Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Laparotomy adalah pembedahan membuka dinding abdomen melalui insisi ventral
abdomen atau flank (Sudisma, 2016). Laparatomy terdiri dari tiga jenis yaitu, laparatomy
flank, medianus dan paramedianus. Masing-masing jenis laparatomy ini dapat digunakan
sesuai fungsi, organ target yang akan dicapai, serta jenis hewan yang akan di operasi.
Umumnya pada hewan kecil, laparatomy yang dilakukan adalah laporatomy medianus
dengan daerah orientasi pada bagian abdominal ventral tepatnya di linea alba. Laparatomy
medianus terbagi lagi menjadi dua yaitu laparatomy medianus cranial dan caudal.
Laparatomy medianus cranial dilakukan dari processus xipoideus sampai ke cranial
umbilikus sedangkan laparatomy medianus caudal dilakukan caudal umbilikus sampai ke
cranial pelvis. Laparatomy medianus yang dilakukan pada garis tengah abdomen dan linea
alba, tidak akan menimbulkan pendarahan karena tidak ada pembuluh darah atau syaraf yang
dinsisi (Sudisma, 2016). Tujuan utama memeriksa alat pencernaan dan alat urogenital.
Pada praktikum ini, digunakan laparatomy medianus cranial, yaitu laparatomy yang
dilakukan pada garis tengah abdomen dan linea alba dari processus xipoideus sampai ke
cranial umbilikus. Daerah penyayatan akan mudah ditemukan karena adanya linea alba (garis
putih) sebagai penanda. Pada laparatomy medianus tidak akan terjadi pendarahan, namun
apabila proses penjahitan atau penanganan post operasi kurang baik maka proses
kesembuhan yang terjadi berlangsung lama.

1.2.Indikasi
Tindakan laparatomy adalah untuk mengeksplorasi organ-organ di dalam rongga
abdomen agar dapat diperiksa organ-organ pencernaan dan urogenital dengan tujuan
diagnostik serta pembedahan di dalam rongga abdomen seperti sectio caesaria,
ovarihysterectomy, hysterectomy, enterectomy, cystotomy, gastrotomy, splenectomy,
nephrotomy dan nepherectomy (Sudisma, 2016). Indikasi bedah lainnya yaitu trauma,
neoplasia, megakolon, obstruksi, perforasi, intususepsi dan inervasi sekum (Fossum, 2007).
1.3.Tujuan
Tujuan dilakukannya praktikum ini adalah untuk mengetahui teknik dan prosedur
operasi laparatomy secara aseptis dan lege artis.
BAB II
MATERI DAN METODE

2.1. Materi
a) Alat
- Termometer - Pinset anatomy
- Stetoskop - Pinset chirurgis
- Kain duk steril - Allis forceps
- Towel clamp - Needle holder
- Scalpel - Retractor
- Jarum - Gunting lurus (tajam-tajam, tajam tumpul)

b) Bahan
- Sumbu kompor - IV catheter
- Tampon - Catgut plain, catgut chromic dan silk
- Povidon iodin - Alkohol 70%
- Atropine - Ketamine
- Xylasine - Pasien (anjing)

2.2 PENDEKATAN ANATOMI

Pendekatan anatomi yang digunakan dalam praktikum ini adalah laparatomy medianus
cranial yaitu pendekatan ventral midline pada linea alba. Insisi dilakukan pada linea alba dari
processus xipoideus ke bagian cranial umbulikus yang dibuat secara hati-hati agar tidak
mengenai organ dibawahnya. Linea alba merupakan pertemuan dari aponeurose musculus
obliqus dan muskulus transversus abdominis kiri dan kanan. Linea alba memanjang dari
processus xipoideus sampai pubis termasuk umbilicus yang berada sejajar dengan vertebrae
lumbalis ke III. Insisi pada linea alba akan meminimalisir pendarahan karena minimnya
pembuluh darah dan syaraf (Dyce et al., 2010).
2.3 Metode

Langkah-langkah melakukan laparatomy harus menggunakan prinsip bedah aseptis dengan


tujuan meminimalisir terjadinya kontaminasi dan meminimalisir infeksi terhadap luka operasi.
Pelaksanaan operasi perlu memperhatikan hal-hal berikut:

a) Persiapan alat, bahan dan obat


Alat-alat instrumen dalam tindakan laparatomy harus disterilkan terlebih dahulu.
Ada beberapa jenis tindakan sterilisasi, yaitu:
 Uap
Alat-alat yang disterilkan dengan uap adalah alat-alat yang tidak tajam dan
pada sterilisasi uap, alat yang digunakan adalah Autoclaf (1210C selama 15
menit).

