Anda di halaman 1dari 43

1

BAB Il
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Penyakit infeksi terkait pelayanan kesehatan atau Healthcare Associated Infection
(HAI) merupakan salah satu masalah kesehatan diberbagai negara di dunia, termasuk
Indonesia. Sebagai hasil yang tidak diinginkan dari seeking care, infeksi ini menghantarkan
pasien pada penyakit yang lebih serius, penambahan lama rawat inap dan disabilitas jangka
panjang. Tak hanya berpengaruh pada biaya klinik dari keluarga pasien, infeksi ini juga
menghantarkan penambahan beban keuangan tak langsung pada healthcare system serta
tidak menutup kemungkinan akan menjadi faktor penyebab kematian pasien (WHO, 2005).
Di Negara maju seperti Amerika Serikat, ada 20.000 kematian setiap tahun akibat HAI. Di
seluruh dunia, 10% paien rawat inap di rumah sakit mengalami infeksi yang baru selama
dirawat atau sekitar 1,4 juta infeksi setiap tahun. Di Indonesia, penelitian yang dilakukan
di 11 (sebelas) rumah sakit di DKI Jakarta pada tahun 2004 menunjukan bahwa 9,8%
pasien rawat inap mendapat infeksi yang baru selama dirawat. Tenaga pelayanan kesehatan
di Indonesia mempunyai kewajiban untuk selalu memenuhi salah satu kriteria Standar
Pelayanan Kesehatan, yaitu melaksanakan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI).
Prosedur pelaksanaan tentang Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) tersebut harus
dilaksanakan pada semua fasilitas pelayanan kesehatan di seluruh Indonesia termasuk
Fasilitas Kesehatan Tingkat Primer selanjutnya disebut Klinik. Kepala Klinik harus
memastikan seluruh tenaga pelayanan yang bekerja di dalam lingkungannya mempuyai
pengetahuan dan mendapatkan pelatihan yang adekuat tentang Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi (PPI). Hal tersebut termasuk kebersihan tangan, pembersihan,
desinfeksi, dan sterilisasi peralatan serta bahan yang digunakan. Teknik pembersihan,
desinfeksi, dan sterilisasi harus sesuai dengan perkembangan keilmuan dan secara rutin
dilakukan monitoring.
Infeksi merupakan bahaya yang sangat nyata pada praktik pelayanan kesehatan.
Pada kenyataannya, prosedur kebersihan tangan merupakan komponen paling penting
diantara program Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) lainnya. Tujuan Pencegahan
dan Pengendalian Infeksi pada fasilitas pelayanan kesehatan adalah untuk mencegah
penularan infeksi baik kepada pekerja layanan kesehatan maupun pasien ketika sedang
dilakukan tindakan atau perawatan.
2

Keselamatan telah menjadi isu global termasuk juga untuk Klinik. Keselamatan
pasien klinik adalah suatu sistem dimana klinik membuat asuhan paien lebih aman yang
meliputi asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko
pasien, pelaporan dan analisi insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya
serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko dan mencegah terjadinya
cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak
mengambil tindakan yang seharusnya diambil.
Keselamatan pasien merupakan salah satu indikator klinik mutu pelayanan
kesehatan. Oleh karena itu, sebagai tenaga kesehatan perlu memahami aspek hukum
tentang keselamatan pasien untuk melindungi diri sendiri dari tuntutan hukum dan untuk
melindungi keselamatan pasien.
Prinsip penting dari keberadaan institusi pelayanan kesehatan berkualitas adalah
perlindungan bagi pasien, tenaga kesehatan, tenaga pendukung dan komunitas masyaraka
di sekitarnya dari penularan infeksi. Hal ini dapat diwujudkan dengan penerapan
Pencegahan dan Pengendalian infeksi (PPI) yang efektif dan efisien. Pengendalian Infeksi
ini masuk ke dalam MDGs (Millenium Development Goals)

B. TUJUAN
Tujuan dari pembuatan Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI)
adalah :
1. Sebagai acuan tenaga kesehatan di lingkungan Klinik Atang Sendjaja dalam
pelaksanaan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi yang benar dan sesuai standar
meskipun dalam keadaan sumber daya dan dana yang terbatas.
2. Meningkatkan kualitas pelayanan di Klinik Atang Sendjaja.
3. Melindungi sumber daya manusia yang berperan sebagai tenaga kesehatan maupun
masyarakat dari penyakit infeksi yang berbahaya.

C. SASARAN
Sasaran dari Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) adalah semua
tenaga pelayanan kesehatan baik yang medis maupun non medis.

D. RUANG LINGKUP
3

Ruang lingkup dari Program Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) meliputi
Pencegahan Infeksi, Pendidikan dan Pelatihan, Surveilans, Penggunaan Obat Antibiotik
secara Rasional.

E. BATASAN OPERASIONAL
Pencegahan terhadap terjadinya infeksi nosokomial di Klinik dimaksud untuk
menghindari terjadinya infeksi selama pasien di Klinik. Pelaksanaan upaya pencegahan
infeksi nosokomial terdiri atas : Kewaspadaan universal, tindakan terhadap anak dan
neonatus, pengelolaan linen dan laundry, pengelolaan limbah, manajemen lingkungan,
serta sterilisasi dan desinfeksi.
Training atau pelatihan adalah kegiatan untuk mengembangkan pengetahuan dan
keterampilan yang diberikan baik dalam kelas maupun diluar kelas pada seseorang atau
sekelompok orang bertujuan untuk menghilangkan perbedaan antara kemampuan yang
sekarang dimiliki dengan kemampuan standar yang ditetapkan. Proses pelaksanaannya
ialah mempelajari dan mempraktekkan dengan menuruti standar acuan tertentu atau
prosedur sehingga menjadi kebiasaan yang pada hasilnya nanti terlihat adanya perubahan
dan perbaikann di tempat kerja.
Surveilans adalah pengamatan yang sistematis aktif dan terus menerus terhadap
timbulnya penyebaran penyakit pada suatu populasi serta keadaan atau peristiwa yang
menyebabkan meningkat atau menurunnya risiko untuk terjadinya penyebaran penyakit.
Kegiatan surveilans meliputi : merumuskan kasus / kriteria diagnostik, pengumpulan data
surveilans infeksi nosokomial, penyebaran data / informasi.
Untuk mencegah pemakaian antibiotik yang tidak tepat sasaran atau kurang rasional
maka perlu dibuat suatu pedoman antibiotik. Oleh karena penggunaan antibiotik yang tidak
rasional akan menyebabkan timbulnya dampak negatif seperti terjadinya kekebalan kuman
terhadap beberapa antibiotik, meningkatnya kejadian efek samping obat, biaya pelayanan
kesehatan menjadi tinggi dan akan merugikan pasien. Atas dasar semuanya ini maka perlu
ada kebijakan klinik tentang peraturan penggunaan antibiotik agar dapat menekan
serendah-rendahnya efek yang merugikan dalam pemakaian atau penggunaan antibiotik.

F. DEFINISI OPERASIONAL
1. Alat Pelindung Diri (APD) adalah pakaian khusus atau alat yang digunakan petugas
untuk melindungi diri dari luka atau penyakit yang diakibatkan oleh adanya kontak
4

dengan bahaya ditempat kerja, baik yang bersifat kimia, biologis, radiasi, fisik, elektrik,
mekanik dan lainnya.
2. Antiseptik adalah cairan/bahan yang digunakan pada permukaan kulit dan membran
mukosa untuk menurunkan jumlah mikroorganisme.
3. Autoklaf adalah suatu alat/mesin yang digunakan untuk sterilisasi dengan
menggunakan uap bertekanan.
4. Dekontaminasi adalah suatu proses untuk menghilangkan mikroorganisme patogen dan
kotoran dari suatu benda sehingga aman untuk penggunaan selanjutnya, termasuk
pembersihan, desinfeksi, dan sterilisasi.
5. Desinfeksi adalah inaktivasi mikroorganisme melalui sisterm thermal (panas) atau
kimia.
6. Millenium Development Goals (MDGs) adalah hasil kesepakatan kepala negara dan
perwakilan dari 189 negara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mulai dijalankan
pada September 2000, berupa 8 butir tujuan untuk dicapai pada tahun 2015. Targetnya
adalah tercapainya kesejahteraan rakyat dan pembangunan masyarakat pada 2015.
7. Pajanan adalah peristiwa yang menimbulkan risiko penularan.
8. Peralatan kritis adalah peralatan yang digunakan berpenetrasi ke dalam jaringan lunak,
gigi, dan tulang sehingga terkena jaringan tubuh atau darah (peralatan yang masuk
kedalam pembuluh darah atau jaringan steril).
9. Peralatan semi kritis adalah peralatan yang terpapar cairan saliva dan berkontak dengan
membran mukosa namun tidak penetrasi kedalamnya (peralatan yang masuk ke
membran mukosa).
10. Peralatan non-kritis adalah peralatan yang digunakan berkontak menyentuk kulit
namun bukan mukosa.
11. Profilaksis Pasca Pajanan (PPP) adalah penggunaan obat untuk mencegah infeksi
setelah terjadi peristiwa yang berisiko.
12. Other Potentially Infectious Material (OPIM) adalah bahan yang berpotensi
menimbulkan risiko penularan seperti semen, sekret vagina, cairan serebrospinal,
sinovial, pleural, perikardial dan jaringan.
13. Steril adalah kondisi bebas dari semua mikroorganisme termasuk spora.
14. Sterilisasi adalah penghancuran semua mikroorganisme termasuk spore melalui cara
fisika dan kimia.
5

