Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH SEMINAR

HUBUNGAN PENGETAHUAN GIZI, KECUKUPAN GIZI,


DAN STATUS GIZI DENGAN KEBUGARAN ATLET
SEPAK BOLA DI PPOP DKI JAKARTA

Pemrasaran : Widi Siti Rodhiah


NIM : I14140060
Pembimbing : Prof Dr Ir Dadang Sukandar, M Sc
Dr Ir Hadi Riyadi, MS
Pemandu :
Pembahas :
1. Resya Maulani /I14140019
2. Asri Ismiyani Nurlita/I14140039
3. Aknes Cornelia/I14140048
4. Azadirachta SS/I14140115
Hari, Tanggal : Rabu, 18 Juli 2018
Waktu : 09.00-10.00
Tempat : Ruang Seminar (R300) Lantai III
Departemen Gizi Masyarakat
Fakultas Ekologi Manusia
Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT


FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
HUBUNGAN PENGETAHUAN GIZI, KECUKUPAN GIZI,
DAN STATUS GIZI DENGAN KEBUGARAN ATLET
SEPAK BOLA DI PPOP DKI JAKARTA
(The Correlation Between nutritional knowledge, Nutritional Adequacy, and
Nutritional Status with Fitness Level of Football Athletes in PPOP DKI Jakarta)

Rodhiah WS1, Sukandar D2, Riyadi H2


1Mahasiswa Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor, Bogor 16680
2Dosen Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor, Bogor 16680

ABSTRAK

Prestasi tim sepak bola Indonesia semakin menurun saat ini. Kurangnya
prestasi yang dicapai oleh suatu kesebelasan sepakbola dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor, salah satunya kondisi fisik. Penelitian ini bertujuan menganalisis
faktor-faktor yang berhubungan dengan kebugaran atlet. Studi cross sectional
dilakukan pada atlet sepak bola di PPOP DKI Jakarta. Data primer dikumpulkan
dari 22 atlet. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar atlet memiliki
pengetahuan gizi sedang (54.5%), status gizi atlet normal (90.9%), tingkat
kecukupan energi defisit berat (81.8%), persen kontibusi protein defisit berat
(100%), persen kontribusi lemak defisit berat (31.8%), persen kontribusi
karbohidrat defisit berat (86.4%), tingkat kecukupan kalsium defisit (100%),
tingkat kecukupan zat besi normal (68.2%), tingkat kecukupn vitamin A normal
(100%), tingkat kecukupan vitamin C defisit (100%), dan tingkat kebugaran cukup
(63.64%). Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan terdapat hubungan positif
antara persen kontribusi lemak dengan tingkat kebugaran (p<0.05), dan hubungan
negatif antara status gizi dengan tingkat kebugaran (p<0.05).

Kata kunci: pengetahuan gizi, status gizi, tingkat kebugaran, tingkat kecukupan
gizi
ABSTRACT

WIDI SITI RODHIAH. The Correlation Between nutritional knowledge,


Nutritional Adequacy, and Nutritional Status with Fitness Level of Football
Athletes in PPOP DKI Jakarta. Supervised by DADANG SUKANDAR and HADI
RIYADI.

Indonesian football team is declining nowadayas. It can be influenced by


several factors, one of which is physical condition. This research aims to analyze
the factors related to fitness level of athletes. Cross sectional study was conducted
on football athletes in PPOP DKI Jakarta. Primary data were collected from 22
athletes. The result of the research showed that majority of athletes had moderate
knowledge of nutrition (54.5%), normal nutritional status (90.9%), severe energi
adequacy (81.8%), severe protein adequacy (100%), severe fat adequacy (31.8%),
severe carbohydrate adequacy (86.4%, deficit calcium adequacy (100%), adequate
iron adequacy (68.2%). adequate vitamin A adequacy (100%). Deficit vitamin C
adequacy (100%), and sufficient fitness level (63.6%). The Spearman test result
showed a positive correlation between percent contribution of fat with fitness level
(p<0.05), and a negative correlation between nutritional status with fitness level
(p<0.05).

Keywords: fitness level, nutritional adequacy, nutritional knowledge, nutritional status.


PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sepakbola merupakan olahraga yang dimainkan oleh dua regu yang masing-
masing terdiri dari 11 pemain, dan satu tim biasa disebut dengan kesebelasan. (Nosa
dan Faruk 2013). Berbagai pertandingan diselenggarakan baik dari skala daerah
hingga skala nasional untuk mencapai prestasi olahraga yang semakin membaik
(Faruq 2008). Indonesia pernah memiliki prestasi sepak bola yang baik (Handoko
2008). Namun prestasi tim sepak bola Indonesia semakin menurun saat ini.
Kurangnya prestasi yang dicapai oleh suatu kesebelasan sepakbola dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya permasalahan internal atau
manajemen tim, penguasaan teknik yang dimiliki para pemain, penerapan taktik
strategi yang kurang tepat, dan kondisi fisik (Nosa dan Faruk 2013).
Minat menjadi pemain sepak bola nasional juga dimiliki oleh anak-anak
Indonesia. Tempat sudah tersedia bagi siapa saja anak negeri yang ingin dan sudah
berprestasi di sepak bola, yaitu di klub-klub dan di sekolah khusus. Sekolah khusus
untuk usia anak-anak bertujuan untuk menyiapkan calon-calon atlet yang
mempunyai kemampuan handal di cabang olahraga sepak bola (Handoko 2008).
Anak yang masuk ke sekolah tersebut tergolong dalam usia remaja. Remaja
merupakan peralihan dari masa kanak-kanak ke dewasa (Efendi dan Makhfudli
2009). Masa remaja juga akan mengalami fase pubertas ditandai oleh beberapa
perubahan diantaranya perubahan fisik. Perubahan fisik pada remaja saat pubertas
yaitu, pertambahan tinggi badan yang cepat, perkembangan seks sekunder,
perkembangan organ-organ reproduksi, perubahan komposisi tubuh, dan stamina
tubuh (Batubara 2010). Sehingga penting pada saat usia remaja untuk memulai
membentuk kekuatan dan stamina yang baik. Kekuatan dan stamina tubuh pada
remaja dapat diukur dengan menggunakan indikator kebugaran.
Kebugaran dapat dikategorikan baik apabila seseorang memiliki
kemampuan tubuh dalam melakukan pekerjaan sehari-hari tanpa adanya kelelahan
yang berlebihan, dan masih memiliki cadangan tenaga yang dapat digunakan untuk
menikmati waktu luang dengan baik (Pujiastuti dan Utomo 2003). Kebugaran
dipengaruhi aktivitas fisik, status gizi, dan status kesehatan (Rafsanjani dan
Nurhayati 2014). Status gizi adalah keadaan tubuh akibat konsumsi makanan dan
penggunaan zat-zat gizi (Almatsier 2009). Status gizi dipengaruhi oleh asupan
energi dan zat gizi. Asupan energi dan zat gizi yang cukup sangat dibutuhkan untuk
mencapai ketahanan fisik dan kondisi tubuh yang prima (Adawiyyah 2012).
Kecukupan gizi individu merupakan jumlah masing-masing zat gizi yang
dianjurkan agar dapat hidup sehat yang diperoleh dari makanan atau minuman
(Basir 2008). Kecukupan energi dan zat gizi yang tidak terpenuhi dapat
menyebabkan seseorang kekurangan tenaga untuk bergerak, bekerja, dan
melakukan aktivitas fisik, sehingga dapat menurunkan produktivitas (Almatsier
2009).
Berbekalkan latar belakang diatas, maka peneliti ingin menganalisis
hubungan antara pengetahuan gizi, kecukupan gizi, dan status gizi dengan
kebugaran atlet sepak bola di PPOP DKI Jakarta
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk untuk menganalisis hubungan pengetahuan


gizi, tingkat kecukupan gizi, status gizi, dan tingkat kebugaran atlet sepak bola di
PPOP DKI Jakarta.

Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus dari penelitian ini meliputi :


1. Mengindentifikasi karakteristik atlet, pengetahuan gizi, kecukupan zat gizi,
status gizi, dan kebugaran atlet
2. Menganalisis hubungan pengetahuan gizi dan kecukupan gizi atlet
3. Menganalisis hubungan kecukupan gizi dan status gizi atlet
4. Menganalisis hubungan pengetahuan gizi dan kebugaran atlet
5. Menganalisis hubungan kecukupan gizi dan kebugaran atlet
6. Menganalisis hubungan status gizi dan kebugaran atlet

METODE PENELITIAN

Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan desain Cross Sectional


Study. Pemilihan tempat dilakukan secara purposive yaitu di PPOP DKI Jakarta
karena merupakan tempat pembinaan atlet. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan
Mei 2018.

Jumlah dan Cara Penarikan Contoh

Sampel pada penelitian ini adalah atlet yang terdaftar di PPOP DKI Jakarta,
dan sedang menerima pendidikan dan pembinaan. Sampel didapatkan dengan cara
mengambil total populasi yang merupakan atlet pada cabang olahraga sepak bola.
Jumlah populasi pada cabang olahraga sepak bola di PPOP DKI Jakarta adalah 22
atlet.

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh dari contoh melalui pengukuran lansung dan menyebarkan
kuesioner, serta melalui hasil test kebugaran yaitu tes balke yang dilakukan. Data
primer ini meliputi data karakteristik contoh, data pengetahuan gizi, antropometri
berupa berat badan dan tinggi badan, konsumsi pangan, dan tingkat kebugaran yang
berupa hasil test balke. Sedangkan data sekunder yang dibutuhkan yaitu jumlah
siswa dan gambaran umum mengenai PPOP DKI Jakarta.
Pengolahan dan Analisis Data

Data karakteristik diperoleh dengan cara wawancara langsung pada contoh


dengan menggunakan pertanyaan yang ada pada kuesioner. Data karakteristik
dianalisis secara deskriptif dan pada akhirnya akan memberikan gambaran
mengenai contoh. Data pengetahuan gizi contoh diperoleh dengan memberikan
keusioner sebanyak 25 pertanyaan mengenai pangan dan gizi, dinilai dengan cara
memberikan nilai 0 dan 1, yaitu jawaban yang benar diberi nilai 1 dan jawaban yang
salah diberi nilai 0 sehingga total nilai sebesar 25. Persentase pengetahuan gizi
contoh diperoleh dari perbandingan skor yang yang diperoleh contoh dengan skor
total. Berikut persentase pengetahuan gizi berdasarkan Khomsan (2000),
Data antropometri contoh yang diukur yaitu data tinggi badan dan berat
badan, selanjutnya digunakan untuk mengukur data status gizi dengan
menggunakan IMT/U. Data berat badan diperoleh dengan melakukan penimbangan
langsung dengan menggunakan timbangan injak dengan skala ketelitian 0.1 kg.
Data tinggi badan diperoleh dengan mengukur tinggi badan secara langsung
menggunakan microtouise dengan skala ketelitian 0.1 cm. Data status gizi
ditentukan berdasarkan data yang diperoleh yaitu usia contoh, berat badan, dan
tinggi badan dengan parameter Indeks Massa Tubuh menurut umur (IMT/U)
dengan menggunakan software WHO anthroplus 2007. Nilai indeks massa tubuh
menurut IMT/U disajikan pada Tabel 3.
Data konsumsi pangan yang diperoleh dari hasilwawancara langsung
dengan responden menggunakan metode food recall 2x24 jam, kemudian
dikonversikan dengan menggunakan software nutrisurvey dan Daftar Komposisi
Bahan Makanan (DKBM) untuk menentukan zat gizi contoh yatu energi, protein,
lemak, dan karbohidrat dengan rumus sebagai berikut (Hardinsyah & Briawan
2004).Perhitungan kebutuhan energi dan zat gizi pada penelitian ini berdasarkan
Kemenkes (2014). Kebutuhan energi ditentukan oleh beberapa komponen yaitu
energi Basal Metabolic Rate (BMR), Specific Dynamic Action(SDA), Aktivitas
fisik , Energy Expenditure untuk setiap jenis dan lama latihan. Tingkat Kecukupan
Gizi (TKG) didapat dengan cara membandingkan asupan energi dan zat gizi aktual
atlet dengan kebutuhan atlet. Hasil perhitungan TKG yang didapat dikategorikan
menjadi lima untuk energi dan zat gizi makro, dan dua untuk zat gizi mikro. Data
tingkat kebugaran diperoleh dari hasil perhitungan VO2max. Data nilai VO2max
yang diperoleh merupakan data primer dengan menggunakan data hasil Tes Balke.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Subyek

