Anda di halaman 1dari 6

Refleksi Filosofis dan Pandangan Al-Qur’an atas Kajian Sejarah

Oleh: Rijal Jirananda


(Disampaikan pada kegiatan Kajian Ilmiah PD Hima Persis Tasikmalaya Raya)

“Umat Muslim tidak boleh terus menerus bersikap pasif dan tercemar seperti sebuah genangan danau yang hanya
dipenuhi oleh sumber-sumber potensial. Dia harus memikirkan dan merencanakan masa depannya. Dan, kalau
perlu, ia harus menguatkan hatinya untuk merebut masa depan. Tapi kita tak dapat mengharapkan datangnya
panen sebelum kita menanam biji dan memeliharanya.” (Ziauddin Sardar)

Manusia sepanjang perjalanan hidupnya di dunia, telah menyaksikan muncul dan


lenyapnya peradaban-peradaban. Dalam setiap peradabannya itu, manusia memiliki karakter
kebudayaannya yang khas. Sisi yang lain dari perjalanan manusia di muka bumi dengan
kebudayaan dan peradabannya, memperlihatkan pertumbuhan dan perkembangan, yang harus
kita sadari, bergerak secara evolutif. Maka dari itu, kita sebagai manusia, tidak boleh terjebak
dengan kesadaran yang dangkal dan pendek mengenai perubahan.

Entah telah berapa abad lamanya masa telah berlalu sejak manusia pertama, nabi Adam
alaihisalam diturunkan ke bumi atas kehendak Allah subhanahuwata’ala dengan waktu kita saat
ini hidup. Rentang waktu yang amat panjang tersebut menyisakan peninggalan-peninggalan
dalam berbagai bentuknya seperti pemikiran, kebudayaan, artefak dan yang lainnya, yang dapat
kita telusuri keberadaannya. Jejak dari peninggalan-peninggalan tersebut digunakan oleh
manusia sebagai alat dalam mengembangkan kehidupan di zamannya. Pengertian dan pemikiran
tentang peninggalan-peninggalan tersebut tersistematisasi dalam kerangka pengetahuan yang kini
disebut dengan sejarah.

Sejarah, menjadi diantara pengetahuan penting bagi manusia dalam mengkondisikan


dirinya di masa ia hidup maupun untuk masa depannya. Banyak hal yang dapat dipelajari oleh
manusia dari perjalanan sejarahnya sendiri. Setiap sejarah memiliki arti dan nilai, sehingga
manusia dapat membentuk sejarahnya sendiri sekaligus manusia juga adalah hasil daripada
bentukan sejarah itu sendiri. Terkadang, tindakan manusia mampu mempengaruhi jalannya
sejarah, kadang pula sejarahlah yang mempengaruhi tindakan-tindakan manusia. Sejarah itu
kembali terulang membawa peristiwa dan kejadian lama. Manusia akan senantiasa berputar
dalam siklus hukum-hukum sejarah yang membentuk pola tertentu. Dari hukum-hukum tersebut
dan pola-pola yang terbentuk itu, manusia dapat mengambil pelajaran berharga dari sejarah.
Untuk itu, kajian atasnya tidak hanya penting, tapi memang dibutuhkan oleh manusia untuk terus
memajukan kehidupannya.

Memahami Sejarah

Kata “Sejarah” berasal dari bahasa arab “syajaratun”, artinya pohon. Apabila
digambarkan secara sistematik, sejarah hampir sama dengan pohon, memiliki cabang, ranting,
bermula dari sebuah bibit, kemudian tumbuh dan berkembang, lalu layu dan tumbang. Seirama
dengan kata sejarah adalah silsilah, kisah, hikayat yang berasal dari bahasa arab. Sejarah di dunia
Barat di sebut histoire (Perancis), historie (Belanda), history (Inggris), istoria dalam bahasa
Yunani berarti ilmu. Menurut definisi yang umum, kata history berarti ”masa lampau umat
manusia”. Dalam bahasa Jerman disebut geschichte, berasal dari kata geschehen yang berarti
terjadi. Sedangkan dalam bahasa Arab disebut tarikh, berasal dari akar kata ta’rikh dan taurikh
yang berarti pemberitahuan tentang waktu dan kadang kala kata tarikhus syai’i menunjukkan arti
pada tujuan dan masa berakhirnya suatu peristiwa.1

