Anda di halaman 1dari 28

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat,
hidayah dan inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tinjauan pustaka yang
berjudul Asma Bronkial.
Penulis juga ingin menyampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah
membantu penyusunan tinjauan pustaka ini terutama kepada :
1. dr. Sari Wiharso sebagai pembimbing yang telah memberikan nasehat, petunjuk
dan arahan kepada penulis
2. Orang tua penulis yang selalu memberikan dukungan, doa dan semangat kepada
penulis
3. Teman-teman penulis yang telah memberikan kritik dan saran kepada penulis.
4. Bidan dan perawat serta seluruh staff Puskesmas Banjar III yang telah
membantu penulis dalam penyusunan tinjauan pustaka ini.
Semoga tinjauan pustaka ini dapat bermanfat sebagai sumber ilmu pengetahuan
dan wawasan bagi para pembacanya. Penulis menyadari bahwa tinjauan pustaka ini
masih memiliki kekurangan sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran agar dapat
lebih baik lagi dalam penulisan tinjauan pustaka selanjutnya.

Banjar, 6 Maret 2017


Penulis

Sahlan Abadi
NIDM : 29.10 11.80 2013

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………... 1
DAFTAR ISI………………………………………………………………………. 2
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………. 3
1.1 LATAR BELAKANG………………………………………………… 3
1.2 TUJUAN PENULISAN………………………………………………. 4
BAB III TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………… 5
2.1 DEFINISI……………………………………………………………… 5
2.2 FAKTOR RISIKO…………………………………………………….. 5
2.3 PETOFISIOLOGI…………………………………………………….. 7
2.4 GEJALA DAN DIAGNOSIS.………………………………………… 10
2.5 KLASIFIKASI………………………………………………………… 14
2.6 PENATALAKSANAAN……………………………………………... 17
2.7 DIAGNOSIS BANDING……………………………………………... 24
2.8 KOMPLIKASI………………………………………………………… 24
2.9 PENCEGAHAN……………………………………………………..... 24
2.10 PROGNOSIS…………………………………………………………. 25
BAB III PENUTUP…...…………………………………………………………... 26
3.1 KESIMPULAN………………………………………………………... 26
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………… 27

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Asma adalah penyakit gangguan pernapasan yang dapat menyerang anak-anak
hingga orang dewasa, tetapi penyakit ini lebih banyak terjadi pada anak-anak. Menurut
para ahli, prevalensi asma akan terus meningkat. Sekitar 100 - 150 juta penduduk dunia
terserang asma dengan penambahan 180.000 setiap tahunnya. Di Indonesia, prevalensi
asma menurut data Survei Kesehatan Rumah Tangga 2004 sebesar 4%, sedangkan
berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, prevalensi asma untuk
seluruh kelompok usia sebesar 3,5% dengan prevalensi penderita asma pada anak usia 1 -
4 tahun sebesar 2,4% dan usia 5 - 14 tahun sebesar 2,0%.1
Untuk dapat mengetahui prevalensi asma di seluruh dunia, maka disusunlah
kuesioner International Study on Asthma and Allergy in Childhood (ISAAC) dengan
salah satu tujuannya adalah untuk membandingkan prevalensi asma di suatu negara.
Survei dengan menggunakan kuesioner ISAAC telah dilakukan di 155 pusat asma yang
berada di 56 negara salah satunya adalah Indonesia. Kuesioner ISAAC ditujukan pada
kelompok usia 6 - 7 tahun dan usia 13 - 14 tahun. Hasil dari survei tersebut bervariasi di
beberapa negara dengan prevalensi asma antara 2,1 - 32,2%. Hasil survei dengan
menggunakan kuesioner ISAAC pada siswa usia 13 – 14 tahun di Indonesia
menunjukkan bahwa di Jakarta Timur prevalensi asma pada tahun 2001 sebesar 8,9%
dan meningkat menjadi 13,4% pada tahun 2008. Survei yang sama dilakukan pada
kelompok usia 13 - 14 tahun di Jakarta Barat, hasilnya adalah prevalensi asma sebesar
13,1%.1
Asma didefinisikan sebagai suatu kondisi ketika terjadi gangguan pada sistem
pernapasan yang menyebabkan penderita mengalami mengi (wheezing), sesak napas,
batuk, dan sesak di dada terutama ketika malam hari atau dini hari. Menurut Canadian
Lung Association, asma dapat muncul karena reaksi terhadap faktor pencetus yang
mengakibatkan penyempitan dan mengakibatkan inflamasi saluran pernafasan atau reaksi
hipersensitivitas. Kedua faktor tersebut akan menyebabkan kambuhnya asma dan
akibatnya penderita akan kekurangan udara hingga kesulitan bernapas.1
Secara medis, penyakit asma sulit disembuhkan, hanya saja penyakit ini dapat
dikontrol sehingga tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Pengendalian asma dilakukan
dengan menghindari faktor pencetus, yaitu segala hal yang menyebabkan timbulnya
3
gejala asma. Apabila anak menderita serangan asma terus-menerus, maka mereka akan
mengalami gangguan proses tumbuh kembang serta penurunan kualitas hidup.1
Faktor pencetus asma banyak dijumpai di lingkungan baik di dalam maupun di
luar rumah, tetapi anak dengan riwayat asma pada keluarga memiliki risiko lebih besar
terkena asma. Tiap penderita asma akan memiliki faktor pencetus yang berbeda dengan
penderita asma lainnya sehingga orangtua perlu mengidentifikasi faktor yang dapat
mencetus kejadian asma pada anak. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa setiap
unsur di udara yang kita hirup dapat mencetus kambuhnya asma pada penderita. Faktor
pencetus asma dibagi dalam dua kelompok, yaitu genetik, di antaranya atopi/alergi
bronkus, eksim, serta faktor pencetus di lingkungan, seperti asap kendaraan bermotor,
asap rokok, asap dapur, pembakaran sampah, kelembaban dalam rumah, serta alergen
seperti debu rumah, tungau, dan bulu binatang.1

