Anda di halaman 1dari 5

Menyemai Kembali Semangat Gerakan Tajdid

Kajian atas Hakikat, Konsep dan Aktualitasnya

Oleh: Rijal Jirananda


(Disampaikan pada kajian intensif PD Hima Persis Tasikmalaya Raya)

Narasi Pengantar: Menghadapi Proses Dalam Melakukan Perubahan

Perubahan tercipta, tidaklah dapat kita bayangkan seperti sebuah tombol ajaib yang
ketika kita tekan, secara otomatis-praktis dapat memberikan hal-hal yang kita inginkan dengan
instan. Entah itu perubahan yang secara sengaja-terencana diarahkan pada kebaikan dan
kemajuan, ataupun perubahan yang bergulir bersama kekacauan, kemudian sedikit demi sedikit
mengantarkan pada kondisi yang menyentakkan kesadaran kita, bahwa ternyata kita tengah
mengalami kejatuhan, kemunduran, keterbelakangan. Keduanya –perubahan ke arah yang positif
ataupun yang negatif– sama-sama melalui proses yang sama sekali tidak instan.

Tidak ada seorang atau sekelompok orang pun yang mengharapkan terjadinya perubahan
yang negatif (kecuali mereka para konspirator-konspirator yang cinta dengan kekacauan).
Siapapun pasti mengharapkan kehidupan ini berjalan dengan baik dan bergerak ke arah yang
lebih baik. Namun tidak banyak yang tahu dan memahami dengan pasti, seperti apa dan
bagaimana kehidupan yang baik itu? Persoalannya kemudian yang akan muncul adalah kejahilan
perilaku dalam menjalani kehidupan ini dikarenakan kebingungan serius yang ditimbulkan oleh
kelalaian dalam mewujudkan kehidupan yang baik itu. Kejahilan perilaku tersebut kemudian
akan mengganggu dan mengacaukan stabilitas tatanan kehidupan kolektif dan menghambat
segala bentuk proses-proses kemajuan. Kebingungan yang serius yang dirasakan oleh seorang
atau sekelompok orang tersebut, kemudian akan mendorong setiap mereka menjadi seorang yang
individualistik karena pesimis terhadap proses mewujudkan cita-cita kehidupan yang lebih baik.

Ketika seorang telah menjadi individualis, ia hanya akan hidup dengan mengikuti apa
yang menjadi keinginan dan kesenangannya semata. Ia akan selalu memandang sinis kepada
mereka pelaku-pelaku perubahan yang memiliki cita-cita membawanya kepada kehidupan yang
lebih baik. Jangankan bertahan dengan proses, orang seperti ini tidak akan pernah bisa sabar
bertahan dengan lika-liku kehidupan bersama. Kecenderungan seperti ini sudah tentu bertolak
belakang dengan cita-cita perubahan ke arah yang lebih baik. Bagaimanapun, cita-cita kehidupan
yang baik itu menghendaki tatanan kehidupan bersama, yang dijalani bukan dengan
kecenderungan atau kepentingan individu, tapi dibangun di atas kepentingan kelompok. Dengan
demikian, adalah suatu yang mustahil melakukan perubahan ke arah yang lebih baik dengan
menjalani kehidupan ini berdasarkan kehendak dan keinginan pribadi saja.

Dari narasi tersebut, hal penting yang harus kita perhatikan adalah bahwa, kunci pertama
untuk menghadapi proses perubahan adalah dengan bertahan dalam menjalani kehidupan
bersama, atau dalam term yang biasa kita kenal, yaitu hidup berjama’ah. Bertahan dengan hidup
berjama’ah berarti juga bertahan dengan identitas kelompoknya. Karena, dalam setiap kelompok,
pasti memiliki identitas dan karakter khas yang membedakannya dengan kelompok lain. Baru
ketika kondisi ini dapat tercapai, proses untuk menjalankan perubahan dapat dilakukan.

Perubahan negatif (kekacauan, kemunduran, keterbelakangan) terjadi ketika kita abai


dengan realitas atau kenyataan. Kita membiarkan begitu saja kenyataan berjalan dengan
sendirinya, tanpa tahu kemana realitas tersebut tengah menuju. Ciri seorang yang mengabaikan
kenyataan dalam konteks ini adalah ketika seorang hidup dengan mengikuti kehendak dan
keinginannya sendiri tanpa mempedulikan kehidupan sekitarnya. Lalu tanpa sadar, kenyataan
dari hasil perubahan negatif tersebut telah menghancurkan dirinya sendiri.

