Anda di halaman 1dari 143

SISTEM PEMASARAN KOPI ARABIKA GAYO

DI KABUPATEN ACEH TENGAH DAN BENER MERIAH,


PROVINSI ACEH: PENDEKATAN STRUCTURE, CONDUCT,
PERFORMANCE (SCP)

MEGA AMELIA PUTRI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Sistem Pemasaran Kopi
Arabika Gayo di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah, Provinsi Aceh:
Pendekatan Structure, Conduct, Performance (SCP) adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013

Mega Amelia Putri


NIM H451110351
RINGKASAN

MEGA AMELIA PUTRI. Sistem Pemasaran Kopi Arabika Gayo di Kabupaten


Aceh Tengah dan Bener Meriah, Provinsi Aceh: Pendekatan Structure, Conduct,
Performance (SCP). Dibimbing oleh ANNA FARIYANTI dan NUNUNG
KUSNADI.

Kopi Arabika Gayo merupakan komoditas utama di Kabupaten Aceh


Tengah dan Bener Meriah. Sebagian besar (86%) produksi kopi Arabika Gayo
diekspor ke pasar dunia dan tergolong kopi spesialti yang telah bersertifikat
organik, fairtrade dan raintforest. Program sertifikasi telah mampu meningkatkan
nilai jual kopi Arabika Gayo di pasar dunia yang biasa disebut sebagai harga
premium. Namun, tingginya harga jual kopi belum dirasakan oleh petani. Hal ini
ditunjukkan dari pergerakan harga kopi Arabika Gayo selama tahun 2006 sampai
2012, di tingkat petani pola pergerakan harga kopi mengalami laju penurunan
sebesar 1.73 persen per tahun, sedangkan pola pergerakan harga di tingkat
eksportir mengalami laju peningkatan sebesar 17.18 persen per tahun. Masalah
mendasar bagi mayoritas petani kopi di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener
Meriah adalah posisi tawar (bargaining position) petani lemah dalam proses
penentuan harga. Kondisi pasar yang tidak bersaing akan mempengaruhi perilaku
lembaga pemasaran berupa penentuan dan pembentukan harga. Namun, seberapa
cepat perubahan harga tersebut direspon oleh setiap lembaga pemasaran akan
diketahui melalui analisis kinerja pasar.
Berdasarkan permasalahan tersebut, maka perlu dilakukan analisis sistem
pemasaran melalui pendekatan SCP yaitu structure, conduct, performance.
Penelitian ini bertujuan untuk 1) menganalisis struktur, perilaku dan kinerja pasar
kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah, 2) menganalisis
pengaruh struktur, perilaku dan kinerja pasar terhadap pembentukan harga kopi di
tingkat petani, dan 3) merumuskan kebijakan yang dapat meningkatkan posisi
tawar petani dalam proses penentuan harga. Analisis yang digunakan yaitu
analisis deskriptif dan kuantitatif dengan pendekatan SCP. Pengolahan data
kuantitatif menggunakan Microsoft Excel 2007 dan Eviews 6.
Hasil analisis menunjukkan bahwa struktur pasar (market structure) yang
dihadapi petani kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah
bersifat oligopsoni. Hal ini dikarenakan kondisi pasar di ditingkat eksportir
terkonsentrasi dengan tingkat persaingan kecil (CR4=71.12%). Selain itu, adanya
hambatan masuk pasar dikarenakan oleh ikatan yang terjalin antar petani dengan
eksportir dalam memenuhi standar kopi bersertifikat. Kondisi struktur pasar
demikian memungkinkan perusahaan (eksportir) untuk melakukan kolusi harga.
Besarnya market power yang dimiliki eksportir akan mempengaruhi perilaku
lembaga pemasaran di tingkat lebih rendah.
Lembaga dan praktek fungsi pemasaran yang terlibat yaitu petani, pedagang
pengumpul (kolektor), koperasi dan eksportir. Adapun fungsi pemasaran yang
dilakukan yaitu fungsi pertukaran, fisik dan fasilitas. Saluran pemasaran kopi
Arabika Gayo di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah terdiri atas 4 saluran.
Saluran pertama, petani-kolektor-koperasi-eksportir (non koperasi). Saluran
kedua, petani-kolektor-eksportir (non koperasi). Saluran ketiga, petani-kolektor-
eksportir (koperasi)-eksportir (non-koperasi) dan saluran keempat yaitu petani-
kolektor-eksportir (koperasi). Seluruh petani menyalurkan kopi mereka kepada
kolektor. Besarnya ketergantungan petani terhadap kolektor disebabkan
keterbatasan petani dalam memperoleh akses permodalan, informasi pasar dan
alternatif saluran pemasaran. Hal ini menyebabkan posisi tawar petani
(bargaining position) lemah dalam proses penentuan harga.
Kondisi petani yang menghadapi struktur pasar oligopsoni dan posisi tawar
petani yang lemah dalam proses penentuan harga akan mempengaruhi kinerja
pasar. Hal ini terlihat dari share harga kopi yang diterima petani masih rendah
(≤30%) dengan marjin yang relatif tinggi. Kondisi ini disebabkan oleh besarnya
ketergantungan petani kepada kolektor dan terbatasnya sarana dan prasarana yang
dimiliki petani sehingga sebagian besar petani tidak melakukan perubahan nilai
tambah (value added) kopi yang dipasarkan. Di sisi lain, analisis integrasi pasar
vertikal menunjukkan bahwa pasar kopi di tingkat petani tidak terintegrasi dengan
pasar kopi di tingkat kolektor, koperasi maupun eksportir, artinya perubahan
harga kopi Arabika Gayo di tingkat kolektor, koperasi dan eksportir saat ini dan
waktu sebelumnya tidak mempengaruhi harga kopi di tingkat petani. Hal ini
menunjukkan bahwa dalam jangka pendek maupun jangka panjang petani
cenderung sebagai penerima harga (price taker).
Pendekatan SCP telah menunjukkan bahwa pola pergerakan harga kopi
ditingkat petani tidak mengikuti pola pergerakan harga kopi di tingkat eksportir.
Kondisi ini menggambarkan bahwa sistem pemasaran kopi Arabika Gayo di
Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah belum efisien. Sebagai upaya untuk
meningkatkan posisi tawar petani yaitu melalui pembentukan kelompok-
kelompok tani dan pemberdayaan kelompok tani secara berkelanjutan. Selain itu,
peran pemerintah dalam menjamin berbagai infrastruktur yang dibutuhkan petani
kopi, menyediakan sarana dan prasarana, pengawasan harga yang sesuai dengan
mutu kopi, dan menginformasikan perkembangan harga pasar (lokal dan dunia)
serta memfasilitasi adanya kemitraan langsung antara petani dengan eksportir.
Walaupun saat ini kerjasama yang dibangun petani dengan koperasi telah ada.
Namun, diharapkan ada perubahan yang dapat memberikan kepastian harga bagi
petani. Upaya ini dapat dilakukan melalui perbaikan sistem manajemen koperasi
yang profesional sehingga dapat meningkatkan posisi tawar petani dalam proses
penentuan harga.

Kata kunci: sistem pemasaran, kopi Arabika Gayo, struktur pasar, perilaku pasar,
kinerja pasar, harga
SUMMARY
MEGA AMELIA PUTRI. The Marketing System of Arabica Gayo Coffee in
Central Aceh and Bener Meriah Regencies, Aceh Province: Structure, Conduct,
Performance (SCP) Approach. Supervised by ANNA FARIYANTI and
NUNUNG KUSNADI.

Arabica Gayo coffee is the main commodity from Central Aceh and Bener
Meriah regencies. Most (86%) of Arabica Gayo coffee production is exported to
the world market and the specialty coffee that has been classified as certified
organic, fairtrade and raintforest. The certification program has been able to
increase the sales value of Arabica Gayo coffee in the world market which is
commonly referred to as the premium price. In the Arabica Gayo coffee market,
volatility prices at exporter’s level is not followed by volatility prices at farmer’s
level. The fundamental problem for the majority of coffee farmers in Central Aceh
and Bener Meriah is weak bargaining position of farmers in the pricing process.
Competitive market conditions will affect the behavior of a marketing agency and
the determination of price. However, how quickly do price changes which are
responded by marketing agencies will be identified through analysis of market
performance. Based on these problems, it is necessary to analyze the marketing
system through the SCP approach i.e structure, conduct, performance. The aims of
this study are to 1) analyze the structure, conduct and performance of Arabica
Gayo coffee markets in Central Aceh and Bener Meriah, 2) analyze the influence
of the structure, conduct and performance of the market to the formation of coffee
prices at the farm level, and 3) formulate policies that can enhance bargaining
position of farmers in the pricing process. The analysis used are the descriptive
and quantitative analysis of the SCP approach. Quantitative data processing use
Microsoft Excel 2007 and Eviews 6.
The analysis showed that the structure of the market facing Arabica Gayo
coffee farmers in Central Aceh and Bener Meriah is oligopsonistic. This is
because the market conditions at the level of exporters concentrated with a small
level of competition (CR4 = 71.12%). Moreover, the existence of barriers to entry
due to the bond that exists between farmers with exporters to meet the standards
of certified coffee. The structure of such markets allows firms (exporters) for price
collusion. The amount of market power that affects the behavior of exporters
owned marketing agency in the lower level. Institutions and practices of
marketing functions involved are farmers, collectors, cooperatives and exporters.
The marketing function is the function that made the exchange, physical and
facilities. Arabica Gayo coffee marketing channels in Central Aceh and Bener
Meriah consists of 4 channels. The first channel is farmer-collector-cooperative-
exporters (non-cooperative). The second channel is farmer-collector-exporters
(non-cooperative). The third channel is farmer-collector-exporters (cooperative)-
exporterters (non-cooperative) and the fourth channel is farmer-collectors-
exporters (cooperative). Whole farmers deliver their coffee to the collector.
Dependence of farmers on the collector due to the limitations of the farmers in
gaining access to market information and alternative marketing channels. This
causes weak bargaining position of farmers in the pricing process. Conditions of
oligopsony market structure which is faced by farmers and the weak bargaining
position of farmers in the pricing process will affect the performance of the
market. It is proved by the share price of coffee received by farmer still low (≤
30%) with a relatively high margin. This condition is caused by the dependence of
farmers to collectors and limited facilities and infrastructure owned by farmers
with the result that most of farmers do not changed the value added of coffee
market. so that farmers owned most of the farmers do not make changes to the
value added which marketed coffee. On the other hand, vertical market integration
analysis showed that coffee at the farmers market is not integrated with the coffee
market at the collector level, cooperatives and exporters, meaning Arabica Gayo
coffee price changes in the level of collector, cooperatives and exporters at this
time and the previous time does not affect the price of coffee in the farm level.
This suggests that farmers tend to be price taker in the short term and long term.
The SCP approach has shown that volatility prices at exporter’s level is not
followed by volatility prices at farmer’s level. This condition illustrates that Gayo
Arabica coffee marketing system in Central Aceh and Bener Meriah inefficient. In
an effort to improve the bargaining position of farmers is through the formation of
farmer groups and empowerment of farmer groups continuously. In addition, the
government's role in ensuring the necessary infrastructure coffee farmers, which
according to the price monitoring of quality coffee, and inform the development
of the market price (local and global) and to facilitate the direct partnerships
between farmers and exporters. Although there has been cooperation between
farmers and cooperative. It is expected that there is a change providing price
certainty for farmers. This can be done through a professional cooperative of
management system to improve the bargaining position of farmers in the pricing
process.

Keywords: marketing system, Arabica Gayo Coffee, market structure, market


conduct, market performance, price
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya.Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis


dalam bentuk laporan apa pun tanpa izin IPB
SISTEM PEMASARAN KOPI ARABIKA GAYO
DI KABUPATEN ACEH TENGAH DAN BENER MERIAH,
PROVINSI ACEH :PENDEKATAN STRUCTURE, CONDUCT,
PERFORMANCE (SCP)

MEGA AMELIA PUTRI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Agribisnis

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Ratna Winandi, MS

Penguji Program Studi : Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS


Judul Tesis : Sistem Pemasaran Kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh Tengah
dan Bener Meriah, Provinsi Aceh: Pendekatan Structure, Conduct,
Performance (SCP)
Nama : Mega Amelia Putri
NIM : H451110351

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Anna Fariyanti, MSi Dr Ir Nunung Kusnadi, MS


Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Agribisnis

Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 3 Juni 2013 Tanggal Lulus:


PRAKATA

Puji dan Syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena rahmat dan
hidayah-Nya, tesis yang berjudul “Sistem Pemasaran Kopi Arabika Gayo di
Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah, Provinsi Aceh: Pendekatan
Structure, Conduct, Performance (SCP)”dapat diselesaikan. Tesis ini merupakan
salah satu syarat untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Master pada
Program Studi Agribisnis, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.Tesis
ini dapat diselesaikan dengan baik atas dukungan dan bantuan dari banyak pihak.
Untuk itu, dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan
terima kasih yang setinggi tingginya kepada semua pihak yang telah membantu,
khususnya kepada:
1. Dr Ir Anna Fariyanti, MSi, selaku Ketua Komisi Pembimbing, dan Dr Ir
Nunung Kusnadi, MS selaku Anggota Komisi Pembimbing atas segala
bimbingan, arahan, motivasi dan bantuan yang telah diberikan kepada
penulis mulai dari penyusunan proposal hingga penyelesaian tesis ini.
2. Dr Ir Dwi Rachmina, MS selaku Dosen Evaluator pada pelaksanaan
kolokium proposal penelitian dan Dr Ir Ratna Winandi, MS selaku
Dosen Penguji Luar Komisi yang telah memberikan banyak arahan dan
masukan sehingga penelitian ini dapat dilaksanakan dengan baik.
3. Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku Ketua Program Studi Agribisnis
sekaligus Dosen Penguji Perwakilan Program Studi pada ujian tesis dan
Dr Ir Suharno, MADev selaku Sekretaris Program Studi Agribisnis,
serta seluruh staf Program Studi Agribisnis atas dorongan semangat,
bantuan dan kemudahan yang diberikan selama penulis menjalani
pendidikan pada Program Studi Agribisnis.
4. Seluruh Staf Pengajar pada Program Studi Agribisnis.
5. Dinas Perkebunan Aceh atas kesempatan yang diberikan kepada penulis
untuk mendapatkan data dan informasi yang diperlukan dalam
penyusunan tesis ini.
6. Teman-teman seperjuangan Angkatan II pada Program Studi Agribisnis
atas diskusi, masukan dan bantuan selama mengikuti pendidikan.
7. Penghormatan yang tinggi dan terima kasih yang tak terhingga penulis
sampaikan kepada kedua orang tua tercinta Ir Chairunas, MS dan
Asmawarni, serta keluarga besar yang telah memberikan doa dan
dukungannya.
8. Ucapan terima kasih khusus disampaikan kepada suamiku tercinta Andi
Taufik, ST dan anak Ahmad Hilmi yang telah memberikan dukungan
penuh dan menjadi motivasi terbesar bagi penulis untuk segera
menyelesaikan pendidikan.

Bogor, Juli 2013

Mega Amelia Putri


DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiii


DAFTAR GAMBAR xiv
DAFTAR LAMPIRAN xv
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 4
Tujuan Penelitian 6
Manfaat Penelitian 6
Ruang Lingkup Penelitian 7
2 TINJAUAN PUSTAKA
Pendekatan SCP (Structure, Conduct, Performance) dalam
Sistem Pemasaran Komoditas Pertanian 7
Mekanisme Pasar dan Posisi Tawar Petani 10
3 KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Konseptual 11
Konsep SCP (Structure, Conduct, Performance) dan
Perkembangannya 12
Pendekatan SCP dalam Sistem Pemasaran 14
Hubungan antara Struktur, Perilaku dan Kinerja Pasar Produk
Pertanian dalam Proses Pembentukan Harga di Tingkat Petani 28
Kerangka Pemikiran Operasional 31
4 METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian 33
Jenis dan Sumber Data 33
Metode Pengambilan Sampel 33
Teknik Pengolahan dan Analisis Data 34
5 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN DAN
KARAKTERISTIK RESPONDEN KOPI ARABIKA GAYO
Lokasi Perkebunan Kopi Petani di Daerah Penelitian 39
Aktivitas Pengolahan dalam Pemasaran Kopi Arabika Gayo 42
Program Sertifikasi Produk dalam Pemasaran Kopi Arabika Gayo 45
Perkembangan Harga Kopi Arabika Gayo di Tingkat Petani 47
Kondisi Infrastruktur dan Akses Permodalan 48
Karakteristik Responden di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah 51
6 ANALISIS STRUCTURE, CONDUCT, PERFORMANCE (SCP)
PASAR KOPI ARABIKA GAYO
Analisis Struktur Pasar (Market Structure) 57
Analisis Perilaku Pasar (Market Conduct) 63
Analisis Kinerja Pasar (Market Performance) 81
Pengaruh Struktur, Perilaku dan Kinerja Pasar terhadap
Pembentukan Harga Kopi Arabika Gayo di Tingkat Petani 94
Implikasi Kebijakan terhadap Peningkatan Posisi Tawar Petani
Kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah 96
7 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan 99
Saran 99
DAFTAR PUSTAKA 101
LAMPIRAN 106

DAFTAR TABEL

1 Struktur pasar berdasarkan jumlah perusahaan dan sifat produk 15


2 Kondisi kebun dan jumlah petani kopi Arabika Gayo di Kabupaten
Aceh Tengah dan Bener Meriah, tahun 2011 42
3 Cacat fisik dan cita rasa kopi akibat kesalahan pengolahan 42
4 Beberapa perbedaan jenis sertifikasi produk kopi 46
5 Statistik transportasi Kabupaten Aceh Tengah, tahun 2011 49
6 Jumlah lembaga keuangan di Kabupaten Aceh Tengah dan
Bener Meriah, tahun 2011 51
7 Lokasi penelitian dan jumlah petani kopi Arabika Gayo di
Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah, tahun 2013 52
8 Identitas petani responden kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh
Tengah dan Bener Meriah, tahun 2013 53
9 Sertifikasi produk kopi Arabika Gayo pada KBQB 55
10 Tenaga kerja pada KBQB selama tahun 2007-2009 55
11 Pangsa pasar dan konsentrasi pasar 10 eksportir kopi Arabika
Gayo di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah, tahun 2012 58
12 Minimum Efficiency Scale (MES) pasar kopi Arabika Gayo di
Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah, tahun 2007-2012 60
13 Rata-rata modal, sumber modal, dan lama melakukan perdagangan
menurut golongan pedagang, tahun 2013 60
14 Bentuk hambatan bagi pesaing baru untuk memasuki pasar kopi
Arabika gayo pada setiap lembaga pemasaran 61
15 Karakteristik dan struktur pasar kopi Arabika Gayo di Kabupaten
Aceh Tengah dan Bener Meriah 62
16 Aktivitas penjualan kopi Arabika Gayo di tingkat petani responden 65
17 Fungsi-fungsi pemasaran dan kerjasama di tingkat petani responden 66
18 Aktivitas penjualan kopi Arabika Gayo di tingkat kolektor responden 67
19 Fungsi-fungsi pemasaran dan kerjasama di tingkat kolektor responden 68
20 Profil koperasi responden di Kab. Aceh Tengah dan Bener Meriah 68
21 Fungsi-fungsi pemasaran dan kerjasama di tingkat koperasi responden 71
22 Daftar perusahaan ekspor kopi Arabika Gayo yang melakukan
pengurusan SPEK di Kabupaten Aceh Tengah, tahun 2012 72
23 Fungsi-fungsi pemasaran dan kerjasama di tingkat eksportir 73
24 Sumber informasi dan proses penentuan harga kopi Arabika Gayo
pada setiap lembaga pemasaran 79
25 Sistem Pembayaran pada setiap lembaga pemasaran 81
26 Analisis integrasi pasar vertikal pada setiap lembaga pemasaran 91

xiii
27 Nilai Index of Market Connection pada setiap lembaga pemasaran 92
28 Hasil estimasi persamaan model Ravallion 93
29 Alternatif kebijakan sebagai upaya meningkatkan posisi tawar petani
dalam proses penentuan harga kopi Arabika Gayo 98

DAFTAR GAMBAR

1 Luas areal dan produksi kopi Indonesia, tahun 2000-2012 1


2 Perkembangan volume ekspor kopi Indonesia, tahun 2008-2012 2
3 Proporsi jumlah ekspor kopi arabika di Indonesia berdasarkan
daerah produksinya tahun 2012 2
4 Perkembangan ekspor kopi Arabika Gayo di Provinsi Aceh,
tahun 2007-2013 3
5 Pola pergerakan harga kopi Arabika Gayo di tingkat petani dan
eksportir, tahun 2006-2012 5
6 The Structure-Conduct-Performance Paradigm 13
7 Average cost (AC) and long run average cost (LRAC) curve 17
8 Pembentukan harga di tingkat petani, pedagang dan pasar produk
pertanian dalam struktur pasar monopsoni 20
9 Marjin pemasaran 24
10 Hipotesis hubungan antara struktur, perilaku dan kinerja pasar
dalam proses pembentukan harga di tingkat petani 29
11 Kerangka pemikiran operasional 32
12 Tanaman kopi Arabika Gayo 41
13 Bentuk kopi Arabika Gayo dalam berbagai tahapan pengolahan 43
14 Sistem pengolahan kopi di Dataran Tinggi Gayo 44
15 Perkembangan ekspor kopi Arabika Gayo ke negara tujuan utama,
tahun 2003-2012 47
16 Perkembangan harga kopi Arabika Gayo di tingkat petani, tahun 2012 48
17 Statistik panjang jalan Kabupaten Bener Meriah, tahun 2011 49
18 Kondisi jalan di Kabupaten Bener Meriah, tahun 2011 50
19 Perkembangan jumlah anggota dan luas areal kopi pada
Koperasi Serba Usaha (KSU) Permata Gayo, tahun 2006-2012 56
20 Aktivitas pemasaran kopi arabika gayo oleh KSU.Permata Gayo
dari Kabupaten Bener Meriah menuju Sumatera Utara, Medan 70
21 Saluran pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh Tengah 75
22 Saluran pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten Bener Meriah 77
23 Sebaran marjin pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh
Tengah pada saluran 1, tahun 2012 83
24 Sebaran marjin pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh
Tengah pada saluran 2, tahun 2012 84
25 Sebaran marjin pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh
Tengah pada saluran 3, tahun 2012 84
26 Sebaran marjin pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh
Tengah pada saluran 4, tahun 2012 85
27 Sebaran marjin pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten Bener
Meriah pada saluran 1, tahun 2012 86

xiv
28 Sebaran marjin pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten Bener
Meriah pada saluran 2, tahun 2012 87
29 Sebaran marjin pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten Bener
Meriah pada saluran 3, tahun 2012 87
30 Sebaran marjin pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten Bener
Meriah pada saluran 4, tahun 2012 88
31 Farmer share pada setiap saluran pemasaran di Kabupaten Aceh
Tengah, tahun 2012 89
32 Farmer share pada setiap saluran pemasaran di Kabupaten Bener
Meriah, tahun 2012 90
33 Pengaruh struktur, perilaku dan kinerja pasar terhadap pembentukan
harga kopi Arabika Gayo di tingkat petani 95

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kondisi lahan kopi Arabika Gayo 106


2 Perusahan kilang kopi dan bubuk kopi di Kabupaten Aceh Tengah
dan Bener Meriah 107
3 Data penjualan kopi Arabika Gayo di tingkat petani responden 108
4 Data pembelian dan penjualan kopi Arabika Gayo di tingkat
pedagang pengumpul (kolektor) 110
5 Data pembelian dan penjualan kopi Arabika Gayo di tingkat
koperasi dan eksportir 111
6 Analisis marjin pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh
Tengah dan Bener Meriah 113
7 Hasil output analisis integrasi pasar vertikal 115

xv
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Padang, Sumatera Barat pada tanggal 17 Nopember


1986 dari Bapak Chairunas dan Ibu Asmawarni. Penulis merupakan anak kedua
dari dua bersaudara.
Pendidikan formal penulis diawali di TK Dolog dari tahun 1991-1992.
Kemudian penulis melanjutkan studi di SD Negeri 24, Banda Aceh dan lulus
tahun 1998. Pada tahun 2001 penulis lulus dari SLTP 06 Banda Aceh dan pada
tahun 2004 penulis lulus dari SMU 03 Banda Aceh. Pada tahun yang sama penulis
diterima pada Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian,
Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) melalui Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru
(SPMB) dan lulus pada tahun 2008. Tiga tahun kemudian penulis mendapat
kesempatan untuk melanjutkan studi ke Program Magister pada Program Studi
Magister Sains Agribisnis melalui Beasiswa Unggulan Biro Perencanaan dan
Kerjasama Luar Negeri, Kementrian Pendidikan Nasional tahun 2011.
Selama tahun 2009 sampai 2010 penulis bekerja sebagai karyawan pada
Koperasi Syariah Microfinance Syariah Berbasis Masyarakat (Kopsyah Misykat)
di Banda Aceh. Penulis berhenti bekerja karena melahirkan dan persiapan untuk
melanjutkan sekolah. Penulis menikah dengan Andi Taufik, ST pada 9 September
2009 dan dikarunia seorang anak laki-laki bernama Ahmad Hilmi pada 3 Juli
2010.
1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kopi memiliki peran penting dalam perekonomian Indonesia, baik sebagai


sumber perolehan devisa maupun sebagai sumber penghidupan petani yang
tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Kenyataan ini ditunjukkan oleh luas
areal kopi sebesar 1.2 juta hektar, terdiri atas perkebunan rakyat sebesar 96 persen
dan sisanya masing-masing sebesar 2 persen untuk perkebunan besar negara dan
perkebunan besar swasta (Kementan 2013). Sumbangan sub sektor perkebunan
terhadap devisa negara mencapai USD25.2 miliar pada tahun 2011 atau setara
dengan 15.97 persen dari total devisa negara. Kopi menyumbang sebesar USD 0.8
miliar yangberada diurutan keempat setelah kelapa sawit (USD13.5 miliar), karet
(USD9.4 miliar) dan kakao (USD 1.5 miliar) (Kemenperindag 2012).
Dinamika produksi kopi Indonesia selama periode 2000 sampai 2012 dapat
dilihat dari perkembangan luas areal kopi dan produksi kopi beberapa tahun
terakhir. Pada Gambar 1 terlihat selama tahun 2000, luas areal kopi di Indonesia
sebesar 1.3 juta hektar dengan produksi sebesar 555 ribu ton. Pada tahun 2002
sempat mengalami peningkatan menjadi 1.4 juta hektar dengan produksi sebesar
682 ton. Namun, beberapa tahun berikutnya luas lahan kopi cenderung menurun
sebesar 1.13 persen per tahun. Hingga pada tahun 2012 luas areal menjadi 1.2 juta
hektar dengan produksi sebesar 657ton (Kementan 2013). Penurunan ini salah
satunya disebabkan semakin banyaknya lahan kopi yang rusak dan tua sehingga
lahan menjadi kurang produktif. Di sisi lain proses peremajaan dan penanaman
tanaman kopi memerlukan waktu yang relatif lama (5-7 tahun) untuk mencapai
usia produktif.

1400000 800000
Luas Areal (Hektar)

1350000 700000
Produksi (Ton)

600000
1300000 500000
1250000 400000
1200000 300000
200000
1150000 100000
1100000 0
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012

Luas Areal Produksi

Gambar 1 Luas areal dan produksi kopi Indonesia, tahun 2000-2012


Sumber : Kementan (2013)

Di Indonesia kopi dikenal sebagai salah satu komoditas unggulan ekspor.


Hal ini disebabkan hingga tahun 2012 sebesar 71.11 persen produksi kopi yang
dihasilkan dipasarkan ke pasar kopi dunia. Pada Gambar 2 terlihat bahwa selama
tahun 2012, sekitar 73 persen dari total kopi yang diekspor merupakan kopi
2

robusta, 14 persen kopi olahan dan sisanya sebesar 13 persen merupakan kopi
arabika. Peluang kopi arabika Indonesia di pasar dunia masih menjanjikan. Hal ini
dikarenakan sebagian besar (86%) ekspor kopi arabika Indonesia di pasarkan ke
segmen kopi spesialti yang berkualitas tinggi, seperti kopi Java dari Jawa Timur,
kopi Mandheling dari Sumatera Utara, kopi Toraja dari Sulawesi Selatan, kopi
Kintamani dari Bali dan kopi Gayo dari Provinsi Aceh (AEKI 2013).

600,000 66,942
Volume Ekspor (Ton)

500,000
400,000 73,996
300,000
200,000 379,337
100,000
-
2008 2009 2010 2011 2012
Tahun
Robusta Olahan Arabika

Gambar 2 Perkembangan volume ekspor kopi Indonesia, tahun 2008-2012


Sumber : Kementan (2013)

Salah satu produsen utama kopi arabika di Indonesia adalah Provinsi Aceh.
Pada Gambar 3 terlihat bahwa selama tahun 2012 ekspor kopi arabika yang
berasal dari Provinsi Aceh mencapai 28.32 persen dari total ekspor kopi arabika
Indonesia (67 ribu ton) (Kementan 2013). Seluruh lahan kopi di Provinsi Aceh
merupakan perkebunan rakyat dan sebagian besar (83%) luas lahan kopi di daerah
ini ditanami kopi arabika sebesar 101 ribu hektar, sisanya sebesar 17 persen (20
ribu hektar) ditanami kopi robusta (Disbun Provinsi Aceh 2013).

Sulawesi
Selatan
Provinsi Aceh
11%
28%
Bali
14%

Jawa Timur
10%

Sumatera Utara
37%

Gambar 3 Proporsi jumlah ekspor kopi arabika di Indonesia berdasarkan daerah


produksinya tahun 2012
Sumber : Kementan (2013)

Kopi arabika dari Provinsi Aceh dikenal dengan nama kopi Arabika Gayo.
Nama Gayo berasal dari nama suku di daerah penghasil utama kopi arabika
terpenting di Provinsi Aceh yaitu Dataran Tinggi Gayo (DTG). Kondisi tanah
yang subur, dan iklim tropik basah di kawasan ini sesuai untuk pengembangan
3

agribisnis kopi arabika. Saat ini kopi arabika di DTG ditanam di tiga Kabupaten,
yaitu Aceh Tengah (48 ribu hektar), Bener Meriah (45 ribu hektar), dan Gayo
Lues (4 ribu hektar) (BPS Provinsi Aceh 2012). Pengembangan kopi Arabika
Gayo sebagai komoditi unggulan daerah memiliki prospek yang menjanjikan
(Disbun Provinsi Aceh 2013).
Pada Gambar 4 terlihat selama tahun 2007 sampai 2012, perkembangan
ekspor kopi arabika mengalami peningkatan rata-rata sebesar 11.3 persen per
tahun, sedangkan nilai ekspor meningkat sebesar 43.44 persen per tahun.
Tingginya peningkatan nilai ekspor kopi Arabika Gayo disebabkan oleh
meningkatnya harga jual kopi Arabika Gayo di pasar dunia (Disperindagkop dan
UKM Aceh 2013). Harga kopi Arabika Gayo mempunyai tingkat ketergantungan
yang tinggi terhadap perkembangan harga di pasar dunia (Saputra 2012). Menurut
Suyamto, Noordwijk dan Lusiana (2004) perubahan tingkat produksi dan
konsumsi yang terjadi di pasar dunia berdampak terhadap harga di pasar
domestik.

21,000 160,000

Nilai ekspor (000 USD)


Volume Ekspor (ton)

140,000
20,000 120,000
19,000 100,000
80,000
18,000 60,000
17,000 40,000
20,000
16,000 -
2007 2008 2009 2010 2011 2012
Tahun

Volume Ekspor (ton) Nilai Ekspor (000 USD)

Gambar 4 Perkembangan ekspor kopi Arabika Gayodi Provinsi Aceh, tahun


2007-2013
Sumber : Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UKM Prov.Aceh (2013)

Selain itu, perubahan harga dapat pula ditentukan oleh struktur pasar,
perilaku pasar, dan akan tercermin pada kinerja suatu pasar (Baye 2010). Struktur
pasar akan menggambarkan tipe atau jenis pasar yang dihadapi, perilaku pasar
menekankan kepada aktivitas-aktivitas bisnis yang dilakukan oleh pelaku
pemasaran, interaksi antara struktur dan perilaku pasar akan tercermin pada
kinerja pasar yang ditunjukkan oleh tingkat efisiensi dan keuntungan yang
diperoleh oleh lembaga pemasaran. Pendekatan stucture (struktur), conduct
(perilaku), performance (kinerja) selanjutnya disingkat SCP ini bersifat dinamis
dan saling terkait satu dengan yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa SCP dalam
suatu waktu berada pada sistem ketika S (Stucture) dan C (Conduct) adalah faktor
penentu P (Performance) dan di lain waktu S dan C ditentukan oleh P. Konsep ini
dikenal sebagai paradigma SCP (Waldman dan Jensen 2007). Keuntungan
pendekatan ini adalah dapat menganalisis kondisi sistem pemasaran secara lebih
komprehensif berdasarkan empiris dan menjawab permasalahan pemasaran dalam
suatu sistem yang saling terkait.
4

Menurut SCAA (Specialty Coffee Association of America) kopi Arabika


Gayo tergolong kopi spesialti. Aroma khas dengan perisa (flavor) kompleks dan
kekentalan (body) yang kuat, menjadikan kopi Arabika Gayo sebagai kopi
berkualitas tinggi yang sangat diminati oleh pasar kopi dunia (ICCRI 2008).
Selain itu, sekitar 70 persen kopi Arabika Gayo di kedua Kabupaten ini telah
mendapatkan sertifikat produk yang berprinsip pada sistem pertanian
berkelanjutan seperti Organic certified, Fairtrade dan Raintforest (Disbun
Provinsi Aceh 2012). Berbagai atribut produk yang telah melekat pada kopi
Arabika Gayo memberikan keuntungan besar bagi pengembangan agribisnis kopi
Arabika Gayo di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah terutama pada
subsistem pemasaran.
Subsistem pemasaran merupakan subsistem penting dalam agribisnis selain
subsistem lainnya, seperti subsistem hulu, on farm, hilir dan penunjang (Saragih
2010). Aktivitas pemasaran kopi Arabika Gayo melibatkan petani, pedagang
pengumpul, pedagang besar, pengolah, eksportir, industri dan lainnya. Harga dan
fungsi pemasaran yang dilakukan oleh setiap lembaga pemasaran menjadi faktor
penentu berjalannya suatu sistem pemasaran. Fungsi pemasaran merupakan
kegiatan yang meliputi fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas (Kohls
dan Uhl 2002). Selain itu, harga memiliki peran yang sangat penting dalam
menentukan tingkat pendapatan yang diperoleh petani, para pedagang dan
organisasi bisnis kopi pada umumnya (Umar, Otitolaiye dan Opaluwa 2011).
Sejauh ini penelitian sistem pemasaran dengan pendekatan SCP untuk
komoditas perkebunan telah banyak dilakukan seperti komoditas gula di Provinsi
Lampung (Rosiana 2012), kakao di Indonesia (Sitorus 2011) dan kopi gayo di
Kabupaten Bener Meriah (Jamilah 2008). Namun, beberapa hasil penelitian belum
menunjukkan bagaimana pengaruh struktur, perilaku, kinerja pasar saling
berinteraksi dalam menentukan pola pembentukan harga di tingkat petani. Oleh
karena itu, pentingnya penelitian ini dilakukan dengan menekankan kepada
pengintegrasian antara elemen-elemen penyususun yang terdapat didalam model
SCP, sehingga melalui pendekatan ini akan terlihat pengaruhnya terhadap pola
pembentukan harga di tingkat petani.

Perumusan Masalah

Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah merupakan daerah terbesar


penghasil kopi arabikadi Provinsi Aceh. Menurut Dinas Perkebunan Provinsi
Aceh (2013), luas areal perkebunan kopi di kedua Kabupaten ini mencapai 80
persen (96 ribu hektar) dari total luas lahan di Provinsi Aceh (121 ribu hektar).
Perkebunan kopi yang ada seluruhnya merupakan perkebunan rakyat dengan
jumlah petani mencapai 77 ribu Kepala Keluarga (KK). Luas lahan yang dimiliki
sekitar 0.5 sampai 1 ha per KK (BPS Aceh Tengah 2012; BPS Bener Meriah
2012). Menurut ICRRI (2008), sumbangan kopi Arabika Gayo terhadap
pendapatan keluarga bervariasi antara 50 sampai 90 persen. Hal ini menunjukkan
bahwa struktur ekonomi Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah sebagian
besar bertumpu pada sektor perkebunan.
Sejak tahun 1992 petani kopi Arabika Gayo telah terlibat dalam program
sertifikasi produk yang berprinsip pada sistem pertanian berkelanjutan. Hingga
5

saat ini sertifikasi produk kopi yang telah dimiliki antara lain Organic Certified,
Fairtrade dan Raintforest. Program sertifikasi ini telah mampu meningkatkan
nilai jual kopi Arabika Gayo di pasar dunia yang biasa disebut sebagai harga
premium (ICRRI 2008). Harga premium memiliki nilai jual lebih tinggi 30 sampai
40 cent US$/lb dari harga kopi arabika dunia atau setara dengan Rp6 377 sampai
Rp8 502 per kg. Namun, tingginya harga jual kopi yang dibayarkan oleh
konsumen (importir) belum dirasakan oleh petani. Gambar 5 menunjukkan pola
pergerakan harga kopi Arabika Gayo selama tahun 2006 sampai 2012, di tingkat
petani pola pergerakan harga kopi mengalami laju penurunan sebesar 1.73 persen
per tahun, sedangkan pola pergerakan harga di tingkat eksportir mengalami laju
peningkatan sebesar 17.18 persen per tahun.

70,000
Harga jual (Rp/Kg)

60,000
50,000
40,000
30,000 Petani
20,000
Eksportir
10,000
-
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Waktu (tahun)

Gambar 5 Pola pergerakan harga kopi Arabika Gayo di tingkat petani dan
eksportir, tahun 2006-2012
Sumber : Disbun Prov. Aceh (2013); Disperindag dan UKM Prov. Aceh (2013)

Masalah mendasar bagi mayoritas petani kopi yang mengikuti program


sertifikasi produk di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah adalah posisi
tawar (bargaining position) petani lemah dalam proses penentuan harga (Saputra
2012). Saat terjadi oversupply, petani menghadapi tekanan harga yang lebih kuat.
Keterbatasan sarana dan prasarana, akses permodalan serta akses terhadap
informasi pasar menyebabkan petani tidak bisa mengontrol perkembangan harga
secara berkelanjutan dan transmisi harga menjadi tidak seimbang (imbalance
transmission) (Giroh et al. 2010; Kizito 2011).
Di sisi lain, peran koperasi dalam upaya meningkatkan daya tawar petani
belum dirasakan manfaatnya. Sebagai anggota koperasi, petani hanya
mendapatkan penyuluhan atau pelatihan teknis terkait program sertifkasi produk
dan secara informal petani menyetujui menjual hasil panennya kepada koperasi.
Informal yang dimaksud adalah petani tidak memiliki ikatan tertulis dalam bentuk
kesepakatan jumlah maupun harga. Padahal kopi merupakan salah satu dari lima
komoditas paling penting di pasar dunia (Taylor2005; Ponte 2004). Seharusnya,
peran koperasi memberikan dampak yang berarti bagi kesejahteraan petani.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa petani cenderung
menghadapi struktur pasar yang tidak bersaing. Hal ini tergambar dari harga yang
terjadi ditingkat konsumen tidak ditransmisikan oleh pedagang ke petani (Sallatu
6

2006; Shumeta et al. 2012). Kondisi petani yang tidak mengetahui perkembangan
harga, memungkinkan marjin pemasaran antara harga di tingkat petani dengan
harga di tingkat konsumen menjadi sangat tinggi. Fenomena pasar ini menurut
Kohls dan Uhl (2002) telah menyebabkan mekanisme pasar tidak bekerja dengan
sempurna dan akibatnya sistem pemasaran menjadi tidak efisien. Pada kondisi
pasar yang tidak efisien maka sulit diharapkan terjadi peningkatan pendapatan dan
kesejahteraan di tingkat petani. Oleh karenanya, dalam sistem pemasaran kopi
Arabika Gayo perlu analisis lebih lanjut sejauhmana struktur, perilaku dan kinerja
pasar dapat mempengaruhi pola pembentukan harga kopi di tingkat petani.
Pendekatan ini tepat digunakan karena mampu menangkap kompleksitas
permasalahan pada sistem pemasaran kopi Arabika Gayo. Adapun pemasalahan
yang dikaji pada penelitian ini yaitu :
1. Mengapa pola pergerakan harga kopi Arabika Gayo di tingkat petani tidak
mengikuti pola pergerakan harga kopi Arabika Gayo di tingkat eksportir?
2. Bagaimana kondisi struktur, perilaku dan kinerja pasar kopi Arabika Gayo di
Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah?
3. Bagaimana pengaruh struktur, perilaku dan kinerja pasar terhadap pola
pembentukan harga kopi Arabika Gayo di tingkat petani?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang diuraikan, maka


tujuan penelitian ini adalah :
1. Menganalisis struktur, perilaku dan kinerja pasar kopi Arabika Gayo di
Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah
2. Menganalisis pengaruh struktur, perilaku dan kinerja pasar terhadap pola
pembentukan harga kopi Arabika Gayo di tingkat petani
3. Memberikan rekomendasi kebijakan dari hasil analisis struktur, perilaku dan
kinerja pasar kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah
sebagai upaya meningkatkan posisi tawar petani dalam proses penentuan harga

Manfaat Penelitian

Hasil Penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak yaitu :


1. Bagi pelaku pemasaran kopi, hasil penelitian ini merupakan alat penunjang
keputusan dalam mengembangkan agribisnis kopi di Kabupaten Aceh Tengah
dan Bener Meriah.
2. Bagi pemerintah dan instansi terkait, hasil penelitian diharapkan dapat
merumuskan kebijakan yang tepat dalam meningkatkan kesejahteraan petani
kopi.
3. Bagi akademisi, penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan referensi untuk
penelitian-penelitian selanjutnya
4. Bagi penulis, tulisan ini sebagai upaya meningkatkan kemampuan dalam
menghasilkan karya tulis ilmiah.
7

Ruang Lingkup Penelitian

1. Penelitian ini mengkaji seluruh lembaga pemasaran kopi gayo di Kabupaten


Aceh Tengah dan Bener Meriah yang mengikuti program sertifikasi produk.
2. Komoditi kopi Gayo yang diteliti adalah kopi arabika organik yang berasal
dari Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah.
3. Penelitian ini mencakup analisis struktur pasar (pangsa pasar, konsentrasi
pasar dan hambatan masuk pasar), perilaku pasar (lembaga dan fungsi
pemasaran, mekanisme penentuan harga dan sistem pembayaran), kinerja
pasar (marjin pemasaran, farmer’s share dan integrasi pasar vertikal.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Pada Bab 2 akan diuraikan beberapa hasil penelitian terdahulu yang


menggunakan pendekatan SCP (Structure, Conduct, Performance) dalam sistem
pemasaran komoditas pertanian. Produk pertanian yang dikaji berasal dari produk
domestik maupun luar negeri. Pendekatan SCP mencakup keterkaitan antara
struktur pasar, perilaku pasar dan kinerja pasar terhadap pola pembentukan harga
di tingkat petani. Hasil kajian akan melihat beberapa persamaan dan perbedaan
penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Selain itu, dalam Bab 2
akan dijelaskan beberapa hasil penelitian terdahulu terkait mekanisme pasar yang
terjadi pada komoditi perkebunan khususnya komoditi kopi yang memiliki
pengaruh terhadap posisi tawar petani.

Pendekatan SCP (Structure, Conduct, Performance) dalam Sistem Pemasaran


Komoditas Pertanian

Penelitian yang menggunakan pendekatan SCP (Structure, Conduct,


Performance) dalam sistem pemasaran komoditi pertanian telah banyak
dilakukan. Pada subsektor perkebunan, holtikultura, tanaman pangan dan
komoditi lainnya. Secara umum permasalahan yang dihadapi dalam sistem
pemasaran hampir sama diantaranya (1) marjin pemasaran yang relatif tinggi (2)
hubungan harga yang diterima petani dengan biaya produksi dan risiko yang harus
dihadapinya (3) kemungkinan fasilitas pemasaran yang belum memadai untuk
memperlancar arus komoditi. Semua masalah ini saling terintegrasi satu sama
lainnya. Beberapa peneliti menggunakan pendekatan SCP sebagai upaya
mengatasi permasalahan di dalam sistem pemasaran antara lain Hukama (2003),
Sallatu (2006), Jamilah (2008), Bosena et al. (2011) dan Rosiana(2012).

Struktur Pasar Komoditas Pertanian


Identifikasi struktur pasar dapat dilihat melalui tingkat persaingan,
konsentrasi pasar dan hambatan masuk pasar (Baye 2010). Ukuran konsentrasi
pasar yang biasanya digunakan antara lain melalui indeks rasio konsentrasi (CR)
dan Hirchman Herfindahl Index (HHI). Kedua alat analisis ini dapat
menggambarkan tingkat konsentrasi yang dihadapi oleh suatu industri. Beberapa
8

hasil penelitian menunjukkan bahwa rasio konsentrasi empat perusahaan terbesar


(CR4) berada diantara 50 sampai 75 persen dengan nilai HHI sebesar 1 000
sampai 1 800 yang menggambarkan bahwa pasar cenderung terkonsentrasi dengan
tingkat persaingan yang kecil (Rifin et al. 2011; Putra 2009; Bosena et al. 2011).
Selain itu, Bosena et al (2011) juga melihat faktor-faktor yang mempengaruhi
hambatan masuk pasar komoditi Kapas di Ethiopia diantaranya yaitu permodalan,
fluktuasi harga dan lisensi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa permodalan
merupakan syarat utama yang harus dimiliki perusahaan untuk masuk kedalam
industri kapas. Rosiana (2012) menganalisis hambatan masuk pasar dengan
menggunakan Minimum Efficiency Scale (MES). Analisis dilakukan untuk
melihat banyaknya lembaga pemasaran yang dapat masuk dan bersaing merebut
pangsa pasar. Hasil analisis menunjukkan bahwa MES industri gula di Provinsi
Lampung sebesar 27.61 pada tahun 2006 sampai 2010 artinya terdapat hambatan
masuk pada pemasaran gula di Provinsi Lampung.
Pada analisis struktur pasar, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa
struktur pasar yang dihadapi oleh petani adalah struktur pasar oligopsoni (Hukama
2003; Sallatu 2006; Ngigi 2008; Bosena et al. 2011). Menghadapi struktur pasar
oligopsoni petani cenderung sebagai price taker dan pedagang yang mengontrol
harga petani. Hal ini tentu saja akan berpengaruh terhadap perilaku pasar yang
terjadi, penentuan harga akan didominasi oleh perusahaan/pedagang yang
memiliki pangsa pasar terbesar. Hal yang sama ditunjukkan dalam penelitian yang
dilakukan World Bank (2008) dalam struktur pasar tanaman pangan, jumlah
pembeli sedikit mengakibatkan pembeli memiliki market power, sedangkan petani
sebagai produsen tidak memiliki akses untuk kredit dan cenderung memiliki
posisi tawar yang lemah.

Perilaku Pasar Komoditas Pertanian


Analisis perilaku pasar dapat dilihat dengan menggambarkan dan
menjelaskan hubungan antara pembeli dan penjual, seperti proses pembelian dan
penjualan, sumber produk, eksistensi secara formal atau informal kelompok
pemasaran yang akan mempengaruhi posisi daya tawar, saluran pemasaran yang
digunakan, penentuan dan pembentukan harga, serta praktek fungsi-fungsi
pemasaran (Bosena et al. 2011; Yuprin 2009; Rosiana 2012). Hasil penelitian
telah banyak menunjukkan bahwa rendahnya harga yang diterima petani
disebabkan lahan petani yang sempit (0.5-1 hektar) yang hanya berproduksi dalam
jumlah kecil dan terbatas, daerah penanaman yang jauh sehingga memerlukan
biaya transportasi yang tidak murah. Oleh karenanya, petani sering menjualnya
langsung tanpa harus dilakukan proses pengolahan (grading, packing, penjemuran
dan sebagainya) karena bagi petani hal tersebut akan menambah biaya dan waktu
untuk pengembalian modal mereka. Sehingga, peran ini sering diambil oleh
pedagang pengumpul atau pengolah yang memanfaatkan keterbatasan petani
dalam menyalurkan hasil produksinya dan mengambil peluang untuk memperoleh
keuntungan (Jamilah 2008).
Menurut Kizito (2011) akses petani terhadap informasi pasar merupakan hal
penting yang perlu diperhatikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat
heterogenitas besar diantara sistem informasi pasar dalam desain struktur dan
perilaku petani. Bagi petani hal terpenting adalah izin usaha, keuangan dan
otonomi manajerial, kontrol kualitas, teknologi yang digunaan. Adapun
9

keterbatasan penelitian ini adalah sulit untuk menganalisa isu-isu kunci terkait
desain sistem informasi pasar dari lingkungan secara keseluruhan pada saat petani
beroperasi.