1.2 TUJUAN PENULISAN


Tujuan penulisan Tinjauan Pustaka ini adalah untuk mengetahui definisi, faktor
risiko, patofisiologi, manifestasi klinik, diagnosis, diagnosis banding, penatalaksanaan,
pencegahan dan prognosis dari penyakit Asma Bronkial. Selain itu, Tinjauan Pustaka ini
juga dibuat sebagai salah satu persyaratan kelulusan stase IKAKOM I program studi
pendidikan profesi kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Jakarta.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran nafas
yang menyebabkan hiperreaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang ditandai
dengan gejala episodik berulang berupa mengi, batuk, sesak napas dan rasa berat di dada
terutama pada malam hari dan atau dini hari yang umumnya bersifat reversibel baik
dengan atau tanpa pengobatan.2
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran nafas yang melibatkan banyak
sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan hiperesponsif saluran napas yang
akan menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, batuk dan dada
terasa berat terutama pada malam dan atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan
dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan sering kali bersifat reversibel
dengan atau tanpa pengobatan.3

Gambar 2.1 Gambaran bronkus pada penderita asma3

2.2 FAKTOR RISIKO


Secara umum faktor risiko asma dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :
1. Faktor Genetik
a. Atopi/alergi  Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum
diketahui bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi
biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi

5
ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkial jika terpajan dengan
faktor pencetus
b. Hipereaktivitas bronkus  Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan
alergen maupun iritan
c. Jenis kelamin  Pria merupakan risiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14
tahun, prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5 – 2 kali dibanding anak
perempuan. Tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama
dan pada masa menopause perempuan lebih banyak
d. Ras/etnik
e. Obesitas  Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI), merupakan faktor
risiko asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran
napas dan meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun mekanismenya
belum jelas, penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma, dapat
memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan.
2. Faktor Lingkungan
a. Alergen dalam rumah (tungau debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan kulit
binatang seperti anjing, kucing)
b. Alergen luar rumah (serbuk sari dan spora jamur).
3. Faktor Lain
a. Alergen makanan, contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah,
coklat, kiwi, jeruk, bahan penyedap pengawet dan pewarna makanan
b. Alergen obat-obatan tertentu, contoh: penisilin, sefalosporin, golongan beta laktam
lainnya, eritrosin, tetrasiklin, analgesik dan antipiretik
c. Bahan yang mengiritasi, contoh: parfum dan household spray
d. Ekspresi emosi berlebih  Stres/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan
asma, selain itu juga dapat memperberat serangan asma yang sudah ada.
Disamping gejala asma yang timbul harus segera diobati, penderita asma yang
mengalami stres/gangguan emosi perlu diberi nasihat untuk menyelesaikan
masalah pribadinya. Karena jika stresnya belum diatasi, maka gejala asmanya lebih
sulit diobati
e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif  Asap rokok berhubungan dengan
penurunan fungsi paru. Pajanan asap rokok, sebelum dan sesudah kelahiran
berhubungan dengan efek berbahaya yang dapat diukur seperti meningkatkan
risiko terjadinya gejala serupa asma pada usia dini
6
f. Polusi udara dari luar dan dalam ruangan
g. Exercise-induced asthma  Pada penderita yang kambuh asmanya ketika
melakukan aktivitas/olahraga tertentu. Sebagian besar penderita asma akan
mendapat serangan jika melakukan aktivitas jasmani atau olahraga yang berat. Lari
cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktivitas
biasanya terjadi segera setelah selesai aktivitas tersebut
h. Perubahan cuaca  Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering
mempengaruhi asma. Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu
terjadinya serangan asma. Serangan kadang-kadang berhubungan dengan musim,
seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga (serbuk sari beterbangan)
i. Status sosial ekonomi.2,3,4

2.3 PATOFISIOLOGI
Konsep terbaru patogenesis asma adalah proses inflamasi kronik pada saluran
pernapasan yang menyebabkan saluran pernapasan menjadi sempit dan hiperesponsif.5
Asma dalam derajat apapun merupakan inflamasi kronik saluran napas. Terdapat
sejumlah penderita dengan inflamasi saluran napas namun faal paru normal. Inflamasi ini
sudah terdapat pada asma dini dan asma ringan atau terjadi sebelum disfungsi paru. Jarak
antara inflamasi mukosa dengan munculnya disfungsi paru belum diketahui. Inflamasi
saluran napas telah dibuktikan melalui beberapa penelitian seperti hiperaktivitas bronkus,
kurasan bronkoalveolar, biopsi bronkus, induksi sputum serta otopsi pasien yang
meninggal saat serangan.6
Gambaran khas inflamasi ditandai dengan peningkatan jumlah eosinofil
teraktivasi, sel mast, makrofag dan limfosit T dalam lumen mukosa saluran pernapasan.
Sel limfosit berperan penting dalam respon inflamasi melalui pelepasan berbagai sitokin
multifungsional. Limfosit T subset T helper-2 (Th-2) yang berperan dalam patogenesis
asma akan mensekresi sitokin interleukin 3 (IL-3), (IL-4), (IL-5), (IL-9), (IL-13), (IL-16)
dan Granulocute Monocyte Colony Stimulating Factor (GMCSF).7 Sitokin bersama sel
inflamasi yang lain akan saling berinteraksi sehingga menimbulkan proses inflamasi
yang kompleks yang menyebabkan degranulasi sel mast disertai pengeluaran berbagai
mediator inflamasi dan berbagai protein toksik yang akan merusak epitel saluran
pernapasan, sebagai salah satu penyebab hipereaktivitas saluran pernapasan. Hal ini
diperberat dengan terjadinya hipertrofi dan hiperplasia otot polos bronkus, sel goblet dan

