Anda di halaman 1dari 67

KAJIAN MANAJEMEN RANTAI PASOK BERAS

DI KABUPATEN MALANG

Abstraksi
Tujuan dari kegiatan kajian manajemen rantai pasokan beras Kabupaten
Malang adalah : tersedianya informasi tentang potensi dan karakteristik tanaman
padi serta produksi beras; informasi kondisi aktual sistem rantai pasok beras;
konsep dan strategi manajemen rantai pasok beras yang efektif dan efisien dan
rumusan langkah untuk meningkatkan jaringan Rantai Pasokan Beras di
Kabupaten Malang. Rancangan penelitian ini merupakan kombinasi dari penelitian
deskriptif dan policy research dengan unit analisis pengusaha RMU, pedagang
besar dan ritel, Petani dan stakeholder yang terkait. Penentuan sampel dilakukan
dengan metode non probability sampling. Penentuan sampel pertama kali dengan
metode purposive sampling, sampel selanjutnya dengan metode snowball
sampling. Data yang digunakan data primer dan sekunder. Data primer diperoleh
melalui pengamatan langsung dan wawancara. Data sekunder melalui
penelusuran literatur dan data-data relevan. Pengolahan data dilakukan dengan
kerangka Food Supply Chain Networking (FSCN). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa Kabupaten Malang telah berhasil memberikan kontribusi dalam
peningkatan produksi gabah nasional serta setiap tahun Kabupaten Malang
mengalami surplus. Pola distribusi beras terdiri dari pedagang pengumpul,
penggilingan padi, pedagang besar, Bulog Sub Divre Malang, grosir dan pengecer.
Pola distribusi beras di Kabupaten Malang ditemukan lima saluran tata niaga.
Secara umum struktur pasar gabah/beras di Kabupaten Malang cukup kompetitif.
Hal ini ditandai oleh banyaknya pelaku pasar baik ditingkat desa, kecamatan
maupun kabupatan. Pola distribusi sudah terbentuk didukung oleh infrastruktur
yang memadai, distribusi cukup lancar dan tidak dijumpai adanya hambatan
yang berarti. Untuk memperkokoh rantai pasok beras diperlukan penumbuhan
dan penguatan sistem dari hulu ke hilir melalui lembaga ekonomi desa yang
berfungsi untuk menjembatani kepentingan dan kebutuhan masyarakat serta
dukungan kebijakan dari pemerintah pusat, pemerintah daerah dan instansi
terkait.

Key Words : Kinerja Rantai Pasok Beras, Food Supply Chain Networking (FSCN).

PENDAHULUAN
Ketahanan pangan telah menjadi isu yang sangat penting di Indonesia.
Masyarakat Indonesia memang telah dikenal mengkonsumsi beras sebagai
makanan pokoknya. Bagi Indonesia, pangan diidentikkan dengan beras, karena
jenis pangan ini merupakan makanan pokok utama. Maka ketika permintaan beras
lebih besar daripada pasokannya, timbulah masalah yang dapat mengancam
ketahanan pangan nasional. Gangguan pada ketahanan pangan (beras) seperti
kekurangan ketersediaan beras dan kenaikan harga beras dapat memicu
kerawanan sosial, ketidakstabilan ekonomi dan politik serta secara menyeluruh
dapat mengganggu stabilitas nasioanl (Firdaus, et a., 2008)
Dalam membangun ketahanan pangan, sangat diperlukan suatu
manajemen rantai pasokan yang baik. Kejelasan dan pengaturan tata rantai
pasokan yang baik dapat menunjang keberhasilan program ini. Manajemen rantai
pasok atau yang lebih dikenal dengan Supply Chain Management (SCM) menjadi
penting untuk diterapkan agar keberlangsungan agroindustri dapat tercapai

Jurnal Hasil Penelitian Balitbang Tahun 2014 Page 1


sehingga pada akhirnya dapat turut serta berkontribusi dalam menunjang
ketahanan pangan nasional.
SCM merupakan serangkaian pendekatan yang diterapkan sebagai upaya
untuk mengintegrasikan pemasok, pengusaha, gudang dan tempat penyimpanan
lainnya secara efisien sehingga produk dapat dihasilkan dan didistribusikan
dengan kuantitas yang tepat, lokasi tepat dan waktu tepat demi memuaskan
kebutuhan pelanggan (Shimchi-Levi et al. 2000). Melalui pengaturan rantai pasok
(SCM), diharapkan pasokan bahan baku, bahan setengah jadi dan bahan jadi
dalam agroindustri ini dapat terjamin sehingga kontinuitas produksi dapat
berlangsung dan kebutuhan konsumen dapat terpenuhi.
Penerapan SCM pada rangkaian pasokan berbagai produk dapat memiliki
strategi yang berbeda-beda demi memenuhi kebutuhan dan kepuasan
konsumennya. Secara umum, setiap SCM bertujuan untuk memaksimalkan
keuntungan/ surplus (selisih pendapatan yang diperoleh dari konsumen dengan
total biaya) keseluruhan rantai pasokan. Semakin besar keuntungan yang
diperoleh pihak-pihak yang terlibat dalam sebuah rantai pasokan secara
keseluruhan, semakin sukses pula rantai pasokan tersebut. Sehingga diharapkan
penerapan SCM dapat meningkatkan pendapatan para petani khususnya, dan
juga meningkatkan pendapatan para pihak yang terkait sepanjang rantai pasokan
ini. Disamping itu dengan menerapkan manajemen rantai pasok yang baik dan
tepat pada tanaman pangan, diharapkan dapat berkembang dan beroperasi
secara berkesinambungan. Untuk itu, perlu dilakukan kajian dan analisa terhadap
rantai pasok yang ada saat ini sebagai masukan bagi perancangan model rantai
pasokan yang tepat bagi tanaman pangan khususnya beras.
Berdasarkan uraian tersebut maka rumusan masalah dari kegiatan i ni
adalah :
1. Bagaimana potensi dan karakteristik tanaman padi serta produksi beras di
Kabupaten Malang?
2. Bagaimana kondisi aktual sistem rantai pasok beras di Kabupaten Malang?
3. Bagaimanakah rancangan rantai pasokan beras yang optimal di Kabupaten
Malang?
4. Bagaimanakah cara meningkatkan jaringan Rantai Pasokan Beras di
Kabupaten Malang?
Tujuan Penelitian
Tujuan dari kegiatan kajian manajemen rantai pasokan pangan Kabupaten
Malang adalah:
a. Tersedianya informasi tentang potensi dan karakteristik tanaman padi serta
produksi beras di Kabupaten Malang.
b. Tersedianya informasi tentang kondisi aktual sistem rantai pasok beras di
Kabupaten Malang.
c. Tersedianya konsep dan strategi manajemen rantai pasok beras di Kabupaten
Malang yang efektif dan efisien.
d. Terumuskannya langkah untuk meningkatkan jaringan Rantai Pasokan Beras
di Kabupaten Malang.

Metode Penelitian
a. Pendekatan Penelitian
Rancangan penelitian ini merupakan kombinasi dari penelitian deskriptif dan
policy research guna mengembangkan model manajemen rantai pasok beras
yang efektif dan efisien di Kabupaten Malang. Unit analisis adalah 1) para

Jurnal Hasil Penelitian Balitbang Tahun 2014 Page 2


pengusaha RMU, pedagang besar dan ritel; 2) Petani dan 3) stakeholder yang
terkait.

b. Lokasi Penelitian
Lokasi kegiatan kajian manajemen rantai pasokan beras Kabupaten Malang
berada di Wilayah Kabupaten Malang dengan obyek penelitian manajemen
rantai pasok beras di Kabupaten Malang.

c. Penentuan sampel
Penentuan sampel dilakukan dengan metode non probability sampling, yaitu
metode yang tidak memberikan peluang yang sama terhadap seluruh anggota
populasi untuk dijadikan sampel. Penentuan sampel pertama kali dalam
analisis rantai pasok beras dilakukan dengan metode purposive sampling,
sampel selanjutnya ditentukan dengan metode snowball sampling dengan
mengikuti alur pasok beras mulai dari pemasok hingga konsumen akhir.
Sampel terdiri dari anggota rantai pasok beras, bulog dan ritel yang
memasarkan produk beras kepada konsumen akhir.

d. Teknik Pengumpulan Data


Data yang digunakan pada penelitian berupa data primer dan sekunder.
Data primer yang dihimpun adalah data karakteristik responden, kondisi rantai
pasok, harga di setiap petani rantai pasok beras, biaya produksi, nilai output
dan input pada setiap anggota rantai pasok beras serta jumlah permintaan
beras dalam setahun. Data-data tersebut diperoleh melalui pengamatan
langsung dan wawancara yang dipandu oleh kuisioner dengan maksud agar
dapat memperoleh informasi yang mendukung penelitian. Pengamatan
langsung dilakukan untuk menganalisis kondisi rantai pasok beras secara
deskriptif. Kuisioner yang digunakan berisikan pertanyaan-pertanyaan relevan
dengan tujuan penelitian. Kuisioner tidak diberikan kepada responden secara
langsung, tetapi peneliti akan menggunakan kuisioner pada saat
mewawancarai responden agar tidak terjadi salah paham dalam pemahaman
pertanyaan. Seluruh data primer diperoleh dari anggota rantai pasok beras,
yaitu petani mitra, Bulog, dan ritel produk beras.
Seluruh data sekunder digunakan untuk melihat bagaimana kondisi
pertanian di Indonesia dan perkembangan pertanian tanaman padi. Data yang
dibutuhkan adalah data time series, yaitu luas lahan untuk pertanian (lahan
sawah) Kabupaten Malang. Data tersebut menjadi latar belakang penelitian ini
dilakukan.

e. Teknik Analisis Data


Penelitian ini membutuhkan pendekatan metode kualitatif dan kuantitatif untuk
mengolah data primer dan data sekunder. Pengolahan data kualitatif dilakukan
secara deskriptif sesuai dengan kerangka Food Supply Chain Networking
(FSCN).. Analisis data yang dilakukan pada penelitian ini meliputi analisis
deskriptif rantai pasok. Kinerja rantai pasok diukur dengan pendekatan
efisiensi pemasaran dan pengelolaan asset. Analisis nilai tambah juga
dilakukan untuk mengetahui kontribusi perolehan setiap anggota dalam
penciptaan pemerolehan nilai tambah rantai pasok beras. Kemudian
dilanjutkan dengan analisis pengendalian persediaan untuk mengetahui
berapa besar ukuran-ukuran persediaan yang harus ditetapkan Bulog.

Jurnal Hasil Penelitian Balitbang Tahun 2014 Page 3


Struktur

Rantai Pasok

Sasaran Manajemen Proses Bisnis Kinerja


Rantai Rantai Pasok Rantai Pasok Rantai
Pasok Pasok

Sumber Daya
Rantai Pasok

Gambar Kerangka Analisis Deskriptif Rantai Pasok


Sumber : Van der Vorst 2006

Kerangka operasional penelitian dapat dilihat pada gambar berikut :

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik beberapa
kesimpulan terkait mata rantai pasokan beras di Kabupaten Malang :
1) Pemerintah Kabupaten Malang telah berhasil memberikan kontribusi dalam
peningkatan produksi gabah nasional pada tahun 2013 sebesar 464.498 ton
Gabah Kering Giling atau setara dengan 291.588 ton beras.
2) Rata-rata luas panen padi di Kabupaten Malang selama 5 tahun adalah hampir
65,7 ribu hektar, dengan rata-rata laju pertumbuhan minus 0,26 persen per
tahun. Produktivitas rata-rata adalah 6,94 ton GKG, dengan rata-rata laju
petumbuhan 1,09 persen. Sedangkan produksi beras rata-rata selama 5 tahun
terakhir adalah 456.100 ton dengan rata-rata laju pertumbuhan hanya 0.80
persen.
3) Setiap tahun Kabupaten Malang mengalami surplus beras 60 ribu ton.
Kebutuhan beras di Kabupaten Malang, sekitar 92,27 kg/kapita/tahun, dengan

Jurnal Hasil Penelitian Balitbang Tahun 2014 Page 4


asumsi produksi beras adalah 62,77% persen dari GKG maka surplus beras di
Kabupaten Malang pada tahun 2013 sebesar 71.559 ton. Rendemen gabah
kering giling (GKG) hasil panen petani rata-rata mencapai 62 persen dan
terendah 60 persen.
4) Ditinjau dari hasil produksi per kecamatan serta kebutuhan konsumsi beras
terdapat 10 kecamatan yang mengalami kekurangan pasokan dari desa- desa
yang ada di kecamatan-kecamatan tersebut, sehingga dipenuhi dari
kecamatan lainnya yang surplus. Kecamatan defisit beras adalah Kecamatan
Gedangan, Tirtoyudo, Ampelgading, poncokusumo, Wajak, Wagir, Pakis,
Lawang, Dau dan Pujon
5) Pola distribusi gabah/beras di Kabupaten Malang terdiri dari beberapa
kelompok pelaku utama yaitu pedagang pengumpul, penggilingan padi,
pedagang besar, Bulog Sub Divre Malang, grosir dan pengecer. Pola distribusi
beras di Kabupaten Malang ditemukan lima saluran tata niaga.
6) Secara umum struktur pasar gabah/beras di Kabupaten Malang cukup
kompetitif. Hal ini ditandai oleh banyaknya pelaku pasar baik ditingkat
desa, kecamatan maupun kabupatan. Pola distribusi gabah/beras sudah
terbentuk sejak lama didukung oleh infrastruktur yang memadai, distribusi
gabah/beras dari tingkat produsen (petani) ke RMU, Sub Bulog, maupun ke
pedagang besar dan pengecer cukup lancar dan tidak dijumpai adanya
hambatan yang berarti.
7) Sumber pasokan beras yang beredar di Kabupaten Malang umumnya tidak
hanya berasal dari lokal Kabupaten Malang, namun juga dari berbagai
kabupaten di Jawa Timur bahkan juga berasal dari Jawa Tengah dan NTB
terutama terjadi pada saat pasokan dari Kabupaten Malang tidak mencukupi
sebaliknya beras Kabupaten Malang juga memasok wilayah Jawa Timur.
8) Nilai farmer’s share dalam rantai pasok beras sebesar 45,12 persen. Nilai
farmer’s share ini cukup besar karena ada lima lembaga pemasaran dalam
saluran ini. Dari harga beras yang dibayar konsumen akhir, petani memperoleh
balas jasa sebesar 45,12 persen dari harga jual akhir Rp. 8.200. Hasil analisis
margin pemasaran ditingkat petani Rp 1.800, pedagang pengumpul Rp 220,
penggilingan padi Rp 270, pedagang besar Rp 150, dan grosir/eceran Rp 180.
9) Jumlah nilai tambah seluruh petani di Kabupaten Malang pada tahun 2013
dalam setahun sebesar Rp. 836,1 Milyar. Angka ini diperoleh dari nilai output
sebesar Rp 1,72 Trilyun (asumsi harga GKG = Rp 3.700) dikurangi nilai input
sebesar Rp 882,55 Milyar (asumsi nilai input per Kg gabah : Rp 1.900). nilai
tambah RMU sebesar Rp. 219.000.000, nilai tambah Bulog nilai tambah
sebesar Rp. 4,8 milyar. Pihak ritel dalam pemasaran produk yaitu minimal
sebesar Rp 180/kg. Dari seluruh anggota rantai pasok beras, Bulog yang
memberikan kontribusi paling besar dalam menciptakan perolehan nilai tambah
rantai pasok beras karena serapannya yang tinggi
10) Akar permasalahan yang dihadapi dalam upaya meningkatkan nilai tambah
rantai pasok beras sangatlah beragam dengan tingkat kesulitan yang berbeda
yang memerlukan penanganan yang serius. Oleh karena itu upaya
peningkatan nilai tambah rantai pasok beras perlu melibatkan segenap
komponen yang terbagi dalam tiga rangkaian yaitu 1) sistem penjaminan
sarana produksi; 2) Sistem penjaminan proses produksi dan 3) Sistem
Penjaminan proses pemasaran produk

Jurnal Hasil Penelitian Balitbang Tahun 2014 Page 5


11) Untuk memperkokoh rantai pasok beras diperlukan penumbuhan dan
penguatan sistem. Membangun keterkaitan antara subsistem hulu, hilir dan
penunjang akan membuat sistem yang ada menjadi solid sehingga akan
memperkuat mata rantai pasok serta memperluas cakupan pelaku usaha yang
lebih banyak seperti pengolah hasil, lembaga keuangan dan lembaga
pemasaran.
12) Salah satu lembaga ekonomi untuk menopang aktivitas tersebut adalah
BUMDes BUMDes juga berfungsi untuk menjembatani kepentingan dan
kebutuhan masyarakat dengan pihak eksternal seperti perbankan, pemerintah
dan dunia usaha Hal-hal penting yang harus dilakukan BUMDes sebagai basis
kekuatan ekonomi perdesaan adalah : a) meningkatkan kapasitas dan
kemampuan masyarakat, b) mengintegrasikan produk-produk ekonomi di
perdesaan agar memiliki posisi tawar yang baik dalam jaringan pasar, c)
mengelompokkan masyarakat dalam kelompok usaha sejenis agar tercipta
skala ekonomis, d) meningkatkan kapasitas kelembagan ekonomi desa dan
lembaga desa, e) menyediakan modal melalui skim kredit mikro dan f)
menjaring informasi pasar dan menjalin komunikasi dengan pihak luar. Dengan
demikian secara bertahap dan sistematis kekuatan ekonomi perdesaan akan
muncul menuju kemandirian.

REKOMENDASI
Beberapa hal yang perlu dilakukan oleh instansi terkait untuk menjaga
stabilitas harga dan meningkatkan produksi padi diantaranya :
1) Bulog
Meningkatkan efektifitas operasi pasar yang dilakukan oleh Bulog bukan
menunggu harga jatuh tetapi operasi dilakukan untuk mencegah agar harga
tidak jatuh melalui mekanisme koordinasi dengan Dinas perindustrian dan
perdagangan, serta Badan Ketahanan Pangan propinsi (BKP) dalam
pengadaan pangan yang bermitra dengan pihak koperasi, RMU dan
pedagang ditingkat daerah. Efektifitas dari program ini akan dapat
menstabilkan harga gabah pada saat kritis yaitu panen raya dengan curah
hujan tinggi.
2) Dinas Pertanian dan BKP3
a) Memberdayakan kelompok-kelompok tani di sentra-sentra produksi padi
dengan memperkuat modal mereka melalui pemilikan RMU skala kecil
dan alat pengering sendiri, hal ini akan dapat mengurangi kejenuhan pasar
gabah. Kelompok tani atau petani sebagai produsen tidak lagi menjual
gabah tetapi mampu menjual beras, nilai tambah beras akan dapat
dinikmati oleh anggota kelompoknya sendiri. Dengan demikian agribisnis
beras ditingkat kelompok tani bisa berjalan dengan baik.
b) Petani dapat memanfaatkan RMU keliling sehingga merangsang petani
menyimpan gabahnya untuk keperluan konsumsi keluarga. Petani dapat
menggiling gabahnya kapan saja di depan rumah tanpa ada tambahan
biaya transportasi. Hal ini mengakibatkan ketahanan pangan (beras) di
tingkat keluarga tani menjadi lebih kuat, dengan penyimpanan gabah
yang dilakukan oleh masing-masing petani minimal 0,5 – 1 ton GKG, hal
ini dapat mengurangi suplai gabah pada saat panen raya.
c) Tantangan bagi BKP3 setempat untuk dapat membuat peta produksi

Jurnal Hasil Penelitian Balitbang Tahun 2014 Page 6


padi diwilayah kerjanya. Peta tersebut dapat menggambarkan daerah-
daerah dimana produksi riil petani sudah mendekati produksi potensial
lahannya, dan daerah-daerah dimana produksi riil petani masih jauh dari
produksi potensial lahannya, atau dengan kata lain dimana senjang hasil
(yield gap) masih lebar. Dengan adanya peta ini akan mempermudah
bagi pelaksanaan penelitian dan pengkajian memilih lokasi. Prioritas lokasi
pengkajian tentunya diarahkan ke daerah yang memiliki senjang hasil
cukup lebar, dengan tujuan untuk dapat mempersempit senjang hasil
tersebut agar produksi riil petani dapat mendekati atau bahkan
menyamai produksi potensial lahannya. Dengan demikian sumberdaya
lahan akan dapat dimanfaatkan lebih optimal.
d) Agar kualitas beras yang diserap Bulog menjadi lebih baik, maka harus pula
dibarengi dengan revitalisasi penggilingan padi di daerah. Dengan adanya
revitalisasi penggilingan padi, maka tingkat patahan beras bisa ditekan
serendah mungkin, sehingga kekhawatiran beras petani yang digiling di
perusahaan penggilingan jelek dan tidak mampu memenuhi kriteria Bulog
sehingga tidak dapat diserap dapat dihilangkan.
e) Dapat dilakukan konsep OVOP (One Village One Product) serta
pengawasannya untuk sentralisasi produksi pangan pada tiap desa ataupun
kecamatan. Dengan demikian keberagaman produksi pangan dapat
semakin besar dan meningkatkan potensi masing-masing wilayah untuk
dapat berkembang sesuai produk unggulannya. Untuk mempermudah
dilakukannya saran tersebut, diperlukan pemetaan atau klasterisasi
berdasarkan kondisi pangan serta keadaan wilayah pada masing-masing
desa atau kecamatan di Kabupaten Malang.
f) Untuk mengantisipasi kenaikan konsumsi, perlu dilakukan dan
dikembangkan riset mengenai teknologi budidaya maupun pasca panen
komoditas-komoditas yang diperkirakan akan defisit pangan sesuai dengan
kondisi wilayah Kabupaten Malang agar tidak selamanya menggantungkan
pada impor. Selain itu, perlu adanya perbaikan atau peninjauan
kelembagaan dalam menghadapi perkiraan melonjaknya konsumsi
komoditas tertentu di Kabupaten Malang.
3) Pemerintah Pusat dan Pemda
a) Peninjauan kembali Kebijakan pemerintah terkait kebijakan gabah/beras
melalui inpres no 3 tahun 2012 karena :
(1) Kebijakan ini tidak memiliki perspektif petani sebagai produsen yang
harus lebih diutamakan. Hal ini terlihat dari poin stabilisasi ekonomi
nasional lebih didahulukan dibanding meningkatkan pendapatan petani.
Kebijakan ini berdampak kepada harga gabah/beras yang murah
dengan alasan melindungi konsumen.
(2) Kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) terhadap gabah/beras
melalui Inpres No.3 Tahun 2012 sampai saat ini terbukti tidak efektif
dalam menyerap gabah/beras dari petani dan kebijakan ini tidak
mendorong peningkatan pendapatan keluarga petani.
(3) Rendahnya penyerapan Gabah/beras oleh Pemerintah disebabkan
rendahnya penentuan harga pembelian pemerintah. Pemerintah melalui
inpres ini menentukan HPP gabah kering panen (GKP) Rp 3.300/kg di
petani atau Rp 3.350/kg di penggilingan, Gabah Kering Giling (GKG) Rp

Jurnal Hasil Penelitian Balitbang Tahun 2014 Page 7


4.150/kg di penggilingan atau Rp 4.200/kg di gudang perum Bulog dan
Beras Rp 6.600/kg di gudang perum Bulog. Jika melihat harga beras di
tingkat konsumen yang sudah diatas Rp 7000/kg bahkan mencapai Rp
8.000/kg, dapat dipastikan penyerapan Bulog tidak akan optimal untuk
memenuhi target penyerapan 70.000 ton.
(4) Lemahnya pengawasan terhadap inpres ini menjadikan petani di daerah
yang minim informasi dan buruknya sarana transportasi berdampak
pada pembelian gabah/beras di bawah HPP. Hal ini terjadi dikarenakan
sistem pembelian Bulog yang tidak langsung ke petani tetapi selama ini
Bulog lebih banyak bekerjasama dengan Mitra Bulog, Walaupun bekerja
sama dengan Gapoktan pada tahun ini tetapi sangat rendah
penyerapannya, dan dari segi harga Gapoktan menjadi rantai baru bagi
petani dalam menjual gabah/beras.
b) Mengingat kondisi diatas, ada beberapa hal yang bisa dilakukan,
diantaranya:
(1) Pemerintah harus merubah Kebijakan HPP yang terbukti tidak efektif
menjadi Kebijakan HPP Multikualitas dengan mempertimbangkan
Lokasi (multilokasi) dan Varietas (multivarietas). Hal ini mengingat pada
prakteknya di pasaran harga gabah/beras sangat beragam tergantung
kualitas, lokasi dan varietas. Kebijakan membeli harga tunggal (hanya
gabah/beras medium) bertentangan dengan fakta di lapangan bahwa
petani memiliki hasil produksi yang berbeda-beda. Di beberapa Negara
lain sentra beras seperti Thailand dan India, kebijakan HPP multikualitas
terbukti efektif dalam melindungi petani. Kebijakan HPP multikualitas ini
juga akan mendorong meningkatnya Cadangan Beras Pemerintah
(CBP).
(2) Perlu dicari strategi agar jika nanti kenaikan HPP beras dilakukan jangan
sampai memicu inflasi yang tinggi sehingga memberatkan
perekonomian masyarakat. Meski beras yang dikonsumsi masyarakat
kebanyakan berbeda dengan beras pengadaan Bulog, namun tetap saja
kenaikan HPP beras dikhawatirkan berdampak pada kenaikan inflasi jika
tidak dilakukan secara hati-hati.
(3) Melihat pola konsumsi masyarakat yang seperti itu, perlu pula difikirkan
peningkatan kualitas beras yang diserap Bulog. Beras yang diserap
tidak lagi kualitas medium, melainkan bisa di atasnya. Beras medium
yang diserap dengan spesifikasi patahan 20% dan kadar air 14%. Bisa
saja patahannya diturunkan menjadi 15%, begitu juga kadar air
sehingga kualitasnya lebih bagus.
(4) Pemerintah harus melibatkan petani atau organisasi petani dalam
penentuan HPP, hal ini mengingat dampak kebijakan ini meliputi jutaan
petani dan seluruh rakyat Indonesia. Kebijakan HPP juga akan efektif
jika petani, organisasi petani dan masyarakat umum ikut mengawasi.
Lemahnya keterlibatan petani atau organisasi petani menyebabkan
permasalahan beras tidak pernah kunjung selesai.
(5) Pemerintah harus membenahi infrastruktur pertanian khususnya padi
mulai dari irigasi, transportasi, teknologi, permodalan hingga pemasaran
untuk menunjang peningkatan pendapatan keluarga petani.

