Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat,
hidayah dan inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tinjauan pustaka yang
berjudul Asma Bronkial.
Penulis juga ingin menyampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah
membantu penyusunan tinjauan pustaka ini terutama kepada :
1. dr. Sari Wiharso sebagai pembimbing yang telah memberikan nasehat, petunjuk
dan arahan kepada penulis
2. Orang tua penulis yang selalu memberikan dukungan, doa dan semangat kepada
penulis
3. Teman-teman penulis yang telah memberikan kritik dan saran kepada penulis.
4. Bidan dan perawat serta seluruh staff Puskesmas Banjar III yang telah
membantu penulis dalam penyusunan tinjauan pustaka ini.
Semoga tinjauan pustaka ini dapat bermanfat sebagai sumber ilmu pengetahuan
dan wawasan bagi para pembacanya. Penulis menyadari bahwa tinjauan pustaka ini
masih memiliki kekurangan sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran agar dapat
lebih baik lagi dalam penulisan tinjauan pustaka selanjutnya.
Sahlan Abadi
NIDM : 29.10 11.80 2013
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………………... 1
DAFTAR ISI………………………………………………………………………. 2
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………. 3
1.1 LATAR BELAKANG………………………………………………… 3
1.2 TUJUAN PENULISAN………………………………………………. 4
BAB III TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………… 5
2.1 DEFINISI……………………………………………………………… 5
2.2 FAKTOR RISIKO…………………………………………………….. 5
2.3 PETOFISIOLOGI…………………………………………………….. 7
2.4 GEJALA DAN DIAGNOSIS.………………………………………… 10
2.5 KLASIFIKASI………………………………………………………… 14
2.6 PENATALAKSANAAN……………………………………………... 17
2.7 DIAGNOSIS BANDING……………………………………………... 24
2.8 KOMPLIKASI………………………………………………………… 24
2.9 PENCEGAHAN……………………………………………………..... 24
2.10 PROGNOSIS…………………………………………………………. 25
BAB III PENUTUP…...…………………………………………………………... 26
3.1 KESIMPULAN………………………………………………………... 26
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………… 27
2
BAB I
PENDAHULUAN
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran nafas
yang menyebabkan hiperreaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang ditandai
dengan gejala episodik berulang berupa mengi, batuk, sesak napas dan rasa berat di dada
terutama pada malam hari dan atau dini hari yang umumnya bersifat reversibel baik
dengan atau tanpa pengobatan.2
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran nafas yang melibatkan banyak
sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan hiperesponsif saluran napas yang
akan menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, batuk dan dada
terasa berat terutama pada malam dan atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan
dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan sering kali bersifat reversibel
dengan atau tanpa pengobatan.3
5
ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkial jika terpajan dengan
faktor pencetus
b. Hipereaktivitas bronkus Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan
alergen maupun iritan
c. Jenis kelamin Pria merupakan risiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14
tahun, prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5 – 2 kali dibanding anak
perempuan. Tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama
dan pada masa menopause perempuan lebih banyak
d. Ras/etnik
e. Obesitas Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI), merupakan faktor
risiko asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran
napas dan meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun mekanismenya
belum jelas, penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma, dapat
memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan.
2. Faktor Lingkungan
a. Alergen dalam rumah (tungau debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan kulit
binatang seperti anjing, kucing)
b. Alergen luar rumah (serbuk sari dan spora jamur).
3. Faktor Lain
a. Alergen makanan, contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah,
coklat, kiwi, jeruk, bahan penyedap pengawet dan pewarna makanan
b. Alergen obat-obatan tertentu, contoh: penisilin, sefalosporin, golongan beta laktam
lainnya, eritrosin, tetrasiklin, analgesik dan antipiretik
c. Bahan yang mengiritasi, contoh: parfum dan household spray
d. Ekspresi emosi berlebih Stres/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan
asma, selain itu juga dapat memperberat serangan asma yang sudah ada.