7
kelenjar bronkus serta hipersekresi kelenjar mukus yang menyebabkan penyempitan
saluran pernapasan.5

Gambar 2.2 Patofisiologi asma5

Pada serangan asma terjadi penyempitan sampai obstruksi saluran pernapasan


sebagai manifestasi kombinasi spasme / kontraksi otot polos bronkus, edema mukosa dan
sumbatan mukus akibat inflamasi pada saluran pernapasan. Sumbatan saluran pernapasan
menyebabkan peningkatan tahanan jalan napas, terperangkapnya udara dan distensi paru
yang berlebih (hiperinflasi). Perubahan yang tidak merata di seluruh jaringan bronkus,
menyebabkan tidak sesuainya ventilasi dengan perfusi. Hiperventilasi paru menyebabkan
penurunan compliance paru, sehingga terjadi peningkatan kerja / aktivitas pernapasan.
Peningkatan tekanan intra pulmonal yang diperlukan untuk ekspirasi melalui saluran
pernapasan yang menyempit, dapat makin mempersempit atau menyebabkan penutupan
dini saluran pernapasan sehingga meningkatkan risiko terjadinya pnemotoraks.5
Pada obstruksi saluran pernapasan yang berat, terjadi kelelahan otot pernapasan
dan hipoventilasi alveolar yang mengakibatkan terjadinya hiperkapnia dan asidosis
respiratorik. Reaksi tubuh untuk memperbaiki jaringan yang rusak akibat inflamasi yang
perubahannya bersifat irreversibel disebut proses remodeling (remodelling process).7
8
Proses remodeling saluran pernapasan merupakan serangkaian proses yang menyebabkan
deposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur saluran pernapasan melalui proses
deferensiasi, migrasi dan maturasi struktur sel. Kombinasi kerusakan sel epitel,
perbaikan epitel berlanjut, produksi berlebih faktor pertumbuhan profibrotik /
Transforming Growth Factor (TGF-b) dan proliferasi serta diferensiasi fibroblast
menjadi myofibroblast, diyakini sebagai proses yang penting dalam remodeling.
Myofibroblast yang teraktivasi akan memproduksi berbagai faktor pertumbuhan,
kemokin dan sitokin yang menyebabkan proliferasi sel-sel otot polos saluran pernapasan
dan meningkatkan permeabilitas mikrovaskuler, menambah vaskularisasi,
neovaskularisasi dan jaringan saraf.8
Hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran pernapasan, sel goblet, kelenjar
submukosa, didapati pada bronkus pasien asma terutama pada yang kronik dan berat.
Secara keseluruhan, saluran pernapasan pada pasein asma memperlihatkan perubahan
struktur yang bervariasi yang dapat menyebabkan penebalan dinding saluran
pernapasan.5

9
Populasi dengan
predisposisi genetik
Faktor resiko
lingkungan Kontrol lingkungan ?

Respon imun Th2, Autonomic


IgE, IgG4, IgG1 nerves
sympatic-
cholinergik
imbalance
Airway Inflamasi Th2, Hiperaktifitas
remodelling sel mast, bronkus
eosinofil

Faktor pencetus Kontrol Lingkungan


Antiinflamasi sebagai
pengontrol

Obstruksi jalan nafas


(edema, bronkokontriksi, bronkokontriksi
hipersekresi, penebalan
dinding jalan nafas)

Bronkodilator Antiinflamasi

Manifestasi klinis
batuk, mengi, sesak
Gambar 2.3 Patofisiologi asma9

2.4 GEJALA DAN DIAGNOSIS


 Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan
 Gejala berupa batuk, sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak
 Gejala timbul/memburuk terutama malam/dini hari
 Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
 Respons terhadap pemberian bronkodilator.3
Gambaran / pola gejala yang khas pada asma yaitu episodik, variabilitas dan
reversibel.

