Anda di halaman 1dari 34

SEMINAR KASUS

ASUHAN KEPERAWATAN STEMI ANTERIOR PADA Tn.S DI UNIT


INSTALASI GAWAT DARURAT RS ISLAM GONDANGLEGI

Disusun untuk memehuni tugas Profesi Ners


Stase Keperawatan Gawat Darurat

Oleh kelompok 20 :

1. Nike Wahyu Laraswati (17.30.041)


2. Afrudita Nurhidayati (17.30.003)
3. Aan Dwi Masruroh (17.30.001)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KEPANJEN


PROGRAM STUDI PROFESI NERS
TAHUN AJARAN 2017/2018
LEMBAR PENGESAHAN SEMINAR

ASUHAN KEPERAWATAN STEMI ANTERIOR PADA Tn.S DI UNIT


INSTALASI GAWAT DARURAT RS ISLAM GONDANGLEGI
Tanggal,……………………………………

Oleh :
Mahasiswa Profesi Ners STIKes Kepanjen

Anggota :

1. Nike Wahyu Laraswati (17.30.041)

2. Afrudita Nurhidayati (17.30.003)

3. Aan Dwi Masruroh (17.30.001)

Malang,…………………………….

Mengetahui,

Pembimbing Institusi Pembimbing Lahan

(……….…………………) (……………..…….………)
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Kegiatan


World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa pada tahun 2012
penyakit kardiovaskuler lebih banyak menyebabkan kematian dari pada
penyakit lainnya. Infark miokard akut (IMA) merupakan salah satu penyakit
kardiovaskuler terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit negara-negara
industri (Antman dan Braunwald, 2010). Infark miokard adalah kematian sel
miokard akibat iskemia yang berkepanjangan. Menurut WHO, infark miokard
diklasifikasikan berdasarkan dari gejala, kelainan gambaran EKG, dan enzim
jantung. Infark miokard dapat dibedakan menjadi infark miokard dengan
elevasi gelombang ST (STEMI) dan infark miokard tanpa elevasi gelombang
ST (NSTEMI) (Thygesen et al., 2012).
ST elevation myocardial infarction (STEMI) merupakan salah satu
spektrum sindroma koroner akut (SKA) yang paling berat (Kumar dan Canon,
2009). Pada pasien STEMI, terjadi penurunan aliran darah koroner secara
mendadak akibat oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada
sebelumnya. Trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri
vaskuler. Injuri vaskuler dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok,
hipertensi, dan akumulasi lipid (Alwi, 2014). Karakteristik gejala iskemia
miokard yang berhubungan dengan elevasi gelombang ST persisten yang
dilihat berdasarkan EKG dapat menentukan terjadinya STEMI. Saat ini,
kejadian STEMI sekitar 25-40% dari infark miokard, yang dirawat di rumah
sakit sekitar 5-6% dan mortalitas 1 tahunnya sekitar 7-18% (O’Gara et al.,
2013). Sekitar 865.000 penduduk Amerika menderita infark miokard akut per
tahun dan sepertiganya menderita STEMI (Yang et al., 2008).
Tanda dan gejala yang sering muncul pada pasien dengan STEMI antara
lain nyeri dada sentral seperti diremas, seperti terbakar, tertindih bendah
berat,seperti ditusuk-tusuk, tertekan berlangsung ≥ 20 menit, nyeri pada
bagian tengah dada dan epigastrium menyebar ke daerah lengan. gejala lain
seperti pucat, berkeringat, takikardi, mual, sesak baik saat beraktifitas
maupun beristirahat, dan lemas. STEMI terjadi karena adanya sumbatan oleh
plak atherosclerosis pada pembuluh darah,, plak tersebut mempersempit alirah
darah coroner, sehingga suplai darah ke jantung berkurang. Pada sebuah kasus
plak menutupi 50-70 % lumen, pasien akan mengalami nyeri dada terutama
pada saat kebutuhan oksigen pada miokard meningkat (olahraga atau
beraktifitas berat). (budiana,2012)
Ada beberapa permasalahan yang pernah terjadi kasus STEMI di IGD RSI
Gondanglegi sebanyak …%, kami ingin membahas mengenai apa itu STEMI,.
Dan asuhan keperawatan pada pasien dengan STEMI.

B. Nama Kegiatan
Seminar Kasus Tentang ST Elevation Myocardial Infarction (STEMI)

C. Tema Kegiatan
“Asuhan Keperawatan ST Elevation Myocardial Infarction (STEMI) Pada
Tn.S Di IGD RS Islam Gondanglegi”

D. Tujuan Pelaksanaan Kegiatan


1. Tujuan Umum
Melakukan asuhan keperawatan pada pasien Tn. S dengan kasus

STEMI di Ruang IGD RS Islam Gondanglegi.

2. Tujuan Khusus
a. Melakukan pengakajian pada pasien Tn. S dengan kasus STEMI di

Ruang IGD RS Islam Gondanglegi.

b. Melakukan analisis perumusan keperawatan pada pasien Tn. S

dengan kasus STEMI di Ruang IGD RS Islam Gondanglegi.

c. Membuat perencanaan keperawatan pada pasien Tn. S dengan

kasus STEMI di Ruang IGD RS Islam Gondanglegi.


d. Melakukan implementasi pada pasien Tn. S dengan kasus STEMI

di Ruang IGD RS Islam Gondanglegi.

e. Melakukan evaluasi pada pasien Tn. S dengan kasus STEMI di

Ruang IGD RS Islam Gondanglegi.


BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Anatomi Fisiologi
1. Anatomi Jantung

Gambar 2.1 Anatomi Jatung

Berdasarkan gambar di atas, secara anatomi terdapat beberapa bagian

jantung antara lain :

a. Aorta merupakan pembuluh darah arteri yang paling besar yang

keluar dari ventrikel sinistra

b. Atrium kanan berfungsi untuk menampung darah miskin

c. Atrium kiri berfungsi untuk menerima darah kaya oksigen dari paru

melalui keempat vena pulmonari. Darah kemudian mengalir ke

ventrikel kiri

d. Ventrikel kanan berupa pompa otot, menampung darah dari atrium

kanan dan memompanya ke paru melalui arteri pulmonari.


e. Ventrikel kiri merupakan bilik paling besar dan paling berotot,

menerima darah kaya oksigen dari paru melalui atrium kiri dan

memompanya ke dalam system sirkulasi melalui aorta.

f. Arteri pulmonari merupakan pembuluh darah yang keluar dari

dekstra menuju ke paru-paru, arteri pulmonari membawa darah dari

ventrikel dekstra ke paru-paru (pulmo)

g. Katup trikuspidalis, terdapat diantara atrium dekstra dengan

ventrikel dekstra yang terdiri dari 3 katup

h. Katup bikuspidalis, terdapat diantara atrium sinistra dengan ventrikel

sinistra yang terdiri dari 2 katup

i. Vena kava superior dan vena kava inferior mengalirkan darah ke

atrium dekstra

2. Fisiologis Jantung

Jantung adalah organ berupa otot,berbentuk kerucut, berongga dan

dengan basisnya di atas dan puncaknya di bawah. Jantung berada di dalam

thorak, antara kedua paru-paru dan dibelakang sternum,dan lebih

menghadap kekiri dari pada ke kanan. Ukuran jantung kira-kira sebesar

kepalan tangan. Jantung dewasa beratnya antara 220-260 gram. Jantung

terbagi atas sebuah septum atau sekat menjadi dua belah, yaitu kiri dan

kanan.

