Anda di halaman 1dari 19

BAB II

STATUS PEDIATRIK

2.1 IDENTIFIKASI
Nama : An. AS
Umur : 3 tahun 3 bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Berat badan : 12 kg
Panjang badan : 94 cm
Lingkar Kepala : 49 cm
Nama ayah : Tn. D
Nama Ibu : Ny. M
Agama : Islam
Bangsa : Sumatera
Alamat : Jua Jua Kabupaten Ogan Komering Ilir
MRS : 15 juli 2016 (07:15 WIB)

II. ANAMNESIS
(Alloanamnes dilakukan tanggal 16 Juli 2016, pukul 08:00 diberikan oleh ibu pasien)

Keluhan utama : Timbul keropeng pada ketiak, leher, dan lutut kanan
Keluhan tambahan : Gatal
Riwayat Perjalanan Penyakit
12 hari sebelum masuk rumah sakit, penderita mengeluh timbul 2 buah bercak
merah seukuran biji kacang hijau di ketiak kanan. Bercak berubah menjadi bintil berisi
air bening-kuning, gatal (+), nyeri (+), demam (-), batuk (-), pilek (-), dan mengering.
Kebiasaan anak menggaruk bintil positif.
Kisaran 7 hari sebelum masuk rumah sakit, timbul bercak merah dan bintil baru
yang serupa, seukuran biji kacang hijau-koin, berisi cairan kuning pada ketiak, leher,
dan lutut kanan. Bintil semakin membesar membentuk bulla yang pecah, kemudian
meninggalkan keropeng berwarna kuning-coklat kehitaman, gatal (+). Kebiasaan anak
menggaruk (+).
R/ pengobatan : OS mengkonsumsi acyclovir.

1
Riwayat Penyakit Dahulu
Tidak ada

Riwayat Penyakit dalam Keluarga


Tidak ada

Riwayat Kehamilan dan Kelahiran


Masa kehamilan : Aterm
Partus : Spontan
Ditolong Oleh : Bidan
Tanggal : 13 April 2013
Berat badan : 3.000 gr
Panjang Badan : 46 cm
Lingkar kepala : Ibu tidak tau

Riwayat Makanan
ASI : Lahir s.d 6 bulan, 6-8x/hari selama 15 menit
Susu Formula :-
Bubur Susu : 6 - 12 bulan, frekuensi 2x/hari
Bubur Saring : 12 - 18 bulan, frekuensi 2x/hari
Nasi Tim : 7 - 8 bulan, frekuensi 2x/hari
Nasi Biasa : 21 bulan - sekarang frek 2x/hari
Daging : 9 bulan sekarang frek 1x/bulan
Tempe : 9 bulan sekarang frek 1x/hari
Tahu : 9 bulan sekarang frek 1x/hari
Sayuran : 9 bulan - sekarang
Buah : Sejak usia 9 bulan frek 2x/minggu
Lain-lain :-
Kesan : Kurang
Kualitas : Kurang

Riwayat Imunisasi
IMUNISASI DASAR
Umur Umur Umur
BCG 1 bulan
DPT 1 2 bulan DPT 2 4 bulan DPT 3 6 bulan

2
HEPATITIS B 1 Lahir HEPATITIS 1 bulan HEPATITIS B 6 bulan
B2 3
Hib 1 2 bulan Hib 2 4 bulan Hib 3 6 bulan
POLIO 1 2 bulan POLIO 2 4 bulan POLIO 3 6 bulan
CAMPAK 9 bulan
Kesan : Imunisasi dasar lengkap, sesuai usia

Riwayat Keluarga
Perkawinan : Pertama
Umur : 5 tahun
Pendidikan : Ayah (SMA) & Ibu (SMA)
Pekerjaan orang tua : Ayah petani dan ibu IRT
Penyakit yang pernah diderita: tidak ada

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Fisik


Pertumbuhan
BB/U : 0 s/d -2 SD
PB/U : 0 s/d -2 SD
BB/PB : -1 SD s/d -2 SD
Kesan : Status gizi baik
Perkembangan
Mengangkat kepala : 3 bulan
Tengkurap : 6 bulan
Merangkak : 9 bulan
Duduk : 8 bulan
Berdiri : 12 bulan
Berjalan : 18 bulan
Kesan : Perkembangan motorik kasar baik
III. PEMERIKSAAN FISIK
(Dilakukan tanggal 16 juli 2016)

