SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Sistem Pemasaran Kopi
Arabika Gayo di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah, Provinsi Aceh:
Pendekatan Structure, Conduct, Performance (SCP) adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Kata kunci: sistem pemasaran, kopi Arabika Gayo, struktur pasar, perilaku pasar,
kinerja pasar, harga
SUMMARY
MEGA AMELIA PUTRI. The Marketing System of Arabica Gayo Coffee in
Central Aceh and Bener Meriah Regencies, Aceh Province: Structure, Conduct,
Performance (SCP) Approach. Supervised by ANNA FARIYANTI and
NUNUNG KUSNADI.
Arabica Gayo coffee is the main commodity from Central Aceh and Bener
Meriah regencies. Most (86%) of Arabica Gayo coffee production is exported to
the world market and the specialty coffee that has been classified as certified
organic, fairtrade and raintforest. The certification program has been able to
increase the sales value of Arabica Gayo coffee in the world market which is
commonly referred to as the premium price. In the Arabica Gayo coffee market,
volatility prices at exporter’s level is not followed by volatility prices at farmer’s
level. The fundamental problem for the majority of coffee farmers in Central Aceh
and Bener Meriah is weak bargaining position of farmers in the pricing process.
Competitive market conditions will affect the behavior of a marketing agency and
the determination of price. However, how quickly do price changes which are
responded by marketing agencies will be identified through analysis of market
performance. Based on these problems, it is necessary to analyze the marketing
system through the SCP approach i.e structure, conduct, performance. The aims of
this study are to 1) analyze the structure, conduct and performance of Arabica
Gayo coffee markets in Central Aceh and Bener Meriah, 2) analyze the influence
of the structure, conduct and performance of the market to the formation of coffee
prices at the farm level, and 3) formulate policies that can enhance bargaining
position of farmers in the pricing process. The analysis used are the descriptive
and quantitative analysis of the SCP approach. Quantitative data processing use
Microsoft Excel 2007 and Eviews 6.
The analysis showed that the structure of the market facing Arabica Gayo
coffee farmers in Central Aceh and Bener Meriah is oligopsonistic. This is
because the market conditions at the level of exporters concentrated with a small
level of competition (CR4 = 71.12%). Moreover, the existence of barriers to entry
due to the bond that exists between farmers with exporters to meet the standards
of certified coffee. The structure of such markets allows firms (exporters) for price
collusion. The amount of market power that affects the behavior of exporters
owned marketing agency in the lower level. Institutions and practices of
marketing functions involved are farmers, collectors, cooperatives and exporters.
The marketing function is the function that made the exchange, physical and
facilities. Arabica Gayo coffee marketing channels in Central Aceh and Bener
Meriah consists of 4 channels. The first channel is farmer-collector-cooperative-
exporters (non-cooperative). The second channel is farmer-collector-exporters
(non-cooperative). The third channel is farmer-collector-exporters (cooperative)-
exporterters (non-cooperative) and the fourth channel is farmer-collectors-
exporters (cooperative). Whole farmers deliver their coffee to the collector.
Dependence of farmers on the collector due to the limitations of the farmers in
gaining access to market information and alternative marketing channels. This
causes weak bargaining position of farmers in the pricing process. Conditions of
oligopsony market structure which is faced by farmers and the weak bargaining
position of farmers in the pricing process will affect the performance of the
market. It is proved by the share price of coffee received by farmer still low (≤
30%) with a relatively high margin. This condition is caused by the dependence of
farmers to collectors and limited facilities and infrastructure owned by farmers
with the result that most of farmers do not changed the value added of coffee
market. so that farmers owned most of the farmers do not make changes to the
value added which marketed coffee. On the other hand, vertical market integration
analysis showed that coffee at the farmers market is not integrated with the coffee
market at the collector level, cooperatives and exporters, meaning Arabica Gayo
coffee price changes in the level of collector, cooperatives and exporters at this
time and the previous time does not affect the price of coffee in the farm level.
This suggests that farmers tend to be price taker in the short term and long term.
The SCP approach has shown that volatility prices at exporter’s level is not
followed by volatility prices at farmer’s level. This condition illustrates that Gayo
Arabica coffee marketing system in Central Aceh and Bener Meriah inefficient. In
an effort to improve the bargaining position of farmers is through the formation of
farmer groups and empowerment of farmer groups continuously. In addition, the
government's role in ensuring the necessary infrastructure coffee farmers, which
according to the price monitoring of quality coffee, and inform the development
of the market price (local and global) and to facilitate the direct partnerships
between farmers and exporters. Although there has been cooperation between
farmers and cooperative. It is expected that there is a change providing price
certainty for farmers. This can be done through a professional cooperative of
management system to improve the bargaining position of farmers in the pricing
process.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya.Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Agribisnis
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Ratna Winandi, MS
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Diketahui oleh
Puji dan Syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena rahmat dan
hidayah-Nya, tesis yang berjudul “Sistem Pemasaran Kopi Arabika Gayo di
Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah, Provinsi Aceh: Pendekatan
Structure, Conduct, Performance (SCP)”dapat diselesaikan. Tesis ini merupakan
salah satu syarat untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Master pada
Program Studi Agribisnis, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.Tesis
ini dapat diselesaikan dengan baik atas dukungan dan bantuan dari banyak pihak.
Untuk itu, dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan
terima kasih yang setinggi tingginya kepada semua pihak yang telah membantu,
khususnya kepada:
1. Dr Ir Anna Fariyanti, MSi, selaku Ketua Komisi Pembimbing, dan Dr Ir
Nunung Kusnadi, MS selaku Anggota Komisi Pembimbing atas segala
bimbingan, arahan, motivasi dan bantuan yang telah diberikan kepada
penulis mulai dari penyusunan proposal hingga penyelesaian tesis ini.
2. Dr Ir Dwi Rachmina, MS selaku Dosen Evaluator pada pelaksanaan
kolokium proposal penelitian dan Dr Ir Ratna Winandi, MS selaku
Dosen Penguji Luar Komisi yang telah memberikan banyak arahan dan
masukan sehingga penelitian ini dapat dilaksanakan dengan baik.
3. Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku Ketua Program Studi Agribisnis
sekaligus Dosen Penguji Perwakilan Program Studi pada ujian tesis dan
Dr Ir Suharno, MADev selaku Sekretaris Program Studi Agribisnis,
serta seluruh staf Program Studi Agribisnis atas dorongan semangat,
bantuan dan kemudahan yang diberikan selama penulis menjalani
pendidikan pada Program Studi Agribisnis.
4. Seluruh Staf Pengajar pada Program Studi Agribisnis.
5. Dinas Perkebunan Aceh atas kesempatan yang diberikan kepada penulis
untuk mendapatkan data dan informasi yang diperlukan dalam
penyusunan tesis ini.
6. Teman-teman seperjuangan Angkatan II pada Program Studi Agribisnis
atas diskusi, masukan dan bantuan selama mengikuti pendidikan.
7. Penghormatan yang tinggi dan terima kasih yang tak terhingga penulis
sampaikan kepada kedua orang tua tercinta Ir Chairunas, MS dan
Asmawarni, serta keluarga besar yang telah memberikan doa dan
dukungannya.
8. Ucapan terima kasih khusus disampaikan kepada suamiku tercinta Andi
Taufik, ST dan anak Ahmad Hilmi yang telah memberikan dukungan
penuh dan menjadi motivasi terbesar bagi penulis untuk segera
menyelesaikan pendidikan.
DAFTAR TABEL
xiii
27 Nilai Index of Market Connection pada setiap lembaga pemasaran 92
28 Hasil estimasi persamaan model Ravallion 93
29 Alternatif kebijakan sebagai upaya meningkatkan posisi tawar petani
dalam proses penentuan harga kopi Arabika Gayo 98
DAFTAR GAMBAR
xiv
28 Sebaran marjin pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten Bener
Meriah pada saluran 2, tahun 2012 87
29 Sebaran marjin pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten Bener
Meriah pada saluran 3, tahun 2012 87
30 Sebaran marjin pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten Bener
Meriah pada saluran 4, tahun 2012 88
31 Farmer share pada setiap saluran pemasaran di Kabupaten Aceh
Tengah, tahun 2012 89
32 Farmer share pada setiap saluran pemasaran di Kabupaten Bener
Meriah, tahun 2012 90
33 Pengaruh struktur, perilaku dan kinerja pasar terhadap pembentukan
harga kopi Arabika Gayo di tingkat petani 95
DAFTAR LAMPIRAN
xv
RIWAYAT HIDUP
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
1400000 800000
Luas Areal (Hektar)
1350000 700000
Produksi (Ton)
600000
1300000 500000
1250000 400000
1200000 300000
200000
1150000 100000
1100000 0
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
robusta, 14 persen kopi olahan dan sisanya sebesar 13 persen merupakan kopi
arabika. Peluang kopi arabika Indonesia di pasar dunia masih menjanjikan. Hal ini
dikarenakan sebagian besar (86%) ekspor kopi arabika Indonesia di pasarkan ke
segmen kopi spesialti yang berkualitas tinggi, seperti kopi Java dari Jawa Timur,
kopi Mandheling dari Sumatera Utara, kopi Toraja dari Sulawesi Selatan, kopi
Kintamani dari Bali dan kopi Gayo dari Provinsi Aceh (AEKI 2013).
600,000 66,942
Volume Ekspor (Ton)
500,000
400,000 73,996
300,000
200,000 379,337
100,000
-
2008 2009 2010 2011 2012
Tahun
Robusta Olahan Arabika
Salah satu produsen utama kopi arabika di Indonesia adalah Provinsi Aceh.
Pada Gambar 3 terlihat bahwa selama tahun 2012 ekspor kopi arabika yang
berasal dari Provinsi Aceh mencapai 28.32 persen dari total ekspor kopi arabika
Indonesia (67 ribu ton) (Kementan 2013). Seluruh lahan kopi di Provinsi Aceh
merupakan perkebunan rakyat dan sebagian besar (83%) luas lahan kopi di daerah
ini ditanami kopi arabika sebesar 101 ribu hektar, sisanya sebesar 17 persen (20
ribu hektar) ditanami kopi robusta (Disbun Provinsi Aceh 2013).
Sulawesi
Selatan
Provinsi Aceh
11%
28%
Bali
14%
Jawa Timur
10%
Sumatera Utara
37%
Kopi arabika dari Provinsi Aceh dikenal dengan nama kopi Arabika Gayo.
Nama Gayo berasal dari nama suku di daerah penghasil utama kopi arabika
terpenting di Provinsi Aceh yaitu Dataran Tinggi Gayo (DTG). Kondisi tanah
yang subur, dan iklim tropik basah di kawasan ini sesuai untuk pengembangan
3
agribisnis kopi arabika. Saat ini kopi arabika di DTG ditanam di tiga Kabupaten,
yaitu Aceh Tengah (48 ribu hektar), Bener Meriah (45 ribu hektar), dan Gayo
Lues (4 ribu hektar) (BPS Provinsi Aceh 2012). Pengembangan kopi Arabika
Gayo sebagai komoditi unggulan daerah memiliki prospek yang menjanjikan
(Disbun Provinsi Aceh 2013).
Pada Gambar 4 terlihat selama tahun 2007 sampai 2012, perkembangan
ekspor kopi arabika mengalami peningkatan rata-rata sebesar 11.3 persen per
tahun, sedangkan nilai ekspor meningkat sebesar 43.44 persen per tahun.
Tingginya peningkatan nilai ekspor kopi Arabika Gayo disebabkan oleh
meningkatnya harga jual kopi Arabika Gayo di pasar dunia (Disperindagkop dan
UKM Aceh 2013). Harga kopi Arabika Gayo mempunyai tingkat ketergantungan
yang tinggi terhadap perkembangan harga di pasar dunia (Saputra 2012). Menurut
Suyamto, Noordwijk dan Lusiana (2004) perubahan tingkat produksi dan
konsumsi yang terjadi di pasar dunia berdampak terhadap harga di pasar
domestik.
21,000 160,000
140,000
20,000 120,000
19,000 100,000
80,000
18,000 60,000
17,000 40,000
20,000
16,000 -
2007 2008 2009 2010 2011 2012
Tahun
Selain itu, perubahan harga dapat pula ditentukan oleh struktur pasar,
perilaku pasar, dan akan tercermin pada kinerja suatu pasar (Baye 2010). Struktur
pasar akan menggambarkan tipe atau jenis pasar yang dihadapi, perilaku pasar
menekankan kepada aktivitas-aktivitas bisnis yang dilakukan oleh pelaku
pemasaran, interaksi antara struktur dan perilaku pasar akan tercermin pada
kinerja pasar yang ditunjukkan oleh tingkat efisiensi dan keuntungan yang
diperoleh oleh lembaga pemasaran. Pendekatan stucture (struktur), conduct
(perilaku), performance (kinerja) selanjutnya disingkat SCP ini bersifat dinamis
dan saling terkait satu dengan yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa SCP dalam
suatu waktu berada pada sistem ketika S (Stucture) dan C (Conduct) adalah faktor
penentu P (Performance) dan di lain waktu S dan C ditentukan oleh P. Konsep ini
dikenal sebagai paradigma SCP (Waldman dan Jensen 2007). Keuntungan
pendekatan ini adalah dapat menganalisis kondisi sistem pemasaran secara lebih
komprehensif berdasarkan empiris dan menjawab permasalahan pemasaran dalam
suatu sistem yang saling terkait.
4
Perumusan Masalah
saat ini sertifikasi produk kopi yang telah dimiliki antara lain Organic Certified,
Fairtrade dan Raintforest. Program sertifikasi ini telah mampu meningkatkan
nilai jual kopi Arabika Gayo di pasar dunia yang biasa disebut sebagai harga
premium (ICRRI 2008). Harga premium memiliki nilai jual lebih tinggi 30 sampai
40 cent US$/lb dari harga kopi arabika dunia atau setara dengan Rp6 377 sampai
Rp8 502 per kg. Namun, tingginya harga jual kopi yang dibayarkan oleh
konsumen (importir) belum dirasakan oleh petani. Gambar 5 menunjukkan pola
pergerakan harga kopi Arabika Gayo selama tahun 2006 sampai 2012, di tingkat
petani pola pergerakan harga kopi mengalami laju penurunan sebesar 1.73 persen
per tahun, sedangkan pola pergerakan harga di tingkat eksportir mengalami laju
peningkatan sebesar 17.18 persen per tahun.
70,000
Harga jual (Rp/Kg)
60,000
50,000
40,000
30,000 Petani
20,000
Eksportir
10,000
-
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Waktu (tahun)
Gambar 5 Pola pergerakan harga kopi Arabika Gayo di tingkat petani dan
eksportir, tahun 2006-2012
Sumber : Disbun Prov. Aceh (2013); Disperindag dan UKM Prov. Aceh (2013)
2006; Shumeta et al. 2012). Kondisi petani yang tidak mengetahui perkembangan
harga, memungkinkan marjin pemasaran antara harga di tingkat petani dengan
harga di tingkat konsumen menjadi sangat tinggi. Fenomena pasar ini menurut
Kohls dan Uhl (2002) telah menyebabkan mekanisme pasar tidak bekerja dengan
sempurna dan akibatnya sistem pemasaran menjadi tidak efisien. Pada kondisi
pasar yang tidak efisien maka sulit diharapkan terjadi peningkatan pendapatan dan
kesejahteraan di tingkat petani. Oleh karenanya, dalam sistem pemasaran kopi
Arabika Gayo perlu analisis lebih lanjut sejauhmana struktur, perilaku dan kinerja
pasar dapat mempengaruhi pola pembentukan harga kopi di tingkat petani.
Pendekatan ini tepat digunakan karena mampu menangkap kompleksitas
permasalahan pada sistem pemasaran kopi Arabika Gayo. Adapun pemasalahan
yang dikaji pada penelitian ini yaitu :
1. Mengapa pola pergerakan harga kopi Arabika Gayo di tingkat petani tidak
mengikuti pola pergerakan harga kopi Arabika Gayo di tingkat eksportir?
2. Bagaimana kondisi struktur, perilaku dan kinerja pasar kopi Arabika Gayo di
Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah?
3. Bagaimana pengaruh struktur, perilaku dan kinerja pasar terhadap pola
pembentukan harga kopi Arabika Gayo di tingkat petani?
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
keterbatasan penelitian ini adalah sulit untuk menganalisa isu-isu kunci terkait
desain sistem informasi pasar dari lingkungan secara keseluruhan pada saat petani
beroperasi.
3 KERANGKA PEMIKIRAN
barang dan jasa melalui transaksi. Kohls dan Uhl (2002) menambahkan dalam
menganalis pemasaran dapat digunakan beberapa pendekatan antara lain
pendekatan fungsi (the functional approach), pendekatan kelembagaan (the
institutional approach), dan pendekatan sistem (the system approach).
Keseluruhan pendekatan ini akan menganalisis keseluruhan sistem pemasaran dari
aspek makro, mulai dari pendekatan fungsi, kelembagaan, pengolah/ pabrikan,
organisasi fasilitas, dan sistem merupakan suatu kajian empiris dan deskriptif
dalam aliran atau rantai pemasaran dari produsen primer sampai ke konsumen
akhir. Seluruh pendekatan tersebut merupakan bagian yang terkait dalam sistem
pemasaran dengan pendekatan SCP (structure,conduct dan performance).
Paradigma SCP merupakan pendekatan yang umumnya digunakan untuk
mengkaji hubungan dinamika persaingan suatu industri dengan kinerjanya
(Waldman dan Jensen 2007). Namun dalam perkembangannya paradigma SCP
telah banyak digunakan untuk mengkaji aspek pemasaran khususnya pemasaran
komoditas pertanian. Permasalahan umum yang terjadi dalam pemasaran
komoditas pertanian berhubungan dengan efisiensi pemasaran. Efisiensi ini dapat
berupa lemahnya infrastruktur dan informasi pasar kepada produsen maupun
konsumen, tingginya biaya transaksi dan dapat pula terkait kebijakan pemasaran
yang belum tepat (Dahl dan Hammond 1977; Kohls dan Uhl 2002). Pada Bab 3
akan disajikan konsep SCP dan perkembangannya, keterkaitan komponen-
komponen penyususn SCP dan penerapannya dalam sistem pemasaran. Kajian
terakhir akan diuraikan tentang hubungan struktur, perilaku dan kinerja terhadap
proses pembentukan harga.