Fungsi utama jantung adalah menyediakan oksigen keseluruh tubuh dan

membersihkan tubuh dari hasil metabolisme (karbondioksida). Jantung

melaksanakan fungsi tersebut dengan mengumpulkan darah yang

kekurangan oksigen dari seluruh tubuh dan memompanya ke dalam paru-


paru, dimana darah akan mengambil oksigen dan membuang

karbondiksida. Jantung kemudian mengumpulkan darah yang kaya oksigen

dari paru-paru dan memompanya ke jaringan di seluruh tubuh.

Jantung di bungkus oleh sebuah lapisan yang disebut lapisan

perikardum,dimana lapisan perikardium di bagi menjadi 2 lapisan yaitu:

a. Perikardium fibrosa (viseral), yaitu bagian kantung yang membatasi

pergerakan jantung terikat di bawah sentrum tendinium diafragma,

bersatu dengan pembuluh darah besar, melekat pada sternum melalui

ligamentum sternoperikardial.

b. Perikardium serosum (parietal), yaitu bagian dalam dari dinding lapisan

fibrosa

3. Siklus sistem kardiovaskuler (jantung)

a. Siklus jantung

Jantung mempunyai empat pompa terpisah, dua pompa primer

atrium dan dua pompa tenaga ventrikel. Periode akhir kontraksi jantung

sampai akhir kontraksi berikutnya dimanakan siklus jantung. Tiap-tiap

siklus dimulai oleh timbulnya potensial aksi secara spontan. Simpul

sinoatrial (SA) terletak pada dinding posterior atrium dekstra dekat

muara vena superior. Potensial aksi berjalan dengan cepat melalui

berkas atrioventrikular (AV) ke dalam ventrikel, karena susunan khusus

penghantar atriunberkontraksi mendahului ventrikel. Atrium bkerja

sebagai pompa primer bagi ventrikel dan ventrikel menyediakan sumber

tenaga utam bagi pergerakan darah melelui sistem vaskular.


b. Curah Jantung

Menurut Syaifuddin (2009) curah jantung merupakan faktor utama

dalam sirkulasi yang mempunyai peranan penting dalam transportasi

darah yang mengandung berbagai nutrisi. Pada keadaan normal jumlah

darah yang dipompakan oleh ventrikel kiri dan ventrikel kanan sama

besarnya. Bila tidak demikian akan terjadi penimbunan darah di tempat

tertentu, misalnya bila jumlah darah yang di pompakan ventrikel

dekstra lebih besar dari ventrikel sinistra. Jumlah darah tidak dapat

diteruskan oleh ventrikel kiri ke peredaran darah sistemik sehingga

terjadi penumpukan darah di paru. Besar curah jantung seseorang tidak

selalu sama, tergantung pada keaktifan tubuhnya. Curah jantung akan

meningkat pada waktu kerja berat, stres, peningkatan suhu lingkungan,

sedangkan curah jantung menurun ketika waktu tidur.

B. STEMI
1. Definisi
Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) terjadi jika aliran
darah koroner menurun secara mendadak akibat oklusi trombus pada plak
aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Trombus arteri koroner terjadi
secara cepat pada lokasi injuri vaskuler, dimana injuri ini dicetuskan oleh
faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid (Sudoyo,
2010).
ST elevation myocardial infarction (STEMI) merupakan salah satu
spektrum sindroma koroner akut yang paling berat. Sindroma koroner
akut (SKA) merupakan satu subset akut dari penyakit jantung koroner
(PJK) (Firdaus I, 2012). SKA merupakan spektrum klinis yang mencakup
angina tidak stabil, infark mikard akut tanpa elevasi segmen ST
(NSTEMI) dan infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (STEMI)
(Myrtha R, 2011).
ST Elevasi Miokard Infark (STEMI) adalah rusaknya bagian otot
jantung secara permanen akibat insufisiensi aliran darah koroner oleh
proses degeneratif maupun dipengaruhi oleh banyak faktor dengan
ditandai keluhan nyeri dada, peningkatan enzim jantung dan ST
elevasi pada pemeriksaan EKG. STEMI adalah cermin dari
pembuluh darah koroner tertentu yang tersumbat total sehingga aliran
darahnya benar-benar terhenti, otot jantung yang dipendarahi tidak dapat
nutrisi-oksigen dan mati. Selain itu STEMI merupakan Infark yang
terjadi diseluruh dinding miokard, dari endocardium ke epicardium
dengan lokasi di anterior, inferior, maupun lateral. Karakteristiknya
antara lain terdapat elevasi gelombang ST dan Q pada ECG, adanya
isoenzime CK-MB 3-6 jam setelah onset dan terus meningkat hingga
12-24 jam (Huswar, 2014).
ST Elevasi Miokard Infark (stemi) merupakan rusaknya bagian
otot jantung secara permanen akibat insufisiensi aliran darah koroner
oleh proses degeneratif maupun dipengaruhi oleh banyak faktor
dengan tanda nyeri dada, peningkatan enzim jantung dan ST elevasi
pada pemeriksaan EKG. Gambaran EKG pada Stemi menggambarkan
tersumbatnya aliran darah, otot jantung yang dipendarahi tidak dapat
nutrisi-oksigen dan mati /nekrosis (Smeltzer & Bare, 2002). Infark
miokard dengan elevasi segmen ST akut (stemi) merupakan indikator
kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner. Keadaan ini
memerlukan tindakan revaskularisasi untuk mengembalikan aliran
darah dan reperfusi miokard secepatnya; secara medikamentosa
menggunakan agen fibrinolitik atau secara mekanis, intevensi koroner
perkutan primer (PERKI, 2014; dalam Ongko & Indrianti, 2014).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa stemi merupakan infark pada
jantung yang diakibatkan tersumbatnya arteri coronaria yang
memperdarahi jantung karena ateresklerosis. Infark ini ditandai dengan
perubahan segmen ST pada EKG, yaitu elevasi.
2. Etiologi
Terdapat dua faktor risiko yang dapat menyebabkan penyakit arteri

koroner yaitu faktor risiko yang dapat dimodifikasi (modifiable) dan faktor

risiko yang tidak dapat dimodifikasi (nonmodifiable). Faktor risiko

modifiable dapat dikontrol dengan mengubah gaya hidup dan kebiasaan

pribadi, sedangkan faktor risiko yang nonmodifiable merupakan

konsekuensi genetic yang tidak dapat dikontrol (smeltzer, 2002). Menurut

Muttaqin (2009) ada lima faktor risiko yang dapat diubah (modifiable)

yaitu merokok, tekanan darah tinggi, hiperglikemia, kolesterol darah tinggi,

dan pola tingkah laku.

