Anda di halaman 1dari 47

BAB II

TELAAH PUSTAKA

2.1. Penelitian Terdahulu

1. Rika Indra Sukmana, Suminah, Hanifah Ihsaniyati (2017) dengan

judul “Kinerja Usaha Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA) Menuju

Pertanian Modern Di Kabupaten Sukoharjo. Penelitian ini bertujuan

untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja Usaha

Pelayanan Jasa Alsintan tepatnya di Desa Dalangan Kecamatan

Tawangsari Kabupaten Sukoharjo beradasarkan motivasi,

manajemen, kemampuan dan keterampilan, dan fasilitas UPJA.

Metode dasar penelitian adalah kuantitatif dengan teknik

survei.Lokasi penelitian ditentukan secara purposive di Kabupaten

Sukoharjo, tepatnya di Desa Dalangan dengan pertimbangan

bahwa Desa Dalangan telah memiliki UPJA dengan luas areal 170

Ha dan telah dirintis menjadi percontohan Nasional.Metode

pengambilan sampel yang digunakan adalah stratiefedrandom

sampling, dimana stratanya berdasarkan pengurus dan

anggota,untuk anggota yang dipilih 55 responden sedangkan

pengurus diambil semua sejumlah 15.Total sampel sebanyak 70

petani responden. Data diperoleh dengan kuisioner terhadap 70

responden melalui observasi, wawancara, dan

dokumentasi.Analisis data menggunakan regresi linier berganda.

12
11

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: faktor-faktor yang

mempengaruhi kinerja yaitu motivasi dalam kategori tinggi,

manajemen dalam kategori tinggi, kemampuan dan keterampilan

dalam kategori tinggi, fasilitas dalam kategori tinggi dan kinerja

UPJA dalam kategori tinggi/baik. Terdapat pengaruh yang

signifikan antara motivasi, manajemen, kemampuan dan

keterampilan pada taraf kepercayaan 95% dan tidak terdapat

pengaruh yang signifikan antara fasilitas terhadap kinerja UPJA.

2. Penelitian Asnawi. Is (2017) mengenai “ Peranan Usaha Pelayanan

Jasa Alsintan (UPJA) Kelas Berkembang Dalam Pengembangan

Usahatani Padi Sawah Di Kabupaten Tebo. Penelitian ini bertujuan

untuk mengetahui peranan Usaha Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA)

kelas Berkembang dan pendapatan petani padi sawah yang

memanfaatkan UPJA tersebut di Kabupaten Tebo. Kemajuan

teknologi mekanisasi sudah dikembangkan pada subsektor

pertanian tanaman pangan , dengan teknologi mekanisasi

pertanian (alat mesin pertanian/Alsintan), sumber daya alam dan

sumber daya manusia yang tersedia akan lebih termanfaatkan

dalam rangka peningkatan produksi pertanian, yang pada

gilirannya sekaligus akan mengembangkan ekonomi

masyarakat.Metode Penelitian yang digunakan adalah metode

survey dengan dasar penetapan wilayah sengaja (purposive

sampling) dengan pertimbanganbahwa daerah ini memiliki


12

kelompok UPJA kelas berkembang, berprestasi tingkat kabupaten

dan provinsi bahkan pada tahun 2017 UPJA salah satu UPJA

mendapatkan peringkat sepuluh besar penilaian tingkat nasional

yang dilakukan oleh Direktur alsintan Kementrian Pertanian RI.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa peranan UPJA kelas

berkembang di Kabupaten Tebo terlaksana dengan baik. Petani

yang menggunakan jasa alsintan sangat terbantu dari aspek

efisiensi waktu, tenaga, dan penggunaan alsintan mempercepat

alih teknologi alsintan kepada masyarakat pertanian dipedesaan.

3. Febri Yeni dan Novia Dewi (2014). Dengan judul“ Analisis Sistem

Unit Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA) Di Kecamatan Kuala Kampar

Kabupaten Pelalawan. Tujuan penelitian ini adalah untuk

menganalisis penggunaan peralatan mesin pertanian (Alsintan)

yang dikelola oleh Kelompok UPJA dan dampaknya terhadap

pengembangan ekonomi masyarakat di Kabupaten Pelalawan.

Responden yang diambil adalah Kelompok UPJA Berkat Usaha di

Desa Sungai Solok. Data dan informasi yang diperoleh dari

lapangan maupun melalui pelacakan instansional selanjutnya

dianalisis secara deskriptif melalui metode tabulasi. Hasil Penelitian

menunjukkan bahwa Struktur Organisasi UPJA Kelompok UPJA

Berkat Usaha dipimpin oleh seorang manajer dan dibantu oleh

beberapa orang operator, yang bertugas untuk mengoperasikan

alsintan dengan beberapa divisi, yaitu divisi operasional yang


13

membawahi beberapa operator, divisi teknis dan divisi administrasi

membantu manajer dalam hal pengelolaan dan pembukuan

keuangan kelompok UPJA.

4. Hasil penelitian Sigit Nugraha (2012) mengenai “Inovasi Teknologi

Pasca Panen Untuk Mengurangi Susut Hasil dan Mempertahankan

Mutu Gabah Beras Ditingkat Petani Di Kabupaten Sukabumi

Provinsi Jawa Barat”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

penurunan angka susut paskapanen padi akan mendorong

tercapainya produksi 70,2 juta ton gabah dan program

swasembada beras 10 juta ton.

Inovasi teknologi paska panen dapat dilakukan mulai dari yang

paling sederhana yaitu panen yang dilakukan dengan sabit atau

sabit bergerigi atau dengan perontokan dengan menggunakan

pedal tresher sampai dengan teknologi yang paling maju, yaitu

panen dan perontokan dilakukan dengan combine harvester.

Inovasi sederhana yang perlu mendapat perhatian dan mudah

diterapkan yaitu panen dengan sistem berkelompok dengan

anggota 10-15 orang, dengan cara panen potong atas. Hasil panen

langsung dimasukkan kedalam karung dan perontokan dilakukan

dengan power trasher. Perbaikan mutu gabah dengan menekan

kandungan hampa kotoran, butiran hijau dan mengapur serta butir

kuning dan rusak dapat meningkatkan harga jual padi. usaha

mengurangi susut hasil selama penanganan pascapanen padi


14

dapat dilaksanakan apabila sinergi diantara stakeholder dapat

tercapai dengan baik, mulai dari petani, penyedia peralatan,

regulasi peraturan pemerintah serta dukungan modal ataupun

bantuan dalam rangka pengadaan peralatan. Mutu gabah dan

beras yang baik akan memberikan nilai tawar yang tinggi dan akan

berdampak terhadap nilai tawar yang tinggi dan akan berdampak

terhadap nilai tambah yang diperoleh petani.

5. Menurut Sugiarto (2010). Berjudul “Analisis Kinerja UPJA

Penunjang Kegiatan Usaha Tani Padi”. Penelitian ini bertujuan

untuk menganalisis dampak keberadaan UPJA terhadap kinerja

usahatani dan memberikan masukan kepada penentu kebijakan

didalam pengembangan UPJA yang berguna untuk meningkatkan

pendapatan petani. Pengumpulan informasi dan data kuantatif

dilakukan melalui wawancara terstruktur, sedangkan yang kualitatif

dikumpulkan melalui strategi wawancara kelompok dan studi kasus

dengan multimetode, wawancara mendalam, pengamatan

langsung, dan dilengkapi dengan informasi dari dokumen tertulis

yang relevan. Hasil penelitian Ketersediaan alsintan bagi petani

pengguna alsintan UPJA pada segmen usahatani padi berdampak

positif dalam meningkatkan manfaat ekonomi, ditandai dengan B/C

rasio lebih tinggi dibandingkan dengan petani yang tidak

menggunakan alsintan UPJA. Hal ini disebabkan karena kinerja

alsintan UPJA memberikan jaminan keamanan dalam proses


15

produksi dengan memperhitungkan skala ekonomi yang melekat

pada masing-masing jenis alsintan.