Market Performance
(Kinerja Pasar)
Menurut Kohls dan Uhl (2002) sisi ekstrim pasar bersaing tidak sempurna
adalah pasar monopoli dan monopsoni. Pasar monopoli ciri utamanya adalah
penjual tunggal, sedangkan pasar monopsoni pembeli tunggal. Oligopoli adalah
pasar dengan beberapa penjual, sedangkan oligopsoni adalah pasar dengan
beberapa pembeli. Untuk pasar persaingan monopolistik adalah situasi diantara
bersaing sempurna dan oligopoli, yaitu terlalu banyak perusahaan namun pasar
tidak cukup kriteria tersebut menjadi pasar bersaing sempurna. Masing-masing
perusahaan berusaha agar produk atau jasanya unik dan berbeda dari perusahaan
lain.
𝑆𝑖
MSi = x 100 (1)
𝑆𝑡𝑜𝑡
dimana :
MSi = pangsa pasar perusahaan i (%)
Si = penjualan atau kapasitas produksi perusahaan i (rupiah)
Stot = total penjualan atau produksi seluruh perusahaan (rupiah)
Semakin besar pangsa pasar, semakin besar pula kekuatan pasar (market
power) yang dimiliki perusahaan (Waldman dan Jensen 2007). Jika pangsa pasar
suatu perusahaan tinggi maka akan cenderung ke arah monopoli yang maximal
profit-oriented. Sebaliknya jika pangsa pasar rendah akan cenderung ke arah pasar
16
persaingan. Menurut Charles et al. (2001) besarnya pangsa pasar setiap saat akan
berubah sesuai dengan perubahan selera konsumen atau berpindahnya minat
konsumen dari suatu produk ke produk lain. Menurut Jaya (2001) apabila setiap
perusahaan memiliki pangsa pasar yang rendah maka akan tercipta persaingan
yang efektif.
dimana :
CRx = Konsentrasi rasio dari x perusahaan terbesar dalam suatu pasar
MSi = Persentase pangsa pasar (market share) perusahaan ke-i
dimana :
HHI = Herfindahl Hirchman Index
MSi = Persentase pangsa pasar (market share) perusahaan ke-i
n = Jumlah perusahaan di pasar
Biaya (ATC)
Output
Qa
Gambar 7 Average cost (AC) and long run average cost (LRAC) curve
18
Menurut Jaya (2001) salah satu cara yang digunakan untuk melihat
hambatan masuk adalah dengan mengukur skala ekonomi yang dilihat melalui
output perusahaan yang menguasai pasar. Nilai output ini kemudian dibagi dengan
output total industri. Data ini disebut dengan MES (Minimum Efficiency Scale).
MES merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan mengukur
kemampuan masuknya pendatang baru kedalam suatu industri yang didekati
melalui output perusahaan.
(2) Agen perantara (agent middlemen) merupakan pihak yang hanya mewakili
klien yang disebut principals dalam melakukan penanganan produk atau jasa.
(3) Spekulator (speculative middlemen) adalah pedagang perantara yang
membeli-menjual produk untuk mencari keuntungan dengan memanfaatkan
adanya pergerakan harga (minimal-maksimal)
(4) Pengolah dan pabrikan (processors and manufacturers) merupakan kelompok
bisnis yang beraktivitas dalam menangani produk dan merubah bentuk bahan
baku menjadi bahan setengah jadi atau produk akhir.
(5) Organisasi (facilitative organization) berperan dalam memperlancar aktivitas
pemasaran. Contohnya dalam membuat peraturan-peraturan kebijakan,
pelelangan, asosiasi eksportir atau importir, pembiayaan dan peraturan pasar.
Kohls dan Uhl (2002) menambahkan bahwa pendekatan fungsional
merupakan proses penyampaian barang dan jasa kepada konsumen yang
dilakukan dengan proses yang lancar. Fungsi-fungsi pemasaran tersebut meliputi :
1. Fungsi pertukaran yaitu kegiatan yang memperlancar pemindahan hak milik
dari barang dan jasa. Fungsi pertukaran terdiri atas fungsi pembelian, fungsi
penjualan dan fungsi pengumpulan.
2. Fungsi fisik adalah semua tindakan yang langsung berhubungan dengan barang
dan jasa sehingga menimbulkan kegunaan tempat, bentuk dan waktu. Fungsi
ini merupakan aktivitas penanganan, pergerakan dan perubahan fisik dari
produk/jasa serta turunannya. Fungsi ini meliputi fungsi penyimpanan,
pengolahan, pengemasan dan pengangkutan.
3. Fungsi fasilitas merupakan semua tindakan yang bertujuan untuk
memperlancar fungsi pertukaran dan fungsi fisik. Fungsi fasilitas terdiri atas
fungsi standardisasi, fungsi penanggungan resiko, fungsi pembiayaan, promosi,
komunikasi dan fungsi informasi pasar.
Keterangan :
S = Kurva penawaran di pasar produk pertanian
DD = Kurva permintaan di pasar produk pertanian
DD’ = Kurva permintaan di pasar produk pertanian setelah berubah
Pps = Harga komoditi di pasar produk pertanian
P’ps = Harga komoditi di pasar produk pertanian setelah perubahan
permintaan
Qps = Jumlah komoditi yang diperjual-belikan di pasar produk pertanian
Q’ps = Jumlah komoditi yang diperjual-belikan di pasar produk pertanian
setelah perubahan permintaan
Ppp = Harga komoditi di tingkat pedagang
P’pp = Harga komoditi di tingkat pedagang setelah perubahan permintaan
Qpp = Jumlah komoditi yang diperjual-belikan di tingkat pedagang
Q’pp = Jumlah komoditi yang diperjual-belikan di tingkat pedagang setelah
perubahan permintaan
Ppt = Harga komoditi di tingkat petani
P’pt = Harga komoditi di tingkat petani setelah perubahan permintaan
21
yang tersedia secara efisien apa yang diproduksi produsen dengan apa yang
diinginkan konsumen. Tingkat efisiensi harga dapat tercapai apabila masing-
masing pihak yang terlibat puas atau responsif terhadap harga (price signals) yang
berlaku dan terjadi keterpaduan atau integrasi antara pasar acuan dengan pasar
ditingkat petani. Alat analisis yang sering dipergunakan adalah korelasi harga
antar pelaku pemasaran dan tingkat keterpaduan (integrasi) antar tingkat pasar
(Ravallion 1968).
a. Marjin Pemasaran
Menurut Tomek dan Robinson (1990) terdapat dua alternatif dalam
memahami defenisi marjin pemasaran yaitu (1) perbedaan harga yang dibayarkan
konsumen (Pr) dengan harga yang diterima produsen (Pf)) atau dapat dituliskan
𝑀 = 𝑃𝑟 − 𝑃𝑓 dan (2) merupakan harga dari kumpulan jasa-jasa pemasaran
sebagai akibat adanya aktivitas-aktivitas yang terjadi dalam sistem pemasaran.
Dengan kata lain, pengertian ini lebih bersifat ekonomis karena menangkap peran
nilai tambah (added value) dari adanya kegiatan pemasaran. Selain itu, juga
mengandung konsep derived supply (penawaran turunan) dan derived demand
(permintaan turunan). Marjin pemasaran menunjukkan perbedaan harga di tingkat
petani (Pf) dengan harga di tingkat pengecer (Pr). Secara matematis, dapat ditulis
sebagai berikut :
dimana :
Mi = Marjin pemasaran pada saliran pemasaran tingkat (pasar)
Pri = Harga jual di pasar ke-i
Pfi = Harga beli di tingkat petani ke-i
Ci = Biaya pemasaran di tingkat pedagang ke-1
πi = Keuntungan pemasaran pada pedagang ke-i
i = 1,2,3 …., n
Harga (P)
Sr
Sf
Pr
Marjin
Pemasaran
Pf Dr
Df
Qr,f
Jumlah Produk (Q)
Gambar 9 Marjin pemasaran
Sumber : Dahl dan Hammond (1977)
Keterangan :
Pf = Harga di tingkat petani Pr = Harga di tingkat pedagang
Sf = Kurva penawaran petani Sr = Kurva penawaran pedagang
Df = Kurva permintaan petani Dr= Kurva permintaan pedagang
Qr, f = Jumlah keseimbangan ditingkat petani dan pedagang
b. Farmer’s Share
Konsep marjin pemasaran sangat erat kaitannya dengan bagian harga yang
diterima petani (farmer’s share). Menurut Kohls dan Uhl (2002) farmer’s share
merupakan persentase harga yang diterima oleh petani dengan harga yang
dibayarkan oleh konsumen dalam bentuk persentase (%). Secara umum, besaran
farmer share dan marjin pemasaran bervariasi antar komoditi tergantung biaya
relatif pemasaran yang dikeluarkan sehubungan dengan nilai tambah (the value-
added utilities) waktu, bentuk, kepemilikan dan tempat berdasarkan aktifitasbisnis
atau fungsi-fungsi pemasaran yang dilakukan (Kohls dan Uhl 2002). Oleh
25
karenanya, marjin yang tinggi dan farmer share yang rendah, belum dapat
dikategorikan sebagai pemasaran efisien atau tidak. Namun harus
memperhitungkan bentuk, fungsi dan atribut-atribut yang melekat pada produk
hingga sampai ke konsumen akhir.
Farmer’s share merupakan alat analisis yang dapat digunakan untuk
menentukan efisiensi pemasaran dari sisi pendapatan petani. Secara sederhana
farmer’s share dirumuskan sebagai berikut :
P
FS = P f × 100 persen (8)
r
dimana :
FS = Bagian harga yang diterima petani (farmer’s share)
Pf = Harga di tingkat petani
Pr = Harga di tingkat pedagang
Model Ravallion
Ravallion (1986) mengembangkan suatu metode analisis keterpaduan
autoregresi untuk mengukur bagaimana harga di pasar lokal dipengaruhi oleh
pasar lain (acuan) dengan mempertimbangkan harga di masa lalu dan harga pada
saat ini. Model ini juga dikembangkan dengan dasar bahwa harga di suatu pasar
dipengaruhi oleh harga di masa yang lalu, karena reaksi dari perubahan arus
27
barang terhadap harga ini membutuhkan waktu untuk terjadi. Keunggulan model
analisis ini adalah mampu mengungkapkan dengan mendetail tentang peran pasar
acuan, arah transmisi harga, kecepatan transmisi harga, tingkat keterisolasian, dan
tingkat keterpaduan pasar.
Model Ravallion juga dapat menunjukkan besarnya pengaruh perubahan
harga yang terjadi di suatu pasar akibat faktor musiman dan faktor lain yang
relevan yang terjadi di pasar tersebut (Limbong 1999). Firdaus dan Gunawan
(2012) menunjukkan bahwa pengembangan model Ravallion diawali dari
persamaan berikut :
Pt = aiPt-1+bi0Rt-1+ciXt+ɛt (11)
Untuk i = 1,2, ….., n
dimana:
(ai – 1) = β1 bi0= β2
(ai+bi0+bi1-1) = β3ci= β4
Sebagai upaya mencapai interpretasi yang jelas, persamaan (15) dapat dituliskan
kembali menjadi :
dimana :
b1 = 1+β1b2= β2
b3 = β3-β1b4= β4
b5 = β5
b
IMC = b 1 (18)
3
Jika nilai IMC lebih kecil dari satu mengindikasikan terjadi integrasi jangka
pendek. Koefisien b2 merupakan pengukuran terhadap tingkat perubahan harga di
pasar acuan yang ditransmisikan ke pasar lokal. Parameter ini mengukur integrasi
jangka panjang. Nilai yang dihasilkan adalah satu atau mendekati satu. Apabila
nilai koefisien b2 adalah 1 (b2 = 1), kedua pasar terintegrasi dalam jangka panjang.
Perbedaan antara dua indikator ini adalah b2 menunjukkan persentase perubahan
harga yang terjadi pasar acuan ditransmisikan ke pasar lokal. Nilai IMC
menunjukkan bahwa persentase relatif harga produsen di pasar lokal saat ini
dipengaruhi oleh perubahan harga produsen di pasar lokal dan pasar acuan di
waktu sebelumnya.
PERILAKU PASAR
KINERJA PASAR
Jumlah pembeli HARGA DI
dan penjual TINGKAT
PETANI Farmer share
Pangsa pasar
Integrasi pasar
Konsentrasi <Aktivitas
vertikal
pasar pemasaran>
Keterangan :
Hubungan antar elemen penyusun pada masing-masing struktur,
perilaku dan kinerja pasar
Hubungan antar struktur, perilaku dan kinerja pasar
Hubungan struktur, perilaku dan kinerja terhadap
harga di tingkat petani
Gambar 10 Hipotesis hubungan antara struktur, perilaku dan kinerja pasar dalam
proses pembentukan harga di tingkat petani
Perlu kajian sistem pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh Tengah
dan Bener Meriah dengan pendekatan Structure, Conduct, Performance (SCP)
Struktur Pasar
(Market Structure)
1. Pangsa Pasar
2. Konsentrasi Pasar
3. Hambatan Masuk Pasar
REKOMENDASI KEBIJAKAN
4 METODE PENELITIAN
Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh dari pelaku-pelaku pemasaran seperti petani, pedagang pengumpul,
(kolektor), koperasi dan eksportir yang terlibat dalam sistem pemasaran kopi
Arabika Gayo di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah. Data sekunder
diperoleh dari Kementerian Pertanian, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi
Aceh, BPS Provinsi Aceh, Dinas Perindustian dan Perdagangan, Asosiasi
Eksportir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI), Kementerian Perdagangan, serta
hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini dan sumber
lainnya.
koperasi dari kedua Kabupaten dan 3 unit perusahaan ekspor berbadan hukum
koperasi dan 2 unit perusahan ekspor (non koperasi). Selain cross section data
yang dilakukan pada musim panen dan pasca panen, penelitian ini
mempergunakan time series data dari bulan Januari 2008 sampai Desember 2012
(n=60). Time series data ini terutama mengenai harga kopi Arabika Gayo di
tingkat petani, kolektor, koperasi dan eksportir.
Sn
Market Share MSn = × 100 persen
SA
Keterangan :
Market Share MS = 0-100persen
Market Share MSn = Pangsa pasar perusahaan (eksportir) “n” (persen)
Sn = Pembelian kopi Arabika Gayo perusahaan (eksportir) “n” (kg/bulan)
SA = Total kopi Arabika Gayo di Provinsi Aceh (kg/bulan)
n = Banyaknya perusahaan (eksportir) kopi Arabika Gayo
b. Konsentrasi Pasar
Menurut Baye (2010) konsentrasi pasar dapat dihitung dengan mengukur
berapa jumlah output yang diproduksi dari empat perusahaan terbesar dalam suatu
35
industri. Pada penelitian ini perusahaan yang dimaksud merupakan eksportir yang
terlibat dalam perdagangan kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh Tengah dan
Bener Meriah. Metode analisis yang digunakan adalah Four Firm Concentration
Ratio (CR4). Nilai CR4 yang mendekati 0 diindikasikan berada pada pasar yang
memiliki banyak penjual dan memberikan peningkatan banyaknya persaingan
antar produsen untuk menjualnya ke konsumen. Namun, jika nilai CR4 mendekati
1 diindikasikan pasar mengalami sedikit persaingan (pasar terkonsentrasi) antara
produsen untuk menjualnya ke konsumen (Baye 2010). Hirschey (2009)
menambahkan apabila CR4 ≥ 0.8 menunjukkan industri tersebut sangat
terkonsentrasi (highly concentrated), 0.5 < CR < 0.8 pasar terkonsentrasi sedang
(moderatly concentrated) dan ≤ 0.5 pasar terkonsentrasi lemah (weakly
concentrated).
S1 + S2 + S3 + S4
CR4 =
ST
CR4 = w1 + w2 + w3 + w4
Keterangan :
CR4 = Konsentrasi rasio
wi = Si ST , dimana i = 1,2,3,4
S1 = Volume pembelian kopi Arabika Gayo oleh eksportir 1 (kg/bulan)
S2 = Volume pembelian kopi Arabika Gayo oleh eksportir 2 (kg/bulan)
S3 = Volume pembelian kopi Arabika Gayo oleh eksportir 3 (kg/bulan)
S4 = Volume pembelian kopi Arabika Gayo oleh eksportir 4 (kg/bulan)
ST = Total pembelian seluruh eksportir kopi Arabika Gayo (kg/bulan)
penentuan harga dapat dipengaruhi oleh praktek penjualan dan pembelian serta
adanya kerjasama lembaga pemasaran, begitupula sebaliknya.
Informasi penting yang akan dikaji dalam sistem penentuan harga terkait
bagaimana mekanisme penentuan harga, pada tingkat lembaga manakah yang
lebih dominan dalam proses penentuan harga dan sejauhmana peran petani
sebagai produsen dalam poses penentuanharga.Pada praktek pembelian dan
penjualan akan diperhatikan aktivitas-aktivitas setiap lembaga pemasaran dalam
melakukan pembelian dan penjualan. Informasi ini penting untuk dikaji, karena
dalam menggambarkan perilaku pasar akan terlihat bagaimana setiap lembaga
pemasaran merespon signalharga yang di terjadi. Kerjasama lembaga pemasaran
akan digambarkan melaluiaktiviassaluran pemasaran yang terjadi dankegiatan
yang dilakukan dalammenjalankan fungsi-fungsi pemasaran. Purcell (1979)
membagi fungsi pemasaran menjadi tiga yaitu fungsi pertukaran (pembelian dan
penjualan), fungsi fisik (penyimpanan, transportasi, pengolahan) dan fungsi
fasilitas (standardisasi, keuangan/modal, risiko dan penelitian pasar).
a. Marjin Pemasaran
Analisis marjin pemasaran didasarkan pada data primer yang dikumpulkan
dari setiap lembaga pemasaran mulai dari produsen sampai dengan konsumen.
Marjin pemasaran adalah perbedaan harga yang dibayarkan konsumen dengan
harga yang diterima oleh produsen (Tomek dan Robinson 1990; Hudson 2007).