a. Merokok

Merokok dapat memperparah dari penyakit koroner diantaranya

karbondioksida yang terdapat pada asap rokok akan lebih mudah

mengikat hemoglobin dari pada oksigen, sehingga oksigen yang

disuplai ke jantung menjadi berkurang. Asam nikotinat pada tembakau

memicu pelepasan katekolamin yang menyebabkan konstriksi arteri dan

membuat aliran darah dan oksigen jaringan menjadi terganggu.

Merokok dapat meningkatkan adhesi trombosit yang akan dapat

mengakibatkan kemungkinan peningkatan pembentukan thrombus.

b. Tekanan darah tinggi

Tekanan darah tinggi merupakan juga faktor risiko yang dapat

menyebabkan penyakit arteri koroner. Tekanan darah yang tinggi akan

dapat meningkatkan gradien tekanan yang harus dilawan ileoh ventrikel

kiri saat memompa darah. Tekanan tinggi yang terus menerus

menyebabkan suplai kebutuhan oksigen jantung meningkat.


c. Kolesterol darah tinggi

Tingginya kolesterol dengan kejadian penyakit arteri koroner

memiliki hubungan yang erat. Lemak yang tidak larut dalam air terikat

dengan lipoprotein yang larut dengan air yang memungkinkannya dapat

diangkut dalam system peredaran darah. Tiga komponen metabolisme

lemak, kolesterol total, lipoprotein densitas rendah (low density

lipoprotein) dan lipoprotein densitas tinggi (high density lipoprotein).

Peningkatan kolestreol low density lipoprotein (LDL) dihubungkan

dengan meningkatnya risiko koronaria dan mempercepat proses

arterosklerosis. Sedangkan kadar kolesterol high density lipoprotein

(HDL) yang tinggi berperan sebagai faktor pelindung terhadap penyakit

arteri koronaria dengan cara mengangkut LDL ke hati, mengalami

biodegradasi dan kemudian diekskresi (Price, 1995).

d. Hiperglikemia

Pada penderita diabetes mellitus cenderung memiliki prevalensi

aterosklerosis yang lebih tinggi, hiperglikemia menyebabkan

peningkatan agregasi trombosit yang dapat menyebabkan pembentukan

thrombus.

e. Pola perilaku

Pola hidup yang kurang aktivitas serta stressor psikososial juga ikut

berperan dalam menimbulkan masalah pada jantung. Rosenman dan

Friedman telah mempopulerkan hubungan antara apa yang dikenal

sebagai pola tingkah laku tipe A dengan cepatnya proses aterogenesis.

Hal yang termasuk dalam kepribadian tipe A adalah mereka yang


memperlihatkan persaingan yang kuat, ambisius, agresif, dan merasa

diburu waktu. Stres menyebabkan pelepasan katekolamin, tetapi masih

dipertanyakan apakah stres memang bersifat aterogenik atau hanya

mempercepat serangan.

3. Patofisiologi
STEMI terjadi ketika aliran darah koroner menurun secara
tiba-tiba setelah oklusi trombotik dari arteri koroner yang
sebelumnya mengalami atherosclerosis. STEMI terjadi ketika
thrombus pada arteri koroner berkembang secara cepat pada tempat
terjadinya kerusakan vaskuler. Faktor penyebab kerusakan ini, seperti
merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid. STEMI terjadi ketika
permukaan plak atherosclerotic mengalami ruptur dan terbentuklah
trombus, sehingga terjadi oklusi pada arteri koroner arteri koroner sering
kali mengalami thrombus yang terdiri dari agregat platelet, dan
benang-benang fibrin. Pada sebagian kecil kasusnya, penyebab lain dari
STEMI yaitu karena emboli arteri koroner, abnormalitas congenital,
spasme coroner, dan berbagai penyakit sistemik, terutama inflasmasi
(Zainal, 2008)
Pathway
Kemampuan sintesa ATP scr
Blok sebagian NON STEMI aerob berkurang
Modified Risk Factor
Blok pada arteri
Blok total STEMI Infark Miokard
Non-Modified Risk Factor koroner jantung
Produksi ATP Anaerob

Penimbunan trombosit Inflamasi Sel pecah (lisis) Sel terisi ion Pompa natrium, ATP yg dihasilkan As. Laktat
dan faktor pembekuan natrium dan air kalium berhenti sangat sedikit meningkat

Pelepasan histamin Protein intrasel keluar ke Edema dan bengkak Nyeri di dada
dan prostaglandin sistemik & interstitial sekitar miokard

Dx: Nyeri akut


Vasokonstriksi dan Pompa jantung Jalur hantaran
Dx: Nyeri
tromboksan tdk terkoordinasi listrik terganggu
akut

Dx: Penurunan Vol. Sekuncup turun Hambatan depol


Curah Jantung atrium / ventrikel
Otot rangka
Penurunan TD kekurangan oksigen Dx: Intoleransi
Respon baroreseptor disritmia Aktivitas
Sistemik dan ATP