Jurnal Hasil Penelitian Balitbang Tahun 2014 Page 8


4) PT. Pertani dan kordinasi dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan,
Dinas Pertanian dan BKP3
a) Untuk menghindari turunnya harga gabah akibat panen raya, seyogyanya
sosialisasi tentang adanya sistem resi gudang dapat dimaksimalkan
sehingga masyarakat dapat menyimpan gabah/beras untuk sementara
waktu sambil menunggu harga pulih kembali.
b) PT. Pertani melakukan penyesuaian/memperpendek terhadap masa
tungggu keluarnya sertifikat resi gudang yang selama ini menjadi alasan
keengganan untuk menyimpan di resi gudang, sehingga mampu menarik
minat petani maupun gapoktan untuk menyimpan gabah/beras di resi
gudang.

DAFTAR PUSTAKA

Ahumada, O dan Villalobos, J. R. 2009. Application of planning models in the


agrifood supply chain: A review. European Journal of Operational Research
195 p. 1–20
Anatan L, Ellitan L. 2008. Supply Chain Management Teori dan Aplikasi. Bandung
: CV. Alfabeta.
Aramyan, L., Ondersteijn, C., van Kooten, O., and Oude Lansink, A. 2006.
Performance Indicators in Agri-food Production Chains, in Ondersteijn, C.J.,
Wijnands, J.H., Huirne, R.B. and van Kooten, O. (Eds). Quantifying the
Agrifood supply chain. Springer. Dordrecht. pp. 47-64.
Arvietrida, Niniet Indah. 2010. Mengenal Supply Chain Management.
http://arvietrida.wordpress.com/2010/09/11/mengenal-ilmu-supply-chain-
management/ [24 Maret 2014].
Balk, BM. 2002. The Residual : On Monitoring and Benchmarking Firms,
Industries, and Economies with Respect to Productivity. Netherlands :
Erasmus University Rotterdam Press.
Boadu, VA. 2003. A Conversation About Value Added Agriculture. Department of
Agriculture Economics, Kansas State University.
[BPPT] Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. 2010. Teknologi Ramah
Lingkungan:Kriteria, Verifikasi, dan Arah Pengembangan. Jakarta : BPPT.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Perkembangan Beberapa Indikator Utama
Sosial-Ekonomi Indonesia. Jakarta : Badan Pusat Statistik.
Brown JG. 1994. Agroindustrial Investment and Operations. Washington: The
World Bank
Brunton R, Trickett C. 2007. Measurement of Agricultural Output in The Australian
System of National Accounts : Methods and Issues. Ini Advancing
Statistical Integration and Analysis. Proceeding of The 4th International
Conference; Beijing, 22-24 Oktober 2007. Beijing : International Conference
on Agriculture Statistics.
Chopra S, Meindl P. 2004. Supply Chain Management: Strategy, Planning, and
Operation. USA : Pearson Prentice Hall.
Coltrain D, Barton D, Boland M. 2000. Value Added : Opportunities and Strategies.
Arthur Capper Cooperative Center, Department of Agriculture Economics,
Cooperative Extension Service, Kansas State University.

Jurnal Hasil Penelitian Balitbang Tahun 2014 Page 9


KAJIAN KAPASITAS DAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN DESA
DI KABUPATEN MALANG
Abstraksi

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya konsekuensi dari penyerahan


dan pendelegasian kekuasaan yang lebih luas kepada desa atas amanat UU
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang mengharuskan kesiapan kapasitas
pemerintah dan masyarakat desa. Kewenangan dan anggaran yang lebih besar
dapat dikelola secara maksimal untuk kesejahteraan masyarakat secara
akuntabel, transparan, efektif dan efisien. Tujuan penelitian ini adalah :
1) menganalisis kesiapan kapasitas sumber daya manusia aparatur desa,
2) menganalisis kesiapan kapasitas organisasi desa, 3) menganalisis kesiapan
kapasitas dimensi sistem desa dan 4) menganalisis pelaksanaan tata kelola
pemerintahan desa.
Penilaian masyarakat terhadap kinerja tata kelola pemerintahan desa yang
bernilai positif diantaranya adalah: berjalannya berbagai layanan yang dinilai
memuaskan bagi masyarakat, peran pemerintah desa dalam menjembatani
keberagaman aspirasi masyarakat yang sudah optimal, pemanfaatan sumber daya
yang dimiliki secara efektif dan efisien serta dukungan positif pemerintah desa
terhadap berbagai kelompok masyarakat desa, demokrasi dan stabilitas politik
desa yang kondusif serta keterbukaan ruang publik bagi masyarakat untuk
menyampaikan pendapat.

Kata Kunci : sumber daya manusia, organisasi, sistem, kinerja tata kelola
pemerintahan.

PENDAHULUAN
Pengesahan UU 32 Nomor 2004 dan UU Nomor 33 Tahun 2004 memiliki
implikasi pada kebijakan otonomi daerah yang disebut otonomi bertingkat. Sistem
yang berlaku hingga saat ini adalah Provinsi memiliki otonomi terbatas, Kabupaten
dan Kota memiliki otonomi yang luas, sedangkan desa memiliki otonomi asli.
Selain Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagai target desentralisasi, Dalam
beberapa tahun terakhir banyak tuntutan yang menyatakan bahwa desa juga perlu
untuk mendapatkan otonomi di samping otonomi asli yang telah diberlakukan
sampai sekarang.
Fenomena yang terjadi sebelum disahkannya Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2014 tentang Desa, desa dianggap tidak mampu menjalankan otonomi yang
lebih besar. Kewenangan pemerintah yang diberikan oleh Kabupaten adalah
otoritas residual yang tidak dapat dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota. Umumnya,
otoritas tidak disertai dengan pendanaan.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 diberlakukan untuk menjawab
tuntutan di atas, diantaranya: Pertama, memperjelas pembagian kewenangan
antara pemerintah pusat, daerah dan desa. Tujuan desentralisasi dan otonomi
daerah adalah untuk membangun kesejahteraan masyarakat. Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 telah mengatur kewajiban dan tanggung jawab pemerintah
desa untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui kewenangan yang
lebih besar dan disertai pendanaan yang memadai.
Kedua, untuk mengembalikan pengakuan negara terhadap keberadaan
entitas desa, termasuk organisasi masyarakat adat, diikuti dengan penentuan hak,
kekuasaan, kewenangan, sumber daya dan tanggung jawab desa. Otoritas

Jurnal Hasil Penelitian Balitbang Tahun 2014 Page 10


tersebut tentunya akan menjadi bingkai bagi desa untuk membuat perencanaan
skala desa, kemudian diformalkan ke dalam kebijakan, program dan kegiatan di
bidang pemerintahan dan pembangunan desa.
Ketiga, Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 akan mengatur semua yang
ada di pemerintahan desa lebih spesifik. Hal ini mendorong pelaksanaan
kewenangan desa akan menjadi mandiri dan mengurangi ketergantungan pada
pemerintah pusat dan daerah.
Pengesahan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2014 menunjukkan
komitmen negara untuk memberdayakan desa. Hal ini dapat dibuktikan dengan
alokasi anggaran dari APBN ke desa. Kebijakan ini tertuang dalam pasal 71, setiap
desa akan menerima dana dari APBN sebesar sepuluh persen dari dana
perimbangan yang diterima dari kabupaten/Kota setelah dikurangi dana alokasi
khusus (DAK).
Desa menghadapi banyak masalah, seperti kemiskinan, derajat kesehatan
dan pendidikan masyarakat yang rendah, pengangguran yang tinggi, rendahnya
kapasitas administrasi pemerintahan, kerusakan infrastruktur dll. Penambahan
anggaran desa yang signifikan diharapkan dapat menyelesaikan masalah-masalah
tersebut sesuai dengan prioritas perencanaan yang dilakukan oleh desa secara
mandiri. Konsekuensi dari penyerahan dan pendelegasian pengelolaan keuangan
harus diikuti dengan kesiapan kapasitas pemerintah dan masyarakat desa,
sehingga dana dapat dikelola secara maksimal untuk kesejahteraan masyarakat
secara akuntabel, transparan, efektif dan efisien.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka ditentukan rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana kesiapan kapasitas sumber daya manusia aparatur desa dalam
menghadapi implementasi UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa?
2. Bagaimana kesiapan kapasitas organisasi desa dalam menghadapi
implementasi UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa?
3. Bagaimana kesiapan kapasitas dimensi sistem desa dalam menghadapi
implementasi UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa?
4. Bagaimana pelaksanaan tata kelola pemerintahan desa?

Tujuan Penelitian
Berdasarkan paparan yang disampaikan di latar belakang, maka tujuan yang
akan dicapai dalam kajian ini adalah untuk mengetahui kesiapan, Kapasitas dan
tata kelola pemerintahan desa di Kabupaten Malang dalam rangka
mempersiapkan Implementasi UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, dengan
rincian sebagai berikut :
1. Menganalisis dan mendeskripsikan kesiapan kapasitas sumber daya manusia
aparatur desa dalam menghadapi implementasi UU Nomor 6 Tahun 2014
tentang Desa?
2. Menganalisis dan mendeskripsikan kesiapan kapasitas organisasi desa dalam
menghadapi implementasi UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa?
3. Menganalisis dan mendeskripsikan kesiapan kapasitas dimensi sistem desa
dalam menghadapi implementasi UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa?
4. Menganalisis dan mendeskripsikan pelaksanaan tata kelola pemerintahan
desa?

Jurnal Hasil Penelitian Balitbang Tahun 2014 Page 11


Hasil Yang Diharapkan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan pengetahuan yang
berkaitan tentang pengembangan kapasitas dan kinerja tata kelola (governance)
pemerintahan desa melalui dimensi pengembangan kapasitas sumber daya
manusia, dimensi organisasi dan dimensi sistem.
Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi rekomendasi bagi
Pemerintah Kabupaten Malang untuk melakukan upaya-upaya dalam
mengembangkan kapasitas pemerintah desa menyongsong implementasi Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Ruang Lingkup Penelitian


1. Menganalisis dimensi sumber daya manusia. yaitu kemampuan aparatur desa
dalam mengelola pemerintahan desa dalam kerangka otonomi yang lebih luas
seperti tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), pengelolaan
anggaran, pelaporan dan evaluasi kebijakan pembangunan desa.
2. Menganalisis dimensi penguatan organisasi terdiri atas sumber daya desa,
budaya kerja pemerintah desa, ketatalaksanaan pemerintahan desa, struktur
organisasi desa, sistem pengambilan keputusan dan sebagainya.
3. Menganalisis dimensi reformasi kelembagaan yang berhubungan dengan
pengaturan, kebijakan-kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten, kebijakan-
kebijakan pemerintah desa dan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang
mendukung pencapaian objektivitas kebijakan tertentu.
4. Menganalisis pelaksanaan tata kelola (governance) di level desa yang meliputi
pelaksanaan visi strategis, transparansi, responsifitas, keadilan, efektivitas dan
efisiensi, akuntabilitas, dukungan aturan dan hukum serta demokrasi
Kerangka Konsep Penelitian

Diagram : Kerangka Konsep Penelitian

Penelitian ini terdiri dari dua domain utama yaitu pengukuran kapasitas dan
kinerja tata kelola pemerintahan desa. Pengukuran kapasitas desa berfungsi untuk

Jurnal Hasil Penelitian Balitbang Tahun 2014 Page 12


menjajaki kondisi kemampuan desa dalam menghadapi implementasi UU Nomor 6
Tahun 2014 tentang Desa. Pengukuran kapasitas ini akan dilakukan melalui sudut
pandang pemerintah desa sendiri dengan berfokus pada kemampuan SDM,
organisasi dan dimensi sistem. Adapun pengukuran kinerja tata kelola
pemerintahan desa berfungsi untuk menilai kinerja selama ini. Penilaian kinerja
dengan pendekatan governance ini juga dapat difungsikan untuk melihat sejauh
mana kesuksesan pengembangan kapasitas selama ini. Pengukuran kinerja tata
kelola ini akan dilakukan melalui sudut pandang masyarakat desa sebagai
pengguna layanan, subjek sekaligus objek pembangunan desa. Pada bagian ini
pengukuran difokuskan pada:
1. Visi strategis,
2. Transparansi,
3. responsifitas,
4. Keadilan,
5. Konsensus,
6. Efektivitas dan efisiensi,
7. Akuntabilitas,
8. Kebebasan berkumpul dan berpartisipasi,
9. Dukungan aturan dan hukum dan Demokrasi.

Metode Penelitian
Penelitian ini berpendekatan kuantitatif, berjenis deskriptif. Dikatakan
pendekatan kuantitatif sebab pendekatan yang digunakan di dalam usulan
penelitian, proses, turun ke lapangan, analisa data dan kesimpulan data sampai
dengan penulisannya menggunakan aspek pengukuran, perhitungan, rumus dan
kepastian data numerik. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif karena
bertujuan membuat pencanderaan/ lukisan/ deskripsi mengenai fakta-fakta dan
sifat-sifat suatu populasi secara sistematik, faktual dan teliti (Ginting, 2008:55).
Metode analisis kajian ini adalah menggunakan pendekatan analisis
deskriptif kuantitatif. Pendekatan deskriptif mengacu kepada kebutuhan alat
analisis masalah kapasitas aparatur desa (melibatkan data-data kuantitatif dan
dokumen-dokumen analisis deskriptif) mengenai kondisi masing-masing elemen
indikator kapasitas desa dalam kaitannya dengan otonomi yang lebih luas dan
anggaran yang lebih besar.

Lokasi dan Sampel Penelitian


Jumlah desa di Kabupaten malang sebanyak 378 desa. Karena jumlah yang
sangat banyak dengan karakter yang beragam, maka metode pemilihan sampel
yang dipakai adalah stratified. Dalam kajian ini, ditetapkan 4 cluster yakni: 1) desa-
desa pertanian (wilayah Malang utara), 2) desa-desa kawasan pegunungan
(wilayah Malang timur dan barat), 3) desa-desa a dengan masyarakat
berpenghasilan di bidang industri, perdagangan dan jasa (wilayah Malang tengah),
4) desa-desa di kawasan pantai (wilayah Malang selatan).

KESIMPULAN
Pada aspek kapasitas sumber daya manusia aparatur desa, beberapa hal
yang telah menjadi nilai positif desa-desa di Kabupaten Malang menjelang
implementasi Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa diantaranya
adalah : sudah banyak desa yang telah mendapatkan sosialisasi mengenai UU
Desa, desa sudah mempersiapkan diri dengan berbagai cara dan upaya masing-
masing, motivasi aparat desa untuk meningkatkan kemampuan yang tinggi.
Namun demikian dalam aspek ini terdapat beberapa titik lemah yang harus segera

Jurnal Hasil Penelitian Balitbang Tahun 2014 Page 13


ditindaklanjuti diantaranya adalah : belum diketahuinya rincian hak dan
kewenangan yang diamanatkan oleh UU Desa.
Pada dimensi organisasi, beberapa temuan positif yang mendukung
pengembangan desa adalah : terpenuhinya berbagai dokumen yang wajib dimiliki
desa dan sistem pengambilan keputusan melalui musyawarah yang masih
terpelihara. Adapun temuan yang kurang baik dalam dimensi ini diantaranya
adalah: belum banyak desa yang memiliki berbagai SOP penyelenggaraan
pemerintahan desa, hanya sebagian kecil desa yang memiliki BUMDes, kondisi
BUMDes yang tidak berjalan dengan baik (merugi) serta lemahnya keterbukaan
informasi keuangan dan kebijakan desa.
Pada aspek dimensi sistem baik sistem internal maupun eksternal
ditemukan dukungan lingkungan yang positif, dukungan dalam bentuk keterlibatan
berbagai kelompok masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan cukup
tinggi, keaktifan berbagai kelompok di bidang masing-masing juga tinggi serta
regulasi pemerintah kabupaten yang dinilai oleh masyarakat maupun aparat desa
tidak menghambat bahkan sangat mendukung proses pembangunan desa.
Penilaian masyarakat terhadap kinerja tata kelola pemerintahan desa yang
bernilai positif diantaranya adalah: ketanggapan, ketepatan waktu aparat desa,
kesiap-sediaan melayani dalam kurun waktu 24 jam, keadilan pelayanan, peran
pemerintah desa dalam menjembatani keberagaman aspirasi masyarakat,
pemanfaatan sumber daya yang dimiliki secara efektif dan efisien, berjalannya
berbagai layanan yang dinilai memuaskan bagi masyarakat, dukungan positif
pemerintah desa terhadap berbagai kelompok masyarakat desa, peran BPD yang
cukup signifikan dalam mempengaruhi berbagai kebijakan desa, demokrasi dan
stabilitas politik desa yang kondusif, keterbukaan ruang publik bagi masyarakat
untuk menyampaikan pendapat dan kerjasama yang baik antar pemerintah desa
dengan pihak-pihak lainnya.
Adapun temuan negatif dari kinerja tata kelola pemerintahan desa adalah:
sebagian besar pemerintah desa dinilai tidak memiliki visi strategis, visi dan misi
desa hanya dijadikan sebagai kelengkapan dalam dokumen RPJMDes saja,
pelibatan masyarakat dalam berbagai musyawarah desa jarang dilakukan oleh
pemerintah desa. Sejalan dengan hal tersebut keterbukaan informasi baik yang
berkaitan dengan keuangan maupun kebijakan masih sangat rendah. Sebagian
besar desa tidak menyampaikan laporan pertanggungjawaban kinerja kepada
masyarakat, masih banyak desa yang tidak memiliki aturan tertulis mengenai
ketertiban dan keamanan serta kelestarian lingkungan.

REKOMENDASI
Untuk menguatkan kapasitas desa dalam menghadapi implementasi
Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa perlu memanfaatkan hal-hal
positif yang sudah dimiliki desa dalam mengatasi beberapa masalah negatif.
Beberapa rekomendasi dari penelitian ini adalah:
1. Pemerintah desa masih perlu diberikan pemahaman (sosialisasi) yang lebih
terperinci mengenai rincian hak dan kewajiban yang diamanatkan oleh
Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. Selain itu perlu
peningkatan kemampuan di bidang teknologi informasi dan legal drafting,
2. Pemerintah kabupaten melalui Bagian Tata Pemerintahan Desa hendaknya
membuat aturan yang mensyaratkan pelibatan berbagai unsur masyarakat
dalam forum-forum, musyawarah dan pengambilan keputusan desa,
3. Pemerintah kabupaten melalui Bagian Tata Pemerintahan Desa perlu
mendorong agar desa memiliki Standar Operasional Prosedur, informasi
pelayanan publik desa yang mudah diakses oleh masyarakat dan indeks

Jurnal Hasil Penelitian Balitbang Tahun 2014 Page 14


kepuasan masyarakat desa dengan cara memberikan pelatihan dan regulasi
yang mewajibkannya,
4. Badan Pemberdayaan Masyarakat perlu mendidik pemerintah desa agar bisa
menggali potensi desanya sendiri sehingga dapat didorong untuk mendirikan
BUMDes sebagai salah satu sumber pendapatan desa. Diperlukan juga
pelatihan manajemen BUMDes agar tidak terjadi kerugian yang dialami
BUMDes,
5. Perlu penguatan kapasitas serta pendanaan kepada kelompok-kelompok
masyarakat yang selama ini sudah aktif di bidang masing-masing agar tumbuh
inovasi dan cakupan kegiatan yang lebih luas sehingga dukungan terhadap
pembangunan desa semakin masif,
6. Perlu revitalisasi fungsi BPD sebagai lembaga penampung dan penyalur
aspirasi masyarakat. BPD harus lebih proaktif dalam menyerap keluhan, kritik
dan saran dari masyarakat,
7. Dalam hal perencanaan dan evaluasi pembangunan, perlu adanya
peningkatan kemampuan dalam membuat perencanaan yang sustainable dan
terintegrasi karena selama ini antara visi, misi, kebijakan, program hingga
kegiatan belum tertata dengan baik. Di sisi lain perencanaan program
pembangunan dari tahun ke satu ke tahun berikutnya tidak berkelanjutan,
8. Perlu aturan yang mewajibkan mengenai keterbukaan informasi desa dengan
media informasi yang mudah diakses oleh masyarakat setiap saat.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.


Jakarta : Rineka Cipta.
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.
Jakarta : Rineka Cipta.
Ginting, Paham dan Syafrizal Helmi Situmorang. 2008. Filsafat Ilmu dan Metode.
Riset. USU Press, Medan.
Grindle, M.S. (Editor). 1997. Getting Good Government: Capacity building in The
Public Sectors of Developing Countries. Boston, MA: Harvard Institute for
International Development.
GTZ, Discussion Paper Nomor 26: Comments on Government Regulation Nomor
84/2000 on Guidelines for Organisational Structure of the Regional
Administration, December 2000.
Indriantoro, Nur dan Bambang Supomo, 1999. Metodologi Penelitian Bisnis untuk
Akuntansi dan Manajemen. Edisi 1. Cetakan Pertama BPFE. Yogyakarta.
Keban, Yeremias, T. 2000. Good governance dan Capacity building Sebagai
Indikator Utama dan Fokus Penilaian Kinerja Pemerintahan. Jakarta :
Capacity building for Local Governance Bappenas.
Robbins, P. Stephen. 2002. Perilaku Organisasi. Jakarta: Prenhalindo.
Smith, B. C. 1985. Decentralization : The Territorial Dimension of the State. London
: George Allen & Unwin (publishers) Ltd.
Sugiyono. 2007. “Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D”. Bandung:
Alfabeta.

Jurnal Hasil Penelitian Balitbang Tahun 2014 Page 15


KAJIAN PEMETAAN KESIAPAN APARATUR PEMERINTAH
KABUPATEN MALANG DALAM MITIGASI DAN ADAPTASI
DAMPAK PEMANASAN GLOBAL

Abstraksi
Kajian Pemetaan Kesiapan Aparatur Pemerintah Kabupaten Malang Dalam
Adaptasi dan Mitigasi Dampak Pemanasan Global ini bertujuan untuk
mengidentifikasi kebijakan pemerintah Kabupaten Malang berkaitan dengan
penanganan pemanasan global dari segi aparatur pemerintah Kabupaten Malang
dalam mitigasi dan adaptasi pemanasan global. Setelah program/kegiatan dan
kondisi aparatur tersebut teridentifikasi, akan dirumuskan strategi penguatan
Sumber Daya Aparatur Pemerintah Kabupaten Malang dalam mitigasi, adaptasi
dan strategi pengurangan resiko dampa pemanasan global. Dan hasil luaran yang
ingin dicapai dari kajian ini adalah rumusan tentang peta program kebijakan,
potensi dan permasalahan kapasitas aparatur pemerintah Kabupaten Malang,
serta isu, strategi dan alternative strategi berkaitan dengan resiko pemanasan
global.
Pada dasarnya sudah terpola kebijakan untuk mitigasi dan adaptasi
pemanasan global melalui identifikasi program/kegiatan masing-masing SKPD di
Kabupaten Malang. Namun, belum terdapat adanya keterpaduan kebijakan yang
spesifik pada mitigasi dan adaptasi pemanasan global. Sedangkan kondisi
existing aparatur pemerintah Kabupaten Malang dampak pemanasan glonal,
sebagian besar responden merasakan adanya perubahan lingkungan fisik yang
berdampak pada perubahan iklim, hanya terdapat 19,9% yang belum
merasakannya dan 36% responden belum mengartahui kampanye tentang
pemanasan global. Dan dalam rangka pengendalian pemanasan global, masih
terdapat aparatur yang tidak melaksanakan penghematan energy.
Yang perlu dilakukan untuk meningkatkan adaptasi dan mitigasi dampak
pemanasan global adalah membangun keterpaduan pola kebijakan dimulai dari
perencanaan daerah yang matang dan secara spesifik guna menaungi kebijakan
mitigasi dan adaptasi secara holistic. Selain itu diperlukan adanya orientasi
terhadap pemahaman dan persepsi serta sikap aparatur dalam mitigasi dan
adaptasi pemanasan global.

Kata Kunci : Adaptasi, Mitigasi, Pemanasan Global.

