PENDAHULUAN
Dermatitis atopik (DA) merupakan penyakit kulit yang paling sering ditemui pada
praktek umum, dan paling sering terjadi pada masa bayi dan anak-anak. Penyakit kulit ini
diturunkan secara genetik, ditandai oleh inflamasi, pruritus, dan lesi eksematosa dengan
episode eksaserbasi dan remisi. Penyakit ini sangat mempengaruhi kualitas hidup pasien
Sekitar 10-20% anak dan 1-3% dewasa di dunia menderita penyakit ini dan
insidensnya cenderung meningkat di berbagai belahan dunia. Onset Dermatitis Atopik sering
pada masa anak-anak mulai dari lahir sampai usia 5 tahun. Meskipun Dermatitis Atopik
Pada penderita Dermatitis Atopik 30% akan berkembang menjadi asma, dan 35%
berkembang menjadi Rhinithis Alergi. Data mengenai penderita Dermatitis Atopik pada
anak di Indonesia belum diketahui secara pasti. Berdasarkan data di Unit Rawat Jalan
Penyakit Kulit Anak RSU Dr. Soetomo didapatkan jumlah pasien dermatitis atopik
mengalami peningkatan setiap tahunnya. Jumlah pasien dermatitis atopik baru yang
berkunjung pada tahun 2006 ada 8,14%, tahun 2007 ada 11,05%, dan tahun 2008 ada
17,65%.5
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Atopi berasal dari Bahasa Yunani, atopos, yang berarti strange diseases atau out of
place, dalam Bahasa Indonesia berarti di luar kebiasaan atau penyakit yang tidak biasa
dan pertama kali diperkenalkan oleh Coca dan Cooke pada tahun 1923.8
antibodi IgE sebagai respon terhadap alergen. Atopic march atau perjalanan alamiah
penyakit alergi adalah istilah untuk menerangkan perkembangan dari kelainan atopik, dari
dermatitis atopik pada bayi, alergi makanan pada bayi dan anak, rhinitis alergika pada
anak usia sekolah dan asthma pada anak yang lebih besar dan remaja sampai dewasa.
Atopi dihubungkan dengan perkembangan penyakit alergi yaitu dermatitis atopik, alergi
Dermatitis atopik (DA) merupakan penyakit kulit yang paling sering ditemui pada
praktek umum, dan paling sering terjadi pada masa bayi dan anak-anak. Penyakit kulit ini
diturunkan secara genetik, ditandai oleh inflamasi, pruritus, dan lesi eksematosa dengan
episode eksaserbasi dan remisi. Penyakit ini sangat mempengaruhi kualitas hidup pasien
2.2 Epidemiologi
Dermatitis Atopik terjadi pada segala usia, sekitar 15-30% pada anak-anak dan 1-2%
pada dewasa. Dermatitis Atopik dimulai pada bayi (45% kasus dimulai di usia 6 bulan)
dan 70% kasus sebelum usia 5 tahun. Prevalensi kasus Dermatitis Atopik pada anak
2
prevalensi Dermatitis Atopik pada anak usia 6-7 tahun dalam waktu satu tahun di Iran dan
Cina sekitar 2%, tetapi di Australia, Inggris, dan Skandinavia sekitar 20%.4
Data mengenai penderita Dermatitis Atopik pada anak di Indonesia belum diketahui
secara pasti. Berdasarkan data di Unit Rawat Jalan Penyakit Kulit Anak RSU Dr.
tahunnya. Jumlah pasien dermatitis atopik baru yang berkunjung pada tahun 2006 ada
8,14%, tahun 2007 ada 11,05%, dan tahun 2008 ada 17,65%.5
Etiologi Dermatitis Atopik masih belum diketahui secara pasti, dan dari beberapa
jurnal patogenesisnya melibatkan banyak faktor. Salah satu teori yang banyak dipakai
untuk menjelaskan patogenesis Dermatitis Atopik adalah teori imunologik dimana pada
pengamatan 75% penderita Dermatitis Atopik mempunyai riwayat penyakit atopi lain
pada keluarga atau pada dirinya. Selain itu, beberapa parameter imunologi dapat
dikemukakan pada Dermatitis Atopik, seperti peningkatan kadar IgE dalam serum pada
60-80% kasus, adanya IgE spesifik terhadap bermacam aeroalergen dan eosinofilia darah
serta ditemukannya molekul IgE pada permukaan sel Langerhans epidermal sehingga
membuat pasien dengan Dermatitis Atopik lebih rentan terkena infeksi bakteri dan virus.2
Peranan reaksi alergi pada etiologi Dermatitis Atopik masih kontroversi dan menjadi
bahan perdebatan di antara para ahli. Istilah alergi dipakai untuk merujuk pada setiap
bentuk reaksi hipersensitivitas yang melibatkan IgE sebagai antibodi yang terjadi akibat
paparan alergen. Beberapa peneliti menyebutkan alergen yang umum antara lain, sebagai
berikut.3
1. Aeroalergen atau alergen inhalant : tungau debu rumah (house dust mite), serbuk
sari buah (polen), bulu binatang (animal dander), jamur (molds) dan kecoa
3
2. Makanan : susu, telur, kacang, ikan laut, kerang laut dan gandum
dan ragi (yeast) seperti pityrosporum ovale, candida albicans dan trichophyton
species.
