart, 2009). Videback,
(2011) menjelaskan karena kerusakan pada struktur sistem limbik dan lobus
frontal serta lobus temporal otak dapat mengubah kemampuan individu untuk
dapat memodulasi agresif sehingga dapat menyebabkan perilaku agresif atau atau
perilaku kekerasan. Hasil penelitian didapatkan pada klien epilepsi pada daerah
lobus temporal dan frontal klien terdapat episodik agresif dan perilaku kekerasan.
Klien denga tumor otak terutama yang terkena sistem limbik dan lobus temporal
serta pada klien dengan trauma otak menjadi faktor predisposisi agresif dan
perilaku kekerasan (Townson, 2014).

Sistem limbik berkaitan dengan mediasi dorongan dasar, ekspresi emosi dan
tingkah laku manusia seperti ; makan, agresi, dan respon seksual, termasuk proses
pengolahan informasi ke dan dari area lain di otak mempunyai pengaruh pada
emosional dan perilaku. Peningkatan atau penurunan perilaku agresif dapat
terjadi jika ada perubahan pada sistem limbik. Bagian sistem limbik khususnya
amigdala menjadi mediasi ekspresi kemarahan dan ketakutan (Stuart, 2013).
Lobus frontal mempunyai peranan penting dalam mediasi tingkah laku yang
berarti dan untuk berpikir rasional dan merupakan bagian dari otak diamana
tempat pikiran dan emosi berinteraksi. Jika terjadi kerusakan pada lobus ini dapat

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


19

mengakibatkan gangguan dalam penilaian, terjadi perubahan kepribadian, terjadi


masalah dalam pengambilan keputusan, terjadinya ketidaksesuaian dalam
berhubungan dan adanya ledakan agresif (Stuart& Laraia, 2005). Fungsi
hipotalamus didasar otak berfungsi sebagai sistem alarm/ peringatan pada otak.

Dapat disimpulkan gangguan yang terjadi pada lobus frontal pada individu dapat
mengalami gangguan proses berpikir dan emosinya dan dapat menjadi penyebab
tindakan irasional dan berperilaku kekerasan. Hipotalamus ini berperan dalam
mempengaruhi terjadinya perilaku agresif/kekerasan dan pada kondisi stress
akan meningaktkan hormon steroid yang dikeluarkan oleh kelenjar adrenal.
Hormon steroid kurang sensitif dalam mengkompensasi, sehingga hipotalamus
menghasilkan banyak hormon steroid dengan stimulasi yang berulang sistem akan
berespon lebih kuat. Respon yang kuat ini yang dapat menyebabkan stress
traumatikpada anak yang bersifat permanen sehingga beresiko mengalami
perilaku kekerasan. Dapat disimpulkan pola asuh dalam keluarga yang beresiko
memeilki pola asuh didalam keluarga dan sring menyaksikan, menontonperilaku
kekerasan anak akan dapat mengadopsi dan menjadi permanen sehingga anak
akan mudah berperilaku kekerasn.

Faktor biologi selanjutnya yang mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan


adalah neurotransmiter. Neurotransmiter adalah senyawa kimia otak yang
ditransmisikan untuk neuron dari neurun yang menyebrangi sinap untuk
menghasilkan komunikasi antara struktur otak. Neurotransmiter yang ada diotak
seperti epinefrin, noreepineprin, dopamin, asetilkolin dan serotonin sangat
berperan dalam penyampaian informasi melaui sistem persyarafan dalam tubuh.
Perilaku agresif dipengaruhi oleh gen serotonergi (Lesch dan Mersdorf , 2000).
Peningkatan hormon androgen dan norepineprinserta penurunan serotonin dan
GABA pada cairan cerebrospinal vertebra dapat menjadi faktor predisposisi
terjadinya perilaku agresif. Neurotransmiter serotonin yang rendah meningkatkan
irritabilitas, hipersensiivitas terhadap provokasi dan perilaku amuk. Hasil
pemeriksaan pada serotonin dimana nilai serotonon pada level 5-HIAA ditemukan
pada individu dengan impulsif, bunuh diri, membunuh.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


20

Anak-anak yang mengalami malnutrisi dapat berdampak negatif terhadap


pertumbuhan dan perkembangan otak, gangguan otak yang terjadi dapat menjadi
predisposisi individu mengalami perilaku anti sosial, dan kekerasan dampakdari
adanya gangguan kognitif (Mednick at all,200, dalam Fauziah, Hamid, Nuraini,
2010). Perilaku kekerasan dapat terjadi karena riwayat penggunaan napza dan
frekuensi dirawat, menurut Wahyuningsih, D. Keliat, B A , Hastono SP. (2009)
penggunaan NAPZA akan mempengaruhi fungsi otsk, mempengaruhi terapi dan
perawatan yang diberikan. Dengan mengetahui frekuensi berapa kali dirawat
menunjukan berapa sering klien mengalami perilaku kekekerasan, karena semakin
sering klien perilaku kekerasan dirawat dengan masalah yang sama kemungkinan
untuk melakukan perilaku kekerasan juga semakin tinggi yang diadopsi dan yang
digunakan untuk menyelesaikan masalah.

Faktor herediter dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya gangguan jiwa.


Penelitian akan adanya pengaruh genetik dalam gangguan jiwa telah
dikembangkan sejak tahun 1998 hingga 2003 oleh Human Genom Project.
Berdasarkan penelitian tersebut diketahui bahwa faktor genetik memiliki peran
dalam menyebabkan gangguan jiwa ditandai dengan banyaknya penelitian yang
melihat hubungan orang tua dan anak atau kejadian gangguan jiwa pada kembar
terutama monozigotik. Seorang anak yang lahir dari salah satu orang tua dengan
skizofrenia akan mempunyai resiko 15% dan bila kedua orang tua mengalami
skizofrenia maka anak akan berisiko 35% mengalami skizofrenia, pada anak
kembar fraternal (monozygot) 15% sedangkan pada kembar identik (dizygot)
memiliki risiko 50% untuk mengalami skizofrenia, saudara kandung 10%,
generasi kedua 2 -3 % dan jika tidak ada keluarga yang sakit jiwa mempunyai
risiko 1 % untuk menjadi skizofrenia (Stuart & Laraia, 2005).

Faktor biologi lain yang dapat menjadi predisposisi terjadinya perilaku kekerasn
menurut Stuart & Laraia (2005) adalah penyakit yang tidak terkontrol, putus obat,
kecemasan karena kegagalan dalam mengerjakan sesuatu. Akibat dari penyakit
yang tidak terkontrol dan putus obat akan menyebabkan ketidak
seimbangankembali komponenkimia didalam otak yang akhirnya memicu

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


21

individu untuk melakukan kembali perilaku kekerasan. Obat sangat berperan


penting dalamdalam mengontrol perubahan-perubahan kimia yang terjadi
didalam otak sehingga dengan pemantauan penggunaan obat sangat
diperlukandalam mengatasi perilaku kekerasan.

2.1.1.2 Psikologi
Stuart, (2013) menjelaskan faktor psikologis yang mendukung perilaku kekerasan
antara lain kepribadian, pengalaman masa lalu, konsep diri, dan pertahanan
psikologi. Pengamalan hidup yang tidak baik dapat menimbulkan penilaian
negatif terhadap situasi dan kejadian yang pada akhirnya akan menimbukan
perasaan negatif. Perasaan negatif yang sering ditemukan adalah merasa
dipermalukan, ketakutan, dibuang, bersalah, menyakitkan, ditolak, tidak adequat,
tidak aman, tidak didengarkan, situasi di luar kontrol, penolakan, terancam,
kelelahan, cepat tersinggung dan direndahkan Varcarolis (2010). Meniru atau
mengadaptasi perilaku kekerasan (modeling) menjadi penyebab seseorang
melakukan perilaku kekerasan. (Townsend, 2014). Individu yang sering terpapar
perilaku kekerasan, baik sebagai korban kekerasan ataupun pengamat perilaku
kekerasan dalam keluarga membuat individu tersebut belajar bahwa penggunaan
kekerasan merupakan salah satu cara untuk mengatasi masalah (Stuart, 2013).

Berdasarkan teori pembelajaran sosial Riyadi dan Purwanto (2009), menjelaskan


bahwa perilaku kekerasan merupakan proses sosialisasi sebagai hasil dari
pembelajaran internal dan ektenal. Proses pembelajaran eksternal terjadi ketika
individu mengamati perilaku kekerasan seseorang yang menjadi role model
seperti orang tua, rekan, saudara, olahragawan, dan entertainment figur (Stuart,
2013). Proses internal ini juga dapat dipelajari melalui tayangan kekerasan pada
media massa. Proses pembelajaran internal terjadi ketika individu mendapatkan
penguatan atau reinforcement ketika melakukan perilaku kekerasan untuk
pencapai tujuan.

Melalui Operant conditioning perilaku kekerasan akan digunakan dalam


mencapai tujuan saat perilaku tersebut mendapat penguatan dari lingkungan.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


22

(Townsend, 2014). Riyadi & Purwanto (2009) menjelaskan bahwa perilaku


kekerasan merupakan produk kegagalan yang terakumulasi saat individu tidak
dapat meraih yang diharapkan. Terjadinya perilaku agresif atau perilaku
kekerasan secara psikologis adalah dorongan naluri, adanya gangguan atau
hambatan dalam mencapai tujuan, stimulus internal dan eksternal yang dirasa
sebagai suatu yang berbahaya (Boyd dan Nihart, 2002). Kegagalan diartikan oleh
individu sebagai ketidakmampuan, ketidakberdayaan serta ancaman sehingga
individu harus melindungi ego dengan cara menunjukkan kekuatan dirinya
melalui kekerasan.

2.1.1.3 Sosial budaya dan spritual


Faktor sosial budaya dan spritual menjadi faktor predisposisi terjadinya perilaku
kekerasan seperti usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, peran sosial, latar
belakang, budaya, agama dan keyakinan individu (Stuart, 2013). Karakteristik
klien yang paling berpengaruh terhadap perilaku kekerasan antara lain: jenis
kelamin, usia, riwayat perilaku kekerasan (American Psychiatric Assosiation’s,
2000 & Swart et al, 1998 dalam Fauziah, 2009), riwayat pendidikan, pekerjaan
dan status perkawinan (Keliat, 2003), tipe skizofrenia (Wahyuningsih, D. Keliat, B
A , Hastono SP. 2009), riwayat pekerjaan (Hidayat, E Keliat,B.K, Wardani 2011),
jenis kelamin dan riwayat gangguan jiwa (Lelono SK, Keliat BA, Besral (2011).

Perilaku kekerasan terjadi 2 kali lebih sering pada uisa muda 57% dibanding usia
tua 30% (rata-rata dibawah 28 tahun). Jenis kelamin merupakan salah satu
predisposisi terjadinya perilaku kekerasan berdasarkan hasil penelitian Keliat
(2003) dimana karakteristik jenis kelamin berhubungan dengan kejadian perilaku
kekerassan secara verbal dengan hasil didapatkan laki-laki dua kali lipat lebih
banyak dari klien perempuan (p value 0,01) dan usia yang paling banyak 30
tahun kebawah.

Perilaku kekerasan dapat terjadi juga pada kondisi sosial seperti kemiskinan,
ketidakmampuan memenuhi kebutuhan hidup, masalah perkawinan, keluarga
single parent, pengangguran, kesulitan mempertahankan tali persaudaraan,
struktur keluargasan kontrol sosial (Stuart & Laraia, 2005). Masalah status sosial

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


23

banyak dikaitkan dengan masalah perilaku kekersan (Townsend, 2011) seperti


faktor sosial ekonomi yang rendah lebih banyak mengalami perilaku agresif
dibandingkan pada tingat sosial ekonomi tinggi. Faktor latar belakang budaya
dapat juga mempengaruhi perilaku individu dalam berperilaku kekerasan seperti
kontrol masyarakat yang rendah dan kecendrungan menerima perilaku kekerasan
sebagai cara menyelesaikan masalah didalam masyarakat. Norrma –norma yang
ada dimasyarakat dapat membantu dalam mendefinisikan ekspresi agresif , mana
hal yang dapat diterima atau tidak dapat diterima sehingga membantu masyarakat
dalam mengekspresikan marah denga cara yang asertif.

Kepercayaan atau keyakinan spiritual, nilai, dan norma menurut Keliat dan Sinaga
(1991) juga dapat mempengaruhi ungkapan marah seseorang. Tatanan norma
dalam budaya tertentu membatasi seseorang dalam dalam mengekspresikan marah
sehingga dapat menyebabkan hambatan dalam mengekspresikan kemarahan
dengan cara sehat (Stuart, 2013). Selanjutnya Stuart (2013) menjelaskan bahwa
hubungan interpersonal yang tidak adekuat dan saling tidak mempercayai, tidak
memperoleh dukungan, komunikasi yang tidak efektif dalam keluarga maupun
masyarakat dapat meningkatkan terjadinya perilaku kekerasan.

Faktor lingkungan juga dapat menjadi penyebab timbulnya perilaku kekerasan.


Ruangan yang penuh, peningkatan kontak dan menurunnya area pribadi (Tardiff,
2003, dalam Townsend 2009) dan peningkatan temperatur ruangan/cuaca yang
panas (Anderson, 2001, dalam Townsend 2009). Resiko terjadi peningkatan
perilaku kekerasan ketika klien berkumpul dalam satu kelompok, penuh sesak,
rendahya area pribadi, dan tidak beraktivitas (Stuart, 2013). Menurut Fryor et al,;
2003 dalam Stuart (2013) menjelaskan petugas secara sengaja atau tidak sengaja
karena perilakunya juga dapat berpotensi sebagai pencetus perilaku kekerasan
pada klien. Alasan ini dapat terjadi menurut Stuart (2013) karena pengalaman staf
yang rendah, provokasi oleh staf, manajemen lingkungan yang buruk, jarak yang
terlalu dekat saat interaksi. Fointaine (2009) menjelaskan perilaku kekerasan
terjadi karena konflik petugas dan klien dan biasanya disebabkan karena
provokasi petugas, petugas merasa memiliki sikap otoriter dan cenderung

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


24

mengatur/controlling; apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan oleh klien;
menahan klien bertentangan dengan keinginan klien dan memaksa untuk minum
obat. Hal ini menggambarkan bahwa pada klien skizofrenia perilaku kekerasan
dapat terjadi karena dipicu kondisi cemas, frustasi, merasa tersinggung dan
ditambah lagi dengan kondisi lingkungan yang kurang nyaman.

2.1.2 Stressor Presipitasi


Faktor presiptasi berkaitan dengan suatu stimulus yang dipersepsikan sebagai
suatu kesempatan, tantangan, ancaman/tuntutan. Faktor presipitasi meliputi 4 hal
yaitu sifat stressor, asal stressor, lamanya terpapar strssor yang dialami dan
banyaknya stressor yang dihadapi oleh seseorang (Stuart, 2013).

Berdasarkan sifatnya, sifat stressor terjadinya masalah perilaku kekerasan adalah


stressor biologis, stressor psikologis dan sosial budaya. Stressor biologik seperti
jenis penyakit yang berpengaruh pada fungsi dan struktur dari otak, adanya
kelemahan fisik, penyakit infeksi dan kronis. Stressor psikologis berkaitan dengan
pertumbuhan dan perkembangan seperti adanya abuse didalam keluarga, adanya
kegagalan – kegagalan, kehilangan orang yang dicintai atau pekerjaan. Sosual
budaya mialnya lingkungan yang padat, ribut, kritikan, penghinaan, atauran yang
bertentangan antara individu dan kelompok masyarakat, adanya provokatif dan
konflik, tuntuan masyarakt yang tidak sesuai dengan kemampuan yang dimiliki,
serta stigma dari masyarakat terhadap orang yang mengalami gangguan jiwa.

Berdasarkan asal stressor, asal stressor ada dua internal dan eksternal. Stresor
internal berasal dari diri sendiri seperti proses penuaan, hilang kepercayaan diri,
perasaan tidak mampu, hilang kepercayaan diri, ketidakberdayaan dan lain
sebagainya. Stressor eksternal berasal dar luar diri contoh keluarga dan
lingkungan sekitar kita (kelompok dan masyarakat) seperti kehilangan amggota
keluarga, orang yang dicintai,adanya tuntutan dari keluarga dan masyarakat dan
lain-lain. Berdasarkan lamanya dan jumlah stressor terkait dengan sejak kapan,
sudah berapa lama, frekuensinya berapa kali serta jumlah stressornya. Penanganan
lebih intensif jika klien baru pertama kali terkena masalah dan tujuan tindakan
adalah pencegahan primer. Jumlah stressor dan frekuensi mempengaruhi individu,

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


25

jika frekuensi dan jumlah stressor terkena masalah sedikit akan memerlukan
penanganan yang berbeda dibandingkan dengan frekuensi dsn jumlah stressornya
lebih banyak.

Johnson’s Behavioral System Model menjelaskan stressor dalam lingkungan


diluar subsistem sebagai suatu stressor internal dan eksternal. Stressor tersebut
mempunyai dampak positif dan negatif, tergantung dari individu. Menurut
Johnson’s Behavioral System Model stresor dapat berupa objek, peristiwa, situasi
yang terjadi pada lingkungan. Akibat dari kekuatan lingkungan yang berlebihan
meninmbulkan perubahan pada keseimbangan sistem perilaku (behavioural
system) dan juga mengancam kestabilan subsistem. Menurut Johnson’s
Behavioral System Model lingkungan pada sistem perilaku bukan terbatas hanya
pada faktor eksternal, namun faktor diluar subsistem dianggap sebagai
lingkungan. Jumlah stresor menggambarkan berapa banyak stressor yang dialami
individu dalam suatu waktu, baik berupa stressor biologis, psikologis dan
sosialkultural. Waktu menggambarkan kapan, berapa lama, dan berapa kali
individu terpapar stressor (Stuart, 2013). Frekuensi dan jumlah stresor juga
mempengaruhi individu dalam berespon terhadap stressor.

2.1.2.1 Faktor Biologi


Stressor presipitasi resiko perilaku kekerasan dari faktor biologi dapat disebabkan
oleh gangguan umpan balik di otak yang mengatur jumlah dan waktu dalam
proses informasi. Stimulasi penglihatan dan pendengaran pada awalnya disaring
oleh hipotalamus dan dikirim untuk diproses dilobus frontal dan bila informasi
yang disampaikan terlalu banyak pada suatu waktu atau jika ada informasi
tersebutsalah, lobus frontal mengirimkan pesan overload ke ganglia basal dan
diingatkan lagi hipotalamus untuk memperlambat transmisi ke lobus frontal.
Penurunan fungsi dari lobus frontal menyebabkan gangguan pada proses umpan
balik dalam penyampaian informasi yang menghasilkan proses informasi overload
(Stuart & Laraia, 2005; Stuart, 2013).

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


26

Stressor presipitasi yang lain adanya abnormal pada pintu mekanisme pada klien
skizoprenia. Yang dimaksud pintu mekanisme adalah proses elektrik yang
melibatkan elektrolit, hal ini memicu penghambatan saraf dan rangsang umpan
balik yang terjadi pada sistem saraf. Penurunan pintu mekanisme/gating proses ini
ditunjukan dengan ketidakmampuan individu dalam memilih stimuli secara
selektif (Hong et al., 2007 dalam Stuart, 2013). Faktor biologis lainnya yang
merupakan predisposisi dapat menjadi faktor presipitasi dengan memperhatikan
asal stressor, baik internal, atau lingkungan eksternal individu dan menurut
Stuart& Laraia, 2005) waktu dan frekuensi terjadinya stresor perilaku kekerasan
penting untuk dikaji.

2.1.2.2 Faktor Psikologis


Pemicu dari resiko perilaku kekerasan dapat diakibatkan oleh toleransi terhadap
frustasi yang rendah, koping individu yang tidak efektif, impulsif dan
membayangkan atau secaa nyata adanya ancaman terhadap keberadaan dirinya
tubuh atau kehidupan. Perilaku kekerasan dapat terjadi dalam perawatan klien
karena adanya provokasi dari petugas, perilaku kekerasan klien terjadi pada
setting ini dimana petugas merasa memiliki sikap otoriter dan cendrung
mengatur/controlling; mengatur apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan oleh
klien; menahan klien bertentangan dengan keinginan klien dan memaksa untuk
minum obat, kejadian tersebut semuanya berkontribusi terjadi konflik petugas dan
klien (Fontaine, 2009). Townsend (2014) menjelaskan perilaku agresif/ kekerasan
terjadi karena beberapa perasaan seperti marah, ansietas, rasa bersalah, frustasi
atau kecurigaan.

2.1.2.3 Faktor Sosial budaya


Jumlah insiden kekerasan pada klien lebih besar terjadi ketika klien dipindahkan
dalam kelompok yang besar, penuh sesak, kurang privasi atau tidak bebas.
Petugas bisa saja secara sengaja atau tidak sengaja memicu terjadinya perilaku
kekerasan, petugas yang tidak pengalaman dalam mengatasi kondisi klien,
provokasi dari petugas, manajemen lingkungan yang buruk, petugas yang tidak
paham dengan pekerjaannya, pertemuan fisik yang terlalu dekat dan penetapan

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


27

batasan yang tidak konsisten serta budaya kekerasan memepengaruhi perilaku


kekerasan klien (Fagan-Pyor et al., (2003) dalam Stuart, 2013). Petugas harus
dapat mengidentifiasi kondisi klien terhadap situasi dan penerimaan lingkungan,
kognitif dan stress komunikasi serta respon afektif klien. Menurut Stuart & Laria,
2005) perawat juga perlu mengkaji asal stressor sosiokultural, waktu tejadinya
stressor dan jumlah stressor psikologis yang terjadi dalam suatu waktu.

2.1.3 Penilaian terhadap stressor


Penilaian terhadap stressor merupakan proses evaluasi secara menyeluruh yang
dilakukukan oleh individu terhadap stressor dengan tujuan untuk melihat tingkat
kemaknaan dari kejadian yang dialaminya dan penilaian stressor tersebut
merupakan suatu proses kondisi stress yang komprehensif yang penilaiannya
terhadap stressor yang meliputi 5 aspek, yakni respon kognitif, respon afektif,
respon fisiologis, respon perilaku dan respon sosial (Stuart, 2013). Dibawah ini
dijelaskan tentang penilaian terhadap stressor yaitu:
2.1.3.1 Respon kognitif
Respon kognitif adalah suatu mediator bagi interaksi antara individu dan
lingkungan. Individu dapat menilai adanya suatu bahaya/ potensi terhadap suatu
stressor dipengaruhi oleh:
a) Pandangan/ pengertian: sikap terbuka seseorang terhadap adanya perubahan,
peran serta secara aktif dalam suatu kegiatan dan kemampuan untuk
mengkontrol diri terhadap pengaruh lingkungan.
b) Sumber untuk toleransi terhadap masalah yang dihadapi selama ini yang
berasal dari diri sendiri serta lingkungannya
c) Kemampuan koping, berhubungan dengan pengalaman secara individual
d) Efektifitas koping yang digunakan dalam mengatasi masalahnya
e) Koping yang ada dan yang dapat digunakan oleh pasien.

Pada klien agresif untuk respon kognitiff selalu dikaitkan atau dihubungkan
dengan psikologis individu, bentuk respon yang muncul atau tergambar pada klien
yang melakukan perilaku kekerasan adalah permusuhan, kemarahan dan
keyakinan yang irasional. Respon kognitif yang ditemukan pada klien yang

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


28

melakukan perilaku kekerasan adalah bingung, tidak mampu memecahkan


masalah, mendominasi, supresi pikiran. Pada individu dengan perilaku agresif
atau perilaku kekerasan berpikir secara irasional yang akan tercermin dari kata-
kata yang dugunakan. Kata-kata yang cepat menunjukan cara yang berpikir yang
tepat, kata-kata yang tidak logis menunujukan cara berpikir yang salah.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa respon kognitf pada klien
yang mengalami perilaku kekerassan adalah adanya ketidakmampuan
memecahkan masalah dan mensupresi pikiran, yang ditujukan dengan pikiran
yang irasional, mendominasi dan kata-kata yang tidak logis.

2.1.3.2 Respon Afektif


Afektif merupakan gambaran perasaan (Stuart, 2013). Tidak ada respon afek
tertentu untuk setiap stressor yang muncul. Bentuk afek yang dapat muncul pada
stressor antara lain senang, sedih, takut, marah, menerima, tidak percaya, kaget.
Pada individu yang dalam kondisi marah respon kognitif yang muncul adalah
perasaan tidak nyaman, merasa tidk berdaya, jengkel, merasa ingin berkelahi,
mengamuk, bermusuhun, sakit hati, menyalahkan orang lain, menuntuu, mudah
tersinggung, euporia yang berlebihan atau tidak tepat dan afek labil (Stuart, 2013).

Respon afektif dari perilaku kekerasan yaitu iritabilitas, depresi, marah,


kecemasan dan apatis (Boyd dan Nihart, 1998). Respon afektif didalamnya
meliputi lama waktu muncul, intensitas, dan jenisnya. Periode munculnya afek
dapat diartikan berbeda, misalnya periode munculnya afek dalam jangka panjang
dapat dianggap sebagai pola perilaku yang biasa digunakan, dan sebaiknya
perawat lebih cermat terhadap respon afek klien yang muncul. Respon afektif
berkaitan dengan;
1) Ekspresi emosi: bagaimana respon emosi dalam menghadapi masalah dapat
berupa perasaan sedih, gembira, takut, marah, menerima, tidak percaya,
antisipasi dan supresi.
2) Klasifikasi dari emosi akan tergantung pada tipenya, lama dan intensitas dari
stressor yang diterima dari waktu ke waktu.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


29

3) Mood dapat berupa emosi dan berlangsung lama yang mempengaruhi


suasana hati seseorang
4) Sikap (attitude): terjadi bila stressor telah berlangsung lama, sehingga sudah
menjadi kebiasaan /pola bagi individu tersebut.
Penilaian terhadap respon sangat dipengaruhi oleh kegagalan individu dalam
menyelesaikan tugas perkembangannya dimasa lalu terutama berkaitan dengan
pengalaman berinteraksi dengan orang lain. Berdasarkan penjelasan diatas pada
pasien perilaku kekerasan respon afektif yang dapat muncul adalah perasaan
marah, jengkel, kesal, muda tersinggung, menangis dan sedih.

2.1.3.3 Respon Fisiologis


Respon fisiologis menurut Stuart, (2013) diidentifikasi untuk melihat sejauh mana
keadaan stressor mempengaruhi kondisi fisik. Perubahan kondisi fisiologis
menggambarkan telah terjadi interaksi beberapa neuroendokrin meliputi Growth
hormone (GH), luetinizing dan follicle Stimulating Hormones (FSH), Thyroid
Stimulating Hormones (TSH), vasopressin, oxytocin, insulin, epinefrine,
norepinefrine, dan neurotransmitter lainnya Hal ini menunjukkan bahwa
perubahan fisiologis menggambarkan kemampuan fight or flight individu untuk
berespon terhadap masalah.

Respon fisiologis berkaitan dengan refluk dari interaksi beberapa neuroendokrin,


Neurotransmiter dan beberapa hormon endokrin seperti hormon pertumbuhan,
prolaktin, hormon adenokortikotropik, hormon luiteinising dan stimulasi folikel,
hormon tiroid, vasopresin, oksitosin, insulin, epineprin, norepineprin akan
memegang peranan dalam berespon terhadap suatu stressor. Respon fight atau
flight yang dilakukan oleh seseorang dalam menghadapi suatu permasalahan akan
distimulasi oleh sistem saraf otonom serta meningkatkan aktivitas dari kelenjar
pituitari adrenal.

Pada klien perilaku kekerasan respon fisiologis yang timbul adalah karena adanya
kegiatan sistem syaraf otonom bereaksi terhadap sekresi epinerpin sehingga
meningkatkan tekanan darah, takikardi, wajah memerah, pupil

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


30

membengkak,meningkatnya frekuensi buang air kecil, peningkatn denyut jantung,


mempersiapkan orang untuk bergerak dan peningkatan aliran darah ke tangan
(Novaco, 2010). Stuart, (2013) menjelaskan perilaku kekerasan dapat terlihat pada
wajah yang tegang, tidak bisa diam, mengepalkan atau memukulkan tangan,
rahang mengencang, peningkatan pernafasan dan kadang seperti kataton.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa respon fisiologis pada
klien dengan resiko perilaku kekerasan yaitu adanya peningkatan denyut jantung,
keringat meningkat, muka merah, tegang, tangan mengepal, tidak bisa diam dan
seperti kataton.

2.1.3.3 Respon Perilaku


Respon perilaku merupakan suatu reflek dari respon emosi dan perubahan
fisiologis sebagai suatu kekammpuan analisis kognitif dalam menghadapi suatu
situasi yang penuh dengan stres. Pada Klien dengan perilaku kekerasan respon
perilaku dapat bermacam-macam seperti perilaku mencari perhatian (malas
melakukan apa-apa, malas untukbekerja, sekolah bahkan dapat melakukan
penyimpangan seksual), perilaku bermusuhan, dendam, keyakinan yang tidak
rasional hingga menghindari diri interaksi dengan orang lain.

Respon perilaku pada klien dengan perilaku kekerasan dapat ditujukan ke diri
sendiri, orang lain, dan lingkungan, seperti melukai atau mencelakai diri sendiri,
membanting alat-alat rumah tangga, merusak barang-barang, berteriak- teriak,
mengancam dan memukul orang lain dan lain sebagainya. Perilaku yang
ditampilakan pada klien dengan perilaku kekerasan menurut Stuart dan Laraia
(2005) adalah agitasi, motorik berupa bergerak cepat, tidak dapat duduk tenang,
kata-kata menekan, memerintah dan dengan suara keras.

2.1.3.4 Respon Sosial


Respon terhadap sosial beragam dan berbeda untuk setiap pasien. Seseorang
yang merasa bahwa masalahnya muncul sebagai akibat dari kesalahan, biasanya
akan bereaksi dengan mengisolasi diri dari lingkungan. Menurut Stuart (2013)
bentuk lainnya dari respon sosial adalah bagaimana respon individu terhadap

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


31

kebutuhan dukungan dari lingkungan sosial. Klien dengan perilaku kekerasan


respon sosial yang muncul terhaadap stress biasanya diawali dengan mencari
makna, yaitu dengan mencari informasi mengenai masalah yang terjadi pada diri
mereka. Hal ini sangat diperlukan untuk mendefinisikan strategi koping melalui
berbagai ide yang muncul sehingga individu tersebut mampu memberi respons
secara rasional. Langkah selanjutnya yang dilakukan yaitu adanya atribut sosial,
yang mana individu mencoba untuk mengidentifikasi berbagai faktor yang
berkontribusi terhadap masalah yang ada. Selanjutnya individu memandang
bahwa masalah yang muncul berasal dari kegagalan mereka sendiri dengan
koping yang dipergunakannya (Stuart& Laraia, 2005). Klien yang mengalami
perilaku kekeraan respon sosial yang dapat terjadi adalah menarik diri,
pengasingan, penolakan karena klien merasa marah dengan orang-orang
disekitarnya, mengejek atau mengkritik orang lain menjadi sakit hati.

Tanda dari respon sosial klien perilaku kekerasan menurut Rawlin, William dan
Beck (1993, dalam Wahyuningsih, D. Keliat, B A , Hastono SP, 2009) adalah
menyalahkan orang lain, berkata kasar dan menolak hubungan dengan orang lain,
mengejek, melanggar batas jarak personal saat interaksi. Berdasarkan uraian
diatas dapat disimpulkan bahwa respon sosial yang apat muncul pada klien resiko
perilaku kekerasan adalah menarik diri, tidak bersahabat dengan orang lain,
pengasingan atau adanya penolakan dan juga bermusuhan dengan orang lain.