Walaupun kata sejarah diambil dari bahasa Arab yang berarti pohon, tetapi istilah itu
hanya dipakai untuk mendeskripsikan proses tumbuh, hidup dan berkembang terus menerus
seperti yang selalu tergambar dalam sejarah. Sejarah memang biasanya didefinisikan dalam
konsep tersebut. Sidi Gazalba misalnya, mengatakan bahwa sejarah itu adalah gambaran masa
lalu tentang manusia dan sekitarnya sebagai makhluk sosial yang disusun secara ilmiah dan
lengkap, meliputi urutan fakta dan masa tersebut dengan tafsiran dan penjelasan, yang memberi
pengertian tentang apa yang telah berlalu.2

Untuk menyederhanakan pemahaman atas sejarah, perlu ada pembatasan kajian serjarah.
Pembatasan yang dimaksud tepatnya sebagaimana yang diketengahkan oleh Sulthon Mas’ud,
bahwasanya sejarah haruslah diartikan sebagai tindakan manusia dalam jangka waktu tertentu
pada masa lampau yang dilakukan di tempat tertentu.3 Dari pengertian tersebut, maka kita akan
mudah memahami kajian sejarah dengan bentuk yang biasa kita temui seperti sejarah bangsa
Yunani, sejarah bangsa Romawi, sejarah bangsa Eropa, sejarah umat Islam dan bentuk lain yang
serupa.

Refleksi Filosofis Kajian Sejarah

Kerangka yang akan membantu penyelidikan filosofis atas kajian sejarah diantaranya
dengan menggunakan filsafat sejarah. Filsafat sejarah menurut Patrick Gardiner menunjuk
kepada jenis penyelidikan yang secara tradisional dipakai untuk menunjukkan usaha memberikan
tafsiran atau keterangan yang luas mengenai seluruh proses sejarah. Filsafat sejarah dalam arti ini
secara khas menurutnya, bercirikan dengan pertanyaan seperti apa arti sejarah itu4.

Sementara itu, Dilthey dan Beneditto menjelaskan bahwa filsafat sejarah harus bertujuan
menentukan apa yang telah terjadi di masa lalu dan mengapa terjadi. Ini tidak bisa tidak akan
melibatkan suatu perumusan pikiran atas peristiwa-peristiwa dalam dirinya sendiri guna
menghasilkan tafsiran-tafsiran ilmiah.5 Perumusan tentang apa yang terjadi di masa lalu bicara
tentang akumulasi peristiwa dan kejadian yang digeneralisasi, seperti kemenangan, kekalahan,
kebangkitan, keruntuhan, peperangan, perdamian dan sebagainya. Kemudian peristiwa-peristiwa
tersebut dicari sebab kejadiannya, sebagaimana rumusan yang telah disebutkan, yakni
menentukan jawaban dari pertanyaan ‘mengapa terjadi’.

1
Sulthon Mas’ud, Sejarah Peradaban Islam, Universitas Sunan Ampel, hal. 12
2
Shadiq Shabry, Filsafat Sejarah Dalam Al-Qur’an, (Jurnal Sulesana, Volume 8 No 2 Tahun 2013), Hal. 105
3
Sulthon Mas’ud, Sejarah Peradaban Islam, Universitas Sunan Ampel, hal. 13
4
Shadiq Shabry, Filsafat Sejarah Dalam Al-Qur’an, (Jurnal Sulesana, Volume 8 No 2 Tahun 2013), Hal. 104
5
Ibid.,
Murtadha Muthahari menerangkan bahwa filsafat sejarah adalah pengetahuan tentang
perkembangan masyarakat dari tahap ke tahap dan pengetahuan tentang hukum yang mengatur
perubahan-perubahannya. Ia menyebutnya sebagai ilmu tentang ‘menjadi’ nya masyarakat,
bukan tentang ‘keberadaan’ masyarakat saja.6 Di sini Murtadha Muthahari membedakan antara
kualitas ‘menjadi’ dengan ‘keberadaan’ suatu masyarakat. Menurutnya, kualitas ‘keberadaan’
suatu masyarakat merupakan subjek dari cabang sejarah yang disebut sejarah ilmiah atau ilmu
sejarah. sedangkan, kualitas ‘menjadi’ merupakan cabang lainnya, yakni filsafat sejarah. Kondisi
suatu masyarakat hanya akan mengalami salah satu dari dua kualitas ini. Dua kualitas ini saling
bertolak belakang, sehingga mustahil dua kualitas ini hadir dalam waktu bersamaan. Karena
‘keberadaan’ menunjukan kemandegan (statis) dan ‘menjadi’ menunjukan gerak (dinamis).

