Anda di halaman 1dari 8

Jurnal

Infrastruktur dan Lingkungan Binaan


Infrastructure and Built Environment Vol. II No. 2, Juni 2006
Teknik Sipil Geodesi & Geomatika Arsitektur Teknik Lingkungan Perencanaan Wilayah & Kota Teknik Kelautan

Evaluasi Perubahan Perilaku Erosi Daerah Aliran Sungai Citarum Hulu


dengan Pemodelan Spasial
Poerbandono1, Ahmad Basyar1, Agung B. Harto2 dan Puteri Rallyanti1

ABSTRAK

Makalah ini menyajikan kajian hubungan antara perubahan ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS) terhadap
perubahan perilaku erosi. Perubahan ekosistem DAS diwakili oleh modifikasi tutupan lahan, sedangkan perubahan
perilaku erosi diwakili oleh peningkatan laju ekspor sedimen tahunan. Daerah yang dikaji adalah DAS Citarum Hulu.
Analisis perubahan tutupan lahan dilakukan dengan membandingkan tata guna lahan pada daerah yang dikaji pada
tahun 2001 relatif terhadap tahun 1994. Analisis perubahan perilaku erosi didasarkan pada perbandingan antara laju
ekpor sedimen tahunan tahun 2001 relatif terhadap tahun 1994. Laju ekspor sedimen tahunan diestimasi sebagai
produk laju erosi total dan sediment delivery ratio (SDR). Hasil kajian menunjukan bahwa konversi hutan menjadi
lahan terbuka mengakibatkan dampak spasial yang berarti terhadap distribusi perubahan laju ekpor sedimen tahunan
di DAS Citarum Hulu bagian selatan.

Kata kunci: DAS Citarum Hulu, laju ekspor sedimen tahunan, perubahan tutupan lahan.

ABSTRACT

This paper briefly presents results from an investigation of the effect of land use changes to the increasing of total
annual sediment yield of a watershed. The study area is situated in the Upper Citarum Catchment. Land use maps
from 1994 and 2001 of the area being investigated are considered. Correspondingly, spatial modeling of total
sediment yield covering similar period is discussed. Total annual sediment yield is estimated as product of erosion
rate and sediment delivery ratio (SDR). The results indicate substantial spatial effect due to the conversion of forest
into bareland over the southern part of the Upper Citarum Catchment.

Keywords: The Upper Citarum Catchment, total annual sediment yield, land cover changes.

1. Pendahuluan
SUBANG U
Laju sedimentasi di Daerah Aliran Sungai (DAS)
Cikapundung
Citarum Hulu dalam dasawarsa terakhir dilaporkan 0 10 20km

meningkat hampir dua kali lipat (Pikiran Rakyat, Saguling


KOTA
2006). Fakta ini ditunjukkan oleh laju ekspor sedimen CIMAHI
SUMEDANG
KOTA
tahunan sebesar 1.18juta ton pada tahun 1993 yang BANDUNG
meningkat menjadi 2.15juta ton pada tahun 2003. Hal
7o00’S Citarik
tersebut diduga disebabkan oleh kerusakan ekosistem
di sepanjang DAS terutama berkurangnya luas hutan di KABUPATEN Cisarea
bagian hulu. Makalah ini mendiskusikan hubungan BANDUNG
antara perubahan tutupan lahan dengan perubahan
Ciwidey Cisangkuy
perilaku erosi. Daerah yang dikaji adalah DAS Citarum sungai
Hulu (Gambar 1). Cipanunjang waduk
sub DAS
CIANJUR batas
o
7 20S GARUT administrasi
o o o
107 20T 107 40T 107 60T

Gambar 1 DAS Citarum Hulu

1
Anggota Kelompok Keahlian Sains dan Rekayasa Hidrografi, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, ITB.
2
Anggota Kelompok Keahlian Inderaja dan Sains Informasi Geografis, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, ITB
21
Jurnal
Infrastruktur dan Lingkungan Binaan
Infrastructure and Built Environment Vol. II No. 2, Juni 2006
Teknik Sipil Geodesi & Geomatika Arsitektur Teknik Lingkungan Perencanaan Wilayah & Kota Teknik Kelautan

