Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hampir bisa dipastikan bahwa tidak akan ada orang tua yang merasa nyaman ketika
harus mengajarkan seks kepada anaknya. Malu, risih dan sungkan adalah kumpulan perasaan
yang pasti menyergap orang tua jika harus mentransfer pengetahuan seks pada anak. Perasaan
ini masih ditambah pula dengan kecemasan orang tua yang kerap khawatir kalau anak yang
mendapat informasi seks banyak terlalu dini, akan terdorong untuk buru-buru melakukannya.
Dapat dipahami mengapa ini terjadi, karena masalah seks bagaikan pisau bermata dua. Di
satu sisi bersifat sebagai pusat informasi tentang seksualitas, tapi di sisi lain dia seolah-olah
bersifat justru sebagai pendorong anak untuk lebih tahu tentang seks, sehingga
mendorongnya lebih jauh ingin mencoba.

Secara umum, orang tua merasa sulit bersikap terbuka soal seks kepada anaknya
karena merasa terintimidasi dengan pertanyaan anak. Disebabkan sikap mental orang tua dan
orang-orang dewasa lainnya yang ada di sekeliling anak. Anak dianggap ‘tidak siap’ untuk
menghadapi keingintahuannya terhadap dirinya sendiri, terutama masalah seputar
seksualitasnya. Perasaan ini muncul karena yang pertama, tidak tahu jawaban yang pas untuk
pertanyaan “seram” anak; kedua, tidak rela membayangkan anak yang masih polos sudah
harus “dikotori” pembicaraan seks yang erotis; dan yang ketiga, takut jika diajarkan seks
anak malah jadi terburu-buru ingin “mencicipinya”.

Dari televisi atau surat kabar juga banyak diketahui kasus seorang gadis dibunuh oleh
sang pacar, karena terlibat konflik percintaan. Sementara orang tua tidak percaya dan
menyatakan bahwa putrinya adalah gadis rumahan. Dan si orang tua menjadi shock ketika
hasil otopsi menyatakan ada janin di rahim anak gadisnya. Atau seorang anak yang tiba-tiba
hamil, dan pada kenyataan yang menghamili adalah ayahnya atau ayah tirinya. Sementara
ibunya tidak mengetahui kalau pelecehan itu terjadi berkali-kali yang dilakukan oleh sang
ayah. Si anak mungkin saja menganggap bahwa ini adalah salah satu bentuk kasih sayang
dari sang ayah. Hal-hal tersebut bisa terjadi, karena si anak tidak pernah tahu dan tidak
mengerti tentang pelecehan seksual, tentang organ seksualnya, bagaimana memelihara dan
menjaganya.
Banyak sekali kasus yang terjadi karena minimnya pengetahuan tentang masalah
seksual. Tidak hanya kehamilan tak diinginkan, bahkan banyak kasus pembunuhan ternyata
berawal dari penyalahgunaan seks. Kasus-kasus tersebut menunjukkan kepada orang tua
bahwa masalah seks bukanlah masalah yang sepele.

Oleh karena itu, tidaklah bijaksana apabila orang tua menutup semua informasi
tentang masalah seksual bagi proses pendidikan anak. Karena menurut Dra. Dini Oktaufik
pendidikan seks itu tidak selalu mengenai hubungan suami istri, tapi juga mencakup hal-hal
lain seperti pemberian pemahaman tentang perkembangan fisik dan hormonal seorang anak
serta memahami berbagai batasan sosial yang ada di masyarakat.