6. Widjoyo S. M; Richard E. M. F. Osak; Jolanda K. Juliana K (2020).

Dengan Judul “ Analisis Strategi Pengembangan Usaha Pelayanan

Jasa Alat Dan Mesin Pertanian (Upja) Di Kabupaten Bolaang

Mongondow Timur. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji faktor

internal dan faktor eksternal dalam melakukan pengembangan

suatu Usaha dalam Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA). Dan untuk

mengetahui perumusan formulasi strategi dalam menumbuh

kembangkan bisnis usaha dalam pelayanan jasa alat pertanian

atau UPJA. Penelitian dilaksanakan sejak bulan Juli sampai

Agustus 2020. Berlokasi di Kabupaten Bolaang Mongondow Timur

pada tiga kecamatan yaitu Kecamatan Kotabunan, Kecamatan

Mooat dan Kecamatan Modayag. Sumber data dalam penelitian ini

mengunakan data primer dan sekunder. Analisis data dalam

penelitian ini menggunakan metode analis SWOT berdasar pada

logika untuk dapat mengembangkan sebesar-besarnya kekuatan

(strength) serta peluang (opportunity), tetapi secara bersamaan

juga bisa meminimalisir kelemahan (weakness) serta ancaman

(threat). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kajian faktor internal

dan faktor eksternal dalam pengembangan usaha pelayanan jasa

alat mesin pertanian (UPJA) yaitu faktor internal yaitu kemampuan

dalam manajerial perusahaan serta pengalaman dari operator bisa


16

disebut sebagai kekuatan dan juga administrasi perusahaan dalam

pelayanan kepada petani dan faktor eksternal perusahaan yang

ikut dalam penentuan arah pengembangan usaha pelayanan jasa

alat pertanian yaitu dukungan pemerintah dalam hal ini Dinas

Pertanian Kabupaten Bolaang Mongondow Timur dan potensi

tersedianya pinjaman bank yang sangat mendukung untuk

pengembangan Usaha Pelayanan Jasa Alat Mesin Pertanian

(UPJA) serta jaminan dan kemudahan suku cadang.

7. Tewodros Biset Amene (2016), dengan Judul “Penilaian Faktor

yang Mempengaruhi Kinerja Koperasi Pertanian di Pasar Gandum :

Kasus Distrik Gedeb Hasasa, Ethiopia. Tujuan dari penelitian ini

adalah untuk memberikan penjelasan tentang Faktor-faktor yang

Mempengaruhi Koperasi Pertanian. Kinerja Pemasaran (Dalam

Kasus di Kabupaten Gedeb Hasasa). Dalam penelitian ini alat

statistik deskriptif digunakan untuk memberikan gambaran yang

jelas tentang karakteristik sosio-demografi responden. Untuk

menjawab pertanyaan penelitian dan mengukur konstruk dan efek

prediktor pada Koperasi Pertanian Kinerja Pemasaran (ACMP),

baik Analisis Faktor Eksplorasi (EFA) dan Faktor Konfirmatori

Analisis (CFA) digunakan. Hasil EFA menunjukkan bahwa Kaiser-

Mayer Olkin sebesar 0,90 dan uji Bartlett sebesar 0,00

menunjukkan bahwa analisis faktor sesuai. Metode ekstraksi

analisis komponen utama adalah digunakan untuk menganalisis


17

data dengan Metode Rotasi Promax ; lima faktor diekstraksi dan

secara statistik penting. Faktor pertama menjelaskan 32,11% dari

varian. Faktor kedua menjelaskan 11,92% dari varian. Faktor ketiga

menjelaskan 8,08% dari varian. Faktor keempat menjelaskan

7,07% dari varian. Dan faktor kelima menjelaskan 4,56% dari

varian. Hasil yang diperoleh dari hasil EFA mengungkapkan bahwa

lima faktor yang diekstraksi menjelaskan 63,75% variasi faktor

yang mempengaruhi koperasi pertanian. Di bawah CFA, Model

Pengukuran dan teknik pemodelan struktural digunakan dengan

bantuan paket statistik AMOS dan Smart PLS3 untuk menjelaskan

hubungan antar beberapa variabel termanifestasi dan faktor

eksogen dan endogen. CFA mengkonfirmasi lima faktor itu memiliki

dampak positif yang signifikan terhadap ACMP. Implikasi dari

pekerjaan penelitian ini akan membantu AC dan CPO untuk

mengidentifikasi faktor utama yang dapat mempengaruhi ACMP.

8. Mzuyanda Christian, Tina Hans dan Lungile Gidi (2018) dengan

Judul “Faktor yang mempengaruhi kinerja remaja dan wanita

koperasi pertanian : Kasus beberapa yang dipilih perkumpulan

koperasi di Eastern Cape, Afrika Selatan”. Pemuda dan wanita

pedesaan adalah korban utama kemiskinan yang disebabkan oleh

penjarahan. Sebagai sebuah kelompok, mereka kekurangan akses

terhadap kepemilikan tanah, modal keuangan dan partisipasi dalam

proses pengambilan keputusan pada tingkat keluarga maupun


18

masyarakat. Salah satu cara untuk mengatasi tantangan ini adalah

melalui pembentukan perkumpulan koperasi. Sebagai perkumpulan

koperasi dibebani dengan tanggung jawab untuk memenuhi

kebutuhan para anggotanya dan meningkatkan kualitas pedapatan

anggotanya. Namun, kekuatan finansial mereka terbatas sehingga

tidak dapat memberikan pinjaman yang memadai dan akses

terhadap kredit dapat menghambat kinerja mereka. Oleh karena

itu, studi ini mengkaji dampak jiwa kewirausahaan terhadap kinerja

koperasi pemuda dan perempuan di PT. Eastern Cape, Afrika

Selatan. Untuk mencapai tujuan tersebut, dikumpulkan data

sebanyak 70 anggota koperasi melalui teknik pengambilan sampel

secara acak. Data yang dikumpulkan dengan menggunakan

kuesioner kemudian dianalisis menggunakan model regresi

deskriptif dan inferensial. Bukti dari penelitian mengungkapkan

bahwa pemuda dan Koperasi perempuan terlibat dalam berbagai

kegiatan pemberdayaan. Temuan juga menunjukkan bahwa

Kegiatan pemberdayaan berpengaruh positif terhadap jiwa

kewirausahaan anggota koperasi pemuda dan perempuan.

9. Margaret Mwangi dan Samuel Kariuki (2015), dengan Judul

“Faktor Penentu Adopsi Teknologi Pertanian Baru oleh Petani Kecil

di Negara Berkembang”. Teknologi pertanian dipandang sebagai

jalan keluar penting dari kemiskinan di sebagian besar negara

berkembang. Namun tingkat adopsi teknologi ini tetap rendah di


19

sebagian besar negara ini. Tujuan penelitian ini untuk menjelaskan

faktor-faktor potensial yang mempengaruhi adopsi teknologi

pertanian dalam pembangunan negara. Itu dilakukan dengan

meninjau studi sebelumnya yang dilakukan tentang adopsi

teknologi. Dari studi teknologi, Faktor ekonomi, kelembagaan dan

faktor spesifik manusia merupakan faktor penentu pertanian adopsi

teknologi. Studi tersebut merekomendasikan studi masa depan

tentang adopsi untuk memperluas kisaran variabel yang digunakan

dengan memasukkan persepsi petani terhadap teknologi baru.

10. Andriy Stavytskyy dan Oleksandra Prokopenko (2017), dengan

Judul “Investasi Mesin Pertanian Dan Efisiensi Di Ukraina”. Salah

satu syarat utama produksi pertanian yang efektif adalah

mekanisasi pertanian yang memadai. Namun, situasi ekonomi yang

tidak stabil di Ukraina, ditambah dengan masalah birokrasi

membuat nilai tukar mata uang tidak stabil dan rute perdagangan

yang berubah tajam (yang telah menyebabkan kerugian besar bagi

sejumlah petani dan pedagang yang bekerja dengan Serikat

Pabean) menciptakan hambatan signifikan untuk berinvestasi pada

mesin di Ukraina. Terutama bagi pertanian kecil dan menengah

yang biasanya berada dalam kondisi ekonomi yang tidak baik tanpa

akses yang memadai terhadap kredit. Akibatnya, Petani di Ukraina

berusaha tani pada tingkat mekanisasi yang kurang memadai.

Akibatnya, produktivitas pertanian di Ukraina secara signifikan lebih


20

rendah dibandingkan dengan negara lain yang memiliki kondisi

alam serupa dalam hal suhu, curah hujan dan kualitas lahan

pertanian. Masalah yang tidak kalah pentingnya adalah kurangnya

kesadaran akan usahatani kecil dan menengah yang mungkin tidak

terwujud pengaruh investasi pada mesin pertanian. Jadi, untuk

memberikan angka potensi secara spesifik pada investor dan

membuktikan efisiensi terhadap investasi dimaksud, dimana efek

ekonomi dapat langsung dirasakan dari investasi mesin (sebagai

peningkatan keuntungan dari hasil yang lebih tinggi). Langkah

pertama adalah menentukan jenis mesin pertanian yang

berdampak signifikan terhadap hasil dan tingkat produktivitas

masing-masing pada Jenis tanaman : biji-bijian, tanaman minyak,

sayur mayur, buah-buahan, dll. Kemudian, dampak dari investasi

tambahan dalam berbagai peralatan mesin pada hasil panen yang

diperkirakan. Akhirnya, berdasarkan harga tetap dan tingkat

diskon, diharapkan keuntungan tambahan yang dihasilkan oleh

mesin yang baru dibeli di pertanian rata-rata. Model tersebut

terbukti sangat menguntungkan investasi pada mesin seperti bajak,

penyebar pupuk, mesin pemanen, traktor, dan mesin untuk irigasi.