Kinerja Pasar Komoditas Pertanian


Acharya (1998) melakukan analisis kinerja pasar dengan pendekatan SCP
pada pasar produk pertanian di India. Penekanannya pada keterkaitan antara
sektor on farm dan off farm yang dihubungkan oleh sebuah sistem pemasaran
produk pertanian. Sistem pemasaran diyakini memegang peranan penting dalam
menentukan harga yang merupakan sinyal bagi produsen dan konsumen,
kemudian kinerja sistem ini ditentukan oleh perilaku dan struktur pasar. Variabel-
variabel yang diteliti adalah pengukuran regulasi, infrastruktur sistem pemasaran,
harga yang ditetapkan oleh pemerintah, agen-agen dalam pasar, ekspor-impor dan
kebijakan ekonomi makro. Hasil penelitian menunjukkan seluruh variabel yang
diteliti berpengaruh nyata terhadap dinamika pasar produk pertanian. Karakteristik
struktural pasar produk pertanian menunjukkan dominasi lembaga-lembaga yang
terorganisir atas lembaga-lembaga yang tidak terorganisir dengan konsekuensi
timbulnya potensi pasar monopoli atau oligopoli. Sehingga, peneliti menyarankan
perlu adanya linkages antara petani dengan sektor ritel, pembangunan infrastuktur
perdesaan dan perlunya perhatian pada proses grading dan pengontrolan kualitas
untuk meningkatkan kinerja pasar.
Menurut Ngigi (2008) dan Bosena et al (2011) hal penting yang menjadi
perhatian adalah kondisi kelembagaan yang melibatkan petani sebagai
anggotanya. Perlu wadah yang mampu membina dan mengarahkan petani,
sehingga dapat menciptakan kerjasama yang mensinergikan antara produksi dan
kebutuhan pasar yang ada (World Bank 2008). Petani harus diuntungkan dalam
kerjasama yang dihasilkan. Artinya, kinerja pasar yang dihasilkan harus
menunjukkan kondisi yang efisien dimana, besaran marjin yang diperoleh
terdistribusi merata pada setiap pelaku pemasaran, share harga yang diterima
petani tinggi dan integrasi pasar tercipta dengan baik. Hal ini akan berdampak
terhadap kontinuitas produksi petani. Kesejahteraan petani dan keberlangsungan
produksi akan memberikan manfaat besar bagi seluruh pelaku yang terlibat dalam
pemasaran.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian terdahulu, terdapat persamaan dan
perbedaan dengan penelitian ini. Persamaannya adalah dalam penelitian ini akan
dilakukan analisis struktur pasar, perilaku pasar dan kinerja pasar kopi Arabika
Gayo dengan menerapkan pendekatan SCP. Untuk struktur pasar, indikator yang
akan digunakan adalah pangsa pasar, konsentrasi pasar dan hambatan masuk
pasar, untuk perilaku pasar akan dianalisis dengan mendeskripsikan sistem
penentuan harga dan sistem kelembagaan pasar, dan untuk kinerja pasar indikator
yang digunakan antara lain marjin pemasaran, farmer’s share dan integrasi pasar
vertikal. Perbedaannya terdapat pada jenis komoditas yang digunakan dan dalam
metode pembahasan. Selain itu, penelitian ini juga akan menganalisis keterkaitan
antar komponen-komponen didalam SCP dan dikaitkan dengan pola pembentukan
harga yang terjadi ditingkat petani.
10

Mekanisme Pasar dan Posisi Tawar Petani

Mekanisme pasar bebas yang berlaku dewasa ini mempengaruhi posisi


petani di Indonesia. Selama ini kalangan petani produsen masih memiliki
ketidakmampuan tawar-menawar dengan pembeli untuk memperoleh harga
produk yang wajar. Penelitian terkait lemahnya posisi tawar petani telah dilakukan
pada berbagai komoditas pertanian, baik di subsektor tanaman pangan,
holtikultura dan perkebunan. Komoditi perkebunan (kelapa sawit, coklat, kopi dan
karet) tergolong komoditi strategis yang diperdagangkan dalam pasar dunia.
Banyak negara-negara produsen melakukan ekspor dengan volume besar. Kondisi
ini akan berdampak terhadap dinamika perubahan harga. Perubahan harga kopi di
pasar domestik sebagian besar dipengaruhi oleh perubahan harga kopi yang terjadi
di pasar dunia (Kustiari 2007). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa
perubahan harga yang terjadi di di tingkat konsumen tidak tertransmisi ke tingkat
petani (Herman 2002; Sallatu 2006; Yantu et al. 2010; Rosiana 2012). Artinya,
terdapat disparitas informasi harga dan mengindikasikan kedua pasar tidak
terintegrasi. Salah satu faktor penyebab adalah struktur pasar yang terjadi
cenderung monopsonistik atau oligopsonistik serta terbatasnya teknologi
pascapanen yang ada. Akibat yang timbul petani harus segera menjual
produksinya agar tidak terjadi kontaminasi jamur, penyusutan, busuk dan
sebagainya. Sehingga, petani tidak mampu menentukan harga. Oleh karena itu,
dapat disimpulkan penyebab lemahnya posisi tawar petani antara lain karena
faktor keterbatasan sarana dan prasarana, akses permodalan serta akses terhadap
informasi pasar.
Di sisi lain kondisi kelembagaan petani di Indonesia belum sebagaimana
yang diharapkan (Suradisastra 2008). Petani Indonesia yang sebagian besar adalah
rumah tangga miskin, luas lahan yang terbatas dan modal kerja yang minim
menjadi tantangan tersendiri dalam proses pengembangannya. Oleh karena itu,
beberapa hal yang perlu dilakukan untuk meningkatkan posisi tawar petani adalah
(1) konsolidasi petani dalam satu wadah untuk menyatukan aktivitas ekonomi
dalam setiap rantai pertanian, dari pra produksi sampai pemasaran. (2) kolektifitas
produksi, yaitu perencanaan secara kolektif. Terakhir (3) kolektifitas dalam
pemasaran produk pertanian (Akhmad 2007; Rosiana 2012). Hal ini dilakukan
untuk mencapai efisiensi biaya pemasaran dengan efisiensi skala besar dan
menaikkan posisi tawar petani dalam pemasaran produk pertanian.
Menurut teori ekonomi bergeraknya kekuatan permintaan dan penawaran
akan menentukan pola harga yang terbentuk. Hal yang sama berlaku untuk semua
produk-produk yang diperdagangkan. Jika dibandingkan dengan kondisi petani di
Vietnam yang merupakan salah satu produsen utama kopi dunia. Bagi pemerintah
Vietnam petani merupakan aset berharga dalam menjaga keberlangsungan hidup
masyarakat. Beberapa hal yang dapat kita pelajari dari negara tersebut adalah (1)
Pemerintah memberikan dukungan terhadap penyediaan sarana dan prasarana
(infrastruktur), akses permodalan, informasi, penerapan teknologi, pengembangan
penelitian serta peraturan-peraturan yang memberikan jaminan kepada petani
untuk memperoleh harga yang sesuai. Seperti sistem Contract Farmingyang
diterapkan oleh pemerintah untuk menjaga stabilitas harga di tingkat petani. (2)
Manajemen kelembagaan yang berorientasi kepada petani, bukan hanya profit
oriented. Namun kelembagaan yang terbentuk belum memberikan kemudahan
11

petani dalam memperoleh informasi harga, penyuluhan teknis, proses sertifikasi,


jaminan harga, akses pasar dan permodalan sebagai upaya meningkatkan kinerja
petani sehingga petani dapat meningkatkan produktivitas dan kualitas produknya
(Hue 2001).
Hal yang sama juga ditunjukkan oleh keseriusan Pemerintah Colombia
dalam mendukung kesejahteraan petaninya. Sejak tahun 2002 mereka telah
menjalankan program kemitraan perdesaan, dimana pemerintah menyediakan
dana yang besar bagi asosiasi petani di perdesaan. Tujuannya antara lain untuk
menyesuaikan penerapan teknologi produksi petani dengan permintaan pasar,
seperti halnya sertifikasi organik dan kepedulian terhadap kesehatan. Lebih dari 5
tahun, sebanyak 300 organisasi telah dimunculkan. Organisasi ini mampu
meningkatkan pendapatan petani sebesar 20 persen dan menciptakan lapangan
kerja sebesar 10 persen. Lebih dari itu, besarnya efek multiplier yang dihasilkan
terhadap lingkungan di sekitarnya. Di Indonesia, penguatan kelembagaan di
tingkat petani harus terus ditingkatkan. Hal ini bertujuan untuk menjaga
keberlangsungan pasokan produk-produk pertanian dimasa yang akan datang
(World Bank2008). Oleh karenanya, berdasarkan beberapa hasil penelitian
terdahulu. Maka melalui penelitian ini akan dilihat sejauhmana keterlibatan petani
sebagai anggota koperasi dan bagaimana peran koperasi di Kabupaten Aceh
Tengah dan Bener Meriah dalam proses penguatan posisi tawar petani.
Diharapkan dengan adanya studi terdahulu dapat dijadikan sebagai indikator dan
pembanding untuk perbaikan kondisi petani kopi Arabika Gayodi Kabupaten
Aceh Tengah dan Bener Meriah dalam proses penentuan harga kopi.

3 KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Konseptual

Sistem pemasaran merupakan salah satu subsistem penting dalam


pengembangan agribisnis. Menurut Pambudy (2010) paradigma agribisnis
merupakan suatu model yang mencakup sistem dari kegiatan pra dan budidaya,
panen, pasca panen dan pemasaran serta sektor-sektor penunjangnya sebagai suatu
sistem yang saling terintegrasi kuat satu dan lainnya serta sulit dipisahkan. Hal ini
sejalan dengan pendapat Saragih (2010) yang menyatakan bahwa pemasaran
termasuk dari cakupan subsistem hilir dalam agribisnis yang memiliki peran
penting dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Salah satu prinsip
pembangunan melalui pengembangan agribisnis adalah berorientasi pasar (market
oriented). Hal ini menunjukkan bahwa menempatkan pendekatan supply-demand
sebagai pertimbangan utama menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam proses
produksi dan distribusi untuk mengatasi kegagalan pasar yang bisa merugikan
produsen (petani) maupun konsumen. Oleh karenanya dapat disimpulkan bahwa
sistem pemasaran memiliki peran strategis untuk mencapai pembangunan
pertanian yang berkelanjutan.
Menurut Dahl dan Hammond (1977) pemasaran diinterpretasikan sebagai
suatu unit fungsi. Kekuatan permintaan dan penawaran yang terjadi biasanya
dipengaruhi oleh harga dan tempat terjadinya proses perpindahan kepemilikan
12

barang dan jasa melalui transaksi. Kohls dan Uhl (2002) menambahkan dalam
menganalis pemasaran dapat digunakan beberapa pendekatan antara lain
pendekatan fungsi (the functional approach), pendekatan kelembagaan (the
institutional approach), dan pendekatan sistem (the system approach).
Keseluruhan pendekatan ini akan menganalisis keseluruhan sistem pemasaran dari
aspek makro, mulai dari pendekatan fungsi, kelembagaan, pengolah/ pabrikan,
organisasi fasilitas, dan sistem merupakan suatu kajian empiris dan deskriptif
dalam aliran atau rantai pemasaran dari produsen primer sampai ke konsumen
akhir. Seluruh pendekatan tersebut merupakan bagian yang terkait dalam sistem
pemasaran dengan pendekatan SCP (structure,conduct dan performance).
Paradigma SCP merupakan pendekatan yang umumnya digunakan untuk
mengkaji hubungan dinamika persaingan suatu industri dengan kinerjanya
(Waldman dan Jensen 2007). Namun dalam perkembangannya paradigma SCP
telah banyak digunakan untuk mengkaji aspek pemasaran khususnya pemasaran
komoditas pertanian. Permasalahan umum yang terjadi dalam pemasaran
komoditas pertanian berhubungan dengan efisiensi pemasaran. Efisiensi ini dapat
berupa lemahnya infrastruktur dan informasi pasar kepada produsen maupun
konsumen, tingginya biaya transaksi dan dapat pula terkait kebijakan pemasaran
yang belum tepat (Dahl dan Hammond 1977; Kohls dan Uhl 2002). Pada Bab 3
akan disajikan konsep SCP dan perkembangannya, keterkaitan komponen-
komponen penyususn SCP dan penerapannya dalam sistem pemasaran. Kajian
terakhir akan diuraikan tentang hubungan struktur, perilaku dan kinerja terhadap
proses pembentukan harga.

Konsep SCP (Structure, Conduct, Performance) dan Perkembangannya


Menurut Carlton dan Perloff (2000) pada awalnya paradigma SCP
merupakan salah satu pendekatan dalam mengkaji pembentukan organisasi
industri. Namun dalam perkembangannya kerangka SCP telah menjadi kerangka
umum pendekatan kajian organisasi industri. Pendekatan SCP pertama kali
diperkenalkan oleh Edward S. Mason dan dikembangkan oleh muridnya Joe S.
Bain dari Harvard University pada tahun 1940-an dan 1950-an dalam bukunya
“Industrial Organization” (Purcell 1979). Model-model mikroekonomi digunakan
untuk menjelaskan berbagai interaksi yang kompleks antar komponen dalam
kerangka SCP. Model mikroekonomi yang berlaku dapat berbeda antara satu
industri dengan industri lainnya sehingga model mana yang berlaku lebih
merupakan masalah empiris (Fahmi 2012). Pendekatan SCP yang dikenal dengan
nama pendekatan strukturalis pada awalnya mempunyai postulat bahwa kinerja
(P) secara linear ditentukan oleh perilaku (C) perusahaan yang berada dalam suatu
industri dan perilaku kemudian ditentukan oleh struktur pasar (S) dimana
perusahaan itu berada. Namun dalam perkembangannya, pendekatan ini kemudian
mengalami perubahan (evolusi), dimana suatu waktu berada pada sistem dimana S
(Stucture) dan C (Conduct) adalah faktor penentu P (Performance) dan di lain
waktu S dan C dapat ditentukan oleh P.
Pada Gambar 6 menunjukkan paradigma SCP yang dibangun berdasarkan
aspek analisis yang saling berhubungan (Waldman dan Jensen 2007). Tanda
panah menunjukkan bahwa basic market condition yang dipengaruhi oleh kondisi
permintaan dan penawaran akan menentukan struktur pasar yang terjadi. Struktur
pasar (market structure) menentukan perilaku pasar (market conduct), dan
13

perilaku pasar akan menentukan kinerja pasar (market performance). Sedangkan,


kebijakan pemerintah dalam pasar persaingan tidak sempurna (imperfect
competitive market) dapat mempengaruhi struktur, perilaku dan kinerja pasar.
Tanda panah putus-putus menunjukkan adanya hubungan timbal balik, dimana
kinerja pasar suatu waktu dapat mempengaruhi struktur dan perilaku pasar.
Sebaliknya perilaku pasar suatu waktu dapat mempengaruhi struktur dan kinerja
pasar yang terjadi.

MARKET BASIC CONDITION

Demand Condition and Supply


Condition

Market Stucture (Struktur Pasar)


Number of sellers and buyers
Product differentiation
Barriers to entry and exit
Market Concentration
Technology

Market Conduct (Perilaku Pasar)


Pricing Strategy, Product
Government
Strategies
Advertising, Plant Investment, Policy
Collution, Mergers,
Research and Development

Market Performance
(Kinerja Pasar)

Allocative Efficiency, Production


Efficiency, Rate of Technologycal
Advance, Quality and Service,
Equity

Gambar 6 The Structure-Conduct-Performance Paradigm


Sumber : Mason (1940) dalam Waldman dan Jensen (2007)

Kondisi permintaan dan penawaran terkait erat dengan elastisitas harga,


keberadaan barang substitusi, pertumbuhan pasar, jenis barang, teknologi, bahan
baku, skala ekonomi dan lain-lain. Kondisi ini akan mempengaruhi struktur pasar
yang terbentuk. Struktur pasar merupakan bentuk pasar yang mempengaruhi
tingkat persaingan yang terjadi dalam suatu industri. Identifikasi struktur pasar
(market structure) terdiri atas banyaknya jumlah perusahaan yang bersaing dalam
pasar, diferensiasi produk, penggunaan teknologi, konsentrasi pasar dan hambatan
keluar masuk pasar. Perilaku pasar (market conduct) merupakan bentuk perilaku
perusahaan terhadap struktur pasar yang terjadi. Adapun indikatornya yaitu proses
penentuan harga, kegiatan integrasi dan merger, penentuan periklanan, penentuan
14

keputusan untuk research and development. Kinerja pasar (market performance)


pada akhirnya akan menggambarkan hasil dari perilaku perusahaan yang
dimungkinkan oleh struktur pasar yang terbentuk (Waldman dan Jensen 2007).
Secara teoritis struktur pasar yang relatif terkonsentrasi akan menimbulkan
kekuatan pasar bagi perusahaan dominan untuk menetapkan harga dan
menghambat masuk calon pesaing. Jika kekuatan pasar ini dimanfaatkan, maka
perusahaan yang dominan akan memperoleh keuntungan lebih besar dibandingkan
pesaingnya. Oleh karenanya, kinerja pasar dapat tergambar dari tingkat
keuntungan dan social welfare yang akan diterima industri dalam suatu pasar
sebagai efek dari terbentuknya suatu struktur, perilaku dan kinerja pasar. Pada
struktur pasar tidak bersaing, kebijakan pemerintah baik berupa intervensi
langsung maupun secara tidak langsung akan mempengaruhi lingkungan bisnis
dimana industri beroperasi. Bentuk kebijakan pemerintah dapat berupa regulasi
pada berbagai tingkatan mulai dari Undang-Undang sampai Peraturan Pemerintah
dan Keputusan Menteri. Aspek yang diatur dapat bekenaan langsung dengan
industri yang bersangkutan seperti penetapan tingkat pajak dan subsidi, anti
persaingan yang tidak sehat dan insentif investasi serta pajak.

Pendekatan SCP dalam Sistem Pemasaran


Menurut Dahl dan Hammond (1977) analisis sistem pemasaran dapat dikaji
menggunakan pendekatan SCP (Structure, Conduct, Performance). Keuntungan
pendekatan ini antara lain mampu menganalisis kondisi sistem pemasaran secara
komprehensif dan dinamis. Pendekatan SCP dapat menangkap respon produsen
atau perusahaan terhadap kondisi pasar dan keadaan yang memungkinkan. Hal ini
ditunjukkan dengan adanya hubungan timbal balik antar komponen SCP.

1. Struktur Pasar (Market Structure)


Struktur pasar menunjukkan bagaimana kekuatan pasar dalam suatu sistem
pemasaran. Struktur pasar (market structure) merupakan karakteristik organisasi
yang menentukan hubungan antara penjual dengan pembeli yang dapat dilihat dari
banyaknya jumlah lembaga pemasaran yang terlibat, pangsa pasar, konsentrasi
pasar, diferensiasi produk dan kondisi keluar masuk pasar (Kohls dan Uhl2002).
Perbedaan setiap elemen akan membedakan cara masing-masing lembaga
pemasaran berperilaku, dan akan menentukan perbedaan kinerja pasar yang
terjadi. Struktur pasar yang terbentuk dapat menentukan pola pembentukan harga
suatu komoditas bagi setiap lembaga pemasaran.
Berdasarkan sifat dan bentuknya struktur pasar dapat diklasifikasikan
menjadi dua macam yaitu pasar persaingan sempurna (perfect competitive market)
dan pasar persaingan tidak sempurna (imperfect competitive market). Pasar
persaingan murni bercirikan antara lain adalah banyaknya penjual dan pembeli,
penjual dan pembeli hanya menguasai sebagian kecil dari barang dan jasa yang
dipasarkan sehingga tak dapat menguasai harga pasar (penjual dan pembeli
berperan sebagai penerima harga (price taker). Oleh karena itu, penjual dan
pembeli menyesuaikan perilakunya dengan harga pasar yang telah ada, baik dalam
menjalankan produksinya, maupun menentukan sikap dalam membeli produk
yang ditawarkan. Tabel 1 menunjukkan terdapat lima jenis struktur pasar
berdasarkan jumlah perusahaan dan sifat produk dalam sistem pemasaran
pertanian.
15

Tabel 1 Struktur pasar berdasarkan jumlah perusahaan dan sifat produk


Karakteristik Struktur Pasar
Jumlah Dari Sudut Dari Sudut
Sifat Produk
Perusahaan Penjual Pembeli
Banyak Standar/ homogen Persaingan murni Persaingan murni
Banyak Differensiasi Persaingan Persaingan
monopolistik monopsonistik
Sedikit Standar Oligopoli murni Oligopsoni murni
Sedikit Differensisasi Oligopoli Oligopsoni
differensiasi differensiasi
Satu Unik Monopoli Monopsoni
Sumber : Dahl dan Hammond (1977)

Menurut Kohls dan Uhl (2002) sisi ekstrim pasar bersaing tidak sempurna
adalah pasar monopoli dan monopsoni. Pasar monopoli ciri utamanya adalah
penjual tunggal, sedangkan pasar monopsoni pembeli tunggal. Oligopoli adalah
pasar dengan beberapa penjual, sedangkan oligopsoni adalah pasar dengan
beberapa pembeli. Untuk pasar persaingan monopolistik adalah situasi diantara
bersaing sempurna dan oligopoli, yaitu terlalu banyak perusahaan namun pasar
tidak cukup kriteria tersebut menjadi pasar bersaing sempurna. Masing-masing
perusahaan berusaha agar produk atau jasanya unik dan berbeda dari perusahaan
lain.

a. Pangsa Pasar (Market Share)


Pangsa pasar merupakan hal penting dalam aspek pemasaran. Peningkatan
pangsa pasar mengindikasikan terjadinya peningkatan persaingan bagi suatu
perusahaan dalam sebuah industri. Menurut Jaya (2001) pangsa pasar merupakan
besarnya bagian atau luasnya total pasar yang dapat dikuasai oleh suatu
perusahaan yang biasanya dinyatakan dalam persentase. Pangsa pasar dapat
diukur dari 0 sampai 100 persen. Menurut Besanko et al. (2010) pangsa pasar
dapat dihitung dengan menggunakan penerimaan penjualan atau kapasitas
produksi. Pangsa pasar menggambarkan keuntungan yang diperoleh perusahaan
dari hasil penjualannya.

𝑆𝑖
MSi = x 100 (1)
𝑆𝑡𝑜𝑡

dimana :
MSi = pangsa pasar perusahaan i (%)
Si = penjualan atau kapasitas produksi perusahaan i (rupiah)
Stot = total penjualan atau produksi seluruh perusahaan (rupiah)

Semakin besar pangsa pasar, semakin besar pula kekuatan pasar (market
power) yang dimiliki perusahaan (Waldman dan Jensen 2007). Jika pangsa pasar
suatu perusahaan tinggi maka akan cenderung ke arah monopoli yang maximal
profit-oriented. Sebaliknya jika pangsa pasar rendah akan cenderung ke arah pasar
16

persaingan. Menurut Charles et al. (2001) besarnya pangsa pasar setiap saat akan
berubah sesuai dengan perubahan selera konsumen atau berpindahnya minat
konsumen dari suatu produk ke produk lain. Menurut Jaya (2001) apabila setiap
perusahaan memiliki pangsa pasar yang rendah maka akan tercipta persaingan
yang efektif.

b. Konsentrasi Pasar (Market Concentration)


Konsentrasi pasar memiliki keterkaitan yang erat dengan pangsa pasar.
Konsentrasi pasar merupakan kombinasi pangsa pasar dari perusahaan-perusahaan
oligopolis dimana mereka menyadari adanya saling ketergantungan (Jaya 2001).
Menurut Waldman dan Jensen (2007) terdapat beberapa indeks yang dapat
digunakan dalam mengukur konsentrasi pasar, yaitu rasio konsentrasi
(concentration ratio atau CR) dan Herfindahl Hirchman Index (HHI). Rasio
konsentrasi menghitung persentase penjualan (sales) di pasar dari jumlah absolut
beberapa perusahaan besar yang ada di pasar. Konsentrasi pasar menunjukkan
pangsa pasar yang dikuasai oleh beberapa perusahaan terbesar .
Menurut Baye (2010) rasio konsentrasi dapat digunakan untuk mengukur
structural power karena melibatkan jumlah absolut perusahaan dan ukuran
distribusi. Contohnya perhitungan CR4 yaitu mengukur konsentrasi dari empat
perusahaan terbesar yang ada dalam suatu pasar. Nilai CR berada diantara 0
sampai 100. Untuk pasar persaingan sempurna CR sama dengan 0 dan untuk
monopoli CR sama dengan 100.

CRx = Σ MSi ; (x = 1,2,3,…, n) (2)

dimana :
CRx = Konsentrasi rasio dari x perusahaan terbesar dalam suatu pasar
MSi = Persentase pangsa pasar (market share) perusahaan ke-i

Keterbatasan pengukuran CR adalah hanya mencakup sebagian kecil


perusahaan yang menguasai sebagian besar pasar sehingga pengukuran ini belum
menunjukkan besarnya distribusi antar perusahaan. Keunggulannya adalah
pengukuran menjadi lebih mudah karena didukung oleh data-data. HHI diciptakan
oleh Orris Herfindahl dan Albert Hirchman. HHI mengukur jumlah pangkat dari
ukuran perusahaan di pasar dimana ukuran di hitung dari persentase total
penjualan di pasar (Baye 2010).
𝑛
𝐻𝐻𝐼 = 𝑖 𝑀𝑆𝑖 2 ; (i = 1,2,3,…,n) (3)

dimana :
HHI = Herfindahl Hirchman Index
MSi = Persentase pangsa pasar (market share) perusahaan ke-i
n = Jumlah perusahaan di pasar

H Index berada antara 0 sampai 10 000. Untuk pasar persaingan sempurna


H index sama dengan nol dan untuk monopoli H index sama dengan 10 000.
Kelemahan HHI adalah terlalu memperhitungkan peranan perusahaan-perusahaan
kecil dan kurangnya informasi yang tersedia dalam menghitung seluruh pangsa
17

pasar perusahaan dalam suatu pasar. Keunggulannya adalah kemampuannya


dalam melihat ketidakseimbangan yang ada karena menghitung semua perusahaan
yang terlibat.

c. Hambatan Masuk (Barriers to Entry)


Hambatan masuk merupakan segala sesuatu yang menyebabkan terjadinya
penurunan kesempatan atau kecepatan masuknya pesaing baru. Menurut Bain
dalam Waldman dan Jensen (2007) terdapat empat hambatan struktural dalam
memasuki suatu pasar yaitu skala ekonomi, biaya modal, keuntungan biaya
absolut dan keunggulan dalam melakukan diferensiasi produk. Kondisi ini sangat
menentukan tingkat persaingan (degree of competition) baik yang aktual maupun
yang potensial sehingga dapat mempengaruhi struktur pasar yang terjadi. Pesaing
potensial adalah perusahan-perusahaan di luar pasar yang mempunyai
kemungkinan untuk masuk dan menjadi pesaing yang sebenarnya (Hai 2002).
Skala ekonomis (economies of scale) dapat menjadi hambatan masuk pasar
apabila perusahaan kalah bersaing karena adanya biaya rata-rata yang meningkat
dibandingkan dengan perusahaan lain (pesaing). Apabila biaya rata-rata suatu
perusahaan dalam jangka panjang (LRAC) lebih efisien artinya terjadi
pertambahan volume produksi yang dapat mengakibatkan biaya produksi rata-rata
menurun atau semakin kecil (economies of scale), maka perusahaan lain yang
tidak dapat meningkatkan volume produksinya dengan biaya yang lebih kecil
akan kalah bersaing (diseconomies of scale). Dengan kata lain, apabila perusahaan
bergerak sepanjang kurva LRAC dari kiri sampai pada titik A (Minimum
Efficiency Scale), berarti perusahaan telah menaikkan atau memperbesar kapasitas
produksi untuk meningkatkan volume produksi. Semakin besarnya volume
produksi, maka biaya produksinya per unit semakin menurun sehingga kegiatan
produksi perusahaan akan menjadi efisien. Oleh karenanya, skala ekonomis akan
membatasi perusahaan baru (entrant) untuk memasuki pasar dan melindungi
market power perusahaan di pasar (incumbent). Pada Gambar 7 terlihat kondisi
biaya jangka pendek dan jangka panjang yang dapat terjadi dalam perusahaan.

Biaya (ATC)

AC1 AC2 AC4


AC3
LRAC
A
Economies of Scale Diseconomies of Scale

Output
Qa

Gambar 7 Average cost (AC) and long run average cost (LRAC) curve
18

Menurut Jaya (2001) salah satu cara yang digunakan untuk melihat
hambatan masuk adalah dengan mengukur skala ekonomi yang dilihat melalui
output perusahaan yang menguasai pasar. Nilai output ini kemudian dibagi dengan
output total industri. Data ini disebut dengan MES (Minimum Efficiency Scale).
MES merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan mengukur
kemampuan masuknya pendatang baru kedalam suatu industri yang didekati
melalui output perusahaan.

𝑂𝑢𝑡𝑝𝑢𝑡 𝑝𝑒𝑟𝑢𝑠𝑎 ℎ𝑎𝑎𝑛 𝑡𝑒𝑟𝑏𝑒𝑠𝑎𝑟


MES = x 100 % (4)
𝑂𝑢𝑡𝑝𝑢𝑡 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙

2. Perilaku Pasar (Market Conduct)


Menurut Kohls dan Uhl (2002) perilaku pasar merupakan tingkah laku
lembaga pemasaran dalam menghadapi struktur pasar tertentu. Komponen ini
mencakup berbagai strategi harga maupun produk yang dilakukan oleh
perusahaan ataupun industri. Bentuk dan intensitas perilaku yang dapat dilakukan
oleh masing-masing perusahaan sangat tergantung kepada struktur pasar dimana
mereka beroperasi. Adapun elemen-elemen yang terdapat didalam perilaku pasar
meliputi segala aktivitas dalam pemasaran (fungsi pertukaran, fungsi fisik dan
fungsi fasilitas), kondisi saluran pemasaran yang terangkum dalam sistem
kelembagaan pasar serta penentuan harga dan siasat pemasaran seperti potongan
harga, perilaku curang dalam menimbang atau kolusi. Selain itu dalam perilaku
pemasaran juga terlihat kondisi kerjasama antar lembaga pemasaran dalam
praktek fungsi pemasaran yang dilakukan (Dahl dan Hammond 1977).
Pada pendekatan SCP, hubungan yang terjadi merupakan interaksi antara
struktur, perilaku dan kinerja pasar. Perusahaan yang memiliki kekuatan pasar
akan memanfaatkan kemampuan tersebut dengan meningkatkan harga diatas
harga kompetitif. Perusahaan akan berlaku sebagai pemimpin pasar. Pemimpin
pasar (leader) biasanya akan menentukan harga dan output menurut
pandangannya yang menguntungkan dan terhindar dari ancaman pemerintah dan
persaingan pasar. Sebaliknya perusahaan-perusahaan kecil akan mengikuti harga
yang telah disepakati oleh pemimpin pasar. Perusahaan-perusahaan kecil bebas
menentukan pilihan apakah akan mengikuti keputusan pemimpin pasar atau
menentukan harga jual sesuai keputusan sendiri, namun dengan konsekuensi yang
diterima yaitu akan menghadapi ancaman kemungkinan keluar dari pasar
(Carlton dan Perloff 2000).

a. Sistem Kelembagaan Pasar


Menurut Kohls dan Uhl (2002) kelembagaan pemasaran merupakan
berbagai organisasi bisnis atau kelompok bisnis yang melaksanakan fungsi-fungsi
pemasaran (aktivitas bisnis). Adapun yang termasuk dalam istilah lembaga
pemasaran antara lain:
(1) Pedagang perantara (merchant middlemen) merupakan individu pedagang
yang memiliki dan menguasai produk serta melakukan penanganan berbagai
fungsi pemasaran dalam pembelian dan penjualan produk dari produsen ke
konsumen. Seperti pedagang pengumpul (assembler), pedagang eceran
(retailers) dan pedagang grosir (wholesalers).
19

(2) Agen perantara (agent middlemen) merupakan pihak yang hanya mewakili
klien yang disebut principals dalam melakukan penanganan produk atau jasa.
(3) Spekulator (speculative middlemen) adalah pedagang perantara yang
membeli-menjual produk untuk mencari keuntungan dengan memanfaatkan
adanya pergerakan harga (minimal-maksimal)
(4) Pengolah dan pabrikan (processors and manufacturers) merupakan kelompok
bisnis yang beraktivitas dalam menangani produk dan merubah bentuk bahan
baku menjadi bahan setengah jadi atau produk akhir.
(5) Organisasi (facilitative organization) berperan dalam memperlancar aktivitas
pemasaran. Contohnya dalam membuat peraturan-peraturan kebijakan,
pelelangan, asosiasi eksportir atau importir, pembiayaan dan peraturan pasar.
Kohls dan Uhl (2002) menambahkan bahwa pendekatan fungsional
merupakan proses penyampaian barang dan jasa kepada konsumen yang
dilakukan dengan proses yang lancar. Fungsi-fungsi pemasaran tersebut meliputi :
1. Fungsi pertukaran yaitu kegiatan yang memperlancar pemindahan hak milik
dari barang dan jasa. Fungsi pertukaran terdiri atas fungsi pembelian, fungsi
penjualan dan fungsi pengumpulan.
2. Fungsi fisik adalah semua tindakan yang langsung berhubungan dengan barang
dan jasa sehingga menimbulkan kegunaan tempat, bentuk dan waktu. Fungsi
ini merupakan aktivitas penanganan, pergerakan dan perubahan fisik dari
produk/jasa serta turunannya. Fungsi ini meliputi fungsi penyimpanan,
pengolahan, pengemasan dan pengangkutan.
3. Fungsi fasilitas merupakan semua tindakan yang bertujuan untuk
memperlancar fungsi pertukaran dan fungsi fisik. Fungsi fasilitas terdiri atas
fungsi standardisasi, fungsi penanggungan resiko, fungsi pembiayaan, promosi,
komunikasi dan fungsi informasi pasar.

b. Sistem Penentuan Harga


Harga merupakan faktor penting dalam sistem pemasaran. Menurut Dahl
dan Hammond (1977) terdapat 2 cara yang digunakan dalam penentuan harga
yaitu penentuan harga secara teori ekonomi (price determination) dan melalui
aspek operasional atau mekanisme penemuan harga (price discovery). Hal ini
sejalan dengan pendapat Kohls dan Uhl 2002 yang menyatakan bahwa dalam
sistem pemasaran penentuan harga dapat dilihat secara teori ekonomi dengan
pendekatan supply dan demand baik pada pasar kompetitif (pasar persaingan
sempurna) dan pasar monopoli. Respon petani dalam menghadapi struktur pasar
tertentu akan mempengaruhi tingkat harga yang diterimanya (Tomek dan
Robinson 1990).
Menurut teori ekonomi, Gambar 8 dapat menjelaskan kondisi petani dalam
menghadapi struktur pasar monopsoni. Pada struktur ini diasumsikan pedagang
mempunyai kekuasaan penuh terhadap komoditi yang dijual petani, tetapi
pedagang berada pada struktur pasar persaingan murni pada transaksi dengan
pasar produk pertanian secara agregat (pedagang tidak dapat mempengaruhi harga
pasar produk pertanian secara agregat, tapi hanya menguasai transaksi di tingkat
petani). Selain itu, diasumsikan tidak terdapat biaya pemasaran dan pengolahan
sehingga harga di pedagang sama dengan harga di pasar sentra produsen. Hal ini
bertujuan untuk melihat efektifitas informasi pasar yang berlangsung antar
lembaga pemasaran.
20

Keseimbangan pasar persaingan sempurna pada Gambar 8(A) terdapat di


titik E pada suatu industri atau pasar, dimana pada kondisi ini terjadi clear market
artinya antara jumlah yang diinginkan konsumen dengan yang ingin dijual
produsen atau lembaga pemasaran sama (equilibrium). Kondisi di industri (pasar)
ditransfer oleh perilaku pedagang seperti pada Gambar 8(B). Pedagang pada pasar
persaingan sempurna tidak dapat mempengaruhi harga, sehingga harga di tingkat
pedagang sama dengan harga keseimbangan (Ppp=Pps). Pada kondisi ini pedagang
secara individu akan memaksimumkan keuntungan pada kondisi MCps=Pps.
Berbeda halnya di tingkat petani, dalam menghadapi struktur pasar monopsoni
petani cenderung sebagai penerima harga (price taker). Gambar 8 menunjukkan
mekanisme pembentukan harga di tingkat petani, pedagang dan pasar produk
pertanian dalam struktur pasar monopsoni.

Harga Harga Harga


D’ MCpp
S MCpt
D
P’ps P’pp
E ACpp ACpt
Pps
Ppp
D’ P’pt
D Ppt

Qps Q’ps Kuantitas Qpp Q’pp Kuantitas Qpt Q’pt

(A) Industri = pasar (B) Tingkat pedagang (C) Tingkat petani

Gambar 8 Pembentukan harga di tingkat petani, pedagang dan pasar produk


pertanian dalam struktur pasar monopsoni
Sumber : Dimodifikasi dari Cramer dan Jensen (1994)

Keterangan :
S = Kurva penawaran di pasar produk pertanian
DD = Kurva permintaan di pasar produk pertanian
DD’ = Kurva permintaan di pasar produk pertanian setelah berubah
Pps = Harga komoditi di pasar produk pertanian
P’ps = Harga komoditi di pasar produk pertanian setelah perubahan
permintaan
Qps = Jumlah komoditi yang diperjual-belikan di pasar produk pertanian
Q’ps = Jumlah komoditi yang diperjual-belikan di pasar produk pertanian
setelah perubahan permintaan
Ppp = Harga komoditi di tingkat pedagang
P’pp = Harga komoditi di tingkat pedagang setelah perubahan permintaan
Qpp = Jumlah komoditi yang diperjual-belikan di tingkat pedagang
Q’pp = Jumlah komoditi yang diperjual-belikan di tingkat pedagang setelah
perubahan permintaan
Ppt = Harga komoditi di tingkat petani
P’pt = Harga komoditi di tingkat petani setelah perubahan permintaan
21

Qpt = Jumlah komoditi yang diperjual-belikan di tingkat petani


Q’pt = Jumlah komoditi yang diperjual-belikan di tingkat petani setelah
perubahan permintaan
MCpt = Biaya marjinal usahatani milik petani
ACpt = Biaya rata-rata usahatani milik petani
MCpp = Biaya marjinal usaha pedagang
ACpp = Biaya rata-rata usaha pedagang

Berdasarkan Gambar 8(C) terlihat bahwa pedagang akan menetapkan harga


sama dengan biaya rata-rata usahatani (Ppt=ACpt ). Penetapan harga tersebut lebih
rendah dari harga di pasar produk pertanian. Hal yang sama juga terjadi saat kurva
permintaan (DD) di pasar industri bergeser kekanan (D’D’) dan kurva penawaran
(S) tetap. Maka harga akan berubah dari Pps menjadi P’ps, perubahan harga ini
ditransfer ke tingkat pedagang dengan harga yang sama (P’ps=P’pp) yang
ditunjukkan pada Gambar 8(B). Namun berbeda kondisinya untuk harga di tingkat
petani. Walaupun terjadi kenaikan harga di pasar produk pertanian, kenaikan
harga tersebut lebih terserap kepada keuntungan pedagang dibandingkan dengan
penyerapan untuk kenaikan pendapatan petani. Kondisi ini menggambarkan
kinerja pasar yang terjadi belum efisien, terlihat bahwa dalam struktur pasar
monopsoni keterbatasan alternatif penyaluran produk oleh petani dan rendahkan
tingkat informasi pasar yang diterima menyebabkan petani hanya sebagai
penerima harga (price taker) yang dikendalikan oleh pedagang. Di sisi lain, petani
tidak mengetahui dan tidak dapat menentukan jumlah produk dan harga yang
sesuai bagi petani dalam mencapai tingkat keuntungan maksimum (MCpt = Ppt).
Selain melalui teori ekonomi, proses penentuan harga dapat dilakukan
melalui mekanisme atau penetapan harga secara operasional (mechanism of price
discovery). Menurut Dahl dan Hammond (1977) serta Kohls dan Uhl (2002)
proses penentuan harga secara operasional dapat dilakukan melalui 4 cara, yaitu :
(1) Negosiasi individu (individual negotiation), proses penentuan harga
berdasarkan kekuatan tawar menawar dimana transaksi yang terjadi
berlangsung secara sederhana. Pada transaksi ini kondisi pasar bersaing
(competitive market).
(2) Pasar terorganisir (organized markets), contoh pasar ini adalah bursa
komoditi, pasar sentral dan pasar lelang.
(3) Harga terkelola (administered prices), dapat digunakan untuk produk-produk
yang diferensiasinya tinggi. Biasanya ditentukan oleh penjual, agen atau
pemerintah. Termasuk kedalam penentuan harga ini adalah formula pricing,
mark-up pricing, floor and ceiling price (untuk penentuan harga beras).
(4) Penentuan harga secara kolektif atau kelompok (collective bargaining
approaches to pricing). Penentuan ini bertujuan untuk meningkatkan
bargaining power petani. Proses ini dapat dilakukan melalui koperasi dan
asosiasi.
Konsep penentuan harga dapat bersifat statis dan dinamis. Statis yang
dimaksud adalah mengabaikan perbedaan waktu antara supply dan demand di
produksi pertanian. Dengan demikian, waktu antara penawaran dan permintaan
diasumsikan sama. Bersifat dinamis yaitu ada perbedaan waktu antara harga (t-1)
yang mempengaruhi supply (t), sedangkan pada demand (t) dipengaruhi harga
pada saat yang sama (t).
22

3. Kinerja Pasar (Market Performance)


Kinerja pasar menurut Dahl dan Hammond (1977) merupakan keadaan
sebagai akibat dari struktur dan perilaku pasar. Kondisi ini yang akhirnya
menunjukkan penilaian baik atau tidaknya suatu sistem pemasaran. Menurut
Teguh (2008) kinerja pasar merupakan hasil-hasil atau prestasi yang muncul
didalam pasar sebagai reaksi akibat terjadinya tindakan-tindakan para pesaing
pasar yang menjalankan berbagai strategi dan menguasai kondisi pasar. Kinerja
pasar dapat muncul dalam berbagai bentuk seperti harga, keuntungan dan
efisiensi.
Hal ini sejalan dengan pendapat Carlton dan Perloff (2000) yang
menyatakan bahwa kinerja pada akhirnya akan menggambarkan hasil dari
perilaku pasar yang dimungkinkan oleh struktur pasar yang terbentuk. Keterkaitan
struktur pasar yang terbentuk akan mempengaruhi proses penentuan harga yang
terjadi. Tekanan pokok efisiensi pemasaran terletak pada faktor-faktor yang
mempengaruhi harga. Harga yang efisien menurut Kohls dan Uhl (2002)
ditekankan kepada kemampuan keterkaitan harga dalam mengalokasikan komoditi
dari produsen ke konsumen yang disebabkan oleh perubahan tempat, bentuk dan
waktu yang melibatkan fungsi-fungsi pemasaran. Di sisi lain, harga dapat
dipengaruhi oleh struktur pasar yang terjadi. Pada struktur pasar monopoli,
perusahaan besar atau lembaga pemasaran yang memiliki market power lebih
mudah menentukan harga dibandingkan perusahaan kecil. Pada struktur pasar
oligopoli, keputusan perusahaan dalam menentukan harga dan jumlah output akan
mempengaruhi perusahaan lainnya., baik yang sudah ada (existing firms) maupun
yang berada di luar pasar (potential firms). Oleh karenanya, guna menahan
perusahaan potensial untuk masuk dalam pasar, perusahaan yang sudah ada
menempuh strategi menetapkan harga jual terbatas (limiting prices) yang
membuat perusahaan menikmati laba super normal di bawah tingkat maksimum
(Rahardja dan Manurung 2008)
Pada pasar persaingan sempurna, produsen akan menerima keuntungan
normal (normal profit). Produsen umumnya berproduksi pada situasi harga sama
dengan biaya marjinal dan biaya rata-rata. Sebaliknya pada pasar monopoli,
keuntunganyang diterima adalah super normal (extra profit) karena produsen
berproduksi pada tingkat harga diatas biaya rata-rata pada rentangan kurva biaya
rata-rata yang sedang menurun. Dengan kata lain, monopolis sengaja berproduksi
pada situasi kapasitas produksi yang rendah sehingga keuntungan yang diperoleh
menjadi lebih tinggi. Akibat dari penentuan keuntungan ini akan
mempengaruhi efisiensi ekonomi.
Secara normatif, pemasaran yang efisien adalah struktur pasar persaingan
sempurna (perfect competition). Tetapi struktur pasar ini secara realita tidak dapat
ditemukan. Dimana pada pasar ini semua konsumen, produsen dan lembaga-
lembaga yang terlibat memiliki kepuasan yang sama. Ukuran untuk mengukur
tingkat kepuasan tersebut adalah sulit dan sangat relatif (Kohls dan Uhl 2002).
Oleh sebab itu, banyak pakar yang mempergunakan indikator ukuran efisiensi
operasional dan efisiensi harga sebagai ukuran efisiensi dalam pemasaran (Dahl
dan Hammond 1977; Kohls dan Uhl 2002).
Analisis yang sering digunakan dalam kajian efisiensi operasional adalah
analisis marjin pemasaran dan farmer’s share. Efisiensi harga menekankan
kepada kemampuan sistem pemasaran dalam menentukan alokasi sumberdaya
23

yang tersedia secara efisien apa yang diproduksi produsen dengan apa yang
diinginkan konsumen. Tingkat efisiensi harga dapat tercapai apabila masing-
masing pihak yang terlibat puas atau responsif terhadap harga (price signals) yang
berlaku dan terjadi keterpaduan atau integrasi antara pasar acuan dengan pasar
ditingkat petani. Alat analisis yang sering dipergunakan adalah korelasi harga
antar pelaku pemasaran dan tingkat keterpaduan (integrasi) antar tingkat pasar
(Ravallion 1968).

a. Marjin Pemasaran
Menurut Tomek dan Robinson (1990) terdapat dua alternatif dalam
memahami defenisi marjin pemasaran yaitu (1) perbedaan harga yang dibayarkan
konsumen (Pr) dengan harga yang diterima produsen (Pf)) atau dapat dituliskan
𝑀 = 𝑃𝑟 − 𝑃𝑓 dan (2) merupakan harga dari kumpulan jasa-jasa pemasaran
sebagai akibat adanya aktivitas-aktivitas yang terjadi dalam sistem pemasaran.
Dengan kata lain, pengertian ini lebih bersifat ekonomis karena menangkap peran
nilai tambah (added value) dari adanya kegiatan pemasaran. Selain itu, juga
mengandung konsep derived supply (penawaran turunan) dan derived demand
(permintaan turunan). Marjin pemasaran menunjukkan perbedaan harga di tingkat
petani (Pf) dengan harga di tingkat pengecer (Pr). Secara matematis, dapat ditulis
sebagai berikut :

Mi = Pri − Pfi (5)


Mi = Ci − πi (6)

dimana :
Mi = Marjin pemasaran pada saliran pemasaran tingkat (pasar)
Pri = Harga jual di pasar ke-i
Pfi = Harga beli di tingkat petani ke-i
Ci = Biaya pemasaran di tingkat pedagang ke-1
πi = Keuntungan pemasaran pada pedagang ke-i
i = 1,2,3 …., n

Dengan demikian total marjin pemasaran (M) adalah :


n
M= i=1 Mi (7)

Bila marjin pemasaran (Pr-Pf) dikalikan jumlah produk yang ditawarkan


(Qr,f) maka hasilnya disebut nilai marjin pemasaran (the value of the marketing
margin atau VMM) (Kohls dan Uhl 2002). Secara matematik sederhana VMM =
(Pr – Pf) Q. Nilai dari marjin pemasaran (VMM) dapat dipandang secara agregat
atau kedalam dua aspek yang berbeda. Aspek pertama dari VMM adalah
penerimaan dari input yang dipergunakan dalam proses pengolahan atau jasa
pemasaran dari tingkat petani sampai konsumen (marketing costs or returns to
factors); termasuk dalam kelompok ini adalah upah, suku bunga, sewa dan
keuntungan. Aspek kedua dari VMM adalah returns toinstitutions or marketing
charges yaitu pedagang pengecer, grosir, pengolah dan assemblers. Berdasarkan
Gambar 9 terlihat bahwa marjin pemasaran merupakan selisih harga yang
dibayarkan konsumen (Pr) dengan harga yang diterima oleh petani (Pf) dan juga
24

merupakan kumpulan jasa-jasa pemasaran sebagai akibat adanya aktivitas bisnis


yang dilakukan.