DAS Citarum Hulu mencakup mata air sungai Citarum Equation (USLE), sebagai (Wischmeier & Smith,
hingga Saguling (Gambar 1) dengan luas sekitar 1771 1978):
km2 sebagai bagian dari DAS Citarum yang merupakan E = LS CKR (1)
salah satu DAS terbesar di Jawa Barat. Untuk
keperluan pengelolaan, DAS Citarum Hulu dibagi ke dengan E = laju erosi, LS = indeks kemiringan lereng, C
dalam lima sub-DAS yaitu: Cikapundung, Citarik, = tutupan lahan, K = erodibilitas dan R = erosivitas.
Cisarea, Cisangkuy dan Ciwidey (Perum Otorita Secara empirik, persamaan laju erosi yang ditunjukkan
Jatiluhur, 1990). Curah hujan bulanan rata-rata yang pada persamaan (1) dinyatakan dalam ton/km2/tahun.
diukur pada tahun 2001 berkisar dari 45 sampai 352 LS didapat dari model elevasi digital untuk wilayah
mm dengan nilai total curah hujan tahunan sebesar yang dikaji dengan (Lu et al., 2003):
2200mm. Kondisi topografi didominasi oleh

( )
pegunungan sepanjang batas DAS dan dataran yang ⎛L⎞
m

luas di tengah DAS. Tata guna lahan didominasi oleh LS = ⎜ ⎟ k1 sin 2 s + k 2 sin s + k 3 (2)
pertanian dan hutan. Selama rentang waktu tujuh tahun ⎝k⎠
(1994-2001) luas hutan berkurang hampir 60%, dengan,
sebaliknya luas lahan pertanian bertambah hingga 40%. m = 0.2 untuk 0 ≤ s < 1
m = 0.3 untuk 1 ≤ s < 3
Diskusi hubungan antara perubahan tutupan lahan m = 0.4 untuk 3 ≤ s < 4.5
dengan perubahan perilaku erosi di DAS Citarum Hulu m = 0.5 untuk s ≥ 4.5
didasarkan pada beberapa investigasi pendahuluan dengan L = panjang profil kemiringan yang memiliki
yang telah dilakukan oleh Basyar (2006) dan nilai lebih besar dari 122m (Renard et al., 1997), m =
Poerbandono et al. (2006). Investigasi pendahuluan indeks kemiringan dan s = persen kemiringan, adapun
tersebut mencakup penyiapan data, aplikasi model k=22.1, k1=65.41, k2=4.56 dan k3=0.065 adalah
spasial untuk simulasi perilaku erosi pada DAS konstanta-konstanta empirik.
Citarum Hulu serta validasi hasil pemodelan spasial
melalui pemeriksaan dengan data yang diukur langsung C didapat dari Tabel 1 yang menunjukkan pengaruh
di lapangan. Pada makalah ini akan dikaji bagian DAS vegetasi, seresah, keadaan permukaan tanah dan
Citarum Hulu yang mengalami perubahan perilaku pengelolaan lahan terhadap besarnya tanah yang
erosi dengan dampak spasial yang dianggap berarti. tererosi. Tata guna lahan dikelompokkan berdasarkan
Bagian DAS tersebut akan dihubungkan dengan tutupan vegetasi atau keterbukaan lahan.
informasi perubahan tata guna lahan.
Tabel 1 Nilai tata guna lahan (Trahan, 2003)
2. Bahan dan Metode
No. Jenis Tata Guna Lahan C
1. Sungai / kolam / danau 0.0001
Erosi adalah terangkatnya lapisan tanah atau sedimen
karena stres yang yang ditimbulkan oleh gerakan angin 2. Zona Industri 0.0005
atau air pada permukaan tanah atau dasar perairan. 3. Permukiman 0.0007
Pada lingkungan DAS, laju erosi dikendalikan oleh 4. Vegetasi air / lahan basah 0.001
kecepatan aliran air dan sifat sedimen (terutama ukuran 5. Hutan 0.002
butirnya). Stres yang bekerja pada permukaan tanah 6. Semak, belukar, taman 0.003
atau dasar perairan sebanding dengan kecepatan aliran. 7. Kebun, lahan kering 0.005
Resistensi tanah atau sedimen untuk bergerak 8. Lahan terbuka 0.4
sebanding dengan ukuran butirnya. Gaya pembangkit 9. Zona pertambangan 0.7
eksternal yang menimbulkan erosi adalah curah hujan
dan aliran air pada lereng DAS. Curah hujan yang
K menyatakan resistensi partikel sedimen terhadap
tinggi dan lereng DAS yang miring merupakan faktor
energi kinetik yang ditimbulkan hujan dan
utama yang membangkitkan erosi. Pertahanan DAS
pengangkutan oleh air limpasan permukaan (Tabel 2).
terhadap erosi tergantung utamanya pada tutupan
lahan. Penguatan pertahanan terhadap erosi dapat pula Tabel 2 Erodibilitas (KKES, 2002; Kartasapoetra, 1991)
dilakukan dengan upaya-upaya kerekayasaan.
Jenis Tanah K Kode
Aluvial, planosol, hidromorf kelabu, laterik 0.20 3
2.1 Model Perilaku Erosi DAS
Latosol 0.23 1
Pada sebuah DAS, laju erosi tahunan pada umumnya Mediteran 0.24 2
dimodelkan secara empirik dengan Universal Soil Loss Andosol, grumosol, podsol, podsolik 0.26 0
Regosol, litosol, organosol, renzina 0.31 2

