LAPORAN KASUS
Nama : An. CU
Umur : 6 tahun
Alamat : Galala
Pekerjaaan :-
1.2.ANAMNESIS
Keluhan Utama
Anamnesis Terpimpin
Pasien datang keluhan nyeri pada mata bagian kiri. Keluhan disertai dengan keluhan
penurunan penglihatan, mata berair, mata merah sejak kurang lebih 1 hari sebelum
pasien dibawa oleh orangtuanya untuk memeriksakan diri ke klinik mata utama.
1
2
Sebelumnya orang tua pasien mengaku pasien pernah mengalami keluhan yang sama
kurang lebih 2 kali sebelum kunjungan ke klinik namun hanya diperiksan ke puskesmas
dan diberikan obat tetes, namun keluhan berulang lagi. Pasien mengaku sering
mengucek mata apabila mata terasa sakit.
Keluhan yang sama pernah di alami 2 kali sebelumnya. Pada awal bulan Januari dan
pada bulan Juni yang lalu.
Riwayat Pengobatan
Pasien pernah menggunakan obat tetes mata yang diberikan oleh puskesmas
Riwayat Sosial
Tidak ada orang di lingkungan sekitar pasien yang mengalami keluhan yang sama.
Status Generalis
Nadi : 92x/menit
Pernapasan : 18x/mnt
Suhu : 36,0° C
Status Oftalmologi
1.4.PEMERIKSAAN PENUNJANG : -
1.6.DIAGNOSA BANDING : -
1.7. PERENCANAAN :
Diagnosa : Tidak ada rencana pemeriksaan untuk menunjang diagnosis
Terapi (Tata Laksana) :
- Cenfresh Mini Dose, Pemberian 6 kali sehari tetes kedua mata kiri dan kanan.
- Polydex Mini Dose, Pemberian 6 kali sehari tetes pada mata kiri
Monitoring
- Keluhan
- Visus
- Status oftalmologi
Edukasi
- Penjelasan mengenai kondisi mata pasien saat ini
- Tindakan yang harus dilakukan terhadap pasien
- Prognosis
1.8.PROGNOSIS
- Quo ad vitam ODS :Bonam
- Quo ad visam ODS :Bonam
- Quo ad sanationam ODS :Bonam
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Bowman melepas selubung Schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada
kedua lapis terdepan. Sensasi dingin oleh Bulbus Krause ditemukan pada daerah
limbus.1,2
Kornea dalam bahasa latin “cornum” artinya seperti tanduk, merupakan selaput
bening mata, bagian dari mata yang bersifat tembus cahaya, merupakan lapis dari
jaringan yang menutup bola mata sebelah depan dan terdiri atas :
2.1.1 Epitel
Terdiri dari sel epitel squamos yang bertingkat, terdiri atas 5 lapis sel epitel
tidak bertanduk yang saling tumpang tindih; sel poligonal dan sel gepeng. Tebal
lapisan epitel kira-kira 5 % (0,05 mm) dari total seluruh lapisan kornea. Epitel dan film
air mata merupakan lapisan permukaan dari media penglihatan. Pada sel basal sering
terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap dan
semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal
di sampingnya dan sel poligonal di depannya melalui desmosom dan makula
okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit dan glukosa melalui barrier.
Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat kepadanya. Bila terjadi
8
tepat akibat gangguan sistem pompa endotel, stroma bengkak karena kelebihan cairan
(edema kornea) dan kemudian hilangnya transparansi (kekeruhan) akan terjadi.