Harga (P)
Sr
Sf
Pr
Marjin
Pemasaran
Pf Dr

Df
Qr,f
Jumlah Produk (Q)
Gambar 9 Marjin pemasaran
Sumber : Dahl dan Hammond (1977)

Keterangan :
Pf = Harga di tingkat petani Pr = Harga di tingkat pedagang
Sf = Kurva penawaran petani Sr = Kurva penawaran pedagang
Df = Kurva permintaan petani Dr= Kurva permintaan pedagang
Qr, f = Jumlah keseimbangan ditingkat petani dan pedagang

Faktor-faktor yang mempengaruhi marjin pemasaran komoditas pertanian


adalah biaya angkut, perlakuan baru, biaya penyusutan/kerusakan, tingkat harga
beli, besar keuntungan, modal kerja dan kapasitas penjualan (Kohls dan Uhl
2002). Secara umum, suatu sistem pemasaran dikatakan efisien bila komoditi
yang dipasarkan memiliki marjin pemasaran yang rendah dengan tingkat harga
yang tinggi. Namun hal ini tidak berlaku mutlak, karena marjin pemasaran yang
besar dapat diakibatkan adanya perubahan nilai tambah produk yang dihasilkan
sehingga mampu meningkatkan kepuasan konsumen. Pada kondisi ini dapat saja
dikatakan pasar lebih efisien. Menurut Tomek dan Robinson (1990) marjin
pemasaran komoditas pertanian umumnya tinggi, yang disebabkan karena
komoditas pertanian bersifat musiman, bentuk besar (voluminous) dan mudah
busuk (perishable), sehingga menyebabkan tingginya biaya penyimpanan dan
pengangkutan.

b. Farmer’s Share
Konsep marjin pemasaran sangat erat kaitannya dengan bagian harga yang
diterima petani (farmer’s share). Menurut Kohls dan Uhl (2002) farmer’s share
merupakan persentase harga yang diterima oleh petani dengan harga yang
dibayarkan oleh konsumen dalam bentuk persentase (%). Secara umum, besaran
farmer share dan marjin pemasaran bervariasi antar komoditi tergantung biaya
relatif pemasaran yang dikeluarkan sehubungan dengan nilai tambah (the value-
added utilities) waktu, bentuk, kepemilikan dan tempat berdasarkan aktifitasbisnis
atau fungsi-fungsi pemasaran yang dilakukan (Kohls dan Uhl 2002). Oleh
25

karenanya, marjin yang tinggi dan farmer share yang rendah, belum dapat
dikategorikan sebagai pemasaran efisien atau tidak. Namun harus
memperhitungkan bentuk, fungsi dan atribut-atribut yang melekat pada produk
hingga sampai ke konsumen akhir.
Farmer’s share merupakan alat analisis yang dapat digunakan untuk
menentukan efisiensi pemasaran dari sisi pendapatan petani. Secara sederhana
farmer’s share dirumuskan sebagai berikut :

P
FS = P f × 100 persen (8)
r

dimana :
FS = Bagian harga yang diterima petani (farmer’s share)
Pf = Harga di tingkat petani
Pr = Harga di tingkat pedagang

c. Integrasi Pasar Vertikal


Integrasi pasar adalah seberapa jauh pembentukan harga komoditi pada
suatu tingkat lembaga atau pasar dipengaruhi oleh harga di tingkat lembaga
lainnya. Dua pasar dikatakan terpadu apabila perubahan harga dari salah satu
pasar atau tingkat lembaga disalurkan ke pasar lainnya. Integrasi pasar penting
untuk melihat sejauhmana kelancaran informasi dan efisiensi pemasaran. Integrasi
pasar terjadi apabila terdapat informasi pasar yang memadai dan informasi
tersebut disalurkan dengan cepat. Menurut Breshnahan dan Levin (2012) dalam
integrasi pasar terdapat perbedaan antara teori ekonomi organisasi dengan teori
organisasi industri. Teori ekonomi industri cenderung menekankan pada masalah
kontrak yang mempengaruhi keputusan untuk melakukan integrasi perusahaan,
terkait sumber daya atau kemampuan perusahaan dalam melakukan integrasi.
Sedangkan teori organisasi industri menekankan hubungan antara keputusan
integrasi dan penentuan struktur pasar pada setiap tingkat pasar yang dilewati oleh
produk-produk yang dipasarkan.
Pada dasarnya integrasi pasar dapat dibedakan menjadi dua bagian
berdasarkan hubungan yang dianalisis yaitu integrasi pasar spasial dan integrasi
vertikal. Integrasi pasar spasial merupakan tingkat keterkaitan hubungan antara
pasar regional dan pasar regional lainnya. Analisis integrasi vertikal bertujuan
untuk melihat keeratan hubungan antara lembaga pemasaran yang satu dengan
lainnya dalam satu sistem pemasaran. Porter (1980) menambahkan manfaat yang
dihasilkan dengan adanya integrasi pasar vertikal antara lain tercapainya
penghematan dalam penggabungan operasi (perbedaan teknologi), pengendalian
dan koordinasi internal (komunikasi efektif), pengumpulan informasi pasar,
hubungan bisnis yang stabil, kepastian atas pasokan dan permintaan, penghapusan
kekuatan tawar menawar yang dominan dan peningkatan kemampuan untuk
melakukan diferensiasi produk. Pada kondisi pasar yang terintegrasi, setiap
tingkat lembaga pemasaran di bawahnya dapat menentukan posisi tawarnya dalam
pembentukan harga (Tomek dan Robinson 1977).

Pendekatan dalam Analisis Integrasi Pasar Vertikal


Pada analisis integrasi pasar, terdapat empat pendekatan yang umum
digunakan yaitu (1) analisis korelasi harga, (2) analisis regresi sederhana, (3)
26

metode VAR (vector autoregression) dan (4) metode distributed lag


autoregression. Kesamaan pendekatan 1 dan 2 adalah menggunakan data cross
section, sedangkan kesamaan pada pendekatan 3 dan 4 adalah menggunakan harga
komoditi dalam deret waktu (time series) sebagai input data untuk melakukan
analisis. Pendekatan pertama, melalui metode korelasi dengan menghitung total
sum square correlation antara harga-harga yang bergerak bersamaan pada pasar
yang diuji. Kelemahan metode ini adalah dapat memberikan kesimpulan yang
keliru, karena pergerakan harga yang terjadi bisa saja dikarenakan pasar memiliki
kesamaan faktor yang mempengaruhi harga. Misalnya suatu perdagangan antar
pasar dengan biaya yang sangat tinggi, tetapi pada kedua pasar terjadi perubahan
yang sama terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi harga, maka harga yang
berlaku dapat bergerak secara bersama-sama. Hal di atas menyebabkan harga
dikedua pasar tersebut dapat menunjukkan korelasi yang tinggi meskipun
pasarnya tidak terintegerasi.
Pendekatan kedua dengan menggunakan metode regresi sederhana. Model
ini menjelaskan bahwa harga di suatu pasar merupakan fungsi dari harga pada
pasar lainnya. Kelemahan dari model ini adalah model ini tidak dapat
memisahkan harga sebagai variabel independen dan variabel dependen karena
model dari regresi sederhana ini memiliki sifat inverse. Namun pendekatan
dengan menggunakan metode ini relatif lebih unggul karena dapat menunjukkan
nilai keeratan hubungan antar pasar-pasar yang terintegrasi. Pendekatan ketiga
melalui model deret waktu yang diuji stasioner dengan menggunakan Augmented
Dicky-Fuller (ADF) test kemudian menggunakan model Vector Autoregression
(VAR). Keunggulan pendekatan ini adalah menghindari data yang tidak stasioner
dan hasil yang palsu (spurious). Namun, dalam melakukan analisisnya
memerlukan tahapan-tahapan yang relatif kompleks. Diawali dari uji unit root
untuk mengetahui kestasioneran data dan menghindari terjadinya spurious
regression, penentuan lag (ordo) optimal model VAR, analisis volatilitas harga,
analisis korelasi, uji kointegrasi, estimasi VECM yang merupakan model yang
diturunkan dari VAR yang menggunakan prinsip pengolahan error correction
model, Granger Causality test, Impuls Response Function (IRF) dan terakhir
analisis Variance Decomposition (VD).
Pendekatan keempat melalui pendekatan distributed lag autoregression.
Pendekatan ini dapat menunjukkan pasar yang bertindak sebagai pemimpin pasar
dan pasar yang bertindak sebagai pengikut harga. Metode ini juga dapat
menentukan nilai keterkaitan antara pasar-pasar yang diuji. Metode ini menguji
integrasi pasar dengan memasukkan nilai-nilai masa lalu (lag) dari variabel
dependen dan variabel lain ke dalam variabel independen. Asumsi dari model ini
adalah bahwa tidak ada respon bersifat seketika, sehingga fungsi dari kejadian
ekonomi sekarang merupakan reaksi dari fungsi masa lalu. Pendekatan ini telah
diterapkan dalam Model Ravallion.

Model Ravallion
Ravallion (1986) mengembangkan suatu metode analisis keterpaduan
autoregresi untuk mengukur bagaimana harga di pasar lokal dipengaruhi oleh
pasar lain (acuan) dengan mempertimbangkan harga di masa lalu dan harga pada
saat ini. Model ini juga dikembangkan dengan dasar bahwa harga di suatu pasar
dipengaruhi oleh harga di masa yang lalu, karena reaksi dari perubahan arus
27

barang terhadap harga ini membutuhkan waktu untuk terjadi. Keunggulan model
analisis ini adalah mampu mengungkapkan dengan mendetail tentang peran pasar
acuan, arah transmisi harga, kecepatan transmisi harga, tingkat keterisolasian, dan
tingkat keterpaduan pasar.
Model Ravallion juga dapat menunjukkan besarnya pengaruh perubahan
harga yang terjadi di suatu pasar akibat faktor musiman dan faktor lain yang
relevan yang terjadi di pasar tersebut (Limbong 1999). Firdaus dan Gunawan
(2012) menunjukkan bahwa pengembangan model Ravallion diawali dari
persamaan berikut :

R = f (P1,P2, P3, ……,Pn, X) (9)


Pi = fi (R, Xi), i = 1,2,3,…,n) (10)

Dimana n merupakan pasar lokal dengan harga sebesar P; R merupakan


harga di tingkat pasar acuan. Xi merupakan vektor yang menunjukkan faktor-
faktor lain yang mungkin mempengaruhi harga di pasar i (termasuk pasar acuan
dan pasar lokal). Karena persamaan (9) dan (10) harga pada saat ini, pengaruh
jeda waktu (lag) dimasukkan dalam harga sehingga membentuk struktur yang
lebih dinamis. Tetapi, jika periode lag terlalu panjang model ini akan menjadi
lebih rumit. Sehingga, harga di setiap pasar diasumsikan hanya memiliki satu fase
lag, yaitu :

Pt = aiPt-1+bi0Rt-1+ciXt+ɛt (11)
Untuk i = 1,2, ….., n

Persamaan (11) sensitif terhadap terjadinya multikoliniaritas ketika harga di


pasar lokal dan pasar acuan berkorelasi kuat. Menjadikannya ke dalam bentuk
turunan pertama akan mengurangi pengaruh dari multokolinearitas dimana (Rt -
Rt-1) dan (Pt - Pt-1) biasanya memiliki hubungan yang lemah dibandingkan Rt dan
Pt. Transformasi ini menghasilkan :

Pt - Pt-1 = aiPt-1- Pt-1+bi0Rt-1+ciXt+ɛt (12)

Selanjutnya, bi0Rt-1 ditambahkan ke sisi kanan persamaan (12), menjadi :

(Pt - Pt-1) = (ai – 1)(Pt-1- Rt-1)+bi0(Rt - Rt-1)+(ai+bi0+bi1-1)Rt-1+ciXt+ɛt (13)

Persamaan (13) dapat disederhanakan menjadi :

(Pt - Pt-1) = β1(Pt-1- Rt-1)+β2(Rt - Rt-1)+β3Rt-1+β4Xt+ɛt (14)

dimana:
(ai – 1) = β1 bi0= β2
(ai+bi0+bi1-1) = β3ci= β4

Secara lebih spesifik, model Ravallion dapat diformulasikan sebagai berikut :

(Pt - Pt-1) = β1(Pt-1- Rt-1)+β2(Rt - Rt-1)+β3Rt-1+β4Xt +β5Xt-1+ ɛt (15)


28

Sebagai upaya mencapai interpretasi yang jelas, persamaan (15) dapat dituliskan
kembali menjadi :

Pt = (1+β1)Pt-1+β2(Rt - Rt-1)+(β3-β1)Rt-1+β4Xt+β5Xt-1+ ɛt (16)

dimana :
b1 = 1+β1b2= β2
b3 = β3-β1b4= β4
b5 = β5

Sehingga, persamaan (16) dapat dituliskan sebagai berikut :

Pt = b1Pt-1+b2(Rt - Rt-1)+b3Rt-1+b4Xt +b5Xt-1+ ɛt (17)

Untuk menunjukkan pengaruh harga sebelumnya dipasar lokal terhadap


pembentukan harga di pasar lokal pada saat ini. Digunakan Index of Market
Connection (IMC) atau Indeks Keterpaduan Pasar (IKP). IMC yang didefenisikan
sebagai rasio koefisien pasar lokal terhadap koefisien pasar acuan, yaitu :

b
IMC = b 1 (18)
3

Jika nilai IMC lebih kecil dari satu mengindikasikan terjadi integrasi jangka
pendek. Koefisien b2 merupakan pengukuran terhadap tingkat perubahan harga di
pasar acuan yang ditransmisikan ke pasar lokal. Parameter ini mengukur integrasi
jangka panjang. Nilai yang dihasilkan adalah satu atau mendekati satu. Apabila
nilai koefisien b2 adalah 1 (b2 = 1), kedua pasar terintegrasi dalam jangka panjang.
Perbedaan antara dua indikator ini adalah b2 menunjukkan persentase perubahan
harga yang terjadi pasar acuan ditransmisikan ke pasar lokal. Nilai IMC
menunjukkan bahwa persentase relatif harga produsen di pasar lokal saat ini
dipengaruhi oleh perubahan harga produsen di pasar lokal dan pasar acuan di
waktu sebelumnya.

Hubungan antara Struktur, Perilaku dan Kinerja Pasar Produk Pertanian


dalam Proses Pembentukan Harga di Tingkat Petani
Pada sistem pemasaran komoditas pertanian, produsen (petani) merupakan
lembaga pemasaran yang menjadi perhatian utama dalam melakukan analisis
efisiensi pemasaran. Hal ini terlihat dari indikator farmer share sebagai salah satu
ukuran dalam efisiensi operasional (Kohls dan Uhl 2002). Perubahan harga yang
terjadi di setiap lembaga pemasaran apakah diteruskan ke tingkat petani dan
apakah terjadi integrasi pasar vertikal antar lembaga pemasaran. Analisis integrasi
pasar dijadikan ukuran dalam menilai efisiensi harga. Selain itu, permasalahan
umum yang terjadi pada sistem pemasaran adalah posisi tawar (bargaining
position) petani lemah dalam proses penentuan harga. Sehingga, hal ini menjadi
salah satu kendala dalam usaha meningkatkan pendapatan petani.
Analisis sistem pemasaran dilakukan untuk mengetahui efisiensi suatu
pasar. Pada pendekatan SCP (structure, conduct, performance), struktur pasar
akan mempengaruhi perilaku pasar dan kinerja pasar, hubungan ini dapat berlaku
29

sebaliknya (Waldman dan Jensen 2007). Secara sederhana Gambar 9


menunjukkan hipotesis hubungan antara struktur, perilaku dan kinerja pasar
terhadap pembentukan harga di tingkat petani.

PERILAKU PASAR

Fungsi fisik Sistem Saluran


pembayaran Pemasaran
Aktivitas
Fungsi pemasaran
Fasilitas <Aktivitas
Fungsi pemasaran>
pertukaran Mekanisme
Hambatan penentuan harga
STRUKTUR PASAR

masuk pasar Marjin Pemasaran

KINERJA PASAR
Jumlah pembeli HARGA DI
dan penjual TINGKAT
PETANI Farmer share

Pangsa pasar
Integrasi pasar
Konsentrasi <Aktivitas
vertikal
pasar pemasaran>

Keterangan :
Hubungan antar elemen penyusun pada masing-masing struktur,
perilaku dan kinerja pasar
Hubungan antar struktur, perilaku dan kinerja pasar
Hubungan struktur, perilaku dan kinerja terhadap
harga di tingkat petani

Gambar 10 Hipotesis hubungan antara struktur, perilaku dan kinerja pasar dalam
proses pembentukan harga di tingkat petani

Menurut teori beberapa indikator yang digunakan untuk menentukan


struktur pasar adalah jumlah penjual dan pembeli, hambatan keluar masuk pasar,
diferensiasi dan diversifikasi produk (Carlton dan Perloff 2000; Waldman dan
Jensen 2007; Baye 2010). Jumlah penjual dan pembeli biasanya diukur dengan
konsentrasi penjual baik menggunakan rasio konsentrasi maupun indeks
Herfindahl-Hirchman. Pangsa pasar merupakan bagian terpenting dalam
mengukur tingkat konsentrasi pasar. Menurut Baye (2010) semakin besar pangsa
pasar yang dimiliki oleh beberapa perusahaan maka semakin tinggi tingkat
konsentrasi pasar yang terjadi. Kondisi ini dapat tergambar dari penggabungan 4
perusahaan terkemuka yang memiliki pangsa pasar 60 sampai 100 persen, dengan
tingkat konsentrasi mencapai 85 persen. Hal ini memungkinkan perusahaan untuk
melakukan kesepakatan dalam menetapkan harga.
Menurut Tomek dan Robinson (1990) hubungan antar lembaga-lembaga
pemasaran dapat mempengaruhi proses penentuan harga. Hal ini terlihat dari
perilaku pasar yang terjadi. Menurut Waldman dan Jensen (2007) perilaku pasar
terjadi disebabkan karena struktur pasar yang berlaku. Jika produsen memiliki
market power maka dengan mudah dapat mempengaruhi harga pasar. Pada
30

pendekatan SCP (Stucture, Conduct, Performance), perilaku pasar akan


menggambarkan aktivitas-aktivitas pelaku pemasaran seperti aktivitas pemasaran
(fungsi pertukaran, fungsi fisik, fungsi fasilitas), saluran pemasaran, sistem
penentuan harga serta sistem kelembagaan pasar. Seluruh aktivitas ini memiliki
keterkaitan satu dengan lainnya (Kohls dan Uhl 2002).
Secara teori, efisiensi pemasaran tercipta ketika pihak-pihak yang telibat
baik produsen, lembaga-lembaga pemasaran maupun konsumen memperoleh
kepuasan (Purcell 1979). Sejalan dengan ini, produk yang sampai ke tangan
konsumen dengan harga kompetitif dan adanya pembagian yang adil bagi
produsen dan lembaga-lembaga pemasaran dari keseluruhan harga yang
dibayarkan konsumen merupakan kegiatan pemasaran yang dilakukan secara
efisien. Menurut Kohls dan Uhl (2002) biaya pemasaran yang tinggi akan
membuat sistem pemasaran menjadi tidak efisien apabila tidak ada peningkatan
kepuasan begitu pula sebaliknya apabila terjadi perubahan produk yang
menyebabkan peningkatan biaya dan tidak mengurangi kepuasaan konsumen
maka dapat dikatakan sebagai peningkatan efisiensi. Jika terjadi perubahan yang
menyebabkan adanya penurunan biaya input tetapi tidak dipertahankan atau tidak
diikuti dengan peningkatan kepuasan konsumen maka dikatakan terjadi penurunan
efisiensi.
Namun, pengukuran efisiensi melalui tingkat kepuasaan sulit dilakukan.
Sehingga, pakar pemasaran menggunakan konsep efisiensi operasional dan harga
sebagai indikator pengukurannya (Hammond dan Dahl 1977; Kohls dan Uhl
2002). Efisiensi operasional atau teknis berhubungan dengan pelaksanaan
aktivitas pemasaran yang dapat meningkatkan rasio output-input pemasaran.
Ukuran efisiensi operasional biasanya dianalisis melalui marjin pemasaran dan
farmer share. Sedangkan efisiensi harga menekankan kepada kemampuan sistem
pemasaran dalam mengalokasikan sumberdaya dan mengkoordinasikan seluruh
produksi pertanian dan proses pemasaran sehingga efisien sesuai dengan
keinginan konsumen.
Menurut Purcel (1979) serta Kohls dan Uhl (2002), indikator efisiensi harga
dapat terlihat dari kondisi dimana konsumen dan produsen puas atau respondif
terhadap harga yang berlaku, terdapat alternatif pemasaran bagi konsumen
maupun produsen, selain itu price tags yang terjadi merupakan refleksi dari biaya-
biaya yang terjadi akibat adanya perubahan nilai tambah produk yang dilakukan
baik bentuk, waktu, tempat maupun kepemilikan.
31

Kerangka Pemikiran Operasional

Kopi Arabika Gayo merupakan komoditas unggulan di Kabupaten Aceh


Tengah dan Bener Meriah. Struktur ekonomi daerah sebagian besar (50.74%)
bertumpu pada sektor pertanian. Namun, pertumbuhan ekonomi di sektor tersebut
relatif rendah yakni 2.35 persen per tahun (BPS Provinsi Aceh 2012).
Ketimpangan terjadi dikarenakan bargaining position petani lemah dalam proses
penentuan harga. Pola pergerakan harga kopi Arabika Gayo di tingkat petani tidak
mengikuti pola pergerakan harga kopi Arabika Gayo di tingkat eksportir.
Berdasarkan kondisi tersebut hipotesis penelitian menyatakan bahwa pasar kopi
Arabika Gayo di tingkat petani dan di tingkat eksportir tidak terintegrasi.
Kondisi pasar yang tidak terintegrasi menunjukkan pasar tidak efisien.
Menurut Tomek dan Robinson (1990) salah satu karakteristik pasar yang efisien
adalah harga dapat ditransmisikan dari pasar konsumen ke pasar produsen secara
terintegrasi ataupun sebaliknya. Idealnya, pasar yang yang efisien berada pada
struktur pasar persaingan sempurna (market perfect competition). Namun, kondisi
pasar persaingan sempurna sulit untuk dicapai. Oleh karenanya, kemampuan
setiap pelaku pemasaran dalam sistem pemasaran yang ada sangat ditentukan oleh
interaksi yang terjadi antar pelaku-pelaku yang ada, selain itu kondisi supply dan
demand untuk komoditi kopi Arabika Gayo baik dipasar dunia maupun pasar
lokal merupakan sinyal penting bagi keberlangsungan bisnis kopi Arabika Gayo.
Pada dasarnya kondisi permintaan dan penawaran kopi Arabika Gayo di
Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah akan mempengaruhi struktur pasar
yang terjadi. Jika struktur pasar yang berlaku adalah struktur pasar persaingan
sempurna maka harga akan ditentukan oleh mekanisme pasar. Pembeli maupun
penjual sebagai penerima harga (price taker). Indikator yang digunakan untuk
menunjukkan struktur pasar yang terjadi yaitu pangsa pasar, konsentrasi pasar dan
hambatan masuk pasar. Struktur pasar akan menentukan perilaku pasar. Indikator
yang digunakan dalam melakukan analisis perilaku pasar yaitu sistem
kelembagaan (praktek pembelian dan penjualan, kerjasama lembaga pemasaran)
dan sistem penentuan harga.
Interaksi antara struktur dan perilaku pasar akan menentukan kinerja pasar.
Kondisi ini dapat saja terjadi sebaliknya, dimana perilaku pasar dapat menentukan
struktur pasar dan kinerja pasar. Analisis kinerja pasar dapat menunjukkan
seberapa jauh pengaruh struktur dan perilaku pasar dalam proses pemasaran kopi
Arabika Gayo di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah. Adapun elemen
kinerja pasar terdiri atas marjin pemasaran, farmer share dan integrasi pasar
vertikal. Sehingga, pendekatan SCP yang digunakan dalam penelitian ini dapat
menunjukkan bagaimana pola pembentukan harga di tingat petani dan akan
muncul rekomendasi kebijakan yang dapat memperbaiki kondisi pemasaran kopi
Arabika Gayo di tingkat petani.
32

POTENSI KOPI ARABIKA KONDISI PEMASARAN


GAYO  Selama tahun 2006-2012 pola
 Komoditas unggulan daerah pergerakan harga kopi di tingkat
 Kopi Spesialti petani mengalami penurunan
 Memiliki Sertifikasi Produk (1.73%) sedangkan eksportir
 Harga Jual Premium mengalami peningkatan (17.18%)
 Kesejahteraan petani  Posisi tawar petani lemah

Perlu kajian sistem pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh Tengah
dan Bener Meriah dengan pendekatan Structure, Conduct, Performance (SCP)

Kondisi Permintaan dan Penawaran Kopi Arabika Gayo

Struktur Pasar
(Market Structure)
1. Pangsa Pasar
2. Konsentrasi Pasar
3. Hambatan Masuk Pasar

Perilaku Pasar Kinerja Pasar


(Market Conduct) (Market Performance)
1. Sistem Kelembagaan 1. Marjin pemasaran
2. Mekanisme Penentuan Harga 2. Farmer share
3. Sistem Pembayaran 3. Integrasi Pasar Vertikal

POLA PEMBENTUKAN HARGA DI TINGKAT PETANI

REKOMENDASI KEBIJAKAN

Alur Pemikiran Peubah yang diteliti


Saling Mempengaruhi Pengaruh terhadap harga

Gambar 11 Kerangka pemikiran operasional


33

4 METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah,


Provinsi Aceh. Lokasi dipilih secara purposive, berdasarkan pertimbangan bahwa
sekitar 89.92 persen (42 988 ton) dari total produksi kopi Arabika Gayo di
Provinsi Aceh pada tahun 2012 (47 805 ton) berasal dari kedua Kabupaten ini.
Selanjutnya, dipilih dua Kecamatan dari masing-masing Kabupaten. Setiap
Kecamatan dipilih dua Desa. Pemilihan Kecamatan didasarkan pada pertimbangan
bahwa lokasi tersebut memiliki tingkat produksi tertinggi atau termasuk tinggi
dibandingkan lokasi lainnya (lihat Lampiran 1). Pemilihan Desa berdasarkan
informasi langsung dari informan yang ditemui di lokasi penelitian. Waktu
pengumpulan data dimulai bulan Nopember 2012 sampai Januari 2013.

Jenis dan Sumber Data

Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh dari pelaku-pelaku pemasaran seperti petani, pedagang pengumpul,
(kolektor), koperasi dan eksportir yang terlibat dalam sistem pemasaran kopi
Arabika Gayo di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah. Data sekunder
diperoleh dari Kementerian Pertanian, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi
Aceh, BPS Provinsi Aceh, Dinas Perindustian dan Perdagangan, Asosiasi
Eksportir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI), Kementerian Perdagangan, serta
hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini dan sumber
lainnya.

Metode Pengambilan Sampel

Metode yang digunakan dalam pengambilan data yaitu berupa pengamatan


langsung di lapangan (observasi), wawancara dan pengisian kuesioner. Populasi
petani kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh Tengah yang mengikuti program
sertifikasi produk mencapai 24 439 rumahtangga petani (Disbunhut Kabupaten
Aceh Tengah 2013) dan untuk Kabupaten Bener Meriah sebanyak 13 212
rumahtangga petani (Disbunhut Kabupaten Bener Meriah 2013). Acuan yang
dipertimbangkan dalam pengambilan ukuran sampel yaitu keragaman populasi
yang relatif homogen (Juanda 2008). Sehingga, pengambilan sampel petani
dilakukan dengan metode simple random sampling atau acak sederhana.
Jumlah petani responden yang diambil sebanyak 60 orang diantaranya 30
orang di Kabupaten Aceh Tengah dan 30 orang di Kabupaten Bener Meriah.
Dimana setiap kecamatan dipilih sebanyak 15 orang. Pengambilan sampel
pedagang dilakukan dengan teknik snowball sampling berdasarkan alur
pemasaran yang ada di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah. Jumlah
pedagang antara lain 14 orang pedagang pengumpul (kolektor) diantaranya 9
orang di Kabupaten Aceh Tengah dan 5 orang di Kabupaten Bener Meriah, 2 unit
34

koperasi dari kedua Kabupaten dan 3 unit perusahaan ekspor berbadan hukum
koperasi dan 2 unit perusahan ekspor (non koperasi). Selain cross section data
yang dilakukan pada musim panen dan pasca panen, penelitian ini
mempergunakan time series data dari bulan Januari 2008 sampai Desember 2012
(n=60). Time series data ini terutama mengenai harga kopi Arabika Gayo di
tingkat petani, kolektor, koperasi dan eksportir.

Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Pendekatan yang digunakan dalam menganalisis pemasaran kopi arabika


yaitu melalui pendekatan struktur pasar (market structure), perilaku pasar (market
conduct) dan kinerja pasar (market performance). Analisis yang dilakukan yaitu
analisis deskriptif dan kuantitatif. Pengolahan data kuantitatif menggunakan
Microsoft Excel 2007 dan Eviews 6.

Analisis Struktur Pasar


Analisis struktur pasar pada prinsipnya bertujuan untuk mengetahui apakah
pasar kopi Arabika dilokasi penelitian cenderung mengarah pada pasar persaingan
sempurna atau pasar persaingan tidak sempurna. Komponen struktur pasar yang
diteliti meliputi pangsa pasar, konsentrasi pasar dan hambatan keluar masuk pasar
(Kohls dan Uhl, 2002).

a. Analisis Pangsa Pasar


Analisis pangsa pasar kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh Tengah dan
Bener Meriah dilakukan dengan menghitung pangsa pasar perusahaan-perusahaan
(eksportir) kopi Arabika Gayo yang melakukan supply kopi dari Kabupaten Aceh
Tengah dan Bener Meriah. Semakin tinggi pangsa pasar menunjukkan kekuatan
(market power) perusahaan dalam pasar kopi Arabika Gayo. Perhitungan pangsa
pasar suatu perusahaan (eksportir) kopi Arabika Gayo menggunakan rasio antara
pembelian suatu perusahaan (eksportir) kopi Arabika Gayo terhadap total kopi
Arabika Gayo di Provinsi Aceh. Tujuan perhitungan pangsa pasar adalah untuk
mengetahui seberapa besar cakupan suatu perusahaan (eksportir) terhadap total
pembelian kopi Arabika Gayo di Provinsi Aceh. Adapun perhitungan pangsa
pasar perusahaan (eksportir) kopi Arabika Gayo adalah sebagai berikut :

Sn
Market Share MSn = × 100 persen
SA
Keterangan :
Market Share MS = 0-100persen
Market Share MSn = Pangsa pasar perusahaan (eksportir) “n” (persen)
Sn = Pembelian kopi Arabika Gayo perusahaan (eksportir) “n” (kg/bulan)
SA = Total kopi Arabika Gayo di Provinsi Aceh (kg/bulan)
n = Banyaknya perusahaan (eksportir) kopi Arabika Gayo

b. Konsentrasi Pasar
Menurut Baye (2010) konsentrasi pasar dapat dihitung dengan mengukur
berapa jumlah output yang diproduksi dari empat perusahaan terbesar dalam suatu
35

industri. Pada penelitian ini perusahaan yang dimaksud merupakan eksportir yang
terlibat dalam perdagangan kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh Tengah dan
Bener Meriah. Metode analisis yang digunakan adalah Four Firm Concentration
Ratio (CR4). Nilai CR4 yang mendekati 0 diindikasikan berada pada pasar yang
memiliki banyak penjual dan memberikan peningkatan banyaknya persaingan
antar produsen untuk menjualnya ke konsumen. Namun, jika nilai CR4 mendekati
1 diindikasikan pasar mengalami sedikit persaingan (pasar terkonsentrasi) antara
produsen untuk menjualnya ke konsumen (Baye 2010). Hirschey (2009)
menambahkan apabila CR4 ≥ 0.8 menunjukkan industri tersebut sangat
terkonsentrasi (highly concentrated), 0.5 < CR < 0.8 pasar terkonsentrasi sedang
(moderatly concentrated) dan ≤ 0.5 pasar terkonsentrasi lemah (weakly
concentrated).

S1 + S2 + S3 + S4
CR4 =
ST

CR4 = w1 + w2 + w3 + w4

Keterangan :
CR4 = Konsentrasi rasio
wi = Si ST , dimana i = 1,2,3,4
S1 = Volume pembelian kopi Arabika Gayo oleh eksportir 1 (kg/bulan)
S2 = Volume pembelian kopi Arabika Gayo oleh eksportir 2 (kg/bulan)
S3 = Volume pembelian kopi Arabika Gayo oleh eksportir 3 (kg/bulan)
S4 = Volume pembelian kopi Arabika Gayo oleh eksportir 4 (kg/bulan)
ST = Total pembelian seluruh eksportir kopi Arabika Gayo (kg/bulan)

c. Hambatan Keluar Masuk Pasar


Hambatan masuk pasar dapat dianalisis dengan menggunakan Minimum
Efficiensy Scale (MES) selama tahun 2007 sampai 2012. Analisis ini dilakukan
untuk melihat banyaknya lembaga pemasaran yang dapat masuk untuk bersaing
merebut pangsa pasar. Nilai MES diperoleh dari pembelian kopi Arabika Gayo
perusahaan (eksportir) terbesar terhadap total kopi Arabika Gayo dari Kabupaten
Aceh Tengah dan Bener Meriah. Menurut Jaya (2001), jika nilai MES lebih besar
dari 10 persen mengindikasikan bahwa terdapat hambatan masuk pasar pada
pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah.

Pembelian kopi arabika gayo perusahaan terbesar


MES =
Total kopi arabika gayo dari Kab. Aceh Tengah dan Bener Meriah

Analisis Perilaku Pasar


Analisis perilaku pasar lebih menekankan pada analisis deskriptif dari
fenomena lapang terkait dengan beberapa dimensi perilaku diantaranya praktek
pembelian dan penjualan, sistem penentuan harga dan kerjasama lembaga
pemasaran (Dahl dan Hammond 1977). Hal penting yang perlu dipahami bahwa
setiap dimensi ini memiliki keterkaitan satu dengan lainnya. Artinya sistem
36

penentuan harga dapat dipengaruhi oleh praktek penjualan dan pembelian serta
adanya kerjasama lembaga pemasaran, begitupula sebaliknya.
Informasi penting yang akan dikaji dalam sistem penentuan harga terkait
bagaimana mekanisme penentuan harga, pada tingkat lembaga manakah yang
lebih dominan dalam proses penentuan harga dan sejauhmana peran petani
sebagai produsen dalam poses penentuanharga.Pada praktek pembelian dan
penjualan akan diperhatikan aktivitas-aktivitas setiap lembaga pemasaran dalam
melakukan pembelian dan penjualan. Informasi ini penting untuk dikaji, karena
dalam menggambarkan perilaku pasar akan terlihat bagaimana setiap lembaga
pemasaran merespon signalharga yang di terjadi. Kerjasama lembaga pemasaran
akan digambarkan melaluiaktiviassaluran pemasaran yang terjadi dankegiatan
yang dilakukan dalammenjalankan fungsi-fungsi pemasaran. Purcell (1979)
membagi fungsi pemasaran menjadi tiga yaitu fungsi pertukaran (pembelian dan
penjualan), fungsi fisik (penyimpanan, transportasi, pengolahan) dan fungsi
fasilitas (standardisasi, keuangan/modal, risiko dan penelitian pasar).

Analisis Kinerja Pasar


Beberapa ukuran yang digunakan dalam melakukan analisis kinerja pasar
antara lain marjin pemasaran, farmer’s share dan integrasi pasar vertikal.

a. Marjin Pemasaran
Analisis marjin pemasaran didasarkan pada data primer yang dikumpulkan
dari setiap lembaga pemasaran mulai dari produsen sampai dengan konsumen.
Marjin pemasaran adalah perbedaan harga yang dibayarkan konsumen dengan
harga yang diterima oleh produsen (Tomek dan Robinson 1990; Hudson 2007).
Semakin tinggi biaya pemasaran menyebabkan semakin tingginya marjin
pemasaran. Secara matematis, dapat ditulis sebagai berikut :

M = Pr − Pf

dimana :
𝑀𝑚 = Marjin pemasaran kopi Arabika Gayo
𝑃𝑟 = Harga kopi Arabika Gayo di tingkat konsumen (Rp/kg)
𝑃𝑓 = Harga kopi Arabika Gayo di tingkat petani (Rp/kg)

Untuk marjin pada setiap lembaga pemasaran dapat diketahui dengan jalan
menghitung selisih antara harga jual dengan harga beli pasar setiap tingkat
lembaga pemasaran. Bentuk matematika sederhana dapat dirumuskan sebagai
berikut:

Mm = Ps − Pb
dimana :
Mm = Marjin pemasaran pada setiap lembaga pemasaran
Ps = Harga jual kopi pada setiap tingkat lembaga pemasaran (Rp/kg)
Pb = Harga beli kopi pada setiap tingkat lembaga pemasaran (Rp/kg)

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi besarnya marjin pemasaran adalah


biaya pengangkutan, biaya perlakuan baru, biaya penyusutan/kerusakan, tingkat
37

harga beli untuk setiap komoditas, besarnya keuntungan pedagang, modal kerja
dan kapasitas penjualan.

b. Farmer Share
Farmer share merupakan rasio antara harga di tingkat petani terhadap
harga di tingkat pedagang (Hudson, 2007). Pada saluran pemasaran yang berbeda
maka share harga yang diterima oleh petani akan berbeda pula. Besarnya
Farmer’s Share dipengaruhi oleh tingkat pemrosesan, biaya transportasi,
keawetan produk dan jumlah produk (Kohls dan Uhl2002). Adapun perhitungan
farmers share yang digunakan adalah :

Pf
FS = × 100 persen
Pr

dimana :
FS = Bagian harga yang diterima petani kopi Arabika Gayo (Rp/kg)
Pf = Harga kopi Arabika Gayo di tingkat petani (Rp/kg)
Pr = Harga kopi Arabika Gayo di tingkat eksportir (Rp/kg)

c. Analisis Integrasi Pasar Vertikal


Analisis integrasi pasar merupakan seberapa jauh pembentukan harga suatu
komoditi pada satu tingkat lembaga atau pasar dipengaruhi oleh harga ditingkat
lembaga lainnya. Analisis integrasi pasar dilakukan pada setiap lembaga
pemasaran. Analisis pertama dilakukan untuk petani sebagai pasar lokal
sedangkan kolektor, koperasi dan eksportir sebagai pasar acuan. Analisis kedua,
kolektor sebagai pasar lokal, sedangkan koperasi dan eksportir sebagai pasar
acuan. Analisis terakhir di tingkat koperasi sebagai pasar lokal dan eksportir
sebagai pasar acuan. Metode analisis integrasi pasar dalam penelitian ini mengacu
pada model Ravallion (1986) yang secara matematis telah di turunkan dalam
persamaan (17).

Pt = b1Pt-1+b2(Rt - Rt-1)+b3Rt-1+b4Xt + ɛt

dimana :
Pt = Harga kopi Arabika Gayodi pasar lokal (waktu t) (Rp/kg)
Pt-1 = Harga kopi Arabika Gayo di pasar lokal (waktu t-1) (Rp/kg)
Rt = Harga kopi Arabika Gayo di pasar acuan (waktu t) (Rp/kg)
Rt-1 = Harga kopi Arabika Gayo di pasar acuan (waktu t-1) (Rp/kg)
Xt = Faktor-faktor lain yang mempengaruhi

Koefisien b2 menunjukkan berapa besar perubahan harga di pasar acuan


ditransmisikan ke harga di pasar lokal. Koefisien b1 dan b3 mencerminkan
seberapa jauh kontribusi relatif harga periode sebelumnya dari pasar lokal dan
pasar acuan terhadap tingkat harga yang berlaku sekarang di pasar lokal. Rasio
antara keduanya merupakan indeks hubungan pasar (Index Of Market Connection)
atau IMC yang dirumuskan sebagai berikut :
38

b1
IMC =
b3
dimana :
IMC = Indeks of marketing connection (Indeks hubungan pasar)

Melalui pendekatan ini, integrasi jangka pendek diformulasikan sebagai berikut :

H0 : b1/b3 = 0
H1 : b1/b3 ≠ 0

Nilai b1/b3 = 0 jika nilai b1 = 0, maka hipotesis diatas dapat dituliskan sbb :

H0 : b1 = 0
H1 : b1 ≠ 0

Uji statistik yang digunakan, yaitu :

b 1 −0
𝑡𝑠𝑡𝑎𝑡𝑖𝑠𝑡𝑖𝑘 =
S(b 1)

Apabila hipotesis nol ditolak, ini menunjukkan bahwa pasar tidak


terintegrasi dalam jangka pendek dan untuk integrasi jangka panjang, hipotesisnya
diformulasikan sbb :

H0 : b2 = 1
H1 : b2 ≠ 1

Nilai tstatistik diperoleh melalui :

b 2 −1
𝑡𝑠𝑡𝑎𝑡𝑖𝑠𝑡𝑖𝑘 =
S(b 2)

Apabila hipotesis nol ditolak, ini menunjukkan bahwa pasar tidak


terintegrasi dalam jangka panjang.

Hubungan antara Struktur, Perilaku dan Kinerja Pasar Kopi Arabika


GayodalamProses PembentukanHargadi Tingkat Petani
Pendekatan stucture, conduct, performance (SCP) digunakan untuk
menganalisis sistem pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh Tengah
dan Bener Meriah. Melalui pendekatan ini, keterkaitan antara komponen
penyusun struktur pasar (pangsa pasar, konsentrasi pasar dan hambatan masuk
pasar), perilaku pasar dan kinerja pasar akan dianalisis secara sistematis
berdasarkan hasil penelitian yang dipeoleh. Pada Bab 6 akan dijelaskan
bagaimana interaksi komponen penyusun SCP mempengaruhi pola pembentukan
harga yang terjadi di tingkat petani. Implikasi struktur, perilaku dan kinerja pasar
terhadap pembentukan harga kopi di tingkat petani dianalisis secara deskriptif
berdasarkan hasil analisis yang diperoleh.
39

5 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN DAN


KARAKTERISTIK RESPONDEN KOPI ARABIKA GAYO

Perkebunan kopi yang telah dikembangkan sejak tahun 1924, tumbuh subur
di Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues. Potensi pengembangan
agribisnis kopi arabika di DTG sangat menjanjikan. Daerah ini merupakan salah
satu produsen kopi arabika terbesar di Indonesia (Kementan 2013). Masing-
masing di Kabupaten Aceh Tengah 48 ribu hektar, Bener Meriah 45 ribu hektar
dan di Kabupaten Gayo Lues 4 ribu hektar (Disbun Provinsi Aceh 2013). Sentral
utama produksi kopi arabika berada di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener
Meriah. Oleh karenanya, dalam Bab 5 akan diuraikan kondisi umum kopi Arabika
Gayo dan karakateristik responden di daerah penelitian.

Lokasi Perkebunan Kopi Petani di Daerah Penelitian

Kopi Arabika Gayo sebagai komoditi unggulan daerah mendominasi


usahatani perkebunan rakyat di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah,
sekitar 85 persen masyarakat menggantungkan hidup dari perkebunan kopi. Pada
tahun 2011 luas tanaman kopi di Kabupaten Aceh Tengah mencapai 48 ribu
hektar yang terdiri atas tanaman menghasilkan 34 ribu hektar, tua/rusak 7 ribu
hektar, dan belum menghasilkan 7 ribu hektar dengan tingkat produksi biji kopi
sebesar 24 ribu ton (Dishutbun Kabupaten Aceh Tengah 2012). Kabupaten Bener
Meriah luas lahannya mencapai 45 ribu hektar yang terdiri atas tanaman
menghasilkan 27 ribu hektar, tua/rusak 11 ribu hektar, dan belum menghasilkan7
ribu hektar dan sebesar 2 ribu hektar potensi lahan yang dapat dikembangkan
dengan tingkat produksi biji kopi rata-rata per tahun sebesar 19 ribu ton
(Dishutbun Kabupaten Bener Meriah 2012).
Secara geografis Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah berada pada
ketinggian rata-rata 100 sampai 2 600 m dpl. Kabupaten Aceh Tengah
(Ibukotanya Takengon) memiliki luas 4 318 km2 terdiri atas 14 kecamatan dan
295 desa sedangkan Kabupaten Bener Meriah (Ibukotanya Simpang Tiga
Redelong) memiliki luas 1 920 km2 terdiri atas 10 kecamatan dan 233 desa (lihat
Lampiran 1). Kedua Kabupaten ini didominasi oleh kondisi topografi wilayah
yang berbukit-bukit (53.12%), kelerengan lahan yang ada beranekaragam mulai
dari 0 sampai 65 persen, keadaan tanah yang subur serta cuaca dingin dengan
curah hujan rata-rata setiap tahunnya sebesar 1 624 mm. Adapun musim
penghujan berlangsung dari bulan September sampai Desember, sedangkan
musim kemarau dari bulan Januari sampai Agustus. Temperatur maksimum
sebesar 26oC dan minimum 15oC.
Kecamatan Pegasing dan Jagong Jeget merupakan kecamatan yang berada
di Kabupaten Aceh Tengah. Kecamatan Pegasing terdiri atas 31 desa, dengan
ibukotanya adalah Simpang Kelaping. Luas Kecamatan ini mencapai 9 900 hektar
dan sekitar 43.10 persennya ditanami kopi Arabika Gayo (4 267 hektar),
sedangkan sisanya merupakan tanah bangunan dan ladang yang ditanami berbagai
macam buah dan sayuran. Secara geografis kecamatan ini berada di ketinggian 1
200 m dpl. Jarak kecamatan Pegasing dengan ibukota Kabupaten Aceh
40

Tengahsejauh 7 Km dan di daerah ini terdapat unit pengolahan kopi terbesar yang
ada di Kabupaten Aceh Tengah yaitu KBQ. Baburrayan. Kondisi ini memberikan
kemudahan kepada petani dan pedagang dalam melakukan aktivitas pemasaran
kopi. Kecamatan Jagong Jeget memiliki luas 10 504 hektar atau menguasai sekitar
2.43 persen dari luas total Kabupaten Aceh Tengah dan sekitar 53.64 persen dari
luas areal yang ada di tanami kopi Arabika Gayo. Komoditas perkebunan lain
yang diusahakan antara lain kemiri, kayu manis dan pinang. Secara geografis
kecamatan ini berada pada ketinggian 1 400 sampai 1 600 mdpl. Terdiri atas 10
desa dan beribukota di Jeget Ayu. Bila dilihat dari jarak desa ke Ibukota, maka
desa dengan jarak terjauh adalah Merah Said dengan 11 km. Sedangkan yang
terdekat adalah Paya Tungel dengan jarak kurang dari 1 km. Jarak ibukota Jeget
Ayu ke ibukota Kabupaten Aceh Tengah, Takengon adalah 59 km atau sekitar 1
jam perjalanan darat.
Di Kabupaten Bener Meriah, Kecamatan Permata dan Bukit merupakan
salah satu sentral perkebunan kopi di kabupaten ini. Luas wilayah Kecamatan
Permata mencapai 15 966 hektar atau sekitar 8.32 persen dari total luas Kabupaten
Bener Meriah dengan ketinggian 1 000 sampai 1 400 m dpl. Dari total luas
wilayah, sekitar 53.52 persennya ditanami kopi Arabika Gayo. Kondisi geografis
di daerah ini sangat mendukung untuk penanaman kopi, sehingga mayoritas
masyarakat (82.64%) berusaha di sektor perkebunan seperti perkebunan kopi,
tanaman buah-buahan dan sayuran. Bila dilihat dari jarak desa ke Ibukota, maka
desa dengan jarak terjauh adalah Weh Tenang Toa dengan 12 km. Sedangkan
yang terdekat adalah Desa Rikit Musara dengan jarak kurang dari 1 km. Jarak
ibukota kecamatan ke ibukota Kabupaten adalah 25 km atau sekitar 30 menit
perjalanan darat.
Kecamatan Bukit memiliki luas sebesar 11 095 hektar dengan ketinggian 1
450 m dpl dan sekitar 26.36 persen dari total wilayah ditanami kopi Arabika
Gayo. Kecamatan ini terdiri atas 40 Desa dan beribukota di Simpang Tiga
Redelong yang juga merupakan ibukota dari Kabupaten Bener Meriah. Bila dilihat
dari jarak tempuh, jarak Desa ke ibukota Kecamatan berkisar antara 0.5 sampai 4
km. Hal ini memudahkan petani dan pedagang dalam melakukan aktivitas
pemasaran, seperti fasilitas terhadap unit pengolahan kopi, akses menuju koperasi,
biaya transportasi dan lainnya. Sama halnya dengan Kecamatan Permata, sebagian
besar (71.11%) berusaha di sektor perkebunan seperti perkebunan kopi, tanaman
buah-buahan dan sayuran. Sisanya bekerja di sektor perdagangan (9.96%),
Pegawai Negeri Sipil (7.08%), sektor industri (2.96%) dan di sektor kontruksi dan
jasa (2.89%).
Menurut ketinggian tempat, tanaman kopi arabika dibedakan antara tanaman
di atas ketinggian 1 200 m dpl dan tanaman pada ketinggian antara 600 sampai 1
200 m dpl. Secara umum kopi yang di tanam di atas ketinggian 1 200 m dpl
memiliki kualitas lebih baik dibandingkan kopi yang di tanam di bawah 1 200 m
dpl (Fatma 2011). Hal ini terlihat dari rata-rata tingkat produktivitas kopi di
Kabupaten Bener Meriah lebih tinggi dibandingkan Kabupaten Aceh Tengah
dikarenakan Kabupaten Bener Meriah memiliki lahan kopi lebih tinggi (1 500 m
dpl) dibandingkan di Kabupaten Aceh Tengah (1 176 m dpl). Tanaman kopi di
Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah ditanam secara tumpang sari dengan
tanaman lamtoro, jeruk dan alpukat sebagai tanaman peneduh dan pencegah erosi.
41

Secara umum, terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi produksi


dan mutu kopi arabika diantaranya adalah (1) bahan tanam (varietas) yang
digunakan, (2) faktor alam termasuk didalamnya ketinggian lahan, kondisi iklim/
curah hujan, kemiringan lahan dsb, (3) pengelolaan kebun, (4) cara panen dan (5)
penanganan pascapanen (ICRRI 2008). Pada Gambar 12 terlihat bahwa semakin
berlereng, jarak tanaman lamtoro semakin rapat ditanam, selain untuk mencegah
erosi akar tanaman lamtoro juga membantu kesuburan tanah, semakin rapat
tanaman lamtoro maka tanah akan semakin subur, sehingga tanaman kopi yang
ditanam pada lahan miring akan semakin produktif daripada tanaman kopi yang di
tanam pada lahan datar.