22
Jurnal
Infrastruktur dan Lingkungan Binaan
Infrastructure and Built Environment Vol. II No. 2, Juni 2006
Teknik Sipil Geodesi & Geomatika Arsitektur Teknik Lingkungan Perencanaan Wilayah & Kota Teknik Kelautan

Resistensi sedimen dipengaruhi oleh tekstur tanah, Hubungan linier antara yh(t) dan kapasitas penyimpanan
stabilitas agregat dan kapasitas peresapan yang lereng dinyatakan dengan:
bergantung pada sifat organik dan kimiawi tanah.
S h (t )
R adalah indeks yang menyatakan kapasitas gaya = E − y h (t ) (6)
th
eksternal yang dibangkitkan oleh hujan untuk
melepaskan partikel sedimen dari permukaan tanah dengan Sh(t) = penyimpanan sedimen pada lereng dan
yang dinyatakan sebagai fungsi dari curah hujan P th = waktu tinggal sedimen pada penyimpanan di
dalam persamaan Lenvain (DHV Consulting Engineers, lereng. Hubungan linier antara sedimen yang terekspor
1989): keluar dari DAS (Y) dengan penyimpanan pada
jaringan sungai dinyatakan dengan:
R = 2.21P1.36 (3)
S n (t )
dengan, P = curah hujan bulanan. = y h (t ) − Y (7)
tn
USLE hanya menyatakan laju erosi tahunan (E) yaitu dengan Sn(t) = penyimpanan sedimen pada jaringan
massa sedimen yang tererosi dari sumbernya. Sedimen sungai dan tn = waktu tinggal sedimen pada jaringan
yang tererosi akan terpindahkan oleh aliran air melalui sungai.
lereng DAS dan menuju sistem saluran. Sebagian
massa sedimen akan terdeposisi (terendapkan) baik Solusi analitik dari persamaan-persamaan (6) dan (7)
pada lereng DAS maupun sistem saluran, sehingga dikemukakan oleh Sivapalan et al. (2002) sebagai
sedimen yang terekspor keluar dari sebuah DAS (Y) fungsi ekponensial dari waktu tinggal sedimen (th dan
biasanya akan jauh lebih kecil dari massa sedimen tn) dan durasi curah hujan efektif (ter), untuk tn ≠ th:
yang tererosi. Perbandingan antara massa sedimen
yang terekspor keluar dari suatu DAS (Y) dengan total ⎛ ⎛ −ter ⎞ ⎞
⎜ ⎟ ⎛ ⎛ ter ⎞ ⎞
⎜ ⎟
tn ⎜ ⎜ t ⎟⎟ tn ⎜ ⎜t ⎟⎟
⎜1 − e ⎝
n ⎠
massa sedimen yang tererosi (E) disebut sebagai SDR = ⎟− ⎜1 − e ⎝ ⎠ ⎟ (8)
h

sediment delivery ratio (SDR) sehingga: tn − th ⎜ ⎟ tn − th ⎜ ⎟


⎝ ⎠ ⎝ ⎠
Y
SDR = (4) dan untuk tn = th:
E
Estimasi SDR biasanya dihubungkan secara empirik 1 ⎛⎜ t er2 ⎞ 1 ⎛ t er
⎟+ ⎜
3 ⎞
⎟ + ...
SDR = (9)
dengan luas DAS sebagai: 2 ⎜⎝ t n2 ⎟ 3 ⎜ t3
⎠ ⎝ n