Permeabilitas dari kornea ditentukan oleh epitel dan endotel yang merupakan
membrane semipermeabel, kedua lapisan ini mempertahankan kejernihan daripada
kornea, jika terdapat kerusakan pada lapisan ini maka akan terjadi edema kornea dan
kekeruhan pada kornea.1
Kornea merupakan bagian anterior dari mata, yang harus dilalui cahaya, dalam
perjalanan pembentukan bayangan di retina, karena jernih, sebab susunan sel dan
seratnya tertentu dan tidak ada pembuluh darah. Biasan cahaya terutama terjadi di
permukaan anterior dari kornea. Perubahan dalam bentuk dan kejernihan kornea,
segera mengganggu pembentukan bayangan yang baik di retina. Oleh karenanya
kelainan sekecil apapun di kornea, dapat menimbulkan gangguan penglihatan yang
hebat terutama bila letaknya di daerah pupil.2
2.3 Keratitits
Gambar 3. Keratitis
2.3.4 Klasifikasi
Keratitis biasanya diklasifikasikan berdasarkan lapisan kornea yang terkena
yaitu keratitis superfisialis apabila mengenai lapisan epitel dan bowman dan keratitis
profunda apabila mengenai lapisan stroma. Bentuk-bentuk klinik keratitis superfisialis
antara lain adalah1:
12
2.3.5 Patofisiologi
Karena kornea avaskuler, maka pertahanan pada waktu peradangan tidak segera
datang, seperti pada jaringan lain yang mengandung banyak vaskularisasi. Maka badan
kornea, wandering cell dan sel-sel lain yang terdapat dalam stroma kornea, segera
bekerja sebagai makrofag, baru kemudian disusul dengan dilatasi pembuluh darah yang
terdapat dilimbus dan tampak sebagai injeksi perikornea. Sesudahnya baru terjadi
infiltrasi dari sel-sel mononuclear, sel plasma, leukosit polimorfonuklear (PMN), yang
mengakibatkan timbulnya infiltrat, yang tampak sebagai bercak berwarna kelabu,
13
keruh dengan batas-batas tak jelas dan permukaan tidak licin, kemudian dapat terjadi
kerusakan epitel dan timbulah ulkus kornea.5
Kornea mempunyai banyak serabut saraf maka kebanyakan lesi pada kornea
baik superfisial maupun profunda dapat menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa
sakit juga diperberat dengan adanaya gesekan palpebra (terutama palbebra superior)
pada kornea dan menetap sampai sembuh. Kontraksi bersifat progresif, regresi iris,
yang meradang dapat menimbulkan fotofobia, sedangkan iritasi yang terjadi pada
ujung saraf kornea merupakan fenomena reflek yang berhubungan dengan timbulnya
dilatasi pada pembuluh iris. Fotofobia, yang berat pada kebanyakan penyakit kornea,
minimal pada keratitis herpes karena hipestesi terjadi pada penyakit ini, yang juga
merupakan tanda diagnostik berharga. Meskipun berair mata dan fotofobia
umumnya menyertai penyakit kornea, umumnya tidak ada tahi mata kecuali pada
ulkus bakteri purulen.5
Karena kornea berfungsi sebagai jendela bagi mata dan membiaskan berkas
cahaya, lesi kornea umumnya agak mengaburkan penglihatan, terutama kalau letaknya
di pusat.5
2.3.6 Diagnosis
Anamnesis pasien penting pada penyakit kornea. Sering dapat diungkapkan
adanya riwayat trauma---kenyataannya, benda asing dan abrasi merupakan dua lesi
yang umum pada kornea. Adanya riwayat penyakit kornea juga bermanfaat. Keratitis
akibat infeksi herpes simpleks sering kambuh, namun karena erosi kambuh sangat sakit
dan keratitis herpetik tidak, penyakit-penyakit ini dapat dibedakan dari gejalanya.
Hendaknya pula ditanyakan pemakaian obat lokal oleh pasien, karena mungkin telah
memakai kortikosteroid, yang dapat merupakan predisposisi bagi penyakit bakteri,
fungi, atau oleh virus, terutama keratitis herpes simpleks. Juga mungkin terjadi
imunosupresi akibat penyakit-penyakit sistemik, seperti diabetes, AIDS, dan penyakit
ganas, selain oleh terapi imunosupresi khusus5,6
14
mengambil sepotong kecil jaringan stroma, yang cukup besar untuk memungkinkan
pembelahan sehingga satu porsi dapat dikirim untuk kultur dan yang lainnya untuk
histopatologi. Spesimen biopsi harus disampaikanke laboratorium secara tepat waktu.6
2.4.1 Definisi
Keratitis bakteri adalah gangguan penglihatan yang mengancam. Ciri-ciri
khusus keratitis bakteri adalah perjalanannya yang cepat. Destruksi corneal lengkap
bisa terjadi dalam 24 – 48 jam oleh beberapa agen bakteri yang virulen. Ulkus kornea,
pembentukan abses stroma, edema kornea dan inflamasi segmen anterior adalah
karakteristik dari penyakit ini.5
2.4.2 Etiologi
Grup bakteri yang paling banyak menyebabkan keratitis bakteri adalah
Streptococcus, Pseudomonas, Enterobacteriaceae (meliputi Klebsiella, Enterobacter,
Serratia, and Proteus) dan golongan Staphylococcus. Lebih dari 20 kasus keratitis
jamur (terutama candidiasis) terjadi komplikasi koinfeksi bakteri.4
Banyak jenis ulkus kornea bakteri mirip satu sama lain dan hanya bervariasi
dalam beratnya penyakit. Ini terutama berlaku untuk ulkus yang disebabkan bakteri
16
2.4.3 Patofisiologi
Awal dari keratitis bakteri adalah adanya gangguan dari epitel kornea yang
intak dan atau masuknya mikroorganisme abnormal ke stroma kornea, dimana akan
terjadi proliferasi dan menyebabkan ulkus. Faktor virulensi dapat menyebabkan invasi
mikroba atau molekul efektor sekunder yang membantu proses infeksi. Beberapa
bakteri memperlihatkan sifat adhesi pada struktur fimbriasi dan struktur non fimbriasi
yang membantu penempelan ke sel kornea. Selama stadium inisiasi, epitel dan stroma
pada area yang terluka dan infeksi dapat terjadi nekrosis. Sel inflamasi akut (terutama
neutrofil) mengelilingi ulkus awal dan menyebabkan nekrosis lamella stroma.6
Difusi produk-produk inflamasi (meliputi cytokines) di bilik posterior,
menyalurkan sel-sel inflamasi ke bilik anterior dan menyebabkan adanya hypopyon.