Subjek dalam penelitian ini adalah atlet sepakbola di pusat pelatihan


olahraga ragunan (PPOP) DKI Jakarta. Atlet sepakbola di PPOP DKI Jakarta
berjumlah 22 orang dan berjenis kelamin laki-laki. Sebagian besar atlet berusia 17
tahun dengan persentase sebasar 50%. Rata-rata usia atlet yang diteliti yaitu 16.6
± 0.671 tahun dengan rentang usia 15-18 tahun. Berdasarkan usia tersebut dapat
diketahui bahwa sampel tergolong ke dalam usia remaja. Batasan usia remaja yang
umum digunakan adalah antara 12 hingga 21 tahun (Desmita 2005; Efendi dan
Makhfudli 2009). Sebaran berat badan atlet menunjukkan sebagian besar memiliki
berat badan diantara 61 kg sampai 68 kg dengan persentase sebesar 40.91%. Rata-
rata atlet memiliki berat badan 64.7±6.7 kg, dengan berat badan minimum sebesar
55 kg dan maksimum sebesar 77 kg. Sebagian besar atlet memiliki tinggi badan
kurang dari 168 cm dengan persentase sebesar 36.36%. Rata-rata atlet memiliki
tinggi badan 170.0±65.4 cm, dengan tinggi badan minimum sebesar 162 cm dan
maksimum sebesar 179 cm.
Pendidikan atlet yaitu masih bersekolah di SMA Ragunan Jakarta Selatan.
Sebagian besar atlet duduk di kelas 2 SMA dengan persentase sebasar 50%. Atlet
mendapatkan uang saku per bulan sebesar Rp 1 500 000 dari pihak PPOP, dan
terdapat beberapa atlet yang mendapat uang saku tambahan dari orangtua. Sebagian
besar uang saku per bulan yang didapat oleh atlet berada pada rentang Rp 1 500
000 sampai Rp 2 000 000, dengan persentase sebesar 95.5%. Rata-rata uang saku
atlet yaitu Rp 1 675 000 ± 446 614. Sebaran atlet berdasarkan karakteristik disajikan
pada Tabel 1.
Tabel 1 Sebaran atlet berdasarkan karakteristik
Variabel N (%) Rata-rata ± SD
Usia (tahun)
15 1 4.5
16 9 40.9
16.6 ± 0.671
17 11 50.0
18 1 4.5
Total 22 100
Berat Badan
< 61 kg 7 31.8
61 – 68 kg 9 40.9 64.7±6.7
> 68 kg 6 27.3
Total 22 100
Tinggi Badan
< 168 cm 8 36.4
168 – 172 cm 7 31.8 170.0±65.4
> 172 cm 7 31.8
Total 22 100
Kelas
1 6 27.3
2 11 50.0
3 5 22.7
Total 22 100
Uang Saku (Rp)
1.500.000-2.000.000 21 95.5
1 675 000 ± 446 614
>2.000.000 1 4.5
Total 22 100

Pengetahuan Gizi
Pengukuran pengetahuan gizi dilakukan untuk mengetahui sejauh mana
pengetahuan subjek terhadap gizi. Pengukuran pengetahuan gizi dilakukan dengan
menggunakan kuesioner yang terdiri dari pertanyaan sebanyak 25 soal. Jawaban
dari setiap soal diberi nilai dengan menggunakan sistem angka yang kemudian
dipersentasekan dengan skor jawaban total. Menurut Khomsan (2000), rentang nilai
skor pengetahuan gizi dikategorikan menjadi kurang (<60), sedang (60-80), dan
baik (>80). pengetahuan gizi atlet sebagian besar tergolong sedang dengan
persentase 54.5%. Rata-rata skor yang diperoleh yaitu 59.01±12.091. Menurut
Mariani (2002) menyatakan bahwa kurangnya pengetahuan akan gizi dapat
mengakibatkan sesorang salah dalam memilih bahan dan cara penyajian. Namun,
apabila seseorang dengan pengetahuan gizi yang baik biasanya dapat
mempraktikan pola makan sehat agar terpenuhi kebutuhan gizinya, dan mencapai
gizi yang optimal. Pengetahuan tentang gizi bermanfaat bagi atlet, karena dapat
memberikan keuntungan diantaranya memberikan informasi terkait pemilihan
bahan pangan yang sesuai kebutuhan energi dan merupakan dasar utama bagi
penampilan prima seorang atlet pada saat melakukan berbagai aktivitas fisik,
misalnya pada saat latihan, bertanding, dan saat pemulihan, baik setelah latihan
maupun setelah bertanding. Berikut sebaran atlet berdasarkan pengetahuan gizi
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Sebaran subjek berdasarkan pengetahuan gizi
Jumlah
Pengetahuan Gizi
n (%)
Kurang (< 60 %) 10 45.5
Sedang (60-80%) 12 54.5
Total 22 100
Rata-rata ± SD 59.01±12.091

