Anda di halaman 1dari 88

STUDI LITERATUR

ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA YANG MENGALAMI

GANGGUAN AKTIVITAS DENGAN MASALAH KEPERAWATAN

HAMBATAN MOBILITAS FISIK

Oleh:

DEVITA PUTRI HAYU NANDANI

NIM 17613082

PRODI DIII KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO

2020

i
STUDI LITERATUR
ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA YANG MENGALAMI
GANGGUAN AKTIVITAS DENGAN MASALAH KEPERAWATAN
HAMBATAN MOBILITAS FISIK

KARYA TULIS ILMIAH

Diajukan kepada Program Studi DIII Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan

Universitas Muhammadiyah Ponorogo Untuk Memperoleh Gelar Ahli Madya

Keperawatan

Oleh:

DEVITA PUTRI HAYU NANDANI

NIM 17613082

PRODI DIII KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO

2020

ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING

Karya Tulis Oleh : DEVITA PUTRI HAYU NANDANI

Judul : ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA YANG

MENGALAMI GANGGUAN AKTIVITAS DENGAN

MASALAH KEPERAWATAN HAMBATAN

MOBILITAS FISIK

Telah disetujui untuk diujikan di hadapan Dewan Penguji Karya Tulis Ilmiah pada

Tanggal:

Oleh:

Pembimbing 1 Pembimbing II

Elmie Muftiana, S.Kep.,Ns., M.Kep Sulistyo Andarmoyo, S.Kep.,Ns.,M.Kes

NIDN. 0703127602 NIDN. 0715127903

Mengetahui

Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan

Universitas Muhammadiyah Ponorogo

Sulistyo Andarmoyo, S.Kep.,Ns.,M.Kes

NIDN. 0715127903

iii
HALAMAN PENGESAHAN

Karya Tulis Oleh : DEVITA PUTRI HAYU NANDANI

Judul : ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA YANG

MENGALAMI GANGGUAN AKTIVITAS DENGAN

MASALAH KEPERAWATAN HAMBATAN

MOBILITAS FISIK

Telah diuji dan disetujui oleh Tim Penguji pada Ujian Sidang di Program Studi

Diploma III Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah

Ponorogo

Tanggal: 30 Juli 2020

Tim Penguji

Tanda Tangan

Ketua : Siti Munawaroh, M.Kep :……………..

Anggota : 1. Rika Maya Sari, M.Kes :……………..

2. Elmie Muftiana, M. Kep :…………......

Mengetahui

Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan

Universitas Muhammadiyah Ponorogo

Sulistyo Andarmoyo, S.Kep.,Ns.,M.Kes

NIDN. 0715127903

iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : DEVITA PUTRI HAYU NANDANI

NIM : 17613082

Instansi : Program Studi DIII Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan

Universitas Muhammadiyah Ponorogo.

Menyatakan bahwa Studi Kasus yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada

Lansia Yang Mengalami Gangguan Aktivitas Dengan Masalah Keperawatan

Hambatan Mobilitas Fisik ” adalah bukan Studi Kasus orang lain baik sebagian

maupun keseluruhan, kecuali dalam bentuk kutipan yang telah disebutkan

sumbernya.

Demikian surat pernyataan ini kami buat dengan sebenar-benarnya dan apabila

pernyataan ini tidak benar, kami bersedia mendapatkan sangsi.

Ponorogo, 30 Juli 2020

Yang menyatakan

Devita Putri Hayu Nandani

NIM 17613082

v
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya

penulis dapat menyelesaikan penyusunan proposal yang berjudul “Asuhan

Keperawatan Pada Lansia Dengan Masalah Keperawatan Hambatan Mobilitas

Fisik”. Studi Kasus ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas

mata kuliah riset keperawatan

Penulis menyadari dalam penyusunan studi kasus ini banyak memperoleh

bimbingan, asuhan serta dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada

kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada:

1. Dr. H. Sultton, M.Si selaku Rektor Universitas Muhammadiyah

Ponorogo yang telah memberi kemudahan dan ijin, sehingga

memperlancar penyusunan studi kasus ini.

2. Sulistyo Andarmoyo, S.Kep.,Ns.,M.Kes selaku Dekan Fakultas Ilmu

Kesehatan Universitas Muhammadiyah Ponorogo yang telah memberi

kemudahan dan ijin, sehingga memperlancar penyusunan proposal ini.

3. Rika Maya Sari, S.Kep.,Ns.,M.Kes selaku Kaprodi DIII Keperawatan

Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Ponorogo

4. Elmie Muftiana, S.Kep.,Ns.,M.Kep selaku pembimbing pertama yang

telah memberi ijin dan dengan kesabaran serta ketelitiannya dalam

membimbing, sehingga proposal ini dapat terselesaikan dengan baik.

5. Sulistyo Andarmoyo, S.Kep.,Ns.,M.Kes selaku pembimbing kedua yang

telah memberi ijin dan dengan kesabaran serta ketelitiannya dalam

membimbing, sehingga proposal ini dapat terselesaikan dengan baik.

vi
6. Kedua orangtua yang senantiasa memberikan semangat baik moral

maupun material sehingga terselesaikan dengan baik proposal ini.

7. Teman-teman seperjuangan 3B DIII Keperawatan Fakultas Ilmu

Kesehatan Universitas Muhammadiyah Ponorogo.

8. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas bantuan

dalam penyelesaian proposal studi kasus ini. Semoga Allah SWT

memberikan imbalan atas kebaikan serta ketulusan yang telah mereka

berikan selama ini pada penulis.

Penulis menyadari bahwa proposal studi kasus ini masih jauh dari

kesempurnaan sehingga diharapkan adanya kritik dan saran yang sifatnya

membangun demi kesempurnaan proposal ini.

Ponorogo, 29 Juli 2020

Yang menyatakan

Devita Putri Hayu Nandani

NIM 17613082

vii
ABSTRAK

STUDI LITERATUR: PEMBERIAN TEKNIK RANGE OF MOTION PADA


LANSIA YANG MENGALAMI GANGGUAN AKTIVITAS DENGAN
MASALAH KEPERWATAN HAMBATAN MOBILITAS FISIK
Oleh:
DEVITA PUTRI HAYU NANDANI
NIM. 17613082

Usia lanjut adalah suatu kejadian yang pasti akan di alami oleh semua
manusia yang di karuniai umur panjang, Semakin lanjut usia seseorang, maka
kemampuan fisiknya akan semakin menurun, salah satunya adalah penurunan
pada sistem musculoskeletal yaitu gangguan aktivitas. Gangguan aktivitas adalah
ketidakmampuan seseorang untuk melakukan kegiatan dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya. Masalah keperawatan yang dapat di alami adalah hambatan
mobilitas fisik. Upaya yang dapat di lakukan dalam mengatasi masalah hambatan
mobilitas fisik pada gangguan aktivitas yaitu dengan penatalaksanaan non
farmakologi berupa latihan Range of Motion.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pemberian teknik non
farmakologi Range of Motion dalam asuhan keperawatan pada pasien lansia yang
mengalami gangguan aktivitas dengan masalah keperawatan hambatan mobilitas
fisik. Metode dalam penelitian ini adalah metode studi literatur dengan
menggunakan data sekunder hasil analisa jurnal. Hasil penelusuran studi literatur
merujuk pada pemberian latihan range of motion (ROM) sebagai salah satu
intervensi dalam mengatasi masalah hambatan mobilitas fisik. Dapat di simpulkan
bahwah latihan Range of motion ini sangat efektif di lakukan untuk mengatasi
hambatan mobilitas fisik pada lansia. Dengan latihan ROM rutin dapat
meningkatkan mobilitas sendi, fleksibilitas sendi, dan kekuatan otot pada lansia.
Kata kunci : Lanjut Usia, Hambatan Mobilitas Fisik, Range of Motion (ROM)

viii
DAFTAR ISI

Halaman Judul i

Halaman Judul Dalam ii

Halaman Persetujuan Persetujuan iii

Halaman Pengesahan iv

Halaman Pernyataan Keaslian Tulisan v

Kata Pengantar vi

Daftar Isi viii

Daftar Tabel xi

Daftar Gambar xii

Daftar Lampiran xiii

Daftar Singkatan xiv

BAB 1 PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Identifikasi Masalah 4

1.3 Tujuan 4

1.3.1 Tujuan Umum 7

1.3.2 Tujuan Khusus 7

1.4 Manfaat 4

1.4.1 Manfaat Teoritis 7

1.4.2 Manfaat Praktis 7

ix
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 7

2.1 Konsep Lansia 7

2.1.1 Definisi 7

2.1.2 Proses menua 8

2.1.3 Teori-teori Proses Menua 9

2.1.4 Batasan Lanjut Usia 13

2.1.5 Klasifikasi Lansia 14

2.1.6 Perubahan pada pada Lansia 14

2.2 Konsep Muskuloskeletal 20

2.2.1 Pengertian Muskuloskeletal 20

2.2.2 Otot 20

2.2.3 Jenis-jenis otot 21

2.3 Konsep Hambatan Mobilitas Fisik 23

2.3.1 Pengertian 23

2.3.2 Etiologi 23

2.3.3 Manifestasi klinis 23

2.3.4 Patofisiologi 23

2.4 Konsep Hambatan Mobilitas Fisik 23

2.4.1 Pengertian 23

2.4.2 Faktor yang Berhubungan 23

2.4.3 Etiologi 24

2.4.4 Jenis Mobilisasi 28

2.5.5 Manfaat 30

2.4.6 Dampak Hambatan Mobilitas Fisik 30

x
2.4.7 Pemeriksaan Diagnostik atau Penunjang 35

2.4.8 Terapi atau Tindakan 36

2.5 Konsep Asuhan Keperawatan 37

2.5.1 Pengkajian 37

2.5.2 Pemeriksaan Fisik 39

2.5.3 Pengkajian Status Kesehatan Kronis, Kognitif, Fungsional, Status

Psikologi dan Dukungan Keluarga 41

2.5.4 Diagnosa Keperawatan 44

2.5.5 Intervensi Keperawatan 44

2.5.6 Implementasi 48

2.5.7 Evaluasi 48

2.6 Hubungan Antar Konsep 49

BAB 3 METODE STUDI KASUS 50

3.1 Metode 50

3.2 Teknik penulisan 51

3.3 Waktu dan Tempat 51

3.4 Alur Kerja (Frame Work) 52

3.5 Etika 53

DAFTAR PUSTAKA 54

xi
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Intervensi Keperawatan 42

xii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Hubungan Antar Konsep Asuhan Keperawatan Lansia Dengan


Masalah Keperawatan Hambatan Mobilitas Fisik 49

Gambar 3.1 Alur Kerja Asuhan Keperawatan Lansia Dengan Masalah


Keperawatan Hambatan Mobilitas Fisik 52

xiii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Penjelasan Untuk Mengikuti Penelitian (PSP) 56

Lampiran 2 Informed Consent 58

Lampiran 3 Surat Permohonan Data Awal 59

Lampiran 4 Surat Permohonan Data Awal dari Bankesbang 60

Lampiran 5 Buku Bimbingan Karya Tulis Ilmiah Pembimbing 1 63

Lampiran 6 Buku Bimbingan Karya Tulis Ilmiah Pembimbing 2 65

Lampiran 7 Format Asuhan Keperawatan Lansia 68

Lampiran 8 Pengkajian Keseimbangan Untuk Lansia 82

Lampiran 9 Pengkajian Masalah Kesehatan Kronis 83

Lampiran 10 Short Portable Mental Status Questioner (SPMSQ) 84

Lampiran 11 Mini-Mental State Exam (MMSE) 85

Lampiran 12 Apgar Lansia 86

Lampiran 13 Inventaris Depresi Geriatrik 87

Lampiran 14 Inventaris Depresi Beck 89

Lampiran 15 Indek Katz 91

Lampiran 16 SOP Ambulasi 62

xiv
DAFTAR SINGKATAN

ADL : Activity Daily Living.

BAB : Buang Air Besar.

BAK : Buang Air Kecil.

CHF : Congestive Heart Failure.

CT Scan : Computed Tomography.

DEPKES RI : Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

HB : Hemoglobin.

HRQL : Health Related Quality Life.

MRI : Magnetic Resonance Imanging.

MMSE : Mini-Mental State Exam.

NANDA : North American Nursing Diagnosis Association.

NIC : Nursing Intervensi Classification.

NOC : Nursing Outcomes Classification.

RPS : Rentang Pergerakan Sendi.

SPMSQ : Short Portable Mental Status Questionnaire.

UPT PSTW : Unit Pelayanan Teknis Pelayanan Sosial Tresna Werdha.

WHO : World Health Organization.

xv
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Lansia merupakan kelompok umur pada manusia yang telah memasuki

tahapan akhir dari fase kehidupannya. Kelompok yang di kategorikan lansia

ini akan terjadi suatu proses yang di sebut proses penuaan atau Anging

Process. Seseorang di katakana lansia ialah apabila berusia 60 tahun ke atas

atau lebih, karena faktor tertentu tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya

baik secara, sosial, jasmani, dan rohani (Nugroho, 2012). Memasuki usia tua

berarti mengalami kemunduran misalnya kemunduran pada fisik. Semakin

lanjut usia seseorang, maka kemampuan fisiknya akan semakin menurun,

sehingga dapat mengakibatkan kemunduran pada peran-peran sosialnya. Hal

ini mengakibatkan timbulnya gangguan dalam hal yang mencukupi dalam

kebutuhan hidupnya, sehingga memerlukan bantuan orang lain.