4. Bahan iritan atau alergen : wool, desinfektans, nikel, Peru balsam dan sebagainya.
alergen dari luar yang mencapai kulit, dapat melalui sirkulasi setelah inhalasi atau
secara langsung melalui kontak dengan kulit. Pada pemaparan pertama terjadi
sensitisasi, dimana alergen akan “ditangkap” oleh sel penyaji antigen (antigen
presenting cell = APC) untuk kemudian diproses dan disajikan kepada sel limfosit T
dengan bantuan molekul MHC klas II. Hal ini menyebabkan sel T menjadi aktif dan
mengenali alergen tersebut melalui reseptor (T cell receptor = TCR). Setelah paparan,
sel T akan berdeferensiasi menjadi subpopulasi sel Th2 karena mensekresi IL-4 dan
sitokin ini merangsang aktivitas sel B untuk menjadi sel plasma dan memproduksi IgE
(yang spesifik terhadap alergen). Begitu ada di dalam sirkulasi IgE segera berikatan
dengan sel mast (=MC) dan basofil. Pada paparan alergen berikutnya, IgE telah
tersedia pada permukaan sel mast, sehingga terjadi ikatan antara alergen dengan IgE.
mediator baik yang telah tersedia (preformed mediators) seperti histamin yang akan
menyebabkan reaksi segera, ataupun mediator yang baru dibentuk (newly synthesiized
sebagainya.
membrannya yang dapat mengikat molekul IgE serta menseksresi berbagai sitokin.
4
Apabila ada alergen masuk akan diikat dan disajikan pada sel T dengan bantuan
molekul MHC klas II dan sel T akan mensekresi limfokin dengan profil Th2 yaitu IL-
4. IL-5, IL-6 dan IL-10. IL-5 secara fungsional bekerja mirip ECF-A sehingga sel
eosinofil ditarik dan berkumpul di tempat lesi, menjadi aktif dan akan mengeluarkan
granula protein yang akan membuat kerusakan jaringan. Terjadinya lesi Dermatitis
Atopik pada keadaan ini didasari oleh mekanisme reaksi fase lambat atau late phase
reaction (=LPR). Respon imun pada Dermatitis Atopik terjadi mirip respon tipe
lambat atau reaksi tipe IV karena melibatkan sel limfosit T dan oleh karena
hypersensitivity”.
suhu panas, keringat, kelembapan, bahan-bahan iritan misalnya sabun dan deterjen,
Dermatitis Atopik. Secara umum, makin mudamakin muda usia pasien Dermatitis
Atopik dan makin berat penyakitnya, makin besar kemungkinan peran alergi makanan
Iritan
Pelarut lipid, misalnyasabun dan deterjen
Desinfektan
Iritan pada pekerjaan
Cairan rumah tangga, misalnya getah buah
Wool
Alergan kontak dan aeroallergen
Kutu debu rumah/dust mites (efek alergen kontak lebih besar daripada efek
aeroalergennya)
Rambut binatang (kucing dan anjing)
Serbuk sari (pollen), bersifat musiman
Jamur
5
Serpihan dari manusia, misalnya serpihan ketombe
Terapi topikal
Nikel
Mikroba
Infeksi virus (saluran napas bagian atas dan infeksi
kulit)
S. aureus, baik sebagai superantigen maupun patogen
Pityrosporum ovale
Candida species (jarang)
Dermatofi ta (jarang
Lain-lain
Makanan (sebagai iritan kontak > vasodilator > alergen)
Stres psikologis
Iklim
Hormon, misalnya siklus haid
Vaksinasi
Tabel 1. Pencetus gatal pada pasien Dermatitis Atopik1
Tidak semua pasien Dermatitis Atopik akan tercetus oleh setiap stimulus di atas.