2.2 Proses
Proses merupakan tindakan yang dilakukan untuk mengatasi masalah yang
ditemukan pada input. Aktivitas pada proses merupakan peristiwa esensial
dalam mengatasi masalah yang ditemukan dengan menggunakan sumber-sumber
yang ditemukan pada input.

2.2.1 Diagnosa keperawatan


Berdasarkan uraian yang di dapat dari faktor predisposisi, faktor presipitasi,
penilaian terhadap stressor maka dapat dirumuskan diagnosa keperawatannya
adalah perilaku kekerasan atau risiko perilaku kekerasan.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


32

Menurut beberapa sumber seperti Videbeck (2008), Townsend (2009) dan


Varcarolis (2010) diagnosa keperawatan yang terkait dengan perilaku kekerasan
adalah risiko perilaku kekerasan terhadap diri sendiri atau orang lain, dan
ketidakefektifan koping individu. NANDA (2012) menjelaskan diagnosa
keperawatan yang dapat ditegakkan pada klien dengan perilaku kekerasan antara
lain: risiko perilaku kekerasan yang ditujukan pada diri sendiri, risiko perilaku
kekerasan yang ditujukan pada orang lain, risiko mutilasi diri sendiri/ mutilasi
diri, dan risiko bunuh diri.

2.2.1.1 Definisi
Perilaku kekerasan merupakan salah satu respon terhadap stressor yang dihadapi
seseorang, yang ditunjukan dengan perilaku aktual melakukan kekerasan baik
pada diri swndiri, orang lain maupun lingkungan secar verbal dan non verbal
(Stuart, 2013). Menurut Nanda (2009) perilaku kekerasan adalah perilaku
individu yang dapat membahayakan diri sendiri orang, orang lain baik secara
fisik, emosional atau sexualitas. Perilaku kekerasan atau agresifitas merupakan
suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik
maupun psikologis (Berkowitz, 1993 dalam Depkes, 2000). Keliat (2003)
menjelaskan perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan
untuk melukai seseorang, baik secara fisik maupun psikologis. Berdasarkan
beberapa penyataan tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa perilaku
kekerasan atau agresiitas adalah perilaku yang mencederai diri sendiri, orang lain
dan lingkungan baik secara verbal, verbal fisik dan psikologis yang dapat
mengakibatkan kerugian seperti trauma fisik, psikologis bahkan sampai pada
kematian.

Tindakan perilaku kekerasan mempunyai tujuan untuk melukai seseorang baik


secara fisik maupun psikologis, berfluktuasi dari tingkat yang paling rendah
sampai tingkatan yang tinggi. Hirarki perilaku kekerasan terdiri dari tingkat
rendah hingga tinggi sebagai yang tertera dalam skema 2.2

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


33

Skema 2.2
Hirarki Perilaku Kekerasan

Tinggi
 Melukai dalam tingkat serius dan bahaya
 Melukai dalam tingkat tidak berbahaya
3  Mengancanm dengan kata-kata dengan rencana melukai
 Menyentuh orang lain dengan cara menakutkan
4
 Mengucapkan kata-kat ancaman, tanpa rencana melukai
5  Mendekati orang lain dengan ancman
 Bicara keras dan menuntun
6
 Memperlihatkan permusuhan tingkat rendah
7 Rendah

8(Sumber: Stuart, 2013)

Perilaku kekerasan merupakan tindakan mencederai atau melukai diri sendiri,


orang lain/ sekelompok orang dan lingkungan, baik secara verbal, fisik dan
psikologis yang akan mengakibatkan trauma fisik, psikologis bahkan sampai
menimbulkan kematian. Dampak dari perilaku yang ditunjukan oleh klien dengan
perilaku kekerasan berbeda-beda tiap individu tergantung dari karalkteristik
masing-masing
Rendah klien, sehingga perawat diharapkan mempu mengetahui dan
mengenal karakteritik dari perilaku kekerasan. Perbedaan karakteristik perilaku
kekerasan kekerasan dipengaruhi oleh beberapa faktor dianataranya usia, jenis
kelamin, pendidikan, pekerjaan, kepribadian dan lain sebagaianya.

2.2.1.2 Proses terjadinya perilaku kekerasan


Perilaku kekerasan merupakan salah satu respon maladaptif dari marah. Perilaku
kekerasan adalah akibat dari kemarahan yang ekstrim atau kecemasan dan alasan
spesifik dari perilaku agresif berbeda-beda untuk setiap orang (Stuart, 2013). Jika
marah ditujukan kedalam diri sendiri marah dapat menyebabkan depresi dan juga
harga diri rendah, karenanya jika marah diungkapkan dengan tidak tepat dapat

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


34

memperburuk hubungan dengan orang lain, ketika marahnya ditekan/ supresi,


marah dapat berubah menjadi kebencia yang dapat dimanifestasikan dengan
menunujukan perilaku diri yang negatif mulai dari pasif hinggaagresif (Townsend,
2009).

Marah merupakan perasaan jengkel yang timbul sebagai respon terhadap


kecemasan/ kebutuhan yang tidak terpenuhi yang dirasakan sebagai ancaman
(Stuart, 2013). Videback menjelaskan kemarahan dapat terjadi ketika individu
mengalami frustasi, terluka, atau ketakutan dan jika individu mengalami kesulitan
dalam mengekspresikan kemarahan maka ini sring dikatkan denga gangguan jiwa
(Koh, Kim & Park, 2002 dalam Videback, 2008) dan mengapa orang melakukan
perilaku agresifpun setiap orang mempunyai alasan khusu dan bervariasi setiap
orang (Stuart & Laraia, 2005; Stuart, 2013). Model stress adaptasi Stuart
memandang manusia dalam perspektif yang holistik terdiri atas biologis,
psikologis dan sosiokultural. Aspek-asrpek tersebut saling berinteraksi dalam
perawatan klien dengan perilaku kekerasan. Komponen biopsikososial dari model
tersebut termasuk dalam faktor predisposisi, presipitasi, penilaian terhadap
stressor, sumber koping, dan mekanisme koping (Stuart & Laraia, 2005; Stuart,
2009).

2.2.2 Sumber Koping


Sumber koping merupakan kekuatan yang dimiliki individu dalam berespon
terhadap berbagai stresor yang dihadapi dan merupakan pilihan atau strategi yang
dapat membantu menentukan apa yang dapat dilakukan dalam menghadapi suatu
masalah Stuart & Laraia, (2005) menjelaskan bahwa Sumber koping meliputi
asset ekonomi, kemampuan dan ketrampilan,teknik pertahanan diri, dukungan
sosial, dan motivasi. Menurut Stuart (2013), sumber koping terdiri dari
kemampuan personal/ individu, dukungan sosial, ketersediaan materi, dan
kepercayaan/ keyakinan.

Kemampuan personal merupakan kemampuan individu itu sendiri dalam


memecahkan masalah, seperti motivasi, pengetahuan, kemampuan memecahkan

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


35

masalah dan lain-lain. Faktor yang mempengaruhi sistem perilaku agar menjadi
sehat/ stabil atau membuat menjadi sakit/ tidak stabil adalah pengalaman, proses
belajar dan maturasi (Johnson 1980, dalam Alligood & Tomey, 2010). Hal ini
tercermin dalam kemampuan personal, dimana melalui ketiga hal diatas individu
dapat mempertahankan keseimbangan sistem perilaku, atau sebaliknya
mengakibatkan gangguan pada keseimbangan sistem perilaku. Kemampuan yang
diharapkan pada klien perilaku kekerasan adalah kemampuan mengenal dan
mengontrol perilaku kekerasan dengan pengetahuan yang digunakan. Kemampuan
generalis yang harus dimiliki klien untuk mengontrol kekerasannya yaitu dengan
melakukan latihan fisik (tarik nafas dalam, pukul kasur/ bantal), patuh minum
obat, mengungkapkan kemarahan secara verbal, dan melatih emosi secara
spiritual. Kemampuan lanjut yang harus dikuasai dalam mengontrol perilaku
kekerasan adalah kemampuan mereduksi perilaku kekerasan mengungkapkan
kebutuhan dan keinginan secara asertif, serta kemampuan mengontrol pikiran dan
perilaku yang negatif.

Dukungan dan hubungan antara individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat


merupakan sesuatu yang penting sebagai sumber koping seseorang. Keterlibatan
keluarga dalam memberikan perawatan kepada pasien akan meningkatkan
kepatuhan dan menurunkan angka kekambuhan pasien dengan skizofrenia
(Almond et al, 2004; Roy et al, 2005; Pitzchel-Walz, Leucht & Bauml, 2001
dalam Hardeman, Narasimhan, 2009). Dukungan sosial merupakan dukungan
yang berasal dari luar klien. Dukungan ini dapat diperoleh dari keluarga, teman,
kelompok atau orang lain disekitar klien, termasuk petugas kesehatan. Keluarga
sebagai care giver utama klien layaknya memiliki kemampuan dalam perawatan
klien. Kemampuan yang harus dimiliki keluarga yaitu mampu mengontorl
perilaku kekerasan klien dengan cara latihan fisik, verbal, spiritual dan patuh
minum obat. JBSM menjelaskan bahwa peran keluarga termasuk di dalam active
dynamic behavioural system. Keluarga bersama individu serta kelompok sebagai
faktor lingkungan dapat mempengaruhi individu dalam memandang stressor,
sebagai hal positif atau negatif. Tamilarasi dan Kanimozhi (2009) menyatakan
active dynamic behavioural systemdapat berupa dukungan pasangan, anggota

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


36

keluarga, kelompok dengan membentuk self help group, dan dukungan kelompok
dalam bentuk lain.

Sumber koping individu yang lain dalam menghadapi stresor adalah kesehatan
dan energi, keyakinan/spiritual, keyakinan positif, ketrampilan sosial dan
pemecahan masalah, sumber-sumber sosial dan material, dan kesejahahteraan
secara fisik. Spiritual/keyakinan dan aspek positif pada diri sendiri dijadikan
sebagai dasar dan mendukung usaha koping seseorang dalam menghadapi
kenyataan yang kurang menguntungkan. Ketrampilan pemecahan masalah
meliputi kemampuan mencari informasi, identifikasi masalah, memilih alternatif,
dan melaksanakan tindakan sesuai perencanaan. Ketrampilan sosial membantu
penyelesaian masalah yang melibatkan orang lain, meningkatkan kerjasama dan
dukungan dari orang lain, dan memberikan kontrol sosial pada individu.

Sumber koping juga didukung oleh aset material diartikan sebagai kondisi
keuangan dan jangkauan terhadap pelayanan kesehatan. Kondisi keuangan yang
adekuat meningkatkan pilihan koping individu pada sebagian besar situasi yang
penuh dengan stress. Status ekonomi yang adekuat merupakan sumber koping
dalam menghadapi situasi yang penuh dengan stress (Townsend, 2009).
Ketersediaan aset materi membuat keleluasaan klien dalam berobat dan
mendapatkan akses pengobatan. Kondisi sosial ekonomi rendah berhubungan
dengan hidup dalam kemiskinan, tinggal di pemukiman padat, nutrisi tidak
adekuat, tidak ada perawatan pre natal, dan perasaan putus asa serta tidak berdaya
untuk mengubah kondisi hidup dalam kemiskinan.

2.2.3 Mekanisme Koping


Mekanisme koping merupakan cara individu untuk mengatasi masalah dan
merupakan suatu usaha yang secara langsung dilakukan oleh individu untuk
memanajemen stress yang dihadapi. Mekanisme koping menurut Stuart (2013)
yaitu koping mekanisme yang berfokus pada masalah, koping mekanisme yang
berfokus pada kognitif dan koping mekanisme yang berfokus pada emosi. Koping
mekaniseme yang berfokus pada emosi sering digunakan oleh klien dengan

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


37

perilaku kekerasan. Koping mekanisme yang dipakai oleh klien perilaku


kekerasan dipakai untuk mempertahankan atau melindungi ego seperti denial,
supresi, sublimasi, displacement atau proyeksi.

2.2.3 Penatalaksanaan
Berdasarkan Diagnosic and Statistical Manual of Mental Disorders, fourth
edition, Text Revision (DSM-IV-TR) American Psychiatric Association (APA),
terdapat lima tipe diagnosa Skizofrenia yang paling dominan meliputi: skizofrenia
paranoid, skizofrenia disorganisasi (hebefrenik), skizofrenia katatonik, skizofrenia
tak terinci (terdiferensiasi), dan skizofrenia residual (Barlow & Durand, 2005;
Copel, 2007; Stuart, 2009; Varcarolis, 2010; Rhoads, 2011; Videbeck, 2011;
Shives, 2012). Perilaku Kekerasan merupakan salah satu gejala dari skizoprenia
sehingga penatalksanaan secara medis mengacu pada diagnosa skizofrenia dan
penatalaksanaan pengobatan atau psikofarmaka terapi antipsikotik dan pengobatan
psikososial (Gorman 2007 dalam Townsend, 2009).

2.2.4 Manajemen Pelayanan


Pelayanan keperawatan merupakan bagian dari pelayanan kesehatan yang
dilakukan oleh banyak orang, oleh karena itu perlu dikelola dengan sistem
manajemen keperawatan yang tepat, efektif dan efisien. Gillies (1989)
menjelaskan manajemen keperawatan merupakan suatu proses bekerja melalui
anggota staf keperawatan untuk memberikan asuhan, pengobatan dan bantuan
terhadap para pasien. Penerapan manajemen keperawatan yang baik akan
memberikan tingkat kepuasan yang tinggi kepada konsumen dalam hal ini adalah
klien, keluarga, dan masyarakat.

Manajemen keperawatan yang saat ini dikembangkan khususnya untuk rumah


sakit jiwa dan menunjukkan hasil yang optimal dalam pelayanan keperawatan di
Indonesia adalah pelayanan dengan pendekatan model praktik keperawatan
profesional (MPKP). Manajemen keperawatan dengan bentuk MPKP pertama kali
dikembangkan oleh Sitorus (1996) di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dan
beberapa rumah sakit umum lainnya. Keliat (2010) dalam aplikasinya MPKP

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


38

dikembangkan untuk digunakan di rumah sakit jiwa. Adapun MPKP yang


dimodifikasi untuk rumah sakit jiwa adalah : 1) MPKP transisi adalah MPKP
dasar yang masih memiliki tenaga perawat yang masih berpendidikan SPK, tetapi
kepala ruangan dan ketua timnya minimal berpendidikan D3 Keperawatan; 2)
MPKP pemula adalah MPKP dasar dengan semua tenaga keperawatannya
minimal D3 Keperawatan; 3) MPKP profesional, terdiri atas MPKP I, MPKP II,
dan MPKP III.

Jenis MPKP profesional tingkat I disebut sebagai MPKP basic (dasar) dengan
tenaga perawat pelaksana minimal D3 Keperawatan, tetapi kepala ruangan dan
ketua tim berpendidikan minimal S1 Keperawatan. MPKP profesional tingkat II
disebut sebagai MPKP intermediate (menengah) dengan tenaga minimal D3
Keperawatan dan mayoritas Ners Sarjana Keperawatan, dan sudah memiliki
tenaga Spesialis Keperawatan Jiwa. Sedangkan MPKP profesional tingkat III
disebut juga MPKP advance (tingkat lanjut) dimana semua tenaga perawatnya
minimal Ners Sarjana Keperawatan, dan sudah mempunyai tenaga Spesialis
Keperawatan Jiwa dan Doktor Keperawatan yang bekerja di area keperawatan
jiwa.

Pendekatan MPKP yang dilaksanakan di rumah sakit jiwa terdiri atas 4 pilar
utama yaitu Management Approach, Compensatory Reward, Professional
Relationship dan Patient Care Delivery (Keliat & Akemat, 2006). Pilar I adalah
management approach terdiri dari kegiatan: perencanaan (planning),
pengorganisasian (organizing), pengarahan (directing) dan pengendalian
(controlling). Fungsi perencanaan terdiri dari kegiatan penentuan visi, misi,
filosofi dan pembuatan rencana jangka pendek (harian, bulanan, dan tahunan).
Fungsi pengorganisasian terdiri dari kegiatan pembuatan struktur organisasi dan
pembagian alokasi pasien. Fungsi pengarahan terdiri dari kegiatan operan, pre dan
post conference, supervisi, pendelegasian, dan penciptaan iklim motivasi. Fungsi
pengarahan terdiri dari kegiatan penghitungan indikator mutu, survey diagnosa
medis dan keperawatan, survey kepuasan, dan audit dokumentasi.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


39

Pilar II adalah compensatory reward meliputi kegiatan rekruitmen, seleksi,


orientasi, evaluasi/ penilaian kinerja dan pengembangan staf. Pilar ini terdiri dari
dua kegiatan yaitu penilaian kinerja dan pengembangan staf. Sedangkan Pilar III
adalah professional relationship meliputi kegiatan konferensi kasus, visite dokter,
rapat tim keperawatan dan rapat tim kesehatan. Pilar IV adalah patient care
delivery kegiatan mencakup pemberian asuhan keperawatan kepada klien dan
keluarga dengan diagnosis halusinasi, risiko perilaku kekerasan, harga diri rendah,
isolasi sosial, defisit perawatan diri, waham dan risiko bunuh diri. Asuhan
keperawatan yang dilakukan kepada klien dengan menggunakan standar asuhan
keperawatan generalis.

2.2.5 Intervensi Keperawatan


Tindakan keperawatan adalah serangkaian tindakan keperawatan yang ditujukan
untuk mengatasi masalah atau diagnosa keperawatan. Tindakan keperawatan
ditujukan kepada sistem pasien, baik secara individu, keluarga, kelompok, dan
masyarakat yang merupakan upaya yang menyuluruh dalam menyelesaikan
masalah pasien (Keliat dan Akemat, 2005). Intervensi yang dipakai dalam upaya
mencegah dan mengelola perilaku agresif pada klien perilaku kekerasan berada
dalam suatu rentang yaitu preventive strategies, anticipatory Strategies, dan
containment Strategies (Stuart, 2013).

Gambar 2.3 Continum of nursing intervention in managing aggresive behavior


(Stuart, 2013)

Preventive Strategies Anticipatory Strategies Contaiment trategies

Self awarenes Comumnication Crisis Management


Patient Education Environmental Chnge Seclusion
Assertiveness Training Behavioral Actions Restraints
Psychopharmacology

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


40

2.2.5.1 Strategi Preventif


Strategi Preventive merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk mencegah
terjadinya perilaku kekerasan, yang bertujuan sebagai tindakan pencegahan
perilaku kekerasan. Tindakan perawat atau upaya yang dilakukan dalam kegiatan
strategi preventif adalah sebagai berikut :
a) Kesadaran diri (self awarenes)
Tindakan meningkatkan kesadaran diri ditujukan kepada perawat agar perawat
dapat menggunakan dirinya secara terapeurik dalam merawat klien dengan
perilaku kekerasan. Perawat diharapkan dapat menyadari perasaannya sendiri
dalam berhadapan dengan klien dengan perilaku kekerasan. Penggunaan diri yang
efektif dapat semakin dioptimalkan dengan menyadari kekuatan dan keterbatasan
perawat yang dapat digunakan sebagai sumber daya yang paling berharga dari
seorang perawat. Kondisi stress, kelelahan, kecemasan, marah, perasaan negatif
terhadap klien akan mempengaruhi dan menghambat perawat dalam melakukan
perawatan klien perilaku kekerasan (Stuart, 2013). Diharapkan dengan
peningkatan kesadaran diri dan kemampuan yang dimiliki oleh seorang perawat,
maka asuhan keperawatan yang diberikan semakin berkualitas dan kebutuhan
klien dapat terpenuhi.

b) Pendidikan kepada klien (patient education)


Pendidikan yang diberikan pada klien dilakukan dalam upaya memberi
pengetahuan klien mengendalikan perilaku kekerasan. Pendidikan klien dilakukan
sebagai cara untuk subsidi area kognitif klien. Pemberian pengetahuan yang tepat
dilakukan untuk mengendalikan perilaku kekerasan, cara berkomunikasi yang
tepat, dan cara mengekspresikan marah dapat dijelaskan kepada klien. Pemberian
pengetahuan kepaada klien perilaku kekerasan mengajak klien menyadari
perilaku marah yang telah dilakukan melalui mengidentifikasi marah,
menyampaikan perasaan marah, melatih ekspresi marah, mengidentifikasi cara
alternatif mengekspresikan marah dan konfrontrasi dari sumber marah. Alternatif
mengekspresikan marah yang dilatih kepada klien meliputi latihan fisik, verbal,
spiritual dan patuh minum obat.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


41

c) Latihan Asertif
Salah satu intervensi keperawatan untuk mencegah terjadinya perilaku kekerasan
adalah membangun komunikasi asertif dengan mengajarkan keterampilan
komunikasi efektif (Townsend (2009) dan Stuart (2013). Assertiveness Training
menurut Kaplan & Saddock (2005) adalah tindakan untuk melatih seseoang dalam
mencapai perilaku assertif. Assertiveness Training merupakan program latihan
perilaku melatih seseorang untuk menyampaikan akan kebutuhan, hak, dan
menentukan pilihan napa mengabaikan hak orang lain ( Forkas, 1997). Stuart
(2013) menjelaskan perilaku asertif adalah suatu dasar kemampuan interpersonal
seseorang yang meliputi berbagai hal seperti:
1) Berkomunikasi secara langsung dengan orang lain
2) Dapat mengatakan tidak terhadap suatu permintaan yang tidak rasional
3) Mampu untuk menyampaikan perasaannya
4) Mengekspresikan penghargaan kepada orang lain sesuai dengan situasi
atau kondisi seeorang
5) Menerima pujian dari orang lain

Ketrampilan assertif dapat dilatih dengan terapi generalis dan terapi spesialis.
Terapi generalis klien diajarkan mengontrol marah secara sosial dan dengan terapi
spesialis yaitu latihan asertive training dimana klien diajarkan untuk
mengungkapkan kebutuhan dan keinginannya secara asertif. Assertiveness
Training bertujuan untuk mengurangi ketergantungan, perilaku pasif dan agresif,
serta meningkatkan perilaku asertif (Rawlins, Williams, & Beck, 1993). Hopkins,
(2005) menyatakan perilaku asertif akan membuat seseorang merasa nyaman
terhadap diri sendiri dan orang lain, mengembangkan rasa saling menghormati
dengan orang lain, meningkatkan harga diri, membantu mencapai tujuan,
mengurangi kecemasan, melindungi diri agar tidak dimanfaatkan oleh orang lain.
Pelaksanaan dititikberaktkan pada melatih individu mengelola perilaku agresif
dan menyampaikan kebutuhan dengan cara yang berbeda (Rawlins, Williams, &
Beck 1993).

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


42

Pelaksanaan assertive training dibagi dalam 5 sesi yaitu; sesi satu adalah
mengidentifikasi kejadian yang membuat marah atau kesal dan sikap yang muncul
pada saat ada kejadian yang membuat klien marah atau kesal. Metode yang
digunakan pada sesi 1 ini adalah berdiskusi dan tanya jawab, instruction serta
modeling. Sesi 2 : melatih klien mengungkapkan keinginan dan kebutuhan serta
cara memenuhinya. Metode yang digunakan dalam sesi dua ini adalah diskusi dan
tanya jawab, serta instruction. Sesi 3 : melatih kemampuan sikap asertif dalam
mengungkapkan kebutuhan dan keinginan. Metode yang digunakan dalam sesi
tiga ini adalah diskusi dan tanya jawab, instruction, modeling, role playing, feed
back dan implementasi. Sesi 4 : melatih kemampuan mengatakan “tidak” untuk
permintaan orang lain yang tidak rasional dan menyampaikan alasannya. Metode
yang digunakan dalam sesi empat ini adalah diskusi dan tanya jawab, instruction,
modeling, role playing, feedback dan implementation. Sesi 5: melatih klien
mempertahan sikap asertif dalam mengungkapkan kebutuhan dan keinginan serta
mengatakan “tidak” terhadap permintaan orang lain yang tidak rasional. Metode
yang digunakan adalah diskusi dan tanya jawab, instruction, modeling, role
playing, feed back dan implementation.

Penelitian yang dilakukan oleh Wahyuningsih, D. Keliat, B A , Hastono SP. (2009),


menunjukkan bahwa komposit perilaku kekerasan pada klien yang mendapatkan
terapi Assertiveness Training mengalami penurunan secara bermakna (87,4%) jika
dibandingkan kelompok yang hanya mendapatkan terapi generalis. Penelitian
Alini, Keliat, BA., Wardani IY., (2012) tentang pelaksanaan Assertiveness
Training secara bermakna dapat menurunkan gejala perilaku kekerasan. Hal ini
menunjukkan bahwa terapi Assertiveness Training sesuai dilakukan pada klien
perilaku kekerasan.

2.2.5.2 Strategi Antisipasi


Strategi antisipasi menurut Stuart, (2013) bertujuan untuk mengantisipasi
berulangnya kejadian perilaku kekerasan dan tindakan keperawatan yang dapat
dilakukan pada strategi antisipasi ini, terdiri dari: komunikasi, perubahan
lingkungan, perilaku, dan psikofarmakologi.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


43

1) Komunikasi
Komunikasi merupakan sarana dalam upaya antisipasi krisis dalam merawat klien
dengan perilaku kekerasan. Perawat diharapkan dapat melakukan komunikasi
verbal dan non verbal secara terapeutik.Strategi komunikasi verbal dan nonverbal
dapat digunakan untuk mencegah situasi krisis. Komunikasi verbal seperti bicara
dengan lembut, suara rendah untuk membantu mengurangi kegelisahan klien,
tidak membalas suara keras klien, kalimat pendek dan sederhana. Komunikasi non
verbal seperti kontak mata, ekspresi wajah dan sikap tubuh yang relaks,tenang,
sikap terbuka dan tidak memasukkan tangan kedalam saku, gerakan tidak
tergesa-gesa, dengan menjaga jarak aman antara 1-3 langkah dari klien. Dengan
melakukan komunikasi yang terapeutik dengan klien perawat diharapkan dapat
mengurangi perilaku agresif klien. Saat berinteraksi dengan klien perawat harus
waspada terhadap tanda verbal dan perilaku klien. Menurut Stuart, (2009) jika
klien mulai gelisah, mulai berbicara keras dengan kata-kata kasar, perawat tetap
lembut, tidak meninggikan suaranya dan menanggapi perilaku klien. Penerapan
teknik komunikasi yang teraupetik pada klien dengan perilaku kekerasan akan
memperlihatkan kepedulian perawat dan meningkatkan keyakinan klien terhadap
petugas.

2) Perubahan lingkungan
Lingkungan dapat menstimulus perilaku kekerasan dan lingkungan yang padat,
panas, ribut, tidak ada privasi menjadi stressor lingkungan yang mengarah kepada
perilaku kekerasan (Stuart, 2013). Modifikasi terhadap lingkungan dapat
dilakukan pada lingkungan fisik dan psikis klien. Stuart (2013).menyarankan
untuk melakukan modifikasi fisik pada lingkungan seperti penggunaan warna
lembut, pencahayaan dan temperatur ruangan yang cukup dan suara yang
terkontrol. Modifikasi lingkungan secara psikis dapat dilakukan dengan
pengaturan jadual interaksi oleh perawat, menyediakan privasi pada klien, tidak
memaksakan suatu kegiatan pada klien. Pengaturan penggunaan ruangan juga
dapat dilakukan agar tidak terdapat tumpang tindih kegiatan. Cara ini
meminimalkan klien terhindar dari situasi yang dapat meningkatkan kegelisahan
(Stuart, 2013). Modifikasi lingkungan juga dapat dilakukan dengan memodifikasi

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


44

lingkungan keluarga yaitu dengan adanya terapi generalis dan terapi spesialis.
Terapi generalis yang diberikan adalah memberikan pendidikan kesehatan kepada
keluarga dan keluarga dilatih bagaimana meraway klien dengan perilaku
kekerasan. Terapi spesialis yang diberikan pada keluarga dengan perilaku
kekerasan adalah dengan psychoeducation therapy dan triangle therapy.

3) Perilaku
Tindakan yang dapat dilakukan dalam manajemen perilaku adalah pembatasan
perilaku, kontrak perilaku, time out, dan token economy (Stuart, 2013).
Pembatasan perilaku dilakukan dengan cara melakukan kontrak perilaku dengan
memberitahu kepada klien perilaku yang dapat diterimaatau diperbolehkan dan
tidak dapat diterima atau tidak diperbolehkan serta konsekunsi dari perilaku yang
tidak dapat diterima. Tujuan dilakukan kontrak perilaku adalah untuk membantu
klien mempertahankan perilaku yang adaptif sesuai dengan kesepakatan dengan
klien. Apabila klien dapat melakukan perilaku yang diperkenankan maka klien
mendapatkan hadiah atau yang disebut token economy. Token economy dilakukan
dengan cara memberikan hadiah berupa barang, menerima imbalan atau
mendapatkan hak istimewa ketika klien mampu mengontrol perilakunya.
Penerapan token economy menurut Stuart (2013) pada klien yang dirawat di
rumah sakit, secara signifikan menunjukkan penurunan perilaku agresif dan jika
klien tidak dapat melakukan perilaku yang diperkenankan maka klien akan
mendapat sanksi atau time out.

Pelaksanaan manajemen perilaku adalah langkah pertama adalah mendiskusikan


perilaku yang tidak dapat diterima, perilaku yang dapat diterima, konsekuensi
yang bila mematuhi atau melanggar kontrak, serta keterlibatan perawat dalam
merawat klien (Stuart, 2009). Jika klien melakukan perilaku diluar kontrak, maka
klien akan mendapat sanksi atau time out. Jika klien melakukan perilaku yang
diharapkan maka akan mendapat hadiah atau token. Klien dengan perilaku
kekerasan untuk dapat membentuk perilaku yang diperkenankan atau perilaku
yang konstruktif dapat dengan memberikan cognitive behaviour therapy (CBT).
Cognitive behaviour therapy adalah psikoterapi jangka pendek yang mendasari

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


45

bagaimana seseorang berpikir dan brtingkah laku positif dalam setiap interaksi.
Cognitive Behaviour Therapy adalah terapi yang digunakan untuk memodifikasi
pikiran, perasaan dan perilaku dengan menekankan peran otak dalam
menganalisa, memutuskan, bertanya, berbuat dan memutuskan kembali, sehingga
dengan merubah status pikiran dan perasaanya tersebut, diharapkan klien dapat
merubah perilakunya dari perilaku negatif menjadi perilaku yang positif
(Oemarjoedi, 2003). British Association for Behavioural and Cognitive
Psychotherapies (2006) menjelaskan bahwa Cognitive behaviour therapy adalah
terapi yang membantu individu merubah cara berfikir dan prilakunya sehingga
perubahan itu membuat individu merasa lebih baik, dan terapi ini berfokus pada
masalah here and now serta kesulitan yang dihadapi. Epigiee (2009) menjelaskan
terapi CBT terapi yang didasari dari gabungan beberapa intervensi yang dirancang
untuk merubah cara berpikir dan memahami situasi dan perilaku sehingga
mengurangi frekuensi perilaku negatif dan emosi yang menganggu.

