Kang Sejo Melihat Tuhan
Kang Sejo Melihat Tuhan
Saya pun dicap tidak Islami. Iman saya campur aduk dengan wayang. Dus, kalau
pakai kaca mata Geertz, seislam-islamnya saya, saya ini masih Hindu. Memang salah
saya, sebab ketika itu saya main ibarat: Gatutkaca itu sufi. Ia satria-pandita.
Biar masih muda, hidup Gatutkaca seimbang, satu kaki di dunia satu lagi di akhirat.
Mirip Nabi Daud: hari ini puasa, sehari esoknya berbuka. Dan saya pun dibabat …
Juli tahun lalu saya dijuluki Gus Dur sebagai orang yang
doanya pendek. Bukan harfiah cuma berdoa sebentar. Maksudnya, tak banyak
doa yang saya hafal. Namun, yang tak banyak itu saya amalkan.
Ini tentu berkat ke-“raja”-annya. Lumrah. Lain bila itu terjadi pada Kang Sejo. Ia
tukang pijit -maaf, Kang, saya sebut itu- tunanetra.
Kang Sejo pendek pula doanya. Bahasa Arab ia tak tahu. Doanya bahasa Jawa:
Gusti Allah ora sare (Allah tak pernah tidur): potongan ayat Kursi itu. Zikir ia
kuat. Soal ruwet apa pun yang dihadapi, wiridannya satu: “Duh, Gusti, Engkau yang
tak pernah tidur …” Cuma itu.
“Memang sederhana, wong hidup ini pun dasarnya juga sederhana,” katanya,
sambil memijit saya.
“Lho, apa tak ada aturannya? Para santri kan dituntun kiai, baca ini sekian ribu, itu
sekian ribu,” kata saya
“Itu kan rezeki. Dan rezeki datang dari sumber yang tak terduga,” katanya.
Di jalan Malaka bahkan ada kelompok serius bicara sufisme. Mereka cabang
sebuah tarekat yang inti ajarannya berserah pada Tuhan. Mereka banyak zikir.
Solidaritas mereka kuat. Semangat agamis, pendeknya, menyebar di mana-mana.
Para “Unyil” ke mesjid, berpici dan ngaji. Pendeknya, orang seperti kemarok
terhadap agama.
Dalam suasana ketika tiap orang yakin tentang Tuhan, muncul Kang Suto, sopir
bajaj, dengan jiwa gelisah. Sudah lama ia ingin salat. Tapi salat ada bacaan dan
doanya. Dan dia tidak tahu. Dia
pun menemui pak ustad untuk minta bimbingan, setapak demi setapak.
Ustad Betawi itu memuji Kang Suto sebagai teladan. Karena, biarpun sudah tua, ia
masih bersemangat belajar. Katanya, “Menuntut ilmu wajib hukumnya, karena
amal tanpa ilmu tak diterima. Repotnya, malaikat yang mencatat amal kita Cuma
tahu bahasa Arab. Jadi wajib kita paham Quran agar amal kita tak sia-sia.”
Setelah pendahuluan yang bertele-tele, ngaji pun dimulai. Alip, ba, ta, dan
seterusnya. Tapi di tingkat awal ini Kang Suto sudah keringat dingin. Digebuk pun
tak bakal ia bias menirukan pak ustad. Di Sruweng, kampungnya, ‘ain itu tidak
ada. Adanya cuma ngain. Pokoknya, kurang lebih, ngain.
“Salah.”
“Lha kam ndu lilah …,” Guru itu menarik napas. Dia merasa wajib meluruskan. Dia
bilang, bahasa Arab tidak sembarangan. Salah bunyi lain arti. Bisa-bisa kita
dosa karena mengubah arti Quran.
Ia tahu, saya tak paham soal kitab. Tapi ia datang ke rumah, minta pandangan
keagamaan saya.
“Begini Kang,” akhirnya saya menjawab. “Kalau ada ustad yang bisa menerima
ngain, teruskan ngaji. Kalau tidak, apa boleh buat. Salat saja sebisanya. Soal
diterima tidaknya, urusan Tuhan. Lagi pula bukan bunyi yang penting.
Kalau Tuhan mengutamakan ain, menolak ngain, orang Sruweng masuk neraka
semua, dan surga isinya cuma Arab melulu.”
Saya ceritakan kisah ketika Nabi Musa marah pada orang yang tak fasih berdoa.