Perubahan normal akibat penuaan ini paling jelas terlihat pada sistem

muskuloskeletal berupa penurunan otot secara keseluruhan pada usia 80 tahun

mencapai 30% sampai 50%. Penurunan sistem muskuloskeletal adalah

gangguan kronis pada otot, tendon, dan saraf yang di sebabkan oleh pengguna

tenaga secara berulang, Gerakan secara cepat, beban yang tinggi, tekanan,

postur tubuh yang janggal, dan rendahnya temperatur sehingga menyebabkan

rasa nyeri serta rasa tidak nyaman pada otot. Perubahan patologis pada sistem

muskuloskeletal seperti rheumatorid atritis,dan osteoporosis yang sering

terjadi pada lansia dan mengakibatkan gangguan pada aktivitas (Uda,

ermina.2016)

1
2

Menurut (Heriana,2014) Aktivitas adalah suatu energi atau keadaan

yang bergerak dimana manusia memerlukan untuk dapat memenuhi

kebutuhan hidup. Salah satu tanda kesehatan adalah adanya kemampuan

aktivitas seseorang melakukan aktivitas seperti berdiri, berjalan dan bekerja.

Kemampuan aktivitas seseorang tidak terlepas dari keadekuatan sistem

persyarafan dan muskuloskeletal. Jadi dapat diartikan bahwa gangguan

aktivitas merupakan ketidakmampuan seseorang untuk melakukan kegiatan

dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Dari gangguan aktivitas akan

menimbulkan masalah keperawatan hambatan mobilitas fisik.

Hambatan mobilitas fisik adalah keterbatasan pergerakan fisik tubuh

atau salah satu, atau semua ekstermitas yang mandiri dan terarah (Renata

Komalasari, 2011). Atau penurunan kemampuan untuk berpindah ke satu

tempat ke tempat yang lain atau ke satu posisi ke posisi yang lain. Hambatan

mobilitas fisik dapat di pengaruhi oleh beberapa faktor (Ernawati, 2012).

Hambatan mobilitas fisik yang di akibatkan oleh perubahan patologis pada

sistem muskuloskeletal memberikan dampak pada fisik maupun psikososial

pada lansia. Dampak fisik dari sistem muskuloskeletal yang paling jelas

terlihat pada gangguan hambatan mobilitas fisik berupa penurunan kepadatan

tulang, persendian menjadi lunak, perubahan struktur otot. Dampak

psikososial dari hambatan mobilitas fisik yaitu respon emosional yang

bervariasi (frustasi dan penurunan harga diri, apatis, menarik diri, regresi, dan

marah serta agresif) (Azizah dan Lilik M, 2011)


3

Menurut data WHO pada 2008, hambatan mobilitas akibat gangguan

sistem muskuloskeletal telah diderita 151 juta jiwa di dunia dengan 24 juta

jiwa diantaranya berada di kawasan Asia Tenggara. Prevalensi penyakit

musculoskeletal di Indonesia mencapai 34,4 juta orang dengan perbandingan

penyakit sebesar 15,5% pada pria dan 12,7% pada wanita. Prevalensi data

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2018 menunjukkan, sebanyak

11,5% penduduk Indonesia menderita gangguan sistem muskuloskeletal.

Prevalensi penyakit sendi di Jawa Timur juga cukup tinggi hingga mencapai

30,9% (Dinkes, 2018). Berdasarkan data yang di peroleh dari UPT PSTW

Magetan tahun 2019, di dapatkan data bahwa jumlah lansia yang berada di

UPT PSTW Magetan tersebut berjumlah. 87 orang.

Masalah mobilitas yang terjadi pada lansia yang mengalami gangguan

sistem muskuloskeletal dapat diatasi dengan memberikan intervensi berupa

latihan ambulasi, range of motion, kontraksi otot isometrik dan isotonik,

kekuatan atau kesehatan, aerobik, sikap, mengatur posisi tubuh, pasien untuk

pemenuhan ADL, kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi Latihan, range of

motion adalah latihan pergerakan maksimal yang di lakukan oleh sendi,

latihan ini menjadi salah satu bentuk latihan yang berfungsi dalam

pemeliharaan fleksibilitas sendi dan kekuatan otot pada lansia (Potter &

Perry, 2011).

Adapun yang dapat di lakukan untuk mencegah terjadinya peningkatan

jumlah pasien yang mengalami hambatan mobilitas fisik adalah menejemen

energi, menejemen lingkungan, peningkatan latihan, terapi latihan Ambulasi,

terapi latihan pergerakan sendi, dan terapi latihan otot (NIC, 2015). Terapi
4

latihan otot adalah salah satu upaya pengobatan dalam fisioterapi yang

pelaksanaannya menggunakan latihan-latihan gerak tubuh, baik secara aktif

maupun pasif, tujuan dari terapi latihan adalah rehabilitasi untuk mengatasi

gangguan fungsi dan gerak, mencegah timbulnya komplikasi mengurangi

nyeri dan odem (Hendrik,2012)

Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk melakukan studi kasus

yang berjudul “Studi Literatur Asuhan Keperawatan pada Lansia dengan

Masalah Keperawatan Hambatan Mobilitas fisik ”.

1.2 Identifikasi Masalah

Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien lansia yang mengalami masalah

keperawatan hambatan mobilitas fisik?

1.3 Tujuan Penulis

Menganalisis Asuhan keperawatan pada lansia gangguan aktivitas dengan

masalah keperawatan hambatan mobilitas fisik

1.4 Manfaat Penulis

1.4.1 Manfaat Teoritis

Penelitian ini di harapkan dapat memberikan pemahaman dan menambah

informasi terhadap pengembangan ilmu keperawatan mengenai asuhan

keperawatan pada pasien lansia yang mengalami gangguan aktivitas

dengan masalah keperawatan hambatan mobilitas fisik

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Manfaat bagi Penulis


5

Menambah pengetahuan tentang asuhan keperawatan pada lansia yang

mengalami gangguan aktivitas dengan masalah keperawatan hambatan

mobilitas fisik

2. Manfaat bagi Klien

Klien mendapat pelayanan kesehatan yang mengarah pada

profosionalisme dan juga mendapatkan asuhan keperawatan yang

efekti, dan efesian yang sesuai dengan standar asuhan keperawatan.

3. . Manfaat bagi Profesi Keperawatan

Sebagai pengembangan intervensi keperwatan untuk penatalaksanaan

pada pasien lansia dengan masalah keperawatan hambatan mobilitas

fisik

4. Manfaat bagi Panti

a. Sebagai masukan bagi profesi keperawatan pada pasien lansia

khususnya, untuk menjadikan asuhan keperawatan yang

profosional sesuai standar oprasional.

b. Sebagai bahanpertimbangan dalam upaya memberikan upaya

memberikan asuhan keperawatan pada lansia.

5. Manfaat bagi Institusi

a. Membawa wawasan dan pengetahuan untuk para pembaca di

perpustakaan dengan asuhan keperwatan lansia dengan masalah

keperawatan hambatan mobilitas fisik.

b. Memberikan gambaran untuk mutu pendidikan keperawatan serta

sebagai dokumentasi untuk menambah koleksi perpustakaan yang

c. Selanjutnya dapat di gunakan untuk referensi penelitian selanjutnya.


7

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep lansia

2.1.1 Definisi lansia

Menurut World Health Organization (WHO), lansia adalah seorang

yang telah memasuki usia 60 tahun ke atas. Lansia merupakan kelompok

umur pada manusia yang telah memasuki tahapan akhir dari fase

kehidupannya. Kelompok yang di kategorikan lansia ini akan terjadi suatu

proses yang di sebut proses penuaan atau Anging Process. Seseorang di

katakana lansia ialah apabila berusia 60 tahun ke atas atau lebih, karena

faktor tertentu tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya baik secara,

sosial, jasmani, dan rohani (Nugroho, 2012).

WHO dan Undang-Undang Nomer 13 Tahun 1998 tentang

kesejahteraan lanjut usia pada Bab 1 Pasal 1 Ayat 2 menyebutkan bahwa

umur 60 tahun adalah permulaan tua. Menua bukanlah suatu dari penyakit,

tetapi menua merupakan suatu proses yang yang terus menerus yang

mengakibatkan perubahan yang kumulatif, merupakan proses menurunya

daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam dan luar tubuh

yang berakhir dengan kematian.

Dalam Buku Ajar Geriatri, Prof. Dr. R. Boedhi Darmojo dan Dr. H.

Hadi Martono (1994) dalam H. Wahyudi Nugroho (2012) mengatakan

bahwa “menua” (menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara

perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri


8

dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat

bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang

di derita. dari pernyataan tersebut, dapat di simpulkan bahwa manusia secara

perlahan akan mengalami kemunduran struktur dan fungsi organ. Kondisi

ini dapat mempengaruhi kemandirian dan kesehatan lanjut usia, termasuk

kehidupan seksualnya.

2.1.2 Proses penuaan

Proses menua merupakan proses yang terus menerus atau berkelanjutan

secara alamiah dan umumnya di alami oleh semua makhluk hidup.

Misalnya, dengan terjadinya kehilangan jaringan pada otot, susunan saraf

dan jaringan lain, hingga tubuh “mati” sedikit demi sedikit. Kecepatan

proses menua setiap induvidu pada orang tubuh tidak akan sama,

Adalakanya seseorang yang belum tergolong lanjut usia atau masih muda,

tetapi telah menunjukan kekurangan yang mencolok (deskripansi). Ada pula

orang yang tergolong lanjut usia, penampilannya masih sehat, segar bugar

dan badan masi terlihat tegap. Walaupun demikian, harus di akui bahwa ada

beberapa penyakit yang sering dialami oleh lansia. Manusia secara lambat

dan progresif akan kehilangan daya tahan terhadap infeksi dan akan

menempuh semakin banyak distorsi meteoritik dan struktural yang disebut

sebagai penyakit degeneratif (misalnya: hipertensi, arteriosklerosi, diabetes

militus dan kanker) yang akan menyebabkan berakhirnya hidup dengan

episode terminal yang dramatis, misalnya stroke, infark miokard, koma

asidotik, kanker mestastasis, dan sebainya (H. Wahyudi Nugroho, 2012).


9

2.1.3 Teori Proses Menua

Menurut Depkes RI (2016) tentang proses menua yaitu:

1. Teori- teori biologi

a. Teori genetik dan mutase (somatic mutatie theory)

Menurut teori ini menua telah terprogram secara genetik untuk

spesies-spesies tertentu. Menua terjadi sebagai akibat dari perubahan

biokimia yang di program oleh molekul-molekul atau DNA dan setiap

sel pada saatnya akan mengalami mutasi sehingga mengalami

penurunan kemampuan fungsional sel.

b. Pemakaian dan rusak

Kelebihan usaha dan stres menyebabkan sel-sel tubuh lelah atau rusak.

c. Reaksi dan kekebalan sendiri (auto immune theory)

Di dalam proses metabolisme tubuh, suatu saat di produksi oleh suatu

zat khusus. Ada jaringan tubuh tertentu yang tidak tahan terhadap zat

tersebut sehingga jaringan tubuh menjadi sakit dan lemah.

d. Teori “immunology slow virus” (immunology slow virus theory)

Sistem immune menjadi efektif dengan bertambahnya usia, dan

masuknya virus ke dalam tubuh akan dapat mengakibatkan kerusakan

oragan tubuh.

e. Teori stres

Menua terjadi akibat hilangnya sel-sel yang biasa di gunakan oleh

tubuh. Regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan kestabilan

lingkungan internal, kelebuhan usaha dan stress dapat menyebabkan

sel-sel tubuh lelah terpakai.


10

f. Teori radikal bebas

Radikal bebas dapat terbentuk didalam bebas, tidak stabilnya radikal

bebas (kelompok atom) akan mengakibatkan oksidasi oksegen bahan-

bahan organik seperti protein dan karbohidrat. Radikal bebas ini bisa

menyebabkan sel-sel tidak dapat regenerasi.

g. Teori program

Kemampuan organisme untuk menetapkan jumlah sel yang membelah

setelah sel-sel mati.

h. Teori rantai silang

Sel-sel yang using atau tua, reaksi kimianya mengakibatkan ikatan

yang kuat, khususnya jaringan kolagen, ikatan ini menyebabkan

kurangnya elastis, kekacauan dan hilangnya fungsi.

2. Teori kejiwaan sosial

a. Aktifitas atau kegiatan (activity theory)

Lansia mengalami penurunan jumlah kegiatan yang dapat di

lakukannya. Teori ini menyatakan bahwa lansia yang sukses adalah

mereka yamg aktif dan ikut bayak kegiatan sosial. Ukuran optimum

(pola hidup) di lanjutkan dengan cara hidup dari lansia berupa

mempertahankan hubungan antara induvidu agar tetap stabil dan

sistem sosial.

b. Teori pembebasan (disengagement theory)

Teori ini menyatakan dengan bertambahnya usia, seseorang secara

berangsur-angsur mulai melepaskan diri dari kehidupan sosialnya.

Keadaan ini menyebabkan interaksi lanjut usia menurun, baik secara


11

kualitas ataupun kuantitas sehingga sering terjadi kehilangan ganda

(triple loss), yakni kehilangan peran; Hambatan mobilitas

fisik;Berkurangnya kontak komitmen.

c. Kepribadian berlanjut (continuity theory)

Dasar kepribadian atau tingkah laku yang tidak berubah pada lansia.

Pada teori ini menyatakan, teori yang terjadi pada sesorang lansia

yang sangat di pengaruhi oleh tipe personality yang dimiliki.

2.1.4 Batasan lanjut usia

1. Batasan umur lansia menurut WHO lanjut usia meliputi:

a. Usia pertengahan (middle age), ialah kelompok usia 45 sampai 59 tahun.

b. Lanjut usia (elderly), antara 60 sampai 74 tahun.

c. Usia sangat tua (very old), di atas 90 tahun.

2. Menurut padila (2013)

1) Usia dewasa muda (elderly adulthood) usia 18/20-25 tahun

2) Lanjut usia (geriatric age) usia <65/70 tahun terbagi atas

a) Young old usia 70-75

b) Old usia 75-80

c) Very old usia >80 tahun

3. Menurut Birren dan Jenner dalam Nugroho (2008) untuk membedakan

antara usia biologis, psikologis, dan usia sosial.

a. Usia biologis, yaitu jangka waktu seseorang sejak lahirnya berada

dalam keadaan hidup tidak mati.

b. Usia psikologis, yaitu kemampuan seseorang untuk mengadakan

penyesuaian pada sehubungan situasi yang dihadapinya.