BAB II
STANDAR KETENAGAAN

A. KUALIFIKASI SUMBER DAYA MANUSIA


Tim Pencegahan dan Pengendalian Infeksi terdiri atas dokter, perawat, analis,
farmasi, sanitasi dan bagian Linen. Sasaran target Pencegahan dan Pengendalian Infeksi
meliputi pasien, petugas, lingkungan Klnik dan di sekitar Klinik, pengunjung Klinik, dan
masyarakat di sekitar Klinik.
Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di pimpim langsung oleh Kepala Klinik
Atang Sendjaja dan bertugas mengontrol serta mengoordinasi pelaksanaan pencegahan dan
pengendalian infeksi di Klinik. Sekretaris PPI adalah orang yang ditunjuk oleh Kepala
Klinik dan dianggap mempunyai kemampuan pencegahan dan pengendalian infeksi sesuai
dengan tingkat pendidikan.
6

Infection Prevention adn Control Officer (IPCO) adalah seorang dokter yang
ditunjuk oleh Ketua Tim PPI sebagai pelaksana kegiatan PPI di Klinik. Dokter yang
ditunjuk menjadi IPCO harus memiliki kemampuan dalam pencegahan dan pengendalian
infeksi berdasarkan pendidikan, pengalaman dan pelatihan yang terkait. Seorang IPCO
membawahi dua sampai lima orang Infection Prevention and Control Nurse (IPCN) dalam
koordinasi pelaksanaan Program PPI.
IPCN adalah seorang perawat yang mempunyai kemampuan PPI berdasarkan
pelatihan PPI eksternal maupun internal dan merupakan koordinator pelaksanaan PPI di
bagian keperawatan. IPCN dalam pelaksanaannya mengontrol pelaksanaan PPI pasien
rawat jalan. Dalam pelaksanaan PPI seorang IPCN dibantu oleh beberapa Infection
Prevention and Control Link Nurse (IPCLN) di unit terkait.
IPCLN adalah perawat PPI yang ditunjuk untuk melaksanakan kegiatan PPI di unit
terkait. IPCLN dipilih berdasarkan kemampuan pelaksanaan PPI berdasarkan pendidikan
dan pelatihan PPI baik eksternal maupun internal.

B. DISTRIBUSI KETENAGAAN
Distribusi ketenagaan di Klinik Atang Sendjaja, meliputi :
1. Pelayanan Umum terdiri dari 2 ruang
2. Pelayanan Kesehatan Ibu & Anak terdiri dari 1 ruang
3. Pelayanan Gigi terdiri dari 1 ruang
4. Pelayanan Farmasi terdiri dari 1 ruang
5. Pelayanan Laboratorium terdiri 1 ruang
6. Pelayanan Tindakan Umum terdiri 1 ruang
7. Pelayanan melahirkan normal terdiri 1 ruang
8. Ruang rawat inap post partum terdiri 1 ruang
9. Ruang sterilisasi terdiri 1 ruang
10. Ruang cuci terdiri dari 1 ruang
Disetiap ruangan terdapat penanggungjawab unit terkait, pelaksana yang
bertanggungjawab terhadap ruangannya masing-masing setiap shif dan diawasi oleh tenaga
medis yang bertugas.
7

Pengaturan Jaga :
1. Tenaga Medis
a. Dokter umum berjaga secara on site, dalam 12 jam terbagi menjadi 2 waktu. Yaitu
dinas Pagi dan Sore.
b. Dokter gigi berjaga secara on site, dalam 1 shif yaitu hanya di pagi hari saja.

2. Tenaga Perawat dan Bidan


a. Terdiri dari Bidan dan Perawat di ruangan yang berjaga secara on site dalam 14 jam
terbagi menjadi 2 waktu dinas, yaitu Pagi dan Sore.
b. Terdiri dari Bidan On call yang siap datang jika ada pasien yang akan melahirkan.
c. Pembagian waktu jam dinas, yaitu :
1) Dinas Pagi 07.00 s/d 14.00 WIB
2) Dinas Sore 14.00 s/d 21.00 WIB
3) Dinas Malam (On Call) standby hingga pagi jam 08.00 WIB

C. TUGAS DAN WEWENANG


Tim Pencegahan dan Pengendalian Infeksi bertugas membuat dan mengevaluasi
kebijakan PPI, melaksanakan sosialisasi kebijakan PPI Klinik, membuat SPO, menyusun
serta mengevaluasi pelaksanaan Program dan Pelatihan PPI, melakukan investigasi
masalah atau Kejadian Luar Biasa (KLB) Infeksi Nosokomial, memberikan usulan untuk
mengembangkan dan meningkatkan cara Pencegahan dan Pengendalian Infeksi,
memberikan usulan kepada Kepala Klinik untuk pemakaian antibiotik yang rasional di
Klinik berdasarkan hasil pantauan kuman dan resistensinya terhadap antibiotika serta
menyebarluaskan data resistensi antibiotika, memberikan masukan yang menyangkut
Konstruksi Bangunan, Pengadaan Alat, Bahan Kesehatan, Renovasi Ruangan, cara
pemrosesan alat dan linen sesuai dengan prinsip PPI.
Infection Prevention Control Officer (IPCO) bertugas dalam berkontribusi dalam
diagnosis dan terapi infeksi yang benar, menyusun pedoman penulisan resep antibiotika
dan surveilans, mengidentifikasi, melaporkan kuman patogen dan pola resistensi
antibiotika, bekerjasama dengan perawat PPI memonitor kegiatan surveilans infeksi dan
mendeteksi serta menyelidiki KLB, membimbing dan mengajarkan praktek serta prosedur
8

PPI yang berhubungan dengan prosedur terapi, memonitor cara kerja tenaga kesehatan
dalam merawat pasien dan membantu semua petugas kesehatan untuk memahami PPI.
Infection Prevention Control Nurse (IPCN) mempunyai tugas dan wewenang untuk
mengunjungi ruangan setiap hari untuk memonitor kejadian infeksi yang terjadi di Klinik,
memonitor pelaksanaan PPI, penerapan SPO, melaksanakan surveilans infeksi dan
melaporkan kepada Tim Mutu Klinik, merencanakan pelatihan petugas kesehatan tentang
PPI di Klinik, melakukan investigasi terhadap KLB dan memperbaiki kesalahan yang
terjadi, memonitor kesehatan petugas untuk mencegah penularan infeksi dari petugas
kesehatan kepada pasien atau sebaliknya, memonitor pengendalian penggunaan antibiotika
yang rasional, memberikan teguran dan motivasi tentang pelaksanaan kepatuhan PPI,
meningkatkan kesadaran pasien dan pengunjung Klinik tentang PPI Klinik, memprakarsai
penyuluhan bagi petugas kesehatan, pengunjung dan keluarga tentang topik infeksi yang
sedang berkembang di masyarakat.
Infection Prevention Control Link Nurse (IPCLN) bertugas mengisi dan
mengumpulkan formulir surveilanss setiap pasien di Poli pelayanan masing-masing,
kemudian menyerahkan kepada IPCN. Memberikan motivasi dan teguran tentang
pelaksanaan kepatuhan PPI pada setiap personil ruangan di unit masing-masing.
Memberitahukan kepada IPCN apabila ada kecurigaan adanya infeksi nosokomial pada
pasien. Berkoordinasi IPCN saat terjadi infeksi potensial KLB, memberikan penyuluhan
bagi pengunjung di ruang tunggu. Konsultasi prosedur yang harus di jalankan bila belum
paham. Memonitor kepatuhan petugas kesehatan yang lain dalam menjalankan Standar
PPI.
Bagian farmasi bertugas mengontrol peresepan antibiotika oleh dokter. Melakukan
investigasi dan pengelolaan alat kesehatan yang kadaluarsa dan pengadaan logistik PPI
serta Alat Pelindung Diri (APD) di unit masing-masing.
Sanitasi melakukan kontrol lingkungan dalam pencegahan dan pengendalian
infeksi, membuat SPO pengelolaan limbah, pengelolaan linen dan laundri, audit PPI
terhadap limbah, laundri dan lain-lain dengan menggunakan daftar tilik. Dalam
pelaksanaan kegiatan PPI sanitasi dibantu oleh Instalasi Pemeliharaan Sarana dan
Prasarana Klinik (IPS Klinik) dan bagian linen sebagai pelaksana kegiatan bagian sanitasi.
Bagian Gizi menjamin keamanan makanan dengan menerapkan jaminan mutu yang
berdasarkan keamanan makanan yang meliputi good manufacturing practices (GMP),
hygiene dan sanitasi makanan dan penggunaan bahan makanan tambahaan yang aman.
9

Upaya pencegahan yang dilakukan dengan menerapkan prinsip personal hygiene dan
hygiene peralatan pengolah dan penyajian makanan.
Bagian Laboratorium melakukan investigasi dan pengawasan pada kejadian tusuk
jarum serta melakukan pemeriksaan kesehatan yang berhubungan dengan kejadian infeksi.

