Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

Dermatitis atopik (DA) merupakan penyakit kulit yang paling sering ditemui pada

praktek umum, dan paling sering terjadi pada masa bayi dan anak-anak. Penyakit kulit ini

diturunkan secara genetik, ditandai oleh inflamasi, pruritus, dan lesi eksematosa dengan

episode eksaserbasi dan remisi. Penyakit ini sangat mempengaruhi kualitas hidup pasien

maupun keluarga dan orangorang terdekat pasien.1

Sekitar 10-20% anak dan 1-3% dewasa di dunia menderita penyakit ini dan

insidensnya cenderung meningkat di berbagai belahan dunia. Onset Dermatitis Atopik sering

pada masa anak-anak mulai dari lahir sampai usia 5 tahun. Meskipun Dermatitis Atopik

penyakit kronis, 60- 70% penderitanya sembuh sebelum usia dewasa.1

Pada penderita Dermatitis Atopik 30% akan berkembang menjadi asma, dan 35%

berkembang menjadi Rhinithis Alergi. Data mengenai penderita Dermatitis Atopik pada

anak di Indonesia belum diketahui secara pasti. Berdasarkan data di Unit Rawat Jalan

Penyakit Kulit Anak RSU Dr. Soetomo didapatkan jumlah pasien dermatitis atopik

mengalami peningkatan setiap tahunnya. Jumlah pasien dermatitis atopik baru yang

berkunjung pada tahun 2006 ada 8,14%, tahun 2007 ada 11,05%, dan tahun 2008 ada

17,65%.5

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Atopi berasal dari Bahasa Yunani, atopos, yang berarti strange diseases atau out of

place, dalam Bahasa Indonesia berarti di luar kebiasaan atau penyakit yang tidak biasa

dan pertama kali diperkenalkan oleh Coca dan Cooke pada tahun 1923.8

Atopi didefinisikan sebagai kecenderungan seseorang atau keluarga untuk membentuk

antibodi IgE sebagai respon terhadap alergen. Atopic march atau perjalanan alamiah

penyakit alergi adalah istilah untuk menerangkan perkembangan dari kelainan atopik, dari

dermatitis atopik pada bayi, alergi makanan pada bayi dan anak, rhinitis alergika pada

anak usia sekolah dan asthma pada anak yang lebih besar dan remaja sampai dewasa.

Atopi dihubungkan dengan perkembangan penyakit alergi yaitu dermatitis atopik, alergi

makanan, rhinoconjunctivitis dan asthma.8

Dermatitis atopik (DA) merupakan penyakit kulit yang paling sering ditemui pada

praktek umum, dan paling sering terjadi pada masa bayi dan anak-anak. Penyakit kulit ini

diturunkan secara genetik, ditandai oleh inflamasi, pruritus, dan lesi eksematosa dengan

episode eksaserbasi dan remisi. Penyakit ini sangat mempengaruhi kualitas hidup pasien

maupun keluarga dan orang-orang terdekat pasien.1

2.2 Epidemiologi

Dermatitis Atopik terjadi pada segala usia, sekitar 15-30% pada anak-anak dan 1-2%

pada dewasa. Dermatitis Atopik dimulai pada bayi (45% kasus dimulai di usia 6 bulan)

dan 70% kasus sebelum usia 5 tahun. Prevalensi kasus Dermatitis Atopik pada anak

meningkat di berbagai negara terutama negara barat. Satu penelitian menyatakan

2
prevalensi Dermatitis Atopik pada anak usia 6-7 tahun dalam waktu satu tahun di Iran dan

Cina sekitar 2%, tetapi di Australia, Inggris, dan Skandinavia sekitar 20%.4

Data mengenai penderita Dermatitis Atopik pada anak di Indonesia belum diketahui

secara pasti. Berdasarkan data di Unit Rawat Jalan Penyakit Kulit Anak RSU Dr.

Soetomo didapatkan jumlah pasien dermatitis atopik mengalami peningkatan setiap

tahunnya. Jumlah pasien dermatitis atopik baru yang berkunjung pada tahun 2006 ada

8,14%, tahun 2007 ada 11,05%, dan tahun 2008 ada 17,65%.5

2.3 Etiologi dan Patogenesis

Etiologi Dermatitis Atopik masih belum diketahui secara pasti, dan dari beberapa

jurnal patogenesisnya melibatkan banyak faktor. Salah satu teori yang banyak dipakai

untuk menjelaskan patogenesis Dermatitis Atopik adalah teori imunologik dimana pada

pengamatan 75% penderita Dermatitis Atopik mempunyai riwayat penyakit atopi lain

pada keluarga atau pada dirinya. Selain itu, beberapa parameter imunologi dapat

dikemukakan pada Dermatitis Atopik, seperti peningkatan kadar IgE dalam serum pada

60-80% kasus, adanya IgE spesifik terhadap bermacam aeroalergen dan eosinofilia darah

serta ditemukannya molekul IgE pada permukaan sel Langerhans epidermal sehingga

membuat pasien dengan Dermatitis Atopik lebih rentan terkena infeksi bakteri dan virus.2

