Anda di halaman 1dari 8

Keselamatan dan Kesehatan

Kerja (K3) Laboratorium

Agung Supriyadi, M.K.K.K. 15/11/2017

0 8 menit baca

Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) Laboratorium adalah semua upaya untuk menjamin
keselamatan dan kesehatan pekerja laboratorium dari risiko-risiko yang ada di laboratorium.
Keselamatan dan kesehatan kerja laboratorium sangat penting untuk dipahami mengingat
banyaknya laboratorium yang digunakan baik itu di pabrik ataupun di Lembaga Pendidikan dan
penelitian.

Ilustrasi keselamatan kerja laboratorium

Sumber: http://wpmlabs.com/
Beberapa kecelakaan kerja di Laboratorium telah terjadi. Pada 8 Januari 1999 di Carnegie Melon,
Pittsburgh, Pennsylvania, mahasiswa tingkat master terluka karena ledakan azobisisobutyronitril,
beberapa anggota tim K3L juga terluka. Tangki nitrogen pecah di Universitas Texas A&M pada
12 Januari 2006. Masih di Texas, mahasiswa tingkat master mendapatkan luka parah karena
sebuah ledakan dalam aktivitas penanganan campuran metal dengan energi tinggi yang tiba-tiba
meledak di Texas Tech. Pada 29 Desember 2008, mahasiswa meninggal karena terperangkan
dalam kebakaran kimia yang melibatkan tert-buthyllithium. Pada 16 Maret 2016 terdapat sebuah
ledakan di Laboratorium Universitas Hawaii. Seorang asisten riset mendapatkan luka yang sangat
serius, kehilangan lengannya. Kerugian finansial mencapai $ 1 Juta. Di Laboratorium Farmasi
Universitas Indonesia, terdapat ledakan yang menyebabkan 14 mahasiswa terluka pada 17 Maret
2015.
Kecelakaan-kecelakan di laboratorium seperti dijelaskan sebelumnya membuat kita seharusnya
berupaya menjamin bahwa pekerja di laboratorium telah aman. Dalam buku Lees Process Safety,
setidaknya ada 4 cara dalam menjamin keselamatan dan kesehatan kerja laboratorium:

Personel dan Sistem Manajemen Laboratorium


Laboratorium harusnya memiliki sistem manajemen dengan organisasi yang sesuai serta orang
yang berkompeten; prosedur, instruksi kerja serta dokumentasi yang baik. Semua informasi ini
harus tergabung dalam manual keselamatan laboratorium (laboratory safety manuals). Di sistem
tersebut, seharusnya menggambarkan secara jelas struktur organsisasi dengan rantai komandonya,
serta digambarkan juga pemisahan antara fungsi pelaksana dengan fungsi penasihat. Sistem
keselamatan dalam laboratorium yang sangat penting meliputi pemeriksaan bahaya, sistem izin
kerja, pelaporan kecelakaan dan audit keselamatan.
Kode laboratorium dapat juga dijadikan referensi dalam membuat sistem manajemen keselamatan
di laboratorium. Kode-kode laboratorium memberikan metodologi sistematik untuk mengatur
laboratorium. Contoh kode-kode tersebut adalah RIC Laboratoriues Code, NFPA 45, dan
ICheme laboratories guide.
Kompetensi dan kapabilitas personel yang bekerja di laboratorium berkisar dari yang sudah
diberikan pelatihan dengan baik dan sangat berpengalaman sampai peneliti yang tidak
berpengalaman. Penyamaan kompetensi ini dapat dilakukan dengan pelatihan. Pelatihan ini harus
mencakup bahaya, peralatan, prosedur, dan sistem. Pelatihan pun harus mencakup motivasi dalam
bekerja dengan aman.
Bahaya dalam Laboratorium
Pemeriksaan bahaya pada laboratorium kimia telah diberikan panduannya dalam Kode RIC dan
Panduan ICheme serta di banyak buku lain tentang keselamatan kerja laboratorum seperti yang
ada di Buku “Hazards in the Chemical Laboratory” yang ditulis oleh Bretherick tahun 1981.
Bahaya-bahaya pada laboratorium kimia meliputi substansi reaktif, substansi mudah terbakar,
substansi beracun, bahaya radiasi, bahaya listrik, bahaya mekanis, bahaya kondisi operasi dan
bahaya pelepasan air.

 Substansi reaktif: ketika substansi reaktif ini diangkat atau diproses, setiap usaha harus
dilakukan untuk menemukan informasi dari perilaku substansi reaktif tersebut dan bagaimana
cara mengendalikannya.