BAB III
STANDAR FASILITAS

A. DENAH

(menyusul)

Semua area dalam Klinik Atang Sendjaja termasuk dalam program pencegahan dan
pengendalian infeksi.
Zonasi tingkat risiko terjadinya penularan penyakit :
a. Zonasi dengan Risiko Rendah
Zona risiko rendah meliputi :
1) Ruang Pendaftaran
2) Ruang Rekam Medik
3) Ruang Sekretariat
4) Ruang Bendahara
5) Ruang Rapat
6) Ruang Kepala Klinik
7) Ruang Farmasi
8) Ruang Laktasi

b. Zonasi dengan Risiko Sedang


Zona dengan risiko sedang meliputi :
10

1) Poli umum 1
2) Poli umum 2
3) Ruang Tunggu Pasien
4) Nurse Station

c. Zonasi dengan Risiko Tinggi


Zona dengan risiko tinggi meliputi :
1) Laboratorium

d. Zonasi dengan Risiko Sangat Tinggi


Zona dengan risiko sangat tinggi meliputi :
1) Poli Gigi
2) Ruang Tindakan Umum
3) Ruang Persalinan
4) Ruang Rawat Pasca Persalinan

B. STANDAR FASILITAS
Standar fasilitas PPI, meliputi :
1. Hand hygiene
Cuci tangan yang benar dapat meminimalkan mikroorganisme berkembang dalam
tangan selama bekerja serta ketika kontak dengan darah, cairan tubuh dan permukaan
atau peralatan yang diketahui atau tidak diketahui terkontaminasi.
Cuci tangan dilakukan ketika :
a. Sebelum kontak dengan pasien
b. Sebelum kontak dengan lingkungan pasien
c. Sebelum melakukan tindakan pada pasien
d. Setelah melakukan tindakan pada pasien
e. Setelah kontak dengan cairan yang berhubungan dengan pasien

2. Alat Pelindung Diri (APD)


Alat Pelindung Diri (APD) digunakan sebagai barier antara mikroorganisme dengan
petugas. APD membantu mencegah penularan melalui tangan, mata, baju, rambut dan
11

sepatu yang terkontaminasi, mencegah penularan dari pasien ke petugas maupun dari
pasien ke pasien lain.
Alat Pelindung Diri (APD) meliputi :
a. Sarung tangan
b. Kacamata goggle
c. Masker
d. Celemek / apron
e. Baju khusus tindakan
f. Sepatu boots
g. Penutup kepala

3. Pengaturan limbah Klinik


Pengaturan lmbah diperlukan untuk mencegah kontaminasi dan penyebaran infeksi
yang meluas. Sistem dan monitoring mutlak diperlukan agar pengaturan limbah dapat
berjalan.
12

BAB IV
TATA LAKSANA PELAYANAN

1. PENCEGAHAN INFEKSI

1. Kewaspadaan Universal
a. Definisi
Kewaspadaan Universal adalah suatu pedoman yang ditetapkan oleh Centers for
Disease Control (1985) untuk mencegah penyebaran dari berbagai penyakit yang
ditularkan melalui darah di lingkungan rumah sakit maupun sarana pelayanan
kesehatan lainnya. Adapun konsep yang dianut adalah bahwa semua darah dan
cairan tubuh tertentu harus dikelola sebagai sumber yang dapat menularkan HIV,
HBV dan berbagai penyakit lainnya yang ditularkan melalui darah.

b. Pelaksanan Kewaspadaan Universal


Secara singkat, kebijaksanaan pelaksanaan Kewaspadaan Universal adalah seperti
apa yang dikemukakan dibawah ini :
1) Semua petugas kesehatan harus rutin menggunakan sarana yang dapat
mencegah kontak kulit dan selaput lendir dengan darah atau cairan tubuh
lainnya dari setiap pasien yang dilayani. Dengan demikian petugas kesehatan
harus :
a) Menggunakan sarung tangan bila :
13

- Menyentuh darah atau cairan tubuh, selaput lendir atau kulit yang tidak
utuh.
- Mengelola berbagai peralatan dan sarana kesehatan atau kedokteran
yang tercemar darah atau cairan tubuh.
- Mengerjakan fungsi vena atau segala prosedur yang menyangkut
pembuluh darah. Sarung tangan harus selalu diganti setiap selesai
kontak dengan seorang pasien.
b) Menggunakan masker dan pelindung mata atau pelindung wajah bila
mengerjakan prosedur yang memungkinkan terjadinya cipratan darah atau
cairan tubuh guna mencegah terpaparnya selaput lendir pada mulut, hidung
dan mata.
c) Memakai jas / jubah (pakaian kerja) khusus selama melaksanakan tindakan
yang mungkin akan menimbulkan cipratan darah atau cairan tubuh lainnya.
2) Tangan dan bagian tubuh lainnya harus segera dicuci sebersih mungkin bila
terkontaminasi oleh darah dan cairan tubuh lainnya. Setiap saat setelah
melepaskan sarung tangan, tangan harus dicuci.
3) Semua petugas harus selalu waspada terhadap kemungkinan tertusuk jarum,
pisau dan benda/alat tajam lainnya selama pelaksanaan tindakan, saat
membersihkan/mencuci peralatan, saat membuang sampah atau ketika
membenahi peralatan setelah berlangsungnya prosedur/tindakan.
Untuk mencapai tujuan ini, maka jangan menutup kembali jarum suntik setelah
dipakai, jangan sengaja membengkokan atau mematahkan jarum suntik dengan
tangan, jangan melepaskan jarum suntik dari tabungnya atau melakukan apapun
pada jarum suntik dengan menggunakan tangan. Setelah segala benda tajam
digunakan, maka harus ditempatkan di suatu wadah khusus yang tahan / anti
tusukan. Wadah ini harus berada sedekat mungkin atau mudah dicapai disekitar
area tindakan. Kemudian wadah kumpulan benda tajam tersebut harus
menjamin aman untuk transportasi ke tempat pemrosesan alat ataupun dalam
proses pengenyahan.
4) Walaupun air liur belum terbukti menularkan HIV, tindakan resusitasi dengan
cara dari mulut ke mulut harus dihindari. Dengan demikian di setiap tempat
yang mungkin akan kedapatan kasusu yang memerlukan resusitasi, perlu
disediakan alat resusitasi.
14

5) Petugas kesehatan yang sedang mengalami perlukaan atau ada lesi yang
mengeluarkan cairan misalnya menderita dermatitis basah harus menghindari
tugas-tugas yang bersifat kontak langsung dengan pasien ataupun kontak
langsung dengan peralatan bebas pakai pasien.
6) Petugas kesehatan yang sedang hamil tidak mempunyai risiko lebih besar untuk
tertular HIV bila dibandingkan dengan petugas kesehatan yang tidak hamil.
Namun demikian bila terjadi infeksi HIV selama kehamilan, janin yang
dikandungnya mempunyai risiko untuk mengalamai tranmisi perinatal. Oleh
karena itu, petugas kesehatan yang sedang hamil harus lebih memperhatikan
pelaksanaan segala prosedur yang dapat menghindari penularan HIV.
Dengan menerapkan Kewaspadaan Universal setiap petugas kesehatan dapat
terlindung semaksimal mungkin dari kemungkinan terpapar oleh infeksi penyakit
yang ditularkan melalui darah atau cairan tubuh baik dari kasus yang terdiagnosis
maupun yang tidak terdiagnosa. Sebagai keuntungan tambahan, transmisi dari
kebanyakan infeksi yang ditularkan dengan cara lainpun terhadap petugas
kesehatan dan pasiennya akan dikurangi pula.

c. Beberapa petunjuk khusus dalam pelaksanaan Kewaspadaan Universal


Kita menyadari bahwa diagnosis dini adanya infeksi oleh berbagai mikroorganisme
pada seorang pasien, khususnya infeksi virus seperti HIV, Hepatitis B dan lain-lain,
penting peranannya dalam manajemen kasus. Akan tetapi atas dasar berbagai
pertimbangan sampai saat ini screening terhadap berbagai infeksi virus tidak
mungkin dilakukan secara rutin. Bahkan pada infeksi oleh HIV terdapat masa
jendela yang mana pada masa tersebut darah atau cairan tubuh penderita, sudah
dapat menularkan infeksi akan tetapi HIV belum dapat terdeteksi melalui
pemeriksaan laboratorium. Oleh karena itu prinsip Kewaspadaan Universal dalam
upaya pencegahan infeksi merupakan kunci utama keberhasilan memutuskan rantai
transmisi penyakit yang ditularkan melalui darah maupun cairan lainnya. Dibawah
ini disampaikan langkah-langkah yang perlu diperhatikan sebagai prosedur
pencegahan infeksi khususnya infeksi HIV.
1) Kewaspadaan dalam tindak medik
Sebagai prosedur pembedahan yang membuka jaringan organ dan pertolongan
persalinan termasuk dalam tindakan medik invasif beresiko tinggi untuk
15

menularkan HIV bagi tenaga dokter atau pelaksana lainnya. Untuk memutuskan
rantau penularan diperlukan Alat Pelindung Diri (APD) berupa :
a) Kacamata pelindung untuk menghindari percikan cairan tubuh pada mata.
b) Masker penutup pelindung hidung dan mulut untuk mencegah percikan
pada mukosa hidung dan mulut.
c) Plastik penutup badan (skort) untuk mencegah kontak cairan tubuh pasien
dengan penolong.
d) Sarung tangan yang tepat untuk melindungi tangan yang aktif melakukan
tindakan medik invasif.
e) Penutup kaki untuk melindungi kaki dari kemungkinan terpapar cairan
infeksius.
2) Kegiatan di Ruang Tindakan
Ruang tindakan yang umumnya melayani kasus kecelakaan ringan harus
menyediakan segala peralatan yang berkaitan dengan pelaksanaan
Kewaspadaan Universal. Sarana seperti sarung tangan, masker dan pakaian
khusus harus selalu ada, mudah dicapai dan mudah dipakai. Alat resusitasi
harus selalu tersedia dalam keadaan siap pakai dan ada petugas yang terlatih
untuk menggunakannya.
3) Kegiatan di Kamar Bersalin
Disamping memperhatikan kebutuhan Alat Pelindung Diri (APD) yang telah
disebutkan diatas, perlu diingatkan bahwa :
a) Kegiatan di kamar bersalin yang membutuhkan lengan / tangan untuk
manupulasi instrauterin tentunya harus menggunakan skort dan sarung
tangan yang mencapai siku.
b) Penolong bayi baru lahir harus menggunakan sarung tangan.
c) Cara pengisapan lendir bayi dengan mulut harus ditinggalkan.
d) Potonglah tali pusat bayi segera setelah lahir, hindari terjadinya cipratan
darah.
e) ASI dari ibu yang terinfeksi HIV mempunyai risiko untuk bayi baru lahir,
akan tetapi tidak beresiko untuk tenaga kesehatan.
4) Prosedur Anestesia
Prosedur anestesi merupakan salah satu aktifitas yang dapat memaparkan HIV
pada tenaga kesehatan pula. Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah :
16

a) Perlu disediakan nampan / troli untuk alat-alat yang sudah dipergunakan.