Semakin tinggi biaya pemasaran menyebabkan semakin tingginya marjin
pemasaran. Secara matematis, dapat ditulis sebagai berikut :
M = Pr − Pf
dimana :
𝑀𝑚 = Marjin pemasaran kopi Arabika Gayo
𝑃𝑟 = Harga kopi Arabika Gayo di tingkat konsumen (Rp/kg)
𝑃𝑓 = Harga kopi Arabika Gayo di tingkat petani (Rp/kg)
Untuk marjin pada setiap lembaga pemasaran dapat diketahui dengan jalan
menghitung selisih antara harga jual dengan harga beli pasar setiap tingkat
lembaga pemasaran. Bentuk matematika sederhana dapat dirumuskan sebagai
berikut:
Mm = Ps − Pb
dimana :
Mm = Marjin pemasaran pada setiap lembaga pemasaran
Ps = Harga jual kopi pada setiap tingkat lembaga pemasaran (Rp/kg)
Pb = Harga beli kopi pada setiap tingkat lembaga pemasaran (Rp/kg)
harga beli untuk setiap komoditas, besarnya keuntungan pedagang, modal kerja
dan kapasitas penjualan.
b. Farmer Share
Farmer share merupakan rasio antara harga di tingkat petani terhadap
harga di tingkat pedagang (Hudson, 2007). Pada saluran pemasaran yang berbeda
maka share harga yang diterima oleh petani akan berbeda pula. Besarnya
Farmer’s Share dipengaruhi oleh tingkat pemrosesan, biaya transportasi,
keawetan produk dan jumlah produk (Kohls dan Uhl2002). Adapun perhitungan
farmers share yang digunakan adalah :
Pf
FS = × 100 persen
Pr
dimana :
FS = Bagian harga yang diterima petani kopi Arabika Gayo (Rp/kg)
Pf = Harga kopi Arabika Gayo di tingkat petani (Rp/kg)
Pr = Harga kopi Arabika Gayo di tingkat eksportir (Rp/kg)
Pt = b1Pt-1+b2(Rt - Rt-1)+b3Rt-1+b4Xt + ɛt
dimana :
Pt = Harga kopi Arabika Gayodi pasar lokal (waktu t) (Rp/kg)
Pt-1 = Harga kopi Arabika Gayo di pasar lokal (waktu t-1) (Rp/kg)
Rt = Harga kopi Arabika Gayo di pasar acuan (waktu t) (Rp/kg)
Rt-1 = Harga kopi Arabika Gayo di pasar acuan (waktu t-1) (Rp/kg)
Xt = Faktor-faktor lain yang mempengaruhi
b1
IMC =
b3
dimana :
IMC = Indeks of marketing connection (Indeks hubungan pasar)
H0 : b1/b3 = 0
H1 : b1/b3 ≠ 0
Nilai b1/b3 = 0 jika nilai b1 = 0, maka hipotesis diatas dapat dituliskan sbb :
H0 : b1 = 0
H1 : b1 ≠ 0
b 1 −0
𝑡𝑠𝑡𝑎𝑡𝑖𝑠𝑡𝑖𝑘 =
S(b 1)
H0 : b2 = 1
H1 : b2 ≠ 1
b 2 −1
𝑡𝑠𝑡𝑎𝑡𝑖𝑠𝑡𝑖𝑘 =
S(b 2)
Perkebunan kopi yang telah dikembangkan sejak tahun 1924, tumbuh subur
di Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues. Potensi pengembangan
agribisnis kopi arabika di DTG sangat menjanjikan. Daerah ini merupakan salah
satu produsen kopi arabika terbesar di Indonesia (Kementan 2013). Masing-
masing di Kabupaten Aceh Tengah 48 ribu hektar, Bener Meriah 45 ribu hektar
dan di Kabupaten Gayo Lues 4 ribu hektar (Disbun Provinsi Aceh 2013). Sentral
utama produksi kopi arabika berada di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener
Meriah. Oleh karenanya, dalam Bab 5 akan diuraikan kondisi umum kopi Arabika
Gayo dan karakateristik responden di daerah penelitian.
Tengahsejauh 7 Km dan di daerah ini terdapat unit pengolahan kopi terbesar yang
ada di Kabupaten Aceh Tengah yaitu KBQ. Baburrayan. Kondisi ini memberikan
kemudahan kepada petani dan pedagang dalam melakukan aktivitas pemasaran
kopi. Kecamatan Jagong Jeget memiliki luas 10 504 hektar atau menguasai sekitar
2.43 persen dari luas total Kabupaten Aceh Tengah dan sekitar 53.64 persen dari
luas areal yang ada di tanami kopi Arabika Gayo. Komoditas perkebunan lain
yang diusahakan antara lain kemiri, kayu manis dan pinang. Secara geografis
kecamatan ini berada pada ketinggian 1 400 sampai 1 600 mdpl. Terdiri atas 10
desa dan beribukota di Jeget Ayu. Bila dilihat dari jarak desa ke Ibukota, maka
desa dengan jarak terjauh adalah Merah Said dengan 11 km. Sedangkan yang
terdekat adalah Paya Tungel dengan jarak kurang dari 1 km. Jarak ibukota Jeget
Ayu ke ibukota Kabupaten Aceh Tengah, Takengon adalah 59 km atau sekitar 1
jam perjalanan darat.
Di Kabupaten Bener Meriah, Kecamatan Permata dan Bukit merupakan
salah satu sentral perkebunan kopi di kabupaten ini. Luas wilayah Kecamatan
Permata mencapai 15 966 hektar atau sekitar 8.32 persen dari total luas Kabupaten
Bener Meriah dengan ketinggian 1 000 sampai 1 400 m dpl. Dari total luas
wilayah, sekitar 53.52 persennya ditanami kopi Arabika Gayo. Kondisi geografis
di daerah ini sangat mendukung untuk penanaman kopi, sehingga mayoritas
masyarakat (82.64%) berusaha di sektor perkebunan seperti perkebunan kopi,
tanaman buah-buahan dan sayuran. Bila dilihat dari jarak desa ke Ibukota, maka
desa dengan jarak terjauh adalah Weh Tenang Toa dengan 12 km. Sedangkan
yang terdekat adalah Desa Rikit Musara dengan jarak kurang dari 1 km. Jarak
ibukota kecamatan ke ibukota Kabupaten adalah 25 km atau sekitar 30 menit
perjalanan darat.
Kecamatan Bukit memiliki luas sebesar 11 095 hektar dengan ketinggian 1
450 m dpl dan sekitar 26.36 persen dari total wilayah ditanami kopi Arabika
Gayo. Kecamatan ini terdiri atas 40 Desa dan beribukota di Simpang Tiga
Redelong yang juga merupakan ibukota dari Kabupaten Bener Meriah. Bila dilihat
dari jarak tempuh, jarak Desa ke ibukota Kecamatan berkisar antara 0.5 sampai 4
km. Hal ini memudahkan petani dan pedagang dalam melakukan aktivitas
pemasaran, seperti fasilitas terhadap unit pengolahan kopi, akses menuju koperasi,
biaya transportasi dan lainnya. Sama halnya dengan Kecamatan Permata, sebagian
besar (71.11%) berusaha di sektor perkebunan seperti perkebunan kopi, tanaman
buah-buahan dan sayuran. Sisanya bekerja di sektor perdagangan (9.96%),
Pegawai Negeri Sipil (7.08%), sektor industri (2.96%) dan di sektor kontruksi dan
jasa (2.89%).
Menurut ketinggian tempat, tanaman kopi arabika dibedakan antara tanaman
di atas ketinggian 1 200 m dpl dan tanaman pada ketinggian antara 600 sampai 1
200 m dpl. Secara umum kopi yang di tanam di atas ketinggian 1 200 m dpl
memiliki kualitas lebih baik dibandingkan kopi yang di tanam di bawah 1 200 m
dpl (Fatma 2011). Hal ini terlihat dari rata-rata tingkat produktivitas kopi di
Kabupaten Bener Meriah lebih tinggi dibandingkan Kabupaten Aceh Tengah
dikarenakan Kabupaten Bener Meriah memiliki lahan kopi lebih tinggi (1 500 m
dpl) dibandingkan di Kabupaten Aceh Tengah (1 176 m dpl). Tanaman kopi di
Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah ditanam secara tumpang sari dengan
tanaman lamtoro, jeruk dan alpukat sebagai tanaman peneduh dan pencegah erosi.
41
Tabel 2 Kondisi kebun dan jumlah petani kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh
Tengah dan Bener Meriah, tahun 2011
Kabupaten Kabupaten
Uraian Satuan
Aceh Tengah Bener Meriah
Ketinggian tempat m dpl 1 176 1 560
Produktivitas Kg/ Ha 711 790
Jumlah petani KK 34 913 33 029
Jumlah petani terlibat KK 24 439 13 212
program sertifikasi
Potensi pengembangan Hektar 107 434
lahan
Sumber: Aceh Tengah dalam Angka (2012); Bener Meriah dalam Angka (2012)
Tabel 3 Cacat fisik dan cita rasa kopi akibat kesalahan pengolahan
Pengaruhnya terhadap
Cacat Fisik Penyebab
karakteristik cita rasa
Biji Hitam - Buah terlalu masak/mati/terkena Aroma dan rasa kopi
penyakit lemah
Biji Coklat - Pengeringan terlalu lama Earthy, berbau tanah
- Buah terlalu masak
Biji Muda Buah muda (warna hijau) Rasa rumput yang
kehijauan, rasa jerami
Biji berwarna - Penyimpanan terlalu lama Woody
pucat - Penyimpanan pada kondisi yang
tidak baik
Biji berwarna putih - Pemudaran warna disebabkan bakteri Muncul variasi rasa seperti
coccus selama penyimpanan/ rasa fermentasi, gulma,
transportasi tanah, jerami dan rasa
- Penyimpanan terlalu lama berjamur
Roasting Coffee KopiBeras k.a < 12% Kopi Beras k.a 12%
(Green Bean) (Green off grade)
Secara umum, terdapat tiga cara pengolahan kopi arabika di Indonesia, yaitu
cara pengolahan basah, pengolahan semi basah dan pengolahan kering. Dasar
pengelompokan cara pengolahan tersebut adalah penggunaan air. Pengolahan
basah dilakukan dengan tahapan pengupasan buah menggunakan mesin pengupas
kulit, fermentasi dan pengeringan. Pengolahan ini biasanya dilakukan oleh
perkebunan besar, utamanya pada Kopi Jawa. Pengolahan kering biasanya
dilakukan untuk pengolahan buah kopi bermutu rendah dengan kualitas cita rasa
yang tidak baik (earthy, mouldy/musty maupun fermented).
Pada wilayah Sumatera khususnya Kabupaten Aceh Tengah dan Bener
Meriah sebagian besar pengolahan kopi dilakukan dengan cara pengolahan semi
basah. Aktivitas pengolahan kopi di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah
44
telah memiliki 107 kilang pengupas kopi yang dikomersilkan dengan kapasitas
1 000 sampai 2 000 kg/jam (lihat lampiran 2). Setiap petani atau pedagang
pengumpul akan membayar sebesar Rp200/kg untuk kopi ceri yang akan diolah.
Namun, ada juga beberapa petani yang memiliki mesin pengupas kulit kopi
(pulper) dengan kapasitas kecil (30-50 kg/jam). Pada proses pengolahan, 1 kg
kopi ceri akan menghasilkan 0.465 kg kopi HS kering angin. Sedangkan 1 kg kopi
HS kering angin akan menghasilkan 0.344 kg kopi beras dengan kadar air 11
sampai 12 persen. Kopi dengan kadar air 11 sampai 12 persen telah siap untuk
diekspor setelah dilakukan sortasi berdasarkan grade/standar mutu kopi yang telah
ditetapkan. Secara ringkas, Gambar 14 menunjukkan tahapan pengolahan kopi
Arabika Gayo melalui metode pengolahan semi basah yang dilakukan di
Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah.
PERAMBANGAN BUAH
(sortasi; buah mengapung,biji cacat dipisahkan)
FERMENTASI
(selama 12 jam atau 36 jam)
PENCUCIAN
(dengan air bersih dan mengalir dan sortasi)
PENYIMPANAN KOPI HS
KERING
PENGGEREBUSAN
(menggunakan mesin huller)
Hal penting yang perlu diperhatikan dalam proses pengolahan kopi Arabika
Gayo adalah proses pemetikan buah. Disarankan buah yang dipetik adalah buah
yang telah bewarna merah. Namun, dalam pelaksanaannya sering kali buah yang
45
masih berwarna hijau dan kuning terikut juga saat dipetik. Sehingga, perlu
dilakukan sortasi buah untuk memisahkan antara buah merah dan selainnya agar
cita rasa kopi dapat terjaga. Kopi merah yang baru dipanen disebut juga kopi ceri.
Setelah dipetik, kopi ceri harus segera dikupas (pulper) saat itu juga, jika tidak
maka kopi ceri akan busuk. Kopi yang telah di kupas kulit luarnya disebut kopi
HS (Hard Skin). Setelah dikupas, umumnya petani atau pedagang kopi di
Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah melakukan fermentasi kopi HS
selama 12 sampai 36 jam. Fermentasi ini bertujuan untuk meluruhkan lapisan
lendir yang terdapat dipermukaan kulit tanduk kopi yang selanjutnya akan
dilakukan pencucian kopi hingga terasa kesat.
Kopi HS yang telah dicuci kemudian dijemur diatas para-para, semen, terpal
atau tenda yang bersih. Proses pengeringan kopi HS sampai kadar air 35 sampai
40 persen dan setelah itu dilakukan pengupasan kulit tanduk (hulling). Kopi yang
telah dikupas kulit tanduknya disebut kopi beras (wet bean). Tetapi kopi beras ini
masih mengandung kadar air tinggi dan masih perlu pengeringan lebih lanjut
sampai kadar air antara 11 sampai 12 persen. Kopi beras yang belum di sortir dan
grading disebut green off grade dan kopi beras yang telah di sortir dan grading
disebut green bean selanjutnya kopi beras disimpan dalam penggudangan
sebelum dilakukan proses pengapalan dan pengiriman ke negara tujuan.
Program sertifikasi produk diterapkan pada jenis kopi organik yang telah
menerapkan konsep produksi kopi berkelanjutan (sustainable coffee production).
Pertanian berkelanjutan merupakan pengelolaan sumber daya yang berhasil dalam
usaha pertanian untuk memenuhi kebutuhan manusia yang terus berubah dan
sekaligus mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan
melestarikan sumber daya alam. Konsepsi produksi kopi berkelanjutan secara
langsung maupun tidak langsung telah diadopsi dalam perdagangan kopi melalui
sertifikasi Organic, Fairtrade, Utz Certified, Rainforest Alliance, C.A.F.E
Practice, 4C (Common Code for Coffee Community) dan Indikasi Geografis.
Secara umum, Fairtrade adalah pendekatan alternatif terhadap model
pemasaran konvensional yang bertujuan untuk meningkatkan kehidupan para
produsen kecil dengan cara memajukan akses pasar, penguatan organisasi,
memberikan harga yang adil dan keberlanjutan dari usaha pemasaran yang ada.
Fairtrade kopi biasanya terjadi pembelian secara langsung kepada koperasi para
produsen kecil, dengan garansi nilai minimum harga kontrak. Selain itu adalah
adanya hubungan perdagangan yang erat berdasarkan pada dialog dan
transparansi. Konsep fairtrade adalah model mutualisme, dimana kedua belah
pihak mendapat keuntungan dalam jangka pendek dan jangka panjang.
Rainforest Alliance (RA) melakukan sertifikasi untuk kopi dan tanaman
lainnya, salah satu tujuannya adalah untuk mengembangkan perkebunan kopi bagi
kesejahteraan petani, pekerja dan kesehatan lingkungan. Di lain pihak, usaha yang
dilakukan adalah dengan mengadakan wisata ke kebun kopi, hal ini akan
menambah usaha perkebunan petani. Pada saat melakukan sertifikasi, sama
dengan pihak lainnya, Rainforest Alliance juga memiliki standar. Sertifikasi dari
RA biasanya juga dikenal dengan nama Eco-OK yang bisa dilakukan bukan saja
46
Selain sertifikasi yang diperoleh dari luar, pada tanggal 28 April 2010
Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia telah menerbitkan Surat
Keputusan dengan No. ID.G.000000005 terkait Sertifikat Indikasi Geografis
terhadap produk kopi dari dataran tinggi Gayo. Indikasi Geografis merupakan
salah satu bentuk perlindungan hukum atas Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang
diberikan suatu negara kepada masyarakat yang mendiami suatu kawasan
geografis tertentu karena produk yang dihasilkan dari kawasan tersebut memiliki
mutu yang berciri khas.
Proses sertifikasi produk kopi memiliki tiga unsur penting yaitu produsen
kopi, lembaga penyedia panduan tindak (code of product), dan lembaga
independen yang melakukan sertifikasi. Sertifikasi pertama yang diterapkan
47
terhadap produk kopi di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah adalah
sertifikasi organik. Sertifikasi ini diusulkan oleh P.D Genap Mupakat pada tahun
1992 dan hingga saat ini kopi arabika dari kedua Kabupaten ini sebagian besar
telah mendapatkan sertifikasi terhadap proses produksi melalalui beberapa
koperasi yang ada seperti KBQ. Baburrayan, KSU. Permata Gayo dan Koperasi
Tunas Indah. Adapun jenis sertifikasi yang telah diperoleh adalah Organic, Fair
Trade, Rainforest, C.A.F.E Practice dan UtzCertified. Namun, ada juga produk
kopi yang telah mendapatkan sertifikat lebih dari satu macam, misalnya Organic
dan Fairtrade.
7,000
6,000
Volume Ekspor (ton)
5,000
4,000 Amerika
3,000 Jepang
2,000 Eropa
1,000
Asia Lainnya
-
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Tahun
30,000.00
25,000.00
Harga (Rp/ kg)
20,000.00
15,000.00
Kopi ceri
10,000.00
Kopi HS
5,000.00
-
Jan-12
Mar-12
Jul-12
Jun-12
Sep-12
Feb-12
Dec-12
May-12
Apr-12
Oct-12
Aug-12
Nov-12
Gambar 16 Perkembangan harga kopi Arabika Gayo di tingkat petani,
tahun 2012
Sumber : Disbun Provinsi Aceh (2013)
1. Sarana Transportasi
Keterbatasan akses transportasi menjadi kendala utama dalam pemasaran
kopi Arabika Gayo. Jalan merupakan infrastuktur yang sangat penting khususnya
untuk transportasi darat. Kondisi jalan antar Kabupaten masih buruk, beberapa
jalan utama belum diaspal dan berlubang. Saat ini pemerintah daerah Aceh
berupaya melakukan renovasi pelebaran jalan antar Kabupaten ini yaitu
Kabupaten Bireun, Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah. Hal ini
bertujuan untuk mempermudah akses perdagangan antar daerah. Secara internal,
pemerintah Kabupaten Aceh Tengah telah membangun jalan sepanjang 694 97
km. Panjang jalan tersebut sebagian besar sudah diaspal (41 515 km) dan sisanya
masih berupa jalan kerikil (11 414 km) dan tanah (165 68 km). Selama tahun
2010 sampai 2011, kondisi jalan yang baik meningkat sebesar 2.65 km. Namun,
jalan yang rusak dan rusak berat malah meningkat sebesar 19.02 km (rusak) dan
17 km (rusak berat). Hal ini disebabkan, kondisi jalan yang kurang baik dan
banyaknya kendaraan besar yang melewati jalan ini. Pada Tabel 5 terlihat
perkembangan statistik transportasi yang terdapat di Kabupaten Aceh Tengah
selama tahun 2010 sampai 2011.