 Substansi mudah terbakar: banyak cairan dan gas yang dipakai di laboratorium adalah mudah
terbakar. Panduan untuk memakai bahan mudah terbakar telah dibahas oleh NFPA termasuk
NFPA 45 tentang laboratorium

 Substansi beracun: Ketika substansi beracun dipakai, kita harus menyadari 3 rute masuk
substansi beracun yaitu inhalasi, ingesti dan kontak kulit serta efek yang ditimbulkan baik itu
efek jangka pendek ataupun jangka Panjang. Panduan pengendalian bahaya beracun ini telah
ada pada Control of Substance Hazardous to Health (COSHH) Regulations tahun 1988.
Bahaya pada nanomaterial dan nano tekhnolgi juga harus diperhatikan.
 Bahaya radiasi: Banyak bahaya radiasi yang muncul pada aktivitas di laboratorium seperti
aktivitas yang menggunakan alat dengan sumber radioaktif seperti petunjuk level cairan,
detektor gas kromatograf, detektor kebocoran, alat anti static pada timbangan dan detektor
kebakaran; peralatan yang memproduksi voltase di atas 5 kV mungkin saja menjadi sumber
X-ray; peralatan dengan radiasi non-ionisasi seperti laser, microwave dan peralatan ultraviolet
serta infrared.

 Bahaya listrik: Personel bisa saja mendapatkan risiko tersetrum dalam perbaikan kabel atau
komponen yang belum dibumikan. Bahaya listrik yang ada pada laboratorium berbeda dengan
yang ada di industri, namun tetap saja berbahaya jika tidak dilakukan pengendalian yang tepat.

 Bahaya mekanik: bahaya mekanik muncul dari alat-alat seperti mesin-mesin bengkel,
perkakas tangan dan energi, peralatan lifting, peralatan yang berputar, dan mesin penekan.
Kecelakaan sangat mungkin muncul ketika personel laboratorium menggunakan peralatan
yang mereka tidak familiar.
 Bahaya operasional: bahaya yang terkait dengan temperature yang tinggi atau paling rendah,
cairan cryogenic, sumber tekanan tinggi (uap, udara, gas bertekanan dan air), dan vakum.
 Bahaya pelepasan air: terlepasnya air misalnya dalam bentuk jet dapat menimbulkan risiko
korslet, kejutan termal, kemunculan gas dalam bentuk jet serta reaksi air dengan zat kimia
yang reaktif.

Desain laboratorium
Desain laboratorium dan layout telah didiskusikan pada Panduan ICheme dan Buku ”Designing
safety into the laboratory” yang ditulis oleh Baum dan Diberardini (1987). Faktor-faktor yang
patut untuk diperhatikan dalam desain laboratorium termasuk layout, penyimpanan bahan kimia
beracun, ventilasi, fume hoods, dan fasilitas penunjang seperti bengkel, toko, penerimaan gudang,
jasa analitik dan fasilitas staff.
 Layout laboratorium: desain dan layout laboratorium harus dibuat dari analisa kebutuhan
aktivitas laboratorium dengan bantuan diagram alur yang menunjukkan alur material dari meja
eksperimen, bengkel, penyimpanan zat kimia, tempat analisa hingga fasilitas pengelolaan
limbah. Layout juga harus dapat membedakan mana area dengan risiko rendah dan area
dengan risiko tinggi.
 Zat beracun: ketika zat beracun dipakai, desain laboratorium harus ditujukan untuk tetap
menjaga konsentrasi lingkungan laboratorium di bawah batas aman pajanan. Untuk zat
beracun, regulasi COSHH 1988 menyebutkan untuk monitoring atmosfir tempat kerja dan
menjaga konsentrasi dari kontaminan dapat dilakukan melalui ventilasi dan fume hoods.
 Ventilasi: Metode paling umum untuk mengendalikan konsentrasi dan kontaminan di tempat
kerja adalah ventilasi. Exhaust dari ventilasi harus ditempatkan pada tempat yang aman (jauh
dari tempat pengambilan udara)
 Fume hoods: alat untuk melaksanakan eksperimen dengan zat beracun dan tak beracun dengan
aman
 Pendukung laboratorium: Pendukung laboratorium termasuk bengkel, penyimpanan, tempat
penerimaan barang, jasa analitik, dan fasilitas untuk staf. Perhatian harus ditujukan kepada
penyimpanan zat kimia yang harus dipisah berdasarkan bahayanya. Pemisahan tersebut
termasuk berlakuk untuk solven, perbedaan kelas dari zat kimia, mudah meledak, tabung gas,
dan material cryogenic.
Laboratorium harus didesain dengan perlindungan kebakaran yang sesuai dengan bangunan dan
kode perlindungan kebakaran dengan pertimbangan dari otoritas kebakaran. Beberapa kode
NFPA yang dapat diterapkan untuk laboratorium adalah NFPA 10, NFPA 30, NFPA 45, NFPA
45, NFPA 101, NFPA 704, dan NFPA kode 45. Beberapa elemen dasar dari desain untuk
perlindungan kebakaran meliputi ketahahan pintu, ketahanan internal layout, klasifikasi area
berbahaya, ventilasi mekanis, dan sistem alarm kebakaran.
Laboratorium juga dapat dilengkapi dengan rambu-rambu bahaya untuk memberikan komunikasi
kepada pekerja terkait risiko dan alat pelindung diri yang harus dipakai. Selain itu, rambu darurat
juga dapat dipasang agar pekerja tau apa yang harus dilakukan jika terjadi kejadian gawat darurat.