Peranan reaksi alergi pada etiologi Dermatitis Atopik masih kontroversi dan menjadi

bahan perdebatan di antara para ahli. Istilah alergi dipakai untuk merujuk pada setiap

bentuk reaksi hipersensitivitas yang melibatkan IgE sebagai antibodi yang terjadi akibat

paparan alergen. Beberapa peneliti menyebutkan alergen yang umum antara lain, sebagai

berikut.3

1. Aeroalergen atau alergen inhalant : tungau debu rumah (house dust mite), serbuk

sari buah (polen), bulu binatang (animal dander), jamur (molds) dan kecoa

3
2. Makanan : susu, telur, kacang, ikan laut, kerang laut dan gandum

3. Mikroorganisme : bakteri seperti staphylococcus aureus, streptococcus species,

dan ragi (yeast) seperti pityrosporum ovale, candida albicans dan trichophyton

species.

4. Bahan iritan atau alergen : wool, desinfektans, nikel, Peru balsam dan sebagainya.

Imunopatogenesis Dermatitis Atopik dimulai dengan paparan imunogen atau

alergen dari luar yang mencapai kulit, dapat melalui sirkulasi setelah inhalasi atau

secara langsung melalui kontak dengan kulit. Pada pemaparan pertama terjadi

sensitisasi, dimana alergen akan “ditangkap” oleh sel penyaji antigen (antigen

presenting cell = APC) untuk kemudian diproses dan disajikan kepada sel limfosit T

dengan bantuan molekul MHC klas II. Hal ini menyebabkan sel T menjadi aktif dan

mengenali alergen tersebut melalui reseptor (T cell receptor = TCR). Setelah paparan,

sel T akan berdeferensiasi menjadi subpopulasi sel Th2 karena mensekresi IL-4 dan

sitokin ini merangsang aktivitas sel B untuk menjadi sel plasma dan memproduksi IgE

(yang spesifik terhadap alergen). Begitu ada di dalam sirkulasi IgE segera berikatan

dengan sel mast (=MC) dan basofil. Pada paparan alergen berikutnya, IgE telah

tersedia pada permukaan sel mast, sehingga terjadi ikatan antara alergen dengan IgE.

Ikatan Ini akan menyebabkan degranulasi MC. Degranulasi MC akan mengeluarkan

mediator baik yang telah tersedia (preformed mediators) seperti histamin yang akan

menyebabkan reaksi segera, ataupun mediator yang baru dibentuk (newly synthesiized

mediators) seperti leukotrien C4 (LTC4), prostaglandin D2 (PGD2) dan lain

sebagainya.

Sel Langerhans epidermal (LC) berperan penting pula di dalam patogenesis

Dermatitis Atopik oleh karena mengekpresikan reseptor pada permukaan

membrannya yang dapat mengikat molekul IgE serta menseksresi berbagai sitokin.

4
Apabila ada alergen masuk akan diikat dan disajikan pada sel T dengan bantuan

molekul MHC klas II dan sel T akan mensekresi limfokin dengan profil Th2 yaitu IL-

4. IL-5, IL-6 dan IL-10. IL-5 secara fungsional bekerja mirip ECF-A sehingga sel

eosinofil ditarik dan berkumpul di tempat lesi, menjadi aktif dan akan mengeluarkan

granula protein yang akan membuat kerusakan jaringan. Terjadinya lesi Dermatitis

Atopik pada keadaan ini didasari oleh mekanisme reaksi fase lambat atau late phase

reaction (=LPR). Respon imun pada Dermatitis Atopik terjadi mirip respon tipe

lambat atau reaksi tipe IV karena melibatkan sel limfosit T dan oleh karena

diperantarai oleh IgE maka dikenal sebagai “IgE-mediated delayed type

hypersensitivity”.

Faktor-faktor yang dapat memicu eksaserbasi gejala Dermatitis Atopik adalah

suhu panas, keringat, kelembapan, bahan-bahan iritan misalnya sabun dan deterjen,

infeksi misalnya Staphylococci, virus, Pityrosporum, Candida, dan dermatofita,

makanan, bahan-bahan yang terhirup (inhalan), alergen kontak, stres emosional.

Meskipun masih kontroversi, alergi makanan terdapat pada sepertiga anak-anak

Dermatitis Atopik. Secara umum, makin mudamakin muda usia pasien Dermatitis

Atopik dan makin berat penyakitnya, makin besar kemungkinan peran alergi makanan

pada eksaserbasi penyakit ini.1

Iritan
 Pelarut lipid, misalnyasabun dan deterjen
 Desinfektan
 Iritan pada pekerjaan
 Cairan rumah tangga, misalnya getah buah
 Wool
Alergan kontak dan aeroallergen
 Kutu debu rumah/dust mites (efek alergen kontak lebih besar daripada efek
aeroalergennya)
 Rambut binatang (kucing dan anjing)
 Serbuk sari (pollen), bersifat musiman
 Jamur

5
 Serpihan dari manusia, misalnya serpihan ketombe
 Terapi topikal
 Nikel
Mikroba
 Infeksi virus (saluran napas bagian atas dan infeksi
 kulit)
 S. aureus, baik sebagai superantigen maupun patogen
 Pityrosporum ovale
 Candida species (jarang)
 Dermatofi ta (jarang
Lain-lain
 Makanan (sebagai iritan kontak > vasodilator > alergen)
 Stres psikologis
 Iklim
 Hormon, misalnya siklus haid
 Vaksinasi
Tabel 1. Pencetus gatal pada pasien Dermatitis Atopik1

Tidak semua pasien Dermatitis Atopik akan tercetus oleh setiap stimulus di atas.