 Kimia
Bahan kimia yang digunakan untuk mensterilkan alat adalah bahan-bahan
yang bersifat bakteriosidal. Bahan kimia yang sering digunakan adalah
alkohol 70%.
 Plasma
Bahan yang sering digunakan adalah hydrogen peroksida dan bahan yang
dapat disterilkan adalah benang–benang operasi.
 Radiasi Ion
Pada radiasi ion, ion cobalt 60 digunakan sebagai bahan dasar untuk
mensterilkan bahan-bahan seperti baju operasi dan kain drape.

Dalam praktikum kali ini tindakan sterilisasi dilakukan menggunakan bahan kimia
yaitu alkohol 70% dan autoclaf untuk mensterilkan alat dan bahan operasi.

b) Persiapan Ruang Operasi


Ruang operasi harus dalam keadaan steril. Semua peralatan dan bahan yang ada
di dalam ruang operasi hendaknya dibersihkan atau disterilisasi sebelum operasi
dilaksanakan.
c) Persiapan Hewan
Hewan wajib dipuasakan 6 jam makan dan 2 jam minum (Sudisma, 2016) dengan
tujuan agar terhindar dari muntah pasca pemberian anestesi umum. Sebelum melakukan
operasi, operator wajib melakukan anamnesa, pemeriksaan fisik secara menyeluruh
(pulsus, respirasi, suhu dan denyut nadi), pemeriksaan seluruh sistema (sirkulasi darah,
pencernaan, respirasi, urogenital) dan penimbangan berat bedan dengan tujuan
perhitungan dosis obat sesuai dan tepat. Setelah hewan dinyatakan stabil dan siap untuk
dioperasi, maka langkah selanjutnya adalah persiapan daerah operasi. Hewan direstrain
dan dilakukan pencukuran rambut pada daerah operasi, cuci sampai bersih, dan
dikeringkan menggunakan tisu, kemudian diberikan antiseptik seperti povidone iodine.
Pengerjaan sebaiknya dilakukan di ruangan persiapan operasi (diluar ruangan operasi).
Setelah itu, hewan dibawa masuk ke ruang operasi untuk dipasang infus, pemberian
premedikasi dan anestesi. Cairan infus yang digunakan adalah NaCl 0,9%. Premedikasi
yang diberikan dalam praktikum ini adalah atropine sulfat dengan rute pemberian
subkutan, kemudian setelah 15 menit, diinjeksikan anestesi berupa kombinasi ketamine
+ Xylasine dengan rute pemberian intramuskular. Setelah hewan teranestesi, hewan
dibaringkan dorsal recumbency di atas meja operasi steril.
d) Persiapan Operator
Seorang operator harus memliki kompetensi sebagai berikut:
 Memahami prosedur operasi
 Dapat memprediksi hal-hal yang akan terjadi selama operasi
 Dapat menentukan prognosa operasi
 Memperhatikan personal higiene, seperti kebersihan tangan (cuci tangan),
menggunakan penutup kepala, masker, sarung tangan (metode terbuka,
tertutup dan asisten), dan baju operasi.
 Siap mental dan fisik
 Terampil

Operator dan co operator wajib menjaga personal higiene dengan mencuci tangan
yang benar dan menggunakan pakaian operasi, masker, penutup kepala dan sarung
tangan.
Langkah selanjutnya setelah hewan teranestesi dan berada di meja operasi dengan
posisi dorsal recumbency, keempat kaki pasien difiksasi menggunakan tali sumbu untuk
mempertahankan posisi tersebut. Bagian abdomen dibersihkan menggunakan povidone
iodine secara sirkuler dari dalam ke luar. Setelah itu, daerah operasi ditutup
menggunakan kain duk steril dan dijepit menggunakan towel clamp. Selanjutnya
dilakukan insisi secara ventral midline pada linea alba menggunakan pendekatan anatomi
laparatomy medianus cranial. Insisi dilakukan berurutan dari kulit, subkutan dan
peritoneum sampai terlihat usus dan organ-organ di rongga abdomen. Usus dieksplor
menggunakan jari dan diletakan di atas kasa steril yang telah dibasahi oleh NaCl
kemudian dimasukan kembali, flushing menggunakan cairan NaCl untuk
mempertahankan kondisi seperti halnya di dalam abdomen. Setelah itu dilakukan
penjahitan secara berurutan dari dalam ke luar yaitu dari peritoneum menggunakan
benang absorbable catgut chromic 3/0 dengan pola jahitan simpel interupted. Selanjutnya
dilakukan penjahitan pada bagian subkutan menggunakan benang absorbable catgut
plain 3/0 dengan pola jahitan sederhana menerus. Jahitan paling akhir yaitu pada kulit
menggunakan benang silk 3/0 dengan pola jahitan simpel interupted. Setelah jahitan pada
kulit, diberikan povidone iodine di daerah sekitar luka.