Beliau langsung ditegur Tuhan. “Biarkan,
Musa. Yang penting ketulusan hati, bukan kefasihan lidahnya.”
Suatu malam, ketika Klender sudah lelap dalam tidurnya, kami salat di teras mesjid
yang sudah tutup, gelap dan sunyi. Ia membisikkan kegelisahannya pada Tuhan.
“Ya Tuhan, adakah gunanya doa hamba yang tak fasih ini. Salahkah hamba,
duh Gusti, yang hati-Nya luas tanpa batas …”
Air matanya lalu bercucuran. Tiba-tiba dalam penglihatannya, mesjid gelap itu seperti
mandi cahaya. Terang-benderang. Dan kang Suto tak mau pulang. Ia sujud, sampai
pagi.
(Mohammad Sobary, Editor, No.21/Thn.IV/2 Februari 1991)
Karya:Mohamad Sobary
Mendadak sontak anjing itu lenyap dalam kerdipan mata Puntadewa,dan di sana,hadir
dewa Dharma.Tanpa salam pendahuluan apa pun ia langsung memeluk Puntadewa.
Pelukan tanpa kata-kata itu tanda pernyataan bahwa Puntadewa lulus ujian kesetiaan
tingkat akhir.Kesetiaan perlu diuji,dan dibuktikan ulang.Di sana ada pesan
simbolik:”Jangan khianati anjing sekalipun,semata demi sekeping sorga yang
dijanjikan.”
Ringkasnya ,Puntadewa pun kemudian melangkah masuk ke taman sorga loka,dan
masya Allah,di sana ke empat saudaranya,dan sang permaisuri Drupadi,ternyata sudah
menantinya.
Puntadewa membikin para dewa sendiri malu atas kesetiaannya.Mereka pun
cemburu.Rupanya benar,Puntadewa,tak ada sorga yang gratis.
----------------
Belajar dari Chamid dan Puntadewa,saya berhati-hati pada anjing.Belum pernah saya
membencinya,tapi juga tidak memujanya.Saya tahu anjing makhluk yang paling
setia.Tapi saya tahu dalam kepepet dia menggigit.
Kurungan
Kurungan bisa penting,bias juga tidak.Tergantung siapa yang melihat. Buat saya pribadi, isi kurungan
lebih penting dari pada kurungannya.
Pak Penewu (sekarang camat) di desa saya dulu punya seekor perkutut yang hebat. Kabarnya, orang
dari kota (maksudnya Yogya) ingin menukarnya dengan sebuah sedan baru. Ini burungnya.
Kurungannya, kata Kang Brahim, lebih mahal daripada rumah Kang Brahim sendiri, yang memang kecil
itu. Maklumlah, namanya juga burungnya Pak Penewu. Dalam hal ini kurungan itu fungsional dan karena
itu memang penting. Akan ganjil benar bila burung semahal itu dikurung dengan kurungan yang sudah
reot dan bolong.
Farriduddin Attar memandang bahwa dunia ini sebuah peti. Saya lebih suka menyebutnya kurungan.
Attar menganggap bahwa dalam hidup orang sibuk membuat peti-peti, sedangkan saya melihat orang
sibuk mengumpulkan aneka kurungan.
Kantor kita, asal-usul keluarga kita, agama kita, kesukuan kita, titel kesarjanaan kita, partai kita,
organisasi profesi kita, bahkan istri, suami, mertua, paman, pakde,
pakdenya pakde, semuanya merupakan kurungan. Nama kita pun sebuah kurungan.
Seperti dalam kasus perkutut Pak Penewu, antara orang dan namanya harus ada keserasian juga. Kalau
tidak, bias menimbulkan gangguan dan sejumlah persoalan. Pernah seorang petani kampung
menamakan anak laki-lakinya Partaningrat. Dan
adik si Ningrat, Diah Astuti. Ketika Partaningrat sakit-sakitan, mbah dukun membuat diagnosa bahwa dia
keberatan nama. Kalau tak diganti, kata mbah dukun, bias gawat. Andaikata orangtuanya pergi ke
dokter, bukan ke mbah dukun, persoalannya tentu akan lain.
Tapi sudahlah. Partaningrat diganti Bibit, dengan kelengkapan upacara kecil, ditandai jenang putih
jenang abang (merah). Dan Diah Astuti diganti menjadi Kawit.
