Anda di halaman 1dari 7

2019

Naskah Drama
Harapan Siti

Disusun Oleh

Fajariana Tri Mulia


Fenti Apriyani
Anisa Oktapia
Oktri Miranthi
Sulis Tiyah
Ulfiani Aslamiyah

Guru Pembimbing:
Siti Masiyah M. Pd

SMA NEGERI 2 PRABUMULIH


TAHUN AJARAN 2018/2019
Fajariana Tri Mulia
[Type the company name]
5/27/2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan ke hadirat Tuhan yang Mahakuasa, karena atas berkat dan
rahmat-Nya, kami dapat menyelesaikan naskah drama yang berjudul “Harapan Siti” kelompok V
kelas XI MIPA 1 SMA Negeri 2 Kota Prabumulih sebagai tugas akhir tahun dari Ibu Siti
Masiyah M. Pd. Naskah drama ini bertema kehidupan di jaman penjajahan Belanda sehingga
kami banyak menggunakan istilah berbahasa Belanda.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Siti Masiyah M. Pd sebab telah senantiasa
membimbing kami dalam kegiatan belajar mengajar dan penyusunan naskah ini.
Dalam penyusunan naskah drama yang berjudul “Harapan Siti” kelompok V kelas XI
MIPA 1 SMA Negeri 2 Kota Prabumulih ini, kami selaku tim penyusun seringkali menemukan
hambatan dan kesulitan. Namun, kami telah berusaha menyelesaikan naskah ini sebaik mungkin
dengan harapan naskah ini dapat menjadi pilihan literatur bagi warga sekolah.
Oleh karena itulah, kami mengharapkan kritik dan saran sebagai bahan masukan agar
dapat menyempurnakan dan memperbaiki naskah yang dibuat di masa mendatang. Semoga
naskah ini dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak yang membacanya

Prabumulih, 27 Mei 2019

Tim Penyusun
PENDAHULUAN
Tokoh :
 Fajariana Tri Mulia sebagai Fatma, Anak pertama
 Fenti Apriyani sebagai Siti, Anak Ketiga
 Anisa Oktapia sebagai Noni
 Oktri Miranthi sebagai Sinyo
 Sulis Tiyah sebagai Emak
 Ulfiani Aslamiyah sebagai Ratih, Anak kedua

Blurb

Siti adalah anak ketiga dari keluarga miskin di jaman penjajahan Belanda. Bapaknya dijadikan
budak untuk membangun Jalan Raya Anyar-Panarukan sedangkan ibunya bekerja di rumah
seorang Tuan Belanda sebagai pembantu. Dengan latar belakang kehidupan yang keras tersebut
Siti berusaha meyakinkan orangtua dan keluarganya tentang pentingnya bersekolah.
Harapan Siti
Siti : “Sekarang masih pagi, tapi tak kulihat emak di rumah. Di mana dia?”
Ratih : “Tentu saja ke rumah Tuan, Kau seperti tidak tahu saja.”

Fatma yang mendengar percakapan adiknya ikut keluar rumah.

Fatma : “Ada apa Dik?”


Ratih : “Tak tahulah, Siti bertanya emak berada seperti ini pertama kalinya saja.”
Fatma : “Kenapa Siti?, Apa yang Kau perlukan?”
Siti : “Ada yang ingin Saya katakan pada emak, biarlah Saya menunggu emak pulang
saja.”
Ratih : “Atau Kau ingin ke rumah Tuan menyusul emak, hmm?”
Fatma : “Untuk apa Siti ke rumah Tuan dan Nyonya? Bisa-bisa emak repot, lagipula
bukankah sinyo dan noni tak menyukai keberadaan Kita di sana?”
Siti : “Itu tidak benar! Noni sangat baik pada saya dan sinyo juga tidak pernah
memarahi Saya.”
Ratih : “Sudahlah Siti, Kau tak perlu berbohong. Kami semua tahu Kau menyimpan
perasaan pada sinyo haha.”
Siti : “Itu tidak benar! Mana mungkin Saya menyukai bangsa yang hanya
memberikan penderitaan kepada Bumi Putera ini?, Kenapa Kakak selalu
menggoda Saya?” (berlari masuk rumah dan menangis)

Malam harinya.