Sebagai orang tua, dan sekaligus guru pertama dan utama bagi anak-anak, tetaplah
lebih baik jika anak-anak merasa bebas bertanya kepada orang tua tentang apa saja yang ingin
mereka ketahui tentang seks, karena itu menyangkut masalah dirinya sendiri, dan tumbuh
kembang mereka, daripada mereka bertanya kepada orang lain, yang jawabannya belum tentu
bertanggung jawab. Atau mereka mencari tahu sendiri melalui situs-situs di internet, VCD-
VCD porno, Blue Film, dan lain sebagainya. Anak-anakpun tentunya lebih senang dan
nyaman dengan orang tua yang lebih terbuka terhadap semua pertanyaan yang ditanyakan,
dan ini artinya si anak bisa lebih komunikatif dengan orang tua terhadap semua persoalan
yang dihadapinya. Dan orangtua haruslah bisa memberi jawaban yang proporsional, jujur,
asertif, bertanggung jawab dan penuh arahan kepada si anak.

B. Rumusan Masalah

1. Menjelaskan tentang defenisi pendidikan seksual pada anak.


2. Menjelaskan karakteristik perkembangan seksual.
3. Menjelaskan pentingnya pendidikan seksual pada anak
4. Menjelaskan pendidikan seksual sesuai tahap Perkembangan Anak.

C. Tujuan
1. Dapat mengetahui definisi pendidikan seksual pada anak
2. Mengetahui karakteristik perkembangan seksual
3. Mengetahui dan menahami pentingnya pendidikan seksual pada anak
4. Mengetahui dan memahami pendidikan seksual yang sesuai dengan tahap perkembang
an anak.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian

Menurut Salim Sahli sex education atau pendidikan seks merupakan penerangan yang
bertujuan untuk membimbing serta mengasuh tiap-tiap lelaki dan perempuan, sejak dari anak-
anak sampai sudah dewasa sampai sesudah dewasa, perihal pergaulan antar kelamin
umumnya dan kehidupan seksual khususnya, agar mereka dapat melakukan sebagaimana
mestinya sehingga kehidupannya mendatangkan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi umat
manusia.

Dari pegertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan
pendidikan seks adalah membimbing serta mengasuh seorang agar mengerti tentang arti,
fungsi, dan tujuan seks sehingga ia dapat menyalurkannya ke jalan yang benar. (Muhajir,
2007: 96)

B. Pentingnya Pendidikan Seks

Seks telah banyak dikenal orang, tetapi banyak yang belum memahaminya. Ini bisa
dimengerti karena norma dan nilai yang berlaku dalam masyarakat kita belum
memungkinkan untuk membicarakan secara terbuka. Pendidikan seks masih dianggap tabu
dan hanya menjadi urusan orang dewasa. (Muhajir, 2007: 97)

Akantetapi, di era globalisasi ini semua informasi termasuk mengenai seks dapat
diakses dengan mudah oleh siapapun termasuk anak-anak. Akan berbahaya jika anak
mendapatkan informasi tentang seks tersebut secara “mentah” dari internet tanpa adanya
penjelasan yang tepat dari orang dewasa. Mereka bisa memiliki pemahaman yang salah
mengenai seks sehingga melakukan perilaku menyimpang yang akan berdampak bagi masa
depan mereka.

Banyak kasus penyimpangan seks remaja seperti seks bebas serta pelecehan seksual
pada anak dibawah umur muncul di masyarakat. Hal tersebut dapat disebabkan kurangnya
pengetahuan dan pemahaman yang salah dari anak. Anak yang tidak mengerti bahwa alat
kelaminnya tidak boleh dipegang sembarangan oleh orang lain akan diam saja ketika ada
orang asing yang mencoba berbuat tidak terpuji dengan menyentuh alat kelamin si anak. Jika
terus berlanjut hal yang lebih buruk bisa terjadi mengingat banyaknya kasus pedofilia yang
akhir-akhir ini terjadi.