Kontras pergantian itu, tapi apa boleh buat; karena keserasian, dalam dunia pemikiran Jawa, merupakan
sesuatu yang penting. Bibit lalu tumbuh makin sehat. Dan Kawit, setelah bersuami, langsung beranak
pinak.
Pemuda kita berebut masuk KNPI. Sebagai kurungan, KNPI menjadi saluran karier politik yang baik.
Bagi yang tak punya naluri politik, sekurangnya KNPI memberinya identitas tambahan.
Para sejarawan membuat organisasi "Masyarakat Sejarah" (MS). Karena ada sejarawan yang juga
sarjana hukum, selain masuk MS ia juga masuk "Ikatan Sarjana Hukum" (ISH). Ketika MS mendirikan
lembaga penelitian, ia memegang jabatan penting. Dan setelah ISH mendirikan lembaga bantuan
hukum, ia juga menjadi salah seorang pengurus. Ini semua adalah status tambahan belaka, sebab tugas
utamanya menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi swasta. Dia sadar bahwa tak mungkin baginya
memenuhi semua tugasnya dengan baik. Tetapi dalam hati kecilnya ia memerlukan semua itu untuk
memberi kesan
pada khalayak, betapa penting dia, betapa besar kepeduliannya dalam mengembangan ilmu dan
pengabdian masyarakat.
Jadi, kurungan-kurungan tadi pada dasarnya hanya diperlukan sebagai identitas tambahan.
Fungsi kurungan sebagai identitas menjadi penting buat orang yang "gila" atau "krisis" identitas. Dalam
seminar HIPIIS di Yogya bulan Juli tahun lalu, saya berkenalan dengan seorang profesor. Belum pernah
saya baca karya orang itu. Namanya pun belum pernah saya dengar sebelumnya. Tapi dalam kartu
namanya tercantum banyak identitas: bidang keahlian A, jabatannya di universitas B, sekretaris
organisasi profesi C, dan anggota ikatan internasional sarjana "anu". Ini jenis sarjana yang melihat
kurungan sebagai sesuatu yang amat penting.
Namun, banyak juga orang yang tidak kurungan oriented. Mereka risi dengan berbagai kurungan. Gelar
kesarjanaannya tak usah selalu dipakai. Safari dan segala lambang kuning emas di dada perlu sesekali
ditanggalkan. Dan dalam pergaulan sehari-hari tak perlu menonjolkan secara verbal puritansi
keagamaannya. Bagi yang Islam tak perlu memamerkan keislamannya, dan yang Kristen tak perlu
memamerkan kekristenannya. Semua itu pada dasarnya cuma kurungan.
Dengan kata lain, kurungan macam itu cuma membikin sumpek. Kurungan ya kurungan. Artinya, ia
cuma lapis luar dari diri kita. Ia sama sekali tidak penting. Orang macam Emha Ainun Nadjib, pinandita
yang terbiasa bebas di bawah langit dengan selimut mega-mega, mungkin sudah sumpek hidup dalam
banyak kurungan: dramawan, budayawan, penyair, kolumnis, cendekiawan muda Islam, dan siapa tahu
bakal ada yang
menambahkan predikat konglomerat.
Buat saya, tak terasa aneh mendengar ia ketika itu menolak diberi kurungan baru yang hebat: Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Kalau dia masuk ke sana, dan kawula macam saya ini juga
masuk, secara moril maupun materiil Emha rugi. Tanpa dikurung dalam ICMI ia sudah lama dijuluki
cendekiawan Islam (Muslim). Tanpa kurungan resmi seperti itu ia sudah "menjadi". Sementara itu,
banyak orang lain mencari
kurungan dengan harapan "ingin menjadi". Pernah ia memberi fatwa pada saya, yang harus kita cari
esensi, bukan eksistensi.
Alasan resmi penolakannya untuk "join" di ICMI menarik. "Saya tidak mampu memanggul tugas mulia
itu."
Dalam hati, saya bertanya: Siapa yang menyuruhnya memanggul sesuatu? Dalam tradisi kita, sebuah
status tak selalu menuntut peranan. Dan achievement, umumnya, belum menjadi keadrengan banyak
pihak. Jadi kalau ia masuk ke sana untuk kemudian duduk dan diam, sebetulnya orang toh tak akan
banyak dituntut. Soalnya, ya tadi itu, bahwa kurungan, bagi banyak pihak, lebih penting daripada isinya.