Kebanyakan dari mereka terbayar (pada sebidang tanah dengan

luas sekitar 2000 ha) dalam tiga tahun atau kurang.


21

2.2. Landasan Teori

2.2.1. Usaha Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA)

2.2.1.1. Pengertian Usaha Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA)

Usaha Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA) merupakan suatu

lembaga ekonomi pedesaan yang bergerak di bidang pelayanan jasa

dalam rangka optimalisasi penggunaan alat dan mesin pertanian

untuk mendapatkan keuntungan usaha, baik di dalam maupun di luar

kelompok tani atau gapoktan. Kelembagaan UPJA merupakan suatu

sistem usaha jasa yang dibangun atau dibentuk atas dasar

kepentingan kelompok tani yang dapat memberikan keuntungan.

Pengembangan UPJA sebagai kelembagaan ekonomi di

pedesaan yang bergerak di bidang pengelolaan dan pelayanan jasa

alsintan ditujukan untuk mendapatkan keuntungan usaha (profit

making), yang dikelola berdasarkan skala ekonomi (economic of

scale), berorientasi pasar (market oriented), serta didukung oleh

sumberdaya manusia (SDM) yang profesional. Secara operasional

pengembangan UPJA diarahkan untuk mendorong penggunaan

alsintan oleh petani atau kelompok tani sekaligus merupakan

terobosan dalam mengatasi masalah kepemilikan alsintan secara

individu yang kurang menguntungkan. Pada hakekatnya,

pengembangan UPJA dimaksudkan untuk dapat membangun sistem

Usaha Pelayanan Jasa Alsintan di sentra produksi komoditas


22

pertanian yang berorientasi bisnis (Direktorat Jenderal Prasarana

dan Sarana Pertanian Departemen Pertanian RI, 2011).

UPJA adalah kelompok usaha yang melakukan usaha

pelayanan jasa alsintan yang dalam pelaksanaannya, kelompok

tersebut dapat sebagai kelompok khusus usaha pelayanan jasa

alsintan ataupun sebagai kelompok tani yang memiliki unit usaha

jasa pelayanan jasa alsintan atau mereka yang mengelola alsintan

untuk usaha jasa pelayanan jasa alsintan (Mashudi, 2000).

UPJA merupakan bagian dari rekayasa sosial di tingkat

lapangan dalam bidang peningkatan pendayagunaan alat mesin

pertanian agar dapat dimanfaatkan secara efisien melalui pola usaha

(bisnis) untuk membantu usahatani tanaman semusim. Karena

keterbatasan modal petani, hingga saat ini pemanfaatan alsintan

tidak hanya untuk mengolah lahan sendiri, tetapi juga dimanfaatkan

untuk melayani pekerjaan pertanian di lahan milik petani lain. Dalam

pengembangan UPJA, dikembangkan juga semua subsistem terkait,

yang terdiri dari :

a. Perbengkelan.

b. Pemberi jasa layanan.

c. Penerima jasa layanan.

d. Permodalan.

Siam (2000) mendefinisikan bahwa fungsi UPJA adalah

melakukan kegiatan ekonomi dalam benetuk penyewaan jasa


23

alsintan baik dalam kegiatan jasa pra-panen, jasa panen, pasca

panen, dan jasa pengolahan hasil.

Pendayagunaan alsintan melalui UPJA sudah dimulai sejak

tahun 1996 sampai tahun 1997 dengan membentuk kelompok UPJA

percontohan di 13 Provinsi (NAD, Sumatera Utara, Riau, Jambi,

Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta,

Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan Nusa

Tenggara Barat). Kemudian pada tanggal 2 Desember 1998,

Departemen Pertanian telah mengeluarkan Keputusan Direktur

Jenderal Tanaman Pangan dan Hortikulturan Nomor I.HK.05098.71

tentang Petunjuk Pelaksanaan Pendayagunaan dan Pengembangan

Alat dan Mesin Pertanian, dengan output yaitu pengembangan

penggunaan alsintan di kalangan masyarakat tani atau kelompok tani

yaitu :

a. Tumbuhnya kelompok – kelompok tani.

b. UPJA dan bengkel pembuatan.

c. Perawatan dan perbaikan alsintan.

d. Berkembangnya sistem agribisnis dan agroindustri di pedesaan.

Namun demikian melalui instrumen atau upaya tersebut

kelembagaan UPJA belum berkembang sebagaimana yang

diharapkan. Untuk itu, dalam rangka optimalisasi pendayagunaan

alsintan melalui penumbuhan dan pengembangan UPJA sebagai

lembaga perekonomian di pedesaan untuk mendukung


24

pengembangan usaha tani, dikeluarkan Peraturan Menteri Pertanian

RI Nomor 25/Permentan/PL 130/5/2008 tanggal 22 Mei 2008 tentang

Pedoman Penumbuhan dan Pengembangan Usaha Pengembangan

Usaha Pelayanan Jasa Alat dan Mesin Pertanian (UPJA). Tujuannya

adalah untuk mendorong dan memotivasi perkembangan dan

kemajuan kinerja lembaga UPJA, meningkatkan dan

mengoptimalkan pemanfaatan alsintan dari aspek teknis, ekonomis,

organisasi, dan aspek penunjang untuk menuju ke arah UPJA

profesional.

UPJA dapat dipandang sebagai suatu unit usaha, atau dapat

dikembangkan menjadi organisasi atau lembaga ekonomi yang

bergerak di bidang pelayanan jasa (sewa) alat dan mesin pertanian.

Sebagai lembaga ekonomi pedesaan, UPJA selayaknya

menggunakan dan mengelola alat mesin tersebut secara optimal

untuk mendapatkan keuntungan usaha berdasarkan skala ekonomi

yang berorientasi pasar, didukung oleh sumberdaya manusia yang

profesional, serta dapat memberikan umpan balik positif secara

kolektif bagi kegiatan ekonomi pertanian di pedesaan. Oleh sebab

itu, sangat masuk akal jika UPJA di masa datang dikelola oleh

manager UPJA secara profesional dan mandiri. Prinsip

profesionalisme adalah :

a. Secara teknis berorientasi bisnis yang sehat.

b. Secara ekonomis menguntungkan.


25

c. Berkelanjutan.

d. Berdasarkan prinsip kemitraan usaha yang secara simetris saling

membutuhkan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan.

2.2.1.2. Tahap Perkembangan Usaha Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA)

Secara umum dapat dikatakan bahwa saat ini sistem

pertanian di pedesaan yang sebagian besar merupakan usahatani

keluarga, sedang dalam era transisi dan di persimpangan jalan yaitu

apakah mampu menjadi tulang punggung kehidupan ekonomi desa

atau akan menjadi beban kehidupan ekonomi desa. Proses

perkembangan UPJA dapat dipandang sebagai proses siklikal. Dari

satu siklus proses ke siklus yang berikutnya tidak berlangsung statis,

tetapi dinamis, yaitu melalui proses penyesuaian atau adaptasi

(teknis, ekonomi, ketenagakerjaan, dan distributif).


26

Tahap III Tahap I


Penguasaan kalkulasi Pengenalan teknis
ekonomi. Ujicoba lapangan
Penilaian kelayakan Bimbingan teknis
distributor (tenaga Penilaian terhadap
kerja dan sharing kelayakan teknis oleh
system). petani dan petugas.
Ramah lingkungan Regulasi daerah dan
(ecologically friendly) desa.

Tahap II
Penguasaan secara
teknis memadai.
Penilaian kelayakan
ekonomi.
Adopsi terbatas pada
elit petani

Gambar 2.1. Tahap Perkembangan Adopsi Alsintan pada Kegiatan


Pertanian Padi Sawah (Mayrowani, 2009).

Pada tahap awal (tahap I) proses difusi inovasi alsintan untuk

pertanian padi sawah memerlukan tahap pengenalan (cognitive

stage) pada petani. Mengingat sistem pertanian merupakan bagian

dari hidup orang banyak dan mempunyai dampak strategis

(ketahanan pangan, ekonomi petani dan pedesaan,

ketenagakerjaan, dan politik), maka pada tahap awal ini harus

dipelopori pemerintah. Sangat sulit diharapkan jika pada tahap awal

pelaku ekonomi pasar (misalnya: penjaja komersial jasa alsintan)

diandalkan untuk melakukan pengenalan kepada petani. Selain

biayanya relatif mahal, proyeksi keuntungan jangka pendek yang


27

dapat dinikmati oleh penjaja komersial alsintan juga masih belum

meyakinkan.