Pendapat lain tentang filsafat sejarah datang dari tokoh yang diakui dunia sebagai peletak
dasar sosiologi dan filsafat sejarah, yakni Ibnu Khaldun. Dalam pandangan Ibnu Khaldun,
masyarakat adalah makhluk historis yang hidup dan berkembang sesuai dengan hukum-hukum
khusus yang berkenaan dengannya. Hukum-hukum tersebut dapat diamati dan dibatasi lewat
pengamatan terhadap sejumlah fenomena sosial.7

Adapun pengertian yang dikemukakan oleh Ibnu Khaldun tentang filsafat sejarah, adalah
keterangan yang mendalam tentang sebab dari asal usul sesuatu dan pegetahuan tentang
substansi, esesnsi sebab-sebab terjadinya suatu peristiwa. Ibnu Khaldun melihat, terdapat dua sisi
dalam sejarah, sisi luar dan sisi dalam. Dari sisi luar, sejarah tak lebih dari rekaman siklus
periode dan kekuasaan masa lampau, tetapi jika dilihat secara lebih mendalam, sejarah
merupakan penalaran kritis, dan usaha cermat untuk mencari kebenaran.8 Ziauddin Sardar
memberikan komentar terkait pemikiran Ibnu Khaldun tentang aspek dalam atau esensi daripada
kajian sejarah. Ia menyatakan bahwasanya kebenaran yang dimaksud tersebut akan
mengantarkan sekaligus menuntut kita untuk melakukan penulisan kembali sejarah dengan
perspektif yang berbeda. Upaya penulisan kembali itu dilakukan sebagai upaya mengungkap
sejarah dengan luas agar ditemukan perspektif-perspektif baru untuk memberikan pemahaman
yang lebih lengkap, mendetail dan mendalam. Dengan itu kita mampu merumuskan visi kedepan
dengan lebih luas.9

Ibnu Khaldun juga dikenal sebagai perintis dan pelopor the culture cycle theory of
history, teori sejarah yang diakui di Timur dan di Barat. Menurut teori ini, sejarah dunia, adalah
siklus dari setiap kebudayaan dan peradaban. Ia mengalami masa lahirnya, masa naik (masa

6
Murtadha Muthahari, Masyarakat dan Sejarah, (Jogjakarta: Rausyanfikr Institute, 2012), hal. 59
7
Zainab Kudhariri, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun, (Bandung: Penerbit Pustaka,1987), hal. 62
8
Budi Sujari, Konsepsi Filsafat Sejarah dan SejarahMenurut Ibnu Khaldun (Jurnal: Tamaddun Vol. 6 , No. 2, Juli -
Desember 2018), hal. 9
9
Ziauddin Sardar, Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim, (Bandung: Mizan, 1992), hal. 213
berkembang), masa puncaknya, kemudian masa menurun (kemunduran), kemudian masa lenyap
(runtuh dan hancur). Ibnu Khaldun memberi istilah siklus itu dengan “tiga tangga peradaban”.10

Dari pemikiran-pemikaran tentang filsafat sejarah di atas, dapat kita pahami bahwa
filsafat sejarah sebagai upaya penelaahan atas tafsiran dan penjelasan secara luas tentang
peristiwa-peristiwa masa lalu yang terjadi dalam suatu masyarakat, tidak hanya berakhir pada
mengungkap sebab-sebab mendalam tentang peristiwa-peristiwa tersebut, tetapi sekaligus
bertujuan untuk mencari kebenaran. Dari perolehan kebenaran tersebut, manusia mampu
mendudukan sekaligus mengarahkan realitas kekinian perkembangan suatu masyarakat dan
kemudian mampu menyiapkan diri untuk masa depan.