SDR = αA β (5) Waktu tinggal sedimen baik pada elemen lereng bukit
maupun jaringan sungai menyatakan kapasitas DAS
dengan A = luas DAS serta α dan β sebagai konstanta- dalam mengangkut sedimen. Karena partikel sedimen
konstanta empirik yang dapat diperoleh dari persamaan terangkut oleh aliran air saat hujan, maka waktu tinggal
regresi. Konsep baru untuk mengestimasi SDR sedimen diestimasi berdasarkan penghitungan
dibangun berdasarkan representasi proses fisik transpor kecepatan air. Untuk keperluan ini, dihitung durasi
sedimen pada lereng DAS dan sistem saluran yang curah hujan rata-rata (tr) dan durasi curah hujan efektif
masing-masing berfungsi sebagai sub-sistem (ter) yang diasumsikan berhubungan langsung dengan
penyimpan sedimen (Sivapalan et al., 2002) seperti curah hujan rata-rata tahunan. Lu et al. (2003)
yang ditunjukkan pada Gambar 2. menunjukkan bahwa untuk rentang curah hujan
tahunan rata-rata 250mm sampai 1500mm, maka
E→ LERENG
→ yh(t) →
JARINGAN
→Y
rentang durasi curah hujan rata-rata dan durasi curah
BUKIT SUNGAI hujan efektif adalah 7.5 sampai 25 jam. Erosi sedimen
hanya terjadi selama curah hujan efektif.
Gambar 2. Visualisasi hubungan Y dan E
Waktu tempuh aliran air diestimasi dari kemiringan
lahan, kekasaran permukaan tanah (roughness) dan
Konsep pemodelan SDR didasarkan pada pembagian intensitas curah hujan. Selain itu dipertimbangkan juga
DAS ke dalam dua buah sistem penyimpanan yaitu: (i) faktor kecepatan jatuh partikel sedimen pada kolom air,
penyimpanan pada lereng dan (ii) penyimpanan pada sehingga waktu tempuh aliran pada lereng dan pada
jaringan sungai. Sedimen dari area yang tererosi sistem saluran dimodelkan dengan:
menuju jaringan sungai dinyatakan dalam yh(t). t h = t hw Fh (10a)

23
Jurnal
Infrastruktur dan Lingkungan Binaan
Infrastructure and Built Environment Vol. II No. 2, Juni 2006
Teknik Sipil Geodesi & Geomatika Arsitektur Teknik Lingkungan Perencanaan Wilayah & Kota Teknik Kelautan