Pada tahap II sudah memasuki wilayah penilaian kelayakan

ekonomi, baik oleh pengguna alsintan. Kemampuan hidup

kelembagaan UPJA ditentukan pada tahap ini. Bisa jadi secara teknis

suatu alsintan (misalnya traktor tangan dan pompa air), secara teknis

sudah layak untuk disebarluaskan. Pada situasi demikian, program

pemerintah menjadi penting karena dapat mengurangi biaya transfer

teknologi dan biaya tetap yang harus ditanggung oleh penjual jasa

alsintan. Salah satu manfaat pemberian bantuan traktor tangan dari

pemerintah langsung kepada kelompok tani adalah mengurangi

sebagian biaya transfer teknologi dan biaya pengadaan traktor.

Tahap III dapat dipandang sebagai tahap adopsi alsintan yang

memenuhi kaidah distributif. Kelayakan ekonomi saja belum dapat

menjamin sepenuhnya suatu alsintan dapat diadopsi masyarakat

petani secara mantap. Stabilitas adopsi alsintan yang dimaksud perlu

dilihat dari segi sharing system. Sharing system adalah sistem

distribusi manfaat yang diharapkan masyarakat mendapat distribusi

manfaat yang seimbang dengan pengusaha alsintan. Jika dalam

sistem penerimaan atau adopsi alsintan menimbulkan ketimpangan

dalam distribusi manfaat (pembagian resiko) serta ketenagakerjaan,

maka adopsi yang dimaksud akan sulit diharapkan dapat

berlangsung secara mantap.


28

2.2.1.3. Kelembagaan Pengembangan Usaha Pelayanan Jasa

Alsintan (UPJA)

Masalah dan kendala pengembangan alsintan antara lain,

luas pemilikan dan sebaran lahan, sosial ekonomi petani terutama

pengetahuan, keterampilan, modal, dan budaya. Selain itu, sistem

usahatani umumnya subsisten dan tradisional, prasarana penunjang

khususnya penataan lahan, jalan usahatani dan bengkel, serta

kelembagaan terutama lembaga petani, penyuluhan dan pelatihan

serta jasa.

Selain masalah dan kendala tersebut, pengembangan alsintan

juga belum dilakukan secara komprehensif. Umumnya masih bersifat

parsial, serta lebih didominasi penyediaan perangkat keras melalui

program bantuan atau hibah alsintan. Namun demikian, hasilnya

tidak seperti yang diharapkan. Banyak aspek yang tidak atau kurang

dipertimbangkan dalam proses inovasi tersebut. Namun demikian,

keuntungannya adalah pembelajaran proses, yaitu faktor

pemberdayaan masyarakat dan kelembagaan harus mendapatkan

perhatian yang proporsional pada pengembangan alsintan. Intervensi

pemerintah akan banyak berpengaruh dalam mempercepat adopsi

teknologi alsintan. Tapi, juga dapat memperburuk situasi jika tidak

sepadan dengan lingkungan yang ada.


29

Strategi yang ditempuh pemerintah melalui Kementerian

Pertanian dalam mengembangkan dan mengoptimalkan

pemanfaatan alsintan adalah menumbuhkembangkan lembaga Unit

Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA). Dengan penyewaan jasa alsintan,

petani yang tidak sanggup membeli alsintan dapat menyewa sesuai

kebutuhannya, tanpa harus mengeluarkan biaya besar untuk

membelinya.

Sementara itu permasalahan pengembangan UPJA antara

lain: Pertama, keterbatasan kemampuan SDM pelaku utama dan

pendukung pengembangan UPJA termasuk penyuluh. Kedua,

terbatasnya prasarana dan sarana penunjang, khususnya bengkel

dan BBM di lokasi UPJA. Ketiga, belum baiknya penataan lahan dan

jalan usahatani untuk efisiensi mobilisasi dan operasional alsintan.

Keempat, anggaran untuk pelatihan dan pendampingan/pembinaan

UPJA masih minim. Kelima, terbatasnya akses terhadap informasi

alsintan dan permodalan serta suku cadang di lokasi UPJA.

Peningkatan kinerja dan penyempurnaan pengembangan

UPJA dilakukan melalui :

1. Peningkatan SDM pelaku dan pendukung pengembangan UPJA

melalui pelatihan dan pembinaan secara berkesinambungan.

2. Penyempurnaan manajemen UPJA melalui pembuatan dan

sosialisasi berbagai Panduan. Terutama, identifikasi kebutuhan

alsintan, tata kelola UPJA, operasi dan pemeliharaan alsintan.


30

3. Seleksi bantuan alsintan hendaknya disesuaikan dengan

kebutuhan setempat dan dikaitkan dengan pengenalan alsintan

baru, serta model percontohan disertai pelatihan dan

pendampingan pengembangan kelembagaannya.

4. Pengembangan UPJA ke depan hendaknya dengan pola UPJA

mandiri melalui pemberdayaan, serta peningkatan partisipasi dan

kemandirian masyarakat berdasarkan kondisi wilayah dan

kebutuhan setempat.

2.2.1.4. Pengelolaan Alsintan pada Brigade Alsintan

Selain dalam UPJA, dalam tiga tahun terakhir ini, pengelolaan

alsintan juga dilakukan dalam format keorganisasian yang lain, yakni

Brigade Alsintan. Brigade Alsintan berada di dinas pertanian (provinsi

dan kabupaten/kota), serta pada TNI (Kodim dan Korem).

Dalam buku “Pedoman Umum Pengelolaan Brigade Alsintan

(Kementan 2017), disebutkan bahwa Upaya pembentukan Brigade

Alsintan merupakan bentuk pendayagunaan alsintan yang diadakan

melalui anggaran Kementerian Pertanian. Pendayagunaan yang

dimaksud agar pengelolaan pemanfaatan alsintan melalui Brigade

Alsintan dapat memberikan contoh sekaligus mengawal

pemanfaatan alsin oleh poktan/gapoktan/UPJA.

Dengan pola tersebut bantuan alsintan yang sudah diadakan/

disalurkan kepada poktan/gapoktan/UPJA dapat dimanfaatkan

secara optimal untuk mendorong kegiatan percepatan olah tanah,


31

tanam dan panen secara serempak guna tercapainya peningkatan

produksi padi, jagung, dan kedelai.

Pengorganisasian pemanfaatan alsintan memiliki tiga opsi,

yakni dikelola Brigade Alsintan di Dinas Pertanian, di Korem/Kodim,

atau kelompok tani, Gapoktan dan UPJA. Di lapangan, pihak Brigade

telah menerapkan pola dan prosedur peminjaman alat sedemikian

rupa. Misalnya, harus diketahui kelompok tani, PPL dan Dinas

Pertanian setempat. Selain itu, peminjaman dibatasi dan dimonitor

petugas. Secara umum saat ini, pengelolaan Brigade Alsintan belum

dipahami masyarakat secara luas, biaya operasional alsintan tidak

selalu tersedia di Brigade, serta belum jelas jenis dan tingkat

kerusakan alat dan mesin serta pihak yang menanggungnya.

Lebih jelas dalam Pedoman disampaikan bahwa Poktan/

Gapoktan/UPJA memanfaatkan bantuan alsintan secara optimal

mengacu pada ketentuan Brigade Alsintan yang berlaku pada

masing-masing kelompok/UPJA dalam mendukung percepatan

pengolahan tanah.

Segala bentuk pembiayaan dalam rangka pelayanan Brigade

Alsintan kepada masyarakat/petani ditanggung pengguna layanan.

Meliputi, biaya bahan bakar, upah operator, mobilisasi alsintan,

perawatan dan pemeliharaan alsintan, misalnya dihitung

berdasarkan umur alat.


32

Untuk pengelolaan yang lebih baik ke depan, perlu dilakukan

pendataan ketersediaan alsintan tingkat kecamatan secara

menyeluruh. Selain itu, rekapitulasi pola tanam/panen tingkat

kecamatan, serta penyusunan kalender tanam dan panen tingkat

kecamatan yang lebih riil dan update.

Bersamaan dengan itu perlu juga disusun jadwal operasional

alsintan secara optimal. Di lapangan, juga dibutuhkan operator yang

bersertifikat sebagai syarat untuk verifikasi penyerahan alsintan. Agar

lebih sustainable (berkelanjutan), Brigade juga mesti mampu

menyusun rencana kerja tiap unit alat, target pendapatan,

persediaan dana maintenance, dan lain-lain sehingga lebih mandiri.

Bersamaan dengan itu, network sesama Brigade perlu dibangun,

sehingga tercapai efektivitas pemanfaatan alat dalam komunikasi

yang sinergis.