12

c. Usia sosial, yaitu peran yang diharapkan atau diberikan masyarakat

kepada seseorang dengan usianya.

2.1.6 Klasifikasi pada lansia ada 5 macam (Maryam,2008).

1. Pralansia (Prasennilisis) adalah seseorang yang berusia 45-59 tahun

2. Lansia adalah seorang yang berusia 60 tahun lebih

3. Lansia resiko lebih adalah seorang yang berusia 60 tahun keatas dengan

masalah kesehatan.

4. Lansia potensial adalah lansia yang masih mampu melakukan aktivitas

5. Lansia tidak potensial adalah lansia yang tidak berdaya mencari nafkah,

hidupnya bergantung pada orang lain.

2.1.7 Perubahan-perubahan pada lansia

Semakin bertambahnya umur manusia, terjadi proses penuaan secara

degeneratif yang akan berdampak pada perubahan-perubahan pada diri

manusia, tidak hanya perubahan fisik, tetapi juga kognitif, perasaan, sosial

dan seksual (Azizah dan Lilik M, 2011).

1. Sistem kulit dan integument

Pada kulit terutamapada kulit wajah yang mengeriput, hal

pertama yang dialami adalah kulit di sekitar mata dan mulut, sehingga

berakibat wajah dengan ekspresi sedih (lebih jelasnya pada wanita).

Rambut semakin berubah dan kusus pada pria tak jarang terjadi

kebotakan pada rambut (alopesia). Gigi tanggal, sehingga berpengaruh

pada proses mengunyah makanan.


13

2. Sistem indra (pengliatan, pendengaran, penciuman dan pengecapan)

Gangguan pada mata lebih sering di sebabkan oleh katarak,

glaukoma, atau digenerasi makula. Pada usia lanjut dengan katarak

yang berat, terjadi penurunan visus, bahkan pada stadium lanjut hanya

dapat membedakan terang dan gelap saja. Penyebab katarak antara

lain: pengobatatan steroid yang berlangsung lama, trauma, radiasi atau

idiopatik (tidak di ketahui penyebabnya).

Kedua jenis gangguan pada sistem indra tersebut di atas, (sistem

pengliatan dan pendengaran) akan berdampak pada sistem

komunikasi. Pada lansia timbulnya komunikasi tidak saja sebagai

akibat dari presbiakusis, tapi sering di tambah pula dalam situasi

dalam percakapan yang kurang mendukung. Timbulnya gangguan

komunikasi di kaitkan dengan sebagai berikut:

a) Pembicaraan terjadi dalam intervensi karena gangguan suara lain,

seperti: suara musik, radio, televisi, dll.

b) Sumber suara mengalami distorsi, misalnya berasal dari pengeras

suara yang tidak sempurna (terminal, gedung) atau dari telepon

maupun yang di ucapkan oleh anank-anak, orang asing atau

pembicara terlalu cepat.

c) Kondisi akustik ruangan yang tidak sempurna, seperti dapur atau

ruang pertemuan yang berdinding mudah memantulkan suara.

Bagi lansia yang mengalami gangguan pendengaran, agar dapat

berkomunikasi lebih baik di perlukan suasanya yang mendukung.

Antara lain awali dengan menyebut nama lansia; sebisa mungkin


14

hindari pembicaraan di tempat ramai (intervensi, distorsi) dan tempat

yang terlalu banyak menimbulkan pantulan suara; menghadap wajah

(bibir, mulut dan ekspresi muka) pada lansia saat berbicara; berbicara

dengan jelas tanpa berteriak; jangan berbicara sambil minum atau

makan maupun merokok.

3. Perubahan komposisi tubuh

Dengan bertambahnya usia, maka masa bebas lemak berkurang

kurang lebih 6,3% BB per dekade seiring dengan penambahan masa

lemak kurang lebih 2% per dekade. Masa air berkurang sebesar 2,5%

per dekade.

4. Saluran cerna

Dengan bertambahnya usia, pada sistem ini terjadi perubahan-

perubahan sebagai berikut:

a. Jumlah gigi berangsur-angsur berkurang akibat tanggal atau ekstrasi

akibat indikasi tertentu. Hal ini akan mengurangi kenyamanan saat

makan serta membatasi jenis makanan. Produksi air liur dengan

berbagai enzim di dalamnya akan juga menurun, keadaan mulut

yang kering selain akan mengurangi kenyamanan saat makan juga

mengurangi kelancaran saat menelan.

b. Pada lidah terdapat banyak tonjolan saraf pengecap yang memberi

perbagai sensari rasa (manis, asin, gurih, dan pahit). Akibat

penambahan usia, maka jumlah tonjolan saraf tersebut berkurang,

sehingga lansia kurang dapat merasakan rasa kecap, akibatnya


15

mereka butuh lebih bayak jumlah gula atau garam untuk

mendapatkan rasa yang sama.

c. Esofagus adalah saluran pencernaan yang menghubungkan mulut

dengan rambut. Gerakannya secara ritmis mengalirkan makanan ke

lambung, sehingga lama kelamaan lambung dapat mengalami

perlambatan, terutama di usia 70 tahun ke atas. Perlambatan terjadi

akibat kelemahan kekuatan otot lingkar antara esofagus dan

lambung.

d. Penurunan sekresi enzim laktase usus halus juga terjadi sesuai

dengan penambahan usia, tampak misalnya: kejadian diare setelah

minum susu yang tinggi laktosa.

e. Pada usus besar terjadi penurunan kontraktilitas, akibatnya: mudah

timbul sembelit, atau gangguan buang air besar.

Diantara sejumlah penyakit saluran cerna, disini akan dibahas

beberapa yang tersering dan erat kaitannya dengan asupan makanan

dan pemberian obat.

a) Mulut kering (dry mouth)

b) Akibat berkurangnya sekresi air liur dapat mengakibatkan mulut

kering, atau xerostomia, maka fungsunya sebagai pelumas akan

terganggu.

c) Disfagia atau gangguan menelan

d) Dispepsia

5. Hepar atau hati


16

Mengalami penurunan aliran darah sampai 35% pada usia lebih

dari 80 tahun, maka obat-obatan yang mengalami proses metabolisme

di organ ini perlu ditentukan dosisnya secara tepat agar lansia

terhindar dari efek samping.

6. Ginjal

pada lansia terjadi penurunan jumlah nefron sebesar 5-7% setiap

dekade, mulai usia 25 tahun. Bersihan kreatinin (CCT) menurun 0,5

ml/m/tahun dan mengabitkan berkurangnya kemampuan ginjal untuk

mengeluarkan metabolisme lewat urine.

7. Sistem kardiovaskuler

Perubahan pada sistem kardiovaskuler pada lansia adalah massa

jantung bertambah, ventrikel kiri mengalami hipertropi sehingga

peregangan jantung berkurang, kondisi ini terjadi karena perubahan

jaringan ikat. Perubahan inidisebabkan oleh penumpukan lipofusin,

klasifikasi SA Node dan jaringan konduksi berubah menjadi jaringan

ikat.

8. Sistem Muskuloskeletal

Perubahan sistem muskuloskeletal pada lansia: Jaringan

penghubung (kolagendan elastin), kartilago, tulang, otot dan sendi.

Kolagen sebagai pendukung utama kulit, tendon, tulang, kartilago dan

jaringan pengikat mengalami perubahan menjadi bentangan yang tidak

teratur.

a) Kartilago: jaringan kartilago pada persendian menjadi lunak dan

mengalami granulasi, sehingga permukaan sendi menjadi rata.


17

Kemampuan kartilago untuk regenerasi berkurang dan degenerasi

yang terjadi cenderung kearah progresif, konsekuensinya kartilago

pada persendiaan menjadi rentan terhadap gesekan.

b) Tulang: berkurangnya kepadatan tulang setelah diamati adalah

bagian dari penuaan fisiologi, sehingga akan mengakibatkan

osteoporosis dan lebih lanjut akan mengakibatkan nyeri, deformitas

dan fraktur.

c) Otot: perubahan struktur otot pada penuaan sangat bervariasi,

penurunan jumlah dan ukuran serabut otot, peningkatan jaringan

penghubung dan jaringan lemak pada otot mengakibatkan efek

negatif.

d) Sendi: pada lansia, jaringan ikat sekitar sendi seperti tendon, ligamen

dan fasia mengalami penuaan elastisitas.

9. Sistem pernafasan

Seiring penambahan usia, kemampuan pegas dinding dada dan

kekuatan otot pernafasan akan menurun, sendi-sendi tulang iga akan

menjadi kaku. keadaan tersebut akan mengakibatkan:

a. penurunan laju ekpirasi paksa satu detik sebesar kurang lebih 0,2

liter dekade serta berkurangnya kapasitas vital

b. menurunnya sistem pertahanan yang terdiri atas gerak bulu getar,

leukosit, antibodi dan reflek batuk. Semua itu berakibat lansia

menjadi lebih rentan terhadap infeksi.

2.1.8 Konsep Sistem Muskuloskeletal

1.2.1 Pengertian Muskuloskeletal


18

Muskuloskeletal terdiri dari kata Muskulo yang berarti otot dan kata

skeletal yang berarti tulang. Muskulo atau muscular adalah jaringan otot-

otot tubuh. Ilmu yang mempelajari tentang muskulo atau jaringan otot-otot

tubuh dan myologi. Skeletal atau osteo adalah tulang tubuh

(Syaifuddin,2012)

1.2.2 Otot (Muskulus / Muscle)

Otot merupakan organ tubuh yang mempunyai kemampuan mengubah

energi kimia menjadi energi mekanik/gerak sehingga dapat berkontraksi

untuk menggerakkan rangka, sebagai respons tubuh terhadap perubahan

lingkungan. Otot disebut alat gerak aktif karena mampu berkontraksi,

sehingga mampu menggerakan tulang (Syaifuddin, 2012). Gabungan otot

berbentuk kumparan dan terdiri dari:

1. Fascia, adalah jaringan yang membungkus dan mengikat jaringan lunak.

Fungsi fascia yaitu mengelilingi otot, menyediakan tempat tambahan

otot, memungkinkan struktur bergerak satu sama lain dan menyediakan

tempat peredaran darah dan saraf.

2. Ventrikel (empal), merupakan bagian tengah yang mengembung.

3. Tendon (urat otot), yaitu kedua ujung yang mengecil, tersusun dari

jaringan ikat dan besrifat liat. Berdasarkan cara melekatnya pada tulang,

dibedakan sebagai berikut:

a) Origo, merupakan tendon yang melekat pada tulang yang tidak berubah

kedudukannya ketika otot berkontraksi.

b) Inersio, merupakan tendon yang melekat pada tulang yang bergerak

ketika otot berkontraksi (Syaifuddin, 2012)


19

1.2.3 Jenis- jenis Otot

Berdasarkan letak dan struktur selnya, dibedakan menjadi:

1. Otot Rangka (Otot Lurik)

Otot rangka merupakan otot lurik, volunter (secara sadar atas

perintah dari otak), dan melekat pada rangka, misalnya yang terdapat

pada otot paha, otot betis, otot dada. Kontraksinya sangat cepat dan

kuat. Struktur mikroskopis otot skelet/rangka yaitu Memiliki bentuksel

yang panjang seperti benang/filament. Setiap serabut memiliki banyak

inti yang terletak di tepi dan tersusun di bagian perifer. Serabut otot

sangat panjang, sampai 30 cm, berbentuk silindris dengan lebar berkisar

antara 10 mikron sampai 100 mikron.

2. Otot Polos

Otot polos merupakan otot tidak berlurik dan involunter (bekerja

secara tak sadar). Jenis otot ini dapat ditemukan pada dinding berongga

seperti kandung kemih dan uterus, serta pada dinding tuba, seperti pada

sistem respiratorik, pencernaan, reproduksi, urinarius, dan sistem

sirkulasi darah. Kontraksinya kuat dan lamban.

Struktur mikroskopis otot polos yaitu memiliki bentuk sel otot seperti

silindris/gelendong dengan kedua ujung meruncing. Serabut selini

berukuran kecil, berkisar antara 20 mikron (melapisi pembuluh darah).

Memiliki satu buah inti sel yang terletak di tengah sel otot dan

mempunyai permukaan sel otot yang polos dan halus/licin

(Syaifuddin,2012).

3. Otot Jantung
20

Otot Jantung juga otot serat lintang involunter, mempunyai struktur

yang sama dengan otot lurik. Otot ini hanya terdapat pada jantung.

Bekerja terus-menerus setiap saat tanpa henti, tapi otot jantung juga

mempunyai masa istirahat, yaitu setiap kali berdenyut Memilki banyak

inti sel yang terletak di tepi agak ke tengah. Panjang sel berkisarantara

85-100 mikron dan diameternya sekitar 15 mikron. Berdasarkan

gerakannya dibedakan menjadi:

a. Otot Antagonis Yaitu hubungan antar otot yang cara kerjanya

bertolak belakang/tidak searah, menimbulkan gerak berlawanan.

Contohnya: Ekstensor (meluruskan) dengan fleksor

(membengkokkan), misalnya otot bisep dan otot trisep. Depressor

(gerakan ke bawah) dengan

elevator (gerakan ke atas), misalnya gerak kepala menunduk dan

menengadah.

b. Otot Sinergis

Yaitu hubungan antar otot yang cara kerjanya saling

mendukung/bekerjasama, menimbulkan gerakan searah. Contohnya

pronator teresdanpronator kuadrus (Syaifuddin, 2012).