Contoh rambu gawat darurat laboratorium

Sumber: https://www.utwente.nl/ewi/mss/memslab/Safety_rules/general-laboratory-safety-rules/

Operasional Laboratorium
Banyak faktor yang mempengaruhi operasional laboratorium seperti informasi kimia, desain
eksperimen, penilaian bahaya, penilaian terhadap pengendalian substansi yang berbahaya
terhadap kesehatan (regulasi COSHH 1988), prosedur operasional, prosedur darurat,
pemeliharaan peralatan, sistem izin kerja, housekeeping, pekerjaan setelah jam kerja, operasional
yang tidak diawasi, serta akses ke dalam laboratorium. Semua faktor-faktor ini harus
dipertimbangkan dengan baik dan cukup untuk menjamin lingkungan kerja yang aman.
Laboratorium secara umum memiliki peralatan yang beranekaragam yang masing-masing
peralatan tersebut harus digunakan dalam kondisi yang sesuai dengan spesifikasi. Contoh
peralatan yang membutuhkan perhatian lebih ketika dipakai adalah peralatan dengan kaca,
piringan pemanas, oven dan tungku serta pemutar (centrifuges).
Laboratorium juga menggunakan berbagai macam material seperti air, uap, udara bertekanan, gas
bahan bakar dan tenaga listrik. Selain itu, terdapat pendingin, vakum, oksigen dan pipa gas yang
lain. Pemakaian harus dilakukan dengan memastikan penggunaan yang sesuai untuk mencegah
bahaya yang dihubungkan dengan penggunaan alat itu.

Pemakaian material dalam laboratorum dengan disusun dalam Panduan Icheme pada buku
“Hazards in the Chemical Laboratory” oleh Bretherick tahun 1981. Penyimpanan utama dari zat
kimia yang berbahaya harus dijaga dalam lokasi spesifik. Prinsip-prinsip yang harus diperhatikan
adalah segregasi dari material yang tidak kompatibel; jenis tempat penyimpanan yang tepat; poin
penerimaan; penerimaan, pengambil stok dan pembuangan stok; pengurangan dari inventori;
identifikasi, kepemilikian, informasi keselamatan dan kesehatan serta pelabelan.

Perencanaan kejadian gawat darurat harus memperhatikan penyebab kejadian gawat darurat dan
jenis-jenis kejadian gawat darurat dan pengendalian yang diperlukan. Perencanaan kejadian
gawat darurat harus mencakup semua bagian dari laboratorium termasuk penyimpanan dan
servis. Referensi detail untuk kejadian gawat darurat ada pada Panduan ICheme.

Contoh Keselamatan dan


Kesehatan Kerja Laboratorium
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Laboratorium
Kimia
Di Amerika Serikat, OSHA telah memberikan standard 29 CFR 1910.1450 untuk menghadapi
pajanan kimia berbahaya di laboratorium. Tujuan dari standard laboratorium ini adalah untuk
memastikan pekerja dalam laboratorium non produksi diinformasikan tentang bahaya kimia pada
tempat kerjanya dan dilindungi dari pajanan kimia yang melebihi nilai ambang batas paparan.
Standard laboratorium mencapai perlindungan yang diinginkan dengan chemical hygiene
plan (CHP). Standard laboratorium kimia terdiri dari 5 elemen utama:
 Identifikasi bahaya: Setiap laboratorium harus mengidentifikasi zat kimia yang dipakai oleh
pekerjanya. Semua tempat zat kimia harus diberikan label yang sesuai dan Material Safety
Data Sheet (MSDS) yang sesuai. Penggunaan logo globally harmonized system (GHS) juga
akan memberikan kontribusi terhadap pemahaman pekerja tentang bahaya zat kimia dengan
lebih mudah.
 Chemical Hygiene Plan (CHP)/ Rencana Higiene Kimia: Tujuan dari CHP ini adalah untuk
memberikan panduan yang tepat dan prosedur untuk penggunaan zat kimia dalam
laboratorium. Standard laboratorium meminta CHP untuk memasukkan prosedur, peralatan,
APD, dan praktik pekerjaan yang mampu untuk melindungi pekerja dari bahaya kesehatan
yang muncul dari pemakaian zat kimia dalam laboratorium.
 Informasi dan pelatihan: Pekerja laboratorium harus diberikan informasi dan pelatihan yang
berkaitan dengan bahaya kimia di laboratorium. Pelatihan harus diberikan pada saat pekerja
baru masuk ke laboratorium dan saat adanya zat kimia baru yang berbahaya. Selain itu,
pelatihan-pelatiha itu juga harus diulang secara periodik untuk menjamin bahwa pekerja selalu
mengingat prinsip-prinsip keselamatan di laboratorium.

