Anda di halaman 1dari 15

ASUHAN KEPERAWATAN

(Hipertensi, Dispepsia, Gastroenteritis Akut)

Disusun Oleh:
Ns. Mercy Nanna, S.Kep

PEMERINTAH KABUPATEN MOROWALI UTARA


DINAS KESEHATAN DAERAH
PUSKESMAS BETELEME
ASUHAN KEPERAWATAN HIPERTENSI

a. DEFINISI
Hipertensi adalah keadaan dimana tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah
diastolik ≥ 90 mmHg. Perhimpunan nefrologi Indonesia (Pernefri) memilih klasifikasi
hipertensi sesuai WHO/ISH karena dianggap sederhana dan memenuhi kebutuhan, tidak
bertentangan dengan strategi terapi, tidak meragukan karena memiliki sebaran luas dan tidak
rumit, serta terdapat pula unsur sistolik yang juga penting dalam penentuan.
Klasifikasi menurut WHO atau ISH:
Klasifikasi Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Normotensi < 140 <90
Hipertensi ringan 140-180 90-105
Hipertensi perbatasan 140-160 90-95
Hipertensi sedang dan berat >180 >105
Hipertensi sistolik terisolasi >140 <90
Hipertensi sistolik perbatasan 140-160 <90

Klasifikasi pengukuran tekanan darah berdasarkan the sixth report of the joint national
committee on prevention, detection, evaluation, and treatment of high blood pressure, 1997
adalah:
Kategori Sistolik (mmHg) Diastolic (mmHg) Rekomendasi
Normal <120 <80 Periksa ulang dalam 2 tahun
Prehipertensi 120-139 80-89 Periksa ulang dalam 1 tahun
Hipertensi tingkat 1 140-159 90-99 Konfirmasi dalam 1 atau 2 bulan
Hipertensi tingkat 2 >160 >100 Anjurkan modifikasi gaya hidup
Evaluasi / rujuk dalam 1 bulan
Evaluasi / rujuk segera dalam 1
minggu berdasarkan kondisi
klinis

b. ETIOLOGI
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi 2 golongan, yaitu:

1. Hipertensi essensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya disebut
juga hipertensi idiopatik. Banyak faktor yang mempengaruhinya seperti genetik,
lingkungan, hiperaktivitas susunan saraf simpatis, system renin angiotensin, defek
dalam ekskresi Na, peningkatan Na dan Ca intra seluler, dan faktor-faktor yang
meningkatkan resiko seperti obesitas, alkohol, merokok, serta polisitemia.
2. Hipertensi sekunder atau hipertensi renal. Penyebab spesifiknya diketahui seperti
estrogen, penyakit ginjal, hipertensi vaskuler renal, hiperaldosteronisme primer, dan
sindrom chusing, feokromositoma, koarktasio aorta, hipertensi yang berhubungan
dengan kehamilan, dan lain-lain.

c. MANIFESTASI KLINIS
Peninggian tekanan darah kadang-kadang merupakan satu-satunya gejala. Bila demikian
gejala baru muncul setelah terjadi komplikasi pada ginjal, mata, otak, dan jantung. Gejala lain
yang sering ditemukan adalah sakit kepala, epistaksis, mudah marah, telinga bersengung, rasa
berat ditengkuk, sukar tidur, mata berkunang-kunang, dan pusing.

d. PENEGAKAN DIAGNOSIS
Diagnosis hipertensi tidak dapat ditegakkan dalam satu kali pengukuran, hanya dapat
ditetapkan setelah 2 kali atau lebih pengukuran pada kunjungan yang berbeda, kecuali terdapat
kenaikan yang tinggi atau gejala-gejala klinis. Pengukuran tekanan darah dilakukan dalam
keadaan pasien duduk bersandar, setelah beristirahat selama 5 menit, dengan ukuran
pembungkus lengan yang sesuai (menutupi 80% lengan). Tensi meter dengan air raksa masih
tetap dianggap alat pengukur yang terbaik.
Anamnesis yang dilakukan meliputi tingkat hipertensi dan lama menderitanya, riwayat dan
gejala-gejala penyakit yang berkaitan seperti penyakit jantung koroner, gagal jantung, penyakit
serebrovaskuler dan lainnya. Apakah terdapat riwayat penyakit dalam keluarga, gejala-gejala
penyakit yang berkaitan dengan penyebab hipertensi, perubahan aktivitas dan kebiasaan seperti
merokok, konsumsi makanan, riwayat obat-obatan bebas, hasil dan efek samping terapi
antihipertensi sebelumnya bila ada, dan faktor psikososial lingkungan (keluarga, pekerjaan).

e. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium rutin yang dilakukan sebelum memulai terapi bertujuan
menentukan adanya kerusakan organ dan faktor resiko lain atau mencari penyebab hipertensi.
Biasanya diperiksa urinalisa, darah perifer lengkap, kimia darah (kalium, natrium, kreatinin,
gula darah puasa, kolesterol total, kolesterol HDL) dan EKG. Sebagai tambahan dapat
dilakukan pemeriksaan lain seperti klirens kreatinin, protein urin 24 jam, asam urat, kolesterol
LDL, TSH, dan ekokardiografi.
f. PENATANALAKSANAAN
Deteksi dan penatalaksanaan hipertensi adalah menurunkan resiko penyakit
kardiovaskuler dan mortalitas serta morbiditas yang berkaitan dengan hipertensi. Tujuan terapi
adalah mencapai dan mempertahankan tekanan sistolik dibawah 130 mmHg dan tekanan
diastolik di bawah 80 mmHg dan mengontrol faktor resiko. Hal ini dapat dicapai melalui
modifikasi gaya hidup saja atau dengan obat antihipertensi.
Kelompok resiko dikategorikan menjadi :
 Pasien dengan tekanan darah perbatasan, atau tingkat 1,2 tanpa gejala penyakit
kardiovaskueler, kerusakan organ, atau faktor resiko lainnya. Bila dengan modifikasi gaya
hidup tekanan darah belum dapat diturunkan, maka harus diberikan obat anti hipertensi.
 Pasien tanpa penyakit kardiovaskuler atau kerusakan organ lainnya tapi memiliki satu atau
lebih faktor resiko yang tertera diatas, namun bukan diabetes melitus. Jika terdapat
beberapa faktor maka harus langsung diberikan obat anti hipertensi.
 Pasien dengan gejala klinis penyakit kardiovaskuler atau kerusakan organ yang jelas.

Faktor resiko : usia lebih dari 60 tahun, merokok, dislipidemia, diabetes mellitus, jenis
kelamin (pria dan wanita menopause), riwayat penyakit kardiovaskuler dalam keluarga.
Kerusakan organ atau penyakit kardiovaskuler: penyakit jantung (hipertrofi ventrikel kiri,
infark miokard, angina pectoris, gagal jantung, riwayat revaskularisasi koroner, stroke,
transient ischemic attack, nefropati, penyakit arteri perifer, dan retinopati).
Penatalaksanaan berdasarkan klasifikasi resiko :
Tekanan darah Kelompok resiko A Kelompok resiko B Kelompok resiko C
120-139/80-89 Modifikasi gaya hidup Modifikasi gaya hidup Dengan obat
140-159/90-99 Modifikasi gaya hidup Modifikasi gaya hidup Dengan obat
≥ 160/≥100 Dengan obat Dengan obat Dengan obat

Modifikasi gaya hidup cukup efektif, langkah-langkah yang dianjurkan :

 Menurunkan berat badan bila bila terdapat kelebihan (indeks masa tubuh ≥ 27)
 Membatasi alkohol
 Meningkatkan aktivitas fisik aerobik (30-45 menit perhari)
 Mengurangi asupan natrium (< 100mmol Na/ 2,4 Na/6gNaCl/ hari)
 Mempertahankan asupan kalium yang adekuat (90 mmol/hari)
 Mempertahankan asupan kalium dan magnesium yang adekuat
 Berhenti merokok dan mengurangi asupan lemak jenuh dan kolesterol dalam makanan
Penatalaksaan dengan obat anti hipertensi bagi sebagian besar pasien dimulai dengan dosis
rendah kemudian ditingkatkan secara titrasi sesuai dengan umur, kebutuhan, dan usia. Terapi
yang optimal harus efektif selama 24 jam dan lebih disukai dalam dosis tunggal karena
kepatuhan lebih baik, lebih murah, dapat mengontrol hipertensi terus menerus dan lancar dan
melindungi pasien terhadap berbagai resiko dan kematian mendadak, serangan jantung atau
stroke akibat peningkatan tekanan darah mendadak saat bangun tidur.