Disamping gejala asma yang timbul harus segera diobati, penderita asma yang
mengalami stres/gangguan emosi perlu diberi nasihat untuk menyelesaikan
masalah pribadinya. Karena jika stresnya belum diatasi, maka gejala asmanya lebih
sulit diobati
e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif Asap rokok berhubungan dengan
penurunan fungsi paru. Pajanan asap rokok, sebelum dan sesudah kelahiran
berhubungan dengan efek berbahaya yang dapat diukur seperti meningkatkan
risiko terjadinya gejala serupa asma pada usia dini
6
f. Polusi udara dari luar dan dalam ruangan
g. Exercise-induced asthma Pada penderita yang kambuh asmanya ketika
melakukan aktivitas/olahraga tertentu. Sebagian besar penderita asma akan
mendapat serangan jika melakukan aktivitas jasmani atau olahraga yang berat. Lari
cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktivitas
biasanya terjadi segera setelah selesai aktivitas tersebut
h. Perubahan cuaca Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering
mempengaruhi asma. Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu
terjadinya serangan asma. Serangan kadang-kadang berhubungan dengan musim,
seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga (serbuk sari beterbangan)
i. Status sosial ekonomi.2,3,4
2.3 PATOFISIOLOGI
Konsep terbaru patogenesis asma adalah proses inflamasi kronik pada saluran
pernapasan yang menyebabkan saluran pernapasan menjadi sempit dan hiperesponsif.5
Asma dalam derajat apapun merupakan inflamasi kronik saluran napas. Terdapat
sejumlah penderita dengan inflamasi saluran napas namun faal paru normal. Inflamasi ini
sudah terdapat pada asma dini dan asma ringan atau terjadi sebelum disfungsi paru. Jarak
antara inflamasi mukosa dengan munculnya disfungsi paru belum diketahui. Inflamasi
saluran napas telah dibuktikan melalui beberapa penelitian seperti hiperaktivitas bronkus,
kurasan bronkoalveolar, biopsi bronkus, induksi sputum serta otopsi pasien yang
meninggal saat serangan.6
Gambaran khas inflamasi ditandai dengan peningkatan jumlah eosinofil
teraktivasi, sel mast, makrofag dan limfosit T dalam lumen mukosa saluran pernapasan.
Sel limfosit berperan penting dalam respon inflamasi melalui pelepasan berbagai sitokin
multifungsional. Limfosit T subset T helper-2 (Th-2) yang berperan dalam patogenesis
asma akan mensekresi sitokin interleukin 3 (IL-3), (IL-4), (IL-5), (IL-9), (IL-13), (IL-16)
dan Granulocute Monocyte Colony Stimulating Factor (GMCSF).7 Sitokin bersama sel
inflamasi yang lain akan saling berinteraksi sehingga menimbulkan proses inflamasi
yang kompleks yang menyebabkan degranulasi sel mast disertai pengeluaran berbagai
mediator inflamasi dan berbagai protein toksik yang akan merusak epitel saluran
pernapasan, sebagai salah satu penyebab hipereaktivitas saluran pernapasan. Hal ini
diperberat dengan terjadinya hipertrofi dan hiperplasia otot polos bronkus, sel goblet dan
7
kelenjar bronkus serta hipersekresi kelenjar mukus yang menyebabkan penyempitan
saluran pernapasan.5
9
Populasi dengan
predisposisi genetik
Faktor resiko
lingkungan Kontrol lingkungan ?
Bronkodilator Antiinflamasi
Manifestasi klinis
batuk, mengi, sesak
Gambar 2.3 Patofisiologi asma9
10
a. Episodik adalah serangan yang berulang (hilang timbul) yang diantaranya terdapat
periode bebas serangan
b. Variabilitas adalah bervariasinya kondisi asma pada waktu-waktu tertentu seperti
perubahan cuaca, akibat provokasi pencetus (alergen / iritan), bahkan dalam satu hari
terjadi variabilitas dengan perburukan pada malam atau dini hari
c. Reversibel adalah meredanya gejala asma dengan atau tanpa pengobatan.9
Beberapa kondisi yang dapat mendukung diagnosis asma, yaitu :
a. Disertai gajala lainnya yang tersering rhinitis alergi
b. Disertai gejala atopik (rhinitis alergi, konjungtivitis alergi dan dermatitis atopik)
c. Mempunyai riwayat alergi dalam keluarga
d. Jika mendapat batuk pilek (common cold/nasofaringitis akut berlangsung lama (>10
hari) dan sering komplikasi ke saluran napas bawah.9
Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala dapat berupa
batuk, sesak napas, mengi (wheezing), rasa berat di dada dan variabilitas yang berkaitan
dengan cuaca. Derajat sesak napas bervariasi tergantung pada gejala yang ditimbulkan.