Pemeriksaan Fisik Umum


Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : E4M6V5

3
Tekanan Darah : 110/70
Nadi : 110 kali/menit, reguler, isi dan tegangan kurang
Pernapasan : 26 kali/menit
Tipe pernapasan : abdominothorakal
Suhu : 36,4 oC
Berat badan : 12 kg
Tinggi badan : 94 cm
Lingkar Kepala : cm
Edema : tidak ada
Sianosis : tidak ada
Ikterus : tidak ada
Pucat : tidak ada

Kulit : Warna kulit langsat, petchiae (-)

Keadaan Spesifik
Kepala
Mata : Palpebra edema (-), mata tidak cekung, konjungtiva tidak anemis,
sklera tidak ikterik, refleks cahaya (+/+), pupil bulat, isokor, 3
mm/3 mm.
Hidung : Sekret tidak ada, napas cuping hidung (-), mimisan (-)
Telinga : Bentuk normal, aurikula normal. sekret (-). darah (-), serumen (-)
Mulut : Bentuk simetris, warna merah muda, Sianosis tidak ada,
perdarahan gusi (-)
Tenggorok : Dinding faring tidak hiperemis, T1-T1, tenang, tidak hiperemis
Leher : Pembesaran kel gondok tidak ada, perbesaran KGB tidak ada,
JVP tidak meningkat, kaku kuduk tidak ada, Brudzinsky I, II (-),
Kernig sign (-)
Thorax
Paru-paru
Inspeksi : Statis dan dinamis simetris, retraksi tidak ada,
Palpasi : Strem fremitus kanan = kiri, pembesaran iga (-), nyeri tekan (-)
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru, nyeri ketok (-)

4
Auskultasi : Vesikuler (N/ N), ronkhi basah halus (-/-) di basal, wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Pulsasi, iktus cordis, dan voussour cardiaque tidak terlihat
Palpasi : Thrill tidak teraba
Perkusi : Batas atas ICS II linea parasternalis sinistra, batas kanan ICS IV linea
parasternalis sinistra, batas kiri ICS IV linea midclavicularis sinistra.
Auskultasi : HR = 112 kali/menit, irama reguler, murmur dan gallop tidak ada,
bunyi jantung I dan II normal.
Abdomen
Inspeksi : Cembung, bendungan vena (-), spider nevi (-), bintik perdarahan (-)
Palpasi : Lemas, hepar dan lien tidak teraba, turgor kulit segera kembali
Perkusi : Timpani, Shifting dullness (-), Undulasi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Lipat paha dan genitalia
Pembesaran kelenjar getah bening tidak ada
Ekstremitas
Superior : Akral dingin (-), pucat (-), sianosis (-), edema (-), petechie (-), CRT < 3s
Inferior : Akral dingin (-), pucat (-), sianosis (-), edema (-), petechie (-), CRT < 3s

IV. HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM


(15 Juli 2016 pukul 07:30 di IGD RS Umum Kayuagung)
Hb : 9,4 g/dl
Leukosit : 9.200/mm
Basofil :0
Eosinofil :0
Neutrofil batang :1
Neutrofil segment : 53
Limfosit : 36
Monosit : 10
Ht : 38 %
Trombosit : 290.000/mm3*

5
V. DAFTAR MASALAH
- Ruam kulit: makula, vesikel, bulla, krusta di regio axilla, colli, patela dextra
- Gatal

VI. DIAGNOSIS BANDING


Impetigo krustosa
Impetigo bulosa
Drugs eruption

VI. DIAGNOSIS KERJA


Impetigo krustosa

VII. RENCANA PEMERIKSAAN


Pemeriksaan darah rutin
Pemeriksaan gram
Kultur

VIII. PENATALAKSANAAN
IVFD RL gtt 12x/m, makro
Inj. Ampicilin 3x400 mg
Inj. Gentamisin 2x25 mg
CTM 3x tab
Cuci impetigo dengan larutan PK 2x1
Oles zalf gentamisin 2x/hari
IX. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam

X. RESUME
12 hari sebelum masuk rumah sakit, penderita mengeluh timbul 2 buah bercak
merah seukuran biji kacang hijau di ketiak kanan. Bercak berubah menjadi bintil berisi

6
air bening-kuning, gatal (+), nyeri (+), demam (-), batuk (-), pilek (-), dan mengering.
Kebiasaan anak menggaruk bintil positif.
Kisaran 7 hari sebelum masuk rumah sakit, timbul bercak merah dan bintil baru
yang serupa, seukuran biji kacang hijau-koin, berisi cairan kuning pada ketiak, leher,
dan lutut kanan. Bintil semakin membesar membentuk bulla yang pecah, kemudian
meninggalkan keropeng berwarna kuning-coklat kehitaman, gatal (+). Kebiasaan anak
menggaruk (+). Riwayat pengobatan : OS mengkonsumsi acyclovir.
Pemeriksaan fisik ditemukan Bulla yang pecah di regio axilla dextra dan leher
bagian kanan, terdapat krusta ditangan dan kaki.
Pemeriksaan laboratorium masih dalam batas normal.

XI. FOLLOW UP

Tanggal 15 juli 2016


S : terdapat benjolan yang pecah dan ngeluarkan cairan dikulit ketiak hingga leher,
demam (-), nafsu makan menurun (+).
O : Sensorium : compos mentis
TD : 110/80 mmHg
N : x/menit (isi/tegangan cukup)
RR : x/menit
T : 36,4oC
Kepala : edema palpebra (-/-), napas cuping hidung (-),
konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), SpO2 99%
Thorax : simetris, retraksi dada (-)
Cor : ictus cordis tidak terlihat dan tidak teraba,
BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : vesikuler (+/+) normal, rhonki (+/+), wheezing (-/-).
Abdomen : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba, BU (+) normal
Ekstremitas : akral hangat, CRT <3 detik, edema pretibial (-)
Status Dermatologikus:
Tampak bulla di regio axilla dextra menyebar ke regio colli dextra,
sebagian bulla pecah mengeluarkan cairan kuning jernih dan
membentuk krusta.

7
A : Impetigo krustosa

P :
IVFD RL gtt 12x/m, makro
Inj. Ampicilin 3x400 mg (1)
Inj. Gentamisin 2x25 mg (1)
CTM 3x tab (1)
Cuci impetigo dengan larutan PK 2x1
Oles zalf gentamisin 2x/hari

Tanggal 16 Juli 2016


S : bulla pecah dan mulai mengering, eritema (+), Krusta (+), nyeri (-), demam (-).
O : Sensorium : compos mentis
TD : 110/80 mmHg
N : 98x/menit (isi/tegangan cukup)
RR : 26x/menit
T : 36,7oC
Kepala : edema palpebra (-/-), napas cuping hidung (-),
konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), SpO2 99%
Thorax : simetris, retraksi dada (-)
Cor : ictus cordis tidak terlihat dan tidak teraba,
BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : vesikuler (+/+) normal, rhonki (+/+), wheezing (-/-).
Abdomen : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba, BU (+) normal
Ekstremitas : akral hangat, CRT <3 detik, edema pretibial (-)
Status Dermatologikus:
Tampak eritema bekas bulla yang pecah ukuran 1x2 cm di regio
colli dextra, axilla dan lengan kanan. Tampak krusta di lutut kanan
dan lengan kanan. Terdapat beberapa vesikel berisi cairan jernih di
punggung kanan.

8
A : Impetigo krustosa

P :
IVFD RL gtt 12x/m, makro
Inj. Ampicilin 3x400 mg (2)
Inj. Gentamisin 2x25 mg (2)
CTM 3x tab (2)
Cuci impetigo dengan larutan PK 2x1
Oles zalf gentamisin 2x/hari

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.I Definisi

9
Impetigo adalah infeksi penyakit menular pyogenic superfisial yang menyerang kulit.
Terdapat dua jenis impetigo yaitu impetigo non-bulosa (atau impetigo kontagiosa atau
Tilbury Fox) dan impetigo bulosa. Impetigo bulosa biasanya disebabkan oleh bakteri
staphylococcal terkadang disebabkan oleh streptococcal, sedangkan impetigo non-bulosa
biasanya disebabkan oleh Staphylococcus aureus, streptococcus atau kedua bakteri
tersebut (Burns, 2010)
Impetigo adalah infeksi kulit yang sering terjadi pada anak-anak. Bakteri penyebab
yang paling sering adalah Staphylococcus aureus, streptococcus atau kombinasi keduanya
(Motswaledi, 2011).