49
Baik, 73.75%
Selain itu, dalam aktivitas perdagangan kopi Arabika Gayo yang berasal
dari kedua Kabupaten ini. Proses pendistribusiannya hanya dapat disalurkan
melalui Pelabuhan Belawan, Sumatera Utara. Hal ini disebabkan belum adanya
pelabuhan besar yang dapat menyalurkan hasil pertanian untuk skala ekspor
terutama kopi arabika dari Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah langsung
ke negara konsumen. Kondisi ini menyebabkan sebagian besar pengurusan
berkas-berkas ekspor kopi dilakukan melalui Dinas Perdagangan Sumatera Utara.
Hal ini tentu saja merugikan daerah karena sumber devisa yang berasal dari
produk kopi yang dihasilkan oleh Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah
tidak terdata dalam data ekspor kopi Aceh dan akan berpengaruh terhadap sumber
pendapatan daerah.
2. Akses Permodalan
Penyediaan modal terhadap usahatani kopi Arabika Gayo masih terbatas.
Petani sebagian besar masih sulit memperoleh sumber modal untuk meningkatkan
produktivitas kopi mereka. Seperti dalam aktivitas pemeliharaan kopi, kopi yang
dibudidayakan secara organik untuk mengatasi serangan hama dan penyakit maka
tanaman kopi harus dilakukan pemangkasan. Keterbatasan sumber daya yang ada
baik modal maupun tenaga kerja menyebabkan petani akan meminjam uang
kepada pedagang. Hal ini berdampak terhadap pilihan pemasaran petani, dimana
petani harus menjual hasil panennya kepada pedagang yang telah meminjamkan
uang. Berbeda kondisinya bagi perusahaan (eksportir), pihak perbankan
memberikan akses pinjaman terhadap perusahaan yang dinilai layak untuk
mendapatkan pinjaman. Atas dasar kepastian jaminan dan legalitas hukum yang
terpenuhi, maka perbankan akan memberikan kredit kepada perusahaan dengan
skala tertentu. Ini tentu saja sangat membantu bagi perusahaan yang bergerak
dalam perdagangan kopi Arabika Gayo. Walaupun saat ini, tingkat suku bunga
yang ditawarkan bisa mencapai 6 persen. Namun, persyaratan yang harus
dipenuhi relatif banyak. Seperti adanya jaminan/agunan, perusahaan harus
memiliki skala usaha tertentu untuk dapat melakukan peminjaman dengan jumlah
tertentu kepada bank. Seharusnya, pihak perbankan dan pemerintah dapat
membantu para pelaku pemasaran kopi di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener
Meriah. Hal ini dikarenakan bisnis kopi Arabika Gayo berpotensi untuk
dikembangkan.
51
Karakteristik Petani
Jumlah petani yang dipilih menjadi responden sebanyak 60 orang terdiri
atas 30 orang di Kabupaten Aceh Tengah dan 30 orang petani di Kabupaten Bener
Meriah. Pemilihan petani sampel sebagai responden berdasarkan informasi yang
ditemui di daerah penelitian. Informan dapat bersumber dari petani, pedagang,
52
pemerintah daerah, koperasi dan Forum Kopi Aceh. Perbedaan dalam saluran
pemasaran kopi arabika menjadi penentu utama dalam memilih petani responden.
Lokasi penelitian dipilih secara purposive dengan pertimbangan tingkat
produksi yang relatif tinggi dibandingkan kecamatan lainnya, selain itu letak
perkebunan kopi yang berbeda terhadap akses pasar, tempat pengolahan kopi dan
rumah petani juga menjadi dasar pemilihan lokasi penelitian di Kabupaten Aceh
Tengah dan Bener Meriah. Keterlibatan petani dalam produk kopi berserifikat
mewajibkan petani untuk bergabung dalam suatu koperasi. Sebagian besar petani
responden yang diwawancarai merupakan anggota KBQ. Baburrayan, Koperasi
Permata Gayo, Gayo Linge Organic Coffee (GLOC) dan Koperasi Tunas Indah.
Pada Tabel 7 terlihat jumlah petani responden di beberapa lokasi penelitian.
Tabel 7 Lokasi penelitian dan jumlah petani kopi Arabika Gayo di Kabupaten
AcehTengah dan Bener Meriah, tahun 2013
No. Kabupaten Kecamatan Desa Petani
1. Bener Meriah Bandar Pondok Gajah 8
Sungai Dua 7
Permata Sukujantaka 7
Timur Jaya 8
2. Aceh Tengah Pegasing Pegasing 8
Terang Ulen 7
Jagong Jeget Jagong (Sumber Tirta) 8
Jeget Atu (Tambak 8
Sari)
Jumlah 60
kerja dalam keluarga yang lebih dominan bila dibandingkan tenaga kerja upahan
atau tenaga kerja yang berasal dari luar keluarga. Bagi petani responden yang
sebagian besar (42%) memiliki jumlah anggota keluarga > 5 orang dan akan
menguntungkan bila dilibatkan dalam aktivitas perkebunan kopi. Di sisi lain,
tingkat pendidikan petani kopi yang sebagian besar (33%) telah menempuh
pendidikan selama 9 tahun. Hal ini menjadi modal dasar dalam proses adopsi
teknologi, perluasan usaha dan pengelolaan usahatani kopi di Kabupaten Aceh
Tengah dan Bener Meriah. Pada Tabel 8 menunjukkan identitas petani kopi dapat
digambarkan berdasarkan kelompok umur, tingkat pendidikan, jumlah anggota
keluarga, pengalaman berusahatani dan luas lahan yang dimiliki petani.
Karakteristik Pedagang
Pedagang responden yang diwawancarai terdiri atas pedagang pengumpul
(kolektor) sebanyak 14 orang, koperasi sebanyak 5 unit dan eksportir sebanyak 5
unit. Masing-masing responden berlokasi di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener
Meriah. Pada aktivitas pemasaran pedagang pengumpul (kolektor) dapat berupa
pedagang biasa ataupun petani kopi yang melakukan aktivitas pengumpulan kopi
54
baik di tingkat desa maupun Kecamatan. Pedagang ini telah tergabung dalam satu
unit koperasi untuk memasarkan produk kopi yang bersertifikat. Koperasi yang
diwawancarai terbagi menjadi koperasi yang telah melakukan ekspor langsung
sebanyak 2 unit sehingga koperasi ini digolongkan sebagai eksportir dan koperasi
yang menyalurkan kopi melalui eksportir sebanyak 2 unit. Eksportir yang
berbadan usaha selain koperasi sebanyak 3 unit.
Responden yang menjadi pedagang pengumpul sebagian besar masih
berusia produktif antara 30 sampai 40 tahun dan memiliki pengalaman selama 10
sampai 15 tahun dengan tingkat pendidikan selama 12 tahun atau setara tingkat
SMA. Pada aktivitas pengumpulan kopi, pedagang memiliki tenaga kerja tidak
tetap sebanyak 2 hingga 3 orang. Tenaga kerja digunakan pada saat jumlah
pengumpulan kopi dalam kapasitas yang besar (> 2 000 kg/desa). Pedagang
pengumpul juga memiliki petani tetap dan tidak tetap sebagai sumber bahan
pasokan kopi. Rata-rata jumlah petani yang telah bekerjasama dengan pedagang
pengumpul sebanyak 60 sampai 80 orang per Kecamatan. Banyaknya jumlah kopi
yang dikumpulkan oleh pedagang sangat bergantung dengan jumlah modal yang
mereka miliki. Semakin besar modal, maka semakin banyak pula kopi yang dapat
dibeli oleh pedagang pengumpul (kolektor). Sebagian besar pedagang responden
memerlukan modal usaha sebesar 50 sampai 100 juta dengan rata-rata jumlah
pembelian kopi sebanyak 3 sampai 10 ton per musim panen. Kolektor yang
menjadi responden merupakan anggota koperasi yang membeli kopi dari petani
yang terlibat program sertifikasi peroduk, di tingkat koperasi beberapa koperasi
yang telah melakukan ekspor langsung ke konsumen (importir) yaitu Koperasi
Baitul Qiradh (KBQ) Baburrayan dan Koperasi Permata Gayo. Secara ringkas
berikut dipaparkan profil kedua koperasi ini.
perkebunan kopi dan pabrik pengolahan yang dijalankan KBQB mewakili sekitar
6 800 petani kopi berskala kecil yang seluruhnya telah disahkan secara
internasional sebagai produsen kopi organik. Selain sertifikasi organik, pada
Tabel 9 terlihat beberapa sertifikasi lain yang telah dimiliki oleh KBQB.
5000 4346
4221
4000 3300
3018 3089
Jumlah
3000
2225 2252
2000
1200 1418
1000 594714 700
50 68
0
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Tahun
1
TransFair USA merupakan salah satu anggota FLO (Fairtrade Internasional) dan satu-satunya
perusahaan yang dapat mengaudit transaksi Fairtrade yang terjadi di Amerika Serikat
58
Tabel 11 Pangsa pasar dan konsentrasi pasar 10 eksportir kopi Arabika Gayo di
Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah, tahun 2012
Rata-rata volume
No. Nama perusahaan Pangsa pasar
pembelian kopi CR4
(w)
(kg/bulan)
1 KSU. Permata Gayo 4 728 119 0.2494 0.7112
2 CV. Aridalta Mandiri 3 719 554 0.1962
3 PT. Ihtiyeri Keti Ara 3 023 797 0.1595
4 KBQ. Baburrayan 2 011 441 0.1061
5 Koperasi GLOC 1 905 276 0.1005
6 CV. Putra Darma 1 799 112 0.0949
7 CV. Ateutamount 587 697 0.0310
8 CV. Alfi Datinggoco 496 699 0.0262
9 PT. Fajar Jeumpa 407 596 0.0215
10 PT. Sumatera Arabika 278 682 0.0147
Gayo
Jumlah 18 957 974 1.0000
(kolektor) dan petani anggota. Hal ini menunjukkan adanya kerjasama yang
terjalin antara perusahaan dan petani.
Jumlah petani yang menjadi anggota KBQ. Baburrayan dan KSU. Permata
Gayo telah mencapai 12 ribu petani yang tersebar di Kabupaten Aceh Tengah dan
Bener Meriah atau setara dengan 20.46 persen dari total petani yang mengikuti
program sertifikasi produk (57 ribu orang) di kedua kabupaten ini. Besarnya
jumlah petani anggota yang dimiliki perusahaan menunjukkan bahwa perusahaan
secara tegas telah memiliki pembagian wilayah pembelian yang jelas, sehingga
daerah produsen seolah-olah terbagi menjadi beberapa segmen yang masing-
masing dikuasai oleh perusahaan (eksportir) yang berbadan hukum koperasi. Bagi
petani, penjualan melalui koperasi merupakan satu-satunya alternatif untuk
memasarkan produk kopi Arabika Gayo ke pasar kopi bersertifikat. Hal ini
disebabkan, hanya koperasi saja yang memiliki lisensi sertifikasi produk seperti
organic certified, fairtrade dan rainforest. Oleh karenanya, dengan kelebihan
tersebut eksportir mempunyai kekuatan besar dalam mengontrol pasar.
Berbeda halnya untuk dua perusahan terbesar lainnya, CV. Aridalta
Mandiri dan PT. Ihtiyeri Keti Ara. Kedua perusahaan ini merupakan badan usaha
yang hanya bergerak dalam perdagangan kopi Arabika Gayo. Pada sistem
manajemennya, CV. Aridalta Mandiri dan KBQ. Baburrayan dikelola olah orang
yang sama. Perbedaannya adalah bila di KBQ. Baburrayan orang tersebut
menjadi manajer koperasi, sedangkan di CV. Aridalta Mandiri menjadi pemilik
perusahaan. Hal ini tentu saja mempengaruhi pangsa pasar dan kekuatan dalam
mempengaruhi keputusan-keputusan pembelian dan penjualan. Kebijakan internal
perusahaan maupun koperasi akan berdampak terhadap kondisi pasar yang
dihadapi oleh petani.
Kerjasama yang terjalin antar eksportir akan memberikan peluang besar
dalam melakukan kolusi harga. Sehingga, konsekuensi petani dalam menghadapi
struktur pasar oligopsoni adalah petani cenderung sebagai penerima harga (price
taker) dan posisi tawar (bargaining position) petani lemah dalam proses
penentuan harga. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Saputra (2012) dalam
pasar kopi organik di Kabupaten Aceh Tengah dan Shumeta et al. (2012) dalam
pasar kopi di Ethiopia yang menunjukkan bahwa terdapat pelaku pemasaran yang
dominan dalam menentukan harga dan petani cenderung sebagai penerima harga
(price taker). Penjelasan lebih lanjut terkait sistem penentuan harga di tingkat
petani akan dikaji melalui analisis perilaku pasar.
Tengah dan Bener Meriah memiliki nilai rata-rata MES sebesar 29.83 persen. Hal
ini mengindikasikan adanya hambatan masuk dalam perdagangan kopi Arabika
Gayo di tingkat eksportir. Setiap tahunnya nilai MES yang terbentuk cenderung
fluktuatif. Pada tahun 2007 nilai MES mencapai 40.21 persen dan pada tahun
2011 sebesar 24.17 persen. Fluktuasi terjadi karena adanya perubahan jumlah
pembelian kopi Arabika Gayo yang dilakukan oleh perusahaan. Walaupun
demikian, nilai MES yang terbentuk selalu lebih besar dari 10 persen. Jika pesaing
baru memasuki pasar dengan nilai dibawah rata-rata maka pesaing tersebut tidak
dapat bersaing dengan perusahaan-perusahaan yang telah ada. Namun, apabila
pesaing baru ingin tetap masuk, maka perusahaan harus menanggung biaya yang
lebih tinggi untuk dapat bersaing dengan perusahaan-perusahaan lainnya. Tabel
12 menunjukkan perkembangan nilai Minimum Efficiency Scale (MES) selama
tahun 2007 sampai 2012.
Tabel 13 Rata-rata modal, sumber modal, dan lama melakukan perdagangan kopi
menurut golongan pedagang, tahun 2013
Modal/ sumber modal Satuan Kolektor Koperasi Eksportir
(n=14) (n=3) (n=3)
1. Rata-rata modala (juta Rp) 67 580 1 700
2. Seluruh modal sendiri (% ) - - -
3. Modal Internalb (% ) 28.57 30.00 28.57
4. Modal pinjaman (% ) 71.43 70.00 71.43
5. Sumber pinjaman
a. Perbankan (% ) 55.00 78.00 90.00
b. Pedagang lain (% ) 45.00 22.00 10.00
6. Frekuensi pembelian (kali) 3 8 2
dalam 1 bulanc
a
modal awal yang digunakan dalam aktivitas pembelian kopi, tidak termasuk modal tetap (gedung,
tanah); bmodal yang bersumber dari keuntungan perusahaan; cpembelian dilakukan pada musim
panen (kg/minggu)
61
Tabel 14 Bentuk hambatan bagi pesaing baru untuk memasuki pasar kopi
Arabika Gayo pada setiap tingkat lembaga pemasaran
Persentase responden
Tingkat lembaga Bentuk hambatan
(%)
Petani (n = 60) Standardisasi (sertifikasi) 50.00
Kolektor Modal 43.71
(n = 14) Kerjasama vertikal 71.43
Koperasi Modal 75.00
(n = 5) Manajemen koperasi 75.00
Lisensi Sertifikasi 75.00
Kerjasama horizontal dan vertikal 100.00
Eksportir (n =5 ) Modal 100.00
Teknologi (standardisasi) 85.71
Sortasi/ grading 65.70
Transportasi 57.14
Kerjasama horizontal dan vertikal 71.43
Skala usaha ekonomi 71.43
Di tingkat koperasi, hambatan masuk dalam pasar kopi Arabika Gayo antara
lain adalah modal, manajemen, teknologi dan lisensi. Koperasi sebagai pemegang
sertifikasi produk, memerlukan manajemen (pengolaan) yang baik dalam
memasarkan produk kopi. Setiap tahun, lembaga sertifikasi (FLO-cert) akan
melakukan inspeksi terhadap pengelolaan kopi berserfikat. Mulai dari operasional
koperasi, dokumen (arsip) terkait sertifikasi, pedagang pengumpul (kolektor)
hingga ke petani. Pentingnya sinergisitas antar pelaku pemasaran hanya dapat
dibangun apabila koperasi memiliki manajemen yang dan baik dan memiliki
kerjasama antara pedagang pengumpul (kolektor) dan petani. Oleh karennya,
kerjasama vertikal mulai dari eksportir, koperasi, pedagang pengumpul (kolektor)
hingga ke petani menjadi hambatan masuk bagi perusahaan lain.
62
Tabel 15 Karakteristik dan struktur pasar kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh
Tengah dan Bener Meriah
Pemasaran di tingkat
Karekteristik
Petani Kolektor Koperasi Eksportir
Penjual Petani Kolektor Koperasi Eksportir
(banyak) (terpusat) (11 unit) (10 unit)
Perilaku pasar kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener
Meriah dianalisis secara deskriptif. Analisis perilaku pasar akan menggambarkan
perilaku setiap lembaga pemasaran dalam menghadapi struktur pasar yang ada.
Adapun elemen-elemen yang terdapat didalam perilaku pasar meliputi lembaga
dan praktek fungsi pemasaran yang didalamnya akan terlihat kondisi kerjasama
antar lembaga pemasaran (Dahl dan Hammond 1977), saluran pemasaran,
mekanisme penentuan harga dan sistem pembayaran.
a. Petani
Sejak tahun 1992, petani telah melakukan kegiatan budidaya kopi Arabika
Gayo berdasarkan pada standar organik yang telah di tetapkan oleh IFOAM
(International Federation Organic Agriculture Movements). Namun, dalam
perkembangannya masih diperlukan beberapa perbaikan, terutama dalam hal
produksi dan pemasaran. Tehnik budidaya kopi arabika organik pada dasarnya
sama dengan budidaya kopi arabika non-organik (konvensional), yang
membedakan adalah dalam budidaya kopi organik tidak diperbolehkan
menggunakan bahan-bahan kimia sintetis mulai dari persiapan lahan, penanaman,
pemeliharaan, panen hingga penanganan pasca panen. Hal ini dikarenakan setiap
tahap dalam perlakuan kopi akan mempengaruhi kualitas kopi yang dihasilkan.
Aktivitas pemanenan di daerah penelitian dapat berlangsung setiap bulan.