b) Jarum harus selalu dibuang sesegera mungkin setelah pemakaian ke dalam
wadah yang aman.
c) Pakailah obat-obatan sedapat-dapatnya untuk dosis dengan 1 kali
pemberian.
d) Sangat dianjurkan agar petugas anestesi melewati uji kelayakan terlebih
dahulu untuk meminimalkan risiko terluka oleh jarum suntik dan alat lain
yang tercemar darah dan cairan tubuh.
5) Lokasi kegiatan lainnya yang memerlukan perhatian adalah di mobil ambulans,
ruang tindakan, laboratorium.

d. Manajemen untuk tenaga kesehatan yang terpapar darah atau cairan tubuh
(dekontaminasi).
1) Paparan secara parenteral melalui tusukan jarum, terpotong dan lain-lain :
Keluarkan darah sebanyak-banyaknya, cuci dengan sabun dan air atau dengan
air saja sebanyak-banyaknya.
2) Paparan pada membran mukosa melalui cipratan kemata : “cuci mata secara
gentle” dengan mata dalam keadaan terbuka menggunakan air cairan NaCL.
3) Paparan pada mulut : keluarkan cairan infektif tersebut dengan cara berludah
kemudian kumur-kumur dengan air beberapa kali.
4) Paparan pada kulit yang utuh maupun kulit sedang mengalami perlukaan, lecet
atau dermatitis : cucilah sebersih mungkin dengan air dan sabun antiseptik.
Selanjutnya mereka yang terpapar ini perlu mendapatkan pemantauan pemeriksaan
HIV yang adekuat dan kondisi kesehatannya pun harus diperhatikan. Selama
pemantauan, tenaga kesehatan yang terpapar tersebut memerlukan konseling
mengenai risiko infeksi dan pencegahan transmisi selanjutnya. Tentunya individu
tersebut diingatkann untuk tidak menjadi donor darah ataupun jaringan, melakukan
hubungan seksual yang aman dan mencegah kehamilan.

e. Upaya untuk melaksanakan Kewaspadaan Universal di Lingkungan sendiri.


Sebagai petugas kesehatan khususnya yang bekerja di lingkungan Klinik sudah
selayaknya kita menerapkan Kewaspadaan Universal dalam melaksanakan tugas
17

kita sehari-hari. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu diselenggarakan langkah-


langkah sebagai berikut :
1) Identitas unsur-unsur yang terkait
2) Menilai fasilitas dan kebiasaan yang berlangsung
3) Meninjau kembali kebijakan dan prosedur yang telah ada
4) Membuat perencanaan (menyusun proposal)
5) Menjalankan rencana yang telah disusun
6) Mengadakan pendidiakn dan pelatihan
7) Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kewaspadaan universal secara berkala.

2. Tindakan Non Invasive


a. Pengertian
Tindakan non invasif adalah suatu tindakan medis dengan menggunakan alat
kesehatan tanpa memasukan kedalam tubuh pasien yang memungkinkan
mikroorganisme masuk ke dalam jaringan tubuh.
Contoh : Tindakan USG, Pengukuran suhu tubuh, pengukuran tekanan darah,
pengukuran nadi dan lain-lain.
b. Sumber infeksi pada tindakan non invasif
Infeksi pada tindakan non invasif dapat terjadi karena kontak langsung antara :
1) Pasien yang menderita penyakit infeksi / menular / karier dapat menularkan
penyakit yang diderita kepada pasien lain.
2) Pasien dengan petugas :
a) Petugas yang menderita infeksi / menular / karier dapat menularkan
penyakit yang diderita kepada pasien atau sebaliknya.
b) Petugas dapat menajdi perantara penularan penyakit.
3) Pasien dengan pengunjung
Pasien dapat menularkan penyakit yang dideritanya kepada pengunjung atau
sebaliknya.
4) Pasien dengan alat
Pasien dapat menularkan kuman penyakit yang diderita ke alat-alat yang telah
digunakan atau sebaliknya.
5) Pasien dengan lingkungan
18

Pasien dapat menularkan kuman penyakit yang dideritanya ke lingkungan


sekitarnya atau sebaliknya.
6) Pasien dengan air
Pasien dapat menularkan kuman penyakit yang dideritanya ke air yang
dipergunakan atau sebaliknya.
7) Pasien dengan makanan
Pasien dapat menularkan kuman penyakit yang diderita ke makanan atau
sebaliknya.
c. Pencegahan Infeksi pada Tindakan Non Invasif
a) Alat yang digunakan harus bersih dan kering.
b) Alat yang telah terkontaminasi segera dibersihkan dengan bahan desinfektan
lalu disterilkan.
c) Lingkungan pasien dan ruang pemeriksaan selalu dijaga dalam keadaan bersih
dan kering.
d) Sirkulasi udara dalam ruangn harus lancar.
e) Penerangan atau sinar matahari dala ruangan harus cukup.
f) Tempat sampah selalu dalam keadaan tertutup.
g) Tidak ada serangga dalam ruangan.
h) Kualitas air yang tersedia memenuhi syarat kesehatan yaitu batas bebas kuman,
tidak berbau, tidak berwarna, jernih, dan bersih.
i) Air minum harus dimasak sampai mendidih.
j) Bak tempat penampungan air dibersihkan secara rutin minimal 2 kali seminggu.
k) Dicegah adanya genangan air limbah.

3. Tindakan terhadap anak dan neonatus


Tindakan terhadap anak atau neonatus dapat berupa tindakan invasif, invasif operasi
maupun tindakan non invasif. Pencegahan infeksi pada tindakan terhadap anak /
neonats, meliputi :
a. Petugas
1) Harus dalam keadaan sehat.
2) Tidak menderita penyakit menular seperti tuberkulosa dan penyakit saluran
nafas lainnya. Penyakit gastro intestinal dan penyakit kulit atau mukokutaneus
seperti herpes dan lain-lain.
19

3) Pakaian petugas harus berlengan pendek agar mudah untuk mencuci tangan.
4) Sebelum dan sesudah kontak dengan pasien harus mencuci tangan dengan
antiseptik atau sabun serta air mengalir.
5) Khusus bila kontak dengan neonatus tangan harus dicuci sampai ke siku dengan
sabun dan air mengalir serta digosok dengan sikat, kemudia dapat pakai larutan
antiseptik.
6) Sebelum masuk ke ruang tindakan persalinan, topi, masker dan sarung tangan
hanya dipakai pada waktu melakukan tindakan invasif.
7) Kuku harus pendek, memperhatikan kebersihan diri dan lingkungan.
b. Alat
1) Semua alat yang dipakai selalu dalam keadaan bersih dan kering.
2) Harus dalam keadaan steril kalau mungkin alat disterilkan dengan autoklaf atau
dapat juga dengan menggunakan desinfektan setelah alat dibersihkan.
3) Tempat tidur harus bersih dan kering kalau mungkin disterilkan dengan
desinfektan / detergen. Tempat tidur dibersihkan setiap bayi dipulangkan.
4) Tempat tidur tidak boleh dibersihkan selama anak berada ditempat tidur.
c. Pasien neonatus
1) Kulit harus dalam keadaan bersih dan kering demikian juga tali pusat.
2) Bayi masing-masing harus mempunyai perlengkapan sendiri dan sebaiknya
dicuci dibangsal bayi.
3) Susu, dot dan botol susu sebaiknya disterilkan diautoklaf sub atmospheric
pressure (proses pasteurisasi) yang khusus dipakai di dapur susu.
4) Pakaian / alas tempat tidur, selimut bayi sebaiknya disediakan setiap 8 jam
untuk sekali pakai.
5) Perlengkapan bayi harus dibawa ketempat perawran dalam keadaan steril dan
tertutup. Khusus untuk neonatus sebaiknya pakaiannya dipakai yang disposibel.
6) Pakaian kotor harus dikumpulkan dalam plastik tertutup dan diganti dengan
yang bersih setiap 8 jam.
7) Bahan atau zat yang dipakai untuk membersihkan pakaian bayi harus sesuai
standar dan tidak menyebabkan alergi pada kulit bayi.
d. Lingkungan
a) Sirkulasi cahaya harus masuk keruang perawatan agar secara tidak langsung,
bayi mendapatkan terapi sinar matahari.
20

b) Kamar dan ruangan harus ada penerangan / sinar yang diperlukan untuk
menghangatkan ruangan.
c) Penyediaan air bersih untuk pasien.
d) Lantai, dinding dan jendela dibersihkan dengan desinfektan / detergen atau
penghisap debu kering yang diikuti dengan wet vaccum pick up machine.
Bagian yang harus dibersihkan adalah sekitar pasien dan lingkungan tempat
perawatan.