Sebagian pasien Dermatitis Atopik akan mengalami eksaserbasi oleh beberapa pencetus

tetapi tidak oleh pencetus yang lain.

2.4 Klasifikasi dan manifestasi klinis

Gejala klinis Dermatitis Atopik secara umum adalah gatal, kulit kering dan timbulnya

eksim (eksematous inflammation) yang berjalan kronik dan residiv. Rasa gatal yang hebat

menyebabkan garukan siang dan malam sehingga memberikan tanda bekas garukan

(scratch mark) yang akan diikuti oleh kelainan-kelainan sekunder berupa papula, erosi

atau ekskoriasi dan selanjutnya akan terjadi likenifikasi bila proses menjadi kronis.7

Papula dapat terasa sangat gatal (prurigo papules) bersamaan dengan timbulnya

vesikel (papulovesikel) dan eritema, merupakan gambaran lesi eksematous. Prurigo

papules, lesi eksematous dan likenifikasi dapat menjadi erosif bila terkena garukan dan

terjadi eksudasi yang berakhir dengan lesi berkrustae. Lesi kulit yang sangat basah

(weeping) dan berkrusta sering didapatkan pada kelainan yang lanjut.7

6
Awitan timbulnya Dermatitis Atopik berdasar usia dapat terjadi pada masa bayi, anak

dan dewasa. Manifestasi klinis dermatitis atopik terdiri dari 3 bentuk:

a. Tipe bayi (< 2 tahun)

Predileksi tipe ini pada kulit kepala, muka, daerah popok dan daerah ekstensor

ekstremitas. Lesi berupa eritema, papulo vesikel miliar yang sangat gatal, karena

garukan terjadi erosi, ekskoriasi dan eksudasi atau krusta, sehingga tidak jarang dapat

menyebabkan infeksi. Gatal merupakan gejala yang mencolok sehingga bayi gelisah

dan rewel dengan tidur yang terganggu. Antara usia 2-3 tahun, sebagian kasus

mengalami remisi, ketika fase istirahat dermatitis atopic dapat terjadi fase anak.

Gambar 2 Dermatitis pada bayi

b. Tipe anak (3 – 11 tahun)

Predileksi tipe ini dapat ditemukan pada lipatan siku, lipatan lutut, leher, pergelangan

tangan, pergelangan kaki, dan jarang mengenai muka. Dapat berupa kelanjutan

bentuk infantil atau timbul sendiri (de novo). Lesi kering (xerosis), likenifikasi, batas

tidak tegas, karena garukan terlihat pula ekskroriasi memanjang dan krusta.

7
Gambar 3 Dermatitis pada anak

c. Tipe dewasa ( 12 – 24 tahun )

Predileksi tipe ini dapat ditemukan pada muka (dahi, kelopak mata, perioral), leher,

dada bagian atas, lipatan siku dan biasanya simetris. Gejala utama yang biasa

ditemukan adalah pruritus, kelainan kulit berupa likenifikasi, papul, ekskoriasi dan

krusta. Penyakit ini umumnya memiliki durasi yang lama, namun intensitasnya

cenderung menurun setelah usia 30 tahun. Sebagian kecil lain dari penyakit ini dapat

pula terus berlangsung sampai usia tua, dengan letak gejala biasanya ditemukan pada

dada bagian atas, lipatan siku dengan bentuk simetris.6

Gambar 4 Dermatitis tipe dewasa

8
2.5 Diagnosis

Diagnosis Dermatitis Atopik ditegakkan hanya berdasarkan anamnesis dan gambaran

klinis. Kriteria diagnostik yang paling sering digunakan yaitu kriteria mayor dan minor

oleh Hanifin dan Rajka’s ditegakkan bila dijumpai lebih dari 3 kriteria mayor dan lebih

dari 3 kriteria minor.