2.2.2. Percepatan Tanam

2.2.2.1. Gerakan Percepatan Tanam

Gerakan percepatan tanam bertujuan untuk mengejar musim

tanam (MT) tahap ke-dua pada blan April - September yang

dilakukan sebelum memasuki musim kemarau. Dengan percepatan

tanam diharapkan target luas tanam dibeberapa daerah selesai pada

akhir Desember.
33

Gerakan percepatan tanam padi sawah diharapkan dapat

meningkatkan produktifitas lahan dan tanaman khususnya di Jawa

Timur. Peningkatan hasil padi rata-rata 3,92% dalam 3 tahun terakhir

diharapkan akan dapat meningkat lagi jika didukung oleh

pengelolaan tanaman dan kelembagaan kelompok yang baik.

Harapan ini sesuai dengan pesan Menteri Pertanian Amran Sulaiman

pada acara sergap (serap gabah petani) petani di Jawa Timur bahwa

produksi padi di Jawa Timur dapat ditingkatkan lagi dari 13 juta ton

menjadi 14 juta ton (Sinartani, 2016).

Mengejar musim tanam dengan mengandalkan ternak sapi

untuk mengolah tanah sawah adalah hal yang tidak mungkin

dilakukan. Belum lagi jika jumlah ternak yang dimiliki atau yang

disewakan untuk mengolah sangat terbatas. Tidak semua ternak sapi

milik petani digunakan untuk membantu pengerjaan olah tanah.

Beberapa petani memiliki ternak sapi untuk simpanan saja dan ketika

ternak sudah besar akan dijual.

Beberapa usaha dilakukan dalam upaya percepatan musim

tanam padi dan memperpendek masa jeda tanam antara lain dengan

menyalurkan benih yang di lakukan oleh BPTP Jawa Timur ke

wilayah Bangkalan, Sampang, Pamekasan, Sumenep, Gresik,

Sidoarjo, Jombang, Mojokerto, dan Nganjuk. Di Sembilan kabupaten

tersebut, panen terjadi sekitar Pebruari-Maret. Volume bantuan benih

padi yang disalurkan adalah 30 ton. Jumlah ini dapat memenuhi


34

kebutuhan benih untuk 571 ha padi sawah. Usaha lainnya adalah

dengan menambah alsintan pendukung lainnya seperti di kabupaten

Bangkalan yakni penambahan pompa air 15 unit, traktor roda empat

3 unit, traktor roda dua 10 unit, transplanter 5 unit dan benih 5 ton

(BPTP Jatim, 2016). Dalam pelaksanaanya, kecepatan gerak maju

dari ternak yang digunakan untuk membajak menurun drastis setelah

digunakan selama tiga jam (satu jam pertama kecepatannya 67

m/menit menjadi 44 m/menit, bahkan pada jam ke enam menjadi 36

m/menit) (Acharya, dkk. 1979).

Untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu adanya

pengoptimalan alsintan traktor yang telah didistribusikan ke daerah-

daerah yang menjadi target Upsus Pajale. Alsintan inilah yang

nantinya kedepan akan digunakan petani untuk membantu

pengolahan tanah dalam gerakan percepatan tanam karena

kapasitas kerjanya yang tinggi dibanding tenaga ternak .

2.2.2.2. Percepatan Tanam Dan Pengolahan Tanah

Dalam usaha pertanian, pengolahan tanah dilakukan dengan

tujuan untuk menciptakan kondisi fisik; khemis dan biologis tanah

yang lebih baik sampai kedalaman tertentu agar sesuai untuk

pertumbuhan tanaman. Disamping itu pengolahan tanah bertujuan

pula untuk membunuh gulma dan tanaman yang tidak diinginkan;

menempatkan seresah atau sisa-sisa tanaman pada tempat yang

sesuai agar dekomposisi dapat berjalan dengan baik; menurunkan


35

laju erosi; meratakan tanah untuk memudahkan pekerjaan di

lapangan; mempersatukan pupuk dengan tanah; serta

mempersiapkan tanah untuk mempermudah dalam pengaturan air

(Tiara, 2016).

Percepatan tanam tidak terlepas dari kegiatan pengolahan

tanah. Pengolahan tanah jika mengandalkan tenaga ternak tidak

akan efektif untuk mengejar musim tanam serentak dan umur bibit

semaian padi akan terlanjur tua untuk ditanam. Untuk itu kegiatan

pengolahan tanah perlu dikelola secara kelompok dengan

mengoptimalkan unit kerja alsintan kelompok tidak secara

perorangan, sehingga pergiliran penggunaan alat traktor dapat tepat

waktu dan sasarannya.

Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan pengolahan

lahan antara lain : (1) tersedianya jaringan irigasi, (2) pola tanam,

dimana pola tanam padi-padi menyebabkan permintaan pengolahan

tanah meningkat dibanding pola tanam padipalawija, (3) kualitas

layanan, dimana dampak dari penggunaan traktor tangan adalah

waktu pengolahan tanah menjadi dapat dipercepat, sehingga tanam

serempak dapat dilaksanakan, (4) Kemampuan manajemen.

(Hamidah dan Teguh, 2006).

Menurut Gagelonia et al., (2005), pengolahan tanah dalam

rangka persiapan lahan pertanian dapat dilakukan dengan membajak

menggunakan hewan seperti kerbau dan sapi, namun hal ini


36

dianggap kurang efektif. Maka dari itu, penggunaan traktor tangan

dalam pengolahan tanah dirasa perlu digunakan. Sejalan dengan

penelitian Suastawa dkk, (2000), yang melaporkan bahwa

penggunaan traktor sebagai sumber tenaga dalam pengolahan

tanah, diharapkan dapat mengurangi waktu dan biaya yang

diperlukan untuk proses pengolahan tanah, kapasitas kerja menjadi

lebih tinggi dan pendapatan petani bertambah, sehingga dapat

dilaksanakan usaha intensifikasi dan ekstensifikasi yang sempurna.

Luas lahan sawah irigasi dan non irigasi Jawa Timur dalam

satu kali musim tanam adalah 1.177.160 ha (Bappeda, 2015). Jika

kapasitas kerja maksimal traktor bisa mencapai 30 ha/unit (Hamidah

dan Teguh, 2006) maka jumlah traktor yang dibutuhkan 39.239 unit

raktor /musimnya. Pada Tahun 2015, untuk menggenjot produksi

pangan dan mencapai swasembada pangan pemerintah telah

membagikan 3000 unit traktor dibeberapa Kabupaten Di Jawa Timur

(Miftahudin, 2015).

Ditegaskan pula oleh Hamidah dan teguh (2006), dampak dari

penggunaan traktor tangan adalah waktu pengolahan tanah menjadi

dapat dipercepat, sehingga tanam serempak dapat dilaksanakan.

Kualitas Layanan erat kaitannya dengan daya jangkau kerja alat.

Berdasarkan spesifikasi teknis alat, traktor tangan dapat mengolah

lahan samapi 30/Ha/unit/semester.

2.2.2.3. Dampak Percepatan tanam


37

Dalam pelaksanaan penggunaan traktor sebagai alat

mengolah tanah dalam gerakan percepatan tanam bukan berarti

tidak mendapat hambatan sama sekali. Percepatan tanam

tergantung beberapa faktor yakni :

1. Perubahan iklim, masa El Nino yang lama mengharuskan musim

tanam mundur dari jadwal tanam yang berdampak pada

pergeseran pola tanam serta komoditas pertanian petani.

2. Faktor insentif, insentif berupa bantuan biaya tanam belum dapat

efektif jika faktor-faktor pendukung lain tidak maksimal. Misalnya

tidak adanya air yang cukup.

3. Kondisi lahan dan kondisi jaringan irigasi. Lahan sawah akan

mudah diolah jika dalam kondisi terairi. Tanah dalam kondisi

kering akan menyulitkan olah tanah baik untuk olah tanam

minimum maupun olah tanah sempurna. Dengan perbaikan irigasi

maka suplai air ke persawahan dapat menjangkau lahan yang

lebih luas. Banyaknya tunggul-tunggul bekas tanaman dilahan

juga dapat menghampat jalannya traktor. Menurut Rizaldi (2008),

masih banyaknya tunggul tanaman dalam petakan olahan dapat

menghambat penggunaan alat sehingga mengurangi kapasitas

kerja alat.

4. Faktor ekonomi. Penggunaan alsintan identik dengan biaya

mahal sedang umumnya petani memiliki luasan lahan yang

sempit.Rata-rata 0,2 ha per orang artinya penggunaan traktor


38

dirasa makin memberatkan petani yang standar ekonominya

dibawah rata-rata. Sedangkan petani biasa mengolah lahannya

secara perorangan tidak bersama-sama sehingga biaya sewa

traktor terasa masih mahal.