Tanaman kopi tumpang sari dengan tanaman lamtoro

Tanaman kopi di lahan datar Tanaman kopi di lahan miring

Gambar 12 Tanaman kopi Arabika Gayo

Ketergantungan perekonomian masyarakat terhadap perkebunan kopi dapat


ditunjukkan dari jumlah rumah tangga petani yang terlibat dalam usaha
perkebunan kopi. Di Kabupaten Aceh Tengah jumlah petani mencapai 34 913 KK
atau setara dengan 77 persen dari total rumah tangga sedangkan di Kabupaten
Bener Meriah jumlah rumah tangga petani yang terlibat sebanyak 33 029 KK atau
dengan kata lain seluruh rumah tangga di Kabupaten Bener Meriah adalah petani.
Pada penyebarannya hampir seluruh Kecamatan di Kabupaten Aceh Tengah dan
Bener Meriah memiliki lahan perkebunan kopi. Setiap Kecamatan memiliki
tingkat produksi dan produktivitas yang berbeda-beda (lihat Lampiran 1). Tabel 2
menunjukkan kondisi perkebunan kopi dan jumlah petani di kedua Kabupaten.
42

Tabel 2 Kondisi kebun dan jumlah petani kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh
Tengah dan Bener Meriah, tahun 2011
Kabupaten Kabupaten
Uraian Satuan
Aceh Tengah Bener Meriah
Ketinggian tempat m dpl 1 176 1 560
Produktivitas Kg/ Ha 711 790
Jumlah petani KK 34 913 33 029
Jumlah petani terlibat KK 24 439 13 212
program sertifikasi
Potensi pengembangan Hektar 107 434
lahan
Sumber: Aceh Tengah dalam Angka (2012); Bener Meriah dalam Angka (2012)

Aktivitas Pengolahan dalam Pemasaran Kopi Arabika Gayo

Kopi arabika merupakan bahan penyegar yang cita rasanya digemari


konsumen. Cita rasa kopi arabika dipengaruhi oleh faktor genetik (jenis kopi),
lingkungan tempat tumbuh tanaman dan cara pengolahannya (Fatma 2011). Di
antara faktor tersebut, metode pengolahan dan ketinggian tempat tumbuh (suhu
lingkungan) paling menentukan karakter cita rasa kopi (BPTP 2011). Pada
aktivitas pemetikan, kopi yang seharusnya sudah dipanen namun tidak dapat
dipetik oleh petani. Hal ini disebabkan adanya keterbatasan tenaga kerja sehingga
buah kopi dibiarkan hingga terlalu masak, mati atau bahkan terkenan penyakit.
Pada Tabel 3 terlihat beberapa cacat citarasa yang termasuk cacat berat dapat
terjadi karena cara pengolahan yang tidak tepat.

Tabel 3 Cacat fisik dan cita rasa kopi akibat kesalahan pengolahan
Pengaruhnya terhadap
Cacat Fisik Penyebab
karakteristik cita rasa
Biji Hitam - Buah terlalu masak/mati/terkena Aroma dan rasa kopi
penyakit lemah
Biji Coklat - Pengeringan terlalu lama Earthy, berbau tanah
- Buah terlalu masak
Biji Muda Buah muda (warna hijau) Rasa rumput yang
kehijauan, rasa jerami
Biji berwarna - Penyimpanan terlalu lama Woody
pucat - Penyimpanan pada kondisi yang
tidak baik
Biji berwarna putih - Pemudaran warna disebabkan bakteri Muncul variasi rasa seperti
coccus selama penyimpanan/ rasa fermentasi, gulma,
transportasi tanah, jerami dan rasa
- Penyimpanan terlalu lama berjamur

Biji berjamur - Kondisi penyimpanan yang Mouldy, musty, kerusakan


memungkinkan pertumbuhan jamur citarasa yang berat
Biji Stinker - Fermentasi secara basah, fermentasi Over fermented/ Stinker
tak terkendali
Sumber : Balai Penelitian Teknologi Pertanian (BPTP) Aceh, 2012
43

Pada proses pengolahan, petani maupun pedagang terkadang melakukan


pencampuran antara buah kopi yang sudah sempurna merahnya dengan buah kopi
yang masih muda. Hal ini dilakukan dengan alasan untuk meningkatkan volume
kopi yang dihasilkan dengan harapan akan memperoleh keuntungan lebih besar.
Di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah, cacat fisik yang paling sering
terjadi adalah biji setengah hitam, biji setengah coklat dan biji muda. Kondisi ini
disebabkan oleh beberapa hal mulai dari proses pemetikan, pengolahan, hingga
proses penjemuran dan penyimpanan (ICRRI 2008). Pada proses pengeringan,
kondisi matahari sangat panas dan kondisi alas penjemuran yang tidak sesuai atau
tidak menggunakan alas menjadikan biji kopi berbau tanah. Pada proses
penyimpanan, petani atau pedagang tidak menyimpan biji kopi diruangan khusus
untuk penyimpanan. Melainkan hanya meletakkan di tempat yang
memungkinkan. Kadang diletakkan didekat minyak tanah, ruangan lembab dan
sebagainya yang akhirnya akan mempengaruhi kualitas kopi yang dihasilkan.
Gambar 13 menunjukkan beberapa bentuk kopi Arabika Gayo setelah melalui
tahapan pengolahan.

Kopi Ceri Kopi HS k.a 40% Kopi Beras k.a 40%

Roasting Coffee KopiBeras k.a < 12% Kopi Beras k.a 12%
(Green Bean) (Green off grade)

Gambar 13 Bentuk kopi Arabika Gayo dalam berbagai tahapan pengolahan

Secara umum, terdapat tiga cara pengolahan kopi arabika di Indonesia, yaitu
cara pengolahan basah, pengolahan semi basah dan pengolahan kering. Dasar
pengelompokan cara pengolahan tersebut adalah penggunaan air. Pengolahan
basah dilakukan dengan tahapan pengupasan buah menggunakan mesin pengupas
kulit, fermentasi dan pengeringan. Pengolahan ini biasanya dilakukan oleh
perkebunan besar, utamanya pada Kopi Jawa. Pengolahan kering biasanya
dilakukan untuk pengolahan buah kopi bermutu rendah dengan kualitas cita rasa
yang tidak baik (earthy, mouldy/musty maupun fermented).
Pada wilayah Sumatera khususnya Kabupaten Aceh Tengah dan Bener
Meriah sebagian besar pengolahan kopi dilakukan dengan cara pengolahan semi
basah. Aktivitas pengolahan kopi di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah
44

telah memiliki 107 kilang pengupas kopi yang dikomersilkan dengan kapasitas
1 000 sampai 2 000 kg/jam (lihat lampiran 2). Setiap petani atau pedagang
pengumpul akan membayar sebesar Rp200/kg untuk kopi ceri yang akan diolah.
Namun, ada juga beberapa petani yang memiliki mesin pengupas kulit kopi
(pulper) dengan kapasitas kecil (30-50 kg/jam). Pada proses pengolahan, 1 kg
kopi ceri akan menghasilkan 0.465 kg kopi HS kering angin. Sedangkan 1 kg kopi
HS kering angin akan menghasilkan 0.344 kg kopi beras dengan kadar air 11
sampai 12 persen. Kopi dengan kadar air 11 sampai 12 persen telah siap untuk
diekspor setelah dilakukan sortasi berdasarkan grade/standar mutu kopi yang telah
ditetapkan. Secara ringkas, Gambar 14 menunjukkan tahapan pengolahan kopi
Arabika Gayo melalui metode pengolahan semi basah yang dilakukan di
Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah.

PEMETIKAN BUAH KOPI (KOPI CERI)


DILAKUKAN SORTASI
(Untuk memisahkan buah hijau, kuning, kering,
lewat masak sehingga yang tersisa 85% merah, kuning segar 5%)

PERAMBANGAN BUAH
(sortasi; buah mengapung,biji cacat dipisahkan)

PENGELUPASAN KULIT MERAH


(menggunakan mesin pulper)

FERMENTASI
(selama 12 jam atau 36 jam)

PENCUCIAN
(dengan air bersih dan mengalir dan sortasi)

PENJEMURAN KOPI HS (HARD SKIN)


(sampai kadar air relatif kering; k.a 40%)

PENYIMPANAN KOPI HS
KERING

PENGGEREBUSAN
(menggunakan mesin huller)

PENGERINGAN KOPI BERAS (GREEN OFF-GRADE)


(Kopi Beras; kadar air 11-12%)

SORTASI BIJI KOPI BERAS; GREEN BEAN SIAP EKSPOR

Gambar 14 Sistem pengolahan kopi di Dataran Tinggi Gayo


Sumber : Dinas Perkebunan Provinsi Aceh (2013)

Hal penting yang perlu diperhatikan dalam proses pengolahan kopi Arabika
Gayo adalah proses pemetikan buah. Disarankan buah yang dipetik adalah buah
yang telah bewarna merah. Namun, dalam pelaksanaannya sering kali buah yang
45

masih berwarna hijau dan kuning terikut juga saat dipetik. Sehingga, perlu
dilakukan sortasi buah untuk memisahkan antara buah merah dan selainnya agar
cita rasa kopi dapat terjaga. Kopi merah yang baru dipanen disebut juga kopi ceri.
Setelah dipetik, kopi ceri harus segera dikupas (pulper) saat itu juga, jika tidak
maka kopi ceri akan busuk. Kopi yang telah di kupas kulit luarnya disebut kopi
HS (Hard Skin). Setelah dikupas, umumnya petani atau pedagang kopi di
Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah melakukan fermentasi kopi HS
selama 12 sampai 36 jam. Fermentasi ini bertujuan untuk meluruhkan lapisan
lendir yang terdapat dipermukaan kulit tanduk kopi yang selanjutnya akan
dilakukan pencucian kopi hingga terasa kesat.
Kopi HS yang telah dicuci kemudian dijemur diatas para-para, semen, terpal
atau tenda yang bersih. Proses pengeringan kopi HS sampai kadar air 35 sampai
40 persen dan setelah itu dilakukan pengupasan kulit tanduk (hulling). Kopi yang
telah dikupas kulit tanduknya disebut kopi beras (wet bean). Tetapi kopi beras ini
masih mengandung kadar air tinggi dan masih perlu pengeringan lebih lanjut
sampai kadar air antara 11 sampai 12 persen. Kopi beras yang belum di sortir dan
grading disebut green off grade dan kopi beras yang telah di sortir dan grading
disebut green bean selanjutnya kopi beras disimpan dalam penggudangan
sebelum dilakukan proses pengapalan dan pengiriman ke negara tujuan.

Program Sertifikasi Produk dalam Pemasaran Kopi Arabika Gayo

Program sertifikasi produk diterapkan pada jenis kopi organik yang telah
menerapkan konsep produksi kopi berkelanjutan (sustainable coffee production).
Pertanian berkelanjutan merupakan pengelolaan sumber daya yang berhasil dalam
usaha pertanian untuk memenuhi kebutuhan manusia yang terus berubah dan
sekaligus mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan
melestarikan sumber daya alam. Konsepsi produksi kopi berkelanjutan secara
langsung maupun tidak langsung telah diadopsi dalam perdagangan kopi melalui
sertifikasi Organic, Fairtrade, Utz Certified, Rainforest Alliance, C.A.F.E
Practice, 4C (Common Code for Coffee Community) dan Indikasi Geografis.
Secara umum, Fairtrade adalah pendekatan alternatif terhadap model
pemasaran konvensional yang bertujuan untuk meningkatkan kehidupan para
produsen kecil dengan cara memajukan akses pasar, penguatan organisasi,
memberikan harga yang adil dan keberlanjutan dari usaha pemasaran yang ada.
Fairtrade kopi biasanya terjadi pembelian secara langsung kepada koperasi para
produsen kecil, dengan garansi nilai minimum harga kontrak. Selain itu adalah
adanya hubungan perdagangan yang erat berdasarkan pada dialog dan
transparansi. Konsep fairtrade adalah model mutualisme, dimana kedua belah
pihak mendapat keuntungan dalam jangka pendek dan jangka panjang.
Rainforest Alliance (RA) melakukan sertifikasi untuk kopi dan tanaman
lainnya, salah satu tujuannya adalah untuk mengembangkan perkebunan kopi bagi
kesejahteraan petani, pekerja dan kesehatan lingkungan. Di lain pihak, usaha yang
dilakukan adalah dengan mengadakan wisata ke kebun kopi, hal ini akan
menambah usaha perkebunan petani. Pada saat melakukan sertifikasi, sama
dengan pihak lainnya, Rainforest Alliance juga memiliki standar. Sertifikasi dari
RA biasanya juga dikenal dengan nama Eco-OK yang bisa dilakukan bukan saja
46

terhadap kopi, tetapi untuk tanaman lainnya. Sistem sertifikasi dari RA


menyangkut masalah ekosistem seperti adanya konservasi sumber air, penggunaan
bahan kimia, hubungan dalam komunitas sekitar, pemberian harga yang adil bagi
pekerja perkebunan dan lainnya.
Sertifikasi dari Utz Certified (dulu Utz Kapeh) mendominasi sertifikasi kopi
di negara maju. Hal ini karena sertifikasi ini lebih mudah dan lebih menuju ke
perdagangan. Utz Certified (UC) memberikan jaminan bahwa perkebunan kopi
menggunakan bahan kimia secara proposional, pekerja dan keluarga bisa hidup
dengan layak, akses kepada kesehatan, adanya pelatihan dan sebagainya. Sebagai
usaha membantu petani pihak UC mengembangkan tehnik pemasaran yang baik
bagi petani, akses terhadap pasar dan mengembangkan bisnis bersama para
pembeli. Pada model sertifikasi ini, UC membantu petani untuk lebih profesional
dan kompetitif dalam menjalankan bisnisnya, termasuk efisien dalam pengelolaan
kebun. UC memberikan akses bagi petani untuk berhubungan dalam jaringan
internasional, memberikan bantuan teknis. Tujuan utama sama dengan lembaga
sertifikasi lainnya adalah untuk mengembangkan perkebunan kopi yang
berkelanjutan. Pada Tabel 4 menunjukkan beberapa perbedaan pada setiap jenis
sertifikasi produk yang dihasilkan dalam hal misi, fokus pasar dan
mengkondisikan petani produsen.

Tabel 4 Beberapa perbedaan jenis sertifikasi produk kopi


Fair Trade Rainforest Alliance Utz Certified
Misi Untuk memastikan Memajukan pertanian Memudahkan produser
perdagangan yang berkelanjutan, dan pengenalan merek
adil bagi produsen melindungi kehidupan yang menggambarkan
liar dan meningkatkan komitmen terhadap
kesejahteraan pekerja keberlanjutan.
Permintaan Mengorganisasi diri Konservasi, PHT dan Adaptasi kepada
bagi petani dalam koperasi kesejahteraan pekerja standar EurepGap
dalam hal keamanan
pangan, lingkungan
dan kesejahteraan
pekerja
Fokus pasar Pasar khusus, “Specialty” dan Merek utama, bisnis ke
dan promosi konsumen khusus merek utama, bisnis bisnis
ke bisnis
Sumber : IIED (2005)

Selain sertifikasi yang diperoleh dari luar, pada tanggal 28 April 2010
Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia telah menerbitkan Surat
Keputusan dengan No. ID.G.000000005 terkait Sertifikat Indikasi Geografis
terhadap produk kopi dari dataran tinggi Gayo. Indikasi Geografis merupakan
salah satu bentuk perlindungan hukum atas Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang
diberikan suatu negara kepada masyarakat yang mendiami suatu kawasan
geografis tertentu karena produk yang dihasilkan dari kawasan tersebut memiliki
mutu yang berciri khas.
Proses sertifikasi produk kopi memiliki tiga unsur penting yaitu produsen
kopi, lembaga penyedia panduan tindak (code of product), dan lembaga
independen yang melakukan sertifikasi. Sertifikasi pertama yang diterapkan
47

terhadap produk kopi di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah adalah
sertifikasi organik. Sertifikasi ini diusulkan oleh P.D Genap Mupakat pada tahun
1992 dan hingga saat ini kopi arabika dari kedua Kabupaten ini sebagian besar
telah mendapatkan sertifikasi terhadap proses produksi melalalui beberapa
koperasi yang ada seperti KBQ. Baburrayan, KSU. Permata Gayo dan Koperasi
Tunas Indah. Adapun jenis sertifikasi yang telah diperoleh adalah Organic, Fair
Trade, Rainforest, C.A.F.E Practice dan UtzCertified. Namun, ada juga produk
kopi yang telah mendapatkan sertifikat lebih dari satu macam, misalnya Organic
dan Fairtrade.

Perkembangan Harga Kopi Arabika Gayo di Tingkat Petani

Pada Gambar 15 terlihat bahwa selama tahun 2003 sampai 2012


perkembangan ekspor kopi Arabika Gayo ke negara Amerika rata-rata mengalami
penurunan sebesar1.3 persen per tahun, begitu pula ke negara Jepang (0.32% per
tahun). Walaupun di negara Eropa dan Asia lainnya perkembangan ekspor kopi
Arabika Gayo mengalami peningkatan sebesar 0.04 persen dan 0.09 persen per
tahun. Namun, dampak penurunan volume ekspor kopi Arabika Gayo ke pasar
ekspor utama (Amerika dan Jepang) tetap mempengaruhi perkembangan harga
kopi Arabika Gayo di pasar domestik.

7,000
6,000
Volume Ekspor (ton)

5,000
4,000 Amerika
3,000 Jepang
2,000 Eropa
1,000
Asia Lainnya
-
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Tahun

Gambar 15 Perkembangan ekspor kopi Arabika Gayo ke negara tujuan utama,


tahun 2003-2012
Sumber : AEKI Daerah Aceh (2013)

Menurut Saputra (2012) penurunan harga kopi salah satunya disebabkan


oleh penurunan permintaan kopi Arabika Gayo di pasar utama yaitu Amerika (57
persen), Eropa (40 persen) dan Asia (3 persen). Hal sejalan diungkapkan oleh
Kohs dan Uhl (2002) yang menyatakan bahwa dalam pemasaran komoditas
pertanian perubahan permintaan akan mempengaruhi perubahan harga. Pada
Gambar 16 menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2012, harga kopi Arabika di
daerah produsen mengalami laju perubahan yang cenderung menurun. Rata-rata
laju penurunan kopi HS mencapai 4.65 persen per bulan dan untuk kopi ceri
sebesar 5.85 persen per bulan.
48

30,000.00
25,000.00
Harga (Rp/ kg)

20,000.00
15,000.00
Kopi ceri
10,000.00
Kopi HS
5,000.00
-
Jan-12

Mar-12

Jul-12
Jun-12

Sep-12
Feb-12

Dec-12
May-12
Apr-12

Oct-12
Aug-12

Nov-12
Gambar 16 Perkembangan harga kopi Arabika Gayo di tingkat petani,
tahun 2012
Sumber : Disbun Provinsi Aceh (2013)

Di sisi lain, perbedaan bentuk kopi yang dipasarkan akan mempengaruhi


perbedaan harga jual. Petani di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah
menjual kopi dalam bentuk kopi HS dan kopi ceri. Menurut Dinas Perkebunan
Aceh (2013), selama tahun 2012 rata-rata harga jual kopi ceri di tingkat petani
sebesar Rp8 974 /kg, sedangkan rata-rata harga jual kopi HS mencapai Rp20 220
/kg. Tingginya harga kopi HS dikarenakan petani melakukan proses pengupasan
kulit kopi dan proses penjemuran. Selain itu, aktivitas pensortiran kopi ceri yang
telah sempurna merahnya merupakan salah satu aktivitas penting dalam menjaga
konsistensi kualitas kopi yang dihasilkan (ICRRI 2008).

Kondisi Infrastruktur dan Akses Permodalan

1. Sarana Transportasi
Keterbatasan akses transportasi menjadi kendala utama dalam pemasaran
kopi Arabika Gayo. Jalan merupakan infrastuktur yang sangat penting khususnya
untuk transportasi darat. Kondisi jalan antar Kabupaten masih buruk, beberapa
jalan utama belum diaspal dan berlubang. Saat ini pemerintah daerah Aceh
berupaya melakukan renovasi pelebaran jalan antar Kabupaten ini yaitu
Kabupaten Bireun, Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah. Hal ini
bertujuan untuk mempermudah akses perdagangan antar daerah. Secara internal,
pemerintah Kabupaten Aceh Tengah telah membangun jalan sepanjang 694 97
km. Panjang jalan tersebut sebagian besar sudah diaspal (41 515 km) dan sisanya
masih berupa jalan kerikil (11 414 km) dan tanah (165 68 km). Selama tahun
2010 sampai 2011, kondisi jalan yang baik meningkat sebesar 2.65 km. Namun,
jalan yang rusak dan rusak berat malah meningkat sebesar 19.02 km (rusak) dan
17 km (rusak berat). Hal ini disebabkan, kondisi jalan yang kurang baik dan
banyaknya kendaraan besar yang melewati jalan ini. Pada Tabel 5 terlihat
perkembangan statistik transportasi yang terdapat di Kabupaten Aceh Tengah
selama tahun 2010 sampai 2011.
49

Tabel 5 Statistik transportasi Kabupaten Aceh Tengah, tahun 2011


Uraian 2010 2011
Panjang jalan menurut kondisi jalan (km)
Baik 342.42 345.07
Sedang 44.55 52.28
Rusak 112.92 131.94
Rusak Berat 148.68 165.68
Jumlah kendaraan (unit)
Mobil penumpang 3 283 2 384
Mobil Barang 1 766 1 550
Bus 155 211
Sepeda motor 13 948 18 513
Becak 43 21
Jumlah 19 195 22 679
Sumber : BPS Kab. Aceh Tengah (2012); BPS Kab. Bener Meriah (2012)

Kabupaten Bener Meriah yang merupakan Kabupaten termuda dalam


wilayah Provinsi Aceh. Kabupaten ini merupakan hasil pemekaran dari
Kabupaten Aceh Tengah yang terbentuk pada tahun 2004. Sebagai Kabupaten
yang relatif muda, panjang jalan didaerah ini selama tahun 2009 ke tahun 2011
mengalami peningkatan. Pada Gambar 17 terlihat bahwa sebesar 32.28 persen
masih berupa jalan tanah, 26.41 persen merupakan jalan kerikil dan hanya
sebanyak 41.2 persen yang sudah diaspal.

2011 380.72 243.58 297.13


Tahun

2010 379.52 208.58 255.33 Aspal


Kerikil
2009 293.54 198.28 300.33 Tanah

0 200 400 600 800 1000


Panjang jalan (km)

Gambar 17 Statistik panjang jalan Kabupaten Bener Meriah, tahun 2011


Sumber : BPS Kabupaten Bener Meriah (2012)

Sedangkan pada Gambar 18 menunjukkan kondisi jalan di Kabupaten Bener


Meriah selama tahun 2011, sebanyak 73.75 persen sudah dalam keadaan baik,
29.97 sedang dan 2.28 persen dalam keadaan rusak. Kondisi jalan yang ada akan
mempengaruhi kelancaran pendistribusian komoditas perkebunan yang dihasilkan
salah satunya adalah kopi Arabika Gayo.
50

Sedang, Rusak, 2.28%


23.97%

Baik, 73.75%

Gambar 18 Kondisi jalan di Kabupaten Bener Meriah, tahun 2011


Sumber : BPS Kabupaten Bener Meriah (2012)

Selain itu, dalam aktivitas perdagangan kopi Arabika Gayo yang berasal
dari kedua Kabupaten ini. Proses pendistribusiannya hanya dapat disalurkan
melalui Pelabuhan Belawan, Sumatera Utara. Hal ini disebabkan belum adanya
pelabuhan besar yang dapat menyalurkan hasil pertanian untuk skala ekspor
terutama kopi arabika dari Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah langsung
ke negara konsumen. Kondisi ini menyebabkan sebagian besar pengurusan
berkas-berkas ekspor kopi dilakukan melalui Dinas Perdagangan Sumatera Utara.
Hal ini tentu saja merugikan daerah karena sumber devisa yang berasal dari
produk kopi yang dihasilkan oleh Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah
tidak terdata dalam data ekspor kopi Aceh dan akan berpengaruh terhadap sumber
pendapatan daerah.

2. Akses Permodalan
Penyediaan modal terhadap usahatani kopi Arabika Gayo masih terbatas.
Petani sebagian besar masih sulit memperoleh sumber modal untuk meningkatkan
produktivitas kopi mereka. Seperti dalam aktivitas pemeliharaan kopi, kopi yang
dibudidayakan secara organik untuk mengatasi serangan hama dan penyakit maka
tanaman kopi harus dilakukan pemangkasan. Keterbatasan sumber daya yang ada
baik modal maupun tenaga kerja menyebabkan petani akan meminjam uang
kepada pedagang. Hal ini berdampak terhadap pilihan pemasaran petani, dimana
petani harus menjual hasil panennya kepada pedagang yang telah meminjamkan
uang. Berbeda kondisinya bagi perusahaan (eksportir), pihak perbankan
memberikan akses pinjaman terhadap perusahaan yang dinilai layak untuk
mendapatkan pinjaman. Atas dasar kepastian jaminan dan legalitas hukum yang
terpenuhi, maka perbankan akan memberikan kredit kepada perusahaan dengan
skala tertentu. Ini tentu saja sangat membantu bagi perusahaan yang bergerak
dalam perdagangan kopi Arabika Gayo. Walaupun saat ini, tingkat suku bunga
yang ditawarkan bisa mencapai 6 persen. Namun, persyaratan yang harus
dipenuhi relatif banyak. Seperti adanya jaminan/agunan, perusahaan harus
memiliki skala usaha tertentu untuk dapat melakukan peminjaman dengan jumlah
tertentu kepada bank. Seharusnya, pihak perbankan dan pemerintah dapat
membantu para pelaku pemasaran kopi di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener
Meriah. Hal ini dikarenakan bisnis kopi Arabika Gayo berpotensi untuk
dikembangkan.
51

Lembaga perbankan (Bank umum) yang beroperasi di Kabupaten Aceh


Tengah adalah Bank Rakyat Indonesia/BRI (Kantor Cabang dan beberapa
unitnya), Bank Aceh (Kantor Cabang dan beberapa kantor kasnya), Cabang Bank
Mandiri, Kantor Cabang Bank Tabungan Pensiunan Negara (BTPN), USP Bank
Danamon, ditambah satu Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) yang didirikan
oleh Pemda Kabupaten Aceh Tengah. Disamping lembaga perbankan tersebut, di
Kabupaten Aceh Tengah juga terdapat beberapa Lembaga Keuangan Mikro yang
digerakkan oleh Koperasi (BPS Aceh Tengah 2012). Di Kabupaten Bener Meriah,
jumlah bank yang beroperasi sebanyak 11 bank, terdiri atas 5 unit PT Bank
Rakyat Indonesia (BRI) dan 4 unit PT Bank Aceh (1 cabang pembantu dan 3
kantor kas), Bank Mandiri dan Bank BTPN baru saja didirikan di Kabupaten ini
pada tahun 2011. Selain itu juga terdapat 213 koperasi terdiri atas 12 Koperasi
Unit Desa (KUD) dan 201 koperasi Non KUD (BPS Bener Meriah 2012). Pada
Tabel 6 terlihat jumlah lembaga keuangan yang terdapat di Kabupaten Aceh
Tengah dan Bener Meriah pada tahun 2011.

Tabel 6 Jumlah lembaga keuangan di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener


Meriah, tahun 2011
Lembaga Keuangan Aceh Tengah Bener Meriah
Bank
 Bank Rakyat Indonesia (BRI) 7 5
 Bank Aceh 6 4
 Bank Mandiri 2 1
 BTPN 2 1
Koperasi
 Koperasi Unit Desa (KUD) 15 12
 Koperasi Non KUD 210 201
Sumber : BPS Kabupaten Aceh Tengah (2012); BPS Kab. Bener Meriah (2012)

Karakteristik Responden di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah

Karakteristik responden akan membantu menggambarkan kondisi


pemasaran kopi arabika di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener. Karakteristik
petani akan diidentifikasi berdasarkan umur, pendidikan, pengalaman usahatani,
jumlah anggota keluarga dan luas lahan usahatani kopi arabika yang dikelola.
Sementara pedagang pengumpul akan diidentifikasi juga berdasarkan tingkat
pendidikan, pengalaman berdagang kopi, jumlah petani yang menjadi sumber
pasokan kopi, jumlah pekerja, serta modal usaha yang digunakan. Untuk koperasi
dan eksportir akan diuraikan secara singkat profil koperasi yang juga berperan
sebagai eksportir.

Karakteristik Petani
Jumlah petani yang dipilih menjadi responden sebanyak 60 orang terdiri
atas 30 orang di Kabupaten Aceh Tengah dan 30 orang petani di Kabupaten Bener
Meriah. Pemilihan petani sampel sebagai responden berdasarkan informasi yang
ditemui di daerah penelitian. Informan dapat bersumber dari petani, pedagang,
52

pemerintah daerah, koperasi dan Forum Kopi Aceh. Perbedaan dalam saluran
pemasaran kopi arabika menjadi penentu utama dalam memilih petani responden.
Lokasi penelitian dipilih secara purposive dengan pertimbangan tingkat
produksi yang relatif tinggi dibandingkan kecamatan lainnya, selain itu letak
perkebunan kopi yang berbeda terhadap akses pasar, tempat pengolahan kopi dan
rumah petani juga menjadi dasar pemilihan lokasi penelitian di Kabupaten Aceh
Tengah dan Bener Meriah. Keterlibatan petani dalam produk kopi berserifikat
mewajibkan petani untuk bergabung dalam suatu koperasi. Sebagian besar petani
responden yang diwawancarai merupakan anggota KBQ. Baburrayan, Koperasi
Permata Gayo, Gayo Linge Organic Coffee (GLOC) dan Koperasi Tunas Indah.
Pada Tabel 7 terlihat jumlah petani responden di beberapa lokasi penelitian.

Tabel 7 Lokasi penelitian dan jumlah petani kopi Arabika Gayo di Kabupaten
AcehTengah dan Bener Meriah, tahun 2013
No. Kabupaten Kecamatan Desa Petani
1. Bener Meriah Bandar Pondok Gajah 8
Sungai Dua 7
Permata Sukujantaka 7
Timur Jaya 8
2. Aceh Tengah Pegasing Pegasing 8
Terang Ulen 7
Jagong Jeget Jagong (Sumber Tirta) 8
Jeget Atu (Tambak 8
Sari)
Jumlah 60

Secara umum, petani responden kopi arabika di Kabupaten Aceh Tengah


dan Bener Meriah telah memiliki pengalaman berusahatani kopi selama kurun
waktu 10 sampai 20 tahun (56%) dengan luas lahan kopi yang digarap rata-rata
sebesar 1 hektar. Selain itu, petani responden sebagian besar (58%) telah berumur
antara 40 sampai 54 tahun dan masih berada pada usia produktif. Namun, perlu
perhatian serius terhadap keberlangsungan generasi muda yang akan mengambil
peran sebagai petani kopi Gayo di daerah penelitian. Selama ini, sebagian besar
orangtua yang berprofesi petani tidak ingin anak-anak mereka mengikuti jejak
mereka menjadi seorang petani. Sehingga, sejak awal generasi muda tidak
dibiasakan pergi ke kebun kopi dan melakukan aktivitas penanaman kopi sendiri.
Dampak yang akan ditimbulkan dalam jangka panjang adalah keterbatasan
sumber daya manusia sebagai petani kopi, yang pada akhirnya akan
mempengaruhi keberlangsungan produksi kopi di daerah ini.
Pada aktivitas usahatani kopi, besarnya jumlah anggota keluarga akan
mempengaruhi kemampuan rumahtangga petani dalam pemupukan modal
usahatani. Semakin besar jumlah anggota keluarga petani, maka akan semakin
besar pula tingkat konsumsi keluarga sehingga akan mengurangi kemampuannya
dalam hal pemupukan modal usahatani. Walaupun demikian, besarnya jumlah
anggota keluarga ini dapat dipandang sebagai potensi sumber tenaga kerja dalam
keluarga yang bagi usahatani kebanyakan di Indonesia peranannya sangat besar.
Berbagai penelitian mengindikasikan bahwa sebagaian besar usahatani di
Indonesia, termasuk usahatani kopi arabika, dikelola dengan menggunakan tenaga
53

kerja dalam keluarga yang lebih dominan bila dibandingkan tenaga kerja upahan
atau tenaga kerja yang berasal dari luar keluarga. Bagi petani responden yang
sebagian besar (42%) memiliki jumlah anggota keluarga > 5 orang dan akan
menguntungkan bila dilibatkan dalam aktivitas perkebunan kopi. Di sisi lain,
tingkat pendidikan petani kopi yang sebagian besar (33%) telah menempuh
pendidikan selama 9 tahun. Hal ini menjadi modal dasar dalam proses adopsi
teknologi, perluasan usaha dan pengelolaan usahatani kopi di Kabupaten Aceh
Tengah dan Bener Meriah. Pada Tabel 8 menunjukkan identitas petani kopi dapat
digambarkan berdasarkan kelompok umur, tingkat pendidikan, jumlah anggota
keluarga, pengalaman berusahatani dan luas lahan yang dimiliki petani.

Tabel 8 Identitas petani responden kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh


Tengah dan Bener Meriah, tahun 2013
Jumlah Petani
No. Keterangan Persentase (%)
(Orang)
1. Kelompok Umur (Tahun)
25-39 5 8
40-54 35 58
> 54 20 33
Jumlah 60 100
2. Tingkat Pendidikan
SD 18 30
SMP 20 33
SMA 18 31
D-3 4 6
Jumlah 60 100
3. Jumlah Anggota Keluarga (Orang)
2 4 6
3 17 28
4 15 25
>5 24 41
Jumlah 60 100
4. Pengalaman Usaha Tani (Tahun)
< 10 4 6
10 – 20 33 55
>20 23 39
Jumlah 60 100
5. Luas lahan Petani (Ha)
0.5 7 11
1.0 30 50
1.5-2.0 18 31
>2.0 5 8
Jumlah 60 100

Karakteristik Pedagang
Pedagang responden yang diwawancarai terdiri atas pedagang pengumpul
(kolektor) sebanyak 14 orang, koperasi sebanyak 5 unit dan eksportir sebanyak 5
unit. Masing-masing responden berlokasi di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener
Meriah. Pada aktivitas pemasaran pedagang pengumpul (kolektor) dapat berupa
pedagang biasa ataupun petani kopi yang melakukan aktivitas pengumpulan kopi
54

baik di tingkat desa maupun Kecamatan. Pedagang ini telah tergabung dalam satu
unit koperasi untuk memasarkan produk kopi yang bersertifikat. Koperasi yang
diwawancarai terbagi menjadi koperasi yang telah melakukan ekspor langsung
sebanyak 2 unit sehingga koperasi ini digolongkan sebagai eksportir dan koperasi
yang menyalurkan kopi melalui eksportir sebanyak 2 unit. Eksportir yang
berbadan usaha selain koperasi sebanyak 3 unit.
Responden yang menjadi pedagang pengumpul sebagian besar masih
berusia produktif antara 30 sampai 40 tahun dan memiliki pengalaman selama 10
sampai 15 tahun dengan tingkat pendidikan selama 12 tahun atau setara tingkat
SMA. Pada aktivitas pengumpulan kopi, pedagang memiliki tenaga kerja tidak
tetap sebanyak 2 hingga 3 orang. Tenaga kerja digunakan pada saat jumlah
pengumpulan kopi dalam kapasitas yang besar (> 2 000 kg/desa). Pedagang
pengumpul juga memiliki petani tetap dan tidak tetap sebagai sumber bahan
pasokan kopi. Rata-rata jumlah petani yang telah bekerjasama dengan pedagang
pengumpul sebanyak 60 sampai 80 orang per Kecamatan. Banyaknya jumlah kopi
yang dikumpulkan oleh pedagang sangat bergantung dengan jumlah modal yang
mereka miliki. Semakin besar modal, maka semakin banyak pula kopi yang dapat
dibeli oleh pedagang pengumpul (kolektor). Sebagian besar pedagang responden
memerlukan modal usaha sebesar 50 sampai 100 juta dengan rata-rata jumlah
pembelian kopi sebanyak 3 sampai 10 ton per musim panen. Kolektor yang
menjadi responden merupakan anggota koperasi yang membeli kopi dari petani
yang terlibat program sertifikasi peroduk, di tingkat koperasi beberapa koperasi
yang telah melakukan ekspor langsung ke konsumen (importir) yaitu Koperasi
Baitul Qiradh (KBQ) Baburrayan dan Koperasi Permata Gayo. Secara ringkas
berikut dipaparkan profil kedua koperasi ini.

1. Profil Koperasi Baitul Qiradh Baburrayan (KBQB)


Koperasi ini didirikan pada tanggal 21 Oktober 2002 berdasarkan Badan
Hukum No.62.01/233/bh/x/2002 di Takengon, Aceh Tengah. Secara struktural
KBQB tersusun atas badan pembina dan penasehat, badan pengawas, badan
pengurus dan pengelola. Komponen badan pembina dan penasehat antara lain
pemerintah Kabupaten dan daerah terkait serta ketua Forum Kopi Aceh. Untuk
badan pengawas terdiri atas ketua dan anggota. Badan pengurus terdiri atas ketua,
sekretaris dan bendahara. Selain dengan pemerintah daerah dan pusat, KBQB juga
melakukan kerjasama dengan Asosiasi Usaha Koperasi Nasional Amerika Serikat
(National Cooperative Business Association/ NCBA) dalam proyek
pengembangan bantuan oleh USAID dan pada tahun 2005 KBQB telah
memperoleh sertifikasi internasional sebagai penghasil kopi arabika organik.
Menurut pengakuan mereka, program sertifikasi produk memiliki peran strategis
dalam pemasaran kopi Arabika Gayo. Hingga akhir Mei 2009, KBQB telah
mengekspor 612 ton (35 kontainer) dimutu kelas I kopi Arabika Gayo dan 11
kontainer mutu kelas II, semua pembeli berasal dari Amerika (USA) dan
Australia.
Sejak awal berdirinya, selain bergerak dalam perdagangan kopi, koperasi ini
juga bergerak dalam unit usaha simpan pinjam. Namun, pada beberapa tahun
terakhir unit simpan pinjam tidak dioperasikan lagi. Hal ini disebabkan adanya
permasalahan internal yang mereka hadapi. Pada tahun 2007, KBQB melakukan
renovasi pabrik pengolahan kopi yang didanai oleh USAID. Hingga saat ini,
55

perkebunan kopi dan pabrik pengolahan yang dijalankan KBQB mewakili sekitar
6 800 petani kopi berskala kecil yang seluruhnya telah disahkan secara
internasional sebagai produsen kopi organik. Selain sertifikasi organik, pada
Tabel 9 terlihat beberapa sertifikasi lain yang telah dimiliki oleh KBQB.

Tabel 9 Sertifikasi produk kopi Arabika Gayo pada KBQB


Nomor Lembaga
No. Uraian Diperoleh tanggal
lisensi sertifikasi
1 Organic Product 24 November 2005 803507 CUC Indonesia
(EU/ USDA/ JAS)
2 Café Practice/ 01 Desember 2006 12782 CUC Indonesia
Strabuck Coffee
3 FLO Cert 06 Juli 2007 5416 FLO Cert
Jerman
Sumber : www.baburrayyan.com/sertifikasi-produck/ [diakses 15 Mei 2013]

Pada aspek pengolahan, KBQB telah memiliki fasilitas pengeringan di desa


Wih Nareh daerah pinggiran dari kota Takengon, dengan kapasitas mesin 300 ton
sehari. Selama musim panen kopi, jumlah tenaga kerja tidak langsung di KBQB
mencapai 500 orang, untuk melaksanakan berbagai proses dari pengeringan,
mengoperasikan mesin-mesin, penyortiran biji hijau dan membantu bagian
administrasi yang diperlukan. Tabel 10 menunjukkan perkembangan jumlah
tenaga kerja pada KBQB selama tahun 2007 sampai 2009.

Tabel 10 Tenaga kerja pada KBQB selama tahun 2007-2009


Tahun
No. Uraian Keterangan
2007 2008 2009
1. Kolektor 375 orang 375 orang 375 orang Setiap kolektor
mempekerjakan ±
3 orang
2. Penangkar 75 orang 125 orang 125 orang Setiap penangkar
bibit kopi memperkerjakan
± 5 orang
3 Buruh 10 orang 10 orang 10 orang Setiap kali muat
bongkar muat barang ekspor
melibatkan 10
pekerja
Sumber : www.baburrayyan.com/jumlah-tenaga-kerja [diakses 15 Mei 2012]

2. Profil Koperasi Serba Usaha (KSU) Permata Gayo


Koperasi Pemata Gayo didirikan pada tahun 2006 setelah terjadinya konflik
dan tsunami di Aceh. Koperasi ini berada di Kabupaten Bener Meriah. Awalnya
anggota koperasi hanya sebanyak 50 orang yang didukung oleh pemerintah dan
LSM. Sampai akhir tahun 2012 petani yang menjadi anggota koperasi mencapai
3 089 anggota. Total produksi tahunan mencapai 2 700 metrik ton (sekitar 150
kontainer) dengan luas perkebunan 4 346 hektar. Perkebunan kopi menyebar di 44
desa di 4 Kecamatan yaitu Kecamatan Permata, Kecamatan Bandar, Kecamatan
56

Bukit dan Kecamatan Celala. Mengingat pentingnya peran sertifikasi produk


dalam pemasaran kopi. Maka tahun 2007 hingga sekarang, koperasi ini
melakukan kerjasama dengan perusahaan eksportir asal Medan PT. Mandago
dalam mendukung keuangan dan logistik untuk memperoleh beberapa sertifikasi
produk, antara lain Café Parctice certified dan Organic certified (USDA/ NOP,
EU) pada tahun 2007, FLO Cert GmbH, Bonn (2009), terakhir pada tahun 2010
koperasi ini memperoleh sertifikat Organic JAS (Japan Standard) dan certified
Rainforest Alliance. Pada Gambar 19 terlihat perkembangan luas areal (ha) dan
jumlah anggota koperasi (orang) selama tahun 2006 sampai 2012 yang terus
mengalami peningkatan rata-rata sebesar 38.03 persen per tahun.

5000 4346
4221
4000 3300
3018 3089
Jumlah

3000
2225 2252
2000
1200 1418
1000 594714 700
50 68
0
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Tahun

Anggota koperasi (orang) Luas Areal (Hektar)


Gambar 19 Perkembangan jumlah anggota dan luas areal kopi pada Koperasi
Serba Usaha (KSU) Permata Gayo, tahun 2006-2012

Pada tahun 2011/2012 terdapat beberapa program yang telah dicanangkan


untuk beberapa tahun kedepan yaitu (1) meningkatkan program kualitas melalui
pembangunan kembali fasilitas pengolahan di 44 Desa (pulper, tempat
pengeringan, kotak fermentasi dll), menambahkan 2 unit pengolahan di gudang
yang terdapat di Belawan, Sumatera Utara (sekarang 2 unit), menambahkan 2 unit
pengolahan di Kabupaten Bener Meriah (sekarang 3 unit), pelatihan cupping test
bagi staf dan kolektor, dan melakukan penelitian terhadap kualitas kopi di Desa
yang berbeda, (2) Meningkatkan produktivitas petani anggota, melalui
penggunaan pupuk organik, pengomposan, pembibitan kopi di masing-masing
desa, pelatihan dan pendidikan tentang kualitas dan tanaman kopi bagi anggota,
menyediakan peralatan pertanian dan sistem pemeliharaan untuk mengurangi
biaya, mengurangi penggunaan pupuk kimia dalam produk kopi, (3) Penguatan
keuangan dan manajemen koperasi, melalui modal kerja (pembiayaan oleh
lembaga internasional), iuran anggota dan pengelolaan simpanan anggota
meningkat, dan terakhir (4) Aspek sosial dan lingkungan hidup melalui partisipasi
anggota, khususnya dalam proses pengambilan keputusan, peningkatan kapasitas
sumber daya manusia (SDM) mulai dari staf, pendidikan, dan pengembangan
kapasitas perempuan.
57

6 ANALISIS STRUCTURE, CONDUCT, PERFORMANCE (SCP)


PASAR KOPI ARABIKA GAYO

Bab 6 membahas sistem pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh


Tengah dan Bener Meriah dengan menggunakan pendekatan stucture, conduct,
dan performance (SCP). Stuktur pasar (market stucture) yang dianalisis yaitu
pangsa pasar, konsentrasi pasar, dan hambatan masuk pasar. Analisis perilaku
pasar (market conduct) terkait aktivitas pemasaran, penentuan harga serta
kerjasama lembaga pemasaran. Analisis kinerja pasar (market performance)
mencakup marjin pemasaran, farmer share dan integrasi pasar vertikal. Setiap
analisis akan diuraikan secara sistematis berdasarkan tujuan penelitian. Pada Bab
6 akan diuraikan secara deskriptif pengintegrasian elemen-elemen penyusun
didalam SCP, sehingga terlihat benang merah yang menghubungkan hasil analisis
stuktur pasar berpengaruh terhadap perilaku dan kinerja pasar atau sebaliknya.
Implikasi yang terjadi dikaitkan dengan teori-teori yang mendasari keterkaitan
elemen-elemen SCP dalam menentukan pola pembentukan harga.

Analisis Struktur Pasar (Market Structure)

Analisis struktur pasar kopi Arabika Gayo bertujuan untuk mengidentifikasi


tingkat persaingan yang terjadi dalam pasar kopi Arabika Gayo di Kabupaten
Aceh Tengah dan Bener Meriah. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan
analisis pangsa pasar, hambatan masuk pasar konsentrasi pasar (concentration
ratio). Konsentrasi pasar yang dianalisis menggunakan konsentrasi rasio empat
perusahaan eksportir terbesar (CR4) dan untuk hambatan masuk pasar akan
dianalisis menggunakan Minimum Efficiency Scale (MES).

Pangsa Pasar dan Konsentrasi Pasar


Pada sistem pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh Tengah dan
Bener Meriah, sebagian besar produksi kopi yang dihasilkan (80%) di pasarkan ke
pasar dunia (Disperindagkop Provinsi Aceh 2012). Selama tahun 2012, ekspor
kopi yang berasal dari Provinsi Aceh mencapai 18 ribu ton dan sebagian besar
(68.37%) diekspor ke negara Amerika Serikat. Menurut TransFair USA1, sekitar
85 persen kopi Fairtrade yang dijual ke pasar Amerika Serikat bersertifikat
organik (Weber 2007). Oleh karena itu, perusahaan ekspor kopi yang berasal dari
Provinsi Aceh sebagian besar (87%) memiliki sertifikat organik dan fairtrade
dalam pemasaran kopi Arabika Gayo (AEKI 2013).
Banyaknya volume kopi yang dipasarkan ke pasar dunia menunjukkan
bahwa eksportir memiliki peran strategis dalam pasar kopi Arabika Gayo. Saat ini
jumlah eksportir kopi Arabika Gayo yang terdaftar sebagai anggota Asosiasi
Ekportir Kopi Indonesia (AEKI) Daerah Aceh sebanyak 28 unit. Keterlibatan
eksportir dalam keanggotaan AEKI dikarenakan sebelum tahun 2011 tata cara
pelaksanaan ekspor harus melampirkan fotokopi bukti iuran yang dibayarkan

1
TransFair USA merupakan salah satu anggota FLO (Fairtrade Internasional) dan satu-satunya
perusahaan yang dapat mengaudit transaksi Fairtrade yang terjadi di Amerika Serikat
58

kepada AEKI. Namun, setelah dikeluarkannya Peraturan Menteri Perdagangan


(Permendag) No.10/M-DAG/PER/5/2011 tentang Ketentuan Ekspor Kopi.
Permendag memberlakukan penghapusan tentang ketentuan persyaratan fotokopi
bukti pembayaran iuran kepada Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI).
Namun karena sebagian besar eksportir yang ada di Kabupaten Aceh Tengah dan
Bener Meriah telah melakukan ekspor sebelum peraturan ini dikeluarkan. Maka,
pada saat itu pendaftaran sebagai anggota AEKI menjadi wajib untuk dilakukan.
Selama tahun 2012 perusahaan yang melakukan ekspor kopi Arabika Gayo
dari Provinsi Aceh hanya 10 perusahaan. Sisanya sebanyak 18 perusahaan tidak
melakukan ekspor. Oleh karena itu, dalam perhitungan pangsa pasar dan
konsentrasi kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah
hanya menggunakan data realisasi rata-rata pembelian kopi Arabika gayo dari 10
perusahaan. Pada Tabel 11 terlihat nilai pangsa pasar pada setiap perusahaan
(eksportir) di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah.