Emak : “Assalamu’alaikum. Nak, emak pulang”

Ratih membuka pintu rumah.

Ratih : “Wa’alaikumussalam Mak! Baguslah Emak sudah pulang.”


Emak : “Ada apa?, Di mana yang lain? Mengapa hanya Kau saja yang menyambut Emak
pulang?”
Ratih : “Kak Fatma sedang membuat teh dan Siti sedang menangis di kamar”.
Emak : (terkejut) “Apa yang terjadi pada Siti?”
Ratih : “Tak tahulah. Ada yang ingin ia katakan pada Emak, lebih baik Emak tanyakan
langsung saja.”

Emak dan Ratih ikut masuk ke kamar.

Emak : “Ada apa Siti? Ratih bilang ada yang ingin Kau tanyakan.”
Siti : (terlihat ragu-ragu) “Emak, sebenarnya Saya ingin bersekolah.”

Semuanya terkejut.

Ratih : “Apa yang Kau katakan Siti! Sadarkah Kau bagaimana kehidupan Kita? Bisa gila
bapak jika mendengar bualanmu! Bapak sedang berusaha mati-matian bekerja
membangun jalan raya yang sangat panjang demi hidup dan Kau hanya
membual saja di rumah.”
Emak : “Ratih sabar. Siti, Ratih benar. Lagipula sudah kodrat Kita untuk hanya di dapur.
Janganlah Engkau membuat bapak dan emak kesusahan. Lagipula apa yang
ingin Kau pelajari di sekolah, Kami semua bisa membantumu.”

Fatma datang membawa nampan berisikan 6 cangkir teh.

Fatma : “Ini tehnya Mak. Mengapa Kau masih menangis Siti?”


Ratih : “Kak Fatma, Siti bilang ia ingin bersekolah.”
Fatma : (terkejut) “ELS? Sekolah untuk para orang Eropa itu?”
Siti : (berbinar) “Tentu bukan Kak! Mak dengarkan Saya dulu. Kemarin Saya
berbincang dengan tetangga kita, Dewi. Kutanyakan padanya mengapa hanya
sesekali kulihat dia di lapangan. Dewi mengatakan ia sekarang bersekolah di
Sekolah Raden Dewi. Itu sekolah perempuan Bumi Putera. Melihatnya dapat
bersekolah membuatku juga ingin belajar di sana.”
Emak : “Sudahlah, kuburkan saja angan-anganmu Siti. Dewi anak tunggal, mudah bagi
bapak dan ibunya menyiapkan dana. Sedangkan emak dan bapakmu harus
membanting tulang untuk bertahan hidup.”
Ratih : “Emak benar Siti. Sekolah bukanlah tempat untuk kita. Lebih baik Kau lupakan
saja impianmu itu.”
Siti : “Kak, Mak dengarkan Saya dulu. Sekolah itu didedikasikan untuk anak Bumi
Putera. Kita tak perlu membayar sepeser pun. Mak, biarkanlah Saya bersekolah
di sana.”
Fatma : “Siti, mengapa Kau benar-benar ingin bersekolah? Tak inginkah Kau berada di
dapur seperti gadis-gadis pada umumnya?”
Siti : “Kak, percaya pada Saya. Di sana Dewi tak hanya diajarkan membaca, menulis,
dan materi sekolah, ia juga diajarkan norma, cara menjahit dan memasak. Saat
itulah saya menjadi yakin kalau hidup perempuan bukan cuma urusan dapur
belaka. Saya ingin berguna demi Bumi Putera, mungkin jika bukan sekarang
nanti.”

Siti mengarah berjalan ke arah emaknya dan berlutut.