2.4. Perawatan Post Operasi

Setelah operasi laparatomy dilaksanakan, perawatan yang akan dilakukan meliputi:

 Memastikan jahitan berada dalam kondisi terikat dengan baik


 Luka jahitan diberikan povidone iodine 2x sehari sampai luka sembuh
 Pemberian antibiotik sirup Amoxicillin secara per oral 2x sehari (pagi dan malam) selama
5 hari.
 Pemberian pakan dengan konsistensi lunak sebanyak 2x sehari (pagi dan malam)
 Dilakukan pemeriksaan rutin, meliputi suhu, frekuensi nafas, pulsus, napsu makan,
urinasi dan defekasi serta kondisi luka.
 Jahitan dibuka pada hari ketujuh post operasi.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Hasil
 Ambulator Pasien
Data Pemilik Data Pasien
Nama : Katarina Lamag Jenis Hewan : Anjing
Alamat : Nunbaun Dehla Nama Hewan : Elisa
Kupang.
No. Tlp : 081239260167 Sinyalemen : Lokal, ♀, 8 bulan, cream
Dokter Hewan :drh. Tri Utami Berat Badan : 7 Kg
Mahasiswa Koas : Yohanes N. Pio Lema , Tanggal : Jumat 31 Mei
S. KH
Anamnesa: pasien belum pernah diberi vaksin, obat cacing, populasi 4 ekor, hewan tidak
dikandangkan, makan 2 kali sehari.

 Pemeriksaan Fisik
o Keadaan Umum
a. Habitus/tingkah laku : normal
b. Gizi : baik (BCS 3-5)
c. Pertumbuhan badan : baik
d. Sikap berdiri : baik
e. Adaptasi lingkungan : baik
f. Suhu tubuh : 37,3 0C
g. Frekuensi nadi : 84
h. Frekuensi nafas : 24
i. Capillary Refill Time : >2 detik
o Kulit dan Rambut
a. Aspek rambut : halus
b. Kerontokan : tidak rontok
c. Kebotakan : alopesia lokal
d. Turgor kulit : >2 detik
e. Permukaan kulit : normal
f. Bau kulit : khas anjing
o Selaput lendir : warna mukosa mulut pucat.
o Kelenjar limfe : tidak ada kebengkakan dan simetris pada limfoglandula mandibularis
dan poplitea
o Pernafasan : dominan thoraks, ritme pernafasan, intensitas dan frekuensi normal serta
refleks batuk tidak ada
o Peredaran darah : ictus cordis normal (inspeksi), frekuensi, intensitas dan ritme
normal, suara ikutan tidak ada, serta ritme pulsus dan jantung sinkron.
o Pencernaan : ukuran dan bentuk abdomen normal (inspeksi), Epigastrikus,
mesogastrikus dan hipogastrikus normal (palpasi).
o Kelamin dan perkencingan : bersih dan tidak adanya discharge pada vagina .
o Anggota gerak :hewan dapat berdiri dan berjalan menggunakan 4 kaki dengan baik.
o Pemeriksaan laboratorium :
- Hematologi
Kadar Hb: 8,8 g/dL (rendah)
WBC: 192,4x103(Tinggi)
PLT: 61x103(rendah)
MCV:68,8 fL (normal)
MCHC: 26,5 g/dL (rendah)