10
a. Episodik adalah serangan yang berulang (hilang timbul) yang diantaranya terdapat
periode bebas serangan
b. Variabilitas adalah bervariasinya kondisi asma pada waktu-waktu tertentu seperti
perubahan cuaca, akibat provokasi pencetus (alergen / iritan), bahkan dalam satu hari
terjadi variabilitas dengan perburukan pada malam atau dini hari
c. Reversibel adalah meredanya gejala asma dengan atau tanpa pengobatan.9
Beberapa kondisi yang dapat mendukung diagnosis asma, yaitu :
a. Disertai gajala lainnya yang tersering rhinitis alergi
b. Disertai gejala atopik (rhinitis alergi, konjungtivitis alergi dan dermatitis atopik)
c. Mempunyai riwayat alergi dalam keluarga
d. Jika mendapat batuk pilek (common cold/nasofaringitis akut berlangsung lama (>10
hari) dan sering komplikasi ke saluran napas bawah.9
Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala dapat berupa
batuk, sesak napas, mengi (wheezing), rasa berat di dada dan variabilitas yang berkaitan
dengan cuaca. Derajat sesak napas bervariasi tergantung pada gejala yang ditimbulkan.
Seperti pada penyakit lain, diagnosis penyakit asma dapat ditegakkan dengan anamnesis
yang baik. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan faal paru akan lebih meningkatkan nilai
diagnostik.7

1) Anamnesis
Anamnesis yang baik meliputi riwayat tentang penyakit / gejala, yaitu:
a) Asma bersifat episodik, sering bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan
b) Asma biasanya muncul setelah adanya paparan terhadap alergen, gejala musiman,
riwayat alergi/atopi, dan riwayat keluarga pengidap asma
c) Gejala asma berupa batuk, mengi, sesak napas yang episodik, rasa berat di dada
dan batuk berdahak yang berulang
d) Gejala timbul/memburuk terutama pada malam/dini hari
e) Mengi atau batuk setelah kegiatan fisik
f) Respon positif terhadap pemberian bronkodilator.7
Hal lain yang perlu dipertimbangan dalam riwayat penyakit adalah riwayat
keluarga (atopi), riwayat alergi / atopi, penyakit lain yang memberatkan dan
perkembangan penyakit serta pengobatan.7

2) Pemeriksaan fisik
11
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan fisik dapat normal
pada saat stabil (tidak eksaserbasi), sampai didapatkan gambaran klinis yang berat yaitu
pada saat eksaserbasi akut berat. Kelainan pemeriksaan fisik yang paling umum
ditemukan pada auskultasi adalah mengi (wheezing) yang menandakan adanya obstruksi
saluran pernapasan. Suara mengi (wheezing) umumnya bilateral, polifonik dan lebih
terdengar pada fase ekspirasi.9 Pemeriksaan pada saluran pernafasan atas pada penyakit
asma sangat penting untuk melihat adanya rhinitis alergi, nasal polip, postnasal dripping
dan pembengkakan mukosa.5
Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal walaupun pada
pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan napas. Hal ini
menunjukan obstruksi jalan napas tidak berat sehingga intensitas bunyi suara tambahan
tidak keras bahkan tidak terdengar yang dikenal dengan serangan asma ringan. Pada
obstruksi jalan napas yang sangat berat, mengi (wheezing) bisa tidak terdengar dan
pasien nampak gelisah bahkan kesadaran menurun serta sianosis. Kondisi tersebut di
kenal dengan silent chest.9
Pemeriksaan fisik akan sangat membantu diagnosis jika pada saat pemeriksaan
terdapat gejala-gejala obstruksi saluran pernapasan. Sewaktu mengalami serangan, jalan
napas akan semakin mengecil oleh karena kontraksi otot polos saluran napas, edema dan
hipersekresi mukus. Keadaan ini dapat menyumbat saluran napas sebagai kompensasi
penderita akan bernapas pada volume paru yang lebih besar untuk mengatasi jalan napas
yang mengecil (hiperinflasi).7 Hal ini akan menyebabkan timbulnya gejala klinis berupa
batuk, sesak napas dan mengi. Tanda klinis asma lainnya yang dapat ditemukan pada
saat eksaserbasi akut antara lain peningkatan nadi dan frekuensi napas, penggunaan otot-
otot bantu napas dan pulsus parodoksus.9

3) Pemeriksaan penunjang
Diagnosis asma membutuhkan pemeriksaan penunjang yang terdiri atas
pemeriksaan penunjang standar dan penunjang tambahan.7

a) Pemeriksaan penunjang standar


Pemeriksaan yang wajib dilakukan yaitu pemeriksaan faal paru yang sangat
berguna untuk meningkatkan nilai diagnostik. Ini disebabkan karena penderita asma
sering tidak mengenal gejala dan kadar keparahannya, demikian pula diagnosa oleh
dokter tidak selalu akurat. Faal paru menilai derajat keparahan hambatan aliran udara,
12
reversibilitasnya dan membantu kita menegakkan diagnosis asma, tetapi faal paru tidak
mempunyai hubungan kuat dengan gejala, hanya sebagai informasi tambahan akan kadar
kontrol terhadap asma. Banyak parameter dan metode untuk menilai faal paru tetapi yang
diterima secara luas (standar) dan mungkin dilakukan adalah pemeriksaan spirometri dan
arus puncak respirasi.7

 Spirometri
Spirometri diperlukan untuk mendeteksi obstruksi aliran udara, menilai
keparahan dan mengukur reversibilitas.10 Pengukuran volume ekspirasi paksa detik
pertama (VEP1) dan Kapasitas Vital Paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi
paksa melalui prosedur yang standar. Pemeriksaan sangat bergantung kepada
kemampuan penderita sehingga dibutuhkan instruksi operator yang jelas dan kerjasama
penderita. Untuk mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai yang tertinggi dari 2-3
nilai reproducible dan acceptable.7
Nilai normal dari volume paru tersebut sangat lebar variasinya bergantung dengan
usia, jenis kelamin, tinggi badan dan etnik atau ras. Berbagai kondisi penyakit paru dapat
menghasilkan perubahan nilai VEP1 dan KVP oleh karena itu penilaian obstruksi jalan
napas berdasarkan ratio VEP1 dan KVP (VEP1 / KVP) yang normal diatas 75-80%
(bergantung usia).9