PENDAHULUAN
Dalam satu dasawarsa terakhir, isu pemanasan global (Global Warming)
menjadi topik diskusi yang hangat diberbagai forum, baik pada ranah akademik
maupun aktivis lingkungan. Salah satu forum yang mendapat atensi publik adalah
Conference of Parties (COP) ke-13 United Nations Framework Convention on
Climate Change yang diselenggarakan pada 3-14 Desember 2007 di Bali. Pada
konferensi tersebut, menghasilkan kesepakatan bersama antar negara-negara
peserta untuk senantiasa aktif memerangi pemanasan global. Salah satu Vocal
Point dari kesepakatan Bali Roadmap tersebut adalah REDD (Reducing Emission
from Deforestation in Developing Countries) atau kegiatan mengurangi emisi
akibat penggundulan hutan di negara berkembang.
Sepintas, upaya-upaya mencegah penggundulan hutan sebagai bagian dari
Bali Roadmap sangat ideal dan selaras dengan tujuan mengurangi emisi global.
Akan tetapi, kebijakan tersebut dapat dianggap meminggirkan bahkan

Jurnal Hasil Penelitian Balitbang Tahun 2014 Page 16


menjustifikasi negara-negara berkembang yang memiliki hutan dan terdapat gejala
deforestasi, sebagai penyumbang terbesar emisi gas karbon. Indonesia pun
digolongkan juga sebagai salah satu negara pelaku utama pemanasan global.
Kebakaran hutan dan pengeringan gambut di Bumi Indonesia dipetakan ikut
berperan dalam menaikkan tinggi muka laut akibat naiknya suhu udara dan
melelehnya es di Greenwich dan Antartika.
Dapat dianalisa, bahwa kebijakan REDD tidak memiliki keberpihakan
khususnya kepada negara-negara berkembang. Kebijakan tersebut dapat adalah
bagian dari setting global untuk mengamankan kepentingan ekonomi kapitalis dari
negara-negara maju dan membangun pola ketergantuangan. Walaupun demikian,
apapun diskursus tentang penanggulangan pemanasan global harus diapresiasi
sebagai usaha mengurangi potensi bencana yang berdampak secara langsung
maupun tidak langsung terhadap kehidupan manusia.
Dalam konteks Indonesia, penanggulangan pemanasan global dan
pengurangan dampak-dampaknyanya dimulai dengan meratifikasi Protokol Kyoto
1997. Substansi protocol Kyoto dan ratifikasinya mengatur tentang penurunan
emisi Gas Rumah kaca (GRK) akibat kegiatan manusia sehingga dapat
menstabilkan konsentrasi GRK di atmosfer dan tidak membahayakan sistem iklim
bumi. Protokol Kyoto menetapkan aturan mengenai tata cara, target, mekanisme
penurunan emisi, kelembagaan, serta prosedur penataan dan penyelesaian
sengketa.
Mengingat Indonesia telah mengesahkan Konvensi Kerangka Kerja
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (konvensi Perubahan Iklim)
melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994, sangatlah penting bagi Indonesia
untuk mengesahkan protokol Kyoto. Dengan mengesahkan Protokol tersebut
Indonesia telah mengadopsi hukum internasional sebagai hukum nasional untuk
dijabarkan dalam kerangka peraturan dan kelembagaan.
Sebagai negara kepulauan yang berciri nusantara dan mempunyai garis
pantai terpanjang kedua di dunia, Indonesia berada pada posisi yang sangat
rentan terhadap dampak pemanasan global, utamanya bagi lingkungan dan sosial,
ekonomi dan budaya bangsa Indonesia. Burke (Dalam Rindayati, dkk, 2013)
menyebutkan bahwa El Nino pada tahun 1997 telah menyebabkan kerusakan 18%
terumbu karang di Asia Tenggara. Pemutihan terumbu karang (coral bleaching)
telah terjadi di banyak tempat seperti bagian Timur Pulau Sumatera, Jawa, Bali
dan Lombok. Di Kepulauan Seribu sekitar 90-95% terumbu karang yang berada di
kedalaman 25 m sebagian telah mengalami pemutihan. Jika terumbu karang
rusak, maka menjadi ancaman bagi nelayan tangkap (kelompok nelayan yang
cukup dominan dalam struktur sosial) yang sangat bergantung pada ekosistem laut
dan pesisir.
Dampak pemanasan global di Indonesia diperkirakan akan sangat besar,
namun masih sulit untuk diperhitungkan. Perhitungan kerugian bagi perekonomian
Indonesia jangka panjang, baik akibat dampak langsung dan tidak langsung,
menunjukkan angka yang signifikan. Pada tahun 2100, kerugian PDB diperkirakan
akan mencapai 2.5 persen, yaitu empat kali kerugian PDB rata-rata global akibat
perubahan iklim sebagai salah satu dampak pemansan global. Apabila peluang
terjadinya bencana turut diperhitungkan, kerugian dapat mencapai 7 persen PDB.
Biaya ini dirasakan sangat besar oleh sebuah negara yang baru saja lepas dari
krisis ekonomi di akhir tahun 1990-an.
Salah satu aspek yang fundamental untuk melakukan formulasi dan
pengawalan kebijakan untuk pengurangan dampak pemanasan global adalah
kapasitas dan kapabilitas aparatur. Pengelolaan sumber daya aparatur menjadi
unsur utama dari fungsi manajemen pemerintah. Jika sumber daya aparatur tidak

Jurnal Hasil Penelitian Balitbang Tahun 2014 Page 17


dikelola secara baik, efektivitasnya akan merosot lebih cepat daripada sumber
daya yang lainnya. Oleh karena itu, pada saat ini aktivitas pengelolaan sumber
daya aparatur yang dilakukan secara efektif dapat semakin meningkatkan
keberhasilan visi, misi, program dan kegiatan pemerintahan, tidak terkecuali
kegiatan dalam rangka pengurangan dampak pemanasan global. Strategi Mitigasi
dan adaptasi di lingkup aparatur perlu diinternalisasikan dan dimanifestasikan
secara utuh dalam setiap denyut nafas kebijakan.

RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah dalam kajian Pemetaan Kesiapan Aparatur Pemerintah
Kabupaten Malang dalam Mitigasi dan Adaptasi Dampak Pemanasan Global
adalah:
1. Bagaimana identifikasi permasalahan yang terjadi berkaitan dengan
Pemanasan Global dan dampak-dampaknya di Kabupaten Malang,
berdasarkan identifikasi program/kegiatan pemerintah daerah sehingga perlu
dilakukan kajian pemetaan kesiapan aparatur pemerintah?
2. Bagaimana kondisi exsisting Sumber Daya Aparatur Pemerintah Kabupaten
Malang dalam Mitigasi dan Adaptasi dampak pemanasan global?
3. Bagaimana strategi penguatan sumber daya aparatur pemerintah Kabupaten
Malang dalam Mitigasi dan Adaptasi dampak pemanasan global?

MANFAAT KAJIAN
Manfaat pelaksanaan kajian Pemetaan Kesiapan Aparatur Pemerintah
Kabupaten Malang dalam Mitigasi dan Adaptasi Dampak Pemanasan Global
adalah:
1. Tersedianya data tentang kondisi existing sumber daya aparatur, berikut peta
potensi dan permasalahannya sehingga menjadi acuan dalam mengkonsepsi
kebijakan yang berkaitan dengan optimalisasi mitigasi dan adaptasi dampak
pemanasan global di Kabupaten Malang.
2. Tersedianya informasi tentang kebutuhan Aparatur di Kabupaten Malang,
sehingga dapat menjadi acuan bagi SKPD terkait dalam merumuskan
kebijakan mitgasi dan adptasi serta pengurangan dampak pemanasan global.
3. Dapat dirumuskannya strategi penguatan sumber daya aparatur yang nantinya
dapat menjadi acuan bagi SKPD yang berkompeten dalam melakukan
kegiatan pengurangan dampak pemanasan global.

RUANG LINGKUP KAJIAN


Ruang lingkup pelaksanaan kajian Pemetaan Kesiapan Aparatur
Pemerintah Kabupaten Malang dalam Mitigasi dan Adaptasi Dampak Pemanasan
Global adalah:
1. Identifikasi potensi dan permasalahan sumber daya aparatur di Kabupaten
Malang.
2. Identifikasi kebutuhan (need assessment) aparatur di Kabupaten Malang
dalam rangka pengurangan dampak pemanasan global.
3. Identifikasi program dan kegiatan dalam lingkup pengurangan dampak
pemanasan global.
4. Merumuskan strategi dan road map mitigasi dan adaptasi pengurangan
dampak pemanasan global.

Jurnal Hasil Penelitian Balitbang Tahun 2014 Page 18


LUARAN PENELITIAN
Dalam kajian Pemetaan Kesiapan Aparatur Pemerintah Kabupaten Malang
dalam Mitigasi dan Adaptasi Dampak Pemanasan Global menghasilkan luaran
sebagai berikut:
1. Rumusan hasil pemetaan potensi dan permasalahan kapasitas aparatur
pemerintah Kabupaten Malang dalam mengurangi dampak pemanasan global.
2. Rumusan isu, strategi dan alternative strategi bagi aparatur di Kabupaten
Malang dalam pengurangan resiko pemanasan global.
3. Rumusan matrik road map penguatan kapasitas aparatur di kabupaten Malang
dalam mitigasi dan adaptasi dampak pemanasan global.

KESIMPULAN
1. Pada dasarnya sudah terpola Kebijakan untuk Mitigasi dan Adaptasi
Pemanasan Global melalaui identifikasi Program/Kegiatan masing-masing
SKPD di Kabupaten Malang. Akan tetapi, belum terdapat adanya keterpaduan
kebijakan yang spesifik pada Mitigasi dan Adaptasi pemanasan Global.
2. Terdapat 3 (tiga) pola atau model kebijakan jika diidentifikasi dari
Program/Kegiatan di Kabupaten Malang, yaitu (1) Program/Kegiatan yang
mendukung secara langsung dalam upaya mitigasi dan adaptasi pemansan
Global, (2) Program/Kegiatan yang berpotensi mengurangi dampak
pemanasan global, dan (3) Program/Kegiatan yang tidak mendukung adanya
upaya Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim. Ketiga aspek tersebut,
memunculkan konsekuensi yang berbeda dalam upaya penyelesaiannya.
3. Kondisi existing Sumber Daya Aparatur Pemerintah Kabupaten Malang dalam
Mitigasi dan Adaptasi dampak pemanasan global. Berdasarkan hasil
penelitian :
a) Terdapat aparatur pemerintah Kabupaten Malang yang belum merasakan
adanya perubahan lingkungan fisik yang berdampak pada perubahan iklim
yakni sebanyak 19,9 % dari jumlah responden. Kondisi menjadi gambaran
bahwa perubahan lingkungan secara fisik yang terjadi tidak dianggap
sebagai pengaruh atas perubahan iklim.
b) Sebagai sumber informasi atas keberadaan isu perubahan iklim, aparatur
mendapatkan dari empat sumber. Yakni dari televise, pimpinan SKPD,
kegiatan bimtek/workshop dan membaca buku. Akan tetapi dari keempat
sumber tersebut, informasi perubahan iklim yang berasal dari pimpinan
SKPD atau bimtek memiliki porsi yang paling kecil. Kondisi tersebut
menggambarkan bahwa kegiatan terstruktur sebagai upaya untuk
melakukan kampanye atas perubahan iklim masih kurang mendapatkan
perhatian.
c) Kampanye tentang perubahan iklim masih dirasakan minim oleh para
aparatur pemerintah Kabupaten Malang. Kondisi ini tergambarkan bahwa
terdapat 36 % responden belum mengetahui tetang adanya kampanye
perubahan iklim dilingkungan tempatnya bekerja.
d) Sebagai salah satu tindakan nyata atas perilaku dalam rangka
mengendalikn dampak perubahan iklim adalah dengan melakukan hemat
energy dengan cara tidak menggunakan lampu penerang diruang yang
dengan tidak berlebihan. Seruan untuk melakukan hemat energy sudah

Jurnal Hasil Penelitian Balitbang Tahun 2014 Page 19


maksimal diperoleh oleh aparatur akan tetapi masih terdapat aparatur
yang masih melakukan tindakan pemakaian lampu dan AC yang tidak
sesuai dengan kegunaan.

SARAN
1. Membangun keterpaduan pola kebijakan dimulai dari perencanaan daerah
yang matang dan secara spesifik menanungi Kebijakan Mitigasi dan Adaptasi
secara holisitik. Apalagi jika terdapat support atau fasilitasi pihak ketiga untuk
mengembangkan kebijakan Antisipasi dan Penangan kebijakan pemansan
global secara terpadu.
2. Diperlukan adanya orientasi terhadap pemahaman persepsi perilaku dan sikap
aparatur dalam mitigasi dan adaptasi Pemanasan global. Pengetahuan dan
Pemahaman cukup baik, akan tetapi perilaku aparatur terkait perubahan iklim
perlu diperkuat secara terarah, terpadu dan terencana.terarah,

DAFTAR PUSTAKA

Boer, R. and A.R. Subbiah. 2005. Agriculture Drought In Indonesia. p. 330-344. In


V. S. Boken, A.P. Cracknell, and R.L. Heathcote (Eds.). Monitoring and
Predicting Agricultural Drought: A global study. Oxford Univ. Press.
Boer, R., A. Buono, Sumaryanto, E. Surmaini, A. Rakhman, W. Estiningtyas, K.
Kartikasari, and Fitriyani. 2009. Agriculture Sector. Technical Report on
Vulnerability and Adaptation Assessment to Climate Change for
Indonesia’s Second National Communication. Ministry of Environment and
United Nations Development Programme, Jakarta.
Las, I., A. Pramudia, E. Runtunuwu, dan P. Setyanto. 2011. Antisipasi perubahan
iklim dalam mengamankan produksi beras nasional. Jurnal
Pengembangan Inovasi Pertanian 4(1): 76-86.
World Bank. 2011. Adaptasi terhadap Perubahan Iklim. Policy Brief World Bank.
Martopo, Anshary, (2004), Peningkatan Kompetensi Menuju SDM Berkualitas,
Tarsito, Bandung.
Mardiasmo. 2003. Manajemen Sumberdaya Manusia dalam Kinerja. Penerbit Andi,
Yogyakarta.
Murdiyarso, Daniel. (Tanpa Tahun) Protokol Kyoto dan Implementasinya Bagi
Negara Berkembang. Kompas, Jakarta
Nurdin. (Tanpa Tahun). Antipasi Perubahan Iklim Untuk Keberlanjutan Ketahanan
Pangan. Artikel.
Rusbiantoro, Dadang. 2008 Global Warming For Beginner, Pengantar
Komprehensif Tentang Pemanasan Global. O2, Yogyakarta.
Siagian. P. Sondang, (2000). Administrasi Pembangunan, Konsep, Dimensi dan
Strateginya. PT.Bumi Aksara, Jakarta.

Jurnal Hasil Penelitian Balitbang Tahun 2014 Page 20


KAJIAN TENTANG PENTINGNYA KAWASAN INDUSTRI
TERHADAP PENINGKATAN INVESTASI
DI KABUPATEN MALANG

Abstraksi
Kerangka konsep kebijakan pembangunan pengembangan kawasan
industri di Kabupaten Malang selazimnya mendasarkan pada kerangka kebijakan
pembangunan berkelanjutan yaitu memperhatikan arah kebijakan nasional,
regional tingkat Provinsi, dan menggali kondisi potensi kearifan lokal melingkupi
SDM, SDA dan SDB yang dimiliki Kabupaten Malang serta memperhatikan
pelestarian lingkungan sebagai bagian dari stakeholeders pembangunan. Adapun
kerangka dasar arah kebijakan pembangunan di Kabupaten Malang secara garis
besar telah termuat dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah
(RPJPD), kemudian Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)
sebagai penjabaran operasional kebijakan pembangunan lima tahunan yang
didalamnya memperhatikan Rencana Tata Ruang Wilayah yang berwawasan
lingkungan.

Key Words : Kawasan Industri, Investasi.

PENDAHULUAN
Idealnya arah kebijakan pengembangan kawasan industri selain,
mencermati potensi lokal yang dimiliki, dalam ranah penciptaan daya saing daerah
juga harus memperhatikan faktor-faktor produksi terutama terkait dengan
ketersediaan bahan baku, ketersediaan tenaga kerja dan daya serap tenaga kerja,
dan kondisi distribusi hasil kegiatan industri atau daya serap pasar hasil produksi
industri. Selanjutnya memperhatikan rencana tata ruang wilayah yang berwawasan
lingkungan, yang didalamnya harus terkait dengan infrastruktur dasar meliputi;
infrastruktur jalan, listrik, pasar, pendidikan, lembaga-lembaga pendukung, serta
kondisi sosial masyarakat dan kondisi potensi lokal lainnya.

Dasar Hukum
(1) Undang-Undang No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang adalah 20
tahun dengan tahapan perencanaan tiap 5 tahun; (2) Undang-Undang
Otonomi Daerah No 32 Tahun 2004, tentang penyelenggaraan
pemerintahan dan program-program pembangunan bertumpu pada
kreativitas para pengambil kebijakan daerah masing-masing;
(2) selain itu, yang saat ini menjadi trend arah kebijakan pembangunan di
Indonesia adalah Master Plan Perluasan dan Percepatan Pertumbuhan
Ekonomi Indoenesia (MP3EI) kemudian dalam implementasinya di daerah
berdasarkan pada potensi daerah dan dioperasionalisasikan melalui
penguatan SIDa.
(3) Peraturan Bersama Menteri Negara Riset dan Teknologi dan Menteri Dalam
Negeri Nomor 03 Tahun 2012 dan Nomor 36 Tahun 2012 tentang
Penguatan Sistem Inovasi Daerah yang saat ini sedang berlangsung
diberbagai daerah.
(4) Mendasarkan pada RPJMD KAB MALANG Tahun 2010 – 2015 (Slogan
Promosi Daerah Kabupaten Malang: Menjadikan Kabupaten Malang
sebagai Bumi Agrowisata terkemuka di Jawa Timur).

Jurnal Hasil Penelitian Balitbang Tahun 2014 Page 21


Rumusan Masalah
Agar kegiatan penelitian identifikasi kawasan industri di Kabupaten Malang
dalam mendukung pertumbuhan ekonomi dan penciptaan daya saing, dapat
dibahas secara kronologis dan terarah sesuai tujuan penelitian maka dapat
diarahkan melalui beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana mengendalikan pemanfaatan ruang di Kabupaten MALANG terkait
dengan pengembangan kawasan industri diseputar “Ponco wismo Jatu”?
2. Bagaimana meningkatkan pembangunan kawasan Industri yang berwawasan
lingkungan di Kabupaten MALANG?
3. Sejauhmana Peningkatan pertumbuhan ekonomi khususnya pertumbuhan
industri di Kabupaten Malang?
4. Bagaimana meningkatkan daya saing Industri dan peningkatan Investasi di
Kabupaten Malang?
5. Bagaimana memberikan kepastian lokasi dalam perencanaan dan
pembangunan infrastruktur yang terkoordinasi antar sektor terkait?

Maksud Penelitian
Maksud dari pelaksanaan kegiatan Kawasan Industri adalah untuk
memusatkan kegiatan industri yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana
penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh Perusahaan Kawasan Industri
yang telah memiliki izin usaha Kawasan Industri.

Tujuan Penelitian
Tujuan pelaksanaan kegiatan Kawasan Industri ini adalah sebagai berikut :
a. Mengendalikan pemanfaatan ruang di Kabupaten MALANG hubungannya
dengan pengembangan kawasan industri diseputar “Ponco wismo Jatu”.
b. Meningkatkan upaya pembangunan Industri yang berwawasan lingkungan di
Kabupaten MALANG;
c. Mempercepat pertumbuhan ekonomi khususnya pertumbuhan industri di
Kabupaten Malang.
d. Meningkatkan daya saing Industri dan daya saing Investasi.
e. Memberi kepastian lokasi dalam perencanaan dan pembangunan infrastruktur
yang terkoordinasi antar sektor terkait

Sasaran
Sasaran yang hendak dicapai dalam pelaksanaan kegiatan identifikasi
Kawasan Industri ini adalah tersusunnya laporan identifikasi Kawasan Industri
yang dapat digunakan sebagai bahan acuan, pedoman dalam penyusunan
dokumen Kawasan Industri yang pada akhirnya akan memudahkan para pelaku
usaha untuk menanamkan investasinya di Kabupaten Malang.

Ruang Lingkup Penelitian


1. Lingkup Kegiatan
Lingkup kajian dalam kegiatan identifikasi Kawasan Industri di Kabupaten
MALANG adalah prakiraan jumlah pelaku usaha yang disebabkan oleh adanya
pelaksanaan KRP yang ada dalam Kawasan Industri Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW), yang mencakup :
a. Identifikasi Kebijakan Rencana dan Program dalam RTRW;
b. Identifkasi Potensi Sumberdaya Alam dan Sumber Daya Manusia ;
c. Identifikasi Kondisi Sosial Ekonomi;
d. Identifikasi jumlah pelaku usaha di Kabupaten Malang;

Jurnal Hasil Penelitian Balitbang Tahun 2014 Page 22


2. Lokasi
Kegiatan identifikasi Kawasan Industri ini dilaksanakan di wilayah administrasi
Kabupaten MALANG Propinsi Jawa Timur, yang mencakup wilayah-wilayah
yang menjadi obyek pelaksanaan KRP RTRW Kabupaten MALANG.

KESIMPULAN
1. Berdasarkan pembahasan hasil penelitian tentang pemanfaatan ruang di
Kabupaten Malang dapat menyederhanakan permasalahan dari 6 (enam) Sub
Wilayah Pengembangan diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) kelompok wilayah
pengembangan yang memiliki kemiripan yang sama dapat dijadikan dasar
penentuan arah kebijakan pembangunan kedepan yaitu; SWP I (lingkar Kota
Malang) dan SWP II (Lingkar Ibu Kota Kepanjen) cocok dikembangkan sebagai
industri olahan makanan dan minuman, perdagangan hotel dan restoran,
perumahan dan UMKM. SWP III (Ngantang dan sekitarnya) dan SWP IV
(Tumpang dan sekitarnya) cocok dikembangkan sebagai kawasan agropolitan
atau fokus pada Agro-ekowisata. SWP V Dampit Turen dan skitarnya dan SWP
VI Sumbermanjing Wetan cocok dikembangkan sebagai wilayah mina politan,
perkebunan, dan pertanian. Utamanya urutan prioritas pengembangan untuk
mendukung SIDa Agro-Ekowisata saat ini sudah sesuai dengan program SIDa
yaitu di wilayah Tumpang dan sekitarnya atau dikenl dengan kawasan Agro-
Ekowisata Ponco-Wismo-Jatu.
2. Berdasarkan hasil kajian terkait dengan aspek tata ruang yang berwawasan
lingkungan, Kabupaten Malang sebagai penopang Kota Malang dan memiliki
kawasan konservasi /hutan lindung harus menegakkan konsep pengembangan
kawasan industri yang ramah lingkungan. Industri yang boleh berkembang
diarahkan pada industri yang mengarah pada agroindustri dalam menopang
sektor pertanian. Kemudian harus menegakkan luasan wilayah pertanian dan
perumahan dengan menggariskan secara tegas melalui pelayanan dan perijinan
satu pintu.
3. Perlunya indikator pertumbuhan ekonomi kedalam 9 (sembilan) sektor
pembangunan dan indek pembangunan manusia pendidikan dan kesehatan
dalam mendukung pertumbuhan ekonomi. Serta meningkatkan infrastruktur
jalan dan irigasi dan fasilitas pasar dalam mendukung sektor pertanian sebagai
potensi yang dimiliki Kabupaten Malang
4. Upaya untuk meningkatkan daya saing Industri dan peningkatan Investasi di
Kabupaten Malang perlu mengarahkan pada kawasan industri yang terkait
dengan bidang agroindustri, kemudian melakukan pembangunan berdasarkan
skala prioritas melalui Penguatan Sistem Inovasi Daerah yang saat ini sudah
berlangsung adalah di Kawasan Agro-Ekowisata Ponco-Wismo-Jatu.
5. Berdasarkan hasil identifikasi kawasan industri yang mengarah pada tiga sektor
wilayah pengembangan dapat dijadikan dasar pijakan penentuan kebijakan
wilayah industri dan investasi yaitu untuk industri olahan makanan dan
minuman, perdagangan hotel dan restoran termasuk Ruko, perumahan
pemukiman penduduk dapat diarahkan pada SWP I dan SWP II. (Lingkar Kota
Malang dan Lingkar Kepanjen Ibuko Kabupaten Malang). Sedangkan untuk arah
industri dan investasi bagi agroindustri seperti industri olahan makan dan
minuman, pebrik gula, kerajinan rakyat, serta hasil-hasil pertanian termasuk
peternakan sapi perah yang dikemas terintegrasi dengan ekowisata dapat
diarahkan di SWP III (Ngantang dan sekitarnya) dan SWP IV (Tumpang dan
sekitarnya), sedangkan pusat industri yang terkait dengan minapolitan

Jurnal Hasil Penelitian Balitbang Tahun 2014 Page 23


(perikanan tangkap dan budidaya), kemudian perkebunan dan wisata pantai
termasuk rencana pelabuhan Sendang Biru dapat dikembangkan di SWP V
(Dampit dan Tumpang dan sekitarnya) dan SWP VI (Sumbermanjing Wetan dan
sekitarnya).

REKOMENDASI KEBIJAKAN
Berdasarkan hasil kajian kawasan industri ini, dapat direkomendasikan
beberapa poin penting yang mengarah pada rencana aksi program-program
pembangunan terkait dengan sekala prioritas penentuan program kebijakan
pembangunan di Kabupaten Malang yaitu:
1. Peta pengembangan yang terbagi kedalam 3 (tiga) konsentrasi sektor industri
dan investasi dapat dijadikan dasar penentuan perencanaan jangka mengengah
dan panjang dan bisa dimasukkan dalam RPJMD yakni Zonasi Ekonomi I
koridor SWP I dan SWP II sebagai kawasan industri olahan makanan dan
minuman, perdagangan hotel dan restoran, serta pengembangan perumahan,
pendidikan dan kesehatan. Kemudian Zonasi Ekonomi II SWP III dan IV
diarahkan pada agro-ekowisata, dan Zonasi Ekonomi III SWP V Dampin Turen
dan SWP VI Sumbermanjing Wetan dapat dikembangkan sebagai
pengembangan industri perkebunan, perikanan, dan agro-ecowisata bahari.
Pengembangan industri lebih ditekankan untuk industri yang mengarah pada
agribisnis.
2. Penentuan skala prioritas program pembangunan dalam mencapai daya saing
industri difokuskan pada SIDa Agro-Ekowisata di kawasan SWP IV Tumpang
dan sekitarnya atau disebut Ponco-Wismo-Jatu. Program-program
pengembangan masing-masing SKPD yang relevan seharusnya diarahkan pada
program pengembangan SIDa Agro-Ekowisata.
3. Pelayanan dan perijinan harus mampu menegakkan secara tegas tentang batas
wilayah pengembangan industri pada daerah-daerah yang secara tingkat
kesuburan tanah jangan sampai mengurngi lahan pertanian produktif sebagai
potensi unggulan Kabupaten Malang.
4. Pengembangan kawasan industri diarahkan jangan
industri yang bersifat polotif, dan tidak mendukung potensi pertanian sebagai
pemasok bahan baku utama industri, sehingga terjadi sinergi yang saling
menguntungkan dengan tetap memperhatikan pelestarian lingkungan.
5. Pusat data informasi paket wisata termasuk situs-situs wisata penting di
Kabupaten Malang perlu dibuatkan data base yang terintegrasi sebagai
pelengkap konsep pengembangan Agro-Ekowisata dan wisata sejarah &
pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA

Adam Smith (1776), "An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of
Nations", Invisible Hand. Ditulis oleh Helen Joyce, is one of the assistant
editors on Plus magazine. Submitted by plusadmin on March 1, 2001,
Ida Nuraini, (2007), Analisis Potensi Sektor Industri Manufaktur Di Kabupaten
Malang,
MoU antara Pemerintah Kabupaten Malang dengan BPPT tanggal 17 Januari 2012
Nomor: 119/351/421.022/2012 dan Nomor: 05/KB/BPPT-Pemkab.
Malang/01/2012 tentang Pengkajian, Penerapan dan Pemasyarakatan

Jurnal Hasil Penelitian Balitbang Tahun 2014 Page 24


Teknologi untuk mendukung pembangunan daerah Kabupaten Malang
Provinsi Jawa Timur.
Meckling, William H. and Michael C. Jensen, (2002), Theory of the firm: Managerial
behavior, agency costs and ownership structure, Journal of Financial
Economics, October, 1976, V. 3, No. 4, pp. 305-360.
Mulyadi, Dedi (2013), Peningkatan Daya Saing Industri Daerah Melalui
Pengembangan Pusat-Pusat Pertumbuhan Industri, Direktorat Jenderal
Pengembangan Perwilayahan Industri, Disampaikan pada Rapat Kerja
Kementerian Perindustrian Jakarta, 22 Mei 2013, hlm.5-20.
Peraturan Bersama Menteri Negara Riset dan Teknologi dan Menteri Dalam Negeri
Nomor 03 Tahun 2012 dan Nomor 36 Tahun 2012 tentang Penguatan
Sistem Inovasi Daerah yang saat ini sedang berlangsung diberbagai
daerah.
Porter, M. E. 1998b, 'Cluster and the new economics of competition ', Harvard
Business Review, 7, (6), pp6-15.
Porter, M. E. 2000a, 'Location, Competition and Economic Development: local
cluster in a global economy', Economic Development Quarterly, 14, (1), pp7-
20.
Perda Kabupaten Malang No. 2 Tahun 2011 tentang, Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Daerah Kabupaten Malang Tahun 2010-2015.
RPJMD KAB MALANG Tahun 2010 – 2015 (Slogan Promosi Daerah Kabupaten
Malang: Menjadikan Kabupaten Malang sebagai Bumi Agrowisata
terkemuka di Jawa Timur), dan
Ricardo, David (1817) On the Principles of Political Economy and Taxation. Piero
Sraffa (Ed.) Works and Correspondence of David Ricardo, Volume I,
Cambridge University Press, 1951, p.135.