4. Pengelolaan linen dan laundri


Untuk mencegah penularan infeksi Klinik Atang Sendjaja mengembangkan
sistem pengelolaan linen yang berdasarkan pada kondisi linen setelah dipakai serta
penggunaan linen pada bagian. Pengelolaan linen infeksius dibedakan dengan
pengelolaan linen non infeksius untuk mengurangi penyebaran infeksi. Petugas linen
dan laundri melakukan housekeeping terhadap linen yang digunakan pada pasien serta
peralatan kerja dengan melakukan klorinasi.
5. Pengelolaan Limbah
Pengaturan limbah diperlukan untuk mencegah kontaminasi dan penyebaran
infeksi yang meluas. Limbah dipisahkan sesuai dengan jenis limbah klinik. Limbah
medis infeksius dipisahkan dengan limbah domestik. Pemisahan jenis limbah juga
dipisahkan antara limbah medis padat cair dan tajam.
a. Penimbunan
Proses pemilahan dan reduksi sampah hendaknya merupkan proses yang kontinyu
yang pelaksanannya harus mempertimbangkan :
1) Kelancaran penanganan dan penampungan sampah.
2) Pengurangan volumen dengan perlakuan pemisahan limbah B3 dan Non B3
serta menghindari penggunaan bahan kimia B3.
3) Pengemasan dan pemberian label yang jelas dari berbagai jenis sampah untuk
efisiensi biaya, petugas dan pembuangan.

b. Penampungan
Penampungan sampah ini harus wadah yang memiliki sifat kuat, tidak mudah
bocor atau berlumut, terhindar dari sobek atau pecah, mempunyai tutup dan tidak
overload. Penampungan dalam pengelolaan sampah medis dilakukan perlakuan
21

standarisasi kantong dan container seperti dengan menggunakan kantong yang


bermacam warna seperti yang telah ditetapkan dalam Permenkes RI No
986/Menkes/Per/1982 dimana kantong berwarna kuning dengan lambang biohazard
untuk sampah infeksius, kantong berwarna hitan dengan tulisan “domestic”. Untuk
sampah medis yang tajam ditempatkan pada tempat yang tidak tembus berupa safety
box. Semua peralatan medis yang digunakan pada pasien adalah disposible dan single-
use untuk menghindari infeksi silang.

c. Pengangkutan
Pengankutan dibedakan menjadi dua yaitu pengangkutan internal dan eksternal.
Pengangkutan internal berawal dari titik penampungan awal ke tempat pembuangan
atau ke incinerator( pengolahan on site). Dalam pengangkutan internal biasanya
digunakan kereta dorong yang sudah diberi label dan dibersihkan secara berkala
serta petugas pelaksana dilengkapi dengan alat proteksi dan pakaian kerja khusus.
Pengangkutan eksternal yaitu pengangkutan sampah medis ke tempat pembuangan
diluar (off-site), pengangkutan eksternal memerlukan prosedur pelaksanaan yang
tepat dan harus dipatuhi petugas yang terlibat. Prosedur tersebut termasuk
memenuhi peraturan angkutan lokal. Sampah medis diangkut dalam kontainer
khusus, harus kuat dan tidak bocor.
Dalam pengelolaan dan pembuangan limbah medis padat dan tajam, Klinik Atang
Sendjaja bekerjasama dengan pihak ketiga yang kompeten untuk pemusnahan.
Sedangkan limbah medis cair dikelola oleh Klinik di Instalasi Pembuangan Air
Limbah Klinik.

6. Manajemen Lingkungan
Manajemen lingkungan klinik adalah Penataan faktor-faktor lingkungan klinik
untuk menyehatkan dan memelihara kondisi lingkungan klinik agar pengaruhnya
terhadap manusia, pelayanan dan lingkungan sekitar dapat terkendali sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
Tujuan adanya manajemen lingkungan :
a. Mencegah terjadinya infeksi klinik
b. Mencegah terjadinya gangguan kesehatan dan keselamatan kerja
c. Meningkatkan etika dan kenyamanan
22

d. Melindungi lingkungan dari pencemaran


e. Memelihara umur hidup fasilitas dan infrastruktur
f. Memenuhi aspek legal bidang kesehatan dan lingkungan
Sirkulasi udara atau pergerakan udara diusahakan untuk meminimalkan
sumber penyakit agar tidak menyebar ke udara yang memperbesar kemungkinan
terjadinya penularan diantara pasien, tenaga medis dan pengunjung. Terutama untuk
ruangan-ruangan khusus seperti di Ruang Pemeriksaan, Laboratorium, Ruang
Persalinan dan Ruang Tindakan, dimana tempat-tempat tersebut memerlukan
pengaturan, sebagai berikut :
a. Temperatur yang sesuai standar
b. Kelembaban udara sesuai standar
c. Kebersihan udaran dan ventilasinya
d. Tekanan ruangan, dan
e. Distribusi udara didalam ruangan

Sistem Sanitasi disediakan didalam dan diluar bangunan gedung untuk


memenuhi kebutuhan air bersih, pembuangan air kotor dan atau air limbah kotoran dan
sampah, serta penyaluran air hujan.
Sistem Pendukung prasarana yang terdapat di Klinik Atang Sendjaja antara lain
:
a. Tenaga listrik
b. Sistem pembuangan air limbah Klinik
c. Sistem pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun.

7. Sterilisasi
Adalah proses pengolahan suatu alat atau bahan dengan tujuan mematikan semua
mikroorganisme termasuk endospora pada suatu alat atau bahan. Proses sterilisasi
di Klinik sangat penting sekali dalam rangka pengawasan pencegahan infeksi
nosokomial. Keberhasilan usaha tersebut akan tercermin pada kualitas dan kuatitas
mikroorganisme yang terdapat bahan, alat serta lingkungan kerja di Klinik.
Proses sterilisasi di Klinik dilaksanakan secara desentralisasi dengan tujuan agar
tercapainya :
a) Efesiensi dalam menggunakan peralatan dan sarana
23

b) Efisiensi tenaga
c) Menghemat biaya investasi, instalasi dan pemeliharaannya
d) Sterilisasi bahan dan alat yang disterilkan dapat dipertanggungjawabkan
e) Penyederhanaan dalam pengembangan prosedur kerja, standarisasi dan
peningkatan pengawasan mutu.
a. Teknik Sterilisasi
Sebelum memilih teknik sterilisasi yang tepat dan efisien diperlukan pemahaman
terhadap kemungkinan adanya kontaminasi dari bahan dan alat yang akan
disterilkan.
Kontaminasi terjaddi karena adanya perpindahan mikroorganisme yang berasal dari
berbagai macam sumber kontaminasi.
Sumber kontaminasi dapat berasal dari :
a) Udara yang lembab atau uap air
b) Perlengkapan dan peralatan klinik
c) Tenaga kerja atau Personalia di Klinik (kulit, tangan, rambut dan saluran nafas
yang terinfeksi)
d) Air yang tidak disuling dan tidak disterilkan
e) Ruangan yang tidak diberisihkan dan di desinfektan
f) Pasien yang telah terinfeksi
Teknik sterilisasi ada beberapa cara :
1) Sterilisasi dengan pemanasan :
- Pemanasan basah dengan autoklaf
- Pemanasan kering dengan pemijatan dan udara panas
- Pemanasan dengan bactricid
2) Sterilisasi dengan penyaringan
3) Sterilisasi dengan menggunakan zat kimia
4) Sterilisasi dengan penyinaran
Pemilihan teknik sterilisasi berdasarkan pertimbangan
1) Teknik yang murah, cepat dan sederhana
2) Hasil yang diperoleh benar-benar steril
3) Bahan yang disterilkan tidak boleh mengalami perubahan

b. Pengawasan
24

Suatu bahan steril yang dihasilkan selama dalam penggunaan harus dapat dijamin
kualitas dan kuantitasnya. Waktu kadaluarsa suatu bahan steril sangat tergantung
kepada teknik sterilisasi. Pengawasan terhadap proses sterilisasi dapat dilakukan
dengan cara mengetes bahan atau alat yang dianggap masih steril dengan memakai
indikator fisika, kimia, dan biologi tergantung pada teknik sterulisasi yang
digunakan waktu mensterilkan bahan atau alat tersebut.

c. Pengujian
Ada tiga pilihan yang dapat digunakan sebagai teknik dalam pengujian sterilisasi :
a) Pemanasan sample langsung pada media pembenihan.
b) Pembilasan penyaring, hasil pembilasan diinkubasikan setelag ditanam dalam
media pembenihan.
c) Penambahan media pembenihan paket ke dalam larutan yang akan diuji
kemudian diinkubasi.
Jaminan hasil pengujian dapat dicapai jika pengawasan dimulai semenjak
pemilihan bahan dan alat yang akan disterilkan. Teknik sterilisasi yang akan
dipakai sampai dengan proses penyimpanan dan pendistribusian bahan atau alat
yang sudah steril.

8. Desinfeksi
Desinfeksi adalah proses baik secara kimia atau secara fisika dimana bahan yang
patogenik atau mikroba yang menyebabkan penyakit dihancurkan dengan suatu
desinfeksi dan antiseptik.
Desinfektan adalah senyawa atau zat yang bebas dari infeksi yang umumnya berupada
zat kimia yang dapat membunuh kuman penyakit atau mikroorganisme yang
membahayakan menginaktifkan virus.
Antiseptik adalah zat-zat yang dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan
mikroorganisme pada jaringan hidup.
Unit kerja yang bertanggung jawab terhadap penyediaan desinfektan dan antiseptik di
klinik adalah unit Farmasi.
Unit farmasi mempunyai kegiatan mulai dari perencanaan, pengadaan, pembuatan,
penyusunan dan penyaluran desinfektan/antiseptik ke unit pemakai di Klinik.
25

a. Teknik desinfeksi
Teknik desinfeksi yang dilakukan tidak mutlak bebas dari mikroorganisme hidup
seperti pada sterilisasi karena desinfektan atau antiseptik tidak menghasilkan
sterilisasi.
Pemilihan desinfektan yang tepat seharusnya memenuhi kriteria berikut :
a) Daya bunuh kuman yang tinggi dengan toksisitas yang rendah.
b) Spektrum luas, dapat mematikan berbagai macam mikroorganisme
c) Dalam waktu singkat dapat mendesinfeksi dengan baik
d) Stabil selama dalam penyimpanan
e) Tidak merusak bahan yang didesinfeksi
f) Tidak mengeluarkan bau menyengat dan mengganggu
g) Desinfektannya sederhana dan tidak sulit pemakaiannya
h) Biaya murah dan persediannya tetap ada dipasaran.
Faktor yang mempengaruhi pemilihan desinfektan yaitu sifat-sifat zat kimia yang
akan digunakan seperti konsentrasi, temperatur, pH dan bentuk formulasinya
disamping itu kepekaan mikroorganisme terhadap kerja zat kimia serta lingkungan
dimana desinfektan tersebut akan digunakan.

b. Pengawasan
Pengawasan desinfeksi dilakukan terhadap penggunaan desinfeksi sangat
tergantung kepada pengaruh suhu pencemaran pH, aktifitas permukaan jumlah
mikroorganisme dan adanya zat-zat yang mengganggu pada waktu
mempergunakan desinfektan.