Toksin bakteri yang lain dan enzim (meliputi elastase dan alkalin protease) dapat
diproduksi selama infeksi kornea yang nantinya dapat menyebabkan destruksi
substansi kornea.6
ulkus yang menggaung. Ulkus cepat menjalar ke dalam dan menyebabkan perforasi
kornea, karena eksotoksin yang dihasilkan oleh streptokok pneumonia.
2.4.5 Terapi
Pengobatan antibiotik dapat diberikan pada keratitis bacterial dini. Biasanya
pengobatan dengan dasar berikut:
1. Untuk bakteri gram negatif: tobramisin, gentamicin dan polimiksin
2. Untuk bakteri gram positif : cefazoin, vancomycin dan basitrasin
3. Antibiotic spectrum luas seperti : ofloxacin, norfloxacin, dan pulymyxin4
2.4.6 Komplikasi
Komplikasi yang paling ditakuti dari keratitis bakteri ini adalah penipisan
kornea, dan akhirnya perforasi kornea yang dapat mengakibatkan endophthalmitis dan
hilangnya penglihatan.4,7
2.4.7 Prognosis
Prognosis visual tergantung pada beberapa faktor, seperti diuraikan di bawah
ini, dan dapat mengakibatkan penurunan visus derajat ringan sampai berat.
a. Virulensi organisme yang bertanggung jawab atas keratitis
b. Luas dan lokasi ulkus kornea
c. Hasil vaskularisasi dan / atau deposisi kolagen7
herpes simpleks. Penularan dapat terjadi melalui kontak dengan cairan dan jaringan
mata, rongga hidung, mulut, alat kelamin yang mengandung virus.3
b. Lesi
Keratitis herpes simplek juga dapat dibedakan atas bentuk superfisial, profunda,
dan bersamaan dengan uveitis atau kerato uveitis. Keratitis superfisial dapat berupa
pungtata, dendritik, dan geografik. Keratitis dendritika merupakan proses kelanjutan
dari keratitis pungtata yang diakibatkan oleh perbanyakan virus dan menyebar sambil
menimbulkañ kematian sel serta membentuk defek dengan gambaran bercabang. Lesi
bentuk dendritik merupakan gambaran yang khas pada kornea, memiliki percabangan
linear khas dengan tepian kabur, memiliki bulbus terminalis pada ujungnya. Pemulasan
21
fluoresein memudahkan melihat dendrit, namun sayangnya keratitis herpes dapat juga
menyerupai banyak infeksi kornea yang lain dan harus dimasukkan dalam diagnosis
diferensial.5
Ada juga bentuk lain yaitu bentuk ulserasi geografik yaitu sebentuk penyakit
dendritik menahun yang lesi dendritiknya berbentuk lebih lebar hat ini terjadi akibat
bentukan ulkus bercabang yang melebar dan bentuknya menjadi ovoid. Dengan
demikian gambaran ulkus menjadi seperti peta geografi dengan kaki cabang
mengelilingi ulkus. Tepian ulkus tidak kabur. Sensasi kornea, seperti halnya penyakit
dendritik, menurun. Lesi epitel kornea lain yang dapat ditimbulkan HSV adalah
keratitis epitelial ”blotchy”, keratitis epitelial stelata, dan keratitis filamentosa. Namun
semua ini umumnya bersifat sementara dan sering menjadi dendritik khas dalam satu
dua hari.5
Keratitis herpes simpleks bentuk dendrit harus dibedakan dengan keratitis herpes
zoster, pada herpes zoster bukan suatu ulserasi tetapi suatu hipertropi epitel yang
dikelilingi mucus plaques; selain itu, bentuk dendriform lebih kecil.3
Keratitis diskiformis adalah bentuk penyakit stroma paling umum pada infeksi
HSV. Stroma didaerah pusat yang edema berbentuk cakram, tanpa infiltrasi berarti, dan
umumnya tanpa vaskularisasi. Edemanya mungkin cukup berat untuk membentuk