3.2 Epidemiologi
Di Amerika Serikat, kurang lebih 9-10 % dan anak-anak yang datang ke klinik kulit
menderita impetigo. Perbandingan antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan adalah
sama. Impetigo lebih sering menyerang anak-anak, jenis yang terbanyak (kira-kira 90%)
adalah impetigo bulosa yang terjadi pada anak yang berusia kurang dan 2 tahun. Impetigo
menyebar melalui kontak langsung dengan lesi (daerah kulit yang terinfeksi). Di Inggris
kejadian impetigo pada anak sampai usia 4 tahun sebanyak 2,8% pertahun dan 1,6% pada
anak usia 5-15 tahun. Sekitar 70% merupakan impetigo krustosa. Insiden impetigo ini
terjadi hampir di seluruh dunia. Paling sering mengenai usia 2-5 tahun, umumnya
mengenai anak yang belum sekolah, namun tidak menutup kemungkinan untuk semua
umur dimana frekuensi laki-laki dan wanita sama. Di Amerika Serikat, merupakan 10%
dari masalah kulit yang dijumpai pada klinik. Kebanyakan kasus ditemukan di daerah
tropis atau beriklim panas serta pada negara-negara yang berkembang dengan tingkat
ekonomi masyarakatnya masih tergolong lemah atau miskin (Burns, 2010).
Impetigo non-bulosa lebih dari 70% kasus terbanyak dalam pyoderma. Impetigo non-
bulosa banyak terjadi pada anak-anak pada semua umur, bahkan pada usia dewas (Wollf,
2008).

3.3 Etiologi
Bakteri penyebab yang paling sering adalah Staphylococcus aureus, streptococci atau
kombinasi keduanya (Motswaledi, 2011). Impetigo non-bulosa dapat disebabkan oleh
kedua bakteri S.aureus dan streptococci, masih dalam kontroversi dari genus mana yang
paling sering menyebabkan impetigo non-bulosa. Pada impetigo bulosa biasanya

10
Staphylococcus aureus (Djuanda, 2009). Kemungkinan tergantung dari variasi geografis,
bakteri streptococcal prevalensi tertinggi berada didaerah yang mempunyai iklim hangat.
S.aureus bisa sebagai bakteri sekunder yang menyebabkan impetigo (Burns, 2010).

Gambar 1. Streptococcus pyogenes

Gambar 2. Staphylococcus aureus


Lesi awal paling sering disebkan oleh bakteri streptococcal. Pada kasus impetigo yang
disebabkan oleh bakteri streptococcal, Streptococcus pyogenes sejauh ini merupakan
bakteri yang paling sering menyebabkan impetigo (Burns, 2010). Sekitar 30% dari
populasi kolonisasi S.aureus terletak pada nares anterior. Bakteri ini dapat menyebar dari
hidung ke kulit yang sehat dalam 7 14 hari dan akan nampak lesi impetigo dalam 7 14
hari kemudian (Broccardo, 2011).

3.4 Faktor Predisposisi


Faktor-faktor pencetus terjadinya impetigo :

11
- Kolonisasi bakteri pada daerah nasal dan perineal
- Hyegene yang buruk
- Penurunan daya tahan tubuh
- Trauma atau infeksi pada kulit sebelumnya, missal eczema (Motswaledi, 2011).