Komplikasi: Gagal
Hipoksia meluas, jantung, kematian.
Aktivasi saraf simpatis, sistem Parasimpatis iskemia meluas,
renin-angiotensin, peningkatan berkurang infark meluas
ADH, pelepasan hormon stress Aliran darah ke perifer CRT di ekstremitas > 2 dt,
(ACTH, Kortisol), peningkatan semakin menurun pucat bahkan sianosis
prod. glukosa HR dan TPR Beban jantung
Meningkat meningkat
Dx: Insufisiensi
Darah ke ginjal Produksi urin Volume plasma Aliran balik vena Perfusi Perifer
menurun menurun menigkat meningkat
4. Manifestasi Klinis
Trias Infark Miokard (Wagyu, 2010)
a. Nyeri dalam dan visceral seperti diremas, ditusuk, atau terbakar dan
terjadi pada saat istirahat, lebih berat dan berlangsung lebih
lama. Nyeri pada bagian tengah dada dan/atau epigastrium dan
menyebar ke daerah lengan. Nyeri disertai kelemahan, berkeringat,
mual, muntah, sesak nafas, pucat, dingin, dan ansietas. Pasien
dengan diabetes melitus tidak akan mengalami nyeri yang hebat.
b. Laboratorium
Pemeriksaan enzim jantung
1) Peningkatan troponin.
2) CPK-MB/CPK. Isoenzim ditemukan pada otot jantung meningkat
antara 4-6 jam, memuncak dalam 12-24 jam, kembali normal
dalam 36-48 jam.
3) LDH meningkat dalam 12-24 jam
4) AST/SGOT meningkat dalam 6-12 jam
c. EKG
Kelainan pada lead.
1) Lead II, III, aVF : infark inferior
2) Lead V1-V3 : infark anteroseptal
3) Lead V2-V4 : infark anterior
4) Lead I, aVL, V5-V6 : infark anterolateral
5) Lead I, aVL : infark high lateral
6) Lead I, aVL, V1-V6 : infark anterolateral luas
7) Lead II,III,aVF, V5-V6: infark inferolateral
Adanya Q valve patologis pada sadapan tertentu

5. Komplikasi
a. Disfungsi Ventrikuler

b. Gangguan Hemodinamik

c. Gagal Jantung
d. Syok Kardiogenik

e. Perluasan IM

f. Emboli sistemik/pulmonal

g. Perikardiatis

h. Ruptur Ventrikel

i. Otot Papilar

j. Kelainan Septal Ventrikel

k. Disfungsi Katup

6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan sebagai bagian dalam
tatalaksana pasien STEMI tetapi tidak boleh menghambat implementasi
terapi reperfusi. Pemeriksaan petanda kerusakan jantung yang dianjurkan
adalah creatinin kinase (CK) MB dan cardiac specific troponin (cTn) T
atau cTn I, yang dilakukan secara serial. cTn digunakan sebagai petanda
optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal karena
pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan CKMB (Sudoyo AW dkk,
2010).
Terapi reperfusi diberikan segera mungkin pada pasien dengan
elevasi ST dan gejala IMA serta tidak tergantung pada pemeriksaan
biomarker. Peningkatan nilai enzim diatas dua kali nilai batas atas normal
menunjukkan adanya nekrosis jantung (Sudoyo AW dkk, 2010).
1. CKMB meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai
puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi
jantung, miokarditis, dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan
CKMB.
2. cTn : ada dua jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah
2 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam
dan cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari sedangkan cTn I
setelah 5-10 hari.
Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu mioglobin, creatinine
kinase (CK), Lactic dehydrogenase (LDH). Reaksi non spesifik terhadap
injuri miokard adalah leukositosis polimorfonuklear yang dapat terjadi
dalam beberapa jam setelah onset nyeri dan menetap selama 3-7 hari.
Leukosit dapat mencapai 12.000-15.000/ul (Sudoyo AW dkk, 2010).
Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pada semua pasien
dengan nyeri dada atau keluhan yang dicurigai STEMI, dalam waktu
10 menit sejak kedatangan di IGD sebagai landasan dalam menentukan
keputusan terapi reperfusi. Jika pemeriksaan EKG awal tidak
diagnostik untuk STEMI tetapi pasien tetap simptomatik dan terdapat
kecurigaan kuat STEMI, EKG serian dengan interval 5-10 menit atau
pemantauan EKG 12 sandapan secara kontinyu harus dilakukan untuk
mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST. EKG sisi kanan
harus diambil pada pasien dengan STEMI inferior, untuk mendeteksi
kemungkinan infark ventrikel kanan (Sudoyo AW dkk, 2010).

7. Penatalaksanan
a. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan sebagai bagian dalam

tatalaksana pasien STEMI. Pemeriksaan petanda kerusakan jantung

yang dianjurkan adala creatinine kinase (CK) MB dan cardiac specific

troponin (cTn) T atau cTn 1 yang dilakukan secara serial. cTn harus

digunakan sebagai petanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai

kerusakan otot skletal karena pada keadaan juga akan diikuti

peningkatan CKMB. Peningkatan nilai enzim diatas dua kali batas atas

normal menunjukkan adanya nekrosis jantung. Selain itu, Troponin

juga digunakan sebagai marker yang spesifik pada kerusakan otot

jantung, karena reseptor troponin lebih khas pada otot jantung

dibandingkan dengan CKMB.


Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu mioglobin, creatinine

kinase (CK), Lactic dehydrogenase (LDH). Reaksi non spesifik

terhadap injuri miokard adalah leukositosis polimorfonuklear yang

dapat terjadi dalam beberapa jam setelah onset nyeri dan menetap

selama 3-7 hari. Leukosit dapat mencapai 12.000- 15.000/u.

b. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan EKG 12 sandapan umumnya pada IMA terdapat

gambaran iskemia, injuri dan nekrosis yang timbul menurut urutan

tertentu sesuai dengan perubahan-perubahan pada miokard yang disebut

evolusi EKG. Evolusi terdiri dari fase-fase sebagai berikut :

1) Fase awal atau fase hiperaktif

Terdiri dari:

a) Elevasi ST yang non spesifik

b) T yang tinggi dan melebar.

2) Fase evolusi lengkap

Terdiri dari:

a) Elevasi ST yang spesifik, konveks ke atas

b) T yang negatif dan simetris

c) Q patologis

3) Fase infark lama

Terdiri dari:

a) Q patologis, bisa QS atau Qr

b) ST yang kembali iso-elektrik

c) T bisa normal atau negatif


Timbulnya kelainan-kelainan EKG pada IMA bisa terlambat,

sehingga untuk menyingkirkan diagnosis IMA membutuhkan EKG

serial. Fase evolusi yang terjadi bisa sangat bervariasi, bisa beberapa

jam hingga 2 minggu. Selama evolusi atau sesudahnya, gelombang Q

bisa hilang sehingga disebut infark miokard non-Q. Gambaran infark

miokard subendokardial pada EKG tidak begitu jelas dan memerlukan

konfirmasi klinis dan laboratoris, pada umumnya terdapat depresi

segmen ST yang disertai inversi segmen T yang bertahan beberapa hari.

Pada infark miokard pada umumnya dianggap bahwa Q menunjukkan

nekrosis miokard, sedangkan R menunjukkan miokard yang masih

hidup, sehingga bentuk QR menunjukkan infark non-transmural

sedangkan bentuk QS menunjukkan infark transmural. Pada infark

miokard non-Q, berkurangnya tinggi R menunjukkan nekrosis miokard.