2. Pendidikan dan Pelatihan


1. Definisi
Pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia bidang kesehatan yang selanjutnya
disebut DIKLAT adalah proses penyelenggaraan belajar mengajar dalam rangka
meningkatkan kemampuan SDM.
Pelatihan perlu mengembangkan suasana pembelajaran yang aktif (active learning),
pembelajaran kreatif (creative learning), pembelajaran efektif (effective learning), dan
pembelajaran yang menyenangkan (joyfull learning).
26

Pembelajaran yang aktif (active learning) adalah pembelajaran yang berpusat pada
peserta pelatihan semua aktivitas pembelajaran sebagai rangkaian proses belajar harus
dikerjakan oleh peserta pelatihan dengan penuh rasa kesadaran dan tanggung jawab.
Penetapan permasalahan, cara pemecahan, hingga penarikan kesimpulan untuk
diimplementasikan dalam nilai social dan lingkungannya, seluruhnya dilakukan oleh
peserta diklat.
Pembelajaran kreatif (creative learning), merujuk pada terwujudnya kreativitas dan
inovasi berfikir peserta diklat dalam menyatu-kaitkan perolehannya dalam belajar,
sehingga mempunyai kebermaknaan Manurut Ausuble pembelaharan ini diistilahkan
dengan belajar bermakna (meaningfull learning).
Pembelajaran efektif (effective learning) merujuk pada kuantitas dan kualitas belajar
dengan periode tertentu. Pembelajaran yang efektif tentunya yang dapat mencapai
tujuan secara maksimal dengan menggunakan daya dukung yang optimal.
Pembelajaran yang menyenangkan (joyfull learning) merujuk pada suasana
menyenangkan yang berlangsung selama pembelajaran suasana belajar bebas tanpa
tekanan, Dengan demikian peserta diklat akan dapatbmengembangkan semua potensi
yang dimiliki.
2. Tujuan
Tujuan pelaksanaan diklat antara lain:
a. Meningkatkan pengetahuan, keahlian, keterampilan, dan sikap untuk dapat
melaksanakan tugas jabatan secara profesional dengan dilandasi kepribadian
dan etika sesuai dengan kepribadian Rumah sakit.
b. Menciptakan SDM yang mampu menjadi pmbaharu dan meningkatkan
silaturahmi
c. Menciptakan kesamaan visi dan dinamika pola pikir dalam melaksanakan tugas
jabatan secara profesional demi terciptanya tim yang solid
3. Sasaran
Sasaran Diklat adalah terwujudnya SDM yang memiliki kompetensi yang sesuai
dengan persyaratan jabatan masing-masing
4. Assesment diklat
Kesalahan asesmen sering terjadi pada pelaksanaan diklat yang masih tradisional
penentuan pencapaian kompetensi dilakukan dengan tes peserta diklat mengerjakan
27

seperangkat tes yang hanya menggambarkan dalam diklat maka asesmen perlu
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1) Alternaltive assesment
2) Informaasi kinerja akan memberikan validasi menandai jika pemunculannya
secara alami informasi kinerja peserta muncul setiap saat, hal ini
mengisyaratkan asesmen dilakukan pada setiap saat , baik awal pembelajaran ,
maupun setelah pembelajaran. Asesmen berprinsip pada class assesment.
3) Informasi kerja yang perlu diukur perkembangannya, meliputi berbagai aspek
baik pengetahuan , sikap , maupun keterampilan. Asesmen tidak dapat
menggunakan satu macam alat/cara, tetapi harus menggunakan berbagai
macam alat/cara. Asesmen berprinsip pada authentic assesment
Disamping asesmen memberikan informasi untuk menentukan pencapaian kriteria
kompetisi yang telah diterapkan, asesmen hendaknya juga dapat sebagai informasi umpan
balik baik pelaksanaan diklat, fasilitatot maupun stake holder lainnya.
Berbagai bentuk asesmen yang dapat dikembangkan antara lain:
1) Tes (pilihan ganda , esai)
2) Portofolio
3) Performance, dll

3. Surveilans
Meskipun berbagai upaya pencegahan infeksi nosokomial di rumah sakit telah
dilaksanakan secara optimal, agaknya infeksi nosokimial di rumah sakit akan tetap terjadi,
namun demikian jumlah kejadian yang lebih sedikit.
Oleh karena itu, untuk mengadakan evaluasi terhadap keberhasilan program pengendalian
infeksi nosokimial serta upaya penanggulangan nya bila terjadi wabah atau kejaddian luar
biasa, perlu dilaksanakan surveilans infeksi nonsokimial di rumah sakit.
Surveilans adalah pengamatan yang sistematis aktif dan terus menerus terhadap timbulnya
penyebaran penyakit pada suatu populasi serta keadaan atau peristiwa yang menyebabkan
meningkatnya atau menurunnya resiko untuk terjadinya penyebaran penyakit , analisa data
dan penyebaran data yang teratur merupakan bagian penting dalam proses itu.
Kegiatan surveilans meliputi :

1. Merumuskan kasus / Kriteria diagnostic


28

Kasus yang akan disurvei perlu dirumuskan atau dibuat suatu criteria diagnostic yang jelas
dan teliti yang perlu ditaati secar konsisten dalam proses pengumpulan data terutama
beberapa jenis penyakit infeksi yang sering terjadi di rumah sakit.. Ada rumusan kasus /
criteria diagnostic yang akan ddibicarakan di bawah ini :
a. Infeksi saluran kemih
Infeksi saluran kemih nosokomial ialah infeksi saluran kemih yang pada pasien
masuk rumah sakit belum ada dan didapat sewaktu dirawat atau sesudah
dirawat.
Infeksi saluran kemih dapat disebabkan :
 Endogen
perubahan flora normal.
 Eksogen :
a) prosedur yang tidak bersih / steril
b) tangan yang tidak dicuci sebelum prosedur.
Penggolongan infeksi saluran kemih nosokomial adalah sebagai berikut:
1) Infeksi Saluran Kemih Simtomatik
Dengan salah satu kriteria dibawah ini :
Salah satu gejala ini :
- Demam > 380C
- Disuria
- Nikuria (urgency)
- Polakisuria
- Nyeri Suprapubik.
Dan biakan urin >100.000 kuman/ml dengan tidak lebih dari dua jenis
mikroorganisme
Dua dari gejala :
- Demam 380C
- Disuria
- Nikuria
- Polakisuria
- Nyeri Suprapubik
dan salah satu tanda :
- Tes carik celup (dipstick) positif untuk leukosit esterase dan atau nitrit.
29

- Pluria (10 lekosit/ml atau >3 lekosit/LPB) pada urine yang tidak
disentrifus.
- Mikroorganisme positif pada pewarnaan gram pada urine yang tidak
disentlifus.
- Biakan urine dua kali dengan hasil kuman uropatogen yang sama dengan
jumlah >100.000 kuman/ml dari urin yang diambil secara steril.
- Biakan urin dengan hasil satu jenis kuman uropatogen dengan jumlah
100.000 kuman/ml dan pasien diberi antibiotic yang sesuai.
- Diagnosis oleh dokter.
Dokter memberikan terapi antibiotika yang sesuai.
2) Infeksi Saluran Kemih lain.
dari ginjal, ureter, kandung kemih, uretra atau jaringan retroperito neal atau
rongga perinefrik) dengan salah satu criteria dibawah ini :
• Biakan positif dari cairan atau jaringan yang diambil dari lokasi yang
dicurigai.
• Ditemukan abses atau tanda infeksi pada pemeriksaan
atau secara hispatologis.
• Dua dari gejala :
- Demam 380C
- Nyeri local pada daerah yang dicurigai.
- Nyeri tekan pada daerah yang bersangkutan.
• Dan salah satu dari tanda :
- Drenase purulen dari daerah yang dicurigai.
- Biakan darah positif
- Radiologi terdapat tanda infeksi
- Diagnosis dokter
Dokter memberikan terapi antibiotika yang sesuai
• Pasien berumur <12 bulan dengan salah satu gejala :
- Demam 380C
- Hipotermia
- Apneu
- Bradikardi
- Disuria
30