t n = t nw Fn (10b) metode yang dikemukakan oleh Jenson & Domingue


(1988). Peta kemiringan digunakan untuk menghitung
dengan thw = waktu tempuh air melalui lereng bukit, tnw kecepatan aliran. Untuk membangun model jaringan
= waktu tempuh air melalui jaringan sungai, sedangkan sungai, MED diturunkan terlebih dahulu ke dalam peta
Fh dan Fn adalah fungsi eksponensial: arah aliran kemudian diturunkan lagi menjadi peta
akumulasi aliran.
Fh = e (γ h ws ) (11a)
Pemodelan laju erosi tahunan (E) dilakukan mengikuti
Fn = e (γ n ws ) (11b) persamaan-persamaan (2) dan (3) serta Tabel 2 dan
Tabel 3. Pemodelan SDR dilakukan dengan
dengan ws = kecepatan jatuh sedimen pada kolom air,
pendefinisian (deliniasi) unit spasial dan penghitungan
sedangkan γh dan γn, adalah faktor yang berbanding
waktu tempuh aliran air yang melalui lereng bukit dan
terbalik dengan kedalaman aliran air, γh = hh−1 dan γn = jaringan sungai pada unit spasial yang telah ditentukan
hn−1, dengan hh dan hn masing-masing adalah tersebut. Satu unit spasial terdiri dari satu atau lebih
kedalaman aliran melalui lereng bukit dan jaringan lebih piksel dalam grid MED yang menjadi basis untuk
sungai. Secara umum, γh lebih besar dari γn karena penghitungan SDR dan Y. Pada wilayah yang dikaji
biasanya kedalaman air di daerah pegunungan hanya terdapat sekitar 4100 unit spasial dengan masing-
berada pada orde centimeter sedangkan pada saluran masing luas area antara 8.1×10−3 sampai 70 km2.
dapat mencapai orde meter. Kecepatan jatuh sedimen Penghitungan E dilakukan pada setiap grid MED.
dihitung menggunakan: Implementasi pemodelan spasial tersebut dilakukan
1 menggunakan perangkat lunak Sistem Informasi
⎛ 4 ρ s gd ⎞2 Geografis (SIG) ESRI ArcInfo (ESRI, 2005).
ws = ⎜ ⎟ (12)
⎜ 3ρC D Rep ⎟ Tabel 3 CN (diadaptasi dari Ouyang & Bartholic, 1997)
⎝ ⎠
dengan ρs = densitas sedimen, ρ = densitas air, g = Tata Guna Lahan
CN
percepatan gravitasi, d = ukuran butir partikel, Rep = 0 1 2 3
wsd/ν adalah bilangan Reynolds untuk kecepatan jatuh Permukiman 49 69 79 84
Semak, belukar, taman 48 67 77 83
yang dihitung berdasarkan data ukuran butir sedimen, ν
Hutan 30 55 70 77
= viskositas kinematik air dan CD = koefisien geser:
Kebun, lahan kering 72 81 88 81

CD =
24
Rep
(
1 + 0.15Rep 0.687 ) (13)
Vegetasi air / lahan basah
Sungai / kolam / danau
66
98
74
98
80
98
82
98

2.2 Implementasi Model Perilaku Erosi DAS Selanjutnya, dihitung waktu tempuh aliran air rata-rata
(dari sumber erosi sampai ke titik pengeluaran DAS)
Implementasi model perilaku erosi DAS dilakukan melalui lereng DAS untuk setiap unit spasial dengan:
dengan penghitungan E dan SDR. Data yang digunakan
terdiri dari:
Vh =
(ie L )0.4 s 0.3 (14)
1. Model Elevasi Digital (MED) daerah yang dikaji n 0.6
yang diperoleh dari Shuttle Radar Topographic dengan Vh = kecepatan aliran di lereng, ie = kelebihan
Mission (SRTM) dengan resolusi 90m (Rodriguez curah hujan, L = jarak tempuh melalui jalur aliran, s =
et al., 2005). desimal kemiringan dan n = koefisien kekasaran
2. Peta Tematik Jenis Tanah skala 1:250.000 yang permukaan Manning. Kelebihan curah hujan ie
bersumber dari Pusat Penelitian Tanah dan bervariasi menurut tata guna lahan dan dihitung dengan:
Agroklimat.
3. Peta Tata Guna Lahan tahun 1994 dan 2001 skala Pe
1:50.000 yang bersumber dari Badan Perencanaan ie = (15)
tr
Pembangunan Daerah Propinsi Jawa Barat.
4. Tabel data curah hujan rata-rata bulanan yang dengan tr = durasi curah hujan rata-rata dan Pe = sisa
bersumber dari Badan Meteorologi dan Geofisika. curah hujan:
Untuk itu, keseluruhan wilayah kajian direpresentasikan
Pe =
(P − 0.2S )2 (16)
secara geometrik oleh MED yang diekstraksi dari data
SRTM. MED tersebut kemudian diturunkan menjadi
( P + 0 .8 S )
peta kemiringan dan jaringan sungai menggunakan
24
Jurnal
Infrastruktur dan Lingkungan Binaan
Infrastructure and Built Environment Vol. II No. 2, Juni 2006
Teknik Sipil Geodesi & Geomatika Arsitektur Teknik Lingkungan Perencanaan Wilayah & Kota Teknik Kelautan