g. KOMPLIKASI LAIN

1. Resiko tinggi terhadap penurunan curah jantung bisa dengan peningkatan afterload,
vasokonstriksi, hipertrofia tau rigiditas ventrikuler, iskemia miokard
2. Intoleransi aktivitas bisa dengan kelemahan, ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan
oksigen.
3. Nyeri akut : sakit kepala bisa dengan peningkatan tekanan vaskuler serebral
4. Ketidakseimbangan nutrisi lebih dari kebutuhan tubuh b/d masukan berlebihan

h. DISCHARGE PLANNING
1. Ajarkan pada anak dan keluarga tentang penatalaksanaan hipertensi: penjelasan mengenai
hipertensi, pengobatan, batasan diet dan pengendalian berat badan, masukan garam, dan
latihan.
ASUHAN KEPERAWATAN DISPEPSIA

a. DEFINISI
 Dispepsia adalah suatu gejala yang di tandai dengan nyeri uluh hati, rasa mual, muntah
dan kembung, gejala ini bisa berhubungan/tidak ada hubungan dengan makanan.
Pengertian dipepsia terbagi dua: (Mansjoer Arif, 2001)
 Dispepsia organik,bila telah di ketahui adanya kelainan organik sebagai penyebabnya
 Dispepsia nonorganik atau dispepsia fungsional atau dispepsia nonulkus bila tidak jelas
penyebabnya
 Dispepsia merupakan kumpulan keluhan atau gejala klinis yang terdiri dari rasa tidak enak
atau sakit di perut bagian atas yang menetap atau mengalami kekambuhan (Nugroho dr.
taufan, 2011)
 Dispepsia mengacu pada rasa kenyang yang tidak mengenyangkan sesudah makan, yang
berhubungan dengan mual, sendawa, nyeri ulu hati dan mungkin kram dan begah perut.
Sering kali diperberat oleh makanan yang berbumbu, berlemak atau makanan berserat
tinggi, dan oleh asupan kafein yang berlebihan, Dispepsia tanpa kelainan lain
menunjukkan adanya gangguan fungsi pencernaan (Williams & Wilkins, 2011)
 Dispepsia adalah suatu keadaan dimana terjadi gangguan pada system pencernaan
(Hinchliff Sue, 1999)

b. ETIOLOGI
Seringnya, dispepsia disebabkan oleh ulkus lambung atau penyakit acid reflux. Jika anda
memiliki penyakit acid reflux, asam lambung terdorong ke atas menuju esofagus (saluran
muskulo membranosa yang membentang dari faring ke dalam lambung). Hal ini menyebabkan
nyeri di dada. Beberapa obat-obatan, seperti obat anti-inflammatory, dapat menyebabkan
dispepsia. Terkadang penyebab dispepsia belum dapat ditemukan.
Penyebab dispepsia secara rinci adalah:
1. Menelan udara (aerofagi)
2. Regurgitasi (alir balik, refluks) asam dari lambung
3. Iritasi lambung (gastritis)
4. Ulkus gastrikum atau ulkus duodenalis
5. Kanker lambung
6. Peradangan kandung empedu (kolesistitis)
7. Intoleransi laktosa (ketidakmampuan mencerna susu dan produknya)
8. Kelainan gerakan usus
9. Stress psikologis, kecemasan, atau depresi
10. Infeksi Helicobacter pylory

Penyebab lain Dispepsia adalah:


 Makan terlalu banyak
 Minum alkohol berlebihan
 Merokok
 Makan tidak teratur
 Stres dan ansietas
 Obat-obatan seperti aspirin dan anti-inflamasi yang digunakan untuk pengobatan arthritis
 Helycobacter pylori
 Hiatal hernia

Penyebab Dispepsia dapat dibedakan menjadi 2, yaitu:


1. Dispepsia organik, bila telah diketahui adanya kelainan organik sebagai penyebabnya
(misalnya tukak peptic, gastritis, pankreastitis, kolesistitisdan lainnya).
2. Dispepsia non organik atau dispepsia fungsional atau dispepsia nonulkus (DNU), bila tidak
jelas penyebabnya.