Secara otomatis, bicara perubahan positif ke arah yang lebih baik dan maju, adalah bicara
tentang sejauh mana kita mampu mengambil kendali atas realitas yang berkembang ke arah
tujuan tertentu. Mengendalikan realitas atau kenyataan untuk di arahkan ke tujuan tertentu
membutuhkan kemampuan membaca lingkungan sekitar, kepekaan yang tinggi terhadap gejala-
gejala dan fenomena-fenomena yang berkembang di sekitar kita, menguraikan dan memetakan
permasalahannya, lalu merancang rumusan alternatif jalan keluar dari permasalahan tersebut.
Proses ini harus dijalani dengan konsisten dan berkelanjutan. Adalah suatu hal yang utopis dan
khayalan belaka, ketika kita mengharapkan perubahan hanya pada keberhasilan dari
penyelesaian satu persoalan saja. Karena kadangkala, ketika kita mampu menghadapi dan
menyelesaikan satu persoalan, bisa saja kita belum melihat ada perubahan yang berarti yang
terjadi. Maka, bagi mereka yang telah menyerah (dikarenakan gagal menyelesaikan masalah)
dengan hanya satu persoalan saja, tidak ada peluang perubahan yang akan terjadi. Dan masalah
akan kembali mengendalikan kenyataan.

Dalam upaya mewujudkan perubahan, untuk itu kita hanya perlu terus mengambil sebab-
sebab terciptanya perubahan dalam bentuk upaya yang sungguh-sungguh dan terencana. Ikhtiar
mengambil sebab, adalah diantara tanda keimanan dalam diri seorang. Dalam hal ini, ada suatu
yang tidak boleh luput dari perhatian ketika kita hendak menghadapi proses dalam melakukan
perubahan, yaitu terus menerus mengetuk pintu langit demi turunnya pertolongan dari Allah
subhanahu wata’ala. Dengan kita tetap melibatkan Nama-Nya dalam setiap langkah dalam
ikhtiar melakukan perubahan, InsyaAllah cita-cita perubahan akan semakin dekat. Firman-Nya:
”Allah tidak akan merubah suatu kaum, sebelum kaum tersebut mengubah diri mereka sendiri”
[Al-Qur’an, Surat ar-Ra’du: 13].

Memahami Hakikat Tajdid

Islam sebagai risalah yang dibawa dan disebarkan oleh Nabi Muhammad
shallallahu’alaihi wasallam kepada seluruh umat manusia, memiliki karakteristik yang
sempurna, universal dan menembus batas waktu atau zaman. Dalil-dalil tersebut dapat kita
temukan di banyak ayat dalam al-Qur’an yang menerangkan bahwa Allah mengutus kepada
setiap umat seorang rasul (Q.S an-Nahl:36, Yunus:47, al-Anbiya:45). Al-Qur’an mengabarkan
bahwa semua risalah yang dibawa oleh para nabi sejak dahulu adalah agama Islam (Q.S ali
Imron: 27).1 Dengan demikian, Islam merupakan risalah yang dibawa oleh setiap utusan Allah
subhanahuwata’ala kepada setiap umat, yang berarti sejak manusia diturunkan ke bumi, hingga
kerasulan terakhir yaitu Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam. Sedangkan, apa yang
dibawa oleh Nabi Muhammad, adalah untuk umat manusia hingga akhir zaman.

Namun, rentang waktu yang membentang antara kita dengan zaman kenabian selama
kurang lebih 1400 tahun, telah menjadikan ajaran Islam mengalami pasang surut dalam
penerapannya, bahkan terjadi distorsi pada ajaran-ajarannya. Belum lagi banyak persoalan-
persoalan baru yang muncul dari konsekuensi menyebarnya Islam ke seluruh negri. Hal ini
memungkinkan terjadinya kontak interaktif antara ajaran Islam dengan tradisi dan kebudayaan
setempat yang menyebabkan keotentikan ajaran Islam menjadi tercemar.

Kita tidak dapat memungkiri pula, zaman yang hari ini kita hidup di dalamnya, berada
pada pengaruh kuat kekuasaan ilmu pengetahuan dan teknologi Barat. Di zaman ini, banyak
manusia yang meninggalkan agama tak terkecuali agama Islam, karena menganggap bahwa ilmu
pengetahuan lebih mampu menjawab persoalan kehidupan. Lantas mereka menjadikan ilmu
pengetahuan sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan.