Seperti pada penyakit lain, diagnosis penyakit asma dapat ditegakkan dengan anamnesis
yang baik. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan faal paru akan lebih meningkatkan nilai
diagnostik.7
1) Anamnesis
Anamnesis yang baik meliputi riwayat tentang penyakit / gejala, yaitu:
a) Asma bersifat episodik, sering bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan
b) Asma biasanya muncul setelah adanya paparan terhadap alergen, gejala musiman,
riwayat alergi/atopi, dan riwayat keluarga pengidap asma
c) Gejala asma berupa batuk, mengi, sesak napas yang episodik, rasa berat di dada
dan batuk berdahak yang berulang
d) Gejala timbul/memburuk terutama pada malam/dini hari
e) Mengi atau batuk setelah kegiatan fisik
f) Respon positif terhadap pemberian bronkodilator.7
Hal lain yang perlu dipertimbangan dalam riwayat penyakit adalah riwayat
keluarga (atopi), riwayat alergi / atopi, penyakit lain yang memberatkan dan
perkembangan penyakit serta pengobatan.7
2) Pemeriksaan fisik
11
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan fisik dapat normal
pada saat stabil (tidak eksaserbasi), sampai didapatkan gambaran klinis yang berat yaitu
pada saat eksaserbasi akut berat. Kelainan pemeriksaan fisik yang paling umum
ditemukan pada auskultasi adalah mengi (wheezing) yang menandakan adanya obstruksi
saluran pernapasan. Suara mengi (wheezing) umumnya bilateral, polifonik dan lebih
terdengar pada fase ekspirasi.9 Pemeriksaan pada saluran pernafasan atas pada penyakit
asma sangat penting untuk melihat adanya rhinitis alergi, nasal polip, postnasal dripping
dan pembengkakan mukosa.5
Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal walaupun pada
pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan napas. Hal ini
menunjukan obstruksi jalan napas tidak berat sehingga intensitas bunyi suara tambahan
tidak keras bahkan tidak terdengar yang dikenal dengan serangan asma ringan. Pada
obstruksi jalan napas yang sangat berat, mengi (wheezing) bisa tidak terdengar dan
pasien nampak gelisah bahkan kesadaran menurun serta sianosis. Kondisi tersebut di
kenal dengan silent chest.9
Pemeriksaan fisik akan sangat membantu diagnosis jika pada saat pemeriksaan
terdapat gejala-gejala obstruksi saluran pernapasan. Sewaktu mengalami serangan, jalan
napas akan semakin mengecil oleh karena kontraksi otot polos saluran napas, edema dan
hipersekresi mukus. Keadaan ini dapat menyumbat saluran napas sebagai kompensasi
penderita akan bernapas pada volume paru yang lebih besar untuk mengatasi jalan napas
yang mengecil (hiperinflasi).7 Hal ini akan menyebabkan timbulnya gejala klinis berupa
batuk, sesak napas dan mengi. Tanda klinis asma lainnya yang dapat ditemukan pada
saat eksaserbasi akut antara lain peningkatan nadi dan frekuensi napas, penggunaan otot-
otot bantu napas dan pulsus parodoksus.9
3) Pemeriksaan penunjang
Diagnosis asma membutuhkan pemeriksaan penunjang yang terdiri atas
pemeriksaan penunjang standar dan penunjang tambahan.7
Spirometri
Spirometri diperlukan untuk mendeteksi obstruksi aliran udara, menilai
keparahan dan mengukur reversibilitas.10 Pengukuran volume ekspirasi paksa detik
pertama (VEP1) dan Kapasitas Vital Paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi
paksa melalui prosedur yang standar. Pemeriksaan sangat bergantung kepada
kemampuan penderita sehingga dibutuhkan instruksi operator yang jelas dan kerjasama