c. MANIFESTASI KLINIK
Klasifikasi klinik praktis, didasrakan atas keluhan atau gejala yang dominan, membagi
dispepsia menjadi tiga tipe, yaitu: (Monsjoer Arif, 2001)
1. Dispepsia dengan keluhaan ulkus dengan gejala
 Nyeri epigastrium terlokalisasi
 Nyeri hilang setelah makan atau pemberia antacid
 Nyeri saat lapar
 Nyeri episodic
2. Dispepsia dengan gejala seperti dismotilitas dengan gejala
 Mudah kenyang
 Perut cepat tersa penuh saat makan
 Mual
 Muntah
 Rasa tak nyaman bertambah saat makan
3. Dispepsia nonspesifisik(tidak ada gejala seperti kedua tipe di atas)
Sindroma dispepsia dapat bersifat ringan, sedang, dan berat, sertadapat akut atau kronis
sesuai dengan perjalanan penyakitnya. Pembagianakut dan kronik berdasarkan atas jangka
waktu tiga bulan. Nyeri dan rasa tidak nyaman pada perut atas atau dada mungkin disertai
dengan sendawa dan suara usus yang keras (borborigmi). Pada beberapa penderita, makan
dapat memperburuk nyeri; pada penderita yang lain, makan bisa mengurangi nyerinya. Gejala
lain meliputi nafsu makan yang menurun, mual, sembelit, diare dan flatulensi (perutkembung).
Jika dispepsia menetap selama lebih dari beberapa minggu, atau tidak memberi respon terhadap
pengobatan, atau disertai penurunan berat badan atau gejala lain yang tidak biasa, maka
penderita harus menjalani pemeriksaan.

d. KOMPLIKASI
Sebagai akibat dari kehilangan cairan dan elektrolit secara mendadak dapat terjadi
berbagai macam komplikasi:
a. Renjatan hivopolemik, terjadi pada dehidrasi berat akibat kehilangan cairan yang besar,
maka jantung akan bekerja lebih cepat
b. Hipokalemia: kalemia rendah < 3-5 keletihan otot, kembung.
c. Kejang dan malnutrisi energy protein, dapat terjadi serum natrium >165m, kehilangan air
sama dengan kehilangan natrium, biasanya terjadi setelah intake cairan yang banyak dan
pemasukan air dan elektrolit berkurang dalam jangka waktu yang lama
d. Kembung
e. Mual
f. Muntah
g. Sakit uluh hati
h. Sakit kepala

e. PATOFISIOLOGI
Perubahan pola makan yang tidak teratur, obat-obatan yang tidak jelas, zat-zat seperti
nikotin dan alcohol serta adanya kondisi kejiwaan stress. Pemasukan makanan menjadi kurang
dapat mengakibatkan erosi pada lambung akibat gesekan antara dinding-dinding lambung.
Kondisi demikian dapat mengakibatkan peningkatan produksi HCL yang akan merangsang
terjadinya kondisi asam pada lambung, sehingga rangsangan di medulla oblongata membawa
impuls muntah sehingga intake tidak adekuat baik makanan maupun cairan.
f. PEMERIKASAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan radiologi, yaitu OMD dengan kontras ganda, serologi, helicabacter pylori,
dan urea breath test (belum ada di Indonesia). Endoskopi merupakan pemeriksaan baku emas,
selain sebagai diagnostic sekaligus terapeutik. Pemeriksaan yang dapat dilakukan dengan
endoskopi adalah: (Monsjoer Arif, 2001)
1. CLO (rapid urea test)
2. patologi anatomi (PA)
3. kutur mikroorganisme (MO) jaringan
4. PCR (polymerase chain reaction), hanya dalam rangka penelitian