 Pengukuran pajanan: OSHA telah membuat permissible exposure limits (PELs), seperti telah
tercantum di 29 CFR 1910, subpart Z, untuk ratusan zat kimia. PEL adalah adalah nilai
konsentrasi spesifik zat kimia di udara yang dipercaya tidak akan menimbulkan dampak buruk
pada pekerja. Perusahaan harus menjamin bahwa pekerja-pekerja mendapatkan pajanan
dibawah angka yang sudah ditentukan OSHA. Perusahaan harus melaksanakan monitoring
pajanan melalui sampling udara jika memang ada risiko pekerja terpapar pajanan melebihi
batas aman. Monitoring pajanan secara periodik harus dilakukan sesuai dengan standard
dengan pemberitahuan hasilnya kepada pekerja.
 Konsultasi Medis: Perusahaan harus menyediakan pengukuran kesehatan bagi pekerja terkait
dengan efek yang ditimbulkan oleh pajanan kimia. Pemeriksaan ini dapat dilakukan secara
periodik atau insidental misalnya terdapat zat kimia baru ataupun ada kasus kebocoran zat
kimia

Keselamatan dan Kesehatan Kerja di


Laboratorium Biologi
Pekerja di laboratorium biologi terpapar oleh beragam bahaya biologi seperti darah dan cairan
tubuh, specimen kultur, jaringan tubuh, binatang percobaan dan bahaya biologi dari laboran lain.
Beberapa bahaya biologi yang diidentifikasi oleh OSHA adalah anthraks, flu burung, botulisme
(keracunan dari bakteri), penyakit menular dari makanan, hantavirus (virus dari kotoran
kering,urin, ludah dari tikus), penyakit legionella, jamur, plague, ricin, SARS, cacar, tularemia
(demam kelinci), viral hemorrhagic fevers (VHFs), dan flu pandemik.
Beberapa prinsip untuk keselamatan dan kesehatan kerja di laboratorium biologi antara lain:

 Material Safety Data Sheets (MSDS)/ Lembar Data Keselamatan Bahan (LDKB) untuk agen
infeksius: Meskipun MSDS untuk produk kimia telah tersedia di Amerika Serikat dan negara
lain, namun hanya Kanada yang mengembangkan MSDS untuk agen infeksius. MSDS untuk
agen infeksius termasuk dosis, viabilitas, informasi medis, bahaya di laboratorium,
pencegahan yang direkomendasi, prosedur tumpahan dan pemakaian. Pemerintah Kanada
menyebutnya sebagai pathogen safety data sheet (PSDS) yang tersedia
di https://www.canada.ca/en/public-health/services/laboratory-biosafety-biosecurity/pathogen-
safety-data-sheets-risk-assessment.html
 Patogen menular dari darah: Di Amerika, OSHA memperkirakan terdapat 5.6 juta pekerja di
industri pelayanan kesehatan dan pekerjaan terkait memiliki risiko penularan pathogen dari
darah seperti HIV, hepatitis B, Hepatitis C dan yang lain. OSHA memberikan panduan untuk
mengendalikan pathogen menular dari darah dalam panduan 29 CFR 1910.1030.

 Binatang Percobaan: Semua prosedur terkait dengan binatang percobaan harus dilakukan oleh
personel yang telah ditraining secara sesuai. Dengan menggunakan praktek dan APD yang
sesuai, yaitu 29 CFR 1910.132(a), pekerja dapat mengurangi kemungkinan mereka akan
tergigit, tergores atau terpapar oleh badan binatang, cairan binatang dan jaringan binatang.

Referensi:
Center for Chemical Process Safety, 2016. Process Safety Beacon – October 2016 –
English. [Online] Available at: https://www.aiche.org/ccps/resources/process-safety-
beacon/201610/english
[Accessed 14 November 2017].
Department of Labor USA, 2011. Laboratory Safety Guidance. [Online] Available
at: https://www.osha.gov/Publications/laboratory/OSHA3404laboratory-safety-guidance.pdf
[Accessed 15 Nov 2017].
Mannan, S., 2014. Lees’ Process Safety Essentials. 1st ed. Oxford: Elsevier Inc.

Anda mungkin juga menyukai