 Arus Puncak Ekspirasi (APE)


Pengukuran APE dapat digunakan untuk membantu diagnosis dan memonitoring
asma. Kelebihan penilaian faal paru menggunakan APE adalah alat pemeriksaan peak
flow rate meter yang tidak mahal, portable, plastik, ideal (mudah digunakan) dan
mungkin tersedia diberbagai tingkat pelayanan kesehatan termasuk puskesmas atau
instalasi gawat darurat.11 Nilai APE tidak selalu berkorelasi dengan pengukuran faal paru
lain dan derajat berat obstruksi. Pengukuran nilai APE sebaiknya dibandingkan dengan
nilai terbaik sebelumnya, bukan nilai prediksi normal kecuali tidak diketahui nilai terbaik
penderita yang bersangkutan. Untuk mendapatkan variabilitas APE yang akurat, diambil
nilai terendah pada pagi hari sebelum mengkonsumsi bronkodilator selama satu minggu
(pada malam hari gunakan nilai APE tertinggi). Kemudian dicari persentase dari nilai
APE terbaik. Nilai > 20% dipertimbangkan sebagai asma.7

13
b. Pemeriksaan penunjang tambahan
 Uji provokasi bronkus
Uji ini dilakukan untuk menilai hiperaktivitas bronkus pada pasien dengan gejala
sesuai dengan asma, tetapi pemeriksaan fisik dan faal paru normal maka dilakukan
penilaian hiperaktivitas bronkus dengan inhalasi metakolin atau histamin.12 Hasil uji
provokasi menunjukkan dosis atau konsentrasi zat provokasi yang menimbulkan
penurunan VEP1 20%.13 Pemeriksaan uji provokasi bronkus mempunyai sensitivitas
tinggi tetapi spesifisitas rendah, artinya hasil negatif dapat menyinggirkan diagnosis
asma persisten, tetapi hasil positif tidak selalu berarti bahwa penderita tersebut asma.14

 Uji alergi untuk menilai status alergi


Kondisi alergik meningkatkan probabilitas diagnosis asma pada pasien dengan
pernapasan yang konsisten asma. Komponen alergi pada asma dapat diidentifikasi
melalui pemeriksaan uji kulit atau pengukuran IgE spesifik serum. Uji tersebut
mempunyai nilai kecil untuk mendiagnosis asma tetapi dapat digunakan untuk
mengidentifikasi faktor pencetus sehingga dapat dilakukan kontrol lingkungan dalam
penatalaksanaan.9
Mendiagnosis alergi / atopi dilakukan dengan prick test tetapi dapat menghasilkan
nilai positif maupun negatif palsu sehingga konfirmasi terhadap pajanan alergen yang
relevan dan hubungannya dengan gejala harus selalu dilakukan. Uji kulit tidak dapat
dilakukan pada kulit yang mengalami dermatitis, dermathophagoism atau kelainan kulit
pada lengan tempat uji kulit.7

2.5 KLASIFIKASI / DERAJAT


Berdasarkan etiologi asma bronkial dibagi menjadi 3 tipe yaitu :
1. Asma bronkial tipe non atopi (ekstrinsik)
Pada golongan ini, keluhan tidak ada hubungannya dengan paparan (exposure)
terhadap alergen dan sifat-sifatnya adalah: serangan timbul setelah dewasa, pada
keluarga tidak ada yang menderita asma, penyakit infeksi sering menimbulkan serangan,
ada hubungan dengan pekerjaan atau beban fisik, rangsangan psikis mempunyai peran
untuk menimbulkan serangan reaksi asma, perubahan-perubahan cuaca atau lingkungan
yang non spesifik merupakan keadaan peka bagi penderita.

14
2. Asma bronkial tipe atopi (instrinsik)
Pada golongan ini, keluhan ada hubungannya dengan paparan terhadap alergen
lingkungan yang spesifik. Kepekaan ini biasanya dapat ditimbulkan dengan uji kulit atau
provokasi bronkial. Pada tipe ini mempunyai sifat-sifat: timbul sejak kanak-kanak, pada
famili ada yang menderita asma, adanya eksim pada waktu bayi, sering menderita
rhinitis.

3. Asma bronkial campuran (mixed)


Pada golongan ini, keluhan diperberat baik oleh faktor-faktor intrinsik maupun
ekstrinsik.2,3
Klasifikasi asma berdasarkan serangan dibagi menjadi 2 yaitu :
1. Asma saat tanpa serangan
Pada orang dewasa, asma saat tanpa atau diluar serangan terdiri dari :
a. Intermitten
b. Persisten ringan
c. Persisten sedang
d. Persisten berat.

Tabel 2.1 Klasifikasi derajat asma pada orang dewasa2,3


Derajat asma Gejala Gejala malam Faal paru
Intermitten Bulanan APE≥80%
- Gejala < 1x/minggu. ≤2 kali sebulan - VEP1≥80% nilai prediksi
- Tanpa gejala diluar APE≥80% nilai terbaik.
serangan. - Variabiliti APE<20%.
- Serangan singkat.
Persisten ringan Mingguan APE>80%

- Gejala > 1x/minggu >2 kali sebulan - VEP1≥80% nilai prediksi


tetapi <1x/hari. APE≥80% nilai terbaik.
- Serangan dapat - Variabiliti APE 20-30%.
mengganggu aktifitas
dan tidur
Persisten sedang Harian APE 60-80%
- Gejala setiap hari. >2 kali sebulan - VEP1 60-80% nilai
- Serangan mengganggu prediksi APE 60-80%
aktifitas dan tidur. nilai terbaik.
- Membutuhkan
- Variabiliti APE>30%.
bronkodilator setiap

15
hari.