3.5 Patogenesis
Kulit yang utuh atau intak biasanya resisten terhadap kolonisasi atau infeksi bakteri
oleh S.aureus atau GABHS. Teichoic acid dari S.aureus atau GABHS yaitu fibronectin
dibutuhkan sebagai perlekatan di reseptor sel epitel untuk kolonisasi. Fibronectin ini tidak
berfungsi pada kulit yang utuh, akan tetapi pada kulit yang mengalami luka fibronectin ini
terbuka dan memudahkan bakteri untuk berkolonisasi. Faktor yang mempengaruhi dari
kolonisasi bakteri ini antara lain suhu, kelembaban, penyakit kulit kutaneus sebelumnya,
usia muda atau penggunaan antibiotik sebelumnya (Lewis, 2016). Toxin ini menyerang
protein yang membantu mengikat sel-sel kulit. Ketika protein ini rusak, bakteri akan
sangat cepat menyebar. Enzim yang dikeluarkan oleh Staphylococcus akan merusak
struktur kulit dan adanya rasa gatal dapat menyebabkan terbentuknya lesi pada kulit.
(Wolff, 2008).
Mekanisme kerusakan kulit yang memfasilitasi kolonisasi bakteri yang paling sering
antara lain :
Luka gores
Dermatofitosis
Varisela
Herpes simpleks
Scabies
Pediculosis
Luka bakar
Tindakan bedah
Trauma
Radiasi
Gigitan serangga
Terapi imunosupresi (penggunaan kortikosteroid, retinoid oral, kemoterapi), penyakit
sistemik (HIV, diabetes mellitus), drug abuse, dan dialysis menyokong sebagai
pertumbuhan bakteri. Sekali kulit terkolonisasi bakteri, trauma kecil seperti abrasi atau
gigitan serangga, dapat berkembang menjadi impetigo dalam 1-2 minggu. GABHS bisa
dideteksi pada hidung dan tenggorokan pada beberapa individu, walaupun tanpa gejala

12
faringitis. Hal ini dikarenakan bakteri ini mempunyai tipe yang berbeda, impetigo biasanya
disebabkan GABHS tipe D (Lewis, 2016).
Pada impetigo bulosa umumnya disebabkan oleh toxin eksfoliatif dari S.aureus tipe A
dan B. toxin ini menyebabkan hilangnya kemampuan sel untuk beradhesi dengan dermis
superfisial dengan gambaran kulit melepuh dan kulit mengelupas. Target dari toxin A
adalah desmoglein I yang berfungsi untuk memperbaiki adhesi sel (Lewis, 2016).
Impetigo non-bulosa umumnya disebabkan oleh bakteri Streptococcus beta
hemolyticus group A (tipe 49, 52, 53, 55-57, 59, 61) atau S. aureus atau kombinasi
keduanya. Impetigo non-bulosa atau dikenal juga impetigo kontagiosa umumnya sering
mengenai anak-anak (Geria, 2010).

3.6 Gejala Klinis


Impetigo non-bulosa atau impetigo kontagiosa atau impetigo krustosa lesi awalnya
berupa vesikel berdinding tipis dengan dasar eritematosa. Vesikel ini sangat cepat pecah,
dan sebagai hasilnya jarang sekali terlihat. Eksudat serum mengering dari warna
kecoklatan dengan karakteristik seperti madu. Pada beberapa kasus bisa berupa discharge
purulent. Kadang terdapat satelit lesi berdekatan dengan bula dikarenakan ada
autoinokulasi/ krusta biasanya kering, lepas dan hilang meninggalkan warna merah yang
menyembuh tanpa bekas. Area yang paling sering terkena adalah wajah, biasanya sekitar
hidung dan bibir. Tidak disertai gejala umum Sebagaian besar anak-anak sebagai carrier
bakteri ini (Mostwaledi, 2011).

Gambar 3. Impetigo Kontagiosa

13
Pada impetigo bulosa, bula pecah lebih lama. Bula akan bertambah besar dan dalam
dua atau tiga hari. Tanda patognomonik adalah collarete kerak atau sisik disekitar atas
bagian bula yang sudah pecah. Lesi tampak circinate atau bentuk sirkular (ring shaped)
dikarenakan ada central healing dan tepi meluas. Lesi ini akan meluas membentuk pola
polisiklik. Bula bisa terbentuk dimana saja dan besar dan tidak merata (Mostwaledi, 2011).