Jurnal Hasil Penelitian Balitbang Tahun 2014 Page 25


IDENTIFIKASI POTENSI ENERGI ALTERNATIF BIOGAS DAN
BIOELEKTRIK MENGGUNAKAN KOTORAN HEWAN DAN SAMPAH
DI KECAMATAN TUMPANG DAN SEKITARNYA

Abstraksi

Wilayah Kabupaten Malang yang merupakan Kabupaten terluas di Jawa


Timur setelah Kabupaten banyuwangi, dan perkembangan permukiman penduduk
masih banyak yang terisolir dari infrastruktur penerangan PLN, serta memiliki
fungsi hutan lindung dan penjagaan sumberdaya air bersih bagi kehidupan
masyarakat luas maka, pengembangan anergi terbarukan yang ramah lingkungan
sebagai anergi alternative yang menjangkau kawasan terpencil penting untuk
dilakukan. Pada kesempatan penelitian kali ini, yang menjadi tema adalah
pemetaan potensi energi alternatif terbarukan yang ramah lingkungan di
Kabupaten Malang.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji Potensi Energi Alternatif Biogas dan
Bioelektrik menggunakan kotoran hewan sapi dan sampah dalam rangka
pengembangan energi alternatif terbarukan yang ramah lingkungan, serta dalam
rangka mendukung implementasi pengembangan Sistem Inovasi Daerah
Kabupaten Malang melalui konsep pembangunan Agro-Ekowisata di Kawasan
Ponco-Wismo-Jatu, atau iendtik dengan kawasan sub wilayah pengembangan IV
Tumpang dan hinterlandnya.

Key Words : Mikro Hidro, Biogas, Bioelektrik, Peternakan


PENDAHULUAN

Berdasarkan pembagian SWP tersebut dengan mempertimbangkan adanya


SIDa Kabupaten Malang yang berlokasi di Kawasan Ponco-Wismo-Jatu maka,
yang menjadi sampel sasaran pengembangan energi alternatif terbarukan secara
berkelanjutan dan ramah lingkungan adalah SWP IV (Tumpang dan sekitarnya),
terutama daerah Kecamatan yang memiliki potensi peternakan sapi perah dan sapi
potong dan Pusat Pengolahan Sampah Terpadu (PPST) Kecamatan
Poncokusumo.
Manfaat lain pengembangan anergi alternatif biogas dan bio-elektrik ini,
selain memiliki dampak nilai ekonomis yang cukup berarti bagi masyarakat, juga
dapat mengurangi efek rumah kaca yang disebabkan oleh energi bahan bakar
terbuat dari fosil yang selama ini telah banyak mencemari lingkungan seperti BBM
kendaraan bermotor, LPJ untuk memasak apabila semuanya terakumulasi oleh
keseluruhan masyarakat, ditambah dampak penggunaan AC gedung dan polosi
kendaraan bermotor akan mempercepat lingkungan kehidupan manusia menjadi
tercemar berdampak pada pemanasan global.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latarbelakang pemikiran di atas, agar kajian pengembangan


potensi energi alternatif kotoran hewan dan sampah menjadi biogas dan bioelektrik
dapat dibahas secara sistimatis dan kronologis melalui metode penelitian yang
jelas maka, dapat diarahkan dan difokuskan pada rumusan permasalahan
penelitian sebagai berikut:

Jurnal Hasil Penelitian Balitbang Tahun 2014 Page 26


1. Sejauhmana potensi biogas dari kotoran hewan (sapi) dikawasan SWP IV
Tumpang dan sekitarnya?
2. Sejauhmana potensi bio-elektrik dari kotoran hewan (sapi) dikasawan SWP IV
Tumpang dan sekitarnya?
3. Sejauhmana potensi biogas dari sampah di Pusat Pengolahan Sampah
Terpadu dikawasan SWP IV Tumpang dan sekitarnya?
4. Seberapa besar potensi bio-elektrik dari sampah di Pusat Pengeolahan
Sampah Terpadu dikasawan SWP IV Tumpang dan sekitarnya? Dan
5. Bagaimana dampak pemanfatan bio-gas dan bio-elektrik terhadap nilai tambah
sosial ekonomi masyarakat?

Tujuan Penelitian
Sesuai rumusan permasalahan penelitian di atas maka, yang menjadi tujuan
penelitian ini adalah:
1. Mengidentifikasi potensi bio-gas dari kotoran hewan (sapi) dikasawan SWP IV
Tumpang dan sekitarnya.
2. Mengidentifikasi potensi bio-elektrik dari kotoran hewan (sapi) dikasawan SWP
IV Tumpang dan sekitarnya.
3. Mengidentifikasi potensi bio-gas dari sampah di Pusat Pengeolahan Sampah
Terpadu dikasawan SWP IV Tumpang dan sekitarnya.
4. Mengidentifikasi seberapa besar potensi bio-elektrik dari sampah di Pusat
Pengeolahan Sampah Terpadu dikasawan SWP IV Tumpang dan sekitarnya.
5. Untuk melihat dampak pemanfatan bio-gas dan bio-elektrik terhadap nilai
tambah sosial ekonomi masyarakat?

Sasaran
Sasaran yang hendak dicapai dalam pelaksanaan kegiatan identifikasi
Potensi Bio-gas dan Bio-elektrik menggunakan Kotoran hewan dan sampah di
SWP IV Tumpang ini adalah tersusunnya laporan identifikasi Potensi Bio-gas dan
Bio-elektrik yang dapat digunakan sebagai bahan acuan, pedoman dalam
penyusunan dokumen pengembangan energi alternatif terbarukan yang ramah
lingkungan untuk dapat dikembangkan di SWP lainnya di Kabupaten Malang, dan
siap untuk dijadikan dasar pengembangan dan implementasi teknologi tepat guna
bio-gas dan bio-elektrik sebagai energi alternatif terbarukan yang berkelanjutan.

Ruang Lingkup Penelitian

Lingkup kajian dalam kegiatan identifikasi Potensi Energi Alternatif


Terbarukan yang ramah lingkungan ini dibatasi pada identifikasi potensi Bio-gas
dan Bio-Elektrik dari kotoran sapi dan sampah di PPST Poncokusumo dan
peternakan yang ada di SWP IV Tumpang dan sekitarnya atau dalam rangka
mendukung implementasi Sistem Inovasi Daerah (SIDa) Kabupaten Malang
dengan tema Agro-Ekowisata Ponco-Wismo-Jatu. Adapun lingkup yang dibahas
secara rinci meliputi:
a. Identifikasi Potensi Biogas dan Bio-Elektrik dari Kotoran Sapi Perah dan Sapi
Potong di SWP IV Tumpang dan sekitarnya.
b. Identifikasi Potensi Bio-gas dan Bio-Elektrik dari Sampah Rumah Tangga yang
ada pada Pusat Pengolahan Sampah Terpadu Poncokusumo Kabupaten
Malang.

Jurnal Hasil Penelitian Balitbang Tahun 2014 Page 27


Lokasi
Kegiatan identifikasi Potensi Energi Alternatif Tebarukan yang Ramah
Lingkungan Kawasan menggunakan Kotoran Sapi dan Sampah ini diarahkan pada
SWP IV Tumpang dan sekitarnya atau dalam rangka mendukung SIDa Agro
Ekowisata “Ponco-Wismo-Jatu” yang dikembangkan menggunakan tiga klaster
yaitu klaster sapi perah, klaster buah-buahan dan sayuran dan klaster industri
olahan makanan dan minuman serta kerajinan rakyat.

Metode Penelitian
Metode yang digunakan disesuaikan dengan tahapan dan lingkup pekerjaan
dan tugas-tugas yang akan dilaksanakan yaitu, mulai mengidentifikasi jumlah
ternak dan jumlah kotoran sapi yang dihasilkan dimasing-masing desa dalam satu
kecamatan meliputi Kawasan Kecamatan Poncokusumo, Wajak, Pakis, Jabung dan
Kecamatan Tumpang (Ponco-Wismo-Jatu) Kabupaten Malang, kemudian dilakukan
analisis hitungan potensi biogas dan bioelektrik yang akan dihasilkan dari potensi
limbah tersebut.

KESIMPULAN
Pengembangan biogas dan bioelektrik di Kabupaten Malang telah
berkembang sejak lama, berdasarkan pembahasan hasil penelitian, dapat
disimpulkan beberapa poin penting terkait dengan hasil identifikasi potensi biogas
dan bioelektrik di Kabupaten Malang yaitu:
1. Berdasarkan identifikasi potensi biogas dan bioelektrik di
lima kecamatan di kawasan Ponco-Wismo-Jatu (Poncokusumo, Wajak, Pakis,
Bromo, Jabung dan Tumpang), menunjukkan bahwa potensi biogas dan
bioelektrik memeiliki potensi yang cukup besar yang menyebar diseluruh
kecamatan. Dan model peternakan secara mayoritas bersifat tradisional untuk
masing-masing Kepala Keluarga, hal ini secara linier jumlah penduduk yang
semakin besar diikuti jumlah ternak yang semakin besar pula. Artinya
peternakan menyebar untuk sebagian besar penduduk.
2. Hasil pemetaan potensi biogas dan bioelektrik ini dapat
dijadikan dasar penentuan penerapan teknologi biogas dan bioelektrik untuk
mendukung efisiensi dan produktifitas peternakan dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
3. Berdasarkan karakteristik sosial budaya masyarakat, di
lima kecamatan yang menjadi sasaran penelitian ini, memiliki budaya peternak
yang cukup merata dimasing-masing Kecamatan, dengan demikian bagi
pemerintah dapat dijadikan strategi kebijakan pembangunan di bidang
peternakan, dengan meningkatkan fasilitas infrastruktur jalan dan irigasi untuk
menjangkau daerah-daerah terpencil diluar jangkauan masyarakat.
4. Kondisi potensi biogas dan bioelektrik dari tempat
pengolahan sampah akhir di TPA Paras Poncokusumo, cukup memiliki potensi
yang besar untuk menghasilkan biogas dan kompos, dalam kerangka peduli
terhadap pelestarian lingkungan.
5. Kondisi Biogas dan bioelektrik selain untuk
mensejahterakan masyarakat, juga dapat didesain sebagai atraksi wisata
pendidikan, disinergikan dengan pertanian organic dan TPA Hijau, serta
menanggulangi pencemaran lingkungan.

Jurnal Hasil Penelitian Balitbang Tahun 2014 Page 28


SARAN / REKOMENDASI KEBIJAKAN

Hasil penelitian ini dapat ditinjak lanjuti dengan pengembangan infrastruktur


jalan, dan irigasi serta transportasi dalam mendukung optimalisasi hasil-hasil
peternakan sampai ke industry olahan di Kabupaten Probolinggo.

1. TPA Paras Kecamatan Poncokusumo perlu dikembangkan Bank Sampah dan


pembangkit listrik tenaga biogas utamanya untuk penerangan jalan
disekitarnya serta Rumah Tangga sekitar, dengan system biodigester yang
dimodifikasi dengan pompa dan pengembangan biogas untuk kompor gas
dalam meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat.
2. Pembuatan TPA Hijau sebagai wisata edukasi, dan pembuatan kompos dari
sampah rumah tangga dalam mendukung program-program penghijauan dan
kelangkaan pupuk organic.
3. Dibutuhkan penataan infrastruktur jalan dan irigasi teknis serta transportasi
dalam mendukung peternakan dan pertanian masyarakat dengan kombinasi
biogas dalam rangka pengoptimalan lahan menganggur sebagai penghasil
pakan ternak.
4. Pembinaan model peternakan maju dalam kerangka klaster peternakan sapi
perah beraliansi dengan para peternak besar, para peneliti ilmu pengetahuan
dan teknologi bidang peternakan, dan pengembangan model peternakan inti
dan plasma, dalam meningkatkan minat masyarakat terhadap dunia
peternakan
5. Pengembangan biogas dan bioelektrik system komunal untuk kawasan
kawasan strategis dibidang peternakan serta sinergi hasi pertanian,
peternakan, dan biogas sebaiknya dikembangkan dalam rangka meningkatkan
kapasitas usaha dan kesejahteraan masyarakat dan peduli lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA

Aldrich, R.J., (1984). Weed Crop Ecology: Principles in Weed Management Breton
Publiser North Scituate. P. 464.
Didik, 2011, Penentuan Bio-Elektrik menggunakan system bio-digester studi di TPA
Kota Semarang
Eko, Didik, Budi Santoso dan Gunawan, (2011), Studi Perencanaan Pembangkit
Listrik Tenaga Sampah Dengan Teknologi Dry Anaerobic Convertion,
Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi ke-2, Fakultas Teknik
Universitas Wahid Hasyim Semarang.
Gibson G. Taroreh (2010), Pemanfaatan Limbah Bio Gas Sebagai Substitusi
Pupuk Pada Tanaman Kedelai Di Kabupaten Bolaang Mongondow, Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Utara, Jl Kampus
Pertanian Kalasey, Seminar Regional Inovasi Teknologi Pertanian,
mendukung Program Pembangunan Pertanian Propinsi Sulawesi Utara.
Muhamad Umar Dani (2009), Menyelesaikan Krisis Listrik, Sampah, Dan
Penerangan Dalam Sebuah Solusi. 28 Sep 2010
Nugroho, Eko, (2011), Status Sosial Ekonomi Peternak Sapi Perah Di Kecamatan
Poncokusumo Kabupaten Malang, J. Ternak Tropika Vol. 12, No.2: 47-51.
Sitompul, S.M. dan B. Guritno, 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta.

Jurnal Hasil Penelitian Balitbang Tahun 2014 Page 29


Adam Smith (1776), "An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of
Nations", Invisible Hand. Ditulis oleh Helen Joyce, is one of the assistant
editors on Plus magazine. Submitted by plusadmin on March 1, 2001,
Undang-Undang No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang adalah 20 tahun
dengan tahapan perencanaan tiap 5 tahun; (2) Undang-Undang Otonomi
Daerah No 32 Tahun 2004, tentang penyelenggaraan pemerintahan dan
program-program pembangunan bertumpu pada kreativitas para
pengambil kebijakan daerah masing-masing;
Peraturan Bersama Menteri Negara Riset dan Teknologi dan Menteri Dalam Negeri
Nomor 03 Tahun 2012 dan Nomor 36 Tahun 2012 tentang Penguatan
Sistem Inovasi Daerah yang saat ini sedang berlangsung diberbagai
daerah.
RPJMD KAB MALANG Tahun 2010 – 2015 (Slogan Promosi Daerah Kabupaten
Malang: Menjadikan Kabupaten Malang sebagai Bumi Agrowisata
terkemuka di Jawa Timur), dan
MoU antara Pemerintah Kabupaten Malang dengan BPPT tanggal 17 Januari 2012
Nomor: 119/351/421.022/2012 dan Nomor: 05/KB/BPPT-Pemkab.
Malang/01/2012 tentang Pengkajian, Penerapan dan Pemasyarakatan
Teknologi untuk mendukung pembangunan daerah Kabupaten Malang
Provinsi Jawa Timur.
Meckling, William H. and Michael C. Jensen, (2002), Theory of the firm: Managerial
behavior, agency costs and ownership structure, Journal of Financial
Economics, October, 1976, V. 3, No. 4, pp. 305-360.
Mulyadi, Dedi (2013), Peningkatan Daya Saing Industri Daerah Melalui
Pengembangan Pusat-Pusat Pertumbuhan Industri, Direktorat Jenderal
Pengembangan Perwilayahan Industri, Disampaikan pada Rapat Kerja
Kementerian Perindustrian Jakarta, 22 Mei 2013, hlm.5-20.
Perda Kabupaten Malang No. 2 Tahun 2011 tentang, Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Daerah Kabupaten Malang Tahun 2010-2015.
Ida Nuraini, (2007), Analisis Potensi Sektor Industri Manufaktur Di Kabupaten
Malang,

Jurnal Hasil Penelitian Balitbang Tahun 2014 Page 30


STUDI PERSEPSI PUBLIK TENTANG IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
JAMINAN KESEHATAN MELALUI BPJS DI KABUPATEN MALANG
TAHUN 2014

Abstraksi
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) hakekatnya adalah program
negara yang dimaksudkan untuk menjamin kepastian perlindungan sosial bagi
seluruh warganegara. Program ini memiliki tujuan bahwa seluruh rakyat Indonesia
dapat menunaikan kebutuhan dasar hidup yang layak. Dengan jaminan ini
diharapkan siapapun warga di negeri ini akan mendapatkan jaminan resiko
pembiayaan pada saat sakit, tertimpa musibah kecelakaan, kehilangan pekerjaan,
memasuki usia lanjut atau pensiun.
Sistem Jaminan Sosial Nasional meliputi jaminan kesehatan, jaminan
kecelakaan kerja, jaminan pensiun, jaminan hari tua dan jaminan kematian bagi
seluruh penduduk melalui iuran wajib peserta. Program-program jaminan sosial
tersebut diselenggarakan oleh beberapa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
Badan Penyelenggara ini merupakan transformasi dari Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial yang sekarang telah berjalan dan dimungkinkan membentuk
badan penyelenggara baru sesuai dengan dinamika perkembangan jaminan
sosial. Untuk kelompok buruh dan karyawan mereka mendapatkan pertanggungan
dengan cara menjadi anggota JAMSOSTEK (Jaminan Sosial Tenaga Kerja).
Sementara itu bagi TNI-Polri mereka mendapatkan jaminan melalui ASABRI
(Asuransi Sosial ABRI). Adapun bagi pegawai negeri mereka bisa mendapatkan
jaminan sosial melalui ASKES (Asuransi Kesehatan) dan TASPEN (Dana
Tabungan Sosial Pewagai Negeri).

Key Words : Jaminan Kesehatan, Implementasi, Persepsi Publik

PENDAHULUAN
Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, maka sistem jaminan sosial termasuk
dibidang kesehatan akan diintegrasikan menjadi satu melalui Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Undang-Undang ini merupakan
pelaksanaan dari Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang mengamanatkan
pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan transformasi
kelembagaan PT Askes (Persero), PT Jamsostek (Persero), PT TASPEN (Persero)
dan PT ASABRI (Persero) menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
Transformasi tersebut diikuti adanya pengalihan peserta, program, aset dan
liabilitas, pegawai serta hak dan kewajiban. Undang-Undang ini membentuk 2
(dua) BPJS yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan
menyelenggarakan program jaminan kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan
menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan
pensiun dan jaminan kematian. Terbentuknya dua BPJS ini diharapkan secara
bertahap akan memperluas jangkauan kepesertaan progam jaminan sosial.
Terintergrasinya sistem jaminan sosial ini tentu saja tidak bisa diwujudkan
secara langsung. Pemerintah menyadari betul bahwa perlu proses bertahap dan
gradual dalam menunaikan kebijakan ini. Proses intergrasi dan manajemen
kepesertaan yang membutuhkan waktu, sistem ini juga memerlukan kesiapan
infrastuktur, perangkat kebijakan daerah, SDM. Itulah mengapa penerapan sistem
ini juga perlu mendapatkan masukan dari semua pihak, terutama publik sebagai

Jurnal Hasil Penelitian Balitbang Tahun 2014 Page 31


demand side dari kebijakan ini. Melalui polling, riset, serap aspirasi dan
sebagainya secara periodik, tentunya penerapan sistem BPJS di tahun pertama ini
akan menjadi momentum bagi perbaikan sistem ini di masa mendatang,

Rumusan Masalah

Tahun 2014 merupakan tahun pertama impelemntasi BPJS di Kabupaten


Malang. Studi ini dilakukan untuk menganalisis bagaimana implementasi Jaminan
Sosial khususnya di bidang kesehatan (BPJS Kesehatan) di Kabupaten Malang.
Beberapa rumusan masalah tersebut melingkupi :
a. Bagaimana implementasi kebijakan JKN-BPJS melalui perangkat regulasi
daerah di Kabupayen Malang dan Bagaimana kondisi faktual ketersediaan
prasarana, tenaga medis, dan kesiapan produk/program layanan bagi pengguna
BPJS?
b. Bagaimana pemahaman, pesepsi masyarakat tentang BPJS, serta bagaimana
tingkat kepuasan masyarakat pengguna BPJS?
c. Bagaimana masukan dari masyarakat berkenaan dengan implementasi
Kebijakan BPJS di Kabupaten Malang?

Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui impelentasi pelaksanaan jaminan kesehatan oleh BPJS di
Kabupaten Malang di tahun 2014
2. Mengukur dan mendapatkan gambaran tentang tingkat kepuasan masyarakat
terhadap layanan kesehatan dan rekomendasi publik untuk perbaikan kualitas
layanan kesehatan khususnya bagi masyarakat miskin di Kabupaten Malang.
3. Untuk merumuskan rekomendasi kebijakan bagi perbaikan pelaksanaan
sistem BPJS di Kabupaten Malang di masa mendatang.

Hasil Yang Diharapkan


Dari penelitian ini, diharapkan ada hasil yang memuat berbagai konfirmasi
instrumen penelitian dengan kondisi riil melalui serangkaian pengumpulan data
dan temuan-temuan spesifik di lokasi penelitian. Hasil-hasil tersebut meliputi:
1. Gambaran pelaksanaan layanan kesehatan BPJS di Kabupaten Malang 2014
2. Tingkat kepuasan masyarakat miskin berkenaan dengan hak kesehatan yang
sudah seharusnya mereka terima berikut rekomendasi penelitian
3. Rumusan rekomendasi

Ruang Lingkup Penelitian


Adapun Ruang Lingkup di Kabupaten Malang adalah
a) Gambaran umum Implementasi BPJS Kesehatan di Kabupaten Malang
b) Persepsi publik dan kepuasan publik tentang layanan BPJS
c) Rumusan rekomendasi atas implementasi BPJS di Kabupaten Malang

Metode Penelitian
Studi ini merupakan jenis penelitian bertajuk evaluasi kebijakan berbasis
persepsi masyarakat. Dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan
gambaran tentang Implementasi BPJS kesehatan di Kabupaten Malang sekaligus
penilaian dan rekomendasi dari publik tentang jaminan kesehatan melalui BPJS.
Studi ini menggunakan pendekatan riset kuantitatif. Riset dilakukan dengan
menggunakan metode survei dengan metode stratified random sampling.
Penelitian ini menggunakan 2 (dua) kategori data, yakni data penelitian dan

Jurnal Hasil Penelitian Balitbang Tahun 2014 Page 32


dokumentasi. Mengingat penelitian ini bertajuk studi persepsi publik, maka data
utama adalah data survei berjenis data kuantitatif yang digali melalui instruman
survei (kuesioner). Informan dari survei ini berjumlah 900 orang yang diambil
secara acak yang tersebar di 33 Kecamatan di Kabupaten Malang.
Adapun data dokumentasi berperan sebagai data pembanding dan bersifat
konfirmatif. Data tersebut seperti profil kesehatan Kabupaten Malang, data
demografi, data kepesertaan JKN di Kabupaten Malang, anggaran kesehatan, data
pengguna layanan kesehatan dan sebagainya.

Populasi dan Sampling


Populasi dalam penelitian ini melingkupi seluruh penduduk Kabupaten
Malang usia dewasa yang berhak mendapatkan jaminan kesehatan. Data yang
digunakan sebagai populasi merujuk kepada Data Kabupaten Malang Dalam
Angka edisi terbaru. Jumlah sampel dalam penelitian ini mencakup 900 responden
yang tersebar acak di 33 Kecamatan di Kabupaten Malang. Penentuan sampel
dilakukan dengan menerapkan prinsip proporsionalitas.

KESIMPULAN
1. Secara Umum, implementasi BPJS di Kabupaten Malang Sudah berjalan dan
mendapatkan respon yang baik dari publik
2. Publik masih merasa sosialisasi BPJS ke bawah masih kurang. Selama ini
sosialisasi bertumpu pada Dinkes dan unit-unit Jasa Pelayanan Kesehatan
(JPK). Sosialisasi ke bawah oleh BPJS Malang sendiri masih minim.
3. Meski demikian, progress peserta BPJS Mandiri terus meningkat, khususnya
bagi mereka yang yang tiba-tiba sakit dan menginginkan keringanan biaya

SARAN
1. Perlu melakukan sosialisasi secara masif karena Potensi partisipasi publik
masih cukup besar. Sosialisasi tersebut perlu dilakukan dengan turun ke
bawah, melalu forum-forum formal maupun informal, misalnya dengan
memanfaatkan forum-forum warga dan majlis taklim yang sudah ada di
masyarakat
2. Perlu ada transparansi dalam pengelolaan Dana Kapitasi demi mendapatkan
kepercayaan publik terhadap pelayanan kesehatan di tingkat Puskesmas
3. Perlu segera mempersiapan sosialisasi terkait penyesuaian BPJS dengan
program KIS (Kartu Indonesia Sehat)

DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 1989. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta
: Bina aksara
Bessant, Judith, Rob Watts, Tony Dalton dan Paul Smith (2006), ”Talking Policy:
How Social Policy in Made”, Crows Nest: Allen and Unwin
Benda-Beckmann, F.v. and Benda-Beckmann, K.v. 1994. "Coping with insecurity",
Focaal, 22(23): 7-31.
Benda-Beckmann, F.v. & Benda-Beckmann, K.v. 1995. "Ruralpopulation, social
security and legal pluralism in the central moluccas of Eastern Indonesia",
in Dixon, J. & Scheurell, R.P. eds., Social security programs: a cross-
cultural comparative perspective. London: Greenwood Press.
Benda-Beckmann, F.v., et al. 1988. “Between kinship and The State”. Dordrech:
Foris Publications.Engbersen, G. et al. 1993. Cultures of unemployment.
Boulder: Westview Press.