Tabel 11 Pangsa pasar dan konsentrasi pasar 10 eksportir kopi Arabika Gayo di
Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah, tahun 2012
Rata-rata volume
No. Nama perusahaan Pangsa pasar
pembelian kopi CR4
(w)
(kg/bulan)
1 KSU. Permata Gayo 4 728 119 0.2494 0.7112
2 CV. Aridalta Mandiri 3 719 554 0.1962
3 PT. Ihtiyeri Keti Ara 3 023 797 0.1595
4 KBQ. Baburrayan 2 011 441 0.1061
5 Koperasi GLOC 1 905 276 0.1005
6 CV. Putra Darma 1 799 112 0.0949
7 CV. Ateutamount 587 697 0.0310
8 CV. Alfi Datinggoco 496 699 0.0262
9 PT. Fajar Jeumpa 407 596 0.0215
10 PT. Sumatera Arabika 278 682 0.0147
Gayo
Jumlah 18 957 974 1.0000

Hasil analisis four firm concentration ratio (CR4) menunjukkan bahwa


empat perusahaan terbesar menguasai 71.12 persen dari total ketersediaan kopi
Arabika Gayo di Provinsi Aceh. Artinya tingkat persaingan perusahaan ekspor
kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah terkonsentrasi
dengan tingkat persaingan yang kecil. Kondisi ini menggambarkan bahwa pasar
cenderung berada dalam struktur pasar oligopsoni. Ini sesuai dengan pendapat
Kohls dan Uhl (2002) yang menyatakan apabila rasio konsentrasi empat
perusahaan terbesar lebih besar dari 50 persen, maka struktur pasar cenderung
berada pada kondisi oligopsoni.
Perusahaan yang memiliki pangsa pasar kopi Arabika Gayo terbesar adalah
KSU. Permata Gayo (24.94%), selanjutnya diikuti oleh CV. Aridalta Mandiri
(19.62%), PT. Ihtiyeri Keti Ara (15.95%) dan KBQ. Baburrayan (10.61%).
Koperasi Serba Usaha (KSU) Permata Gayo dan Koperasi Baitul Qiradh (KBQ)
Baburrayan merupakan perusahaan ekspor yang berbadan hukum koperasi.
Kedua perusahaan ini memiliki sistem manajemen yang hampir sama. Pada
proses penyediaan pasokan, perusahaan melibatkan pedagang pengumpul
59

(kolektor) dan petani anggota. Hal ini menunjukkan adanya kerjasama yang
terjalin antara perusahaan dan petani.
Jumlah petani yang menjadi anggota KBQ. Baburrayan dan KSU. Permata
Gayo telah mencapai 12 ribu petani yang tersebar di Kabupaten Aceh Tengah dan
Bener Meriah atau setara dengan 20.46 persen dari total petani yang mengikuti
program sertifikasi produk (57 ribu orang) di kedua kabupaten ini. Besarnya
jumlah petani anggota yang dimiliki perusahaan menunjukkan bahwa perusahaan
secara tegas telah memiliki pembagian wilayah pembelian yang jelas, sehingga
daerah produsen seolah-olah terbagi menjadi beberapa segmen yang masing-
masing dikuasai oleh perusahaan (eksportir) yang berbadan hukum koperasi. Bagi
petani, penjualan melalui koperasi merupakan satu-satunya alternatif untuk
memasarkan produk kopi Arabika Gayo ke pasar kopi bersertifikat. Hal ini
disebabkan, hanya koperasi saja yang memiliki lisensi sertifikasi produk seperti
organic certified, fairtrade dan rainforest. Oleh karenanya, dengan kelebihan
tersebut eksportir mempunyai kekuatan besar dalam mengontrol pasar.
Berbeda halnya untuk dua perusahan terbesar lainnya, CV. Aridalta
Mandiri dan PT. Ihtiyeri Keti Ara. Kedua perusahaan ini merupakan badan usaha
yang hanya bergerak dalam perdagangan kopi Arabika Gayo. Pada sistem
manajemennya, CV. Aridalta Mandiri dan KBQ. Baburrayan dikelola olah orang
yang sama. Perbedaannya adalah bila di KBQ. Baburrayan orang tersebut
menjadi manajer koperasi, sedangkan di CV. Aridalta Mandiri menjadi pemilik
perusahaan. Hal ini tentu saja mempengaruhi pangsa pasar dan kekuatan dalam
mempengaruhi keputusan-keputusan pembelian dan penjualan. Kebijakan internal
perusahaan maupun koperasi akan berdampak terhadap kondisi pasar yang
dihadapi oleh petani.
Kerjasama yang terjalin antar eksportir akan memberikan peluang besar
dalam melakukan kolusi harga. Sehingga, konsekuensi petani dalam menghadapi
struktur pasar oligopsoni adalah petani cenderung sebagai penerima harga (price
taker) dan posisi tawar (bargaining position) petani lemah dalam proses
penentuan harga. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Saputra (2012) dalam
pasar kopi organik di Kabupaten Aceh Tengah dan Shumeta et al. (2012) dalam
pasar kopi di Ethiopia yang menunjukkan bahwa terdapat pelaku pemasaran yang
dominan dalam menentukan harga dan petani cenderung sebagai penerima harga
(price taker). Penjelasan lebih lanjut terkait sistem penentuan harga di tingkat
petani akan dikaji melalui analisis perilaku pasar.

Hambatan Masuk Pasar


Setiap perusahaan di luar pasar memiliki peluang dan kesempatan untuk
bersaing. Persaingan yang terjadi merupakan persaingan yang potensial. Namun,
hambatan masuk pasar yang ada dapat menimbulkan penurunan kesempatan atau
mempengaruhi cepat atau lambat masuknya pesaing baru dalam suatu pasar.
Hambatan masuk pasar dapat dihitung menggunakan Minimum Efficiency Scale
(MES). Nilai MES diperoleh dari volume pembelian kopi Arabika Gayo oleh
perusahaan terbesar di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah terhadap total
ketersediaan kopi Arabika Gayo. Jika nilai MES > 10 persen mengindikasikan
terdapat hambatan masuk dalam pasar kopi Arabika Gayo.
Hasil analisis menunjukkan bahwa selama tahun 2007 sampai 2012
perusahaaan yang membeli kopi Arabika Gayo terbesar di Kabupaten Aceh
60

Tengah dan Bener Meriah memiliki nilai rata-rata MES sebesar 29.83 persen. Hal
ini mengindikasikan adanya hambatan masuk dalam perdagangan kopi Arabika
Gayo di tingkat eksportir. Setiap tahunnya nilai MES yang terbentuk cenderung
fluktuatif. Pada tahun 2007 nilai MES mencapai 40.21 persen dan pada tahun
2011 sebesar 24.17 persen. Fluktuasi terjadi karena adanya perubahan jumlah
pembelian kopi Arabika Gayo yang dilakukan oleh perusahaan. Walaupun
demikian, nilai MES yang terbentuk selalu lebih besar dari 10 persen. Jika pesaing
baru memasuki pasar dengan nilai dibawah rata-rata maka pesaing tersebut tidak
dapat bersaing dengan perusahaan-perusahaan yang telah ada. Namun, apabila
pesaing baru ingin tetap masuk, maka perusahaan harus menanggung biaya yang
lebih tinggi untuk dapat bersaing dengan perusahaan-perusahaan lainnya. Tabel
12 menunjukkan perkembangan nilai Minimum Efficiency Scale (MES) selama
tahun 2007 sampai 2012.

Tabel 12 Minimum Efficiency Scale (MES) pasar kopi Arabika Gayo di


Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah tahun 2007-2012
No Tahun MESa (%) Keterangan
1 2007 40.21 Ada hambatan masuk
2 2008 27.91 Ada hambatan masuk
3 2009 30.94 Ada hambatan masuk
4 2010 30.61 Ada hambatan masuk
5 2011 24.17 Ada hambatan masuk
6 2012 25.14 Ada hambatan masuk
Rata-rata 29.83
a
Persentase pembelian kopi Arabika Gayo terbesar dari suatu perusahaan terhadap total persediaan
kopi Arabika Gayo di Provinsi Aceh

Bagi perusahaan, tingginya hambatan masuk pasar antara lain disebabkan


oleh besarnya modal yang dibutuhkan, kerjasama antar perusahaan dan jaringan
rantai pasok yang kuat dengan koperasi dan pedagang pengumpul (kolektor). Pada
Tabel 13 menunjukkan bahwa rata-rata modal usaha yang diperlukan oleh
pedagang berkisar antara 67 juta sampai 1.7 milyar rupiah selama musim panen.

Tabel 13 Rata-rata modal, sumber modal, dan lama melakukan perdagangan kopi
menurut golongan pedagang, tahun 2013
Modal/ sumber modal Satuan Kolektor Koperasi Eksportir
(n=14) (n=3) (n=3)
1. Rata-rata modala (juta Rp) 67 580 1 700
2. Seluruh modal sendiri (% ) - - -
3. Modal Internalb (% ) 28.57 30.00 28.57
4. Modal pinjaman (% ) 71.43 70.00 71.43
5. Sumber pinjaman
a. Perbankan (% ) 55.00 78.00 90.00
b. Pedagang lain (% ) 45.00 22.00 10.00
6. Frekuensi pembelian (kali) 3 8 2
dalam 1 bulanc
a
modal awal yang digunakan dalam aktivitas pembelian kopi, tidak termasuk modal tetap (gedung,
tanah); bmodal yang bersumber dari keuntungan perusahaan; cpembelian dilakukan pada musim
panen (kg/minggu)
61

Di tingkat eksportir, untuk mencapai skala efisiensi ekonomis perusahaan


akan mengekspor kopi dalam kapasitas yang besar (≥ 19 ton). Hal ini bertujuan
agar dapat menutupi biaya usaha yang dikeluarkan seperti untuk pembelian kopi,
proses pengolahan, standardisasi, pengemasan kopi dan promosi. Di sisi lain,
keterbatasan sarana transportasi di daerah produsen juga menyebabkan eksportir
harus mengeluarkan biaya yang besar. Kondisi jalan yang buruk dan rawan
longsor harus dihadapi pada jalan lintas Kabupaten Aceh Tengah-Bireuen. Sekitar
57.14 persen eksportir menyatakan bahwa keterbatasan sarana dan prasarana
transportasi menjadi salah satu hambatan dalam pemasaran kopi Arabika Gayo.
Selain itu, keterikatan kerjasama yang dibangun secara horizontal (antara
eksportir dengan eksportir) atau secara vertikal antara eksportir dengan koperasi
menyebabkan perusahaan baru sulit untuk masuk dan membangun saluran
pemasaran baru. Kerjasama yang terjalin dapat berupa permodalan, karakteristik
produk (standardisasi dan sertifikasi), ikatan kontrak yang telah berlangsung dan
kepercayaan. Tabel 14 menunjukkan beberapa bentuk hambatan masuk bagi
setiap lembaga pemasaran dalam pasar kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh
Tengah dan Bener Meriah.

Tabel 14 Bentuk hambatan bagi pesaing baru untuk memasuki pasar kopi
Arabika Gayo pada setiap tingkat lembaga pemasaran
Persentase responden
Tingkat lembaga Bentuk hambatan
(%)
Petani (n = 60) Standardisasi (sertifikasi) 50.00
Kolektor Modal 43.71
(n = 14) Kerjasama vertikal 71.43
Koperasi Modal 75.00
(n = 5) Manajemen koperasi 75.00
Lisensi Sertifikasi 75.00
Kerjasama horizontal dan vertikal 100.00
Eksportir (n =5 ) Modal 100.00
Teknologi (standardisasi) 85.71
Sortasi/ grading 65.70
Transportasi 57.14
Kerjasama horizontal dan vertikal 71.43
Skala usaha ekonomi 71.43

Di tingkat koperasi, hambatan masuk dalam pasar kopi Arabika Gayo antara
lain adalah modal, manajemen, teknologi dan lisensi. Koperasi sebagai pemegang
sertifikasi produk, memerlukan manajemen (pengolaan) yang baik dalam
memasarkan produk kopi. Setiap tahun, lembaga sertifikasi (FLO-cert) akan
melakukan inspeksi terhadap pengelolaan kopi berserfikat. Mulai dari operasional
koperasi, dokumen (arsip) terkait sertifikasi, pedagang pengumpul (kolektor)
hingga ke petani. Pentingnya sinergisitas antar pelaku pemasaran hanya dapat
dibangun apabila koperasi memiliki manajemen yang dan baik dan memiliki
kerjasama antara pedagang pengumpul (kolektor) dan petani. Oleh karennya,
kerjasama vertikal mulai dari eksportir, koperasi, pedagang pengumpul (kolektor)
hingga ke petani menjadi hambatan masuk bagi perusahaan lain.
62

Bagi pedagang pengumpul (kolektor), hambatan untuk memasuki pasar kopi


Arabika Gayo antara lain adalah jumlah modal (43.71%) dan ikatan kerjasama
(71.43%) dengan petani maupun koperasi. Walaupun, secara informal petani
sebagai anggota koperasi menyetujui menjual kopi kepada koperasi. Namun,
peran pedagang pengumpul (kolektor) untuk menumbuhkan kepercayaan petani
agar menjual kopi kepada mereka tidak mudah. Sebagian besar pedagang
pengumpul (kolektor) memberikan pinjaman kepada petani, sehingga secara tidak
langsung petani terikat untuk menjual kopinya kepada pedagang (kolektor).
Pinjaman yang diberikan memerlukan sumber permodalan yang tidak sedikit.
Namun dengan adanya jaminan pasar melalui kerjasama yang dibangun kolektor
dengan koperasi dan kemampuan kolektor untuk memperoleh sumber permodalan
dari pihak perbankan. Maka, sebagian besar kolektor (56.29%) tidak menjadikan
modal sebagai hambatan untuk masuk pasar kopi Arabika Gayo. Menurut
kolektor, hambatan terbesar adalah adanya kerjasama vertikal yang perlu
dibangun oleh kolektor dengan petani maupun pihak koperasi.
Berbeda halnya dengan petani, menurut sebagian petani (50%) hambatan
masuk ke dalam pasar kopi Arabika Gayo adalah standardisasi. Persyaratan
standar kopi organik merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki untuk
mengikuti program sertifikasi produk. Standardidasi diperlukan untuk menjaga
kualitas kopi yang dipasarkan. Oleh karenanya, petani memerlukan keahlian dan
pengetahuan yang baik dalam proses pemupukan, pemeliharaan dan pengendalian
hama penyakit. Namun sebesar 50 persen petani tidak menjadikan standardisasi
sebagai hambatan masuk pasar. Kondisi ini disebabkan petani sejak awal telah
menerapkan standar kopi organik walaupun belum dilakukan secara sempurna.
Salah satu aktivitas tersebut adalah petani tidak menggunakan pupuk kimia
sintetis secara berlebihan. Sehingga, untuk memenuhi standar kopi organik petani
hanya memerlukan kebun kopi dan tenaga kerja. Umumnya, setiap rumah tangga
penduduk di daerah ini telah memiliki kebun sendiri seluas 0.5 sampai 1 hektar
dan penggunaan tenaga kerja dalam keluarga merupakan tradisi lama yang tidak
memerlukan biaya besar. Pada Tabel 15 terlihat kondisi struktur pasar yang
dihadapi oleh setiap lembaga pemasaran.

Tabel 15 Karakteristik dan struktur pasar kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh
Tengah dan Bener Meriah
Pemasaran di tingkat
Karekteristik
Petani Kolektor Koperasi Eksportir
Penjual Petani Kolektor Koperasi Eksportir
(banyak) (terpusat) (11 unit) (10 unit)

Pembeli Kolektor Koperasi Eksportir Importir


(terpusat) (11 unit) (10 unit) (5 negara)

Produk Homogen Homogen Homogen Diferensiasi


Hambatan Ada Ada Ada Ada
masuk pasar
Struktur pasar Oligopsoni Oligopsoni Oligopsoni Oligopsoni
63

Berdasarkan hasil analisis pangsa pasar, konsentrasi pasar dan hambatan


masuk pasarmenunjukkan bahwa dengan tingginya konsentrasi pasar dan
tingginya hambatan masuk pasar (barrier to entry) pada tingkat eksportir dan
koperasi, maka struktur pasar yang terbentuk di tingkat produsen adalah
oligopsoni, dengan jumlah pedagang pengumpul (kolektor) yang terpusat sebagai
pembeli. Sehingga, peran eksportir dalam penentuan harga kopi Arabika Gayo
lebih dominan di bandingkan lembaga pemasaran lainnya. Hal ini disebabkan,
eksportir langsung berhadapan dengan konsumen (importir) dan memiliki daya
tawar yang lebih tinggi. Penjelasan lebih lanjut terkait mekanisme penentuan
harga akan dikaji melalui analisis perilaku pasar.

Analisis Perilaku Pasar (Market Conduct)

Perilaku pasar kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener
Meriah dianalisis secara deskriptif. Analisis perilaku pasar akan menggambarkan
perilaku setiap lembaga pemasaran dalam menghadapi struktur pasar yang ada.
Adapun elemen-elemen yang terdapat didalam perilaku pasar meliputi lembaga
dan praktek fungsi pemasaran yang didalamnya akan terlihat kondisi kerjasama
antar lembaga pemasaran (Dahl dan Hammond 1977), saluran pemasaran,
mekanisme penentuan harga dan sistem pembayaran.

Lembaga dan Praktek Fungsi Pemasaran


Secara umum pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh Tengah
dan Bener Meriah di bagi menjadi dua kategori yaitu pemasaran sertifikasi dan
pemasaran konvensional. Pada pemasaran sertifikasi, produk kopi yang dihasilkan
merupakan produk kopi arabika yang telah disertifikasi. Umumnya sertifikasi
produk yang dimiliki lebih dari satu jenis sertifikasi (dual certified coffee) yaitu
sertifikasi organik dan fairtrade. Pada pemasaran konvensional, produk kopi yang
dihasilkan tidak bersertifikat dan berasal dari kopi non-organik. Sebagian besar
(86%) kopi arabika non-organik dari Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah
dipasarkan ke pasar domestik. Oleh karenanya, sesuai dengan ruang lingkup
penelitian ini. Maka kajian pemasaran kopi Arabika Gayo yang akan dikaji adalah
kopi Arabika Gayo yang telah memiliki sertifikasi produk.
Lembaga pemasaran merupakan badan usaha atau individu yang
menyelenggarakan kegiatan atau fungsi pemasaran sehingga produk atau jasa
akan berpindah dari produsen ke konsumen. Adapun lembaga pemasaran yang
terlibat dalam pemasaran kopi Arabika Gayo meliputi petani, pedagang
pengumpul (kolektor), koperasi dan eksportir.
a. Petani merupakan pemilik produk yang mempunyai lahan sendiri. Petani
merupakan anggota koperasi serta mengikuti program sertifikasi produk.
b. Pedagang Pengumpul, yaitu pedagang yang mengumpulkan kopi Arabika Gayo
dari petani. Pedagang pengumpul biasanya disebut sebagai kolektor karena
memiliki kerjasama dengan koperasi.
c. Koperasi, yaitu sebuah badan usaha yang dibentuk oleh sekelompok orang
yang memiliki tujuan yang sama. Koperasi beranggotakan petani, pedagang
pengumpul (kolektor) dan pemilik modal. Pihak koperasi memiliki lisensi
sertifikat atas produk kopi yang dihasilkan petani.
64

d. Eksportir, yaitu perusahaan atau lembaga yang memasarkan produk kopi


Arabika Gayo ke luar negeri. Eksportir memperoleh kopi dari koperasi dan
menjual langsung ke importir (negara lain).
Setiap lembaga mampu menciptakan nilai (value) secara spesifik untuk
produk atau jasa yang ditawarkan (Levens 2010). Penciptaan nilai ini dapat
dilakukan melalui fungsi-fungsi pemasaran. Fungsi pemasaran dapat
dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu fungsi pertukaran (pembelian,
penjualan), fungsi fisik (pengolahan, transportasi/pengangkutan, penyimpanan)
dan fungsi fasilitas (standardisasi, penanggulangan risiko, pembiayaan, informasi
pasar) (Kohls dan Uhl 2002). Berikut ini akan diuraikan fungsi-fungsi pemasaran
yang dilakukan oleh setiap lembaga pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten
Aceh Tengah dan Bener Meriah.

a. Petani
Sejak tahun 1992, petani telah melakukan kegiatan budidaya kopi Arabika
Gayo berdasarkan pada standar organik yang telah di tetapkan oleh IFOAM
(International Federation Organic Agriculture Movements). Namun, dalam
perkembangannya masih diperlukan beberapa perbaikan, terutama dalam hal
produksi dan pemasaran. Tehnik budidaya kopi arabika organik pada dasarnya
sama dengan budidaya kopi arabika non-organik (konvensional), yang
membedakan adalah dalam budidaya kopi organik tidak diperbolehkan
menggunakan bahan-bahan kimia sintetis mulai dari persiapan lahan, penanaman,
pemeliharaan, panen hingga penanganan pasca panen. Hal ini dikarenakan setiap
tahap dalam perlakuan kopi akan mempengaruhi kualitas kopi yang dihasilkan.
Aktivitas pemanenan di daerah penelitian dapat berlangsung setiap bulan.
Daerah dengan ketinggian di bawah 1 200 m dpl, panen dapat dilakukan pada
bulan Juli hingga Nopember. Daerah yang berada diatas ketinggian 1 200 m dpl
dilakukan panen pada bulan Nopember hingga April. Namun, panen raya hanya
berlangsung selama 3 bulan (bulan Maret, April, Mei). Pemanenan dilakukan
secara manual, bertahap dan selektif. Secara teknis, pada 15 hari pertama petani
memilih kopi ceri yang telah berwarna merah penuh dan tidak memetik kopi ceri
yang belum sempurna merahnya dan pada 15 hari kedua petani kembali
menelusuri kopi ceri yang awalnya masih hijau atau belum sempurna warnanya
untuk di petik. Pemetikan secara manual dan selektif akan menghasilkan kualitas
kopi yang lebih baik. Namun, kendala yang dihadapi petani adalah keterbatasan
tenaga kerja dan modal untuk melakukan pemanenan. Sehingga, sering kali
menggunakan tenaga kerja dalam keluarga yang tidak dibayar dan untuk
meningkatkan jumlah penjualan, tidak jarang petani melakukan pencampuran kopi
ceri yang masih hijau dan belum sempurna merahnya dengan kopi ceri yang telah
merah. Hal ini tentu saja akan mempengaruhi kualitas dan harga jual kopi di
tingkat petani.
Selama proses penjualan, harga kopi ceri juga ditentukan oleh ketinggian
lahan tanaman kopi. Pada Tabel 16 terlihat bahwa rata-rata harga kopi ceri di
Kabupaten Bener Meriah lebih mahal (10%) dibandingkan kopi ceri di Kabupaten
Aceh Tengah. Hal ini disebabkan, kopi yang dihasilkan dari Bener Meriah pada
umumnya di tanam pada ketinggian antara 1 200 sampai 1 800 m dpl sedangkan
Kabupaten Aceh Tengah berkisar antara 700 sampai 1 000 m dpl. Menurut ICRRI
(2008), kondisi lahan yang tinggi akan menghasilkan biji kopi yang berkualitas
65

baik, dengan ciri utamanya memiliki ukuran yang lebih kecil dibandingkan kopi
yang berasal dari dataran rendah dan memiliki kualitas rasa (cupping test) yang
lebih tinggi. Menurut pendapat Mustafa Ali sebagai ketua Masyarakat
Perlindungan Kopi Gayo (MPKG) kondisi inilah yang menjadi salah satu
penyebab petani kopi di Kabupaten Aceh Tengah sebagian besar (85%) menjual
dalam bentuk kopi HS dengan tujuan agar harga jualnya dapat lebih tinggi.
Pada fungsi pertukaran, petani hanya melakukan aktivitas penjualan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa seluruh petani responden di Kabupaten Aceh
Tengah mejual kopi HS dengan kadar air ≥ 40 persen. Rata-rata penjualan yang
dilakukan sebanyak 146 kg dalam bentuk kopi HS. Berbeda halnya dengan petani
di Kabupaten Bener Meriah yang seluruhnya menjual dalam bentuk kopi ceri
tanpa dilakukan proses pengolahan. Tabel 16 menunjukkan rata-rata produksi
yang dihasilkan petani dan jumlah penjualannya per minggu selama musim panen.

Tabel 16 Aktivitas penjualan kopi Arabika Gayo di tingkat petani responden


Rata-rata Rata-rata
Harga jualc
Jumlah petani produksia penjualan Bentuk Pembeli
(Rp/kg)
(kg/ha) (kg/minggu)
Aceh Tengah
- n = 30 3 746 146 Kopi HSb 17 178 Kolektor
Bener Meriah
- n = 30 4 200 347 Kopi ceri 7 084 Kolektor
a
Produksi kopi ceri yaitu buah kopi yang masak (merah) yang baru dipanen dari kebun; bKopi HS
yaitu kopi ceri yang sudah dikupas kulit luarnya, masih dilapisi kulit tanduk yang sudah dicuci
dan dijemur sampai kadar air 40-45%; cRata-rata harga jual kopi menurut responden selama
tahun 2012

Perbedaan bentuk kopi yang dipasarkan oleh petani di kedua Kabupaten ini
disebabkan karena faktor kebiasaan dan jauhnya lokasi kebun dengan rumah
petani ataupun kilang kopi. Selain itu, kemudahan lain yang diperoleh petani yang
menjual kopi ceri adalah mereka tidak perlu mengeluarkan biaya transportasi
untuk mengantarkan kopi mereka ke kolektor. Melainkan kolektor yang langsung
menjemput kopi yang telah selesai di panen petani di kebun mereka.
Selain fungsi pertukaran berupa penjualan, petani di Kabupaten Aceh
Tengah dan Bener Meriah juga melakukan fungsi fasilitas yaitu penanggungan
risiko dan pembiayaan. Petani sebagai produsen kopi menanggung risiko lebih
besar dibandingkan pelaku pemasaran lainnya (pedagang pengumpul dan
eksportir). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Hukama (2003)
dan Saputra (2012) yang menunjukkan bahwa risiko yang dihadapi petani lebih
besar dibandingkan tingkat lembaga pemasaran lainnya. Kondisi ini disebabkan
dari sisi penawaran (supply) petani sebagai pelaku on farm menghadapi kondisi
iklim yang tidak menentu, produktivitas yang tidak stabil akibat penggunaan bibit,
dekradasi kesuburan tanah, keterbatasan sumber saprodi dan lain sebagainya.
Untuk sisi permintaan (demand) dan harga, petani menghadapi ketidakpastian
pasar dan fluktuasi harga. Ketidakpastian pasar salah satunya dipengaruhi oleh
musim panen kopi. Saat harga tinggi dan jumlah produksi kopi melimpah,
pedagang lebih memilih untuk tidak membeli kopi dan menunggu perkembangan
harga yang terjadi. Di sisi lain, petani sulit untuk mencari peluang pasar baru dan
66

kondisi ini mempengaruhi pola harga yang terbentuk. Pada Tabel 17 menunjukkan
kerjasama dan fungsi-fungsi pemasaran yang dilakukan oleh petani responden.

Tabel 17 Fungsi-fungsi pemasaran dan kerjasama di tingkat petani responden


Fungsi pemasaran Keterangan Kerjasamaa
Fungsi pertukaran Penjualan Koperasi melalui kolektor
Fungsi fisik Penyimpanan -
Pengolahan Kilang kopi
Fungsi fasilitas Penanggungan risiko -
Pembiayaan Kolektor
a
Interaksi yang dilakukan petani dalam menjalankan fungsi-fungsi pemasaran

Sumber pembiayaan petani sebagian besar diperoleh dari pedagang


pengumpul (kolektor). Perbankan sebagai lembaga keuangan formal akan
mengeluarkan kredit apabila petani dapat memberikan jaminan, baik berupa akte
tanah, rumah maupun kendaraan. Proses administrasi yang memerlukan waktu
yang lama menyebabkan petani lebih memilih untuk meminjam kepada pedagang.
Peminjaman dilakukan pada saat kopi belum masuk musim panen, akibat desakan
kebutuhan ekonomi keluarga mengakibatkan petani harus mencari sumber
penghasilan selain dari kopi dan alternatif tercepat yang dilakukan petani adalah
dengan meminjam uang kepada kolektor dan berjanji akan membayarkannya
dengan hasil panen kopi mereka. Oleh karena itu, keterbatasan petani dalam
memperoleh pinjaman uang dan informasi harga mempengaruhi posisi tawar
(bargaining potition) petani dalam proses penentuan harga.

b. Pedagang Pengumpul (Kolektor)


Pedagang pengumpul sering disebut sebagai kolektor. Pada aktivitas
pemasaran kopi Arabika Gayo kolektor melakukan fungsi pertukaran, fungsi fisik
dan fungsi fasilitas. Aktivitas pedagang pengumpul (kolektor) dalam menjalankan
fungsi pemasaran tidak terlepas dari karakteristik kopi yang dihasilkan dan
termasuk kedalam kategori kopi organik bersertifikat. Sebagai upaya menjaga
kualitas kopi, setiap pelaku pemasaran baik petani maupun pedagang harus
memahami cara penanganan kopi yang baik dan benar. Kopi organik yang
bersertifikat hanya dimiliki oleh petani yang terdaftar dalam koperasi. Sehingga
dalam fungsi pertukaran, aktivitas pembelian kopi Arabika Gayo oleh pedagang
pengumpul (kolektor) harus bersumber dari petani kopi Arabika Gayo yang
terdaftar sebagai anggota koperasi.
Posisi pedagang pengumpul (kolektor) dalam manajemen koperasi
merupakan tenaga kerja tidak langsung yang berfungsi untuk mengumpulkan kopi
Arabika Gayo dari petani dan menjualnya kepada koperasi. Adanya sertifikasi
produk kopi, menuntut setiap pelaku pemasaran untuk mengetahui kejelasan
sumber kopi yang diperoleh dengan mencatat nama petani, jenis sertifikat, lokasi
lahan, nota/bukti transaksi dan jumlah kopi yang dibeli. Selain itu dalam
pemasaran kopi, tidak jarang kolektor juga berprofesi sebagai petani. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa 64.29 persen kolektor (n=9) memiliki kebun
sendiri dan bekerja sebagai petani. Namun, kolektor yang juga berprofesi sebagai
petani memiliki cakupan pasar yang lebih luas, baik dari sisi jumlah produk, akses
informasi dan sumber permodalan.
67

Pada aktivitas penjualan, kolektor memiliki kesempatan untuk memilih


kepada siapa harus menjual kopi dengan mempertimbangkan harga. Namun,
konsekuensi yang terjadi apabila kolektor tidak mampu memenuhi estimasi
jumlah kopi yang telah ditargetkan oleh koperasi serta melanggar kesepakatan
untuk menjual kopinya kepada koperasi. Maka, koperasi akan memberikan
peringatan pertama berupa surat teguran, apabila pedagang pengumpul (kolektor)
masih melakukan kesalahan yang sama maka nama kolektor akan di black list
sebagai anggota koperasi. Ketegasan pihak koperasi atas kepastian pasokan kopi
dari kolektor, menjadikan pedagang pengumpul (kolektor) lebih disiplin dalam
menjalankan perannya sebagai pengumpul kopi dari petani anggota koperasi.
Namun, masih ada beberapa kolektor yang langsung menjual kepada eksportir.
Umumnya bentuk kopi yang dipasarkan adalah kopi HS, namun adapula kolektor
yang menjual kopi beras (green off-grade). Pada Tabel 18 terlihat aktivitas
pejualan kopi yang dilakukan oleh kolektor di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener
Meriah.

Tabel 18 Aktivitas penjualan kopi Arabika Gayo di tingkat kolektor responden


Jumlah Rata-rata Harga
Kolektor petani/ penjualan Bentuk juala Pembeli
kolektor (kg/minggu) (Rp/kg)
Aceh Tengah
- n=9 48 5 823 Kopi HS 19 042 Koperasi
- n=4 406 Kopi berasb 31 167 Eksportir
Bener Meriah
- n=5 61 8 775 Kopi HS 19 208 Koperasi
- n=2 449 Kopi berasb 33500 Eksportir
a
Rata-rata harga jual kopi selama tahun 2012; bKopi Beras yang belum di sortir dan grading

Secara teknis, pedagang pengumpul (kolektor) akan membeli hasil panen


petani (kopi ceri) langsung dari kebun dan kemudian dijual dalam bentuk kopi
HS, selain dalam bentuk kopi ceri pedagang pengumpul (kolektor) juga membeli
dalam bentuk kopi HS dan menjemurnya kembali hingga kadar air 35 sampai 40
persen. Setelah itu, kolektor akan menjual dalam bentuk kopi beras yang belum di
sortir dan grading (green off-grade). Aktivitas pengolahan yang dilakukan
pedagang pengumpul (kolektor) antara lain pengupasan kulit merah (pulper),
fermentasi, penjemuran dan pengupasan kulit tanduk (huller).
Selain fungsi pertukaran dan fungsi fisik, terdapat fungsi fasilitas yang
dilakukan oleh kolektor terdiri atas proses pengolahan, penanggungan risiko,
pembiayaan dan informasi pasar. Beberapa faktor risiko yang dihadapi kolektor
antara lain kualitas pasokan, standardisasi organik, pemenuhan pesanan, kelebihan
pasokan serta fluktuasi harga yang menyebabkan kolektor harus memiliki modal
besar dalam melakukan proses pengolahan, penyimpanan hingga pemasaran
(Saputra 2012). Pada saat harga turun, pedagang sulit untuk menyimpan kopinya
dalam jangka waktu yang lama, selain karena keterbatasan tempat penyimpanan,
pedagang harus memutar uangnya dalam kegiatan pemasaran kopi. Kebutuhan
ekonomi keluarga menjadi salah satu pertimbangan pedagang pengumpul
(kolektor) untuk berani menghadapi risiko. Sumber informasi harga yang diterima
kolektor melaui koperasi. Koperasi secara aktif menginfokan perkembangan harga
kopi. Selisih antara harga kopi yang dibeli dari petani dan harga jual yang telah
68

ditetapkan koperasi merupakan keuntungan pedagang setelah dikurangi biaya


pemasaran yang dikeluarkan. Pada Tabel 19 terlihat beberapa aktivitas dan
kerjasama yang dilakukan kolektor dalam menjalankan fungsi pertukaran, fisik
dan fasilitas pemasaran.

Tabel 19 Fungsi-fungsi pemasaran dan kerjasama di tingkat kolektor responden


Fungsi Pemasaran Keterangan Kerjasamaa
Fungsi pertukaran Pembelian dan penjualan Petani dan koperasi
Transportasi/ pengangkutan -
Fungsi fisik Penyimpanan -
Pengolahan Kilang kopi
Fungsi fasilitas Penanggungan risiko -
Pembiayaan Perbankan
Informasi pasar Petani dan koperasi
a
Interaksi yang dilakukan kolektor dalam menjalankan fungsi-fungsi pemasaran

c. Koperasi
Koperasi sebagai badan usaha yang beranggotakan pemilik modal
(investor), karyawan, petani dan pedagang pengumpul (kolektor) memiliki peran
strategis dalam mendukung pengembangan agribisnis kopi Arabika Gayo.
Kehadiran koperasi mampu memberikan kepercayaan kepada pembeli (eksportir,
importir maupun industri) untuk melakukan perdagangan kopi Arabika Gayo baik
di pasar domestik maupun dalam pasar internasional. Jumlah koperasi di
Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah yang telah mendapatkan sertifikasi
produk kopi mencapai 11 unit koperasi. Sertifikasi produk kopi yang telah ada
antara lain Organic Certifiticate meliputi Organic Certificate (EU) untuk Eropa,
Organic Certificate (USDA/NOP) untuk USA dan Organic Certificate (JAS)
untuk Jepang, Cafe Practice untuk Starbuck Coffee dan FLO Certificate/
Fairtrade. Pada Tabel 20 terdapat beberapa koperasi yang telah memiliki
sertifikasi produk.

Tabel 20 Profil koperasi responden di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah
Jumlah Rata-rata
Tahun
Koperasi Petani penjualana Bentuk produkb Pembeli
berdiri
(orang) (kg/ minggu)
Baburrayan 2002 5 657 365 756 Green Beanb Importir,
Eksportir
Permata Gayo 2006 4 000 320 037 Green off- Importir,
gradecdan Green Eksportir
Bean
GLOC 2007 2 000 163 284 Green off-grade Eksportir
dan Green Bean
Lepo Gayo Indah 2009 1 200 130 627 Green off-grade Eksportir
dan Green Bean
Tunas Indah 2004 3 620 197 029 Green off-grade Eksportir
a
Penjualan kopi saat panen raya (Maret-April-Mei) dilakukan 2 sampai 4 kali per minggu; b Green
bean merupakan kopi beras yang telah disortir (grading) dengan kadar air 11-13%; cKopi beras
yang belum disortir (grading) kadar air 20-30%.
69

Setiap koperasi memiliki kapasitas penjualan kopi yang berbeda-beda, salah


satu faktor penentu jumlah penjualan adalah jumlah petani yang menjadi anggota
koperasi. Koperasi yang memiliki jumlah petani terbanyak adalah KBQ.
Baburrayan mencapai 5 657 orang. Petani yang bermitra dengan KBQ.
Baburrayan tersebar di 18 Kecamatan dan 105 desa yang berada di Aceh Tengah
dan Bener Meriah. Masing-masing desa di Kecamatan tersebut memiliki 1 orang
Internal Control System (ICS) dan 1 orang pedagang pengumpul (kolektor). Peran
ICS yaitu melakukan pengawasan terhadap kebun petani organik, apabila terdapat
pelanggaran yang dilakukan seperti penggunaan pupuk kimia, herbisida,
insektisida atau lainnya.
Pada fungsi pertukaran, koperasi melakukan aktivitas pembelian dan
penjualan kopi yang telah diatur dalam manajemen perusahaan dengan mengikuti
standar produk kopi yang bersertifikat. Pada kopi bersertifikat organik dan
fairtrade, koperasi harus menjamin bahwa sumber pasokan kopi yang diperoleh
berasal dari produk kopi organik. Sementara sertifikasi fairtrade, transparansi
perdagangan kopi menjadi salah satu kriteria untuk mencapai perdagangan yang
adil. Harga premium yang diperoleh dari sertifikasi fairtrade akan disalurkan
kepada anggota koperasi setiap setahun sekali. Pada tahun 2012, dana premium
sosial dari fairtrade senilai Rp173 miliar, 25 persen dari jumlah dana premium
dialokasikan untuk peningkatan produksi dan penyelamatan lingkungan dan 7
persen untuk petani. Sisanya (68%) dikelola oleh koperasi sebagai penerima dana.
Penyaluran dana premium kepada petani dilakukan berdasarkan kesepakatan
dalam Rapat Anggota Tahunan (RAT), yang dihadiri oleh perwakilan petani,
kolektor (pedagang pengumpul) dan pengurus koperasi. Umumnya penyaluran
dana kepada petani tidak dilakukan dalam bentuk uang tunai, namun diberikan
dalam bentuk barang seperti cangkul, alat pengendalian hama, mesin pengupas
kopi, bahan makanan pokok dan lain-lain.
Pada fungsi fisik, koperasi melakukan pengolahan terhadap kopi yang dibeli
dari pedagang pungumpul (kolektor). Proses pengolahan yang dilakukan pada
masing-masing koperasi berbeda-beda. Sebagian besar koperasi di Kabupaten
Aceh Tengah dan Bener Meriah melakukan sortasi dan grading pada gudang
koperasi yang terdapat di Sumatera Utara. Hal ini disebabkan sebagian besar kopi
Arabika Gayo melakukan ekspor kopi melalui pelabuhan Belawan. Pada proses
pengangkutan/transportasi, setiap koperasi memiliki standar prosedur muat kopi
ekspor ke kontainer. Prosedur kerja yang diatur mulai dari kemasan produk kopi
(segel, penjagaan kualitas), kebersihan kontainer, pembuatan surat pengantar
barang/PEB, buku persediaan dan dokumen ekspor.
Salah satu koperasi yang melanjutkan proses pengolahan kopi di Sumatera
Utara yaitu KSU. Permata Gayo. Selain sebagai tempat pengolahan, gudang juga
digunakan sebagai tempat penyimpanan. KSU. Permata Gayo menerapkan metode
pengolahan kopi semi basah dengan melibatkan kolektor sebagai pedagang yang
mengumpulkan kopi dari petani anggota koperasi. Tahapan pengolahan diawali
dari kopi ceri yang dikumpulkan oleh kolektor hingga menjadi kopi beras siap
ekspor (green bean) dengan kadar air 11 sampai 12 persen. Di sisi lain, terdapat
satu-satunya koperasi yang langsung melakukan sortir (grading) dan pengemasan
(packing) di Kabupaten Aceh Tengah yaitu KBQ. Baburrayan. Pada proses
penyimpanan kopi ekspor, koperasi memiliki standar baku dalam menjaga
kualitas kopi yang dihasilkan, dalam standar pengemasan goni harus disegel dan
70

diletakkan pada tempat yang bersih dan tersusun rapi dengan jarak antar barang
dan dinding sejauh 50 cm. Pada Gambar 20 terlihat mekanisme penyaluran kopi
dari Kabupaten Bener Meriah ke gudang koperasi di Sumatera Utara, Medan.

Kolektor
Pengolahan Kopi Ceri menjadi kopi HS
Penjemuran kopi HS sampai k.a 35-40 %
(pulping, fermentasi dan pencucian)

KSU. Permata Gayo di Kab. Bener Meriah

Pengolahan kopi HS menjadi Penjemuran kopi Beras Pengiriman kopi Beras ke


kopi Beras (hulling) sampai k.a 15-18% Medan (belum di sortir)

KSU. Permata Gayo di Sumatera Utara, Medan


Penjemuran sampai k.a 11- Persiapan pengapalan kopi Beras (green
12%, sorting, grading dan finishing bean) di pelabuhan belawan

Gambar 20 Aktivitas pemasaran kopi Arabika Gayo oleh KSU. Permata Gayo
dari Kabupaten Bener Meriah menuju Sumatera Utara, Medan

Selain fungsi pertukaran dan fungsi fisik yang dilakukan oleh koperasi.
Beberapa fungsi fasilitas yang dijalankan koperasi juga memberikan arti penting
terhadap ekspansi pangsa pasar kopi di tingkat koperasi. Kemampuan koperasi
dalam memperoleh sumber pembiayaan, penanggulangan risiko dan mengetahui
informasi harga akan meningkatkan pangsa pasar koperasi baik sebagai pembeli
maupun sebagai penjual. Menurut Saputra (2012) faktor risiko dominan yang
dihadapi oleh koperasi adalah kuantitas, kualitas dan harga. Rendahnya kuantitas
pasokan menyebabkan risiko pasokan di tingkat koperasi menjadi tinggi. Risiko
pasokan akan berdampak terhadap risiko kontrak dan risiko harga yang dihadapi
oleh eksportir. Pihak pembeli (importir, industri atau eksportir) akan memberi
penalti (peringatan) kepada koperasi apabila tidak dapat memenuhi kontrak yang
telah disepakati selama periode yang ditetapkan. Akibatnya koperasi harus
menanggung risiko pemotongan sejumlah harga dari harga jual normal yang
berlaku di kontrak. Oleh karena itu, informasi harga yang diperoleh koperasi dapat
meningkatkan kemampuan koperasi dalam menghadapi berbagai risiko. Strategi
penentuan harga jual maupun harga beli dapat mengakomodir apabila terjadi
risiko-risiko yang tidak diinginkan.
Selama ini sumber utama pembiayaan koperasi diperoleh dari perbankan.
Bank sebagai lembaga formal memberlakukan syarat dan ketentuan dalam proses
pinjam meminjam. Skala usaha, jaminan dan adanya badan hukum merupakan
beberapa hal penting yang menjadi pertimbangan bank dalam menyetujui proposal
yang diajukan oleh pihak koperasi. Koperasi akan semakin banyak memperoleh
pinjaman (kredit) dari bank apabila riwayat pengembalian kredit yang dilakukan
lancar dan tepat waktu dengan jumlah yang sesuai. Selain memberikan pinjaman,
71

bank memiliki peran lain dalam proses transaksi jual beli kopi. Koperasi
menggunakan bank dalam transaksi pembayaran pembelian kopi dari koperasi ke
pedagang pengumpul (kolektor) dan bank juga sebagai tempat berlangsungnya
transaksi pembayaran pejualan kopi dari konsumen (eksportir, importir atau
industri dalam negeri). Secara ringkas, Tabel 21 menunjukkan aktivitas pemasaran
dan kerjasama yang dilakukan koperasi dalam menjalankan fungsi-fungsi
pemasaran baik fungsi pertukaran, fisik dan fasilitas.

Tabel 21 Fungsi-fungsi pemasaran dan kerjasama di tingkat koperasi responden


Fungsi Pemasaran Keterangan Kerjasamaa
Fungsi pertukaran Pembelian Petani dan kolektor
Penjualan Importir dan eksportir
Fungsi fisik Pengangkutan Perusahaan/ Angkutan sewa
Penyimpanan Jasa pergudangan
Pengolahan Kilang kopi
Fungsi fasilitas Penanggungan risiko -
Pembiayaan Perbankan
Informasi pasar Kolektor, importir, eksportir
Sertifikasi Produk Lembaga sertifikasi
a
Interaksi yang dilakukan koperasi dalam menjalankan fungsi-fungsi pemasaran

d. Eksportir
Eksportir merupakan perusahaan atau lembaga yang memasarkan kopi
Arabika Gayo ke pasar dunia. Pada tahun 2012, terdapat 28 perusahan yang
terdaftar pada Badan Pengurus Daerah Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia untuk
Daerah Aceh (BPD AEKI Aceh). Adapun 4 diantaranya berbentuk koperasi dan
sisanya merupakan perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) sebanyak
11 perusahaan dan Comanditer Venonscaft (CV) sebanyak 13 perusahaan. Pada
aktivitas perdagangan, kopi merupakan salah satu komoditas ekspor yang diatur
pelaksanaan ekspornya. Ketentuan tentang ekpor kopi diatur dalam Peraturan
Menteri Perdagangan Nomor 10/M-DAG/PER/5/2011. Salah satu syarat yang
diberlakukan adalah mengurus Surat Persetujuan Ekspor Kopi (SPEK).
SPEK adalah surat persetujuan pelaksanaan ekspor kopi ke seluruh negara
tujuan yang dikeluarkan oleh Dinas yang bertanggung jawab di bidang
perdagangan di Propinsi/Kabupaten/Kota. SPEK juga dapat digunakan untuk
pengapalan dari pelabuhan ekspor di seluruh Indonesia. Disamping itu, kopi yang
diekspor wajib sesuai dengan standar mutu yang ditetapkan Menteri Perdagangan
dan harus disertai dengan Surat Keterangan Asal (SKA) Form ICO (International
Coffee Organization), yaitu surat keterangan yang digunakan sebagai dokumen
penyerta kopi yang diekspor dari seluruh Indonesia, yang membuktikan bahwa
kopi tersebut berasal, dihasilkan dan/atau diolah di Indonesia. Proses pengurusan
SKA dapat dilakukan oleh Dinas Perindustian Perdagangan Koperasi dan Usaha
Menengah Aceh (Disperindagkop dan UKM Aceh) dan Dinas Perindustrian dan
Perdagangan Aceh Utara. Pengurusan SPEK dilakukan oleh dua instansi penerbit
SPEK yaitu Dinas Perindagkop dan UKM Aceh dan Dinas Perindustrian
Perdagangan Pertambangan dan Energi Kabupaten Aceh Tengah. Sisanya
dilakukan di Banda Aceh dan Aceh Utara. Pada Tabel 22 menunjukkan bahwa
72

terdapat 7 perusahaan eksportir yang melakukan pengurusan SPEK di Kabupaten


Aceh Tengah selama tahun 2012.