penderita. Untuk mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai yang tertinggi dari 2-3
nilai reproducible dan acceptable.7
Nilai normal dari volume paru tersebut sangat lebar variasinya bergantung dengan
usia, jenis kelamin, tinggi badan dan etnik atau ras. Berbagai kondisi penyakit paru dapat
menghasilkan perubahan nilai VEP1 dan KVP oleh karena itu penilaian obstruksi jalan
napas berdasarkan ratio VEP1 dan KVP (VEP1 / KVP) yang normal diatas 75-80%
(bergantung usia).9
13
b. Pemeriksaan penunjang tambahan
Uji provokasi bronkus
Uji ini dilakukan untuk menilai hiperaktivitas bronkus pada pasien dengan gejala
sesuai dengan asma, tetapi pemeriksaan fisik dan faal paru normal maka dilakukan
penilaian hiperaktivitas bronkus dengan inhalasi metakolin atau histamin.12 Hasil uji
provokasi menunjukkan dosis atau konsentrasi zat provokasi yang menimbulkan
penurunan VEP1 20%.13 Pemeriksaan uji provokasi bronkus mempunyai sensitivitas
tinggi tetapi spesifisitas rendah, artinya hasil negatif dapat menyinggirkan diagnosis
asma persisten, tetapi hasil positif tidak selalu berarti bahwa penderita tersebut asma.14
14
2. Asma bronkial tipe atopi (instrinsik)
Pada golongan ini, keluhan ada hubungannya dengan paparan terhadap alergen
lingkungan yang spesifik. Kepekaan ini biasanya dapat ditimbulkan dengan uji kulit atau
provokasi bronkial. Pada tipe ini mempunyai sifat-sifat: timbul sejak kanak-kanak, pada
famili ada yang menderita asma, adanya eksim pada waktu bayi, sering menderita
rhinitis.
15
hari.
2.6 PENATALAKSANAAN
Tatalaksana pasien asma adalah manajemen kasus untuk meningkatkan dan
mempertahankan kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal tanpa hambatan
dalam melakukan aktivitas sehari-hari (asma terkontrol).
Tujuan :
Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
17
Mencegah eksaserbasi akut
Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
Mengupayakan aktivitas normal termasuk exercise
Menghindari efek samping obat
Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara (airflow limitation) irreversibel
Mencegah kematian karena asma
Khusus anak, untuk mempertahankan tumbuh kembang anak sesuai potensi
genetiknya.2,3
1. Penatalaksanaan farmakologis
a. Bronkodilator
Agonis B2 kerja panjang seperti salmeterol dan furmoterol digunakan bersama
dengan obat antiinflamasi untuk kontrol jangka panjang terhadap gejala yang timbul
pada malam hari. Obat golongan ini juga dipergunakan untuk mencegah
bronkospasme yang diinduksi oleh latihan fisik. Agonis B2 kerja cepat seperti
albuterol, bitolterol, pirbuterol dan terbutalin adalah terapi pilihan untuk
menghilangkan gejala akut dan bronkospasme yang diinduksi oleh aktifitas fisik.16
18
Gambar 2.4 Cara pemberian dan dosis bronkodilator16
b. Xantin
Untuk menghilangkan gejala atau pencegahan bronkospasme reversibel pada
asma bronkial.16
19
Gambar 2.5 Dosis aminofilin dan teofilin16
c. Antikolinergik
Dapat digunakan dalam bentuk tunggal atau kombinasi dengan bronkodilator
lain (terutama B2 agonis) sebagai bronkodilator dalam pengobatan asma bronkial.16
d. Nedokromil natrium
20
Digunakan sebagai terapi pemeliharaan untuk pasien dewasa dan anak pada
asma ringan sampai sedang. Nedokromil natrium diberikan secara inhalasi sebanyaj
empat kali sehari dengan interval yang teratur untuk mencapai dosis 14 mg/hari.