Daerah dengan ketinggian di bawah 1 200 m dpl, panen dapat dilakukan pada
bulan Juli hingga Nopember. Daerah yang berada diatas ketinggian 1 200 m dpl
dilakukan panen pada bulan Nopember hingga April. Namun, panen raya hanya
berlangsung selama 3 bulan (bulan Maret, April, Mei). Pemanenan dilakukan
secara manual, bertahap dan selektif. Secara teknis, pada 15 hari pertama petani
memilih kopi ceri yang telah berwarna merah penuh dan tidak memetik kopi ceri
yang belum sempurna merahnya dan pada 15 hari kedua petani kembali
menelusuri kopi ceri yang awalnya masih hijau atau belum sempurna warnanya
untuk di petik. Pemetikan secara manual dan selektif akan menghasilkan kualitas
kopi yang lebih baik. Namun, kendala yang dihadapi petani adalah keterbatasan
tenaga kerja dan modal untuk melakukan pemanenan. Sehingga, sering kali
menggunakan tenaga kerja dalam keluarga yang tidak dibayar dan untuk
meningkatkan jumlah penjualan, tidak jarang petani melakukan pencampuran kopi
ceri yang masih hijau dan belum sempurna merahnya dengan kopi ceri yang telah
merah. Hal ini tentu saja akan mempengaruhi kualitas dan harga jual kopi di
tingkat petani.
Selama proses penjualan, harga kopi ceri juga ditentukan oleh ketinggian
lahan tanaman kopi. Pada Tabel 16 terlihat bahwa rata-rata harga kopi ceri di
Kabupaten Bener Meriah lebih mahal (10%) dibandingkan kopi ceri di Kabupaten
Aceh Tengah. Hal ini disebabkan, kopi yang dihasilkan dari Bener Meriah pada
umumnya di tanam pada ketinggian antara 1 200 sampai 1 800 m dpl sedangkan
Kabupaten Aceh Tengah berkisar antara 700 sampai 1 000 m dpl. Menurut ICRRI
(2008), kondisi lahan yang tinggi akan menghasilkan biji kopi yang berkualitas
65
baik, dengan ciri utamanya memiliki ukuran yang lebih kecil dibandingkan kopi
yang berasal dari dataran rendah dan memiliki kualitas rasa (cupping test) yang
lebih tinggi. Menurut pendapat Mustafa Ali sebagai ketua Masyarakat
Perlindungan Kopi Gayo (MPKG) kondisi inilah yang menjadi salah satu
penyebab petani kopi di Kabupaten Aceh Tengah sebagian besar (85%) menjual
dalam bentuk kopi HS dengan tujuan agar harga jualnya dapat lebih tinggi.
Pada fungsi pertukaran, petani hanya melakukan aktivitas penjualan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa seluruh petani responden di Kabupaten Aceh
Tengah mejual kopi HS dengan kadar air ≥ 40 persen. Rata-rata penjualan yang
dilakukan sebanyak 146 kg dalam bentuk kopi HS. Berbeda halnya dengan petani
di Kabupaten Bener Meriah yang seluruhnya menjual dalam bentuk kopi ceri
tanpa dilakukan proses pengolahan. Tabel 16 menunjukkan rata-rata produksi
yang dihasilkan petani dan jumlah penjualannya per minggu selama musim panen.
Perbedaan bentuk kopi yang dipasarkan oleh petani di kedua Kabupaten ini
disebabkan karena faktor kebiasaan dan jauhnya lokasi kebun dengan rumah
petani ataupun kilang kopi. Selain itu, kemudahan lain yang diperoleh petani yang
menjual kopi ceri adalah mereka tidak perlu mengeluarkan biaya transportasi
untuk mengantarkan kopi mereka ke kolektor. Melainkan kolektor yang langsung
menjemput kopi yang telah selesai di panen petani di kebun mereka.
Selain fungsi pertukaran berupa penjualan, petani di Kabupaten Aceh
Tengah dan Bener Meriah juga melakukan fungsi fasilitas yaitu penanggungan
risiko dan pembiayaan. Petani sebagai produsen kopi menanggung risiko lebih
besar dibandingkan pelaku pemasaran lainnya (pedagang pengumpul dan
eksportir). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Hukama (2003)
dan Saputra (2012) yang menunjukkan bahwa risiko yang dihadapi petani lebih
besar dibandingkan tingkat lembaga pemasaran lainnya. Kondisi ini disebabkan
dari sisi penawaran (supply) petani sebagai pelaku on farm menghadapi kondisi
iklim yang tidak menentu, produktivitas yang tidak stabil akibat penggunaan bibit,
dekradasi kesuburan tanah, keterbatasan sumber saprodi dan lain sebagainya.
Untuk sisi permintaan (demand) dan harga, petani menghadapi ketidakpastian
pasar dan fluktuasi harga. Ketidakpastian pasar salah satunya dipengaruhi oleh
musim panen kopi. Saat harga tinggi dan jumlah produksi kopi melimpah,
pedagang lebih memilih untuk tidak membeli kopi dan menunggu perkembangan
harga yang terjadi. Di sisi lain, petani sulit untuk mencari peluang pasar baru dan
66
kondisi ini mempengaruhi pola harga yang terbentuk. Pada Tabel 17 menunjukkan
kerjasama dan fungsi-fungsi pemasaran yang dilakukan oleh petani responden.
c. Koperasi
Koperasi sebagai badan usaha yang beranggotakan pemilik modal
(investor), karyawan, petani dan pedagang pengumpul (kolektor) memiliki peran
strategis dalam mendukung pengembangan agribisnis kopi Arabika Gayo.
Kehadiran koperasi mampu memberikan kepercayaan kepada pembeli (eksportir,
importir maupun industri) untuk melakukan perdagangan kopi Arabika Gayo baik
di pasar domestik maupun dalam pasar internasional. Jumlah koperasi di
Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah yang telah mendapatkan sertifikasi
produk kopi mencapai 11 unit koperasi. Sertifikasi produk kopi yang telah ada
antara lain Organic Certifiticate meliputi Organic Certificate (EU) untuk Eropa,
Organic Certificate (USDA/NOP) untuk USA dan Organic Certificate (JAS)
untuk Jepang, Cafe Practice untuk Starbuck Coffee dan FLO Certificate/
Fairtrade. Pada Tabel 20 terdapat beberapa koperasi yang telah memiliki
sertifikasi produk.
Tabel 20 Profil koperasi responden di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah
Jumlah Rata-rata
Tahun
Koperasi Petani penjualana Bentuk produkb Pembeli
berdiri
(orang) (kg/ minggu)
Baburrayan 2002 5 657 365 756 Green Beanb Importir,
Eksportir
Permata Gayo 2006 4 000 320 037 Green off- Importir,
gradecdan Green Eksportir
Bean
GLOC 2007 2 000 163 284 Green off-grade Eksportir
dan Green Bean
Lepo Gayo Indah 2009 1 200 130 627 Green off-grade Eksportir
dan Green Bean
Tunas Indah 2004 3 620 197 029 Green off-grade Eksportir
a
Penjualan kopi saat panen raya (Maret-April-Mei) dilakukan 2 sampai 4 kali per minggu; b Green
bean merupakan kopi beras yang telah disortir (grading) dengan kadar air 11-13%; cKopi beras
yang belum disortir (grading) kadar air 20-30%.
69
diletakkan pada tempat yang bersih dan tersusun rapi dengan jarak antar barang
dan dinding sejauh 50 cm. Pada Gambar 20 terlihat mekanisme penyaluran kopi
dari Kabupaten Bener Meriah ke gudang koperasi di Sumatera Utara, Medan.
Kolektor
Pengolahan Kopi Ceri menjadi kopi HS
Penjemuran kopi HS sampai k.a 35-40 %
(pulping, fermentasi dan pencucian)
Gambar 20 Aktivitas pemasaran kopi Arabika Gayo oleh KSU. Permata Gayo
dari Kabupaten Bener Meriah menuju Sumatera Utara, Medan
Selain fungsi pertukaran dan fungsi fisik yang dilakukan oleh koperasi.
Beberapa fungsi fasilitas yang dijalankan koperasi juga memberikan arti penting
terhadap ekspansi pangsa pasar kopi di tingkat koperasi. Kemampuan koperasi
dalam memperoleh sumber pembiayaan, penanggulangan risiko dan mengetahui
informasi harga akan meningkatkan pangsa pasar koperasi baik sebagai pembeli
maupun sebagai penjual. Menurut Saputra (2012) faktor risiko dominan yang
dihadapi oleh koperasi adalah kuantitas, kualitas dan harga. Rendahnya kuantitas
pasokan menyebabkan risiko pasokan di tingkat koperasi menjadi tinggi. Risiko
pasokan akan berdampak terhadap risiko kontrak dan risiko harga yang dihadapi
oleh eksportir. Pihak pembeli (importir, industri atau eksportir) akan memberi
penalti (peringatan) kepada koperasi apabila tidak dapat memenuhi kontrak yang
telah disepakati selama periode yang ditetapkan. Akibatnya koperasi harus
menanggung risiko pemotongan sejumlah harga dari harga jual normal yang
berlaku di kontrak. Oleh karena itu, informasi harga yang diperoleh koperasi dapat
meningkatkan kemampuan koperasi dalam menghadapi berbagai risiko. Strategi
penentuan harga jual maupun harga beli dapat mengakomodir apabila terjadi
risiko-risiko yang tidak diinginkan.
Selama ini sumber utama pembiayaan koperasi diperoleh dari perbankan.
Bank sebagai lembaga formal memberlakukan syarat dan ketentuan dalam proses
pinjam meminjam. Skala usaha, jaminan dan adanya badan hukum merupakan
beberapa hal penting yang menjadi pertimbangan bank dalam menyetujui proposal
yang diajukan oleh pihak koperasi. Koperasi akan semakin banyak memperoleh
pinjaman (kredit) dari bank apabila riwayat pengembalian kredit yang dilakukan
lancar dan tepat waktu dengan jumlah yang sesuai. Selain memberikan pinjaman,
71
bank memiliki peran lain dalam proses transaksi jual beli kopi. Koperasi
menggunakan bank dalam transaksi pembayaran pembelian kopi dari koperasi ke
pedagang pengumpul (kolektor) dan bank juga sebagai tempat berlangsungnya
transaksi pembayaran pejualan kopi dari konsumen (eksportir, importir atau
industri dalam negeri). Secara ringkas, Tabel 21 menunjukkan aktivitas pemasaran
dan kerjasama yang dilakukan koperasi dalam menjalankan fungsi-fungsi
pemasaran baik fungsi pertukaran, fisik dan fasilitas.
d. Eksportir
Eksportir merupakan perusahaan atau lembaga yang memasarkan kopi
Arabika Gayo ke pasar dunia. Pada tahun 2012, terdapat 28 perusahan yang
terdaftar pada Badan Pengurus Daerah Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia untuk
Daerah Aceh (BPD AEKI Aceh). Adapun 4 diantaranya berbentuk koperasi dan
sisanya merupakan perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) sebanyak
11 perusahaan dan Comanditer Venonscaft (CV) sebanyak 13 perusahaan. Pada
aktivitas perdagangan, kopi merupakan salah satu komoditas ekspor yang diatur
pelaksanaan ekspornya. Ketentuan tentang ekpor kopi diatur dalam Peraturan
Menteri Perdagangan Nomor 10/M-DAG/PER/5/2011. Salah satu syarat yang
diberlakukan adalah mengurus Surat Persetujuan Ekspor Kopi (SPEK).
SPEK adalah surat persetujuan pelaksanaan ekspor kopi ke seluruh negara
tujuan yang dikeluarkan oleh Dinas yang bertanggung jawab di bidang
perdagangan di Propinsi/Kabupaten/Kota. SPEK juga dapat digunakan untuk
pengapalan dari pelabuhan ekspor di seluruh Indonesia. Disamping itu, kopi yang
diekspor wajib sesuai dengan standar mutu yang ditetapkan Menteri Perdagangan
dan harus disertai dengan Surat Keterangan Asal (SKA) Form ICO (International
Coffee Organization), yaitu surat keterangan yang digunakan sebagai dokumen
penyerta kopi yang diekspor dari seluruh Indonesia, yang membuktikan bahwa
kopi tersebut berasal, dihasilkan dan/atau diolah di Indonesia. Proses pengurusan
SKA dapat dilakukan oleh Dinas Perindustian Perdagangan Koperasi dan Usaha
Menengah Aceh (Disperindagkop dan UKM Aceh) dan Dinas Perindustrian dan
Perdagangan Aceh Utara. Pengurusan SPEK dilakukan oleh dua instansi penerbit
SPEK yaitu Dinas Perindagkop dan UKM Aceh dan Dinas Perindustrian
Perdagangan Pertambangan dan Energi Kabupaten Aceh Tengah. Sisanya
dilakukan di Banda Aceh dan Aceh Utara. Pada Tabel 22 menunjukkan bahwa
72
Selain itu pada fungsi fisik juga diterapkan standar operasional terhadap
proses pengolahan, penyimpanan hingga pendistribusian (pengangkutan). Setiap
karung (kapasitas 60 kg) memiliki keterangan jenis mutu dan negara tujuannya.
Perusahaan berusaha menjaga keberlanjutan ekspor kopinya melalui kerjasama
dengan persusahaan-perusahaan impotir kopi. Perusahaan akan mengirimkan
barang tepat waktu dengan spesifikasi kualitas dan kuantitas yang diinginkan.
Namun, dalam pelaksanaanya perusahaan berhadapan dengan berbagai risiko.
Baik berupa risiko harga, risiko pasokan kopi maupun risiko permintaan. Sebagai
upaya menanggulanginya, perusahaan berusaha melakukan perbaikan dengan
meninjau ulang periode kontrak serta kuntitas pasokan yang telah disepakati.
Sinergisitas antar lembaga pemasaran mulai dari petani, pedagang pengumpul
(kolektor) dankoperasi akan meningkatkan kemampuan eksportir dalam menjaga
keberlanjutan ekspor kopi Arabika Gayo ke pasar dunia.
Informasi harga yang diperoleh perusahaan (eksportir) memiliki peran
penting dalam meningkatkan posisi tawar perusahaan dengan pembeli (buyers).
Setiap perkembangan harga yang terjadi di tingkat petani hingga harga kopi di
pasar dunia merupakan sumber informasi yang dapat mempengaruhi harga jual
kopi. Perusahaan mampu bersaing dengan perusahaan lain, apabila dapat
melakukan strategi harga dalam proses pembelian dan penjualan kopi.
Kemampuan perusahaan untuk meningkatkan jumlah pasokan kopi dari petani
melalui penawaran harga beli kopi yang relatif lebih tinggi dibandingkan
pesaingnya, dan menjual kopi dengan harga jual yang kompetitif. Sehingga,
stabilitas keuntungan yang diperoleh perusahaan dapat menjaga keberlanjutan
bisnis kopi yang dijalankan. Tentu saja ini memerlukan modal yang besar (1
sampai 2 milyar) untuk skala usaha yang optimal. Oleh karena itu, sumber
pembiayaan yang diperoleh perusahaan melalui bank, investor maupun buyers
merupakan salah satu indikator penting kesuksesan bisnis kopi Arabika Gayo.
74
Koperasi (n=2)
Vol. Green off-grade 83.21%
93 671 kg/minggu
100%
Eksportir (n=3) Eksportir (n=3)
[ Non Koperasi] [Koperasi]
Vol.Green bean 20.78% Vol. Green bean
53 892 kg/minggu 234 694 kg/minggu
100% 79.22%
KONSUMEN KONSUMEN
(IMPORTIR) (IMPORTIR)
dengan kapasitas rata-rata lebih besar dari 7 ton. Hal ini dikarenakan, apabila
dikonversi maka 1 kg kopi HS sama dengan 0.344 kopi beras (k.a 11-12%).
Pada aktivitas pemasaran, terdapat perbedaan fungsi yang dilakukan oleh
koperasi. Pertama, koperasi yang belum melakukan ekspor langsung (lihat saluran
1 dan 2) dan kedua, koperasi yang telah melakukan ekspor langsung (lihat saluran
4). Koperasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah koperasi yang belum
melakukan ekspor langsung. Sedangkan koperasi yang telah melakukan ekspor
langsung dikatagorikan sebagai eksportir. Rata-rata volume pembelian kopi yang
dilakukan koperasi sebesar 485 965 kg/minggu dalam bentuk kopi HS dengan k.a
35 sampai 40 persen. Selanjutnya, koperasi melakukan proses pengolahan kopi
HS menjadi kopi beras dengan dengan k.a 12 sampai 15 persen. Seluruh produk
kopi Arabika Gayo yang dihasilkan dipasarkan ke tingkat eksportir, dengan
jumlah penjualan mencapai 93 671 kg/minggu berbentuk kopi beras yang belum
di grading (green off-grade).
Di tingkat eksportir, terdapat dua jenis kategori eksportir yaitu eksportir
yang berbadan hukum koperasi atau ditulis menjadi eksportir (koperasi) dan
eksportir yang berbadan hukum selain koperasi seperti CV dan PT atau dapat
ditulis menjadi eksportir (non koperasi). Perbedaan ini dilakukan dengan tujuan
untuk melihat sejauh mana peran eksportir (koperasi) dan eksportir (non koperasi)
dalam aktivitas pemasaran kopi Arabika Gayo. Pada aktivitas pemasaran, terdapat
kelebihan yang dimiliki oleh masing-masing eksportir. Eksportir (koperasi)
memiliki kepastian pasokan kopi relatif lebih banyak dibandingkan eksportir (non
koperasi). Hal ini disebabkan eksportir (koperasi) memiliki keterikatan dengan
kolektor dan petani sebagai anggota koperasi dan memiliki lisensi sertifikasi
produk. Namun, di tingkat eksportir (non koperasi) kelebihan yang dimiliki
anatara lain adanya modal yang relatif besar dan jaringan pasar yang lebih luas
dibandingkan eksportir (koperasi). Sehingga, eksportir (non koperasi) dapat
membeli pasokan kopi yang berasal dari koperasi maupun eksportir (koperasi).
Volume rata-rata pembelian kopi yang dilakukan eksportir (non koperasi)
mencapai 54 991 kg/minggu dalam bentuk kopi green bean maupun green off-
grade. Pembelian kopi bersumber dari koperasi, eksportir (koperasi) dan beberapa
kolektor. Seluruh kopi Arabika Gayo yang dihasilkan dipasarkan ke pasar dunia
dalam bentuk kopi beras yang telah di grading (green bean) melalui importir
(konsumen) dengan rata-rata penjualan 53 892 kg/minggu. Di sisi lain eksportir
(koperasi) sebagian besar (78.22%) menyalurkan sendiri produk kopi green bean
yang dihasilkan dan sisanya (20.78%) disalurkan melalui eksportir (non koperasi).