lipatan-lipatan dimembran descement. Mungkin terdapat endapan keratik tepat
dibawah lesi diskiformis itu, namun dapat pula diseluruh endotel karena sering
bersamaan dengan uveitis anterior. Seperti kebanyakan lesi herpes pada orang
imunokompeten, keratitis disciformis normalnya sembuh sendiri, setelah berlangsung
beberapa minggu sampai bulan. Edema adalah tanda terpenting, dan penyembuhan
dapat terjadi dengan parut dan vaskularisasi minimal.5
Keratitis HSV stroma dalam bentuk infiltrasi dan edema fokal yang sering disertai
vaskularisasi, agaknya terutama disebabkan replikasi virus. Kadang-kadang dijumpai
adanya infiltrat marginal atau lebih dikenal sebagai Wessely ring, diduga sebagai
infiltrat polimorfonuklear disertai reaksi antigen antibodi virus herpes simpleks.
Penipisan dan perforasi kornea dapat terjadi dengan cepat, apalagi jika dipakai
22
kortikosteroid topikal. Jika terdapat penyakit stroma dengan ulkus epitel, akan sulit
dibedakan superinfeksi bakteri atau fungi pada penyakit herpes. Pada penyakit epitelial
harus diteliti benar adanya tanda – tanda khas herpes, namun unsur bakteri atau fungi
dapat saja ada dan dapat pula disebabkan oleh reaksi imun akut, yang sekali lagi harus
mempertimbangkan adanya penyakit virus aktif. Mungkin terlihat hipopion dengan
nekrosis, selain infeksi bakteri atau fungi sekunder.5
2.5.1.4 Patogenesis
Keratitis herpes simplek dibagi dalam 2 bentuk yaitu epitelial dan stromal
Kerusakan terjadi pada pembiakan virus intraepitelial, mengakibatkan kerusakan sel
epitelial dan membentuk tukak kornea superfisial. Pada yang stromal terjadi reaksi
imunologik tubuh terhadap virus yang menyerang yaitu reaksi antigen antibodi yang
23
menarik sel radang kedalam stroma. Sel radang ini mengeluarkan bahan proteolitik
untuk merusak virus tetapi juga akan merusak jaringan stroma disekitarnya. Hal ini
penting diketahui karena manajemen pengobatan pada yang epitelial ditujukan
terhadap virusnya sedang pada yang stromal ditujukan untuk menyerang virus dan
reaksi radangnya. Perjalanan klinik keratitis dapat berlangsung lama kaena stroma
kornea kurang vaskuler, sehingga menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke
tempat lesi. Infeksi okuler HSV pada hospes imunokompeten biasanya sembuh sendiri,
namun pada hospes yang secara imunologik tidak kompeten, perjalanannya mungkin
menahun dan dapat merusak.5
2.5.1.5 Terapi
Bertujuan menghentikan replikasi virus didalam kornea, sambil memperkecil
efek merusak akibat respon radang.
1. Debridement
Cara efektif mengobati keratitis dendritik adalah debridement epitelial, karena
virus berlokasi di dalam epitel. Debridement juga mengurangi beban antigenik virus
pada stroma kornea. Epitel sehat melekat erat pada kornea, namun epitel terinfeksi
mudah dilepaskan. Debridement dilakukan dengan aplikator berujung kapas khusus.
Yodium atau eter topik tidak banyak manfaat dan dapat menimbulkan keratitis
kimiawi. Obat siklopegik seperti atropi 1 % atau homatropin5% diteteskan kedalam
sakus konjugtiva, dan ditutup dengan sedikit tekanan. Pasien harus diperiksa setiap hari
dan diganti penutupnya sampai defek korneanya sembuh umumny adalah 72 jam.