- Letargi
- Muntah
• Dan salah satu dari tanda :
- Drenase purulen dari daerah yang dicurigai.
- Biakan darah positif
- Radiologi terdapat tanda infeksi
- Diagnosis dokter
Dokter memberikan terapi antibiotika yang sesuai.
3) Infeksi Saluran Kemih pada neonates
- Bayi tampak tidak sehat, kuning, muntah, hipertermi/ hipotermi, gagal
tumbuh (gejala sama dengan sepsis).
- Infeksi ini dapat pula disebabkan oleh sepsis.
- Laboratorium : pemeriksaan mikroskopik dan biakan urin dari punksi
suprapubik. Biakan urin positif kalau ditemukan kuman lebih dari
100.000/ml urin.
4) Infeksi Saluran Kemih pada Anak
- Dapat dengan atau tanpa gejala. Makin muda usia anak makin tidak khas.
- Gejala : panas, nafsu makan berkurang, gangguan pertumbuhan, kadang –
kadang diare atau kencing yang sangat berbau.
- Pada usia prasekolah gejala klinis berupa sakit perut, muntah, panas,
sering kencing dan ngompol. Pada anak yang lebih besar gejala spesifik
makin jelas seperti ngompol, sering kencing, sakit waktu kencing atau nyeri
pinggang.
- Gejala infeksi timbul sesudah dilakukan punksi suprapubik, kateterisasi
buli-buli.
- Apabila biakan kuman dalam urin pada waktu masuk dan saat diperiksa
berbeda.
- Diagnosis : Klinik dan laboratorik.
- Laboratorik : hasil biakan urin yang diambil melalui suprapubik dikatakan
positif apabila jumlah kuman sama atau lebih dari 200/ml urin. Dan apabila
melalui urin pancaran tengah atau kateterisasi kandung kemih maka jumlah
kuman dalam urin 100.000 atau lebih/ml urin.
Pemeriksaan lainnya : sediment urin terdapat piuria.
31

2) Laboratorik
Untuk orang dewasa dan anak umur >12 bulan.
Ditemukan satu diantara 2 kriteria berikut :
a). Kuman pathogen dari biakan darah dan kuman tersebut tidak ada
hubungannya dengan infeksi ditempat lain.
b). Ditemukan satu diantara gejala klinis berikut :
- Demam >380C.
- Menggigil
- Hipotensi
- Oliguri
Dan Satu diantara tanda berikut :
- Terdapat kontaminan kulit dari 2 biakan berturut – turut dan kuman
tersebut tidak ada hubungannya dengan infeksi ditempat (organ / jaringan)
lain.
- Terdapat kontaminan kulit dari biakan darah pasien yang menggunakan
alat intravascular (kateter intravena) dan dokter telah memberikan
antimikroba yang sesuai dengan sepsis.
Untuk bayi <12 bulan, ditemukan satu diantara gejala berikut :
- Demam >380C
- Hipotermi <370C
- Apnea
- Bradikardi <100/mnt
Dan Satu diantara tanda berikut :
- Terdapat kontaminan kulit dari 2 biakan berturut – turut dan kuman
tersebut tidak ada hubungannya dengan infeksi ditempat (organ / jaringan
lain)
- Terdapat kontaminan kulit dari biakan darah pasien yang menggunakan
alat intravaskuler (kateter intravena) dan dokter telah memberikan
antimikroba yang sesuai dengan infeksi
CATATAN :
Untuk neonatus digolongkan infeksi nosokomial apabila :
a). Pada partus normal di rumah sakit infeksi terjadi setelah lebih dari 3 hari.
32

b). Terjadi 3 hari setelah partus patologik, tanpa didapatkan pintu masuk
kuman.
c). Pintu masuk kuman jelas misalnya luka infuse.
b. Infeksi Luka Infus
Infeksi luka Infus atau Phlebitis adalah infeksi yang terjadi pada tempat tusukan
infuse.
Gejala yang muncul:
 Peradangan atau Kemerahan pada sekitar tusukan
 Adanya nyeri tekan pada daerah tusukan
 Adanya panas pada daerah tusukan
 Adanya bengkak pada daerah tusukan
c. Kejadian luar biassa
Kejadian luar biasa adalah kejadian infeksi yang muncul di masyarakat
berdasarkan data epidemiologis dan kejadian yang tiba-tiba muncul dan/atau
muncul kembali di suatu tempat di sekitar rumah sakit.
2. pengumpulan data
Data minimal yang perlu dikumpulkan antara lain adalah nama pasien, umur, jenis
kelamin, nomor rekam medik, nama ruang, tanggal kejadian. Data lain dapat
dikumpulkan hanya apabila akan dilakukan analisis, kadang – kadang dicatat juga
diagnosis primer invasive yang dilakukan sebelum terjadi infeksi dan antibiotika yang
diberikan.
a. Pengumpulan data monitoring pengendalian infeksi nosokomial
• Pelaksanaan pengumpulan data untuk infeksi luka infus (phlebitis) :
1). Perawat pelaksana mencatat pasien yang terpasang infus dan setiap mengganti
infus pada format monitoring infus pasien rawat inap.
2). Perawat mencatat kejadian infeksi luka infus pada format yang tersedia
3). Tiap awal bulan kepala ruang / anggota PPI yang ditunjuk merekap kejadian
infeksi luka infus.
4). Kepala ruang melaporkan bagian Keperawatan dan PPI.
5). PPI melaporkan kepada forum mutu untuk menjadi laporan mutu.
• Pelaksanaan pengumpulan data untuk infeksi post tindakan di IGD atau Poliklinik
:
1). Perawat pelaksana mencatat pasien yang terkena infeksi tindakan.
33

2). Perawat mencatat kejadian infeksi post tindakan pada format yang tersedia.
3). Tiap awal bulan kepala ruang/anggota PPI yang ditunjuk merekap kejadian
infeksi post tindakan.
4). Kepala ruang melaporkan kepada bagian Keperawatan dan PPI.
5). PPI melaporkan kepada forum mutu untuk menjadi laporan mutu.
• Pelaksanaan pengumpulan data untuk infeksi Saluran kencing :
1). Perawat pelaksana mencatat pasien yang terkena infeksi saluran kencing.
2). Perawat mencatat kejadian infeksi saluran kencing pada format yang tersedia.
3). Tiap awal bulan kepala ruang/anggota PPI yang ditunjuk merekap kejadian
infeksi saluran kencing.
4). Kepala ruang melaporkan kepada bagian Keperawatan dan PPI.
5). PPI melaporkan kepada forum mutu untuk menjadi laporan mutu.
• Pelaksanaan pengumpulan data untuk infeksi epidemic dan kejadian luar biasa :
1). Perawat pelaksana mencatat pasien yang terkena infeksi epidemic dan kejadian
luar biasa.
2). Perawat mencatat kejadian epidemic dan kejadian luar biasa pada format yang
tersedia.
3). Tiap awal bulan kepala ruang/anggota PPI yang ditunjuk merekap kejadian
infeksi epidemic dan kejadian luar biasa.
4). Kepala ruang melaporkan kepada bagian Keperawatan dan PPI.
5). PPI melaporkan kepada forum mutu untuk menjadi laporan mutu.
b. Sekretaris dan anggota PPI :
1). Mengevaluasi laporan/data monitoring pengendalian infeksi yang sudah tersedia.
2). Membuat analisa outbreak infeksi bersama-sama dengan perawat dan dokter.
3). Membuat kesimpulan terjadinya infeksi kepada forum mutu.
4). Membuat laporan rekapitulasi infeksi nosokomial setiap 6 bulan.
5). Untuk KLB (Kejadian Luar Biasa) dilaporkan setiap saat / setiap kejadian.
c. Direktur menerima laporan dari PPI melalui forum mutu dan menindak lanjuti
laporan tersebut.
3. Penyebaran data / informasi
Data infeksi nosokomial yang sudah tersedia dan di analisa oleh PPI di lakukan evaluasi
setiap bulan dan di analisis ulang minimal dalam 2 tahun sekali.
34

Setelah ada tindak lanjut dari Direktur, laporan di sebarluaskan atau di informasikan ke
PPI, dan bagian terkait.
Laporan KLB dilaporkan ke dinas kesehatan segera setelah terjadi kejadian. Laporan
kejadian PPI dilaporkan secara periodic minimal 1 kali dalam 1 tahun ke dinas
kesehatan setempat.
A. Penggunaan Obat Antibiotik secara Rasional
Penyakit infeksi masih merupakan penyakit yang banyak dijumpai di Indonesia sampai
saat ini, oleh akrena itu antibiotic masih tetap diperlukan. Perkembangan yang pesat di
bidang Farmasi mengingkatkan produksi obat – obatan baru khususnya antibiotic. Produksi
antibiotic yang meningkat menyebabkan banyaknya antibiotic yang beredar dipasaran baik
dalam jumlah, jenis maupun mutu.
Untuk mencegah pemakaian antibiotic yang tidak tepat sasaran, atau kurang rasional maka
perlu dibuat suatu pedoman pemakai antibiotic. Oleh karena penggunaan antibiotic yang
tidak rasional akan menyebabkan timbulnya dampak negative seperti terjadinya kekebalan
kuman terhadap beberapa antibiotic, meningkatnya kejadian efek samping obat, biaya
pelayanan kesehatan menjadi tinggi yang pada gilirannya akan merugikan pasien.
Atas dasar semuanya ini perlu ada kebijakan rumah sakit tentang pengaturan penggunaan
antibiotic agar dapat menekan serendah–rendahnya efek yang merugikan dalam pekamaian
/ penggunaan antibiotic.
1. Tujuan
Untuk membudayakan penggunaan antibiotic secara rasional di rumah sakit sebagai
upaya dalam meningkatkan mutu pelayanan sesuai dengan fungsi rumah sakit dengan
tidak mengurangi tanggung jawab professional dari dokter dan apoteker dalam
pengobatan terhadap pasien.