Gambar 4. Impetigo Bulosa

Gambar 5. Impetigo Bulosa Setelah Bula Pecah

Pada impetigo non-bulosa atau kontagiosa, lesi berupa vesikel berdinding tipis dengan
dasar eritema. Vesikel pecah sangat cepat. Eksudat mengering dari berwarna kuning
kecoklatan yang biasanya menebal dan kotor. Bentuk gradual, irregular, tepi meluas tanpa
ada central healing dan multiple lesi yang terjadang menjadi satu. Krusta lepas
meninggalkan bekas berupa bercak eritema dan menghilang tanpa bekas. Pada beberapa

14
kasus yang berat dapat terjadi demam dan gejala konstitusional lainnya. Lesi diwajah
biasanya berada di bibir dan hidung dan badan. Lesi juga bisa terdapat dimana saja pada
tubuh pada anak-anak yang menderita dermatitis atopik atau scabies. Impetigo non-bulosa
atau kontagiosa ini cenderung sembuh spontan dalam 2-3 minggu tapi dapat pula
memanjang biasanya karena adanya penyakit kulit yang mendasari (Burns, 2010).
Pada impetigo bulosa, bula pecah lebih lama dan menjadi lebih besar, dengan diameter
1 2 cm dan tahan dalam 2 3 hari. Isi bula awalnya vesikel jernih kemudian menjadi
keruh, setelah pecah terbentuk krusta tipis, datar berwarna cokelat. Central healing dengan
tepi yang meluas terkadang meninggi dengan bentuk lesi sirkular. Lesi bisa terdapat
dimana saja, dengan distribusi yang tidak merata, sering berada pada penyakit kulit yang
ada khususnya miliaria atau gigitan seranggga (Burns, 2010)

3.7 Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan Laboratorium:
Pewarnaan gram
Pada pemeriksaan ini akan mengungkapkan adanya neutropil dengan kuman coccus
gram positif berbentuk rantai atau kelompok.
Kultur cairan
Pada pemeriksaan ini umumnya akan mengungkapkan adanya Streptococcus aureus,
atau kombinasi antara Streptococcus pyogenes dengan Streptococcus--hemoliticus
grup A (GABHS), atau kadang-kadang dapat berdiri sendiri.

b. Pemeriksaan Lain
Titer anti-streptolysin-O (ASO), mungkin akan menunjukkan hasil positif lemah
untuk Streptococcus, tetapi pemeriksaan ini jarang dilakukan. Streptozyme,
menunjukkan hasil positif untuk Streptococcus, tetapi pemeriksaan ini jarang
dilakukan.
Pemeriksaan kultur dan sensitifitas bakteri (Siregar, 2005)

3.8 Diagnosis Banding


Diagnosis banding impetigo krustosa (kontagiosa) antara lain :
Dermatitis seboroik : pada bayi (2 minggu 10 minggu) daerah frontal dan
parietal khas disebut cradle cap, dengan krusta tebal, pecah-pecah dan berminyak
tanpa ada dasar kemerahan dan kurang/tidak gatal. Lokasi lain lesi tampak
kemerahan atau merah kekuningan yang tertutup skuama berminyak.

15
Dermatitis atopi: kelainan kulit terutama berupa iktiosis, reaksi radang berupa
makula eritemato sayang diatasnya terdapat vesikel, papul folikuler akhirnya
dapat timbul likenifikasi. Pada bayi 2 bulan sampai 2 tahun lokasi pada tubuh
bagian atas berupa papul dan vesikel diatas makula akhirnya terbentuk krusta
Dermatitis kontak: gatal pada daerah sensitif yang kontak dengan zat-zat yang
mengiritasi. Makula eritematosa, batas jelas kemudian diikuti edama,
papulovesikel, vesikel atau bula.
Herpes simplex: vesikel berkelompok dengan dasar kemerahan yang berulang dan
disertai rasa nyeri. Gejala prodromal rasa terbakar dan gatal. Setelah timbul lesi
dapat terjadi demam, malaise, dan nyeri otot
Varisela: vesikel pada dasar kemerahan bermula di badan dan menyebar ke tangan
kaki dan wajah; vesikel pecah dan membentuk krusta; lesi terdapat pada beberapa
tahap (vesikel, krusta).
Diagnosis banding impetigo bulosa:
Dermatitis kontak iritan: gatal pada daerah sensitif yang kontak dengan zat-
zat yang mengiritasi. Makula eritematosa, batas jelas kemudian diikuti
edama, papulovesikel, vesikel atau bula.
Bullous insect bites : gatal, kadang muncul papula, makula eritematosa,
dengan ditengah terdapat papul dan kadang bula, pada kulit yang tidak
terlindungi
Bullous tinea : gatal, kadang nyeri, serta bulla yang pecah dengan dasar
eritema. Umumnya pada tinea pedis
Bullous drug eruption : eritema dan vesikel yang berbentuk bulat atau
lonjong dan biasanya nummular. Kemudian meninggalkan bercak
hiperpigmentasi yang lama hilang. Predileksi di sekitar mulut da penis pada
laki-laki (Wolff, 2008, Djuanda, 2009).