Oleh karena itu orang tua perlu memberikan pendidikan seks sejak dini bagi anak-
anak supaya mereka dapat menjaga diri sendiri. Selain itu, mereka juga tidak akan mencari
tahu sendiri melalui internet maupun lingkungan yang justru dapat memberikan pemahaman
yang salah dan menimbulkan perilaku yang menyimpang. Di samping itu, orang tua
sebaiknya juga menanamkan nilai-nilai agama yang kuat ketika memberikan pendidikan seks
kepada anak supaya terbentuk karakter yang baik dan menjaga anak dari pengaruh buruk
diluar sana.
C. Perkembangan Psikoseksual Pada Anak
1. Perkembangan psikoseksual bayi baru lahir sampai usia 1 tahun
a. Tinjauan (Freud)
1) Tahap Oral pada perkembangan dimulai dari lahir sampai usia 18 bulan
2) Bayi mengisap untuk kesenangan sama seperti makanan dan juga mencapai
kepuasan dengan menelan, mengunyah, dan mengigit
b. Manifestasi
1. Pada tahap ini, bayi memenuhi kebutuhan oralnya dengan menangis,
mengecap, makan, dan bersuara dini.
2. Bayi menggunakan gigitan untuk mengendalikan lingkungan dan untuk
mencapai rasa kontrol yang lebih besar.
3. Bayi menggunakan genggaman dan sentuhan untuk menggali variasi di
lingkungan. (Muscari, 2005: 33)
2. Perkembangan psikoseksual usia 1-3 tahun
a. Tinjauan (Freud)
1. Perkembangan tahap anal dimulai dari usia 8 bulan sampai 4 tahun
2. Zona erogenus terdiri dari anus dan bokong, dan aktivitas seksual berpusat
pada pembuangan dan penahanan sampah tubuh.
a) Fokus todler bergantian dari area oral ke area anal, dengan penekanan pada
pengendalian defekasi saat ia mencapai pengendalian neuromuskular
terhadap sfingter anal
b) Todler mengalami kepuasan dan frustasi saat ia menahan dan
mengeluarkan, mamsukkan, dan melepaskan
c) Konflik antara “menahan” dan “melepaskan” secara bertahap diselesaikan
seiring dengan kemajuan latihan defekas: penyelesaian terjadi saat
kemampuan mengendalikan benar-benar terbentuk
b. Manifestasis
1. Seksualitas mulai berkembang
a. Masturbasi dapat terjadi akibat dari eksploitasi tubuh.
b. Mempelajari kata-kata dapat diakitkan dengan anatomi dan eliminasi.
c. Perbedaan jenis kelamin menjadi jelas.
2. Toilet trainning adalah tugas utama todler.
a. Todler sebelum usia 18 (sampai 24) bulan biasanya belum siap
(penyuluhan anak dan keluarga)
b. Latihan defekasi dilakukan sebelum melatih buang air kecil; latihan buang
air kecil yang tuntas pada malam hari biasanya tidak terjadi sampai usia 4
atau 5 tahun.
c. Tempat pembuangan (misal pispot dan WC) harus menawarkan keamanan;
kaki anak harus mencapai lantai (untuk defekasi). (Muscary, 2005: 49)
3. Perkembangan psikoseksual usia 3-6 tahun
a. Tinjauan (Freud)
1. Tahap falik berlangsung dari usia 3 sampai 5 tahun
2. Kepuasan anak berpusat pada genitalia dan masturbasi.
3. Anak mengalami apa yang oleh Freud disebut sebagai konflik odipus.
a) Fase ini ditandai dengan kecemburuan dan persaingan terhadap orang tua
sejenis dan cinta terhadap orang tua lain jenis.
b) Tahap odipus biasanya berakhir pada akhir periode usia prasekolah dengan
identifikasi kuat pada orang tua sejenis.
b. Perkembangan Seksual
1. Banyak anak usia prasekolah melakukan masturbasi untuk kesenangan
fisiologis.
2. Anak usia prasekolah membentuk hubungan dekat yang kuat dengan orang tua
lain jenis, tetapi mengidentifikasi orang tua sejenis.
3. Ketika identitas seksual berkembang, kesopanan mungkin menjadi perhatian.
Demikian halnya dengan ketakutan terhadap kastrasi