2. Prinsip penggunaan antibiotic


pemilihan antibiotic hendaknya didasarkan atas pertimbangan berbagai factor yaitu
spectrum antibiotic, efektifitas, sifat–sifat farmakokinetik, keamanan, pengalaman
klinik sebelumnya, kemungkinan terjadinya resistensi kuman, super infeksi dan harga
yang terjangkau.
Arti penting dari pertimbangan factor–factor ini tergantung dari derajat penyakit dan
tujuan pemberian antibiotic apakah untuk profilaksis atau untuk terapi. Diagnose
penyebab infeksi sedapat mungkin ditegakkan melalui tata laksana pemeriksaan
35

mikrobiologi klinik yang relevan beserta interprestasi antibiogram yang memadai dan
informasi klinik/farmasi klinik mengenai jenis–jenis antibiotic yang tersedia.
Idealnya setiap pasien infeksi perlu dilakukan pemeriksaan mikrobiologis yaitu
pembuatan sediaan Gram, kultur kuman dan uji kepekaannya untuk menunjang
diagnose klinis dan pemberian pengobatan yang tepat.
Kultur kuman dan uji kepekaan terhadap antibiotic harus dilakukan pada penyakit–
penyakit berikut : sepsis, meningitis, peritonitis, salmonelosis, sigelosis, keracunan
makanan karena bakteri, ISPA, tuberculosis dan kandidiasis. Pengambilan spesiman
pemeriksaan mikrobiologis dilakukan sebelum pengobatan.
Dalam hal uji biakan dan uji kepekaan kuman belum ada hasilnya atau tidak bisa
dikerjakan, pemilihan antibiotika ditentukan berdasarkan penilaian klinik penderita,
jadi bukan semata–mata atas dasar hasil biakan kuman.
3. Pemberian antibiotic
a. Profilaksis
1) Bedah
2) medik
b. Terapiutik
1) Empiric
2) Definitive

Secara spesifik antibiotic profilaksis bedah adalah untuk mencegah :


• Infeksi yang sering terjadi.
• Terjadi infeksi local yang berat (pada protesis sendi, protesis vaskuler).
• Kemungkinan terjadinya infeksi sistemik yang berat pada pasien yang beresiko tinggi.
• Kemungkinan infeksi fatal (operasi penggantian katup jantung).
BAB V

LOGISTIK

Agar program PPI dapat berjalan dengan baik, diperlukan beberapa peralatan yang dapat
melindungi person dari infeksi baik dari pasien ke petugas, pasien ke pasien lain, maupun pasien
ke keluarga pasien. Beberapa logistic yang diperlukan dalam program PPI antara lain:

1. Hand hygiene
Penjelasan tentang hand hygiene diatur dalam panduan hand hygiene RS
36

2. Alat pelindung diri


Penjelasan tentang APD diatur dalam panduan APD
3. Pengelolaan limbah rumah sakit
Penjelasan tentang pengaturan limbah RS di atur dalam panduan pengelolaan limbah B3 RS .

Pengadaan logistic PPI di sesuaikan dengan kebutuhan masing-masing bagian yang terkait.
37

BAB VI

KESELAMATAN PASIEN

Standar Keselamatan Pasien wajib diterapkan rumah sakit dan penilaiannya dilakukan
dengan menggunakan Instrumen Akreditasi Rumah Sakit. Standar keselamatan pasien tersebut
terdiri dari tujuh standar yaitu:
1. hak pasien
2. mendidik pasien dan keluarga
3. keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan
4. penggunaan metoda-metoda peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan
5. peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien
6. mendidik staf tentang keselamatan pasien
7. komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien
Sasaran Keselamatan Pasien merupakan syarat untuk diterapkan di semua rumah sakit yang
diakreditasi oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit. Penyusunan sasaran ini mengacu kepada Nine
Life-Saving Patient Safety Solutions dari WHO Patient Safety (2007) yang digunakan juga oleh
Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit PERSI (KKPRS PERSI), dan dari Joint Commission
International (JCI).
Enam sasaran keselamatan pasien (SKP) adalah tercapainya hal-hal sebagai berikut :
Sasaran I : Ketepatan Identifikasi Pasien
Sasaran II : Peningkatan Komunikasi Yang Efektif
Sasaran III : peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai (high-alert)
Sasaran IV : kepastian tepat-lokasi, tepat-prosedur, tepat pasien operasi
Sasaran V : Pengurangan Risiko Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan
Sasaran VI : Pengurangan Risiko Pasien Jatuh
Sasaran keselamatan pasien dalam program PPI merupakan uraian dari SKP V antara lain:
1.hand hygiene
hand hygiene sebagai kewaspadaan standar untuk pencegahan transmisi infeksi dari seorang
person ke person yang lain di jadikan standar baku dalam upaya pencegahan dan
penanggulangan infeksi.
2.Alat pelindung diri
38

Setiap petugas harus memakai alat pelindung diri sebagai barier awal pencegahan infeksi. Selain
itu, keluarga dan pasien juga perlu dipahamkan tentang alat pelindung diri agar tidak terjadi
infeksi nosokomial.
39

BAB VII

KESELAMATAN KERJA

A. Pengertian
Kesehatan dan keselamatan kerja adalah upaya untuk memberikan jaminan kesehatan
dan meningkatkan derajad karyawan dengan cara pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat
kerja, pengendalian bahaya ditempat kerja, promosi kesehatan, pengobatan dan rehabilitasi.
Kesehatan kerja bertujuan untuk peningkatan dan pemeliharaan derajat kesehatan fisik mental
dan social yang setinggi-tingginya bagi karyawan pada semua jenis pekerjaan, pencegahan
terhadap gangguan kesehatan karyawan yang disebabkan oleh kondisi pekerjaan, perlindungan
terhadap karyawan dalam pekerjaannya dari resiko akibat factor yang merugikan kesehatan,
dan penempatan serta pemeliharaan karyawan dalam suatu lingkungan kerja yang disesuaikan
dengan kondisi fisiologis dan psikologisnya.
B. Tujuan
Terciptanya cara kerja, lingkungan kerja yang sehat, aman, nyaman dan dalam rangka
meningkatkan derajat kesehatan karyawan RS
C. Sasaran
Sasaran K3 RS meliputi:
1. Rumah sakit
2. Karyawan RS
3. Pasien dan pengunjung RS
D. Identifikasi sumber bahaya
Bahaya potensial yang mugkin muncul:
No. Bahaya potensial Lokasi Karyawan yang
berpotensi
1 HIV, Hepatitis UGD/ruang tindakan, Dokter, dokter gigi,
B, non-A dan poli gigi, laboratorium, perawat, analis, sanitasi
non-B linen dan petugas linen
2 Cytomegalovirus Ruang persalinan Dokter dan perawat dan
bidan
3 Rubella Ruang ibu dan anak Dokter dan perawat
4 Tuberculosis Ruang perawatan, Dokter, perawat, analis,
laboratorium,
40

E. Penyelenggaraan
Pelaksanaan program K3 RS disesuaikan dengan peraturan K3 RS yang berlaku di RS
F. Evaluasi
Monitoring pelaksanaan K3 RS dilakukan secara periodic dan kontinyu
41

BAB VIII

PENGENDALIAN MUTU

A. Monitoring
Monitoring yang diilaksanakan pada program PPI antara lain
1. Pelaporan kejadian tidak diinginkan
2. Pelaporan kejadian infeksi post tindakan UGD atau poliklinik
3. Pelaporan kejadian infeksi saluran kemih pada pasien
4. Pelaporan Kejadian Luar Biasa
5. Evaluasi

B .Evaluasi

Evaluasi dilakukan untuk menindaklanjuti adanya kejadian infeksi di rumah sakit


berdasarkan pada hasil surveilans. Tindak lanjut terhadap penanganan dan pencegahan infeksi
disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan bagian terkait.
42

BAB IX

PENUTUP

Pedoman yang dicantumkan merupakan prosedur baku yang harus dilaksanakan


seluruhnya oleh setiap personil Rumah Sakit yang terlibat dan berlaku setiap ruang terkait.
Disadari bahwa keterbatasan sarana dan prasarana serta sumber daya dan dana masih merupakan
kendala di RS Nur Hidayah. Namun keterbatasan ini tidak dapat dipergunakan sebagai alasan
untuk menurunkan baku prosedur pelayanan kesehatan yang harus dberikan kepada pasien.
Dengan memiliki pengetahuan dan sikap yang memadai, diharapkan semua personil Rumah Sakit
akan memeiliki perilaku dan kemampuan yang memadai pula dalam memanfaatkan sarana dan
prasarana yang tersedia secara bertepat guna dan berhasil guna dalam pengendalian infeksi secara
berencana dan terorganisir dengan baik merupakan suatu keharusan bagi setiap rumah sakit.

Perbaikan dan pengembangan pada pedoman ini dilaksanaan sesuai dengan peraturan yang
dikeluarkan serta kondisi rumah sakit yang selalu mengalami perubahan. Perlu adanya dukungan
dari masing-masing bagian agar program PPI RS Nurhidayah dapat dilaksanakan sebagaimana
mestinya.
43

DAFTAR PUSTAKA

DepKes RI. Pedoman Pengendalian Infeksi Nosokomial di Rumah sakit. Jakarta: Depkes RI.

Hardjana, A. (2001). Training SDM yang Efektif. Yogyakarta: Kanisius.

Humardewayanti, R., & Nugroho. (2012). Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Rumah Sakit:
Infeksi saluran Kemih, Infeksi Saluran darah Primer, Infeksi Luka Infeksi dan Pneumonia.
Yogyakarta: FK-UGM.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 1691/Menkes/Per/VIII/2011 tentang


Keselamatan Pasien Rumah Sakit. (2011).

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 28 tahun 2004 tentang keamanan, mutu dan
gizi pangan. (2004)

Setiawati, E. (2004). Surveilans Infeksi Nosokomial. Bandung: Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran UNPAD.

WHO. (2003). Practical Guidelines for Infection Control in Health Care Facilities. Geneva: WHO
Press.

WHO. (2005). World Alliance for Patient Safety WHO Guidelines on Hand Higiene in Health
Care : A Summary. Geneva: WHO press.

Anda mungkin juga menyukai