Konsumsi Pangan

Konsumsi pangan adalah jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi


seseorang pada waktu tertentu (Supariasa et al. 2012). Semakin beragam bahan
pangan yang dikonsumsi, semakin beragam pula zat gizi yang diperoleh tubuh.
Makanan yang cukup harus diperoleh oleh seseorang agar semua zat gizi yang
diperlukan dapat tercukupi untuk membantu pertumbuhan, perbaikan dan
pemeliharaan jaringan tubuh, dan dapat melakukan aktivitas secara maksimal.
Metode pengukuran konsumsi pangan yang digunakan yaitu metode kuantitatif
dengan food recall. Metode food recall 24 jam bertujuan untuk mengetahui
gambaran tingkat kecukupan energi dan zat gizi seseorang (Supariasa et al. 2012;
Arisman 2016). Wawancara dilakukan sebanyak dua kali 24 jam tanpa berturut-
turut, yaitu hari libur dan hari sekolah.
Kecukupan energi sebagian besar atlet tergolong defisit berat dengan
persentase 81.82%. Rata-rata konsumsi energi sebesar 2388±529.231 kkal, dengan
konsumsi tertinggi sebesar 3510 kkal dan terendah sebesar 1460 kkal. Asupan
energi dapat menentukan kondisi kesehatan dan kemampuan fisik. Damayanti et al.
(2016) menyatakan bahwa defisiensi asupan energi merupakan indikasi kekurangan
zat gizi lain. Jika kondisi ini berkelanjutan dalam jangka panjang akan
mengakibatkan penurunan berat badan, yang akan menyebabkan keadaan gizi
menjadi kurang. Tubuh akan mengalami penurunan kemampuan pada saat
melakukan olahraga atau aktivitas yang berat (Damayanti et al. 2016; Putri 2010).
Kecukupan protein seluruh atlet tergolong defisit berat dengan persentase
100%. Rata-rata konsumsi protein sebesar 67.9±15.502 g, dengan konsumsi
tertinggi sebesar 95 g dan terendah sebesar 39.2 g. Tingkat kecukupan protein yang
defisit dapat disebabkan karena atlet kurang mengonsumsi protein dalam setiap kali
makan. Variasi menu makanan sumber protein yang dikonsumsi atlet cukup
beragam, seperti telur, susu, ikan, ayam dan produk olahan kedelai seperti tahu dan
tempe. Fungsi membangun serta memelihara sel-sel dan jaringan tubuh merupakan
fungsi protein yang tidak dapat digantikan oleh zat gizi lain (Almatsier 2009).
Berdasarkan hasil tersebut perlu adanya peningkatan jumlah konsumsi pangan yang
tinggi protein untuk mencapai tingkat kecukupan protein yang normal.
Kecukupan lemak sebagian besar atlet tergolong defisit berat (31.82%) dan
normal (27.27%). Rata-rata konsumsi lemak sebesar 95.7±23.041 g, dengan
konsumsi tertinggi sebesar 164.4 g dan terendah sebesar 53.1 g. kecukupan lemak
yang tergolong defisit berat dikarenakan perilaku konsumsi atlet sedikit
mengonsumsi makanan yang bersumber lemak. Namun cara pengolahannya
sebagian besar dengan menggoreng, sehingga diperoleh lemak dari hasil
penggorengan. Konsumsi lemak terlalu tinggi juga tidak dianjurkan karena dapat
menyebabkan penumpukan lemak (Zulfa 2014).
Kecukupan karbohidrat sebagian besar atlet tergolong defisit berat dengan
persentase 86.36%. Rata-rata konsumsi karbohidrati sebesar 305.2±86.560 g,
dengan konsumsi tertinggi sebesar 483 g dan terendah sebesar 153.8 g. Berdasarkan
hasil recall, diketahui bahwa sebagian besar atlet sedikit mengonsumsi nasi sebagai
pangan sumber karbohidrat dalam satu kali makan. Selain nasi, bahan pangan
pokok atau bahan pangan sumber karbohidrat yang cukup sering dikonsumsi atlet
adalah mie instan, lontong, dan roti. Atlet mengonsumsi bahan pangan yang
bersumber karbohidrat kurang dari 3 porsi dalam sehari, sehingga tingkat
kecukupan karbohidrat yang didapat termasuk kedalam kategori defisit berat.
Kecukupan kalsium untuk semua atlet tergolong defisit dengan persentase
100%. Rata-rata konsumsi kalsium sebesar 436.22±221.065, dengan konsumsi
tertinggi sebesar 947.99 mg dan terendah sebesar 144.79 mg. Hal ini disebabkan
karena kurangnya konsumsi pangan sumber kalsium yaitu susu dan produk
olahannya. Kekurangan kalsium pada masa remaja dapat mengakibatkan risiko
osteoporosis, dan gangguan pertumbuhan tulang sehingga tulang kurang kuat,
mudah bengkok, dan rapuh (Fikawati et al. 2005). Kecukupan zat besi sebagian
besar atlet tergolong normal dengan persentase 68.18%. Rata-rata konsumsi besi
sebesar 123.56±374.352, dengan konsumsi tertinggi sebesar 1615.24 mg dan
terendah sebesar 6.91 mg. Asupan zat besi yang tercukupi dikarenakan atlet
mengonsumsi bahan makanan yang cukup beragam pada makanan yang bersumber
zat besi.
Kecukupan vitamin A semua atlet tergolong normal dengan persentase
100%. Rata-rata konsumsi vitamin A sebesar 25409±8850.436, dengan konsumsi
tertinggi sebesar 49738.90 mg dan terendah sebesar 13353.0 mg. Asupan vitamin
A yang tercukupi dikarenakan ketersediaan pangan sumber vitamin A mudah
didapatkan dengan harga yang terjangkau. Menurut Lingga (2012) menyatakan
bahwa sumber vitamin A berasal dari pangan hewani misalnya hati, telur, daging
ayam, susu, sedangkan karoten terdapat dalam pangan nabati misalnya sayur dan
buah berwarna kuning jingga. Kecukupan vitamin C semua subjek tergolong defisit
dengan persentase 100%. Rata-rata konsumsi vitamin C sebesar 41.39±32.186,
dengan konsumsi tertinggi sebesar 125.60 mg. Rendahnya asupan vitamin C
dikarenakan atlet mengonsumsi bahan makanan yang kurang beragam pada
makanan yang bersumber vitamin C. Atlet jarang mengonsumsi buah dan sayur
setiap kali makan, perlu adanya peningkatan jumlah konsumsi pangan sumber
vitamin C agar dapat memenuhi kebutuhan atlet. Asupan vitamin C yang terpenuhi
dapat meningkatkan kekebalan tubuh, membantu penyerapan besi, dan sebagi
antioksidan yang efektif (Wijayanti 2017). Daya tahan tubuh terhadap infeksi
ditingkatkan oleh vitamin C, karena pemeliharaan terhadap membran mukosa dan
berpengaruh terhadap fungsi kekebalan. Berikut sebaran atlet berdasarkan
kecukupan gizi dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Sebaran atlet berdasarkan kecukupan zat gizi
Kecukupan Gizi n (%)
Energi
Defisit Berat (<70%) 18 81.82
Defisit Sedang (70-89%) 3 13.64
Defisit Ringan (80-89%) 1 4.55
Protein
Defisit Berat (<70%) 22 100
Lemak
Defisit Berat (<70%) 7 31.82
Defisit Sedang (70-89%) 5 22.73
Defisit Ringan (80-89%) 3 13.64
Normal (90-119%) 6 27.27
Kelebihan (≥120 %) 1 4.55
Karbohidrat
Defisit Berat (<70%) 19 86.36
Defisit Sedang (70-89%) 2 4.09
Defisit Ringan (80-89%) 1 4.55
Kalsium
Defisit (<77%) 22 100
Besi
Defisit (<77%) 7 31.82
Normal (≥77%) 15 68.18
Vitamin A
Normal (≥77%) 22 100
Vitamin C
Defisit (<77%) 22 100