3.9 Penatalaksanaan
Terapi lokal menggunakan mupirocin dapat digunaka untuk infeksi baik
streptococcal maupun staphylococcal menunjukkan hasil yang bagus. Fusidic acid juga
menunjukkan hasil yang memuaskan dalam mengeliminasi kedua bakteri tersebut
(Motswaledi, 2011). Krim atau salep Fusidic acid adalah terapi lini pertama karena
mupirocin efektif dalam terapi MRSA (Oakley, 2016). Dicloxacillin 250 mg sampai 500
mg peroral empat kali sehari atau erythromycin pada pasien yang alergi penicillin 250

16
sampai 500 mg peroral empat kali sehari (Wolff, 2008). Semua terapi diberikan dalam 7
hari (Burns, 2010).
Penggunaan Azithromycin (dewasa 500 mg pada hari pertama, 250 mg sehari pada
empat hari berikutnya menunjukkan hasil yang sama efektifnya dengan dicloxacillin. Pada
kasus resistensi erythromycin, amoxixllin ditambah asam klavulanat (25mg/kg/hari 3 kali
sehari), chepalexin (40 -50 mg/kg/hari), cefprozil (20 mg/kg/hari 1 kali sehari) atau
clindamycin (15 mg/kg/hari 3 kali atau 4 kali sehari) efektif sebagai terapi alternative
(Wolff, 2008). Jika terdapat hanya beberapa vesikel/bula, dipecahkan lalu diberi salep
antibiotik atau cairan antiseptik (Djuanda, 2009).

Gambar 6. Tabel terapi Impetigo


3.10Komplikasi
Pada kasus yang tidak tertangani, penyakit akan menyebar kebagian tubuh lainnya,
pada staphylococcal impetigo yang memproduksi toxin TSST-1 menyebabkan toxic shock
syndrome, selain itu bisa menyebabkan osteomyelitis, septic arthtritis dan
glomerulonephritis bisa terjadi (Motswaledi, 2011)

17
BAB IV
ANALISIS KASUS

DAFTAR PUSTAKA

1. Noisakran, S and Perng, G.C. 2008. Alternate hypothesis on the pathogenesis of


dengue hemorrhagic fever (DHF)/dengue shock syndrome (DSS) in dengue virus
infection. Exp Biol Med,.233(4):401-8.
2. Tantracheewathorn, T and Tantracheewathorn, S. 2007. Risk factors of dengue
shock syndrome in children. J Med Assoc Thai.,90(2):272-7.
3. WHO. 2013. Dengue, Dengue Haemorrhagic Fever and Dengue Shock Syndrome
In The Context of Integrated Management of childhood Illness.
WHO/FCH/CAH/05.13.
4. Wahono TD., dkk., Demam Berdarah Dengue. Available at ; http://www.dkk-
bpp.com
5. Rampengan T.H., Laurentz I.R., Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta. 1997. p.136-157
6. Demam Berdarah Dengue. Available at ; www.medicastore.com
7. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 1985. p.607-21.
8. Behrman RE., et.al. Nelson Textbook of Pediatrics. 17th edition.Saunders,
Philadelphia.2004
9. Diktat Penyakit Infeksi. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin Makassar. 2003. p. 39-57.

18
10. Pedoman Diagnosa dan Terapi Berdasarkan Gejala dan Keluhan. Prosedur Tetap
Standar Pelayanan Medis IRD RSUD Dr. Soetomo, Surabaya. 1997.
11. Soegijanto S, et all. Demam Berdarah Dengue. Pedoman Diagnosa dan Terapi
Lab/UPF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr. Soetomo, Surabaya. 1994.
12. Soegijanto S, et all. Seminar Sehari Demam Berdarah Dengue. Surabaya. 1998.
13. Http://www.bhj.org/journal/2001_4303_july01/review_380.htm

19

Anda mungkin juga menyukai