Sebagian pasien Dermatitis Atopik akan mengalami eksaserbasi oleh beberapa pencetus
Gejala klinis Dermatitis Atopik secara umum adalah gatal, kulit kering dan timbulnya
eksim (eksematous inflammation) yang berjalan kronik dan residiv. Rasa gatal yang hebat
menyebabkan garukan siang dan malam sehingga memberikan tanda bekas garukan
(scratch mark) yang akan diikuti oleh kelainan-kelainan sekunder berupa papula, erosi
atau ekskoriasi dan selanjutnya akan terjadi likenifikasi bila proses menjadi kronis.7
Papula dapat terasa sangat gatal (prurigo papules) bersamaan dengan timbulnya
papules, lesi eksematous dan likenifikasi dapat menjadi erosif bila terkena garukan dan
terjadi eksudasi yang berakhir dengan lesi berkrustae. Lesi kulit yang sangat basah
6
Awitan timbulnya Dermatitis Atopik berdasar usia dapat terjadi pada masa bayi, anak
Predileksi tipe ini pada kulit kepala, muka, daerah popok dan daerah ekstensor
ekstremitas. Lesi berupa eritema, papulo vesikel miliar yang sangat gatal, karena
garukan terjadi erosi, ekskoriasi dan eksudasi atau krusta, sehingga tidak jarang dapat
menyebabkan infeksi. Gatal merupakan gejala yang mencolok sehingga bayi gelisah
dan rewel dengan tidur yang terganggu. Antara usia 2-3 tahun, sebagian kasus
mengalami remisi, ketika fase istirahat dermatitis atopic dapat terjadi fase anak.
Predileksi tipe ini dapat ditemukan pada lipatan siku, lipatan lutut, leher, pergelangan
tangan, pergelangan kaki, dan jarang mengenai muka. Dapat berupa kelanjutan
bentuk infantil atau timbul sendiri (de novo). Lesi kering (xerosis), likenifikasi, batas
tidak tegas, karena garukan terlihat pula ekskroriasi memanjang dan krusta.
7
Gambar 3 Dermatitis pada anak
Predileksi tipe ini dapat ditemukan pada muka (dahi, kelopak mata, perioral), leher,
dada bagian atas, lipatan siku dan biasanya simetris. Gejala utama yang biasa
ditemukan adalah pruritus, kelainan kulit berupa likenifikasi, papul, ekskoriasi dan
krusta. Penyakit ini umumnya memiliki durasi yang lama, namun intensitasnya
cenderung menurun setelah usia 30 tahun. Sebagian kecil lain dari penyakit ini dapat
pula terus berlangsung sampai usia tua, dengan letak gejala biasanya ditemukan pada
8
2.5 Diagnosis
klinis. Kriteria diagnostik yang paling sering digunakan yaitu kriteria mayor dan minor
oleh Hanifin dan Rajka’s ditegakkan bila dijumpai lebih dari 3 kriteria mayor dan lebih
Kriteria mayor dan minor yang diusulkan oleh Hanifin dan Rajka didasarkan
pengalaman klinis yang cocok untuk diagnosis berbasis rumah sakit (hospital based)
dan eksperimental,tetapi tidak dapat dipakai pada penelitian berbasis populasi karena
9
kriteria minor umumnya ditemukan pada kelompok kontrol, disamping itu belum
maka untuk diagnosis dermatitis atopik mulai dimasukkan uji alergi sebagai kriteria
diagnosis. Pemeriksaan atau uji alergik tersebut adalah uji tusuk (skin pricktest)terhadap
bahan alergen inhalan dan pemeriksaan IgE total didalam serum penderita.
Pemeriksaan penunjang untuk diagnosis adalah uji alergi pada kulit (skin test) dan
pemeriksaan laboratorium. Skin test yang sering dilakukan adalah uji tusuk (skin prick
test), untuk melihat respons humoral yang merupakan reaksi tipe I sedangkan uji tempel
(patch test) untuk melihat respons tipe IV atau respons seluler pada penderita Dermatitis
Atopik. Uji tusuk dilakukan dengan menggunakan alergen inhalan maupun alergen
Pemeriksaan laboratorium yang penting adalah penentuan kadar IgE total di dalam serum
penderita Dermatitis Atopik dan IgE spesifik dengan metode RAST (radioallergosorbent
test) untuk mengetahui antibodi IgE yang spesifik terhadap alergen tertentu dalam serum.7
penyakit infeksi, dan infestasi yang mempunyai gejala dan tanda yang sama dengan
10
2.8 Penatalaksanaan
ditekankan pada kontrol jangka waktu lama (long term control), bukan hanya untuk
mengatasi kekambuhan.
