Anda di halaman 1dari 5

Wacana Keumatan dan Kebangsaan dalam Bingkai Transformasi Tajdid

Oleh: Rijal Jirananda

Sudah dua puluh tiga tahun lebih, Hima Persis eksis di antara nafas-nafas pergerakan di
Indonesia. Dalam rentang waktu tersebut, tentunya Hima Persis telah mengalami banyak
dinamika, baik yang terjadi disebabkan oleh faktor internal maupun eksternal. Selama itu, Hima
Persis terus berupaya semaksimal mungkin untuk bisa mematangkan dan mendewasakan
gerakannya. Diantara aktifitas yang terus dilakukan oleh Hima Persis adalah mencari ide dan
gagasan ideal bagi keberlangsungan gerakan. Berkembangnya ide dan gagasan di lingkungan
gerakan Hima Persis merupakan bukti bahwa Hima Persis sebagai bagian dari wadah perjuangan
umat Islam secara umum dan mahasiswa muslim Indonesia secara khusus tidak pernah berhenti
untuk mencari gagasan ideal bagi alternatif gerakan yang mampu membawa perubahan dan
kemajuan bagi umat dan bangsa.

Ada tiga dimensi yang harus kita pahami dalam memandang gerakan Hima Persis,
sebagaimana yang dipaparkan oleh rakanda Nizar Ahmad Saputra. Pertama, bahwasanya Hima
Persis merupakan bagian daripada otonom Persis. Kedua, Hima Persis sebagai bagian daripada
gerakan mahasiswa dan komponen bangsa Indonesia. Ketiga, Hima Persis sebagai bagian dari
umat Islam secara umum.

Hima Persis di tahun ke dua puluh tiga ini, mengangkat isu keumatan dan kebangsaan
sebagai tema gerakannya. Penulis melihat, belum ada ruang yang serius bagi pembicaraan
tentang tema ini. Untuk itu, penulis ingin berusaha sebisa mungkin untuk menangkap gagasan
dari tema tersebut agar dapat menyumbangkan gambaran yang jelas (sekalipun ‘tidak pasti’,
setidaknya mendekati) kepada kader-kader Hima Persis, untuk kemudian mengaktualisasikan
gagasan tersebut dalam gerakan. Ketiga dimensi yang disebutkan di muka, juga sekaligus
merupakan visi gerakan yang kemudian dapat merintis jalan yang realistis bagi gerakan
keumatan dan kebangsaan. Yang menarik dalam gagasan ini, adalah perspektif tajdid yang akan
menjadi kerangka pemikiran wacana keumatan dan kebangsaan. Untuk itu, perlu dibahas terlebih
dahulu sepintas tentang konsep tajdid dan perkembangannya.

Transformasi Tajdid: Perkembangan Konsepsi Tajdid

Dalam dimensi konseptualnya, tajdid merupakan istilah yang tidak bisa dilepaskan dari
orientasi nilai Islam. Landasan epistemologisnya yang jelas berasal dari sumber pengetahuan
Islam. Maka dalam penerapannya, tajdid tidak hanya memiliki tugas transformatif, tapi juga
sekaligus transendental. Artinya, orientasi pembaruan yang diciptakan harus disertai dengan
penempaan nilai-nilai spiritual keIslaman serta tidak boleh tercerabut dari akar nilai-nilai agama
sebagai motivasi perjuangannya.
Istilah tajdid berasal dari kata kerja mudhari yaitu yujaddidu yang berarti
memperbaharuhi, dan “tajaddada al-syai”, artinya sesuatu itu menjadi baru1. Kata ini berasal
dari hadits Rasulullah saw,

َ ‫علَى َرأْ ِس ك ُِل ِمائ َ ِة‬


‫سنَ ٍة َم ْن يُج َِد ُد لَهَا دِينَهَا‬ َ ‫ث ِل َه ِذ ِه ْاْل ُ َّم ِة‬
ُ َ‫َّللاَ يَ ْبع‬
َّ َّ‫إِن‬

“Sesungguhnya Allah akan mengutus kepada umat ini di setiap seratus tahun mujaddid yang
akan memperbaharui baginya agamanya”

Muhammad Said menerangkan, terdapat tiga arti yang saling terkait dari istilah tajdid: 1)
bahwa sesuatu yang diperbaharuhi itu telah ada permulaannya dan dikenal oleh orang banyak, 2)
bahwa sesuatu itu telah berlalu beberapa waktu, kemudian usang dan rusak, dan 3) sesuatu itu
telah dikembalikan kepada keadaan semula sebelum usang dan rusak.2

Menurut Eka Hendry dalam bukunya Perkembangan Pemikiran Modern dalam Islam,
ada beberapa pandangan yang muncul terkait istilah tajdid. Pertama, ada yang memandang
istilah tajdid di sini adalah upaya purifikasi atau memurnikan kembali ajaran Islam dari segala
bentuk penyimpangan. Kedua, ada yang memandang bahwa tajdid adalah menghidupkan
kembali ajaran Islam (revival), disebabkan banyak ajaran-ajaran dari Rasulullah dan para sahabat
yang ditinggalkan di zaman sekarang.3 Adalagi pandangan yang mengaitkan tajdid dengan arti
pembaruan pada modernisasi. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, sebagaimana dikutip oleh
Abdul Quddus, kata modernisasi memiliki arti cara berfikir dan bertindak sesuai dengan tuntutan
zaman4.