Umat Islam saat ini banyak yang menjadikan Islam sebagai agama ritual semata. Praktik
keberagamaan dipersempit hanya pada ruang-ruang ibadah formal semata seperti sholat, zakat,
puasa dan lain sebagainya. Kenyataannya dapat kita lihat ketika umat Islam menjalankan ibadah-
ibadah seperti sholat dan sebagainya dengan mengikuti panduan Islam, tetapi di luar ibadah-
ibadah tersebut seperti kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan politik tidak menyandarkannya
kepada Islam. Padahal Allah subhanahuwata’ala telah menjadikan Islam sebagai agama yang
sempurna (Q.S al-Maidah:3) yang menuntut setiap Muslim untuk menjadikan Islam sebagai
pedoman dalam segala aspek kehidupannya.

Tentu kondisi tersebut tidak sepatutnya kita biarkan seperti demikian. Perlu ada upaya
untuk mengembalikan Islam sebagai agama petunjuk yang akan mengantarkan umat manusia
menuju keselamatan di dunia dan di akhirat. Diantara upaya yang memiliki landasan
epistemologis dari sumber ajaran Islam adalah dengan melakukan Tajdid atau pembaruan. Tajdid
memiliki landasan yang jelas dan bersumber dari hadits nabi. Istilah tajdid berasal dari kata kerja
mudhari yaitu yujaddidu2,

َ ‫علَى َرأْ ِس ك ُِل ِمائ َ ِة‬


‫سنَ ٍة َم ْن يُج َِد ُد لَهَا دِينَهَا‬ َ ‫ث ِل َه ِذ ِه ْاْل ُ َّم ِة‬
ُ َ‫َّللاَ يَ ْبع‬
َّ َّ‫إِن‬

“Sesungguhnya Allah akan mengutus kepada umat ini di setiap seratus tahun mujaddid yang
akan memperbaharui baginya agamanya”

1
Asep Dudi S, Misi Risalah Islam: Landasan Epistemologis Reformasi Sosial Menuju Masyarakat Madani, (Jurnal
tanpa nama), hal. 88-86
2
Fuady Anwar, Pembaruan dalam Islam, (Makalah: Fakultas Ilmu Pengetauah Sosial IKIP Padang, 1996) , hal. 4
Menurut Eka Hendry AR dalam bukunya Perkembangan Pemikiran Modern dalam
Islam, ada beberapa pandangan yang muncul terkait istilah tajdid di sini. Pertama, ada yang
memandang istilah tajdid di sini adalah upaya purifikasi atau memurnikan kembali ajaran Islam
dari segala bentuk penyimpangan. Kedua, ada yang memandang bahwa tajdid adalah
menghidupkan kembali ajaran Islam (revival), disebabkan banyak ajaran-ajaran dari Rasulullah
dan para sahabat yang ditinggalkan di zaman sekarang.3 Adalagi pandangan yang mengaitkan
tajdid dengan arti pembaruan pada modernisasi. Dalam kamus besar bahasa Indonesia,
sebagaimana dikutip oleh Abdul Quddus, kata modernisasi memiliki arti cara berfikir dan
bertindak sesuai dengan tuntutan zaman. Sementara sebagai faham gerakan, istilah modern
diartikan dengan gerakan yang bertujuan menafsirkan kembali doktrin-doktrin tradisional untuk
disesuaikan dengan aliran-aliran filsafat, sejarah dan ilmu pengetahuan.4 Istilah tajdid sebagai
modernisasi ini bisa diartikan dengan menyesuaikan ajaran dan nilai-nilai Islam agar sesuai
dengan tuntutan zaman. Namun bukan berarti menjadikan Islam sesuai dengan tren
perkembangan zaman, tetapi membaca dan menafsirkan ulang doktrin dan nilai-nilai Islam
dengan kondisi mutakhir.5

Dari penjelasan tersebut kita dapat mengambil tiga pandangan mengenai istilah tajdid.
Pertama, sebagai purifikasi ajaran Islam. Kedua, sebagai upaya menghidupkan kembali ajaran-
ajaran Islam. Ketiga, sebagai gerakan modernisasi. Dengan demikian kita dapat mendefenisikan
gerakan pembaharuan Islam sebagai upaya menghidupkan kembali khazanah keislaman klasik,
memurnikan ajaran dari segala bentuk pencemaran dan penyimpangan, menyelaraskan ajaran
Islam dengan perkembangan zaman dan membebaskan orang-orang Islam dari satu dominasi
paham atau pemikiran tertentu yang dianggap tidak lagi relevan dengan tuntutan perubahan
zaman.6 Yang penting dicatat dari tiga pandangan tersebut adalah bahwa gerakan tajdid bukan
suatu upaya menghadirkan agama baru. Melainkan melakukan perbaikan dalam hal pemikiran
dan praktik keberagamaan. Hanya saja, masing-masing dari pandangan tersebut memiliki
aksentuase atau penekanan yang berbeda. Secara sederhana dapat kita ambil pengertian bahwa
tajdid adalah upaya untuk mengembalikan Islam sebagai acuan dan pedoman yang menyeluruh
bagi umat Islam dalam menjalani kehidupan.