Kriteria mayor Kriteria Minor

1. Pruritus/gatal 1. Xerosis (kulit kering)


2. Dermatitis kronis atau kambuhan 2. Infeksi kulit ( khususnya oleh
3. Lesi pada wajah dan ekstensor pada S.aureus dan virus herpes simpleks)
bayi dan anak-anak 3. Dermatitis nonspesifik pada
4. Lesi pada fleksor dan likenifikasi tangan atau kaki
pada anak yang lebih besar dan 4. Iktiosis (khususnya hiperlinear
dewasa palmaris atau pilaris keratosis)
5. Ptiriasis alba
5. Riwayat atopik pada diri pasien atau
6. Dermatitis di papilla mamae
keluarga 7. White dermographism and delayed
blanch response
8. Keilitis
9. Lipatan infra orbital Dennie Morgan
10. Konjungtivitis yang berulang
11. Keratokonus
12. Katarak subscapular anterior
13. Orbita menjadi gelap
14. Alergi makanan
15. Muka pucat atau aeritem
16. Gatal bila berkeringat
17. Intolerans terhadap wol atau pelarut
lemak
18. Aksentuasi perifolikuler
19. Hipersensitif terhadap mkanan
20. Perjalanan penyakit dipengaruhi
oleh faktor lingkungan atau emosi
21. Tes kulit alergi tipe dadakan positif
22. Kadar IgE di dalam serum
meningkat
23. Awitan pada usia dini

Kriteria mayor dan minor yang diusulkan oleh Hanifin dan Rajka didasarkan

pengalaman klinis yang cocok untuk diagnosis berbasis rumah sakit (hospital based)

dan eksperimental,tetapi tidak dapat dipakai pada penelitian berbasis populasi karena

9
kriteria minor umumnya ditemukan pada kelompok kontrol, disamping itu belum

divalidasi terhadap diagnosis dokter atau diuji untuk pengulangan (repeatability).

Dalam perkembangan selanjutnya seiring dengan kemajuan di bidang imunologi

maka untuk diagnosis dermatitis atopik mulai dimasukkan uji alergi sebagai kriteria

diagnosis. Pemeriksaan atau uji alergik tersebut adalah uji tusuk (skin pricktest)terhadap

bahan alergen inhalan dan pemeriksaan IgE total didalam serum penderita.

2.6 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang untuk diagnosis adalah uji alergi pada kulit (skin test) dan

pemeriksaan laboratorium. Skin test yang sering dilakukan adalah uji tusuk (skin prick

test), untuk melihat respons humoral yang merupakan reaksi tipe I sedangkan uji tempel

(patch test) untuk melihat respons tipe IV atau respons seluler pada penderita Dermatitis

Atopik. Uji tusuk dilakukan dengan menggunakan alergen inhalan maupun alergen

makanan guna menentukan kemungkinan jenis alergen lingkungan sebagai penyebab.

Pemeriksaan laboratorium yang penting adalah penentuan kadar IgE total di dalam serum

penderita Dermatitis Atopik dan IgE spesifik dengan metode RAST (radioallergosorbent

test) untuk mengetahui antibodi IgE yang spesifik terhadap alergen tertentu dalam serum.7

2.7 Diagnosis Banding

Terdapat sejumlah penyakit kulit inflamasi, imunodefisiensi, penyakit genetik,

penyakit infeksi, dan infestasi yang mempunyai gejala dan tanda yang sama dengan

dermatitis atopik. Dermatitis atopik didiagnosis banding dengan dermatitis seboroik,

dermatitis kontak, dermatitis numularis, skabies, iktiosis, psoriasis, dematitis

herpetiformis, sindrom Sezary danpenyakit Letterer-Siwe. Pada bayi, dapat pula

didiagnosis banding dengan sindrom Wiskott-Aldrich dan sindrom hiper IgE.

10
2.8 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan dermatitis atopik harus mengacu pada kelainan dasar , selain

mengobati gejala utama gatal untuk meringankan penderitaan penderita.Penatalaksanaan

ditekankan pada kontrol jangka waktu lama (long term control), bukan hanya untuk

mengatasi kekambuhan.

Pengobatan Dermatitis Atopik pada prinsipnya adalah sebagai berikut:

a. Menghindari bahan iritan

Penderita dermatitis atopik rentan terhadap bahan iritan yang memicu dan

memperberat kondisi seperti sabun, deterjen, bahan kimiawi, rokok, pakaian

kasar, suhu yang ekstrem dan lembab.Pemakaian sabun hendaknya yang berdaya

larut minimal terhadap lemak dan dengan PH netral. Hindari sabun atau

pembersih kulityang mengandung antiseptik atau antibakteri yang digunakanrutin

karena mempermudah resistensi, kecuali bila ada infeksisekunder.Pakaian baru

hendaknya dicuci terlebih dahulu sebelum dipakai dengan deterjen untuk

menghindari formaldehid atau bahan kimia. Usahakan tidak memakai pakaian

yang bersifat iritan seperti wol atau sintetik yang menyebabkan gatal, lebih baik

menggunakan katun.Pemakaian tabir surya juga perlu untuk mencegah paparan

sinar matahari yang berlebihan.

b. Mengeliminasi alergen yang telah terbukti

Alergen yang telah terbukti sebagai pemicu kekambuhan harus dihindari, seperti

makanan (susu, kacang, telur, ikan laut, kerang laut dan gandum), debu rumah,

bulu binatang, serbuk sari, tanaman dan sebagainya.

c. Pengobatan Topikal

1) Menghilangkan pengeringan kulit (hidrasi)

11
Kulit penderita dermatitis atopik menunjukkan adanya transepidermal

water loss yang meningkat. Oleh karena itu hidrasi penting dalam keberhasilan

terapi, biasanya menggunakan pelembab. Pemaikan pelembab dapat

memperbaiki fungsi barier stratum korneum dan mengurangi kebutuhan

steroid topikal. Sebuah studi menunjukkan bahwa pelembab mungkin

mengurangi 50% kebutuhan pemakaian kortikosteroid topical.