Pada infark miokard dinding posterior murni, gambaran EKG

menunjukkan bayangan cermin dari infark miokard anteroseptal

terhadap garis horisontal, jadi terdapat R yang tinggi di V1, V2, V3 dan

disertai T yang simetris.

Gambar 2.2 Gambaran EKG STEMI dan NSTEMI


8. Penatalaksanaan Kegawatdaruratan

Tujuan tatalaksana di IGD adalah mengurangi/menghilangkan nyeri

dada, mengidentifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi

reperfusi segera, triase pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di rumah

sakit dan menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI.

a. Oksigen : suplemen oksigen harus diberikan ada pasien dengan

saturasi oksigen 90%. Pada semua STEMI tanpa komplikasi dapat

diberikan oksigen selama 6 jam pertama.

b. Nitrogliserin : Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman

dengan dosis 0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan

interval 5 menit.

c. Morfin : sangat efektif dalam mengurangi nyeri dada dan merupakan

analgesik pilihan dalam tatalaksana STEMI. Morfin dapat diberikan

dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit

sampai dosis total 20 mg.

d. Aspirin : merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai

STEMI dan efektif pada spektrum sindroma koroner akut. Inhibisi

cepat siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar

tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin bukal dengan dosis

160-325 mg di ruang emergensi. Selanjutnya diberikan peroral dengan

dosis 75-162 mg.

e. Penyekat Beta : Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada,

pemberian penyekat beta intravena dapat efektif. Regimen yang biasa

diberikan adalah metoprolol 5 mg tiap 2-5 menit sampai total 3 dosis,


dengan syarat frekuensi jantung > 60 kali permenit, tekanan darah

sistolik > 100 mmHg, interval PR < 0,24 detik dan ronki tidak lebih

dari 10 cm dari diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir

dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam

selama 48 jam, dan dilanjutkan dengan 100 mg tiap 12 jam.


BAB III
KASUS

RESUME

NO. REG : 197035 Tanggal datang di IGD : 28 Mei 2018 Jam datang di IGD : 21.45 WIB
NAMA : Tn.S Tanggal pengkajian : 28 Mei 2018 jam pengkajian : 21.45 WIB
JENIS KELAMIN : laki - laki Pengkajian diambil dari pasien sendiri : orang lain, Nama : Ny. S √
USIA : 55 Tahun Hubungan dengan pasien : Anak
PRIORITAS/TRIASE : P2
DIAGNOSA MEDIS : Chest Pain STEMI Anterior