Konsepsi Gerakan Tajdid

Secara etimologi, tajdid berasal dari Bahasa Arab “jaddada” yang artinya
memperbaharuhi, dan “tajaddada al-syai”, artinya sesuatu itu menjadi baru. Sebagai contoh
adalah kata-kata “jaddada al-wudûi”, artinya memperbaharuhi wudhu, dan “jaddada al-’ahda”,

3
Eka Hendry AR, Perkembangan Pemikiran Modern dalam Islam, (Pontianak: STAIN Pontianak Press, 2013), hal.
11-12
4
Abdul Quddus, Perbandingan Pemikiran Islam: Teologi, Fiqh dan Tasawuf, (Mataram: Sanabil Creative, 2015),
hal 1-2
5
Eka Hendry AR, Perkembangan Pemikiran Modern dalam Islam, (Pontianak: STAIN Pontianak Press, 2013), hal.
14
6
Ibid., hal. 15
artinya memperbaharuhi janji. Dari sini, makna tajdid memberikan gambaran pada pikiran kita
terkumpulnya tiga arti yang saling berkaitan dan tidak terpisah: 1) bahwa sesuatu yang
diperbaharuhi itu telah ada permulaannya dan dikenal oleh orang banyak, 2) bahwa sesuatu itu
telah berlalu beberapa waktu, kemudian usang dan rusak, dan 3) sesuatu itu telah dikembalikan
kepada keadaan semula sebelum usang dan rusak.7

Kemudian, terkait dengan fokus dari gerakan pembaharuan, ada banyak aspek yang
menjadi sasaran pembaharuan dalam Islam. Tentu hal yang mendasar adalah pemikiran
keislamannya, ini yang menjadi fokus utama dan pertamanya. Karena sejatinya sumber primer
dan sumber ajaran relatif konstan dan final seperti Al quran dan hadits nabi. Al-quran jelas sudah
final, meminjam istilah Muhammad Arkoun ia merupakan corpus resmi tertutup (closed formal
corpus) yaitu kitab suci yang terlah terstandar dengan baik (mushab Utsmani). Nashnya telah
selesai (tsubut dilalah), kecuali penafsirannya yang terus menerus berkembang. Sedangkan
hadits setelah wafat Rasulullah, tidak ada hadits lagi. Hadits-hadits yang telah dikodifikasi dan
validasi oleh para perawi hadits menjadi warisan yang pada prinsipnya juga sudah selesai. Ruang
perdebatan tentang kedudukan hadits terletak pada derajat keterpercayaan hadits itu, apakah
benar berasal dari Rasulullah (rawi-nya) dan ketepatan kontennya (matan-nya). Jadi pada
hakekatnya, keduanya sudah selesai pada konteks teksnya. Maka peluang pembaharuan dalam
konteks ini sangat kecil, dan kalaupun masuk ini termasuk kategori yang vulnerable.

Dengan demikian, ranah yang sangat mungkin dilakukan pembaharuan adalah wilayah
penafsiran terhadap teks-teks suci tersebut. Kemudian turun sedikit levelnya, adalah
pembaharuan dalam konteks karya-karya para ulama atau ilmuwan yang menafsirkan teks-teks
suci tersebut. Seperti pembacaan kritis terhadap tafsir Ibn Abbas, peran Abu Hurairah (sebagai
orang yang paling banyak meriwayat hadits), pembacaan kritis terhadap tafsir al-Kasyaf dari
Zamaksyari, Ibn Katsir, Al-Maraghi, Sayyid Qutb, Allamah Thabathabai dlsb. Kemudian objek
lain dari pembaharuan adalah produk-produk ijtihadi dalam ranah fiqh yang merupakan salah
satu “medan pembaharuan” yang sangat ramai dan juga kontroversial. Disamping itu pula,
pembaharuan juga terjadi dalam ranah praktis, seperti ketika Islam diturunkan nilai-nilainya
dalam konteks sosial, kebudayaan, ekonomi, politik dan kenegaraan.8

7
Bustami Muhammad Said, Pembaharu dan Pembaharuan dalam Islam, Terj. Mahsun al-Mundzir, (Gontor-
Ponorogo: PSIA ISID, 1991), hal. 2-3
8
Eka Hendry AR, Perkembangan Pemikiran Modern dalam Islam, (Pontianak: STAIN Pontianak Press, 2013), hal.
15-16

Anda mungkin juga menyukai