Tabel 22 Daftar perusahaaan ekspor kopi Arabika Gayo yang melakukan


pengurusan SPEK di Kabupaten Aceh Tengah, tahun 2012
No Nama perusahaan Negara tujuan Jenis Mutu
1 Aridalta Mandiri, CV Amerika Serikat, - Utz dan Organic Certified
Kanada, Belgia Indonesian, Sumatera Gayo Grade
1 Coffee
- Organic Sumatera Gayo Grade 1
- Fairtrade Organic Sumatera Gayo
Arabica Grade 1

2 KBQ. Baburrayan Amerika Serikat - Sumatera FT Organik Gayo


- Supreme Grade 1 Arabica Fairtrade
3 Soegee Gayo Coffee, Amerika Serikat, - Kopi Arabica Grade 1
PT Jepang
4 Ekani Asrindo, CV Mexico - Sumatera Mandeling Grade 1
5 Gayo Mandiri Coffee, Amerika Serikat, - Fairtrade Organic/ Organic
CV Perancis - Indonesia Arabica Coffee Sumatera
Mandheling, Grade 5
- Indonesia Semi-Washed Aceh
6 Ateutamount, CV Amerika Serikat, - Organic Sumatera Gayo Grade 1
Korea Selatan, - Aceh Coffee Arabica Beans,
Inggris - Arabica Coffe supreme special
- USDA NOP Organic Sumatra
Gayo Grade 1 Coffee
7 Kopepi Ketiara Belanda - Gayo Arabica Coffee Grade 1
Sumber: Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, Energi dan Sumber Daya Mineral
Kabupaten Aceh Tengah, 2013

Pada aspek pemasaran, setiap manajemen perusahaan menerapkan standar


operasional berdasarkan tujuannya masing-masing. Pada pasar kopi sertifikasi,
terdapat syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi oleh perusahaan ekspor.
Aktivitas pembelian dan penjualan kopi bersertifikat organic fairtrade, harus
memiliki data sumber kopi yang diperoleh (nama petani, lokasi, harga jual, nota
transaksi, waktu pembelian, proses pengolahan dan standar organik yang
diterapkan). Sumber pembelian kopi bersertifikasi hanya diperoleh dari koperasi.
Setiap perusahaan rata-rata melakukan ekspor kopi ke negara tujuan sebanyak 2
sampai 3 kali per minggu, jumlah kontainer antara 2 sampai 3 buah dengan
kapasitas 19 000 kg/kontainer. Harga jual setiap perusahaan berbeda-beda,
tergantung pada jenis mutu yang dikirimkan. Pada kopi bersertifikat organic-
fairtrade harga jual dapat mencapai Rp60 000/kg sampai Rp80 000/kg sesuai
dengan grade nya. Penentuan mutu kopi (grade) menggunakan sistem nilai cacat
(defect system) yang diatur dalam SNI 01-2907-2009.
Aktivitas penjualan kopi di tingkat eksportir dengan importir (buyers)
didasarkan pada sistem kontrak. Menurut salah satu eksportir kopi di Kabupaten
Aceh Tengah yaitu KBQ. Baburrayan. Kontrak pembelian dilakukan 3 bulan
sebelum transaksi jual beli untuk menyepakati jumlah (kuantitas) kopi yang akan
dibeli oleh importir. Kesepakatan harga dilakukan 1 bulan sebelum barang
73

dikirimkankan. Pemberlakuan sistem ini baru diterapkan pada tahun 2012.


Berdasarkan pengalaman tahun-tahun sebelumnya, fluktuasi harga kopi yang
terjadi di pasar produsen menjadi risiko harga bagi perusahaan. Pada Tabel 23
menunjukkan kerjasama dan fungsi-fungsi pemasaran yang dilakukan oleh
eksportir dalam memasarkan produk kopi yang dihasilkan.

Tabel 23 Fungsi-fungsi pemasaran dan kerjasama di tingkat eksportir


Fungsi Pemasaran Keterangan Kerjasamaa
Fungsi pertukaran Pembelian Kolektor dan koperasi
Penjualan Importir
Fungsi fisik Pengangkutan Perusahaan/ Jasa
Penyimpanan Transportasi
Pengolahan (pengemasan) Jasa penggudangan
Fungsi fasilitas Penanggungan risiko Perusahaan dan Koperasi
Pembiayaan Perbankan
Informasi pasar Koperasi, Importir
Setifikasi Produk Koperasi
a
Interaksi yang dilakukan eksportir dalam menjalankan fungsi-fungsi pemasaran

Selain itu pada fungsi fisik juga diterapkan standar operasional terhadap
proses pengolahan, penyimpanan hingga pendistribusian (pengangkutan). Setiap
karung (kapasitas 60 kg) memiliki keterangan jenis mutu dan negara tujuannya.
Perusahaan berusaha menjaga keberlanjutan ekspor kopinya melalui kerjasama
dengan persusahaan-perusahaan impotir kopi. Perusahaan akan mengirimkan
barang tepat waktu dengan spesifikasi kualitas dan kuantitas yang diinginkan.
Namun, dalam pelaksanaanya perusahaan berhadapan dengan berbagai risiko.
Baik berupa risiko harga, risiko pasokan kopi maupun risiko permintaan. Sebagai
upaya menanggulanginya, perusahaan berusaha melakukan perbaikan dengan
meninjau ulang periode kontrak serta kuntitas pasokan yang telah disepakati.
Sinergisitas antar lembaga pemasaran mulai dari petani, pedagang pengumpul
(kolektor) dankoperasi akan meningkatkan kemampuan eksportir dalam menjaga
keberlanjutan ekspor kopi Arabika Gayo ke pasar dunia.
Informasi harga yang diperoleh perusahaan (eksportir) memiliki peran
penting dalam meningkatkan posisi tawar perusahaan dengan pembeli (buyers).
Setiap perkembangan harga yang terjadi di tingkat petani hingga harga kopi di
pasar dunia merupakan sumber informasi yang dapat mempengaruhi harga jual
kopi. Perusahaan mampu bersaing dengan perusahaan lain, apabila dapat
melakukan strategi harga dalam proses pembelian dan penjualan kopi.
Kemampuan perusahaan untuk meningkatkan jumlah pasokan kopi dari petani
melalui penawaran harga beli kopi yang relatif lebih tinggi dibandingkan
pesaingnya, dan menjual kopi dengan harga jual yang kompetitif. Sehingga,
stabilitas keuntungan yang diperoleh perusahaan dapat menjaga keberlanjutan
bisnis kopi yang dijalankan. Tentu saja ini memerlukan modal yang besar (1
sampai 2 milyar) untuk skala usaha yang optimal. Oleh karena itu, sumber
pembiayaan yang diperoleh perusahaan melalui bank, investor maupun buyers
merupakan salah satu indikator penting kesuksesan bisnis kopi Arabika Gayo.
74

Analisis Saluran Pemasaran Kopi Arabika Gayo


Analisis saluran pemasaran dilakukan untuk melihat perilaku setiap lembaga
pemasaran dalam menentukan pilihan saluran yang digunakan. Beberapa lembaga
pemasaran yang terlibat dalam pemasaran kopi Arabika Gayo antara lain petani,
pedagang pengumpul (kolektor), koperasi dan eksportir. Pada proses
pendistribusiannya, setiap pelaku pemasaran memiliki pilihan dalam memasarkan
bentuk kopi mereka. Perbedaan bentuk ini disebabkan adanya proses pengolahan
yang dilakukan. Di Kabupaten Aceh Tengah seluruh petani responden menjual
dalam bentuk kopi HS, sedangkan di Kabupaten Bener Meriah seluruh petani
responden menjual dalam bentuk kopi ceri. Perbedaan produk kopi yang
dipasarkan akan mempengaruhi tingkat harga yang diterima oleh petani. Oleh
karena itu, analisis saluran pemasaran kopi Arabika Gayo akan dilakukan pada
masing-masing Kabupaten.

1. Saluran Pemasaran Kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh Tengah


Analisis saluran pemasaran akan menggambarkan macam saluran dan
volume kopi Arabika Gayo yang keluar dan masuk melalui saluran pemasaran
tertentu. Berdasarkan data petani sampel (n=30), pedagang pengumpul (n=9),
koperasi (n=2) dan eksportir yang berbadan hukum koperasi (n=3) dan eksportir
(non koperasi) (n=3) dapat digambarkan dalam saluran pemasaran. Penjualan
hasil produksi petani kopi Arabika Gayo dari Kabupaten Aceh Tengah hanya
dapat dilakukan melalui kolektor yang ditunjuk oleh koperasi. Hal ini dikarenakan
petani terlibat dalam program sertifikasi produk. Pada sertifikasi organik dan
fairtrade, penelusuran sumber produk kopi bersertifikat harus terdata dengan
jelas, mulai dari nama petani, lokasi kebun, harga jual(nota pembayaran) dan
penerapan standar organik.
Berdasarkan Gambar 21 terlihat bahwa terdapat 4 macam saluran pemasaran
yang dilakukan petani di Kabupaten Aceh Tengah yaitu :
Saluran 1 : Petani-kolektor-koperasi-eksportir(non-koperasi)-konsumen (importir)
Saluran 2 : Petani-kolektor-eksportir(non-koperasi)-konsumen(importir)
Saluran 3 : Petani-kolektor-eksportir(koperasi)-eksportir(non-koperasi)-konsumen
Saluran 4 : Petani-kolektor-eksportir (koperasi)-konsumen (importir)
Pada sistem kelembagaan koperasi, petani hanya boleh terlibat dalam
keanggotaan dari 1 koperasi. Berdasarkan analisis saluran pemasaran terlihat
bahwa sebagian besar (n=20) petani responden merupakan anggota dari salah satu
koperasi yang dapat melakukan ekspor langsung seperti KBQ. Baburrayan,
Koperasi Permata Gayo dan Gayo Linge Organic Coffee (GLOC). Sedangkan
sisanya sebanyak 10 petani responden tergabung dalam koperasi yang belum
melakukan ekspor langsung diantaranya koperasi Tunas Indah dan koperasi Lepo
Gayo Indah. Di Kecamatan Pegasing dan Jagong Jeget, rata-rata petani memiliki
luas lahan sebesar 1 hektar dengan tingkat produksi kopi ceri mencapai 3 748
kg/ha selama tahun 2012. Kopi yang dipasarkan petani adalah kopi HS dengan
kadar air 40 sampai 45 persen, petani menjual seluruh produknya kepada kolektor
dengan rata-rata penjualan mencapai 146 kg/minggu (saat musim panen), setelah
diolah 1 kg kopi ceri akan menghasilkan 0.465 kg kopi HS.
Di tingkat kolektor, kopi HS yang dibeli dari petani akan dijemur kembali
hingga kadar air 35 sampai 40 persen. Melalui proses penjemuran ini, kolektor
dapat meningkatkan nilai tambah kopi Arabika Gayo. Rata-rata jumlah petani
75

yang terikat kerjasama dengan kolektor mencapai 48 orang. Sehingga, total


pembelian kopi yang dilakukan kolektor rata-rata sebesar 6 533 kg/minggu
dengan rata-rata penjualan sebesar 5 634 kg/minggu untuk kopi HS dan 343
kg/minggu untuk kopi beras. Keterlibatan kolektor dalam program sertifikasi
produk mengharuskan kolektor untuk menjual kopi petani yang sudah
tersertifikasi kepada koperasi. Prosedur yang dilakukan kolektor antara lain
melampirkan berkas-berkas yang telah disediakan koperasi, berupa nama petani,
lokasi kebun, nota pebayaran dan jumlah kopi yang dihasilkan. Pada Gambar 21
menunjukkan 4 macam saluran pemasaran kopi Arabika Gayo yang terdapat di
Kabupaten Aceh Tengah.

Petani (n=10) Petani (n=20)


Vol. kopi HS Vol. kopi HS
140 kg/minggu/petani 151 kg/minggu/petani
Vo. Kopi beras 100%
100%
343 kg/minggu
Kolektor (n=3) 13.75% Kolektor (n=6)
Vol. kopi HS Vol. kopi HS
5 635 kg/minggu 16.79% 6 010 kg/minggu
Vol. Kopi beras
86.25% 468 kg/minggu

Koperasi (n=2)
Vol. Green off-grade 83.21%
93 671 kg/minggu

100%
Eksportir (n=3) Eksportir (n=3)
[ Non Koperasi] [Koperasi]
Vol.Green bean 20.78% Vol. Green bean
53 892 kg/minggu 234 694 kg/minggu
100% 79.22%

KONSUMEN KONSUMEN
(IMPORTIR) (IMPORTIR)

Gambar 21 Saluran pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh Tengah

Keterangan: Saluran 1; Saluran 2; Saluran 3; Saluran 4

Berdasarkan Gambar 21 terlihat bahwa sebagian besar (>80%) kolektor


menjual kopi mereka kepada koperasi, sedangkan sekitar kurang dari 20 persen
kolektor menjual kopi mereka kepada eksportir. Bentuk kopi yang dipasarkan
kolektor kepada eksportir adalah kopi beras yang belum disortir (green off-grade)
dengan harga yang relatif lebih mahal dibandingkan harga kopi HS. Perubahan
nilai tambah ini biasanya dilakukan oleh kolektor besar yang membeli kopi HS
76

dengan kapasitas rata-rata lebih besar dari 7 ton. Hal ini dikarenakan, apabila
dikonversi maka 1 kg kopi HS sama dengan 0.344 kopi beras (k.a 11-12%).
Pada aktivitas pemasaran, terdapat perbedaan fungsi yang dilakukan oleh
koperasi. Pertama, koperasi yang belum melakukan ekspor langsung (lihat saluran
1 dan 2) dan kedua, koperasi yang telah melakukan ekspor langsung (lihat saluran
4). Koperasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah koperasi yang belum
melakukan ekspor langsung. Sedangkan koperasi yang telah melakukan ekspor
langsung dikatagorikan sebagai eksportir. Rata-rata volume pembelian kopi yang
dilakukan koperasi sebesar 485 965 kg/minggu dalam bentuk kopi HS dengan k.a
35 sampai 40 persen. Selanjutnya, koperasi melakukan proses pengolahan kopi
HS menjadi kopi beras dengan dengan k.a 12 sampai 15 persen. Seluruh produk
kopi Arabika Gayo yang dihasilkan dipasarkan ke tingkat eksportir, dengan
jumlah penjualan mencapai 93 671 kg/minggu berbentuk kopi beras yang belum
di grading (green off-grade).
Di tingkat eksportir, terdapat dua jenis kategori eksportir yaitu eksportir
yang berbadan hukum koperasi atau ditulis menjadi eksportir (koperasi) dan
eksportir yang berbadan hukum selain koperasi seperti CV dan PT atau dapat
ditulis menjadi eksportir (non koperasi). Perbedaan ini dilakukan dengan tujuan
untuk melihat sejauh mana peran eksportir (koperasi) dan eksportir (non koperasi)
dalam aktivitas pemasaran kopi Arabika Gayo. Pada aktivitas pemasaran, terdapat
kelebihan yang dimiliki oleh masing-masing eksportir. Eksportir (koperasi)
memiliki kepastian pasokan kopi relatif lebih banyak dibandingkan eksportir (non
koperasi). Hal ini disebabkan eksportir (koperasi) memiliki keterikatan dengan
kolektor dan petani sebagai anggota koperasi dan memiliki lisensi sertifikasi
produk. Namun, di tingkat eksportir (non koperasi) kelebihan yang dimiliki
anatara lain adanya modal yang relatif besar dan jaringan pasar yang lebih luas
dibandingkan eksportir (koperasi). Sehingga, eksportir (non koperasi) dapat
membeli pasokan kopi yang berasal dari koperasi maupun eksportir (koperasi).
Volume rata-rata pembelian kopi yang dilakukan eksportir (non koperasi)
mencapai 54 991 kg/minggu dalam bentuk kopi green bean maupun green off-
grade. Pembelian kopi bersumber dari koperasi, eksportir (koperasi) dan beberapa
kolektor. Seluruh kopi Arabika Gayo yang dihasilkan dipasarkan ke pasar dunia
dalam bentuk kopi beras yang telah di grading (green bean) melalui importir
(konsumen) dengan rata-rata penjualan 53 892 kg/minggu. Di sisi lain eksportir
(koperasi) sebagian besar (78.22%) menyalurkan sendiri produk kopi green bean
yang dihasilkan dan sisanya (20.78%) disalurkan melalui eksportir (non koperasi).
Pilihan eksportir (koperasi) menyalurkan melalui eksportir (non koperasi) adalah
untuk membuka jaringan pasar lebih luas. Sehingga, jumlah pasokan kopi yang
diperoleh dapat tersalurkan seluruhnya.

2. Kabupaten Bener Meriah


Pada umumnya, saluran pemasaran kopi di Kabupaten Aceh Tengah dan
Bener Meriah hampir sama, terdiri atas 4 macam saluran pemasaran antara lain:
Saluran 1 : Petani-kolektor-koperasi-eksportir(non-koperasi)-konsumen (importir)
Saluran 2 : Petani-kolektor-eksportir(non-koperasi)-konsumen(importir)
Saluran 3 : Petani-kolektor-eksportir(koperasi)-eksportir(non-koperasi)-konsumen
Saluran 4 : Petani-kolektor-eksportir (koperasi)-konsumen (importir).
77

Namun, terdapat perbedaan dalam bentuk produk yang dipasarkan dan


keterlibatan petani dalam anggota koperasi. Pada Gambar 22 terlihat bahwa
sebagian besar (n=18) petani responden tergabung dalam koperasi yang tidak
melakukan ekspor langsung seperti Koperasi Tunas Indah, sedangkan sisanya
(n=12) merupakan anggota koperasi yang telah melakukan ekspor langsung
seperti KBQ. Baburrayan, KSU. Permata Gayo dan GLOC. Di sisi lain, seluruh
petani responden (n=30) hanya menjual kopi dalam bentuk kopi ceri. Hal ini
menggambarkan bahwa petani di Kabupaten Bener Meriah tidak melakukan
perubahan nilai tambah terhadap kopi yang mereka pasarkan. Gambar 22
menunjukkan 4 macam saluran pemasaran kopi Arabika Gayo yang terdapat di
Kabupaten Bener Meriah.

Petani (n=18) Petani (n=12)


Vol. kopi ceri Vol. kopi ceri
341 kg/minggu/petani 352 kg/minggu/petani

100% Vol. Kopi beras 100%


818 kg/minggu
Kolektor (n=3) 8.11% Kolektor (n=2)
Vol. kopi HS Vol. kopi HS
8 985 kg/minggu 1.32% 8 561 kg/minggu
Vol. Kopi beras
91.89% 79 kg/minggu

Koperasi (n=2)
Vol. Green off-grade 98.68%
59 218 kg/minggu

100%
Eksportir (n=3) Eksportir (n=3)
[ Non Koperasi] [Koperasi]
Vol.Green bean 20.78% Vol. Green bean
53 892 kg/minggu 163 937 kg/minggu
79.22%
100%
KONSUMEN KONSUMEN
(IMPORTIR) (IMPORTIR)

Gambar 22 Saluran pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten Bener Meriah

Keterangan : Saluran 1; Saluran 2; Saluran 3; Saluran 4

Total produksi kopi yang dihasilkan rata-rata sebesar 4 200 kg/ha, produksi
ini lebih tinggi dibandingkan produksi kopi di Kabupaten Aceh Tengah. Hal ini
disebabkan perbedaan ketinggian lahan tempat penanaman kopi. Pada Gambar 22
terlihat bahwa rata-rata volume penjualan kopi petani sebesar 347 kg/minggu dan
seluruh petani menyalurkannya melalui kolektor dalam bentuk kopi ceri. Petani
menjual kopi ceri disebabkan oleh faktor kebiasaan. Sejak tahun 1984, perusahaan
78

kopi asal Belanda yang berada di Kabupaten Bener Meriah hanya akan membeli
kopi dari petani dalam bentuk kopi ceri. Hal ini bertujuan untuk menjaga
konsistensi kualitas kopi yang dihasilkan. Perusahaan ini bergerak di bidang
perdagangan eskpor kopi dan bekerja sama dengan Perusahaan Daerah Genap
Mupakat (PDGM). Namun, pada tahun 1994 perusahaan ini tutup akibat
instabilitas keuangan perusahaan. Oleh karenanya, kebiasaan petani yang telah
terbentuk lama menyebabkan petani lebih memilih menjual kopi mereka dalam
bentuk kopi ceri.
Selain itu, jauhnya jarak kebun kopi dengan rumah petani atau kilang kopi
tempat pengupasan kulit kopi (pulper) menyebabkan petani lebih mudah untuk
menjualnya langsung kepada pedagang pengumpul (kolektor) yang menjemput
kopi ke kebun petani. Lokasi kebun petani di Kabupaten Bener Meriah umumnya
berada pada ketinggian 1 200 sampai 1 800 m dpl. Berbeda halnya dengan petani
kopi di Kabupaten Aceh Tengah yang memiliki jarak lebih dekat antara kebun
kopi dengan rumah petani atau kilang kopi tempat dilakukannya pengupasan kulit
kopi. Lokasi kebun kopi yang rata-rata berada pada ketinggian 700 sampai 1 000
m dpl memudahkan petani untuk mengolah kopi terlebih dahulu sebelum
memasarkannya.
Di Kabupaten Bener Meriah, perubahan nilai tambah dari kopi ceri menjadi
kopi HS diperankan oleh kolektor. Volume pembelian kopi ceri oleh kolektor
rata-rata sebesar 19 842 kg/minggu dengan jumlah petani yang terlibat mencapai
60 orang tiap kolektor. Total penjualan kolektor rata-rata mencapai 9 227
kg/minggu, sebagian besar (>90%) dijual kepada koperasi dalam bentuk kopi HS
dan sisanya (<10%) dijual kepada eksportir dalam bentuk kopi beras yang belum
di grading (grade off grade). Sama halnya dengan kolektor di Kabupaten Aceh
Tengah. Kolektor yang menjual kopi beras umumnya memiliki tingkat pembelian
kopi ceri rata-rata lebih besar dari 19 ton, selain untuk meningkatkan efisiensi,
pilihan kolektor untuk menjual dalam bentuk kopi beras disebabkan adanya
permintaan eksportir dengan penawaran harga yang lebih tinggi. Di tingkat
koperasi dan eksportir, peran yang dilakukan kedua lembaga pemasaran ini sama
dengan yang terjadi di Kabupaten Aceh Tengah. Hal ini disebabkan, koperasi
maupun eksportir memperoleh sumber pasokan kopi yang berasal dari kedua
kabupaten ini.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa saluran pemasaran
yang dilewati petani di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah terdiri atas 4
macam saluran. Perbedaan bentuk kopi yang dipasarkan pada masing-masing
kabupaten akan mempengaruhi tingkat harga dan jumlah kopi yang dipasarkan. Di
tingkat petani, terbatasnya alternatif saluran pemasaran disebabkan oleh
keterikatan petani dengan kolektor. Secara institusi, koperasi merupakan lembaga
yang menampung hasil kopi petani. Melalui kolektor, petani dapat menjual hasil
panen mereka kepada koperasi. Di sisi lain, keterikatan pinjaman yang dilakukan
petani dengan kolektor menyebabkan petani tidak dapat memasarkan kopinya
selain kepada kolektor yang telah memberikan pinjaman. Kondisi ini
menyebabkan posisi petani lemah dalam proses penentuan harga. Selain itu,
perbedaan bentuk produk yang dipasarkan petani akan mempengaruhi marjin
pemasaran dan share harga yang diterima oleh petani. Analisis marjin dan farmer
share akan dibahas lebih lanjut dalam analisis kinerja pasar.
79

MekanismePenentuan Harga
Secara teknis, penentuan harga kopi Arabika Gayo berdasarkan pada tingkat
kualitas kopi yang dipasarkan. Di tingkat eksportir penentuan harga dilakukan
melalui kontrak jual beli antara eksportir dan buyers (importir) dengan mengacu
pada perkembangan harga pasar dunia (Terminal New York) (ICRRI 2008).
Harga di Terminal New York ditentukan berdasarkan standar mutu Arabica
Brazillian natural dan barang diterima di pelabuhan di Amerika Serikat. Harga
kopi arabika mutu 1 dari Gayo biasanya lebih mahal dari pada harga NY, hal ini
karena kopi Arabika Gayo dikelompokkan dalam other milds yang memiliki mutu
lebih baik dibandingkan dengan mutu kopi Arabica Brazillian natural. Nilai
kontrak ekspor biasanya berbasis FOB (free on board), yaitu barang diatas kapal
di pelabuhan eksportir, untuk kopi Arabika Gayo biasanya harganya lebih tinggi
30 sampai 40 sen US$/lbs atau setara dengan Rp6 377/kg sampai Rp8 502/kg.
Tambahan harga seperti ini dalam perdagangan disebut dengan premium harga
(ICRRI 2008).
Umumnya, kesepakatan harga antara eksportir dan impotir terjadi melalui
sistem tawar-menawar. Hal penting yang menjadi perhatian adalah pembentukan
harga sangat dipengaruhi oleh kemampuan eksportir dalam melakukan negosiasi.
Sistem negosiasi biasanya diwakili oleh orang yang memiliki pengetahuan yang
baik tentang kualitas kopi yang diperjualbelikan, perkembangan harga kopi baik
di pasar produsen maupun konsumen serta perkembangan produksi dan konsumsi
kopi dunia. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan daya tawar eksportir dalam
proses penentuan harga. Selain itu, hubungan kerjasama yang telah terjalin lama
dan baik antara eksportir dan importir akan mampu meningkatkan kepercayaan
importir terhadap nilai harga yang ditetapkan oleh eksportir. Pada Tabel 24
menunjukkan sumber informasi harga dan proses penentuan harga kopi Arabika
Gayo pada setiap lembaga pemasaran.

Tabel 24 Sumber informasi dan proses penentuan harga kopi Arabika Gayo pada
setiap lembaga pemasaran
Lembaga Persentase
Sumber informasi harga Proses penentuan harga
pemasaran (%)
Petani Kolektor, Petani lain Ditentukan oleh kolektor 83.33
Tawar-menawar 16.67
Kolektor Koperasi, Eksportir Ditentukan oleh koperasi 64.29
Tawar-menawar 35.71
Koperasi Pasar NewYork, eksportir Tawar-menawar 100.00
Pasar lokal
Eksportir Pasar NewYork, Importir, Tawar-menawar 100.00
Koperasi

Di tingkat koperasi hubungan kerjasama yang dilakukan dengan beberapa


eksportir akan memudahkan koperasi dalam memperoleh informasi harga.
Informasi ini dijadikan acuan bagi koperasi dalam proses penentuan harga. Sistem
penentuan harga antara koperasi dengan eksportir dilakukan dengan cara tawar
menawar. Koperasi sebagai sumber pasokan utama kopi Arabika Gayo yang
bersertifikat akan memberikan gambaran kondisi pasokan kopi yang tersedia dan
perkembangan harga yang terjadi di pasar produsen. Eksportir akan memberikan
gambaran kondisi perkembangan harga dan permintaan kopi dunia teradap kopi
80

arabika. Berdasarkan pertimbangan terhadap kondisi yang ada maka koperasi dan
eksportir akan melakukan kontrak sejumlah kopi dengan spesifikasi mutu dan
harga yang sesuai, selanjutnya transaksi jual beli akan ditandatangani diatas
materai.
Pedagang pengumpul (kolektor) sebagai perpanjangan tangan koperasi akan
diinfokan secara langsung oleh pihak koperasi dan koperasi sebagai penentu
harga. Informasi harga yang diperoleh dari koperasi, dijadikan oleh kolektor
sebagai acuan dalam menentukan harga beli kopi tersebut kepada petani. Posisi
petani terhadap pedagang pengumpul (kolektor) hanya sebagai penerima harga
(price taker). Keterbatasan petani dalam memperoleh informasi harga dan
keterikatan petani dengan kolektor, meyebabkan posisi tawar (bargaining
position) petani lemah dalam proses penentuan harga. Namun, adapula petani
responden (16.67%) yang dapat melakukan tawar-menawar dengan kolektor.
Kondisi ini dapat terjadi apabila petani tidak memiliki keterikatan hutang dan
memiliki pengetahuan lebih baik terhadap perkembangan harga yang terjadi.
Sehingga posisi tawar petani lebih baik dihadapan kolektor.
Sebagai alternatif yang dapat diusahakan oleh petani sehubungan dengan
posisinya sebagai penerima harga (price taker) adalah memanfaatkan variasi
harga yang terjadi di pasar. Perbedaan tahap pengolahan yang dilakukan akan
meningkatkan harga jual petani. Kopi yang dijual dalam bentuk HS akan lebih
tinggi harganya dibandingkan kopi ceri yang baru dipanen. Harga jual kopi HS
juga bervariasi berdasarkan tingkat kadar air yang diperoleh. Sehingga, petani
dalam hal ini perlu memahami tingkat kadar air yang terdapat pada kopi mereka.
Selain itu, kemandirian petani dalam memperoleh sumber modal dan
kemampuannya dalam mengelola keuangan keluarga akan mampu meningkatkan
posisi tawar (bargaining position) petani dalam proses penentuan harga.

Sistem Pembayaran
Sistem pembayaran dalam pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten
Aceh Tengah dan Bener Meriah umumnya terdiri atas sistem pembayaran kontrak,
tunda, tunai/langsung. Sistem kontrak umumnya diterapkan oleh eksportir
terhadap koperasi. Setelah menandatangani kontrak, perusahaan akan
mengirimkan uang sebesar 20 sampai 30 persen dari harga yang telah ditetapkan.
Selanjutnya perusahaan akan melunasi seluruh sisanya setelah seluruh barang
diterima dan sesuai dengan kesepakatan kontrak. Pembayaran dilakukan dengan
menggunakan fasilitas perbankan, sehingga bukti transfer akan dijadikan sebagai
salah satu bukti bahwa uang telah dikirmkan.
Di tingkat kolektor, sebagian besar (61.54%) eksportir (koperasi dan non
koperasi} menerapkan sistem pembayaran tunda. Sedangkan sebesar 38.46 persen
terdapat koperasi yang membayar tunai/tunda kepada kolektor. Pembayaran
dilakukan antara 2 sampai 4 hari setelah barang diterima dari pedagang
pengumpul (kolektor). Alasan koperasi menerapkan sistem tunda disebabkan
besarnya nilai uang yang harus disediakan oleh koperasi. Faktor keamanan dan
kemudahan juga menjadi pertimbangan perusahaan dalam melakukan pembayaran
kepada pedagang pengumpul (kolektor). Pada sistem pembayaran langsung,
koperasi kan membayar sesuai dengan jumlah kopi yang diberikan. Prosedur
pembayaran dilakukan dengan menunjukkan bukti penerimaan yang diberikan
oleh koperasi setelah barang diterima. Selanjutnya, pedagang pengumpul
81

menyerahkan bukti tanda terima ke bagian pembayaran pada saat yang sama.
Maka, uang akan diserahkan sesuai dengan harga yang tertera pada tanda bukti
yang diterima.
Sistem pembayaran tunda juga dilakukan pada saat pembeli (kolektor)
meminjamkan uang kepada petani (55.00%). Namun, proses pembayaran akan
dilakukan setelah dikurangi dengan jumlah pinjaman. Penentuan harga didasarkan
pada harga yang berlaku saat panen berlangsung. Prosedur peminjaman yang
sangat mudah, fleksibel, informal dan tidak terikat waktu dan tempat. Hal ini yang
menjadi daya tarik petani untuk memperoleh pinjaman dengan cepat dan praktis.
Pedagang pengumpul (kolektor) sebagai kreditor dan pembeli hasil kopi petani
mendapatkan keuntungan berlipat. Keuntungan diperoleh dari bunga pinjaman
yang diberikan dan keuntungan dari selisih harga beli di petani dengan harga jual
di koperasi. Biasanya pedagang pengumpul (kolektor) akan membeli hasil panen
petani dengan harga rendah karena posisi tawar kolektor yang lebih kuat
dibandingkan petani. Oleh karennya, selisih keuntungan akan lebih banyak
dinikmati pedagang pengumpul (kolektor). Di sisi lain adapula petani yang telah
mandiri dan tidak meminjam uang kepada kolektor. Pada kondisi petani seperti
ini, kolektor akan langsung membayar uangnya kepada petani (16.67%) atau
menundanya selama 2 sampai 3 hari setelah barang diterima (28.33%). Penundaan
terjadi akibat pedagang pengumpul menunggu pembayaran yang diberikan oleh
koperasi, sehingga kolektor memiliki modal untuk membayarkannya kepada
petani. Pada Tabel 25 menunjukkan sistem pembayaran yang dilakukan oleh
setiap lembaga pemasaran di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah.

Tabel 25 Sistem pembayaran pada setiap lembaga pemasaran


Penjual Persentase
Pembeli Sistem pembayaran
(%)
Koperasi Eksportir 100.00 Kontrak
Kolektor Eksportir 61.54 Tunda
Koperasi 38.46 Tunda/ Tunai
Petani Kolektor 16.67 Langsung/Tunai
28.33 Tunda
55.00 Tunda dan dipotong hutang

Analisis Kinerja Pasar (Market Performance)

Kinerja pasar (market performance) akan mencerminkan interaksi yang


terjadi antara struktur pasar dan perilaku pasar (Dahl dan Hammond 1990).
Analisis yang digunakan untuk mengukur kinerja pasar antara lain marjin
pemasaran, farmer share dan integrasi pasar vertikal.

Marjin Pemasaran
Analisis marjin pemasaran kopi Arabika Gayo dilakukan mulai dari
pedagang pengumpul (kolektor), koperasi dan eksportir. Pengertian marjin disini
adalah selisih harga beli dan harga jual di setiap tingkat lembaga pemasaran.
Dengan demikian marjin total merupakan selisih harga di tingkat petani dengan
harga di tingkat eksportir. Analisis marjin didalam penelitian ini mempergunakan
82

metode akuntansi yang bertujuan untuk mengetahui penyebaran marjin pemasaran


diantara lembaga-lembaga yang terlibat pada saluran pemasaran. Saluran yang ada
akan dianalisis terdiri atas 8 saluran pemasaran yaitu 4 saluran di Kabupaten Aceh
Tengah dan 4 saluran di Kabupaten Bener Meriah. Adanya perbedaan bentuk kopi
yang dipasarkan oleh petani akan menyebabkan terjadinya perbedaan marjin yang
dihasilkan, dimana di Kabupaten Bener Meriah petani menjual dalam bentuk kopi
ceri (belum dikupas kulit luarnya) dan di Kabupaten Aceh Tengah petani menjual
dalam bentuk kopi HS (kopi ceri yang telah dikupas kulit luarnya). Besarnya
marjin pada masing-masing saluran pemasaran berbeda-beda, tergantung pada
saluran yang dilalui dan banyaknya lembaga pemasaran yang terlibat.

1. Marjin pemasaran di Kabupaten Aceh Tengah


Hasil analisis menunjukkan bahwa marjin pemasaran terbesar terdapat pada
saluran 1 (petani-kolektor-koperasi-eksportir [non-koperasi]) yaitu Rp43 944/kg
atau 72.04 persen, sedangkan saluran 4 merupakan saluran yang memiliki marjin
pemasaran terkecil yaitu Rp40 367/kg atau 70.00 persen dari harga yang
dibayarkan oleh konsumen (importir). Marjin pemasaran yang tinggi disebabkan
karena banyaknya pihak yang terlibat dalam proses penyaluran produk dari
produsen ke konsumen. Hal ini mengakibatkan biaya pemasaran menjadi lebih
tinggi dan keuntungan yang diambil oleh masing-masing pelaku pasar semakin
kecil. Secara lengkap, hasil analisis marjin pemasaran kopi Arabika Gayo di
Kabupaten Aceh Tengah disajikan dalam Lampiran 6a.
Berdasarkan hasil analisis terlihat bahwa total keuntungan terbesar diperoleh
pada saluran 4 (Rp37 537/kg), sedangkan total keuntungan terkecil terdapat pada
saluran 3 (Rp37 484). Hal ini disebabkan pada saluran 4 lembaga pemasaran yang
terlibat lebih sedikit (petani-kolektor-eksportir [koperasi]) dibandingkan saluran
lainnya, terutama saluran 3 (petani-kolektor-eksportir [koperasi]-eksportir [non-
koperasi]). Selain itu, harga jual yang ditawarkan oleh eksportir [koperasi] lebih
kompetitif (Rp57 667/kg) dibandingkan eksportir [non-koperasi] (Rp61 000 /kg).
Kelebihan eksportir yang berbadan hukum koperasi adalah memiliki kepastian
pasokan dari petani dan kolektor anggota, selain itu perubahan nilai tambah yan
dilakukan di tingkat koperasi yang juga merupakan eksportir dapat meningkatkan
efisiensi perusahaan dalam proses pemasarannya. Analisis saluran pemasaran
pada masing-masing saluran memberikan tingkat biaya pemasaran yang berberda.
Hal ini dipengaruhi oleh perubahan nilai tambah produk yang dilakukan, baik
bentuk, tempat, waktu dan kepemilikan. Analisis marjin pemasaran kopi Arabika
Gayo di Kabupaten Aceh Tengah pada setiap saluran pemasaran ditunjukkan pada
Gambar 23 sampai Gambar 26.
Hasil analisis menunjukkan bahwa pada saluran 1 biaya pemasaran terbesar
dikeluarkan oleh eksportir [non-koperasi] yaitu sebesar Rp3 433/kg atau 5.63
persen, selanjutnya di tingkat koperasi Rp2 160/kg atau 3.54 persen dan di tingkat
kolektor sebesar Rp302/kg atau 0.49 persen. Besarnya biaya yang dikeluarkan
eksportir disebabkan oleh besarnya biaya transportasi dan bongkar muat yang
mencapai Rp2 131/kg atau setara dengan 3.49 persen dari harga yang dibayarkan
oleh konsumen (importir). Biaya tersebut dikeluarkan untuk menyewa truk,
administrasi pengapalan dan membayar upah tenaga kerja yang mengambil
produk kopi dari gudang tempat pengolahan kopi di lakukan menuju gudang kopi
di Pelabuhan Belawan, Sumatera Utara. Selain itu, eksportir juga mengeluarkan
83

biaya pengolahan (0.95%), biaya sortasi (0.59%), biaya penyimpanan dan biaya-
biaya lainnya (0.60%). Pada Gambar 23 menunjukkan marjin pemasaran yang
terjadi pada saluran 1.

Saluran 1
70,000 61,000
60,000
50,000 42,000 42,000
Rupiah/kg

40,000
19,333
30,000 17,056 19,333 20,507
3,433 15,567
20,000 2,160
10,000 302 1,976
-
Harga Beli Biaya Harga Jual Keuntungan
Pemasaran

Kolektor Koperasi Eksportir (non koperasi)

Gambar 23 Sebaran marjin pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh


Tengah pada saluran 1, tahun 2012

Hal yang sama terjadi di tingkat koperasi, biaya terbesar yang dikeluarkan
oleh koperasi adalah biaya transportasi dan bongkar muat sebesar Rp1 462/kg atau
2.40 persen. Biaya ini dikeluarkan koperasi untuk menyewa kontainer dan upah
tenaga kerja yang mengantarkan kopi green off-grade atau kopi beras yang belum
disortir dari Kabupaten Aceh Tengah ke tingkar eksportir yang umumnya berada
di Sumatera Utara. Sama halnya di tingkat kolektor biaya pemasaran terbesar
dikeluarkan untuk biaya transportasi Rp183/kg atau 0.30 persen. Lokasi rumah
petani yang saling berjauhan, menyebabkan biaya tranportasi yang harus
dikeluarkan oleh kolektor untuk membeli kopi petani relatif lebih tinggi
dibandingkan biaya pemasaran lainnya.
Analisis kedua dilakukan pada saluran pemasaran 2 di Kabupaten Aceh
Tengah. Hasil analisis menunjukkan bahwa lembaga pemasaran yang
mengeluarkan biaya pemasaran terbesar adalah eksportir [non-koperasi] yaitu
Rp3 733/kg sedangkan di tingkat kolektor hanya mengeluarkan biaya pemasaran
sebesar Rp842. Hal ini disebabkan pada saluran 2 eksportir melakukan pembelian
langsung kopi Arabika Gayo dari kolektor dalam bentuk kopi beras (green off-
grade). Sehingga, biaya yang awalnya ditanggung oleh koperasi, sekarang harus
ditanggung oleh eksportir [non-koperasi]. Adapun biaya pemasaran terbesar
terdapat pada biaya transportasi dan bongkar muat sebesar Rp2 431/kg atau 3.99
persen. Namun di tingkat kolektor, biaya pemasaran yang dikeluarkan lebih besar
jika dibandingkan dengan saluran 1 yaitu sebesar Rp842 /kg. Hal ini disebabkan
kolektor melakukan proses pengolahan kopi HS menjadi kopi beras yang belum
disortir (grade off-grade). Gambar 24 menunjukkan marjin pemasaran yang
terbentuk pada saluran 2.
84

Saluran 2
80,000 61,000
Rupiah/kg 60,000
31,167 31,167 26,100
40,000
17,178 13,147
20,000 8423,733
-
Harga Beli Biaya Harga Jual Keuntungan
Pemasaran

Kolektor Eksportir (non koperasi)

Gambar 24 Sebaran marjin pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh


Tengah pada saluran 2, tahun 2012

Gambar 25 juga menunjukkan sebaran marjin pemasaran yang terjadi pada


saluran 3. Kondisi yang sama terjadi pada saluran 3 dimana eksportir [non-
koperasi] mengeluarkan biaya pemasaran terbesar (Rp3 387/kg). Biaya terbesar
juga dikeluarkan untuk biaya transportasi dan bongkar muat. Sedangkan di tingkat
kolektor mengeluarkan biaya pemasaran terkecil (Rp302 /kg) dengan biaya
terbesarnya (Rp183 /kg) juga digunakan untuk biaya transportasi.

Saluran 3 61,000
70,000
60,000 51,000 51,000
Rupiah/kg

50,000
40,000 18,750 29,722
30,000 17,300 3,387 18,750
20,000 2,528 6,613
10,000 302 1,148
-
Harga Beli Biaya Harga Jual Keuntungan
Pemasaran

Kolektor Eksportir (koperasi) Eksportir (non koperasi)

Gambar 25 Sebaran marjin pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh


Tengah pada saluran 3, tahun 2012

Berbeda halnya dengan saluran 4, Gambar 26 menunjukkan bahwa eksportir


[koperasi] mengeluarkan biaya pemasaran terbesar (Rp2 528/kg). Namun, apabila
dibandingkan dengan eksportir [non-koperasi], perusahaan eksportir yang
berbadan hukum koperasi dapat menekan biaya lebih rendah dalam melakukan
aktivitas pemasaran. Adapun biaya pemasaran terbesar yang ditanggung oleh
eksportir [koperasi] terdapat pada biaya transportasi dan bongkar muat sebesar
Rp1 462/kg atau 2.54 persen. Di tingkat kolektor, aktivitas yang dilakukan sama
dengan yang terjadi pada saluran 1 dan 3. Pada Gambar 26 terlihat sebaran marjin
pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh Tengah pada saluran 4.
85

Saluran 4 57,667
60,000
50,000 36,389

Rupiah/kg
40,000
18,750
30,000 17,300 18,750
20,000
10,000 3022,528 1,148
-
Harga Beli Biaya Harga Jual Keuntungan
Pemasaran

Kolektor Eksportir (koperasi)

Gambar 26 Sebaran marjin pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh


Tengah pada saluran 4, tahun 2012

Berdasarkan hasil analisis marjin pemasaran kopi di Kabupaten Aceh


Tengah menunjukkan bahwa semakin banyak lembaga pemasaran yang terlibat
akan memperoleh marjin pemasaran terbesar yaitu pada saluran 1. Saluran yang
tidak banyak melibatkan pelaku pemasaran dan mampu meningkatkan efisiensi
usahanya dengan mempertahankan kepuasan konsumen akan dapat memperoleh
total keuntungan terbesar yaitu terlihat pada saluran 4. Namun, hal ini belum
cukup untuk menunjukkan kinerja pasar tergolong efisien atau tidak. Perlu kajian
lebih lanjut seberapa besar share harga yang diterima oleh petani dan kondisi
integasi pasar yang terbentuk.

2. Marjin pemasaran di Kabupaten Bener Meriah


Analisis marjin pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten Bener Meriah
berbeda dengan analisis marjin pemasaran di Kabupaten Aceh Tengah. Di tingkat
petani, kopi yang dipasarkan berbentuk kopi ceri. Saluran pemasaran yang
memiliki marjin pemasaran terbesar adalah saluran 3 (petani-kolektor-eksportir
[koperasi]-eksportir [non-koperasi]) sebesar Rp54 000/kg atau 88.52 persen dari
harga yang dibayarkan konsumen (importir), sedangkan marjin pemasaran tekecil
terdapat pada saluran 4 (petani-kolektor-eksportir [koperasi]) sebesar Rp50 667
/kg. Kondisi marjin terkecil pada saluran 4 menunjukkan hasil yang sama dengan
Kabupaten Aceh Tengah. Namun, untuk marjin terbesar terdapat perbedaan
saluran, jika di Kabupaten Aceh Tengah terdapat pada salran 1 sedangkan
Kabupaten Bener Meriah terdapat pada saluran 3. Penyebab tingginya marjin
pemasaran pada saluran 3 dikarenakan besarnya selisih harga jual kopi petani
(Rp7 000/kg) dengan harga yang diterima oleh eksportir (Rp61 000/kg) dengan
total keuntungan yang diperoleh sebesar Rp48 952/kg atau 80.25 persen dari
harga yang dibayarkan oleh konsumen. Sedangkan, saluran yang memiliki total
keuntungan terbesar adalah saluran 2 (petani-kolektor-eksportir [non-koperasi]).
Tingginya total keuntungan yang diperoleh disebabkan di tingkat kolektor,
terdapat perubahan nilai tambah kopi yang dilakukan. Pada saluran ini kolektor
membeli dalam bentuk kopi ceri dan menjual dalam bentuk kopi beras (green off-
grade) dengan harga jualnya meningkat 2 kali lipat dibandingkan apabila kolektor
menjual dalam bentuk kopi HS.
86

Secara umum, kondisi biaya pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten


Bener Meriah relatif sama dengan biaya pemasaran yang terjadi di Kabupaten
Aceh Tengah. Pada Gambar 27 terlihat bahwa biaya pemasaran terbesar yang
dikeluarkan oleh lembaga pemasaran pada saluran 1 berada di tingkat eksportir
[non-koperasi] yaitu sebesar Rp3 433/kg, selanjutnya di tingkat koperasi
Rp2 160/kg dan di tingkat kolektor sebesar Rp490/kg. Besarnya biaya yang
dikeluarkan eksportir [non-koperasi] disebabkan oleh besarnya biaya transportasi
dan bongkar muat yang mencapai Rp1 545/kg. Biaya tersebut dikeluarkan untuk
menyewa truk, administrasi pengapalan dan membayar upah tenaga kerja yang
mengambil produk kopi dari gudang tempat pengolahan kopi di lakukan menuju
gudang kopi di Pelabuhan Belawan, Sumatera Utara. Selain itu, eksportir juga
mengeluarkan biaya pengolahan (0.95%), biaya sortasi (0.59%), biaya
penyimpanan dan biaya-biaya lainnya (0.60%). Kondisi biaya pemasaran di
tingkat koperasi dan eksportir [non-koperasi] di kedua kabupaten relatif sama.
Namun berbeda halnya untuk tingkat kolektor, biaya pemasaran yang
dikeluarkan oleh kolektor di Bener Meriah relatif lebih tinggi dibandingkan
kolektor di Kabupaten Aceh Tengah. Tingginya biaya yang ditanggung oleh
kolektor Bener Meriah disebabkan oleh lokasi kebun petani yang relatif lebih jauh
dibandingkan di Kabupaten Aceh Tengah. Gambar 27 menunjukkan sebaran
marjin pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten Bener Meriah pada saluran 1.

Saluran 1 61,000
70,000
60,000
42,000 42,000
Rupiah/kg

50,000
40,000
30,000 19,667 19,667 20,173
20,000 7,167
3,433 12,010 15,567
2,160
10,000 490
-
Harga Beli Biaya Harga Jual Keuntungan
Pemasaran

Kolektor Koperasi Eksportir (non koperasi)

Gambar 27 Sebaran marjin pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten Bener


Meriah pada saluran 1, tahun 2012

Sama halnya yang terjadi pada saluran 1. Pada saluran 2 terlihat bahwa
biaya pemasaran terbesar dikeluarkan oleh eksportir [non-koperasi]. Namun di
tingkat kolektor, biaya pemasaran yang dikeluarkan sebesar Rp842/kg lebih tinggi
dibandingkan pada saluran 1 (Rp490/kg). Hal ini dikarenakan dalam proses
pengolahan kopi ceri menjadi kopi beras memerlukan biaya yang lebih besar
(Rp300/kg). Selain itu, biaya transportasi yang ditanggung menjadi lebih besar
(Rp183/kg). Namun, keuntungan yang dinikmati kolektor pada saluran 2
meningkat sebesar 2 sampai 3 kali lipat dibandingkan dengan keuntungan yang
diperoleh pada saluran 1. Walaupun dalam prakteknya tidak seluruh kolektor
dapat melakukan proses penjualan kopi ke eksportir [non koperasi]. Hal ini
dikarenakan kolektor telah memiliki ikatan dengan koperasi atau eksportir
[koperasi]. Pada Gambar 28 terlihat sebaran marjin pemasaran kopi Arabika Gayo
di Kabupaten Bener Meriah pada saluran 2.
87

Saluran 2
70,000 61,000
60,000

Rupiah/kg
50,000 33,500 33,500
40,000 25,575
23,767
30,000
20,000 7,083
10,000 8423,733
-
Harga Beli Biaya Harga Jual Keuntungan
Pemasaran

Kolektor Eksportir (non koperasi)

Gambar 28 Sebaran marjin pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten Bener


Meriah pada saluran 2, tahun 2012

Analisis selanjutnya dilakukan pada saluran pemasaran 3 di Kabupaten


Bener Meriah. Hasil analisis menunjukkan bahwa lembaga pemasaran yang
mengeluarkan biaya pemasaran terbesar adalah eksportir [non-koperasi] sebesar
Rp2 755/kg dan di tingkat eksportir [koperasi] sebesar Rp 1 991/kg sedangkan di
tingkat kolektor hanya mengeluarkan biaya pemasaran sebesar Rp302. Apabila
dibandingkan dengan saluran 2, pada saluran 3 eksportir [non-koperasi]
menanggung biaya lebih kecil. Hal ini disebabkan pada saluran 3 eksportir [non-
koperasi] melakukan pembelian kopi Arabika Gayo dari eksportir [koperasi]
dalam bentuk kopi beras (green off-grade). Sehingga, biaya yang awalnya
ditanggung oleh eksportir [non-koperasi], sekarang ditanggung oleh eksportir
[koperasi]. Sama halnya dengan saluran pemasaran lainnya, umumnya biaya
pemasaran terbesar terdapat pada biaya transportasi dan bongkar muat. Pada
Gambar 29 menunjukkan sebaran marjin pemasaran yang terbentuk pada saluran
3 di Kabupaten Bener Meriah.