5. Jumlah traktor. Ketersediaan alat traktor di beberapa petani masih

sangat terbatas sehingga petani masih ada yang menggunakan

tenaga ternak dan menyesuaikan umur persemaian padi.

6. Sosial budaya. Percepatan tanam tidak dapat berjalan lancar jika

berbenturan norma etika dan adat setempat yang telah dipercaya

turun temurun. Ini memerlukan pendekatan persuasif dan

bertahap. Tingkat pendidikan masyarakat mempengaruhi tingkat

adopsi penggunaan traktor.

7. Kelembagaan UPJA dibentuk sebagai usaha untuk

mengembangkan alsintan di tingkat petani. Terbentuknya upja

bukan jaminan bahwa organisasi tersebut dapat berjalan sesuai

harapan. Untuk itu perbaikan manajemen pengelolaan UPJA

akan dapat meningkatkan adopsi alsintan ke masyarakat.

2.2.3. Alat Dan Mesin Pertanian

2.2.2.1. Mekanisasi Alat Dan Mesin Pertanian

Mekanisasi pertanian semakin berkembang seiring

berkembangnya zaman, maka semakin berkembang pula teknologi

dari mekanisasi pertanian untuk melakukan kegiatan budidaya


39

pertanian. Mekanisasi pertanian sendiri diharapkan dapat

meningkatkan produktivitas tenaga kerja manusia, meningkatkan

produktivitas lahan, menurunkan ongkos produksi dan dapat

menyelesaikan atau mempermudah pekerjaan yang mungkin tidak

dapat diselesaikan oleh manusia dengan mudah (Silalahi, 2011).

Ruang lingkup mekanisasi pertanian meliputi 5 bidang, yaitu :

1. Bidang mesin-mesin budidaya pertanian, yang menelaah

persoalan-persoalan penggunaan tenaga dan alat-alat untuk

budidaya pertanian

2. Bidang teknik tanah dan air, yang menelaah persoalan-persoalan

yang ada kaitannya dengan keadaan teknik tanah dan air

3. Bidang bangunan pertanian, yang menelaah persoalan-persoalan

gedung-gedung, bangunan, dan perlengkapan

4. Bidang elektrifikasi pertanian, yang menelaah persoalan-

persoalan penggunaan mesin-mesin yang dipakai dalam usaha

menyiapkan hasil pertanian, baik untuk disimpan maupun

langsung digunakan

5. Bidang mesin-mesin pengolahan pangan, yang menelaah

persoalan-persoalan penggunaan alat serta syarat-syarat yang

diperlukan bagi suatu pengolahan pangan.

Alat dan mesin pertanian atau yang biasa disebut dengan

alsintan merupakan suatu tenaga penggerak dan suatu alat yang

sederhana atau komplek yang saling terkait dan memiliki sistem


40

transmisi (perubah gerak). Pengoperasian alat dan mesin pertanian

membutuhkan masukan tenaga untuk dapat menggerakkan alat dan

mesin pertanian (Sitorus, 2011).

Penggunaan secara intensif alat dan mesin pertanian

mempunyai dua tujuan utama, yaitu sebagai upaya untuk

meningkatkan kinerja usaha tani dan sekaligus menekan biaya

usaha tani. Dengan penggunaan alat dan mesin pertanian

diharapkan pekerjaan menjadi lebih cepat, mudah dan mampu

mencapai hasil yang lebih besar. Penggunaan alat dan mesin

pertanian diharapkan juga dapat menekan biaya usaha tani,

menekan kehilangan hasil sehingga produksi meningkat dan dengan

demikian keuntungan usaha menjadi meningkat yang dapat

mensejahterakan petani (Purwantini dan Sri, 2017).

Alat dan mesin pertanian banyak digunakan pada budidaya

pertanian pada kegiatan pra panen hingga pasca panen pertanian

yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Dengan

beberapa alasan alat dan mesin pertanian dapat meningkatkan

produktivitas. Pertama, menggunakan alat dan mesin pertanian

dapat mempermudah kegiatan budidaya pertanian sehingga lebih

intensif dan effisiensi baik dari segi biaya dan waktu. Kedua, alat dan

mesin pertanian memberi kemudahan dan keuntungan bagi petani.

Ketiga, alat dan mesin pertanian dapat mendukung proses


41

mekanisasi dan modernisasi pertanian untuk pembangunan

pertanian yang lebih baik dan maju (Agusrinaldy, 2006).

Hutahaean, dkk (2005) menyatakan pengembangan UPJA

pada beberapa daerah kurang berkembang karena kemampuan

sewa petani yang masih rendah, sehingga bila UPJA dipaksakan

akan tidak ekonomis. Bagi daerah dimana kemampuan sewa petani

masih rendah, maka diperlukan intervensi pemerintah berupa

bantuan fasilitas seperti penyediaan alat dan mesin pertanian,

pembangunan unit bengkel alat dan mesin pertanian, dan

penyediaan permodalan. Namun, bagi daerah-daerah tertentu yang

para petaninya memiliki kemampuan menyewa alat dan mesin

pertanian cukup tinggi, UPJA di daerah tersebut akan dapat

berkembang menjadi UPJA mandiri dan profesional, sehingga tidak

perlu lagi campur tangan pemerintah yang lebih besar.

Keberhasilan pengembangan alat dan mesin pertanian

dipengaruhi berbagai faktor, antara lain: (a) eksistensi lembaga

agribisnis, yaitu antara lain UPJA, kelompok tani, gapoktan; (b)

kondisi ketersediaan tenaga kerja, (c) kemudahan akses pelaku

usaha terhadap alat dan mesin pertanian, (d) kemudahan dan

kepraktisan alat, (e) kondisi lahan dan pengairan, (f) ketersediaan

alat dan mesin pertanian, (g) ketersediaan pembiayaan, dan (h)

berbagai faktor lainnya. Dalam hal ini, Rasouli dkk. (2009)

menyatakan, penerapan alat dan mesin pertanian secara nyata juga


42

dipengaruhi oleh pendapatan rumah tangga, luas penguasan lahan

dan luas lahan yang digarap. faktor penting yang mempengaruhi

mekanisasi panen dan pascapanen adalah pendidikan dan persepsi

petani terhadap mesin, permodalan, teknis pelatihan, pengetahuan

penyuluh, metode penyuluhan, dan sistem informasi. Dapat

disimpulkan bahwa faktor berpengaruh terhadap pengembangan alat

dan mesin pertanian dapat dilihat dari sisi fisik dari alat, luasan lahan

yang diusahakan, modal usaha dan SDM petani (pendidikan,

persepsi, ketrampilan dsb) serta penyuluhan.

Teknologi tepat guna secara sederhana diartikan sebagai

teknologi yang dapat dibuat atas dasar ketersediaan komponen lokal,

dan dapat dikembangkan oleh sumber daya manusia lokal pula. Jika

dikaitkan dengan keberadaannya maka hand tractor, power thresher,

pedal thresher, alat penyemprot hama merupakan alat dan mesin

pertanian yang seluruh komponennya hampir dapat diciptakan dan

dikembangkan secara lokal. Pengembangan alat dan mesin

pertanian dapat membantu penciptaan lapangan kerja baru bagi

masyarakat/petani, dalam bidang pendapatan untuk pemilik atau

pengusaha alat, operator dan bengkel-bengkel pengrajin (Dinas

Pertanian dan Ketahanan Pangan, 2017).

Beberapa jenis alat dan mesin pertanian yang sudah

digunakan di Jawa Timur khususnya Kabupaten Sidoarjo adalah

sebagai berikut:
43

1. Alat pengolah tanah, seperti; Traktor roda dua (Hand traktor),

Traktor roda empat, terdiri dari ukuran mini (<25 PK), ukuran

sedang (25-50 PK), ukuran besar (> 50 PK)

2. Alat tanam , seperti; Jabber, Seeder dan Transplanter

3. Alat untuk pemeliharaan/ perawatan tanaman, seperti; alat

pemupukan (aplikator), alat pemberantasan hama/ pengganggu

tanaman, seperti; Hand Sprayer, Knapsack Power Sprayer, Skid

Power Sprayer, Swing Fog, Emposan, dan pompa air

4. Alat panen, seperti; Sabit bergerigi, Reaper dan Combine

Harvester

5. Alat pengolah padi, seperti; Thresher, Cleaner, Dryer, Penggiling

padi tipe besar dan kecil, Rice Milling Unit, Rubber Roll,

Engelberg, Husker, Polisher (Suheiti, 2017).