1.3 Konsep Gangguan Aktivitas

1.3.1 Pengertian Gangguan Aktivitas

Menurut (Heriana,2014) Aktivitas adalah suatu energi atau

keadaan yang bergerak dimana manusia memerlukan untuk dapat

memenuhi kebutuhan hidup. Salah satu tanda kesehatan adalah adanya

kemampuan aktivitas seseorang melakukan aktivitas seperti berdiri,


21

berjalan dan bekerja. Kemampuan aktivitas seseorang tidak terlepas

dari keadekuatan sistem persyarafan dan muskuloskeletal. Jadi dapat

diartikan bahwa gangguan aktivitas merupakan ketidakmampuan

seseorang untuk melakukan kegiatan dalam memenuhi kebutuhan

hidupnya.

1.3.2 Etiologi

Menurut (Hidayat,2014) penyebab gangguan aktivitas adalah sebagai

berikut:

1) Kelainan Postur

2) Gangguan perkembangan otot

3) Kerusakan sistem syaraf

4) Trauma langsung pada sistem muskuloskeletal dan neuromuskuler

5) Kekakuan otot

1.3.3 Manifestasi Klinis

Menurut (Potter & Perry, 2009) Manifestasi klinis pada gangguan

aktivitas adalah ketidak mampuan pasien untuk bergerak secara mandiri

atau perlu bantuan alat ataupun dengan bantuan orang lain, dan

memiliki hambatan dalam berdiri juga memiliki hambatan dalam

berjalan.

1.3.4 Patofisiologi

Menurut (Hidayat, 2014) proses terjadinya gangguan aktivitas

tergantung dari penyebab dari gangguan yang terjadi. Ada 3 hal yang

dapat menyebabkan gangguan aktivitas diantaranya adalah:

1. Kerusakan Otot
22

Kerusakan otot ini meliputi kerusakan anatomis maupun fisiologis

otot. Otot berperan sebagai sumber daya dan tenaga dalam proses

pergerakan jika terjadi kerusakan pada otot, maka tidak akan terjadi

pergerakan jika otot terganggu. Otot dapat rusak oleh beberapa hal

seperti trauma langsung oleh benda tajam yang merusak kontinuitas

otot. Kerusakan tendonatau ligament, radang dan lainnya.

2. Gangguan pada skelet

Rangka yang menjadi penompang sekaligus proses pergerakan

dapat terganggu pada kondisi tertentu hingga menggangu

pergerakan atau mobilisasi. Beberapa penyakit dapat menggangu

bentuk, ukuran maupun fungsi dari sistem rangka diantaranya

adalah fraktur, radang sendi, kekakuan sendi dan lain sebagainya.

3. Gangguan pada sistem persyarafan

Syaraf berperan penting dalam menyampaikan implus dari dank ke

otak. Implus tersebut merupakan perintah dan koordinasi antara

otak dan anggota gerak. Jadi, jika syaraf terganggu maka akan

terjadi gangguan penyampaian implus dari dank e organ target.

Dengan tidak sampainya implus maka akan mengakibatkan

gangguan mobilisasi.

1.4 Konsep Hambatan Mobilitas Fisik

1.4.1 Pengertian Hambatan Mobilitas Fisik

Hambatan mobilitas fisik adalah keterbatasan pergerakan fisik tubuh

atau salah satu, atau semua ekstermitas yang mandiri dan terarah (NANDA,

1999 dalam Renata Komalasari, 2011) atau penurunan kemampuan untuk


23

berpindah ke satu tempat ke tempat yang lain atau ke satu posisi ke posisi

yang lain. Hambatan mobilitas fisik juga di definisakan sebagai keterbatasan

pergerakan fisik secara mandiri baik secara aktual ataupun potensial dalam

lingkungan.

1.4.2 Faktor yang mempengaruhi mobilisasi

Menurut Enawati (2012) faktor yang mempengaruhi mobilisasi adalah:

1. Gaya hidup

Mobilisasi seseorang di pengaruhi oleh latar belakang budaya, nilai-nilai

yang di anut dan lingkungan tempat tinggal (masyarakat).

2. Ketidakmampuan

Kelemahan fisik atau mental sesorang akan menghalangi seseorang untuk

melakukan aktifitas sehari-hari. Secara umum ketidak mampuan dibagi

menjadi dua, yaitu: ketidak mampuan primer disebabkan oleh trauma

atau sakit, (misalnya paralisis akibat cidera atau gangguan pada medulla

spinalis). Sedangkan ketidakmampuan sekunder terjadi akibat dampak

dari ketidak mampuan primer, (misalnya tirah baring atau kelemahan

otot).

3. Tingkat energi

Energi sangat di butuhan oleh banyak hal, salah satunya adalah untuk

mobilisasi, dalam hal ini cadangan dari energi yang di miliki masing-

masing individu sangat bervariasi. Di samping itu, ada kecenderungan


24

seseorang untuk menghindari stressor guna untuk mempertahankan

kesehatan psikologis dan fisik.

4. Usia

Usia dapat berpengaruh terhadap kemampuan seseorang dalam

melakukan mobilisasi, pada individu lansia, kemampuan untuk

melakukan aktivitas menurun sejalan dengan penuaan.

1.4.3 Etiologi

Menurut Buckwalter (2011: 457-459). Beberapa faktor yang menyebabkan

atau ikut berperan terhadap hambatan mobilitas fisik:

1. Intoleransi aktifitas

Intoleransi aktifitas merupakan penurunan energi akibat kehilangan masa

otot dan tonus otot atau karena gangguan aktifitas sel. Lansia mengalami

kehilangan tonus otot atau masa otot akibat penuaan normal, tetapi juga

dapat beresiko terhadap kelemahan lebih lanjut akibat sindrom disuse,

yang berhubungan dengan penyakit kronis, penurunan pada aktivitas dan

pergerakan. Otot pernafasan juga melemah, dan paru cenderung menjadi

elastis. Oleh karena itu lansia memiliki volume tidal yang lebih sedikit

dan mengalami penurunan vital. (Buckwalter (2011: 457-459)

2. Nyeri

Nyeri adalah sensasi ketidaknyamanan berat umum atau setempat. Lansia

rentang terhadap nyeri kronis ataupun akut, baik somatopatik maupun

psikogenik, karena memiliki insiden penyakit kronis dan terapi yang


25

lebih tinggi mengalami peningkatan trauma yang diakibatkan jatuh dan

fraktur, dan rentang terhadap infeksi. (Buckwalter (2011: 457-459)

3. Gangguan Neuromuskular

Merupakan penurunan gerakan otot karena penurunan system gangguan

intervasi parifer atau saraf pusat. Sistem saraf mengendalikan inervasi

dan fungsi seluruh dari bagian tubuh, dengan demikian, kontraksi dan

reflek otot sangat bergantung pada sistem neurologik. (Buckwalter (2011:

457-459)

4. Gangguan Muskuloskeletal

Merupakan penurunan atau kehilangan fungsi otot sistem penyongkong

skeletal yang di sebabkan oleh faktor struktural atau mekanis. Sumber

struktural adalah hambatan pada fisiologik pergerakan. Sedangkan

penyebab mekanis adalah peralatan eksternal seperti restrain atau gips

yang bias menghambat pergerakan. Kondisi kronis, seperti osteoporosis,

fraktur, arthritis, tumor, dan edema. Mengganggu stabilitas atau

fleksibilitas struktural. (Buckwalter (2011: 457-459)

5. Gangguan Psikologis

Merupakan respon yang terjadi saat emosi yang terjadi saat stres

melebihi kemampuan individu untuk dapat berbicara secara efektif. Rasa

takut atau duka cita yang berlarut-larut akibat kehilangan yang menyertai

penuaan dapat membuat lansia yang sering kali harus menyesuaikan diri

dengan perubahan gaya hidup dan lingkungan. Tanpa di dukung oleh

kondisi kesehatan yang baik dan sistem dukungan keluarga yang

memadahi. (Buckwalter (2011: 457-459)


26

6. Hambatan sosiokultural atau lingkungan fisik.

Hambatan sosiokultural merupakan ketidak sesuaian peran dan konflik

peran, ketidak seimbangan hubungan kekuasaan, hubungan sosial kurang

baik, hubungan yang tidak cocok, dan nilai budaya yang tidak cocok.

Lansia sangat beresiko terhadap hambatan hubungan sosial dan

perubahan serta transisi peran, seperti ketergantungan pada orang lain.

Hambatan pada tipe ini biasanya muncul saat lansia dirawat dipanti.

(Buckwalter (2011: 457-459)

7. Kurang pengetahuan

Induvidu sering kali tidak mampu mengelola penyakit atau cidera secara

efektif karena kurang pengetahuan tentang tindakan yang harus di

lakukan. Selain itu lansia lebih mudah mengalami defisit kognitif akibat

penyakit stroke dan dimensia. Dengan demikian lansia dapat membatasi

mobilitas mereka karena tidak mengetahui pentingnya mempertahankan

pergerakan, cara memulihkan mobilitas, dan sumber yang tersedia untuk

membantu mereka untuk mencegah gangguan lebih lanjut dan

dampaknya dapat menggangu fungsi kesehatan.

8. Defisit kognitif dan perseptual

Merupakan penurunan kemampuan untuk memproses input sensori secara

mental dan atau kehilangan sensasi. Defisit ini cenderung menyertai

penuaan normal dan juga dapat terjadi sekunder akibat penyakit yang

sering di alami oleh lansia. Lansia juga sering mengalami keterbatasan

lingkungan fisik dan sosial, terutama karena hambatan mobilitas fisik.

Lingkungan ini mengurangi input sensori penting mobilitas yang


27

optimum (misalnya untuk orientasi ruangan dan waktu, alasan bergerak

dan beraktivitas), sehingga keterbatasan lingkungan dapat mengakibatkan

hambatan mobilitas.

9. Faktor latrogenik

Faktor iatrogenik yang berkaitan dengan hambatan mobilitas adalah

regimen terapi yang mempengaruhi pergerakan lansi, termasuk tirah

baring, agens farmaseutika (sedatif, obat penenang, analgesik, anestetik)

lingungan layanan kesehatan yang restritif dan asing serta pembedahan

dan terapi lain yang membatasi aktivitas, seperti pemberian cairan iv,

pengisapan dan pemasangan kateter. Kondisi ini penting untuk mengatasi

cidera atau penyakit, tetapi juga bias menyebabkan masalah yang serius,

terutama pada lansia yang memiliki banyak faktor predisposisi terhadap

imobilisasi dan dampaknya.

1.4.4 Jenis Mobilitas.

Jenis mobilisasi menurut Ernawati (2012). Di bagi menjadi dua:

1. Mobilisasi penuh.

Mobilisasi penuh adalah kemampuan seseorang untuk melakukan gerak

secara penuh dan bebas sehingga dapat melakukan interaksi sosial dan

menjalankan peran dalam sehari-hari. Mobilitas penuh ini merupakan

fungsi saraf motorik volunteer dan sensorik untuk dapat mengontrol

seluruh tubuh seseorang.

2. Mobilitas sebagian

Merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak secara terbatas,

Batasan jelas, dan tidak mampu secara bebas, karena di pengaruhi oleh
28

gangguan saraf motorik dan sensorik. Hal ini dapat di jumpai pada

kasus dengan cidera patah tulang dengan pemasangan traksi. Mobilitas

sebagian ini di bagi menjadi 2 tipe, yaitu:

a. Mobilitas sebagian temporer

Merupakan kemampuan induvidu untuk bergerak dengan Batasan

yang sementara. Hal tersebut dapat di sebabkan oleh trauma

reversibel pada sistem musculoskeletal. Contohnya adalah dis lokasi

tulang atau sendi.

b. Mobilitas sebagian permanen

Merupakan kemampuan induvidu untuk bergerak dengan Batasan

yang sifatnya menetap. Hal ini di sebabkan oleh rusaknya sistem

saraf yang reversibel. Contoh terjadinya stroke, cidera tulang, dan

terganggunya sistem saraf motorik dan sensorik.

1.4.5 Manfaat Mobilisasi

Menurut Mubarak, Indrawati, & Susanto (2015)

1) Mencegah kemunduran dan mempertahankan fungsi tubuh serta

mengembalikan rentang gerak aktif, sehingga penderita dapat kembali

bias gerak dengan normal serta setidaknya penderita dapat memenuhi

kebutuhan sehari-hari.

2) Membantu pernafasan lebih menjadi kuat

3) Memperlancar eliminasi alvi dan urine

4) Memperlancar peredaran darah

5) Mempertahankan tonus otot, memelihara dan peningkatan pergerakan

dari persendian
29

6) Memperlambat proses penyakit, khususnya penyakit degeneratif

7) Dan untuk aktualisasi diri (harga diri dan cita tubuh)

1.4.6 Dampak Hambatan Mobilitas Fisik

1. Dampak Fisiologik

Menurut mass (2011: 449) pada situasi tertentu, penurunan

mobilitas fisik menguntungkan. Dalam keadaan istirahat, konsumsi

oksigen dan metabolisme menjadi lebih lambat dan beban jantung

menurun. Nyeri, ketengangan, dan pengisian vena berkurang saat sistem

muskuloskeletal rileks ketika posisi tubuh supinasi. Banyak penyakit

misalnya CHF dan fraktur. Memerlukan beberapa tingkat penghambatan

aktivitas guna mencapai penanganan yang efektif. Kemampuan fungsi

tubuh berkurang jika bagian tubuh tersebut mengalami cidera atau

terserang penyakit. Kebutuhan fisiologia bagian tubuh tersebut mungkin

lebih bersar di bandingkan dengan kemampuan responnya. Dengan

demikian, istirahat sangat penting untuk mempertahankan homeostasis

dan mencegah cidera yang lebih lanjut.