Pandangan Al-Qur’an tentang Sejarah

Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang wajib dijadikan sebagai pedoman dalam
segala aspek kehidupan baik dalam pemikiran, sikap dan perilaku. Kajian sejarah yang terdapat
dalam Al-Qur’an sama sekali tidak dapat dilepaskan dari aspek fungsional Al-Qur’an itu sendiri
sebagai kitab petunjuk bagi manusia. Berbeda hal nya dengan kajian sejarah pada umumnya.
Tradisi Ilmiah, telah mengungkung pengetahuan sejarah hanya sebagai aturan hukum mengenai
sebab akibat semata. Ilmu sejarah yang selama ini berkembang, tidak memiliki kaitan moral
apapun dengan arah perkembangan masyarakat yang seharusnya dituju. Penjelasan ini dapat kita
temui secara terang dalam Al-Qur’an itu sendiri, yakni pada ayat 111 surat Yusuf,
ً‫ق ٱلَّذِى بَ ْينَ يَ َد ْي ِه َوتَ ْف ِصي َل ُك ِل ش َْىءٍ َو ُهدًى َو َرحْ َمة‬ ْ َ ‫ب ۗ َما كَانَ َحدِيثًا يُ ْفت َ َر َٰى َو َٰلَ ِكن ت‬
َ ‫صدِي‬ ِ َ‫َص ِه ْم ِعب َْرةٌ ِّل ُ ۟و ِلى ْٱّل َ ْل َٰب‬
ِ ‫لَقَ ْد كَانَ فِى قَص‬
َ‫لِقَ ْو ٍم يُؤْ ِمنُون‬

“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang
mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan
(kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat
bagi kaum yang beriman”

Ayat tersebut menjelaskan, bahwasanya dalam kisah-kisah yang dituturkan Al-Qur’an


terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal. Ayat ini menunjukan bahwasanya kita sebagai
manusia yang telah dianugerahi akal oleh Allah subhanahuwata’ala diharuskan untuk
melakukan pencarian dan penelaahan atas kisah-kisah atau peristiwa sejarah. Di samping itu
yang perlu diperhatikan, bahwasanya Al-Qur’an telah menetapkan aspek aksiologis dari kegiatan
tersebut, yakni selain sebagai penelaahan, kisah atau peristiwa sejarah tersebut berlaku sebagai
petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.

Baqir Shadr menerangkan dalam bukunya Sejarah dalam Perspektif Al-Qur’an,


bahwasanya merupakan hak istimewa Al-Quran untuk memberikan petunjuk kepada umat
manusia. Para Rasul juga diutus untuk membimbing manusia juga agar mereka tidak mengalami

10
Budi Sujari, Konsepsi Filsafat Sejarah dan SejarahMenurut Ibnu Khaldun (Jurnal: Tamaddun Vol. 6 , No. 2, Juli -
Desember 2018), hal. 9
kebingungan dan menyimpang dari jalan yang lurus. Semua itu merupakan Rahmat dari Allah
subhanahuwata’ala dalam memberikan petunjuk kepada manusia dengan menurunkan kitab-
kitab-Nya dan mengutus para Rasul. Menurutnya, konsekuensi seorang yang tidak terbimbing
oleh petunjuk secara relijius, ia akan terombang ambing oleh gagasan-gagasan yang pada
akhirnya akan menyimpangkan jalannya. Dengan demikian, adalah fakta, bahwa perhatian yang
seharusnya terhadap hukum-hukum serta kecenderungan sejarah merupakan bagian penting dari
upaya memperoleh petunjuk, karena ia melindungi manusia dari kejahatan-kejahatan
penyimpangan.11

Lanjut Baqir Shadr menerangkan, menurutnya, Al-Qur’an sendiri yang mewajibkan


kepada manusia untuk dapat menemukan kecenderungan-kecenderungan sejarah dan
menyimpulkan hukum-hukumnya. Manusia harus menanggapi kisah-kisah yang disampaikan
oleh Al-Qur’an dengan serius, berusaha sekuat tenaga dengan sebaik-baiknya untuk menemukan
hukum-hukum atau pola-pola sejarah, kemudian menerima ketetapan-ketetapan yang timbul
darinya.12 Muhammad Khalafullah yang mengkaji sejarah secara spesifik dari kisah-kisah Al-
Qur’an, menemukan, bahwa kisah-kisah yang dituturkan Al-Qur’an selain bersifat sejarah ia juga
bersifat kesusasteraan. Pada bagian ini, Al-Qur’an ingin menyentuh dimensi perasaan dan jiwa
manusia untuk memberikan kesan kuat terhadapnya hingga mampu menggugah perasaan halus.13
Nampaknya Khalafullah ingin mengetengahkan bahwa kesan kuat yang ditujukan kepada jiwa
manusia, dimaksudkan sebagai tuntutan kepada manusia untuk memiliki rasa kesadaran yang
kuat akan pelajaran-pelajaran dari kisah-kisah dalam Al-Qur’an. Banyak ayat Al-Qur’an yang
dengan keras menyentak kesadaran manusia atas kelalaian dan kebodohannya karena tidak
belajar dari kisah-kisah bangsa terdahulu. Salah satunya seperti pada ayat 9 surat ar-Rum,