Nedokromil natrium dapat diberikan bersama dengan bronkodilator. Jika efek
pengobatan tercapai dan asma terkendali, maka dosis nedokromil natrium dapat
diturunkan dengan perlahan secara bertahap.16
e. Kortikosteroid
Diindikasikan kepada pasien yang mempunyai riwayat perbaikan gejala asma
dengan penggunaan kortikosteroid sebelumnya dan sebagai terapi profilaksis pada
anak usia 12 bulan sampai 8 tahun. Obat ini tidak diindikasikan untuk pasien yang
dapat diterapi dengan bronkodilator dan obat non steroid lain.16
21
Gambar 2.7 Bentuk sediaan dan dosis kortikosteroid16
2) Montelukast sodium
Digunakan sebagai profilaksis dan terapi asma kronik pada dewasa dan anak –
anak diatas 11 bulan.16
22
3) Zilueton
Digunakan sebagai profilaksis dan terapi asma kronik pada dewasa dan anak
diatas 11 tahun. Dosis zilueton untuk terapi asma adalah 600 mg 4 kali sehari.16
Fingsi Paru (PEF atau Normal < 80% (perkiraan atau dari
FEV1*) kondisi terbaik bila diukur)
Eksaserbasi Tidak ada Sekali atau lebih dalm Sekali dalam
setahun**) seminggu***)
2. Penatalaksanaan nonfarmakologi
Waktu serangan :
a. Pemberian oksigen, bila ada tanda-tanda hipoksemia, baik atas dasar gejala klinik
maupun hasil analisa gas darah
b. Pemberian cairan, terutama pada serangan asma yang berat dan yang berlangsung
lama ada kecenderungan terjadi dehidrasi. Dengan menangani dehidrasi, viskositas
mukus juga berkurang dan dengan demikian memudahkan ekspektorasi
c. Drainase postural atau chest physioterapi, untuk membantu pengeluaran dahak
agar supaya tidak timbul penyumbatan
d. Menghindari paparan alergen.
Diluar serangan :
a. Pendidikan/penyuluhan, penderita perlu mengetahui apa itu asma, apa
penyebabnya, apa pengobatannya, apa efek samping macam-macam obat, dan
bagaimana dapat menghindari timbulnya serangan. Menghindari paparan alergen.
Inti dari tindakan preventif adalah menghindari paparan terhadap alergen
23
b. Imunoterapi/desensitisasi, penentuan jenis alergen dilakukan dengan uji kulit atau
provokasi bronkial. Setelah diketahui jenis alergen, kemudian dilakukan
desensitisasi
c. Relaksasi/kontrol emosi, untuk mencapai ini perlu disiplin yang keras. Relaksasi
fisik dapat dibantu dengan latihan napas.2,3
2.8 KOMPLIKASI
1. Status asmatikus
2. Atelektasis
3. Hipoksemia
4. Pneumothoraks
5. Emfisema
6. Deformitas thoraks
7. Gagal nafas3
2.9 PENCEGAHAN
24
1. Mencegah Sensitisasi
Cara mencegah asma berupa pencegahan sensitisasi alergi (terjadinya atopi,
diduga paling relevan pada masa prenatal dan perinatal) atau pencegahan terjadinya asma
pada individu yang disensitisasi. Selain menghindari pajanan dengan asap rokok, baik in
utero atau setelah lahir, tidak ada bukti intervensi yang dapat mencegah perkembangan
asma.
2. Mencegah Eksaserbasi
Eksaserbasi asma dapat ditimbulkan berbagai faktor (trigger) seperti alergen
(indoor seperti tungau debu rumah, hewan berbulu, kecoa, dan jamur, alergen outdoor
seperti polen, jamur, infeksi virus, polutan dan obat. Mengurangi pajanan penderita
dengan beberapa faktor seperti menghentikan merokok, menghindari asap rokok,
lingkungan kerja, makanan, aditif, obat yang menimbulkan gejala dapat memperbaiki
kontrol asma serta keperluan obat. Tetapi biasanya penderita bereaksi terhadap banyak
faktor lingkungan sehingga usaha menghindari alergen sulit untuk dilakukan. Hal-hal
lain yang harus pula dihindari adalah polutan indoor dan outdoor, makanan dan aditif,
obesitas, emosi-stres dan berbagai faktor lainnya.2,3
2.10 PROGNOSIS
Dari data-data yang didapat, angka kematian akibat asma yang mengancam
nyawa relatif kecil, lebih banyak terjadi pada wanita dan angka kematian biasanya
meningkat di daerah dengan keterbatasan pelayanan kesehatan. Beberapa pasien
berlanjut ke stadium yang lebih berat dengan persentasi 6-19%. Tanpa diterapi, asma
tidak berlanjut dari stadium ringan ke stadium berat dalam waktu yang singkat, tetapi
perburukan terjadi secara perlahan-lahan. Secara umum prognosis asma adalah baik.2,3
25
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
26
DAFTAR PUSTAKA
27
16. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit
Asma. Jakarta:Depkes RI;2007
28