Saluran 3 61,000
70,000
60,000 51,000 51,000
50,000
Rupiah/kg

40,000 30,259
30,000 18,750 18,750
20,000 2,755 11,448 7,245
7,000 1,991
10,000 302
-
Harga Beli Biaya Harga Jual Keuntungan
Pemasaran

Kolektor Eksportir (koperasi) Eksportir (non koperasi)

Gambar 29 Sebaran marjin pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten Bener


Meriah pada saluran 3, tahun 2012

Selama ini, eksportir [non-koperasi] memiliki pengalaman relatif lebih lama,


sehingga jaringan pasar ekspor lebih luas dibandingkan eksportir [koperasi] yang
88

sebagian besar mulai mengekspor pada tahun 2005. Sehingga, kerjasama yang
terjalin hingga saat ini lebih bersifat mutualisme (saling menguntungkan).
Berbeda halnya dengan saluran 3, pada saluran 4 biaya pemasaran tertinggi di
tanggung oleh eksportir [koperasi] (Rp3 218/kg). Tingginya biaya pemasaran
yang ditanggung oleh eksportir [koperasi] disebabkan pada saluran 4, eksportir
[koperasi] langsung menyalurkan produk kopi yang dihasilkan ke pelabuhan
Belawan, Sumatera Utara tanpa melalui eksportir [non koperasi]. Jika
dibandingkan dengan eksportir [non-koperasi], maka kelebihan eksportir
(koperasi) adalah memiliki lisensi sertifikasi dan beranggotakan kolektor dan
petani. Sehingga, akses terhadap pasokan kopi dapat diestimasi dengan baik.
Gambar 30 menunjukkan sebaran marjin yang terjadi pada saluran 4 di Kabupaten
Bener Meriah.

Saluran 4 57,667
60,000
50,000
35,698
Rupiah/kg

40,000
30,000 18,750 18,750
20,000 11,448
7,000
10,000 3023,218
-
Harga Beli Biaya Harga Jual Keuntungan
Pemasaran

Kolektor Eksportir (koperasi)

Gambar 30 Sebaran marjin pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten Bener


Meriah pada saluran 4, tahun 2012

Berdasarkan hasil analisis marjin pemasaran kopi Arabika Gayo di


Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah dapat disimpulkan bahwa banyaknya
lembaga pemasaran yang terlibat dan adanya proses perubahan nilai tambah
produk kopi yang dihasilkan akan mempengaruhi marjin pemasaran yang
diperoleh. Hal ini sejalan dengan pendapat Tomek dan Robinson (1990) yang
menyatakan bahwa marjin pemasaran merupakan harga dari kumpulan jasa-jasa
pemasaran sebagai akibat adanya aktivitas-aktivitas yang terjadi dalam
pemasaran. Selain itu, hasil analisis ini juga sejalan dengan pendapat Kohl dan
Uhls (2002) yang menyatakan bahwa marjin pemasaran komoditas pertanian
dipengaruhi oleh biaya angkut, perlakuan baru, biaya peyusutan/kerusakan,
tingkat harga beli, besar keuntungan, modal kerja dan kapasitas penjualan.

Farmer Share
Farmer share merupakan rasio antara harga di tingkat petani terhadap harga
di tingkat pedagang. Besarnya farmer share dipengaruhi oleh tingkat pemrosesan,
biaya transportasi, keawetan produk dan jumlah produk (Kohls dan Uhl 2002).
Pada analisis ini, share harga yang diterima petani dapat dibedakan berdasarkan
bentuk produk yang dipasarkan. Di Kabupaten Aceh Tengah, share harga yang
diterima petani relatif lebih tinggi (>27%) dibandingkaan share harga yang
89

diterima petani di Kabupaten Bener Meriah (≤12%). Rendahnya share harga yang
diterima petani disebabkan petani di Kabupaten Bener Meriah langsung
memasarkan hasil panen kopi mereka, tanpa dilakukan proses pengolahan. Hal ini
berbeda dengan petani di Kabupaten Aceh Tengah yang menjual kopi setelah
diolah dalam bentuk kopi HS. Gambar 31 menunjukkan farmer share yang
dihasilkan pada setiap saluran pemasaran di Kabupaten Aceh Tengah.

Farmer Share

27.96% 28.16% 28.36% 30.00%

70,000 61,000 61,000 61,000


57,667
60,000 51,000
Harga jual (Rp/kg)

50,000 42,000
40,000 31,167
30,000 19,333 18,750 18,750
17,056 17,178 17,300 17,300
20,000
10,000 - - - - - -
-
Saluran 1 Saluran 2 Saluran 3 Saluran 4

Petani Kolektor Koperasi Eksportir [koperasi] Eksportir [non-koperasi]

Gambar 31 Farmer share pada setiap saluran pemasaran di Kabupaten Aceh


Tengah, tahun 2012

Berdasarkan Gambar 31 terlihat bahwa saluran pemasaran 4 memberikan


manfaat lebih bagi petani dibandingkan dengan saluran pemasaran lainnya.
Farmer share yang tinggi disebabkan adanya peningkatan nilai tambah (added
value) yang dilakukan petani sebelum memasarkan produknya. Farmer share
dapat dikatakan sebagai bagian harga yang dibayar konsumen dan dinikmati oleh
petani. Sedangkan share harga yang diterima petani di Kabupaten Bener Meriah
relatif lebih rendah dibandingkan Kabupaten Aceh Tengah. Sama halnya dengan
petani di Kabupaten Aceh Tengah, saluran yang memberikan manfaat lebih
kepada petani di Kabupaten Bener Meriah adalah saluran 4. Namun, apabila
dibandingkan share harga yang diterima petani di Kabupaten Bener Meriah jauh
lebih rendah dibandingkan petani di Kabupaten Aceh Tengah.
Di Kabupaten Bener Meriah, petani menjual kopi ceri rata-rata seharga
Rp7 063/kg, sedangkan petani di Kabupaten Aceh Tengah rata-rata menjual kopi
HS dengan harga Rp17 208 /kg. Peningkatan harga kopi HS hampir 3 kali lipat
dari harga kopi ceri yang dipasarkan oleh petani. Di sisi lain, farmer share
terendah yang diterima petani di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah
terdapat pada saluran 2. Pada saluran ini, umumnya kolektor akan membeli hasil
kopi petani dengan harga relatif lebih murah dibandingkan saluran lainnya. Hal ini
disebabkan, selain menjual kepada koperasi, kolektor juga akan menjual kepada
eksportir. Oleh karena itu, peningkatan kapasitas pembelian kopi yang dilakukan
dapat meningkatkan efisiensi dari proses pengolahan dan akhirnya akan
90

meningkatkan keuntungan. Pada Gambar 32 terlihat farmer share yang dihasilkan


pada setiap saluran pemasaran di Kabupaten Bener Meriah.

Farmer Share

11.75% 11.61% 11.48% 12.14%


70,000 61,000 61,000 61,000
57,667
60,000 51,000
Harga jual (Rp/kg)

50,000 42,000
40,000 33,500
30,000
19,667 18,750 18,750
20,000
7,167 7,083 7,000 7,000
10,000
- - - - - -
-
Saluran 1 Saluran 2 Saluran 3 Saluran 4

Petani Kolektor Koperasi Eksportir [koperasi] Eksportir [non-koperasi]

Gambar 32 Farmer share pada setiap saluran pemasaran di Kabupaten Bener


Meriah, tahun 2012

Berdasarkan hasil analisis farmer share di Kabupaten Aceh Tengah dan


Bener Meriah dapat disimpulkan bahwa share harga yang diterima petani baik di
Kabupaten Aceh Tengah maupun Bener Meriah tergolong rendah. Hal ini
dikarenakan tidak lebih dari 30 persen petani menikmati harga yang dibayarkan
oleh konsumen. Seharusnya, dalam aktivitas pemasaran komoditas pertanian
share harga yang diterima petani dapat mencapai 40 persen atau lebih dari harga
yang dibayarkan oleh konsumen (Kohl dan Uhls 2002). Farmer share yang
rendah menggambarkan bahwa tingginya harga jual kopi Arabika Gayo di pasar
ekspor belum sepenuhnya dinikmati oleh petani. Keterbatasan petani dalam
memperoleh alternatif saluran pemasaran dan keterikatan pinjaman modal dengan
kolektor mengakibatkan posisi tawar petani semakin lemah dalam proses
penentuan harga dan petani cenderung sebagai penerima harga (price taker). Hal
ini sangat terkait dengan integrasi pasar yang terjadi. Oleh karena itu, berikut ini
akan dianalisis apakah pasar kopi di tingkat petani terintegrasi dengan pasar kopi
di lembaga pemasaran lainnya.

Analisis Integrasi Pasar Vertikal


Analisis integrasi pasar vertikal bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh
harga suatu komoditi pada satu tingkat lembaga pemasaran atau pasar dipengaruhi
oleh harga di tingkat lembaga lainnya. Data sekunder yang digunakan adalah data
time series harga bulanan kopi Arabika Gayo selama tahun 2008 sampai 2012.
Harga kopi Arabika Gayo yang digunakan terdiri atas harga kopi ceri dan kopi HS
di tingkat petani, harga kopi HS di tingkat pedagang pengumpul (kolektor), harga
kopi beras (green off-grade) di tingkat koperasi dan harga kopi beras (green bean)
di tingkat eksportir. Penentuan bentuk produk yang dipasarkan oleh masing-
91

masing lembaga atas pertimbangan bentuk produk dominan yang dipasarkan.


Sehingga, perubahan harga yang terjadi pada pasar acuan dapat terlihat
pengaruhnya terhadap harga yang terjadi di pasar lokal, dimana faktor lain (Xt)
pada model ini dalam kondisi cateris paribus. Adapun model yang dianalis secara
umum dapat dituliskan sebagai berikut:

Pt = b1Pt-1+b2(Rt - Rt-1)+b3Rt-1+b4Xt + ɛt
dimana :
Pt = Harga kopi Arabika Gayo di pasar lokal (waktu t) (Rp/kg)
Pt-1 = Harga kopi Arabika Gayo di pasar lokal (waktu t-1) (Rp/kg)
Rt = Harga kopi Arabika Gayo di pasar acuan (waktu t) (Rp/kg)
Rt-1 = Harga kopi Arabika Gayo di pasar acuan (waktu t-1) (Rp/kg)

Analisis integrasi pasar vertikal akan dilakukan pada setiap lembaga


pemasaran. Analisis pertama akan dilakukan pada tingkat petani sebagai pasar
lokal sedangkan kolektor, koperasi dan eksportir sebagai pasar acuan. Analisis
kedua dilakukan di tingkat kolektor sebagai pasar lokal sedangkan koperasi dan
eksportir sebagai pasar acuan. Analisis terakhir dilakukan di tingkat koperasi
sebagai pasar lokal dan eksportir sebagai pasar acuan. Kelebihan yang diperoleh
dalam melakukan analisis terhadap pasar lokal dan acuan yang berbeda adalah
dapat menggambarkan sejauhmana respon harga dari setiap lembaga pemasaran
sebagai pasar lokal terhadap perubahan harga yang terjadi di lembaga pemasaran
lainnya sebagai pasar acuan. Tabel 26 menunjukkan analisis integrasi pasar
vertikal yang akan dilakukan pada setiap lembaga pemasaran kopi Arabika Gayo
di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah.

Tabel 26 Analisis integrasi pasar vertikal pada setiap lembaga pemasaran


No. Pasar lokal Pasar acuan
1 Petani Pedagang pengumpul (kolektor)
Koperasi
Eksportir
2 Pedagang pengumpul (kolektor) Koperasi
Eksportir
3 Koperasi Eksportir

Hasil analisis integrasi pasar vertikal menunjukkan bahwa model regresi


yang dibangun telah memenuhi asumsi-asumsi penting dalam melakukan analisis
model regresi yang menggunakan data time series yaitu terhindar dari autokorelasi
dan multikoleniaritas. Sedangkan untuk 2 asumsi lainnya tidak terpenuhi yaitu
asumsi kenormalan dan heteroskedastisitas. Namun, Scheffe 1959 dalam Myers
1979 menyatakan bahwa tidak perlu mengkhawatirkan asumsi normalitas ini
sepanjang data pada masing-masing sampel cukup besar dan model dapat di
koreksi sesuai dengan kondisi yang terjadi. Selain itu, uji heteroskedastisitas yang
digunakan biasanya sangat sensitif terhadap ketidaknormalan distribusi data
sehingga para ahli statistik menganggap prosedur uji heteroskedastisitas ini tidak
robust (Myers 1979). Secara lengkap, hasil pengujian asumsi ini disajikan pada
Lampiran 7.
92

Integrasi Jangka Pendek


Analisis integrasi pasar kopi Arabika Gayo dalam jangka pendek dianalisis
melalaui Indeks of Marketing Connection (IMC). Hasil estimasi regresi dengan
menggunakan Model Ravallion menunjukkan bahwa nilai IMC di setiap tingkat
lembaga pemasaran jauh lebih besar daripada 1. Pengujian hipotesis b1=0
mendukung hal ini (lihat pengujian IMC pada Tabel 27). Pada penelitian ini,
hipoesis nol ditolak yang berarti tidak terjadi integrasi jangka pendek antara harga
kopi Arabika Gayo di pasar lokal dan harga kopi di pasar acuan. Analisis pertama,
dilakukan pada tingkat petani yang menjual dalam bentuk kopi ceri. Harga di
tingkat petani sebagai pasar lokal sedangkan di tingkat kolektor, koperasi dan
eksportir sebagai pasar acuan. Hasil analisis yang menolak hipotesis nol dan nilai
IMC yang jauh lebih besar dari 1 menunjukkan bahwa berapapun perubahan harga
yang terjadi di pasar acuan (kolektor, koperasi dan eksportir) pada bulan
sebelumnya tidak mempengaruhi harga kopi Arabika di tingkat petani pada saat
ini. Tabel 27 menunjukkan hasil analisis Indeks of Marketing Connection (IMC)
dan nilai koefisien b2 pada setiap lembaga pemasaran.

Tabel 27 Nilai Indeks of Marketing Connection pada setiap lembaga pemasaran


Pasar
IMC b2 Tstatb Tstatc Ttabel
Lokal Acuan
Petani
Kolektor 45.50 0.38 15.87 6.04 1.67
(Kopi ceri)
Koperasi 2.19 0.02 3.83 22.19 1.67
Eksportir 232.50 0.08 15.08 3.23 1.67
Petani Kolektor 2.31 0.75 7.08 11.99 1.67
(Kopi HS) Koperasi 11.00 0.41 16.20 7.90 1.67
Eksportir 17.20 0.10 14.18 2.56 1.67
Kolektor Koperasi 11.00 0.44 14.18 7.24 1.67
Eksportir 17.20 0.12 13.34 2.81 1.67
Koperasi Eksportir 46.20 0.25 14.74 3.89 1.67
Keterangan : aNilai koefisien; bnilai t stat koefisien b1; cnilai t stat dari koefisien b2

Hal yang sama terjadi pada analisis kedua, yaitu pasar kopi Arabika Gayo di
tingkat petani yang menjual dalam bentuk kopi HS. Harga di tingkat petani
sebagai pasar lokal, sedangkan kolektor, koperasi dan eksportir sebagai pasar
acuan. Hasil menunjukkan bahwa nilai IMC jauh lebih besar dari 1 dan menolak
hipotesis nol. Artinya bahwa harga kopi di tingkat petani saat ini tidak
dipengaruhi oleh perubahan harga yang terjadi di pasar acuan (kolektor, koperasi
dan eksportir). Analisis ketiga dilakukan pada pasar kopi Arabika Gayo di tingkat
kolektor sebagai pasar lokal dan koperasi dan eksportir sebagai pasar acuan.
Hasil menunjukkan bahwa nilai IMC jauh lebih besar dari 1 dan menolak
hipotesis nol. Artinya bahwa harga kopi di tingkat kolektor saat ini tidak
dipengaruhi oleh perubahan harga yang terjadi di pasar acuan (koperasi dan
eksportir). Begitu pula pada pasar kopi di tingkat koperasi sebagai pasar lokal dan
eksportir sebagai pasar acuan.
93

Berdasarkan hasil analisis integrasi jangka pendek yangmenunjukkan bahwa


nilai IMC jauh lebih besar dari 1. Maka dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi
integrasi pasar antar lembaga pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh
Tengah dan Bener Meriah dalam jangka pendek. Hal ini disebabkan adanya
asymetris information antar lembaga pemasaran. Artinya, informasi pasar yang
terjadi di tingkat lembaga pemasaran tidak terdistribusikan dengan baik ke
lembaga pemasaran lainnya, dan teradapat salah satu lembaga yang memiliki
informasi lebih dibandingkan lembaga pemasaran lainnya yaitu eksportir. Kondisi
ini mengakibatkan harga kopi di tingkat petani saat ini tidak dipengaruhi oleh
perubahan harga yang terjadi di tingkat kolektor, koperasi dan eksportir pada
waktu sebelumnya.

Integrasi Jangka Panjang


Pada model Ravallion, nilai koefisien b2 menunjukkan hubungan jangka
panjang antara pasar lokal dengan pasar acuan. Hasil uji integrasi jangka panjang
dengan hipotesis nol b2=0 juga ditolak pada semua tingkat lembaga pemasaran
(lihat koefisien Rt - Rt-1 pada Tabel 28). Sama halnya dengan integrasi jangka
pendek, dalam jangka panjang harga di tingkat petani berupa harga kopi ceri dan
kopi HS k.a 40 sampai 45 persen. Analisis pertama dilakukan pada harga kopi ceri
di tingkat petani sebagai pasar lokal dan di tingkat kolektor, koperasi dan eksportir
sebagai pasar acuan. Berdasarkan hasil uji-t menunjukkan bahwa hipotesis nol
b2=0 ditolak, hal ini menunjukkan bahwa perubahan harga kopi di tingkat
kolektor, koperasi maupun eksportir tidak ditransmisikan dengan baik ke tingkat
petani. Dengan kata lain, berapapun perubahan harga kopi di tingkat kolektor,
koperasi dan eksportir pada saat ini dan waktu sebelumnya tidak mempengaruhi
harga kopi di tingkat petani khususnya untuk kopi ceri. Hal yang sama juga terjadi
di tingkat petani yang menjual kopi dalam bentuk kopi HS. Walaupun, petani
telah melakukan perubahan bentuk kopi yang dipasarkan namun hasil analisis
menunjukkan bahwa dalam jangka panjang pasar kopi di tingkat petani yang
menjual kopi HS juga tidak terintegrasi dengan pasar kopi di tingkat lembaga
pemasaran diatasnya. Tabel 28 menunjukkan hasil estimasi persamaan model
Ravallion pada masing-masing pasar.

Tabel 28 Hasil estimasi persamaan model Ravallion


Koefisien
Pasar lokal Pasar acuan
Intersep Pt-1 (Rt - Rt-1) Rt-1
a
Petani Kolektor 507.93 0.91 0.38a 0.02
(Kopi ceri) Koperasi -68.59 0.46a 0.37a 0.21a
Eksportir 348.22 0.93a 0.08a 0.01
Petani Kolektor -22.04 0.67a 0.75a 0.29a
(Kopi HS) Koperasi -130.69 0.88a 0.41a 0.08a
Eksportir -81.57 0.86a 0.10a 0.05
Kolektor Koperasi 25.34 0.88a 0.44a 0.08a
Eksportir -94.22 0.86a 0.12a 0.05
Koperasi Eksportir 807.1 0.93a 0.25a 0.02
a
Signifikan pada taraf nyata 5%
94

Hasil yang sama ditunjukkan pada tingkat kolektor sebagai pasar lokal,
untuk koperasi dan eksportir sebagai pasar acuan. Dengan ditolaknya hipotesis nol
b2=0, maka hal ini menggambarkan bahwa dalam jangka panjang tidak terjadi
integrasi antara pasar kopi di tingkat koperasi dan eksportir dengan pasar kopi di
tingkat petani. Kondisi ini menyebabkan, berapapun perubahan harga yang terjadi
di tingkat koperasi dan eksportir pada saat ini dan waktu sebelumnya tidak
mempengaruhi harga kopi di tingkat kolektor saat ini. Seluruh model
menunjukkan bahwa hipotesis nol b2=0 ditolak pada semua tingkat lembaga
pemasaran. Hal ini menunjukkan tidak terjadi integrasi jangka panjang pada setiap
lembaga pemasaran.
Oleh karenanya, dapat disimpulkan bahwa hasil analisis integrasi pasar
vertikal mengindikasikan bahwa efisiensi pemasaran belum sepenuhnya diperoleh
untuk komoditi kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah.
Hal ini disebabkan oleh kurangnya akses informasi perkembangan harga yang
terjadi pada pasar di setiap lembaga pemasaran. Selain itu, tekanan dari lembaga
pemasaran di tingkat yang lebih tinggi menjadikan harga yang diterima petani
(pasar lokal) tidak terintegrasi dengan harga kopi di tingkat eksportir (acuan) baik
dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Pengaruh Struktur, Perilaku dan Kinerja Pasar terhadap Pembentukan


Harga Kopi Arabika Gayo di Tingkat Petani

Di pasar kopi dunia, kopi Arabika Gayo tergolong kopi spesialti yang telah
memiliki sertifikasi produk. Oleh karenanya, pada tahun 2012 nilai jual kopi
Arabika Gayo pernah mencapai 20 persen (Rp60 000/kg) lebih tinggi
dibandingkan harga kopi arabika dunia (Rp48 000/kg) di pasar New York (AEKI
2013). Namun, tingginya harga jual kopi Arabika Gayo belum dinikmati oleh
petani. Hasil analisis struktur, perilaku dan kinerja pasar kopi Arabika Gayo telah
dapat menjelaskan mengapa pola pergerakan harga kopi di tingkat petani tidak
mengikuti pola pergerakan harga kopi di tingkat eksportir. Hal ini terlihat dari
kondisi sistem pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh Tengah dan
Bener Meriah yang belum berjalan secara efisien.
Analisis struktur pasar menunjukkan bahwa pasar kopi yang dihadapi petani
cenderung oligopsoni. Di tingkat eksportir, adanya hambatan masuk pasar
menyebabkan terbatasnya jumlah eksportir baru untuk masuk kedalam pasar dan
cakupan pasar cenderung dikuasai oleh beberapa perusahaan besar. Hambatan
pasar yang terjadi salah satunya disebabkan oleh program sertifikasi produk kopi,
yang memiliki standardisasi dalam pemasarannya. KSU. Permata Gayo
merupakan perusahaan yang memiliki pangsa pasar tertinggi (24.46%). Hal ini
dikarenakan perusahaan memiliki badan hukum koperasi yang telah memiliki
lisensi sertifikasi produk dan adanya jaringan pasar yang luas menyebabkan
perusahaan mampu memasarkan produknya kebeberapa negara konsumen utama
seperti Amerika, Australia, Jepang, Jerman dan lainnya. Selain itu, kemampuan
perusahaan dalam melakukan kerjasama yang baik pada setiap lembaga
pemasaran menjadikan hambatan bagi perusahaan lain untuk masuk ke dalam
pasar kopi Arabika Gayo. Fakta lain juga menunjukkan bahwa rasio konsentrasi
empat perusahaan terbesar berada dalam pasar yang terkonsentrasi dengan tingkat
95

persaingan kecil. Secara sederhana, hubungan antara struktur, perilaku dan kinerja
pasar terhadap pembentukan harga kopi di tingkat petani dapat ditunjukkan pada
Gambar 33.

STRUKTUR PASAR PERILAKU PASAR KINERJA PASAR

Standar Sertifikasi Petani terikat pinjaman Farmer share relatif


disasi produk dg kolektor rendah (11.11%)

Ada hambatan masuk Sumber informasi Marjin relatif tinggi


pasar terbatas (Rp54 000/kg)
(MES = 28.53%)
Saluran pemasaran
terbatas Perubahan nilai
Pangsa pasar di tk.
tambah (proses
eksportir Kerjasama Terjadinya pengolahan)
antar kolusi harga
Konsentrasi pasar eksportir
(CR4=71.12%) Pasar kopi di tk.
Penentuan harga petani tidak
didominasi oleh eksportir terintegrasi dg
Pasar terkonsentrasi eksportir,
dg tk. persaingan kolektor dan
kecil Petani sebagai koperasi
penerima harga

HARGA KOPI DI
TINGKAT PETANI

Ket: Interaksi antara struktur, perilaku dan kinerja pasar


Interaksi masing-masing komponen penyusun SCP
Pengaruh SCP terhadap pembentukan harga di tk. petani

Gambar 33 Pengaruh struktur, perilaku dan kinerja pasar terhadap pembentukan


harga kopi Arabika Gayo di tingkat petani

Kondisi pasar yang tidak bersaing (oligopsoni) memungkinkan eksportir


untuk melakukan kolusi dalam proses penentuan harga. Akibatnya penentuan
harga kopi akan didominasi oleh lembaga pemasaran yang memiliki daya tawar
yang lebih tinggi. Harga kopi di tingkat eksportir memiliki pengaruh besar
terhadap proses penentuan harga kopi di tingkat lembaga pemasaran berikutnya.
Kondisi ini tentu saja tidak menguntungkan bagi petani. Bentuk struktur pasar
oligopsoni dan adanya keterikatan permodalan yang dilakukan petani dengan
kolektor, menyebabkan posisi tawar (bargaining position) petani lemah dalam
proses penentuan harga dan petani tidak memiliki alternatif lain dalam
menyalurkan kopi selain kepada pedagang pengumpul (kolektor) atau dengan kata
lain petani memiliki alternatif saluran pemasaran yang terbatas. Terbatasnya
pilihan saluran oleh petani disebabkan petani memiliki keterikatan pinjaman
96

dengan kolektor. Pada sistem pembayarannya, petani akan melunasi pinjaman


dengan menggunakan hasil panen kopi yang dihasilkan. Sehingga, dalam proses
penentuan harga petani cenderung sebagai penerima harga (price taker).
Berdasarkan Gambar 33 terlihat bahwa struktur dan perilaku pasar
mempengaruhi kinerja pasar yang terjadi dan hubungan ini dapat terjadi
sebaliknya. Analisis kinerja pasar menunjukkan bahwa kondisi pasar kopi di
tingkat petani dengan eksportir, koperasi dan kolektor tidak terintegrasi baik
jangka pendek maupun jangka panjang. Hal ini menggambarkan bahwa pasar
berjalan tidak efisien, salah satunya karena adanya market power yang digunakan
oleh pelaku pasar (eksportir). Selain itu,adanya perubahan nilai tambah kopi yang
dilakukan oleh setiap lembaga pemasaran akan mempengaruhi marjin dan share
harga yang diterima petani. Semakin besar perubahan nilai produk yang
dihasilkan, maka semakin tinggi nilai marjin pemasaran. Pada kasus ini,
peningkatan marjin yang terjadi mengakibatkan share harga yang diterima pertani
semakin rendah. Pendistribusian keuntungan yang tidak merata mengindikasikan
bahwa pasar belum berjalan secara efisien.
Seharusnya keterlibatan petani sebagai anggota koperasi dan keterikatan
kolektor dengan koperasi memberikan kemudahan informasi antar pelaku
pemasaran. Hal ini disebabkan peran koperasi dalam jangka panjang adalah
mengupayakan kesejahteraan para anggotanya, sehingga keterbukaan informasi
antar anggota merupakan salah satu cara untuk dapat mewujudkannya. Namun,
berbeda halnya apabila di dalam struktur koperasi terdapat peran dominan yang
dimiliki oleh pemegang modal dan kepemilikan terhadap aset perusahaan.
Pemegang modal memberikan sumbangan modal yang besar dalam perdagangan
kopi dan kepemilikan aset perusahaan dimiliki oleh personal bukan atas nama
koperasi. Akibatnya, keputusan harga akan ditentukan oleh sebagian kecil orang
yang terlibat dalam keanggotaan koperasi. Kondisi ini umumnya dialami oleh
koperasi yang telah melakukan ekspor langsung ke negara-negara konsumen.
Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa peran koperasi dalam
mewujudkan kondisi pasar yang efisien harus didukung oleh transparansi
informasi harga dan keputusan yang diambil dapat meningkatkan keuntungan
bersama (anggota koperasi). Koperasi akan mampu meningkatkan kesejahteraan
anggota apabila menjalankan koperasi sesuai dengan prinsip-prinsip dan asas
koperasi yang ada dan koperasi perlu mengedepankan kepentingan bersama diatas
kepentingan pribadi. Harapan besar yang ingin dicapai yaitu mewujudkan
pengembangan agribisnis kopi Arabika Gayo yang terintegrasi antar sub sektor
hulu, onfarm, hilir dan penunjang. Peningkatan kualitas dan kuantitas kopi
Arabika Gayo yang diperdagangkan akan menjadi misi bersama untuk mencapai
keberlanjutan pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh Tengah dan
Bener Meriah.

Implikasi Kebijakan terhadap Peningkatan Posisi Tawar Petani Kopi


Arabika Gayo di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah

Analisis sistem pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh Tengah


dan Bener Meriah menunjukkan kondisi pasar yang belum efisien. Hal ini terlihat
dari hasil analisis sistem pemasaran kopi Arabika Gayo melalui pendekatan
97

struktur, perilaku dan kinerja pasar. Kondisi struktur pasar menunjukkan bahwa
petani menghadapi pasar yang tidak bersaing (oligopsoni). Di tingkat eksportir,
pasar cenderung terkonsentrasi dengan tingkat persaingan kecil. Hal ini
memungkinkan eksportir untuk melakukan kerjasama dan kolusi harga. Oleh
karenanya, alternatif pertama yang dapat dilakukan oleh petani adalah mengganti
peran pedagang dengan lembaga lain yaitu koperasi. Alternatif ini akan berjalan
baik apabila koperasi lebih mementingkan peningkatan pendapatan petani atau
kesejahteraan anggota dibandingkan hanya mengutamakan profit oriented.
Namun, apabila koperasi tidak menjalankan peran dan fungsinya sesuai dengan
prinsip-prinsip dasarnya. Maka, akan sulit diharapkan adanya perbaikan struktur
pasar yang dihadapi oleh petani. Petani akan tetap berada pada kondisi sulit untuk
meningkatkan posisi tawar (bargaining position) mereka dalam proses penentuan
harga.
Alternatif kedua dalam memperbaiki struktur pasar adalah melalui
pembentukan kelompok tani. Kelompok tani yang dimaksud adalah gabungan
beberapa petani antara 5 sampai 20 orang yang memiliki jarak kebun kopi relatif
dekat. Kelompok ini berperan dalam menjalankan fungsi-fungsi pemasaran, baik
fungsi pertukaran, fisik dan fasilitas. Sehingga, diharapkan kemampuan petani
dalam memperoleh pinjaman, perubahan nilai tambah serta akses dan informasi
pasar yang memadai dapat meningkatkan posisi tawar petani dalam proses
penentuan harga. Kondisi struktur pasar yang diharapkan untuk mencapai pasar
yang efisien adalah adanya kekuatan tawar menawar yang relatif sama antara
pembeli (pedagang) dan penjual (petani). Sehingga, perubahan harga yang terjadi
di pasar kopi secara agregat dapat di transfer ke tingkat petani sebagai pasar
produsen. Peluang terlaksananya alternatif pertama dan kedua memungkinkan
terjadinya perubahan struktur pasar oligopsoni menjadi struktur pasar persaingan
murni.
Hasil analisis menunjukkan bahwa melalui pendekatan struktur, perilaku
dan kinerja pasar dapat dilakukan beberapa kebijakan atau program untuk
meningkatkan posisi tawar petani dalam proses penentuan hraga. Salah satunya
melalui perbaikan kualitas kopi yang dihasilkan. Hal ini dapat dilakukan melalui
program pemberdayaan petani yang dilakukan secara sistematis dan
berkelanjutan. Sehingga, perkembangan kebutuhan pasar dapat segera di respon
oleh petani dengan melakukan perbaikan-perbaikan baik secara kualitas maupun
kuantitas. Kondisi struktur pasar akan mempengaruhi perilaku pasar begitu pula
sebaliknya. Perilaku petani yang terikat pinjaman dengan kolektor, menyebabkan
terbatasnya alternatif saluran pemasaran yang dimiliki petani. Sebenarnya, petani
memiliki peluang untuk langsung menjual kepada koperasi dan atau eksportir.
Namun, karena adanya keterikatan pinjaman, keterbatasan sarana dan prasarana
serta keterbatasan jumlah panen yang relatif sedikit menyebabkan petani lebih
memilih untuk menjual langsung kepada kolektor. Upaya yang dapat dilakukan
adalah memberikan fasilitas pinjaman kepada petani melalui lembaga-lembaga
formal dengan persyaratan yang relatif mudah. Tabel 29 menunjukkan beberapa
alternatif kebijakan yang dapat dilakukan sebagai upaya meningkatkan posisi
tawar petani dalam proses penentuan harga kopi Arabika Gayo di Kabupaten
Aceh Tengah dan Bener Meriah.
98

Tabel 29 Alternatif kebijakan sebagai upaya meningkatkan posisi tawar petani


dalam proses penentuan harga kopi Arabika Gayo
No. Pendekatan Permasalahan Peluang Kebijakan/ Program
1. Struktur Kolusi harga Petani dapat menjual Mengembalikan peran
pasar oleh eksportir kopi secara koperasi sesuai dengan
berkelompok tujuan dan prinsip-prinsip
dasarnya dan atau
membentuk kelompok
tani yang efektif
Produk petani Secara berkelompok Meningkatkan
relatif petani dapat menjual perbedayaan petani
homogen kopi dengan standar melalui koperasi dan atau
kualitas yang sesuai kelompok tani
2 Perilaku Terbatasnya Petani dapat menjual Kemitraan langsung
pasar alternatif langsung kepada melalui sistem kemitraan
saluran koperasi dan atau yang jelas dan tertulis
pemasaran eksportir misalkan melalui sistem
kontrak (contract
farming)
Petani terikat Memberikan Penyediaan fasilitas kredit
pinjaman kemudahan dalam
dengan proses peminjaman
kolektor modal melalui
lembaga-lembaga
formal
3 Kinerja Farmer share Petani dapat Pemberdayaan kelompok
pasar relatif rendah melakukan tani
perubahan nilai
tambah kopi melalui
proses pengolahan
Terbatasnya Petani dapat Pusat informasi dan
informasi memperoleh pengawasa harga
pasar informasi harga
langsung dari
koperasi dan
pemerintah

Pada dasanya, kinerja pasar yang dihasilkan juga akan mempengaruhi


perilaku dan struktur pasar yang terjadi. Analisis kinerja pasar menunjukkan
bahwa pasar kopi di tingkat petani tidak terintegrasi dengan pasar kopi di tingkat
kolektor, koperasi dan eksportir, share harga yang diterima petani relatif rendah
(≤ 30%). Kondisi ini akan mempengaruhi perilaku petani yang cenderung merasa
pendapatan yang dihasilkan belum dapat memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.
Di sisi lain, peran perubahan nilai tambah lebih banyak dilakukan oleh lembaga
pemasaran lainnya selain petani. Kondisi ini akan mempengaruhi marjin
pemasaran yang dihasilkan. Upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki
permasalahan dalam kinerja pasar adalah melalui peningkatan kemampuan petani
dalam meningkatkan nilai tambah produk kopi yang dihasilkan. Selain itu, adanya
dukungan pemerintah dalam membangun pusat informasi dan pengawasan harga
(lokal dan internasional) akan memberikan kemudahan bagi petani dalam
memperoleh informasi pasar.
99

7 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Kondisi sistem pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh Tengah


dan Bener Meriah belum berjalan efisien. Hal ini terlihat dari struktur pasar kopi
di tingkat petani bersifat oligopsoni. Kondisi pasar di tingkat eksportir yang
terkonsentrasi dan adanya hambatan masuk pasar menyebabkan perusahaan
(eksportir) memiliki peran dominan dalam proses penentuan harga. Kondisi ini
akan mempengaruhi perilaku lembaga pemasaran di tingkat lebih rendah yaitu
koperasi, kolektor dan petani. Pada aktivitas pemasaran, adanya ikatan
permodalan yang dilakukan petani dengan kolektor menyebabkan petani terbatas
dalam memperoleh informasi harga dan terbatasnya alternatif saluran pemasaran.
Seluruh petani pada setiap saluran pemasaran selalu menyalurkan produk kopi
mereka melalui kolektor. Kondisi ini menyebabkan posisi tawar (bargaining
position) petani semakin lemah dalam proses penentuan harga dan petani
cenderung sebagai penerima harga (price taker). Di sisi lain, keterlibatan petani
sebagai anggota koperasi tidak memberikan jaminan harga terhadap produk kopi
yang dipasarkan. Koperasi sebagai penerima lisensi sertifikasi produk hanya
membantu petani untuk terlibat dalam program sertifikasi produk (organik,
fairtrade dan rainforest) yang dilakukan.
Struktur dan perilaku pasar yang terjadi mempengaruhi kinerja pasar
(market performance) begitu pula sebaliknya. Analisis kinerja pasar menunjukkan
bahwa share harga kopi yang diterima petani masih rendah (<30%). Hal ini
disebabkan oleh terbatasnya sarana dan prasarana yang dimiliki petani dan
rendahnya nilai tambah (value added) yang dilakukan. Selain itu, kondisi pasar
kopi di tingkat petani sebagai pasar lokal yang tidak terintegrasi dengan kolektor,
koperasi dan eksportir sebagai pasar acuan baik dalam jangka pendek maupun
jangka panjang. Hal ini menunjukkan bahwa berapapun perubahan harga yang
terjadi di tingkat kolektor, koperasi dan eksportir pada saat ini dan waktu
sebelumnya tidak mempengaruhi harga kopi di tingkat petani. Berdasarkan hasil
analisis struktur, perilaku dan kinerja pasar kopi Arabika Gayo menunjukkan
bahwa lemahnya posisi tawar petani dalam proses penentuan harga
mengakibatkan petani sebagai penerima harga (price taker) baik dalam jangka
pendek maupun jangka panjang.

Saran

Pengembangan agribisnis kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh Tengah


dan Bener Meriah sangat potensial untuk dikembangkan. Namun, hal yang perlu
di perhatikan pemerintah adalah memperbaiki kondisi pemasaran hasil kopi yang
dilakukan oleh petani. Keterbatasan petani dalam memperoleh akses sarana dan
prsarana pengolahan serta akses pasar menyebabkan posisi tawar petani lemah
dalam proses penentuan harga. Oleh karenanya, peran pemerintah dalam
menjamin berbagai infrastruktur yang dibutuhkan petani kopi, melakukan
pemberdayaan petani, menyediakan sarana dan prasarana pengolahan,
100

pengawasan harga yang sesuai dengan mutu kopi, dan menginformasikan


perkembangan harga pasar (lokal dan dunia) kepada masyarakat luas serta
memfasilitasi adanya kemitraan antara petani dengan pedagang/eksportir sangat
penting untuk dilakukan.
Walaupun saat ini kerjasama yang dibangun petani dengan koperasi telah
ada, namun diharapkan ada perubahan yang dapat memberikan kepastian harga
bagi petani. Mengembalikan peran koperasi sesuai dengan tujuan dan prinsip-
prinsip dasarnya merupakan hal penting yang perlu diperhatikan. Kepedulian
setiap anggota dalam mewujudkan kesejahteraan perlu didukung oleh manajemen
koperasi yang profesional. Pengelolaan koperasi secara demokrasi dan pemerataan
informasi pasar yang terintegrasi akan meningkatkan kemampuan posisi tawar
petani dalam proses penentuan harga.
101

DAFTAR PUSTAKA

[AEKI] Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia Daerah Aceh. 2013.
Laporan Realisasi Ekspor Kopi Arabika Provinsi Aceh. Aceh (ID): AEKI.
Acharya SS. 1998. Agricultural Marketing in India: Some Facts and Emerging
Issues. Indian Journal of Agricultural Economics. 53(3): 311-332.
Akhmad S. 2007. Membangun Gerakan Ekonomi Kolektif dalam Pertanian
Berkelanjutan; Perlawanan Terhadap Liberalisasi dan Oligopoli Pasar
Produk Pertanian. Jawa Tengah (ID): Babad.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Provinsi Aceh dalam Angka 2011. Aceh (ID):
BPS.
_______________________. 2012. Kabupaten Aceh Tengah dalam Angka 2011.
Aceh (ID): BPS.
_______________________. 2012. Kabupaten Bener Meriah dalam Angka 2011.
Aceh (ID): BPS.
[BPTP] Badan Penelitian Teknologi Pertanian Aceh. 2011. Perkebunan Kopi
Aceh. Aceh (ID): BPTP.
Baye M. 2010. Managerial Economics and Business Strategy. Seventh Edition.
Singapore (SG): McGraw-Hill.
Besanko D, Dranove D, Shanley M dan Schaefer S. 2010. Economics Of Strategy.
Fifth Edition. International Student Version. Asia (US): J Wiley.
Bosena DT, Bekabil F, Berhanu G dan Dirk H. 2011. Stucture-Conduct-
Performance of Cotton Market: The Case of Metema District, Ethiopia.
Journal of of Agriculture, Biotechnology & Ecology. 4(1): 1-12.
Bresnahan T dan Levin J. 2012. Vertical Integration and Market Structure.
Amerika (US): Stanford University and NBER.
Carlton DW dan Perloff JM. 2000. Modern Industrial Organization. Third Edition.
Massachusetts (US): Addison-Wesley.
Charles W, Hair LJF and Mcdaniel C. 2001. Pemasaran. Edisi Pertama. Jakarta
(ID): Salemba Empat.
Dahl DC dan Hammond JW. 1977. Market and Price Analysis. Newyork (US):
McGraw-Hill.
[Disbun] Dinas Perkebunan Provinsi Aceh. 2013. Prospek Pengembangan Kopi
Arabika Gayo di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah. Aceh (ID):
Disbun.
[Disbunhut] Dinas Perkebunan dan Kehutanan Aceh Tengah. 2011. Data Luas
Lahan Kopi Arabika Di Kabupaten Aceh Tengah. Aceh (ID): Disbunhut.
[Disbunhut] Dinas Perkebunan dan Kehutanan Bener Meriah. 2011. Data Luas
Lahan Kopi Arabika Di Kabupaten Bener Meriah. Aceh (ID): Disbunhut.
102

[Disperindagkop dan UKM] Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan


UKM Aceh. 2012. Realisasi Ekspor-Impor Provinsi Aceh 2007-2011. Aceh
(ID): Disperindagkop dan UKM.
[Disperindagkop, Energi dan SD Mineral] Dinas Perindustrian, Perdagangan,
Koperasi, Energi dan Sumber Daya Mineral Kabupaten Aceh Tengah. 2013.
Laporan Penerbitan SPEK. Aceh (ID): Disperindagkop, Energi dan SD
Mineral.
Fahmi I. 2012. Dinamika Struktur Pasar dan Perilaku Bank serta Dampaknya
terhadap Kinerja Industri Perbankan Syariah Indonesia [disertasi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Fatma Z. 2011. Analisis Fungsi Produksi dan Efisiensi Usahatani Kopi Rakyat di
Aceh Tengah [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Firdaus M and Gunawan I. 2012. Integration Among Regional Vegetable Markets
in Indonesia. Journal of ISAAS,8(2): 96-16.
Giroh DY, Umar HY dan Yakub W. 2010. Structure, Conduct and Performance
of Farm Gate Marketing of Natural Rubber in Edo and Delta States, Nigeria.
African Journal of Agricultural Research. 5(14):1780-1783.
Hai LTD. 2002. The Organization of Liberalized Rice Market in Vietnam.
[dissertation]. Jerman (DE): Faculty of Economic at University of
Gottingen.
Herman. 2002. Perkembangan dan Prospek Komoditas Kopi. Tinjauan Komoditi
Perkebunan. 3(1): 15-22.
Hirschey M. 2009. Managerial Economics: An Integrative Approach. New Delhi
(IN). Cengage Learning.
Hudson D. 2007. Agricultural Markets and Prices. United Kingdom (US):
Blackwell.
Hue NH. 2001. Contract Farming in Vietnam. National Institute of Agricultural
Planning and Projection. Vietnam (VE): Ministry of Agriculture and
Development.
Hukama LA. 2003. Analisis Pemasaran Jambu Mete: Studi Kasus Kabupaten
Buton dan Muna. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
[ICCRI] Indonesian Coffee and Cocoa Research Institute. 2008. Panduan
Budidaya dan Pengolahan Kopi Arabika Gayo. Pusat Penelitian Kopi dan
Kakao Indonesia. Jakarta (ID): Azrajens Mayuma.
[IIED] International Institute for Environment and Development . 2005. From
bean to cup: how consumer choice impacts on coffee producers and the
environment. London (US): Consumers International and IIED.
Jamilah. 2008. Analisis Struktur, Perilaku dan Penampilan Pasar pada Pemasaran
Kopi Organik di Kabupaten Bener Meriah. Aceh (ID): Fakultas Pertanian.
Universitas Malikussaleh.
Jaya WK. 2001. Ekonomi Industri. Edisi Kedua. Yogyakarta (ID): Fakultas
Ekonomi. Universitas Gajah Mada.
103

Juanda B. 2009. Metodologi Penelitian dan Bisnis. Edisi Kedua. Bogor (ID): IPB
Pr.
Kizito AM. 2011. The Structure, Conduct and Performance of Agricultural
Market Information Systems in Sub-Saharan Africa [dissertation]. Michigan
(US): Michigan State University.
Kohls dan Uhl. 2002. Marketing of Agricultural Products. Ninth Edition. New
Jersey (US): Prentice Hall.
[Kemenperindag] Kementerian Perindustrian dan Perdagangan. 2012. Laporan
Kinerja Menteri Perdagangan RI Tahun 2011. Jakarta (ID): Kemenperindag.
[Kementan] Kementerian Pertanian. 2013. Statistik Pertanian 2012 (Agricultural
Statistics). Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. Jakarta (ID):
Kementan.
Kustiari R. 2007. Perkembangan Pasar Kopi Dunia dan Implikasinya Bagi
Indonesia. FAE. 25(1). ISSN 0216-4361. Jakarta (ID): Badan Litbang.
Kementan.
Levens M. 2010. Marketing: defined, Explained, Applied. International Edition.
Pearson (US): Prentice Hall.
Limbong WH. 1999. Marketing System of Agricultural Food Commodities in
Some Province of Indonesia. Journal of Agriculrture and Resource Sosio-
Economics (12).
MyersJL. 1979. Fundamentals of Experimental Design. 3nd edition. Boston (US):
Allyn and Bacon, Inc.
Ngigi M. 2008. Sructure Conduct and Performance of Commodity Markets in
South Sudan (SD): Lingkages Food Security.
Pambudy R. 2010. Sistem dan Usaha Agribisnis: Suatu Perjalan Pemikiran
Menjadi Paradigma Baru Pembangunan Pertanian Indonesia dalamRefleksi
Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih. Bogor (ID): IPB Pr.
Profil KBQ. Baburrayan. 2009. www.baburrayan.com//sertifikasi-produck/
[diakses Tanggal 15 Mei 2013.
Profil KBQ. Baburrayan. 2009. www.baburrayyan.com/jumlah-tenaga-kerja
[diakses 15 Mei 2012]
Ponte. 2004. A Global Value Chain Approach. Newyork (US): Danish Institute
for International Studies.
Porter ME. 1980. Competitive Strategy: Techniques for Analyzing Industries and
Competitors. New York (US). Free Pr.
Purcell WD.1979. Agricultural Marketing, System, Coordination, Cash and
Future Prices. Reston (US). Reston Publishing.
Putra EJ. 2009. Analisis Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Pulp dan Kertas di
Indonesia [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Raharja P dan Manurung M. 2008. Pengantar Ilmu Ekonomi (Mikroekonomi dan
Makroekonomi). Edisi Ketiga. Jakarta (ID): Fakultas Ekonomi UI.
104