Jurnal Hasil Penelitian Balitbang Tahun 2014 Page 33


Bungin, Burhan. 2005. Metodologi Penelitian Kuantitatif : Komukasi, Ekonomi, dan
Kebijakan Publik Serta Ilmu-Ilmu Sosial Lainnya.. Jakarta : Kencana.
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta:Balai Pustaka.
Esmara, A. and Tjiptoherianto, P. 1986. "The social security system in Indonesia",
Asean Economic Bulletin (special issue), July, 53-67.
Evers, H.D and Mehmet, O. 1994. "The management of risk: Informa l trade in
Indonesia", World Development, 22(1): 1-9.
Effendi, Onong Uchyana. 1992. Spectrum Komunikasi. Bandung: Mandar Maju.
Faturochman. 1996a. "The social security mechanism in informal sector: a case of
home-based enterprise", a paper presented in the workshop of Social
Security and Social Policy, conducted by University of Amsterdam and
Catholic University of
Harris, John (1999), “State Social Work and Social Citizenship in Britain: From
Clientelism to Consumerism” dalam The British Journal of Social Work,
Vol.29, No.6, halaman 915-937
Kemenkes. 2013, “Buku Pegangan Sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional”, Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia
Midgley, James, Martin B. Tracy dan Michelle Livermore (2000), “Introduction:
Social Policy and Social Welfare” dalam James Midgley, Martin B. Tracy
dan Michelle Livermore (ed), The Handbook of Social Policy, London:
Sage, halaman xi-xv
Singarimbun, Masri dan Sofian Efendi. 1995. Metode Penelitian Survai. Jakarta :
LP3ES.
Soekanto, Soerjono. 1985. Kamus Sosiologi. Jakarta : Rajawali Press.
Spicker, Paul (1995), ”Social Policy: Themes and Approaches”, London: Prentice
Hall
Spicker, Paul (2002), ”Poverty and the Welfare State: Dispelling the Myths”,
London: Catalyst
Stephens, John D. (1997), “The Scandinavian Welfare States: Achievements,
Crisis, and Prospects” dalam Gosta Esping-Andersen (ed), Welfare
States in Transition: National Adaptations in Global Economics, halaman
32-65
Suharto, Edi (2005a), ”Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian
Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial”,
Bandung: Refika Aditama
Suharto, Edi, 2006. “Teori Feminis dan Social Work”, makalah yang disampaikan
pada Workshop on Feminist Theory and Social Work, Pusat Studi
Wanita)
Wagito, Bimo, 1985. Psikologi Suatu Pengantar, Andi Offsed, Jakarta

Jurnal Hasil Penelitian Balitbang Tahun 2014 Page 34


SURVEY KEPUASAN PUBLIK TENTANG CAPAIAN
PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR
DI KABUPATEN MALANG 2014

Abstraksi

Sektor infrastruktur adalah sektor pembangunan yang paling mudah untuk


dilihat dan dinilai sebagai output pembangunan. Meskipun ukuran pembangunan
tidak melulu urusan “pembangunan fisik”, namun capaian pembangunan
infrastruktur dan fasilitas umum menjadi indikator keberhasilan pembangunan.
Yang sering dijadikan alasan mendasar dalam APBN adalah bahwa adanya
keterbatasan dana (budget constrains) pada satu sisi, sementara pada sisi lain
pemerintah berkewajiban untuk menangani berbagai isu strategis, terutama yang
terkait dengan pengangguran, kemiskinan, pertumbuhan ekonomi yang
berkeadilan, kesenjangan, serta konservasi lingkungan yang seolah-olah mutlak
menjadi tanggungjawab pemerintah. Oleh karena itu, Pemerintah harus mampu
menciptakan belanja negara yang berkualitas dengan berupaya secara konsisten
mengarahkan sumber daya yang terbatas agar dapat digunakan secara terukur,
efektif dan efisien untuk mencapai target yang ditetapkan.
Untuk menjaga dan meningkatkan kualitas belanja negara tersebut
Pemerintah harus mendorong terpenuhinya aspek efisiensi dan efektivitas dalam
seluruh tahapan penyusunan APBN, yaitu mulai tahap perencanaan,
penganggaran, pelaksanaan, hingga tahap pelaporan. Sementara itu, untuk
mewujudkan hal tersebut perlu didukung sebuah alat (tool) analisis yang mampu
menghasilkan output yang objektif dan kredibel, serta dapat menjangkau seluruh
tahapan penyusunan APBN.
Adapun Penelitian ini merupakan salah satu upaya memperkuat pastisipasi
publik dalam pembangunan. Dengan menfokuskan pada sector infrastrukrur di
Kabupaten Malang, penelitian ini diharapkan bisa memberikan gambaran tentang
kondisi faktual pembangunan. Selain itu, penelitian ini juga dilakukan dalam
rangka untuk melihat persepsi masyarakat terkait dengan pembangunan
infrastruktur di Kabupaten Malang tahun 2014 ini. Pesespsi tersebut secara umum
akan mengarah pada dua indikator utama, yakni kepuasan publik dan aspirasi
publik.

Key Words : Kepuasan Publik, Aspirasi Publik, Infrastruktur

PENDAHULUAN
Pengesahan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2014 menunjukkan
komitmen negara untuk memberdayakan desa. Hal ini dapat dibuktikan dengan
alokasi anggaran dari APBN ke desa. Kebijakan ini tertuang dalam pasal 71, setiap
desa akan menerima dana dari APBN sebesar sepuluh persen dari dana
perimbangan yang diterima dari kabupaten/Kota setelah dikurangi dana alokasi
khusus (DAK).
Desa menghadapi banyak masalah, seperti kemiskinan, derajat kesehatan
dan pendidikan masyarakat yang rendah, pengangguran yang tinggi, rendahnya
kapasitas administrasi pemerintahan, kerusakan infrastruktur dll. Penambahan
anggaran desa yang signifikan diharapkan dapat menyelesaikan masalah-masalah
tersebut sesuai dengan prioritas perencanaan yang dilakukan oleh desa secara
mandiri. Konsekuensi dari penyerahan dan pendelegasian pengelolaan keuangan
harus diikuti dengan kesiapan kapasitas pemerintah dan masyarakat desa,

Jurnal Hasil Penelitian Balitbang Tahun 2014 Page 35


sehingga dana dapat dikelola secara maksimal untuk kesejahteraan masyarakat
secara akuntabel, transparan, efektif dan efisien.
Berdasarkan latar belakang dan urgensi tersebut, kajian ini bertujuan untuk
menganalisis kondisi yang ada dalam pelaksanaan pemerintahan desa di
Kabupaten Malang dan mencoba untuk menemukan fakta-fakta tentang kesiapan
desa dalam menghadapi otonomi yang lebih luas dan pertambahan anggaran yang
signifikan.

Tujuan Penelitian
Berdasarkan paparan yang disampaikan di latar belakang, maka tujuan yang
akan dicapai dalam kajian ini adalah untuk mengetahui kesiapan, Kapasitas dan
tata kelola pemerintahan desa di Kabupaten Malang dalam rangka
mempersiapkan Implementasi UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, dengan
rincian sebagai berikut :
1. Menganalisis dan mendeskripsikan kesiapan kapasitas sumber daya manusia
aparatur desa dalam menghadapi implementasi UU Nomor 6 Tahun 2014
tentang Desa?
2. Menganalisis dan mendeskripsikan kesiapan kapasitas organisasi desa dalam
menghadapi implementasi UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa?
3. Menganalisis dan mendeskripsikan kesiapan kapasitas dimensi sistem desa
dalam menghadapi implementasi UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa?
4. Menganalisis dan mendeskripsikan pelaksanaan tata kelola pemerintahan
desa?

HASIL PENELITIAN
Pada aspek kapasitas sumber daya manusia aparatur desa, beberapa hal
yang telah menjadi nilai positif desa-desa di Kabupaten Malang menjelang
implementasi Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa diantaranya
adalah : sudah banyak desa yang telah mendapatkan sosialisasi mengenai UU
Desa, desa sudah mempersiapkan diri dengan berbagai cara dan upaya masing-
masing, motivasi aparat desa untuk meningkatkan kemampuan yang tinggi.
Namun demikian dalam aspek ini terdapat beberapa titik lemah yang harus segera
ditindaklanjuti diantaranya adalah : belum diketahuinya rincian hak dan
kewenangan yang diamanatkan oleh UU Desa.
Pada dimensi organisasi, beberapa temuan positif yang mendukung
pengembangan desa adalah : terpenuhinya berbagai dokumen yang wajib dimiliki
desa dan sistem pengambilan keputusan melalui musyawarah yang masih
terpelihara. Adapun temuan yang kurang baik dalam dimensi ini diantaranya
adalah: belum banyak desa yang memiliki berbagai SOP penyelenggaraan
pemerintahan desa, hanya sebagian kecil desa yang memiliki BUMDes, kondisi
BUMDes yang tidak berjalan dengan baik (merugi) serta lemahnya keterbukaan
informasi keuangan dan kebijakan desa.
Pada aspek dimensi sistem baik sistem internal maupun eksternal
ditemukan dukungan lingkungan yang positif, dukungan dalam bentuk keterlibatan
berbagai kelompok masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan cukup
tinggi, keaktifan berbagai kelompok di bidang masing-masing juga tinggi serta
regulasi pemerintah kabupaten yang dinilai oleh masyarakat maupun aparat desa
tidak menghambat bahkan sangat mendukung proses pembangunan desa.
Penilaian masyarakat terhadap kinerja tata kelola pemerintahan desa yang
bernilai positif diantaranya adalah: ketanggapan, ketepatan waktu aparat desa,
kesiap-sediaan melayani dalam kurun waktu 24 jam, keadilan pelayanan, peran

Jurnal Hasil Penelitian Balitbang Tahun 2014 Page 36


pemerintah desa dalam menjembatani keberagaman aspirasi masyarakat,
pemanfaatan sumber daya yang dimiliki secara efektif dan efisien, berjalannya
berbagai layanan yang dinilai memuaskan bagi masyarakat, dukungan positif
pemerintah desa terhadap berbagai kelompok masyarakat desa, peran BPD yang
cukup signifikan dalam mempengaruhi berbagai kebijakan desa, demokrasi dan
stabilitas politik desa yang kondusif, keterbukaan ruang publik bagi masyarakat
untuk menyampaikan pendapat dan kerjasama yang baik antar pemerintah desa
dengan pihak-pihak lainnya.
Adapun temuan negatif dari kinerja tata kelola pemerintahan desa adalah:
sebagian besar pemerintah desa dinilai tidak memiliki visi strategis, visi dan misi
desa hanya dijadikan sebagai kelengkapan dalam dokumen RPJMDes saja,
pelibatan masyarakat dalam berbagai musyawarah desa jarang dilakukan oleh
pemerintah desa. Sejalan dengan hal tersebut keterbukaan informasi baik yang
berkaitan dengan keuangan maupun kebijakan masih sangat rendah. Sebagian
besar desa tidak menyampaikan laporan pertanggungjawaban kinerja kepada
masyarakat, masih banyak desa yang tidak memiliki aturan tertulis mengenai
ketertiban dan keamanan serta kelestarian lingkungan.

REKOMENDASI
Untuk menguatkan kapasitas desa dalam menghadapi implementasi
Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa perlu memanfaatkan hal-hal
positif yang sudah dimiliki desa dalam mengatasi beberapa masalah negatif.
Beberapa rekomendasi dari penelitian ini adalah:
1. Pemerintah desa masih perlu diberikan pemahaman (sosialisasi) yang lebih
terperinci mengenai rincian hak dan kewajiban yang diamanatkan oleh
Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. Selain itu perlu
peningkatan kemampuan di bidang teknologi informasi dan legal drafting,
2. Pemerintah kabupaten melalui Bagian Tata Pemerintahan Desa hendaknya
membuat aturan yang mensyaratkan pelibatan berbagai unsur masyarakat
dalam forum-forum, musyawarah dan pengambilan keputusan desa,
3. Pemerintah kabupaten melalui Bagian Tata Pemerintahan Desa perlu
mendorong agar desa memiliki Standar Operasional Prosedur, informasi
pelayanan publik desa yang mudah diakses oleh masyarakat dan indeks
kepuasan masyarakat desa dengan cara memberikan pelatihan dan regulasi
yang mewajibkannya,
4. Badan Pemberdayaan Masyarakat perlu mendidik pemerintah desa agar bisa
menggali potensi desanya sendiri sehingga dapat didorong untuk mendirikan
BUMDes sebagai salah satu sumber pendapatan desa. Diperlukan juga
pelatihan manajemen BUMDes agar tidak terjadi kerugian yang dialami
BUMDes,
5. Perlu penguatan kapasitas serta pendanaan kepada kelompok-kelompok
masyarakat yang selama ini sudah aktif di bidang masing-masing agar tumbuh
inovasi dan cakupan kegiatan yang lebih luas sehingga dukungan terhadap
pembangunan desa semakin masif,
6. Perlu revitalisasi fungsi BPD sebagai lembaga penampung dan penyalur
aspirasi masyarakat. BPD harus lebih proaktif dalam menyerap keluhan, kritik
dan saran dari masyarakat,
7. Dalam hal perencanaan dan evaluasi pembangunan, perlu adanya
peningkatan kemampuan dalam membuat perencanaan yang sustainable dan

Jurnal Hasil Penelitian Balitbang Tahun 2014 Page 37


terintegrasi karena selama ini antara visi, misi, kebijakan, program hingga
kegiatan belum tertata dengan baik. Di sisi lain perencanaan program
pembangunan dari tahun ke satu ke tahun berikutnya tidak berkelanjutan,
8. Perlu aturan yang mewajibkan mengenai keterbukaan informasi desa dengan
media informasi yang mudah diakses oleh masyarakat setiap saat.

DAFTAR PUSTAKA

Blakely, E.D. dan Ted K. Bradshaw. 2000. Planning Local Economic Development:
Theory and Practice. Thousand Oaks, CA: Sage.
Delacroix, Jacques. 1977. The Export of Raw Materials and Economic Growth: A
Cross National Study. American Sociological Review 42, 5: 795-808
Friedmann, John Planning in The Public Domain, From Knowledge to Action,
Princeton University Press, New Jersey. 1987 Lokakarya Evaluasi Sistem
Perencanaan. Makalah
Mulyana, Deddy. 1996. Ilmu Komunikasi : Suatu Pengantar, Bandung :
Remaja Rosda Karya.
Portes, Alejandro. 1976. On the Sociology of National Development: Theories and
Issues American Journal of Sociology 82: 68-74.
Robbin, Stephen P. 2001. Organization Theory: Structure, Design and Applications,
(Terjemahan Hadyana Pujaatmaka, Benyamin Molan.2006) Jakarta :
Prenhallindo.
Samsura, Adriansyah. Participatory Planning, Good Governance, dan Civil
Society”. Artikel. 9 Januari 2003.
Sudijono, Anas, 1987, Pengantar Statistik Pendidikan, Jakarta: Rajawali Pers.

Jurnal Hasil Penelitian Balitbang Tahun 2014 Page 38


KAJIAN TENTANG PEMANFAATAN POTENSI SUMBER DAYA
ALAM TERHADAP PENINGKATAN PAD DI KABUPATEN MALANG

(Studi Kasus Tentang Optimalisasi Potensi Ekonomi Kawasan


Sebagai Pendorong Peningkatan Perekonomian Masyarakat Desa
Ngadas Kecamatan Poncokusumo Untuk Mendukung
Pelaksanaan Sida) Tahun 2014

Abstraksi
Pembangunan ekonomi masyarakat desa merupakan salah satu pilar
pembangunan nasional dalam upaya pengentasan kemiskinan dan mendorong
pertumbuhan pendapatan ekonomi masyarakat desa. Berbagai data dan fakta
benyak menyatakan bahwa kantong-kantong kemiskinan banya tersebar di daerah
perdesaan. Dengan pembangunan dan pemerataan perekonomian di desa
diharapkan dapat mengatasi permasalahan yang dihadapi pemerintah terutama
mengurangi angka kemiskinan, pengangguran dan berbagai masalah sosial
lainnya.
Untuk mewujudkan itu semua, maka program pengembangan ekonomi
masyarakat akan secara konsisten diarahkan kepada pola pengembangan dan
pengelolaan sumberdaya yang meliputi: (1) Sumberdaya alam; (2) Sumberdaya
Manusia (SDM); serta (3) Sumberdaya Ekonomi (SDE) yang dikelola secara
mandiri, terpadu dan berkelanjutan.
Desa Ngadas yang berada di wilayah administratif Kecamatan
Poncokusumo Kabupaten Malang memiliki cukup banyak potensi sumberdaya,
baik sumberdaya alam, sumberdaya manusia (SDM), dan sumberdaya ekonomi
(SDE). Selain sektor pertanian, sektor unggulan lain yang dapat dikembangkan
adalah sektor pariwisata. Berdasarkan letak geografis yang berada di kawasan
Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS), Desa Ngadas memiliki
keunikan dari segi budaya dan panorama alam yang dapat diangkat sebagai paket
sebuah wisata.

Key Words : Potensi Daerah, SIDa

PENDAHULUAN
Besarnya potensi sumberdaya alam yang dimiliki Kabupaten Malang, dalam
kenyataannya belum diikuti dengan terjaminnya kesejahteraan masyarakatnya.
Berdasarkan Data BPS, jumlah rumah tangga miskin pada sebesar 155.745 KK
atau 610.605 jiwa (24,95%) dari total jumlah penduduk 2.447.051 jiwa dengan
jumlah pengangguran sebesar 59.000 jiwa (2,41%). Dari data kemiskinan tersebut
sebagian besar penduduk miskin berada di wilayah perdesaan yang
menggantungkan hidupnya pada pemanfaatan sumberdaya alam dalam kegiatan
ekonominya sebagai petani.
Program pengembangan ekonomi masyarakat akan secara konsisten
diarahkan kepada pola pengembangan dan pengelolaan sumberdaya yang
meliputi: (1) Sumberdaya alam; (2) Sumberdaya Manusia (SDM); serta (3)
Sumberdaya Ekonomi (SDE) yang dikelola secara mandiri, terpadu dan
berkelanjutan. Tiga variabel dalam pengembangan ekonomi yang dipersyaratkan
tersebut, akan memberi kontribusi besar dalam merumuskan rencana strategis
pengembangan ekonomi, sedapat mungkin menumbuhkembangkan
pengintegrasian kerjasama SDM antar desa, kelurahan, atau kecamatan secara

Jurnal Hasil Penelitian Balitbang Tahun 2014 Page 39


berkeseimbangan (proporsional ability) dalam mengolah seluruh sumberdaya yang
melibatkan segenap pelaku pembangunan (stakeholders).
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, dalam penelitian ini
di rumuskan permasalahan sebagai berikut.
a. Bagaimana mengidentifikasi faktor-faktor pendukung pengembangan ekonomi
di Desa Ngadas?
b. Bagaimana mengidentifikasi faktor-faktor penghambat pengembangan
ekonomi di Desa Ngadas?
c. Bagaimana mengidentifikasi faktor-faktor peluang pengembangan ekonomi di
Desa Ngadas?
d. Bagaimana mengidentifikasi faktor-faktor tantangan pengembangan ekonomi
di Desa Ngadas?
e. Bagaimana mengidentifikasi produk-produk unggulan Desa Ngadas sebagai
desa wisata yang berbasis pertanian dan budaya?
f. Bagaimana pengembangan Model Pembangunan Ekonomi di Desa Ngadas?

Tujuan Penelitian
Sesuai permasalahan di atas, agar penelitian ini dapat dilaksanakan dan
dibahas secara kronologis dan terarah maka dapat ditentukan tujuan penelitian
sebagai berikut:
a. Mengidentifikasi faktor-faktor pendukung pengembangan ekonomi di Desa
Ngadas.
b. Mengidentifikasi faktor-faktor penghambat pengembangan ekonomi di Desa
Ngadas.
c. Mengidentifikasi faktor-faktor peluang pengembangan ekonomi di Desa
Ngadas.
d. Mengidentifikasi faktor-faktor tantangan pengembangan ekonomi di Desa
Ngadas.
e. Mengidentifikasi produk-produk unggulan Desa Ngadas sebagai desa wisata
yang berbasis pertanian dan budaya.
f. Pengembangan Model Pembangunan Ekonomi di Desa Ngadas.

Hasil yang Diharapkan


Kajian ini diharapkan menghasilkan tiga hal penting, yakni:
a. Dokumen data profil potensi sumber daya alam Desa Ngadas Kecamatan
Poncokusumo.
b. Teridentifikasinya permasalahan dan kebutuhan serta harapan masyarakat
desa Ngadas Kecamatan Poncokusumo dalam upaya Pengembangan
Ekonomi di Desa Ngadas.
c. Teridentifikasinya potensi unggulan berdasarkan hasil analisis.
d. Tersusunnya konsep dan strategi pola optimalisasi potensi ekonomi kawasan
melalui pemanfaatan potensi sumber daya alam sebagai bahan pertimbangan
perumusan kebijakan pemerintah Kabupaten Malang dalam upaya mendorong
pengembangan ekonomi masyarakat di Desa Ngadas Kecamatan
Poncokusumo.

Ruang Lingkup Penelitian


Ruang lingkup kegiatan penelitian ini adalah:

Jurnal Hasil Penelitian Balitbang Tahun 2014 Page 40


a. Inventarisasi data profil potensi dan pemanfaatan sumber daya alam Desa
Ngadas Kecamatan Poncokusumo secara kuantitatif.
b. Identifikasi permasalahan dan kebutuhan serta harapan masyarakat Desa
Ngadas Kecamatan Poncokusumo dalam upaya Pengembangan Ekonomi
desa Ngadas.
c. Survey literatur pola-pola kebijakan pengembangan kawasan pedesaan.
d. Merumuskan strategi pola optimalisasi potensi ekonomi kawasan melalui
pemanfaatan potensi sumber daya alam sebagai bahan pertimbangan
perumusan kebijakan pemerintah Kabupaten Malang dalam upaya mendorong
pengembangan ekonomi masyarakat di Desa Ngadas Kecamatan
Poncokusumo.
e. Melakukan diskusi dan pembahasan laporan sebanyak 3 kali meliputi:
pembahasan laporan pendahuluan, laporan antara dan laporan akhir sesuai
dengan tahapan yang disepakati bersama.
f. Melakukan diskusi melalui Focus Group Discussion (FGD) yang melibatkan
pemangku kepentingan.
g. Menyusun laporan dan kelengkapan pendukungnya terhadap seluruh tahap
kegiatan.

Metode Penelitian
Jenis/Pendekatan Penelitian
Penelitian ini dirancang sebagai jenis penelitian deskriptif kualitatif dan
kuantitatif (Mix Methode) bersifat eksploratori untuk mengungkap berbagai faktor
terkait potensi sumberdaya Desa Ngadas, kegiatan ekonomi masyarakat Desa
Ngadas, faktor penghambat, dan faktor pendukung yang ada. Mix Methode
menurut Creswell (2009) adalah sebuah pendekatan penelitian yang
menggabungkan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan ini lebih dari
sekadar mengumpulkan dan menganalisis kedua jenis data, tetapi juga melibatkan
penggunaan kedua pendekatan bersamaan sehingga kekuatan keseluruhan studi
lebih besar daripada penelitian kualitatif atau kuantitatif. Penelitian ini menyangkut
peristiwa yang sudah terjadi yang berhubungan dengan kondisi sekarang. Secara
kualitatif penelitian akan menggali data sedalam mungkin termasuk harapan yang
diinginkan masyarakat serta gambaran pengembangan ke depan dengan jalan
melakukan wawancara dan Focus Group Discussion (FGD). Adapun faktor-faktor
ekonomi yang dimaksud meliputi, potensi pertanian di Desa Ngadas,
perkembangan industri pengolahan pasca panen, kondisi sarana dan prasarana
jaringan pasar, potensi tenaga kerja di Bidang pertanian masyarakat Ngadas,
potensi akses permodalan, data demografi Desa Ngadas terkait jumlah penduduk,
pendidikan (ketrampilan) tenaga kerja, dan tingkat pendapatan masyarakat, serta
potensi pariwisata meliputi sarana-prasarana pendukung, akses transoprtasi,
kebijakan daerah, dan kearifan lokal yang ada.

Lokasi Penelitian dan Subyek Penelitian


Lokasi penelitian ini dilakukan di desa Ngadas Kecamatan Poncokusumo
terkait dengan pengembangan ekonomi di masyarakat. Adapun subyek penelitian
adalah SKPD yang terkait diantaranya Dinas Pertanian dan Perkebunan
Kabupaten Malang; Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksanaan Penyuluhan
Kabupaten Malang; Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Pasar Kabupaten
Malang; Dinas Koperasi dan UMKM Kabupaten Malang; Badan Perencana
Kabupaten Malang; Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Malang;
Bagian Perekonomian Setda Kabupaten Malang.

Jurnal Hasil Penelitian Balitbang Tahun 2014 Page 41


Jenis Data
Jenis data dalam penelitian ini merupakan data primer dan data sekunder,
yang dapat berupa: (a) Potensi ekonomi lokal di Desa Ngadas di Kabupaten
Malang meliputi potensi pertanian di Desa Ngadas, perkembangan industri
pengolahan pasca panen, kondisi sarana dan prasarana jaringan pasar, potensi
tenaga kerja di Bidang pertanian masyarakat Ngadas, potensi akses permodalan,
data demografi Desa Ngadas terkait jumlah penduduk, pendidikan (ketrampilan)
tenaga kerja, dan tingkat pendapatan masyarakat, Potensi pariwisata, meliputi
sarana-prasarana pendukung, akses transportasi, kebijakan daerah, dan kearifan
lokal yang ada; (b) Hasil identifikasi kebutuhan dan harapan masyarakat; (c)
Konsep dan strategi pola pemanfaatan potensi sumberdaya sebagai bahan
pertimbangan perumusan kebijakan pemerintah Kabupaten Malang dalam upaya
mendorong pengembangan ekonomi masyarakat di Desa Ngadas Kecamatan
Poncokusumo.