Pelembab dapat dibedakan menjadi tiga yaitu pelembab humektan,

oklusif , dan emolien. Pelembab humektan merupakan bahan aktif dalam

komestik yang ditujukan untuk meningkatkan kandungan air pada epidermis.

Bahan-bahan yang termasuk ke dalam humektan terutama bahan-bahan yang

bersifat higroskopis yang dapat digunakan secara khusus untuk tujuan

melembabkan kulit, contoh humektan adalah gliserin. Pelembab oklusif

adalah bahan aktif kosmetik yang menghambat terjadinya penguapan air dari

permukaan kulit. Dengan menghambat terjadinya penguapan air pada

permukaan kulit, bahan-bahan oklusif dapat meningkatkan kandungan air

dalam kulit. Contoh oklusif adalah petrolatum. Pelembab yang digunakan bisa

berbentuk cairan, krim atau salep. Misalnya krim hidrofilik urea 10%, dapat

pula ditambahkan hidrokortison 1% didalamnya. Bila memakai pelembab

yang mengandung asam laktat, konsentrasinya jangan lebih dari 5% karena

dapat mengiritasi bila dermatitisnya masih aktif.

2) Kortikosteroid topikal

Kortikosteroid topikal adalah yang paling banyak digunakan sebagai

anti inflamasi. Selain itu dapat berguna pada saat ekserbasi akut, anti pruritus

dan sebagai anti mitotik.

12
Pada prinsipnya penggunaan steroid topikal dipilih potensi yang paling

lemah yang masih efektif, karena semakin kuat potensi semakin banyak efek

sampingnya. Potensi dari kortikosteroid topikal diklasifikasikan berdasarkan

potensi vasokontriksi pembuluh darah.

Group 1 Group 2 Grup 3 Grup 4


Potensi Rendah Potensi Sedang Potensi Tinggi Poten sangat tinggi
Alcometasone Betametason Beklometason Clobetasol propionate
dipropionate 0,05% valerat 0,025% dipropionat 0,05%
0,025%
(Modrason) (Dermovat)
(Propaderm)

Fluocinolone Klobetason Betametason Diflukortolon valerat


acetonide 0,0025% butirat dipropionat 0,3%
0,05%
(Synalar 1:10) 0,05% (Nerison forte)
(Eumovat) (Diproson)
Hidrokortison 0,5- Desosimetason Desosimetason Halcinonide

2,5% (Cobadex, 0,05% (Stiedex 0,25% (Stiedex) 0,1%

Dioderm, LP) (Halsiderm)


Efcortelan,

E45 HC, Hidro)


Fluosinolon Diflukortolon
asetonid valerat 0,1%
0,00625% (Nerison)

(Synalar 1:4)

Tabel 2 klasifikasi kortikosteroid

Pada bayi digunakan kortikosteroid topikal potensi rendah, misalnya

hidrokortison 1-2,5%. Pada anak dan dewasa dipakai steroid potensi

menengah, misalnya triamsinolon, kecuali pada muka diberikan steroid yang

berpotensi lebih rendah. Pada daerah genitalia dan intertriginosa juga

digunakan kortikosteroid topikal yang berpotensi rendah jangan digunakan

yang berpotensi tinggi seperti Fluorinated glukokortikoid. Bila aktivasi

13
penyakit telah dikontrol dipakai secara intermiten, umumnya 2 kali seminggu,

untuk menjaga agar tidak cepat kambuh sebaiknya dengan kortikosteroid yang

potensinya paling rendah.

3) Preparat tar

Walaupun tidak sekuat kortikosteroid topikal Preparat tar batu bara

mempunyai efek anti-gatal dan anti-inflamasi. Preparat tar sebaiknya dipakai

pada lesi kronik tidak digunakan pada lesi akut karena dapat menyebabkan

iritasi. Efek sampingnya antara lain folikulitis, fotosensitivitas, dan potensi

karsinogenik. Preparat tar yang sering digunakan adalah Likuor Karbonis

Detergen 5%-10% atau crude coal tar 1%5%.

4) Inhibitor kalsineurin topikal

Inhibitor kalsineurin topikal merupakan non-steroidal agen yang

bekerja melalui jalur immunologik baik menghambat atau meningkatkan

reaksi imun dan inflamasi. Inhibitor kalsineurin topikal terdiri atas takrolimus

dan pimekrolimus. Takrolimus (FK-506) adalah suatu penghambat kalsineurin

yang bekerja untuk menghambat aktivasi sel yang terlibat seperti sel

langerhans, sel T, sel mas dan keratinosit. Takrolimus dapat diberikan dalam

bentuk salep 0.03% untuk anak-anak 2-15 tahun dan untuk dewasa 0.03% dan

0.1%. Sedangkan pimekrolimus (ASM 81) merupakan suatu senyawa

askomisin yaitu imunomodulator golongan makrolaktam, yang pertama

ditemukan dari hasil fermentasi Streptomyces hygroscopicusvar. Krim

pimekrolimus dapat diberikan 1% untuk anak-anak > 2 tahun dengan

dermatitis atopik ringan sedang.