dengan P = curah hujan dan S = kapasitas penyimpanan Berdasarkan nilai V dari persamaan 14 dan 19, waktu
tanah yang dinyatakan sebagai fungsi tata guna lahan: tinggal (t) melalui tiap piksel pada MED dihitung
dengan:
254
S= 100 − 254 (17)
CN D
t= (20)
V
dengan CN = curve number yang menyatakan
keragaman tata guna lahan yang diperoleh dari rata-rata dengan D = jarak tempuh pada MED; D sama dengan
bobot area tiap jenis tata guna lahan: panjang sisi piksel untuk aliran tegak lurus atau D√2
untuk aliran diagonal.
m
∑ CN i Ai Waktu tempuh pada komponen lereng dan jaringan
i =1
CN = m
(18) sungai digunakan untuk menghitung SDR dengan
∑ Ai mengasumsikan ukuran butir sedimen sebesar 80µm.
i =1 Ukuran butir tersebut memberikan estimasi kecepatan
dengan i = unit spasial yang memiliki beragam jenis jatuh sebesar 0.009m/s. Kedalaman aliran yang
tata guna lahan, m = jumlah unit spasial, CNi = angka digunakan untuk persamaan 11a dan 11b diasumsikan
yang merepresentasikan terminologi penyimpanan dan sebesar 0.2cm untuk lereng bukit dan 1m untuk
Ai = luas area. CN didapatkan dari Tabel 3. Nilai 0 jaringan sungai. Nilai waktu tinggal partikel sedimen
sampai 3 pada tabel tersebut merupakan kode pada permukaan tanah untuk masing-masing
karakteristik jenis tanah yang menyatakan kapasitas komponen lereng dan komponen sungai dalam
penyimpanan berdasarkan tipe-tipe jenis tanah yang penelitian ini masing-masing sebesar 104.35 jam dan
diberikan pada Tabel 2. 2.53 jam (Basyar, 2006). SDR dihitung untuk tiap-tiap
piksel menggunakan persamaan 8 dan 9.
Koefisien kekasaran permukaan Manning didasarkan
pada jenis tata guna lahan dan prosentase tutupan lahan
2.3 Perubahan Tutupan Lahan
(Cv) seperti ditunjukkan di Tabel 4.
dan Laju Ekspor Sedimen
Tabel 4 Koefisien kekasaran permukaan
Laju ekspor sedimen Y untuk setiap unit spasial
Manning (Lu et al., 2003)
diperoleh berdasarkan estimasi E dan SDR seperti
Tata Guna Lahan
(Cv) dalam % dituliskan pada persamaan 4. Implementasi model
Cv<30 30<Cv<70 Cv>70 perilaku erosi DAS Citarum Hulu berikut pengujian
Padang rumput 0.15 0.4 0.6 hasil pemodelannya dengan data lapangan
Lahan panen 0.15 0.25 0.4 menunjukkan akurasi hasil pemodelan Y hingga 8%
Hutan 0.2 0.6 0.8 untuk tahun 2001 dan 54% untuk tahun 1994
Area pembangunan 0.1 0.3 0.5 (Poerbandono et al., 2006). Deviasi Y model dan data
Lahan basah dan kolam 0.125 0.125 0.125 lapangan pada tahun 1994 disebabkan karena
penggunaan data (topografi dan curah hujan) yang
Pada jaringan saluran, kecepatan aliran dihitung hanya berasal dari tahun 2001. Hanya data tata guna
dengan: lahan yang tersedia untuk ke dua waktu pemodelan
tersebut.
Vn = as 0.5 (19)
Hal menarik yang akan menjadi fokus pembahasan
dengan Vn = kecepatan aliran pada jaringan sungai, s = pada makalah ini adalah hubungan antara perubahan
kemiringan dan a = koefisien kekasaran permukaan perilaku erosi DAS Citarum dengan perubahan tata
dasar sungai. Nilai a diberikan oleh Tabel 5. guna lahan di atasnya. Perubahan perilaku erosi
direpresentasikan dengan perubahan laju ekspor
Tabel 5 Parameter kekasaran dasar sungai sedimen total dari DAS Citarum Hulu untuk tahun
(Lu et al., 2003) 1994 dan 2001:

Luas Hulu ∆Y = Y2001 − Y1994 (21)