4. Anak usia prasekolah merupakan pengawas yang cermat tetapi kemampuan
interpretasinya buruk sehingga anak dapat mengenali, tetapi tidak memahami
aktivitas seksual.
a. Sebelum menjawab pertanyaan anak mengenai seks, orang harus
mengklarifikasi kembali apa yang sebenarnya ditanyakan dan yang
dipikirkan anak tentang subjek spesifik
b. Orang tua harus menjawab pertanyaan mengenai seks dengan sederhana
dan jujur, hanya memberikan informasi yang ditanyakan; penjelasan rinci
dapat diberikan nanti. (Muscary, 2005: 64)
4. Perkembangan psikoseksual anak usia sekolah (usia 6-12 tahun)
a. Tinjauan (Freud)
1. Periode latensi, yang terjadi dari usia 5 sampai 12 tahun, menunjukkan tahap
yang relatif tidak memperhatikan masalah seksual sebelum masa pubertas dan
remaja.
2. Selama periode ini, perkembangan harga diri berkaitan erat dengan
perkembangan keterampilan untuk menghasilkan konsep nilai dan menghargai
seseorang
b. Perkembangan Seksual
1. Masa praremaja dimulai pada akhir usia sekolah. Perbedaan pertumbuhan dan
kematangan di antara kedua gender semakin nyata pada masa ini.
2. Pada tahap awal usia sekolah, anak memperoleh lebih banyak pengetahuan
dan sikap mengenai seks. Selama masa usia sekolah, anak menyaring
pengetahuan dan sikap tersebut.
3. Pertanyaan mengenai seks memerlukan jawaban jujur yang berdasarkan
tingkat pemahaman anak. (Muscary, 2005: 79)
5. Perkembangan psikoseksual anak usia remaja (usia 12-18 tahun)
a. Tinjauan (Freud)
1. Pada tahap genitalia, yang terjadi pada usia 12 sampai 20 tahun remaja
berfokus pada genital sebagai area erogenous dan melakukan masturbasi serta
hubungan seksual dengan orang lain.
2. Selama periode munculnya dorongan seksual yang baru ini, remaja mengalami
konflik antara kebutuhan untuk kepuasan seksual dan harapan masyarakat
untuk mengendalikan ekspresi seksualnya.
3. Inti perhatian remaja meliputi perkembangan citra tubuh dan penerimaan oleh
lawan jenis.
b. Perkembangan Seksual/Seksualitas
1. Hubungan dengan lawan jenis adalah penting bagi remaja.
2. Remaja melakukan aktivitas seksual untuk kesenangan, penyaluran kepuasan
dan rasa ingin tahu, sebagai alat penakluk atau kekuatan, untuk
mengekspresikan dan menerima kasih sayang, dan dalam berespons terhadap
tekanan teman sebaya.
3. Penyuluhan tentang fungsi seksual, dimulai selama masa sekolah, mencakup
perubahan pubertas secara fisik, hormonal, dan emosional.
4. Remaja membutuhkan informasi yang akurat dan lengkap mengenai
seksualitas dan nilai-nilai budaya serta moral. Informasi harus meliputi:
a. Bagaimana terjadinya kehamilan
b. Metode pencegahan kehamilan, menekankan bahwa pasangan laki-laki dan
perempuan keduanya bertanggung jawab terhadap penggunaan kontrasepsi
c. Penularan dari, dan perlindungan terhadap, penyakit menular seksual
(PMS), terutama acquired immunodeficiency syndrome (AIDS)
d. Penggunaan kondom yang tepat
5. Remaja dapat melakukan aktivitas homoseksual atau memiliki perasaan
homoseksual, tetapi banyak yang tidak menjadi gay atau lesbian ketika
dewasa. Namun, remaja yang bertanya tentang orientasi seksualnya harus
dirujuk untuk mendapatkan konseling; mereka tidak boleh diinformasikan
bahwa hal tersebut hanyalah sebuah fase. Perawat harus mengetahui
kemungkinan orientasi homoseksual dan biseksual pada remaja dan harus
menggunakan istilah seperti pasangan daripada teman laki-laki atau teman
perempuan. (Muscary, 2005: 96-97)