Penderita dermatitis atopik rentan terhadap bahan iritan yang memicu dan
kasar, suhu yang ekstrem dan lembab.Pemakaian sabun hendaknya yang berdaya
larut minimal terhadap lemak dan dengan PH netral. Hindari sabun atau
yang bersifat iritan seperti wol atau sintetik yang menyebabkan gatal, lebih baik
Alergen yang telah terbukti sebagai pemicu kekambuhan harus dihindari, seperti
makanan (susu, kacang, telur, ikan laut, kerang laut dan gandum), debu rumah,
c. Pengobatan Topikal
11
Kulit penderita dermatitis atopik menunjukkan adanya transepidermal
water loss yang meningkat. Oleh karena itu hidrasi penting dalam keberhasilan
adalah bahan aktif kosmetik yang menghambat terjadinya penguapan air dari
dalam kulit. Contoh oklusif adalah petrolatum. Pelembab yang digunakan bisa
berbentuk cairan, krim atau salep. Misalnya krim hidrofilik urea 10%, dapat
2) Kortikosteroid topikal
anti inflamasi. Selain itu dapat berguna pada saat ekserbasi akut, anti pruritus
12
Pada prinsipnya penggunaan steroid topikal dipilih potensi yang paling
lemah yang masih efektif, karena semakin kuat potensi semakin banyak efek
(Synalar 1:4)
13
penyakit telah dikontrol dipakai secara intermiten, umumnya 2 kali seminggu,
untuk menjaga agar tidak cepat kambuh sebaiknya dengan kortikosteroid yang
3) Preparat tar
pada lesi kronik tidak digunakan pada lesi akut karena dapat menyebabkan
reaksi imun dan inflamasi. Inhibitor kalsineurin topikal terdiri atas takrolimus
yang bekerja untuk menghambat aktivasi sel yang terlibat seperti sel
langerhans, sel T, sel mas dan keratinosit. Takrolimus dapat diberikan dalam
bentuk salep 0.03% untuk anak-anak 2-15 tahun dan untuk dewasa 0.03% dan
14
dengan kortikosteroid topikal. Penelitian lain menunjukkan terapi takrolimus
topikal memberi hasil lebih dari 70% pasien mengalami perbaikan sedang
d. Pengobatan sistemik
1) Pemberian antihistamin
membantu untuk mengurangi rasa gatal yang hebat terutama pada malam hari.
gatal pada penderita dermatitis atopik anak-anak dan dewasa. Pada kasus yang
dan memblokade reseptor histamine H1 dan H2, dengan dosis 10-75mg secara
2) Pemberian antibiotik
15
Apabila dicurigai terinfeksi oleh virus herpes simpleks, kortikosteroid
dalam terapi dermatitis atopik, tetapi tidak ada bukti yang baik bahwa
3) Kortikosteroid Sistemik
kortikosteroid topical.
4) Siklosporin
sebagai terapi sistemik dermatitis atopik tersedia dalam bentuk kapsul gelatin
25 atau 100 mg, durasi terapi singkat, namun penggunaan lebih dari setahun
tidak dianjurkan. Relaps dan rekurensi sering terjadi setelah penghentian terapi
siklosporin.
e. Mengurangi stress
16
penderita. Relaksasi,modifikasi mood dan biofeedback mungkin berguna pada
yaitu perawatan kulit yang benar dan menghindari penyebab. Memberikan edukasi
sebagainya perlu diberikan pada penderita untuk memperoleh hasil yang optimal.
g. Terapi sinar
namun berisiko menimbulkan penuaan kulit dini dan keganasan kulit pada
pengobatan jangka lama. Sinar UVB narrowband lebih aman dibanding PUVA,
Fototerapi dipertimbangkan pada dermatitis atopik yang berat danluas yang tidak
anak usia kurang dari 12 tahun karena dapat mengganggu perkembangan mata.
dermatitis atopik pada penggunaan jangka pendek. Rasa terbakar , gatal, dan efek
17
h. Balut basah (wet wrap dressing)
Balut basah (wet wrap dressing) dapat diberikan sebagai terapi tambahan
untuk mengurangi gatal, terutama untuk lesi yang berat dan kronik atau yang
kemudian dibalut basah dengan air hangat dan ditutup dengan lapisan atau baju
kering di atasnya. Cara ini sebaiknya dilakukan secara intermiten dan dalam
waktu tidak lebih dari 2-3 minggu. Balut basah dapat pula dilakukan dengan
dapat menambah kekeringan kulit dan menyebabkan fisura bila tidak disertai
pelembab emolien.