Siti : “Mak, tak menutup kemungkinan jika nanti perempuan seperti kita mengubah
masa depan bumi putera ini. Mungkin saja nanti Netherlands terusir dari sini
dan Bumi Putera akan merdeka. Mungkin nanti anak Saya dan kakak tak perlu
menjadi buruh seperti bapak yang pasti sekarang sedang kesusahan. Mak,
salahkah jika Saya memiliki mimpi seperti itu? Jikalau Emak dan Kakak tak
menyukai mimpi Saya, tak apa biarlah saya di rumah.”
Emak dan yang lainnya saling berpandangan.

Emak : “Entahlah Siti, Emak masih belum yakin ini yang terbaik untukmu. Tapi Emak
akan mengizinkanmu untuk bersekolah di sana.”

Siti terkejut dan langsung memeluk emaknya.

Siti : “Terima kasih Mak! Saya akan belajar dengan baik di sana.”
Fatma : “Ya, tetapi kau tetap harus membantu kakak dan emak jika kau tak bersekolah.”
Siti : “Baik Kak! Saya janji.”

Dua bulan kemudian,

Sinyo : “Hai Siti! Sudah lama tak kulihat Kau membantu emakmu, kemana saja Kau?”
Siti : (menjawab dengan takut) “Saya sekarang bersekolah Sinyo. Hari ini Saya libur
karena itulah Saya membantu Emak ke sini.”
Sinyo : “Kau? Bersekolah? Hahaha! (tertawa meremehkan).
Siti : “Ya Sinyo, sekarang Saya bersekolah. Memang bukan tempat yang bagus seperti
sekolah Sinyo di ELS. Sekolah Saya hanya sekolah biasa tetapi Saya suka di sana.”
Sinyo : “Hah! Kau bercanda! Sudahlah berbicara denganmu hanya menyusahkan saja.
Sana, kerjakanlah sesuatu yang lebih penting dari bualanmu itu.”
Siti : “Baik Sinyo.” (berjalan menjauh)

Noni : (terkejut) “Siti, apa yang kau lakukan di sini? Kenapa tak duduk di kursi taman
saja? Hari ini tanah sedikit basah, akan kotor pakaianmu jika Kau duduk di sini.”
Siti : “Noni! Saya tak menyangka Noni ada di sini.”
Noni : “ Ya. Sudah lama kita tak bertemu. Terkadang Kau datang ke sini beberapa kali
seminggu”
Siti : “Itu benar Noni karena sekarang Saya telah bersekolah.”
Noni : “Benarkah?”
Siti : “Apakah menurut Noni orang seperti Saya tak perlu bersekolah?”
Noni : “Saya? Menurut saya setiap orang berhak mendapatkan pendidikan. Mengapa
Kau bertanya Siti?”
Siti : (tersenyum canggung) “Sebenarnya sebelum bertemu Noni saya telah bertemu
Sinyo terlebih dahulu. Saya katakan padanya bahwa Saya telah bersekolah tetapi
tanggapannya tak sesuai dengan apa yang Saya harapkan.”
Noni : “Dia memang seperti itu. Janganlah Kau ambil hati.”
Siti : “Apakah memang salah jika Saya bersekolah? Mungkin memang Saya bukan
siapa-siapa di dunia yang kejam ini. Apa Saya perlu menjadi orang berpengaruh
untuk bisa bersekolah? Saya benar-benar ingin menjadi orang yang bermanfaat
bagi Bumi Putera dan Saya pikir bersekolah adalah awal yang baik untuk
memulai mimpi saya.
Noni : (menggenggam tangan Siti) “Tak perlu Kau hiraukan Siti. Menurut Saya apa
yang Kau lakukan sudah benar. Saya harus pergi sekarang. Vaarwel Siti.”
Siti : “Terima kasih Noni. Saya janji akan terus belajar giat agar menjadi orang yang
bermanfaat bagi bangsa ini.”

~SELESAI~

Anda mungkin juga menyukai