Semakin besar hambatan mobilitas fisik, semakin besar pula

kemungkinan timbul masalah fisiologis. Jenis penurunan kondisi

fisiologik yang muncul akibat hambatan mobilitas fisik antara lain:

a. Penurunan rentang pergerakan sendi (RPS)

Penurunan RPS terjadi akibat hambatan mobilitas fisik karena

jaringan ikat di sekitar kapsula sendi dan di dalam otot menjadi

padat. serat otot yang terkena mendadak dan atrofi karena tidak

secara teratur tidak memendek dan memanjang dalam rentang


30

pergerakan penuh otot tersebut. Radang, trauma dan sirkulasi yang

buruk di tambaha hambatan mobilitas dan mempercepat

pembentukan jaringan ikat padat.

b. Penurunan kekuatan dan ketahanan otot.

Penurunan kekuatan otot dan ketahanan otot terjadi jika

kontraksi otot kurang dari 20% tengangan maksimum setiap hari.

Pemeliharaan kekuatan dan ketahanan otot bergantung pada

frekuensi kontraksi tegangan maksimum. Beberapa kontraksi kuat

setiap hari cukup untuk mempertahankan massa dan kekuatan otot

jika asupan protein adekuat. Namun, otot yang istirahat sempurna

akan kehilangan 10-15% kekuatan setiap minggu dan dapat

kehilangan sebesar 5,5% kekuatan setiap harinya, dengan kegilangan

yang cepat terjadi adalah pada fase awal imobilitas.

c. Penurunan kekuatan terjadi akibat peningkatan reabsorbsi tulang

yang menyertai hambatan mobilitas. Struktur skeletal biasanya selalu

di perbarui melalui absorbs dan pergantian tulang. Proses ini

bergantung pada kontraksi Penurunan kekuatan skeletal

otot dan tegangan otot untuk meningkatkan deposisi tulang

osteoporosis terjadi saat destruksi tulang dan reabrorbsi melampau

produksi tulang.

d. Gangguan Kardiovaskuler

Gangguan fungsi kardioveskuler terutama dramatis jika

hambatan mobilitas menyebabkan lansia harus tirah baring lama

hanya atau dapat duduk di kursi. Efek kemunduran akan lebih berat
31

jika saat yang sama terjadi demam, penyakit atau cidera.

Kemampuan adaptasi sirkulasi terhadap posisi tegak menurun secara

cepat jika induvidu terlalu lama berbaring. Vasokonstriksi, sebagai

respon simpatis normal untuk mengompensasi penurunan tekanan

arteri dan peningkatan frekuensi jantung saat posisi berubah dari

supinasi ke posisi tegak, tidak lagi efektif. Sebaliknya terjadi

vasodilatasi dan pengisian vena, dan menyebabkan penurunan

volume sirkulasi, penurunan aliran balik vena, penurunan curah

jantung, peningkatan frekuensi nadi, dan penurunan tekanan darah.

e. Ketidakseimbangan metabolik

Penurunan mobilitas menyebabkan pemecahan protein dan

ekskresi nitrogen dan dapat menyebabkan ketidakseimbangan

metabolik lain. Terjadi penurunan laju metabolik, peningkatan

cadangan lemak atau karbohidrat, keseimbangan nitrogen dan

kalsium metabolik negatif, penurunan toleransi glukosa, dan

alkoholis metabolik. Elektrolit lain juga di laporkan mengalami

keseimbangan negatif akibat imobilitas.

f. Gangguan fungsi perkemihan

Penurunan fungsi perkemihan yang paling parah jika

hambatan mobilitas mengakibatkan posisi induvidu harus terus

rekumben, aliran urine dari ginjal ke ureter melawan gaya gravitasi.

Karena peristalsis tidak memadahi untuk melawan gravitasi, pelvis

ginjal terisi penuh sebelum urine mengalir ke ureter. Oleh karena itu,
32

terjadi statis urine. Akibatnya, terjadi statise urine yang merupakan

predisposisi terhadap batu ginjal atau infeksi ginjal.

g. Penurunan fungsi pencernaan

Masalah pencernaan yang berhubungan dengan hambatan

mobilitas meliputi ingesti, digesti, dan eliminasi. Imobilisasi lama

mengakibatkan keseimbangan nitrogen negatif. Induvidu dengan

keseimbangan nitrogen negatif seringkali anoreksia, yang

menyebabkan kurang gizi dan mempersulit masalah kesehatan lain.

h. Gangguan pernapasan

Gangguan pernafasan akibat hambatan mobilitas disebabkan

oleh tauma penurunan ventilasi dan ketidakmampuan mengeluarkan

sekresi. Ekspansi sempurna aveoli, yang biasanya dicapai saat

melakukan aktivitas fisik pada posisi tegak, terganggu saat mobilitas

terhambat. Pertukaran gas optimum hanya terdapat terjadi apabila

alveoli terisi penuh oleh udara dan dekat dengan sirkulasi darah dan

saat udara di alveoli bertukar secara kontinu.

2. Dampak Psikologis

Mobilitas fisik mempengaruhi konsep diri, harga diri, dan

kemampuan manusia dalam menghadapi masalah. Kemampuan berinteraksi

secara fisik dengan komponen dalam lingkungan untuk memenuhi

kebutuhan manusia berkaitan erat dengan konsep diri dan peran diri.

Hambatan mobilitas mengganggu aspek konsep diri dan harga diri.

Akibatnya imobilitas menyebabkan kurang minat dan kurang motivasi

untuk belajar dan menyelesaikan masalah. Dorongan dan harapan menurun,


33

dan emosi dapat di ekspresikan secara berlebihan atau tidak tepat, termasuk

marah, apati, agresi, atau regresi. Isolasi dan ketergantunagn paksa dapat

menunjukan stimulus intelektual dan sensori, yang di butuhkan oleh

perilaku perseptual yang optimal.

3. Dampak Sosioekonomik

Bagi lansia, dampak sosioekonomik hambatan mobilitas sering kali

berat. Hambatan mobilitas dapat mengubah aktivitas peran induvidu sebagai

pasangan, orang tua, teman, karyawan, dan anggota kelompok sosial dan

komunitas. Tanggung jawab sosial biasanya membutuhkan aktivitas fisik

dan stabilitas psikologik. Akibat hambatan mobilitas, jaringan dukungan

sosial teganggu, menyebabkan lansia memiliki kesempatan terbatas untuk

dapat mempertahankan fungsi interaksi dan hubungan sosial yang optimal.

1.4.7 Pemeriksaan diagnostik atau penunjang

Menurut (Potter and Perry (2012)

1) Sinar-X tulang menggambarkan kepadatan tulang, tekstur, dan perubahan

hubungan tulang.

2) CT Scan (Computed Tomography) menunjukan rincian bidang tertentu

tulang yang terkena dan dapat memperlihatkan tumor jaringan lunak atau

cidera ligament atau tendon. Di gunakan untuk mengidentifikasi dlokasi

dan panjangnya patah tulang di daerah yang sulit di evaluasi.

3) MRI (Magnetik Resonance Imaging) adalah Teknik pencitraan khusus,

noninvasive, yang menggunakan medan magnet, gelombang radio, dan

computer untuk memperlihatkan abnormalitas. (mis: tumor atau

penyempitan jalur jaringan lunak, melalui tulang Dll).


34

4) Pemeriksaan Laboratorium

HB menurun pada trauma, Ca menurun pada imobilisasi lama, Alkali

Fosfat meningkat, Kreatinin dan SGOT meningkat pada kersakan otot

1.4.8 Terapi atau tindakan penanganan

Terapi yang dapat di lakukan antara lain (Potter and Perry (2012)

1) Kesejajaran Tubuh

Dalam mempertahankan kesejajaran tubuh yang tepat, perawat

mengangangkat klien dengan benar, menggunakan teknik posisi

yang tepat, dan memindahkan klien dengan posisi yang aman dari

tempat tidur ke kursi atau brankar.

Pengaturan posisi dalam mengatasi masalah kebutuhan mobilitas,

digunakan untuk meningkatkan kekuatan, ketahanan otot, dan

fleksibilitas sendi. Posisi-posisi tersebut, yaitu: posisi fowler

(setengah duduk), posisi litotomi, posisi dorsal recumbent, posisi

supinasi (terlentang), posisi pronasi (tengkurap), posisi lateral

(miring), posisi sim, posisi trendelenbeg (kepala lebih rendah dari

kaki)

2) Mobilisasi Sendi

Untuk menjamin keadekuatan mobilisasi sendi maka perawat

dapat mengajarkan klien latihan ROM (Range Of Motion). Apabila

klien tidak mempunyai control motorik volunteer maka perawat

melakukan latihan rentang gerak pasif. Mobilisasi sendi juga

ditingkatkan dengan berjalan. Latihan ini baik ROM aktif maupun

pasif merupakan tindakan pelatihan untuk mengurangi kekakuan


35

pada sendi dan kelemahan otot. Latihan-latihan itu, yaitu: Fleksi dan

ekstensi pergelangan tangan, fleksi dan ekstensi siku, pronasi dan

supinasi lengan bawah, pronasi fleksi bahu, abduksi dan adduksi,

rotasi bahu, fleksi dan ekstensi jari-jari, infersi dan efersi kaki fleksi

dan ekstensi pergelangan kaki, fleksi dan ekstensi lutut, rotasi

pangkal paha.

3) Mengurangi Bahaya Mobilisasi

Intervensi keperawatan klien imobilisasi harus berfokus

mencegah dan meminimalkan bahaya imobilisasi. Intervensi harus

diarahkan untuk mempertahankan fungsi optimal pada seluruh

sistem tubuh.

1.5 Konsep Asuhan Keperawatan

2.5.1 Pengkajian

Sebelum melakukan anamnesis, pastikan bahwa identitas sesuai

dengan catatan medis. Perawat hendaknya memperkenalkan diri, sehingga

terbentuk hubungan yang baik dan saling percaya yang akan mendasari

hubungan terapeutik selanjutnya antara perawat dan klien dalam asuhan

keperawatan. Untuk itu, format pengkajian pada lansia yang di

kembangkan minimial terdiri atas: data dasar yaitu identitas, alamat,

Pendidikan, pekerjaan, agama, dan suku bangsa (Sunaryo, dkk,2016)

a. Identitas
36

Beberapa penyakit muskuloskeletal banyak terjadi pada klien di atas

usia 60 tahun. Lansia yang berjenis kelamin laki-laki lebih banyak

yang mengalami gangguan sistem muskuloskeletal dari pada

perempuan, pekerjaan yang berat juga akan dapat mempengaruhi

sistem muskuloskeletal.

b. Keluhan utama

Pada umumnya pasien mengalami kesulitan untuk melakukan

beraktivitas, dipnea setelah aktivitas, gangguan sikap berjalan,

Gerakan lambat, kesulitan membolak-balikan posisi, keterbatasan

pada rentang gerak, dan ketidaknyamanan pada pasien (NANDA

Internasional,2015)

c. Riwayat penyakit sekarang

Riwayat penyakit mulai dari timbulnya keluhan yang dirasakan

sampai saat dibawa ke layanan kesehatan, biasanya pasien mengalami

intoleransi aktivitas, nyeri yang di akibatkan jatauh dan fraktur,

gangguan musculoskeletal penyebabnya peralatan eksternal seperti

restrain atau gips. atau kondisi kronis seperti osteoporosis, fraktur,

artritis, tumor, edema (Buckwalter,2011)

d. Riwayat penyakit dahulu

Perlu di kaji riwayat penyakit yang lalu seperti riwayat penyakit

muskulokeletal, riwayat pekerjaan yang dapat berhubungan dengan

penyakit muskulokeletal. Apakah klien pernah mengalami penyakit

serupa sebelumnya, apakah klien mengalami menopause dini, serta


37

penggunaan obat-obatan tertentu seperti kortikosteroid,

glukokortikosteroid, serta diuretik (Mutaqqin,2008 dalam Afni, 2019).

e. Riwayat penyakit keluarga

Perlu di kaji ada tidaknya anggota keluarga yang memiliki Riwayat

penyakit keturunan keluarga atau apakah keluarga pernah menderita

penyakit yang sama karena faktor genetik. Misalnya tentang ada

tidaknya riwayat alergi, stroke, penyakit jantung, dan DM

(Mutaqqin,2008 dalam Afni,2019)

f. Pengkajian psikososial dan spiritual

1) Psikologi : biasanya mengalami peningkatan stress

2) Sosial : cenderung menarik diri dari lingkungan

3) Spiritual : kaji agama terlebih dahulu, bagaimana cara pasien

menjalankan ibadah menurut agamanya, adakah risiko/

hambatan pasien dalam menjalankan ibadahnya

2.5.2 Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan umum

Pasien lansia (≥60 tahun) yang mengalami gangguan muskuloskeletal

keadaan umumnya lemah. Timbang berat badan klien, apakah ada

gangguan penyakit karena obesitas atau malnutrisi.

2. Kesadaran

Kesadaran klien biasanya composmentis dan apatis.