Persisten berat Kontinyu APE 60≤%

- Gejala terus menerus Sering - VEP1≤60% nilai prediksi


- Sering kambuh APE≤60% nilai terbaik
- Aktifiti fisik terbatas - Variabiliti APE>30%

Sedangkan pada anak, saat tanpa serangan dibagi menjadi :


a. Asma episodik jarang
b. Asma episodik sering
c. Asma persisten

Tabel 2.2 Klasifikasi derajat asma pada anak15


Parameter klinis, Asma episodik Asma episodik Asma persisten
kebutuhan obat jarang sering
dan faal paru asma

1 Frekuensi serangan <1x/bulan >1x/bulan Sering


2 Lama serangan <1minggu >1minggu Hampir sepanjang tahun, tidak
ada periode bebas serangan
3 Intensitas serangan Biasanya ringan Biasanya sedang Biasanya berat
4 Diantara serangan Tanpa gejala Sering ada gejala Gejala siang dan malam
5 Tidur dan aktifitas Tidak tergganggu Sering tergganggu Sangat tergganggu
6 Pemeriksaan fisik Normal ( tidak Mungkin tergganggu Tidak pernah normal
diluar serangan ditemukan kelainan) (ditemukan kelainan)
7 Obat pengendali(anti Tidak perlu Perlu Perlu
inflamasi)
8 Uji faal paru (diluar PEF atau PEF atau FEV1<60- PEV atau FEV<60%
serangan) FEV1>80% 80%
9 Variabilitas faal Variabilitas >15% Variabilitas >30% Variabilitas 20-30%.
paru(bila ada serangan) Variabilitas >50%
PEF=Peak expiratory flow (aliran ekspirasi/saat membuang napas puncak), FEV1=Forced expiratory
volume in second (volume ekspirasi paksa dalam 1 detik)

2. Asma Saat Serangan


Global Initiative for Asthma (GINA) membuat pembagian derajat serangan asma
berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium.
16
Derajat serangan menentukan terapi yang akan diterapkan. Klasifikasi tersebut meliputi
asma serangan ringan, asma serangan sedang dan asma serangan berat.
Perlu dibedakan antara asma (aspek kronik) dengan serangan asma (aspek akut).
Sebagai contoh: seorang pasien asma persisten berat dapat mengalami serangan ringan
saja, tetapi ada kemungkinan pada pasien yang tergolong episodik jarang mengalami
serangan asma berat, bahkan serangan ancaman henti napas yang dapat menyebabkan
kematian.

Tabel 2.3 Klasifikasi asma menurut derajat serangan2,3


Gejala dan Tanda Berat Serangan Akut Keadaan

Ringan Sedang Berat Mengancam Jiwa

Sesak napas Berjalan Berbicara Istirahat

Posisi Dapat tidur Duduk Duduk


terlentang membungkuk

Cara berbicara Satu kalimat Beberapa kata Kata demi kata

Kesadaran Mungkin gelisah Gelisah Gelisah Mengantuk, gelisah,


kesadaran menurun

Frekuensi napas < 20/menit 20-30/menit > 30/menit

Nadi < 100 100-120 > 120 Bradikardia

Pulsus paradoksus - +/- 10 – 20 + -


10 mmHg MmHg 25 mmHg Kelelahan otot

Otot Bantu Napas dan - + + Torakoabdominal

retraksi suprasternal paradoksal

Mengi Akhir ekspirasi Akhir ekspirasi Inspirasi dan Silent Chest


paksa > 80% Ekspirasi

APE > 80% 60-80 % < 60%

PaO2 > 80 mmHg 80-60 mmHg < 60 mmHg

PaCO2 < 45 mmHg < 45 mmHg > 45 mmHg

SaO2 > 95% 91-95% < 90%

2.6 PENATALAKSANAAN
Tatalaksana pasien asma adalah manajemen kasus untuk meningkatkan dan
mempertahankan kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal tanpa hambatan
dalam melakukan aktivitas sehari-hari (asma terkontrol).
Tujuan :
 Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma

17
 Mencegah eksaserbasi akut
 Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
 Mengupayakan aktivitas normal termasuk exercise
 Menghindari efek samping obat
 Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara (airflow limitation) irreversibel
 Mencegah kematian karena asma
 Khusus anak, untuk mempertahankan tumbuh kembang anak sesuai potensi
genetiknya.2,3

1. Penatalaksanaan farmakologis
a. Bronkodilator
Agonis B2 kerja panjang seperti salmeterol dan furmoterol digunakan bersama
dengan obat antiinflamasi untuk kontrol jangka panjang terhadap gejala yang timbul
pada malam hari. Obat golongan ini juga dipergunakan untuk mencegah
bronkospasme yang diinduksi oleh latihan fisik. Agonis B2 kerja cepat seperti
albuterol, bitolterol, pirbuterol dan terbutalin adalah terapi pilihan untuk
menghilangkan gejala akut dan bronkospasme yang diinduksi oleh aktifitas fisik.16