Teknik Pengumpulan Data


Dalam penelitian ini pengumpulan data didasarkan tiga komponen utama
penelitian, yaitu space (ruang, tempat), aktor (pelaku) dan aktivitas (kegiatan).
Selama penelitian ini dilakukan, peneliti lebih memposisikan diri sebagai human
instrumen yang meluangkan waktu banyak di lapangan. Sedangkan Teknik
pengumpulan data dilakukan dengan metode Rapid Rural Appraisal (RRA), yaitu
suatu pendekatan partisipatif untuk mendapatkan data/informasi dan penilaian
(assesment) secara umum di lapangan dalam waktu yang relatif pendek.
Kelebihan pendekatan ini adalah penelitian bisa mencakup daerah yang lebih luas
dalam waktu relatif singkat untuk mendapatkan informasi yang luas secara umum.
Dalam metode RRA ini informasi yang dikumpulkan terbatas pada informasi dan
yang dibutuhkan sesuai dengan tujuan penelitian, namun dilakukan dengan lebih
mendalam dengan menelusuri sumber informasi sehingga didapatkan informasi
yang lengkap tentang sesuatu hal. Adapun langkah-langkah yang dilakukan
meliputi: (a) Wawancara Informan Kunci (Key Informant Interview) yang terdiri
serangkaian pertanyaan terbuka yang dilakukan terhadap individu-individu tertentu
yang sudah diseleksi karena dianggap memiliki pengetahuan dan pengalaman
mengenai topik atau keadaan di wilayahnya. Wawancara bersifat kualitatif,
mendalam dan semi-terstruktur; (b) Diskusi Kelompok Fokus (Focus Group
Discussion), melibatkan 8-12 anggota yang telah dipilih berdasarkan kesamaan
latar belakang; (c) Pengamatan Langsung (Direct Observation), melakukan
kunjungan lapangan atau pengamatan langsung terhadap masyarakat setempat;
(d) Kuesioner terstruktur (daftar pertanyaan tertutup) terhadap sejumlah kecil
sample; (e) Dokumentasi, yaitu metode pengumpulan data dengan memanfaatkan
data-data sekunder yang telah dikumpulkan oleh pihak lain.

Teknik Analisis Data


Teknik analisis data menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif dan
kuantitatif baik berdasarkan data-data primer maupun sekunder, yang disajikan
dalam bentuk Tabel dan Grafik serta dideskripsikan berdasarkan kondisi data dan
konsep yang mendasar terkait dengan pengembangan potensi ekonomi di Desa
Ngadas. Kemudian dikonfirmasi dan disinergikan dengan data-data sekunder
sampai menghasilkan pengembangan model pembangunan ekonomi di Desa
Ngadas yang memfokuskan pada optimalisasi potensi ekonomi kawasan melalui

Jurnal Hasil Penelitian Balitbang Tahun 2014 Page 42


pemanfaatan potensi sumber daya alam sebagai pendorong peningkatan
perekonomian masyarakat.
Secara kualitatif, data yang dikumpulkan keseluruhannya dianalisis,
diarahkan untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Secara garis
besar analisis data dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut: (a)
Mengelompokkan data sesuai dengan permasalahan yang akan dijawab; (b)
Menganalisis data melalui tahapan cecking, editting dan tabulasi yang disesuaikan
dengan jenis data. Tahapan ini dilakukan baik secara deskriptif kualitatif maupun
kuantitatif; (c) Merumuskan kembali hasil FGD dengan mempertimbangkan data
data dari variabel penelitian lainnya.
Analisis data dilakukan dengan teknis analisa Analytical Hierarchy Process
(AHP). Pemilihan alat analisis ini didasarkan pada pertimbangan bahwa AHP
merupakan salah satu alat atau model pengambilan keputusan dengan input
utama persepsi.

HASIL PENELITIAN
Pengembangan Model Pembangunan Ekonomi di Desa Ngadas
Model “Pengembangan Ekonomi Kawasan Desa Ngadas” yang diperoleh dari
hasil uji lapang dan setelah melalui pendalaman dan penyesuaian, maka dapat
dengan tegas memposisikan tiga hal penting antara lain:
1) Terdapatnya ruang publik Pemegang Otoritas yang di dalamnya terdiri dari
unsur Pemerintah, BUMN/BUMD dan Institusi Swasta Mapan (Pelaku Bisnis
Mapan) yang berperan sebagai Penggerak Utama (prime mover) dalam
melakukan perubahan melalui program pembangunan terpusat maupun
sektoral bersifat sustainable.
2) Berkembangnya ruang publik Mediator Otoritas yang didalamnya terdiri dari
Komunitas Intelektual, Lembaga Non-Pemerintah, dan LSM (Lembaga Sosial)
yang berperan sebagai Dinamisator Program (social agent) untuk
mempercepat proses pelaksanaan program pembangunan yang bertumpu
pada kearifan local.
3) Menguatnya ruang publik Pelaku Otoritas yang di dalamnya beraktivitas para
pelaku usaha dan berperan sebagai Aktor Perubahan (the actor of changes)
yang berjuang secara berkesadaran untuk memajukan usaha bersama-sama
dengan pelaku usaha lain dalam rangka mencapai kesejahteraan.

Model “Pengembangan Ekonomi Kawasan Desa Ngadas Melalui


Pengembangan Desa Wisata Berbasis Pertanian dan Budaya” ditunjukkan pada
Gambar berikut.. Dari 3 komponen penting tersebut dapat diuraikan peran masing-
masing komponen dalam upaya mengembangkan ekonomi kawasan yang memiliki
pilar pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM), Sumber Daya Alam dan
Sumber Daya Ekonomi sebagai berikut:
1) Peran Perguruan Tinggi. Perguruan tinggi melalui lembaga penelitian dan
pengabdian masyarakat, atau pusat penelitian maupun LSM sangat
memegang peran penting dalam pengembangan ekonomi masyarakat
perdesaan. Peran Perguruan Tinggi dan LSM ini memiliki tiga dimensi
kekuatan. Dimensi pertama harus dapat menggali potensi wilayah sumberdaya
manusia (SDM), sumberdaya alam (SDA) termasuk kesesuaian lahan,
ketersediaan lahan komoditi unggulan daerah serta potensi pariwisata yang
‘menjual’ keindahan dan keunikan alam perdesaan. Dimensi kedua
mengetahui potensi lingkungan masyarakat perdesaan dan peluang usaha

Jurnal Hasil Penelitian Balitbang Tahun 2014 Page 43


yang cocok dengan sosial budayanya termasuk ketersediaan prasarana dan
sarana. Dimensi ketiga merupakan perumusan rekomendasi dari perpaduan
dimensi pertama dan kedua kepada kelompok masyarakat yang berprofesi
sebagian besar di bidang pertanian, perdagangan dan jasa.

Fasilitasi dan Networking


PEMERINTAH
PEMERINTAH BANK
DUNIA
DUNIA USAHA
USAHA
BANK&&
LEMBAGA
LEMBAGA
KEUANGAN
KEUANGAN
Pusat Provinsi Kabupaten BUMN BUMD Swasta
TINGGI

Pusat Provinsi Kabupaten BUMN BUMD Swasta


TINGGI
URUA
PERG
URUA
PERG

NN

Bantuan CSR
Bimbingan Teknis

Modal
Tim
Tim Teknis
Teknis
Paguyuban
Paguyuban //
Daerah
Daerah Fasilitasi, Asosiasi
Asosiasi
(Dinas
(Dinas Terkait)
Terkait) Capacity
Building,
Konsultasi,
Bimbingan

Konsultasi,
Teknis,

Monev

Motivasi

PEMERINTAH
DESA NGADAS

Fasilitasi, Capacity Building, Konsultasi,


Motivasi

KAWASAN PERTANIAN DAN WISATA

Paguyuban Pelaku Usaha Pelaku Usaha


Usaha Wisata Pertanian Lain

Pengembangan dan Penguatan Desa Wisata


Berbasis Pertanian & Budaya
Gambar Model Pengembangan Ekonomi Kawasan Desa Ngadas

Di samping itu Perguruan Tinggi sebagai lembaga yang bersifat social agent
dimana Perguruan Tinggi dituntut untuk mengimplementasikan Tri Dharma
Perguruan Tinggi maka lembaga Perguruan Tinggi tersebut harus mampu
melaksanakan dharma pengabdian kepada masyarakat serta LSM yang
memiliki misi yang sama akan membangun dan memberdayakan masyarakat
perdesaan melalui berbagai bentuk fasilitasi, bimbingan teknis, konsultasi,

Jurnal Hasil Penelitian Balitbang Tahun 2014 Page 44


motivasi terhadap berbagai kegiatan yang terfokus pada pengembangan
ekonomi masyarakat yang berorientasi pada pengembangan Desa Wisata
berbasis Pertanian dan Sosial Budaya.
Selain itu Perguruan Tinggi diharapkan mampu untuk menjalin Networking
dengan mengembangkan konsep Triple Helix dimana sinergitas bersama
(Perguruan Tinggi, Pelaku Usaha Mapan/Pengusaha dan Pemerintah) dalam
rangka mengembangkan ekonomi kawasan perdesaan guna mewujudkan
kesejahteraan masyarakat melalui berbagai program dan kegiatan masing-
masing.

2) Pelaku Usaha Mapan / Pengusaha. Pengusaha yang dimaksud disini adalah


pelaku usaha mapan sebagai pemilik modal dan sebagai pedagang
(perantara, penyalur, pengecer). Sebagai pemilik modal menjalin kerjasama
dengan pihak-pihak swasta lainnya (BUMN/Koperasi/Korporasi) dalam
penyediaan penyedia teknologi yang mendukung kegiatan pengembangan
ekonomi kawasan perdesaan melalui pengembangan desa wisata yang
berbasis pertanian dan budaya. Fungsinya sebagai pedagang adalah penyalur
produk pertanian yang merupakan komoditas unggulan sebagai implementasi
konsep OVOP (One Village One Product) yang tentunya telah melalui
sentuhan Teknologi Tepat Guna dalam proses pengolahan sehingga target
pasar disesuaikan dengan kriteria produk yang ada, bisa saja ekspor,
swalayan, restoran, hotel, atau pasar tradisional. Dari sisi lain pengusaha juga
memberikan informasi pasar apakah menyangkut daya beli pasar, peluang
pasar, dan lain sebagainya. Termasuk juga menyediakan tenaga ahli yang
ditempatkan dalam organisasi yang harus dibentuk sebagai wadah untuk
mengembangkan Desa Wisata berbasis pertanian dan budaya. Tenaga ahli ini
disesuaikan dengan kebutuhan di lapangan, apakah tenaga ahli bidang
produksi, maupun pemasaran hasil-hasil olahan pertanian maupun
pengembangan produk-produk wisata. Perubahan paradigma pelaku usaha
senantiasa disosialisasikan menjadi sebuah jargon yang mengangkat citra
pengusaha dimana pergeseran perilaku tidak semata-mata profit oriented
harus digeser menjadi social oriented yang mampu menumbuhkembangkan
socialpreneurship diperdesaan melalui Corporate Social Responsibilty
(CSR)nya. Dengan demikian implementasi konsep Triple Helix dapat
diwujudkan dengan berbagai model kemitraan dengan mengedepankan win-
win solution.

3) Lembaga Keuangan/Perbankan. Lembaga keuangan dan perbankan yang


aktivitasnya menyalurkan kredit pada kegiatan agribisnis cukup pegang
peranan. Lembaga ini sebagai penyedia kredit kepada koperasi dan
pengusaha. Pada model pengembangan ekonomi kawasan melalui
pengembangan Desa Wisata berbasis pertanian dan budaya ini, maka
lembaga keuangan dan perbankan hanya berhubungan langsung dengan para
pelaku usaha termasuk koperasi perdesaan maupun Lembaga Keuangan
Mikro yang ada baik dari program pemerintah pusat maupun pemerintah
provinsi melalui PNPM, UPKu, Simpan Pinjam Perempuan, dan lain-lain.
Kredit disalurkan melalui koperasi maupun Lembaga Keungan Mikro di
perdesaan yang fokus pada bidang pertanian dan mengembangkan usaha
wisata. Koperasi dan Lembaga Keuangan Mikro mengajukan kredit untuk
modal kerja bagi anggota (petani) dan modal kerja bagi koperasi maupun
Lembaga Keuangan Mikro itu sendiri. Sementara kredit kepada pengusaha
bisa saja dalam bentuk pengembangan usaha (swalayan, toko, ekspor,

Jurnal Hasil Penelitian Balitbang Tahun 2014 Page 45


penyediaan teknologi, dan lain sebagainya). Kurang berkembangnya kegiatan
pertanian yang berbasiskan agribisnis di perdesaan disebabkan karena
beberapa hal, antara lain: tingkat pengetahuan petani, pemilikan modal, tidak
adanya kepastian pasar (informasi harga komoditas), terbatasnya sarana dan
prasarana pendukung. Untuk mengatasi semuanya ini harus melalui suatu
organisasi yang mempunyai misi sama. Koperasi di perdesaan yang sudah
terbentuk maupun paguyuban pelaku usaha dibidang pertanian maupun wisata
dapat ditingkatkan menjadi Koperasi merupakan pilihan yang paling tepat.
Oleh karena itu petani harus mengutamakan produksi komoditas unggulan di
daerahnya. Petani melakukan usahanya berdasarkan perjanjian dengan pihak
koperasi sebagai penyedia dana. Petani melakukan kegiatan usaha taninya
didampingi oleh tim ahli yang ditunjuk oleh koperasi. Dengan demikian terjadi
hubungan yang erat antara koperasi dan petani serta pelaku usaha jasa wisata
dan pelaku usaha lainnya. Bentuk mitra usaha ini akan memberikan beberapa
keuntungan kepada petani, antara lain; 1) adanya jaminan pasar produk
pertanian bagi petani dan alternatif usaha lainnya; 2) petani terhindar dari
resiko fluktuasi harga; 3) petani mendapat tiga keuntungan, yaitu keuntungan
dari hasil penjualan produk pertanian, keuntungan dari pembagian sisa usaha
oleh koperasi pada akhir tahun, dan keuntungan dari investasi yang
ditanamkan pada koperasi; dan 4) terjalinnya hubungan kemitraan usaha
antara koperasi dan petani.
4) Instansi Terkait/Tim Teknis Daerah. Keterlibatan pihak pemerintah dalam
model pengembangan ekonomi kawasan perdesaan melalui pengembangan
desa wisata yang berbasiskan pertanian dan budaya diharapkan hanya
sebatas pembuat kebijakan dan pembinaan. Kebijakan menyangkut dengan
ketentuan dan peraturan yang saling menguntungkan pelaku usaha dibidang
pertanian dan usaha jasa wisata. Sedangkan pembinaan diberikan kepada
paguyuban usaha wisata, kelompok tani maupun pelaku usaha jasa wisata.
Instansi terkait dapat saja melakukan pembinaan kepada ketiga kelompok ini
dengan memakai tenaga profesional dari luar,baik dari perguruan tinggi, LSM
maupun dari lembaga profesi lainnya.
Kelompok tani berperan dalam mengembangkan usaha agribisnis skala kecil
sehingga perlu ditingkatkan keberadaannya menjadi paguyuban ataupun
bentuk asosiasi bahkan bisa menjadi sebuah badan usaha koperasi. Tanpa
keterlibatan dari paguyuban atau asosiasi tidak mungkin Desa Wisata yang
berbasiskan pertanian dapat berkembang. Paguyuban atau asosiasi inilah
nantinya yang akan berhubungan dengan mitra baik dari kalangan pemerintah,
pelaku usaha maupun korporasi (Bungaran Saragih, 2001b). Paguyuban atau
asosiasi ini memegang peranan sangat penting pada kegiatan pemberdayaan
ekonomi masyarakat perdesaan melalui pengembangan Desa Wisata dimana
paguyuban atau asosiasi baik usaha peran jasa wisata maupun pertanian
dapat sebagai perantara penyalur sarana produksi dan Teknologi Tepat Guna
untuk pertanian maupun usaha jasa wisata kepada anggota (petani). Dari sisi
lain paguyuban juga sebagai pedagang perantara dari komoditas unggulan
pertanian yang dihasilkan oleh anggotanya. Paguyuban juga berfungsi sebagai
lembaga pemasaran dari produk handycraft sebagai cindera mata khas Desa
Wisata yang akan dikembangkan. Paguyuban juga berperan sebagai media
informasi pasar, apakah peluang pasar, perkembangan harga, dan daya beli
pasar.
Selain itu juga perlu dibentuknya sebuah wadah pusat informasi pariwisata
yang terintegrasi untuk memberikan berbagai informasi tentang potensi wisata

Jurnal Hasil Penelitian Balitbang Tahun 2014 Page 46


alam di Desa tersebut. Keberadaan kelompok sadar wisata ADAS dan
EDELWYJS perlu ditingkatkan perannya dalam mewujudkan Desa Ngadas
sebagai desa wisata agar eksistensinya dapat menjadi embrio bagi
terbentuknya lembaga/institusi pengelola wisata yang profesional di Desa
Ngadas. Melalui informasi pasar paguyuban maupun pusat informasi
pariwisata tersebut harus dapat menciptakan peluang pasar produk-produk
pertanian dan potensi wisata alam maupun budaya masyarakat yang dikemas
sebagai atraksi wisata menjadi sebuah ODTW (Obyek Destinasi Tujuan
Wisata), sehingga kelompok tani tidak ragu untuk melakukan kegiatan
usahatani mereka karena ada jaminan dari paguyuban bahwa produk mereka
akan dapat tersalurkan dan akan ada peluang usaha alternatif yang dapat
menambah pendapatan para petani dari usaha jasa wisata, selain itu khusus
para pelaku usaha jasa wisata juga akan dapat menjual produk olahan yang
berbasis pertanian maupun produk handycraft sebagai oleh-oleh khas Desa
Wisata. Kegiatan ini akan meransang partisipasi anggota terhadap paguyuban
atau asosiasi, yang pada hakekatnya terjadi kesinambungan usaha paguyuban
baik yang berbasis pertanian maupun usaha jasa wisata.
Paguyuban ini juga dapat berperan sebagai penyalur pinjaman yang diperoleh
dari lembaga perkreditan, pengusaha maupun Korporasi melalui program
PKBL atau CSR. Pemberian kredit ini didasarkan kepada bentuk usaha
pertanian yang mengembangkan komoditi unggulan dan punya peluang pasar
serta usaha jasa wisata yang mampu menjual paket-paket wisata alam di Desa
Wisata tersebut. Kegiatan unit usaha ini akan menimbulkan multiplier efek
ekonomi dalam kehidupan masyarakat, pada hakekatnya pengembangan desa
wisata yang berbasis pertanian dan budaya sebagai unit usaha dapat
menciptakan peluang usaha dalam kegiatan ekonomi sehingga menyebabkan
naiknya pendapatan masyarakat yang pada akhirnya meningkatkan
kesejahteraan masyarakat perdesaan.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data penelitian, maka dapat diambil beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1) Faktor-faktor pendukung pengembangan ekonomi di Desa Ngadas antara lain
adalah Sikap Mental Masyarakat yang positip (sadar potensi, ramah dan
bersikap terbuka, percaya diri dengan kemampuan mereka, mampu
memanfaatkan peluang), nilai-nilai sosial, beberapa anggota kelompok
memiliki akses ke pengusaha travel, kekayaan seni dan budaya, faktor
sumberdaya alam (lingkungan fisik) berupa keindahan alam dan kesuburan
tanah, faktor Lokasi yang terletak di area Taman Nasional Bromo Tengger
Semeru (TNBTS), serta faktor keamanan lingkungan yang kondusif.
2) Faktor-faktor penghambat pengembangan ekonomi di Desa Ngadas antara
lain adalah kualitas Sumberdaya Manusia (Kurangnya Kreatifitas dan Inovasi,
Tingkat Pendidikan rendah, Kurangnya Kemampuan Teknis dan Penguasaan
Teknologi, Kurangnya Kemampuan Penguasaan Bahasa Asing, Rendahnya
Pemanfaatan Potensi Wisata), Infrastuktur dan Aksesibilitas (infrastruktur jalan
rusak, keterbatasan sarana transportasi, telekomunikasi, pengelolaan sampah
yang masih belum teroganisir, tidak ada akses informasi melalui internet, serta
kurangnya fasilitas toilet), Kurangnya Promosi dan belum ada Layanan
informasi kepariwisataan yang terintegrasi, Sarana dan prasarana yang kurang
memadai, belum optimalnya Pengelolaan Kepariwisataan, Penataan

Jurnal Hasil Penelitian Balitbang Tahun 2014 Page 47


Lingkungan yang tidak teratur, dan hambatan-hambatan di Sektor Pertanian
(irigasi dan pupuk pertaniaan).
3) Faktor-faktor peluang pengembangan ekonomi di Desa Ngadas antara lain
adalah adanya peluang pasar wisatawan domestik dan mancanegara yang
cukup baik karena tren kembali ke alam (back to nature), adanya dukungan
dari pemerintah, dukungan industri, akademisi dan LSM, adanya
kecenderungan penerapan konsep multifungsi lahan pertanian, kebutuhan
akan destinasi wisata alternatif, terjalinnya kerjasama pemerintah, investor,
masyarakat, dukungan pelaku usaha layanan pariwisata, otonomi daerah
yang diberlakukan pemerintah, dan peluang munculnya sumber-sumber
pendapatan baru bagi masyarakat setempat.
4) Faktor-faktor tantangan pengembangan ekonomi di Desa Ngadas antara lain
adalah persaingan dengan daerah wisata lain dalam menarik wisatawan,
berubahnya pola pikir dan perilaku masyarakat karena pengaruh dari luar,
adanya penduduk pendatang, perbedaan budaya antara wisatawan khususnya
wisatawan asing, keengganan sebagian generasi muda untuk hidup di desa
dan bekerja di sektor pertanian, dampak tercemarnya lingkungan, baik
pencemaran air, tanah dan udara, sebagai akibat dari banyaknya sampah
wisatawan dan industrialisasi wisata.
5) Peringkat produk unggulan layanan wisata Desa Ngadas berturut-turut adalah
Rest Area, Miniatur Budaya, Homestay, Persewaan Kendaraan, Rumah
Makan, Persewaan Kuda, Pemandu Wisata, Agrowisata, Cinderamata, Hotel &
Penginapan, serta terakhir adalah Rafting. Sedangkan peringkat produk
unggulan pertanian Desa Ngadas berturut-turut adalah kentang, bawang prey,
kubis/kol, sawi, bawang merah, wortel, dan selada.
6) Model pembangunan ekonomi di Desa Ngadas dilaksanakan melalui
pengembangan desa wisata yang berbasis pertanian dan budaya dengan
melibatkan partisipasi aktif dari pemerintah (government), perguruan tinggi
(intelektual), pelaku usaha (bisnis) sesuai dengan konsep Triple Helix.

REKOMENDASI
Rekomendasi kebijakan yang dihasilkan berdasarkan kesimpulan penelitian
antara lain adalah sebagai berikut:
1) Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi: memberikan pelatihan usaha,
meningkatkan penguasaan bahasa asing melalui pelatihan-pelatihan atau
kursus bahasa bagi para penyedia jasa pemandu wisata, meningkatkan
ketrampilan masyarakat. Kurangnya ketrampilan menyebabkan masyarakat
Desa Ngadas tidak memiliki kemampuan untuk menciptakan produk-produk
khas selain produk pertanian. Maka dari itu perlu ditingkatkan kemampuan
penguasaan teknologi, khususnya teknologi tepat guna untuk pengolahan hasil
pertanian untuk meningkatkan nilai tambah.
2) Dinas Perhubungan, Komunikasi, dan Informatika: melengkapi sarana
telekomunikasi yang saat ini hanya bisa dijangkau melalui satu operator
telepon seluler CERIA, meningkatkan promosi wisata melalui pemanfaatan
teknologi informasi.
3) Dinas Kebudayaan dan Pariwisata: Pengembangan Sarana dan Prasarana
Wisata seperti rest area, area parkir, fasilitas toilet, rumah makan, homestay
dan penginapan, menjalin kerjasama yang lebih luas dengan usaha jasa

Jurnal Hasil Penelitian Balitbang Tahun 2014 Page 48


wisata dan mendorong pemerintah untuk meningkatkan promosi wisata,
diversifikasi obyek wisata dan menjaga keunikan adat istiadat, seni dan
budaya. Dengan demikian tidak hanya menggali potensi wisata dari sisi adat
dan pertanian saja, tetapi harus sering mengagendakan pertunjukan kesenian
lokal. Selain itu perlu membangun rumah adat yang merupakan miniatur
budaya Tengger di Ngadas untuk lebih menarik minat wisatawan,
meningkatkan kesadaran masyarakat akan kebersihan lingkungan, perlu
dibentuk lembaga/institusi yang berkonsentrasi dalam pengelolaan desa
wisata. Keberadaan kelompok sadar wisata yang sudah ada perlu ditingkatkan
perannya dalam mewujudkan Desa Ngadas sebagai desa wisata, pelatihan
manajemen desa wisata
4) Dinas Bina Marga: Perbaikan jalan dan sarana transportasi. Kebijakan ini
akan meningkatkan aksesibilitas Desa Ngadas baik bagi wisatawan maupun
distribusi/pemasaran hasil-hasil pertanian.
5) Dinas Pengairan: pembangunan sarana irigasi pertanian. Ketersediaan
sumber air yang melimpah belum dapat dimanfaatkan secara optimal untuk
irigasi pengairan.
6) Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang: meningkatkan kesadaran masyarakat
akan kebersihan lingkungan.
7) Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Pasar: memberikan pelatihan
usaha, meningkatkan Penguasaan bahasa asing melalui pelatihan-pelatihan
atau kursus bahasa bagi para penyedia jasa pemandu wisata, dan
meningkatkan ketrampilan masyarakat, meningkatkan kemampuan
penguasaan teknologi, khususnya teknologi tepat guna untuk pengolahan hasil
pertanian untuk meningkatkan nilai tambah
8) Dinas Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah: memberikan
pelatihan usaha, meningkatkan penguasaan bahasa asing melalui pelatihan-
pelatihan atau kursus bahasa bagi para penyedia jasa pemandu wisata,
meningkatkan ketrampilan masyarakat, meningkatkan kemampuan
penguasaan teknologi, khususnya teknologi tepat guna untuk pengolahan hasil
pertanian dalam rangka meningkatkan nilai tambah.
9) Dinas Pertanian dan Perkebunan: menjaga kelestarian dan keindahan alam,
diversifikasi tanaman selain tanaman sayur yakni menanam jenis-jenis
tanaman hias, tanaman obat, dan lainnya, meningkatkan kemampuan
penguasaan teknologi, khususnya teknologi tepat guna untuk pengolahan hasil
pertanian untuk meningkatkan nilai tambah, serta pembangunan sarana irigasi
pertanian. Ketersediaan sumber air yang melimpah belum dapat dimanfaatkan
secara optimal untuk irigasi pengairan. Selain itu juga penting untuk menjaga
ketersediaan pupuk dan keterjangkauan harganya.
10) Dinas Kehutanan: menjaga kelestarian dan keindahan alam yang menjadi
keunggulan Desa Ngadas.

DAFTAR PUSTAKA

Adisasmita, R. 2006. Membangun Desa Partisipatif. Yogyakarta: Graha Ilmu.