3. Tanda-tanda vital

a. Suhu meningkat (>37ᶿC) atau dalam batas normal

b. Nadi meningkat atau dalam batas normal


38

c. Tekanan darah meningkat atau dalam batas normal

d. Pernafasan biasanya normal atau terjadi peningkat

4. Pemeriksaan head to toe

a. Pemeriksaan muka dan kepala

Pemeriksaan ini meliputi bentuk wajah, benjolan pada kepala

maupun muka, ada tidaknya lesi, penyebaran rambut, dan

kerontokan rambut.

b. Mata

Pemeriksaan yang dilakukan yaitu pemeriksaan konjungtiva,

sklera, strabismus, penglihatan, peradangan, katarak, dan

penggunaan kacamata.

c. Hidung

Pemeriksaan yang dilakukan meliputi bentuk hidung, peradangan

dan penciuman.

d. Mulut tenggorakan, telinga

Terdapat kebersihan mukosa bibir, peradangan/stomatitis, gigi,

radang gusi, kesulitan mengunyah, pendengaran. Pada lansia

biasanya terdapat penurunan pendengaran.

e. Dada

Pemeriksaan yang dilakukan pemeriksaan bentuk dada normal,

retraksi, suara nafas vesikuler, ada tidaknya suara tambahan, ada


39

tidaknya suara jantung tambahan, pemeriksaan ictus cordis, dan ada

tidaknya keluhan yang dirasakan.

f. Abdomen

Pemeriksaan bentuk perut, nyeri tekan, kembung, bising usus, dan

massa keluhan yang diraskan.

g. Ekstermitas

Pemeriksaan kekuatan otot (skala 1-5)

1) : Lumpuh

2) : Ada kontraksi

3) : Melawan gravitasi dengan sokongan

4) : Melawan gravitasi tetapi tidak ada tahanan

5) : Melawan gravitasi dengan tahanan sedikit

6) : Melawan gravitasi dengan kekuatan penuh

Biasanya pasien yang mengalami hambatan mobilitas fisik akan

mengalami kelemahan pada otot karena biasa terjadi akibat nyeri

pada ekstermitas atau penyakit lain seperti stroke, osteoporosis,

gout arthritis, dll (Buckwalter, 2011)

2.5.3 Pengkajian Status Kesehatan Kronis, Kongnitif, Fungsional, satus

Psikologis dan Dukungan Keluarga.

1. Pengkajian Kesehatan Kronis

Pengkajian ini di lakukan untuk mengetahui seberapa kronis masalah

kesehatan pada lansia pengkajian ini di lakukan dengan menggunakan

pengkajian masalah keperawatan (Nugroho,2010)

2. Pengkajian status kognitif


40

Menggunakan Short Portable Mental Status Questionnaire (SPMSQ)

untuk mendeteksi adanya dan tingkat kerusakan intelektual, yang terdiri

dari 10 hal yang mengetes orientasi, memori dalam hubungannya dengan

kemampuan perawatan diri, memori jauh, serta kemampuan matematis

(Nugroho,2010)

3. Pengkajian status fungsional

Pengkajian status fungsional didasarkan pada kemandirian klien dalam

menjalankan aktivitas kehidupan sehari-hari. Kemandirian berarti tanpa

pengawasan, pengarahan dan bantuan dari orang lain. Instrument yang

biasa digunakan dalam pengkajian status fungsional yaitu Indeks Katz,

Bartel Indeks, dan Sullivan Indeks Kats. Lingkup pengkajian meliputi

keadekuatan enam fungsi yaitu: mandi, berpakaian, toileting, berpindah,

kontinen dan makan, yang hasilnya untuk mendeteksi tingkat fungsional

klien (mandiri/ dilakukan sendiri atau tergantung) (Sunaryo, dkk, 2015).

4. Pengkajian status dukungan keluarga

Status dukungan dapat diukur dengan menggunakan APGAR keluarga.

Penilaian: jika pertanyaan-pertanyaan yang dijawab selalu (poin 2),

kadang-kadang (poin 1), hampir tidak pernah (poin 0) (Nugroho,2010)

5. Tingkat Depresi

Mengkaji seberapa tingkat depresi pada lansia mengetahui nilai normal

dalam tingkat depresi (Nugroho,2010). Penilaian tingkat depresi dengan

cara menilai seberapa besar depresi yang terjadi pada lansia.

6. Indeks Barthell
41

Pengkajian ini untuk mengetahui kemandirian lansia dalam melakukan

aktivitas sehari-harinya. Dan untuk mengetahui kemandirian tersebut dapat

di lihat dari kemandirian Indeks Barthell (Nugroho, 2010)

2.5.4 Diagnosa Keperawatan

Dalam studi literatur ini hanya fokus membahas pada diagnosa

keperawatan hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan pada

sistem muskuloskeletal
41

2.5.4 Intervensi Keperawatan.

Tabel 2.1 Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Keperawatan SDKI SLKI SIKI

.
1 Gangguan mobilitas fisik b/d gangguan OUTCOME Dukungan mobilisasi
muskuloskeletal
Mobilitas Fisik meningkat Observasi
DEFINISI (L.05042) 1)Identifikasi adanya nyeri atau keluhan
fisik lainnya
Keterbatasan dalam gerak fisik dari
satu atau lebih ekstremitas secara kriteria hasil: 2)Identifikasi adanya toleransi fisik saat
mandiri.
1)Pergerakan ekstremitas meningkat melakukan
PENYEBAB 2)Kekuatan otot meningkat )Monitor tekanan darah sebelum memulai
3)Rentang gerak (ROM) meningkat mobilitas
a. Kerusakan integritas struktur
tulang 4)Nyeri menurun 4)Monitor keadaan umum selama
b. Perubahan metabolisme
5)Kecemasan menurun melakukan mobilisasi
c. Ketidakbugaran fisik
d. Penurunan kendali otot 6)Kaku sendi menurun Terapeutik
e. Penurunan massa otot
7)Gerakan tidak terkoordinasi 1)Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat
f. Penurunan kekuatan otot
g. Keterlambatan perkembangan menurun bantu (misalnya pagar tempat tidur)
h. Kekakuan sendi
8)Gerakan terbatas menurun 2)Fasilitasi melakukan pergerakan , jika
i. Kontraktur
j. Malnutrisi 9)Kelemahan fisik menurun perlu
3)Libatkan keluarga untuk membantu
42

k. Gangguan musculoskeletal pasien dalam meningkatkan pergerakan


Edukasi
1)Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
Gejala dan tanda mayor
2)Anjurkan melakukan mobilisasi dini
Subjektif: 3)Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus
dilakukan (misalnya duduk ditempat tidur,
a.Mengeluh sulit menggerakan
ekstermitas duduk di sisi tempat tidur, pindah dari
tempat tidur ke kursi)
Objektif:
Pengaturan posisi
a.Kekuatan otot menurun Observasi
b.Rentang gerak (ROM) menurun 1)Monitor status oksigenasiTerapeutik
1)Motivasi melakukan ROM aktif atau
Gejala dan tanda minor
pasif
Subjektif: 2)Hindari gerakan menempatkan klien
a.Nyeri saat bergerak yang dapat meningkatkan nyeri

b.Enggan melakukan pergerakan

c.Merasa cemas saat bergerak

Objektif :
43

a.Sendi kaku

b.Gerakan tidak terkoordinasi

c.Gerakan terbatasd.Fisik lemah


43

Berdasarkan intervensi diatas dalam menangani lansia dengan

gangguan aktivitas dengan masalah keperawatan hambatan mobilitas fisik,

peneliti memilih Tindakan non farmakologi yaitu dengan Latihan ROM.

Dari hasil penelitian beberapa terdahulu yang menjadi tindakan keefektifan

tindakan keperawatan yang di angkat oleh peneliti yakni tindakan latihan

range of motion (ROM) terhadap lansia yang mengalami masalah

keperawatan hambatan mobilitas fisik sebagai berikut:

Pada jurnal 1 berdasarkan penelitian yang di lakukan oleh Hermina

Desiane Uda, Muflih, Thomas Aquino Erjinyuare Amigo yang berjudul

Latihan range of motion berpengaruh terhadap mobilitas fisik pada lansia

di balai pelayanan sosial tresna werdha unit abiyoso Yogyakarta. Metode

Metode yang di gunakan penulis ini adalah kualitatif dengan pendekatan

action research yang bertujuan untuk melakukan perubahan pada suatu

masalah dengan memberikan sebuah intervensi atau tindakan yang

dipantau oleh peneliti sehingga hasil dari perubahan tersebut dapat

dimanfaatkan pada penelitian ini. di dalam penelitian ini membahas

tentang lanjut usia, peningkatatan UHH terhadap populasi lansia,

perubahan normal yang terjadi akibat penuaan paling sering terlihat pada

sistem muskuloskeletal berupa penurunan otot dan hambatan pada

mobilitas fisik karena di akibatkan oleh perubahan patalogis pada sistem

muskuloskeletal dapat memberikan dampak pada fisik maupun

psikososial pada lansia. Dampak fisik dari gangguan mobilitas adalah

penurunan kekuatan otot, kontraktur yang membatasi mobilitas sendi,

kekakuan dan nyeri pada sendi. Masalah mobilitas pada lansia dapat di
44

atasi dengan memberikan intervensi latihan range of motion (ROM).

Latihan range of motion adalah latihan pergerakan maksimal yang di

lakukan oleh sendi, latihan ini menjadi salah satu latihan yang berfungsi

dalam pemeliharaan fleksibilitas sendi dan kekuatan otot pada lansia.

Berdasarkan data hasil penelitian pada masing-masing sub tema dari

gerakan dapat di simpulkan bahwa latihan ROM memberikan perubahan

pada kemampuan lansia dalam melakukan pergerakan. Perubahan yang di

rasakan hanya sedikit dan berbeda-beda pada setiap lansia. Perubahan

tersebut dapat di lihat pada cara dan kemampuan berjalan, kemampuan

motorik halus, dan pengalaman gemetar.

Berdasarkan penelitian yang di lakukan oleh Junaidi Imron, Susi

Wahyuning Asih pada jurna 2 yang berjudul Pengaruh Latihan ROM aktif

terhadap keaktifan fisik pada lasia di dusun karang templek desa

Andongsari Kecamatan Ambulu Kabupaten Jember. Rancangan penelitian

ini bersifat Eksperimental semu (quasy-experiment) Rancangan ini

berupaya untuk mengungkapkan hubungan sebab akibat dengan cara

melibatkan kelompok kontrol disamping kelompok eksperimental, Desain

penelitian ini menggunakan pre test and post test with control design.

Penelitian ini di lakukan pada 30 responden yang memenuhi kriteria

inklusi. Dari jumlah tersebut kemudian peneliti membagi atas dua

kelompok yaitu 15 orang masuk dalam kelompok perlakuan sedangkan 15

orang masuk ke kelompok kontrol. Berdasarkan hasil penelitian ini adalah

sesuai yang tertera pada tabel 5.4 yakni terdapat berbedaan yang cukup

signifikan menegenai peningkatkan keaktifan fisik pada lansia antara


45

kelompok perlakuan dan kelompok kontrol, dan dapat di artikan bahwa

hasil HO di tolak dan H1 di terima, yaitu terdapat pengaruh latihan ROM

aktif terhadap keaktifan fisik pada kelompok lansia Nusa Indah 02 di

wilayah dusun Karang Templek desa Andongsari kecamatan Ambulu

Kabupaten Jember.

Berdasarkan penelitian yang di lakukan oleh Sahmad1 , Reni

Yunus1 , Andi Sarmawan2 pada jurna ke 3 yang berjudul pengaruh

pemberian range of motion (ROM pasif terhadap fleksibilitas sendi pada

lansia di panti sosial Tresna Werda Minaula Kendari. jenis penelitian yang

di gunakan adalah pre eksperimen dengan pendekatan one groub pretest

posttest design yang rancangannya tidak ada kelompok perbandingan

(kontrol), paling tidak sudah di lakukan observasi pertama (pretest) yang

memungkinkan menguji perubahan yang terjadi setelah adanya

eksperimen (program) (notoatmodjo,2012), populasi yaitu semua lansia

yang berada di Panti Sosial Tresna Wherda Minaula Kendari sebanyak 95

orang. Sedangkan sempel yaitu seluruh lansia yang mengalami gangguan

fleksibilitas sendi. Sampel berjumlah 12 orang, dan pengambilan sampel

dengan cara total sampling. teknik pengumpulan data dalam penelitian ini

adalah dengan cara melakukan pretest, posttes, observasi dan wawancara.

Hasil dari penelitian ini adalah sesuai dengan penelitian Soempeno, dkk

(2007) tentang “Pengaruh Latihan range of motion ROM Pasif terhadap

fleksibilitas sendi lutut pada Lansia di Panti Wreda Wening Wardoyo

Ungaran”. Penelitian ini menunjukan bahwa ada peningkatkan yang

signifikan antara pengukuran pertama-kedua pada fleksi lutut kanan dan


46

kiri dan antara pengukuran pertama -ketiga pada fleksi sendi lutut kiri.

Adanya pergerakan pada persendian akan menyebabkan terjadinya

peningkatkan aliran darah kedalam kapsula sendi dan memberiakn nutrisi

yang memungkinkan tulang untuk bergerak dengan lancar dan tanpa rasa

sakit atau ketidaknyamanan.

Lansia yang menderita Hambatan mobilitas fisik disarankan untuk

berobat, karena "Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit dan

obatnya, demikian pula Allah menjadikan bagi setiap penyakit ada

obatnya. Maka berobatlah kalian dan janganlah berobat dengan yang

haram." (HR. Abu Dawud dari Abud Darda` radhiallahu 'anhu). Hadits di

atas menunjukkan bahwa setiap penyakit pasti ada obatnya, dan hendaklah

manusia melakukan perawatan sakitnya atau berobat kepada yang

mengetahuaninya atau ahlinya. Tetapi obat dan dokter hanyalah cara

kesembuhan, sedangkan kesembuhan hanya datang dari Allah. Semujarab

apapun obat dan sehebat apapun dokternya, jika Allah tidak menghendaki

kesembuhan, maka tidak akan mendapat kesembuhan. Bahkan jika

meyakini bahwa kesembuhan itu datang dari selain-Nya, berarti ia telah

rela keluar dari agama dan neraka sebagai tempat tinggalnya kelak jika

tidak juga bertaubat.

Sebagaimana manusia yang arif danbijaksana tentunya kita tidak

boleh lalai dengan urusan duniawi semata, terlebih bagi mereka yang

sudah masuk fase lanjut usia, karena banyak yang harus kita siapkan baik

secara dhohir maupun batin. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S.Yasin

[36] ayat: 68.


47

‫ُوْ ِّس َكنُنُ ْه ِّر َم ُع ْننَ َمو‬dُِ‫ن ُولِ ْق َعيالَفَأ ِ ْق ْلَاْل ِ ِف‬
Artinya: Dan barang siapa yang kami panjangkan umurnya niscaya kami

kembalikan dia kepada kejadianya, maka apakah mereka tidak

memikirkannya.