D. Pendidikan Seks Sesuai Tahapan Usia

Tahapan Usia dalam Memberikan Pendidikan Kesehatan Reproduksi Sejak Usia Dini

1. Balita (1-5 tahun)


Pengenalan pendidikan seks cukup mudah dilakukan yaitu hanya perlu mengenalkan
kepada anak tentang organ reproduksi yang dimiliki secara singkat. Dapat dilakukan
ketika memandikan si anak dengan memberitahu organ yang dimilikinya, namun
jangan memberikan pembelajaran ketelanjangan karena biasanya ada orang tua yang
memandikan anaknya bersamaan ketika sedang mandi juga. Selain itu mengajarkan
sikap asertif yaitu berani berkata tidak kepada orang lain yang akan berlaku tidak
senonoh
2. Usia 3 – 10 tahun
Anak biasanya mulai aktif bertanya tentang seks. Misalnya anak akan bertanya dari
mana ia berasal. Atau pertanyaan umum mengenai asal-usul bayi. Jawablah dengan
sederhana dan berterus terang.
3. Usia menjelang remaja
Saatnya diterangkan mengenai menstruasi, mimpi basah, dan juga perubahan-
perubahan fisik yang terjadi pada seseorang remaja. Kita bisa menerangkan bahwa si
gadis kecil akan mengalami perubahan bentuk payudara, atau terangkan akan adanya
tumbuh bulu-bulu di sekitar alat kelaminnya.
4. Usia Remaja
Pada saat ini, seorang remaja akan mengalami banyak perubahan secara seksual. Kita
perlu lebih intensif menanamkan nilai moral yang baik kepadanya. Berikan penjelasan
mengenai kerugian seks bebas seperti penyakit yang ditularkan dan akibat-akibat
secara emosi.

E. Pencegahan Seks Bebas di Dalam Keluarga

Keluarga merupakan benteng pertama dalam menghadapi merebaknya seks bebas di kalangan
remaja. Karenanya, peranan keluarga yang bijak terhadap masalah seks sangatlah penting
untuk perkembangan kehidupan remaja.

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pencegahan seks bebas di dalam keluarga menurut
Muhajir, antara lain sebagai berikut

a. Keluarga mesti terlebih dahulu mengerti tentang permasalahan seks sebelum


menjelaskannya kepada anak-anak mereka. Karena ketidaktahuan tidak akan
memberikan apa-apa
b. Jangan menghadapi pertanyaan seputar seks dengan sikap merendahkan dan menolak,
seperti ucapan, “ ini tidak pantas untuk kamu”, “kamu masih kecil”. Hindari
memberikan jawaban yang tergesa-gesa tanpa persiapan, berbohong ataupun jawaban
yang lari dari pertanyaan dengan alasan bahwa pembahasan dalam masalah ini tidak
boleh dilanjutkan karena tidak sesuai dengan tata krama.
c. Seorang ayah mengarahkan anak laki-laki, sedangkan seorang ibu mengarahkan anak
perempuan dalam menjelaskan masalah seks
d. Sebaiknya, orang tua tidak menjawab pertanyaan anak dengan semua informasi yang
ia ketahui tentang seks, tetapi harus secara bertahap sesuai dengan pertumbuhan
pengetahuan, sesuai dengan tuntutan usia, dan kesanggupan anak untuk memahami
dan menarik kesimpulan
e. Jangan menjelaskan masalah seks pada anak-anak laki-laki dan perempuan pada
waktu dan ruang yang sama
f. Hindari hal-hal yang berbau pornografi saat menjelaskan masalah seks. Pilihlah kata-
kata yang sopan.
g. Sangat penting untuk menjauhkan anak-anak dari hal-hal yang berbau pornografi dan
dapat membangkitkan gairah seksual.
h. Penting bagi kedua orang tua untuk menyakinkan bahwa teman-teman putra-putri
mereka adalah anak-anak yang baik.
i. Setiap anak dididik untuk merasa percaya diri dengan jenis kelaminnya, bukan
mengikuti jenis kelamin lain.
j. Jangan membedakan perhatian antara anak laki-laki dengan anak perempuan.
k. Pisahkan tempat tidur anak laki-laki dan perempuan
l. Memberikan perhatian terhadapa kemampuan anak di bidang olahraga dan
menyibukkan mereka dengan berbagai aktifitas yang bermanfaat.
m. Tanamkan etika memelihara diri dari maksiat-maksiat terhadap anak. Karena hal itu
merupakan sesuatu yang paling mahal yang dimiliki setiap individu, khususnya
perempuan
n. Membangun sikap saling percaya antara orang tua dan anak, tetapi bukan berarti
menganggap sepele segala sesuatu yang terjadi. Wujudkan keseimbangan antara sikap
saling percaya dan pengawasan orang tua.

Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan dalam Memberikan Pendidikan Seks pada Anak

a. Orangtua perlu menghindari istilah-istilah yang tidak benar untuk memberi nama alat
kelamin. Karena hal itu justru akan membingungkan anak. Misalnya memberi nama
alat kelamin laki-laki dengan “burung”. Pengenalan itu akan menyebabkan anak
bingung kalau menghadapi burung yang sebenarnya. Jadi, pergunakan istilah-istilah
sebenarnya seperti: kelamin atau kemaluan, penis, vagina, payudara dan sebagainya.
b. Untuk mengenalkan nama-nama tersebut, sebaiknya orang tua memilih kesempatan
yang baik. Misalnya pada saat sedang mandi atau pada saat anak memakai pakaian
atau pada saat anak melihat saudaranya yang berlainan jenis telanjang di depannya.
Biasanya anak akan heran dan langsung bertanya.
c. Orangtua perlu memberikan pemahaman pada anak bahwa tubuh mereka adalah milik
mereka sendiri yang harus dirawat dan dijaga dengan baik.
Oleh karenanya, tidak semua orang boleh menyentuh apalagi memegang bagian tubuh
yang sangat pribadi. Terkecuali ibu saat membantu membersihkan anus setelah buang
air besar atau dokter yang memeriksa bagian tubuh yang sakit. Hal itu untuk
menghindari terjadinya pelecehan seksual.
d. Bila ada orang yang menyentuh tubuh anak, orangtua perlu mengajarkan pada anak
untuk berteriak dan berkata “tidak”. Ketika mengenalkan seksualitas dan kesehatan
reproduksi kepada anak balita juga dapat diajarkan untuk mengatakan: “aku tidak
suka kalau badanku dipegang atau aku tidak suka kalau tubuhku disentuh”.
Maka, ketika nanti anak merasa terancam dan tidak nyaman ia dapat berteriak dengan
mengatakan “aku tidak mau”. Atau paling tidak ada keberanian untuk menolak.
e. Dalam memberikan pendidikan seks harus sesuai dengan kondisi yang sebenarnya
tidak boleh melakukan kebohongan hanya untuk memuaskan jawaban si anak.

DAFTAR PUSTAKA

Muscari, Mary E. 2005. Panduan Belajar: Keperawatan Pediatrik, E/3. Jakarta: EGC

Muhajir. 2007. Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan. Bogor: Yudhistira


http://ntb.bkkbn.go.id/_layouts/mobile/dispform.aspx?List=8c526a76-8b88-44fe-8f81-
2085df5b7dc7&View=69dc083c-a8aa-496a-9eb7-b54836a53e40&ID=696

Anda mungkin juga menyukai