Status Gizi

Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok


orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorpsi), dan penggunaan
(utilization) zat gizi makanan dalam jangka waktu yang lama (Gibson 2005). Status
gizi seseorang dapat diukur dan dikategorikan. Menurut Berdasarkan Kemenkes
(2013), status gizi tersebut dikategorikan menjadi lima kelompok, yaitu sangat
kurus (< -3 SD), kurus (-3 SD ≤ z-score < -2 SD), normal (-2 SD ≤ z-score ≤ +1
SD), gemuk (+1 SD < z-score ≤ +2 SD), dan obesitas z-score > +3 SD). Sebagian
besar subjek memiliki status gizi normal, yaitu sebanyak 20 subjek dengan
persentase 90.9%. Rata-rata z-score pada subjek sebesar 0.5±0.483 SD. Status gizi
yang baik akan mencerminkan kualitas fisik individu yang baik, sedangkan status
gizi yang kurang akan mencerminkan kualitas fisik individu yang rendah dan akan
memberikan dampak pada tingkat kebugaran jasmani (Nurhasan 2005). Berikut
sebaran atlet berdasarkan status gizi dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Sebaran subjek berdasarkan status gizi


Jumlah
Status Gizi
N (%)
Normal (-2 SD s/d 1 SD) 20 90.9
Gemuk (>1 SD s/d 2 SD) 2 9.1
Total 22 100

Kebugaran

Kebugaran jasmani adalah kemampuan jasmani yang dapat menyesuaikan fungsi


alat-alat tubuhnya terhadap tugas jasmani tertentu dan terhadap lingkungan yang
harus diatasi dengan cara efisien tanpa kelelahan yang berlebihan dan dapat pulih
sempurna sebelum datang tugas yang sama pada esok hari (Griwijoyo 2006).
Menurut Prakoso dan Hartoto (2015), ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh
seseorang untuk mendapatkan kebugaran jasmani, yaitu mengatur pola makan
dengan memilih makanan-makanan yang mengandung banyak nutrisi, kemudian
istirahat secukupnya karena jika seseorang kurang istirahat dapat memberikan efek
pada mental dan penampilan fisiknya, dan rutin melakukan olahraga untuk
meningkatkan efisiensi fungsi tubuhKebugaran jasmani dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu, umur jenis kelamin, keturunan, makanan dan gizi yang
seimbang, serta kebiasaan merokok (Riyadi 2007).
Tingkat kebugaran jasmani dapat dilihat dari VO2max yang diperoleh dari
Tes Balke. VO2Max atau disebut juga penggunaan oksigen maksimal adalah tempo
tercepat dimana seseorang dapat menggunakan oksigen selama berolahraga.
VO2Max mengacu pada kecepatan pemakaian oksigen, bukan sekedar banyaknya
oksigen yang diambil (Nurcahyo 2008). Sebagian besar atlet termasuk dalam
kategori kebugaran yang cukup dengan persentase sebasar 63.64%. Rata-rata nilai
VO2max atlet yang diteliti yaitu 48.10 ± 2.838.