Pilihan eksportir (koperasi) menyalurkan melalui eksportir (non koperasi) adalah
untuk membuka jaringan pasar lebih luas. Sehingga, jumlah pasokan kopi yang
diperoleh dapat tersalurkan seluruhnya.
Koperasi (n=2)
Vol. Green off-grade 98.68%
59 218 kg/minggu
100%
Eksportir (n=3) Eksportir (n=3)
[ Non Koperasi] [Koperasi]
Vol.Green bean 20.78% Vol. Green bean
53 892 kg/minggu 163 937 kg/minggu
79.22%
100%
KONSUMEN KONSUMEN
(IMPORTIR) (IMPORTIR)
Total produksi kopi yang dihasilkan rata-rata sebesar 4 200 kg/ha, produksi
ini lebih tinggi dibandingkan produksi kopi di Kabupaten Aceh Tengah. Hal ini
disebabkan perbedaan ketinggian lahan tempat penanaman kopi. Pada Gambar 22
terlihat bahwa rata-rata volume penjualan kopi petani sebesar 347 kg/minggu dan
seluruh petani menyalurkannya melalui kolektor dalam bentuk kopi ceri. Petani
menjual kopi ceri disebabkan oleh faktor kebiasaan. Sejak tahun 1984, perusahaan
78
kopi asal Belanda yang berada di Kabupaten Bener Meriah hanya akan membeli
kopi dari petani dalam bentuk kopi ceri. Hal ini bertujuan untuk menjaga
konsistensi kualitas kopi yang dihasilkan. Perusahaan ini bergerak di bidang
perdagangan eskpor kopi dan bekerja sama dengan Perusahaan Daerah Genap
Mupakat (PDGM). Namun, pada tahun 1994 perusahaan ini tutup akibat
instabilitas keuangan perusahaan. Oleh karenanya, kebiasaan petani yang telah
terbentuk lama menyebabkan petani lebih memilih menjual kopi mereka dalam
bentuk kopi ceri.
Selain itu, jauhnya jarak kebun kopi dengan rumah petani atau kilang kopi
tempat pengupasan kulit kopi (pulper) menyebabkan petani lebih mudah untuk
menjualnya langsung kepada pedagang pengumpul (kolektor) yang menjemput
kopi ke kebun petani. Lokasi kebun petani di Kabupaten Bener Meriah umumnya
berada pada ketinggian 1 200 sampai 1 800 m dpl. Berbeda halnya dengan petani
kopi di Kabupaten Aceh Tengah yang memiliki jarak lebih dekat antara kebun
kopi dengan rumah petani atau kilang kopi tempat dilakukannya pengupasan kulit
kopi. Lokasi kebun kopi yang rata-rata berada pada ketinggian 700 sampai 1 000
m dpl memudahkan petani untuk mengolah kopi terlebih dahulu sebelum
memasarkannya.
Di Kabupaten Bener Meriah, perubahan nilai tambah dari kopi ceri menjadi
kopi HS diperankan oleh kolektor. Volume pembelian kopi ceri oleh kolektor
rata-rata sebesar 19 842 kg/minggu dengan jumlah petani yang terlibat mencapai
60 orang tiap kolektor. Total penjualan kolektor rata-rata mencapai 9 227
kg/minggu, sebagian besar (>90%) dijual kepada koperasi dalam bentuk kopi HS
dan sisanya (<10%) dijual kepada eksportir dalam bentuk kopi beras yang belum
di grading (grade off grade). Sama halnya dengan kolektor di Kabupaten Aceh
Tengah. Kolektor yang menjual kopi beras umumnya memiliki tingkat pembelian
kopi ceri rata-rata lebih besar dari 19 ton, selain untuk meningkatkan efisiensi,
pilihan kolektor untuk menjual dalam bentuk kopi beras disebabkan adanya
permintaan eksportir dengan penawaran harga yang lebih tinggi. Di tingkat
koperasi dan eksportir, peran yang dilakukan kedua lembaga pemasaran ini sama
dengan yang terjadi di Kabupaten Aceh Tengah. Hal ini disebabkan, koperasi
maupun eksportir memperoleh sumber pasokan kopi yang berasal dari kedua
kabupaten ini.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa saluran pemasaran
yang dilewati petani di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah terdiri atas 4
macam saluran. Perbedaan bentuk kopi yang dipasarkan pada masing-masing
kabupaten akan mempengaruhi tingkat harga dan jumlah kopi yang dipasarkan. Di
tingkat petani, terbatasnya alternatif saluran pemasaran disebabkan oleh
keterikatan petani dengan kolektor. Secara institusi, koperasi merupakan lembaga
yang menampung hasil kopi petani. Melalui kolektor, petani dapat menjual hasil
panen mereka kepada koperasi. Di sisi lain, keterikatan pinjaman yang dilakukan
petani dengan kolektor menyebabkan petani tidak dapat memasarkan kopinya
selain kepada kolektor yang telah memberikan pinjaman. Kondisi ini
menyebabkan posisi petani lemah dalam proses penentuan harga. Selain itu,
perbedaan bentuk produk yang dipasarkan petani akan mempengaruhi marjin
pemasaran dan share harga yang diterima oleh petani. Analisis marjin dan farmer
share akan dibahas lebih lanjut dalam analisis kinerja pasar.
79
MekanismePenentuan Harga
Secara teknis, penentuan harga kopi Arabika Gayo berdasarkan pada tingkat
kualitas kopi yang dipasarkan. Di tingkat eksportir penentuan harga dilakukan
melalui kontrak jual beli antara eksportir dan buyers (importir) dengan mengacu
pada perkembangan harga pasar dunia (Terminal New York) (ICRRI 2008).
Harga di Terminal New York ditentukan berdasarkan standar mutu Arabica
Brazillian natural dan barang diterima di pelabuhan di Amerika Serikat. Harga
kopi arabika mutu 1 dari Gayo biasanya lebih mahal dari pada harga NY, hal ini
karena kopi Arabika Gayo dikelompokkan dalam other milds yang memiliki mutu
lebih baik dibandingkan dengan mutu kopi Arabica Brazillian natural. Nilai
kontrak ekspor biasanya berbasis FOB (free on board), yaitu barang diatas kapal
di pelabuhan eksportir, untuk kopi Arabika Gayo biasanya harganya lebih tinggi
30 sampai 40 sen US$/lbs atau setara dengan Rp6 377/kg sampai Rp8 502/kg.
Tambahan harga seperti ini dalam perdagangan disebut dengan premium harga
(ICRRI 2008).
Umumnya, kesepakatan harga antara eksportir dan impotir terjadi melalui
sistem tawar-menawar. Hal penting yang menjadi perhatian adalah pembentukan
harga sangat dipengaruhi oleh kemampuan eksportir dalam melakukan negosiasi.
Sistem negosiasi biasanya diwakili oleh orang yang memiliki pengetahuan yang
baik tentang kualitas kopi yang diperjualbelikan, perkembangan harga kopi baik
di pasar produsen maupun konsumen serta perkembangan produksi dan konsumsi
kopi dunia. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan daya tawar eksportir dalam
proses penentuan harga. Selain itu, hubungan kerjasama yang telah terjalin lama
dan baik antara eksportir dan importir akan mampu meningkatkan kepercayaan
importir terhadap nilai harga yang ditetapkan oleh eksportir. Pada Tabel 24
menunjukkan sumber informasi harga dan proses penentuan harga kopi Arabika
Gayo pada setiap lembaga pemasaran.
Tabel 24 Sumber informasi dan proses penentuan harga kopi Arabika Gayo pada
setiap lembaga pemasaran
Lembaga Persentase
Sumber informasi harga Proses penentuan harga
pemasaran (%)
Petani Kolektor, Petani lain Ditentukan oleh kolektor 83.33
Tawar-menawar 16.67
Kolektor Koperasi, Eksportir Ditentukan oleh koperasi 64.29
Tawar-menawar 35.71
Koperasi Pasar NewYork, eksportir Tawar-menawar 100.00
Pasar lokal
Eksportir Pasar NewYork, Importir, Tawar-menawar 100.00
Koperasi
arabika. Berdasarkan pertimbangan terhadap kondisi yang ada maka koperasi dan
eksportir akan melakukan kontrak sejumlah kopi dengan spesifikasi mutu dan
harga yang sesuai, selanjutnya transaksi jual beli akan ditandatangani diatas
materai.
Pedagang pengumpul (kolektor) sebagai perpanjangan tangan koperasi akan
diinfokan secara langsung oleh pihak koperasi dan koperasi sebagai penentu
harga. Informasi harga yang diperoleh dari koperasi, dijadikan oleh kolektor
sebagai acuan dalam menentukan harga beli kopi tersebut kepada petani. Posisi
petani terhadap pedagang pengumpul (kolektor) hanya sebagai penerima harga
(price taker). Keterbatasan petani dalam memperoleh informasi harga dan
keterikatan petani dengan kolektor, meyebabkan posisi tawar (bargaining
position) petani lemah dalam proses penentuan harga. Namun, adapula petani
responden (16.67%) yang dapat melakukan tawar-menawar dengan kolektor.
Kondisi ini dapat terjadi apabila petani tidak memiliki keterikatan hutang dan
memiliki pengetahuan lebih baik terhadap perkembangan harga yang terjadi.
Sehingga posisi tawar petani lebih baik dihadapan kolektor.
Sebagai alternatif yang dapat diusahakan oleh petani sehubungan dengan
posisinya sebagai penerima harga (price taker) adalah memanfaatkan variasi
harga yang terjadi di pasar. Perbedaan tahap pengolahan yang dilakukan akan
meningkatkan harga jual petani. Kopi yang dijual dalam bentuk HS akan lebih
tinggi harganya dibandingkan kopi ceri yang baru dipanen. Harga jual kopi HS
juga bervariasi berdasarkan tingkat kadar air yang diperoleh. Sehingga, petani
dalam hal ini perlu memahami tingkat kadar air yang terdapat pada kopi mereka.
Selain itu, kemandirian petani dalam memperoleh sumber modal dan
kemampuannya dalam mengelola keuangan keluarga akan mampu meningkatkan
posisi tawar (bargaining position) petani dalam proses penentuan harga.
Sistem Pembayaran
Sistem pembayaran dalam pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten
Aceh Tengah dan Bener Meriah umumnya terdiri atas sistem pembayaran kontrak,
tunda, tunai/langsung. Sistem kontrak umumnya diterapkan oleh eksportir
terhadap koperasi. Setelah menandatangani kontrak, perusahaan akan
mengirimkan uang sebesar 20 sampai 30 persen dari harga yang telah ditetapkan.
Selanjutnya perusahaan akan melunasi seluruh sisanya setelah seluruh barang
diterima dan sesuai dengan kesepakatan kontrak. Pembayaran dilakukan dengan
menggunakan fasilitas perbankan, sehingga bukti transfer akan dijadikan sebagai
salah satu bukti bahwa uang telah dikirmkan.
Di tingkat kolektor, sebagian besar (61.54%) eksportir (koperasi dan non
koperasi} menerapkan sistem pembayaran tunda. Sedangkan sebesar 38.46 persen
terdapat koperasi yang membayar tunai/tunda kepada kolektor. Pembayaran
dilakukan antara 2 sampai 4 hari setelah barang diterima dari pedagang
pengumpul (kolektor). Alasan koperasi menerapkan sistem tunda disebabkan
besarnya nilai uang yang harus disediakan oleh koperasi. Faktor keamanan dan
kemudahan juga menjadi pertimbangan perusahaan dalam melakukan pembayaran
kepada pedagang pengumpul (kolektor). Pada sistem pembayaran langsung,
koperasi kan membayar sesuai dengan jumlah kopi yang diberikan. Prosedur
pembayaran dilakukan dengan menunjukkan bukti penerimaan yang diberikan
oleh koperasi setelah barang diterima. Selanjutnya, pedagang pengumpul
81
menyerahkan bukti tanda terima ke bagian pembayaran pada saat yang sama.
Maka, uang akan diserahkan sesuai dengan harga yang tertera pada tanda bukti
yang diterima.
Sistem pembayaran tunda juga dilakukan pada saat pembeli (kolektor)
meminjamkan uang kepada petani (55.00%). Namun, proses pembayaran akan
dilakukan setelah dikurangi dengan jumlah pinjaman. Penentuan harga didasarkan
pada harga yang berlaku saat panen berlangsung. Prosedur peminjaman yang
sangat mudah, fleksibel, informal dan tidak terikat waktu dan tempat. Hal ini yang
menjadi daya tarik petani untuk memperoleh pinjaman dengan cepat dan praktis.
Pedagang pengumpul (kolektor) sebagai kreditor dan pembeli hasil kopi petani
mendapatkan keuntungan berlipat. Keuntungan diperoleh dari bunga pinjaman
yang diberikan dan keuntungan dari selisih harga beli di petani dengan harga jual
di koperasi. Biasanya pedagang pengumpul (kolektor) akan membeli hasil panen
petani dengan harga rendah karena posisi tawar kolektor yang lebih kuat
dibandingkan petani. Oleh karennya, selisih keuntungan akan lebih banyak
dinikmati pedagang pengumpul (kolektor). Di sisi lain adapula petani yang telah
mandiri dan tidak meminjam uang kepada kolektor. Pada kondisi petani seperti
ini, kolektor akan langsung membayar uangnya kepada petani (16.67%) atau
menundanya selama 2 sampai 3 hari setelah barang diterima (28.33%). Penundaan
terjadi akibat pedagang pengumpul menunggu pembayaran yang diberikan oleh
koperasi, sehingga kolektor memiliki modal untuk membayarkannya kepada
petani. Pada Tabel 25 menunjukkan sistem pembayaran yang dilakukan oleh
setiap lembaga pemasaran di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah.
Marjin Pemasaran
Analisis marjin pemasaran kopi Arabika Gayo dilakukan mulai dari
pedagang pengumpul (kolektor), koperasi dan eksportir. Pengertian marjin disini
adalah selisih harga beli dan harga jual di setiap tingkat lembaga pemasaran.
Dengan demikian marjin total merupakan selisih harga di tingkat petani dengan
harga di tingkat eksportir. Analisis marjin didalam penelitian ini mempergunakan
82
biaya pengolahan (0.95%), biaya sortasi (0.59%), biaya penyimpanan dan biaya-
biaya lainnya (0.60%). Pada Gambar 23 menunjukkan marjin pemasaran yang
terjadi pada saluran 1.
Saluran 1
70,000 61,000
60,000
50,000 42,000 42,000
Rupiah/kg
40,000
19,333
30,000 17,056 19,333 20,507
3,433 15,567
20,000 2,160
10,000 302 1,976
-
Harga Beli Biaya Harga Jual Keuntungan
Pemasaran
Hal yang sama terjadi di tingkat koperasi, biaya terbesar yang dikeluarkan
oleh koperasi adalah biaya transportasi dan bongkar muat sebesar Rp1 462/kg atau
2.40 persen. Biaya ini dikeluarkan koperasi untuk menyewa kontainer dan upah
tenaga kerja yang mengantarkan kopi green off-grade atau kopi beras yang belum
disortir dari Kabupaten Aceh Tengah ke tingkar eksportir yang umumnya berada
di Sumatera Utara. Sama halnya di tingkat kolektor biaya pemasaran terbesar
dikeluarkan untuk biaya transportasi Rp183/kg atau 0.30 persen. Lokasi rumah
petani yang saling berjauhan, menyebabkan biaya tranportasi yang harus
dikeluarkan oleh kolektor untuk membeli kopi petani relatif lebih tinggi
dibandingkan biaya pemasaran lainnya.
Analisis kedua dilakukan pada saluran pemasaran 2 di Kabupaten Aceh
Tengah. Hasil analisis menunjukkan bahwa lembaga pemasaran yang
mengeluarkan biaya pemasaran terbesar adalah eksportir [non-koperasi] yaitu
Rp3 733/kg sedangkan di tingkat kolektor hanya mengeluarkan biaya pemasaran
sebesar Rp842. Hal ini disebabkan pada saluran 2 eksportir melakukan pembelian
langsung kopi Arabika Gayo dari kolektor dalam bentuk kopi beras (green off-
grade). Sehingga, biaya yang awalnya ditanggung oleh koperasi, sekarang harus
ditanggung oleh eksportir [non-koperasi]. Adapun biaya pemasaran terbesar
terdapat pada biaya transportasi dan bongkar muat sebesar Rp2 431/kg atau 3.99
persen. Namun di tingkat kolektor, biaya pemasaran yang dikeluarkan lebih besar
jika dibandingkan dengan saluran 1 yaitu sebesar Rp842 /kg. Hal ini disebabkan
kolektor melakukan proses pengolahan kopi HS menjadi kopi beras yang belum
disortir (grade off-grade). Gambar 24 menunjukkan marjin pemasaran yang
terbentuk pada saluran 2.
84
Saluran 2
80,000 61,000
Rupiah/kg 60,000
31,167 31,167 26,100
40,000
17,178 13,147
20,000 8423,733
-
Harga Beli Biaya Harga Jual Keuntungan
Pemasaran
Saluran 3 61,000
70,000
60,000 51,000 51,000
Rupiah/kg
50,000
40,000 18,750 29,722
30,000 17,300 3,387 18,750
20,000 2,528 6,613
10,000 302 1,148
-
Harga Beli Biaya Harga Jual Keuntungan
Pemasaran
Saluran 4 57,667
60,000
50,000 36,389
Rupiah/kg
40,000
18,750
30,000 17,300 18,750
20,000
10,000 3022,528 1,148
-
Harga Beli Biaya Harga Jual Keuntungan
Pemasaran
Saluran 1 61,000
70,000
60,000
42,000 42,000
Rupiah/kg
50,000
40,000
30,000 19,667 19,667 20,173
20,000 7,167
3,433 12,010 15,567
2,160
10,000 490
-
Harga Beli Biaya Harga Jual Keuntungan
Pemasaran
Sama halnya yang terjadi pada saluran 1. Pada saluran 2 terlihat bahwa
biaya pemasaran terbesar dikeluarkan oleh eksportir [non-koperasi]. Namun di
tingkat kolektor, biaya pemasaran yang dikeluarkan sebesar Rp842/kg lebih tinggi
dibandingkan pada saluran 1 (Rp490/kg). Hal ini dikarenakan dalam proses
pengolahan kopi ceri menjadi kopi beras memerlukan biaya yang lebih besar
(Rp300/kg). Selain itu, biaya transportasi yang ditanggung menjadi lebih besar
(Rp183/kg). Namun, keuntungan yang dinikmati kolektor pada saluran 2
meningkat sebesar 2 sampai 3 kali lipat dibandingkan dengan keuntungan yang
diperoleh pada saluran 1. Walaupun dalam prakteknya tidak seluruh kolektor
dapat melakukan proses penjualan kopi ke eksportir [non koperasi]. Hal ini
dikarenakan kolektor telah memiliki ikatan dengan koperasi atau eksportir
[koperasi]. Pada Gambar 28 terlihat sebaran marjin pemasaran kopi Arabika Gayo
di Kabupaten Bener Meriah pada saluran 2.