Pelaksanaan CBT dibagi menjadi lima sesi: Sesi 1: melatih klien mengungkapkan
perasaan, kognitif otomatis yang negatif tentang diri sendiri, orang lain dan
lingkungan yang dialami klien dan mengenali penyimpangan kognitif dan
perilaku negatif yang dialami dan menyepakati untuk mengubah. Sesi 2: melatih
melawan pikiran otomatis yang negatif yang berkaitan dengan perilaku yang di
tampilkan. Sesi 3: menyusun rencana perilaku, melatih melakukan kegiatan yang
dipilih. Sesi 4: mengevaluasi kemajuan dan perkembangan terapi, mengevaluasi
secara kognitif dan perilaku disepakati. Sesi 5: pencegahan kekambuhan melalui
pentingnya psikofarmaka untuk mempertahankan kognitif positif dan perilaku
adaptif secara mandiri dan berkesinambungan. Hasil penelitian menjelaskan
Cognitive Behaviour Therapy dapat meningkatkan kemampuan kognitif yang
dilakukan (Fauziah Fauziah, Hamid, Nuraini 2009). Beberapa penelitian yang
dilakuka oleh Hidayat, E Keliat,B.K, Wardani,IY., (2011), Lelono SK, Keliat BA,
Besral, (2011), dan Sudiatmika Sudiatmika IK, Keliat BA, Wardani IY (2011)
pada klien dengan resiko perilaku kekerasan menunjukkan bahwa CBT secara
bermakna menurunkan komposit perilaku kekerasan pada klien denga perilaku
kekerasan.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


46

4) Psikofarmaka
Allen et al.,2003 dalam Stuart & Laraia (2005) mengatakan intervensi
farmakologi terbukti efektif dalam manajemen perilaku kekerasan. Stuart &
Laraia (2005) juga menjelaskan pemberian obat sebaiknya dilakukan peroral jika
kondisi memungkinkan, pemberian injeksi intramuskuler akan meningkatkan
efek samping dan juga membuat trauma pada klien. Pemberian antipsikotik
pilihan paling sering digunkan dalam mengatasi klien dengan kondisi perilaku
agresif dan obat ini dikombiasi dengan obat anti ansietas seperti benzodiazepine
(Suart, 2013). Pemberian obat-obatan anti ansietas dan sedative-hipnotik sangat
efektif diberikan untuk mengatasi agitasi yang akut (Stuart, 2013). Anti ansietas,
sedatif-hipnotik, antidepresan, mood stabilizer, dan antipsikotik merupakan obat-
obatan yang bisa diberikan untuk mengatasi perilaku agresif.

Mekanisme kerja antipsikotik tipikal menurut Maslim, (2001) adalah memblokade


dopamine pada reseptor pasca sinaptik neuron diotak, khususnya di sistem limbic
dan system ekstrapiramidal (dopamine D2 reseptor antagonists). Obat
antipsikotik tipikal antara lain :
1) Chlorpromazine (Largactil): indikasi pada penanganan gangguan psikotik
seperti skizofrenia, fase mania pada gangguan bipolar, psikosis reaktif singkat,
gangguan skizoafektif, ansietas, agitasi, cegukan yang sulit ditangani. Cara
kerja dengan menyekat reseptor dopamine post sinap pada ganglia basalis,
hipotalamus, system limbic, batang otak dan medulla. Efek samping dari obat
ini antara lain sedasi, sakit kepala, pusing, gejala ekstrapiramidal, akatsia,
hipotensi, takikardia

2) Haloperidol (Haldol, serenace, govotil) indikasinya untuk penatalaksanaan


psikosis kronik dan akut, pengendalian tik dan pengucapan vocal pada
gangguan Tourette, penanganan dimensia pada lansia, dapat pula digunakan
sebagai antiemetik. Cara kerja obat ini adalah menekan sistem syaraf pusat
pada tingkat subkortikal formasi retikuler otak, mesensefalon dan batang otak.
Diperkirakan dapat menghambat reseptor katekolamin seperti juga
pengambilan kembali berbagai neurotranmiter dalam mesensafalon.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


47

Merupakan antagonis pusat yang kuat dari reseptor dopamine. Efek samping
hampir sama dengan Chlorpromazine.

3) Trifluoperazine (Stelazine) indikasi untuk manifestasi gangguan psikotik,


ansietas sedang sampai berat pada pasien non psikotik. Cara kerja yang tepat
belum sepenuhnya dimengerti, namun kemungkinan menyekat reseptor
dopamine post sinap dalam ganglia basalis, hipotalamus, system limbic, batang
otak dan medulla. Efek samping dari obat ini antara lain sedasi, sakit kepala,
insomnia, pusing, gejala ekstrapiramidal.

Antipsikotik atipikal sangat efektif membantu klien dengan gejala negative dan
positif. Stuart, (2013) menjelaskan mekanisme kerja antipsikotik atipikal adalah
dengan memblokade dopamine dan serotonin (5HT2) pada reseptor pasca sinaptik
neuron diotak. Beberapa jenis antipsikotik atipikal yang dapat digunakan, yaitu:
1) Clozapin (Clozaril); mengurangi gejala apatis, penarikan diri, anhedonia, dan
afek datar, pada hampir 30% klien kronis yang resisten terhadap pengobatan.
Dosis mulai 25 mg sampai dengan 300-400mg/hari. Efek samping: sedasi,
kejang grand mal, sialore, peningkatan BB, takikardia, hipotensi, demam, dan
peningkatan enzim hati. Pada 1% klien dengan pemakaian bulan 1-6 dapat
mengakibatkan agranulositosis, sehingga membutuhkan pemeriksaan sel
darah putih berkala.

2) Risperidon (Risperdal); efektif terhadap gejala positif dan negatif skizofrenia.


Dosis mulai dengan 0,5-1 mg 2 kali/hari sampai dengan 4-6 mg/hari (dapat
digunakan dalam dosis tunggal). Efek samping gejala ekstrapiramidal,
diskinesia tardif, dan peningkatan berat badan.

3) Olanzapin (Zyprexa); efektif mengatasi gejala negatif dengan dosis 10-25 mg


1 kali/hari (mulai dengan 5 mg/hari). Efek samping hampir sama dengan
risperidon, meskipun relatif lebih sedikit mengakibatkan gejala
ekstrapiramidal.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


48

4) Quetiapin (Serequel); sedikit kurang efektif dibanding antipsikotik lannya.


Dosis yang biasa diberikan 100-750 mg/hari (dianjurkan dosis 2 kali sehari).
Efek samping hampir sama dengan olanzapin, masalah utama yang sering
muncul peningkatan BB dan hipotensi ortostatik.

5) Ziprasidon (Zeldox); merupakan antipsikotik yang sangat efektif mengatasi


gejala positif dan negatif, dan dapat digunakan sebagai antiansietas. Keluhan
cenderung pada masalah gastrointestinal: mual, nyeri abdomen, dispepsia,
dan konstipasi, tetapi pada umumnya ringan.

Potter dan Perry (2010) peran penting dari seorang perawat dalam pemberian
obat kepada klien menurut adalah dengan mengajarkan pada klien dan
keluarganya mengenai pemberian obat yang tepat dan benar serta memantaunya.

2.2.5.2 Strategi Pengekangan


Strategi pengekangan merupakan alternatif terakhir dalam manajemen perilaku
kekerasan dan digunakan pada kondisi klien yang menunujukan perilaku
kekerasan yang ditujukan pada dirinya sendiri, orang lain ataupun lingkungan.
a) Manajemen krisis
Manajemen krisis dilakukan bila kondisi klien sudah tidak dapat dikontrol dengan
strategi antisipasi, manajemen krisis dilakukan dalam bentuk kerjasam tim baik
perawat, medis atau tenaga yang lain. Dalam kondisi yang aktif, manajemen
krisis dilakukan adalah adalah dengan restrain kimia, fisik dan isolasi.

b) Isolasi dan restraint


Stuart, (2013) menjelaskan bahwa pada klien perilaku kekerasan dalam kondisi
akut tindakan keperawatan yang dapat dilakukan sebagai bentuk strategi
pengekangan adalah isolasi dan restraint. Menurut Townsend, (2009) tindakan
mengisolasi klien merupakan tindakan pengurungan secara paksa klien seorang
diri, didalam suatu ruangan atau area sehingga klien tidak dapat melarikan diri.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


49

Tindakan restraint menurut Townsend (2009) merupakan suatu metode manual


menggunakan perangkat fisik atau mekanik, peralatan yang dapat mengurangi
kemampuan klien untuk menggerakkan lengan, kaki, badan atau kepalanya secara
bebas. Tindakan restraint merupakan pilihan terakhir dari manajemen perilaku
kekerasan dan perilaku kekerasan dinilai masih berpotensi membahayakan orang
lain, diri sendiri dan lingkungannya. Pelaksanaan restraint pada orang dewasa
tidak lebih dari 4 jam, pada anak-anak dan geriatri tidak lebih dari 2 jam dan pada
anak kurang dari 9 tahun tidak lebih dari 1 jam. Selama klien dilakukan restraint
klien harus dimonitor setiap 15 menit dan kebutuhan klien akan makan/minum,
elimiasi, latihan pergerakan harus terjamin selama dalam kondisi direstraint
(Stuart, 2013).

2.3 Out put


Output merupakan hasil yang diharapkan atau pencapaian dari pelaksanaan
kegiatan atau proses. Output pada kerangka konsep karya ilmiah ini adalah
mekanisme koping klien risiko perilaku kekerasan, behavioural systemdan
lingkungan.

2.3.1 Mekanisme Koping


Target perubahan pada klien dengan diagnosa keperawatan perilaku kekerasan
dapat dilihat dari mekanisme koping yang dipakai atau digunakan oleh klien.
Perawat sebagai external force berperan menjaga keseimbangan dengan me
maksimalkan pemberian tindakan keperawatan yang didasarkan oleh nurturing,
protection dan stimulation. Tindakan keperawatan yang diberikan pada klien
dengan perilaku kekerasan bertujuan dapat meningkatan kemampuan klien dalam
mempertahankan keseimbangan sistem perilaku. Pemberian tindakan keperawatan
yang tepat dan sesuai dengan kondisi klien diharapkan mampu menciptakan
proses perubahan kesehatan melalui lingkungan yang dinamis sehingga
membantu klien dalam mempersepsikan stressor yang dihadapi sebagai suatu
stressor positif atau negatif.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


50

Tindakan keperawatan yang diberikan diharapkan dapat juga merubah konten


dari struktur sistem sosial , yakni goal, set, choice dan behavior dan ini akan
membantu klien dengan perilaku kekerasan dalam meningkatkan kemampuan
(personal ability) mengatasi masalah. Peningkatan kemampuan akan terlihat
karena peningkatan proses belajar, pengalaman positif dan maturasi. Kemampuan
adaptif membantu klien memandang stressor sebagai suatu hal yang positif.
Dengan klien memiliki kemampuan memandang stressor sebagai hal positif
maka klien akan menunjukkan perilaku adaptif, demikian pulan sebaliknya bila
klien mempunyai kemampuan memandang stressor sebagai yang hal negatif
maka klien akan menunjukkan perilaku maladaptive.

2.3.2 Behavioural System


Perilaku adaptif atau maladaptif yang dicapai oleh individu ditentukan oleh
fleksibilitas stres dari individu tersebut. Keseimbangan subsistem dipengaruhi
oleh stressor internal dan eksternal individu.
Keseimbangan ke-4 subsistem diperoleh dengan pencapaian tujuan masing-
masing subsistem.
2.3.2.1 Achievement: klien mampu menetapkan tujuan, berperilaku sesuai dengan
tujuan/yang diharapkan, membedakan tujuan jangka panjang dan jangka pendek,
menginterpretasi masukan untuk mengevaluasi tujuan pencapaian, dan pengakuan
dari orang lain.
2.3.2.2 Affiliate: membentuk hubungan yang kooperatif dan interdependen
dengan sistem sosial, mengembangkan kemampuan interpersonal, saling berbagi,
dan mampu berhubungan dengan orang lain.
2.3.2.3 Aggressive/protective: mengenali ancaman secara biologi, lingkungan,
atau sistem kesehatan, kemampuan melindungi tujuan/harapan yang ingin diraih,
kayakinan, identias/konsep diri, kemampuan menggunakan sumber-sumber untuk
mengatasi ancaman.
2.3.2.4 Dependency: berfungsi untuk mencari bantuan, dukungan terhadap diri,
meminta bantuan orang lain terhadap masalah keehatan, fokus pada kebutuhan
yang memerlukan bantuan meliputi sosial, psikososial, dan sosiokultural.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


51

Pengembangan dari perilaku dependency ini berubah dari bergantung total kepada
orang lain kearah bergantung pada diri sendiri.

2.3.3 Perilaku
Perilaku merupakan output yang dapat diobservasi pada klien. Perilaku yang
ditampilkan merupakan pilihan individu dalam mempertahankan keseimbangan.
Perilaku merupakan refleksi dari hasil belajar melalui tindakan keperawatan yang
diberikan. Pemberian terapi asertif diharapkan mampu meningkatkan kemampuan
klien mengatasi masalah yang menimbulkan perilaku kekerasan. Klien akan lebih
mampu mengontrol marah dengan meningkatkan kemampuan menyampaikan
emosi/perasaan secara asertif. Latihan ini juga akan meningkatkan kemampuan
dalam berhubungan dengan orang lain dengan meningkatkan kemampuan
mengatasi konflik. Pemberian terapi CBT mambantu klien dalam pengaturan
kembali komponen kognitif terhadap perilaku kekekrasan. Pengaturan kembali
goal, set, choice akan menghasilkan perilaku yang lebih adaptif. Secara
keseluruhan pemberian terapi akan meningkatkan kemampuan dalam mengatasi
masalah akibat perilaku kekerasaan dan penurunan tanda dan gejala resiko
perilaku kekerasan akibat kemampuan klien mengatasi masalah.

2.4 Konseptual Model Asuhan Keperawatan


2.4.1 Konsep Model Adaptasi Roy
Adaptasi dipandang sebagai proses dan hasil dimana seseorang berfikir dan
berperasaan manusia sebagai individu atau kelompok, dan menggunakan
kesadaran dan pilihan untuk membuat integrasi dengan manusia dan lingkungan
(Callista Roy,2008, hal 138 dalam Alligood& Tomey, 2010). Konsep utama
model Roy adalah adaptasi, Model adaptation Roy berkembang dari teori adaptasi
Helson (Tomey & Alligood, 2006). Roy membagi tingkatan adaptasi berdasarkan
efek yang ditimbulkan dari stimulus-stimulus, yaitu: 1) stimulus fokal adalah
semua stimulus yang langsung menyerang individu. Stimulus fokal adalah segala
sesuatu atau stresor yang datang dari luar atau dari dalam individu yang akan
mencetuskan terjadinya perilaku kekerasan, diantaranya stresor biologis,
psikologis maupun sosial kultural. Stimulus fokal pada tulisan ini adalah respon-

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


52

respon yang muncul pada klien perilaku kekerasan seperti: respon kognitif,
afektif, perilaku, dan respon sosial; 2) stimulus kontekstual yaitu semua stimulus
yang ada pada saat itu yang berkontribusi terhadap efek dari stimulus fokal.
Stimulus kontekstual pada klien perilaku kekerasan meliputi karakteristik klien,
yaitu usia, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, status perkawinan, status
ekononi, dan lama mengalami sakit. Sedangkan stimulus residual adalah faktor
lingkungan lain yang mungkin membawa pengaruh pada kondisi klien tapi sulit
untuk diukur. 3) stimulus residual adalah faktor lingkungan yang memberi efek
terhadap situasi tertentu. Stimulus kontekstual pada klien perilaku kekerasan
meliputi karakteristik klien, yaitu usia, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan,
status perkawinan, status ekononi, dan lama mengalami sakit. Sedangkan
stimulus residual adalah faktor lingkungan lain yang mungkin membawa
pengaruh pada kondisi klien tapi sulit untuk diukur. Stimulus residual pada klien
perilaku kekerasan menurut Townsend (2009) diantaranya kepercayaan,
pengalaman, pengetahuan, sikap, atau ancaman yang mempengaruhi perilaku
klien.

Tingkat adaptasi tersebut diatas menggambarkan kondisi proses kehidupan dalam


tiga tingkatan, yaitu integrated, compensatoy dan compromised. Stimulus adalah
segala sesuatu yang akan mendorong timbulnya respon (Roy 1984 dalam Tomey
& Alligood, 2006). Hasil akhir dari suatu proses adaptasi adalah berupa respon
adaptif, namun jika perilaku yang ditampilkan individu tidak menggambarkan
integritas maka akan berubah menjadi respon yang inefektif (Robinson & Kish,
2001). Roy menjelaskan ada dua bentuk mekanisme koping, yaitu regulator dan
kognator. Selain mekanisme koping, Roy juga menjelaskan tentang empat model
adaptif pada individu, yakni model fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan
interdependensi (Roy, 2009).

Model adaptasi Roy menggambarkan suatu model yang terdiri atas input, proses
kontrol, efektor dan output. Input pada manusia berupa stimulus-stimulus yang
diterima baik yang berasal dari lingkungan luar atau dari dirinya sendiri.
Stimulus- stimulus tersebut meliputi stimulus internal yang merupakan tingkat
adaptasi individu dan menggambarkan rentang stimulus yang bisa ditoleransi oleh

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


53

individu dan stimulus yang masuk melaui input selanjutnya akan diproses melalui
proses kontrol (Fitzpatrick & Whall, 1989).

Proses kontrol dari manusia adalah mekanisme koping. Ada dua mekanisme
koping, yaitu regulator dan kognator yang mana kedua mekanisme koping ini
bertindak untuk mencapai mode adaptif. Regulator adalah mekanisme koping
yang berespon terhadap system saraf, kimiawi, dan endokrin (Tomey & Alligood,
2006) dan lebih cenderung untuk masalah fisik atau mekanisme tubuh, sedangkan
kognator adalah mekanisme koping yang berespon terhadap jalur pikiran dan
emosi, yang meliputi proses persepsi-informasi, proses belajar, pengambilan
keputusan, dan emosi (Fitzpatrick & Whall, 1989) sehingga kognator lebih
cenderung kearah pikiran dan emosi. Tujuan dari penerapan mekanisme koping
ini yang adalah untuk mencapai keempat model adaptif yang telah disebutkan
sebelumnya. Keempat model adaptif tersebut ditentukan dengan menganalisa dan
mengelompokkan perilaku klien, dan digambarkan sebagai suatu system yang
berinteraksi dengan regulator dan kognator, sehingga perilaku yang dihasilkan
dari aktivitas regulator dan kognator ini dapat diamati dalam keempat model
adaptif tersebut (Fitzpatrick & Whall, 1989). Stimulus yang ada akan
mempengaruhi invidivu sehingga akan membuat mekanisme koping bekerja
(regulator dan kognator) yang nantinya akan mempengaruhi mode adaptif
individu tersebut, sehingga perilaku yang muncul adalah hasil dari proses
mekanisme koping terhadap model adaptif yang terganggu akibat stimulus yang
muncul.

Model Adaptasi Roy terbagi atas empat model adaptif Roy, pertama model
fisiologis, yang berkaitan dengan proses fisik dan kimiawi yang meliputi fungsi
dan aktivitas makhluk hidup. Ada lima kebutuhan yang teridentifikasi pada model
fisiologis yaitu oksigenasi, nutrisi, eliminasi, aktivitas dan tidur, dan
perlindungan. Tomey & Alligood (2006) menjelaskan kebutuhan dasar dari
model ini adalah tercapainya integritas fisiologis. Model adaptasi kedua adalah
konsep diri, yang merupakan salah satu model psikososial. Fokus pada model ini
adalah pada psikososial dan spiritual makhluk hidup. Kebutuhan dasar dari model
adaptasi ini adalah bagaimana individu untuk menjadi sesuatu yang bermakna

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


54

dengan perasaan kesatuan, bermakna dan berguna bagi lingkungan. Konsep diri
merupakan gabungan dari keyakinan dan perasaan tentang dirinya yang terbentuk
dari persepsi internal dan persepsi dari luar dirinya sendiri (Tomey & Alligood,
2006). Model konsep diri ini menggambarkan bagaimana persepsi diri individu
tentang dirinya dan apa arti dan manfaat individu untuk orang lain dan
lingkungan.

Model adaptasi ketiga adalah model fungsi peran, yaitu model sosial. Fokus pada
model adaptasi ini adalah bagaimana peran individu di masyarakat. Peran yang
merupakan pengharapan bagaimana individu menjalankan posisinya dan peran
yang ditampilkan individu berupa peran primer, sekunder dan tersier. Peran
primer adalah perilaku utama yang dipakai oleh individu selama periode tertentu,
berdasarkan usia, jenis kelamin, dan tahap perkembangan. Peran sekunder
meliputi semua asumsi individu untuk memenuhi tugas yang berkaitan dengan
tahap perkembangan dan peran primer. Peran selanjutnya adalah tersier yang
berkaitan dengan peran sekunder dan menggambarkan bagaimana inividu
memenuhi peran yang mereka jalani. Peran menetap secara alami, bebas dipilih
oleh individu, dengan aktivitas seperti klub atau hobi (Tomey & Alligood, 2006).
Model peran tersier ini adalah peran yang disandang oleh individu dalam
kehidupannya, dimana individu tidak hanya menyandang satu peran tapi banyak
peran baik untuk diri sendiri atau di komunitas dimana klien berada. Terakhir
adalah model interdependensi atau saling ketergantungan. Fokus dari model ini
adalah hubungan dekat dari seseorang. Hubungan saling ketergantungan meliputi
keinginan dan kemampuan untuk memberi dan menerima dari orang lain yang
meliputi semua aspek yang ditawarkan. Menurut Tomey & Alligood, (2006)
terdapat dua fokus hubungan pada model ini pertama yaitu interdependensi
dengan orang lain yang berarti dan kedua adalah interdependensi dengan support
system. Model ini menggambarkan keterkaitan individu dengan orang lain dan
support system dimana akan ada proses memberi dan menerima dengan orang lain
dan lingkungan.

Setelah menggambarkan Model Adaptasi Roy tentang input, proses kontrol yang
melibatkan mekanisme koping regulator dan kognator, kemudian dilanjutkan

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


55

dengan yang disebut efektor. Efektor akan melihat model adaptasi mana yang
terganggu, bisa satu model atau beberapa model yang terganggu pada satu
kesempatan dan hasilnya akan terlihat pada output. Di output ini menurut
Fitzpatrick & Whall (1989) akan muncul respon adaptif jika individu mampu
mengatasi stimulus yang ada dan juga akan muncul respon inefektif jika individu
tidak mampu berespon terhadap stimulus dengan kemampuan yang dimilikinya.
Jika yang muncul adalah respon yang tidak efektif akan membuat siklus terulang
kembali, respon inefektif tersebut akan menjadi stimulus dan proses terjadi
kembali sampai pada output. Berikut gambar model adaptasi Roy berdasarkan
penjelasan di atas:

input Proses Efektor Output


kontrol
Respon
Mekanisme adaptif
Fungsi
Stimulus koping :
fisiologis
level
Regulator Konsep diri
adaptasi
Fungsi peran Respon
Cognator interdependen inefektif
si
Umpan balik

Bagan 2.4 Model adapatsi Roy (Tomey & Alligood, 2006)

Empat elemen penting dalam teori Model Adaptasi Roy yaitu individu,
lingkungan, kesehatan dan keperawatan. Roy menggambarkan manusia sebagai
model yang adaptif, dimana manusia merupakan suatu keseluruhan dengan
bagian-bagian yang berfungsi sebagai satu kesatuan untuk mencapai suayu tujuan
(Tomey & Alligood, 2006). Menurut Fitzpatrick & Whall (1989) manusia adalah
suatu sistem yang hidup, terbuka dan adaptif yang bertukar energy dan masalah
dengan lingkungan. Karena sebagai system, maka manusia juga bisa
dideskripsikan dalam hal input, proses kontrol dan umpan balik, dan output.
Dengan demikian maka dapat disimpulkan manusia adalah suatu sistem yang
terdiri dari input, kontrol dan umpan balik dan output yang terbuka, adaptif dan
yang melakukan interaksi dengan lingkungannya.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


56

Elemen lingkungan digambarkan oleh Roy adalah sebagai dunia di dalam dan
sekitar individu. Lingkungan merupakan input untuk individu dan sebagai sistem
yang adaptif dan lingkungan juga sebagai stimulus baik internal maupun
eksternal. Stimulus tersebut nantinya bisa dikelompokkan menjadi stimulus fokal,
kontekstual dan residual. Berdasarkan hal tersebut diatas maka defenisi akhir dari
lingkungan menurut Fitzpatrick& Whall, (1989) adalah semua kondisi, situasi dan
pengaruh lingkungan yang mempengaruhi perkembangan dan perilaku dari
individu atau kelompok. Elemen kesehatan dari model adaptasi Roy adalah suatu
kondisi dan proses hidup dan menjadi individu yang memiliki keseluruhan
integritas. Dengan demikian integritas adalah kesehatan, jika individu tidak
memiliki integritas berarti turunnya kesehatan. Sehingga kesehatan diartikan
tidak hanya kondisi yang bebas penyakit, tapi juga usaha mempertahankan
kondisi sejahtera (Fitzpatrick & Whall, 1989).

Elemen Keperawatan dari Model Adaptasi Roy dimana Roy mendefenisikan


keperawatan secara umum sebagai professional kesehatan yang berfokus pada
proses dan pola kehidupan manusia, menekankan pada promosi kesehatan untuk
individu, keluarga, kelompok dan masyarakat sebagai satu kesatuan (Tomey &
Alligood, 2006). Keperawatan terdiri atas dua kegiatan yaitu tujuan keperawatan
dan aktivitas keperawatan. Keperawatan memegang peranan penting dalam
mencapai derajat kesehatan yang optimal dan keperawatan merupakan suatu
profesi yang bekerja untuk meningkatkan kesehatan klien dalam seluruh proses
kehidupannya.

Roy memandang keperawatan sebagai suatu ilmu dan sebagai suatu praktik,
sebagai ilmu keperawatan berfungsi untuk mengamati, menggolongkan, dan
menghubungkan proses dimana individu secara positif mempengaruhi status
kesehatannya sedangkan sebagai praktik keperawatan berfungsi menggunakan
ilmu pengetahuan untuk memberikan pelayanan pada kliennya (Fitzpatrick &
Whall, 1989). Tujuan keperawatan untuk meningkatkan interaksi seseorang
dengan lingkungan, yaitu dengan cara meningkatkan adaptasi dalam empat

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


57

model, yaitu : (1) fungsi fisiologis, (2) konsep diri, (3) fungsi peran, (4)
interdependensi. Adaptasi akan meningkatkan integritas dan berkontribusi
terhadap kesehatan individu, kualitas hidup, dan meninggal dengan kemuliaan.
Menurut Fitzpatrick &Whall (1989) tujuan keperawatan dapat dicapai ketika
stimulus fokal berada di area adaptasi yang sudah ditetapkan oleh individu,
sehingga saat stimulus fokal muncul, individu akan mampu beradaptasi atau
berespon secara positif .

2.4.2 Model Johnson’s Behavioral System Model.


Johnson (1968 dalam Alligood & Tomey, 2010) menyatakan bahwa behavioural
system menentukan interaksi antara individu dan lingkungan. Individu dipandang
sebagai sistem perilaku/ behavioural systemdan lingkungan dipandang sebagai hal
diluar individu (behavioural system) yang dapat mempengaruhi keseimbangan
sistem. Behavioural systemterdiri dari 8 subsistem perilaku yang juga dipengaruhi
biologis, psikologis dan sosiokultural. Lingkungan bukan merupakan bagian dari
subsistem namun berperan dalam mempertahankan keseimbangan subsistem.
Faktor predisposisi pada lingkungan bukan hanya bagian dari lingkungan individu
namun seluruh hal yang dapat mempengaruhi seluruh sistem. Penggabungan
dengan model adaptasi Stuart membagi lingkungan menjadi faktor biologi,
psikologi dan sosiokultural.

Ketidakseimbangan sistem yang mengakibatkan munculnya gangguan tersebut


harus diselesaikan dengan pendekatan yang sesuai. Peristiwa yang mengakibatkan
munculnya masalah/gangguan diketahui melalui pengkajian terhadap sistem.
Menurut Johnson (1980 dalam Alligood & Tomey, 2010), individu dianggap
sebagai sebuah sistem perilaku, yang berarti bahwa seseorang/individu ditentukan
oleh perbuatan dan perilaku. Individu sebagai sistem perilaku terdiri atas beberapa
subsistem yang saling berhubungan. Setiap subsistem memiliki tujuan/fokus
masing-masing, saling berkaitan/berhubungan satu sama lain untuk membentuk
suatu perilaku.

Johnson (1980 dalam Parker &Smith, 2010) membagi sistem perilaku menjadi 7
subsitem perilaku yakni achievement, affiliate, aggressive, dependency,

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


58

eliminative, ingestive,dan sexual. Grubss (1980, dalam Parker & Smith, 2010)
menambahkan subsistem kedelapan, yakni restorative. Subsistem akan
menghasilkan perilaku hasil dari interelasi masing-masing subsistem. Subsistem
yang difokuskan pada kerangka konsep ini terdiri dari 4 subsistem yakni
pencapaian (achievement), afiliasi (affiliate), ketergantungan (dependency), dan
agresifitas/proteksi (aggressive/protection). Perilaku yang ditunjukkan
dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, motif, konsep diri, kultur, dan norma sosial.

Health change Process nursing


action
nurture,
D Behavioral system (patient) A protect
e Attacment/affiliation c stimulate
p h
Eksternal stressor e i
(+) or (-) n e
c v Cue
y e
m
Stress tolerance e
Flexibility n
A t Structure
g Drive,set
Sub system
Internal stressor g Choice
(+) or (-) r S Behaviour
e e Dynamic
Learning, Experience s x Equilibrium
Maturation s u (Goal)
I Ingestive/eliminative a
Other changing facktors v l
(biological, psychological, e
sociological)

Active dynamic behavioral sytem


(person, group, family)

Gambar 2.5 Johnson's Behavioral System Model

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


59

Berdasarkan gambaran Johnson's Behavioral System Model diatas menjelaskan


bahwa stressor individu yaitu dari lingkungan dimana Johnson membagi
lingkungan menjadi lingkungan intriksik/internal dan ekstrinsik/eksternal.
Lingkungan baik faktor biologis, psikologis dan sosial merupak suatu sumber
yang mempengaruhi individu yang bukan bagian dari sistem perilaku indidu
tersebut tetapi bisa mempengaruhi sistem yang ada. Ditambah pula tekanan
lingkungan yang kuat akan mempengaruhi keseimbangan sisitem perilaku dan
tentunya mengancam stabilitas perilaku individu.

Faktor lain yang mempengaruhi sistem perilaku agar menjadi sehat/stabil atau
membuat menjadi sakit/ tidak stabil adalah pengalaman, proses belajar dan
maturasi. Kondisi ini tercermin dalam penilaian klien terhadap stressor dan
sumber koping. Penilaian terhadap stressor meliputi kognitif (cara memandang
masalah), afektif, fisiologis, perilaku dan sosial. Sumber koping menunjukkan
kemampuan personal dalam mengatasi masalah. Stuart (2009) menambahkan
kajian tentang sumber koping yang dapat mempengaruhi kondisi keseimbangan
seseorang yakni dukungan sosial dan aset material. Kondisi ini kemudian akan
direfleksikan pada keseluruhan perilaku yang ditampilkan. Perilaku merupakan
interelasi antara subsistem. Setiap individu akan berusaha menjaga dan
mempertahankan kestabilan dari suatu sistem, namun interaksi dengan
lingkungaan dapat menyebabkan ketidakstabilan sistem perilaku. Peristiwa ini
akan mempengaruhi ketahanan seseorang dalam menghadapi perubahan akibat
stressor/stimulus yang datang (stress tolerance flexibility).