Tabel 5 Sebaran subjek berdasarkan kebugaran


Jumlah
Kebugaran
n (%)
Kurang (38 ≤ VO2max ≤ 45) 4 18.18
Cukup ( 45 < VO2max ≤ 50) 14 63.64
Baik (50 < VO2max ≤ 55) 4 18.18
Total 22 100

UJI HUBUNGAN
Korelasi mengukur kekuatan dari hubungan linear antar sepasang variabel. Hasil
dari analisis berupa koefisien korelasi dan hubungan signifikansi untuk masing-masing
variabel. Koefisien korelasi (r) menunjukkan kekuatan hubungan. Nilai r bervariasi
antara -1 hingga +1, dimana apabila suatu semakin mendekati +1 maka hubungan
antara dua variabel tersebut semakin kuat dalam arah positif, apabila bernilai mendekati
-1 maka hubungannya besifat kuat dalam arah negatif. Sedangkan apabila nilai
mendekati 0 maka berarti tidak ada hubungan linear (Bewick 2013).
Hubungan Pengetahuan Gizi dengan Kecukupan Gizi
Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman, hubungan antara pengetahuan gizi
dengan tingkat kecukupan energi, tingkat kecukupan lemak, tingkat kecukupan
karbohidrat, dan tingkat kecukupan kalsium adalah positif, sedangkan hubungan
antara pengetahuan gizi dengan tingkat kecukupan protein, tingkat kecukupan besi,
tingkat kecukupan vitamin A, tingkat kecukupan vitamin C adalah negatif dengan
kekuatan yang lemah atau dapat diabaikan, dan nilai p menunjukkan tidak ada
hubungan yang signifikan (p>0.05). Hasil ini sesuai dengan penelitian Mawaddah
dan Hardiansyah (2008) yang menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan
antara tingkat kecukupan energi, protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral.
Hasil ini juga sesuai dengan penelitian Imaddudin (2012) yang menunjukkan
hubungan yang tidak signifikan antara pengetahuan gizi dengan tingkat kecukupan
energi (p=0.326, r= -0.209), artinya semakin baiknya tingkat pengetahuan gizi tidak
berhubungan dengan penurunan tingkat kecukupan energinya. Hal ini diduga
karena tidak hanya pengetahuan gizi saja yang mempengaruhi konsumsi. Ada
faktor-faktor lain yang mempengaruhi konsumsi gizi seseorang, seperti uang saku,
dan kebiasaan makan. Meskipun tingkat pengetahuan gizi baik dan diikuti dengan
praktek gizi yang baik namun belum tentu atlet mengetahui jumlah kebutuhan gizi
masing-masing secara pasti.
Tabel 6 Hubungan pengetahuan gizi dengan kecukupan gizi
Pengetahuan Gizi
Kecukupan Gizi
r p
Energi 0.172 0.445
Protein -0.239 0.285
Lemak 0,010 0.966
Karbohidrat 0.247 0.267
Kalsium 0.108 0.632
Besi -0.078 0.731
Vitamin A -0.086 0.702
Vitamin C -0.053 0.816

Hubungan Kecukupan Gizi dengan Status Gizi


Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman, hubungan antara tingkat
kecukupan energi, tingkat kecukupan protein, tingkat kecukupan lemak, dan tingkat
kecukupan karbohidrat dengan status gizi adalah negative dengan kekuatan yang
lemah. Korelasi negatif menunjukkan adanya hubungan terbalik, dan nilai p
menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan (p>0.05). Hasil ini sesuai dengan
penelitian Soraya (2017) yang menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan
antara tingkat kecukupan energi, protein, lemak, dan karbohidrat dengan status gizi
atlet. Konsumsi pangan pada penelitian ini tidak mencerminkan keseluruhan
gambaran status gizi saat ini secara langsung. Hal ini disebabkan karena status gizi
merupakan akibat dari konsumsi pangan sebelumnya serta penyakit infeksi yang
diderita.

Tabel 7 Hubungan kecukupan gizi dengan status gizi


Status Gizi
Kecukupan Gizi
r p
Energi -0.242 0.277
Protein -0.112 0.621
Lemak -0.332 0.131
Karbohidrat -0.142 0.529

Hubungan Usia dengan Kebugaran


Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman, hubungan antara usia dengan
kebugaran adalah negatif dengan kekuatan yang sangat lemah atau dapat diabaikan,
dan nilai p menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan (p>0.05). Hasil ini
sesuai dengan penelitian Citra (2015) yang menunjukkan tidak ada hubungan
signifikan (p>0.05) antara usia dengan skor total kebugaran jasmani. Hal ini berarti
semakin tinggi usia maka belum tentu meningkatkan skor kesegaran jasmani

Hubungan Pengetahuan Gizi dengan Kebugaran


Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman, hubungan antara pengetahuan gizi
dengan kebugaran adalah positif dengan kekuatan yang lemah, dan nilai p
menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan (p>0.05). Hasil ini sesuai dengan
Imaddudin (2012) yang menunjukkan tidak ada hubungan signifikan (p>0.05) antara
pengetahuan dengan skor total kebugaran jasmani.

Hubungan Kecukupan Energi dengan Kebugaran


Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman, hubungan antara kecukupan
energi dengan kebugaran adalah positif dengan kekuatan yang lemah, dan nilai p
menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan (p>0.05). Hal ini sejalan dengan
penelitian Citra (2015) yang menunjukkan tidak ada hubungan signifikan (p>0.05)
antara kecukupan energi dengan kebugaran, dan subjek yang mempunyai konsumsi
energi yang kurang memiliki resiko 4.32 kali menjadi tidak bugar dibandingkan
dengan subjek yang cukup mengkonsumsi energi.