“Dan tidaklah mereka bepergian di bumi lalu melihat kesudahan orang-orang sebelum mereka
(yang mendustakan rasul)? Orang-orang itu lebih kuat dari mereka (sendiri) dan mereka telah
mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya serta melebihi apa yang telah mereka
makmurkan. Dan telah datang kepada mereka rasul-rasul mereka dengan membawa bukti yang
jelas. Maka Allah sama sekali tidak berlaku zalim kepada mereka, tetapi merekalah yang
berlaku zalim kepada diri mereka sendiri”

Dalam ayat ini diterangkan, bahwa kisah bangsa terdahulu itu dipelajari bukan bertujuan
untuk mengambil pelajaran dalam pembangunan dan pengembangan kehidupan suatu
masyarakat atau bangsa. Tetapi untuk mengajak manusia mengikuti apa yang di bawa oleh rasul-
rasul Allah. Di sini kita sebagai umat Islam diajak untuk merenungkan kisah-kisah dalam Al-
Qur’an sebagai sejarah demi menanamkan keimanan dalam jiwa umat Islam. Ayat tersebut
dengan sangat jelas menyebutkan, bahwasanya bangsa-bangsa terdahulu memiliki kekuatan yang
lebih hebat, dan kekuatan tersebut digunakan untuk membangun dan mengembangkan kehidupan

11
M. Baqir Shadr, Sejarah dalam Perspektif Al-Qur’an: Sebuah Analisis, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1990), hal. 16
12
Ibid,.
13
Shadiq Shabry, Filsafat Sejarah Dalam Al-Qur’an, (Jurnal Sulesana, Volume 8 No 2 Tahun 2013), Hal. 104
masyarakat agar lebih maju. Tapi dikarenakan bangsa-bangsa tersebut berpaling dari rasul-rasul
yang diutus oleh Allah subhanahuwata’ala, Allah kemudian melenyapkan mereka dengan adzab
yang pedih. Kemudian Allah subhanahuwata’ala menegaskan bahwa hukuman yang mereka
terima, tiada lain disebabkan oleh kedzaliman mereka sendiri. Dalam arti lain yang lebih
mendalam, disebabkan oleh perasaan, sikap dan tindakan mereka sendiri yang menolak apa yang
dibawa oleh rasul-rasul Allah.

Bagi kita yang hidup saat ini, juga merupakan suatu kedzaliman, ketika kita terus
membangun dan mengembangkan kehidupan dengan segala bentuknya namun kita lalai dari
tugas utama manusia yakni beribadah kepada Allah subhanahuwata’ala. Diantara sarana yang
dianjurkan oleh al-Qur’an untuk menunaikan tugas utama tersebut adalah dengan merenungkan
kisah-kisah bangsa terdahulu, guna memperbarui keimanan kita sehingga kita terdorong untuk
terus beramal dan beribadah kepada Allah subhanahuwata’ala. Maka merupakan suatu
kedzaliman juga, apabila al-Qur’an yang selama ini kita baca, bahkan setiap hari, tapi kita tidak
memaksimalkan akal yang telah dianugerahkan Allah subhanahuwata’ala kepada setiap
manusia untuk merenungkan kisah-kisah dalam Al-Qur’an dan mengambil pelajaran
daripadanya. Wallahu’alam

Daftar Bacaan

Sulthon Mas’ud, Sejarah Peradaban Islam, Universitas Sunan Ampel

Murtadha Muthahari, Masyarakat dan Sejarah, Jogjakarta: Rausyanfikr Institute, 2012

Zainab Kudhariri, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun, Bandung: Penerbit Pustaka,1987

Ziauddin Sardar, Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim, Bandung: Mizan, 1992

M. Baqir Shadr, Sejarah dalam Perspektif Al-Qur’an: Sebuah Analisis, Jakarta: Pustaka
Hidayah, 1990

Shadiq Shabry, Filsafat Sejarah Dalam Al-Qur’an, Jurnal Sulesana, Volume 8 No 2 Tahun 2013

Budi Sujari, Konsepsi Filsafat Sejarah dan Sejarah Menurut Ibnu Khaldun Jurnal: Tamaddun
Vol. 6 , No. 2, Juli - Desember 2018

Anda mungkin juga menyukai