87
Saluran 2
70,000 61,000
60,000
Rupiah/kg
50,000 33,500 33,500
40,000 25,575
23,767
30,000
20,000 7,083
10,000 8423,733
-
Harga Beli Biaya Harga Jual Keuntungan
Pemasaran
Saluran 3 61,000
70,000
60,000 51,000 51,000
50,000
Rupiah/kg
40,000 30,259
30,000 18,750 18,750
20,000 2,755 11,448 7,245
7,000 1,991
10,000 302
-
Harga Beli Biaya Harga Jual Keuntungan
Pemasaran
sebagian besar mulai mengekspor pada tahun 2005. Sehingga, kerjasama yang
terjalin hingga saat ini lebih bersifat mutualisme (saling menguntungkan).
Berbeda halnya dengan saluran 3, pada saluran 4 biaya pemasaran tertinggi di
tanggung oleh eksportir [koperasi] (Rp3 218/kg). Tingginya biaya pemasaran
yang ditanggung oleh eksportir [koperasi] disebabkan pada saluran 4, eksportir
[koperasi] langsung menyalurkan produk kopi yang dihasilkan ke pelabuhan
Belawan, Sumatera Utara tanpa melalui eksportir [non koperasi]. Jika
dibandingkan dengan eksportir [non-koperasi], maka kelebihan eksportir
(koperasi) adalah memiliki lisensi sertifikasi dan beranggotakan kolektor dan
petani. Sehingga, akses terhadap pasokan kopi dapat diestimasi dengan baik.
Gambar 30 menunjukkan sebaran marjin yang terjadi pada saluran 4 di Kabupaten
Bener Meriah.
Saluran 4 57,667
60,000
50,000
35,698
Rupiah/kg
40,000
30,000 18,750 18,750
20,000 11,448
7,000
10,000 3023,218
-
Harga Beli Biaya Harga Jual Keuntungan
Pemasaran
Farmer Share
Farmer share merupakan rasio antara harga di tingkat petani terhadap harga
di tingkat pedagang. Besarnya farmer share dipengaruhi oleh tingkat pemrosesan,
biaya transportasi, keawetan produk dan jumlah produk (Kohls dan Uhl 2002).
Pada analisis ini, share harga yang diterima petani dapat dibedakan berdasarkan
bentuk produk yang dipasarkan. Di Kabupaten Aceh Tengah, share harga yang
diterima petani relatif lebih tinggi (>27%) dibandingkaan share harga yang
89
diterima petani di Kabupaten Bener Meriah (≤12%). Rendahnya share harga yang
diterima petani disebabkan petani di Kabupaten Bener Meriah langsung
memasarkan hasil panen kopi mereka, tanpa dilakukan proses pengolahan. Hal ini
berbeda dengan petani di Kabupaten Aceh Tengah yang menjual kopi setelah
diolah dalam bentuk kopi HS. Gambar 31 menunjukkan farmer share yang
dihasilkan pada setiap saluran pemasaran di Kabupaten Aceh Tengah.
Farmer Share
50,000 42,000
40,000 31,167
30,000 19,333 18,750 18,750
17,056 17,178 17,300 17,300
20,000
10,000 - - - - - -
-
Saluran 1 Saluran 2 Saluran 3 Saluran 4
Farmer Share
50,000 42,000
40,000 33,500
30,000
19,667 18,750 18,750
20,000
7,167 7,083 7,000 7,000
10,000
- - - - - -
-
Saluran 1 Saluran 2 Saluran 3 Saluran 4
Pt = b1Pt-1+b2(Rt - Rt-1)+b3Rt-1+b4Xt + ɛt
dimana :
Pt = Harga kopi Arabika Gayo di pasar lokal (waktu t) (Rp/kg)
Pt-1 = Harga kopi Arabika Gayo di pasar lokal (waktu t-1) (Rp/kg)
Rt = Harga kopi Arabika Gayo di pasar acuan (waktu t) (Rp/kg)
Rt-1 = Harga kopi Arabika Gayo di pasar acuan (waktu t-1) (Rp/kg)
Hal yang sama terjadi pada analisis kedua, yaitu pasar kopi Arabika Gayo di
tingkat petani yang menjual dalam bentuk kopi HS. Harga di tingkat petani
sebagai pasar lokal, sedangkan kolektor, koperasi dan eksportir sebagai pasar
acuan. Hasil menunjukkan bahwa nilai IMC jauh lebih besar dari 1 dan menolak
hipotesis nol. Artinya bahwa harga kopi di tingkat petani saat ini tidak
dipengaruhi oleh perubahan harga yang terjadi di pasar acuan (kolektor, koperasi
dan eksportir). Analisis ketiga dilakukan pada pasar kopi Arabika Gayo di tingkat
kolektor sebagai pasar lokal dan koperasi dan eksportir sebagai pasar acuan.
Hasil menunjukkan bahwa nilai IMC jauh lebih besar dari 1 dan menolak
hipotesis nol. Artinya bahwa harga kopi di tingkat kolektor saat ini tidak
dipengaruhi oleh perubahan harga yang terjadi di pasar acuan (koperasi dan
eksportir). Begitu pula pada pasar kopi di tingkat koperasi sebagai pasar lokal dan
eksportir sebagai pasar acuan.
93
Hasil yang sama ditunjukkan pada tingkat kolektor sebagai pasar lokal,
untuk koperasi dan eksportir sebagai pasar acuan. Dengan ditolaknya hipotesis nol
b2=0, maka hal ini menggambarkan bahwa dalam jangka panjang tidak terjadi
integrasi antara pasar kopi di tingkat koperasi dan eksportir dengan pasar kopi di
tingkat petani. Kondisi ini menyebabkan, berapapun perubahan harga yang terjadi
di tingkat koperasi dan eksportir pada saat ini dan waktu sebelumnya tidak
mempengaruhi harga kopi di tingkat kolektor saat ini. Seluruh model
menunjukkan bahwa hipotesis nol b2=0 ditolak pada semua tingkat lembaga
pemasaran. Hal ini menunjukkan tidak terjadi integrasi jangka panjang pada setiap
lembaga pemasaran.
Oleh karenanya, dapat disimpulkan bahwa hasil analisis integrasi pasar
vertikal mengindikasikan bahwa efisiensi pemasaran belum sepenuhnya diperoleh
untuk komoditi kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah.
Hal ini disebabkan oleh kurangnya akses informasi perkembangan harga yang
terjadi pada pasar di setiap lembaga pemasaran. Selain itu, tekanan dari lembaga
pemasaran di tingkat yang lebih tinggi menjadikan harga yang diterima petani
(pasar lokal) tidak terintegrasi dengan harga kopi di tingkat eksportir (acuan) baik
dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Di pasar kopi dunia, kopi Arabika Gayo tergolong kopi spesialti yang telah
memiliki sertifikasi produk. Oleh karenanya, pada tahun 2012 nilai jual kopi
Arabika Gayo pernah mencapai 20 persen (Rp60 000/kg) lebih tinggi
dibandingkan harga kopi arabika dunia (Rp48 000/kg) di pasar New York (AEKI
2013). Namun, tingginya harga jual kopi Arabika Gayo belum dinikmati oleh
petani. Hasil analisis struktur, perilaku dan kinerja pasar kopi Arabika Gayo telah
dapat menjelaskan mengapa pola pergerakan harga kopi di tingkat petani tidak
mengikuti pola pergerakan harga kopi di tingkat eksportir. Hal ini terlihat dari
kondisi sistem pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh Tengah dan
Bener Meriah yang belum berjalan secara efisien.
Analisis struktur pasar menunjukkan bahwa pasar kopi yang dihadapi petani
cenderung oligopsoni. Di tingkat eksportir, adanya hambatan masuk pasar
menyebabkan terbatasnya jumlah eksportir baru untuk masuk kedalam pasar dan
cakupan pasar cenderung dikuasai oleh beberapa perusahaan besar. Hambatan
pasar yang terjadi salah satunya disebabkan oleh program sertifikasi produk kopi,
yang memiliki standardisasi dalam pemasarannya. KSU. Permata Gayo
merupakan perusahaan yang memiliki pangsa pasar tertinggi (24.46%). Hal ini
dikarenakan perusahaan memiliki badan hukum koperasi yang telah memiliki
lisensi sertifikasi produk dan adanya jaringan pasar yang luas menyebabkan
perusahaan mampu memasarkan produknya kebeberapa negara konsumen utama
seperti Amerika, Australia, Jepang, Jerman dan lainnya. Selain itu, kemampuan
perusahaan dalam melakukan kerjasama yang baik pada setiap lembaga
pemasaran menjadikan hambatan bagi perusahaan lain untuk masuk ke dalam
pasar kopi Arabika Gayo. Fakta lain juga menunjukkan bahwa rasio konsentrasi
empat perusahaan terbesar berada dalam pasar yang terkonsentrasi dengan tingkat
95
persaingan kecil. Secara sederhana, hubungan antara struktur, perilaku dan kinerja
pasar terhadap pembentukan harga kopi di tingkat petani dapat ditunjukkan pada
Gambar 33.
HARGA KOPI DI
TINGKAT PETANI
struktur, perilaku dan kinerja pasar. Kondisi struktur pasar menunjukkan bahwa
petani menghadapi pasar yang tidak bersaing (oligopsoni). Di tingkat eksportir,
pasar cenderung terkonsentrasi dengan tingkat persaingan kecil. Hal ini
memungkinkan eksportir untuk melakukan kerjasama dan kolusi harga. Oleh
karenanya, alternatif pertama yang dapat dilakukan oleh petani adalah mengganti
peran pedagang dengan lembaga lain yaitu koperasi. Alternatif ini akan berjalan
baik apabila koperasi lebih mementingkan peningkatan pendapatan petani atau
kesejahteraan anggota dibandingkan hanya mengutamakan profit oriented.
Namun, apabila koperasi tidak menjalankan peran dan fungsinya sesuai dengan
prinsip-prinsip dasarnya. Maka, akan sulit diharapkan adanya perbaikan struktur
pasar yang dihadapi oleh petani. Petani akan tetap berada pada kondisi sulit untuk
meningkatkan posisi tawar (bargaining position) mereka dalam proses penentuan
harga.
Alternatif kedua dalam memperbaiki struktur pasar adalah melalui
pembentukan kelompok tani. Kelompok tani yang dimaksud adalah gabungan
beberapa petani antara 5 sampai 20 orang yang memiliki jarak kebun kopi relatif
dekat. Kelompok ini berperan dalam menjalankan fungsi-fungsi pemasaran, baik
fungsi pertukaran, fisik dan fasilitas. Sehingga, diharapkan kemampuan petani
dalam memperoleh pinjaman, perubahan nilai tambah serta akses dan informasi
pasar yang memadai dapat meningkatkan posisi tawar petani dalam proses
penentuan harga. Kondisi struktur pasar yang diharapkan untuk mencapai pasar
yang efisien adalah adanya kekuatan tawar menawar yang relatif sama antara
pembeli (pedagang) dan penjual (petani). Sehingga, perubahan harga yang terjadi
di pasar kopi secara agregat dapat di transfer ke tingkat petani sebagai pasar
produsen. Peluang terlaksananya alternatif pertama dan kedua memungkinkan
terjadinya perubahan struktur pasar oligopsoni menjadi struktur pasar persaingan
murni.
Hasil analisis menunjukkan bahwa melalui pendekatan struktur, perilaku
dan kinerja pasar dapat dilakukan beberapa kebijakan atau program untuk
meningkatkan posisi tawar petani dalam proses penentuan hraga. Salah satunya
melalui perbaikan kualitas kopi yang dihasilkan. Hal ini dapat dilakukan melalui
program pemberdayaan petani yang dilakukan secara sistematis dan
berkelanjutan. Sehingga, perkembangan kebutuhan pasar dapat segera di respon
oleh petani dengan melakukan perbaikan-perbaikan baik secara kualitas maupun
kuantitas. Kondisi struktur pasar akan mempengaruhi perilaku pasar begitu pula
sebaliknya. Perilaku petani yang terikat pinjaman dengan kolektor, menyebabkan
terbatasnya alternatif saluran pemasaran yang dimiliki petani. Sebenarnya, petani
memiliki peluang untuk langsung menjual kepada koperasi dan atau eksportir.
Namun, karena adanya keterikatan pinjaman, keterbatasan sarana dan prasarana
serta keterbatasan jumlah panen yang relatif sedikit menyebabkan petani lebih
memilih untuk menjual langsung kepada kolektor. Upaya yang dapat dilakukan
adalah memberikan fasilitas pinjaman kepada petani melalui lembaga-lembaga
formal dengan persyaratan yang relatif mudah. Tabel 29 menunjukkan beberapa
alternatif kebijakan yang dapat dilakukan sebagai upaya meningkatkan posisi
tawar petani dalam proses penentuan harga kopi Arabika Gayo di Kabupaten
Aceh Tengah dan Bener Meriah.
98
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
[AEKI] Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia Daerah Aceh. 2013.
Laporan Realisasi Ekspor Kopi Arabika Provinsi Aceh. Aceh (ID): AEKI.
Acharya SS. 1998. Agricultural Marketing in India: Some Facts and Emerging
Issues. Indian Journal of Agricultural Economics. 53(3): 311-332.
Akhmad S. 2007. Membangun Gerakan Ekonomi Kolektif dalam Pertanian
Berkelanjutan; Perlawanan Terhadap Liberalisasi dan Oligopoli Pasar
Produk Pertanian. Jawa Tengah (ID): Babad.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Provinsi Aceh dalam Angka 2011. Aceh (ID):
BPS.
_______________________. 2012. Kabupaten Aceh Tengah dalam Angka 2011.
Aceh (ID): BPS.
_______________________. 2012. Kabupaten Bener Meriah dalam Angka 2011.
Aceh (ID): BPS.
[BPTP] Badan Penelitian Teknologi Pertanian Aceh. 2011. Perkebunan Kopi
Aceh. Aceh (ID): BPTP.
Baye M. 2010. Managerial Economics and Business Strategy. Seventh Edition.
Singapore (SG): McGraw-Hill.
Besanko D, Dranove D, Shanley M dan Schaefer S. 2010. Economics Of Strategy.
Fifth Edition. International Student Version. Asia (US): J Wiley.
Bosena DT, Bekabil F, Berhanu G dan Dirk H. 2011. Stucture-Conduct-
Performance of Cotton Market: The Case of Metema District, Ethiopia.
Journal of of Agriculture, Biotechnology & Ecology. 4(1): 1-12.
Bresnahan T dan Levin J. 2012. Vertical Integration and Market Structure.
Amerika (US): Stanford University and NBER.
Carlton DW dan Perloff JM. 2000. Modern Industrial Organization. Third Edition.
Massachusetts (US): Addison-Wesley.
Charles W, Hair LJF and Mcdaniel C. 2001. Pemasaran. Edisi Pertama. Jakarta
(ID): Salemba Empat.
Dahl DC dan Hammond JW. 1977. Market and Price Analysis. Newyork (US):
McGraw-Hill.
[Disbun] Dinas Perkebunan Provinsi Aceh. 2013. Prospek Pengembangan Kopi
Arabika Gayo di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah. Aceh (ID):
Disbun.
[Disbunhut] Dinas Perkebunan dan Kehutanan Aceh Tengah. 2011. Data Luas
Lahan Kopi Arabika Di Kabupaten Aceh Tengah. Aceh (ID): Disbunhut.
[Disbunhut] Dinas Perkebunan dan Kehutanan Bener Meriah. 2011. Data Luas
Lahan Kopi Arabika Di Kabupaten Bener Meriah. Aceh (ID): Disbunhut.
102
Juanda B. 2009. Metodologi Penelitian dan Bisnis. Edisi Kedua. Bogor (ID): IPB
Pr.
Kizito AM. 2011. The Structure, Conduct and Performance of Agricultural
Market Information Systems in Sub-Saharan Africa [dissertation]. Michigan
(US): Michigan State University.
Kohls dan Uhl. 2002. Marketing of Agricultural Products. Ninth Edition. New
Jersey (US): Prentice Hall.
[Kemenperindag] Kementerian Perindustrian dan Perdagangan. 2012. Laporan
Kinerja Menteri Perdagangan RI Tahun 2011. Jakarta (ID): Kemenperindag.
[Kementan] Kementerian Pertanian. 2013. Statistik Pertanian 2012 (Agricultural
Statistics). Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. Jakarta (ID):
Kementan.
Kustiari R. 2007. Perkembangan Pasar Kopi Dunia dan Implikasinya Bagi
Indonesia. FAE. 25(1). ISSN 0216-4361. Jakarta (ID): Badan Litbang.
Kementan.
Levens M. 2010. Marketing: defined, Explained, Applied. International Edition.
Pearson (US): Prentice Hall.
Limbong WH. 1999. Marketing System of Agricultural Food Commodities in
Some Province of Indonesia. Journal of Agriculrture and Resource Sosio-
Economics (12).
MyersJL. 1979. Fundamentals of Experimental Design. 3nd edition. Boston (US):
Allyn and Bacon, Inc.
Ngigi M. 2008. Sructure Conduct and Performance of Commodity Markets in
South Sudan (SD): Lingkages Food Security.
Pambudy R. 2010. Sistem dan Usaha Agribisnis: Suatu Perjalan Pemikiran
Menjadi Paradigma Baru Pembangunan Pertanian Indonesia dalamRefleksi
Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih. Bogor (ID): IPB Pr.
Profil KBQ. Baburrayan. 2009. www.baburrayan.com//sertifikasi-produck/
[diakses Tanggal 15 Mei 2013.
Profil KBQ. Baburrayan. 2009. www.baburrayyan.com/jumlah-tenaga-kerja
[diakses 15 Mei 2012]
Ponte. 2004. A Global Value Chain Approach. Newyork (US): Danish Institute
for International Studies.
Porter ME. 1980. Competitive Strategy: Techniques for Analyzing Industries and
Competitors. New York (US). Free Pr.
Purcell WD.1979. Agricultural Marketing, System, Coordination, Cash and
Future Prices. Reston (US). Reston Publishing.