Penggunaan Johnson’s Behavioural SystemModel (JBSM) dalam menilai perilaku


melihat individu sebagai kumpulan subsistem. Pengkajian subsistem pada area
psikologis ini meliputi subsistem pencapaian (achievement), agresif/ proteksi
(aggressive/protection), dan dependensi (dependency). Keseluruhan subsistem
memiliki tujuan dan fungsi masing-masing namun setiap subsistem saling
berkaitan dan berhubungan dalam mencapai keseimbangan sistem perilaku
(behavioural system). Subsistem pencapaian bertujuan untuk menguasai atau
mengontrol aspek pribadi atau lingkungan untuk mencapai keseimbangan. Hal ini
dikaji dari kemampuan klien menetapkan tujuan, melakukan perilaku sesuai

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


60

dengan tujuan/yang diharapkan, membedakan tujuan jangka panjang dan jangka


pendek, mengiterpretasi masukan untuk mengevaluasi tujuan pencapaian, dan
pengakuan dari orang lain. Pengkajian pada subsistem agresif/proteksi adalah
kemampuan mengenali ancaman secara biologi, lingkungan, atau sistem
kesehatan, kemampuan melindungi tujuan/harapan yang ingin diraih, kayakinan,
identitas/konsep diri, kemampuan menggunakan sumber-sumber untuk mengatasi
ancaman. Subsistem dependensi diketahui melalui kemampuan klien mencari
bantuan, dukungan terhadap diri, meminta bantuan orang lain terhadap masalah
kesehatan, fokus pada kebutuhan yang memerlukan bantuan meliputi sosial,
psikososial, dan sosiokultural.

Johnson's Behavioral System Model juga membagi stressor dalam lingkungan


diluar subsistem sebagai stressor internal dan eksternal. Stressor yang hadir
memiliki dampak positif dan negatif, tergantung dari individu. Stressor pada
JBSM dapat berupa objek, peristiwa, situasi pada lingkungan. Kekuatan
lingkungan yang berlebihan dapat mengakibatkan perubahan pada keseimbangan
sistem perilaku (behavioural system) dan mengancam kestabilan subsistem.
Lingkungan pada sistem perilaku bukan terbatas hanya faktor eksternal, namun
faktor diluar subsistem dianggap sebagai lingkungan. Johnson (dalam Alligood &
Tomey, 2010) menjelaskan bahwa seseorang akan rentan mengahadapi masalah
jika stres pada lingkungan sangat kuat. Paparan stres lingkungan terhadap klien
membentuk persepsi klien terhadap stres yang muncul. Stressor akan
mengakibatkan gangguan keseimbangan pada sistem perilaku. Penilaian stressor
secara negatif akan mempengaruhi klien untuk berperilaku negatif sehingga
mengancam keutuhan subsistem perilaku sedangkan penilaian stressor secara
positif akan mempengaruhi klien untuk berperilaku positif. Kondisi ini disebut
stress tolerance flexibility.

Johnson's Behavioral System Model menjelaskan bahwa peran keluarga termasuk


di dalam active dynamic behavioural system. Keluarga bersama individu serta
kelompok sebagai faktor lingkungan dapat mempengaruhi individu dalam
memandang stressor, sebagai hal positif atau negatif. Tamilarasi dan Kanimozhi

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


61

(2009) menyatakan active dynamic behavioural systemdapat berupa dukungan


pasangan, anggota keluarga, kelompok dengan membentuk self help group, dan
dukungan kelompok dalam bentuk lain. Menurut Johnson (1980, dalam Alligood
& Tomey, 2010), faktor yang mempengaruhi sistem perilaku agar menjadi
sehat/stabil atau membuat menjadi sakit/ tidak stabil adalah pengalaman, proses
belajar dan maturasi. Hal ini tercermin dalam kemampuan personal, dimana
melalui ketiga hal diatas individu dapat mempertahankan keseimbangan sistem
perilaku, atau sebaliknya mengakibatkan gangguan pada keseimbangan sistem
perilaku.

Jika terdapat perubahan yang menuntut kestabilan sistem perilaku namun tidak
mengakibatkan gangguan sistem perilaku, maka tidak membutuhkan intervensi.
Sebaliknya, jika sistem perilaku menjadi terganggu, maka akan menimbulkan
masalah.Perilaku kekerasan dapat muncul sebagai konsekuensi ketidakmampuan
klien mengatasi masalah akibat stressor lingkungan yang mengakibatkan
perubahan pada perilaku.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


62

BAB 3
PROFIL RUMAH SAKIT DR. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR

Bab ini akan menguraikan tentang profil Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi
(RSMM) Bogor dan profil Ruang Pelayanan Intensive Psikitri Kresna yang
merupakan ruang rawat inap intensive psikiatri klien dengan resiko perilaku
kekerasan yang menjadi kelolaan. Bab ini juga membahas tentang manajemen
pelayanan keperawatan jiwa yang dilaksanakan di ruang Kresna RSMM Bogor.

3.1 Gambaran Umum Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi (RSMM) Bogor
Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi (RSMM) Bogor merupakan rumah sakit
jiwa pertama di Indonesia yang didirikan oleh pemerintah India Belanda pada
tahun 1882. Tahun 1978 rumah sakit RSMM bernama Rumah Sakit Jiwa Pusat
Bogor, seiring dengan perkembangan pelayanan yang diberikan maka tahun 2002
diberi RSMM diberi nama rumah sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor
berdasarkan SK Menkes No.266/ menkes/sk/IV/2002 tanggal 10 April 2002.
Tahun 2007 RS Dr. H. Marzoeki Mahdi berdasarkan pada keputusan Menteri
Kesehatan RI ditetapkan menjadi 15 UPT Depkes dengan menerapkan PPK-BLU
berdasarkan SK Menkes No. 756/Menkes/SK/VI/2007 tanggal 26 Juni 2007 dan
berubah status menjadi Badan Layanan Umum (BLU).

Sebagai Badan Layanan Umum maka struktur organisasni RSMM terdiri dari
Direktur Utama yang membawahi 3 Direksi yaitu Medik dan Keperawatan, SDM
dan Pendidikan, Keuangan dan Administrasi Umum. Selain itu terdapat Dewan
Pengawas, Komite Medik yang membawahi staf medik fungsional, Komite Etik
dan Hukum, serta Satuan Pemeriksaan Intern. Perubahan status Badan Layanan
Umum memberikan perubahan dalam pelayanan sehingga RSMM bukan hanya
memberikan layanan psikiatri, dan NAPZA, RSMM juga memberikan layanan
umum.

Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi mempunyai Visi “Terwujudnya Rumah


Sakit mandiri melalui profesionalisme dan pelayanan yang bermutu dengan

62
Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
63

mengutamakan kepuasan pelangan dan terjangkau oleh rakyat miskin”. Dalam


rangka mencapai visi tersebut RSMM memiliki Misi 1). Melaksanakan pelayanan
dengan unggulan kesehatan jiwa dan NAPZA, 2) Memberdayakan seluruh potensi
yang ada di rumah sakit, 3) Mengembangkan pelayanan kesehatan jiwa menjadi
pusat rujukan nasional, 4) Mengembangkan pendidikan kesehatan dan penelitian
serta kemitraan yang seluas-luasnya, 5) Mencapai kesejahteraan bersama. Adapun
Tujuan dari RSMM ini adalah: 1) Tercapainya jasa layanan kesehatan jiwa dengan
kualitas prima, 2) Tercapainya produk unggulan dalam bidang kesehatan jiwa, 3)
Tersedianya sumber daya manusia bidang kesehatan jiwa yang professional dan
kemitraan. Budaya Organisasi yang dimiliki RSMM adalah: 1) Belajar dan
berkembang profesionalisme, 2) Bekerja seimbang kebersamaan, 3) Saling
menghargai, 4) Melayani dengan baik dan tulus, 5) Motivasi dan kemitraan.

RSMM Bogor bukan hanya RS jiwa pertama di Indonesia tetapi juga merupakan
rumah sakit jiwa pertama yang mengembangkan pelayanan manajemen Model
Praktik Keperawatan Profesional (MPKP). Pengembangan MPKP di RSMM
bekerjasama dengan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia yang
dimulai sejak tahun 2001 dan ruang Srikandi merupakan ruang rawat inap
Psikiatri pertama yang menggunakan metode pelayanan manajemen MPKP yang
didirikan pada bulan Maret 2001 dan merupakan kelas 1. Kebutuhan konsumen
dirasakan semakin meningkat untuk mendapatkan pelayanan yang optimal,
sementara ruang srikandi hanya menampung 18 orang klien. Berdasarkan kondisi
tersebut maka pada tahun 2003 dibuka ruang Sadewa sebagai ruang rawat inap
psikiatri kedua yang menerapkan manajemen MPKP. Berdasarkan pengalaman
klien yang dirawat di kedua ruangan tersebut rata-rata lama rawat mencapai 21
hari pihak manajemen RSMM Bogor selanjutnya menetapkan pada tahun 2007
seluruh ruang rawat inap menggunakan manajemen layananan dengan
menggunakan metode MPKP. Kebijakan tersebut berjalan dengan baik terlebih
pada proses pelaksanaannya mendapat dukungan dari pihak Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia melalui praktik mahasiswa baik dari program
profesi, magister maupun spesialis.

Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
64

Mengingat RSMM Bogor sebagai rumah sakit tipe A dan menjadi pusat rujukan
pelaksanaan MPKP di seluruh Indonesia maka selanjutnya mencanangkan pada
tahun 2010 seluruh ruangan baik ruang psikiatri maupun ruang perawatan umum
(fisik) menggunakanmetode pendekatan manajemen dengan menggunakan
MPKP.

RSMM Bogor saat ini mempunyai 516 tempat tidur untuk rawat inap psikiatri, 60
tempat tidur untuk rawat inap NAPZA, dan 144 tempat tidur untuk rawat inap
umum. RSMM Bogor ini telah memiliki 14 rawat inap psikiatri, 3 rawat inap
NAPZA dan 8 rawat inap umum. RSMM Bogor juga memiliki unit rawat jalan
psikiatri, instalasi gawat darurat psikiatri, unit rawat jalan spesialistik lain dan
instalasi gawat darurat umum.

Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi bogor guna melaksanakan visi dan misi
yang tertera di atas terus berupaya meningkatkan pelayanan bekerjasama dengan
berbagai pihak termasuk Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (FIK
UI). Pelayanan kesehatan kepada klien baik yang mengalami masalah fisik
maupun psikiatri mencoba ditangani secara komprehensif dan holistik. Guna
mencapai hal tersebut maka RSMM Bogor telah menyiapkan satu ruang untuk
Consultation Liaison Psychiatric (CLP) yang rencananya akan mulai dibuka pada
bulan Juli 2012.

Bidang keperawatan bekerjasama dengan FIK-UI melalui praktik mahasiswa


spesialis keperawatan 3 telah menyiapkan tenaga perawat yang akan bertugas di
Ruang CLP dengan mengadakan pelatihan Consultation Liaison Mental Health
Nursing (CLMHN) pada bulan Maret 2012. Tenaga perawat yang telah dilatih
diharapkan mampu memberikan pelayanan keperawatan secara holistik baik
terhadapk klien yang mengalami masalah fisik dan psikiatri secara bermutu dan
berkeadilan, sehingga visi dan misi yang telah ditetapkan dapat dicapai.

Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
65

3.2 Gambaran Pengembangan Manajemen Keperawatan Jiwa Profesional


(MPKP) RSMM Bogor

Pengembangan manajemen keperawatan di RSMM Bogor merupakan salah satu


langkah strategik dalam pencapaian visi RSMM pda tahun 2001, yakni
profesionalisme dan layanan bermutu. Pengembangan ini selanjutnya dikenal
sebagai Manajemen Keperawatan Jiwa Profesional (MPKP) Jiwa. Langkah
selanjutnya adalah kerjasama dengan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia (FIK UI) dalam pengembangan secara operasional.

Manajemen Keperawatan Jiwa Profesional (MPKP) Jiwa pertama kali diterapkan


di tiga ruang perawatan yaitu Srikandi, Kresna dan Sadewa. Terjadi peningkatan
mutu layanan setelak menerapkan MPKP hal ini dapat dibuktikan BOR sebesar
65-80% dan AvLOS sebesar 25 hari, dimana angka BOR berada pada rata-rata
nasional dengan nilai AvLOS lebih rendah dari standar nasional, berdasarkan hal
tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa pelaksanaan MPKP di runagan
RSMMmenunjukan nilai yang lebih baik dari standar nasional.

Sejak awal tahun 2006 kerja sama antara FIK-UI dan RSMM dilanjutkan dengan
yaitu dengan menempatkan mahasiswa magister keperawatan Jiwa di ruang rawat
inap RSMM. Kerja sama antara FIK-UI dan RSMM dilanjutkan dengan
menempatkan mahasiswa magister keperawatan jiwa di ruang rawat inap RSMM,
dengan tujuan dapat menerapkan MPKP baik untuk manajemen pelayanan
keperawatan maupun manajemen kasus spesialis keperawatan jiwa di 4 ruang
fisik dan 13 ruang psikiatri. Selain itu mahasiswa juga ditempatkan di ruang
Instalasi Gawat Darurat (IGD) Psikiatri, dan Poli Jiwa dengan tujuan pencapaian
kompetensi dalam menangani kasus gangguan jiwa akut dengan tujuan
mengenalkan dan menerapkan MPKP baik untuk manajemen pelayanan
keperawatan maupun manajemen kasus spesialis keperawatan jiwa dan
perkembangan MPKP pada tahun 2013 ini yaitu 4 ruangan fisik, 14 ruangan
psikiatri, dan IGD telah melaksanakan MPKP.

Penerapan manajemen pelayanan yang dikembangkan bertujuan untuk menunjang


pemberian pelayanan keperawatan yang paripurna, khususnya keperawatan jiwa,

Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
66

sehingga berdampak pada peningkatan mutu asuhan keperawatan pada klien


gangguan jiwa. Dengan demikian semua ruangan psikiatri di RSMM telah
menerapkan MPKP, sehingga secara umum kegiatan MPKP sudah membudaya di
setiap ruangan. Pelaksanaan pemberian asuhan keperawatan, telah terintegrasi
antara pemberian terapi generalis dan terapi spesialis keperawatan jiwa.

3.3 Model Praktik Keperawatan Profesional di Ruang Kresna


Ruang Kresna merupakan ruang pelayanan intensive psikiatri, merawat klien
dalam kondisi akut, dengan kelas perawatan kelas III, pada pasien laki-laki
dengan kapsitas tempat tidur 20. Fasilitas pelayanan yang tersedia diantaranya
adalah kantor perawatan, ruang diskusi dan ruang TAK yang merangkap ruang
makan, ruang perawatan klien dengan kapasitas 20 tempat tidur yang terbagi
dengan ruang intensif I, ruang intensif II dan ruang intensif III, 2 kamar isolasi,
kantor perawat, taman, kamar mandi, tempat cuci piring dan gudang. Tenaga
kesehatan yang bertanggung jawab atas pemberian pelayanan di Ruang Kresna
adalah adalah perawat sebanyak 19 orang, 1 orang Sp Kep Jiwa, 1 orang S1 Kep
Ners, 2 orang berpendidikan S1 SKep belum Ners, sisanya berpendidikan D III
Keperawatan 9 orang psikiater, 1 orang psikolog dan 1 orang dokter umum.
Pelaksanaan MPKP sejak tahun 2006 sd sekarang dan berada pada level MPKP I
(basic) dan sudah semua tenaga perawat mengikuti pelatihan MPKP (100%).

Indikator mutu pelayanan di Ruang Kresna pada bulan Januari – Maret 2014 yaitu
BOR ruangan rata- rata 74,36%, ALOS 4 hari dan TOI 1 hari. Masalah
keperawatan pada bulan Januari – Maret 2014 sesuai dengan urutannya adalah
resiko/perilaku kekerasan 100 %, halusinasi 96%, defisit perawatan diri 83,3%,
isolasi sosial 86,4 %, harga diri rendah 66%, resiko bunuh diri 16% dan Waham
2%. Diagnosa medis terbesar adalah skizofrenia paranoid yaitu sebesar 78%,
psikotik akut 17% afektif bipolar 5 %.

Pelaksanaan manajemen kasus spesialis merupakan bagian dari manajemen


pelayanan yang telah di terapkan di ruang Kresna selama ini. Manajemen
pelayanan yang dikembangkan adalah pengembangan ruang rawat menggunakan

Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
67

model praktik keperawatan profesional. Model Praktik keperawatan profesional


dirancang berdasarkan empat pilar profesional yaitu pendekatan manajemen
(management approach), sistem kompensasi dan penghargaan,(compensatory
reward), hubungan profesional (professional relationship), pemberian asuhan
keperawatan (patient care delivery)(Keliat & Akemat, 2010). Metode penugasan
yang diterapkan di ruang MPKP adalah metode penugasan metode tim. Tenaga
keperawatan yang ada di ruangan terdiri dari Kepala Ruangan, katim, dan perawat
pelaksana dengan latar pendidikan S2 Spesialis keperawatan jiwa, S1
Keperawatan dan ners dan D3 Keperawatan.

Manajemen pelayanan yang dikembangkan dalam bentuk pilar-pilar dalam MPKP


yang terdiri atas 4 pilar utama. Pilar pertama adalah manajemen approach yang
terdiri atas empat fungsi utama yaitu fungsi perencanaan, pengorganisasian,
pengarahan dan pengedalian. Fungsi Perencanaan terdiri atas empat kegiatan yaitu
misi, visi, filosofi dan rencana kegiatan. Fungsi pengorganisasian terdiri atas tiga
kegiatan yaitu struktur organisasi, daftar dinas dan daftar alokasi pasien. Fungsi
pengarahan terdiri atas operan, supervisi, pre dan post conference, iklim motivasi
dan pendelegasian. Fungsi Pengendalian terdiri atas indikator mutu, audit
dokumentasi, survey kepuasan dan survey masalah. Pilar kedua MPKP yaitu
compensatory reward yang terdiri atas penilaian kinerja dan pengembangan staf.
Pilar hubungan profesional mengatur tentang bagaimana pola hubungan antar
tenaga kesehatan baik antar sesama perawat maupun dengan tenga kesehatan lain.
Kegiatan yang tercakup dalam pilar ini ada empat kegiatan yaitu rapat tim
kesehatan, rapat tim keperawatan, case conference, dan kolaborasi saat visit
dokter. Pilar ke empat yaitu patient care delivery Pilar sistem pemberian asuhan
keperawatan mengatur tentang kompetensi yang harus dimiliki perawat ruang
MPKP dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien dan keluarganya.
Kegiatan yang tercakup dalam pilar ini adalah pemberian asuhan keperawatan
pada klien dan keluarga dengan diagnosa halusinasi, risiko perilaku kekerasan
diri, harga diri rendah, isolasi sosial, defisit perawatan diri, waham dan risiko
bunuh diri.

Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
68

Berdasarkan uraian tersebut diatas diketahui bahwa jumlah kegiatan MPKP adalah
30 kegiatan. Kompetensi seorang kepala ruangan harus dapat menguasai semua 30
kegiatan dan komptensi seorang ketua tim harus mampu menguasai 18 kegiatan.
Kegitan yang harus dikuasai oleh ketua tim adalah yaitu pembuatan rencana
bulanan dan harian, alokasi klien, pre dan post conference, supervisi, iklim
motivasi, pendelegasian, penilaian kinerja, kolaborasi saat visit dokter, case
conference dan pemberian asuhan keperawatan pada klien dan keluarga pada
tujuh diagnosa keperawatan yang sudah ditetapkan. Kompetensi seorang perawat
pelaksana adalah mampu menguasai 8 kegiatan yaitu pembuatan rencana kerja
harian dan pemberian asuhan keperawatan pada klien dan keluarga pada tujuh
diagnosa keperawatan yaitu halusinasi, risiko perilaku kekerasan diri, harga diri
rendah, isolasi sosial, defisit perawatan diri, waham dan risiko bunuh diri.

Pengkajian dengan metode evaluasi kinerja kegiatan kepala ruangan dari 30


standar kegiatan 30 kegiatan dengan nilai > 90. Ketua tim 2 dari 18 standar, 17
kegiatan lulus dengan nilai > 90 dan satu kegiatan yang lainnya memiliki nilai 90
yaitu konferensi kasus. Kegiatan yang lainnya memperoleh nilai 90 yaitu PCD
waham dan HDR.

Hasil studi dokumentasi di Ruang Kresna telah terpampang visi, misi, filosofi,
struktur, organisasi, daftar alokasi klien, daftar indikator mutu dan hasil survey
kesehatan. Selain itu juga telah tersedia daftar dinas, buku visit dokter, jadwal
rapat keperawatan, format pengkajian dan berbagai format dokumentasi asuhan
keperawatan. Ruang Kresna juga sudah memiliki protap penangan klien diruang
intensif dimulai dari pengkajian dengan menggunakan Respon Umum Fungsi
Adaftif atau RUFA. Pengkajian klien diruang intensif dengan menggunkan RUFA
dari RUFA I, RUFA II dan RUFA III. Berdasarkan pembagian RUFA tersebut
maka tindakan keperawatannya dengan intensif I, intensif II dan intensif III.

Terdapat juga protap pengekangan fisik pada klien perilaku kekerasan. Secara
terperinci hasil pengkajian pengembangan MPKP di ruang Kresna dapat dilihat
pada tabel 3.1

Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
69

Tabel 3.1
Pelaksanaan Manajemen Pelayanan MPKP
Ruang Kresna Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor, April 2014

Kepala
No Kegiatan Katim 2
Ruangan
PERENCANAAN
1 Visi 100 -
2 Misi 100 -
3 Filosofi 100 -
4 Rencana Kegiatan Harian 100 100
Rencana Kegiatan Bulanan 90 90
Rencana Kegiatan Tahunan 90 -
PENGORGANISASIAN
1 Struktur organisasi 100 -
2 Daftar Dinas 100 100
3 Daftar Alokasi Klien 100 100
PENGARAHAN
1 Operan 100 -
2 Supervisi 100 90
3 Pre conference 100 100
4 Post conference 100 100
5 Iklim motivasi 100 100
6 Pendelegasian 100 100
PENGENDALIAN
1 Audit Dokumentasi 100 -
2 Indikator Mutu 100 -
3 Survey Kepuasan 100 -
4 Survey Masalah 100 -
COMPENSATORY REWARD
1 Penilaian Kinerja 100 100
2 Pengembangan Staf 100 -
PROFESIONAL RELATIONSHIP
1 Case conference 100 90
2 Visite dokter 100 100
3 Rapat Keperawatan 100 -
4 Rapat Tim Kesehatan 90 -
PATIENT CARE DELIVERY
1 Resiko perilaku kekerasan 90 100
2 Halusinasi 90 100
3 Resiko bunuh diri 90 100
4 Defisit perawatan diri 90 100
5 Harga diri rendah 90 80
6 Isolasi sosial 90 80
7 Waham 90 100
Jumlah Kemampuan 32 19

Berdasarkan hasil praktik klinik keperawatan jiwa 3 di ruang Kresna Diketahui


bahwa kepala ruangan Kresna sudah mempunyai 32 kemampuan melaksanakan
kegiatan MPKP, ketua tim 19 kegiatan, dan perawat pelaksana 8 kegiatan.

Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
70

Pelaksanaan MPKP khususnya pilar pemberian asuhan keperawatan sangat


berkaitan dengan pelaksanaan manajemen kasus spesialis yang dilakukan oleh
residen.

Perawat ruang Kresna sudah mempunyai kemampuan dalam memberikan asuhan


keperawatan pada tujuh diagnosa keperawatan jiwa. Asuhan keperawatan klien
risiko perilaku kekerasans sudah pernah dilakukan supervisi insidentil karena
selama praktik klinik keperawatan jiwa III di ruang Kresna 100% datang dengan
resiko/perilaku kekerasan, sehingga perlu dilakukan supervisi insidental untuk
kasus tersebut, dan juga telah dilakukan penyegaran untuk asuhan keperawatan
pada klien dengan risiko /perilaku kekerasan dan sekaligus dilatih bagaimana cara
melakukan restrain pada klien yang mengalami resiko/perilaku kekerasan.
Berdasarkan hal tersebut maka dapat dkatakan bahwa perawat ruang Kresna
mempunyai kemampuan dan kompetensi yang lebih dalam memberikan asuhan
keperawatan dan dalam manajemen krisis pada klien risiko/perilaku kekerasan
khususnya dan klien dengan masalah keperawatan gangguan jiwa lainnya.

Ruang Kresna memberikan asuhan keperawatan tidak hanya pada klien juga pada
keluarga. Pemberian asuhan keperawatan untuk kelompok klien, diberikan dalam
bentuk terapi aktivitas kelompok (TAK). Ruang Kresna mengadakan terapi
aktivitas kelompok sebanyak satu kali sehari. Terapi aktivitas kelompok dipimpin
oleh perawat ruang Kresna secara bergantian. Jenis TAK yang dilakukan adalah
ssuai dengan kondisi klien di ruang kresna yaitu terapi musik, stimulasi persepsi,.
Pencatatan pelaksanaan kegiatan dan pencapaian klien TAK dicatat dalam buku
laporan TAK.

Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
71

BAB 4
MANAJEMEN ASUHAN KEPERAWATAN SPESIALIS JIWA PADA
KLIEN DENGAN RISIKO PERILAKU KEKERASAN
DI RUANG KRESNA

Pada bab ini akan menjelaskan pelaksanaan manajemen asuhan keperawatan pada
klien yang mengalami risiko perilaku kekerasan dengan pemberian Assertive
Training (AT) dan Cognitive Behaviour Therapy (CBT) melalui pendekatan
model Adaptasi Roy dan Johnson’s Behavioral System Model.Pelaksanaan
asuhan keperawatan diawali dengan pengkajian, dengan pendekatan model Stuart
yaitu pengkajian faktor predisposisi, presipitasi, penilaian terhadap stresor,
sumber koping dan mekanisme koping.menegakan diagnosis keperawatan
berdasarkan data yang diperoleh melalui pengkajian.

Diagnosis yang telah ditemukan selanjutnya dicoba ditangani mulai dari


menyusun rencana tindakan, implementasi keperawatan baik generalis maupun
spesialis, dan mengevaluasi pencapaian tujuan asuhan keperawatan yang telah
diberikan. Kemudian ditentukan intervensi yang dapat diberikan sampai dengan
terapi spesialis, implementasi dan evaluasi terhadap pencapaian tujuan asuhan
keperawatan. Pelaksanaan manajemen pelayanan keperawatan dilakukan mulai
dari pengkajian, menyusun rencana tindakan, melaksanakan tindakan, evaluasi
tindakan, dan menyusun rencana tindak lanjut untuk kegiatan-kegiatan yang perlu
dioptimalkan.

Berikut akan dipaparkan secara rinci mengenai pelaksanaan manajemen asuhan


keperawatan pada klien risiko perilaku kekerasan yang meliputi karakteritik klien,
hasil pengkajian, diagnosa keperawatan dan diagnosa medik, penatalaksanaan,
hasil, kendala serta rencana tindak lanjut. Pelaksanaan manajemen asuhan
keperawatan spesialis jiwa pada klien dengan risiko perilaku kekerasan dilakukan
di ruang Kresna, ruangan ini adalah ruangan intensive care psikiatri untuk klien
laki-laki dimana klien yang masuk ke Kresna ini adalah dari unit gawat darurat
psikiatri dan dari poliklinik psikiatri. Turn over/ mobilisasi perpindahan klien

71
Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


72

yang cepat rata-rata 1 hari dan banyaknya klien yang datang dari gawat darurat
dan poliklinik membuat klien juga harus cepat segera ditangani sesuai dengan
prosedur penaganan intesive di ruang Kresna, sebelum dipindahkan keruang
intermedite seperti ruang Gatot kaca.

4.1 Hasil Pengkajian Klien dengan Risiko Perilaku Kekerasan di Ruang


Kresna
Pelaksanaan kegiatan manajemen kasus spesialis pada klien dengan resiko
perilaku kekerasan ini diawali dengan pengkajian. Pengkajian klien dengan risiko
perilaku kekerasan terdiri dari pengkajian karakteristik klien (data demografi) dan
pengkajian kondisi klinis klien. Pengkajian kondisi klinis klien dilakukan
menggunakan model stress adaptasi Stuart. Model ini terdiri dari pengkajian
faktor presdisposisi, presipitasi, peniliaian terhadap stressor, sumber koping, dan
mekanisme koping.

4.1.1 Karakteristik Klien


Karakteristik klien risiko perilaku kekerasan di ruang Kresna dikelompokkan
berdasarkan usia, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, onset dan frekuensi
dirawat (tabel 4.1).
Berdasarkan tabel dapat dijelaskan bahwa klien risiko perilaku kekerasan terjadi
usia 25 – 55 tahun lebih banyak yakni 29 orang (74,36%). Tingkat pendidikan
menengah memiliki jumlah yang lebih banyak yaitu 19 orang (48,72%). Klien
sebagian besar tidak bekerja sebanyak 31 orang (79,49%). Sebagian besar status
perkawinan klien belum menikah yaitu 28 orang (71,80%). Onset gangguan jiwa
yang dialami paling besar adalah > 5 tahun sebesar 48,71%. Frekuensi masuk RS
(dirawat) adalah 2-5 x sebanyak 29 klien (74,56%).

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


73

Tabel 4.1
Distribusi Karakteristik Klien dengan Risiko Perilaku Kekerasan
di Krena , Periode 17 Februari-18 April 2014 (n = 39)
No Variabel Jumlah Presentase
(%)
1. Usia
a. 18- 24 Tahun 10 25,64
b. 25- 60 Tahun 29 74,36
2. Pendidikan
a. Rendah (SD) 10 25,64
b. Menengah (SMP) 19 48,72
c. Tinggi (SMA & PT) 10 25,64
3. Pekerjaan
a. Bekerja 8 20,51
b. Tidak bekerja 31 79,49
4. Status Perkawinan
a. Menikah 5 12,82
b. Belum menikah 28 71,80
c. Janda/duda 6 15,38
5 Onset
a. ≤ 1 tahun 5 12,82
15 38,47
b. 1 – 5 tahun 19 48,71
c. > 5 tahun
6 Frekuensi masuk RS
a. 1 kali 10 25,64
29 74,36
b. 2-5 kali

4.1.2 Faktor Predisposisi


Menurut Stuart (2013) faktor predisposisi adalah faktor yang melatarbelakangi
masalah yang mempengaruhi tipe dan sumber dari individu untuk menghadapi
stres baik biologis, psikososial dan sosial kultural (Tabel 4.2).
Tabel 4.2 menjelaskan bahwa hasil pengkajian yang didapatkan menunjukkan
bahwa faktor biologis yang banyak teridentifikasi pada masalah risiko perilaku
kekerasan yaitu genetik sebanyak 20 orang (51,28%) genetik ini diturunkan dari
orang tua bapak dan ibu ke klien. Faktor psikologis ditemukan rata-rata 76,92 % konsep
diri dan kehilangan atau masing-masing 30 klien. Kehilangan disini termasuk
didalamnya adalah kehilangan orang- orang yang dicintai seperti kehilangan
pasangan dan juga kehilangan pekerjaan. Faktor sosial budaya yang melatar
belakangi klien dengan perilaku kekerasan adalah masalah ekonomi yaitu
sebayak 31 orang, masalah ekonomi termasuk didalamnya adalah tidak ada
pekerjaan, tidak ada penghasilan dan tidak punya dalam pekerjaan dan juga
diberhentikan dari tempat pekerjaan(79,48%).