Diagnosa : Anemia normositik hipokromik

3.2. Pembahasan

3.2.1. Pelaksanaan Operasi Laparatomy

Langkah selanjutnya setelah hewan teranestesi dan berada di meja operasi dengan posisi
dorsal recumbency, keempat kaki pasien difiksasi menggunakan tali sumbu untuk
mempertahankan posisi tersebut. Bagian abdomen dibersihkan menggunakan povidone iodine
secara sirkuler dari dalam ke luar. Setelah itu, daerah operasi ditutup menggunakan kain duk
steril dan dijepit menggunakan towel clamp. Selanjutnya dilakukan insisi secara ventral midline
pada linea alba menggunakan pendekatan anatomi laparatomy medianus cranial. Insisi
dilakukan dari processus xipoideus, berurutan dari kulit, subkutan dan peritoneum sampai
terlihat usus dan organ-organ di rongga abdomen. Usus dieksplor menggunakan jari dan
diletakan di atas kasa steril yang telah dibasahi oleh NaCl kemudian dimasukan kembali,
flushing menggunakan cairan NaCl untuk mempertahankan kondisi seperti halnya di dalam
abdomen. Setelah itu dilakukan penjahitan secara berurutan dari dalam ke luar yaitu dari
peritoneum menggunakan benang absorbable catgut chromic 3/0 dengan pola jahitan simpel
interupted. Selanjutnya dilakukan penjahitan pada bagian subkutan menggunakan benang
absorbable catgut plain 3/0 dengan pola jahitan sederhana menerus. Jahitan paling akhir yaitu
pada kulit menggunakan benang silk 3/0 dengan pola jahitan simpel interupted. Setelah jahitan
pada kulit, diberikan povidone iodine yang bekerja sebagai antiseptik spektrum luas dengan
mekanisme kerja iodinasi dan oksidasi molekul-molekul esensial dari mikroorganisme
(Fossum, 2007).

A B C D

Gambar A= Penjahitan pada peritoneum, B= Penjahitan pada Subkutan, C= Penjahitan pada


kulit, D= daerah luka di berikan povidone iodine.
Tabel 1. Monitoring Pasien Selama Operasi

NO PARAMETER WAKTU

0 10 20 30 40 50 60 70
1. TEMPERATURE 38 37, 7 37,8 37,7 37,5 37,3 37,2 36,6
(OC)
2. FREKUENSI 78 96 92 72 84 88 84 66
PULSUS
(Kali/Menit)
3. FREKUENSI 18 12 12 12 12 12 12 12
NAFAS
(Kali/Menit)
4. MUKOSA 2 > 2 > 2 > 2 > 2 > 2 > 2 > 2 detik
detik detik detik detik detik detik detik (pucat)
(puc (puc (puc
at) at) at)
5. REFLEKS PUPIL - - - - - - - -

6. REFLEKS DIGIT - - - - - - - -

NO PARAMETER WAKTU

80 90 100 110 120 130 140 150


1. TEMPERATURE 35,8 36,4 36,2 36,1
(OC)
2. FREKUENSI 78 64 72 84
PULSUS
(Kali/Menit)
3. FREKUENSI 12 8 8 12
NAFAS
(Kali/Menit)
4. MUKOSA > 2 > 2 > 2 > 2
detik detik detik detik
(pucat) (pucat) (pucat) (pucat)
5. REFLEKS - √ √ √
PUPIL
6. REFLEKS - - - √
DIGIT
Dalam tindakan anestesi perlu untuk dilakukan pemantauan secara terus menerus
tentang keadaan pasien operasi yaitu reaksi terhadap pemberian obat anestesi, khususnya
terhadap fungsi pernapasan dan jantung. Menurut Yudaniayanti dkk, (2010) tujuan utama
melakukan monitoring pasien operasi adalah untuk diagnosa adanya permasalahan, perkiraan
kemungkinan terjadinya kegawatan dan evaluasi hasil suatu tindakan, termasuk efektivitas serta
adanya efek tambahan. Hal – hal yang perlu diamati selama hewan teranestesi adalah tingkat
keadaan anestesi, efektivitas kardiovaskuler dan efisiensi perfusi jaringan serta perubahan
respirasi (Badrinath et al., 2000).