Hubungan Kecukupan Protein dengan Kebugaran


Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman, hubungan antara kecukupan
protein dengan kebugaran adalah positif dengan kekuatan yang lemah, dan nilai p
menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan (p>0.05). Hasil ini sejalan
dengan penelitian Citra (2015) yang menyatakan tidak ada hubungan yang
bermakna antara konsumsi protein dengan kebugaran. Protein pada olahraga
dibutuhkan sebagai zat pembangun komponen dan struktur tubuh, mengganti
komponen atau struktur tubuh yang rusak seperti otot, serta berperan dalam
pembentukan enzim, hormon, neurotransmiter, dan antibodi.

Hubungan Kecukupan Lemak dengan Kebugaran


Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman, hubungan antara kecukupan
lemak dengan kebugaran adalah positif dengan kekuatan yang sedang, dan nilai p
menunjukkan ada hubungan yang signifikan (p<0.05). Hasil ini sejalan dengan
penelitian Citra (2015) yang menyatakan terdapat hubungan yang signifikan
(p<0.05) antara kecukupan lemak dengan tingkat kebugaran. Kecukupan lemak yang
meningkat akan meningkatkan asupan energi (Amelia dan Syauqy 2014).
Hubungan Kecukupan Karbohidrat dengan Kebugaran
Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman, hubungan antara kecukupan
karbohidrat dengan kebugaran adalah positif dengan kekuatan yang lemah, dan
nilai p menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan (p>0.05). Hasil ini sejalan
dengan penelitian Citra (2015) yang menyatakan tidak ada hubungan yang
bermakna antara tingkat kecukupan karbohidrat dengan kebugaran.

Hubungan Status Gizi dengan Kebugaran


Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman, hubungan antara status gizi
dengan kebugaran adalah negatif dengan kekuatan yang lemah, dan nilai p
menunjukkan ada hubungan yang signifikan (p<0.05). Hasil ini sejalan dengan
penelitian Imadudin (2012) dan Citra (2015) yang menyatakan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara status gizi dengan kebugaran (p<0.05). Koefisien
korelasi Spearman negatif menunjukkan adanya hubungan yang berlawanan
(Mukaka 2012). Hal ini berarti semakin meningkat status gizi (IMT/U) atlet maka
semakin menurun tingkat kebugaran atlet. Tingginya persen lemak tubuh membuat
energi yang diperlukan untuk melakukan gerakan lebih banyak dan juga akan
menghambat kecepatan dalam melakukan suatu gerakan. Sebaliknya, apabila
persen lemak tubuh seseorang terlalu rendah dapat meningkatkan resiko (Widiastuti
et al. 2009).

Tabel 20 Hubungan karakteristik, pengetahuan gizi, kecukupan gizi, status gizi


dengan kebugaran
Kebugaran
Variabel
r P
Karakteristik
Usia -0.008 0.971
Pengetahuan Gizi 0.310 0.160
Kecukupan Gizi
Energi 0.381 0.080
Protein 0.119 0.599
Lemak 0.500 0.018
Karbohidrat 0.310 0.161
Status Gizi -0.438 0.041

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Responden penelitian yang merupaka atlet sepakbola di PPOP DI Jakarta


sebagian besar berusia 17 tahun, dan duduk di kelas 2 SMA. Rata-rata berat badan
atlet yaitu 64.7 kg, dan tinggi badan sebesar 170 cm. Uang saku rata-rata setiap
bulan yaitu Rp 1 675 000. Pengetahuan gizi atlet sebagian besar berada pada tingkat
pengetahuan gizi yang sedang. Tingkat kecukupan energi dan zat gizi sebagian
besar atlet termasuk dalam kategori defisit berat untuk energi (81.82%), protein
defisit berat (100%), lemak defisit berat (31.82%), karbohidrat defisit berat
(86.39%), kalsium dan vitamin C defisit (100%), zat besi normal (68.18%), dan
vitamin A normal (100%). Status gizi atlet kurang lebih sama yaitu pada kategori
status gizi yang normal.
Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa antara pengetahuan gizi
dengan tingkat kecukupan energi, lemak, karbohidrat, dan kalsium adalah positif,
sedangkan dengan tingkat kecukupan protein, besi, vitamin A, vitamin C adalah
negatif dan tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05). Hasil uji korelasi
Spearman menunjukkan hubungan antara tingkat kecukupan energi dan zat gizi
lain, dengan status gizi adalah negatif dan tidak terdapat hubungan yang signifikan
(p>0.05). Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan hubungan antara usia,
pengetahuan gizi, tingkat kecukupan energi, tingkat kecukupan protein, dan tingkat
kecukupan karbohidrat dengan kebugaran adalah negatif dan tidak terdapat
hubungan yang signifikan (p>0.05). Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan
hubungan antara kecukupan lemak dengan kebugaran adalah positif terdapat
hubungan yang signifikan (p<0.05). Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan
hubungan antara status gizi dengan kebugaran adalah negatif dan terdapat
hubungan yang signifikan (p<0.05).

Saran

Sebagian besar pola konsumsi atlet masih perlu ditingkatkan, karena belum
memenuhi tingkat kecukupan energi dan zat gizi yang dianjurkan khusus bagi atlet.
Atlet sebaiknya mengonsumsi makanan yang telah disediakan oleh pihak PPOP dan
tidak memilih-milih dalam mengonsumsi makanan. Pendidikan gizi yang baik juga
sangat diperlukan bagi atlet dalam usaha untuk mencapai pengetahuan gizi dalam
yang pengaturan diet yang optimal. Gizi yang optimal akan sangat mempengaruhi
performa dan kebugaran atlet dalam olahraga.