Dari penjelasan tersebut kita dapat mengambil tiga pandangan mengenai istilah tajdid.
Pertama, sebagai purifikasi ajaran Islam. Kedua, sebagai upaya menghidupkan kembali ajaran-
ajaran Islam. Ketiga, sebagai gerakan modernisasi. Dengan demikian kita dapat mendefenisikan
gerakan pembaharuan Islam sebagai upaya menghidupkan kembali khazanah keIslaman klasik,
memurnikan ajaran dari segala bentuk pencemaran dan penyimpangan, menyelaraskan ajaran
Islam dengan perkembangan zaman dan membebaskan orang-orang Islam dari satu dominasi
paham atau pemikiran tertentu yang dianggap tidak lagi relevan dengan tuntutan perubahan
zaman.5 Yang penting dicatat dari tiga pandangan tersebut adalah bahwa gerakan tajdid bukan
suatu upaya menghadirkan agama baru. Melainkan melakukan perbaikan dalam hal pemikiran
dan praktik keberagamaan. Hanya saja, masing-masing dari pandangan tersebut memiliki
aksentuase atau penekanan yang berbeda.

1
Fuady Anwar, Pembaruan dalam Islam, (Makalah: Fakultas Ilmu Pengetauah Sosial IKIP Padang, 1996) , hal. 4
2
Bustami Muhammad Said, Pembaharu dan Pembaharuan dalam Islam, Terj. Mahsun al-Mundzir, (Gontor-
Ponorogo: PSIA ISID, 1991), hal. 2-3
3
Eka Hendry AR, Perkembangan Pemikiran Modern dalam Islam, (Pontianak: STAIN Pontianak Press, 2013), hal.
11-12
4
Abdul Quddus, Perbandingan Pemikiran Islam: Teologi, Fiqh dan Tasawuf, (Mataram: Sanabil Creative, 2015),
hal 1-2
5
Ibid., hal. 15
Gagasan Tajdid Keumatan dan Kebangsaan

Ranah yang menjadi cakupan tajdid sebagaiman penjelasan sebelumnya adalah


pemikiran yang menjadi motor bagi aktifitas kehidupan praktis. Dalam hal ini, tajdid memiliki
fungsi sebagai medium bagi penafsiran nilai-nilai Islam untuk kemudian diturunkan pada
konteks kehidupan sosial, kebudayaan, ekonomi, politik dan kenegaraan6. Konteks keumatan dan
kebangsaan pun tentu tidak luput dari perhatian pemikiran Islam. Yang kemudian, setiap
pemikiran sebagaimana dalam perspektif tajdid, berpotensi untuk usang kemudian mampu
diperbarui kembali.

Pemikiran keumatan dan kebangsaan yang kini tengah berkembang setidaknya penulis
mencatat beberapa hal. Pertama, isu keumatan dan kebangsaan sebenarnya memiliki hubungan
yang korelatif. Ini terlihat dari gejala sosial postmodern saat ini di mana revolusi industri
menjadi isu penting yang mempengaruhi kehidupan. Revolusi industri berpengaruh pada cara
pandang manusia di berbagai sisi kehidupan: ilmu pengetahuan, seni, teknologi, bahkan tata
pemerintahan7. Rasionalitas menjadi tumpuan. Dalam alam pikiran modern, hal-hal yang bersifat
tradisional, harmonis, irrasional, sedikit demi sedikit ditinggalkan. Kemudian beralih kepada hal-
hal yang bersifat praktis dan pragmatis. Akhirnya, kebudayaan lama berubah bentuk dan
ditinggalkan. Tak pelak lagi, budaya yang merupakan software8 bagi landasan kebangsaan
sedikit demi sedikit tergantikan oleh bentuk kehidupan yang lain. Keretakan sosial budaya ini
pulalah diantara penyebab terjadinya ketegangan dan krisis sosial yang menjadi ranah
pembahasan keumatan. Kedua, secara diferensial, isu keumatan yang saat ini tengah ramai
menjadi diskusi publik adalah mengenai civil society atau masyarakat madani9. Gagasan ini
bergerak untuk bagaimana mengarahkan umat menjadi berdaya dan mandiri, tidak bergantung
pada perangkat pemerintahan dalam memenuhi berbagai kebutuhannya. Sedangkan dalam
konteks kebangsaan, kesadaran atas pluralitas dan persatuan masih menjadi tema utama isu-isu
kebangsaan10. Penulis tidak bermaksud mengesampingkan isu keadilan, kesejahteraan dan isu-
isu yang lainnya. Tetapi penulis melihat, realitas kebangsaan yang kini tengah bergejolak di
tengah publik seperti perpecahan disebabkan pilihan politik, ketidakpastian hukum,
kriminalisasi, dan sebagainya, merupakan ekses yang hadir disebabkan luputnya kesadaran atas
pentingnya persatuan dari perhatian publik.