18
Gambar 2.4 Cara pemberian dan dosis bronkodilator16

b. Xantin
Untuk menghilangkan gejala atau pencegahan bronkospasme reversibel pada
asma bronkial.16

19
Gambar 2.5 Dosis aminofilin dan teofilin16

c. Antikolinergik
Dapat digunakan dalam bentuk tunggal atau kombinasi dengan bronkodilator
lain (terutama B2 agonis) sebagai bronkodilator dalam pengobatan asma bronkial.16

Gambar 2.6 Bentuk sediaan dan dosis ipratropium bromida16

d. Nedokromil natrium

20
Digunakan sebagai terapi pemeliharaan untuk pasien dewasa dan anak pada
asma ringan sampai sedang. Nedokromil natrium diberikan secara inhalasi sebanyaj
empat kali sehari dengan interval yang teratur untuk mencapai dosis 14 mg/hari.
Nedokromil natrium dapat diberikan bersama dengan bronkodilator. Jika efek
pengobatan tercapai dan asma terkendali, maka dosis nedokromil natrium dapat
diturunkan dengan perlahan secara bertahap.16

e. Kortikosteroid
Diindikasikan kepada pasien yang mempunyai riwayat perbaikan gejala asma
dengan penggunaan kortikosteroid sebelumnya dan sebagai terapi profilaksis pada
anak usia 12 bulan sampai 8 tahun. Obat ini tidak diindikasikan untuk pasien yang
dapat diterapi dengan bronkodilator dan obat non steroid lain.16

21
Gambar 2.7 Bentuk sediaan dan dosis kortikosteroid16

f. Antagonis reseptor leukotrien


1) Zafirlukast
Diindikasikan sebagai profilaksis dan perawatan asma kronik pada dewasa dan
anak diatas 5 tahun. Untuk dewasa dan anak diatas 11 tahun diberikan dosis 20 mg
dua kali sehari, anak 5 sampai 11 tahun diberikan dosis 10 mg dua kali sehari.16

2) Montelukast sodium
Digunakan sebagai profilaksis dan terapi asma kronik pada dewasa dan anak –
anak diatas 11 bulan.16

Gambar 2.8 Sediaan dan dosis montelukast sodium16

22
3) Zilueton
Digunakan sebagai profilaksis dan terapi asma kronik pada dewasa dan anak
diatas 11 tahun. Dosis zilueton untuk terapi asma adalah 600 mg 4 kali sehari.16

Tabel 2.4 Ciri-ciri tingkatan asma17


Tingkatan Asma Terkontrol

Karakteristik Terkontrol Terkonrol Tidak


Sebagian Terkonrol
Gejala harian Tidak ada (dua kali Lebih dari dua kali Tiga atau lebih gejala
atau kurang seminggu dalam kategori Asma
perminggu) Terkontrol Sebagian,
Pembatasan aktivitas Tidak ada Sewaktu-waktu dalam muncul sewaktu –
seminggu waktu dalam
Gejala nokturnal/gangguan Tidak ada Sewaktu – waktu dalam seminggu
tidur (terbangun) seminggu
Kebutuhan akan reliever atau Tidak ada (dua kali Lebih dari dua kali
terapi rescue atau kurang dalam seminggu
seminggu)

Fingsi Paru (PEF atau Normal < 80% (perkiraan atau dari
FEV1*) kondisi terbaik bila diukur)
Eksaserbasi Tidak ada Sekali atau lebih dalm Sekali dalam
setahun**) seminggu***)

2. Penatalaksanaan nonfarmakologi
Waktu serangan :
a. Pemberian oksigen, bila ada tanda-tanda hipoksemia, baik atas dasar gejala klinik
maupun hasil analisa gas darah
b. Pemberian cairan, terutama pada serangan asma yang berat dan yang berlangsung
lama ada kecenderungan terjadi dehidrasi. Dengan menangani dehidrasi, viskositas
mukus juga berkurang dan dengan demikian memudahkan ekspektorasi
c. Drainase postural atau chest physioterapi, untuk membantu pengeluaran dahak
agar supaya tidak timbul penyumbatan
d. Menghindari paparan alergen.

Diluar serangan :
a. Pendidikan/penyuluhan, penderita perlu mengetahui apa itu asma, apa
penyebabnya, apa pengobatannya, apa efek samping macam-macam obat, dan
bagaimana dapat menghindari timbulnya serangan. Menghindari paparan alergen.
Inti dari tindakan preventif adalah menghindari paparan terhadap alergen

23
b. Imunoterapi/desensitisasi, penentuan jenis alergen dilakukan dengan uji kulit atau
provokasi bronkial. Setelah diketahui jenis alergen, kemudian dilakukan
desensitisasi
c. Relaksasi/kontrol emosi, untuk mencapai ini perlu disiplin yang keras. Relaksasi
fisik dapat dibantu dengan latihan napas.2,3

2.7 DIAGNOSIS BANDING


1. Dewasa
 Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
 Bronkitis kronik
 Gagal jantung kongestif
 Batuk kronik akibat lain-lain
 Disfungsi larings
 Obstruksi mekanis (misalnya tumor)
 Emboli paru
2. Anak
 Benda asing di saluran nafas
 Laringotrakeomalasia
 Pembesaran kelenjar limfa
 Tumor
 Stenosis trakea
 Bronkiolitis3

2.8 KOMPLIKASI
1. Status asmatikus
2. Atelektasis
3. Hipoksemia
4. Pneumothoraks
5. Emfisema
6. Deformitas thoraks
7. Gagal nafas3

2.9 PENCEGAHAN

24
1. Mencegah Sensitisasi
Cara mencegah asma berupa pencegahan sensitisasi alergi (terjadinya atopi,
diduga paling relevan pada masa prenatal dan perinatal) atau pencegahan terjadinya asma
pada individu yang disensitisasi. Selain menghindari pajanan dengan asap rokok, baik in
utero atau setelah lahir, tidak ada bukti intervensi yang dapat mencegah perkembangan
asma.