Penggunaan ketamine-xylazine juga berpengaruh terhadap temperature tubuh dan


mengalami penurunan suhu dari menit ke 10 sampai menit 110. Hal ini bisa disebabkan karena
efek pemberian anestesi ketamine-xylazine dapat menurunkan metabolisme di seluruh sel tubuh
sehingga menimbulkan rangsangan kimia untuk menurunkan suhu tubuh (Guyton dan Hall,
1997). Penggunaan anestesi kombinasi ketamin + xylasin juga mengakibatkan penurunan
frekuensi denyut jantung, output jantung, volume stroke, efektivitas ventilasi alveolar, arterial
PO2, transport oksigen dan peningkatan secara nyata pada resistensi pembuluh darah (Stev et
al., 1986). Peningkatan pulsus mulai dari menit ke 10 dan 20 bisa disebabkan oleh tindakan
operatif yang dilakukan, dimana tindakan operatif ini menimbulkan rasa sakit dan nyeri yang
hebat sehingga berpengaruh terhadap frekuensi denyut jantung (Yudaniayanti dkk., 2010). Pada
menit ke 30 dan menit ke 90 setelah pemberian top up pertama, frekuensi denyut jantung
menurun, hal ini dapat disebabkan karena efek anelsgesik dari xylasin yang digunakan untuk
mengurangi rasa sakit yang ditimbulkan akibat tindakan operatif. Frekuensi denyut jantung
yang terjadi pada menit ke 40, 50, 60 dan setelah diberikan top up pertama yaitu pada menit ke
110 terjadi peningkatan yang bisa diakibatkan karena efek obat anestesi yang semakin lama
semakin berkurang sehingga hewan mulai merasakan sakit dari tindakan operatif. Pada
frekuensi pernapasan terjadi penurunan suhu mulai dari menit ke 10 sampai menit ke 110
akibat penggunaan kombinasi ketamine-xylazine. Menurut Flecknell (2000) penggunaan
xylasine pada kombinasi ketamine-xylazine dapat menekan metabolisme dan kerja jantung
sehingga dapat menurunkan frekuensi respirasi dan denyut jantung. Dalam keadaan teranestesi
pasien tidak menunjukan adanya refleks pupil dan digit karena masih dibawah pengaruh efek
anestesi kombinasi ketamine-xylazine.
3.2.2. Perawatan Pasca Operasi

Perawatan pasca operasi dilakukan dengan monitoring setelah 2 sampai 6 jam,


dikarenakan efek recovery dari obat anestesi ketamine-xylazine adalah dua sampai enam jam
setelah pemberian. Pasien operasi ditempatkan dalam kandang yang kering dan bersih. Jahitan
dipastikan berada dalam kondisi terikat dan baik, luka jahitan dibersihkan menggunakan
povidone iodine, pemberian antibiotik Amoxicillin sebanyak dua kali sehari selama lima hari,
pemberian pakan berkonsistensi lunak sebanyak dua kali sehari, dilakukan pemeriksaan suhu
tubuh, frekuensi pulsus, frekuensi napas, kondisi luka selama 9 hari. Semua kegiatan
monitoring pasca operasi dilakukan dua kali sehari, yaitu pada pukul 07.00 pagi dan pukul
19.00 malam dan jahitan dibuka pada hari ke tujuh pasca operasi.
BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Laparotomy adalah pembedahan membuka dinding abdomen melalui insisi ventral


abdomen. Laparatomy yang dilakukan dalam kegiatan Koasistensi ini adalah laparatomy dengan
mengambil pendekatan anatomi medianus cranial. Langkah-langkah dalam melakukan bedah
laparatomy harus menggunakan prinsip bedah aseptis dan lege artis dengan tujuan meminimalisir
kontaminasi, mencegah adanya infeksi dan mempercepat kesembuhan. Tindakan operasi yang
baik dan benar perlu diperhatikan juga preparasi alat dan bahan, preparasi ruangan, preparasi
pasien operasi, dan preparasi operator guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan selama
operasi dan tindakan operasi dapat berjalan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA

Badrinath, S., Avramov. M.N., Shadrick, M., Witt, T.R, and Ivankovich, A.d., 200. The Use of a
Ketamine-Propofol Combinatio During Monitored Anesthesia Care. Anesthesi
Anelgesic:90:856-862

Dyce, K.M., Sack, W.O and Wensing C.J.G. 2010. Textbook of Veterinary Anatomy. 4th ed.
Saunders, USA.

Flecknell, P. 2000. Manual of Rabbit Medicine and Surgery. British Small Animal Veterinary
Association. England

Guyton, A. C dan Hall, J.E. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. EGC. Indonesia

Onclin, K.J. and Verstegen, P. 2008. Caesarean Section In The Dog. Reproductive Medicine
Surgery. University Of Florida

Sardjana, I.K.W dan Kusumawati, D. 2004. Anestesi Veteriner. Gadjah Mada University Press.
Indonesia

Steve, C. H., John, P and Farver, T. B. 1986. Xylazine and Ketamine in Dogs. Am. J Vet Res.
47:636-640

Sudisma, I.G.N. 2016. Buku Ajaran Ilmu Bedah Veteriner dan Teknik Operasi. Denpasar. Palawi
Sari

Yudaniayanti, I. A., Maulana, E., dan Ma’rufl, A. 2010. Profil Penggunaan Kombinasi Ketamin-
Xylazine dan Ketamin-Midazolam Sebagai Anestesi Umum Terhadap Gambaran
Fisiologis Tubuh pada Kelinci Jantan. Veterinaria Medika. 3: (1). 23-30.

Anda mungkin juga menyukai