Pengobatan tambahan dengan anti virus topikal mempercepat pemulihan epitel. Terapi
obat topikal tanpa debridement epitel pada keratitis epitel memberi keuntungan karena
tidak perlu ditutup, namun ada kemungkinan pasien menghadapi berbagai keracunan
obat.4,6,7
2. Terapi obat
Agen anti virus topikal yang di pakai pada keratitis herpes adalah idoxuridine,
trifluridine, vidarabine, dan acyclovir. Trifluridine dan acyclovir jauh lebih efektif
24
untuk penyakit stroma dari pada yang lain. Idoxuridine dan trifluridine sering kali
menimbulkan reaksi toxik. Acyclovir oral ada mamfaatnya untuk pengobatan penyakit
herpes mata berat, khususnya pada orang atopik yang rentan terhadap penyakit herpes
mata dan kulit agresif (eczema herpeticum). Study multicenter terhadap efektivitas
acyclovir untuk pengobatan kerato uveitis herpes simpleks dan pencegahan penyakit
rekurens kini sedang dilaksanakan ( herpes eye disease study).4,6,7
Replikasi virus dalam pasien imunokompeten, khususnya bila terbatas pada epitel
kornea, umumnya sembuh sendiri dan pembentukan parut minimal. Dalam hal ini
penggunaan kortikosteroid topikal tidak perlu, bahkan berpotensi sangat merusak.
Kortikosteroid topikal dapat juga mempermudah perlunakan kornea, yang
meningkatkan risiko perforasi kornea. Jika memang perlu memakai kortikosteroid
topikal karena hebatnya respon peradangan, penting sekali ditambahkan obat anti virus
secukupnya untuk mengendalikan replikasi virus.4,7
3. Bedah
Keratoplasti penetrans mungkin diindentifikasi untuk rehabilitasi penglihatan
pasien yang mempunyai parut kornea berat, namun hendaknya dilakukan beberapa
bulan setelah penyakit herpes non aktif. Pasca bedah, infeksi herpes rekurens dapat
timbul karena trauma bedah dan kortikosteroid topikal yang diperlukan untuk
mencegah penolakan transplantasi kornea. Juga sulit dibedakan penolakan
transplantasi kornea dari penyakit stroma rekurens.4,7
Perforasi kornea akibat penyakit herpes stroma atau superinfeksi bakteri atau fungi
mungkin memerlukan keratoplasti penetrans darurat. Pelekat jaringan sianokrilat dapat
dipakai secara efektif untuk menutup perfosi kecil dan graft “petak” lamelar berhasil
baik pada kasus tertentu. Keratoplasi lamelar memiliki keuntungan dibanding
keratoplasti penetrans karena lebih kecil kemungkinan terjadi penolakan transparant.
Lensa kontak lunak untuk terapi atau tarsorafi mungkin diperlukan untuk pemulihan
defek epitel yang terdapat padakeratitis herpes simplek.4,7
25
2.5.1.6 Prognosis
Prognosis akhirnya baik karena tidak terjadi parut atau vaskularisasi pada
kornea. Bila tidak diobati, penyakit ini berlangsung 1-3 tahun dengan meninggalkan
gejala sisa.6
infiltrate sel yang pada awalnya hanya subepitel. Keadaan ini dapat diikuti penyakit
stroma dalam dengan nekrosis dan vaskularisasi. Kadang-kadang timbul keratitis
disciformis dan mirip keratitis disciformis HSV. Kehilangan sensasi kornea selalu
merupakan ciri mencolok dan sering berlangsung berbulan-bulan setelah lesi kornea
tampak sudah sembuh. Uveitis yang timbul cenderung menetap beberapa minggu
sampai bulan, namun akhirnya sembuh. Skleritis dapat menjadi masalah berat pada
penyakit VZV mata.5
Acyclovir intravena dan oral telah dipakai dengan hasil baik untuk mengobati
herpes zoster ophthalmic, khususnya pada pasien yang kekebalannya terganggu. Dosis
oralnya adalah 800mg, 5 kali sehari untuk 10-14 hari. Terapi hendaknya dimulai 72
jam setelah timbulnya kemerahan. Peranan antivirus topikal kurang meyakinkan.