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


74

Tabel 4.2
Distribusi Faktor Predisposisi pada Klien Risiko Perilaku Kekerasan
di Kresna Periode 17 Februari-18April 2014(n = 39)
No Faktor Predisposisi Jumlah Persentase
(%)
1. Biologis
a. Genetik 20 51,28
b. NAPZA 9 23,08
c. Trauma kepala 10 25,64
2. Psikologis
a. Pola asuh 15 38,46
b. Sikap pasif agresif 20 51,28
c. Sikap agresif 19 48,71
d. Konsep diri 30 76,92
e. Riwayat kekerasan 29 74,36
f. Kehilangan 30 76,92
3. Sosial
a. Masalah pekerjaan 28 71,79
b. Masalah pernikahan 6 15,38
c. Ekonomi rendah 31 79,48
d. Putus sekolah/pendidikan 29 74,35
rendah

4.1.3 Faktor presipitasi


Faktor presipitasi merupakan stressor yang dihadapi klien yang mencetuskan
perilaku kekerasan. Faktor presipitasi ini mencakup sifat stresor, asal stresor,
lamanya stresor yang dialami, dan banyaknya stresor yang dihadapi oleh
seseorang (Stuart, 2013) dapat dilihat pada tabel dibawah ini tabel 4.3.

Berdasarkan Tabel 4.3 dapat dipaparkan berdasar sifat stressor didapatkan bahwa
faktor presipitasi biologis adalah karena putus obat sebanyak 29 orang (74,35%)
hal ini dikarenakan klien merasa sudah sembuh dan klien merasa jenuh dan bosan
meminum obat. Stresor psikologis disebabkan karena keinginan tidak terpenuhi
sebesar 36 klien atau 92,30%. Keinginan tidak terpenuhi didalamnya termasuk
ingin punya punya istri atau punya pacar, ingin punya motor, ingin punya hp dan
ingin dapat pekerjaan. Stresor sosial budaya sebagian karena adanya masalah
pekerjaan yaitu sebesar 31 klien (79,48%), masalah pekerjaan yang dialami klien
terkait dengan karena tidak ada bekerja. Sumber permasalahan pada klien
sebagian besar berasal dari luar individu (eksternal) sebesar 69,32% hal ini terjadi
karena stigma dari keluarga atau masyrakat, kurangnya support sistem. Lama
klien terpapar stresor sebagaian besar kurang dari 1 tahun yaitu 9 orang (56,41%)
dan sebesar 64,10% klien mengalami lebih dari 3 stressor.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


75

Tabel 4.3
Distribusi Faktor Presipitasi pada Klien Risiko Perilaku Kekerasan
di Kresna , Periode 17 Februari-18April 2014 (n = 39)
No Faktor Presipitasi Jumlah Persentase
(%)
1. Sifat
a. Biologis
- Putus obat 29 74,35
b. Psikologis
- Keinginan tidak terpenuhi 36 92,30
- Kegagalan 30 76,92
c. Sosial budaya
- Masalah ekonomi 28 71,79
- Masalah pekerjaan 31 79,48
- Konflik lingkungan/teman 5 12,82
- Konflik keluarga 6 15,38
2. Asal Stresor
a. Internal 12 30,77
b. Eksternal 27 69,23
3. Waktu
a. < 1 tahun 22 56,41
b. 2-5 tahun 17 43,59
4. Jumlah Stresor
a. 1-2 Stresor 14 35,90
b. > 3 Stresor 25 64,10

4.1.4 Penilaian Terhadap Stresor


Stuart, (2013) menjelaskan bahwa respon klien terhadap stressor dapat dilihat
dari aspek kognitif, afektif, fisiologis, perilaku, dan sosial. Penilaian terhadap
stresor merupakan suatu proses evaluasi secara menyeluruh yang dilakukan
individu terhadap sumber stres. Penilaian stressor pada klien ini dilakukan saat
klien baru masuk perawatan di ruang Kresna. Rata-rata lama klien dirawat diruang
intensif psikiatri atau ruang akut Kresna adalah 3-4 hari.

Tabel 4.4 menjelaskan bahwa sebagian besar respon kognitif yang dilakukan klien
perilaku kekerasan adalah tidak mampu menyelesaikan masalah yaitu sebanyak
sebesar 69,23%. Respon afektif dalam menghadapi masalah yaitu mudah
tersinggung sebesar 36%. Respon fisik yang masih aktual ditemukan adalah sorot
mata yang tajam sebesar 44,4% dan perilaku mondar-mandir sebesar 38,8%.
Respon perilaku yang dapat diobservasi pada klien risiko perilaku kekerasan
adalah nada tinggi yaitu sebanyak 9 orang (31,03%) dan gelisah (27,58%).
Respon sosial yang ditampilkan adalah dengan cara menarik diri sebanyak 8 orang
(53,3%).

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


76

Tabel 4.4
Distribusi Penilaian Terhadap Stresor pada Klien Risiko Perilaku Kekerasan
di Kresna, Periode 17 Februari-18 April 2014 (n = 39)
No Penilaian Terhadap Stresor Jumlah %e
1. Respon Kognitif
Tidak mampu mengontrol PK 39 100
Punya pikiran negatif dalam menghadapi stresor 30 76,92
Mendominasi pembicaraan 32 82,05
Bawel 22 56,41
Sarkasme 24 61,53
Meremehkan keputusan 23 58,97
Flight of idea 32 82,05
Perubahan isi pikir 33 84,61
Ingin memukul orang lain 39 100
2. Respon Afektif
Afek labil 39 100
Marah 39 100
Kecewa/ kesal 39 100
Curiga 34 87,17
Mudah tersinggung 39 100
Frustasi 20 51,28
Merasa tidak aman dan nyaman 15 38,46
Merasa jengkel 39 100
Dendam 26 66,66
3. Respon Fisiologis
Muka merah 39 100
Pandangan tajam 36 92,30
Mengatup rahang dengan kuat 30 76,92
Mengepalkan tangan 34 87,17
Tekanan darah meningkat 30 76,92
Denyut nadi meningkat 31 79,48
Pupil dilatasi 1 2,56
Tonus otot meningkat 20 51,28
Mual 0 0
Frekuensi BAB meningkat 5 12,82
Kadang konstipasi 5 12,82
Kewaspadaan meningkat 32 82,05
Wajah tegang 39 100
4. Respon Perilaku
Mondar-mandir 36 92,30
Melempar/memukul benda/ orang lain 24 61,53
Merusak barang 15 38,46
Sikap bermusuhan 39 100
Agresif/ pasif 39 100
Sinis 38 97,43
Curiga 28 71,79
Perilaku verbal ingin memukul 34 87,17
Memberontak 16 41,02
Nada suara keras 32 82,05
5. Respon Sosial
Bicara kasar 39 100
Suara tinggi, menjerit, berteriak 39 100
Mengancam secara verbal atau fisik 39 100
Pengasingan 29 74,35
Penolakan 20 51,28
Ejekan 25 64,10
Mentertawakan 11 28,20
Menarik diri 28 71,79

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


77

4.1.5 Sumber Koping


Sumber koping merupakan kemampuan klien dalam mengatasi masalahnya. Stuart
(2009), menjelaskan bahwa sumber koping terdiri dari kemampuan individu,
dukungan sosial, ketersediaan materi, dan keyakinan positif (Tabel 4.5).
Berdarkan tabel 4.5 Sebanyak 32 orang (82,05 %) klien risiko perilaku kekerasan
tidak mengetahui cara mengatasi risiko perilaku kekerasan atau rasa marah yang
dialami klien. Klien saat mengalami marah klien cendrung melukai orang lain
atau pun dirinya sendiri baik verbal maupun fisik, kalau pun klien sudah tahu cara
mengatasi marah karena perawatan sebelumnya sudah dilatih klien saat marah
lupa untuk menggunakan kemampuan yang telah dimiliki saat terjadi marah.

Dukungan sosial yang didapatkan pada klien risiko perilaku kekerasan


diantaranya sebagian besar memiliki dukungan keluarga tetapi tidak mengetahui
perawatan klien yaitu sebesar 71,80% atau 28 klien, keluarga mengalami
kebingungan saat klien dalam kondisi marah sehingga tidak tahu cara merawat
klien saat klien marah. Klien tidak mendapat dukungan kelompok dan dukungan
masyarakat, masing-masing sebesar 100%. Klien tidak terlibat dalam kegiatan
kelompok kesehatan jiwa, dukungan masyrakat yang kurang karena masih
kuatnya stigma yang kurang baik dimasyarakat tentang gangguan jiwa. Hampir
semua klien 37 klien (95%), memiliki asuransi kesehatan (BPJPS). Jarak rumah
dan pelayanan kesehatan terjangkau (84,61%), pelayanan kesehatan jiwa yang
dimaksud adalah rumah sakit, baik rumah sakit jiwa ataupun rumah sakit umum
yang menyediakan pelayanan kesehatan jiwa. Klien dengan resiko perilaku
kekerasan memiliki kayakinan positif dimana klien yakin akan sembuh dan klien
yakin akan pelayanan rumah sakit yang membantunya untuk sembuh dimana 39
(100%).

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


78

Tabel 4.5
Distribusi Sumber Koping pada Klien Risiko Perilaku Kekerasan
Di Kresna, Periode 17 Februari-18 April 2014 (n = 39)
No Sumber Koping Jumlah Persentase
(%)
1. Kemampuan Personal
a. Tidak tahu cara mengatasi risiko perilaku 32 82,05
kekerasan
b. Tahu cara mengatasi risiko perilaku kekerasan 7 17,95
2. Dukungan Sosial
a. Dukungan keluarga
- Ada, mampu merawat 11 28,20

- Ada, tidak mampu merawat 28 71,80

b. Dukungan kelompok
- Tidak ada 39 100
c. Dukungan masyarakat
- Tidak ada 37 94,87
3. Ketersediaan Aset
a. Pembayaran
- BPJPS 37 95

- Pribadi 2 5

b. Jangkauan ke Pelayanan Kesehatan


- Jauh 6 15,39
- Dekat/Terjangkau 33 84,61

4. Keyakinan Positif
a. Yakin akan sembuh 39 100

4.1.6 Koping mekanisme


Koping mekanisme merupakan cara yang dilakukan klien saat menghadapi
masalah (Tabel 4.6).
Tabel 4.6
Distribusi Koping Mekanisme pada Klien Risiko Perilaku Kekerasan
di Kresna, Periode 17 Februari-18 April 2014 (n = 39)
No Koping Mekanisme Jumlah Persentase
(%)
1. Diam/memendam masalah 34 87,17
2. Merokok/minum kopi berlebihan 33 84,61
3. Marah-marah 31 79,48
4. Menceritakan kepada orang lain 4 10,25

Koping mekanisme yang digunakan klien risiko perilaku kekerasan sebagian


besar klien menggunakan koping mekanisme memendam masalah, diam (represi,
supresi, regresi) sebesar 87,17% dimana klien dengan kepribadian menutup diri.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


79

4.1.7 Diagnosis Keperawatan dan Medik


4.1.7.1 Diagnosa keperawatan
Klien yang dikelola penulis memiliki diagnosa yang lain selain diagnosa risiko
perilaku kekerasan (Tabel 4.7), diketahui bahwa diagnosa penyerta yang paling
banyak ditemukan adalah halusinasi pendengaran sebesar 94,87% disusul isolasi
sosial sebesar 69,23%.

Tabel 4.7
Distribusi Diagnosis Keperawatan yang Menyertai pada Klien Risiko
Perilaku Kekerasan di Kresna, Periode 17 Februari-18 April 2014 (n = 39)

Diagnosis Utama Diagnosis penyerta Jumlah Persentase (%)


Halusinasi pendengaran 37 94,87
Isolasi sosial 27 69,23
Defisit perawatan diri 25 64,10
Risiko perilaku
Harga diri rendah 25 64,10
kekerasan
Resiko Bunuh Diri 11 28,20
PRTI 9 11,1
KKIE 5 12,82

4.1.7.2 Diagnosis dan Terapi Medis


Berikut akan dipaparkan diagnosis medis pada klien risiko perilaku kekerasan di
Ruang Kresna RSMM Bogor.

Tabel 4.8
Diagnosis Medis Pada Klien Klien Risiko Perilaku Kekerasan
di Kresna, Periode 17 Februari-18 April 2014 (n = 39)
Persentase
Aspek Medis n (39)
(%)
Diagnosis Medis:
- Skizoprenia paranoid 25 64,10
- Psikotik Akut 11 28,20
- Skizoafektif 3 7,7

Berdasarkan tabel tersebebut sebagian besar klien didiagnosis dengan skizofrenia


paranoid (64,10%). Terapi psikofarmaka diberikan golongan Anti psikotik
golongan 1 pada 39 klien seperti haloperidol 5 mg, chlorpromazine 100mg,
trifluoperazine 5 mg, dan kombinasi dengan kombinasi Anti Psikotik golongan 2
seperti clozapine (Clozaril), risperidone (risperdal), olanzapin (zyprexa),
quetiapine (Seroquel), dan aripiprazole (Abilify) pada 26 klien.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


80

4.2 Penatalaksanaan Klien dengan Diagnosa Keperawatan Risiko perilaku


kekerasan
4.2.1 Rencana Tindakan
Rencana manajemen asuhan keperawatan pada klien dengan risiko perilaku
kekerasan di Kresna dilakukan berdasar pada upaya mencegah dan mengelola
perilaku agresif pada klien dengan perilaku kekerasan yaitu berada dalam suatu
rentang yaitu strategi pencegahan, strategi antisipasi dan strategi pembatasan
(Stuart, 2013).

Tabel 4.9
Perencanaan Penatalaksanaan pada Klien dengan Risiko Perilaku Kekerasan di
Ruang Kresna RSMM Bogor
Strategi Pencegahan Strategi Antisipasi Strategi Pembatasan
Th/Generalis Th/ Spesialis Th/ Spesialis Manajemen krisis
Terapi Assertive Cognitive behavior 1. Restrain
generalis trainning therapy
2. Seclusion

4.2.2 Implementasi Keperawatan


Tindakan keperawatan yang diberikan meliputi manajmen krisis, terapi generalis
dan terapi spesialis yang keduanya dilakukan oleh mahasiswa serta bekerja sama
dengan tim kesehatan di Ruang Kresna RSMM.

Tabel 4.10
Distribusi Pelaksanaan Manajemen Krisis Klien Risiko Perilaku Kekerasan
di Kresna Periode 17 Februari-18 April 2014 (n = 39)
No Terapi Keperawatan Jumlah Presentasi (%)
1. Restraint 28 71,79%
2. Seklusi/isolasi 15 38,46%

Berdasarkan tabel 4.10 dijelaskan manajemen krisis yang dilakukan pada klien
dengan resiko kekrasan didapatkan klien yang dilakukan restaint sebesar 71,79%
atau 28 klien klien dilakukan restraint karena klien dalam kondisi akut dan klien
masuk dalam penilaian Respon Umum Fungsi Adaptif (RUFA) 1 dengan tindakan
intervensi I yaitu klien dilakukan restraint sebagai jalan terakhir dari tindakan dan

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


81

bukan sebagai terapi. Klien yang mendapatkan tindakan restraint dan seklusi
terjadi pada 4 orang klien.
Pelaksanaan restraint pada klien dengan kondisi akut perlu mendapat perhatian
dengan tetap menjaga dan memperhatiakn keamana dan keselamatan klien dan
petugas dan juga menjaga privacy klien. Selama praktik penulis juga memberikan
pelatihan bagi perawat diruagan tentang manajemen krisi dan cara melakukan
restraint yang aman bagi klien dan juga aman bagi tim dalam menagani kondisi
krisis. Termasuk lamanya waktu melakukan restraint pada orang dewasa
maksimal 4 jam dan pada anak anak dan geriatri maksimal 2 jam (Townsend,
2009). Sehingga saat pelaksanaan restraint klien ang dalam kondisi akut tidak
dilihat oleh klien lain dan ruang tempat klien direstraint pun tidak dapat dengan
mudah dilihat oleh pasien lain.

Tabel 4.11
Distribusi Pelaksanaan Terapi Spesialis Keperawatan Jiwa pada Klien Risiko
Perilaku Kekerasan di Kresna Periode 17 Februari-18 April 2014 (n = 39)
No Terapi Keperawatan Jumlah
1. Terapi Generalis 39
2. Terapi Spesialis
a. Cognitive behavior therapy 24
b. Assertive training 15

Terapi generalis dilakukan kepada dengan 39 klien, rata-rata dilakukan sebanyak


3-4 kali. Tindakan generalis sebagian besar juga dilakukan oleh perawat ruangan
dan mahasiswa praktik yang lain. Tindakan keperawatan yang dilakukan berupa
mengevaluasi kemampuan yang telah dimiliki klien untuk mengontrol rasa
marahnya dan melatih kemampuan yang belum dimilki untuk mengontrol perilaku
kekerasan (cara fisik, patuh minum obat verbal, sosial, dan spiritual).

Terapi spesialis merupakan terapi lanjutan dan terapi ini dapat diberikan
bersamaan dengan terapi generalis yang diberikan oleh perawat ruangan atau
mahasiswa keperawatan yang praktik, diberikan terhadap 39 klien. Klien dengan
resiko perilaku kekerasan pemberian terapi spesialis yaitu: Assertive training (AT)
dan Cognitive Behavior Therapy (CBT). Pemberian Assertive training (AT)

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


82

diberikan pada klien resiko perilaku kekerasan dengan perilaku verbal yang
dimunculkan oleh klien dan tidak diikuti perilaku fisik atau non verbal. Klien
resiko perilaku kekerasan diberikan terapi spesialis Cognitive Behavior Therapy
(CBT) jika perilaku kekerasan yang dimunculkan oleh klien bukan hanya secara
verbal tetapi juga dengan non verbal atau tindakan fisik. Assertive training (AT)
diberikan pada 15 klien.

Terapi AT rata-rata diberikan dalam 1-3 kali pertemuan hal ini terjadi karena
masa akut klien sudah tertangani sehingga klien dipindahkan ke ruang gatot kaca
sehingga terapi tidak sampai tuntas namun penilaian tanda dan gejala diawal tetap
diukur dan akhir dari terapi yang diberikan sebelum klien dipindahkan ke ruang
gatot kaca. Keterampilan yang dilatih kepada klien dalam pelaksanaan assertive
trainning khususnya dengan masalah risiko perilaku kekerasan yaitu melatih
kemampuan mengungkapkan marah secara langsung dan secara asertif kepada
orang lain, mengekspresikan sesuatu secara tepat, menyampaikan kebutuhan dan
keinginan. Setelah mengikuti assertive trainning sesi 1-3, klien menunjukkan
peningkatan kemampuan dalam hal mengungkapkan secara asertif terutama dalam
hal mengekspresikan kebutuhan atau keinginan baik secara verbal maupun non
verbal. Cognitive Behavior Therapy (CBT) diberikan terhadap 24 klien dengan
frekuensi interaksi rata-rata 1-3 sesi. Tujuan dari pelaksanaan terapi ini adalah
merubah pikiran maupun perilaku negatif yang ada dalam diri klien untuk dirubah
menjadi hal positif yang bersifat adaptif. Setelah dilakukan terapi kognitif perilaku
klien banyak mengalami perubahan khususnya dalam respon kognitif, perilaku
dan sosialnya.

4.2.3 Evaluasi Hasil


Alat ukur yang dipakai pada klien dengan perilaku kekerasan adalah dengan
menggunakan alat ukur tanda dan gejala berdasarkan respon dari stressor seperti
kognitif, afektif, fisiologi, perilaku dan sosial. Masing- masing tiap respon yang
muncul adalah kognitif 9, afektif 9, fisiologi 12, perilaku 10 dan sosial 8 sehingga
semua berjumlah 49 tanda dan gejala. Alat ukur ini pertama digunakan saat
pertamakali melakukan pengkajian terhadap klien dan dinilai berapa banyak tanda

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


83

dan gejala yang muncul dan kedua alat ini dipakai setelah klien mendapat terapi
dan saat klien akan dipindahkan ke ruang gatot kaca. Semakin tinggi skor maka
semakin banyak tanda dan gejala dari respon yang muncul dari stressor, semakin
rendah skor maka semakin rendah tanda dan gejala akibat dari respon stressor.

Berdasarkan tabel 4.12 pemberian terapi AT menunjukkan penurunan tanda dan


gejala RPK. Penurunan pada aspek kognitif sebesar 3,93poin. Penurunan pada
aspek afektif sebesar 4,40. Penurunan pada aspek fisiologi sebesar 4,47 poin.
Penurunan pada aspek perilaku sebesar 4,6 poin. Penurunan pada aspek sosial
sebesar 5,07 poin. Penurunan paling tinggi terdapat pada aspek sosial disusul oleh
penurunan aspek fisiologis.

Tabel 4.12
Respon Stressor Perilaku Kekerasan Pada Klien Klien Risiko Perilaku
Kekerasan di Kresna, Periode 17 Februari-18April 2014 (n = 39)
AT (n=15) CBT (n=24 )
Aspek Pre Post Selisih Pre Post Selisih
7,46 3,53 8,25 4,79
Kognitif 3,93 3,46
(82,96%) (39,25%) (91,66%) (53,24)

7,46 3,06 7,83 4,41


Afektif 4,40 3,42
(82,96%) (34,07%) (87,03%) (49,07)

7,73 3,26 8,87 4,12


Fisiologis 4,47 4,75
(85,92%) (36,29%) (68,26%) (31,73%)

7 2,4 9.08 4,45


Perilaku 4,6 4,63
(70%) (24%) (90,83) (44,58%)

6,53 1.46 5,75 2,41


Sosial 5,07 3,34
(81,66%) (18,33%) (71.87%) (30,20%)

Pemberian terapi CBT juga menunjukkan penurunan tanda dan gejala RPK.
Penurunan pada aspek kognitif sebesar 3,46 poin. Penurunan pada aspek afektif
sebesar 3,42. Penurunan pada aspek fisiologi sebesar 4,75 poin. Penurunan pada
aspek perilaku sebesar 4,63 poin. Penurunan pada aspek sosial sebesar 3,34 poin.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


84

Penurunan paling tinggi terdapat pada aspek fisiologis disusul oleh penurunan
aspek perilaku.
Kemampuan klien dalam latihan asertif juga dilakukan dengan menggunakan alat
ukur terhadap masing-masing sesi AT. Alat ukur ini mengacu pada penelitian
Alini (2012). Masing-masing sesi memiliki pernyataan sebagai berikut sesi 1: 3
pernyataan, sesi 2: 4 pernyataan, sesi 3: 9 pernyataan, sesi 4: 3 pernyataan dan sesi
5: 6 pernyataan, sehingga total jumlah pernyataan adalah 25 pernyataan. Semakin
tinggi jumlah skor maka semakin tinggi kemampuan klien mengatasi masalah
perilaku kekerasan. Pengukuran ini dilakukan setelah pemberian terapi sesi AT.
Hasil pengukuran tsb akan dipaparkan pada tabel 4.13.

Kemampuan klien dalam latihan CBT juga dilakukan dengan menggunakan alat
ukur terhadap masing-masing sesi pelaksanaan CBT. Masing-masing sesi
memiliki pernyataan sebagai berikut sesi 1: 3 pernyataan, sesi 2: 3 pernyataan,
sesi 3: 3 pernyataan, sesi 4: 3 pernyataan dan sesi 5; 10 pernyataan, sehingga total
jumlah pernyataan adalah 22 pernyataan. Semakin tinggi jumlah skor maka
semakin tinggi kemampuan klien mengatasi masalah perilaku kekerasan.
Pengukuran ini dilakukan setelah pemberian terapi sesi III dah CBT dan saat klien
mau pindah keruangan Gatot kaca. Hasil pengukuran tsb akan dipaparkan pada
tabel 4.13.

Tabel 4.13
Kemampuan Assertive Training (AT) Pada Klien Risiko Perilaku Kekerasan
di Kresna Periode 17 Februari-18 April 2014 (n = 14)
Σ Pre Post Selisih
Sesi Kemampuan
Sesi I 3 0,40 2,6 2,2
Sesi II 4 0,93 3,66 2,73
Sesi III 9 0,86 7,8 6,93
Sesi IV - - - -
Sesi V - - - -

Berdasarkan tabel 4.13 didapatkan peningkatan kemampuan klien dalam


melakukan terapi Assertive Training (AT) dengan rata-rata kemampuan sesi 1

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


85

sebelum terapi 0, 40 atau 13,33% menjadi 2,6 atau 86,66%. Kemampuan sesi 2
sebelum terapi 0,93 atau 23,33% menjadi 3,66 atau 91, 66%. Kemampuan sesi 3
sebelum terapi 0,86 atau 9,62% menjadi 7,8 atau 86,66%.

Berdasarkan tabel 4.14 didapatkan peningkatan kemampuan klien dalam


melakukan terapi Cognitive Behavior Therapy (CBT) dengan rata-rata
kemampuan sesi 1 sebelum terapi 0, 29 atau 9,72% menjadi 2,66 atau 88,88%.
Kemampuan sesi 2 sebelum terapi 0,58 atau 19,44% menjadi 2,70 atau 90,27%.
Kemampuan sesi 3 sebelum terapi 0,29 atau 9,72% menjadi 2,75 atau 91,66%.

Tabel 4.14
Kemampuan Cognitive Behavior Therapy (CBT) Pada Klien Risiko
Perilaku Kekerasan di Kresna Periode 17 Februari-18 April 2014 (n = 25)
Σ Pre Post Selisih
Sesi Kemampuan
Sesi I 3 0,29 2,66 2,37
Sesi II 3 0,58 2,70 2,12
Sesi III 3 0,29 2,75 2,46
Sesi IV - - - -
Sesi V

4.3 Kendala Pelaksanaan Asuhan Keperawatan


Kendala yang ditemukan pada pelaksanaan terapi individu adalah kondisi klien
yang dalam fase akut, sehingga pelaksanaan terapi generalis mulai dilakukan saat
klien mulai masuk intervensi 2 berdasarkan RUFA penilaian RUFA 2. Kendala
yang muncul adalah penggunaan psikofarmaka yang kurang optimal pada kondisi
akut sehingga kondisi akut klien belum berkurang dalam 1x 24 jm. Kendala lain
yang muncul adalah saat pemberian terapi tidak ada ruang atau tempat khusus
dimana klien dapat mengikuti terapi dengan aman dan nyaman. Kendala
selanjutnya adalah baik terapi generalis maupun spesialis tidak dapat dilaksanakan
sampai tuntas, namun demikian peneurunan tanda dan gejala dapat diukur dan
juga kemampuan yang telah dicapai klien dalam terapi dapat diukur. Banyaknya
jumlah mahasiswa praktikan yang sering berinteraksi dengan klien, membuat

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


86

klien mudah terstimlus untuk menjadi gelisah karena klien tidak ada waktu untuk
sendiri dan klien juga jenuh bila harus berinteraksi lagi dengan topik yang sama
dan diulang- ulang.

4.4 Rencana Tindak Lanjut


4.4.1 Klien: meningkatkan kemampuan dengan meneruskan latihan yang sudah
dijadualkan dengan difasilitasi oleh perawat ruangan.
4.4.2 Keluarga: keluarga sebaiknya datang untuk menjenguk klien walaupun
klien berada di ruang Kresna, diharapkan keluarga dapat menjadi support
sistem bagi klien selama klien dalam perawatan. Dengan keluarga
mengunjungi klien keluarga juga dapat belajar bagaimana cara merawat
klien termasuk mengetahui tentang penyakit klien, mengenal tanda dan
gejala yang semuanya didapat keluarga dari perawat dalam terapi
psikoedukasi keluarga. Hal ini penting untuk juga mengurangi stigma yang
diberikan keluarga terhadap klien atau stigma yang diberikan oleh
lingkungan terhadap klien dan keluarga.
4.4.3 Perawat: sejak awal masuk klien dan keluarga sudah dibuatkan dicharge
planning sehingga klien dan keluarga dapat mengetahui apa yang
dilakukan setelah pulang perawatan. Kontuinitas perawatan atau
perawatan berkelanjutan antara perawatan yang telah diberikan di ruang
Kresna dan yang akan dilanjutkan oleh perawat mahasiswa spesialis yang
ada diruang intermedite Gatot kaca atau ruang lain sehingga klien
mendapatkan asuhan yang berkelanjutan.
4.4.4 Lingkungan Perawatan: tempat yang aman pada klien saat klien dalam
kondisi akut, tidak menimbulkan trauma baru buat klien, memperkecil
terjadinya cidera dengan tetap menjaga privacy klien saat dilakukan
tindakan restraint, seklusi dan pemberian terapi generalis dan terapi
spesialis.

Universitas Indonesia

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


87

BAB 5
PEMBAHASAN

Bab ini menjelaskan tentang pembahasan dari hasil manajemen asuhan


keperawatan spesialis pada klien dengan resiko perilaku kekerasan di ruang
Kresna RSMM Bogor. Pembahasan terkait manajemen pelayanan yang
menunjang pelaksanaan asuhan keperawatan yang diberikan, hasil, kendala serta
tindak lanjut yang ditemukan selama proses pelaksanaan asuhan keperawatan.
Pembahasan manajemen kasus spesialis pada klien resiko perilaku kekerasan
meliputi hasil pengkajian klien dengan menggunakan Model Adaptasi Stuart yang
meliputi predisposisi, presipitasi, penilaian terhadap stressor, sumber koping dan
mekanisme koping dengan menggunakan aplikasi menggunakan pendekatan
Model Adaptasi Roy dan Johnson’s Behavioural System Model.

5.1 Hasil Pengkajain kondisi klien dengan resiko perilaku kekerasan


Hasil pengkajian yang didapatkan pada klien dengan resiko perilaku kekerasan
meliputi karakteristik klien risiko perilaku kekerasan (usia, pendidikan, status
pekerjaan, status perkawinan) faktor predisposisi, presipitasi, penilaian terhadap
stresor, sumber koping, dan mekanisme koping dengan pendekatan model Stuart.

5.1.1. Karakteristik Klien Risiko Perilaku Kekerasan di Ruang Kresna


5.1.1.1 Usia
Klien yang dirawat di ruang Kresna dengan masalah risiko perilaku kekerasan
sebagian besar berada pada rentang usia 25 – 60 tahun lebih banyak yakni 29
orang (74,36%) dari 39 klien. Usia 25-65 tahun digolongkan dalam usia dewasa
(Generativity Versus Stagnation) dalam tahap usia ini individu dicirikan dengan
kemampuan individu terlibat dalam kehidupan keluarga, masyarakat, pekerjaan
dan mampu membimbing anaknya. Pada usia produktif ini individu memiliki
tuntutan terhadap pencapaian aktualisasi diri baik yang datang dari diri sendiri,
keluarga, maupun lingkungan (Erikson 1963, dalam Townsend (2009). Usia
tersebut merupakan usia tugas perkembangan dewasa dimana menurut Erikson,

Universitas Indonesia
87

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


88

2000 dalam Stuart (2013) klien mempunyai tugas perkembangan


mempertahankan hubungan saling ketergantungan, memilih pekerjaan, memilih
karir, melangsungkan perkawinan, dan klien juga mendapatkan tuntutan dari
lingkungan (keluarga, kelompok) terkait dengan tugas perkembangan yang
diemban. Masa dewasa merupakan masa kematangan dari aspek kognitif, emosi,
dan perilaku seseorang, kegagalan dalam mencapai tingkat kematangan tersebut
maka individu akan sulit memenuhi tuntutan perkembangan pada usia tersebut
dan dapat berdampak terjadinya gangguan jiwa.