NO DATA DIAGNOSA INTERVENSI IMPLEMENTASI EVALUASI


KEPERAWATAN
1. Data Subjektif: Dx Kep : Tujuan : setelah dilakukan 21. 1. Mengkaji nyeri yang 22. S: Klien mengatakan nyeri dada
Klien mengatakan nyeri Nyeri akut b.d asuhan keperawatan selama 46 dialami klien dengan 10 kiri tembus kebelakang
dada kiri tembus penyumbatan pada 1 × 1 jam diharapkan nyeri pendekatan PQRST berkurang, tidak mual dan tidak
kebelakang tambah arteri koroner jantung klien berkurang dengan P : nyeri pada dada muntah, pusing berkurang.
memberat yang disertai Kriteria Hasil: Q: nyeri seperti tertekan P: Nyeri pada dada
dengan muntah 1 kali, Kriteria Hasil: 1. Menyatakan rasa nyaman R: nyeri di dada sebelah Q: nyeri seperti tertekan
pusing, dan keringat DS : setelah nyeri berkuerang kiri tembus ke belakang R:Nyeri di dada sebelah kiri
dingin. Klien mengatakan 2. Melaporkan bahwa nyeri S: skala nyeri 6 tembus ke belakang
P: Nyeri pada dada nyeri dada kiri tembus berkurang dengan T: nyeri hilang timbul S: Skala nyeri 5
Q: nyeri seperti tertekan kebelakang tambah manajemen nyeri T: Nyeri hilang timbul
R:Nyeri di dada sebelah memberat yang 3. Mampu mengenali nyeri 21. 2. Mengajarkan teknik nafas
kiri tembus ke belakang disertai dengan (skala, intensitas, 50 dalam untuk mengurangi O: K/u lemah, grimace (+)
S: Skala nyeri 6 muntah 1 kali, pusing, frekuensi, dan tanda nyeri. perilaku klien tampak
T: Nyeri hilang timbul dan keringat dingin. nyeri. memegangi daerah dada yang
Data Objektif: P: Nyeri pada dada Intervensi : 21. 3. Meningkatkan istirahat nyeri, klien tampak gelisah,
Primery Survey: Q: nyeri seperti 1. Lakukan pengkajian 55 klien dengan menganjurkan Retraksi dinding dada (+),
A: jalan nafas efektif, tertekan nyeri secara klien untuk tidak turun dari penggunaan otot bantu nafas (+)
ronkhi (-), sputum atau R:Nyeri di dada sebela komprehensif termasuk tempat tidur TTV:
sumbatan jalan nafas (-), kiri tembus ke lokasi, karakteristik, TD:115/90 mmHg
belakang durasi, frekuensi, 22. 4. Berkolaborasi dalam RR: 20 ×/menit, SPO2: 98 %
B: retraksi dinding dada S: Skala nyeri 5 kualitas dan factor 00 pemberian obat analgesic N: 84 ×/menit, Suhu: 36,5 ºC,
(+), pernapasan cuping T: Nyeri hilang timbul presipitasi untuk mengurangi nyeri CRT: < 2 detik
hidung (-), penggunaan 2. Ajarkan teknik relaksasi dan obat – obatan lainnya
otot penggunaan otot dan distraksi sesuai advis dokter A: masalah teratasi
bantu nafas (+), RR: 22 DO : 3. Tingkatkan istirahat Ivfd: sebagian
×/menit, SPO2: 96% K/u lemah, grimace pada klien - Ns 0,9% 20tpm
(+) perilaku klien 4. Kolaborasi dengan O2: P: hentikan intervensi klien alih
C: akral dingin, mukosa tampak memegangi dokter dalam pemberian - Nasal 4 lpm rawat ruang ICU
lembab TD: 125/84, N: daerah dada yang analgetik Inj:
75 ×/menit, Suhu: 36,7 nyeri, klien tampak - Vomizole 1 × 40 mg
ºC, CRT: < 2 detik, BB: gelisah, Retraksi - Aspilet 1 × 80 mg
80 kg, TB: 170 cm dinding dada (+), - CPG 1 × 75 mg
penggunaan otot bantu - ISDN 3 × 5 mg
D: Kesadaran nafas (+) - Simvastsatim 20 mg
Composmentis, GCS: TTV:
456, pupil isokor 3/3 mm, TD:125/84 mmHg
refleks cahaya +/+ RR: 22 ×/menit,
SPO2: 96%
E: tidak ada oedem, tidak N: 75 ×/menit,
ada jejas Suhu: 36,7 ºC,
CRT: < 2 detik
BB: 80 kg
TB: 170 cm
NO DATA DIAGNOSA INTERVENSI IMPLEMENTASI EVALUASI
KEPERAWATAN
2. Data Subjektif: Dx Kep : Tujuan : setelah dilakukan 21. 1. Memantau tanda-tanda 22. S: Klien mengatakan nyeri dada
Klien mengatakan nyeri Penurunan curah asuhan keperawatan selama 46 vital klien. 10 kiri tembus kebelakang
dada kiri tembus jantung b. perubahan 1 × 1 jam diharapkan status TD : 125/84 mmHg berkurang, tidak mual dan tidak
kebelakang tambah volume sekuncup sirkulasi baik klien dengan N: 75 ×/menit muntah, pusing berkurang.
memberat yang disertai Kriteria Hasil: S: 36,7 ºC P: Nyeri pada dada
dengan muntah 1 kali, Kriteria Hasil: 1. Tekanan darah dalam RR: 22 ×/menit Q: nyeri seperti tertekan
pusing, dan keringat DS : batas normal : 110/70 SPO2: 96% R:Nyeri di dada sebelah kiri
dingin. Klien mengatakan mmhg – 140/90 mmhg. 21. 2. Memberikan oksigen 4 tembus ke belakang
P: Nyeri pada dada nyeri dada kiri tembus 2. Nadi 60 – 100x/menit 48 lpm S: Skala nyeri 5
Q: nyeri seperti tertekan kebelakang tambah teraba kuat T: Nyeri hilang timbul
R:Nyeri di dada sebelah memberat yang 3. Saturasi O2 diatas 95% 21. 3. Memantau tanda-tanda
kiri tembus ke belakang disertai dengan 4. CRT < 2 detik 50 sianosis pada klien. O: K/u lemah, grimace (+)
S: Skala nyeri 6 muntah 1 kali, pusing, 5. Akral teraba hangat Tidak terdapat tanda-tanda perilaku klien tampak
T: Nyeri hilang timbul dan keringat dingin. sianosis seperti kebiruan memegangi daerah dada yang
Data Objektif: P: Nyeri pada dada Intervensi : pada kulit dan selaput nyeri, klien tampak gelisah,
Primery Survey: Q: nyeri seperti 1. Monitor tanda-tanda lender Retraksi dinding dada (+),
A: jalan nafas efektif, tertekan vital klien. penggunaan otot bantu nafas (+)
ronkhi (-), sputum atau R:Nyeri di dada sebela 2. Berikan oksigen seusai 22. 4. Membatasi aktivitas klien. TTV:
sumbatan jalan nafas (-), kiri tembus ke 55 Membatasi jumlah TD:115/90 mmHg
dengan kebutuhan klien.
belakang pengunjung atau keluarga RR: 20 ×/menit, SPO2: 98 %
B: retraksi dinding dada S: Skala nyeri 5 3. Monitor tanda-tanda pasien yang menjaga. N: 84 ×/menit, Suhu: 36,5 ºC,
(+), pernapasan cuping T: Nyeri hilang timbul sianosis pada klien. CRT: < 2 detik
hidung (-), penggunaan 4. Batasi aktivitas klien. 22. 5. Berkolaborasi dengan
otot penggunaan otot 5. Kolaborasi dengan 00 dokter untuk pemberian A: masalah teratasi
bantu nafas (+), RR: 22 DO : dokter untuk pemberian cairan intravena dan terapi sebagian
×/menit, SPO2: 96% K/u lemah, grimace cairan intravena dan farmakologis.
(+) perilaku klien Ivfd: P: hentikan intervensi klien alih
terapi farmakologis.
C: akral dingin, mukosa tampak memegangi - Ns 0,9% 20tpm rawat ruang ICU
lembab TD: 125/84 daerah dada yang O2:
mmHg, N: 75 ×/menit, nyeri, klien tampak - Nasal 4 lpm
Suhu: 36,7 ºC, CRT: < 2 gelisah, Retraksi Inj:
detik, BB: 80 kg, TB: dinding dada (+), - Vomizole 1 × 40 mg
170 cm penggunaan otot bantu - Aspilet 1 × 80 mg
nafas (+), hasil EKG - CPG 1 × 75 mg
D: Kesadaran ST evelasi - ISDN 3 × 5 mg
Composmentis, GCS: TTV: - Simvastsatim 20 mg
456, pupil isokor 3/3 mm, TD:125/84 mmHg
refleks cahaya +/+ RR: 22 ×/menit,
SPO2: 96%
E: tidak ada oedem, tidak N: 75 ×/menit,
ada jejas Suhu: 36,7 ºC,
CRT: < 2 detik
BB: 80 kg
TB: 170 cm
BAB IV

PEMBAHASAN

Pada bab ini penulis akan menguraikan mengenai kesenjangan antara teori

dengan praktek selama melakukan asuhan keperawatan pada pasien Tn. S dengan

diagnosa medis STEMI.

Pada kasus ini, STEMI yang dialami oleh klien dikarenakan klien

merupakan riwayat perokok berat sejak sekolah SMP dan berhenti merokok 4

tahun ini dan klien mengeluh nyeri dada kiri tembus kebelakang tambah

memberat yang disertai dengan muntah 1 kali, pusing, dan keringat dingin, nyeri

seperti tertekan dan terasa hilang timbul.

Menurut Sudoyo (2010), Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI)

terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak akibat oklusi trombus

pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Trombus arteri koroner

terjadi secara cepat pada lokasi injuri vaskuler, dimana injuri ini dicetuskan oleh

faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid.