2.2.3.2. Alat Dan Mesin Pengolah Tanah

Penggunaan traktor saat ini sudah menjadi kebutuhan utama

petani untuk mengolah tanah, mengingat pengolahan tanah dengan

tenaga buruh dianggap menjadi semakin mahal. Hal ini seiring juga

dengan berkurangnya ketersediaan tenaga kerja karena telah beralih

profesi ke non pertanian serta meningkatnya upah buruh disamping

lamanya waktu pengolahan tanah. Kondisi tersebut mendorong

petani untuk menggunakan tenaga traktor dan mesin perontok padi.

Hasil ini tampak dari tingkat adopsi traktor yang meningkat dari

15,2% pada menjadi 19,4%, sedangkan tingkat adopsi mesin


44

perontok padi meningkat lebih tinggi yaitu dari 15,4% menjadi 25,6%

(Ananto dan Astanto, 2000). Namun demikian peningkatan

permintaan akan jasa mesin perontok pada tingkat ketersediaan

kapasitas pelayanan yang relatif rendah tersebut mengakibatkan

pula peningkatan sewa riil dari mesin perontok padi di pedesaan.

2.2.3.3. Alat Tanam

Penyiapan lahan yang dilakukan petani umumnya dengan

tanpa olah tanah yaitu lahan disemprot dengan herbisida dan

rumputnya ditebas. Pada kondisi ini tidak semua alat tanam dapat

dioperasikan dengan baik, apalagi kondisi tanah masih

bergelombang dan masih membutuhkan pengolahan tanah lagi,

seperti pengolahan kedua yang selanjutnya tanah diratakan lagi atau

di glebek dengan menggunakan alat dan mesin pengolahan tanah

(Noorginayuwati dkk, 2002).

2.2.3.4. Alat dan Mesin Panen dan Pascapanen

Masukan teknologi alat dan mesin pertanian berupa alat

panen bermesin merupakan harapan dari setiap petani padi. Mesin

panen padi reaper dan stripper dapat digunakan di lahan pasang

surut terutama untuk tanaman padi varietas unggul yang waktu

panennya bertepatan dengan musim kemarau pada penanaman

kedua (Partowijoto dan Achmadi, 2000).

Sistem kerja mesin reaper adalah memotong batang padi

dan hasil potongan dilepaskan ke samping mesin berjalan, sehingga


45

masih menggunakan tenaga kerja manusia untuk mengumpulkan-

nya, walau kondisi lahan sedikit berair, mesin reaper masih dapat

dioperasikan. Sedangkan cara kerja mesin panen stripper adalah

dengan merontokkan gabah yang masih dimalai dengan cara

menyisir malai langsung di pertanaman dan gabah yang terontok

dimasukkan kedalam bak penampung. Apabila bak telah terisi penuh

maka dilakukan pergantian bak penampung lain yang sudah

disiapkan sebagai cadangan untuk menghindari kehilangan waktu

kerja mesin. Hasil pengujian Noor, dkk (2001) menunjukkan bahwa

kapasitas karja yang dihasilkan reaper 5,63 jam/ha sedangkan

stripper 8,50 jam/ha dengan keadaan gabah kotor yang telah

dirontok.

Beberapa kajian (Swastika 2012; Handaka dan Prabowo

2014) menunjukkan bahwa penggunaan alat dan mesin pertanian

untuk kegiatan panen dan pascapanen selain menghemat tenaga

kerja juga dapat menekan kehilangan hasil produksi dan secara tidak

langsung meningkatkan produksi. Namun dalam pelaksanaannya,

bantuan alat dan mesin pertanian yang diberikan oleh pemerintah

belum sepenuhnya dimanfaatkan secara optimal. Lembaga di desa

yang ditunjuk untuk mengelola bantuan alat dan mesin pertaniantan

adalah UPJA (Unit Pengelola Jasa Alsintan) atau Gapoktan

(Gabungan Kelompok Tani) dalam banyak kasus belum mampu

mengelola alat dan mesin pertaniantan di wilayahnya secara optimal


46

atau bahkan tidak dimanfaatkan (Ilham, 2008). Berbagai faktor

penyebab kondisi tersebut, diantaranya tidak memiliki operator yang

mampu menjalankan alat, atau ketidaksesuaian alat dengan kondisi

lahan. Namun dari hasil pengamatan di lapang, tidak optimalnya

pemanfaatan alat dan mesin pertanian berbantuan tersebut

dipengaruhi juga oleh kurangnya motivasi pengurus UPJA untuk

mengoptimalkan penggunaan alat dan mesin pertanian berbantuan,

seperti halnya pengusaha jasa alat dan mesin pertanian mandiri

yang memperoleh alat dan mesin pertaniantan dengan biaya sendiri.

Padahal pemerintah mengembangkan UPJA dengan tujuan

mempercepat adopsi alat dan mesin pertanian oleh petani

(Mayrowani dan Pranaji 2012).

Pengembangan alat dan mesin pertanian memiliki peran besar

dalam pembangunan pertanian dan lebih lanjut pada peningkatan

pendapatan petani, selain itu juga untuk mengatasi kelangkaan

tenaga kerja, terutama sering terjadi pada saat musim panen,

sehingga memberi peluang mundurnya waktu panen, dan

berdampak terhadap susut semakin besar (Umar, 2013). Alat dan

mesin pertanian panen yang telah berkembang lama adalah power

thresher dan dalam pengembangan pertanian modern, penggunaan

combine harvester mulai digalakkan.

Dampak penggunaan alat dan mesin pertanian, terutama

pascapanen, dapat dianalisis melalui antara lain :


47

a. Kehilangan hasil produksi, mekanisasi panen dan pascapanen

menurunkan kehilangan hasil biji-bijian dari 6 % dengan

menggunakan metoda tradisional menjadi hanya 2–4% dengan

menggunakan combine harvester, dengan demikian akan

meningkatkan produksi dan produktivitas;

b. Penggunaan alat dan mesin pertanian panen dan pascapanen

menurunkan penggunaan tenaga kerja manusia, dengan

menggunakan combine harvester akan menggantikan kebutuhan

tenaga kerja manusia untuk panen dan perontokan sebanyak 15

HOK per hektar;

c. Biaya panen, imbangan antara biaya sewa alat dan mesin

pertanian dengan penurunan penggunaan tenaga kerja

menghasilkan penurunan biaya panen;

d. Kesempatan kerja non pertanian, penggunaan alat dan mesin

pertanian akan menciptakan tambahan kesempatan kerja melalui

kegiatan perbengkelan, operator mesin;

e. Kualitas hasil panen, proses panen dan pasca penen yang lebih

cepat akan meningkatkan kualitas hasil; dan

f. Pendapatan petani, penurunan kehilangan hasil dan biaya panen

akan meningkatkan pendapatan petani. Namun, hasil kajian

Amare dan Endalew tersebut tidak menyinggung dampaknya

terhadap pergeseran kelembagaan petani, baik kelembagaan

tenaga kerja (bawon, upah harian dsb) dan kelembagaan


48

penguasaan dan pengelolaan lahan (menyakap, menggarap

lahan sendiri, menyewa dsb).

2.2.3.5. Mesin Perontok

Setelah dipanen dengan menggunakan alat dan mesin panen

seperti sabit, paddy mower, atau reaper, padi harus segera dilakukan

pengumpulan ke suatu tempat untuk segera dirontokkan. Di tempat

pengumpulan harus diberi alas terpal agar kehilangan hasil panen

saat perontokan dapat ditekan serendah mungkin. Perontokan padi

bertujuan untuk melepaskan bulir-bulir gabah dari malainya.

Beberapa hal penting yang harus diperhatikan saat

perontokan gabah. Pertama, pelaksanaan perontokan padi harus

sesegera mungkin setelah padi dipanen. Kedua, untuk menghindari

banyaknya gabah yang tercecer sebaiknya gunakan alas, seperti

plastik, terpal, anyaman bambu atau tikar. Kegiatan perontokan padi

dapat dilakukan di lahan, di pinggir sawah (jalan) atau di dekat

halaman rumah. Perontokan merupakan tahap penanganan

pascapanen setelah pemotongan, penumpukan dan pengumpulan

padi.

Pada tahap ini, kehilangan hasil akibat ketidaktepatan dalam

perontokan dapat mencapai lebih dari 5%. Perontokan padi dapat

dilakukan secara tradisional (manual) dengan cara diilas, digebot

atau dibanting. Secara mekanis dengan menggunakan alat dan


49

mesin perontok (power thresher). Namun seiring perkembangan

teknologi dan keterbatasan tenaga kerja untuk panen dan

perontokan, serta upaya pemerintah dalam menurunkan susut hasil

panen, cara perontokan padi telah mengalami perkembangan. Jika

semula secara manual dengan digebot menjadi menggunakan pedal

thresher dan power thresher.

Penggunaan mesin perontok padi (power thresher) sudah

banyak berkembang di masyarakat petani. Ada dua macam mesin

perontok padi yaitu mesin perontok tipe hold-on dan tipe throw-in.