WHO (2011) menyatakan tujuh per seribu populasi orang dewasa terutama usia
15-35 tahun mengalami skizofrenia, sedangkan Stuart (2013) menjelaskan bahwa
pada usia dewasa mempunyai resiko tinggi terjadinya gangguan jiwa. National
Institute of Mental Health (NIMH) berdasarkan hasil sensus penduduk Amerika
Serikat tahun 2004, memperkirakan 26,2% penduduk yang berusia 18 tahun atau
lebih mengalami gangguan jiwa (NIMH, 2011). Skizofrenia jarang terjadi pada
penderita berusia kurang dari 10 tahun atau lebih dari 50 tahun (Sinaga, 2007).
Usia pelaku kekerasan paling banyak dibawah 30 tahun dan hal ini dikaitkan
dengan kegagalan dalam memenuhi tugas perkembangan dan adanya tuntutan
lingkungan (Keliat, 2003). Penelitian yang dilakukan oleh Bobes, Fillat, Arango
(2009); Belli dan Ural (2012) didapatkan bahwa pada klien usia muda lebih
cendrung melakukan perilaku kekerasan dan ini juga sesuai dengan temuan yang
dilakukan Pasaribu, Hamid, Mustikasari (2013) dan Hastuti, Hamid, Mustikasari
(2013) bahwa resiko/ perilaku kekerasan terjadi pada usia muda usia produktif
(20-42 tahun). Berdasarkan dari beberapa hasil temuan diatas didapatkan bahwa
usia muda adalah usia produktif dimana individu dituntut terhadap pencapaian
aktualisasi diri baik yang datang dari diri sendiri, keluarga, maupun lingkungan
dan jika tugas terebut tidak tercapai atau mengalami kegagalan maka individu
cendrung melakukan perilaku kekerasan sebagai akibat dari kegagalan. Usia juga
mempengaruhi klien dalam menerima pembelajaran terapi karena usia > 45 tahun
kemampuan untuk menerima latihan terapi pun hasilnya akan berbeda dengan usia
kurang dari 45 tahun.

Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
89

5.1.1.2 Pendidikan
Pendidikan merupakan suatu tolok ukur untuk menilai kemampuan seseorang
dalam berinteraksi dengan orang lain secara efektif, dan tingkat pendidikan juga
akan mempengaruhi cara orang berfikir dan melakukan analisa suatu masalah,
dalam membuat keputusan, memecahkan masalah dan mempengaruhi individu
dalam menilai stressor. Tingkat pendidikan pada sebagian pada klien resiko
perilaku kekerasan di ruang Kresna adalah pendidikan menengah lebih banyak
yaitu 19 orang (48,72%) yaitu 19 orang (48,72%) dibanding dengan pendidikan
rendah dan tinggi. Hasil ini menunjukan bahwa latar belakang pendidikan klien
resiko perilaku kekerasan cukup bisa dipakai ataupun dimanfaatkan oleh klien
dalam menerima pengetahuan ataupun informasi. Hasil ini juga dapat membantu
dalam pemberian asuhan keperawatan terhadap klien dan pemberian terapi baik
generalis maupun spesialis Assertive Training (AT) dan Cognitive Behaviour
Therapy (CBT). Notoatmodjo (2003) menjelaskan bahwa dalam jangka pendek
(immediate impact) pendidikan akan menghasilkan perubahan atau peningkatan
pengetahuan individu.

Hasil ini berbeda dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Keliat (2003)
menjelaskan bahwa perilaku kekerasan biasanya dilakukan oleh individu dengan
latar belakang pendidikan rendah. Penelitian oleh Pasaribu, Hamid, Mustikasari
(2013) dimana 53,84% klien yang dirawat di ruang Gatot kaca RSMM Bogor
dengan resiko perilaku kekerasan berpendidikan tinggi. Berbeda dengan penelitian
yang dilakukan oleh Hastuti Hamid, Mustikasari (2013) dimana didapatkan hasil
yang hampir sama dengan penulis dapatkan yaitu 46,6% berpendidikan
menengah.
Berdasarkan berapa temuan pada penelitian sebelumnya didapatkan bahwa tingkat
pendidikan seeorang mempengaruhi individu dalam berespon terhadap stressor
dan penggunaan strategi mekanisme koping. Hal ini sesuai dengan Stuart (2013)
yang menjelaskan bahwa strategi koping sangat berhubungan dengan fungsi
kognitif. Dengan pendidikan yang tinggi maka akan mempengaruhi kemampuan
seseorang dalam memiliki penalaran yang rasional dan berpikir kritis dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Dengan adanya pendidikan tinggi akan

Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
90

mudah dalam memberikan pengetahuan dan informasi terkait dengan masalah


kesehatan yang dihadapi oleh klien.

5.1.1.3 Status Pekerjaan


Sebagian besar klien tidak bekerja sebanyak 31 orang (79,49%) hal ini
menunjukan bahwa klien perilaku kekerasan tidak memepunyai penghasilan
sehingga status sosial ekonomi juga rendah. Penelitan yang dilakukan oleh
Pasaribu, Hamid, Mustikasari (2013) juga menunjukan bahwa klien tidak bekerja
sebanyak 7 orang (53,84%) lebih banyak dibanding yang tidak bekerja sebesar
46,15% atau 6 orang klien. Penelitian yang dilakukan oleh Hastuti Hamid,
Mustikasari (2013) didapatkan klien yang tidak bekerja sebanyak 9 orang (60%)
lebih banyak dibanding yang tidak bekerja sebesar 40% atau sebesar 6 klien. Hal
ini senada dengan yang dipaparkan oleh Townsend (2009) yang menjelaskan
bahwa tingkat sosial ekonomi rendah merupakan salah satu faktor sosial yang
menyebabkan tingginya angka gangguan jiwa termasuk skizofrenia. Perilaku
kekerasan dipengaruhi karena klien tidak memiliki pekerjaan (Keliat, 2003).
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa tidak mempunyai
pekerjaan lebih beresiko untuk mengalami berbagai masalah dalam menjalankan
aktivitas hidup sehari-hari, sehingga berdampak kepada kurangnya rasa percaya
diri untuk tampil dalam lingkungan sosialnya sehingga sangat beresiko untuk
mengalami resiko perilaku kekerasan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
status sosioekonomi yang rendah lebih berpotensi mengalami gangguan jiwa yang
dapat menyebabkan perilaku agresif dibanding dengan tingkat sosio ekonomi
yang tinggi.

5.1.1.4 Status Perkawinan


Tahap perkembangan Erikson pada usia dewasa yang harus dicapai adalah
menjalin hubungan yaitu mengembangkan hubungan intim dengan lawan jenis
dalam ikatan pernikahan. Status perkawinan klien resiko perilaku kekerasan yang
dirawat paling besar adalah belum menikah yaitu sebesar 28 orang (71,80%).
Hasil ini hampir sama dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Pasaribu, Hamid, Mustikasari (2013) sebesar 69,23% dan juga Hastuti Hamid,

Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
91

Mustikasari (2013) 53, 3%. Penelitian lain juga dijelaskan bahwa angka kejadian
perilaku kekerasan pada klien dengan skizorenia didapatkan pada klien yang
belum menikah (Bobes, Fillat, Arango (2009); Belli dan Ural, 2012). Faktor
predisposisi terjadinya perilaku kekerasan salah satunya adalah ketidak mampuan
mencintai sehingga kien yang bercerai atau tidak memiliki pasangan masuk dalam
risiko mengalami gangguan jiwa Stuart (2009). Dengan demikian dapat
disimpulkan kegagalan dan mencapai tugas perkembangan usia dewasa, seperti
tidak mampu menjalin hubngan intim, tidak mampu mencintai dan tidak memiliki
pasangan hidup atau adanya peceraian merupakan stressor bagi indivdu yang
membuat individu tersebutmenjai malu, frustasi dan marah sehingga
mengakibatkan individu mengalai perilaku kekerasan.

5.1.1.5 Onset atau lamanya gangguan


Onset atau lamaya gangguan jiwa yang dialami oleh klien dengan resiko perilaku
kekerasan paling banyak adalah > 5 tahun sebesar 48,71%. Hal ini menjelaskan
bahwa klien sudah mengalami gangguan jiwa dengan perilaku kekerasan lebih
dari 5 tahun dan kondisi ini tentunya akan memperberat kondisi klien. Lamanya
klien mengalami gangguan jiwa juga akan mendapat stigma dari keluarga ataupun
masyarakat dan akibat stigma ini membuat evaluasi diri klien terhadap dirinya
menjadi negatif (Cristine at al., 2003). Berdasarkan hal tersebut diatas dapat
dijelaskan bahwa evaluasi diri negatif klien membuat klien malu dan menghindari
kontak dengan orang lain menekan kemarahan dan mengakibatkan klien
melakukan perilaku kekerasan.

5.1.1.6 Frekuensi masuk rumah sakit


Didapatkan hasil bahwa klien dengan resiko perilaku kerasan memiliki frekuensi
rata-rata dirawat adalah 2-5 x sebanyak 29 klien (74,56%). Menurut Fryor et al,;
2003 dalam Stuart( 2009) menjelaskan petugas secara sengaja atau tidak sengaja
karena perilakunya juga dapat berpotensi sebagai pencetus perilaku kekerasan
pada klien. Menurut teori pembelajaran sosial Riyadi dan Purwanto (2009), bahwa
perilaku kekerasan merupakan proses sosialisasi sebagai hasil dari pembelajaran
internal dan ektenal. Proses pembelajaran eksternal terjadi ketika individu

Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
92

mengamati perilaku kekerasan seseorang yang menjadi role model seperti orang
tua, rekan, saudara, olahragawan, dan entertainment figur (Stuart, 2013). Dengan
demikian dapat dijelaskan bahwa perilaku kekerasan juga dapat muncul akibat
klien seringdirawat dan klien juga melihat perilaku kekerasan yang terjadi dimana
klien tinggal termasuk saat klien dirawat.

5.1.2 Hasil Pengkajian Kondisi Klien dengan Risiko Perilaku Kekerasan


Hasil pengkajian pada klien resiko perilaku kekerasan di ruang Kresna didapat
dari faktor predisposisi, presipitasi, penilaian terhadap stresor, sumber koping, dan
mekanisme koping yang digunakan klien. Dibawah ini akan dibahas tentang hasil
pengkajian proses terjadinya resiko perilaku kekerasan.

5.1.2.1 Faktor Predisposisi


Berdasarkan hasil pengkajian terhadap faktor predisposisi yang didapatkan pada
klien dengan resiko perilaku kekerasan di Ruang Kresna untuk faktor biologi
didapatkan sebagian besar adalah faktor genetik yaitu 51,28%. Hasil ini hampir
sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Pasaribu Hamid, Mustikasari (2013)
yang dilakukan di ruang Gatot kaca RSMM yaitu 57,14% pada klien dengan
resiko perilaku kekerasan. Menurut Sadock dan Sadock (2007) menjelaskan
bahwa kembar monozigot memiliki kecenderungan 4-5 kali mengalami gangguan
jiwa dibanding kembar dizigot dan memiliki peluang 50 kali mengalami gangguan
jiwa dibanding populasi. Hal ini diperkuat oleh Townsend (2009), yang
memaparkan bahwa faktor genetik ditemukan pada individu yang memiliki
keluarga yang anggota keluarganya dengan gangguan jiwa. Berdasarkan hasil
yang didapatkan dan berdasarka teori yang ada dapat di jelaskan bahwa gangguan
jiwa dapat diturunkan dari anggota keluarga yang mngalami gangguan jiwa. Klien
yang dirawat oleh anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa akan
mengadopsi perilaku orang yang mengalami gangguan jiwa yang berpotensi
mengalami gangguan jiwa dibandingkan dengan populasi.

Menurut Townsend (2009), faktor genetik biasanya ditemukan pada individu yang
memiliki keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan gangguan jiwa. Klien

Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
93

yang dirawat oleh anggota keluaga yang mengalami gangguan jiwa akan
mengadopsi perilaku orang yag mengasuh berpotensi mengalami gangguan jiwa
dibandingkan dengan populasi. Temuan pada klien yang dikelola, hanya 1 klien
yang memiliki ibu yang menderita skizopfrenia. Faktor genetik lain ditemukan
dari sepupu, uwak, dan bibi. Hal ini membuktikan bahwa memang secara genetik,
gangguan jiwa memang diturunkan.

Hasil pengkajian predisposisi faktor psikologis didapatakan bahwa 76,92 % klien


dikarenakan masalah yang berhubungan dengan konsep diri klien. Kemarahan
dapat terjadi ketika individu mengalami frustasi, terluka, atau ketakutan dan jika
individu mengalami kesulitan dalam mengekspresikan kemarahan maka ini sering
dikatkan denga gangguan jiwa (Koh, Kim & Park, 2002 dalam Videback, 2008).
Stuart (2013) menjelaskan bahwa faktor psikologis, yang meliputi konsep diri,
intelektualitas, kepribadian, moralitas, pengalaman masa lalu, koping dan
keterampilan komunikasi secara verbal mempengaruhi perilaku seseorang dalam
hubungannya dengan orang lain. Hal ini diperjelas dalam Erickson (1963 dalam
Townsend, 2009) yang memaparkan bahwa adanaya pengalaman penolakan dari
orang tua orang tua pada masa bayi akan membuat anak tersebut menjadi tidak
percaya diri dalam berhubungan dengan orang lain, kondisi ini akan membuat
individu lebih cenderung merasa rendah diri. Berdasarkan uraian tersebut diatas
dapat disimpulkan bahwa individu yang mempunyai masalah dengan konsep diri
akan mudah mengalami resiko perilaku kekerasan saat stressor datang.

Hasil pengkajian predisposisi untuk faktor sosial budaya didapatkan sebesar


79,48% adalah masalah ekonomi. Hasil ini sama dengan penelitia yang dilakukan
oleh Pasaribu, Hamid, Mustikasari (2013) dan Hastuti, Hamid, Mustikasari
dimana kondisi ekonomi menjadi predisposisi dari faktor sosial budaya terjadinya
perilaku kekerasan. Stuart (2013) menjelaskan bahwa status ekonomi merupakan
salah satu faktor pendukung klien dalam mengatasi masalah. Hal ini didukung
oleh Townsend (2009) yang menyatakan bahwa status sosio ekonomi yang rendah
lebih banyak mengalami gangguan jiwa dibandingkan tingkat sosioekonomi
tinggi. Berdasarkan hasil yang penulis dapatkan dan beberapa penelitian

Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
94

sebelumnya serta dari beberapa referensi yang ada dapat disimpulkan bahwa
kondisi ekonomi seseorang mempengaruhi individu dalam kehidupan sosial klien
dan keluarga klien sehingga klien merasa tidak berdaya, merasa ditolak oleh
keluaraga atau lingkungan. Kondisi ekonomi rendahpun menghalangi klien untuk
menggapai harapan, cita-cita dan kenginan, semua hal tersebut diatas menjadi
predisposissi klien berperilaku kekerasan.

5.1.2.2 Faktor Presispitasi


Hasil pengkajian presipitasi pada 39 klien diruang Kresna pada faktor biologi
didapatkan 74,35 % mengalami putus obat. Penelitian sebelumnya Pasaribu,
Hamid, Mustikasari (2013) dan Hastuti, Hamid, Mustikasari (2013) juga
didapatkan hal yang sama yaitu klien mengalami perilaku kekerasan karena putus
obat. Klien mengalami putus obat disebabkan oleh beberapa hal seperti klien
merasa sudah sembuh, adanya rasa jenuh, adanya kebosanan atau klien merasa
ngantuk jika minum obat. Putus obat merupakan penyebab utama relaps klien
skizoprenaia dimana klien berhenti mengkonsumsi antipsikotik (Muller, 2004).
Varcarolis (2009) juga memaparkan bahwa pemicu klien menghentikan
pengobatan secara sepihak karena klien merasa tidak nyaman dan tidak dapat
bertoleransi terhadap efek samping dari obat yang dikonsumsinya. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa penyebab klien atau presipitasi secara faktor
biologi adalah klien mengalami kekambuhan adalah karena putus obat yang
disebabkan klien merasa sudah sembuh, klien merasa tidak sakit lagim merasa
bosan, jenuh dan paling sering juga yang diungkapkan klien adalah rasa tidak
nyaman akibat efek samping dari obat yang dikonsumsinya.

Secara psikologis pada faktor presiptasi adalah adanya keinginan yang tidak
terpenuhi sebesar 92,30 %. Keingina tidak terpenuhi disini adalah ingin menikah,
ingin punya pasangan, ingin mempunyai pekerjaan, ingin mempunyai motor dan
juga ingin mempunyai HP. Kegagalan dalam mencapai keinginan- keinginan
tersebut membuat klien merasa kecewa sehingga muncul perilaku kekerasan.
Sumber stressor yang dialami klien dengan resiko prilaku kekerasan berasal dari
internal dan ekstrenal diri klien. Sumber stressor internal klien adalah kegagalan

Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
95

dalam mencapai keinginandan adanya perasaan bersalah yang ditujukan ke dirinya


sendiri diaman klien merasa frustasi karena keinginan yang tidak tercapai. Sumber
stress eksternal klien adalah adanya tuntutan dan juga kecaman dari lingkungan
sekitar klien tinggal yang membuat klien merasa tidak mampu memenuhinya
sehingga klien merasa tidak nyaman dan terancam sehingga klien merasakan tidak
berharaga. Faktor penyebab perilaku kekerasan dari faktor psikologis diantaranya
kepribadian, pengalaman masa lalu, konsep diri, dan pertahanan psikologi (Stuart
2013). Denga tidak terpenuhinya kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan
klien maka dapat mengakibatkan klien tersebut tidak berkembang egonya dan
membuat rendah konsep diri klien. Kondisi tersebut membuat klien mengalami
ketidak berdayaan dan harga diri rendah sehingga klien menunjukan perilaku
kekerasan.

Klien resiko perilaku kekerasan yang dirawat diruang Kresna waktu terpaparnya
dengan stressor < 1 tahun adalah sebesar 56,41 %. Stuart (2013) menjelaskan
waktu atau lamanya stressor terkait dengan sejak kapan, sudah berapa lama serta
sudah berapa kali kejadiannya. Hal in perlu dilakukan pengkajian karena jika
klien baru pertama kali terpapar stressor atau masalah maka penanggannya harus
lebih intensif supaya tidak terulang kembali dengan tujuan untuk tindakan
pencegahan.

Konsep Model Adaptation Roy menjelaskan timbulnya respon didasarkan pada


stimulus yang ada yaitu stimulus fokal, kontekstual dan residual. Pada klien
perilaku kekerasan sebagai stimulus fokal yaitu didapatkan data bahwa penyebab
dari biologi adalah karena putus obat, penyebab dari psikologi adalah keinginan
yang tidak terpenuhi, sedangkan penyebab dari faktor sosiobudaya adalah masalah
ekonomi dari klien dan keluarga. Sebagai stimulus kontekstualnya adalah adanya
masalah konsep diri klien, sedangkan stimulus residualnya adalah gagal dalam
membina hubungan dengan orang lain dan adanya kegagalan dalam mencapai
keinginan-keinginan. Roy juga menekankan bahwa keperawatan dibutuhkan
untuk mengurangi respon yang tidak efektif pada klien dengan resiko kekerasan
dan meningkatkan respon adaptif sehingga menghasilkan tingkah laku yang sehat.

Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
96

Dengan demikian jelaslah bahwa peran perawat disini besar dalam melakukan
pengkajian tingkah laku adaptasi klien dan stimulus yang mempengaruhi klien
sehingga klien dapat menemukan koping yang positif bagi dirinya.

Johnson’s Behavioural System Model (JBSM) memaparkan bahwa subsistem dari


pencapaian mempunyai tujuan untuk menguasai atau mengontrol aspek pribadi
atau lingkungan untuk mencapai suatu keseimbangan. Klien dengan resiko
perilaku kekerasan gagal dalam mempertahankan fungsi pencapaian dimana klien
tidak mampu menetapkan tujuan, perilaku tidak sesuai dengan tujuan, dan
memiliki interprestasi yang rendah dalam mengevaliuasi tujuan. Hasil pengkajian
dengan pendekatan Johnson menunjukan adanya ketidakseimbangan sistem
perilaku sehingga klien mengalami perilaku kekerasan. Subsistem yang terganggu
sehingga sistem perilaku mengalami ketidakseimbangan yaitu subsistem afiliasi,
ketergantungan, agresifitas dan penerimaan.

Subsistem Afiliasi yaitu berkaitan dengan kebutuhan klien dalam hal fungsi
keamanan dan membuat kemungkinan inklusi sosial, intimasi (keakraban), dan
membentuk pertahanan yang kuat dari ikatan sosial. Pada klien risiko perilaku
kekerasan pengkajian dari subsistem afiliasi difokuskan pada hubungan
interpersonal seperti kegagalan klien dalam mempertahankan hubungan dengan
seseorang untuk mendapatkan inklusi sosial dan kedekatan (intimacy), tidak
mampu berbagi dan tidak mampu berhubungan dengan orang lain. Hal ini
ditunjukan dengan kurang atau tidak adanya dukungan baik dari keluarga,
kelompok dan lingkungan dan klien akhirnya berperilaku menghindar dari
interaksi, menarik diri, dan bermusuhan.

Subsistem dependensi/ ketergantungan merujuk pada suatu respons pemeliharaan


hubungan antar sesama sebagai konsekuensi dari persetujuan, perhatian, atau
pengenalan selama klien melakukan interaksi dengan orang lain. Pengembangan
dari perilaku ketergantungan ini berubah dari bergantung total kepada orang lain
kearah bergantung pada diri sendiri. Klien dengan resiko perilaku kekerasan
kegagalan juga ditemukan pada subsistem dependensi dimana klien gagal dalam

Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
97

mencari dukungan dan bantuan dari orang lain serta ketidakmampuan klien
menggunakan sumber yang ada pada dirinya. Hal ini dapat tercermin dari
mekanisme koping yang digunakan oleh klien yakni menghindar. Dengan
menghindar menunjukan ketidakmampuan klien dalam memecahkan masalah
dengan asertif. Klien lebih banyak berperilaku mensupresi masalah, bermusuhan
dengan orang lain dan melakukan kekerasan untuk menyelesaikan masalahnya.

Johnson’s Behavioural System Model (JBSM) menjelaskan pada subsistem


agresif/proteksi terkait dengan perlindungan diri sendiri dari hal-hal yang
membahayakan, keadaan nyata dan imajinasi. Pengkajian pada subsistem
agresif/proteksi ditemukan adanya kegagalan klien dalam mengenali adanya
ancaman secara biologi, lingkungan, sistem kesehatan, tidak mampu melindungi
tujuan/harapan yang akan diraih, kayakinan, identitas/konsep diri rendah, serta
keterbatasan menggunakan sumber-sumber untuk mengatasi ancaman. Respon
subsistem ini ditunjukan dengan sangat jelas oleh klien perilaku kekerasan dimana
klien berperilaku marah, tersinggung, muka merah, sorot mata tajam, kata-kata
kasar, bermusuhan, dan lain-lain. Hal ini ditunjukan hanya untuk memberikan
perlindungan kepada individu tetapi perilaku perlindungan diri ini tidak dilakukan
dengan asertif.

Johnson’s Behavioural System Model (JBSM) menjelaskan bahwa subsistem


penerimaan, berfungsi untuk pencapaian tujuan atau sebagai alat kontrol dari
beberapa aspek yang ada pada diri klien. Kegagalan pada subsistem ini pada klien
perilaku kekerasan ditunjukan dengan perilaku klien seperti malas untuk
berinteraksi dalam melaksanakan kegiatan diruangan, mensupresi masalah dengan
mengatakan dirinya tidak mempunyai masalah atau tidak sakit, keyakinan yang
negatif dalam menyelesaikan masalah.

5.1.2.3 Penilaian Stressor


Stuart (2013) menjelaskan bahwa penilaian stressor merupakan proses evaluasi
yang menyeluruh yang dilakukan individu terhadap sumber stress, yang bertujuan

Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
98

untuk mengetahuni kemaknaan dari kedian yang dialmi oleh klien. Klien dengan
resiko perilaku kekerasan respon kognitif yang paling banyak 100% adalah tidak
mampu mengontrol perilaku kekerasannya dan juga ingin memukul seseorang.
Penderita skizofrenia terdapat penurunan fungsi kognitif dan yang sering
ditemukan adalah gangguan memori dan fungsi eksekutif lainnya (Sinaga, 2007).

Gangguan memori yang paling sering terjadi adalah gangguan memori segera dan
memori jangka panjang dan fungsi eksekutif yang terganggu adalah kemampuan
berbahasa, memecahkan masalah, mengambil keputusan, atensi dan perencanaan.
Hal ini terjadi karena klien memandang negatif terhadap (stressor) yang ada dan
klien tidak mempunyai kemampuan untuk mengatasinya. Respon afektif pada
klien dengan resiko perilaku kekerasan yang nampak pada klien yakni afek labil
marah, kesal, kecewa dan jengkal masing-masing sebesar 100%. Sinaga (2007)
menjelaskan bahwa respon afektif berhubungan dengan rendahnya metabolisme
glukosa di area brodman 22 (korteks bahasa, asosiatif, sensori). Sedangkan respon
fisiologis yang paling sering ditimbulkan adalah muka merah dan wajah tegang.

Respon perilaku klien klien dengan resiko perilaku kekerasan yang dapat dilihat
adalah respon agresif dan bermusuhan masing-masing 100%. Respon sosial yang
dimunculkan oleh klien dengan resiko perilaku kekerasan adalah paling banyak
adalah bicara kasar, menjerit/berteiak dan mengancam secara verbal sebesar
100%. Klien skizoprenaia mengalami simptom agresif dan hostilitas atau
bermusuhan karena klien mengalami masalah dalam hal pengendalian impuls.
Hostilitas yang muncul pada klien ini berupa penyerangan baik fisik maupun
verbal dan ditujukan pada dirinya sendiri, orang lain dan juga lingkungannya
seperti merusak alat rumah tangga (Sinaga, 2007). Berdasarkan dari penilaian klie
resiko perilaku kekerasan terhadap stressor menunjukan 100% kilien dalam
kondiri agresif dan bermusuhan ini terjadi karena klien dalam kondisi akut dan
klien belum menggunakan mekanisme koping yang adaptif dalam menghadapi
masalahnya. Klien juga dirawat diruang Kresna yang merupakan ruang rawat
intensif psikiatri dimana klien masih dalam kondisi akut akut dimana klien dalam
penilaian dengan RUFA ada pada RUFA I dengan skor 1-10.

Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
99

5.1.2.4 Sumber Koping


Sumber koping meliputi kemampuan personal, dukungan sosial, ketersediaan aset
dan keyakinan klien (Stuart, 2013). Kemampuan personal pada klien dengan
resiko perilaku kekerasan adalah didapatkan sebanyak 82,05% klien tidak tahu
cara mengatasi resiko perilaku kekerasan. Tidak tahu dalam hal ini dapat terjadi
memang klien belum mengetahui cara mengatasi resiko perilaku kekerasan yang
dialaminya atau pada klien yang sudah dirawat lebih dari satu kali klien mungkin
sudah tahu cara menagtasi resiko perilaku kekerasan tetapi klien lupa untuk
memggunakannya atau klien tidak mampu lagi untuk mengunakan kemampuan
yang sudah dimiliki sebelumnya. Di ruang Kresna klien dilatih cara mengatasi
perilaku kekerasan dengan cara klien berlatih cara mengontrol perilaku
kekerasannya dengan latihan fisik seperti tarik nafas dalam, pukul bantal dan
kasur, atihan patuh minum obat, latihan verbal sosial dan latihan spritual. Klien
dilatih untuk latihan mengatasi masalah emosional yang muncul dalam mengatasi
kondisi resiko perilaku kekerasannya dengan diberikan terapi spesialis berupa
pemberian terapi Assertive Training (AT) dan Cognitive Behaviour Therapy
(CBT).

Dukungan sosial pada klien dengan resiko perilaku kekerasan didapatkan hasil
adanya dukungan keluarga tetapi kelurga tidak mampu merawat klien sebesar
71,80%. Keluarga seharusnya menjadi tempat atau lembaga pengasuhan (care
giver) yang paling dapat memberi kasih sayang, efektif, dan ekonomis (Stuart,
2009). Klien dengan resiko perilaku kekerasan dalam kondisi akut sering
melakukan penyerangan atau mengancam anggota keluarga sehingga keluarga
pun menagalami kondisi yang panik dan tidak tahu lagi yang harus dilakukan
pada klien.

Ketersediaan aset pada klien resiko perilaku kekerasan didapatkan hasil sebesar
95% klien adalah peserta jaminan kesehatan (Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial) BPJS. Dalam model stress adaptasi Stuart (2013) menjelaskan bahwa
material asset sebagai salah satu sumber koping. Ketersediaan aset ekonomi

Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
100

sangat mendukung klien dalam mendapatkan pengobatan yang baik. Memiliki


BPJS membantu klien dalam biaya perawatan dan pengobatan selama klien
dirawat dan berobat jalan di RS telah terbukti sangat membantu klien dan
keluarga. Pengobatan yang gratis hendaknya meningkatkan motivasi klien dan
keluarga untuk menuntaskan pengobatan.

Penggunaan fasilitas pelayanan kesehatan penting bagi klien dan keluarga untuk
membawa klien kontrol dan juga tentunya untuk mencegah kekambuhan. Fasilitas
kesehatan yang mudah dijangkau dan tidak banyak mengeluarkan transportasi
bagi klien dan keluarga merupak hal yang menjadi perhatian buat klien untuk
dapat menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan. Tenaga kesehatan yang juga
bisa mengatasi dan menangani klien sangat berperan membantu klien dan
keluarga untuk menggunakan fasilitas kesehatan. Keyakinan klien klien resiko
perilaku kekerasan didapatkan hasil sebesar 100%, dimana klien yakin akan
pengobatan yang dijalaninya, klien yakin untuk sembuh dan mampu mengatasi
masalahnya dan klien juga yakin akan pelayanan tenaga kesehatan di rumah sakit
khususnya di ruag Kresna.

5.1.2.5 Mekanisme Koping


Hasil yang didapat pada klien yang dirawat di Kresna di dapatkan mekanisme
koping yang digunakan paling banyak adalah diam / memendam masalah sebesar
87,17 %. Stuart (2013 ) menjelaskan bahwa mekanisme koping dipakai untuk
melindungi diri dan sebagai upaya dalam mengatasi stressor yang datang. Klien
yang dirawat di ruang Kresna dengan resiko perilaku kekerasan dalam
menghadapi stressor menggunakan mekanisme koping yang berfokus pada emosi
dan kognitif dalam menyelesaikan masalahnya. Dengan demikian klien tidak
mampu mengembangkan koping mekanisme yang adaptif dan efektif dalam
mengatasi masalah yang dihadapinya.

Model adaptasi Roy menjadikan mekanisme koping sebagai suatu proses yang
dipakai untuk membantu klien dalam meningkatkan kemampuan konsep dirinya
sehingga klien dapat berespon adaptif. Mekanisme koping pada model adaptasi

Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
101

Roy ada dua bentuk mekanisme koping, yaitu regulator dan kognator (Roy, 2009).
Mekanisme koping regulator adalah mekanisme koping yang berespon terhadap
system saraf, kimiawi, dan endokrin (Tomey & Alligood, 2006) dan lebih
cenderung untuk masalah fisik atau mekanisme tubuh. Klien dengan resiko
perilaku kekerasan mekanisme koping regulator yang digunakan adalah adanya
terjadinya reaksi tubuh akibat klien mengalami putus obat atau dalam kondisi
putus obat klien akan menjadi gelisah, jalan mondar-mandir, mudah tersinggung
tidak dapat tidur, dan mengalami penurun dalam persepsi dan proses pikir.