Balut basah banyak dijadikan terapi lini kedua atau ketiga untuk anak-anak
yang resisten terhadap dermatitis atopik walaupun belum ada data yang
mendukung.
18
sensitif
2.9 Komplikasi
Barier kulit yang rusak, respon imun yang abnormal, penurunan produksi
atopik terkena infeksi sekunder. Infeksi kutan ini dapat menimbulkan lebih resiko yang
serius pada bayi dan pada waktu mendatang akan berpotensi untuk infeksi sistemik.
Penderita dermatitis atopik juga sangat rentan dengan infeksi virus, yang paling
berbahaya adalah herpes simplex dengan penyebaran luas dapat mengakibatkan ekzema
Komplikasi pada mata juga dihubungkan dengan dermatitis kelopak mata dan
blepharitis kronis yang umumnya terkait dengan dermatitis atopik dan dapat
atopik biasanya bilateral dan dapat memiliki symptom seperti rasa gatal dan terbakar pada
19
2.10 Prognosis
Prognosis lebih buruk bila kedua orang tuanya menderita dermatitis atopik. Ada
kecenderungan perbaikan masa spontan pada masa anak dan sering ada yang kambuh
pada masa dewasa. Sebagian kasus menetap pada usia diatas 30 tahun.
Faktor yang berhubungan dengan prognosis kurang baik pada dermatitis atopik adalah :
5. Anak tunggal
20
BAB III
RINGKASAN
antibodi IgE sebagai respon terhadap allergen. Atopi dihubungkan dengan perkembangan
penyakit alergi yaitu dermatitis atopik, alergi makanan, rhinoconjunctivitis dan asthma.
Dermatitis atopik (DA) merupakan penyakit kulit yang paling sering ditemui pada
praktek umum, dan paling sering terjadi pada masa bayi dan anak-anak. Penyakit kulit ini
diturunkan secara genetik, ditandai oleh inflamasi, pruritus, dan lesi eksematosa dengan
episode eksaserbasi dan remisi. Penyakit ini sangat mempengaruhi kualitas hidup pasien
Etiologi Dermatitis Atopik masih belum diketahui secara pasti. Salah satu teori yang
banyak dipakai untuk menjelaskan patogenesis Dermatitis Atopik adalah teori imunologik
dimana pada pengamatan 75% penderita Dermatitis Atopik mempunyai riwayat penyakit
atopi lain pada keluarga atau pada dirinya. Selain itu, adanya peningkatan kadar IgE
dalam serum dan eosinofilia darah serta ditemukannya molekul IgE pada permukaan sel
Langerhans epidermal sehingga membuat pasien dengan Dermatitis Atopik lebih rentan
Gejala klinis Dermatitis Atopik secara umum adalah gatal, kulit kering dan timbulnya
eksim (eksematous inflammation) yang berjalan kronik dan residiv. Awitan timbulnya
Dermatitis Atopik berdasar usia dapat terjadi pada masa bayi, anak dan dewasa. Disertai
Kriteria diagnostik yang paling sering digunakan yaitu kriteria mayor dan minor oleh
21
Hanifin dan Rajka’s ditegakkan bila dijumpai lebih dari 3 kriteria mayor dan lebih dari 3
kriteria minor.
Penanganan umum terdiri dari edukasi pada pasien dan keluarga pasien seperti hindari
kontak iritan, mandi dengan sabun bayi cair, jangan kompres dengan air hangat/panas,
rajin menggunting kuku untuk menghindari aktivitas garukan dan mengurangi stress.
topical dan sistemik. Pengobatan topical dapat menggunakan krim urea 10% dank rim
potensi yang paling rendah misalkan hidrokortison 1- 2,5 %. Untuk pegobatan sistemik
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Theresia Movita. Tatalaksana Dermatitis Atopik. Dokter Spesialis Kulit Dan Kelamin,
2. (Kariosentono, 2006)
3. Jones Sm And Sampson Ha. The Role Of Allergen In Atopic Dermatitis. In Leung
Pada Anak. Departemen/Staf Medik Fungsional Ilmu Kesehatan Kulit Dan Kelamin.
5. Noviyanti Eliska1, M. Athuf Thaha2, Chairil Anwar3. Faktor Risiko Pada Dermatitis
6. (Harahap, 2000).
Pendidikan (Lpp) Dan Upt Penerbitan Dan Pencetakan Uns (Uns Press) Universitas
8. Hartert, T., Ker,J. 2009. Review: The Atopic March: What’s The Evidence. Annuals
9.
23