2. Mencegah Eksaserbasi
Eksaserbasi asma dapat ditimbulkan berbagai faktor (trigger) seperti alergen
(indoor seperti tungau debu rumah, hewan berbulu, kecoa, dan jamur, alergen outdoor
seperti polen, jamur, infeksi virus, polutan dan obat. Mengurangi pajanan penderita
dengan beberapa faktor seperti menghentikan merokok, menghindari asap rokok,
lingkungan kerja, makanan, aditif, obat yang menimbulkan gejala dapat memperbaiki
kontrol asma serta keperluan obat. Tetapi biasanya penderita bereaksi terhadap banyak
faktor lingkungan sehingga usaha menghindari alergen sulit untuk dilakukan. Hal-hal
lain yang harus pula dihindari adalah polutan indoor dan outdoor, makanan dan aditif,
obesitas, emosi-stres dan berbagai faktor lainnya.2,3

2.10 PROGNOSIS
Dari data-data yang didapat, angka kematian akibat asma yang mengancam
nyawa relatif kecil, lebih banyak terjadi pada wanita dan angka kematian biasanya
meningkat di daerah dengan keterbatasan pelayanan kesehatan. Beberapa pasien
berlanjut ke stadium yang lebih berat dengan persentasi 6-19%. Tanpa diterapi, asma
tidak berlanjut dari stadium ringan ke stadium berat dalam waktu yang singkat, tetapi
perburukan terjadi secara perlahan-lahan. Secara umum prognosis asma adalah baik.2,3

25
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Asma merupakan penyakit dengan karakteristik obstruksi saluran napas yang


reversible akibat dari inflamasi saluran napas karena peningkatan respons
(hipereaktivitas) bronkus akibat paparan suatu faktor pencetus. Gejala yang timbul akibat
penyakit ini adalah sesak nafas, batuk, rasa berat di dada dan timbul mengi (wheezing)
terutama pada malam dan atau dini hari.
Patogenesis asma dilihat dari sudut pandang asma sebagai penyakit inflamasi dan
hiperreaktivitas saluran napas. Patofisiologi asma menggambarkan obstruksi saluran
napas sebagai tanda utama. Diagnosis asma didasarkan pada riwayat penyakit,
pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang, serta diperlukan juga untuk mengetahui
faktor pencetusnya.
Penatalaksanaan asma yang mengancam nyawa harus segera dibawa ke rumah
sakit dan dimasukkan di ruang perawatan intensif, dimana monitoring dan terapi
farmakologis dan nonfarmakologis bisa dilakukan dengan layak. Prognosis asma secara
umum baik dengan angka mortalitas yang kecil.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Dharmayanti I, Hapsari D, Azhar K. Asthma Among Children in Indonesia : Causes


and Triggers. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. Mei 2015:9(4)
2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma.
Jakarta:Depkes RI;2009
3. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Asma Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
di Indonesia. Jakarta:PDPI;2003
4. Global Initiative for Asthma. Global Strategy for Asthma Management and
Prevention. Geneva:GINA;2016
5. Mohammed S, dkk. The Saudi Initiative for Asthma : Guidelines For The Diagnosis
and Management of Asthma in Adults and Children. Us National Library of Medicine
Health. 2012:7
6. Surjanto E, Martika NT. Induksi Sputum Pada Pasien Asma. J Respir Indo. 2013:57
7. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Asma Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
di Indonesia. Jakarta:PDPI;2006
8. Widodo R, Djajalaksana S. Patofisiologi dan Marker Airway Remodelling Pada
Asma Bronkial. J Respir Indo. 2012:32
9. Dewan Asma Indonesia. Pedoman Tatalaksana Asma. Jakarta:DAI;2011
10. Asthma picture. Bronchoconstriction (asthma) shutterstock. 2012 (Cited on 2014
Oktober 17). Available from:URL :
http://www.shutterstock.com/cat.mhtml?searchterm=asthma&language=en&lang=en
&search_source=&safesearch=1&version=llv1&media_type=&page=1.
11. Global Initiative for Asthma. Global Strategy for Asthma Management and
Prevention. Geneva:GINA;2011
12. Holgate ST. The Bronchial Epithelial Origins of Asthma in Immunological
Mechanisms in Asthma and Allergic Disease; 2000
13. Oemiati R, Sihombing M, Qomariah. Faktor Faktor yang Berhubungan dengan
Penyakit Asma di Indonesia. Puslitbang BMF. Jakarta:Media Litbang Kesehatan
Volume XX . 2010
14. Global Initiative for Asthma. Global Strategy for Asthma Management and
Prevention. Geneva:GINA;2014
15. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta:IDAI;2010

27
16. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit
Asma. Jakarta:Depkes RI;2007

28

Anda mungkin juga menyukai