g. PENATALAKSANAAN
Berdasarkan Konsensus Nasional Penanggulangan Helicobacter pylori 1996, ditetapkan
skema penatalaksanaan dispepsia, yang dibedakan bagi sentra kesehatan dengan tenaga ahli
(gastroenterolog atau internis) yang disertai fasilitas endoskopi dengan penatalaksanaan
dispepsia dimasyarakat.
Pengobatan dispepsia mengenal beberapa golongan obat, yaitu:
1. Antasid 20-150 ml/hari: golongan obat ini mudah didapat dan murah. Antasid akan
menetralisir sekresi asam lambung. Antasid biasanya mengandung Na bikarbonat,
Al(OH)3, Mg(OH)2, dan Mg triksilat. Pemberian antasid jangan terus-menerus, sifatnya
hanya simtomatis, unutk mengurangi rasa nyeri. Mg triksilat dapat dipakai dalam waktu
lebih lama, juga berkhasiat sebagai adsorben sehingga bersifat nontoksik, namun dalam
dosis besar akan menyebabkan diare karena terbentuk senyawa MgCl2.
2. Antikolinergik: perlu diperhatikan, karena kerja obat ini tidak spesifik. Obat yang
agak selektif yaitu pirenzepin bekerja sebagai anti reseptor muskarinik yang dapat
menekan seksresi asama lambung sekitar 28-43%. Pirenzepin juga memiliki efek
sitoprotektif.
3. Antagonis reseptor H2: golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia
organik atau esensial seperti tukak peptik. Obat yang termasuk golongan antagonis
respetor H2 antara lain simetidin, roksatidin, ranitidin, dan famotidin.
4. Penghambat pompa asam (proton pump inhibitor = PPI): golongan obat ini mengatur
sekresi asam lambung pada stadium akhir dari proses sekresi asam lambung. Obat-obat
yang termasuk golongan PPI adalah omeperazol, lansoprazol, dan pantoprazol.
5. Sitoprotektif: prostoglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil (PGE2).
Selain bersifat sitoprotektif, juga menekan sekresi asam lambung olehsel parietal.
Sukralfat berfungsi meningkatkan sekresi prostoglandinendogen, yang selanjutnya
memperbaiki mikrosirkulasi, meningkatkan produksi mukus dan meningkatkan sekresi
bikarbonat mukosa, serta membentuk lapisan protektif (site protective), yang bersenyawa
dengan protein sekitar lesi mukosa saluran cerna bagian atas (SCBA).
6. Golongan prokinetik: obat yang termasuk golongan ini, yaitu sisaprid, domperidon, dan
metoklopramid. Golongan ini cukup efektif untuk mengobati dispepsia fungsional dan
refluks esofagitis dengan mencegah refluks dan memperbaiki bersihan asam lambung
(acid clearance) (Mansjoer et al,2007).
7. Psikoterapi dan psikofarmaka (obat anti- depresi dan cemas): pada pasien dengan dispepsia
fungsional, karena tidak jarang keluhan yang muncul berhubungan dengan faktor kejiwaan
seperti cemas dan depresi (Sawaludin, 2005)

Sedangkan penatalaksanaan Non Farmakologinya adalah sebagai berikut:


1. Menghindari makanan yang dapat meningkatkan asam lambung
2. Menghindari faktor resiko sepeti alcohol,makanan yang pedas, obat-obatan yang
belebihan, nikotin rokok, dan stress
3. Atur pola makan
ASUHAN KEPERAWATAN GASTROENTERITIS AKUT

a. DEFINISI
Gastroenteritis merupakan suatu peradangan yang biasanya disebabkan baik oleh virus
maupun bakteri pada traktus intestinal (Guyton & Hall, 2006). Gastroenteritis diartikan sebagai
buang air besar yang tidak normal atau bentuk tinja yang encer dengan frekwensi yang lebih
banyak dari biasanya (Mansjoer, 2006).
Gastroentritis (GE) adalah peradangan yang terjadi pada lambung dan usus
yangmemberikan gejala diare dengan atau tanpa disertai muntah (Capernito,2007). Diare
adalah dimana terjadi frekuensi defekasi yang abnormal (lebih dari 3x per hari) serta perubahan
dalam isi (lebih dari 200gr/hari) dan konsistensi feses cair. (Smeltzer,2001).
Dapat disimpulkan gastroentritis adalah peradangan yang terjadi pada lambung dan usus
yang memberikan gejala diare dengan frekuensi lebih banyak (lebih dari 3x perhari) serta
perubahan dalam isi (lebih dari 200gr/hari) dan konsistensi feses cair dari biasanya yang
disebabkan oleh bakteri,virus dan parasit yang patogen.

b. ETIOLOGI
 Faktor infeksi: Infeksi bakteri (Vibrio, E. Coli, Salmonella, Shigelia Compylobacter,
Yersina, Aeromonas, dan sebagainya), infeksi virus (Eterovirus ECHO, Coxsackie
Poliofelitis, Adenovirus, Rotavirus, Astrovirus), infeksi parasit (Ascaris, Triguris,
Oxyyuris, Strongyloides, protozoa Entamoeba HIstolitica, Glardialambia, Trichomonas
Hominis).
 Faktor malabsorbsi: malabsorbsi karbohidrat, lemak, atau protein.
 Faktor makanan, makanan basi, beracun, dan alergi terhadap makanan.
 Faktor psikologis, rasa takut dan cemas.
 Imunodefisiensi, Dapat mengakibatkan terjadinya pertumbuhan bakteri.
 Infeksi terhadap organ lain, seperti radang tonsil, bronchitis, dan radang tenggorokan.