Ravallion. 1986. Testing Market Integration. American Journal of Agricultural


Economics, 68(1): 102-109.
Rifin A. Suharno, dan Yanuar R. 2011. Analisis Structure Conduct Performance
Industri Gula Indonesia. Laporan Akhir Penelitian Unggulan Departemen
Agribisnis. Bogor (ID): IPB.
Rosiana N. 2012. Analisis Pemasaran Gula Tebu dengan Pendekatan Structure,
Conduct, Performance (SCP) [Studi Kasus : Perusahaan Perseroan
(Persero)]. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Sallatu IA. 2006. Analisis Pangsa Pasar dan Tataniaga Kopi Arabika di
Kabupaten Tana Toraja dan Enrekang, Sulawesi Selatan [tesis]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Saputra A. 2012. Desain Rantai Pasok Kopi Organik di Aceh Tengah untuk
Optimalisasi Balancing Risk[tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Saragih B. 2010. Suara dari Bogor. Membangun Opini Sistem Agribisnis. Bogor
(ID): IPB Pr.
Sitorus ASSU 2011. Analisis Struktur, Perilaku dan Kinerja Pasar Industri Kakao
di Indonesia [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Shumeta Z, Urgessa K, Kebebew Z. 2012. Analysis of Market Chains of Forest
Coffee in Southwest Ethiopia. Academic Journal of Plant Sciences. 5(2):
28-29.
Suradisastra K. 2008. Strategi Pemberdayaan Kelembagaan Petani. Bogor (ID):
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
Suyamto DA, Noordwijk Mv dan Lusiana B. 2004. Respon Petani Kopi Terhadap
Gejolak Pasar dan Konsekuensinya Terhadap Fungsi Tata Air: Suatu
Pendekatan Pemodelan. Bogor (ID): Agrivita 26(1).
Taylor PL. 2005. In the Market But Not of It: Fairtrade Coffee and Stewardship
Council Certifications Market-Based Social Change. World Development.
33(1). 129-147.
TeguhW. 2008., Sambutan Direktur Puslitkoka Indonesia pada buku Panduan
budidaya dan pengolahan kopi Arabika Gayo. Aceh (ID): Pusat Penelitian
Kopi dan Kakao Indonesia, APED, Bappeda NAD dan UNDP.
Tomek GW dan RobinsonKL. 1990. Agricultural Product Prices. Ithaca (US):
Cornell Univ Pr.
Umar HY, Otitolaiye JO dan Opaluwa HI. 2011.Evaluation of Acacia Species
(Gum Arabic) Market Stucture, Market Conduct and Performance in Borno
State, Nigeria. Journal of Agriculture and Social Sciences.
Weber J. 2007. Fairtrade Coffee Enthusiasts Should Confront Reality. Cato
Journal 27(1). Cato (JP): Cato Institute.
World Bank. 2008. Structure,Conduct,Performance and Food Security. FEWS
NET Market Guidance, No.2
105

Waldman DE dan Jensen EJ. 2007. Industrial Organization. Theory and Practice.
Third Edition. United States of America (US): Pearson Education.
Yantu MR, Bambang J, Hermanto S, Isang G dan Setia H. 2010. Integrasi pasar
Kakao Biji Perdesaan Sulawesi Tengah dengan Pasar Dunia. Jurnal Agro
Ekonomi 28(2): 201-225.
Yuprin. 2009. Analisis Pemasaran Karet di Kabupaten Kapuas. Jakarta (ID):
Agritek 17(6).
Yogin. 2012. Perbaikan Struktur Pasar Sebagai Alternatif Peningkatan Posisi
Tawar Petani. http://jurnal-kopertis4.tripod.com/1-03.html [diakses 1
November 2012]
106

Lampiran 1 Kondisi lahan kopi Arabika Gayo

1a. Tinggi dari permukaan laut, luas areal, produksi, produktivitas dan jumlah
petani kopi arabika per Kecamatan di Kabupaten Bener Meriah, Tahun 2011
Luas Jumlah
Tinggi Produksi Produktivitas
No. Kecamatan areal petani
DPL (m) (Ton/Tahun) (Kg/ Ha)
(Ha) (KK)
1. Permata 1 400 9 311 4 507 820 2 722
2. Bukit 1 200 3 622 2 249 810 3 469
3. Bandar 1 300 4 614 2 199 810 6 992
4. Bener 1 350 1 514 796 810
Kelipah 2 264
5. Wih Pesam 1 400 3 929 2 668 810 125
6. Mesidah 1 300 4 853 1 347 800 3 573
7. Timang 1 200 5 048 2 705 770
Gajah 2 321
8. Gajah Putih 1 250 3 931 2 162 770 3 818
9. Syiah Utama 1 200 93 29 750 6 303
10. Pintu Rime 1 450 8 402 2 744 750 3 677
Gayo
Rata-rata 1 305 4 532 2 141 790 3 526
Jumlah - 45 316 - - 33 029
Sumber : BPS Bener Meriah dalam Angka, 2012

1b. Tinggi dari permukaan laut, luas areal, produksi, produktivitas dan jumlah
petani kopi arabika per Kecamatan di Kabupaten Aceh Tengah, Tahun 2011
Luas Jumlah
Tinggi Produksi Produktivitas
No. Kecamatan areal Petani
DPL (m) (Ton/Tahun) (Kg/ Ha)
(Ha) (KK)
1. Linge 1 115 3 468 1 873 650 2 750
2. Bintang 1 234 2 467 1 546 730 1 994
3. Lut Tawar 1 200 1 960 900 720 1 111
4. Kebayakan 1 200 2 642 1 691 700 2 642
5. Pegasing 1 250 4 267 2 669 700 3 294
6. Bebesan 1 200 2 195 1 313 720 1 748
7. Kute 1 655 2 523 1 501 740 1 678
Panang
8. Silih Nara 1 000 1 935 857 725 6 350
9. Ketol 688 3 282 2 018 725 2 584
10. Celala 950 2 913 1 289 700 1 898
11. Jagong 1 600 5 634 3 335 750 2 455
Jeget
12. Atu 1 557 9 086 3 434 650 2 147
Lintang
13. Bies 1 250 2 118 1 351 725 1 809
14. Rusip 570 3810 1 646 720 2 453
Antara
Rata-rata 1 176 3 450 1 816 711 2 494
Jumlah - 48 300 - - 35 410
Sumber : BPS Bener Meriah dalam Angka, 2012
107

Lampiran 2 Perusahaan kilang kopi dan bubuk kopi di Kabupaten Aceh


Tengah dan Bener Meriah

2a. Jumlah perusahaan kilang kopi dan industri bubuk kopi di Kabupaten
Aceh Tengah, tahun 2011
No. Kecamatan Kilang Pengupas Kopi Industri Bubuk Kopi
1. Linge 1 1
2. Bintang 4 3
3. Lut Tawar - 8
4. Kebayakan 3 1
5. Pegasing 9 3
6. Bebesan 14 6
7. Kute Panang - 2
8. Silih Nara 8 4
9. Ketol 3 1
10. Celala 4 2
11. Jagong Jeget 2 2
12. Atu Lintang 1 -
13. Bies 2 2
14. Rusip Antara 1 2
Jumlah 52 37
Sumber : BPS Aceh Tengah dalam Angka, 2012

2b. Jumlah perusahaan kilang kopi dan industri bubuk kopi di Kabupaten
Bener Meriah, tahun 2011
No. Kecamatan Kilang Pengupas Kopi Industri Bubuk Kopi
1. Timang Gajah 9 5
2. Gajah Putih 6 2
3. Pintu Rime Gayo 4 2
4. Bukit 10 3
5. Wih Pesam 8 10
6. Bandar 9 3
7. Bener Kelipah 2 1
8. Syiah Utama - 2
9. Mesidah 2 2
10. Permata 5 3
Jumlah 55 33
Sumber : BPS Aceh Tengah dalam Angka, 2012
108

Lampiran 3 Data penjualan kopi Arabika Gayo di tingkat petani responden

3a. Jumlah penjualan petani responden di Kabupaten Aceh Tengah, tahun 2012
Aktivitas penjualan

Rata-rata produksi Rata-rata


No Petani Bentuk Harga jual
kopi ceri (kg/ ha) penjualan Pembeli
kopi (Rp/kg)
(kg/ minggu)

1 Petani 1 4,500 Ceri 371 6,500 Kolektor


2 Petani 2 3,500 Ceri 289 5,500 Kolektor
3 Petani 3 4,500 Ceri 371 7,500 Kolektor
4 Petani 4 3,800 Ceri 314 8,000 Kolektor
5 Petani 5 4,700 Ceri 388 8,500 Kolektor
6 Petani 6 3,700 Ceri 305 8,000 Kolektor
7 Petani 7 3,800 Ceri 314 5,500 Kolektor
8 Petani 8 3,700 Ceri 305 7,500 Kolektor
9 Petani 9 4,800 Ceri 396 7,500 Kolektor
10 Petani 10 4,700 Ceri 388 6,000 Kolektor
11 Petani 11 3,500 Ceri 289 8,000 Kolektor
12 Petani 12 4,800 Ceri 396 8,500 Kolektor
13 Petani 13 4,000 Ceri 330 5,500 Kolektor
14 Petani 14 3,800 Ceri 314 6,500 Kolektor
15 Petani 15 4,000 Ceri 330 7,000 Kolektor
16 Petani 16 4,800 Ceri 396 8,000 Kolektor
17 Petani 17 4,000 Ceri 330 7,500 Kolektor
18 Petani 18 3,800 Ceri 314 7,500 Kolektor

4,133 341 7,167


Rata-rata
19 Petani 19 4,500 Ceri 371 6,000 Kolektor
20 Petani 20 4,800 Ceri 396 8,000 Kolektor
21 Petani 21 4,700 Ceri 388 8,500 Kolektor
22 Petani 22 4,500 Ceri 371 5,500 Kolektor
23 Petani 23 3,500 Ceri 289 6,500 Kolektor
24 Petani 24 4,000 Ceri 330 7,000 Kolektor
25 Petani 25 3,800 Ceri 314 6,500 Kolektor
26 Petani 26 4,500 Ceri 371 7,000 Kolektor
27 Petani 27 4,800 Ceri 396 8,000 Kolektor
28 Petani 28 3,800 Ceri 314 7,500 Kolektor
29 Petani 29 3,500 Ceri 289 7,500 Kolektor
30 Petani 30 4,800 Ceri 396 6,000 Kolektor
Rata-rata 4,267 352 7,000
Ket: Petani melakukan panen 4x selama 2 bulan musim panen raya; 1 kg kopi ceri = 0.456 kg kopi HS;
Penyusutan kopi ceri sebesar 5%
109

3b. Jumlah penjualan petani responden di Kabupaten Bener Meriah, tahun 2012
Aktivitas penjualan

Rata-rata produksi Rata-rata


No Petani Bentuk Harga jual
kopi ceri (kg/ ha) penjualan Pembeli
kopi (Rp/kg)
(kg/ minggu)

1 Petani 31 4,500 Ceri 371 6,500 Kolektor


2 Petani 32 3,500 Ceri 289 5,500 Kolektor
3 Petani 33 4,500 Ceri 371 7,500 Kolektor
4 Petani 34 3,800 Ceri 314 8,000 Kolektor
5 Petani 35 4,700 Ceri 388 8,500 Kolektor
6 Petani 36 3,700 Ceri 305 8,000 Kolektor
7 Petani 37 3,800 Ceri 314 5,500 Kolektor
8 Petani 38 3,700 Ceri 305 7,500 Kolektor
9 Petani 39 4,800 Ceri 396 7,500 Kolektor
10 Petani 40 4,700 Ceri 388 6,000 Kolektor
11 Petani 41 3,500 Ceri 289 8,000 Kolektor
12 Petani 42 4,800 Ceri 396 8,500 Kolektor
13 Petani 43 4,000 Ceri 330 5,500 Kolektor
14 Petani 44 3,800 Ceri 314 6,500 Kolektor
15 Petani 45 4,000 Ceri 330 7,000 Kolektor
16 Petani 46 4,800 Ceri 396 8,000 Kolektor
17 Petani 47 4,000 Ceri 330 7,500 Kolektor
18 Petani 48 3,800 Ceri 314 7,500 Kolektor
Rata-rata 4,133 341 7,167
19 Petani 49 4,500 Ceri 371 6,000 Kolektor
20 Petani 50 4,800 Ceri 396 8,000 Kolektor
21 Petani 51 4,700 Ceri 388 8,500 Kolektor
22 Petani 52 4,500 Ceri 371 5,500 Kolektor
23 Petani 53 3,500 Ceri 289 6,500 Kolektor
24 Petani 54 4,000 Ceri 330 7,000 Kolektor
25 Petani 55 3,800 Ceri 314 6,500 Kolektor
26 Petani 56 4,500 Ceri 371 7,000 Kolektor
27 Petani 57 4,800 Ceri 396 8,000 Kolektor
28 Petani 58 3,800 Ceri 314 7,500 Kolektor
29 Petani 59 3,500 Ceri 289 7,500 Kolektor
30 Petani 60 4,800 Ceri 396 6,000 Kolektor
Rata-rata 4,267 352 7,000
Ket: Petani melakukan panen 4x selama 2 bulan musim panen raya; 1 kg kopi ceri = 0.456 kg kopi HS;
Penyusutan kopi ceri sebesar 5%
110

Lampiran 4 Data pembelian dan penjualan kopi Arabika Gayo di tingkat


pedagang pengumpul (kolektor)

4a. Jumlah pembelian dan penjualan oleh kolektor di Kabupaten Aceh Tengah
Bentuk
Jlh. Harga
Jumlah Total kopi Pembeli
Kolektor penjualan Bentuk jual
petani Pembelian yang I
(kg/ minggu) (Rp/kg)
dibeli

Kolektor 1 25 3,500 HS Koperasi 2,800 HS 19,000


Kolektor 2 55 7,700 HS Koperasi 6,545 HS 21,000
Kolektor 3 60 8,400 HS Koperasi 7,560 HS 18,000
Rata-rata 47 6,533 5,635 19,333
Kolektor 4 53 8,003 HS Koperasi 6,402 HS 21,000
Kolektor 5 48 7,248 HS Koperasi 6,161 HS 18,500
Kolektor 6 45 6,795 HS Koperasi 5,776 HS 19,500
Kolektor 7 43 6,493 HS Koperasi 5,519 HS 18,000
Kolektor 8 48 7,248 HS Koperasi 6,161 HS 18,000
Kolektor 9 50 7,550 HS Koperasi 6,040 HS 17,500
Rata-rata 48 7,223 6,010 18,750

Sambungan 4a.
Kolektor Pembeli II Jlh. penjualan (kg/ minggu) Bentuk Harga jual (Rp/kg)
Kolektor 1 - - - -
Kolektor 2 Eksportir 397 Beras 30,000
Kolektor 3 Eksportir 289 Beras 32,000
Rata-rata 343 31,000
Kolektor 4 - 551 Beras -
Kolektor 5 - - - -
Kolektor 6 - - - -
Kolektor 7 Eksportir 335 Beras 32,000
Kolektor 8 - - - -
Kolektor 9 Eksportir 519 Beras -
Rata-rata 468 31,333
111

4b. Jumlah pembelian dan penjualan oleh kolektor di Kabupaten Bener Meriah
Bentuk
Total Jlh. Harga
Jumlah kopi Pembeli
Kolektor Pembelian penjualan Bentuk jual
petani yang I
(kg/ minggu) (kg/ minggu (Rp/kg)
dibeli
Kolektor 10 40 13,640 Ceri Koperasi 6,343 HS 21,000
Kolektor 11 75 25,575 Ceri Koperasi 9,514 HS 18,000
Kolektor 12 70 23,870 Ceri Koperasi 11,100 HS 20,000
Rata-rata 62 21,028 8,985 19,667
Kolektor 13 56 19,712 Ceri Koperasi 8,937 HS 18,500
Kolektor 14 50 17,600 Ceri Koperasi 8,184 HS 19,000
Rata-rata 59 18,656 8,561 18,750

Sambungan 4b.
Kolektor Pembeli II Jlh. penjualan (kg/ minggu) Bentuk Harga jual (Rp/kg)

Kolektor 10 - - - -
a
Kolektor 11 Eksportir 818 Beras 32,000
Kolektor 12 - - - -
Rata-rata 818 32,000
Kolektor 13 Eksportir 79 Berasa 35,000
Kolektor 14 - - - -
Rata-rata 79 - 35,000
a
kopi Beras yang belum disortir (green off grade)

Lampiran 5 Data pembelian dan penjualan kopi Arabika Gayo di tingkat


koperasi dan eksportir

5a. Jumlah pembelian dan penjualan kopi Arabika Gayo si tingkat koperasi dan
eksportir [koperasi]
Bentuk
Jlh. Pembelian
Jlh. Penjualan kopi Jlh. penjualan Harga
Koperasi kopi HS (kg/ Pembeli I
(kg/minggu) yang (kg/ minggu) (Rp/kg)
minggu)
dibeli
Koperasi 1 949,326 320,037 Importir Berasa 224,026 60,000
Koperasi 2 584,449 197,029 - - - -
a
Koperasi 3 1,084,944 365,756 Importir Beras 219,454 57,000
a
Koperasi 4 484,350 163,284 Importir Beras 114,299 56,000
Koperasi 5 387,480 130,627 - - - -
Rata2 698,110 235,347 185,926 57,667
a
kopi Beras yang belum disortir (green off grade)
112

Sambungan 5a
Jumlah Pembeli Bentuk kopi yang Jlh. penjualan Harga
Koperasi
petani II dibeli (kg/minggu) (Rp/kg)
Koperasi 1 4,000 Eksportir Green off grade 96,011 45,000
Koperasi 2 3,620 Eksportir Green off-grade 197,029 43,000
a
Koperasi 3 5,657 Eksportir Green bean 146,303 51,000
Koperasi 4 2,000 Eksportir Green off grade 48,985 42,000
Koperasi 5 1,200 Eksportir Green off grade 32,657 38,000
Rata-rata 3,295 104,197 43,800
a
kopi Beras yang sudah disortir/grading (green bean)

5b. Jumlah pembelian dan penjualan kopi Arabika Gayo si tingkat eksportir [non-
koperasi]

Jlh. Jlh.
Total Bentuk Jlh.
Eksportir Pembelian Pembelian
pembelian kopi penjualan Harga
[Non- green-off green bean Pembeli
green-bean yang (kg/ (Rp/kg)
Koperasi] grade (kg/ (kg/
(kg/minggu) dibeli minggu)
minggu) minggu)

Green
Firm 1 25,702 37,798 62,996 Eksportir bean 61,736 65,000
Green
Firm 2 31,616 46,495 77,491 Eksportir bean 75,941 58,000
Green
Firm 3 4,995 19,590 24,487 Eksportir bean 23,997 60,000

Rata-rata 20,771 34,627 54,991 53,892 61,000


113

Lampiran 6. Analisis marjin pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh


Tengah dan Bener Meriah
6a. Analisis marjin dan farmer share kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh Tengah
Uraian Saluran Pemasaran
No
(Rp/ kg) 1 %-se 2 %-se 3 %-se 4 %-se
1 Petani
a. Harga Jual 17,056 27.96 17,178 28.16 17,300 8.36 17,300 30.00
2 Kolektor
a. Harga Beli 17,056 27.96 17,178 17,300 28.36 17,300 30.00
b. Biaya Pemasaran 302
- Biaya transportasi 183 0.30 183 0.30 183 0.36 183 0.32
- Biaya bongkar muat 39 0.06 39 0.06 39 0.08 39 0.07
- Biaya pengolahan 50 0.08 300 0.49 50 0.10 50 0.09
- Biaya susut 30 0.05 320 0.52 30 0.06 30 0.05
c. Harga Jual 19,333 31.69 31,167 51.09 18,750 36.76 18,750 32.51
d. Keuntungan 1,976 13,147 1,148 1,148
e. Marjin Kolektor 2,278 13,989 1,450 1,450
3 Koperasi
a. Harga Beli 19,333 31.69 - - -
b. Biaya Pemasaran 2,160 3.54
- Biaya transportasi 898 1.47 - - -
- Biaya bongkar muat 564 0.92 - - -
- Biaya pengolahan 300 0.49 - - -
- Biaya susut 320 0.52 - - -
- Biaya admintrasi 10 0.02 - - -
- Biaya retribusi 15 0.02 - - -
- Biaya penyimpanan 53 0.09 - - -
c. Harga Jual 42,000 68.85 - - -
d. Keuntungan 20,507 - - -
e. Marjin Koperasi 22,667 - - -
4 Eksportir (Koperasi)
a. Harga Beli - - 18,750 30.74 18,750 32.51
b. Biaya Pemasaran 2,528 2,528
- Biaya transportasi - - 898 1.76 898 1.56
- Biaya bongkar muat - - 564 1.11 564 0.98
- Biaya pengolahan - - 300 0.59 300 0.52
- Biaya sortasi - - 358 0.70 358 0.62
- Biaya admintrasi - - 15 0.03 15 0.03
- Biaya retribusi - - 20 0.04 20 0.03
- Biaya susut - - 320 0.63 320 0.55
- Biaya penyimpanan 53 0.10 53 0.09
c. Harga Jual - - 51,000 83.61 57,667 100.00
d. Keuntungan - - 29,722 36,389
e. Marjin Eksportir - - 32,250 38,917
4 Eksportir(Non Koperasi)
a. Harga Beli 42,000 68.85 31,167 51.09 51,000 3.61 -
b. Biaya Pemasaran 3,433 5.63 3,733 6.12 3,387 5.55
- Biaya transportasi 981 1.61 1,281 2.10 1,281 2.10 -
- Biaya bongkar muat 1,150 1.89 1,150 1.89 1,150 1.89 -
- Biaya pengolahan 580 0.95 580 0.95 50 0.08 -
- Biaya sortasi 358 0.59 358 0.59 358 0.59 -
- Biaya admintrasi 15 0.02 15 0.02 15 0.02 -
- Biaya retribusi 20 0.03 20 0.03 20 0.03 -
- Biaya susut 276 0.45 276 0.45 460 0.75 -
- Biaya penyimpanan 53 0.09 53 0.09 53 0.09 -
c. Harga Jual 61,000 100.00 61,000 100.00 61,000 00.00 -
d. Keuntungan 15,567 26,100 6,613
e. Marjin Eksportir 19,000 29,833 10,000
Total Biaya Pemasaran 5,895 9.66 4,575 7.50 6,216 10.19 2,830 4.91
Total Keuntungan 38,050 62.38 39,247 64.34 37,484 61.45 37,537 65.09
Total Marjin 43,944 72.04 43,822 71.84 43,700 71.64 40,367 70.00
114

6b Analisis marjin dan farmer share kopi Arabika Gayo di Kabupaten Bener
Meriah
Uraian Saluran Pemasaran
No
(Rp/ kg) 1 %-se 2 %-se 3 %-se 4 %-se
1 Petani
a. Harga Jual 7,167 11.75 7,083 11.61 7,000 11.48 7,000 12.14
2 Kolektor
a. Harga Beli 7,167 7,083 7,000 11.48 7,000 12.14
b. Biaya Pemasaran 490 0.80 842 302 302
- Biaya transportasi 138 0.23 183 0.30 183 0.30 183 0.32
- Biaya bongkar muat 39 0.06 39 0.06 39 0.06 39 0.07
- Biaya pengolahan 203 0.33 300 0.49 50 0.08 50 0.09
- Biaya susut 110 0.18 320 0.52 30 0.05 30 0.05
c. Harga Jual 19,667 32.24 33,500 54.92 18,750 30.74 18,750 32.51
d. Keuntungan 12,010 25,575 11,448 11,448
e. Marjin Kolektor 12,500 26,417 11,750 11,750
3 Koperasi
a. Harga Beli 19,667 32.24 - - -
b. Biaya Pemasaran 2,160
- Biaya transportasi 898 1.50 - - -
- Biaya bongkar muat 564 0.94 - - -
- Biaya pengolahan 300 0.50 - - -
- Biaya susut 320 0.53 - - -
- Biaya admintrasi 10 0.02 - - -
- Biaya retribusi 15 0.03 - - -
- Biaya penyimpanan 53 0.09 - - -
c. Harga Jual 42,000 68.85 - - -
d. Keuntungan 20,173 - - -
e. Marjin Koperasi 22,333 - - -
4 Eksportir (Koperasi)
a. Harga Beli - - 18,750 30.74 18,750 32.51
b. Biaya Pemasaran 1,991 3,218
- Biaya transportasi - - 675 1.11 898 1.56
- Biaya bongkar muat - - 250 0.41 564 0.98
- Biaya pengolahan - - 300 0.49 991 1.72
- Biaya sortasi - - 358 0.59 358 0.62
- Biaya admintrasi - - 15 0.02 15 0.03
- Biaya retribusi - - 20 0.03 20 0.03
- Biaya susut - - 320 0.52 320 0.55
- Biaya penyimpanan 53 0.09 53 0.09
c. Harga Jual - - 51,000 83.61 57,667 100.00
d. Keuntungan - - 30,259 35,698
e. Marjin Eksportir - - 32,250 38,917
4 Eksportir(Non
Koperasi)
a. Harga Beli 42,000 79.92 33,500 54.92 51,000 83.61 -
b. Biaya Pemasaran 3,433 3,733 2,755
- Biaya transportasi 981 1.61 1,281 2.10 705 1.16 -
- Biaya bongkar muat 564 1.89 1,150 1.89 564 0.93 -
- Biaya pengolahan 991 0.95 991 1.62 580 0.95 -
- Biaya sortasi 358 0.59 358 0.59 358 0.59 -
- Biaya admintrasi 15 0.02 15 0.02 15 0.02 -
- Biaya retribusi 20 0.03 20 0.03 20 0.03 -
- Biaya susut 276 0.45 276 0.45 460 0.75 -
- Biaya penyimpanan 53 0.09 53 0.09 53 0.09 -
c. Harga Jual 61,000 100.00 61,000 100.00 61,000 100.00 -
d. Keuntungan 15,567 23,767 7,245
e. Marjin Eksportir 19,000 27,500 10,000
Total Biaya Pemasaran 6,083 9.97 4,575 7.50 5,048 8.27 3,520 6.90
Total Keuntungan 47,751 78.28 49,342 80.89 48,952 80.25 47,147 92.44
Total Marjin 53,833 88.25 53,917 88.39 54,000 88.52 50,667 99.35
115

Lampiran 7 Hasil output analisis integrasi pasar vertikal

PFCR = Harga kopi ceri di tingkat petani


PFHS = Harga kopi HS k.a ≥ 40% di tingkat petani
PCOL = Harga kopi HS k.a 35 - 40 % di tingkat kolektor
PCOOP = Harga kopi beras (green off-grade) di tingkat koperasi
PEXP = Harga kopi beras (green bean) di tingkat eksportir

1. Harga pada tingkat petani sebagai pasar lokal dan harga pada tingkat
pedagang pengumpul, koperasi dan ekportir sebagai pasar acuan

a) Analisis Regresi : PFCR dengan PFCR1, PCOLfd, PCOL1


Dependent Variable: PFCR
Method: Least Squares

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

PFCR1 0.914577 0.057644 15.86605 0.0000


PCOLFD 0.380618 0.063023 6.039366 0.0000
PCOL1 0.018043 0.037021 0.487369 0.6279
C 507.9308 494.4319 1.027302 0.3088

R-squared 0.915529 Prob(F-statistic) 0.000000


F-statistic 198.7048 Durbin-Watson stat 1.775025

Uji asumsi-asumsi klasik dalam regresi :


a1. Uji Autokorelasi
Untuk mendeteksi adanya autokorelasi dengan membandingkan nilai
X2(Khi-Kuadrat) hitung dengan X2(Khi-Kuadrat) tabel, yaitu :
a. Jika nilai X2 hitung > X2 tabel, maka hipotesis yang menyatakan bahwa
model bebas dari masalah autokorelasi ditolak.
b. Jika nilai X2 hitung < X2 tabel, maka hipotesis yang menyatakan bahwa
model bebas dari masalah autokorelasi diterima.

Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:

F-statistic 0.481718 Prob. F(2,53) 0.6204


Obs*R-squared 1.053356 Prob. Chi-Square(2) 0.5906

Analisis Hasil Output, lihat nilai Obs*R squared (disebut juga X2 hitung)
sebesar 1.05 dan X2 tabel yang disesuaikan dengan jumlah lagnya (v) = 2 dan α =
5% adalah 5.99. karena 1.0533 < 5.99, maka dapat disimpulkan model diatas
bebas dari masalah autokorelasi.

a2. Uji Multikolinearitas


Tahapan pengujian melalui program eviews dengan pendekatan konsep
parsial dengan tahapan sebagai berikut :
Melakukan regresi untuk 4 persamaan :
116

1) PFCR = a0 + a1 PFCR1 + a2 PCOLfd + a3 PCOL1…………………... …(1)


2) PFCR1 = b0 + b1 PCOLfd + b2 PCOL1………………………………. …(2)
3) PCOLfd = b0 + b0 PFCR1 + b0 PCOL1 …………………………………(3)
4) PCOL1 = b0 + b0 PFCR1 + b0 PCOLfd ……………………………… …(4)

Melalui analisis regresi diperoleh :


Untuk persamaan (1) nilai R2 adalah sebesar 0.9145 selanjutnya disebut R21
Untuk persamaan (2) nilai R2 adalah sebesar 0.5341 selanjutnya disebut R22
Untuk persamaan (3) nilai R2 adalah sebesar 0.098 selanjutnya disebut R23
Untuk persamaan (4) nilai R2 adalah sebesar 0.5598 selanjutnya disebut R24

Ketentuan :
Bila nilai R21 > R22, R23, R24 maka model tidak diketemukan adanya
multikolinearitas
Bila nilai R21 < R22, R23, R24 maka model diketemukan adanya multikolinearitas

Analisis Hasil Output, menunjukkan bahwa nilai R21 > R22, R23, R24, maka dalam
model ini tidak diketemukan adanya multikolinearitas.

b) Analisis Regresi : PFCR dengan PFCR1, PCOOPfd, PCOOP1


Dependent Variable: PFCR
Method: Least Squares

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

PFCR1 0.457534 0.119495 3.828910 0.0003


PCOOPFD 0.374493 0.016878 22.18826 0.0000
PCOOP1 0.205104 0.046061 4.452923 0.0000
C -68.58975 183.9522 -0.372867 0.7107

R-squared 0.985669 Prob(F-statistic) 0.000000


F-statistic 1260.967 Durbin-Watson stat 2.173340

Uji asumsi-asumsi klasik dalam regresi :

a1. Uji Autokorelasi

Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:

F-statistic 1.100094 Prob. F(2,53) 0.3403


Obs*R-squared 2.351643 Prob. Chi-Square(2) 0.3086

Analisis Hasil Output, lihat nilai Obs*R squared (disebut juga X2 hitung)
sebesar 2.35 dan X2 tabel yang disesuaikan dengan derajat bebas (v) = 2 dan α =
5% adalah 5.99. karena 2.35< 5.99, maka dapat disimpulkan model diatas bebas
dari masalah Autokorelasi.
117

a2. Uji Multikolinearitas


Tahapan pengujian melalui program eViews dengan pendekatan konsep
parsial dengan tahapan sebagai berikut :
Melakukan regresi untuk 4 persamaan :
1) PFCR = a0 + a1 PFCR1 + a2 PCOOPfd + a3 PCOOP1…………………..(1)
2) PFCR1 = b0 + b1 PCOOPfd + b2 PCOOP1…………………………...….(2)
3) PCOOPfd = b0 + b0 PFCR1 + b0 PCOOP1 ……………………………(3)
4) PCOOP1 = b0 + b0 PFCR1 + b0 PCOOPfd ……………………………(4)

Melalui analisis regresi diperoleh :


Untuk persamaan (1) nilai R2 adalah sebesar 0.9857 selanjutnya disebut R21
Untuk persamaan (2) nilai R2 adalah sebesar 0.9816 selanjutnya disebut R22
Untuk persamaan (3) nilai R2 adalah sebesar 0.1082 selanjutnya disebut R23
Untuk persamaan (4) nilai R2 adalah sebesar 0.9819 selanjutnya disebut R24

Analisis Hasil Output, menunjukkan bahwa nilai R21 > R22, R23, R24, maka dalam
model ini tidak diketemukan adanya multikolinearitas.

c) Analisis Regresi : PFCR dengan PFCR1, PEXPfd, PEXP1


Dependent Variable: PFCR
Method: Least Squares

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

PFCR1 0.933712 0.061909 15.08197 0.0000


PEXPFD 0.080890 0.025018 3.233268 0.0021
PEXP1 0.004142 0.024291 0.170505 0.8652
C 348.2165 848.2260 0.410523 0.6830

R-squared 0.881655 Prob(F-statistic) 0.000000


F-statistic 136.5814 Durbin-Watson stat 1.970852

Uji asumsi-asumsi klasik dalam regresi :

a1. Uji Autokorelasi


Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:

F-statistic 0.750088 Prob. F(2,53) 0.4773


Obs*R-squared 1.624039 Prob. Chi-Square(2) 0.4440

Analisis Hasil Output, lihat nilai Obs*R squared (disebut juga X2 hitung)
sebesar 1.62 dan X2 tabel yang disesuaikan dengan jumlah lagnya (v) = 2 danα =
5% adalah 5.99. karena 1.62< 5.99, maka dapat disimpulkan model diatas bebas
dari masalah Autokorelasi.
118

a2. Uji Multikolinearitas


Tahapan pengujian melalui program eViews dengan pendekatan konsep
parsial dengan tahapan sebagai berikut :
Melakukan regresi untuk 4 persamaan :
1) PFCR = a0 + a1 PFCR1 + a2 PEXPfd + a3 PEXP1…………………... (1)
2) PFCR1 = b0 + b1 PEXPfd + b2 PEXP1………………………………. (2)
3) PEXPfd = b0 + b0 PFCR1 + b0 PEXP1 ……………………………… (3)
4) PEXP1 = b0 + b0 PFCR1 + b0 PEXPfd ……………………………… (4)

Melalui analisis regresi diperoleh :


Untuk persamaan (1) nilai R2 adalah sebesar 0.8817 selanjutnya disebut R21
Untuk persamaan (2) nilai R2 adalah sebesar 0.4342 selanjutnya disebut R22
Untuk persamaan (3) nilai R2 adalah sebesar 0.1551 selanjutnya disebut R23
Untuk persamaan (4) nilai R2 adalah sebesar 0.4895 selanjutnya disebut R24

Analisis Hasil Output, menunjukkan bahwa nilai R21 > R22, R23, R24, maka dalam
model ini tidak diketemukan adanya multikolinearitas.

d) Analisis Regresi : PFHS dengan PFHS1, PCOLfd, PCOL1


Dependent Variable: PFHS
Method: Least Squares
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

PFHS1 0.674420 0.095255 7.080130 0.0000


PCOLFD 0.747127 0.062295 11.99331 0.0000
PCOL1 0.292550 0.090055 3.248577 0.0020
C -22.03520 492.1506 -0.044773 0.9645

R-squared 0.960250 Prob(F-statistic) 0.000000


F-statistic 442.8797 Durbin-Watson stat 1.642588

Uji asumsi-asumsi klasik dalam regresi :

a1. Uji Autokorelasi


Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:

F-statistic 2.016730 Prob. F(2,53) 0.1432


Obs*R-squared 4.172536 Prob. Chi-Square(2) 0.1241

Analisis Hasil Output, lihat nilai Obs*R squared (disebut juga X2 hitung)
sebesar 4.17 dan X2 tabel yang disesuaikan dengan jumlah lagnya (v) = 2 dan α =
5% adalah 5.99. karena 4.17< 5.99, maka dapat disimpulkan model diatas bebas
dari masalah Autokorelasi.
119

a2. Uji Multikolinearitas


Tahapan pengujian melalui program eviews dengan pendekatan konsep
parsial dengan tahapan sebagai berikut :
Melakukan regresi untuk 4 persamaan :
1) PFHS = a0 + a1 PFHS1 + a2 PCOLfd + a3 PCOL1…………………... (1)
2) PFHS1 = b0 + b1 PCOLfd + b2 PCOL1………………………………. (2)
3) PCOLfd = b0 + b0 PFHS1 + b0 PCOL1 ……………………………… (3)
4) PCOL1 = b0 + b0 PFHS1 + b0 PCOLfd ……………………………… (4)

Melalui analisis regresi diperoleh :


Untuk persamaan (1) nilai R2 adalah sebesar 0.9603 selanjutnya disebut R21
Untuk persamaan (2) nilai R2 adalah sebesar 0.9233 selanjutnya disebut R22
Untuk persamaan (3) nilai R2 adalah sebesar 0.0622 selanjutnya disebut R23
Untuk persamaan (4) nilai R2 adalah sebesar 0.9244 selanjutnya disebut R24

Analisis Hasil Output, menunjukkan bahwa nilai R21 > R22, R23, R24, maka dalam
model ini tidak diketemukan adanya multikolinearitas.

e) Analisis Regresi : PFHS dengan PFHS1, PCOOPfd, PCOOP1


Dependent Variable: PFHS
Method: Least Squares
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

PFHS1 0.880516 0.054359 16.19815 0.0000


PCOOPFD 0.407204 0.051515 7.904645 0.0000
PCOOP1 0.075060 0.030685 2.446153 0.0177
C -130.6908 623.7327 -0.209530 0.8348

R-squared 0.935834 Prob(F-statistic) 0.000000


F-statistic 267.3859 Durbin-Watson stat 1.908952

Uji asumsi-asumsi klasik dalam regresi :

a1. Uji Autokorelasi


Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:

F-statistic 0.108857 Prob. F(2,53) 0.8971


Obs*R-squared 0.241369 Prob. Chi-Square(2) 0.8863

Analisis Hasil Output, lihat nilai Obs*R squared (disebut juga X2 hitung)
sebesar 1.09 dan X2 tabel yang disesuaikan dengan jumlah lagnya (v) = 2 dan
α = 5% adalah 1.09. karena 1.09< 5.99, maka dapat disimpulkan model diatas
bebas dari masalah Autokorelasi.
120

a2. Uji Multikolinearitas


Tahapan pengujian melalui program eViews dengan pendekatan konsep
parsial dengan tahapan sebagai berikut :
Melakukan regresi untuk 4 persamaan :
1) PFHS = a0 + a1 PFHS1 + a2 PCOOPfd + a3 PCOOP1…………………..(1)
2) PFHS1 = b0 + b1 PCOOPfd + b2 PCOOP1……………………………….(2)
3) PCOOPfd = b0 + b0 PFHS1 + b0 PCOOP1 …………………………… (3)
4) PCOOP1 = b0 + b0 PFHS1 + b0 PCOOPfd ………………………………(4)

Melalui analisis regresi diperoleh :


Untuk persamaan (1) nilai R2 adalah sebesar 0.9358 selanjutnya disebut R21
Untuk persamaan (2) nilai R2 adalah sebesar 0.6199 selanjutnya disebut R22
Untuk persamaan (3) nilai R2 adalah sebesar 0.0746 selanjutnya disebut R23
Untuk persamaan (4) nilai R2 adalah sebesar 0.6051 selanjutnya disebut R24

Analisis Hasil Output, menunjukkan bahwa nilai R21 > R22, R23, R24, maka dalam
model ini tidak diketemukan adanya multikolinearitas.

f) Analisis Regresi : PFHS dengan PFHS1, PEXPfd, PEXP1


Dependent Variable: PFHS
Method: Least Squares

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

PFHS1 0.861601 0.060772 14.17767 0.0000


PEXPFD 0.099075 0.038629 2.564785 0.0131
PEXP1 0.047059 0.035917 1.310208 0.1956
C -81.56605 1294.492 -0.063010 0.9500

R-squared 0.870367 Prob(F-statistic) 0.000000


F-statistic 123.0911 Durbin-Watson stat 1.914580

Uji asumsi-asumsi klasik dalam regresi :


a1. Uji Autokorelasi
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:

F-statistic 0.036765 Prob. F(2,53) 0.9639


Obs*R-squared 0.081740 Prob. Chi-Square(2) 0.9600

Analisis Hasil Output, lihat nilai Obs*R squared (disebut juga X2 hitung)
sebesar 0.082 dan X2 tabel yang disesuaikan dengan jumlah lagnya (v) = 2 dan α =
5% adalah 5.99. karena 0.082< 5.99, maka dapat disimpulkan model diatas bebas
dari masalah Autokorelasi.

a2. Uji Multikolinearitas


Tahapan pengujian melalui program eViews dengan pendekatan konsep
parsial dengan tahapan sebagai berikut :
121

ssMelakukan regresi untuk 4 persamaan :


1) PFHS = a0 + a1 PFHS1 + a2 PEXPfd + a3 PEXP1…………………... (1)
2) PFHS1 = b0 + b1 PEXPfd + b2 PEXP1………………………………. (2)
3) PEXPfd = b0 + b0 PFHS1 + b0 PEXP1 ……………………………… (3)
4) PEXP1 = b0 + b0 PFHS1 + b0 PEXPfd ……………………………… (4)

Melalui analisis regresi diperoleh :


Untuk persamaan (1) nilai R2 adalah sebesar 0.8704 selanjutnya disebut R21
Untuk persamaan (2) nilai R2 adalah sebesar 0.3856 selanjutnya disebut R22
Untuk persamaan (3) nilai R2 adalah sebesar 0.1620 selanjutnya disebut R23
Untuk persamaan (4) nilai R2 adalah sebesar 0.4576 selanjutnya disebut R24

Analisis Hasil Output, menunjukkan bahwa nilai R21 > R22, R23, R24, maka dalam
model ini tidak diketemukan adanya multikolinearitas.

2. Harga pada tingkat kolektor sebagai pasar lokal dan harga pada tingkat
koperasi dan ekportir sebagai pasar acuan

a) Analisis Regresi : PCOL dengan PCOL1, PCOOPfd, PCOOP1


Dependent Variable: PCOL
Method: Least Squares
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

PCOL1 0.878832 0.059381 14.79997 0.0000


PCOOPFD 0.444450 0.061349 7.244565 0.0000
PCOOP1 0.078667 0.035816 2.196407 0.0323
C 25.33676 763.2904 0.033194 0.9736

R-squared 0.920326 Prob(F-statistic) 0.000000


F-statistic 211.7708 Durbin-Watson stat 1.629033

Uji asumsi-asumsi klasik dalam regresi :


a1. Uji Autokorelasi
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:

F-statistic 1.314275 Prob. F(2,53) 0.2773


Obs*R-squared 2.787856 Prob. Chi-Square(2) 0.2481

Analisis Hasil Output, lihat nilai Obs*R squared (disebut juga X2 hitung)
sebesar 2.79 dan X2 tabel yang disesuaikan dengan jumlah lagnya (v) = 2 dan α =
5% adalah 5.99. karena 2.79< 5.99, maka dapat disimpulkan model diatas bebas
dari masalah Autokorelasi.

a2. Uji Multikolinearitas


Tahapan pengujian melalui program eViews dengan pendekatan konsep
parsial dengan tahapan sebagai berikut :
122

Melakukan regresi untuk 4 persamaan :


1) PCOL = a0 + a1 PCOL1 + a2 PCOOPfd + a3 PCOOP1…………………(1)
2) PCOL1 = b0 + b1 PCOOPfd + b2 PCOOP1…………………………… (2)
3) PCOOPfd = b0 + b0 PCOL1 + b0 PCOOP1 ……………………………. (3)
4) PCOOP1 = b0 + b0 PCOL1 + b0 PCOOPfd …………………………… (4)

Melalui analisis regresi diperoleh:


Untuk persamaan (1) nilai R2 adalah sebesar 0.9203 selanjutnya disebut R21
Untuk persamaan (2) nilai R2 adalah sebesar 0.5996 selanjutnya disebut R22
Untuk persamaan (3) nilai R2 adalah sebesar 0.0688 selanjutnya disebut R23
Untuk persamaan (4) nilai R2 adalah sebesar 0.5863 selanjutnya disebut R24

Analisis Hasil Output, menunjukkan bahwa nilai R21 > R22, R23, R24, maka dalam
model ini tidak diketemukan adanya multikolinearitas.

b) Analisis Regresi : PCOL dengan PCOL1, PEXPfd, PEXP1


Dependent Variable: PCOL
Method: Least Squares
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

PCOL1 0.856677 0.064213 13.34126 0.0000


PEXPFD 0.121230 0.043178 2.807677 0.0069
PEXP1 0.054631 0.040392 1.352507 0.1817
C -94.22371 1455.699 -0.064727 0.9486

R-squared 0.857487 Prob(F-statistic) 0.000000


F-statistic 110.3100 Durbin-Watson stat 1.807189

Uji asumsi-asumsi klasik dalam regresi :

a1. Uji Autokorelasi


Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:

F-statistic 0.331574 Prob. F(2,53) 0.7193


Obs*R-squared 0.729098 Prob. Chi-Square(2) 0.6945

Analisis Hasil Output, lihat nilai Obs*R squared (disebut juga X2 hitung)
sebesar 0.73 dan X2 tabel yang disesuaikan dengan jumlah lagnya (v) = 2 dan α =
5% adalah 5.99. karena 0.73< 5.99, maka dapat disimpulkan model diatas bebas
dari masalah Autokorelasi.

a2. Uji Multikolinearitas


Tahapan pengujian melalui program eViews dengan pendekatan konsep
parsial dengan tahapan sebagai berikut :
Melakukan regresi untuk 4 persamaan :
1) PCOL = a0 + a1 PCOL1 + a2 PEXPfd + a3 PEXP1…………………... (1)
123

2) PCOL1 = b0 + b1 PEXPfd + b2 PEXP1………………………………. (2)


3) PEXPfd = b0 + b0 PCOL1 + b0 PEXP1 ……………………………… (3)
4) PEXP1 = b0 + b0 PCOL1 + b0 PEXPfd ……………………………… (4)

Melalui analisis regresi diperoleh :


Untuk persamaan (1) nilai R2 adalah sebesar 0.8575 selanjutnya disebut R21
Untuk persamaan (2) nilai R2 adalah sebesar 0.3875 selanjutnya disebut R22
Untuk persamaan (3) nilai R2 adalah sebesar 0.1525 selanjutnya disebut R23
Untuk persamaan (4) nilai R2 adalah sebesar 0.4581 selanjutnya disebut R24

Analisis Hasil Output, menunjukkan bahwa nilai R21 > R22, R23, R24, maka dalam
model ini tidak diketemukan adanya multikolinearitas.

4. Harga pada tingkat kolektor sebagai pasar lokal dan harga pada tingkat
koperasi dan ekportir sebagai pasar acuan

Analisis Regresi : PCOOP dengan COOP1, PEXPfd, PEXP1


Dependent Variable: PCOOP
Method: Least Squares
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

PCOOP1 0.925908 0.062830 14.73677 0.0000


PEXPFD 0.247041 0.063486 3.891273 0.0003
PEXP1 0.017623 0.064408 0.273618 0.7854
C 807.1044 2150.823 0.375254 0.7089

R-squared 0.888898 Prob(F-statistic) 0.000000


F-statistic 146.6797 Durbin-Watson stat 1.933155

Uji asumsi-asumsi klasik dalam regresi :


a1. Uji Autokorelasi
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:

F-statistic 0.164038 Prob. F(2,53) 0.8491


Obs*R-squared 0.362969 Prob. Chi-Square(2) 0.8340

Analisis Hasil Output, lihat nilai Obs*R squared (disebut juga X2 hitung)
sebesar 0.16 dan X2 tabel yang disesuaikan dengan jumlah lagnya (v) = 2 dan α =
5% adalah 5.99. karena 0.16< 5.99, maka dapat disimpulkan model diatas bebas
dari masalah Autokorelasi.

a2. Uji Multikolinearitas


Tahapan pengujian melalui program eviews dengan pendekatan konsep
parsial dengan tahapan sebagai berikut :
Melakukan regresi untuk 4 persamaan :
124

1) PCOOP = a0 + a1 PCOOP1 + a2 PEXPfd + a3 PEXP1………………... (1)


2) PCOOP1 = b0 + b1 PEXPfd + b2 PEXP1……………………………….(2)
3) PEXPfd = b0 + b0 PCOOP1 + b0 PEXP1 ………………………………(3)
4) PEXP1 = b0 + b0 PCOOP1 + b0 PEXPfd ………………………………(4)

Melalui analisis regresi diperoleh :


Untuk persamaan (1) nilai R2 adalah sebesar 0.8889 selanjutnya disebut R21
Untuk persamaan (2) nilai R2 adalah sebesar 0.4883 selanjutnya disebut R22
Untuk persamaan (3) nilai R2 adalah sebesar 0.1657 selanjutnya disebut R23
Untuk persamaan (4) nilai R2 adalah sebesar 0.5465 selanjutnya disebut R24

Analisis Hasil Output, menunjukkan bahwa nilai R21 > R22, R23, R24, maka dalam
model ini tidak diketemukan adanya multikolinearitas.

Anda mungkin juga menyukai