Mesin perontok tipe hold-on merupakan mesin perontok padi dengan

sistem potong bawah atau potong panjang. Perontokannya dengan

cara memegang bagian batang jerami dan memasukkan bagian

malai padi ke dalam drum perontokan. Mesin perontok padi yang

berkembang di Indonesia pada umumnya adalah tipe throw-in.

Dengan penggunaan combine harvester ini, kegiatan panen,

perontokan dan pembersihan, serta pengarungan gabah dalam satu

rangkaian kerja. Artinya, penggunaan combine harvester dapat

meningkatkan efisiensi kerja, baik dari segi waktu, tenaga maupun

biaya untuk panen dan perontokan.

Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Umar, dkk (2001)

menunjukkan bahwa penggunaan mesin perontok tipe TH66-G88

dengan kecepatan putar 370 rpm sampai 700 rpm menghasilkan

kapasitas perontokan 424,2 kg/jam - 723,6 kg/jam dengan kerusakan


50

gabah < 1%. Pengembangan mesin perontok tipe TH6-G88 dapat

menekan waktu perontok dari 12 jam/ha.

2.2.4. Kinerja

2.2.4.1. Pengertian Kinerja

Kinerja atau performance merupakan gambaran mengenai

tingkat pencapaian pelaksanaan suatu program kegiatan atau

kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, visi, misi organisasi

yang dituangkan melalui perencaan strategis organisasi

(Moeheriono, 2009).

Menurut Departemen Pertanian (2010) kinerja merupakan

hasil kerja baik secara kualitas maupun kuantitas yang dicapai

penyuluh pertanian dalam melaksanakan tugas sesuai dengan

tanggung jawab yang diberikan. Kesediaan dan ketrampilan

penyuluh pertanian tidaklah cukup efektif untuk mengerjakan sesuatu

tanpa pemahaman yang jelas tentang apa yang akan dikerjakan dan

bagaiamana mengerjakannya. Penyuluh pertanian dapat dikatakan

mempunyai kemampuan dan berkinerja yang tinggi apabila telah

melaksanakan tugas pokok dan fungsi sesuai dengan standar

indikator yang telah ditentukan. Tugas pokok dan fungsi yang

tercakup dalam indikator kinerja penyuluh pertanian telah ditetapkan

dalam UU Nomor 16 Tahun 2006/SP3K.


51

Untuk itu diperlukan suatu usaha baik itu dari pemerintah

ataupun dari instansi lain yang membantu petani dalam

mengusahakan usaha taninya agar dapat menjadi lebih baik dan

maju. Melalui departemen pertanian, kegiatan penyuluhan maupun

bantuan lain dibidang pertanian sangat diharapkan yaitu sebagai

suatu usaha yang membantu petani dalam berusaha tani, agar

pertanian mereka dapat maju dan berkembang.

2.2.4.2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja

Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja karyawan baik hasil

maupun perilaku kerja menurut Kasmir (2016 : 189-193) yaitu :

1. Kemampuan dan keahlian

Merupakan kemampuan atau skill yang dimilki seseorang

dalam suatu pekerjan. Semakin memiliki kemampuan dan

keahlian maka akan dapat menyelesaikan pekerjaannya secara

benar, sesuai dengan yang telah ditetapkan.

2. Pengetahuan

Maksudnnya adalah pengetahuan tentang pekerjaan.

Seseorang yang memiliki pengetahuan tentang pekerjaan secara

baik akan memberikan hasil pekerjaan yang baik, demikian pula

sebaliknya.

3. Rancangan kerja

Merupakan rancangan pekerjaan yang akan memudahkan

karyawan dalam mencapai tujuannya. Artinya jika suatu


52

pekerjaan memiliki rancangan yang baik, maka akan

memudahkan untuk menjalankan pekerjaan tersebut secara

tepat dan benar.

4. Kepribadian

Yaitu kepribadian seseorang atau karakter yang dimiliki

seseorang. Setiap orang memiliki kepribadian atau karekter yang

berbeda satu sama lainnya. Seseorang yang memiliki

kepribadian atau karakter yang baik, akan dapat melakukan

pekerjaan secara sungguh-sungguh penuh tanggung jawab

sehingga hasil pekerjaannya juga baik.

5. Motivasi kerja

Motivasi kerja merupakan dorongan bagi seseorang untuk

melakukan pekerjaan. Jika memiliki dorongan yang kuat dari

dalam dirinya atau dorongan dari luar dirinya, maka karyawan

akan terangsang atau terdorong untuk melakukan sesuatu

dengan baik.

6. Kepemimpinan

Kepemimpianan merupakan perilaku seseorang pemimpin

dalam mengatur, mengelola dan memerintah bawahannya untuk

mengerjakan suatu tugas dan tanggung jawab yang

diberikannya.

7. Gaya kepemimpinan
53

Merupakan gaya atau sikap seseorang pemimpin dalam

mengahadapi atau memerintahkan bawahannya.

8. Budaya organisasi

Merupakan kebiasaan-kebiasaan atau norma-norma yang

berlaku dan dimilik suatu organisasi atau perusahaan.

Kebiasaan-kebiasaan atau norma - norma ini mengatur hal-hal

yang berlaku dan diterima secara umum serta harus dipatuhi

oleh segenap anggota suatu perusahaan.

9. Kepuasan kerja

Merupakan perasaan senang atau gembira, atau perasaan

suka seseorang sebelum dan setelah melakukan suatu

pekerjaan. Jika karyawan merasa senang atau gembira atau

suka untuk bekerja, maka hasil pekerjaannya pun akan berhasil

baik.

10. Lingkungan kerja disekitar

Merupakan suasana atau kondisi lokasi tempat bekerja.

Lingkungan kerja dapat berupa ruangan, layout, sarana dan

prasarana, serta hubungan kerja dengan sesama rekan kerja.

Jika lingkungan kerja dapat membuat suasana nyaman dan

memberikan ketenangan maka akan membuat suasana kerja

menjadi kondusif, sehingga dapat meningkatkan hasil kerja


54

seseorang menjadi lebih baik, karena bekerja tanpa gangguan.

Namun sebaliknya jika suasana atau kondisi lingkukngan kerja

tidak memberikan kenyamanan atau ketenangan, maka akan

berakibat suasana kerja menjadi terganggu yang pada akhirnya

akan mempengaruhi dalam bekerja. Dengan demikian, dapat

dikatakan bahwa lingkungan kerja memengaruhi kinerja

seseorang.

11. Loyalitas

Merupakan kesetiaan karyawan untuk tetap bekerja dan

membela perusahaan dimana tempatnya bekerja.

12. Komitmen

Merupakan kepatuhan karyawan untuk menjalankan

kebijakan atau peraturan perusahaan dalam bekerja.

13. Disiplin kerja

Merupakan usaha karyawan untuk menjalankan aktivitas

kerjanya secara sungguh-sungguh.Disiplin kerja dalam hal ini

dapat berupa waktu, misalnya masuk kerja selalu tepat waktu.

Kemudian disiplin dalam mengerjakan apa yang diperintahkan

kepadanya sesuai dengan perintah yang harus dikerjakan.

Karyawan yang disiplin akan memngaruhi kinerja.

2.3. Kerangka Penelitian


55

Penelitian ini tidak terlepas dari hasil penelitian-penelitian

terdahulu yang pernah dilakukan sebagai bahan kajian dan

pertimbangan. Adapun hasil-hasil dari penelitian terdahulu yang

dijadikan kajian topik tidak terlepas dari topik dalam penelitian ini

yaitu Kinerja Brigade Alsintan di Kabupaten Sidoarjo. Berikut adalah

gambaran kerangka pemikiran pada penelitian ini yaitu :

Program Brigade
Alsintan

Petani

Faktor-Faktor yang Pengurus Brigade Faktor-Faktor yang


mempengaruhi Alsintan mempengaruhi

Dampak Ekonomi Kinerja Dampak Sosial


Brigade Alsintan

Gambar 2.2. Kerangka Penelitian

2.4. Hipotesis

1. Diduga adanya pengaruh yang signifikan antara faktor–faktor

apa saja yang mempengaruhi terhadap kinerja Brigade Alsintan

di Kabupaten Sidoarjo
56

2. Diduga adanya pengaruh yang signifikan sejauh mana faktor–

faktor tersebut mempengaruhi kinerja Brigade Alsintan di

Kabupaten Sidoarjo.

3. Diduga adanya dampak ekonomi yang dimunculkan dengan

adanya Program Brigade Alsintan di Kabupaten Sidoarjo.

4. Diduga adanya dampak sosial yang dimunculkan dengan

adanya Program Brigade Alsintan di Kabupaten Sidoarjo.

Anda mungkin juga menyukai