Badrudin, Rudy. 2012. Model Pengembangan Usaha Mikro Kecil Menengah
dengan One Village One Product untuk Mengurangi Kemiskinan di
Indonesia. Makalah Call For Paper dalam Prosiding Seminar Nasional dan

Jurnal Hasil Penelitian Balitbang Tahun 2014 Page 49


Call for Paper Pengentasan Kemiskinan Melalui UMKM: Komparasi Model
Indonesia dan Malaysia Yogyakarta, 5 Desember 2012.
Budianta, Aziz. 2008. Penyusunan Program Pengembangan Kawasan Desa Pusat
Pertumbuhan (DPP Torue) Kab. Parigi Moutong, Laporan Penelitian Mandiri.
Palu: Jurusan Teknik Arsitektur Untad.
Creswell, John W. 2009. Research Design: Qualitative, Quantitative and Mixed
Methods Approaches. California: Sage Publications, Inc.
Darwanto, Herry. 2002. Prinsip Dasar Pembangunan Ekonomi Daerah. Jakarta.
Douglas, M. 1998. A Regional Network Strategi for Reciprocal Rural Urban
Linkage; An Agenda for Policy Research with Reference to Indonesia. Third
Word Planning Review, Vol 20 No.1 1998.
Etzkowitz, H., dan Leydesdorff, L. 2000. The Dynamics of Innovation: From
National Systems and 'Mode 2' to a Triple Helix of University-Industry-
Government Relations. Research Policy , 29(2), 109-123.
Haeruman. 1997. Kajian Pembangunan Ekonomi Desa Untuk Mengatasi
Kemiskinan. Jakarta: Bapennas.
Irawati, Dessy. 2007. Understanding The Triple Helix Model from The Perspective
of the Developing Country: A Demand or A Challange for Indonesian Case
Study?. MPRA Paper, no. 5829, pp. 1-16.
Kuncoro, Mudrajad. 2010. Ekonomika Pembangunan: Masalah, Kebijakan, dan
Politik, Edisi. 5. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Kusreni, Sri. 2009. Pengaruh Perubahan Struktur Ekonomi terhadap Spesialisasi
Sektoral dan Wilayah serta Struktur Penyerapan Tenaga Kerja Sektoral
untuk Daerah Perkotaan di Jawa Timur. Majalah EKONOMI, Vol. XIX, No.
1:20-31.
Martini, L., Tjakraatmadja, J.H., Anggoro, Y., Pritasari, A., dan Hutapea, L. 2012.
Triple Helix Collaboration to Develop Economic Corridors as Knowledge
Hub in Indonesia. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 52 (2012) 130
–139.
Rangkuti, Freddy. 2008. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama.

Jurnal Hasil Penelitian Balitbang Tahun 2014 Page 50


KAJIAN PEMETAAN KESIAPAN KECAMATAN DALAM
MENYONGSONG PELAKSANAAN PELAYANAN ADMINISTRASI
TERPADU KECAMATAN (PATEN) DI KABUPATEN MALANG

Abstraksi

Kajian Pemetaan Kesiapan Kecamatan dalam Menyongsong Pelaksanaan


Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan (PATEN) di Kabupaten Malang ini
bertujuan untuk memetakan potensi dan permasalahan yang ada pada organisasi
kecamatan dalam persiapan pelaksanaan program Pelayanan Administrasi
Terpadu Kecamatan (PATEN) di Kabupaten Malang.
Secara umum, berdasarkan hasil kajian ini, kecamatan di Kabupten Malang
sudah siap untuk melaksanakan Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan
(PATEN). Hal itu dapat dilihat dari aspek administratif dan aspek teknis
kecamatan-kecamatan di Kabupaten Malang yang sudah menunjang untuk
diselenggarakannya PATEN. Permasalahan yang perlu dibenahi adalah aspek
subsantif pada kecamatan tentang pelimpahan sebagian wewenang bupati kepada
camat yang masih menimbulkan kerancuan.
Hal-hal yang perlu dilakukan Pemerintah Kabupaten Malang untuk
menindaklanjuti kesiapan kecamatan-kecamatan tersebut adalah memformat
ulang struktur organisasi kecamatan dengan menambahkan seksi pelayanan
umum, mereview ulang Peraturan Bupati Malang Nomor 13 Tahun 2011 tentang
Pelimpahan Sebagian Urusan yang Menjadi Wewenang Bupati kepada Camat,
Membuat Visi Misi dan Motto Layanan, Membuat Standart Prosedur Pelayanan
(SPP) kecamatan yang memiliki format yang sama dan mudah dipahami oleh
publik, Mengorientasikan SPP dan unsur-unsur manajemen pelayanan lainnya
kepada aparatur kecamatan, Merevitalisasi sarana dan prasrana kecamatan untuk
optimalisasi PATEN, dan pemenuhan jumlah minimum aparatur kecamatan.

Key Words : Pelayanan, Manajemen.

PENDAHULUAN

Sebagai bagian dari inovasi dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik,


Kecamatan diharuskan untuk menerapkan Pelayanan Administrasi Terpadu
Kecamatan (PATEN). PATEN didefinisikan sebagai suatu kegiatan
penyelenggaraan pelayanan publik di Kecamatan, dimana proses pengolahannya
mulai dari permohonan sampai penerbitan dokumen dilakukan dalam satu meja
atau loket pelayanan. Melalui penerapan PATEN diharapkan akan lebih
mendekatkan pelayanan pada masyarakat, memberikan kepastian waktu dan
biaya yang akan ditanggung oleh masyarakat. Dengan demikian tujuan dari
reformasi birokrasi akan dapat terlihat, yakni adanya kualitas pelayanan publik
yang baik.
Sebagaimana Pasal 126 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa camat dalam pelaksanaan tugasnya
memperoleh pelimpahan sebagian wewenang bupati/walikota untuk menangani
sebagian urusan otonomi daerah. Atas dasar hal tersebut, kecamatan sebagai
perangkat daerah kabupaten/kota mempunyai peran yang sangat strategis, karena
kecamatan menjadi ujung tombak pelayanan serta barometer kinerja
penyelenggaraan pelayanan publik di kabupaten/kota. Peran strategis inilah yang

Jurnal Hasil Penelitian Balitbang Tahun 2014 Page 51


perlu terus didukung oleh seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) di daerah,
agar di tahun 2014 ini seluruh kecamatan di Indonesia menjadi agen
penyelenggara pelayanan prima bagi masyarakat.
Implementasi kebijakan Pelayanan Adiministrasi Terpadu Kecamatan
(PATEN) diharapkan mampu memberikan penguatan terhadap pelimpahan
sebagian kewenangan bupati/ walikota kepada camat sebagaimana diamanatkan
PP Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Kecamatan. Disamping itu, PATEN dapat
menjadi akslerator bagi oragnisasi kecamatan dalam membangun akses dan
meningkatkan mutu pelayanan, sehingga pelayanan semakin cepat, mudah,
terjangkau, dan professional. Dengan demikian, cita-cita mewujudkan kecamatan
sebagai pusat pelayanan dapat tercapai. Terakhir, melalui PATEN dapat
dimanifestasikan sebagai simpul pelayanan (front office) bagi Kantor/Badan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPTSP) di Kabupaten/Kota.
Sebagai langkah awal dalam implementasi PATEN di Kabupaten Malang,
perlu dilakukan kajian yang holistik tentang kesiapan institusi kecamatan dalam
pelaksanaan PATEN. Kajian pemeteaan persiapan sebagaimana dimaksud,
meliputi aspek substantif, administratif dan teknis. Diharapkan, melalui kajian
dengan tema Pemetaan Kesiapan Organisasi Kecamatan dalam Pelaksanaan
PATEN di Kabupaten Malang, dapat diketahui secara mendalam potensi dan
masalah yang melingkupi rencana penerapan PATEN. Selanjutnya, berdasarkan
paparan data dan informasi terkait kondisi objektif organisasi kecamatan, dilakukan
perumusan rancangan konsep penyelenggaraan PATEN di 33 kecamatan se
Kabupaten Malang. Dengan demikian, dapat diperoleh sebuah kajian yang ilmiah
agar dapat digunakan sebagai dasar pengambilan kebijakan bagi pihak-pihak
terkait untuk optimalisasi pelayanan publik.

Rumusan Masalah
Objek masalah dalam Penelitian Pemetaan Kesiapan Organisasi
Kecamatan dalam Pelaksanaan Pelayanan Adminsitrasi Terpadu Kecamatan
(PATEN) di Kabupaten Malang adalah.
a) Bagaimana peta potensi organisasi kecamatan dalam menyongsong
pelaksanaan Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan (PATEN) di
Kabupaten Malang?
b) Bagaimana permasalahan organisasi kecamatan dalam menyongsong
pelaksanaan Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan (PATEN) di
Kabupaten Malang?
c) Bagaimana solusi untuk mengatasi permasalahan dalam organisasi
kecamatan dalam menyongsong pelaksanaan Pelayanan Administrasi Terpadu
Kecamatan (PATEN) di Kabupaten Malang?
d) Bagaimana strategi implementasi Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan
(PATEN) di Kabupaten Malang?

Tujuan Kajian
Adapun tujuan dari Penelitian Pemetaan Kesiapan Organisasi Kecamatan
dalam Pelaksanaan Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan (PATEN) di
Kabupaten Malang adalah:
a) Mengidentifikasi peta potensi organisasi kecamatan dalam menyongsong
pelaksanaan Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan (PATEN) di
Kabupaten Malang.
b) Mengidentifikasi permasalahan-permasalahan dalam organisasi kecamatan
dalam menyongsong pelaksanaan Pelayanan Administrasi Terpadu
Kecamatan (PATEN) di Kabupaten Malang.

Jurnal Hasil Penelitian Balitbang Tahun 2014 Page 52


c) Menentukan solusi untuk mengatasi permasalahan dalam organisasi
kecamatan dalam menyongsong pelaksanaan Pelayanan Administrasi Terpadu
Kecamatan (PATEN) di Kabupaten Malang.
d) Merumuskan strategi implementasi Pelayanan Administrasi Terpadu
Kecamatan (PATEN) di Kabupaten Malang.

Manfaat Kajian
Manfaat yang diperoleh dari penelitian Pemetaan Kesiapan Organisasi
Kecamatan dalam Menyongsong Pelaksanaan Pelayanan Adminsitrasi Terpadu
Kecamatan (PATEN) di Kabupaten Malang adalah:
a) Tersedianya data tentang kondisi objektif organisasi kecamatan di Kabupaten
Malang, berikut peta potensi dan permasalahannya, sehingga dapat menjadi
acuan bagi pihak-pihak terkait dalam merumuskan kebijakan yang
berhubungan dengan optimalisasi pelayanan publik, khususnya
penyelenggaraan PATEN.
b) Tersedianya informasi tentang berbagai kebutuhan institusi kecamatan dan
SKPD terkait di Kabupaten Malang sehingga dapat menjadi acuan bagi
perumusan kebijakan PATEN di kabupaten Malang.
c) Terumuskannya konsepsi dan strategi implementasi PATEN bagi organisasi
pemerintahan kecamatan di Kabupaten Malang.

Ruang Lingkup Kajian


Adapun Ruang Lingkup Penelitian Pemetaan Kesiapan Organisasi
Kecamatan dalam Menyongsong Pelaksanaan Pelayanan Adminsitrasi Terpadu
Kecamatan (PATEN) di Kabupaten Malang adalah
d) Identifikasi potensi dan permasalahan pada organisasi pemerintahan
kecamatan di Kabupaten Malang dalam menyongsong pelaksanaan PATEN
e) Identifikasi kebutuhan bagi Kecamatan, Badan Pelayanan Perizinan Terpadu
(BP2T) dan SKPD terkait terhadap pelayanan-pelayanan yang layak dikelola
oleh organisasi pemerintahan kecamatan dalam kerangka kebijakan PATEN.
f) Merumuskan solusi dan strategi dalam bentuk road map implementasi PATEN
di Kabupaten Malang
Luaran Penelitian
Luaran penelitian yang diharapkan dari penelitian tentang Pemetaan
Kesiapan Organisasi Kecamatan dalam Menyongsong Pelaksanaan Pelayanan
Adminsitrasi Terpadu Kecamatan (PATEN) di Kabupaten Malang adalah:
a) Rumusan hasil pemetaan potensi dan permasalahan organisasi kecamatan
dalam menyongsong pelaksanaan PATEN.
b) Rumusan matrik road map penyelenggaraan PATEN di Kabupaten Malang
berbasiskan analisa potensi, masalah dan kebutuhan.
KESIMPULAN
Sebagai penutup dalam Laporan Penelitian ini, perlu digarisbawahi bahwa
secara umum kecamatan di Kabupaten Malang telah siap untuk
mengimplementasikan Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan (PATEN).
Kondisi objektif kecamatan khususnya aspek administratif dan teknis secara umum
telah menunjang implementasi PATEN. Pada aspek substantif, yaitu
pendelegasian kewenangan dari bupati kepada camat perlu dilakukan formulasi
ulang mengingat melalui Peraturan Bupati inilah jenis pelayanan PATEN
ditentukan. Dengan demikian, pelayanan harus reliable dengan perkembangan
kebutuhan layanan masyarakat dan kondisi internal birokrasi pemerintahan.

Jurnal Hasil Penelitian Balitbang Tahun 2014 Page 53


Disamping itu, PATEN harus mengedepankan biaya yang lebih murah, proses
lebih cepat, dan jarak harus lebih dekat. Pada konteks ini, Tim Teknis PATEN harus
bekerja dengan ektra keras.
Penelitian ini menghasilkan gambaran holisitik realita organisasi kecamatan
dalam mengimplementasikan PATEN. Usulan-usulan teknis PATEN juga diberikan
berdasarkan pertimbangan akademis dan empiris. Harapan besar agar hasil kajian
ini menjadi referensi dalam pengambilan kebijakan lebih lanjut, khussunya
peningkatan kualitas pelayanan publik di Kabupaten Malang. Kajian tentang
PATEN tentu akan implementatif jika dibarengi dengan political will dari Bupati,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Camat, dan kepala SKPD terkait,
khususnya BP2T.
SARAN
Kajian tentang kesiapan PATEN ini memiliki beberapa kelemahan
sehingga perlu disempurnakan dengan penelitian-penelitian lebih lanjut. Peneliti
mengusulkan untuk melihat pemetaan kesiapan aparatur kecamatan dalam
menghadapi PATEN. Dengan berdasar atas gambaran objektif aparatur
kecamatan, maka dapat ditentukan proyeksi-poryeksi lanjutan untuk peningkatan
kapasitas aparatur kecamatan. Langkah lanjutan ini, sebagai upaya teoritis
optimalisasi PATEN.

DAFTAR PUSTAKA

Afrizal, Rozy. 2009. Kualitas Pelayanan Publik Kecamatan setelah Perubahan


Kedudukan dan Fungsi Camat sebagai Perangkat Daerah. Jurnal Ilmu
Administrasi dan Organisasi. Volume 16, Nomor 2
Anonymous. 2010. Kebijakan Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan
(PATEN), Inovasi Manajemen Pelayanan di Kecamatan. Direktorat
Jenderal Pemerintahan Umum Kementrian Dalam Negeri Republik
Indonesia: Jakarta
Armunanto, Anang. 2005. Akuntabilitas Pelayanan Publik Di Kantor Kecamatan
Purwodadi. Thesis. Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro.
Dwiyanto, Agus dkk. 2002. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Pusat Studi
Kependudukan dan Kebijakan UGM. Yogyakarta
Dwiyanto, Agus. 2005. Mewujudkan Good Governance melalui Pelayanan Publik.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Hoessein, Bhenyamin. 2002. Kebijakan Desentralisasi. Jurnal Administrasi Negara
Vol. I, No. 02, (Maret).
Kinseng A. Rulius. 2008. Kecamatan di Era Otonomi Daerah: Kekuasaan dan
Wewenang serta Konflik Sosial. Artikel Tidak Dipublikasikan.
Kumorotomo, Wahyudi. 2002. Etika Administrasi Negara. PT Raja Grafindo:
Jakarta
Muhdad, Norman dkk. 2010. Panduan Pelayanan Administrasi Terpadu
Kecamatan, Inovasi Manajemen Pelayanan di Kecamatan. Kerja Sama
Local Governance And Infrastructure For Communities In Aceh
(LOGICA) dan Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum Kementrian
Dalam Negeri Republik Indonesia: Jakarta
Osborne, David dan Gaebler, Ted. 1996. Mewirausahakan Birokrasi, Reinventing
Government. Penerjemah Abdul Rosyid. Pustaka Binaman Pressindo:
Jakarta

Jurnal Hasil Penelitian Balitbang Tahun 2014 Page 54


Osborne, David dan Plastrik, Peter. 2000. Memangkas Birokrasi, Lima Strategi
Menuju Pemerintahan Wirausaha. Penerjemah Abdul Rosyid dan
Ramelan. Pustaka Binaman Pressindo: Jakarta
Prasojo, Eko, Aditya Perdana dan Nor Hiqmah. 2006. Kinerja Pelayanan Publik,
Persepsi Masyarakat terhadap Kinerja, Keterlibatan dan Partispasi
Masyarakat dalam Pelayanan Bidang Pendidikan, Kesehatan dan
Kependudukan, YAPPIKA. Jakarta.
Rosyidi, Unifah. 2007. Reformasi Administrasi Sub Nasional: Analisis Reformasi
Pemerintahan Kecamatan Kota Bogor. Disertasi, Program Pasca
Sarjana Ilmu Adminsitrasi FISIP Universitas Indonesia.
Saragih, Ferdinand D. 2005. Menciptakan Pelayanan Publik yang Prima Melalui
Metode Benchmarking Prakts. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi,
Bisnis & Birokrasi, Vol.14, No.3 (September).
Wasistiono, Sadu. 2005. Optimalisasi Peran dan Fungsi Kecamatan, Modul Badan
Diklat Departemen Dalam Negeri-JICA.

Jurnal Hasil Penelitian Balitbang Tahun 2014 Page 55


KAJIAN PENINGKATAN PEMBINAAN WANITA PEMIMPIN
KEGIATAN SOSIAL DI KABUPATEN MALANG
Abstraksi

Wacana kesetaraan gender telah benar-benar mengemuka seiring dengan


munculnya tuntutan untuk mendapatkan perlakuan sama, tidak hanya pada urusan-
urusan domestik, namun juga menyangkut urusan publik. Hal ini terjadi sebagai
konsekuensi logis dari berkembangnya kaum perempuan yang tidak hanya pada kualitas
intelektualnya, namun juga ditentukan oleh tingkat kebutuhan dan tuntutan masyarakat
secara menyeluruh demi perimbangan pengembangan dan pembangunan di segala
bidang. Pada saat sekarang, tidak sedikit kaum perempuan yang berani menyuarakan
hak-hak dan kepentingannya sebagai warga masyarakat yang mestinya mendapat
perlakuan dan kedudukan sama dalam pembangunan, yang dulunya hal tersebut
merupakan hal tabu untuk diperbincangkan. Namun seiring dengan perjalanan waktu,
konstruk budaya patriarkhi tersebut sedikit demi sedikit telah mengalami reduksi. Oleh
karena itu, bukan semestinya jika peran kaum perempuan harus dibatasi dalam ruang
geraknya yang sempit, baik pada ranah politik, ekonomi, sosial-budaya, maupun
pendidikan.

Key Words : Organisasi Sosial Wanita, Kesetaraan Gender

PENDAHULUAN

Pemberdayaan dan pembinaan masyarakat merupakan suatu proses


dimana masyarakat - khususnya mereka yang kurang memiliki akses kepada
sumber daya pembangunan- didorong untuk meningkatkan kemandirian dalam
mengembangkan perikehidupan mereka. Pada prinsipnya, masyarakat mengkaji
tantangan utama pembangunan mereka lalu mengajukan kegiatan-kegiatan yang
dirancang untuk mengatasi masalah ini. Aktivitas ini kemudian menjadi basis
program lokal, regional dan bahkan nasional. Target utama pendekatan ini adalah
kelompok yang termarjinalkan dalam masyarakat, termasuk wanita. Namun
demikian, hal ini tidak berarti menafikan partisipasi dari kelompok-kelompok lain.
Pemberdayaan dan pembinaan masyarakat merupakan proses siklus terus
menerus, proses partisipatif dimana anggota masyarakat bekerja sama dalam
kelompok formal maupun informal untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman
serta berusaha mencapai tujuan bersama. Jadi pemberdayaan dan pembinaan
masyarakat lebih merupakan suatu proses ketimbang sebuah pendekatan cetak
biru.
Disisi lain, program perluasan kesempatan kerja bagi masyarakat,
khususnya perempuan telah lama diluncurkan melalui berbagai program oleh
pemerintah Indonesia. Misalnya : PPK (Program Pengembangan Kecamatan, dari
Direktorat Jendral Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Departemen Dalam
Negeri), P2KP (Program Pengentasan Kemiskinan Perkotaan, dari Direktorat
Jendral Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum), Desa Prima (Perempuan
Indonesia Maju Mandiri, dari Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan),
UPPKS (Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera dari Badan
Koordinasi Keluarga Berencana Nasional), dan sebagainya
Berdasarkan latar belakang di atas, maka Badan Penelitian dan
Pengembangan Kabupaten Malang hendak lebih mendalami pengkajian

Jurnal Hasil Penelitian Balitbang Tahun 2014 Page 56


pembinaan wanita pemimpin kegiatan sosial melalui penelitian ini yang berjudul
Peningkatan Pembinaan Wanita Pemimpin Kegiatan Sosial. Fokus penelitian
terumuskan dalam 3 hal, yaitu; pertama, eksistensi organisasi sosial wanita di
Kabupaten Malang, Kedua, pola pembinaan wanita pemimpin kegiatan sosial di
Kabupaten Malang. Ketiga, model pemberdayaan yang sesuai untuk
mengoptimalkan peran dan potensi organisasi wanita pemimpin kegiatan sosial di
Kabupaten Malang. Ada dua hal yang dapat diambil sebagai suatu kemanfaatan
dari penelitian ini yaitu Secara teoritik, memberikan kontribusi pada pemahaman
kontruksi organisasi sosial wanita, panduan pemberdayaan dan pola pembinaan
wanita pemimpin kegiatan social dan optimalisasi peran dan potensi
organisasinya. Secara praktis dan administratif, hasil penelitian ini diharapkan
memberikan kontribusi pada menjadi salah satu rujukan bagi berbagai organisasi
sosial wanita di daerah-daerah dalam mengembangkan sumber daya manusianya,
Masukan ini juga diharapkan bisa menjadi pedoman bagi fungsionaris organisasi
sosial wanita dalam menyusun program-program yang berorientasi pada
pengembangan sumber daya manusianya dalam mengembangkan masyarakat.

Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini terumuskan dalam 3 hal, yaitu ;
1. Bagaimana eksistensi organisasi sosial wanita di Kabupaten Malang?
2. Bagaimana pola pembinaan wanita pemimpin kegiatan sosial di Kabupaten
Malang?
3. Bagaimana model pemberdayaan yang sesuai untuk mengoptimalkan peran
dan potensi organisasi wanita pemimpin kegiatan sosial di Kabupaten
Malang?

Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dalam penelitian ini, adalah ;
1. Mengetahui eksistensi organisasi sosial wanita di Kabupaten Malang.
2. Mengetahui pola pembinaan wanita pemimpin kegiatan sosial di Kabupaten
Malang.
3. Mengetahui model pemberdayaan yang sesuai untuk mengoptimalkan peran
dan potensi organisasi wanita pemimpin kegiatan sosial di Kabupaten Malang.

Hasil Yang Diharapkan

Ada dua hal yang dapat diambil sebagai suatu kemanfaatan dari penelitian
tentang Peningkatan Pembinaan Wanita Pemimpin Kegiatan Sosial, yakni manfaat
teoritis dan praktis.
Secara teoritik, bahwa hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi pada pemahaman kontruksi organisasi sosial wanita, panduan
pemberdayaan dan pola pembinaan wanita pemimpinkegiatan social dan
optimalisasi peran dan potensi organisasinya.
Secara praktis dan administratif, hasil penelitian ini diharapkan
memberikan kontribusi pada berbagai kalangan dan institusi yang berkepentingan,
antara lain:
1. Organisasi sosial wanita Kabupaten Malang diharapkan dapat menjadi
salah satu rujukanbagi berbagai organisasi sosial wanita di daerah-daerah
dalam mengembangkan sumber daya manusianya, terutama sebagai profil
organisasi yang mandiri dan otonom. Masukan ini juga diharapkan bisa
menjadi pedoman bagi fungsionaris organisasi sosial wanita dalam menyusun

Jurnal Hasil Penelitian Balitbang Tahun 2014 Page 57


program-program yang berorientasi pada pengembangan sumber daya
manusianya dalam mengembangkan masyarakat.
2. Bagi para pemimpin dan calon pemimpinwanita di organisasi sosialnya
masing-masing diharapkan dapat menjadi masukan bagi upaya pemberdayaan
dan pembinaan sumber daya manusianya agar lebih mampu melakukan
penyesuaian dengan kebutuhan dan tuntutan anggota pada khususnya dan
masyarakat pada umumnya.
3. Bagi para pengelola organisasi sosial wanita diharapakan dapat menjadi
salah satu literatur tentang model pemberdayaan yang sesuai untuk
mengoptimalkan peran dan potensi yang dipimpin baik sebagai bahan bacaan
dalam memperluas wawasan dan pemikiran tentang pengembangan sumber
daya manusianya maupun sebagai acuan dalam mengoptimalkan peran dan
potensi sosialnya.

Ruang Lingkup Penelitian


Agar penelitian lebih fokus maka akan di batasi pada sasaran atau ruang
lingkup penelitian pada organisasi sosial wanita di Kabupaten Malang dan pola
pembinaan wanita pemimpin kegiatan sosial di Kabupaten Malang. Sehingga
diharapkan nantinya dapat menemukan gambaran model pemberdayaan yang
sesuai untuk mengoptimalkan peran dan potensi organisasi wanita pemimpin
kegiatan sosial di Kabupaten Malang.