Kortikosteroid topikal mungkin diperlukan untuk mengobati keratitis berat, uveitis, dan
glaukoma sekunder. Penggunaan kortikosteroid sistemik masih kontroversial. Terapi
ini mungkin diindikasikan untuk mengurangi insidensi dan hebatnya neuralgia paska
herpes. Namun demikian keadaan ini sembuh sendiri.5
2.6.3 Diagnosis
Sangat membantu diagnosis pasti, walaupun bila negatif belum menyingkirkan
diagnosis keratomikosis. Yang utama adalah melakukan pemeriksaan kerokan kornea
(sebaiknya dengan spatula Kimura) yaitu dari dasar dan tepi ulkus dengan
biomikroskop. Dapat dilakukan pewarnaan KOH, Gram, Giemsa atau KOH + Tinta
India, dengan angka keberhasilan masing-masing ± 20-30%, 50-60%, 60-75% dan
80%. Lebih baik lagi melakukan biopsi jaringan kornea dan diwamai dengan Periodic
Acid Schiff atau Methenamine Silver, tapi sayang perlu biaya yang besar. Akhir-akhir
ini dikembangkan Nomarski differential interference contrast microscope untuk
28
melihat morfologi jamur dari kerokan kornea (metode Nomarski) yang dilaporkan
cukup memuaskan. Selanjutnya dilakukan kultur dengan agar Sabouraud atau agar
ekstrak maltosa.10
2.6.4 Terapi
Terapi medikamentosa di Indonesia terhambat oleh terbatasnya preparat
komersial yang tersedia, tampaknya diperlukan kreativitas dalam improvisasi
pengadaan obat, yang utama dalam terapi keratomikosis adalah mengenai jenis
keratomikosis yang dihadapi bisa dibagi:
a. Belum diidentifikasi jenis jamur penyebabnya.
b. Jamur berfilamen.
c. Ragi (yeast).
d. Golongan Actinomyces yang sebenarnya bukan jamur sejati.
Untuk golongan I : Topikal Amphotericin B 1,02,5 mg/ml, Thiomerosal (10 mg/ml),
Natamycin > 10 mg/ml, golongan Imidazole.
Untuk golongan II : Topikal Amphotericin B 0,15%, Miconazole 1%, Natamycin 5%
(obat terpilih), econazole 1% (obat terpilih).
Steroid topikal adalah kontra indikasi, terutama pada saat terapi awal. Diberikan juga
obat sikloplegik (atropin) guna mencegah sinekia posterior untuk mengurangi uveitis
anterior.
BAB III
DISKUSI
Pasien usia 6 tahun datang dengan keluhan nyeri pada mata bagian kiri,
dirasakan kurang lebih sejak 1 hari sebelum pasien dibawa oleh orangtuanya ke Klinik.
Keluhan disertai dengan penurunan penglihatan, mata berair, serta mata merah
bersamaan dengan keluhan utama pasien. Sebelumnya pasien pernah mengalami
keluhan yang sama sejak awal januari dan pada bulan Juli namun hanya dibawa untuk
berobat di puskesmas, namun keluhan yang sama kembali lagi terjadi.
Hasil pemeriksaan visus didapati VOD 6/7 dan VOS 6/60. Pada hasil
pemeriksaan segmen anterior bola mata menggunakan penlight didapati konjungtiva
hiperemis (+), pada kornea bercak putih pada epitel kornea (+), infiltrate (+).
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan yang dilakukan, pasien di diagnosa
keratitis pada mata sebelah kiri. Pasien diberikan vitamin mata dan juga antibiotik yang
diberikan pada mata kiri.
31
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas S. Anatomi dan Fisiologi Mata. Dalam : Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi
ketiga. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2010. h. 1-13
2. Paul dan John. Anatomi dan Embriologi Mata. Dalam Vaughhan dan Ashabury
Oftalmology Umum. Edisi 17. Jakarta : EGC ; 2009. h. 1-27
3. Ilyas S. Mata Merah dengan Penglihatan Turun Mendadak. Dalam : Ilyas S. Ilmu
Penyakit Mata. Edisi ketiga. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2010. H 147-78
4. Lang GK. Cornea. In : Lang GK. Ophthalmology A Pocket Textbook Atlas. 2 nd
edition. Stuttgart ; thieme ; 2007. p. 115-60
5. Paul dan John. Kornea. Dalam Vaughhan dan Ashabury Oftalmology Umum. Edisi
17. Jakarta : EGC ; 2009. h. 125-48
6. Pavan-Langston D. Cornea and External Desease. In: Pavan-Langston D. Manual
of Ocular Diagnosis and Theraphy. 5th edition. Philadelphia; Lippincott Williams
& Wilkins; 2002. p. 67-129
7. Schlote dkk. Pocket Atlas of Ophtalmology. Stuttgart ; thieme ; 2006. P. 96-101