Takrolimus dan pimekrolimus topikal telah terbukti efektif. Sebuah

penelitian dengan takrolimus 0,1%, dikatakan mempunyai potensi yang sama

14
dengan kortikosteroid topikal. Penelitian lain menunjukkan terapi takrolimus

topikal memberi hasil lebih dari 70% pasien mengalami perbaikan sedang

sampai baik dalam 3 minggu pemberian dan 30-40% pasien mengalami

tingkat perbaikan lebih dari 90%.

Kelebihan inhibitor kalsineurin topikal dibandingkan dengan

kortikosteroid adalah tidak menyebabkan penipisan kulit, namun pada

penggunaan awal akan menimbulkan sensasi terbakar di kuli. Takrolimus dan

pimekrolimus tidak dianjurkan pada anak usia kurang dari 2 tahun

d. Pengobatan sistemik

1) Pemberian antihistamin

Antihistamin digunakan sebagai antipruritus yang cukup memuaskan,

membantu untuk mengurangi rasa gatal yang hebat terutama pada malam hari.

Karena dapat mengganggu tidur, antihistamin yang dipakai ialah yang

mempunyai efek sedatif, misalnya hidroksisin, difenhidramin dan sinequan.

Cetrizine dan fexofenadine telah diuji keberhasilannya untuk mengatasi rasa

gatal pada penderita dermatitis atopik anak-anak dan dewasa. Pada kasus yang

lebih sulit dapat diberikan doksepin hidroklorid yang mempunyai antidepresan

dan memblokade reseptor histamine H1 dan H2, dengan dosis 10-75mg secara

oral malam hari pada dewasa.

2) Pemberian antibiotik

Pada penderita dermatitis atopik lebih dari 90% ditemukan

peningkatan koloni Staphylococcus aureus. Untuk yang belum resisten dapat

diberikan eritromisin, asitromisin atau klaritomisin, sedang untuk yang sudah

resisten diberikan dikloksasilin, oksasilin, atau generasi pertama sefalosporin.

15
Apabila dicurigai terinfeksi oleh virus herpes simpleks, kortikosteroid

dihentikan sementara dan diberikan oral asiklovir.

Meskipun kombinasi kortikosteroid topikal dan antibiotik digunakan

dalam terapi dermatitis atopik, tetapi tidak ada bukti yang baik bahwa

kombinasi keduanya memiliki manfaat yang lebih dibandingkan pemakaian

kortikosteroid topikal saja.

3) Kortikosteroid Sistemik

Pada umumnya kortikosteroid sistemik hanya digunakan untuk

mengontrol eksaserbasi akut. Penggunaannya hanya dalam jangka pendek,

dosis rendah, berselang-seling, diturunkan bertahap dan kemudian diganti

kortikosteroid topical.

4) Siklosporin

Dermatitis atopik yang sulit digunakan dengan pengobatan

konvesional dapat diberikan siklosporin jangka pendek. Siklosporin oral

sebagai terapi sistemik dermatitis atopik tersedia dalam bentuk kapsul gelatin

25 atau 100 mg, durasi terapi singkat, namun penggunaan lebih dari setahun

tidak dianjurkan. Relaps dan rekurensi sering terjadi setelah penghentian terapi

siklosporin.

e. Mengurangi stress

Stress emosi pada penderita dermatitis atopik merupakan pemicu

kekambuhan, bukan sebagai penyebab. Usaha-usaha mengurangi stress adalah

dengan melakukan konseling pada penderita dermatitis atopik, terutama yang

mempunyai kebiasan menggaruk. Pada suatu penelitian small randomized trials

,Pendekatan psiko-terapi perlu dilaksanakan untuk mengurangi stress kejiwaan

16
penderita. Relaksasi,modifikasi mood dan biofeedback mungkin berguna pada

penderita dengan kebiasaan menggaruk.

f. Edukasi pada penderita maupun keluarganya

Edukasi merupakan dasar dari suksesnya penatalaksanaan dermatitis atopik,

yaitu perawatan kulit yang benar dan menghindari penyebab. Memberikan edukasi

tentang penyakitnya, faktor-faktor pemicu kekambuhan, kebiasaan hidup dan

sebagainya perlu diberikan pada penderita untuk memperoleh hasil yang optimal.