KESIMPULAN
Dari pemaparan hasil penelitian dan analisis data, sesuai dengan rumusan
penelitian yang diajukan, penelitian ini menarik beberapa kesimpulan sebagai
berikut:
1. Eksistensi Organisasi Sosial Perempuan di Kabupaten Malang
Eksistensi Organisasi Sosial Perempuan di Kabupaten Malang terbentuk atas
interaksi program kegiatan yang tersusun dengan frekuensi implementasi
progam organisasi sosial wanita yang didasarkan pemetaan situasi dan kondisi
masyarakat Kabupaten Malang. Bentuk Eksistensi diwujudkan dalam peran
kepemimpinan dalam pemberdayaan masyarakat dan aktualisasi diri, bermitra
dengan stakeholder pembangunan dalam memberdayakan masyarakat
kabupaten Malang, kapasitas kelembagaan dan kader yang ditinjau dari tingkat
pendidikan, tingkat ekonomi, tingkat kesehatan para anggota dan pengurus.
Pola Pengembangan Pembinaan Wanita Pemimpin Kegiatan Sosial di
Kabupaten Malang
Setelah dikemukakan bahwa eksistensi memiliki hubungan interaksi
program kegiatan yang tersusun dengan frekuensi implementasi progam
organisasi serta dengan kapasistas kelembagaa dan kader itu sendiri, maka
pola pengembangan pembinaan wanita pemimpin kegiatan sosial di Kabupaten
Malang dapat diilustrasikan dalam gambar berikut:

Jurnal Hasil Penelitian Balitbang Tahun 2014 Page 58


2. Model pemberdayaan yang Sesuai untuk Mengoptimalkan Peran dan Potensi
Organisasi Wanita Pemimpin Kegiatan Sosial di Kabupaten Malang
Dari pemaparan hasil penelitian dan analisis dapat ditarik benang merah
bahwa terdapat pola pembinaan wanita pemimpin kegiatan sosial di Kabupaten
Malang yang dapat ditarik proposisi menjadi model pemberdayaan yang sesuai
untuk mengoptimalkan peran dan potensi organisasi wanita pemimpin kegiatan
sosial di Kabupaten Malang. Model tersebut diilustrasikan dalam gambar
berikut:

Gambar di atas memberikan gambaran bahwa model pemberdayaan yang


dilakukan harus mampu menciptakan kompetensi perempuan untuk terlibat lebih
aktif dan partisipatif dalam ruang pemberdayaan . Pergerakan perempuan dalam
organisasi sosial menjadikan perempuan mampu mendorong potensi dalam dirinya
sebagai energi aktif dalam mengaktualisasikan diri sekaligus pembuktian
eksistensi diri berkiprah dalam ruang pemberdayaan masyarakat Kabupaten
Malang. Temuan ini juga menjawab pemahaman umum yang menyatakan
perempuan belum mampu secara optimal mendorong adanya gerakan
pemberdayaan masyarakat Kabupaten Malang.

REKOMENDASI
1. Organisasi Sosial Perempuan Kabupaten Malang
a. Ketua organisasi sosial perempuan perlu memberikan perhatian dalam
pengembangan sumber daya manusia secara terorganisir dan
berkesinambungan di organisasinya masing-masing
b. Program dan kegiatan yang mendorong terjadinya eksistensi dan aktualisasi
perlu dilakukan sosialisasi dan implementasi baik yang sifatnya jangka
panjang, tahunan dan insidental.
c. Perlu dikembangkan nilai-nilai kepemimpinan secara masif sebagai
pembentukan budaya organisasi sosial perempuan profesional.
2. Pemerintah Kabupaten Malang
a. Pemerintah Kabupaten Malang hendaknya mendorong terciptanya sistem
kelembagaan secara profesional pada organisasi sosial perempuan di
Kabupaten Malang. Oleh sebab itu temuan penelitian ini menjadi sangat
berharga digunakan acuan awal untuk melakukan pengembangan dan

Jurnal Hasil Penelitian Balitbang Tahun 2014 Page 59


peningkatan kapasitas kepemimpinan perempuan dan pengembangan
budaya organisasi sosial perempuan di Kab Malang secara profesional.
b. Pihak Pemerintah kabupaten Makang hendaknya meningkatkan peran
organisasi sosial perempuan di kabupaten Malang melalui berbagai
program pemberdayaan masyarakat yang memposisikan perempuan
sebagai agen pembangunan. Melalui proses tersebut eksistensi dan
aktualisasi perempuan baik sebagai individu maupun kinerja kelembagaan
dapat berjalan berkesinambungan
3. Peneliti
Penelitian ini baru merupakan awal untuk mengkaji eksistensi dan
pembinaaan organisasi perempuan di Kabupaten Malang. Penelitian ini masih
ada kekurangan, maka perlu penelitian berikutnya yang lebih mendalam.

DAFTAR RUJUKAN

Abdulsyani. 1992.Sosiologi, Skematika, Teori dan Terapan. (Jakarta: Bumi Aksara),


Amirullah, Haris Budiyono, 2004. Pengantar Manajemen; Graha Ilmu, Yogyakarta
Anatan, Lina dan Lena Ellitan. 2007.Manajemen Sumber Daya Manusia dalam
Bisnis Modern. (Bandung : Alfabeta)
Bellah, Robert N. 1992. Religi Tokugawa Akar-akar Budaya Jepang (Gramedia
Pustaka Utama)
Bellah, Robert N, 1970, Beyond Bellief, Bantam Books, New York
Bennis W. dan Nanus B. 1985. Visionary Lead, Jossey Bass Publisher (San
Francisco)
Bogdan, R.C., & Biklen, S.K.B. 1998. Qualitative Research for Education : An
Introduction to Theory and Methods. Boston. Allyn and Bacon, Inc.
Bogdan, R., &Taylor, S.J. 1993. Kualitatif Dasar-Dasar Penelitian. Penterjemah : A.
Khozin Afandi. Surabaya : Usana Offset Printing.
Dessler, Gary. 1997. Human Resources Management, terj. Benyamin Molan.
(Jakarta : Prenhallindo),
Doreen Kimura, “Sex Differences in the Brain”, (Gaguk Margono, “Perbedaan Gender
dalam Matematika”, Jurnal Perempuan, 2005)
Dryden, Gordon and Jeannette Vos, The Learning Revolution, Auckland: Profile Books,
1993.
Effendi, Sofia, Sjafri, Sirin, Dahlan, Alwi M, (ed.)1996, Membangun Martabat
Manusia: Peranan Ilmu-Ilmu Sosial Dalam Pembangunan, Yogyakarta,
Gadjah Mada Univercity Press.
Friedmann, John, 1992, Empowerment, The Politics of Alternative Development,
Blackwell Publisher, Cambridge-Oxford
Hafifuddin Didin dan Hendri Tanjung.2005. Manajemen Syari’ah dalam Praktek
(Jakarta : Gema Insani)
Hickman, Craig R. &Michail A. Silva.1984. Creating Excellence, Managing
Corporate Culture Strategy, and Change in the New Age, (New York: A
Plume Book)
Hodgson, Marshall G. S, 1974, The Venture of Islam, Conscience and History in a
World Civilization, University of Chicago Press, Chicago – Ilinois
Ibrahim, Marwah Daud, 1997, Citra Perempuan dalam Media : Seksploitasi dan
Sensasi Sadistik, dalam Idy Subandi Ibrahim, Ecstacy Gaya Hidup,
Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia, Penerbit
MIZAN, Bandung
“Kesetaraan Gender Menentukan Pencapaian MDG”, Kompas,14 Juli 2003.

Jurnal Hasil Penelitian Balitbang Tahun 2014 Page 60


“Kesetaraan Gender Menentukan Pencapaian MDG”, Kompas,17 Juli 2003.

Jurnal Hasil Penelitian Balitbang Tahun 2014 Page 61


MODEL KOMUNIKASI POLITIK ANGGOTA DPRD TERHADAP
KONSTITUEN DI DAERAH PILIHANNYA DI KABUPATEN MALANG

Abstraksi

Dalam mengemban tugasnya, DPRD maupun Kepala Daerah harus


melakukan komunikasi yang intens agar aspirasi masyarakat menjadi sebuah
kebijakan pemerintah yang berpihak kepadanya. Komunikasi kedua institusi
tersebut sering kali disebut sebagai komunikasi politik. Komunikasi Politik (political
communication) merupakan komunikasi yang melibatkan pesan-pesan politik dan
aktor-aktor politik, atau berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan, dan kebijakan
pemerintah.
Tujuan kajian penelitian ini adalah untuk mendiskripsikan dan memperoleh
rumusan tentang : (1) Model komunikasi politik anggota DPRD terhadap
konstituen dimasing-masing dapilnya untuk menyerap dan menyalurkan aspirasi
masyarakat dalam upaya menjalankan fungsi dan perannya baik fungsi legislasi,
fungsi anggaran dan fungsi pengawasan; (2) Mekanisme reses anggota DPRD
sebagai salah satu bentuk komunikasi politik anggota DPRD terhadap konstituen
di masing-masing daerah pemilihan yang efektif dan efisien, (3) Terwujudnya
partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan melalui DPRD yang
aspiratif.
Berkaitan dengan manfaat penelitian, secara umum manfaat penelitian
yang berorientasi pada model/pola komunikasi politik antara anggota DPRD
dengan Konstituen di masing-masing daerah pemilihan dii wilayah Kabupaten
Malang. Secara khusus, manfaat penelitian ini adalah: (a) Memberikan
sumbangan pemikiran kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Malang dalam
menyusun kebijaksanaan yang berkaitan dengan model/pola komunikasi politik
anggota DPRD terhadap Konstituen di masing Dapil di wilayah Kabupaten Malang,
(b) Sebagai bahan masukan bagi lembaga DPRD, Partai Politik/Fraksi, Anggota,
dalam melakukan komunikasi Politik secara baik terhadap konstituen, (c) Sebagai
bahan masukan bagi masing-masing Dapil di Kabupaten Malang dalam menyusun
rencana dan sekaligus implementasi serta kontrol pembangunan dengan
mendorong adanya peningkatan partisipasi masyarakat, (d) Bagi masyarakat;
mengetahui tinggkat partisipasi dan efektifitas aspirasi yang disampaikan kepada
masing-masing anggota DPRD.

Key Words : Komunikasi Politik, Kelembagaan.


PENDAHULUAN
DPRD berdasarkan pasal 1 ayat (40) UU Nomor 32 tahun 2004 adalah
lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan
daerah. Hal ini menunjukkan bahwa secara hukum keberadaan lembaga DPRD
mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam melaksanakan kebijaksanaan
pembangunan di daerah. Sebab DPRD merupakan salah satu lembaga perwakilan
rakyat yang mencerminkan aspirasi politik masyarakat, dan berkedudukan sebagai
unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah, sehingga mampu memberikan
pelayanan kepada masyarakat, dengan mengembangkan prinsip-prinsip good
governance. Lembaga Perwakilan Rakyat DPRD/DPR mempunyai peran penting
dalam penyerap dan penyalurkan aspirasi serta perumus kehendak masyarakat
yang terus berkembang. Oleh karena itu dalam pengelolaan, menyerap dan

Jurnal Hasil Penelitian Balitbang Tahun 2014 Page 62


menyalurkan aspirasi masyarakat merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dengan komunikasi politik.
Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara
yang berkedaulatan rakyat dimana dalam pelaksanannya menganut prinsip
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan. Untuk melaksanakan prinsip-prinsip tersebut perlu diwujudkan dalam
lembaga perwakilan rakyat baik di pusat maupun di daerah yang diharapkan
mampu mengejawantahkan nilai-nilai demokrasi dalam kehidupan ketatanegaraan
untuk mengembangkan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Dengan demikian juga diharapkan mampu mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sebuah bingkai sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Dalam praktiknya, komuniaksi politik sangat kental dalam kehidupan sehari-
hari. Sebab, dalam aktivitas sehari-hari, tidak satu pun manusia tidak
berkomunikasi, dan kadang-kadang sudah terjebak dalam analisis dan kajian
komunikasi politik. Berbagai penilaian dan analisis orang awam berkomentar soal
perbaikan jalan, penerangan, pelayanan kesehatan, penyelenggaraan pendidikan,
bantuan permodalan, dan lain sebagainya, ini merupakan contoh kekentalan
komunikasi politik. Sebab, sikap pemerintah untuk mensikapi dari berbagai
fenomena tersebut melalui proses komunikasi politik dengan mendapat
persetujuan DPR/D.
Dari gambaran di atas, maka peneliti mencoba untuk menggali dan
mendeskripsikan beberapa hal, yaitu; bagaimana model komunikasi politik anggota
DPRD terhadap konstituen dimasing-masing dapilnya, mekanisme reses anggota
DPRD sebagai salah satu bentuk komunikasi politik dan perwujudan partisipasi
masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan ?.
Dalam penelitian ini agar tidak terlalu meluas dalam penelitian ini, perlu
adanya pembatasan kajian yaitu mengenai model komunikasi politik anggota
DPRD terhadap konstituen di masing-masing Daerah Pilihannya. Sekaligus untuk
membatasi jangkauan dalam penelitian ini, lokasi penelitian untuk masing-masing
Dapil hanya diambil satu wilayah Kecamatan. Sehingga, di Kabupaten Malang ini
terdapat 33 Kecamatan dibagi menjadi tujuh Dapil, maka peneliti juga mengambil
tujuh Kecamatan dan masing-masing kecamatan mewakili Dapil sebagai sampling
dari keseluruhan kecamatan tersebut.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kabupaten Malang terdiri dari 33 Kecamatan, dengan potensi kecamatan
satu dengan yang lainnya yang berbeda-beda, baik dari aspek manusia dan
lingkungan alamnya. Potensi yang tersebar di masing-masing kecamatan tersebut
menjadi tantangan tersendiri bagi seluruh masyarakat di Kabupaten Malang untuk
berkreasi dan inovasi, khususnya bagi anggota DPRD untuk terus berfikir dan
bertindak sepenuh hati dalam mewujudkan kemakmuran masyarakat. Potensi
yang ada mampu dikelola sedemikian rupa dan dikerjasamakan dengan semua
pihak (stakeholders) untuk saling mendukung dan berbuat demi keadilan dan
kesejahteraan rakyat. Al hasil, semua potensi dapat dikembangkan secara optimal
guna mendukung terwujudnya Visi dan Misi Kabupaten Malang, yaitu :
Terwujudnya Masyarakat Kabupaten Malang yang Mandiri, Agamis, Demokratis,
Produktif, Maju, Aman, Tertib dan Berdaya Saing (Madep Mantep).
A. Model komunikasi politik anggota DPRD terhadap konstituen.

Jurnal Hasil Penelitian Balitbang Tahun 2014 Page 63


Model komunikasi yang sering dilakukan oleh anggota DPRD Kabupaten
Malang dalam menjalankan peran dan fungsinya, yaitu ; model komunikasi
dilakukan dengan dua tipe komunikasi, yaitu : formal dan non formal atau informal.
Komunikasi formal, antara lain; melalui kegiatan rapat-rapat pembangunan atau
Musrenbang baik di Desa sampai di Kabupaten, sedangkan non formal adalah
kegiatan yang dilakukan tidak resmi, antara lain; blusukan, turun kemasyarakat
secara langsung, mengikuti kegiatan masyarakat, berbincang di warung, hajatan
masyarakat, dll. Sedangkan untuk model komunikasi politik non formal dirasa lebih
efektif dalam menggali beberapa aspirasi masyarakat secara detail sekaligus
dengan cara dialog dan menemukan beberapa pilihan-pilihan dari permasalahan
atau usulan yang sampaikan.
Selain itu yang lebih penting lagi adalah model komunikasi yang didasarkan
pada transparansi (keterbukaan) dan akuntabilitas (bertanggungjawab) peran
angggota DPRD, yaitu anggota DPRD melakukan jaring aspirasi masyarakat baik
formal, non formal dan atau in formal yang selanjutnya dibuat program kegiatan,
disosialisasikan, direalisasikan dan dievaluasi bersama-sama dengan masyarakat.
Disinilah secara bertahap kegiatan reses dapat diukur capaian-capaian yang
sudah dilakukan dari proses pembangunan baik dalam jangka pendek, menengah
maupun jangka panjang.
Secara sederhana model komunikasi anggota DPRD terhadap konstituen
dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

DPRD
FORMAL NON /IN
FORMAL

MASYARAKAT/KO
NSTITUEN IMPLEMENTASI

ASPIRASI MASYARAKAT PROGRAM SOSIALISASI


B. Mekanisme reses anggota DPRD sebagai salah satu bentuk komunikasi
politik terhadap konstituen.

Reses merupakan bentuk kegiatan yang secara legal formal telah diatur
dalam tata tertib DPRD yang harus dilakukan di masing-masing Daerah
Pemilihannya MONITORING
(Dapil) - untuk
EVALUASI
memperoleh aspirasi konstituen. Di Kabupaten
Malang reses telah diatur dalam dalam peraturan DPRD Nomor 10 Tahun 2010
tentang Tata Tertib DPRD Kabupaten Malang Bab IX, Persidangan, Rapat, dan
Pengambilan Keputusan bagian kesatu Persidangan Pasal 69, yaitu :
(1) Pada awal masa jabatan keanggotaan, tahun sidang DPRD dimulai pada
saat pengucapan sumpah/janji Anggota.
(2) Tahun sidang dibagi dalam 3 (tiga) masa Persidangan
(3) Masa Persidangan meliputi masa sidang dan masa Reses, kecuali pada
persidangan terakhir dari satu periode keanggotaan DPRD, masa reses
ditiadakan.
(4) Masa reses dilaksanakan tiga kali dalam satu tahun paling lama enam hari
kerja dalam satu kali reses;
(5) Reses dipergunakan untuk mengunjungi daerah pemilihan Anggota yang
bersangkutan dan menyerap aspirasi masyarakat;
(6) Setiap melaksanakan tugas reses sebagaimana dimaksud pada ayat
(4), Anggota DPRD secara perorangan atau kelompok wajib membuat

Jurnal Hasil Penelitian Balitbang Tahun 2014 Page 64


laporan tertulis atas pelaksanaan tugasnya yang disampaikan kepada
Pimpinan DPRD dalam rapat paripurna;
(7) Kegiatan dan jadwal acara reses sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
ditetapkan oleh Pimpinan DPRD setelah mendengar pertimbangan Badan
Musyawarah.
Peraturan tersebut di atas tentu menjadi acuan yang bisa digunakan oleh
masing-masing anggota DPRD dalam melakukan kegiatan. Reses dilakukan
sebagai wahana komunikasi politik antara anggota DPRD dengan konstituen
dalam menggali berbagai aspirasinya.Walaupun masih ada sebagian
masyarakat yang mengatakan bahwa kegiatan reses DPRD itu hanya sebatas
pada formalitas atau ada yang ekstrim mengatakan hanya menghabiskan uang
saja. Artinya kegiatan reses masih jauh dari idealitas yang diharapkan bersama.

Adapun mekanisme reses anggota DPRD dapat dilihat pada gambar di


bawah ini :

Kegiatan reses setiap tahun :


DPRD

RESES
TAHAP I TAHAP II

SOSIALISASI PROGRAM MONITORING & EVALUASI


RENC. PELAKSANAAN RENC. PROGRAM
MONITORING&EVALUASI RENC. PELAKSANAAN
DLL DLL

MASYARAKAT

C. Perwujudan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan


melalui Anggota DPRD yang aspiratif.

Perwujudan partisipasi masyarakat di Kabupaten Malang dalam


pembangunan masih dalam kategori masih cukup tinggi. Hanya perlu dipetakan
pada kategori pembangunan itu sendiri. Adapun perwujudan partisipasi
masyarakat melalui anggota DPRD sangatlah tergantung pada model
pembangunan yang dilaksanakan. Hal ini secara sederhana dapat dilihat pada
gambar di bawah ini :

PROGRAM

Perwujudan Partisipasi

Grass Goverment
root
Partisipasi melalui swakelola, swadaya Partisipasi masyarakat sangat terbatas, melihat
masyarakat yang berasal dari inisisatif jenis pembangunan yang dilaksanakan.
masyarakat itu sendiri berupa ide, material, Misalkan yang dikerjakan oleh PT, CV.
uang, makanan,tenaga, dll

MASYARAKAT
KESIMPULAN

Jurnal Hasil Penelitian Balitbang Tahun 2014 Page 65


1. Model komunikasi politik anggota DPRD terhadap konstituen dimasing-
masing Dapil, yaitu; model komunikasi dilakukan dengan dua model
komunikasi, yaitu : formal dan non formal atau informal. Model komunikasi
formal, antara lain; melalui kegiatan rapat-rapat pembangunan atau
Musrenbang baik di Desa sampai di Kabupaten, sedangkan model komunikasi
non formal adalah kegiatan yang dilakukan tidak resmi, antara lain; blusukan,
turun kemasyarakat secara langsung, mengikuti kegiatan masyarakat,
berbincang di warung, hajatan masyarakat, dll. Untuk itu, model komunikasi
yang efektif adalah hasil jalinan aspirasi masyarakat menjadi sebuah program
kerja, disosialisasikan, dilaksanakan dan dievaluasi secara transparan dan
akuntabel sesuai dengan tahapan yang ada. Sehingga, model komunikasi yang
didasarkan pada transparansi (keterbukaan) dan akuntable (dapat
dipertanggungjawabkan) sebagai angggota DPRD, yaitu anggota DPRD
melakukan jaring aspirasi masyarakat baik formal, non formal dan atau in formal
yang selanjutnya dibuat program kegiatan, disosialisasikan, direalisasikan dan
dievaluasi bersama-sama dengan masyarakat. Disinilah secara bertahab
kegiatan reses dapat diukur capaian-capaian yang sudah dilakukan dari proses
pembangunan baik dalam jangka pendek, menengah maupun jangka panjang.

2. Mekanisme reses anggota DPRD sebagai salah satu bentuk komunikasi


politik anggota DPRD terhadap konstituen, yaitu; ada tiga bentuk
mekanisme. Pertama, didahului dengan memberitahukan kepada pihak
kecamatan ataupun desa tentang perihal kedatangan mereka. Kedua,
anggota DPRD juga melakukan koordinasi terlebih dahulu dengan struktur
partainya ditingkat kecamatan dan desa. Mereka tidak berkoordinasi dengan
pejabat pemerintah kecamatan atau desa kecuali pejabat tersebut kader
partainya atau simpatisan partai yang bersangkutan. Ketiga, berkoordinasi
dengan semua stakeholders masyarakat, baik dari pemerintah, partai politik
dan kelompok-kelompok masyarakat, dengan menunjuk beberapa orang
menjadi pelaksana teknis kegiatan sekaligus menyusun laporan
kegiatannya. Sekaligus diharapkan mekanisme reses mampu memberikan
tawaran baru, yaitu secara bertahap ada progress yang telah dilakukan oleh
anggota DPRD selama enam bulanan atau disetiap semester.
3. Perwujudan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan,
yaitu; berupa ide yang berbentuk perencanaan, evaluasi dan monitoring oleh
masyarakat sendiri, berbentuk uang atau material, ini dilakukan baik individu
maupun kelompok-kelompok masyarakat tertentu dengan memberikan
bantuannya berupa dana atau berupa bahan bangunan (material) dan
berbentuk fisik atau tenaga, dalam hal ini dilaksanakan oleh masyarakat sendiri
baik model swadaya maupun swakelola masyarakat dalam pelaksanaan
pembangunan. Selain model pembangunan yang langsung dilaksanakan oleh
pihak ketiga oleh CV atau PT dan tentu partisipasi masyarakat sangat terbatas.

REKOMENDASI
Ada beberapa saran yang dapat dijadikan rekomendasi bagi pihak-pihak
pemangku kepentingan (stakeholders) mengenai komunikasi politik, yaitu :
1. Bagi Pemerintah Kabupaten Malang, diharapkan dapat mensupport
kebutuhan reses secara penuh, dengan harapan reses dapat dilaksanakan
secara efektif dan maksimal.

Jurnal Hasil Penelitian Balitbang Tahun 2014 Page 66


2. Bagi lembaga DPRD, bahwa reses hendaknya bisa dimanfaatkan secara
maksimal oleh anggota DPRD dengan membuat aturan yang detil mengenai
bentuk kegiatan, proses, sampai pada laporan kegiatan yang memuat tentang
usulan dan skala prioritas dari aspirasi konstituen. Sehingga kegiatan reses
dapat dijadikan media jaring aspirasi, sosialisasi program, pelaksanaan dan
sekaligus sebagai media evaluasi.
3. Bagi Partai Politik, diharapkan mampu mengawal semua proses reses dan
hasilnya dapat bermanfaat bagi konstituen.
4. Bagi Litbang Kabupaten Malang, melakukan pengembangan kajian kajian
penelitian tentang “Efektifitas Peran DPRD dalam Pembangunan.”

DAFTAR PUSTAKA
Akmal Budianto. 2010. Pemimpin Politik dan Kualitas Demokrasi. ITS Pres.
Surabaya.
Bellah, Robert N, 1970, Beyond Bellief, Bantam Books, New York
Bogdan, R.C., & Biklen, S.K.B. 1998. Qualitative Research for Education : An
Introduction to Theory and Methods. Boston. Allyn and Bacon, Inc.
Bogdan, R., &Taylor, S.J. 1993. Kualitatif Dasar-Dasar Penelitian. Penterjemah : A.
Khozin Afandi. Surabaya : Usana Offset Printing.
Dan Nimmo. 2005. Komunikasi Politik; Komunikator, Pesan, dan Media. Remaja
Rosda Karya. Bandung.
Dryden, Gordon and Jeannette Vos, The Learning Revolution, Auckland: Profile Books,
1993.
Fauzie Ridjal dan M. Rusli Karim. 1991. Dinamika Budaya dan Politik dalam
Pembangunan. Tiara Wacana. Yogyakarta.
Firmanzah. 2008. Mengelola Partai Politik; Komunikasi dan Psitioning Ideologi Politik di
Era Demokrasi. Yayasan Obor. Jakarta.
Friedmann, John, 1992, Empowerment, The Politics of Alternative Development,
Blackwell Publisher, Cambridge-Oxford.
Hodgson, Marshall G. S, 1974, The Venture of Islam, Conscience and History in a
World Civilization, University of Chicago Press, Chicago – Ilinois
Lincoln, Yvonna S. and Guba, Egon G. 1985.Naturalistic Inquiry.SAGE Publication,
Inc. India.
Miles. B Matthew dan A. Michael Huberman 1992.Analisis Data Kualitatif.Buku
Sumber Tentang Metode-Metode Baru. Penerbit Universitas Indonesia
Jakarta.
Mohtar Mas’oed. 1999. Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan. UII Pres.
yogyakarta.
_____________.2003. Politik, Birokrasi dan Pembangunan. Pustaka Pelajar.
Yogakarta.
Moleong, L. J. l991. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Karya.
Nasution, S.1988. Metode Penelitian Naturalistik-Kualitatif.Penerbit Tarsito
Bandung.
Nasution, S.1988. Metode Penelitian Naturalistik-Kualitatif.Penerbit Tarsito
Bandung.
Patton, M.Q. 1980. Qualitative Evaluation Methods. Beverly Hills: SAGE
Publications, Inc.
Rahmat, Jalaludin, 1997, Generasi Muda di Tangah Arus Perkembangan
Informasi, dalam Idy Subandi Ibrahim, Ecstacy Gaya Hidup, Kebudayaan
Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia, Penerbit MIZAN, Bandung.

Jurnal Hasil Penelitian Balitbang Tahun 2014 Page 67

Anda mungkin juga menyukai