Mekanisme koping kognator adalah mekanisme koping yang berespon terhadap


jalur pikiran dan emosi, yang meliputi proses persepsi-informasi, proses belajar,
pengambilan keputusan, dan emosi (Fitzpatrick & Whall, 1989) sehingga
kognator lebih cenderung kearah pikiran dan emosi. Pada klien dengan resiko
perilaku kekerasan ini kemampuan koping klien juga didukung oleh tingkat
pendidikan klien yang sebagian pendidikan menengah. Pada sistem kognator klien
dengan resiko perilaku kekerasan minum obat adalah hal yang membosankan,
klien juga merasa sudah tidak sakit dan obat memberikan dampak efek samping
yang membuat klien merasa tidak nyaman sehingga klien memutuskan untuk
tidak minum obat dengan teratur. Setelah klien klien tidak minum obat klien
mengalami kekambuhan yang membuat klien dirawat dari hal tersebut klien
belajar bahwa dengan putus obat klien akan mengalami kekambuhan. Klien juga
akan belajar menggunakan mekanisme koping yang adaptif dimana klien selama
perawatan mengalami proses belajar dimana klien dilatih menggunakan koping
yang baru atau menguatkan koping yang sudah adaptif melalui latihan Assertive
Training (AT) dan Cognitive Behaviour Therapy (CBT).

5.1.3 Diagnosis Medis


Hasil yang didapatkan pada klien yang dirawat di Kresna dengan resiko perilaku
kekerasan adalah dengan diagnosa medis skizoprenia paranoid sebesar 64,10%.
Diagnosis yang sering ditegakkan dalam skizofrenia adalah skizofrenia paranoid,

Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
102

gambaran klinis skizofrenia paranoid ini penuh dengan curiga, kasar, pada
umumnya bersama halusinasi terutama halusinasi pendengaran, gangguan
persepsi, gangguan afek, serta gangguan pada keinginan/minat (International
Clasification of Diseases (ICD-X) dalam Pardede, Keliat, Wardani, 2013). Hal ini
diperkuat oleh Kaplan dan Saddock (2007) yang menjelaskan bahwa perilaku
kekerasan paling sering dilakukan klien dengan skizopresnia paranoid. Hal ini
dapat terjadi kemungkinan besar disebabkan karena adanya perasaan curiga
terhadap orang lain sehingga klien menampilkan perilaku paranoid dengan
membatasi hubungan dengan orang lain, melidungi ego dengan cara yang agresif.

Videbeck (2011) memaparkan bahwa klien dengan delusi selalu punya keyakinan
bahwa orang lain akan menyakitinya dan klien delusi mencoba melawannya
dengan melakukan perilaku agresif untuk mempertahankan dirinya dan ini
dilakukan sebagai respon klien akibat dari mendengar suara yang didengarnya
yang isinya menggaanggu klien. Klien dengan skizoprenia sering mengalami
halusinasi pendengaran, dimana isi suar-suara yang didengar oleh klien adalah
ancaman dan hinaan kepada klien dan adanya perintah dari suara yang
didengarnya untuk melakukan tindakan melukai dirinya sendiri atau melukai
orang lain.

Tanda dan gejala klien dengan skizoprenia dari dimensi perilaku yang dapat
dilihat adalah klien terlihat lebih banyak berbicara, senyum dan tertawa sendiri,
klien juga mengatakan mendengar suara, melihat, menghirup, mengecap dan
merasa sesuatu yang tidak nyata, merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan,
serta tidak melakukan perawatan diri. Klien susah mempertahankan kontak mata,
tiba-tiba menyeringai atau tertawa tanpa sebab yang jelas (Townsend, 2009; Stuart
& Fontaine, 2009). Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa klien
dengan resko perilaku kekerasan banyak ditemukan pada diagnosa medis dengan
skizoprenia khusunya skizoprenia paranoid, dimana hal ini terjadi karena adanya
gejala positif halusinasi dan delusi yang mana klien mengikuti perintah dari suara
yang didengarnya sehingga klien tidak dapat mengontrol perilakunya dan juga

Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
103

perasaan curiga klien terhadap sekitarnya, perilaku agresi muncul dalam rangka
melindungi diri klien.

Penatalaksanaan psikofarmakologi pada klien skizofrenia adalah dengan


memberikan antipsikotik. Antipsikotik menurut Videbeck (2011) terdiri dari dua
kelompok meliputi kelompok tipikal yang merupkan antagonis dopamin dan
kelompok atipikal yang merupakan antagonis serotonin dan antagonis dopamine.
Antipsikotik tipikal efektif dalam menurunkan gejala positif seperti waham,
halusinasi, gangguan pikiran, dan gejala psikotik lain tetapi tidak tampak efeknya
pada gejala negatif bahkan dapat meningkatkan gejala yang negatif dan
menyebabkan peningkatan kadar prolaktin. Sedangkan menurut Littrell & Littrel
(1998 dalam Videbeck, 2008) antipsikotik atipikal tidak hanya mengurangi gejala
psikotik, tetapi juga mengurangi tanda-tanda negatif seperti tidak memiliki
kemauan dan motivasi karena merasa harga dirinya rendah, menarik diri dan
anhedonia. Antipsikotik yang digunakan gabungan antara tipikal dan atipikal akan
menurunkan gejala psikotik pada fase akut dan menurunkan kekambuhan klien
(Townsend, 2009).

Antipsikotik tipikal bekerja dengan memblok reseptor dopamin (D2) di


mesolimbik sehingga sering disebut Antagonis Reseptor Dopamin (ARD).
Antipsikotik tipikal yang masih sering digunakan adalah haloperidol,
chlorpromazine, trifluoperazine, dan fluphenazine. Sedangkan antipsikotik
atipikal atau Serotonin Dopamin Antagonis (SDA) bekerja melalui interaksi
antara serotonin dan dopamin pada empat jalur dopamin yang berada di otak
sehingga efek samping dari ekstrapiramidal simptomnya lebih rendah dan lebih
efektif dalam mengatasi simptom negatif (Sinaga, 2007). Antipsikotik atipikal
termasuk clozapine (Clozaril), risperidone (risperdal), paliperidone (invega),
olanzapin (zyprexa), quetiapine (Seroquel), ziprasidone (geodone), aripiprazole
(Abilify) (Townsend, 2009; Rhoad, 2011).
Efek samping antipsikotik yang dirasakan mulai dari ketidak- nyamanan ringan
sampai gangguan gerakan yang permanen (Marder, 2000, dalam Videbeck, 2008).
Efek samping yang dirasakan sering menakutkan dan membuat klien merasa

Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
104

bosan, dan hal tersesbut menjadi alasan utama klien menghentikan atau
mengurangi dosis obat. Efek samping antipsikotik dibagi menjadi dua bagian
yaitu efek samping neurologis dan non neurologis. Efek samping neurologis yang
serius adalah efek samping ekstrapiramidal (reaksi distonia akut, akatisia, dan
parkinsonisme), diskinesia tardif, kejang, dan sindroma maligna neuroleptik. Efek
samping non neurologis mencakup sedasi, fotosensitivitas, dan gejala
antikolinergik seperti mulut kering, pandangan kabur, konstipasi, retensi urin, dan
hipotensi ortostatik (Videbeck, 2011).

Antipsikotik juga memberikan efek yang kurang menguntungkan klien sehingga


hal ini perlu diantisipasi oleh perawat untuk menghindari efek negatif yang
muncul dan membahayakan klien (Sinaga, 2007). Antisipasi yang perlu dilakukan
adalah perawat perlu memahami efek samping yang dimunculkan dari tiap anti
psikotik yang diminum klien terlebih pada klien dengan resiko perilaku kekerasan.
Obat antipsikotik tipikal dapat menimbulkan efek samping ekstrapiramidal (reaksi
distonia akut, akatisia, dan parkinsonisme) yang mana dari gejala tersebut dpat
membuat klien tidak nyaman dan gelisah sehingga perawat harus dapat berpikir
kritis apakah klien tersebut gelisah karena kegelisahan dari tanda dan gejala resiko
perilaku kekerasan atau karena akibat dari efek samping yang sedang dialami oleh
klien. Kedua kelompok antipsikotik memiliki efek yang baik untuk mencegah atau
memperpanjang jarak kekambuhan.

5.2 Penerapan asuhan keperawatan spesialis klien Risiko Perilaku


Kekerasan dengan Pendekatan Model Adaptasi Roy dan Johnson’s
Behavioral System Model
Manusia merupakan model adaptif, terbuka, bekerja untuk mencapai suatu tujuan
dan selalu menerima stimulus baik dari dalam dirinya ataupun dari luar dirinya
(Roy 1968 dalam Tomey & Alligood, 2006), stimulus tersebut akan
mempengaruhi individu dalam menggunkan mekanisme koping dan pastinya
mempengaruhi sistem adaptif. Konsep utama model Roy adalah adaptasi.
Adaptasi dipandang sebagai proses dan hasil dimana seseorang berfikir dan
berperasaan, manusia sebagai individu atau kelompok menggunakan kesadaran

Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
105

dan pilihan untuk membuat integrasi dengan manusia dan lingkungan (Callista
Roy,2008, hal 138 dalam Alligood& Tomey, 2010).

Penggunaan model adaptasi Roy dalam penulisan ilmiah ini bertujuan untuk
mengatasi masalah klien dengan resiko perilaku kekerasan. Pengkajian dengan
menggunakan Stuart meluputi faktor predisposissi, faktor presipitasi pada klien
denga resiko perilaku kekerasan merupakan suatu input yang berupa stimulus
fokal. Stimulus konstektual terlihat pada karakteristik klien resiko perilaku
kekerasan. Sedangkan stimulus residual pada klien resko perilaku kekerasan dapat
ditemukan pada sikap, nilai, keyakinan dan pengetahuan yang dimilki oleh klien.
Berdasarkan hasil pengkajian tersebut maka dikelompokan sesuai dengan
stimulus- stimulus dalam model adaptasi Roy. Klien dengan resiko perilaku
kekerasan yang mendapat stimulus- stimulus seperti stimulus fokal, stimulus
kontekstual dan stimulus residual mendorong bekerjanya proses kontrol dalam
bentuk mekanime koping yang dimiliki klien dengan resiko perilaku kekeraan.

Mekanisme koping dalam model adaptasi Roy adalah sistem kognator yang
berhubungan dengan masalah kognitif dan emosi. Klien dengan resiko perilaku
kekerasan penggunaan mekanisme koping sistem kognator ini tidak menghasilkan
proses adaptasi dengan baik sehingga menimbulkan perilaku kekerasan. Out put
dari resiko perilaku kekerasan ini dapat terlihat pada respon kognitif, afektif,
fisiologis, perilaku dan sosial. Respon-respon yang muncul menjadikan perilaku
tidak efektif dan membuat mekanisme umpan balik pada model adaptasi Roy yang
dapat menggangu proses adaptasi selanjutnya. Berdasarkan hal tersebut maka
tindakan keperawatan yang diberikan pada klien dengan resiko perilaku kekerasan
adalah bertujuan untuk memperkuat mekanisme koping pada sistem kognator
klien tersebut.

Hasil akhir dari proses adaptasi berupa respon adaptif, namun jika perilaku yang
ditampilkan individu tidak menggambarkan integritas maka akan berubah menjadi
respon yang inefektif (Robinson & Kish, 2001). Respon inefektif yang muncul
dapat dalam bentuk perilaku yaitu perilaku agresf dan atau perilaku kekerasan.

Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
106

Hal ini diperkuat oleh Johnson (1980, dalam Alligood & Tomey, 2010) yang
menjelaskan bahwa stressor yang dialami klien perilaku kekerasan berasal
lingkungan. Banyak stressor akan mempengaruhi keseimbangan sistem perilaku
klien tetapi lingkungan bukan bagian dari sistem perilaku tetapi dapat
mempengaruhi sistem perilaku. Sama halnya dengan model adaptasi Roy perilaku
dipengaruhi dari lingkungan baik lingkungan internal maupun eksternal. Klien
yang mengalami resiko perilaku kekerasan karena adanya ancaman pada
lingkungan dimana klien berada. Lingkungan bukan merupakan bagian dari
sistem perilaku individu tetapi dapat mempengaruhi sistem perilaku. Stresor pada
lingkungan ini dapat berupa stressor internal dan eksternal. Stresor internal terdiri
dari aspek biologis, psikologis dan sosiokultural. Pengkajian pada sistem perilaku
dilihat dari subsistem yang terancam akibat munculnya masalah pada lingkungan.

Klien mengalami perilaku kekerasan dapat mengalami ketidakseimbangan


subsistem affiliation, dependency, aggresivitas dan achievement. Keempat
subsistem ini dilakukan pengkajian secara teritegrasi dalam aspek psikologis dan
sosiokultural klien. Subsistem affiliation mempunyai fungsi utama adalah
memberi rasa aman (security) dan membentuk sistem ikatan sosial yang kuat.
Keseimbangan pada subsistem ini dapat dicapai bila dapat membentuk hubungan
yang kooperatif dan interdependen dengan sistem sosial, mengembangkan
kemampuan interpersonal, saling berbagi, dan mampu berhubungan dengan orang
lain. Pada subsistem ini mempunyai inti adanya pembentukan dan pemeliharaan
ikatan sosial yang kuat. Klien dengan risiko perilaku kekerasan yang mengalami
kegagalan pada subsistem afiliasi ini berperilaku menghindar dari interaksi,
menarik diri, dan bermusuhan. Dimana klien tidak mampu membentuk ikatan
sosial dan gagal menunjukkan perilaku yang mengarah hubungan interpesonal
yang diharapkan.

Subsistem dependency membantu klien resiko perilaku kekerasan dalam


mengembangkan perilaku dan klien memerlukan bantuan/pendampingan sehigga
memerlukan rasa percaya dalam pencapaiannya mengembangkan perilaku.
Subsistem dependency ini mempunyai fungsi dalam mencari bantuan, dukungan

Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
107

terhadap diri, dan meminta bantuan orang lain terhadap masalah kesehatan yang
dialaminya dengan berfokus fokus pada kebutuhan yang memerlukan bantuan
baik sosial, psikososial, dan sosiokultural. Hasil dari perilaku dependency ini
adalah adanya perubahan dari tergantung total kepada orang lain menjadi
bergantung pada diri sendiri. Klien resiko perilaku kekerasan yang mengalami
kegagalan menunjukan adanya ketidakmampuan klien dalam mencari dukungan
atau bantuan diluar dirinya sehingga yang terjadi adalah klien dalam menghadapi
stresor melakukannya sesuai dengan kemapuan dan sikap klien. Dengan demikian
klien mengabaikan bantuan orang lain dan memecahkan masalahnya dengan
maldaptif seperti supresi, bermusuhan dengan orang lain dan melakukan
kekerasan dalam menyelesaikan masalahnya. Subsistem aggresive/ protection
mempunyai fungsi untuk perlindungan (protection) diri, pemeliharaan
(preservation) sehingga dengan demikian dapat tercapai perlindungan diri (self-
protection) dan pertahanan diri (self-assertion).

Pencapaian tersebut dapat diraih melalui kemampuan mengenali adanya suatu


ancaman secara biologi, lingkungan, atau sistem kesehatan, kemampuan
melindungi tujuan/harapan yang ingin diraih, kayakinan, identitas/konsep diri, dan
kemampuan menggunakan sumber-sumber yang ada untuk mengatasi ancaman.
Kegagalan klien resiko perilaku kekerasan dalam subsistem ini dapat terlihat
adanya kegagalan dalam individu dalam memberikan perlindungan dalam dirinya.
Dimana individu gagal dalam menggunakan atau mengenali kemampuan dan
sumber yang tersedi untuk mengatasi stresor yang datang dari lingkungannya.
Kegagalan dalam fungsi subsistem ini mengakibatkan klien menggunakan
perlindungan diri yang maladptif yaitu dengan perilaku kekerasan dimana klien
tidak mampu melindungi dirinya terhadap harapan, keyakinan dan konsep dirinya,
sehingga yang muncul adalah klien menampilkan perilaku diluar keyakinannya,
harapannya dan klien tidak menunjukan identitasnya atau konsep dirinya.

Subsistem achievement memiliki tujuan dalam menguasai dan mengontrol aspek


pribadi dan lingkungan dalam mencapai kesimbangan. Pencapaian perilaku pada
sistem ini adalah keterampilan intelektual, fisik, kreatif, mekanik dan sosial.

Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
108

Fungsi pada subsistem ini adalah penetapan tujuan atau harapan, dapat
membedakan tujuan jangka panjang dan pendek, interpretasi masukan dalam
menilai tujuan pencapaian dan adanya pengakuan dari orang lain. Pada klien yang
mengalami resiko perilaku kekerasan didapatkan kondisi bahwa klien tidak
mampu menetapkan tujuan dan tidak berperilaku sesuai dengan harapan klien
sehingga dalam mengatasi masalah klien berperilaku agresif.

Tindakan keperawatan yang diberikan pada klien dengan resiko perilaku


keperawatan dilakukan selain unruk memperkuat koping mekanisme klien juga
untuk membantu klien dapat kembali mencapai keseimbangan subsistem.
Pemberian Terapi Assertive Training (AT) dan Cognitive Behaviour Therapy
(CBT) dilakukan sebagai upaya dalam proses pembelajaran bagi klien untuk
memperkuat mekanisme koping klien dan meningkatkan kemampuannya dalam
mengontrol perilaku kekerasan. Kegiatan latihan ini dilakukan dengan cara
mereduksi marahnya, mengatur proses berpikir dan berperilaku positif dan
melatih perilaku marah yang asertif. Pemberian kedua terapi ini dengan
pendekatan teori Johnson’s Behavioral System Model mempunyai tujuan yang
diharapakan keperawatan yaitu dapat lebih mengembangkan fungsi – fungsi
perilaku manusia yang adaptif dalam menghadapi masalah. Menurut Johnson
perilaku manusia adalah suatu sistem akan dipengaruhi oleh subsistemnya yaitu
lingkungan dan masalah kesehatan. Hal yang lain berpengaruh terhadap perilaku
manusia. Johnson dalam hal ini juga menjelaskan bahwa perilaku manusia adalah
suatu sistem yang akan dipengaruhi oleh subsistemnya yaitu lingkungan dan
masalah kesehatan. Subsistem lain yang memberikan pengaruh terhadap perilaku
manusia inilah yang menjadi tujuan dari intervensi yang dilakukan oleh perawat
dalam rangka memperoleh kembali kestabilan yang hilang dari diri klien.

5.3 Efektifitas Penerapan Terapi Assertive Training (AT) dan Cognitive


Behaviour Therapy (CBT) pada klien dengan resi,,ko perilaku kekerasan
Pemberian terapi Assertive Training (AT) dan Cognitive Behaviour Therapy
(CBT) diharapkan mampu membuat klien beradaptasi dengan stimulus baru dan
mempertahankan perilaku yang diharapkan (nurturance), melakukan perilaku

Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
109

baru atau perilaku yang dilatih (stimulation), dan mampu


menjaga/mempertahankan perilaku dari stimulus yang kurang menyenangkan
(protection). Johnson’s Behavioral System Model (1980, Alligood & Tomey,
2010) juga menjelaskan bahwa klien akan dilatih merubah elemen struktur yang
terganggu dengan demikian Assertive Training (AT) dan Cognitive Behaviour
Therapy (CBT) kognitf dan emosi klien. Sebelum pemberian terapi baik Assertive
Training (AT) dan Cognitive Behaviour Therapy (CBT). Berdasarkan hal tersebut
tindakan keperawatan difokuskan pada membantu menyeimbangkan subsistem
dan memaksimalkan peran perawat sebagai faktor eksternal dalam membantu
keseimbangan subsistem.

Klien dengan masalah perilaku kekerasan dapat terjadi karena masalah regulator
internal klien. Perawat berperan dalam mengatur kembali struktur yang terganggu
melalui pendekatan ulang pada tujuan (goal), membuat tujuan baru (set), mencari
sumber-sumber terkait (choice) dan melatih klien mempraktikkan perilaku yang
dipilih (action). Perawat bersama klien mendiskusikan kembali tujuan dan
harapan yang ingin dicapai dan menentukan dorongan (drive) klien untuk
melakukan tujuan yang ingin diraih. Kemudian perawat dan klien bersama-sama
mencari kemungkinan perilaku tersebut dilakukan, kemudian melakukan perilaku
yang dipilih dan dipertahankan. Kegiatan ini diintegrasikan pada terapi AT dan
CBT yang telah dilakukan pada setiap tahapan terapi.

Hasil pemberian terapi Assertive Training (AT) didapatkan hasil adalah terjadi
peningkatan kemampuan klien dalam melakukan terapi, peningkatan pada tiap
tiap sesi dengan rata-rata peningkatan kemampuan sesi 1 sebesar 2,2 atau 73,33%.
Peningkatan kemampuan kemampuan sesi 2 sebesar 2,73 atau 68,33%.
Peningkatan kemampuan sesi 3 sebesar 6,93 atau 77,04%. Peningakatan
kemampuan klien dalam terapi tidak dapat mencapai 100% hal ini dikarenakan
klien dalam perawatan diruang intensif, pemberian terapi psikofarmaka baru 2-3
hari sehingga respon terapipun belum banyak mempengaruhi fungsi kognitif
klien. Jika dilihat dari penurunan respon klien terhadap stresor maka dengan
pemberian terapi Assertive Training (AT) menurunkan gejala kognitif sebesar

Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
110

3,93 (43,71%), gejala afektif 4,40 (48,89%), gejala fisiologis 4,47 (49,63%),
perilaku 4,6 (46%) dan gejala sosial 5,07 (63,33%). Penurunan yang tinggi
terhadap tanda dan gejala risiko perilaku kekerasan pada gejala sosial hal ini dapat
terjadi karena dengan klien dilatih untuk bersikap asertive dalam mengungkapkan
kebutuhan dan keinginan pada sesi 2 dari pelaksanaan terapi AT. Latihan sesi 2
ini klien secara tidak langsung melakukan interaksi sosial terhadap orang yang
diminta untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya. Dengan demikian klien
akan bersikap tidak kasar dalam menyampaikan kebutuhan atau keinginan,
mengungkapkan keibutuhan dan keinginan dengan suara tidak keras, dan klien
tidak mengancam saat meminta kebutuhan dan keinginanya. Pemberian AT pada
klien perilaku kekerasan dengan demikian dapat menurunkan tanda dan gejala
risiko perilaku kekerasan dan meningkatkan kemampuan klien dalam
menyampaikan kebutuhan dan keinginan dengan baik dan asertif sehingga tetap
terjalin interaksi sosial dengan lingkungan.

Penurunan tanda dan gejala kekerasan diperoleh dengan pemberian terapi


Assertive training. Assertiveness Training merupakan program latihan untuk
mengungkapkan pikiran dan perasaan dengan nyaman dan percaya diri, jujur,
terbuka dan menghargai diri sendiri dan menghormati orang lain (Riley, 2000
dalam Fortinash,2004). Assertiveness Training melatih klien untuk
menyampaikan kebutuhan, hak, serta menentukan pilihan tanpa mengabaikan hak
orang lain. Pemberian Assertiveness Training klien dilatih untuk berperilaku
asertif dengan cara berbicara secara langsung pada orang lain, mampu
menyampaikan kebutuhan dan keinginan, serta mengatakan tidak terhadap
permintaan yang tidak rasional, mengekspresikan perasaan, mengekspresikan rasa
setuju dan tidak setuju, serta mengekspresikan kemarahan secara konstruktif.
Klien juga diajarkan mengekspresikan perasaan dan pikiran sesuai dengan
kebutuhan dan keinginan yang jelas dan tetap terjalin komunikasi terbuka dengan
orang lain secara langsung dan jujur. Penelitian yang dilakukan oleh Vinick
(1983), Assertiveness Training menurunkan tingkat agresifitas dan meningkatkan
konsep diri. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wahyuningsih, D. Keliat, B A ,
Hastono SP. ( 2009). menunjukkan bahwa terapi Assertiveness Training

Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
111

berpengaruh signifikan dalam menurunkan respon kognitif, perilaku dan sosial


sehingga secara tidak langsung juga berpengaruh pada respon fisik.

Hasil pemberian terapi Cognitive Behaviour Therapy (CBT) didapatkan hasil


adalah terjadi peningkatan kemampuan klien dalam melakukan terapi,
peningkatan pada tiap tiap sesi dengan rata-rata peningkatan kemampuan sesi 1
sebesar 2,37 atau 79,61%. Peningkatan kemampuan kemampuan sesi 2 sebesar
2,12 atau 70,83%. Peningkatan kemampuan sesi 3 sebesar 2,46 atau 82,90%.
Peningakatan kemampuan klien dalam terapi tidak dapat mencapai 100% hal ini
dikarenakan klien dalam perawatan diruang intensif, pemberian terapi
psikofarmaka baru 2-3 hari sehingga respon terapipun belum banyak
mempengaruhi fungsi kognitif klien. Jika dilihat dari penurunan respon klien
terhadap stresor maka dengan pemberian terapi Cognitive Behaviour Therapy
(CBT) menurunkan gejala kognitif sebesar 3,46 (38,42%), gejala afektif 3,42
(37,96%), gejala fisiologis 4,75 (36,53%), perilaku 4,63 (46,25%) dan gejala
sosial 3,34 (41,67%). Penurunan yang tinggi terhadap tanda dan gejala risiko
perilaku kekerasan terjadi pada gejala perilaku, hal ini dpat terjadi karena pada
sesi 2 dan 3 klien dilatih melawan pikiran negatif yang berpengaruh pada perilaku
negatif klien. Di sesi 2 ini setelah klien dilatih melawan pikiran negatifnya pada
sesi 3 klien dilatih untuk berperilaku yang baik akibat dari perilaku negatif yang
sudah dilawannnya pada sesi 2, sehingga perilaku klien berubah menjadi klien
tenang, tidak melalukan tindakan melempar atau merusak barang, klien beriskap
tidak menantang, tidak bermusuhan dan tidak bersikap agresif setelah dilakukan
latihan sesi 2 dan 3 dari terapi CBT. Pemberian CBT pada klien perilaku
kekerasan dengan demikian dapat menurunkan tanda dan gejala risiko perilaku
kekerasan dan meningkatkan kemampuan klien untuk dpat melawan pikiran
negatif dan meningkat kemampuan klien dalam berperilaku yang baik.

Hasil evaluasi menunjukan cognitive behavior therapy memberikan dampak yang


lebih efektif menurunkan di respon area kognitif, afektif dan sosial dan ini sesuai
dengan penjelasan Martin, (2010) yang menjelaskan cognitive behavior therapy
adalah suatu terapi psikososial yang mengintegrasikan modifikasi perilaku melalui

Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
112

pendekatan restrukturisasi kognitif dimana teori tersebut menjelaskan bahwa


terapi kognitif perilaku mempunyai tujuan untuk merubah pola pikir negatif
menjadi positif sehingga perilaku maladaptif yang timbul akibat pola pikir yang
salah juga akan berubah menjadi perilaku yang adaptif.

Penurunan gejala kognitif dicapai karena dengan pelaksanaan terapi CBT, klien
memiliki kemampuan berpikir yang positif, dapat membedakan pikiran yang
rasional dan yang tidak rasional. Pemikiran klien untuk melakukan perilaku
kekerasan menurun dan menganggap perilaku kekerasan yang dialaminya sebagai
perilaku maladaptif yang dapat mencelakakan dirinya, orang lain dan lingkungan.
Tanda dan gejala sosial mengalami penurunan karena melalui CBT menyebabkan
perubahan penilaian dan keyakinan terhadap kejadian baik karena orang lain,
lingkungan maupun diri sendiri yang tadinya negatif hanya berdasarkan opininya
sendiri menjadi positif berdasarkan fakta. Pikiran dan keyakinan yang positif
menyebabkan klien tidak membatasi diri dalam berhubungan dengan orang lain.

Penurunan tanda dan gejala RPK dengan menggunakan CBT juga dibuktikan
dalam penelitian Fauziah Fauziah, Hamid, Nuraini (2009), Hidayat, E
Keliat,B.K, Wardani (2011), Sudiatmika IK, Keliat BA, Wardani IY, (2011) dan
Lelono SK, Keliat BA, Besral (2011). Berbagai penelitian tersebut membuktikan
bahwa terapi kognitif perilaku bermakna dalam meningkatkan kemampuan
kognitif klien perilaku kekerasan, menurunkan gejala afektif, fisiologis dan
meningkatkan kemampuan sosialisasi klien. Keberhasilan terapi ini terletak pada
perubahan pola pikir terhadap perilaku kekerasan, kemampuan penilaian/analisis
terhadap masalah yang dihadapi.

Penggunaan Johnson’s Behavioral System Model dan integrasi dengan model


adaptasi Roy menunjukkan adanya saling melengkapi. Penerapan Johnson’s
Behavioral System Model pada klien RPK dapat dilakukan secara bersinergi
dengan model adaptasi Roy. Johnson’s Behavioral System Model menekankan
bahwa individu dipandang sebagai suatu sistem perilaku dan perlu menjaga
keseimbangan sistem perilaku merupakan pencapaian yang dibutuhkan sedangkan

Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
113

model adaptasi Roy menekankan pada proses klien beradaptasi dengan stimulus-
stimulus baik ekternal maupun internal. Penggabungan kedua konsep ini adalah
dengan adanya proses adaptasi perubahan perilaku menuju keseimbangan
perilaku. Pencapaian keseimbangan subsistem menunjukkan proses adaptasi yang
adaptif, sedangkan gangguan keseimbangan subsistem menunjukkan proses
adaptasi yang maladaptif.

Klien dengan masalah perilaku kekerasan dapat terjadi karena masalah regulator
internal klien. Perawat berperan dalam mengatur kembali struktur yang terganggu
melalui pendekatan ulang pada tujuan (goal), membuat tujuan baru (set), mencari
sumber-sumber terkait (choice) dan melatih klien mempraktikkan perilaku yang
dipilih (action). Perawat bersama klien mendiskusikan kembali tujuan dan
harapan yang ingin dicapai dan menentukan dorongan (drive) klien untuk
melakukan tujuan yang ingin diraih. Kemudian perawat dan klien bersama-sama
mencari kemungkinan perilaku tersebut dilakukan, kemudian melakukan perilaku
yang dipilih dan dipertahankan. Kegiatan ini diintegrasikan pada terapi AT dan
CBT yang telah dilakukan pada setiap tahap terapi.

Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
113

BAB 6
SIMPULAN DAN SARAN

Pada bab 6 ini ini akan diuraikan simpulan dari penyusunan karya ilmiah akhir
beserta saran bagi pihak-pihak terkait yang berhubungan dengan praktik klinik
keperawatan jiwa di unit psikiatri.

6.1 Simpulan
Simpulan dari pelaksanaan manajemen asuhan kasus spesialis pada klien dengan
risiko perilaku kekerasan di Ruang Kresna Rumah Sakit Jiwa Marzoeki Mahdi
Bogor adalah sebagai berikut :
6.1.1 Karakteristik klien dengan masalah risiko perilaku kekerasan di Ruang
Kresna mayoritas berusia dewasa 25 – 55 tahun, dengan rata-rata usia 32 tahun,
pendidikan rata – rata klien berpendidikan menengah, sebagian tidak bekerja,
dengan status perkawinan kebanyakan belum menikah, onset atau lamanya sakit
rata-rata > 5 tahun dan frekuensi masuk RS rata-rata adalah 3 kali.