Bagian Sungai a
(Ha)
Sungai dangkal terakumulasi 1.8–18 4 Sebaran spasial ∆Y pada daerah yang dikaji akan
dihubungkan dengan sebaran spasial perubahan tata
Sungai 18–360 4.5
guna lahan. Identifikasi jenis perubahan lahan
Sungai permanen >360 5
dilakukan dengan deliniasi daerah yang mengalami
perubahan laju erosi yang ekstrem.
25
Jurnal
Infrastruktur dan Lingkungan Binaan
Infrastructure and Built Environment Vol. II No. 2, Juni 2006
Teknik Sipil Geodesi & Geomatika Arsitektur Teknik Lingkungan Perencanaan Wilayah & Kota Teknik Kelautan

3. Hasil

Pada Gambar 2 diperlihatkan tata guna lahan DAS


Citarum Hulu untuk tahun 1994 dan 2001. Perubahan
ekstrem terlihat utamanya di bagian selatan berupa
konversi hutan menjadi tanah terbuka (semak, belukar
atau lahan kering). Data ini digunakan sebagai
masukan dalam pemodelan E dan SDR. Gambar 3
menunjukkan model jaringan saluran yang merupakan
turunan ke dua dari MED DAS Citarum Hulu. Hasil
penghitungan sebaran spasial laju ekspor sedimen Y di
DAS Citarum Hulu ditunjukkan pada Gambar 4.
Gambar 5 menunjukkan distribusi spasial perubahan
laju ekspor sedimen yang melebihi 100ton/km2 selama
tujuh tahun. Berdasarkan Gambar 5 dapat dikatakan
bahwa perubahan perilaku erosi DAS Citarum Hulu Gambar 3 Jaringan saluran (Poerbandono et al., 2006)
(yang dalam studi ini diwakili oleh perubahan laju
ekspor sedimen) terkonsentrasi pada bagian selatan. Y (ton/km2/tahun)
<400 400-900 900-3000 3000-7000
>7000
Sungai / Kolam / Danau Hutan
Zona Industri Semak, Belukar, Taman
Permukiman Kebun, Lahan Kering
Vegetasi Air / Lahan Basah Zona Pertambangan

Gambar 4 Distribusi spasial laju ekspor sedimen


tahun 2001 (Poerbandono et al., 2006)
(a) 1994 ∆Y (ton/km2)
<100 100-1000 >1000

(b) 2001
Gambar 2 Tata guna lahan Gambar 5 Distribusi spasial perubahan laju ekspor

26
Jurnal
Infrastruktur dan Lingkungan Binaan
Infrastructure and Built Environment Vol. II No. 2, Juni 2006
Teknik Sipil Geodesi & Geomatika Arsitektur Teknik Lingkungan Perencanaan Wilayah & Kota Teknik Kelautan