Maksud dari ayat di atas adalah bahwa siapa yang dipanjangkan

umurnya sampai usia lanjut akan dikembalikan menjadi lemah seperti

keadaan semula. Keadaan itu ditandai dengan rambut yang mulai

memutih, penglihatan mulai kabur, pendengaran sayu sayup sampai, gigi

mulai berguguran, kulit mulai keriput, langkahpun telah gontai. Ini adalah

sunnatullah yang tidak bisa ditolak oleh siapapun. Siapa yang disampaikan

oleh Allah pada usia lanjut bersiaplah untuk mengalami keadaan seperti

itu.

2.5.5 Implementasi keperawatan Hambatan Mobilitas Fisik

Implementasi merupakan pengolahan dan perwujudan diri suatu

rencana keperawatan yang telah di susun pada tahap intervensi dan

perencanaan. Fokus pada intervensi keperawatan antara lain

mempertahankan daya tahan tubuh, mencegah komplikasi, menemukan

perubahan sistem tubuh, menetapkan hubungan klien dengan lingkungan,

implementasi pesan dokter (Sri Wahyuni, 2016).

Untuk menjamin keadekuatan mobilisasi sendi maka perawat dapat

mengajarkan klien latihan ROM (Range Of Motion). Apabila klien tidak

mempunyai control motorik volunteer maka perawat melakukan latihan

rentang gerak pasif. Mobilisasi sendi juga ditingkatkan dengan berjalan.

Latihan ini baik ROM aktif maupun pasif merupakan tindakan pelatihan

untuk mengurangi kekakuan pada sendi dan kelemahan otot. Latihan-latihan


48

itu, yaitu: Fleksi dan ekstensi pergelangan tangan, fleksi dan ekstensi siku,

pronasi dan supinasi lengan bawah, pronasi fleksi bahu, abduksi dan

adduksi, rotasi bahu, fleksi dan ekstensi jari-jari, infersi dan efersi kaki

fleksi dan ekstensi pergelangan kaki, fleksi dan ekstensi lutut, rotasi pangkal

paha.

2.5.6 Evaluasi

Evaluasi atau tahap penilaian merupakan tindakan perbandingan

yang sistematis yang terencana tentang kesehatan klien dengan tujuan yang

telah di tetepkan, di lakukan dengan cara bersambungan dengan melibatkan

klien, keluaraga, dan tenaga kesehatan. Tujuan evaluasi adalah untuk

melihat kemampuan klien untuk mencapai tujuan yang di sesuaikan dengan

kriteria hasil pada tahap perencanaan (Sri Wahyuni, 2016).

Evaluasi dapat di lakukan dengan menggunakan pendekatan SOAP :

S : Respon subjektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah

dilaksanakan

O : Respon objektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah

dilaksanakan

A : Analisa ulang atas data subjektif dan objektif untuk menyimpulkan

apakah masalah masih tetap atau muncul masalah baru atau ada data yang

kontraksi dengan masalah yang ada

P : Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil Analisa pada respon

klien

Rencana tindak lanjut dapat berupa: rencana di teruskan jika

masalah tidak berubah, rencana dimodifikasi jika masalah tetap dan semua
49

tindakan sudah dilanjutkan tetapi hasil belum memuaskan, rencana

dibatalkan jika ditemuka masalah baru dan bertolak belakang dengan

masalah yang ada serta diagnosa lama dibatalkan, rencana atau diagnosa

selesai jika tujuan sudah tercapai dan yang diperlukan adalah memelihara

dan mempertahankan dengan kondisi yang baru (Hermanus,2015)

Menurut Olfah, Y (2016) ada 3 kemungkinan keputusan pada

tahapan evaluasi: klien telah mencapai hasil yang ditentukan dalam tujuan,

sehingga rencana mungkin di hentiakan

1) Klien masih dalam proses mencapai hasil yang ditentukan, sehingga perlu

penambahan waktu, resources, dan intervensi dan sebelum tujuan berhasil

2) Klien tidak dapat mencapai hasil yang telah ditentukan, sehingga perlu

a. Mengkaji ulang masalah atau respon yang lebih akurat

b. Membuat outcome yang baru, mungkin outcome pertama tidak realitis

atau mungkin keluarga tidak menghendaki terhadap tujuan yang

disusun oleh perawat

c. Intervensi keperawatan terus dievaluasi dalam hal ketepatan untuk

mencapai tujuan sebelumnya


45

2.6 Hubungan antar konsep

Lansia Proses Degeneratif

Gangguan Muskuloskeletal

Keterangan:
Gangguan Aktivitas
= konsep utama yang ditelaah

= tidak ditelaah dengan baik Tanda Gejala


= berpengaru a) Penurunan kekuatan
= berhubungan dengan otot
b) Kurang pengetahuan
tentang aktivitas fisik
c) Keadaan mood depresif
d) Keterlambatan
perkembangan
e) Ketidaknyamanan.

Hambatan Mobilitas fisik

Pengkajian Diagnosa Intervensi : Evaluasi


Pada Lansia keperawatan Perawatan dilihat dari
yang Hambatan Mobilitas hambatan hasil
Mengalami Fisik b.d Gangguan mobilitas implemen-
Gangguan Muskuloskeletal fisik tasi yang
Aktivitas Batasan dilakukan
dengan karakteristik:
Masalah a. Perubahan cara Implementasi
Keperawatan berjalan dilakukan
Hambatan b. Gerakan bergetar berdasarkan
Mobilitas Fisik c. Tremor akibat intervensi
pergerakan keperawatan
d. Pergerakan lambat

Gambar 2.1 Hubungan Antar Konsep.


BAB 3

METODE STUDI KASUS

3.1 Metode Penelitian

Metode adalah suatu atau serangkaian cara yang digunakan untuk

menyelesaikan suatu permasalahan. Metode yang digunakan dalam penelitian

ini adalah studi literatur yang dilakukan hanya berdasarkan atas karya tertulis,

termasuk hasil penelitian baik yang sudah mauapun belum dipublikasikan

(Embun, 2012).

3.2 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research)

serangkaian penelitian yang berkenaan dengan metode pengumpulan data

pustaka, atau penelitian yang objek penelitiannya digali melalui beragam

informasi kepustakaan (buku, ensiklopedia, jurnal ilmiah, dokumen).

Penelitian kepustakaan atau kajian literature (literature review, literature

research) merupakan penelitian yang mengkaji atau meninjau secara kritis

pengetahuan, gagasan, atau temuan yang terdapat dalam tubuh literatur

berorientasi akademik (academic-oriented literature) serta merumuskan

kontribusi teoritis dan metodologisnya untuk topik tertentu (Syaudih, 2009;

Cooper dan Taylor dalam Farisi, 2010).

3.3 Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan mulai tanggal 29 Mei 2020 sampai tanggal 25

Juni 2020.

51
52

3.4 Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data

sekunder merupakan data yang didapatkan bukan dari pengamatan

langsung, namun didapatkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh

peneliti-peneliti sebelumnya, yang diperoleh dari buku dan laporan ilmiah

dalam artikel atau jurnal. Sumber data penelitian ini adalah jurnal pertama

yang diteliti oleh : jurnal pertama oleh Hermina Desiane Uda, Muflih,

Thomas Aquino Erjinyuare Amigo (2016) yang berjudul Latihan range of

motion berpengaruh terhadap mobilitas fisik pada lansia di balai pelayanan

sosial tresna werdha unit abiyoso Yogyakarta. Jurnal ke dua oleh Junaidi

Imron, Susi Wahyuning Asih (2015) yang berjudul Pengaruh Latihan ROM

aktif terhadap keaktifan fisik pada lasia di dusun karang templek desa

Andongsari Kecamatan Ambulu Kabupaten Jember. Jurnal ke tiga oleh

Sahmad1 , Reni Yunus1 , Andi Sarmawan2 (2016) yang berjudul pengaruh

pemberian range of motion (ROM) Pasif terhadap fleksibilitas sendi pada

lansia di panti sosial Tresna Wherda Minaula Kendari.

3.5 Metode Pengumpulan Data

Penelusuran jurnal dimulai dari bulan Mei 2020, literature review ini

dilakukan dengan mencari artikel jurnal publikasi di Google Scholer,

Cendekia, dan PubMed, dengan menggunakan kata kunci lansia, gangguan

aktivitas, hambatan mobilitas fisik dan range of motion (ROM). Metode

pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

dokumentasi. Metode ini merupakan metode pengumpulan data yang


53

dilakukan dengan mencari atau menggali data dari literature terkait dengan

apa yang dimaksudkan dalam rumusan masalah (Arikunto, 2013). Data-data

yang telah didapatkan dari berbagai literature dikumpulkan sebagai satu

kesatuan dokumen yang digunakan untuk menjawab permasalahan yang

telah dirumuskan.

3.6 Metode Analisa Data

Data-data yang sudah diperoleh kemudian dianalisis dengan metode

analisis deskriptif. Metode analisis deskriptif dilakukan dengan cara

mendeskripsikan fakta fakta yang ada, kemudian dilanjutkan dengan

analisis, tidak semata-mata menguraikan saja, melainkan juga memberikan

pemahaman dan penjelasan secukupnya.Terdapat empat hal yang

diperhatikan dalam menganalisis, meliputi:

1. Identitas sumber yang dirujuk;

2. Kualifikasi dan tujuan penulis;

3. Simpulan sederhana mengenai konten tulisan; dan

4. Kegunaan/pentingnya sumber yang dirujuk dalam menjawab

permasalahan yang telah dirumuskan.

3.7 Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian ini melalui prosedur :

1. Organize, yaitu mengorganisir literatur yang ditinjau dari permasalahan

yang melalui tahapan dengan mencari ide, tujuan umum dan simpulan

dari literature yang dikaji dengan cara membaca abstrak, beberapa

pendahuluan dan kesimpulan, kemudian mengelompokkan menjadi

beberapa kategori sesuai tujuan dari penelitian.


54

2. Synthesize, menyatukan hasil organisir literatur menjadi suatu ringkasan

agar menjadi satu kesatuan serta mencari kertikatan antar literature.

3. Identity, yaitu mengidentifikasi isu-isu dalam literature yang telah dikaji

dan dianggap sangat penting untuk dibahas dan dianalisis untuk

mendapatkan hasilpembahasan yang menarik ketika dibaca.

4. Formulate, merumuskan pertanyaan yang membutuhkan penelitian

yang lebih lanjut.


55

BAB 4

PEMBAHASAN

Hasil beberapa penelitian terdahulu yang dapat menjadi keaktifan

tindakan keperawatan yang di angkat oleh peneliti yaitu tentang latihan

Range of motion (ROM). Latihan ini sangat berpengaruh untuk

meningkatkan mobilitas sendi, fleksibilitas sendi dan kekuatan otot pada

lansia yang mengalami gangguan aktivitas. Di kudung oleh beberapa

literatur sebagai berikut:

Menurut penelitian Hermina Desiane Uda, Muflih, Thomas Aquino

Erjinyuare Amigo (2016) yang berjudul Latihan range of motion

berpengaruh terhadap mobilitas fisik pada lansia di balai pelayanan sosial

tresna werdha unit abiyoso Yogyakarta yang membahas tentang bagaimana

pengaruh Latihan ROM terhadap mobilitas fisik pada lansia di balai

pelayanan Sosial Tresna Werdha Unit Abiyoso Yogyakarta. Metode yang di

gunakan penulis adalah kualitatif dengan pendekatan action research yang

bertujuan untuk melakukan perubahan pada suatu masalah dengan

memberikan sebuah intervensi atau tindakan yang dipantau oleh peneliti

sehingga hasil dari perubahan tersebut dapat dimanfaatkan pada penelitian

ini jumlah sample adalah seluruh lansia di Balai Pelayanan Sosial Tresna

Werdha Unit Abiyoso Yogyakarta dengan jumlah populasi yaitu 126 orang.

Berdasarkan data hasil penelitian pada masing-masing sub tema dari

gerakan dapat di simpulkan bahwa latihan ROM memberikan perubahan

pada kemampuan lansia dalam melakukan pergerakan. Perubahan yang di


56

rasakan hanya sedikit dan berbeda-beda pada setiap lansia. Perubahan

tersebut dapat di lihat pada cara dan kemampuan berjalan, kemampuan

motorik halus, dan pengalaman gemetar .

Penelitian menurut Junaidi Imron, Susi Wahyuning Asih (2015)

yang berjudul Pengaruh Latihan ROM aktif terhadap keaktifan fisik pada

lasia di dusun karang templek desa Andongsari Kecamatan Ambulu

Kabupaten Jember. Yang membahas tentang pengaruh latihan ROM aktif

terhadap kemampuan mobilisasi pada lansia dengan gangguan keaktifan

fisik yang tinggal di dusun Karang Templek desa Andongsari kecamatan

Ambulu kabupaten Jember. Rancangan penelitian ini bersifat Eksperimental

semu (quasy-experiment) Rancangan ini berupaya untuk mengungkapkan

hubungan sebab akibat dengan cara melibatkan kelompok kontrol

disamping kelompok eksperimental. Desain penelitian ini menggunakan pre

test and post test with control design, di mana Pada kedua kelompok diawali

dengan pre-test, dan setelah pemberian perlakuaan diadakan pengukuran

kembali (post-test). Intervensi yang di berikan pada lansia adalah seperti

latihan ROM tulang leher yakni dengan menyentuhkan dagu ke dada dan

mengahadap ke langit secara bergantian, ROM tulang lumbal yakni dengan

menyentuhkan kaki dengan jari jari tangan kemudian di rentangkan secara

lambat, ROM tangan yakni dengan membengkokkan tangan ke arah bawah,

atas dan arah luar, pemebrian latihan ROM aktif di lakukan selama 30 menit

selama 1 minggu dua kali untuk meningkatkan kekuatan otot dan memberi

kesehatan fisik pada lansia. Berdasarkan hasil penelitian ini adalah sesuai

yang tertera pada tabel 5.4 yakni terdapat berbedaan yang cukup signifikan
57

menegenai peningkatkan keaktifan fisik pada lansia antara kelompok

perlakuan dan kelompok kontrol, dan dapat di artikan bahwa hasil HO di

tolak dan H1 di terima, yaitu terdapat pengaruh latihan ROM aktif terhadap

keaktifan fisik pada kelompok lansia Nusa Indah 02 di wilayah dusun

Karang Templek desa Andongsari kecamatan Ambulu Kabupaten Jember.