Pada suatu penelitian dikatakan bahwa program edukasi orangtua tentang

tatacara pengobatan topikal oleh penyedia pelayanan kesehatan akan sangat

berguna untuk penderita dermatitis atopic.

g. Terapi sinar

Pengobatan dengan sinar ultraviolet seperti UVA, UVB, narrowband UVB,

UVA-1, kombinasi UVAdan UVB, atau bersama psoralen (fotokemoterapi) dapat

digunakan sebagai terapi tambahan karena dapat menyebabkan remisi panjang,

namun berisiko menimbulkan penuaan kulit dini dan keganasan kulit pada

pengobatan jangka lama. Sinar UVB narrowband lebih aman dibanding PUVA,

yang dihubungkan dengan karsinoma sel skuamosa dan melanomamaligna.

Fototerapi dipertimbangkan pada dermatitis atopik yang berat danluas yang tidak

responsif terhadap pengobatan topikal. Fotokemoterapi tidak dianjurkan untuk

anak usia kurang dari 12 tahun karena dapat mengganggu perkembangan mata.

Pada randomized clinical trials menunjukkan bahwa sinar UV (UVB,

narrowband UVB, dan high intensity UVA) lebih menguntungkan untuk

dermatitis atopik pada penggunaan jangka pendek. Rasa terbakar , gatal, dan efek

karsinogen sering terjadi pada penggunaan jangka panjang. Fototerapi biasanya

digunakan sebagai terapi lini kedua atau ketiga.

17
h. Balut basah (wet wrap dressing)

Balut basah (wet wrap dressing) dapat diberikan sebagai terapi tambahan

untuk mengurangi gatal, terutama untuk lesi yang berat dan kronik atau yang

refrakter terhadap pengobatan biasa. Bahan pembalut (kasa balut) dapat

diberilarutan kortikosteroid atau mengoleskan krim kortikosteroid pada lesi

kemudian dibalut basah dengan air hangat dan ditutup dengan lapisan atau baju

kering di atasnya. Cara ini sebaiknya dilakukan secara intermiten dan dalam

waktu tidak lebih dari 2-3 minggu. Balut basah dapat pula dilakukan dengan

mengoleskan emolien saja di bawahnya sehingga memberi rasa mendinginkan dan

mengurangi gatal serta berfungsi sebagai pelindung efektif terhadap garukan

sehingga mempercepat penyembuhan.

Penggunaan balut basah yang berlebihandapat menyebabkan maserasi

sehingga memudahkan infeksi sekunder. Balut basah juga memiliki potensial

dapat menambah kekeringan kulit dan menyebabkan fisura bila tidak disertai

pelembab emolien.

Balut basah banyak dijadikan terapi lini kedua atau ketiga untuk anak-anak

yang resisten terhadap dermatitis atopik walaupun belum ada data yang

mendukung.

Terapi Indikasi Dosis Rutin Strength of Level of


Recommendation Evidance
*
Emolien Xerosis Beberapa kali A Baik
,pruritus sehari,
khususnya
setelah mandi
Kortikosteroid Iritasi, pruritus 1-2 kali sehari A Baik
topikal
Inhibitor Refrakter 2 kali sehari A Baik
kalsineurin terhadap
topikal steroid
topikal, tipis

18
sensitif

Antihistamin Sedasi, 2 kali sehari A Cukup


pruritus
Infeksi yang Tergantung pada A Baik
luas patogen dan
Antibiotik oral antibiotik yang
telah sesuai

Siklosporin Refrakter 3-4 mg/kgbb B Baik


perhari
pemberian
jangka pendek
Fototerapi Refrakter Rata-rata 3 kali B Cukup
per minggu
Tabel 3 modalitas treatment berdasarkan U.S Preventatitive Service Task Force

*ket : A (sangat direkomendasikan untuk pasien dalam praktik sehari-hari)


B (tidak direkomendasikan untuk pasien pada pemakaian rutin)

2.9 Komplikasi

Barier kulit yang rusak, respon imun yang abnormal, penurunan produksi

peptida antimikroba endogen, semua presdiposisi mempengaruhi penderita dermatitis

atopik terkena infeksi sekunder. Infeksi kutan ini dapat menimbulkan lebih resiko yang

serius pada bayi dan pada waktu mendatang akan berpotensi untuk infeksi sistemik.

Penderita dermatitis atopik juga sangat rentan dengan infeksi virus, yang paling

berbahaya adalah herpes simplex dengan penyebaran luas dapat mengakibatkan ekzema

hepetikum yang dapat terjadi pada semua usia.

Komplikasi pada mata juga dihubungkan dengan dermatitis kelopak mata dan

blepharitis kronis yang umumnya terkait dengan dermatitis atopik dan dapat

mengakibatkan gangguan penglihatan dari jaringan parut kornea. Keratokonjungvitis

atopik biasanya bilateral dan dapat memiliki symptom seperti rasa gatal dan terbakar pada

mata, mata berair dan mengeluarkan diskret yang mukoid.

19
2.10 Prognosis

Prognosis lebih buruk bila kedua orang tuanya menderita dermatitis atopik. Ada

kecenderungan perbaikan masa spontan pada masa anak dan sering ada yang kambuh

pada masa dewasa. Sebagian kasus menetap pada usia diatas 30 tahun.