Dari sana, penulis memandang pentingnya merumuskan gagasan yang dapat


mengakomodir isu keumatan dan kebangsaan secara integratif. Dari hasil beberapa pengkajian,
setidaknya ada tiga orientasi pemikiran yang penulis tawarkan bagi tajdid keumatan dan

6
Ibid., hal. 15-16
7
Umi Salamah, Perspektif Teori Postmodern Terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer, (Tanpa ket. tempat:
Penerbit Kafnun, 2015), hal. 8
8
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2015), hal. 353
9
Muhammad AS Hikam, Islam, Demokratisasi dan Pemberdayaan Civil Society, (Jakarta: Erlangga, 2000), hal. xii
10
Ibid,. hal
kebangsaan. Sebelumnya kita memahami perkembangan tajdid dalam tiga pandangan. Yakni
purifikasi, revitalisasi, dan modernisasi. Tiga pandangan ini menjadi kerangka pemikiran bagi
semangat wacana keumatan dan kebangsaan. Adapun rumusan yang penulis maksud adalah,
wacana keumatan dan kebangsaan harus bergerak melakukan misi persatuan, penyelamatan dan
perbaikan. Mengapa harus demikian? Secara ideologis, menurut Hamim Ilyas, sejatinya Islam
bukan sekedar sistem agama, tetapi sebagai sistem yang mencakup total seluruh segi kehidupan
manusia11. Maka aktualisasi keIslaman, pun harus diwujudkan dengan menjadikan umat Islam
sebagai pemimpin dalam seluruh segi kehidupan.

Dalam realisasinya, Islam sebagai satu kesatuan antara visi keduniaan dan visi
keakhiratan, memiliki fungsi mempersatukan, menyelamatkan dan memperbaiki kehidupan
manusia.12 Tiga fungsi ini terangkum dalam dua ayat al-Qur’an yakni, surat ali Imron ayat 103-
104. Kemudian jalan yang ditempuh untuk merealisasikannya, pertama, dengan memerangi
kejahiliyyahan. Segala bentuk kejahiliyyahan yang melekat pada kehidupan umat harus
disingkirkan dan diganti dengan etika-etika Islam. Kedua, dengan terus melakukan aktifitas amar
ma’ruf nahi munkar. Amar ma’ruf nahi munkar dilakukan dalam pola aktifitas pergerakan.
Gerakan mencakup aksi bersama yang bertujuan pada reorganisasi bidang yang menjadi
konsentrasinya (gerakan sosial bertujuan pada reorganisasi sosial, ekonomi pada reorganisasi
ekonomi, dan seterusnya). Sehingga dari dua jalan ini, suatu pergerakan diharapkan mampu
mewujudkan misi persatuan, penyelamatan dan perbaikan.

Penutup

Dalam kerangka transformasi tajdid, misi persatuan, penyelamatan dan perbaikan telah
mencakup orientasi purifikasi, revitalisasi dan modernisasi. Misi mempersatukan hadir dengan
semangat purifikasi, akan mengarahkan pada pencarian kembali faktor yang mampu
mewujudkan persatuan. Yang dalam hal ini, ikatan akidah sebagai umat Islam dan identitas
keIndonesiaan perlu kembali diangkat. Menjelaskan kembali secara massif kesadaran akan cita-
cita tinggi para founding father Indonesia sebagai perwujudan semangat revitalisasi keumatan
dan kebangsaan. Misi perbaikan akan senantiasa membawa dan menuntun umat dan bangsa
untuk hidup secara dinamis dalam kemajuan dan kemodernan.

Kerangka pemikiran itulah yang penulis harapkan mampu diterima dan


diimplementasikan pada tataran gerakan Hima Persis ke depan. Setiap dimensi yang menjadi
tanggungjawab gerakan Hima Persis, entah itu sebagai bagian dari otonom Persis, sebagai bagian
dari gerakan mahasiswa dan komponen bangsa maupun sebagai bagian dari umat Islam dunia,
diharapkan memiliki ruh tajdid keumatan dan kebangsaan dalam gerakannya. InsyaAllah, penulis
optimis, Hima Persis ke depan akan memimpin gerakan perubahan di Indonesia ini demi
tercapainya cita-cita bangsa Indonesia dan Islam. Wallahu’alam bi shawab

11
Hamim Ilyas, Fiqh Akbar: Prinsip-Prinsip Teologis Islam Rahmatan lil ‘Alamin, (Tangerang Selatan: Alvabet,
2018), hal. 290
12
Ibid,. hal. 293-292

Anda mungkin juga menyukai