A. PENGKAJIAN

Langkah pertama pada kasus STEMI yaitu pengkajian dengan primary

survey karena kasus tersebut termasuk ke dalam kasus kegawatdaruratan, hasil

pengkajian yang di dapat yaitu klien mengeluh nyeri dada dengan skala 6 dari

10, dan pada saat dilakukan pemeriksaan dengan TD 125/84 mmHg, nadi

75x/menit, frekuensi respirasi yaitu 20x/menit, SPO2 96% akral dingin, CRT 2

detik.
Secara teori, pada pengkajian STEMI disarankan untuk mencatat status

volume cairan klien, tetapi penulis tidak mengkaji intake dan output klien

karena klien meringis menahan nyeri dan pada saat anamnesa, keluarga klien

yang menjawab semua pertanyaan penulis, sehingga data yang didapat bisa

saja kurang valid.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Setelah melakukan pengkajian dan mendapatkan data – data, penulis

mengelompokan, dan menganalisis data serta merumuskan diagnosa

keperawatan. Penulis mengangkat 2 diagnosa yang sesuai dengan kondisi

pasien, yaitu :

1. Nyeri akut b.d penyumbatan pada arteri koroner jantung.

2. Penurunan curah jantung b.d perubahan volume sekuncup

C. INTERVENSI KEPERAWATAN

Perencanaan yang dibuat oleh penulis sesuai dengan pedoman yang

terdapat pada sumber buku dan literatur NANDA NOC-NIC. Penulis sedikit

kebingungan menentukan tindakan keperawatan mandiri untuk klien. karena

pada kasus STEMI ini mayoritas tindakannya adalah kolaborasi dengan dokter

untuk pemberian terapi farmakologis. Penulis hanya merencanakan anjuran

untuk melakukan teknik relaksasi dan distraksi untuk menurunkan intensitas

nyeri klien sebagai tindakan mendiri keperawatan.

D. IMPLEMENTASI DAN EVALUASI

Saat klien diperiksa EKG, penulis tidak mengikuti pemeriksaan pada

klien. Hal ini dikarenakan di RS Islam Gondanglegi menerapkan sistem gender

untuk tindakan yang harus membuka bagian privasi klien, yaitu klien
perempuan dilayani oleh perawat perempuan, begitupun sebaliknya untuk klien

laki-laki dilayani oleh perawat laki-laki. Sehingga penulis tidak mengetahui

proses berlangsungnya pemeriksaan EKG pada klien.

Dokter memberikan advice kepada perawat untuk memberikan oksigen

4lpm menggunakan nasal kanul pada klien. Secara teori, pemberian oksigen

pada klien harus sesuai dengan perhitungan kebutuhan oksigen klien, yaitu

𝑘𝑒𝑏𝑢𝑡𝑢ℎ𝑎𝑛 𝑂𝑘𝑠𝑖𝑔𝑒𝑛 = 𝑅𝑅 × 𝑉𝑇

Keterangan :

RR : Respirasi Rate

VT : Volume Tidal (BB klien x 6)

Berdasarkan rumus kebutuhan oksigen diatas, kebutuhan oksigen klien

adalah 10 liter/menit dengan menggunakan non rebrithing mask. Pada saat

evaluasi, masalah nyeri teratasi sebagian tetapi masalah penurunan curah

jantung belum teratasi. Sedangkan untuk pemberian terapinya dokter

memberikan advice kepada perawat untuk memberikan NS 0,9% 20tpm,

Vomizole 1 × 40 mg, Aspilet 1 × 80 mg, CPG 1 × 75 mg, ISDN 3 × 5 mg,

Simvastsatim 20 mg.

Penatalaksanaan ST elevasi menurut ACC/AHA 2013 :

a. Pemberian Oksigen Suplementasi oksigen harus diberikan pada pasien

dengan saturasi oksigen arteri < 90%. Pada semua pasien STEMI tanpa

komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama.

b. Nitrogliserin. Pasien dengan nyeri iskemik di dada harus diberikan

nitrogliserin sublingual 0,4 mg setiap 5 menit dengan dosis maksimal 3

dosis. Setelah melakukan penialaian seharusnya dievaluasi akan kebutuhan


nitrogliserin intravena. Intravena nitrogliserin ini diindikasikan untuk bila

nyeri iskemik masih berlangsung, untuk mengontrol hipertensi, dan edema

paru. Nitrogliserin tidak diberikan pada pasien dengan tekanan darah sistolik

< 90 mmHg, bradikardi, (kurang dari 50 kali per menit), takikardi (lebih dari

100 kali per menit, atau dicurigai adannya RV infark.. nitrogliserin juga

harus dihindari pada pasien yang mendapat inhibitor fosfodiesterase dalam

24 jam terakhir.

c. Analgesik Morfin sulfat (2-4 mg intravena dan dapat diulang dengan

kenaikan dosis 2 – 8 mg IV dengan interval waktu 5 sampai 15 menit)

merupakan pilihan utama untuk manajemen nyeri yang disebabkan STEMI.

Efek samping yang perlu diwaspadai pada pemberian morfin adalah

konstriksi vena dan arteriolar melalui penurunan simpatis sehingga terjadi

pooling vena yang akan mengurangi curah jantung dan tekanan arteri. Efek

hemodinamik ini dapat diatasi dengan elevasi tungkai dan pada kondisi

tertentu diperlukan penambahan cairan IV dan NaCl 0,9%. Morfin juga

dapat menyebabkan efek vagotonik yang menyebabkan bradikardia atau

blok jantung derajat tinggi, terutama pasien dengan infark posterior. Efek

samping ini biasanya dapat diatasi dengan pemberian atropine 0,5 mg.

d. Aspirin. Aspirin kunyah harus diberikan pada pasien yang belum pernah

mendapatkan aspirin pada kasus STEMI. Dosis awal yang diberikan 162 mg

sampai 325 mg. Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis 75-162 mg.

e. Beta Bloker Terapi beta bloker oral dianjurkan pada pasien yang tidak

memiliki kontraindikasi terutama bila ditemukan adanya hipertensi dan

takiaritmia. Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian


penyekat beta IV, selain nitrat mungkin efektif. Regimen yang biasa

digunakan addalah metoprolol 5 mg setiap 2-5 menit sampai total3 dosis,

dengan syarat frekuensi jantung > 60 menit, tekanan darah sistolik > 100

mmHg, interval PR < 0,24 detik dan ronki tidak lebih dari 10 cm dari

diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan

metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam selama 48 jam dan

dilanjutkan 100mg tiap 12 jam.

f. Clopidogrel Pemberian clopidogrel 600 mg sedini mungkin. Dan dilanjutkan

dengan dosis rumatan sebesar 75 mg per hari.

g. Reperfusi Semua pasien STEMI seharusnya menjalani evaluasi untuk terapi

reperfusi. Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner,

meminimalkan derajat disfungsi dan dilatasi ventrikel dan mengurangi

kemungkinan pasien STEMI berkembang menjadi pump failure atau

takiaritmia ventricular yang maligna. Sasaran terapi reperfusi pada pasien

STEMI adalah door to needle atau medical contact to balloon time untuk

Percutaneous Coronary Intervention (PCI) dapat dicapai dalam 90 menit

(Patrick, 2013). Reperfusi, dengan trombolisis atau PCI primer,

diindikasikan dalam waktu kurang dari 12 jam sejak onset nyeri dada untuk

semua pasien Infark Miokard yang juga memenuhi salah satu kriteria

berikut:

 ST elevasi > 0,1mV pada >2 ujung sensor ECG di dada yang

berturutan,

 ST elevasi >0,2mV pada >2 ujung sensor di tungkai berturutan,

 Left bundle branch block baru.