DAFTAR PUSTAKA

Adawiyyah AR. 2012. Analisis hubungan antara kecukupan gizi dan status gizi
dengan tingkat kebugaran mahasiswa IPB [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Almatsier S. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Amelia IN, Syauqy A. 2014. Hubungan antara asupan energi dan aktivitas fisik
dengan persen lemak tubuh pada wanita peserta senam aerobik. Journal of
Nutrition College 3(1): 200-205.
Arisman. 2016. Gizi Dalam Daur Kehidupan. Jakarta: EGC.
Basir. 2008. Tingkat pengetahuan gizi, sikap dan asupan zat gizi pada dewasa awal
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Batubara JRL. 2010. Adolescent development (perkembangan remaja). Sari
Pediatri. 12 (1): 21-29.
Bewick V, Liz C, Jonathan B. 2003. Statistic review 7: Correlation and regression.
Critical care. 7:451-459.
Citra A. 2015. Hubungan Intensitas Latihan, Status Gizi dan Tingkat Kecukupan
Zat Gizi dengan Tingkat Kebugaran pada Mahasiswi Ukm Beladiri
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Damayanti RA, Muniroh L, Farapti. 2016. Perbedaan tingkat kecukupan zat gizi
dan riwayat pemberian asi ekslusif pada balita stunting dan non stunting.
Jurnal Media Gizi Indonesi. 11(1): 61-69.
Desmita. 2005. Psikologi perkembangan. Bandung (ID) : PT remaja Rosdakarya.
Efendi F, Makhfudli. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas : Teori dan Praktik
dalam Keperawatan. Jakarta (ID): Salemba Medika.
Faruq MM. 2008. Meningkatkan Kebugaran Jasmani melalui Permainan dan
Olahraga Sepak Bola. Jakarta (ID): Gramedia Widiasarana Indonesia.
Fikawati S, Syafiq A, Puspasari P. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan
Asupan Kalsium pada Remaja di Kota Bandung. Jurnal Kedokteran Trisakti
Universa Medicina. 24(1): 1-19.
Gibson RS. 2005. Principles of Nutrition Assesment. New York: Oxford University
Press.
Griwijoyo S. 2006. Ilmu Kesehatan Olahraga (Sport Medicine). Bandung (ID):
FPOK Uiversitas Pendidikan Indonesia.
Handoko A. 2008. Sepak Bola Tanpa Batas. Yogyakarta (ID): Kanisius.
Imadudin MAH. 2012. Hubungan antara karakteristik atlet, tingkat kecukupan gizi
dan status gizi dengan tingkat kebugaran atlet taekwondo di SMA Ragunan
Jakarta [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
[Kemenkes RI] Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Riset Kesehatan
Dasar 2013. Jakarta (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
[Kemenkes RI] Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Pedoman Gizi
Olahraga Prestasi. Jakarta (ID): Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia.
Lingga L. 2010. Health Secret of Pepper. Jakarta (ID): Elex Media Komputindo
Mariani. 2002. Hubungan pola asuh makan, konsumsi pangan dan status gizi anak
balita [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Mawaddah N, Hardiansyah. 2008. Pengetahuan, sikap, dan praktek gizi serta
tingkat konsumsi ibu hamil di kelurahan kramat jati dan kelurahan ragunan
propinsi DKI Jakarta. Jurnal Gizi dan Pangan. 30(1): 30-42.
Nosa AS, Faruk M. 2013. Survei tingkat kebugaran jasmani pada pemain persatuan
sepakbola Indonesia lumakang. Jurnal Prestasi Olahraga. 1(1): 1-8.
Nurcahyo H. 2008. Ilmu Kesehatan Jilid II. Jakarta (ID): Depdiknas.
Prakoso DP, Hartoto S. 2015. Pengukuran tingkat kebugaran jasmani terhadap
siswa yang mengikuti ekstrakurikuler bolavoli di sma dr.soetomo Surabaya.
Jurnal Pendidikan Olahraga dan Kesehatan. 3 (1): 9-13.
Pujiastuti, Utomo. 2003. Fisioterapi pada Lansia. Jakarta (ID): EGC.
Putri CDC. 2010. Faktor determinan kesegaran jasmani pada remaja putri di SMA
negeri 2 semarang [skripsi]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro.
Rafsanjani R, Nurhayati F. 2014. Hubungan antara status gizi dan kebiasaan
berolahraga dengan tingkat kebugaran jasmani. Jurnal Pendidikan
Olahraga dan Kesehatan. 2 (1): 30 – 33.
Riyadi H. 2007. Diktat Mata Kuliah Gizi Olahraga. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor
Soraya D. 2017. Hubungan pengetahuan gizi, tingkat kecukupan zat gizi, dan
aktivitas fisik dengan status gizi guru SMPN 1 Dramaga Bogor [skripsi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Supariasa IDN, Bakri B, Fajar I. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta (ID): EGC
Widiastuti PA, Kushartanti BMW, Kandarina BJI. 2009. Pola makan dan
kebugaran jasmani altet pencak silat selama pelatihan daerah pekan
olahraga nasional XVII provinsin Bali tahun 2008. Jurnal Gizi Klinik
Indonesia 6(1): 13-20.
Wijayanti N. 2017. Fisiologi Manusia dan Metabolisme Zat Gizi. Malang: UB
Press.
Zulfa NN. 2014. Analisis biaya konsumsi pangan dan hubungannya dengan tingkat
kecukupan gizi taruna akademi imigrasi, Depok, Jawa Barat.[Skripsi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Anda mungkin juga menyukai