Putra EJ. 2009. Analisis Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Pulp dan Kertas di
Indonesia [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Raharja P dan Manurung M. 2008. Pengantar Ilmu Ekonomi (Mikroekonomi dan
Makroekonomi). Edisi Ketiga. Jakarta (ID): Fakultas Ekonomi UI.
104
Waldman DE dan Jensen EJ. 2007. Industrial Organization. Theory and Practice.
Third Edition. United States of America (US): Pearson Education.
Yantu MR, Bambang J, Hermanto S, Isang G dan Setia H. 2010. Integrasi pasar
Kakao Biji Perdesaan Sulawesi Tengah dengan Pasar Dunia. Jurnal Agro
Ekonomi 28(2): 201-225.
Yuprin. 2009. Analisis Pemasaran Karet di Kabupaten Kapuas. Jakarta (ID):
Agritek 17(6).
Yogin. 2012. Perbaikan Struktur Pasar Sebagai Alternatif Peningkatan Posisi
Tawar Petani. http://jurnal-kopertis4.tripod.com/1-03.html [diakses 1
November 2012]
106
1a. Tinggi dari permukaan laut, luas areal, produksi, produktivitas dan jumlah
petani kopi arabika per Kecamatan di Kabupaten Bener Meriah, Tahun 2011
Luas Jumlah
Tinggi Produksi Produktivitas
No. Kecamatan areal petani
DPL (m) (Ton/Tahun) (Kg/ Ha)
(Ha) (KK)
1. Permata 1 400 9 311 4 507 820 2 722
2. Bukit 1 200 3 622 2 249 810 3 469
3. Bandar 1 300 4 614 2 199 810 6 992
4. Bener 1 350 1 514 796 810
Kelipah 2 264
5. Wih Pesam 1 400 3 929 2 668 810 125
6. Mesidah 1 300 4 853 1 347 800 3 573
7. Timang 1 200 5 048 2 705 770
Gajah 2 321
8. Gajah Putih 1 250 3 931 2 162 770 3 818
9. Syiah Utama 1 200 93 29 750 6 303
10. Pintu Rime 1 450 8 402 2 744 750 3 677
Gayo
Rata-rata 1 305 4 532 2 141 790 3 526
Jumlah - 45 316 - - 33 029
Sumber : BPS Bener Meriah dalam Angka, 2012
1b. Tinggi dari permukaan laut, luas areal, produksi, produktivitas dan jumlah
petani kopi arabika per Kecamatan di Kabupaten Aceh Tengah, Tahun 2011
Luas Jumlah
Tinggi Produksi Produktivitas
No. Kecamatan areal Petani
DPL (m) (Ton/Tahun) (Kg/ Ha)
(Ha) (KK)
1. Linge 1 115 3 468 1 873 650 2 750
2. Bintang 1 234 2 467 1 546 730 1 994
3. Lut Tawar 1 200 1 960 900 720 1 111
4. Kebayakan 1 200 2 642 1 691 700 2 642
5. Pegasing 1 250 4 267 2 669 700 3 294
6. Bebesan 1 200 2 195 1 313 720 1 748
7. Kute 1 655 2 523 1 501 740 1 678
Panang
8. Silih Nara 1 000 1 935 857 725 6 350
9. Ketol 688 3 282 2 018 725 2 584
10. Celala 950 2 913 1 289 700 1 898
11. Jagong 1 600 5 634 3 335 750 2 455
Jeget
12. Atu 1 557 9 086 3 434 650 2 147
Lintang
13. Bies 1 250 2 118 1 351 725 1 809
14. Rusip 570 3810 1 646 720 2 453
Antara
Rata-rata 1 176 3 450 1 816 711 2 494
Jumlah - 48 300 - - 35 410
Sumber : BPS Bener Meriah dalam Angka, 2012
107
2a. Jumlah perusahaan kilang kopi dan industri bubuk kopi di Kabupaten
Aceh Tengah, tahun 2011
No. Kecamatan Kilang Pengupas Kopi Industri Bubuk Kopi
1. Linge 1 1
2. Bintang 4 3
3. Lut Tawar - 8
4. Kebayakan 3 1
5. Pegasing 9 3
6. Bebesan 14 6
7. Kute Panang - 2
8. Silih Nara 8 4
9. Ketol 3 1
10. Celala 4 2
11. Jagong Jeget 2 2
12. Atu Lintang 1 -
13. Bies 2 2
14. Rusip Antara 1 2
Jumlah 52 37
Sumber : BPS Aceh Tengah dalam Angka, 2012
2b. Jumlah perusahaan kilang kopi dan industri bubuk kopi di Kabupaten
Bener Meriah, tahun 2011
No. Kecamatan Kilang Pengupas Kopi Industri Bubuk Kopi
1. Timang Gajah 9 5
2. Gajah Putih 6 2
3. Pintu Rime Gayo 4 2
4. Bukit 10 3
5. Wih Pesam 8 10
6. Bandar 9 3
7. Bener Kelipah 2 1
8. Syiah Utama - 2
9. Mesidah 2 2
10. Permata 5 3
Jumlah 55 33
Sumber : BPS Aceh Tengah dalam Angka, 2012
108
3a. Jumlah penjualan petani responden di Kabupaten Aceh Tengah, tahun 2012
Aktivitas penjualan
3b. Jumlah penjualan petani responden di Kabupaten Bener Meriah, tahun 2012
Aktivitas penjualan
4a. Jumlah pembelian dan penjualan oleh kolektor di Kabupaten Aceh Tengah
Bentuk
Jlh. Harga
Jumlah Total kopi Pembeli
Kolektor penjualan Bentuk jual
petani Pembelian yang I
(kg/ minggu) (Rp/kg)
dibeli
Sambungan 4a.
Kolektor Pembeli II Jlh. penjualan (kg/ minggu) Bentuk Harga jual (Rp/kg)
Kolektor 1 - - - -
Kolektor 2 Eksportir 397 Beras 30,000
Kolektor 3 Eksportir 289 Beras 32,000
Rata-rata 343 31,000
Kolektor 4 - 551 Beras -
Kolektor 5 - - - -
Kolektor 6 - - - -
Kolektor 7 Eksportir 335 Beras 32,000
Kolektor 8 - - - -
Kolektor 9 Eksportir 519 Beras -
Rata-rata 468 31,333
111
4b. Jumlah pembelian dan penjualan oleh kolektor di Kabupaten Bener Meriah
Bentuk
Total Jlh. Harga
Jumlah kopi Pembeli
Kolektor Pembelian penjualan Bentuk jual
petani yang I
(kg/ minggu) (kg/ minggu (Rp/kg)
dibeli
Kolektor 10 40 13,640 Ceri Koperasi 6,343 HS 21,000
Kolektor 11 75 25,575 Ceri Koperasi 9,514 HS 18,000
Kolektor 12 70 23,870 Ceri Koperasi 11,100 HS 20,000
Rata-rata 62 21,028 8,985 19,667
Kolektor 13 56 19,712 Ceri Koperasi 8,937 HS 18,500
Kolektor 14 50 17,600 Ceri Koperasi 8,184 HS 19,000
Rata-rata 59 18,656 8,561 18,750
Sambungan 4b.
Kolektor Pembeli II Jlh. penjualan (kg/ minggu) Bentuk Harga jual (Rp/kg)
Kolektor 10 - - - -
a
Kolektor 11 Eksportir 818 Beras 32,000
Kolektor 12 - - - -
Rata-rata 818 32,000
Kolektor 13 Eksportir 79 Berasa 35,000
Kolektor 14 - - - -
Rata-rata 79 - 35,000
a
kopi Beras yang belum disortir (green off grade)
5a. Jumlah pembelian dan penjualan kopi Arabika Gayo si tingkat koperasi dan
eksportir [koperasi]
Bentuk
Jlh. Pembelian
Jlh. Penjualan kopi Jlh. penjualan Harga
Koperasi kopi HS (kg/ Pembeli I
(kg/minggu) yang (kg/ minggu) (Rp/kg)
minggu)
dibeli
Koperasi 1 949,326 320,037 Importir Berasa 224,026 60,000
Koperasi 2 584,449 197,029 - - - -
a
Koperasi 3 1,084,944 365,756 Importir Beras 219,454 57,000
a
Koperasi 4 484,350 163,284 Importir Beras 114,299 56,000
Koperasi 5 387,480 130,627 - - - -
Rata2 698,110 235,347 185,926 57,667
a
kopi Beras yang belum disortir (green off grade)
112
Sambungan 5a
Jumlah Pembeli Bentuk kopi yang Jlh. penjualan Harga
Koperasi
petani II dibeli (kg/minggu) (Rp/kg)
Koperasi 1 4,000 Eksportir Green off grade 96,011 45,000
Koperasi 2 3,620 Eksportir Green off-grade 197,029 43,000
a
Koperasi 3 5,657 Eksportir Green bean 146,303 51,000
Koperasi 4 2,000 Eksportir Green off grade 48,985 42,000
Koperasi 5 1,200 Eksportir Green off grade 32,657 38,000
Rata-rata 3,295 104,197 43,800
a
kopi Beras yang sudah disortir/grading (green bean)
5b. Jumlah pembelian dan penjualan kopi Arabika Gayo si tingkat eksportir [non-
koperasi]
Jlh. Jlh.
Total Bentuk Jlh.
Eksportir Pembelian Pembelian
pembelian kopi penjualan Harga
[Non- green-off green bean Pembeli
green-bean yang (kg/ (Rp/kg)
Koperasi] grade (kg/ (kg/
(kg/minggu) dibeli minggu)
minggu) minggu)
Green
Firm 1 25,702 37,798 62,996 Eksportir bean 61,736 65,000
Green
Firm 2 31,616 46,495 77,491 Eksportir bean 75,941 58,000
Green
Firm 3 4,995 19,590 24,487 Eksportir bean 23,997 60,000
6b Analisis marjin dan farmer share kopi Arabika Gayo di Kabupaten Bener
Meriah
Uraian Saluran Pemasaran
No
(Rp/ kg) 1 %-se 2 %-se 3 %-se 4 %-se
1 Petani
a. Harga Jual 7,167 11.75 7,083 11.61 7,000 11.48 7,000 12.14
2 Kolektor
a. Harga Beli 7,167 7,083 7,000 11.48 7,000 12.14
b. Biaya Pemasaran 490 0.80 842 302 302
- Biaya transportasi 138 0.23 183 0.30 183 0.30 183 0.32
- Biaya bongkar muat 39 0.06 39 0.06 39 0.06 39 0.07
- Biaya pengolahan 203 0.33 300 0.49 50 0.08 50 0.09
- Biaya susut 110 0.18 320 0.52 30 0.05 30 0.05
c. Harga Jual 19,667 32.24 33,500 54.92 18,750 30.74 18,750 32.51
d. Keuntungan 12,010 25,575 11,448 11,448
e. Marjin Kolektor 12,500 26,417 11,750 11,750
3 Koperasi
a. Harga Beli 19,667 32.24 - - -
b. Biaya Pemasaran 2,160
- Biaya transportasi 898 1.50 - - -
- Biaya bongkar muat 564 0.94 - - -
- Biaya pengolahan 300 0.50 - - -
- Biaya susut 320 0.53 - - -
- Biaya admintrasi 10 0.02 - - -
- Biaya retribusi 15 0.03 - - -
- Biaya penyimpanan 53 0.09 - - -
c. Harga Jual 42,000 68.85 - - -
d. Keuntungan 20,173 - - -
e. Marjin Koperasi 22,333 - - -
4 Eksportir (Koperasi)
a. Harga Beli - - 18,750 30.74 18,750 32.51
b. Biaya Pemasaran 1,991 3,218
- Biaya transportasi - - 675 1.11 898 1.56
- Biaya bongkar muat - - 250 0.41 564 0.98
- Biaya pengolahan - - 300 0.49 991 1.72
- Biaya sortasi - - 358 0.59 358 0.62
- Biaya admintrasi - - 15 0.02 15 0.03
- Biaya retribusi - - 20 0.03 20 0.03
- Biaya susut - - 320 0.52 320 0.55
- Biaya penyimpanan 53 0.09 53 0.09
c. Harga Jual - - 51,000 83.61 57,667 100.00
d. Keuntungan - - 30,259 35,698
e. Marjin Eksportir - - 32,250 38,917
4 Eksportir(Non
Koperasi)
a. Harga Beli 42,000 79.92 33,500 54.92 51,000 83.61 -
b. Biaya Pemasaran 3,433 3,733 2,755
- Biaya transportasi 981 1.61 1,281 2.10 705 1.16 -
- Biaya bongkar muat 564 1.89 1,150 1.89 564 0.93 -
- Biaya pengolahan 991 0.95 991 1.62 580 0.95 -
- Biaya sortasi 358 0.59 358 0.59 358 0.59 -
- Biaya admintrasi 15 0.02 15 0.02 15 0.02 -
- Biaya retribusi 20 0.03 20 0.03 20 0.03 -
- Biaya susut 276 0.45 276 0.45 460 0.75 -
- Biaya penyimpanan 53 0.09 53 0.09 53 0.09 -
c. Harga Jual 61,000 100.00 61,000 100.00 61,000 100.00 -
d. Keuntungan 15,567 23,767 7,245
e. Marjin Eksportir 19,000 27,500 10,000
Total Biaya Pemasaran 6,083 9.97 4,575 7.50 5,048 8.27 3,520 6.90
Total Keuntungan 47,751 78.28 49,342 80.89 48,952 80.25 47,147 92.44
Total Marjin 53,833 88.25 53,917 88.39 54,000 88.52 50,667 99.35
115
1. Harga pada tingkat petani sebagai pasar lokal dan harga pada tingkat
pedagang pengumpul, koperasi dan ekportir sebagai pasar acuan
Analisis Hasil Output, lihat nilai Obs*R squared (disebut juga X2 hitung)
sebesar 1.05 dan X2 tabel yang disesuaikan dengan jumlah lagnya (v) = 2 dan α =
5% adalah 5.99. karena 1.0533 < 5.99, maka dapat disimpulkan model diatas
bebas dari masalah autokorelasi.
Ketentuan :
Bila nilai R21 > R22, R23, R24 maka model tidak diketemukan adanya
multikolinearitas
Bila nilai R21 < R22, R23, R24 maka model diketemukan adanya multikolinearitas
Analisis Hasil Output, menunjukkan bahwa nilai R21 > R22, R23, R24, maka dalam
model ini tidak diketemukan adanya multikolinearitas.
Analisis Hasil Output, lihat nilai Obs*R squared (disebut juga X2 hitung)
sebesar 2.35 dan X2 tabel yang disesuaikan dengan derajat bebas (v) = 2 dan α =
5% adalah 5.99. karena 2.35< 5.99, maka dapat disimpulkan model diatas bebas
dari masalah Autokorelasi.
117
Analisis Hasil Output, menunjukkan bahwa nilai R21 > R22, R23, R24, maka dalam
model ini tidak diketemukan adanya multikolinearitas.
Analisis Hasil Output, lihat nilai Obs*R squared (disebut juga X2 hitung)
sebesar 1.62 dan X2 tabel yang disesuaikan dengan jumlah lagnya (v) = 2 danα =
5% adalah 5.99. karena 1.62< 5.99, maka dapat disimpulkan model diatas bebas
dari masalah Autokorelasi.
118
Analisis Hasil Output, menunjukkan bahwa nilai R21 > R22, R23, R24, maka dalam
model ini tidak diketemukan adanya multikolinearitas.
Analisis Hasil Output, lihat nilai Obs*R squared (disebut juga X2 hitung)
sebesar 4.17 dan X2 tabel yang disesuaikan dengan jumlah lagnya (v) = 2 dan α =
5% adalah 5.99. karena 4.17< 5.99, maka dapat disimpulkan model diatas bebas
dari masalah Autokorelasi.
119
Analisis Hasil Output, menunjukkan bahwa nilai R21 > R22, R23, R24, maka dalam
model ini tidak diketemukan adanya multikolinearitas.
Analisis Hasil Output, lihat nilai Obs*R squared (disebut juga X2 hitung)
sebesar 1.09 dan X2 tabel yang disesuaikan dengan jumlah lagnya (v) = 2 dan
α = 5% adalah 1.09. karena 1.09< 5.99, maka dapat disimpulkan model diatas
bebas dari masalah Autokorelasi.
120
Analisis Hasil Output, menunjukkan bahwa nilai R21 > R22, R23, R24, maka dalam
model ini tidak diketemukan adanya multikolinearitas.
Analisis Hasil Output, lihat nilai Obs*R squared (disebut juga X2 hitung)
sebesar 0.082 dan X2 tabel yang disesuaikan dengan jumlah lagnya (v) = 2 dan α =
5% adalah 5.99. karena 0.082< 5.99, maka dapat disimpulkan model diatas bebas
dari masalah Autokorelasi.
Analisis Hasil Output, menunjukkan bahwa nilai R21 > R22, R23, R24, maka dalam
model ini tidak diketemukan adanya multikolinearitas.
2. Harga pada tingkat kolektor sebagai pasar lokal dan harga pada tingkat
koperasi dan ekportir sebagai pasar acuan
Analisis Hasil Output, lihat nilai Obs*R squared (disebut juga X2 hitung)
sebesar 2.79 dan X2 tabel yang disesuaikan dengan jumlah lagnya (v) = 2 dan α =
5% adalah 5.99. karena 2.79< 5.99, maka dapat disimpulkan model diatas bebas
dari masalah Autokorelasi.
Analisis Hasil Output, menunjukkan bahwa nilai R21 > R22, R23, R24, maka dalam
model ini tidak diketemukan adanya multikolinearitas.
Analisis Hasil Output, lihat nilai Obs*R squared (disebut juga X2 hitung)
sebesar 0.73 dan X2 tabel yang disesuaikan dengan jumlah lagnya (v) = 2 dan α =
5% adalah 5.99. karena 0.73< 5.99, maka dapat disimpulkan model diatas bebas
dari masalah Autokorelasi.
Analisis Hasil Output, menunjukkan bahwa nilai R21 > R22, R23, R24, maka dalam
model ini tidak diketemukan adanya multikolinearitas.
4. Harga pada tingkat kolektor sebagai pasar lokal dan harga pada tingkat
koperasi dan ekportir sebagai pasar acuan
Analisis Hasil Output, lihat nilai Obs*R squared (disebut juga X2 hitung)
sebesar 0.16 dan X2 tabel yang disesuaikan dengan jumlah lagnya (v) = 2 dan α =
5% adalah 5.99. karena 0.16< 5.99, maka dapat disimpulkan model diatas bebas
dari masalah Autokorelasi.
Analisis Hasil Output, menunjukkan bahwa nilai R21 > R22, R23, R24, maka dalam
model ini tidak diketemukan adanya multikolinearitas.