Terdapat beberapa metode reperfusi dengan keuntungan dan kerugian

masingmasing. PCI primer merupakan terapi pilihan jika pasien dapat segera

dibawa ke pusat kesehatan yang menyediakan prosedur PCI (Zafari, 2013).

Pasien dengan STEMI harus menemui pelayanan kesehatan dalam 1,5 – 2 jam

setelah terjadinya gejala untuk mendapatkan medikamentosa sedini mungkin.

Pasien dengan STEMI harus dilakukan terapi reperfusi dalam 12 jam awal.

Terapi fibrinolitik diindikasikan sebagai terapi reperfusi awal yang dilakukan

pada 30 menit awal dari kedatangan di Rumah Sakit (Patrick, 2013).

Penatalaksanaan pada kasus ini kurang sedikit tepat karena:

a. Oksigen (O2), suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan

saturasi Oksigen < 90%. Namum pada semua pasien STEMI baik dengan

komplikasi ataupun tidak dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama.

b. Cairan NaCl 0,9%, bisa mengurangi curah jantung dan tekanan arteri

pada efek hemodinamik yang dapat menimbulkan dilatasi elevasi tungkai

saat pemberian morfin sulfat.

c. Vomizole, diindikasikan untuk tukak duodenum dan lambung, kasus

sedang, inflamasi berat dan digunakan dalam perawatan, kontrol,

pencegahan dan perbaikan penyakit kondisi dan gejala seperti usus ulkus

kecil, bisul perut, cedera mukosa esophagus, gastrin tumor yang

mensekresi. Mungkin karena pasien mengeluh muntah 1 kali lalu pasien

diberikan obat ini.

d. Aspilet, apabila embolus yang beredar di sirkulasi sistemik mencapai otak,

dikhawatirkan dapat terjadinya iskemik pada otak yang selanjutnya dapat

meyebabkan stoke. Hal ini semakin memperberat keadaan pasien,


sehingga dengan pemberian aspilet difungsikan untuk menurunkan

agregasi trombosit sehingga pembentukan trombis berkurang dan efek

antikoagulasi.

e. CPG (Clopidogrel), dapat mengurangi progresivitas terjadinya

aterosklerosis dan infark pada pembuluh darah koroner.

f. ISDN (isosorbid dinitrat), dalam keadaan tidak tersedia NTG, isosorbid

dinitrat (ISDN) dapat dipakai sebagai pengganti. Nitrogliserin (NTG)

spray/tablet sublingual bagi pasien dengan nyeri dada yang masih

berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat. Jika nyeri dada tidak hilang

dengan satu kali pemberian, dapat diulang setiap lima menit sampai

maksimal tiga kali. Nitrogliserin intravena diberikan pada pasien yang

tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual,

g. Simvastsatim, merupakan golongan oabt yang digunakan untuk membantu

menurunkan kolesterol dan lemak jahat (seperti LDL, trigliserida) dan

meningkatkan kolesterol baik (HDL) dalam darah. Mungkin jika pasien

berkolestrol tinggi baik diberikan oat ini karena kolesterol jahat yang

mempel pada dindibg pembuluh darah akan berubah menjadi plak dan

menyebabkan pembuluh darah menjadi sempit. Alhasil bisa menyebabkan

resiko terjadi arteosklerosis (penyumbatan pembuluh darah) menjadi tinggi

dan mungkin bisa terjadi store atau serangan jantung.


BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

ST elevation myocardial infarction (STEMI) merupakan salah satu

spektrum sindroma koroner akut (SKA) yang paling berat dimana terjadi

penurunan aliran darah koroner secara mendadak akibat oklusi trombus pada

plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Karakteristik gejala iskemia

miokard yang berhubungan dengan elevasi gelombang ST persisten yang

dilihat berdasarkan EKG dapat menentukan terjadinya STEMI. STEMI

merupakan kondisi kegawatdaruratan yang apabila tidak ditangani dengan tepat

akan terjadi kematian mendadak pada pasien.

Diagnosa yang muncul pada kasus Tn. S yaitu terdapat dua diagnosa

keperawatan yaitu : nyeri b.d b.d penyumbatan pada arteri koroner jantung, dan

penurunan curah jantung b.d perubahan volume sekuncup. Pada saat dilakukan

evaluasi, masalah nyeri teratasi sebagian tetapi masalah penurunan curah

jantung belum teratasi.

B. Saran

Pemberian oksigen kepada klien khususnya pada STEMI untuk

memberikan oksigen sesuai dengan kebutuhannya dan disesuaikan alat bantu

oksigennya. Untuk pemberianterapi obatnya sudah diberikan tepat tetapi ada

yang kurang tepat.


DAFTAR PUSTAKA

Ackley BJ, Ladwig GB. 2011. Nursing Diagnosis Handbook an Evidence-Based


Guide to Planning Care. United Stated of America : Elsevier.
Ainiyah, 2015. Peran Perawat Dalam Identifikasi Dini Dan
Penatalaksanaan Pada Acute Coronary Syndrom. Jurnal Ilmiah Kesehatan,
Vol. 8, No. 2, Agustus 2015, hal 184-192
Amin dan Hardhi “Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Medis dan
NANDA NIC-NOC”Jilid-1 : 2013
Darliana, 2013. Manajemen Paien ST Elevasi Miokardial Infark (STEMI). Idea
Nursing Jounal. Vol 1. No 1
Firdaus I. 2012. Strategi Farmako-invasif pada STEMI Akut. J Kardiol Indones;
33: 266-71.
Firdaus, 2011. Pharmacoinvasive Strategy in Acute STEMI. Jurnal Kardiologi
Indonesia. Vol. 32, No 4
Myrtha R. 2011. Perubahan Gambaran EKG pada Sindrom Koroner Akut (SKA).
CDK 188; 38 (7): 541-542.
Nurarif AH, Hardhi K. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosis Medis dan Nanda Nic Noc. Jilid 1. Yogyakarta: Mediaction.
Perki. 2015. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Edisi ketiga. Jakarta.
Centra Communications
Pratya, 2017. Penguatan Rantai Survival Pasien STEMI. Jurnal Medica Majapahit
Vol 9. No 1
Safitri, 2013. St Elevasi Miokard Infark (STEMI) Anteroseptal Pada Pasien
Dengan Faktor Resiko Kebiasaan Merokok Menahun Dan
Tingginya Kadar Kolestrol Dalam Darah. Medula, Vol. 1, No 4
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing.

Anda mungkin juga menyukai