c. KLASIFIKASI
Gastroenteritis (diare) dapat di klasifikasi berdasarkan beberapa faktor :
1. Berdasarkan lama waktu :
a. Akut : berlangsung < 5 hari
b. Persisten : berlangsung 15-30 hari
c. Kronik : berlangsung > 30 hari
2. Berdasarkan mekanisme patofisiologik
a. Osmotik, peningkatan osmolaritas intraluminer
b. Sekretorik, peningkatan sekresi cairan dan elektrolit
3. Berdasarkan derajatnya
a. Diare tanpa dihindrasi
b. Diare dengan dehidrasi ringan/sedang
c. Diare dengan dehidrasi berat
4. Berdasarkan penyebab infeksi atau tidak
a. Infektif
b. Non infeksif

d. PATOFISIOLOGI
Sebagian besar diare akut di sebabkan oleh infeksi. Banyak dampak yang terjadi karena
infeksi saluran cerna antara lain: pengeluaran toksin yang dapat menimbulkan gangguan
sekresi dan reabsorbsi cairan dan elektrolit dengan akibat dehidrasi,gangguan keseimbangan
elektrolit dan gangguan keseimbangan asam basa. Invasi dan destruksi pada sel epitel, penetrasi
ke lamina propia serta kerusakan mikrovili yang dapat menimbulkan keadaan maldigesti dan
malabsorbsi,dan apabila tidak mendapatkan penanganan yang adekuat pada akhirnya dapat
mengalami invasi sistemik.
Penyebab gastroenteritis akut adalah masuknya virus (Rotavirus, Adenovirus enteris,
Virus Norwalk), Bakteri atau toksin (Compylobacter, Salmonella, Escherichia coli, Yersinia
dan lainnya), parasit (Biardia Lambia, Cryptosporidium). Beberapa mikroorganisme patogen
ini menyebabkan infeksi pada sel-sel, memproduksi enterotoksin atau sitotoksin dimana
merusak sel-sel, atau melekat pada dinding usus pada Gastroenteritis akut. Penularan
Gastroenteritis bisa melalui fekal-oral dari satu penderita ke yang lainnya.
Beberapa kasus ditemui penyebaran patogen dikarenakan makanan dan minuman yang
terkontaminasi. Mekanisme dasar penyebab timbulnya diare adalah gangguan osmotic
(makanan yang tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan osmotic dalam rongga usus
meningkat sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit kedalam rongga usus,isi rongga usus
berlebihan sehingga timbul diare).
Selain itu menimbulkan gangguan sekresi akibat toksin di dinding usus, sehingga sekresi
air dan elektrolit meningkat kemudian terjadi diare. Gangguan moltilitas usus yang
mengakibatkan hiperperistaltik dan hipoperistaltik. Akibat dari diare itu sendiri adalah
kehilangan air dan elektrolit (Dehidrasi) yang mengakibatkan gangguan asam basa (Asidosis
Metabolik dan Hipokalemia), gangguan gizi (intake kurang, output berlebih), hipoglikemia
dangangguan sirkulasi darah.

e. TANDA DAN GEJALA


1. Diare.
2. Muntah.
3. Demam.
4. Nyeri Abdomen
5. Membran mukosa mulut dan bibir kering
6. Fontanel Cekung
7. Kehilangan berat badan
8. Tidak nafsu makan
9. Lemah

f. KOMPLIKASI
1. Dehidrasi
2. Renjatan hipovolemik
3. Kejang
4. Bakterimia
5. Malnutrisi
6. Hipoglikemia
7. Intoleransi sekunder akibat kerusakan mukosa usus

g. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Pemeriksaan laboratorium.
i. Pemeriksaan tinja.
ii. Pemeriksaan gangguan keseimbangan asam basa dalam darah astrup,bila
memungkinkan dengan menentukan PH keseimbangan analisa gas darah atau
astrup,bila memungkinkan.
iii. Pemeriksaan kadar ureum dan creatinin untuk mengetahui pungsi ginjal.
b. Pemeriksaan elektrolit intubasi duodenum untuk mengetahui jasad renik atau parasit
secara kuantitatif,terutama dilakukan pada penderita diare kronik.
h. PENATALAKSANAAN
a. Terapi Cairan
Untuk menentukan jumlah cairan yang perlu diberikan kepada penderita diare, harus
diperhatikan hal-hal sebagai berikut :

i. Jumlah cairan : jumlah cairan yang harus diberikan sama dengan jumlah cairan yang
telah hilang melalui diare dan/muntah muntah PWL (Previous Water Losses)
ditambah dengan banyaknya cairan yang hilang melalui keringat, urin dan pernafasan
NWL (Normal Water Losses).

ii. Cairan yang hilang melalui tinja dan muntah yang masih terus berlangsung CWL
(Concomitant water losses) (Suharyono dkk., 1994 dalam Wicaksono, 2011)

Ada 2 jenis cairan yaitu:

1. Cairan Rehidrasi Oral (CRO) : Cairan oralit yang dianjurkan oleh WHO-ORS, tiap 1
liter mengandung Osmolalitas 333 mOsm/L, Karbohidrat 20 g/L, Kalori 85 cal/L.
Elektrolit yang dikandung meliputi sodium 90 mEq/L, potassium 20 mEq/L, Chloride
80 mEq/L, bikarbonat 30 mEq/L (Dipiro et.al., 2005). Ada beberapa cairan rehidrasi
oral:

a. Cairan rehidrasi oral yang mengandung NaCl, KCL, NaHCO3 dan glukosa, yang
dikenal dengan nama oralit.

b. Cairan rehidrasi oral yang tidak mengandung komponen-komponen di atas


misalnya: larutan gula, air tajin, cairan-cairan yang tersedia di rumah dan lain-lain,
disebut CRO tidak lengkap.

2. Cairan Rehidrasi Parenteral (CRP) Cairan Ringer Laktat sebagai cairan rehidrasi
parenteral tunggal. Selama pemberian cairan parenteral ini, setiap jam perlu dilakukan
evaluasi:
a. Jumlah cairan yang keluar bersama tinja dan muntah
b. Perubahan tanda-tanda dehidrasi.

b. Obat-obatan (Antibiotik)
Pemberian antibotik secara empiris jarang diindikasikan pada diare akut infeksi, karena
40% kasus diare infeksi sembuh kurang dari 3 hari tanpa pemberian anti biotik.
Pemberian antibiotik di indikasikan pada : Pasien dengan gejala dan tanda diare infeksi
seperti demam, feses berdarah,, leukosit pada feses, mengurangi ekskresi dan
kontaminasi lingkungan, persisten atau penyelamatan jiwa pada diare infeksi, diare pada
pelancong, dan pasien immunocompromised. Contoh antibiotic untuk diare
Ciprofloksasin 500mg oral (2x sehari, 3 – 5 hari), Tetrasiklin 500 mg (oral 4x sehari, 3
hari), Doksisiklin 300mg (Oral, dosis tunggal), Ciprofloksacin 500mg, Metronidazole
250-500 mg (4xsehari, 7-14 hari, 7-14 hari oral atauIV).
Obat Anti Diare : loperamid HCl serta kombinasi difenoksilat dan atropin sulfat (lomotil).
Penggunaan kodein adalah 15-60mg 3x sehari, loperamid 2-4 mg/ 3 – 4x sehari dan
lomotil 5mg 3 – 4 x sehari. Efek kelompok obat tersebut meliputi penghambatan propulsi,
peningkatan absorbsi cairan sehingga dapat memperbaiki konsistensi feses dan
mengurangi frekwensi diare.Bila diberikan dengan cara yang benar obat ini cukup aman
dan dapat mengurangi frekwensi defekasi sampai 80%. Bila diare akut dengan gejala
demam dan sindrom disentri obat ini tidak dianjurkan.

c. Diatetik (pemberian makanan)


Pemberian makanan dan minuman khusus pada penderita dengan tujuan penyembuhan
dan menjaga kesehatan adapun hal yang perlu diperhatikan: memberikan bahan makanan
yang mengandung kalori, protein, vitamin, mineral dan makanan yang bersih.

Anda mungkin juga menyukai