6.1.2 Proses Pelaksanaan Asuhan Keperawatan Jiwa


6.1.2.1 Faktor predisposisi penyebab risiko perilaku kekerasan yang paling
banyak ditemukan adalah dari aspek biologis adalah genetik, dari aspek
psikologis adalah konsep diri dan kehilangan, dan dari aspek sosial budaya yaitu
masalah ekonomi.

6.1.2.2 Faktor presipitasi yang paling banyak ditemukan pada klien risiko
perilaku kekerasan yaitu dari aspek biologis karena putus obat, dari aspek
psikologis yakni adanya keinginan yang tidak terpenuhi dan aspek sosial budaya
yaitu masalah pekerjaan. Asal stressor sebagian besar berasal dari luar paling
banyak , dalam waktu rata-rata 2-5 tahun dengan jumlah stresor lebih dari 3
stresor.

6.1.2.3 Penilaian stresor pada klien sebagian besar respon kognitif adalah tidak
mampu mengontrol perilaku kekerasan dan keinginan untuk memukul. Respon

113
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
114

afektif dalam menghadapi masalah yaitu afek labil marah, kecewa/ kesal, mudah
tersinggung dan merasa jenkel. Respon fisik yang masih aktual ditemukan pada
klien adalah muka merah dan wajah tegang. Respon perilaku yang dapat agresif.
Respon sosial yang ditampilkan adalah bicara kasar, menjerit dn mengancam
orang lain.

6.1.2.4 Sumber Koping klien risiko perilaku kekerasan adalah tidak tahu cara
mengatasi risiko perilaku kekerasan, sebagian besar klien resiko perilaku
kekerasan memiliki dukungan keluarga tetapi tidak mengetahui perawatan klien.
Klien tidak mendapat dukungan kelompok dan dukungan masyarakat, hampir
semua klien memiliki asuransi kesehatan BPJS. Jarak rumah dan pelayanan
keshatan terjangkau. Keyakinan positif akan kesembuhan akan penyakitnya pada
semua klien dan Mekanisme koping yang biasa dilakukan klien adalah
memendam masalah.

6.1.2.5 Diagnosa medis yang paling banyak adalah skizoprenia paranoid dan
terapi yang banyak dipakai adalah golongan tipikal seperti haloperidol,
klorpromazine, sedangkan diagnosa keperawatan yang menyertai perilaku
kekerasan klien adalah halusinasi, dan isolasi sosial.

6.1.3 Hasil pelaksanaan terapi pada klien perilaku kekerasan


Pemberian pemberian Assertive Training (AT) dan Cognitive Behaviour Therapy
(CBT) pada klien dengan resiko perilaku kekerasan adalah bertujuan untuk
memperkuat mekanisme koping pada sistem kognator klien yang berhubungan
dengan masalah kognitif dan emosi

6.1.3.1 Perubahan gejala perilaku kekerasan


Klien diberi AT mengalami penurunan aspek kognitif sebesar 3,80 poin, aspek
afektif sebesar 4,40 poin, aspek fisiologi sebesar 4,20 poin, aspek perilaku sebesar
3,73 poin. dan aspek sosial sebesar 3,20 poin. Penurunan paling tinggi terdapat
pada aspek afektif disusul oleh penurunan aspek fisiologis.
Klien diberi CBT mengalami penurunan aspek kognitif sebesar 3,46 poin, aspek
afektif sebesar 3,17, aspek fisiologi sebesar 3,63 poin, aspek perilaku sebesar

Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
115

4,72 dan aspek sosial sebesar 3,34 poin. Penurunan paling tinggi terdapat pada
aspek perilaku disusul oleh penurunan aspek fisiologis.

6.1.3.2 Perubahan kemampuan klien perilaku kekerasan dalam latihan AT masih


tetap berada dalam kategori rendah. Sedangkan pada klien yang CBT dari
rentang rendah meningkat menjadi rentang sedang.

6.1.4 Hasil Penerapan asuhan keperawatan spesialis klien risiko perilaku


kekerasan dengan Pendekatan Model Adaptasi Roy dan Johnson’s Behavioral
System Model
Penggunaan pendekatan Model Adaptasi Roy dan Johnson’s Behavioral System
Model dalam penerapan asuhan keperawatan spesialis klien risiko perilaku
kekerasan saling berhungngan dan saling mempengaruhi dan kedua model ini
cocok diterapkan pada klien risiko perilaku kekerasan. Model adaptasi Roy
mempunyai konsep utama adalah begaimana individu beradaptasi terhadap
stimulus-stimulus (internal dan ekternal) yang ada dan bagaimana individu
menggunkan mekanisme koping dalam menghadapi stimulus-stimulus yang
datang. Ketidakmampuan klien menghadapi stimulus-stimulus dan menggunkan
mekanisme koping maka yang terlihat adalah adanya perubahan dalam perilaku
invidu tersebut yaitu respon inefektif yang muncul dalam bentuk perilaku yaitu
perilaku agresf dan atau perilaku kekerasan. Dalam Johnson’s Behavioral System
Model banyak stressor akan mempengaruhi keseimbangan sistem perilaku klien,
tetapi lingkungan bukan bagian dari sistem perilaku tetapi dapat mempengaruhi
sistem perilaku. Klien yang mengalami resiko perilaku kekerasan karena adanya
ancaman pada lingkungan dimana klien berada dan klien tidak dapat beradaptasi
terhadap ancaman.
6.1.4.1 Penerapan pendekatan Model Adaptasi Roy
Penerapan manajemen kasus dan pelayanan keperawatan pada klien resiko
perilaku kekerasan dengan menggunakan pendekatan model adaptasi Roy
memberikan hasil yang efektif terhadap kemampuan klien mengadaptasi berbagai
stresor baik yang berasal dari internal maupun eksternal sehingga menghasilkan
respon perilaku yang adaptif dan klien dapat beradaptasi terhadap stressor. Hasil
akhir dari suatu proses adaptasi adalah berupa respon adaptif dan klien

Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
116

menggunakan kesadaran dan pilihan untuk membuat integrasi dengan manusia


dan lingkungan.

6.1.4.2 Penerapan Johnson’s Behavioral System Model


Penerapan manajemen kasus dan pelayanan keperawatan pada klien resiko
perilaku kekerasan dengan menggunakan pendekatan teori Johnson’s Behavioral
System Model hasil yang dicapai adalah klien dengan resiko perilaku kekerasan
dapat mengembangkan fungsi – fungsi perilaku manusia yang adaptif dalam
menghadapi masalah. Kemampuan klien dalam mengatasi perilaku kekerasan
dengan menggunakan latihan-latihan perilaku dalam terapi AT dan CBT dapat
menjadi sumber koping baru, dimana klien menunjukan kemampuan personal
yang dapat dijadikan aset dalam berespon terhadap stres yang muncul. Kondisi ini
kemudian akan direfleksikan pada keseluruhan perilaku yang ditampilkan dan
akan mempengaruhi ketahanan seseorang dalam menghadapi perubahan akibat
stressor/stimulus yang datang (stress tolerance flexibility).

6.2 Saran
Berdasarkan simpulan , ada beberapa hal yang dapat disarankan kepada pihak–
pihak terkait dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan jiwa khususnya di
ruang Kresna
6.2.1 Pelayanan Keperawatan
6.2.1.1 Direktur RSMM
a. Menetapkan kebijakan terkait dengan program pelayanan keperawatan
spesialistik khususnya penerbitan standar asuhan keperawatan terkait
dengan pelaksanaan manajemen kasus spesialis pada klien dengan
perilaku kekerasan khususnya di ruagan perawatan intensif.
b. Adanya kebijakan SOP penangan klien dengan kondisi gaduh gelisah di
ruang Intensif dan mempunyai indikator penilaian yang sama antara tim
dokter dan keperawatan sehingga mempunyai persepsi yang sama
dalam penangana gaduh gelisah. Penanganan yang tepat dan cepat akan
membantu memperbaiki pikiran, perasaan dan perilaku klien sehingga
klien mudah menerima latihan atau terapi yang diberikan.

Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
117

c. Penyediaan fasilitas ruangan yang lebih safety pada klein dengan


resiko perilaku kekerasan baik yang dilakukan restraint dan yang
dilakukan pengisolasian/seklusi dan ruangan untik melakukan interaksi
saat pelaksanaan terapi keperawatan sehingga privacy klien tetap
terjaga. Modifikasi terhadap lingkungan dapat dilakukan pada
lingkungan fisik dan psikis klien, menyarankan untuk melakukan
modifikasi fisik pada lingkungan seperti penggunaan warna lembut,
pencahayaan dan temperatur ruangan yang cukup dan suara yang
terkontrol. Modifikasi lingkungan secara psikis dapat dilakukan dengan
pengaturan jadual interaksi oleh perawat, menyediakan privasi pada
klien, tidak memaksakan suatu kegiatan pada klien. Pengaturan
penggunaan ruangan juga dapat dilakukan agar tidak terdapat tumpang
tindih kegiatan. Cara ini meminimalkan klien terhindar dari situasi yang
dapat meningkatkan kegelisahan.
d. Memfasilitasi penyediaan sarana lingkungan fisik yang mendukung
pelaksanaan manajemen krisis pada kondisi akut.
6.2.1.2 Kepala Bidang Keperawatan
a. Memfasilitasi penerapan pelayanan keperawatan yang bersifat
spesialistik melalui program perencanaan pengembangan tenaga
perawat spesialis jiwa.
b. Memfasilitasi dan mensosialisasikan standar asuhan keperawatan
spesialis serta peranan perawat ruangan untuk manajemen kasus risiko
perilaku kekerasan.
c. Berkolaborasi dengan pihak terkait dokter jaga/ atau dokter psikiater
ruangan dan perawat ruanga serta petugas keamanan dalam melakukan
menajemen intensesif pada klien dengan kondisi akut.
d. Melakukan reedukasi untuk asuhan keperawatan yang
berkesinambungan antar unit perawatan yang dimulai dari piliklinik dan
atau IGD psikiatri ke unit perawatan akut dan selanjutnya dari unit
perawatan akut ke unit perawatan intermediate dan dilanjutkan dengan
unit perawatan tenang yang selanjutnya dilanjutkan oleh keluarga atau
care giver yang merawat klien.

Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
118

6.2.1.3 Kepala Ruangan dan Perawat Kresna


a. Mempertahankan dan meningkatkan peran sebagai role model dalam
menjalankan kegiatan pelayanan MPKP dan asuhan keperawatan jiwa
khususnya pelayanan di unit intensif psikiatri dalam penerapan terapi
generalis khususnya untuk masalah risiko perilaku kekerasan.
b. Menerapkan model keperawatan yang sesuai dengan pelaksanaan terapi
keperawatan pada klien risiko perilaku kekerasan dan sesuai dengan
ruangan intensif psikiatri.
c. Dicharge planning dan psikoedukasi dimulai sejak awal klien masuk
perawatan sehingga keluarga terlibat langsung dalam perawatan selama
klien dirawat dan keluarga mampu merawat klien saat setelah pulang
perawatan dengan demikian keluarga juga memmpunyai andil besar
dalam mengurangi stigma.
d. Menerapkan kontuinitas asuhan yang telah diberikan di ruang Kresna
untuk dilanjutkan pada ruangan dimana klien dipindahkan sehingga
asuhan keperawatan yang diberikan kepada klien berkelanjutan dan
diakhirnya dapat dinilai secara keseluruhan penurunan tanda dan gejala
sebelum di Kresna setelah dirawat di Kresna dan juga saat klien akan
pulang. Kontuinitas asuhan juga untuk dapat menilai peningkatan
kemampuan klien setelah mendapatkan terapi baik psikofarmaka yang
diberikan oleh medis maupun terapi keperawatan.

6.2.2 Program Spesialis Keperawatan Jiwa FIK UI


6.2.2.1 Melanjutkan kerjasama dengan pihak rumah sakit, selain untuk praktik
mahasiswa juga untuk pengembangan berbagai terapi keperawatan
spesialistik guna untuk menangani klien dengan masalah keperawatan
risiko perilaku kekerasan.
6.2.2.2 Memfasilitasi praktik mandiri keperawatan jiwa spesialis melalui
program standarisasi dan lisensi praktik keperawatan jiwa spesialis.
6.2.2.3 Mahasiswa yang nantinya akan praktik di ruang intensive nantinya bisa
melakukan modifikasi lingkungan dan melaksanakan peran manajemen

Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
119

MPKP khususnya pada pilar Professional Relationship tentang


pelaksanaan visit dokter.
6.2.2.4 Mahasiswa spesialis dapat menerapkan terapi spesialis AT dan CBT
dalam menurunkan tanda dan gejala risiko perilaku kekerasn

6.2.3 Riset Keperawatan


6.2.3.1 Perlunya dikembangkan penelitian tentang penggunaan konsep model
teori yang dapat digunakan di ruang intensif psikiatri klien dengan
perilaku kekerasan selain menggunakan konsep Adaptasi Roy dan
Johnson’s Behavioral System Model dan efektifitas terapi spesialis yang
dapat diberikan pada klien dengan perilaku kekerasan di ruang intensif.
6.2.3.2 Penelitian lanjutan tentang patient safety terhadap pasien yang dilakukan
restraint dan seklusi, dan penerapan konsep model yang tepat dalam
kondisi klien yang dilakukan restrain dan seklusi.
6.2.3.3 Mahasiswa spesialis yang berpraktik di ruang Kresna perlu juga
melakukan riset tentang penerapan model konsep dan hubungan dengan
setting tempat perawatan yang ada.
6.2.3.4 Mahasiswa spesialis perlu melakukan penelitian lanjutan tentang
efektifitas At dan CBT yang digabungkan dalam menurunkan tanda dan
gejala klien dengan resiko perilaku kekerasan.
6.2.3.5 Mahasiswa spesilis perlu melakukan penelitian lanjutan efektifitas At dan
CBT yang digabung dengan hanya pemberian AT dan hanya pemberian
CBT dalam menurunkan tanda dan gejala.

Universitas Indonesia
Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014
DAFTAR PUSTAKA

Alini, Keliat, BA., Wardani IY., (2012) Pengaruh Terapi Assertiveness Training
dan Progressive Muscle Relaxation terhadap gejala dan kemampuan klien
dengan perilaku kekerasan Tesis. Jakarta. FIK UI. Tidak dipublikasikan

American Psychiatric Association. (1994). Diagnostic and statistical manual of


mental disorders (4th Ed). Washington, DC: Author

Arthur & Zheng (2006). Need of Family Member about Schizophrenia. Journal of
Psychological Nursing & mental Helath Services. February, Vol.44.pg 38

Boyd, M.A. & Nihart, M.A. (2002). Psychiatric nursing contemporary practice.
USA: Lippincott Raven Publisher

Christina, (2005). Persepsi Keluarga Terhadap Anggota Keluarga yang


Menderita Gangguan Jiwa di Unit Psikiatrik Rumah Sakit Duren Sawit
.Skripsi, Tidak dipublikasikan.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2008). Riset kesehatan dasar 2007.


http://www.litbang.depkes.go.id/LaporanRKD/IndonesiaNasional.pdf, diperoleh
tanggal 15 Mei 2013.

Fauziah, Hamid, Nuraini (2009). Pengaruh terapi perilaku kognitif pada klien
skizoprenia dengan perilaku kekerasan, Tesis. Jakarta. FIK UI. Tidak
dipublikasikan

Frisch, N.,C.& Frisch,L.,E (2006) Psychiatric Mental health Nursing. (3th Ed.).
Canada: Thomson corporation

Hastuti R, Hamid A, Mustikasari (2013) Manajemen Kasus Spesialis


Keperawatan Jiwa Pada Klien Risiko Perilaku Kekerasan Menggunakan
Pendekatan Model Adaptasi Roy Di Ruang Gatotkaca Rumah Sakit
Dr.H.Marzoeki Mahdi Bogor.

Hidayat, E Keliat,B.K, Wardani,IY., (2011). Pengaruh Cognitive Behavioral


Therapy (CBT) dan Rational Emotive Behavioral Therapy (REBT) terhadap klien
dengan perilaku kekerasan dan harga diri rendah Di RS Dr. H. Marzoeki Mahdi
Bogor. Tesis. Tidak Dipublikasikan

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


Kaplan & Sadock. (2007). Sinopsis psikiatri: ilmu pengetahuan psikiatri klinis.
(Jilid 1). Jakarta: Bina Rupa Aksara.

Keliat & Sinaga.(1991), Asuhan keperawatan pada klien marah, Jakarta : EGC

Keliat, B.A. (2003). Pemberdayaan klien dan keluarga dalam perawatan klien
skizofrenia dengan perilaku kekerasan di RSJP Bogor. Disertasi. Jakarta.
FKM UI. tidak dipublikasikan

Keliat, B.A. & Akemat. (2006). Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Lelono SK, Keliat BA, Besral (2011) Efektivitas Cognitive Behavioral Therapy
(CBT) dan Rational Emotive Behavioral Therapy (REBT) Terhadap Klien
Perilaku Kekerasan, Halusinasi dan Harga Diri Rendah di RS Dr. H.
Marzoeki Mahdi Bogor

Martin, P.F. (2010). Cognitive Behavior Therapy.


http://www.minddisorders.com/Br-Del/Cognitive-behavioral-therapy.html.
diperoleh 23 Juni 2013

Mohr, W. K. (2006). Psychiatric-mental health nursing. Philadelphia: Lippincott


Williams & Wilkins.
Morison. (1993). The measurement of agression and violence in
hospitalizedpsychiatric patient. International Journal Nursing

Muller, N (2004). Mechanisms of Relapse Prevention in Schizophrenia


http://www.thieme-connect.com/ejournals/abstract/pharmaco/doi/10.1055/s-
2004-832668

NANDA. (2012). Nursing diagnoses: definition & classification 2012 – 2014.


Indianapolis: Willey – Balckwell.

O’Brien,P, kennedy,W, Ballard, K (1996). Psychiatric Nursing. An Integration of


Theory and Practice. Mc.Graw Hill ompany, USA

Parker, M and Smith, M.C (2010). Nursing theories and nursing practice.3rd
Edition. Philadelphia. F.A Davis Company.

Pasaribu J, Hamid A, Mustikasari, (2013) Manajemen Kasus Spesialis


Keperawatan Jiwa Pada Klien Risiko Perilaku Kekerasan Menggunakan
Pendekatan Johnson’s Behavioural System Model Di Ruang Gatotkaca
Rumah Sakit Dr.H.Marzoeki Mahdi Bogor

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


Potter, P.A & Perry, A.D. (2010). Fundamental keperawatan. Edisi 7. Jakarta:
Salemba Medika

Rawlin, William & Beck, (1998) Mental health psychiatric nursing a holistic life
cycle approach. 2nd edition. St Louis: Mosby Year Book.Inc

Riyadi, S & Purwanto, T. (2009). Asuhan keperawatan jiwa. Yogyakarta: Graha


Ilmu

Sinaga, B.R. (2007). Skizofrenia dan diagnosa banding. Jakarta: Balai Penerbit
FIK UI

Sudiatmika IK, Keliat BA, Wardani IY, (2011) Efektivitas cognitive behaviour
therapy dan rational emotive behaviour therapy terhadap klien dengan
perilaku kekerasan dan halusinasi di Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi
Bogor

Stanhope, M, Lancaster, J (2001). Foundation of nursing in community.


Community oriented practice. 2nd edition. St. Louis. Mosby Company

Stuart, G.W (2013). Principles and practice of psychiatric nursing. (9th edition).
St Louis: Mosby

Tomey, A.M & Alligood, M.R. (2010). Nursing theorists and their work. (6th ed).
St. Louis: Mosby Years Book Inc.
Tomey, M.A (2001), Nursing Theories and Their Work, The C.V. Mosby
Company St. Louis : Mosby Years Book Inc.

Townsend, C.M. (2009). Essentials of psychiatric mental health nursing. (3th


Ed.). Philadelphia: F.A. Davis Company

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1966 Tentang Kesehatan


Jiwa.

Varcarolis, Elizabeth M., dan Halter. (2009). Foundations of Psychiatric Mental


Health Nursing. (4th edition). Philadelphia: FA Davis Company.

Videbeck, S.,L. (2009). Psychiatric mental health nursing. (3rd edition).


Philadhelpia: Lippincott Williams & Wilkins.

Wahyuningsih, D. Keliat, B A , Hastono SP. ( 2009). Pengaruh assertiveness


training terhadap perilaku kekerasan pada klien skizoprenia di RSUD Banyumas,
Tesis. Jakarta. FIK UI. Tidak dipublikasikan

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


WHO. (2001). The world health report: 2001: mental health: new Understanding,
new hope. http :// www.who.int/whr/2001/en/ diperoleh pada tanggal 15
Mei 2013
WHO. (2006). Investing in mental health.
http://www.who.int/mental_health/en/investing_in_mnh_final.pdf. diperoleh
tanggal 15 Mei 2013

WHO. (2011). Skizofrenia. http://www.who.int/mental_health/entity/. diperoleh


tanggal 15 Mei 2013

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


EVALUASI TANDA DAN GEJALA, dan KEMAMPUAN KLIEN DAN KELUARGA
DENGAN DIAGNOSA KEPERAWATAN RISIKO PERILAKU KEKERASAN

Nama pasien : ............................... Ruangan :


................................
Nama perawat : ............................... Penilai
:.................................

NO Aspek Penilaian Tanggal Evaluasi


I Tanda Gejala
Kognitif
1. Tidak mampu mengontrol PK
2. Punya pikiran negatif dalam menghadapi stresor
3. Mendominasi pembicaraan
5. Bawel
6. Sarkasme
7. Meremehkan keputusan
8. Flight of idea
9. Perubahan isi pikir
10. Ingin memukul orang lain
Afektif
11. Afek labil
12. Marah
13. Kecewa/ kesal
14. Curiga
15. Mudah tersinggung
16. Frustasi
17. Merasa tidak aman dan nyaman
18. Merasa jengkel
19. Dendam
20. Ingin memukul orang lain
Fisiologis
21. Muka merah
22. Pandangan tajam
23. Mengatup rahang dengan kuat
24. Mengepalkan tangan
25. Tekanan darah meningkat
26. Denyut nadi meningkat
27. Pupil dilatasi
28. Tonus otot meningkat
29. Mual
30. Frekuensi BAB meningkat
31. Kadang konstipasi
32. Kewaspadaan meningkat
33. Wajah tegang
Perilaku
34. Mondar-mandir
35. Melempar/memukul benda/ orang lain
36. Merusak barang
37. Sikap bermusuhan
38. Agresif/ pasif
39. Sinis
40. Curiga
41. Perilaku verbal ingin memukul
42. Memberontak
43. Nada suara keras

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


Sosial
44. Bicara kasar
45. Suara tinggi, menjerit, berteriak
46. Mengancam secara verbal atau fisik
47. Pengasingan
48. Penolakan
49. Ejekan
50. Mentertawakan
51. Menarik diri

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


EVALUASI KEMAMPUAN PASIEN PADA PELAKSANAAN ASSERTIVE
TRAINING
(AT)

Nama pasien : ............................... Ruangan :


................................
Nama perawat : ............................... Penilai
:.................................
Tanggal Evaluasi
NO Kemampuan Pasien
I Identifikasi Kejadian Yang membuat Kesal/Marah dan Sikap
yang Muncul Saat kejadian Yang Membuat Marah/Kesal terjadi
1 Mampu mengidentifikasi kejadian atau peristiwa yang membuat
kesal dan marah
Kejadian 1:.........................................................................................
Kejadian 2:..........................................................................................
Kejadian 3:..........................................................................................
Kejadian 4:..........................................................................................
Kejadian 5:.........................................................................................
2 Mampu menyebutkan Kejadian tersebut merupakan kebutuhan
atau keinginan
..........................................................................................................
..........................................................................................................
..........................................................................................................
..........................................................................................................
...........................................................................................................

3 Mampu mengevaluasi sikap diri saat marah/kesal atau muncul:


a. Asertif:.........................................................................................
....................................................................................................
....................................................................................................
....................................................................................................
....................................................................................................
b. Pasif: ..........................................................................................
....................................................................................................
....................................................................................................
.....................................................................................................
.....................................................................................................
c. Agresif:.........................................................................................
.....................................................................................................
....................................................................................................
.....................................................................................................
.....................................................................................................
II Mengungkapkan Kebutuhan dan keinginan serta Cara
Memenuhinya
4 Mampu mengungkapkan kebutuhan
.........................................................................................................
.........................................................................................................
.........................................................................................................
.........................................................................................................
.........................................................................................................
5 Mampu mengungkapkan cara memenuhi kebutuhan
..........................................................................................................
.........................................................................................................
..........................................................................................................
..........................................................................................................

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


..........................................................................................................
6 Mampu mengungkapkan keinginan
.........................................................................................................
.........................................................................................................
.........................................................................................................
.........................................................................................................
.........................................................................................................
7 Mampu mengungkapkan cara memenuhi keinginan
..........................................................................................................
..........................................................................................................
..........................................................................................................
...........................................................................................................
...........................................................................................................
...........................................................................................................
III Latihan Sikap Asertif dalam Mengungkapkan Kebutuhan dan
Keinginan
8 Pandangan mata langsung
9 Pandangan mata tidak melotot
10 Pandangan mata santai
11 Postur tubuh tegak lurus
12 Posisi tangan santai, bergerak bebas di samping bagian tubuh atau
di atas paha
13 Nada suara tegas dan jelas
14 Isi bicara positif
15 Menghargai diri sendiri dalam mengungkapkan kebutuhan dan
keinginan
16 Ekspresi wajah tegas dan santai
IV Latihan mengatakan “Tidak” terhadap permintaan Orang Lain
Yang Tidak Rasional dan Alasannya
17 Mampu mengidentifikasi permintaan orang lain yang tidak rasional
...........................................................................................................
...........................................................................................................
...........................................................................................................
...........................................................................................................
...........................................................................................................
18 Mampu mengidentifikasi cara menolak permintaan tidak rasional
yang biasa dilakukan dan dampaknya:
a. Cara menolak yang biasa dilakukan:
..........................................................................................................
..........................................................................................................
..........................................................................................................
..........................................................................................................
..........................................................................................................
b. Dampak dari cara menolak yang biasa dilakukan
..........................................................................................................
..........................................................................................................
..........................................................................................................
..........................................................................................................
...........................................................................................................
19 Mampu melakukan praktik cara mengatakan “Tidak” pada
permintaan yang tidak rasional
Mampu mengungkapkan alasan menolak permintaan tidak rasional
IV Mempertahankan sikap asertif dalam mengungkapkan
kebutuhan dan keinginan serta mengatakan “Tidal” terhadap
permintaan orang lain yang tidak rasional dan alasanya
20 Mampu menyebutkan sikap asertif dalam mengungkapkan
kebutuhan dan keinginan yang telah dilatih
21 Mampu menyebutkan manfaat perubahan sikap asertif
22 Mampu menyebutkan hambatan latihan asertif

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


23 Mampu menyebutkan kemampuan mengatakan “Tidak” terhadap
permintaan tidak rasional
24 Mampu menyebutkan manfaat latihan mengungkapkan kata “Tidak”
terhadap permintaan tidak rasional
25 Mampu mengungkapkan hambatan latihan mengatakan tidak
terhadap permintaan tidak rasional
Total Jumlah kemampuan AT

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


EVALUASI KEMAMPUAN PASIEN PADA PELAKSANAAN COGNITIVE
BEHAVIOR THARAPY (CBT)

Nama pasien : ............................... Ruangan : ................................


Nama perawat : ............................... Penilai :.................................
Tanggal Evaluasi
NO Kemampuan Pasien
I Mengidentifikasi Pikiran Otomatis negatif serta akibat negatif
terhadap perilaku
1 Mampu menyebutkan pikiran otomatis negatif
..........................................................................................................
..........................................................................................................
..........................................................................................................
..........................................................................................................
2 Mampu menyebutkan perilaku negatif sebagai akibat dari pikiran
otomatis
..........................................................................................................
..........................................................................................................
..........................................................................................................
..........................................................................................................
3 Mampu menyebutkan pikiran otomatis negatif setelah perilaku
negatif terjadi
..........................................................................................................
..........................................................................................................
..........................................................................................................
..........................................................................................................
II Penggunaan Tanggapan Rasional Terhadap Pikiran Otomatis
Negatif
4 Mampu mengidentifikasi pikiran otomatis negatif yang dipilih untuk
dilawan
.........................................................................................................
.........................................................................................................
.........................................................................................................
.........................................................................................................
5 Mampu mengidentifikasi tanggapan rasional yang akan digunakan
untuk melawan pikiran otomatis negatif
..........................................................................................................
.........................................................................................................
..........................................................................................................
..........................................................................................................
6 Mampu melawan pikiran otomatis negatif yang dipilih untuk dilatih
dengan.............................................................................................
.........................................................................................................
.........................................................................................................
.........................................................................................................
III Memodifikasi Perilaku Negatif Menjadi Positif dengan Token
7 Mampu mengidentifikasi perilaku negatif yang muncul akibat pikiran
otomatis negatif yang dipilih untuk dirubah
..........................................................................................................
..........................................................................................................
...........................................................................................................
..........................................................................................................
8 Mampu melawab perilaku negatif yang muncul dengan perilaku
positif yang telah dipelajari
..........................................................................................................
..........................................................................................................
..........................................................................................................

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014


..........................................................................................................
9 Mampu merubah perilaku negatif yang muncul dengan perilaku
positif yang telah dipelajari dan memberikan token
...........................................................................................................
...........................................................................................................
..........................................................................................................
..........................................................................................................
IV Mengevaluasi Perkembangan Pikiran dan perilaku Positif
10 Mampu menyebutkan manfaat latihan melawan pikiran otomatis
negatif dan merubah perilaku negatif yang muncul
...........................................................................................................
...........................................................................................................
...........................................................................................................
...........................................................................................................
11 Mampu menyebutkan hasil dari melawan pikiran negatif yang
muncul..............................................................................................
..........................................................................................................
..........................................................................................................
..........................................................................................................
..........................................................................................................
12 Mampu menyebutkan hasil dari perubahan perilaku negatif yang
muncul dengan token
...........................................................................................................
...........................................................................................................
...........................................................................................................
...........................................................................................................
IV Menjelaskan pentingnya obat dan terapi modalitas untuk
mencegah kekambuhan dan mempertahankan serta
membudayakan pikiran positif dan perilaku positif
13 Mampu menyebutkan nama obat
14 Mampu menyebutkan jenis obat
15 Mampu menyebutkan dosis obat
16 Mampu menyebutkan waktu minum obat
17 Mampu menyebutkan cara minum obat
18 Mampu menyebutkan manfaat obat
19 Mampu menyebutkan efek samping obat
20 Mampu menyebutkan TAK yang diikuti:
..........................................................................................................
..........................................................................................................
..........................................................................................................
..........................................................................................................
21 Mampu menyebutkan kegiatan yang dilakukan:
..........................................................................................................
..........................................................................................................
...........................................................................................................
...........................................................................................................
22 Mampu jadwal kegiatan melawan pikiran negatif:
..........................................................................................................
..........................................................................................................
..........................................................................................................
..........................................................................................................
23 Mampu menyebutkan jadwal melakukan kegiatan untuk merubah
perilaku negatif:
..........................................................................................................
..........................................................................................................
..........................................................................................................
...........................................................................................................
Total Jumlah kemampuan CBT

Manajemen kasus…., Riris Ocktryna, FK UI, 2014

Anda mungkin juga menyukai