Penelitian menurut Sahmad, Reni Yunus, Andi Sarmawan (2016)

yang berjudul Pengaruh Pemberian Range of Motion (ROM) Pasif terhadap

fleksibilitas sendi pada lansia si Panti Sosial Tresna Werda Minaula

Kendari, yang membahas tentang pengaruh pemberian ROM pasif terhadap

fleksibilitas sendi pada lansia di panti sosial Tresna Werda Minaula

Kendari. Metode yang di gunakan dalam penelitian ini adalah pre

eksperimen dengan pendekatan one group pretest posttest design yang

rancangannya tidak ada kelompok pembanding (control), tetapi paling tidak

sudah di lakukan observasi pertama (pretest) yang memungkinkan menguji

perubahan yang terjadi setelah adanya eksperimen atau program

(Notoatmodjo 2012) Populasi, semua lansia yang berada di Panti Sosial

Tresna Werda Minaula Kendari. Sebanyak 95 orang, sampel, seluruh lansia

yang mengalami gangguan fleksibilitas sendi. Sampel berjumlah 12 orang,

pengambilan sampel di lakukan dengan cara total sampling. Teknik

pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu dengan cara melakukan pretest,

postest, observasi dan wawancara. Responden di lakukan pretest terlebih

dahulu dengan cara mengukur kemampuan fleksibilitas sendi dengan

menggunakan alat trigonometri atau busur derajat. Semua responden

sebagai kelompok yang akan di berikan perlakuan di lakukan intervensi


58

dengan cara pemberian Range of Motion ROM pada sendi lutut, kaki, dan

mata kaki yang mengalami kekakuan sendi dengan gerakan fleksi, eksteni,

dorsofleksi, plantarfleksi, inversi dan eversi, pemberian intervensi di

lakukan 2 kali sehari

yakni pagi dan sore, di lakukan selama 10-20 menit selama 1 bulan, setelah

itu di lakukan postest untuk mengukur perkembangan responden dalam

melakukan fleksibilitas sendi dengan menggunakan alat trigonometri. Hasil

dari penelitian ini adalah sesuai dengan penelitian Soempeno, dkk (2007)

tentang “Pengaruh Latihan Rnge of Motion ROM Pasif terhadap

fleksibilitas sendi lutut pada Lansia di Panti Wreda Wening Wardoyo

Ungaran”. Penelitian ini menunjukan bahwa ada peningkatkan yang

signifikan antara pengukuran pertama-kedua pada fleksi lutut kanan dan kiri

dan antara pengukuran pertama -ketiga pada fleksi sendi lutut kiri. Adanya

pergerakan pada persendian akan menyebabkan terjadinya peningkatkan

aliran darah kedalam kapsula sendi dan memberiakn nutrisi yang

memungkinkan tulang untuk bergerak dengan lancar dan tanpa rasa sakit

atau ketidaknyamanan.

Untuk menjamin keadekuatan mobilisasi sendi maka perawat dapat

mengajarkan klien latihan ROM (Range Of Motion). Apabila klien tidak

mempunyai control motorik volunteer maka perawat melakukan latihan

rentang gerak pasif. Mobilisasi sendi juga ditingkatkan dengan berjalan.

Latihan ini baik ROM pasif maupun aktif merupakan tindakan pelatihan

untuk mengurangi kekakuan pada sendi dan kelemahan otot. (Potter and

Perry (2012)
59

ROM atau Range of motion yaitu latihan yang di lakukan untuk

mempertahankan ataupun memperbaiki tingkat kesempurnaan kemampuan

menggerakan persendian secara normal dan lengkap untuk meningkatkan

massa otot dan tonus otot. Rentang gerak pasif dapat berguna untuk

menjaga kelenturan otot-otot dan persendian dengan menggerakan otot

orang lain secara pasif. Sendi yang di gerakan pada ROM pasif adalah

persendian tubuh atau hanya pada ekstermitas yang terganggu dan klien

klien mampu melaksanakan secara mandiri. Penelitian menurut utami 2009

dalam sahmad 2016, dengan latihan ROM rutin setidaknya 2-3 kali setiap

minggunya dalam waktu 20-30 menit dapat memberikan manfaat yaitu

meningkatatkan kekuatan otot dan menurunkan keletihan, dalam hal ini

dikhususkan pada lansia yang mengalami penurunan massa otot serta

kekuatan untuk melakukan mobilitas fisik. Latihan tersebut yaitu: Fleksi dan

ekstensi pergelangan tangan, fleksi dan ekstensi siku, pronasi dan supinasi

lengan bawah, pronasi fleksi bahu, abduksi dan adduksi, rotasi bahu, fleksi

dan ekstensi jari-jari, infersi dan efersi kaki fleksi dan ekstensi pergelangan

kaki, fleksi dan ekstensi lutut, rotasi pangkal paha (Potter and Perry (2012)

Dalam penelitian ini penulis beramsumsi bahwa latihan range of

motion (ROM) pada pasien lansia yang mengalami gangguan aktivitas

dengan masalah keperawatan hambatan mobilitas fisik sangat di butuhakan

untuk meningkatkan fleksibilitas sendi, mobilitas sendi, dan kekuatan otot,

karena lansia mengalami penurunan pada fisik maka lansia sangat perlu

latihan-latihan ringan sesuai dengan kemampuan lansia. Latihan range of


60

motion tidak di lakukan hanya sekali tetapi latihan ini bisa di lakukan secara

rutin setidaknya 2-3 kali setiap minggunya dalam waktu 20-30 menit.

Latihan ini sangat berguna ataupun sangat di butuhkan oleh lansia yang

mengalami gangguan aktivitas dengan masalah hambatan mobilitas fisik

untuk dapat meningkatkan sirkulasi peredaran pembulu darah, dan kekuatan

otot
61

BAB 5

KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan dari hasil studi literatur dapat di simpulkan bahwa

pemeberian terapi non farmakologi berupa terapi Range Of Motion (ROM)

aktif ataupun pasif sangat efektif di lakukan untuk pasien lansia yang

mengalami gangguan aktivitas dengan masalah keperawatan hambatan

mobilitas fisik. di mana jenis terapi ini sangat sederhana, mudah di lakukan

oleh siapapun,tidak membutuhkan waktu terlalu lama, dan tidak

membutuhkan biaya. Hasil dari 3 jurnal yang di analisa mendapatkan hasil

perubahan yang signifikan terhadap mobilitas sendi, flesibilitas sendi, dan

kekuatan otot.

5.2 Saran

1. Bagi perawat

Hasil penelitian menunjukkan bahwa latihan ROM baik untuk kekuatan

fisik lansia. Untuk itu perawat diharapkan mampu mengoptimalkan

latihan Range of motion (ROM) untuk meningkatkan mobilitas sendi,

fleksibilitas sendi, dan kekuatan otot pada lansia yang mengalami

gangguan aktivitas.

2. Bagi Institusi Pendidikan


62

Hasil penelitian studi literatur ini di harapkan dapat di gunakan sebagai

teori atau bahan masukan dalam kegiatan belajar mengajar tentang

pengaruh Range Of Motion aktif ataupun pasif terhadap peningkatan

kekuatan otot sebagai salah satu terapi non farmakologi untuk

mengurangi kelemahan otot pada lansia yang mengalami hambatan

mobilitas fisik.

3. Bagi peneliti selanjutnya

Hasil penelitian studi literatur ini di harapkan dapat di gunakan sebagai

dasar memperluas penelitian dengan tema yang sama yaitu tentang

pengaruh latihan Range Of Motion aktif dan pasif terhadap peningkatan

kekuatan otot sebagai salah satu terapi non farmakologi untuk

mengurangi kelemahan otot pada lansia yang mengalami hambatan

mobilitas fisik

4. Bagi lansia

Lansia diharapkan bisa melakukan latihan fisik sederhana sesuai

kemampuan fisiknya. Seperti latihan gerak, senam, berjalan, dan lain-

lain. Hal ini bertujuan untuk meningkatan mobilitas sendi, feksibilitas

sendi dan kekuatan otot.


63

DAFTAR PUSTAKA

Azizah, Lilik, Ma’rifatul. 2011. Keperawatan Lanjut Usia. Edisi 1. Jogjakarta:


Graha Ilmu

Bulechek, Gloria M, dkk. 2013. Nursing Intervention Classification (NIC). Edisi


keenam Edisi Bahasa Indonesia. Indonesia: Elsevier.

Dinkes. 2014. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur 2011. Diakses dari
http://www.dinkesjatengprov.go.id/profil-kesehatan-provinsi-jawa-timur-
2011. pada 27 April Pukul 20.00 WIB

Ernawati. (2012). Buku Ajar Konsep dan Aplikasi Keperawatan Dalam


Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: Trans Info Media.

Fauziah, Niswatu. 2018. Hubungan Antara Posisi Tubuh Dengan Keluhan


Muskuloskeletal Pada Lansia. Jurnal Keperawatan. Vol. 5 No 2

Hermanus MZ., Arwam. 2015. Riset Kesehatan. Yogyakarta: Ombak

Heriana,Pelapina. 2014. Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia. Tanggerang


selatan: Binarupa aksara

Hidayat, A.A. (2014). Metode Penelitian Kesehatan (Edisi Revisi). Jakarta: PT.
Rineka Cipta.

Hidayat, Alimul Aziz. (2014). Pengantar Keperawatan Dasar manusia: Aplikasi


Konsep Dan Proses Keperawatan. Jakarta. Salemba Medika.

Kemenkes. 2013. Gambaran Kesehatan Lanjut Usia di Indonesia.


www.depkes.go.id

Maas, M. L., Buckwalter, K. C., & Titler, M. G (2011). Asuhan Keperawatan


Geriatrik. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Mass, Meridean L. dkk. 2011. Asuhan Keperawatan Geriatrik Diagnosis


NANDA. Kriteria Hasil NOC. Intervensi NIC. Jakarta: Buku Kedokteran
EGC.

Maryam, R. Siti, dkk. 2008. Mengenal Usia Lanjut dan Perawatanya. Jakarta:
Selemba Medika.
Moorhead, Sue, dkk.2013. Nursing Outcomes Classification (NOC) Edisi Kelima. Edisi
Bahasa Indonesia. Indonesia: Elsevier.

Mubarak, W.I., Indrawati, L., &Susanto, J. (2015). Buku Ajar Keperawatan Dasar.
Jakarta: Selemba Medika

Mutaqin. Arif & Kumala, Sari. (2010). Asuhan Keperawatan Perioperatif: Konsep,
Proses dan Aplikasi. Jakarta: Selemba Medika

NANDA Internasional. (2015). Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi. 2015-


2017 (10 ed.). (T. H. Hermawan, S. Kamitsuru, Eds., B. A Keliat, H. D
Windarwati, A. Pawirowiyono, & M. A. Subu, Trans.) Jakarta: EGC

Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Nugroho, Wahyudi. (2012). Keperawatan Gerontik & Geriatrik, Ed. 3. Jakarta: EGC.

Nursalam. (2016). Proses dan Dokumentasi Keperawatan Edisi 2. Jakarta: Salemba


Medika.

Olfah, Y. 2016. Dokumentasi Keperawatan. Jakarta Selatan: Pusdik SDM Kesehatan.


Di Akses tanggal 12 November 2019 dari http://bppsdmk.kemenkes.go.id.

Padila, 2013. Asuhan Keperawatan Penyakit Dalam. Yogyakarta: Nuha Medika

Potter & Perry 2009. Buku Ajar Funda Mental Keperawatan Konsep, Proses dan
Praktik. Edisi 4 volume. Jakarta:EGC

Potter, P.A., & Perry, A. G. (2010). Fundamental Keperawatan Edisi 7. Jakarta:


Selemba Medika.

Potter, P.A & Perry A, G. 2012. Fundamental Of Nursing. Jakarta: EGC.

Romadlani, Ridlawati., Tri Nurhidayanti., Agustin. 2013. Hubungan Dukungan


Keluarga dan Kemandirian Lansia Dengan Konsep Diri Lansia. Jurnal
Keperawatan Komunitas. 1 (1)

Sunaryo, dkk. 2016. Asuhan Keperawatan Gerontik. Yogyakarta. Perpustakaan


Nasional

Syaifuddin, Drs. Dalam Skripsi. Akbar, Nur, M. (2016). Hubungan Posisi dan Masa
Kerja Dengan Gangguan Sistem Muskuloskeletal Pada Perawat. Skripsi. Prodi
S1 Kedokteran Universitas Islam Negeri Alauddin Makasar.

Tanto, C., Liwang, F., Hanifan, S., & Pradipta, E. A. (2014). Kapita Selekta Kedokteran
Essentials of Medicine. Jakarta: Media Aesculapius.

52
Uda, Hastini., Muflih., Thomas. 2016. Latihan Range of Motion Berperan Terhadap
Mobilitas Fisik pada Lansia. Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia. 4.(3). 169-
177

Wahyuni, Nurul Sri. 2016. Dokumentasi Keperawatan. Ponorogo: UNMUH Ponorogo


Press.

53
54

Lampiran 1

Lampiran kegiatan bimbingan KTI pembimbing 1


55
56
57

Lampiran 2

Lampiran kegiatan bimbingan KTI pembimbing 2


58
59

Anda mungkin juga menyukai