Faktor yang berhubungan dengan prognosis kurang baik pada dermatitis atopik adalah :

1. Dermatitis atopik luas pada anak

2. Menderita rhinitis alergik dan asma bronkial

3. Riwayat dermatitis atopik pada orang tua atau saudara kandung

4. Awitan dermatitis atopik pada usia muda

5. Anak tunggal

6. Kadar IgE serum sangat tinggi

20
BAB III

RINGKASAN

Atopi didefinisikan sebagai kecenderungan seseorang atau keluarga untuk membentuk

antibodi IgE sebagai respon terhadap allergen. Atopi dihubungkan dengan perkembangan

penyakit alergi yaitu dermatitis atopik, alergi makanan, rhinoconjunctivitis dan asthma.

Dermatitis atopik (DA) merupakan penyakit kulit yang paling sering ditemui pada

praktek umum, dan paling sering terjadi pada masa bayi dan anak-anak. Penyakit kulit ini

diturunkan secara genetik, ditandai oleh inflamasi, pruritus, dan lesi eksematosa dengan

episode eksaserbasi dan remisi. Penyakit ini sangat mempengaruhi kualitas hidup pasien

maupun keluarga dan orang-orang terdekat pasien.

Etiologi Dermatitis Atopik masih belum diketahui secara pasti. Salah satu teori yang

banyak dipakai untuk menjelaskan patogenesis Dermatitis Atopik adalah teori imunologik

dimana pada pengamatan 75% penderita Dermatitis Atopik mempunyai riwayat penyakit

atopi lain pada keluarga atau pada dirinya. Selain itu, adanya peningkatan kadar IgE

dalam serum dan eosinofilia darah serta ditemukannya molekul IgE pada permukaan sel

Langerhans epidermal sehingga membuat pasien dengan Dermatitis Atopik lebih rentan

terkena infeksi bakteri dan virus.

Gejala klinis Dermatitis Atopik secara umum adalah gatal, kulit kering dan timbulnya

eksim (eksematous inflammation) yang berjalan kronik dan residiv. Awitan timbulnya

Dermatitis Atopik berdasar usia dapat terjadi pada masa bayi, anak dan dewasa. Disertai

Kriteria diagnostik yang paling sering digunakan yaitu kriteria mayor dan minor oleh

21
Hanifin dan Rajka’s ditegakkan bila dijumpai lebih dari 3 kriteria mayor dan lebih dari 3

kriteria minor.

Penatalaksanaan Dermatitis Atopik terdiri dari penanganan umum dan khusus.

Penanganan umum terdiri dari edukasi pada pasien dan keluarga pasien seperti hindari

kontak iritan, mandi dengan sabun bayi cair, jangan kompres dengan air hangat/panas,

rajin menggunting kuku untuk menghindari aktivitas garukan dan mengurangi stress.

Sedangkan penanganan khusus yaitu menggunakan medikamentosa seperti pengobatan

topical dan sistemik. Pengobatan topical dapat menggunakan krim urea 10% dank rim

asam laktat 5% untuk menghilangkan pengeringan kulit. Kortikosteroid topical dengan

potensi yang paling rendah misalkan hidrokortison 1- 2,5 %. Untuk pegobatan sistemik

dapat menggunakan antihistamin, antibiotic, dan kortikosteroid.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Theresia Movita. Tatalaksana Dermatitis Atopik. Dokter Spesialis Kulit Dan Kelamin,

Jakarta, Indonesia. Cdk-222/ Vol. 41 No. 11, Th. 2014.

2. (Kariosentono, 2006)

3. Jones Sm And Sampson Ha. The Role Of Allergen In Atopic Dermatitis. In Leung

Dym (Ed). Atopic Dermatitis: From Pathogenesis To Treatment, Texas, Rg Landes

Co. And Chapman & Hall, 1996: 41- 65.

4. Kristina Sihaloho, Diah Mira Indramaya. Penelitian Retrospektif : Dermatitis Atopik

Pada Anak. Departemen/Staf Medik Fungsional Ilmu Kesehatan Kulit Dan Kelamin.

Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/Rumah Sakit Umum Daerah Dr.Soetomo

Surabaya. Bikkk - Berkala Ilmu Kesehatan Kulit Dan Kelamin - Periodical Of

Dermatology And Venereology Vol. 27 / No. 3 / Desember 2015

5. Noviyanti Eliska1, M. Athuf Thaha2, Chairil Anwar3. Faktor Risiko Pada Dermatitis

Atopik. Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.

Jurnal Kedokteran Dan Kesehatan, Volume 2, No. 1, Januari 2015: 143-149 .

6. (Harahap, 2000).

7. Harijono Kariosentono. Dermatitis Atopik (Eksema). Lembaga Pengembangan

Pendidikan (Lpp) Dan Upt Penerbitan Dan Pencetakan Uns (Uns Press) Universitas

Sebelas Maret Surakarta. Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (Kdt).

8. Hartert, T., Ker,J. 2009. Review: The Atopic March: What’s The Evidence. Annuals

of Allergy, Asthma and Immunology, 103,2829.

9.

23

Anda mungkin juga menyukai