sedimen tahun 2001 terhadap tahun 1994 menunjukkan bahwa pada bagian tersebut terjadi
konversi hutan menjadi lahan terbuka. Hasil studi yang
Investigasi lebih lanjut dilakukan pada sebaran spasial
didokumentasikan pada makalah ini menunjukkan
perubahan laju ekspor sedimen pada bagian selatan
bahwa konversi hutan menjadi lahan terbuka dengan
DAS Citarum Hulu. Gambar 6 memperlihatkan
luas yang memiliki dampak spasial yang berarti berada
pertampalan antara deliniasi daerah dengan perubahan
pada wilayah yang mengalami peningkatan laju ekspor
laju ekspor sedimen dengan deliniasi batas wilayah
sedimen tahunan yang melebihi 100ton/km2.
hutan yang telah terkonversi selama tujuh tahun
menjadi lahan terbuka. Pada Gambar 6 juga
5. Daftar Pustaka
diperlihatkan batas-batas wilayah administrasi desa-
desa tempat konversi hutan menjadi lahan terbuka
Basyar, A., 2006, “Pemodelan Erosion Rate, Sediment
terjadi.
Delivery Ratio dan Sediment Yield secara Spasial
Hutan yang Dikonversi Menjadi Lahan Terbuka di DAS Citarum Hulu”, Skripsi, Program Studi
∆Y>100ton/km2 Teknik Geodesi & Geomatika, FTSL-ITB.
DHV Consulting Engineers, 1989, “Study on Catchment
Preservation and Environmental Impact of the
Water Supply Projects of Bandung and
Sukabumi”, Ministry of Public Works, Rep. of
Indonesia.
ESRI, ArcInfo Desktop version 9.1, 2005.
Jenson S. K. & Domingue, J. O., 1988, “Extracting
Topographic Structure from Digital Elevation
Data for GIS Analysis”, Photogram. Eng. &
Remote Sensing 54(11).
Kartasapoetra, 1991, “Teknologi Konservasi Tanah dan
Air”, Rineka Cipta. Jakarta.
Kelompok Kerja Erosi & Sedimentasi, 2002, “Kajian
Erosi & Sedimentasi DAS Teluk Balikpapan
Kalimantan Timur”, Proyek Pesisir, TE-02/13-I,
CRC/URI, Jakarta.
Lu, H., Moran, C. J. & Prosser, I. P., 2003, “Modelling
Gambar 6 Sebaran hutan yang dikonversi menjadi Sediment Delivery Ratio over the Murray Darling
lahan terbuka pada daerah dengan Basin”, CSIRO Land and Water, Canberra,
∆Y>100ton/km2 Australia.
Ouyang, D. & Bartholic, J., 1997, “Predicting Sediment
4. Penutup
Delivery Ratio in Saginaw Bay Watershed”, Proc.
22nd Nat. Assoc. of Env. Professionals Conf.,
Pada makalah ini telah dipaparkan kajian perubahan
Orlando, USA.
perilaku erosi pada DAS Citarum Hulu yang
direpresentasikan oleh utamanya paramater laju ekspor Perum Otorita Jatiluhur, 1990, “Water Balance Analysis
sedimen tahunan. Laju ekspor sedimen tahunan in the Upper Citarum Watershed”. Bandung.
diperoleh sebagai produk dari laju erosi tahunan dan
Pikiran Rakyat, “Tinggi, Pengendapan Sungai
sediment delivery ratio (SDR). Laju erosi tahunan
Citarum”, hal . 9, Kol. 2, 18 Februari 2006.
dihitung menggunakan USLE (Wischmeier & Smith,
1978) sedangkan SDR diestimasi berdasarkan Poerbandono, Basyar, A. & Harto, A. B., 2006,
penghitungan waktu tinggal sedimen pada komponen “Spatial Modelling of Sediment Transport
lereng dan sistem saluran (Sivapalan et al., 2002). over the Upper Citarum Catchment”, Diserahkan
Perubahan perilaku erosi yang dikaji pada makalah ini ke Proceedings ITB.
adalah pertambahan laju ekspor sedimen pada tahun
2001 relatif terhadap tahun 1994. Luasan perubahan Renard, K. G., Foster, G. R., Weesies, G. A., McCool,
perilaku erosi yang ekstrem ditemui di bagian selatan D. K. & Yoder, D. C., 1997, “Predicting Soil
DAS Citarum Hulu. Invetsigasi lebih lanjut Erosion by Water: A Guide to Conservation

27
Jurnal
Infrastruktur dan Lingkungan Binaan
Infrastructure and Built Environment Vol. II No. 2, Juni 2006
Teknik Sipil Geodesi & Geomatika Arsitektur Teknik Lingkungan Perencanaan Wilayah & Kota Teknik Kelautan

Planning with the RUSLE”, US Dept. of


Agriculture Handbook 703.
RLKT, 1985, “Studi Perencanaan Pengelolaan
Kawasan sekitar CAGST”, Mitra Simpang Tilu-
Yayasan Kehati, Jakarta.
Rodriguez, E., Morris, C. S., Belz, J. E., Chapin, E. C.,
Martin, J. M., Daffer, W., & Hensley, S., 2005,
“An Assessment of the SRTM Topographic
Products”, Techn. Report D-31639, JPL,
California, USA.
Sivapalan, M., Jothityankuun, C. & Menabde, M.,
2002, “Linearity and Non-linearity of Basin
Response as a Function of Scale: Discussion of
Alternative Definitions”, Water Resources
Research 38 (2).
Trahan, N., “Modeling Sediment and Contaminant
Pathways to the Cedar River”, Jones, Edmunds &
Associates. Florida, 2003.
Wischmeier, W. H. & Smith, D. D., 1978, “Predicting
Rainfall Erosion Losses - A Guide to
Conservation Planning”, US Dept. of
Agricultural Handbook 537.

28

Anda mungkin juga menyukai